PENDAHULUAN Persepsi perusahaan di seluruh dunia

advertisement
PENDAHULUAN
Persepsi perusahaan di seluruh dunia telah memasuki era dimana melihat
sebuah organisasi tidak hanya dari pencapaian hasilnya, tetapi melihat
komponen proses yang terlibat didalamnya. Posisi sumber daya manusia dalam
organisasi telah dianggap memiliki peran penting bukan lagi sebagai alat untuk
menjaga berjalannya perusahaan tetapi sebagai modal bagi perusahaan yang
dapat mendukung efektivitas perusahaan. Sebagai salah satu modal utama
maka organisasi melakukan banyak upaya untuk meningkatkan sumber dayanya,
baik secara kemampuannya maupun kesejahteraan hidupnya, sehingga
memberikan dampak maksimal terhadap organisasi. Sumber daya manusia
memiliki peran penting dalam proses keberlangsungan suatu organisasi.
Organisasi yang berhasil tentu memiliki karyawan yang menunjukkan kinerja
positif dan perfomansi yang baik.
Permasalahan muncul ketika perusahaan melakukan efisiensi untuk
keberlangsungan efektivitas perusahaan dengan menggunakan karyawan
kontrak sebagai penggerak organisasi. Strategi perusahaan menggunakan
karyawan kontrak yang dianggap lebih efisien dan fleksibel, juga sebagai salah
satu cara penghematan pengeluaran perusahaan (Boone & Kurtz, 2007).
Berdasarkan data statistik (2010) rata-rata perusahaan di Indonesia hanya
menggunakan karyawan tetap sebanyak 35% dan sisanya adalah karyawan
kontrak. Menurut Kuroki (2012) karyawan kontrak memiliki kecenderungan takut
akan kehilangan pekerjaan dan tidak memiliki jaminan akan keberlangsungan
karir, sehingga berpotensi tinggi mengalami job insecurity. Penelitian Lozza,
Libreri dan Bosio (2012) pada karyawan kontrak mengungkapkan bahwa job
insecurity memiliki kaitan dengan tingkat konsumsi sehari-hari dan rencana hidup
seperti rencana berkeluarga dan rencana karir pekerjaan.
Kurangnya kesadaran manajemen dalam mengontrol keadaan SDM
sebagai penggerak organisasi dapat menimbulkan turunnya performansi kerja
sehingga mempengaruhi efektivitas organisasi (Sverke, Hellgren, & Naswall,
2006). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi komponen kerja dalam
organisasi salah satunya adalah job insecurity. Job insecurity itu sendiri banyak
mempengaruhi komponen kerja seperti motivasi, kepuasan kerja, komitmen,
turnover, performansi dan kesehatan mental (Greenhalgh & Rosenblat, 2010;
Sverke, Hellgren, & Naswall, 2006). Oleh karena itu penelitian mengenai job
insecurity banyak dikaji seiring dengan berkembangnya keadaan organisasi di
dunia. Greenhalgh dan Rosenblatt (1984) menjelaskan job insecurity sebagai
ketidakberdayaan untuk mempertahankan kelangsungan keinginan dalam situasi
pekerjaan terancam.
Penelitian Staufenbiel dan Konig (2010) menjelaskan bahwa job insecurity
sebagai kondisi stress atas ketidakberdayaan antara harapan karyawan dengan
keadaan perusahaan. Lebih lanjut penelitian tersebut mengungkapkan adanya
job insecurity pada karyawan berdampak pada penurunan kinerja. Karyawan
adalah sumber daya manusia sebagai penggerak organisasi yang perlu selalu
diperhatikan agar kualitas perusahaan pun tetap terjaga. Banyaknya perusahaan
yang ada di Indonesia menciptakan persaingan yang menuntut organisasi untuk
memiliki strategi dalam menghadapi perubahan (Brown & Harvey, 2006).
Perubahan organisasi tersebut tentu sedikit banyaknya akan mempengaruh
keberadaan karyawan didalamnya. Karyawan yang bekerja pada suatu
perusahaan yang tidak memiliki kepastian atau jaminan karir patut merasa
2
khawatir dan merasa tidak berdaya (Gracia, Ramos, Peiro, Calaballer, & Sora,
2011).
Sverke, Hellgren dan Naswal (2006) yang menjelaskan job insecurity
sebagai ketidakberdayaan yang dirasakan karyawan untuk mempertahankan
keberlangsungan kerjanya ditengah situasi kerja yang terancam. Perusahaan
melakukan perubahan sebagai salah satu strategi mempertahankan organisasi
agar dapat terus berjalan. Kebutuhan karyawan yang meningkat diimbangi
dengan kebutuhan dana yang meningkat pula. Oleh karena itu, melakukan
merger, acquisition, outsourcing, dan kontrak sementara menjadi salah satu
strategi perusahaan yang dapat memunculkan job insecurity (Sverke, Hellgren &
Naswal, 2006). Adanya perubahan-perubahan tersebut maka dapat memberikan
pengaruh persepsi karyawan akan keberlangsungan kerja dalam organisasi.
Telah banyak penelitian yang menemukan bahwa adanya job insecurity pada
karyawan memberikan dampak negatif pada organisasi (Ashford, Lee, & Bobko,
1989; Cuyper & Witte, 2005; Greenhalgh & Rosenblatt, 2010).
Pasewark dan Strawser (1996) menyatakan bahwa job insecurity adalah
hilangnya rasa keamanan untuk kelanjutan kerja karyawan yang pada akhirnya
akan mempengaruhi tingkat kepuasan kerja, komitmen organisasi, dan
kepercayaan organisasi serta berakhir pada perilaku karyawan untuk menilai
kembali hubungan dengan perusahaan dan mencari alternatif pekerjaan. Oleh
karena itu, hal tersebut juga akan berdampak pada produktivitas organisasi dan
tidak optimalnya hasil kerja yang didapatkan oleh organisasi (Cuyper & De Witte,
2005). Penelitian lain menemukan bahwa ketidakamanan kerja berpengaruh
negatif terhadap kinerja karyawan, dimana semakin tinggi job insecurity
3
seseorang maka semakin rendah kinerjanya, dan semakin rendah job insecurity
maka semakin tinggi hasil kerja yang dapat dicapainya (Nugraha, 2010).
Ashford, Lee, dan Bobko, (1989) memodifikasi teori Greenhalgh dan
Rosenblatt (1984) dengan menguraikan dimensi job insecurity yaitu keparahan
ancaman dan ketidakberdayaan. Keparahan ancaman terbagi menjadi dua
bagian yakni job feature, yaitu ancaman akan aspek-aspek pekerjaan dan job
total, yaitu ancaman kehilangan pekerjaan secara keseluruhan. Sedangkan
ketidakberdayaan (powerlessness) diuraikan sebagai perasaan tidak berdaya
yang berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya kontrol dan
ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian di lingkungan kerjanya.
Greenhalgh dan Rosenblatt (2010) mengkategorikan penyebab job insecurity ke
dalam tiga kelompok. Pertama kondisi lingkungan dan organisasi (misalnya
perubahan organisasi dan komunikasi organisasional). Kedua, karakteristik
individual dan jabatan pekerja (misalnya usia, gender, status sosial ekonomi).
Ketiga, karakteristik personal pekerja (misalnya locus of control, self esteem dan
self efficacy).
Pasewark
dan
Strawser
(1996)
menyebutkan
empat
hal
yang
mempengaruhi job insecurity, yaitu : (1) konflik peran, (2) ketidakjelasan peran
(koordinasi arus kerja, peraturan, dan komunikasi), (3) locus of control dan (4)
perubahan organisasi. Bryson dan Harvey (2000) menjelaskan terdapat dua jenis
job insecurity dalam kerja, yaitu pertama secara objektif yang secara umum
dikaitkan dengan indikator yang jelas seperti job tenure. Kedua secara subyektif
yang relatif sulit untuk diamati secara langsung. Subyektif job insecurity dikaitkan
dengan persepsi ancaman hilangnya pekerjaan dan konsekuensi dari hilangnya
pekerjaan tersebut.
4
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa job insecurity
merupakan rasa ketidakamanan serta ketidakberdayaan pada situasi kerja yang
mengancam seperti kejelasan akan keberlangsungan pekerjaan dan kehilangan
pekerjaan karena perubahan yang terjadi di sekitarnya. Persepsi ketidakamanan
tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor baik dari karakteristik individu itu
sendiri, karakteristik personal dan lingkungan organisasi tersebut.
Berkaitan dengan job insecurity, banyak penelitian yang membahas faktor
terkait pengaruh tingkat job insecurity berdasarkan lingkungan kerjanya (Huang,
Niu, Lee, & Ashford, 2012). Lee, Bobko dan Chen (2006) menjelaskan bahwa
akan sangat penting jika organisasi mampu untuk mengantisipasi dan
memprediksi job insecurity. Secara umum Sverke, Hellgreen, dan Naswal (2002)
menjelaskan bahwa job insecurity terkait dengan level performansi kerja,
kepuasan kerja, komitmen organisasi, keinginan untuk bertahan, kepercayaan
pada organisasi dan kesejahteraan. Selain itu dalam penelitian ditemukan bahwa
kepercayaan merupakan suatu hal yang sangat vital dalam mempertahankan “a
sense of security” dimana adanya kepercayaan memiliki keterkaitan yang kuat
dengan job insecurity (Burchell, Day, Hudson, Ladipo, Mankelow, Nolan, Reed,
Wichert & Wilkinson1999). Faktor lain yang mempengaruhi job insecurity adalah
karakteristik personal, selain locus of control, self esteem, optimisme vs
pessimisme, sense of coherence, karakteristik personal lainnya adalah
kepercayaan (Kinnunen, Natti & Happonen, 2000).
Setiap karyawan tentu mengharapkan karir yang baik dimasa depannya
dimulai dari pekerjaannya saat ini. Karyawan yang bekerja pada suatu
perusahaan secara tidak langsung meletakkan kepercayaan karirnya pada
perusahaan tersebut (Zahra & Mariatin, 2012). Karyawan berharap akan
5
keberlangsungan karir pada perusahaan tersebut sehingga akan menumbuhkan
motivasi untuk bekerja dengan maksimal. Berkaitan dengan hal tersebut,
persepsi karyawan akan ancaman kehilangan atau keberlangsungan pekerjaan
dan kekhawatiran terkait ancaman tersebut tentu mempengaruhi aspek motivasi
kerja yang berimbas pada produktivitas kerja (De Witte, 2005). Kepercayaan
karyawan pada perusahaan yang memiliki reputasi baik di masyarakat akan
meningkatkan harapan karyawan untuk tetap berkarir pada perusahaan tersebut.
Kepercayaan tersebut akan menumbuhkan perilaku kerja yang baik dan
termotivasi untuk tetap berkarir dalam perusahaan tersebut (Dietz & Hartog,
2006).
Kepercayaan juga merupakan elemen yang paling penting dalam
menciptakan hubungan yang harmonis, sinergis, dan efisien dalam lingkungan
(Huff & Kelley, 2003). Berdasarkan kajian Schoorman, Mayer, dan Davis, (2007)
kepercayaan didefinisikan secara konseptual sebagai kesediaan untuk menerima
suatu keadaan atau perilaku dari pihak lain. Selain itu, dijelaskan lebih lanjut
kepercayaan sangat berkaitan dengan kesediaan untuk menghadapi dan
menerima resiko. Kaylay dan Sverke (2010) menemukan bahwa trust in
manajement memoderatori hubungan antara qualitative job insecurity dengan
perubahan komitmen afektif. Penelitian tersebut juga mengindikasikan bahwa
terdapat hubungan yang kuat antara kepercayaan dan job insecurity.
Shockley-Zalabak, Pamela, Ellis, dan Cesaria, (2000) mengungkapkan
kepercayaan organisasi sebagai kerelaan organisasi, berdasarkan pada budaya
dan perilaku berkomunikasi dalam hubungan atau transaksi. Lebih lanjut
Shockley-Zalabak,
dkk.
(2000)
mengemukakan
model
penelitian
yang
menjelaskan lima faktor pembangun kepercayaan organisasi, yaitu: kompetensi
6
(efektivitas pekerja dan pemimpin), keterbukaan dan kejujuran (jumlah, akurasi
dan ketulusan berbagi informasi), kepedulian bagi karyawan (pameran empati,
toleransi dan keamanan), keandalan (tindakan yang konsisten dan dapat
diandalkan), dan identifikasi (berbagi tujuan bersama, nilai-nilai dan keyakinan).
Robbins (2003) menyatakan bahwa kepercayaan sebagai suatu proses
pengharapan positif dan ketergantungan yang berimplikasi pada keakraban dan
risiko.
Mayer
dan
Davis
(1995)
manyampaikan
tiga
dimensi
dalam
menggambarkan kepercayaan yaitu: kemampuan (ability) yang mengindikasikan
masalah kompetensi atau kualitas perusahaan, kebajikan (benevolence) yang
mengindikasikan masalah keterbukaan dan perhatian (seperti komunikasi dalam
organisasi), serta integritas (integrity) yang mengindikasikan masalah keajegan.
Mayer dan Davis (1995) menjelaskan kepercayaan pada manajemen dalam
organisasi sebagai kemauan individu untuk menjadikan organisasi sebagai
tempat yang dipercayai untuk bergantung. Sumaryono (2000) menjelaskan
bahwa kepercayaan identik dengan keyakinan atas kemampuan organisasi atau
orang lain. Dimensi kepercayaan dalam hal ini adalah konteks kepercayaan
karyawan terhadap organisasi akan keberlangsungan karir di organisasi tersebut.
Atkinson dan Butcher (2003) menyebutkan dua bentuk kepercayaan terhadap
organisasi yaitu impersonal dan personal. Kepercayaan impersonal didasarkan
pada peran, sistem dan reputasi organisasi sehingga muncul kepercayaan dari
individu. Sedangkan personal, kepercayaan didasarkan pada interaksi hubungan
tertentu.
Widyastuti (2012) menyatakan bahwa kepercayaan dalam konteks
organisasi berkaitan erat dengan kepercayaan interpersonal, hal tersebut
7
dikarenakan persepsi individu memiliki pengaruh yang
besar terhadap
lingkungan maupun pandangan dirinya sendiri. Lebih lanjut Widyastuti (2012)
menyimpulkan kepercayaan terhadap organisasi sebagai suatu sikap yang
mencerminkan keinginan untuk menanggung risiko dan melepaskan kontrol
dengan harapan akan diperoleh manfaat yang diinginkan sebagai anteseden dari
persepsi akumulasi pengalaman yang mengarah kepercayaan seseorang pada
lembaga atau organisasi.
Berdasarkan
penjabaran
definisi
kepercayaan
diatas,
maka
dapat
disimpulkan kepercayaan pada organisasi sebagai kesediaan diri atau karyawan
untuk menerima suatu keadaan dan perilaku orang lain serta menjadikan
organisasi
sebagai
tempat
yang
dipercayai
untuk
bergantung
yang
mencerminkan keinginan untuk menanggung risiko atas apa yang diberikan
organisasi. Dimensi kepercayaan pada organisasi yang sesuai dengan penelitian
di organisasi digambarakan dengan dimensi Mayer dan Davis (1999) yaitu
Integritas, kebajikan dan ability.
Berkaitan dengan kepercayaan pada organisasi yang memiliki keterkaitan
dengan job insecurity, faktor lainnya yang dapat mempengaruhi job insecurity
adalah berasal dari kepribadian individu itu sendiri seperti salah satunya efikasi
diri (Greenhalgh dan Rosenblatt, 2010). Ashford, Lee, dan Bobko, (1989)
menjelaskan job insecurity perlu ditelaah lebih lanjut terutama mengenai kontrol
perasaan individu, seperti locus of control, self esteem, self efficacy. Ashford,
Lee, dan Bobko (1989) juga menjelaskan beberapa prediktor yang memiliki
potensi sebagai moderator keterkaitan antara job insecurity dengan outcomes
variable, beberapa diantaranya yaitu efikasi diri dan self esteem. Oleh karena itu,
8
dapat dikatakan efikasi diri memiliki pengaruh terhadap keberadaan job insecurity
(Greenhalgh & Rosenblatt, 1984).
Efikasi diri menurut Bandura (1997) merupakan evaluasi diri atas
kesanggupan atau kompetensi diri individu dalam penyelesaian tugas atau
menghadapi rintangan serta tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan
situasi. Kirves, Cupyer, Kinnunen dan Natti (2011) membuktikan dalam
penelitiannya bahwa seseorang yang memiliki kompetensi untuk menghadapi
suatu mekanisme situasi, secara positif dapat mempengaruhi tingkat job
insecurity. Oleh karena itu perlu diketahui seberapa banyak proporsi pengaruh
dari efikasi diri seorang karyawan terhadap job insecurity yang muncul. Efikasi
diri menurut Bandura (1997) dapat ditumbuhkan dan dipelajari melalui empat
sumber yaitu: kinerja atau pengalaman masa lalu, model perilaku (mengamati
orang lain yang melakukan tindakan yang sama), persuasi dari orang lain, dan
keadaan faktor fisik dan emosional.
Baron dan Byrne (2004) menjelaskan bahwa efikasi diri mewujud dalam
performa seseorang. Efikasi diri individu yang tinggi akan berdampak pada
kinerja, motivasi, emosi yang stabil dan mampu menunjukkan perilaku kerja
dengan baik. Wood dan Bandura (1989) mengungkapkan efikasi diri sebagai,
keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk memobilisasi motivasi, sumber
daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasional
yang diberikan. Bandura (1997) menguraikan efikasi diri kedalam tiga dimensi:
1. Level atau besarnya tingkat kesulitan yaitu, keyakinan akan
kemampuannya dalam menghadapi derajat tingkat tugas yang
dirasakan;
9
2. Generality
yakni
seberapa
yakin
individu
dalam
keseluruhan
kemampuan yang dimiliki, seperti employability dan kompetensi;
3. Strength atau kekuatan yaitu keyakinan untuk tetap bertahan dalam
menghadapi kesulitan dan hambatan.
Melihat penjabaran tersebut serta konteks dari penelitian ini yang berkaitan
dengan tugas-tugas kerja di dalam perusahaan maka dapat disimpulkan bahwa
efikasi diri yang dibahas adalah efikasi diri kerja. Efikasi diri kerja dalam hal ini
dikonseptualisasikan
sebagai
evaluasi
keyakinan
individu
tentang
kemampuannya untuk menghadapi situasi serta tuntutan kerja yang bervariatif
dipekerjaan mereka ( schanbroeck, Jones, & Xie, 2001). Berdasarkan konsep
tersebut maka, efikasi diri kerja diartikan sebagai evaluasi diri atas kesanggupan
atau kompetensi diri individu dalam penyelesaian tugas-tugas kerja atau
menghadapi rintangan serta tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan
situasi yang mewujud dalam performansi individu. Efikasi diri kerja dapat diukur
melalui tiga dimensi yaitu level, generality dan strength terkait dengan proses
kerja yang dilakukan oleh karyawan.
Pengukuran job insecurity menurut Naswall dan De Witte (2003) lebih
akurat ketika dilakukan pada subjek yang mengalami kondisi job insecurity atau
keadaan organisasi yang memungkinkan munculnya job insecurity pada
karyawan seperti, restrukturisasi, merger, acquisition, dan perubahan kebijakan
manajemen. Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan, para karyawan
berstatus kontrak tidak mengetahui dengan pasti jaminan posisi kerja akan
diangkat menjadi pegawai tetap atau tidak. Tidak ada kepastian akan
keberlangsungan karirnya pada perusahaan tersebut (sumber: Wawancara
karyawan Bank BUMN, 2014).
10
“Saya tidak pernah tahu kapan bisa diangkat ke pegawai tetap, saya mau
saja kalau ada pengangkatan karena lebih enak, tentram dan lebih pasti
jaminan kerjanya, kalau sekarang gak punya tunjangan cuma uang
kendaraan, gak tahu juga kontraknya diperpanjang sampai kapan.” (ER2,
P, B141-144)
“Beberapa kali waktu gathering kepala cabang atau AMB selalu bilang
kalau semua punya kemungkinan bisa dipromosikan atau ikut test untuk
karyawan tetap, tapi sudah selama ini saya gak tahu ada tes karyawan
tetap atau tidak.” (ER2, P, B220-223)
Pada umumnya telah diketahui bahwa tunjangan kerja pada pegawai tetap
dengan
pegawai
kontrak
memiliki
perbedaan,
pegawai
kontrak
dapat
diberhentikan ketika tidak dibutuhkan, serta tidak mendapatkan jaminan
kesehatan selayaknya pegawai tetap. Berbagai perbedaan tersebut yang dapat
menjadi pemicu munculnya job insecurity yang akan berdampak pada banyak hal
seperti sisi organisasi, lingkungan bahkan karyawan itu sendiri dan kondisi
kepercayaan karyawan (Huff & Kelley, 2003). Karyawan kontrak dalam hal ini
berarti karyawan yang diperbantukan untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan
rutin perusahaan, dan tidak ada jaminan keberlangsungan masa kerjanya.
Berdasarkan uraian mengenai job insecurity, kepercayaan pada organisasi,
dan efikasi diri kerja, belum diketahui dengan pasti bagaimana peran
kepercayaan pada organisasi, dan efikasi diri kerja terhadap job insecurity
khususnya pada karyawan kontrak. Job insecurity pada karyawan kontrak dirasa
lebih menarik karena meskipun karyawan kontrak banyak menghadapi
ketidakpastian tetapi, hingga saat ini banyak pekerja yang bertahan menjadi
pekerja kontrak. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran
kepercayaan pada organisasi dan efikasi diri kerja secara bersama-sama
terhadap tingkat job insecurity pada karyawan kontrak.
11
Kepercayaan Pada Organsiasi
Job Insecurity
Efikasi Diri Kerja
Gambar 1. Kerangka Pikir Teori
Berdasarkan kerangka pikir teori tersebut, hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah kepercayaan pada organisasi dan efikasi diri kerja secara
bersama-sama dapat memprediksi job insecurity pada karyawan kontrak PT
Bank X.
Manfaat Teoritis
Manfaat
penelitian
ini
adalah
memberikan
sumbangan
referensi
khususnya bagi bidang psikologi industri dan organisasi mengenai studi job
insecurity. Selain itu, penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi acuan untuk
penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan job insecurity, kepercayaan pada
organisasi, dan efikasi diri kerja.
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan praktis terhadap
manajemen upaya mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan karyawan
terhadap organisasi, dan efikasi diri kerja karyawan. Selain itu, dengan penelitian
ini diharapkan organisasi dapat mengantisipasi serta mengurangi dampak dari
job insecurity yang mungkin terjadi.
12
Download