Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik

advertisement
GEOLOGI DAERAH BOBOL DAN SEKITARNYA
KECAMATAN SEKAR KABUPATEN BOJONEGORO
JAWA TIMUR
DAN
STUDI PETROGENESA BATUAN BEKU ANDESIT
DAERAH TALAGASARI
KECAMATAN SAGALAHERANG KABUPATEN SUBANG
JAWA BARAT
Oleh :
Heribertus Satrio Wibowo1), Mustafa Luthfi2), dan Mohammad Syaiful3)
Abstrak
Lokasi pemetaan berada di daerah Bobol dan sekitarnya, Kecamatan Sekar, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi
Jawa Timur, yang berada pada koordinat 7° 20’ 49,8’’ - 7° 25’ 10,5’’ LS dan 111° 37' 15,2ʺ - 111° 41' 36,1ʺ
BT. Studi Petrogenesa Batuan Beku Andesit termasuk ke dalam daerah Talagasari, Kecamatan Sagalaherang,
Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Geomorfologi daerah penelitian terdiri dari Satuan Geomorfologi
Perbukitan Lipat Patahan dan Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial. Pola aliran sungai yang berkembang
adalah Trellis dengan genetika sungai konsekuen, subsekuen dan obsekuen. Stadium erosi sungai berada
pada tahap muda dan dewasa. Jentera geomorfik secara umum adalah dewasa.
Tatanan batuan dari yang tertua hingga termuda di daerah penelitian adalah Satuan Batupasir Selang-seling
Batulempung (Formasi Kerek) di lingkungan bathial atas pada Kala Miosen Tengah-Miosen Akhir (N.12N.15) dan terjadi proses regresi. Kemudian di atasnya secara selaras di endapkan Satuan Batulempung
Selang-seling Batupasir Sisipan Batugamping dan Breksi (Formasi Kalibeng) di lingkungan neritik luar pada
Kala Miosen Akhir-Pliosen (N.16-N.19) dan terjadi proses regresi. Kemudian di atasnya secara selaras
diendapkan Satuan Batulempung (Formasi Klitik) di lingkungan neritik tengah pada Kala Pliosen (N.20N.21). Kemudian ditutupi secara tidak selaras oleh Satuan Endapan Aluvial menutupi batuan di bawahnya
dengan batas bidang erosi.
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah lipatan dan sesar. Pembentukan strukturstruktur geologi di daerah penelitian terjadi dalam satu perioda tektonik, yaitu pada Kala Plistosen dengan
arah gaya utama N 175ºE atau relatif utara-selatan.
Studi petrogenesa daerah Talagasari, berdasarkan hasil analisa petrografi dan geokimia terhadap 10 (sepuluh)
contoh sampel batuan beku andesit, menunjukkan batuan beku daerah penelitian termasuk ke dalam jenis
magma intermediet (menengah) bersifat andesitik dengan seri magma toleitik-kalk alkali, terbentuk pada
temperatur magma berkisar 900°C–700°C dan terbentuk pada busur kepulauan.
Kata Kunci: Geomorfologi, Stratigrafi, Struktur Geologi, Petrogenesa Batuan Beku Andesit Daerah Talagasari.
1. Umum
Daerah penelitian berada ± 640 sebelah timur dari
Kota Bogor. Untuk mencapai daerah penelitian
membutuhkan waktu sekitar 13 jam hingga 14 jam
dengan menggunakan roda empat atau roda dua
melalui jalur utara atau selatan Pulau Jawa.
Sedangkan lokasi daerah penelitian dapat dicapai
dengan kendaraan roda dua atau berjalan kaki.
2. Kondisi Geologi
2.1. Geomorfologi
Berdasarkan
genetika
pembentukan
bentangalamnya, serta merujuk pada struktur,
proses dan stadia (tahapan) geomorfiknya maka
geomorfologi daerah penelitian
dua satuan, yaitu:
dibagi menjadi
1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat
Patahan.
2. Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial.
2.1.1. Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat
Patahan
Secara genetik satuan ini dikontrol oleh struktur
yang berupa perlipatan dan patahan, dengan bentuk
bukit dan lembah yang memanjang berarah barat –
timur. Satuan ini menempati 98% dari luas daerah
penelitian. Berada pada ketinggian 50 – 380 mdpl.
Satuan ini ditempati oleh satuan batuan batupasir
selang – seling batulempung, satuan batulempung
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
1
selang-seling batupasir sisipan batugamping dan
breksi, dan satuan batulempung.
Proses - proses geologi yang teramati berupa
pelapukan, erosi, dan sedimentasi, pelapukan yang
teramati berupa tanah yang merupakan hasil dari
pelapukan batuan, dengan ketebalan tanah berkisar
20 cm - 4m, dan proses erosi yang berkembang
berupa erosi berlembar (sheet erosion), erosi
drainase (ravine erosion) dan erosi saluran (gully
erosion).
Foto 2.3 Bentuk geomorfologi dataran aluvial.
2.1.3. Pola Aliran dan Tipe Genetika Sungai
Secara umum pola aliran sungai daerah penelitian
yaitu pola aliran trelis.
Foto 2.1 Bentuk geomorfologi perbukitan
memanjang dengan berarah barat-timur.
a. Pola aliran trelis adalah pola aliran sungai yang
umumnya dikontrol oleh jurus dan kemiringan
lapisan, litologi, dan struktur geologi. Struktur
yang berkembang antara lain berupa antiklin
dan sesar. Hubungan antara anak sungai dengan
sungai utama relatif tegak lurus. Tipe genetika
sungai yang terdapat di daerah penelitian yaitu
obsekuen, konsekuen dan subsekuen.
2.2. Stratigrafi
Tabel 2.1 Kolom stratigrafi regional
Foto 2.2 Bentuk geomorfologi perbukitan curam
dengan berarah barat-timur.
2.1.2. Satuan Geomorfologi Dataran Aluvial
Genetika satuan geomorfologi dataran alluvial ini
terbentuk sebagai hasil pengendapan sungai yang
tersusun oleh material – material lepas berukuran
lempung, pasir, kerikil, kerakal, hingga bongkah.
Satuan ini menempati 2 % dari luas daerah
penelitian, pada peta geomorfologi diberi warna
biru muda. Satuan ini dicirikan oleh bentangalam
dataran dengan ketinggian 20-30 mdpl dan
kemiringan lereng berkisar 0° - 2° (van Zuidam,
1985).
Proses geomorfologi yang teramati pada satuan ini
berupa proses erosi dan sedimentasi dari material
hasil rombakan batuan lebih tua yang masih
berlangsung hingga sekarang. Karena proses
sedimentologi masih berlangsung hingga saat ini,
maka jentera geomorfik satuan geomorfologi
dataran aluvial adalah muda.
Berdasarkan ciri litologi, data lapangan, dan
kesamaan fisik pada daerah penelitian dijumpai
batupasir selang-seling batulempung yang
merupakan ciri dari Formasi Kerek, batulempung
selang-seling batupasir sisipan batugamping dan
breksi yang merupakan ciri dari Formasi Kalibeng,
dan batulempung yang merupakan ciri dari
Formasi Klitik.
Berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan
ciri-ciri batuan yang tersingkap di lapangan dan
kesebandingannya terhadap stratigrafi regional,
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
2
maka daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat
satuan batuan, yaitu dengan urutan dari yang
paling tua ke muda sebagai berikut:
Tabel 2.2 Kolom stratigrafi daerah penelitian
2.2.1.
Satuan
Batupasir
Batulempung
bawahnya tidak diketahui, sehingga satuan batuan
ini merupakan satuan batuan tertua. Sedangkan
hubungan stratigrafi dengan satuan batuan yang
ada di atasnya yaitu Satuan Batulempung Selangseling Batupasir Sisipan Batugamping dan Breksi
adalah selaras dicirikan dengan kedudukan lapisan
batuan yang realtif sama, serta didukung oleh hasil
analisa umur batuan yang menerus. Satuan
Batupasir Selang-seling Batulempung di daerah
penelitian memiliki ciri litologi yang sama dengan
Formasi Kerek (Pringgoprawiro dan Sukido,
1992), dengan demikian penulis menyatakan
satuan ini sebagai Formasi Kerek (Tabel 2.3).
Selang-seling
Penamaan satuan batuan ini didasarkan atas
kehadiran perselingan batupasir dan batulempung
sebagai penyusun utama. Menempati sekitar 32%
luas daerah penelitian. Menyebar di bagian selatan
daerah penelitian. Dengan kedudukan berkisar
antara N 240°E – N 280°E dan N 60°E – N 70°E
dengan kemiringan lapisan batuan berkisar antara
20° - 80°. Kedudukan ini membentuk struktur
antiklin. Berdasarkan hasil pengukuran penampang
geologi ketebalannya adalah ± 825 meter.
Satuan ini umumnya tersingkap dalam kondisi
segar sampai lapuk. Pada bagian bawah satuan ini
dicirikan oleh perselingan batupasir dan
batulempung, dengan ketebalan batupasir berkisar
2 cm – 80 cm dan ketebalan batulempung berkisar
10 - 35 cm. Pada bagian atas satuan ini disusun
oleh batupasir masif dengan ketebalan ± 1,5 - 7 m.
Foto 2.4 Singkapan batupasir lokasi Sungai Ngrancang
dengan kedudukan N248°E/40°.
Foto 2.4 Singkapan batulempung lokasi Sungai Bobol.
2.2.2.
Satuan Batulempung Selang – seling
Batupasir Sisipan Batugamping dan
Breksi
Untuk menentukan umur batuan ini didasarkan
pada kehadiran foraminifera planktonik yang
terkandung dalam conto batuan yang diambil pada
lokasi pengamatan LP 51 yaitu pada litologi
batulempung. Dari hasil pengamatan mikroskop
dengan munculnya fosil Sphaeroidinellopis
subdehiscens pada kisaran umur N12 dan
punahnya fosil Globorotalia siakensis pada kisaran
umur N15. Maka kisaran umur satuan yang didapat
adalah N12-N15 atau pada Kala Miosen Tengah –
Miosen Akhir. Berdasarkan klasifikasi lingkungan
pengendapan menurut Phleger (1962), analisis fosil
foraminifera bentos menghasilkan lingkungan
pengendapan bathial atas (200 – 400 meter).
Penamaan satuan batuan ini didasarkan atas
perselingan batulempung dengan batupasir dan
beberapa tempat terdapat sisipan batugamping dan
breksi di bagian tengah daerah penelitian. Satuan
Batulempung Selang-seling Batupasir Sisipan
Batugamping dan Breksi menempati sekitar 50,7%
luas daerah penelitian. Menyebar di bagian tengah
dan selatan daerah penelitian. Dengan kedudukan
perlapisan batuan berkisar antara N 250°E – N
260°E dan N 70°E – N 100°E dengan kemiringan
lapisan batuan berkisar antara
25° - 85°.
Kedudukan ini membentuk struktur antiklin dan
sinklin. Berdasarkan hasil pengukuran penampang
geologi ketebalannya adalah ± 775 meter.
Hubungan stratigrafi Satuan Batupasir Selangseling Batulempung dengan satuan batuan yang di
Satuan ini tersingkap dalam keadaan agak lapuk
sampai segar. Bagian bawah satuan ini dicirikan
oleh dominasi perselingan batulempung dengan
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
3
batupasir, dengan ketebalan batulempung berkisar
10 cm – 40 cm dan ketebalan batupasir berkisar 5
cm – 30cm. Pada bagian tengah terdapat sisipan
batugamping dan breksi, dengan ketebalan
batugamping berkisar 1 cm – 5cm sedangkan
batugamping massif 1 m – 1,7 m dan ketebalan
breksi 1 cm – 7 cm sedangkan breksi massif 1 m –
1,3 m. Pada bagian atasnya di dominasi oleh
batulempung dan batupasir secara berulang,
dengan ketebalan batulempung massif 1,5 m – 2 m
dan ketebalan batupasir massif 1m – 1,8 m.
Untuk menentukan umur batuan ini didasarkan
pada kehadiran foraminifera planktonik yang
terkandung dalam conto batuan yang diambil pada
lokasi pengamatan LP 63, LP 49 dan LP 38 yaitu
pada litologi batulempung. Berdasarkan kehadiran
fosil indeks Globorotalia ciperoensis pada bagian
bawah, Globigerina aperture pada bagian tengah
dan Globorotalia margaritae pada bagian atas
dengan kisaran umur N16-N19. Maka kisaran
umur satuan yang didapat adalah N16-N19 atau
pada Kala Miosen Akhir – Pliosen. Berdasarkan
klasifikasi lingkungan pengendapan menurut
Phleger (1962), analisis fosil foraminifera bentos
menghasilkan lingkungan pengendapan neritik luar
(100 – 200 meter).
Hubungan stratigrafi Satuan Batulempung Selangseling Batupasir Sisipan Batugamping dan Breksi
dengan satuan batuan yang berada di bawahnya
yaitu Satuan Batupasir Selang-seling Btulempung
adalah selaras dicirikan dengan kedudukan lapisan
batuan yang relatif sama, serta didukung oleh hasil
analisa umur batuan yang menerus dan hubungan
stratigrafi dengan satuan batuan yang ada di
atasnya yaitu Satuan Batulempung adalah selaras
dicirika dengan kedudukan lapisan batuan yang
relatif sama, serta didukung oleh hasil analisa umur
batuan yang menerus. Satuan Batulempung
Selang-seling Batupasir Sisipan Batugamping dan
Breksi di daerah penelitian memiliki ciri litologi
yang
sama
dengan
Formasi
Kalibeng
(Pringgoprawiro dan Sukido, 1992), dengan
demikian penulis menyatakan satuan ini sebagai
Formasi Kalibeng (Tabel 2.3).
Foto 2.5 Singkapan batulempung selang-seling
batupasir di Sungai Bobol dengan kedudukan
N140°E/55°.
Foto 2.5 Singkapan batulempung selang-seling
batupasir di Sungai Bobol dengan kedudukan
N265°E/20°.
Foto 2.7 Singkapan batugamping
Foto 2.8 Singkapan breksi
2.2.3. Satuan Batulempung
Penamaan satuan batuan ini didasarkan atas
terdapatnya batulempung sebagai penyusun utama.
Menempati sekitar 15,7% luas daerah penelitian.
Satuan ini terdapat di bagian utara daerah
penelitian.
Berdasarkan
hasil
pengukuran
penampang geologi ketebalannya adalah ± 750
meter.
Satuan batulempung pada umumnya tersingkap
dalam kondisi segar sampai lapuk, dengan
ketebalan batulempung massif 1,5 m – 2 m.
Untuk menentukan umur batuan ini didasarkan
pada kehadiran foraminifera planktonik yang
terkandung dalam conto batuan yang diambil pada
lokasi pengamatan LP 71 yaitu pada litologi
batulempung. Dari hasil pengamatan mikroskop
dengan munculnya fosil Globigerina borealis pada
kisaran umur N20 dan punahnya fosil
Globigerinoides extremus pada kisaran umur N21.
Maka kisaran umur satuan yang didapat adalah
N20 - N21 atau pada Kala Pliosen. Berdasarkan
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
4
klasifikasi lingkungan pengendapan menurut
Phleger (1962), analisis fosil foraminifera bentos
menghasilkan lingkungan pengendapan neritik
tengah (20 – 100 meter).
Hubungan stratigrafi Satuan Batulempung dengan
satuan batuan yang berada di bawahnya yaitu
Satuan Batulempung Selang-seling Batupasir
Sisipan Batugamping dan Breksi adalah selaras
dicirikan dengan kedudukan lapisan batuan yang
relatif sama, serta didukung oleh analisa umur
batuan yang menerus. Sedangkan hubungan
stratigrafi dengan satuan di atasnya yaitu Satuan
Endapan Aluvial adalah tidak selaras. Satuan
Batulempung di daerah penelitian memiliki ciri
litologi yang sama dengan Formasi Klitik
(Pringgoprawiro dan Sukido, 1992), dengan
demikian penulis menyatakan satuan ini sebagai
Formasi Klitik (Tabel 2.3).
Penamaan satuan ini didasarkan atas hadirnya
material aluvial sungai yang berukuran lempung,
pasir, kerikil, kerakal, sampai bongkah pada daerah
penelitian. Satuan ini menempati sekitar 2% dari
luas daerah penelitian. Satuan endapan ini
umumnya menempati daerah datar. Ketebalan
satuan ini berdasarkan pengamatan di lapangan,
memiliki ketebalan antara ± 1 meter.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, bahwa
proses erosi, transportasi dan sedimentasi pada
satuan ini masih terus berlangsung hingga saat ini.
Dengan demikian umur adalah Resen (hingga
sekarang). Karena hasil pengendapan sungai dan
terjadinya di darat. Maka lingkungan pengendapan
satuan ini adalah lingkungan darat.
Antara satuan endapan aluvial dengan semua
satuan batuan di bawahnya adalah tidak selaras
karena dibatasi oleh bidang erosi.
2.2.4. Satuan Endapan Aluvial
Foto 2.9 Singkapan batulempung
Foto 2.10 Endapan Aluvial
2.2.5. Kesebandingan Stratigrafi Daerah Penelitian dengan Peneliti Terdahulu
Berdasarkan dari pengelompokkan satuan batuan maka dapat dibuat kesebandingan kolom stratigrafi daerah
penelitian dengan peneliti terdahulu atau sebelumnya.
Tabel 2.3 Kolom kesebandingan stratigrafi penelitian terdahulu dengan daerah penelitian
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
5
2.3. Struktur Geologi
Data-data yang diperoleh dari pengamatan dan
pengukuran langsung di lapangan adalah jurus dan
kemiringan lapisan batuan, bidang sesar mikro,
bidang sesar, dan kelurusan topografi. Dari data
tersebut, maka struktur yang ada di daerah
penelitian adalah:
2.3.1. Struktur Lipatan
Struktur lipatan yang berkembang di daerah
penelitian ada dua jenis, yaitu antiklin dan sinklin.
Antiklin merupakan lipatan yang terbuka ke arah
bawah sedangkan sinklin merupakan lipatan yang
terbuka ke arah atas. Berdasarkan hasil
pengamatan unsur-unsur struktur geologi di daerah
penelitian, di daerah penelitian terdapat tiga
lipatan, yaitu:
a. Antiklin Ngrancang
Penamaan Antiklin Ngrancang dikarenakan
melewati daerah Ngrancang yang berarah barat –
timur dengan panjang diperkirakan 8 km. Besar
kedudukan sayap utara dengan N 260° E/41° dan
kedudukan sayap bagian selatan N 85° E/41°.
Lipatan
antiklin
ini
melibatkan
Satuan
Batulempung Selang-seling Batupasir Sisipan
Batugamping dan Breksi (N16-N19). Umur lipatan
antiklin ini lebih muda dari N21. Berdasarkan
adanya kemiringan sayap bagian utara dengan
sayap bagian selatan yang relatif sama maka jenis
dari antiklin ini adalah “simetri”.
bagian selatan yang relatif sama maka jenis dari
antiklin ini adalah “simetri”.
2.3.2 Struktur Patahan / Sesar
Berdasarkan hasil pengamatan unsur-unsur struktur
geologi di daerah penelitian, di daerah penelitian
terdapat tiga sesar mendatar, yaitu:
a. Sesar Mendatar Menganan Bringin
Penamaan sesar
mendatar
Bringin ini
dikarenakan melewati daerah Bringin yang
berarah baratlaut - tenggara dengan panjang sesar
± 3 km. Dengan bukti di lapangan berupa:
a) kedudukan lapisan batuan yang acak di
Sungai Bringin
b) kelurusan sungai
b. Sesar Mendatar Menganan Napis
Penamaan sesar mendatar Napis ini dikarenakan
melewati daerah Napis yang berarah baratlaut tenggara dengan panjang sesar ± 6 km. Dengan
bukti di lapangan berupa:
a) bidang
sesar
dengan
kedudukan
N162°E/75° dan N160°E/80°
b) kelurusan sungai
c. Sesar Mendatar Menganan Bobol
Penamaan sesar mendatar Bobol ini dikarenakan
melewati daerah Bobol yang berarah baratlaut tenggara dengan panjang sesar ± 7 km. Dengan
bukti di lapangan berupa:
a) bidang
sesar
dengan
kedudukan
N147°E/75° dan N145°E/75°
b) kelurusan sungai
b. Sinklin Sumberbening
Penamaan Sinklin Sumberbening dikarenakan
melewati daerah Sumberbening yang berarah barat
– timur dengan panjang diperkirakan 8 km. Besar
kedudukan sayap utara dengan N 100° E/40° dan
kedudukan sayap bagian selatan N 265° E/40°.
Lipatan
sinklin
ini
melibatkan
Satuan
Batulempung Selang-seling Batupasir Sisipan
Batugamping dan Breksi (N16-N19). Umur lipatan
sinklin ini lebih muda dari N21. Berdasarkan
adanya kemiringan sayap bagian utara dengan
sayap bagian selatan yang relatif sama maka jenis
dari sinklin ini adalah “simetri”.
c. Antiklin Rejuno
Penamaan Antiklin Rejuno dikarenakan melewati
daerah Rejuno yang berarah barat – timur dengan
panjang diperkirakan 8 km. Besar kedudukan
sayap utara dengan N 260° E/70° dan kedudukan
sayap bagian selatan N 75° E/70°. Lipatan antiklin
ini melibatkan Satuan Batupasir Selang-seling
Batulempung (N16-N19). Umur lipatan antiklin ini
lebih muda dari N21. Berdasarkan adanya
kemiringan sayap bagian utara dengan sayap
Gambar 2.1 Kedudukan yang acak dan
Kelurusan sungai
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
7
Foto 2.12 Bidang sesar menganan Napis
Dalam menentukan umur struktur geologi, penulis
menggunakan umur dari satuan batuan dimana
struktur geologi tersebut memotong. Umur struktur
geologi akan lebih muda dibanding umur satuan
batuan yang terlipat maupun terpatahkan. Struktur
geologi yang terbentuk di daerah penelitian, berupa
struktur lipatan dan patahan terjadi pada Satuan
Batupasir Selang-seling Batulempung (Miosen
Tengah - Miosen Akhir), Satuan Batulempung
Selang-seling Batupasir (Miosen Akhir – Pliosen),
dan Satuan Batulempung (Pliosen). Maka dengan
demikian kejadian tektonik yang menyebabkan
terbentuk proses struktur geologi tersebut, terjadi
setelah Pliosen. Oleh karena itu, struktur geologi
yang berkembang di daerah penelitan dimulai pada
kala Plistosen, atau pada kejadian orogenesa
Plistosen.
2.4. Sejarah Geologi
Sejarah geologi daerah penelitian dimulai pada
Kala Miosen Tengah – Miosen Akhir dengan
pengendapan Satuan Batupasir Selang-seling
Batulempung yang dikenal sebagai Formasi Kerek
dengan rentang waktu (N12 – N15), satuan batuan
ini diperkirakan diendapkan pada lingkungan laut
dalam (bathial atas), satuan batuan ini merupakan
satuan batuan tertua di daerah penelitian.
Foto 2.11 Bidang sesar menganan Bobol
2.3.4 Mekanisme Struktur Daerah Penelitian
Untuk menentukan arah gaya utama penulis
menggunakan arah umum jurus lapisan batuan
yang searah dengan sumbu lipatan. Dari hasil
analisa pola umum arah jurus lapisan batuan
dengan menggunakan Diagram Roset (Gambar
2.2), maka dihasilkan arah gaya utama yang tegak
lurus dengan arah pola umum jurus lapisan batuan
yaitu sebesar N175°E atau relatif utara - selatan.
Pola ini merupakan arah gaya utama Jawa yaitu
utara- selatan.
Gambar 2.2 Diagram Rosette yang memproyeksikan
hubungan arah pola umum kedudukan batuan dengan
arah gaya utama daerah penelitian.
Kemudian terjadi susut laut akibat penurunan
cekungan berlangsung lebih lambat dari pada
kecepatan pengendapan sedimen (regresi). Pada
Kala Miosen Akhir - Pliosen (N16 – N19) di atas
Satuan Batupasir Selang-seling Batulempung
Formasi Kerek diendapkan secara selaras Satuan
Batuan Batulempung Selang-seling Batupasir
Sisipan Batugamping dan Breksi Formasi Kalibeng
pada lingkungan laut dangkal (neritik luar).
Kemudian terjadi susut laut akibat penurunan
cekungan berlangsung lebih lambat dari pada
kecepatan pengendapan sedimen (regresi). Pada
Kala Pliosen (N20 – N21) di atas Satuan Batuan
Batulempung Selang-seling Batupasir Sisipan
Batugamping dan Breksi Formasi Kalibeng
diendapkan secara selaras Satuan Batulempung
Formasi Klitik pada lingkungan laut dangkal
(neritik tengah).
Pada Kala Plistosen (N22) terjadi aktifitas tektonik
yang mengakibatkan proses deformasi dan
pengangkatan pada daerah penelitian, serta
terbentuknya perlipatan (Antiklin Ngrancang,
Sinklin Sumberbening, dan Antiklin Rejuno) dan
pensesaran (Sesar Mendatar Bringin, Sesar
Mendatar Napis dan Sesar Mendatar Bobol) pada
satuan batuan yang telah diendapkan.
Seiring dengan waktu geologi yang berjalan,
daerah penelitian yang telah menjadi daratan
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
8
terjadi proses eksogen yaitu pelapukan pada zona
lemah yang kemudian membentuk sungai-sungai
sehingga menghasilkan endapan aluvial sungai
yang merupakan hasil rombakan dari batuan yang
terbentuk sebelumnya dan endapan aluvial sungai
ini menutupi satuan batuan di bawahnya dengan
batas berupa bidang erosi.
3. STUDI PETROGENESA BATUAN BEKU
ANDESIT DAERAH TALAGASARI
3.1. Dasar Teori
Petrogenesa adalah suatu ilmu yang mempelajari
proses pembentukan suatu batuan tertentu, dari
asal-usul atau sumber, proses-proses yang
menyebabkan batuan terbentuk dan daerah
pembekuannya dapat diketahui. Petrogenesa
batuan beku menyangkut segala hal yang berkaitan
dengan pembentukan batuan beku, seperti
mekanisme
pembekuan
magma,
lama
pembekuannya, tempat pemebekuannya dan sifat
asal magma.
Fokus dari studi petrogenesa di daerah penelitian
adalah batuan beku andesit, dimana batuan beku
andesit daerah penelitian termasuk ke dalam
batuan terobosan Andesit menurut Silitonga (1973)
dalam Peta Geologi Lembar Bandung.
anhedral, inequgranular, dengan tekstur porfiritik.
Disusun oleh fenokris dan massa dasar berupa :
piroksen, plagioklas, hornblende, dan mineral
logam. Selain itu hadir juga gelas dalam jumlah
sedikit sebagai massa dasar. Mineral ubahan
berupa klorit.
1. Piroksen: Kehadiran 10 – 20%, warna kuning
kecoklatan, ukuran 0,1 – 0,16 mm, benruk
subhedral – anhedral, jenis klinopiroksen,
bentuk kristal prismatik, relief tinggi, indeks
bias Nm < Nkb, pleohorik kuat, bias rangkap
kuat, pemadaman parallel, orientasi length
slow, sumbu optic dua (biaxial), tanda optis
negatif, hadir sebagai fenokris.
Foto 3.1. Kenampakan mineral piroksen
2. Hornblende: Kehadiran 21%, warna hijau
kecoklatan, ukuran 0,42 mm, subhedral,
bentuk prismatic, relief sedang, indeks bias
Nm > Nkb, pleokhorik sedang, bias rangkap
sedang, pemadaman parallel, orientasi optis
length fast, hadir sebagai fenokris.
Gambar 3.1. Bagan alir pembahasan studi petrogenesa
3.2. Analisa
3.2.1. Petrografi
Dari hasil 10 contoh sampel batuan beku andesit
yang di sayat tipis kemudian dapat dianalisis
dengan menggunakan mikroskop polarisasi untuk
mengetahui komposisi mineral penyusun batuan
andesit tersebut. Hasil pengamatan dapat
memperlihatkan
warna
colorless
sampai
kecoklatan memperlihatkan tekstur hipokristalin,
ukuran butir 0,01 - 1,5 mm, bentuk subhedral –
Foto 3.2. Kenampakan mineral hornblende
3. Plagioklas: Kehadiran 20 – 28%, warna
bening keruh, ukuran 0,05 - 0,32 mm, bentuk
subhedral - anhedral, kembaran albit dan
carlsbad, jenis andesine, komposisi An 45 –
Ab 58. Hadir sebagai fenokris. Muncul zonasi
progresif, sebagian terubah menjadi klorit.
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
9
Foto 3.3. Kenampakan mineral plagioklas
4. Alkali Feldspar: Alkali Feldspar jenis
orthoklas, kehadiran 15 - 20 %, warna putih
bening, ukuran 0,18 - 0,22 mm, bentuk
anhedral, relief sedang, indeks bias Nm <
Nkb, hadir sebagai fenokris.
Foto 3.6. Kenampakan mineral bijih
7. Gelas: Kehadiran 7 - 10 %, warna putih,
bentuk halus, hadir sebagai massa dasar,
mengisi ruang antar butir.
3.2.2. Paragenesa
Paragenesa merupakan suatu cabang ilmu geologi
yang memberikan penjelasan mengenai tempat
atau lingkungan diman suatu mineral itu terbentuk.
Foto 3.4. Kenampakan mineral alkali feldspar
5. Kuarsa: Kehadiran 5 - 25%, tidak berwarna,
ukuran 0,06 mm, bentuk anhedral, relief kuat,
hadir sebagai fenokris.
1. Piroksen: Dalam proses kristalisasi ini,
kedudukan mineral olivin sudah digantikan
oleh mineral piroksen, kenampakan ini
terbentuk karena dipengaruhi oleh kondisi
tekanan dan temperatur magma yang sudah
menurun sehingga kenampakan mineral yang
muncul hanya berupa mineral piroksen.
Kenampakan ini dapat dilihat oleh
ketidakmunculan mineral olivin pada sayatan
tipis ini. Mineral piroksen diperkirakan
terbentuk pada temperature 1100 - 900oC
(fase ortomagmatik).
2. Hornblande: Mineral ini terbentuk setelah
piroksen terbentuk, kristalisasi berjalan
dengan sempurna, ruangan yang tersedia
masih luas, diperkirakan terbentuk pada
temperatur pembekuan 700 - 600oC (fase
pegmatik).
Foto 3.5. Kenampakan mineral kuarsa
6. Mineral Bijih: Kehadiran 9 - 25%, warna
hitam, opak, ukuran butir 0,02 – 0,18 mm,
hadir sebagai fenokris, tersebar dalam massa
dasar.
3. Plagioklas: Mineral ini terbentuk secara
menerus (continuous), dimana proses
pembentukannya mulai dari temperatur
magma yang tinggi sampai rendah masih
tetap terbentuk. Factor yang dapat
membedakan adalah ukuran mineralnya.
Sesuai dengan ukuran butir dan warna pada
mineral ini, dapat diperkirakan terbentuk pada
temperatur pembekuan berkisar 900 - 850oC.
(fase pegmatik)
4. Alkali Feldspar: Mineral ini terbentuk pada
temperatur pembekuan antara 400 - 600oC
(fase pneumtolitik), setelah plagioklas
terbentuk.
5. Kuarsa: Mineral ini terbentuk setelah mineral
muskovit terbentuk, kristalisasi berjalan
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
10
dengan sempurna sehingga mineral kuarsa
terbentuk pada kisaran antara temperatur 600
- 400oC (fase hidrothermal).
6. Mineral Bijih: Kehadiran mineral bijih pada
batuan andesit ini terbentuk bersamaan
dengan mneral – mineral yang lain sebagai
fenokris, dapat diperkirakan bahwa mineral
opak terbentuk berkisar antar temperatur 600
- 400oC (fase hydrothermal).
Kandungan silika rata-rata 55,7% maka batuan
beku andesit daerah penelitian bersifat Intermediet
(menengah).
3.2.3.2. Penentuan Indeks Pembekuan Magma
Untuk mengetahui indeks pembekuan magma
dapat di lakukan perhitungan secara matematis
sebagai berikut:
7. Gelas: Kehadiran gelas terbentuk pada
temperatur yang sangat rendah diperkirakan
terbentuk pada temperatur 400oC.
3.2.3. Geokimia
Untuk mengetahui informasi lebih jauh mengenai
batuan beku andesit, maka di lakukan analisa
geokimia terhadap 10 contoh sample batuan yang
diambil pada beberapa titik pada singkapan intrusi
dan menghasilkan data geokima unsur utam batuan
seperti di Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Hasil analisa geokimia di daerah penelitian
Hutchison, (1973) memberikan batas-batas indeks
pembekuan magma sebagai berikut:
 Nilai IP 0 - 9, magma bersifat andesitik –
dasitik.
 Nilai IP 10 - 19, magma bersifat andesitik.
 Nilai IP 20 - 29, magma bersifst andesitik basaltik.
 Nilai IP 30 - 40, magma bersifat basaltik.
Tabel 3.3. Perhitungan penentuan
indeks pembekuan magma
3.2.3.1. Penentuan Tingkat Kandungan Silika
Tabel 3.2. Klasifikasi batuan beku berdasarkan
presentasi kandungan silika SiO2, (Williams, 1956)
Dari perhitungan di Tabel 3.3, memperlihatkan
nilai indeks pembekuan berkisar 17 – 19, maka
magma pembentukan bantuan beku andesit pada
daerah penelitian bersifat Andesitik.
3.2.3.3. Penentuan Indeks Jenis Magma
1. Kuno (1966)
Penentuan Jenis magma asal menurut Kuno
(1966) di dasarkan pada perbandingan antara
total (K2O+Na2O) dengan SiO2. Dari hasil
analisa kimia tersebut terhadap 10 contoh
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
11
batuan beku andesit di daerah penelitian di
peroleh data-data sebagai berikut Gambar 3.2.
hasil analisa kimia tersebut terhadap 10 conto
batuan beku andesit di daerah penelitian di
peroleh data-data sebagai berikut Gambar 3.4.
Gambar 3.2. Diagram SiO2 (%berat) vs
K2O+Na2O (%berat) menurut Kuno (1966).
Gambar 3.4. Diagram SiO2 (%berat) dan K2O
(%berat) menurut Pecerillo dan Taylor (1976).
Pada diagram di atas, terlihat nilai-nilai
perbandingan antara K2O+Na2O dan SiO2
tersebut pada daerah Toleitik - Kalk Alkali.
Pada diagram terlihat nilai-nilai perbandingan
antara K2O dan SiO2 tersebar pada daerah
Toleitik – Kalk Alkali.
2. Miyashiro (1974)
3.2.3.4. Evolusi dan Temperatur Magma
Miyashiro (1974) di dalam membedakan
antara seri magma kalk-alkali dan toleitik
membuat tiga tolak ukur unsur kimia (oksida)
yang berasal dari perbandingan antara unsur
FeO/MgO
terhadap
kecederungan
penambahan SiO2, FeO, dan TiO2 selama
berlangsungnya fraksinasi kristal Gambar 3.3.
Gambar 3.5. Tahapan - tahapan
pembentukan mineral (Bowen Series)
Gambar 3.3. Diagram variasi unsur kimia
terhadap FeO/MgO menurut Miyashiro (1974).
Pada pengujian tiga tolak ukur tersebut dari
sepuluh conto batuan daerah penelitian
termasuk kedalam seri magma Toleitik - Kalk
Alkali.
3. Pecerillo dan Taylor (1976)
Penentuan jenis magma asal menurut
Pecerillo dan Taylor (1976) di dasarkan pada
perbandingan antara K2O dengan SiO2. Dari
Evolusi magma terjadi pada batuan beku andesit di
daerah penelitian di cirikan oleh ketidak hadiran
mineral olivin baik dari hasil petrografi maupun
normative, hal ini menunjukan bahwa magma asal
dalam keadaan jenuh atau kelewat jenuh akan
kandungan
silika,
sehingga
menyebabkan
kesetimbangan di dalam proses pembentukan
mineralisasi. Diawali oleh terbentuknya mineral
piroksen dan mineral logam pada temperatur tinggi
yaitu berkisar antara 1200 - 800oC (fase
orthomagmatik).
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
12
Berdasarkan terbentuknya mineral mafik tersebut,
mineral plagioklas muncul sebgai hasil proses
sempurna di dalam magma akibat tingginya kadar
Al2O3 dan CaO. Hadirnya zonasi normal pada
plagioklas menandakan terjadinya diferensiasi
yang di tandai oleh penyelimutan plagioklas yang
lebih asam kepada yang lebih basa, dimana secara
kimia di tandai oleh menurunnya kadar Al2O3 serta
meningkatnya proporsi SiO2.
Evolusi ini terus berlangsung hingga terbentuknya
mineral hornblade. Pada tahap ini magma kaya
akan kandungan hidroksil dan gas. Di lain pihak
dengan menurunnya unsur - unsur seperti FeO,
CaO, Na2O dan Al2O3 tidak diikuti oleh K2O dan
P2O5 dimana memperlihatkan kecenderungan terjai
suatu peningkatan terhadap suatu peningkatan
terhadap unsur SiO2, sehingga pada akhirnya akan
memungkinkan mineral plagioklas lebih asam,
terbentuknya k-fledspar dan kuarsa.
Dari sayatan tipis batuan hadirnya mineral - mneral
ubahan seperti klorit, batuan beku di daerah
penelitian telah terjadi reaksi antara larutan sisa
magma dengan mineral - mineral yang terbentuk
sebelumnya.
3.2.3.5. Lingkungan Tektonik dan Aktivitas
Magmatik
Dari pembahasan sebelumnya telah di ketahui
bahwa batuan beku andesit termasuk kedalam seri
magma Toleitik sampai Kalk Alkal. (Girod, 1978
di dalam Samudra, 1988) membagi dua lingkungan
tektonik untuk kalk alkali, yaitu:
1. Busur Kepulauan (Island Arc)
2. Tepi Benua (Continental Margin)
Beberapa peneliti lain seperti Miyashiro (1974),
serta Jakes dan White (1972) memberikan kriteria
tertentu untuk membedakan kedua lingkungan
tersebut.
 Jakes dan White (1972), melakukan
pembagian berdasarkan perbedaan kandungan
SiO2, FeO/MgO, dan K20/Na2O (Tabel 3.5).
Tabel 3.5. Perbandingan kandungan unsur – unsur
oksida pada tepi benua dan busur kepulauan
menurut Jakes dan White, (1972).
Berdasarkan kriteria yang di kemukakan oleh
Miyashiro (1974) serta Jakes dan White (1972)
secara umum lingkungan tektonik batuan beku
daerah penelitian lebih mendekati Jalur Orogen
Busur Kepulauan.
Untuk mengetahui sumber magma sebagai
pembentuk batuan beku di daerah penelitian,
(Ringwood, 1969 di dalam Samudra, 1988)
mengungkapkan bahwa batuan vulkanik dan
plutonik yang bersifat kalk-alkali berasal dari
magma suatu hasil penunjaman kerak samudra ke
dalam kerak benua pada kedalaman 30 - 275 km,
sehingga mengakibatkan terjadinya pelelehan
sebagai eklogit kuarsa menjadi eklogit sisa dan
magma riodasit. Cairan ini akan membumbung ke
atas dan breaksi dengan phirolit membentuk
piroksenit. Adanya pelelehan yang terjadi pada
sebagian piroksenit ini akan menghasilkan magma
tipe orogen seri kalk-alkali. Berdasarkan model
skema hubungan penunjaman dan zona kedalaman
menurut Miyashiro (1974), di perkirakan magma
asal daerah penelitian terbentuk pada kedalaman
40 - 70 km (Gambar 3.6).
 Miyashiro (1974) melakukan perbandingan
berdasarkan kandungan oksida TiO2, Na2O,
K2O, dan P2O5 (Tabel 3.4).
Tabel 3.4. Perbandingan kandungan
unsur – unsur oksida pada tepi benua dan busur
kepulauan menurut Miyashiro, (1974).
Gambar 3.6. Skema hubungan antara penunjaman
dengan zona kedalaman menurut Miyashiro (1974).
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
13
3.3. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis petrografi dan geokimia
terhadap 10 (sepuluh) contoh batuan maka dapat di
simpulkan bahwa mineral olivin sudah digantikan
oleh mineral piroksen, kenampakan ini terbentuk
karena dipengaruhi oleh kondisi tekanan dan
temperatur magma yang sudah menurun dan
batuan beku andesit di daerah penelitian masuk
kedalam kelompok batuan beku Intermediet
(menengah) bersifat andesitik dengan seri magma
teolitik – kalk alkali, terbentuk pada temperatur
magma berkisar 900 - 700oC dan terbentuk pada
busur kepulauan.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil bahasan sebagaimana yang telah
diuraikan pada bab - bab sebelumnya, maka
geologi daerah Bobol dan sekitarnya, Kecamatan
Sekar, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa
Timur dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Satuan geomorfologi daerah penelitian dibagi
menjadi 2 (dua) satuan geomorfologi, yaitu
Satuan Geomorfologi Perbukitan Lipat
Patahan dan Satuan Geomorfologi Dataran
Aluvial. Pola aliran sungai yang berkembang
adalah Trellis dengan genetika sungai
konsekuen, subsekuen dan obsekuen. Stadium
erosi sungai berada pada tahap muda dan
dewasa. Jentera geomorfik secara umum
adalah dewasa.
2. Tatanan batuan dari yang tertua hingga
termuda di daerah penelitian adalah Satuan
Batupasir Selang - seling Batulempung
(Formasi Kerek) di lingkungan bathial atas
pada Kala Miosen Tengah - Miosen Akhir
(N.12-N.15) dan terjadi proses regresi.
Kemudian di atasnya secara selaras di
endapkan Satuan Batulempung Selang seling Batupasir Sisipan Batugamping dan
Breksi (Formasi Kalibeng) di lingkungan
neritik luar pada Kala Miosen Akhir - Pliosen
(N.16-N.19) dan terjadi proses regresi.
Kemudian di atasnya secara selaras
diendapkan Satuan Batulempung (Formasi
Klitik) di lingkungan neritik tengah pada Kala
Pliosen (N.20-N.21). Kemudian ditutupi
secara tidak selaras oleh Satuan Endapan
Aluvial menutupi batuan di bawahnya dengan
batas bidang erosi.
3. Struktur geologi yang berkembang di daerah
penelitian adalah lipatan dan sesar. Struktur
perlipatan berupa struktur antiklin Ngrancang,
sinklin Sumberbening dan antiklin Rejuno.
Struktur sesar yang dijumpai adalah sesar
mendatar Bringin, sesar mendatar Napis dan
sesar mendatar Bobol. Pembentukan strukturstruktur geologi di daerah penelitian terjadi
dalam satu perioda tektonik, yaitu pada Kala
Plistosen dengan arah gaya utama N 175ºE
atau relatif utara-selatan.
4. Studi
petrogenesa
daerah
Talagasari,
berdasarkan hasil analisa petrografi dan
geokimia terhadap 10 (sepuluh) contoh
sampel batuan beku andesit, menunjukkan
batuan beku daerah penelitian termasuk ke
dalam jenis magma intermediet (menengah)
bersifat andesitik dengan seri magma toleitikkalk alkali, terbentuk pada temperatur magma
berkisar 900°C–700°C dan terbentuk pada
busur kepulauan.
DAFTAR PUSTAKA
Bakosurtanal, 1999, Peta Rupa Bumi Indonesia
1:25.000 Lembar Pilangkenceng No.
1508-512 dan Ngambon No. 1508514, Edisi I, Bakosurtanal, Bogor.
Blow, W. H. dan Postuma J. A., 1969, Range
Chart, Late Miosen to Recent
Planktonic
Foraminifera
Biostratigraphy, Proceeding of The
First.
Dunham, R.J., 1962, Classification of Carbonat
Rock According to Depositional
Texture, Houston, Texas, USA.
Jakes, P dan White, A.J.R., 1972. Major and
Trace Element Abundances in
Volcanic Rocks of Orogenic Areas.
Geological Society of America
Bulletin, 83, h.29-40.
Lobeck, A.K., 1939, Geomorphology: an
Introduction to the study of
Landscape, New York and London:
Mc Graw-Hill Book Company. Inc.
Miyashiro, A., 1974, Volcanic Rock Series in
Island Arcs and Active Continental
Margins. Journal of Science 274: 21355.
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
14
Moody J.D., dan Hill M.J., 1956, Wrench Fault
Tectonics, Bulletin of the Geological
Society of America.
Noor, D., 2010, Geomorfologi, Fakultas Teknik
Jurusan Teknik Geologi, Universitas
Pakuan, Bogor.
Noor, D., 2010, Pengantar Ilmu Geologi, Fakultas
Teknik Jurusan Teknik Geologi,
Universitas Pakuan, Bogor.
Paccerllo, A dan Taylor, S.R., 1976. Geochemistry
of Eocene calc-alkaline volcanic
rocks from the Kastamonu area,
Northern Turkey. Contribution on
Mineralogy and Petrology, 58, h.6381.
Pettijon, F.J., 1957, Sedimentary Rock, Harper &
Row, Newyork Nelson, Stephen A.,
2006,
Clay
Minerals
Tulane
University, New Orleans.
Pheleger, F.B., 1951, Ecology of Foraminifera,
Nortwest Gulf of Mexico, GSA
Memoir 46.
Pringgoprawiro, H., dan Sukido., 1992, Peta
Geologi
Regional
Lembar
Bojonegoro, Jawa Timur, Skala
1:100.000, Pusat penelitian dan
pengembangan geologi, Direktorat
Jendral Geologi dan Sumber Daya
Mineral, Departemen Pertambangan
dan Energi, Bandung.
Pulonggono dan Martodjojo., 1994, Perubahan
Tektonik
Paleogen-Neogen
Merupakan
Peristiwa
Tektonik
Penting di Jawa. Proceding Geologi
dan Geologi Teknik Pulau Jawa,
ISBN, UGM Yogyakarta.
Silitonga, P. H. 1973, Peta Geologi Regional
Lembar Bandung, Jawa Barat, Skala
1:100.000, Pusat penelitian dan
pengembangan geologi, Direktorat
Jendral Geologi dan Sumber Daya
Mineral, Departemen Pertambangan
dan Energi, Bandung.
Thornbury,
W.D.,
1969,
Principles
of
Geomorphology, Second Edition,
John Willey & Sons Inc., New York.
van Bemmelen, R.W., 1949. The Geology of
Indonesia, Vol. IA: General Geology
of
Indonesia
and
Adjacent
Archipelagoes, The Hague, Martinus
Nijhoff, vol. 1A, Netherlands.
Williams, H., Turner, F.J., dan Gilbert, C.M.,
1954, Petrography an Introduction to
The Study of Rock in Thin Sections,
W.H. Freeman and Company, New
York.
PENULIS:
1. Heribertus Satrio Wibowo, S.T. Alumni (2016)
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik
– Universitas Pakuan.
2. Ir. Mustafa Luthfi, M.T. Staf Dosen Program
Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik –
Universitas Pakuan.
3. Ir. Mohammad Syaiful, M.Si. Staf Dosen
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik
– Universitas Pakuan.
Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik – Universitas Pakuan
15
Download