Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL

advertisement
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
Asri Karolina
Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah, STAIN Curup
Email: [email protected]
Abstrak
Kebenaran adalah tujuan yang paling utama dari manusia. Tidak dapat dipungkiri
bahwa manusia pasti menginginkan kebenaran karena fitrah manusia mencari
kebenaran. Manusia mencari kebenaran pada sumber pengetahuan yang mereka
anggap benar dan kebenaran ilmiah dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk memperadab dirinya. Hal ini
yang sudah lama diperjuangkan oleh para intelektual muslim, yaitu mencari
kebenaran-kebenaran ilmiah dalam ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan
karya-karya dalam bidang sains. Para intelektual muslim telah melakukan
penelitian-penelitian yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan di berbagai bidang,
yaitu astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran.
Kemampuan para intelektual Muslim dalam bidang sains, tidak hanya
menemukan hal-hal sebelumnya belum dikaji oleh para ilmuwan Yunani, India,
China, Persia dan lainnya, melainkan juga para intelektual Muslim di bidang sains
ini telah menjadi dasar dan inspirasi bagi pengembangan sains di Eropa dan Barat,
yang pada tahap selanjutnya digunakan untuk membawa kemajuan negara
mereka. Pesatnya pengembangan sains oleh para intelektual muslim ini tidak
terlepas pada dukungan para pemimpin yang memusatkan perhatiannya pada
pengembangan sains. Besarnya dukungan politik dan perhatian pemerintah serta
kebijakan anggaran pemerintah diinfestasikan untuk kemajuan para intelektual
muslim di bidang sains.
Secara sosiologis tumbuh dan berkembangnya sains dalam Islam bukan hanya
dipengaruhi oleh ajaran dasar Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang menekankan pada
pembangunan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam serta perintah untuk
menuntut ilmu bagi setiap muslim dan muslimah. Selain itu, karena tuntutan
kebutuhan hidup, budaya, dan tradisi intelektual yang berkembang di daerahdaerah dan Negara-negara yang berada di bawah imperium Islam.
Tumbuh dan berkembangnya sains dalam Islam juga dipengaruhi oleh tradisi
intelektual dari para ulama, situasi dan kondisi keamanan yang baik, kemajuan
dan kesejahteraan dalam bidang ekonomi, latar belakang keluarga dari setiap
ilmuwan dan didorong untuk meluaskan wilayah kekuasaan Islam, dengan kata
lain melakukan ekspansi. Kemajuan yang telah berkembang dalam bidang sains
yang telah dilakukan para intelektual Muslim telah menjadi rujukan utama dalam
pengembangan sains pada saat ini.
Kata Kunci: Intelektual Muslim, Science
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
592 ASRI KAROLINA
A. Pendahuluan
Sebelum Islam datang telah terdapat berbagai tradisi keilmuan dan peradaban
yang perkembangannya tengah mengalami kebuntuan, deadlock, dan sekarat.
Sejalan dengan etos keilmuan Islam yang terbuka dan kosmopolitan, serta
kemampuan khas epistemologi Islam yang memiliki daya sintesis-kreatif, para
sarjana Muslim menerima khazanah berbagai peradaban pra Islam seraya secara
kreatif mengembangkannya sendiri dengan cara pandang dan paradigma yang
baru, yang sesuai dengan pandangan-dunia Tauhid.1
Bangunan tradisi keilmuan merupakan tonggak penopang dalam
peradaban Islam. Adapun terbentuknya tradisi keilmuan itu terkait langsung
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber utama ajaran Islam, yaitu AlQur‟an dan Hadist. Hal ini menunjukkan, bahwa dalam Islam tradisi keilmuan
merupakan bagian dari nilai-nilai ajaran agama. Berangkat dari aktivitas dan
pengembangan keilmuan itu pula peradaban Islam dibangun. Memang Islam
bukan hanya sebatas agama, melainkan juga sebuah peradaban. Islam is indeed
much more than a system of theology, if is complete civilization, tulis H.A.R. Gibb
dalam bukunya Whither of Islam. Kedua hubungan ini mejadi kian jelas bila
dilacak ke sumber Al-Qur‟an mengenai cikal bakal “peradaban manusia.2
Islam adalah ajaran yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan guna
meningkatkan kualitas hidup manusia, mendorong kemajuan, dan kesejahteraan
hidup manusia. Dalam Islam setiap amal yang dilakukan harus disertai ilmu
pengetahuan yang terkait dengannya.3
Pengetahuan atau ilmu merupakan bagian yang esensial-aksiden manusia,
karena pengetahuan adalah buah dari berpikir. Berpikir (natiqiyyah) adalah
sebagai differentia (fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya,
yaitu hewan. Sebenarnya kehebatan dan keunggulan manusia dari spesies-spesies
lain karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini pun tidak lain karena
pengetahuan yang dimilikinya.4
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk
memperadab dirinya. Lebih dari seribu tahun, lewat berbagai kurun zaman dan
kebudayaan, ketika itu manusia merenung dalam-dalam tentang apa artinya
menjadi manusia, secara lambat laun mereka sampai pada kesimpulan mengetahui
kebenaran adalah tujuan yang paling utama dari manusia.5
Hal ini yang sudah lama diperjuangkan oleh para intelektual muslim, yaitu
mencari kebenaran-kebenaran ilmiah dalam ilmu pengetahuan sehingga
menghasilkan karya-karya dalam bidang sains. Para intelektual muslim telah
melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan di
berbagai bidang, yaitu astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran. Para intelektual
muslim tersebut layak disebut sebagai para pelukis kanvas peradaban Islam.
Karena mereka telah menciptakan berbagai karya dalam bidang sains. Dengan
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
593
demikian, artikel ini akan membahas tentang para intelektual muslim di bidang
sains (science), yaitu astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran.
B. Intelektual Muslim dalam Bidang Astronomi
Hampir semua sarjana Muslim berbagai jenis disiplin ilmu menekuni telaah
astronomi. Sarjana-sarjana yang dikenal sebagai filsuf dan teolog seperti al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Sina, Nahsir al-Din al-Thusi, Ibn Thufail, dan Ibn Rusyd menulis
karya-karya astronomi yang berpengaruh terhadap perkembangan telaah
astronomi. Para sarjana matematika pun umumnya juga menguasai astronomi,
bahkan memberikan sumbangan-sumbangan orisinal yang signifikan bagi
kemajuan riset ilmiah astronomi, seperti al-Khawarizmi, Umar Khayyam, Abu alWafa‟.6
Kajian ilmiah tentang perbintangan dalam Islam mulai dilakukan, seiring
dengan masuknya pegaruh buku India, Siddhanta (Bahasa Arab, Sindhind), yang
dibawa ke Baghdad pada 771, diterjemahkan oleh Muhammad ibn Ibrahim alFazari, dan digunakan sebagai acuan oleh para sarjana belakangan. Tabel
berbahasa Pahlawi (zik) yang dihimpun pada masa Dinasti Sasaniyah ikut
dimasukkan dalam bentuk terjemahan (zij). Unsur-unsur Yunani, yang baru
muncul belakangan, termasuk di antara unsur penting pertama. Terjemahan awal
karya Ptolemius, Almagest, disusul kemudian oleh dua karya yang lebih unggul:
karya al-Hajjaj ibn Mathar yang selesai ditulis pada 212 H./827-828 M., dan karya
Hunayn ibn Ishaq yang direvisi oleh Tsabit ibn Qurrah (w. 910). Pada awal aad
ke-9, sebuah observasi (rasyd) rutin pertama dengan mengunakan peralatan yang
cukup akurat dilakukan di Jundaysabur (Persia sebelah barat daya). Berdekatan
dengan Bayt al-Hikmah, di pintu masuk Syammasiyah, Baghdad, al-Ma‟mun
membangun sebuah observatorium dengan supervisor seorang Yahudi yang baru
masuk Islam. Sind ibn Ali, dan Yahya ibn abi Manshur (w. 830 atau 831). I
observatorium itu, para astronom kerajaan “tidak hanya mengamati dengan
seksama dan sistematis berbagai gerakan benda-benda langit, tapi juga menguji
semua unsur penting dalam Almagest dan menghasilkan amatan yang sangat
akurat: sudut ekliptif bumi, ketepatan lintas matahari, dan sebagainya. Al-Ma‟mun
membangun lagi sebuah observatorium di Bukit Kasiyun di luar Damaskus.
Perangkat observasi pada saat itu terdiri atas busur 90º, astrolob, jarum penunjuk,
dan bola dunia. Ibrahim al-Fazari (w. ± 777) adalah orang Islam pertama yang
memuat astrolob, yang meniru bentuk astrolob Yunani, seperti yang terlihat dari
namanya dalam bahasa Arab (asthurlab). Salah satu risalah berbahasa Arab tertua
tentang perangkat ini ditulis oleh Ali ibn Isa al-Asthurlabi (pembuat astrolob),
yang tinggal di Baghdad dan Damaskus sebelum 830.7
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
594 ASRI KAROLINA
Astronomi adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan gerakan,
penyebaran, dan sifat-sifat benda samawi. Ilmu ilmu ini dperkirakan sebagai ilmu
yang paling tua dari semua ilmu penhigetahuan alam. Proses penciptaan yang
dibahas dalam kosmologi telah memberika beberapa gagasan tentang
kemahaluasan dan kemahabesaran dunia Ilahi yang sangat mengagumkan. Ilmu
ini juga melukiskan tentang kemajemukan langit dan bumi serta menunjukkan
bahwa dalam proses peniptaan benda-benda itu terdapat tingkat perantara
penciptaan langit dan bumi.8
Astronomi dalam tradisi Islam disebut dengan „ilm al-hay‟ah atau „ilm alnujum dan terkadang „ilm al-falak, yang masing-masing berarti ilmu tentang
konfigurasi langit, ilmu perbintangan, dan ilmu tentang orbit. Menurut Seyyed
Hossein Nasr, banyak sekali ayat suci Al-Qur‟an yang membicarakat tentang
langit, bintang, Matahari, Bulan, dan berbagai aspek yang terkait dengan tatanan
dan fenomena langit. Beberapa surat Al-Qur‟an pun menggunakan nama bendabenda langit seperti QS. al-Najm (Bintang), QS. al-Qamar (Bulan), QS. al-Buruj
(Gugusan Bintang), QS. al-Syams (Matahari). Ilmu astronomi oleh para sarjana
Muslim digolongkan sebagai cabang matematika. Selain mengambil manfaat dari
tradisi Yunani (Ptolemeus), Persia, dan India, para ilmuwan Muslim juga
mewarisi tradisi astronomi yang berkembang di wilayah Arab pra-Islam.
Mengingat hampir semua sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu tertarik pada
telaah astronomi.9
Di antara ilmuwan Muslim yang memiliki perhatian besar terhadap
astronomi adalah al-Farghani dan al-Thusi. Riwayat hidup dan gagasan, pemikiran
dan konsep mereka dalam bidang astronomi ini dapat dikemukakan sebagai
berikut:10
1. Al-Farghani
a. Biografi Al-Farghani
Perkembangan astronomi Islam makin berkembang dengan kemunculan
al-Farghani. Sang astronom itu berasal dari Transoxania, sebuah kota di
Uzbekistan, Asia Tengah. Di Barat dia dikenal dengan nama Alfranagus, suatu
indikasi yang menunjukkan pengaruhnya terhadap Eropa melalui penerjemahan
karya-karyanya ke dalam berbagai bahasa Eropa, terutama bahasa Latin.11 Nama
lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad Ibn Kathir al-Farghani.
Ia termasuk salah seorang ilmuwan bidang astronomi yang pertama melakukan
riset ilmiah di zaman khalifah al-Ma‟mun.12
b. Karya Al-Farghani
Seorang ahli astronomi lainnya yang terkenal pada masa itu adalah Abu
al-Abbas Ahmad al-Farghani (Alfraganus) dari Fargana Transoxiana, yang pada
861 diserahi tugas oleh al-Mutawakkil untuk mengawasi pembangunan sebuah
Nilometer di Fushthat. Karya utama al-Farghani, al-Mudkhil ila „ilm Hay‟ah alMedia Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
595
Aflak, diterjemahkan ke bahasa Latin pada 1135 oleh John dari Seville dan Gerard
dari Cremona, dan ke bahasa Ibrani. Dalam versi bahasa Arab, buku itu ditemukan
dengan judul yang berbeda.13
Sebagai seorang ilmuwan ia telah meninggalkan karya ilmiah dalam
bidang astronomi, antara lain:14
1) Jawami‟ Ilmu al-Nujum wa Ushul al-Harakat al-Samawiyyat wa Jawami‟
Ilmu Nujum, Ushul Ilmu al-Nujum (Asas-Asas Ilmu Bintang),
2) Al-Madkhal ia Ilmu Al-Falak (Pengantar ke Ilmu Perbintangan),
3) Kitab al-Ushul al-Tsalatsin.
Semua buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
Spanyol oleh John dari Seville dan Gerard dari Cremona pada 1135. Selain itu,
buku tersebut juga diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh Jakob Anatoli, dan
hingga kini masih terawat baik di Berlin, Munich, Vienna, Oxford dan lain
sebagainya.
Diriwayatkan bahwa Al-Farghani aktif memulai observasi astronominya
ketika khalifah al-Ma‟mun membangun sebuah observatorium astronomi di
Baghdad pada 829. Melalui observasi yang terus menerus dilakukannya, dia
berhasil menentukan jarak dan ukuran planet/benda langit (Bulan, Merkurius,
Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus). Nars menyebutkan bahwa dalam
penentuan jarak dan ukuran planet, tak ada yang lebih dikenal daripada percobaan
al-Farghani. Dalam menentukan jarak planet, al-Farghani mengikuti teori, bahwa
tak ada “ruang yang terbuang”, sesuai dengan falsafah “tak ada ruang kosong” di
alam raya, sehingga dia menetapkan apogium suatu planet bersinggungan dengan
perigium planet berikutnya. Apogium dan perigium adalah masing-masing titik
terjauh dan titik terdekat lintasan titik orbit planet dengan Bumi. Makin lonjong
suatu lintasan makin besar perbedaan antara apogium dan perigium. Menurut
Nasr, jarak yang diberikan al-Farghani untuk apogium dan perigium tiap planet
dalam sistem episiklus sejajar dengan ujung-ujung elips dalam astronomi
modern.15
Planet
Penentuan Al-Farghani
Penentuan Modern
(Jutaan Mil Inggris)
(Jutaan Mil Inggris)
Perigium Apogium
Rasio
Terdeka Terjauh
Rasio
Volume
t
Volume
dengan
dengan
Bumi
Bumi
Bulan
0.134
0.256
0.026
0.221
0.252
0.0204
Merkurius
0.256
0.666
0.000031
50,1.36,0.055
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
596 ASRI KAROLINA
Hasil observasi dan perhitungan jarak serta ukuran planet beserta teori dan
metodologi yang digunakannya, dia tuangkan dalam sebuah karya yang terkenal,
Elemen Astronomi. Menurut Nasr, karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin
dan diterima secara universal di Barat hingga zaman Copernicus. Ajram
menyebutkan bahwa karya al-Farghani itu dipergunakan sebagai teks otoritas
puncak astronomi di Eropa dan Asia Barat selama hampir 700 tahum, dan melalui
karya itulah, diantaranya, al-Farghani memengaruhi perkembangan astronomi di
Eropa sejak abad ke-12 hingga ke abad ke-18.16
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa berkembangnya
sains Islam dipengaruhi oleh dukungan para pemimpin dan kebijakan anggaran
yang diberikan oleh khalifah. Khalifah memusatkan perhatiannya pada
perkembangan sains pada masa itu. Sehingga para ilmuwan muslim merasa
didukung dengan perhatian yang diberikan oleh pemimpinnya.
2. Nashiruddin al-Thusi
a. Biografi Nashiruddin al-Thusi
Nashiruddin al-Thusi (w 1274 M) termasuk tokoh yang menyelamatkan
sisa-sisa khazanah intelektual peradaban Islam yang dihancurkan oleh Hulagu
Khan. Dia mencoba segala usaha yang mungkin dengan menawarkan jasanya
sebagai ahli astrologi dan astronomi pada Hulagu. Dengan cara tersebut, dia
memperoleh kepercayaan penguasa Mongol itu, dan dia berhasil menolong dan
menyelamatkan banyak perpustakaan dan lembaga pendidikan Islam. Dia lalu
diserahi tanggung jawab atas hibah keagamaan dan dapat membujuk Hulagu
untuk mendirikan observatorium dan lembaga sains di Maraghah, Persia.17
Nashiruddin al-Thusi termasuk salah seorang ulama Islam yang paling
besar. Namanya terpatri dalam dua peninggalan peradaban tentara Moghul yang
menjarah dunia Islam pada zamannya; bahkan menguasai Baghdad, dan
mengakhiri kekhalifahan dinasti Abbasiyah. Dua peniggalan tersebut ialah al-Zayj
al-Ilkhani dan teropong bintang Maraghah yang sangat terkenal. Nashiruddin
menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa Arab dan bahasa Persia. Dia juga
menulis dengan kedua bahasa tersebut. Dia dapat dikatakan sebagai orang yang
bisa mewakili dua budaya-budaya Arab dan budaya Persia dengan tingkat
penguasaan yang sama.18
b. Karya Nashiruddin al-Thusi
Sebagai seorang ilmuwan dia meninggalkan karya ilmiah antara lain:19
1) Tajrid al-I‟tiqad (Pensucian Keyakinan);
2) Etika Nashiriah (Akhlak Nashiri).
Dengan karyanya al-Thusi memperlihatkan dirinya sebagai seorang
ilmuwan astronomi yang juga seorang sufi. Pemikirannya dalam bidang astronomi
antara lain pada hasil pengembangannya dalam telaah-telaah astronomi Muslim
terdahulu dalam mengkritik dan mengoreksi sistem Ptolemeus. Bahkan, dia telah
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
597
sampai pada tingkat pengajuan model planet yang baru, yang non-Ptolemeus.
Model baru itu berusaha lebih setia kepada konsepsi sifat bola dari langit
ketimbang model Ptolemeus dengan menempatkan bumi pada pusat geometris
bola-bola langit, tidak pada jarak tertentu dari pusat seperti yang ditemui dalam
teori Ptolemeus.20
Dapat diinterpretasikan bahwa al-Thusi merupakan astronom penyelamat
khazanah Islam, pendiri observatorium Maraghah. Dia juga disebut sebagai Ibn
Sina kedua, dan ia merupakan guru Copernicus.
Apresiasi yang tinggi terhadap astronomi di kalangan sarjana Muslim
didorong oleh empat sumber motivasi, yaitu:21
1) Motivasi praktis, yang mendorong giatnya telaah astronomi (ilmu falak)
adalah keperluan kehidupan sehari-hari baik yang bersiifat ritual
keagamaan maupun sosial. Misalnya, untuk penentuan awal Ramadhan,
arah kiblat, jatuhnya Hari-hari besar Islam, ramalan cuaca untuk
pelayaran, pertanian, dan sebagainya.
2) Motivasi ilmiah, yang menggairahkan sarjana Muslim menggeluti
astronomi adalah untuk keperluan penyelesaian masalah-masalah ilmiah
yang ditinggalkan karya-karya astronom sebelumnya, terutama karya
Ptolemeus yang berjudul Almagest (berasal dari kata Arab al-majisti, yang
berarti yang terbesar). Menurut K. Ajram, astronomi memperoleh tempat
yang istimewa di kalangan sarjana Muslim disebabkan rasa keingintahuan
yang besar untuk memahami benda-benda langit dan gerakannya.
3) Motivasi filosofis, yang mendorong telaah astronomi ialah terkait dengan
pandangan kosmologis bahwa astronomi adalah induk ilmu pengetahuan
alam. Sarjana Muslim berpandangan bahwa penguasaan astronomi
merupakan pintu masuk untuk memahami prinsip-prinsip kerja alam raya
kosmos. Mereka terdorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk
menyingkapkan keteraturan alam semesta sebagai tanda-tanda (ayat)
kebijaksanaan Tuhan.
4) Motivasi teologis, muncul karena banyak ayat suci Al-Qur‟an yang
menyebutkan fenomena-fenomena astronomi dan mendorong manusia
untuk mempelajarinya. Seperti yang tertera dalam Surah:
                
Artinya: “tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan
malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis
edarnya” (Q.S. Yasin: 40).
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
598 ASRI KAROLINA
Sarjana Muslim klasik yang umumnya menganut pandangan teologi
keadilan juga terdorong keras untuk menunjukkan keserbateraturan tatanan
kosmos sebagai bukti Keadilan dan Kebijaksanaan Tuhan. Mereka, penganut
teologi keadilan-rasional, menjadikan Prinsip Keadilan sebagai tolak ukur bagi
Allah Swt. dalam penciptaan, sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. alRahman (55): 7:
    
Artinya: “dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca
(keadilan) (Q.S. al-Rahman: 7).
Dengan kata lain, telaah astronomi dan kosmologi bagi sarjana Muslim
klasik merupakan salah satu pintu gerbang menuju pengetahuan tentang maksud
dan tujuan Allah dalam penciptaan alam semesta. Kehendak, keadilan, dan
kebijaksanaan Allah dapat dilacak melalui, diantaranya, penyelidikan terhadap
tanda-tanda Allah di ufuk semesta sebagaimana yang dinyatakan dalam AlQur‟an:
                 
  
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)
Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi
mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya
Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S. Fushshilat: 53).
Dalam konteks ini, menurut Nasr, dalam pandangan para ilmuwan
Muslim, alam semesta adalah al-Qur‟an al-takwini sementara firman suci AlQur‟an itu sendiri disebut sebagai al-Qur‟an al-tadwini.
C. Intelektual Muslim dalam Bidang Fisika
Menurut ensiklopedi Islam, fisika adalah ilmu pengetahuan yang membahas
materi, energy, dan interaksinya. Ruang lingkup fisika sangat luas, mencakup
struktur materi, sifat berbagai wujud materi, dan interaksinya. Menurut Ibnu
Khaldun, fisika adalah ilmu yang membahas tubuh-tubuh dari titik pandang
gerakan dan diam yang melekat padanya. Fisika mempelajari tubuh-tubuh samawi
dan substansi elementer, sebagaimana juga manusia, binatang, tumbuhan, dan
barang tambang yang diciptakan daripadanya. Ilmu ini juga mempelajari mata air,
gempa yang timbul dalam bumi, awan, uap, Guntur, kilat, dan badai yang terdapat
dalam atmoosfer, dan lain-lain. Fisika juga mempelajari tubuh, yaitu jiwa dalam
berbagai bentuk yang muncul pada manusia, binatang, dan tumbuhan.22
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
599
Ilmu Fisika adalah ilmu yang menyelidiki fenomena alam, terutama yang
diambil dari benda-benda tak bernyawa, seperti cahaya, panas, tenaga listrik,
timbangan dan takaran, suara, dan keadaan tanpa bobot. Studi fisika merupakan
bagian dari prinsip filsafat alam yang banyak dibawa oleh ilmuwan Muslim
kenamaan, mengingat di dalam Al-Qur‟an banyak dijumpai ayat-ayat yang
memberi petunjuk, isyarat, dan gagasan tentang adanya objek kajian yang dapat
menghasilkan berbagai teori tentang fisika. Dengan sifatnya yang integrated,
yakni tidak memisahkan antara jasmani dan rohani, materi dan nonmateri,
material dan spiritual, keyakinan dan pengalaman, Al-Qur‟an telah mendorong
lahirnya ilmuwan yang Ensiklopedik, yaitu mereka yang selain menguasai ilmu
agama dengan berbagai cabangnya dengan baik, juga menguasai ilmu
pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam (sains) dengan berbagai cabangnya,
termasuk bidang fisika.23
Beberapa tokoh fisika Muslim secara singkat dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Al-Biruni
a. Biografi Al-Biruni
Al-Biruni, nama lengkapnya Abu al-Raihan Muhammad bin Ahmad bin
al-Biruni, berasal dari sebuah keluarga berkebangsaan Iran. Dia lahir pada 973 di
pinggiran Kota Kath, ibukota Khwarizm. Di kampung halamannya, dia menekuni
berbaga disiplin ilmu pengetahuan dari tokoh-tokoh seperti Abu Nashr Mansur
bin Ali bin Iraq Jilani dan Abu al-Wafa‟, ahli matematika, fisika, astronomi. Dia
banyak melakuka perjalanan di daerah utara Persia. Sempat menetap di Jurjan,
sebelah tenggara Laut Kaspia, lalu dia melajutkan pengembaraannya mencai ilmu
hingga ke Rayy, dekat Taheran. Sejak itulah al-Biruni menelurkan karya-karya
besarnya dalam bidang matematika, astronomi, mineralogi, fisika, farmasi,
biologi, geografi, bahasa, sejarah, perbandingan agama.24
b. Karya Al-Biruni
Menurut Natsir Arsyad, kalangan orientalis modern menyebut al-Biruni
sebagai salah seorang ilmuwan terbesar dan seorang eksperimentalis yang amat
tekun. Ajram menyebutkan, sebagai seorang fisikawan, al-Biruni telah
memberikan sumbangan penting bagi pengukuran berat jenis (specific gravity)
berbagai zat dengan hasil perhitungan yang cermat dan akurat. Namun,
sumbangan al-Biruni yang lebih penting dari itu adalah metode dan eksperimen
yang dia gunakan cukup mudah dan tepat sehingga tetap terpakai sampai
sekarang. Untuk eksperimennya itu, dia merancang piknometer, yaitu suatu alat
untuk menentukan berat jenis cairan berupa gelas bulat.25
Adapun metode yang dia gunakan sebagai berikut:26
1) Timbanglah suatu benda di udara,
2) Lalu timbang benda tersebut di air,
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
600 ASRI KAROLINA
3) Lalu, timbang air yang dipindahkan oleh (desakan bobot) benda tersebut.
Dari bobot ini, bobot baru benda tersebut (bobot dalam air) dapat dicari.
Lalu, dengan membagi bobot benda di udara oleh bobot dalam air, kita
dapat menemukan berat jenis benda tersebut. Berat jenis yang digunakan
oleh al-Biruni adalah perbandingan berat suatu zat dan berat air dengan
volume yang sama.
Sampai sekarang, pengukuran berat jenis suatu benda didasarkan atas
perbandingan terhadap air (sebagai berat jenis standard) sebagaimana yang telah
dirintis oleh al-Biruni. Dapat dipahami bahwa al-Biruni merupakan ilmuan jenius
dan langka yang menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dari bidang ilmuilmu alam, ilmu pasti, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu budaya, dan
filsafat. Banyak karangan ilmiahnya yang menjadi rujukan penting dunia
pendidikan sains di Timur dan Barat. Ia merupakan peletak dasar metode ilmiah
dan penghitung pertama keliling bumi.
2. Ibnu Sina
a. Biografi Ibn Sina
Nama lengkap Ibn Sina adalah Abu „Ali al-Husayn Ibn Abdullah.
Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para
ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari
bahasa Latin, Aven Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut
diambil dari kata al-shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada pula
pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama
tempat kelahirannya, yaitu Afshana.27
Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibn Sina dikenal sebagai intelektual
Muslim yang banyak mendapat gelar.28 Ia lahir pada tahun 370 H., bertepatan
dengan tahun 980 M., di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukharra, di
kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Balkh, suatu kota yang
termasyhur di kalangan orang-orang Yunani, dengan nama Baakhtra yang
mengandung arti cemerlang. Hal ini sesuai dengan peran yang dimainkan kota
tersebut, yaitu selain sebagai pusat kegiatan politik, juga sebagai pusat kegiatan
intelektual dan keagamaan. Sebagai tempat kedudukan raja-raja Yunani, Balk atau
Bakhtra selain memainkan peranan sebagaimana disebutkan di atas, juga pada
periode tertentu, kota tersebut pernah menjadi pusat peradaban Yunani (Hellenic),
dan setelah kedudukannya itu hilang, kota ini dapat dibangun kembali oleh
pemerintah Islam di zaman Dinasti Samaniyah dan Ghaznawiyah. Di kota inilah
perna terjadi pertemuan antara aliran Zoroaster, Budhisme, Manu, Kristen dan
Islam. Adapun Ibu Ibn Sina bernama Astarah, berasa, dari Afshana yang termasuk
wilayah Afghanistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai
berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 Masehi, wilayah Afghanistan ini
termasuk daerah Persia. Bangsa Persia bercampur baur dengan suku lain yang ada
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
601
di daerah itu, dan meraka berulang kali menentang penjajahan bangsa Turki, jauh
sebelum tentara Arab memasuki wilayah tersebut.29
Tampilnya Ibn Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal di dukung oleh
tempat kelahirannya sebagai ibukota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal
sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah
mencatat, bahwa Ibn Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota
kelahirannya, Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari adalah
membaca Al-Qur‟an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu
agama Islam seperti tafsir, fiqih, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan
kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-Qur‟an dan menguasai berbagai cabang
ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.30
Kemampuan berpikir Ibn Sina yang independen memiliki daya intelek dan
memori luar biasa, sedemikian rupa ia mampu mengambil alih tugas gurunya
ketika usia 14 tahun. Seperti yang diakuinya dalam otobiografi, tidak ada yang
tidak dia pelajari pada saat usianya mencapai 18 tahun. Ibn Sina meraih status
penuh sebagai ahli fisika yang berkualitas pada usia 18 tahun.31
Dengan menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat
dalam perpustakaan tersebut, Ibn Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam
ilmu pengetahuan. Tidak ada satu cabang ilmu pengetahuan yang ia tidak pelajari.
Hampir setahun lamanya ia membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat
dalam perpustakaan tersebut, sampai datang musibah yang memutuskan segala
harapannya, yaitu terjadi kebakaran pada perpustakaan tersebut hingga
memusnahkan buku-buku yang ada didalamnya.32
b. Karya Ibn Sina
Ibn Sina adalah seorang fisikawan brilliant. Ia melakukan eksperimeneksperimen orisinal dalam fisika, seperti gerak, daya, cahaya, panas, gravitasi
khusus (specific gravity). Menurut Ajram Ibn Sinalah yang menyatakan bahwa
cahaya berasal dari desiminasi partikel-partikel yang datang dari sumber cahaya
itu sendiri yang sekarang dikenal dengan nama foton-foton. Dalam bukunya alSyifa, Ibn Sina membahas tentang kecepatan suara dan cahaya, dan proses
pembentukan awan. Menurutnya, bahwa penglihatan mendahului pendengaran;
jika terdapat seseorang yang memukul dua benda pada jarak yang jauh, maka kita
akan melihat pukulan itu sebelum bunyinya. Selanjutnya Ibn Sina berpendapat,
bahwa kilat dan guntur sebenarnya terjadi bersamaan, tetapi kilat terlihat seketika,
sedangkan guntur terdengar belakangan. Peristiwa-peristiwa tersebut
menunjukkan bahwa melihat tidak memerlukan waktu, sementara mendengar
membutuhkannya. Hal tersebut itu terjadi, karena suara bergerak dalam
gelombang melalui udara, dan itu memerlukan waktu. Dengan kata lain, Ibn Sina
berpendapat, bahwa cahaya bergerak tanpa medium sehingga tidak memerlukan
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
602 ASRI KAROLINA
waktu, sedangkan gelombang suara memerlukan getaran udara atau zat lain, padat
atau cair.33
Pengaruh Ibn Sina dalam berbagai ilmu pengetahuan sudah tidak dapat
diragukan lagi. Hampir semua ilmu pengetahuan dipelajarinya termasuk ilmu
fisika. Keorisinilan karya Ibn Sina dalam bidang fisika tentang gerak, daya,
cahaya, panas, gravitasi khusus (specific gravity) telah membuka mata dunia akan
kebenarannya.
D. Intelektual Muslim dalam Bidang Kimia
Orang Arab memberikan kontribusi ilmiah terbesar dalam bidang kimia. Dalam
ilmu kimia, dan ilmu pengetahuan fisika lainnya, orang Arab telah
memperkenalkan tradisi penelitian objektif, sebuah perbaikan penting terhadap
tradisi pemikiran spekulatif orang Yunani. Meskipun terkenal akurat dalam
mengamati berbagai fenomena alam, dan giat menghimpun berbagai fakta, orang
Arab tetap saja sulit memberikan hipotesis yang memadai. Menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar ilmiah, dan menjelaskan sistem yag
sudah baku merupakan titik kelemahan tradisi intelektual mereka.34
Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari unsur-unsur atau elemenelemen yang menjadi dasar atau bahan dasar tentang segala sesuatu. Manusia
misalnya diciptakan dari tanah liat; kemungkinan melalui proses interaksi antara
berbagai substansi dalam tanah yang bekerja menurut hukum-hukum Tuhan
tentang kombinasi dan perubahan. Demikian pula penciptaan alam semesta dari
air, juga terjadi menurut kombinasi dan perubahan yang diciptakan Tuhan. Ayatayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan proses penciptaan oleh Tuhan dan dalam
menciptakan langit, bumi, dan manusia, telah memberikan petunjuk kuat terhadap
pikiran ilmiah tentag kemungkinan penciptaan substansi baru melalui kombinasi
berbagai unsur yang berbeda-beda, serta kemungkinan penelitian tentang reaksi
kimiawi dari unsur-unsur tersebut dalam proporsinya yang berlain-lainan.
Demikian pula ayat-ayat Tuhan yang menggambarkan “pewarnaan” Tuhan yang
telah menjadi petunjuk bagi para ilmuwan mengenai kemungkinan membuat
pewarnaan (celupan) kimiawi melalui proses pencampuran beberapa unsur
kimiawi dalam proporsi tertentu, berbagai unsur tentang asal-usul kejadian
tersebut antara lain air, tanah, udara, uap, tembikar, dan berbagai unsur lainnya
yang berpasang-pasangan. Unsur-unsur tersebut kemudian dipelajari, dikaji, dan
dianalisa tentang sifat, khasiat, kekuatan, dan kelemahannya, kemudian dilakukan
kombinasi dan sintesis-sintesis dan dari situlsah kemudian lahir ilmu kimia.
Adapun para ilmuwan Muslim yang memiliki keahlian dalam bidang kimia, antara
lain:35
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
603
1. Jabir Ibn Hayyan
a. Biografi Jabir Ibn Hayyan
Jabir Ibn Hayyan dalam bahasa Latin disebut Geber dianggap sebagai
Bapak Kimia yang termasyhur. Ia lahir di Thus-Khurasan, Iran pada 721 M,
setelah ayahnya hijrah dari Kufah, Irak. Ayahnya, Hayyan adalah seorang ahli
obat-obatan (apoteker). Hayyan terbunuh dalam pergerakan politik yang
menggulingkan Dinasti Umayyah pada abad ke-8. Jabir sendiri meninggal di
Kufah, Irak pada 815 M. Dengan demikian, usianya kurang lebih 84 tahun.
b. Karya Jabir Ibn Hayyan
Beberapa abad setelah kematiannya, dalam pembangunan sebuah jalan
besar di Kufah, laboratoriumnya ditemukan kembali, dan di dalamnya ditemukan
sebuah mangkuk dan sebongkah emas. Tradisi kesarjanaan Barat memandangnya
sebagai penemu beberapa formula kimia yang tidak terdapat dalam 22 karya
berbahasa Arab yang menyebutkan namanya. Lima dar karya-karya yang
dinisbatkan kepada Jabir, termasuk kitab al-Rahmah (Buku Cinta). Kitab alTajmi‟ (Buku tentang Konsentrasi), al-Zi‟bag al-Syarqi (Air Raksa Timur) telah
diterbitkan. Dengan tegas bisa diungkapkan bahwa dari kebanyakan dari seratus
buku kimia dalam bahasa Arab dan Latin yang dinisbatkan kepadanya
merupakan hasil karya orang lain. Meski demikian, karya-karya yang diklaim
ditulis olehnya setelah 14 abad kemudian menjadi risalah kimia yang paling
berpengaruh di Eropa maupun Asia.36
Will Durant mengemukakan bahwa Jabir dinobatkan sebagai bapak kimia
(the father of chemistry) karena karya-karyanya dianggap perintis ilmu kimia
modern. Karya-karya Jabir diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke 13
hingga Post Renaisans, yang mendorong perkembangan kimia di Eropa.37
2. Zakaria al-Razi
a. Biografi Zakaria al-Razi
Zakariyah al-Razi, lahir di Rayy, Persia (sekarang). Di Eropa al-Razi yang
dikenal dengan nama Rhazes memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan
ilmu kedokteran. Menurut Seyyed Hussein Nasr, bahwa al-Razi adalah dokter
klinis yang terbesar dalam Islam dan memperoleh kemasyhuran di Eropa zaman
Renaisans, dan hanya ditandingi oleh Ibn Sina. Sebelum beralih menekuni bidang
kedokteran, al-Razi adalah seorang ahli kimia. Menurut sebuah riwayat yang
dikutip oleh Nasr, al-Razzi meninggal dunia, karena penglihatannya mulai kabur
akibat eksperimen-eksperimen kimia yang meletihkannya, dan dengan bekal ilmu
kimianya yang luas ia lalu menekuni dunia medis-kedokteran, yang rupanya
merupakan bidang yang diminatinya sejak muda. Dalam waktu yang relatif cepat,
ia mendirikan rumah sakit di Rayy, salah satu rumah sakit yang terkenal sebagai
pusat penelitian dan pendidikan medis. Tak lama kemudian, dia juga dipercaya
untuk memimpin rumah sakit di Baghdad.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
604 ASRI KAROLINA
Zakaria al-Razi lebih dikenal sebagai dokter klinis terbesar Islam setelah
Ibn Sina. Meskipun demikian, ia juga dikenal sebagai tokoh kimia yang
mempunyai sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan ilmu kimia.
Peran unik al-Razi antara lain mentransformasikan al-kimia menjadi ilmu kimia
yang sepenuhnya empiris-eksperimental.
b. Karya Zakaria al-Razi
Al-Razi menulis banyak karya ilmiah tentang kimia. Beberapa di
antaranya yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sejumlah bahasa
Eropa pada era Renaissance adalah Kitab al-Asrar (The Book of Secrets: Buku
Rahasia-Rahasia); Kitab Sirr al-Asrar (The Book of the secret of secrets), yang
dalam versi latinnya menjadi Liber Secretorum Bubacaris, dan al-Madkal alTa‟lim (Propaedutic Introduction).38
Dalam buku rahasia-rahasia sebagaimana tersebut di atas, al-Razi
menjelaskan tentang proses-proses dan percobaan-percobaan kimia yang
dilakukan sendiri oleh al-Razi dan dapat diidentifikasi sebagai bentuk yang mirip
dengan kimia modern, seperti penyulingan, pengapuran, kristalisasi, dan
sebagainya. Dalam karya-karyanya terungkap bahwa al-Razi juga memberikan
deskripsi sejumlah peralatan laboratorium seperti gelas bermulut besar (beaker),
botol (flask), botol kecil (phials), panci (casseroles), lampu nafta (naphta lamps),
tungku pelebur (smelring furnaces), gunting (schears), tang (tongues), labu
destilasi (alembics), alu (pestles), lumpang (mortars), dan banyak lagi yang
lainnya, dan sebagian masih digunakan hingga saat ini.39
Banyak karya ilmiah Al-Razi tentang kimia diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan sejumlah bahasa Eropa. Salah satu kontribusi penting Al-Razi
terhadap kimia adalah klasifikasi substansi/zat kimia menjadi tiga golongan, yaitu
mineral, tumbuhan, dan hewan. Mineral adalah zat anorganik, sementara zat-zat
berasal dari tumbuhan dan hewan disebut zat organik. Al-Razi pernah mengajukan
pendapatnya bahwa kerja tubuh manusia merupakan hasil dari reaksi-reaksi
kimiawi (bagian dari kimia oraganik).
E. Intelektual Muslim dalam Bidang Kedokteran
Ilmu kedokteran adalah ilmu yang mempelajari tentang berbagai macam penyakit
baik dari segi sebab-sebab terjadinya penyakit tersebut serta cara-cara
penyembuhannya, serta menghindari penyakit. Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya,
kedokteran juga mendapatkan rangsangan dari Al-Qur‟an serta dari pandangan
hidup yang terkandung di dalamnya. Seperti ilmu-ilmu lainnya, prinsip-prinsip
keseimbangan dan keselarasan juga digunakan dalam memengaruhi ilmu
kedokteran ini. Sebagaimana telah dikemukakan, doktrin keseimbangan dan
keselarasan dalam alam, merupakan prinsip universal yang diakui oleh Islam dan
meliputi semua cabang ilmu pengetahuan Islam.
Kemajuan umat Islam di
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
605
zaman klasik dalam bidang kedokteran dan kesehatan, karena Islam menyatukan
antara kebutuhan jasad dan kebutuhan rohani, kebutuhan material dan spiritual.
Selanjutnya jika diketahui tentang perlawanan Islam terhadap macam-macam
penyakit dan penyebarannya serta anjuran Islam untuk melakukan penanganan
dan pengobatan terhadapnya, maka diketahui adanya prinsip-prinsip yang kuat
dab menjadi landasan berdirinya peradaban Islam di bidang kesehatan. Di antara
tokoh ilmuwan Muslim yang termasyhur dalam bidang kedokteran, antara lain:40
1. Ibn Sina
a. Biografi Ibn Sina
Di bidang kedokteran, siapa yang tidak mengenal sosok Ibn Sina. Tentu,
secara umum sudah tak bisa dimungkiri lagi, di dunia medis, sumbangsih Islam
begitu besar terhadap perkembangan ilmu kedokteran.41
Ibn Sina mempelajari ilmu kedokteran sejak usia 16 tahun, dan ia pun
tidak hanya belajar teori medis, melainkan juga dengan mengunjungi pasien, yang
menurut catatannya, hal itu dapat menemukan cara memberi perlakuan
(penyembuhan).42 Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibn
Sina. Di antaranya Mahmud al-Massah yang dikenal sebagai ahli matematika dan
mengajar ajaran Isma‟iliyah dari India. Selanjutnya dengan cara otodidak, Ibn
Sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang
dokter termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya
melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian
para penerjemah menduga bahwa Ibn Sina mempelajari ilmu kedokteran dari „Ali
Abi Sahl al-Masity dan Abi Mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara
demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh
keluasan teori dan praktek. Ibn Sina meninggal di Hamadan, Persia dalam usia 58
tahun, pada Ramadhan 1037, dan dimakamkan di sana, yang sekarang termasuk
Negara Iran bagian barat. Ketika memperingati 1000 tahun hari kelahirannya (Fair
Millenium) di Teheren pada 1955, dilangsungkan Konferensi Internasional
tentang Prestasi Ilmu Medis Ibn Sina. Dalam konferensi tersebut, Ibn Sina
dinobatkan sebagai Father of Doctors untuk selama-lamanya, dan untuk itu telah
dibangun sebuah monument sejarah. Sedangkan makam Ibn Sina di Hamadan
dikelilingi oleh berpuluh-puluh makam dokter; agaknya mereka cukup bangga
dapat dikuburkan dalam deretan Bapak dokter Islam itu. Makam itu hingga kini
dikunjungi oleh wisatawan domestik dan asing dengan penuh rasa hormat.43
b. Karya Ibn Sina
Ibn Sina menulis sekitar 100 karya tulis, sebagian di antaranya ditemukan
dalam beberapa lembar halaman, sementara karya lainnya ditulis sampai beberapa
jilid. Bukunya yang berjudul Qanun fi al-Thib (Undang-Undang Kedokteran)
berisi 14 jilid dan menjadi buku teks standar kedokteran di Eropa dan dunian
Islam sampai abad ke-18 M.44
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
606 ASRI KAROLINA
George Sarton, penulis sejarah sains yang terkenal, A History of Science,
menyatakan bahwa prestasi medis Ibn Sina sedemikian lengkap sehingga
megecilkan sumbangan yang lainnya dari berbagai belahan dunia, seolah-seolah
mereka hanya membuat penemuan yang lebih kecil, dan sementara itu
penyelidikan orisinil menyusut beberapa abad setelah masa Ibn Sina. Sarton juga
menguraikan pengaruh Ibn Sina yang sangat besar terhadap ruang lingkup dan
perkembangan ilmu kedokteran Barat. Karya ilmiah Ibn Sina merupakan referensi
dasar dan utama ilmu medis di Eropa dalam periode waktu yang lebih panjang
dibanding dengan buku-buku lainnya yang pernah ditulis.45
Di antara karya tulis Ibn Sina yang paling terkenal adalah al-Qanun fi alThibb (Canon of Medicine, Konstitusi Ilmu Kedokteran). Menurut Seyyed
Hussein Nasr, bahwa karya besar Qanun itu adalah karya yang paling banyak
dibaca dan besar pengaruhnya pada ilmu medis Islam dan Eropa. Karya besar
tersebut merupakan satu dari buku yang paling sering dicetak di Eropa pada masa
Renaissance dalam terjemahan latinnya oleh Gerard dari Cremona. Buku Ibn Sina
tersebut dinilai setingkat dengan karya Aristoteles, Euclides, dan Ptolemeus. Isi
buku tersebut antara lain berupa jawaban terhadap semua persoalan medis. AlQanun fi al-Thibb memiliki kualitas-kualitas yang esensial sebagai sebuah risalah
imum, yakni harus metodis, jelas, dan otoritatif. Al-Qanun fi al-Thibb memiliki
kualitas-kualitas tersebut sepenuhnya, bahkan barangkali dalam tajuk-tajuk
masalah tertentu terlalu baik. Klasifikasinya memuaskan bagi pikiran yang logis,
bahkan ketika dia tidak mengindahkan apa yang terjadi dalam praktik yang aktual.
Karya itu sedemikian otoritatif, sehingga mampu menelanjangi siapa pun yang
coba-coba untuk menentang proposisi-proposisinya. Di antara kandungan buku .
Al-Qanun fi al-Thibb yang sekaligus menggambarkan gagasan, pemikiran serta
teori Ibn Sina dalam bidang kedokteran, antara lain berkaitan dengan lima hal,
yaitu:46
1) Prinsip-prinsip umum kedokteran yang meliputi filsafat kedokteran,
anatomi, fisiologi, pemeliharaan kesehatan (higienies) dan penangananpenanganan penyakit;
2) Obat-obat yang sederhana;
3) Gangguan-gangguan organ dalam dan luar tubuh;
4) Beragam penyakit yang mempengaruhi tubuh secara umum, tidak terbatas
pada satu organ tubuh; dan
5) Obat-obat persenyawaan kompleks. Selain itu, Ibn Sina juga melakukan
kajian terhadap fisiologi yang terkait dengan teori cairan tubuh, yaitu
darah, lendir, empedu kuning, dan empedu hitam.
Dari karya Al-Razi, al-Hawi dan karya Ibn Sina, al-Qanun fi al-Thibb,
orang Eropa banyak mengenal ilmu kedokteran. Kitab tersebut juga diajarkan di
universitas-universitas seluruh Eropa sampai abad ke-18. Menurut Dr. Gustave Le
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
607
Bon, salah satu karya Al-Razi yang lain, yaitu buku kimia al-Asrar, masih tetap
menjadi buku pegangan praktikum kedokteran di Eropa sampa abad ke-19.47
2. Abu al-Qasim al-Zahrawi
a. Biografi Abu al-Qasim al-Zahrawi
Abu al-Qasim bin Abbas al-Zahrawi hidup pada abad ke-11, yaitu pada
masa ketika khalifah Abd Rahman II sedang berkuasa di Kordova, Spanyol. Di
Barat dua dikenal dengan nama Abucacis, suatu indikasi adanya pengaruh alZahrawi terhadap dunia ilmiah yang berkembang kemudia di Eropa.48 Dia dikenal
sebagai seorang dokter dan ahli bedah Muslim Spamyol. Dalam hal ini, Ajram
menolak klaim penulisan sejarah yang diajarkan selama ini bahwa penerapan
ilmiah pembedahan dikembangkan pertama kali oleh ahli bedah Prancis bernama
Ambroise Pare pada 1545. Sebelum Pare, dianggap bahwa ahli bedah berusaha
mengeluarkan darah melalui prosedur yang mengerikan seperti pembakaran luka
dengan minyak yang mendidih. Lalu, Pare menghentikan teknik seperti itu dan
mulai dengan membalut arteri (pembuluh darah). Pare kemudian dianggap sebagai
“Bapak Ilmu Bedah yang Rasional”. Ajram membantah klaim itu. Menurutnya,
lima ratus tahun sebelumnya, ahli bedah Islam Spanyol, al-Zahrawi, telah
menerapkan pembalutan arteri dengan benang-benang bedah yang halus (fine
sutures). Dia mengintroduksi sejumlah pembedahan yang inovatif, termasuk
pengangkatan polip/tumor hidung yang bengkok, penghilangan batu kandung
kemih, dan perbaikan pelbagai dislokasi organ tubuh. Kata Ajram, dia adalah
seorang master dalam cabang medis ortopedi (ilmu bedah bagian tulang).49
b. Karya Abu al-Qasim al-Zahrawi
Natsir Arsyad menyebutkan bahwa sebagai ahli kedokteran, Al-Zahrawi
menulis banyak buku kedokteran, diantaranya adalah buku tentang kedokteran
dan peralatan-peralatannya. Buku itu adalah semacam ensiklopedia medis;
judulnya al-Tashrif li man „ajiza „an al-Talif (Medical Vademecum atau Buku
Pedoman Kedokteran). Al-Zahrawi juga mengukir prestasi medis ketika dia untuk
pertama kalinya secara jelas mendeskripsikan hemofili sebagai sebuah penyakit
turunan (herediter) dan penggunaan posisi apa yang sekarang disebut sebagai
posisi Walcher untuk proses kelahiran. Sebelum Gustav Adolf Walcher lahir,
yakni sekitar 700 tahun kemudian, Al-Zahrawi telah merintis posisi untuk
kelahiran itu, yang kemudian penemuan tersebut dinisbahkan kepada Walcher
sehingga dinamakan posisi Walcher yang dipakai hingga sekarang. Al-Zahrawi
juga memberikan deskripsi yang akurat untuk pertama kalinya tentang cacat
genetik (genetic deformities) pada mulut dan lengkungan gigi. Dia dengan tepat
menggambarkan semacam patologi di balik kelumpuhan dawai suara/vocal
ratusan tahun sebelum ditemukan di Barat. Menurut Arsyad di kalangan
kedokteran Muslim sendiri, Al-Zahrawi dikenal baik sebagai perintis ilmu
pengenalan penyakit (diagnostic) dan cara penyembuhan (therapeutic) penyakit
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
608 ASRI KAROLINA
telinga. Dialah yang telah merintis dilakukannya pembedahan telinga untuk
mengembalikan fungsi pendengaran, dengan jalan memperhatikan secara seksama
anatomi saraf-saraf halus (arteries), pembuluh-pembuluh darah (veins), dan otototot (tendons). Tidak hanya sebatas itu, Al-Zahrawi pun dikenal sebagai motor
pelopor pengembangan ilmu penyakit kulit (dermatology). Al-Zahrawi juga
dikenal baik sebagai seorang dokter gigi. Menurut Arsyad, dari ilustrasi-ilustrasi
yang digambarkan buku-buku yang ditulis Al-Zahrawi, dapat diketahui bahwa dia
telah menggunakan banyak macam peralatan untuk keperluan pengobatan gigi.
Arsyad mengutip bagian akhir karya Al-Zahrawi yang terdiri dari 30 jilid yang
sudah disebutkan sebelumnya. Al-Zahrawi dalam buku itu membahas tentang luka
dan cara pembedahannya, tentang pengobatan tulang yang remuk, tentang
penyakit gigi sekaligus dengan cara pengobatannya, tentang pembakaran luka dan
pembersihan kotoran darah di dalam rahim pasca bersalin. Menurut Arsyad buku
itulah yang kemudian meletakkan dasar-dasar pengembangan kedokteran gigi di
Eropa. Beberapa bagian penting dari isi buku tersebut dikutip oleh seorang ahli
bedah kebangsaan Prancis yang amat terkenal di Eropa, Guy de Chauliac. Buku
tersebut cukup lama digunakan di Eropa, terutama universitas-universitas Salerno
dan Muenchen. Arsyad menambahkan bahwa secara umum pemikiran Al-Zahrawi
banyak berpengaruh kuat pada sistem pengobatan di Barat. Hal itu diiakui oleh
Donald Campbell dalam bukunya Arabian Medicine and Its Influence on the
Middle Ages. Bahkan, di Eropa, pada masanya, Al-Zahrawi mendapat pujian
sebagai seorang ahli yang mempunyai reputasi dan popularitas lebih besar dari
pada Galen dan Hippocrates, yang telah dikenal lebih dahulu.50
Al-Zahrawi merupakan sang ahli bedah, kulit, telinga, dan gigi. Ia banyak
sekali menulis buku tentang kedokteran. Al-Zahrawi mengukir prestasi pada saat
mendeskripsikan tentang hemofili sebagai sebuah penyakit turunan dan ia juga
memberikan deskripsi yang akurat untuk pertama kalinya tentang cacat genetik
(genetic deformities) pada mulut dan lengkungan gigi. Temuan-temuannya dan
karyanya dalam bidang kedokteran dapat meletakkan dasar-dasar pengembangan
kedokteran gigi di Eropa.
F. Kesimpulan
Sains merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang alam jagat raya
dengan segala isinya. Memperhatikan hukum-hukum Allah dan ayat-ayat
kauniyah. Di antara sains yang mendapat perhatian besar dari kalangan intelektual
Muslim adalah astronomi, karena hampir semua sarjana muslim mempelajarinya.
Selain itu, ilmu fisika, kimia, dan kedokteran dengan berbagai cabangnya juga
mendapat perhatian besar dari kalangan intelektual Muslim.
Kemampuan para intelektual Muslim dalam bidang sains, tidak hanya
menemukan hal-hal sebelumnya belum dikaji oleh para ilmuwan Yunani, India,
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
609
China, Persia dan lainnya, melainkan juga para intelektual Muslim di bidang sains
ini telah menjadi dasar dan inspirasi bagi pengembangan sains di Eropa dan Barat.
Kontribusi karya mereka mempengaruhi lahirnya para intelektual Barat. Bahkan
buku-buku karya mereka diterjemahkan sehingga dapat memberikan sumbangansumbangan ide bagi para intelektual lainnya.
Pesatnya pengembangan sains oleh para intelektual muslim ini tidak
terlepas pada dukungan para pemimpin yang memusatkan perhatiannya pada
pengembangan sains. Secara sosiologis tumbuh dan berkembangnya sains dalam
Islam bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran dasar Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang
menekankan pada pembangunan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam serta
perintah untuk menuntut ilmu bagi setiap muslim dan muslimah. Selain itu,
karena tuntutan kebutuhan hidup, budaya, dan tradisi intelektual yang berkembang
di daerah-daerah dan Negara-negara yang berada di bawah imperium Islam.
Pesatnya perkembangan sains pada masa ini disebabkan karena besarnya
dukungan politik dan perhatian pemerintah serta kebijakan anggaran pemerintah
diinfestasikan untuk kemajuan para intelektual muslim di bidang sains. Selain itu,
mendukung lahirnya para pelukis kanvas peradaban Islam. Tumbuh dan
berkembangnya sains dalam Islam juga dipengaruhi oleh tradisi intelektual dari
para ulama, situasi dan kondisi keamanan yang baik, kemajuan dan kesejahteraan
dalam bidang ekonomi, latar belakang keluarga dari setiap ilmuwan dan didorong
untuk meluaskan wilayah kekuasaan Islam, dengan kata lain melakukan ekspansi.
Kemajuan yang telah berkembang dalam bidang sains yang telah dilakukan para
intelektual Muslim telah menjadi rujukan utama dalam pengembangan sains pada
saat ini.
Catatan:
1
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Jakarta: Mizan Publika,
2011), hal. 126.
2
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 260-261.
3
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 362.
4
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu Teori & Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012), hal. 51.
5
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan..., hal. 199.
6
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 125.
7
Philip K. Hitti, History of the Arab, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), hal. 465469.
8
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 85-86.
9
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 259-260.
10
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 86.
11
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 128.
12
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 89.
13
Philip K. Hitti, History of the Arab..., hal. 470.
14
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 89.
15
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 129.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
610 ASRI KAROLINA
16
Ibid., hal. 129-130.
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 90.
18
Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah, (Jakarta: Intimedia dan
Ladang Pustaka, t.t.), hal. 138.
19
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 90.
20
Ibid.
21
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 260-261.
22
Hamdani, Filsafat Sains, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 56.
23
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 91.
24
Ibid., hal. 155.
25
Ibid., hal. 156-157.
26
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 93.
27
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 59.
28
Gelar yang diberikan para ahli sejarah kepada Ibn Sina antara lain: As-Syaikh ar-Rais”,
al-Hakim at-Masyhur, “At-Thib an-Nathasyi”, dan Al-„Alim an-Nasdy‟. Gelar-gelar
tersebut oleh para ahli sejarah tidak dijelaskan maksud dan latarbelakangnya. Namun
hal itu dapat diduga karena Ibn Sina amat luas penguasaannya terhadap berbagai
bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu agama, ilmu hokum, ilmu jiwa, ilmu
kedokteran, filsafat, ilmu cara mengatur Negara dan rumah tangga.
29
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam..., hal. 59-61.
30
Ibid., hal. 61-62.
31
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah Keilmuan
Tokoh Klasik Sampai Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 78-79.
32
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam..., hal. 63.
33
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 9394.
34
Philip K. Hitti, History of the Arab..., hal. 475-476.
35
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 9495.
36
Philip K. Hitti, History of the Arab..., hal. 476-477.
37
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 183.
38
Ibid., hal. 187.
39
Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 9697.
40
Ibid., hal. 96.
41
Laode M Kamaluddin dan Awaludi Marwan, Andalusia Mutiara Peradaban Islam di
Kerajaan Spanyol, (Semarang: Gigih Pustaka Mandiri, 2012), hal. 154.
42
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah Keilmuan
Tokoh Klasik Sampai Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 79.
43
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam..., hal. 62-63.
44
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah Keilmuan
Tokoh Klasik Sampai Modern..., hal. 85.
45
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 200.
46
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam..., hal. 101.
17
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE
611
47
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 200.
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam..., hal. 103.
49
Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 207-208.
50
Ibid., hal. 208-209.
48
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
612 ASRI KAROLINA
DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, Abd. Rachman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah
Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat Ilmu Teori & Aplikasi. Jakarta: Referensi.
Hamdani. 2011. Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia.
Heriyanto, Husain. 2011. Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam. Jakarta:
Mizan Publika.
Iqbal, Muhammad. t.t. 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah. Jakarta:
Intimedia dan Ladang Pustaka.
Jalaluddin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rajawali Pers.
Kamaluddin, Laode M dan Awaludi Marwan. 2012. Andalusia Mutiara
Peradaban Islam di Kerajaan Spanyol. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri.
K. Hitti, Philip. 2010. History of the Arab. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Nata,
Abuddin. 2012. Sejarah Sosial Intelektual
Pendidikannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Islam
dan
Institusi
--------. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana.
--------. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
Download