BAB I

advertisement
LAMPIRAN : PERATURAN
NOMOR
TANGGAL
TENTANG
DAERAH PROVINSI JAWA BARAT
1
: 11 TAHUN 2010
: 23 AGUSTUS 2010
: PENYELENGGARAAN KESEHATAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Visi Pembangunan Daerah Tahun 2005-2025 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan
Daerah Nomor 9 Tahun 2008 adalah “Dengan Iman Dan Taqwa, Provinsi Jawa
Barat Termaju Di Indonesia”. Visi tersebut diwujudkan melalui 5 (lima) misi
pembangunan yaitu : 1) Mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat yang berbudaya
ilmu dan teknologi, produktif dan berdaya saing; 2) Meningkatkan perekonomian yang
berdaya saing dan berbasis potensi Daerah, 3) Mewujudkan lingkungan hidup yang asri
dan lestari; 4) Mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang baik; 5) Mewujudkan
pemerataan pembangunan yang berkeadilan.
Selanjutnya dalam Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013,
Visi Pemerintah Daerah adalah : “tercapainya masyarakat Jawa Barat yang dinamis,
mandiri dan sejahtera”.
Dalam konteks pencapaian visi tersebut, pembangunan bidang kesehatan diprioritaskan
untuk meningkatkan angka harapan hidup (AHH), penurunan angka kematian ibu (AKI)
dan angka kematian bayi (AKB) melalui : peningkatan lingkungan kehidupan yang
sehat; pengembangan sistem kesehatan; peningkatan upaya pencegahan;
pemberantasan dan pengendalian penyakit menular serta tidak menular; peningkatan
kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan khususnya dokter, bidan (terutama bidan di
desa), perawat (utamanya perawat komunitas), sarjana kesehatan masyarakat,
sanitarian, tenaga ahli gizi komunitas dan lain-lain; peningkatan upaya kesehatan
preventif, promotif serta kuratif dan rehabilitatif yang terjangkau dan bermutu;
peningkatan pelaksanaan program hidup bersih dan sehat.
Perubahan lingkungan strategis dengan otonomi dan desentralisasi yang telah
berlangsung sewindu dengan dasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Komitmen Pemerintah Daerah terhadap
tercapainya Millenium Development Goals (MDGs) memerlukan penyesuaian
penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Daerah.
Karakteristik sosial budaya masyarakat di Daerah yang berpengaruh positif terhadap
pembangunan kesehatan tercermin dalam beberapa ekspresi budaya, misalnya
pertanyaan yang diajukan seseorang bila bertemu dengan orang lain adalah kumaha
damang? (apa kabar? sehat?), bahkan do‟a orang tua kepada generasi pelanjutnya
adalah menjadi orang yang „cageur, bageur, bener, pinter tur singer‟ (sehat, baik,
benar-ta‟at, pinter dan mandiri). Selain itu budaya silih asih, silih asah dan silih asuh.
(saling menyayang, saling mendidik dan saling menjaga) dalam bentuk rereongan/
gotong royong sebagai potensi kuat pemberdayaan masyarakat.
Situasi dan kondisi sosial ekonomi sesuai karakteristik Daerah yang menjadi
pertimbangan pembangunan kesehatan antara lain adalah (1) wilayah perkotaan dari
mulai kota-kota berskala metropolitan, kota-kota kabupaten sampai dengan kota-kota
kecamatan. (2) wilayah pedesaan yang sangat beraneka ragam, desa-desa
pegunungan, dataran rendah dan desa-desa pantai. (3) kondisi sosial ekonomi
masyarakat yang beraneka ragam kemampuannya untuk membayar layanan kesehatan.
2
(4) kondisi pemahaman terhadap arti kesehatan yang sulit di kalangan masyarakat
berpendapatan rendah. (5) kondisi keterbatasan dana pemerintah untuk memenuhi
seluruh kebutuhan pembangunan Kesehatan (6) migrasi dan urbanisasi penduduk yang
tinggi.
Beberapa potensi pelayanan kesehatan khusus di Daerah, antara lain RS Mata, RS Jiwa,
RS Gigi dan Mulut, Balai Kesehatan Kerja Masyarakat dan Balai Kesehatan Olah Raga
Masyarakat. Masalah kesehatan khusus antara lain gangguan penglihatan yang
mengancam kebutaan di Daerah, masih cukup besar dan memerlukan pelayanan
dengan teknologi lebih tinggi. Keberadaan RS Mata Cicendo yang telah ditetapkan
sebagai pusat rujukan nasional perlu dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan ini.
Demikian pula gangguan kejiwaan masyarakat, (hasil riset kesehatan dasar, prevalensi
gangguan jiwa tertinggi se-Indonesia), sehingga perlu pengembangan metoda
pelayanan yang komprehensif. Keberadaan rumah sakit jiwa telah ditetapkan sebagai
rujukan nasional, perlu dikembangkan. Hal lainnya, cleft center sebagai bagian dari
Rumah Sakit Gigi dan Mulut selama ini merawat dan merehabilitasi pasien celah bibir
dan langit-langit yang berasal dari berbagai tempat di Daerah maupun dari provinsi lain.
Pembangunan kesehatan di Daerah
masih menghadapi kendala, yang belum
sepenuhnya dapat diatasi. Diperlukan pemantapan dan upaya percepatan melalui SKP
sebagai bentuk dan cara pembangunan kesehatan disesuaikan dengan kondisi, situasi,
masalah dan potensi Daerah. SKP ini diharapkan dapat merespon seluruh tantangan
pembangunan kesehatan di masa kini dan di masa yang akan datang. Pengaruh internal
(perkembangan pola penyakit, demokrasi, desentralisasi, kearifan lokal) dan eksternal
(pengaruh globalisasi) dapat menjadi penyebab masalah kesehatan yang kompleks,
meskipun juga dapat menjadi peluang bagi pembangunan kesehatan. Daerah belum
memiliki sistem kesehatan, maka SKP menjadi sangat penting dalam rangka
mewujudkan perlindungan masyarakat sebagai penerima dan pemberi pelayanan (safety
patient, safety provider and safety community).
B. SKP
SKP adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Daerah,
mengacu kepada SKN, dan disesuaikan dengan kondisi, situasi, masalah, dan potensi
Daerah, guna menjamin tercapainya tujuan pembangunan kesehatan di Daerah, yaitu
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. SKP menghimpun
berbagai upaya Pemerintah, masyarakat dan sektor swasta yang secara terpadu dan
saling mendukung di Daerah dan Kabupaten/Kota, guna menjamin tercapainya
masyarakat yang sehat dan sejahtera.
SKP dilaksanakan dalam konteks pembangunan kesehatan secara keseluruhan, dengan
mempertimbangkan kondisi lokal yang umum dan spesifik, dengan determinan sosial
budaya seperti, kondisi kehidupan sehari-hari, tingkat pendidikan, pendapatan keluarga,
distribusi kewenangan, keamanan, sumberdaya, kesadaran masyarakat, serta
kemampuan tenaga kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah tersebut.
C. MAKSUD DAN KEGUNAAN SKP
Penyusunan SKP dimaksudkan untuk menjadi dasar pengembangan kebijakan
pembangunan kesehatan di Daerah, dan dapat dipergunakan sebagai pedoman bentuk
cara penyelenggaraan kesehatan di Daerah, baik oleh masyarakat, swasta maupun oleh
Pemerintah Daerah, serta pihak terkait lainnya.
Penyusunan SKP mempertegas makna pembangunan kesehatan, dalam rangka
pemenuhan hak asasi manusia, memperjelas pelaksanaan pembangunan kesehatan
sesuai dengan RPJPD tahun 2005-2025, memantapkan kemitraan dan kepemimpinan
yang transformatif, melaksanakan pemerataan upaya kesehatan yang terjangkau dan
bermutu serta peningkatan investasi kesehatan.
3
SKP disusun dengan memperhatikan revitalisasi pelayanan kesehatan dasar (Primary
Health Care), seperti revitalisasi Puskesmas yang perlu mengutamakan upaya preventif
dan promotif didukung oleh upaya kuratif dan rehabilitatif serta pengembangan
pelayanan Dokter Keluarga bersanding dengan Jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat, membina kesehatan keluarga dan memberi pengobatan jika diperlukan.
SKP juga disusun dengan memperhatikan 1). Cakupan pelayanan yang adil dan merata,
2) Pemberian pelayanan kesehatan yang berpihak kepada masyarakat miskin, 3)
Kebijakan pembangunan kesehatan yang mengutamakan upaya pemeliharaan,
perbaikan dan perlindungan kesehatan masyarakat (safety patient, safety provider and
safety community) dan 4) kepemimpinan perubahan, dan responsif gender.
D. LANDASAN SKP
Landasan SKP meliputi :
1. Landasan Idiil : Pancasila
2. Landasan Konstitusional : yaitu Undang-Undang Dasar 1945, khususnya: Pasal
28 A, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya; Pasal 28 B ayat (2), setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang; 28 C ayat (1), setiap orang
berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak
mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi
kesejahteraan umat manusia; Pasal 28 H ayat (1), setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup
yang baik sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan ayat (3), setiap
orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat; serta Pasal 34 ayat (2), Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh masyarakat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan dan ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
3. Landasan Operasional meliputi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan penyelenggaraan SKP.
4
BAB II
PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN SKP
A. PERKEMBANGAN DAN TANTANGAN
1. KEPENDUDUKAN
Penduduk di Daerah cenderung meningkat dari tahun 2009 sebesar 42.693.951
menjadi 44,9 Juta tahun 2013. Peningkatan jumlah penduduk ini disebabkan adanya
pertumbuhan alami dan faktor migrasi netto yang positif yang berarti migrasi masuk
ke Daerah lebih besar dibandingkan migrasi yang keluar. Jumlah penduduk yang
terus meningkat harus diantipasi dengan baik dan dilakukan secara komprehensif.
Pemerintah Daerah melalui OPD dan instansi terkait lainnya perlu melakukan upaya
penanganan jumlah penduduk secara terpadu dan berkelanjutan agar laju
pertumbuhan penduduk tetap terkendali. Upaya ini perlu dibarengi dengan upaya
peningkatan sumberdaya manusia.
Selama 5 (lima) tahun terakhir, laju pertumbuhan penduduk (LPP) di Daerah dari
tahun ke tahun terus menurun. Pada Periode 2004-2005, LPP mencapai 2,09 %
menurun menjadi 1.94% pada periode tahun 2005-2006. Pada periode tahun 20062007 mengalami penurunan menjadi 1,84 % dan periode tahun 2007-2008 LPP
menurun kembali menjadi 1,71 % dan LPP periode 2008-2009 sebesar 1,20 %.
Secara rata-rata pertumbuhan penduduk dari tahun 2004-2009 adalah 1,90 % per
tahunnya.
Trend pertumbuhan penduduk cukup baik dan perlu dipertahankan oleh berbagai
pihak, utamanya kinerja dinas instansi terkait, mengingat tantangan pertumbuhan
penduduk dan tingkat fertilitas yang tinggi akan berdampak pada penyediaan
infrakstruktur yang besar dan memadai serta penyediaan lapangan pekerjaan dan
ketersediaan pangan. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, bisa berdampak pada
kerawanan sosial
Struktur penduduk yang cenderung muda bersamaan dengan makin bertambahnya
kelompok usia lanjut merupakan beban ganda bagi pembangunan. Dengan melihat
angka beban ketergantungan yang cenderung meningkat dari tahun 2007 sebesar
54,29% menjadi 54,19% pada tahun 2008 dan tahun 2009 sebesar 52,6%.
2. DERAJAT KESEHATAN
Sampai saat ini AKB telah dapat diturunkan dengan laju penurunan rata-rata 2,3 %
setiap tahunnya. Jika pada tahun 2003 AKB di Daerah masih berkisar 43,83 per 1000
kelahiran hidup, pada tahun 2007 AKB telah mencapai 39 per 1000 kelahiran hidup.
AHH selama periode tahun 2003-2008 telah mengalami kenaikan yang cukup berarti,
dari tahun 2003 sebesar 65,68 menjadi 67,80 pada tahun 2007. Diharapkan pada
tahun 2013 AHH dapat mencapai 71,32 tahun. AHH mencerminkan lamanya usia
seorang bayi baru lahir diharapkan hidup. Indikator ini dipandang menggambarkan
taraf hidup suatu bangsa. Beberapa faktor yang mempengaruhi AHH antara lain
adalah ekonomi, pendidikan, geografis.
Peningkatan umur harapan hidup waktu lahir merupakan tolok ukur keberhasilan
upaya kesehatan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Pencapaian indeks
kesehatan mengalami peningkatan dari 70,67 di tahun 2006, menjadi 71 pada
tahun 2007 dan menjadi 71,33 pada Tahun 2008. Skenario pencapaian indeks
pembangunan manusia 80 tahun 2015, sesuai dengan Peraturan Daerah 9 Tahun
2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat
Tahun 2005-2025.
5
Angka kematian ibu maternal menunjukkan jumlah kematian ibu karena kehamilan,
persalinan dan masa nifas pada setiap 1000 kelahiran hidup dalam satu wilayah pada
kurun waktu tertentu. AKI berguna untuk menggambarkan tingkat kesadaran perilaku
hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi lingkungan, tingkat pelayanan
kesehatan terutama untuk ibu hamil, pelayanan kesehatan sewaktu ibu melahirkan
dan masa nifas.
Survei yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat memperhitungkan
AKI sebesar 321,15 per 100.000 kelahiran hidup dengan pembagian perkelompok
wilayah. Bila dilihat menurut wilayah, AKI terbesar berada di wilayah Pantura dan
Cirebon, sedangkan yang terkecil berada di Bandung Raya dan Bodebek.
Survei kematian ibu dan anak di Daerah tahun 2008 menunjukkan bahwa penyebab
kematian ibu terbanyak adalah atonia uteri (16 %), eklampsi (13,6%) dan
perdarahan eklamsi berat (12,55%).
Beberapa determinan penting yang mempengaruhi AKI secara langsung antara lain,
status gizi, anemia pada kehamilan, keadaan tiga terlambat (3T) dan empat terlalu
(4T). Survei menunjukkan 53 % kematian ibu karena terlambat memutuskan, 27 %
karena terlambat dilayani dan 20 % karena transport. 32 % karena terlalu tua dan
31 % karena terlalu banyak. Faktor mendasar penyebab kematian ibu maternal
adalah tingkat pendidikan ibu, kesehatan lingkungan fisik maupun budaya, keadaan
ekonomi keluarga dan pola kerja rumah tangga. Adanya pandangan masyarakat
bahwa ibu hamil, melahirkan dan menyusui adalah proses alami, menyebabkan ibu
maternal tidak diperlakukan secara khusus, seperti dibiarkan dan membiarkan diri
untuk bekerja berat, makan dengan gizi dan porsi yang kurang memadai. Faktor
resiko lainnya berdasarkan penelitian di RSHS Bandung menunjukkan bahwa
peradangan gusi dan jaringan pendukung gigi pada ibu hamil merupakan faktor risiko
terjadinya BBLR. Prevalensi penyakit periodontal pada ibu hamil di Daerah adalah
70%.
Ditinjau dari sudut pendidikan, maka diduga terdapat korelasi yang kuat antara
pendidikan perempuan dengan besarnya AKI, seperti di daerah Pantura dimana AKInya tinggi dimana ternyata perempuan berumur 10 tahun keatas yang tidak
bersekolah mencapai 15,53%. Survei kematian ibu dan anak di Daerah pada tahun
2008 menunjukkan 40 % ibu maternal yang mati adalah lulusan SD (40 %).
Jumlah kematian ibu maternal dari laporan Kabupaten/Kota berfluktuasi dari tahun
2005-2006 sampai 2007 sebanyak 788, pada 2008 menjadi 724 dan pada 2009
menjadi 828.
Berdasarkan laporan rutin dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, jumlah kematian
bayi pada tahun 2004 adalah 1.868, tahun 2006 mengalami kenaikan menjadi 3.580
dan tahun 2007 naik lagi menjadi 4.277. Hasil survei kematian ibu dan anak di
Daerah tahun 2008 menunjukkan penyebab kematian bayi terbanyak adalah bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR) sebanyak 29 %, asfiksia 23 % dan kelainan
congenital 8 %. Kaitan dengan faktor pendidikan menunjukkan bahwa kematian bayi
terbanyak dialami oleh ibu yang berpendidikan SD (56 %).
Hasil laporan fasilitas pelayanan kesehatan ibu dan anak di Daerah dari tahun 20052007 menunjukkan peningkatan cakupan. Walaupun demikian masalah khas adalah
cakupan kunjungan kehamilan (K1) cukup tinggi (86 %), K4, 79,9 % tetapi cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan 68 % masih di bawah target sebesar 80 %.
Penelusuran pola kematian melalui autopsi verbal pada keluarga responden yang
mengalami kematian dalam rentang waktu satu tahun. Analisis perbandingan antara
hasil survei kesehatan rumah tangga tahun 1995 dan 2001 dengan riset kesehatan
dasar (Riskesdas) 2007 menunjukkan adanya transisi epidemiologis yang diikuti
dengan transisi demografi.
6
Proporsi kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat dari 49,9 %
menjadi 57 %, sedangkan proporsi penyakit menular menurun dari 31,2 menjadi
281 %.
Beberapa penyakit menular yang diamati memperlihatkan kecenderungan
peningkatan morbiditas, seperti TBC, malaria, demam berdarah dan HIV/AIDS.
Untuk penyakit TBC, case detection rate di Daerah tahun 2009 adalah 79,63 %.
Demam berdarah meskipun menunjukkan trend menurun namun angka kejadiannya
masih tinggi, sekitar 95/100000 penduduk pada tahun 2009. Penyakit HIV/AIDS
merupakah salah satu penyakit penyebab kematian, menular progresif bukan hanya
melalui hubungan seksual tapi juga melalui jarum suntik dan plasenta.
Kecenderungan peningkatan jumlah kasus HIV/AIDS di Daerah dari tahun 2009
sebanyak 1508 orang HIV/AIDS.
Selain itu, penyakit tidak menular di Daerah berdasarkan hasil riskesdas 2007,
menunjukkan beberapa prevalensi penyakit melebihi rata-rata nasional yaitu
prevalensi gangguan jiwa (20 %) dan merupakan prevalensi tertinggi di antara
seluruh provinsi di Indonesia. Prevalensi penyakit sendi, stroke, diabetes mellitus dan
tumor berturut-turut adalah 41,7; 9,3 ; 8,2 ; 1,3 dan 5,5. Obesitas sebagai faktor
risiko, juga memiliki prevalensi tinggi (22 %) melebihi angka nasional 19 %.
Persentase balita gizi buruk di Daerah masih tinggi (1,13 %). Disamping itu penyakit
gigi dan mulut pada anak sangat tinggi yaitu 89% dan 25,3% masyarakat
bermasalah dengan kesehatan gigi dan mulut. Masalah lain yang ditemukan adalah
banyaknya kasus celah bibir dan celah langit-langit pada bayi baru lahir. Kelainan
kongenital ini berkaitan erat dengan riwayat kehamilan ibu meliputi kurangnya
asupan gizi, kesalahan konsumsi obat maupun trauma pada kehamilan. Penderita
celah bibir dan langit-langit yang tidak dirawat menyebabkan gangguan status gizi
serta berpengaruh pada kesehatan mental dan sosial.
Dalam rangka meningkatkan kualitas hidup, kesehatan mata merupakan unsur yang
berperan besar. Angka kebutaan di Indonesia 1,5 % dari jumlah penduduk di Daerah
1,1 % dari jumlah penduduk, karena tingginya angka ini bukan saja menjadi masalah
kesehatan melainkan sudah menjadi masalah sosial/ekonomi. Kebutaan dapat
mempengaruhi perkembangan intelektual dan produktivitas manusia, sehingga bila
diukur dari sisi ekonomi akan menyebabkan kerugian finansial yang besar. Penyebab
utama kebutaan adalah katarak. Estimasi insidensi katarak di Daerah sebesar 0,7 %
X 56 % X jumlah penduduk. Hingga saat ini, cakupan pelayanan penanggulangan
kebutaan belum optimal.
B. ANALISIS LINGKUNGAN STRATEGIS
Perkembangan global, regional, nasional dan lokal saat ini merupakan faktor dinamis
yang mengalami perubahan serta sangat menentukan proses pembangunan di satu
daerah, termasuk di Daerah, yang berbatasan langsung dengan ibukota Republik
Indonesia.
1. TINGKAT GLOBAL
a. Komitmen Pemerintah Daerah, terhadap komitmen MDGs yang mengandung
banyak aspek kesehatan
b. Revitalisasi pembangunan pelayanan kesehatan dasar dasar yang dalam rencana
strategis pembangunan kesehatan di Daerah, disebut sebagai revitalisasi
Puskesmas.
c. Kesetaraan gender, sepenuhnya terpadu dalam upaya pembangunan kesehatan,
salah satu sebab masih tingginya AKI adalah masih rendahnya pendekatan
kesetaraan gender.
7
2. TINGKAT NASIONAL
Perkembangan proses politik, seperti desentralisasi, demokratisasi, dan politik
kesehatan, berdampak kepada kebijakan pembangunan kesehatan di Daerah. Oleh
karena itu, diperlukan adanya komitmen perlindungan, pemeliharaan dan perbaikan
kesehatan masyarakat, bukan hanya pelayanan pengobatan.
3. TINGKAT DAERAH
a. Proses desentralisasi dan demokratisasi di Daerah, yang diharapkan mampu
memberdayakan Daerah dalam menyehatkan masyarakatnya, namun dalam
kenyataannya belum sepenuhnya berjalan, bahkan menimbulkan euphoria di
Daerah yang bisa menghambat pembangunan kesehatan.
b. Secara geografis di wilayah Jawa Barat terdapat daerah rawan bencana yang
memerlukan penanggulangan masalah kesehatan.
c. Perangkat hukum yang terkait dengan kesehatan masih belum memadai,
kesadaran hukum masyarakat masih rendah, serta lemahnya penegakan hukum,
yang dapat mempengaruhi pembangunan kesehatan.
d. Pembangunan berwawasan kesehatan yang dicanangkan pada tahun 1999 tidak
terlaksana, sehingga upaya pengendalian dan perlindungan kesehatan, masih
sulit dilaksanakan.
Selain itu, pengamatan para pakar untuk menjawab tantangan di Daerah untuk
mencapai peningkatan lingkungan kehidupan yang sehat, pengembangan sistem
kesehatan, peningkatan upaya pencegahan-pemberantasan dan pengendalian
penyakit menular, peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan, serta
peningkatan pelayanan kesehatan antara lain:
a. Pertumbuhan penduduk yang cukup besar di Daerah, termasuk pertumbuhan
penduduk yang berpendapatan rendah, cukup menyulitkan pemberian layanan
kesehatan pada masyarakat.
b. Permasalahan pembangunan kesehatan yang bersifat kompleks di satu sisi dan di
sisi lainnya potensi dana Pemerintah bersifat terbatas.
c. Cakupan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang masih terbatas, serta
kemampuan puskesmas untuk melayani dan membina kesadaran masyarakat
yang belum memadai.
d. Dukungan keberadaan tenaga kesehatan yang masih kurang rasional dan
proporsional termasuk tenaga medis, yaitu dokter, bidan dan tenaga keperawatan.
e. Keberadaan obat dan distribusi obat, belum seluruhnya terjangkau oleh
masyarakat, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah dan adanya
peningkatan harga obat.
f. Status gizi yang terasa masih sangat kurang, terutama untuk menopang gizi bayi
dan ibu hamil, serta perkembangan fisik masyarakat berpendapatan rendah akibat
rendahnya kesadaran masyarakat dalam memahami gizi.
g. Beberapa lingkungan pemukiman di perdesaan dan perkotaan sangat tidak
memenuhi kesehatan terkait dengan pemenuhan air minum, pemenuhan sanitasi
lingkungan, pengendalian hujan oleh drainase, pengelolaan sampah dan
kebersihan, serta kandang ternak yang merapat ke permukiman.
h. Diperlukan peningkatan manajemen pengelolaan sarana kesehatan, seperti
manajemen perumahsakitan, manajemen pusat kesehatan masyarakat,
manajemen institusi layanan kesehatan lainnya, serta institusi aliansi masyarakat
dalam kesehatan.
8
BAB III
ASAS SKP
SKP adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Daerah,
yang selalu taat pada asas, yang menjadi landasan bagi setiap program dan kegiatan
pembangunan kesehatan. Acuan penyusunan SKP adalah SKN, karena asas-asas
pembangunan kesehatan mengacu pada SKN.
Pembangunan kesehatan di Daerah berdasarkan visi pembangunan yang ditetapkan
dalam Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 2008 adalah “ Dengan Iman dan Taqwa, Jawa
Barat sebagai Provinsi termaju di Indonesia‟ bermakna spiritual dengan pengembangan
kesalehan sosial bagi seluruh masyarakat, apapun agama yang dianutnya.
A. DASAR PEMBANGUNAN KESEHATAN
Pembangunan kesehatan berdasarkan asas-asas dalam SKN yang mengacu pada
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Jangka Panjang Nasional,
yang sejalan dengan RPJPD Provinsi Jawa Barat.
Pembangunan kesehatan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:
1. Perikemanusiaan
Pembangunan kesehatan harus berlandaskan pada prinsip perikemanusiaan yang
dijiwai, digerakkan dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa. Tenaga kesehatan perlu berbudi luhur, memegang teguh etika
profesi, dan selalu menerapkan prinsip perikemanusiaan dalam penyelenggaraan
pembangunan kesehatan.
2. Pemberdayaan dan kemandirian
Setiap orang dan masyarakat bersama dengan Pemerintah Daerah berperan,
berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Pembangunan
kesehatan harus mampu membangkitkan dan mendorong peran aktif masyarakat.
Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan berlandaskan pada kepercayaan atas
kemampuan dan kekuatan sendiri serta kepribadian bangsa dan semangat solidaritas
sosial serta gotong-royong. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat
dengan perhatian khusus pada penduduk rentan, antara lain: ibu, bayi, anak,
manusia usia lanjut dan keluarga miskin.
3. Adil dan merata
Dalam pembangunan kesehatan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam
memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, tanpa memandang suku,
golongan, agama, dan status sosial ekonominya. Setiap orang berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
4. Pengutamaan manfaat
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan
umum daripada kepentingan orang perseorangan atau golongan. Upaya kesehatan
yang bermutu diselenggarakan dengan memanfaatkan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta harus lebih mengutamakan pendekatan
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pembangunan kesehatan
diselenggarakan berlandaskan pada dasar kemitraan atau sinergi yang dinamis dan
tata penyelenggaraan yang baik, sehingga secara berhasilguna dan secara bertahap
dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan derajat
kesehatan masyarakat dan lingkungannya.
9
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa pembangunan kesehatan harus diupayakan
secara terintegrasi antara Pusat dan Daerah dengan mengedepankan nilai-nilai
pembangunan kesehatan, yaitu: a) berpihak pada masyarakat, b) bertindak cepat dan
tepat, c) kerjasama tim, d) integritas yang tinggi, serta e) transparansi dan
akuntabilitas.
B. DASAR SKP
Dasar penyelenggaraan SKP, sesuai SKN, mengacu kepada dasar-dasar sebagai
berikut :
1. Hak asasi manusia
Sesuai dengan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang menggariskan
setiap orang berhak atas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya tanpa membedakan suku, golongan, agama, jenis
kelamin, dan status sosial ekonomi. Setiap anak dan perempuan berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
2. Sinergisme dan kemitraan yang dinamis
SKP akan berfungsi baik untuk mencapai tujuannya apabila terjadi koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan sinergisme baik antar pelaku, antar subsistem SKP
maupun dengan sistem serta subsistem lain di luar SKP. Dengan tatanan ini, maka
sistem atau sektor lain, seperti pembangunan prasarana, keuangan dan pendidikan,
perlu berperan secara bersama-sama dengan sektor kesehatan untuk mencapai
tujuan pembangunan kesehatan di Daerah.
Pembangunan kesehatan harus diselenggarakan dengan menggalang kemitraan
yang dinamis dan harmonis antara Pemerintah Daerah dan masyarakat termasuk
swasta, dengan mendayagunakan potensi yang dimiliki masing-masing. Kemitraan
tersebut diwujudkan dengan mengembangkan jejaring yang berhasilguna dan
berdayaguna, agar diperoleh sinergisme yang lebih mantap dalam rangka mencapai
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
3. Komitmen dan tata kepemerintahan yang baik (good governance)
Agar SKP berfungsi baik, diperlukan komitmen yang tinggi dan dukungan serta
kerjasama yang baik dari para pelaku untuk menghasilkan tata penyelenggaraan
pembangunan kesehatan yang baik (good governance). Pembangunan kesehatan
diselenggarakan secara demokratis, berkepastian hukum, transparan, rasional,
profesional, serta bertanggungjawab dan bertanggunggugat (akuntabel).
4. Dukungan regulasi
Dalam menyelenggarakan SKP, harus ada dukungan regulasi berupa adanya
berbagai peraturan perundang-undangan yang mendukung penyelenggaraan SKP
dan didukung pula oleh penerapannya (law enforcement).
5. Antisipatif dan pro aktif
Setiap pelaku pembangunan harus mampu melakukan antisipasi atas perubahan
yang akan terjadi, berdasarkan pengalaman masa lalu atau pengalaman yang terjadi
di negara lain. Dengan mengacu pada antisipasi tersebut, pelaku pembangunan
kesehatan perlu lebih proaktif terhadap perubahan lingkungan strategis baik yang
bersifat internal maupun eksternal di Daerah. .
6. Responsif Gender
Dalam penyelenggaraan SKP, setiap penyusunan rencana kebijakan dan program
serta pelaksanaan program kesehatan harus menerapkan kesetaraan dan keadilan
gender.
10
Kesetaraan gender dalam pembangunan kesehatan adalah kesamaan kondisi bagi
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan
kesehatan dan kesamaan dalam memperoleh manfaat pembangunan kesehatan di
Daerah.
7. Kearifan Lokal
Penyelenggaraan SKP di Daerah harus memperhatikan dan menggunakan potensi
Daerah yang secara positif dapat meningkatkan hasilguna dan dayaguna
pembangunan kesehatan, yang dapat diukur secara kuantitatif dari meningkatnya
peranserta masyarakat dan secara kualitatif dari meningkatnya kualitas hidup
jasmani dan rohani. Dengan demikian kebijakan pembangunan Daerah di bidang
kesehatan harus sejalan dengan SKP, walaupun pelaksanaan praktisnya dalam
rencana pembangunan Daerah di bidang kesehatan, dapat disesuaikan dengan
potensi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat di Daerah terutama dalam
penyediaan pelayanan kesehatan dasar bagi masyarakatnya.
Karakteristik Daerah sebagaimana dinyatakan dalam visi pembangunan Daerah
dengan mencantumkan „Dengan iman dan takwa‟ di awal kalimat, memberi makna
dasar pembangunan Daerah yang agamis, yaitu pengembangan kehidupan
masyarakat yang makin diwarnai kesalehan sosial. Dengan kesalehan sosial yang
berlaku bagi seluruh agama seyogyanya akan nampak kehidupan masyarakat yang
lebih tertib, aman, harmonis dan bebas dari ketidak disiplinan, kejahatan dan
penyimpangan sosial. Seluruh sektor pembangunan di Daerah harus dilandasi
dengan nilai keshalehan sosial ini. Karakteristik sosial budaya masyarakat Jawa Barat
yang berpengaruh positif terhadap pembangunan kesehatan tercermin dalam
beberapa ekspresi budaya, misalnya do‟a orang tua kepada generasi pelanjutnya
adalah menjadi orang yang “cageur, bageur, bener, pinter tur singer” (sehat jasmani
dan rohani; baik hati; benar dan taat; pintar, produktif dan mandiri). Selain itu
budaya silih asih, silih asah dan silih asuh (saling menyayang, saling mendidik dan
saling menjaga) dalam bentuk rereongan (gotong-royong) sebagai potensi kuat
pemberdayaan masyarakat dalam mengembangkan masyarakat Jawa Barat yang
produktif dan berdaya saing.
Berdasarkan kondisi dan permasalahan kesehatan di Daerah, telah disepakati
perlunya program fokus yaitu peningkatan persalinan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan, pengendalian dan pemberantasan penyakit TBC dan pengembangan
perilaku hidup bersih dan sehat.
11
BAB IV
BENTUK POKOK
SKP
A. TUJUAN SKP
Tujuan SKP adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh seluruh potensi
Daerah, baik masyarakat, swasta maupun Pemerintah Daerah secara sinergis,
berhasilguna dan berdayaguna, sehingga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya di Daerah.
B. KEDUDUKAN SKP
1. Suprasistem SKP
Suprasistem SKP adalah SKN yang diarahkan untuk mencapai tujuan Bangsa
Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian,
abadi dan keadilan sosial. Dalam kaitan ini, undang-undang yang berkaitan dengan
kesehatan merupakan kebijakan strategis dalam pembangunan kesehatan di Daerah.
2. Kedudukan SKP dalam sistem pembangunan lainnya
Terwujudnya keadaan sehat di Daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yang tidak
hanya menjadi tanggungjawab sektor kesehatan, melainkan juga tanggungjawab
dari berbagai sektor lain terkait. Dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan,
SKP perlu menjadi acuan bagi sektor lain. Dalam penyelenggaraan pembangunan
provinsi, SKP dapat bersinergi secara dinamis dengan berbagai sistem pembangunan
lainnya seperti: Sistem Pendidikan Provinsi, Sistem Perekonomian Provinsi, Sistem
Ketahanan Pangan Provinsi, Sistem Hankam Provinsi, dan sistem-sistem provinsi
lainnya.
3. Kedudukan SKP terhadap Penyelenggaraan Pembangunan Kesehatan di
Daerah
Dalam pembangunan kesehatan, SKP merupakan acuan bentuk dan cara
penyelenggaraan pembangunan kesehatan di Daerah.
4. Kedudukan SKP terhadap berbagai sistem kemasyarakatan termasuk
swasta
Keberhasilan pembangunan kesehatan sangat ditentukan oleh dukungan sistem nilai
dan budaya masyarakat yang secara bersama terhimpun dalam berbagai sistem
kemasyarakatan.
Di pihak lain, berbagai sistem kemasyarakatan merupakan bagian integral dari SKP.
Dalam kaitan ini SKP dipergunakan sebagai acuan bagi masyarakat dalam berbagai
upaya kesehatan di Daerah. Keberhasilan pembangunan kesehatan ditentukan oleh
peran aktif swasta. Dalam kaitan ini potensi swasta merupakan bagian integral dari
SKP. Untuk keberhasilan pembangunan kesehatan, perlu digalang kemitraan yang
setara, terbuka, dan saling menguntungkan dengan berbagai potensi swasta. SKP
dapat mewarnai potensi swasta, sehingga sejalan dengan tujuan pembangunan
Daerah yang berwawasan kesehatan.
12
C. SUBSISTEM SKP
Pendekatan manajemen kesehatan dewasa ini dan kecenderungannya di masa depan
adalah kombinasi dari pendekatan: 1) Sistem, 2) Kontigensi, dan 3) Sinergi yang
dinamis. Mengacu pada subsistem dalam SKP, hanya tercantum 6 subsistem.
Berdasarkan analisis kondisi, masalah dan potensi di Daerah, maka diperlukan
tambahan 3 subsistem yang baru, yaitu 1) subsistem regulasi kesehatan 2) subsistem
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian dan pengembangan
kesehatan dan 3) subsistem kemitraan, sehingga keseluruhan subsistem dalam SKP
menjadi 9 subsistem, meliputi:
1. Subsistem upaya kesehatan
Untuk dapat mencapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya perlu
diselenggarakan berbagai upaya kesehatan dengan menghimpun seluruh potensi
masyarakat. Upaya kesehatan yang meliputi upaya kesehatan masyarakat dan upaya
kesehatan perorangan yangdiselenggarakan dengan pendekatan pencegahan,
peningkatan, pengobatan dan pemulihan (preventif, promotif, kuratif, dan
rehabilitatif) yang diselenggarakatan secara bersama antara Pemerintah Daerah,
masyarakat, dan dunia usaha dengan memberikan dukungan yang luas pada
masyarakat, dan dunia usaha untuk berperan dalam melaksanakan upaya kesehatan
yang berkualitas secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan, dengan
didasarkan pada Standar Pelayanan Minimal.
2. Subsistem pembiayaan kesehatan
Pembiayaan kesehatan bersumber dari berbagai sumber yakni Pemerintah,
Pemerintah Daerah, swasta, organisasi masyarakat dan masyarakat itu sendiri.
Oleh karena itu, pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil dan
berkesinambungan memegang peran yang sangat vital untuk penyelenggaraan
pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai berbagai tujuan dari pembangunan
kesehatan, antara linadalah pemerataan pelayanan kesehatan dan akses terhadap
pelayanan yang berkualitas.
Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan pembiayaan kesehatan paling sedikit 10%
dari APBD di luar gaji berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan dan keberlanjutan,
dan ditujukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan secara berkesinambungan,
berkeadilan, berdayaguna dan berhasilguna. Pembiayaan kesehatan di Daerah
diprioritaskan untuk pelayanan publik atau pelayanan kesehatan masyarakat yang
merupakan public goods yang menjadi tanggungjawab Pemerintah Daerah,
sedangkan untuk pelayanan kesehatan perorangan pembiayaannya bersifat private
goods, kecuali pembiayaan untuk orang miskin dan tidak mampu menjadi
tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan diselenggarakan melalui jaminan
pemeliharaan kesehatan dengan mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang paripurna (preventif, promotif, kuratif dan
rehabilitatif) yang pada waktunya diharapkan akan tercapai universal coverage
sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional.
3. Subsistem sumberdaya manusia kesehatan
Sebagai pelaksana upaya kesehatan, diperlukan sumberdaya manusia kesehatan
yang mencukupi dalam jumlah, jenis dan kualitasnya, serta terdistribusi secara adil
dan merata, sesuai tuntutan kebutuhan pembangunan kesehatan. Oleh karena itu,
SKN juga memberikan fokus penting pada pengembangan dan pemberdayaan
sumberdaya manusia kesehatan, guna menjamin ketersediaan dan pendistribusian
sumberdaya manusia kesehatan. Pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya
manusia kesehatan meliputi: 1) perencanaan kebutuhan sumberdaya manusia yang
13
diperlukan, 2) pengadaan yang meliputi pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan
sumberdaya manusia kesehatan, 3) pendayagunaan sumberdaya manusia
kesehatan, dan 4) pembinaan serta pengawasan sumberdaya manusia kesehatan.
Sebagai pengguna dari hasil pendidikan tenaga pada institusi pendidikan tenaga
kesehatan Dinas melaksanakan kemitraan dengan Dinas Pendidikan dan perguruan
tinggi serta institusi pendidikan kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu dan
kompetensi
lulusan. Pada keadaan tertentu, Daerah dapat melaksanakan
pengadaan tenaga kesehatan strategis sesuai dengan kebutuhan.
4. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan
Subsistem kesehatan ini meliputi berbagai kegiatan untuk menjamin aspek
keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan yang beredar; ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat,
terutama obat esensial; perlindungan masyarakat dari penggunaan obat yang salah,
penyalahgunaan obat dan penggunaan obat yang tidak rasional; serta upaya
kemandirian di bidang kefarmasian melalui pemanfaatan sumberdaya dalam negeri.
5. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan
Subsistem ini meliputi manajemen kesehatan dan informasi kesehatan. Untuk
menggerakkan pembangunan kesehatan secara berhasilguna dan berdayaguna,
diperlukan manajemen kesehatan. Peranan manajemen kesehatan adalah koordinasi,
integrasi, sinkronisasi serta penyerasian berbagai subsistem SKP.
Dalam kaitan ini peranan informasi kesehatan sangat penting. Dari segi pengadaan
data dan informasi, kegiatannya dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1)
pengumpulan, validasi, analisa dan desiminasi data dan informasi, 2) manajemen
sistem informasi, 3) dukungan kegiatan dan sumberdaya untuk unit-unit yang
memerlukan, dan 4) pengembangan untuk peningkatan mutu sistem informasi
kesehatan.
6.
Subsistem pemberdayaan masyarakat
SKP akan berfungsi optimal apabila ditunjang oleh pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat termasuk swasta bukan semata-mata sebagai sasaran pembangunan
kesehatan, melainkan juga sebagai subjek atau penyelenggara dan pelaku
pembangunan kesehatan. Oleh karenanya pemberdayaan masyarakat menjadi
sangat penting, agar masyarakat termasuk swasta dapat mampu dan mau berperan
sebagai pelaku pembangunan kesehatan. Pemberdayaan masyarakat meliputi pula
upaya peningkatan lingkungan sehat dari masyarakat sendiri. Pemberdayaan
masyarakat dan upaya kesehatan pada hakekatnya merupakan fokus dari
pembangunan kesehatan.
7. Subsistem regulasi kesehatan
Merupakan pengembangan dari subsistem manajemen dan informasi kesehatan.
Subsistem ini meliputi bentuk dan cara pengaturan, pembinaan dan pengawasan
serta penindakan terhadap berbagai aspek atau komponen upaya kesehatan untuk
perlindungan pasien, petugas/tenaga kesehatan dan masyarakat serta peningkatan
mutu pelayanan kesehatan, produk kesehatan dan makanan/minuman. Di dalamnya
termasuk kegiatan registrasi, lisensi, sertifikasi dan akreditasi serta pengulangannya
sesuai kebutuhan, dan kewenangan Daerah, berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
8. Subsistem pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian
dan pengembangan kesehatan
Merupakan pengembangan dari subsistem upaya kesehatan. Tujuan subsistem ini
adalah mewujudkan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan
pengembangan kesehatan yang berdaya guna dan berhasil guna dalam
14
memperoleh/menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengetahuan lain
yang diperlukan untuk
menentukan kebijakan dan program pembangunan
kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggitingginya. ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan lebih diarahkan untuk kuratif
dan rehabilitatif, sedangkan penelitian dan pengembangan kesehatan kesehatan
diarahkan untuk preventif dan promotif.
Pengaturan dan Pengendalian pengembangan Iptek serta penelitian diperlukan untuk
mencegah terjadinya hal hal yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
9. Subsistem kemitraan dan kerjasama
Merupakan pengembangan dari subsistem pemberdayaan masyarakat. Kemitraan
atau disebut juga “partnership” adalah bentuk kerjasama antarlembaga
pemerintahan yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif tingkat provinsi serta OPD,
lembaga swasta dan lembaga kemasyarakatan, termasuk Pemerintah dan
Kabupaten/Kota, agar pelaksanaan program pembangunan dapat lebih efektif,
efisien, produktif dan bermutu, berbasis norma, standar, prosedur dan kriteria yang
ditetapkan.
D. TATA HUBUNGAN ANTARSUBSISTEM DAN LINGKUNGANNYA
Penyelenggaraan SKP memerlukan keterkaitan antarunsur-unsur SKP sebagai suatu tata
hubungan yang efektif. Keterkaitan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Subsistem upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk penyelenggaraan subsistem tersebut
diperlukan berbagai upaya dengan menghimpun seluruh potensi Bangsa Indonesia.
Berbagai upaya tersebut memerlukan dukungan pembiayaan, sumberdaya manusia
kesehatan, ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman,
manajemen dan informasi kesehatan serta pemberdayaan masyarakat.
2. Subsistem pembiayaan kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan ketersediaan
pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan
termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna untuk terselenggaranya upaya
kesehatan secara merata, terjangkau, dan bermutu bagi seluruh masyarakat.
Tersedianya pembiayaan yang memadai juga akan menunjang terselenggaranya
subsistem sumberdaya manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat
kesehatan serta makanan dan minuman, subsistem manajemen dan informasi
kesehatan, serta subsistem pemberdayaan masyarakat.
3. Subsistem sumberdaya manusia kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan
tenaga kesehatan yang bermutu dalam jumlah yang mencukupi, terdistribusi secara
adil, serta termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna, sehingga upaya
kesehatan dapat diselenggarakan sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan
masyarakat. Tersedianya tenaga kesehatan yang mencukupi dan berkualitas akan
menunjang terselenggaranya subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sediaan
farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, subsistem manajemen dan
informasi kesehatan serta subsistem pemberdayaan masyarakat.
4. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman diselenggarakan
guna menjamin keamanan, khasiat, manfaat dan mutu seluruh produk sediaan
farmasi, alat kesehatan dan makanan yang beredar; menjamin ketersediaan,
pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan
masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; serta
penggunaan obat yang tidak rasional, dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
15
Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman saling terkait
dengan subsistem upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumberdaya kesehatan,
manajemen dan informasi kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat, sehingga
upaya kesehatan dapat diselenggarakan dengan berhasilguna dan berdayaguna.
5. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan diselenggarakan guna menghasilkan
fungsi-fungsi kebijakan kesehatan, administrasi kesehatan, informasi kesehatan, dan
hukum kesehatan yang memadai dan mampu menunjang penyelenggaraan upaya
kesehatan secara berhasilguna dan berdayaguna. Dengan manajemen kesehatan
yang berhasilguna dan berdayaguna dapat diselenggarakan subsistem upaya
kesehatan, subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya manusia
kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman, serta
subsistem pemberdayaan masyarakat, sebagai suatu kesatuan yang terpadu dalam
upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
6. Subsistem pemberdayaan masyarakat diselenggarakan guna menghasilkan individu,
kelompok, dan masyarakat umum yang mampu berperan aktif dalam
penyelenggaraan upaya kesehatan. Masyarakat yang berdaya akan berperan aktif
dalam penyelenggaran subsistem pembiayaan kesehatan, subsistem sumberdaya
manusia kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
minuman, serta subsistem manajemen dan informasi kesehatan.
Dalam kaitan ini, hubungan SKP dengan lingkungan strategisnya sangat penting artinya,
mengingat pembangunan kesehatan tidak dapat mencapai tujuannya tanpa
memperhatikan dengan seksama interaksi dengan lingkungan strategis tersebut, yang
meliputi: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Lingkungan tersebut terdapat di tingkat lokal, nasional, regional maupun global. Selain
itu, lingkungan termaksud dapat sebagai peluang maupun kendala.
16
BAB V
CARA PENYELENGGARAAN
SISTEM KESEHATAN PROVINSI
A. SUBSISTEM UPAYA KESEHATAN
1. Pengertian
Subsistem upaya kesehatan adalah upaya kesehatan yang diselenggarakan dalam
bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.
2. Tujuan
Terselenggaranya upaya kesehatan yang adil, merata, terjangkau dan bermutu guna
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
3. Analisis situasi
Situasi di Daerah adalah terdapat kesenjangan pelayanan kesehatan di daerah
perkotaan dan perdesaan akibat dari tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan,
kurangnya sarana prasarana dan kemudahan mengakses pelayanan kesehatan.
Besarnya pengaruh lingkungan dan perilaku masyarakat menimbulkan multiple
burden yaitu penyakit menular lama belum teratasi, penyakit menular yang lama
muncul kembali (re-emerging diseases ), penyakit menular yang baru (new emerging
diseases), serta penyakit tidak menular dan katastropis semakin meningkat.
Masalah kesehatan selain masih tingginya AKI dan AKB, upaya kesehatan lainnya
yang menjadi perhatian adalah pelayanan kesehatan tradisional, kesehatan
reproduksi, keluarga berencana, kesehatan sekolah, kesehatan olahraga, pelayanan
kesehatan pada bencana, pelayanan darah, kesehatan gigi dan mulut,
penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran, kesehatan matra, dan
kesehatan jiwa.
Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bidang kesehatan baik
konvensional maupun alternatif yang makin berkembang memerlukan pengaturan
lebih lanjut.
PROGRAM STRATEGIS DAERAH
a. Penanggulangan Penyakit TBC
Penanggulangan penyakit TBC secara komprehensif bukan hanya mencakup
pengobatan namun penanggulangan faktor risiko.
Upaya penanggulangan
penyakit TBC sesuai strategi Direct Observe Treatment Short Course (DOTS) yang
diterapkan pada seluruh pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta, di
tingkat dasar maupun rujukan .
Untuk itu, diperlukan dukungan dari lintas sektor dan seluruh stakeholder dalam
kebijakan, ketersediaan sumberdaya, sarana dan prasarana. Berkenaan dengan
hal tersebut, perlu menggerakkan peranserta seluruh masyarakat untuk
melakukan pengobatan secara tuntas dan berkesinambungan untuk memotong
rantai penularan dan menekan risiko MDR (Multiple Drugs Resistent). Penting
untuk melaksanakan pencatatan dan pelaporan secara akurat dengan validasi
data, serta melakukan kewaspadaan terhadap TB HIV.
b. Pelayanan kesehatan ibu dan anak
Upaya akselerasi penurunan AKI dan AKB menjadi tanggungjawab bersama
antara Pemerintah, swasta dan masyarakat dengan memberikan pelayanan
kesehatan komprehensif yang terjangkau dan berkualitas. Pelayanan kesehatan
ibu dan anak komprehensif mencakup pula terhadap berbagai penyakit yang
merupakan faktor risiko, serta determinan sosial budaya.
17
Oleh karena itu, diperlukan adanya Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat yang
mendukung Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengenai kesehatan ibu bayi
baru lahir dan anak.
c. PHBS ( perilaku hidup bersih dan sehat )
PHBS dilakukan dengan menggalang kebersamaan dan kemitraan, seluruh OPD
lintas sektor, serta seluruh stakeholder.
Meningkatkan peran masing-masing OPD dan stakeholder dalam upaya
kesehatan untuk pembangunan berwawasan kesehatan.
4. Unsur-unsur
Upaya kesehatan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan
peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan (promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif) dan didasarkan pada standar pelayanan minimal kesehatan, serta
paling kurang memenuhi kebutuhan kesehatan dasar masyarakat untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu atau masyarakat.
Unsur-unsur
upaya kesehatan meliputi; 1) kegiatan upaya kesehatan, 2)
sumberdaya upaya kesehatan, 3) pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan, 4)
penelitian dan pengembangan upaya kesehatan. Guna mengoptimalkan pencapaian
strategi tersebut, perlu melibatkan peran lembaga pemerintah maupun swasta
sekaligus masyarakat dan perseorangan.
Pelayanan kesehatan bersifat komprehensif yang mempunyai daya ungkit tinggi
dalam mewujudkan kualitas hidup masyarakat yang produktif. Selain itu pelayanan
harus berdasarkan standar profesi, sertifikasi , lisensi, akreditasi dan penegakan
hukum.
Upaya yang dilaksanakan perlu didukung oleh sumberdaya yang memadai. Untuk itu,
diperlukan pembinaan dan pengawasan yang berkesinambungan.
Peningkatan kualitas pelayanan didukung dengan pendidikan dan pelatihan (diklat)
serta penelitian dan pengembangan kesehatan (litbangkes) sesuai kebutuhan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
a. Kegiatan upaya kesehatan
Penyelenggaraan upaya kesehatan meliputi upaya kesehatan perseorangan dan
upaya kesehatan masyarakat dilaksanakan dalam bentuk kegiatan dengan
pendekatan peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan (promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif), yang dilaksanakan secara terpadu menyeluruh
dan berkesinambungan, meliputi : pelayanan kesehatan, pelayanan kesehatan
tradisional, peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit, penyembuhan
penyakit dan pemulihan kesehatan, penyakit menular dan tidak menular,
kesehatan lingkungan, kesehatan reproduksi, kesehatan ibu dan anak, perbaikan
gizi, kesehatan remaja, kesehatan usia lanjut dan penyandang cacat, gangguan
penglihatan dan pendengaran, kesehatan jiwa, keluarga berencana, kesehatan
sekolah, kesehatan olahraga, pelayanan kesehatan pada bencana, pelayanan
darah, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan matra dan bedah mayat.
Penyelenggaraan kegiatan upaya kesehatan diutamakan pada berbagai upaya
yang mempunyai daya ungkit tinggi dalam pencapaian sasaran pembangunan
kesehatan terutama penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, manusia usia
lanjut, dan keluarga miskin.
Kegiatan upaya kesehatan harus memperhatikan terwujud dan terpeliharanya
kualitas hidup penduduk sehingga menjadi manusia yang produktif secara sosial
dan ekonomi.
18
Penyelenggaraan kegiatan upaya kesehatan merupakan tanggungjawab
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota serta masyarakat,
yang pelaksanaannya harus memperhatikan fungsi sosial, nilai dan norma agama,
sosial budaya, moral dan etika profesi.
b. Sumberdaya upaya kesehatan
Sumberdaya upaya kesehatan terdiri dari sumberdaya manusia kesehatan, biaya,
sarana dan prasarana, sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta sistem informasi
kesehatan yang memadai guna terselenggaranya upaya kesehatan.
Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan, baik peningkatan, pencegahan,
pengobatan maupun pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau
masyarakat termasuk swasta.
c. Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan
Pelayanan kesehatan harus diberikan berdasarkan standar pelayanan yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah dengan mempertimbangkan masukan dari organisasi
profesi kesehatan, termasuk akademisi dan institusi pendidikan kesehatan.
Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan dilakukan secara berjenjang melalui
standardisasi, sertifikasi, lisensi, akreditasi, dan penegakan hukum yang dilakukan
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan organisasi profesi,
akademisi dan institusi kesehatan serta masyarakat.
d. Penelitian dan pengembangan upaya kesehatan
Penelitian dan pengembangan dilakukan utamanya untuk mendukung
peningkatan mutu upaya kesehatan yang berhasilguna dan berdayaguna.
Penelitian dan pengembangan didasarkan pada masalah kesehatan prioritas,
sumberdaya kesehatan, serta aspek terkait lainnya dengan memanfaatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sesuai.
5. Prinsip
a. Berkesinambungan dan paripurna
Upaya kesehatan bagi masyarakat diselenggarakan secara berkesinambungan
dan paripurna, meliputi upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan hingga
pemulihan, serta rujukan antartingkatan upaya kesehatan.
b. Bermutu, aman dan sesuai kebutuhan
Pelayanan dijalankan sesuai dengan standar yang berlaku. Pelayanan kesehatan
bagi masyarakat harus bermutu, terjamin keamanannya bagi penerima dan
pemberi pelayanan, dapat diterima masyarakat, efektif, dan sesuai, serta mampu
menghadapi tantangan globalisasi bermakna mutu pelayanan.
c. Adil dan merata
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan berasaskan adil dan merata.
d. Non diskriminatif
Setiap penduduk harus mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan,
tanpa memandang status sosial ekonomi, suku/ras, budaya, agama, dengan
tetap memperhatikan pengarusutamaan gender.
e. Terjangkau
Pelayanan kesehatan bermutu harus terjangkau baik dari segi akses dan biaya.
19
f. Teknologi tepat guna
Upaya kesehatan menggunakan teknologi tepat guna yang berbasis bukti.
Teknologi tepat guna berasas pada kesesuaian kebutuhan dan tidak
bertentangan dengan etika, moral dan nilai agama.
g. Bekerja dalam tim secara cepat dan tepat
Upaya kesehatan dilakukan secara kerjasama tim, keterlibatan seluruh pihak yang
kompeten dilakukan secara cepat dan tepat.
6. Penyelenggaraan
a. Upaya kesehatan
1) Penyelenggaraan kegiatan upaya kesehatan mencakup kesehatan fisik, mental
termasuk intelegensia dan sosial, meliputi :
a) upaya kesehatan perseorangan; dan
b) upaya kesehatan masyarakat;
2) Upaya kesehatan perseorangan adalah pelayanan kesehatan perseorangan yang
ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan memulihkan kesehatan
perseorangan dan keluarga.
3) Upaya kesehatan masyarakat adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit suatu
kelompok dan masyarakat.
4) Upaya kesehatan terdiri dari kegiatan-kegiatan yaitu :
a) Pelayanan kesehatan
(1) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan
konvensional maupun pelayanan kesehatan yang terdiri dari pengobatan
tradisional dan komplementer, dilaksanakan dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif, dengan mendahulukan pertolongan
keselamatan nyawa pasien dibandingkan kepentingan lainnya.
(2) Pelayanan kesehatan dasar adalah pelayanan kesehatan dimana terjadi
kontak pertama secara perorangan atau masyarakat dengan pelayanan
kesehatan sebagai awal dari proses pelayanan kesehatan langsung
maupun pelayanan kesehatan penunjang, dengan mekanisme rujukan
timbal-balik, termasuk penanggulangan bencana dan pelayanan gawat
darurat.
(3) Pelayanan kesehatan dilaksanakan dengan memberikan penekanan pada
pelayanan pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya
peningkatan, dan pencegahan, termasuk di dalamnya pelayanan
kebugaran dan gaya hidup sehat (healthy life style).
(4) Pelayanan kesehatan dapat dilaksanakan di rumah, tempat kerja maupun
fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama baik Puskesmas
dan jaringannya, dokter keluarga dan dokter gigi keluarga serta fasilitas
kesehatan lainnya milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah
Kabupaten/Kota, masyarakat maupun swasta. Hal ini dilaksanakan dengan
dukungan pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua dan ketiga
dalam sistem rujukan yang timbal balik.
(5) Pelayanan kesehatan diselenggarakan berdasarkan norma, standar,
prosedur dan kriteria pelayanan dengan memperhatikan masukan dari
organisasi profesi kesehatan dan masyarakat.
(6) Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat
mendukung upaya
kesehatan berbasis masyarakat.
20
(7) Penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat menjadi tanggungjawab
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat
didelegasikan kepada Puskesmas. Masyarakat termasuk swasta dapat
menyelenggarakan pelayanan kesehatan masyarakat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan dan dapat berkerjasama dengan
Pemerintah Daerah.
(8) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melaksanakan pelayanan
kesehatan masyarakat yang berhubungan dengan prioritas pembangunan
melalui kegiatan perbaikan lingkungan, peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit dan kematian serta paliatif. Pelaksanaan pelayanan
kesehatan masyarakat tingkat pertama didukung upaya kesehatan
penunjang seperti: surveilans, pencatatan dan pelaporan.
(9) Upaya revitalisasi Puskesmas, dilakukan dengan memvitalkan kembali
upaya-upaya preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif Puskesmas serta
upaya pemberdayaan masyarakat hidup sehat secara mandiri, dengan
menggerakkan dan mengefektifkan kembali basic six Puskesmas
(Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 218 Tahun 2004 ).
(10) Revitalisasi Puskesmas Pembantu dan revitalisasi Puskesmas Keliling,
disamping memberi pengobatan, mengutamakan upaya perbaikan PHBS,
dengan mengintensifkan upaya penyuluhan kesehatan dan pendidikan
kesehatan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Pembantu dan di lokasi
kunjungan Puskesmas Keliling. Pengembangan klinik kesehatan desa,
untuk desa-desa terpencil yang mengutamakan basic six Puskesmas pada
masyarakat desa, pengembangan “wilayah binaan“ bagi balai pengobatan,
DPS, BPS dan rumah bersalin, untuk membina masyarakat, lingkungannya
dalam berperilaku hidup bersih dan sehat.
(11) Pembinaan
langsung
ke
Puskesmas
oleh
Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota, agar basic six terlaksana secara efektif dan efisien untuk
mencapai kinerja yang lebih baik. Pembinaan dan monitoring pelaksanaan
upaya preventif, promotif di Kabupaten/Kota, dan Puskesmas agar
pencapaian kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Puskesmas
terpenuhi sesuai dengan rencana pencapaiannya. Penggalangan
kemitraan dan keterpaduan OPD serta stakeholder lainnya, untuk
mewujudkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat makin
berperilaku hidup bersih dan sehat.
(12) Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat tingkat kedua menjadi
tanggungjawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Dinas sebagai
fungsi teknisnya, yakni melaksanakan upaya kesehatan masyarakat yang
tidak sanggup atau tidak memadai dilakukan di tingkat puskesmas.
(13) Dalam penanggulangan penyakit menular, yang tidak terbatas pada batas
administrasi pemerintahan (lintas Kabupaten/Kota), maka tingkat yang
lebih tinggi (lintas provinsi) yang harus menanganinya.
(14) Pelaksanaan upaya kesehatan masyarakat tingkat ketiga menjadi
tanggung jawab Dinas dan Kementerian Kesehatan yang didukung dengan
kerja sama lintas sektor.
(15) Dinas dan Kementerian Kesehatan dalam fungsi teknisnya, melaksanakan
upaya kesehatan masyarakat dalam bentuk upaya rujukan dari upaya
kesehatan tingkat kedua.
(16) Institusi kesehatan masyarakat tertentu secara nasional dapat
dikembangkan untuk menampung perkembangan pelayanan kesehatan
masyarakat.
21
b) Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
(1) Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota
dan/atau masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan melalui kegiatan
penyuluhan, penyebarluasan informasi, atau kegiatan lain untuk
menunjang tercapainya hidup sehat.
(2) Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya yang dilakukan
oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota
dan/atau masyarakat untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah,
dan dampak buruk akibat penyakit.
(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota harus
menjamin ketersediaan fasilitas untuk kelangsungan upaya peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit.
c) Penyakit menular dan tidak menular
(1) Untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan
jumlah kesakitan, cacat, dan/atau meninggal dunia serta untuk
mengurangi dampak ekonomi akibat penyakit menular, Pemerintah
Daerah wajib melaksanakan upaya pencegahan, pengendalian dan
pemberantasan penyakit menular serta akibat yang ditimbulkannya.
(2) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit menular
dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
bagi individu atau masyarakat.
(3) Upaya pencegahan, pengendalian dan pemberantasan penyakit menular
serta akibat yang ditimbulkannya dilaksanakan dengan berbasis
kewilayahan dan dilakukan dengan melalui lintas sektor serta pihak lain.
(4) Pemerintah Daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis
dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar
dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat
menjadi sumber penularan di Daerah.
(5) Pemerintah Daerah melakukan surveilans terhadap penyakit menular skala
provinsi dan dalam melaksanakan surveilans dapat melakukan kerjasama
dengan masyarakat dan pihak lain serta provinsi lain.
(6) Pemerintah Daerah secara berkala menetapkan dan mengumumkan jenis
dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar
dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat
menjadi sumber penularan.
(7) Pemerintah Daerah menetapkan jenis penyakit yang memerlukan
karantina, tempat karantina, dan lama karantina.
(8) Pemerintah Daerah dalam menetapkan dan mengumumkan jenis dan
persebaran penyakit yang berpotensi menular dan/atau menyebar dalam
waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan jenis
penyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama
karantina berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
(9) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau
masyarakat melakukan upaya penanggulangan keadaan wabah, letusan,
atau kejadian luar biasa.
(10) Penentuan wilayah dalam keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar
biasa dan upaya penanggulangan dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
22
(11) Pencegahan penularan penyakit menular wajib dilakukan oleh masyarakat,
termasuk penderita penyakit menular melalui PHBS.
(12) Dalam pelaksanaan penanggulangan penyakit menular, tenaga kesehatan
yang berwenang dapat memeriksa tempat-tempat yang dicurigai sebagai
tempat berkembangnya vektor dan sumber penyakit lain.
(13) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan/atau
masyarakat melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan
penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya,
untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan berperilaku sehat
dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta akibat yang
ditimbulkan.
(14) Upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak
menular dilakukan melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif bagi individu atau masyarakat.
(15) Pengendalian penyakit tidak menular dilakukan dengan pendekatan
surveilans faktor risiko, registri penyakit, dan surveilans kematian.
Kegiatan tersebut bertujuan memperoleh informasi yang esensial serta
dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya
pengendalian penyakit tidak menular serta dilakukan melalui kerjasama
lintas sektor dan dengan membentuk jejaring.
(16) Pemerintah Daerah bersama masyarakat bertanggungjawab untuk
melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi yang benar tentang faktor
risiko penyakit tidak menular yang mencakup seluruh fase kehidupan,
antara lain meliputi diet tidak seimbang, kurang aktivitas fisik, merokok,
mengkonsumsi alkohol, dan perilaku berlalulintas yang tidak benar.
(17) Manajemen pelayanan kesehatan penyakit tidak menular meliputi
keseluruhan spektrum pelayanan baik promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif, dan dikelola secara profesional sehingga pelayanan kesehatan
penyakit tidak menular tersedia, dapat diterima, mudah dicapai,
berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat serta dititikberatkan pada
deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak menular.
d) Kesehatan lingkungan
(1) Upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas
lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia, biologi, maupun social, yang
memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggitingginya.
(2) Pemerintah Daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan
yang sehat dan tidak mempunyai risiko buruk bagi kesehatan, mencakup
lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan
fasilitas umum, yang bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan
kesehatan, antara lain:
- limbah cair;
- limbah padat;
- limbah gas;
- sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah;
- binatang pembawa penyakit;
- zat kimia yang berbahaya;
- kebisingan yang melebihi ambang batas;
23
- radiasi sinar pengion dan non pengion;
- air yang tercemar;
- udara yang tercemar; dan
- makanan yang terkontaminasi.
(3) Ketentuan mengenai standar baku mutu kesehatan lingkungan dan proses
pengolahan limbah mengacu pada Peraturan Pemerintah.
e) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk
mengembalikan status kesehatan, mengembalikan fungsi tubuh akibat
penyakit dan/atau akibat cacat, atau menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan
pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan.
(3) Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran
atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan.
f) Kesehatan reproduksi
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki
dan perempuan.
(2) Kesehatan meliputi: saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah
melahirkan; pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan
seksual; dan kesehatan sistem reproduksi.
(3) Kegiatan upaya kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui kegiatan
dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif untuk
menjamin bahwa setiap orang berhak menjalani kehidupan reproduksi dan
kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan/atau
kekerasan dengan pasangan yang sah, menentukan kehidupan
reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan
yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat
manusia sesuai dengan norma agama, menentukan sendiri kapan dan
berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak
bertentangan dengan norma agama, memperoleh informasi, edukasi, dan
konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat
dipertanggungjawabkan.
(4) Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan
sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu, dan
terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana.
(5) Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat promotif, preventif,
kuratif, dan/atau rehabilitatif, termasuk reproduksi dengan bantuan
dilakukan secara aman dan sehat, dengan memperhatikan aspek-aspek
yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
(6) Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan dengan tidak
bertentangan dengan nilai agama dan ketentuan peraturan perundangundangan.
(7) Pemerintah Daerah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggungjawab serta
bertentangan dengan norma agama dan ketentuan peraturan perundangundangan.
24
g) Kesehatan ibu dan anak
(1) Pemerintah Daerah harus mengutamakan upaya kesehatan ibu yang
ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu, sehingga mampu melahirkan
generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
(2) Pemerintah Daerah harus mengutamakan upaya pemeliharaan kesehatan
anak yang dilakukan sejak anak masih dalam kandungan, dilahirkan,
setelah dilahirkan, dan sampai berusia 18 (delapan belas) tahun.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan bayi dan anak menjadi tanggungjawab dan
kewajiban bersama bagi orang tua, keluarga, masyarakat, dan Pemerintah,
dan Pemerintah Daerah.
(4) Pemerintah Daerah harus mengupayakan agar anak yang dilahirkan wajib
dibesarkan dan diasuh secara bertanggungjawab sehingga memungkinkan
anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan optimal sesuai ketentuan.
(5) Pemerintah Daerah harus mengupayakan agar setiap anak berhak
memperoleh imunisasi dasar sesuai ketentuan peraturan perundangundangan untuk mencegah terjadinya penyakit yang dapat dihindari
melalui imunisasi sesuai ketentuan.
(6) Pemerintah Daerah harus mengupayakan agar setiap bayi dan anak berhak
terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak
kekerasan yang dapat mengganggu kesehatan.
(7) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat berkewajiban untuk
menjamin terselenggaranya perlindungan bayi dan anak serta
menyediakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan.
(8) Pemerintah Daerah menetapkan harmonisasi standar dan/atau kriteria
terhadap kesehatan bayi dan anak serta menjamin pelaksanaannya dan
memudahkan setiap penyelenggaraan terhadap standar dan kriteria yang
diselenggarakan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, dan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
h) Kesehatan remaja
(1) Pemerintah Daerah melaksanakan upaya pemeliharaan kesehatan remaja
yang ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat
dan produktif, baik sosial maupun ekonomi, termasuk untuk reproduksi
remaja, agar terbebas dari berbagai gangguan.
(2) kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan
reproduksi secara sehat.
(3) Upaya pemeliharaan kesehatan remaja dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(4) Pemerintah Daerah
berkewajiban menjamin agar remaja dapat
memperoleh edukasi, informasi, dan layanan mengenai kesehatan remaja
agar mampu hidup sehat dan bertanggungjawab sesuai dengan
pertimbangan moral nilai agama dan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
i) Kesehatan Usia Lanjut dan Penyandang Cacat
(1) Pemerintah daerah melaksanakan Upaya pemeliharaan kesehatan bagi
lanjut usia yang ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan
(2) produktif secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
25
(3) Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan
yang ramah usia lanjut dan memfasilitasi kelompok lanjut usia untuk dapat
tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
(4) Pemerintah daerah melaksanakan Upaya pemeliharaan kesehatan
penyandang cacat yang ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat
dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat, dan Pemerintah
wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan yang ramah
penyandang cacat dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap
hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.
(5) Upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia dan penyandang cacat
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
j) Perbaikan Gizi :
(1) Pemerintah Daerah melaksanakan Upaya perbaikan gizi masyarakat yang
ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat yang
dilakukan melalui : perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan
gizi seimbang; perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik dan kesehatan;
peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan
ilmu dan teknologi; dan peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi.
(2) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat bersama-sama
menjamin tersedianya bahan makanan yang mempunyai nilai gizi yang
tinggi secara merata dan terjangkau.
(3) Pemerintah Daerah berkewajiban menjaga agar bahan makanan memenuhi
standar mutu gizi yang ditetapkan dengan kententuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Penyediaan bahan makanan dilakukan secara lintas sektor dan
antarprovinsi, antarkabupaten atau antarkota.
(5) Upaya perbaikan gizi dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam
kandungan sampai dengan lanjut usia dengan prioritas kepada kelompok
rawan yaitu : bayi dan balita; remaja perempuan; dan ibu hamil dan
menyusui.
(6) Pemerintah Daerah melaksanakan harmonisasi standar angka kecukupan
gizi, standar pelayanan gizi, dan standar tenaga gizi pada berbagai tingkat
pelayanan.
(7) Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas pemenuhan kecukupan gizi
pada keluarga miskin dan dalam situasi darurat.
(8) Pemerintah Daerah bertanggungjawab terhadap pendidikan dan informasi
yang benar tentang gizi kepada masyarakat.
(9) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat melakukan upaya untuk
mencapai status gizi yang baik.
(10) Pemerintah Daerah bertanggungjawab meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap
peningkatan status gizi.
k) Kesehatan Jiwa
(1) Pemerintah Daerah melaksanakan upaya kesehatan jiwa yang ditujukan
untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang
sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat
mengganggu kesehatan jiwa.
26
(2) Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa dan masalah
psikososial, yang menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggungjawab
menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang setinggi-tingginya dan menjamin
ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan jiwa.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban untuk mengembangkan
upaya kesehatan jiwa berbasis masyarakat sebagai bagian dari upaya
kesehatan jiwa keseluruhan, termasuk mempermudah akses masyarakat
terhadap pelayanan kesehatan jiwa.
(5) Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat menjamin upaya
kesehatan jiwa secara preventif, promotif, kuratif, dan rehabilitatif,
termasuk menjamin upaya kesehatan jiwa di tempat kerja.
(6) Masyarakat berhak mendapatkan informasi dan edukasi yang benar
mengenai kesehatan jiwa dan hak sebagaimana dimaksud ditujukan untuk
menghindari pelanggaran hak asasi seseorang yang dianggap mengalami
gangguan kesehatan jiwa.
(7) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban menyediakan layanan
informasi dan edukasi tentang kesehatan jiwa.
(8) Upaya penyembuhan penderita gangguan kesehatan jiwa merupakan
tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat, yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan di tempat yang
tepat dengan tetap menghormati hak asasi penderita, yaitu tempat untuk
merawat penderita gangguan kesehatan jiwa pada fasilitas pelayanan
kesehatan khusus yang memenuhi syarat, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(9) Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga
negara,
meliputi
persamaan
perlakuan
dalam
setiap
aspek
kehidupan,kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.
(10) Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam
keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban
dan/atau keamanan umum, wajib mendapatkan pengobatan dan
perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
(11) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib melakukan
pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita
gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan
dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau
keamanan umum.
(12) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum (visum
et repertum psikiatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis
kedokteran jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan.
(13) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami
gangguan kesehatan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai
keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi sesuai ketentuan
preundang-undangan.
l) Keluarga berencana
(1) Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk
mengatur kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi
penerus yang sehat dan cerdas.
27
(2) Pemerintah Daerah bertanggungjawab dan menjamin ketersediaan tenaga,
fasilitas pelayanan, alat dan obat dalam memberikan pelayanan keluarga
berencana yang aman, bermutu, dan terjangkau oleh masyarakat.
m) Kesehatan sekolah
(1) Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan
hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta
didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan
menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas.
(2) Kesehatan sekolah diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal
atau melalui lembaga pendidikan lain.
n) Kesehatan Olahraga
(1) Upaya kesehatan olahraga ditujukan untuk meningkatkan derajat
kesehatan dan kebugaran jasmani masyarakat, yang merupakan upaya
dasar dalam meningkatkan prestasi belajar, kerja, dan olahraga.
(2) Upaya kesehatan olahraga dilaksanakan melalui aktivitas fisik, latihan fisik,
dan/atau olahraga dan lebih mengutamakan pendekatan preventif dan
promotif, tanpa mengabaikan pendekatan kuratif dan rehabilitatif, yang
serta diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat.
o) Pelayanan kesehatan pada bencana
(1) Pada saat bencana, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah
Kabupaten/Kota dan masyarakat wajib dan bertanggungjawab atas
ketersediaan sumberdaya, fasilitas dan pelaksanaan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh dan berkesinambungan, meliputi pelayanan kesehatan
pada tanggap darurat dan pascabencana.
(2) Pelayanan kesehatan mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang
bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih
lanjut.
(3) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus
ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut,
dan kepentingan terbaik bagi pasien. Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki.
(4) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, pemerintah maupun
swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.
Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan
pada bencana dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka
terlebih dahulu.
(5) Pemerintah Daerah membentuk sistem penanggulangan bencana di
Daerah dengan melibatkan lintas sektor terkait.
p) Pelayanan darah
(1) Pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang
memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan
kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial.
28
(2) Darah diperoleh dari pendonor darah sukarela yang sehat dan memenuhi
kriteria seleksi pendonor dengan mengutamakan kesehatan pendonor,
dimana darah yang diperoleh dari pendonor darah sukarela sebelum
digunakan untuk pelayanan darah, harus dilakukan pemeriksaan
laboratorium guna mencegah penularan penyakit.
(3) Penyelenggaraan donor darah dan pengolahan darah dilakukan oleh Unit
Transfusi Darah, Pemerintah Daerah, dan/atau organisasi sosial yang tugas
pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan.
(4) Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor
darah, penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian
darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan
kesehatan.
(5) Pelaksanaan pelayanan transfusi darah dilakukan dengan menjaga
keselamatan dan kesehatan penerima darah dan tenaga kesehatan dari
penularan penyakit melalui transfusi darah.
(6) Gubernur mengatur standar dan persyaratan pengelolaan darah untuk
pelayanan transfusi darah.
(7) Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas pelaksanaan pelayanan darah
yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Untuk kemudahan akses terhadap pelayanan darah, Pemerintah
Kabupaten/Kota mengembangkan kelompok donor darah desa melalui
pengembangan Desa/RW Siaga.
(8) Komponen darah dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan melalui proses pengolahan dan produksi. Hasil
proses pengolahan dan produksi dikendalikan oleh Pemerintah Daerah.
q) kesehatan gigi dan mulut
(1) Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan
kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan
pemulihan kesehatan gigi oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
masyarakat yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan.
(2) Kesehatan gigi dan mulut dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi
perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, dan usaha kesehatan
gigi sekolah.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin ketersediaan tenaga,
fasilitas pelayanan, alat dan obat kesehatan gigi dan mulut dalam rangka
memberikan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang aman, bermutu,
dan terjangkau oleh masyarakat.
r) Gangguan pengelihatan dan pendengaran
(1) Penanggulangan gangguan penglihatan dan pendengaran merupakan
seluruh kegiatan yang dilakukan meliputi pelayanan promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif yang ditujukan untuk meningkatkan derajat
kesehatan indera penglihatan masyarakat.
(2) Penyelenggaraan kegiatan kesehatan mata menjadi tanggungjawab
bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
29
(3) Daerah wajib melaksanakan penanggulangan gangguan penglihatan dan
pendengaran melalui kemitraan dengan RS Mata Cicendo sebagai Rujukan
Pelayanan Kesehatan Mata Nasional untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan mata di Jawa Barat.
s) Kesehatan Matra
(1) Kesehatan matra sebagai bentuk khusus upaya kesehatan diselenggarakan
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya dalam
lingkungan matra yang serba berubah di lingkungan darat, laut, dan udara.
(2) Kesehatan matra meliputi kesehatan lapangan, kesehatan kelautan dan
bawah air, serta kesehatan kedirgantaraan.
(3) Penyelenggaraan kesehatan matra harus dilaksanakan sesuai dengan
standar.
t) Kesehatan kerja
(1) Upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup
sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang
diakibatkan oleh pekerjaan, meliputi pekerja di sektor formal dan informal.
(2) Upaya kesehatan kerja berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang
berada di lingkungan tempat kerja, lingkungan Tentara Nasional Indonesia
baik darat, laut, maupun udara serta Kepolisian Republik Indonesia.
(3) Pemerintah menetapkan standar kesehatan kerja, dan pengelola tempat
kerja wajib menaati standar kesehatan kerja, menjamin lingkungan kerja
yang sehat serta bertanggungjawab atas terjadinya kecelakaan kerja yang
terjadi di lingkungan kerja, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan
melalui upaya pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi
tenaga kerja.
(5) Pemerintah Daerah meningkatkan Balai Kesehatan Kerja Masyarakat
Provinsi Jawa Barat sebagai pusat rujukan pelayanan kesehatan kerja
masyarakat di Jawa Barat dan koordinator
upaya dan pelayanan
kesehatan kerja masyarakat di Jawa Barat.
(6) Pekerja wajib menciptakan dan menjaga kesehatan tempat kerja yang
sehat dan menaati peraturan yang berlaku di tempat kerja.
(7) Dalam penyeleksian pemilihan calon pegawai pada perusahaan/instansi,
hasil pemeriksaan kesehatan secara fisik dan mental digunakan sebagai
bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan dilaksanakan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Majikan atau pengusaha wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan serta wajib
menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerja, dan
gangguan kesehatan akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan dan Pemerintah daerah
memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja.
u) Bedah mayat
(1) Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi. Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggungjawab atas upaya
identifikasi.
(2) Untuk kepentingan penegakan hukum, dapat dilakukan bedah mayat
forensik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
30
(3) Bedah mayat forensik pada dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau oleh
dokter lain, dalam hal tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke
tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkinkan.
(4) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas tersedianya
pelayanan bedah mayat forensik di wilayahnya sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(5) Pada tubuh yang telah terbukti mati batang otaknya, dapat dilakukan
tindakan pemanfaatan organ sebagai donor untuk kepentingan
transplantasi organ, dengan ketentuan pelaksanaan tindakan harus
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai
dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.
5) Upaya kesehatan diselenggarakan secara berkesinambungan, terpadu, dan paripurna
melalui sistem rujukan.
6) Rujukan upaya kesehatan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab secara
timbal balik baik horisontal maupun vertikal terhadap kasus penyakit atau masalah
penyakit atau permasalahan kesehatan. Rujukan dibagi dalam rujukan upaya
kesehatan perorangan dan masyarakat. Rujukan upaya kesehatan perorangan terdiri
dari rujukan kasus yang berkaitan dengan diagnosa, terapi dan tindakan medik
berupa pengiriman pasien, rujukan bahan pemeriksaan spesimen untuk pemeriksaan
laboratorium dan rujukan ilmu pengetahuan tentang penyakit; sedangkan rujukan
upaya kesehatan masyarakat terdiri dari rujukan sarana dan logistik, rujukan tenaga
dan rujukan operasional.
7) Rujukan upaya kesehatan perseorangan diselenggarakan dengan pendekatan
kewilayahan, diutamakan untuk kemudahan akses terhadap pelayanan medik dasar
dan/atau spesialistik serta subspesialistik. Bentuk penyelenggaraannya diatur lebih
lanjut dalam operasionalisasi penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaraan
upaya kesehatan dilaksanakan oleh sarana prasarana kesehatan dengan
menggunakan prinsip efisien dan efektif, seperti kasus yang bisa ditangani di tingkat
Puskesmas Dengan Tempat Perawatan tidak dirujuk ke Rumah Sakit tipe C.
b. Sumberdaya
1) Upaya Kesehatan dilaksanakan dengan didukung oleh sumberdaya berupa
sumberdaya manusia/tenaga kesehatan, biaya, sarana dan prasarana, sediaan
farmasi dan alat kesehatan, serta sistem informasi kesehatan yang memadai, guna
terselenggaranya upaya kesehatan.
2) Sumberdaya manusia/tenaga kesehatan :
a) Pelayanan kesehatan diselenggarakan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
kompetensi yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan tenaga
kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan pekerjaan profesi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
c) Setiap pimpinan penyelenggaraan Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat
harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan masyarakat yang dibutuhkan
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
d) Setiap pimpinan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan
harus memiliki kompetensi manajemen kesehatan perseorangan yang
dibutuhkan.
31
3) Biaya upaya kesehatan :
a) Pembiayaan pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama, kedua dan ketiga
untuk kelompok miskin dibiayai oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah,
sedangkan golongan ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang
diatur oleh Pemerintah.
b) Pembiayaan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat ditanggung oleh
Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama dengan masyarakat. Pemerintah
dan Pemerintah Daerah wajib membiayai pelayanan kesehatan masyarakat yang
ditujukan untuk menangani masalah kesehatan masyarakat yang menjadi
prioritas pembangunan.
c) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan
pada saat bencana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), atau bantuan
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
d) Pemerintah Daerah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan
darah, darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
e) Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau
pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum, ditanggung oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melalui APBN dan APBD
f) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab atas pemerataan
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peranserta
aktif masyarakat, termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita
gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.
4) Fasilitas pelayanan kesehatan :
a) Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas:
(1) pelayanan kesehatan perseorangan; dan
(2) pelayanan kesehatan masyarakat.
b) Fasilitas pelayanan kesehatan meliputi :
(1) pelayanan kesehatan tingkat pertama;
(2) pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan
(3) pelayanan kesehatan tingkat ketiga.
c) Fasilitas pelayanan kesehatan Pemerintah dan swasta dalam keadaan darurat
wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan terlebih dahulu, dan dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka.
d) Pemerintah Daerah dapat menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan
kesehatan serta pemberian izin beroperasi di Daerah, dengan ketentuan jumlah
dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh Pemerintah Daerah
dengan mempertimbangkan:
(1) luas wilayah;
(2) kebutuhan kesehatan;
(3) jumlah dan persebaran penduduk;
(4) pola penyakit;
(5) pemanfaatannya;
(6) fungsi sosial; dan
(7) kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
32
e) Ketentuan mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan serta
pemberian izin beroperasi berlaku pula untuk fasilitas pelayanan kesehatan
asing, dengan ketentuan tidak berlaku untuk jenis rumah sakit khusus karantina,
penelitian, dan asilum.
f) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama didukung oleh fasilitas
kesehatan penunjang, antara lain: apotik, optik, laboratorium dan lain
sebagainya, yang memenuhi standar yang telah ditetapkan. Hal ini dapat
diselenggarakan sebagai pelayanan yang bergerak (ambulatory) atau menetap,
dapat dikaitkan dengan tempat kerja seperti: klinik perusahaan, dapat
disesuaikan dengan lingkungan atau kondisi tertentu (kesehatan matra seperti
kesehatan haji, kesehatan kelautan, kesehatan penerbangan dan kesehatan
wisata).
g) Pemerintah Daerah wajib menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan perorangan
tingkat pertama di seluruh wilayah Jawa Barat sesuai kebutuhan, terutama bagi
orang miskin, daerah terpencil, perbatasan, serta yang tidak diminati swasta.
h) Dalam pengertian fasilitas pelayanan kesehatan perorangan, termasuk pelayanan
kesehatan berbasis masyarakat dalam bentuk Pos Kesehatan Desa (Poskesdes),
pengobatan tradisional serta pengobatan alternatif yang secara ilmiah telah
terbukti terjamin keamanan dan khasiatnya.
i) Pengembangan fasilitas pelayanan kesehatan tingkat kedua difokuskan pada
pengembangan regional/wilayah sehingga di setiap wilayah terdapat rumah sakit
yang dapat menjadi pusat rujukan beberapa Kabupaten/Kota.
j) Fasilitas pelayanan kesehatan perseorangan tingkat kedua adalah pelayanan
kesehatan spesialistik, menerima rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat
pertama, yang meliputi rujukan kasus, spesimen dan ilmu pengetahuan.
pelayanan kesehatan perorangan kedua dilaksanakan oleh dokter spesialis atau
dokter yang sudah mendapatkan pendidikan khusus dan mempunyai izin praktek
serta didukung sistem rujukan yang timbal balik.
k) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua harus memberikan
pelayanan kesehatan yang aman, sesuai, efektif, efisien dan berbasis bukti
(evidence based medicine) serta didukung penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
l) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua dapat dibantu dengan
fasilitas kesehatan penunjang, antara lain: apotik, optik, laboratorium dan lain
sebagainya.
m) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua yang bersifat tradisional
dan komplementer, dilaksanakan dengan berafiliasi dengan atau di rumah sakit
pendidikan.
n) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat kedua dapat dijadikan sebagai
tempat pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, sesuai dengan kebutuhan
pendidikan dan pelatihan. standar dan peraturan perizinan ditetapkan oleh
pemerintah dengan memperhatikan masukan dari pemerintah daerah, organisasi
profesi dan masyarakat.
o) Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat tingkat pertama menerima rujukan
kesehatan masyarakat berupa sarana, teknologi dan didukung oleh pelayanan
kesehatan masyarakat tingkat kedua.
p) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat membentuk fasilitas kesehatan yang
secara khusus ditugaskan untuk melaksanakan upaya kesehatan masyarakat
sesuai kebutuhan.
33
q) Fasilitas kesehatan penyelenggara pelayanan kesehatan masyarakat tingkat
kedua dibangun sesuai dengan standar. Fasilitas kesehatan milik pemerintah dan
swasta harus mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
serta dapat bekerjasama dengan unit kerja Pemerintah Daerah seperti:
laboratorium kesehatan, balai teknik kesehatan lingkungan, fasilitas kalibrasi
peralatan kesehatan dan lain-lain.
r) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat ketiga menerima rujukan
kesehatan perorangan dari pelayanan kesehatan di bawahnya, dan wajib
merujuk kembali ke fasilitas kesehatan yang merujuk.
s) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat ketiga adalah Rumah Sakit
Umum Kelas A, Rumah Sakit Khusus setara kelas A dan B, baik milik pemerintah
maupun swasta yang mampu memberikan pelayanan kesehatan subspesialistik
dan juga termasuk klinik khusus seperti pusat radiotherapy. Pelayanan
kesehatan perorangan ketiga didukung dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan
dan teknologi sesuai kebutuhan, dan fasilitas kesehatan penunjang, antara lain:
apotik, radiologi, optik, laboratorium dan lain sebagainya.
t) Fasilitas kesehatan masyarakat tingkat ketiga menerima rujukan kesehatan
masyarakat berupa sarana, teknologi maupun tenaga dari pelayanan kesehatan
masyarakat tingkat kedua. Pelaksana upaya kesehatan masyarakat tingkat ketiga
adalah Dinas, Unit kerja lain di tingkat provinsi, Kementerian Kesehatan dan unit
kerja lain di tingkat nasional.
u) Fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat tingkat ketiga dibangun sesuai standar
yang ditetapkan.
v) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat wajib menyediakan tempat dan
sarana lain yang diperlukan untuk bermain anak yang memungkinkan anak
tumbuh dan berkembang secara optimal serta mampu bersosialisasi secara
sehat. Sarana lain yang diperlukan wajib dilengkapi dengan sarana perlindungan
terhadap risiko kesehatan agar tidak membahayakan kesehatan anak.
5) Perbekalan kesehatan :
a) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan
keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial. Dalam menjamin
ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan
khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat
obat.
b) Pengelolaan perbekalan kesehatan berupa obat esensial dan alat kesehatan
dasar tertentu dilaksanakan dengan memperhatikan kemanfaatan, harga, dan
faktor yang berkaitan dengan pemerataan.
c) Pemerintah Daerah mendorong dan mengarahkan pengembangan perbekalan
kesehatan dengan memanfaatkan potensi Daerah yang tersedia dan diarahkan
terutama untuk obat dan vaksin baru serta bahan alam yang berkhasiat obat,
yang dilakukan dengan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, termasuk
sumberdaya alam dan sosial budaya.
d) Pemerintah Daerah menyusun daftar dan jenis obat yang secara esensial harus
tersedia bagi kepentingan masyarakat. Daftar dan jenis obat ditinjau dan
disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan
kebutuhan dan teknologi.
e) Pemerintah Daerah menjamin agar obat tersedia secara merata dan terjangkau
oleh masyarakat.
34
f) Dalam keadaan darurat, Pemerintah Daerah dapat melakukan kebijakan khusus
mengenai pengadaan dan pemanfaatan perbekalan kesehatan,
dilakukan
dengan mengadakan pengecualian terhadap ketentuan paten.
g) Pemerintah Daerah berwenang merencanakan kebutuhan perbekalan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan Daerah, dengan tetap memperhatikan pengaturan dan
pembinaan standar pelayanan yang berlaku secara nasional.
Pemerintah Daerah melaksanakan fasilitasi untuk terjaminnya ketersediaan bahan
imunisasi yang aman, bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat
untuk upaya pengendalian penyakit menular melalui imunisasi di Daerah.
c. Pembinaan dan pengawasan
1) Pembinaan upaya kesehatan
a) Pembinaan upaya kesehatan ditujukan untuk menjamin terselenggaranya
pelayanan kesehatan bermutu. Pelayanan kesehatan harus didukung dengan
standar pelayanan yang selalu dikaji dalam periode tertentu sesuai kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan. Pemerintah bertanggungjawab
terhadap penyusunan standar pelayanan tersebut, dan Pemerintah Daerah
menyusun harmonisasi standar pelayanan kesehatan tersebut disesuaikan
dengan kondisi dan potensi Jawa Barat.
b) Fasilitas pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan swasta, dengan ketentuan perizinan fasilitas pelayanan kesehatan
ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
c) Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tingkat ketiga dibangun sesuai dengan
standar dan perizinan yang ditetapkan oleh Pemerintah dengan memperhatikan
masukan
dari
Pemerintah
Daerah,
organisasi
profesi
kesehatan,
akademisi/institusi kesehatan dan masyarakat. Fasilitas pelayanan kesehatan
perorangan tingkat ketiga dapat didirikan melalui modal patungan dengan pihak
asing, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
d) Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan alat dan teknologi harus mendapat izin dari lembaga kesehatan
yang berwenang dan penggunaannya harus dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan dengan norma agama dan
kebudayaan masyarakat.
e) Pengobatan dan/atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran
dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan
kemanfaatan dan keamanannya.
f) Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab penyelenggaraan
pembangunan kesehatan di wilayahnya berkewajiban melakukan pembinaan
terhadap seluruh fasilitas pelayanan kesehatan termasuk swasta. Seluruh fasilitas
pelayanan kesehatan wajib memberikan laporan kegiatannya. Pembinaan upaya
kesehatan dilakukan oleh Pemerintah Daerah bersama dengan organisasi profesi
kesehatan dan masyarakat termasuk swasta. Swasta dapat melakukan
pembinaan upaya kesehatan di lingkup kerjanya masing-masing.
2) Pengawasan upaya kesehatan
a. Pengawasan ditujukan untuk menjamin konsistensi penyelenggaraan upaya
kesehatan yang dilakukan secara intensif, baik internal maupun eksternal oleh
Pemerintah Daerah, yang juga dapat melibatkan masyarakat dan swasta.
Hasil pengawasan digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap
masyarakat dan tenaga kesehatan selaku penyelenggara upaya kesehatan.
35
b. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan tanggungjawab Pemerintah
dan Pemerintah Daerah serta masyarakat yang dilaksanakan secara
bertanggungjawab, aman, bermutu serta merata dan non diskriminatif.
Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat.
c. Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengembangkan,
meningkatkan dan menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya, yang diawasi oleh
Pemerintah Daerah.
d. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan tradisional dibina dan diawasi oleh
Pemerintah Daerah agar terasa manfaatnya dan tidak merugikan masyarakat
e. Pemerintah daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan atau dengan cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
d. Penelitian dan pengembangan
Pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai
ditujukan untuk meningkatkan mutu upaya kesehatan.
Penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, meliputi antara lain:
1) Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan dihasilkan dari penelitian dan
pengembangan kesehatan yang diselenggarakan oleh pusat penelitian dan
pengembangan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat.
2) Pemerintah melaksanakan penelitian data dasar kesehatan, seperti riset kesehatan
dasar secara berkala.
3) Pemanfaatan dan penyebarluasan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan diatur
oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan dukungan organisasi profesi
kesehatan dan institusi pendidikan, yang dilakukan dengan membentuk pusat-pusat
penelitian dan pengembangan unggulan, jaringan informasi dan dokumentasi ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan.
4) Fasilitas pelayanan kesehatan berkewajiban untuk memberikan akses yang luas
bagi kebutuhan penelitian dan pengembangan di bidang kesehatan; dan
mengirimkan laporan hasil penelitian dan pengembangan kepada pemerintah
daerah atau Menteri.
5) Pelayanan kesehatan perorangan tingkat ketiga wajib melaksanakan penelitian dan
pengembangan dasar maupun terapan dan dapat dijadikan sebagai pusat
pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan, sesuai dengan kebutuhan pendidikan
dan pelatihan.
6) Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan, dapat
dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit, yang ditujukan untuk menegakkan
diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.
7) Bedah mayat klinis dilakukan atas persetujuan tertulis pasien semasa hidupnya atau
persetujuan tertulis keluarga terdekat pasien, dan dalam hal pasien diduga
meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat
klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau penyebab
kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.
8) Untuk kepentingan pendidikan di bidang ilmu kedokteran dan biomedik dapat
dilakukan bedah mayat anatomis di rumah sakit pendidikan atau di institusi
pendidikan kedokteran.
36
Bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan terhadap mayat yang tidak dikenal
atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya atas persetujuan tertulis orang
tersebut semasa hidupnya atau persetujuan tertulis keluarganya. Mayat harus telah
diawetkan, dipublikasikan untuk dicarikan keluarganya, dan disimpan paling kurang
1 (satu) bulan sejak kematiannya sesuai ketentuan perundang-undangan.
9) Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter
sesuai dengan keahlian dan kewenangannya. Dalam hal pada saat melakukan
bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis ditemukan adanya dugaan tindak
pidana, tenaga kesehatan wajib melaporkan kepada penyidik sesuai peraturan
perundang-undangan.
10) Penelitian yang dilaksanakan oleh badan asing dan/atau warga negara asing, harus
atas izin dan diawasi Pemerintah.
7. Keterkaitan dengan subsistem lain
a. Subsistem pembiayaan kesehatan
Upaya pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan pembiayaan kesehatan harus
memenuhi standar pelayanan kesehatan
dan terjangkau, dengan
mengoptimalkan upaya pola asuransi yang berdasarkan sumber dana yang
berasal dari masyarakat, pemberi kerja dan kewajiban negara. eluruh warga
negara Indonesia di Daerah harus dapat memanfaatkan jaminan kesehatan yang
sudah ada, antara lain Jamsostek, Jamkesmas, Askes dan lain-lain.
b. Subsistem sediaan farmasi alkes dan makanan
bahwa sediaan farmasi, alkes dan makanan harus saling mendukung terhadap
pengembangan subsistem upaya pelayanan kesehatan.
c. Keterkaitan dengan subsistem sumberdaya manusia
Setiap
upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
berkompeten dari institusi terakreditasi dan selalu mengembangkan kemampuan
diri dengan pendidikan kesehatan berkelanjutan.
d. Keterkaitan dengan Subsistem Manajemen dan Informasi Kesehatan , yaitu
adanya kebijakan teknis dan administrasi dalam peningkatan kualitas sistem
pencatatan dan pelaporan serta akses terhadap sistim informasi yang cepat,
akurat dan menyeluruh.
e. Keterkaitan dengan subsistem pemberdayaan masyarakat, bahwa upaya
kesehatan harus melibatkan masyarakat dengan mengaktifkan kembali upaya
kesehatan berbasis masyarakat (UKBM) dan kampanye
PHBS. Upaya
memandirikan masyarakat harus sesuai dengan paradigma sehat yang
menitikberatkan pada preventif dan promotif.
f. Keterkaitan dengan subsistem kemitraan, bahwa upaya pelayanan kesehatan
bukan hanya tanggungjawab Pemerintah, tapi perlu adanya dukungan dan
kemitraan dengan sektor terkait, swasta, organisasi profesi dan LSM.
g. Keterkaitan dengan Subsistem pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan penelitian pengembangan, bahwa untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan harus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan
melaksanakan penelitian dan pengembangan untuk peningkatan kualitas hidup
manusia.
37
h. Keterkaitan dengan subsistem regulasi
Upaya pelayanan kesehatan harus didukung oleh regulasi yang mengatur tentang
perizinan, standardisasi, akreditasi dan sistem rujukan yang menyeluruh berlaku
secara tegas dan konsisten bagi institusi pemerintah maupun swasta sesuai
kewenangan lokal, regional, nasional dan internasional.
B. SUBSISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN
1. Pengertian
Subsistem pembiayaan kesehatan adalah bentuk dan cara penyelenggaraan berbagai
upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk
mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mencapai derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.
Penggalian dana adalah usaha mencari, menemukan, dan mengumpulkan dana dari
berbagai sumber dana, baik dari pemerintah, masyarakat, swasta/dunia usaha,
bantuan atau pinjaman luar negeri, dan sumber lain yang tidak mengikat agar
tersedia dana yang mencukupi dan berkesinambungan, untuk mendukung
terselenggaranya pembangunan kesehatan.
Pengalokasian dana adalah upaya penentuan banyaknya biaya yang disediakan untuk
suatu keperluan perencanaan anggaran sesuai kebutuhan dengan mengutamakan
prinsip prioritas dan proporsional dalam jangka waktu tertentu.
Pembelanjaan dana adalah upaya pengeluaran dana kesehatan sesuai pengalokasian
anggaran, yang dikelola secara adil, transparan dan akuntabel agar termanfaatkan
secara berhasilguna dan berdayaguna, untuk menjamin terselenggaranya
pembangunan kesehatan.
2. Tujuan
Tujuan dari penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan adalah tersedianya
pembiayaan kesehatan dalam jumlah yang mencukupi, teralokasi secara proporsional
dan termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna, untuk menjamin
terselenggaranya pembangunan kesehatan guna meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
3. Analisis situasi dan kecenderungan
Besaran pembiayaan kesehatan APBD masih rendah, yaitu dibawah 5 %.
Perkembangan jumlah anggaran kesehatan pada tahun 2006 sebesar
Rp.82.338.438.521,- (2,5% dari total APBD). Pada tahun 2007 ada penurunan
menjadi Rp.50.905.893.164,- (2,37%). Tahun 2008 meningkat menjadi sebesar
Rp.60.477.524.272,- (2,02 % ) dan pada tahun 2009 terjadi peningkatan sangat
signifikan menjadi Rp.252.653.435.000,-. Walaupun ada peningkatan jumlah/besaran
anggaran kesehatan pada tahun 2009 dibandingkan tahun 2008, namun anggaran
tahun 2009 masih dibawah 5% (sekitar 3,98%) dari total APBD. Sesuai yang
diamanatkan dalam Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 2003 dan Ketetapan MPR
Nomor VI Tahun 2004, yaitu anggaran kesehatan ditingkatkan secara bertahap
mencapai 15% dari total APBD. Menurut WHO, anggaran kesehatan disetiap negara
minimal mencapai 5% dari Product Domestic Regional Bruto (PDRB). Menurut
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, besaran anggaran
kesehatan dialokasikan minimal 5% dari total APBN di luar gaji dan 10% dari total
APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Alokasi anggaran diharapkan diprioritaskan
untuk pelayanan publik (2/3 alokasi anggaran), terutama bagi penduuk miskin,
kelompok lanjut usia dan anak terlantar.
38
Pengalokasian dana Pemerintah belum efektif, lebih banyak dialokasikan pada upaya
kuratif, dibandingkan dengan biaya yang dialokasikan untuk upaya promotif dan
preventif.
Sumber pembiayaan kesehatan
dari masyarakat
masih bersifat orang
perseorangan, sehingga belum efektif dan efisien. Metode pembayaran masih
didominasi oleh pembayaran tunai (out of pocket), sehingga mendorong
penyelenggaraan dan pemakaian pelayanan kesehatan secara berlebihan serta
meningkatnya biaya kesehatan.
Dana bersumber dari dunia usaha belum efektif dan efisien, hal ini karena belum
ditopang oleh mekanisme kendali biaya. Penerapan prinsip kemitraan pemerintah
dan dunia usaha (public partnership) belum berkembang sehingga meningkatkan
biaya kesehatan.
Cakupan penduduk yaitu yang memiliki jaminan pemeliharaan kesehatan masih
rendah, baru mencapai 43,81% (termasuk Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK)
wajib, JPK sukarela, dan JPK masyarakat miskin) dari keseluruhan penduduk Jawa
Barat tahun 2008 yang sebagian besar berasal dari program jaminan pemeliharaan
kesehatan masyarakat miskin sebesar 10.700.175 jiwa atau 26 % dari penduduk
Jawa Barat. Masih banyak kelompok informal yang belum memiliki jaminan
kesehatan, namun ke depan jaminan kesehatan dikembangkan ke arah kebijakan
”universal coverage”
Dalam mendukung kebijakan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat mencapai
universal coverage (cakupan semesta) tahun 2014, maka seyogyanya penerapan
bagi masyarakat tidak miskin mempergunakan pendekatan spiritual, yaitu
keshalehan sosial yang menjadi dasar pembangunan di Daerah. Dengan pendekatan
ini, pembayaran premi jaminan kesehatan tidak didasarkan niat agar kalau sakit bisa
berobat gratis, tetapi atas dasar semangat rereongan dan infak atau sedekah bagi
warga yang jatuh sakit yang membutuhkan. Premi diprioritaskan sebagai infak dan
sepenuhnya dengan ketulusan sebagai amal ibadah masing-masing warga
masyarakat. Hal ini dapat dirintis dengan istilah Jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat „syariah‟.
Pendukung sumberdaya pembiayaan kesehatan belum optimal, seperti SDM
pengelola, sarana, prasarana, standar dan regulasi.
Belum adanya koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan simplifikasi (KISS) lintas sektor
terkait. Hal ini dapat dilihat dari pembangunan sektor lain yang berdampak pada
pembangunan sektor kesehatan, khususnya dalam hal penggalian sumber,
pengalokasian dan pemanfaatan dana untuk sektor kesehatan.
Belum ada regulasi berkaitan dengan pembiayaan kesehatan antara lain tentang
jaminan kesehatan Daerah dalam upaya pengembangan kepesertaan semesta
(Universal Coverage), regulasi tentang proporsi pembiayaan kesehatan antara Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota, khususnya untuk program prioritas, program
kesehatan lintas batas, daerah terpencil serta pembiayaan masyarakat miskin. Selain
itu juga belum ada regulasi pembiayaan kesehatan bersumber dari lintas sektor
terkait (pembangunan lintas sektor berwawasan kesehatan) serta kemitraan dengan
dunia usaha (Corporate Social Responsibility), perguruan tinggi, swasta,
LSM/kelompok masyarakat.
Pembiayaan kesehatan untuk orang miskin di Daerah belum mencukupi, sehingga
penggunaan surat keterangan tidak mampu masih tinggi. Kurangnya pembiayaan
tersebut disebabkan oleh rendahnya anggaran kesehatan.
Pembiayaan kesehatan cenderung semakin meningkat disebabkan berbagai faktor
yang berperan, antara lain : laju inflasi, kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran,
perubahan pola penyakit (multiple burden), perubahan pola pelayanan kesehatan,
39
perubahan pola hubungan pasien dengan dokter, meningkatnya permintaan
pelayanan kesehatan yang lebih baik dan bermutu, serta terlambatnya
mengembangkan mekanisme kendali biaya.
Sistem rujukan pelayanan kesehatan belum jalan secara berjenjang dan terstruktur,
Sehinggga cenderung beban biaya kesehatan lebih mahal bagi masyarakat, dan
rumah sakit terkesan menjadi puskesmas raksasa.
Dengan meningkatnya umur harapan hidup dan bertambahnya, jumlah penduduk
usia lanjut, cenderung mendorong penggunaan penerapan pelayanan teknologi
canggih dan perubahan pola penyakit sehingga meningkatnya biaya kesehatan.
4. Unsur-unsur
a. Sumber pembiayaan
Dana digali dari sumber Pemerintah baik dari sektor kesehatan dan sektor lain
yang terkait, dari masyarakat maupun swasta serta sumber lainnya yang
digunakan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan kesehatan.
Dana bersumber dari masyarakat seperti dana sehat, tabungan ibu bersalin, dana
sosial ibu bersalin, infaq sehat atau istilah lain. Dana amal merupakan sumber
pembiayaan kesehatan lokal spesifik Jawa Barat, yang disebut gotong royong
pada pengembangan Desa Siaga, yang merupakan potensi masyarakat untuk
membantu aksesibilitas pada pelayanan kesehatan.
Potensi pembiayaan yang bersumber dana zakat, infaq dan sodaqoh yang belum
dimanfaatkan dengan tata kelola yang baik untuk peningkatan pelayanan
kesehatan masyarakat di Jawa Barat.
Sumberdaya pembiayaan kesehatan terdiri dari sumberdaya pengelola, standar,
regulasi dan kelembagaan yang digunakan secara berhasilguna dan berdayaguna
dalam upaya penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana kesehatan untuk
mendukung terselenggaranya pembangunan kesehatan. Oleh karena itu, maka
Dana yang tersedia harus mencukupi dan dapat dipertanggungjawabkan.
b. Alokasi biaya
Alokasi dana pemerintah daerah untuk bidang kesehatan paling kurang 10% dari
APBD di luar gaji.
Alokasi pembiayaan kesehatan ditujukan untuk pelayanan kesehatan di bidang
pelayanan publik, terutama bagi penduduk miskin, kelompok lanjut usia, dan
anak terlantar.
Alokasi biaya tersebut 2/3 (dua pertiga) dari anggaran kesehatan dalam APBD
diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik (meliputi subsidi premi JPKM
Jawa Barat, biaya pelayanan kesehatan masyarakat miskin, biaya pelayanan RS,
dan UPTD Dinas) dan 1/3 nya untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Dinas.
Alokasi pembiayaan kesehatan yang bersumber dari swasta dimobilisasi melalui
sistem jaminan sosial nasional dan/atau asuransi kesehatan komersial.
c. Pengelolaan dana kesehatan
Prosedur pengelolaan dana kesehatan adalah seperangkat aturan yang disepakati
dan secara konsisten dijalankan oleh para pelaku subsistem pembiayaan baik
oleh Pemerintah dan Pemerintah secara lintas sektor, swasta, maupun
masyarakat yang mencakup penggalian, pengalokasian dan pembelanjaan dana
kesehatan.
40
5. Prinsip
a. Kecukupan
Pembiayaan kesehatan pada dasarnya merupakan tanggungjawab bersama
Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta. Alokasi dana yang
berasal dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk upaya kesehatan dilakukan
melalui penyusunan, baik pusat dan daerah, paling kurang 5% dari PDRB atau
10% dari total APBN/APBD setiap tahunnya. Pembiayaan kesehatan untuk orang
miskin dan tidak mampu merupakan tanggungjawab Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Dana kesehatan diperoleh dari berbagai sumber, baik dari pemerintah,
masyarakat, maupun swasta yang harus digali dan dikumpulkan serta terus
ditingkatkan untuk “menjamin kecukupan,” agar jumlahnya dapat sesuai dengan
kebutuhan, dikelola secara adil, transparan, akuntabel, berhasilguna dan
berdayaguna memperhatikan subsidiaritas dan fleksibilitas, berkelanjutan, serta
menjadi terpenuhinya ekuitas.
b. Efektif dan efisien
Dana Pemerintah dan Pemerintah Daerah ditujukan untuk pembangunan
kesehatan, khususnya diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan tingkat
pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga baik upaya kesehatan perorangan,
masyarakat, maupun upaya kesehatan penunjang dengan mengutamakan
masyarakat rentan dan keluarga miskin, daerah terpencil, dan perbatasan.
Selain itu pembiayaan untuk program-program kesehatan yang mempunyai daya
ungkit tinggi terhadap peningkatan derajat kesehatan menjadi “prioritas”.
Dalam menjamin efektivitas dan efisiensi penggunaan dana kesehatan, maka
“sistem pembayaran“ pada fasilitas kesehatan harus dikembangkan menuju
bentuk pembayaran prospektif/praupaya. Adapun “pembelanjaaan dana
kesehatan” dilakukan melalui kesesuaian antara: perencanaan pembiayaan
kesehatan, penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan
kompetensi pemberi pelayanan kesehatan dengan tujuan pembangunan
kesehatan.
c. Adil dan transparan
Dana kesehatan diarahkan untuk pembiayaan upaya kesehatan perorangan dan
masyarakat tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga, melalui
pengembangan sistem jaminan kesehatan sosial, sehingga dapat menjamin
terpeliharanya dan terlindunginya masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan.
Dana kesehatan digunakan secara bertanggungjawab berdasarkan prinsip tata
pengelolaan kepemerintahan yang baik (good governance), transparan, dan
mengacu pada ketentuan peraturan perundangan-undangan.
6. Penyelenggaraan
a. Penyelenggaraan subsistem pembiayaan kesehatan
Subsistem pembiayaan kesehatan merupakan suatu proses yang terus menerus
dan terkendali, agar tersedia dana kesehatan yang mencukupi dan
berkesinambungan, bersumber dari Pemerintah Daerah, swasta, masyarakat dan
sumber lainnya. Perencanaan dan pengaturan pembiayaan kesehatan dilakukan
melalui penggalian dan pengumpulan berbagai sumber dana yang dapat
menjamin
kesinambungan
pembiayaan
pembangunan
kesehatan,
mengalokasikannya secara rasional, serta menggunakannya secara efisien dan
efektif.
41
Dalam hal pengaturan penggalian dan pengumpulan serta pemanfaatan dana
bersumber dari iuran wajib, Pemerintah Daerah harus melakukan sinkronisasi dan
sinergisme antara sumber dana dari iuran wajib, dana APBD, dana dari
masyarakat, dan sumber lain.
Idealnya Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk sektor kesehatan
minimal 5% dari GDP (Gross Domestic Product) sesuai ketentuan WHO tahun
2000, dengan lebih memprioritaskan pada kegiatan promotif dan preventif.
Pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin menjadi tanggungjawab Pemerintah
Daerah dan Pemerintah. Bagi masyarakat setengah mampu diharapkan ada costsharing, sedang bagi masyarakat mampu harus mandiri.
Pemerintah Daerah akan mengembangkan jaminan pemeliharaan kesehatan bagi
masyarakat yang bersifat wajib diikuti oleh seluruh masyarakat. Hal ini
dimaksudkan agar pembiayaan kesehatan yang berasal dari masyarakat lebih
efektif dan efisien. Kelembagaan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
dapat dikelola Pemerintah Daerah ataupun swasta. Bagi Kabupaten/Kota yang
telah mengembangkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat diharapkan
dapat sinergis dan terkoordinasi dengan Pemerintah Daerah.
Dengan adanya pengembangan pemeliharaan kesehatan masyarakat, maka
subsistem pelayanan kesehatan harud direformasi, baik untuk pelayanan tingkat
pertama, tingkat kedua, maupun tingkat ketiga. Pelayanan kesehatan tingkat
pertama selain dilakukan oleh Puskesmas juga dilakukan oleh dokter keluarga.
Pembenahan sistem rujukan kesehatan dari pelayanan tingkat pertama ke tingkat
kedua maupun tingkat ketiga berfungsi agar pembiayaan kesehatan menjadi
efektif dan efisien. Untuk mempermudah aksesibilitas dan meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan, maka seluruh fasilitas kesehatan Pemerintah Daerah baik
tingkat pertama, tingkat kedua, maupun tingkat ketiga akan dilengkapi
sumberdaya sesuai NSPK yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
Sektor swasta yang mampu diharapkan dapat berperan serta dalam pembiayaan
kesehatan adalah dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR), yang
dapat dikelola baik oleh Pemerintah Daerah maupun swasta. Jika dikelola oleh
swasta, harus sejalan dengan kebijakan Pemerintah Daerah. Demikian pula
apabila dikelola bersama oleh Pemerintah Daerah dengan swasta, dapat
menggunakan metode kemitraan.
1) Penggalian dana
Penggalian dana untuk upaya pembangunan kesehatan yang bersumber dari
Pemerintah Daerah dilakukan melalui retribusi, bantuan atau pinjaman yang
tidak mengikat, serta berbagai sumber lainnya. Dana yang bersumber dari
swasta dihimpun dengan menerapkan prinsip public-private partnership yang
didukung dengan pemberian insentif. Penggalian dana yang bersumber dari
masyarakat dihimpun secara aktif oleh masyarakat sendiri atau dilakukan
secara pasif dengan memanfaatkan berbagai dana yang sudah terkumpul di
masyarakat. Penggalian dana untuk pelayanan kesehatan perorangan
dilakukan dengan cara penggalian dan pengumpulan dana masyarakat dalam
bentuk jaminan kesehatan.
2) Pengalokasian dana
Pengalokasian dana Pemerintah Daerah dilakukan melalui perencanaan
anggaran dengan mengutamakan upaya kesehatan prioritas secara bertahap,
dan terus ditingkatkan jumlah pengalokasiannya sehingga sesuai dengan
kebutuhan. Pemerintah Daerah akan membantu Kabupaten/Kota yang tidak
mampu atau yang mempunyai kapasitas fiskal rendah.
42
Pengalokasian dana yang dihimpun dari masyarakat didasarkan pada asas
gotongroyong sesuai dengan potensi dan kebutuhannya. Pengalokasian dana
untuk pelayanan kesehatan perorangan dilakukan melalui kepesertaan dalam
jaminan pemeliharaan kesehatan dengan iur biaya yang ditarik secara rutin
setiap bulan.
3) Pembelanjaan dana
Pemakaian dana kesehatan dilakukan dengan memperhatikan aspek teknis
maupun alokatif sesuai peruntukannya secara efisien dan efektif untuk
terwujudnya pengelolaan pembiayaan kesehatan yang transparan, akuntabel
serta penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance).
Pembelanjaan dana kesehatan diarahkan terutama melalui jaminan
pemeliharaan kesehatan, baik yang bersifat wajib maupun sukarela. Hal ini
termasuk program bantuan sosial dari pemerintah untuk pelayanan kesehatan
bagi masyarakat miskin dan tidak mampu (Jamkesmas ).
b. Pembinaan dan pengawasan
Pembinaan dan pengawasan pada penggalian dana dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Hal ini diperlukan agar dana yang digali dan
dikumpulkan dalam jumlah yang cukup, terpadu, transparan dan
berkesinambungan. Pembinaan dan pengawasan pada pengalokasian dana,
diarahkan sesuai petunjuk operasional maupun petunjuk teknis administratif,
alokatif, rasional, sesuai standar pembiayaan (unit cost), standar pelayanan,
standar mutu, mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan,
sehingga lebih efektif dan efisien.
Pembinaan sumberdaya manusia pengelola pembiayaan kesehatan dilaksanakan
melalui pelatihan formal maupun informal dalam upaya peningkatan kompetensi
pengelolaan dana secara profesional. Pembinaan dan pengawasan pada
pembelanjaan dana dilakukan melalui kesesuaian antara perencanaan pembiayaan
kesehatan, penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan
kompetensi pemberi pelayanan kesehatan paripurna.
Untuk menjamin transparansi, akuntabilitas, hasilguna dan dayaguna, perlu
ditetapkan “reward dan punishment“ bagi sumberdaya pengelola pembiayaan
kesehatan.
c. Penelitian dan pengembangan
Untuk penggalian dana perlu ada penelitian dan pengembangan tentang berbagai
sumber anggaran, berupa dana Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta,
masyarakat dan sumber lainnya, baik jumlah dan peruntukannya serta dampaknya
terhadap pembangunan kesehatan.
Untuk itu, perlu dialokasikan dana penelitian dan pengembangan tentang berbagai
masalah
pembangunan kesehatan, khususnya program kesehatan yang
mempunyai daya ungkit tinggi terhadap peningkatan derajat kesehatan, sehingga
perlu perencanaan anggaran sesuai kebutuhannya, yang dimanfaatkan untuk
penelitian dan pengembangan tentang manfaat dan dampak pembiayaan serta
tindak lanjutnya untuk pengembangan pembangunan kesehatan. Penelitian
tentang akuntabilitas kinerja dan tranparansi pembelanjaan dana kesehatan.
Penelitian dan pengembangan pembelanjaan dana yang efektif, efisien, akuntabel,
transparan, berhasilguna dan berdaya guna, antara lain melalui utilization review,
siklus jaga mutu dan penanganan keluhan.
43
7. Keterkaitan dengan subsistem lainnya
Subsistem
pembiayaan kesehatan
diselenggarakan guna menghasilkan
ketersediaan pembiayaan kesehatan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi
secara adil, dan termanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna untuk
terselenggaranya upaya kesehatan secara merata, terjangkau, dan bermutu bagi
seluruh masyarakat. Tersedianya pembiayaan yang memadai akan menunjang
terselenggaranya subsistem upaya kesehatan, subsistem sumberdaya manusia
kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, subsistem
manajemen dan informasi kesehatan, subsistem Ilmu pengetahuan teknologi dan
penelitian pengembangan kesehatan, susbsistem regulasi kesehatan, subsistem
pemberdayaan masyarakat serta subsistem kemitraan
a. Subsistem upaya kesehatan
Penggalian dana untuk subsistem upaya kesehatan dilakukan dengan cara
penggalian dan pengumpulan dana masyarakat, Pemerintah , Pemerintah Daerah,
dunia usaha dan sumber lainnya.
Pengalokasian dana baik dari Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat untuk
pelayanan kesehatan
tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga
ditujukan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, pemerataan serta
aksesibilitas.
Pengalokasian dana Pemerintah Daerah untuk upaya kesehatan perorangan
tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga diprioritaskan untuk masyarakat
miskin melalui jaminan pemerliharaan kesehatan masyarakat dan untuk golongan
ekonomi lainnya dibiayai dalam sistem pembiayaan yang diatur oleh Pemerintah
Daerah. Pembiayaan untuk upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama,
tingkat kedua dan tingkat ketiga diarahkan pada program prioritas dengan
mengutamakan promotif dan preventif, dan didukung pembiayaan untuk fasilitas
upaya kesehatan penunjang sesuai standar.
Sedangkan pengalokasian dana yang bersumber dari masyarakat, dana swasta/
dunia usaha melalui CSR untuk upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama,
diprioritaskan pada upaya promotif dan preventif. Sedangkan untuk upaya
kesehatan perorangan tingkat pertama, diarahkan melalui sistem pembiayaan
jaminan pemeliharaan kesehatan baik yang bersifat wajib ataupun maupun
sukarela.
Pembelanjaan/pemakaian dana dari berbagai sumber dilakukan melalui
sinkronisasi dan sinergitas sesuai peruntukannya secara efektif dan efisien, sesuai
prioritas, adil, proporsional, berhasilguna dan berdayaguna.
b. subsistem sumberdaya manusia kesehatan
Penggalian dana untuk pengembangan subsistem sumberdaya kesehatan
bersumber dari pemerintah, bantuan luar negeri, masyarakat dan swasta/dunia
usaha (CSR).
Pengalokasian dana untuk pengembangan subsistem sumberdaya kesehatan
diarahkan untuk perencanaan, pengadaan dan pendayagunaan, untuk
peningkatan sistem informasi, penataan regulasi, pembinaan dan pengawasan
baik secara kuantitatif maupun kualitatif, dengan memperhatikan program
prioritas.
Pengalokasian dana untuk pengembangan subsistem sumberdaya kesehatan
diarahkan untuk peningkatan sistem informasi, penataan regulasi, serta
pembinaan dan pengawasan sumberdaya kesehatan baik secara kuantitatif
maupun kualitatif, dengan memperhatikan program prioritas.
44
Pembelanjaan dana sesuai dengan pengalokasiannya/peruntukannya kearah
upaya pemenuhan kebutuhan sumberdaya kesehatan, dan aspek jumlah, jenis,
maupun kualitas sumberdaya kesehatan yang dibutuhkan serta distribusinya,
dengan memperhatikan aspek teknis dan administratif, secara efektif dan efisien,
akuntabel dan transparan.
c. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan.
Penggalian dana untuk subsistem sediaan farmasi, kosmetik, alat kesehatan dan
makanan minuman, bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat
dan swasta, bantuan luar negeri dan sumber lain yang tidak mengikat.
Pengalokasian dana diarahkan untuk Pembiayaan Pengembangan Subsistem
sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan sesuai NSPK, dalam menjamin
ketersediaan, pemerataan, keterjangkauan serta mutu. Pengalokasian dana
pengelolaan perbekalan kesehatan dilakukan agar kebutuhan masyarakat
terpenuhi.
Pembelanjaan dana sesuai peruntukannya dengan memperhatikan aspek teknis
maupun alokatif, akuntabel, transparan, secara efektif dan efisien serta
berhasilguna dan berdayaguna.
d. Subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan
Penggalian dana untuk subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan
bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta,
bantuan luar negeri dan sumber lain yang tidak mengikat.
Pengalokasian dana subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan
diprioritaskan untuk penyelenggaraan administrasi kesehatan, informasi
kesehatan, sumberdaya dan manajemen serta kepemimpinan pembangunan
kesehatan sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) untuk
penyelenggaraan, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta pengawasan
dan pertanggungjawaban, dalam pencapaian perbaikan kesehatan masyarakat
yang makin efektif dan efisien.
Pembelanjaan dana subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan
dilakukan melalui kesesuaian antara perencanaan pembiayaan kesehatan,
penguatan kapasitas manajemen perencanaan anggaran dan integrasi subsistem
informasi kesehatan yang ada, dalam upaya peningkatan kemampuan dan moral
penyelenggara pemerintahan agar mampu memberikan pelayanan yang mudah,
cepat, dan tepat dengan pembiayaan yang terjangkau.
e. Subsistem pemberdayaan masyarakat
Penggalian dana untuk subsistem pemberdayaan masyarakat dari berbagai
sumber anggaran, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan swasta,
bantuan luar negeri, dan sumber lain yang tidak mengikat.
Pengalokasian biaya ditujukan untuk operasional dan pembelanjaan dalam upaya
peningkatan potensi, kemandirian masyarakat dan keluarga dalam bidang
kesehatan.
Setiap orang, masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berperan,
berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memelihara dan meningkatkan
derajat kesehatan peorangan, masyarakat, dan lingkungannya.
f. Subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan
kesehatan
Penggalian dana untuk subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian
dan pengembangan kesehatan dari berbagai sumber anggaran, yaitu Pemerintah
dan Pemerintah Daerah, sektor kesehatan dan nonkesehatan, perguruan tinggi,
swasta dan sumber lain.
45
Pengalokasian dana untuk subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi lebih
diarahkan pada pengembangan mutu pelayanan kesehatan dalam upaya
penyembuhan dan upaya rehabilitasi, antara lain pengalokasian untuk upaya
pelayanan kesehatan terutama tingkat kedua dan tingkat ketiga sesuai NSPK.
Pengalokasian dana untuk subsistem penelitian dan pengembangan kesehatan
diarahkan pada upaya pemeliharaan kesehatan, yaitu lebih ke arah promotif dan
preventif melalui program promosi kesehatan untuk mewujudkan perlindungan
masyarakat terhadap gangguan kesehatan, khususnya program kesehatan yang
mempunyai daya ungkit tinggi terhadap peningkatan derajat kesehatan.
Pengalokasian dana untuk subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan
penelitian dan pengembangan kesehatan memerlukan kebijakan yang diarahkan
pada perencanaan terpadu dari berbagai sumber anggaran antara Pemerintah,
Pemerintah Daerah, swasta, perguruan tinggi dan unit penelitian lain yang ada di
lintas sektor, sesuai kebutuhan nyata dengan permasalahan kesehatan, pelayanan
kesehatan, monitoring evaluasi, pengawasan dan pengendalian pengelolaan
pembiayaan kesehatan melalui “ online sytem“.
Pembelanjaan dana penelitian dan pengembangan harus memperhatikan aspek
teknis maupun alokatif, akuntabel, transparan, secara efektif, efisien serta
berhasilguna dan berdayaguna.
g. Subsistem regulasi
Regulasi pembiayaan kesehatan berdasarkan urusan di bidang kesehatan yang
menjadi kewenangan Pemerintah Daerah berupa kewenangan langsung,
koordinatif, fasilitasi dan kewenangan lintas Kabupaten / Kota .
1) Regulasi penyediaan pembiayaan kesehatan.
Regulasi alokasi pembiayaan kesehatan makin meningkat dari tahun ke tahun,
yang bersumber APBD Kabupaten/Kota, APBD Provinsi, APBN, bantuan luar
negeri/pinjaman luar negeri, CSR dan lembaga asuransi swasta.
Regulasi dana dari masyarakat untuk kesehatan diarahkan pada
berkembangnya jaminan kesehatan sosial masyarakat.
Regulasi penerimaan dan pemanfaatan dana dari dunia usaha berupa CSR
semakin ditingkatkan, khususnya untuk pemeliharaan kesehatan keluarga
miskin, melalui sistem pengembangan KTP (Kartu Tanda Penduduk)
berasuransi kesehatan keluarga miskin yang preminya dibayar oleh Daerah,
berupa jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.
2) Regulasi pengalokasian anggaran
Regulasi alokasi anggaran untuk upaya preventif dan promotif menjadi makin
lebih besar dari pada upaya kuratif dan rehabilitatif, dengan proporsi yang
makin bermakna.
Regulasi alokasi mengutamakan pada Daerah Terpencil, Daerah Tertinggal
dan Daerah Perbatasan serta Daerah Rawan Kesehatan.
3) Regulasi penggunaan pembiayaan
Pertanggungajawaban penggunaan pembiayaan menerapkan prinsip
akuntansi yang baku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi serta
kinerja pelaksanaan program.
Untuk itu ditetapkan standar pembuatan, pencatatan, pelaporan, pelayanan
dan program.
46
Penggalian dana untuk subsistem regulasi bersumber dari berbagai sumber
anggaran, baik Pemerintah, Pemerintah Daerah melalui sektor kesehatan atau
sektor lain yang berkaitan dengan pembangunan berwawasan kesehatan,
bantuan atau pinjaman luar negeri serta sumber lain yang tidak mengikat.
Pengalokasian dana untuk kebutuhan subsistem regulasi pembangunan
kesehatan dilaksanakan melalui perencanaan terpadu dengan 8 (delapan)
subsistem lain dalam lingkup SKP, dan dengan lintas sektor terkait regulasi
kesehatan.
Pembelanjaan atau pemanfaatan dana untuk berbagai kebutuhan regulasi yang
belum ada berkaitan dengan sistem pembangunan kesehatan tersebut diatas
dalam upaya berbagai kebijakan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan
kesehatan, upaya perlindungan masyarakat dan peningkatan derajat kesehatan
masyarakat.
h. Subsistem kemitraan
Penggalian dana untuk subsistem kemitraan dari berbagai sumber anggaran,
pemerintah, masyarakat dan swasta, sumber lain yang tidak mengikat
Pengalokasian dana secara terpadu, sinkronisasi berbagai sumber anggaran,
untuk pembangunan kesehatan baik untuk upaya kesehatan perorangan yang
lebih ke arah promotif dan preventif, maupun upaya kesehatan masyarakat
Kemitraan pemerintah daerah dengan perguruan tinggi, swasta dan sektor lain
meliputi pengembangan penggalian, pengalokasian dan pemanfaatan dana upaya
kesehatan tingkat pertama perorangan melalui jaminan kesehatan baik wajib
ataupun secara sukarela.
Pembelanjaan dana untuk subsistem kemitraan harus memperhatikan aspek
koordinatif, teknis maupun alokatif, akuntabel, transparan, secara efektif, efisien
serta berhasilguna dan berdayaguna.
C. SUBSISTEM SUMBERDAYA MANUSIA KESEHATAN
1. Pengertian
Subsistem sumberdaya manusia kesehatan adalah bentuk dan cara pengelolaan
sumberdaya manusia kesehatan yang meliputi upaya perencanaan, pengadaan,
pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan
untuk mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mewujudkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Sumberdaya manusia kesehatan adalah tenaga kesehatan profesi termasuk tenaga
kesehatan strategis dan tenaga kesehatan non profesi serta tenaga
pendukung/penunjang kesehatan, yang terlibat dan bekerja serta mengabdikan
dirinya dalam upaya dan managemen kesehatan.
2. Tujuan
Tujuan dari penyelenggaraan subsistem sumberdaya manusia kesehatan adalah
tersedianya sumberdaya manusia kesehatan yang kompeten sesuai kebutuhan, yang
terdistribusi secara adil dan merata serta didayagunakan secara optimal dalam
mendukung penyelenggaraan pembangunan kesehatan guna mewujudkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
47
3. Unsur-unsur
a. Sumberdaya manusia kesehatan
Sumberdaya manusia kesehatan baik tenaga kesehatan, maupun tenaga
pendukung/penunjang kesehatan yang mempunyai hak untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya dan sebagai makhluk sosial, dan wajib memiliki kompetensi
untuk mengabdikan dirinya di bidang kesehatan, serta mempunyai etika,
berakhlak luhur dan berdedikasi tinggi dalam melakukan tugasnya.
b. Sumberdaya pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan
Sumberdaya pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan
adalah sumberdaya pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan sumberdaya
manusia kesehatan yang meliputi berbagai standar kompetensi, modul dan
kurikulum serta metode pendidikan dan pelatihan, sumberdaya manusia
pendidikan dan pelatihan, serta institusi/fasilitas pendidikan dan pelatihan yang
menyediakan sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan. Dalam sumberdaya
ini juga termasuk sumberdaya manusia, dana, cara atau metode serta peralatan
dan perlengkapan untuk melakukan perencanaan, pendayagunaan serta
pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan.
c. Penyelenggaraan
pengembangan
dan
pemberdayaan
sumberdaya
manusia kesehatan
Penyelenggaraan pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia
kesehatan meliputi upaya perencanaan, pengadaan; pendayagunaan; pembinaan
dan pengawasan; regulasi, perlindungan hukum dan sanksi hukum; serta fasilitasi
sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi.
Perencanaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya penetapan jenis,
jumlah, kualifikasi dan distribusi tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan
pembangunan kesehatan.
Pengadaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya pengadaan tenaga
kesehatan melalui pendidikan baru tenaga kesehatan, pendidikan berkelanjutan
serta pelatihan teknis dan fungsional bagi tenaga kesehatan untuk memenuhi
kebutuhan tenaga kesehatan.
Pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya pemerataan dan
pemanfaatan serta pengembangan sumberdaya manusia kesehatan yang
memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban perorangan dengan
kebutuhan masyarakat.
Pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya untuk
mengarahkan, memberikan dukungan serta mengawasi pengembangan dan
pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan melalui sertifikasi, registrasi, uji
kompetensi dan pemberian lisensi.
Regulasi, perlindungan hukum dan sanksi hukum adalah upaya untuk mengatur
pendayagunaan, pembinaan dan pengembangan serta perlindungan sumberdaya
manusia kesehatan.
Fasilitasi sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi adalah
upaya untuk memfasilitasi pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan
sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat.
48
4. Prinsip
a. Adil dan merata serta demokratis
Pemenuhan ketersediaan sumberdaya manusia kesehatan ke seluruh wilayah
Jawa Barat harus berdasarkan pemerataan dan keadilan sesuai dengan potensi
dan kebutuhan pembangunan kesehatan serta dilaksanakan secara demokratis,
tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan,
nilai budaya dan kemajemukan bangsa.
b. Kompeten dan berintegritas
Pengadaan sumberdaya manusia kesehatan melalui pendidikan dan pelatihan
yang sesuai standar pelayanan dan standar kompetensi serta menghasilkan
sumberdaya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
profesional, beriman, bertaqwa, mandiri, bertanggung jawab dan berdaya saing
tinggi.
c. Objektif dan Transparan
Pembinaan dan pengawasan, serta pendayagunaan (termasuk pengembangan
karir) sumberdaya manusia kesehatan dilakukan secara objektif dan transparan
berdasarkan prestasi kerja dan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan
kesehatan.
d. Hierarki dalam sumberdaya manusia kesehatan
Pengembangan dan pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan dalam
mendukung pembangunan kesehatan perlu memperhatikan adanya susunan
hierarki sumberdaya manusia kesehatan yang ditetapkan berdasarkan jenis dan
tingkat tanggung jawab, kompetensi serta keterampilan masing-masing
sumberdaya manusia kesehatan.
5. Penyelenggaraan
a. Perencanaan sumberdaya manusia kesehatan
Perencanaan kebutuhan sumberdaya manusia kesehatan dilakukan dengan
memperhatikan kebutuhan sumberdaya manusia kesehatan yang diutamakan,
baik dalam upaya kesehatan tingkat pertama maupun upaya kesehatan tingkat
kedua serta tingkat ketiga.
Perencanaan sumberdaya manusia kesehatan yang meliputi jenis, jumlah dan
kualifikasinya dilakukan dengan meningkatkan dan memantapkan keterkaitannya
dengan unsur lainnya dalam manajemen pengembangan dan pemberdayaan
sumberdaya manusia kesehatan dengan memperhatikan tujuan pembangunan
kesehatan dan kecenderungan permasalahan kesehatan di masa depan.
Perencanaan sumberdaya manusia kesehatan dilakukan dengan mendasarkan
pada fakta (berbasis bukti) melalui peningkatan sistem informasi sumberdaya
manusia kesehatan. Perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan skala provinsi
mencakup (a) mengumpulkan data keadaan tenaga kesehatan di Daerah, (b)
menghitung kebutuhan tenaga kesehatan di Daerah, (c) melaporkan kebutuhan
tenaga kesehatan ke Pusat.
b. Pengadaan sumberdaya manusia kesehatan
Standar pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan sumberdaya manusia
kesehatan mengacu pada standar pelayanan dan standar kompetensi
sumberdaya manusia kesehatan dan perlu didukung oleh etika profesi
sumberdaya manusia kesehatan. Pemerintah dengan melibatkan organisasi
profesi dan masyarakat menetapkan standar kompetensi dan standar pendidikan
yang berlaku secara nasional.
49
Pemerintah dengan melibatkan organisasi profesi membentuk badan regulator
profesi yang bertugas menyusun berbagai peraturan persyaratan, menentukan
kompetensi umum, prosedur penetapan kompetensi khusus tenaga kesehatan,
menentukan sertifikasi institusi pendidikan dan pelatihan profesi.
Pemerintah bertanggungjawab mengatur pendirian institusi pendidikan dan
pembukaan program pendidikan tenaga kesehatan yang sangat dibutuhkan
dalam pembangunan kesehatan.
Pendirian institusi pendidikan dan pembukaan program pendidikan ditekankan
untuk menghasilkan lulusan tenaga kesehatan yang bermutu dan dapat bersaing
secara global dengan memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan, dinamika
pasar baik di dalam maupun di luar negeri dan kemampuan produksi tenaga
kesehatan dengan yang sudah ada. Kompetensi tenaga kesehatan harus setara
dengan kompetensi tenaga kesehatan di dunia internasional, sehingga registrasi
tenaga kesehatan lulusan dalam negeri dapat diakui di dunia internasional.
Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan harus memenuhi akreditasi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Institusi/fasilitas pelayanan
kesehatan yang terakreditasi wajib mendukung penyelenggaraan pendidikan
tenaga kesehatan. Penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan harus berpola
responsif gender yang berorientasi kepada kepentingan peserta didik (student
centered).
Standar pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan sumberdaya manusia
kesehatan mengacu kepada standar pelayanan dan standar kompetensi
sumberdaya manusia kesehatan tingkat nasional dan perlu didukung oleh etika
profesi sumberdaya manusia kesehatan. (1) Sarjana Strata 1, 2, 3 ditentukan
oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional
(Dirjen Dikti Depdiknas); (2) diploma ditentukan oleh Dirjen Dikti Depdiknas dan
Kementerian Kesehatan sedangkan pelatihan-pelatihan tenaga kesehatan
ditetapkan oleh Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumberdaya Manusia
Kesehatan (BPPSDM Kes) dibawah Kementerian Kesehatan; (3) Standar
Kompetensi untuk Dokter dan Dokter Gigi ditentukan oleh Konsil Kedokteran/
Kedokteran Gigi dan; (4) Standar Kompetensi untuk profesi kesehatan lain
ditentukan oleh organisasi profesi kesehatan terkait.
Untuk menjamin mutu lulusan institusi pendidikan tenaga kesehatan Pemerintah
Daerah harus menjamin kemitraan untuk melaksanakan pembinaan dan/atau
memfasilitasi peningkatan mutu lulusan institusi pendidikan kesehatan.
Pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional :
Pendidikan dan pelatihan teknis dan fungsional adalah upaya yang meliputi
pendidikan dan pelatihan sumberdaya manusia kesehatan baik secara formal
maupun non formal di dalam negeri maupun di luar negeri untuk meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia kesehatan dan untuk memenuhi kebutuhan
pembangunan kesehatan, termasuk di dalamnya diklat teknis fungsional Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Pelatihan skala provinsi adalah tindak lanjut dari Training of Trainer dan atau
pelatihan di Provinsi yang pesertanya berasal dari Dinas, Kabupaten/ Kota,
Bapelkes, RSUD Provinsi dan RSUD Kabupaten/Kota. Kurikulum yang digunakan
adalah standar nasional atau standar lokal.
Pelatihan teknis kesehatan adalah pelatihan yang dilaksanakan untuk mencapai
persyaratan kompetensi teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas tenaga
kesehatan. Pelatihan fungsional kesehatan adalah pelatihan yang dilaksanakan
untuk mencapai persyaratan kompetensi yang sesuai dengan jenis dan jenjang
jabatan fungsional masing-masing.
50
Pemerintah Daerah sebagai pengelola diklat fungsional dan teknis skala provinsi
melaksanakan (a) Penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional standar nasional
dan lokal; (b) Pembinaan diklat teknis dan fungsional; (c) Pengendalian diklat
teknis dan fungsional melalui akreditasi pelatihan; (d) Evaluasi diklat tingkat
provinsi.
c. Pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan
Pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya pemerataan dan
pemanfaatan serta pengembangan sumberdaya manusia kesehatan yang
memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban perorangan dengan
kebutuhan masyarakat.
Pemerintah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Kabupaten/Kota serta swasta melakukan upaya penempatan tenaga kesehatan
yang ditujukan untuk mencapai pemerataan yang berkeadilan dalam
pembangunan kesehatan. Dalam rangka penempatan tenaga kesehatan untuk
kepentingan pelayanan publik dan pemerataan, pemerintah melakukan berbagai
pengaturan untuk memberikan imbalan material atau non material kepada tenaga
kesehatan untuk bekerja di bidang tugas atau daerah yang tidak diminati,
seperti: daerah terpencil, sulit dijangkau, sulit pemenuhan tenaga kesehatan,
daerah tertinggal, daerah perbatasan, serta daerah bencana.
Pemerintah Daerah bersama masyarakat melakukan rekrutmen dan penempatan
tenaga penunjang (tenaga masyarakat) yang diperlukan untuk mendukung Upaya
Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) sesuai dengan kebutuhan pembangunan
kesehatan.
Pemerintah Daerah dan swasta mengembangkan dan menerapkan pola karir
tenaga kesehatan, yang dilakukan secara transparan, dan lintas institusi, melalui
jenjang jabatan struktural dan jabatan fungsional.
Pemerintah bersama organisasi profesi dan swasta, mengupayakan
penyelenggaraan pendidikan berkelanjutan dalam rangka peningkatan karir dan
profesionalisme tenaga kesehatan.
Pendayagunaan tenaga kesehatan untuk keperluan luar negeri diatur oleh
lembaga Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka menjamin
keseimbangan antara kemampuan pengadaan tenaga kesehatan di Indonesia dan
kebutuhan tenaga kesehatan Indonesia di luar negeri serta melindungi hak-hak
dan hak asasi manusia dari tenaga kesehatan Indonesia di luar negeri.
Pendayagunaan tenaga kesehatan asing hanya dilakukan pada tingkat konsultan
pada bidang tertentu, dalam rangka alih teknologi dan ditetapkan melalui
persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tenaga kesehatan Warga Negara Indonesia lulusan institusi luar negeri yang
telah memperoleh pengakuan dari Kementerian Nasional mempunyai hak dan
kewajiban yang sama dengan tenaga kesehatan lulusan dalam negeri.
Dalam rangka pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, perlu dilakukan peningkatan
kualitas SDM Kesehatan secara terus menerus (pra-jabatan/”pre-service” dan “inservice”), diantaranya melalui pelatihan yang terakreditasi yang dilaksanakan oleh
institusi penyelenggara pelatihan yang terakreditasi.
Yang menjadi kewenangan provinsi adalah penempatan tenaga kesehatan
strategis dan pemindahan tenaga tertentu antarkabupaten/kota skala provinsi,
meliputi : (1) Menetapkan jenis tenaga kesehatan makro skala provinsi,
(2) Menyusun jenis tenaga kesehatan makro skala provinsi/kabupaten/kota,
(3) Melakukan koordinasi dalam perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan
51
strategis skala provinsi/kabupaten/kota, (4) Menyusun perencanaan kebutuhan
tenaga kesehatan strategis skala provinsi/Kabupaten/Kota, (5) Memberikan
bantuan/bimbingan teknis kepada Pemerintahan Kabupaten/Kota dalam
menyusun perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan strategis skala provinsi,
(6) Menyusun pedoman pelaksanaan rekruitmen, seleksi, penempatan,
manajemen pengembangan karir, pola/sistem remunerasi, sistem insentif, sistem
manajemen kinerja dan penghargaan, peningkatan mutu, distribusidan sistem
infomasi tenaga kesehatan makro skala provinsi, (7) Melakukan koordinasi dalam
pemenuhan kebutuhan dan pendayagunaan tenaga kesehatan strategis skala
provinsi, (8) Melakukan koordinasi dalam pengadaan tenaga kesehatan strategis
skala provinsi, khususnya untuk jenis tenaga yang tidak tersedia di Daerah,
(9) Membantu Pemerintah Kabupaten/Kota secara teknis (technical assisstance)
dalam melaksanakan berbagai kebijakan/pedoman pendayagunaan tenaga
kesehatan strategis skala nasional (antar susunan pemerintahan) yang tepat
guna, (10) Menyusun dan menetapkan pedoman pelaksanaan monitoring dan
evaluasi
pendayagunaan
tenaga
kesehatan
makro
skala
provinsi,
(11) Bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota
melakukan monitoring (pemantauan) dan evaluasi pendayagunaan tenaga
kesehatan strategis skala provinsi (antar susunan pemerintahan) yang tepat guna
sesuai dengan kebijakan, (12) Menyusun kebijakan pelaksanaan.
d. Pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan
Pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan adalah upaya pemerataan dan
pemanfaatan serta pengembangan sumberdaya manusia kesehatan yang
memperhatikan keseimbangan antara hak dan kewajiban perorangan dengan
kebutuhan masyarakat.
Pemerintah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Kabupaten/Kota serta swasta melakukan upaya penempatan tenaga kesehatan
yang ditujukan untuk mencapai pemerataan yang berkeadilan dalam
pembangunan kesehatan. Dalam rangka penempatan tenaga kesehatan untuk
kepentingan pelayanan publik dan pemerataan, Pemerintah Daerah melakukan
berbagai pengaturan untuk memberikan imbalan material atau non material
kepada tenaga kesehatan untuk bekerja di bidang tugas atau daerah yang tidak
diminati, seperti daerah terpencil, sulit dijangkau, daerah tertinggal, daerah
perbatasan, serta daerah bencana.
Pemerintah Daerah dan masyarakat melakukan rekrutmen dan penempatan
tenaga penunjang (tenaga masyarakat) yang diperlukan untuk mendukung UKBM
sesuai dengan kebutuhan pembangunan kesehatan.
Pemerintah Daerah dan swasta mengembangkan dan menerapkan pola karir
tenaga kesehatan, yang dilakukan secara transparan.
e. Regulasi, perlindungan hukum dan sanksi hukum
Regulasi, perlindungan hukum dan sanksi hukum adalah upaya untuk mengatur
pendayagunaan, pembinaan dan pengembangan serta perlindungan SDM
Kesehatan.
Perlindungan hukum diberikan bagi sumberdaya manusia kesehatan yang
mendapatkan masalah-masalah hukum dalam kaitannya dengan tugas dan
tanggung jawabnya. Sanksi hukum harus diberikan kepada sumberdaya manusia
kesehatan yang terbukti melakukan pelanggaran hukum.
52
f. Fasilitasi sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi
Fasilitasi sumberdaya manusia kesehatan di daerah lintas batas provinsi adalah
upaya untuk memfasilitasi penempatan, pendayagunaan, pembinaan dan
pengawasan SDM Kesehatan di daerah lintas batas provinsi sesuai dengan situasi
dan kondisi setempat.
6. Keterkaitan antarsubsistem
a. Subsistem upaya kesehatan
Perencanaan dan pengadaan sumberdaya manusia kesehatan harus sesuai dengan
upaya kesehatan baik tingkat pertama, tingkat kedua dan tingkat ketiga.
sumberdaya manusia kesehatan yang bermutu dan profesional dapat memberikan
pelayanan kesehatan yang bermutu kepada masyarakat untuk mewujudkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pendidikan dan pelatihan
sumberdaya manusia kesehatan disesuaikan dengan upaya pelayanan kesehatan
yang diberikan.
b. Subsistem pembiayaan
Dalam pengadaan dan pendidikan serta pelatihan sumberdaya manusia kesehatan,
dukungan pembiayaan sangat dibutuhkan untuk mendapatkan sumberdaya
manusia kesehatan yang berkualitas. Pengiriman sumberdaya manusia kesehatan
untuk tugas belajar harus didukung oleh pendanaan yang baik. Dukungan
subsistem pembiayaan dalam pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan
meliputi penggajian, insentif dan tunjangan.
c. Keterkaitan dengan subsistem farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman
sumberdaya manusia kesehatan yang profesional diharapkan dapat menjamin
keamanan, khasiat, manfaat dan mutu seluruh produk sediaan farmasi, alat
kesehatan dan makanan minuman yang beredar; menjamin ketersediaan,
pemerataan dan keterjangkauan obat, terutama obat esensial; perlindungan
masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat; serta
penggunaan obat yang rasional, dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya.
d. Keterkaitan dengan subsistem manajemen dan informasi kesehatan
Ketersediaan data mengenai sarana pelayanan kesehatan Pemerintah, Pemerintah
Daerah ataupun swasta dan sumberdaya manusia kesehatan sangat dibutuhkan
untuk perencanaan dan pengadaan sumberdaya manusia kesehatan, sehingga
pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan sesuai dengan kebutuhan di
daerah.
e. Keterkaitan dengan subsistem pemberdayaan masyarakat
sumberdaya manusia kesehatan diharapkan dapat menggiatkan program-progam
kesehatan yang memerlukan pemberdayaan masyarakat seperti UKBM dan PHBS.
Selain itu juga membantu menghasilkan individu, kelompok, dan masyarakat umum
yang mampu berperan aktif dalam penyelenggaraan upaya kesehatan.
f. Keterkaitan dengan subsistem regulasi
Hal ini dilakukan dengan mendukung peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
sumberdaya manusia kesehatan terutama yang berkaitan dengan pengadaan,
penempatan, dan pendayagunaan terutama di daerah terpencil, sulit dijangkau,
tertinggal, perbatasan dan rawan bencana, termasuk pembinaan dan pengawasan
sumberdaya manusia kesehatan serta penggunaan tenaga kesehatan asing.
Disamping itu, mendukung peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
peningkatan kualitas sumberdaya manusia kesehatan, termasuk peraturanperaturan yang mengatur pendirian institusi pendidikan dan pelatihan tenaga
53
kesehatan, serta mendukung peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
sertifikasi, akreditasi, registrasi dan lisensi bagi tenaga kesehatan.
g. Subsistem kemitraan
Kesehatan bukan tanggungjawab sektor kesehatan saja, karena kerjasama dan
kemitraan dengan sektor lain sangat dibutuhkan. Pendayagunaan sumberdaya
manusia kesehatan, dapat ditempatkan di luar sektor kesehatan. Untuk hal ini,
pendekatan terhadap sektor lain sangat dibutuhkan.
Penyediaan sumberdaya manusia kesehatan; tidak hanya seputar tenaga untuk
pelayanan medis dan aktivitas klinik saja; namun harus secara luas melibatkan
“stakeholders” yang bergerak di bidang kesehatan yang berjalan bersama-sama,
seperti : pendukung treatments dalam aktivitas klinis, tenaga LSM dan masyarakat
dalam berbagai pemberdayaan, promosi kesehatan, sanitasi, air bersih,
persampahan, energi, dan sebagainya. maka untuk penyediaan sumberdaya
manusia secara lengkap, seluruh potensi institusi yang terkait dengan
pembangunan kesehatan perlu didorong untuk berperan serta menyediakan
sumberdaya manusia sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing. jadi
penyediaan sumberdaya manusia kesehatan dalam wacana regional Daerah, jangan
sampai hanya bertumpu pada eksistensi potensi Pemerintah Daerah saja; tapi
memiliki spirit untuk menggerakkan seluruh potensi masyarakat dan dunia swasta,
LSM dan sektor lain.
Dengan semakin maraknya berbagai jenis pelayanan kesehatan di bidang klinis
yang sangat beraneka ragam (kecantikan, penyakit khusus, dan terapi khusus),
maka tenaga-tenaga yang melayani akan berkembang, sehingga perlu pengaturan
yang berorientasi pada mutu pelayanan, out-put dan out-come. Peranan institusiinstitusi lainnya dalam menopang peningkatan mutu dan kompetensi sumberdaya
manusia dalam lingkup pelayanan kesehatan mencakup :
Peranan institusi pendidikan formal dan non formal, peranan asosiasi-asosiasi
profesi di bidang Kesehatan, Peranan LSM (lokal, nasional, internasional), termasuk
lembaga-lembaga bantuan internasional (WHO, UNDP, Unicef dan Word Bank) dan
institusi lainnya.
h. Subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan
kesehatan
i. Untuk menciptakan sumberdaya manusia kesehatan yang profesional dan bermutu,
pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan harus mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan kesehatan dan kedokteran. Subsistem ini diharapkan dapat
memfasilitasi sumberdaya manusia kesehatan untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan penelitian kesehatan yang mutakhir dan terbaru.
D. SUBSISTEM SEDIAAN FARMASI, ALAT KESEHATAN, DAN MAKANAN
1. Pengertian
Sub sistem sediaan farmasi, kosmetika, alat kesehatan dan makanan minuman
adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya yang menjamin ketersediaan,
pemerataan, keterjangkauan, keamanan, khasiat/manfaat serta mutu obat,
kosmetika, alat kesehatan dan makanan minuman secara terpadu dan mendukung
pembangunan kesehatan di Daerah.
2. Tujuan
Terwujudnya ketersediaan serta keterjangkauan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan yang aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu serta terjangkau oleh
masyarakat untuk menjamin terselenggaranya upaya kesehatan guna meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di Daerah.
54
3. Analisa situasi dan kecenderungan
Jumlah sarana produksi sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan di Daerah
cukup tinggi, yaitu menyumbang lebih dari 50% jumlah nasional, mulai dari
perusahaan multi nasional sampai perusahaan kecil skala industri rumah tangga,
sehingga item obat yang beredar lebih dari 16.000 item.
Jumlah sarana yang banyak ini memungkinkan terjadinya persaingan usaha yang
kurang sehat, sehingga informasi yang sampai kepada masyarakat kurang baik dan
belum diimbangi dengan sumberdaya manusia yang berfungsi sebagai pembina,
pengawas dan pelayanan kefarmasian yang cukup, sehingga penggunaan obat
rasional masih rendah. Pelayanan informasi obat di Rumah Sakit dan Puskesmas
masih terbatas dan masih ditemukan sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
yang tidak memenuhi syarat.
Dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, beberapa
Kabupaten/Kota menggratiskan biaya pelayanan di Puskesmas, namun kebijakan ini
tidak diimbangi dengan peningkatan alokasi anggaran untuk obat, sehingga rata-rata
alokasi anggaran untuk obat masih di bawah Rp.50.000,-/kapita pertahun, jauh
dibawah standar nasional sebesar 2 USD/kapita/tahun atau pelayanan dasar sebesar
Rp.9.000,/kapita/tahun.
4. Unsur-unsur
a. Komoditi
Sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah komoditi untuk penyelenggaraan
upaya kesehatan, yang harus tersedia dalam jenis, bentuk, dosis, jumlah, dan
khasiat yang tepat.
Makanan dan minuman adalah komoditi yang mempengaruhi kesehatan
masyarakat, meliputi jenis dan manfaat.
b. Sumberdaya
Sumberdaya manusia pengelola sediaan farmasi, kosmetika, alat kesehatan dan
makanan minuman harus tersedia dalam jumlah yang cukup, serta mempunyai
standar kompetensi yang sesuai dengan etika profesi.
Fasilitas sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman adalah alat
atau tempat yang harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
telah ditetapkan, pada fasilitas produksi, distribusi, maupun fasilitas pelayanan
kesehatan tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga.
Pembiayaan yang cukup dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah diperlukan
untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan obat untuk obat dan alat
kesehatan esensial terutama bagi masyarakat miskin.
c. Pelayanan kefarmasian
Pelayanan kefarmasian ditujukan untuk dapat menjamin penggunaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan secara rasional, aman, dan bermutu di seluruh sarana
pelayanan kesehatan sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang
ditetapkan.
d. Pengawasan
pengawasan yang komprehensif dengan melaksanakan regulasi yang baik (good
regulatory practices), ditujukan untuk menjamin setiap sediaan farmasi,
kosmetika, alat kesehatan dan makanan minuman yang beredar, memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu yang ditetapkan.
55
e. Pemberdayaan masyarakat
Masyarakat senantiasa dilibatkan secara aktif agar sadar dan dapat lebih
berperan dalam penyediaan dan penggunaan sediaan farmasi, kosmetika, alat
kesehatan dan makanan minuman serta terhindar dari penggunaan yang salah
dan penyalahgunaan.
5. Prinsip
a. Aman, berkhasiat, bermanfaat, dan bermutu
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin keamanan, khasiat, manfaat dan
mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman melalui
pembinaan,
pengawasan,
dan
pengendalian
secara
profesional,
bertanggungjawab, independen, transparan dan berbasis bukti. Sedangkan
pelaku usaha bertanggungjawab atas keamanan, khasiat, manfaat dan mutu
produk sesuai dengan fungsi usahanya.
b. Tersedia, merata, dan terjangkau
Obat merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak tergantikan dalam
pelayanan kesehatan, sehingga obat tidak boleh diperlakukan sebagai komoditas
ekonomi semata. Obat harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya,
sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah dan tidak
sepenuhnya diserahkan ke mekanisme pasar.
c. Rasional
Setiap pelaku pelayanan kesehatan harus selalu bertindak berdasarkan bukti
ilmiah terbaik dan prinsip tepat biaya (cost-effective) serta tepat manfaat (costbenefit) dalam pemanfaatan obat agar memberikan hasil yang optimal.
d. Transparan dan bertanggungjawab
Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi yang benar, lengkap, dan tidak
menyesatkan tentang sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman,
dari produsen, distributor, dan pelaku pelayanan.
e. Kemandirian
Potensi sumberdaya dalam negeri, terutama bahan baku obat dan obat
tradisional, harus dikelola secara profesional, sistematis, dan berkesinambungan,
sehingga memiliki daya saing tinggi dan tidak tergantung dari sumberdaya luar
negeri serta menjadi sumber ekonomi masyarakat dan devisa negara.
6. Penyelenggaraan
a. Upaya ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan.
Pemerintah Daerah menetapkan pedoman, norma, standar, prosedur dan kriteria
di bidang penyediaan dan pengelolaan obat, alat kesehatan, reagensia dan
vaksin.
Penyediaan dan pelayanan obat berpedoman pada Daftar Obat Esensial Nasional
(DOEN) untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Pemerintah dengan
pengaturan khusus, menjamin tersedianya obat bagi masyarakat miskin, daerah
terpencil, perbatasan, dan daerah bencana serta obat yang tidak mempunyai nilai
ekonomis (orphan drug).
Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengendalian dan pengawasan
terhadap pengadaan dan penyaluran obat dan alat kesehatan untuk menjamin
ketersediaan dan pemerataan obat dan alat kesehatan.
Pemerintah mengatur harga obat dan alat kesehatan.
56
b. Upaya jaminan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu sediaan farmasi,
kosmetika, alat kesehatan, makanan dan minuman, serta perlindungan
masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat.
Upaya jaminan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu sediaan farmasi, alat
kesehatan, makanan dan minuman merupakan tugas bersama yang melibatkan
berbagai pemangku kepentingan yaitu Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku
usaha dan masyarakat secara terpadu dan bertanggungjawab.
Pelaksanaan regulasi yang baik (good regulatory practices) didukung oleh
sumberdaya yang memadai, sistem manajemen mutu, akses terhadap ahli,
kerjasama internasional, serta laboratorium pengujian mutu yang kompeten,
independen, dan transparan.
Pengembangan dan penyempurnaan norma, standar, prosedur, dan kriteria
mengenai produk dan fasilitas produksi dan distribusi sediaan farmasi, alat
kesehatan, makanan dan minuman sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan standar internasional.
Pembinaan, pengawasan dan pengendalian impor, ekspor, produksi dan distribusi
sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman merupakan suatu
kesatuan yang utuh, dilakukan melalui penilaian keamanan, khasiat/manfaat, dan
mutu produk melalui proses pendaftaran; inspeksi fasilitas produksi dan
distribusi; pengambilan dan pengujian sampel; survailans dan vijilan
pascapemasaran; pemantauan promosi.
Penegakan hukum yang konsisten dengan efek jera yang tinggi untuk setiap
pelanggaran, termasuk pemberantasan produk palsu dan ilegal.
Peningkatan kesadaran/kemandirian masyarakat melalui penyediaan dan
penyebaran informasi terpercaya termasuk informasi harga obat, sehingga
masyarakat memperoleh informasi yang menyeluruh dan transparan mengenai
penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman.
Perlindungan masyarakat dari penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat
Adiktif (NAPZA) harus merupakan upaya yang terpadu antara upaya represif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Penggunaan sediaan farmasi berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat
dilakukan berdasarkan resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap orang yang memproduksi, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan
narkotika dan psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau persyaratan
tertentu.
Perlindungan masyarakat terhadap pencemaran makanan atau penggunaan bahan
tambahan makanan yang tidak sesuai persyaratan dilakukan, dengan mewajibkan
setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi, mengolah, serta
mendistribusikan makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan sebagai
makanan dan minuman hasil olahan teknologi, aman bagi manusia, hewan yang
dimakan manusia, dan lingkungan.
Mewajibkan setiap orang dan/atau badan hukum yang memproduksi dan
mempromosikan produk makanan dan minuman dan/atau yang diperlakukan
sebagai makanan dan minuman hasil olahan teknologi, dilarang menggunakan
kata-kata yang mengecoh dan/atau yang disertai klaim yang tidak dapat
dibuktikan kebenarannya.
Makanan dan minuman yang dipergunakan oleh masyarakat harus didasarkan
pada standar dan/atau persyaratan kesehatan. Makanan dan minuman hanya
57
dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang
berisi:
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nomor dagang, batch dan registrasi;
e. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukan makanan dan
minuman kedalam wilayah indonesia;
f. tanggal, bulan dan tahun kadaluwarsa; dan
g. penggunaan atau cara pakai.
Pemberian tanda atau label harus dilakukan secara benar dan akurat, dan
dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar, persyaratan
kesehatan, dan/atau membahayakan kesehatan, dilarang untuk diedarkan,
sehingga harus ditarik dari peredaran, dicabut izin edar dan disita untuk
dimusnahkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Daerah mendorong masyarakat rentan terutama anak, ibu hamil, dan
manusia usia lanjut untuk mengkonsumsi makanan bergizi tinggi dan memenuhi
persyaratan keamanan makanan.
c. Upaya penyelenggaraan pelayanan kefarmasian
Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di seluruh sarana pelayanan kesehatan
dilakukan dengan 1) Mengutamakan kesejahteraan pasien dalam segala situasi
dan kondisi; 2) Melaksanakan kegiatan inti farmasi yang meliputi pengelolaan obat
dan produk kesehatan lainnya, menjamin mutu, memberikan informasi dan saran
serta memonitor penggunaan obat oleh pasien; 3) Memberikan kontribusi dalam
peningkatan resep yang rasional dan ekonomis serta penggunaan yang tepat; 4)
Memberikan pelayanan kefarmasian yang sesuai untuk setiap individu.
Pemerintah Daerah menetapkan larangan untuk mengadakan, menyimpan,
mengolah, mempromosikan dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat
obat bagi setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan.
Pemantauan penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilakukan melalui
bimbingan dan pengendalian pelaksanaan kebijakan perizinan apotik dan toko
obat.
Untuk melindungi masyarakat dari penggunaan obat-obat sub standar/tidak
memenuhi syarat, obat rusak/daluwarsa, dan obat palsu, dilakukan monitoring di
pelayanan kefarmasian.
d. Upaya penggunaan obat yang rasional
Penggunaan obat yang rasional merupakan salah satu langkah untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik dan mengefisienkan biaya
pengobatan.
Penyelenggaraan upaya penggunaan obat yang rasional dilakukan antara lain
melalui kegiatan berikut: 1) Penerapan DOEN dalam upaya pelayanan kesehatan
tingkat pertama, tingkat kedua, dan tingkat ketiga, melalui pemanfaatan
pedoman terapi dan formularium berbasis bukti ilmiah terbaik; 2) Audit dan
umpan balik dalam penggunaan obat rasional; 3) Pengembangan mekanisme
pemantauan ketersediaan obat esensial dan langkah-langkah perbaikan di setiap
58
fasilitas pelayanan kesehatan; 4) Pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi
(KFT) untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian melalui penggunaan
obat secara rasional; 5) Peningkatan pelaksanaan pelayanan informasi obat
antara tenaga kesehatan, pasien dan keluarga pasien; 6) Pemberdayaan
masyarakat melalui komunikasi, informasi dan edukasi. Informasi kepada
masyarakat, dilaksanakan antara lain melalui promosi penggunaan obat generik,
pengelolaan berbagai penyakit secara tepat seperti penyakit diare, dan lain-lain;
7) Pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan dalam melaksanakan
penggunaan obat rasional di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan.
e. Upaya kemandirian sediaan farmasi melalui pemanfaatan sumberdaya dalam
negeri
Pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam Indonesia perlu didorong
secara berkelanjutan untuk digunakan sebagai obat tradisional demi peningkatan
pelayanan kesehatan dan ekonomi.
Langkah-langkah yang perlu diselenggarakan meliputi: 1) Pemilihan produk yang
tepat untuk pengembangan produksi dalam negeri dengan mempertimbangkan
potensi sumberdaya dalam negeri; 2) Pemerintah menciptakan iklim yang
kondusif bagi investasi di bidang farmasi melalui persaingan usaha yang adil,
pemberian insentif kebijakan perpajakan dan perbankan, serta kepastian proses
perizinan; 3) Pembinaan industri farmasi dalam negeri agar mampu melakukan
produksi sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik dan dapat melakukan
usahanya dengan efektif dan efisien sehingga mempunyai daya saing yang tinggi;
4) Komitmen seluruh pemangku kepentingan, seperti kemauan industri farmasi
domestik untuk memprioritaskan penggunaan bahan baku produksi dalam negeri,
penerimaan fasilitas pelayanan kesehatan, para pelayan kesehatan dan
konsumen; 5) Peningkatan penelitian dan pengembangan bahan baku obat, obat,
dan obat tradisional untuk menunjang pembangunan kesehatan; 6)
Pengembangan pemanfaatan obat tradisional yang aman, memiliki khasiat nyata
yang teruji secara ilmiah, bermutu tinggi, dan dimanfaatkan secara luas baik
untuk pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan
kesehatan formal; 7) Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya pada
masyarakat untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan, mengembangkan dan
menggunakan
sediaan
farmasi
dan
obat
tradisional
yang
dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya; 8) Menjaga kelestarian
sumber obat tradisional yang sudah terbukti khasiatnya dalam pencegahan,
pengobatan, perawatan dan/atau pemeliharaan kesehatan.
Penyelenggaraan subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan
minuman harus melibatkan seluruh pelaku baik secara perorangan maupun
bersama dan terpadu antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta/dunia
usaha, dan masyarakat.
7. Keterkaitan dengan subsistem lainnya
Penyelenggaraan subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman
harus melibatkan seluruh pelaku baik secara perorangan maupun bersama dan
terpadu antara Pemerintah, swasta/dunia usaha, organisasi profesi dan masyarakat.
a. Subsistem upaya kesehatan
Upaya pelayanan kesehatan memberikan peluang peningkatan pelayanan
kefarmasian dengan meningkatkan peran sumberdaya yang ada dalam
pelayanan kesehatan termasuk sumberdaya kefarmasian dalam pengembangan
pengobatan rasional, pelayanan informasi obat dan pelayanan kefarmasian
lainnya serta pengelolaan sediaan farmasi yang baik dan benar.
59
b. Subsistem pembiayaan kesehatan
Sistem pembiayaan kesehatan harus dapat menjamin terpenuhinya ketersediaan
pembiayaan kesehatan untuk sediaan farmasi yang cukup untuk meningkatkan
ketersediaan dan mutu sediaan farmasi yang ada di tempat pelayanan
kesehatan, yang bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta
maupun masyarakat.
c. Subsistem sumberdaya manusia kesehatan
Sumberdaya manusia kesehatan harus dapat menjamin ketersediaan tenaga
profesi kefarmasian dan tenaga teknis kefarmasian yang kompeten melalui
pelatihan maupun peningkatan pendidikan formal. Sedangkan tenaga teknis
kefarmasian paling sedikit lulusan Diploma 3 baik di Puskesmas, Rumah Sakit
maupun di Dinas dan Kabupaten/Kota.
d. Subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan
Subsistem manajemen dan sistem informasi kesehatan membantu penyebaran
informasi yang benar, baik dan efektif bagi tenaga kesehatan dan masyarakat
secara umum dalam upaya peningkatan pelayanan informasi obat dan
pengobatan rasional serta informasi ketersediaan dan mutu sediaan farmasi, alat
kesehatan serta makanan dan minuman, meliputi penataan, pengorganisasian,
pendistribusian, pengendalian dan pengawasan obat (pelayanan, program, stok
untuk bencana dan KLB), alat kesehatan, makanan minuman dan kosmetika.
e. Subsistem pemberdayaan masyarakat
Subsistem pemberdayaan masyarakat berperan dalam upaya meningkatkan
kesadaran masyarakat dalam penggunaan obat secara mandiri (swamedikasi)
dan rasional serta memilih makanan, minuman dan kosmetika yang baik untuk
diri, keluarga, dan masyarakat serta mampu menyaring informasi yang beredar
di media cetak maupun elektronik.
Masyarakat turut mengawasi penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
makanan dan minuman untuk kepentingan sendiri secara benar, dan tidak
berbahaya.
f. Subsistem regulasi
Subsistem regulasi memfasilitasi penyusunan kebijakan pengaturan periklanan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan makanan minuman.
Untuk itu ditetapkan kebijakan pembagian kewenangan pengawasan dan
penyidikan di setiap strata pelayanan kesehatan serta pengembangan dan
pemanfaatan penggunaan obat dan alat kesehatan tradisional, regulasi standar
dan sanksi penggunaan obat di pelayanan kesehatan seperti Pos Kesehatan Desa
(Poskesdes), Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren), Balai Pengobatan (BP),
Praktik bidan, Pos Persalinan Desa (Polindes) dan panti rehabilitasi penyalahguna
NAPZA. Regulasi perlu ditegakkan dalam penempatan tenaga kefarmasian di BP
karena dalam persyaratan pendirian BP, tidak dicantumkan. Demikian pula
dokter praktek yang menyediakan obat. Obat tradisional yang telah diuji klinis
dapat disediakan di Puskesmas.
g. Subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan
kesehatan
Subsistem ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan pengembangan
kesehatan harus melaksanakan penelitian dan pengembangan kebutuhan
sediaan farmasi khususnya obat tradisional, alat kesehatan dan makanan
minuman, penelitian lahan yang baik untuk pengembangan bahan baku obat
tradisional, pengembangan alat kesehatan tradisional serta pengembangan
60
penelitian bahan tambahan pangan pengganti BTP yang dilarang untuk
masyarakat.
h. Subsistem kerjasama
Subsistem kerjasama memfasilitasi dunia usaha dengan petani bahan baku obat
tradisional, memfasilitasi pembagian kewenangan Dinas, Balai Besar Pengawasan
Obat dan Makanan, dan Badan Pelaksana Perizinan Terpadu.
E. SUBSISTEM MANAJEMEN DAN INFORMASI KESEHATAN
1. Pengertian
Subsistem manajemen dan informasi kesehatan merupakan bentuk dan cara
penyelenggaraan yang menghimpun berbagai upaya manajemen kesehatan dan
sistem informasi kesehatan yang mendukung subsistem lainnya guna menjamin
tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
a. Manajemen kesehatan merupakan suatu kegiatan yang terdiri atas perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, pengendalian untuk mencapai tujuan dan
mengambil keputusan yang cepat dan tepat (in the right time), di setiap jenjang
administrasi kesehatan baik di tingkat unit pelaksana upaya kesehatan, di tingkat
Kabupaten/Kota, Provinsi maupun Pusat guna menjamin derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya yang efektif dan efisien.
b. Informasi kesehatan merupakan suatu tatanan yang menghasilkan data/informasi
yang akurat dan mutakhir untuk merancang pengambilan keputusan dan
manajemen kesehatan di setiap tingkat administrasi yang meliputi pengumpulan,
pengolahan, analisis, penyajian dan penyimpanan data dan informasi, yang
dilakukan sejak dari tingkat Puskesmas, Kabupaten/Kota, Provinsi sampai tingkat
Pusat dengan masing-masing jaringannya yang terintegrasi pada satu pusat
pengelola data.
2. Tujuan
Tujuan manajemen kesehatan adalah terwujudnya bentuk dan cara
penyelenggaraan manajemen kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan Daerah,
berbasis data hasil penyelenggaraan kegiatan guna mendukung fungsi-fungsi
manajemen kesehatan yang berhasilguna, berdayaguna dan akuntabel.
Tujuan sistem informasi kesehatan adalah terwujudnya data dan informasi yang
berbasis bukti, akurat, cepat dan mutakhir guna mendukung meningkatnya derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
3. Analisis situasi dan kecenderungan
Perencanaan pembangunan kesehatan pada saat ini belum berdasarkan fakta
(evidence based) dan kinerja (performance based), oleh sebab itu perencanaan
harus berbasis fakta dan kinerja.
Pengorganisasian sumberdaya kesehatan pada saat ini belum tertata dengan baik,
oleh sebab itu dalam menggunakan sumberdaya harus secara efisien, efektif dan
rasional untuk mencapai tujuan organisasi sesuai kebutuhan.
Penggerakan seluruh sumberdaya kesehatan belum dilaksanakan secara optimal.
Oleh karena itu, harus diciptakan iklim kerjasama diantara pelaksana program
sehingga tujuan dapat dicapai secara efektif dan efisien.
Pengendalian dalam proses monitoring dan evaluasi serta pengawasan masih belum
sesuai dengan pedoman dan standar yang ada, oleh sebab itu pengendalian harus
teratur dan berkesinambungan serta sesuai dengan rencana kerja yang sudah
tersusun, dan mengadakan koreksi jika terdapat penyimpangan.
61
Keberhasilan atau kegagalan sistem informasi kesehatan di waktu yang lalu banyak
berkaitan dengan masalah-masalah sumberdaya di tingkat operasional dan
Kabupaten/Kota.
Ketersediaan data dan informasi belum berdasarkan evidence dan akses data dan
informasi belum akurat, cepat dan mutakhir, sehingga kecenderungan dalam
pengambilan keputusan tidak berdasarkan fakta.
Sistem informasi kesehatan belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
menunjang program-program kesehatan, sehingga di masa yang akan datang sistem
informasi kesehatan harus terintegrasi secara selaras dan berkesinambungan serta
dapat memenuhi kebutuhan program-program kesehatan.
Pemanfaatan teknologi telematika yang belum optimal disebabkan kebutuhan biaya
yang besar, dan rendahnya apresiasi terhadap penggunaan teknologi atau
menempatkannya pada prioritas yang rendah, oleh sebab itu perlu diupayakan
pengembangan dan peningkatan sumberdaya kesehatan.
4. Unsur-unsur
a. Kebijakan kesehatan merupakan landasan yang menjadi acuan bagi seluruh
pelaku pembangunan kesehatan baik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia
usaha, dan masyarakat dalam melaksanakan penyelenggaraan pembangunan
kesehatan.
b. Administrasi kesehatan merupakan kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan
pengendalian, serta pengawasan dan pertanggungjawaban penyelenggaraan
pembangunan kesehatan.
c. Informasi kesehatan hasil pengumpulan, pengolahan data, analisis dan penyajian
informasi, serta penyebarluasan dan pemanfaatannya sebagai masukan bagi
pengambilan keputusan di bidang kesehatan.
d. Sumberdaya manajemen kesehatan dan informasi kesehatan meliputi sumberdaya
manusia, dana, sarana prasarana, standar, dan kelembagaan yang digunakan
secara berhasilguna dan berdayaguna dalam upaya mendukung terselenggaranya
pembangunan kesehatan.
5. Prinsip
a. Inovasi atau kreativitas
Penyelenggaraan manajemen dan informasi kesehatan harus mampu menciptakan
daya tahan dan kesinambungan kinerja sistem melalui inovasi/kreativitas dalam
menghadapi perubahan dan tantangan pembangunan kesehatan dengan lebih
baik.
b. Kepemimpinan yang visioner bidang kesehatan
Kepemimpinan yang visioner bidang kesehatan, adalah kepemimpinan yang
mempunyai visi, keteladanan, dan berkomitmen dalam pembangunan kesehatan.
c. Sinergisme yang dinamis
Pendekatan manajemen kesehatan merupakan kombinasi dari pendekatan sistem,
kontingensi, dan sinergi yang dinamis. Dalam manajemen ini penting adanya
interaksi, transparansi, interelasi dan interdependensi yang dinamis diantara para
pelaku pembangunan kesehatan. Perencanaan kebijakan, program, dan anggaran
perlu disusun secara terpadu.
d. Informasi yang akurat, cepat dan mutakhir
Informasi yang berbasis evidence yang dapat di-update setiap saat serta dapat
diakses dengan mudah, cepat dan terjangkau luas oleh seluruh pihak yang
membutuhkan.
62
6. Penyelenggaraan
Subsistem manajemen dan informasi kesehatan diselenggarakan dengan
mensinergikan unsur kebijakan, administrasi, hukum, dan informasi kesehatan.
a. Manajemen kesehatan
Penanggungjawab administrasi kesehatan adalah Dinas dan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, yang mempunyai hubungan teknis fungsional.
Penyelenggaraan manajemen kesehatan didasarkan pada urusan wajib bidang
kesehatan yang dilaksanakan secara terpadu, berdayaguna dan berhasilguna,
berlandaskan pada arah kebijakan pembangunan Daerah dengan memperhatikan
NSPK.
Prioritas pembangunan kesehatan, berorientasi pada kepentingan masyarakat,
responsif gender, memanfaatkan teknologi informasi, didukung sumberdaya
manusia yang kompeten, dan pembiayaan yang mencukupi; dilaksanakan secara
sinergi dan dinamis antara sektor kesehatan dengan sektor lain, baik provinsi
maupun Kabupaten/Kota dengan mengacu pada ketentuan peraturan
perundangan-undangan; dan dilaksanakan dengan menjunjung tinggi
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik (good governance).
Perencanaan kesehatan Daerah diselenggarakan dengan menetapkan kebijakan
pembangunan kesehatan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek
mengacu pada kesepakatan global, regional, kebijakan nasional dan
memperhatikan kondisi spesifik daerah, dan kewenangan wajib, standar
pelayanan minimal bidang kesehatan melalui sinkronisasi dan koordinasi dengan
Kabupaten/Kota dan OPD terkait.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas alokasi sumberdaya serta
meningkatkan transparasi dan akuntabilitas pengelolaan program pembangunan,
perlu dilakukan upaya pengendalian dan evaluasi terhadap pelaksanaan rencana
pembangunan kesehatan.
Pelaksanan pengendalian meliputi pemantauan dan pelaporan terhadap
perkembangan pelaksanaan rencana pembangunan dan mengidentifikasi serta
mengantisipasi permasalahan yang timbul atau akan timbul untuk dapat diambil
tindakan sedini mungkin.
b. Informasi kesehatan
Penyelenggaraan informasi kesehatan merupakan kegiatan pengelolaan data dan
informasi yang meliputi pengumpulan, pengolahan, analisis, penyajian dan
penyimpanan data/informasi, manajemen data dan informasi kesehatan,
penelitian dan pengembangan kesehatan, serta penerapan pengetahuan dan
teknologi informasi.
Pemerintah Daerah harus memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk
akses informasi kesehatan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Hal ini dilakukan melalui koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi
informasi kesehatan terkini, akurat, valid, cepat, serta berhasilguna dan
berdayaguna sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka penyediaan
data dan informasi.
Dukungan pendayagunaan teknologi, data dari fasilitas kesehatan dan masyarakat
(seperti riset kesehatan dasar dan surveilans), serta pengembangan sistem
informasi kesehatan terpadu, dapat menjadi tulang punggung pengambilan
keputusan yang bersifat evidence based.
Pengembangan sistem informasi kesehatan dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah
63
berdasarkan pada rancang bangun sistem informasi kesehatan yang telah
disepakati bersama, dan kaidah-kaidah sistem informasi.
Efisiensi dan kelangsungan hidup sistem informasi kesehatan sangat tergantung
pada tersedianya sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik untuk mengelola
serta organisasi yang dibangun dalam kerangka manajemen yang baik.
Pencatatan dan pelaporan rutin dalam sistem informasi kesehatan harus
mendukung tiga jenis fungsi manajemen (yaitu manajemen pasien/klien,
manajemen unit kesehatan, dan manajemen sistem kesehatan) yang ada di
Daerah dan Kabupaten/Kota).
Sistem informasi kesehatan dibangun dari jejaring sistem informasi kesehatan di
Kabupaten/Kota yang memiliki pusat jaringan dan anggota jaringannya, berupa
unit-unit pelayanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta.
Regulasi sistem informasi kesehatan diperlukan untuk menjamin penggunaan yang
optimum terhadap sumberdaya yang ada dalam mendukung proses menghasilkan
informasi.
Secara substansial penggunaan dan pemanfaaan teknologi informasi dan
manajemen sistem informasi kesehatan di daerah, harus mempertimbangkan
aspek-aspek sebagai berikut: good governance dan clean goverment yang
mencakup tuntutan terhadap transparansi; akuntabilitas dan partisipasi
masyarakat, west java cyber province dan e-health yang akan menopang
pembangunan kesehatan di daerah; komunikasi antar OPD dan internal opd untuk
menopang koordinasi dan sinergi dalam berbagai proses pengambilan keputusan;
komunikasi untuk berbagai kepentingan e-health di Daerah (asuransi kesehatan,
monitoring dan evaluasi); membangun jalinan komunikasi dengan institusi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota dan institusi swasta
yang terkait erat dengan pembangunan kesehatan; serta integrasi sistem
informasi kesehatan dengan sistem informasi lainnya dalam kerangka “west java
cyber province,” termasuk informasi bagi berbagai peluang investasi di bidang
kesehatan di Daerah.
7. Keterkaitan dengan subsistem lainnya
a. Sub sistem upaya kesehatan
Manajamen dan informasi kesehatan dapat mendukung kebijakan teknis dan
administrasi serta memberikan data dan informasi untuk mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan upaya kesehatan yang meliputi fungsi manajemen klien/pasien,
manajemen unit dan manajemen sistem kesehatan dengan mengacu kepada
norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK).
b. Sub sistem pembiayaan kesehatan
Manajemen dan informasi kesehatan dapat memberikan dukungan baik kebijakan
teknis dan administrasi dalam pembinaan dan fasilitasi pembiayaan kesehatan,
melalui role sharing atau pembagian biaya pembagian biaya antara Pusat,
Provinsi dan Kabupaten/Kota, dengan mengacu kepada norma, standar, prosedur
dan kriteria.
c. Sub sistem sumberdaya kesehatan
Manajemen dan informasi kesehatan dapat memberikan dukungan berupa
kebijakan teknis dan administrasi dalam perencanaan, pengadaan, pendidikan
dan pelatihan, pendayagunaan, pembinaan dan pengawasan sumberdaya
kesehatan, agar lebih efektif dan efisien.
64
d. Sub Sistem Sediaan Farmasi, Alat kesehatan dan Makanan
Manajemen dan Informasi dapat mendukung kebijakan teknis dan administrasi
serta memberikan Data dan Informasi untuk mendukung pelaksanaan
penyelenggaraan Sistem Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan (Alkes) dan Makanan.
e. Sub sistem pemberdayaan masyarakat
Manajemen dan informasi kesehatan memberikan dukungan kebijakan teknis dan
administrasi dalam perencanaan, pendayagunaan, pembinaan dan fasilitasi
pemberdayaan masyarakat dengan mengacu pada norma, standar, prosedur dan
kriteria.
f. Sub sistem regulasi kesehatan
Manajemen dan informasi kesehatan harus didukung oleh regulasi yang
mengatur tentang pedoman, arah kebijakan, norma, standar, prosedur dan
kriteria, dan mekanisme yang menyeluruh secara tegas dan konsisten bagi
institusi pemerintah maupun swasta sesuai kewenangan lokal, regional, nasional
dan internasional.
g. Sub sistem ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan
Manajemen dan informasi kesehatan dapat ditunjang dari data dan informasi
hasil pengembangan dan penelitan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian
pengembangan
kesehatan
milik
Pemerintah,
Pemerintah
Daerah,
(Litbangkes/LIPI/BPPT/Ristakmas/Dikti,dsb), swasta, pemda lain, lembaga ilmiah
dalam negeri/luar negeri, dengan mengacu kepada norma, standar, prosedur
dan kriteria.
h. Sub sistem kemitraan
Manajemen dan informasi kesehatan perlu didukung swasta, organisasi profesi
dan LSM dengan mengacu pada norma, standar, prosedur dan kriteria.
F. SUBSISTEM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
1. Pengertian
Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dan cara penyelenggaraan
kesehatan untuk meningkatkan peranserta masyarakat agar tahu, mau dan mampu
berperan, bukan hanya sebagai objek akan tetapi juga sebagai subjek dalam
pembangunan kesehatan.
2. Tujuan
Terselenggaranya upaya pemberdayaan masyarakat melalui proses pembelajaran
dan promosi kesehatan, sehingga masyarakat memiliki akses terhadap informasi,
mendapat kesempatan dalam mengemukakan pendapat, serta terlibat dalam
pengambilan keputusan, pemecahan masalah kesehatan yang dialami/terjadi pada
individu, kelompok dan masyarakat di wilayahnya, serta mampu berinisiatif,
berkreasi dan berinovasi, sehingga masyarakat dapat memberikan andil dalam
pemeliharaan dan peningkatan kualitas hidup dan derajat kesehatan.
3. Analisis situasi dan kecenderungan
Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan di Daerah belum menunjukkan
hasil seperti yang diharapkan. Hal ini dapat dilihat dari cakupan program kesehatan,
antara lain : cakupan PHBS di rumah tangga sebesar 32% (2007), cakupan desa
siaga aktif 40% (2008), cakupan posyandu purnama-mandiri 25,67% (2008).
Adapun penyebabnya antara lain tenaga pembina yang masih kurang jumlah
maupun kompetensinya, metode pengembangan pemberdayaan masyarakat yang
kurang terintegrasi, banyaknya kebijakan pemberdayaan masyarakat yang seringkali
65
tumpang-tindih, terkotak-kotak serta tidak sinkron satu dengan yang lainnya serta
pembiayaan yang minim dan tidak sinergis.
Terdapat kecenderungan masyarakat lebih senang mendapat bantuan secara
langsung dalam mengatasi masalah atau menyerahkan pemecahan masalah kepada
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, atau menunggu dibantu oleh pihak lain.
Masyarakat enggan dan kurang berupaya untuk mengembangkan potensi untuk
dapat mandiri dalam pemecahan masalah yang dihadapi, termasuk masalah
kesehatan.
Berdasarkan kecenderungan yang ada, maka untuk meningkatkan dan
mengembangkan potensi masyarakat dalam mengamati dan menilai pelaksanaan
dan hasil-hasil pembangunan kesehatan, perlu upaya pengorganisasian dalam
bentuk Badan Pertimbangan Kesehatan.
4. Unsur-unsur
Subsistem pemberdayaan masyarakat terdiri dari empat unsur, yaitu:
a. Penggerak pemberdayaan
Pemerintah, masyarakat, dan swasta menjadi inisiator, motivator dan fasilitator
yang mempunyai kompetensi memadai dan dapat membangun komitmen dengan
dukungan para pemimpin, baik formal maupun non formal.
b. Sasaran pemberdayaan
Perorangan (tokoh masyarakat, tokoh agama, politisi, figur masyarakat, dan
sebagainya), kelompok (organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, kelompok
masyarakat) dan masyarakat luas, serta Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang
akan berperan sebagai agen perubahan untuk penerapan perilaku hidup sehat
(subjek pembangunan kesehatan).
c. Stategi promosi kesehatan
Berupa strategi pemberdayaan masyarakat untuk menumbuhkan potensi
masyarakat melalui serangkaian kegiatan yaitu advokasi, pembinaan suasana dan
penggerakan masyarakat.
d. Kegiatan hidup sehat
Kegiatan hidup sehat yang dilakukan sehari-hari oleh masyarakat, sehingga
membentuk kebiasaan dan pola hidup, tumbuh dan berkembang, serta
melembaga dan membudaya dalam kehidupan bermasyarakat.
e. Sumberdaya
Potensi yang dimiliki oleh masyarakat, swasta, dan Pemerintah dan Pemerintah
Daerah yang meliputi dana, sarana dan prasarana, budaya, metode, pedoman,
dan media untuk terselenggaranya proses pemberdayaan di bidang kesehatan.
5. Prinsip
Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menumbuhkembangkan potensi
masyarakat, meningkatkan kontribusi masyarakat dalam pembangunan kesehatan,
mengembangkan gotong-royong, bekerja bersama masyarakat, komunikasi informasi
edukasi berbasis masyarakat, serta kemitraan dengan lintas sektor, LSM dan
organisasi masyarakat lain. Agar prinsip pemberdayaan masyarakat dalam bidang
kesehatan bisa terlaksana, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Berbasis masyarakat
Pembangunan kesehatan berbasis pada tata nilai perorangan, keluarga dan
masyarakat, sesuai dengan keragaman sosial budaya, kebutuhan, permasalahan,
serta potensi masyarakat (modal sosial).
66
b. Edukatif
Pemberdayaan masyarakat dilakukan atas dasar untuk menumbuhkan kesadaran,
kemauan dan kemampuannya, serta menjadi penggerak dalam pembangunan
kesehatan.
c. Kesempatan mengemukakan pendapat dan memilih pelayanan kesehatan
Masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan
memilih pelayanan kesehatan. Untuk itu, masyarakat diberikan kemudahan akses
informasi, mengemukakan pendapat dan terlibat dalam proses pengambilan
keputusan yang berkaitan dengan kesehatan diri, keluarga, masyarakat, dan
lingkungannya.
d. Kemitraan
Seluruh pelaku pembangunan kesehatan baik sebagai penyelenggara maupun
sebagai pengguna jasa kesehatan, menjalin kemitraan dengan masyarakat yang
dilayani, berdasarkan kebersamaan, kesetaraan dan saling memperoleh manfaat.
e. Kemandirian
Kemampuan masyarakat untuk mengoptimalkan dan menggerakkan seluruh
sumberdaya setempat serta tidak bergantung kepada pihak lain. Kemandirian
bermakna sebagai upaya kesehatan dari, oleh, dan untuk masyarakat.
f. Gotong-royong
Tumbuhnya rasa kepedulian, tenggang rasa, solidaritas, empati, dan kepekaan
masyarakat dalam menghadapi masalah kesehatan, yang akhirnya bermuara
dalam semangat gotong-royong sesuai dengan nilai luhur bangsa.
6. Penyelenggaraan
Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat di Daerah meliputi 3 (tiga) aspek,
yaitu: pelaksanaan, pembinaan dan pengawasan serta penilaian dan pengembangan.
a. Pelaksanaan
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat bidang kesehatan mengacu pada
Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat, yang tertuang di
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, serta ketentuan
peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh seluruh unsur
penyelenggara pemerintahan di setiap tingkatan pemerintahan.
Pelaksanaan pemberdayaan berdasarkan kewenangan Daerah dalam bentuk
penyelenggaraan promosi kesehatan skala provinsi, yaitu :
1) Mengembangkan pengumpulan data, mengolah, analisis dan menyajikan data
dari survei cepat PHBS skala provinsi.
2) Menetapkan prioritas masalah-masalah kesehatan setempat yang akan
ditangani/ intervensi skala provinsi.
3) menetapkan waktu/ jadwal pelaksanaan promosi dan pemberdayaan
masyarakat yang terfokus pada masalah-masalah kesehatan, prioritas. Hal ini
dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menganalisis secara epidemiologis
masing-masing masalah kesehatan dan menetapkan pola kejaian menurut
waktu, tempat dan orang skala provinsi.
4) melatih, mengawasi, membimbing dan mengevaluasi petugas-petugas
kesehatan di unit-unit operasional dalam melaksanakan promosi kesehatan
dan pemberdayaan masyarakat untuk substansi program kesehatan prioritas
skala provinsi.
67
5) membantu dan menfasilitasi petugas-petugas kesehatan di unit-unit
operasional dengan sarana /media komunikasi yang sesuai untuk pelaksanaan
promosi dan pembrdayaan masyarakat (misal dengan menyediakan lembar
balik/media cetak, media elektronik, CD serta prototipe media lainnya). Untuk
ini secara bertahap dikembangkan kemampuan petugas dalam memproduksi
media (cetak dan elektronik) skala provinsi.
Bentuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat
1) Penggerakan Masyarakat
Pembangunan kesehatan perlu digerakkan oleh masyarakat, dan masyarakat
mempunyai peluang yang penting dalam pembangunan kesehatan. Dalam
kaitan ini, pelibatan aktif masyarakat dalam proses pembangunan kesehatan
dilakukan mulai dari penelaahan situasi masalah kesehatan, penyusunan
rencana termasuk penentuan prioritas kesehatan, pelaksanaan, pemantauan
dan evaluasi upaya kesehatan sehingga dapat terwujud kemandirian dan
kesinambungan pembangunan kesehatan. Pemberdayaan masyarakat
ditujukan agar individu mampu untuk hidup sehat serta berperan aktif dalam
mengupayakan kesehatan kelompok maupun masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat ditujukan guna terwujudnya penguatan upaya
peningkatan, pencegahan, penyembuhan maupun pemulihan secara tersendiri
atau terpadu. Perencanaan pemberdayaan masyarakat didasarkan pada fakta
dan masalah kesehatan yang menjadi perhatian masyarakat setempat maupun
masyarakat luas, serta dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya dan
nilai-nilai sosial budaya masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat, termasuk penggerakan masyarakat, merupakan
hal yang penting dalam pembangunan kesehatan, hal ini mengingat
penekanan atau fokus pembangunan kesehatan diberikan pada peningkatan
perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya promotif dan preventif.
2) Pengorganisasian dalam pemberdayaan
Pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui perorangan,
kelompok, dan masyarakat luas sesuai dengan kepentingannya dengan cara
berhasilguna dan berdayaguna. Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan
pula melalui pendekatan tatanan, seperti: rumah tangga, institusi pendidikan,
tempat kerja, tempat umum, dan fasilitas kesehatan, agar terwujud
pemberdayaan masyarakat yang berhasilguna dan berdayaguna serta terjamin
kesinambungannya.
Bentuk pengorganisasian pemberdayaan masyarakat mengawasi dan menilai
serta memberikan masukan terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan,
adalah Badan Pertimbangan Kesehatan Daerah, baik di tingkat Provinsi,
Kabupaten/Kota Kecamatan dan Desa, sesuai kebutuhan. Pembentukan Badan
Pertimbangan Kesehatan ini diintegrasikan dengan lembaga yang sudah ada
pada saat ini.
Unsur keanggotaan Badan Pertimbangan Kesehatan diupayakan dari seluruh
sektor dan stakeholder di Daerah yaitu Bupati/Walikota, organisasi profesi,
pakar kesehatan, perguruan tinggi, LSM, Asosiasi Dinas Kesehatan, Asosiasi
Rumah Sakit, media massa, tokoh agama dan masyarakat. Anggota Badan ini
merupakan orang terpilih yang mewakili kriteria tersebut di atas berdasarkan
concern dan pengalamannya di bidang kesehatan.
68
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik
dan kekhususan masyarakat, seperti masyarakat di desa, kota, daerah pesisir,
daerah pegunungan, dan aliran sungai.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan metoda yang tepat,
memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang, serta
dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya yang ada.
Upaya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan
kemampuan masyarakat dalam berperilaku sehat dapat dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung melalui berbagai saluran media dan teknik
promosi kesehatan.
Peranan Pemerintah membuka akses informasi dan dialog, menyiapkan
regulasi, menyiapkan masyarakat dengan membekali pengetahuan dan
keterampilan bagi masyarakat, dukungan sumberdaya untuk membangun
kemandirian dalam upaya kesehatan dan mendorong terbentuknya UKBM,
seperti: Poskestren, Musholla Sehat, Desa Siaga, Pemuda Siaga Peduli
Bencana (Dasipena), dan kemandirian dalam upaya kesehatan.
Peran masyarakat dalam pembangunan kesehatan dapat dengan cara
mendirikan sarana pelayanan kesehatan maupun memberikan informasi
kesehatan (promosi kesehatan) kepada masyarakat. Dalam kaitan ini
termasuk pengembangan Desa Siaga atau bentuk-bentuk lain pada
masyarakat desa/kelurahan.
3) Advokasi
Masyarakat dapat berperan dalam melakukan advokasi kepada Pemerintah,
Pemerintah Daerah serta lembaga pemerintahan lainnya seperti legislatif,
untuk memperoleh dukungan kebijakan dan sumberdaya bagi terwujudnya
pembangunan berwawasan kesehatan. Pelaksanaan advokasi dilakukan
dengan dukungan informasi yang memadai serta metode yang berhasilguna
dan berdayaguna.
Masyarakat dapat berpartisipasi dengan melakukan kritik yang membangun
dan pengawasan pelaksanaan pembangunan kesehatan untuk kepentingan
seluruh masyarakat.
4) Kemitraan
Pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui kemitraan dengan berbagai
pihak, seperti: sektor lain terkait, lembaga legislatif, dunia usaha, organisasi
kemasyarakatan, perguruan tinggi dan masyarakat, agar terwujud dukungan
sumberdaya dan kebijakan dalam pembangunan kesehatan yang propublik.
5) Peningkatan sumberdaya
Pemberdayaan masyarakat perlu didukung oleh pengembangan dan
pemberdayaan sumberdaya manusia kesehatan yang kuat, pembiayaan yang
memadai dan dukungan berbagai sarana lain yang berkaitan.
Dalam pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan pendampingan oleh
penggerak yang berperan sebagai sebagai katalisator, fasilitator, komunikator,
motivator, dinamisator, dan penasehat teknis dalam proses pemberdayaan
masyarakat. Ketersediaan sumberdaya tersebut sangat penting agar dapat
tercapai masyarakat berperilaku hidup sehat dan mandiri, termasuk
pentingnya ketersediaan tenaga penggerak/promosi kesehatan di Puskesmas
dan Rumah Sakit yang mempunyai kompetensi dan integritas tinggi.
69
b. Pembinaan dan pengawasan
Pembinaan dilakukan untuk pengembangan dan kesinambungan pemberdayaan
masyarakat. Pembinaan dilakukan secara berjenjang mulai tingkat provinsi
sampai desa/kelurahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yaitu tenaga
kesehatan maupun tenaga lintas sektor, serta bekerjasama dengan mitra dari
unsur tokoh masyarakat, swasta, LSM dan sebagainya.
Di tingkat desa, untuk kesinambungan kegiatan-kegiatan pemberdayaan
masyarakat dibutuhkan penguatan forum masyarakat desa yang merupakan
motor penggerak siklus pembelajaran pemecahan masalah di desa serta
pembinaan terhadap anggota masyarakat desa yang dapat berperan sebagai
agen pembaharu (agent of change) seperti : pembentukan jejaring promosi
kesehatan, pembinaan kader dasawisma, kader siaga, dan lain-lain.
Pembinaan dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya melalui
supervisi dan bimbingan/pendampingan, pembuatan dan pengiriman laporan,
pemberian umpan balik, lomba atau kompetisi.
c. Penelitian dan pengembangan
Penelitian dan pengembangan pemberdayaan masyarakat perlu terus dilakukan
dengan melibatkan Badan Penelitian dan Pengembangan maupun perguruan
tinggi, agar diperoleh model-model pemberdayaan yang efektif dan efisien dalam
memecahkan masalah kesehatan masyarakat.
Hasil
penelitian
disebarluaskan
kepada
pihak-pihak
terkait
untuk
diimplementasikan di lapangan.
7. Keterkaitan dengan sub sistem lain
a. Sub sistem upaya kesehatan
Salah satu konsep untuk mencapai derajat kesehatan yang maksimal yaitu
kesadaran, kemauan, kemampuan, untuk menangkal, memelihara dan
meningkatkan kesehatan. Agar pemberdayaan masyarakat berdampak terhadap
pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal, maka setiap upaya
pemberdayaan kesehatan harus memperhatikan kegiatan dan sumberdaya upaya
kesehatan.
b. Sub sistem sumberdaya manusia kesehatan
Pada aspek input, diharapkan dapat melakukan kemitraan dan koordinasi intensif
dengan institusi pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang siap pakai,
khususnya dalam pemberdayaan masyarakat. Pemenuhan kebutuhan dapat
dilakukan melalui pendidikan formal serta pembekalan lulusan melalui pendidikan
dan pelatihan yang berhubungan dengan pemberdayaan masyarakat.
Untuk rekruitmen, sub sistem pemberdayaan sangat membutuhkan kualifikasi
tenaga yang siap pakai, karena dalam proses rekruitmen menggunakan standar
rekruitmen yang sesuai dengan kebutuhan, distribusi sumberdaya manusia
diharapkan berdasarkan kebutuhan hasil mapping sumberdaya.
c. Sub sistem manajemen dan informasi kesehatan
Informasi tentang kondisi, kebutuhan dan kemajuan pemberdayaan masyarakat
sangat diperlukan, demikian pula tentang potensi dan hambatan/masalah yang
terjadi dalam upaya pemberdayaan. Diperlukan adanya sistem informasi yang
akurat dan tepat waktu.
70
d. Sub sistem pembiayaan kesehatan
e.
f.
g.
h.
Agar pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan dapat berjalan,
maka subsistem pembiayaan kesehatan yang semula mengalokasikan pada upaya
kesehatan perorangan (kuratif) ke depannya dapat diarahkan pada pembiayaan
kesehatan upaya kesehatan masyarakat.
Sub sistem farmasi, alat kesehatan dan makanan
Diharapkan dapat lebih banyak melibatkan masyarakat dalam produksi dan
pemanfaatan obat tradisional, untuk mengenali dan melindungi terhadap industri
rumah tangga, bahan makanan berbahaya dan kosmetika berbahaya.
Subsistem regulasi kesehatan
Regulasi yang dapat menjamin terlaksananya pemberdayaan masyarakat dalam
pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal, sangat penting.
Diperlukan adanya kejelasan antara peran dan kewenangan masyarakat maupun
Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
Regulasi mengenai upaya pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh institusi atau
lembaga yang bekerjasama dengan masyarakat dalam bidang kesehatan dalam
rangka perlindungan masyarakat.
Subsistem pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan penelitian dan
pengembangan kesehatan
Penelitian dan pengembangan pemberdayaan masyarakat perlu dilakukan untuk
memperoleh model maupun strategi pemberdayaan yang efektif dan efisien dalam
memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat.
Hasil
penelitian
disebarluaskan
kepada
pihak-pihak
terkait
untuk
diimplementasikan di lapangan.
Subsistem kemitraan
Kemitraan ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan
pemberdayaan masyarakat.
Eksisitensi Badan Pertimbangan Kesehatan Daerah (BPKD) sebagai lembaga yang
bersifat independen lebih diarahkan untuk melakukan kegiatan sebagai berikut :
(1) Melakukan refleksi terhadap pembangunan kesehatan di Daerah, terutama
yang diimplementasikan di wilayah yang bercorak perkotaan maupun yang
bercorak perdesaan (agraris, nelayan, dan sebagainya); (2) Melakukan analisis
kebijakan untuk memperbaiki kebijakan publik yang dilandasi oleh pemahaman
baru dalam pembangunan kesehatan millenium tiga; Evaluasi kebijakan dapat
diangkat melalui isu-isu permasalahan pembangunan kesehatan di Daerah (Health
Development Issues), kemudian dikaitkan dengan strategi pendekatan pemecahan
masalah yang dilandasi dengan metodologi baru penanganan masalah;
(4) Memberikan berbagai masukan dalam penetapan visi, misi, dan tujuan yang
jelas serta terukur dalam tema pembangunan kesehatan; (5) Berbagai pendekatan
strategi untuk penerapan kebijakan pembangunan kesehatan di Daerah; (6)
Menekankan pembiayaan dalam pemenuhan “money follow program” dan
“mission budget”; (7) Melakukan monitoring dan evaluasi.
G. SUBSISTEM REGULASI KESEHATAN
1.Pengertian
Regulasi kesehatan adalah bentuk dan cara pengaturan, pembinaan dan pengawasan
serta penindakan terhadap berbagai aspek atau komponen upaya kesehatan untuk
perlindungan masyarakat dan peningkatan mutu.
71
Di dalamnya termasuk kegiatan registrasi, lisensi, sertifikasi dan akreditasi serta
perpanjangannya sesuai kebutuhan sesuai kewenangan, berdasar peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
a. Pengertian registrasi
Registrasi adalah pendaftaran dan pencatatan seluruh aspek upaya kesehatan yang
terkait dengan perlindungan masyarakat dan peningkatan mutu, yang telah
memenuhi standar persyaratan yang berlaku.
b. Pengertian lisensi
Lisensi adalah pemberian izin/perizinan terhadap berbagai aspek upaya kesehatan,
terkait terpenuhinya berbagai persyaratan yang sesuai standar mutu kesehatan
masyarakat dan mutu pelayanan.
c. Pengertian sertifikasi
Sertifikasi adalah pemberian sertifikat kepada lembaga pelayanan kesehatan dan
tenaga kesehatan yang telah memenuhi standar yang ditetapkan dalam upaya
kesehatan, termasuk perpanjangannya.
d. Pengertian akreditasi
Akreditasi adalah penetapan akreditasi kepada tenaga dan lembaga yang
memberikan pelayanan kesehatan, setelah memenuhi standar akreditasi yang
ditetapkan.
2. Tujuan
Mewujudkan perlindungan hukum bagi masyarakat penerima upaya pelayanan
kesehatan, serta kepastian hukum bagi pemberi pelayanan, yaitu lembaga, tenaga
profesional dan mutu pelayanan, agar dapat tercapai mutu pelayanan yang setinggitingginya bagi seluruh masyarakat.
3. Analisis situasi dan kecenderungan
a. Permasalahan regulasi kesehatan secara umum
Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hak-hak dasar untuk
hidup sehat dan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu. Disisi lain,
terdapat permasalahan perlu direspon dengan pengembangan fungsi regulasi
oleh lembaga terkait. Semakin berkembangnya upaya-upaya kesehatan yang
belum teruji keamanan dan manfaatnya, namun disambut masyarakat dengan
antusias (kasus Ponari, dan lain-lain sejenisnya); Semakin berkembangnya
industri kecil dan rumah tangga dalam bentuk makanan, minuman yang
mengandung bahan kimia berbahaya untuk kesehatan, sediaan farmasi palsu dan
substandar, serta kosmetik yang palsu dan mengandung bahan berbahaya bagi
masyarakat.
Disamping itu, masih rendahnya kewenangan di bidang kesehatan sebagai
payung hukum di Daerah untuk pengaturan, pembinaan, pengawasan dan
penindakan, karena belum terdapat dasar hukum yang jelas dan komprehensif
untuk pelaksanaan regulasi di bidang kesehatan; belum selesainya penyusunan
pengembangan dasar-dasar regulasi yang berfokus kepada pelaksanaan regulasi
di Daerah dan Kabupaten/Kota serta belum adanya analisis dampak kesehatan.
Regulasi di tingkat provinsi dibutuhkan berkaitan dengan kesepakatan atau
penyelesaian masalah lintas Kabupaten/Kota, maupun di wilayah perbatasan
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Banten dan Provinsi Jawa
Tengah. Masalah berkaitan dengan regulasi sumberdaya manusia, sebagai contoh
izin praktek dokter di 3 (tiga) tempat yang berada di Kabupaten/Kota yang
72
berbeda, misalnya di Bandung dan Sumedang atau antara Jakarta dan Bekasi
atau Bogor dan Tangerang Banten. Demikian juga pendidikan dan pelatihan
tenaga PPNS, yang merupakan kebutuhan Kabupaten/Kota, akan lebih efektif dan
efisien bila pelaksanaannya dikoordinasikan oleh tingkat Pemerintah Daerah.
b. Permasalahan regulasi kesehatan secara khusus
1) Desain regulasi. Desain regulasi yang ada lebih bersifat administratif dan
lebih mengarah kepada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD);
Birokrasi pelayanan publik masih rumit, sehingga proses regulasi belum jelas
bagi masyarakat; Monitoring regulasi masih lemah dan tidak ada ”reward and
punishment” yang tegas; Disamping itu akuntabilitas dan transparansi dalam
desain regulasi masih rendah dan tidak responsif terhadap perubahan
lingkungan.
2) Informasi regulasi. Terdapat ketidakseimbangan informasi antara regulator
dengan masyarakat di bidang kesehatan; Belum efektifnya sosialisasi regulasi
upaya kesehatan dari Pemerintah Daerah kepada lembaga pelayanan dan
tenaga kesehatan, termasuk kepada organisasi profesi, dan masyarakat
umum; Disamping itu belum dipahaminya manfaat perlindungan hukum oleh
pelaku upaya kesehatan yang cenderung menghindari upaya penegakan
hukum.
3) Faktor kapasitas. Kapasitas dan jumlah aparatur tidak sebanding dengan
banyaknya aspek dan upaya kesehatan yang perlu diatur dan dimonitor
secara berkala; Ketersediaan dana/anggaran belum memadai untuk
pelaksanaan dan penindakan hukum; Tidak jelasnya standardisasi.
4) Faktor otoritas. Belum lengkapnya acuan hukum untuk melakukan regulasi
berbagai aspek upaya kesehatan yang melindungi penerima dan pemberi
pelayanan; kejelasan kewenangan provinsi dan kabupaten/kota; belum
diterapkannya ” reward and punishment”; Tidak jelasnya pembagian kerja
dan kewenangan antar OPD; Belum tersedia dan belum jelasnya norma,
standar, prosedur dan kriteria bagi aspek-aspek upaya kesehatan, sehingga
menyulitkan pengaturan.
4. Unsur-unsur
1) Regulator, peran sebagai regulator dilaksanakan oleh Dinas dan Dinas
Kabupaten/Kota.
2) Sarana dan tenaga kesehatan, merupakan unsur yang diawasi, meliputi seluruh
sarana dan tenaga kesehatan baik milik pemerintah maupun swasta.
3) Regulasi adalah seluruh peraturan perundangan yang mengatur tentang
registrasi, sertifikasi, lisensi dan akreditasi untuk sarana dan tenaga kesehatan.
4) Norma, standar, prosedur dan kriteria bidang kesehatan.
5. Prinsip-prinsip
a. Keamanan, manfaat, dan mutu
Pemerintah Daerah mengawasi keamanan, khasiat, manfaat dan mutu seluruh
aspek dan komponen upaya kesehatan, agar masyarakat terhindar dari hal-hal
yang membahayakan kesehatan.
b. Kemitraan
Pembinaan, pengawasan dan penindakan atau penegakan hukum, perlu dilakukan
dengan pola kemitraan.
73
c. Tingkat kewenangan
Regulasi pelaksanaan kewenangan termasuk koordinasi dan fasilitasi serta antar
Kabupaten/Kota maupun dengan provinsi yang berdekatan.
6.
Penyelenggaraan
Bentuk penyelenggaraan regulasi, adalah pengaturan, pembinaan, pengawasan dan
penindakan setiap upaya kesehatan dan aspek-aspeknya, untuk perlindungan dan
perbaikan mutu pelayanan kesehatan.
a. Pengaturan dengan pelaksanaan regulasi, lisensi, sertifikasi dan akreditasi setiap
aspek dan komponen upaya kesehatan, meliputi :
1) registrasi, akreditasi, dan sertifikasi sarana kesehatan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan :
(a) Perizinan fasilitas pelayanan kesehatan ditetapkan oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
(b) Penyelenggara fasilitas pelayanan kesehatan dilarang mempekerjakan
tenaga kesehatan yang tidak memiliki kualifikasi dan izin melakukan
pekerjaan profesi, yang dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(c) Pemerintah Daerah dapat menetapkan jumlah dan jenis fasilitas
pelayanan kesehatan serta pemberian izin operasional. Penetapan
jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh
Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan:
(1) luas wilayah;
(2) kebutuhan kesehatan;
(3) jumlah dan persebaran penduduk;
(4) pola penyakit;
(5) pemanfaatan;
(6) fungsi sosial; dan
(7) kemampuan dalam memanfaatkan teknologi.
Pemerintah Daerah melaksanakan ketentuan mengenai jumlah dan jenis
fasilitas pelayanan kesehatan serta pemberian izin beroperasi. Hal ini
berlaku pula untuk fasilitas pelayanan kesehatan asing. Ketentuan
mengenai jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan tidak berlaku
untuk jenis rumah sakit khusus karantina, penelitian, dan asilum.
2) pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh
Pemerintah;
3) pemberian izin sarana kesehatan, meliputi Rumah Sakit Pemerintah Kelas B,
Rumah Sakit Khusus, Rumah Sakit Swasta serta sarana kesehatan penunjang
yang setara;
4) registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala provinsi
sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu :
(a) Tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum sesuai dengan
ketentuan dan sertifikasi yang diperoleh melalui uji kompetensi oleh
MTKP Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(b) Tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan yang dilakukan sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, tenaga kesehatan wajib
memiliki izin dari Pemerintah Daerah, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
74
(c) Tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan mengenai kode etik,
standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan
dan standar operasional prosedur, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5) pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing;
6) penyediaan dan pengelolaan bufferstock obat provinsi, alat kesehatan,
reagensia dan vaksin lainnya skala provinsi;
7) sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan, dan perbekalan
kesehatan rumah tangga kelas II;
8) pemberian rekomendasi izin industri komoditi kesehatan, pedagang besar
farmasi, dan Pedagang Besar Alat Kesehatan (PBAK);
9) pemberian Izin PBF Cabang dan IKOT;
b. Pembinaan dengan penyadaran hukum terhadap setiap pelaku upaya yang dapat
berdampak terhadap kesehatan masyarakat.
c. Pengawasan dengan prinsip pencegahan, serta terjadinya dampak yang
membahayakan kesehatan masyarakat.
d. Pengembangan kemitraan dengan kejelasan mengenai tugas, wewenang dan
tanggungjawab OPD dalam upaya perlindungan kesehatan masyarakat.
e. Keterpaduan dalam penindakan terhadap penyimpangan peraturan yang ada,
sehingga memberi kepastian hukum yang jelas bagi pelaku usaha dan pelayanan
kesehatan.
f. Pemantapan pengawasan, monitoring dan penindakan yang konsisten dan
berdasar hukum, dan menimbulkan efek jera.
g. Ketersediaan anggaran untuk menciptakan jumlah dan mutu PPNS (Penyidik
Pegawai Negeri Sipil) untuk pelaksanaan regulasi, sehingga sebanding dengan
kebutuhan.
h. Pengaturan dan penyelesaian masalah lintas Kabupaten/Kota maupun di
perbatasan dengan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi Banten dan
Provinsi Jawa Tengah.
7. Pembinaan dan pengawasan
a. Pembinaan upaya regulasi ditujukan untuk menjamin keamanan dan manfaat serta
mutu upaya kesehatan dan aspek-aspek pendukung untuk perlindungan kesehatan
masyarakat.
b. Pemerintah Daerah bertanggungjawab melakukan pembinaan regulasi terhadap
seluruh bentuk upaya kesehatan dan penunjang kesehatan, agar pelaksanaan
regulasi terselenggara berdasar norma, standar, prosedur dan kriteria.
c. Pembinaan regulasi oleh Dinas bekerjasama dengan OPD terkait dan lembaga lain,
pihak organisasi profesi, swasta/organisasi perusahaan sejenis, dan lembagalembaga lain dalam masyarakat.
d. Organisasi profesi dan organisasi perusahaan dan lembaga swasta bidang
kesehatan, dapat melakukan pembinaan dilingkup kerjanya masing-masing.
e. Pengawasan upaya regulasi, untuk menjamin konsistensi penyelenggaraan regulasi,
dilakukan secara intensif, baik internal maupun eksternal oleh Pemerintah, yang
dapat melibatkan swasta dan masyarakat.
75
8. Penelitian dan pengembangan
Pengembangan dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai untuk
pengembangan regulasi perlindungan kesehatan masyarakat dan peningkatan mutu,
perorangan, sarana, lembaga dan teknik pelayanan kesehatan.
Penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi antara lain :
(a)
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan oleh Pusat-Pusat Penelitian dan
pengembangan, yang telah mendapat pengakuan, baik instansi pemerintah maupun
swasta atau lembaga masyarakat.
(b) Penelitian pelaksanaan regulasi dilakukan
secara berkala, disesuaikan dengan perkembangan hukum dan sosial, serta bentukbentuk perlindungan hukum untuk kehidupan kesehatan masyarakat. (c) Pemanfaatan
dan penyebarluasan hasil penelitian menyangkut regulasi upaya kesehatan serta
berbagai komponen dan aspeknya, dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah
Daerah. Penelitian oleh warga negara asing, baik dilakukan oleh badan atau individu,
harus mendapat izin dan diawasi oleh Pemerintah Daerah.
9. Keterkaitan subsistem regulasi dengan subsistem lain
Regulasi kesehatan berdasarkan kewenangan di Daerah, berupa kewenangan
langsung, koordinatif, dan fasilitasi lintas Kabupaten/Kota.
a. Regulasi upaya kesehatan
1) Regulasi pelayanan kesehatan tingkat pertama
a) Regulasi sarana pelayanan kesehatan perorangan tingkat pertama sesuai
standar yang ditetapkan, dengan memperhatikan mutu pelayanan yang
semakin dapat memberikan kepuasan bagi penerima pelayanan maupun
pemberi pelayanan.
b) Regulasi standar tenaga kesehatan pelayanan kesehatan perorangan
memberikan pelayanan dasar perorangan dalam hal penyuluhan dan
pendidikan kesehatan kepada penerima pelayanan.
c) Regulasi terlaksananya norma, standar, prosedur dan kriteria dalam
pelayanan kesehatan tingkat pertama yang disertai pembinaan dan
pengawasan serta penerapan “reward and punishment”.
d) Regulasi terhadap pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif, agar
aman dan bermanfaat, dalam rangka perlindungan kesehatan masyarakat.
e) Regulasi pelayanan kesehatan keluarga miskin, dengan norma, standar,
prosedur dan kriteria yang tegas, agar tidak terdapat keluarga miskin yang
tidak memperoleh haknya.
f) Regulasi perkembangan UKBM, agar sepenuhnya disesuaikan kebutuhan
dan kemampuan masyarakat, guna manfaat yang sebesar-besarnya untuk
masyarakat.
g) Regulasi pengembangan revitalisasi Puskesmas, dengan menggerakkan
fungsi vital Puskesmas dalam upaya pemeliharaan, pencegahan,
peningkatan dan perlindungan masyarakat serta pemberdayaan
kemandirian masyarakat hidup sehat.
h) Regulasi pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif yang
menggunakan
alat
dan
teknologi,
agar
pelayanan
dapat
dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya serta tidak
bertentangan dengan norma agama dan budaya masyarakat.
76
i) Regulasi pengelola tempat kerja agar bertanggungjawab terhadap
pekerjanya, hidup sehat terbebas dari segala gangguan kesehatan dan
pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan serta kecelakaan kerja
yang terjadi di lingkungan kerja.
2) Regulasi pelayanan kesehatan tingkat kedua
a) Regulasi sistem rujukan medis dan kesehatan, baik vertikal maupun
horizontal, agar pelayanan bermutu dan menjamin sistem rujukan yang
efektif.
b) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria dalam pelayanan Rumah
Sakit baik milik Pemerintah Daerah, TNI, Polri, swasta maupun
masyarakat, agar pelayanan yang diberikan semakin bermutu.
c) Regulasi jaminan pelayanan keluarga miskin pada Rumah Sakit sehingga
tidak terjadi adanya penderita keluarga miskin yang terlantar dalam
pelayanan dan rujukan.
d) Regulasi pelayanan kesehatan perorangan di Rumah Sakit yang berbasis
bukti (evidence based medicine), yaitu yang aman, sesuai, efektif dan
efisien terutama penggunaan alat-alat kedokteran mutakhir yang mahal.
e) Regulasi kerjasama pengembangan dan pengujian obat-obat tradisional
dan alternatif, untuk menjamin efektivitas dan efisiensi pengujian.
f) Regulasi penggunaan Rumah Sakit untuk tempat pendidikan dan pelatihan
tenaga kesehatan, sesuai dengan kebutuhan dan standar yang ditetapkan.
g) Regulasi pelaksanaan rujukan kesehatan, berupa sarana, teknologi dan
operasional, agar efektif dan efisien sesuai kebutuhan masyarakat.
h) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria penanggulangan penyakit
menular dan masalah kesehatan lain lintas Kabupaten/Kota.
i) Regulasi pengembangan pelayanan penunjang untuk pelayanan tingkat
kedua berupa Laboratorium Kesehatan Daerah, Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan, fasilitas kalibrasi dan peralatan kesehatan lain.
j) Regulasi pengembangan pelayanan kesehatan keluarga.
3) Regulasi pelayanan kesehatan tingkat ketiga
a) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan rujukan medis
subspesialistik, baik pelayanan kesehatan perorangan maupun kesehatan
masyarakat, dan upaya kesehatan penunjang lainnya.
b) Regulasi pelayanan kesehatan rujukan tingkat ketiga untuk orang miskin,
agar terlaksana secara efektif dan efisien, dan tidak merugikan hak-hak
orang miskin.
c) Regulasi RS Umum dan RS Khusus di Daerah yang ditetapkan sebagai
rujukan tingkat ketiga, termasuk pusat-pusat pelayanan seperti Pusat
Radiotherapy, dan RS Mata Cicendo, dalam rangka menjamin pelayanan
kepada masyarakat berbasis bukti (evidence based medicine).
d) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan rujukan
kesehatan masyarakat tingkat ketiga, berupa sarana, teknologi, maupun
tenaga, yang dilaksanakan oleh Dinas dan didukung kerjasama lintas
sektor.
e) Regulasi norma, standar, prosedur dan kriteria terhadap pengembangan
instansi kesehatan masyarakat, tingkat kedua dan tingkat ketiga, termasuk
Rumah Sakit swasta yang mengembangkan berbagai pelayanan khusus,
seperti Rumah Sakit Holistik, Klinik Kecantikan, Rumah Sakit Alternatif dan
sebagainya.
77
b. Regulasi pembiayaan kesehatan
1) Regulasi penyediaan pembiayaan kesehatan.
a) Regulasi alokasi pembiayaan kesehatan yang semakin meningkat dari
tahun ke tahun, yang bersumber dan APBD Kabupaten/Kota, APBD
Provinsi, APBN, bantuan luar negeri/pinjaman luar negeri, swasta, lembaga
asuransi.
b) Regulasi dana masyarakat untuk kesehatan serta semakin berkembangnya
jaminan pelayanan kesehatan masyarakat, yang terjamin manfaatnya bagi
masyarakat.
c) Regulasi penerimaan dan pemanfaatan dana dari perusahaan-perusahaan
berupa CSR untuk agar semakin meningkat, khususnya untuk
pemeliharaan kesehatan keluarga miskin.
d) Regulasi pengembangan KTP berasuransi kesehatan keluarga miskin yang
preminya dibayar oleh Pemerintah Daerah, berupa jaminan pemeliharaan
kesehatan masyarakat.
2) Regulasi pengalokasian anggaran
a) Regulasi alokasi anggaran untuk upaya preventif dan promotif diarahkan
untuk semakin dominan daripada upaya kuratif dan rehabilitatif, secara
proporsional.
b) Regulasi alokasi anggaran dengan mengutamakan penanganan daerah
terpencil, daerah tertinggal dan daerah perbatasan serta daerah rawan
kesehatan.
3) Regulasi penggunaan pembiayaan
a) Regulasi penerapan prinsip akuntansi yang baku sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
b) Regulasi penerapan prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi serta
kinerja pelaksanaan program.
c) Regulasi penggunaan standar-standar pembuatan, pencatatan, pelaporan,
pelayanan dan program.
c. Regulasi sediaan farmasi, alat kesehatan, makanan
1) Regulasi sediaan farmasi
a) Regulasi produksi dan peredaran sediaan farmasi yang menjamin
keamanan dan manfaat bagi masyarakat, khususnya penindakan terhadap
obat palsu, substandar dan racikan-racikan yang membahayakan
masyarakat.
b) Regulasi ketersediaan sediaan farmasi yang standar, pada seluruh tingkat
pelayanan, sampai daerah-daerah terpencil untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat.
c) Regulasi produksi dan peredaran jenis dan bentuk obat-obat tradisional,
agar terjamin keamanan dan manfaatnya untuk perlindungan masyarakat.
2) Regulasi alat kesehatan
a) Regulasi produksi dan penggunaan alat-alat kesehatan, agar
penggunaannya tidak merugikan masyarakat.
b) Regulasi produksi dan pengunaan alat-alat kesehatan yang berteknologi
tinggi, agar digunakan secara rasional, dan tidak menimbulkan dampak
kesehatan dan kerugian bagi masyarakat.
78
c) Regulasi pengawasan, pembinaan dan penindakan terhadap penggunaan
alat-alat kesehatan.
3) Regulasi makanan dan minuman
a) Regulasi pengawasan, pembinaan dan penindakan produksi dan peredaran
makanan dan minuman yang mengandung bahan-bahan berbahaya bagi
kesehatan masyarakat.
b) Regulasi pengawasan dan penindakan peredaran makanan dan minuman
produksi luar negeri yang belum mendapat izin oleh Kementerian
Kesehatan/BPOM.
c) Regulasi pengawasan dan penindakan terhadap makanan dan minuman
suplemen, yang dipromosi sebagai obat yang menyembuhkan penyakit.
4) Regulasi kosmetik
a) Regulasi pengawasan dan penindakan terhadap produksi dan peredaran
kosmetika palsu, sehingga membahayakan kesehatan masyarakat.
b) Regulasi pengawasan dan penindakan terhadap produksi dan peredaran
kosmetika yang mengandung bahan-bahan kimia berbahaya untuk
kesehatan masyarakat.
c) Regulasi pengawasan dan penindakan terhadap sarana dan lembaga yang
memproduksi alat-alat dan bahan-bahan kosmetik yang membahayakan
masyarakat.
d. Regulasi sumberdaya manusia kesehatan
1) Regulasi perencanaan sumberdaya manusia kesehatan
a) Regulasi perencanaan kebutuhan sumberdaya manusia kesehatan, yang
sepenuhnya didasarkan pada kebutuhan dan mengacu pada standar mutu
sumberdaya manusia.
b) Regulasi perencanaan mutu, jumlah dan jenis sumberdaya manusia
kesehatan agar dapat bersaing secara global.
c) Regulasi perencanaan kebutuhan jumlah, jenis dan mutu sumberdaya
manusia kesehatan, serta penyerapan tenaga kerja kesehatan.
2) Regulasi pengadaan sumberdaya manusia kesehatan
a) Regulasi pelaksanaan standar pengadaan sumberdaya manusia kesehatan di
Daerah, meliputi standar kurikulum, standar tenaga pengajar dan standar
metoda pendidikan, untuk menjamin mutu sumberdaya manusia kesehatan.
b) Regulasi pengadaan sumberdaya manusia kesehatan yang dilakukan
berbagai institusi, seperti Kementerian Kesehatan, Pemerintah Daerah, TNI,
Polri, dan swasta, termasuk jumlah kelas mahasiswa, dan bentuk serta
jenjang pendidikan sumberdaya manusia kesehatan.
c) Regulasi terhadap pengiriman sumberdaya manusia kesehatan keluar negeri
yang mengacu pada perlindungan hukum selama berkerja di luar negeri.
3) Regulasi pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan
a) Regulasi pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan berdasar prinsip
pemerataan dan pengembangan karier bagi tenaga kesehatan yang bersedia
bekerja di daerah terpencil, daerah perbatasan, daerah tertinggal dan
daerah rawan.
b) Regulasi pendayagunaan tenaga profesional kesehatan dalam pelayanan
kesehatan perorangan tingkat kedua dan tingkat ketiga untuk disiapkan
bekerja di daerah yang kurang diminati.
79
c) Regulasi pembatasan penggunaan tenaga kesehatan asing di bidang
konsultan dalam rangka alih teknologi, dengan persyaratan yang ketat oleh
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
d) Regulasi pengembangan pendayagunaan sumberdaya manusia kesehatan
melalui pelatihan dan pendidikan lanjutan untuk pengembangan mutu dan
karier tenaga kesehatan.
e) Regulasi pembinaan dan pengawasan sumberdaya manusia kesehatan untuk
bekerja sesuai kompetensi dan disiplin profesi.
f) Regulasi pembinaan dan pengawasan praktek profesi tenaga kesehatan
dalam pemberian sertifikasi dan lisensi sesuai kebutuhan.
e. Regulasi manajemen dan informasi kesehatan
1) Regulasi kebijakan kesehatan
a) Regulasi kebijakan kesehatan di berbagai institusi/lembaga kesehatan yang
berkompeten membuat kebijakan sesuai norma, standar, prosedur dan
kriteria.
b) Regulasi kebijakan kesehatan oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah
Kabupaten/Kota mengacu pada pengarusutamaan pembangunan kesehatan
dalam pembangunan daerah.
c) Regulasi kebijakan kesehatan yang menetapkan skala prioritas berbasis
bukti (evidence based), melalui proses pengkajian bersama pemangku
kepentingan dan masyarakat.
2) Regulasi administrasi kesehatan
a) Regulasi penyelenggaraan administrasi, manajemen dan kepemimpinan
pembangunan kesehatan sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria serta
berorientasi pada perbaikan kehidupan kesehatan masyarakat.
b) Regulasi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pengawasan dan
pertanggungjawaban dalam pencapaian perbaikan kesehatan masyarakat
yang semakin efektif dan efisien.
c) Regulasi administrasi dan manajemen pembangunan kesehatan secara
optimal.
3) Regulasi berdasar hukum kesehatan
a) Regulasi berdasar hukum kesehatan dilakukan dengan menyusun produk
hukum yang harmonis dan sinergi dengan Kebijakan Pusat dan
Kabupaten/Kota.
b) Regulasi berdasar hukum kesehatan diarahkan pada terciptanya
kesadaran hukum masyarakat dalam upaya pembangunan kesehatan.
c) Regulasi berdasar hukum kesehatan dilaksanakan untuk perlindungan
masyarakat dan pemberian pelayanan kesehatan yang berkeadilan dan
kesetaraan termasuk kesetaraan gender.
4) Regulasi informasi kesehatan
a) Regulasi penyelenggaraan informasi kesehatan, meliputi pengumpulan
pengolahan, analisis data dan pelaporan serta manajemen informasi
kesehatan sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria.
b) Regulasi informasi kesehatan, untuk menjamin tersedianya data dan
informasi terkini, akurat, valid dan cepat, untuk perumusan kebijakan
pembangunan kesehatan di Daerah.
c) Regulasi informasi kesehatan yang mengatur aspek kerahasiaan informasi
kesehatan dalam pengembangan sistem informasi kesehatan terpadu.
80
f. Regulasi pemberdayaan masyarakat
1) Regulasi penggerakan masyarakat
a) Regulasi penggerakan masyarakat dalam upaya kesehatan, harus
berdasarkan
prinsip-prinsip
pemahaman
tujuan
dan
manfaat,
kerelawanan, kemampuan dasar dan peluang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dan mandiri.
b) Regulasi penggerakan masyarakat dalam berbagai kegiatan masyarakat
melalui UKBM yang berbasis nilai, sosial budaya, kebutuhan,
permasalahan dan potensi masyarakat setempat, untuk mengantisipasi
permasalahan kesehatan.
c) Regulasi pemberdayaan masyarakat ditujukan guna terwujudnya
penguatan upaya pemeliharaan, peningkatan, pencegahan dan
perlindungan kesehatan masyarakat, serta penyembuhan dan pemulihan.
2) Regulasi pengorganisasian dalam pemberdayaan
a) Regulasi pengorganisasian masyarakat didasarkan pada bentuk
pengorganisasian yang sesuai dengan nilai budaya masyarakat, dengan
kebebasan berkreasi namun dengan tujuan perbaikan kehidupan
masyarakat secara mandiri.
b) Regulasi pengorganisasian pemberdayaan masyarakat dalam upaya
kesehatan, ditata secara bertahap, dimulai dengan menumbuhkan
kesadaran pentingnya hidup sehat, lalu munculnya kemauan untuk
berpartisipasi karena meyakini manfaat upaya untuk masyarakat sendiri,
dan tumbuhnya kerelawan dan kemampuan untuk bekerja bersama
masyarakat menuju kemandirian.
c) Regulasi pemberdayaan masyarakat diarahkan pada peningkatan
kemampuan untuk berperanserta dalam proses penetapan kebijakan.
3) Regulasi kemitraan
a) Regulasi kemitraan dalam pemberdayaan masyarakat, bersama sektor
pembangunan lain dan lembaga swasta.
b) Regulasi kemitraan dalam pengembangan kemandirian masyarakat, agar
dapat bekerjasama dengan lembaga-lembaga lintas sektor serta lembaga
legislatif termasuk perguruan tinggi dan lembaga swasta, untuk
mewujudkan dukungan kebijakan dalam pemberdayaan kemandirian
masyarakat.
c) Regulasi kemitraan dalam pengembangan sumberdaya termasuk
sumberdaya manusia kesehatan, sebagai pendampingan untuk fasilitator,
komunikator dan dinamisator, dalam pengembangan pembiayaan dan
sarana yang dibutuhkan menuju kemandirian masyarakat.
g. Regulasi pengembangan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian
pengembangan kesehatan
1) Regulasi penelitian kesehatan
a) Regulasi penelitian kesehatan, diarahkan pada penelitian-penelitian yang
berkaitan dengan kesehatan masyarakat (public health) sebagai dasar
pengembangan kebijakan pembangunan kesehatan yang lebih efektif,
efisien, produktif dan bermutu.
b) Regulasi pelaksana penelitian kesehatan masyarakat yang kompeten dan
terakreditasi, sehingga hasil penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan
secara akademik.
81
c) Regulasi mengenai penelitian upaya kesehatan tradisional dan pengobatan
alternatif, karena belum jelas keamanan dan manfaatnya, dalam rangka
mewujudkan perlindungan kesehatan masyarakat.
d) Regulasi penggunaan dan penyebarluasan informasi hasil penelitian
kesehatan yang dapat menyesatkan dan menimbulkan kegelisahan
masyarakat.
e) Regulasi pembinaan, pengawasan dan penindakan terhadap penyalahguna
hasil-hasil penelitian yang dikategorikan rahasia menurut hukum
kesehatan.
2) Regulasi pengembangan kesehatan
a) Regulasi untuk membina dan mengawasi bentuk dan cara pengembangan
upaya kesehatan, agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan
kehidupan kesehatan masyarakat.
b) Regulasi kelembagaan yang mengembangkan bentuk dan cara upaya
kesehatan, yang tidak bertentangan dengan norma, standar, prosedur dan
kriteria.
c) Regulasi penerapan tindaklanjut dari hasil pengembangan upaya
kesehatan, agar tidak menimbulkan efek negatif pada daerah aplikatif
yang baru, karena adanya faktor-faktor lokal yang tidak sesuai.
d) Regulasi untuk mendorong lembaga-lembaga/instansi-instansi dan Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, melakukan inovasi pengembangan upaya
kesehatan sesuai dengan identifikasi kondisi dan masalah potensi spesifik
di wilayahnya.
3) Regulasi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
a) Regulasi penerapan ilmu pengetahuan kesehatan dan kedokteran untuk
menjamin kehidupan kesehatan manusia yang berkualitas.
b) Regulasi penerapan kemajuan teknologi diagnostik dan pengobatan untuk
menjaga kehidupan kesehatan manusia dan martabatnya.
c) Regulasi teknologi informasi kesehatan dan kedokteran agar sepenuhnya
mendukung perbaikan kesehatan masyarakat,serta proteksi atas
kerahasiaan informasi kesehatan.
h. Regulasi kemitraan dan kerjasama
1) Regulasi kemitraan internal
a) Regulasi
kerjasama
kemitraan
internal
antarprogram,
yang
memperhatikan prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi serta norma,
standar, prosedur dan kriteria.
b) Regulasi kerjasama kemitraan antarlembaga/instansi kesehatan, yang
berdasarkan prinsip-prinsip efektivitas, efisiensi, serta ditujukan pada
perbaikan kehidupan masyarakat.
c) Regulasi kerjasama kemitraan untuk pelaksanaan program yang dapat
dinilai cost-effective dan cost-benefit-nya, serta bagaimana program
kemitraan semakin dirasakan hasilnya oleh masyarakat.
2) Regulasi kemitraan eksternal
a) Regulasi kerjasama kemitraan dengan lembaga/instansi di luar kesehatan,
agar terwujud sinergisme berdasarkan kinerja program kerjasama
kemitraan.
82
b) Regulasi kerjasama kemitraan dengan lembaga/instansi diluar kesehatan,
dalam mewujudkan harmonisasi dan dinamisasi pengembangan jejaring
yang efektif dan efisien dalam perbaikan kesehatan dan kesejahteraan
masyarakat.
c) Regulasi kerjasama kemitraan dengan lembaga swasta, berdasarkan
kepentingan bersama bagi perbaikan kehidupan kesehatan masyarakat.
H.
SUBSISTEM PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN TEKNOLOGI DAN
PENELITIAN PENGEMBANGAN KESESEHATAN
1. Pengertian
Subsistem ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan
adalah bentuk dan cara pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta penelitian dan pengembangan kesehatan dalam rangka mewujudkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pengertian penelitian kesehatan adalah kegiatan yang dilakukan menurut
kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data dan
keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau
ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu dan
teknologi di bidang kesehatan.
Pengertian pengembangan kesehatan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kesehatan yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu
pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat
dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan
teknologi baru di bidang kesehatan.
2. Tujuan
Mewujudkan peranan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan
kesehatan yang berdayaguna dan berhasilguna dalam memperoleh/menghasilkan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengetahuan lain, yang diperlukan untuk
menentukan kebijakan dan program pembangunan kesehatan, baik secara promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif. Disamping itu melindungi dan menjamin
keselamatan/keamanan masyarakat dari dampak negatif penerapan ilmu
pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan dalam rangka
mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
3. Analisis situasi kecenderungan
Penelitian dan pengembangan kesehatan di Daerah saat ini masih terkotak-kotak,
yang dilakukan oleh perguruan tinggi, lembaga penelitian pengembangan dan unitunit penelitian lainnya, yang belum menjawab kebutuhan nyata permasalahan
kesehatan dan pelayanan kesehatan. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya regulasi
yang tumpang tindih serta belum adanya sinergisme antara bidang pendidikan,
kesehatan dan sektor lainnya. Keadaan ini menyebabkan data-data yang berbasis
bukti yang dibutuhkan untuk kepentingan program pembangunan kesehatan di
Daerah menjadi tidak lengkap dan valid.
Tantangan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan di bidang
kesehatan di Daerah yang dihadapi adalah banyaknya hasil-hasil ilmu pengetahuan
teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan yang belum dimanfaatkan secara
optimal untuk mengatasi masalah dan kendala dalam pembangunan di bidang
kesehatan. Disamping itu banyaknya penyusun dan penentu kebijakan tidak
menjadikan hasil ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan
kesehatan sebagai
dasar kebijakan pelaksanaan dan pengembangan
83
penyelenggaraan kesehatan yang berbasis kearifan lokal berupa teknologi tepat
guna, yang mampu menjawab tantangan masa depan pembangunan kesehatan di
Daerah. Perkembangan dan pemanfaatan hasil-hasil ilmu pengetahuan teknologi dan
penelitian pengembangan kesehatan tanpa mempertimbangkan standar keamanan
dan keselamatan, nilai-nilai kemanusiaan, norma kesusilaan dan norma budaya yang
berlaku di masyarakat.
Hal ini tidak sesuai diterapkan dalam era knowledge base economy, learning
organization, knowledge institution of government, dimana posisi ilmu pengetahuan
menjadi sentral penggerak dinamika pembangunan.
Perkembangan ilmu pengetahuan harus ditopang oleh sokoguru penelitian dan
pengembangan bidang kesehatan yang harus tumbuh dan berkembang yang
didukung oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dunia usaha dan masyarakat peneliti
di bidang kesehatan.
4. Unsur-unsur
Unsur-unsur subsistem ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan
kesehatan terdiri dari :
a. Hasil penelitian dan teknologi kesehatan, merupakan hasil dari penelitian
dan pengembanan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan.
b. Peneliti, yaitu setiap orang yang bertugas melakukan penelitian dan
pengembangan kesehatan.
c. Pengguna hasil penelitian dan pengembangan kesehatan, yaitu
individu/kelompok/organisasi yang menggunakan hasil-hasil penelitian dan
pengembangan kesehatan dan produk teknologi kesehatan.
d. Penerapan hasil penelitian dan pengembangan kesehatan, yaitu setiap
kegiatan untuk memanfaatkan atau menggunakan hasil penelitian dan
pengembangan kesehatan baik untuk sendiri maupun untuk pihak lain.
e. Penyelenggara
ilmu
pengetahuan
teknologi
dan
penelitian
pengembangan kesehatan, yaitu setiap orang dan lembaga atau BHMN
maupun swasta yang menyelenggarakan penelitian dan pengembangan
kesehatan dan produk teknologi kesehatan.
5. Prinsip
1. Harus mengacu dan tidak boleh bertentangan dengan agama, moral, kode etik
peneliti, pedoman etik penelitian, norma ketertiban umum atau norma kesusilaan
dan norma budaya yang berlaku di masyarakat.
2. Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Inovatif dan kreatif.
4. Penyelenggaraan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan
kesehatan harus mampu menghadapi perubahan dan tantangan pembangunan
kesehatan.
5. Sinergis dan dinamis.
6. Merupakan kombinasi dari pendekatan kepentingan msyarakat yang terkait
dengan peningkatan kemampuan akademik dan ilmiah, melalui temuan masalah
yang diangkat dari kebutuhan kesehatan masyarakat.
6. Penyelenggaraan
a. Penyelenggaraan subsistem
1) Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan, diteliti, diedarkan,
dikembangkan, dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat.
84
2) Teknologi kesehatan mencakup seluruh metode dan alat yang digunakan
untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit,
meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil
komplikasi, dan memulihkan kesehatan setelah sakit sesuai ketentuan dan
standar yang ditetapkan.
3) Dalam mengembangkan teknologi dapat dilakukan uji coba teknologi atau
produk teknologi terhadap manusia atau hewan, dengan jaminan tidak
merugikan manusia yang dijadikan objek uji coba.
4) Uji coba dilakukan oleh orang yang berwenang dan dengan persetujuan orang
yang dijadikan objek uji coba.
5) Penelitian terhadap hewan harus dijamin untuk melindungi kelestarian hewan
tersebut serta mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi kesehatan
manusia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
6) Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi
yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan
masyarakat, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
7) Fungsi dan peran subsistem ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian
pengembangan kesehatan adalah : 1) melakukan upaya-upaya penggalangan,
pengembangan dan penguatan pendidikan, penelitian dan pengembangan
teknologi tepat guna. 2) Penyelenggaraan ilmu pengetahuan teknologi dan
penelitian pengembangan kesehatan berbasis bukti, berasas pada kesesuaian
kebutuhan yang tidak bertentangan dengan etika, moral dan nilai agama serta
memberikan dukungan dan ketahanan bagi perlindungan negara dan
peningkatan kesehatan yang ditujukan pada kesejahteraan dan peningkatan
kualitas hidup masyarakat. 3) Pengujian/pengawasan terhadap pelaksanaan
penggunaan dan pemanfaatan hasil-hasil teknologi kesehatan yang belum
terstandardisasi tersebut dilaksanakan oleh tim khusus yang dibentuk oleh
Pemerintah Daerah dan/atau Pemerintah.
Fungsi-fungsi tersebut merupakan gabungan dari karakteristik universal dan
karakteristik lokal sebagai upaya meningkatkan kompetensi setiap unsur
pelayanan kesehatan dalam melakukan pelayanan kesehatan dalam upaya
preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif.
8) Pengembangan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan
kesehatan dapat diandalkan untuk melakukan inisiasi pembinaan dan
kerjasama dengan kalangan industri, lembaga-lembaga dalam dan luar negeri
dan unit-unit pelayanan kesehatan lain termasuk pelayanan kesehatan
tradisional.
9) Menyusun
proposal/pentahapan
protokol
penelitian
pengembangan
kesehatan.
10)Pemanfaatan hasil, yaitu mentransformasi/menerapkan hasil penelitian
menjadi suatu kegiatan; pengkajian hasil penelitian dan penyusunan ringkasan
eksekutif untuk pengambil keputusan dan pelaksana program, memfasilitasi
publikasi hasil penelitian pengembangan kesehatan, memfasilitasi hak atas
kekayaan intelektual (HaKI) sebagai hasil penelitian pengembangan kesehatan
sebagai sumberdaya produk/proses.
11)Manajemen penelitian pengembangan kesehatan : memanfaatkan
sumberdaya penelitian pengembangan kesehatan secara efektif dan efisien,
menginisiasi,
membina
dan
mengembangkan
jejaring
penelitian
pengembangan kesehatan, memfasilitasi publikasi hasil penelitian
pengembangan kesehatan, serta memfasilitasi HaKI.
85
12)Pengelolaan lingkungan penelitian pengembangan kesehatan; menciptakan
hubungan baik dengan seluruh simpul dan mitra penelitian pengembangan
kesehatan, menyediakan sistem penghargaan kepada lembaga penelitian
pengembangan kesehatan, peneliti dan fungsional penelitian pengembangan
kesehatan dan ilmu pengetahuan kesehatan lainnya.
13)Pengelolaan sumberdaya : menyediakan sistem rekrutmen dan
pengembangan sumberdaya manusia penelitian pengembangan kesehatan,
menjamin ketersediaan dan kesinambungan dana penelitian pengembangan
kesehatan sesuai agenda.
14)Pengelolaan sistem regulasi perizinan penelitian dan pendanaan penelitian
hubungan kemitraan di bidang ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian
pengembangan kesehatan.
b. Pembinaan dan pengawasan
1) Pembinaan dan pengawasan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian
pengembangan kesehatan merupakan upaya untuk mengarahkan,
memberikan dukungan serta mengawasi pelaksanaan pengembangan dan
pemanfaatan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan
kesehatan.
2) Pembinaan dan pengawasan terhadap kompetensi tenaga kesehatan
pengguna dan pemanfaat hasil ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai
dengan standar pelayanan minimal kesehatan.
3) Pemerintah Daerah bertanggungjawab melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan ilmu pengetahuan teknologi dan
penelitian pengembangan kesehatan.
4) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan
bekerjasama
dengan
organisasi
profesi,
organisasi
pendidikan,
swasta/organisasi perusahaan, lembaga donor baik dalam maupun luar negeri
serta lembaga-lembaga ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian
pengembangan kesehatan lainnya.
5) Pembinaan dan pengawasan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian
pengembangan kesehatan dilakukan secara intensif, baik internal maupun
eksternal dengan memberikan masukan saran/pertimbangan yang
disampaikan kepada subsistem regulasi kesehatan.
c. Penelitian dan pengembangan
1) Ruang lingkup ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan
terdiri dari :
a) Ilmu kehidupan, mencakup biochemistry seperti biochip genomics dan
bioinformatic; biologi dari sel; genomics dan bioinformatics; biomarkers;
penyakit infeksi seperti HIV dan influenza; penyakit kronis seperti kanker,
kardiovaskuler, dan immunological diseases;
neuroscience dan
neurobiology; pharmacology dan toxicology; ekologi dan biologi.
b) Ilmu sosial, mencakup psikologi dan perubahan perilaku, antara lain :
kepribadian, kreativitas, kerja tim, pemasaran, kesehatan jiwa, dan
media/informasi kesehatan; sosiologi seperti pemberdayaan masyarakat,
kesenjangan dalam kesehatan dan pembangunan kesehatan; politik
seperti dukungan masyarakat, bioterorism, dan stem cells; ekonomi
seperti model bisnis, globalisasi dan intelectual property.
86
Ilmu fisika , matematika, dan engineering, mencakup nanotechnology,
Fisika seperti imaging, Biomedicalengineering, devices and procedures
seperti implants, advanced materials, tissues engineering, statistik dan
probabilitas.
d) Teknologi dan manajemen informasi mencakup kemampuan komputasi
informasi yang tinggi; soft ware; data storage seperti genetic,
epidemiologic, dan outcome database; jejaring seperti multimedia dan
wireless; modeling dan simulation seperti clinical trial simulations;
ontology dan manajemen pengetahuan
e) Lingkungan dan polusi mencakup epidemiologi lingkungan, pengetahuan
ekosistem, keadilan lingkungan, dan psikologi lingkungan.
f) Pelayanan kesehatan mencakup, integrasi pelayanan dan monitoring
kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan pencegahan penyakit,
pelayanan gawat darurat, pelayanan penyakit kronis, ekonomi kesehatan,
pelayanan terminal, pelayanan kesehatan alternatif, sistem pelayanan
alternatif, terapi energi, intervensi jiwa serta badan.
Ruang lingkup tersebut diatas, baik secara vertikal maupun eksperimental,
kuantitatif dan kualitatif, disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
2) Penelitian dan pengembangan teknologi dapat dilakukan dengan uji coba
teknologi atau produk teknologi terhadap manusia dan hewan, dengan
jaminan tidak merugikan manusia yang dijadikan obyek uji coba serta
menjamin dan melindungi kelestarian hewan tersebut.
3) Pengembangan dan pemanfaatan teknologi dan/atau produk teknologi harus
mempertimbangkan standar keamanan dan keselamatan, nilai-nilai
kemanusiaan, norma kesusilaan dan norma budaya yang berlaku di
masyarakat.
c)
7. Keterkaitan dengan subsistem lainnya
a. Subsistem upaya kesehatan
Inventarisasi kebutuhan dalam upaya kesehatan dikembangkan di dalam Ilmu
pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan. Hasil-hasil Ilmu
pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan dimanfaatkan
dalam pelaksanaan upaya kesehatan untuk meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan.
b. Subsistem pembiayaan kesehatan
Kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang bernilaiguna bagi
pengembangan teknologi dan peningkatan kesejahteraan serta kualitas hidup
manusia, membutuhkan kegiatan yang sistematik dan kontinyu serta dana yang
cukup besar.
Pembiayaan yang besar tersebut perlu didukung melalui kerjasama dengan
lembaga-lembaga penelitian maupun sumber dana penelitian dalam negeri
maupun luar negeri.
c. Subsistem sumberdaya manusia kesehatan
Keterlibatan sumberdaya manusia kesehatan dari seluruh stakeholders bidang
kesehatan diarahkan dalam melakukan kajian dan pengembangan untuk
memecahkan masalah aktual di bidang kesehatan, pelayanan kesehatan dan
kendala kesehatan yang diselenggarakan berdasarkan bukti terkini secara efektif
dan efisien.
87
d. Subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan
Menentukan sasaran/program penelitian dan pengembangan yang akan dicapai;
pengujian dan pengawasan penggunaan dan pemanfaatan hasil teknologi
kesehatan dan penelitian pengembangan kesehatan, dikaitkan dengan
pengembangan kompetensi akademik dan ilmiah yang melibatkan regulator,
produsen (industri) dan operator (pengguna).
e. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan
Memberikan masukan kepada subsistem manajemen dan informasi kesehatan
sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan kesehatan. Dalam hal ini Pemerintah
Daerah menerima masukan mengenai kebutuhan penelitian dan teknologi
kesehatan dari subsistem manajemen dan informasi kesehatan.
f. Subsistem pemberdayaan masyarakat
Memberikan masukan model dan strategi pemberdayaan yang efektif dan efisien
dalam memecahkan masalah kesehatan masyarakat serta menyebarluaskannya
kepada masyarakat. Disamping itu Pemerintah Daerah menerima masukan
mengenai kebutuhan penelitian dan teknologi kesehatan dari subsistem
pemberdayaan masyarakat.
g. Subsistem regulasi kesehatan
Pengembangan ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan
kesehatan didasarkan pada subsistem regulasi berkenaan dengan pelaksana
penelitian, pengguna maupun penyelenggara penelitian; prosedur penelitian;
penerapan hasil ilmu pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan
kesehatan; serta penyebarluasan informasi hasil penelitian kesehatan. Hasil ilmu
pengetahuan teknologi dan penelitian pengembangan kesehatan dijadikan dasar
untuk penetapan regulasi kesehatan.
h. Subsistem kemitraan dan kerjasama
Memberikan masukan model kemitraan yang efektif dan efisien dalam
memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat. Menerima masukan
mengenai kebutuhan akan penelitian dan teknologi kesehatan dari subsistem
pemberdayaan masyarakat.
I. SUBSISTEM KEMITRAAN DAN KERJASAMA
1. Pengertian
Kemitraan (Partnership) adalah bentuk kerjasama antarlembaga pemerintahan
meliputi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pemerintah Kabupaten/Kota, DPRD, OPD,
lembaga swasta dan lembaga kemasyarakatan, agar pelaksanaan program
pembangunan dapat lebih efektif, efisien, produktif dan bermutu, berbasis norma,
standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan.
2. Tujuan
Terwujudnya kesadaran dan kemauan kerjasama serta kemitraan untuk pelaksanaan
upaya kesehatan yang lebih efektif dan efisien dalam upaya meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat di Daerah, agar dapat hidup sehat dan produktif, menjadi
sumberdaya manusia yang bermutu yang dapat bekerja dalam berbagai
lembaga/institusi sektoral, swasta dan masyarakat.
3. Analisis situasi dan kecenderungan
Masih rendahnya pemahaman dan keinginan OPD dan lembaga swasta serta
masyarakat untuk bekerjasama dalam bentuk kemitraan, yang diperlukan untuk
terlaksananya berbagai upaya kesehatan secara efektif dan efisien dalam upaya
menyehatkan kehidupan masyarakat.
88
Sejak pemerintahan Orde Baru, upaya melakukan koordinasi, keterpaduan dan
kebersamaan belum menampakkan hasil, terutama dalam pelaksanaan program di
lapangan. Hal ini disebabkan karena masih tingginya ego-sektoral dari berbagai
sektor pembangunan, termasuk di Daerah.
Ego sektoral dimasa reformasi masih nampak, namun dengan otonomi daerah dan
desentralisasi, hal ini dapat diminimalisasi dengan berbasis kepemimpinan di Daerah,
sehingga upaya koordinasi dan keterpaduan, dapat diupayakan.
Semakin berkembangnya keberdayaan masyarakat dalam berbagai upaya kesehatan,
serta upaya swasta di bidang kesehatan, menuntut perlunya pengembangan
kemitraan untuk peningkatan pelayanan dan derajat kesehatan masyarakat secara
lebih efisien dan efektif.
4. Unsur-unsur
a) Pemerintahan Daerah, terdiri dari lembaga eksekutif dan legislatif.
b) Seluruh OPD.
c) Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
d) Lembaga swasta, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan
upaya kesehatan.
e) LSM, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan upaya kesehatan.
f) Perguruan tinggi negeri dan swasta.
g) Lembaga-lembaga internasional.
5. Prinsip-prinsip
a. WHO : “Health is Everyone‟s Business”
b. Undang-Undang Dasar 1945 : Setiap orang berhak mendapatkan kehidupan yang
sehat dan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau.
c. Kemitraan dalam upaya kesehatan mengutamakan tujuan tercapainya kesehatan
seluruh penduduk termasuk pegawai dan pekerja yang bekerja di lembaga
pemerintah dan swasta, serta masyarakat umum.
d. Kemitraan mengutamakan kesetaraan, kesejajaran dan sinergisme, serta saling
menguntungkan para pihak yang bermitra/bekerjasama.
e. Mengembangkan tatanan good governance dengan akuntabilitas dan
transparansi dalam kemitraan/kerjasama.
f. Kemitraan didasari komitmen para pihak untuk pencapaian tujuan bagi perbaikan
kesehatan masyarakat, dan keberhasilan bersama.
6. Penyelenggaraan
a. Identifikasi peran yang dapat dilakukan oleh OPD, lembaga swasta dan lembaga
kemasyarakatan, dalam menunjang upaya kesehatan, baik langsung maupun
tidak langsung.
b. Pengembangan komitmen bersama dan kemitraan.
c. Penetapan komitmen kemitraan yang mengikat secara hukum dalam kebijakan
daerah.
d. Sosialisasi dan pengembangan komitmen pada tataran pelaksanaan di lapangan
agar kemitraan dan kerjasama dapat terlaksana, sesuai kesepakatan.
e. Memonitor secara bersama-sama pelaksanaan kemitraan dan kerjasama di
lapangan.
f. Melakukan evaluasi bersama terhadap hasil-hasil yang dicapai dalam kerjasama
dan kemitraan, beserta masalah dan hambatan yang muncul dan solusi untuk
pemecahan masalah.
89
7. Peran kemitraan yang diharapkan
Peran kemitraan yang diharapkan dari seluruh pemangku kepentingan di Daerah,
khususnya OPD, yang sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing, yang dapat
dipadukan dengan upaya pelayanan dan perbaikan kesehatan masyarakat agar
menjadi sehat dan produktif.
Dengan dasar, kesehatan atau hidup sehat adalah hak asasi setiap orang, maka
kesehatan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat dan bukan hanya
tanggungjawab sektor kesehatan. WHO menegaskan : “Health is Everyone
Bussiness”.
Peran berbagai OPD, lembaga dan badan, termasuk lembaga pemerintahan dan
DPRD serta swasta dan masyarakat, baik berhubungan langsung, maupun tidak
langsung, didasarkan pada perspektif kebersamaan dalam bentuk kemitraan
(partnership), sebagai berikut :
1) DPRD/BADAN ANGGARAN
a) Memberikan dukungan terhadap pembangunan kesehatan, baik upaya
kuratif dan rehabilitatif melalui penyedia pelayanan kesehatan dan upaya
preventif dan promotif melalui revitalisasi Puskesmas dan pengembangan
partisipasi masyarakat serta seluruh pemangku kepentingan.
b) Memberikan dukungan terhadap peningkatan pelayanan kesehatan kepada
penduduk miskin, meliputi jaminan pengobatan dan perawatan, serta
upaya-upaya preventif dan promotif.
c) Memberikan dukungan terhadap pendayagunaan dana CSR perusahaanperusahaan besar untuk perbaikan kesehatan masyarakat miskin.
d) Memberikan dukungan untuk meningkatkan proporsi anggaran bagi
pembangunan kesehatan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
e) Melakukan pengawasan atas pembangunan kesehatan.
f) Mendorong pergerakan OPD, pemangku kepentingan dan masyarakat serta
swasta mendukung keterpaduan, efektifitas dan efisiensi upaya kesehatan.
g) Menetapkan Perda yang semakin memantapkan upaya kesehatan
masyarakat.
2) ASISTEN PEMERINTAHAN, HUKUM DAN HAM
a) Membantu pengembangan kelembagaan Dinas dan UPTD, untuk lebih
optimal dalam pelayanan dan perbaikan kesehatan masyarakat.
b) Membantu peningkatan koordinasi dan keterpaduan OPD dalam
penyelenggaraan kesehatan.
3) ASISTEN ADMINISTRASI PEMBANGUNAN
a) Membantu pengembangan program-program baru/inovatif, agar upaya
kesehatan dapat lebih memenuhi tuntutan hak asasi masyarakat untuk
hidup sehat.
b) Membantu pengembangan kebijakan pembangunan kesehatan, untuk
peningkatan komposit kesehatan mendukung peningkatan IPM.
90
4) ASISTEN ADMINISTRASI
a) Membantu upaya pengembangan standar ketenagaan pada Dinas,
Puskesmas, UPTD/UPTB dan pemenuhan kebutuhan tenaga sesuai standar
yang ditetapkan.
b) Membantu upaya pembinaan dan peningkatan mutu tenaga kesehatan
melalui pelatihan-pelatihan manajemen dan teknis serta pendidikan lanjutan.
5) ASISTEN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
a) Membantu pengembangan kebijakan umum di bidang kesehatan, meliputi
pelayanan kesehatan dan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
serta PHBS.
b) Membantu percepatan pencapaian indeks kesehatan sebagai salah satu
indikator IPM.
6) BIRO PELAYANAN SOSIAL DASAR
a) Membantu mendorong kebijakan pelayanan kesehatan dasar dengan
menerapkan revitalisasi Puskesmas di Daerah.
b) Membantu mendorong keterpaduan jaminan pelayanan kesehatan
masyarakat dengan pelayanan yang bermutu dan mudah terjangkau, yaitu
pengembangan dokter keluarga/klinik keluarga di Daerah.
c) Membantu mendorong jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
dengan cakupan semesta (universal coverage) dengan menerapkan
“Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat Syariah” berdasar visi
pembangunan Daerah yang dimulai dengan kata-kata “Dengan Iman dan
Taqwa”, yang bermakna dasar pembangunan Jawa Barat adalah
pengembangan “keshalehan sosial”.
7) BIRO PENGEMBANGAN SOSIAL
a) Membantu dalam pengembangan PHBS, berdasarkan strategi pendekatan
spiritual atau sosial-keagamaan, sehingga tercipta kemudahan masyarakat
untuk menerima dan melaksanakannya
b) Membantu dalam pengembangan jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat yang menerapkan upaya preventif, melalui Jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat Syariah sehingga bagi penduduk
mampu, dalam memberikan premi yang harus dibayar, diniatkan sebagai
infak bagi penduduk yang rawan sakit, sehingga menjadi amal ibadah
berdasarkan ketulusan dalam keshalehan sosial.
8) BIRO ORGANISASI
a) Membantu dalam pengembangan organisasi Dinas agar menjadi organisasi
yang makin efektif dalam upaya memelihara, meningkatkan dan melindungi
kesehatan masyarakat.
b) Membantu pengembangan organisasi/kelembagaan dalam menerapkan
Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat cakupan semesta (universal
coverage) tercapai pada tahun 2013, yang dimulai pada tahun 2010.
91
9) BIRO OTONOMI DAERAH DAN KERJASAMA
a) Membantu kegiatan fasilitasi pengembangan kerjasama antardaerah dan
pihak ketiga, termasuk dengan institusi pendidikan dalam bidang
kesehatan.
b) Membantu, memfasilitasi dan mengevaluasi kerjasama Pemerintahan
Daerah dengan badan/kelembagaan luar negeri di bidang kesehatan.
c) Memfasilitasi kemitraan dengan sektor lain dalam pembangunan kesehatan.
10) BIRO HUBUNGAN MASYARAKAT
a) Membantu menginformasikan kepada media massa, upaya-upaya
pembangunan kesehatan yang dikembangkan dan telah mencapai hasil
yang dirasakan masyarakat di Daerah.
b) Membantu memberikan informasi yang benar dan akurat kepada media
massa, jika terjadi kasus-kasus yang menarik perhatian di bidang
kesehatan agar media massa mendapat informasi yang benar dan faktual,
sehingga tidak berkembang opini-opini negatif terhadap Pemerintah
Daerah.
11) DINAS PENDIDIKAN
a) Memantapkan, meningkatkan serta memperluas usaha kesehatan sekolah
di sekolah tingkat SD, SMP dan SMA.
b) Melatih guru-guru menjadi Guru Pembina UKS di SD, SMP dan SMA.
c) Membina sikap perilaku dini hidup sehat dan bersih para peserta didik,
untuk menjadi sikap hidup selanjutnya.
d) Membina lingkungan bersih dan sehat di sekolah, bebas dari sarang
nyamuk dan jentik nyamuk.
e) Mengembangan dan membina dokter kecil, dengan pengembangan
perilaku panutan dalam kesehatan, dan dapat mempengaruhi PHBS
keluarganya.
f) Melaksanakan pertandingan sekolah sehat/dokter kecil setiap tahun untuk
membina motivasi pengembangan sekolah sehat atau dokter kecil.
g) Membimbing dokter kecil, untuk pemeriksaan berkala terhadap gangguan
gizi, kerusakan gigi dan gangguan kesehatan mulut, gangguan visi
(penglihatan) dan gangguan cacing gelang pada peserta didik.
h) Mengembangkan kesehatan mental (kejujuran) peserta didik, dengan
membuka “warung kejujuran”, yaitu warung yang tidak ada penjaganya,
tetapi menggunakan pengawasan tidak langsung.
12) DINAS PERTANIAN TANAMAN PANGAN
a) Menyediakan pangan untuk gizi masyarakat miskin.
b) Petugas penyuluh pertanian di desa-desa membantu penyuluhan
kesehatan yang bertujuan terwujudnya PHBS bagi para petani dan
peternak agar tidak mudah jatuh sakit serta selalu sehat dan produktif.
c) Mengawasi penyimpanan, penjualan dan penggunaan pestisida dan bahan
pertanian berbahaya, agar tidak mengganggu kesehatan petani dan
masyarakat sekitar.
92
d) Mengadakan pengawasan dan penyuluhan agar produk-produk hasil
pertanian dan peternakan tidak mempergunakan bahan kimia berbahaya
bagi kesehatan manusia.
e) Membantu penyuluhan kapada peternak, untuk tidak melakukan tindakan
pada hasil produksinya yang merugikan dan membahayakan masyarakat,
seperti daging glonggongan, ayam suntik dan daging tidak layak
konsumsi.
f) Melaksanakan kerjasama dalam KLB keracunan makanan, akibat bahan
kimia berbahaya yang dikonsumsi melalui makanan dan minuman.
13) DINAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR
a) Memperluas jaringan pelayanan air bersih perpipaan pada daerah-daerah
yang belum terjangkau yang mencukupi.
b) Mengawasi konstruksi dan instalasi air bersih, untuk menghindari
kebocoran dan kontaminasi.
c) Mengembangkan program kebutuhan air bersih bagi seluruh masyarakat
untuk pemenuhan hak mereka mendapat air bersih yang aman dan cukup.
14) DINAS PERHUBUNGAN
a) Mengatur pelayanan angkutan umum yang memberi kenyamanan dan
kesehatan kepada para pengguna angkutan umum, termasuk ergonomi
tempat duduk yang rawan kecelakaan.
b) Membina supir-supir angkutan umum untuk mempraktekkan kondisi selalu
bersih dan sehat dalam kendaraannya, termasuk pelarangan merokok bagi
supir dan penumpang dalam angkutan umum.
c) Membina disiplin masyarakat dan pemakai jalan, agar terhindar dari
kecelakaan jalan raya.
15) BADAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH
a) Membina dan menyuluh masyarakat untuk pemeliharaan lingkungan yang
sehat, sebagai kesadaran bersama.
b) Mengembangkan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) disertai
AMDAK (Analisis Mengenai Dampak Kesehatan), dalam pengembangan
industri pertambangan dan eksplorasi lain.
c) Memantau dan membina penduduk wilayah rawan lingkungan tidak sehat,
agar dapat dilakukan upaya pencegahan serta pengendalian dampak
kesehatan.
16) DINAS PERIKANAN DAN KELAUTAN
a) Membina kehidupan kesehatan para nelayan dan penambak, agar selalu
berperilaku hidup bersih dan sehat sehingga dapat selalu produktif.
b) Membina dan mengawasi para nelayan, agar dalam produksi pengawetan
tidak memakai bahan-bahan kimia berbahaya bagi masyarakat.
c) Membina para nelayan agar membentuk jaminan pemeliharaan kesehatan
masyarakat yang efektif menanggulangi kesehatan lingkungan dan gizi
keluarga dengan kegotong- royongan.
93
17) DINAS PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN
a) Membantu pengawasan pemasukan dan penjualan makanan minuman
serta kosmetik yang tidak memenuhi syarat industri dan perdagangan,
misalnya tanpa registrasi Merek Dagang (MD) dan Merek Label (ML).
b) Mengawasi bahan-bahan yang diimpor khususnya Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3), untuk ditindaki dengan re-ekspor atau pemusnahan.
c) Mengawasi peredaran bahan makanan minuman dan kosmetika impor,
sebelum memperoleh pemeriksaan Badan POM dan mendapat merek
dagang dan label Halal.
18) BADAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN KELUARGA BERENCANA
a) Melakukan upaya KIE-KB dan kependudukan agar konsep keluarga kecil
dan keluarga potensial/berkualitas semakin diterima oleh masyarakat.
b) Pengadaan alat kontrasepsi untuk pelayanan KB di puskesmas dan outlet
lainnya, sesuai kebutuhan.
c) Mengembangkan partisipasi masyarakat untuk perolehan akseptor baru
dan pembinaan akseptor aktif.
d) Melakukan koordinasi upaya KB-kesehatan untuk peningkatan upaya
kesehatan dan kesejahteraan keluarga.
c) Membantu pemberdayaan perempuan tentang kesehatan reproduksi, baik
bagi perempuan remaja, pasangan usia subur, ibu-ibu resiko tinggi bila
hamil dan bersalin lagi.
d) Membantu pemberdayaan perempuan dalam mendapatkan pertolongan
persalinan oleh tenaga kesehatan/bidan, memelihara tumbuh kembang
balita serta asupan gizi yang tepat.
19) DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
a) Membantu memgembangan upaya kesehatan kerja dan keselamatan kerja
di setiap perusahaan besar, dengan minimal 500 karyawan.
b) Membantu dalam penyuluhan PHBS kepada tenaga kerja pada even-even
tertentu, agar tenaga kerja tetap sehat dan produktif.
c) Membantu dalam membina lingkungan sehat di lingkungan kerja dan
rumah sehat pada kompleks pemukiman tenaga kerja.
d) Membantu perilaku masyarakat dan lingkungan pemukiman transmigrasi,
yang sehat dan produktif.
20) DINAS SOSIAL
a) Membantu pembinaan PHBS bagi kelompok-kelompok sosial, agar menjadi
sehat dan produktif.
b) Membantu dalam pembudayaan kelompok masyarakat untuk menyadari
pentingnya kesehatan, hidup produktif dan melepaskan ketergantungan
dari bantuan sosial.
c) Membantu dalam upaya pemberdayaan keluarga miskin dan
mengembangkan kemampuan hidup sehat secara mandiri.
94
21) DINAS PERKEBUNAN
a) Membantu pengembangan komoditi perkebunan yang berdampak pada
perbaikan gizi masyarakat yang sekaligus bernilai ekonomis.
b) Membantu memberi penyuluhan kepada para pengelola dan pekerja
perkebunan agar memelihara dan meningkatkan perilaku hidup sehat dan
bersih.
c) Membantu melakukan pengawasan penggunaan bahan kimia/pestisida
yang dapat mengganggu kesehatan konsumen pengguna hasil
perkebunan dan pekerja perkebunan.
22) DINAS PARIWISATA DAN KEBUDAYAAN
a) Membantu pemeliharaan kebersihan dan lingkungan sehat objek-objek
wisata di Daerah sehingga kesehatan pengunjung terlindungi.
b) Membina para pihak yang ikut serta dalam pelayanan pariwisata, agar
mengutamakan sanitasi lingkungan dan kesehatan, seperti restoran,
rumah makan dan sumber air minum, serta kebersihan peralatan
produksi/penyajian makanan dan minuman.
c) Membina kesehatan para pelaku pariwisata agar tidak menderita penyakit
menular yang dapat ditularkan kepada pengunjung/turis.
23) DINAS PERMUKIMAN DAN PERUMAHAN
a) Membantu pengembangan perumahan dan pemukiman berbasis Analisis
Mengenai Dampak Kesehatan (AMDAK), mengacu pada kriteria rumah
sehat, seperti ketersediaan air bersih dan sanitasi jamban keluarga serta
lingkungan bebas polusi dan banjir.
b) Membantu penyiapan fasilitas umum di perumahan dan pemukiman di
luar sarana ibadah dan pendidikan, berupa hutan/taman kecil.
c) Membantu membina para pengembang/kontraktor agar dalam
pembangunan selalu memperhatikan kebersihan, kesehatan dan
keselamatan.
24) DINAS KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH
a) Membina masyarakat koperasi dan usaha kecil menengah agar
memelihara kesehatan dan berperilaku hidup sehat, sehingga tetap sehat
mengelola usahanya.
b) Mengembangkan upaya koperasi gotong royong untuk kesehatan, yang
berorientasi pada penghimpunan dana sebagai upaya preventif dan
promotif, misalnya melalui bantuan jamban keluarga dan pembuatan
sumber air bersih bagi keluarga miskin.
c) Mengembangkan jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat, terpadu
dengan koperasi, untuk jaminan kesehatan anggota-anggotanya.
25) DINAS ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
Mengembangkan listrik di pedesaan agar aktivitas masyarakat desa bisa
berkembang di malam hari supaya penduduk hidup sehat dan produktif.
95
26) DINAS PETERNAKAN
a) Membantu agar seluruh hasil peternakan yang dikonsumsi masyarakat
terjaga keamannya dan membina para peternak agar tidak melakukan
hal-hal yang dapat merugikan kesehatan masyarakat.
b) Mengawasi rumah potong hewan untuk memelihara kebersihan dan
sanitasi lingkungan, termasuk pembuangan limbah.
c) Membina para peternak dan semua yang terlibat dalam mata rantai
perdagangan hewan ternak, hasil produksi ternak dan produk asal hewan
ternak sampai konsumen agar selalu memperhatikan kesehatan.
27) DINAS KEHUTANAN
a) Melakukan penyuluhan kepada masyarakat yang terkait dengan
kehutanan untuk hidup sehat, sebagai modal hidup produktif.
b) Membantu agar perusahaan pengelola kehutanan ikut serta memelihara
kesehatan masyarakat di sekitar hutan dalam upaya preventif dan
promotif seperti sanitasi dan paket gizi.
28) DINAS OLAH RAGA DAN PEMUDA
a) Membatasi sponsor even olahraga dari perusahaan rokok dan minuman
keras.
b) Membina pemuda di Daerah sebagai pemuda anti rokok, anti minuman
keras dan anti narkoba.
c) Membudayakan olahraga kebugaran jasmani bagi masyarakat.
29) DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA
a) Mengawasi informasi di media massa yang dapat merusak pemahaman
hidup sehat masyarakat, termasuk makanan dan minuman yang tidak
sesuai dengan PHBS.
b) Membantu penyebaran informasi bahwa kesehatan merupakan investasi
masa kini untuk hidup produktif di masa depan.
30) DINAS BINA MARGA
a) Membantu dalam membina para perusahaan konstruksi, agar selalu
memperhatikan kesehatan dan keselamatan para pekerjanya dari
ancaman kesehatan di tempat kerjanya.
b) Membantu dalam membina para perusahaan konsultasi bangunan,
jembatan dan jalanan, agar melakukan AMDAK (Analisis Mengenai
Dampak Kesehatan) disamping AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan) agar setiap pembangunan telah memperhatikan pengaruh
kesehatan bagi masyarakat sekitar dan yang menggnakan hasil
pembangunan itu.
c) Mengawasi dan memperbaiki jalan-jalan umum dan jembatan yang rusak,
untuk menghindari kecelakaan akibat jalan rusak.
31) BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN DAERAH
a) Membantu dalam pengembangan PHBS dalam paket pendidikan dan
pelatihan, khususnya anti rokok, anti minuman keras dan anti narkoba
serta setia keluarga untuk menghindari HIV/AIDS.
96
b) Menetapkan konsumsi menu seimbang dan senam kebugaran jasmani
dalam pendidikan dan pelatihan.
c) Mensosialisasikan kearifan lokal terkait visi pembangunan Daerah yang
dimulai “Iman dan Taqwa” dalam pengembangan kesalehan sosial, pada
seluruh peserta pendidikan dan pelatihan.
32) BADAN KETAHANAN PANGAN DAERAH
a) Membantu sosialisasi perlunya ketahanan pangan bagi setiap keluarga
dengan mempraktekkan gizi seimbang dalam konsumsi makanan setiap
hari.
b) Membantu koordinasi ketersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau
oleh masyarakat untuk konsumsi pangan sehari-hari.
c) Membantu dalam sosialisasi bahan pangan pengganti dengan nilai gizi
yang sama, dalam hal terjadi keadaan kesulitan pangan.
33) BADAN KOORDINASI PROMOSI DAN PENANAMAN MODAL DAERAH
a) Membantu pengaturan investasi pembangunan Rumah Sakit Internasional
agar tidak merugikan sistem pelayanan masyarakat khususnya pelayanan
kepada keluarga miskin.
b) Membantu pengaturan Rumah Sakit Internasional, tetap mengutamakan
pemakaian tenaga kesehatan setempat dan tidak sepenuhnya membawa
tenaga kesehatan asing dari luar Indonesia.
34) BADAN KOORDINASI PEMERINTAHAN DAN PEMBANGUNAN
WILAYAH
a) Membantu mengkoordinasikan upaya-upaya pembangunan kesehatan
yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dalam wilayah koordinasinya, agar
hasilnya lebih efektif dan efisien bagi masyarakat.
b) Membantu mengkoordinasikan penggerakan pola hidup sehat dengan
pengembangan PHBS.
35) BADAN NARKOTIKA PROVINSI
a) Bekerja sama dalam penggerakan remaja anti narkotika termasuk anti
rokok dan anti minuman keras sebagai pintu masuk penggunaan NAPZA.
b) Bekerja sama dalam pengaturan lembaga-lembaga rehabilitasi pengguna
narkotika, agar mempergunakan teknik rehabilitasi yang tidak merugikan
masyarakat.
c) Bekerja sama dalam pembinaan pasca rehabilitasi agar tidak kembali
menjadi pemakai ataupun pengedar.
36) BADAN PELAYANAN PERIZINAN TERPADU
a) Menerapkan norma standar prosedur dan kriteria yang merupakan
persyaratan penerbitan izin bagi perorangan, lembaga atau perusahaan
baik milik pemerintah atau swasta dalam upaya kesehatan secara ketat
sehingga tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan
masyarakat.
b) Bekerjasama melakukan peninjauan lapangan untuk pemeriksaan
terpenuhinya persyaratan yang ditentukan sebelum izin diterbitkan.
97
c) Membantu mensosialisasikan kepada lembaga dan sarana terutama
swasta, yang akan berusaha dalam upaya kesehatan agar tidak hanya
berorientasi pada komersial, tetapi juga berfungsi sosial khususnya
pelayanan kepada keluarga miskin.
d) Membantu pengawasan dan penindakan terhadap pemegang izin yang
melakukan penyimpangan atau pelanggaran ketentuan peraturan
perundang-undangan.
e) Membantu mensosialisasikan kepada masyarakat, bahwa regulasi dan
pengaturan izin yang ditetapkan di bidang kesehatan adalah untuk
kepentingan, perlindungan, kesehatan masyarakat dan upaya peningkatan
mutu upaya kesehatan.
37) RUMAH SAKIT KHUSUS
a) Menerapkan ketentuan ketenagaan khususnya tenaga dokter spesialis
dalam pemberian pelayanan di Rumah Sakit Khusus.
b) Konsistensi atas jenis dan bentuk pelayanan di Rumah Sakit Khusus sesuai
ketentuan perundang-undangan.
c) Menerapkan standar pelayanan yang baku untuk keselamatan pasien
(patient safety) dan mengupayakan peningkatan mutu pelayanan.
d) Menerapkan ketentuan mengenai pelaporan dan standar rekam medik.
e) Menerapkan Standar Operasional Prosedur untuk mencegah terjadinya
malpraktek dalam pelayanan kepada masyarakat.
f) Menerapkan ketentuan mengenai pelaporan dan standar rekam medik.
g) Menerapkan Standar Operasional Prosedur untuk mencegah terjadinya
malpraktek dalam pelayanan kepada masyarakat.
38) KANWIL KEMENTERIAN AGAMA
a) Membantu melakukan penyuluhan kesehatan berdasarkan keyakinan
agama/spiritual, dalam upaya menumbuhkan kesadaran dan kemauan
membentuk PHBS dalam masyarakat.
b) Mengembangkan Majelis Taklim menjadi “Penggerak PHBS”.
c) Membantu memasukkan pesan-pesan hidup sehat dan produktif dalam khotbah
nikah dan khotbah jum‟at, atau yang berkaitan dengan even tertentu.
39) BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH
a) Mengakomodasikan program kesehatan berbasis kebutuhan/masalah kesehatan
masyarakat dalam perencanaan pembangunan Daerah.
b) Membantu
pengembangan
program-program
inovasi,
khususnya
pengembangan upaya preventif dan promotif serta UKBM.
c) Membantu peningkatan alokasi APBD untuk sektor kesehatan secara bertahap
menjadi 10 %.
d) Membantu perencanaan program yang menciptakan keterpaduan antara OPD
dan swasta, agar perbaikan kesehatan masyarakat lebih dirasakan oleh
masyarakat.
98
40) BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN DESA
a) Membantu penyuluhan tentang pentingnya masyarakat berpartisipasi dalam
upaya kesehatan.
b) Membantu pengembangan dan pembinaan UKBM seperti Posyandu, Poskesdes,
Polindes, dan lain-lain.
c) Membantu pembudayaan masyarakat untuk membangun Posyandu, Poskesdes,
Polindes dan sebagainya.
d) Membantu penggerakan masyarakat untuk menjadi kader kesehatan relawan,
membantu Posyandu, Poskesdes, Polindes dan lain-lain.
41) INSPEKTORAT
a) Mengawasi pelaksanaan program kesehatan, agar lebih sesuai dengan sasaran
dan tujuan program pelayanan dan perbaikan kesehatan masyarakat.
b) Mengawasi aparat kesehatan, agar bekerja sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
42) BADAN KEPEGAWAIAN DAERAH
a) Membantu dalam proses rekruitmen dan seleksi tenaga kesehatan agar
diperoleh tenaga kesehatan yang kompeten, amanah dan berkomitmen.
b) Membantu dalam program pengembangan pegawai kesehatan untuk
peningkatan kinerja.
c) Membantu dalam pengembangan formasi pengangkatan Pegawai Daerah untuk
memenuhi kebutuhan jumlah dan jenis tenaga kesehatan.
d) Membantu pemenuhan kebutuhan pegawai non kesehatan, bagi petugas
administrasi, khususnya arsiparis, keuangan/perlengkapan dan tenaga teknologi
informasi.
43) BADAN KESATUAN BANGSA,
POLITIK,
DAN PERLINDUNGAN
MASYARAKAT
a) Membantu dalam keterlibatan Lembaga Masyarakat dan Partai Politik dalam
upaya kesehatan, khususnya dalam upaya kesehatan prefentif dan promotif.
b) Membantu Dinas dalam fungsi regulasi untuk perlindungan masyarakat dari halhal yang membahayakan kesehatan masyarakat.
c) Membantu dalam pelayanan kesehatan masyarakat saat bencana dan KLB,
sesuai ketentuan perundang-undangan.
44) BIRO HUKUM DAN HAM
Membantu dalam pembuatan produk hukum bidang kesehatan di Daerah dan
advokasi bantuan hukum.
45) BIRO KEUANGAN
a) Membantu kelancaran penyaluran dana untuk upaya kesehatan terutama dalam
hal terjadi KLB dan bencana.
b) Membimbing staf Dinas mengenai administrasi keuangan yang akuntabel, agar
terhindar dari kesalahan dan pelanggaran.
99
c) Membantu penyaluran dana untuk kegiatan pelayanan dokter keluarga, dan
revitalisasi Puskesmas, berkaitan dengan urgensi kebutuhan dana sesuai
program yang telah ditetapkan.
46) BIRO PEMERINTAHAN UMUM
a) Membantu penggerakan Kepala dan Personil Pemerintahan Desa, Kelurahan
dan Kecamatan untuk memberi perhatian khusus kepada upaya kesehatan,
dengan dasar hidup sehat adalah jaminan hidup produktif meningkatkan
kesejahteraan keluarga.
b) Membantu penggerakan aparat Desa, Kelurahan dan Kecamatan untuk
membantu upaya pelayanan kesehatan DPK dan revitalisasi Puskesmas.
c) Membantu penggerakan LSM dan perusahaan swasta untuk membantu upaya
kesehatan dan pembentukan UKBM.
47) SATUAN POLISI PAMONG PRAJA
a) Membantu dalam penegakan hukum/Peraturan Daerah berupa penindakan
terhadap pengobatan/penggunaan obat tradisional yang belum dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara akademis.
b) Membantu dalam pembinaan dan penindakan terhadap industri dan distributor
makanan dan minuman yang mengandung bahan kimia dan membahayakan
kesehatan masyarakat.
c) Membantu dalam pembinaan dan penindakan terhadap seseorang atau sarana
yang melaksanakan usaha pelayanan kesehatan yang akan membahayakan
kesehatan masyarakat.
48) BADAN PUSAT STATISTIK
a) Menyediakan data-data yang valid, akurat dan mutakhir tentang kondisi dan
masalah kesehatan masyarakat.
b) Melakukan survey khusus kesehatan dan pelayanan keluarga miskin, agar
menjadi dasar perencanaan program yang berbasis masalah/fakta dan cakupan
pelayanan keluarga miskin, sesuai data akurat keluarga miskin.
49) PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA
a) Menetapkan kebijakan mendukung manajemen upaya kesehatan, pembiayaan,
ketenagaan, penunjang kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan regulasi
kesehatan.
b) Menggerakkan OPD lintas sektor, Pemerintahan Camat dan Desa, lembaga
swasta dan lembaga masyarakat dalam upaya kesehatan.
c) Membantu uji coba penggerakan dan pengendalian pelaksanaan pelayanan
dokter keluarga dan pengembangan revitalisasi Puskesmas.
d) Memberikan bimbingan dan arahan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
untuk mencapai efektivitas, efisiensi, produktivitas dan peningkatan mutu upaya
kesehatan, dalam mewujudkan masyarakat yang semakin sehat.
e) Memberikan dukungan terhadap pelayanan pengobatan/perawatan serta
pemeliharaan dan perbaikan kesehatan keluarga miskin secara komprehensif.
f) Membantu dan memberi dukungan terhadap KLB penyakit menular dan gizi
buruk, baik untuk penanggulangan maupun untuk pencegahan terjadinya KLB.
100
g) Memberi dukungan dan membantu terhadap penanggulangan bencana dan
upaya pencegahan bencana yang berakibat buruk terhadap kesehatan
penduduk.
h) Memberi dukungan dan membantu penggerakan perusahaan-perusahaan besar
agar dapat menyalurkan CSR pada upaya kesehatan terutama bagi penduduk
miskin, untuk upaya preventif dan promotif.
50) PEMERINTAH KECAMATAN
a) Membantu penggerakan kepala desa/kepala kelurahan untuk kelancaran
pelaksanaan program-program kesehatan di desa dan kelurahan, khususnya
revitalisasi Puskesmas.
b) Membantu upaya promosi kesehatan yang dilakukan oleh Puskesmas dan
lembaga swasta kepada masyarakat, tentang pentingnya kesehatan untuk hidup
produktif.
c) Membantu koordinasi dan penggerakan petugas OPD dan lembaga swasta
dalam keterpaduan di lapangan, khususnya dalam pertemuan-pertemuan
Minilokakarya dan penyusunan perencanaan di Puskesmas.
51) PEMERINTAHAN DESA/KELURAHAN
Membantu penggerakan RW/ORT dalam upaya kesehatan, terutama kegiatan rutin
Puskesmas berupa kunjungan rumah dan penyuluhan kelompok (5-10 rumah
tangga).
a) Membantu pembentukan dan pengaktifan Posyandu, Poskesdes, kader
kesehatan, dana sehat dan lain-lain, yang dilakukan oleh Puskesmas bersama
masyarakat.
b) Membantu membina kader-kader posyandu, kader-kader poskesdes, kaderkader kesehatan relawan lainnya agar tetap aktif melaksanakan tugasnya di
masing-masing UKBM.
c) Membantu upaya rapid survey (survei cepat) yang dilakukan Puskesmas untuk
mengetahui perkembangan kesehatan masyarakat dari waktu ke waktu serta
partisipasi masyarakat, dan pengukuran kinerja Puskemas.
52) PENGURUS PEMBERDAYAAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (PKK)
a) Membimbing PKK dalam penyuluhan/promosi PHBS kepada masyarakat/ibu-ibu
rumah tangga.
b) Membimbing PKK untuk membentuk kader Posyandu dan Poskesdes, serta kader
lainnya, seperti Kader KIA, kader KB, kader Gizi, yang bekerja sebagai relawan.
c) Membantu dalam pembinaan dan pengembangan posyandu.
d) Mengkoordinasikan pembinaan Posyandu.
e) Membantu dalam penilaian Posyandu, untuk membina semangat kerja dan
kerelawanan para kader.
101
53) PENGURUS DPD KORPRI
a) Membina PHBS di kantor-kantor dan rumah tangga anggota dan pengurus
KORPRI masing-masing unit kerja.
b) Melaksanakan lomba ruang kantor bersih, rapi dan nyaman di kantor
Pemerintah Daerah.
c) Mengkonsultasikan gerakan anti rokok, anti miras, anti narkotika, dan anti
hiv/aids serta kegiatan keolahragaan.
54) KEPOLISIAN DAERAH JAWA BARAT
a) Membantu dalam operasi pengawasan Regulasi, terutama perdagangan obatobatan, makanan, minuman dan kosmetik yang membahayakan masyarakat.
b) Melakukan penyelidikan dan penyidikan atau penangkapan, terhadap upaya
tindakan yang membahayakan kesehatan masyarakat, dan diproses secara
hukum.
c) Melakukan koordinasi dengan Dinas dalam hal terdapat indikasi pelanggaran
hukum dalam penyimpanan, penyaluran dan penjualan obat-obatan, makanan
minuman dan kosmetika.
55)LEMBAGA PERMASYARAKATAN
a) Membantu pengembangan PHBS di lingkungan Lembaga Pemasyarakatan.
b) Membantu pengawasan peredaran miras, narkotik, penyakit AIDS di lingkungan
Lembaga Pemasyarakatan.
c) Membantu pengembangan kegiatan olahraga rutin dan olahraga non prestasi di
lingkungan Lembaga Pemasyarakatan..
d) Membantu pengawasan menu makanan penghuni Lapas, sehingga dapat
menunjang kesehatan fisik narapidana.
e) Melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit menular di lingkungan
Lembaga Pemasyarakatan.
56) LSM PEMINAT KESEHATAN
a) Membantu mengembangkan program kesehatan masyarakat yang inovatif
dengan dukungan dana dari donatur dalam negeri ataupun dari luar negeri yang
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
b) Membantu dalam mencermati perkembangan kehidupan kesehatan masyarakat
untuk menemukan solusi yang efektif dan efisien.
c) Membantu dalam melakukan advokasi kepada tokoh-tokoh masyarakat formal
maupun informal, agar berpartisipasi dalam pembentukan, pembinaan dan
pengembangan UKBM.
57)PENGURUS IKATAN DOKTER INDONESIA JAWA BARAT (IDI)
a) Membantu IDI Kabupaten/Kota dalam mempromosikan PHBS secara intensif
pada even-even tertentu, agar tercipta kesadaran dan kemauan hidup sehat
produktif.
b) Membantu IDI Kabupaten/Kota dalam pembinaan DPS mem-berikan pelayanan
prima dan memuaskan, serta menghindari terjadinya malpraktek, dengan
menerapkan standar operasional prosedur dan rekam medik yang telah
dibakukan.
102
c) Membantu IDI Kabupaten/Kota dalam pembinaan DPS untuk memenuhi
ketentuan administratif, registrasi, legislasi, sertifikasi dan akreditasi, kepada
Dinas Kesehatan Kota, sesuai ketentuan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
58) PERSATUAN DOKTER GIGI INDONESIA(PDGI) JAWA BARAT
a) Membantu pembinaan para dokter gigi/dokter gigi spesialis untuk
pengembangan PHBS dalam pelayanan yang diberikan anggotanya.
b) Membantu membina PDGI Kabupaten/Kota mengembangkan pelayanan
kesehatan pelayanan kesehatan gigi dan mulut yang prima.
c) Membantu pembinaan anggota untuk bekerja berdasarkan kompetensi dan
standar operasional prosedur, untuk mencegah malpraktek.
d) Membantu pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengembangan dan
pembinaan pemeliharaan kesehatan mulut dan gigi berbasis masyarakat.
59) PERSATUAN DOKTER KELUARGA INDONESIA (PDKI) JAWA BARAT
a) Membantu pengembangan percontohan pelayanan dokter keluarga di
Kabupaten/Kota yang sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria dan
konsep dokter keluarga.
b) Mendorong para dokter menjadi peminat dokter keluarga yang berbasis upaya
preventif dan promotif.
c) membantu menjadikan pelayanan dokter keluarga sebagai fokus pengembangan
PHBS dalam keluarga yang efektif.
d) Membantu pengembangan sinergisme pelayanan dokter keluarga di wilayah
kerja Puskesmas dengan revitalisasi Puskesmas.
60) PENGURUS PERAWAT NASIONAL INDONESIA (PPNI) JAWA BARAT
a) Membantu PPNI Kabupaten/Kota untuk menjadikan para perawat menjadi
“model” pelayanan yang ramah, santun dan bertanggungjawab di berbagai
instalasi pelayanan.
b) Menjadikan para perawat sebagai promotor kesehatan di lingkungan
masyarakat.
c) Membantu PPNI Kabupaten/Kota dalam pengembangan profesi perawat, untuk
semakin professional yaitu bekerja berdasarkan standar standar kompetensi,
serta standar perilaku pelayanan masyarakat, sehingga mencegah terjadinya
malpraktek dan ketidakpuasan penerima pelayanan.
61) IKATAN BIDAN INDONESIA(IBI) JAWA BARAT
a) Membantu IBI Kabupaten/Kota untuk pengembangan mutu pelayanan yang
prima dan memuaskan oleh para bidan.
b) Membantu IBI Kabupaten/Kota memberikan penyuluhan KIA dan KB kepada
masyarakat.
c) Membantu IBI Kabupaten/Kota membina para bidan anggotanya agar semakin
profesional berdasarkan standar kompetensi dan standar operasional prosedur,
agar terhindar malpraktek.
103
62) IKATAN SARJANA FARMASI INDONESIA (ISFI) JAWA BARAT
a) Membantu ISFI Kabupaten/Kota untuk membina kesadaran masyarakat dalam
penggunaan obat-obatan yang rasional.
b) Membantu pembinaan pelayanan farmasi yang prima di tempat-tempat
pelayanan farmasi.
c) Membantu pengawasan peredaran obat-obat palsu dan substandard yang
beredar dalam pelayanan farmasi.
d) Membantu pembinaan para apoteker agar bekerja berdasarkan kompetensi dan
profesionalme.
63) PERSATUAN TOKO OBAT
a) Membantu mengingatkan anggotanya agar memperhatikan ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam penjualan obat kepada masyarakat.
b) Membantu pengawasan dan melaporkan adanya obat palsu, substandard dan
kadaluwarsa yang beredar di toko-toko obat.
c) Membimbing persatuan toko obat Kabupaten/Kota membina toko obat
berizin/tidak berizin untuk mencegah melakukan penjualan obat-obatan yang
melanggar ketentuan perundang-undangan.
64)PERSATUAN NATUROPATHIS
a) Membina para anggotanya yang melakukan praktek pengobatan agar
memperhatikan asas aman dan manfaat.
b) Membantu pengawasan dan melaporkan adanya pengobatan alternatif yang
dapat membahayakan kesehatan masyarakat.
c) Mendorong para pengobat naturopathis agar dapat melakukan uji keamanan
dan uji khasiat dari cara dan bahan obat yang dipakai.
65) IKATAN AHLI KESEHATAN MASYARAKAT
a) Membantu pengembangan program-program kesehatan masyarakat yang
berbasis upaya preventif dan promotif.
b) Membantu pengembangan profesi kesehatan masyarakat agar lebih mendapat
kepercayaan dalam memimpin instansi kesehatan, khususnya Puskesmas.
c) Membantu mengembangkan kepemimpinan kesehatan masyarakat (public
health leadership) bagi pejabat struktural pembangunan kesehatan.
d) Membantu pengembangan dan pembinaan UKBM.
66) KOMISI PENANGGULANGAN HIV/AIDS DAERAH
a) Membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya penyakit
HIV/AIDS yang makin berkembang di Daerah.
b) Membantu menetralisir pandangan negatif masyarakat terhadap ODHA (Orang
Dengan HIV/AIDS).
c) Membantu menghilangkan warung remang-remang/prostitusi sepanjang jalanjalan raya di Daerah, kerena merupakan sumber penularan yang sangat
signifikan.
d) Membantu para ODHA yang dirawat agar tetap mendapat konsumsi obat-obatan
yang diperlukan.
104
e) Membantu dalam menciptakan gerakan masyarakat berdasar kesalehan sosial,
dalam bentuk “ Gerakan Anti AIDS” atau “Gerakan Suami Setia”
67) RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
a) Mengembangkan manajemen rumah sakit yang mengacu pada pengembangan
mutu pelayanan sinambung “Zero Claim of Dissatification”.
b) Mengembangkan standar pelayanan bermutu dan life saving khususnya di
bagian-bagian seperti UGD dan pelayanan spesialistik sesuai ISO.
c) Menetapkan sistem koordinasi bersama Dinas dan rujukan dari Puskesmas, agar
sistem rujukan berjalan semakin efektif.
d) Mengembangkan Tim Dokter Specialis pembina Puskesmas dan PDK yang
mengadakan kunjungan berkala untuk “jemput bola” pasien yang perlu
ditangani dokter spesialis setempat, secara terjadwal.
e) Memantapkan kerjasama dengan Dinas dalam penerapan fungsi regulasi upaya
kesehatan.
f) Menyiapkan sistem pelayanan bencana serta pengembangan fungsi dan
pelayanan UGD.
g) Memantapkan pelayanan pengobatan/perawatan keluarga miskin, sehingga
semua merasa di layani secara profesional, dan tidak ada yang ditolak atau
merasa ditolak Rumah Sakit.
h) Memantapkan rekaman medik, dan standar operational prosedur untuk seluruh
tindakan pelayanan, untuk menghindari malpraktek.
68) RUMAH SAKIT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG
a) Membantu dalam pelayanan rujukan tertier di Daerah, yang bermutu untuk
kepuasan pasien dan keluarganya.
b) Membantu untuk menjadi “model” pelayanan kesehatan dengan pemberian
obat-obatan dan pemakaian alat canggih yang rasional.
c) Membantu pelayanan intensif yang bermutu, bagi kasus-kasus khusus flu
burung, flu babi, dan penyakit-penyakit tertentu.
d) Membantu pelayanan rujukan bagi keluarga miskin, tanpa ada keluhan
penderita atau keluarganya.
e) Membantu pengembangan penggunaan obat asli Indonesia yang aman dan
bermanfaat.
f) Membantu pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran dan
kesehatan, termasuk upaya-upaya preventif dan promotif.
69) RUMAH SAKIT SWASTA
a) Membantu pelayanan kesehatan yang bermutu dengan acuan pelayanan
kesehatan kelas dunia;
b) Membantu pelayanan keluarga miskin melalui jamsostek, atau metode lain yang
efektif.
c) Membantu pengembangan pengobatan dan penggunaan alat canggih yang
rasional.
d) Membantu ketertiban praktek kedokteran, dan pencegahan malpraktek.
e) Membantu pendayagunaan lulusan-lulusan baru tenaga kesehatan, baik medis
maupun paramedis di Daerah.
105
70) PERUSAHAAN DAN LEMBAGA KESEHATAN SWASTA
a) Membantu mengembangkan pelayanan kesehatan bagi karyawan dan
keluarganya dan keluarganya serta masyarakat umum sekitar lokasi usaha,
secara gratis bagi keluarga miskin.
b) Membantu pengembangan upaya prefentif dan promotif pada karyawan dan
rumah tangganya, sebagai dukungan terhadap upaya kuratif.
c) Menerapkan secara paripurna prinsip-prinsip upaya kesehatan kerja untuk
kepentingan karyawan dan perusahaan.
d) Membantu penyaluran dana CSR, untuk program kesehatan, terutama untuk
pengembangan upaya preventif dan promotif bagi keluarga miskin, yang belum
dicover oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
e) Membantu membuat dan membina UKBM pada lingkungan permukiman
karyawan.
71) LAYANAN FARMASI/APOTIK
a) Membantu peningkatan keterjangkauan pelayanan farmasi sampai ke daerah
terpencil.
b) Membantu pengawasan pelayanan farmasi terutama penggunaan obat-obat
palsu atau substandar.
c) Membantu pengembangan mutu dan kepuasan masyarakat dalam pelayanan
Farmasi.
d) Membantu penyuluhan kepada masyarakat tentang penggunaan obat yang
rasional seperti penggunaan dosis penuh.
e) Membantu dalam penyuluhan PHBS.
8. Hubungan dengan subsistem lain
a. Subsistem upaya kesehatan
Mendorong terwujudnya kemitraan dan kerjasama dengan berbagai pemangku
kepentingan dalam upaya kesehatan terutama untuk upaya kesehatan
masyarakat primer, sekunder dan tertier, serta upaya kesehatan perorangan
primer, sekunder dan tertier, agar seluruh upaya kesehatan lebih efektif, efisien,
lebih bermutu dan lebih aman.
b. Subsistem pembiayaan kesehatan
Mewujudkan bentuk-bentuk dan cara kerjasama dan kemitraan dalam penggalian
dana untuk upaya kesehatan, yang datang dari masyarakat sendiri, seperti
jaminan kesehatan masyarakat; Mewujudkan public-private-partnership dengan
pihak swasta, khususnya yang bergerak dalam pelayanan kesehatan; Melibatkan
unsur-unsur swasta dan masyarakat dalam perencanaan kesehatan disertai
pengalokasian dana dari pemerintah, swasta dan masyarakat; Mewujudkan
pengelolaaan pembelanjaan dana berdasar prinsip-prinsip akuntabilitas,
transparansi dan efisiensi, bersama pihak terkait untuk tercapainya sasaran yang
tepat dalam perbaikan kesehatam masyarakat.
106
c. Subsistem sumberdaya kesehatan
1) Menciptakan bentuk dan cara perencanaan sumberdaya kesehatan di Daerah,
dalam kemitraan, agar perencanaan jumlah, jenis dan mutu sumberdaya
kesehatan sesuai dengan standar kebutuhan untuk menghindari
pengangguran tenaga kesehatan di Daerah.
2) Menciptakan atau mengaktifkan lembaga kerjasama kemitraan yang
permanen dengan penyelenggara pendidikan di Daerah, baik dari Kementerian
Kesehatan, maupun Pemerintah Daerah, TNI, Kepolisian dan swasta, dalam
perencanaan, pengadaan, pendayagunaan serta pengembangan tenaga
kesehatan.
3) Menekankan dalam kerjasama dan kemitraan pengadaan tenaga kesehatan
yang berorientasi pada mutu tenaga kesehatan agar dapat bekerja di luar
negeri.
4) Mewujudkan kerjasama kemitraan dalam pembinaan dan pengawasan
sumberdaya kesehatan, khususnya tenaga kesehatan profesi untuk
pengembangan karier, penggajian untuk hidup layak sesuai beban tugasnya
dan tata nilai masyarakat.
5) Kemitraan dapat dilakukan dengan berbagai pihak untuk perlindungan
masyarakat sebagai penerima pelayanan dan tenaga kesehatan profesional
sebagai pemberi pelayanan, termasuk perlindungan terhadap pelayanan tidak
aman dan tidak bermanfaat.
d. Subsistem sediaan farmasi farmasi, alat kesehatan, makanan minuman
dan kosmetika
1) Mengembangkan kerjasama kemitraan dengan produsen obat dan alat
kesehatan, dalam upaya menjamin ketersediaan, pemerataan dan
keterjangkauan sediaan farmasi/obat-obatan dan alat kesehatan, seluruh
sistem pelayanan kesehatan bagi masyarakat dan penanganan/penanggulangan kejadian bencana di Daerah.
2) Mengembangkan kerjasama kemitraan dengan berbagai instansi dan lembaga
yang dapat menjamin keamanan, khasiat dan manfaat serta mutu sediaan
farmasi, alat kesehatan, makanan dan minuman serta kosmetika.
3) Membentuk kerjasama kemitraan pengawasan dan penindakan produksi obat
palsu dan substandar, serta pengawasan terhadap penggunaan yang salah
dan penyalahgunaan obat-obat narkotika dan zat adiktif, dalam bentuk
tindakan hukum yang dapat membuat efek jera.
4) Membentuk kerjasama kemitraan dalam pembinaan, pengawasan serta
penindakan terhadap upaya pelayanan kesehatan tradisional dan alternatif,
yang belum jelas keamanan dan manfaatnya bagi kesehatan masyarakat
termasuk pengobatan yang hanya mempunyai efek “masking” dan sugesti.
5) Membentuk kerjasama kemitraan untuk perlindungan anak-anak sekolah dan
balita agar terhindar dari konsumsi makanan dan minuman yang mengandung
bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan, dan mendorong masyarakat
rentan terutama anak-anak, ibu hamil dan lansia untuk mengkonsumsi
makanan bernilai gizi tinggi.
6) Menciptakan kerjasama kemitraan dengan lembaga institusi pelayanan
kesehatan perorangan, baik primer, sekunder maupun tertier, untuk
pembinaan, pengawasan dan penindakan terhadap penggunaan obat dan
peralatan diagnostik yang canggih, tidak rasional, dan dapat merugikan
masyarakat.
107
e. Subsistem manajemen dan informasi kesehatan
1) Menciptakan kerjasama kemitraan, untuk diikutsertakan dalam, perumusan
kebijakan-kebijakan pembangunan kesehatan di Daerah, yang mengacu kepada
norma, standar, prosedur dan kriteria untuk manfaat sebesar-sebesarnya pada
perbaikan kehidupan kesehatan masyarakat.
2) Menciptakan kerjasama kemitraan, dalam pelaksanaan administrasi dan
manajemen kesehatan, yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian
serta pengawasan dan penilaian kesesuaiannya dengan kebijakan yang telah
ditetapkan.
3) Menciptakan kerjasama kemitraan dalam harmonisasi penyelenggaraan hukum
kesehatan, yang bertujuan untuk member perlindungan hukum terhadap
pemberi pelayanan dan masyarakat penerima pelayanan.
4) Menciptakan kerjasama kemitraan dalam penyelenggaraan informasi kesehatan,
dalam rangka tersedianya data/informasi yang terkini, akurat, valid dan cepat,
sebagai bahan pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan, dengan
dukungan pendayagunaan teknologi.
f. Subsistem pemberdayaan masyarakat
1) Menciptakan berbagai cara dan bentuk kerjasama kemitraan dengan berbagai
pemangku kepentingan, untuk terwujudnya pergerakan masyarakat melalui
tumbuhnya kesadaran, kemauan dan kemampuan berperan serta dalam upaya
kesehatan, yang manfaatnya dirasakan sendiri oleh masyarakat.
2) Menciptakan kerjasama dan kemitraan dengan lembaga dan tokoh masyarakat,
yang ditujukan pada daya pikir masyarakat, dengan fakta dan masalah
kesehatan yang menjadi perhatian masyarakat setempat, potensi sumberdaya
dan nilai-nilai sosial budaya masyarakat.
3) Menciptakan kerjasama kemitraan dengan lembaga dan tokoh masyarakat yang
ditujukan guna terwujudnya penguatan upaya promotif dan preventif dengan
dukungan upaya kuratif, maupun rehabilitatif.
4) Mewujudkan kerjasama kemitraan dengan berbagai lembaga kemasyarakatan
yang efektif, menciptakan pengorganisasian yang dapat menjadi wadah
komunikasi dialog dan advokasi dan pembekalan masyarakat untuk tercipta
kreativitas dan gagasan-gagasan masyarakat sendiri.
5) Mewujudkan kerjasama kemitraan dengan lembaga masyarakat yang dapat
mendorong kemandirian masyarakat dalam berbagai kegiatan kesehatan.
6) Bentuk kerjasama dan kemitraan dapat dikembangkan dengan mengidentifikasi
peran dan fungsi dari seluruh lembaga pemerintah, eksekutif, legislative, OPD,
organisasi profesi, lembaga swasta, dan LSM, bentuk-bentuk kegiatan yang
dapat dilakukan untuk menunjang pembangunan kesehatan di Daerah.
g. Subsistem regulasi
1) Menciptakan kerjasama kemitraan penyusunan pelaksanaan regulasi di bidang
kesehatan di Daerah.
2) Menciptakan kerjasama kemitraan untuk pengawasan dan pembinaan terkait
dengan pelaksanaan regulasi dan penindakannya.
108
3) Menciptakan kerjasama kemitraan agar regulasi kesehatan tidak hanya diarahkan
pada bidang administrasi dan pendapatan Daerah, tetapi juga memberikan
perlindungan masyarakat sebagai penerima pelayanan dan petugas kesehatan
sebagai pemberi pelayanan.
4) Kerjasama kemitraan pengembangan regulasi kesehatan sesuai dengan
perkembangan teknologi pelayanan kesehatan, dan upaya-upaya yang terkait
dengan perlindungan kehidupan kesehatan masyarakat.
h. Subsistem penelitian dan pengembangan ilmu pengetahun dan teknologi
1) Mewujudkan wadah kerjasama kemitraan,dalam merumuskan berbagai
kebutuhan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, untuk
perbaikan dan peningkatan upaya kesehatan dan perbaikan kesehatan
masyarakat.
2) Menciptakan kerjasama kemitraan penelitian yang dibutuhkan agar hasil
penelitian dimanfaatkan dalam pengembangan kebijakan dan pelaksanaan
pembangunan kesehatan di Daerah.
3) Menciptakan bentuk kerjasama kemitraan untuk merumuskan inovasi upaya
kesehatan, disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan sosial dalam
kehidupan masyarakat.
4) Menciptakan kerjasama kemitraan dengan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota,
dalam rangka menumbuhkan semangat, kepemimpinan dan manajemen
pembangunan kesehatan inovasi upaya kesehatan, disesuaikan dengan kondisi
dan potensi spesifik setiap Kabupaten/Kota.
109
BAB VI
DUKUNGAN PENYELENGGARAAN
SKP
SKP diupayakan agar mampu menyesuaikan dengan perkembangan dan dinamika
pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan. Dalam hal terjadi
perubahan paradigma dan lingkungan strategis, SKP dapat disesuaikan dan disempurnakan
dengan kondisi dan situasi yang berkembang di Daerah.
A. PROSES PENYELENGGARAAN SKP
Penyelenggaraan SKP menerapkan pendekatan kesisteman yang meliputi masukan,
proses, keluaran dan lingkungan serta keterkaitannya satu sama lain, sebagai berikut :
1. Masukan dalam SKP meliputi subsistem sumberdaya manusia, subsistem pembiayaan
kesehatan, subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman.
2. Proses dalam SKP meliputi subsistem upaya kesehatan, subsistem pemberdayaan
masyarakat dan subsistem manajemen dan informasi kesehatan.
3. Keluaran dari SKP adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan
berhasilguna dan berdayaguna, bermutu, merata dan berkeadilan.
yang
4. Lingkungan dari SKP meliputi berbagai keadaan yang menyangkut ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan baik nasional, regional maupun
global, yang berdampak terhadap pembangunan kesehatan. Pancasila, Undangundang Dasar 1945, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional merupakan
landasan bagi penyelenggaraan SKP.
Penyelenggaraan SKP memerlukan penerapan prinsip koordinasi, integrasi, sinkronisasi
dan simplifikasi yang dinamis, baik antarpelaku, antarsubsistem SKP, maupun hubungan
sistem dengan subsistem lain di luar SKP.
Penyelenggaraan SKP dilakukan melalui siklus perencanaan, pelaksanaan dan
pengendalian serta pengawasan dan pertanggungjawaban secara sistematis,
berjenjang, transparan, akuntabel dan berkelanjutan, dengan memperhatikan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025.
Penyelenggaraan SKP dilaksanakan secara bertahap sebagai berikut :
1. Penetapan SKP
Untuk memperoleh kepastian hukum yang mengikat semua pihak, SKP perlu
ditetapkan ketantuan peraturan perundang-undangan.
2. Sosialisasi dan Advokasi SKP
SKP perlu disosialisasikan dan diadvokasikan ke seluruh pelaku pembangunan
kesehatan dan seluruh pemangku kepentingan kesehatan untuk memperoleh
komitmen dan dukungan dari semua pihak.
Sasaran sosialisasi dan advokasi SKP adalah seluruh penentu kebijakan, baik di Pusat
maupun di Daerah maupun Kabupaten/Kota, baik sektor publik maupun sektor
swasta.
110
3. Fasilitas pengembangan kebijakan kesehatan di Daerah
Dalam pembangunan kesehatan di Daerah, perlu dikembangkan kebijakan
kesehatan, seperti : Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJMD),
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJPD), Rencana Kerja
Pemerintah Daerah dan Rencana Strategis OPD, yang penyelenggaraannya
disesuaikan dengan kondisi, dinamika dan masalah spesifik Daerah dalam kerangka
SKP.
Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan dan penetapan kebijakan
kesehatan di Daerah, serta memfasilitasi sosialisasi dan advokasi penyelenggaraan
pembangunan kesehatan di Daerah sesuai kebutuhan.
Penyelenggaraan SKP dalam kaitannya dengan pengembangan kebijakan kesehatan di
Daerah, dilakukan dengan berbagai kegiatan, yaitu :
1. Penyelenggaran SKP, termasuk pengembangan kebijakan di Daerah, yang
diwujudkan dalam kerangka penyelenggaran pembangunan kesehatan, baik secara
nasional maupun regional dan lokal.
2. Penyelenggaraan SKP, termasuk pengembangan kebijakan di Daerah, yang
diselenggarakan melalui penataan ulang keenam subsistemnya secara bertahap,
sistematis, terpadu dan berkelanjutan.
3. Penyelenggaraan SKP, termasuk pengembangan kebijakan di Daerah, yang
didukung dengan penyusunan kebijakan, standar dan pedoman dalam bentuk
berbagai peraturan perundang-undangan.
4. Penyelenggaraan SKP, termasuk pengembangan kebijakan kesehatan di Daerah,
yang diselenggarakan sesuai dengan asas desentralisasi yang bertanggungjawab,
demokratisasi dan good governance dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam rangka menyesuaikan dengan pengembangan global, regional, nasional dan lokal
yang dinamis dan cepat berubah, dilakukan pengendalian dan penilaian SKP sebagai
berikut :
1. Pengendalian dan penilaian SKP termasuk kebijakan kesehatan di Daerah, bertujuan
untuk memantau dan menilai keberhasilan penyelenggaraan pembangunan
kesehatan berdasarkan sistem kesehatan.
2. Pengendalian dan penilaian SKP termasuk kebijakan kesehatan di Daerah,
diselenggarakan secara berjenjang dan berkelanjutan dengan menggunakan tolok
ukur keberhasilan pembangunan kesehatan, baik tingkat nasional maupun tingkat
regional dan lokal.
3. Pengendalian dan penilaian SKP termasuk kebijakan kesehatan di Daerah perlu
didukung dengan pengembangan sistem monitoring dan evaluasi di tingkat nasional
dan regional secara terpadu.
Setiap tahun, seluruh pelaku pembangunan kesehatan dikoordinasikan oleh Pemerintah
Daerah, melakukan pengukuran pencapaian kinerja SKP berdasarkan indikator yang
akurat dan terpecaya.
111
Indikator kinerja SKP menjadi rekomendasi untuk upaya perbaikan yang harus
didokumentasikan dan disebarluaskan. Indikator tersebut menjadi acuan segenap
pelaku pembangunan kesehatan di tingkat Daerah dan Kabupaten/Kota sampai ke
tingkat desa, guna penyesuaian penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang
berbasis fakta.
B. TATA PENYELENGGARAAN SKP
Penyelenggaraan SKP harus memperhatikan seluruh peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan Peraturan Daerah. Secara operasional, semua peraturan perundangan
yang berkaitan harus dilaksanakan secara konsisten berdasarkan tata kelola
kepemerintahan yang baik (good governance). Adapun unsur dari tata kelola
pemerintahan yang baik, meliputi : partisipatif, berorientasi pada konsensus, efektif,
efisien, inklusif, transparan dan mengikuti kaidah hukum yang berlaku.
Untuk menjaga kepentingan masyarakat, penyelenggaraan SKP memerlukan regulasi
dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan susunan antarpemerintahan.
Tata kelola kepemerintahan yang baik disertai regulasi pada keenam subsistem SKP,
merupakan langkah menuju kesinambungan pelaksanaan sistem kesehatan. Selain tata
kelola kepemerintahan yang baik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus konsisten
dan konsekuen mengawasi kepatuhan hukum masyarakat, swasta dan organisasi bukan
pemerintah lainnya. Disamping itu, pelanggar peraturan harus ditindak secara tegas.
C. PENYELENGGARA SKP
Pemerintah dan masyarakat termasuk swasta bertanggungjawab atas penyelenggaraan
pembangunan kesehatan sesuai peran dan fungsinya masing-masing. Di sektor publik,
SKP tidak bisa dilaksanakan hanya oleh Dinas atau Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Penyelenggaraan SKP dapat berjalan dengan baik apabila melibatkan antara lain : sektor
pendidikan, pembangunan fasilitas umum, sektor pertanian, sektor keuangan, sektor
perdagangan, sektor keamanan, sektor perikanan dan kelautan, dan lain sebagainya.
Pelaku penyelenggaraan pembangunan kesehatan adalah :
1. Individu, keluarga dan masyarakat yang meliputi tokoh masyarakat, LSM, media
massa, organisasi profesi, akademisi, praktisi serta masyarakat luas termasuk
swasta, yang berperan dalam advokasi, pengawasan social dan penyelenggaraan
berbagai pelayanan kesehatan sesuai dengan bidang keahlian dan kemampuan
masing-masing.
2. Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kabupaten/Kota berperan sebagai
penanggungjawab, penggerak, pelaksana dan pembina pembangunan kesehatan
dalam lingkup wilayah kerja dan kewenangan masing-masing. Untuk Pemerintah,
peranan tersebut ditambah dengan menetapkan kebijakan, standar, prosedur dan
kriteria yang digunakan sebagai acuan dalam penyelenggaraan pembangunan
kesehatan di Daerah.
3. Badan Legislatif, baik di pusat maupun di Daerah, yang berperan melakukan
persetujuan anggaran dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pembangunan
kesehatan, melalui penyusunan produk-produk hukum dan mekanisme kemitraan
antara eksekutif dan legislatif.
112
4. Sektor swasta, yang memiliki atau mengembangkan industri kesehatan seperti
industri farmasi, alat-alat kesehatan, jamu, makanan sehat, asuransi kesehatan dan
industri pada umumnya.
5. Lembaga pendidikan pada tingkat SD sampai tingkat perguruan tinggi, baik milik
publik maupun swasta. Sebagian besar masalah kesehatan berhubungan dengan
perilaku dan pemahaman. Pendidikan memegang kunci untuk menyadarkan
masyarakat akan berbagai risiko kesehatan dan peran masyarakat dalam
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
D. SUMBERDAYA PENYELENGGARA SKP
SKP adalah bentuk dan cara penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang bekerja
secara sinergis, harmonis dan menuju satu tujuan. Pemerintah Daerah wajib melakukan
koordinasi agar semua subsistem dan semua pelaku berfungsi dan bekerja secara
sinergis. Kepincangan pada salah satu subsistem atau pelaku akan mengganggu kerja
SKP.
Pemerintah Daerah harus menjamin tersedianya dana, sumberdaya manusia yang
memadai dan profesional, sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman yang
dikelola dengan manajemen kesehatan yang, baik terutama yang berkaitan dengan
administrasi kesehatan dan pengaturan hukum kesehatan serta didukung dengan
informasi yang akurat, valid, tepat waktu dan tepat kebutuhan.
Pelaku sistem informasi kesehatan sesuai dengan perannya harus mampu secara cepat
merespon dan menggunakan perkembangan teknologi informasi, dalam mengolah dan
menyampaikan ke pelaku lain, maupun kepada masyarakat nasional dan internasional.
Pemerintah Daerah mengembangkan sistem insentif/disinsentif bagi setiap pelaku yang
menggunakan informasi. Selain itu, Pemerintah Daerah mengharuskan fasilitas
kesehatan publik maupun swasta untuk menyediakan informasi melalui situs yang
mudah diakses dan terbuka, sebagai cara untuk mendidik masyarakat.
Tersedianya pembiayaan kesehatan dalam jumlah yang memadai teralokasi secara adil,
merata dan bermanfaatkan secara berhasilguna dan berdayaguna sangat penting dalam
pembangunan kesehatan. Pemerintah Daerah juga menjamin tersedianya dana untuk
penelitian dan pengembangan bidang kesehatan.
Sumberdaya manusia merupakan komponen kunci keberhasilan SKP. Pemerintah
Daerah harus melakukan upaya agar semua SDM kesehatan memenuhi standar
kompetensi tertentu sesuai bidangnya sebagai prasyarat bagi penyediaan pelayanan
kesehatan yang bermutu dan diterima oleh masyarakat. Namun, Pemerintah Daerah
juga menjamin agar setiap SDM di bidang kesehatan mendapat remunerasi yang wajar,
layak dan sesuai dengan tanggungjawab, pengalaman dan kompetensinya.
Keseimbangan profesionalitas, tanggungjawab, pengalaman dan besaran remunerasi
merupakan kunci kesinambungan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Penyelenggaraan subsistem sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan minuman
harus dilakukan secara terbuka dengan keseimbangan antara produksi dan pemanfaatan
dengan dukungan dana yang memadai. Keterbukaan ini adalah kemampuan
mengakomodasikan perkembangan teknologi dan produk kefarmasian dan teknologi
peralatan kedokteran dan kesehatan serta memperhatikan keterjangkauan harga bagi
113
masyarakat. Indonesia harus mampu menjadi pengekspor berbagai sediaan farmasi, alat
kesehatan dan makanan minuman. Keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif
dalam bidang ini harus terus dikembangkan.
Untuk menjamin kesinambungan subsistem upaya kesehatan, maka dukungan masukan
informasi kesehatan, sumberdaya manusia kesehatan, sediaan farmasi, alat kesehatan
dan makanan minuman, serta pendanaan harus selalu tersedia dalam jumlah yang
memadai. Kualitas pelayanan harus selalu memenuhi standar yang ditetapkan agar
setiap pengguna pelayanan kesehatan merasa puas dan memperoleh manfaat
pelayanan kesehatan. Dengan kualitas dan kepuasan pengguna yang tinggi, maka akan
timbul kemauan masyarakat sebagai pengguna untuk berkontribusi dalam bentuk dana,
pemikiran maupun tenaga.
Pemerintah Daerah perlu menjamin adanya kepastian hukum dalam setiap
penyelenggaraan subsistem SKP. Peraturan perundangan yang dalam pelaksanaannya
mengalami hambatan besar di Daerah harus diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Daerah. Peraturan yang dibuat harus melalui sinkronisasi dan harmonisasi dengan
berbagai peraturan di bidang kesehatan dan di luar bidang kesehatan.
Pemerintah Daerah harus melakukan penegakan hukum terhadap berbagai aspek yang
memungkinkan terselenggaranya SKP dengan baik.
Pemerintah Daerah mendorong terwujudnya kontrol sosial yang kuat dari masyarakat
terhadap kualitas pelayanan kesehatan. Pemerintah Daerah mengatur dan
memberdayakan masyarakat agar mampu melakukan kontrol sosial yang memadai guna
menjamin kesinambungan dan akuntabilitas SKP.
Pemerintah Daerah memfasilitasi dan memberikan insentif (berupa pembebasan pajak,
pembelian hasil produksi maupun bantuan teknis lainnya) bagi fasilitas kesehatan,
perguruan tinggi atau industri dalam melakukan penelitian dan pengembangan
pelayanan kesehatan guna memacu perkembangan SKP. Dinas melakukan koordinasi
dengan instansi lintas sektor maupun instansi kesehatan di Daerah untuk mendukung,
memberikan insentif dan memfasilitasi berbagai penelitian di dalam negeri guna
tersedianya sediaan farmasi dan alat kesehatan, serta sistem pengelolaan yang lebih
baik dan bermutu.
E. KERJASAMA NASIONAL DAN INTERNASIONAL
Para pelaku SKP berkewajiban mengembangkan diri agar mampu berperan di tingkat
nasional dan internasional dalam rangka menjaga agar SKP dapat berjalan dengan baik.
Perubahan strategis regional maupun global dapat mempengaruhi keberhasilan SKP.
Kehadiran tenaga kesehatan asing yang membantu pembangunan kesehatan di Daerah
tidak hanya terfokus pada tenaga-tenaga asing yang bekerja dalam lapangan kerja
medis saja, tapi yang berdampak pada pengembangan pembangunan kesehatan secara
menyeluruh, seperti tenaga-tenaga ahli yang menjebatani berbagai investasi sarana
pelayanan kesehatan yang dibangun di Daerah, ahli pendidikan di bidang pengembangan
kesehatan, serta di bidang peralatan dan teknologi penopang kesehatan.
114
BAB VII
PENUTUP
Tujuan pembangunan kesehatan hanya dapat dicapai apabila didukung oleh
kerjasama dengan semangat kemitraan antar semua pelaku pembangunan, baik
Pemerintah Daerah, DPRD, masyarakat dan dunia usaha. Dengan demikian
penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan dukungan SKP, dapat dilaksanakan
dengan berhasilguna dan berdayaguna dengan interaksi, interrelasi serta keterpaduan
berbagai upaya yang dilakukan oleh seluruh pelaku SKP.
Penetapan SKP dimaksudkan untuk memberikan arah bagi setiap pelaku upaya atau
pelayanan kesehatan sesuai dengan kondisi lingkungan masing-masing. Dalam
pelaksanaannya, seluruh pelaku harus memegang teguh prinsip-prinsip umum SKP dan
prinsip dasar masing-masing subsistemnya, realistis dengan kemampuan sumberdaya
manusia dan ketersediaan dana dan sumberdaya lainnya, serta kondisi lingkungannya.
Dengan demikian, meskipun nantinya diharapkan terwujud pelayanan kesehatan yang adil
dan merata, tidak berarti seluruh pelayanan kesehatan harus menyediakan pelayanan non
diskriminatif bagi seluruh masyarakat untuk seluruh jenis pelayanan. Prinsip adil dan merata
secara bertahap diupayakan sesuai kemampuan yang dimiliki.
Untuk dapat melaksanakan SKP yang memenuhi prinsip umum dan prinsip dasar dari
masing-masing subsistemnya yang disesuaikan dengan kemampuan diri dan lingkungan,
dibutuhkan manajer-manajer di sektor publik maupun di masyarakat termasuk swasta.
Manajer tersebut harus mempunyai kompetensi khusus dan mempunyai komitmen kuat
dalam upaya mencapai tujuan pembangunan kesehatan.
SKP merupakan sistem terbuka yang berinteraksi dengan berbagai sistem di Daerah
yang bersifat dinamis dan dalam pelaksanaannya selalu mengikuti perkembangan, baik
nasional, regional maupun global.
SKP harus selalu mampu menjawab peluang, tantangan dan perubahan lingkungan
strategis nasional, regional maupun internasional. Oleh karena itu, semua pemangku
kepentingan di bidang kesehatan harus memantau kinerja dan kendala yang dihadapi SKP,
sehingga SKP dapat diimplementasikan secara optimal dan berimplikasi terhadap
terwujudnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
GUBERNUR JAWA BARAT,
ttd
AHMAD HERYAWAN
Download