9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Laparatomi 2.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tinjauan Umum Laparatomi
2.1.1. Definisi Laparatomi
Laparatomi adalah operasi yang dilakukan untuk membuka abdomen
(bagian perut). Kata "laparotomi" pertama kali digunakan untuk merujuk
operasi semacam ini pada tahun 1878 oleh seorang ahli bedah Inggris, Thomas
Bryant. Kata tersebut terbentuk dari dua kata Yunani, ”lapara” dan ”tome”.
Kata ”lapara” berarti bagian lunak dari tubuh yg terletak di antara tulang
rusuk dan pinggul. Sedangkan ”tome” berarti pemotongan (Kamus
Kedokteran, 2011).
Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada daerah abdomen.
Laparatomi yaitu insisi pembedahan melalui pinggang (kurang begitu tepat),
tapi lebih umum pembedahan perut (Harjono, 1996). Ramali Ahmad (2000)
mengatakan bahwa laparatomi yaitu pembedahan perut, membuka selaput
perut dengan operasi. Sedangkan menurut Arif Mansjoer (2000), laparotomi
adalah pembedahan yang dilakukan pada usus akibat terjadinya perlekatan
usus dan biasanya terjadi pada usus halus.
9
10
2.1.2. Teknik Sayatan Laparatomi
Menurut Sjamsuhidayat dan Jong (2006), bedah laparatomi merupakan
teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen. Teknik sayatan dapat
dilakukan pada bedah digestif dan kandungan (Bedah Unhas, 2013), dimana
arah sayatan meliputi :
a.
Midline Epigastric Insision (irisan median atas)
Insisi dilakukan persis pada garis tengah dimulai dari ujung Proc.
Xiphoideus hingga satu sentimeter diatas umbilikus. Membuka peritoneum dari
bawah.
b.
Midline Sub-umbilical Insision (irisan median bawah)
Irisan dari umbilikus sampai simfisis, membuka peritoneum dari sisi
atas. Irisan median atas dan bawah dapat disambung dengan melingkari
umbilikus.
c.
Paramedian Insision ”trapp door” (konvensional)
Insisi ini dapat dibuat baik di sebelah kanan atau kiri dari garis tengah.
Kira-kira 2,5cm sampai 5cm dari garis tengah. Insisi dilakukan vertikal, diatas
sampai bawah umbilikus, M. Rectus Abdominis didorong ke lateral dan
peritoneum dibuka juga 2,5cm lateral dari garis tengah.
11
d.
Lateral Paramedian Insision
Modifikasi dari paramedian insision yang dikenalkan oleh Guillou.
Dimana fascia diiris lebih lateral dari yang konvensional. Secara teoritis,
teknik ini akan memperkecil kemungkinan terjadinya wound dehiscence dan
insisional hernia dan lebih baik dari yang konvensional.
e.
Vertical Muscle Splitting Insision (paramedian transrect)
Insisi ini sama dengan paramedian insision konvensional, hanya otot
rectus pada insisi ini dipisahkan secara tumpul (splitting longitudinally) pada
tengahnya, atau jika mungkin pada
tengahnya. Insisi ini berguna
untuk membuka scar yang berasal dari insisi paramedian sebelumnya.
Kemungkinan hernia sikatrikalis lebih besar.
f.
Kocher Subcostal Insision
Insisi Subcostal kanan yang biasanya digunakan untuk pembedahan
empedu dan saluran empedu.
g.
McBurney Gridiron (Irisan oblique)
Dilakukan untuk kasus apendisitis akut dan diperkenalkan oleh Charles
McBurney pada tahun 1894, otot-otot dipisahkan secara tumpul.
h.
Rocky Davis
Insisi dilakukan pada titik McBurney secara transverse skin crease,
irisan ini lebih kosmetik.
12
i.
Pfannenstiel Insision
Insisi yang popular dalam bidang ginekologi dan juga dapat memberikan
akses pada ruang retropubic pada laki-laki untuk melakukan extraperitoneal
retropubic prostatectomy.
j.
Insisi Thoracoabdominal
Insisi Thorakoabdominal, baik kanan maupun kiri, akan membuat
cavum pleura dan cavum abdomen menjadi satu. Insisi thorakoabdominal
kanan biasanya dilakukan untuk melakukan emergensi ataupun elektif reseksi
hepar. Insisi thorakoabdominal kiri efektif jika dilakukan untuk melakukan
reseksi dari bagian bawah esophagus dan bagian proximal dari lambung.
2.1.3. Jenis Tindakan Operasi Laparatomi Menurut Indikasi
Tindakan bedah digestif yang sering dilakukan dengan teknik sayatan
arah laparatomi yaitu:
a.
Herniotomi
Tindakan bedah hernia disebut herniotomi. Herniotomi adalah operasi
pembebasan kantong hernia sampai ke lehernya, kantong hernia dibuka dan isi
hernia dibebaskkan kalau ada perlengketan, kemudian direposisi, kantong
hernia dijahit ikat setingggi mungkin lalu dipotong (Sjamsuhidayat dan Jong,
2006).
13
b.
Gastrektomi
Suatu tindakan reseksi pada lambung baik keseluruhan lambung
maupun sebagian. Prosedur ini biasanya digunakan untuk mengobati kanker,
tetapi juga digunakan untuk mengobati ulkus lambung yang tidak berespon
terhadap terapi obat. Gastrektomi Billroth I adalah gastrektomi parsial, yaitu
bagian lambung yang masih ada dilakukan anastomosis dengan duodenum.
Gastrektomi parsial Polya (di Amerika Serikat lebih dikenal dengan
gastrektomi Billroth II) meliputi pengangkatan sebagian lambung dan
duodenum serta anastomosis bagian lambung yang masih ada dengan
jejunum. Gastrektomi total adalah operasi radikal yang dilakukan untuk
kanker di bagian atas lambung.
c.
Kolesistoduodenostomi
Pembedahan pada tumor obstruksi duktus koleduktus, kaput pankreas,
papilla vater, duktus pankreas, duodenum, vena mesentrikasuperior, duktus
hepatikus, arteri mesenterika superior dan kandung empedu.
d.
Hepatektomi
Hepatektomi adalah operasi bedah untuk mengangkat sebagian atau
seluruh bagian organ hati. Tindakan hepatektomi sering digunakan untuk
mengobati kanker hati. Hepatektomi parsial adalah pembedahan yang hanya
mengangkat tumornya saja (sebagian dari hati). Hepatektomi total adalah
operasi yang kompleks di mana seluruh hati atau liver akan diangkat.
14
Prosedur ini diikuti dengan transplantasi hati karena tubuh tidak dapat hidup
tanpa hati.
e.
Splenorafi atau splenotomi
Splenotomi adalah adalah sebuah metode operasi pengangkatan limpa,
yang mana organ ini merupakan bagian dari sistem getah bening. Splenotomi
biasanya dilakukan pada trauma limpa, penyakit keganasan tertentu pada
limpa (hodkin’s disease dan non-hodkin’s limfoma, limfositis kronik, dan
CML), hemolitik jaundice, idiopatik trombositopenia purpura, atau untuk
tumor, kista, dan splenomegali.
f.
Apendektomi
Tindakan
pembedahan
yang
dilakukan
pada
apendiks
akibat
peradangan baik bersifat akut maupun kronik. Teknik apendektomi dengan
irisan Mc. Burney secara terbuka.
g.
Kolostomi
Kolostomi merupakan kolokytaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang dibuat sementara atau menetap.
h.
Hemoroidektomi
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun
dan pada penderita hemoroid derajat III dan IV.
15
i.
Fistulotomi atau fistulektomi
Pada fistel dilakukan fistulotomi atau fistulektomi artinya fistel dibuka
dari lubang asalnya sampai lubang kulit. Luka dibiarkan terbuka sehingga
proses penyembuhan dimulai dari dasar persekundan intertionem.
Tindakan bedah kandungan yang sering dilakukan dengan teknik
sayatan arah laparatomi adalah berbagai jenis operasi uterus, operasi pada
tuba fallopi dan operasi ovarium, yaitu:
a.
Histerektomi
Pembukaan uterus
untuk
mengeluarkan
isinya
dan kemudian
menutupnya lagi, yang dapat dilakukan dengan cara:
1)
Histerektomi total yaitu mengangkat seluruh uterus dengan membuka
vagina.
2)
Histerektomi subtotal yaitu pengangkatan bagian uterus diatas vagina
tanpa membuka vagina.
3)
Histerektomi radikal yaitu untuk karsinoma serviks uterus dengan
mengangkat uterus, alat-alat adneksia sebagian dari parametrium, bagian atas
vagina dan kelenjar-kelenjar regional.
4)
Eksterasi pelvik yaitu operasi yang lebih luas dengan mengangkat
semua jaringan di dalam rongga pelvik, termasuk kandung kencing atau
rektum.
16
b.
Salpingo-ooforektomi bilateral
Merupakan pengangkatan sebagian ovarium diselenggarakan pada
kelainan jinak. Pada tumor ganas ovari kanan dan kiri diangkat dengan tuba
bersama dengan uterus.
Selain tindakan bedah dengan teknik sayatan laparatomi pada bedah
digestif dan kandungan, teknik ini juga sering dilakukan pada pembedahan
organ lain, antara lain ginjal dan kandung kemih (Nuryanti, 2012).
2.1.4. Komplikasi Post Laparatomi
a.
Stitch Abscess
Biasanya muncul pada hari ke-10 pasca operasi atau bisa juga
sebelumnya, sebelum jahitan insisi tersebut diangkat. Abses ini dapat
superfisial atau lebih dalam. Jika dalam ia dapat berupa massa yang teraba
dibawah luka, dan terasa nyeri jika diraba.
b.
Infeksi Luka Operasi
Biasanya jahitan akan terkubur didalam kulit sebagai hasil dari edema
dan proses inflamasi sekitarnya. Infeksi luka sering muncul pada 36 jam
sampai 46 jam pasca operasi. Penyebabnya dapat berupa Staphylococcus
Aureus, E. Colli, Streptococcus Faecalis, Bacteroides. Pasien biasanya akan
mengalami demam, sakit kepala, anorexia dan malaise.
17
c.
Gas Gangrene
Biasanya berupa rasa nyeri yang sangat pada luka operasi, biasanya 12
jam sampai 72 jam pasca operasi, peningkatan temperature (39°C sampai
41°C), takikardia, dan syok yang berat.
d.
Hematoma
Kejadian ini kira-kira 2% dari komplikasi operasi. Keadaan ini
biasanya hilang dengan sendirinya.
e.
Keloid Scar
Penyebab dari keadaan ini hingga kini tidak diketahui, hanya memang
sebagian orang mempunyai kecenderungan untuk mengalami hal ini lebih dari
orang lain.
f.
Abdominal Wound Disruption and Evisceration
Disrupsi ini dapat partial ataupun total. Insidensinya sendiri bervariasi
antara 0% sampai 3% dan biasanya lebih umum terjadi pada pasien lebih dari
60 tahun. Jika dilihat dari jenis kelamin, perbandingan laki-laki dan
perempuan adalah 4: 1.
2.1.5. Proses Penyembuhan Luka
Penyembuhan merupakan suatu sifat dari jaringan-jaringan yang hidup.
Hal ini juga diartikan sebagai pembentukan kembali atau pembaharuan dari
jaringan-jaringan tersebut. Dalam Potter dan Perry (2006) disebutkan bahwa
penyembuhan dapat dibagi dalam tiga fase:
18
a.
Fase Peradangan (Inflamasi)
Fase peradangan atau inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap luka
yang dimulai setelah beberapa menit dan berlangsung selama sekitar tiga hari
setelah cedera. Ada dua proses utama yang terjadi selama fase peradangan ini,
yaitu hemostatis (mengontrol perdarahan) dan epitelialisasi (membentuk selsel epitel pada tempat cedera).
Respon terhadap peradangan ini sangat penting terhadap proses
penyembuhan. Terlalu sedikit inflamasi yang terjadi akan menyebabkan fase
inflamasi berlangsung lama dan proses perbaikan menjadi lama. Terlalu
banyak inflamasi juga dapat memperpanjang masa penyembuhan karena sel
yang tiba pada luka akan bersaing untuk mendapatkan nutrisi yang memadai.
b.
Fase Regenerasi (Proliferasi)
Fase proliferatif (tahapan pertumbuhan sel), fase kedua dalam proses
penyembuhan, memerlukan waktu tiga sampai 24 hari. Fase regenerasi
merupakan fase pengisian luka dengan jaringan granulasi yang baru dan
menutup bagian atas luka dengan epitelisasi.
c. Fase Remodeling (Maturasi)
Maturasi merupakan tahap terakhir proses penyembuhan luka, dapat
memerlukan waktu lebih dari satu tahun, bergantung pada kedalaman dan luas
luka. Jaringan parut kolagen terus melakukan reorganisasi dan akan menguat
setelah beberapa bulan. Namun, luka yang telah sembuh biasanya tidak
memiliki daya elastisitas yang sama dengan jaringan yang digantikannya.
19
2.2.
Lama Rawat Inap
2.2.1. Definisi
Lama rawat inap adalah istilah yang umum dipakai untuk mengukur
durasi satu episode rawat inap. Lama perawatan pada pasien merupakan
jumlah hari rawat pasien sejak menjalani operasi sampai pada saat pasien
sembuh dan dapat dipulangkan (Nursiah, 2010). Lama rawat inap dihitung
dengan cara tanggal keluar dikurangi tanggal masuk, dengan kriteria pasien
boleh dipulangkan berdasarkan kriteria medis (klinis dan laboratorium).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Islam dan Limpo pada tahun 2001
menyatakan bahwa lama hari rawat pada pasien pasca operasi bervariasi yaitu
tujuh sampai 30 hari dengan rata-rata hari rawat antara tujuh sampai 14 hari.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nursiah Arfah
Noer (2010) di RSUD Labuang Baji Makasar terhadap pasien yang menjalani
tindakan pembedahan laparatomi menyatakan bahwa lama perawatan singkat
yaitu tujuh sampai 14 hari sebanyak 74,2% dan lama perawatan jangka
panjang yaitu, lebih dari 14 hari, sebanyak 25,8%. Dimana pada lama
perawatan singkat ditemukan pada pasien yang menjalani mobilisasi dini,
pasien yang perawatan luka menggunakan teknik steril, dan frekuensi
perawatan luka dua kali sehari.
20
Sementara dalam Potter dan Perry (2006), dijelaskan bahwa
penyembuhan atau pemulihan pasca operasi pengangkatan kandung empedu
atau kolesistektomi membutuhkan waktu lama rawat inap di rumah sakit
selama tiga sampai lima hari dan masa pemulihan sedikitnya membutuhkan
waktu selama empat minggu. Hal ini juga serupa dengan lama perawatan post
seksio sesarea yang dijabarkan oleh Kasdu (2003), dimana dibutuhkan waktu
perawatan normal selama tiga sampai lima hari dan proses pengangkatan
jahitan pasca operasi bersih adalah lima sampai tujuh hari sesuai dengan
penyembuhan luka yang terjadi.
2.2.2. Perawatan Pasca Bedah Pada Ruang Rawat Inap
Perawatan pasca laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang
diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan
abdomen.
Perawatan pascaoperatif dilakukan dalam dua tahap, yaitu periode
pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase pascaoperatif.
Untuk pasien yang menjalani bedah sehari, pemulihan normalnya terjadi
hanya dalam satu sampai dua jam, dan penyembuhan dilakukan di rumah.
Untuk pasien yang dirawat di rumah sakit, pemulihan terjadi selama beberapa
jam dan penyembuhan berlangsung selama satu hari atau lebih, tergantung
pada luasnya pembedahan dan respon pasien (Potter dan Perry, 2006).
21
Pasien yang mengalami tindakan laparatomi, biasanya dipindahkan ke
unit pemulihan tahap I untuk menstabilkan kondisi pasien sebelum pulang
atau sebelum dibawa ke ruang rawat inap. Pada ruang pemulihan tahap I,
pasien akan membutuhkan pemantauan ketat dan biasanya hal yang sering
dikaji adalah tanda-tanda vital, status pernapasan, sirkulasi, tingkat kesadaran,
kondisi luka, dan tingkat nyeri. Waktu rata-rata yang diperlukan untuk
pemulihan tahap I adalah satu jam, jika tidak ada komplikasi. Setelah kondisi
pasien sudah stabil dan tidak lagi membutuhkan pemantauan ketat, perawat
akan memindahkan pasien ke ruang pemulihan tahap II. Setelah pasien
kembali ke bagian perawatan, perawatan pascaoperatif dimulai sampai
kesehatan pasien membaik dan pasien dinyatakan pulang (Potter dan Perry,
2006).
Untuk mencegah terjadinya komplikasi dan mengembalikan status
kesehatan fungsional pasien dengan cepat, maka pada tahap pemulihan
berkelanjutan, perawat membutuhkan informasi untuk membuat rencana
perawatan pasien. Adanya data pengkajian terbaru dan analisa riwayat
keperawatan perioperatif memungkinkan perawat untuk membuat rencana
intervensi keperawatan yang spesifik (Potter dan Perry, 2006).
Dalam Potter dan Perry (2006), beberapa tujuan perawatan pasca
operatif adalah :
a.
Menunjukkan kembalinya fungsi fisiologis normal
b.
Tidak memperlihatkan adanya infeksi luka bedah
22
c.
Dapat beristirahat dan memperoleh rasa nyaman
d.
Mempertahankan konsep diri
e.
Kembali pada status kesehatan fungsional dengan keterbatasan yang
ada akibat pembedahan
Menurut Majid, Judha, dan Istianah (2011), hal yang harus dilakukan
ketika pasien sudah mencapai ruang perawatan, adalah:
a.
Memantau keadaan pasien
monitor tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, drainase, tube,
dan komplikasi. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan pertama yang
dilakukan di ruang perawatan pasca operasi.
b.
Manajemen luka
Amati kondisi luka operasi dan jahitannya. Pastikan luka tidak
mengalami perdarahan abnormal. Evakuasi semua hematoma dan seroma, dan
cegah infeksi yang menjadi penyebabnya. Fokus penanganan luka adalah
mempercepat penyembuhan luka dan meminimalkan komplikasi dan biaya
perawatan.
c.
Mobilisasi dini
Mobilisasi dini yang dapat dilakukan yaitu ROM, napas dalam dimana
tujuannya adalah untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskular.
23
d.
Penanganan nyeri
Pengontrolan nyeri menggunakan analgetik secara intravena atau
intratrakea utamanya untuk pembedahan abdomen terbuka. Selain itu perawat
juga dapat mengajarkan terapi non farmakologi kepada pasien seperti
distraksi, guided imagery, napas dalam.
e.
Posisi tempat tidur
Pasien biasanya ditempatkan pada posisi miring untuk mengurangi
inhalasi muntah atau mukus. Posisi lain yang diinginkan oleh ahli bedah harus
dinyatakan dengan jelas, contohnya posisi datar dengan kaki tempat tidur
yang elevasi.
f.
Penggantian cairan
Penggantian cairan secara oral maupun intravena dibutuhkan. Untuk
penentuan cara pemberian cairan pasien dibutuhkan, selalu lihat berdasarkan
faktor-faktor jumlah seperti kehilangan cairan intraoperatif dan output urin,
waktu pembedahan, penggantian cairan intra operasi, dan jumlah cairan yang
diterima pada waktu pemulihan.
g.
Nutrisi
Tujuan utama pemberian makan pasca operasi adalah untuk
meningkatkan fungsi imun dan mempercepat penyembuhan luka yang
meminimalisir ketidakseimbangan metabolik.
24
h.
Rehabilitasi
Rehabilitasi diperlukan pasien untuk memulihkan kondisi pasien
kembali. Rehabilitasi dapat berupa latihan spesifik yang diperlukan untuk
memaksimalkan kondisi pasien seperti sebelumnya.
i.
Discharge planning
Merencanakan kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada
pasien dan keluarga tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan
sehubungan dengan penyakit pasca operasi.
2.2.3. Tinjauan Umum Tentang Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Lama
Hari Rawat
Fokus rumah sakit dalam pemberian pelayanan perawatan yang
berkualitas adalah bertujuan untuk memulangkan pasien lebih awal dengan
aman ke rumahnya. Hari rawat yang pendek atau cepat akan memberi
keuntungan antara lain penghematan biaya dan sumber yang lebih sedikit
terhadap rumah sakit terutama bagi pasien itu sendiri (Potter dan Perry, 2006).
Salah satu hal penting dalam penatalaksanaan pasien pasca bedah
adalah mengupayakan proses penyembuhan luka akibat pembedahan.
Komplikasi pembedahan dapat menghambat penyembuhan luka, sehingga
proses
pemulihan
semakin
memanjang
dan
akan
mengakibatkan
bertambahnya lama hari rawat yang sangat membebani pasien dan keluarga
(Smeltzer dan Bare, 2002).
25
Dengan penanganan dini untuk meningkatkan status kesehatan
fungsional pasien akan mempercepat penyembuhan pasien dan hal ini juga
akan mengakibatkan lama hari rawat pasien dapat dipersingkat. Adapun
beberapa faktor dalam menentukan status kesehatan pasien:
a.
Kondisi luka pasca operasi
Luka operasi pada prinsipnya adalah luka berada dalam kondisi bersih.
Luka bedah akan mengalami penyembuhan primer. Tepi-tepi kulit merapat
sehingga mempunyai risiko infeksi yang rendah. Untuk mencegah terjadinya
komplikasi, maka dilakukan manajemen luka pada ruang perawatan meliputi
perawatan luka sampai dengan pengangkatan jahitan (Majid, Judha, dan
Istianah, 2011).
Kondisi luka yang melewati fase inflamasi dan memasuki tahap
proliferasi merupakan indikator proses penyembuhan luka yang akan
mempercepat lama perawatan di rumah sakit (Potter dan Perry, 2006).
b.
Usia
Gustia (2010) dalam detikhealth.com, menjelaskan penelitian terbaru
yang menyebutkan bahwa seseorang berhenti menjadi muda di usia 35 tahun
dan mulai masuk kategori tua saat usia 58 tahun. Pengkategorian usia ini
sangat penting untuk mengklasifikasikan gaya hidup yang sesuai untuk usia
seseorang.
26
Semakin tua atau semakin meningkatnya usia, dihubungkan dengan
lambatnya pemulihan dan menurunnya kemampuan penyembuhan jaringan.
Menurut Butler (2006), usia tua akan berhubungan dengan perubahan pada
penyembuhan luka yang berkaitan dengan penurunan respon inflamasi,
angiogenesis yang tertunda, penurunan sintesis dan degradasi kolagen serta
penurunan kecepatan epitelisasi. Hal ini juga didukung penelitian mengenai
hubungan antara usia dengan masa penyembuhan luka yang dipaparkan oleh
Valencia (2001) pada usia tua dan muda (dewasa, remaja, dan anak).
Penelitian tersebut menyatakan bahwa semakin tua usia pasien maka angka
komorbiditasnya akan meningkat. Respon terhadap fase inflamasi, fase
proliferasi dan maturasi mengalami perubahan dengan pengaruh usia.
c.
Mobilisasi Dini
Mobilisasi adalah suatu kebutuhan dasar manusia yang diperlukan
oleh individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari yang berupa pergerakan
sendi, sikap, gaya berjalan, latihan maupun kemampuan aktivitas (Potter dan
Perry, 2006). Mobilisasi dini menurut Carpenito (2000) adalah suatu upaya
mempertahankan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing
penderita untuk mempertahankan fungsi fisiologis.
Mobilisasi dini yang dapat dilakukan yaitu ROM, napas dalam dimana
tujuannya adalah untuk mengaktifkan kembali fungsi neuromuskular. Masih
banyak pasien yang mempunyai kekhawatiran jika tubuh digerakkan pada
posisi tertentu pasca operasi akan mempengaruhi luka operasi yang belum
27
sembuh. Padahal tidak sepenuhnya masalah ini dikhawatirkan, bahkan justru
hampir semua jenis operasi membutuhkan mobilisasi atau pergerakan badan
sedini mungkin. Asalkan rasa nyeri dapat ditoleransi dan keseimbangan tubuh
tidak lagi menjadi gangguan, dengan bergerak, masa pemulihan untuk
mencapai level kondisi seperti pra pembedahan dapat dipersingkat. Hal ini
tentunya akan mengurangi waktu rawat di rumah sakit, menekan pembiayaan
serta juga dapat mengurangi stress psikis (Majid, Judha, dan Istianah, 2011).
Dengan bergerak, hal ini akan mencegah kekakuan otot dan sendi
sehingga
mengurangi
nyeri,
menjamin
kelancaran
peredaran
darah,
memperbaiki metabolisme, mengembalikan kerja fisiologis organ-organ vital
yang pada akhirnya akan mempercepat proses penyembuhan luka (Majid,
Judha, dan Istianah, 2011).
Menggerakkan badan atau melatih otot-otot dan sendi pasca operasi di
sisi lain akan menyehatkan pikiran dan mengurangi dampak negatif dari
beban psikologis yang tentu saja berpengaruh baik terhadap pemulihan fisik.
Hasil penelitian mengatakan bahwa keberhasilan mobilisasi dini tidak hanya
mempercepat proses pemulihan luka pasca pembedahan namun juga
mempercepat pemulihan peristaltik usus pada pasien pasca pembedahan
(Akhrita, 2011).
Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak 8 jam setelah pembedahan,
tentu setelah pasien sadar atau anggota gerak tubuh dapat digerakkan kembali
setelah dilakukan pembiusan regional. Pada saat awal pergerakan fisik bisa
28
dilakukan di atas tempat tidur dengan menggerakkan tangan dan kaki yang
bisa ditekuk atau diluruskan, mengkontraksikan otot-otot dalam keadaan statis
maupun dinamis termasuk juga menggerakkan badan lainnya, miring ke kiri
atau miring ke kanan.
Pada 12 jam sampai 24 jam berikutnya atau bahkan lebih awal lagi
badan sudah bisa diposisikan duduk, baik bersandar maupun tidak dan fase
selanjutnya duduk diatas tempat tidur dengan kaki yang dijatuhkan atau
ditempatkan di lantai sambil digerak-gerakkan.
Di hari kedua pasca operasi, rata-rata untuk pasien yang dirawat di
kamar atau bangsal dan tidak ada hambatan fisik untuk berjalan, seharusnya
sudah biasa berdiri dan berjalan di sekitar kamar atau keluar kamar, misalnya
berjalan sendiri ke toilet atau kamar mandi dengan posisi infus yang tetap
terjaga.
Bergerak pasca operasi selain dihambat oleh rasa nyeri terutama di
sekitar lokasi operasi, bisa juga oleh karena beberapa selang yang
berhubungan dengan tubuh, seperti infuse, kateter, pipa nasogastrik
(nasogastric tube), selang drainase, kabel monitor, dan lain-lain. Perangkat ini
pastilah berhubungan dengan jenis operasi yang dijalani. Namun paling tidak
dokter bedah akan menginstruksi perawat untuk membuka atau melepas
perangkat itu tahap demi tahap seiring dengan perhitungan masa mobilisasi
ini.
29
Operasi yang dilakukan di daerah abdomen, tidak ada alasan untuk
berlama-lama berbaring di tempat tidur. Perlu diperhatikan kapan diet
makanan mulai diberikan, terutama untuk jenis operasi yang menyentuh
saluran pencernaan, yang luka operasinya melibatkan saluran kemih dengan
pemasangan kateter dan atau pipa drainase sudah akan memberikan
keleluasaan untuk bergerak sejak dua kali 24 jam pasca operasi (Majid, Judha,
dan Istianah, 2011).
d.
Status Gizi Pre-Operasi
Kondisi malnutrisi dan obesitas atau kegemukan lebih berisiko
terhadap pembedahan dibandingkan dengan orang yang mempunyai gizi baik,
terutama pada fase penyembuhan. Pada pasien dengan keadaan malnutrisi,
pasien tersebut mengalami defisiensi nutrisi yang sangat diperlukan pada
proses penyembuhan luka. Pada pasien dengan obesitas, selama pembedahan
terutama jaringan lemak sangat rentan terhadap infeksi. Selain itu obesitas
meningkatkan permasalahan teknik dan mekanik. Oleh karenanya sering
terjadi dehisensi dan infeksi luka yang menyebabkan hari rawat inap menjadi
lebih panjang (Majid, Judha, dan Istianah, 2011).
e.
Pengobatan
Menurut Efendi dan Ferry (2007) yang dijabarkan dalam penelitian
yang dilakukan oleh Nursiah (2010), bahwa pengobatan dengan terapi
antibiotik pasca operasi laparatomi dapat diindikasikan untuk pembedahan
dengan risiko tinggi, pada pasien dengan risiko tinggi, atau pada pembedahan
30
risiko rendah yang dapat membantu penyembuhan luka, sehingga lama rawat
pada pasien pasca laparatomi menjadi lebih efisien.
f.
Perawatan luka
Fokus perawatan luka adalah mempercepat penyembuhan luka dan
meminimalkan komplikasi, lama perawatan dan biaya perawatan. Manajemen
luka pada ruang perawatan meliputi perawatan luka sampai dengan
pengangkatan jahitan. Umumnya luka jahitan pada kulit dilepaskan tiga
sampai lima hari pasca operasi. Idealnya balutan luka diganti setiap hari dan
diganti menggunakan bahan hidrasi yang baik. Pembersihan yang sering harus
dihindari, karena hal tersebut menyebabkan jaringan vital terganggu dan
memperlambat penyembuhan dan memperpanjang perawatan di rumah sakit
(Majid, Judha, dan Istianah, 2011).
g.
Intensitas Nyeri
Asosiasi
Internasional
untuk
penelitian
nyeri
(International
Association for the Study of Pain, IASP) mendefinisikan nyeri sebagai suatu
sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan
berkaitan dengan kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau yang
dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana
terjadi kerusakan.
Nyeri
merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang
disebabkan oleh stimulus tertentu. Stimulus nyeri dapat berupa stimulus yang
bersifat fisik dan atau mental, sedangkan kerusakan dapat terjadi pada
31
jaringan aktual atau pada fungsi ego seseorang individu (Potter dan Perry,
2006).
Nyeri berfungsi sebagai proteksi dan sebagai tanda peringatan (Potter
dan Perry, 2006) :
1)
Sebagai proteksi
Nyeri merupakan mekanisme fisiologis yang bertujuan untuk
melindungi diri. Apabila seseorang merasakan nyeri, maka perilakunya akan
berubah. Misalnya seseorang yang kakinya terkilir menghindari mengangkat
barang yang memberi beban penuh pada kakinya untuk mencegah cedera
lebih lanjut.
2)
Sebagai tanda peringatan
Nyeri merupakan tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan,
yang harus menjadi pertimbangan utama saat mengkaji nyeri.
Secara umum nyeri dibagi menjadi dua bagian (Long, 1989) :
1)
Nyeri akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat
menghilang, yang tidak melebihi enam bulan dan ditandai adanya peningkatan
tegangan otot.
2)
Nyeri kronik
Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan,
biasanya berlangsung dalam waktu cukup lama, yaitu lebih dari enam bulan.
32
Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom
nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis (Long, 1989).
Potter dan Perry (2006), menyatakan bahwa pengkajian karakteristik
umum nyeri membantu perawat dalam membentuk pengertian pola nyeri dan
tipe terapi yang digunakan untuk mengatasi nyeri. Penggunaan instrumen
untuk menghitung luas dan derajat nyeri bergantung pada klien yang secara
sadar secara kognitif dan mampu memahami instruksi perawat. Kriteria
pengkajian nyeri yang biasa digunakan adalah:
1)
Awitan dan durasi
Lebih
mudah
untuk
mendiagnosa
sifat
nyeri
dengan
mengidentifikasikan faktor waktu. Misalnya, tipe-tipe tertentu nyeri dapat
dikenali dengan mengidentifikasi waktu terjadi nyeri.
2)
Lokasi nyeri
Untuk mengkaji lokasi nyeri, perawat meminta pasien untuk
menunjukkan semua daerah yang dirasa tidak nyaman. Untuk melokalisasi
nyeri dengan daerah yang lebih spesifik, perawat meminta klien untuk
melacak daerah nyeri dari titik yang paling nyeri.
3)
Keparahan
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai
nyeri ringan, sedang, atau parah. Namun, makna istilah ini berbeda bagi
33
perawat dan klien. Penilaian skala nyeri dapat dikelompokkan menjadi empat
bagian, yaitu :
a)
Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal (Verbal Descriptor Scale,
VDS)
b)
Skala penilaian numerik (Numeric Rating Scale, NRS) lebih digunakan
sebagai alat pengganti deskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10 atau 0-100.
c)
Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melabel
subdivisi. VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri
yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap
ujungnya. Ujung kiri diberi tanda “no pain” dan ujung kanan diberi tanda
“bad pain” (nyeri hebat).
d)
Faces Pain Scale (FPS), Secara historis, FPS yang terdiri dari
serangkaian enam sampai sampai tujuh wajah yang dimulai dari wajah
tersenyum bahagia sampai sedih berlinang air mata digunakan untuk menilai
nyeri pada pasien pediatrik.
4)
Kualitas
Karakteristik subjektif nyeri yang lain adalah kualitas nyeri itu sendiri.
Seringkali klien mendeskripsikan nyeri sebagai sensasi remuk, berdenyut,
tajam, dan tumpul. McCaffery dan Beebe (1989) dalam Potter dan Perry
(2006) melaporkan bahwa kualitas menusuk, terbakar, dan sakit adalah
34
bermanfaat mendeskripsikan nyeri tahap awal. Pada kesempatan selanjutnya
klien dapat memilih istilah yang lebih deskriptif.
5)
Tindakan untuk menghilangkan nyeri
Copp (1990) dalam Potter dan Perry (2006) menemukan bahwa klien
menemukan metode untuk mengurangi intensitas nyeri yang dirasakan terusmenerus. Mereka menggunakan berbagai aktivitas yang menggunakan otot,
metode verbal (berdoa atau mengutuk), dan melatih konsentrasi.
6)
Gejala penyerta
Gejala penyerta adalah gejala yang sering menyertai nyeri, seperti
mual, nyeri kepala, pusing, keinginan untuk miksi, konstipasi, dan gelisah.
Beberapa nyeri muncul disertai dengan gejala yang dapat diprediksi. Disini
gejala penyerta juga memerlukan prioritas penanganan yang sama penting
dengan nyeri itu sendiri.
Nyeri pasca operasi
Pembedahan, terapi, dan posisi dapat menimbulkan nyeri pasca
operasi pada klien. Nyeri pasca operasi adalah nyeri yang dirasakan setelah
dilakukan tindakan pembedahan. Nyeri pasca operasi merupakan efek klinis
yang biasa dijumpai pada pasien yang menjalani operasi. Toxonomi Comitte
of the international Association mendefinisikan nyeri pasca operasi sebagai
sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosi yang berhubungan
35
dengan kerusakan jaringan potensial atau nyata atau menggambarkan
terminologi suatu kerusakan (Potter dan Perry, 2006).
Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri pasca operasi berbeda-beda dari
pasien satu ke pasien lainnya. Saat klien sadar dari anastesi umum maka rasa
nyeri akan terasa. Nyeri mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali penuh.
Klien yang mendapat anastesi regional dan lokal, biasanya tidak mengalami
nyeri karena area insisi masih berada di bawah pengaruh anastesi. Nyeri akut
yang ditimbulkan akibat insisi menyebabkan klien gelisah dan mungkin nyeri
ini menyebabkan tanda-tanda vital pada klien berubah. Secara signifikan,
nyeri dapat memperlambat pemulihan. Klien menjadi ragu-ragu untuk
melakukan batuk efektif, napas dalam, mengganti posisi, ambulasi, atau
melakukan latihan-latihan yang diperlukan (Potter dan Perry, 2006)
Nyeri bukanlah akibat sisa pembedahan yang tak dapat dihindari tetapi
ini merupakan komplikasi bermakna pada sebagian besar pasien. Lokasi
pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat
dirasakan oleh pasien yang mengalami nyeri pasca operasi.
Nyeri pasca operasi biasanya ditemukan dalam pengkajian klinis.
Pengkajian nyeri pasca operasi digunakan sebagai dasar bagi perawat untuk
mengevaluasi efektivitas intervensi selama pemulihan klien. Suza (2007)
dalam penelitian yang dilakukan oleh Langanawa (2013) menyebutkan
bahwa, aspek dari nyeri pasca operasi adalah untuk menyelidiki adanya
pengalaman nyeri yang mencakup persepsi dan perilaku tentang nyeri.
36
Nyeri pasca operasi dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi
persepsi pasien tentang perkembangan dan kesembuhanya. Lebih tinggi nyeri
yang dirasakan pasien, maka makin rendah harapan sembuh menurut pasien
berdasarkan sifat subjektif nyeri dan hal ini akan berpengaruh terhadap
lamanya rawat inap pada pasien.
h.
Pemenuhan Nutrisi
Pengaruh operasi terhadap metabolisme pasca operasi tergantung berat
ringannya operasi, keadaan gizi pasien pasca operasi, dan pengaruh operasi
terhadap kemampuan pasien untuk mencerna dan mengabsorpsi zat-zat gizi.
Setelah operasi sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang
dapat berlangsung selama lima sampai tujuh hari atau lebih pasca operasi.
Pentingnya nutrisi yang baik pada pasien dengan luka atau pasca
operasi merupakan pondasi untuk proses penyembuhan luka dengan cepat.
Nutrisi yang baik akan memfasilitasi penyembuhan dan menghambat bahkan
menghindari keadaan malnutrisi (Winduka, 2012). Selain itu usaha perbaikan
dan pemeliharaan status nutrisi yang baik akan mempercepat penyembuhan,
mempersingkat lama hari rawat yang berarti mengurangi biaya rawat secara
bermakna (Anzar, Pratignyo, Nazir, 2013). Nutrisi sangat penting bagi
perawatan pasien mengingat kebutuhan pasien akan nutrisi bervariasi, maka
dibutuhkan diet atau pengaturan makanan.
37
Menurut Almatsier (2004), diet pasca operasi adalah makanan yang
diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan. Pengaturan makanan
sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan jenis penyakit
penyerta. Tujuan diet pasca operasi adalah untuk mengupayakan agar status
gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan
dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara sebagai berikut:
1)
Memberikan kebutuhan dasar (cairan, energi, protein)
2)
Mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi lain
3)
Memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan
4)
Mencegah dan menghentikan perdarahan
Diet yang disarankan adalah:
1)
Mengandung cukup energi, protein, lemak, dan zat-zat gizi
2)
Bentuk makanan disesuaikan dengan kemampuan penderita
3)
Menghindari makanan yang merangsang (pedas, asam)
4)
Suhu makanan lebih baik bersuhu dingin
5)
Pembagian porsi makanan sehari diberikan sesuai dengan kemampuan
dan kebiasaan makan penderita.
Syarat diet pasca operasi adalah memberikan makanan secara bertahap
mulai dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari
tahap ke tahap tergantung pada macam pembedahan dan keadaan pasien,
seperti:
38
1)
Pasca operasi kecil (bedah minor): makanan diusahakan secepat
mungkin kembali seperti biasa atau normal
2)
Pasca operasi besar (bedah mayor): makanan diberikan secara berhati-
hati disesuaikan dengan kemampuan pasien untuk menerimanya.
Jenis Diet dan Indikasi Pemberian:
1)
Diet Pasca-Bedah I (DPB I)
Selama enam jam sesudah operasi, makanan yang diberikan berupa air
putih, teh manis, atau cairan lain seperti pada makanan cair jernih. Makanan
ini diberikan dalam waktu sesingkat mungkin, karena kurang dalam semua
zat gizi. Selain itu diberikan makanan parenteral sesuai kebutuhan. Diet ini
diberikan kepada semua pasien pasca bedah :
a)
Pasca operasi kecil: setelah sadar dan rasa mual hilang
b)
Pasca operasi besar: setelah sadar dan rasa mual hilang serta ada
tanda-tanda usus mulai bekerja
2)
Diet Pasca-Bedah II (DPB II)
Makanan diberikan dalam bentuk cair kental, berupa kaldu jernih,
sirup, sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata delapan sampai 10 kali sehari
selama pasien tidak tidur. Jumlah cairan yang diberikan tergantung keadaan
dan kondisi pasien. Selain itu dapat diberikan makanan parenteral bila
diperlukan. DPB II diberikan untuk waktu sesingkat mungkin karena zat
gizinya kurang. Makanan yang tidak boleh diberikan pada diet Pasca-Bedah
II adalah air jeruk dan minuman yang mengandung karbondioksida. Diet
39
Pasca-Bedah II diberikan kepada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau
sebagai perpindahan dari Diet Pasca-Bedah I.
3)
Diet Pasca-Bedah III (DPB III)
Makanan yang diberikan berupa makanan saring ditambah susu dan
biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari. Selain itu dapat
memberikan makanan parenteral bila diperlukan. Makanan yang tidak
dianjurkan adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang
mengandung karbondioksida. Diet Pasca-Bedah III diberikan kepada pasien
pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari Diet PascaBedah II.
4)
Diet Pasca-Bedah IV (DPB IV)
Makanan diberikan berupa makanan lunak yang dibagi dalam tiga kali
makanan lengkap dan satu kali makanan selingan. Diet Pasca-Bedah IV
diberikan kepada :
a)
Pasien pasca operasi kecil, setelah diet Pasca-Bedah I
b)
Pasien pasca operasi besar, setelah diet Pasca-Bedah III
Penilaian pemenuhan nutrisi
Staf keperawatan bertugas untuk menilai jumlah asupan makanan yang
dikonsumsi oleh pasien. Banyaknya sisa makanan dalam piring pasien
mengakibatkan masukan gizi kurang selama pasien dirawat selain itu juga
menyebabkan biaya terbuang pada sisa makanan.
40
Untuk mengetahui banyaknya makanan yang dihabiskan oleh pasien,
maka diperlukan pengamatan sisa makanan. Penentuan sisa makanan dapat
dilakukan dengan tiga cara yaitu :
1)
Metode Penimbangan
Prinsip dari metode penimbangan adalah mengukur secara langsung
berat dari setiap jenis makanan yang dikonsumsi dan selanjutnya dapat
dihitung persentase sisa makanan (waste) dengan rumus :
Thompson (2001), menyebutkan bahwa, dalam metode penimbangan,
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana cara menimbang yang baik dan
benar. Kelebihan dari metode penimbangan adalah lebih akurat dibanding
dengan metode lainnya, dapat mencatat secara pasti mengenai jumlah dan
jenis bahan makanan, sisa makanan dapat dihitung secara pasti dan
mempunyai validitas yang tinggi. Namun ada beberapa kekurangan dari
metode ini yaitu, membebani responden, tidak praktis digunakan karena
memerlukan tempat yang agak luas untuk menampung alat makan dan sisa
makanan, memerlukan waktu lama untuk menimbang sisa makanan, dan
memerlukan keterampilan pada saat menimbang makanan.
41
2)
Metode Taksiran Visual
Prinsip dari metode taksiran visual adalah para penaksir atau
estimator, menaksir secara visual banyaknya sisa makanan yang ada untuk
setiap golongan makanan atau jenis hidangan. Hasil estimasi tersebut bisa
dalam bentuk berat makanan yang dinyatakan dalam gram atau bentuk skor
bila dalam skala pengukuran.
Metode taksiran dengan skala pengukuran dikembangkan oleh
Comstock dengan menggunakan enam point, dengan kriteria sebagai berikut :
a)
Skala 0 jika makanan seluruhnya dikonsumsi oleh pasien (habis)
b)
Skala 1 jika tersisa makanan seperempat porsi
c)
Skala 2 jika tersisa makanan setengah porsi
d)
Skala 3 jika tersisa makanan tiga perempat porsi
e)
Skala 4 jika hanya dikonsumsi sedikit (kira-kira satu sendok makan)
f)
Skala 5 jika tidak dikonsumsi sama sekali (utuh).
Kelebihan dari metode taksiran visual antara lain, waktu yang
digunakan cepat dan singkat, tidak memerlukan alat yang banyak dan rumit,
menghemat biaya dan dapat mengetahui sisa makanan menurut jenisnya.
Sedangkan kekurangan dari metode taksiran visual antara lain diperlukan
penaksir (estimator) yang terlatih, teliti, terampil, memerlukan kemampuan
menaksir dan pengamatan yang tinggi, dan sering terjadi kelebihan dalam
menaksir (over estimate) atau kekurangan dalam menaksir (under estimate)
(Comstock, 1981).
42
3)
Metode Recall
Prinsip dari metode recall 24 jam adalah mencatat semua jenis dan
jumlah makanan yang dikonsumsi selama periode waktu 24 jam terakhir. Hal
penting yang harus diketahui adalah bahwa dengan recall 24 jam, data yang
diperoleh cenderung lebih bersifat kualitatif, karena itu untuk mendapatkan
data maka jumlah makanan yang dikonsumsi individu hendaknya ditanyakan
secara teliti dengan menggunakan ukuran rumah tangga misalnya, sendok,
piring, gelas dan lain-lain atau ukuran lain yang biasa digunakan sehari-hari
(Supariasa,dkk, 2001).
Menurut Buzby dan Guthrie (2002), kelebihan metode recall antara
lain, murah, cepat dan jelas untuk menggambarkan asupan gizi per-orang perhari. Namun, Gibson dan Elaine (2008) mengatakan kekurangan dari metode
recall adalah tidak dapat digunakan pada anak-anak dan sangat tergantung
pada : daya ingat responden, ketepatan responden dalam mengestimasi porsi
makanan yang dikonsumsi, motivasi dari responden, ketekunan pewawancara
dalam menggali data. Dalam menggunakan metode recall 24 jam, seseorang
harus mengingat apa saja yang dia makan dan berapa banyak dia
mengkonsumsi makanan tersebut (Chamber,dkk, 2000).
43
i.
Istirahat
Faktor psikologis dapat berupa perasaan cemas akan penyakitnya dan
lingkungan yang berbeda dari sebelumnya dapat menyebabkan gangguan
tidur. Kurang istirahat selama periode yang lama, menyebabkan penyakit atau
memperburuk penyakit yang ada dan hal ini akan berdampak pada lama hari
rawat pasien (Potter dan Perry, 2006).
Download