BAB II LANDASAN TEORI II.1. Saham II.1.1.Karakteristik Saham Sulistyastuti (2006) mendefinisikan, ”saham biasa (common stock) atau sering disebut saham merupakan surat berharga sebagai bukti penyertaan atau pemilikan individu maupun institusi atas suatu perusahaan. Saham sebagai sekuritas yang bersifat ekuitas, memberikan implikasi bahwa kepemilikan saham mencerminkan kepemilikan atas suatu perusahaan. Hal ini berbeda dengan obligasi, saham tidak memilki jangka waktu jatuh tempo (perpetual) dan tidak memberikan pendapatan tetap.” (h.1) Pada dasarnya nilai suatu saham memiliki empat konsep yang memberikan makna berbeda, antara lain: 1. Nilai nominal yaitu nilai per lembar saham yang berkaitan dengan kepentingan akuntansi dan hukum. Nilai nominal ini tidak mengukur nilai riil suatu saham namun hanya digunakan untuk menentukan besarnya modal disetor penuh dalam neraca. Nilai modal yang disetor penuh adalah nilai nominal saham dikalikan jumlah saham yang dikeluarkan perusahaan. 2. Nilai buku per lembar saham (book value per share) yaitu total ekuitas dibagi jumlah saham yang beredar. Nilai buku per lembar saham ini menunjukan nilai aktiva bersih per lembar saham yang dimiliki oleh pemegangnya. Sebenarnya nilai buku per lembar saham ini tidak menunjukan ukuran kinerja saham yang penting tetapi dapat 7 mencerminkan berapa besar jaminan yang akan diperoleh pemegang saham apabila perusahaan penerbit saham tersebut (emiten) dilikuidasi. Nilai buku suatu saham akan berarti jika nilai tersebut diperbandingkan dengan nilai pasarnya. Market price to book value ratio menunjukkan perbandingan antara harga pasar saham relatif terhadap nilai buku. Misalkan suatu saham dengan market price to book value ratio = 1.65 berarti nilai perusahaan melebihi 65% dari apa yang telah dan sedang ditanamkan oleh pemilik perusahaan. Semakin tinggi nilai dari rasio ini maka akan semakin besar tambahan kesejahteraan yang dinikmati oleh pemilik saham ini. 3. Nilai pasar (market value) merupakan nilai saham yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran saham di bursa saham. Harga pasar saham inilah yang menentukan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Fluktuasi harga saham di bursa yang menentukan risiko sistematis suatu saham. 4. Nilai fundamental. Konsep inilah yang paling penting. Tujuan dari perhitungan nilai fundamental saham atau yang lebih sering disebut sebagai nilai intrinsik saham adalah untuk menentukkan harga wajar suatu saham agar harga saham tersebut mencerminkan harga saham yang sebenarnya (rill value) sehingga tidak terlalu mahal (overpriced). Perhitungan nilai intrinsik (intrinsic value) suatu saham adalah mencari nilai sekarang (present value) dari semua aliran kas dimasa datang baik yang berasal dari dividen maupun capital gain or loss. Beberapa karakteristik atau sifat yang melekat pada saham biasa, antara lain : a. Berhak atas pendapatan perusahaan yang berupa dividen. Dividen merupakan bagian laba bersih setelah bunga dan pajak yang dibagikan kepada pemegang saham. Dividen dapat berbentuk tunai (cash dividend) dan saham 8 (stock dividend). Biasanya dividen ini dibayarkan setiap tahun namun ada perusahaan yang membagikan dividen tunai setiap kuartal atau setiap semester. b. Berhak mengeluarkan suara dalam RUPS. Hal ini diatur dalam UUPT No.40/2007 pasal 45 dan 46. Penjelasan pasal 46 ayat 3 UUPT No.40/2007 menyebutkan bahwa yang dimaksud saham biasa adalah saham yang memberikan hak suara untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai segala hal yang berkaitan dengan pengurusan perseroan, hak menerima pembagian dividen dan sisa kekayaan dalam proses likuidasi. c. Berhak atas harta perusahaan jika perusahaan dilikuidasi. Jika perusahaan penerbit saham dilikuidasi, pemegang saham berhak atas harta perusahaan dengan urutan sebagai berikut: pinjaman kepada supplier (account payable), gaji karyawan, utang bank, obligasi, utang pajak, saham biasa. Jaminan investor atas klaim harta perusahaan bisa diketahui melalui nilai buku suatu saham. Besar kecilnya nilai buku per lembar saham tidak mempengaruhi penghasilan dan harga saham tetapi keamanan investor. Karena besarnya nilai buku menunjukkan berapa bagian yang akan diterima oleh investor saat emiten dilikuidasi. d. Tanggung jawab terbatas. Yang dimaksud dengan tanggung jawab yang terbatas adalah tanggung jawab pemegang saham atas perusahaan hanya sebatas nilai saham yang dimilikinya dan tidak memiliki tanggung jawab secara pribadi yang menjadikan harta pribadi menjadi jaminan. Hal ini diatur dalam pasal 3 ayat (1) UUPT No.40/2007 yang menyebutkan pemegang saham perseroan tidak bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambil. 9 e. Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Hak ini berkaitan dengan pengeluaran saham baru dalam rangka penambahan dana. Pengeluaran saham baru yang dimaksud adalah untuk penambahan dana yang berkaitan dengan right issue, bukan IPO. Untuk menjaga proporsi kepemilikannya, pemegang saham lama memiliki Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD). II.1.2. Jenis Indeks Harga Saham Halim (2005) mendefinisikan, ”Indeks Harga Saham (IHS) merupakan ringkasan dari pengaruh simultan dan kompleks dari berbagai macam variabel yang berpengaruh terutama tentang kejadian-kejadian ekonomi. Untuk saat ini, IHS tidak hanya menampung kejadian-kejadian ekonomi, tetapi juga menampung kejadian-kejadian sosial, politik dan keamanan. Dengan demikian, IHS dapat dijadikan barometer kesehatan ekonomi suatu negara dan sebagai dasar melakukan analisis statistik atas kondisi pasar terakhir (current market).” (h.12) Kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba menentukan fluktuasi harga saham. Hal ini karena laba yang dihasilkan akan berbanding lurus dengan dividen yang dibayarkan. Apabila dividen yang dibayarkan relatif tinggi maka akan berpengaruh positif terhadap harga saham di bursa. Permintaan akan saham itu akan meningkat sehingga harga saham pun ikut naik. Peningkatan inilah yang akan menghasilkan capital gain bagi para pemegangnya. Kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba tidak hanya ditentukan oleh kemampuan perusahaan dalam mengelola sumber daya, tetapi dipengaruhi oleh faktor lain di luar perusahaan, seperti kondisi sosial masyarakat, politik, dan keamanan. Dalam 10 hal ini fenomena ekonomi, sosial, politik, dan keamanan berperan dalam penentuan kesehatan ekonomi suatu negara. Indeks Harga Saham (IHS) perlu diketahui oleh investor agar dapat melakukan investasi di pasar modal dengan baik. Ada berbagai jenis indeks, seperti indeks saham gabungan, individual, sektoral, dan indeks lainnya yang dibagi berdasarkan kriteria tertentu oleh Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks-indeks tersebut akan dibahas secara lebih rinci pada bab III. II.1.3. Klasifikasi Saham Klasifikasi saham berdasarkan potensi keuntungan dan risikonya, dapat diuraikan sebagai berikut : a. Sulistyastuti (2006) mengklasifikasikan saham berdasarkan nilai kapitalisasi (h.6), sebagai berikut: 1) Big-cap, yang merupakan kelompok saham yang berkapitalisasi besar dengan nilai di atas satu triliun. Saham-saham yang termasuk big-cap biasanya disebut juga saham blue-chip atau saham papan atas atau saham lapis pertama. Sahamsaham yang berkapitalisasi besar memberikan kontribusi 75-80% dari seluruh kapitalisasi pasar di BEI yang terdiri dari 40 saham. Sebagian saham yang berkapitalisasi pasar besar dapat menaikkan atau menurunkan IHSG yang sering disebut sebagai index mover stocks. 2) Mid-cap, yang merupakan kelompok saham yang berkapitalisasi besar dengan nilai kapitalisasi Rp 100 milyar-Rp 1 triliun. Saham yang termasuk mid-cap disebut juga saham baby blue chip atau saham lapis kedua. Saham-saham yang 11 berkapitalisasi pasar menegah ini memberikan kontribusi 15-17% dari seluruh kapitalisasi pasar di BEI. 3) Small-cap, yang merupakan kelompok saham yang berkapitalisasi kecil dengan nilai kapitalisasi dibawah Rp 100 milyar. Biasanya saham-saham yang termasuk small-cap atau lapis ketiga, sebagian besar terdiri dari saham ’tidur’ yang bersifat labil. Saham-saham yang berkapitalisasi pasar kecil ini memberikan kontribusi sekitar 3% dari seluruh kapitalisasi pasar di BEI. b. Tambunan (2007) mengklasifikasikan saham berdasarkan fundamental perusahaan dan kondisi perekonomian (h.21), sebagai berikut: 1) Blue chip stocks Blue chip adalah saham perusahaan-perusahaan besar yang telah terbukti memiliki reputasi baik dan secara historis memiliki catatan pertumbuhan keuntungan (profit growth) dari tahun ke tahun, serta konsisten memberikan dividen kepada pemegang saham. Perusahaan-perusahaan ini biasanya dikelola dengan standar profesionalisme tinggi untuk menghasilkan produk atau jasa bermutu tinggi. Harga pasar saham blue chip biasanya relatif mahal namun sesuai dengan tingkat imbal hasilnya (return) dalam bentuk dividen atau relatif setimpal. Jenis saham ini sangat aktif diperdagangkan sehingga pergerakan harganya cukup fluktuatif dengan rata-rata volume perdagangan yang cukup besar setiap harinya. 2) Income stocks Saham ini merupakan saham yang mampu memberikan dividen semakin besar dari rata-rata dividen yang dibayarkan pada tahun-tahun sebelumnya. Emiten 12 income stocks adalah perusahaan-perusahaan yang telah mencapai tahap mapan (mature) dan memiliki pangsa pasar yang tinggi serta stabil. Biasanya saham jenis ini memiliki indeks beta kurang dari 1. 3) Growth stocks Saham yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan yang menunjukkan pertumbuhan pendapatan dan laba yang lebih tinggi dari rata-rata industrinya disebut juga growth stocks. Emiten dari saham jenis ini merupakan pemimpin dalam industrinya dan cukup prospektif sehingga mampu memberikan dividen yang cukup tinggi. Walaupun harga saham yang termasuk tinggi dengan PER yang tinggi, saham kategori ini tetap mampu memberikan capital gain. Karena itu, saham jenis ini memiliki indeks beta kurang dari 1. 4) Speculative stocks Saham ini merupakan saham yang diterbitkan oleh perusahaan yang pendapatannya belum pasti. Seperti perusahaan yang sedang melakukan restrukturisasi modal sehingga emitennya tidak konsisten dalam membagikan dividen. Saham kategori ini biasanya memiliki indeks beta yang relatif tinggi, yaitu lebih dari 2 dan PER yang fluktuatif. 5) Cyclical stocks Cyclical stocks merupakan kelompok saham yang pergerakannya searah dengan perekonomian makro. Saham-saham perusahaan yang siklus bisnisnya mengikuti kondisi ekonomi makro maka indeks beta-nya akan semakin mendekati 1. Emitennya adalah perusahaan properti, otomotif, industri dasar. Sebaiknya untuk investor yang ingin membeli saham jenis ini dapat membeli pada saat resesi dan menjualnya pada saat booming. 13 6) Defensive stocks Saham jenis ini merupakan saham yang tidak terpengaruh perekonomian makro maupun turbulensi sosial-politik. Emitennya adalah perusahaan yang memproduksi customer goods dan public utilities karena produknya yang selalu dibutuhkan masyarakat yang mengakibatkan pendapatan yang diterima akan tetap. Emiten biasanya mampu memberikan dividen secara konsisten. Saham kategori ini biasanya memiliki indeks beta kurang dari 1. 7) Junk stocks Junk stock merupakan istilah yang tidak resmi namun perlu diketahui oleh investor. Saham jenis ini biasanya diterbitkan oleh perusahaan yang tidak memiliki manajemen yang baik dan sering mengalami kerugian. Jumlah utang yang banyak dan tidak memiliki produk atau jasa yang berprospek cerah. Jika pernah membagikan dividen maka dividen yang dibagikan tersebut jumlahnya sangat kecil atau dilakukan terpaksa karena adanya peraturan atau persyaratan. Banyak istilah yang digunakan pelaku pasar modal untuk saham jenis ini seperti saham gorengan, sabu-sabu (saham busuk) dan sebagainya. II.2. Tingkat Pengembalian atas Investasi II.2.1. Komponen Pengembalian dan Pengukurannya Halim (2005) menjelaskan, ”Dalam konteks manajemen investasi, pengembalian (return) merupakan imbalan yang diperoleh dari investasi. Pengembalian ini dibedakan menjadi dua, yaitu pengembalian yang telah terjadi (actual return) yang dihitung berdasarkan data historis dan pengembalian yang diharapkan (expected return-ER) akan diperoleh investor di masa depan. 14 Komponen pengembalian meliputi: a. Untung atau rugi modal (capital gain or loss) merupakan keuntungan (kerugian) bagi investor yang diperoleh dari kelebihan harga jual (harga beli) di atas harga beli (harga jual) yang keduanya terjadi di pasar sekunder. b. Imbal hasil (yield) merupakan pendapatan atau aliran kas yang diterima investor secara periodik, misalnya berupa dividen atau bunga. Yield dinyatakan dalam persentase dari modal yang ditanamkan. Dari kedua koponen pengembalian tersebut, selanjutnya dapat dihitung pengembalian total (total return) dan tingkat pengembalian (rate of return), sebagai berikut: Total pengembalian = Capital gain (loss) + yield Pembayaran kas + Perubahan harga selama yang diterima satu periode Tingkat pengembalian = Harga beli efek Perubahan harga selama satu periode bisa berupa angka negatif (-), nol (0) dan positif (+). Sedangkan yield bisa berupa angka nol (0) dan positif.” (h.34) II.2.2. Tingkat Pengembalian yang Diharapkan dari Saham Pada pembahasan ini, Halim (2005) juga menjelaskan, ”Tingkat pengembalian yang diharapkan (expected return-ER) secara sederhana adalah rata-rata tertimbang dari berbagai pengembalian historis. Faktor penimbangnya adalah probabilitas masingmasing tingkat pengembalian. ER dari saham dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : 15 E(Ri) n = ∑ (Pij) (Rij) j=1 Keterangan simbol: E(Ri) = tingkat pengembalian yang diharapkan (ER) dari investasi saham i Pij = probabilitas diraihnya pengembalian pada keadaan j Rij = tingkat pengembalian aktual dari investasi pada saham i pada keadaan j”(h.35) II.3. Pengertian Risiko Fahmi (2006) mendefinisikan risiko sebagai berikut, ”risiko adalah suatu ketidakpastian. Pemodal dalam berinvestasi akan mendapatkan return di masa datang dengan nilai yang belum diketahui. Risiko dalam investasi dilihat sebagai variabilitas return realisasi terhadap return yang diharapkan. Risiko dalam investasi selalu ada, para pemodal akan selalu memperhatikan setiap risiko yang bisa terjadi”(h. 103). Halim (2005) mendefinisikan, ”risiko merupakan besarnya penyimpangan antara tingkat pengembalian yang diharapkan (expected return-ER) dengan tingkat pengembalian aktual (actual return). Semakin besar penyimpangannya maka semakin besar risikonya.”(h. 42). Dari pengertian-pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa risiko merupakan suatu bentuk ketidakpastian (kerugian) yang mungkin ditanggung (oleh investor) atas keputusan yang dinyatakan lewat tindakan untuk memperoleh suatu hasil yang diharapkan. Pada dasarnya setiap investor akan menghindari risiko dan meminta imbalan jika terlibat pada sebuah investasi yang berisiko (premi risiko). 16 II.4. Analisis Portofolio Halim (2005) menjelaskan, ”portofolio merupakan kombinasi atau gabungan atau sekumpulan aset, baik berupa aset rill maupun aset finansial yang dimiliki oleh investor. Hakikat pembentukan portofolio adalah untuk mengurangi risiko dengan cara diversifikasi yaitu mengalokasikan sejumlah dana pada berbagai alternatif investasi yang berkolerasi negatif.”(h.54). Dalam manajemen portofolio mengenal adanya konsep pengurangan risiko sebagai akibat penambahan sekuritas ke dalam portofolio. Konsep tersebut menyatakan bahwa jika dilakukan penambahan secara terus-menerus jenis sekuritas ke dalam portofolio maka manfaat pengurangan risiko akan semakin besar sampai pada titik tertentu dimana manfaat pengurangan tersebut mulai berkurang. Hal ini berarti bahwa semakin banyak jumlah yang dimasukkan ke dalam portofolio maka semakin besar manfaat pengurangan risiko. II.4.1. Pemilihan Portofolio yang Efisien Halim (2005) menjelaskan, ”Investor dapat menentukan kombinasi dari efekefek untuk membentuk portofolio, baik yang efisien maupun yang tidak efisien. Pada Gambar 2.4 diasumsikan investor membentuk portofolio A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J. Yang terpenting bagi investor adalah bagaimana menentukan portofolio yang dapat memberikan kombinasi tingkat pengembalian dan risiko yang optimum. Suatu portofolio dikatakan efisien apabila portofolio tersebut ketika dibandingkan dengan portofolio lain memenuhi kondisi, sebagai berikut: a. Memberikan ER terbesar dengan risiko sama, atau b. Memberikan risiko terkecil dengan ER yang sama. 17 Pada gambar di bawah ini, garis B, C, D, E, F disebut sebagai permukaan yang efisien (efficient frontier), yaitu garis yang menunjukkan sejumlah portofolio yang efisien dan semua portofolio di bawah garis tersebut dinyatakan tidak efisien. Misalnya, portofolio A merupakan portofolio yang tidak efisien bila dibandingkan dengan portofolio C karena dengan risiko yang sama, portofolio C memberikan ER yang lebih tinggi. Demikian juga dengan portofolio H, merupakan portofolio yang tidak efisien bila dibandingkan dengan portofolio B karena dengan ER yang sama, portofolio H mempunyai risiko yang lebih tinggi. Kumpulan kesempatan investasi digambarkan pada kurva (Gambar II.1) yang semuanya cembung terhadap sumbu E (Rp). Hal ini disebabkan karena semua saham yang mempunyai koefisien korelasi (ρ) antara +1 dan -1. Sehingga tidak semua portofolio akan berada pada efficient frontier, beberapa akan mengungguli saham individual karena melalui diversifikasi akan terjadi pengurangan risiko sehingga hanya portofolio saja yang akan berada sepanjang kurva efficient frontier.”(h.55) 18 Gambar II.1. Portofolio yang Efisien dan yang Tidak Efisien 4 F E D 3 G C 2 H B I A 1 J 0 1 2 3 4 σ Sumber: Buku Manajemen Investasi, Halim (2005) II.4.2. Penilaian Kinerja Portofolio Mengacu pada pendapat Halim (2005), melakukan penilaian terhadap kinerja investasi merupakan tahap akhir yang sangat penting baik bagi manajer investasi maupun bagi investor dalam proses investasi dalam saham. Karena investasi dalam saham tersebut umumnya dilakukan dalam bentuk portofolio yang telah dibentuk sebelumnya. Tujuan dari penilaian kinerja portofolio adalah untuk mengetahui dan menganalisis apakah portofolio yang dibentuk telah dapat meningkatkan kemungkinan tercapainya tujuan investasi sehingga dapat diketahui portofolio mana yang memiliki kinerja yang lebih baik ditinjau dari tingkat pengembalian dan risikonya masing-masing. 19 II.4.2.1. Tingkat Pengembalian yang Diharapkan dari Portofolio Halim (2005) menjelaskan, ”Pengembalian yang diharapkan (ER) dari portofolio secara sederhana adalah rata-rata tertimbang dari tingkat pengembalian yang diharapkan dari masing-masing saham. Faktor penimbangnya adalah proporsi dana yang diinvestasikan pada masing-masing saham. ER dari portofolio dapat dihitung sebagai berikut: E(Rp) n = ∑ (Ri) (Xi) i=1 Keterangan simbol: E(Rp) = ER dari portofolio E(Ri) = ER dari investasi saham i Xi = proporsi dana yang diinvestasikan pada saham i”(h.38) Gambar II.2. Hubungan ER Portofolio dan Proporsi Dana ER (Rp) Proporsi dana Sumber: Buku Manajemen Investasi, Halim (2005) 20 II.4.2.2. Risiko Portofolio Dalam bukunya, Fabozzi (1999) menjelaskan ”Dalam mengembangkan teori portofolio, Professor Markowitz menyatakan bahwa varians tingkat pengembalian sebagai alat ukur yang sesuai. Alat ukur risiko ini dapat dibagi menjadi dua jenis risiko umum, yaitu risiko sistematis dan risiko tidak sistematis. Professor Sharpe mendefinisikan risiko sistematis sebagai sebagian dari perubahan aktiva yang dapat dihubungkan kepada faktor umum. Risiko sistematis terkadang disebut juga risiko pasar atau risiko yang tidak dapat dibagi. Risiko sistematis merupakan tingkat minimum risiko yang dapat diperoleh bagi suatu portofolio melalui diversifikasi sejumlah aktiva yang dipilih secara acak. Risiko sistematis merupakan risiko yang berasal dari kondisi ekonomi dan kondisi pasar secara umum yang tidak dapat didiversifikasi. Sharpe mendefinisikan sebagian dari perubahan aktiva yang dapat didiversifikasi sebagai risiko tidak sistematis. Risiko ini terkadang disebut juga risiko dapat didiversifikasi, risiko unik, risiko residual, atau risiko khusus perusahaan. Risiko ini merupakan risiko yang unik bagi perusahaan seperti pemogokan kerja, tuntutan hukum atau bencana alam.”(h.96). Halim (2005) menjelaskan bahwa ”risiko portofolio dapat dipengaruhi oleh: a. Risiko masing-masing saham. b. Proporsi dana yang diinvestasikan pada masing-masing saham. c. Kovarians (covariance) atau koefisien korelasi antar saham dalam portofolio. d. Jumlah saham yang membentuk portofolio.”(h.49) 21 Gambar II.3. Risiko Sistematis, Risiko Tidak Sistematis dan Risiko Total Risiko Portofolio Risiko tidak sistematis Risiko Total Risiko sistematis Jumlah saham dalam portofolio Sumber: Buku Manajemen Investasi, Halim (2005) Berikut ini merupakan penjelasan besarnya koefisien beta yang merupakan ukuran risiko sistematis dan pengertiannya berhubungan dengan perubahan pasar: Tabel II.1. Seleksi Koefisien Beta dan Pengertiannya Beta (β) 2 1 0.5 0 -0.5 -1 -2 Pengertian Memiliki arah perubahan yang sama dengan pasar (market) Memiliki arah perubahan yang berlawanan dengan pasar (market) Besarnya Perubahan Dua kali dari besarnya perubahan yang terjadi di pasar. Sama dengan pasar. Setengah dari perubahan yang terjadi di pasar. Tidak ada perubahan. Setengah dari perubahan yang terjadi di pasar. Sama dengan pasar. Dua kali dari besarnya perubahan yang terjadi di pasar. Sumber: Buku Principles of Managerial Finance, Gitman (2006) Gitman (2006) juga menjelaskan bahwa standar deviasi portofolio merupakan risiko total portofolio dapat dikalkulasikan dari komponen aset portofolio. Berikut ini merupakan formula perhitungan risiko portofolio yang terdiri dari dua saham : σkp = √ w1²σ1² +w2²σ1²+2w1w2.r1.2.σ1σ2 22 Keterangan: σkp = risiko portofolio k w1 = besarnya persentasi alokasi saham 1 w2 = besarnya persentasi saham 2 r1.2 = korelasi antara saham 1 dan saham 2 (dapat juga dilambangakan dengan ρ ) σ1 = standar deviasi saham 1 σ2 = standar deviasi saham 1 Korelasi (Correlation), yang dapat dilambangkan dengan r1.2 (seperti pada formula di atas) atau ρ, dapat didefinisikan sebagai suatu pengukuran dengan statistik antara dua deret angka yang mewakili suatu data untuk menentukan hubungan di antara angka tersebut. Jika besarnya korelasi adalah positif maka berarti bahwa dua deret angka tertentu memiliki perubahan yang sama (searah). Sebaliknya, apabila besarnya korelasi negatif maka berarti bahwa dua deret angka tertentu memiliki perubahan yang saling terkait namun berlawanan. II.4.2.3. Indeks Sharpe Halim (2005) menjelaskan bahwa, ”Indeks Sharpe merupakan metode yang mengukur kinerja portofolio dengan cara membandingkan antara premi risiko portofolio (yaitu selisih rata-rata tingkat pengembalian portofolio dengan rata-rata tingkat bunga bebas risiko) dengan risiko portofolio yang dinyatakan dalam dengan standar deviasi (total risiko).”(h.69). 23 Indeks Sharpe (Sharpe Ratio) dapat dirumuskan, sebagai berikut: Sharpe Ratio = Rp - Rf σp Keterangan simbol: Sharpe ratio = kemiringan garis yang menghubungkan portofolio yang berisiko dengan bunga bebas risiko Rp = rata-rata tingkat pengembalian portofolio Rf = rata-rata atas bunga investasi bebas risiko σp = standar deviasi dari tingkat pengembalian portofolio i Rpi – Rf = premi risiko portofolio Dengan demikian, semakin besar kemiringan garis tersebut berarti semakin baik portofolio yang membentuk garis tersebut. Karena semakin besar premi risiko portofolio terhadap standar deviasi dapat dikatakan bahwa kinerja portofolio tersebut makin baik. Indeks Sharpe ini relevan digunakan untuk investor yang menanamkan dananya hanya atau sebagian besar pada portofolio tersebut sehingga risiko portofolio dinyatakan dalam standar deviasi. II.5. Model Indeks Tunggal (Single Index Model) Mengacu pada pendapat yang dikemukan oleh Yudhi (2008), model penetapan harga aset modal (Capital Asset Pricing Model), yang biasa disebut CAPM merupakan pusat dari ilmu ekonomi keuangan modern. CAPM adalah suatu teori penetapan harga aktiva dimana tingkat pengembalian dari aktiva atau surat berharga tersebut yaitu 24 sebesar tingkat bunga bebas risiko ditambah dengan faktor penyesuaian sebesar risk premium dikalikan dengan risiko sistematik aktiva tersebut. CAPM ini merupakan model yang terus dikembangkan oleh para analis keuangan untuk menjelaskan bagaimana investor mempengaruhi pasar. Kelebihan CAPM dari yang lain adalah karena kesederhanaannya dan berpijak pada karakter manusia langsung yang cenderung memperhitungkan imbalan (return) dan risiko jika ia melakukan investasi. CAPM dengan mengasumsikan bahwa kebanyakan investor ingin menghindari risiko, dan mereka yang mengambil risiko tentunya mengharapkan return yang sepadan. Formula yang digunakan dalam perhitungan, sebagai berikut: Rj = Rf + β( RM - Rf) Rj = The Required Rate of Return of stock j Rf = The Risk Free Rate (the rate of return on a "risk free investment" like Government Treasury Bonds) Β = Beta RM = The expected return on the overall stock market Telah disebutkan bahwa CAPM merupakan imbal hasil yang diharapkan sedangkan dalam kenyataannya investor dapat mengamati secara langsung imbal hasil aktual atau imbal hasil terealisasi (yang diterima). Untuk menghasilkan lompatan dari imbal hasil yang diharapkan menjadi imbal hasil aktual, dapat digunakan model indeks tunggal atau model satu faktor (single-index model) yang mengasumsikan bahwa tingkat 25 pengembalian antara dua efek atau lebih akan berkolerasi, yaitu akan bergerak bersama dan mempunyai reaksi yang sama terhadap satu faktor. Persamaan model faktor tunggal (single-factor model) sebagai berikut : Ri = E(ri) + βiF +ei (2.1) Selanjutnya dengan pendekatan menegaskan bahwa tingkat imbal hasil atas indeks sekuritas yang merupakan proksi yang valid sebagai faktor makro umum, menghasilkan persamaan yang mirip dengan model faktor di atas, yang disebut model indeks tunggal (single index model). Bodie, Kane dan Marcus (2006) menjelaskan bahwa menurut model indeks tunggal, kita dapat memisahkan tingkat imbal hasil aktual atau yang diterima atas sekuritas ke dalam komponen makro (sistematik) dengan komponen mikro (spesifik perusahaan) dengan cara yang mirip dengan Persamaan 2.1. Penulisan tingkat imbal hasil dari setiap sekuritas sebagai penjumlahan dari tiga komponen, sebagai berikut: Simbol 1. Imbal hasil yang diharapkan jika pasar netral karena jika imbal hasil pasar rM – r f = 0 αi 2. Komponen imbal hasil yang menunjukkan pergerakan terhadap pasar secara keseluruhan, dimana β adalah tingkat ketanggapan terhadap pergerakan pasar. βi (rM – rf) 3. Komponen yang tidak diharapkan karena peristiwa tidak diharapkan yang hanya relevan pada suatu sekuritas (spesifik perusahaan). ei 26 Imbal hasil berlebih selama periode investasi saham dinyatakan sebagai berikut: ri – rf = αi + βi (rM – rf) +ei (2.2) Imbal hasil berlebih atas suku bunga bebas risiko dinyatakan dalam R (huruf besar) sehingga persamaannya menjadi : Ri = αi + βi (rM – rf) +ei (2.3) Persamaan di atas (2.3) menyebutkan bahawa setiap sekuritas mempunyai dua sumber risiko yaitu risiko pasar atau sistematik dan risiko spesifik perusahaan. Risiko pasar menunjukkan sensitivitas imbal hasil sekuritas terhadap faktor-faktor ekonomi yang dinyatakan dalam RM. Sementara itu, risiko spesifik perusahaan ditunjukan oleh faktor e. Jika varians imbal hasil berlebih di atas imbal hasil pasar,RM sebagai σ²M maka kita dapat membagi varians imbal hasil saham ke dalam dua komponen yaitu: Simbol 1. Varians yang memperlihatkan ketidakpastian Karena faktor makro ekonomi umum. Β²i σ²M 2. Varians yang memperlihatkan ketidakpastian atas faktor spesifik perusahaan. σ²ei 27 Kovarians antara RM dengan ei adalah nol karena ei didefinisikan sebagai faktor spesifik pada perusahaan tertentu atau independen dari pergerakan pasar. Akibatnya varians imbal hasil sekuritas i sama dengan penjumlahan dari varians komponen ekonomi umum dan komponen spesifik perusahaan: σ²i = β²i σ²M + σ² (ei) Sedangkan kovarians tingkat imbal hasil antara kedua saham dapat ditulis sebagai berikut: Cov (Ri,Rj) = Cov (α + βiRM +ei, αj + βjRM +ej) Karena αi dan αj adalah konstan maka kovarians dengan variabel lain adalah nol. Kemudian, komponen spesifik perusahaan (ei,ej) diasumsikan tidak berkorelasi dengan pasar maupun satu sama lain. Oleh karena itu, sumber kovarians imbal hasil antara dua saham hanyalah diturunkan dari ketergantungan imbal hasil saham terhadap faktor umum yaitu imbal hasil pasar RM. Dengan kata lain, kovarians antar saham seperti menunjukkan fakta bahwa imbal hasil setiap saham ditentukan oleh kondisi ekonomi secara keseluruhan sehingga membentuk persamaan: Cov (Ri,Rj) = Cov (βiRM, βjRM ) = βiβjσ²M (2.4) Halim (2005) memberikan ringkasan rumus single index model yang dapat digunakan baik untuk efek individual maupun pada portofolio (h.83), sebagai berikut: Untuk Efek Individual a. E(Ri) = αi + βi (RM) + ei Keterangan simbol: E(Ri) = tingkat pengembalian yang diharapkan (ER) atas efek i 28 αi = bagian dari tingkat pengembalian efek i yang tidak terpengaruh oleh perubahan pasar (konstanta) βi = kepekaan tingkat pengembalian efek i terhadap tingkat pengembalian indeks pasar (parameter yang mengukur perubahan yang diharapkan pada Ri jika terjadi perubahan pada Rm) RM = tingkat pengembalian dari indeks pasar ei = faktor penganggu yang tidak dimasukkan (residual error) b. σi ² = βi ² (σM ²) + σei ² n Varians Rm = σm ² = ∑ (RMi –RM)² N i=1 Risiko sistematik = βi = ρ (i,M)(σi)(σM) σM ² c. Kovarians (i,j) = (βi)(βj)(σM ²) d. ρ(i,j) = (βi)(βj)(σM ²) (σi)(σj) Untuk Portofolio a. E(Rp) = αp + βp (RM) n βp = ∑ Xi (βi) i=1 29 n αp = ∑ Xi (αi) i=1 b. σp ² = βi ² (σM ²) + Xi ² (σei ²) Keterangan simbol: n (ei)² Σei ² = ∑ i=1 N Jika terdapat N efek dan investor menginvestasikan sejumlah dana yang besarnya sama pada masing-masing efek maka varians portofolio dapat dihitung sebagai berikut: σp ² = βi²(σM²) + 1/N² (σei²) Langkah selanjutnya untuk memilih saham yang memiliki excess return to beta ratio yang tinggi dapat menggunakan titik batas atau cuttoff point (C*). Menurut Elton dan Martin (1995) atau cuttoff point (C*) dapat dihitung dengan menggunakan formula (h.185), sebagai berikut: C* = σM² ∑(Ri-Rf) βi 1 + σM²∑βi / σei² Keterangan simbol: σM² = variance in the market index σei² = variance of a stock’s movement that is not associated with the movement of the market index. 30 Perlu diketahui bila tambahan saham terakhir akan membuat kumulatif C lebih rendah dari saham sebelumnya maka cut-off (C*) harus mundur 1 agar C kumulatif tetap memiliki nilai yang maksimum. Setelah komposisi dari portofolio optimal diketahui maka langkah selanjutnya adalah mengkalkulasikan besarnya persentase atas investasi masing-masing sekuritas (saham) dapat menggunakan formula, sebagai berikut: Xi 0 = Zi / ∑Zi , dimana Zi = β i2 (Ri – Rf – C*) σei² βi Berdasarkan definisi Lintner yang dikemukakan Grubber (1995), alokasi pada masing-masing surat berharga harus membentuk persentase yang sama dengan 1 atau 100%. Untuk dapat memperjelas pengertian di atas maka penulis menyajikan ilustrasi berupa kasus yang mengacu pada contoh perhitungan yang berasal dari Journal The Winners (2005), sebagai berikut: Setelah menentukan titik batas (cut-off) saham yang akan dimasukkan dalam portofolio terdapat tiga saham pilihan, yaitu saham 1, 2 dan 3. Kemudian dari ketiga saham tersebut dihitung besarnya Zi dan hasilnya, sebagai berikut: Saham 1 2 3 Zi -3 5 2 Total Alokasi Posisi Short Long Long Alokasi (X) 30% 50% 20% 100% Atau sama dengan 1 31 Untuk menghitung besarnya X maka digunakan harga mutlak untuk setiap Z, sebagai berikut: n ∑ Zi = | Z1 | + | Z2 | +| Z3 | i=1 Maka: X1 = |Z1| / ∑ | Z | = | -3| / |10| = 30% Æ Short X2 = |Z2| / ∑ | Z | = | 5| / |10| = 50% Æ Long X3 = |Z3| / ∑ | Z | = | 2| / |10| = 20% Æ Long Masing-masing saham tersebut dimasukkan ke dalam portofolio sesuai hasil perhitungan alokasi di atas dan sesuai dengan posisi baik short maupun long. II.6. Value at Risk (VaR) Hull (2005) menjelaskan ”When using the value-at-risk (VaR) measure , we are interested in making a statement of the following form: We are X percent certain that we will not lose more than V dollars in the next N days.”(p.385). Hull menjelaskan bahwa V merupakan VaR dari portofolio yang mempunyai dua parameter, yaitu waktu (horizon) yang dilambangkan dengan N –days dan confidence level yang dilambangkan dengan X percent. Value at Risk merupakan salah satu cara mengukur risiko dan nilai VaR dapat menjadi alat prediksi sejumlah risiko yang akan terjadi. VaR berhubungan dengan sejumlah uang yang merupakan jumlah potensi kerugian yang mungkin terjadi selama periode waktu dan confidence level tertentu. Komposisi saham dalam portofolio akan 32 menentukan besarnya nilai VaR. Portofolio dengan jumlah saham yang sama dapat menghasilkan nilai VaR yang berbeda tergantung dari komposisi saham dalam portofolio tersebut. Aczel (1996), melambangkan confidence level dengan Z. Gambar II.4 merupakan gambaran besarnya confidence level dimana perubahan nilai portofolio sesuai dengan prediksi (normal). Gambar II.4. Area Confidence Level untuk Standar Distribusi Normal Tabel Area untuk Z 0 Z Sumber: Buku Complete Business Statistics, Aczel (1996) Aczel (1996) menjelaskan bahwa Gambar II.4 di atas dapat digunakan untuk mengetahui besarnya Z(i), sebagi berikut: Jika error = α = 5% maka besarnya confidence level atau tingkat keyakinan (Zi) adalah 1- 5% = 95%. Letak 0 (nol) pada sumbu x pada Gambar II.4 berarti membuat Z berada pada setengah sumbu (yaitu 0,5) maka 0,5 – 0,05 = 0,45. kemudian nilai Zi dapat dilihat dalam tabel statistik dengan mencari nilai yang hampir atau mendekati 0,45, yaitu 0,4495, yang berada pada nilai Z = 1.6 +0,4 33 =1,64. Dalam perhitungan VaR selanjutnya, nilai 1,64 tersebut akan mewakili tingkat keyakinan sebesar 95%. Formula yang dapat digunakan untuk menghitung besar VaR, sebagai berikut: σ VaR = Beginning Portfolio x Zp x √n Keterangan simbol: VaR = Value at Risk Zp = besarnya kemungkinan (probability) σ = standar deviasi n = jumlah hari selanjutnya Untuk dapat menjelaskan lebih lanjut mengenai penggunaan Value at Risk (VaR) tersebut maka disajikan ilustrasi berupa kasus, sebagai berikut: Besarnya risiko kerugian (VaR) dari suatu portofolio yang memiliki nilai awal sebesar Rp 100.000.000,- dengan estimasi atas kesalahan (error) yang terjadi sebesar 5% untuk jangka waktu 10 hari dan diasumsikan besarnya standar deviasi adalah 3%, maka perhitungan-nya dapat dilakukan sebagai berikut: Maka besarnya VaR adalah: Rp100.000.000,- X 1,64 X (3%/ √10) = Rp 1.555.840,609 atau dapat dibulatkan menjadi: Rp 1.555.840,-. Artinya: Nilai aset sebesar Rp 100.000.000,- dengan tingkat keyakinan 95% memiliki peluang rugi maksimum sebesar Rp1.555.840,- selama 10 hari berikutnya. 34