KANDUNGAN BEBERAPA LOGAM BERAT PADA BAKAU (RHIZOPHORA APICULATA) DI PERAIRAN BONTANG SELATAN, KALIMANTAN TIMUR Some Heavy Metals’ Content in the Mangrove (Rhizophora apiculata) in Waters of South Bontang of East Kalimantan Risky Ayu Kristanti1), Mursidi1) dan Sarwono1) Abstract. The aim of this research were to determine heavy metals’ content of Hg, Pb, Cu, Cd and Ni in the mangrove (Rhizophora apiculata), water and sediment in waters of South Bontang. The results of research had shown that the heavy metal type measured in sediment in the research location were only two kinds, those were Cu and Ni, while in sea water, metal Hg, Pb, Cu, Cd and Ni were not measured. Metal Cu in sediment was measured 9.7–197.4 mg/kg and Ni 7.1–74.2 mg/kg. Then, analysis metal in mangrove (R. apiculata) showed that the Hg (0–0.3 mg/kg), Pb (0–8.4 mg/kg), Cu (0–79.4 mg/kg), Cd (not measured) and Ni (0–15.6 mg/kg). The result of analysis showed that the analysis 2 of heavy metals’ content between variable (plant morphology, age class and location) were significant value which only in copper metal and nickel. The content will be higher at the rising of age class of mangrove with the accumulation of the root > leaf > stalk. The metals’ content of Cu and Ni measured in sediment was also taking part in the metal existence in plants. From the research results, it is suggested to maintain the existence of R. apiculata in waters of South Bontang through the efforts like reforestation and also additon area, because this species is able to accumulate the heavy metal in its body organ. Reforestation and addition of area shall be conducted especially at the area where the activity of domestic and industry exiles are bigger as in Mouth of Canal and Berbas. The other efforts to lessen and process the waste better and correctly have to be non-stopped to be emboldened by the role of governmental insitution and other related parties. Continuation research of the biota food chain system as part of monitoring pollutions is suggested to be conducted, because at the time, where this research was held, some insect which eating green leaves of R. apiculata and some sea organism like crab and cockle make manure as organic substance source for their life, were found. Kata kunci: hutan mangrove, Rhizophora apiculata, logam berat Bontang merupakan salah satu kota pesisir di Kalimantan Timur mempunyai luas 497,57 km2 terdiri dari luas daratan 147,8 km2 atau sekitar 29,7 % dari total luas wilayah dan wilayah laut sejauh 4 mil sebesar 349,77 km2 atau sekitar 70,3 % total ___________________________________________________________________ 1) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unmul, Samarinda 185 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 186 luas wilayah (Anonim, 2001). Luasnya wilayah laut daripada luas daratan ini menjadikan kota Bontang sebagai kota yang potensial bagi pengembangan sektor perikanan, baik dilihat dari eksploitasi sumberdaya yang tersedia, maupun pengembangan komoditi perikanan lain melalui usaha budidaya. Perairan daerah Bontang merupakan perairan dinamik yakni merupakan perairan pencampuran antara perairan tawar dan laut. Perubahan kualitas air sebagai penentu daya dukung potensi sumberdaya hayati perairan sangat ditentukan oleh faktor daya tampung dari ekosistem perairan. Hubungan dinamik dari keseimbangan komposisi komponen unsur hara, bahan organik dan biomassa sangat penting bagi kemantapan ekosistem perairan. Namun hubungan kemantapan tersebut akan segera terganggu apabila terjadi masukan bahan yang bersifat racun, radioaktif ataupun suhu panas. Masuknya bahan pencemar akan mampu menurunkan potensi sumber daya hayati. Pencemaran oleh bahan-bahan industri yang mengandung bahan berbahaya, misalnya pestisida, logam berat seperti merkuri (Hg), Kadmium (Cd) dan timbal (Pb) cenderung meningkatkan kasus keracunan dan gangguan kesehatan masyarakat (Pagoray, 2001). Kehadiran dua perusahaan raksasa internasional, PT Badak NGL dan PT Pupuk Kaltim di Bontang menjadikan bermuculan industri-industri hilir yang memproduksi bahan baku seperti melamine, methanol, hexamine, ammonium karbonat, pabrik lem, pabrik soda ash yang semuanya berjumlah 28 perusahaan. Ditambah lagi dengan 110 unit aneka industri mulai dari logam sampai kimia yang sebagian besar melakukan kegiatan operasional di sepanjang perairan Bontang (Anonim, 2001). Aktivitas semua industri dan aktivitas rumah tangga (domestik) tersebut akan mempengaruhi lingkungan sekitarnya khususnya eksosistem di Bontang Selatan, yang merupakan daerah pasang surut, memiliki berbagai biota, termasuk biota yang hidup di hutan mangrove. Logam-logam berat seperti raksa (Hg), timbal (Pb), tembaga (Cu) dan kadmium (Cd) termasuk logam yang membahayakan karena sifatnya yang sulit didegradasi dan bila logam tersebut masuk ke dalam rantai makanan menyebabkan terakumulasinya logam-logam tersebut pada makhluk hidup. Konsentrasinya mengalami peningkatan (biomagnifikasi) dalam tingkat trofik yang lebih tinggi (Ariono, 1996). Biomagnifikasi berhubungan langsung dengan manusia yang menempati posisi top level dalam rantai makanan. Kadmium (Cd) dalam bentuk senyawa organik dapat memberi efek membahayakan kesehatan manusia pada konsentrasi yang sangat rendah yaitu 0,1–50 ppb, timbal (Pb) 0,02–300 ppb, raksa (Hg) 0,2–8000 ppb, sedangkan tembaga (Cu) memiliki konsentrasi toksik 20– 100.000 ppb. Dari informasi beberapa pihak yang terkait dengan pengelolaan lingkungan Bontang, diketahui ada beberapa logam berat yang terukur sebagian kecil dan relatif cukup besar dibandingkan dengan baku mutu air laut yang ditetapkan Gubernur Tingkat I Kalimantan Timur melalui SK no: 339 tahun 1988. Logam-logam tersebut di antaranya kadmium (Cd), tembaga (Cu), timbal (Pb), nikel (Ni), raksa (Hg) dan seng (Zn) (Anonim, 2004). Jenis tumbuhan yang mudah digunakan sebagai indikator biologis untuk pencemaran logam berat ialah mangrove jenis Bakau (Rhizophora apiculata) yang mendominasi ekosistem mangrove di daerah pesisir Bontang. Dasar pertimbangan penggunaan R. apiculata sebagai indikator biologis adalah karena jenis tersebut 187 Krisrtanti dkk. (2007). Kandungan Beberapa Logam Berat hidup menetap (sessile) dan mempunyai sifat akumulatif bahan-bahan pencemar seperti pestisida, hidrokarbon dan logam berat ke dalam jaringan tubuh. Mengingat perairan Bontang merupakan badan air yang akan menampung limbah buangan dari kegiatan domestik dan industri di sekitarnya, maka perlu untuk mengadakan penelitian terhadap kandungan logam berat dalam R. apiculata, sedimen dan air di perairan Bontang Selatan. Khusus logam berat yang dianalisis, yaitu unsur Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni. Penentuan kelima jenis logam tersebut didasarkan karena logamlogam tersebut selalu terukur dari pemantauan lingkungan Perairan Bontang di lima tahun terakhir (Anonim, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan logam berat Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni dalam Bakau (R. apiculata), sedimen dan air di perairan Bontang Selatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagian potensial dari Bakau yang mempunyai kemampuan akumulasi logam tertinggi serta dapat dijadikan sebagai bahan bagi perencanaan manajemen sumberdaya perairan Bontang Selatan (penentuan lokasi konservasi dan metode konservasi), baik bagi PT Badak NGL maupun institusi yang terkait dengan keberadaan perairan Bontang Selatan. METODE PENELITIAN Lokasi pengambilan sampel yaitu pada hutan mangrove di perairan Bontang Selatan, yang meliputi tiga lokasi perairan yang berbeda, yaitu di daerah yang dipengaruhi oleh buangan air pendingin (muara kanal), daerah yang dipengaruhi oleh buangan domestik (barat berbas) dan daerah pengambilan air pendingin (cooling water intake/CWI) PT Badak NGL. Sampel dianalisis di laboratorium Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Laboratorium Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor dengan waktu penelitian dari tanggal 3 Mei sampai 30 Juni 2005. Objek yang diteliti adalah kandungan logam berat Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni yang terakumulasi dalam Bakau (R. apiculata), di air dan sedimen. Bahan dan alat yang digunakan adalah air, sedimen, akar, kulit batang dan daun Bakau dari lokasi penelitian yang diamati, bahan kimia yang meliputi asam sulfat (H2SO4), asam klorida (HCl), aquades, asam nitrat (HNO3). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah DO-meter, pH-meter, termometer, salinometer, secchidisc, botol plastik, pipet ukur, pipet tetes, gelas ukur, desikator, spektrofotometer, gelas piala, timbangan analitik, botol erlenmeyer, labu kjeldahl, oven, oven furnace, api bunsen, AAS (atomic absorption spectrophotometry), kapak, kantung plastik dan kertas label. Contoh bagian pohon (akar, kulit batang dan daun) diambil di setiap lokasi penelitian pada petak berukuran 10x10 m, di mana untuk tingkat anakan dicuplik dari sub petak berukuran 2x2 m dan ukuran 10x10 m untuk tingkat pohon. Bakau dari petak yang dibuat letaknya berbatasan langsung dengan perairan. Sebagai data pendukung diambil pula contoh air dan sedimen. Sampel yang diambil kemudian didestruksi dan dianalisis kandungan logam beratnya. Untuk melengkapi data dilakukan pula analisis kualitas air yang meliputi JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 188 suhu, salinitas, kecerahan, jumlah padatan tersuspensi (total suspended solid/TSS), derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biokimiawi (biochemical oxygen demand/BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand/COD), klorin (Cl2), minyak dan lemak yang diukur berdasarkan prosedur dalam APHA, 1985 (Standard Methods of the Examination of Water and Wastewater). Data kandungan raksa (Hg), timbal (Pb), tembaga (Cu), kadmium (Cd) dan nikel (Ni) dalam sampel dianalisis secara statistik menggunakan uji chi kuadrat (Sudjana, 1990). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Kualitas Perairan Bontang Selatan 1. Parameter Fisika Parameter fisika air yang diukur adalah suhu, salinitas, kecerahan dan total suspended solid (TSS). Hasil pengukuran suhu air pada 3 lokasi saat air laut pasang dan surut bervariasi antara 30,6–31,6 oC, tergolong alami, kecuali di muara kanal bervariasi antara 39,8–40,4o C dan untuk semua lokasi, ada kecenderungan bahwa suhu air pada saat surut, lebih rendah dan pada saat pasang, lebih tinggi. Suhu air yang cenderung naik di muara kanal disebabkan karena pengaruh buangan air pendingin. Pada saat pertemuan buangan air pendingin yang bersuhu tinggi (45 C) dengan air dari laut akan menciptakan pola arus berlawanan sehingga air panas akan tersebar ke luar dan menciptakan suhu yang tinggi pada daerah sekitarnya. Hasil ini sesuai dengan penemuan Anonim (1999), bahwa secara umum nilai suhu buangan air pendingin di sekitar muara kanal ini adalah 40,0–44,0 C. Massa buangan air pendingin yang terjauh akan menunjukkan penurunan nilai suhu berkisar antara 35,5–38,9 C dan akan mencapai suhu 30,9–33,3 C bila telah memasuki badan air utama atau laut. Pengukuran salinitas di barat berbas, CWI dan muara kanal menunjukkan nilai yang berkisar antara 30,5–33,2 /oo. Nilai ini sesuai dengan nilai salinitas air laut normal, yaitu 30–35 /oo. Salinitas diukur berdasarkan jumlah garam-garam klorida terlarut dalam air dan dinyatakan sebagai perbandingan jumlah garam terlarut terhadap volume air dalam satuan permil (/oo). Besar salinitas dipengaruhi oleh curah hujan, jangkauan pasang surut dan volume air tawar yang masuk ke dalam lingkungan estuaria (Rini, 1999). Nilai parameter fisika lainnya seperti kecerahan, menunjukkan kualitas yang baik, karena tidak melampaui baku mutu lingkungan. Namun kondisi ini hanya berlaku pada saat pasang. Pada saat surut nilai kecerahan cenderung rendah dan melampaui baku mutu lingkungan. Nilai kecerahan agak berfluktuasi saat air pasang surut di berbas. Hal ini dikarenakan pengaruh aliran air dari daratan lebih nyata dibandingkan lokasi lain, sedangkan nilai TSS di muara kanal, berbas dan CWI secara umum menunjukkan kualitas air yang baik, karena tidak melampaui baku mutu lingkungan. Nilai TSS pada saat air pasang cenderung naik kecuali di muara kanal, hal ini dikaitkan dengan kondisi vegetasi mangrove yang sudah mati 189 Krisrtanti dkk. (2007). Kandungan Beberapa Logam Berat di muara kanal, sehingga memungkinkan air hujan pada saat surut membawa erosi dari tepian yang berlumpur. 2. Parameter Kimia Parameter kimia air yang diukur meliputi pH, DO, BOD5, COD, klorin, minyak dan lemak. Konsentrasi ion hidrogen (pH) air di semua lokasi sangat baik bagi kehidupan biota, demikian halnya dengan kandungan oksigen terlarut dalam air (DO). Menurut Effendi (2003), nilai DO di perairan dipengaruhi oleh suhu dan salinitas. Peningkatan suhu sebesar 1 C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 %. Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob). Kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar. Nilai BOD5 dan COD yang terukur menggambarkan kualitas air yang baik. Meskipun berfluktuasi seiring pasang surut air laut, tetapi relatif masih rendah dan cukup memenuhi baku mutu air laut untuk perikanan. Hasil pengukuran paramater fisika dan kimia selengkapnya ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di Perairan Bontang Selatan Parameter Satuan BB PS CW SR PS MK SR PS BL SR Fisika Suhu air 31,1 31,6 31,6 30,6 40,4 39,8 Alami C Salinitas 31,7 30,5 32,8 33,2 32,9 32,6 Alami /oo Kecerahan m 6,00 2,00 3,00 1,59 3,28 2,63 >3 TSS mg/lt 28,75 25,00 21,25 18,75 17,5 22,50 <80 Kimia PH 7,70 7,58 7,70 7,74 7,68 7,76 6–9 DO mg/lt 5,4 5,4 5,5 5,4 5,7 5,3 4–6 BOD5 mg/lt 3,28 2,80 4,72 2,80 4,48 2,80 <45 COD mg/lt 67,38 38,50 57,75 60,96 67,35 48,13 <80 Klorin (Cl2) mg/lt ttd ttd ttd ttd ttd ttd Minyak dan lemak mg/lt ttd ttd ttd ttd ttd ttd Keterangan: PS = air pasang, SR = air surut, ttd = tidak terdeteksi, BL = baku mutu air untuk biota laut (SK Gubernur Kaltim no. 339 tahun 1988), Stasiun: BB = Berbas Barat (N 0006’34,9” E 1730’17,9”), CW = Cooling Water Intake (N 0005’25,6” E 11728’39,8”), MK = Muara Kanal (N 0004’55,1” E 1728’33,8”) Kandungan Logam Berat dalam Air dan Sedimen Analisis kandungan logam Hg, Pb, Cd, Cu dan Ni dalam air dan sedimen di Muara Kanal, Berbas Barat dan CWI menggunakan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry) di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan Institut Pertanian Bogor memberikan hasil yang ditunjukkan dalam Tabel 2. JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 190 Tabel 2. Kandungan Logam Berat dalam Air dan Sedimen di Berbas Barat, CWI dan Muara Kanal (mg/kg) Logam berat Hg Pb Cu Cd Ni Air 0 0 0 0 0 Berbas Sedimen 0 0 9,7 0 15,4 Air 0 0 0 0 0 CWI Sedimen 0 0 15,3 0 7,1 Air 0 0 0 0 0 Muara Kanal Sedimen 0 0 197,4 0 74,2 Dari Tabel 2 di atas diketahui jenis logam berat yang terukur dalam sedimen di Berbas, CWI dan Muara Kanal hanya ada dua macam, yaitu tembaga dan nikel, sedangkan dalam air laut, logam Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni tidak terukur. Hal ini disebabkan karena sifat dari perairan yang dinamis dan sangat tergantung pada lingkungan dan iklim. Penelitian dilaksanakan pada musim hujan, sehingga kandungan logam yang tidak terukur diduga disebabkan karena terjadinya proses pelarutan. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono (1995), yang menyatakan bahwa pada musim hujan, kandungan logam akan lebih kecil karena proses pelarutan, sedangkan pada musim kemarau kandungan logam akan lebih tinggi karena logam menjadi terkonsentrasi. Selain itu logam berat yang berada dalam badan perairan akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas, sehingga konsentrasinya dalam air cenderung tidak stabil. Sesuai dengan pendapat Rini (1999) yang menyatakan, bahwa logam berat akan berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen. Walaupun kandungan logam berat di dalam air berubah-ubah dari waktu ke waktu, tetapi kandungannya di dalam sedimen relatif tetap. Bila pencemaran terus berlanjut, maka terdapat kecenderungan meningkatnya kandungan logam tersebut dalam sedimen (Pikir, 1991). Logam berat yang terdapat dalam kelimpahan yang cukup besar adalah Cu yang berasal dari sedimen di Muara Kanal dan terendah di Berbas, sedangkan kandungan logam nikel yang tertinggi berasal dari sedimen di Muara Kanal dan terendah di CWI. Kandungan tembaga dan nikel dalam sedimen di Muara Kanal lebih tinggi dibandingkan kandungan dalam sedimen di Berbas dan CWI. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah pemasukan limbah yang berbeda. Tingginya kandungan tembaga dan nikel di Muara Kanal diduga karena lokasi pengambilan sampel berdekatan dengan wilayah industri dan merupakan muara dari sungaisungai yang menampung buangan domestik akibat aktivitas penduduk sekitarnya (sampah yang dibuang kemungkinan mengandung logam berat), sehingga dimungkinkan terjadi kontaminasi tembaga dan nikel. Kandungan logam dalam tanah sangat erat hubungannya dengan kandungan air dan udara. Secara alamiah, Cu masuk ke dalam badan perairan sebagai akibat dari peristiwa erosi atau pengikisan batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu di atmosfir yang dibawa turun oleh air hujan. Selain itu Cu masuk ke dalam suatu tatanan lingkungan sebagai akibat dari aktivitas manusia melalui buangan industri galangan kapal, industri pengolahan kayu, buangan rumah tangga dan lain-lain 191 Krisrtanti dkk. (2007). Kandungan Beberapa Logam Berat (Palar, 1994). Kandungan Cu yang terukur di sedimen diduga mengindikasikan buangan rumah tangga jauh lebih besar berperan dalam meningkatkan kandungan Cu dalam sedimen. Karena logam-logam lain seperti Hg, Pb dan Cd hanya dihasilkan oleh industri-industri yang menggunakan logam-logam tersebut dalam proses produksinya. Sifat dari logam Cu sendiri yang memiliki daya larut yang rendah dan mudah mengendap, juga memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan Cu di dalam sedimen. Logam nikel secara alami merupakan logam yang diperoleh dari proses pelapukan dengan jumlah dalam kerak bumi sekitar 75 mg/kg, sedangkan melalui jalur non alamiah, logam Ni dihasilkan dari buangan industri metalurgi, pelapisan logam, industri kimia, pembakaran minyak dan pembakaran limbah (Effendi, 2003). Kandungan Ni yang terukur di sedimen diduga menunjukkan pengaruh jalur masuknya nikel secara non alamiah berperan lebih besar. Selain itu kandungan bahan organik dan tekstur tanah memungkinkan terjadinya pemindahan nikel melalui proses adsoprsi. Logam Ni mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap hydrated manganese dioxide, yaitu partikel yang dapat mengadsorpsi logam-logam berat yang terkandung dalam perairan (Supriharyono, 2002). Karakteristik tanah di Muara Kanal yang liat dengan luas permukaan yang besar memungkinkan adsorpsi logam berat dalam jumlah besar. Sesuai dengan pendapat Rini (1999), materi organik dalam sedimen dan kapasitas penyerapan berhubungan erat dengan ukuran partikel dan luas daerah permukaan penyerapan logam, sehingga konsentrasi logam biasanya bervariasi tergantung distribusi ukuran partikelnya. Adanya materi organik hasil penguraian serasah vegetasi mangrove oleh mikroba diduga menambah kandungan logam berat yang berikatan dalam sedimen di Berbas, CWI dan Muara Kanal karena logam berat berikatan dengan materi organik tersebut dan mengendap ke dasar perairan membentuk lapisan lumpur halus di atas permukaan sedimen. Kandungan Logam Berat dalam Bakau (Rhizophora apiculata) Analisis kandungan logam Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni dalam Bakau (R. apiculata) dengan menggunakan AAS dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan Institut Pertanian Bogor. Rentangan kandungan logam berat dalam Bakau secara keseluruhan tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Rentangan Kandungan Logam Berat (dalam mg/kg) di dalam Bakau (R. apiculata) Sampel Pohon Akar Batang Daun Anakan Akar Batang Daun Hg Pb Cu Cd Ni 0–0,300 0–0,097 0–0,300 1,6–8,4 0 0–7,7 0–79,4 4,8–15,3 7,9–17,9 0 0 0 0–14,1 0–5,5 2,8–5,5 0–0,100 0–0.092 0–0,103 0–7,8 0 0 6,5–36,2 2,2–13,3 15,2–20,6 0 0 0 2,4–15,6 0 0–4,8 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 192 Dari Tabel 3 di atas diketahui, bahwa dua jenis logam terdapat dalam kelimpahan yang cukup besar, yaitu berturut-turut tembaga (Cu) dan nikel (Ni). Selain itu, kedua jenis logam tersebut ditemukan dalam Bakau dengan rentangan yang cukup besar, yang mana hal ini menunjukkan keadaan yang heterogen. 1. Akar Hasil yang diperoleh dari analisis logam Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni dalam akar R. apiculata pada pohon dan anakan dapat dilihat pada Gambar 1. Kandungan logam berat pada setiap kelas umur, ternyata rata-rata kandungan logam yang paling banyak adalah logam Cu pada akar pohon yaitu sebesar 33,1333 mg/kg dan akar anakan 17,4667 mg/kg, sedangkan kandungan logam Hg paling sedikit terukur, yaitu 0,1403 mg/kg untuk akar pohon dan 0,0667 mg/kg pada akar anakan. Hasil analisis data menggunakan uji 2 dengan 1 % terhadap kandungan logam berat dalam akar pohon dan anakan R. apiculata di Berbas, CWI dan Muara Kanal menunjukkan pengaruh yang signifikan hanya pada kandungan logam Cu dan Ni. Hal ini disebabkan karena kemampuan akar pohon dan anakan R. apiculata dalam mengakumulasi logam berat tergantung pada kandungan logam berat dalam sedimennya. Tingginya kandungan Cu dan Ni pada tumbuhan dikarenakan tingginya kandungan Cu dan Ni pada sedimen, sedangkan rendahnya kandungan Hg, Pb dan Cd dikarenakan rendahnya kandungan Hg, Pb dan Cd dalam sedimen, sehingga jumlah kandungan logam pada tumbuhan bisa dikatakan erat sekali hubungannya dengan kandungan logam di lingkungan. Sesuai dengan hasil penelitian Saepulloh dkk. (1995), bahwa kemampuan tumbuh-tumbuhan mengambil sejumlah logam berat sangat ditentukan oleh ketersediaannya dalam lingkungan. 33,1333 17,4667 30 0 3,8667 7,1 0,1403 10 5,8667 20 0,0667 3,2333 Kandungan logam (mg/kg) 40 0 0 anakan pohon Tingkat pertumbuhan Hg Pb Cu Cd Ni Gambar 1. Grafik Rata-rata Kandungan Logam Berat dalam Akar Rhizophora apiculata Berdasarkan Tingkat Pertumbuhannya 193 Krisrtanti dkk. (2007). Kandungan Beberapa Logam Berat Logam yang masuk ke dalam tubuh tumbuhan tergantung daya serap (absorbsi) akar. Akar tumbuhan di dalam tanah menyerap ion dari media yang tidak hanya mengandung selusin atau lebih ion hara yang esensial tetapi juga sejumlah ion non esensial dan senyawa organik. Logam ini dapat kontak dengan permukaan akar melalui 3 cara, yaitu: 1) secara difusi dalam larutan tanah, 2) secara pasif terbawa oleh aliran air tanah dan 3) karena akar tumbuh ke arah posisi logam tersebut dalam matrik tanah. Setelah kontak dengan akar, logam-logam yang mudah larut dalam lemak akan melakukan penetrasi pada membran sel dan terakumulasi dalam sel dan jaringan lain. Pola pergerakan logam tersebut dalam tumbuhan sangat tergantung dari sifat logam tersebut untuk ditranslokasikan ke bagian tumbuhan lain pada lintasan radial baik melalui dinding sel atau bagian apoplas dan simplas. Hal ini sesuai dengan pendapat Lakitan (2000) yang menyatakan, bahwa kemudahan suatu ion untuk ditranslokasikan tergantung pada solubilitas (kelarutan) dari bentuk kimia unsur tersebut di dalam jaringan tumbuhan dan kemudahannya untuk dapat masuk ke dalam pembuluh floem. Lebih lanjut Lakitan (2000) menyatakan, bahwa serapan ion dikendalikan oleh membran sel, mudah tidaknya ion tersebut menembus membran sel sangat ditentukan oleh kelarutan ion tersebut dalam lemak. Sistem perakaran tunjang yang dimiliki oleh R. apiculata memberikan keuntungan bagi akar dalam menyerap air dan logam dengan kapasitas penyerapan yang lebih besar. Sel-sel akar tumbuhan umumnya mengandung ion dengan konsentrasi yang lebih tinggi daripada medium di sekitarnya. Pada kondisi tertentu pengambilan ion oleh tumbuhan menyebabkan pengurasan di dalam tanah, sekalipun demikian akar tumbuhan hidupnya relatif pendek, sehingga untuk unsur yang mobilitasnya tinggi, hal ini akan menghasilkan mosaik zona tanah yang terkuras, yang diisi kembali dan yang tak dieksploitasi (Fitter, 1981). Kandungan logam yang tinggi dalam akar juga mencerminkan upaya tumbuhan untuk mengatasi kelebihan ion yang dapat bersifat toksik melalui cara ekskresi ion tersebut secara aktif, di mana ion-ion tersebut dialirkan melalui floem ke akar dan dikeluarkan kembali ke dalam tanah. Hal ini sesuai dengan pendapat Yeo dkk. (1977) yang dikutip oleh Fitter (1981), bahwa ion toksik secara aktif ditarik dari xilem, kembali ke xilem parenkim dan kemudian diusir dari akar-akar kembali ke media. Namun demikian kerugian utama dari ekskresi tumbuhan, adalah karena tumbuhan tetap di tempat (stasioner), substansi ekskresi akan kembali ke daerah perakaran dan mungkin dapat tertimbun membentuk toksin. Hal ini tentunya tidak terjadi pada tumbuhan yang tumbuh di air. Tembaga yang ditemukan dalam jumlah besar di tumbuhan berperan dalam reaksi oksidasi dan reduksi. Contoh yang penting adalah pada enzim sitokhrom oksidase (enzim respirasi pada mitokondria) dan plastosianin (protein pada khloroplas). Logam Cu yang masuk ke dalam tumbuhan akan terkonsentrasi tinggi di dalam dinding sel akar. Dari hasil penelitian MacFarlane dan Burchett (2002), bahwa konsentrasi Cu tertinggi adalah dalam dinding sel akar dan menurun dalam jaringan vaskular. Pada jalur casparian dan endodermis akan terjadi selektivitas untuk membatasi Cu dengan mengurangi konsentrasinya ketika memasuki stele. Menurut Fitter (1981), jika konsentrasi suatu ion lebih tinggi ditemukan dalam akar daripada di dalam pucuk, hal itu merupakan bukti kuat untuk lokalisasi JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 194 ekstraseluler yang dimungkinkan akibat pengikatan fraksi pektin dinding sel. Sesuai dengan penemuan Verkleij dan Schat (1990) yang dikutip oleh MacFarlane dan Burchett (2000), bahwa Cu akan terakumulasi tinggi dalam dinding sel akar, mendukung transportasi apoplastik dan kemungkinan berikatan dengan fraksi pektin, fraksi karbohidrat dan fraksi protein dinding sel. Tingkat pertumbuhan Bakau menunjukkan pengaruh yang signifikan hanya pada logam Cu dan Ni. Berdasarkan hasil analisis 2 kandungan logam yang terakumulasi dalam tumbuhan menunjukkan peningkatan dengan meningkatnya tingkat pertumbuhan. Tingkat pertumbuhan berpengaruh terhadap luas daerah perakaran, sehingga kandungan logam terakumulasi lebih banyak dalam pohon dibandingkan dengan anakan. Pengaruh yang signifkan juga ditunjukkan oleh lokasi pengambilan Bakau, di mana Muara Kanal yang memiliki karakteristik tanah yang liat dengan luas permukaan yang besar memungkinkan adsorpsi logam berat dalam jumlah yang besar. Sesuai dengan pendapat Hardjowigeno (1987) yang menyatakan, bahwa tanah-tanah bertekstur liat mempunyai luas permukaan yang besar, sehingga kemampuan menahan air dan menyediakan unsur hara (esensial dan non esensial) tinggi. Lebih lanjut Hardjowigeno (1987) menyatakan, bahwa tanah bertekstur halus lebih aktif dalam reaksi kimia daripada tanah bertekstur kasar. 8,8333 9,3 2. Batang Rata-rata kandungan logam berat dalam batang Bakau berdasarkan kelas umurnya paling banyak adalah logam Cu, yakni pada pohon sebesar 8,8333 mg/kg dan anakan sebesar 9,3 mg/kg. Kandungan logam Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni secara keseluruhan disajikan pada Gambar 2. 8 2 0 0 0 0,0323 4 1,8333 6 0,0307 Kandungan logam (mg/kg) 10 0 0 0 anakan pohon Tingkat pertumbuhan Hg Pb Cu Cd Ni Gambar 2. Grafik Rata-rata Kandungan Logam Berat dalam Batang Rhizophora apiculata Berdasarkan Tingkat Pertumbuhannya 195 Krisrtanti dkk. (2007). Kandungan Beberapa Logam Berat Hasil analisis data menggunakan uji 2 dengan 1 % terhadap kandungan logam dalam batang pohon dan anakan R. apiculata di Berbas, CWI dan Muara Kanal menunjukkan pengaruh yang signifikan hanya pada logam Cu dan Ni. Hal ini disebabkan karena ketersediaan logam tersebut dalam akar relatif besar. Lakitan (2000) menyatakan, bahwa pembuluh xilem pada akar, batang dan daun merupakan suatu sistem kontinyu, berhubungan satu sama lain. Keberadaan logam Cu dan Ni dalam jumlah yang relatif besar di akar akan menyebabkan terjadinya proses translokasi ke dalam jaringan lain dalam tumbuhan yang besar. Batang sebagai jalur transportasi akan mengangkut air dan logam yang larut di dalamnya untuk ditranslokasikan ke bagian atas tumbuhan. Proses metabolisme tumbuhan dari akar ke daun dan sebaliknya akan menyebabkan logam terakumulasi di batang. Pengaruh yang signifikan ditunjukkan oleh kandungan logam Cu dan Ni berdasarkan tingkat pertumbuhan R. apiculata. Hal ini disebabkan karena peningkatan dimensi tumbuhan. Tumbuhan yang memiliki diameter batang yang lebih besar akan mengakumulasi logam jauh lebih banyak dibandingkan dengan kecil. Sesuai dengan penelitian Saepulloh dkk. (1995), bahwa ada kecenderungan peningkatan kandungan logam Pb, Cd dan Ni dengan meningkatnya kelas diameter pohon. Peningkatan terjadi pada kelas diameter <10 cm sampai 21–30 cm. Adanya penurunan kandungan logam Cu dengan meningkatnya kelas umur disebabkan karena setiap logam memiliki sifat yang berbeda-beda yang mengakibatkan perbedaan perilaku di dalam tumbuhan. Selain itu juga dipengaruhi oleh respon tumbuhan terhadap logam tersebut dan kelimpahannya dalam lingkungan. Lokasi pengambilan Bakau juga menunjukkan pengaruh yang signifkan pada logam Cu dan Ni. Ketersediaan logam dalam akar yang tinggi dari R. apiculata menyebabkan kandungan logam yang tinggi dalam batang. Logam Cu yang ditemukan dalam batang menunjukkan nilai yang tinggi di CWI. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan R. apiculata di CWI yang tumbuh lebih rapat dan rimbun, sehingga proses respirasi berlangsung lebih tinggi karena logam Cu merupakan unsur esensial yang dibutuhkan tumbuhan sebagai elemen mikro yang berperan dalam proses respirasi. 3. Daun Hasil yang diperoleh dari analisis logam berat dalam organ daun Bakau (R. apiculata) pada pohon dan anakan dapat dilihat pada Gambar 3. Logam yang paling banyak diakumulasi adalah logam Cu, yaitu pada pohon sebesar 12,7667 mg/kg dan anakan sebesar 17,1 mg/kg, sedangkan logam Hg terukur paling sedikit selain logam Cd yang tidak terukur dalam R. apiculata, yaitu sebesar 0,1333 mg/kg untuk pohon dan 0,0343 mg/kg pada anakan. Hasil analisis data menggunakan uji 2 dengan 1 % terhadap kandungan logam Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni pada daun pohon dan anakan R. apiculata di Berbas, CWI dan Muara Kanal menunjukkan pengaruh yang signifikan pada logam Cu dan Ni. Hal ini disebabkan karena ketersediaan logam tersebut dalam tumbuhan relatif besar. Logam yang masuk ke dalam tumbuhan, selain lewat akar juga melalui stomata daun. Penyerapan logam tergantung dari energi metabolik yang diperoleh dari proses transpirasi tumbuhan. 15 3 1,6 0 0 4 6 0,1333 9 2,5667 12 0,0343 Kandungan logam (mg/kg) 18 196 12,7667 17,1 JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 0 0 anakan pohon Tingkat pertumbuhan Hg Pb Cu Cd Ni Gambar 3. Grafik Rata-rata Kandungan Logam Berat dalam Daun Rhizophora apiculata Berdasarkan Tingkat Pertumbuhannya Logam-logam yang telah masuk ke dalam tumbuhan melalui akar akan didistribusikan ke daun. Di dalam daun, logam tersebut akan disimpan pada daundaun tua yang lama kelamaan akan mati dan jatuh, sehingga konsentrasinya akan berkurang dalam tumbuhan. Kemungkinan logam yang terserap dari udara seperti logam Hg, Pb dan Cd merupakan logam yang mudah menguap dan sumber pecemarannya sendiri berasal dari proses-proses industri yang menggunakan suhu tinggi dan buangan gas kendaraan bermotor. Daun merupakan organ utama dalam proses fotosintesis, sehingga keberadaan logam-logam ini akan mengganggu fungsi kerja enzim normal. Oleh karena itu penanggulangan dilakukan di daun dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi logam berat dalam jaringan tubuhnya, sehingga mengurangi toksisitas logam tersebut. Pengenceran dengan penyimpanan air di dalam daun biasanya diikuti dengan penebalan daun (sukulensi). Menurut Thomas dan Ong Jin Eong (1980) yang dikutip oleh Saepulloh dkk. (1995), tingginya logam berat pada daun R. apiculata mungkin juga dikarenakan jenis ini mempunyai saluran garam yang berfungsi secara aktif mengeluarkan garam atau ion-ion logam melalui daun. Logam Cu terbanyak ditemukan di daun dibandingkan dengan logam-logam lain. Hal ini disebabkan karena keberadaan logam Cu yang tinggi di akar dibandingkan Hg, Pb, Cd dan Ni mengakibatkan translokasi dalam jumlah yang relatif besar ke daun. Namun bila kandungan Cu telah melebihi batas toleransi tumbuhan, maka Cu akan ditranslokasikan ke daundaun tua untuk selanjutnya diekskresi melalui absisi daun. Karena unsur Cu juga termasuk dalam unsur esensial dalam kelompok mikro, maka Cu akan berikatan dengan protein dalam jaringan dan mempengaruhi proses-proses fungsi enzim secara normal. Karena keberadaannya dapat menganggu pertumbuhan tumbuhan, 197 Krisrtanti dkk. (2007). Kandungan Beberapa Logam Berat maka tumbuhan harus membatasi penyerapan unsur ini supaya tidak mencapai konsentrasi toksik di dalam jaringan tubuh tumbuhan. Hanya pada beberapa kasus, enzim dinding sel terutama fosfatase asam dapat toleran toksis ion-ion yang jauh lebih tinggi dalam ketahanannya dibanding pada tumbuhan normal (Wainwright dan Woolhouse, 1975 yang dikutip oleh Fitter, 1981). Menurut Lakitan (2000), kekurangan unsur Cu akan menyebabkan daun muda menjadi layu tetapi tidak mengalami klorosis. Pengaruh yang signifikan ditunjukkan oleh logam Cu dan Ni antara pohon dan anakan. Hasil analisis 2 terhadap kandungan logam yang terakumulasi dalam R. apiculata menunjukkan ada kecenderungan peningkatan dengan meningkatnya kelas umur. Dengan bertambahnya kelas umur R. apiculat, maka akan terjadi penambahan luas tajuk pohonnya, sehingga penyerapan logam melalui daun akan bertambah. Hal ini sesuai dengan pendapat Greendland dan Hayes (1985) yang dikutip oleh Saepulloh dkk. (1995), bahwa konsentrasi logam berat dalam tumbuhan tidak hanya dipengaruhi oleh pengambilan dan transportasi dari akar tetapi dipengaruhi juga oleh laju dan tahapan pertumbuhan. Di samping itu sifat logam yang akumulatif menyebabkan penyerapan hara pada waktu yang lama akan menyebabkan konsentrasi hara dalam sel jauh lebih tinggi. Selain faktor umur, lokasi pengambilan R. apiculata berpengaruh signifikan pada logam Cu dan Ni. Hasil analisis menunjukkan kandungan logam yang tinggi di Muara Kanal. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor ketersediaan logam tersebut dalam sedimen dan akar R. apiculata di Muara Kanal. Sesuai dengan pendapat Rini (1999), bahwa kemampuan tumbuhan dalam mengakumulasi logam berat tergantung pada kandungan logam tersebut dalam sedimen dan daya absorbsi akar tumbuhan. Kandungan Cu yang terukur tinggi dalam sedimen diduga menyebabkan kandungan Cu dalam tumbuhan relatif besar. Karakteristik logam Cu merupakan logam yang mudah larut dalam lemak, sehingga proses penetrasi ke dalam membran sel dari tumbuhan akan sangat mudah. Akumulasi yang tinggi pada akar akan menyebabkan logam tersebut akan ditranslokasikan ke bagian lain dari tumbuhan pada lintasan radial, baik melalui dinding sel atau bagian apoplas maupun simplas. Logam-logam Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni pada tumbuhan cenderung bersifat racun. Konsentrasi logam tersebut sebesar 1 mg/kg mempunyai efek yang sangat besar terhadap proses-proses pada tumbuhan, termasuk proses fotosintesis dan respirasi (Saepulloh dkk., 1995). Tetapi menurut Greenland dan Hayes (1981) yang dikutip oleh Saepulloh dkk. (1995), konsentrasi logam Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni pada tumbuhan yang masih bisa ditolerir adalah sekitar 0,1–10 mg/kg bahan kering. Jika dibandingkan dengan konsentrasi logam tersebut pada R. apiculata dalam penelitian ini hanya logam Ni yang melebihi batas normal, yaitu sebesar 2,4–15,6 mg/kg. Merujuk dari ketetapan tersebut, maka kemungkinan tumbuhan R. apiculata yang ada di perairan Bontang Selatan bisa terganggu pertumbuhannya. Nikel merupakan logam yang termasuk kelas antara, yaitu merupakan golongan ion logam, di mana daya racun yang ada lebih, disebabkan oleh kemampuan dari ionion logam ini untuk menggantikan ion-ion logam yang sudah ada secara alamiah pada molekulnya, dalam hal ini ion nikel (Ni2+) dapat menggeser gugus Zn2+ yang merupakan faktor aktif pada enzim karbonat anhidrase. Zn itu sendiri berfungsi JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 198 dalam pembentukan klorofil dan pencegahan kerusakan molekul khlorofil. Akibat penggeseran ini mutlak tumbuhan terhambat dalam memproduksi khlorofil. Pengaruh selanjutnya dari kelebihan logam Ni dalam tumbuhan akan ditunjukkan oleh daun-daun yang memperlihatkan gelaja klorosis dan bintik-bintik nekrotik (Saepulloh dkk., 1995). Kandungan logam lain seperti Hg, Pb, Cu dan Cd walaupun dalam jumlah yang masih dalam batas normal dapat berpotensi merusak bila konsentrasi logam tersebut bertambah terus tanpa ada penanggulangan lebih lanjut terhadap sumbersumber pencemar yang ada di perairan Bontang Selatan. Menurut Darmono (1995), toksisitas logam Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni dalam pertumbuhan tumbuhan tergantung pada kondisi lingkungan luar, lama tosisitas, derajat toksisitas yang dipengaruhi oleh ketersediaan logam serta interaksi dengan logam lain dalam tanah, status nutrisi, umur dan adanya infeksi mikoriza. Dari hasil penelitian ternyata diperoleh bahwa urutan banyaknya logam berat yang diserap oleh tumbuhan adalah Cu > Ni > Pb > Hg > Cd. Ini didasarkan pada besarnya konsentrasi di dalam tumbuhan. Semakin besar konsentrasinya atau akumulasinya dalam tumbuhan, maka unsur tersebut semakin mudah diserap oleh tumbuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Greendland dan Hayes (1981) yang dikutip oleh Saepulloh dkk. (1995), bahwa jumlah logam berat yang diambil oleh tumbuhan dari dalam tanah terutama ditentukan oleh ketersediaannya. Tumbuhan mengambil sejumlah logam berat sangat bervariasi dan tergantung jenis spesies, tahapan pertumbuhan dan kondisi lingkungannya. Selain itu adanya persaingan sesama ion-ion logam untuk diserap tumbuhan bisa menentukan konsentrasi logam tertentu dalam tumbuhan. Dari uraian di atas terlihat bahwa tumbuhan masih dapat mengatasi toksisitas ion-ion logam berat dengan mekanisme-mekanisme penanggulangannya. Keadaan ini tidak mungkin dapat berlangsung lama jika keadaan di sekitar tempat tumbuh bertambah parah, karena tumbuhan itu sendiri mempunyai batas-batas toleransi dalam mengatasi kelebihan unsur-unsur hara. Dari uraian ini juga didapat bahwa R. apiculata mampu mengakumulasi logam berat terutama logam Cu, sehingga keberadaan hutan mangrove di Perairan Bontang Selatan perlu dipertahankan dan kalau mungkin ditambah arealnya. Logam-logam berat yang telah diakumulasi oleh tumbuhan kelak dapat mempengaruhi jumlah logam berat pada air dan tanah, mengingat bahwa logamlogam tersebut tidak dapat terurai pada saat tumbuhan mengalami dekomposisi. Logam berat yang tidak terdekomposisi, sebagian dilepaskan ke perairan, terbawa pasang surut air laut atau diserap tanah dan kembali lagi ke dalam tumbuhan dan sebagian lagi bersamaan dengan hancuran-hancuran bagian pohon termakan oleh ikan atau organisme akuatik lainnya. Oleh karena itu mengingat ikan merupakan salah satu bahan makanan yang dikonsumsi oleh penduduk, maka ikan merupakan salah satu jalur masuknya logam berat ke dalam tubuh manusia (Darmono, 1995). Selain itu logam-logam berat yang dilepaskan R. apiculata ke perairan akan menambah jumlah logam tersebut di perairan. Pada lingkungan yang telah melampaui batas baku mutu, pelepasan bahan pencemar dalam jumlah kecil akan mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan (Palar, 1994). Dari hasil penelitian ini, kondisi perairan di Bontang Selatan masih memenuhi baku mutu lingkungan, 199 Krisrtanti dkk. (2007). Kandungan Beberapa Logam Berat sehingga kondisi ini perlu dipertahankan untuk masa yang akan datang. Salah satu upaya yang dapat dilakukan selain tetap mempertahankan keberadaan hutan mangrove harus juga disertai dengan pembatasan limbah yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang terkait dengan perairan Bontang Selatan, mengingat akumulasi logam-logam ini pada tumbuhan mangrove bersifat sementara. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Jenis logam berat yang terukur dalam sedimen di lokasi penelitian hanya ada dua, yaitu tembaga (Cu) dan nikel (Ni), sedangkan dalam air laut, logam Hg, Pb, Cu, Cd dan Ni tidak terukur. Logam Cu dalam sedimen terukur 9,7–197,4 mg/kg dan Ni 7,1–74,2 mg/kg. Kemudian untuk analisis logam dalam Bakau (R. apiculata) menunjukkan kandungan Hg = 0–0,3 mg/kg), Pb = 0–8,4 mg/kg), Cu = 0–79,4 mg/kg, Cd (ttd) dan Ni = 0–15,6 mg/kg). Hasil analisis 2 terhadap kandungan logam berat antar variabel (organ tubuh, kelas umur dan lokasi) menunjukkan nilai yang signifikan hanya pada logam tembaga dan nikel. Kandungan semakin tinggi dengan meningkatnya kelas umur Bakau dengan akumulasi akar>daun>batang. Kandungan logam Cu dan Ni yang terukur dalam sedimen turut berperan dalam keberadaan logam tersebut dalam tumbuhan. Disarankan untuk mempertahankan keberadaan R. apiculata di perairan Bontang Selatan, baik melalui upaya reboisasi maupun penambahan areal, karena jenis tersebut mampu mengakumulasi logam berat di dalam organ tubuhnya. Reboisasi dan penambahan areal dilakukan terutama pada daerah yang aktivitas buangan domestik dan industrinya lebih besar seperti di Muara Kanal dan Berbas. Selain itu upaya mengurangi dan mengolah limbah dengan baik dan benar harus terus digalakkan dengan peran serta dari instansi pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1999. Studi Ekosistem Hutan Bakau di Tapak Proyek PT Badak NGL Co. Laporan Kemajuan. Proyek Kerja Sama Penelitian antara PT Badak NGL Co., Bontang dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Mulawarman, Samarinda. 185 h. Anonim. 2001. Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota Bontang. Proyek Pengelolaan Sumberdaya Laut Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Propinsi Kalimantan Timur. Dinas Perikanan dan Kelautan, Samarinda. 79 h. Anonim. 2004. Potret Lingkungan Hidup Kota Bontang. BAPPEDALDA Kota Bontang. 129 h. Ariono, D. 1996. Bioremediasi Logam Berat di Lingkungan Perairan dengan bantuan Mikrobia. Biota I (2): 23–27. Darmono. 1995. Logam Berat dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup.Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. 140 h. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius, Yogyakarta. 258 h. JURNAL KEHUTANAN UNMUL 3 (2), OKTOBER 2007 200 Fitter. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. 421 h. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. 233 h. Lakitan, B. 2000. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. 204 h. MacFarlane dan Burchett. 2000. Zinc Distribution and Excretion in the Leaves of the Grey Mangrove, Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Environmental and Experimental Botany 41: 167–175. MacFarlane dan Burchett. 2002. Toxicity, Growth and Accumulation Relationships of Copper, Lead and Zinc in the Grey Mangrove Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Marine Environmental Research 54: 65–84. Pagoray, H. 2001. Kandungan Merkuri dan Kadmium Sepanjang Kali Donan Kawasan Industri Cilacap. Frontir 33: 1–10. Palar, H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. PT Rineka Cipta, Jakarta. 152 h. Pikir, S. 1991. Studi tentang Logam Berat dalam Sedimen dan Dalam Kupang di Daerah Estuari Dekat Muara Kali Surabaya. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya. 42 h. Rini, D.S. 1999. Analisis Kandungan Logam Berat Tembaga (Cu) dan Kadmium (Cd) dalam Pohon Api-api (Avicennia marina) di Perairan Estuari Pantai Timur Surabaya. Skripsi Sarjana Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Airlangga, Surabaya. 73 h. Saepulloh, C.; Kusmana dan E.N. Dahlan. 1995. Akumulasi Logam Berat (Pb, Cd, Ni) pada Jenis Avicennia marina di Hutan Lindung Mangrove Angke-Kapuk DKI Jakarta. Jurnal Kehutanan 120: 20–25. Sudjana. 1990. Teknik Analisis Data Kualitatif. Tarsito, Bandung. 300 h. Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 246 h.