BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tanaman membutuhkan unsur-unsur essensial dari dalam tanah. Unsurunsur tersebut terbagi atas dua jenis, yaitu unsur makro dan unsur mikro. Unsur makro adalah unsur yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang relatif banyak contohnya C (karbon), H (hidrogen), O (oksigen), N (nitrogen), P (fosfor), K (kalium), Ca (kalsium), Mg (magnesium), dan S (sulfur). Sedangkan unsur mikro adalah unsur yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang relatif sedikit, contohnya Zn (seng), Fe (besi), Mn (mangan), Cu (tembaga), B (boron), Mo (molibdenum), Cl (klor) (Imran dan Gurmani, 2011). Berbagai unsur tersebut saling berkooperasi dalam memenuhi kebutuhan sistem dalam tanaman. Salah satu unsur mikro yang dibutuhkan tanaman adalah unsur Fe atau besi. Unsur Fe berperan dalam banyak proses fisiologis tanaman. Unsur Fe sangat dibutuhkan oleh enzim-enzim yang terkait dalam proses pembentukan klorofil. Fe ditemukan dalam protein sitokrom yang berperan dalam sistem transfer elektron pada kloroplas dan mitokondria. Selain itu, Fe juga ditemukan berasosiasi dengan protein non-heme, ferredoxin (Hochmuth, 2012). Tanaman sangat bergantung pada ketersediaan unsur Fe dalam bentuk ionik yaitu Fe(II) dan Fe(III) di dalam tanah karena sifatnya yang mudah diabsorbsi oleh akar tanaman. Ketersediaan Fe(II) dan Fe(III) sangat bergantung pada kondisi dan karakter tanah. Pada umumnya, tanah yang memiliki pH tinggi atau sifat keasaman yang rendah menyebabkan kurangnya ketersediaan Fe(II) dan Fe(III) karena spesies Fe yang ditemukan berbentuk Fe(OH)3 yang sifat kelarutannya sangat rendah. Defisiensi Fe pada tanaman berpengaruh terhadap proses fotosintesis. Tanaman yang kekurangan Fe berakibat pada daun muda yang menguning karena kekurangan zat hijau daun, serta terbentuk bercak atau spot berwarna putih (Anonim, 2012). Tanaman yang terindikasi kekurangan Fe atau klorosis lama kelamaan akan mati. Fenomena ini tentu saja dapat merugikan kalangan pengusaha dan petani yang menggantungkan pendapatannya melalui tanaman. 1 2 Banyak metode yang digunakan dalam mengantisipasi terjadinya defisiensi Fe pada tanaman. Para petani umumnya telah memanfaatkan pupuk garam Fe, contohnya FeSO4 atau FeCl3 sebagai pupuk akar atau pupuk daun. Pupuk akar adalah pupuk yang diberikan pada akar tanaman sedangkan pupuk daun adalah pupuk yang disemprotkan pada daun tanaman. Selain itu, ada juga petani yang menambahkan pengkelat pada bagian bawah atau dekat akar tanaman guna mengikat unsur Fe dari dalam tanah sehingga akar tanaman lebih mudah berinteraksi dan mengabsorbsi Fe. Namun ketiga metode pemupukan tersebut memiliki beberapa kelemahan yang tidak dapat dihindari oleh para pengusaha tanaman atau petani. Pemberian pupuk daun pada tanaman sangat bergantung terhadap cuaca. Cuaca yang panas dapat mengakibatkan pupuk yang disemprotkan pada daun mengalami pemekatan sehingga jaringan pada daun tanaman menjadi terbakar. Selain karena faktor cuaca, pemupukan melalui daun tanaman menjadi tidak efektif karena pada umumnya daun memiliki lapisan lilin yang dapat menghambat terabsorbnya unsur ke dalam sistem tanaman. Pemberian pupuk melalui akar harus dalam konsentrasi yang terkontrol. Kurang terkontrolnya konsentrasi pupuk menjadi salah satu penyebab polusi terhadap lingkungan. Garam memiliki tingkat solubilitas yang tinggi dalam air sehingga bila intensitas hujan tinggi maka pupuk yang berbentuk garam terlarut dalam tanah atau terbawa oleh air dengan tingkat akumulasi yang tinggi. Tingginya konsentrasi garam dalam tanah mengakibatkan tanaman mengalami keracunan. Pemberian pengkelat jarang dilakukan petani karena selain memiliki harga yang relatif mahal, konsentrasi pengkelat yang digunakan harus tinggi. Sejak tahun 1990-an para peneliti telah melakukan pengembangan pupuk lepas lambat atau slow release fertilizer. Pupuk lepas lambat adalah pupuk yang menyediakan nutrisi bagi tanaman dengan waktu penyediaan lebih lama dibandingkan pupuk konvensional karena pelepasan nutrisi dari pupuk lepas lambat bersifat terkontrol (Trenkel, 2010). Pupuk lepas lambat pada umumnya terdiri atas dua bahan penyusun yaitu, material pengemban atau support material dan mineral atau unsur yang dibutuhkan tanaman atau source of mineral. Selain 3 sebagai pengikat nutrisi, material pengemban pada umumnya bersifat melapisi sehingga mengurangi tingkat dissolusi nutrisi dari dalam pupuk. Pupuk lepas lambat biasanya didesain dari material pengemban yang bersifat ramah lingkungan dan mudah mengalami biodegradasi (Trenkel, 2010). Pengembangan pupuk lepas lambat Fe-Mn pertama kali dilakukan oleh Bhattacharya et al. (2007). Pupuk disintesis dengan mencampurkan α-FeO.OH sebagai sumber Fe(III), MnO2 sebagai sumber Mn, dan asam ortofosfor yang merupakan sumber polifosfat sebagai material pengemban dengan komposisi masing-masing bahan 1:0,51:5,04. Dengan tujuan mengoptimalkan efisiensi pelepasan Fe maka Chandra et al. (2009) mengembangkan pupuk lepas lambat Fe-polifosfat. Metode sintesis pupuk didaptasi dari metode yang dilakukan oleh Bhattacharya et al. (2007). Komposisi Fe:Mg:P yang digunakan adalah 1:3:5. Singh et al. (2004) telah melakukan pengembangan pupuk lepas lambat Fe(III) dengan material pengemban berupa resin polyolefin. Pupuk lepas lambat didesain dengan mencampurkan NPK, pyrite, dan Fe-resin polyolefin pada berbagai variasi konsentrasi. Berdasarkan kajian referensi mengenai pupuk lepas lambat Fe, pemanfaatan polifosfat dan polyolefin sebagai material pengemban Fe memiliki beberapa kekurangan. Sintesis pupuk Fe-polifosfat membutuhkan suhu yang tinggi yakni 200 oC (Bhattacharya et al., 2007 dan Chandra et al., 2009) dan laju pelepasan Fe(III) yang dihasilkan juga sangat tinggi, yakni hanya dalam waktu 45 menit, Fe yang terlepas mencapai 100% (Chandra et al., 2009). Sedangkan pupuk Fe-resin polyolefin tidak memiliki nilai ekonomis karena resin pada umumnya mahal. Alginat adalah suatu polimer yang diisolasi dari alga coklat dan bakteri. Alginat yang merupakan molekul polianion secara alami mampu mengikat kation sehingga dikembangkan oleh peneliti sebagai adsorben alami. Selain itu, sifat alginat yang mudah membengkak dimanfaatkan oleh peneliti sebagai pembawa obat atau drug delivery, namun sifatnya yang rentan terhadap kondisi asam mengharuskan alginat untuk berikatan dengan material lain yang memiliki sifat 4 relatif lebih stabil terhadap kondisi asam sehingga diperoleh komposit atau material campuran yang bersifat lepas lambat. Zeolit alam merupakan suatu mineral aluminosilikat yang memiliki pori tiga dimensi. Pemanfaatan zeolit alam di bidang lingkungan dan pertanian telah lama dikembangkan. Dengan memanfaatkan sifat pertukaran kation yang dimiliki oleh zeolit, para peneliti menggunakan zeolit sebagai material adsorben limbah logam. Zeolit alam juga telah lama dikembangkan sebagai material lepas lambat nutrisi tanaman karena selain memiliki kemampuan tukar kation, zeolit juga ramah lingkungan, relatif stabil dalam kondisi asam, murah, dan mudah didapat. Berdasarkan beberapa alasan di atas maka dalam penelitian ini dilakukan sintesis komposit lepas lambat Fe dengan memanfaatkan material yang ketersediannya relatif melimpah di Indonesia yakni alginat dan zeolit alam. Diharapkan melalui percampuran antara alginat dan zeolit alam membentuk komposit alginat/zeolit/Fe memiliki sifat pelepasan Fe yang lambat. Dalam rangka mengetahui sifat pelepasan Fe dari komposit alginat/zeolit/Fe maka dalam penelitian ini dilakukan kajian mekanisme pelepasan Fe(III) dari komposit alginat/zeolit/Fe dengan variasi berat alginat dan berat zeolit alam. I.2 Tujuan Penelitian a. Mengkaji karakter komposit alginat/zeolit/Fe dengan spektrometer inframerah, XRD, SEM, dan TEM. b. Mengkaji pengaruh variasi berat alginat terhadap jumlah Fe(III) yang terikat dan mekanisme pelepasan Fe(III) dari komposit alginat/zeolit/Fe. c. Mengkaji pengaruh variasi berat zeolit terhadap jumlah Fe(III) yang terikat dan mekanisme pelepasan Fe(III) dari komposit alginat/zeolit/Fe. I.3 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap perkembangan teknologi pertanian khususnya di bidang pupuk lepas lambat.