bab vi empati remaja terhadap kemiskinan sebagai

advertisement
71
BAB VI
EMPATI REMAJA TERHADAP KEMISKINAN SEBAGAI AKIBAT
TERPAAN TAYANGAN ‘JIKA AKU MENJADI”
6.1 Empati Remaja terhadap Kemiskinan Sebagai Akibat Terpaan Tayangan ‘Jika Aku
Menjadi’
Data sebaran responden hasil pengaruh terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ terhadap
empati remaja (kognitif dan afektif) terhadap kemiskinan tersaji pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Empati Remaja (Kognitif dan
Afektif) terhadap Kemiskinan
Empati Remaja
Jumlah (orang)
Persen (%)
Kognitif:
Rendah (skor 20 sampai 40)
Sedang (skor 41 sampai 60)
Tinggi (skor 61 sampai 80)
0
11
59
0
15,7
84,3
Rendah (skor 20 sampai 40)
Sedang (skor 41 sampai 60)
Tinggi (skor 61 sampai 80)
17
0
53
70
24,3
0
75,7
100,0
Afektif:
Total
Data yang tersaji pada Tabel 7 diketahui bahwa tidak ada responden yang memiliki
empati pada kognitif yang rendah terhadap kemiskinan, ternyata mayoritas responden
memiliki empati pada kognitif yang tinggi terhadap kemiskinan, yaitu sebanyak 59 (84,3
persen) responden. Diketahui pula tidak ada responden yang memiliki empati pada afektif
yang sedang dan mayoritas responden memiliki empati pada afektif yang tinggi terhadap
kemiskinan, yaitu sebanyak 53 (75,7 persen) responden. Tidak adanya responden yang
memiliki empati pada kognitif yang rendah dikarenakan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ adalah
tayangan yang mudah dimengerti oleh responden, sehingga mereka banyak mendapat
pengetahuan dari tayangan tersebut. Berbeda dengan afektif, responden memiliki rasa
‘kepekaan’ yang berbeda untuk merasakan apa yang orang lain alami. Oleh karena itu, hasil
penelitian menunjukkan masih ada responden yang memiliki empati pada afektif yang rendah,
yaitu sebanyak 17 (24,3 persen) responden.
Secara keseluruhan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ menimbulkan pengaruh empati di
kalangan remaja pada tingkatan yang tinggi berdasarkan persentase yang didapat. Empati
meliputi kognitif dan afektif responden terhadap kemiskinan. Secara kognitif, orang yang
72
berempati memahami apa yang orang lain rasakan baik melalui tanda-tanda atau proses atau
hubungan yang sederhana. Secara afektif, orang yang berempati merasakan apa yang orang
lain rasakan.
Empati yang muncul, baik kognitif maupun afektif responden terhadap kemiskinan
hampir seimbang. Responden memiliki empati pada tingkat kognitif dan afektif yang tinggi
terhadap kemiskinan. Menurut mereka, adanya alur cerita, kemasan, dan gambar di dalam
tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, mampu membuat responden memahami apa yang orang lain
rasakan, yaitu kesusahan dan penderitaan yang dialami si narasumber dalam tayangan tersebut
dan orang-orang miskin di sekitar mereka, sehingga mampu memberikan pemaknaan tentang
berempati terhadap orang lain. Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ ternyata membuat responden
paham tentang bagaimana cara berempati terhadap orang lain. Hal ini terbukti dari hasil
survei, tidak ada satupun responden (0 persen) yang tidak memiliki kognitif yang rendah
terhadap kemiskinan.
Selain kognitif, responden memiliki tingkat empati pada afektif yang tinggi terhadap
kemiskinan. Responden menganggap bahwa tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ secara nyata
menimbulkan rasa empati pada responden terhadap kemiskinan. Menurut jawaban responden,
sebagian dari mereka merasa sedih, merasa terharu, merasa lebih bersyukur ketika
menyaksikan tayangan tersebut. Tapi sebagian dari mereka ternyata tidak merasa tersentuh
dengan tayangan tersebut. Hal ini terbukti dengan hasil survei yang menunjukkan sebanyak
17 (24,3 persen) responden memiliki afektif yang rendah terhadap kemiskinan. Menurut
mereka, realita ‘Jika Aku Menjadi’ tidak semuanya mewakili kehidupan orang miskin.
Artinya, tidak seluruhnya benar bahwa realita yang ditayangkan dalam ‘Jika Aku Menjadi’
akan menimbulkan empati bagi remaja yang menontonnya. Hal ini dapat dipahami karena
responden tidak terlalu mempercayai tayangan tersebut.
Berdasarkan wawancara kelompok dengan beberapa responden, mereka mengatakan
bahwa dengan menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ membantu menjaga nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat seperti kejujuran, kesabaran, tekun, gigih berjuang, dan tidak pernah
putus asa dalam menghadapi kemiskinan yang didasarkan pada fakta yang terjadi di
masyarakat yang kini sudah mulai jarang ditemukan pada beberapa program televisi. Televisi
lebih banyak memberitakan pelaku-pelaku kriminalitas. Mereka juga ingin mengetahui
peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan sekitar, khususnya mengenai kondisi
sosial ekonomi masyarakat miskin di pelosok-pelosok desa yang tidak diketahui sebelumnya
73
yang memiliki sisi-sisi kehidupan yang dramatis, unik, atau jarang diketahui khalayak. Salah
satu responden bernama Lia dalam diskusi tersebut mencoba berbagi cerita dari apa yang ia
tahu dan apa yang ia rasakan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Lia bercerita
tentang salah satu episode “Jika Aku Menjadi Nelayan Miskin Indramayu” yang pernah
ditonton dan diingatnya. Tayangan tersebut menceritakan kisah yang dialami seorang nelayan
miskin di Indramayu yang mempunyai istri dan tiga orang anak, karena kemiskinannya
seringkali nelayan ini makan nasi ‘aking’, yaitu nasi yang sudah basi kemudian dijemur dan
dimasak lagi. Menurutnya, ia sangat terharu dengan tayangan episode tersebut dan rasa
empati terhadap kemiskinan bertambah setelah menonton tayangan tersebut. Ternyata, apa
yang disampaikan Lia pada wawancara kelompok tersebut mewakili responden lainnya
tentang pendapat mereka setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Pada awalnya
mereka “tersentuh” melihat tayangan tersebut, lalu timbul rasa kasihan dan sedih melihat
narasumber pada tayangan ‘Jika Aku Menjadi’, tetapi sebagian juga mengatakan bahwa
mereka kagum melihat kegigihan, kejujuran, ketekunan, dan kerja keras orang miskin dalam
bertahan hidup mencari nafkah. Responden mengakui pengetahuan mereka bertambah tentang
empati terhadap kemiskinan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’. Selain
pengetahuan, rasa emosional merekapun lebih positif. Mereka menjadi lebih peka terhadap
kemiskinan yang terjadi di sekitar mereka. Adanya kepekaan ini, membuat mereka menjadi
lebih bersemangat ingin membantu orang miskin di sekitar mereka. Hal ini dikarenakan
adanya transfer nilai positif yang mereka rasakan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku
Menjadi’. Berdasarkan penjelasan beberapa responden dalam wawancara, mereka yang
empati pada kognitif dan afektifnya tinggi terhadap kemiskinan mengatakan mereka lebih
memahami apa yang dialami orang miskin di sekitar mereka, bersyukur dalam menjalani
hidup, lebih menghargai orang lain, semakin bersemangat ingin membantu orang miskin, dan
tidak ingin putus asa dalam menjalani hidup.
6.2 Hubungan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan Empati Remaja (Kognitf
dan Afektif)
Terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ meliputi frekuensi menonton dan durasi
menonton. Hasil survei melalui kuesioner yang telah diuji menunjukkan adanya hubungan
antara terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan empati remaja (kognitif dan afektif)
terhadap kemiskinan yang secara ringkas tersaji pada Tabel 8.
74
Tabel 8. Nilai Uji Rank Spearman Hubungan antara Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’
dengan Empati Remaja (Kognitif dan Afektif) terhadap Kemiskinan
Empati Remaja
Kognitif
Sig (2-tailed)
Terpaan Tayangan ‘Jika
Aku Menjadi’
Frekuensi Menonton
Durasi Menonton
0,289*
0,419*
0,015*
0,000*
0,271*
0,479*
Afektif
Sig (2-tailed)
0,023*
0,000*
Keterangan :
*: berhubungan nyata pada α= 5 persen
Hasil penelitian membuktikan bahwa terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’
berhubungan nyata dengan empati remaja, baik kognitif maupun afektif remaja terhadap
kemiskinan. Frekuensi menonton berhubungan nyata dengan kognitif dan afektif remaja
terhadap kemiskinan (Sig < 0,05). Durasi menonton berhubungan nyata dengan kognitif dan
afektif remaja terhadap kemiskinan (Sig < 0,05).
6.2.1 Hubungan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan Kognitif
Hubungan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan kognitif remaja terhadap
kemiskinan meliputi hubungan frekuensi menonton dengan kognitif remaja terhadap
kemiskinan dan hubungan durasi menonton dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan.
6.2.1.1 Hubungan Frekuensi Menonton dengan Kognitif
Frekuensi menonton berhubungan nyata dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan
yang dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,015) < α (0,05), maka
Ho ditolak. Jadi, dapat dinyatakan bahwa ada hubungan nyata antara frekuensi menonton
dengan kognitif responden terhadap kemiskinan. Semakin tinggi frekuensi menonton maka
semakin tinggi kognitif responden terhadap kemiskinan. Berdasarkan jawaban responden,
mereka yang frekuensi menontonnya tinggi dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’
lebih paham dan mengerti tentang empati. Mereka yang memiliki empati pada kognitif yang
tinggi terhadap kemiskinan merasa lebih mengerti tentang keadaan orang-orang di sekitar
mereka, terutama orang-orang miskin. Semakin sering mereka menonton tayangan ’Jika Aku
Menjadi’, maka pengetahuan mereka akan bertambah tentang bagaimana berempati terhadap
orang lain. Hal ini juga didukung dengan jawaban responden yang mengatakan bahwa isi
75
tayangan ’Jika Aku Menjadi’ bermuatan sosial yang menggambarkan suatu realita kehidupan
orang miskin, sehingga membuat mereka yang sering menontonnya semakin mengerti tentang
kesusahan yang dialami orang miskin di sekitar mereka. Mereka semakin menyadari bahwa
ternyata masih banyak orang-orang yang kurang beruntung dari mereka, mengalami
kesusahan, sangat kekurangan namun tetap berjuang mencari nafkah untuk bertahan hidup.
Menurut pengakuan sebagian dari responden mengatakan tayangan tersebut semakin
membuka pikiran mereka untuk semakin mengerti kesusahan yang dialami orang-orang di
sekitar mereka dan tayangan ini sangat dinilai positif untuk ditonton remaja karena dapat
meningkatkan empati terhadap orang lain. Hal ini dipahami karena frekuensi menonton tiap
episodenya disertai dengan kekonsistenan menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ dengan
waktu yang lebih teratur yang dilakukan oleh responden akan memberikan akumulasi yang
berarti pada ranah kognitif responden tentang empati. Semakin banyak responden menerima
hal yang positif dari apa yang ditontonnya, maka hal ini memberikan pengaruh yang positif
pula terhadap responden tersebut. Tayangan ’Jika Aku Menjadi’ banyak memberikan
pengetahuan yang positif, sehingga akan memberikan pengaruh yang positif pula bagi
penontonnya, khususnya kemampuan untuk lebih berempati.
6.2.1.2 Hubungan Durasi Menonton dengan Kognitif
Durasi menonton berhubungan nyata dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan
yang dijelaskan dengan hasil Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,000) < α (0,05), maka
Ho ditolak. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada hubungan nyata antara durasi menonton dengan
kognitif responden terhadap kemiskinan.
Lama atau tidaknya, lengkap atau tidaknya waktu responden dalam menonton
tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ menentukan tinggi atau rendahnya kognitif responden terhadap
kemiskinan. Semakin lama atau lengkap durasi menonton, maka semakin tinggi pula kognitif
remaja terhadap kemiskinan. Berdasarkan jawaban responden, mereka yang durasi
menontonnya lengkap atau lebih lama dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ lebih
paham dan mengerti tentang empati. Mereka yang memiliki empati pada kognitif yang tinggi
merasa lebih mengerti tentang keadaan orang-orang di sekitar mereka, terutama orang-orang
miskin. Semakin lengkap mereka menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ pada tiap tayangan,
maka pengetahuan mereka akan bertambah tentang bagaimana berempati terhadap orang lain.
Mereka semakin menyadari bahwa ternyata masih banyak orang-orang yang kurang
76
beruntung dari mereka, mengalami kesusahan, sangat kekurangan namun tetap berjuang
mencari nafkah untuk bertahan hidup. Menurut pengakuan sebagian dari responden
mengatakan tayangan tersebut semakin membuka pikiran mereka untuk semakin mengerti
kesusahan yang dialami orang-orang di sekitar mereka dan tayangan ini sangat dinilai positif
untuk ditonton remaja karena dapat meningkatkan empati terhadap orang lain. Hal ini dapat
dipahami bahwa semakin lengkap durasi menonton responden dalam menonton tayangan
’Jika Aku Menjadi’ ternyata mampu memberikan pengaruh empati pada kognitif responden.
Hal ini dapat terjadi karena tingginya preferensi responden akan tayangan ’Jika Aku Menjadi’
yang banyak menayangkan realita sosial sebagai tayangan yang disukai responden.
6.2.2 Hubungan Terpaan Tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ di Trans TV dengan Afektif
Hubungan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ dengan afektif remaja terhadap
kemiskinan meliputi hubungan frekuensi menonton dengan afektif remaja terhadap
kemiskinan dan hubungan durasi menonton dengan afektif remaja terhadap kemiskinan.
6.2.2.1 Hubungan Frekuensi Menonton dengan Afektif
Frekuensi menonton berhubungan nyata dengan afektif remaja terhadap kemiskinan
yang dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,023) < α (0,05), maka
Ho ditolak. Jadi, dapat dinyatakan bahwa ada hubungan nyata antara frekuensi menonton
dengan afektif responden terhadap kemiskinan. Semakin tinggi frekuensi menonton atau
semakin sering responden menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’, maka semakin tinggi
afektif remaja tentang empati. Berdasarkan jawaban responden, mereka yang frekuensi
menontonnya tinggi atau lebih sering dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ memiliki
rasa empati yang lebih tinggi. Mereka yang memiliki afektif yang tinggi tentang empati
memiliki respon yang lebih positif terhadap orang lain, mereka juga lebih peka terhadap apa
yang dialami orang lain. Tayangan ’Jika Aku Menjadi’ membuat responden yang sering
menontonnya lebih merespon dengan positif terhadap kesusahan yang dialami orang lain di
sekitar mereka, terutama orang miskin. Hal ini juga didukung dengan jawaban responden
yang mengatakan bahwa isi tayangan ’Jika Aku Menjadi’ bermuatan sosial yang
menggambarkan suatu realita kehidupan orang miskin, sehingga membuat mereka yang sering
menontonnya semakin mengerti bagaimana merespon dan merasakan kesusahan yang dialami
orang lain. Menurut pengakuan sebagian dari responden mengatakan tayangan tersebut
77
semakin membuat mereka berempati. Hal ini dipahami karena frekuensi menonton tiap
episodenya disertai dengan kekonsistenan menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ dengan
waktu yang lebih teratur yang dilakukan oleh responden akan memberikan akumulasi yang
berarti pada ranah afektif responden terhadap kemiskinan.
6.2.2.2 Hubungan Durasi Menonton dengan Afektif
Durasi menonton berhubungan nyata dengan kognitif remaja terhadap kemiskinan
yang dijelaskan dengan hasil uji Rank Spearman, didapat bahwa Sig (0,000) < α (0,05), maka
Ho ditolak. Jadi, dapat dinyatakan bahwa ada hubungan nyata antara durasi menonton dengan
kognitif responden terhadap kemiskinan.
Lama atau tidaknya, lengkap atau tidaknya waktu responden dalam menonton
tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ menentukan tinggi atau rendahnya afektif responden terhadap
kemiskinan. Semakin lama atau lengkap durasi menonton maka semakin tinggi pula empati
pada afektif responden terhadap kemiskinan. Berdasarkan jawaban responden, mereka yang
durasi menontonnya lengkap atau lebih lama dalam menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’
lebih tinggi afektifnya terhadap kemiskinan. Mereka yang memiliki empati pada afektif yang
tinggi terhadap kemiskinan memiliki respon yang lebih positif terhadap orang lain, mereka
juga lebih peka terhadap apa yang dialami orang lain. Tayangan ’Jika Aku Menjadi’ membuat
responden yang lebih lengkap atau lama menontonnya lebih merespon dengan positif terhadap
kesusahan yang dialami orang lain di sekitar mereka, terutama orang miskin. Hal ini juga
didukung dengan jawaban responden yang mengatakan bahwa isi tayangan ’Jika Aku
Menjadi’ bermuatan sosial yang menggambarkan suatu realita kehidupan orang miskin,
sehingga membuat mereka yang lebih lengkap atau lebih lama waktu menonton setiap
episodenya, semakin mengerti bagaimana merespon dan merasakan kesusahan yang dialami
orang lain. Hal ini dapat dipahami bahwa semakin lengkap durasi menonton responden dalam
menonton tayangan ’Jika Aku Menjadi’ ternyata mampu memberikan pengaruh empati pada
afektif responden terhadap kemiskinan. Hal ini dapat terjadi karena tingginya preferensi
responden akan tayangan ’Jika Aku Menjadi’ yang banyak menayangkan realita sosial
sebagai tayangan yang disukai responden.
6.2.3 Tayangan ’Jika Aku Menjadi’ Episode ”Pembuat Gelang Simpay” (Sabtu, 1 Mei
2010 Pukul 17.30 WIB)
78
Pada penelitian ini, tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ tidak hanya secara keseluruhan,
namun diambil juga satu episode khusus untuk membandingan bagaimana empati yang
terbentuk pada responden jika melihat secara keseluruhan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ yang
pernah ditonton dengan tayangan satu episode khusus saja. Tiga hari sebelum tayangan
episode “Pembuat Gelang Simpay” tayang, peneliti meminta responden untuk menonton
tayangan tersebut yang akan tayang pada hari Sabtu, 1 Mei 2010 pukul 17.30 WIB di Trans
TV. Empati remaja terhadap kemiskinan (kognitif dan afektif) pada episode “Pembuat Gelang
Simpay” secara ringkas tersaji pada Tabel 9.
Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Empati Remaja (Kognitif dan
Afektif) terhadap Kemiskinan Episode “Pembuat Gelang Simpay”
Empati Remaja
Jumlah (orang)
Persen (%)
Kognitif:
Rendah (skor 10 sampai 20)
Sedang (skor 21 sampai 30)
Tinggi (skor 31 sampai 40)
0
29
41
0
41,4
58,6
Rendah (skor 10 sampai 20)
Sedang (skor 21 sampai 30)
Tinggi (skor 31 sampai 40)
9
0
61
70
12,9
0,0
87,1
100,0
Afektif:
Total
Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa tidak ada responden yang memiliki empati pada
kognitif yang rendah terhadap tayangan episode “Pembuat Gelang Simpay”, karena responden
memiliki empati pada kognitif tinggi episode “Pembuat Gelang Simpay”, ternyata mayoritas
responden memiliki empati pada kognitif yang tinggi, yaitu sebanyak 41 (58,6 persen)
responden. Diketahui pula pada tidak ada responden yang memiliki empati pada afektif yang
sedang dan mayoritas responden memiliki empati pada afektif yang tinggi terhadap tayangan
episode “Pembuat Gelang Simpay”, yaitu sebanyak 61 (87,1 persen) responden. Tidak adanya
responden yang memiliki empati pada kognitif yang rendah dikarenakan tayangan ‘Jika Aku
Menjadi’ episode “Pembuat Gelang Simpay” adalah tayangan yang mudah dimengerti oleh
responden, sehingga mereka banyak mendapat pengetahuan dari tayangan tersebut. Berbeda
dengan afektif, responden memiliki rasa ‘kepekaan’ yang berbeda untuk merasakan apa yang
narasumber alami pada tayangan tersebut. Oleh karena itu, hasil penelitian menunjukkan
masih ada responden yang memiliki empati pada afektif yang rendah, yaitu sebanyak 9 (12,9
persen) responden.
79
6.3 Resume
Berdasarkan pembahasan di atas diketahui bahwa:
1.
Secara keseluruhan responden memiliki tingkat empati pada kognitif dan afektif yang
tinggi terhadap kemiskinan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’.
2.
Secara keseluruhan terpaan tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ berhubungan nyata dengan
empati remaja terhadap kemiskinan, baik kognitif maupun afektif.
3.
Responden memiliki tingkat empati pada kognitif dan afektif yang tinggi terhadap
kemiskinan setelah menonton tayangan ‘Jika Aku Menjadi’ episode “Pembuat Gelang
Simpay”.
Download