INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE Asri Karolina Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah, STAIN Curup Email: [email protected] Abstrak Kebenaran adalah tujuan yang paling utama dari manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa manusia pasti menginginkan kebenaran karena fitrah manusia mencari kebenaran. Manusia mencari kebenaran pada sumber pengetahuan yang mereka anggap benar dan kebenaran ilmiah dalam ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk memperadab dirinya. Hal ini yang sudah lama diperjuangkan oleh para intelektual muslim, yaitu mencari kebenaran-kebenaran ilmiah dalam ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan karya-karya dalam bidang sains. Para intelektual muslim telah melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan di berbagai bidang, yaitu astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran. Kemampuan para intelektual Muslim dalam bidang sains, tidak hanya menemukan hal-hal sebelumnya belum dikaji oleh para ilmuwan Yunani, India, China, Persia dan lainnya, melainkan juga para intelektual Muslim di bidang sains ini telah menjadi dasar dan inspirasi bagi pengembangan sains di Eropa dan Barat, yang pada tahap selanjutnya digunakan untuk membawa kemajuan negara mereka. Pesatnya pengembangan sains oleh para intelektual muslim ini tidak terlepas pada dukungan para pemimpin yang memusatkan perhatiannya pada pengembangan sains. Besarnya dukungan politik dan perhatian pemerintah serta kebijakan anggaran pemerintah diinfestasikan untuk kemajuan para intelektual muslim di bidang sains. Secara sosiologis tumbuh dan berkembangnya sains dalam Islam bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran dasar Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang menekankan pada pembangunan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam serta perintah untuk menuntut ilmu bagi setiap muslim dan muslimah. Selain itu, karena tuntutan kebutuhan hidup, budaya, dan tradisi intelektual yang berkembang di daerahdaerah dan Negara-negara yang berada di bawah imperium Islam. Tumbuh dan berkembangnya sains dalam Islam juga dipengaruhi oleh tradisi intelektual dari para ulama, situasi dan kondisi keamanan yang baik, kemajuan dan kesejahteraan dalam bidang ekonomi, latar belakang keluarga dari setiap ilmuwan dan didorong untuk meluaskan wilayah kekuasaan Islam, dengan kata lain melakukan ekspansi. Kemajuan yang telah berkembang dalam bidang sains yang telah dilakukan para intelektual Muslim telah menjadi rujukan utama dalam pengembangan sains pada saat ini. Kata Kunci: Intelektual Muslim, Science Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 592 ASRI KAROLINA A. Pendahuluan Sebelum Islam datang telah terdapat berbagai tradisi keilmuan dan peradaban yang perkembangannya tengah mengalami kebuntuan, deadlock, dan sekarat. Sejalan dengan etos keilmuan Islam yang terbuka dan kosmopolitan, serta kemampuan khas epistemologi Islam yang memiliki daya sintesis-kreatif, para sarjana Muslim menerima khazanah berbagai peradaban pra Islam seraya secara kreatif mengembangkannya sendiri dengan cara pandang dan paradigma yang baru, yang sesuai dengan pandangan-dunia Tauhid.1 Bangunan tradisi keilmuan merupakan tonggak penopang dalam peradaban Islam. Adapun terbentuknya tradisi keilmuan itu terkait langsung dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sumber utama ajaran Islam, yaitu AlQur‟an dan Hadist. Hal ini menunjukkan, bahwa dalam Islam tradisi keilmuan merupakan bagian dari nilai-nilai ajaran agama. Berangkat dari aktivitas dan pengembangan keilmuan itu pula peradaban Islam dibangun. Memang Islam bukan hanya sebatas agama, melainkan juga sebuah peradaban. Islam is indeed much more than a system of theology, if is complete civilization, tulis H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither of Islam. Kedua hubungan ini mejadi kian jelas bila dilacak ke sumber Al-Qur‟an mengenai cikal bakal “peradaban manusia.2 Islam adalah ajaran yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan guna meningkatkan kualitas hidup manusia, mendorong kemajuan, dan kesejahteraan hidup manusia. Dalam Islam setiap amal yang dilakukan harus disertai ilmu pengetahuan yang terkait dengannya.3 Pengetahuan atau ilmu merupakan bagian yang esensial-aksiden manusia, karena pengetahuan adalah buah dari berpikir. Berpikir (natiqiyyah) adalah sebagai differentia (fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu hewan. Sebenarnya kehebatan dan keunggulan manusia dari spesies-spesies lain karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini pun tidak lain karena pengetahuan yang dimilikinya.4 Ilmu pengetahuan merupakan salah satu hasil dari usaha manusia untuk memperadab dirinya. Lebih dari seribu tahun, lewat berbagai kurun zaman dan kebudayaan, ketika itu manusia merenung dalam-dalam tentang apa artinya menjadi manusia, secara lambat laun mereka sampai pada kesimpulan mengetahui kebenaran adalah tujuan yang paling utama dari manusia.5 Hal ini yang sudah lama diperjuangkan oleh para intelektual muslim, yaitu mencari kebenaran-kebenaran ilmiah dalam ilmu pengetahuan sehingga menghasilkan karya-karya dalam bidang sains. Para intelektual muslim telah melakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan di berbagai bidang, yaitu astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran. Para intelektual muslim tersebut layak disebut sebagai para pelukis kanvas peradaban Islam. Karena mereka telah menciptakan berbagai karya dalam bidang sains. Dengan Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 593 demikian, artikel ini akan membahas tentang para intelektual muslim di bidang sains (science), yaitu astronomi, fisika, kimia, dan kedokteran. B. Intelektual Muslim dalam Bidang Astronomi Hampir semua sarjana Muslim berbagai jenis disiplin ilmu menekuni telaah astronomi. Sarjana-sarjana yang dikenal sebagai filsuf dan teolog seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Nahsir al-Din al-Thusi, Ibn Thufail, dan Ibn Rusyd menulis karya-karya astronomi yang berpengaruh terhadap perkembangan telaah astronomi. Para sarjana matematika pun umumnya juga menguasai astronomi, bahkan memberikan sumbangan-sumbangan orisinal yang signifikan bagi kemajuan riset ilmiah astronomi, seperti al-Khawarizmi, Umar Khayyam, Abu alWafa‟.6 Kajian ilmiah tentang perbintangan dalam Islam mulai dilakukan, seiring dengan masuknya pegaruh buku India, Siddhanta (Bahasa Arab, Sindhind), yang dibawa ke Baghdad pada 771, diterjemahkan oleh Muhammad ibn Ibrahim alFazari, dan digunakan sebagai acuan oleh para sarjana belakangan. Tabel berbahasa Pahlawi (zik) yang dihimpun pada masa Dinasti Sasaniyah ikut dimasukkan dalam bentuk terjemahan (zij). Unsur-unsur Yunani, yang baru muncul belakangan, termasuk di antara unsur penting pertama. Terjemahan awal karya Ptolemius, Almagest, disusul kemudian oleh dua karya yang lebih unggul: karya al-Hajjaj ibn Mathar yang selesai ditulis pada 212 H./827-828 M., dan karya Hunayn ibn Ishaq yang direvisi oleh Tsabit ibn Qurrah (w. 910). Pada awal aad ke-9, sebuah observasi (rasyd) rutin pertama dengan mengunakan peralatan yang cukup akurat dilakukan di Jundaysabur (Persia sebelah barat daya). Berdekatan dengan Bayt al-Hikmah, di pintu masuk Syammasiyah, Baghdad, al-Ma‟mun membangun sebuah observatorium dengan supervisor seorang Yahudi yang baru masuk Islam. Sind ibn Ali, dan Yahya ibn abi Manshur (w. 830 atau 831). I observatorium itu, para astronom kerajaan “tidak hanya mengamati dengan seksama dan sistematis berbagai gerakan benda-benda langit, tapi juga menguji semua unsur penting dalam Almagest dan menghasilkan amatan yang sangat akurat: sudut ekliptif bumi, ketepatan lintas matahari, dan sebagainya. Al-Ma‟mun membangun lagi sebuah observatorium di Bukit Kasiyun di luar Damaskus. Perangkat observasi pada saat itu terdiri atas busur 90º, astrolob, jarum penunjuk, dan bola dunia. Ibrahim al-Fazari (w. ± 777) adalah orang Islam pertama yang memuat astrolob, yang meniru bentuk astrolob Yunani, seperti yang terlihat dari namanya dalam bahasa Arab (asthurlab). Salah satu risalah berbahasa Arab tertua tentang perangkat ini ditulis oleh Ali ibn Isa al-Asthurlabi (pembuat astrolob), yang tinggal di Baghdad dan Damaskus sebelum 830.7 Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 594 ASRI KAROLINA Astronomi adalah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan gerakan, penyebaran, dan sifat-sifat benda samawi. Ilmu ilmu ini dperkirakan sebagai ilmu yang paling tua dari semua ilmu penhigetahuan alam. Proses penciptaan yang dibahas dalam kosmologi telah memberika beberapa gagasan tentang kemahaluasan dan kemahabesaran dunia Ilahi yang sangat mengagumkan. Ilmu ini juga melukiskan tentang kemajemukan langit dan bumi serta menunjukkan bahwa dalam proses peniptaan benda-benda itu terdapat tingkat perantara penciptaan langit dan bumi.8 Astronomi dalam tradisi Islam disebut dengan „ilm al-hay‟ah atau „ilm alnujum dan terkadang „ilm al-falak, yang masing-masing berarti ilmu tentang konfigurasi langit, ilmu perbintangan, dan ilmu tentang orbit. Menurut Seyyed Hossein Nasr, banyak sekali ayat suci Al-Qur‟an yang membicarakat tentang langit, bintang, Matahari, Bulan, dan berbagai aspek yang terkait dengan tatanan dan fenomena langit. Beberapa surat Al-Qur‟an pun menggunakan nama bendabenda langit seperti QS. al-Najm (Bintang), QS. al-Qamar (Bulan), QS. al-Buruj (Gugusan Bintang), QS. al-Syams (Matahari). Ilmu astronomi oleh para sarjana Muslim digolongkan sebagai cabang matematika. Selain mengambil manfaat dari tradisi Yunani (Ptolemeus), Persia, dan India, para ilmuwan Muslim juga mewarisi tradisi astronomi yang berkembang di wilayah Arab pra-Islam. Mengingat hampir semua sarjana Muslim dari berbagai disiplin ilmu tertarik pada telaah astronomi.9 Di antara ilmuwan Muslim yang memiliki perhatian besar terhadap astronomi adalah al-Farghani dan al-Thusi. Riwayat hidup dan gagasan, pemikiran dan konsep mereka dalam bidang astronomi ini dapat dikemukakan sebagai berikut:10 1. Al-Farghani a. Biografi Al-Farghani Perkembangan astronomi Islam makin berkembang dengan kemunculan al-Farghani. Sang astronom itu berasal dari Transoxania, sebuah kota di Uzbekistan, Asia Tengah. Di Barat dia dikenal dengan nama Alfranagus, suatu indikasi yang menunjukkan pengaruhnya terhadap Eropa melalui penerjemahan karya-karyanya ke dalam berbagai bahasa Eropa, terutama bahasa Latin.11 Nama lengkapnya adalah Abu al-Abbas Ahmad ibn Muhammad Ibn Kathir al-Farghani. Ia termasuk salah seorang ilmuwan bidang astronomi yang pertama melakukan riset ilmiah di zaman khalifah al-Ma‟mun.12 b. Karya Al-Farghani Seorang ahli astronomi lainnya yang terkenal pada masa itu adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani (Alfraganus) dari Fargana Transoxiana, yang pada 861 diserahi tugas oleh al-Mutawakkil untuk mengawasi pembangunan sebuah Nilometer di Fushthat. Karya utama al-Farghani, al-Mudkhil ila „ilm Hay‟ah alMedia Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 595 Aflak, diterjemahkan ke bahasa Latin pada 1135 oleh John dari Seville dan Gerard dari Cremona, dan ke bahasa Ibrani. Dalam versi bahasa Arab, buku itu ditemukan dengan judul yang berbeda.13 Sebagai seorang ilmuwan ia telah meninggalkan karya ilmiah dalam bidang astronomi, antara lain:14 1) Jawami‟ Ilmu al-Nujum wa Ushul al-Harakat al-Samawiyyat wa Jawami‟ Ilmu Nujum, Ushul Ilmu al-Nujum (Asas-Asas Ilmu Bintang), 2) Al-Madkhal ia Ilmu Al-Falak (Pengantar ke Ilmu Perbintangan), 3) Kitab al-Ushul al-Tsalatsin. Semua buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Spanyol oleh John dari Seville dan Gerard dari Cremona pada 1135. Selain itu, buku tersebut juga diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh Jakob Anatoli, dan hingga kini masih terawat baik di Berlin, Munich, Vienna, Oxford dan lain sebagainya. Diriwayatkan bahwa Al-Farghani aktif memulai observasi astronominya ketika khalifah al-Ma‟mun membangun sebuah observatorium astronomi di Baghdad pada 829. Melalui observasi yang terus menerus dilakukannya, dia berhasil menentukan jarak dan ukuran planet/benda langit (Bulan, Merkurius, Venus, Matahari, Mars, Jupiter, dan Saturnus). Nars menyebutkan bahwa dalam penentuan jarak dan ukuran planet, tak ada yang lebih dikenal daripada percobaan al-Farghani. Dalam menentukan jarak planet, al-Farghani mengikuti teori, bahwa tak ada “ruang yang terbuang”, sesuai dengan falsafah “tak ada ruang kosong” di alam raya, sehingga dia menetapkan apogium suatu planet bersinggungan dengan perigium planet berikutnya. Apogium dan perigium adalah masing-masing titik terjauh dan titik terdekat lintasan titik orbit planet dengan Bumi. Makin lonjong suatu lintasan makin besar perbedaan antara apogium dan perigium. Menurut Nasr, jarak yang diberikan al-Farghani untuk apogium dan perigium tiap planet dalam sistem episiklus sejajar dengan ujung-ujung elips dalam astronomi modern.15 Planet Penentuan Al-Farghani Penentuan Modern (Jutaan Mil Inggris) (Jutaan Mil Inggris) Perigium Apogium Rasio Terdeka Terjauh Rasio Volume t Volume dengan dengan Bumi Bumi Bulan 0.134 0.256 0.026 0.221 0.252 0.0204 Merkurius 0.256 0.666 0.000031 50,1.36,0.055 Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 596 ASRI KAROLINA Hasil observasi dan perhitungan jarak serta ukuran planet beserta teori dan metodologi yang digunakannya, dia tuangkan dalam sebuah karya yang terkenal, Elemen Astronomi. Menurut Nasr, karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diterima secara universal di Barat hingga zaman Copernicus. Ajram menyebutkan bahwa karya al-Farghani itu dipergunakan sebagai teks otoritas puncak astronomi di Eropa dan Asia Barat selama hampir 700 tahum, dan melalui karya itulah, diantaranya, al-Farghani memengaruhi perkembangan astronomi di Eropa sejak abad ke-12 hingga ke abad ke-18.16 Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa berkembangnya sains Islam dipengaruhi oleh dukungan para pemimpin dan kebijakan anggaran yang diberikan oleh khalifah. Khalifah memusatkan perhatiannya pada perkembangan sains pada masa itu. Sehingga para ilmuwan muslim merasa didukung dengan perhatian yang diberikan oleh pemimpinnya. 2. Nashiruddin al-Thusi a. Biografi Nashiruddin al-Thusi Nashiruddin al-Thusi (w 1274 M) termasuk tokoh yang menyelamatkan sisa-sisa khazanah intelektual peradaban Islam yang dihancurkan oleh Hulagu Khan. Dia mencoba segala usaha yang mungkin dengan menawarkan jasanya sebagai ahli astrologi dan astronomi pada Hulagu. Dengan cara tersebut, dia memperoleh kepercayaan penguasa Mongol itu, dan dia berhasil menolong dan menyelamatkan banyak perpustakaan dan lembaga pendidikan Islam. Dia lalu diserahi tanggung jawab atas hibah keagamaan dan dapat membujuk Hulagu untuk mendirikan observatorium dan lembaga sains di Maraghah, Persia.17 Nashiruddin al-Thusi termasuk salah seorang ulama Islam yang paling besar. Namanya terpatri dalam dua peninggalan peradaban tentara Moghul yang menjarah dunia Islam pada zamannya; bahkan menguasai Baghdad, dan mengakhiri kekhalifahan dinasti Abbasiyah. Dua peniggalan tersebut ialah al-Zayj al-Ilkhani dan teropong bintang Maraghah yang sangat terkenal. Nashiruddin menguasai dua bahasa dengan baik, bahasa Arab dan bahasa Persia. Dia juga menulis dengan kedua bahasa tersebut. Dia dapat dikatakan sebagai orang yang bisa mewakili dua budaya-budaya Arab dan budaya Persia dengan tingkat penguasaan yang sama.18 b. Karya Nashiruddin al-Thusi Sebagai seorang ilmuwan dia meninggalkan karya ilmiah antara lain:19 1) Tajrid al-I‟tiqad (Pensucian Keyakinan); 2) Etika Nashiriah (Akhlak Nashiri). Dengan karyanya al-Thusi memperlihatkan dirinya sebagai seorang ilmuwan astronomi yang juga seorang sufi. Pemikirannya dalam bidang astronomi antara lain pada hasil pengembangannya dalam telaah-telaah astronomi Muslim terdahulu dalam mengkritik dan mengoreksi sistem Ptolemeus. Bahkan, dia telah Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 597 sampai pada tingkat pengajuan model planet yang baru, yang non-Ptolemeus. Model baru itu berusaha lebih setia kepada konsepsi sifat bola dari langit ketimbang model Ptolemeus dengan menempatkan bumi pada pusat geometris bola-bola langit, tidak pada jarak tertentu dari pusat seperti yang ditemui dalam teori Ptolemeus.20 Dapat diinterpretasikan bahwa al-Thusi merupakan astronom penyelamat khazanah Islam, pendiri observatorium Maraghah. Dia juga disebut sebagai Ibn Sina kedua, dan ia merupakan guru Copernicus. Apresiasi yang tinggi terhadap astronomi di kalangan sarjana Muslim didorong oleh empat sumber motivasi, yaitu:21 1) Motivasi praktis, yang mendorong giatnya telaah astronomi (ilmu falak) adalah keperluan kehidupan sehari-hari baik yang bersiifat ritual keagamaan maupun sosial. Misalnya, untuk penentuan awal Ramadhan, arah kiblat, jatuhnya Hari-hari besar Islam, ramalan cuaca untuk pelayaran, pertanian, dan sebagainya. 2) Motivasi ilmiah, yang menggairahkan sarjana Muslim menggeluti astronomi adalah untuk keperluan penyelesaian masalah-masalah ilmiah yang ditinggalkan karya-karya astronom sebelumnya, terutama karya Ptolemeus yang berjudul Almagest (berasal dari kata Arab al-majisti, yang berarti yang terbesar). Menurut K. Ajram, astronomi memperoleh tempat yang istimewa di kalangan sarjana Muslim disebabkan rasa keingintahuan yang besar untuk memahami benda-benda langit dan gerakannya. 3) Motivasi filosofis, yang mendorong telaah astronomi ialah terkait dengan pandangan kosmologis bahwa astronomi adalah induk ilmu pengetahuan alam. Sarjana Muslim berpandangan bahwa penguasaan astronomi merupakan pintu masuk untuk memahami prinsip-prinsip kerja alam raya kosmos. Mereka terdorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk menyingkapkan keteraturan alam semesta sebagai tanda-tanda (ayat) kebijaksanaan Tuhan. 4) Motivasi teologis, muncul karena banyak ayat suci Al-Qur‟an yang menyebutkan fenomena-fenomena astronomi dan mendorong manusia untuk mempelajarinya. Seperti yang tertera dalam Surah: Artinya: “tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. dan masing-masing beredar pada garis edarnya” (Q.S. Yasin: 40). Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 598 ASRI KAROLINA Sarjana Muslim klasik yang umumnya menganut pandangan teologi keadilan juga terdorong keras untuk menunjukkan keserbateraturan tatanan kosmos sebagai bukti Keadilan dan Kebijaksanaan Tuhan. Mereka, penganut teologi keadilan-rasional, menjadikan Prinsip Keadilan sebagai tolak ukur bagi Allah Swt. dalam penciptaan, sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. alRahman (55): 7: Artinya: “dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) (Q.S. al-Rahman: 7). Dengan kata lain, telaah astronomi dan kosmologi bagi sarjana Muslim klasik merupakan salah satu pintu gerbang menuju pengetahuan tentang maksud dan tujuan Allah dalam penciptaan alam semesta. Kehendak, keadilan, dan kebijaksanaan Allah dapat dilacak melalui, diantaranya, penyelidikan terhadap tanda-tanda Allah di ufuk semesta sebagaimana yang dinyatakan dalam AlQur‟an: Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (Q.S. Fushshilat: 53). Dalam konteks ini, menurut Nasr, dalam pandangan para ilmuwan Muslim, alam semesta adalah al-Qur‟an al-takwini sementara firman suci AlQur‟an itu sendiri disebut sebagai al-Qur‟an al-tadwini. C. Intelektual Muslim dalam Bidang Fisika Menurut ensiklopedi Islam, fisika adalah ilmu pengetahuan yang membahas materi, energy, dan interaksinya. Ruang lingkup fisika sangat luas, mencakup struktur materi, sifat berbagai wujud materi, dan interaksinya. Menurut Ibnu Khaldun, fisika adalah ilmu yang membahas tubuh-tubuh dari titik pandang gerakan dan diam yang melekat padanya. Fisika mempelajari tubuh-tubuh samawi dan substansi elementer, sebagaimana juga manusia, binatang, tumbuhan, dan barang tambang yang diciptakan daripadanya. Ilmu ini juga mempelajari mata air, gempa yang timbul dalam bumi, awan, uap, Guntur, kilat, dan badai yang terdapat dalam atmoosfer, dan lain-lain. Fisika juga mempelajari tubuh, yaitu jiwa dalam berbagai bentuk yang muncul pada manusia, binatang, dan tumbuhan.22 Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 599 Ilmu Fisika adalah ilmu yang menyelidiki fenomena alam, terutama yang diambil dari benda-benda tak bernyawa, seperti cahaya, panas, tenaga listrik, timbangan dan takaran, suara, dan keadaan tanpa bobot. Studi fisika merupakan bagian dari prinsip filsafat alam yang banyak dibawa oleh ilmuwan Muslim kenamaan, mengingat di dalam Al-Qur‟an banyak dijumpai ayat-ayat yang memberi petunjuk, isyarat, dan gagasan tentang adanya objek kajian yang dapat menghasilkan berbagai teori tentang fisika. Dengan sifatnya yang integrated, yakni tidak memisahkan antara jasmani dan rohani, materi dan nonmateri, material dan spiritual, keyakinan dan pengalaman, Al-Qur‟an telah mendorong lahirnya ilmuwan yang Ensiklopedik, yaitu mereka yang selain menguasai ilmu agama dengan berbagai cabangnya dengan baik, juga menguasai ilmu pengetahuan sosial, ilmu pengetahuan alam (sains) dengan berbagai cabangnya, termasuk bidang fisika.23 Beberapa tokoh fisika Muslim secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Al-Biruni a. Biografi Al-Biruni Al-Biruni, nama lengkapnya Abu al-Raihan Muhammad bin Ahmad bin al-Biruni, berasal dari sebuah keluarga berkebangsaan Iran. Dia lahir pada 973 di pinggiran Kota Kath, ibukota Khwarizm. Di kampung halamannya, dia menekuni berbaga disiplin ilmu pengetahuan dari tokoh-tokoh seperti Abu Nashr Mansur bin Ali bin Iraq Jilani dan Abu al-Wafa‟, ahli matematika, fisika, astronomi. Dia banyak melakuka perjalanan di daerah utara Persia. Sempat menetap di Jurjan, sebelah tenggara Laut Kaspia, lalu dia melajutkan pengembaraannya mencai ilmu hingga ke Rayy, dekat Taheran. Sejak itulah al-Biruni menelurkan karya-karya besarnya dalam bidang matematika, astronomi, mineralogi, fisika, farmasi, biologi, geografi, bahasa, sejarah, perbandingan agama.24 b. Karya Al-Biruni Menurut Natsir Arsyad, kalangan orientalis modern menyebut al-Biruni sebagai salah seorang ilmuwan terbesar dan seorang eksperimentalis yang amat tekun. Ajram menyebutkan, sebagai seorang fisikawan, al-Biruni telah memberikan sumbangan penting bagi pengukuran berat jenis (specific gravity) berbagai zat dengan hasil perhitungan yang cermat dan akurat. Namun, sumbangan al-Biruni yang lebih penting dari itu adalah metode dan eksperimen yang dia gunakan cukup mudah dan tepat sehingga tetap terpakai sampai sekarang. Untuk eksperimennya itu, dia merancang piknometer, yaitu suatu alat untuk menentukan berat jenis cairan berupa gelas bulat.25 Adapun metode yang dia gunakan sebagai berikut:26 1) Timbanglah suatu benda di udara, 2) Lalu timbang benda tersebut di air, Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 600 ASRI KAROLINA 3) Lalu, timbang air yang dipindahkan oleh (desakan bobot) benda tersebut. Dari bobot ini, bobot baru benda tersebut (bobot dalam air) dapat dicari. Lalu, dengan membagi bobot benda di udara oleh bobot dalam air, kita dapat menemukan berat jenis benda tersebut. Berat jenis yang digunakan oleh al-Biruni adalah perbandingan berat suatu zat dan berat air dengan volume yang sama. Sampai sekarang, pengukuran berat jenis suatu benda didasarkan atas perbandingan terhadap air (sebagai berat jenis standard) sebagaimana yang telah dirintis oleh al-Biruni. Dapat dipahami bahwa al-Biruni merupakan ilmuan jenius dan langka yang menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan dari bidang ilmuilmu alam, ilmu pasti, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu agama, ilmu-ilmu budaya, dan filsafat. Banyak karangan ilmiahnya yang menjadi rujukan penting dunia pendidikan sains di Timur dan Barat. Ia merupakan peletak dasar metode ilmiah dan penghitung pertama keliling bumi. 2. Ibnu Sina a. Biografi Ibn Sina Nama lengkap Ibn Sina adalah Abu „Ali al-Husayn Ibn Abdullah. Penyebutan nama ini telah menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa Latin, Aven Sina, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata al-shin yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya, yaitu Afshana.27 Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibn Sina dikenal sebagai intelektual Muslim yang banyak mendapat gelar.28 Ia lahir pada tahun 370 H., bertepatan dengan tahun 980 M., di Afshana, suatu daerah yang terletak di dekat Bukharra, di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama Abdullah dari Balkh, suatu kota yang termasyhur di kalangan orang-orang Yunani, dengan nama Baakhtra yang mengandung arti cemerlang. Hal ini sesuai dengan peran yang dimainkan kota tersebut, yaitu selain sebagai pusat kegiatan politik, juga sebagai pusat kegiatan intelektual dan keagamaan. Sebagai tempat kedudukan raja-raja Yunani, Balk atau Bakhtra selain memainkan peranan sebagaimana disebutkan di atas, juga pada periode tertentu, kota tersebut pernah menjadi pusat peradaban Yunani (Hellenic), dan setelah kedudukannya itu hilang, kota ini dapat dibangun kembali oleh pemerintah Islam di zaman Dinasti Samaniyah dan Ghaznawiyah. Di kota inilah perna terjadi pertemuan antara aliran Zoroaster, Budhisme, Manu, Kristen dan Islam. Adapun Ibu Ibn Sina bernama Astarah, berasa, dari Afshana yang termasuk wilayah Afghanistan. Namun demikian, ia ada yang menyebutkan sebagai berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10 Masehi, wilayah Afghanistan ini termasuk daerah Persia. Bangsa Persia bercampur baur dengan suku lain yang ada Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 601 di daerah itu, dan meraka berulang kali menentang penjajahan bangsa Turki, jauh sebelum tentara Arab memasuki wilayah tersebut.29 Tampilnya Ibn Sina selain sebagai ilmuwan yang terkenal di dukung oleh tempat kelahirannya sebagai ibukota kebudayaan, dan orang tuanya yang dikenal sebagai pejabat tinggi, juga karena kecerdasannya yang luar biasa. Sejarah mencatat, bahwa Ibn Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, Bukhara. Pengetahuan yang pertama kali ia pelajari adalah membaca Al-Qur‟an. Setelah itu ia melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti tafsir, fiqih, ushuluddin dan lain-lain. Berkat ketekunan dan kecerdasannya, ia berhasil menghafal Al-Qur‟an dan menguasai berbagai cabang ilmu keislaman pada usia yang belum genap sepuluh tahun.30 Kemampuan berpikir Ibn Sina yang independen memiliki daya intelek dan memori luar biasa, sedemikian rupa ia mampu mengambil alih tugas gurunya ketika usia 14 tahun. Seperti yang diakuinya dalam otobiografi, tidak ada yang tidak dia pelajari pada saat usianya mencapai 18 tahun. Ibn Sina meraih status penuh sebagai ahli fisika yang berkualitas pada usia 18 tahun.31 Dengan menenggelamkan diri dalam membaca buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, Ibn Sina berhasil mencapai puncak kemahiran dalam ilmu pengetahuan. Tidak ada satu cabang ilmu pengetahuan yang ia tidak pelajari. Hampir setahun lamanya ia membaca dan menelaah buku-buku yang terdapat dalam perpustakaan tersebut, sampai datang musibah yang memutuskan segala harapannya, yaitu terjadi kebakaran pada perpustakaan tersebut hingga memusnahkan buku-buku yang ada didalamnya.32 b. Karya Ibn Sina Ibn Sina adalah seorang fisikawan brilliant. Ia melakukan eksperimeneksperimen orisinal dalam fisika, seperti gerak, daya, cahaya, panas, gravitasi khusus (specific gravity). Menurut Ajram Ibn Sinalah yang menyatakan bahwa cahaya berasal dari desiminasi partikel-partikel yang datang dari sumber cahaya itu sendiri yang sekarang dikenal dengan nama foton-foton. Dalam bukunya alSyifa, Ibn Sina membahas tentang kecepatan suara dan cahaya, dan proses pembentukan awan. Menurutnya, bahwa penglihatan mendahului pendengaran; jika terdapat seseorang yang memukul dua benda pada jarak yang jauh, maka kita akan melihat pukulan itu sebelum bunyinya. Selanjutnya Ibn Sina berpendapat, bahwa kilat dan guntur sebenarnya terjadi bersamaan, tetapi kilat terlihat seketika, sedangkan guntur terdengar belakangan. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan bahwa melihat tidak memerlukan waktu, sementara mendengar membutuhkannya. Hal tersebut itu terjadi, karena suara bergerak dalam gelombang melalui udara, dan itu memerlukan waktu. Dengan kata lain, Ibn Sina berpendapat, bahwa cahaya bergerak tanpa medium sehingga tidak memerlukan Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 602 ASRI KAROLINA waktu, sedangkan gelombang suara memerlukan getaran udara atau zat lain, padat atau cair.33 Pengaruh Ibn Sina dalam berbagai ilmu pengetahuan sudah tidak dapat diragukan lagi. Hampir semua ilmu pengetahuan dipelajarinya termasuk ilmu fisika. Keorisinilan karya Ibn Sina dalam bidang fisika tentang gerak, daya, cahaya, panas, gravitasi khusus (specific gravity) telah membuka mata dunia akan kebenarannya. D. Intelektual Muslim dalam Bidang Kimia Orang Arab memberikan kontribusi ilmiah terbesar dalam bidang kimia. Dalam ilmu kimia, dan ilmu pengetahuan fisika lainnya, orang Arab telah memperkenalkan tradisi penelitian objektif, sebuah perbaikan penting terhadap tradisi pemikiran spekulatif orang Yunani. Meskipun terkenal akurat dalam mengamati berbagai fenomena alam, dan giat menghimpun berbagai fakta, orang Arab tetap saja sulit memberikan hipotesis yang memadai. Menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang benar-benar ilmiah, dan menjelaskan sistem yag sudah baku merupakan titik kelemahan tradisi intelektual mereka.34 Ilmu kimia adalah ilmu yang mempelajari unsur-unsur atau elemenelemen yang menjadi dasar atau bahan dasar tentang segala sesuatu. Manusia misalnya diciptakan dari tanah liat; kemungkinan melalui proses interaksi antara berbagai substansi dalam tanah yang bekerja menurut hukum-hukum Tuhan tentang kombinasi dan perubahan. Demikian pula penciptaan alam semesta dari air, juga terjadi menurut kombinasi dan perubahan yang diciptakan Tuhan. Ayatayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan proses penciptaan oleh Tuhan dan dalam menciptakan langit, bumi, dan manusia, telah memberikan petunjuk kuat terhadap pikiran ilmiah tentag kemungkinan penciptaan substansi baru melalui kombinasi berbagai unsur yang berbeda-beda, serta kemungkinan penelitian tentang reaksi kimiawi dari unsur-unsur tersebut dalam proporsinya yang berlain-lainan. Demikian pula ayat-ayat Tuhan yang menggambarkan “pewarnaan” Tuhan yang telah menjadi petunjuk bagi para ilmuwan mengenai kemungkinan membuat pewarnaan (celupan) kimiawi melalui proses pencampuran beberapa unsur kimiawi dalam proporsi tertentu, berbagai unsur tentang asal-usul kejadian tersebut antara lain air, tanah, udara, uap, tembikar, dan berbagai unsur lainnya yang berpasang-pasangan. Unsur-unsur tersebut kemudian dipelajari, dikaji, dan dianalisa tentang sifat, khasiat, kekuatan, dan kelemahannya, kemudian dilakukan kombinasi dan sintesis-sintesis dan dari situlsah kemudian lahir ilmu kimia. Adapun para ilmuwan Muslim yang memiliki keahlian dalam bidang kimia, antara lain:35 Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 603 1. Jabir Ibn Hayyan a. Biografi Jabir Ibn Hayyan Jabir Ibn Hayyan dalam bahasa Latin disebut Geber dianggap sebagai Bapak Kimia yang termasyhur. Ia lahir di Thus-Khurasan, Iran pada 721 M, setelah ayahnya hijrah dari Kufah, Irak. Ayahnya, Hayyan adalah seorang ahli obat-obatan (apoteker). Hayyan terbunuh dalam pergerakan politik yang menggulingkan Dinasti Umayyah pada abad ke-8. Jabir sendiri meninggal di Kufah, Irak pada 815 M. Dengan demikian, usianya kurang lebih 84 tahun. b. Karya Jabir Ibn Hayyan Beberapa abad setelah kematiannya, dalam pembangunan sebuah jalan besar di Kufah, laboratoriumnya ditemukan kembali, dan di dalamnya ditemukan sebuah mangkuk dan sebongkah emas. Tradisi kesarjanaan Barat memandangnya sebagai penemu beberapa formula kimia yang tidak terdapat dalam 22 karya berbahasa Arab yang menyebutkan namanya. Lima dar karya-karya yang dinisbatkan kepada Jabir, termasuk kitab al-Rahmah (Buku Cinta). Kitab alTajmi‟ (Buku tentang Konsentrasi), al-Zi‟bag al-Syarqi (Air Raksa Timur) telah diterbitkan. Dengan tegas bisa diungkapkan bahwa dari kebanyakan dari seratus buku kimia dalam bahasa Arab dan Latin yang dinisbatkan kepadanya merupakan hasil karya orang lain. Meski demikian, karya-karya yang diklaim ditulis olehnya setelah 14 abad kemudian menjadi risalah kimia yang paling berpengaruh di Eropa maupun Asia.36 Will Durant mengemukakan bahwa Jabir dinobatkan sebagai bapak kimia (the father of chemistry) karena karya-karyanya dianggap perintis ilmu kimia modern. Karya-karya Jabir diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sejak abad ke 13 hingga Post Renaisans, yang mendorong perkembangan kimia di Eropa.37 2. Zakaria al-Razi a. Biografi Zakaria al-Razi Zakariyah al-Razi, lahir di Rayy, Persia (sekarang). Di Eropa al-Razi yang dikenal dengan nama Rhazes memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan ilmu kedokteran. Menurut Seyyed Hussein Nasr, bahwa al-Razi adalah dokter klinis yang terbesar dalam Islam dan memperoleh kemasyhuran di Eropa zaman Renaisans, dan hanya ditandingi oleh Ibn Sina. Sebelum beralih menekuni bidang kedokteran, al-Razi adalah seorang ahli kimia. Menurut sebuah riwayat yang dikutip oleh Nasr, al-Razzi meninggal dunia, karena penglihatannya mulai kabur akibat eksperimen-eksperimen kimia yang meletihkannya, dan dengan bekal ilmu kimianya yang luas ia lalu menekuni dunia medis-kedokteran, yang rupanya merupakan bidang yang diminatinya sejak muda. Dalam waktu yang relatif cepat, ia mendirikan rumah sakit di Rayy, salah satu rumah sakit yang terkenal sebagai pusat penelitian dan pendidikan medis. Tak lama kemudian, dia juga dipercaya untuk memimpin rumah sakit di Baghdad. Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 604 ASRI KAROLINA Zakaria al-Razi lebih dikenal sebagai dokter klinis terbesar Islam setelah Ibn Sina. Meskipun demikian, ia juga dikenal sebagai tokoh kimia yang mempunyai sumbangan yang signifikan terhadap perkembangan ilmu kimia. Peran unik al-Razi antara lain mentransformasikan al-kimia menjadi ilmu kimia yang sepenuhnya empiris-eksperimental. b. Karya Zakaria al-Razi Al-Razi menulis banyak karya ilmiah tentang kimia. Beberapa di antaranya yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sejumlah bahasa Eropa pada era Renaissance adalah Kitab al-Asrar (The Book of Secrets: Buku Rahasia-Rahasia); Kitab Sirr al-Asrar (The Book of the secret of secrets), yang dalam versi latinnya menjadi Liber Secretorum Bubacaris, dan al-Madkal alTa‟lim (Propaedutic Introduction).38 Dalam buku rahasia-rahasia sebagaimana tersebut di atas, al-Razi menjelaskan tentang proses-proses dan percobaan-percobaan kimia yang dilakukan sendiri oleh al-Razi dan dapat diidentifikasi sebagai bentuk yang mirip dengan kimia modern, seperti penyulingan, pengapuran, kristalisasi, dan sebagainya. Dalam karya-karyanya terungkap bahwa al-Razi juga memberikan deskripsi sejumlah peralatan laboratorium seperti gelas bermulut besar (beaker), botol (flask), botol kecil (phials), panci (casseroles), lampu nafta (naphta lamps), tungku pelebur (smelring furnaces), gunting (schears), tang (tongues), labu destilasi (alembics), alu (pestles), lumpang (mortars), dan banyak lagi yang lainnya, dan sebagian masih digunakan hingga saat ini.39 Banyak karya ilmiah Al-Razi tentang kimia diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan sejumlah bahasa Eropa. Salah satu kontribusi penting Al-Razi terhadap kimia adalah klasifikasi substansi/zat kimia menjadi tiga golongan, yaitu mineral, tumbuhan, dan hewan. Mineral adalah zat anorganik, sementara zat-zat berasal dari tumbuhan dan hewan disebut zat organik. Al-Razi pernah mengajukan pendapatnya bahwa kerja tubuh manusia merupakan hasil dari reaksi-reaksi kimiawi (bagian dari kimia oraganik). E. Intelektual Muslim dalam Bidang Kedokteran Ilmu kedokteran adalah ilmu yang mempelajari tentang berbagai macam penyakit baik dari segi sebab-sebab terjadinya penyakit tersebut serta cara-cara penyembuhannya, serta menghindari penyakit. Sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, kedokteran juga mendapatkan rangsangan dari Al-Qur‟an serta dari pandangan hidup yang terkandung di dalamnya. Seperti ilmu-ilmu lainnya, prinsip-prinsip keseimbangan dan keselarasan juga digunakan dalam memengaruhi ilmu kedokteran ini. Sebagaimana telah dikemukakan, doktrin keseimbangan dan keselarasan dalam alam, merupakan prinsip universal yang diakui oleh Islam dan meliputi semua cabang ilmu pengetahuan Islam. Kemajuan umat Islam di Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 605 zaman klasik dalam bidang kedokteran dan kesehatan, karena Islam menyatukan antara kebutuhan jasad dan kebutuhan rohani, kebutuhan material dan spiritual. Selanjutnya jika diketahui tentang perlawanan Islam terhadap macam-macam penyakit dan penyebarannya serta anjuran Islam untuk melakukan penanganan dan pengobatan terhadapnya, maka diketahui adanya prinsip-prinsip yang kuat dab menjadi landasan berdirinya peradaban Islam di bidang kesehatan. Di antara tokoh ilmuwan Muslim yang termasyhur dalam bidang kedokteran, antara lain:40 1. Ibn Sina a. Biografi Ibn Sina Di bidang kedokteran, siapa yang tidak mengenal sosok Ibn Sina. Tentu, secara umum sudah tak bisa dimungkiri lagi, di dunia medis, sumbangsih Islam begitu besar terhadap perkembangan ilmu kedokteran.41 Ibn Sina mempelajari ilmu kedokteran sejak usia 16 tahun, dan ia pun tidak hanya belajar teori medis, melainkan juga dengan mengunjungi pasien, yang menurut catatannya, hal itu dapat menemukan cara memberi perlakuan (penyembuhan).42 Sejarah mencatat sejumlah guru yang pernah mendidik Ibn Sina. Di antaranya Mahmud al-Massah yang dikenal sebagai ahli matematika dan mengajar ajaran Isma‟iliyah dari India. Selanjutnya dengan cara otodidak, Ibn Sina mempelajari ilmu kedokteran secara mendalam, hingga ia menjadi seorang dokter termasyhur pada zamannya. Hal ini didukung oleh kesungguhannya melakukan penelitian dan praktek pengobatan. Berkenaan dengan ini sebagian para penerjemah menduga bahwa Ibn Sina mempelajari ilmu kedokteran dari „Ali Abi Sahl al-Masity dan Abi Mansur al-Hasan ibn Nuh al-Qamary. Dengan cara demikian, ilmu kedokteran mengalami perkembangan yang didukung oleh keluasan teori dan praktek. Ibn Sina meninggal di Hamadan, Persia dalam usia 58 tahun, pada Ramadhan 1037, dan dimakamkan di sana, yang sekarang termasuk Negara Iran bagian barat. Ketika memperingati 1000 tahun hari kelahirannya (Fair Millenium) di Teheren pada 1955, dilangsungkan Konferensi Internasional tentang Prestasi Ilmu Medis Ibn Sina. Dalam konferensi tersebut, Ibn Sina dinobatkan sebagai Father of Doctors untuk selama-lamanya, dan untuk itu telah dibangun sebuah monument sejarah. Sedangkan makam Ibn Sina di Hamadan dikelilingi oleh berpuluh-puluh makam dokter; agaknya mereka cukup bangga dapat dikuburkan dalam deretan Bapak dokter Islam itu. Makam itu hingga kini dikunjungi oleh wisatawan domestik dan asing dengan penuh rasa hormat.43 b. Karya Ibn Sina Ibn Sina menulis sekitar 100 karya tulis, sebagian di antaranya ditemukan dalam beberapa lembar halaman, sementara karya lainnya ditulis sampai beberapa jilid. Bukunya yang berjudul Qanun fi al-Thib (Undang-Undang Kedokteran) berisi 14 jilid dan menjadi buku teks standar kedokteran di Eropa dan dunian Islam sampai abad ke-18 M.44 Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 606 ASRI KAROLINA George Sarton, penulis sejarah sains yang terkenal, A History of Science, menyatakan bahwa prestasi medis Ibn Sina sedemikian lengkap sehingga megecilkan sumbangan yang lainnya dari berbagai belahan dunia, seolah-seolah mereka hanya membuat penemuan yang lebih kecil, dan sementara itu penyelidikan orisinil menyusut beberapa abad setelah masa Ibn Sina. Sarton juga menguraikan pengaruh Ibn Sina yang sangat besar terhadap ruang lingkup dan perkembangan ilmu kedokteran Barat. Karya ilmiah Ibn Sina merupakan referensi dasar dan utama ilmu medis di Eropa dalam periode waktu yang lebih panjang dibanding dengan buku-buku lainnya yang pernah ditulis.45 Di antara karya tulis Ibn Sina yang paling terkenal adalah al-Qanun fi alThibb (Canon of Medicine, Konstitusi Ilmu Kedokteran). Menurut Seyyed Hussein Nasr, bahwa karya besar Qanun itu adalah karya yang paling banyak dibaca dan besar pengaruhnya pada ilmu medis Islam dan Eropa. Karya besar tersebut merupakan satu dari buku yang paling sering dicetak di Eropa pada masa Renaissance dalam terjemahan latinnya oleh Gerard dari Cremona. Buku Ibn Sina tersebut dinilai setingkat dengan karya Aristoteles, Euclides, dan Ptolemeus. Isi buku tersebut antara lain berupa jawaban terhadap semua persoalan medis. AlQanun fi al-Thibb memiliki kualitas-kualitas yang esensial sebagai sebuah risalah imum, yakni harus metodis, jelas, dan otoritatif. Al-Qanun fi al-Thibb memiliki kualitas-kualitas tersebut sepenuhnya, bahkan barangkali dalam tajuk-tajuk masalah tertentu terlalu baik. Klasifikasinya memuaskan bagi pikiran yang logis, bahkan ketika dia tidak mengindahkan apa yang terjadi dalam praktik yang aktual. Karya itu sedemikian otoritatif, sehingga mampu menelanjangi siapa pun yang coba-coba untuk menentang proposisi-proposisinya. Di antara kandungan buku . Al-Qanun fi al-Thibb yang sekaligus menggambarkan gagasan, pemikiran serta teori Ibn Sina dalam bidang kedokteran, antara lain berkaitan dengan lima hal, yaitu:46 1) Prinsip-prinsip umum kedokteran yang meliputi filsafat kedokteran, anatomi, fisiologi, pemeliharaan kesehatan (higienies) dan penangananpenanganan penyakit; 2) Obat-obat yang sederhana; 3) Gangguan-gangguan organ dalam dan luar tubuh; 4) Beragam penyakit yang mempengaruhi tubuh secara umum, tidak terbatas pada satu organ tubuh; dan 5) Obat-obat persenyawaan kompleks. Selain itu, Ibn Sina juga melakukan kajian terhadap fisiologi yang terkait dengan teori cairan tubuh, yaitu darah, lendir, empedu kuning, dan empedu hitam. Dari karya Al-Razi, al-Hawi dan karya Ibn Sina, al-Qanun fi al-Thibb, orang Eropa banyak mengenal ilmu kedokteran. Kitab tersebut juga diajarkan di universitas-universitas seluruh Eropa sampai abad ke-18. Menurut Dr. Gustave Le Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 607 Bon, salah satu karya Al-Razi yang lain, yaitu buku kimia al-Asrar, masih tetap menjadi buku pegangan praktikum kedokteran di Eropa sampa abad ke-19.47 2. Abu al-Qasim al-Zahrawi a. Biografi Abu al-Qasim al-Zahrawi Abu al-Qasim bin Abbas al-Zahrawi hidup pada abad ke-11, yaitu pada masa ketika khalifah Abd Rahman II sedang berkuasa di Kordova, Spanyol. Di Barat dua dikenal dengan nama Abucacis, suatu indikasi adanya pengaruh alZahrawi terhadap dunia ilmiah yang berkembang kemudia di Eropa.48 Dia dikenal sebagai seorang dokter dan ahli bedah Muslim Spamyol. Dalam hal ini, Ajram menolak klaim penulisan sejarah yang diajarkan selama ini bahwa penerapan ilmiah pembedahan dikembangkan pertama kali oleh ahli bedah Prancis bernama Ambroise Pare pada 1545. Sebelum Pare, dianggap bahwa ahli bedah berusaha mengeluarkan darah melalui prosedur yang mengerikan seperti pembakaran luka dengan minyak yang mendidih. Lalu, Pare menghentikan teknik seperti itu dan mulai dengan membalut arteri (pembuluh darah). Pare kemudian dianggap sebagai “Bapak Ilmu Bedah yang Rasional”. Ajram membantah klaim itu. Menurutnya, lima ratus tahun sebelumnya, ahli bedah Islam Spanyol, al-Zahrawi, telah menerapkan pembalutan arteri dengan benang-benang bedah yang halus (fine sutures). Dia mengintroduksi sejumlah pembedahan yang inovatif, termasuk pengangkatan polip/tumor hidung yang bengkok, penghilangan batu kandung kemih, dan perbaikan pelbagai dislokasi organ tubuh. Kata Ajram, dia adalah seorang master dalam cabang medis ortopedi (ilmu bedah bagian tulang).49 b. Karya Abu al-Qasim al-Zahrawi Natsir Arsyad menyebutkan bahwa sebagai ahli kedokteran, Al-Zahrawi menulis banyak buku kedokteran, diantaranya adalah buku tentang kedokteran dan peralatan-peralatannya. Buku itu adalah semacam ensiklopedia medis; judulnya al-Tashrif li man „ajiza „an al-Talif (Medical Vademecum atau Buku Pedoman Kedokteran). Al-Zahrawi juga mengukir prestasi medis ketika dia untuk pertama kalinya secara jelas mendeskripsikan hemofili sebagai sebuah penyakit turunan (herediter) dan penggunaan posisi apa yang sekarang disebut sebagai posisi Walcher untuk proses kelahiran. Sebelum Gustav Adolf Walcher lahir, yakni sekitar 700 tahun kemudian, Al-Zahrawi telah merintis posisi untuk kelahiran itu, yang kemudian penemuan tersebut dinisbahkan kepada Walcher sehingga dinamakan posisi Walcher yang dipakai hingga sekarang. Al-Zahrawi juga memberikan deskripsi yang akurat untuk pertama kalinya tentang cacat genetik (genetic deformities) pada mulut dan lengkungan gigi. Dia dengan tepat menggambarkan semacam patologi di balik kelumpuhan dawai suara/vocal ratusan tahun sebelum ditemukan di Barat. Menurut Arsyad di kalangan kedokteran Muslim sendiri, Al-Zahrawi dikenal baik sebagai perintis ilmu pengenalan penyakit (diagnostic) dan cara penyembuhan (therapeutic) penyakit Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 608 ASRI KAROLINA telinga. Dialah yang telah merintis dilakukannya pembedahan telinga untuk mengembalikan fungsi pendengaran, dengan jalan memperhatikan secara seksama anatomi saraf-saraf halus (arteries), pembuluh-pembuluh darah (veins), dan otototot (tendons). Tidak hanya sebatas itu, Al-Zahrawi pun dikenal sebagai motor pelopor pengembangan ilmu penyakit kulit (dermatology). Al-Zahrawi juga dikenal baik sebagai seorang dokter gigi. Menurut Arsyad, dari ilustrasi-ilustrasi yang digambarkan buku-buku yang ditulis Al-Zahrawi, dapat diketahui bahwa dia telah menggunakan banyak macam peralatan untuk keperluan pengobatan gigi. Arsyad mengutip bagian akhir karya Al-Zahrawi yang terdiri dari 30 jilid yang sudah disebutkan sebelumnya. Al-Zahrawi dalam buku itu membahas tentang luka dan cara pembedahannya, tentang pengobatan tulang yang remuk, tentang penyakit gigi sekaligus dengan cara pengobatannya, tentang pembakaran luka dan pembersihan kotoran darah di dalam rahim pasca bersalin. Menurut Arsyad buku itulah yang kemudian meletakkan dasar-dasar pengembangan kedokteran gigi di Eropa. Beberapa bagian penting dari isi buku tersebut dikutip oleh seorang ahli bedah kebangsaan Prancis yang amat terkenal di Eropa, Guy de Chauliac. Buku tersebut cukup lama digunakan di Eropa, terutama universitas-universitas Salerno dan Muenchen. Arsyad menambahkan bahwa secara umum pemikiran Al-Zahrawi banyak berpengaruh kuat pada sistem pengobatan di Barat. Hal itu diiakui oleh Donald Campbell dalam bukunya Arabian Medicine and Its Influence on the Middle Ages. Bahkan, di Eropa, pada masanya, Al-Zahrawi mendapat pujian sebagai seorang ahli yang mempunyai reputasi dan popularitas lebih besar dari pada Galen dan Hippocrates, yang telah dikenal lebih dahulu.50 Al-Zahrawi merupakan sang ahli bedah, kulit, telinga, dan gigi. Ia banyak sekali menulis buku tentang kedokteran. Al-Zahrawi mengukir prestasi pada saat mendeskripsikan tentang hemofili sebagai sebuah penyakit turunan dan ia juga memberikan deskripsi yang akurat untuk pertama kalinya tentang cacat genetik (genetic deformities) pada mulut dan lengkungan gigi. Temuan-temuannya dan karyanya dalam bidang kedokteran dapat meletakkan dasar-dasar pengembangan kedokteran gigi di Eropa. F. Kesimpulan Sains merupakan ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang alam jagat raya dengan segala isinya. Memperhatikan hukum-hukum Allah dan ayat-ayat kauniyah. Di antara sains yang mendapat perhatian besar dari kalangan intelektual Muslim adalah astronomi, karena hampir semua sarjana muslim mempelajarinya. Selain itu, ilmu fisika, kimia, dan kedokteran dengan berbagai cabangnya juga mendapat perhatian besar dari kalangan intelektual Muslim. Kemampuan para intelektual Muslim dalam bidang sains, tidak hanya menemukan hal-hal sebelumnya belum dikaji oleh para ilmuwan Yunani, India, Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 609 China, Persia dan lainnya, melainkan juga para intelektual Muslim di bidang sains ini telah menjadi dasar dan inspirasi bagi pengembangan sains di Eropa dan Barat. Kontribusi karya mereka mempengaruhi lahirnya para intelektual Barat. Bahkan buku-buku karya mereka diterjemahkan sehingga dapat memberikan sumbangansumbangan ide bagi para intelektual lainnya. Pesatnya pengembangan sains oleh para intelektual muslim ini tidak terlepas pada dukungan para pemimpin yang memusatkan perhatiannya pada pengembangan sains. Secara sosiologis tumbuh dan berkembangnya sains dalam Islam bukan hanya dipengaruhi oleh ajaran dasar Al-Qur‟an dan As-Sunnah yang menekankan pada pembangunan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam serta perintah untuk menuntut ilmu bagi setiap muslim dan muslimah. Selain itu, karena tuntutan kebutuhan hidup, budaya, dan tradisi intelektual yang berkembang di daerah-daerah dan Negara-negara yang berada di bawah imperium Islam. Pesatnya perkembangan sains pada masa ini disebabkan karena besarnya dukungan politik dan perhatian pemerintah serta kebijakan anggaran pemerintah diinfestasikan untuk kemajuan para intelektual muslim di bidang sains. Selain itu, mendukung lahirnya para pelukis kanvas peradaban Islam. Tumbuh dan berkembangnya sains dalam Islam juga dipengaruhi oleh tradisi intelektual dari para ulama, situasi dan kondisi keamanan yang baik, kemajuan dan kesejahteraan dalam bidang ekonomi, latar belakang keluarga dari setiap ilmuwan dan didorong untuk meluaskan wilayah kekuasaan Islam, dengan kata lain melakukan ekspansi. Kemajuan yang telah berkembang dalam bidang sains yang telah dilakukan para intelektual Muslim telah menjadi rujukan utama dalam pengembangan sains pada saat ini. Catatan: 1 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Jakarta: Mizan Publika, 2011), hal. 126. 2 Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 260-261. 3 Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 362. 4 Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu Teori & Aplikasi, (Jakarta: Referensi, 2012), hal. 51. 5 Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan..., hal. 199. 6 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 125. 7 Philip K. Hitti, History of the Arab, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), hal. 465469. 8 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 85-86. 9 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 259-260. 10 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 86. 11 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 128. 12 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 89. 13 Philip K. Hitti, History of the Arab..., hal. 470. 14 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 89. 15 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 129. Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 610 ASRI KAROLINA 16 Ibid., hal. 129-130. Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 90. 18 Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah, (Jakarta: Intimedia dan Ladang Pustaka, t.t.), hal. 138. 19 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 90. 20 Ibid. 21 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 260-261. 22 Hamdani, Filsafat Sains, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 56. 23 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 91. 24 Ibid., hal. 155. 25 Ibid., hal. 156-157. 26 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 93. 27 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 59. 28 Gelar yang diberikan para ahli sejarah kepada Ibn Sina antara lain: As-Syaikh ar-Rais”, al-Hakim at-Masyhur, “At-Thib an-Nathasyi”, dan Al-„Alim an-Nasdy‟. Gelar-gelar tersebut oleh para ahli sejarah tidak dijelaskan maksud dan latarbelakangnya. Namun hal itu dapat diduga karena Ibn Sina amat luas penguasaannya terhadap berbagai bidang ilmu pengetahuan, seperti ilmu agama, ilmu hokum, ilmu jiwa, ilmu kedokteran, filsafat, ilmu cara mengatur Negara dan rumah tangga. 29 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam..., hal. 59-61. 30 Ibid., hal. 61-62. 31 Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 78-79. 32 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam..., hal. 63. 33 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 9394. 34 Philip K. Hitti, History of the Arab..., hal. 475-476. 35 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 9495. 36 Philip K. Hitti, History of the Arab..., hal. 476-477. 37 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 183. 38 Ibid., hal. 187. 39 Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya..., hal. 9697. 40 Ibid., hal. 96. 41 Laode M Kamaluddin dan Awaludi Marwan, Andalusia Mutiara Peradaban Islam di Kerajaan Spanyol, (Semarang: Gigih Pustaka Mandiri, 2012), hal. 154. 42 Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 79. 43 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam..., hal. 62-63. 44 Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern..., hal. 85. 45 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 200. 46 Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam..., hal. 101. 17 Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 INTELEKTUAL MUSLIM DI BIDANG SCIENCE 611 47 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 200. Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam..., hal. 103. 49 Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam..., hal. 207-208. 50 Ibid., hal. 208-209. 48 Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016 612 ASRI KAROLINA DAFTAR PUSTAKA Assegaf, Abd. Rachman. 2013. Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik Sampai Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Fautanu, Idzam. 2012. Filsafat Ilmu Teori & Aplikasi. Jakarta: Referensi. Hamdani. 2011. Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia. Heriyanto, Husain. 2011. Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam. Jakarta: Mizan Publika. Iqbal, Muhammad. t.t. 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah. Jakarta: Intimedia dan Ladang Pustaka. Jalaluddin. 2013. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rajawali Pers. Kamaluddin, Laode M dan Awaludi Marwan. 2012. Andalusia Mutiara Peradaban Islam di Kerajaan Spanyol. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri. K. Hitti, Philip. 2010. History of the Arab. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Nata, Abuddin. 2012. Sejarah Sosial Intelektual Pendidikannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Islam dan Institusi --------. 2011. Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana. --------. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016