11 BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Alasan pemilihan Teori Teori yang

advertisement
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Alasan pemilihan Teori
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Childrens-Wellbeing. Teori ini merupan teori baru, sehingga teori yang digunakan masih
mengacu
pada
teori
Subjective
Well-being.
Karena
penelitian
ini
menggunakan anak-anak sebagai subjeknya, sehingga istilah yang dipakai
adalah istilah Childrens Well-being. Teori ini digunakan karena adanya
kessesuaian dengan fenomena yang terdapat dalam penelitian ini, tujuannya
untuk menjawab permasalahan penelitian menganai gambaran ChildrensWell-being pada anak Sekolah Dasar dengan status sosial ekonomi rendah di
SD Z Bandung.
2.2 Subjective Well-Being
2.2.1 Definisi Subjective Well-being
Subjective
well-being
merupakan
evaluasi
subyektif
seseorang
mengenai kehidupan termasuk konsep-konsep seperti kepuasan hidup, emosi
menyenangkan, fulfilment, kepuasan terhadap area-area seperti pernikahan dan
pekerjaan, tingkat emosi tidak menyenangkan yang rendah (Diener, 2003).
Ryan dan Diener menyatakan bahwa subjective well-being merupakan payung
istilah yang digunakan untuk menggambarkan tingkat well-being yang di alami
individu menurut evaluasi subyektif dari kehidupannya (Ryan & Diener, 2008).
11
repository.unisba.ac.id
12
Subjective well‐being yaitu evaluasi yang dilakukan seseorang terhadap
kehidupannya. Evaluasi tersebut bersifat kognitif dan afektif. Evaluasi yang
bersifat kognitif meliputi bagaimana seseorang merasakan kepuasan dalam
hidupnya. Evaluasi yang bersifat afektif meliputi seberapa sering seseorang
merasakan emosi positif dan emosi negatif. Seseorang dikatakan mempunyai
tingkat subjective well‐being yang tinggi jika orang tersebut merasakan
kepuasan dalam hidup, sering merasakan emosi positif seperti kegembiraan dan
kasih sayang serta jarang merasakan emosi negatif seperti kesedihan dan
amarah (Diener, Suh, dan Oishi, 1997).
Subjective well‐being merupakan salah satu prediktor kualitas hidup
individu karena subjective well‐being mempengaruhi keberhasilan individu
dalam berbagai domain kehidupan (Pavot & Diener, 2004). Individu dengan
tingkat subjective well‐being yang tinggi akan merasa lebih percaya diri, dapat
menjalin hubungan sosial dengan lebih baik, serta menunjukkan perfomansi
kerja yang lebih baik. Selain itu dalam keadaan yang penuh tekanan, individu
dengan tingkat subjective well‐being yang tinggi dapat melakukan adaptasi dan
coping yang lebih efektif terhadap keadaan tersebut sehingga merasakan
kehidupan yang lebih baik (Diener, Biswas‐Diener, & Tamir, 2004).
2.2.2 Dimensi Subjective Well-Being
Subjective Well Being (SWB) memiliki tiga komponen penting, yaitu
life satisfaction, adanya positif affect, dan tidak adanya afek negative
(absence negative affect) yang dirasakan individu (Diener, Lucas, Oishi,
repository.unisba.ac.id
13
2003). Dalam hal ini, ketiga komponen tersebut dapat dimasukan ke dalam
dua dimensi, yakti dimensi kognitif dan dimensi afektif.
a. Dimensi Kognitif
Dimensi kognitif berisi life Satisfaction, yakni penilaian kognitif
seseorang mengenai kehidupannya, apakah kehidupan yang dijalaninya
berjalan dengan baik. Life Satisfaction ini dapat diukur dengan melihat
derajat kepuasaan seseorang terhadap hidupnya. Life satisfaction
merupakan penilaian seseorang mengenai seberapa dekat kehidupannya
saat ini dengan kehidupan ideal (Pavot dan Diener, 1993).
Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi
secara sadar dan menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan, yang dapat
diukur secara global (global life satisfaction) atau dilihat dari area-area
tertentu dalam kehidupannya (specific domain satisfaction).
1). Global Satifaction
Global Satifaction didefinisikan sebagai judgement subjektif
individu
terhadap
kebermaknaan
seluruh
hidupnya,
(Diener,
dkk.1999). Dalam globallife satisfaction, seseorang melakukan
evaluasi terhadap kepuasan dari keseluruhan kehidupannya.
2). Spesific Domain Satifaction
Spesific domain satisfaction mencakup arean kepuasan (domain
satisfaction) individu diberbagai bidang kehidupannya seperti bidang
yang berkaitan dengan diri sendiri, keluarga, kelompok teman sebaya,
repository.unisba.ac.id
14
kesehatan, keuangan, pekerjaan dan waktu luang. Artinya, dimensi ini
memilki gmabaran yang multifacet. Hal ini menurut Diener (1984)
sangat bergantung pada budaya dan bagaimana kehidupan seseorang
itu terbentuk (termasuk dalam hal ini perkembangan usiannya).
Satifaction with domain family (kepuasan pada area keluarga)
merujuk pada evaluasi individu terhadap fungsi keluarganya dan pola
evaluasi individu terhadap fungsi keluarganya dan pola interaksi yang
terjadi diantara anggota keluarga (Caprara, Scabini, & Bandura,
2005). Satifaction with domain friends (kepuasan pada area teman)
pada masa anak dimulai dari keterbukaan diri (Bernt, 2000). yang
menumbuhkan penerimaan dan kekompakan dalam kelompok peer
(Waldrip & Campbell, 2002). Satifaction with domain school
(kepuasan pada area sekolah) didefinisikan sebagai evaluasi kognitif
terhadap kebutuhan individu di lingkungan sekolah (Verkyuten &
Thijs, 2002). Sekolah adalah bagian hidup yang penting pada masa
remaja dan memberikan kesempatan bagi pencapaian pada masa anak
dan memberikan kesempatan bagi pencapaian edukasi (Verkyuten &
Thijs, 2002). Satifaction with domain living environment (kepuasan
pada area tempat tinggal) merupakan penilaian subjektif terhadap
suasana di ruang tempat tinggalnya, lingkungan tempat tinggalnya,
dan hubungannya dengan anggota komunitas (Huebner, 1991).
Satifaction with domain self (kepuasan pada area diri) termasuk
didalamnya lingkungan social. (Branden, 1994).
repository.unisba.ac.id
15
b. Dimensi Afektif
Dimensi dasar dari Subjective Well Being adalah afek, di mana di
dalamnya termasuk emosi dan mood yang menyenangkan atau tidak
menyenangkan. Afek, emosi dan mood merupakan istilah yang berbeda
namun saling berkaitan (Robin, 1986).
Afek negative adalah sebuah dimensi suasana hati yang terdiri
atas kegugupan, stress, kegelisahan dan lain-lain. Afek positif dapat
diukur dari frekuensi munculnya emosi-emosi positif, sedangkan afek
negative dapat di ukur dari frekuensi munculnya emosi-emosi negatif
dalam keseharian hidupnya (Diener, 1999).
Lebih lanjut Diener (2003) menyatakan bahwa tingginya afek
positif bukan berarti rendahnya afek negative sebagai mana orang
melihatnya dalam sebuah kontinum. Oleh karena masing-masing berdiri
sendiri itulah keduanya harus diukur secara terpisah. Diener & Lucas
(2000) mengatakan dimensi afektif ini merupakan hal yang sentral untuk
Subjective Well Being.
Menurut Diener (1994) kepuasan hidup dan banyaknya afek
positif serta negative dapat saling berkaitan, hal ini disebabkan oleh
penilaian seseorang terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan, masalah,
dan kejadian-kejadian dalam hidupnya, dipengaruhi oleh banyaknya afek
yang dirasakannya selama melakukan penilaian Diener dkk. (2000).
Sekalipun kedua hal ini berkaitan, namun keduanya berbeda. Kepuasan
hidup merupakan penilain mengenai hidup seseorang (baik secara
repository.unisba.ac.id
16
menyeluruh maupun secara specific), sedangkan afek positif dan negatif
terdiri dari reaksi-reaksi berkelanjutan terhadap kejadian-kejafia yang
dialami.
Komponen kognitif dan afektif bersama-sama merepresentasikan
skor subjective well-being seseorang (Biswas & Diener 2000). Sesuai
dengan teori ini, maka seseorang dikatakan lebih bahagia tergantung dari
tiga kriteria: a). saat seseorang lebih puas dengan hidupnya, b) saat
banyak mengalami positif affect, c) saat jarang mengalami negative
affect(absence negative affect).
2.2.3 Domain utama children well-being (Diener)
Subjective well-being pada anak (children well-being) mengacu pada
delapan domain utama atau yang disebut dengan life domains. Domain
tersebut diambil dari hasil penelitian yang dilakukan pertama kali oleh Ferran
Cassas (dalam UNICEF, 2012) yang menunjukkan bahwa terdapat delapan
domain yang dianggap paling penting terkait dengan kesejahteraan anak,
yaitu :
1. Home satisfaction, yaitu kepuasan anak terhadap rumah tempat
tinggalnya, merasa aman ketika ada di rumah, dan hubungan
dengan orang-orang yang tinggal bersama
2. Satisfaction with material things, yaitu kepuasan anak terhadap
barang yang dimiliki, uang jajan, dan tempat pribadi, misalnya
kamar tidur
repository.unisba.ac.id
17
3. Satisfaction with the area living in, yaitu kepuasan anak terhadap
fasilitas yang dapat digunakan dan rasa aman yang dirasakan anak
ketika berada di lingkungan tempat tinggalnya
4. Satisfaction with health, yaitu kepuasan anak terhadap kondisi
kesehatan dan keadaan tubuhnya
5. Satisfaction with interpersonal relationship, yaitu kepuasan anak
terhadap orang-orang yang tinggal di sekitar rumah dan melakukan
hal-hal yang menyenangkan bersama-sama
6. Satisfaction with time organization,
yaitu
kepuasan anak
mengahabiskan waktu dengan kegiatan-kegiatan lain diluar jam
sekolah
7. School satisfaction, yaitu kepuasan anak terhadap guru, teman
8. Personal satisfaction, yaitu kepuasan anak terhadap kebebasan
yang dimiliki anak serta persiapan dalam menghadapi masa depan
2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being
Ada beragam faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being
individu yaitu:
a. Perbedaan jenis kelamin
Shuman (Eddington dan Shuman, 2008) menyatakan penemuan
menarik mengenai perbedaan jenis kelamin dan subjective wellbeing.Wanita lebih banyak mengungkapkan afek negatif dan depresi
dibandingkan dengan pria, dan lebih banyak mencari bantuan terapi untuk
mengatasi gangguan ini; namun pria dan wanita mengungkapkan tingkat
repository.unisba.ac.id
18
kebahagiaan global yang sama. Lebih lanjut, Shuman menyatakan bahwa
hal ini disebabkan karena wanita mengakui adanya perasaan tersebut
sedangkan pria menyangkalnya.
Penelitian yang dilakukan di Negara barat menunjukkan hanya
terdapat sedikit perbedaan kebahagiaan antara pria dan wanita (Edingtondan
Shuman, 2008). Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum tidak
terdapat perbedaan subjective well-being yang signifikan antara pria dan
wanita. Namun wanita memiliki intensitas perasaan negatif dan positif yang
lebih banyak dibandingkan pria.
b. Tujuan
Diener (dalam Carr, 2005) menyatakan bahwa orang-orang merasa
bahagia ketika mereka mencapai tujuan yang dinilai tinggi dibandingkan
dengan tujuan yang dinilai rendah. Contohnya, kelulusan di perguruan
tinggi negeri dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan kelulusan ulangan
bulanan.
Carr (2004) menyatakan bahwa semakin terorganisir dan konsisten
tujuan dan aspirasi seseorang dengan lingkungannya, maka ia akan semakin
bahagia, dan orang yang memiliki tujuan yang jelas akan lebih bahagia.
Emmons (dalam Diener, 1999) menyatakan bahwa berbagai bentuk tujuan
seseorang, termasuk adanya tujuan yang penting, kemajuan tujuan-tujuan
yang dimiliki, dan konflik dalam tujuan-tujuan yang berbeda memiliki
implikasi pada emotional dan cognitive well-being.
c. Agama dan Spiritualitas
repository.unisba.ac.id
19
Diener (2009) menyatakan bahwa secara umum orang yang
religiuscenderung untuk memiliki tingkat well being yang lebih tinggi, dan
lebihspesifik. Partisipasi dalam pelayanan religius, afiliasi, hubungan
denganTuhan, dan berdoa dikaitkan dengan tingkat well being yang lebih
tinggi.
Ada banyak penelitian yang menunjukkan bahwa subjective wellbeing berkorelasi signifikan dengan keyakinan agama (Eddington &
Shuman, 2008). Ellison (dalam Eddington & Shuman, 2008), menyatakan
bahwa setelah mengontrol faktor usia, penghasilan, dan status pernikahan
responden, subjective well-being berkaitan dengan kekuatan yang berelasi
dengan Yang Maha Kuasa, dengan pengalaman berdoa, dan dengan
keikutsertaan dalam aspek keagamaan.
Pengalaman
keagamaan
menawarkan
kebermaknaan
hidup,
termasuk kebermaknaan pada masa krisis (Pollner dalam Eddington &
Shuman,2008). Taylor dan Chatters (dalam Eddington & Shuman, 2008)
menyatakan agama juga menawarkan pemenuhan kebutuhan social
seseorang melalui keterbukaan pada jaringan sosial yang terdiri dari orangorang yang memiliki sikap dan nilai yang sama.
Carr (2004) juga menyatakan alasan mengikuti kegiatan keagamaan
berhubungan dengan subjective well-being, sistem kepercayaan keagamaan
membantu kebanyakan orang dalam menghadapi tekanan dankehilangan
dalam siklus kehidupan, memberikan optimisme bahwa dalam kehidupan
selanjutnya masalah-masalah yang tidak bisa diatasi saat ini akan dapat
repository.unisba.ac.id
20
diselesaikan. Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan religious memberikan
dukungan sosial komunitas bagi orang yang mengikutinya. Keterlibatan
dalam kegiatan keagamaan seringkali dihubungkan dengan lifestyle yang
secara psikologis dan fisik lebih sehat, yang dicirikan oleh prososial
altruistic behaviour, mengontrol diri dalam hal makanan dan minuman, dan
komitmen dalam bekerja keras.
Diener (2009) juga mengungkapkan bahwa hubungan positif antara
spiritualitas dan keagamaan dengan subjective well-being berasal dari
makna dan tujuan jejaring sosial dan sistem dukungan yang diberikan oleh
gereja atau organisasi keagamaan.
d. Kualitas hubungan sosial
Penelitian yang dilakukan oleh Seligman (dalam Diener &
Scollon,2003) menunjukan bahwa semua orang yang paling bahagia
memiliki kualitas hubungan sosial yang dinilai baik. Diener dan Scollon
(2003) menyatakan bahwa hubungan yang dinilai baik tersebut harus
mencakup dua dari tiga hubungan sosial berikut ini, yaitu keluarga, teman,
dan hubungan romantis.
Arglye dan Lu (dalam Eddington dan Shuman, 2008) menyatakan
bahwa kebahagiaan berhubungan dengan jumlah teman yang dimiliki,
frekuensi bertemu, dan menjadi bagian dari kelompok.
e. Kepribadian
Tatarkiewicz (dalam Diener 1984) menyatakan bahwa kepribadian
merupakan hal yang lebih berpengaruh pada subjective well-being
repository.unisba.ac.id
21
dibandingkan dengan faktor lainnya. Hal ini dikarenakan beberapa variabel
kepribadian menunjukkan kekonsistenan dengan subjective well-being
diantaranya self esteem.
Campbell (dalam Diener, 1984) menunjukkan bahwa kepuasan
terhadapdiri merupakan prediktor kepuasan terhadap hidup. Namun self
esteem ini juga akan menurun selama masa ketidakbahagiaan (Laxer dalam
Diener,1984).
2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Chidren well-being
Terdapat faktor-faktor yang secara khusus mempengaruhi subjective
well-being pada anak atau children well-being, yaitu :
1.
Context conditions and use of the time
Termasuk di dalamnya faktor sosioekonomi dan kultural, seperti
tingkat pendidikan orang tua/pengasuh, harta benda keluarga, dan
keadaan anggota keluarga terkait dengan pekerjaan (bekerja/tidak
bekerja).
2.
Population characteristic
Karakteristik tersebut mencakup
usia, jenis kelamin, tempat
kelahiran, keadaan rumah atau keadaan sekolah anak.
3.
Perseption and concern
Terkait dengan ekspresi anak akan benda yang dimiliki atau dalam
memandang kehidupan secara umum, baik di dalam maupun di luar
rumah.
repository.unisba.ac.id
22
2.3 Masa Anak Akhir
2.3.1 Definisi Masa Anak Akhir
Menurut Hurlock (1980) masa akhir kanak-kanak sering disebut
sebagai masa sekolah dasar. Akhir masa kanak-kanak (late childhood)
berlangsung dari usia enam tahun hingga tiba saatnya individu menjadi
matang secara seksual, yaitu sekitar tiga belas tahun bagi anak perempuan
dan empat belas tahun bag anak laki-laki, oleh orangtua disebut sebagai usia
yang “menyulitkan” , “tida rapi” atau “ usia bertengkar”. Pada awal dan
akhirnya, masa akhir anak-anak ditandai oleh kondisi yang sangat
mempengaruhi penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosial.
Permulaan masa akhir kanak-kanak ditandai dengan masuknya anak
ke kelas satu. Masuk kelas satu merupakan peristiwa penting bagi kehidupan
setiap anak sehingga dapat mengakibatkan perubahan dalam sikap, nilai dan
perilaku. Selama setahun atau dua tahun terakhir dari masa kanak-kanak
terjadi perubahan fisik yang menonjol dan hal ini juga dapat mengakibatkan
perubahan dalam sikap, nilai dan perilaku dengan menjelang berakhirnya
periode ini dan anak mempersiapkan diri, secara fisik, psikologis untuk
memasuki masa remaja.
Datangnya akhir masa kanak-kanak dapat secara tepat diketahui,
tetapi orang tidak mengetahui secara tepat kapan periode ini berakhir karena
kematangan seksual, yaitu kriteria yang digunakan untuk memisahkan masa
repository.unisba.ac.id
23
kanak-kanak dengan masa remaja timbulnya tidak selalu pada usia yang
sama.
2.3.2 Ciri-Ciri Masa Kanak-Kanak akhir
Orang tua, pendidik, dan ahli psikologi memberikan berbagai label
kepada periode ini dan label-label ini mencerminkan ciri-ciri utama dari
periode kanak-kanak akhir (Elizabeth B.Hurlock, 2004:146) :
1. Label yang digunakan oleh orang tua
a. Usia yang menyulitkan, yaitu masa dimana anak tidak mau lagi
menuruti perintah dan anak lebih banyak dipengaruhi oleh temanteman sebaya dibanding orang tua atau anggota keluarga lainnya.
b. Usia tidak rapih, yaitu masa dimana anak cenderung tidak
memperdulikan dan ceroboh dalam penampilan, dan kamarnya
sangat berantakan, terutama anak laki-laki. Hal tersebut juga
berlaku pada anak dengan peraturan keluarga yang ketat.
c. Usia bertengkar, yaitu dimana banyak terjadi pertengkaran dengan
anggota keluarga dan suasana rumah menjadi tidak menyenangkan
bagi semua anggota keluarga. Pada periode ini anak sering
menentang peraturan-peraturan orang tua dan anak mengharapkan
kebebasan yang lebih banyak dari yang diberikan oleh orang tua.
2. Label yang digunakan oleh pendidik
a. Usia sekolah dasar, pada usia tersebut anak diharapkan
memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap penting untuk
keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa. Anak
repository.unisba.ac.id
24
dituntut
untuk
mempelajari
berbagai
keterampilan,
baik
keterampilan akademik maupun dalam bidang ekstrakulikuler.
b. Periode kritis dalam dorongan berprestasi, yaitu dimana anak
membentuk kebiasaan untuk sukses, tidak sukses, atau sangat
sukses. Jika kebiasaan tersebut sudah terbentuk, maka kemampuan
tersebut cenderung menetap sampai dewasa.
3. Label yang digunakan oleh ahli psikologi
a. Usia berkelompok, yaitu dimana perhatian utama anak tertuju pada
keinginan diterima oleh teman-teman sebaya sebagai anggota
kelompok, terutama kelompok yang bergengsi dalam pandangan
teman-temannya.
b. Usia penyesuaian diri, yaitu dimana anak ingin menyesuaikan diri
dengan
standar
yang
disetujuikelompoknya,
baik
dalam
penampilan, cara berbicara, dan berperilaku.
c. Usia kreatif, yaitu suatu masa dalam rentang kehidupan dimana
akan ditentukan apakah anak-anak menjadi konformis atau
pencipta karya yang baru dan orisinal.
d. Usia bermain, yaitu berkembang luasnya minat dan kegiatan
bermain, dan bukan karena banyaknya waktu untuk bermain
2.3.3 Tugas Perkembangan Anak Akhir
Periode usia antara 6-12 tahun merupakan masa peralihan dari prasekolah ke masa Sekolah Dasar (SD). Masa ini juga dikenal dengan masa
peralihan dari kanak-kanak awal ke masa kanak-kanak akhir sampai
repository.unisba.ac.id
25
menjelang masa pra-pubertas. Pada umumnya setelah mencapai usia 6 tahun
perkembangan jasmani
dan rohani
anak telah semakin sempurna.
Pertumbuhan fisik berkembang pesat dan kondisi kesehatannya pun semakin
baik, artinya anak menjadi lebih tahan terhadap berbagai situasi yang dapat
menyebabkan terganggunya kesehatan mereka.
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980) tugas perkembangan masa
kanak-kanak akhir dan anak sekolah (umur 6 -12 tahun) yaitu:
1. Belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan permainan
Pada periode ini pertumbuhan otot dan tulang berlangsung secara cepat,
anak belajar menggunakan otot-ototnya untuk mempelajari berbagai
keterampilan, oleh karena itu, kebutuhan untuk beraktivitas dan bermain
sangatlah tinggi.
Anak laki-laki aktivitasnya lebih tinggi
jika
dibandingkan dengan anak wanita. Baik laki-laki dan wanita senang
bermain dalam kelompok. Makin tinggi kelas anak (usia) makin jelas ciri
khas permainan mereka. Implikasinya terhadap sekolah adalah: bahwa
sekolah
berkewajiban
untuk
membantu
anak
mencapai
tugas
perkembangan ini secara optimal. Untuk itu ada beberapa hal yang harus
diperhatikan oleh pendidik untuk mengoptimalkan pencapaian tugas.
a. Merencanakan dengan serius pemberian kesempatan-kesempatan
kepada anak untuk melakukan aktivitas-aktivitas fisik atau bermain.
b. Dalam belajar membatasi gerakan-gerakan anak secara ketat tidaklah
pantas dibandingkan tuntutan tugas perkembangan mereka.
repository.unisba.ac.id
26
c. Usaha yang dan seirus dalam menanggulangi gangguan perkembangan
fisik anak sangat diharapkan dari sekolah anak-anak yang sakit harus
diobati aats prakarsa sekolah.
2. Belajar membentuk sikap positif, yang sehat terhadap dirinya sendiri
sebagai makhluk biologis (dapat merawat kebersihan dan kesehatan diri).
Anak hendaknya mampu mengembangkan kebiasaan untuk hidup sehat
dan melakukan berbagai kebiasaan untuk memelihara keselamatan,
kesehatan, dan kebersihan diri.
3. Belajar bergaul dengan teman sebayanya.
Anak hendaknya telah mampu membina keakraban dengan orang lain
diluar lingkungan keluarga.
4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya
Pada usia 9 dan 10 tahun anak mulai menyadari peranan sesuai dengan
jenis kelaminnya. Anak wanita menampilkan tingkah lakunya sesuai
dengan yang diharapkan masyarakat sebagai wanita, demikian juga
halnya anak pria.
5. Belajar ketrampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung
Karena perkembangan intelektual dan biologis sudah matang untuk
bersekolah, maka anak telah mampu belajar di sekolah, anak dapat
belajar membaca, menulis, dan berhitung karena kemampuan berfikirnya
yang memungkunkan memahami konsep-konsep dan simbol-simbol.
repository.unisba.ac.id
27
6. Belajar mengembangkan konsep (agama, ilmu pengetahuan, adat istiadat)
sehari-hari.
Pada periode ini anak hendaknya mempunyai berbagai konsep yang
diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.Inti dari tugas perkembangan
saat ini adalah mengenal konsep-konsep untuk memudahkannya dalam
memahami
tentang
pekerjaan
sehari-hari,
kemasyarakatn,
kewarganegaraan, dan masalah yang menyangkut sosial.
7. Belajar mengembangkan kata hati (pemahaman tentang benar-salah,
baik-buruk)
Pada periode sekolah dasar anak hendaknya dapat mengontrol tingkah
laku sesuai dengan nilai dan moral yang berlaku, kecintaan terhadap nilai
dan moral hendaknya dikembangkan dengan sebaik-baiknya.
8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi (bersikap mandiri)
Tugas perkembangan pada masa ini adalah untuk membentuk pribadi
yang otonom, tanpa tergantung pada orang lain dalam mengambil
keputusan yang meyangkut dirinya, maupun peristiwa lain dalam
kehidupannya.
9. Belajar mengembangkan sikap positif kehidupan sosial.
Anak
mampu
belajar
untuk
menyadari
keanggotaannya
sebagi
masyarakat sekolah, anak harus belajr mematuhi aturan-aturan sekolah
dan mampu menyeimbangkan antara keinginannya untuk melakukan
repository.unisba.ac.id
28
kebebasan dengan kepatuhan terhadap kekuasaan orang tua, guru,
maupun orang dewasa lainnya.
2.4 Status Sosial Ekonomi
2.4.1 Definisi Status Sosial Ekonomi
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia status adalah keadaan atau
kedudukan (orang atau badan) dalam hubungan dengan masyarakat di
sekelilingnya. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto status sosial adalah
tempat seseorang secar umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan
orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta
kewajibannya.
Majer mengartikan status sosial ekonomi adalah kedudukan suatu
individu dan keluarga berdasarkan unsur-unsur ekonomi. Sedangkan menurut
FS. Chapin seperti yang dikutip oleh Kaare Svalastoga bahwa status sosial
ekonomi adalah posisi yang ditempati individu atau keluarga yang berkenaan
dengan ukuran rata-rata yang umum berlaku tentang kepemilikan kultural,
pendapatan efektif, pemilikan barang dan partisipasi dalam aktivitas
kelompok dari komunitasnya.
Dengan demikian, status sosial ekonomi adalah suatu tinggi
rendahnya prestise yang dimilki seseorang berdasarkan kedudukan yang
dipegangnya dalam suatu masyarakat berdasarkan pada pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhannya atau keadaan yang menggambarkan posisi atau
kedudukan suatu keluarga dalam masyarakat berdasarkan kepemilikan materi.
repository.unisba.ac.id
29
2.4.2 Tingkat Status sosial Ekonomi
Di sini dapat digaris bawahi bahwa status sosial dan ekonomi dapat
membedakan antara keluarga satu dengan keluarga lainnya. Menurut
Soerjono Soekanto (2001 : 263), status sosial ekonomi seseorang di ukur dari:
1. Ukuran kekayaan
Ukuran kekayaan, merupakan harta benda atau materi yang dimiliki
seseorang. Ukuran kekayaan tersebut dapat dilihat dari bentuk dan luas
rumah yang bersangkutan, luas kepemilikan tanah, kepemilikan barang
berharga dan fasilitas yang dimiliki.
2. Ukuran kekuasaan
Ukuran kekuasaan, merupakan wewenang atau kewenangan seseorang
yang dimilikinya karena kedudukan dalam masyarakat, lembaga atau
suatu perusahaan yang dipimpinnya.
3. Ukuran kehormatan
Ukuran kehormatan, merupakan kewibawaan yang dimiliki oleh
seseorang karena pembawaan atau kedudukan atau hal yang dianggap
oleh orang lain sesuatu yang terpandang. Biasanya mereka adalah
golongan tua atau mereka yang pernah berjasa pada masyarakat.
4. Ukuran ilmu pengetahuan
repository.unisba.ac.id
30
Ukuran ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang diperoleh seseorang
melalui proses belajar dalam suatu pendidikan baik pendidikan formal,
non formal, informal.
2.4.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Sosial Ekonomi Orangtua
Ada empat faktor utama yang menentukan ststus sosial ekonomi
seseorang yaitu:
1. Pendidikan
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar di dalam membentuk
tingkah laku seseorang, karena salah satu faktor yang penting dari usaha
pendidikan adalah pembentukan watak seseorang dimana watak
seseorang akan berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Seseorang yang
mempunyai tingkat pendidikan tinggi, biasanya memiliki intelektual
yang lebih baik, dapat berfikr kritis yang akan memberikan prasyarat
untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
2. Pekerjaan atau mata pencaharian
Pekerjaan merupakan suatu unit kegiatan yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang di suatu tempat untuk menghasilkan barang atau jasa.
Pekerjaan merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang. Adanya pekerjaan, maka seseorang akan
mengharapkan pendapatan sehingga imbalan dari kerja seseorang dan
merupakan penghasilan keluarga yang akan menghasilkan sejumlah
barang yang dimilikinya.
repository.unisba.ac.id
31
3. Penghasilan dan Pendapatan
Penghasilan atau pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa
uang maupun barang dari hasil sendiri yang dinilai dengan uang.
Pendapatan atau penghasilan yang diterima oleh seseorang dapat
diperoleh dari bermacam-macam sumber. Tiap-tiap keluarga dalam
memenuhi kebutuhannya memerlukan pendapatan yang sumbernya
berbeda-beda dengan yang lainnya. Kemajuan ilmu pengetahuan di
segala bidang menyebabkan tidak terhitungnya jumlah pekerjaan yang
ada dalam masyarakat. Dimana masing-masing pekerjaan memerlukan
bakat, keahlian atau kemampuan yang berbeda untuk mendudukinya.
4. Sosial
Kedudukan sosial dalam masyarakat mempunyai peranan yang penting
dalam membentuk tingkah laku, cara bersikap seseorang. Kedudukan
sosial juga dapat mempengaruhi cara pandang orang pribadi seseorang.
Sosial yang dimaksud dilihat dari kedudukan seseorang dalam suatu
pekerjaan yang dimiliki atau yang dilakukan.
2.4.4 Penggolongan Status Sosial Ekonomi Orang Tua
Menurut Soerjono Soekanto (1996:283) “ Pembagian pelapisan sosial
ekonomi dalam masyarakat terbagi menjadi tiga golongan yaitu lapisan atas,
lapisan menengah, lapisan bawah”. Adapun penggolongan status sosial
ekonomi berdasarkan kelas sosial ekonomi yang ada dalam masyarakat
adalah sebagai berikut:
repository.unisba.ac.id
32
1. Kelompok Sosial Ekonomi Atas
Yang termasuk dalam kelas ini adalah orang tua yang dapat memenuhi
hidup keluarganya baik kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder,
bahkan dapat memenuhi kebutuhan yang tergolong mewah. Lapisan
ekonomi mampu terdiri dari pejabat pemerintah, para dokter, dan
kelompok professional lainnya.
2. Kelompok Sosial Ekonomi Menengah
Orang tua yang termasuk dalam kelompok ini adalah orang tua yang
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menggunakan penghasilan
keluarga secara ketat terhadap kebutuhan yang dianggap penting. Lapisan
ekonomi menengah terdiri dari alim ulama, pegawai dan kelompok
wirausaha.
3. Kelompok Sosial Ekonomi Bawah
Kelompok yang termasuk kelas ini mengalami kekurangan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk kebutuhan yang paling sederhana
kadang-kadang masih dapat terpenuhi, akan tetapi ada pula sebagian
keluarga dari kelas ini yang tidak dapat memenuhinya. Lapisan ekonomi
miskin terdiri dari para buruh tani, buruh bangunan, buruh pabrik dan
buruh-buruh yang sejenis.
2.5 Kerangka Pemikiran
Masa akhir kanak-kanak sering disebut sebagai masa sekolah dasar.
Akhir masa kanak-kanak (late childhood) berlangsung dari usia enam tahun
repository.unisba.ac.id
33
hingga tiba saatnya individu menjadi matang secara seksual, yaitu sekitar tiga
belas tahun bagi anak perempuan dan empat belas tahun bagi anak laki-laki,
oleh orangtua disebut sebagai usia yang “menyulitkan”, “tidak rapi” atau
“usia bertengkar”. Pada awal dan akhirnya, masa akhir anak-anak ditandai
oleh kondisi
yang sangat mempengaruhi penyesuaian pribadi dan
penyesuaian sosial.
Salah satu fenomena yang terlihat cukup jelas terkait dengan anak
akhir terdapat di SD Negeri X Bandung. Sekolah Dasar ini merupakan
sekolah yang yang berada di salah satu daerah pemukiman padat di kota
Bandung, yaitu di daerah Kiaracondong Bandung. Salah satu ciri masyarakat
yang tinggal di lingkungan padat adalah lingkungan tersebut dihuni oleh
orang-orang yang memiliki status sosial ekonomi rendah. Sekelompok
mayarakat yang termasuk kelas sosial ekonomi rendah akan mengalami
kekurangan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebagian keluarga masih
bisa untuk memenuhi kebutuhan yang paling sederhana, akan tetapi ada pula
sebagian keluarga dari kelas ini yang tidak dapat memenuhinya. Berdasarkan
pendataan sensus nasional yang dilakukan tahun 2008, warga miskin di
Kecamatan Kiaracondong sebanyak 5.193 KK atau 21.616 orang (Rakyat,
Angka Kemiskinan di Bandung, 2012).
Ekonomi yang rendah akan memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kehidupan baik terhadap keluarga maupun secara langsung terhadap
anak-anak mereka. Dampak yang akan di dapat kepada keluarga mereka
adalah kecilnya pendapatan, aset keluarga minim, kurangnya akses pada
repository.unisba.ac.id
34
berbagai pelayanan berkualitas, kurangnya perawatan dan kepedulian,
terasing secara sosial. Sedangkan dampak yang anak didapat anak secara
langsung adalah kurang secara meterial, kurang nutrisi/ makanan, kurang
sehat dan edukasi, kesehatan mental, perlindungan. Oleh karena itu, dengan
adanya kondisi keluarga yang mayoritas tergolong ke dalam status sosial
ekonomi yang rendah, secara langsung akan berdampak terhadap beberapa
area dalam kehidupan anak yang berkaitan dengan kesejahteraan mereka.
SD Z Bandung merupakan satunya-satunya Sekolah yang berada
dekat tempat pembuangan sampah yang cukup besar di daerah tersebut, dan
tercium bau yang cukup menyengat ke dalam area sekolah. Selain itu,
menurut hasil wawancara dengan salah satu guru di SD Negeri X Bandung,
sebagian besar siswa dan siswi di sekolah ini berasal dari keluarga yang
memiliki status ekonomi rendah. Mayoritas orangtua siswa yang bekerja
hanya kepala keluarga saja, sedangkan istrinya tidak bekerja. Mereka bekerja
sebagai buruh, pedagang kecil, karyawan swasta, dan wiraswasta. Pendapatan
yang mereka miliki setiap bulannya berkisar antara Rp 500.000,00 – Rp
2.000.000,00. Oleh karena itu, dengan adanya kondisi sekolah dan kondisi
keluarga yang seperti ini, kemungkinan akan memberikan pengaruh terhadap
beberapa area dalam kehidupan anak, seperti kepuasaan anak terhadap
barang-barang yang mereka miliki (satisfaction with material thing),
kepuasan terhadap rumah (home satisfaction), dan kepuasan terhadap
kesehatannya (satisfaction with health). Hal ini terlihat dari hasil wawancara
dan observasi kepada siswa, dimana siswa merasa mereka ingin memiliki
repository.unisba.ac.id
35
kamar tidur pribadi, membeli mainan yang mereka inginkan, dan diberikan
uang jajan yang lebih banyak, sedangkan orangtua tidak dapat memenuhi
keinginan anak-anak sepenuhnya walaupun untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari, televisi, dan kendaraan bermotor masih dapat mereka penuhi.
Selain itu, karena siswa lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bermain
di luar rumah dibandingkan di rumah, sehingga kemungkinan anak merasa
lebih nyaman dan bahagia ketika diluar rumah ketika dapat bermain dengan
teman-temannya.
Anak-anak di sekolah ini sangat senang bermain baik di sekolah
maupun ketika sudah pulang sekolah. Mereka merasa senang karena mereka
memiliki banyak teman yang dapat ikut bermain dan melakukan hal-hal yang
menyenangkan bersama mereka mulai dari anak lain yang usianya lebih muda
sampai yang sudah remaja. Setelah pulang sekolah mereka memiliki waktu
yang lebih banyak untuk bermain dan biasanya mereka bermain di sekitar
rumah, seperti di jalan, di lapangan, dan kadang-kadang di dekat tempat
sampah. Mereka merasa aman ketika mereka bermain bersama karena
walaupun terdapat beberapa preman di sekitar tempat tinggal mereka, akan
tetapi preman disana ikut berbaur dengan anak-anak. Oleh karena itu,
kemungkinan pada beberapa area seperti kepuasan terhadap teman
(satisfaction with interpersonal relationship), kepuasan terhadap penggunaan
waktu (satisfaction with time organization), dan kepuasan terhadap
lingkungan sekitar rumah (satisfaction with area living in) menjadi hal yang
dianggap penting dan menyenangkan bagi anak-anak di sekolah ini.
repository.unisba.ac.id
36
Gambar 2.5 Skema Kerangka Pemikiran
Kiaracondong
merupakan lingkungan
padat. Ciri lingkungan
padat adalah dihuni oleh
masyarakat dengan status
sosial ekonomi rendah
SD X Bandung berasal dari
keluarga sosial ekonomi rendah
Dampak pada Keluarga:
 Kecilnya pendapatan
 Aset keluarga minim
 Kurangnya akses pada
berbagai
pelayanan
berkualitas
 Kurangnya perawatan
dan kepedulian
 Terasing secara sosial
Dampak langsung pada
anak:
 Kurang secara
meterial
 Kurang nutrisi/
makanan
 Kurang sehat dan
edukasi
 Kesehatan mental
 Perlindungan
Childrens well-being
 Anak kurang diperhatikan dalam hal
kebersihan dan kesehatannya
 Anak kurang merasa nyaman ketika ada di
rumah
 Anak kurang puas dengan mainan yang dmiliki
sekarang dan kamar tidurnya
 Anak merasa aman bermain di lingkungan
 Anak puas dengan teman-teman yang
dimilikinya
 Anak senang karna memiliki waktu untuk
benmain yang cukup banyak
repository.unisba.ac.id
Download