laporan kemajuan penelitian

advertisement
30
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan tempat
Penelitian berlangsung selama sembilan bulan sejak bulan Maret sampai
dengan November 2009. Kegiatan penelitian lapangan dilakukan di P. Seram,
merupakan Pulau terbesar di Provinsi Maluku dengan luas ±18.000 km2 (Gambar
2). Analisis tanah dan air dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanah (BPT)
Bogor.
Analisis spasial dilakukan di laboratorium Pemodelan Spasial dan
Analisis Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB.
diketahui, diidentifikasi
Spesies tumbuhan yang tidak
oleh ahli taksonomi dari Herbarium Bogoriense.
Analisis isozim dikerjakan di laboratorum Biologi Tumbuhan PAU IPB.
3.2. Bahan dan peralatan
Penelitian menggunakan potensi tumbuhan sagu yang tersebar di P. Seram
provinsi Maluku. Pemetaan distribusi spasial menggunakan data citra Landsat-5
TM yang diperoleh dari BTIC Dataport BIOTROP Bogor, groundcheck ke
lapangan menggunakan GPS. Prosesing dan analisis citra untuk menghasilkan
peta menggunakan perangkat lunak komputer ERDAS Imagine ver. 9.1, ArcView
Ver. 3.2, dan Microsoft Excell 2000. Pengolahan data spesies menggunakan
Ecological Methodology (Krebs 1999). Untuk pengolahan data lingkungan abiotik
dalam kaitannya dengan tumbuhan sagu digunakan perangkat lunak (software)
SPSS ver.15 dan MINITAB ver. 15. Peralatan pengambilan parameter vegetasi
yang dipergunakan yaitu pita meteran, kamera digital, data sheet, dan kantong
sampel vegetasi.
Peralatan untuk pengambilan sampel tanah dan air yaitu bor tanah, pH
meter tanah, pH meter air, ring sampel, kantong sampel tanah, botol sampel air,
dan pisau sampel tanah. Peralatan untuk mengukur iklim mikro berupa temperatur
dan kelembaban udara relatif digunakan thermohigro meter, untuk mengukur
sinaran surya digunakan lux meter (light meter). Selain itu dikumpulkan pula data
iklim lokal seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban, yang diperoleh dari
30
Gambar 2. Peta lokasi penelitian P. Seram, Maluku
31
32
stasiun klimatologi Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah (MT).
3.3. Jenis data
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder
yang dikumpulkan merupakan data spasial berupa : a) citra landsat-5 TM zone
52S UTM WGS 84 sebanyak empat scene citra arsip, b) peta rupa bumi (RBI) P.
Seram skala 1:250.000, dan c) peta land system Pulau Seram, dan data iklim.
Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data vegetasi, iklim mikro, tanah,
dan air.
3.4. Metode
3.4.1. Penelitian tahap I : Distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram,
Maluku
3.4.1.1. Penggabungan citra
Data citra landsat yang dipergunakan berupa citra landsat-5 TM yang
terdiri dari empat scene citra yaitu P107/R062, P107/R063, P108/R062 (direkam
pada tanggal 16 Maret 2007), dan P109/R062 (direkam pada tanggal 27 Juli
2007). Data citra yang diperoleh telah terkoreksi secara geometrik, empat scene
citra tersebut selanjutnya dilakukan penggabungan. Tahapan pelaksanaannya
sebagaimana tersaji dalam Gambar 3.
3.4.1.2. Pemotongan citra
Empat data citra yang telah tergabung mencakup P. Seram dan PulauPulau kecil disekitarnya, padahal cakupan wilayah penelitian hanya mencakup P.
Seram saja, oleh karena itu dilakukan pemotongan untuk mendapatkan citra baru
khusus P. Seram.
Pemotongan citra ini dimaksudkan untuk efisiensi proses
pelaksanaan pekerjaan selanjutnya. Citra yang berukuran besar memerlukan lebih
banyak memori yang seringkali menghambat dalam proses pengolahannya.
33
Mulai
Citra Landsat-5 TM
Penggabungan Citra
Pemotongan Citra /
Pemilihan Wilayah
Klasifikasi Terbimbing
Tutupan Lahan
ditolak
Evaluasi
Akurasi
diterima
Peta Distribusi Spasial Sagu
Studi Autekologi
Selesai
Cek lapangan
Gambar 3. Bagan alur penelitian distribusi spasial
3.4.1.3. Klasifikasi penutupan lahan
Klasifikasi secara digital merupakan proses pengelompokkan pixel-pixel
ke dalam kelas atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan
pixel yang bersangkutan. Klasifikasi landcover dilakukan dengan menggunakan
metode klasifikasi terbimbing (supervised classification), yang dikelompokkan
menjadi delapan kelas yaitu : 1) tumbuhan sagu, 2) semak belukar, 3) hutan
34
mangrove, 4) hutan primer, 5) bangunan/pemukiman, 6) badan air, 7) tanah
terbuka, dan 8) kebun/tegalan.
Prosedur pelaksanaan klasifikasi dilakukan dengan membuat traning area
pada klaster untuk mewakili setiap landcover. Algoritma yang digunakan dalam
klasifikasi terbimbing ini adalah algoritma Kemiripan Maksimum (maximum
Likelihood Algorithm) yang merupakan algoritma yang paling banyak digunakan
dalam proses klasifikasi.
Asumsi penggunaan algoritma ini adalah objek
homogen selalu menampakkan histogram yang berdistribusi normal. Di atas citra
masing-masing kelas penutupan lahan mempunyai penampakan khas yang
membedakan dengan kelas penutupan lahan lainnya.
3.4.1.4. Evaluasi akurasi
Evaluasi akurasi dari hasil klasifikasi yang dibuat digunakan ukuranukuran akurasi yaitu : overall accuracy, producers accuracy (omission accuracy),
dan users accuracy (commision accuracy). Ukuran-ukuran akurasi tersebut dapat
diketahui dengan cara membuat matriks kontingensi atau sering disebut dengan
matriks kesalahan (confusion matrix) (Jaya, 2007). Matriks kontingensi dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Matriks kontingensi untuk evaluasi akurasi
Training
A
B
C
...
Area
A
B
C
...
Total Kolom
User’s Acc
X11
X11
X11
...
X+1
X11/X+1
X12
X22
X32
...
X+2
X22/X+2
X13
X23
X33
...
X+3
X11/X+1
...
...
...
...
...
...
Total
Baris
Prod’s
Acc
X1+
X2+
X3+
...
N
X11/ X1+
X11/ X1+
X11/ X1+
...
Berdasarkan matriks kontingensi ditentukan tingkat akurasi yaitu :
Producer’s Accuracy =
User’s Accuracy =
X ii
x(100%) .……………………………………
Xi
X ii
x(100%) …………………………………………..
X i
(1)
(2)
35
r
X ii
Overall Accuracy =
i 1
N
x100% ………………………………………..
(3)
3.4.1.5. Pengecekan lapangan
Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk pengecekan kebenaran klasifikasi,
melalui penelusuran pada klaster sagu di setiap wilayah sampling dengan cara
mengambil gambar dan tracking ordinat menggunakan GPS.
3.4.2. Penelitian tahap II : Studi autekologi tumbuhan sagu di P. Seram,
Maluku
Setelah peta distribusi spasial tumbuhan sagu diketahui, ditentukan
wilayah yang menjadi lokasi pengambilan sampel. Penetapan wilayah sampel
menggunakan metode Judgement/Purposive samplings yaitu penetapan sampel
yang didasarkan pada luas sebaran sagu yang menempati 3 terbesar, pada tiga
wilayah kabupaten di P. Seram yaitu Kabupaten SBB, MT, dan SBT. Disamping
itu juga dengan pertimbangan letak wilayah sampling sesuai posisi mata angin
(Utara-Selatan-Timur-Barat).
Tahapan prosedur penelitian autekologi disajikan
pada Gambar 4. Wilayah sampel terpilih selanjutnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Wilayah sampel I
: Luhu Kabupaten SBB.
2. Wilayah sampel II : Sawai Kabupaten MT.
3. Wilayah sampel III : Werinama Kabupaten SBT.
Tahapan selanjutnya adalah melakukan penelusuran untuk pengamatan
spesies sagu. Spesies sagu dibedakan berdasarkan klasifikasi sagu yang dipahami
secara umum yaitu : 1) Metroxylon rumphii Mart., 2) Metroxylon sylvestre Mart.,
3) M. Longispinum Mart., 4) M. microcanthum Mart., dan Metroxylon sagu
Rottb.
Petak sampel ditetapkan dengan menggunakan metode non-random
sampling (penarikan contoh tak acak), secara beraturan (systematic sampling).
Pemilihan metode ini karena memiliki beberapa keuntungan (Kusmana 1997)
antara lain :
36
1. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total
parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada
populasi.
2. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total
parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada
populasi.
3. Dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan murah bila dibandingkan dengan
metode sampling berpeluang, karena kurangnya waktu dan biaya untuk proses
pemilihan dari satuan-satuan sampel.
Distribusi spasial
sagu
Peta wilayah
sampel
Judgemen /Purposive
sampling
Metode sampling :
Bentuk, ukuran, & cara
penetapan
Pengumpulan data
Pengamatan
spesies sagu
Pengamatan
vegetasi
Identifikasi tbhn
yang tak diketahui
Studi biodiversitas
Pengambilan
contoh tanah
Pengambilan
contoh air
Analisis sifat
kimia & fisika
Analisis
sifat air
Analisis Data :
Analisis vegetasi, asosiasi,
komponen utama
Gambar 4. Prosedur penelitan autekologi
Pengumpulan
data iklim
Analisis
data iklim
37
4. Perjalanan (penjelajahan) antara satuan-satuan sampel yang berurutan adalah
lebih mudah, karena adanya arah rintis yang jelas.
5. Ukuran populasi tidak perlu diketahui selama satuan-satuan sampel diletakan
pada jarak yang beraturan setelah satuan sampel pertama ditentukan.
6. Pemetaan areal dapat dilakukan sekaligus di lapangan.
Penempatan unit sampel pada masing-masing wilayah sampel I Luhu
Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT
sebagaimana tersaji pada Gambar 5.
Jumlah petak pengamatan disesuaikan
dengan luas wilayah sampel. Luas wilayah sampel I sekitar 250 ha, jumlah petak
kuadrat yang dibuat sebanyak 36 petak. Wilayah sampel II luasnya sekitar 500 ha,
jumlah petak kuadratnya 54. Luas wilayah sampel III sekitar 300 ha, jumlah petak
kuadrat yang dibuat sebanyak 40 petak. Total petak pengamatan sebanyak 130
petak kuadrat.
3.4.2.1. Metode pengamatan vegetasi
Dalam metode analisis vegetasi dikenal antara lain metode petak,
mencakup metode petak tunggal dan petak ganda. Metode yang disebut terakhir
salah satunya adalah metode petak ganda yang diletakkan secara sistematis
(Kusmana 1997). Dalam metode ini ukuran petak kuadrat untuk vegetasi fase
pohon berukuran 20 x 20 m2, tiang 10 x 10 m2, sapihan 5 x 5 m2, dan semai atau
tumbuhan bawah 2 x 2 m2. Penetapan unit contoh sebagaimana tersaji pada
Gambar 6. Pengamatan vegetasi meliputi jenis vegetasi, jumlah masing-masing
vegetasi, intensitas ditemukan suatu jenis, dan ukuran proyeksi tajuk.
Pengamatan ukuran proyeksi selanjutnya dimanfaatkan untuk menentukan luas
tutupan tajuk masing-masing jenis vegetasi. Penetapannya dengan mengukur
panjang jari-jari proyeksi tajuk dari pangkal batang suatu jenis sampai batas
proyeksi tajuk. Luas tutupan ditetapkan dengan rumus :
Luas tutupan tajuk = πr2 ……………………………………………
dimana : π = 3,14
r = jari-jari proyeksi tajuk
(4)
38
a
b
c
Keterangan :
Petak pengamatan
Gambar 5. Penetapan petak sampel (a) wilayah sampel I Luhu Kab. SBB, (b) II
Sawai Kab. MT, dan (c) III Werinama Kab. SBT
39
20m
2m
Arah rintis
semai
sapihan
5m
10m
tiang
pohon
20m
Gambar 6. Penempatan unit contoh
3.4.2.2. Pengamatan tumbuhan sagu
Berkenaan dengan fokus penelitian ini lebih diarahkan pada tumbuhan
sagu, maka dilakukan uraian khusus untuk itu.
Walaupun tumbuhan sagu
merupakan bagian dari vegetasi dalam komunitas sagu itu sendiri. Pengamatan
tumbuhan sagu yang dimaksudkan disini adalah untuk menjelaskan tumbuhan
sagu dalam konteks individu yang kemudian membentuk populasi. Variabel
pengamatan yang diamati meliputi spesies tumbuhan sagu dan fase masingmasing spesies.
Data hasil pengamatan dipergunakan untuk mengungkapkan
struktur populasi tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram
Provinsi Maluku. Pengamatan dilakukan pada petak kuadrat berukuran 20 m x 20
m. Kegiatan pengukuran atau pengamatan yang dilakukan meliputi :
1. Jumlah rumpun pada setiap unit contoh, pengamatan dilakukan dengan cara
menghitung jumlah rumpun setiap spesies sagu.
Satu rumpun dianggap
sebagai satu tanaman.
2. Jumlah individu per rumpun, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung
jumlah individu per rumpun dengan memisahkan menjadi beberapa fase
pertumbuhan. Penentuan fase pertumbuhan didasarkan pada kriteria yang
dikembangkan BPPT (1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992) (Tabel 6).
Pengamatan tumbuhan sagu pada masing-masing petak kuadrat yang disusun
atau ditentukan secara sistematis, dipisahkan menurut tipe habitat. Pemisahan
ini dimaksudkan untuk keperluan penetapan jumlah rumpun tiap-tiap jenis
sagu, terkait dengan daya adaptasi sagu pada habitat tertentu. Makin banyak
jumlah individu suatu jenis pada suatu tipe habitat, menggambarkan daya
adaptasi yang kuat. Sebaliknya apabila jumlah populasi suatu individu rendah
atau sedikit, maka daya adaptasi jenis sagu tersebut sempit.
40
Tabel 6. Fase pertumbuhan sagu
No
1.
Fase tumbuh
Semai (seedling)
Kriteria BPPT (1982)
Tinggi batang bebas daun
0-0,5 m.
Kriteria modifikasi
Sejak mulai muncul anakan
s/d tinggi batang bebas daun
0 m (terbentuk roset).
2.
Sapihan (sapling)
Tinggi batang bebas daun
0,5-1,5 m.
Tinggi batang bebas daun
0-2 m.
3.
Tiang (pole)
Tinggi batang bebas daun
1,5-5,0 m.
Tinggi batang bebas daun
2-5 m.
4.
Pohon (trees)
Tinggi batang bebas daun
> 5 m.
Tinggi batang bebas daun
> 5 m.
5.
Pohon Masak panen
(harvesting)
Masa primodia berbunga s/d
terbentuk bunga/buah*
Masa primodia berbunga s/d
terbentuk bunga/buah.
6.
Pohon veteran/melewati Masa berbuah sampai
masak panen (post
tumbuhan sagu mati*
harvesting)
Keterangan : * Sjachrul (1993).
Masa berbuah sampai
tumbuhan sagu mati*
3. Struktur populasi tumbuhan sagu. Pola pertumbuhan suatu organisme
ditentukan oleh jumlah individu dalam setiap fase pertumbuhannya.
Pola
pertumbuhan ini selanjutnya mencerminkan parameter struktur populasi suatu
organisme.
Dalam kaitan ini, struktur populasi yang dimaksudkan adalah
struktur populasi tumbuhan sagu.
4. Mekansime adaptasi sagu.
Pengamatan parameter ini dilakukan dengan
mencermati sifat pertumbuhan sagu untuk dapat beradaptasi dalam lingkungan
atau habitat yang senantiasa tergenang. Suatu kondisi yang seringkali tidak
baik untuk jenis tumbuhan tertentu. Dengan kata lain merupakan kondisi yang
bersifat marjinal bagi sebagian jenis tumbuhan, artinya tumbuh-tumbuhan
tertentu tidak dapat bertahan hidup atau pertumbuhannya terganggu pada
kondisi yang tergenang itu.
5. Mekanisme pembentukan rumpun.
Tumbuhan sagu pada umumnya dapat
berkembangbiak atau memperbanyak individu melalui organ biji dan/atau
anakan berupa stolon atau rhyzome. Mekanisme pembentukan rumpun yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah pembentukan individu baru yang berasal
dari rhyzome menjauh dari pangkal pohon induk, kemudian terpisah dari
pohon induk membentuk rumpun sendiri.
41
6. Produksi pati sagu. Parameter ini ditetapkan dengan cara menimbang hasil
panen per batang (pohon panen).
Penimbangan dilakukan dengan cara
menimbang pati sagu basah yang telah dimasukkan ke dalam wadah yang
disebut ”tumang”. Kemudian dikoreksi dengan jumlah tumang pada setiap
batang panen. Pada setiap tipe habitat diambil tiga batang untuk diukur
besarnya produksi pati sagu.
3.4.2.3. Pengamatan faktor lingkungan
a. Sifat-sifat tanah
Pengamatan sifat tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengamatan
vegetasi yaitu pada petak berukuran 20 x 20 m 2. Pengambilan sampel tanah
dilakukan pada tiga titik secara diagonal sebagaimana tersaji dalam Gambar 7.
Keterangan : =
titik pengambilan sampel
Gambar 7. Letak tempat pengambilan sampel dalam petak kuadrat
Sampel tanah yang diambil dipisahkan menurut tipe habitat. Sifat-sifat
tanah yang diamati meliputi sifat fisika dan kimia tanah. Terdapat sifat tanah
yang ditentukan langsung di lapangan seperti pH tanah, sedangkan sifat tanah
yang lain ditetapkan di laboratorium. Pengambilan sampel tanah untuk keperluan
analisis kimia tanah dilakukan pada kedalaman 0-30cm dan 30-60cm. Penetapan
kedalaman ini didasarkan pada hasil observasi pendahuluan, dimana didapatkan
akumulasi sebaran perakaran sagu berada pada zone kedalaman 0 – 60 cm.
Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat fisika tanah menggunakan ring sampel
pada kedalaman antara 0-30 cm (top soil). Prosedur pengamatan sifat-sifat tanah
sebagai berikut :
42
1. Sifat fisika tanah
Pada setiap wilayah sampel diambil tiga sampel untuk setiap tipe habitat.
Dengan demikian jumlah sampel yang digunakan untuk keperluan analisis dengan
empat tipe habitat adalah sebanyak : 3 x 3 x 4 = 36 sampel. Sifat fisika tanah yang
diamati dalam penelitian ini meliputi bulk density, partikel pasir, debu, liat, dan
kelas tekstur. Analisisnya dilakukan di laboratorium BPT Bogor.
2. Sifat kimia tanah
Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat kimia tanah dari tipe habitat
yang sama dikompositkan, kemudian dari komposit tersebut diambil sebanyak
tiga sampel untuk setiap tipe habitat. Dengan demikian jumlah sampel secara
keseluruhan dari tiga wilayah sampel, empat tipe habitat, dua kedalaman, dan tiap
habitat tiga sampel, jumlahnya sebanyak : 3 x 4 x 2 x 3 = 72 sampel. Sifat-sifat
tanah yang dianalisis adalah sebagai berikut :
a. pH, ditetapkan dengan menggunakan pH meter tanah, penetapannya dilakukan
langsung di lapangan terutama untuk kedalaman 0-30 cm. Hasil pengukuran
ini kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran di laboratorium pada
kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm. Selain pH (H2O) dilakukan pula penetapan
pH (KCl) untuk mengetahui pH potensial di lokasi penelitian. Penetapan pH
(KCl) dilakukan di laboratorium.
b. Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan unsur hara N, P, K, Ca, Mg, Fe, dan Al.
Analisis sifat kimia tanah menggunakan metode standard pada BPT Bogor.
b. Sifat air
Sampel air diambil dari tipe habitat tergenang, yaitu tergenang temporer
air tawar (T2AT), tergenang temporer air payau (T2AP), dan tergenang permanen
(TPN). Sampe air diambil secara hati-hati dari bagian permukaan, bagian tengah,
dan bagian bawah. Pada setiap petak sampel diambil tiga sampel secara diagonal,
sama seperti pengambilan sampel tanah. Sampel dari tipe habitat yang sama
kemudian dicampur untuk selanjutnya diambil tiga sampel pada setiap tipe
43
habitat. Dengan demikian, maka jumlah sampel secara keseluruhan dari tiga
wilayah sampel, tiga tipe habitat, dan tiga sampel dari masing-masing habitat
adalah sebanyak : 3 x 3 x 3 = 27 sampel air.
Pengukuran variabel yang berkaitan dengan sifat air sebagian dilakukan di
lapangan dan sebagian di laboratorium. Sifat-sifat air yang diamati yaitu :
1. pH, ditetapkan dengan menggunakan pH meter air.
2. Salinitas, ditetapkan dengan menggunakan salinitas meter atau refraktometer.
3. Pengambilan sampel air dengan cara memasukan air yang diambil dari bagian
atas, tengah dan bagian dasar, kemudian dikompositkan untuk dilakukan
analisis. Sifat air yang dianalisis yaitu : NO3-, NH4+, K+, Ca+, Mg+, dan PO4-.
c. Data tipe iklim
1. Iklim mikro
a. Temperatur dan kelembaban udara relatif disekitar rumpun sagu dikumpulkan
dengan menggunakan thermohigro meter. Pengukuran dilakukan dengan cara
menggantung thermohigro pada tongkat kayu setinggi satu meter dari
permukaan tanah yang ditempatkan pada salah satu bagian dalam areal hutan
sagu pada masing-masing wilayah sampel.
Pada setiap wilayah sampel
ditempatkan satu unit thermohigro. Pengamatan dilakukan pada pukul 07.30,
13.00, dan 17.00. Data ini kemudian di rata-ratakan untuk mendapatakan data
harian. Temperatur dan kelembaban udara relatif ditetapkan dengan
menggunakan rumus berikut :
T
RH
t7.30 x2
t13.30
4
RH 7.30 x2
t17.00
RH13.30
4
………………………………………
RH17.00
……………………………
(5)
(6)
Keterangan : T = temperatur udara (oC); RH = relative humidity atau kelembaban udara
relatif (%)
b. Intensitas sinaran surya di bawah tegakan sagu. Parameter ini diamati dengan
menggunakan lux meter antara pukul 11.00 - 14.00. Data ini selanjutnya di
rata-ratakan untuk mendapatkan data intensitas sinaran surya harian.
44
Pengamatan intensitas sinaran surya dilakukan pada dua titik untuk setiap
wilayah sampel. Titik pertama terletak di antara rumpun sagu, sedangkan titik
pengamatan yang kedua terletak di dekat rumpun atau tegakan pohon sagu
pada jarak ± 1 meter. Di setiap wilayah sampel digunakan satu unit lux meter.
Pengamatan
variabel temperatur, kelembaban udara, dan intensitas
sinaran surya dilakukan selama 4 bulan dengan periode pengamatan dua kali
dalam seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Minggu. Waktu pengamatan pada 3
wilayah sampel dijadwalkan secara bersamaan.
2. Iklim lokal
Selain dilakukan pengamatan parameter iklim mikro, dikumpulkan pula
data iklim lokal meliputi curah hujan, temperatur, dan kelembaban udara relatif.
Data iklim lokal ini diperoleh dari dua stasiun Klimatologi di P. Seram, yaitu
stasiun Klimatologi Amahai Kabupaten MT dan stasiun Kairatu Kabupaten SBB.
Data dari dua stasiun klimatologi ini mewakili dua tipe iklim di sebagian besar
wilayah P. Seram, yaitu tipe iklim A diwakili oleh stasiun klimatologi Amahai
dan tipe iklim B diwakili oleh stasiun klimatologi Kairatu.
Semua data yang meliputi parameter iklim, tanah, dan kualitas air rawa
yang berasal dari tiga wilayah sampel yaitu wilayah sampel I Luhu Kabupaten
SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT selanjutnya
dikompilasi untuk memperoleh data rataan. Data rataan inilah yang dipergunakan
untuk menjelaskan menganai kondisi iklim (terutama iklim mikro), tanah, dan
kualitas air rawa dalam komunitas sagu alami di P. Seram.
3.4.2.4. Analisis data
a. Analisis Vegetasi
Analisis vegetasi dilakukan dengan tahapan menghitung nilai kerapatan
mutlak
(KM),
frekwensi
mutlak
(FM),
dan
dominasi
mutlak
(DM).
Penetapannya dilakukan dengan menggunakan formula menurut Cox (2002) sbb :
45
Jumlah individu suatu spesies
……………………… (7)
KM (i) =
Jumlah total luas areal contoh
Kerapatan mutlak spesies i
KR (i) =
x 100%
……………...
(8)
Kerapatan total seluruh spesies
Jumlah petak contoh yang diduduki spesies i
………...
FM (i) =
(9)
Jumlah banyaknya petak yang dibuat
Frekwensi mutlak spesies i
KR (i) =
……….. .…
(10)
…………………
(11)
…………….
(12)
x 100 %
Frekwensi total seluruh spesies
DM (i) = Jumlah penutupan spesies i
Jumlah dominasi spesies i
DR (i) =
x 100 %
Jumlah dominasi seluruh spesies
Untuk menghitung Indeks Nilai Penting (INP) setiap spesies digunakan
rumus sebagai berikut :
INP = Kerapatan Relatif (KRi) + Frekwensi Relatif (FRi) + Dominasi
Relatif (DRi)
……………………………………………. (13)
Indeks nilai penting memiliki satuan mencapai 300 %, nilai persentasi
yang melebihi 100 % adalah tidak lazim. Oleh karena itu disederhanakan menjadi
Nisbah Jumlah Dominasi (NJD atau Summed Dominance Ratio = SDR). NJD
ditetapkan dengan rumus :
NJD
INP
(%) ……………………………………………………
3
(14)
Penentuan indeks nilai penting atau NJD dilakukan untuk setiap wilayah sampel.
Hasil analisis ini kemudian dikompilasi untuk mendapatkan data rataan nilai
penting. Data inilah yang dipergunakan untuk menjelaskan mengenai dominasi
vegetasi dalam komunitas sagu di P. Seram. Dalam kaitan dengan interpretasi
hasil INP, maka nilai ini dimanfaatkan untuk dua kepentingan, yaitu : 1)
46
membandingkan INP tumbuhan sagu dan bukan sagu (non sagu), dan 2)
menentukan spesies dominan, terutama spesies sagu dominan dalam komunitas
sagu alami di P. Seram.
b. Analisis asosiasi interspesifik
Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan asosiasi antara spesies sagu
dengan tumbuhan lain dalam komunitas sagu di P. Seram. Analisis dilakukan
berdasarkan data kehadiran-ketidakhadiran (data biner) seluruh petak pengamatan
pada tiga wilayah sampel, yaitu wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai
Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT secara sekaligus. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh menganai asosiasi
vevetasi dalam komuitas sagu di P. Seram. Khusus untuk spesies sagu dilakukan
pada tingkatan klasifikasi terendah yaitu yaitu varietas/subvarietas menurut
Beccari (1918 dalam Flach 1997).
Pengujian asosiasi interspesifik ditentukan
melalui dua tahap uji yaitu 1) menentukan adanya asosiasi antar spesies secara
simultan (menyeluruh), dan 2) mengukur kekuatan asosiasi diantara dua pasangan
spesies. Seluruh rangkaian analisis asosiasi hanya dilakukan terhadap spesies
penyusun utama, yaitu spesies yang memiliki INP ≥ 10 %. Tahapan analisis
asosiasi interspesifik sebagai berikut :
1. Membuat matriks data mengenai kehadiran dan ketidakhadiran suatu spesies
dalam sejumlah unit sampling (US). Kehadiran spesies yang diuji dinyatakan
dengan 1, sedangkan ketidakhadirannya dinyatakan dengan nilai 0 (Tabel 7).
Tabel 7. Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N
unit sampling
Sampling Unit (SU)
Total
Spesies
Spesies
(1)
(2)
(3)
(...)
(N)
(1)
1
1
0
0
n1
(2)
1
0
1
1
n2
(3)
0
1
0
1
n3
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
(S)
0
0
1
1
ns
Total SU
T1
T2
T3
TN
47
2. Melakukan analisis asosiasi spesies secara simultan. Meskipun semua
kombinasi pasangan spesies yang berasosiasi dihitung, namun mereka tidak
akan bebas. Oleh karena itu Schluter (1984 dalam Ludwig and Reynolds
1988) mengusulkan suatu pendekatan baru yaitu menggunakan Variance Ratio
(VR) yang diturunkan dari null association model untuk menguji keberartian
(signifikansi) asosiasi secara simultan. Indeks asosiasi VR diturunkan dari data
kehadiran-ketidakhadiran (Tabel 4). Tahapan analisisnya sebagai berikut :
- Menghitung varians sampel total untuk keterdapatan S spesies dalam sampel
menggunakan rumus :
δT2 =
S
………………………………………….
pi 1 pi
(15)
i 1
dimana pi = ni/N
- Melakukan pendugaan varians jumlah spesies total menggunakan rumus :
ST2 =
1
N
N
pi T j
t
2
………………………………………….
(16)
j 1
Dimana t adalah rata-rata jumah spesies per sampel unit.
- Menghitung Variance Ratio (VR) menggunakan rumus :
VR = ST2/ δT2
……...………………………………………..
(17)
VR merupakan indeks asosiasi antar seluruh spesies. Kriterianya sebagai
berikut :
Bila : VR = 1 maka tidak ada asosiasi
VR > 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi positif
VR < 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi negatif
3. Melakukan analisis asosiasi spesies berpasangan menggunakan tabel
kontingensi 2 x 2 (Tabel 8). Untuk mengetahui adanya asosiasi antara dua
spesies digunakan rumus Chi-square (Ludwig and Reynolds 1988) dan
Soegianto (1994) :
X i2
( Nilai observasi Nilai harapan) 2
Nilai harapan
……………..
(18)
Dimana X i2 merupakan penjumlahan semua sel pada tabel kontingensi 2 x 2.
Nilai harapan dihitung sebagai berikut :
48
E(a) =
mr
;
N
E(b) =
ms
;
N
E(c) =
nr
;
N
E(d) =
ns
N
Selanjutnya uji statistik Chi-square menjadi :
a E (a)
E (a)
X i2
2
...
d
E (d )
E (d )
Tabel 8. Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies berpasangan
Spesies B
Ada
Tidak ada
Ada
a
b
m = a+b
Tidak ada
c
d
n = c+d
r = a+c
s = b+d
N = a+b+c+d
Spesies A
Keterangan :
a = jumlah petak dimana spesies A dan spesies B ditemukan
b = jumlah petak dimana terdapat spesies A, namun tidak terdapat spesies B
c = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A, namun terdapat spesies B
d = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A dan B
N = jumlah total unit sampling (petak pengamatan)
2
dengan
Setelah nilai X i2 diketahui, maka dibandingkan dengan dengan X tabel
derajat bebas (df) = (r-1)(c-1), α = 0,05 (tingkat siginifikan 5 %). Karena
pengujian dilakukan terhadap dua spesies berpasangan, maka df = 1. Dengan α
2
= 0,05 diperoleh X tabel
= 3,84. Jika X 2 hitung > 3,84, maka hipotesis bahwa
terdapat asosiasi antara spesies A dan B diterima, dan sebaliknya ditolak.
4. Menetapkan tipe asosiasi dengan kriteria sebagai berikut :
Bila : a > E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat positif
a < E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat negatif.
5. Menentukan kekuatan (tingkat) asosiasi.
Analisis ini dimaksudkan untuk
mengetahui besarnya tingkat asosiasi spesies yang berpasangan menggunakan
indeks Jaccard (JI) (Ludwig and Reynolds 1988) dengan rumus :
JI =
a
a b c
…………………………………………….....
(19)
49
Nilai indeks Jaccard berkisar antara 0-1, nilai 0 setara dengan tidak ada
asosiasi, dan 1 setara dengan tingkat asosiasi maksimum.
Indeks Jaccard
dipilih karena menurut Goodall (1973 dalam Ludwig & Reynolds 1988)
merupakan indeks tidak bias (unbiased).
c. Analisis komponen utama
Dalam pertumbuhan sagu terdapat interaksi antara sagu dengan komponen
abiotis. Komponen abiotis yang dimaksud adalah faktor iklim, tanah, dan kualitas
air rawa. Untuk menjelaskan interaksi antara tumbuhan sagu dengan komponen
abiotis, maka dilakukan dengan menggunakan analisis komponen utama
(Principal Components Analysis / PCA) (Supranto 2004). Secara teknis analisis
komponen utama merupakan suatu teknik mereduksi data/variabel menjadi lebih
sedikit, tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian (keragaman) dari data awal.
Reduksi data/variabel dilakukan dengan menggunakan statistik uji KMO (KaiserMeyer-Olkin) dan MSA (Measured sampling adequacy) dengan kriteria statistik
>0,5. Salah satu output dari hasil analisis ini adalah diagram loading plot.
Diagram ini digunakan untuk menjelaskan interaksi antar variabel melalui
korelasi diantara variabel-variabel itu.
Interpretasi sifat korelasi (positif dan
negatif) tergantung sudut yang dibentuk oleh garis loading plot dua variabel.
Apabila sudut yang terbentuk garis loading plot berbentuk lancip, maka korelasi
bersifat positif. Jika sudut yang terbentuk tumpul, maka korelasinya bersifat
negatif (Setiadi 1998). Korelasi yang bersifat positif mengandung pengertian
bahwa apabila terjadi peningkatan suatu variabel, maka akan diikuti dengan
peningkatan variabel pasangannya. Sebaliknya apabila korelasinya bersifat
negatif, maka penambahan suatu variabel menyebabkan penurunan variabel yang
lain.
Dengan mempertimbangkan eigenvalues (akar ciri) sebagai skor PC (skor
komponen) dan eigenvector (vektor ciri) dapat ditentukan besarnya kontribusi
suatu faktor (Dewi 2005 dan Marzuki 2007). Dalam konteks ini dapat ditentukan
kontribusi faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap habitat sagu. Habitat
sagu yang dimaksudkan adalah berupa besarnya peran faktor-faktor tersebut di
atas dalam menentukan, dapat tumbuh atau tidaknya sagu pada suatu tempat
50
(kesesuaian habitat sagu) di P. Seram. Melalui pendekatan ini dapat diketahui
kontribusi masing-masing variabel pada setiap faktor terhadap habitat sagu.
Dengan demikian dapat pula ditentukan total kontribusi setiap faktor terhadap
habitat sagu.
Dalam pertumbuhan sagu dengan komponen abiotis, dapat memunculkan
pengaruh dari setiap faktor (iklim, tanah, dan kualitas air rawa) terhadap
parameter sagu.
Untuk menjelaskan pengaruh faktor tersebut dapat didekati
dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Analisis ini merupakan
pengembangan dari analisis komponen utama, dikombinansikan dengan analisis
regresi klasik (Gasperz 1995). Dalam analisis regresi klasik, asumsi dasar yang
harus dipenuhi, antara lain adalah tidak terdapat korelasi diantara variabel bebas
(multikolinieritas). Dengan kata lain antara variabel yang satu dengan yang lain
bersifat ortogonal (saling bebas). Dalam melakukan analisis dengan variabel
banyak (multivariate) seringkali tidak dapat dihindari terjadinya multikolinieritas
ini.
Oleh karena itu pendekatan statistika yang sesuai adalah dengan
menggunakan analisis regresi komponen utama (Principal Component Regression
Model). Sebagaimana dalam analisis regresi pada umumnya, dikenal variabel
bebas (X) dan variabel tak bebas (Y).
Dalam kaitan itu, maka model ini
dipergunakan untuk menguji pengaruh komponen abiotis iklim, tanah, dan
kualitas air rawa. Faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa dijadikan sebagai
variabel bebas, sedangkan variabel tak bebas parameter sagu yakni jumlah
populasi rumpun (pertumbuhan) dan produksi pati sagu.
Menurut Gaspersz
(1995) model regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh variabel
bebas terhadap variabel tak bebas, dilakukan analisis dengan model berikut :
Y
wo
w1K1
w2 K 2 ..... wm K m
v
…………………………… (20)
dimana : Y = variabel tak bebas
Kj = vartiabel bebas komponen utama yang merupakan kombinasi
linier dari semua variabel baku Z (j = 1, 2, …, m)
wo = konstanta
wj = parameter model regresi (koefisien regresi), (j = 1, 2, …, m)
v = bentuk gangguan/galat.
51
Dalam proses analisis semua variabel bebas ditransformasi ke dalam variabel
baku Z. Transformasi data ini diperlukan karena terdapat perbedaan satuan
diantara variabel bebas. Transformasi data menggunakan rumus :
Zi
(
xi
x
si
)
………………………………………………….
(21)
dimana : Z i = variabel bebas ke-i dalam bentuk baku
xi = variabel bebas ke-i dalam bentuk asli
x = nilai rata-rata dari variabel bebas xi
s i = simpangan baku (standard deviation) dari xi
Setelah melalui proses komputasi secara aljabar, maka dapat dibentuk persamaan
regresi dalam bentuk variabel asli ’X’, sebagai berikut :
Y
bo b1x1 b2 x2 ... bp x p
……………………………………..
(22)
dimana : Y = variabel tak bebas (dependent variable)
xi = vartiabel bebas ke-i yang dispesifikasikan sejak awal, i = 1, 2,, …, p
bo = konstanta (intersep)
bi = koefisien regresi dari variabel ke-i, i = 1, 2, …, p.
3.4.3. Penelitian tahap III : Studi biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram,
Maluku
Fokus studi ini dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu,
karena diduga masih terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah spesies sagu
yang terdapat di P. Seram Maluku, maupun istilah spesies yang banyak dianut di
Indonesia.
Dalam studi ini dilakukan pula kajian yang berkaitan dengan
biodiversitas sagu berdasarkan tingkat keanekaragamannya. Secara teoritis atas
dasar tingkatannya, keanekaragaman hayati terbagi atas tiga tingkatan yaitu : 1)
keanekaragaman tingkat komunitas, 2) keanekaragaman tingkat spesies, dan 3)
keanekaragaman tingkat genetik. Dalam hubungan itu, maka uraian mengenai
keanekaragaman atau biodiversitas tumbuhan sagu disetarakan ke dalam tiga
kategori tingkatan tersebut. Tahapan penelitian biodiversitas tersaji dalam Gambar
8.
Dalam hubungannya dengan studi ini, maka tumbuhan sagu diletakkan pada
tataran vegetasi, merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh bersama jenis tumbuhan
52
yang lainnya dalam suatu klaster atau komunitas. Dalam konteks ini komunitas
tumbuhan sagu disepadankan dengan wilayah sampel, sehingga setiap wilayah
sampel dianggap sebagai suatu komunitas. Kegiatan pengamatan yang dilakukan
pada studi ini dikerjakan pada petak kuadrat.
Ukuran petak pengamatan
disesuaikan dengan fase pertumbuhan vegetasi.
Untuk jenis vegetasi bawah
(seedling) pengamatan dilakukan pada petak berukuran 2 m x 2 m, jenis perdu
(sapling/sepihan) ukuran petak 5 m x 5 m, fase tiang 10 m x 10 m, dan fase pohon
20 m x 20 m. Pengamatan vegetasi meliputi :
Pengamatan vegetasi
Analisis Kemiripan Komunitas
Pengamatan Spesies
Analisis Keanekaragaman
Spesies
Klarifikasi Spesies
Analisis Genetik (Isozim)
Gambar 8. Tahapan studi biodiversitas tumbuhan sagu
1. Spesies tumbuhan,
dilakukan di lapangan
dengan menggunakan buku
panduan identifikasi spesies. Untuk spesies yang tidak dapat diidentifikasi di
lapangan diambil bagian tumbuhan (herbarium) untuk diidentifikasi di
laboratorium.
2. Jumlah tiap spesies, untuk keperluan penentuan kerapatan spesies.
3. Kedapatan pada setiap unit contoh untuk menentukan frekwensi spesies.
3. Luas tutupan (coverage). Parameter ini
dilakukan
dengan cara mengukur
panjang jari-jari tutupan tajuk vegetasi. Kemudian luas tutupan tajuk suatu
spesies ditetapkan dengan menggunakan rumus pada persamaan-(4).
Pengukuran ini dimaksudkan untuk menentukan dominasi spesies.
53
3.4.3.1. Biodiversitas komunitas
Dalam rangka menjelaskan keanekaragam komunitas tumbuhan sagu di
dalam wilayah P. Seram Maluku, maka didekati dengan menggunakan analisis
kemiripan komunitas. Suatu wilayah sampel dianggap sebagai suatu komunitas
sagu. Untuk menentukan kemiripan komunitas antara satu wilayah sampel dengan
wilayah sampel yang lain, maka dilakukan analisis kemiripan komunitas
menggunakan indeks similaritas (IS) (Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989).
Penetapannya dengan menggunakan rumus berikut :
IS
2w
x100%
(a b)
…………………………………………….
(23)
dimana :
IS : Indeks similaritas (kemiripan)
a : Jumlah nilai penting dari tegakan pertama
b : Jumlah nilai penting dari tegakan kedua
w : Jumlah nilai terkecil untuk masing-masing jenis di dalam kedua
tegakan yang diamati
Untuk menentukan tingkat kemiripan antar komunitas, dalam konteks ini
antara satu komunitas sagu dengan komunitas yang digunakan kriteria sebagai
berikut : kemiripan sangat tinggi bila IS > 75 %, kemiripan tinggi bila 50 % < IS
< 75 %, kemiripan rendah bila 25 % < IS < 50 %, dan kemiripan sangat rendah
bila IS < 25 % (Krebs 1999).
3.4.3.2. Biodiversitas spesies
Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan keanekaragaman spesies
pada setiap komunitas sagu. Pada setiap komunitas sagu dilakukan analisis untuk
mengetahui keanekaragaman spesies di dalamnya. Analisis ini dimaksudkan
untuk menjelaskan biodiversitas spesies dalam komunitas sagu. Pendekatan yang
dilakukan melalui indeks keanekaragaman Shannon (H’) untuk menjelaskan
keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan sagu di P. Seram Provinsi
Maluku dilakukan perhitungan nilai indeks keaneragaman Shannon-Wiener (H’).
Penetapan nilai indeks Shannon ini menggunakan input data nilai penting pada
setiap wilayah sampel sebagai suatu komunitas tumbuhan sagu. Besarnya nilai
54
indeks keanekaragaman spesies (Shannon-Wiener H’) ditetapkan dengan formula
berikut ini (Ludwig dan Reynolds 1988) :
H’ = - [(n.i/N)log(n.i/N)]
……………………………………
(24)
dimana :
H’ : Indeks keanekaragaman
n.i : nilai penting dari setiap jenis
N : total nilai penting
Secara teoritis nilai indeks keanekaragaman Shannon (H’) biasanya
berkisar antara 0 - 7. Jika nilai H’ ≤ 1, maka keanekaragaman spesies vegetasi
termasuk dalam kategori sangat rendah, jika 1 < H’ ≤ 2 termasuk dalam kategori
rendah, jika 2 < H’ ≤ 3 termasuk dalam kategori sedang (medium), jika 3 < H’ ≤ 4
termasuk dalam kategori tinggi, dan jika H’ > 4, maka keanekaragaman spesies
vegetasi termasuk dalam kategori sangat tinggi (Soegianto 1994).
3.4.3.3. Biodiversitas genetik
Sifat genetik dilakukan melalui analisis molekuler. Untuk mempelajari
variasi karakteristik genetik masing-masing jenis sagu dalam studi ini digunakan
melalui analisis isozim.
Dalam sistematika tumbuhan, isozim dimanfaatkan
dalam membedakan spesies/varietas tanaman yang secara taksonomi sukar
dibedakan hanya berdasarkan sifat morfologinya.
Isozim sebagai penanda
biokimia dapat digunakan sebagai identitas yang relatif stabil bagi suatu kultivar
atau jenis tumbuhan.
Isozim cukup akurat sebagai penanda biologi dalam
membedakan satu individu dari individu lainnya dalam suatu populasi (Marzuki
2007).
Menurut Hartana (2005) isozim atau isoenzim mempunyai bentuk
polimorfik dalam suatu organisme atau spesies tanaman yang sama tetapi
mengkatalisator reaksi metabolisme yang berbeda. Polimorfisme isozim berupa
molekul-molekul protein yang berbeda fenotipenya dapat ditampakkan dalam
bentuk pola pita yang berbeda dengan menggunakan elektroforesis gel pati yang
diwarnai dengan pewarna yang spesifik untuk setiap enzim.
Untuk keperluan analisis ini diambil beberapa helai daun muda yaitu daun
ketiga dari pucuk tunas (leaf index). Daun-daun terpilih kemudian dimasukkan
55
dalam cool box yang berisi es kering untuk selanjutnya dilakukan analisis isozim
di laboratorium. Pewarna enzim yang dipergunakan terdiri dari empat jenis enzim
yaitu 1) enzim Aspartat Aminotransferase (AAT), 2) enzim Asam Phosphatase
(ACP), 3) enzim Peroksidase (PER), dan 4) enzim Esterase (EST).
Hasil analisis ini dipergunakan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu di
P. Seram. Klarifikasi spesies dilakukan berdasarkan dua pandangan klasifikasi
yang diketahui yaitu klasifikasi yang dianut oleh para ahli di Maluku atau di
Indonesia pada umumnya, dikomparasi dengan sistem klasifikasi yang
dikemukakan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997). Klarifikasi spesies sagu
yang terdapat di P. Seram sebagaimana tertera dalam Tabel 9 berikut.
Tabel 9. Spesies sagu yang terdapat di P. Seram, Maluku
Sagu tuni
Nama spesies secara
umum*
M. rumphii Mart.
Nama spesies menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997)
Spesies
Varietas
Subvar.
M. rumphii Mart.
Micracanthum Becc.
Tuni
2.
Sagu Makanaru
M. longispinum Mart.
M. rumphii Mart.
Micracanthum Becc.
Makanaro
3.
Sagu ihur
M. sylvestre Mart.
M. rumphii Mart.
Sylvestre Becc.
-
4.
Sagu durirotan
M. micracanthum Mart.
M. rumphii Mart.
Rotang Becc.
-
5.
Sagu molat
M. sagu Rottb.
M. sagu Rottb.
Molat Becc.
-
No.
Nama daerah
1.
Sumber : * Haryanto dan Pangloli (1992), Louhenapessy (2006), Bintoro (2008),
Rostiwati et al. (2008).
Download