Evaluasi proses sertifikasi halal Indonesia di

advertisement
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PROFIL RESPONDEN
Identifikasi permasalahan proses sertifikasi halal diperoleh berdasarkan hasil diskusi
bersama pakar LPPOM MUI, pengamatan langsung selama kegiatan magang, dan berdasarkan
data kuesioner. Penggalian informasi berupa kuesioner, diberikan kepada perusahaan-perusahaan
yang telah memiliki sertifikat halal. Hasil data kuesioner ini dikelompokan berdasarkan
klasifikasi perusahaan dan tahapan-tahapan proses sertifikasi. Klasifikasi dan jumlah perusahaan
yang menjadi responden dapat dilihat pada Tabel 1. Sementara itu, data responden dapat dilihat
pada Lampiran 4.
Tabel 1. Klasifikasi dan jumlah perusahaan yang menjadi responden
No.
Klasifikasi Perusahaan
Jumlah
1.
Industri Pengolahan (skala menengah dan besar)
8
2.
Industri Pengolahan (skala kecil)
6
3.
Industri bahan tambahan pangan
6
4.
Distributor
3
5.
Restoran dan katering
4
6.
Rumah Potong Hewan (RPH)
3
Total
30
Berdasarkan informasi di atas, dapat diketahui pula status sertifikat halal yang mereka
ajukan. Hasil data kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar status pengajuan sertifikasi halal
dari perusahaan mereka adalah baru pertama kali mengajukan sertifikasi halal. Presentase status
sertifikasi halal dari 30 perusahaan responden pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Kategori jangkauan pemasaran produk pun berbeda-beda pada setiap jenis perusahaan. Bagi
industri pengolahan berskala besar, distributor, dan industri bahan tambahan pangan memiliki
jangkauan pemasaran produk lebih dari satu provinsi dan hingga ke luar negeri. Bagi industri
pengolahan berskala kecil, restoran/katering, dan RPH memiliki jangkauan pemasaran produk
yang sama yaitu di dalam dan di luar provinsi tempat pengolahan produk tersebut. Klasifikasi
industri berdasarkan jangkauan pemasaran dapat dilihat pada Gambar 6.
Presentase Status Sertifikat Halal Perusahaan
3%
3%
baru
10%
37%
perpanjangan
13%
pengembangan
34%
baru & perpanjangan
baru & pengembangan
Gambar 5. Presentase status sertifikat halal
18
Jumlah perusahaan
Jangkauan Pemasaran Produk Perusahaan
4
Industri pengolahan
(skala menengah/besar)
3
Industri pengolahan
(skala kecil)
2
Industri bahan
tambahan pangan
1
Distributor
0
1 Provinsi
>1
Provinsi
Luar
Negeri
>1
Provinsi &
Luar negeri
Jangkauan pemasaran
Restoran dan katering
Rumah Potong Hewan
(RPH)
Gambar 6. Jangkauan pemasaran produk perusahaan
B. IDENTIFIKASI PERMASALAHAN SERTIFIKASI HALAL
Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa permasalahan yang
sering kali dialami oleh perusahaan selama proses sertifikasi halal. Penjabaran permasalahan
terkait sertifikasi halal berdasarkan tahapan-tahapan sertifikasi halal adalah sebagai berikut :
1.
Persiapan Pengajuan Sertifikat Halal
Tahapan persiapan merupakan langkah-langkah yang harus dipenuhi oleh
perusahaan yang akan mengajukan sertifikasi halal. Pada tahap ini, perusahaan harus
memenuhi prasyarat pengajuan sertifikasi halal, berupa penyusunan manual Sistem
Jaminan Halal berdasarkan kategori perusahaan beserta bukti implementasinya.
Sistem Jaminan Halal (SJH) merupakan bagian tak terpisahkan dalam proses
sertifikasi halal. Sistem Jaminan Halal merupakan suatu perangkat kerja yang tersusun
dari komitmen manajemen, sumber daya, dan prosedur yang saling berhubungan untuk
menjamin kehalalan produk sesuai dengan persyaratan sehingga status kehalalannya
konsisten dan berkelanjutan. Sistem Jaminan Halal harus ditulis dalam bentuk Manual
SJH. Manual SJH merupakan dokumentasi SJH perusahaan yang telah melengkapi
seluruh persyaratan SJH dan telah disesuaikan dengan lingkup bisnis proses perusahaan.
Dokumentasi SJH meliputi Manual SJH dan arsip pelaksanaan SJH (instruksi kerja,
form, dan lain-lain). Manual SJH harus ditulis terpisah, sedangkan arsip pelaksanaan
dapat diintregasikan dengan arsip dari sistem lain (HACCP, ISO, dan sebagainya).
Dokumen SJH dalam bentuk Manual SJH memiliki komponen-komponen seperti terlihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Dokumentasi Sistem Jaminan Halal
No.
Komponen
Bagian
Keterangan
1.
Kendali
1.1 Daftar isi
dokumen
1.2 Lembar pengesahan
1.3 Daftar distribusi
manual
1.4 Daftar revisi dokumen
-
19
No.
2.
Tabel 2. Dokumentasi Sistem Jaminan Halal
Komponen
Bagian
Pendahuluan
2.1 Profil Perusahaan
2.2 Tujuan penerapan
2.3 Ruang lingkup
penerapan
3.
Sistem
Jaminan Halal
3.1 Kebijakan Halal
3.2 Panduan Halal (Hasil
Penetapan Titik Kritis)
3.3 Organisasi Manajemen
Halal
3.4 Standard Operating
Procedure
3.5 Acuan Teknis
3.6 Sistem Administrasi
3.7 Sistem Dokumentasi
3.8 Sosialisasi
3.9 Pelatihan
3.10 Komunikasi Internal
dan Eksternal
3.11 Audit Internal
4.
Lampiran
3.12 Tindakan Perbaikan
3.13 Kaji Ulang Manajemen
4.1 Panduan Halal
4.2 Diagram alir penetapan
titik kritis
4.3 SOP tiap bagian
4.4 Daftar Bahan
4.5 Daftar proses produksi
.
4.6 Matriks Bahan
4.7 Formulir audit halal
internal
4.8 Format laporan berkala
4.9 Format laporan
ketidaksesuaian
4.10 Daftar Lembaga
Sertifikasi Halal
4.11 Notulen Pertemuan
4.12 Tindakan Manajemen
4.13 Surat keputusan
pengangkatan Auditor
Halal Internal
4.14 Formulir Administrasi
Keterangan
Identitas perusahaan
Menjamin kehalalan
produk secara konsisten
sesuai dengan syariat
Islam
Menjelaskan jangkauan
penerapan SJH di
lingkungan perusahaan
Komitmen perusahaan
untuk memproduksi
produk halal
Pedoman dan acuan
perusahaan dalam
memproduksi produk halal
Masing-masing
departemen
Pemantauan dan evaluasi
SJH
Identifikasi titik kritis
bahan,produksi, dan
distibusi
Disertai titik kritis dan
pencegahannya
Disertai titik kritis dan
pencegahannya
Semua bahan yang
digunakan untuk produk
Diakui oleh LPPOM MUI
Di setiap bidang di
perusahaan
20
Manual SJH yang telah disusun harus disosialisasikan kepada seluruh stakeholder
perusahaan. Selain itu, harus dilaksanakan sesuai dengan yang telah direncanakan.
Kemudian melakukan pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi SJH,
pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk audit internal. Apabila terdapat
ketidaksesuaian atau penyimpangan, perusahaan perlu melakukan tindakan perbaikan.
Kerangka SJH dapat ditampilkan dalam bentuk siklus operasional seperti pada Gambar 7.
Gambar 7. Siklus operasional Sistem Jaminan Halal
Ruang lingkup audit internal meliputi pemeriksaaan dokumentasi SJH dan
pelaksanaan SJH. Audit halal internal dilaksanakan sekurang-kurangnya setiap enam
bulan sekali. Audit halal internal dilakukan oleh Tim Auditor Halal Internal (AHI) dari
perusahaan yang bersangkutan. Pelaksana audit internal dilakukan oleh AHI dari
departemen yang berbeda (cross audit). Audit Internal dilakukan dengan mengisi form
daftar pertanyaan audit internal setiap departemen. Ringkasan hasil audit internal
dilaporkan kepada LPPOM MUI sekurang-kurangnya setiap enam bulan sekali. Contoh
formulir laporan berkala dapat dilihat pada lampiran 5.
Prasyarat adanya Sistem Jaminan Halal tidak dipungkiri bahwa baik dalam
penyusunan, maupun penerapannya terdapat beberapa kendala yang dialami oleh
perusahaan. Berdasarkan hasil data kuesioner, secara umum diperoleh hasil bahwa
terdapat kesulitan dalam melengkapi dokumen-dokumen penyusun Manual SJH. Hal ini,
hampir dialami oleh semua jenis perusahaan. Tak sedikit dari mereka yang merasa
bingung antara penyusunan dengan sistem implementasinya. Selain itu, panduan yang
terdapat pada Buku Panduan Umum Sistem Jaminan Halal tidak spesifik untuk jenis
industri.
Kesulitan-kesulitan tersebut umumnya dapat diatasi apabila perusahaan telah
mengikuti pelatihan Sistem Jaminan Halal yang rutin diadakan oleh LPPOM MUI setiap
satu bulan sekali. Pelatihan SJH akan memberikan informasi terperinci terkait tata cara
penyusunan Manual SJH dan prosedur sertifikasi halal. Selain itu, perusahaan dapat
berkonsultasi langsung dengan pakar LPPOM MUI.
Permasalahan tersebut tentunya harus dapat segera diatasi, mengingat bahwa
Sistem Jaminan Halal merupakan kunci awal dalam melakukan pengajuan sertifikasi
halal. Hal ini tentunya tidak dapat dibiarkan berlarut-larut, karena akan menghambat
perusahaan untuk mempercepat proses sertifikasi halal. Oleh karena itu, diperlukan suatu
kebijakan untuk dapat mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut.
21
2.
Pendaftaran Sertifikasi Halal
Perusahaan yang ingin mengajukan pendaftaran sertifikasi halal dapat dilakukan di
tiga tempat, yaitu 1) BPOM, 2) LPPOM MUI Pusat, dan 3) LPPOM MUI Provinsi.
Perbedaan lokasi pendaftaran ini disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan dan
jangkauan pemasarannya. Pendaftaran yang dilakukan di BPOM ditujukan untuk produk
yang membutuhkan pencantuman label halal pada kemasannya. Selain itu, produk dijual
secara langsung untuk konsumsi masyarakat (industri pengolahan yang menghasilkan
produk retail).
Pendaftaran yang dilakukan di LPPOM MUI Pusat ditujukan untuk industri
pengolahan dan restoran yang memiliki jangkauan pemasaran atau outlet lebih dari satu
provinsi. Sedangkan, pendaftaran melalui LPPOM MUI Provinsi ditujukan untuk industri
Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), bleaching earth, dan karbon aktif. Selain itu, bagi
restoran atau katering yang pemasarannya bersifat lokal dan Rumah Potong Hewan
(RPH) di daerahnya.
Pendaftaran dapat dilakukan setiap hari kerja, sesuai dengan jam jam kerja yang
berlaku. Saat ini, biaya pendaftaran sertifikasi halal sebesar Rp. 100,000. Dokumen yang
akan didapatkan setiap perusahaan mendaftar sertifikasi halal, yaitu :
a) Formulir pendaftaran sesuai dengan jenis perusahaannya.
b) Buku Panduan Sertifikasi Halal.
c) Buku Panduan Penyusunan Sistem Jaminan Halal (hanya untuk perusahaan
yang belum terdaftar sebagi pemegang Sertifikat Halal MUI).
d) Lembar Panduan Pengisian Formulir Pendaftaran.
Setelah melakukan pendaftaran, perusahaan dapat menyerahkan berkas
pendaftaran sesuai dengan tempat pendaftarannya. Penyerahan berkas dapat dilakukan
secara langsung, via email, maupun pos. Berkas pendaftaran yang diserahkan terdiri dari :
a) Formulir pendaftaran
b) Alur proses produksi
c) Daftar produk
d) Daftar bahan baku/tambahan/penolong
e) Matriks produk vs bahan baku
f) Dokumen pendukung; sertifikat halal/spesifikasi/bagan alir/asal usul/COA
(Certificate Of Analysis/ informasi produk)
g) Dokumen Manual Sistem Jaminan Halal
h) Dokumen Implementasi Sistem Jaminan Halal
i) Daftar alamat pabrik, baik pabrik milik perusahaan maupun maklon (untuk
industri pengolahan)
j) Daftar alamat outlet restoran (untuk jenis perusahaan restoran).
Berkas pendaftaran yang telah diserahkan oleh perusahaan akan diperiksa
kelengkapannya oleh LPPOM MUI Pusat/Daerah/BPOM sesuai dengan tempat
pendaftarannya. Jika berkas pendaftaran dinyatakan belum lengkap, maka perusahaan
akan diberitahukan oleh LPPOM MUI Pusat/Daerah. Setelah dinyatakan lengkap, maka
pihak LPPOM MUI Pusat akan menentukan biaya sertifikasi halal dalam bentuk dokumen
akad sertifikasi halal. Perusahaan harus menandatangani Akad Sertifikasi dan melunasi
biaya yang telah disepakati. Kemudian, pihak LPPOM MUI akan menjadwalkan waktu
untuk audit.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sebagian besar responden
merasa pihak LPPOM MUI telah memberikan penjelasan secara informatif kepada
perusahaan saat melakukan pendaftaran. Selain itu, Buku Panduan Sertifikasi Halal dan
22
Buku Pedoman Sistem Jaminan Halal yang mereka terima pada saat pendaftaran, dinilai
informatif oleh pihak responden, seperti terlihat pada Gambar 8.
Tingkat Penerimaan Informasi Pada Responden
Selama Pendaftaran
14
Jumlah respon
12
10
8
6
4
2
0
Penjelasan dari pihak
LPPOM MUI
Sangat informatif
Informatif
Buku Pedoman Sertifikasi
Halal & Sistem Jaminan
Halal
Cukup informatif
Tidak informatif
Gambar 8. Grafik penerimaan informasi pada responden selama pendaftaran
Namun tidak dapat dipungkiri, ditemukan beberapa kendala dalam melakukan
pendaftaran sertifikasi halal. Secara umum, kendala-kendala tersebut dialami perusahaan
pada saat melakukan pengisian pendaftaran, menyusun matriks produk vs bahan baku,
dan melengkapi dokumen pendukung. Selain itu, terdapat permasalahan terkait biaya
sertifikasi halal dan waktu untuk proses pendaftaran. Permasalahan dalam melakukan
pendaftaran dijabarkan sesuai dengan klasifikasi perusahaan, seperti di bawah ini:
a. Industri Pengolahan (Skala Menengah dan Besar)
Bagi perusahaan berskala menengah atau besar, permasalahan pada saat
melakukan mengisi formulir pendaftaran adalah sikronisasi pencantuman lokasi pada
formulir pendaftaran dan akad sertifikasi. Saat pendaftaran dicantumkan dua lokasi
pabrik pada formulir pendaftaran, namun pada akad sertifikasi hanya dicantumkan satu
lokasi pabrik. Hal ini tentunya memerlukan penjelasan lebih lanjut dari LPPOM MUI.
Bagi perusahaan yang letaknya jauh dari LPPOM MUI Pusat, pembelian formulir
pendaftaran pun dilakukan di Jakarta. Sehingga, untuk melakukan pendaftaran saja
membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal tersebut tentunya menghambat proses
sertifikasi menjadi semakin lama. Selain itu, pengiriman formulir melalui pos pun
memakan waktu yang lama dan menjadi tidak kooperatif. Contoh formulir pendaftaran
dapat dilihat pada Lampiran 5.
Permasalahan dalam hal penyusunan matrik produk vs bahan baku adalah
klasifikasi bahan penolong yang masih kurang jelas. Hal ini membutuhkan data-data
bahan secara terperinci. Dokumen matriks produk vs bahan baku merupakan daftar
terperinci keseluruhan bahan yang digunakan untuk memproduksi suatu produk.
Permasalahan lain terjadi ketika perusahaan melengkapi beberapa dokumen
pendukung, diantaranya: sertifikat halal bahan, spesifikasi, bagan alir, asal usul, dan,
23
COA (Certificate Of Analysis/ informasi produk). Perusahaan harus melengkapi
beberapa dokumen tersebut dan harus dikonfirmasikan dengan LPPOM MUI. Masalah
yang timbul adalah tanggapan persetujuan beberapa kelengkapan dokumen tersebut
terkadang cepat bahkan terkadang lama. Hal ini tentunya membuat perusahaan harus
menunggu mendapat persetujuan.
Bagi industri menengah dan besar, tampaknya tidak ditemukan kendala dalam
hal biaya sertifikasi halal. Mereka menganggap biaya yang dibebankan kepada
perusahaan sudah proporsional. Selain itu, biaya yang dikeluarkan sesuai dengan jumlah
produk yang disertifikasi. Namun, untuk pembayaran biaya di awal proses rupanya
sedikit menyulitkan perusahaan. Hal ini dikarenakan proses pencairan biaya
memerlukan waktu dua hingga tiga minggu setelah penetapan biaya diperoleh.
b. Industri Pengolahan (Skala Kecil)
Sebagian besar responden dari industri kecil, tidak memiliki kendala pada saat
mengisi formulir pendaftaran dan menyusun matriks produk vs bahan baku. Hal ini
mungkin dikarenakan sebelumnya mereka telah berkonsultasi dengan pihak LPPOM
MUI. Selain itu, jumlah produk serta bahan-bahan yang digunakan pun tidak banyak
seperti pada industri besar. Sehingga, tidak terlalu menyulitkan untuk proses
pendaftaran.
Permasalahan terjadi ketika perusahaan harus melengkapi beberapa dokumen
pendukung seperti sertifikat halal bahan yang digunakan. Ada beberapa sebagian kecil
produsen atau suplier yang tidak memberikan copy sertifikat halal bahan. Sehingga
perusahaan, harus menghubungi produsen atau suplier untuk mendapatkan copy
sertifikat halal bahan.
Sebagian besar dari mereka merasa biaya sertifikasi halal yang dibebankan oleh
LPPOM MUI, cukup memberatkan untuk perusahaan berskala kecil. Hal ini
dikarenakan omset yang mereka dapatkan tidak sebesar dibandingkan dengan industri
besar. Selain itu, pengeluaran yang besar bagi industri kecil akan menyebabkan mereka
merugi, mengingat modal yang digunakan pun tidak besar. Hal ini tentunya harus
menjadi pertimbangan bagi pihak LPPOM MUI dalam menentukan biaya bagi industri
kecil.
c. Distributor
Perusahaan yang bergerak sebagai distributor merupakan perusahaan yang
menyalurkan bahan setengah jadi atau pun barang jadi kepada perusahaan lain atau pun
langsung kepada konsumen. Pengajuan sertifikasi halal dapat dilakukan oleh distributor,
akan tetapi prioritas kesempatan diberikan kepada produsen. Saat ini, banyak distributor
yang mengajukan sertifikasi halal.
Bagi distributor, permasalahan yang terjadi pada saat melakukan pendaftaran
adalah ketika melengkapi dokumen pendukung. Kelengkapan dokumen tersebut harus
diperoleh dan dikirim langsung dari pabrik atau produsen yang bersangkutan. Hal ini
tentunya membuat distributor harus menunggu beberapa kelengkapan dokumen
pendukung.
Selain itu, beberapa dokumen pendukung seperti sertifikat halal bahan atau
produk berasal dari badan sertifikasi halal yang tidak diakui oleh LPPOM MUI. Hal ini
menyebabkan pihak distributor harus dapat meyakinkan produsen di luar negeri untuk
mengikuti ketentuan MUI perihal badan sertifikasi halal yang diakui oleh LPPOM MUI.
24
Pihak distributor merasa biaya sertifikasi halal yang dibebankan kepada mereka
sudah proporsional. Hanya saja, biaya total sertifikasi halal tidak diketahui sejak awal.
Hal ini membuat pihak distibutor tidak dapat memperkirakan anggaran dana yang harus
dikeluarkan oleh perusahaan.
d. Restoran dan Katering
Restoran dan katering merupakan suatu tempat yang diorganisasi secara
komersial yang menyelenggarakan pelayanan dengan baik kepada semua konsumen
baik berupa makan atau pun minum (Marsum 2004).
Berdasarkan hasil penilitian, terdapat beberapa permasalahan yang dialami oleh
pihak restoran dan katering selama proses pendaftaran. Pertama, pada saat menyusun
dokumen matriks produk vs bahan baku. Pihak restoran ataupun katering memerlukan
bimbingan lebih lanjut dari pihak LPPOM MUI. Hal ini dikarenakan banyak sekali
menu dan bahan baku yang digunakan oleh restoran dan katring. Mereka kesulitan
untuk menyusun semua itu dalam bentuk suatu dokumen.
Kedua, pada saat melengkapi beberapa dokumen pendukung. Perusahaan sering
merasa kesulitan karena beberapa bahan baku tidak memiliki sertifikat halal. Oleh
karena itu, perusahaan harus mengganti dengan produk atau bahan baku yang
bersertifikat halal. Selain itu, perusahaan harus menunggu dokumen dari suplier,
terutama yang berasal dari luar negeri.
Ketiga, permasalahan dalam pembebanan biaya sertifikasi halal. Perusahaan
berasumsi bahwa biaya yang dibebankan masih terlalu berat. Selain itu, biaya sertifikasi
halal tidak dirinci secara detail, terutama untuk pengembangan produk baru.
Saat ini, jumlah restoran atau pun katering bersertifikat halal MUI di Indonesia
masih tergolong cukup rendah. Menurut Hakim (2011b) hanya 10% dari total restoran
atau tempat makan yang ada di Indonesia memiliki sertifikat halal. Rendahnya jumlah
restoran yang tidak memiliki sertifikat halal MUI dapat disebabkan pemahaman dan
edukasi tentang pangan halal yang masih kurang baik. Oleh karena itu, diperlukan
sosialisasi dan kemudahan bagi mereka untuk memperoleh sertifikat halal.
e. Industri Bahan Tambahan Pangan
Penggolongan industri bahan tambahan pangan pada penelitian ini berdasarkan
pada jenis produk yang dihasilkan oleh industri tersebut. Produk yang dihasilkan antara
lain seasoning, flavor, pewarna makanan, dan bahan kimia yang digunakan untuk
proses produksi. Produk-produk tersebut memiliki tingkat kerumitan yang cukup tinggi
untuk proses sertifikasi halal.
Beberapa perusahaan mengalami kesulitan selama proses pendaftararan. Hal ini
dikarenakan pendaftaran sertifikasi halal masih bersifat manual. Oleh karena itu,
perusahaan harus mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan dengan cara
manual. Hal ini tentunya menyulitkan bagi perusahaan yang letaknya jauh dari LPPOM
MUI. Selain itu, format penyusunan matriks produk vs bahan baku sangat menyulitkan
karena bahan baku yang digunakan sangat banyak. Dokumen matriks prosuk vs bahan
baku yang telah disusun ini terkadang memiliki versi yang berbeda pada setiap auditor.
Permasalahan lainnya adalah perincian biaya sertifikasi masih belum jelas.
Selain itu, apabila perusahaan ingin menambahkan produk yang akan disertifikasi,
sedangkan akad sertifikasi telah disusun oleh LPPOM MUI, maka akan memperlama
pembayaran biayanya. Pembebanan biaya untuk pengembangan produk pun sebaiknya
perlu dipertimbangkan oleh LPPOM MUI.
25
f.
Rumah Potong Hewan (RPH)
Rumah Potong Hewan adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan
disain tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan selain unggas bagi
konsumsi masyarakat luas (Manual Kesmavet, 1993). Saat ini, jumlah RPH di Indonesia
cukup banyak. Menurut Data Kesmavet (2010) ada 894 unit RPH sapi dan 40 unit
rumah potong unggas (RPU) skala besar.
Berdasarkan data LPPOM MUI menyebutkan bahwa kurang lebih dari 900 RPH
yang ada di Indonesia baru 115 RPH, atau sekitar 11% saja yang baru mendapatkan
sertifikat halal. Ternyata masih banyak pula RPH milik pemerintah belum bersertfikat
halal (Anonim 2011). Hal ini didukung pula berdasarkan hasil wawancara dengan pihak
RPH yang menyebutkan bahwa kurangnya informasi mengenai prosedur sertifikasi
halal untuk RPH. Oleh karena itu diperlukan kerja sama yang baik antara pihak LPPOM
MUI dengan dinas terkait untuk memberikan edukasi dan informasi kepada RPH.
3.
Audit Sertifikasi Halal
Setelah perusahaan mengisi formulir pendaftaran dan melengkapai lampiranlampirannya, maka langkah selanjutnya adalah penilaian Sistem Jaminan Halal. Pihak
LPPOM MUI akan melakukan penilaian dalam bentuk kecukupan Manual SJH (on desk
appraisal) dan audit implementasi SJH. Penilaian kecukupan Manual SJH dilakukan
pihak LPPOM MUI dengan cara memeriksa kecukupan dan kesesuaian Manual SJH
berdasarkan komponen-komponen seperti pada Tabel 2.
Hasil penilaian Manual SJH akan ditentukan oleh auditor dan diperiksa ulang oleh
manajemen LPPOM MUI. Kemudian, ringkasan penilaian akan diinformasikan kepada
perusahaan dalam bentuk audit memorandum. Apabila hasil penilaian Manual SJH belum
mencukupi, maka perusahaan harus melakukan revisi sesuai dengan yang ditentukan
LPPOM MUI. Sementara itu, apabila hasil penilaian Manual SJH sudah sesuai dan
mencukupi ketentuan yang berlaku, maka perusahaan siap dilakukan audit sertifikasi
sekaligus audit implementasi oleh pihak LPPOM MUI.
Pihak LPPOM MUI akan melakukan audit halal ke perusahaan, apabila
perusahaan telah melengkapi beberapa persyaratan seperti :
a) Telah melengkapi semua dokumen halal untuk seluruh bahan yang digunakan
b) Manual SJH Perusahaan telah memenuhi standar kecukupan
c) Telah menerapkan SJH sedikitnya selama enam bulan
d) Telah melakukan audit internal SJH
e) Telah menandatangani Akad Sertifikasi dan melunasi biaya yang telah
disepakati.
Audit sertifikasi halal merupakan suatu proses pemeriksaan independen,
sistematis, dan fungsional terhadap produk yang dilakukan oleh tim Auditor LPPOM
MUI. Pemerikasaan secara umum meliputi : (1) bahan baku (raw material), (2) proses
dan kendali halal (halal control), dan (3) administrasi yang berhubungan secara langsung
maupun tidak langsung dengan persoalan kehalalan. Pengambilan sampel terkadang
dilakukan untuk pengujian laboratorium.
Audit halal akan dilakukan apabila proses produksi sedang berlangsung di
perusahaan. Jika perusahaan belum dapat melakukan proses produksi pada saat audit
dilakukan, maka audit akan dilakukan pada skala laboratorium. Jika proses produksi
26
sudah berjalan, maka akan dilakukan audit ulang untuk melihat kesesuaian proses skala
produksi dengan skala laboratorium yang sudah pernah diaudit sebelumnya.
Audit halal dilaksanakan di semua fasilitas berkaitan dengan produk yang
disertifikasi. Audit di RPH dilakukan diseluruh fasilitas pemotongan. Bagi industri
pengolahan, audit dilakukan di pabrik, tempat penyimpanan bahan, atau pun tempat
maklon. Audit untuk restoran dilakukan di kantor pusat, gudang distribusi, dan seluruh
gerai.
Tim Auditor LPPOM MUI pun secara bersamaan melakukan audit implementasi
Sistem Jaminan Halal di perusahaan berdasarkan Manual Sistem Jaminan Halal yang
telah disusun sebelumnya oleh perusahaan. Auditor akan mewawancara semua karyawan
yang terkait, mengumpulkan bukti-bukti dokumen implementasi sistem, dan
memverifikasi pelaksanaan Sistem Jaminan Halal. Hasil evaluasi dan penilaian Sistem
Jaminan Halal akan ditentukan dalam Rapat Auditor.
Setelah melewati serangkaian audit, maka hasil audit dan analisa laboratorium
akan didiskusikan dalam rapat auditor dan tenaga ahli. Selain itu, LPPOM MUI akan
memberikan hasil penilaian atas kinerja pelaksanaan Sistem Jaminan Halal di perusahaan.
Kategorisasi penilaian status Sistem Jaminan Halal adalah sebagai berikut:
a) Baik (A), jika pencapaian telah mencapai 90% - 100%
b) Cukup (B), jika pencapaian baru mencapai 80% - 90%
c) Kurang (C), jika pencapaian baru mencapai 70% - 80%
d) Tolak (D), jika pencapaian berada di bawah 70%
Kemudian, hasilnya dituangkan dalam bentuk Laporan Audit Sertifikasi. Laporan
ini kemudian disampaikan dan dipertanggungjawabkan oleh Direktur LPPOM MUI
dalam Rapat Komisi Fatwa MUI Pusat. Pada rapat komisi fatwa ini, diputuskan kehalalan
produk yang periksa. Jika disetujui untuk mendapatkan Sertifikat Halal, maka MUI akan
mengeluarkan Sertifikat Halal. Selain itu, perusahaan hanya akan mendapatkan sertifikat
halal, jika status implementasi SJH bernilai minimum “B” (LPPOM MUI 2010b).
Namun apabila dalam Laporan Audit Sertifikasi ditemukan bahan baku, alur
proses, atau kendali mutu yang dapat mengubah status kehalalan produk, maka LPPOM
MUI akan memberitahukan perusahaan melalui audit memorandum. Pihak LPPOM MUI
akan meminta perusahaan untuk melakukan tindakan koreksi. Tindakan koreksi yang
dilakukan berupa perbaikan, perubahan bahan baku, proses maupun kendali halal. Setelah
perusahaan melakukan tindakan koreksi tersebut, LPPOM MUI akan melakukan evaluasi
ulang dengan memasukkan tindakan koreksi ini dalam Laporan Audit Sertifikasi.
Selanjutnya, laporan ini kembali diajukan dalam Komisi Fatwa MUI untuk diputuskan
status kehalalannya.
Proses audit sertifikasi ini tidak dipungkiri terdapat beberapa permasalahan dan
kendala yang dialami oleh perusahaan. Berdasarkan hasil data kuesioner, ditemukan
beberapa kendala selama proses audit sertifikasi. Secara umum kendala-kendala yang
dialami oleh perusahaan selama audit sertifikasi diantaranya :
a) Terdapat perbedaan pandangan, kompetensi, dan profesionalisme pada auditor
b) Kurangnya tenaga auditor, terutama untuk mengaudit restoran atau katering
c) Penentuan nama auditor yang akan melakukan audit terkadang mendadak dan
masih belum pasti
d) Pemberitahuan fatwa MUI terkadang mendadak sehingga waktu untuk
persiapan sampel sangat singkat
27
e) Nilai status SJH belum dapat diketahui lebih awal
f) Penetapan jadwal audit untuk pabrik di luar negeri
g) Implementasi SJH untuk pabrik di luar negeri, contohnya di China, tidak
memiliki karyawan muslim sehingga perlu effort yang besar untuk
implementasi SJH.
Permasalahan-permasalahan tersebut sebaiknya harus segera diatasi. Hal ini jika
dibiarkan terus-menerus akan menghambat proses audit sertifikasi selanjutnya. Pihak
LPPOM MUI dan perusahaan harus dapat berinteraktif dengan baik selama proses audit.
4.
Penerbitan Sertifikat Halal
Perusahaan yang telah ditetapkan status kehalalannya oleh Komisi Fatwa MUI dan
telah mendapatkan status implementasi Sistem Jaminan Halal (SJH) minimal “B”, maka
akan mendapatkan sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama MUI. Sertifikat
Halal ini ditandatangani oleh Ketua Umum MUI, Direktur LPPOM MUI, dan Ketua
Komisi Fatwa MUI. Gambar 9 memperlihatkan Sertifikat Halal MUI dan Gambar 10
memperlihatkan Status Sistem Jaminan Halal.
Sertifikat Halal dan Status SJH berlaku selama dua tahun sejak tanggal penetapan
status halal produk. Dalam sertifikat halal dicantumkan nomor sertifikat, nama dan alamat
perusahaan, nama dan alamat pabrik, nama produk secara rinci serta masa berlaku
sertifikat. Jika terdapat beberapa nama pabrik atau nama produk cukup banyak, maka
data tersebut dituliskan dalam lampiran sertifikat, yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari sertifikat halal. Sertifikat SJH akan diberikan kepada perusahaan, apabila
implementasi SJH bernilai “A” secara tiga kali berturut-turut. Sertifikat SJH ini berlaku
selama empat tahun.
Gambar 9. Sertifikat Halal MUI
Gambar 10. Status Sistem Jaminan Halal
Pihak LPPOM MUI akan menyerahkan sertifikat halal, status nilai Sistem Jaminan
Halal, ataupun beserta Sertifikat Sistem Jaminan Halal kepada perusahaan secara kolektif.
Sertifikat halal dapat diambil di Kantor LPPOM MUI Jakarta. Selain itu, jika memang
28
tidak memungkinkan, maka LPPOM MUI akan mengirimkan sertifikat halal ke
perusahaan yang bersangkutan.
Penerbitan sertifikat halal ini tampaknya memiliki beberapa masalah bagi
perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian, secara umum permasalahan yang hampir
dialami oleh seluruh perusahaan adalah jangka waktu penerbitan sertifikat halal.
Beberapa perusahaan mengeluhkan lamanya penerbitan sertifikat halal setelah komisi
fatwa. Hal ini terjadi pula untuk produk ekspor karena harus melalui LPPOM Provinsi
setempat. Bagi perusahaan yang letaknya jauh dari kantor LPPOM Jakarta, penyerahan
sertifikat halal seharusnya dapat dikirim melalui pos agar memudahkan perusahaan.
Selain itu, beberapa dari perusahaan memerlukan informasi dari pihak LPPOM
MUI mengenai jangka waktu penerbitan sertifikat halal setelah proses audit. Sejauh ini,
pihak LPPOM MUI belum dapat memperkirakan secara pasti tentang perkiraan waktu
penerbitan sertifikat halal. Oleh karena itu, diperlukan perkiraan perincian waktu
sertifikasi halal dari pihak LPPOM MUI. Hal ini dikarenakan pentingnya sertifikat halal
bagi perusahaan, terutama bagi mereka yang akan mencantumkan logo halal pada
kemasannya.
5.
Sistem Pengawasan
Perusahaan yang telah mendapatkan sertifikat halal MUI berkewajiban untuk
menandatangani surat perjanjian untuk tetap konsisten menggunakan bahan yang ada
dalam Matrik Bahan. Jika perusahaan berencana melakukan perubahan, baik mengganti
atau menambah bahan, maka wajib melaporkan terlebih dahulu kepada pihak LPPOM
MUI sebelum digunakan dalam proses produksi atau pun trial produksi. Perusahaan dapat
mengajukannya dalam bentuk Dokumen Permohonan Bahan Baku, kemudian dikirim via
email ke alamat [email protected].
Kewajiban
lain
yang
harus
dipenuhi
oleh
perusahaan
adalah
mengimplementasikan Sistem Jaminan Halal sepanjang berlakunya sertifikat halal.
Kemudian, menyerahkan laporan audit internal setiap enam bulan sekali setelah terbitnya
sertifikat halal. Selain itu, organisasi manajemen halal di perusahaan wajib mengikuti
pelatihan tentang Sistem Jaminan Halal minimal sekali dalam dua tahun.
Tiga bulan sebelum berakhir masa berlakunya sertifikat halal, perusahaan harus
mendaftar kembali untuk mendapatkan Sertifikat Halal yang baru. Prosedur pemeriksaan
sama seperti pada saat pendaftaran produk baru. Perusahaan yang tidak memperpanjang
masa berlaku sertifikat halal, tidak diizinkan lagi menggunakan Sertifikat Halal yang
telah kadaluarsa. Pihak LPPOM MUI tidak bertanggung jawab mengenai status kehalalan
produk tersebut.
Berdasarkan data kuesioner, terdapat 34% responden dari berbagai perusahaan
yang sebelumnya telah mendapatkan sertifikat halal. Berdasarkan data tersebut pula,
dapat diketahui permasalahan yang dialami oleh perusahaan. Secara umum, permasalahan
yang dialami oleh mereka adalah pada saat melakukan pengajuan bahan baru atau
penggantian bahan. Permasalahan yang dihadapi adalah terkadang pihak LPPOM MUI
memberikan tanggapan cukup lama perihal persetujuan penggunaan bahan. Hal ini
tentunya akan menyebabkan perusahaan menunggu waktu yang lama pula untuk dapat
mengetahui kepastian status kehalalan bahan tersebut. Bahan-bahan tersebut tentunya
akan digunakan untuk proses produksi. Apabila respon dari LPPOM MUI lambat, maka
29
perusahaan belum diizinkan melakukan proses produksi dengan menggunakan bahanbahan tersebut.
Permasalahan lain adalah beberapa bahan baku belum memiliki sertifikat halal.
Hal ini tentunya akan menghambat proses penggunaan bahan baku tersebut dan
mengganggu proses sertifikasi halal. Permasalahan-permasalahan tersebut harus dapat
ditangani sesegera mungkin. Respon yang cepat dalam menanggapi penggunaan bahan
baru merupakan sesuatu yang penting bagi perusahaan. Oleh karena itu, diperlukan solusi
terbaik dari pihak LPPOM MUI.
C. INFORMASI SERTIFIKASI HALAL
Hasil penggalian informasi sertifikasi halal yang dilakukan dengan kuesioner untuk
melihat permasalahan selama proses sertifikasi halal di Indonesia menunjukkan bahwa masih
banyak terdapat kendala-kendala di setiap tahapan sertifikasi halal. Melalui hasil data kuesioner,
terdapat perbedaan sumber informasi mengenai proses sertifikasi halal bagi masing-masing
responden seperti terlihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sumber informasi tentang sertifikasi halal
Jenis Perusahaan
Sumber Informasi
Industri besar atau menengah
seminar/pelatihan, instansi terkait, dan rekan
pengusaha
Industri kecil atau mikro
instansi terkait, rekan pengusaha, dan media
massa
Industri bahan tambahan pangan
seminar/pelatihan dan media massa
Distributor
seminar/pelatihan, instansi terkait, dan media
massa
Restoran dan katering
seminar/pelatihan, rekan pengusaha, dan
media massa
Rumah Potong Hewan (RPH)
instansi terkait
Berdasarkan data di atas dapat diketahui bahwa media informasi melalui seminar atau
pelatihan mendominasi beberapa perusahaan untuk memperoleh informasi terkait sertifikasi halal.
Hanya saja untuk industri kecil dan RPH, informasi mengenai setifikasi halal mayoritas
didapatkan melalui instansi terkait. Instansi terkait yang memungkinkan untuk memberikan
informasi sertifikasi halal antara lain Departemen Kesehatan, Departemen Agama, BPOM, atau
pun LPPOM MUI. Peranan seminar atau pelatihan sangat berguna bagi perusahaan untuk
memperoleh informasi sertifikasi halal. Bentuk seminar atau pelatihan misalnya Pelatihan Sistem
Jaminan Halal yang diselenggarakan oleh LPPOM MUI. Kegiatan ini akan memberikan
pengetahuan bagi perusahaan dalam melakukan sertifikasi halal dan menyusun Sistem Jaminan
Halal di perusahaan.
Sosialisasi seputar pelatihan dan seminar sebaiknya lebih ditingkatkan kembali terutama
bagi industri kecil dan RPH. Hal ini akan membantu mereka untuk memahami proses sertifikasi
halal dan penyusunan Sistem Jaminan Halal. Selain itu, media informasi yang tak kalah
pentingnya adalah media massa. Informasi sertifikasi halal dari media massa dapat diperoleh
melalui iklan atau tayangan di televisi, radio, surat kabar, atau pun internet. Peranan media massa
pun harus lebih ditingkatkan agar penyampaian informasi seputar sertifikasi halal,
penyelenggaraan seminar atau pelatihan, atau pun kegiatan lainnya yang diselenggarakan oleh
LPPOM MUI dapat diketahui oleh perusahaan dan masyarakat.
30
Peningkatan sosialisasi media informasi dapat meningkatkan kesadaran para pelaku usaha
untuk dapat menghasilkan produk halal. Media informasi dapat memberikan edukasi kepada para
pelaku usaha dan konsumen. Edukasi pentingnya sertifikasi halal pun sangat baik diberikan
kepada para pelajar dalam bentuk poster, leaflet, atau bentuk acara lain. Sertifikasi halal
diharapkan dapat meningkatkan produk halal secara legal di Indonesia. Hal ini dikarenakan
berdasarkan hasil penelitian Marina (2003) terdapat produk pangan berlabel halal dipasaran
namun tidak memiliki sertifikat halal.
Kesadaran produsen untuk menjamin kehalalan produk pangan yang dihasilkan diharapkan
bisa menjawab tuntutan ketersediaan pangan halal di tengah-tengah masyarakat. Selain itu,
kesadaran halal pada masyarakat merupakan faktor pendukung ketersediaan pangan halal.
Penelitian Nurul (2007) menyebutkan bahwa sebagian besar konsumen (54%) tidak menjadikan
halal sebagai pertimbangan utama. Lemahnya kesadaran masyarakat menjadi hambatan tersendiri
bagi upaya penyediaan pangan halal. Oleh karena itu, aspek sosialisasi dan edukasi kepada para
pelaku usaha dan masyarakat dapat menjadikan salah satu alternatif dalam menangani kehalalan
pangan.
Hasil penelitian juga memunculkan beberapa informasi yang diperlukan oleh perusahaan
selama proses sertifikasi halal yang dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil ini kemudian dijadikan
sebagai acuan identifikasi terhadap tindakan perbaikan atau solusi permasalahan sertifikasi halal
yang dialami oleh para pelaku usaha.
Tabel 4 menunjukkan bahwa kebutuhan informasi tertinggi yang diperlukan perusahaan
selama proses sertifikasi halal adalah adanya perincian biaya sertifikasi halal dari pihak LPPOM
MUI. Rincian biaya sertifikasi halal sangat penting bagi perusahaan. Hal ini berguna untuk
memperkirakan total biaya sertifikasi. Selain itu dengan adanya perincian biaya, perusahaan dapat
lebih mudah untuk menyampaikan kepada pihak manajemen di perusahaan, sehingga pihak
perusahaan pun dapat menyiapkan anggarannya. Adanya rincian biaya sertifikasi ini dapat
membuat pihak LPPOM MUI bersifat lebih terbuka dalam menentukan biaya kepada perusahaan.
Tabel 4. Daftar informasi yang dibutuhkan perusaahan
Urutan
Informasi
1
Perincian biaya sertifikasi halal
2
Perkiraan waktu setiap tahapan proses sertifikasi halal
3
Penerbitan sertifikat halal setelah rapat komisi fatwa MUI
4
Progress Report pascaaudit
5
Update List Lembaga Sertifikasi Halal yang diakui MUI
6
Daftar produsen dan bahan bersertifikat halal MUI
7
Lain-lain
Kebutuhan informasi di urutan kedua adalah perkiraan waktu setiap tahapan proses
sertifikasi halal. Informasi perkiraan waktu dapat membantu perusahaan untuk memperkirakan
progress tahapan sertifikasi. Selain itu, dengan adanya perkiraan waktu yang diberikan LPPOM
MUI, perusahaan dapat memprediksi ketepatan waktu penerbitan sertifikat halal. Perkiraan waktu
ini akan mempermudah perusahaan dalam mempersiapkan kekurangan dan perbaikan selama
proses sertifikasi halal. Sehubungan dengan hal itu, ada sebagian responden yang memiliki
pengalaman ketika mengajukan perpanjangan sertifikat halal sebelum expire date, selalu selesai
satu atau dua bulan setelah masa berlaku sertifikat halal.
Informasi ketiga yang dibutuhkan perusahaan adalah jangka waktu penerbitan sertifikat
halal setelah rapat komisi fatwa. Penetapan waktu ini diperlukan oleh perusahaan untuk
memprediksi ketepatan waktu untuk mendapatkan sertifikat halal. Selain itu, apabila hasil komisi
fatwa menyebutkan bahwa perusahaan masih membutuhkan revisi, maka perusahaan akan lebih
31
mudah untuk melakukan perbaikan. Informasi keempat adalah adanya progress report audit.
Progress report audit ini dibutuhkan perusahaan untuk mengetahui perkembangan pengajuan
sertifikasi setelah dilakukan audit di perusahaan. Progress report ini akan membantu perusahaan
untuk mengetahui kekurangan dan hasil audit yang dilakukan di perusahaan.
Informasi kelima yang dibutuhkan perusahaan adalah update list Lembaga Sertifikasi
Halal yang diakui MUI. Informasi keenam adalah daftar produsen dan bahan bersertifikat halal
MUI. Sesungguhnya kedua informasi ini rutin diinformasikan oleh LPPOM MUI. Kedua
informasi ini dapat diakses melalui website LPPOM MUI yaitu www.halalmui.org. Selain itu,
dapat pula dilihat di Majalah Jurnal Halal yang rutin diterbitkan oleh LPPOM MUI setiap dua
bulan sekali. Setiap perusahaan yang sudah mendapatkan sertifikat halal secara otomatis akan
berlangganan Majalah Jurnal Halal. Kedua informasi tersebut dapat pula dilihat di Indonesia
Halal Directory yang terbit setiap satu tahun sekali. Kebutuhan kedua informasi ini seharusnya
dapat terpenuhi oleh perusahaan. Hal ini mungkin dapat terjadi karena perusahaan tidak
mengetahui cara untuk mendapatkan informasi-informasi tersebut. Sebaiknya, pihak LPPOM
MUI meningkatkan komunikasi kepada perusahaan mengenai informasi-informasi tersebut.
Informasi lainnya yang dibutuhkan perusahaan adalah daftar bahan bersertifikat halal MUI
yang ada di daerah. Informasi ini dibutuhkan oleh restoran yang memiliki beberapa cabang di
berbagai daerah. Hal ini berguna bagi mereka untuk menggunakan bahan-bahan yang halal,
karena ada beberapa bahan yang berasal dari daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan
pula informasi bahan-bahan halal yang diakui oleh LPPOM Provinsi. Informasi lainnya adalah
konfirmasi waktu pelaksanaan audit. Hal ini akan berguna untuk menentukan kesepakatan antara
pihak LPPOM dan perusahaan mengenai waktu pelaksanaan audit. Selain itu, pihak perusahaan
pun dapat mempersiapkan segala sesuatunya menjelang proses audit.
Kebutuhan informasi-informasi di atas diharapkan dapat meningkatkan kualitas LPPOM
MUI sebagai lembaga sertifikasi halal. Adanya informasi-informasi tersebut dapat mempermudah
perusahaan untuk mendapatkan sertifikat halal. Informasi-informasi tersebut sebaiknya dapat
dipenuhi oleh LPPOM MUI. Hal ini juga dapat bermanfaat untuk menjalin komunikasi yang baik
antara perusahaan dengan pihak LPPOM MUI.
D. TINDAKAN PERBAIKAN SERTIFIKASI HALAL
Tindakan perbaikan memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas
pelaksanaan sertifikasi halal di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian, percepatan proses
sertifikasi halal merupakan tindakan perbaikan yang paling banyak disarankan oleh para
responden. Hal ini sesuai dengan permasalahan sertifikasi halal yang ditemukan pada tahap awal.
Waktu yang dibutuhkan dari awal pendaftaran hingga mendapatkan sertifikasi halal seringkali
dikeluhkan oleh beberapa perusahaan. Salah satu faktor penyebabnya adalah belum adanya
standardisasi waktu proses sertifikasi halal yang jelas untuk mendapatkan sertifikat halal.
Berdasarkan data LPPOM MUI tahun 2010, jumlah produk yang mendapatkan sertifikat
halal meningkat lebih dari 100% dari tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah produk
bersertifikat halal ini perlu diimbangi dengan adanya percepatan proses sertifikasi halal.
Sehingga dalam waktu tiga minggu produsen sudah mendapatkan sertifikat halal dengan catatan
tidak ada masalah. Percepatan proses sertifikasi halal ini akan meningkatkan jumlah produk
bersertifikat halal. Selain itu, percepatan sertifikasi akan memberikan kemudahan bagi
perusahaan untuk mendapatkan sertifikat halal.
Pertimbangan biaya sertifikasi halal merupakan tindakan perbaikan yang disarankan oleh
perusahaan setelah percepatan proses sertifikasi halal. Harus diakui bahwa pembiayaan
32
sertifikasi halal adalah aspek yang selama ini menghambat penanganan kehalalan pangan,
terutama bagi industri kecil. Hal ini sesuai dengan hasil identifikasi masalah proses sertifikasi
halal pada tahap awal. Kalangan dunia usaha pangan terutama industri kecil dan rumah tangga
menganggap pembiayaan untuk penjaminan kehalalan produk adalah sebuah permasalahan
tersendiri. Dengan modal yang terbatas, industri kecil dan rumah tangga tidak akan mampu
untuk melakukan proses sertifikasi kehalan produknya.
Berdasarkan data GAPMMI (2010), saat ini jumlah total industri pangan di Indonesia
mencapai 1.159.983. Dari total industri tersebut tercatat industri skala rumah tangga mencapai
1.087.489, industri kecil sebesar 66.178, dan industri besar menengah sebesar 6.316 (GAPMMI
2010). Hal ini menunjukkan bahwa hampir sebagian besar pelaku usaha di sektor pangan adalah
industri kecil dan rumah tangga. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan bagi mereka dalam
hal pembiayaan sertifikasi halal.
Sebagai salah satu upaya untuk menyelesaikan permasalahan di atas, berdasarkan hasil
penelitian Saifullah (2008) diperlukan peranan pemerintah untuk menerapkan kebijakan
penanganan kehalalan pangan. Pemerintah dan LPPOM MUI dapat bekerja sama agar proses
sertifikasi halal dapat berjalan secara efektif dan efisien serta dapat diakses oleh seluruh dunia,
terutama bagi industri kecil. Upaya-upaya yang dapat dilakukan diantaranya pemberian fasilitas
kemudahan subsidi pembiayaan sertifikasi halal bagi industri kecil, pembuatan mekanisme atau
standar baku penanganan kehalalan pangan, dan edukasi kepada dunia usaha tentang pentingnya
sertifikasi halal.
Tabel 5 menunjukkan bahwa tindakan perbaikan yang perlu dilakukan oleh LPPOM MUI
berbeda-beda. Hal ini tergantung pada klasifikasi perusahaan. Berdasarkan hasil penelitian,
tindakan perbaikan berupa percepatan proses sertifikasi halal sangat diperlukan oleh industri
pengolahan berskala besar dan kecil, industri bahan tambahan pangan, RPH, restoran, dan
katering. Sementara itu, pertimbangan biaya sertifikasi halal sangat diperlukan bagi industri
pengolahan berskala kecil, industri bahan tambahan pangan, distributor, restoran, dan katering.
Tabel 5. Tindakan perbaikan yang diperlukan oleh responden
Jenis Perusahaan
Tindakan Perbaikan
Industri pengolahan (skala menengah/besar)
1. Percepatan proses sertifikasi halal
2. Peningkatan kinerja LPPOM MUI
3. Peningkatan kualitas auditor
Industri pengolahan (skala kecil)
1. Pertimbangan biaya sertifikasi halal
2. Percepatan proses sertifikasi halal
Industri bahan tambahan pangan
1. Percepatan proses sertifkasi halal
2. Peningkatan kinerja LPPOM MUI
3. Pertimbangan biaya sertifikasi halal
Distributor
1. Pertimbangan biaya sertifikasi halal
Restoran dan katering
1.
2.
3.
4.
Rumah Potong Hewan (RPH)
1. Percepatan proses sertifikasi halal
Percepatan proses sertifkasi halal
Pertimbangan biaya sertifikasi halal
Peningkatan kinerja LPPOM MUI
Peningkatan kualitas auditor
Sejauh ini kinerja LPPOM MUI untuk melayani perusahaan selama proses sertifikasi
dinilai baik dan kooperatif oleh seluruh perusahaan yang menjadi responden. Para responden
menilai bahwa pihak LPPOM MUI sangat komunikatif untuk memberikan penjelasan-penjelasan
33
selama proses sertifikasi halal. Hal ini sangat membantu perusahaan terutama industri kecil
untuk dapat menjalankan prosedur sertifikasi halal sesuai dengan standar yang telah ditentukan
oleh LPPOM MUI. Perusahaan berharap pihak LPPOM MUI dapat terus meningkatkan
kinerjanya agar timbul kesan mudah bagi mereka yang mengajukan sertifikasi halal.
Selain itu, diperlukan peningkatan komunikasi lebih baik lagi dengan perusahaan
terutama menyangkut dokumen atau proses sertifikasi halal. Salah satu cara untuk meningkatkan
kinerja LPPOM MUI adalah melakukan pelatihan bagi karwayan LPPOM MUI terutama bagi
karyawan baru. Hal ini berguna untuk memberikan pengetahuan yang sama dengan karyawan
lain terutama dalam melayani perusahaan.
Para responden pun menilai kualitas auditor dari Tim LPPOM MUI sangat baik dan
profesional selama proses audit berlangsung. Para auditor sering kali memberikan saran kepada
perusahaan. Perusahaan berharap kompetensi dan profesionalisme auditor dapat terus
ditingkatkan. Hal ini berguna untuk meningkatkan kualitas auditor. Selain itu, dapat menciptakan
kerja sama yang baik antara perusahaan dan auditor sehingga proses audit dapat berjalan dengan
lancar.
E. PERBANDINGAN SISTEM SERTIFIKASI HALAL DI INDONESIA
DENGAN BEBERAPA NEGARA LAIN
Proses sertifikasi halal di Indonesia yang dilakukan oleh LPPOM MUI tergolong cukup
ketat jika dibandingkan dengan beberapa negara lain. Misalnya saja, jika dibandingkan dengan
lembaga sertifikasi halal Malaysia yaitu Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) dan
lembaga sertifikasi halal Singapura yaitu Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS). Kedua
lembaga ini memiliki sistem sertifikasi yang lebih cepat dan memiliki standardisasi waktu setiap
tahapan proses sertifikasi halal. Namun, terdapat perbedaan yang mendasar dengan LPPOM
MUI, yaitu pemberian keputusan kehalalan suatu produk ditentukan oleh para auditornya. Hal ini
sangat berbeda dengan LPPOM MUI dalam menentukan keputusan kehalalan suatu produk
diserahkan kepada Komisi Fatwa MUI, bukan pada para auditornya. Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sistem sertifikasi halal di Indonesia tergolong sangat ketat.
Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan wewenang antara pihak auditor dan Komisi Fatwa MUI.
Selain itu, terdapat lembaga sertifikasi halal luar negeri yang hanya ditangani oleh dua
hingga tiga orang dan diragukan kredibilitasnya (Sucipto 2009). Oleh karena itu, langkah
LPPOM MUI dinilai tepat untuk tidak mengakui lembaga sertifikasi halal luar negeri yang tidak
sesuai dengan standar halal yang dilakukan oleh pihak LPPOM MUI. Akan tetapi, ada beberapa
hal yang perlu ditiru oleh LPPOM MUI dari sistem sertifikasi halal Malaysia (JAKIM 2011) dan
lembaga sertifikasi halal Singapura (MUIS 2011), diantaranya:
1. Menerapkan sistem pendaftaran sertifikasi halal secara online
2. Memiliki standardisasi waktu setiap tahapan proses sertifikasi halal
3. Memiliki rincian biaya sertifikasi halal untuk setiap jenis perusahaan atau industri
4. Menerapkan sistem E-learning atau E-service
Poin-poin tersebut dapat dilihat pada website masing-masing lembaga sertifikasi halal,
yaitu www.halaljakim.gov.my untuk lembaga sertifikasi halal Malaysia dan www.muis.gov.sg
untuk lembaga sertifikasi halal Singapura. Informasi-informasi yang tercantum pada website
kedua lembaga sertifikasi halal tersebut dinilai sangat lengkap dan informatif, baik bagi industri
maupun masyarakat.
34
F. ALTERNATIF SOLUSI TENTANG PERMASALAHAN SERTIFIKASI
HALAL
Setelah mengetahui berbagai permasalahan sertifikasi halal, langkah selanjutnya adalah
mencari alternatif solusi untuk memperbaiki proses sertifikasi halal. Solusi-solusi ini disusun
berdasarkan hasil pengamatan, hasil kuesioner, dan diskusi dengan pihak LPPOM MUI.
Penyusunan solusi ini menggunakan acuan tahapan sertifikasi halal. Kegiatan ini diharapkan
dapat memperbaiki kebijakan yang telah ada dan mempermudah proses sertifikasi, baik bagi
pihak LPPOM MUI maupun bagi pihak perusahaan. Penyusunan alternatif solusi tentang
permasalahan sertifikasi halal adalah sebagai berikut :
1.
Persiapan Pengajuan Sertifikat Halal
a. Membuat Buku Panduan Umum Sistem Jaminan Halal berdasarkan skala industri
b. Mewajibkan mengikuti Pelatihan Sistem Jaminan Halal bagi perusahaan baru dan
perusahaan yang memiliki nilai implementasi SJH yaitu “C” dan “D”.
c. Meningkatkan edukasi dan pelayanan konsultasi tentang Sistem Jaminan Halal,
terutama bagi industri kecil.
d. Mengadakan Pelatihan Sistem Jaminan Halal di daerah-daerah, tidak terpusat hanya di
Bogor atau Jakarta saja.
2.
Pendaftaran Sertifikasi Halal
a. Memfasilitasi pendaftaran bagi perusahaan secara online melalui website LPPOM
MUI.
b. Proses pembayaran sertifikasi halal sebaiknya menggunakan uang muka terlebih
dahulu, setelah itu membuat kebijakan baru waktu pelunasan biaya sertifikasi halal.
c. Mempertimbangkan biaya sertifikasi halal bagi industri pengolahan berskala kecil,
industri bahan tambahan pangan, distributor, restoran, katering, dan bagi perusahaan
sering yang melakukan pengembangan produk. Bagi perusahaan yang sering
melakukan pengembangan produk, sebaiknya tidak diberikan lagi Buku Panduan
Umum Sertifikasi Halal dan Sistem Jaminan Halal. Hal ini tentunya dapat
meringankan biaya sertifikasi halal.
d. Membuat rincian biaya sertifikasi halal.
3.
Audit Sertifikasi Halal
a.
b.
c.
d.
4.
Mengadakan pelatihan dan standardisasi kompetensi bagi para auditor.
Meningkatkan jumlah auditor, terutama untuk mengaudit restoran atau katering.
Memberikan kepastian penetapan jadwal audit dan auditor kepada perusahaan.
Memberikan tenggang waktu kepada perusahaan untuk melakukan persiapan sampel.
Penerbitan Sertifikat Halal
a. Membuat standardisasi waktu penerbitan sertifikasi halal setelah rapat komisi fatwa
MUI.
b. Melakukan pengiriman sertifikat halal melalui pos untuk perusahaan yang letaknya
jauh dari LPPOM MUI Pusat.
c. Meningkatkan ketelitian dalam mencetak sertifikat halal agar terhindar dari kesalahan
penamaan produk atau perusahaan.
35
5.
Sistem Administrasi
a. Membuat media komunikasi secara online dan update untuk perusahaan yang dapat
diakses dengan password yang berbeda setiap perusahaan. Hal ini membantu
perusahaan untuk dapat mengetahui progress pengajuan sertifikasi.
b. Membuat standardisasi waktu administrasi terutama dalam merespon pengajuan bahan
baku atau kelengkapan dokumen.
c. Menyediakan bentuk baku format aplikasi di website LPPOM MUI
d. Membuat sistem dokumentasi terpusat di setiap bidang
e. Menambah karyawan dan tenaga ahli di bidang pengkajian
f. Membuat dokumentasi jumlah sertifikat halal berdasarkan klasifikasi industri. Hal ini
akan membantu untuk mengetahui perkembangan sertifikasi halal di setiap jenis
industri.
g. Melakukan koordinasi yang baik antara LPPOM MUI Pusat Jakarta dan Bogor
h. Melakukan revisi ulang terhadap Buku Panduan Umum Sertifikasi Halal
36
Download