Dari Redaksi Peluang di Jalur Lambat C PENERBIT Perhimpunan Bank-Bank Nasional (Perbanas) PELINDUNG Pengurus Pusat Perbanas PEMIMPIN REDAKSI Danny Hartono, Wakil Sekretaris Jenderal Perbanas WAKIL PEMIMPIN REDAKSI Rita Mirasari, Ketua Bidang Humas Perbanas REDAKTUR PELAKSANA Eri Unanto SIRKULASI Wara Sri Indriani Adrian Burhan KONSULTAN Infobank Communication Redaksi menerima tulisan dari pihak luar. Panjang tulisan 3.000– 6.500 karakter. TARIF IKLAN Cover Depan dalam dan belakang dalam/luar berwarna • 1 halaman: Rp5.000.000,00 Isi • 1 halaman: Rp4.000.000,00 • ½ halaman: Rp2.000.000,00 Probank menerima pemasangan iklan dalam bentuk laporan keuangan, display produk, dan suplemen profil perusahaan. ALAMAT REDAKSI/IKLAN Griya Perbanas Lantai 1 Jalan Perbanas, Karet Kuningan Setiabudi, Jakarta 12940 Telepon: (021) 5255731,5223038 Faksimile: (021) 5223037, 5223339 website: www.perbanas.org e-mail: [email protected] IZIN PENERBITAN KHUSUS MENPEN No. 1882/SK/DITJEN PPG/ STT/1993, 2 September 1993 ISSN: 0854-4174 atatan tebal yang kerap menghiasi ruang publik di Tanah Air belakangan ini ialah menyangkut perlambatan pertumbuhan ekonomi dan persoalan langkah-langkah pemerintah menempuh keseimbangan neraca perdagangan. Memang, bukan hal yang mudah membalikkan dua-duanya ke arah dan posisi yang lebih stabil dan mantap dalam waktu yang singkat. Republik ini butuh waktu setidaknya dua hingga tiga tahun atau bahkan lebih untuk mencapai kestabilan yang permanen dan benarbenar memiliki durasi jangka panjang. Hari-hari belakangan menjelang pengujung 2013, kita semua masih dihadapkan pada masalah-masalah ekonomi, yang sialnya itu merupakan persoalan struktural bangsa ini. Untuk memperbaikinya, negeri ini butuh kemauan yang keras. Ini semua tentu menjadi pekerjaan rumah seluruh stakeholders negeri ini. Setidaknya, sebelum kembali ke titik normal, dua tahun ke depan, pemerintah dan pelaku ekonomi di Tanah Air akan diuji dengan sederet tantangan, baik yang bersumber dari lalu lintas global maupun pembenahan masalah struktural di tingkat domestik. Empat paket kebijakan yang dirilis pemerintah beserta bauran kebijakan bank sentral (di sektor moneter dan perbankan) memang diarahkan untuk mengantisipasi perlambatan maupun tekanan global. Namun, sejauh ini efek konkretnya belum terasa mewabah ke seantero negeri dan membikin suasana tenang. Pada triwulan ketiga 2013 kita dikejutkan dengan pertumbuhan ekonomi yang terkoreksi menjadi 5,62%, lebih rendah daripada triwulan sebelumnya. Catatan itu pula yang kemudian mempertebal asumsi bahwa pada akhir 2013 pertumbuhan ekonomi kita tidak akan melewati 5,8%. Pencapaian itu seolah menjadi preferensi pertumbuhan ekonomi kita pada tahun depan yang kemudian muncul angka perkiraan sebesar 5,6%, yang notabene melambat. Artinya, pada tahun politik mendatang, meski diperkirakan konsumsi domestik bakal naik tensinya, tak banyak yang bisa kita harapkan secara mendasar. Perubahan yang signifikan dan konstan juga belum tentu bisa kita wujudkan. Bukan bermaksud pesimistis, melainkan ke depan kita harus lebih realistis jika berkaca pada kondisi sekarang. Makanya, tak heran jika kemudian tercetus pemikiran bahwa dua tahun mendatang ekonomi nasional akan memasuki fase stabilisasi sebelum kemudian running well seperti harapan semua pihak. Di ranah pelaku usaha, termasuk industri perbankan di dalamnya, 2014 dinilai masih belum sepenuhnya memberi rasa aman bagi sepak terjang bisnis yang mereka tempuh. Setidaknya, hingga triwulan ketiga tahun depan, ada pandangan yang beredar, pelaku usaha masih akan melakukan aksi menunggu dan melihat alias wait and see. Sampai dengan masa pemilu tuntas dan kemudian terpilih kepemimpinan nasional, barulah kemudian opsi-opsi bisnis akan diambil dan dieksekusi. Kondisi inilah yang setidaknya bakal mewarnai 2014 mendatang. Kendati demikian, pelaku industri perbankan sebagai salah satu motor penggerak ekonomi nasional tidak lantas tinggal diam. Upaya-upaya strategis untuk tetap mempertahankan portofolio dan pencapaian bisnisnya terus dilakukan. Kendati sadar ke depan terjadi perlambatan (dari sisi permintaan kredit, misalnya), perbankan tak kalah gesit. Salah satu langkah yang kini kembali dan mulai ditingkatkan tensi dan intensitasnya ialah memompa pendapatan nonbunga, yakni melalui layanan wealth management. Ini merupakan upaya taktis yang patut diapresiasi. Satu sisi perbankan berharap masih bisa mengantongi pendapatan (fee based income), di lain sisi perbankan juga turut berperan memperbesar sekaligus menguatkan portofolio investasi di dalam negeri. Hal itu sejalan dengan hajat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang kini getol memperdalam pasar keuangan di Tanah Air. Nah, jika itu nyata adanya, upaya tersebut diyakini bisa makin menguatkan likuiditas makro di dalam negeri. Dan, kita tak perlu khawatir lagi bakal terjadi capital outflow karena memang fulus yang ditanam benar-benar berasal dari kantongkantong domestik, bukan uang panas seperti yang terjadi sekarang. n No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 1 Daftar Isi DARI REDAKSI .............................................................................1 PERBANAS UTAMA Menguatkan Struktur dan Ekonomi Domestik ..........................................................3 Meski masih rentan terhadap gejolak ekonomi global, kondisi perekonomian Indonesia tahun depan diprediksi lebih baik ketimbang tahun ini. Diperlukan berbagai perbaikan dan langkah antisipasi. Kredit Melambat, Likuiditas Mengetat ...........................6 PROFIL Parwati Surjaudaja Mewaspadai Kondisi Likuiditas.........................................14 LIPUTAN KHUSUS Layanan Terpadu dalam Mobile Payment System.........................................17 Penerapan bank tanpa kantor dan penggunaan teknologi mobile memperluas jangkauan layanan keuangan dan sistem pembayaran. Pemahaman masyarakat masih jadi kendala sehingga perlu edukasi kontinu. Era Branchless Banking: Makin Efisien ............................................................................18 UMKM Bakal Digenjot .............................................................8 Sektor Tradable Perlu Stimulus Fiskal .........................10 Sektor riil perlu diperkuat dengan pemberian stimulus fiskal sehingga bisa menopang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sektor tradable menjadi prioritas utama. KINERJA Berburu Saham Bank ............................................................20 Dua Langkah Antisipasi Krisis...............................................12 Kuatkan Mental dan Berpikir Positif .............................13 SEKILAS BERITA CEO Forum Perbanas .............................................................11 In House Training FATCA .....................................................23 Silaturahmi KMPP dengan Kepala Sekolah dan Guru SD Perbanas .........................................................24 Perbanas Sumut Bantu Korban Erupsi Gunung Sinabung ......24 2 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 INTERNASIONAL Siap-Siap Hadapi Tapering Off AS ..................................22 Tapering off pasti dilakukan The Fed. Dalam waktu dekat mungkin saja tidak dilakukan. Bagaimana dengan tahun depan? Perbanas Utama Menguatkan Struktur dan Ekonomi Domestik Meski masih rentan terhadap gejolak ekonomi global, kondisi perekonomian Indonesia tahun depan diprediksi lebih baik ketimbang tahun ini. Diperlukan berbagai perbaikan dan langkah antisipasi. H ingga saat ini, perekonomian global masih diwarnai ketidakpastian dan cenderung melambat. Kinerja perekonomian negara-negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa, dan Jepang, memang masih belum kuat, kendati mulai menunjukkan perbaikan. Sementara itu, perekonomian negara berkembang dibayangi risiko penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan kinerja transaksi berjalan, dan pelemahan nilai tukar. Kondisi tersebut berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia yang cenderung melambat. Lihat saja, perekonomian domestik pada triwulan ketiga hanya tumbuh sekitar 5,6%, dan pada akhir 2013 diperkirakan berada di kisaran 5,5%5,9%. Walau demikian, dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada 8 Oktober 2013, Bank Indonesia (BI) memprediksikan, kinerja perekonomian Indonesia pada 2014 akan membaik, sejalan dengan perekonomian global dan harga komoditas yang diperkirakan membaik pada tahun mendatang. Secara keseluruhan, perekonomian Indonesia diprediksi tumbuh lebih tinggi pada 2014, yakni mencapai 5,8%-6,2%. Dalam proyeksi tersebut, BI memperkirakan, kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) membaik pada triwulan ketiga 2013. Defisit transaksi berjalan akan menyempit, terutama dengan menurunnya impor seiring dengan melemahnya permintaan domestik dan dampak pelemahan nilai tukar rupiah. Sebagai catatan, hingga posisi Juli 2013, defisit transaksi berjalan mencapai 4,4% atau sebesar US$9,8 miliar. Hingga akhir tahun, posisi defisit transaksi berjalan akan diupayakan mencapai 3,4%. Di lain sisi, surplus Transaksi Modal dan Finansial (TMF) No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 3 Perbanas Utama akan lebih besar seiring dengan kembali masuknya investor asing pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Utang Negara (SUN) serta berkurangnya net sell (jual bersih) asing atas saham domestik sebagai respons kebijakan BI dan pemerintah serta penundaan tapering off di AS. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa akhir September 2013 diperkirakan menjadi US$95,7 miliar, meningkat dari posisi akhir Agustus 2013 yang sebesar US$93,0 miliar. Cadangan devisa tersebut setara dengan 5,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Sementara, nilai tukar rupiah pada triwulan ketiga 2013 mengalami depresiasi sejalan dengan nilai fundamentalnya. Secara rata-rata, rupiah melemah 8,18% (quarter to quarter/qtq) ke level Rp10.652 per US$1 atau secara point to point rupiah terdepresiasi 14,29% (qtq) ke level Rp11.580 per US$1. Menjelang akhir 2013, tekanan terhadap rupiah akan berkurang seiring dengan membaiknya inflasi dan neraca perdagangan. Tekanan inflasi mereda dan mencatat deflasi 0,35% (month to month/mtm) atau 8,40% (year on year/yoy) pada September 2013. Tingkat inflasi 2013 diperkirakan berkisar pada angka 9,0%-9,8%, dan kemudian menurun pada kisaran sasaran 4,5±1% pada 2014. Menurut A. Prasetyantoko, Chief Economist Bank Tabungan Negara (BTN), defisit neraca perdagangan diperkirakan tetap terjadi hingga tahun depan. Demikian pula dengan defisit transaksi berjalan, walau mulai mengecil. Sementara itu, menurut Ryan Kiryanto, ekonom Bank Negara Indonesia (BNI), kebijakan yang ditempuh BI, termasuk kenaikan BI Rate hingga 7,25%, sejauh ini masih direspons positif oleh kalangan pelaku usaha. Kenaikan BI Rate merupakan langkah lanjutan dari penguatan bauran kebijakan BI yang difokuskan untuk mengendalikan inflasi, stabilitas nilai tukar rupiah, serta memastikan berlangsungnya penyesuaian defisit transaksi berjalan pada tingkat yang berkelanjutan. Ryan menilai, langkah BI memang menjadi resep yang diharapkan dapat mengerem pertumbuhan secara terarah dan terukur dengan dosis kenaikan suku bunga acuan secara terukur pula, yang akan memaksa korporasi mengurangi kapasitas produksinya. Hal itu juga akan mendorong korporasi yang menggantungkan bisnisnya pada bahan baku dan bahan penolong impor untuk mengurangi impornya. Dengan begitu, permintaan dolar AS tentu akan menyusut, dan itu akan 4 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 mendorong penguatan rupiah. Tekanan terhadap neraca pembayaran membaik karena permintaan dolar AS untuk impor berkurang. Lantas, defisit transaksi berjalan dapat diperbaiki atau dipersempit. Ketika suku bunga bank naik sebagai respons terhadap kenaikan BI Rate, pemilik dana cenderung menyimpan dananya di perbankan karena imbal hasilnya menarik. Alhasil, dorongan konsumsi akan melemah dan berujung pada penurunan inflasi. Menurunnya permintaan ekspor serta melemahnya harga komoditas dan bahan baku bakal mendorong pemerintah untuk menggenjot ekspor sektor sekunder. Salah satunya sektor manufaktur. Sepanjang 2013 industri manufaktur Indonesia memang mengalami penurunan. Hal itu bisa dilihat dari catatan Purchasing Managers Index (PMI) yang dirilis HSBC. Hingga Agustus 2013, PMI industri manufaktur turun menjadi 48,5 dari sebelumnya 50,7. Menurut asumsi yang ada, penurunan indeks tersebut sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, jika indeks berada di bawah 50, itu berarti sektor manufaktur tengah mengalami kontraksi. Walau demikian, ke depan sektor manufaktur diupayakan untuk menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi defisit neraca perdagangan, bahkan meningkatkan surplus. Hal itu karena adanya penurunan ekspor dari sektor primer, seperti komoditas atau bahan baku, dan adanya kecenderungan dari pasar global untuk mengurangi permintaan bahan baku menjadi barang setengah jadi maupun jadi. Pemerintah akan berupaya keras mendorong pertumbuhan sektor manufaktur. Bertumbuhnya sektor tersebut akan berdampak pada pendapatan per kapita masyarakat dan tingkat pengangguran. Upaya yang harus terus dilakukan ialah mempercepat pembangunan infrastruktur dan mendorong peningkatan investasi di berbagai sektor terkait, seperti industri otomotif dan kimia. Selain itu, mengoptimalkan pemberian insentif fiskal bagi para pelaku usaha serta mengurangi ketergantungan pada komponen impor untuk kebutuhan sektor manufaktur yang notabene sangat tinggi, mengingat depresiasi nilai tukar rupiah. Ke depan peran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang notabene menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi nasional, juga akan terus ditingkatkan. Upaya itu merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan penguatan ekonomi domestik. Apalagi, menurut Destry Damayanti, Kepala Ekonom Bank Mandiri, para pelaku UMKM memiliki daya tahan yang cukup baik terhadap guncangan ekonomi. Hal tersebut terbukti dari beberapa krisis yang telah terjadi, termasuk krisis 1997-1998. Sementara, menurut Aviliani, pengamat ekonomi yang juga menjabat sebagai Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN), untuk menjaga kestabilan dan mengurangi ketergantungan, pemerintah hendaknya tidak hanya mendorong sektor hilir, tapi juga harus membangun sektor hulu di dalam negeri serta mengurangi ketergantungan impor. Meski demikian, tidak semua impor mesti direm, terutama yang terkait dengan pembangunan infrastruktur. “Intinya, harus ada perbaikan struktur ekonomi,” pungkasnya.n Aviliani Mesti Memperbaiki Struktur Ekonomi Ketidakpastian ekonomi global berdampak pada guncangan ekonomi Indonesia. Lesunya perekonomian global mengakibatkan penurunan nilai ekspor Indonesia. Hal itu diperburuk dengan makin meningkatnya impor akibat meningkatnya konsumsi domestik. Kombinasi keduanya mengakibatkan transaksi neraca berjalan mengalami defisit. Guncangan lain ialah terus melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) serta melonjaknya tingkat inflasi. Menurut Aviliani, pengamat ekonomi, perekonomian Indonesia masih memiliki prospek untuk terus tumbuh dengan catatan pemerintah dan segenap stakeholders yang ada mau melakukan perbaikan. Salah satunya terkait dengan struktur ekonomi. “Saat ini sebagian besar perusahaan struktur ekonominya didominasi oleh impor,” terang Aviliani di Jakarta, Selasa, 24 September 2013. Aviliani mencontohkan, perusahaan penerbangan yang harus membeli pesawat dari luar, yang notabene memakai dolar AS. Sementara, di industri keuangan, ada kebutuhan perusahaan reasuransi yang notabene dari luar negeri. Keadaan semakin diperparah dengan merebaknya bisnis waralaba yang sebagian besar berasal dari luar negeri, yang biaya franchise-nya tentu menggunakan dolar AS. Padahal, bisnis dan penjualannya menggunakan mata uang rupiah. Intinya, ada kesalahan pola ekonomi—modalnya dipinjam dengan dolar AS, tapi bisnisnya menggunakan rupiah. “Inilah yang membuat kebutuhan dolar AS makin membesar dan tak terkendali,” tegas Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) itu. Sementara itu, tingkat repatriasi (keuntungan yang dibawa investor ke luar negeri) masih besar. Bayangkan, tahun lalu saja ada sekitar US$2 miliar. Karena itu, Aviliani mendorong para pelaku usaha dan pemerintah untuk memikirkan substitusi impor. “Kalau mau bermain di hilir, hulunya itu harus ada di dalam negeri,” ujarnya. Hal penting yang juga mesti dilakukan ialah merevisi berbagai aturan. Kebijakan yang ditelurkan pascakrisis 1998 hingga 2003 dinilai Aviliani sangat liberal. Pemerintah seharusnya melakukan penguatan ekonomi domestik. Salah satunya ialah undang-undang mengenai devisa bebas. Pasalnya, dengan menganut rezim devisa bebas, Indonesia kesulitan mengatur cashflow—jika diibaratkan sebuah perusahaan. “Untuk mengatasi hal itu ada dua cara, yakni mengubah UU devisa bebas atau membuat kebijakan lain, misalnya devisa hasil ekspor atau DHE (insentif atau disinsentif ). Namun, DHE mesti diperjelas eksekusi dan hukumannya,” jelasnya. Untuk memperkuat struktur ekonomi, ke depan Indonesia harus menguatkan sektor industri yang memiliki nilai tambah dan berorientasi ekspor, seperti industri kreatif. Pemerintah juga harus bisa melakukan proteksi. “Saat ini negara ASEAN sedang mencari hambatan impor, bukan mempermudahnya. Kalau di Indonesia sebaliknya,” pungkasnya. Dengan pelbagai perbaikan yang dilakukan dan membaiknya kondisi ekonomi global, perekonomian Indonesia pada tahun-tahun mendatang diharapkan jauh lebih baik ketimbang tahun ini. Demikian pula dengan nilai tukar rupiah. No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 5 Perbanas Utama Kredit Melambat, Likuiditas Mengetat Tidak pastinya kondisi ekonomi global dan melambatnya pertumbuhan ekonomi domestik akan berdampak terhadap industri perbankan nasional, dalam hal ini fungsi intermediasi. Perbankan harus tetap mewaspadai persoalan likuiditas. W alaupun terjadi guncangan ekonomi, Bank Indonesia (BI) dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang digelar pada 8 Oktober 2013 menyatakan bahwa stabilitas sistem keuangan nasional masih terjaga baik dengan dukungan ketahanan industri perbankan. Hingga Agustus 2013, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR) perbankan nasional mencapai 17,89% dan rasio kredit bermasalah (non performing loan atau NPL) berada di 1,99%. Pertumbuhan kredit mencapai 22,2% (year on year atau yoy) atau menjadi Rp3.068,01 triliun. Namun, terkait dengan pertumbuhan kredit, BI memperkirakan akan terjadi perlambatan seiring dengan kenaikan suku bunga, penurunan permintaan domestik, dan kebijakan makroprudensial yang ditempuh BI. Namun, di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi, perbankan nasional akan menghadapi tantangan, yaitu sulitnya likuiditas. Mengantisipasi hal tersebut, BI pun meresponsnya dengan mengeluarkan kebijakan untuk menaikkan giro wajib minimum (GWM) sekunder dalam bentuk surat-surat berharga dari 2,5% menjadi 4% pada September lalu dan menurunkan batas atas loan to deposit ratio (LDR) dari 100% menjadi 92%. Setidaknya, respons BI dengan kebijakan tersebut bisa menjaga likuiditas perbankan, yang tercermin dari tingkat likuiditas sebesar 18,20% untuk memenuhi penarikan dana. Kendati demikian, menurut A. Prasetyantoko, Chief Economist Bank Tabungan Negara (BTN), perbankan nasional harus tetap mewaspadai persoalan likuiditas. Sebaiknya hingga akhir tahun ini, perbankan fokus mengamankan dan memastikan bahwa likuiditas tercukupi. Tentu saja hal itu akan berdampak pada proyeksi penyaluran kredit, ekspansi, dan pencapaian laba yang harus rela tergerus. Kinerja perbankan akan sedikit terpengaruh kondisi perekonomian saat ini, terutama penyaluran kredit dan perolehan keuntungan. 6 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 Terkait dengan defisit neraca perekonomian Indonesia akan kembali perdagangan, Prasetyantoko stabil karena rupiah mulai menguat memperkirakan akan tetap terjadi hingga dan “penyakit ekonomi” Indonesia tahun depan. Demikian pula dengan defisit mulai bisa disembuhkan. transaksi berjalan, walaupun mulai Memang, kebijakan makroprudensial mengecil. BI dalam merespons gejolak yang ada Sigit Pramono, Ketua Umum bisa menjadi arahan dari pemangku Perbanas, mengakui bahwa kinerja kebijakan untuk melakukan pengereman perbankan akan sedikit terpengaruh kredit. Hal itu bisa dilihat dari kondisi perekonomian saat ini, terutama peningkatan BI Rate dan penurunan penyaluran kredit dan perolehan batas rasio LDR menjadi 92%. Bagi keuntungan. Namun, pengaruh tersebut Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur tidak signifikan. Hal senada juga Bank OCBC NISP, keadaan itu tentu diungkapkan Presiden Direktur Bank saja akan memengaruhi laju kredit CIMB Niaga, Arwin Rasyid. perbankan. “Laju kredit diprediksikan Menurutnya, pertumbuhan kredit akan sedikit melambat, yakni di kisaran perbankan pada 2014 akan berada di 18%-20% pada 2013 dan 2014,” bawah 20%. terangnya. Sementara itu, Ryan Kiryanto, Di tengah kondisi ketidakpastian ekonom dari Bank Negara Indonesia dan perlambatan pertumbuhan (BNI), berpendapat, respons kebijakan ekonomi, Parwati menyarankan agar yang ditempuh BI, termasuk kenaikan perbankan nasional mewaspadai BI Rate hingga menjadi 7,25%, sejauh berbagai risiko, baik risiko internal ini masih dianggap positif oleh maupun risiko eksternal. Risiko kalangan pelaku usaha. Kenaikan BI internal diakibatkan oleh adanya Rate merupakan langkah lanjutan dari sektor perdagangan Untuk perbankan nasional, ketidakseimbangan penguatan bauran kebijakan BI yang karena impor meningkat tinggi seiring saat ini tentu saja lebih difokuskan untuk mengendalikan dengan meningkatnya investasi, inflasi, menstabilkan nilai tukar sedangkan kinerja ekspor masih penting melihat kondisi rupiah, serta memastikan tertekan akibat lemahnya permintaan likuiditas tiap bank. berlangsungnya penyesuaian defisit pasar global dan rendahnya harga transaksi berjalan (DTB) pada tingkat komoditas yang notabene menjadi yang berkelanjutan. sektor primer bagi ekspor Indonesia. Langkah BI memang menjadi resep Sementara itu, risiko eksternal yang diharapkan dapat mengerem diakibatkan oleh ketidakpastian pertumbuhan secara terarah dan terukur pertumbuhan ekonomi China, dengan dosis kenaikan suku bunga penyelesaian krisis di zona Eropa, dan acuan secara terukur pula yang akan memaksa korporasi fiscal cliff di AS yang tentunya akan memengaruhi sektor mengurangi kapasitas produksi. Hal ini juga akan keuangan global. mendorong korporasi yang menggantungkan bahan baku Dengan kondisi tersebut, menurut Parwati, untuk perbankan dan bahan penolong impor mengurangi impornya. Otomatis nasional, saat ini tentu saja lebih penting melihat kondisi permintaan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) akan likuiditas tiap bank. Setelah itu, baru melihat ekspansi bisnis menyusut dan oleh karenanya akan mendorong penguatan dan laba yang mungkin akan didapatkan. “Fondasinya itu rupiah. tetap likuiditas. Jika terganggu, tidak mungkin bisa leluasa,” Pada saat yang sama tekanan terhadap neraca pembayaran ungkapnya. membaik karena permintaan terhadap dolar AS untuk impor Ada berbagai cara yang bisa dilakukan perbankan untuk berkurang. Lantas, DTB dapat diperbaiki atau dipersempit. menyiasati ketatnya likuiditas, misalnya diversifikasi likuiditas, Ketika suku bunga bank naik sebagai respons kenaikan BI seperti yang dilakukan Bank OCBC NISP dengan menerbitkan Rate, pemilik dana cenderung menyimpan dananya di obligasi. “Intinya, sumber likuiditas itu tidak hanya dari perbankan karena imbal hasilnya menarik. Alhasil, dorongan sumber-sumber konvensional. Yang penting juga, perbankan konsumsi akan melemah dan berujung pada penurunan harus pintar mengelola mismatch yang baik antara pendanaan inflasi. dan pembiayaan,” jelasnya. Selain itu, bagi Ryan, kenaikan BI Rate memberikan Parwati meyakini kondisi ke depan akan membaik. Salah sinyal positif terhadap perbaikan ekonomi Indonesia, meski satu indikatornya ialah menguatnya nilai tukar rupiah dan laju pertumbuhan sedikit melambat. Perlambatan hanya inflasi yang mulai melandai. Dalam jangka pendek tidak akan akan terjadi pada akhir 2013 hingga triwulan pertama 2014. terjadi peningkatan dan kondisinya tidak akan lebih buruk Namun, pada triwulan kedua 2014 dan seterusnya daripada kondisi sebelumnya.n No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 7 Perbanas Utama UMKM Bakal Digenjot Kekuatan ekonomi domestik akan mampu menahan gejolak dan ketidakpastian ekonomi global. UMKM sebagai penopang kekuatan ekonomi domestik akan memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional. Seperti apa prospeknya? P elaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional. Selain jumlahnya yang dominan, pelaku UMKM memiliki daya tahan yang kuat terhadap gejolak krisis. Menurut data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM), pada 2012 jumlah pelaku UMKM di negeri ini mencapai 56.534.592, dengan perincian pelaku usaha mikro sebanyak 55.856.176, usaha kecil 629.418, dan usaha menengah 48.997. Dengan jumlah sebanyak itu, pelaku UMKM memiliki pangsa pasar (market share) sebesar 99,99% dari total pelaku usaha di Indonesia. Sayang, dominasi secara jumlah tidak berbanding lurus dengan fasilitas yang diberikan dan disiapkan bagi para pelaku UMKM, baik permodalan maupun infrastruktur lainnya. Tak ingin larut dengan masalah yang ada, berbagai program untuk mendorong sektor UMKM pun terus dilakukan. Di antaranya, program pendampingan, pembentukan lembaga jaminan kredit, pemberian kredit program (Kredit Usaha Rakyat atau KUR), dan kebijakan Bank Indonesia (BI) terkait dengan rasio minimal kredit kepada UMKM, yakni melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/22/PBI/2012 Tanggal 21 Desember 2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Aturan tersebut diterapkan secara bertahap, yakni minimal 5% dari total kredit pada 2015, 10% pada 2016, 15% pada 2017, dan minimal 20% pada 2018. Memang, hingga saat ini, pertumbuhan kredit sektor UMKM tak secepat kredit lainnya. Seperti dikutip dalam www.infobanknews.com (16/9/2013), akselerasi pembiayaan kepada UMKM masih kurang. “Perkembangan tetap ada, (tapi) percepatan pertumbuhan kredit UMKM enggak sebesar 8 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 pertumbuhan kredit. Saat ini 18%-19%, tak secepat kredit biasa (yang mencapai) 20% ke atas. Akselerasinya kurang,” ucap Direktur Eksekutif Pengembangan Akses Keuangan dan UMKM BI, Eni Vimaladewi Panggabean. Kondisi itu disebabkan masih adanya keraguan dalam penyaluran kredit ke segmen UMKM, terutama terkait dengan profil risiko calon debitor UMKM. Risiko lain ialah menyangkut produksi, pertanian, musim, bahkan penyakit sapi. Sebagai informasi, hingga Juli 2013, kredit UMKM hanya tumbuh 15,52% atau menjadi Rp583,86 triliun. Ada beberapa sektor ekonomi dari kredit UMKM yang mengalami perlambatan atau penurunan ketimbang tahun sebelumnya, seperti sektor pertanian, perburuan, dan kehutanan yang hanya tumbuh 15,63% pada posisi Juni 2013 atau menjadi Rp43,62 triliun. Padahal, pada posisi Juli 2012 pertumbuhannya mencapai 104,05% atau menjadi Rp37,72 triliun. Kendati begitu, ada beberapa sektor yang mengalami peningkatan, seperti sektor jasa perorangan yang melayani rumah tangga yang tumbuh 71,45% atau menjadi Rp1,20 triliun. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya pertumbuhan sektor tersebut minus 16,83% atau sebesar Rp697 miliar. Sektor lain yang juga mencatatkan pertumbuhan ialah sektor perdagangan besar dan eceran yang tumbuh 33,20% atau menjadi Rp310,87 triliun. Sebelumnya sektor ini hanya tumbuh 32,44% atau sebesar Rp233,39 triliun. Prospek pembiayaan UMKM sejatinya sangat bagus jika dikaitkan dengan jumlah pelaku yang banyak dan belum tersentuh secara maksimal. Merujuk pada kajian yang dilakukan BI (Rating Agency Malaysia/RAM Consulting dalam BI, 2011), masih ada sekitar 75% hingga 90% UMKM di negara-negara ASEAN yang memperoleh pendanaan dari tabungan internal, laba ditahan, serta pinjaman dari sektor informal (di antaranya pinjaman dari keluarga dan teman). Baru sekitar 3% hingga 18% dari UMKM tersebut yang memanfaatkan pendanaan dari sektor formal, salah satunya perbankan. Sementara, mengenai risiko kredit bermasalah, sebenarnya itu bisa diminimalkan melalui berbagai program yang dilakukan, seperti pembinaan dan edukasi. Menurut Eni Vimaladewi Panggabean, pembinaan dan edukasi keuangan terhadap segmen UMKM sangat penting dilakukan dalam upaya memperbesar porsi kredit UMKM menjadi sedikitnya 20% dari total kredit pada 2018, sesuai dengan aturan bank sentral. Pembinaan juga dinilai akan memperkecil risiko kredit bermasalah (non performing loan/NPL) dari pembiayaan UMKM. Ke depan, menurut Irwan M. Habsjah, Komisaris Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), pembiayaan ke sektor UMKM akan semakin marak. Selain faktor dorongan regulasi, perbankan mulai memaksimalkan potensi bisnis yang ada di sektor UMKM. Dengan kian maraknya perbankan masuk ke sektor UMKM, Irwan memperkirakan, tingkat suku bunga untuk kredit UMKM dengan sendirinya akan menurun karena adanya persaingan. Walau kondisi 2014 masih belum relatif stabil, beberapa pelaku usaha di sektor perbankan meyakini pertumbuhan kredit UMKM masih tetap bagus. Djarot Kusumayakti, Direktur Bisnis UMKM Bank Rakyat Indonesia (BRI), misalnya. Menurutnya, untuk menyiasati kelesuan beberapa sektor, perbankan bisa mengalihkan pembiayaan ke sektor yang lebih aman dan berpotensi, misalnya sektor pertanian. BRI sendiri tetap memasang target optimistis, yakni tumbuh 25% pada 2014. Mewaspadai Kredit Bermasalah Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat ketidakpastian ekonomi global dan guncangan domestik diprediksi akan memengaruhi para pelaku UMKM, yang tentu akan berdampak pula pada kredit UMKM, yakni peningkatan rasio kredit bermasalah (NPL). Salah satu dampak yang mesti diwaspadai ialah melonjaknya inflasi, yang diprediksikan BI sekitar 9%-9,98%. Lonjakan inflasi yang tinggi akan berdampak pada daya beli masyarakat menengah ke bawah. Hal itu tentu akan mengakibatkan berkurangnya permintaan barang atau jasa yang diproduksi pelaku UMKM, yang notabene memiliki segmentasi kelas menengah ke bawah. Faktor lain yang memengaruhi ialah lonjakan harga komoditas pangan atau bahan baku dan biaya distribusi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang berdampak pada peningkatan biaya produksi. Ada potensi peningkatan rasio NPL jika bank tidak mengantisipasinya dengan baik. Untuk menyiasati kondisi yang ada, baik bank maupun pelaku usaha harus bisa melakukan penyesuaian. Bank yang menaikkan suku bunga sebaiknya melakukannya secara bertahap. Sementara, bagi pelaku usaha, mereka harus jeli dalam melakukan efisiensi. Memang, jika melihat data yang dirilis BI hingga posisi Juni 2013, rasio NPL kredit UMKM masih relatif aman dan menurun jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada Juni 2013 rasio NPL kredit UMKM sebesar 3,35%, sedangkan pada Juni 2012 mencapai 3,61%. Namun, ada beberapa sektor ekonomi pada kredit UMKM yang patut diwaspadai, seperti jasa kemasyarakatan, sosial budaya, hiburan, dan perorangan lainnya, karena NPL-nya meningkat menjadi 3,31% dari 2,46% pada periode Juni 2012. Selain itu, sektor ekonomi perantara keuangan yang NPL-nya meningkat menjadi 1,63% dari posisi sebelumnya 1,13%.n No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 9 Perbanas Utama Sektor Tradable Perlu Stimulus Fiskal Sektor riil perlu diperkuat dengan pemberian stimulus fiskal sehingga bisa menopang pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sektor tradable menjadi prioritas utama. S ebelum krisis 1998, pertumbuhan sektor tradable (sektor penghasil barang) hampir selalu lebih tinggi daripada sektor non-tradable (sektor jasa). Setelah krisis, keadaan berbalik. Selama kurun waktu 20002004, rata-rata pertumbuhan sektor tradable hanya 3,6%, sedangkan sektor non-tradable mencapai 5,8% atau 1 berbanding 1,6 (1 : 1,6). Selama 2005-2013, pertumbuhan sektor tradable dan sektor non-tradable masing-masing 3,6% dan 8,2% atau 1 : 2,3. Kesenjangan pertumbuhan kedua sektor itu kian menganga. Padahal, sektor-sektor tradable bisa memberikan nilai tambah (added value) bagi perekonomian nasional. Neraca perdagangan akan lebih sehat karena nilai impor berkurang. Selain itu, ekonomi berbasis produksi akan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Inilah pentingnya pemberian stimulus fiskal bagi sektor tradable, seperti sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan, sektor perikanan, sektor 10 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 pertambangan dan penggalian, serta sektor pengolahan (manufaktur). Sayangnya, pemberian insentif fiskal justru diberikan ke sektor lain yang tidak memberikan nilai tambah, seperti penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan low cost green car (LCGC). Kebijakan tersebut justru akan membuat jumlah kendaraan di jalan bertambah banyak. Ujung-ujungnya, subsidi bahan bakar minyak (BBM) akan membengkak. Kendati pertumbuhannya terus melemah, beberapa sektor tradable mengalami perkembangan positif. Sektor pertambangan, misalnya. Pada 2014 industri pertambangan Indonesia akan memasuki babak baru seiring dengan pemberlakuan larangan ekspor komoditas seperti diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Dalam hal ini, pemerintah menargetkan 70% rencana investasi pabrik pemurnian tambang mineral (smelter) bisa terealisasi pada 2014. Program hilirisasi ini diyakini dapat memacu aliran investasi pada industri hilir mineral di Indonesia. Menurut UU Minerba 2009, awal Januari 2014 penambang harus memproses bijih mineral di smelter sendiri atau smelter independen lain sebelum mengekspornya. Penambang yang tidak melakukan hal ini akan dilarang mengekspornya ke luar negeri. Peraturan ini diberlakukan sebagai upaya untuk mengurangi over eksploitasi mineral. Peraturan ini berlaku untuk ekspor 65 komoditas mineral. Diperkirakan ada potensi investasi baru sebesar US$10,8 miliar dari hilirisasi industri hasil tambang mineral, yakni bauksit, tembaga, nikel, bijih besi, dan pasir besi. Investasi itu bisa didapatkan karena bea keluar (BK) 20% atas hasil tambang mineral mulai diberlakukan tahun ini sampai dengan pelarangan ekspor secara penuh komoditas tambang mentah tersebut pada tahun depan. Kebijakan larangan ekspor komoditas diprediksi akan turut mendongkrak pertumbuhan sektor manufaktur pada tahuntahun mendatang. Seperti diketahui, sepanjang 2013 industri manufaktur Indonesia mengalami penurunan. Menurut catatan Purchasing Managers Index (PMI) yang dirilis HSBC, hingga Agustus 2013, industri manufaktur mengalami penurunan indeks dari 50,7 menjadi 48,5. Berdasarkan asumsi yang ada, penurunan indeks tersebut sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, jika berada di bawah 50, itu berarti sektor manufaktur tengah mengalami kontraksi. Kebijakan tersebut juga akan memacu pertumbuhan di sektor tradable lainnya, seperti sektor pertanian dan perkebunan. Tahun ini dan tahun depan sektor pertanian diprediksi masih mengalami stagnasi. Hal itu terlihat dari pertumbuhan pada 2013 yang tak sebesar 2012. Menurut data Probank, pada 2012 kredit di sektor ini tumbuh 29,75%. Namun, per Juli 2013 hanya tumbuh 22,08%. Sektor perkebunan diprediksi akan mengalami pertumbuhan dan turut mendorong pertumbuhan sektor pengolahan. Hasil perkebunan seperti kelapa sawit yang selama ini banyak diekspor dalam bentuk bahan mentah, misalnya, ke depan harus diolah terlebih dahulu hingga menjadi crude palm oil (CPO) agar memberikan nilai tambah. Demikian pula dengan komoditas lain yang selama ini diekspor dalam bentuk bahan baku. Sektor riil lain yang juga diprediksi akan tumbuh pada 2014 ialah infrastruktur. Anggaran infrastruktur pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014 mencapai Rp226 triliun. Sumbernya berasal dari pemerintah pusat sebesar Rp208 triliun dan anggaran belanja infrastruktur daerah serta ruang fiskal akibat pengurangan subsidi BBM sebesar Rp18 triliun. Anggaran sebesar itu akan dimanfaatkan untuk membangun berbagai infrastruktur dasar di Tanah Air. Meski alokasi anggarannya meningkat dalam tiga tahun terakhir, yang perlu diperhatikan adalah realisasinya. Misalnya, hingga semester pertama 2013, belanja kementerian atau lembaga di bidang infrastruktur sebagian besar masih di bawah 20%. Bahkan, untuk belanja modal infrastruktur baru terserap 17,7% atau Rp34 triliun dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2013 sebesar Rp192,6 triliun. Nilai serapan ini lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 18,2%. Bagaimana dengan sektor properti? Meski tertekan dengan keluarnya kebijakan loan to value (LTV), sektor ini masih menyisakan ruang untuk tumbuh. Penjualan properti tahun depan diperkirakan masih tetap tinggi. Apartemen akan makin diburu masyarakat, baik untuk tempat tinggal maupun investasi. Selain apartemen, permintaan terhadap rumah dan ruko masih terjaga. Banyak pihak meyakini, tahun depan merupakan masa puncak industri properti, baik untuk pasokan, permintaan, maupun harga. Adanya peristiwa politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 tidak begitu memengaruhi pasar properti. Sementara itu, sektor jasa, yang termasuk dalam sektor non-tradable, tahun depan diperkirakan akan meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi domestik. Daya beli masyarakat yang tetap terjaga juga menjadi salah satu faktor penopang sektor ini.n CEO Forum Perbanas Pada 10 September 2013 diselenggarakan "CEO Forum Perbanas" di Hotel Le Meridien, Jakarta. Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hadir sebagai pembicara dalam forum tersebut. Acara yang dihadiri chief executive officer (CEO) bank-bank anggota Perbanas ini diisi diskusi dengan tema kondisi perbankan saat ini. No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 11 Perbanas Utama Dua Langkah Antisipasi Krisis Ada dua langkah penting yang telah disiapkan OJK untuk mengantisipasi krisis pada 2014. Proses transisi pengawasan perbankan ke OJK diharapkan tak menimbulkan guncangan. P elaku industri perbankan dan keuangan di Tanah Air akan menghadapi kondisi yang penuh tantangan pada 2014. Pertama, dampak krisis global diprediksi masih akan menekan perekonomian nasional. Kedua, peralihan tugas pengawasan industri perbankan dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menjadi tantangan tersendiri, mengingat itu adalah pengalihan pengawasan yang besar. Apa yang dilakukan OJK agar pengalihan tugas pengawasan tersebut berjalan mulus (smooth)? Apa pula upaya-upaya yang diambilnya guna menghadapi krisis? Berikut wawancara Probank dengan Muliaman D. Hadad, Ketua OJK. Petikannya: Awal Januari 2014 pengawasan perbankan beralih ke OJK. Seperti apa persiapannya? Per 1 Januari 2014 pengawasan perbankan akan beralih ke OJK. Kami sedang mempersiapkan, tidak hanya di kantor pusat, di Jakarta, tapi juga kantor di daerah. Jadi, pengawasan BPR, lembaga keuangan lain di daerah, dan kegiatan edukasi keuangan kepada masyarakat di daerah akan di-handle oleh kantor OJK yang ada di daerah-daerah. Termasuk bagaimana pengalihan SDM (sumber daya manusia), bagaimana pinjammeminjam gedung, fasilitas, dan sebagainya. Kenapa itu menjadi penting karena yang kami lakukan ialah suatu kegiatan pengalihan pengawasan yang besar dan kami ingin meyakini tidak ada gangguan apa-apa. Itu menjadi target jangka pendek memasuki 2014. Selain proses tersebut, ada target lain? Ada target-target lain yang menjadi perhatian OJK. Pertama, sesuai dengan amanah undang-undang, kami diminta membangun suatu pengawasan yang terintegrasi. Terintegrasi dalam artian agar tidak terjadi apa yang disebut sebagai regulatory arbitrage. Kami ingin semua pengawasan sama rata, dengan demikian tidak ada arbitrase. Kedua, pengawasan yang terintegrasi diperlukan karena faktanya berkembang bisnis keuangan grup usaha keuangan yang makin nyata. Hampir tiap bank mempunyai anak perusahaan yang umumnya dalam bentuk asuransi, lembaga keuangan, dan sebagainya. Artinya terintegrasi sehingga kita tidak kehilangan picture lengkapnya keuangan. 12 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 Untuk industri keuangan nonbank (IKNB) seperti apa pengawasan dan pengaturannya ke depan? Karena IKNB makin hari makin besar sizenya sehingga penanganan, baik induknya maupun anaknya, itu harus betul-betul terintegrasi. Itu juga menjadi alasan mengapa kami harus sesegera mungkin menyiapkan metodologi pengawasan yang lebih terintegrasi. Kami juga nanti akan mengeluarkan semacam pedoman atau guide lines dalam bentuk peraturan OJK pada awal 2014. Nanti itu yang memberikan pedoman bagaimana pengelolaan terhadap anakanak perusahaan yang dimiliki bank. Saya kira ini harus terintegrasi, paling tidak dalam tiga hal, yakni, pertama, antara induk dan anak harus terintegrasi dalam manajemen risiko. Kemudian, anak dan induk ini harus terintegrasi dalam hal internal auditnya. Kemudian, induk dan anak usaha ini harus terintegrasi dalam mekanisme perencanaan dan sebagainya. (Untuk) jangka pendek yang lain ialah melakukan (memberikan) edukasi keuangan kepada masyarakat. Ini penting karena tingkat melek keuangan masyarakat (kita) secara keseluruhan masih dinilai rendah. Bagaimana kebijakan OJK terkait dengan krisis? Kalau di lingkungan krisis, rasanya kita sudah punya pengalaman. Tinggal melengkapi kalau ada yang kurang. Berdasarkan pengalaman krisis lalu, intinya tetap saja kembali pada daya tahan kita. Sebab, krisis itu ada yang tidak dapat kita bendung. Sumbernya datang dari luar. Kita mau tidak mau, intinya sejauh mana kesiapan kita. Bagi kita yang terpenting ialah tetap back to basic, bagaimana membangun resiliensi daya tahan industri keuangan kita. Maka, selalu ada dua hal yang saya tekankan terus. Pertama, pendalaman pasar modal itu menjadi penting, terutama memperkuat basis investor domestik. Kedua, pada lembaga keuangan seperti bank, kita harus yakini betul kuat di likuiditasnya, modalnya, manajemen risikonya jalan, dan sebagainya. Sehingga, any time krisis datang kita lebih siap. Menurut saya, yang penting adalah memperbaiki kondisi internal kita, tidak hanya di industri keuangan, sektor riil juga, termasuk di dalamnya fundamental di neraca pembayaran. n Kuatkan Mental dan Berpikir Positif Dampak kemerosotan ekonomi dunia masih akan dirasakan Indonesia. Penempatan subsidi yang tepat sasaran dapat mempercepat laju pembangunan. Pasar dalam negeri masih menarik bagi investor. P erlambatan ekonomi dan ketidakpastian keuangan global masih akan membayangi perekonomian Indonesia tahun depan. Namun, terlepas dari kondisi ekonomi makro yang belum stabil, mentalitas bangsa dalam menghadapi gejolak ekonomi perlu diperkuat agar perekonomian Indonesia tetap tumbuh. Demikian menurut Harry Azhar Aziz, Wakil Ketua Komisi XI, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), yang membawahkan bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan. Harry menambahkan, bangsa Indonesia harus kuat dan selalu berpikir positif. Senada dengan Harry, Karin Finkelston, Vice President International Finance Corporation (IFC) untuk Asia Pasifik, sebuah lembaga anggota kelompok Bank Dunia yang bermarkas di Hong Kong, juga mengatakan bahwa tantangan akan banyak ditemui Indonesia tahun depan. Sebab, menurutnya, dampak kemerosotan ekonomi global masih akan dirasakan Indonesia. Ditambah lagi, 2014 merupakan tahun politik bagi Indonesia. Meski gejolak ekonomi dunia diprediksi masih akan terasa di Tanah Air, bukan berarti perekonomian Indonesia tak punya peluang untuk tumbuh tahun depan. Harry meyakini, kemajuan ekonomi nasional dapat diraih asalkan semua komponen bangsa berpikir positif dan saling bekerja sama. “Kita jangan banyak mengeluh. Dengan mental seperti itu, sulit bagi perekonomian kita untuk tumbuh,” tutur Harry. Di lain sisi, politikus Partai Golkar itu juga melihat potensi market Indonesia yang besar masih akan jadi perhatian banyak investor asing. Meski begitu, katanya, pemerintah juga jangan lengah. Pemerintah harus tetap memerhatikan kesinambungan pembangunan. Subsidi yang tepat sasaran dapat menjaga kelangsungan pembangunan. Pembangunan infrastruktur harus ditingkatkan karena berkaitan dengan efisiensi usaha. Efisiensi tentu merupakan hal penting bagi investor. “Subsidi yang makin diperbaiki akan meningkatkan kualitas pembangunan Indonesia,” imbuhnya. “Kita jangan banyak mengeluh. Dengan mental seperti itu, sulit bagi perekonomian kita untuk tumbuh,” Sementara, Karin menilai, Indonesia merupakan negara yang kompetitif, baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang. Investor asing akan semakin banyak masuk ke Indonesia jika pemerintah kian meningkatkan pembangunan infrastruktur. “Jika infrastruktur kuat, logistik akan bagus. Itu bisa mendatangkan investor,” jelas Karin. Tak dimungkiri, infrastruktur memang memegang kunci penting dalam pembangunan nasional. Ekonomi Indonesia yang diharapkan dapat terus tumbuh juga membutuhkan infrastruktur yang memadai. Bank Indonesia (BI) memperkirakan, pada 2014 pertumbuhan ekonomi dunia mencapai 3,5%, lebih rendah daripada proyeksi sebelumnya yang sebesar 3,7%. Sementara, pertumbuhan ekonomi nasional diperkirakan berkisar antara 5,8% hingga 6,2%.n No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 13 Profil Parwati Surjaudaja Mewaspadai Kondisi Likuiditas Pada 2014 laju industri perbankan nasional diperkirakan sedikit melambat. Sejumlah tantangan pun siap mengadang. Agar bisnis tetap stabil dan berkelanjutan, perbankan mesti punya strategi yang tepat dan lebih berhati-hati. H ingga akhir 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan melambat. Sebagai informasi, Bank Indonesia (BI) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional menjadi 5,5%-5,9%. Ketidakpastian ekonomi global dan koreksi pertumbuhan ekonomi domestik merupakan kombinasi faktor yang berdampak pada perlambatan di industri perbankan. Para pengamat dan pelaku usaha di sektor perbankan pun mengaku, perlambatan tersebut akan berlanjut hingga 2014, meski tahun depan kondisinya diperkirakan sedikit lebih baik ketimbang tahun ini. Hal itu diamini Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP. Parwati memperkirakan, bakal ada sedikit perlambatan di sektor perbankan. Selain faktor global dan domestik, kebijakan yang ditempuh BI, seperti penyesuaian BI Rate hingga 7,25%, sesungguhnya memberi andil terhadap laju bisnis (kredit) perbankan pada tahun depan. “Kenaikan suku bunga acuan, perlambatan ekonomi domestik dan global, dan berbagai bauran kebijakan makroprudensial BI akan memengaruhi laju kredit. (Kredit) diprediksikan akan sedikit melambat, (yakni) di kisaran 18%-20% pada 2013 dan 2014,” terangnya. Di tengah kondisi yang berkembang dewasa ini, menurut Parwati, selain harus mampu menerapkan strategi bisnis dengan tepat, perbankan nasional mesti lebih berhati-hati. Salah satu dampak yang harus diwaspadai ialah ketatnya likuiditas perbankan. Bagaimana sebetulnya kondisi likuiditas perbankan nasional dan tantangan lainnya pada tahun depan? Bagaimana pula kesiapan perbankan menghadapi era pasar bebas ASEAN? Simak bincang-bincang Probank dengannya, belum lama ini. Petikannya: Bagaimana perkembangan perbankan nasional hingga akhir 2013? Bagaimana pula proyeksi 2014? Secara umum, prospek industri perbankan Indonesia relatif tidak berbeda hingga akhir 2013 dari segi pertumbuhan aset, permodalan, dan profitabilitas. Karena, sektor perbankan masih 14 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 memiliki daya tahan yang relatif kuat terhadap fluktuasi ekonomi global. Walaupun demikian, revisi perkiraan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan BI pada kisaran 5,5%-5,9% pada 2013 dan 5,8%-6,2% pada 2014, kenaikan suku bunga acuan, perlambatan ekonomi domestik dan global, dan berbagai bauran kebijakan makroprudensial BI akan memengaruhi laju kredit. (Kredit) diprediksikan akan sedikit melambat, (yakni) di kisaran 18%-20% pada 2013 dan 2014. Selain itu, pengetatan likuiditas perbankan dan naiknya rasio loan to deposit ratio (LDR) akan menyebabkan terjadinya kompetisi yang makin ketat dalam memperoleh dana pihak ketiga (DPK) pada tahun-tahun mendatang. Pada akhirnya, itu akan memengaruhi biaya dana (cost of fund) dan profitabilitas industri perbankan. Seperti apa kondisi likuiditas perbankan? Dengan kondisi yang ada, tentunya bagi perbankan yang terpenting ialah melihat likuiditasnya lebih dulu, setelah itu baru labanya. Mengelola likuiditas bisa dengan berbagai cara. Misalnya, melalui diversifikasi likuiditas seperti yang dilakukan Bank OCBC NISP dengan menerbitkan obligasi, tidak hanya dari sumber-sumber konvensional. Bagaimana dengan Bank OCBC NISP? Bank OCBC NISP dalam menjalankan fungsi intermediasi senantiasa menekankan prinsip kehati-hatian dengan terus memonitor, baik perkembangan makro-ekonomi secara umum maupun sektor-sektor ekonomi masing-masing debitor. Pada pertengahan 2013 Bank OCBC NISP telah merevisi pertumbuhan total aset menjadi di kisaran 20%-30%. Dengan kondisi makro saat ini, kami perkirakan realisasinya ada pada batas bawah. Kami tetap optimistis kualitas aset akan terjaga baik dalam kondisi ini. Apa saja yang mesti diwaspadai agar perbankan nasional tetap tumbuh dan sehat? Beberapa aspek mesti diwaspadai perbankan, yakni risiko eksternal dan internal. Pada risiko eksternal, ketidakpastian ekonomi China, penyelesaian krisis di zona Eropa, dan fiscal cliff di Amerika Serikat (AS) yang tentunya akan memengaruhi keseimbangan ekonomi dan sektor keuangan global. Lalu, (untuk) risiko internal, ketidakseimbangan sektor perdagangan karena impor mengalami pertumbuhan tinggi seiring dengan peningkatan investasi, sedangkan kinerja ekspor masih terus tertekan akibat lemahnya permintaan pasar global dan rendahnya harga komoditas. Ketidakpastian ekonomi global mendorong kita untuk menguatkan ekonomi domestik. Peluang apa yang bisa diambil perbankan nasional? Dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi global, perbankan nasional dapat berkontribusi positif pada penguatan ekonomi domestik dengan meningkatkan fungsi intermediasi, di antaranya dengan terus memberikan dan mengintensifkan pembiayaan kepada usaha kecil dan menengah (UKM) serta terus mendukung sektor produktif yang dalam jangka panjang akan lebih menunjang penguatan ekonomi domestik, misalnya sektor manufaktur. Sektor apa yang sekiranya jadi primadona? Beberapa sektor yang relatif merupakan primadona bagi perbankan nasional untuk saat ini, di antaranya perdagangan, manufaktur, transportasi, makanan dan minuman, otomotif, serta konstruksi. Bagaimana dengan kredit UMKM? Dengan telah dilaluinya berbagai krisis—telah terbukti ketahanan dari segmen UMKM—penyaluran kredit ke (sektor) UMKM makin meningkat setiap tahun dan menjadi salah satu motor pendorong perkembangan kredit perbankan saat ini, yang diproyeksikan pertumbuhannya sebesar 44% hingga akhir 2013, meningkat dibandingkan dengan 2012 dan 2011 yang masing-masing sebesar 35% dan 31%. Adapun sektor UMKM yang menjadi primadona secara umum ialah sektor perdagangan, terutama disebabkan pertimbangan kemudahan dalam penyaluran kredit. Bagaimana kesiapan perbankan menghadapi era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 dan integrasi sektor keuangan pada 2020? Pasar industri keuangan dan perbankan nasional sebenarnya sudah banyak merasakan persaingan dengan pasar regional, walaupun kesiapan perbankan itu sendiri dalam menghadapi MEA masih perlu ditingkatkan, antara lain penerapan good corporate governance (GCG). (Juga), upaya peningkatan daya saing, seperti penerapan kebijakan yang mengacu pada International Core Principles dan melakukan kerja sama internasional dengan terlibat di berbagai forum, seperti South East Asian Central Banks (SEACEN) dan Financial Stability Board (FSB). Secara konkret, tantangannya seperti apa? Memang, jika kita melihat MEA, tentunya akan membicarakan pasar mana yang menarik. Dan, itu tentu saja Indonesia, mengingat pasarnya yang masih lebar dan tingkat penetrasi perbankannya yang masih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Ya, jika melihat hal itu, sudah seharusnya kita siap dalam mengelola pasar kita sendiri. Bukan berarti kita tidak perlu mengembangkan ke pasar lain. Jangan sampai kita masuk ke pasar negara lain yang bisa jadi No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 15 Profil biaya dan modalnya cukup tinggi, tapi marginnya sangat tipis, sementara di sini kita masih ada peluang yang besar. Size dan jumlah bank di Indonesia beragam dan banyak. Bagaimana Anda memandang upaya konsolidasi perbankan? Memang, itu sudah jadi keinginan dari dulu. Malah, sebelum kebijakan API (Arsitektur Perbankan Indonesia) sudah ada. Namun, hingga saat ini, masih belum berjalan konsolidasi. Lalu, saat ini ada kebijakan BUKU (bank umum kegiatan usaha). Intinya, semuanya harus sama visinya, bukan hanya regulator di bidang perbankan, misalnya mengenai perburuhan. Sebagai Anggota Bidang Luar Negeri Perbanas, tugastugas apa yang Anda emban? Tentunya mendukung program-program yang telah dicanangkan dalam kepengurusan, yakni menjalin hubungan kerja dan komunikasi yang baik secara reguler dengan asosiasi sejenis di luar negeri, pembentukan Committee One ASEAN Integration—di mana ketuanya adalah Perbanas—dan aktif dalam kegiatan ASEAN Banker Association. Yang terkini, apa program Bidang Luar Negeri Perbanas? Pembentukan Committee One ASEAN Integration dan membuat kerangka kerja yang akan digunakan sebagai acuan pembuatan position paper/working paper untuk acara tahunan ASEAN Banking Association di Myanmar, pada November 2013.n Bukan Jalan-Jalan Biasa Melepas kejenuhan dari rutinitas pekerjaan menjadi hal penting. Melalui aktivitas atau hobi yang menyenangkan, seseorang bisa menyegarkan kembali pikiran dan jiwa sehingga bisa kembali bekerja dan bahkan menemukan ide-ide baru bagi pekerjaannya. Itu pula yang dilakoni Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur Bank OCBC NISP. Untuk menghilangkan kepenatan, Parwati memilih mendengarkan musik klasik. “Kalau jeda waktunya pendek, saya biasanya mendengarkan musik klasik untuk menyegarkan diri. Kalau waktunya panjang, saya menyukai travelling,” ungkapnya. Bagi Parwati, travelling bukan sekadar jalan-jalan atau menikmati indahnya pemandangan. Dari setiap lokasi yang dikunjungi, Parwati bisa mempelajari nilai setiap budaya yang ada. “Saya sangat menyukai travelling karena selalu melihat keunikan , budaya setiap daerah yang dikunjungi dan bisa menikmati berbagai keunikan tersebut, baik kulinernya maupun keadaan alamnya. Selain itu, saya bisa belajar tentang sifat dan karakter setiap masyarakat. Jadi, bukan sekadar jalanjalan,” pungkasnya. 16 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 Liputan Khusus Layanan Terpadu dalam Mobile Payment System Penerapan bank tanpa kantor dan penggunaan teknologi mobile memperluas jangkauan layanan keuangan dan sistem pembayaran. Pemahaman masyarakat masih jadi kendala sehingga perlu edukasi kontinu. R egulator membuka akses layanan keuangan bagi masyarakat selebar mungkin melalui program branchless banking. Uji coba branchless banking dilakukan Mei hingga November 2013 melalui lima bank. Dalam perjalanannya, uji coba ini tak hanya diikuti perbankan, tapi juga perusahaan telekomunikasi (telko). Branchless banking berubah sebutan menjadi mobile payment services (MPS). MPS nantinya akan menjadi salah satu strategi utama dalam financial inclusion, dalam hal ini masyarakat bisa dengan mudah memperoleh akses untuk menabung, melakukan pembayaran, dan mendapat kredit. Seperti apa kelanjutan MPS? Kapan regulasinya akan dirilis? Berikut wawancara Probank dengan Rosmaya Hadi, Direktur Eksekutif Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran Bank Indonesia (BI), beberapa waktu lalu. Petikannya: Bisa dijelaskan, apa tujuan utama program branchless banking? Seperti apa perkembangan uji cobanya? Tujuan program branchless banking yang saat ini diistilahkan dan dipopulerkan oleh BI sebagai MPS ialah memfasilitasi dan memperluas jangkauan layanan sistem pembayaran dan keuangan kepada seluruh masyarakat, baik unbanked maupun underbanked, dengan menggunakan sarana teknologi dan pihak ketiga. Perkembangan uji coba MPS tidak hanya dilakukan oleh lima bank (Bank Mandiri, Bank Sinar Harapan, BTPN, BRI, dan Bank CIMB Niaga), tapi juga oleh dua (perusahaan) telko (Indosat/XL). Seperti apa animo masyarakat terhadap program branchless banking atau MPS itu selama masa uji coba? Adakah kendala ketika uji coba di lapangan? Selama pelaksanaan uji coba terlihat animo masyarakat mulai meningkat. Dari keseluruhan jenis transaksi yang dilayani, transaksi terbanyak ialah pembayaran tagihan rutin, disusul oleh top up tabungan maupun uang elektronik. Sementara itu, kendala yang muncul di lapangan ialah kurangnya pemahaman masyarakat terkait dengan layanan itu sehingga diperlukan edukasi secara kontinu. Apa langkah selanjutnya untuk program branchless banking atau MPS? Pelaksanaan uji coba saat ini masih dievaluasi secara kontinu. Hasil monitoring selama masa uji coba ini akan menjadi masukan bagi BI untuk menyusun regulasi dan kebijakan terkait dengan pengembangan MPS ke depan. Evaluasi dilakukan terkait dengan mekanisme proses bisnis, keamanan, pricing, dan lain-lain. Kapan aturan resmi mengenai program branchless banking atau MPS akan dirilis BI? Hal apa saja yang akan diatur dalam ketentuan BI tersebut? Ketentuan yang terkait dengan penyelenggaraan MPS akan diterbitkan pada akhir 2013. Ketentuan/regulasi tersebut akan mengatur secara lengkap aspekaspek terkait dengan penyelenggaraannya, mulai dari instrumen, penggunaan teknologi, kerja sama keagenan (unit perantara layanan sistem pembayaran atau UPLSP), hingga layanannya. UPLSP atau agen bank itu seperti apa? Siapa saja yang berhak menjadi agen dan seperti apa standardisasi keamanannya menurut aturan BI? Saat ini untuk pelaksanaan pilot project persyaratan UPLSP atau agen bank dapat dilihat di Pedoman Uji Coba “Aktivitas Jasa Sistem Pembayaran dan Perbankan terbatas Melalui Unit Perantara Layanan Keuangan”. Ke depan persyaratan tersebut akan diregulasi dalam ketentuan pendukung MPS. Seperti apa BI melihat peranan perusahaan telko dalam branchless banking atau MPS? Perusahaan telko sangat berperan, baik hanya sebagai penyedia jaringan maupun penyelenggara MPS. (Hal itu) mengingat dalam kegiatan operasional MPS sangat dibutuhkan koneksi yang berbasis pada jaringan telko. Apa target BI untuk branchless banking atau MPS pada 2014? Target BI untuk tahun depan ialah implementasi MPS secara luas dan bertahap. MPS akan dikembangkan untuk dapat mendukung program financial inclusion dan membantu program pemerintah, misalnya penyaluran bantuan sosial (bansos). Hal ini akan dibicarakan lebih lanjut dengan pihakpihak terkait.n No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 17 Liputan Khusus Era Branchless Banking: Makin Efisien Implementasi branchless banking direspons positif masyarakat. Rekening ponsel menjadi salah satu inovasi baru yang diharapkan dapat mendongkrak penetrasi jumlah masyarakat yang “berbank”. Apa saja kendalanya? T ingkat kepemilikan masyarakat di Tanah Air terhadap rekening bank masih rendah. Dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia, ada sekitar 68% yang belum memiliki rekening di bank. Rendahnya akses masyarakat terhadap bank disebabkan oleh sulitnya mereka menjangkau cabang bank, produk bank yang dinilai kurang menarik atau tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan kurangnya sosialisasi. Di Indonesia penetrasi masyarakat dalam “berbank” masih kalah jauh dibandingkan dengan penetrasi pengguna telepon seluler (ponsel). Menurut Data Bank Indonesia (BI), saat ini terdapat 247 juta pengguna ponsel di Indonesia. Bahkan, mereka yang di pedesaan sudah terakses jaringan telepon. Ini menandakan, jumlah masyarakat yang melek teknologi jauh lebih banyak ketimbang yang melek keuangan. Karena itu pula, perbankan aktif menggarap layanan perbankan berbasis teknologi. Sejalan dengan itu, jumlah pengguna internet banking dan mobile banking pun kian meningkat. Jumlah pengguna internet banking pada 2013 mencapai 5,7 juta, sementara pengguna mobile banking pada periode yang sama mencapai 16,5 juta. Bagi bank, layanan tersebut membuatnya makin efisien karena bank tak harus membuka cabang dan berinvestasi untuk automatic teller machine (ATM). Begitu juga dari sisi nasabah. Layanan ini sangat memudahkan nasabah. Hal inilah kemudian yang mendorong bank-bank makin getol menerapkan sistem branchless banking. Dengan kemudahan yang ditawarkan bank melalui sistem branchless banking, diharapkan penetrasi jumlah masyarakat terhadap bank meningkat. Ada beberapa alasan yang mendasari pengembangan branchless banking di industri perbankan Indonesia. Pertama, rendahnya penetrasi masyarakat terhadap institusi keuangan formal. Menurut data Bank Dunia (World Bank), penetrasi 18 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 jumlah penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang belum memiliki akses ke bank mencapai 19,6%. Penetrasi penduduk Indonesia adalah yang terendah bila dibandingkan dengan negara tetangga lainnya. Di Malaysia penetrasi masyarakatnya terhadap bank sudah mencapai 66,7%, di Filipina 26,5%, dan di Thailand 77,7%. Bahkan, di Vietnam mencapai 21,4%. Kedua, lebih efisien bagi bank. Berdasarkan data Bank Dunia, pembukaan satu kantor cabang bank di Indonesia membutuhkan dana investasi sekitar US$250.000. Untuk mendirikan ATM, investasi yang dibutuhkan mencapai US$10.000 per ATM, sementara biaya investasi yang dibutuhkan untuk branchless banking jauh lebih murah, yakni sekitar US$400. Ketiga, segmen yang dibidik bank masih didominasi oleh kelompok masyarakat menengah ke atas. Padahal, potensi ekonomi yang besar justru ada pada segmen masyarakat menengah ke bawah dan itu belum tergarap bank. Kemudahan yang ditawarkan branchless banking diharapkan dapat menyerap potensi pasar yang belum tergarap ini. Saat ini ada dua model branchless banking yang berkembang di dunia. Yang pertama adalah model bank-led. Dalam model ini, bank menjadi pionir dalam melayani masyarakat dengan memanfaatkan dukungan perusahaan telekomunikasi (telko) dan agen serta diperluas dengan merchant-merchant yang lain. Salah satu negara yang sukses menerapkan model bank-led ialah Brasil. Dalam empat tahun model bank-led di Brasil mampu mencatat 19 juta rekening dengan perputaran dana lebih dari US$100 miliar. Model branchless banking yang kedua adalah model telcoled. Dalam model ini, perusahaan telko berperan sebagai inisiator. Model yang juga sering disebut dengan mobile money ini sukses diterapkan di Kenya. Untuk mengembangkan jaringan penggunaan layanan perbankan tanpa kantor cabang yang melibatkan peran bank dan perusahaan telko, BI kemudian mengubah istilah branchless banking menjadi mobile payment service (MPS). Hal ini dimaksudkan agar tidak hanya perbankan yang seolah memiliki peran, tapi juga perusahaan telko. Kedua lembaga yang dimaksud, yakni bank dan perusahaan telko, tengah diujicobakan dalam proyek MPS. Saat ini terdapat 5 bank dan 2 perusahaan telko yang ikut sebagai peserta uji coba. Dari bank ada Bank Mandiri, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank CIMB Niaga, Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), dan Bank Sinar Harapan Bali. Sementara itu, dari perusahaan telko ada PT Indosat dan PT XL Axiata. Dalam melaksanakan proyek uji coba tersebut tiap bank dan perusahaan telko diperbolehkan memilih delapan wilayah yang telah ditetapkan menjadi basis uji coba branchless banking. Kedelapan wilayah yang dimaksud ialah Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Agar dapat menjangkau nasabah, bank dan perusahaan telko mendapat izin dari BI untuk menggunakan jasa Unit Perantara Layanan Keuangan (UPLK) atau Unit Perantara Layanan Sistem Pembayaran (UPLSP). Seperti apa pengembangan branchless banking atau MPS di perbankan? Di BRI pengembangan branchless banking dilakukan dengan model bank-led. Model ini diimplementasikan BRI melalui BRI Links yang bekerja sama dengan pihak ketiga sebagai agen. Selain model bank-led, BRI mengembangkan model hibrid (hybrid model), dalam hal ini perbankan bekerja sama dengan perusahaan telko menerbitkan uang elektronik. Layanan ini dapat diakses melalui jaringan agen yang dikelola bank. Produk hybrid model di BRI diberi nama T-Bank. T-Bank, yang merupakan layanan rekening ponsel milik BRI ini, menggunakan mobile phone number untuk mengidentifikasi nomor rekening virtual nasabah. Tak hanya BRI yang fokus membangun infrastruktur branchless banking. BPTN pun memiliki ambisi serupa. BTPN malah rela mengeluarkan biaya investasi sebesar US$2,3 juta untuk membangun kantor cabang virtual berlabel BTPN WOW. Mahalnya investasi untuk membangun kantor cabang dan ATM menjadi dasar pemikiran BTPN untuk mengembangkan branchless banking yang tujuannya tak lain adalah efisiensi. “Kami tengah melakukan proyek uji coba branchless banking ini sejak Mei hingga November 2013. Kami bekerja sama dengan tiga penyedia layanan telekomunikasi, salah satunya dengan XL,” terang Djemi Suhenda, Wakil Direktur BTPN, dalam siaran pers, beberapa waktu lalu. Djemi berharap, layanan ini dapat membuka akses bagi mayoritas masyarakat, seperti petani, nelayan, buruh, dan pekerja informal yang selama ini belum memiliki akses layanan ke perbankan. Saat ini sedikitnya ada tiga bank yang telah meluncurkan rekening ponsel. Selain BRI dengan T-Bank, ada pula Bank CIMB Niaga dan BRI yang kini telah menyediakan layanan ini. Bank CIMB Niaga bahkan telah lebih dulu meluncurkan Rekening Ponsel pada Maret lalu. Kini jumlah penggunanya sudah mencapai 200.000. Di Bank Mandiri layanan serupa seperti telah disebutkan di atas diberi label E-Cash. Dalam mengoperasikan E-Cash, Bank Mandiri bekerja sama dengan Telkomsel, Indosat, dan XL. Sebelumnya rekening ponsel juga sudah di-pilot projectkan di anak usahanya, Bank Sinar Harapan Bali. Bank Sinar Harapan Bali menggandeng AXIS dalam menyelenggarakan rekening ponsel. Sayang, layanan tersebut baru bisa menjangkau nasabah existing. Menurut Rosmaya Hadi, Direktur Eksekutif Departemen Akunting dan Sistem Pembayaran BI, saat ini jumlah rekening ponsel yang sudah terdaftar mencapai 12,5 juta rekening. “Kami mencatat jumlah agen branchless banking kini sudah mencapai 2 juta agen. Kami ingin terus meningkatkan jumlah ini,” terangnya di sela-sela seminar nasional mengenai branchless banking yang diselenggarakan Infobank, awal Oktober lalu. n Branchless Banking di Pakistan Indonesia boleh dibilang agak telat dalam mengembangkan sistem branchless banking. Padahal, beberapa model branchless banking yang dikembangkan di beberapa negara terbukti sukses meningkatkan jumlah masyarakat unbank. Sebagai negara yang terbilang baru dalam pengembangan branchless banking, Indonesia mungkin bisa mencontoh beberapa negara yang sukses mengembangkan branchless banking. Salah satunya ialah Pakistan. Peraturan tentang branchless banking. di Pakistan mulai digodok pada 2008. Pertama-tama, mereka mempelajari negara mana saja yang sudah menerapkan sistem branchless banking di industri perbankannya. Pakistan juga mencari beberapa model branchless banking yang diterapkan di negara lain untuk mencari model yang cocok untuk dikembangkan. Regulator perbankan di negeri ini pun secara signifikan mengubah beberapa aturan perbankan untuk memuluskan penerapan branchless banking. Pertama, merasionalisasi proses pembukaan rekening dan persyaratannya. Kedua, membatasi substansial terkait dengan kenaikan batas transaksi dan eliminasi saldo maksimum, di antaranya pembayaran tagihan tidak lagi termasuk dalam limit transaksi. Ketiga, mengenalkan account baru dengan limit transaksi terendah yang dapat dibuka secara elektronik tanpa memerlukan dokumen fisik. Hasilnya, penerapan branchless banking di Pakistan ternyata cukup efektif menjaring nasabah yang tadinya belum tersentuh layanan perbankan. No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 19 Kinerja Berburu Saham Bank Saham-saham perbankan di pasar modal nasional masih terus diburu investor. Tetap membaiknya kinerja bank-bank umum yang melantai di pasar modal di tengah gejolak ekonomi global menjadi daya tarik bagi investor untuk membeli saham bank. M encari pendanaan di pasar modal tampaknya menjadi pilihan bagi sejumlah bank. Kinerja bank-bank yang secara riil sangat baik dari waktu ke waktu pada akhirnya membuat sahamsaham bank tersebut diburu investor. Tak heran, banyak bank yang terus mengikuti jejak bank-bank umum lain yang sudah terlebih dahulu go public. Di kelas bank pembangunan daerah (BPD), setelah Bank BJB melakukan go public dengan kode bursa BJBR, Bank Jatim menyusul dengan melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering atau IPO) pada Juli 2012. Saat IPO harga saham Bank Jatim dengan kode bursa BJTM ditawarkan pada posisi harga Rp430 per lembar saham, yang harus dibayar penuh saat mengajukan Formulir Pemesanan Pembelian Saham (FPPS). Nilai saham yang ditawarkan dalam penawaran umum tersebut secara keseluruhan mencapai Rp1.282.920.910.000. Berdasarkan data yang ada, pada 1 Oktober 2013 harga saham Bank Jatim ditutup pada posisi Rp365 per lembar saham atau turun 15,12% dari harga penawaran saham bank tersebut. Namun, dilihat dari tren harga bulanan, saham bank yang sebagian besar dimiliki Pemerintah Daerah (Pemda) 20 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 Jawa Timur (Jatim) ini harganya sempat ditutup pada posisi perdagangan tertinggi, yakni Rp520 per lembar saham pada awal Maret 2013. Bank Jatim menjadi satusatunya bank umum milik pemda yang melantai di pasar modal pada 2012. Pada medio 2013 Bank Maspion Indonesia dan Bank Mitraniaga juga melakukan IPO dengan kode bursa masing-masing BMAS dan NAGA. Bank Maspion, yang pada saat penawaran saham perdana menawarkan sekitar 770 juta saham dengan harga Rp360-Rp480 per lembar saham, optimistis mampu meraih kinerja positif hingga pengujung 2013. Pihak Bank Maspion berharap, BMAS dapat menjadi salah satu pilihan investor dalam membeli saham. Sejauh ini saham-saham perbankan di Bursa Efek Indonesia (BEI) masih sangat diminati investor. Tak hanya investor asing, investor lokal juga banyak yang berburu saham perbankan. Saham Bank Bukopin, misalnya. Juni lalu PT Bosowa Corporindo membeli 1,1 miliar lembar saham bank ini atau sekitar 15% kepemilikan di bank dengan kode bursa BBKP tersebut. Saat itu Bosowa berani membeli saham BBKP pada harga Rp1.050 per saham, lebih tinggi daripada harga penutupan BBKP waktu itu yang hanya Rp800 per lembar saham, dari Koperasi Pegawai Bulog Seluruh Indonesia (Kopelindo) dan Yayasan Bina Sejahtera Warga Bulog (Yabinstra). Sebelumnya, pada April 2013, Grup MNC membeli 30% saham ICB Bumi Putera dengan kode bursa BABP. Banyak pihak berharap, saham-saham perbankan bisa dimiliki investor domestik agar keuntungan yang diperoleh dari bank tersebut tidak dibawa ke luar negeri dan bisa dinikmati di dalam negeri. Menurut Reza Priambada, Head Analyst PT Trust Securities, seperti dikutip dari infobanknews.com (25 Juli 2013), bank lokal seharusnya bisa dikuasai investor lokal. Reza menilai, kinerja saham perbankan, khususnya pada paruh Kinerja Saham Perbankan Juli 2012-Oktober 2013 Harga Saham dalam rupiah (Penutupan) BBRI BMRI BBCA BMDN BBNI BTPN MEGA BNGA BBTN BNLI NISP BJBR BBKP SDRA BNII BJTM BABP 2 Juli 2012 7.000 8.300 8.000 6.050 3.700 4.200 1.623 1.210 1.370 1.420 1.080 940 630 500 420 425 140 1 Agt 2012 6.950 7.800 7.750 6.000 3.850 4.825 1.623 1.160 1.310 1.390 1.120 980 640 440 420 385 145 3 Sept 2012 7.450 8.200 7.900 6.250 3.925 5.250 1.649 1.150 1.440 1.440 1.250 1.100 640 495 410 385 140 1 Okt 2012 7.400 8.250 8.200 6.100 3.725 5.300 1.767 1.160 1.520 1.420 1.360 1.100 640 470 410 370 140 1 Nov 2012 7.050 8.250 8800 5.400 3.975 5.200 1.832 1.150 1.610 1.400 1.360 1.050 620 590 390 395 148 3 Des 2012 6.950 7.800 9.200 5.600 3.750 5.050 1.754 1.100 1.470 1.310 1.450 1.050 610 640 395 375 169 1 Jan 2013 7.950 9.050 9.650 6.100 3.925 4.950 1.649 1.180 1.620 1.420 1.500 1.200 670 630 400 385 149 1 Feb 2013 9.450 10.050 11.000 6.300 4.600 4.700 1.767 1.400 1.630 1.540 1.530 1.220 780 580 425 435 139 1 Maret 2013 8.750 10.000 11.400 6.450 5.050 5.300 2.094 1.400 1.700 1.660 1.450 1.290 900 830 415 520 175 1 Apr 2013 9.400 10.500 10.750 6.450 5.400 5.300 2.199 1.400 1.490 1.700 1.450 1.220 920 840 400 430 156 1 Mei 2013 8.900 9.700 10.350 5.750 4.875 4.900 2.500 1.360 1.420 1.700 1.380 1.220 830 820 390 435 154 3 Juni 2013 7.750 9.000 10.000 5.850 4.300 4.150 2.200 1.150 1.150 1.650 1.300 1.180 720 760 345 395 127 1 Juli 2013 8.250 8.900 10.400 5.200 4.275 4.350 2.000 1.110 1.040 1.620 1.280 1.060 660 770 315 375 123 1 Agt 2013 6.600 7.100 9.050 4.050 3.850 3.900 1.700 1.000 950 1.290 1.210 780 560 670 320 305 108 2 Sept 2013 7.250 7.950 10.000 3.975 4.075 3.975 2.225 990 930 1.380 1.450 900 640 800 325 360 108 1 Okt 2013 7.350 8.200 10.000 3.975 4.250 4.000 2.225 1.000 940 1.330 1.220 900 650 720 325 365 105 Sumber: berbagai sumber diolah kembali Ket: BBRI=Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk; BMRI=Bank Mandiri (Persero) Tbk; BBCA=Bank Central Asia Tbk; BMDN=Bank Danamon Tbk; BBNI=Bank BNI (Persero) Tbk; BTPN=Bank Tabungan Pensiun Nasional Tbk; Mega= Bank Mega Tbk; BNGA=Bank CIMB Niaga Tbk; BBTN=Bank Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk; BNLI=Bank Permata Tbk; NISP=Bank OCBC NISP; BJBR=Bank Jabar Banten Tbk; BBKP=Bank Bukopin Tbk; SDRA=Bank Himpunan Saudara 1906 Tbk; BNII=Bank Internasional Indonesia Tbk; BJTM=Bank Pembangunan Jawa Timur Tbk; BABP= Bank ICB Bumi Putera Tbk. pertama 2013, secara fundamental masih cukup baik. Itulah mengapa, investor asing terus berburu saham bank di Indonesia. Namun, menurut Reza, belakangan kinerja saham perbankan bergerak lambat. Kinerja dan keterbukaan informasi memang menjadi unsur utama bagi investor dalam berburu saham perbankan. Ekspansi yang dilakukan banyak bank seiring dengan penambahan modal untuk mengejar kelas bank umum kegiatan usaha (BUKU) di atasnya menjadi daya tarik bagi investor untuk memilih saham bank. Keterbukaan bank yang diterapkan melalui rapat umum pemegang saham (RUPS) dan paparan kinerja secara berkala akan membuat investor saham perbankan merasa mendapat informasi yang jelas. Kinerja Saham Perbankan Saham-saham perbankan yang tercatat di BEI sepanjang 2013 memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pergerakan kumulatif Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Kapitalisasi pasar yang besar membuat empat bank masuk dalam jajaran 10 besar emiten yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar. Walau saham-saham perbankan memiliki kapitalisasi pasar yang cukup besar, sejumlah pihak mengkhawatirkan kinerja saham tersebut dalam jangka pendek. Sekarang ini beberapa saham bank dianggap telah melampaui batas atasnya sehingga tren pergerakan harganya diindikasikan bergerak lambat. Kendati ada kekhawatiran bahwa pergerakan harga sahamsaham bank bakal melambat, dari sisi kinerja, keuntungan yang dipetik bank-bank sepanjang paruh pertama 2013 tetap menunjukkan perbaikan. Bank Rakyat Indonesia (BRI), misalnya. Hingga paruh pertama 2013, BRI masih mampu membukukan laba hingga Rp10,15 triliun. Keuntungan yang dipetik bank pelat merah ini sampai dengan akhir tahun diyakini masih akan terus membesar, kendati ada kekhawatiran mengenai kinerja perbankan dalam penyaluran kredit terkait dengan tren kenaikan suku bunga acuan BI Rate dan inflasi yang tinggi. Dari sisi pergerakan harga saham, dalam tiga bulan terakhir kinerja saham perbankan secara bulanan cenderung turun dibandingkan dengan awal 2013. Tak hanya saham-saham bank yang memiliki kapitalisasi pasar yang besar, seperti BRI, Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, dan Bank Negara Indonesia (BNI), saham-saham bank lainnya pun rata-rata harganya cenderung turun. Tren penurunan harga saham bank secara bulanan tersebut mulai terjadi pada Mei 2013. Dan, tren penurunan itu semakin terlihat pada Agustus 2013 seiring dengan laju inflasi yang relatif tinggi akibat keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Kendati demikian, melihat tren kinerja perbankan secara umum dan pencapaian laba industri perbankan, khususnya bank-bank yang tercatat di BEI, ke depan potensi beli investor terhadap saham bank diprediksi tidak akan surut. Apalagi, dalam jangka panjang, kecenderungan bank menjaga tingkat kesehatannya dan memperkuat modalnya dalam rangka berekspansi serta meningkatkan daya saingnya tentu akan membuat kinerja bank semakin baik. Hal itu akan menjadi sentimen positif bagi investor untuk terus berinvestasi pada saham-saham perbankan.n No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 21 Internasional Siap-Siap Hadapi Tapering Off AS Tapering off pasti dilakukan The Fed. Dalam waktu dekat mungkin saja tidak dilakukan. Bagaimana dengan tahun depan? B atalnya penghentian quantitative easing tahap 3 (QE3) atau tapering off pada 18 September 2013 membuat Indonesia bisa sedikit bernapas lega. Perekonomian Indonesia memang sempat tertekan karena munculnya berbagai spekulasi sebelum keputusan tersebut dilansir. Banyak spekulasi menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia, khususnya pasar modal, akan terkena dampak negatif jika QE3 benar-benar dihentikan. Untungnya, Gubernur The Federal Reserve (The Fed), Ben Bernanke, menunda niatnya untuk menghentikan program stimulus itu. The Fed pun masih mengucurkan dana senilai US$85 miliar per bulan untuk melanjutkan pembelian efek dan obligasi. Penundaan tapering off mengindikasikan bahwa kondisi fundamental ekonomi Amerika Serikat (AS) belum cukup kuat bila harus melepas stimulus tersebut. Intervensi The Fed masih dibutuhkan untuk memengaruhi suku bunga kredit serta 22 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 menarik para pemegang surat-surat berharga dan surat utang (obligasi) untuk mengarahkan dananya ke sektor riil. Keputusan bank sentral AS itu sebenarnya mengejutkan banyak pihak. Namun, The Fed memiliki sederet alasan untuk mempertahankan stimulus tersebut. Anggota Dewan Gubernur The Fed, Jerome H. Powell, dalam pidatonya di Institute of International Finance Annual Membership Meeting, Washington, D.C., 11 Oktober 2013, mengakui bahwa keputusan tidak mengurangi pembelian (efek dan obligasi) pada September itu membuat pelaku pasar terkejut. Alasan The Fed melanjutkan kebijakan stimulus tersebut cukup kuat. Salah satunya, notula Federal Open Market Committee (FOMC) September lalu menunjukkan adanya keprihatinan akan kekuatan data ekonomi yang masuk, dampak ekonomi dari kondisi keuangan yang lebih ketat dan kebijakan fiskal yang ketat, serta kemungkinan adanya gangguan fiskal. Selain pertimbangan tersebut, implikasi penundaan tapering off dinilai dapat membendung konflik di Kongres AS. Namun, ternyata itu tidak terbukti. Anggaran pemerintah AS tersandera oleh konflik kubu Partai Demokrat dan Partai Republik. Pemerintah pun tidak beroperasi selama 16 hari sejak 1 Oktober 2013. Tapering off ditunda, tapi kisah ini belum selesai. Cepat atau lambat The Fed akan melakukan tapering off. Namun, bila melihat perkembangan data-data ekonomi AS sampai dengan Oktober 2013, banyak realisasi target pemerintah AS yang belum memuaskan. Meski Negeri Paman Sam itu telah terhindar dari gagal bayar utang (default)—lantaran kesepakatan penambahan pagu utang dan anggaran pemerintah hingga awal 2014—fundamental ekonomi AS belum memenuhi harapan. Defisit perdagangan AS pada Agustus melebar 0,4% menjadi US$38,9 miliar. Defisit perdagangan tersebut lebih rendah daripada perkiraan para ekonom yang sebesar US$39,5 miliar. Pemerintah AS juga tidak berhasil mencapai target pembukaan lapangan kerja baru. Dari target 180.000 pekerjaan baru, pemerintah AS hanya mampu mencatatkan 148.000 pekerjaan baru per September lalu. Selain itu, sebelumnya ada prediksi bahwa prospek penurunan pengangguran di bawah target 6,5% masih sulit terwujud setelah partisipasi angkatan kerja per Agustus 2013 turun menjadi 63,2%, nilai terburuk selama 35 tahun terakhir. Dan, prediksi itu terbukti. Tingkat pengangguran mencapai 7,2% pada September lalu. Pemerintah AS pun cukup pesimistis terhadap pertumbuhan ekonominya. Proyeksi pertumbuhan ekonomi negara itu turun menjadi 2%-2,3%, padahal perkiraan Juni lalu sebesar 2,3%2,6%. Bahkan, pada 2014 pertumbuhan ekonomi AS diprediksi akan jauh lebih rendah. Para investor terus mengintip perkembangan AS. Mereka masih wait and see. Apalagi, masih banyak data ekonomi yang tengah ditunggu para investor, seperti data penjualan rumah, penjualan ritel, dan consumer confidence index (CCI). Keterlambatan publikasi data-data tersebut disinyalir karena penutupan sementara (shutdown) pemerintah AS. Data-data ekonomi tersebut masih membuka ruang terjadinya penundaan tapering off AS sampai dengan akhir tahun. Sejumlah analis memperkirakan, penghentian stimulus ekonomi mungkin akan dilakukan awal tahun depan atau kuartal pertama 2014. Dan, ini akan menjadi tantangan bagi Indonesia maupun negara lainnya. Indonesia sangat rentan terhadap sentimen isu kebijakan AS. Karena itu, pemerintah harus tanggap dan memiliki langkah-langkah mitigasi. Memang, Bank Indonesia (BI) sudah menerbitkan lima kebijakan untuk menjaga stabilitas makro-ekonomi pada akhir Agustus 2013. Kebijakan tersebut bersinergi dengan paket kebijakan yang juga dikeluarkan pemerintah Agustus lalu. Sebagai salah satu negara tujuan para investor, Indonesia harus mampu menggunakan kesempatan untuk menjaga investor agar tetap berada di negeri ini. Prospek investasi di Indonesia sendiri masih dibatasi oleh persepsi pihak asing terhadap fundamental ekonomi negeri ini. Karena itu, membangun kepercayaan investor menjadi langkah penting bagi Indonesia. Kewaspadaan akan adanya dampak negatif juga mesti ditingkatkan. Misalnya, aktivitas di pasar modal. Dominasi investor asing yang sering kali menjadi influence fluktuasi di pasar modal Indonesia harus tetap menjadi perhatian. Sebagai informasi, aksi net selling investor asing masih terus berlanjut di pasar modal. Selama 43 minggu berjalan, aksi jual investor asing tercatat Rp14,58 triliun. Ini menjadi momentum bagi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) untuk menunjukkan sinergitasnya dalam menghadapi tantangan global, saat ini dan ke depan. n In House Training FATCA Perbanas menyelenggarakan in house training dengan tema “Urgenitas IGA dalam Implementasi FATCA 15 Juli 2013” di Griya Perbanas Jakarta, pada 11-12 September 2013. Training tersebut bertujuan supaya pelaku bisnis perbankan lebih memahami peraturan-peraturan dalam Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) dan bagaimana implikasinya. Dalam training ini peserta juga memperoleh pengetahuan tentang bagaimana membuat prosedur dan membangun sistem teknologi informasi (TI) yang merujuk pada FATCA. Pemahaman tentang FATCA dinilai penting, mengingat peraturan tersebut akan diimplementasikan pada 1 Januari 2014. Acara yang digagas Komisi Kerja Perpajakan (KKP) Perbanas ini dihadiri oleh pejabat-pejabat Bank Indonesia (BI), Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dan praktisi perbankan. Dipandu Yudo Arbianto, Ketua KKP Perbanas, training tersebut sangat menarik karena menghadirkan Indah Puspitasari dari Citibank; Ria Nurmaisari dari HSBC; serta Joyce Inggil, H. Malau, dan Dwin Anggoro dari Bank OCBC NISP sebagai pembicara. Mereka adalah praktisi perbankan yang cukup berpengalaman. No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013 l PROBANK 23 Sekilas Berita Silaturahim KMPP dengan Kepala Sekolah dan Guru SD Perbanas Pada 21 September 2013 Komite Masyarakat Perbankan Peduli (KMPP) Perbanas menggelar silaturahim dengan kepala sekolah dan guru lima sekolah dasar (SD) yang dibangun kembali oleh KMPP Perbanas. Acara yang digelar di Griya Perbanas Jakarta itu dihadiri Winny Erwindia, Lisawati, Rita Mirasari, Wulan Tumbelaka, dan Catherine Hadiman, yang mewakili KMPP Perbanas. Sementara, dari pihak SD Perbanas, hadir Ester Lely Susilo, Septiana Sulistya, Komarudin, Mustofa, M. Abdul Gofur, Dwi A. Lesmana, Siti Muryati, Tri Utama, dan Any Wahyu Kurniati. Pertemuan tersebut membahas perkembangan SD Perbanas dan rencana sosialisasi edukasi perbankan untuk guru dan murid-murid SD tersebut. Perbanas Sumut Bantu Korban Erupsi Gunung Sinabung Pada 26 September 2013 Perbanas Sumatera Utara (Sumut) melalui program Perbanas Sumut Peduli menyampaikan bantuan kepada korban erupsi Gunung Sinabung. Bantuan diberikan langsung oleh Nita Ernawati, Ketua Perbanas Sumut, didampingi Ermaliana, Ketua Bidang Sosial dan Rohani serta Surjono Lasimon, Ketua Bidang Organisasi dan Humas, kepada para korban di tempat penampungan pengungsi di Jambu Tuah Lopati dan Gereja GBKP Kebonjahe. Bantuan yang diberikan berupa sarung dan bahan makanan, seperti mi instan, biskuit, dan barang keperluan wanita. Gunung Sinabung yang terletak di Kabupaten Karo, Sumut, meletus pada 15 September 2013. Jajaran pengurus Perbanas Sumut berharap, para pengungsi dapat segera kembali ke tempat tinggalnya dan melakukan aktivitasnya. 24 PROBANK l No. 109 Tahun XXX September-Oktober 2013