30 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan tempat Penelitian berlangsung selama sembilan bulan sejak bulan Maret sampai dengan November 2009. Kegiatan penelitian lapangan dilakukan di P. Seram, merupakan Pulau terbesar di Provinsi Maluku dengan luas ±18.000 km2 (Gambar 2). Analisis tanah dan air dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanah (BPT) Bogor. Analisis spasial dilakukan di laboratorium Pemodelan Spasial dan Analisis Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB. diketahui, diidentifikasi Spesies tumbuhan yang tidak oleh ahli taksonomi dari Herbarium Bogoriense. Analisis isozim dikerjakan di laboratorum Biologi Tumbuhan PAU IPB. 3.2. Bahan dan peralatan Penelitian menggunakan potensi tumbuhan sagu yang tersebar di P. Seram provinsi Maluku. Pemetaan distribusi spasial menggunakan data citra Landsat-5 TM yang diperoleh dari BTIC Dataport BIOTROP Bogor, groundcheck ke lapangan menggunakan GPS. Prosesing dan analisis citra untuk menghasilkan peta menggunakan perangkat lunak komputer ERDAS Imagine ver. 9.1, ArcView Ver. 3.2, dan Microsoft Excell 2000. Pengolahan data spesies menggunakan Ecological Methodology (Krebs 1999). Untuk pengolahan data lingkungan abiotik dalam kaitannya dengan tumbuhan sagu digunakan perangkat lunak (software) SPSS ver.15 dan MINITAB ver. 15. Peralatan pengambilan parameter vegetasi yang dipergunakan yaitu pita meteran, kamera digital, data sheet, dan kantong sampel vegetasi. Peralatan untuk pengambilan sampel tanah dan air yaitu bor tanah, pH meter tanah, pH meter air, ring sampel, kantong sampel tanah, botol sampel air, dan pisau sampel tanah. Peralatan untuk mengukur iklim mikro berupa temperatur dan kelembaban udara relatif digunakan thermohigro meter, untuk mengukur sinaran surya digunakan lux meter (light meter). Selain itu dikumpulkan pula data iklim lokal seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban, yang diperoleh dari 30 Gambar 2. Peta lokasi penelitian P. Seram, Maluku 31 32 stasiun klimatologi Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah (MT). 3.3. Jenis data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder yang dikumpulkan merupakan data spasial berupa : a) citra landsat-5 TM zone 52S UTM WGS 84 sebanyak empat scene citra arsip, b) peta rupa bumi (RBI) P. Seram skala 1:250.000, dan c) peta land system Pulau Seram, dan data iklim. Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data vegetasi, iklim mikro, tanah, dan air. 3.4. Metode 3.4.1. Penelitian tahap I : Distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku 3.4.1.1. Penggabungan citra Data citra landsat yang dipergunakan berupa citra landsat-5 TM yang terdiri dari empat scene citra yaitu P107/R062, P107/R063, P108/R062 (direkam pada tanggal 16 Maret 2007), dan P109/R062 (direkam pada tanggal 27 Juli 2007). Data citra yang diperoleh telah terkoreksi secara geometrik, empat scene citra tersebut selanjutnya dilakukan penggabungan. Tahapan pelaksanaannya sebagaimana tersaji dalam Gambar 3. 3.4.1.2. Pemotongan citra Empat data citra yang telah tergabung mencakup P. Seram dan PulauPulau kecil disekitarnya, padahal cakupan wilayah penelitian hanya mencakup P. Seram saja, oleh karena itu dilakukan pemotongan untuk mendapatkan citra baru khusus P. Seram. Pemotongan citra ini dimaksudkan untuk efisiensi proses pelaksanaan pekerjaan selanjutnya. Citra yang berukuran besar memerlukan lebih banyak memori yang seringkali menghambat dalam proses pengolahannya. 33 Mulai Citra Landsat-5 TM Penggabungan Citra Pemotongan Citra / Pemilihan Wilayah Klasifikasi Terbimbing Tutupan Lahan ditolak Evaluasi Akurasi diterima Peta Distribusi Spasial Sagu Studi Autekologi Selesai Cek lapangan Gambar 3. Bagan alur penelitian distribusi spasial 3.4.1.3. Klasifikasi penutupan lahan Klasifikasi secara digital merupakan proses pengelompokkan pixel-pixel ke dalam kelas atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan pixel yang bersangkutan. Klasifikasi landcover dilakukan dengan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (supervised classification), yang dikelompokkan menjadi delapan kelas yaitu : 1) tumbuhan sagu, 2) semak belukar, 3) hutan 34 mangrove, 4) hutan primer, 5) bangunan/pemukiman, 6) badan air, 7) tanah terbuka, dan 8) kebun/tegalan. Prosedur pelaksanaan klasifikasi dilakukan dengan membuat traning area pada klaster untuk mewakili setiap landcover. Algoritma yang digunakan dalam klasifikasi terbimbing ini adalah algoritma Kemiripan Maksimum (maximum Likelihood Algorithm) yang merupakan algoritma yang paling banyak digunakan dalam proses klasifikasi. Asumsi penggunaan algoritma ini adalah objek homogen selalu menampakkan histogram yang berdistribusi normal. Di atas citra masing-masing kelas penutupan lahan mempunyai penampakan khas yang membedakan dengan kelas penutupan lahan lainnya. 3.4.1.4. Evaluasi akurasi Evaluasi akurasi dari hasil klasifikasi yang dibuat digunakan ukuranukuran akurasi yaitu : overall accuracy, producers accuracy (omission accuracy), dan users accuracy (commision accuracy). Ukuran-ukuran akurasi tersebut dapat diketahui dengan cara membuat matriks kontingensi atau sering disebut dengan matriks kesalahan (confusion matrix) (Jaya, 2007). Matriks kontingensi dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Matriks kontingensi untuk evaluasi akurasi Training A B C ... Area A B C ... Total Kolom User’s Acc X11 X11 X11 ... X+1 X11/X+1 X12 X22 X32 ... X+2 X22/X+2 X13 X23 X33 ... X+3 X11/X+1 ... ... ... ... ... ... Total Baris Prod’s Acc X1+ X2+ X3+ ... N X11/ X1+ X11/ X1+ X11/ X1+ ... Berdasarkan matriks kontingensi ditentukan tingkat akurasi yaitu : Producer’s Accuracy = User’s Accuracy = X ii x(100%) .…………………………………… Xi X ii x(100%) ………………………………………….. X i (1) (2) 35 r X ii Overall Accuracy = i 1 N x100% ……………………………………….. (3) 3.4.1.5. Pengecekan lapangan Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk pengecekan kebenaran klasifikasi, melalui penelusuran pada klaster sagu di setiap wilayah sampling dengan cara mengambil gambar dan tracking ordinat menggunakan GPS. 3.4.2. Penelitian tahap II : Studi autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Setelah peta distribusi spasial tumbuhan sagu diketahui, ditentukan wilayah yang menjadi lokasi pengambilan sampel. Penetapan wilayah sampel menggunakan metode Judgement/Purposive samplings yaitu penetapan sampel yang didasarkan pada luas sebaran sagu yang menempati 3 terbesar, pada tiga wilayah kabupaten di P. Seram yaitu Kabupaten SBB, MT, dan SBT. Disamping itu juga dengan pertimbangan letak wilayah sampling sesuai posisi mata angin (Utara-Selatan-Timur-Barat). Tahapan prosedur penelitian autekologi disajikan pada Gambar 4. Wilayah sampel terpilih selanjutnya ditetapkan sebagai berikut : 1. Wilayah sampel I : Luhu Kabupaten SBB. 2. Wilayah sampel II : Sawai Kabupaten MT. 3. Wilayah sampel III : Werinama Kabupaten SBT. Tahapan selanjutnya adalah melakukan penelusuran untuk pengamatan spesies sagu. Spesies sagu dibedakan berdasarkan klasifikasi sagu yang dipahami secara umum yaitu : 1) Metroxylon rumphii Mart., 2) Metroxylon sylvestre Mart., 3) M. Longispinum Mart., 4) M. microcanthum Mart., dan Metroxylon sagu Rottb. Petak sampel ditetapkan dengan menggunakan metode non-random sampling (penarikan contoh tak acak), secara beraturan (systematic sampling). Pemilihan metode ini karena memiliki beberapa keuntungan (Kusmana 1997) antara lain : 36 1. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada populasi. 2. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada populasi. 3. Dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan murah bila dibandingkan dengan metode sampling berpeluang, karena kurangnya waktu dan biaya untuk proses pemilihan dari satuan-satuan sampel. Distribusi spasial sagu Peta wilayah sampel Judgemen /Purposive sampling Metode sampling : Bentuk, ukuran, & cara penetapan Pengumpulan data Pengamatan spesies sagu Pengamatan vegetasi Identifikasi tbhn yang tak diketahui Studi biodiversitas Pengambilan contoh tanah Pengambilan contoh air Analisis sifat kimia & fisika Analisis sifat air Analisis Data : Analisis vegetasi, asosiasi, komponen utama Gambar 4. Prosedur penelitan autekologi Pengumpulan data iklim Analisis data iklim 37 4. Perjalanan (penjelajahan) antara satuan-satuan sampel yang berurutan adalah lebih mudah, karena adanya arah rintis yang jelas. 5. Ukuran populasi tidak perlu diketahui selama satuan-satuan sampel diletakan pada jarak yang beraturan setelah satuan sampel pertama ditentukan. 6. Pemetaan areal dapat dilakukan sekaligus di lapangan. Penempatan unit sampel pada masing-masing wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT sebagaimana tersaji pada Gambar 5. Jumlah petak pengamatan disesuaikan dengan luas wilayah sampel. Luas wilayah sampel I sekitar 250 ha, jumlah petak kuadrat yang dibuat sebanyak 36 petak. Wilayah sampel II luasnya sekitar 500 ha, jumlah petak kuadratnya 54. Luas wilayah sampel III sekitar 300 ha, jumlah petak kuadrat yang dibuat sebanyak 40 petak. Total petak pengamatan sebanyak 130 petak kuadrat. 3.4.2.1. Metode pengamatan vegetasi Dalam metode analisis vegetasi dikenal antara lain metode petak, mencakup metode petak tunggal dan petak ganda. Metode yang disebut terakhir salah satunya adalah metode petak ganda yang diletakkan secara sistematis (Kusmana 1997). Dalam metode ini ukuran petak kuadrat untuk vegetasi fase pohon berukuran 20 x 20 m2, tiang 10 x 10 m2, sapihan 5 x 5 m2, dan semai atau tumbuhan bawah 2 x 2 m2. Penetapan unit contoh sebagaimana tersaji pada Gambar 6. Pengamatan vegetasi meliputi jenis vegetasi, jumlah masing-masing vegetasi, intensitas ditemukan suatu jenis, dan ukuran proyeksi tajuk. Pengamatan ukuran proyeksi selanjutnya dimanfaatkan untuk menentukan luas tutupan tajuk masing-masing jenis vegetasi. Penetapannya dengan mengukur panjang jari-jari proyeksi tajuk dari pangkal batang suatu jenis sampai batas proyeksi tajuk. Luas tutupan ditetapkan dengan rumus : Luas tutupan tajuk = πr2 …………………………………………… dimana : π = 3,14 r = jari-jari proyeksi tajuk (4) 38 a b c Keterangan : Petak pengamatan Gambar 5. Penetapan petak sampel (a) wilayah sampel I Luhu Kab. SBB, (b) II Sawai Kab. MT, dan (c) III Werinama Kab. SBT 39 20m 2m Arah rintis semai sapihan 5m 10m tiang pohon 20m Gambar 6. Penempatan unit contoh 3.4.2.2. Pengamatan tumbuhan sagu Berkenaan dengan fokus penelitian ini lebih diarahkan pada tumbuhan sagu, maka dilakukan uraian khusus untuk itu. Walaupun tumbuhan sagu merupakan bagian dari vegetasi dalam komunitas sagu itu sendiri. Pengamatan tumbuhan sagu yang dimaksudkan disini adalah untuk menjelaskan tumbuhan sagu dalam konteks individu yang kemudian membentuk populasi. Variabel pengamatan yang diamati meliputi spesies tumbuhan sagu dan fase masingmasing spesies. Data hasil pengamatan dipergunakan untuk mengungkapkan struktur populasi tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram Provinsi Maluku. Pengamatan dilakukan pada petak kuadrat berukuran 20 m x 20 m. Kegiatan pengukuran atau pengamatan yang dilakukan meliputi : 1. Jumlah rumpun pada setiap unit contoh, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah rumpun setiap spesies sagu. Satu rumpun dianggap sebagai satu tanaman. 2. Jumlah individu per rumpun, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung jumlah individu per rumpun dengan memisahkan menjadi beberapa fase pertumbuhan. Penentuan fase pertumbuhan didasarkan pada kriteria yang dikembangkan BPPT (1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992) (Tabel 6). Pengamatan tumbuhan sagu pada masing-masing petak kuadrat yang disusun atau ditentukan secara sistematis, dipisahkan menurut tipe habitat. Pemisahan ini dimaksudkan untuk keperluan penetapan jumlah rumpun tiap-tiap jenis sagu, terkait dengan daya adaptasi sagu pada habitat tertentu. Makin banyak jumlah individu suatu jenis pada suatu tipe habitat, menggambarkan daya adaptasi yang kuat. Sebaliknya apabila jumlah populasi suatu individu rendah atau sedikit, maka daya adaptasi jenis sagu tersebut sempit. 40 Tabel 6. Fase pertumbuhan sagu No 1. Fase tumbuh Semai (seedling) Kriteria BPPT (1982) Tinggi batang bebas daun 0-0,5 m. Kriteria modifikasi Sejak mulai muncul anakan s/d tinggi batang bebas daun 0 m (terbentuk roset). 2. Sapihan (sapling) Tinggi batang bebas daun 0,5-1,5 m. Tinggi batang bebas daun 0-2 m. 3. Tiang (pole) Tinggi batang bebas daun 1,5-5,0 m. Tinggi batang bebas daun 2-5 m. 4. Pohon (trees) Tinggi batang bebas daun > 5 m. Tinggi batang bebas daun > 5 m. 5. Pohon Masak panen (harvesting) Masa primodia berbunga s/d terbentuk bunga/buah* Masa primodia berbunga s/d terbentuk bunga/buah. 6. Pohon veteran/melewati Masa berbuah sampai masak panen (post tumbuhan sagu mati* harvesting) Keterangan : * Sjachrul (1993). Masa berbuah sampai tumbuhan sagu mati* 3. Struktur populasi tumbuhan sagu. Pola pertumbuhan suatu organisme ditentukan oleh jumlah individu dalam setiap fase pertumbuhannya. Pola pertumbuhan ini selanjutnya mencerminkan parameter struktur populasi suatu organisme. Dalam kaitan ini, struktur populasi yang dimaksudkan adalah struktur populasi tumbuhan sagu. 4. Mekansime adaptasi sagu. Pengamatan parameter ini dilakukan dengan mencermati sifat pertumbuhan sagu untuk dapat beradaptasi dalam lingkungan atau habitat yang senantiasa tergenang. Suatu kondisi yang seringkali tidak baik untuk jenis tumbuhan tertentu. Dengan kata lain merupakan kondisi yang bersifat marjinal bagi sebagian jenis tumbuhan, artinya tumbuh-tumbuhan tertentu tidak dapat bertahan hidup atau pertumbuhannya terganggu pada kondisi yang tergenang itu. 5. Mekanisme pembentukan rumpun. Tumbuhan sagu pada umumnya dapat berkembangbiak atau memperbanyak individu melalui organ biji dan/atau anakan berupa stolon atau rhyzome. Mekanisme pembentukan rumpun yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pembentukan individu baru yang berasal dari rhyzome menjauh dari pangkal pohon induk, kemudian terpisah dari pohon induk membentuk rumpun sendiri. 41 6. Produksi pati sagu. Parameter ini ditetapkan dengan cara menimbang hasil panen per batang (pohon panen). Penimbangan dilakukan dengan cara menimbang pati sagu basah yang telah dimasukkan ke dalam wadah yang disebut ”tumang”. Kemudian dikoreksi dengan jumlah tumang pada setiap batang panen. Pada setiap tipe habitat diambil tiga batang untuk diukur besarnya produksi pati sagu. 3.4.2.3. Pengamatan faktor lingkungan a. Sifat-sifat tanah Pengamatan sifat tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengamatan vegetasi yaitu pada petak berukuran 20 x 20 m 2. Pengambilan sampel tanah dilakukan pada tiga titik secara diagonal sebagaimana tersaji dalam Gambar 7. Keterangan : = titik pengambilan sampel Gambar 7. Letak tempat pengambilan sampel dalam petak kuadrat Sampel tanah yang diambil dipisahkan menurut tipe habitat. Sifat-sifat tanah yang diamati meliputi sifat fisika dan kimia tanah. Terdapat sifat tanah yang ditentukan langsung di lapangan seperti pH tanah, sedangkan sifat tanah yang lain ditetapkan di laboratorium. Pengambilan sampel tanah untuk keperluan analisis kimia tanah dilakukan pada kedalaman 0-30cm dan 30-60cm. Penetapan kedalaman ini didasarkan pada hasil observasi pendahuluan, dimana didapatkan akumulasi sebaran perakaran sagu berada pada zone kedalaman 0 – 60 cm. Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat fisika tanah menggunakan ring sampel pada kedalaman antara 0-30 cm (top soil). Prosedur pengamatan sifat-sifat tanah sebagai berikut : 42 1. Sifat fisika tanah Pada setiap wilayah sampel diambil tiga sampel untuk setiap tipe habitat. Dengan demikian jumlah sampel yang digunakan untuk keperluan analisis dengan empat tipe habitat adalah sebanyak : 3 x 3 x 4 = 36 sampel. Sifat fisika tanah yang diamati dalam penelitian ini meliputi bulk density, partikel pasir, debu, liat, dan kelas tekstur. Analisisnya dilakukan di laboratorium BPT Bogor. 2. Sifat kimia tanah Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat kimia tanah dari tipe habitat yang sama dikompositkan, kemudian dari komposit tersebut diambil sebanyak tiga sampel untuk setiap tipe habitat. Dengan demikian jumlah sampel secara keseluruhan dari tiga wilayah sampel, empat tipe habitat, dua kedalaman, dan tiap habitat tiga sampel, jumlahnya sebanyak : 3 x 4 x 2 x 3 = 72 sampel. Sifat-sifat tanah yang dianalisis adalah sebagai berikut : a. pH, ditetapkan dengan menggunakan pH meter tanah, penetapannya dilakukan langsung di lapangan terutama untuk kedalaman 0-30 cm. Hasil pengukuran ini kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran di laboratorium pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm. Selain pH (H2O) dilakukan pula penetapan pH (KCl) untuk mengetahui pH potensial di lokasi penelitian. Penetapan pH (KCl) dilakukan di laboratorium. b. Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan unsur hara N, P, K, Ca, Mg, Fe, dan Al. Analisis sifat kimia tanah menggunakan metode standard pada BPT Bogor. b. Sifat air Sampel air diambil dari tipe habitat tergenang, yaitu tergenang temporer air tawar (T2AT), tergenang temporer air payau (T2AP), dan tergenang permanen (TPN). Sampe air diambil secara hati-hati dari bagian permukaan, bagian tengah, dan bagian bawah. Pada setiap petak sampel diambil tiga sampel secara diagonal, sama seperti pengambilan sampel tanah. Sampel dari tipe habitat yang sama kemudian dicampur untuk selanjutnya diambil tiga sampel pada setiap tipe 43 habitat. Dengan demikian, maka jumlah sampel secara keseluruhan dari tiga wilayah sampel, tiga tipe habitat, dan tiga sampel dari masing-masing habitat adalah sebanyak : 3 x 3 x 3 = 27 sampel air. Pengukuran variabel yang berkaitan dengan sifat air sebagian dilakukan di lapangan dan sebagian di laboratorium. Sifat-sifat air yang diamati yaitu : 1. pH, ditetapkan dengan menggunakan pH meter air. 2. Salinitas, ditetapkan dengan menggunakan salinitas meter atau refraktometer. 3. Pengambilan sampel air dengan cara memasukan air yang diambil dari bagian atas, tengah dan bagian dasar, kemudian dikompositkan untuk dilakukan analisis. Sifat air yang dianalisis yaitu : NO3-, NH4+, K+, Ca+, Mg+, dan PO4-. c. Data tipe iklim 1. Iklim mikro a. Temperatur dan kelembaban udara relatif disekitar rumpun sagu dikumpulkan dengan menggunakan thermohigro meter. Pengukuran dilakukan dengan cara menggantung thermohigro pada tongkat kayu setinggi satu meter dari permukaan tanah yang ditempatkan pada salah satu bagian dalam areal hutan sagu pada masing-masing wilayah sampel. Pada setiap wilayah sampel ditempatkan satu unit thermohigro. Pengamatan dilakukan pada pukul 07.30, 13.00, dan 17.00. Data ini kemudian di rata-ratakan untuk mendapatakan data harian. Temperatur dan kelembaban udara relatif ditetapkan dengan menggunakan rumus berikut : T RH t7.30 x2 t13.30 4 RH 7.30 x2 t17.00 RH13.30 4 ……………………………………… RH17.00 …………………………… (5) (6) Keterangan : T = temperatur udara (oC); RH = relative humidity atau kelembaban udara relatif (%) b. Intensitas sinaran surya di bawah tegakan sagu. Parameter ini diamati dengan menggunakan lux meter antara pukul 11.00 - 14.00. Data ini selanjutnya di rata-ratakan untuk mendapatkan data intensitas sinaran surya harian. 44 Pengamatan intensitas sinaran surya dilakukan pada dua titik untuk setiap wilayah sampel. Titik pertama terletak di antara rumpun sagu, sedangkan titik pengamatan yang kedua terletak di dekat rumpun atau tegakan pohon sagu pada jarak ± 1 meter. Di setiap wilayah sampel digunakan satu unit lux meter. Pengamatan variabel temperatur, kelembaban udara, dan intensitas sinaran surya dilakukan selama 4 bulan dengan periode pengamatan dua kali dalam seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Minggu. Waktu pengamatan pada 3 wilayah sampel dijadwalkan secara bersamaan. 2. Iklim lokal Selain dilakukan pengamatan parameter iklim mikro, dikumpulkan pula data iklim lokal meliputi curah hujan, temperatur, dan kelembaban udara relatif. Data iklim lokal ini diperoleh dari dua stasiun Klimatologi di P. Seram, yaitu stasiun Klimatologi Amahai Kabupaten MT dan stasiun Kairatu Kabupaten SBB. Data dari dua stasiun klimatologi ini mewakili dua tipe iklim di sebagian besar wilayah P. Seram, yaitu tipe iklim A diwakili oleh stasiun klimatologi Amahai dan tipe iklim B diwakili oleh stasiun klimatologi Kairatu. Semua data yang meliputi parameter iklim, tanah, dan kualitas air rawa yang berasal dari tiga wilayah sampel yaitu wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT selanjutnya dikompilasi untuk memperoleh data rataan. Data rataan inilah yang dipergunakan untuk menjelaskan menganai kondisi iklim (terutama iklim mikro), tanah, dan kualitas air rawa dalam komunitas sagu alami di P. Seram. 3.4.2.4. Analisis data a. Analisis Vegetasi Analisis vegetasi dilakukan dengan tahapan menghitung nilai kerapatan mutlak (KM), frekwensi mutlak (FM), dan dominasi mutlak (DM). Penetapannya dilakukan dengan menggunakan formula menurut Cox (2002) sbb : 45 Jumlah individu suatu spesies ……………………… (7) KM (i) = Jumlah total luas areal contoh Kerapatan mutlak spesies i KR (i) = x 100% ……………... (8) Kerapatan total seluruh spesies Jumlah petak contoh yang diduduki spesies i ………... FM (i) = (9) Jumlah banyaknya petak yang dibuat Frekwensi mutlak spesies i KR (i) = ……….. .… (10) ………………… (11) ……………. (12) x 100 % Frekwensi total seluruh spesies DM (i) = Jumlah penutupan spesies i Jumlah dominasi spesies i DR (i) = x 100 % Jumlah dominasi seluruh spesies Untuk menghitung Indeks Nilai Penting (INP) setiap spesies digunakan rumus sebagai berikut : INP = Kerapatan Relatif (KRi) + Frekwensi Relatif (FRi) + Dominasi Relatif (DRi) ……………………………………………. (13) Indeks nilai penting memiliki satuan mencapai 300 %, nilai persentasi yang melebihi 100 % adalah tidak lazim. Oleh karena itu disederhanakan menjadi Nisbah Jumlah Dominasi (NJD atau Summed Dominance Ratio = SDR). NJD ditetapkan dengan rumus : NJD INP (%) …………………………………………………… 3 (14) Penentuan indeks nilai penting atau NJD dilakukan untuk setiap wilayah sampel. Hasil analisis ini kemudian dikompilasi untuk mendapatkan data rataan nilai penting. Data inilah yang dipergunakan untuk menjelaskan mengenai dominasi vegetasi dalam komunitas sagu di P. Seram. Dalam kaitan dengan interpretasi hasil INP, maka nilai ini dimanfaatkan untuk dua kepentingan, yaitu : 1) 46 membandingkan INP tumbuhan sagu dan bukan sagu (non sagu), dan 2) menentukan spesies dominan, terutama spesies sagu dominan dalam komunitas sagu alami di P. Seram. b. Analisis asosiasi interspesifik Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan asosiasi antara spesies sagu dengan tumbuhan lain dalam komunitas sagu di P. Seram. Analisis dilakukan berdasarkan data kehadiran-ketidakhadiran (data biner) seluruh petak pengamatan pada tiga wilayah sampel, yaitu wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT secara sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh menganai asosiasi vevetasi dalam komuitas sagu di P. Seram. Khusus untuk spesies sagu dilakukan pada tingkatan klasifikasi terendah yaitu yaitu varietas/subvarietas menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997). Pengujian asosiasi interspesifik ditentukan melalui dua tahap uji yaitu 1) menentukan adanya asosiasi antar spesies secara simultan (menyeluruh), dan 2) mengukur kekuatan asosiasi diantara dua pasangan spesies. Seluruh rangkaian analisis asosiasi hanya dilakukan terhadap spesies penyusun utama, yaitu spesies yang memiliki INP ≥ 10 %. Tahapan analisis asosiasi interspesifik sebagai berikut : 1. Membuat matriks data mengenai kehadiran dan ketidakhadiran suatu spesies dalam sejumlah unit sampling (US). Kehadiran spesies yang diuji dinyatakan dengan 1, sedangkan ketidakhadirannya dinyatakan dengan nilai 0 (Tabel 7). Tabel 7. Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N unit sampling Sampling Unit (SU) Total Spesies Spesies (1) (2) (3) (...) (N) (1) 1 1 0 0 n1 (2) 1 0 1 1 n2 (3) 0 1 0 1 n3 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... (S) 0 0 1 1 ns Total SU T1 T2 T3 TN 47 2. Melakukan analisis asosiasi spesies secara simultan. Meskipun semua kombinasi pasangan spesies yang berasosiasi dihitung, namun mereka tidak akan bebas. Oleh karena itu Schluter (1984 dalam Ludwig and Reynolds 1988) mengusulkan suatu pendekatan baru yaitu menggunakan Variance Ratio (VR) yang diturunkan dari null association model untuk menguji keberartian (signifikansi) asosiasi secara simultan. Indeks asosiasi VR diturunkan dari data kehadiran-ketidakhadiran (Tabel 4). Tahapan analisisnya sebagai berikut : - Menghitung varians sampel total untuk keterdapatan S spesies dalam sampel menggunakan rumus : δT2 = S …………………………………………. pi 1 pi (15) i 1 dimana pi = ni/N - Melakukan pendugaan varians jumlah spesies total menggunakan rumus : ST2 = 1 N N pi T j t 2 …………………………………………. (16) j 1 Dimana t adalah rata-rata jumah spesies per sampel unit. - Menghitung Variance Ratio (VR) menggunakan rumus : VR = ST2/ δT2 ……...……………………………………….. (17) VR merupakan indeks asosiasi antar seluruh spesies. Kriterianya sebagai berikut : Bila : VR = 1 maka tidak ada asosiasi VR > 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi positif VR < 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi negatif 3. Melakukan analisis asosiasi spesies berpasangan menggunakan tabel kontingensi 2 x 2 (Tabel 8). Untuk mengetahui adanya asosiasi antara dua spesies digunakan rumus Chi-square (Ludwig and Reynolds 1988) dan Soegianto (1994) : X i2 ( Nilai observasi Nilai harapan) 2 Nilai harapan …………….. (18) Dimana X i2 merupakan penjumlahan semua sel pada tabel kontingensi 2 x 2. Nilai harapan dihitung sebagai berikut : 48 E(a) = mr ; N E(b) = ms ; N E(c) = nr ; N E(d) = ns N Selanjutnya uji statistik Chi-square menjadi : a E (a) E (a) X i2 2 ... d E (d ) E (d ) Tabel 8. Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies berpasangan Spesies B Ada Tidak ada Ada a b m = a+b Tidak ada c d n = c+d r = a+c s = b+d N = a+b+c+d Spesies A Keterangan : a = jumlah petak dimana spesies A dan spesies B ditemukan b = jumlah petak dimana terdapat spesies A, namun tidak terdapat spesies B c = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A, namun terdapat spesies B d = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A dan B N = jumlah total unit sampling (petak pengamatan) 2 dengan Setelah nilai X i2 diketahui, maka dibandingkan dengan dengan X tabel derajat bebas (df) = (r-1)(c-1), α = 0,05 (tingkat siginifikan 5 %). Karena pengujian dilakukan terhadap dua spesies berpasangan, maka df = 1. Dengan α 2 = 0,05 diperoleh X tabel = 3,84. Jika X 2 hitung > 3,84, maka hipotesis bahwa terdapat asosiasi antara spesies A dan B diterima, dan sebaliknya ditolak. 4. Menetapkan tipe asosiasi dengan kriteria sebagai berikut : Bila : a > E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat positif a < E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat negatif. 5. Menentukan kekuatan (tingkat) asosiasi. Analisis ini dimaksudkan untuk mengetahui besarnya tingkat asosiasi spesies yang berpasangan menggunakan indeks Jaccard (JI) (Ludwig and Reynolds 1988) dengan rumus : JI = a a b c ……………………………………………..... (19) 49 Nilai indeks Jaccard berkisar antara 0-1, nilai 0 setara dengan tidak ada asosiasi, dan 1 setara dengan tingkat asosiasi maksimum. Indeks Jaccard dipilih karena menurut Goodall (1973 dalam Ludwig & Reynolds 1988) merupakan indeks tidak bias (unbiased). c. Analisis komponen utama Dalam pertumbuhan sagu terdapat interaksi antara sagu dengan komponen abiotis. Komponen abiotis yang dimaksud adalah faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa. Untuk menjelaskan interaksi antara tumbuhan sagu dengan komponen abiotis, maka dilakukan dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Components Analysis / PCA) (Supranto 2004). Secara teknis analisis komponen utama merupakan suatu teknik mereduksi data/variabel menjadi lebih sedikit, tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian (keragaman) dari data awal. Reduksi data/variabel dilakukan dengan menggunakan statistik uji KMO (KaiserMeyer-Olkin) dan MSA (Measured sampling adequacy) dengan kriteria statistik >0,5. Salah satu output dari hasil analisis ini adalah diagram loading plot. Diagram ini digunakan untuk menjelaskan interaksi antar variabel melalui korelasi diantara variabel-variabel itu. Interpretasi sifat korelasi (positif dan negatif) tergantung sudut yang dibentuk oleh garis loading plot dua variabel. Apabila sudut yang terbentuk garis loading plot berbentuk lancip, maka korelasi bersifat positif. Jika sudut yang terbentuk tumpul, maka korelasinya bersifat negatif (Setiadi 1998). Korelasi yang bersifat positif mengandung pengertian bahwa apabila terjadi peningkatan suatu variabel, maka akan diikuti dengan peningkatan variabel pasangannya. Sebaliknya apabila korelasinya bersifat negatif, maka penambahan suatu variabel menyebabkan penurunan variabel yang lain. Dengan mempertimbangkan eigenvalues (akar ciri) sebagai skor PC (skor komponen) dan eigenvector (vektor ciri) dapat ditentukan besarnya kontribusi suatu faktor (Dewi 2005 dan Marzuki 2007). Dalam konteks ini dapat ditentukan kontribusi faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap habitat sagu. Habitat sagu yang dimaksudkan adalah berupa besarnya peran faktor-faktor tersebut di atas dalam menentukan, dapat tumbuh atau tidaknya sagu pada suatu tempat 50 (kesesuaian habitat sagu) di P. Seram. Melalui pendekatan ini dapat diketahui kontribusi masing-masing variabel pada setiap faktor terhadap habitat sagu. Dengan demikian dapat pula ditentukan total kontribusi setiap faktor terhadap habitat sagu. Dalam pertumbuhan sagu dengan komponen abiotis, dapat memunculkan pengaruh dari setiap faktor (iklim, tanah, dan kualitas air rawa) terhadap parameter sagu. Untuk menjelaskan pengaruh faktor tersebut dapat didekati dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Analisis ini merupakan pengembangan dari analisis komponen utama, dikombinansikan dengan analisis regresi klasik (Gasperz 1995). Dalam analisis regresi klasik, asumsi dasar yang harus dipenuhi, antara lain adalah tidak terdapat korelasi diantara variabel bebas (multikolinieritas). Dengan kata lain antara variabel yang satu dengan yang lain bersifat ortogonal (saling bebas). Dalam melakukan analisis dengan variabel banyak (multivariate) seringkali tidak dapat dihindari terjadinya multikolinieritas ini. Oleh karena itu pendekatan statistika yang sesuai adalah dengan menggunakan analisis regresi komponen utama (Principal Component Regression Model). Sebagaimana dalam analisis regresi pada umumnya, dikenal variabel bebas (X) dan variabel tak bebas (Y). Dalam kaitan itu, maka model ini dipergunakan untuk menguji pengaruh komponen abiotis iklim, tanah, dan kualitas air rawa. Faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa dijadikan sebagai variabel bebas, sedangkan variabel tak bebas parameter sagu yakni jumlah populasi rumpun (pertumbuhan) dan produksi pati sagu. Menurut Gaspersz (1995) model regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh variabel bebas terhadap variabel tak bebas, dilakukan analisis dengan model berikut : Y wo w1K1 w2 K 2 ..... wm K m v …………………………… (20) dimana : Y = variabel tak bebas Kj = vartiabel bebas komponen utama yang merupakan kombinasi linier dari semua variabel baku Z (j = 1, 2, …, m) wo = konstanta wj = parameter model regresi (koefisien regresi), (j = 1, 2, …, m) v = bentuk gangguan/galat. 51 Dalam proses analisis semua variabel bebas ditransformasi ke dalam variabel baku Z. Transformasi data ini diperlukan karena terdapat perbedaan satuan diantara variabel bebas. Transformasi data menggunakan rumus : Zi ( xi x si ) …………………………………………………. (21) dimana : Z i = variabel bebas ke-i dalam bentuk baku xi = variabel bebas ke-i dalam bentuk asli x = nilai rata-rata dari variabel bebas xi s i = simpangan baku (standard deviation) dari xi Setelah melalui proses komputasi secara aljabar, maka dapat dibentuk persamaan regresi dalam bentuk variabel asli ’X’, sebagai berikut : Y bo b1x1 b2 x2 ... bp x p …………………………………….. (22) dimana : Y = variabel tak bebas (dependent variable) xi = vartiabel bebas ke-i yang dispesifikasikan sejak awal, i = 1, 2,, …, p bo = konstanta (intersep) bi = koefisien regresi dari variabel ke-i, i = 1, 2, …, p. 3.4.3. Penelitian tahap III : Studi biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku Fokus studi ini dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu, karena diduga masih terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah spesies sagu yang terdapat di P. Seram Maluku, maupun istilah spesies yang banyak dianut di Indonesia. Dalam studi ini dilakukan pula kajian yang berkaitan dengan biodiversitas sagu berdasarkan tingkat keanekaragamannya. Secara teoritis atas dasar tingkatannya, keanekaragaman hayati terbagi atas tiga tingkatan yaitu : 1) keanekaragaman tingkat komunitas, 2) keanekaragaman tingkat spesies, dan 3) keanekaragaman tingkat genetik. Dalam hubungan itu, maka uraian mengenai keanekaragaman atau biodiversitas tumbuhan sagu disetarakan ke dalam tiga kategori tingkatan tersebut. Tahapan penelitian biodiversitas tersaji dalam Gambar 8. Dalam hubungannya dengan studi ini, maka tumbuhan sagu diletakkan pada tataran vegetasi, merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh bersama jenis tumbuhan 52 yang lainnya dalam suatu klaster atau komunitas. Dalam konteks ini komunitas tumbuhan sagu disepadankan dengan wilayah sampel, sehingga setiap wilayah sampel dianggap sebagai suatu komunitas. Kegiatan pengamatan yang dilakukan pada studi ini dikerjakan pada petak kuadrat. Ukuran petak pengamatan disesuaikan dengan fase pertumbuhan vegetasi. Untuk jenis vegetasi bawah (seedling) pengamatan dilakukan pada petak berukuran 2 m x 2 m, jenis perdu (sapling/sepihan) ukuran petak 5 m x 5 m, fase tiang 10 m x 10 m, dan fase pohon 20 m x 20 m. Pengamatan vegetasi meliputi : Pengamatan vegetasi Analisis Kemiripan Komunitas Pengamatan Spesies Analisis Keanekaragaman Spesies Klarifikasi Spesies Analisis Genetik (Isozim) Gambar 8. Tahapan studi biodiversitas tumbuhan sagu 1. Spesies tumbuhan, dilakukan di lapangan dengan menggunakan buku panduan identifikasi spesies. Untuk spesies yang tidak dapat diidentifikasi di lapangan diambil bagian tumbuhan (herbarium) untuk diidentifikasi di laboratorium. 2. Jumlah tiap spesies, untuk keperluan penentuan kerapatan spesies. 3. Kedapatan pada setiap unit contoh untuk menentukan frekwensi spesies. 3. Luas tutupan (coverage). Parameter ini dilakukan dengan cara mengukur panjang jari-jari tutupan tajuk vegetasi. Kemudian luas tutupan tajuk suatu spesies ditetapkan dengan menggunakan rumus pada persamaan-(4). Pengukuran ini dimaksudkan untuk menentukan dominasi spesies. 53 3.4.3.1. Biodiversitas komunitas Dalam rangka menjelaskan keanekaragam komunitas tumbuhan sagu di dalam wilayah P. Seram Maluku, maka didekati dengan menggunakan analisis kemiripan komunitas. Suatu wilayah sampel dianggap sebagai suatu komunitas sagu. Untuk menentukan kemiripan komunitas antara satu wilayah sampel dengan wilayah sampel yang lain, maka dilakukan analisis kemiripan komunitas menggunakan indeks similaritas (IS) (Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989). Penetapannya dengan menggunakan rumus berikut : IS 2w x100% (a b) ……………………………………………. (23) dimana : IS : Indeks similaritas (kemiripan) a : Jumlah nilai penting dari tegakan pertama b : Jumlah nilai penting dari tegakan kedua w : Jumlah nilai terkecil untuk masing-masing jenis di dalam kedua tegakan yang diamati Untuk menentukan tingkat kemiripan antar komunitas, dalam konteks ini antara satu komunitas sagu dengan komunitas yang digunakan kriteria sebagai berikut : kemiripan sangat tinggi bila IS > 75 %, kemiripan tinggi bila 50 % < IS < 75 %, kemiripan rendah bila 25 % < IS < 50 %, dan kemiripan sangat rendah bila IS < 25 % (Krebs 1999). 3.4.3.2. Biodiversitas spesies Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan keanekaragaman spesies pada setiap komunitas sagu. Pada setiap komunitas sagu dilakukan analisis untuk mengetahui keanekaragaman spesies di dalamnya. Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan biodiversitas spesies dalam komunitas sagu. Pendekatan yang dilakukan melalui indeks keanekaragaman Shannon (H’) untuk menjelaskan keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan sagu di P. Seram Provinsi Maluku dilakukan perhitungan nilai indeks keaneragaman Shannon-Wiener (H’). Penetapan nilai indeks Shannon ini menggunakan input data nilai penting pada setiap wilayah sampel sebagai suatu komunitas tumbuhan sagu. Besarnya nilai 54 indeks keanekaragaman spesies (Shannon-Wiener H’) ditetapkan dengan formula berikut ini (Ludwig dan Reynolds 1988) : H’ = - [(n.i/N)log(n.i/N)] …………………………………… (24) dimana : H’ : Indeks keanekaragaman n.i : nilai penting dari setiap jenis N : total nilai penting Secara teoritis nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) biasanya berkisar antara 0 - 7. Jika nilai H’ ≤ 1, maka keanekaragaman spesies vegetasi termasuk dalam kategori sangat rendah, jika 1 < H’ ≤ 2 termasuk dalam kategori rendah, jika 2 < H’ ≤ 3 termasuk dalam kategori sedang (medium), jika 3 < H’ ≤ 4 termasuk dalam kategori tinggi, dan jika H’ > 4, maka keanekaragaman spesies vegetasi termasuk dalam kategori sangat tinggi (Soegianto 1994). 3.4.3.3. Biodiversitas genetik Sifat genetik dilakukan melalui analisis molekuler. Untuk mempelajari variasi karakteristik genetik masing-masing jenis sagu dalam studi ini digunakan melalui analisis isozim. Dalam sistematika tumbuhan, isozim dimanfaatkan dalam membedakan spesies/varietas tanaman yang secara taksonomi sukar dibedakan hanya berdasarkan sifat morfologinya. Isozim sebagai penanda biokimia dapat digunakan sebagai identitas yang relatif stabil bagi suatu kultivar atau jenis tumbuhan. Isozim cukup akurat sebagai penanda biologi dalam membedakan satu individu dari individu lainnya dalam suatu populasi (Marzuki 2007). Menurut Hartana (2005) isozim atau isoenzim mempunyai bentuk polimorfik dalam suatu organisme atau spesies tanaman yang sama tetapi mengkatalisator reaksi metabolisme yang berbeda. Polimorfisme isozim berupa molekul-molekul protein yang berbeda fenotipenya dapat ditampakkan dalam bentuk pola pita yang berbeda dengan menggunakan elektroforesis gel pati yang diwarnai dengan pewarna yang spesifik untuk setiap enzim. Untuk keperluan analisis ini diambil beberapa helai daun muda yaitu daun ketiga dari pucuk tunas (leaf index). Daun-daun terpilih kemudian dimasukkan 55 dalam cool box yang berisi es kering untuk selanjutnya dilakukan analisis isozim di laboratorium. Pewarna enzim yang dipergunakan terdiri dari empat jenis enzim yaitu 1) enzim Aspartat Aminotransferase (AAT), 2) enzim Asam Phosphatase (ACP), 3) enzim Peroksidase (PER), dan 4) enzim Esterase (EST). Hasil analisis ini dipergunakan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu di P. Seram. Klarifikasi spesies dilakukan berdasarkan dua pandangan klasifikasi yang diketahui yaitu klasifikasi yang dianut oleh para ahli di Maluku atau di Indonesia pada umumnya, dikomparasi dengan sistem klasifikasi yang dikemukakan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997). Klarifikasi spesies sagu yang terdapat di P. Seram sebagaimana tertera dalam Tabel 9 berikut. Tabel 9. Spesies sagu yang terdapat di P. Seram, Maluku Sagu tuni Nama spesies secara umum* M. rumphii Mart. Nama spesies menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) Spesies Varietas Subvar. M. rumphii Mart. Micracanthum Becc. Tuni 2. Sagu Makanaru M. longispinum Mart. M. rumphii Mart. Micracanthum Becc. Makanaro 3. Sagu ihur M. sylvestre Mart. M. rumphii Mart. Sylvestre Becc. - 4. Sagu durirotan M. micracanthum Mart. M. rumphii Mart. Rotang Becc. - 5. Sagu molat M. sagu Rottb. M. sagu Rottb. Molat Becc. - No. Nama daerah 1. Sumber : * Haryanto dan Pangloli (1992), Louhenapessy (2006), Bintoro (2008), Rostiwati et al. (2008).