Peluang di Jalur Lambat - Perhimpunan Bank Nasional

advertisement
Dari Redaksi
Peluang di Jalur Lambat
C
PENERBIT
Perhimpunan Bank-Bank Nasional
(Perbanas)
PELINDUNG
Pengurus Pusat Perbanas
PEMIMPIN REDAKSI
Danny Hartono,
Wakil Sekretaris Jenderal Perbanas
WAKIL PEMIMPIN REDAKSI
Rita Mirasari,
Ketua Bidang Humas Perbanas
REDAKTUR PELAKSANA
Eri Unanto
SIRKULASI
Wara Sri Indriani
Adrian Burhan
KONSULTAN
Infobank Communication
Redaksi menerima tulisan dari
pihak luar. Panjang tulisan 3.000–
6.500 karakter.
TARIF IKLAN
Cover
Depan dalam dan belakang
dalam/luar berwarna
• 1 halaman: Rp5.000.000,00
Isi
• 1 halaman: Rp4.000.000,00
• ½ halaman: Rp2.000.000,00
Probank menerima pemasangan
iklan dalam bentuk laporan
keuangan, display produk, dan
suplemen profil perusahaan.
ALAMAT REDAKSI/IKLAN
Griya Perbanas Lantai 1
Jalan Perbanas, Karet Kuningan
Setiabudi, Jakarta 12940
Telepon: (021) 5255731,5223038
Faksimile: (021) 5223037, 5223339
website: www.perbanas.org
e-mail: [email protected]
IZIN PENERBITAN KHUSUS
MENPEN No. 1882/SK/DITJEN PPG/
STT/1993,
2 September 1993
ISSN: 0854-4174
atatan tebal yang kerap menghiasi ruang publik di Tanah Air
belakangan ini ialah menyangkut perlambatan pertumbuhan
ekonomi dan persoalan langkah-langkah pemerintah
menempuh keseimbangan neraca perdagangan.
Memang, bukan hal yang mudah membalikkan dua-duanya ke arah
dan posisi yang lebih stabil dan mantap dalam waktu yang singkat.
Republik ini butuh waktu setidaknya dua hingga tiga tahun atau
bahkan lebih untuk mencapai kestabilan yang permanen dan benarbenar memiliki durasi jangka panjang.
Hari-hari belakangan menjelang pengujung 2013, kita semua masih
dihadapkan pada masalah-masalah ekonomi, yang sialnya itu
merupakan persoalan struktural bangsa ini. Untuk memperbaikinya,
negeri ini butuh kemauan yang keras.
Ini semua tentu menjadi pekerjaan rumah seluruh stakeholders negeri ini. Setidaknya,
sebelum kembali ke titik normal, dua tahun ke depan, pemerintah dan pelaku ekonomi di
Tanah Air akan diuji dengan sederet tantangan, baik yang bersumber dari lalu lintas global
maupun pembenahan masalah struktural di tingkat domestik.
Empat paket kebijakan yang dirilis pemerintah beserta bauran kebijakan bank sentral (di
sektor moneter dan perbankan) memang diarahkan untuk mengantisipasi perlambatan
maupun tekanan global. Namun, sejauh ini efek konkretnya belum terasa mewabah ke
seantero negeri dan membikin suasana tenang.
Pada triwulan ketiga 2013 kita dikejutkan dengan pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi
menjadi 5,62%, lebih rendah daripada triwulan sebelumnya. Catatan itu pula yang kemudian
mempertebal asumsi bahwa pada akhir 2013 pertumbuhan ekonomi kita tidak akan melewati
5,8%. Pencapaian itu seolah menjadi preferensi pertumbuhan ekonomi kita pada tahun depan
yang kemudian muncul angka perkiraan sebesar 5,6%, yang notabene melambat.
Artinya, pada tahun politik mendatang, meski diperkirakan konsumsi domestik bakal naik
tensinya, tak banyak yang bisa kita harapkan secara mendasar. Perubahan yang signifikan
dan konstan juga belum tentu bisa kita wujudkan. Bukan bermaksud pesimistis, melainkan
ke depan kita harus lebih realistis jika berkaca pada kondisi sekarang. Makanya, tak heran
jika kemudian tercetus pemikiran bahwa dua tahun mendatang ekonomi nasional akan
memasuki fase stabilisasi sebelum kemudian running well seperti harapan semua pihak.
Di ranah pelaku usaha, termasuk industri perbankan di dalamnya, 2014 dinilai masih
belum sepenuhnya memberi rasa aman bagi sepak terjang bisnis yang mereka tempuh.
Setidaknya, hingga triwulan ketiga tahun depan, ada pandangan yang beredar, pelaku usaha
masih akan melakukan aksi menunggu dan melihat alias wait and see. Sampai dengan masa
pemilu tuntas dan kemudian terpilih kepemimpinan nasional, barulah kemudian opsi-opsi
bisnis akan diambil dan dieksekusi. Kondisi inilah yang setidaknya bakal mewarnai 2014
mendatang.
Kendati demikian, pelaku industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak
ekonomi nasional tidak lantas tinggal diam. Upaya-upaya strategis untuk tetap
mempertahankan portofolio dan pencapaian bisnisnya terus dilakukan. Kendati sadar ke
depan terjadi perlambatan (dari sisi permintaan kredit, misalnya), perbankan tak kalah gesit.
Salah satu langkah yang kini kembali dan mulai ditingkatkan tensi dan intensitasnya
ialah memompa pendapatan nonbunga, yakni melalui layanan wealth management. Ini
merupakan upaya taktis yang patut diapresiasi. Satu sisi perbankan berharap masih bisa
mengantongi pendapatan (fee based income), di lain sisi perbankan juga turut berperan
memperbesar sekaligus menguatkan portofolio investasi di dalam negeri.
Hal itu sejalan dengan hajat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang kini getol memperdalam
pasar keuangan di Tanah Air. Nah, jika itu nyata adanya, upaya tersebut diyakini bisa makin
menguatkan likuiditas makro di dalam negeri. Dan, kita tak perlu khawatir lagi bakal terjadi
capital outflow karena memang fulus yang ditanam benar-benar berasal dari kantongkantong domestik, bukan uang panas seperti yang terjadi sekarang. n
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
1
Daftar Isi
DARI REDAKSI
.............................................................................1
PERBANAS UTAMA
Menguatkan Struktur
dan Ekonomi Domestik ..........................................................3
Meski masih rentan terhadap gejolak ekonomi global,
kondisi perekonomian Indonesia tahun depan diprediksi
lebih baik ketimbang tahun ini. Diperlukan berbagai
perbaikan dan langkah antisipasi.
Kredit Melambat, Likuiditas Mengetat ...........................6
PROFIL
Parwati Surjaudaja
Mewaspadai Kondisi Likuiditas.........................................14
LIPUTAN KHUSUS
Layanan Terpadu
dalam Mobile Payment System.........................................17
Penerapan bank tanpa kantor dan
penggunaan
teknologi
mobile
memperluas
jangkauan
layanan
keuangan dan sistem pembayaran.
Pemahaman masyarakat masih jadi
kendala sehingga perlu edukasi
kontinu.
Era Branchless Banking:
Makin Efisien ............................................................................18
UMKM Bakal Digenjot .............................................................8
Sektor Tradable Perlu Stimulus Fiskal .........................10
Sektor riil perlu diperkuat dengan pemberian stimulus fiskal sehingga
bisa menopang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sektor
tradable menjadi prioritas utama.
KINERJA
Berburu Saham Bank ............................................................20
Dua Langkah Antisipasi Krisis...............................................12
Kuatkan Mental dan Berpikir Positif .............................13
SEKILAS BERITA
CEO Forum Perbanas .............................................................11
In House Training FATCA .....................................................23
Silaturahmi KMPP dengan Kepala Sekolah
dan Guru SD Perbanas .........................................................24
Perbanas Sumut Bantu Korban Erupsi Gunung Sinabung ......24
2
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
INTERNASIONAL
Siap-Siap Hadapi Tapering Off AS ..................................22
Tapering off pasti dilakukan The Fed. Dalam waktu dekat
mungkin saja tidak dilakukan. Bagaimana dengan tahun
depan?
Perbanas Utama
Menguatkan Struktur
dan Ekonomi Domestik
Meski masih rentan terhadap gejolak ekonomi global, kondisi perekonomian
Indonesia tahun depan diprediksi lebih baik ketimbang tahun ini. Diperlukan
berbagai perbaikan dan langkah antisipasi.
H
ingga saat ini, perekonomian global masih diwarnai
ketidakpastian dan cenderung melambat. Kinerja
perekonomian negara-negara maju, seperti Amerika
Serikat (AS), Eropa, dan Jepang, memang masih
belum kuat, kendati mulai menunjukkan perbaikan. Sementara
itu, perekonomian negara berkembang dibayangi risiko
penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan kinerja transaksi
berjalan, dan pelemahan nilai tukar.
Kondisi tersebut berdampak pada kinerja perekonomian
Indonesia yang cenderung melambat. Lihat saja, perekonomian
domestik pada triwulan ketiga hanya tumbuh sekitar 5,6%,
dan pada akhir 2013 diperkirakan berada di kisaran 5,5%5,9%.
Walau demikian, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG)
yang digelar pada 8 Oktober 2013, Bank Indonesia (BI)
memprediksikan, kinerja perekonomian Indonesia pada 2014
akan membaik, sejalan dengan perekonomian global dan harga
komoditas yang diperkirakan membaik pada tahun mendatang.
Secara keseluruhan, perekonomian Indonesia diprediksi
tumbuh lebih tinggi pada 2014, yakni mencapai 5,8%-6,2%.
Dalam proyeksi tersebut, BI memperkirakan, kinerja Neraca
Pembayaran Indonesia (NPI) membaik pada triwulan ketiga
2013. Defisit transaksi berjalan akan menyempit, terutama
dengan menurunnya impor seiring dengan melemahnya
permintaan domestik dan dampak pelemahan nilai tukar
rupiah. Sebagai catatan, hingga posisi Juli 2013, defisit
transaksi berjalan mencapai 4,4% atau sebesar US$9,8 miliar.
Hingga akhir tahun, posisi defisit transaksi berjalan akan
diupayakan mencapai 3,4%.
Di lain sisi, surplus Transaksi Modal dan Finansial (TMF)
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
3
Perbanas Utama
akan lebih besar seiring dengan kembali
masuknya investor asing pada Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang
Negara (SUN) serta berkurangnya net sell
(jual bersih) asing atas saham domestik
sebagai respons kebijakan BI dan
pemerintah serta penundaan tapering off di
AS. Dengan perkembangan tersebut,
cadangan devisa akhir September 2013
diperkirakan menjadi US$95,7 miliar,
meningkat dari posisi akhir Agustus 2013
yang sebesar US$93,0 miliar. Cadangan
devisa tersebut setara dengan 5,2 bulan
impor dan pembayaran utang luar negeri
pemerintah.
Sementara, nilai tukar rupiah pada
triwulan ketiga 2013 mengalami depresiasi
sejalan dengan nilai
fundamentalnya. Secara rata-rata,
rupiah melemah 8,18% (quarter to
quarter/qtq) ke level Rp10.652 per
US$1 atau secara point to point
rupiah terdepresiasi 14,29% (qtq)
ke level Rp11.580 per US$1.
Menjelang akhir 2013, tekanan
terhadap rupiah akan berkurang
seiring dengan membaiknya inflasi
dan neraca perdagangan.
Tekanan inflasi mereda dan
mencatat deflasi 0,35% (month to
month/mtm) atau 8,40% (year on
year/yoy) pada September 2013.
Tingkat inflasi 2013 diperkirakan
berkisar pada angka 9,0%-9,8%,
dan kemudian menurun pada
kisaran sasaran 4,5±1% pada 2014.
Menurut A. Prasetyantoko, Chief Economist Bank Tabungan
Negara (BTN), defisit neraca perdagangan diperkirakan tetap
terjadi hingga tahun depan. Demikian pula dengan defisit
transaksi berjalan, walau mulai mengecil.
Sementara itu, menurut Ryan Kiryanto, ekonom Bank
Negara Indonesia (BNI), kebijakan yang ditempuh BI,
termasuk kenaikan BI Rate hingga 7,25%, sejauh ini masih
direspons positif oleh kalangan pelaku usaha. Kenaikan BI
Rate merupakan langkah lanjutan dari penguatan bauran
kebijakan BI yang difokuskan untuk mengendalikan inflasi,
stabilitas nilai tukar rupiah, serta memastikan berlangsungnya
penyesuaian defisit transaksi berjalan pada tingkat yang
berkelanjutan.
Ryan menilai, langkah BI memang menjadi resep yang
diharapkan dapat mengerem pertumbuhan secara terarah dan
terukur dengan dosis kenaikan suku bunga acuan secara
terukur pula, yang akan memaksa korporasi mengurangi
kapasitas produksinya. Hal itu juga akan mendorong korporasi
yang menggantungkan bisnisnya pada bahan baku dan bahan
penolong impor untuk mengurangi impornya. Dengan begitu,
permintaan dolar AS tentu akan menyusut, dan itu akan
4
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
mendorong penguatan rupiah.
Tekanan terhadap neraca pembayaran
membaik karena permintaan dolar AS
untuk impor berkurang. Lantas, defisit
transaksi berjalan dapat diperbaiki atau
dipersempit. Ketika suku bunga bank naik
sebagai respons terhadap kenaikan BI Rate,
pemilik dana cenderung menyimpan
dananya di perbankan karena imbal
hasilnya menarik. Alhasil, dorongan
konsumsi akan melemah dan berujung pada
penurunan inflasi.
Menurunnya permintaan ekspor serta
melemahnya harga komoditas dan bahan
baku bakal mendorong pemerintah untuk
menggenjot ekspor sektor sekunder. Salah
satunya sektor manufaktur. Sepanjang 2013
industri manufaktur Indonesia
memang mengalami penurunan.
Hal itu bisa dilihat dari catatan
Purchasing Managers Index (PMI)
yang dirilis HSBC. Hingga
Agustus 2013, PMI industri
manufaktur turun menjadi 48,5
dari sebelumnya 50,7. Menurut
asumsi yang ada, penurunan
indeks tersebut sangat
mengkhawatirkan. Pasalnya, jika
indeks berada di bawah 50, itu
berarti sektor manufaktur tengah
mengalami kontraksi.
Walau demikian, ke depan
sektor manufaktur diupayakan
untuk menjadi pendorong
pertumbuhan ekonomi dan
mengurangi defisit neraca
perdagangan, bahkan meningkatkan surplus. Hal itu karena
adanya penurunan ekspor dari sektor primer, seperti komoditas
atau bahan baku, dan adanya kecenderungan dari pasar global
untuk mengurangi permintaan bahan baku menjadi barang
setengah jadi maupun jadi.
Pemerintah akan berupaya keras mendorong pertumbuhan
sektor manufaktur. Bertumbuhnya sektor tersebut akan
berdampak pada pendapatan per kapita masyarakat dan tingkat
pengangguran. Upaya yang harus terus dilakukan ialah
mempercepat pembangunan infrastruktur dan mendorong
peningkatan investasi di berbagai sektor terkait, seperti
industri otomotif dan kimia. Selain itu, mengoptimalkan
pemberian insentif fiskal bagi para pelaku usaha serta
mengurangi ketergantungan pada komponen impor untuk
kebutuhan sektor manufaktur yang notabene sangat tinggi,
mengingat depresiasi nilai tukar rupiah.
Ke depan peran usaha mikro, kecil, dan menengah
(UMKM), yang notabene menjadi pendorong pertumbuhan
ekonomi nasional, juga akan terus ditingkatkan. Upaya itu
merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan penguatan
ekonomi domestik. Apalagi, menurut Destry Damayanti,
Kepala Ekonom Bank Mandiri, para pelaku UMKM memiliki
daya tahan yang cukup baik terhadap guncangan ekonomi.
Hal tersebut terbukti dari beberapa krisis yang telah terjadi,
termasuk krisis 1997-1998.
Sementara, menurut Aviliani, pengamat ekonomi yang juga
menjabat sebagai Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN),
untuk menjaga kestabilan dan mengurangi ketergantungan,
pemerintah hendaknya tidak hanya mendorong sektor hilir,
tapi juga harus membangun sektor hulu di dalam negeri serta
mengurangi ketergantungan impor. Meski demikian, tidak
semua impor mesti direm, terutama yang terkait dengan
pembangunan infrastruktur. “Intinya, harus ada perbaikan
struktur ekonomi,” pungkasnya.n
Aviliani
Mesti Memperbaiki Struktur Ekonomi
Ketidakpastian ekonomi global berdampak pada guncangan ekonomi Indonesia.
Lesunya perekonomian global mengakibatkan penurunan nilai ekspor Indonesia. Hal
itu diperburuk dengan makin meningkatnya impor akibat meningkatnya konsumsi
domestik. Kombinasi keduanya mengakibatkan transaksi neraca berjalan mengalami
defisit.
Guncangan lain ialah terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Serikat (AS) serta melonjaknya tingkat inflasi. Menurut Aviliani, pengamat ekonomi,
perekonomian Indonesia masih memiliki prospek untuk terus tumbuh dengan
catatan pemerintah dan segenap stakeholders yang ada mau melakukan perbaikan.
Salah satunya terkait dengan struktur ekonomi. “Saat ini sebagian besar perusahaan
struktur ekonominya didominasi oleh impor,” terang Aviliani di Jakarta, Selasa, 24
September 2013.
Aviliani mencontohkan, perusahaan penerbangan yang harus membeli pesawat
dari luar, yang notabene memakai dolar AS. Sementara, di industri keuangan, ada
kebutuhan perusahaan reasuransi yang notabene dari luar negeri.
Keadaan semakin diperparah dengan merebaknya bisnis waralaba yang sebagian
besar berasal dari luar negeri, yang biaya franchise-nya tentu menggunakan dolar AS.
Padahal, bisnis dan penjualannya menggunakan mata uang rupiah. Intinya, ada kesalahan pola ekonomi—modalnya
dipinjam dengan dolar AS, tapi bisnisnya menggunakan rupiah. “Inilah yang membuat kebutuhan dolar AS makin
membesar dan tak terkendali,” tegas Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) itu.
Sementara itu, tingkat repatriasi (keuntungan yang dibawa investor ke luar negeri) masih besar. Bayangkan, tahun lalu
saja ada sekitar US$2 miliar. Karena itu, Aviliani mendorong para pelaku usaha dan pemerintah untuk memikirkan substitusi
impor. “Kalau mau bermain di hilir, hulunya itu harus ada di dalam negeri,” ujarnya.
Hal penting yang juga mesti dilakukan ialah merevisi berbagai aturan. Kebijakan yang ditelurkan pascakrisis 1998
hingga 2003 dinilai Aviliani sangat liberal. Pemerintah seharusnya melakukan penguatan ekonomi domestik. Salah satunya
ialah undang-undang mengenai devisa bebas. Pasalnya, dengan menganut rezim devisa bebas, Indonesia kesulitan
mengatur cashflow—jika diibaratkan sebuah perusahaan.
“Untuk mengatasi hal itu ada dua cara, yakni mengubah UU devisa bebas atau membuat kebijakan lain, misalnya
devisa hasil ekspor atau DHE (insentif atau disinsentif ). Namun, DHE mesti diperjelas eksekusi dan hukumannya,” jelasnya.
Untuk memperkuat struktur ekonomi, ke depan Indonesia harus menguatkan sektor industri yang memiliki nilai tambah
dan berorientasi ekspor, seperti industri kreatif. Pemerintah juga harus bisa melakukan proteksi. “Saat ini negara ASEAN
sedang mencari hambatan impor, bukan mempermudahnya. Kalau di Indonesia sebaliknya,” pungkasnya.
Dengan pelbagai perbaikan yang dilakukan dan membaiknya kondisi ekonomi global, perekonomian Indonesia pada
tahun-tahun mendatang diharapkan jauh lebih baik ketimbang tahun ini. Demikian pula dengan nilai tukar rupiah.
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
5
Perbanas Utama
Kredit Melambat,
Likuiditas Mengetat
Tidak pastinya kondisi ekonomi global dan melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik
akan berdampak terhadap industri perbankan nasional, dalam hal ini fungsi intermediasi.
Perbankan harus tetap mewaspadai persoalan likuiditas.
W
alaupun terjadi guncangan ekonomi, Bank
Indonesia (BI) dalam Rapat Dewan Gubernur
(RDG) yang digelar pada 8 Oktober 2013
menyatakan bahwa stabilitas sistem keuangan
nasional masih terjaga baik dengan dukungan ketahanan
industri perbankan. Hingga Agustus 2013, rasio kecukupan
modal (capital adequacy ratio atau CAR) perbankan nasional
mencapai 17,89% dan rasio kredit bermasalah (non performing
loan atau NPL) berada di 1,99%. Pertumbuhan kredit
mencapai 22,2% (year on year atau yoy) atau menjadi
Rp3.068,01 triliun. Namun, terkait dengan pertumbuhan kredit,
BI memperkirakan akan terjadi perlambatan seiring dengan
kenaikan suku bunga,
penurunan permintaan
domestik, dan kebijakan
makroprudensial yang
ditempuh BI.
Namun, di tengah
melambatnya
pertumbuhan ekonomi,
perbankan nasional akan
menghadapi tantangan,
yaitu sulitnya likuiditas.
Mengantisipasi hal
tersebut, BI pun
meresponsnya dengan
mengeluarkan kebijakan
untuk menaikkan giro
wajib minimum (GWM)
sekunder dalam bentuk
surat-surat berharga dari
2,5% menjadi 4% pada September lalu dan menurunkan batas
atas loan to deposit ratio (LDR) dari 100% menjadi 92%.
Setidaknya, respons BI dengan kebijakan tersebut bisa
menjaga likuiditas perbankan, yang tercermin dari tingkat
likuiditas sebesar 18,20% untuk memenuhi penarikan dana.
Kendati demikian, menurut A. Prasetyantoko, Chief
Economist Bank Tabungan Negara (BTN), perbankan nasional
harus tetap mewaspadai persoalan likuiditas. Sebaiknya hingga
akhir tahun ini, perbankan fokus mengamankan dan
memastikan bahwa likuiditas tercukupi. Tentu saja hal itu
akan berdampak pada proyeksi penyaluran kredit, ekspansi,
dan pencapaian laba yang harus rela tergerus.
Kinerja perbankan akan sedikit terpengaruh kondisi perekonomian saat
ini, terutama penyaluran kredit dan perolehan keuntungan.
6
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
Terkait dengan defisit neraca
perekonomian Indonesia akan kembali
perdagangan, Prasetyantoko
stabil karena rupiah mulai menguat
memperkirakan akan tetap terjadi hingga
dan “penyakit ekonomi” Indonesia
tahun depan. Demikian pula dengan defisit
mulai bisa disembuhkan.
transaksi berjalan, walaupun mulai
Memang, kebijakan makroprudensial
mengecil.
BI dalam merespons gejolak yang ada
Sigit Pramono, Ketua Umum
bisa menjadi arahan dari pemangku
Perbanas, mengakui bahwa kinerja
kebijakan untuk melakukan pengereman
perbankan akan sedikit terpengaruh
kredit. Hal itu bisa dilihat dari
kondisi perekonomian saat ini, terutama
peningkatan BI Rate dan penurunan
penyaluran kredit dan perolehan
batas rasio LDR menjadi 92%. Bagi
keuntungan. Namun, pengaruh tersebut
Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur
tidak signifikan. Hal senada juga
Bank OCBC NISP, keadaan itu tentu
diungkapkan Presiden Direktur Bank
saja akan memengaruhi laju kredit
CIMB Niaga, Arwin Rasyid.
perbankan. “Laju kredit diprediksikan
Menurutnya, pertumbuhan kredit
akan sedikit melambat, yakni di kisaran
perbankan pada 2014 akan berada di
18%-20% pada 2013 dan 2014,”
bawah 20%.
terangnya.
Sementara itu, Ryan Kiryanto,
Di tengah kondisi ketidakpastian
ekonom dari Bank Negara Indonesia
dan perlambatan pertumbuhan
(BNI), berpendapat, respons kebijakan
ekonomi, Parwati menyarankan agar
yang ditempuh BI, termasuk kenaikan
perbankan nasional mewaspadai
BI Rate hingga menjadi 7,25%, sejauh
berbagai risiko, baik risiko internal
ini masih dianggap positif oleh
maupun risiko eksternal. Risiko
kalangan pelaku usaha. Kenaikan BI
internal diakibatkan oleh adanya
Rate merupakan langkah lanjutan dari
sektor perdagangan
Untuk perbankan nasional, ketidakseimbangan
penguatan bauran kebijakan BI yang
karena impor meningkat tinggi seiring
saat ini tentu saja lebih
difokuskan untuk mengendalikan
dengan meningkatnya investasi,
inflasi, menstabilkan nilai tukar
sedangkan kinerja ekspor masih
penting melihat kondisi
rupiah, serta memastikan
tertekan akibat lemahnya permintaan
likuiditas tiap bank.
berlangsungnya penyesuaian defisit
pasar global dan rendahnya harga
transaksi berjalan (DTB) pada tingkat
komoditas yang notabene menjadi
yang berkelanjutan.
sektor primer bagi ekspor Indonesia.
Langkah BI memang menjadi resep
Sementara itu, risiko eksternal
yang diharapkan dapat mengerem
diakibatkan oleh ketidakpastian
pertumbuhan secara terarah dan terukur
pertumbuhan ekonomi China,
dengan dosis kenaikan suku bunga
penyelesaian krisis di zona Eropa, dan
acuan secara terukur pula yang akan memaksa korporasi
fiscal cliff di AS yang tentunya akan memengaruhi sektor
mengurangi kapasitas produksi. Hal ini juga akan
keuangan global.
mendorong korporasi yang menggantungkan bahan baku
Dengan kondisi tersebut, menurut Parwati, untuk perbankan
dan bahan penolong impor mengurangi impornya. Otomatis
nasional, saat ini tentu saja lebih penting melihat kondisi
permintaan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan
likuiditas tiap bank. Setelah itu, baru melihat ekspansi bisnis
menyusut dan oleh karenanya akan mendorong penguatan
dan laba yang mungkin akan didapatkan. “Fondasinya itu
rupiah.
tetap likuiditas. Jika terganggu, tidak mungkin bisa leluasa,”
Pada saat yang sama tekanan terhadap neraca pembayaran
ungkapnya.
membaik karena permintaan terhadap dolar AS untuk impor
Ada berbagai cara yang bisa dilakukan perbankan untuk
berkurang. Lantas, DTB dapat diperbaiki atau dipersempit.
menyiasati ketatnya likuiditas, misalnya diversifikasi likuiditas,
Ketika suku bunga bank naik sebagai respons kenaikan BI
seperti yang dilakukan Bank OCBC NISP dengan menerbitkan
Rate, pemilik dana cenderung menyimpan dananya di
obligasi. “Intinya, sumber likuiditas itu tidak hanya dari
perbankan karena imbal hasilnya menarik. Alhasil, dorongan
sumber-sumber konvensional. Yang penting juga, perbankan
konsumsi akan melemah dan berujung pada penurunan
harus pintar mengelola mismatch yang baik antara pendanaan
inflasi.
dan pembiayaan,” jelasnya.
Selain itu, bagi Ryan, kenaikan BI Rate memberikan
Parwati meyakini kondisi ke depan akan membaik. Salah
sinyal positif terhadap perbaikan ekonomi Indonesia, meski
satu indikatornya ialah menguatnya nilai tukar rupiah dan
laju pertumbuhan sedikit melambat. Perlambatan hanya
inflasi yang mulai melandai. Dalam jangka pendek tidak akan
akan terjadi pada akhir 2013 hingga triwulan pertama 2014.
terjadi peningkatan dan kondisinya tidak akan lebih buruk
Namun, pada triwulan kedua 2014 dan seterusnya
daripada kondisi sebelumnya.n
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
7
Perbanas Utama
UMKM Bakal Digenjot
Kekuatan ekonomi domestik akan mampu menahan gejolak dan ketidakpastian
ekonomi global. UMKM sebagai penopang kekuatan ekonomi domestik akan
memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional. Seperti apa prospeknya?
P
elaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
memiliki peranan penting dalam perekonomian
nasional. Selain jumlahnya yang dominan, pelaku
UMKM memiliki daya tahan yang kuat terhadap
gejolak krisis. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah (UKM), pada 2012 jumlah pelaku UMKM di
negeri ini mencapai 56.534.592, dengan perincian pelaku
usaha mikro sebanyak 55.856.176, usaha kecil 629.418, dan
usaha menengah 48.997.
Dengan jumlah sebanyak itu, pelaku UMKM memiliki
pangsa pasar (market share) sebesar 99,99% dari total pelaku
usaha di Indonesia. Sayang, dominasi secara jumlah tidak
berbanding lurus dengan fasilitas yang diberikan dan disiapkan
bagi para pelaku UMKM, baik permodalan maupun
infrastruktur lainnya.
Tak ingin larut dengan masalah yang ada, berbagai program
untuk mendorong sektor UMKM pun terus dilakukan. Di
antaranya, program pendampingan, pembentukan lembaga
jaminan kredit, pemberian kredit program (Kredit Usaha
Rakyat atau KUR), dan kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait
dengan rasio minimal kredit kepada UMKM, yakni melalui
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012
Tanggal 21 Desember 2012 tentang Pemberian Kredit atau
Pembiayaan dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Aturan tersebut
diterapkan secara bertahap, yakni minimal 5% dari total kredit
pada 2015, 10% pada 2016, 15% pada 2017, dan minimal
20% pada 2018.
Memang, hingga saat ini, pertumbuhan kredit sektor
UMKM tak secepat kredit lainnya. Seperti dikutip dalam
www.infobanknews.com (16/9/2013), akselerasi pembiayaan
kepada UMKM masih kurang. “Perkembangan tetap ada,
(tapi) percepatan pertumbuhan kredit UMKM enggak sebesar
8
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
pertumbuhan kredit. Saat ini 18%-19%, tak secepat
kredit biasa (yang mencapai) 20% ke atas.
Akselerasinya kurang,” ucap Direktur Eksekutif
Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM BI, Eni
Vimaladewi Panggabean.
Kondisi itu disebabkan masih adanya keraguan
dalam penyaluran kredit ke segmen UMKM, terutama
terkait dengan profil risiko calon debitor UMKM.
Risiko lain ialah menyangkut produksi, pertanian,
musim, bahkan penyakit sapi.
Sebagai informasi, hingga Juli 2013, kredit UMKM
hanya tumbuh 15,52% atau menjadi Rp583,86 triliun.
Ada beberapa sektor ekonomi dari kredit UMKM yang
mengalami perlambatan atau penurunan ketimbang tahun
sebelumnya, seperti sektor pertanian, perburuan, dan
kehutanan yang hanya tumbuh 15,63% pada posisi Juni 2013
atau menjadi Rp43,62 triliun. Padahal, pada posisi Juli 2012
pertumbuhannya mencapai 104,05% atau menjadi Rp37,72
triliun.
Kendati begitu, ada beberapa sektor yang mengalami
peningkatan, seperti sektor jasa perorangan yang melayani
rumah tangga yang tumbuh 71,45% atau menjadi Rp1,20
triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya
pertumbuhan sektor tersebut minus 16,83% atau sebesar
Rp697 miliar. Sektor lain yang juga mencatatkan pertumbuhan
ialah sektor perdagangan besar dan eceran yang tumbuh
33,20% atau menjadi Rp310,87 triliun. Sebelumnya sektor ini
hanya tumbuh 32,44% atau sebesar Rp233,39 triliun.
Prospek pembiayaan UMKM sejatinya sangat bagus jika
dikaitkan dengan jumlah pelaku yang banyak dan belum
tersentuh secara maksimal. Merujuk pada kajian yang
dilakukan BI (Rating Agency Malaysia/RAM Consulting
dalam BI, 2011), masih ada sekitar 75% hingga 90% UMKM
di negara-negara ASEAN yang memperoleh pendanaan dari
tabungan internal, laba ditahan, serta pinjaman dari sektor
informal (di antaranya pinjaman dari keluarga dan teman).
Baru sekitar 3% hingga 18% dari UMKM tersebut yang
memanfaatkan pendanaan dari sektor formal, salah satunya
perbankan.
Sementara, mengenai risiko kredit bermasalah,
sebenarnya itu bisa diminimalkan melalui berbagai program
yang dilakukan, seperti pembinaan dan edukasi. Menurut
Eni Vimaladewi Panggabean, pembinaan dan edukasi
keuangan terhadap segmen UMKM sangat penting
dilakukan dalam upaya memperbesar porsi kredit UMKM
menjadi sedikitnya 20% dari total kredit pada 2018, sesuai
dengan aturan bank sentral. Pembinaan juga dinilai akan
memperkecil risiko kredit bermasalah (non performing
loan/NPL) dari pembiayaan UMKM.
Ke depan, menurut Irwan M. Habsjah, Komisaris Bank
Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), pembiayaan ke sektor
UMKM akan semakin marak. Selain faktor dorongan regulasi,
perbankan mulai memaksimalkan potensi bisnis yang ada di
sektor UMKM. Dengan kian maraknya perbankan masuk ke
sektor UMKM, Irwan memperkirakan, tingkat suku bunga
untuk kredit UMKM dengan sendirinya akan menurun karena
adanya persaingan.
Walau kondisi 2014 masih belum relatif stabil, beberapa
pelaku usaha di sektor perbankan meyakini pertumbuhan
kredit UMKM masih tetap bagus. Djarot Kusumayakti,
Direktur Bisnis UMKM Bank Rakyat Indonesia (BRI),
misalnya. Menurutnya, untuk menyiasati kelesuan beberapa
sektor, perbankan bisa mengalihkan pembiayaan ke sektor
yang lebih aman dan berpotensi, misalnya sektor pertanian.
BRI sendiri tetap memasang target optimistis, yakni tumbuh
25% pada 2014.
Mewaspadai Kredit Bermasalah
Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat ketidakpastian
ekonomi global dan guncangan domestik diprediksi akan
memengaruhi para pelaku UMKM, yang tentu akan
berdampak pula pada kredit UMKM, yakni peningkatan rasio
kredit bermasalah (NPL). Salah satu dampak yang mesti
diwaspadai ialah melonjaknya inflasi, yang diprediksikan BI
sekitar 9%-9,98%.
Lonjakan inflasi yang tinggi akan berdampak pada daya
beli masyarakat menengah ke bawah. Hal itu tentu akan
mengakibatkan berkurangnya permintaan barang atau jasa
yang diproduksi pelaku UMKM, yang notabene memiliki
segmentasi kelas menengah ke bawah. Faktor lain yang
memengaruhi ialah lonjakan harga komoditas pangan atau
bahan baku dan biaya distribusi akibat kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang berdampak pada
peningkatan biaya produksi.
Ada potensi peningkatan rasio NPL jika bank tidak
mengantisipasinya dengan baik. Untuk menyiasati kondisi
yang ada, baik bank maupun pelaku usaha harus bisa
melakukan penyesuaian. Bank yang menaikkan suku bunga
sebaiknya melakukannya secara bertahap. Sementara, bagi
pelaku usaha, mereka harus jeli dalam melakukan efisiensi.
Memang, jika melihat data yang dirilis BI hingga posisi
Juni 2013, rasio NPL kredit UMKM masih relatif aman dan
menurun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya. Pada Juni 2013 rasio NPL kredit UMKM sebesar
3,35%, sedangkan pada Juni 2012 mencapai 3,61%.
Namun, ada beberapa sektor ekonomi pada kredit UMKM
yang patut diwaspadai, seperti jasa kemasyarakatan, sosial
budaya, hiburan, dan perorangan lainnya, karena NPL-nya
meningkat menjadi 3,31% dari 2,46% pada periode Juni 2012.
Selain itu, sektor ekonomi perantara keuangan yang NPL-nya
meningkat menjadi 1,63% dari posisi sebelumnya 1,13%.n
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
9
Perbanas Utama
Sektor Tradable
Perlu Stimulus Fiskal
Sektor riil perlu diperkuat dengan pemberian stimulus fiskal sehingga bisa menopang
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sektor tradable menjadi prioritas utama.
S
ebelum krisis 1998, pertumbuhan sektor tradable
(sektor penghasil barang) hampir selalu lebih tinggi
daripada sektor non-tradable (sektor jasa). Setelah
krisis, keadaan berbalik. Selama kurun waktu 20002004, rata-rata pertumbuhan sektor tradable hanya 3,6%,
sedangkan sektor non-tradable mencapai 5,8% atau 1
berbanding 1,6 (1 : 1,6). Selama 2005-2013, pertumbuhan
sektor tradable dan sektor non-tradable masing-masing 3,6%
dan 8,2% atau 1 : 2,3. Kesenjangan pertumbuhan kedua sektor
itu kian menganga.
Padahal, sektor-sektor tradable bisa memberikan nilai
tambah (added value) bagi perekonomian nasional. Neraca
perdagangan akan lebih sehat karena nilai impor berkurang.
Selain itu, ekonomi berbasis produksi akan menyerap tenaga
kerja dalam jumlah besar. Inilah pentingnya pemberian
stimulus fiskal bagi sektor tradable, seperti sektor pertanian,
perkebunan dan kehutanan, sektor perikanan, sektor
10
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
pertambangan dan penggalian, serta
sektor pengolahan (manufaktur).
Sayangnya, pemberian insentif fiskal
justru diberikan ke sektor lain yang
tidak memberikan nilai tambah, seperti
penghapusan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah (PPnBM) untuk
kendaraan low cost green car (LCGC).
Kebijakan tersebut justru akan
membuat jumlah kendaraan di jalan
bertambah banyak. Ujung-ujungnya,
subsidi bahan bakar minyak (BBM)
akan membengkak.
Kendati pertumbuhannya terus
melemah, beberapa sektor tradable
mengalami perkembangan positif.
Sektor pertambangan, misalnya. Pada
2014 industri pertambangan Indonesia
akan memasuki babak baru seiring
dengan pemberlakuan larangan ekspor
komoditas seperti diatur dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batu Bara (Minerba). Dalam hal
ini, pemerintah menargetkan 70% rencana investasi pabrik
pemurnian tambang mineral (smelter) bisa terealisasi pada
2014. Program hilirisasi ini diyakini dapat memacu aliran
investasi pada industri hilir mineral di Indonesia.
Menurut UU Minerba 2009, awal Januari 2014 penambang
harus memproses bijih mineral di smelter sendiri atau smelter
independen lain sebelum mengekspornya. Penambang yang
tidak melakukan hal ini akan dilarang mengekspornya ke luar
negeri. Peraturan ini diberlakukan sebagai upaya untuk
mengurangi over eksploitasi mineral. Peraturan ini berlaku
untuk ekspor 65 komoditas mineral.
Diperkirakan ada potensi investasi baru sebesar US$10,8
miliar dari hilirisasi industri hasil tambang mineral, yakni
bauksit, tembaga, nikel, bijih besi, dan pasir besi. Investasi itu
bisa didapatkan karena bea keluar (BK) 20% atas hasil
tambang mineral mulai diberlakukan tahun ini sampai dengan
pelarangan ekspor secara penuh komoditas tambang mentah
tersebut pada tahun depan.
Kebijakan larangan ekspor komoditas diprediksi akan turut
mendongkrak pertumbuhan sektor manufaktur pada tahuntahun mendatang. Seperti diketahui, sepanjang 2013 industri
manufaktur Indonesia mengalami penurunan. Menurut catatan
Purchasing Managers Index (PMI) yang dirilis HSBC, hingga
Agustus 2013, industri manufaktur mengalami penurunan
indeks dari 50,7 menjadi 48,5. Berdasarkan asumsi yang ada,
penurunan indeks tersebut sangat mengkhawatirkan. Pasalnya,
jika berada di bawah 50, itu berarti sektor manufaktur tengah
mengalami kontraksi.
Kebijakan tersebut juga akan memacu pertumbuhan di
sektor tradable lainnya, seperti sektor pertanian dan
perkebunan. Tahun ini dan tahun depan sektor pertanian
diprediksi masih mengalami stagnasi. Hal itu terlihat dari
pertumbuhan pada 2013 yang tak sebesar 2012. Menurut data
Probank, pada 2012 kredit di sektor ini tumbuh 29,75%.
Namun, per Juli 2013 hanya tumbuh 22,08%.
Sektor perkebunan diprediksi akan mengalami pertumbuhan
dan turut mendorong pertumbuhan sektor pengolahan. Hasil
perkebunan seperti kelapa sawit yang selama ini banyak diekspor
dalam bentuk bahan mentah, misalnya, ke depan harus diolah
terlebih dahulu hingga menjadi crude palm oil (CPO) agar
memberikan nilai tambah. Demikian pula dengan komoditas lain
yang selama ini diekspor dalam bentuk bahan baku.
Sektor riil lain yang juga diprediksi akan tumbuh pada
2014 ialah infrastruktur. Anggaran infrastruktur pada
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)
2014 mencapai Rp226 triliun. Sumbernya berasal dari
pemerintah pusat sebesar Rp208 triliun dan anggaran belanja
infrastruktur daerah serta ruang fiskal akibat pengurangan
subsidi BBM sebesar Rp18 triliun. Anggaran sebesar itu
akan dimanfaatkan untuk membangun berbagai infrastruktur
dasar di Tanah Air.
Meski alokasi anggarannya meningkat dalam tiga tahun
terakhir, yang perlu diperhatikan adalah realisasinya. Misalnya,
hingga semester pertama 2013, belanja kementerian atau
lembaga di bidang infrastruktur sebagian besar masih di
bawah 20%. Bahkan, untuk belanja modal infrastruktur baru
terserap 17,7% atau Rp34 triliun dari pagu Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013
sebesar Rp192,6 triliun. Nilai serapan ini lebih rendah
dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang
sebesar 18,2%.
Bagaimana dengan sektor properti? Meski tertekan dengan
keluarnya kebijakan loan to value (LTV), sektor ini masih
menyisakan ruang untuk tumbuh. Penjualan properti tahun
depan diperkirakan masih tetap tinggi. Apartemen akan makin
diburu masyarakat, baik untuk tempat tinggal maupun
investasi. Selain apartemen, permintaan terhadap rumah dan
ruko masih terjaga. Banyak pihak meyakini, tahun depan
merupakan masa puncak industri properti, baik untuk pasokan,
permintaan, maupun harga. Adanya peristiwa politik Pemilihan
Umum (Pemilu) 2014 tidak begitu memengaruhi pasar
properti.
Sementara itu, sektor jasa, yang termasuk dalam sektor
non-tradable, tahun depan diperkirakan akan meningkat
seiring dengan pertumbuhan ekonomi domestik. Daya beli
masyarakat yang tetap terjaga juga menjadi salah satu faktor
penopang sektor ini.n
CEO Forum Perbanas
Pada 10 September 2013 diselenggarakan "CEO Forum Perbanas" di Hotel Le Meridien, Jakarta. Muliaman D. Hadad, Ketua
Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hadir sebagai pembicara dalam forum tersebut. Acara yang dihadiri chief
executive officer (CEO) bank-bank anggota Perbanas ini diisi diskusi dengan tema kondisi perbankan saat ini.
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
11
Perbanas Utama
Dua Langkah
Antisipasi Krisis
Ada dua langkah penting yang telah disiapkan OJK untuk mengantisipasi krisis pada 2014. Proses
transisi pengawasan perbankan ke OJK diharapkan tak menimbulkan guncangan.
P
elaku industri perbankan dan keuangan
di Tanah Air akan menghadapi kondisi
yang penuh tantangan pada 2014.
Pertama, dampak krisis global
diprediksi masih akan menekan perekonomian
nasional. Kedua, peralihan tugas pengawasan
industri perbankan dari Bank Indonesia (BI) ke
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menjadi
tantangan tersendiri, mengingat itu adalah
pengalihan pengawasan yang besar. Apa yang
dilakukan OJK agar pengalihan tugas
pengawasan tersebut berjalan mulus (smooth)?
Apa pula upaya-upaya yang diambilnya guna
menghadapi krisis? Berikut wawancara Probank
dengan Muliaman D. Hadad, Ketua OJK. Petikannya:
Awal Januari 2014 pengawasan perbankan beralih ke
OJK. Seperti apa persiapannya?
Per 1 Januari 2014 pengawasan perbankan akan beralih ke
OJK. Kami sedang mempersiapkan, tidak hanya di kantor
pusat, di Jakarta, tapi juga kantor di daerah. Jadi, pengawasan
BPR, lembaga keuangan lain di daerah, dan kegiatan edukasi
keuangan kepada masyarakat di daerah akan di-handle oleh
kantor OJK yang ada di daerah-daerah. Termasuk bagaimana
pengalihan SDM (sumber daya manusia), bagaimana pinjammeminjam gedung, fasilitas, dan sebagainya.
Kenapa itu menjadi penting karena yang kami lakukan
ialah suatu kegiatan pengalihan pengawasan yang besar dan
kami ingin meyakini tidak ada gangguan apa-apa. Itu menjadi
target jangka pendek memasuki 2014.
Selain proses tersebut, ada target lain?
Ada target-target lain yang menjadi perhatian OJK.
Pertama, sesuai dengan amanah undang-undang, kami diminta
membangun suatu pengawasan yang terintegrasi. Terintegrasi
dalam artian agar tidak terjadi apa yang disebut sebagai
regulatory arbitrage. Kami ingin semua pengawasan sama
rata, dengan demikian tidak ada arbitrase.
Kedua, pengawasan yang terintegrasi diperlukan karena
faktanya berkembang bisnis keuangan grup usaha keuangan
yang makin nyata. Hampir tiap bank mempunyai anak
perusahaan yang umumnya dalam bentuk asuransi, lembaga
keuangan, dan sebagainya. Artinya terintegrasi sehingga kita
tidak kehilangan picture lengkapnya keuangan.
12
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
Untuk industri keuangan nonbank (IKNB)
seperti apa pengawasan dan pengaturannya
ke depan?
Karena IKNB makin hari makin besar sizenya sehingga penanganan, baik induknya
maupun anaknya, itu harus betul-betul
terintegrasi. Itu juga menjadi alasan mengapa
kami harus sesegera mungkin menyiapkan
metodologi pengawasan yang lebih terintegrasi.
Kami juga nanti akan mengeluarkan semacam
pedoman atau guide lines dalam bentuk peraturan
OJK pada awal 2014. Nanti itu yang memberikan
pedoman bagaimana pengelolaan terhadap anakanak perusahaan yang dimiliki bank.
Saya kira ini harus terintegrasi, paling tidak dalam tiga hal,
yakni, pertama, antara induk dan anak harus terintegrasi dalam
manajemen risiko. Kemudian, anak dan induk ini harus
terintegrasi dalam hal internal auditnya. Kemudian, induk dan
anak usaha ini harus terintegrasi dalam mekanisme
perencanaan dan sebagainya.
(Untuk) jangka pendek yang lain ialah melakukan
(memberikan) edukasi keuangan kepada masyarakat. Ini
penting karena tingkat melek keuangan masyarakat (kita)
secara keseluruhan masih dinilai rendah.
Bagaimana kebijakan OJK terkait dengan krisis?
Kalau di lingkungan krisis, rasanya kita sudah punya
pengalaman. Tinggal melengkapi kalau ada yang kurang.
Berdasarkan pengalaman krisis lalu, intinya tetap saja kembali
pada daya tahan kita. Sebab, krisis itu ada yang tidak dapat
kita bendung. Sumbernya datang dari luar. Kita mau tidak
mau, intinya sejauh mana kesiapan kita. Bagi kita yang
terpenting ialah tetap back to basic, bagaimana membangun
resiliensi daya tahan industri keuangan kita.
Maka, selalu ada dua hal yang saya tekankan terus.
Pertama, pendalaman pasar modal itu menjadi penting,
terutama memperkuat basis investor domestik. Kedua, pada
lembaga keuangan seperti bank, kita harus yakini betul kuat di
likuiditasnya, modalnya, manajemen risikonya jalan, dan
sebagainya. Sehingga, any time krisis datang kita lebih siap.
Menurut saya, yang penting adalah memperbaiki kondisi
internal kita, tidak hanya di industri keuangan, sektor riil juga,
termasuk di dalamnya fundamental di neraca pembayaran. n
Kuatkan Mental
dan Berpikir Positif
Dampak kemerosotan ekonomi dunia masih akan dirasakan Indonesia.
Penempatan subsidi yang tepat sasaran dapat mempercepat laju pembangunan.
Pasar dalam negeri masih menarik bagi investor.
P
erlambatan ekonomi dan ketidakpastian
keuangan global masih akan membayangi
perekonomian Indonesia tahun depan.
Namun, terlepas dari kondisi ekonomi
makro yang belum stabil, mentalitas bangsa dalam
menghadapi gejolak ekonomi perlu diperkuat agar
perekonomian Indonesia tetap tumbuh. Demikian
menurut Harry Azhar Aziz, Wakil Ketua Komisi
XI, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
(DPR RI), yang membawahkan bidang keuangan,
perbankan, dan perencanaan pembangunan. Harry
menambahkan, bangsa Indonesia harus kuat dan
selalu berpikir positif.
Senada dengan Harry, Karin Finkelston, Vice
President International Finance Corporation (IFC)
untuk Asia Pasifik, sebuah lembaga anggota
kelompok Bank Dunia yang bermarkas di Hong
Kong, juga mengatakan bahwa tantangan akan
banyak ditemui Indonesia tahun depan. Sebab,
menurutnya, dampak kemerosotan ekonomi global masih akan
dirasakan Indonesia. Ditambah lagi, 2014 merupakan tahun
politik bagi Indonesia.
Meski gejolak ekonomi dunia diprediksi masih akan terasa
di Tanah Air, bukan berarti perekonomian Indonesia tak punya
peluang untuk tumbuh tahun depan. Harry meyakini,
kemajuan ekonomi nasional dapat diraih asalkan semua
komponen bangsa berpikir positif dan saling bekerja sama.
“Kita jangan banyak mengeluh. Dengan mental seperti itu,
sulit bagi perekonomian kita untuk tumbuh,” tutur Harry.
Di lain sisi, politikus Partai Golkar itu juga melihat potensi
market Indonesia yang besar masih akan jadi perhatian banyak
investor asing. Meski begitu, katanya, pemerintah juga jangan
lengah. Pemerintah harus tetap memerhatikan kesinambungan
pembangunan.
Subsidi yang tepat sasaran dapat menjaga kelangsungan
pembangunan. Pembangunan infrastruktur harus ditingkatkan
karena berkaitan dengan efisiensi usaha. Efisiensi tentu
merupakan hal penting bagi investor. “Subsidi yang makin
diperbaiki akan meningkatkan kualitas pembangunan
Indonesia,” imbuhnya.
“Kita jangan banyak mengeluh. Dengan
mental seperti itu, sulit bagi perekonomian
kita untuk tumbuh,”
Sementara, Karin menilai, Indonesia merupakan negara
yang kompetitif, baik untuk jangka menengah maupun jangka
panjang. Investor asing akan semakin banyak masuk ke
Indonesia jika pemerintah kian meningkatkan pembangunan
infrastruktur. “Jika infrastruktur kuat, logistik akan bagus. Itu
bisa mendatangkan investor,” jelas Karin.
Tak dimungkiri, infrastruktur memang memegang kunci
penting dalam pembangunan nasional. Ekonomi Indonesia
yang diharapkan dapat terus tumbuh juga membutuhkan
infrastruktur yang memadai. Bank Indonesia (BI)
memperkirakan, pada 2014 pertumbuhan ekonomi dunia
mencapai 3,5%, lebih rendah daripada proyeksi sebelumnya
yang sebesar 3,7%. Sementara, pertumbuhan ekonomi nasional
diperkirakan berkisar antara 5,8% hingga 6,2%.n
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
13
Profil
Parwati Surjaudaja
Mewaspadai
Kondisi Likuiditas
Pada 2014 laju industri perbankan nasional diperkirakan sedikit melambat.
Sejumlah tantangan pun siap mengadang. Agar bisnis tetap stabil dan
berkelanjutan, perbankan mesti punya strategi yang tepat dan lebih berhati-hati.
H
ingga akhir 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia
diperkirakan melambat. Sebagai informasi, Bank
Indonesia (BI) merevisi proyeksi pertumbuhan
ekonomi nasional menjadi 5,5%-5,9%.
Ketidakpastian ekonomi global dan koreksi pertumbuhan
ekonomi domestik merupakan kombinasi faktor yang
berdampak pada perlambatan di industri perbankan.
Para pengamat dan pelaku usaha di sektor perbankan pun
mengaku, perlambatan tersebut akan berlanjut hingga 2014,
meski tahun depan kondisinya diperkirakan sedikit lebih baik
ketimbang tahun ini. Hal itu diamini Parwati Surjaudaja,
Presiden Direktur Bank OCBC NISP. Parwati memperkirakan,
bakal ada sedikit perlambatan di sektor perbankan.
Selain faktor global dan domestik, kebijakan yang
ditempuh BI, seperti penyesuaian BI Rate hingga 7,25%,
sesungguhnya memberi andil terhadap laju bisnis (kredit)
perbankan pada tahun depan. “Kenaikan suku bunga acuan,
perlambatan ekonomi domestik dan global, dan berbagai
bauran kebijakan makroprudensial BI akan memengaruhi laju
kredit. (Kredit) diprediksikan akan sedikit melambat, (yakni)
di kisaran 18%-20% pada 2013 dan 2014,” terangnya.
Di tengah kondisi yang berkembang dewasa ini, menurut
Parwati, selain harus mampu menerapkan strategi bisnis
dengan tepat, perbankan nasional mesti lebih berhati-hati.
Salah satu dampak yang harus diwaspadai ialah ketatnya
likuiditas perbankan. Bagaimana sebetulnya kondisi likuiditas
perbankan nasional dan tantangan lainnya pada tahun depan?
Bagaimana pula kesiapan perbankan menghadapi era pasar
bebas ASEAN? Simak bincang-bincang Probank dengannya,
belum lama ini. Petikannya:
Bagaimana perkembangan perbankan nasional hingga
akhir 2013? Bagaimana pula proyeksi 2014?
Secara umum, prospek industri perbankan Indonesia relatif
tidak berbeda hingga akhir 2013 dari segi pertumbuhan aset,
permodalan, dan profitabilitas. Karena, sektor perbankan masih
14
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
memiliki daya tahan yang relatif kuat terhadap fluktuasi
ekonomi global.
Walaupun demikian, revisi perkiraan pertumbuhan ekonomi
yang dikeluarkan BI pada kisaran 5,5%-5,9% pada 2013 dan
5,8%-6,2% pada 2014, kenaikan suku bunga acuan,
perlambatan ekonomi domestik dan global, dan berbagai
bauran kebijakan makroprudensial BI akan memengaruhi laju
kredit. (Kredit) diprediksikan akan sedikit melambat, (yakni)
di kisaran 18%-20% pada 2013 dan 2014.
Selain itu, pengetatan likuiditas perbankan dan naiknya
rasio loan to deposit ratio (LDR) akan menyebabkan
terjadinya kompetisi yang makin ketat dalam memperoleh
dana pihak ketiga (DPK) pada tahun-tahun mendatang. Pada
akhirnya, itu akan memengaruhi biaya dana (cost of fund) dan
profitabilitas industri perbankan.
Seperti apa kondisi likuiditas perbankan?
Dengan kondisi yang ada, tentunya bagi perbankan yang
terpenting ialah melihat likuiditasnya lebih dulu, setelah itu
baru labanya. Mengelola likuiditas bisa dengan berbagai cara.
Misalnya, melalui diversifikasi likuiditas seperti yang
dilakukan Bank OCBC NISP dengan menerbitkan obligasi,
tidak hanya dari sumber-sumber konvensional.
Bagaimana dengan Bank OCBC NISP?
Bank OCBC NISP dalam menjalankan fungsi intermediasi
senantiasa menekankan prinsip kehati-hatian dengan terus
memonitor, baik perkembangan makro-ekonomi secara umum
maupun sektor-sektor ekonomi masing-masing debitor. Pada
pertengahan 2013 Bank OCBC NISP telah merevisi
pertumbuhan total aset menjadi di kisaran 20%-30%. Dengan
kondisi makro saat ini, kami perkirakan realisasinya ada pada
batas bawah. Kami tetap optimistis kualitas aset akan terjaga
baik dalam kondisi ini.
Apa saja yang mesti diwaspadai agar perbankan
nasional tetap tumbuh dan sehat?
Beberapa aspek mesti diwaspadai perbankan, yakni risiko
eksternal dan internal. Pada risiko eksternal, ketidakpastian
ekonomi China, penyelesaian krisis di zona Eropa, dan fiscal
cliff di Amerika Serikat (AS) yang tentunya akan
memengaruhi keseimbangan ekonomi dan sektor keuangan
global. Lalu, (untuk) risiko internal, ketidakseimbangan sektor
perdagangan karena impor mengalami pertumbuhan tinggi
seiring dengan peningkatan investasi, sedangkan kinerja
ekspor masih terus tertekan akibat lemahnya permintaan pasar
global dan rendahnya harga komoditas.
Ketidakpastian ekonomi global mendorong kita untuk
menguatkan ekonomi domestik. Peluang apa yang bisa
diambil perbankan nasional?
Dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global,
perbankan nasional dapat berkontribusi positif pada penguatan
ekonomi domestik dengan meningkatkan fungsi intermediasi,
di antaranya dengan terus memberikan dan mengintensifkan
pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah (UKM) serta
terus mendukung sektor produktif yang dalam jangka panjang
akan lebih menunjang penguatan ekonomi domestik, misalnya
sektor manufaktur.
Sektor apa yang sekiranya jadi primadona?
Beberapa sektor yang relatif merupakan primadona bagi
perbankan nasional untuk saat ini, di antaranya perdagangan,
manufaktur, transportasi, makanan dan minuman, otomotif,
serta konstruksi.
Bagaimana dengan kredit UMKM?
Dengan telah dilaluinya berbagai krisis—telah terbukti
ketahanan dari segmen UMKM—penyaluran kredit ke (sektor)
UMKM makin meningkat setiap tahun dan menjadi salah satu
motor pendorong perkembangan kredit perbankan saat ini,
yang diproyeksikan pertumbuhannya sebesar 44% hingga akhir
2013, meningkat dibandingkan dengan 2012 dan 2011 yang
masing-masing sebesar 35% dan 31%. Adapun sektor UMKM
yang menjadi primadona secara umum ialah sektor
perdagangan, terutama disebabkan pertimbangan kemudahan
dalam penyaluran kredit.
Bagaimana kesiapan perbankan menghadapi era
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 dan
integrasi sektor keuangan pada 2020?
Pasar industri keuangan dan perbankan nasional sebenarnya
sudah banyak merasakan persaingan dengan pasar regional,
walaupun kesiapan perbankan itu sendiri dalam menghadapi
MEA masih perlu ditingkatkan, antara lain penerapan good
corporate governance (GCG). (Juga), upaya peningkatan daya
saing, seperti penerapan kebijakan yang mengacu pada
International Core Principles dan melakukan kerja sama
internasional dengan terlibat di berbagai forum, seperti South
East Asian Central Banks (SEACEN) dan Financial Stability
Board (FSB).
Secara konkret, tantangannya seperti apa?
Memang, jika kita melihat MEA, tentunya akan
membicarakan pasar mana yang menarik. Dan, itu tentu saja
Indonesia, mengingat pasarnya yang masih lebar dan tingkat
penetrasi perbankannya yang masih rendah jika dibandingkan
dengan negara-negara lain. Ya, jika melihat hal itu, sudah
seharusnya kita siap dalam mengelola pasar kita sendiri.
Bukan berarti kita tidak perlu mengembangkan ke pasar lain.
Jangan sampai kita masuk ke pasar negara lain yang bisa jadi
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
15
Profil
biaya dan modalnya cukup tinggi, tapi marginnya sangat tipis,
sementara di sini kita masih ada peluang yang besar.
Size dan jumlah bank di Indonesia beragam dan
banyak. Bagaimana Anda memandang upaya konsolidasi
perbankan?
Memang, itu sudah jadi keinginan dari dulu. Malah,
sebelum kebijakan API (Arsitektur Perbankan Indonesia)
sudah ada. Namun, hingga saat ini, masih belum berjalan
konsolidasi. Lalu, saat ini ada kebijakan BUKU (bank umum
kegiatan usaha). Intinya, semuanya harus sama visinya, bukan
hanya regulator di bidang perbankan, misalnya mengenai
perburuhan.
Sebagai Anggota Bidang Luar Negeri Perbanas, tugastugas apa yang Anda emban?
Tentunya mendukung program-program yang telah
dicanangkan dalam kepengurusan, yakni menjalin hubungan
kerja dan komunikasi yang baik secara reguler dengan
asosiasi sejenis di luar negeri, pembentukan Committee
One ASEAN Integration—di mana ketuanya adalah
Perbanas—dan aktif dalam kegiatan ASEAN Banker
Association.
Yang terkini, apa program Bidang Luar Negeri
Perbanas?
Pembentukan Committee One ASEAN Integration dan
membuat kerangka kerja yang akan digunakan sebagai acuan
pembuatan position paper/working paper untuk acara tahunan
ASEAN Banking Association di Myanmar, pada November
2013.n
Bukan Jalan-Jalan Biasa
Melepas kejenuhan dari rutinitas pekerjaan menjadi hal penting. Melalui
aktivitas atau hobi yang menyenangkan, seseorang bisa menyegarkan kembali
pikiran dan jiwa sehingga bisa kembali bekerja dan bahkan menemukan ide-ide
baru bagi pekerjaannya. Itu pula yang dilakoni Parwati Surjaudaja, Presiden
Direktur Bank OCBC NISP. Untuk menghilangkan kepenatan, Parwati memilih
mendengarkan musik klasik. “Kalau jeda waktunya pendek, saya biasanya
mendengarkan musik klasik untuk menyegarkan diri. Kalau waktunya panjang,
saya menyukai travelling,” ungkapnya.
Bagi Parwati, travelling bukan sekadar jalan-jalan atau menikmati indahnya
pemandangan. Dari setiap lokasi yang dikunjungi, Parwati bisa mempelajari nilai
setiap budaya yang ada. “Saya sangat menyukai travelling karena selalu melihat
keunikan , budaya setiap daerah yang dikunjungi dan bisa menikmati berbagai
keunikan tersebut, baik kulinernya maupun keadaan alamnya. Selain itu, saya bisa
belajar tentang sifat dan karakter setiap masyarakat. Jadi, bukan sekadar jalanjalan,” pungkasnya.
16
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
Liputan Khusus
Layanan Terpadu
dalam Mobile Payment System
Penerapan bank tanpa kantor dan penggunaan teknologi mobile memperluas
jangkauan layanan keuangan dan sistem pembayaran. Pemahaman masyarakat
masih jadi kendala sehingga perlu edukasi kontinu.
R
egulator membuka akses layanan
keuangan bagi masyarakat selebar
mungkin melalui program branchless
banking. Uji coba branchless
banking dilakukan Mei hingga November
2013 melalui lima bank. Dalam
perjalanannya, uji coba ini tak hanya diikuti
perbankan, tapi juga perusahaan
telekomunikasi (telko). Branchless banking
berubah sebutan menjadi mobile payment
services (MPS). MPS nantinya akan menjadi
salah satu strategi utama dalam financial
inclusion, dalam hal ini masyarakat bisa
dengan mudah memperoleh akses untuk
menabung, melakukan pembayaran, dan mendapat kredit.
Seperti apa kelanjutan MPS? Kapan regulasinya akan dirilis?
Berikut wawancara Probank dengan Rosmaya Hadi, Direktur
Eksekutif Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran
Bank Indonesia (BI), beberapa waktu lalu. Petikannya:
Bisa dijelaskan, apa tujuan utama program branchless
banking? Seperti apa perkembangan uji cobanya?
Tujuan program branchless banking yang saat ini
diistilahkan dan dipopulerkan oleh BI sebagai MPS ialah
memfasilitasi dan memperluas jangkauan layanan sistem
pembayaran dan keuangan kepada seluruh masyarakat, baik
unbanked maupun underbanked, dengan menggunakan sarana
teknologi dan pihak ketiga. Perkembangan uji coba MPS tidak
hanya dilakukan oleh lima bank (Bank Mandiri, Bank Sinar
Harapan, BTPN, BRI, dan Bank CIMB Niaga), tapi juga oleh
dua (perusahaan) telko (Indosat/XL).
Seperti apa animo masyarakat terhadap program
branchless banking atau MPS itu selama masa uji coba?
Adakah kendala ketika uji coba di lapangan?
Selama pelaksanaan uji coba terlihat animo masyarakat
mulai meningkat. Dari keseluruhan jenis transaksi yang
dilayani, transaksi terbanyak ialah pembayaran tagihan rutin,
disusul oleh top up tabungan maupun uang elektronik.
Sementara itu, kendala yang muncul di lapangan ialah
kurangnya pemahaman masyarakat terkait dengan layanan itu
sehingga diperlukan edukasi secara kontinu.
Apa langkah selanjutnya untuk program
branchless banking atau MPS?
Pelaksanaan uji coba saat ini masih
dievaluasi secara kontinu. Hasil monitoring
selama masa uji coba ini akan menjadi masukan
bagi BI untuk menyusun regulasi dan kebijakan
terkait dengan pengembangan MPS ke depan.
Evaluasi dilakukan terkait dengan mekanisme
proses bisnis, keamanan, pricing, dan lain-lain.
Kapan aturan resmi mengenai program
branchless banking atau MPS akan dirilis
BI? Hal apa saja yang akan diatur dalam
ketentuan BI tersebut?
Ketentuan yang terkait dengan
penyelenggaraan MPS akan diterbitkan pada akhir 2013.
Ketentuan/regulasi tersebut akan mengatur secara lengkap aspekaspek terkait dengan penyelenggaraannya, mulai dari instrumen,
penggunaan teknologi, kerja sama keagenan (unit perantara
layanan sistem pembayaran atau UPLSP), hingga layanannya.
UPLSP atau agen bank itu seperti apa? Siapa saja yang
berhak menjadi agen dan seperti apa standardisasi
keamanannya menurut aturan BI?
Saat ini untuk pelaksanaan pilot project persyaratan UPLSP
atau agen bank dapat dilihat di Pedoman Uji Coba “Aktivitas
Jasa Sistem Pembayaran dan Perbankan terbatas Melalui Unit
Perantara Layanan Keuangan”. Ke depan persyaratan tersebut
akan diregulasi dalam ketentuan pendukung MPS.
Seperti apa BI melihat peranan perusahaan telko dalam
branchless banking atau MPS?
Perusahaan telko sangat berperan, baik hanya sebagai
penyedia jaringan maupun penyelenggara MPS. (Hal itu)
mengingat dalam kegiatan operasional MPS sangat dibutuhkan
koneksi yang berbasis pada jaringan telko.
Apa target BI untuk branchless banking atau MPS pada
2014?
Target BI untuk tahun depan ialah implementasi MPS
secara luas dan bertahap. MPS akan dikembangkan untuk
dapat mendukung program financial inclusion dan membantu
program pemerintah, misalnya penyaluran bantuan sosial
(bansos). Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut dengan pihakpihak terkait.n
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
17
Liputan Khusus
Era Branchless Banking:
Makin Efisien
Implementasi branchless banking direspons positif masyarakat. Rekening ponsel
menjadi salah satu inovasi baru yang diharapkan dapat mendongkrak penetrasi
jumlah masyarakat yang “berbank”. Apa saja kendalanya?
T
ingkat kepemilikan
masyarakat di Tanah Air
terhadap rekening bank masih
rendah. Dari sekitar 250 juta
penduduk Indonesia, ada sekitar 68%
yang belum memiliki rekening di bank.
Rendahnya akses masyarakat terhadap
bank disebabkan oleh sulitnya mereka
menjangkau cabang bank, produk bank
yang dinilai kurang menarik atau tidak
sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
dan kurangnya sosialisasi.
Di Indonesia penetrasi masyarakat
dalam “berbank” masih kalah jauh
dibandingkan dengan penetrasi
pengguna telepon seluler (ponsel).
Menurut Data Bank Indonesia (BI),
saat ini terdapat 247 juta pengguna
ponsel di Indonesia. Bahkan, mereka
yang di pedesaan sudah terakses jaringan telepon. Ini
menandakan, jumlah masyarakat yang melek teknologi jauh
lebih banyak ketimbang yang melek keuangan.
Karena itu pula, perbankan aktif menggarap layanan
perbankan berbasis teknologi. Sejalan dengan itu, jumlah
pengguna internet banking dan mobile banking pun kian
meningkat. Jumlah pengguna internet banking pada 2013
mencapai 5,7 juta, sementara pengguna mobile banking pada
periode yang sama mencapai 16,5 juta.
Bagi bank, layanan tersebut membuatnya makin efisien
karena bank tak harus membuka cabang dan berinvestasi
untuk automatic teller machine (ATM). Begitu juga dari sisi
nasabah. Layanan ini sangat memudahkan nasabah. Hal inilah
kemudian yang mendorong bank-bank makin getol
menerapkan sistem branchless banking. Dengan kemudahan
yang ditawarkan bank melalui sistem branchless banking,
diharapkan penetrasi jumlah masyarakat terhadap bank
meningkat.
Ada beberapa alasan yang mendasari pengembangan
branchless banking di industri perbankan Indonesia. Pertama,
rendahnya penetrasi masyarakat terhadap institusi keuangan
formal. Menurut data Bank Dunia (World Bank), penetrasi
18
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
jumlah penduduk Indonesia berusia di
atas 15 tahun yang belum memiliki
akses ke bank mencapai 19,6%.
Penetrasi penduduk Indonesia adalah
yang terendah bila dibandingkan
dengan negara tetangga lainnya. Di
Malaysia penetrasi masyarakatnya
terhadap bank sudah mencapai 66,7%,
di Filipina 26,5%, dan di Thailand
77,7%. Bahkan, di Vietnam mencapai
21,4%.
Kedua, lebih efisien bagi bank.
Berdasarkan data Bank Dunia,
pembukaan satu kantor cabang bank di
Indonesia membutuhkan dana investasi
sekitar US$250.000. Untuk mendirikan
ATM, investasi yang dibutuhkan
mencapai US$10.000 per ATM,
sementara biaya investasi yang
dibutuhkan untuk branchless banking jauh lebih murah, yakni
sekitar US$400.
Ketiga, segmen yang dibidik bank masih didominasi oleh
kelompok masyarakat menengah ke atas. Padahal, potensi
ekonomi yang besar justru ada pada segmen masyarakat
menengah ke bawah dan itu belum tergarap bank. Kemudahan
yang ditawarkan branchless banking diharapkan dapat
menyerap potensi pasar yang belum tergarap ini.
Saat ini ada dua model branchless banking yang
berkembang di dunia. Yang pertama adalah model bank-led.
Dalam model ini, bank menjadi pionir dalam melayani
masyarakat dengan memanfaatkan dukungan perusahaan
telekomunikasi (telko) dan agen serta diperluas dengan
merchant-merchant yang lain. Salah satu negara yang
sukses menerapkan model bank-led ialah Brasil. Dalam
empat tahun model bank-led di Brasil mampu mencatat 19
juta rekening dengan perputaran dana lebih dari US$100
miliar.
Model branchless banking yang kedua adalah model telcoled. Dalam model ini, perusahaan telko berperan sebagai
inisiator. Model yang juga sering disebut dengan mobile
money ini sukses diterapkan di Kenya.
Untuk mengembangkan jaringan
penggunaan layanan perbankan tanpa kantor
cabang yang melibatkan peran bank dan
perusahaan telko, BI kemudian mengubah
istilah branchless banking menjadi mobile
payment service (MPS). Hal ini dimaksudkan
agar tidak hanya perbankan yang seolah
memiliki peran, tapi juga perusahaan telko.
Kedua lembaga yang dimaksud, yakni
bank dan perusahaan telko, tengah
diujicobakan dalam proyek MPS. Saat ini
terdapat 5 bank dan 2 perusahaan telko yang
ikut sebagai peserta uji coba. Dari bank ada
Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI),
Bank CIMB Niaga, Bank Tabungan Pensiunan Nasional
(BTPN), dan Bank Sinar Harapan Bali. Sementara itu, dari
perusahaan telko ada PT Indosat dan PT XL Axiata.
Dalam melaksanakan proyek uji coba tersebut tiap bank
dan perusahaan telko diperbolehkan memilih delapan wilayah
yang telah ditetapkan menjadi basis uji coba branchless
banking. Kedelapan wilayah yang dimaksud ialah Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Agar
dapat menjangkau nasabah, bank dan perusahaan telko
mendapat izin dari BI untuk menggunakan jasa Unit Perantara
Layanan Keuangan (UPLK) atau Unit Perantara Layanan
Sistem Pembayaran (UPLSP).
Seperti apa pengembangan branchless banking atau MPS di
perbankan? Di BRI pengembangan branchless banking
dilakukan dengan model bank-led. Model ini
diimplementasikan BRI melalui BRI Links yang bekerja sama
dengan pihak ketiga sebagai agen.
Selain model bank-led, BRI mengembangkan model hibrid
(hybrid model), dalam hal ini perbankan bekerja sama dengan
perusahaan telko menerbitkan uang elektronik. Layanan ini
dapat diakses melalui jaringan agen yang dikelola bank.
Produk hybrid model di BRI diberi nama T-Bank. T-Bank,
yang merupakan layanan rekening ponsel milik BRI ini,
menggunakan mobile phone number untuk mengidentifikasi
nomor rekening virtual nasabah.
Tak hanya BRI yang fokus membangun
infrastruktur branchless banking. BPTN pun
memiliki ambisi serupa. BTPN malah rela
mengeluarkan biaya investasi sebesar US$2,3
juta untuk membangun kantor cabang virtual
berlabel BTPN WOW. Mahalnya investasi
untuk membangun kantor cabang dan ATM
menjadi dasar pemikiran BTPN untuk
mengembangkan branchless banking yang
tujuannya tak lain adalah efisiensi.
“Kami tengah melakukan proyek uji coba
branchless banking ini sejak Mei hingga
November 2013. Kami bekerja sama dengan
tiga penyedia layanan telekomunikasi, salah
satunya dengan XL,” terang Djemi Suhenda, Wakil Direktur
BTPN, dalam siaran pers, beberapa waktu lalu. Djemi berharap,
layanan ini dapat membuka akses bagi mayoritas masyarakat,
seperti petani, nelayan, buruh, dan pekerja informal yang
selama ini belum memiliki akses layanan ke perbankan.
Saat ini sedikitnya ada tiga bank yang telah meluncurkan
rekening ponsel. Selain BRI dengan T-Bank, ada pula Bank
CIMB Niaga dan BRI yang kini telah menyediakan layanan
ini. Bank CIMB Niaga bahkan telah lebih dulu meluncurkan
Rekening Ponsel pada Maret lalu. Kini jumlah penggunanya
sudah mencapai 200.000.
Di Bank Mandiri layanan serupa seperti telah disebutkan di
atas diberi label E-Cash. Dalam mengoperasikan E-Cash,
Bank Mandiri bekerja sama dengan Telkomsel, Indosat, dan
XL. Sebelumnya rekening ponsel juga sudah di-pilot projectkan di anak usahanya, Bank Sinar Harapan Bali. Bank Sinar
Harapan Bali menggandeng AXIS dalam menyelenggarakan
rekening ponsel. Sayang, layanan tersebut baru bisa
menjangkau nasabah existing.
Menurut Rosmaya Hadi, Direktur Eksekutif Departemen
Akunting dan Sistem Pembayaran BI, saat ini jumlah rekening
ponsel yang sudah terdaftar mencapai 12,5 juta rekening. “Kami
mencatat jumlah agen branchless banking kini sudah mencapai 2
juta agen. Kami ingin terus meningkatkan jumlah ini,” terangnya
di sela-sela seminar nasional mengenai branchless banking yang
diselenggarakan Infobank, awal Oktober lalu. n
Branchless Banking di Pakistan
Indonesia boleh dibilang agak telat dalam mengembangkan sistem branchless banking. Padahal, beberapa model branchless
banking yang dikembangkan di beberapa negara terbukti sukses meningkatkan jumlah masyarakat unbank.
Sebagai negara yang terbilang baru dalam pengembangan branchless banking, Indonesia mungkin bisa mencontoh beberapa
negara yang sukses mengembangkan branchless banking. Salah satunya ialah Pakistan. Peraturan tentang branchless banking. di
Pakistan mulai digodok pada 2008. Pertama-tama, mereka mempelajari negara mana saja yang sudah menerapkan sistem
branchless banking di industri perbankannya. Pakistan juga mencari beberapa model branchless banking yang diterapkan di
negara lain untuk mencari model yang cocok untuk dikembangkan.
Regulator perbankan di negeri ini pun secara signifikan mengubah beberapa aturan perbankan untuk memuluskan penerapan
branchless banking. Pertama, merasionalisasi proses pembukaan rekening dan persyaratannya. Kedua, membatasi substansial
terkait dengan kenaikan batas transaksi dan eliminasi saldo maksimum, di antaranya pembayaran tagihan tidak lagi termasuk
dalam limit transaksi. Ketiga, mengenalkan account baru dengan limit transaksi terendah yang dapat dibuka secara elektronik
tanpa memerlukan dokumen fisik. Hasilnya, penerapan branchless banking di Pakistan ternyata cukup efektif menjaring nasabah
yang tadinya belum tersentuh layanan perbankan.
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
19
Kinerja
Berburu Saham Bank
Saham-saham perbankan di pasar modal nasional masih terus diburu investor. Tetap
membaiknya kinerja bank-bank umum yang melantai di pasar modal di tengah gejolak
ekonomi global menjadi daya tarik bagi investor untuk membeli saham bank.
M
encari pendanaan di pasar modal tampaknya
menjadi pilihan bagi sejumlah bank. Kinerja
bank-bank yang secara riil sangat baik dari
waktu ke waktu pada akhirnya membuat sahamsaham bank tersebut diburu investor. Tak heran, banyak bank
yang terus mengikuti jejak bank-bank umum lain yang sudah
terlebih dahulu go public.
Di kelas bank pembangunan daerah (BPD), setelah Bank
BJB melakukan go public dengan kode bursa BJBR, Bank
Jatim menyusul dengan melakukan penawaran umum saham
perdana (initial public offering atau IPO) pada Juli 2012. Saat
IPO harga saham Bank Jatim dengan kode bursa BJTM
ditawarkan pada posisi harga Rp430 per lembar saham, yang
harus dibayar penuh saat mengajukan Formulir Pemesanan
Pembelian Saham (FPPS). Nilai saham yang ditawarkan dalam
penawaran umum tersebut secara keseluruhan mencapai
Rp1.282.920.910.000.
Berdasarkan data yang ada, pada 1 Oktober 2013 harga
saham Bank Jatim ditutup pada posisi Rp365 per lembar
saham atau turun 15,12% dari harga penawaran saham bank
tersebut. Namun, dilihat dari tren harga bulanan, saham bank
yang sebagian besar dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda)
20
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
Jawa Timur (Jatim) ini harganya
sempat ditutup pada posisi
perdagangan tertinggi, yakni Rp520
per lembar saham pada awal Maret
2013. Bank Jatim menjadi satusatunya bank umum milik pemda
yang melantai di pasar modal pada
2012.
Pada medio 2013 Bank Maspion
Indonesia dan Bank Mitraniaga juga
melakukan IPO dengan kode bursa
masing-masing BMAS dan NAGA.
Bank Maspion, yang pada saat
penawaran saham perdana
menawarkan sekitar 770 juta saham
dengan harga Rp360-Rp480 per
lembar saham, optimistis mampu
meraih kinerja positif hingga
pengujung 2013. Pihak Bank
Maspion berharap, BMAS dapat
menjadi salah satu pilihan investor
dalam membeli saham.
Sejauh ini saham-saham perbankan di Bursa Efek Indonesia
(BEI) masih sangat diminati investor. Tak hanya investor
asing, investor lokal juga banyak yang berburu saham
perbankan. Saham Bank Bukopin, misalnya. Juni lalu PT
Bosowa Corporindo membeli 1,1 miliar lembar saham bank
ini atau sekitar 15% kepemilikan di bank dengan kode bursa
BBKP tersebut. Saat itu Bosowa berani membeli saham BBKP
pada harga Rp1.050 per saham, lebih tinggi daripada harga
penutupan BBKP waktu itu yang hanya Rp800 per lembar
saham, dari Koperasi Pegawai Bulog Seluruh Indonesia
(Kopelindo) dan Yayasan Bina Sejahtera Warga Bulog
(Yabinstra).
Sebelumnya, pada April 2013, Grup MNC membeli 30%
saham ICB Bumi Putera dengan kode bursa BABP. Banyak
pihak berharap, saham-saham perbankan bisa dimiliki investor
domestik agar keuntungan yang diperoleh dari bank tersebut
tidak dibawa ke luar negeri dan bisa dinikmati di dalam
negeri.
Menurut Reza Priambada, Head Analyst PT Trust
Securities, seperti dikutip dari infobanknews.com (25 Juli
2013), bank lokal seharusnya bisa dikuasai investor lokal.
Reza menilai, kinerja saham perbankan, khususnya pada paruh
Kinerja Saham Perbankan Juli 2012-Oktober 2013
Harga Saham dalam rupiah (Penutupan)
BBRI
BMRI
BBCA BMDN
BBNI BTPN MEGA BNGA BBTN BNLI
NISP BJBR BBKP SDRA BNII BJTM BABP
2 Juli 2012
7.000 8.300 8.000 6.050 3.700 4.200 1.623 1.210 1.370 1.420 1.080 940 630 500 420 425 140 1 Agt 2012
6.950 7.800 7.750 6.000 3.850 4.825 1.623 1.160 1.310 1.390 1.120 980 640 440 420 385 145 3 Sept 2012
7.450 8.200 7.900 6.250 3.925 5.250 1.649 1.150 1.440 1.440 1.250 1.100 640 495 410 385 140 1 Okt 2012
7.400 8.250 8.200 6.100 3.725 5.300 1.767 1.160 1.520 1.420 1.360 1.100 640 470 410 370 140 1 Nov 2012
7.050 8.250 8800 5.400 3.975 5.200 1.832 1.150 1.610 1.400 1.360 1.050 620 590 390 395 148 3 Des 2012
6.950 7.800 9.200 5.600 3.750 5.050 1.754 1.100 1.470 1.310 1.450 1.050 610 640 395 375 169 1 Jan 2013
7.950 9.050 9.650 6.100 3.925 4.950 1.649 1.180 1.620 1.420 1.500 1.200 670 630 400 385 149 1 Feb 2013
9.450 10.050 11.000 6.300 4.600 4.700 1.767 1.400 1.630 1.540 1.530 1.220 780 580 425 435 139 1 Maret 2013
8.750 10.000 11.400 6.450 5.050 5.300 2.094 1.400 1.700 1.660 1.450 1.290 900 830 415 520 175 1 Apr 2013
9.400 10.500 10.750 6.450 5.400 5.300 2.199 1.400 1.490 1.700 1.450 1.220 920 840 400 430 156 1 Mei 2013
8.900 9.700 10.350 5.750 4.875 4.900 2.500 1.360 1.420 1.700 1.380 1.220 830 820 390 435 154 3 Juni 2013
7.750 9.000 10.000 5.850 4.300 4.150 2.200 1.150 1.150 1.650 1.300 1.180 720 760 345 395 127 1 Juli 2013
8.250 8.900 10.400 5.200 4.275 4.350 2.000 1.110 1.040 1.620 1.280 1.060 660 770 315 375 123 1 Agt 2013
6.600 7.100 9.050 4.050 3.850 3.900 1.700 1.000 950 1.290 1.210 780 560 670 320 305 108 2 Sept 2013
7.250 7.950 10.000 3.975 4.075 3.975 2.225 990 930 1.380 1.450 900 640 800 325 360 108 1 Okt 2013
7.350 8.200 10.000 3.975 4.250 4.000 2.225 1.000 940 1.330 1.220 900 650 720 325 365 105 Sumber: berbagai sumber diolah kembali
Ket:
BBRI=Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk; BMRI=Bank Mandiri (Persero) Tbk; BBCA=Bank Central Asia Tbk;
BMDN=Bank Danamon Tbk; BBNI=Bank BNI (Persero) Tbk; BTPN=Bank Tabungan Pensiun Nasional Tbk; Mega= Bank Mega Tbk;
BNGA=Bank CIMB Niaga Tbk; BBTN=Bank Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk; BNLI=Bank Permata Tbk; NISP=Bank OCBC NISP; BJBR=Bank Jabar Banten Tbk; BBKP=Bank Bukopin Tbk; SDRA=Bank Himpunan Saudara 1906 Tbk; BNII=Bank Internasional Indonesia Tbk; BJTM=Bank Pembangunan Jawa Timur Tbk; BABP= Bank ICB Bumi Putera Tbk.
pertama 2013, secara fundamental masih cukup baik. Itulah
mengapa, investor asing terus berburu saham bank di
Indonesia. Namun, menurut Reza, belakangan kinerja saham
perbankan bergerak lambat.
Kinerja dan keterbukaan informasi memang menjadi unsur
utama bagi investor dalam berburu saham perbankan. Ekspansi
yang dilakukan banyak bank seiring dengan penambahan
modal untuk mengejar kelas bank umum kegiatan usaha
(BUKU) di atasnya menjadi daya tarik bagi investor untuk
memilih saham bank. Keterbukaan bank yang diterapkan
melalui rapat umum pemegang saham (RUPS) dan paparan
kinerja secara berkala akan membuat investor saham
perbankan merasa mendapat informasi yang jelas.
Kinerja Saham Perbankan
Saham-saham perbankan yang tercatat di BEI sepanjang
2013 memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pergerakan kumulatif Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Kapitalisasi pasar yang besar membuat empat bank masuk
dalam jajaran 10 besar emiten yang memiliki kapitalisasi
pasar terbesar.
Walau saham-saham perbankan memiliki kapitalisasi pasar
yang cukup besar, sejumlah pihak mengkhawatirkan kinerja
saham tersebut dalam jangka pendek. Sekarang ini beberapa
saham bank dianggap telah melampaui batas atasnya
sehingga tren pergerakan harganya diindikasikan bergerak
lambat.
Kendati ada kekhawatiran bahwa pergerakan harga sahamsaham bank bakal melambat, dari sisi kinerja, keuntungan
yang dipetik bank-bank sepanjang paruh pertama 2013 tetap
menunjukkan perbaikan. Bank Rakyat Indonesia (BRI),
misalnya. Hingga paruh pertama 2013, BRI masih mampu
membukukan laba hingga Rp10,15 triliun. Keuntungan yang
dipetik bank pelat merah ini sampai dengan akhir tahun
diyakini masih akan terus membesar, kendati ada kekhawatiran
mengenai kinerja perbankan dalam penyaluran kredit terkait
dengan tren kenaikan suku bunga acuan BI Rate dan inflasi
yang tinggi.
Dari sisi pergerakan harga saham, dalam tiga bulan terakhir
kinerja saham perbankan secara bulanan cenderung turun
dibandingkan dengan awal 2013. Tak hanya saham-saham
bank yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar, seperti BRI,
Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, dan Bank Negara
Indonesia (BNI), saham-saham bank lainnya pun rata-rata
harganya cenderung turun.
Tren penurunan harga saham bank secara bulanan tersebut
mulai terjadi pada Mei 2013. Dan, tren penurunan itu semakin
terlihat pada Agustus 2013 seiring dengan laju inflasi yang
relatif tinggi akibat keputusan pemerintah menaikkan harga
bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.
Kendati demikian, melihat tren kinerja perbankan secara
umum dan pencapaian laba industri perbankan, khususnya
bank-bank yang tercatat di BEI, ke depan potensi beli investor
terhadap saham bank diprediksi tidak akan surut. Apalagi,
dalam jangka panjang, kecenderungan bank menjaga tingkat
kesehatannya dan memperkuat modalnya dalam rangka
berekspansi serta meningkatkan daya saingnya tentu akan
membuat kinerja bank semakin baik. Hal itu akan menjadi
sentimen positif bagi investor untuk terus berinvestasi pada
saham-saham perbankan.n
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
21
Internasional
Siap-Siap Hadapi
Tapering Off AS
Tapering off pasti dilakukan The Fed. Dalam waktu dekat mungkin saja tidak
dilakukan. Bagaimana dengan tahun depan?
B
atalnya penghentian quantitative easing tahap 3
(QE3) atau tapering off pada 18 September 2013
membuat Indonesia bisa sedikit bernapas lega.
Perekonomian Indonesia memang sempat tertekan
karena munculnya berbagai spekulasi sebelum keputusan
tersebut dilansir. Banyak spekulasi menyebutkan bahwa
perekonomian Indonesia, khususnya pasar modal, akan terkena
dampak negatif jika QE3 benar-benar dihentikan.
Untungnya, Gubernur The Federal Reserve (The Fed), Ben
Bernanke, menunda niatnya untuk menghentikan program
stimulus itu. The Fed pun masih mengucurkan dana senilai
US$85 miliar per bulan untuk melanjutkan pembelian efek
dan obligasi.
Penundaan tapering off mengindikasikan bahwa kondisi
fundamental ekonomi Amerika Serikat (AS) belum cukup kuat
bila harus melepas stimulus tersebut. Intervensi The Fed
masih dibutuhkan untuk memengaruhi suku bunga kredit serta
22
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
menarik para pemegang surat-surat
berharga dan surat utang (obligasi)
untuk mengarahkan dananya ke
sektor riil.
Keputusan bank sentral AS itu
sebenarnya mengejutkan banyak
pihak. Namun, The Fed memiliki
sederet alasan untuk
mempertahankan stimulus tersebut.
Anggota Dewan Gubernur The Fed,
Jerome H. Powell, dalam pidatonya
di Institute of International Finance
Annual Membership Meeting,
Washington, D.C., 11 Oktober 2013,
mengakui bahwa keputusan tidak
mengurangi pembelian (efek dan
obligasi) pada September itu
membuat pelaku pasar terkejut.
Alasan The Fed melanjutkan
kebijakan stimulus tersebut cukup
kuat. Salah satunya, notula Federal
Open Market Committee (FOMC)
September lalu menunjukkan adanya
keprihatinan akan kekuatan data
ekonomi yang masuk, dampak
ekonomi dari kondisi keuangan yang lebih ketat dan kebijakan
fiskal yang ketat, serta kemungkinan adanya gangguan fiskal.
Selain pertimbangan tersebut, implikasi penundaan tapering
off dinilai dapat membendung konflik di Kongres AS. Namun,
ternyata itu tidak terbukti. Anggaran pemerintah AS tersandera
oleh konflik kubu Partai Demokrat dan Partai Republik.
Pemerintah pun tidak beroperasi selama 16 hari sejak 1
Oktober 2013.
Tapering off ditunda, tapi kisah ini belum selesai. Cepat
atau lambat The Fed akan melakukan tapering off. Namun,
bila melihat perkembangan data-data ekonomi AS sampai
dengan Oktober 2013, banyak realisasi target pemerintah AS
yang belum memuaskan. Meski Negeri Paman Sam itu telah
terhindar dari gagal bayar utang (default)—lantaran
kesepakatan penambahan pagu utang dan anggaran pemerintah
hingga awal 2014—fundamental ekonomi AS belum
memenuhi harapan. Defisit perdagangan AS pada Agustus
melebar 0,4% menjadi US$38,9 miliar. Defisit perdagangan
tersebut lebih rendah daripada perkiraan para ekonom yang
sebesar US$39,5 miliar.
Pemerintah AS juga tidak berhasil mencapai target
pembukaan lapangan kerja baru. Dari target 180.000 pekerjaan
baru, pemerintah AS hanya mampu mencatatkan 148.000
pekerjaan baru per September lalu. Selain itu, sebelumnya ada
prediksi bahwa prospek penurunan pengangguran di bawah
target 6,5% masih sulit terwujud setelah partisipasi angkatan
kerja per Agustus 2013 turun menjadi 63,2%, nilai terburuk
selama 35 tahun terakhir. Dan, prediksi itu terbukti. Tingkat
pengangguran mencapai 7,2% pada September lalu.
Pemerintah AS pun cukup pesimistis terhadap pertumbuhan
ekonominya. Proyeksi pertumbuhan ekonomi negara itu turun
menjadi 2%-2,3%, padahal perkiraan Juni lalu sebesar 2,3%2,6%. Bahkan, pada 2014 pertumbuhan ekonomi AS
diprediksi akan jauh lebih rendah.
Para investor terus mengintip perkembangan AS.
Mereka masih wait and see. Apalagi, masih banyak data
ekonomi yang tengah ditunggu para investor, seperti data
penjualan rumah, penjualan ritel, dan consumer confidence
index (CCI). Keterlambatan publikasi data-data tersebut
disinyalir karena penutupan sementara (shutdown)
pemerintah AS.
Data-data ekonomi tersebut masih membuka ruang
terjadinya penundaan tapering off AS sampai dengan akhir
tahun. Sejumlah analis memperkirakan, penghentian stimulus
ekonomi mungkin akan dilakukan awal tahun depan atau
kuartal pertama 2014. Dan, ini akan menjadi tantangan bagi
Indonesia maupun negara lainnya.
Indonesia sangat rentan terhadap sentimen isu kebijakan
AS. Karena itu, pemerintah harus tanggap dan memiliki
langkah-langkah mitigasi. Memang, Bank Indonesia (BI)
sudah menerbitkan lima kebijakan untuk menjaga stabilitas
makro-ekonomi pada akhir Agustus 2013. Kebijakan tersebut
bersinergi dengan paket kebijakan yang juga dikeluarkan
pemerintah Agustus lalu.
Sebagai salah satu negara tujuan para investor, Indonesia
harus mampu menggunakan kesempatan untuk menjaga
investor agar tetap berada di negeri ini. Prospek investasi di
Indonesia sendiri masih dibatasi oleh persepsi pihak asing
terhadap fundamental ekonomi negeri ini. Karena itu,
membangun kepercayaan investor menjadi langkah penting
bagi Indonesia.
Kewaspadaan akan adanya dampak negatif juga mesti
ditingkatkan. Misalnya, aktivitas di pasar modal. Dominasi
investor asing yang sering kali menjadi influence fluktuasi di
pasar modal Indonesia harus tetap menjadi perhatian. Sebagai
informasi, aksi net selling investor asing masih terus berlanjut
di pasar modal. Selama 43 minggu berjalan, aksi jual investor
asing tercatat Rp14,58 triliun. Ini menjadi momentum bagi
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk
menunjukkan sinergitasnya dalam menghadapi tantangan
global, saat ini dan ke depan. n
In House Training FATCA
Perbanas menyelenggarakan in house training dengan tema “Urgenitas IGA dalam Implementasi FATCA 15 Juli 2013” di Griya
Perbanas Jakarta, pada 11-12 September 2013. Training tersebut bertujuan supaya pelaku bisnis perbankan lebih memahami
peraturan-peraturan dalam Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) dan bagaimana implikasinya. Dalam training ini peserta
juga memperoleh pengetahuan tentang bagaimana membuat prosedur dan membangun sistem teknologi informasi (TI) yang merujuk
pada FATCA.
Pemahaman tentang FATCA dinilai penting, mengingat peraturan tersebut akan diimplementasikan pada 1 Januari 2014. Acara
yang digagas Komisi Kerja Perpajakan (KKP) Perbanas ini dihadiri oleh pejabat-pejabat Bank Indonesia (BI), Badan Kebijakan
Fiskal (BKF), dan praktisi perbankan. Dipandu Yudo Arbianto, Ketua KKP Perbanas, training tersebut sangat menarik karena
menghadirkan Indah Puspitasari dari Citibank; Ria Nurmaisari dari HSBC; serta Joyce Inggil, H. Malau, dan Dwin Anggoro dari
Bank OCBC NISP sebagai pembicara. Mereka adalah praktisi perbankan yang cukup berpengalaman.
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l
PROBANK
23
Sekilas Berita
Silaturahim KMPP dengan Kepala Sekolah dan Guru SD Perbanas
Pada 21 September 2013 Komite Masyarakat Perbankan Peduli (KMPP) Perbanas menggelar silaturahim dengan kepala sekolah
dan guru lima sekolah dasar (SD) yang dibangun kembali oleh KMPP Perbanas. Acara yang digelar di Griya Perbanas Jakarta itu
dihadiri Winny Erwindia, Lisawati, Rita Mirasari, Wulan Tumbelaka, dan Catherine Hadiman, yang mewakili KMPP Perbanas.
Sementara, dari pihak SD Perbanas, hadir Ester Lely Susilo, Septiana Sulistya, Komarudin, Mustofa, M. Abdul Gofur, Dwi A.
Lesmana, Siti Muryati, Tri Utama, dan Any Wahyu Kurniati. Pertemuan tersebut membahas perkembangan SD Perbanas dan
rencana sosialisasi edukasi perbankan untuk guru dan murid-murid SD tersebut.
Perbanas Sumut Bantu Korban Erupsi Gunung Sinabung
Pada 26 September 2013 Perbanas Sumatera Utara (Sumut) melalui program Perbanas Sumut Peduli menyampaikan bantuan
kepada korban erupsi Gunung Sinabung. Bantuan diberikan langsung oleh Nita Ernawati, Ketua Perbanas Sumut, didampingi
Ermaliana, Ketua Bidang Sosial dan Rohani serta Surjono Lasimon, Ketua Bidang Organisasi dan Humas, kepada para korban di
tempat penampungan pengungsi di Jambu Tuah Lopati dan Gereja GBKP Kebonjahe. Bantuan yang diberikan berupa sarung dan
bahan makanan, seperti mi instan, biskuit, dan barang keperluan wanita. Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo,
Sumut, meletus pada 15 September 2013. Jajaran pengurus Perbanas Sumut berharap, para pengungsi dapat segera kembali ke
tempat tinggalnya dan melakukan aktivitasnya.
24
PROBANK
l
No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013
Download