HUBUNGAN ANTARA BESAR PENGELUARAN KELUARGA UNTUK ROKOK DENGAN STATUS GIZI BALITA PADA KELUARGA MISKIN Dianti Ias Oktaviasari dan Lailatul Muniroh Departemen Gizi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Alamat korespondensi: Lailatul Muniroh Departemen Gizi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya Kampus C Unair Jl. Mulyorejo-60115 Telp. (031) 5920948 – 5920949, Fax. (031) 5924618 email: [email protected] ABSTRACT The paterfamilias who has low income and smoking habit affects to food security in the poor family that will influent to under five children nutrient supply and also its status. The purpose of this research was to analyze the correlation between the amounts of family expense for cigarettes to nutritional status of the under five children in the poor family. This research was an analytic observational research with crosssectional approach. The research population was all of under five children in the research area. The sample of the research was the six mounth to five years old children from the poor families with smoking habit in the Sawahan village, Sawahan sub district, Nganjuk district, with the total numbers of 54 respondents. The variable included the caracterististics of the under five children, family characters, family expenses, consumption pattern, the adeguacy of protein energy, and nutritional status. The data was analyzed by Spearman correlation test. The result showed that there was correlation between the amount of family expenses for cigarettes and the nutritional status of the under five children in the poor family based on weight for age (W/A) index and weight for length/height (W/L or W/H) index (p<0.05). Otherwise there was no correlation between the amount of family expenses for cigarettes and the nutritional status of the under five children in the poor family based on length/height for age (L/A or H/A) index (p > 0.05). The conclusion is the low rate of the family income and cigarettes consumption in the poor family will be difficult for the family to supply the nutrient for the children. So, it will need the parent’s awareness, especially for the father, to limit the cigarettes cost and smoking habits in order to supply the children nutrient needs and the children growth will be optimum. Keywords: cigarettes cost, nutrient status, under five children, poor family ABSTRAK Penghasilan yang rendah dan kebiasaan merokok kepala keluarga berpengaruh terhadap ketahanan pangan pada keluarga miskin yang akan berdampak pada asupan gizi serta status gizi balita. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan status gizi balita pada keluarga miskin di Desa Sawahan. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan crossectional. Populasi penelitian ini ialah seluruh balita di Desa Sawahan Kecamatan Sawahan Kabupaten Nganjuk. Sampel dari penelitian ini ialah balita umur 6 bulan sampai dengan 5 tahun dari keluarga miskin dengan keluarga perokok di Desa Sawahan Kabupaten Nganjuk, sejumlah 64 responden. Variabel dalam penelitian ini meliputi karakteristik balita, karakteristik keluarga, pengeluaran keluarga, pola konsumsi, tingkat kecukupan energi protein, dan status gizi. Data dianalisis dengan menggunakan uji korelasi spearman. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan status gizi balita pada keluarga miskin berdasarkan indikator BB/U dan BB/PB atau BB/TB (p < 0,05). Serta menunjukkan tidak ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan status gizi balita pada keluarga miskin berdasarkan indikator PB/U atau TB/U (p > 0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan tingkat pendapatan keluarga yang rendah, dan ditambah dengan konsumsi rokok pada keluarga miskin akan memberatkan keluarga dalam mencukupi kebutuhan zat gizi bagi anak. Sehingga perlu adanya kesadaran orang tua terutama ayah untuk dapat membatasi pengeluaran rokok dan kebiasaan merokok agar anak bisa mendapat asupan gizi sesuai yang dibutuhkan dan pertumbuhan anak dapat optimal. Kata kunci: pengeluaran rokok, status gizi, balita, keluarga miskin 10 Dianti dkk., Hubungan Antara Besar Pengeluaran… 11 PENDAHULUAN Peran keluarga khususnya orang tua merupakan faktor penting dalam rangka peningkatan status gizi anak. Penghasilan keluarga menjadi parameter dalam pemenuhan status gizi anak, terutama dalam penyediaan makanan dalam keluarga kaitannya dengan pengeluaran untuk makan. Kondisi kesehatan dan gizi banyak dipengaruhi oleh pola makan dan keragaman gizi individu dan ini sangat tergantung pada kondisi ekonomi keluarga. Keluarga dengan status sosial ekonomi lebih baik besar kemungkinan mempunyai anggota keluarga dengan status gizi yang lebih baik pula, demikian pula sebaliknya (Suhardjo, 2008). Keluarga miskin di Indonesia mempunyai kebiasaan yang tinggi dalam konsumsi terhadap rokok. Hal ini berdampak buruk terhadap status gizi anak, sebab alokasi penghasilan keluarga untuk makan berkurang karena penghasilan juga dialokasikan untuk rokok. Kebiasaan merokok ayah dapat meningkatkan risiko gizi buruk dan gizi kurang, karena belanja rokok yang sangat menguras ketahanan pangan rumah tangga (Tjiong, 2008). Hasil studi Semba dan rekan (2007) dalam Factsheet TCSC-IAKMI tentang hubungan rokok dan risikonya pada anak balita, dari sampel yang diteliti sebanyak 175.859 rumah tangga miskin perkotaan di Indonesia selama tahun 1999–2003, sebesar 73,8% kepala keluarganya adalah perokok aktif, dengan pengeluaran mingguan untuk membeli rokok sebesar 22%. Angka ini merupakan porsi pengeluaran terbesar di atas beras yaitu 19%. Hasil studi juga menyatakan bahwa perilaku merokok kepala rumah tangga berhubungan erat dengan gizi buruk, di mana perilaku merokok tersebut menyebabkan prevalensi anak sangat kurus sebesar 1%, berat badan sangat rendah 6.3%, serta anak sangat pendek 7.0%. Belanja rokok dalam hal ini telah menggeser kebutuhan terhadap makanan bergizi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang balita. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 dalam Dinkes Jatim (2009) menunjukkan bahwa prevalensi Gizi Buruk di Kabupaten Nganjuk masih tinggi, yaitu sebesar 20,9%, di mana angka prevalensi tersebut lebih tinggi dibanding dengan prevalensi di Provinsi Jawa Timur yaitu 17,4%. Tingginya angka gizi buruk tersebut berbanding lurus terhadap tingginya angka keluarga miskin di Kabupaten Nganjuk yang mencapai >16%. Berdasarkan data Profil Desa Sawahan tahun 2009, diketahui bahwa sebagian besar penduduk Desa Sawahan termasuk dalam kategori Keluarga Pra Sejahtera (59,9%), Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan terhadap 20 keluarga miskin dengan anggota keluarga perokok aktif di wilayah Desa Sawahan, didapatkan hasil bahwa rata-rata penghasilan keluarga per bulan ialah Rp 842.500,- dengan pengeluaran untuk rokok per orang sebesar Rp 124.625,- (14,79%), serta pengeluaran untuk makan per orang Rp 124.541,(14,78%). Hasil survei pendahuluan diketahui bahwa jumlah perokok aktif di wilayah tersebut masih tinggi dan alokasi penghasilan untuk rokok per orang sebanding dengan untuk makan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan status gizi balita pada keluarga miskin di Desa Sawahan. METODE PENELITIAN Rancang Bangun Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, rancangan penelitian tergolong penelitian observasional analitik sebab penelitian tidak memberikan perlakuan terhadap responden. Menurut waktu pengumpulan data tergolong penelitian crossectional sebab dilaksanakan dalam sekali waktu. Populasi Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh balita di Desa Sawahan Kecamatan Sawahan Kabupaten Nganjuk, dengan kriteria sampel ialah balita di Desa Sawahan umur 6 bulan sampai dengan 5 tahun dengan status keluarga miskin dan dari keluarga perokok. Besar sampel ditentukan dengan menggunakan probability sampling dengan teknik simple random sampling (Kuntoro, 2008). Besar sampel diperoleh dengan rumus sebagai berikut: n= 53,30 n ≈ 54 Keterangan: n = jumlah sampel minimum N = jumlah populasi p = proporsi populasi persentase kelompok tertentu = 0,5 q = proporsi sisa dalam populasi (1-p) = 0,5 ) D = deviasi ( B = bond on the error (batas kesalahan) = 0,10 Perhitungan rumus besar sampel dihasilkan sampel sebesar 54 keluarga. Variabel Penelitian Variabel yang diteliti ialah karakteristik balita meliputi usia dan jenis kelamin, karakteristik keluarga meliputi pendidikan orang tua, pekerjaan 12 The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 9 No. 1, Juli 2012: 10–18 orang tua, penghasilan keluarga, jumlah anggota keluarga, dan jumlah anggota keluarga perokok aktif, pengeluaran keluarga meliputi untuk rokok, untuk pangan, dan untuk non rokok dan non pangan, pola konsumsi balita, tingkat kecukupan energi dan protein balita, dan status gizi balita. Analisis Data Analisis untuk mengetahui hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein balita terhadap status gizi, hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan tingkat kecukupan energi dan protein balita, serta hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan status gizi balita. Digunakan uji korelasi spearman dengan α = 5%. HASIL PENELITIAN Karakteristik Balita Karakteristik balita meliputi umur dan jenis kelamin dicantumkan pada tabel 1. Karakteristik Keluarga Karakteristik keluarga meliputi tingkat pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, penghasilan keluarga, jumlah anggota keluarga, dan jumlah anggota keluarga perokok aktif dicantumkan pada tabel 1. Pengeluaran Keluarga Pengeluaran keluarga meliputi pengeluaran keluarga untuk rokok, pangan, serta non rokok dan non pangan selama satu bulan dicantumkan pada tabel 1. Pola Konsumsi Balita Pola konsumsi balita meliputi jenis dan frekuensi makan. Jenis konsumsi makanan yang dimaksud ialah jenis makanan berupa makanan pokok, lauk, sayur, buah, susu, dan serba aneka, dengan frekuensi harian, mingguan, atau bulanan. Hasil penelitian menunjukkan untuk jenis makanan pokok yang sering dikonsumsi ialah beras atau nasi dengan frekuensi 3 kali sehari. Jenis lauk pauk yang paling sering dikonsumsi ialah lauk nabati tahu dengan frekuensi 1 kali sehari. Jenis sayur ialah bayam dengan frekuensi 3 kali seminggu, jenis buah ialah pisang dengan frekuensi 2 kali sehari. Jenis susu ialah ASI dengan frekuensi > 3 kali sehari, dan makanan serba aneka ialah makanan ringan (jajan) dengan frekuensi makan 1 kali sehari. Tabel 1. Karakteristik balita dan keadaan sosial ekonomi keluarga dengan kepala keluarga perokok aktif Karakteristik Karakteristik Balita (n = 54) Umur (bulan) 6–12 13– 4 25–36 37–48 49–59 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Karakteristik Keluarga (n = 54) Pendidikan Ayah Tidak sekolah Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat Tamat diploma/sederajat Pendidikan Ibu Tamat SD/sederajat Tamat SMP/sederajat Tamat SMA/sederajat n (%) 15 (27,7) 10 (18,5) 13 (24,1) 13 (24,1) 3 (5,6) 29 (53,7) 25 (46,3) 1 (1,9) 35 (64,8) 15 (27,8) 2 (3,7) 1 (1,9) 26 (48,1) 26 (48,1) 2 (3,7) Dianti dkk., Hubungan Antara Besar Pengeluaran… 13 Tabel 1. Lanjutan Karakteristik Pekerjaan Ayah Buruh Wiraswasta, pedagang Swasta Petani Tidak bekerja Pekerjaan Ibu Buruh Wiraswasta, pedagang Swasta Petani Tidak bekerja Jumlah Anggota Keluarga < 4 orang 4–6 orang > 6 orang Penghasilan Keluarga (Rp) 350.000–1.000.000 1.000.001–2.800.00 Pengeluaran Rokok (Rp) 18.000 s.d. 50.000 51.000 s.d. 156.000 157.000 s.d. 240.000 Pengeluaran Pangan (Rp) 198.000 s.d. 285.000 286.000 s.d. 527.000 528.000 s.d. 931.000 Pengeluaran Non Rokok dan Non Pangan (Rp) 20.000 s.d. 197.000 198.000 s.d. 543.000 Tingkat Kecukupan Energi Protein Balita Tingkat kecukupan energi dan protein balita dicantumkan dalam gambar 1. n (%) 7 (13,0) 6 (11,1) 8 (14,8) 32 (59,3) 1 (1,9) 5 (9,3) 2 (3,7) 2 (3,7) 15 (27,8) 30 (55,6) 33 (61,1) 20 (37,0) 1 (1,9) 51 (94,4) 3 (5,6) 6 (11,2) 39 (72,2) 9 (16,6) 5 (9,2) 42 (77,8) 7 (13,0) 49 (90,7) 5 (9,3) Status Gizi Balita Status gizi balita berdasarkan indeks BB/U, PB/U atau TB/U, dan BB/TB, dicantumkan dalam tabel 2. Gambar 1. Kecukupan energi protein balita dari keluarga miskin dengan kepala keluarga perokok aktif 14 The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 9 No. 1, Juli 2012: 10–18 Tabel 2. Status gizi balita dari keluarga miskin dengan kepala keluarga perokok aktif Indeks BB/U Indeks PB/U atau TB/U Status Gizi n (%) Normal BB kurang BB sangat kurang 38 (70,4) 14 (25,9) 2 (3,7) Status Gizi Indeks BB/PB atau BB/TB n (%) Normal Pendek 46 (85,2) 8 (14,8) Status Gizi Gemuk Risiko gemuk Normal Kurus Sangat Kurus n (%) 1 (1,9) 3 (5,6) 23 (42,6) 13 (24,1) 14 (25,9) Tabel 3. Tingkat kecukupan energi protein menurut besar pengeluaran keluarga untuk rokok dari keluarga miskin dengan kepala keluarga perokok aktif Tingkat Kecukupan Pengeluaran Rokok (Rp) 51.000–156.000 n (%) 18.000–50.000 n (%) Energi Baik Sedang Kurang Defisit Protein Baik Sedang Kurang Defisit 157.000–240.000 n (%) 1 (16,7) 3 (50,0) 1 (16,7) 1 (16,7) 5 (12,8) 12 (30,8) 3 (7,7) 19 (48,7) 2 (22,2) 0 (0,0) 1 (11,1) 6 (66,7) 3 (50,0) 2 (33,3) 0 (0,0) 1 (16,7) 7 (17,9) 9 (23,1) 5 (12,8) 18 (46,2) 2 (22,2) 0 (0,0) 1 (11,1) 6 (66,7) Tabel 4. Tingkat kecukupan energi dan protein balita menurut status gizi balita dari keluarga miskin dengan kepala keluarga perokok aktif Tingkat kecukupan energi Status Gizi Balita Tingkat kecukupan energi Baik Sedang Kurang Defisit Baik Sedang Kurang Defisit -n = 8 n = 15 n=5 n = 26 n = 12 n = 11 n=6 n = 25 14 (93,3) 1 (6,7) 0 (0,0) 3 (60,0) 1 (20,0) 1 (20,0) 13 (50,0) 12 (46,2) 1 (3,8) 10 (83,3) 1 (8,3) 1 (8,3) 10 (90,9) 1 (9,1) 0 (0,0) 5 (83,3) 1 (16,7) 0 (0,0) 13 (52,0) 11 (44,0) 1 (4,0) 14 (93,3) 1 (6,7) 4 (80,0) 1 (20,0) 21 (80,8) 5 (19,2) 12 (100,0) 0 (0,0) 9 (81,8) 2 (18,2) 5 (83,3) 1 (16,7) 20 (80,0) 5 (20,0) 1 (6,7) 1 (6,7) 8 (53,3) 3 (20,0) 2 (13,3) 0 (0,0) 0 (0,0) 2 (40,0) 1 (20,0) 2 (40,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 7 (26,9) 9 (34,6) 10 (38,5) 0 (0,0) 2 (16,7) 7 (58,3) 1 (8,3) 2 (16,7) 1 (9,1) 1 (9,1) 7 (63,6) 0 (0,0) 2 (18,2) 0 (0,0) 0 (0,0) 3 (50,0) 3 (50,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 6 (24,0) 9 (36,0) 10 (40,0) Indeks BB/U Normal 8 (100,0) BB Kurang 0 (0,0) BB sangat kurang 0 (0,0) Indeks TB/U atau PB/U Normal 7 (87,5) Pendek 1 (12,5) Indeks BB/TB atau BB/PB Gemuk 0 (0,0) Risiko Gemuk 2 (25,0) Normal 6 (75,0) Kurus 0 (0,0) Sangat Kurus 0 (0,0) Dianti dkk., Hubungan Antara Besar Pengeluaran… 15 Tabel 5. Besar pengeluaran keluarga untuk rokok menurut status gizi balita dari keluarga miskin dengan kepala keluarga perokok aktif Status gizi balita Indeks BB/U Normal BB kurang BB sangat kurang Indeks TB/U atau PB/U Normal Pendek Indikator BB/TB atau BB/PB Gemuk Risiko gemuk Normal Kurus Sangat Kurus 18.000–50.000 n=6 Pengeluaran rokok (Rp) 51.000–156.000 n = 39 157.000–240.000 n=9 6 (100,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 25 (64,1) 12 (30,8) 2 (5,1) 7 (77,8) 2 (22,2) 0 (0,0) 6 (100,0) 0 (0,0) 32 (82,1) 7 (17,9) 8 (88,9) 1 (11,1) 0 (0,0) 1 (16,7) 5 (83,3) 0 (0,0) 0 (0,0) 1 (2,6) 2 (5,1) 15 (38,5) 9 (23,1) 12 (30,7) 0 (0,0) 0 (0,0) 3 (33,3) 4 (44,4) 2 (22,2) PEMBAHASAN Karakteristik Balita Sebagian besar balita berusia antara 6–12 bulan serta dengan jenis kelamin laki-laki. Menurut Soetjiningsih (1998), usia paling rawan adalah masa balita, karena pada masa tersebut anak mudah sakit dan mudah sekali terjadi kurang gizi, sedangkan pertumbuhan dan perkembangan otak sangat penting pada masa tersebut. Pada usia balita, anak membutuhkan nutrisi yang tepat dan seimbang untuk pertumbuhan dan perkembangan otak. Sehingga apabila usia balita bertambah sedangkan ketersediaan zat gizinya tetap maka kebutuhan akan zat gizi tidak terpenuhi dan terjadi kekurangan gizi. Kekurangan gizi pada balita dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga balita tersebut lebih rentan terkena infeksi. Karakteristik Keluarga Keluarga mempunyai peran penting pada status gizi balita, terutama dalam pemenuhan makan sehari-hari. Berdasarkan Persagi (1999) dalam Supariasa, dkk (2002), faktor tidak langsung yang memengaruhi status gizi ialah ketersediaan pangan di rumah, perawatan atau pola pengasuhan, serta pelayanan kesehatan. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar penghasilan keluarga ialah rendah (di bawah UMR). Hal tersebut sesuai dengan Suhardjo (2009) yang menyatakan bahwa pada umumnya jika penghasilan naik, jumlah dan jenis makanan cenderung meningkat pula. Peningkatan penghasilan perorangan akan menyebabkan perubahan dalam susunan makanan. Namun pengeluaran yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya makanan yang dikonsumsi. Diketahui bahwa sebagian besar penghasilan rendah sehingga jenis makanan yang dikonsumsi kurang beragam baik dalam hal jenis serta susunan makanan tersebut. Jumlah anggota keluarga juga dapat memengaruhi pembagian makanan pada keluarga. Menurut Khumaidi (1994), distribusi makanan sering kali dihubungkan dengan status yang terjalin antara anggota keluarga daripada kebutuhan gizinya. Anggota keluarga pria yang lebih tua (ayah) mendapatkan jumlah dan mutu susunan makanan yang lebih baik daripada anak kecil dan perempuan. Pembagian makan harus disesuaikan dengan kebutuhan gizi dalam tubuh. Untuk anak balita, meskipun jumlah makanannya lebih sedikit, namun membutuhkan kandungan gizi yang lebih dalam makanan. Anggota keluarga yang merokok juga dapat memengaruhi status gizi anak yang tinggal serumah. Konsumsi energi anak yang rumahnya ada orang merokok lebih rendah daripada yang di rumahnya tidak ada perokok. Sebagai akibatnya, status gizi anak tersebut lebih rendah (Damayanti, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100% dari keluarga yang diteliti terdapat satu anggota keluarga yang merokok, yaitu kepala keluarga atau bapak. Hal tersebut menunjukkan bahwa dengan adanya anggota keluarga perokok aktif, maka jumlah alokasi pengeluaran yang dipergunakan untuk makan berkurang untuk membeli rokok. Dengan demikian, maka jumlah pengeluaran yang digunakan untuk kebutuhan lainnya, termasuk dalam pemenuhan pangan keluarga akan berkurang dan berdampak Pengeluaran Keluarga Sebagian besar pengeluaran rokok keluarga tiap bulan ialah antara Rp 51.000,- Rp 156.000,dengan rata-rata pengeluaran ialah Rp 102.935,19, atau sebesar 17,2% dari total pengeluaran keluarga dalam satu bulan. 16 The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 9 No. 1, Juli 2012: 10–18 Pengeluaran rokok tersebut hanya dikonsumsi oleh kepala keluarga atau ayah. Sama halnya dengan rokok yang memiliki efek adiksi atau kecanduan, para ayah juga menjadi adiktif untuk mengalihkan penghasilannya untuk rokok. Ketergantungan pada zat adiktif di dalam rokok pada keluarga miskin terbukti meningkatkan kejadian kurang gizi pada balita (Soerojo, 2009 dalam TCSC-IAKMI, 2009). Dari hasil penelitian diketahui bahwa penghasilan keluarga sebagian besar ialah kurang dari UMR atau dapat dikatakan penghasilan rendah. Hal tersebut sesuai dengan Aritonang (2000) bahwa kemampuan rumah tangga menjangkau pangan di pasar tergantung dari daya beli atau penghasilannya. Kemampuan ekonomi rumah tangga pada umumnya saling berkaitan dengan status sosial, juga selanjutnya berkaitan pula dengan nilai suatu makanan. Pola Konsumsi Balita Menurut Khumaidi (1994), berdasarkan taraf ekonomi, golongan masyarakat ekonomi kuat mempunyai kebiasaan makan dengan konsumsi rata-rata melebihi angka kecukupannya. Sebaliknya, golongan masyarakat ekonomi lemah yang justru pada umumnya produsen pangan, mereka mempunyai kebiasaan makan yang memberikan nilai gizi di bawah kecukupan jumlah maupun mutunya. Hal tersebut sesuai dengan penelitian ini, bahwa mayoritas orang tua balita dengan penghasilan per bulan di bawah UMR dan bekerja sebagai petani (produsen makanan) namun makanan yang dikonsumsi balita nilai gizinya di bawah kecukupan. Dapat dilihat dari tingkat energi dan protein balita yang mayoritas defisit dan pola konsumsi lauk hewani yang rendah. Tingkat Kecukupan Energi dan Protein Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar tingkat kecukupan energi dan protein balita terkategori defisit. Balita dengan energi kurang maka asupan gizi yang diperoleh balita juga kurang. Hal tersebut mengakibatkan status gizi balita kurang. Begitu juga apabila tingkat konsumsi energi defisit, maka berisiko status gizi balita menjadi sangat kurang. Kekurangan energi pada bayi dan balita dapat mengakibatkan pertumbuhan yang terhambat, serta kerusakan jaringan tubuh. Faktor penghasilan yang rendah dan pengetahuan juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan tingkat konsumsi protein banyak yang defisit, sebab keluarga tidak mampu untuk menyediakan protein hewani dalam jumlah yang mencukupi. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan Khumaidi (1994), bahwa pada umumnya masyarakat yang berpendapatan rendah hanya mampu membeli bahan makanan yang harganya murah meskipun mutunya rendah, asalkan banyak dan mengenyangkan. Bahkan mereka tidak dapat makan daging, telur, ikan, atau minum susu setiap hari namun hanya sesekali saja dalam sebulan atau setahun. Status Gizi Hasil penelitian menunjukkan bahwa status gizi balita berdasarkan indeks BB/U sebagian besar ialah normal (70,4%), namun status gizi BB kurang juga masih besar yaitu 25,9%. Berdasarkan indeks PB/U atau TB/U sebagian besar balita ialah normal (85,2%). Berdasarkan indeks BB/PB atau BB/ TB sebagian besar status gizi balita ialah normal (42,6%), namun terdapat juga balita yang sangat kurus sebesar 25,9% dan kurus 24,1%. Status gizi berdasarkan indeks BB/U baik untuk mengukur status gizi akut maupun kronis dan sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan kecil. Sedangkan status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Namun indeks TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Status gizi berdasarkan indeks BB/PB atau BB/TB merupakan indeks yang baik untuk menilai status gizi saat kini (sekarang), serta dapat memberikan gambaran lingkungan yang tidak baik, kemiskinan, dan akibat tidak sehat yang menahun (Depkes RI, 2004 dalam Marista 2009 dan Supariasa, dkk, 2002). Hubungan antara Tingkat Kecukupan Energi Protein dengan Status Gizi Balita Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi berdasarkan indikator BB/U (p = 0,000) dan BB/PB atau BB/TB (p = 0,000). Kecukupan energi untuk anak-anak meliputi kebutuhan untuk pertumbuhan dan pembentukan jaringan tubuh. Apabila jumlah kalori yang dikonsumsi tubuh lebih rendah daripada kebutuhan, maka lemak yang ada dalam tubuh akan diubah menjadi energi untuk menutup kekurangan tersebut. Kekurangan energi dapat menimbulkan berat badan kurang dari berat badan ideal, apabila terjadi pada bayi dan anakanak dalam jangka waktu yang panjang maka akan berakibat menghambat pertumbuhan (Khumaidi, 1994; Almatsier, 2003). Berat badan sangat dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan asupan zat gizi dari makanan tersebut, serta sangat sensitif terhadap perubahanperubahan kecil. Sehingga indeks BB/U dan BB/PB atau BB/TB lebih dapat menggambarkan pengaruh tingkat konsumsi energi dengan status gizi balita. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat kecukupan protein Dianti dkk., Hubungan Antara Besar Pengeluaran… 17 dengan status gizi balita berdasarkan indikator BB/ U (p = 0,020) dan BB/PB atau BB/TB (p = 0,000). Protein mempunyai fungsi sebagai bagian kunci semua pembentukan jaringan tubuh, yaitu dengan mensintesisnya dari makanan. Kebutuhan protein pada anak dibutuhkan dalam jumlah yang tinggi karena untuk pertumbuhan yang cepat. Metabolisme protein dan metabolisme energi berhubungan sangat erat. Apabila jumlah energi dalam makanan sehari-hari tidak cukup, sebagian masukan protein makanan akan dipergunakan sebagai energi, sehingga mengurangi bagian yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh (Pudjiadi, 2000 dalam Siahaan, 2009). Tingkat konsumsi energi dan protein merupakan faktor langsung yang memengaruhi status gizi. Apabila tingkat konsumsi energi dan protein sesuai dengan angka kecukupan gizi maka status gizinya akan baik dan akan mendapatkan kondisi kesehatan yang optimal. Pada penelitian ini meskipun sebagian besar balita memiliki tingkat konsumsi energi yang defisit namun mayoritas status gizinya baik. Hal tersebut disebabkan karena adanya sebagian masukan protein dan cadangan makanan yang dipergunakan sebagai energi dalam tubuh. Namun apabila hal ini berlangsung secara terusmenerus dan dalam jangka waktu yang lama akan dapat memengaruhi pertumbuhan dan status gizi balita. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi berdasarkan indeks PB/U atau TB/U (p = 0,378). Begitu pula bahwa tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan protein dengan status gizi PB/U atau TB/U (p = 0,175). Indeks status gizi PB/U atau TB/U relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama (Supariasa, dkk, 2002). Hubungan antara Besar Pengeluaran Keluarga untuk Rokok dengan Tingkat Kecukupan Energi Protein Balita Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan tingkat konsumsi energi (p = 0,049). Serta ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan tingkat kecukupan protein (p = 0,004). Menurut Jaya (2009), harga rokok yang mahal akan sangat memberatkan orang yang tergolong miskin, sehingga dana kesejahteraan dan kesehatan keluarganya sering dialihkan untuk membeli rokok. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap jumlah konsumsi energi dan zat gizi lain yang diperlukan untuk tubuh. Apabila konsumsi energi dan zat gizi tersebut kurang dari kebutuhan tubuh, maka akan memengaruhi status gizi seluruh anggota keluarga terutama status gizi anak yang berada pada masa pertumbuhan. Penggunaan rokok dapat meningkatkan kemiskinan melalui kerentanan timbulnya risiko karena sumber pendapatan keluarga miskin yang terbatas justru dibelanjakan untuk konsumsi rokok, yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan pokok lainnya, seperti makanan, biaya pendidikan anak, biaya kesehatan dan upaya meningkatkan gizi anakanak dan keluarga (Irawan, 2009). Pendapatan yang terpakai dan jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk membeli makanan merupakan salah satu faktor penting dalam pemilihan makanan, khususnya pemilihan daging, buah, dan sayuran. Terbukti adanya hubungan pola makan dan kemiskinan menunjukkan bahwa orang yang berasal dari rumah tangga berpenghasilan rendah bukan tidak peduli dengan masalah pangan, tetapi mereka sangat terampil dalam mengatur belanja, khususnya ketika makanan merupakan satu-satunya unsur yang fleksibel dalam rumah tangganya. Diketahui pula bahwa rumah tangga dengan pendapatan yang rendah membelanjakan uang dengan proporsi tertinggi pada makanan. Terdapat sejumlah bukti bahwa makanan yang sekarang direkomendasikan untuk pola makan sehat tidak hanya lebih mahal, mengenyangkan, dan padat energi, namun makanan tersebut juga harus dibeli dengan harga yang lebih tinggi di pedesaan serta di perkotaan pada keluarga miskin (Gibney, 2005). Pengeluaran untuk rokok yang tidak diimbangi dengan penghasilan yang besar akan berdampak terhadap ketahanan pangan keluarga dan asupan gizi keluarga. Pada penelitian ini diketahui bahwa sebagian besar penghasilan keluarga ialah kurang dari UMR dan bisa dikatakan rendah. Ditambah dengan kebutuhan ayah untuk membeli rokok maka akan semakin menekan pengeluaran pangan keluarga sehingga asupan gizi keluarga juga akan semakin kurang. Dalam penelitian ini membuktikan bahwa dengan kepala keluarga sebagai perokok aktif, sebagian besar balitanya dengan tingkat kecukupan energi dan protein yang defisit. Hubungan antara Besar Pengeluaran Keluarga untuk Rokok dengan Status Gizi Balita Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan status gizi balita berdasarkan indikator BB/U (p = 0,020) dan PB/BB atau TB/ BB (p = 0,004). Namun tidak ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk makan balita dengan status gizi balita berdasarkan indikator PB/ U atau TB/U (p = 0,428). Hasil ini menunjukkan 18 The Indonesian Journal of Public Health, Vol. 9 No. 1, Juli 2012: 10–18 bahwa kebiasaan merokok ayah dapat meningkatkan risiko gizi buruk dan gizi kurang akibat belanja tembakau yang sangat menguras ketahanan pangan rumah tangga. Pertumbuhan anak merupakan indeks kesejahteraan anak, dampak jangka panjang gizi buruk berdampak pada prestasi akademik, kebugaran, dan ketangkasan (Tjiong, 2008). Ketergantungan terhadap rokok pada keluarga miskin terbukti meningkatkan kejadian kurang gizi pada balita. Dan apabila tidak segera ditanggulangi maka kondisi ini akan mengancam hilangnya sebuah generasi. Balita dengan gizi kurang berisiko lebih tinggi mengalami keterlambatan perkembangan mental. Selain itu juga dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas akibat kerentanan terhadap penyakit. Konsekuensi jangka panjang gizi kurang adalah prestasi sekolah yang buruk, lemahnya kapasitas intelektual dan kemampuan kerja. Dan akibat terburuk malnutrisi pada balita juga mengancam hilangnya sebuah generasi Soerojo (2009) dalam TCSC-IAKMI (2009). Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Semba dan Rekan (2008) pada rumah tangga miskin di perkotaan dan pedesaan yang membuktikan bahwa kematian bayi dan balita lebih tinggi pada keluarga yang orang tuanya merokok daripada yang tidak merokok. Prevalensi kematian balita dan bayi tersebut di pedesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas status gizi balita dari ketiga indeks ialah normal, namun tidak sedikit yang mengalami kurang gizi serta mayoritas tingkat kecukupan energi dan protein balita yang defisit sudah dapat membuktikan pengaruh negatif kebiasaan merokok pada kepala keluarga miskin terhadap status gizi balita. Apabila hal tersebut berjalan terusmenerus tanpa peningkatan penghasilan keluarga dan pengurangan kebiasaan merokok maupun pengurangan pengeluaran rokok oleh kepala keluarga besar kemungkinan status gizi balita akan terus menurun dan pada akhirnya akan mengakibatkan lost generation. Sebab tidak hanya pertumbuhan fisik yang terpengaruh namun juga pertumbuhan mental anak, di mana konsekuensi jangka panjang gizi buruk berdampak pada prestasi akademik, kebugaran, dan ketangkasan, lemahnya kapasitas intelektual dan kemampuan kerja. KESIMPULAN Ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan tingkat kecukupan energi dan protein balita serta status gizi balita berdasarkan indeks BB/U dan BB/PB atau BB/ TB. Akan tetapi tidak ada hubungan antara besar pengeluaran keluarga untuk rokok dengan status gizi balita berdasarkan indeks PB/U atau TB/U. Ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi balita berdasarkan indeks BB/U dan BB/PB atau BB/TB. Tidak ada hubungan antara tingkat kecukupan energi dan protein dengan status gizi balita berdasarkan indeks PB/U atau TB/U. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Aritonang, Irianton. 2000. Krisis Ekonomi: Akar Masalah Gizi. Penerbit Media Pressindo. Yogyakarta. Damayanti, Rita. 2009. Merokok Bisa Miskin dan Kurang Gizi. http://lifestyle.detikyogyakarta.net/merokokbisa-miskin-dankurang-gizi/. (Sitasi 8 September 2009) Dinkes Jatim. 2009. Penanggulangan Gizi Buruk oleh Seksi Gizi Bidang PPKM Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Surabaya. Gibney, et al. 2005. Gizi Kesehatan Masyarakat. (Palupi Widyastuti & Erita Agustin Penerjemah) Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Irawan, Puguh. Dampak Penggunaan Tembakau terhadap Kemiskinan di Indonesia. www.scribd.com/.../DampakPenggunaan- Tembakau-Terhadap-Kemiskinan-di- IndonesiaPuguhIrawan. (Sitasi 2 Nopember 2009). Jaya, Muhammad. 2009. Pembunuh Berbahaya itu Bernama Rokok. Riz’ma. Yogyakarta. Khumaidi, M, 1994. Bahan Pengajaran Gizi Masyarakat. Gunung Mulia. Jakarta. Kuntoro, H. 2008. Metode Sampling dan Penelitian Besar Sampel. Pustaka Melati. Surabaya. Marista, Dayu. 2009. Hubungan Tingkat Konsumsi Energi dan Protein dengan Status Gizi anak TK dari Keluarga Berpenghasilan di Bawah UMR. Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya. Semba, Richard D., Pee, Saskia de, Sun Kai, Best, Cora M., Sari, Maya, Bloem, Martin W. 2008. Paternal Smoking and Increased Risk of Infant and Under-5 Child Mortality in Indonesia. American Journal of Public Health edition October 2008. Semba, Richard D., Kaim, Leah, M., Pee, Saskia de, Ricks, Michellee O., Sari, Mayang, Bloem, Martin W. 2007. Paternal Smoking is Associated with Increased Risk of Child Malnutrition among Poor Urban Families in Indonesia. Public Health Nutrition Journal Edition January 2007. Siahaan, Mariani. 2009. Hubungan Ketersediaan Pangan Tingkat Rumah Tangga, Pola Konsumsi, Tingkat Kecukupan Energi dan Protein dengan Status Gizi Balita 1–5 tahun. Skripsi. Universitas Airlangga. Surabaya: Soetjiningsih. 1998. Tumbuh Kembang Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Suhardjo. 2008. Perencanaan Pangan dan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta. Suhardjo, dkk. 2009. Pangan, gizi, dan Pertanian. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta. Supariasa, I Dewa Nyoman, dkk. 2002. Penilaian Status Gizi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. TCSC-IAKMI. 2009. Fakta Tembakau di Indonesia. http://www. tcscindo.org/assets/applets/Fact_Sheet_Fakta_Tembakau_Di_ Indonesia.pdf. (Sitasi: 5 Mei 2010) Tjiong, Roy. 2008. Rokok dan Hilangnya Sebuah Generasi. www.news.id.finroll.com/.../52978-rokok-dan-hilangnyasebuahgenerasi. html. (Sitasi 8 September 2009)