BAB II TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1. Tindak Pidana Korupsi sebagai Kejahatan Luar Biasa
Korupsi selalu mendapatkan perhatian lebih dibandingkan dengan tindak
pidana lainnya di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Fenomena ini
dapat dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana
ini. Dampak yang ditimbulkan dapat menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat membayakan
pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai
demokrasi dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah
budaya. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita bangsa menuju
masyarakat adil dan makmur.
Undang-Undang No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dengan tegas disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi
secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Dengan ditetapkannya
korupsi sebagai extra ordinary crimes oleh negara Indonesia, maka seyogiyanya
44
45
negara, rakyat dan budaya masyarakat Indonesia bersikap zero tolerance terhadap
segala bentuk korupsi. Termasuk tidak mau menerima sumbangan dari koruptor.1
Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memaparkan bahwa meningkatnya
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar
biasa.
Korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus dapat diberantas agar tidak
menjadi budaya dalam masyarakat, karena bagaimanapun korupsi memberikan
dampak negatif bagi kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.
2.1.1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam
kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan
kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama
menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan
masyarakat. Salah satu tindak pidana yang paling sering menjadi
perbincangan adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya
1
Badan Pengawas Mahkamah Agung, 2013, Korupsi sebagai Extra Ordinary Crime dan
Tugas Yuridis Para Hakim, http://bawas.mahkamahagung.go.id, Diakses tanggal 24 Juni 2014.
46
merugikan keuangan Negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.
Definisi tentang korupsi terdapat dalam laporan Amsterdam,
definisi tentang korupsi dalam konteks umum disebutkan sebagai:
“menawarkan, memberikan, meminta, atau menerima keuntungan pribadi,
karena posisi atau perannya dalam jabatan pelayanan publik”. Dalam
konteks hukum pidana, jabatan pelayanan publik adalah pegawai negeri
sipil termasuk juga para politisi, para gubernur dan menteri.2
Korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan
dengan tindak pidana lainnya di belahan dunia ini, khususnya di Indonesia.
Hal ini dapat dimaklumni mengingat dampak negatif yang ditimbulkan
oleh tindak pidana korupsi tersebut. Dampak yang ditimbulkan dapat
menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah
serius, tindak pidana korupsi dapat membahayakan stabilitas dan
keamanan masyarakat, membahayakan pembangunan sosial ekonomi,
politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas karena
lambat laun perbuatan tersebut seakan menjadi sebuah budaya. Korupsi
merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan
makmur. Selain itu korupsi juga sangat bertentangan dengan cita hukum
Pancasila bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan
kepribadian bangsa Indonesia.
2
Philipus M. Hadjon, dkk, 2012, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h. 93-94.
47
Menurut Fockema Andrea kata korupsi berasal dari bahasa Latin
corruptio atau corruptus (Webster Student Dictionary:1960). Selanjutnya
disebutkan bahwa corruption itu berasal ula dari kata asal corrumpere,
suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun ke banyak
bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu Corruption, corrupt, Prancis, yaitu
corruption; dan Belanda, yaitu corruptive (korupties).3
Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin “corruption” atau
“corruptus” yang berarti: kerusakan atau kebobrokan. Pada mulanya
pemahaman masyarakat tentang korupsi dengan menggunakan bahasa
kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin “corruption” yang berarti
perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral,
menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan
hukum. 4
Pengertian tersebut merupakan pengertian yang sangat sederhana,
yang tidak dijadikan tolak ukur atau standar perbuatan korupsi sebagai
suatu tindak pidana, yang oleh Lubis dan Scott dalam pandangannya
bahwa:
dalam
arti
hukum
korupsi
adalah
tingkah
laku
yang
menguntungkan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh pejabat
pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku
tersebut; sedangkan menurut norma-norma pemerintahan dapat dianggap
3
Andi Hamzah, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 4.
4
Focus Andrea dalam M. Prodjohamididjoyo, 2001, Memahami Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, h. 7.
48
korupsi apabila ada pelanggaran hukum atau tidak, namun dalam bisnis
tindakan tersebut adalah tercela.5
Korupsi menurut Leden Marpaung adalah perbuatan memiliki
“keuangan Negara” secara tidak sah (haram). Dalam Kamus Besar bahasa
Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana dikutip
oleh Leden Marpaung, korupsi diartikan sebagai: “…penyelewengan atau
penggelapan (uang Negara atau perusahaan dan sebagainya) untuk
kepentingan pribadi atau orang lain. Kata “keuangan negara” biasanya
tidak terlepas dari “aparat pemerintah”, karena yang mengelola “keuangan
negara” adalah aparat pemerintah. 6
Setelah diterbitkannya Undang-Undang No 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian dirubah menjadi
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, maka dalam Pasal 2 ayat (1)
merumuskan tindak pidana korupsi adalah: “setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (atu milyar rupiah)”.
Pasal
3-nya
menguntungkan
5
diri
dirumuskan:
sendiri
atau
“setiap
orang
orang
lain
dengan
atau
tujuan
koorporasi,
M. Lubis dan J.C. Scott, 1997, Korupsi Politik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 19.
Leden Marpaung, 1992, Tindak Pidana Korupsi: Masalah dan Pemecahannya, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 149.
6
49
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah)”.
Korupsi dalam kamus umum bahasa Indonesia adalah perbuatan
yang buruk (seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya).7 Dengan pengertian korupsi secara harfiah itu dapatlah
ditarik suatu kesimpulan bahwa sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu
istilah yang sangat luas artinya. Seperti dapat disimpulkan bahwa korupsi
itu adalah sesuatu yang buruk dengan berbagai macam artinya, bervariasi
menurut waktu, tempat dan bangsa. Di Indonesia, jika orang berbicara
mengenai korupsi, pasti yang dipikirkan hanya perbuatan jahat
menyangkut keuangan negara dan suap. Pendekatan yang dapat dilakukan
terhadap masalah korupsi bermacam ragamnya, dan artinya tetap sesuai
walaupun kita mendekati masalah itu, dari berbagai aspek. Pendekatan
sosiologis misalnya, seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein
Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption, akan lain artinya
kalau kita melakukan pendekatan normatif; begitu pula dengan politik
maupun ekonomi. Misalnya Alatas memasukkan “nepotisme” dalam
7
W.J.S. Poerwadarminta, 2007, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustak, Jakarta.
50
kelompok korupsi, dalam klasifikasinya (memasang keluarga atau teman
pada posisi pemerintahan tanpa memenuhi persyaratan untuk itu), yang
tentunya hal seperti itu sukar dicari normanya dalam hukum pidana.8
Dilihat dari beberapa pengertian tentang tindak pidana korupsi
tersebut, dapat dipahami bahwa secara umum pengertian tindak pidana
korupsi adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan negara.
Atau dapat juga dikatakan bahwa korupsi merupakan penyelewengan atau
penggelapan uang Negara yang dilakukan oleh seseorang atau lebih untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
2.1.2. Pendapat Beberapa Ahli Tentang Tindak Pidana Korupsi
Mubyarto mengutip pendapat Smith sebagai berikut:
“On the whole corruption in Indonesia appears to present more of
a recurring political problem than an economic one. It undermines
the legitimacy of the government in the eye of the young, educated
elite and most civil servant… Corruptiaon reduces support for the
government among elites at the province and regency level. (secara
keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai
masalah politik daripada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan
(legitimasi) pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik
dan pegawai pada umumnya… Korupsi mengurangi dukungan
pada pemerintah dari kelompok elite di tingkat provinsi dan
kabupaten)”.9
Lebih tegas lagi apa yang dikemukakan oleh Gunnar Myrdal
sebagai berikut:
“The problem is of vital concern to the government of South Asia,
because the habitual practice of briberyand dishonesty pavers the
way for an authoritarian regime which justifies itself by the
disclosures of corruption has regularly been advance as a main
justification for military take overs”. Masalah korupsi merupakan
suatu yang penting bagi pemerintah di Asia Selatan karena
kebiasaan melakukan penyuapan dan ketidak jujuran membuka
jalan membingkar korupsi dan tindakan-tindakan penghukuman
8
9
Ibid, h. 6.
Ibid, h. 7.
51
terhadap pelanggar. Pemberantasan korupsi biasanya dijadikan
pembenar utama terhadap kup militer.10
Menurut Andi Hamzah, tindak pidana korupsi yang terjadi di
Indonesia disebabkan karena faktor-faktor, yaitu: 11
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan
dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat. Faktor
ini adalah faktor yang paling menonjol, dalam arti merata dan
meluasnya korupsi di Indonesia;
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia. Dari sejarah
berlakunya KUHP di Indonesia, penyalahgunaan kekuasaan
oleh pejabat atau menguntungkan diri sendiri memang telah
diperhitungkan secara khusus oleh Pemerintah Belanda
sewaktu disusun WvS (Wetboek van Strafreacht) untuk
Indonesia. Hal ini dengan nyata disisipkan pada Pasal 423 dan
Pasal 425 KUHP Indonesia;
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif
dan kurang efisien sering dipandnag pula sebagai penyebab
korupsi, khususnya dalam arti bahwa hal yang demikian itu
akan member peluang untuk melakukan korupsi. Sering
dikatakan, makin besar anggaran pembangunan semakin besar
pula kemungkinan terjadinya kebocoran-kebocoran;
4. Modernisasi
mengembangkan
korupsi
karena
membawa
perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat,
10
11
Ibid, h. 7-8.
Andi Hamzah, Op.Cit, h. 13-20.
52
membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru,
membawa perubahan-perubahan yang diakibatkan dalam
bidang kegiatan politik, memperbesar kekuasaan pemerintah
dan melipatgandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh
Peraturan Pemerintah.
Selain
faktor
penyebab,
faktor-faktor
pendorong
sehingga
dilakukannya korupsi menurut Suradi, ada tiga macam, yaitu: (1) adanya
tekanan (perceived pressure); (2) adanya kesempatan (perceived
opportunity); dan (3) berbagai cara untuk merasionalisasi agar kecurangan
dapat diterima (some way to rationalize the fraud as acceptable).12
Selain itu, sudarto menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi,
yaitu sebagai berikut: 13
a. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang laian
atau suatu badan. “Perbuatan memperkaya” artinya berbuat apa
saja misalnya mengambil, memindahbukukan, menandatangani
kontrak dan sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya.
b. Perbuatan itu bersifat melawan hukum.
“Melawan hukum” disini diartikan secara formil dan materiil.
Unsur itu perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam
rumusan delik
c. Perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan
keuangan Negara dan/atau perekonomian Negara, atau
12
Suradi, 2006, Korupsi dalam Sektor Pemerintah dan Swasta, Gava Media, Yogyakarta,
13
Evi Hartanti, 2012, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 18
h. 1-2.
53
perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat
bahwa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pendapat lain dikemukakan oleh Solo Soemardjan, beliau
mengungkapkan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah
dalam satu napas karena ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan
norma hukum. 14
Selain itu dipandang dari GONE Theory yang dikemukakan
oleh
Jack
Bologne
yang
dikutip
oleh
R.
Diyatmiko
Soemodihardjo, bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
korupsi adalah: 15
a. Greeds (keserakahan) yang berkaitan dengan adanya
perilaku serakah yang secara potensial ada didalam diri
setiap orang;
b. Opportunities (kesempatan) yang berkaitan dengan
keadaan organisasi, instansi atau masyarakat, sehingga
terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan
korupsi;
c. Needs (kebutuhan) yang berkaitan dengan faktor
kebutuhan individu guna menunjang hidupnya yang
layak; dan
d. Exposures (pengungkapan) yaitu faktor yang berkaitan
dengan tindakan, konsekuensi atau resiko yang akan
14
Ibid, h. 19-20.
Tumbur Ompu Sunggu, 2012, Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
Penegakan Hukum di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, h. 4.
15
54
dihadapi oleh pelaku apabila yang bersangkutan
terungkap melakukan korupsi.
2.1.3. Konsepsi Kejahatan Luar Biasa dalam Hubungannya dengan
Tindak Pidana Korupsi
Korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat sehingga dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.
Bahkan korupsi telah bagai penyakit kanker yang telah menjalar dan
merusak semua sendi kehidupan masyarakat sampai dalam kondisi
sekarat. Dengan demikian penanganan korupsi tidak boleh dilakukan
dengan cara-cara biasa tetapi juga dengan cara-cara yang luar
biasa.Melihat hal tersebut di atas, penanganan korupsi saat ini tidak cukup
dengan hanya sosialisasi, ceramah-ceramah dan kegiatan-kegiatan lainnya
yang sejenis, melainkan harus ditangani degan cepat agar tidak menjadi
kebiasaan.
Undang-Undang KPK khususnya Penjelasan Umum UU 30 Tahun
2002 yang menyatakan bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa.
Perhatikan kutipan penjelasan umum UU KPK dibawah ini:16
“Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional
tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat,
16
Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bagian Umum.
55
dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu
kejahatan luar biasa”.
Bandingkan misalnya dengan penjelasan Umum UU 20 Tahun
2001 dibawah ini:
“Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi
secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan
keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi
perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian,
pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara
yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik
yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa”.
Tindak pidana korupsi sebagai salah satu jenis tindak pidana yang
diatur dalam tindak pidana khusus atau ketentuan-ketantuan di luar KUPH.
Menurut Pompe hukum pidana khusus dapat dipahami dalam dua kriteria
yaitu orang-orang yang khusus, maksudnya subjek atau pelakunya yang
khusus dan perbuatannya yang khusus. Disamping itu Pompe menegaskan
kekhususan hukum pidana tersebut tidak hanya secara materiilnya yang
menyimpang dari buku I KUHP tetapi juga hukum acaranya yang
menyimpang dari hukum pidana umum (KUHAP).17
17
Andi Hamzah, 1991, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, Jakarta, h.
1-2. Selanjutnya disebut Andi Hamzah I.
56
Korupsi harus dipersepsikan sebagai kejahatan, bahkan termasuk di
dalam kejahatan luar biasa. Korupsi juga harus dilihat sebagai kejahatan
terhadap Negara. Aparatur pemerintah yang korup adalah aparat yang
seharusnya bertindak demi kepentingan Negara, namun menggunakan
kekuasaan yang diberikan oleh Negara untuk kepentingan diri sendiri.
Korupsi juga dapat dipandang sebagai kejahatan melawan masyarakat,
karena tidak memberikan kepada masyarakat apa yang berhak didapatkan
oleh masyarakat yang secara wajar telah menjalankan kewajibankewajibanya. Dalam konteks ini, korupsi terlihat sebagai sebuah kejahatan
karena mengabaikan hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat, dan juga
mempropagandakan masyarakat umum untuk melakukan perbuatan yang
secara etis bermasalah. Korupsi juga merupakan kejahatan yang terjadi
dalam realitas ekonomi, karena praktek-praktek suap yang diminta oleh
aparat pemerintah akan berpengaruh besar terhadap perekonomian.
Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar
biasa (extra ordinary crimes) sehingga tuntutan ketersediaan perangkat
hukum yang sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang
menangani korupsi tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Kiranya rakyat
Indonesia sepakat bahwa korupsi harus dicegah dan diberantas karena
korupsi sudah terbukti sangat menyangsarakan rakyat bahkan sudah
merupakan pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia serta
hak-hak konstitusional warga Negara. Persoalan pemberantasan korupsi di
Indonesia bukanlah hanya persoalan hukum dan penegakan hukum
57
semata, melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sungguh
sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum sehingga wajib
segera dibenahi.
2.2. Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara
Tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan hak-hak ekonomi masyarakat, sehingga korupsi dapat dikatakan sebagai
kejahatan
luar
biasa
(extra-ordinary
crimes),
sehingga
dalam
upaya
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan “secara biasa”, tetapi “dituntut caracara yang luar biasa” (extra-ordinary enforcement).18
Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan
hukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan
psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan
hukum sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan
persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan
kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi
merupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan.19
Upaya untuk dapat melaksanakan pemberantasan korupsi secara efektif
dan efisien salah satunya adalah melalui penerapan sistem Pembalikan Beban
Pembuktian dan pembentukan suatu badan atau lembaga khusus yang independen
dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.20 Di Indonesia lembaga
pemberantasan tindak pidana korupsi telah dibentuk berdasarkan Undang-Undang
18
Ermansyah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Komisi Pemberantasan
Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, h. 28.
19
Ibid, h. 31.
20
Tumbur Ompu Sunggu, Op.Cit. h. 56.
58
No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak hanya di Indonesia korupsi
juga terjadi di beberapa negara di belahan dunia ini. Oleh sebab itu maka
pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan segera dan secepat mungkin agar
tidak semakin meluas dan meresahkan masyarakat. Dalam penelitian ini penulis
akan memaparkan secara singkat tentang komisi pemberantasan korupsi di
berbagai Negara dianataranya yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi Australia,
Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia dan Komisi Pemberantasan Korupsi
Thailand.
2.2.1. Komisi Pemberantasan Korupsi Australia
Organisasi ICAC (Independent Commission Against Coruption)
New South Wales terdiri dari satu Ketua disebut Commisioner dan dua
Assistan Commisioner yang disebut juga Ketua Mejelis Operasi , dibantu 4
(empat) direktur. Commisioner diangkat oleh diangkat oleh Gubernur
Negara bagian New South Weles atas usul Menteri Kehakiman kepada
Parliamentary Joint Committee (Komite Parlemen) New South Weles
untuk dipilih, ICAC New South Weles bertanggung jawab kepada
Parliamentary Joint Committee bukan kepada Pemerintah (Gubernur New
South Weles). ICAC New South Weles adalah lembaga independen yang
bertugas memberantas korupsi di Australia khususnya Negara bagian New
South Weles. Negara bagian New South Weles dengan ibu kota Sydney
inilah yang mempunyai komisi anti korupsi yang lengkap, independen,
dan telah berjalan dengan lancar. ICAC didirikan berdasarkan Independent
59
Commission Against Coruption Act Nomor 35 Tahun 1988. UndangUndang ini sudah beberapa kali di amandemen, sehingga hampir seriap
tahun diamandemen sejak tahun 1989 terkecuali terkecuali pada tahun
1993. ICAC beroperasi di lingkungan sektor publik New South Weles.
ICAC adalah suatu komisi untuk pemeriksaan yang terfokus secara pada
tindak pidana korupsi. Selain melakukan penyidikan, ICAC juga bertugas
untuk membantu mencegah korupsi di sektor publik dan mendidik
masyarakat di sektor publik tentang pencegahan tindak pidana korupsi.21
ICAC New South Wales
tidak mempunyai wewenang untuk
menyidik orang swasta atau perusahaan swasta kecuali jika hal itu
berkaitan dengan sector public. Jadi ICAC New South Wales relatif sama
dengan KPK Indonesia dalam hal objek penyidikannya. ICAC New South
Wales memiliki perbedaan dengan KPK Indonesia dalam hal wewenang
penuntutan, karena ICAC New South Wales tidak memiliki wewenang di
bidang penuntutan sedangkan KPK Indonesia memiliki wewenang
penuntutan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Selain itu, ICAC
New South Wales mempunyai wewenang menyidik hakim, magistrate,
atau pejabat peradilan. Hal tersebut berbeda dengan KPK Indonesia yang
dibatasi wewenangnya oleh UU tentang Mahkamah Agung dan UU
tentang Peradilan Umum yang menghendaki pemeriksaan seorang hakim
harus dengan izin Ketua Mahkamah Agung.22
21
Andi Hamzah, 2005, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Nagara,
Sinar Grafika, Jakarta, h. 9. Selanjutnya disebut Andi Hamzah II
22
Aziz Syamsuddin, 2013, Tindak Pidana Khusus, Sinar Grafika, Jakarta, h. 210.
60
Komisi pemberantasan korupsi di Australia yang lengkap hanya di
satu Negara bagian New South Wales, sedangkan di negara-negara bagian
yang lain lembaga pemberantasan korupsinya masih melekat pada institusi
yang ada yaitu kepolisian. Persamaan tugas dan kewenangan yang sangat
menonjol diantara kewenangan ICAC New South Wales dengan KPK
Indonesia adalah di bidang penindakan/penyidikan di sector publik/
penyelanggara negara yaitu menyidik setiap pengaduan yang diduga ada
perbuatan korupsi dan di bidang pencegahannya yaitu memberikan
pendidikan dan nasehat tentang dampak perbuatan korupsi.
2.2.1. Komisi Pemberantasan Korupsi Malaysia
Dalam rangka membangun Negara modern yang bebas korupsi,
sejak tahun 1961 Malaya yang kemudian berkembang menjadi Malaysia,
telah mempunyai undang-undang anti korupsi, yang pertama UndangUndang Tahun 1961 yang bernama Prevention of Corruption Act atau
Akta Pencegah Rasuah Nomor 57, kemudian diterbitkan lagi Emergency
Essential Power Ordinance Nomor 22 tahun 1970, lalu dibentuk Badan
Pencegah Rasuah (BPR) berdasarkan Anti Corruption Agency Act tahun
1982. Sekarang berlaku Anti Corruption Act tahun tahun 1997 yang
selanjutnya disingkat ACA yang merupakan penggabungan ketiga undangundang dan ordonansi tersebut. Organisasi Badan Pencegah Rasuah (BPR)
Malaysia berada pada kantor Perdana Menteri langsung dibawahnya
adalah Direktur Jenderal atau Ketua Pengarah BPR Malaysia, ketua BPR
Malaysia dibantu 2 deputy (timbalan) yaitu Ketua Pengarah Operasi dan
61
Ketua Pengarah Pencegahan yang diangkat oleh Yang Dipertuan Agung
(Raja) atas nasehat Perdana Menteri dan bertanggung jawab kepada Raja
Yang dipertuan Agung Malaysia.23
Pemberantasan korupsi di Malaysia dilakukan dengan segala daya
dan cara, represif yang keras, tegas, dibarengi sistem preventif dan
hubungan masyarakat yang sangat intensif, didukung dengan political will
yang prima dari Pemerintah disertai dengan sumber daya manusia yang
professional dan berintegritas. Tidak kurang pentingnya adalah tersedianya
anggaran yang sangat memadai untuk menunjang semua kegiatan
operasional dari BPR Malaysia. Peraturan (Anti Curruption Act) pun
lengkap, walaupun hanya dengan satu undang-undang telah mampu
mencakup semua hal dengan rumusan delik yang jelas, sangat keras, dan
dijalankan oleh BPR Malaysia dengan konsisten. Permasalahannya, BPR
Malaysia dalam pemberantasan korupsi di Malaysia masih belum
independen (independensinya masih belum tegas), karena BPR Malaysia
masih berada di bawah administrasi kantor Perdana Menteri Malaysia.
Dengan demikian, pertanggungjawaban BPR Malaysia juga menjadi
pertanyaan atau permasalahan, yaitu begaimana mekanismenya.24
BPR Malaysia dengan KPK Indonesia mempunyai maksud dan
tujuan yang sama untuk memberantas korupsi di Negara masing-masing.
Perbedaan kewenangan BPR Malaysia dengan KPK Indonesia yang paling
menonjol adalah dalam melakukan penyelidikannya, BPR Malaysia dalam
23
24
Andi Hamzah, Op. Cit, h. 38.
Ermansyah Djaja, Op. Cit, h. 447.
62
penyelidikan perkara korupsi dilakukan oleh Divisi Intelejen dibawah
Ketua Pengarah Operasi, sedangkan KPK Indonesia tidak ada Divisi
Intelejen yang langsung mengadakan penyelidikan kelapangan. KPK
Indonesia dalam penyelidikan perkara korupsi dilakukan oleh Direktorat
Penyelidikan dibawah Deputi Bidang Penindakan yang sifatnya untuk
menyelidiki kasus-kasus adanya laporan pengaduan korupsi, jadi tidak
memiliki
inisiatif
menyelidiki
kelapangan
dalam
hal-hal
yang
mencurigakan.25
2.2.3. Komisi Pemberantasan Korupsi Thailand
Komisi Pemberantasan Korupsi di Thailand adalah NCCC (Nation
Counter Corruption Commission) yang bertanggung jawab kepada
Perdana Menteri. Selanjutnya pada tanggal 8 November 1999 diterbitkan
undang-undang baru tentang pemberantasan korupsi bernama Organic Act
on Counter Corruption. Berdasarkan Pasal 6 Organic Act on Counter
Corruption, komisi pemberantasan korupsi di Thailand diberi nama NCCC
(The National Counter Corruption Commission) yang terdiri atas seorang
ketua yang disebut President dan 8 (delapan) anggota yang terdiri dari satu
sekretaris jenderal, dua asisten sekretaris jenderal, empat deputi sekretaris
jenderal yang diangkat oleh Raja dengan nasehat dari Senat, dan
pertanggungjawabannya langsung kepada Raja.26
Persamaan tugas dan wewenang NCCC Thailand dengan KPK
Indonesia yang paling menonjol yaitu mengambil tindakan untuk
25
26
Tumbur Ompu Sunggu, Op.Cit. h. 90
Andi Hamzah, Op. Cit, h. 373.
63
mencegah korupsi dan membangun sikap berkaitan dengan integritas dan
kejujuran. Sedangkan perbedaannya yaitu NCCC Thailand tidak dapat
melakukan penuntutan tindak pidana korupsi, hal tersebut hanya dapat
dilakukan melalui Kejaksaan agung selaku penuntut umum untuk
mengadili tindak pidana korupsi, sedangkan KPK Indonesia dapat
melakukan sendiri penuntutannya ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.27
2.3. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Instrumen Hukum
Internasional
Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC), dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006 hal ini
menunjukkan bahwa negara kita telah mengikatkan diri dalam komunitas
internasional untuk memberantas korupsi. Konsekuensi logisnya, Indonesia
memiliki instrumen hukum untuk bersikap proaktif dalam upaya mengembalikan
uang
rakyat
yang
dikorupsi
dan
melakukan
kerjasama
internasional
mengekstradisi koruptor yang melarikan diri ke luar negeri. Tugas seluruh
komponen bangsa saat ini adalah merevitalisasi fungsi protektif hukum terhadap
korban kejahatan korupsi yaitu rakyat miskin yang tidak sanggup merasa mampu
menuntut hak-hak konstitusionalnya untuk hidup layak bagi kemanusiaan. Untuk
masa kedepan dengan meratifikasi Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003 dan
implementasinya kedalam hukum nasional serta hak-hak yang dimiliki oleh
Indonesia sebagai negara peratifikasi maka tidak ada lagi “tempat berlindung”
27
Tumbur Ompu Sunggu, Op.Cit. h. 105.
64
para
koruptor
dimanapun
para
koruptor
tersebut
melarikan
diri
dan
menyembunyikan ases-aset hasil korupsinya.
Konvensi PBB 2003 telah memberikan pilihan sarana hukum internasional
yang bersifat komprehensif dalam pemberantasan korupsi. Hal tersebut menuntut
Konvensi PBB memasukkan ketentuan mengenai pembentukan suatu lembaga
independen untuk memberantas korupsi di setiap Negara. Di Indonesia
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 sangat relevan sebagai wujud komitmen nasional
Indonesia dapat setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam mencegah
terjadinya pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial yang mengakibatkan
kemiskinan yang semakin meluas. 28
Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Indonesia sebagai
lembaga khusus untuk pemberantasan korupsi masih tetap harus dipertahankan.
Apalagi Indonesia sebagai salah satu negara peserta dalam Konvensi PBB Anti
Korupsi, 2003, wajib memastikan keberadaan KPK sebagai lembaga khusus
pemberantas korupsi di Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 36
Konvensi PBB Anti Korupsi, 2003 sebagaimana telah diratifikasi atau disahkan
oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan
United Nations Convention Againns Coruption (Konvensi Perserikatan BangsaBangsa Tahun Anti Korupsi 2003), sehingga keberadaan KPK semakin
mempunyai dasar hukum yang kuat sebagai lembaga pemberantasan korupsi di
Indonesia. Oleh sebab itu menjadi sangat penting diketahui mengenai intrumen
28
Tumbur Ompu Sunggu, Op.Cit. h.110.
65
hukum internasional dan instrumen hukum ditingkat regional yang nantinya dapat
menjadi acuan dalam memberantas korupsi di Indonesia.
2.3.1. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Tingkat
Internasional
Tindak Pidana Korupsi tidak hanya merupakan persoalan di tingkat
nasional (Indonesia) namun juga mendapat perhatian di tingkat
Internasional, sehingga perlu diatur dalam bentuk Instrumen Hukum
Internasional.
Konvensi mengenai pemberantasan korupsi di bawah pengawasan
PBB telah diadopsi dalam sidang ketujuh Panitia ad hoc negosiasi atas
draft konvensi tersebut pada tanggal 1 Oktober 2003 yang lampau. Adopsi
atas konvensi tersebut merupakan babak baru dalam pemberantasan
korupsi secara internasional, dan juga merupakan perkembangan yang
sangat signifikan dalam pengembangan studi hukum mengenai korupsi;
dan saat ini korupsi sudah merupakan kejahatan transnasional, bukan lagi
semata asalah nasional masing-masing Negara. Hal ini ditegaskan di
dalam mukamahdimah Konvensi Wina 2003 yang berbunyi sebagai
berikut: “Convinced also that the globalization of the world’s economic
has led to a situation where corruption is no longer a local matter but a
transnational phenomenon that affects all societies and economies,
making international cooperation to prevent and control it essential”.29
29
Aziz Syamsuddin, Op.Cit, h. 215
66
Hukum internasional yang menjadi payung hukum yang berkaitan
dengan kurupsi adalah United Nations Conventions Againtsn Corruption.
Instrumen hukum internasional ini wajib ditaati oleh semua negara-negara
seluruh Negara anggota PBB yang telah menandatangani dan meratifikasi
aturan Konvensi PBB tentang Korupsi tahun 2003, termasuk di dalamnya
Indonesia yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againns Coruption
(Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun Anti Korupsi 2003).
United Nations Conventions Againtsn Corruption 2003 dibentuk
pada awalnya di tahun 2000 dalam sidang ke-55 melalui Resolusi Nomor
55/61 pada tanggal 6 Desember 2000. Instrumen hukum internasional
tersebut amat diperlukan untuk menjembatani sistem hukum yang berbeda
dan sekaligus memajukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi
secara efektif.30
Konfensi internasional tentang anti korupsi mengatur 8 (delapan)
Bab
yaitu:
tentang
general
povisioan,
preventive
measure,
criminalizations and law enforcement, international coopration, asset
recovery, techicalo assistance and informations exchange, mechanisms for
implementation, dan Final provision. 31
30
Lihat Penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006
tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003), Bagian Pokok-Pokok Pikiran yang mendorong Lahirnya
Konvensi
31
United Nations, 2004, United Nations Conventions Againtsn Corruption, United
Nations office on drugs and crime Viena, New York, p. 7.
67
Melalui peraturan secara hukum internasional hal penting yang
dapat dipetik adalah adanya kerja sama Internasional dalam rangka
memerangi dan memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam bab VI
UNCAC tentang techical techicalo assistance and informations exchange
(bantuan teknis dan pertukaran informasi) mengenai langkah-langkah yang
dapat ditembuh untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi. 32
Salah satu pertimbangan Indonesia meratifikasi UNCAC 2003
adalah bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi
merupakan
fenomena
transnasional
yang
mempengaruhi
seluruh
masyarakat dan perekonomian, sehingga penting adanya kerjasama
Internasional
untuk
pencegahan
dan
pemberantasannya
termasuk
pemulihan atau pengembalian asset-aset hasil korupsi.33 Ratifikasi
UNCAC 2003 menampilkan Indonesia sebagai salah satu Negara di Asia
yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerjasama
Internasional. Selain itu, Indonesia juga wajib menyesuaikan berbagai
peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan korupsi dengan isi
dari UNCAC 2003 tersebut.
2.3.2. Pengaturan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Tingkat
Regional
Pemberantasan Korupsi tidak hanya diatur di tingkat
internasional tetapi juga diatur di tingkat regional, diantaranya
32
33
United Nations, Op.Cit, p
Aziz Syamsuddin, Op.Cit, h. 196.
68
diatur di tingkat regional yaitu dalam Inter American Convention
Agains Corruption 1996.
Pasal 1 Inter American Convention Agains Corruption
1996 menjelaskan tentang definisi dari fungsi publik, pejabat
publik dan properti.
Article 2 menjelaskan tentang tujuan dari konvensi ini
yaitu: 34
1. To promote and strengthen the development by each of the
States Parties of the mechanisms needed to prevent, detect,
punish and eradicate corruption; and
2. To promote, facilitate and regulate cooperation among the
States Parties to ensure the effectiveness of measures and
actions to prevent, detect, punish and eradicate corruption
in the performance of public functions and acts of
corruption specifically related to such performance.
Pasal 2 tersebut menjelaskan bahwa tujuan dari konvensi ini secara
garis
besarnya
yaitu
Untuk
mempromosikan
dan
memperkuat
pengembangan oleh masing-masing Negara Pihak mekanisme yang
diperlukan untuk mencegah, mendeteksi, dan menghukum memberantas
korupsi; dan
untuk mempromosikan, memfasilitasi dan mengatur
kerjasama antar Negara Pihak untuk memastikan efektifitas kebijakan dan
tindakan untuk mencegah, mendeteksi, dan menghukum memberantas
34
Adopted at the third plenary session, 1996, Inter-American Convention Agains
Corruption, p. 2.
69
korupsi dalam pelaksanaan fungsi publik dan tindakan korupsi secara
khusus terkait dengan kinerja tersebut.
Pasal 3 tentang tindakan pencegahan (Preventive Measures).
Tindakan pencegahan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 3 konvensi
ini dilakukan antara lain dengan Standar perilaku bagi pemenuhan yang
benar, terhormat, dan tepat fungsi publik dan Studi tentang langkahlangkah pencegahan lebih lanjut yang memperhitungkan hubungan antara
kompensasi yang adil dan kejujuran dalam pelayanan publik.
Pasal 5 tentang Jurisdiction, hal tersebut berkaitan erat dengan
eksistensi Negara untuk memberantas korupsi melalui tindakan-tindakan
pemerintah.
Pasal VII menjelaskan tentang Domestic Law¸yaitu:35
The States Parties that have not yet done so shall adopt the
necessary legislative or other measures to establish as criminal offenses
under their domestic law the acts of corruption described in Article VI(1)
and to facilitate cooperation among themselves pursuant to this
Convention. Yang artinya yaitu Negara-Negara Pihak yang belum
melakukannya harus mengadopsi diperlukan langkah-langkah legislatif
atau lainnya untuk menetapkan sebagai kejahatan pidana berdasarkan
hukum nasional mereka tindakan korupsi yang dijelaskan dalam Pasal VI
(1) dan untuk memfasilitasi kerja sama di antara mereka sendiri sesuai
dengan Konvensi ini.
35
Ibid, p. 3
70
Selanjutnya Pasal penting dalam konvensi ini terkait dengan
korupsi yaitu dalam Pasal XIV tentang Assistance and Cooperatoin, yang
menjelaskan tentang bantuan dan kerjasama yang dilakukan dengan
hukum domestik dan perjanjian yang berlaku.36
2.4. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun.
Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus
yang terjadi dan jumlah kerugian Negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana
yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh
aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak
terkendali akan membawa bencana, tidak saja bagi kehidupan perekonomian
nasional, juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyadari kompleksnya
permasalahan korupsi ditengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman
nyata yang pasti akan terjadi akibat dari dampak korupsi tersebut, maka tindak
pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus
dihadapi secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang
tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat
khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Untuk dapat memberantas
korupsi diperlukan lembaga independen yang bebas dari pengaruh kekuasaan
negara.
36
Ibid, p. 6.
71
Aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi semakin meningkat,
karena korupsi telah menimbulkan kerugian yang sangat besar. Untuk itu upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan
diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan
masyarakat. Untuk dapat memberantas korupsi diperlukan lembaga independen
yang bebas dari pengaruh kekuasaan negara. Sehingga dibentuklah KPK sebagai
lembaga khusus pemberantasan korupsi di Indonesia.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah “lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari penagruh kekuasaan manpun”. Pemberantasan
tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 yaitu “serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas
tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta
masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2.4.1. Sebelum Terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dalam
masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik
dari jumlah kasus yang terjadi ataupun jumlah kerugian keuangan negara
terkait dengan tindak pidana korupsi.
72
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
semakin membawa bencana yang besar dalam kehidupan perekonomian
nasional yang dapat pula berdampak besar pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang
meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
social dan hak-hak ekonomi masyarakat, dank arena itu semua tindak
pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Oleh sebab itu, diperlukan
adanya penegakkan hukum yang pelaksanaannya dilakukan secara
optimal, intensif, efektif, professional dan berkesinambungan guna
memberantas tindak pidana korupsi tersebut. Dalam rangka mewujudkan
supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai
kebijakan dan peraturan perundang-undangan sebagai landasan yang kuat
untuk berusaha memerangi dan memberantas tindak pidana korupsi.
Kebijakan-kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai bentuk
peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme; serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-
73
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Dalam rangka mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi
yang terjadi di Indonesia sampai sekarang belum dapat dilaksanakan
secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi
perlu ditingkatkan secara professional, intensif, dan berkesinambungan
karena
korupsi
telah
merugikan
keuangan
negara,
merugikan
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Lembaga
Negara yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh
sebab itu, berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk sebuah lembaga
negara untuk memberantas tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia
yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen
dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Pemberantasan Korupsi kini sudah menjadi agenda masyarakat
internasional sekaligus juga telah disepakati ketentuan-ketentuan yang
mengatur tentang pembentukan suatu lembaga anti korupsi yang
74
independen, mekanismepengembalian asset hasil korupsi di Negara lain
melalui “mutual legal assistance”; ekstradisi, “joint investigation;
transfer of sentenced person; transfer of proceedings; dan kewajiban
pelaporan tahunan kepada “lembaga internasional” yang disebut
“Conference of the Parties”.37
Sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia dimulai dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 24
tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak
pidana korupsi yang pada intinya mengatur tata cara pencegahan dan
pemberantasan korupsi namun tetap masih mengacu kepada pembedaan
antara kejahatan dan pelanggaran sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Namun pengaturan pemberantasan
korupsi melalui PERPU tersebut terbukti masih lemah dan tidak efektif,
oleh sebab itu produk legislatif tersebut ditindaklanjuti dengan
pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) di bawah koordinasi
Menteri Pertahanan. Sasaran TPK pada waktu itu diarahkan kepada
kejahatan penyelundupan tetapi tim yang dibentuk itu tidak berhasil secara
efektif
memberantas
korupsi
terutama
penyelundupan.
Untuk
meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi pemerintah telah
mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sebagai pengganti
Perpu tahun 1960. Undang-Undnag tersebut menetapkan korupsi sebagai
tindak pidana yang berdiri sendiri dan tidak lagi merupakan salah satu
37
Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Bandung, h. 26.
75
jenis kejahatan sebagaimana diatur dalam KUHP dan pembaharuan yang
terdapat dalam undang-undang tersebut adalah ditetapkannya kerugian
keuangan Negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. Namun
hal tersebutlah pula yang menjadikan undang-undang tersebut tidak
berhasil berjalan efektif sehingga dibentuklah Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai
pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971. Penegakan hukum
terhadap KKN harus dijalankan secara konsisten dan tidak ada yang kebal
hukum, sekalipun terhadap seorang presiden.
Komisi Pemberantasan Korupsi bukanlah lembaga negara pertama
yang menjalankan tugas untuk memberantas korupsi di Indonesia. Dalam
sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia terdapat cukup banyak
lembaga atau institusi yang menangani pemberantasan korupsi sebelum
dibentuknya KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lembaga atau institusi pemberantasan korupsi di Indoneisa selain
KPK, antara lain: Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komite Anti
Korupsi (KAK), Komisi Empat, Operasi tertib (OPSTIB), Komisi
Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Tim Gabungan
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi,
dan
Tim
Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.38
38
Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi bersama KPK: Kajian Yuridis UURI
Nomor 30 Tahun 1999 juncto UURI Nomor 20 Tahun 2001 Versi UURI Nomor 30 Tahun 2002
juncto UURI Nomor 46 Tahun 2009, Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, h. 326-329.
76
Berbagai peraturan perundang-undangan maupun pembentukan
institusi pemberantasan korupsi tersebut hanyalah merupakan persiapan
dari segi legal dan formal saja. Pembenahan aspek legal dan formal saja
tidak akan dapat berhasil memberantas tindak pidana korupsi tanpa
pembenahan aspek ekonomi, sosial dan politik. Antara lain, telah
terciptanya kesejahteraan, kemauan politik (political will) dari pemerintah
dan DPR serta terdapatnya dukungan dari masyarakat berupa pengawasan
terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.4.2. Setelah Terbentuknya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
A.
Latar Belakang Pembentukan Komisi Pemeberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Landasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ialah UU Nomor 30 Tahun 2002 yang mengatur
banyak hal tentang komisi ini. Dengan diundangkannya undangundang tersebut, telah ditambahkan banyak ketentuan dalam hal
penyelidikan,
penyidikan,
penuntutan
dan
persidangan
di
pengadilan yang menangani perkara korupsi. Undang-undang
tersebut sebenarnya bersifat menambah atau melengkapi normanorma hukum yang telah ada dalam UU No. 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001. Selain
sebagai landasan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, UU
tersebut juga menjadi landasan dibentuknya pengadilan tindak
77
pidana korupsi yang berada di lingkungan pengadilan umum dan
berwenang mengadili dan memutus perkara korupsi yang
penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(Pasal 53). Dengan adanya UU No. 30/2002, maka ketentuan
hukum korupsi dalam hal penanganan tindak pidana korupsi telah
mengalami kemajuan yang luar biasa dan jauh meninggalkan
hukum pidana khusus lainnya.
Berbeda dengan tim gabungan yang dibentuk oleh dan
bertanggung jawab kepada Jaksa Agung (sebagaimana diatur
dalam UU No. 31 Tahun 1999), Komisi Pemberantasan Korupsi
adalah lembaga Negara yang melaksanakan tugas dan wewenang
yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana
pun dan bertanggung jawab kepada publik dengan menyampaikan
laporan secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR, dan
BPK (pasal 20). Komisi pemberantasan korupsi berkedudukan di
ibu kota (Jakarta) dan dapat membentuk perwakilan di daerah
provinsi.
Keberadaan KPK sangat dibutuhkan mengingat sifat dan
akibat korupsi yang begitu besar, menggerogoti kekayaan Negara
dan sumber ekonomi rakyat, sehingga dapat dipandang sebagai
pelanggaran HAM, yakni hak-hak sosial ekonomi rakyat. Oleh
karenanya masyarakat mendambakan KPK sebagai lembaga yang
menjadi harapan bangsa Indonesia yang muncul di tengah-tengah
78
lembaga penegakan hukum yang ada seiring dengan krisis
kepercayaan masyarakat terhadap hukum itu sendiri.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 5, dan 6 UU KPK,
bahwa KPK harus menjadi landasan yang kuat secara substantif
maupun implementatif sehingga merupakan salah satu lembaga
Negara yang mampu mengemban misi penegakan hukum. Dalam
mengemban misi tersebut, KPK mendapat tugas dan wewenang
yang cukup luas.
Kewenangan lain yang lebih luas dari KPK adalah
mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan dari pihak
kepolisian dan kejaksaan dengan prinsip “trigger mechanism” dan
“take over mechanism”. Pengambilalihan wewenang ini dapat
dilakukan jika terdapat indikasi “unwiliingness” dari institusi
terkait dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.39 Indikasi
adanya “unwiliingness” tersebut berdasarkan Pasal 9 UU KPK,
yaitu (i) adanya laporan masyarakat menganai tindak pidana
korupsi yang tidak ditindak lanjuti, (ii) proses penanganan tindak
pidana korupsi yang berlarut-larut, (iii) adanya unsur nepotisme
yang melindungi pelaku korupsi, (iv) adanya campur tangan pihak
eksekutif, legislatif dan yudisial, (v) alasan-alasan lain yang
menyebabkan
penanganan
tindak
pidana
korupsi
sulit
dilaksanakan.
39
Chaerudin, dkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana
Korupsi, Refika Aditama, Bandung, h. 23.
79
Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi
KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003.
KPK adalah lembaga yang secara khusus dibentuk untuk
mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia.
Komisi
ini
didirikan
berdasarkan
kepada
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan KPK
dikarenakan penegakan hukum dalam memberantas korupsi tidak
berjalan dengan baik.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
menjalankan tugasnya secara independen untuk memberantas
tindak pidana korupsi di Indoensia.
Menurut Suwoto Mulyosudarmo, perolehan kekuasaan
secara atributif menyebabkan terjadinya pembentukan kekuasaan,
karena berasal dari keadaan yang belum ada menjadi ada.
Kekuasaan yang timbul karena pembentukan secara atributif
bersifat asli dan menyebabkan adanya kekuasaan yang baru.40 KPK
merupakan lembaga negara yang memiliki kewenangan atributif
yang diperoleh berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang KPK. Kewenangan KPK disebut sebagai kewenangan
40
Suwoto Mulyosudarmo, Op.Cit. h. 16
80
atributif karena kewenangan KPK bersifat asli, artinya kewenangan
KPK merupakan kewenangan yang tidak berasal dari wewenang
lembaga negara lain yang telah ada sebelumnya melainkan
merupakan wewenang baru yang diberikan melalui undangundang.
Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga negara
yang bersifat independen, melaksanakan tugas dan wewenangnya
bebas dari kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang
dimaksud dengan kekuasaan manapun adalah kekuasaan yang
dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan
Korupsi atau anggota Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota
Komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif, legislatif,
pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana
korupsi, atau keadaan dan situasi ataupun alasan apapun. Selain itu
KPK juga harus bertanggung jawab kepada publik dengan
menyampaikan laporan secara terbuka
dan berkala kepada
presiden, DPR, dan BPK.41
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya
disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah: “lembaga negara
41
Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Kurupsi di Indonesia,
Bayumedia Publishing, Malang, h. 424.
81
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat
independen dan bebas dari pengeruh kekuasaan manapun”.
Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 1
angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah: “serangkaian
tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi
melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran
serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku”.
Alinea 14 penjelasan umum Undang-Undnag Nomor 30
Tahun 2002 jo Pasal 19 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 menjelaskan bahwa Komisi Pemberantasan
Korupsi dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara, dan jika
dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan masyarakat, KPK dapat
membentuk perwakilan di daerah provinsi. Pimpinan KPK terdiri
dari atas 5 (lima orang yang merangkap senagai Anggota yang
semuanya adalah pejabat negara. Pimpinan tersebut terdiri atas
unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga system
pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK
dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada Komisi
Pemberantasan
Korupsi.
Disamping
itu
untuk
menjamin
82
pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK dapat mengangkat Tim
Penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang
bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada KPK.42
Munculnya KPK yang berfungsi melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi merupakan
respon atas kurang efektifnya penanganan tindak pidana korupsi
oleh aparat Kepolisian dan Kejaksaan. Pembentukan KPK sebagai
lembaga independen yang memang mempunyai kewenangan
khusus dalam upaya pemberantasan korupsi didasari akan
“kebutuhan” adanya lembaga pemberantas korupsi yang bebas dari
pengaruh kekuasaan manapun.
Undang-undang KPK secara jelas memberikan kewenangan
kepada KPK yang sangat laus dan besar untuk melakukan
pencegahan dan pemberantasan korupsi secara sistematik dan
menjadikan KPK sebagai tonggak utama dalam pemberantasan
korupsi. Namun keberadaan KPK dengan segala tugas dan
wewenangnya, memberikan celah kelemahan dengan tetap
memberikan peran besar bagi Kepolisian dan Kejaksaan dalam
melakukan tugas dan kewenangannya dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi.
KPK sebagai lembaga negara yang notabene aparaturnya
pun mengambil dari instansi penegak hukum yang telah ada tentu
42
Ermansjah Djaja, Ibid, h. 258
83
akan mengalami ketidak sempurnaan dalam pelaksanaan tugasnya,
dikarenakan kesempurnaan sebuah lembaga dapat tercipta ketika
lemabaga negara tersebut melakukan pembenahan didasari dari
pengalamannya, dengan kata lain, segala kelemahan lembaga
negara tersebut dapat diketahui setelah mengalami perjalanan di
dalam pelaksanaan tugasnya.
B.
Kewenangan Komisi Pemeberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi,
termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Pada saat sekarang ini pemberantasan tindak pidana korupsi sudah
dilaksanakan oleh berbagai institusi seperti kepolisian dan
kejaksaan
serta
badan-badan
lain
yang
berkaitan
dengan
pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, pengaturan
kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan dengan berbagai institusi yang
memiliki kewenangan yang serupa dalam memberantas tindak
pidana korupsi di Indonesia.
Pada
dasarnya
pembentukan
KPK
ditujukan
untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya
84
pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK dapat dikategorikan
sebagai badan khusus (ad hoc) yang dibentuk dengan tujuan utama
melakukan penanganan terhadap kasus-kasus korupsi tertentu.
Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan korupsi, KPK mempunyai tugas sebagai
berikut:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwennag melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi; dan
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggara negara.
Kewenangan
untuk
melakukan
penyelidikan
dan
penyidikan kasus-kasus korupsi di Indonesia bukan hanya terletak
pada KPK saja. Saat ini di Indonesia, terdapat lembaga Kepolisian
dan Kejaksaan yang juga memiliki kewenangan yang sama dalam
hal penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi. Kejaksaaan bahkan
memiliki kewenangan melakukan penuntutan di pengadilan.
Tersebarnya kewenangan di sejumlah lembaga peradilan di
Indonesia
ini
memiliki
konsekuensi
tertentu
yang
dapat
85
berimplikasi positif maupun negatif. Implikasi positifnya antara
lain adalah kasus-kasus korupsi dapat cepat ditangani tanpa harus
menunggu tindakan dari suatu lembaga tertentu.
Implikasi negatif dari tumpang tindihnya kewenangan
penindakan korupsi di Indonesia yaitu sering terjadinya perbedaan
interpretasi terhadap suatu kasus korupsi. Masing-masing lembaga,
baik KPK, Kejaksaan dan kepolisian sering memiliki persepsi yang
berbeda dalam menindak pelaku korupsi, contohnya penuntutan
yang diajukan oleh masing-masing lembaga di peradilan tidak
seragam. Masing-masing memiliki argumentasinya sendiri-sendiri
sehingga terkadang putusan hukuman di lembaga peradilan atas
kasus-kasus korupsi relatif kurang objektif dan tidak memuaskan
rasa keadilan di masyarakat.
KPK yang merupakan badan khusus yang mempunyai
kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun
untuk upaya pemberantasan korupsi. KPK dibentuk karena
Kepolisian,
Kejaksaan,
atau
lembaga-lembaga
lain
yang
seharusnya mencegah korupsi tidak dapat berjalan dengan baik
untuk memberantas korupsi di Indonesia. Cara penanganan korupsi
harus dengan cara yang luar biasa. Untuk itulah dibentuk KPK
yang mempunyai kewenangan luar biasa, sehingga tidak heran
kalau KPK disebut sebagai lembaga super (superbody).
86
Selanjutnya wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi
sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7,8,9,10,11,12,13,dan 14
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung
pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang:
1) Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas koordinasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. Mengkoordinasikan
penyelidikan,
penyidikan
dan
penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
b. Menetapkan
sistem
pelaporan
dalam
kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi pada instansi terkait;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi terkait;
d. Melaksanakan dengar perndapat atau pertemuan dengan
instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan
tindak pidana korupsi;
f. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13,
dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
87
2) Ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas supervisi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan,
penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan
tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan
tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan
pelayanan publik.
3) Ketentuan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan wewenang
sebagaimana dimaksud ayat (1), Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
4) Ketentuan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 menyatakan bahwa, dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi
mengambil
alih
penyidikan
atau
penuntutan,
kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan
seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain
yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi
Pemberantasan Korupsi.
88
5) Ketentuan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 menyatakan bahwa, penyerahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani
berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan
kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih
kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
6) Ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
menyatakan
bahwa,
Pengambilalihan
penyidikan
dan
penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarutlarut atau tertunda-tunda tanpa alasan
yang dapat
dipertanggungjawabkan;
c. Penanganan
melindungi
tindak pidana korupsi
pelaku
tindak
pidana
ditujukan untuk
korupsi
yang
sesungguhnya;
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi;
e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena
campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legistatif; atau
89
f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau
kejaksaan,
dilaksanakan
penanganan
tindak
secara
pidana
baik
korupsi
dan
sulit
dapat
dipertanggungjawabkan.
7) Ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
menyatakan bahwa, dalam hal terdapat alasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, Komisi Pemberantasan Korupsi
memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk
mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
8) Ketentuan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Kewenangan Komisi
Pemberantasan
Korupsi
dalam
melakukan
penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi
tindak pidana korupsi yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelanggara negara,
dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau
penyelenggara negara;
b. Mendapatkan perhatian yang meresahkan masyarakat;
c. Menyangkut
kerugian
negara
paling
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
sedikit
Rp
90
9) Ketentuan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002
menyatakan
penyelidikan,
bahwa,
penyidikan
dalam
dan
melaksanakan
penuntutan
tugas
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan
Korupsi berwenang:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. Memerintahkan
kepada
instansi
yang
terkait
untuk
melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa
yang sedang diperiksa;
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan
lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari
korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang
terkait;
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka
untuk
memberhentikan
sementara
tersangka
dari
jabatannya;
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau
terdakwa kepada instansi yang terkait;
g. Menghentikan
transaksi
sementara
perdagangan,
suatu
dan
transaksi
perjanjian
keuangan,
lainnya
atau
pencabutan sementara perizinan,lisensi serta konsesi yang
91
dilakukan atau dimiliki oleh tersangka taua terdakwa yang
diduga
berdasarkan
bukti
awal
yang
cukup
ada
hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang
diperiksa;
h.
Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak
hukum
Negara
lain
untuk
melakukan
pencarian,
penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait
untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan,
dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang
sedang ditangani.
10) Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas pencegahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau
upaya pencegahan sebagai berikut:
a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan
harta kekayaan penyelenggara Negara;
b. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
c. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada
setiap jenjang pendidikan;
d. merancang
dan
mendorong
terlaksananya
sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
program
92
e. melakukan kempanye antikorupsi kepada masyarakat
umum;
f. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
11) Ketentuan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
menyatakan bahwa, dalam melaksanakan tugas monitor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. melakukan
pengkajian
terhadap
sistem
pengelolaan
administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintah;
b. memberikan saran kepada pemimpin lembaga Negara dan
pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan
hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut
berpotensi korupsi;
c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan
Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan
Korupsi
mengenai
usulan perubahan
tersebut
tidak
diindahkan.
Selanjutnya
kewajiban
Komisi
Pemberantasan
Korupsi
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002, yaitu:
93
a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor
yang menyampaikan laporan ataupun memberikan
keterangan mengenai terjadinya tindakan pidana korupsi;
b. memberikan
memerlukan
informasi
atau
kepada
memberikan
masyarakat
yang
bantuan
untuk
memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil
penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
c. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya
kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan
Rakyat Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
d. menegakkan sumpah jabatan;
e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya
berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5.
C.
Hubungan Komisi Pemeberantasan Korupsi dengan
Kepolisian dan Kejaksaan
Sesuai amanat Pasal 6 huruf a UU Nomor 30 Tahun 2002
tentang integritas moral dalam pemberantasan dan penanggulangan
korupsi, ditegaskan adanya koordinasi dengan instansi yang
berwenang, penyelidikan dan penuntutan, tindakan penegakan serta
monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara tentang
korupsi. KPK dalam tugasnya berkoordinasi dengan Badan
Pemeriksa
Keuangan,
Badan
Pengawas
Keuangan
dan
94
Pembangunan,
Komisi
Pemeriksa
Kekayaan
Penyelenggara
Negara, inspektorat pada departemen atau lembaga pemerintahan
nondepartemen, sudah tentu pula dengan Kepolisian, Kejaksaan
dan badan peradilan. Dalam Pasal 33 UU Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejakasaan Republik Indonesia ditegaskan bahwa: “dalam
pelaksanaan tugas dan wewenang, kejaksaan membina hubungan
kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan
Negara atau instansi lainnya”. Demikian juga dalam Pasal 42 ayat
(2) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia ditegaskan bahwa:
“Hubungan dan kerjasama didalam negeri dilakukan
terutama dengan unsur-unsur pemerintahan daerah, penegak
hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan
mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas”.
“Hubungan kerjasama luar negeri dilakukan terutama
dengan badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui
kerjasama bilateral atau multilateral dan badan pencegahan
kejahatan baik dalam rangka tugas operasional maupun kerjasama
tehnik dan pendidikan serta pelatihan”.
Pasal 12 ayat (1) huruf I menyatakan bahwa: “Dalam
melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
6
huruf
c,
Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang, meminta bantuan kepolisian
95
atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak
pidana korupsi yang sedang ditangani”.
Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut dapat dipahami
bahwa pada dasarnya sudah diatur tentang mekanisme koordinasi
dan kerjasama antarinstitusi penegak hukum, khususnya dalam hal
ini Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian dan Kejaksaan
dalam memberantas korupsi di Indonesia. Peluang ini harus
dimanfaatkan sebaik mungkin oleh penegak hukum untuk
melaksanakan penanggulakan korupsi. Semua institusi penegak
hukum harus bersatu untuk memberantas korupsi di Indonesia.
KPK tidak akan menjadi efektif jika hanya bekerja sendiri tanpa
bantuan atau kerjasama dengan institusi atau lembaga terkait,
seperti kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Penjelasan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi, menyatakan bahwa:
Dengan peraturan dalam undang-undang ini, Komisi
Pemberantasan Korupsi:
1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan
memperlakukan
institusi
yang
telah
ada
sebagai
“counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan
korupsi dalat dilaksanakan secara efisien dan efektif;
96
2) tidak
memonopoli
tugas
dan
wewenang
penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan;
3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang
telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
4) berfungsi untuk melakukan supervise dan memantau institusi
yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil
alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh
kepolisian dan/atau kejaksaan.
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai hubungan
khusus dengan kejaksaan dalam Penegakan Hukum Pemberantasan
Korupsi selain semagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002. Hubungan khusus tersebut tercantum
dalam Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
dan Jaksa Agung Republik Indonesia No,Kep_11121 2005 tentang
Kerjasama Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Kejaksaan
Agung Republik Indonesia Dalam Rangka Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Dalam keputusan bersama Komisi Pemberantasan
Korupsi dan Jaksa Agung RI tersebut ditentukan mengenai
kerjasama untuk saling membantu dalam pemberantasan korupsi
secara optimal dan meningkatkan kapasitas serta kemampuan KPK
dan Kejaksaan (Pasal 2), kerjasama saling membantu bersifat
97
fungsional (Pasal 3), kerjasama mengenai bantuan personal dan
operasional (Pasal 4).
Kerjasama
KPK
dengan
kepolisian
dan
kejaksaan
sebagaimana diatur dalam ketentuan-ketentuan yang diuaraikan
tersebut,
menunjukan
kewenangan
bahwa
kekhususannya
KPK
berbeda
dalam
dengan
melaksanakan
kewenangan
kepolisian dan kejaksaan. KPK tidak melaksanakan kewenangan
kekhususan yang luar biasa tersebut secara otoriter dalam
pemberantasan korupsi, tetapi masih memerlukan kerjasama
dengan kepolisian dan kejaksaan walaupun kewenangan yang
dimiliki
masing-masing instansi
tersebut
berbeda.
Dengan
demikian, dengan adanya kerjasama antara KPK dengan kepolisian
dan kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak
ada lagi benturan-benturan atau saling tumpang tindih kewenangan
KPK yang memiliki kewenangan kekhususan tersebut dengan
kewenangan
kepolisian
dan
kewenangan
kejaksaan
dalam
penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga
pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien.
Download