rakyat cerdas memilih pemimpin berkualitas

advertisement
PILPRES LANGSUNG : SUARA RAKYAT ATAU ELITE POLITIK ?
Oleh : Sritomo W.Soebroto*)
Proses demokrasi yang terus bergulir di Republik ini telah mencatat sejarah baru
yaitu berupa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang dilakukan secara
langsung. Siapa-pun yang terpilih dalam hal ini akan lebih ditentukan oleh kuantitas
(jumlah) suara rakyat pemilih dan bukan lagi oleh rekayasa politik yang dilakukan oleh
sejumlah elite partai yang mencoba melakukan segala macam jurus yang dikenali dalam
taktik maupun strategi politik praktis. Mulai dengan perekayasaan segala macam poros
kekuatan dari model koalisi, aliansi, sampai kolaborasi yang berujung pada pembagian
kursi. Sebuah strategi ”politik dagang sapi” yang dalam proses demokrasi masa lalu
terasa efektif dijalankan di tingkat elite politik --- baik di tingkat partai politik maupun
perwakilan mereka di legislatif (DPR/MPR) --- namun cenderung macet total manakala
proses pemilihan presiden dilakukan dengan mekanisme langsung seperti yang
diselenggarakan sekarang ini.
Pilpres 2004 sungguh sangat berbeda dibandingkan dengan pilpres-pilpres
sebelumnya. Perbedaan yang paling mendasar terletak pada proses pemilihan langsung
berdasarkan prinsip ”vox populi, vox dei”. Suara rakyat, suara Tuhan. Sebuah proses
demokrasi yang menekankan benar asas egaliter --- dimana setiap orang memiliki suara
yang sama --- tidak peduli apapun derajat kehidupan mereka dalam strata sosial yang ada
(one person, one vote, one value). Suara rakyat yang betul-betul dijadikan dasar untuk
menentukan maupun menolak siapa-pun yang dianggap layak/tidak layak dipilih menjadi
pemimpin atas dasar pertimbangan yang hanya mereka (rakyat) sendiri yang tahu.
Rakyat cerdas memilih pemimpin yang berkualitas, meskipun tidak bisa dipungkiri masih
banyak pula rakyat yang memilih berdasarkan ikatan emosionalitas. Begitu kira-kira
esensi demokrasi yang ingin diimplementasikan dalam Pilpres 2004.
Demokrasi sering didefinisikan sebagai pemerintahan atau kekuasaan (cratos) yang
dipilih oleh rakyat (demos), dari rakyat, dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri. Bukan
persoalan yang mudah untuk mencapai legitimasi kekuasaan yang didukung oleh
mayoritas rakyat. Dalam hal ini diperlukan mekanisme pemilihan yang mampu
merefleksikan dukungan tersebut; tidak peduli apakah harus melalui proses pemilihan
langsung ataupun dengan sistem perwakilan --- dimana suara rakyat akan dititipkan
melalui “wakil-wakil”nya --- yang jelas suara terbanyak akan menentukan siapa yang
paling layak. Tolok ukur suara terbanyak memang tidak selamanya akan mencerminkan
kualitas hasil pemilihannya. Untuk itu diperlukan rasionalitas sebagai landasan dan
ukuran untuk menentukan pilihan seorang pemimpin.
Tulisan ini tidaklah bermaksud untuk mempersoalkan kembali proses demokrasi
seperti apa yang seharusnya diimplementasikan, dan mekanisme pemilihan yang
bagaimana yang bisa menjamin terpilihnya seorang pemimpin (presiden) yang credible
dan acceptable. Apa yang ingin diwacanakan dalam tulisan ini lebih menitik-beratkan
pada faktor individu calon pemimpin seperti apa yang di-ideal-kan dan diharapkan oleh
bangsa yang sedang dilanda nestapa dengan aneka macam persoalan yang tak kunjung
teratasi secara nyata. Apapun mekanisme demokrasi yang akan diimplementasikan bagi
mayoritas rakyat tidaklah begitu penting. Sesungguhnya mereka (rakyat) lebih
mendambakan munculnya seorang pemimpin yang mampu mengerti, memahami dan
menyerap aspirasi. Lebih demokratis manakala mereka terlibat dan dilibatkan secara
langsung dalam proses memilah dan memilih seorang pemimpin. Tidak lagi harus
melalui ”broker-broker” politik yang selama ini sudah cukup banyak mengecewakan
hati mereka.
Berdasarkan Quick Count yang dibuat oleh beberapa lembaga swadaya maupun
hasil perhitungan manual yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) --- yang
memang tidak memiliki perbedaan cukup signifikan --- telah menempatkan pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – M. Jusuf Kalla (MJK) menduduki peringkat teratas
dengan prosentase suara 33,574 %; sedangkan peringkat kedua adalah pasangan
Megawati Soekarnoputri (MSP) – Hasyim Muzadi (HM) dengan prosentase suara
26,605 % dari total pemilih yang jumlahnya sekitar 120 juta suara yang masuk. Kedua
pasangan ini telah berhasil menyisihkan tiga pasangan yang lain dan dinyatakan berhak
untuk maju ke putaran kedua pada tanggal 20 September 2004 mendatang sesuai dengan
SK KPU No. 79/2004 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden yang dibacakan pada Senin 26 Juli 2004 malam.
Seperti halnya dengan hasil Pilpres putaran pertama tanggal 5 Juli 2004 yang lalu;
siapa-pun yang terpilih kelak di putaran kedua tanggal 20 September 2004 yang akan
datang akan lebih ditentukan oleh kuantitas suara rakyat pemilih (one person, one vote,
one value) dan bukan oleh rekayasa politik yang dilakukan oleh sejumlah elite partai.
Koalisasi macam apapun yang dibuat oleh para elite partai seperti yang dijumpai di
putaran pertama --- dengan ideologi maupun kepentingan sesaat dijadikan landasan
perekat --- ternyata tidaklah mampu mengikat suara rakyat. Pilpres langsung ternyata
tidak berjalan secara linier dengan pemilu legislatif didalam menentukan arah dan
motivasi seseorang didalam menetapkan pilihannya.
Atribut-atribut yang bersifat
personal ternyata jauh lebih dominan didalam membentuk image positif di mata rakyat
pemilih dibandingkan dengan aliansi-aliansi politik yang dibangun oleh partai
pendukung.
Putaran kedua harus mampu memberikan alternatif pilihan bagi rakyat untuk
menentukan siapa yang paling layak untuk diberi mandat sebagai Presiden dan Wakil
Presiden periode 2004-2009. Pilpres 2004 putaran kedua harus bisa menghasilkan
seorang pemimpin yang credible diukur dari jumlah suara terbanyak; dan yang
acceptable ditunjukkan dengan kualitas dari alternatif kandidat pilihan. Para elite partai
sebaiknya berperilaku lebih cerdas dan mau belajar dari proses Pilpres putaran pertama.
Koalisi partai ternyata lebih mencerminkan ambisi para elite politik yang haus akan
jabatan dan kekuasaan; namun cenderung tidak akan lagi dipatuhi oleh masa ”akar
rumput” pendukungnya. Rakyat semakin cerdas untuk menilai apakah ikatan koalisi itu
lebih didasarkan pada kesamaan platform (ideologis) atau lebih mengarah pada ikatan
kepentingan pragmatis jangka pendek. Oleh karena itu, bebaskan rakyat untuk
menentukan pilihannya sendiri. Siapa-pun kelak kandidat yang terpilih --- bisa pasangan
SBY-MJK, tetapi tidak menutup kemungkinan pasangan MSP-HM --- wajib bagi kita
untuk menghormati dan mematuhi kehendak mereka. Bagi mereka yang tidak mau
menggunakan hak untuk memilih (Golput); tidak peduli berapapun jumlah/
prosentasenya, maka hukumnya tetap wajib bagi para pengikut ”aliran” ini untuk
menghormati hasil pilihan mayoritas suara rakyat tersebut. Vox populi, vox dei - suara
rakyat, suara Tuhan. Bukankah begitu cita-cita demokrasi yang selama ini kita citacitakan?
*) Dosen Senior Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Alumnus Lemhannas, dan
Anggota Pokja Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas)
Catatan :
Artikel tersebut diatas telah dimuat di Harian Surabaya Post dengan judul “Pilpres
Langsung : Suara Rakyat atau Elite Politik?” pada hari Jum’at 20 Agustus 2004.
Download