BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam membangun basis yang kuat bagi demokrasi, partisipasi rakyat, keadilan, dan pemerataan pembangunan sekaligus memperhatikan kebutuhan masyarakat lokal yang berbeda-beda, Pemerintah bersama lembaga legislatif mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Unsur penting dalam kedua Undang-Undang ini adalah bahwa penguasa daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) harus lebih bertanggungjawab kepada rakyat di daerah, kecuali itu pemerintah daerah mendapat otonomi yang lebih luas dalam membiayai pembangunan daerah berdasarkan prioritas anggaran mereka sendiri, dengan demikian diharapkan akan lebih terbuka ruang bagi aparat di daerah untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan pembangunan berdasarkan kebutuhan yang senyatanya. Ada beberapa hal yang menjelaskan mengapa selama ini banyak evaluasi program, dan pelayanan publik kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat sehingga kurang mendapat dukungan secara luas. Pertama, para birokrat kebanyakan masih berorientasi pada kekuasaan bukannya menyadari peranannya sebagai penyedia layanan kepada masyarakat. Budaya paternalistik yang memberikan keistimewaan bagi orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan birokrat tersebut juga mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan publik. Kedua, terdapat kesenjangan yang lebar antara apa yang diputuskan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang benar-benar dikehendaki masyarakat. Kondisi yang mengungkung para birokrat yang sekian lama selalu tunduk kepada pimpinan politis dan kurang mengutamakan pelayanan publik tersebut berpengaruh negatif terhadap akuntabilitas birokrasi publik. Oleh sebab itu, di samping implementasi peraturan perundangan yang konsisten diperlukan pula reorientasi pejabat publik agar benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik. Mekanisme checks and balances harus terus dikembangkan diantara lembaga-lembaga pemerintah daerah yang ada, dan yang tidak kalah penting seluruh komponen dalam masyarakat hendaknya lebih berani untuk terus menerus menyuarakan aspirasi mereka kepada birokrasi publik.1 Fenomena-fenomena di masa lalu telah melahirkan konsep pembangunan yang sedikit berbeda di masa sekarang. Pembangunan yang cenderung mengarah pada sentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan dari atas ke bawah (topdown) kini mulai diminimalkan, dan muncul konsep pembangunan alternatif yang menekankan pentingnya pembangunan berbasis masyarakat (community based development), yang bersifat bottom up dan menggunakan pendekatan lokalitas yaitu pembangunan yang menyatu dengan budaya lokal serta menyertakan 1 Wahyudi Kumorotomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik: Sketsa Pada Masa Transisi, Pustaka Pelajar Yogyakrta, 2005, Hal.7-9. partisipasi masyarakat lokal bukan memaksakan suatu model pembangunan dari luar.2 Prinsip pelayanan publik harus dilaksanakan oleh jenjang pemerintahan yang sedekat mungkin kepada rakyat. Itu berarti pemerintah desa adalah sebagai ujung tombak pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan, pelayanan publik, dan pemberdayaan masyarakat karena pemerintah desa merupakan tingkat pemerintahan terkecil yang berhadapan langsung dengan rakyat. Desa berpedoman kepada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, adalah: "kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.3 Ini mengandung makna bahwa desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sesuai dengan kewenangan asli maupun yang diberikan, yang menyangkut peranan pemerintah desa sebagai penyelenggara pelayanan publik di desa dan sebagai pendamping dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan daerah yang melibatkan masyarakat di tingkat desa. Untuk melaksanakan kewenangan tersebut, pemerintah desa memiliki sumbersumber penerimaan yang digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Salah satu hal yang penting untuk diperhatikan dalam mendukung 2 Zubaedi, Pendidikan Berbasis Masyarakat: Upaya Masyarakat Solusi trehadap Pelbagai Problem Sosial, Pustaka Pelajar Yogyakarta 2007, Hal.10. 3 UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah proses pelaksanaan pembangunan di setiap desa adalah adanya kepastian keuangan untuk pembiayaannya. Penetapan pembiayaan pembangunan dapat berasal dari berbagai sumber seperti dari pemerintah, swasta maupun masyarakat. Selama ini, pembangunan desa masih banyak bergantung dari pendapatan asli desa dan swadaya masyarakat yang jumlah maupun sifatnya tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu untuk menunjang pembangunan di wilayah pedesaan, pemerintah pusat mengarahkan kepada beberapa kabupaten untuk melakukan pengalokasian dana langsung ke desa dari APBD-nya. Kebijakan pengalokasian dana langsung ke desa ini disebut sebagai kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD), yang di tingkat nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dan kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 140/60/SJ Tahun 2005 tentang Pedoman Alokasi Dana Desa dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada Pemerintah Desa. Pemerintah Kabupaten Natuna merupakan salah satu dari beberapa kabupaten yang merencanakan dan melaksanakan kebijakan ADD. Pelaksanaan ADD di Kabupaten Natuna ini didasarkan pada realita bahwa sebagai pilar otonomi daerah, desa semakin membutuhkan pendanaan yang seimbang untuk menjalankan peran yang lebih konkrit dalam pembangunan daerah. Pemerintah Kabupaten Natuna berharap dengan adanya Alokasi Dana ke Desa, perencanaan partisipatif berbasis masyarakat akan lebih berkelanjutan, karena masyarakat dapat langsung terlibat dalam pembuatan dokumen perencanaan di desanya dan ikut merealisasikannya. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa pasal 68 ayat 1 poin c, disebutkan bahwa bagian dari dana perimbangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota untuk desa paling sedikit 10% yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa. Jadi, Alokasi Dana Desa (ADD) adalah dana yang dialokasikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk Desa, yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten. Adapun tujuan dari Alokasi Dana Desa (ADD) ini adalah untuk : 1. Meningkatkan penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam melaksanakan pelayanan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan sesuai kewenangannya; 2. Meningkatkan kemampuan lembaga kemasyarakatan di desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan secara partisipatif sesuai dengan potensi desa; 3. Meningkatkan pemerataan pendapatan, kesempatan bekerja dan kesempatan berusaha bagi masyarakat desa; 4. Mendorong peningkatan swadaya gotong royong masyarakat desa.4 Pemerintah mengharapkan kebijakan Alokasi Dana Desa ini dapat mendukung pelaksanaan pembangunan partisipatif berbasis masyarakat dalam upaya pemberdayaan masyarakat pedesaan sekaligus memelihara kesinambungan pembangunan di tingkat desa. Dengan adanya Alokasi Dana Desa, desa memiliki 4 Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 Tentang Desa kepastian pendanaan sehingga pembangunan dapat terus dilaksanakan tanpa harus terlalu lama menunggu datangnya dana bantuan dari pemerintah pusat. Kabupaten Natuna dalam aspek menata keuangan desa tidak terlepas dari konteks desentralisasi desa dengan tujuan menata keuangan yang ada di desa. desentralisasi keuangan dilevel desa yang secara momentum memiliki nilai proses yang menjadi desa mampu membangun masyarakat secara mandiri (berotonomi). Sebagai sebuah proses maka penting agi suatu desa untuk berkonsolidasi kepada stakeholder yang beraitan pada tingkatan des. Konsolidasi ini memiliki tujuan agar adanya penataan kelembagaan demokrasi desa dan inventarisi-inventarisi potensi desa sebagai wujud strategis membangun desa. Selanjutnya ada beberapa faktor yang menjadi dorongan yang sangat kuat bagi peneliti untuk mengambil Natuna sebagai daerah penelitian dan Alokasi Dana Desa (ADD) khususnya yang menjadi isu penting dalam penelitian ini, pertama : Kabupaten Natuna hari ini secara ideal normatifnya masih belum mampu menganggarkan Alokasi Dana Desa (ADD) secara rata dan berkeadilan hal ini dapat ditunjukkan dengan pola pembagian Alokasi Dana Desa dengan sistem bagi rata. Dengan pola pembagian alokasi Dana Desa (ADD) secara merata tersebut maka tidak semua desa di Kabupaten Natuna mampu menyelenggarakan penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) secara tepat guna sebagaimana yang diamanatkan oleh peraturan daerah. Anggaran Alokasi Dana Desa (ADD) yang seharusnya memiliki formula dalam pembagian Alokasi Dana Desa (ADD) namun belum bisa diterapkan di Kabupaten Natuna. kemudian, kedua : Kabupaten Natuna hari ini secara konteks sosio-ekonomi sangat menitik beratkan pembangunan pada anggaran yang bersumber dari APBD, hanya ±7 Milyar Pendapatan asli daerah dari ± 1,3 Triliun anggaran APBD Pertahun pada Tahun 2012-2013. Data tersebut menunjukkan masih minimnya potensi ekonomi yang mampu menunjang anggaran pembangunan di Kabupaten Natuna. Maka dari itu Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari transfer langsung dari pusat perlu dialokasi sebaik-baiknya untuk pembangunan desa. Ilustrasi diatas menunjukkan bahwa Kabupaten Natuna perlu memperhatikan penggunaan Alokasi Dana Desa (ADD) untuk dalam upaya meningkatkan pembangunan baik itu bersifat infrastruktur yang bersinergi terhadap penguatan pembangunan potensi ekonomi masyarakat desa dan peningkatan pelayanan publik pada tararan lembaga pemerintah desa. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang tersebut di atas maka dapat disimpulkan rumusan permasalahannya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Evaluasi Program Alokasi Dana Desa di Kabupaten Natuna pada Tahun 2012-2013? 2. Faktor-faktor apa yang mendukung dan menghambat keberhasilan program Alokasi Dana Desa di Kabupaten Natuna ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan fokus permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana evaluasi program Alokasi Dana Desa di Kabupaten Natuna. 2. Untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat keberhasilan program Alokasi Dana Desa di Kabupaten Natuna. D. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian tersebut diatas maka manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Menambah wawasan bagi khasanah Ilmu Pengetahuan Sosial pada umumnya dan Ilmu Pemerintahann tentang evaluasi program pada khususnya. 2. Dapat memberikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Natuna mengenai evaluasi program ADD dalam pemberdayaan masyarakat yang telah berlangsung di Kabupaten Natuna, untuk penyempurnaan pelaksanaan ADD pada tahun berikutnya. 3. Manfaat pribadi bagi peneliti adalah untuk memenuhi persyaratan akademis meraih gelar kesarjanaan pada program studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sekaligus sebagai pembelajaran untuk melakukan penelitian lebih dalam. E. Kerangka Dasar Teori Sebelum melangkah kepada teori-teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, terlebih dahulu penulis menjelaskan definisi dan teori menurut para ahli. Teori adalah sarana pokok untuk menyatakan hubungan sistematika dalam gejola sosial maupun natura yang ingin diteliti. Teori merupakan abstraksi dari pengertian atau hubungan dari proporsi atau dalil. Menurut Kelinger (1973), teori adalah sebuah set konsep atau construct yang berhubungan satu dengan yang lain, suatu set dari proporsi yang mengandung suatu pandangan sistematsis dari fenomena.5 1. Desa dan Tata Kelola Pemerintahan a. Pengertian Desa Defenisi desa dalam Undang-undang dan menurut para ahli: Desa adalah dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang dimiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.6 Menurut Drs.A.W.Widjaja Desa adalah daerah otonomi asli berdasarkan hukum adat berkembang dari rakyat sendiri menurut perkembangan sejarah yang dibebani oleh instansi atasan dengan tugas-tugas pembantu.7 5 Moh.Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta 2005, Hal.19. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa 7 Drs.A.W.Widjaja, Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa: Menurut Undang-Undang Nomor 5/1979 (sebuah tinjauan), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1993, Hal.7. 6 Menurut Prof.Drs.HAW.Widjaja Desa adalah seabagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal usul yang bersifat istimewa.8 Menurut Sutarjo kartohadikusumo Desa adalah sebagai tempat tinggal kelompok atau sebagai masyarakat wilayah daerah kesatuan administrative, wujud sebagai kediaman beserta tanah pertanian, daerah perikanan, tanah sawah, tanah pangonan, hutan blukar, dapat juga wilayah yang berlokasi ditepi lautan, danau, sungai, imigrasi, pegunungan, yang keseluruhan merupakan wilayah-wilayah yang di kuasai oleh Hak Ulayat Manusia Desa.9 b. Dasar-dasar Pembentukan Desa Desa dibentuk atas prakarsa masyarakat dengan memperhatikan asal-usul desa dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Pembentukan desa sebagaimana harus memenuhi syarat : (a). Jumlah penduduk, (b). Luas wilayah, (c). Bagian wilayah kerja (d). Perangkat dan (e). Sarana dan prasarana pemerintahan.10 Pembentukan desa dapat berupa penggabungan beberapa desa, atau bagian desa yang bersandingan, atau pemekaran dari satu desa menjadi dua desa atau lebih, atau pembentukan desa di luar desa yang telah ada. Pemekaran dari satu 8 Prof. Drs. HAW. Widjaja, Otonomi Desa: Merupakan Otonomi yang Asli,Bulat dan Utuh,PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2003, Hal.3. 9 Soetardjo Kartohadikusumo,Desa, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, Hal.16. 10 Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D, & Dadang Solihin, MA: Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2001, Hal.24. desa menjadi dua desa atau lebih dapat dilakukan setelah mencapai paling sedikit 5 (lima) tahun penyelenggaraan pemerintahan desa. Desa yang kondisi masyarakat dan wilayahnya tidak lagi memenuhi persyaratan dapat dihapus atau digabung. Dalam wilayah desa dapat dibentuk Dusun atau sebutan lain yang merupakan bagian wilayah kerja pemerintahan desa dan ditetapkan dengan peraturan desa. Sebutan bagian wilayah kerja pemerintahan desa sebagaimana dimaksud merupakan penyesuaian dengan kondisi social budaya masyarakat setempat yang ditetapkan dengan peraturan desa.11 c. Pemerintah Desa Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.12 Pemerintah desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa, yakni terdiri atas Sekretaris Desa dan perangkat lainnya. Kepala Desa pada dasarnya bertanggung jawab kepada rakyat desa, yang dalam tata cara dan prosedur pertanggungjawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota, melalui Camat. Kepada BPD, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan 11 12 Peraturan pemerintah Republik Indonesia No 72 Tahun 2005 Tentang Desa Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokokpokok pertanggungjawabannya, namun tetap harus memberi peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut terhadap hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban yang dimaksud.13 Sekretaris Desa adalah Perangkat Desa yang bertugas membantu Kepala Desa dalam bidang tertib administrasi pemeritahan dan pembangunan serta pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Sekretaris Desa yang diangkat dengan sah sampai dengan 14 oktober 2004 dan masih melaksanakan tugas sampai dengan berlakunya peraturan pemerintah ini diangkat langsung menjadi PNS. Pengangkatan Sekeretaris Desa sebagai PNS khusus tahap pertama berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari 2007. 14 Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau yang disebut dengan nama lain adalah lembaga yang melakukan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis. Badan Permusyawaratan Desa merupakan badan permusyawaratan di tingkat Desa yang turut membahas dan menyepakati berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Dalam upaya meningkatkan kinerja kelembagaan di tingkat Desa, memperkuat kebersamaan, serta meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat, Pemerintah Desa 13 Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D, & Dadang Solihin, MA: Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2001, Hal.24-25. 14 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2007 dan/atau Badan Permusyawaratan Desa memfasilitasi penyelenggaraan Musyawarah Desa. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah forum musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk memusyawarahkan dan menyepakati hal yang bersifat strategis dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Hasil Musyawarah Desa dalam bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam keputusan hasil musyawarah dijadikan dasar oleh Badan Permusyawaratan Desa dan Pemerintah Desa dalam menetapkan kebijakan Pemerintahan Desa.15 BPD berfungsi menetapkan peraturan desa bersama dengan kepala desa dengan masukan dari aspirasi masyarakat. Anggota BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat, sedangkan pimpinan BPD dipilih dari dan oleh anggota BPD yang masa jabatannya adalah enam tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Anggota BPD ialah wakil penduduk desa bersangkutan.16 d. Keuangan dan Alokasi Dana Desa (ADD) Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik desa berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Keuangan desa tersebut terdiri atas pendapatan asli desa. Pendapatan asli desa yang meliputi: Hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil 15 Undang-Undang N0 6 Tahun 2014 Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D, & Dadang Solihin, MA: Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2001, Hal.27. 16 gotong royong, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota (desentralisasi), bentuan lain dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, termasuk pula hibah dan sumbangan dari pihak ketiga.17 Sumber pendapatan desa dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan oleh kepala desa bersama BPD dengan berpedoman pada APBD yang ditetapkan Bupati/Walikota. Dengan demikian, pada dasarnya, Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat desa. Kepala Desa harus menyampaikan pokok-pokok pertanggungjawabannya. Oleh karena itu, wewenangnya tidak boleh disalahgunakan. Keuangan desa merupakan semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Aspek hak dan kewajiban yang dimaksud meliputi pendapatan, belanja, pembiayaan dan pengelolaan keuangan. Dalam hal pendapatan desa memiliki hasil atas usaha aset, suadaya dan patisipasi, gotong royong, alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak daerah dan retrubusi daerah kabupatn/kota.18 Alokasi Dana Desa merupakan bagian dari perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota yang bersumber dari Belanja Pusat denga mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan. Alokasi Dana Desa paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) dari Dana Perimbangan yang diterima 17 18 Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D, & Dadang Solihin, MA, ibid., Hal. 27 Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D, & Dadang Solihin, MA, ibid., Hal. 27-28 Kabupaten/Kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setelah dikurangi dana alokasi khusus. Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/Kota kepada desa diberikan sesuai dengan kemampuan keuangan Pemerintah Desa yang bersangkutan. Bantuan tersebut diarahkan untuk percepatan pembangunan desa. Sumber pendapatan lain yang dapat diusahakan oleh desa berasal dari badan usaha milik desa, penglolaan pasar desa, pengelolaan kawasan wisata sekala desa, pengelolaan tambang mineral bukan logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber lainnya dan tidak untuk dijual belikan.19 Alokasi Dana Desa yang bertujuan untuk menciptakan pemerataan dalam penyediaan fasilitas publik dan pemerataan dalam pendapatan pada banyak daerah banyak mengalami hambatan hal ini dikarenakan sasaran dan prakteknya tidak bisa dicapai oleh setiap penduduk. Kemudian permasalahan Alokasi Dana Desa juga tidak terlepas dari pemahaman Pemerintah Daerah dalam hal pembagian distribusi alokasi dana desa maka dari itu banyak daerah hanya membagi rata kepada desa dalam menyerahkan penerimaan alokasi dana desa.20 2. Evaluasi Program Evaluasi program adalah metodologi untuk mempelajari kedalaman dan kebutuhan untuk pelayanan manusia dan apakah layanan ini digunakan, apakah 19 20 Deddy Supriady Bratakusumah, Ph.D, & Dadang Solihin, MA, ibid., Hal. 28 UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Desa layanan ini cukup intensif untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi, diidentifikasi dan sejauh mana layanan ini ditawarkan seperti yang direncanakan dan benar-benar tidak membantu dalam kebutuhan dengan biaya yang wajar tanpa efek samping yang tidak dapat diterima.21 Evaluasi program merupakan salah satu bentuk disiplin umum evaluasi yang meliputi penilaian, kontrol kualitas di bidang manufaktur, politik analisis, di antara kegiatan lain.22 Berbagai jenis evaluasi rancu dengan satu sama lain. Segala bentuk evaluasi menemukan nilai dan manfaat dari sesuatu, fokus, tujuan, dan metodologis berbeda: a. Jenis Umum Program Evaluasi Tujuan utama dari program evaluasi, baru saja dibahas, dapat dipenuhi dengan menggunakan beberapa jenis evaluasi program, yang utama melibatkan studi dari kebutuhan hasil proses dan efisiensi.23 b. Menilai Kebutuhan Peserta Program Evaluasi untuk mengidentifikasi dan mengukur tingkat kebutuhan yang tidak terpenuhi dalam suatu organisasi atau masyarakat. Menilai kebutuhan yang tak terpenuhi adalah langkah pertama dasar sebelum perencanaan program yang efektif dapat dimulai. Perencanaan Program melibatkan pertimbangan berbagai pendekatan alternatif untuk memenuhi kebutuhan. Dalam memilih beberapa 21 Emil J. Posavac, Program Evaluation: Methods and Case Studies, Pearson Education Limited 2014,Hal.1. 22 Scriven, di dalam Emil J. Posavac, program Evaluation, Ibid Hal. 2 23 Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal 6 alternatif pendekatan untuk memenuhi kebutuhan. Dalam memilih beberapa alternatif dan membantu orang lain, perencana terlibat dalam suatu bentuk evaluasi program, salah satu yang terjadi sebelum program. Hubungan yang erat antara perencanaan program dan evaluasi program ditunjukkan dalam judul jurnal perencanaan program dan evaluasi.24 Sebagai bagian dari penilaian kebutuhan, evaluator dapat memeriksa profil sosial ekonomi masyarakat, tingkat masalah sosial dalam masyarakat dan badanbadan masyarakat. Melalui kontak dekat dengan warga dan pemimpin setempat, evaluator dapat belajar mengenai aspek dari sebuah program yang mungkin berguna dan yang mungkin tidak dapat diterima sehingga menyarankan kebutuhan kritis yang tak terpenuhi. Kadang-kadang evaluator program yang percaya bahwa ada kebutuhan mendesak untuk rasa penentuan nasib sendiri atau pemberdayaan .25 c. Periksa Proses Pemenuhan Kebutuhan Setelah program telah dikembangkan dan dimulai, evaluator beralih ke tugas untuk mendokumentasikan sejauh mana implementasi telah terjadi. Sifat orang-orang yang dilayani dan tingkat mana program ini beroperasi seperti yang diharapkan. Kegiatan membuat program ini, seperti jam konseling, jumlah kelas diadakan jam polisi berpatroli, disebut "output". Evaluasi proses melibatkan asumsi yang dibuat saat program sedang direncanakan. Apakah kebutuhan disajikan atau komunitas apa yang diyakini selama perencanaan. Apakah ada 24 25 Fatterma dan Wandersman di dalam Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal 6-7 Ibid, Hal.6-7. bukti untuk mendukung penilaian kebutuhan perencanaan? Apakah kegiatan yang dilakukan oleh staf rencana untuk program ini? Apa bukti dapat menemukan bahwa mendukung asumsi teoritis yang dibuat oleh perencana program? Sangat penting untuk belajar bagaimana sebuah program benar-benar beroperasi sebelum layanan yang sama di lokasi tambahan atau dengan populasi lain. Di bawah situasi normal, informasi yang diperlukan untuk evaluasi proses dalam catatan sebuah lembaga mensponsori program: bagaimana informasi dapat direkam dengan cara yang sulit untuk digunakan. Misalnya informasi mengenai aplikasi formulir tidak diringkas dan catatan pelayanan aktual yang diterima mungkin tidak diizinkan di analisis. Selain itu kadang-kadang tidak ada catatanyang disimpan pada hari itu. Selain informasi kuantitatif, manfaat proses evaluasi dari wawancara terstruktur dengan orang yang menggunakan dan tidak menggunakan layanan ini. Informasi kualitatif seperti itu sering memberikan sudut pandang bahwa baik evaluator atau penyedia layanan telah dipertimbangkan.26 d. Ukur Hasil dan Dampak Program Jika studi implementasi menunjukkan bahwa program telah dilaksanakan dengan baik dan bahwa orang-orang tersebut mengamankan jasanya, pengukuran hasil program dapat menjadi fokus evaluasi. Evaluasi hasil dapat mengambil beberapa tingkat kompleksitas. Tingkat yang paling dasar menyangkut kondisi mereka yang telah menerima layanan: Apakah peserta program baik-baik? Apakah mereka memiliki keterampilan yang lain? Sebuah evaluasi yang lebih 26 Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal 7 menantang akan membandingkan kinerja mereka yang tidak menerima layanan. Evaluasi bahkan lebih menantang akan menunjukkan bahwa menerima layanan program menyebabkan perubahan yang lebih baik dalam kondisi mereka yang berpartisipasi dalam program.27 Manajer program berharap program mereka akan menimbulkan perubahan positif pada orang, penyebab perubahan perilaku yang sulit untuk dijabarkan. Misalnya banyak orang menjalani psikoterapi selama krisis kehidupan. Jika setelah beberapa bulan konseling mereka merasa baik, perubahan itu bisa jadi disebabkan oleh konseling resolusi alami krisis , atau sesuatu yang lain. Dalam sebuah perubahan prosedur lebih baik karena peningkatan efisiensi atau karena pekerja merasa manajement peduli tentang kesejahteraan mereka. Atau mungkin prospek ekonomi nasional yang membaik mengurangi kecemasan pekerja tentang kemungkinan kehilangan pekerjaan. Menemukan penyebab perubahan perilaku, teknik canggih organisasi harus kontinyu untuk menyediakan layanan evaluasi sedang dilakukan. Evaluator yang berpengalaman tidak terkejut dengan ketegangan ketika mengumpulkan informasi dan memberikan pelayanan. Selain keterbatasan pada pilihan desain penelitian, evaluator berusaha untuk menilai hasil dari sebuah program sering menemukan bahwa orang-orang yang mempunyai pendapat berbeda tentang apa kontiyunitas hasil yang sukses. Sebuah program pelatihan kerja pengangguran untuk belajar keterampilan kerja telah direncanakan sehingga mereka nantinya dapat memperoleh pekerjaan dengan perusahaan swasta. Pejabat kota dapat melihat pelatihan sebagai hadiah 27 Boruch di dalam Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal 7 bagi orang-orang yang telah bekerja dalam kampanye pemilihan kepala daerah dan peserta dapat melihat program sangat baik, meskipun pekerjaan sementara. Evaluator tidak akan mengadopsi salah satu pandangan ini dari hasil yang diinginkan dari program ini. Menilai pemeliharaan perbaikan menciptakan masalah lain ketika mengevaluasi hasil. Orang yang meninggalkan program rehabilitasi narkoba biasanya kembali ke komunitas yang sama yang memberikan kontribusi terhadap masalah mereka, pertama niat baik mereka, orang-orang yang dirawat karena kecanduan alkohol sering dapat pengaruh teman sebaya mereka. Mengubah perilaku lama sulit. Meskipun perubahan positif dapat diamati setelah partisipasi seseorang dalam sebuah program, perubahan mungkin hanya dangkal dan menghilang dalam hitungan bulan, minggu, atau hari.Jika demikian, adalah program gagal? Mengapa hasil positif memang terjadi, efeknya dapat mempengaruhi perilaku lain dan bahkan Meningkatkan kondisi orang lain (misalnya, anak-anak); hasil jangka panjang seperti itu disebut dampak".28 e. Kegiatan program evaluasi Kadang-kadang lebih mudah untuk memahami konsep ketika seseorang memahami konsep. Evaluasi program sering bingung dengan penelitian dasar. penilaian individu dan audit kepatuhan. Meskipun kegiatan ini sangat berharga, ketika pekerjaan evaluasi program dengan salah satu kegiatan lain evaluasi menjadi semakin sulit untuk melaksanakan. 28 Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal 7-8 Penelitian Dasar menyangkut pertanyaan teoritis tanpa memperhatikan kebutuhan informasi dari orang atau organisasi. Dengan evaluator program yang mengumpulkan informasi untuk membantu orang meningkatkan efektivitas mereka, untuk membantu administrator membuat keputusan tingkat program dan untuk memungkinkan pihak yang tertarik untuk meneliti efektivitas program. Evaluator, tentu saja, sangat tertarik pada teori-teori tentang mengapa layanan membantu pesertanya. Memahami teori membantu dalam program perencanaan dan variabel memilih untuk mengamati. Namun, memberikan kontribusi bagi pengembangan teori hanya dapat menjadi manfaat sisi menyenangkan dari evaluasi program. Hasil evaluasi harus relevan dengan kebutuhan jangka pendek atau manajer dan harus tepat waktu. Jika anggota staf program percaya bahwa evaluator mengumpulkan informasi primer ke server kepentingan penelitian kerjasama mungkin akan hilang. Anggota staf pelayanan manusia sering membingungkan evaluasi program dengan penilaian yang dibuat oleh psikolog pendidikan, pekerja personil dan nasihat psikolog yang mengelola kecerdasan, bakat, prestasi, minat dan tes kepribadian untuk tujuan mengevaluasi orang atau mengukur kualifikasi untuk pekerjaan atau promosi. Kegiatan ini bukan merupakan bagian dari karya seorang evaluator Program. Dalam evaluasi program, informasi tentang tingkat kinerja, prestasi pendidikan atau kesehatan mungkin akan dikumpulkan namun tujuannya adalah tidak untuk mendiagnosa orang, menentukan manfaat atau memilih siapa yang harus mempromosikan. Sebaliknya tujuannya adalah untuk seberapa baik sebuah program membantu orang meningkatkan nilai variabel tersebut. Terakhir, metode dan tujuan evaluasi program berbeda dari yang digunakan oleh auditor program yang memeriksa program yang disponsori pemerintah untuk memverifikasi bahwa mereka beroperasi sesuai dengan hukum dan peraturan. Jika apropriasi itu untuk pengayaan SD, menghabiskan dana untuk laboratorium sekolah tinggi merupakan penipuan. Jika 10.000 siswa dilayani, dokumentasi layanan dengan banyak anak harus tersedia. Evaluator Program khawatir bahwa program melayani jumlah hak anak, tetapi di samping itu, evaluator khususnya tertarik pada bagaimana layanan telah mempengaruhi anakanak. Pekerjaan auditor Program berkaitan erat dengan akuntansi, sedangkan evaluator program yang cenderung untuk mengidentifikasi dengan pendidikan dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Audit dan avaluator telah bergerak menuju satu sama lain dalam beberapa tahun terakhir karena tidak dapat memberikan gambaran yang lengkap dari program. Perubahan nama GAO dari Kantor Akuntansi Umum "menjadi" kantor Akuntabilitas pemerintah mengilustrasikan perubahan ini. Namun demikian, jika evaluator program yang berusaha untuk membantu program melakukan perbaikan adalah layanan mudah untuk membayangkan bahwa tujuan evaluator bisa disalahpahami.29 f. Berbagai jenis evaluasi program Evaluator yang sensitif terhadap kebutuhan anggota staf program dan sponsor menyadari bahwa ketika merancang sebuah evaluasi program, sudah pasti salah untuk menganggap bahwa "satu ukuran kepalan semua". Program berbeda 29 Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal 9-10 dalam banyak hal: Ada perbedaan besar di antara organisasi yang offter jasa, kebutuhan peserta program membutuhkan berbagai jenis layanan dan evaluasi yang diperlukan untuk program mulai dari upaya nasional yang kompleks melalui orang-orang yang ditawarkan oleh lembaga di satu lokasi.30 g. Tujuan evaluasi program Hanya ada satu tujuan keseluruhan untuk kegiatan evaluasi program: penyediaan layanan yang berkualitas kepada orang yang membutuhkan. Evaluasi program kontribusi untuk kualitas pelayanan dengan menyediakan umpan balik dari kegiatan program dan hasil bagi mereka yang bisa membuat perubahan dalam program atau yang memutuskan layanan yang akan ditawarkan. Tanpa umpan balik, program pelayanan manusia aktivitas apapun tidak dapat dilakukan. Proses tubuh kita memerlukan sistem umpan balik, sama, umpan balik pada perilaku dalam organisasi juga penting untuk keberhasilan dari umpan balik organisasi.31 h. Evaluasi dan Layanan Evaluator peran ilmuwan sosial perihatin dengan desain dari analisis data (tetapi untuk sebagian besar terlibat dengan pelayanan) dan peran praktisi berurusan dengan orang-orang yang membutuhkan (tapi sangat tertarik atau terlatih dalam metode pengumpulan data dan analisis). Evaluator dapat menggunakan bahasa dan alat-alat dari penelitian ilmuwan, namun mereka juga 30 31 Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal 10 Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal.,13 harus peka terhadap keprihatinan dan gaya staf pelayanan. Selain evaluator dipanggil untuk berkomunikasi dengan administrasi organisasi yang memiliki prioritas yang berbeda, seperti menyeimbangkan anggaran dan ekspansi layanan. Karena peran program evaluator masih cukup baru, ada kemungkinan bahwa evaluator akan kadang-kadang tampak keluar dari langkah dengan semua orang.32 Berpartisipasi dalam bidang baru seperti memiliki kelebihan dan kekurangan. Keuntungan meliputi stimulasi intelektual yang disediakan oleh paparan orang yang melayani berbagai peran dalam pengaturan layanan dan kepuasan melihat metode penelitian yang digunakan dalam cara yang dapat menguntungkan orang-orang. Alih-alih berkonsentrasi pada masalah, evaluator sensitif membuat manajer program dan staf memiliki kesempatan untuk berbicara tentang apa yang berjalan dengan baik dan apa yang bermanfaat dalam pekerjaan mereka, namun untuk menunjukkan nilai dan nilai program, evaluator yang efektif harus mengajukan pertanyaan yang menantang dan bersikeras bahwa jawaban didukung oleh data.33 Satu saja kadang-kadang bahkan evaluator paling terampil akan berkonflik dengan organisasi. Salah satu awal evaluasi khawatir bahwa ancaman evaluasi akan membuat tidak mungkin untuk mengumpulkan data validitas untuk menarik kesimpulan yang berguna. Sebaliknya pengamat yang lain memprediksi bahwa anggota staf mereka akan lebih sering menggunakan metode evaluasi untuk mengembangkan perbaikan dalam program. Ketika sistem evaluasi dalam cara 32 33 Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal.,18 Preskill dan Coghlan di dalam Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal.,18 yang jelas membedakan antara informasi untuk (1) tujuan perbaikan program dan (2) tujuan penilaian kinerja individu untuk kenaikan gaji, konflik antara evaluasi, pelayanan, dan administrasi dapat diminimalisasi. Itu belum terjadi tapi ketika evaluasi manajemen program dan semua setuju bahwa peningkatan program ini mungkin diinginkan potensi konflik akan berkurang34 Djudju Sudjana menjelaskan bahwa evaluasi program bukanlah kegiatan untuk menetapkan baik buruknya suatu program karena kegiatan tersebut termasuk pada keputusan (judgement). Evaluasi program bukan kegiatan untuk mengukur karakteristik unsur–unsur program, seperti komponen, proses, dan hasil program, sebab kegiatan itu lebih tepat apabila dikategorikan kedalam pengukuran (measurement). Secara singkat, dapat dikemukakan bahwa evaluasi program bukan kegiatan untuk mencari kesalahan orang lain atau lembaga, mengetes dan mengukur, atau memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan program.35 Pendapat (Mugiadi.1980) terhadap pengertian evaluasi program yang terdapat dalam buku Djudju Sudjana bahwa evaluasi program adalah upaya pengumpulan informasi mengenai suatu program, kegiatan, atau proyek. Informasi tersebut berguna bagi pengambilan keputusan, antara lain untuk memperbaiki program, menyempurnakan kegiatan program lanjutan, menghentikan suatu kegiatan, atau menyebarluaskan gagasan yang mendasari suatu program atau kegiatan. Informasi yang dikumpulkan harus memenuhi 34 Emil J. Posavac, Program Evaluation: Ibid., Hal 18 Prof.Djudju Sudjana,M.Ed.,Ph.D, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, PT Remaja Rosdakarya Bandung 2008, Hal.17-18. 35 persyaratan ilmiah, praktis, tepat guna, dan sesuai dengan nilai yang mendasari dalam setiap pengambilan keputusan.36 Djudju Sudjana menyebutkan pengelompokan model model evaluasi program, terdiri dari enam kategori yaitu:37 1. Evaluasi Terfokus pada Pengambilan Keputusan Evaluasi ini diarahkan untuk menghimpun, mengolah, dan menyajikan data sebagai masukan untuk pengambilan keputusan. Model evaluasi ini digunakan berkaitan dengan upaya: a. Menentukan tipe keputusan yang akan diambil. b. Mengidentifikasi urutan program yang akan dievaluasi. c. Menyusun pertanyaan dan jawaban. d. Menentukan kriteria keberhasilan. Jenis-jenis model evaluasi program yang termasuk ke dalam kategori ini adalah: 1. Evaluasi program yang terpusat untuk pengambilan keputusan (Stufflebeam; Phi Delta Kappa). Model evaluasi ini dilakukan untuk mengidentifikasi empat unsur programyaitu konteks, masukan, proses, dan hasil (Contex, Input, Process, and Product atau CIPP) yang berkaitan dengan empat macam keputusan tentang perencanaan, struktur pelaksanaan, dan pendauran program. 36 Mugiadi di dalam Prof.Djudju Sudjana,M.Ed.,Ph.D, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Ibid, Hal.,21 37 Prof.Djudju Sudjana,M.Ed.,Ph.D, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Ibid, Hal.,51-53 2. Evaluasi perbedaan tahapan program (Tripodi, Fellin, dan Epstein). Contohnya, mengidentifikasi kriteria yang perlu digunakan dalam menyusun tiga tahapan program yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. 3. Evaluasi kesenjangan program (Provus). Contohnya, mengidentifikasi standart prosespelaksanaan dan hasil suatu program, serta menggambarkan kesenjangan dalam pelaksanaan program dengan membandingkan kenyataan yang ada sekarang dengan standar yang telah ditentukan sebelumnya. 4. Evaluasi tentang prioritas program (Boyle). Contohnya, menggambarkan kriteria yang dianggap penting dalam menentukan alternatif prioritas kebutuhan dan prioritas program. 5. Evaluasi perkembangan (Lindvall dan Cox; Lamrock, Smith, dan Waren). Contohnya, menggambarkan proses yang digunakan untuk mengembangkan prototipe program yang akan diterapkan dalam berbagai waktu dan situasi tertentu di masa yang akan datang. 6. Evaluasi sarana dan prasarana (Glas; Crane dan Abt). Contohnya, evaluasi tentang pedoman untuk memilih fasilitas dan alat-alatyang digunakan dalam pelaksanaan program. Contohnya, menyediakan suatu ringkasan penjelasan mengenai hasil tanggapan yang dihimpun dari masyarakat. 2. Evaluasi Unsur-unsur Program Penggunaan evaluasi program ini antara lain untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan program terhadap keputusan kebijakan publik, sistem manajemen, dan pendekatan kelembagaan yang menekankan pendekatan kemanusiaan. Jenis-jenis model evaluasi program yang temasuk kategori ini adalah : a. Model evaluasi pelaksanaan dan pengaruh program. Contohnya, evaluasi untuk mengidentifikasi pelaksanaan suatu program yang sistemik, sebagai implementasi kebijakan sosial (social policy), dan pengaruhnya bagi masyarakat. b. Model komponen aktual. Contohnya menggambarkan suatu sistem dengan menganalisis suatu program. c. Sistem pengelolaan program melalui Program Evaluation and Review Technique (PERT), organisasi sebagai sistem yang menyeluruh, Model Sistem Makro, Model Sistem dalam Penyusunan Tujuan, sistem kontakdalam program, Sistem manajemen Informasi (SEMIS), Evaluasi Program Pengambilan Keputusan (Hesseling). d. Sistem Sosial Organisasi melalui Model Sistem Sosial, Model-model Organisasi, dan model motivasi. Contohnya, mengevaluasi berbagai model sosial organisasi dengan menitikberatkan pada unsur manusianya.38 3. Evaluasi Jenis dan Tipe Kegiatan 38 Prof.Djudju Sudjana,M.Ed.,Ph.D, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah., Ibid, Hal 57-59 Model ini mencakup jenis-jenis data dan tipe-tipe kegiatan yang digunakan dalam evaluasi program, serta meliputi: a. Model Kelayakan Evaluasi. Contohnya, mengidentifikasi tiga kategori data utama dalam program pengelolaan program (perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi) dan empat jenis data (konteks, masukan,proses, dan produk) yang dapat digunakan dalam menyusun kesimpulan hasil evaluasi untuk digunakan lebih lanjut. b. Model Peranan Sistem. Contohnya, mengategorikan data yang akan digunakan dalam mengevaluasi unsur-unsur program sistematik. c. Model Hirarki antara Proses dan Tujuan. Contohnya, menjelaskan berbagai jenis data untuk menilai tingkatan hubungan timbal balik antara proses dan hasil program. d. Model Kontinuitas Kerja Mandiri. Contohnya, menyusun sistematika langkah pengumpulan jenis-jenis data yang dilakukan oleh penyelenggara program dan untuk mengidentifikasi saat keterlibatan ahli dalam penyusunan program.39 4. Evaluasi Pelaksanaan Program Fokus model-model yang termasuk dalam kategori ini adalah evaluasi terhadap berbagai proses pelaksanaan program. Sebagian model berhubungan dengan proses evaluasi lanjutan terhadap pelaksanaan program. Enam model yang termasuk ke dalam kategori ini adalah sebagai berikut : 39 Prof.Djudju Sudjana,M.Ed.,Ph.D, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Ibid, Hal.,6263. a. Model Appraisal. Contohnya, model ini menitik beratkan pada peranan keputusan yang disusun oleh tenaga profesional. b. Pengelolaan Data. Contohnya, penyajian pedoman untuk mengkuantifikasi data. c. Model Proses secara Alamiah. Contohnya, menjelaskan bagaimana model appraisal dan data kuantitatif dapat digabungkan dengan proses pengambilan keputusan. d. Evaluasi Monitoring. Contohnya, upaya yang menunjukkan cara penggunaan evaluasi selama pelaksanaan itu sesuai dengan rencana. e. Evaluasi Perkembangan. Contohnya, penggunaan appraisal untuk menstimulasi perkembangan program. f. Evaluasi Transaksi. Contohnya, evaluasi yang menekankan pada hubungan kemanusiaan bagi mereka yang terlibat dalam proses evaluasi untuk membantu perubahan.40 5. Evaluasi Pencapaian Tujuan Khusus Program Kegunaan model evaluasi ini adalah: a. Dengan menggunakan tujuan-tujuan khusus program sebagai titik berat pencapaian hasil maka keseluruhan kegiatan evaluasi program akan lebih efisien. b. Penekanan pencapaian tujuan khusus akan membantu pengelola program meningkatkan kecakapan dalam mengidentifikasi tentang tujuan-tujuan mana yang masuk akal pada situasi perencanaan program dan dalam 40 Prof.Djudju Sudjana,M.Ed.,Ph.D, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Ibid, Hal.,65-66 mengembangkan kecakapan dalam menggunakan tujuan-tujuan khusus sebagai langkah penting dalam perencanaan program.41 6. Evaluasi Hasil dan Pengaruh Program Model ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Evaluasi Bebas terhadap Tujuan. Contohnya, membandingkan hasil yang telah dicapai dengan kebutuhan yang telah diidentifikasi dan dinyatakan, sebagai tolak ukur dalam upaya menentukan efektivitas program. b. Wilayah Hasil Program. Misalnya, mengidentifikasi tiga sumber informasi tentang hasil dan alat pengumpulan data yang dapat digunakan dalam menentukan efektivitas program. c. Model Perubahan Berganda. Contohnya, mengidentifikasi berbagai cara untuk mengetahui efektivitas perubahan d. Dimensi Efektivitas Program. Contohnya, mengklasifikasi jenis-jenis hasil program yang diharapkan dapat dicapai dalam program pembangunan masyarakat dan dalam mendata sumber-sumber informasinya. e. Efektivitas Metode. Misalnya, menyajikan berbagai contoh penggunaan data hasil program untuk menguji kesahihan metode-metode penyusunan program. f. Evaluasi Pengaruh Program. Contohnya, menyajikan pengaruh program secara berlanjut dalam jangka panjang. g. Kebijakan Umum. Contohnya, menyajikan kerangka untuk melihat hubungan antara penyusunan program dengan kebijakan umum. 41 Prof.Djudju Sudjana,M.Ed.,Ph.D, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Ibid, Hal.,69 h. Evaluasi Institusional. Contohnya, menyediakan kerangka acuan evaluasi. i. Indikator-indikator Sosial. Contohnya, menggunakan indikator-indikator sosial sebagai alat untuk mengukur kemajuan masyarakat. j. Model-model Riset. Contohnya, meninjau kembali model-model tradisional yang digunakan dalam evaluasi hasil. k. Pengujian Efisiensi. Contohnya, mengidentifikasi peranan costbenefit analysis yang berkaitan dengan hasil-hasil program. l. Akuntabilitas (Accountability). Contohnya, menyajikan konsep pemanduan dan identifikasi aktivitas yang berhubungan antara satu dengan yang lainnya. m. Model Pembiayaan Perubahan. Contohnya, biaya perubahan, analisis efektivitas biaya, dan analisis keuntungan pembiayaan.42 Dari berbagai model evaluasi tersebut, penulis memilih model evaluasi CIPP ini sebagai model dalam penelitian karena model evaluasi ini diarahkan untuk menghimpun, mengolah, serta menyajikan data sebagai masukan untuk pengambilan keputusan guna memperbaiki dan mengembangkan program dengan menggunakan empat (4) sasaran penilaian yaitu konteks, masukan, proses, dan produk. Dengan 4 sasaran penilaian tersebut dapat mempermudah penulis dalam mengetahui pelaksanaan suatu program, serta sangat membantu untuk memprbaiki dan mengembangkan program. 42 Prof.Djudju Sudjana,M.Ed.,Ph.D, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Ibid, Hal.,72-74 Djudju Sudjana, menjelaskan bahwa evaluasi konteks (Contex) program menyajikan data tentang alasan-alasan untuk menetapkan tujuan-tujuan program dan prioritas tujuan. Evaluasi ini menjelaskan mengenai kondisi lingkungan yang relevan, menggambarkan kondisi yang ada dan diinginkan, dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan lingkungan. Dalam evaluasi masukan (Input), menyediakan data untuk menentukan bagaimana penggunaan sumber-sumber yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan program. Hal ini berkaitan dengan relevansi, kepraktisan, pembiayaan (dana), efektifitas yang dikehendaki, dan alternatifalternatif yang dianggap unggul. Evaluasi proses (Proccess) ini menyediakan umpan balik yang berkenaan dengan efisiensi pelaksanaan program, termasuk didalamnya pengaruh sistem dan keterlaksanaannya. Evaluasi ini mendeteksi atau memprediksi kekurangan (hambatan) dalam rancangan prosedur kegiatan dan program pelaksanaannya. Evaluasi produk (Product) mengukur dan mengintepretasikan pencapaian program selama pelaksanaan program dan pada akhir program. Penulis menyederhanakan model evaluasi CIPP tersebut sebagai berikut: Model evaluasi CIPP ini mengidentifikasikan 4 tipe evaluasi program yang berkaitan dengan a). Evaluasi Konteks (Contex) program yang meliputi evaluasi tujuan dari pelaksanaan program dan sasaran pelaksanaan program, b). Evaluasi Masukan (Input) meliputi evaluasi kondisi kelompok sasaran, latar belakang pelaksana program, sarana dan prasarana program, dana pelaksanaan program, c). Evaluasi Proses (Process) terdiri dari evaluasi tentang pelaksanaan (keberhasilan dan hambatan) program, d). Evaluasi Produk (Product) mengevaluasi tentang dampak pelaksanaan program.43 F. Definisi Konsepsional 1. Dana Desa Dana Desa merupakan bagian dari penerimaan oleh desa dari Kabupaten/Kota yang bersumber dari belanja pusat dengan upaya merealisasikan program berbasis desa secara merata dan berkeadilan. 2. Program Alokasi Dana Desa Program Alokasi Dana Desa adalah kegiatan yang dilakukan oleh desa yang berorientasi pada pembangunan baik itu infrastruktur maupun suprastruktur dengan upaya mengefektifkan segala kebutuhan pada ruang lingkup desa. 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program alokasi dana desa yaitu; konteks adalah reliatas empirik masyarakat dan lingkungan, masukan merupakan evaluasi dalam pelaksanaan, proses merupakan tahapan pelaksanaan program (keberhasilan dan hambatan) dan produk adalah hasil dari pelaksanaan program alokasi dana desa (ADD). G. Definisi Operasional 43 Prof.Djudju Sudjana,M.Ed.,Ph.D, Evaluasi Program Pendidikan Luar Sekolah, Ibid, Hal.,74-75 Definisi operasional merupakan perubahan konsep-konsep yang berupa operasionalisasi dalam bentuk kata-kata yang menggambarkan perilaku atau gejala yang dapat diamati dan dapat diuji. Evaluasi program alokasi dana desa (ADD) dalam aspek pemberdayaan masyarakat agar mampu berperan serta secara aktif dalam pembangunan infrastruktur dan suprastruktur. Menggunakan model CIPP (Contex, Input, Process, and Product). Hal-hal yang akan dievaluasi oleh Penulis sebagai berikut : 1. Evaluasi Konteks (Contex) Hal-hal yang akan Penulis evaluasi berkaitan dengan konteks : a. Tujuan pelaksanaan b. Sasaran (Desa Kabupaten Natuna) 2. Evaluasi Masukan (Input) Hal-hal yang akan Penulis evaluasi berkaitan dengan input a. Dana pelaksanaan program 3. Evaluasi Proses (Process) Hal-hal yang akan Penulis evaluasi berkaitan dengan Proses a. Pelaksanaan program alokasi dana desa (ADD) b. Hambatan dalam pelaksanaan program 4. Evaluasi Produk (Product) Hal yang akan Penulis evaluasi berkaitan dengan Produk: a. Dampak pelaksanaan Program dari alokasi dana desa (ADD) b. Hasil Program Alokasi Dana Desa (ADD) H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif dengan penjelasan yang bersifat kualitatif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti sekelompok manusia, suatu objek, suatu satuan kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu peristiwa.44 Penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tetap sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, frekuensi atau penyebaran suatu gejala dengan adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain dalam masyarakat. Adapun penjelasan yang bersifat kualitatif adalah data yang muncul berwujud kata-kata yang disusun ke dalam suatu teks yang diperluas dan bukan rangkaian angka.45 2. Unit Analisis Penelitian ini dilakukan oleh penulis dengan memilih Kabupaten Natuna sebagai objek penelitian yang terletak di Kepulauan Riau. Dipilihnya Kabupaten Natuna sebagai tempat dalam penelitian ini dikarenakan berjalannya program alokasi dana desa seperti pembangunan infrastruktur dan pengembangan kegiatan organisasi pada tingkatan desa. 44 45 Nasir Mohammad, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, Hal.63. Miles Matew B, Analisis Data Kualitatif, UI Press, Jakarta, 1992, Hal.15. 3. Jenis Data a. Data Primer Data Primer adalah data dan informasi yang diperoleh melalui keterangan dari pihak-pihak yang kompeten dan berpengaruh terhadap masalah-masalah yang ada dalam penelitian ini serta piha-pihak terkait didalam penelitian ini. Adapun pihak-pihak yang berkompeten ini adalah pihak atau individu yang mempunyai pengaruh di pemerintah Kabupaten Natuna. Tabel 1.1 Daftar Nama-nama Wawancara No Wawancara 1 Bupati Natuna 2 Sekretaris Daerah 3 Kepala BPKAD 4 Kepala Badan Perberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa 5 Kepala Desa 6 Sekretaris Desa 7 Masyarakat b. Data Sekunder Data sekunder merupakan data yang diperlukan oleh peneliti untuk melengkapi data primer yang didapat. Data sekunder berupa buku pedoman dan arsip-arsip yang berkenaan dengan upaya pemerintah Kabupaten Natuna. Table 1.2 Daftar Buku dan Dokumen No Buku / Dokumen 1 SK Bupati Tentang Alokasi Dana Desa 2 Laporan Pelaksanaan Program 3 Dana Pelaksanaan Program 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini digunkan tiga teknik meliputi: a. Wawancara Teknik ini dipergunakan untuk mendapatkan informasi secara lisan dari pada informan yang telah ditentukan. Pada penelitian ini akan dilakukan wawancara awal dengan keseluruhan informan, dari wawancara awal dapat dijadikan landasan untuk kemudian melakukan secara luas dan mendalam mengenai segala sesuatu informasi dengan mengajukan tangung jawab atau percakapan secara langsung. Adapun informan yang akan di wawancarai adalah Bupati, Sekretaris Daerah, Kepala BPKAD, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa, Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Masyarakat. b. Observasi Teknik observasi ini digunakan untuk memperoleh gambaran tempat penelitian, sejarahnya, keadaan penduduk dan pendapatnya tentang pelaksanaan program. Pelaksanaan teknik ini adalah dengan cara penelitian turun langsung ke dalam lingkungan subyek untuk membuat catatan lapangan yang dikumpulkan secara sistematis. c. Dokumentasi Melalui teknik ini mempelajari berbagai sumber data melalui laporan hasil penelitian, catatan, buku, agenda, surat kabar dan majalah. Tujuannya adalah untuk mencari kebenaran ilmiah secara umum sebagai landasan berpijak dalam menganalisa data dan menjawab permasalahan yang diajukan. 5. Teknik Analisa Data Dalam menganalisa data dan melakukan penelitian peneliti menggunakan analisa kualitatif. Pada penelitian kualitatif tidak perlu mencari sebab-akibat, tetapi berupaya memahami masalah atau menyimpulkan dari berbagai arti permasalahan sebagaimana disajikan oleh situasinya. Dalam hal ini situasinya disesuaikan dengan kebijakan pemerintah yang ada. Data diperoleh dari catatan laporan, dokumen pribadi, dokumen resmi, dan sebagainya untuk memperoleh keabsahan data penelitian di dalam hal ini yang berperan adalah Bupati Natuna, Sekretaris Daerah, Kepala BPKAD, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa, Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Masyarakat. Tahapan analisis dilakukan sebagai berikut: (a) data-data yang ada berdasarkan hasil wawancara dikumpulkan; (b) dilakukan triangulasi data; (c) hasil seluruh wawancara dipilih-pilah sesuai indikator penelitian yang telah ditetapkan; (d) data dideskripsikan dan dianalisis dengan teori yang ada.