TIM EDITOR PROCEEDING 1st NATIONAL CONFERENCE ON BUSINESS AND ENTREPRENEUSHIP KETUA EDITOR Metta Padmalia, S.Si., M.M. ANGGOTA EDITOR Agustiono, S.E., M.Sc. Antonius Juanta Tetangena Tarigan, S.E., S.Sos., M.B.A., M.P.A. TEAM LAYOUT Sri Nathasya Br. Sitepu, S.E., M.Ec. Dev. Dewi Mustikasari Immanuel, S.E., M.M. Warniancy Ariesty, S.E., M.M. Monika Teguh, S.Sos., M.Med.Kom. Wendra Hartono, S.T., MPA. Stanislaus Adnanto Mastan, S.E., S.Kom., MSA., OCA, CPC Fanny Septiana, S.E., M.M. Yoseva Sumaji, S.E., M.M., M.B.A. Dwi Christina Cahyaning, A.md. Marcela Devina Sabitha Rani Saraswati Ni Wayan Diah Darmayanti REVIEWER Ir. Lieli Suharti Harmanto, M.M., PhD. (Universitas Kristen Satya Wacana) Dr. Wirawan E.D.R., M.Sc., CMA., Ak., CA. (Universitas Ciputra) Dr. Christina Whidya Utami, M.M., CLC. (Universitas Ciputra) Dr. Christian Herdinata, S.E., M.M., CFP® (Universitas Ciputra) Damelina Basauli Tambunan, S.E., M.M., CPM. (Universitas Ciputra) Dr. Liliana Dewi, Ir., M.M. (Universitas Ciputra) Ir. Venny Soetedja, M.M. (Universitas Ciputra) Helena Sidharta, S.E., M.M. (Universitas Ciputra) Carolina Novi Mustikarini, S.E., M.Sc., LP-NLP. (Universitas Ciputra) i SUSUNAN PANITIA 1st NATIONAL CONFERENCE ON BUSINESS AND ENTREPRENEUSHIP Ketua : Maichal, S.E., M.Sc. Sekretaris I : Fransisca Desiana Pranatasari, S.E., M.M.. Sekretaris II : Teofilus,S.E., M.M. Sabitha Rani Saraswati Bendahara I : Romauli Nainggolan, SE., M.Si Bendahara II : Kazia Laturette, Ak., M.Ak. Bendahara III : Christina Dwi Cahyaning, A.Md. Bidang-Bidang: Bidang I (Acara dan Persidangan) : Koordinator : Krismi Budi Sienatra, S.E., M.M. 1. Sri Nathasya Br. Sitepu, S.E., M.Ec. Dev. 2. Monika Teguh, S.Sos., M.Med.Kom. 3. Felicia Bella Kurniawan, S.E., M.Sc. 4. Alicia Karina Limawal 5. Michael Christopher D. Thorion 6. Reza Rizky Toding La’bi 7. Theresa Jennifer Bidang II (Reviewer) : Koordinator : Metta Padmalia, S.Si., M.M. 1. Agustiono, S.E., M.Sc. 2. Antonius Juanta Tetangena Tarigan, S.E., S.Sos., MBA., MPA 3. Chintya Maria Manggala 4. Marcella Devina Setiawan 5. Ni Wayan Diah Darmayanti ii Bidang III (Sponsorship) : Koordinator : Dewi Mustikasari Immanuel, S.E., M.M. 1. Carolina Novi Mustikarini, S.E., M.Sc. 2. Hans Kurniawan 3. Mitchell 4. Jonathan David Bidang IV (Partnership) : Koordinator : Hilda Yunita Wono, S.I.Kom., M.Med.Kom 1. Ayu Dwidyah Rini, S.Pd., M.Pd. 2. Meliana Indrawati, S.E., MBA., CMA., CPA. 3. Geraldo Ricky 4. Halim Santhio Wijaya 5. Danisworo Tegar Haribawono Bidang V (Publikasi dan Dokumentasi) : Koordinator : Stanislaus Adnanto Mastan, S.E., S.Kom., MSA., OCA. 1. Terry Immanuel Yoseph Wiranarta, B.S., MBA. 2. Yohanes Santoso 3. Celvin Wijaya Bidang VI (Konsumsi) : Koordinator : Flavia Tiara Aktrisanti, S.Si. 1. Christina Ratnasari, A.md. Bidang VII (Perlengkapan) : Koordinator : Warniancy Ariesty, S.E., M.M. 1. Laura Yuliana, S.Pd. 2. Wendra Hartono, S.T., MPA 3. Danny Aguswahyudi 4. Guildy Harvey iii Bidang VIII (Pengadaan dan Percetakan) : Koordinator : Fanny Septina, S.E., M.M. 1. Gabriela Laras Dewi Swastika, S.I.Kom, M.A. 2. Briandy Putra 3. Evlyn Santoso iv KATA PENGANTAR National Conference on Business and Entrepreneurship (NCBE) merupakan acara yang diselenggarakan oleh Fakultas Manajemen dan Bisnis Universitas Ciputra yang berkerja sama dengan Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci, Tangerang, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS), dan Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA). Acara ini merupakan forum pertemuan para akademisi dalam bidang entrepreneurship dengan tema besar “Building Indonesian Business and Entrepreneurial Platform” di mana pada 1st NCBE tahun 2017 ini mengambil tema “Growing Entrepreneurial Spirit in Private, Public, and Social Sectors”. Konferensi Nasional dan Call for Papers ini terkumpul dari berbagai bidang keilmuan meliputi bidang keilmuan entrepreneurship, keuangan, sumber daya manusia, pemasaran, strategik, ekonomi dan akuntansi. Kami ucapkan terima kasih kepada para pemakalah yang telah hadir untuk mempresentasikan makalahnya di Fakultas Manajemen dan Bisnis di Universitas Ciputra dan kepada para peserta seminar yang telah datang. Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada para semua panitia yang telah bekerja keras dalam mensukseskan dan kepada para pemangku kepentingan yang telah mendukung penyelenggaraan National Conference on Business and Entrepreneurship. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan atau keterbatasan selama penyelenggaraan National Conference on Business and Entrepreneurship ini, oleh karena itu ijinkan kami mengucapkan mohon maaf jika hal tersebut kurang berkenan di hati bapak ibu sekalian. Surabaya, 18 Mei 2017 Ketua Panitia Maichal, S.E., M.Sc. v DAFTAR ISI PROCEEDING 1 NATIONAL CONFERENCE ON BUSINESS AND ENTREPRENEURSHIP st Tim Editorial………………………………………………………………………………….……...i Susunan Panitia 1st NCBE…………………………………………………………………………...ii Kata Pengantar………………………………………………………………………………………v Daftar Isi…………………………………………………………………………………………….vi No. Judul Penulis Halaman 1 Strategi Keberlanjutan Kewirausahaan dan Daya Saing UMKM dalam Menghadapi MEA Ernani Hadiyati 1 - 15 2 Memanfaatkan Tantangan Sosial: Menuju Inovasi Sosial dan Keunggulan Kompetitif Andreas W. Djiwandono 16 - 22 3 The Impact of Developing Sustainable Development of Firm’s Performance Mediated by Dynamic Capability Jo Jhony 23 - 31 4 Kajian Potensi Pariwisata Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW) Kota Depok Siti Marti’ah dan Berta Dian Theodora 32 - 38 5 Model Implementasi Green Human Resource Management dalam Praktik Manajemen Sumber Daya Manusia Agus Sugiarto dan Lieli Suharti 39 - 56 6 Effect of Service Quality on Customer Satisfaction PD. BPR Djoko Tingkir in District Sragen Martina Primardhani dan Istiatin 57 - 68 7 Implementasi Knowledge Management dada Divisi Pemasaran PT Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya Yugowati Praharsi, M. Akmal Bariklana dan M. Yazid Bustomi 69 - 75 8 Analisis Perbandingan Rantai Pasokan Komoditas Kontrasepsi Jalur Pemerintah dan Swasta di Jawa Barat Sherlywati 76 - 90 vi 9 Analisa Income Smoothing Atas Perusahaan Real-Estate Periode 20102015 Kartika Dewi 91 - 99 10 Memahami Produk Mode Indonesia yang Menjual Produk Secara Online Menggunakan Majalah Mode Looks Magazine Sebagai Media Iklan M. Adhiramsyah Choesin dan Yohana F. Cahya Palupi Meilani 100 - 114 11 Pengaruh Corporate Governance Perception Index terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Yunietha dan Nico Alexander 115 - 122 12 Tinjauan Etika, Kinerja Perusahaan, dan Relevansi Guanxi pada Dunia Bisnis: Persepsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi UKRIDA Melitina Tecoalu dan Bambang Siswanto 123 - 127 13 Kajian Relevansi Sertifikasi Kompetensi dan Fenomena Skill Mismatch pada Praktik MSDM Yustina Ertie Pravitasmara Dewi dan Lieli Suharti 128 - 142 14 Trategi Penerapan Talent Management dalam Pengembangan Sumber Daya Manusia di Pusat Inovasi LIPI Mahardhika Berliandaldo 143 - 158 15 Pengembangan Industri Pariwisata dan Peningkatan Ekonom Masyarakat di Indonesia (Kajian Teoritis Kepustakaan) Suharsono 159 - 172 16 Ekonomi Kreatif: Identitas Budaya Lokal Kota Palembang dalam Sektor UMKM Irzanita, Zanariah, dan FrettyWelta 173 - 179 Kinerja Manajemen Modal Kerja Dengan Pendekatan Du Pont System Sarah Usman, Rintar Agus Simatupang dan Riendhra Nadyarian Artika Putri 180 - 193 Eko Budi Santoso dan Wirawan E.D. Radianto 194 - 204 17 18 19 Akuntansi untuk Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Studi Peran Pengendalian Manajemen Pada Program Pelatihan di Satuan Kerja Perangkat Daerah Model Bisnis Kanvas: Alat Untuk Mengidentifikasi Peluang Bisnis Baru Bagi Pengusaha UKM Indonesia Ismiriati Nasip dan Eka Sudarmaji 205 - 219 vii 20 Budaya Perusahaan Unggul Untuk Meningkatkan Kinerja Perusahaan BUMN Konstruksi Berebut Kue Pertumbuhan di Lingkungan yang Kompetitif: Analisa Industri Bisnis Air Dalam Kemasan (AMDK) Inersia Budaya Organisasi dan Penguasaan Teknologi Informasi Mempengaruhi Business Agility? Agung Yunanto 220 - 233 Agus Samsudin 234 - 240 Arya Permadi dan Sri Bramantoro Abdinagoro 241 - 250 23 Disparitasregional dan Perang Harga: Melihat ke dalam Industri Perlampuan Di Indonesia Dominicus Edwinarto 251 - 261 24 Navigasi Daya Saing Rumah Produksi Film Nasional dengan Peningkatan Kapabilitas Kapabilitas Dinamis Gion Darwis 262 - 275 25 Inovasi Digital dalam I-Focus Model: Faktor Kunci Keberlangsungan Industri Media Luar Ruang 26 Kepengikutan dan Peran Pemimpin dalam Meningkatkan Keunggulan Bersaing Perusahaan Nelly dan Santoso Budijono 287 - 296 27 Analisis Pengaruh Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi Yohanes Vyn Amzar 297 - 311 28 Antecedents of Employee Loyalty in Educational Setting: A Research Proposal Sabrina O. Sihombing dan Margaretha P. Berlianto 312 - 320 29 Sistem Manajemen Kinerja Berbasis Strategi Bagi Usaha Kecil Menengah Patria Prasetio Adi 321 - 339 30 Impelementasi Knowledge Sharing untuk Meningkatkan Keunggulan bersaing di Sentra Ikanbulak, Surabaya Gaguk Suhardjito, Ulfakaryatiningsih, dan Puspita Indah 340 - 347 21 22 31 Pengembangan Strategi Bisnis Model dengan Metode Efas Ifas (Studi Kasus Revtech) Jimmy Lizardo Ni Putu Wiwiek Ary Susyarini, Vivie Sholichatin Nafi’ah, Mariyana Astri Fandani, Pavietta Octywidya Ashifah 276 - 286 348 - 355 viii 32 Sistem Pengelolaan Program Magang Bagi Mahasiswa di Perusahaan (Studi Terhadap Tiga Perusahaan di Jawa Tengah) Linda Ratnasari dan Lieli Suharti 356 - 376 33 Analisis Kinerja Saham Sub Sektor Pariwisata Di Bursa Efek Indonesia Agus Arman 377 - 386 34 Faktor-Faktor Pengambilan Keputusan Sebagai Pertimbangan untuk Melanjutkan Studi ke Luar Negeri Rianto Nurcahyo, Raja Halim Harahap, Didiet Gharnaditya 387 - 393 35 Indonesian Manufacturing: Capital Structure in Growth Stages Adnas, Fachruzzaman, Yuliyanti dan Rini Indriani 394 - 404 36 Event Loemadjang Djaman Doloe Strategi Efektif Creative Entepreneur dalam Mendukung Cultural Tourism Nawangsih 405 - 420 37 Kepemimpinan Entrepreneur: Kompetensi dan Kinerja Bidan Endang Suswati 421 - 433 38 Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap Kepuasan Pasien dan Dampaknya Pada Pemulihan Pembiayaan Pada Organisasi Kesehatan Rumah Sakit di Kota Bengkulu Nurman Jaya, Silke Wulandari dan Fachruzzaman 434 - 448 39 The Impact of Entrepreneurship Towards Sustainable Society in Indonesia Year 2015-2016 40 41 Judith Marilyn Tomasowa 449 - 456 Harmonisasi Strategi Bersaing BUMN Jasa Konstruksi Dalam Menghadapi MEA Siddik Siregar 457 - 472 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Pembelian Smartphone Samsung Galaxy (Studi Kasus: Mahasiswa FEB Universitas Papua) Rintar Agus Simatupang dan Florens Wamafma 473 – 489 ix 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 STRATEGI KEBERLANJUTAN KEWIRAUSAHAAN DAN DAYA SAING UMKM DALAM MENGHADAPI MEA Ernani Hadiyati Universitas Gajayana Malang [email protected] Abstract: The national economic growth is a manifestation of the contribution of SMEs in Indonesia. The government through various policies have done empowerment and guidance to minimize the problems that have been faced by SMEs. One of the challenges currently faced by the nation and the people in Indonesia are at Implement Presidential Instruction No. 6 of 2014 on Promoting Economic ASEAN (MEA) which is a highly competitive economic region that must be faced by MSMEs. To face the MEA should be able to change the mindset of the SME entrepreneurs of conditions threats into business opportunities. Change of mindset should be formed through entrepreneurial efforts towards sustainability and competitiveness of MSMEs. The method used is descriptive qualitative by analyzing secondary data as well as using the concept of thought that comes from books and reputable foreign journals and the latest so as to contribute new thinking. From the results of this study will contribute ideas to SMEs in determining the competitive strategy that focuses on entrepreneurial sustainability and competitiveness, while the government may be used in determining the policy considerations with respect to the empowerment of SMEs in the face of the Asian market. Keywards: Suistanability Entreprenenurship, Competitiveness, Government, MSMEs, MEA. Abstrak: Pertumbuhan ekonomi nasional merupakan salah satu wujud kontribusi UMKM di Indonesia. Pemerintah dengan berbagai kebijakan telah melakukan pemberdayaan dan pembinaan untuk meminimumkan permasalahan yang telah dihadapi oleh UMKM. Salah satu tantangan saat ini yang dihadapi oleh bangsa dan masyarakat di Indonesia adalah di Implementasikan Instruksi Presiden RI No 6 Tahun 2014 tentang Memasyarakatkan Ekonomi ASEAN (MEA) yang merupakan kawasan ekonomi sangat kompetitif yang harus dihadapi pengusaha UMKM. Untuk menghadapi MEA harus mampu merubah pola pikir pengusaha UMKM dari kondisi ancaman menjadi peluang usaha. Perubahan pola pikir harus dibentuk melalui upaya terhadap keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing pengusaha UMKM. Metode penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif dengan menganalisa data sekunder serta menggunakan konsep pemikiran yang bersumber dari buku dan jurnal asing bereputasi dan terbaru sehingga mampu memberikan kontribusi pemikiran yang baru. Dari Hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi pemikiran kepada UMKM dalam menentukan strategi bersaing yang memfokuskan pada kewirausahaan keberlanjutan dan daya saing sedangkan bagi Pemerintah dapat digunakan pertimbangan dalam menentukan kebijakan sehubungan dengan pemberdayaan UMKM dalam menghadapi pasar Asia. Kata Kunci : Keberlanjutan Kewirausahaan, Daya Saing, Pemerintah, UMKM dan MEA. PENDAHULUAN Sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tertanggal 1 September 2014 tentang Peningkatan Daya Saing Nasional Dalam Rangka Menghadapi Masyarakat Ekonomi Association Of Southeast Asian Nations (MEA), Presiden Republik Indonesia telah menugaskan pemerintah pusat dan daerah. Pelaksanaan kebijakan salah satunya mampu meningkatkan daya saing nasional dan persiapan pelaksanaan MEA. Pembentukan Komunitas ASEAN 2015 berlandaskan pada 3 pilar, yaitu Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community), dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community). 1 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Komunitas Ekonomi ASEAN 2015, akan diarahkan kepada pembentukan sebuah integrasi ekonomi kawasan dengan mengurangi biaya transaksi perdagangan, memperbaiki fasilitas perdagangan dan bisnis, serta meningkatkan daya saing sektor UMKM (Bustami, G, 2013). Usaha mikro kecil dan menengah merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam perekonomian Indonesia, oleh karena itu UMKM memiliki harus melakukan persiapan yang cukup baik dalam menghadapi MEA sehingga perekonomian Indonesia dapat tumbuh dengan cepat seiring berjalannya MEA yang dimulai sejak tahun 2015. Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memegang peranan penting dalam memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan masalah ekonomi dan sosial di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan UKM memberikan kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menimbulkan pemerataan ekonomi bagi masyarakat Indonesia (Prayogo, 2016). Sampai saat ini, pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja sebanyak 114.144.082 orang atau 96,99%, PDB sebesar Rp 1.536.918.900 atau 57,56%, ekspor non-migas sebesar Rp 182.112.700 atau 15,68% dan investasi sebesar Rp 341.341.600 atau 56,15%. Peranan UMKM terhadap perekonomian harus didukung suatu konsep keberlanjutan kewirausahaan yang menunjukkan keberlanjutan pengusaha berpotensi menjadi kekuatan masa depan. Kewirausahaan yang berkelanjutan merupakan suatu konsep melakukan bisnis yang berkomitmen untuk standar etika dan perilaku, memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi, sambil mempertahankan pemeliharaan progresif kesejahteraan masyarakat - termasuk angkatan kerja dan keluarganya, komunitas dan dunia secara keseluruhan pada situasi sekarang dan yang akan datang. John Elkington (1998) dengan teori Triple Bottom Line (TBL) yang merupakan perspektif baru berhasil menjelaskan komponen utama penilaian keberlanjutan yaitu, orang, planet dan profit. Tiga unsur ini di model integratif, TBL tentang korelasi antara ekonomi kemakmuran, keadilan sosial dan perlindungan lingkungan dan mengemukakan pentingnya untuk mencapai tujuan jangka panjang. Progresif, kebutuhan untuk pendekatan keseluruhan dengan mempertimbangkan sosial, ekologi dan ekonomi merupakan pergeseran paradigma baru dalam dunia bisnis. Pengembangan organisasi dilakukan dengan lebih terbuka dengan isu-isu sosial dan lingkungan dengan memperhatikan pertumbuhan masyarakat, hak asasi manusia pada umumnya dan tenaga kerja kondisi tertentu. Disisi lain pengusaha mulai memperhatikan tentang isu-isu ekologi, mulai dari perlindungan lingkungan, teknologi berkelanjutan dan pengembangan produk bersih untuk penerapan prinsip-prinsip etika yang kuat dalam keputusan kewirausahaan. Acosta et-al (2016). Hal ini menyebabkan munculnya perspektif baru profitabilitas bisnis, sekarang disebut sebagai kinerja perusahaan dengan memasukkan nilai-nilai sosial dan lingkungan (Bell, J.F.; Stellingwerf, J.J (2012), Muñoz, P, 2013). Pendekatan kewirausahaan berkelanjutan akan mendukung perusahaan UMKM untuk memiliki daya saing dalam menghadapi MEA. Daya saing adalah sebuah konsep yang melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti keunggulan komparatif atau perspektif daya saing harga, strategi, dan perspektif manajemen, juga perspektif sebagai sejarah dan sosial budaya (Nelson, 1992; Waheeduzzaman & Ryans, 1996) dipahami sebagai kemampuan untuk meningkatkan pangsa pasar, laba, pertumbuhan, nilai tambah dan untuk tetap kompetitif untuk jangka panjang (Ramasamy, 1995). UMKM harus mampu meningkatkan daya saing, serta meningkatkan efisiensi bisnis, sehingga kualitas maupun kuantitas proses bisnis dapat lebih baik dan lebih berdaya saing, mengingat UMKM memiliki peranan penting terhadap perekonomian nasional (Hadiyati, E, 2017). Menyadari peran UMKM sebagai kelompok usaha yang memiliki jumlah paling besar dan cukup dominan dalam perekonomian, maka pencapaian kesuksesan MEA 2015 mendatang juga akan dipengaruhi oleh kesiapan UMKM. Di Indonesia, UMKM hingga saat ini masih menghadapi berbagai 2 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 permasalahan baik yang bersifat klasik atau intermediate atau advanced. Permasalahan tersebut bisa berbeda di satu daerah dengan daerah lain atau antar sektor atau perusahaan pada sektor yang sama. Namun ada sejumlah permasalahan yang umum dihadapi oleh semua UMKM. Walaupun perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi oleh meratanya peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya produktivitas. Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu: rendahnya kualitas SDM UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, lemahnya kewirausahaan dari para pelaku UMKM, dan terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan, informasi, teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Permasalahan ini dipecahkan dengan upaya yang tidak terlepas dari peran pemerintah melalui arah dan kebijakan strategi pembangunan yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 20152019. Untuk mencapai strategi pembangunan tersebut, maka keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing untuk UMKM merupakan suatu konsep yang tepat dalam menghadapi MEA. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis strategi keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing pada UMKM dalam menghadapi MEA. TINJAUAN PUSTAKA Dasar Hukum Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberdayaan UMKM Dalam Menghadapi MEA 1. UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM Prinsip Pemberdayaan Pasal 4 Prinsip pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: a. penumbuhan kemandirian, kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan prakarsa sendiri; b. perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan; c. pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; d. peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan e. penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu. 2. Instruksi Presiden Republik Indonesia No 6 Tahun 2014 tertanggal tanggal 01 September 2014 tentang Peningkatan Daya Saing Nasional Dalam menghadapi MEA. Pelaksanaan peningkatan daya saing nasional dan persiapan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berpedoman pada strategi pemberdayaan UMKM : 1. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang fokus pada: a. Peningkatan Daya Saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dari Sisi Pembiayaan; b. Pengembangan Daya Saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam Rangka Peningkatan Eligibilitas dan Kapabilitas Daya Saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; c. Mendorong Pemberdayaan Sektor Riil dan Daya Saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; 2. Pengembangan Tenaga Kerja, yang fokus pada: a. Peningkatan Daya Saing Tenaga Kerja; b. Peningkatan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja; 3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019. Strategi Peningkatan Daya Saing dan Produktivitas dijelaskan melalui peningkatan pembaharuan keterampilan tenaga kerja dan peningkatan penguasaan iptek/inovasi melalui penumbuhan entrepreneur berbasis inovasi teknologi (teknopreneur). 3 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Definisi Dan Kriteria Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Batasan umum dalam artikel ini mendefinisikan UMKM untuk industri pengolahan dan non industri. Untuk definisi UMKM untuk industri pengolahan mengikuti definisi BPS berdasarkan jumlah tenaga kerja sebagai berikut: 1. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah tangga maupun suatu badan yang mempunyai pekerja antar 1-4 orang. 2. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah tangga maupun suatu badan yang mempunyai pekerja antar 5-19 orang. 3. Usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah tangga maupun suatu badan yang mempunyai pekerja antar 20-99 orang Sedangkan definisi UMKM mengikuti definisi non industri, menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM adalah sebagai berikut: 1. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah tangga maupun suatu badan yang memiliki aset bersih sampai dengan Rp. 50.000.000 dan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan tahunan sampai dengan Rp. 300.000.000. 2. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah tangga maupun suatu badan yang memiliki aset bersih sampai dengan Rp. 50.000.000 sampai dengan Rp. 500.000.000 dan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan tahunan sampai dengan Rp. 300.000.000 sampai dengan Rp. 2,5 miliar. 3. Usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan bik oleh perorangan atau rumah tangga maupun suatu badan yang memiliki aset bersih sampai dengan Rp. 500.000.000 sampai dengan Rp. 10.000.000 miliar dan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan tahunan sampai dengan Rp. 2,5 miliar sampai dengan Rp. 50 miliar. Sebagai kelengkapan definisi UMKM ditambahkan pendapat dari Baswir, R (2010:134) mengatakan tentang ciri-ciri umum usaha kecil adalah sebagai berikut: (1) Kegiatan cenderung tidak formal dan jarang memiliki rencana usaha, (2) Struktur organisasi bersifat sederhana, (3) Jumlah tenaga kerja terbatas dengan pembagian kerja yang longgar, (4) Kebanyakan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan, (5) Sistem akutansi kurang baik, bahkan kadang-kadang tidak memilikinya sama sekali, (6) Skala ekonomi terlalu kecil sehingga sukar menekan biaya, (7) Kemampuan pemasaran serta diversifikasi pasar cenderung terbatas; dan (8) Marjin keuntungan sangat tipis. Keberlanjutan Kewirausahaan (Sustanibility Entrepreneurship) pada UMKM Konsep Keberlanjutan Usaha Konsep keberlanjutan kewirausahaan yang menunjukkan keberlanjutan pengusaha berpotensi menjadi kekuatan masa depan. Rey Leonaris (2011) menyatakan kewirausahaan telah dikaitkan dengan penciptaan kekayaan dan pertumbuhan ekonomi dan akibatnya dipromosikan dan didorong dalam masyarakat modern. Kewirausahaan yang berkelanjutan di berbagai makalah, semua menyampaikan definisi yang sama: melakukan bisnis yang berkomitmen untuk standar etika dan perilaku, memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi, sambil mempertahankan pemeliharaan progresif kesejahteraan masyarakat - termasuk angkatan kerja dan keluarganya, komunitas dan dunia secara keseluruhan, penduduk sekarang dan masa depan. 4 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Corporate Social Responsibility (CSR) sering dibandingkan dengan kewirausahaan yang berkelanjutan, namun masih ada perbedaan yang mencolok antara keduanya. CSR berfokus terutama pada perusahaan dan tanggung jawab korporasi untuk masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Terminologi kewirausahaan yang berkelanjutan, yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial, ekologi dan ekonomi baik secara internal maupun eksternal, bukan tanggung jawab sosial perusahaan. Kewirausahaan berkelanjutan, di sisi lain, berusaha untuk mengatur pola pikir yang universal untuk berlatih metode berkelanjutan di seluruh organisasi, dari personil internal untuk barang yang dibeli dari mitra, dari atas ke bawah. Untuk lebih jelasnya keberlanjutan kewirausahaan dari pendapat John Elkington (1998) dapat dilihat pada gambar 3. John Elkington (1998) dengan teori Triple Bottom Line (TBL) yang merupakan perspektif baru berhasil menjelaskan komponen utama penilaian keberlanjutan, yaitu, orang, planet dan profit. Tiga unsur ini di model integratif, TBL tentang korelasi antara kemakmuran ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan lingkungan dan mengemukakan pentingnya untuk mencapai tujuan jangka panjang. Progresif, kebutuhan untuk pendekatan keseluruhan dengan mempertimbangkan sosial, ekologi dan ekonomi merupakan pergeseran paradigma baru dalam dunia bisnis (Acosta et-al, 2016). Hal ini menyebabkan munculnya perspektif baru profitabilitas bisnis yang disebut kinerja perusahaan dengan memasukkan nilai-nilai sosial dan lingkungan (Bell, J.F.; Stellingwerf, J.J (2012), Muñoz, P, 2013). Kewirausahaan berkelanjutan akan membentuk norma dapat menghasilkan standar kualitas hidup yang lebih tinggi dan untuk sektor sosial, ekologi dan ekonomi dapat terus meningkat. Untuk perbandingan ilustrasi dari gambar 3, keberlanjutan kewirausahaan dapat dilihat sebagai reaksi terhadap mendeteksi permintaan suatu produk yang berkelanjutan untuk memperoleh keuntungan. Keberla Ekonomi njutan Kewiraus ahaan Ekologi Sosial Gambar 3 Keberlanjutan Kewirausahaan (Sustainibility Entrepreneurship) Triple Bottom Line (TBL) John Elkington (1998). . Keberlanjutan Kewirausahaan melibatkan pernyataan bahwa setiap langkah dan setiap faktor mematuhi tiga aspek mendasar bagi masyarakat dan sumber daya yang terlibat, terlepas dari produk. Kewirausahaan berkelanjutan melihat fokus pada proses internal dan segala sesuatu di sekitarnya sesuai output dari bisnis, sementara keberlanjutan kewirausahaan berfokus pada pemenuhan peluang di pasar. Bell dan Stellingwerf (2012) menjelaskan bahwa keberlanjutan kewirausahaan melibatkan pengusaha yang berusaha dan sangat termotivasi untuk memecahkan masalah sosial, memperhatikan untuk manajemen sumber daya manusia dalam hal perekrutan, pembangunan berkelanjutan (dengan membangun pembelajaran lingkungan dan budaya) dan pelatihan orang yang tepat dalam bisnis. Pengusaha-bisnis yang berkelanjutan perlu memberikan rasa tanggung jawab dan akuntabilitas dan memastikan bahwa tidak terjadi eksploitasi (yang melibatkan pemangku kepentingan, seperti pekerja, mitra, masyarakat). Dalam kerangka TBL, laba memiliki kemanfaatan masyarakat umum dan khusus yang terlibat dari entitas praktek dari bisnis yang berkelanjutan. Cohen dan Winn (2007) mendefinisikan kewirausahaan yang berkelanjutan yang mengedepankan pentingnya "masa depan" barang dan jasa yang ditemukan, diciptakan, dan dieksploitasi, oleh siapa, dan dengan bagaimana 5 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 konsekuensi ekonomi, psikologis, sosial, dan lingkungan. Sistem yang berkelanjutan dapat dicirikan "kompleks, tersebar, global, tidak pasti, saling bergantung dan memiliki cakrawala jangka panjang ". Orientasi perusahaan terhadap keberlanjutan dinilai dengan menganalisis ekonomi Tujuan pengukuran kesejahteraan untuk melihat "peluang bisnis untuk membawa keberadaan produk masa depan, proses dan jasa, dengan kontribusi untuk mempertahankan perkembangan masyarakat, ekonomi dan lingkungan dan akibatnya untuk meningkatkan kesejahteraan generasi mendatang” (Muñoz, P, 2013.). Margolis, Elfenbein dan Walsh (2016) menetapkan bahwa kinerja keuangan perusahaan berkinerja baik dengan melibatkan kinerja sosial, yang mengacu pada reputasi perusahaan yang baik. Schaltegger dan Wagner (2011) menjelaskan bahwa peran kunci dari pemangku kepentingan yang memiliki harapan dan tuntutan, memberikan masukan yang relevan untuk peluang bisnis dan kinerja. Dari hasil penelitian Acosta (2016) menjelaskan bahwa sikap kewirausahaan positif terhadap orang dan keuntungan (dalam logika TBL) yang mungkin dilihat sebagai prasyarat perilaku dari bisnis masa depan yang digambarkan dalam kewirausahaan yang berkelanjutan. Kemanfataan Keberlanjutan kewirausahaan Dalam Kinerja Perekonomian Kewirausahaan Berkelanjutan selain menguntungkan UMKM juga untuk kemajuan perekonomian suatu negara secara keseluruhan. Crals dan Vereeck (2004) menyatakan bahwa keberlanjutan kewirusahaan UKM berpengaruh signifikan terhadap perekonomian negara dalam hal pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Hal ini diperkuat oleh pendapat Shapeer (2002) menyatakan bahwa 95% dari UKM telah memiliki tanggung jawab terhadap kinerja perekonomian negaranya. Kegiatan ekspor dari UKM juga akan memperkuat perekonomiannya (Bremen, 2002). Pernyataan Bos (2002) bahwa UKM akan mendapatkan keuntungan apabila semua perusahaan mematuhi gaya hidup yang berkelanjutan dan tidak melakukan kegiatan yang mengakibatkan kesan negatif terhadap reputasi perusahaan. Perusahaan harus menunjukkan kemmpuan yang menonjol dengan UKM yang lain misalnya mampu dalam mengembalikan dana pinjaman serta memiliki cash flow yang dapat dipertanggung jawabkan untuk operasional perusahaan. Krueger (2005) berpendapat tentang kewirausahaan yang berkelanjutan, yang merupakan kombinasi pengertian antara keberlanjutan dan kewirausahaan sehingga menjadi pengertian yang menarik yang mengambil unsur kesempatan kewirausahaan dan "memperluas" pengertian bukan hanya mengubah peluang ekonomi, tetapi juga membuka batas sosial dan lingkungan. Bidang keberlanjutan kewirausahaan secara aktif mencari peluang untuk menyusun perencanaan strategis yang didukung oleh potensi yang menguntungkan. Krueger (2005) mendefinisikan bagaimana peluang berbasis lingkungan ini dapat ditemukan dalam lima pernyataan sebagai berikut: Pertama, bahwa anggota organisasi memiliki kesetiaan yang kuat dalam mencari peluang potensial. Kedua, untuk menciptakan beberapa peluang, dan kemudian membandingkan satu sama lain untuk membuat keputusan (s) untuk pilihan terbaik dalam hal kelangsungan hidup perusahaan. Ketiga, menyatakan bahwa mengenali peluang adalah refleksi dari proses yang disengaja. Artinya, sebagai niat didorong oleh keinginan yang bertekad untuk menjadi layak, pengusaha berkelanjutan adalah tipe orang yang memiliki pemikirn untuk dapat memecahkan masalah ekonomi. Pengusaha yang memiliki pandangan tentang ekonomi solusinya selain kecenderungan kewirausahaan, akan memulai tren ekonomi dan sosial tumbuh yang sosial dan juga ramah lingkungan. Keempat, pengusaha menunjukkan mental sebagai inovator yang menunjukkan kepercayaan pada gagasan bahwa pengusaha memiliki mental dengan pendekatan yang baik dan berbasis kesempatan atau ancaman, tergantung pada persepsi lingkungan. Kelima, pengusaha membawa banyak sumber literatur tentang kewirausahaan dan inovasi tentang konsep intensionalitas (yang fokus terhadap subjek atau tujuan) dan self-efficacy (keyakinan dengan menetapkan pada pikiran untuk dapat mencapai sesuatu). 6 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Daya Saing Dalam Pemberdayaan UMKM Konsep Daya Saing Pada UMKM Pentingnya peran UKM dalam mendorong perekonomian Indonesia tentunya harus diiringi dengan kesadaran untuk memperkuat UKM dengan meningkatkan daya saing melalui peningkatan produktivitas dan efesiensi. Daya saing adalah sebuah konsep populer di berbagai tingkat studi dan melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti keunggulan komparatif atau perspektif daya saing harga, strategi, dan perspektif manajemen, juga perspektif sebagai sejarah dan sosial budaya (Nelson, 1992; Waheeduzzaman & Ryans, 1996). Konsep ini juga dipahami sebagai kemampuan untuk meningkatkan pangsa pasar, laba, pertumbuhan, nilai tambah dan untuk tetap kompetitif untuk jangka panjang (Ramasamy, 1995). Mohammad dan Khar (2010) mengatakan bahwa daya saing dicirikan dengan 3 (tiga) hal meliputi: orientasi jangka panjang, kontrolabilitas, relativitas, dan dinamika. Studi dikembangkan untuk penelitian O'Farrell, Hitchens, dan Moffat (1992) menunjukkan hubungan antara sumber daya saing dan kinerja perusahaan, harga, kualitas, desain, pemasaran, dan pengelolaan. Selain itu, Slevin dan Covin (1995) mengukur "total daya saing" UKM, menghadiri beberapa faktor, seperti, struktur perusahaan, budaya, sumber daya manusia, dan pengembangan produk/layanan. Pendekatan teoretis (Stoner, 1987; Pratten, 1991) disorot sejumlah faktor spesifik perusahaan masing-masing, keuangan, sumber daya manusia dan teknologi, organisasi struktur dan sistem, produktivitas, inovasi, kualitas, produktivitas, citra dan reputasi, budaya, layanan produk/berbagai layanan, fleksibilitas, dan pelanggan. Juga sumber internal saing yang lain, khususnya faktor manusia, yaitu, peran yang dimainkan oleh pemilik/manager dan keterampilan mereka dan pengalaman (Stoner, 1987). Salavou, Baltas, dan Lioukas (2004) menunjukkan beberapa keuntungan dari UKM lebih dari perusahaan besar karena ukuran dan fleksibilitas dalam beradaptasi dengan perubahan seperti, pasar dan pembelajaran berorientasi dan ketika menghadapi persaingan kuat, UKM cenderung lebih inovatif dan tangguh. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing UKM dapat dibagi menjadi dua kelompok, eksternal dan faktor internal (Carvalho, L, 2014). Gambar 1 menyajikan beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing UKM. Hal ini didukung oleh pendapat Jahanshahi, Nawaser, Khaksar, Kamalian (2011) menjelaskan bahwa aspek yang mempengaruhi daya saing UMKM meliputi: (1) faktor-faktor internal perusahaan; (2) lingkungan eksternal; dan (3) pengaruh dari pengusaha/pemilik usaha. Pengukuran Daya Saing Untuk mengukur daya saing adalah tugas yang sulit, karena beberapa nilai-nilai, indikator, atau fitur dapat diukur dan diakses. Secara umum dari UMKM tidak dihitung atau diakses dan harus diidentifikasi pada tingkat perusahaan. Jorgensen dan Knudesen (2006) merujuk faktor lain yang relevan dengan daya saing UKM, seperti kemampuan UKM untuk bertindak di pasar global. Untuk bersaing di global pasar, UKM harus meningkatkan daya saing masing-masing (Fassoulsa, 2006) serta memperoleh keuntungan dan mengeksploitasi efek sinergi dengan hubungan kerja sama dengan UKM lain dan lembaga mitra terkait. Man dkk. (2002) membuat suatu model konseptual untuk menghubungkan karakteristik-karakteristik dari manager atau pemilik UKM dan kinerja perusahaan jangka panjang. Model konseptual untuk daya saing UKM tersebut terdiri dari empat (4) elemen: skop daya saing perusahaan, kapabilitas organisasi dari perusahaan, kompetensi pengusaha/pemilik usaha, dan kinerja. Hubungan antara kompetensi dan tiga elemen lainnya itu merupakan inti dari model tersebut, dan hubungan itu dapat dihipotes akan kedalam tiga (3) tugas prinsip pengusaha: (a) membentuk skop daya saing; (b) menciptakan kapabilitas organisasi; (c) menetapkan tujuan-tujuan dan mencapainya. 7 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Faktor Internal Pemaaran Faktor Eksternal Daya Saing UMKM Tenaga Kerja Inovasi Global Productivitas Modal Ekonomi dan Sosial Manajemen Indikator Pengukuran: Organisasi dan Struktur Efisiensi Pendapatan, ekspor, profit,market share, Jaringan Aliansi productivitas, corporate Gambar 2. Daya value, kepuasan pelanggan, nilai produkdan jasa Saing UMKM (Carvalho Luisha, 2014) Garg, Deshmukh (2008) menjelaskan bahwa berbagai bidang pengembangan strategi oleh UMKM untuk daya saing. Bidang utama dipertimbangkan dalam rangka untuk studi ini dengan kondisi pasar, pengembangan strategi, prioritas kompetitif, proses, kinerja dan benchmarking. Untuk perbaikan terus-menerus dari berbagai proses dan ukuran kinerja, organisasi perlu patokan dengan standar yang tersedia. Persaingan suatu perusahaan sebagian besar tergantung pada kemampuannya untuk melakukan dengan baik dalam dimensi seperti biaya, kualitas, pengiriman, kehandalan dan kecepatan, inovasi dan fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan variasi dalam permintaan (Carpinetti et al., 2000). Peran yang sangat penting dalam upaya daya saing dalam jangka panjang. Empat prioritas kompetitif diterima secara luas adalah biaya, pengiriman, kualitas dan fleksibilitas. Prioritas daya saing dapat digunakan sebagai ukuran daya saing (eksternal) dan kompetensi (internal). Menurut Fleury (2003), organisasi harus mengoptimalkan kualitas/rasio harga untuk keunggulan operasional. Dangayach dan Deshmukh (2005) telah mengamati bahwa UMKM memberikan prioritas tertinggi untuk kualitas dan yang paling prioritas fleksibilitas. Lagace dan Bourgault (2003) telah menganjurkan untuk menghubungkan dari manufaktur program perbaikan dan praktek dengan prioritas daya saing UMKM. Oleh karena itu, prioritas daya saing harus diputuskan sangat hati-hati. Daya saing suatu perusahaan tercermin dari daya saing produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Daya saing perusahaan ditentukan oleh banyak faktor, meliputi: keahlian pekerja, keahlian pengusaha, ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis), ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti enerji, bahan baku. Keahlian pekerja dan pengusaha adalah aspek sumber daya manusia (SDM). Kehlian pekerja memiliki keahlian meliputi bidang produksi, pemasaran, penelitian dan pengambangan. Keahlian pengusaha memiliki keahlian tentang wawasan bisnis meliputi lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhi perusahaan serta keahlian berinovasi untuk menciptakan daya saing. Shahid (2007) menyatakan bahwa kemampuan UMKM dalam melakukan inovasi diantaranya adalah kreativitas dan wawasan bisnis yang ditekuninya. UMKM yang memiliki daya saing yang tinggi memiliki ciri oleh sejumlah aspek internal yang terkait dengan 7 (tujuh) faktor tersebut dan faktor eksternal yang terkait dengan kinerja (Tambunan, 2010). Pendapat tersebut didukung oleh Septiani, Sarma, Limbong (2012) menjelaskan bahwa daya saing menggunakan sub peubah: (1) pangsa pasar dalam negeri yang didefinisikan komitmen terhadap persaingan pasar dalam konteks daya saing 8 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 UMKM, terkait pangsa pasar yang dimiliki. (2) Diversifikasi pasar domestik didefinisikan komitmen terhadap persaingan pasar dalam konteks daya saing IK, terkait diversifikasi pasar domestik. (3) Nilai produk didefinisikan komitmen terhadap persaingan pasar dalam konteks daya saing produk, terkait nilai jual produk. (4) Kepuasan konsumen terhadap produk didefinisikan komitmen terhadap persaingan pasar dalam konteks daya saing produk, dalam memberikan kepuasan bagi konsumen. Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa daya saing dari UMKM akan menentukan kinerja dari perusahaan. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan eksploratif deskriptif dengan mengimplementasikan konsep keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing sektor UMKM dalam menghadapi MEA. Dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan kajian literatur atau studi pustaka. Pendekatan teori/konsep dilakukan dengan merujuk dari beberapa sumber, seperti buku, jurnal ilmiah, dan internet. Semua uraian gagasan yang ada digabungkan dalam satu susunan kerangka pemikiran. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan dan Kontribusi UMKM terhadap Perekonomian Nasional Peluang pasar UKM Indonesia baik secara domestik, regional maupun global sangat besar. Hal ini disebabkan peran pelaku UMKM yang mayoritas menguasai sektor-sektor usaha strategis dan sehingga kinerjanya mampu memberikan kontribusi terhadap perekonimian yang cukup signifikan. pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan dan kontribusi UMKM dalam perekonomian nasional sesuai data BPS tahun 2010-2013 yang menunjukkan persentase pertumbuhan: jumlah UMKM, jumlah tenaga kerja, kontribusi PDB, Nilai eksport. Untuk lebih jelasnya data dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Kontribusi UMKM Terhadap Perekonomian Nasional Tahun 2010-2013 Indikator Pertumbuhan Dalam (%) Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Jumlah UMKM 2,01 2,57 2,41 2,41 Jumlah Tenaga Kerja 3,32 2,33 5,83 6,03 Kontribusi PDB 5,77 6,76 6,00 5,89 Jumlah Nilai Eksport 8,41 6,56 11,10 9,29 Sumber : BPS, 2017. https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1322. Pada tabel 1 menunjukkan bahwa persentase jumlah UMKM tahun 2010-2011 meningkat (0,56%), tahun 2011-2012 mengalami penurunan (0,16%), dan tahun 2012-2013 tidak ada peningkatan. Jumlah tenaga kerja dari tahun 2010-2011 menurun (0,99%), tahun 2011-2012 meningkat (3,5%), tahun 2012-2013 meningkat (0,2 %). Kontribusi PDB tahun 2010-2011 meningkat (0,99%), tahun 2011-2012 menurun (0,76%), tahun 2012-2013 menurun (1,1 %). Jumlah nilai 9 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 eksport tahun 2010-2011 menurun (1,85%), tahun 2011-2012 meningkat (4,54%), tahun 2012-2013 menurun (1,81%). Sesuai kondisi data menunjukkan bahwa kinerja UMKM terhadap kontribusi perekonomian secara umum menunjukkan berfluktuasi. Jumlah unit usaha UMKM 2 tahun terakhir pertumbuhan tidak meningkat. Demikian juga untuk jumlah tenaga kerja. Kontribusi UMKM terhadap PDB 2 periode terakhir mengalami penurunan dan untuk nilai eksport tahun 2013 pertumbuhannya mengalami penurunan. Kewirausahaan Berkelanjuatan (Suistanability Entrepreneurship) dan UMKM Terminologi kewirausahaan berkelanjutan, yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial, ekologi dan ekonomi baik secara internal maupun eksternal merupakan suatu paradigma baru yang tepat diimplementasikan UMKM dalam menghadapi pasar ASIA. John Elkington (1998) dengan teori Triple Bottom Line (TBL) yang merupakan perspektif baru berhasil menjelaskan komponen utama penilaian keberlanjutan, yaitu, orang, planet dan profit. Tiga unsur ini di model integratif, TBL tentang korelasi antara kemakmuran ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan lingkungan dan mengemukakan pentingnya untuk mencapai tujuan jangka panjang. Pergeseran paradigma dalam dunia bisnis melakukan pendekatan sosial, ekologi dan ekonomi. Semakin luasnya pasar yang dihadapi UMKM pengusaha dalam pengembangan organisasi telah menjadi lebih terbuka untuk isu-isu sosial dan lingkungan dengan memperhatikan pertumbuhan masyarakat, hak asasi manusia pada umumnya dan tenaga kerja untuk penerapan prinsip-prinsip etika yang kuat dalam keputusan kewirausahaan. Hasil penelitian Acosta, et-al (2016) menjelaskan adanya hubungan positif antara kewirausahaan berkelanjutan dan kinerja bisnis dalam kasus UKM Rumania. Kewirausahaan berkelanjutan ditujukan, dengan mempertimbangkan aspek sosial (perhatian diberikan kepada para pemangku kepentingan, seperti masyarakat, mitra, pekerja, dan lain-lain), aspek lingkungan (mengacu perlindungan jangka panjang dan pengurangan efek negatif), dan aspek ekonomi (fokus pada pertumbuhan ekonomi). Indonesia mempunyai kekuatan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi mencapai (4,5%) setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India. Ini akan menjadi modal yang penting untuk mempersiapkan masyarakat Indonesia menuju AEC tahun 2015. Sebagai salah satu dari tiga pilar utama ASEAN Community 2015, ASEAN Economic Community yang dibentuk dengan misi menjadikan perekonomian di ASEAN menjadi lebih baik serta mampu bersaing dengan negaranegara yang perekonomiannya lebih maju dibandingkan dengan kondisi negara ASEAN saat ini. Selain itu juga dengan terwujudnya ASEAN Community yang di dalamnya terdapat AEC, dapat menjadikan posisi ASEAN menjadi lebih strategis di kancah Internasional, dan diharapkan dengan terwujudnya komunitas masyarakat ekonomi ASEAN ini dapat membuka mata semua pihak, sehingga terjadi suatu dialog antar sektor yang nantinya akan saling melengkapi diantara para stakeholder sektor ekonomi di negara negara ASEAN. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk ke-4 terbesar di dunia dengan jumlah penduduk 242 juta jiwa lebih, Indonesia memiliki potensi SDM yang sangat besar dari segi kuantitas. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 242,3 juta jiwa atau setara dengan dua perlima penduduk total ASEAN pada tahun 2011, membuat posisi Indonesia harus menjadi perhatian bagi negara-negara ASEAN. Peluang Indonesia untuk dapat bersaing dalam MEA 2015 sebenarnya cukup besar, saat ini Indonesia merupakan peringkat 16 di dunia untuk besarnya skala ekonomi. Besarnya skala ekonomi juga didukung oleh proporsi penduduk usia produktif dan pertumbuhan kelas menengah yang besar. Prospek ekonomi Indonesia yang positif juga didukung oleh perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh lembaga pemeringkat dunia serta masuknya Indonesia sebagai peringkat empat prospective destinations berdasarkan UNCTAD World Investment report. Makin kuatnya fundamental perekonomian 10 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Indonesia dapat dilihat dengan banyak negara yang “tumbang” dalam kancah perekonomian global dan perekonomian Indonesia masih dapat terjaga untuk tumbuh positif. UMKM pada umumnya berbasis pada sumber daya ekonomi lokal dan tidak bergantung pada impor, serta hasilnya mampu diekspor karena keunikannya, sehingga pembangunan UMKM diyakini akan memperkuat fondasi perekonomian nasional.Pertumbuhan UMKM akan menjadi pelaku utama yang produktif dan berdaya saing dalam perekonomian nasional. Daya Saing Globalisasi dan Keunggulan Kompetitif UMKM Di Indonesia Tambunan (2001), menyatakan bahwa tingkat daya saing suatu negara di kancah perdagangan internasional, pada dasarnya amat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (Competitive advantage). Lebih lanjut, faktor keenggulan komparatif dapat dianggap sebagai faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan. Selain dua faktor tersebut, tingkat daya saing suatu negara sesungguhnya juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Sustainable Competitive Advantage (SCA) atau keunggulan daya saing berkelanjutan. Ini terutama dalam kerangka menghadapi tingkat persaingan global yang semakin lama menjadi sedemikian ketat/keras atau hyper competitive. Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF), yang merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia. Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34. Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global. Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan infrastruktur. Meskipun infrastruktur masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas. Pengertian daya saing tidak hanya relevan untuk perdagangan internasional tetapi juga untuk investasi. Negara dengan indeks daya saing global (global competitiveness index, CGI) yang tinggi akan lebih menarik bagi investor asing dibandingkan negara dengan GCI yang lebih rendah. Laporan tahun WEF dan laporan Bank Dunia yaitu Doing Business, termasuk sumber informasi yang digunakan oleh calon investor asing mengenai Negara-negara tujuan investasi mereka. Menurut Tambunan (2008), UMKM yang berdaya saing tinggi dicirikan oleh: (1) kecenderungan yang meningkat dari laju pertumbuhan volume produksi, (2) pangsa pasar domestik dan atau pasar ekspor yang selalu meningkat, (3) untuk pasar domestik, tidak hanya melayani pasar lokal saja tetapi juga nasional, dan (4) untuk pasar ekspor, tidak hanya melayani di satu Negara tetapi juga banyak Negara. Dalam mengukur daya saing UMKM harus dibedakan antara daya saing produk dan daya saing perusahaan. Daya saing produk terkait erat dengan daya saing perusahaan yang menghasilkan produk tersebut. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur daya saing sebuah produk diantaranya adalah: (1) pangsa ekspor per tahun (% dari jumlah ekspor), (2) pangsa pasar luar negeri per tahun (%), (3) laju pertumbuhan ekspor per tahun (%), (6) nilai atau harga produk, (7) diversifikasi pasar domestik, (8) diversifikasi pasar ekspor, dan (9) kepuasan konsumen. Dewasa ini hampir semua pemerintah daerah telah mengembangkan produk atau komoditas unggulan daerah. Penetapan produk unggulan tentunya harus didasarkan pada keunggulan bersaing produk tersebut dibandingkan dengan produk sejenis di luar daerah atau produk sejenis di pasar internasional. Jika upaya mengembangkan 11 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 komoditas unggulan tersebut dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka nantinya akan muncul komoditas daerah yang mempunyai daya saing di pasar internasional. Selanjutnya hasil kajian dari Pusat Inovasi MKM APEC melakukan studi daya saing global UMKM di 13 negara, termasuk Indonesia (Tambunan, 2008). Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia termasuk Negara yang UMKM-nya berdaya saing rendah (skor 3,5 dari nilai skor 1,0–10,0), sedangkan daya saing UMKM Hongkong-China, Amerika Serikat, dan Australia tergolong tinggi. Sedangkan peringkat daya saing Negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina, diatas peringkat Indonesia. Peringkat China juga sedikit di atas peringkat daya saing global UMKM Indonesia. Untuk itu, eksistensi UKM dalam menembus pangsa pasar baik skala domestik, regional, maupun global terbuka sangat lebar. Saat ini dengan berlakunya MEA, ASEAN-China Free Trade Area (CAFTA) dan Free Trade Area (FTA) menjadi salah satu faktor eksternal yang dapat memberikan dorongan serta kesempatan untuk mengakses pasar dan memasarkan produk UKM yang semakin luas. Jumlah UKM di Indonesia sudah lebih dari 57 juta maka sudah sepantasnya pemerintah memetakan potensi UKM. Dari hasil penelitian United States Agency for International Development (USAID) dengan pertumbuhan UMKM sebanyak 2,01 % pertahun. Berkaitan dengan pengembangan UMKM di Indonesia, terutama untuk meningkatkan daya saing di pasar global, maka Tim Peneliti ISEI (2010) merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut: (1) uang tidak tepat sasaran, berpotensi overlapping dan menimbulkan moral hazard. Untuk itu perlu dilakukan adalah koordinasi bantuan kepada UMKM sehingga tepat sasaran. Hal lain adalah bantuan pelatihan teknis produksi, keuangan, pemasaran, dan kewirausahaan perlu ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya. Keikutsertaan UMKM dalam promosi untuk menembus pasar internasional perlu ditingkatkan frekuesinya. (2) Diperlukan insentif untuk diversifikasi produk, pengkayaan desain, dan hak paten untuk produk UMKM. Untuk itu diperlukan kebijakan insentif fiskal dan nonfiskal bagi pengembangan industri kreatif dan pengusaha pioneer. Di samping itu juga perlu dilakukan perlindungan dan sosialisasi mengenai hak paten. (3) Mendorong penggunaan teknologi informasi untuk kegiatan usaha UMKM. Untuk itu diperlukan alokasi APBN kementerian/lembaga bagi UMKM dalam bentuk akses internet yang memadai dan biaya langganan yang terjangkau. Dengan jaringan internet yang tersedia akan memudahkan UMKM untuk memperoleh bahan baku dan memasarkan produknya. (4) Pemberian suku bunga khusus dan skema pembiayaan yang lebih baik khususnya untuk UMKM yang menghasilkan produk yang prospek tinggi di pasar internasional. Di samping itu juga perlu dilakukan penyederhanaan prosedur penyaluran kredit. Peran pemerintah diharapkan sebagai komplementer untuk mendorong berbagai upaya yang telah dilakukan UMKM dalam meningkatkan daya saingnya. Dengan iklim usaha yang kondusif yang diciptakan oleh pemerintah, maka akan memudahkan UMKM untuk meningkatkan daya saing, baik daya saing perusahaan maupun daya saing dari produk yang dihasilkan. Dalam UMKM, pengusaha atau pemilik merupakan penggerak utama perusahaan. Untuk itu kreativitas, jiwa kewirausahaan, jiwa inovatif dari pengusaha yang didukung oleh keterampilan para pekerja merupakan sumber utama dalam peningkatan daya saing UMKM (Iriyani, Dwi, 2015). Menurut Tambunan (2008) ada lima prasyarat utama agar pengusaha dan pekerja UMKM dapat berperan dengan optimal, yaitu: (1) pendidikan, (2) modal, (3) teknologi, (4) informasi, dan (5) input krusial lainnya. Pemenuhan kelima prasyarat tersebut sifatnya harus dinamis, dalam arti harus mengikuti: (1) perubahan pasar yaitu selera konsumen dan tekanan persaingan, (2) perubahan ekonomi nasional dan global, (3) kemajuan teknologi, dan (4) penemuan material baru untuk produksi. Tidak mudah bagi UMKM untuk memenuhi kelima prasyarat tersebut. Perlu di garis bawahi bahwa pemenuhan kelima prasyarat utama tersebut adalah tanggung jawab UMKM sepenuhnya. Bagaimana cara memenuhi adalah bagian strategi yang harus dilakukan oleh UMKM. Strategi yang harus dilakukan oleh UMKM untuk meningkatkan daya saingnya terdiri dari dua komponen. Komponen pertama adalah strategi untuk memenuhi kelima prasyarat utama tersebut. 12 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Pertanyaannya adalah bagaimanakah pengadaan pendidikan, modal, teknologi, informasi, dan input secara kontinyu dan efisien?. Komponen kedua adalah strategi untuk menggunakan secara optimal kelima prasyarat tersebut menjadi produk yang kompetitif. Khusus untuk komponen kedua, perhatian harus difokuskan kepada peningkatan kemampuan produksi dan kemampuan pemasaran. Upaya peningkatan kemampuan produksi termasuk peningkatan teknologi dan kemampuan disain produk. Selanjutnya upaya peningkatan kemampuan pemasaran termasuk promosi, distribusi, dan pelayanan purna jual. Harus diakui sebagian besar UMKM di Indonesia lemah dalam penguasaan teknologi dan juga dalam strategi pemasaran. PENUTUP Simpulan Pergeseran paradigma baru untuk UMKM dalam menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN melalui pendekatan sosial, ekologi dan ekonomi. Dalam pengembangan organisasi pengusaha telah menjadi lebih terbuka untuk isu-isu sosial dan lingkungan dengan memperhatikan pertumbuhan masyarakat, hak asasi manusia pada umumnya. Hal ini menyebabkan munculnya perspektif baru profitabilitas bisnis sebagai kinerja perusahaan dalam konteks keberlanjutan. Daya saing UMKM dalam menghadapi pasar bebas ASEAN perlu menunjukkan keunggulan bersaing sehingga produk tetap dapat diterima oleh pasar. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini hanya dilakukan dengan diskriptif kualitatif yang mengkaji dari beberapa buku, jurnal nasional dan internasional yang menggambarkan budaya bisnis UMKM yang berbeda dengan kondisi UMKM Di Indonesia. Saran Pemerintah dalam strategi pemberdayaan UMKM perlu mempertimbangkan dalam mengimplementasikan paradigma baru untuk menganalisa peluang dan ancaman melalui pendekatan keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing dengan mengintegrasikan tiga komponen: ekonomi, sosial dan ekologi baik untuk strategi pasar domistik ataupun pasar Asia. Pengusaha UMKM dalam menentukan strategi bisnisnya perlu mengimplementasikan pendekatan keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing dalam menghadapi pasar Asia. 13 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA Acosta , et-a (2016). Sustainable Entrepreneurship in SMEs: A Business Performance Perspective. pp. 1-12. www.mdpi.com/journal/sustainability. Bell, J.F.; Stellingwerf, J.J (2012). Sustainable Entrepreneurship: The Motivations & Challenges of Sustainable Entrepreneurs in the Renewable Energy Industry. Master’s Thesis, Jönköping International Business School, Jönköping, Sweden. Bustami, Gusmardi (2013). Menuju Asean Economy Community. Jakarta: Departemen Perdagangan. Carpinetti, L.C.R., Gerolamo, M.C. and Dorta, M. (2000), “A conceptual framework for deployment of strategy-related continuous improvements”, The TQM Magazine, Vol. 12 No. 5, pp. 340-9. Carvalho L, (2014). Small and Medium Enterprises (SMEs) and Competitiveness: An Empirical Study. Management Studies, ISSN 2328-2185 February, Vol. 2, No. 2, 88-95 Cohen, B.;Winn, M.I. (2007). Market imperfections, opportunity and sustainable entrepreneurship. J. Bus. Ventur., 22, 29–49. Crals, E. and Vereeck, L. (2004), ‘Sustainable Entrepreneurship in SMEs. Theory and Practice.’, Belgium: Limburgs Universitair Centrum. Fassoulsa, E. D. (2006). Transforming the supply chain. Journal of Manufacturing Technology Management, 17(6), 848-860. Fleury, A. and Fleury, M.T. (2003), “Competitive strategies and core competencies: perspectives for the internationalization of industry in Brazil”, Integrated Manufacturing Systems, Vol. 14 No. 1, pp. 16-25. Garg, Deshmukh (2008). Strategy development by SMEs for competitiveness: a review. Benchmarking: An International Journal Vol. 15 No. 5, 2008 pp. 525-547 q Emerald Group Publishing Limited 1463-5771DOI 10.1108/14635770810903132 Hadiyati E, (2017). Strategi Keunggulan Bersaing Industri Kreatif Dalam Menghadapi MEA. Pidato Ilmiah Pada Acara Pengukuhan Guru Besar di Universitas Gajayana Malang, Selasa, 31 Januari 2017. Iriyani, Dwi (2015). Penguatan Dan Peningkatan Daya Saing Pada UMKM Sebagai Strategi Menghadapi MEA. repository.ut.ac.id/4558/1/2015-dn-010.pdf Jorgensen, A. L., & Knudesen, J. S. (2006). Sustainable competitiveness in global value chains: How do small Danish firms behave. Corporate Governance, 8(4), 449-462. Krueger, N. F. (2005), ‘Social entrepreneurship: Further broadening the definition of ‘Opportunity’, International Conference on Social Entrepreneurship, Barcelona. Man T.W.Y; Lau T.; dan Chan K.F. (2002) “The competitiveness of small and medium enterprises – A conceptualization with focus on entrepreneurial competencies”, Journal of Business Venturing, 17 (2): 123-142. Margolis, J.D.; Elfenbein, H.A.; Walsh, J.P (2016). Does it Pay to be Good? A Meta-Analysis and Redirection of Research on the Relationship between Corporate Social and Financial Performance. Available online: http://www.hks.harvard.edu/mrcbg/papers/seminars/margolis_november_07.pdf (accessedon 31 March 2016). Mohammad dan Khar (2010). Small and Medium Enterprises (SMEs) Competing in the Global Business Environment: A Case of Malaysia. International Business Research. Business Research. Januari, Vol. 3 No, 1.pp. 66-75 Muñoz, P (2013).The Distinctive Importance of Sustainable Entrepreneurship. Current Opinion in Creativity. Innov. Entrep, 2, 1–6. . 14 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Nelson, R. (1992). Recent writings on competitiveness: Boxing the compass. California Management Review, 34(2), 127-137. O’Farrell, P. N., Hitchens, D., & Moffat, L. (1992). The competitiveness of business services firms: A matched comparison between Scotland and the South East of England. Regional Studies, 26(6), 519-525. Pratten, C. (1991). The competitiveness of small firms. Occasional Paper 57, Department of Applied Economics, University of Cambridge. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Ramasamy, H. (1995). Productivity in the age of competitiveness: Focus on manufacturing in Singapore. In Productivity in the Age of Competitiveness, APO Monograph Series (16), Asian Productivity Organizations, Tokyo. Rey Leonaris (2011). Sustainability Entrepreneurship and its Viability. Master Thesis Erasmus School of Economics, Rotterdam. Salavou, H., Baltas, G., & Lioukas, S. (2004). Organizational innovation in SMEs: The importance of strategic orientation and competitive structure. European Journal of Marketing, 38(9-10), 1091-1112. Schaltegger, S.; Wagner, M. (2011). Sustainable entrepreneurship and sustainability innovation: Categories and interaction. Bus. Strategy Environ. 20, 222–237. Schaper, M. (2002), ‘The challenge of environmental responsibility and sustainable development: Implications for SME and entrepreneurship academics’, in: U. Füglistaller et al. (eds.) Radical changes in the world – Will SMEs sour or crash?, Rencontres de St. Gall. Septiani, Sarma, Limbong (2013). Pengaruh Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor. Jurnal Manajemen dan Organisasi Vol IV, No 2, Agustus. Hm. 92-111. Slevin, D. P., & Covin, J. G. (1995). New ventures and total competitiveness: A conceptual model, empirical results, and case study examples. Frontiers of Entrepreneurship Research (pp. 574588). Stoner, C. (1987). Distinctive competitive and competitive advantage. Journal of Small Business Management, 25(2), 33-39. Tambunan, Tulus . (2010). Ukuran Daya Saing Koperasi dan IKM. Background Study RPJM Nasional Tahun 2010-2014 Bidang Pemberdayaan Koperasi dan IKM, Bappenas. Jakarta (ID): Pusat Studi Industri dan IKM, Universitas Trisakti, Kadin Indonesia. _________. (2012). Pasar Bebas ASEAN: Peluang, Tantangan dan Ancaman bagi UMKM Indonesia. Jakarata: Kementrian Koperasi UMKM. Waheeduzzaman, A., & Ryans, J. (1996). Definition, perspectives, and understanding of international competitiveness: A quest for a common ground. Competitiveness Review, 6(2), 7-26. 15 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 MEMANFAATKAN TANTANGAN SOSIAL: MENUJU INOVASI SOSIAL DAN KEUNGGULAN KOMPETITIF Andreas W. Djiwandono Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia E-mail: [email protected] Abstract: The World Bank’s statistics show that Indonesia has more than 11% population living in poverty, and approximately 40% population still living very close to the poverty line. This means more than half the population faces social challenges related to poverty. Social challenges normally have a negative connotation. However, this study will cover the latest in social business research that shows why and how businesses and entrepreneurs should embrace social challenges more in the future. Previous studies show that social challenges are indicators of opportunities for social innovation and social value creation. Other studies show that social challenges form a competitive advantage when it is present as a constraint for the entrepreneurial business founder. This study will then offer a framework for empirical research to measure the impact of social challenges to social innovation, social value creation, and the development of a competitive advantage. This framework will offer a research agenda for academia, and practical use in entrepreneurship and business management to fully embrace social challenges to ignite social innovation as a path towards competitive advantage. Keywords: social challenges, social innovation, competitive advantage, entrepreneurship Abstrak: Statistik Bank Dunia menyatakan bahwa lebih dari 11% penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan dan sekitar 40% penduduk masih hidup dekat dengan garis kemiskinan. Ini berarti lebih dari setengah penduduk Indonesia menghadapi tantangan sosial yang terkait dengan kemiskinan. Tantangan sosial seringkali dianggap berkonotasi negatif, namun penelitian ini akan mengulas riset terkini dalam riset bisnis sosial yang menunjukkan mengapa dan bagaimana bisnis dan wiraswasta harus lebih merangkul dan memanfaatkan tantangan sosial. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tantangan sosial merupakan indikator peluang untuk inovasi sosial dan penciptaan nilai sosial. Studi lain menunjukkan bahwa tantangan sosial membentuk keunggulan kompetitif ketika hadir sebagai kendala awal untuk pendiri bisnis kewiraswastaan. Penelitian ini kemudian akan menawarkan kerangka riset untuk penelitian empiris yang mengukur dampak dari tantangan sosial untuk inovasi sosial, penciptaan nilai sosial, dan pengembangan keunggulan kompetitif. Kerangka riset ini akan menawarkan agenda penelitian untuk akademisi, dan penggunaan praktis dalam kewiraswastaan dan manajemen bisnis untuk memanfaatkan tantangan sosial sebagai pemicu inovasi sosial, serta jalan menuju keunggulan kompetitif. Kata kunci: tantangan sosial, inovasi sosial, keunggulan kompetitif, kewiraswastaan PENDAHULUAN Prahalad dan Lieberthal (1998) menyoroti pasar segmen berpendapatan rendah yang sangat potensial namun belum dimanfaatkan secara optimal oleh perusahaan multinasional karena tidak bersaing secara inovatif. Segmen berpendapatan rendah ini dikenal sebagai segmen terendah di piramida kekayaan, atau disebut juga Bottom of the Pyramid (BOP). London dan Hart (2004) mengamati perusahaan multinasional beralih ke pasar negara berkembang seperti Cina, India, Indonesia dan Brazil, sebagai sumber pertumbuhan. Prahalad dan Lieberthal (1998) melihat bahwa sebagian besar perusahaan multinasional akan berusaha untuk memasuki pasar BOP di negara-negara berkembang ini dengan menawarkan produk dan layanan yang persis sama dengan produk atau layanan yang mereka tawarkan ke pasar negara maju. Namun mereka juga menunjukkan beberapa contoh perusahaan multinasional yang bersaing secara inovatif di negara-negara berkembang sehingga berhasil mendapatkan sumber pendapatan baru bagi bisnis mereka. Prahalad (2005) mengusulkan pendekatan baru untuk BOP mana inovasi sosial dan kewiraswastaan melalui kapitalisme inklusif dapat menawarkan kinerja sosial dan keuangan yang baik untuk perusahaan multinasional dan masyarakat BOP yang terlibat. 16 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Mulgan et.al. (2007) menunjukkan kurangnya perhatian terhadap inovasi sosial karena kurangnya literatur penelitian yang menunjukkan bagaimana inovasi sosial dapat dilakukan dan bagaimana inovasi sosial dapat menekan masalah sosial. Salah satu alasan kurangnya publikasi mengenai inovasi sosial dibandingkan dengan inovasi bisnis adalah karena inovasi bisnis dirasa memberikan peluang yang lebih tinggi untuk memaksimalkan keuntungan, yang merupakan fokus literatur manajemen. Selain itu masih dirasa kurangnya pengetahuan mengenai cara inovasi sosial bisa menawarkan keunggulan kompetitif dan keuntungan finansial di saat yang bersamaam. Akibatnya terjadi putusnya hubungan antara rekomendasi dari Prahalad (2005) dengan publikasi akademik yang berkembang. Kolk, Rivera-Santos, dan Rufin (2013) melakukan tinjauan literatur sistematis pada konsep BOP yang mengklaim kemiskinan dapat dikurangi melalui kegiatan yang menguntungkan secara finansial. Walaupun konsep BOP pada awalnya diperkenalkan untuk membantu perusahaan multinasional berkarya di BOP, studi literatur mereka menunjukan bahwa lebih banyak studi dalam literatur yang tidak mencakup perusahaan multinasional. Kebanyakan inisiatif BOP yang disajikan dalam literatur bahkan tidak diprakarsai oleh perusahaan yang berorientasi profit. Selain itu, mereka menemukan bahwa sebagian besar contoh dari inisiatif BOP hanya memandang kalangan berpendapatan rendah sebagai pelanggan dan bukan sebagai rekanan. Namun, Adams dan Hess (2010) menemukan bahwa perhatian terhadap topik inovasi sosial sedang meningkat dalam literatur manajemen publik dan perekonomian komunitas sebagai strategi inovasi yang menawarkan nilai sosial dan kesempatan ekonomi pada saat yang bersamaan. Makalah ini dan studi yang diusulkan mencoba untuk mengisi celah dalam literatur saat ini dengan membawa perhatian kembali ke proposisi asli dari Prahalad (2005) yang melibatkan perusahaan multinasional dan masyarakat BOP bekerja sama, terutama dalam hal menggunakan masalah sosial untuk melakukan inovasi sosial dan menciptakan nilai sosial dan keuangan secara bersamaan sehingga tercapai keunggulan kompetitif. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka akan mengkaji dua variabel utama dalam rencana penelitian ini yang mendukung terbentuknya keunggulan kompetitif, yaitu tantangan sosial dan inovasi sosial. Walaupun keunggulan kompetitif merupakan tujuan akhir dari kegiatan yang diteliti, namun tujuan utama dari penelitian ini adalah mempelajari kekhasan dalam tantangan sosial dan hubungannya dengan inovasi sosial, sehingga menjadi pokok ulasan dalam tinjauan pustaka. Tantangan Sosial Bank Dunia (2015) melaporkan kemajuan dalam usaha pengentasan kemiskinan di Indonesia selama 10 tahun terakhir. Seperti terlihat dalam laporan tahun 2014, Bank Dunia melaporkan 36,4% populasi Indonesia (92,7 juta orang) hidup di bawah garis kemiskinan $ 3,1 / hari, 8,3% populasi (21 juta orang) hidup di bawah garis $ 1,9 / hari, dan 11,3% populasi (29 juta orang) hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Meskipun ada perbaikan, terlihat bahwa setiap hari masih ada lebih dari sepertiga penduduk Indonesia menghadapi tantangan sosial yang terkait dengan kemiskinan di BOP. Kebanyakan penelitian mengenai penciptaan nilai sosial dan model bisnis di BOP mencakup perusahaan BOP yang tidak berasal dari BOP. Sinkovics, Sinkovics, dan Yamin (2014) mengambil pendekatan yang berbeda dimana perusahaan yang mereka diteliti adalah usaha-usaha yang di yang didirikan oleh individuindividu yang berasal dari dalam BOP. Dalam studi mereka, mereka menemukan sebuah variabel penting yang menjadi alasan sebuah usaha sosial didirikan di BOP. Mereka menyebutnya "kendala pemicu" (trigger constraints), yaitu keterbatasan yang dihadapi pengusaha sebagai individu, komunitas, atau masyarakat secara keseluruhan. Contoh kendala pemicu ini adalah act of God (misalnya kekeringan), perubahan kondisi industri (misalnya pengurangan keunggulan kompetitif industri), faktor sosial budaya (misalnya pengangguran karena imobilitas), dan kendala sosial (misalnya ketidakadilan, eksploitasi, kurangnya kesempatan kerja, dll). Mereka berpendapat bahwa perbedaan utama antara kewiraswastaan sosial dengan kewiraswastaan bisnis yang memiliki misi sosial adalah apakah sebuah kendala berperan sebagai pemicu untuk mendirikan perusahaan atau apakah kendala berperan membentuk strategi perusahaan setelah didirikan. Hampir dapat dipastikan bahwa semua perusahaan multinasional yang ada saat ini tidak didirikan atas dasar sebuah kendala pemicu. Terutama jika perusahaan multinasional itu berusaha memasuki sebuah pasar 17 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 BOP di negara baru, sudah pasti perusahaan multinasional tersebut tidak berasal dari BOP tersebut, sehingga tidak mungkin mengalami tantangan sosial yang menjadi kendala pemicu. Oleh karena itu dalam memahami tantangan sosial yang dapat memicu inovasi sosial, perusahaan multinasional mungkin berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan wirausaha yang datang dari BOP. Untuk menghadapi hal ini, London dan Hart (2004) menamakan sebuah kemampuan organisasi yang disebut social embeddedness (ketertanaman nilai-nilai sosial). Menurut mereka social embeddedness merupakan pemahaman yang mendalam dari lingkungan setempat, dan fokus pada penciptaan strategi dan peluang bisnis bottom-up berdasarkan pada mengidentifikasi, memanfaatkan, dan membangun infrastruktur sosial yang ada (misalnya, modal sosial dalam program pinjaman mikro; keahlian mitra nonkorporasi; kewiraswastaan di masyarakat pengguna). Dalam pandangan mereka perusahaan multinasional perlu membangun kemampuan social embeddedness ini secara global, terutama untuk berhasil di negara di mana mereka berencana untuk memasuki pasar BOP. Penting untuk menggarisbawahi bahwa social embeddedness ini berbeda dengan istilah sama yang dibuat oleh Mark Granovetter pada tahun 1985 yang menjelaskan alasan di balik pengambilan keputusan oleh seorang individu akibat hubungan individu tersebut dengan jaringan sosial tertentu. Social embeddedness versi London dan Hart (2004) dapat dicapai oleh perusahaan multinasional di BOP dengan beroperasi di luar batas perusahaan. Hal ini dapat dicapai melalui jaringan kerjasama dengan perusahaan besar lokal, kelompok masyarakat, organisasi non-profit, dan wiraswasta lokal. Ini memerlukan cara membangun dan membina jaringan kerjasama yang sama sekali baru bagi perusahaan multinasional karena hubungan dalam jaringan di BOP sangat berbeda dengan hubungan bisnis di segmen pasar puncak piramida. Di BOP, hubungan antar entitas bisnis dan sosial lebih banyak diatur oleh aturan informa dan kontrak sosial serta melibatkan penggunaan aset bersama-sama. Ini berarti hubungan antara perusahaan multinasional dengan entitas lagin di BOP lebih inklusif. Zur (2015) mempelajari variabel-variabel anteseden yang mempengaruhi peluang (opportunities) dalam konteks kewiraswastaan sosial, dan menemukan empat anteseden utama peluang dalam konteks kewiraswastaan sosial: masalah sosial, informasi, kesadaran sosial, dan pola pikir kewiraswastaan. Penelitian ini akan fokus pada masalah / hambatan sosial yang merupakan tantangan sosial yang dialami segmen berpenghasilan rendah di BOP dan telah terbukti oleh Zur (2015) sebagai anteseden identifikasi peluang dan pendirian perusahaan sosial. Inovasi Sosial Inovasi sosial dapat didefinisikan sebagai "ide-ide baru yang bekerja dalam memenuhi tujuan sosial" (Mulgan et.al., 2007, hal.8). Mereka juga menawarkan definisi yang lebih sempit yang membedakan inovasi sosial dari inovasi bisnis yang didasarkan pada maksimalisasi profit. Namun, seperti disarankan oleh Prahalad (2005), ada bukti bahwa memaksimalkan keuntungan dan memaksimalkan dampak sosial yang positif dapat baik menjadi output inovasi sosial. Adams dan Hess (2010) melihat inovasi sosial sebagai suatu tindakan yang dapat menciptakan nilai sosial lebih dari sistem yang ada. Hal ini juga menciptakan cara-cara baru menangani masalah-masalah lama sambil membawa perubahan sosial. Adams dan Hess (2010) menyebutkan bahwa ada enam karakteristik utama inovasi sosial. Pertama adalah pergeseran fokus dari kebutuhan sosial ke aset sosial. Kedua, melihat masyarakat sebagai agen sosial. Ketiga adalah melihat masyarakat sebagai sebuah industri. Keempat berfokus pada penciptaan keterampilan dan kesempatan kerja. Kelima, membangun usaha masyarakat. Terakhir, keenam, adalah membangun kemitraan antar-sektor. Harazin dan Kosi (2013) menyatakan bahwa salah satu cara bagi perusahaan untuk terlibat dalam inovasi sosial adalah melalui CSR (Corporate Social Responsibility). Hubungan antara CSR dan keunggulan kompetitif juga telah dibahas dalam berbagai penelitian sebelumnya seperti Vilanova, Lozano, dan Arena (2009) yang menemukan CSR berdampak daya saing melalui siklus pembelajaran dan inovasi. Mereka menemukan bahwa pembelajaran terjadi saat CSR tertanam dalam proses bisnis, yang menghasilkan praktekpraktek inovatif dan daya saing. Certo dan Miller (2008) mengulas literatur penelitian kewiraswastaan sosial dengan menggunakan definisi kewiraswastaan dari Shane & Venkataraman (2000) yaitu identifikasi, evaluasi dan eksploitasi peluang. Kegiatan ini sangat mirip dengan model proses inovasi dari Tidd dan Bessant (2009) yang melibatkan pencarian peluang, pemilihan peluang, pelaksanaan dan penuaian manfaat. Oleh karena itu inovasi sosial dapat dilihat sebagai inovasi yang dilakukan oleh kewiraswastaan sosial, yang menghasilkan nilai sosial sebagai output dari kegiatan terakhir - penuaian manfaat. Austin, Stevenson dan Wei-Skillern (2006) mendefinisikan 18 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 kewiraswastaan sosial sebagai kegiatan penciptaan manfaat sosial yang inovatif, yang terjadi di dalam salah satu atau semua sektor nirlaba, bisnis, dan pemerintah. Sementara itu, Certo dan Miller (2008) juga mengusulkan agar wiraswasta sosial dapat dilihat sebagai pelaku inovasi sosial. Kewiraswastaan sosial berbeda dari kewiraswastaan komersial. Tujuan akhir dari kewiraswastaan sosial adalah nilai sosial, sedangkan yang tujuan akhir dari kewiraswastaan komersial adalah maksimalisasi profit. Emerson & Twersky (1996) berpendapat bahwa dari sudut pandang hasil kegiatan berwiraswasta, kedua jenis wiraswasta tersebut hampir sama. Menurut mereka wiraswasta komersial dapat menghasilkan nilai sosial dalam proses menciptakan keuntungan pribadi, dan wiraswasta sosial dapat menghasilkan keuntungan pribadi dalam proses menciptakan nilai sosial. Namun, penelitian terbaru oleh Bellostas, López-Arceiz, dan Mateos (2016) mengenai penciptaan nilai sosial dan nilai ekonomi di perusahaan sosial menunjukkan bahwa nilai sosial memiliki prioritas yang lebih tinggi dalam tujuan bisnis, karena menjadikan nilai sosial sebagai target utama akan memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan nilai ekonomi sebagai konsekuensinya. Mereka berpendapat bahwa hal itu tidak berlaku sebaliknya, karena fokus perusahaan yang tinggi pada nilai ekonomi tidak akan menghasilkan nilai sosial sebagai konsekuensi. Sementara itu, Agafonow (2013) berpendapat bahwa perusahaan sosial difokuskan pada memaksimalkan penciptaan nilai sosial, dan hanya menargetkan hasil nilai ekonomi seperlunya (satisficing) untuk membiayai biaya operasional perusahaan dan pertumbuhan perusahaan. Oleh karena itu, meskipun memiliki sedikit perbedaan dalam hal keberadaan atau urutan nilai sosial dan nilai ekonomi, banyak penelitian juga telah menunjukkan keberadaan nilai sosial dan keuangan sebagai akibat dari inovasi sosial. Hal ini sejalan dengan proposisi awal Prahalad (2005). METODE PENELITIAN Kerangka penelitian makalah ini dirancang untuk mengukur peran tantangan sosial terhadap inovasi sosial, dan pada akhirnya peran terhadap keunggulan bersaing. Kerangka penelitian konseptual dapat dilihat di Gambar.1 dibawah yang menghadirkan tiga variabel dan dua dimensi utama untuk variabel antesedennya. Selanjutnya penjelasan mengenai operasionalisasi variabel dan metode pengumpulan data akan dijabarkan lebih jauh. Gambar.1 Kerangka Penelitian Untuk mengukur tantangan sosial sebagai anteseden inovasi sosial, penelitian akan mengukur keberadaan kendala pemicu yang diidentifikasi oleh Sinkovics, Sinkovics, dan Yamin (2014) dan juga mengukur Social Embeddedness yang dijelaskan oleh London dan Hart (2004). Dengan menggunakan kedua pendekatan tantangan sosial tersebut diharapkan penelitian akan mampu mengukur pemahaman akan tantangan sosial baik oleh perusahaan multinasional, wiraswasta sosial, maupun oleh kemitraan perusahaan multinasional dengan wiraswasta sosial dalam menciptakan bisnis baru di BOP. Hubungan tantangan sosial dengan inovasi sosial didasarkan pada penelitian oleh Zur (2015) yang telah mengidentifikasi masalah sosial sebagai salah satu anteseden inovasi sosial. 19 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Untuk mengukur inovasi sosial oleh perusahaan, Pedoman usulan Oslo (OECD / Eurostat, 2005) dapat digunakan sebagai kerangka dasar yang komprehensif untuk mengidentifikasi tipe-tipe inovasi sosial yang berada dalam sebuah usaha jasa, yaitu: (1) inovasi dalam jenis kegiatan, proyek atau program yang diadakan oleh organisasi ( 'apa' yang diberikan oleh usaha jasa kepada penerima manfaat atau pelanggan mereka), (2) inovasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan proses pelaksanaan kegiatan-kegiatan ( 'bagaimana' organisasi jasa melaksanakan program atau kegiatan), termasuk di sini kemungkinan co-creation dengan pelanggan atau stakeholder lainnya; (3) inovasi pemasaran, khususnya metode komunikasi dan pengelolaan hubungan dengan para stakeholder, karena ini memainkan peran penting dalam mencapai keterlibatan proaktif dari jaringan sosial dan komunitas, dan (4) inovasi organisasi (tata kelola baru, dll). Untuk hubungan antara inovasi sosial dengan keunggulan kompetitif, studi ini didasarkan pada studi Herrera (2015) yang fokus pada inovasi sosial yang menciptakan nilai sosial dan keunggulan kompetitif, serta Hana (2013) yang mempelajari bagaimana keunggulan kompetitif dicapai melalui inovasi dan pengetahuan. Dalam tinjauan pustakanya, Herrera (2015) mengutip penelitian sebelumnya yang menghubungkan inovasi sosial untuk keuntungan kompetitif seperti Mintzberg (1994) melihat bahwa inovasi sangat mempengaruhi daya saing, sementara Ferauge (2012) melihat bahwa kegagalan untuk berinovasi menurunkan daya saing. Sementara itu, inovasi sosial memberikan kelanggengan bisnis (Eccles dan Serafeim, 2013) dan meningkatkan keunggulan kompetitif (Fiorina, 2004). Tidd dan Bessant (2009) juga menyatakan bahwa "intinya adalah bahwa apa pun kondisi teknologi, sosial atau pasar yang dominan, kunci untuk menciptakan - dan mempertahankan - keunggulan kompetitif berada pada organisasi-organisasi yang terus berinovasi" (Tidd dan Bessant 2009, hal.10). Hana (2013) menemukan bahwa sebagian besar inovasi dalam perusahaan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pelanggan utama mereka atau didorong oleh pemasok mereka. Ini menunjukkan bahwa dua penggerak inovasi yang utama adalah kinerja keuangan yang didorong pelanggan serta keunggulan kompetitif yang didorong supplier. Berdasarkan tinjauan pustaka Saeidi et.al. (2015) keunggulan kompetitif dapat diukur menggunakan kualitas produk atau jasa, citra perusahaan, posisi pasar, diferensiasi dan keragaman, pertumbuhan perusahaan, dan kepemimpinan pasar sebagai dimensi yang paling umum digunakan. Oleh karena itu, penelitian ini akan menggunakan dimesi yang sama berdasarkan persepsi responden dalam lima item dengan skala Likert lima poin, di mana 1 = "sangat tidak setuju" dan 5 = "sangat setuju". PENUTUP Simpulan Pasar di bagian bawah piramida tetap menjadi potensi besar untuk perusahaan multinasional dan wiraswasta. Pendekatan yang berbeda disarankan oleh para pendukung konsep BOP, yang telah terbukti berhasil di beberapa studi kasus. Untuk berhasil mengikuti konsel BOP, penting untuk memahami unsur-unsur yang unik di BOP seperti tantangan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menawarkan lebih banyak wawasan tentang bagaimana tantangan sosial mempengaruhi inovasi sosial, yang merupakan bagian integral dari konsep BOP untuk mencapai keunggulan kompetitif. Dengan memahami dampak tantangan sosial, baik melalui kendala pemicu dan embeddedness sosial, diharapkan praktisi dapat merencanakan strategi mereka untuk merangkul perusahaan lokal atau menumbuhkan wiraswasta dalam menjawab tantangan sosial dan mengadopsi konsep BOP sehingga tercipta keunggulan kompetitif. Kerangka penelitian yang telah dijabarkan diatas akan dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif dimana direncanakan pengambilan sampel secara acak dari daftar perusahaan multinasional dan perusahaan besar yang diketahui memiliki usaha dagang barang atau jasa di BOP. Dari daftar itu akan dilakukan penelitian data sekunder untuk menemukan perusahaan yang melakukan kemitraan bisnis atau usaha pemberdayaan wiraswasta di BOP sehingga responden akan mengikutsertakan perusahaan multinasional, perusahaan lokal besar, wiraswasta sebagai mitra perusahaan multinasional atau perusahaan sedang, serta wiraswasta yang datang dari BOP. Setelah menetapkan daftar target responden maka akan dilakukan riset kuantitatif menggunakan survey dan akan dilakukan analisa kuantitatif lebih jauh untuk menemukan hubungan antar Tantangan Sosial, Inovasi Sosial, dan Keunggulan Kompetitif. 20 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA Adams, D., & Hess, M. (2010). Social Innovation and Why it has Policy Significance. Economic and Labour Relations Review, 21(2), 139–155. Agafonow, A. (2013). Toward A Positive Theory of Social Entrepreneurship . On Maximizing Versus Satisficing Value Capture, (2012). http://doi.org/10.1007/s10551-013-1948-z Austin, J., Stevenson, H., & Wei-Skillern, J. (2006). Social and Commercial Entrepreneurship: Same, Different, or Both? Entrepreneurship Theory and Practice, 1–22. Bank Dunia (2015). Poverty & Equity Data - Indonesia. Retrieved January 10, 2017, from http://povertydata.worldbank.org/poverty/country/IDN Bellostas, A. J., López-Arceiz, F. J., & Mateos, L. (2016). Social Value and Economic Value in Social Enterprises: Value Creation Model of Spanish Sheltered Workshops. Voluntas, 27(1), 367–391. Certo, S. T., & Miller, T. (2008). Social Entrepreneurship: Key issues and concepts. Business Horizons, 51(4), 267–271. http://doi.org/10.1016/j.bushor.2008.02.009 Eccles, R.G., & Serafeim, G. (2013, May). The Performance Frontier: Innovating for a Sustain- able Strategy, Harvard Business Review [online]. Retrieved from http://hbr. org/2013/05/the-performance-frontierinnovating-for-a-sustainable-strategy Emerson, J., & Twersky, F. 1996. New Social Entrepreneurs: The Success, Challenge And Lessons Of Nonprofit Enterprise Creation. San Francisco: Roberts Foundation, Homeless Economic Development Fund. Ferauge, P. (2012). A Conceptual Framework of Corporate Social Responsibility & Innova- tion. Global Journal of Business Research, 6(5), 85–96. Fiorina, C. (2004, Spring). Invention for the Common Good, Stanford Social Innovation Review [online]. Retrieved from http://www.ssireview.org/articles/entry/ invention_for_the_common_good Hana, U. (2013). Competitive Advantage Achievement Through Innovation And Knowledge. Journal of Competitiveness, 5(1), 82–96 Harazin, P., & Kósi, K. (2013). Social challenges: Social innovation through social responsibility. Periodica Polytechnica, Social and Management Sciences, 21(1), 27–38. http://doi.org/10.3311/PPso.2154 Herrera, M. E. B. (2015). Creating competitive advantage by institutionalizing corporate social innovation. Journal of Business Research, 68(7), 1468–1474. http://doi.org/10.1016/j.jbusres.2015.01.036 Kolk, A., Rivera-Santos, M., & Rufin, C. (2013). Reviewing a Decade of Research on the “Base/Bottom of the Pyramid” (BOP) Concept. Business & Society, 20(10), 1–40. London, T., & Hart, S. L. (2004). Reinventing Strategies for Emerging Markets: Beyond the Transnational Model. Journal of International Business Studies, 35(5), 350–370. Mintzberg, H. (1994). The Rise And Fall Of Strategic Planning: Reconceiving Roles For Planning, Plans, Planners. New York: Free Press Mulgan, G., Tucker, S., Ali, R., & Sanders, B. (2007). Social Innovation What It Is, Why It Matters And How It Can Be Accelerated. SAID Business School, University of Oxford. Prahalad, C. K., & Lieberthal, K. (1998). The End of Corporate Imperialism. Harvard Business Review, 76(4), 68–79. Prahalad, C. K. (2005). The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty through Profit. Wharton School Publishing. Saeidi, S. P., Sofian, S., Saeidi, P., Saeidi, S. P., & Saaeidi, S. A. (2015). How does corporate social responsibility contribute to firm financial performance? The mediating role of competitive advantage, reputation, and customer satisfaction. Journal of Business Research, 68(2), 341–350. http://doi.org/10.1016/j.jbusres.2014.06.024 Shane, S., & Venkataraman, S. (2000). The Promise Of Entrepreneurship As A Field Of Research. Academy of Management Review, 25(1), 217–226. 21 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Sinkovics, N., Sinkovics, R. R., & Yamin, M. (2014). The Role of Social Value Creation in Business Model Formulation at the Bottom of the Pyramid – Implications for MNEs?. International Business Review. Tidd, J and Bessant, J (2009). Managing Innovation: Integrating Technological, Market and Organizational Change. 4th Ed. John Wiley & Sons. Vilanova, M., Lozano, J. M., & Arenas, D. (2009). Exploring the Nature of the Relationship Between CSR and Competitiveness. Journal of Business Ethics, 87(SUPPL. 1), 57–69. Ε»ur, A. (2015). Social Problems as Sources of Opportunity: Antecedents of Social Entrepreneurship Opportunities. Entrepreneurial Business and Economics Review, 3(4), 73–87. 22 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 THE IMPACT OF DEVELOPING SUSTAINABLE DEVELOPMENT OF FIRM’S PERFORMANCE MEDIATED BY DYNAMIC CAPABILITY Jo Jhony Universitas Bina Nusantara E-mail: [email protected] or [email protected] Abstract: Present day, with borderless communities and nations, palm oil industries are characterized by increased global integration, innovation, sustainability development requirement, and new technology into digitalization which present challenges to firms to survive from competitive during turbulence times. This study was conducted by analyzing the implications of the application of sustainable development to support the palm oil’s business units to remain competitive by integrating economic, environmental, social, and operational performance factor which change organization innovation. The research analyzes business unit in plantation that have implemented sustainable development in Indonesia and how they integrate, build, and reconfigure internal and external competences to address rapidly changing environments as requirement of sustainable development in their organization. Dynamic capabilities are intended to align the internal resource configuration with the firm's environment where sustainable development give a challenge to palm oil industries to change operation practice as required of sustainability development. This paper also includes a conceptual model which operationalizes sustainable development into innovation and explains their effect on firm performance. Results from this research are expected to provide impact and strategic management of sustainable development which mediated by dynamic capability in the palm oil’s business. Keywords: Sustainable Development, Dynamic Capability, Strategic Management Abstrak: Saat ini, dengan masyarakat tanpa batas dan negara, industri minyak sawit yang ditandai dengan peningkatan integrasi global, inovasi, persyaratan pembangunan berkelanjutan, dan teknologi baru ke dalam digitalisasi yang tantangan hadir untuk perusahaan-perusahaan untuk bertahan dari persaingan selama masa turbulensi. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis implikasi dari penerapan pembangunan berkelanjutan untuk mendukung unit bisnis minyak sawit untuk tetap kompetitif dengan mengintegrasikan faktor ekonomi, lingkungan, sosial, dan operasional kinerja yang inovasi perubahan organisasi. Penelitian ini menganalisis unit usaha di perkebunan yang telah menerapkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dan bagaimana mereka mengintegrasikan, membangun, dan mengkonfigurasi ulang kompetensi internal dan eksternal untuk mengatasi dengan cepat perubahan lingkungan sebagai syarat pembangunan berkelanjutan dalam organisasi mereka. kemampuan dinamis dimaksudkan untuk menyelaraskan konfigurasi sumber daya internal lingkungan perusahaan di mana pembangunan berkelanjutan memberikan tantangan untuk kelapa industri minyak untuk mengubah praktek operasi yang diperlukan pembangunan keberlanjutan. Makalah ini juga mencakup model konseptual yang mengoperasionalisasi pembangunan berkelanjutan ke dalam inovasi dan menjelaskan efeknya pada kinerja perusahaan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak dan manajemen strategis dari pembangunan berkelanjutan yang dimediasi oleh kemampuan dinamis dalam bisnis kelapa sawit. Kata kunci: Pembangunan Berkelanjutan, Kemampuan Dinamis, Manajemen Strategis PENDAHULUAN Industri Kelapa Sawit di Indonesia memegang peranan penting bagi perekonomian di Indonesia selain sebagai sumber penghasil devisa melalui ekspor juga menjadi sumber penghasilan bagi berjuta penduduk Indonesia baik yang bekerja di Industri Kelapa Sawit maupun Industri turunannya. Walaupun demikian Industri Kelapa Sawit memiliki tantangan tersendiri baik antara lain pengaruh harga minyak kelapa sawit sebagai basis komoditi yang harganya sangat dipengaruh oleh komoditi 23 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 lainnya yaitu minyak mentah dan minyak sayuran lainnya seperti minyak kacang kedelai dan minyak kanola. Ketika kenaikan harga minyak mentah yang sangat tinggi pada tahun 2011 – 2014, mendorong kenaikan harga minyak kelapa sawit. Prospek dan keuntungan yang sangat tinggi dari industri kelapa sawit memicu investor baru maupun pemain lama untuk meningkatkan lahan kelapa sawit yang meningkat tajam dari tahun ke tahun. Hal ini menyebabkan peningkatan deforestrasi hutan yang digunakan menjadi lahan baru pengembangan kelapa sawit. Issue mengenai deforestrasi hutan dan kerusakan lingkungan mengakibatkan tanaman kelapa sawit diprotes oleh berbagai lembaga swadaya dan pemerhati lingkungan yang mendorong boikot untuk produk kelapa sawit jika tidak memperhatikan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan Berkelanjutan adalah proses untuk mencapai tujuan pembangunan usaha di sisi lain mempertahankan kemampuan sistem alam untuk terus menyediakan sumber daya alam dan jasa ekosistem di mana ekonomi dan masyarakat. Konsep pembangunan berkelanjutan didasarkan ide-ide sebelumnya tentang pengelolaan hutan lestari dan masalah lingkungan. Kemudian konsep ini dikembangkan untuk lebih fokus pada pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Dengan pembangunan berkelanjutan diharapkan dapat mengatasi issue permasalahan lingkungan yang berdampak di industri kelapa sawit saat ini. Di Industri kelapa sawit untuk mengantiisipasi kebutuhan pembangunan berkelanjutan didirikan organisasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun 2004 yang bertujuan untuk mengubah industri kelapa sawit bekerjasama dengan rantai pasokan global, untuk meletakkannya di jalur yang berkelanjutan. Selain itu ada ISCC merupakan salah satu sistem sertifikasi terkemuka untuk emisi keberlanjutan dan gas rumah kaca. Komisi Eropa mengakui ISCC sebagai salah satu skema sertifikasi pertama untuk menunjukkan kepatuhan dengan persyaratan Uni Eropa Renewable Energy Directive (RED) untuk bahan bakar biodiesel. Sertifikasi ISCC dapat diterapkan untuk memenuhi persyaratan hukum di pasar bioenergi serta untuk menunjukkan keberlanjutan dan ketertelusuran bahan baku di industri makanan, pakan dan bahan kimia (ISCC, 2011). Sedangkan di Indonesia sendiri pada tahun pada tahun 2009, berdiri Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Pertanian untuk memastikan bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan (ISPO, 2013). Pembangunan berkelanjutan yang diharuskan dijalankan di Industri Kelapa Sawit memberikan tekanan sosial baik ke perusahaan dan manajemen puncaknya dalam memenuhi persyaratanpersyaratan pencapaian kesesuaian dengan persyaratan-persyaratan sertifikasi RSPO, ISCC, dan ISPO sesuai dengan legitimasi yang mempengaruhi perusahaan dan memaksa mereka untuk mengadopsi praktek-praktek managerial tertentu yang mengikuti kaidah pembangunan berkelanjutan. Banyak perusahaan Consumer Good seperti Nestle, Unilevel, dan lain-lain akhirnya menetapkan kebijaksanaan untuk hanya membeli kelapa sawit dari perusahaan yang berkomitmen untuk pembangunan berkelanjutan. Tekanan dari konsumen dan boikot dari lembaga swadaya masyarakat seperti Green Peace mengakibatkan perusahaan kelapa sawit besar di Indonesia seperti GAR (Golden Agri Resources) (Isdaryadi, 2015) dan Wilmar mengambil strategi pengembangan pembangunan berkelanjutan. Perusahaan-perusahaan tersebut mengambil strategi tersebut ke dalam kebijaksanaan perusahaan seperti “Zero Expansion” atau “Zero Deforestation”. Hal ini menyebabkan pertumbuhan dari ekspansi lahan menjadi terhambat, disisi lain mendapatkan keuntungan penerimaan produksi di pasar yang membutuhkan label sertifikasi “Sustainable” yang dapat dihargai premium atau lebih mahal. Pada akhirnya beban dari biaya pembangunan berkelanjutan dibebankan ke konsumen dalam bentuk produk jadi. Dengan demikian di Industri Kelapa Sawit terjadi differensiasi dimana sebagian perusahaan melakukan strategi pengembangan pembangunan berkelanjutan, sedangkan sebagian lagi mengambil strategi berbeda. Keuntungan perusahaan-perusahaan kelapa sawit yang mengambil strategi “Sustainability Development” adalah berkurangnya boikot-boikot dari 24 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 lembaga lingkungan maupun dukungan pembelian produknya oleh perusahaan FMCG (Food Manufacturing Consumer Good) yang ikut berkomitmen untuk “Sustainability Development”. Kerugiannya adalah perusahaan-perusahaan tersebut terhambat untuk ekspansi lahannya maupun biaya yang sangat tinggi untuk memenuhi standar dari “Sustainability” dalam hal ini biaya implementasi dan sertifikasi RSPO dan ISCC. Sehingga strategi “Low Cost” beralih ke startegi “Differentiation”. Sedangkan perusahaan-perusahaan yang kurang atau tidak berkomitmen untuk pengembangan “Sustainability Development” tetap menjalankan strategi pengembangan kelapa sawit berdasarkan batasan dari aturan peraturan pemerintah yang lebih ringan, tetap melakukan deforestrasi untuk peluasan lahan, dengan melakukan penjualan produknya dijual lebih murah ke negara-negara yang tidak membatasi karena faktor “Sustainable Development” seperti China dan India. Pembangunan Berkelanjutan aplikasinya di Industri Kelapa Sawit Pembangunan berkelanjutan adalah proses untuk mencapai tujuan pembangunan usaha di sisi lain mempertahankan kemampuan sistem alam untuk terus menyediakan sumber daya alam dan jasa ekosistem di mana ekonomi dan masyarakat. Konsep pembangunan berkelanjutan didasarkan ide-ide sebelumnya tentang pengelolaan hutan lestari dan masalah lingkungan. Kemudian konsep ini dikembangkan untuk lebih fokus pada pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan mendapat pengakuan internasional besar pertama pada tahun 1972 pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diadakan di Stockholm. Istilah ini tidak disebut secara eksplisit, namun masyarakat internasional setuju untuk gagasan mengenai pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Kemudian konsep pembangunan berkelanjutan sendiri terbentuk dari Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tahun 1992. KTT ini menandai upaya internasional pertama untuk menyusun rencana aksi dan strategi untuk bergerak menuju pembangunan berkelanjutan. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 Kepala Negara dan perwakilan dari 178 pemerintah nasional. KTT juga dihadiri oleh perwakilan dari berbagai organisasi lainnya yang mewakili masyarakat sipil. Tujuan dari KTT ini adalah mencari jalan penyelesaian atas permasalahan kerusakan lingkungan yang telah dilaporkan oleh Komisi Brundtland di 1987. Dimana kekhawatiran atas dampak kerusakan lingkungan oleh manusia yang tidak terkendali dimana pada saat itu banyak pemerhati lingkungan menjadikan topik hangat. Di Komisi Brundtland mengeluarkan istilah pembangunan berkelanjutan dengan definisi adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Brundtland, 1987). Teori manajemen mengenai pembangunan berkelanjutan (Herman E Daly, 1990) dikemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan efisiensi, dimana eksploitasi alam tidak boleh melebihi batas, pengembangan teknologi untuk pembangunan berkelanjutan harus lebik meningkatkan secara efisien daripada peningkatan secara maksimal berdasarkan kapasitas, sumber daya yang tergantikan dapat di manfaatkan dalam batas pencapaian keuntungan yang maksimal yang berkelanjutan sehingga jangan sampai menyebabkan kepunahan dan sumber daya alam yang tak tergantikan harus dimanfaatkan ditingkat produksi substitusi dari sumber daya yang tergantikan. Dalam visi dan misinya RSPO (di situs web RSPO), RSPO akan mengubah industri kelapa sawit dengan pembangunan yang berkelanjutan dengan cara: 1. Memajukan produksi, pengadaan, keuangan dan penggunaan produk minyak sawit lestari. 25 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 2. Mengembangkan, melaksanakan, memverifikasi, menjamin dan secara berkala meninjau standar global yang kredibel untuk seluruh rantai pasokan minyak sawit berkelanjutan. 3. Memantau dan mengevaluasi dampak ekonomi, lingkungan dan sosial dari penyerapan minyak sawit berkelanjutan di pasar. 4. Terlibat dan berkomitmen semua pemangku kepentingan di seluruh rantai pasokan, termasuk pemerintah dan konsumen. Pembangunan berkelanjutan yang diharuskan dijalankan di Industri Kelapa Sawit memberikan tekanan sosial baik ke perusahaan dan manajemen puncaknya dalam memenuhi persyaratanpersyaratan pencapaian kesesuaian dengan persyaratan-persyaratan sertifikasi RSPO, ISCC, dan ISPO sesuai dengan legitimasi yang mempengaruhi perusahaan dan memaksa mereka untuk mengadopsi praktek-praktek managerial tertentu yang mengikuti kaidah pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip atau kaidah dari perusahaan kelapa sawit untuk memperoleh sertifikasi RSPO antara lain (RSPO, 2011): 1. Komitmen untuk transparansi 2. Pemenuhan kewajiban atas hukum dan peraturan. 3. Komitemen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang. 4. Penggunaan praktik terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik. 5. Bertanggung jawab terhadap lingkungan dan pelestarian sumber daya alam dan keanekaragaman hayati. 6. Bertanggung jawab dengan pertimbangan terhadap karyawan, individu dan masyarakat yang terkena dampak oleh perkebunan dan pabrik. 7. Peluasan lahan kelapa sawit yang bertanggung jawab 8. Komitmen terhadap perbaikan terus menerus di kegiatan bidang utama. Untuk itu perusahaan kelapa sawit yang sejalan dengan strategi pembangunan berkelanjutan harus menjalankan prinsip-prinsip tersebut di keseluruhan unit usaha dan mempertahankan legitimasinya walaupun secara ekonomis belum tentu efisien dan efektif. Dimana hal-hal yang menjadi perhatian pembanguan berkelanjutan di industri kelapa sawit antara lain: 1. Forest/HCV Protection Proteksi Nilai konservasi tinggi hutan (High Conservation Value Forest Protection) adalah prinsip pengelolaan hutan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Lembaga Forest Stewardship. Dimana dilakukan proteksi terhadap hutan-hutan yang mempunyai nilai konservasi tinggi, dengan memiliki satu atau lebih ciri-ciri ο· Kawasan hutan yang secara global, regional atau nasional yang signifikan memiliki konsentrasi nilai keanekaragaman hayati, endemisme, spesies yang terancam punah, dan refugia. ο· Kawasan hutan yang ditinggali oleh hewan yang berada dalam tingkat terancam atau hampir punah ekosistem. ο· Kawasan hutan yang memberikan perlindungan dalam situasi kritis seperti pengendali banjir dan pengendalian erosi. ο· Kawasan hutan yang menjadi sumber memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal untuk mata pencaharian atau merupakan kawasan identitas budaya, ekologi, ekonomi dan agama. 2. HCS Protection (High Carbon Stock Protection) Daerah HCS adalah hutan yang menyimpan banyak karbon yang apabila dikonversi menjadi perkebunan akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dengan adanya pelepasan karbon 26 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 (CO2). Untuk mendeteksi HCS biasanya pendekatan menggunakan kombinasi gambar satelit berkualitas tinggi dari konsesi hutan dan melakukan pemetaan dari kawasan hutan untuk dianalisis efek emisi karbonnya. Hanya daerah yang mengandung karbon rendah, seperti semak dan padang rumput bisa dipertimbangkan untuk konversi menjadi perkebunan. 3. Peat Protection (Proteksi Areal Gambut) Areal Gambut adalah areal rendahan dengan jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisasisa tumbuhan yang setengah membusuk dan memiliki kandungan organiknya tinggi. Tanah ini umumnya memiliki Carbon Stock yang sangat tinggi. Pembukaan lahan di areal gambut ditolak oleh lembaga-lembagai lingkungan sedangkan oleh pemerintah dengan PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT, pemerintah mengatur mengenai upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi ekosistem gambut dan mencegah terjadinya kerusakan ekosistem gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum. 4. Human and Community Right Protection Hak asasi manusia dan komunitas adalah dimana perusahaan-perusahaan kelapa sawit diharuskan untuk menghormati hak asasi manusia, melindungi komunitas masyarakat lokat, pemberian ganti rugi, dan memberikan pekerjaan kepada masyarakat sekitar 5. Rantai Pasok yang Berkelanjutan 6. Kesehatan karyawan, keselamatan dan kesejahteraan 7. Hubungan buruh dan hak asasi manusia 8. Efek gas rumah kaca. Hal ini membutuhkan dengan sertifikasi ISCC untuk mencapai standar tertentu dari Emisi Gas Rumah Kaca 9. Hubungan dengan petani plasma 10. CSR 11. Kontaminasi dan polusi dari penggunaan pupuk dan pestisida. 12. Penggunaan air dan pengelolaan air limbah 13. Api dan Asap 14. Sertifikasi RSPO, ISCC, atau ISPO Inovasi yang Berorientasi Kebelanjutan Gary Hamel dalam bukunya “The Future of Management” (Hamel, 2007) berpendapat bahwa organisasi perlu inovasi manajemen sekarang lebih dari sebelumnya dimana manajemen pada era sebelumnya lebih berpusat pada kontrol dan efisiensi tidak lagi mencukupi di dunia di mana keberhasilan adaptasi dan kreativitas untuk menghadapi persaingan bisnis Untuk berkembang di masa depan, perusahaan harus menemukan kembali manajemen yang senantiasa berinovasi. Walaupun di keadaan ekonomi dan lingkungan yang “turbulence”, innovasi menjadi sangat penting bagi perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang naik turun dan mencapai keunggulan bersaing yang berkelanjutan (Zhou and Wu, 2010). Werbach dalam bukunya “Strategy for Sustainability” menjelaskan perusahaan disaat ini mencari pola pengembangan berkelanjutan yang baru yang menghindari besarnya biaya lingkungan dan merugikan bagi produk, proses dan jasa perusahaan. Menurutnya mengembangkan teknologi baru yang memungkinkan komunitas untuk lebih sehat dan berkelanjutan tanpa harus merusak lingkungan alami menjadi tujuan utama manajemen inovasi (Werbach, 2009) sehingga Sustainable Innovation dapat dijadikan langkah perusahaan untuk mencapai Keunggulan Bersaing menjadi objek yang akan diteliti. 27 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Perusahaan sawit di masa yang akan datang tentunya akan mendapatkan persaingan baik didalam industrinya maupun dengan industri lainnya yang berkaitan. Teori-teori manajemen di masa depan yang diimplementasikan adalah teori-teori manajemen yang meningkatkan efisiensi dan efektivitas perusahaan untuk bersaing dan mencapai “Sustainable Competitive Advantage” Faktor “Dynamic Capabilities” dari perusahaan akan memegang peranan yang sangat penting menentukan keunggulan bersaing. Besar kecilnya “Dynamic Capabilties” dari perusahaan mempengaruhi keberhasilan “Sustainable Innovation” yang dikembangkan dari inovasi yang ada. Konsep dari “Dynamic Capabilities Approach” dimana dengannya perusahaan memiliki kemampuan untuk mengintegrasi, membangun, merekonfigurasi kompetensi internal dan eksternal untuk menghadapi cepatnya perubahan lingkungan (Teece et al., 1990) dibangun dari konsep Resouces Based Theory (RBV). Resources Based View secara essensial adalah teori yang statis, dimana tidak menjelaskan evolusi dari perkembangan dari waktu ke waktu dari sumber daya dan kapabilitas yang membentuk keunggulan bersaing (Priem and Butler, 2001). Sehingga jangan lihat dari sudut pandang sebuah perusahaan sebagai sebuah bundle dari sumber daya tetapi dicatat sebagai suatu mekanisme dimana perusahaan dapat mempelajari dan mengakumulasi ketrampilan dan kapabilitas baru yang mendorong sampai batas ratio dan arah dari proses (Teece et al., 1990). Perusahaan kelapa sawit yang memperoleh keunggulan bersaing yang disebabkan faktor alam atau sumber daya, dimasa depan akan berubah. Dimana faktor kapabilitas mengimplementasikan inovasi yang berkelanjutan atau “Sustainability Innovation” yang memegang peranan penting bagi perusahaan. Di industri kelapa sawit, perusahaan-perusahaan yang mengarahkan strateginya ke pembangunan berkelanjutan, untuk bisa berkembang harus mengembangkan kemampuan dinamis yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Sebagai contoh pola perawatan dan pemeliharaan yang tidak merusak lingkungan dengan menghindari pertisida yang membahayakan ekosistem. Pengembangan-pengembangan berbentuk inovasi yang mendukung inovasi yang berkelanjutan (Sustainable Innovation), keberhasilannya dipengaruhi kemampuan dinamis yang dimiliki oleh perusahaan. Inovasi masa depan yang berkelanjutan atau “Sustainable Innovation" menjadi sangat penting bagi industri kelapa sawit. Inovasi berkelanjutan tidak hanya merefleksikan untuk kepentingan ekonomi, tetapi kepentingan sosial dan lingkungan harus masuk dalam bagian dari inovasi yaitu sisi “Dynamic Capability” diindikasikan sebagai sumber pengetahuan untuk mencapai “Sustainability” (Cabral, 2010). Dalam hal ini inovasi berkelanjutan, perusahaan akan melakukan inovasi yang mendukung “Sustainable Development” atau inovasi-inovasi yang dikembangkan adalah berdasarkan keinginan-keinginan dari konsumen. Pengembangan inovasi berkelanjutan dapat bersifat “Top Down Approach” maupun “Bottom Up Approach”. Dimana inisiatif dapat berasal dari manajemen puncak yang membentuk tim inovasi berdasarkan proyek dari pengetahuan baik internal maupun eksternal (konsultan). Contoh proyek Top Down Approach dari inovasi berkelanjutan perusahaan adalah pembangunan pabrik Biogas untuk menyerap emisi karbon yang dikeluarkan dari produksi dan limbah pabrik kelapa sawit. Pabrik Biogas menghasilkan energi listrik yang dapat digunakan untuk kebutuhan internal pabrik dan kebun atau dijual ke pihak eksternal (PLN). Contoh lain seperti pengembangan mekanisasi untuk prosesproses pekerjaan di kebun seperti proses perawatan, pemupukan, dan panen yang tidak merusak lingkungan. Pengembangan inovasi berkelanjutan secara “Bottom Up Approach” dapat didorong dari inovasi dari para pekerja di kebun dan pabrik (asisten sampai manager) mengeluarkan ide-ide inovasi perbaikan yang berbasis inovasi berkelanjutan yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan persyaratan “Sustainable Development”. Misalnya ide inovasi dari kebun dalam hal penggunaan jenjang kosong sisa limbah kelapa sawit sebagai alternatif pupuk organik untuk pemupukan kelapa sawit. Kemampuan mengembangkan, menginovasi, dan mengimplementasikan di bisnis unitnya untuk inovasi berkelanjutan menjadi kunci sukses 28 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 perusahaan yang memilliki kemampuan dinamis dalam hal ini menghadapi persaingan baik di dalam industri kelapa sawit maupun dengan industri minyak nabati lainnya yang menjadikan keunggulan kompetitif bagi perusahaan yang menjalankan “Sustainable Innovation”. Mediasi kapabilitas Dinamis atas Pembangunan Berkelanjutan untuk mendukung kinerja perusahaan Kapabilitas Dinamis memiliki dimensi-dimensi penginderaan kebutuhan untuk berubah, pembelajaran bagaimana menanggapi peluang dan ancaman, dan pencapaian rekonfigurasi. Hubungan pembanguna berkelanjutan sangat erat dengan kinerja perusahaan. Dimana perusahaan yang berorientasi atas inovasi yang berkelanjutan perlu memiliki kapabilitas penginderaan meliputi kemampuan perusahaan untuk mengenali pergeseran dalam lingkungan yang dibutuhkan untuk pembangunan berkelanjutan bisa berpengaruh pada bisnis perusahaan berdasarkan posisi kapabilitas saat ini. Sehingga perusahaan dapat memiliki penginderaan atas peluang pengembangan pembangunan berkelanjutan yang diterapkan ke dalam proses kerjanya. Serta pengenalan peluang dan tantangan dan pemantauan peran kapabiltas yang ada. Dimensi yang kedua, yaitu pembelajaran dimana unit bisnis yang menerapkan pembangunan berkelanjutan memerlukan pembelajaran baik mengenai prinsip-prinsip dari pembangunan berkelanjutan atau prosedur-prosedur persyaratan sertifikasi RSPO ataupun ISCC. Pembelajaran dalam konteks ini berhubungan dengan penciptaan pengetahuan, akuisisi pengetahuan, dan berbagi pengetahuan sehingga perusahaan kelapa sawit yang menerapkan pembangunan berkelanjutan dapat mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya kedalam inovasi organisasi yang memberikan manfaat bagi perusahaan. Unit Bisnis dapat melakukan pengembangan pengetahuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang pembangunan berkelanjutan dan lingkungan dari dalam dengan berinovasi dalam unit bisnis sendiri atau perusahaan dengan merekrut dari luar. Dalam hal ini unit bisnis sumber akuisisi melakukan di luar sumber daya yang ada di unit bisnis untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan persyaratan sertifikasi. Perusahaan kelapa sawit dapat membentuk divisi keberlanjutan atau menemukan konsultan yang bertugas untuk mendukung dan memantau pelaksanaan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Hasil yang diharapkan dari masing-masing unit bisnis baik di kebun atau pabrik dapat memenuhi persyaratan yang sama. Divisi keberlanjutan juga bertanggung jawab untuk media penghubung dengan pemegang saham lain seperti pemerintah, organisasi non-pemerintah, lembaga sertifikasi, petani, organisasi lingkungan dan pemerintah di samping mengembangkan implementasi inovasi berkelanjutan di seluruh unit bisnis dari perusahaan kelapa sawit. Perusahaan akan menghabiskan biaya yang cukup untuk membiayai biaya pelaksanaan sertifikasi dan juga memperhatikan kesiapan sumber daya manusia untuk mendukung pelaksanaan proses baru yang berkelanjutan berorientasi. Dengan cara ini didalam perusahaan dapat dilakukan prinsip sesuai kapabilitas dinamis dengan mengabsorsi pengetahuan dari luar baik melalui rekrutmen atau konsultan, serta pengembangan penciptan pengetahuan dari dalam yang didasarkan oleh praktispraktis perkebunan yang dikombinasikan dengan persyaratan pembangunan berkelanjutan yang disusun menjadi standar perusahaan. Standar perusahaann tersebut yang menjadi pegangan untuk dimplementasikan atau dibagikan ke seluruh bisnis unit usaha yang ada (bisnis unit perkebunan yang lain). Dimensi yang ketiga adalah rekonfigurasi dimana perusahaan yang berorientasi inovasi yang berkelanjutan akan merekonfigurasi bisnis unit di perkebunan menjadi lebih efisien, memanfaatkna teknologi yang ada menuju mekanisasi dan digitalisasi dengan pemanfaatan teknologi. Proses rekonfigurasi mengembangan inovasi berkelanjutan yang ada kedalam proses kerja agribisnis yang 29 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 memenuhi persyaratan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu organisai perlu memiliki gambaran yang berguna tentang apa yang diperlukan organisasi akan menghadapi tantangan pembangunan keberlanjutan dan membantu mereka yang bertanggung jawab untuk memberlakukan praktik keberlanjutan dalam organisasi. Proses dilakukan dengan mengidentifikasi setiap tahap pembangunan keberlanjutan ke dalam organisai. Mampu mengidentifikasi atau mengkategorikan tingkat keberlanjutan adalah latihan yang berguna untuk mengevaluasi kemajuan menuju kepemimpinan dalam keberlanjutan. Selain itu, berbagai kompetensi berkaitan dengan setiap tahap dapat berguna untuk mengidentifikasi kekurangan dalam sebuah organisasi. Mengatasi kelangkaan di kompetensi yang diperlukan untuk pengembangan atau membantu organisasi untuk mencapai kemajuan lebih lanjut dan memiliki dampak yang lebih tinggi dengan inisiatif keberlanjutan mereka. Rekonfigurasi adalah rantai terakhir dari perspektif prosedural pada kapabilitas Rekonfigurasi berhubungan dengan kreasi internal dari kapabilitas baru dan integrasi dari kapabilitas yang baru diciptakan atau baru diperoleh. Perusahaan kelapa sawit perlu dapat terus meningkatkan praktek standar mereka, terutama dalam praktek agronomi menggabungkan teknologi baru. Inovasi yang berkelanjutan akan berdampak kompetisi dan memberikan dampak terhadap unit bisnis kelapa sawit untuk tetap kompetitif dengan mengintegrasikan faktor kinerja ekonomi, lingkungan, sosial, dan operasional yang memberikan keunggulan kompetitif dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan Sementara disaat keuntungan merosot akibat penurunan harga CPO, pengembangan inovasi yang berkelanjutan yang dimediasi oleh kapabilitas dinamis diharapkan dapat meningkatkan efisiensi biaya produksi misalnya dengan inovasi dan proses bisnis transformasi ke dalam mekanisasi produksi, pengurangan biaya administrasi oleh proses otomatisasi menggunakan teknologi informasi, pengembangan inovasi, meningkatkan benih berkualitas untuk hasil produksi ganda menggunakan Bioteknologi di Kultur Jaringan atau kloning sehingga bisa memenangkan persaingan dengan memiliki biaya produksi terendah dan produksi hasil tertinggi dibandingkan persaing. Pengembangan model bisnis baru ini sangat sulit bagi industri yang sudah berjalan lama di mana dukungan eksekutif untuk pengenalan ide-ide baru atau perubahan sulit dilakukan Menerapkan perubahan sering memerlukan waktu yang panjang dan perlu komitmen semua manajemen dan organisasi. Untuk sukses dalam desain, rekonfigurasi dan pengembangan kebutuhan model bisnis baru yang mendukung kapabilitas dinamis diperlukan: 1. “Keselarasan" (Alignment) Pencapaian harmoni dan menyatukan bagian-bagian yang berbeda dari organisasi ke dalam satu unit sehingga organisasi dapat bekerja menuju visi perusahaan dan memahami apa yang konsumen inginkan dan untuk mencari tahu cara yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan orang-orang di seluruh rantai pasokan. Dalam hal ini industri kelapa sawit harus mampu melakukan penyelarasan antara industri hulu (Estate dan Mill Palm Oil yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) diolah menjadi CPO), tengah industri (dalam bentuk pengolahan kilang minyak sawit mentah menjadi RBDO, Olein, dan PFAD) dan industri hilir (seperti RBDO pengolahan menjadi minyak goreng, kernel industri pengolahan minyak oleo kimia menjadi produk kosmetik untuk konsumen) dan industri biodiesel yang mengubah CPO menjadi biodiesel dalam model bisnis satu keberlanjutan. 2. “Flekbilitas” (Agility) kemampuan untuk merespon dengan cepat untuk risiko eksternal dan tantangan dalam model bisnis dan proses. Dalam hal ini industri kelapa sawit harus memiliki kemampuan dalam menanggapi proses bisnis perubahan yang beradaptasi perubahan keberlanjutan. 3. “Dukungan Karyawan” (Employee Buy in) kemampuan untuk mengkomunikasikan strategi kepada karyawan untuk memproses perubahan dalam Model Bisnis atau Business Process 30 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 yang beradaptasi perubahan keberlanjutan. Sehingga mereka memahami strategi perusahaan dan mendukung kontribusi dalam pelaksanaan perubahan. 4. "Tanggung jawab yang jelas” (Clear Accountability) memiliki akuntabilitas yang jelas untuk setiap proses bisnis di setiap level organisasi, dalam setiap individu untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam model bisnis baru atau proses. 5. “Sumber Daya Pengetahuan” (Knowledge Capital) untuk membantu proses belajar dan mendorong berbagi pengetahuan dalam pekerjaan sehari-hari masalah yang berkelanjutan, teknologi, dan kapasitas “Clear Akuntabilitas" memiliki akuntabilitas yang jelas untuk setiap proses bisnis di setiap level organisasi, dalam setiap individu untuk mencapai tujuan dan sasaran dalam model bisnis baru atau proses. Sehingga hubungan pembangunan berkelanjutan yang dimediasi oleh kapabilitas dinamis dapat dijadikan bahan penelitian yang mendukung apakan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. DAFTAR PUSTAKA Brundtland, G.H. 1987.Our Common Future. World Commission on Environment and Development: Brussels. Cabral, J.E. de O. 2010. Firms Dynamic Capabilities, Innovative Tyoes and Sustainability: A Theoritical Framework, XVI Internationa Conference on Industrial Engineering and Operations Management. RSPO.ORG. 2015 Teece, D. J., Pisano, G & Shuen. 1990. A Firm capabilities, resources, and the concept of strategy. University of California, mimeo. Wisnu Isdaryadi, Felix. 2015. Implementing of business ethic in the palm oil industry Wright, P. M., and Snell, S. A. 2009. 'Human resources, organizational resources, and capabilities' in Storey, J. (ed.), The Routledge companion to strategic human resource management, Routledge, London, pp. 345-356. Zhou, K. Z. and Wu, F. 2010. Technological capability, strategic flexibility, and product innovation. Strategic Management Journal. 31:547-562. 31 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 KAJIAN POTENSI PARIWISATA TERHADAP RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RT/RW) KOTA DEPOK Siti Marti’ah1 dan Berta Dian Theodora2 Universitas Indraprasta PGRI Jakarta E-mail: [email protected] Abstract: The Planning of the general plan of management of the Territory and the city of Depok changed since the change of division of district in 2007. Changes in Spatial last occurred in 2015, Depok Regional Regulation number 1 of 2015 on Spatial Planning Depok City Year 2012- 2032. Based Depok Regulation No. 1 of 2015, Depok has three strategic areas: 1) strategic region from the point of economic interests, 2) strategic areas of cultural and social interests corner, 3) strategic areas of the interest of the function and capacity for environment.The main objective of research to determine the potential of tourism in the city of Depok on spatial plan Depok city. In the previous Spatial Plan, the Government of the region have not planned specifically the area that will be used as a tourist destination in the city of Depok. This is due to the unavailability of capacity that connects all Depok. Tourism became a part of the strategic area of economic interest angle. Specifically Depok will have a tourist area that is developed specifically to promote the tourism industry. The area is a tourist destination among the cultural heritage department Depok lama, examples of nature that is the urban forest Universitas of Indonesia and Margonda area for a culinary feast, Sawangan to the sport of golf and a playground for children in Depok fantasy at Kota Kembang area. Expected by this Regulation, Depok city tourism will flourish and sustainable. Keywords: Tourism, Spatial Planning, Depok Abstrak: Rencana tata ruang wilayah kota Depok mengalami perubahan sejak terjadinya pemekaran kecamatan pada tahun 2007. Perubahan rencata tata ruang wilayah terakhir terjadi pada tahun 2015 yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (PERDA) Kota Depok nomor 1 tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2012-2032. Berdasarkan perda Kota Depok nomor 1 tahun 2015, Kota Depok memiliki 3 kawasan strategis yaitu 1) kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi, 2) kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya dan 3) kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan. Tujuan utama penelitian untuk mengetahui potensi pariwisata yang ada dikota Depok terhadap rencana tata ruang wilayah kota Depok. Pada RTRW sebelumnya, pemerintah daerah belum merencanakan secara khusus kawasan yang akan dijadikan tujuan wisata dikota Depok. Hal ini dikarenakan belum tersedianya daya dukung yang menghubungkan seluruh wilayah Depok. Pariwisata menjadi bagian dari kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi. Secara spesifik, Depok akan memiliki kawasan pariwisata yang dikembangkan secara khusus untuk memajukan industri pariwisata. Kawasan yang menjadi tujuan wisata budaya diantaranya kawasan heritage Depok lama, contoh wisata alam yaitu hutan kota Universitas Indonesia dan daerah margonda raya untuk kuliner, sawangan untuk olahraga golf dan arena bermain anak Depok fantasi dikota kembang. Diharapkan dengan adanya Peraturan ini, pariwisata kota Depok akan berkembang dan berkelanjutan. Kata kunci: Pariwisata, Rencana Tata Ruang Wilayah, Depok PENDAHULUAN Pemerintah daerah kota Depok, Jawa Barat dalam meningkatkan sektor pariwisata, khususnya rekreasi air melihat setu sebagai potensi tujuan wisata, terdapat 26 setu yang memiliki potensi untuk menjadi objek ekowisata (Depok.go.id.2017). Salah satu setu yaitu Setu Rawa Besar atau dikenal Setu Lio bertempat di kecamatan Pancoran Mas belum terlalu optimal difungsikan sebagai objek wisata rekreasi air seperti yang dikatakan oleh Camat Pancoran mas Utang Wardaya “Saat ini potensi wisata setu yang berada di Setu Lio sudah terlihat. Tapi fungsinya belum terlalu optimal. Mengingat 32 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 sarana dan prasarana belum memadai” (Depok.go.id. 2017). Selain Camat pancoran mas, Kamar dagang dan Indutri (KADIN) bersama Dinas komunikasi dan informatika (Diskominfo) kota Depok turut berupaya dalam pemerdayaan setu menjadi kawasan wisata khas Depok. Pihak DPRD kota Depok tepatnya komisi B, T Farida Rachmayanti mengatakan bahwa untuk mengatur dan meningkatkan potensi alam di kota Depok butuh sebuah regulasi khusus, jika pengelolaan pariwisata di Depok semakin maju dan baik maka akan mendatangkan banyak pendapatan asli daerah (PAD) untuk kota Depok (Depok.go.id.2017). Gambaran umum Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Depok pada tahun 2000-2010 menyebutkan bahwa kawasan pariwisata di kota Depok belum berkembang (Gambaran umum RTRW 2000-2010. Hal 4). Pengembangan kawasan wisata yang direncakan antara lain lokasi Situ (Setu) Rawa Besar dan Sempadan di sepanjang sungai ciliwung. Namun pada tahun 2009 terjadi perubahan pada RTRW tersebut, melalui Perda Kota Depok nomor 2 tahun 2009 walikota Depok melakukan perubahan atas RTRW tahun 2000-2010. Rencana tata ruang wilayah kota Depok mengalami perubahan sejak terjadinya pemekaran kecamatan pada tahun 2007. Perubahan rencata tata ruang wilayah terakhir terjadi pada tahun 2015 yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok nomor 1 tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2012-2032. Berdasarakan Perda Kota Depok nomor 1 tahun 2015, Kota Depok memiliki 3 kawasan strategis yaitu 1) kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi, 2) kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya dan 3) kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan. Perubahan RTRW kota Depok akan berdampak terhadap penataan kawasan wisata oleh karenanya tujuan utama penelitian guna mengetahui potensi pariwisata yang ada dikota Depok dalam rencana tata ruang wilayah kota Depok. Pada RTRW 2000-2010, pemerintah daerah belum merencanakan secara khusus kawasan yang akan dijadikan tujuan wisata khas kota Depok. Hal ini dikarenakan belum tersedianya daya dukung yang menghubungkan seluruh wilayah Depok. Atas dasar Perda nomor 1 tahun 2015 perlu dilakukan kajian potensi wisata yang dimiliki untuk menjadi objek wisata khas kota Depok. TINJAUAN PUSTAKA Rencana Tata Ruang Wilayah Menurut Kamus Penataan Ruang (2010), definisi dari perencanaan tata ruang sendiri adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang. Heterogenitas fungsi dan penggunaan lahan dari masing-masing wilayah harus membentuk jaringan antarkawasan agar terdapat kerjasama untuk pengembangan sektor dan keterkaitan spasial yang saling mendukung (Sugiri et al, 2014). Sehingga setiap potensi yang ada mendapat perhatian dan dukungan untuk berkembang dari kebijakan spasial atau perencanaan tata ruang dalam mengakomodasi peruntukan lahan mengenai potensi pariwisata di kota Depok. Perencanaan kota seringkali dihadapkan pada beberapa persoalan yang diselesaikan dengan cara melalukan penataan terhadap tata ruang wilayah yang dimiliki. Beberapa persoalan diantaranya: 1) pengendalian pertumbuhan fisik pada kawasan-kawasan padat penduduk, 2) mengantisipasi kawasan yang sedang berkembang pesat karena lokasi yang strategis, 3) ketersediaan sarana dan prasarana umum mulai dari pusat kota hingga pinggiran kota dan 4) ketersediaan kawasan industri. Terdapat 33 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 beberapa sektor strategis dalam perencanaan tata ruang wilayah yaitu penduduk, perumahan, industri, perdagangan dan jasa, transportasi, lingkungan hidup serta pariwisata dan budaya. Kota Depok Kota Depok secara geografis terletak pada koordinat 60 18’ 30”-60 28’ 00” Lintang Selatan dan 1060 42’ 30”-1060 55’ 30” Bujur Timur, dengan luas kurang lebih 20.029 (dua puluh ribu dua puluh sembilan) hekta terbagi menjadi 11 kecamatan yang terbagi lagi menjadi 63 kelurahan batas-batas wilayah Kota Depok meliputi: a. Utara : Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten b. Timur : Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat c. Selatan : Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat d. Barat : Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat dan Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten METODE PENELITIAN Kajian potensi pariwisata dalam rencana tata ruang wilayah kota Depok merupakan penelitian kualitatif pendekatan studi kasus yaitu melihat peran RTRW terhadap potensi pariwisata yang dimiliki kota Depok apakah bersifat netral, mendukung atau menghambat. Teknik pengumpulan data berupa telaah dokumen, observasi lapangan dan wawancara. Data sekunder berupa dokumen peraturan daerah, RTRW, RPJMD, Peraturan walikota, Hasil Musrenbang kota Depok dan dokumen pendukung lainnya, serta data primer berdasarkan observasi lapangan dan wawancara pihak terkait. HASIL DAN PEMBAHASAN Peraturan daerah nomor 1 tahun 2015 membahas tentang rencana tata ruang wilayah kota Depok untuk tahun 2012 – 2032. Kebijakan dan strategi penataan ruang meliputi struktur ruang dan pola ruang wilayah kota serta penetapan kawasan strategis kota. Adapun tujuan penataan ruang wilayah kota Depok unutk mewujudkan kota pendidikan, perdagangan dan jasa yang nyaman, religius dan berkelanjutan. Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Struktur Ruang Wilayah Kota Kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah kota meliputi pengembangan pusat-pusat pelayanan yang berhirarki yang memperkuat kegiatan pendidikan, riset dan inovasi teknologi, perdagangan dan jasa berskala regional. Pengembangan sistem jaringan prasarana perkotaan yang terdistribusi secara hirarkis. Pengembangan infrastruktur yang mendukung pengembangan kegiatan pendidikan, riset dan inovasi teknologi, serta perdagangan dan jasa. Strategi dalam perencanaan meliputi peningkatan aksesibilitas dari dan menuju kawasan pendidikan, perdagangan dan jasa dengan mengoptimalkan sistem angkutan umum massal serta pengembangan jaringan infrastruktur terpadu antar kawasan. 34 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Pola Ruang Wilayah Kota Kebijakan pengembangan pola ruang wilayah kota meliputi kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung serta kawasan budi daya. Kawasan lindung yang dimaksud adalah kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, ruang terbuka hijau (RTH), kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana dan kawasan lindung lainnya. Sedangkan kawasan yang termasuk dalam kebijakan dan strategi pengembangan budi daya antara lain kawasan perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, peruntukan industri, pariwisata, ruang terbuka non hijau, ruang evakuasi bencana, ruang kegiatan sektor informal dan peruntukan lainnya. Kawasan pariwisata terbagi lagi menjadi pariwisata budaya, alam dan buatan. Pariwisata budaya yang direncanakan dalam RTRW 2012-2032 terdapat pada wilayah Depok lama di kelurahan pancoran mas sebagai kawasan wisata heritage dan wilayah kelurahan kukusan menjadi kawasan seni dan budaya. Wilayah yang telah dan akan dikembangkan untuk menjadi kawasan pariwisata alam meliputi Taman Hutan Raya, Hutan Kota Universitas Indonesia, Situ Pengasinan, Situ Rawa Besar, Situ Asih Pulo, Situ Citayam, dan Situ Cilodong. Keberadaaan situ menjadi tujuan wisata merupakan potensi besar yang dimiliki kota Depok, karena terdapat sebanyak 28 situ dan yang dikembangkan untuk menjadi objek wisata barulah 5 situ. Pariwisata buatan merupakan objek-objek wisata yang dibangun oleh pemerintah dan atau individu. Kawasan pariwisata buatan yang terdapat dikota Depok antara lain Kawasan Studio Alam TVRI, Margo City, Depok Town Square, ITC Depok, Masjid Kubah Emas, Taman Wiladatika, Wisata Agro Belimbing dan Taman Hias, Padang Golf dan Depok Fantasi. Kebijakan Dan Strategi Penetapan Kawasan Strategis Kota Kebijakan penetapan kawasan strategis kota meliputi pengembangan kawasan strategis kota melalui kebijakan penetapan kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi, kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya dan kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup. Pembagian kawasan strategis akan memudahkan penataan dan fokus pembangunan wilayah. Penetapan kawasan tidaklah berdasarkan letak wilayah atau kecamatan yang ada di Depok, melainkan berdasarkan potensi yang dimiliki wilayah tersebut oleh karenanya tidak semua kecamatan atau kelurahan tergabung dalam kawasan strategis kota. Berikut kelurahan yang termasuk dalam kawasan strategis: Kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi meliputi a) kawasan margonda termasuk didalamnya sebagian Kelurahan Depok Jaya, Kelurahan Kemiri Muka, Kelurahan Pondok Cina dan Kelurahan Depok sebagai pusat perdagangan dan jasa skala pelayanan kota dan regional; b) Kawasan Bedahan yang mencakup kelurahan bedahan, kelurahan pengasinan, kelurahan bojongsari, kelurahan serua, kelurahan duren mekar, kelurahan duren seribu, dan kelurahan pasir putih yang menjadi sentra agroindustri untuk pengembangan agrobisnis produk buah-buahan, tanaman hias dan ikan hias; c) Kawasan Meruyung terdapat di kelurahan meruyung merupakan kawasan wisata meliputi wisata religi Masjid Kubah Emas dilengkapi pusat penjualan produk lokal Kota Depok; d) Kawasan SNADA terdapat di kelurahan cipayung jaya dan kelurahan bojong pondok terong dikembangkan menjadi kawasan perdagangan, pelestarian budaya, dan kawasan pendidikan terpadu. Kawasan margonda dalam perencanaan tahun 2017 termasuk dalam kondisi pengendalian dalam pemanfaatan ruangan karena kawasan margonda telah berkembang menjadi kawasan wisata 35 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 kuliner dan oleh-oleh khas Depok, terlihat dari hasil evaluasi tahun 2015. Sesuai dengan pernyataan dari Ibu Putri staff Rencana Tata Ruang Wilayah bahwa kawasan Margonda dilakukan pengendalian pertumbuhan bangunan dan difokuskan untuk pemanfaatan bangunan yang sudah ada. Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya dibagi menjadi 2 kawasan yaitu Kawasan Depok Lama terdapat di Kelurahan Depok menjadi kawasan cagar budaya yang memiliki nilai historis dan Kawasan Civic Center meliputi Kelurahan Tapos, Kelurahan Cilangkap, Kelurahan Cimpaeun, dan Kelurahan Jatijajar merupakan pusat kegiatan sosial budaya baru, serta kawasan lainnya yaitu kawasan dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi kawasan tahura berupa merupakan hutan konservasi terdapat di kelurahan pancoran mas dan kawasan Situ Bojongsari terdapat di kelurahan sawangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan dinas Pariwisata kota Depok, diketahui bahwa rencana kerja pemerintah dareah Kota Depok 2017, yang dilakukan oleh dinaspemuda, olahraga, pariwisata, seni dan budaya menjabarkan akan dilakukan pengembangan Jumlah penyelenggaraan festival seni dan budaya, pengembangan seni dan pelestarian budaya, serta melestarikan benda, situs, kawasan cagar budaya. Analisis Deskriptif karakteristik objek wisata kota Depok Berdasarkan RTRW 2012-2032 kota Depok memiliki pariwisata yang terbalik menjadi 3 kategori: 1. Kategori heritage yaitu daerah Depok lama. 2. Kategori seni berada di daerah kukusan 3. Kategori buatan yaitu : Studio alam, Margo city, Depok town square, perbelanjaan ITC Depok, masjid Dian Al Mahri, Taman bunga wiladatika, Argo wisata Belimbing. 36 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 4. Taman hias di 11 kecamatan, Padang golf dan Depok fantasi. PENUTUP Potensi Pariwisata yang dimiliki kota Depok perlu untuk dikembangkan secara terus menerus terutama wisata alam berupa Situ. Depok memiliki situ sebanyak 28 situ dan baru 5 situ yang dikembangkan untuk menjadi kawasan wisata. Kawasan Depok lama memiliki banyak bangunan yang merupakan peninggalan sejarah sehingga dapat dijadikan situs atau buruk kunjungan wisata sejarah. Rancangan RTRW 2012-2032 menjawbarkan adanya potensi Pariwisata dari kawasankawasan yang ada di Depok, namun Pemerintah belum menjadikan kawasan tersebut sebagai destinasi wisata dikarenakan akses menuju lokasi sedang dalam tahap pembangunan. Diharapkan Pemerintah dapat segera menetapkan destinasi unggulan wisata kota Depok berdasarkan kawasan yang telah ditetapkan yaitu wisata seni dan budaya, wisata alam dan wisata buatan. 37 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Keterbatasan Penelitian Penelitian yang kami lakukan dalam bentuk deskripsi dan bukan bersifat design, dimana Keterbatasan penelitian terbatas pada data yang peroleh dari dinas tata ruang Pemerintah kota Depok dan dinas pemuda, olahraga, Pariwisata, seni dan budaya. Saran Rencana tata ruang wilayah kota Depok mengalami perubahan terakhir terjadi pada tahun 2015. Kota Depok memiliki 3 kawasan strategis yaitu 1) kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi, 2) kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya dan 3) kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan. Saran kepada pemangku kebijakan dan strategi pengembangan struktur Ruang Wilayah yaitu Depok memiliki potensi wisata alam situ yang banyak dan potensial, Namun dalam RTRW 2012-2032 belum terlihat rencana untuk mengembangkan situ yang dimiliki, di harapkan pemda Depok mengembangkan potensi yang ada menyediakan daya dukung yang menghubungkan seluruh wilayah Depok. DAFTAR PUSTAKA http://www.Depok.go.id/18/01/2017/01-berita-Depok/pariwisata-setu-lio-akan-dioptimalkan diakses pada 20 Januari 2017. http://www.Depok.go.id/04/02/2017/10-ekonomi-kota-Depok/kadin-bersama-diskominfo-kotaDepok-dorong-setu-jadi-wisata-khas-Depok. Diakses pada 18 Februari 2017 http://www.Depok.go.id/05/02/2017/01-berita-Depok/perda-pariwisata-alam-potensial-sumbangpad. Diakses pada18Februari 2017 Peraturan daerah kota Depok nomor 12 tahun 2001 tentang rencana tata ruang wilayah kota Depok tahun 2000-2010. Peraturan daerah kota Depok nomor 16 tahun 2013 tentang kepariwisataan. Peraturan daerah nomor 1 tahun 2015 tentang rencana tata ruang kota Depok tahun 2012-2032. Peraturan walikota Depok nomor 57 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan walikota Depok nomor 37 tahun 2016 tentang rencana kerja Pemerintah daerah kota Depok tahun 2017. Wahyuhana, Ratika T dan Agung Sugiri. 2014. Kajian Perencanaan Tata Ruang untuk memfasilitasi kegiatan non-pertanian di kecamatan Sukorejo, kabupaten Kendal. Jurnal wilayah dan lingkungan volume 2 nomor 2 agustus 2014, 169-182. 38 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 MODEL IMPLEMENTASI GREEN HUMAN RESOURCE MANAGEMENT DALAM PRAKTIK MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA Agus Sugiarto1 dan Lieli Suharti2 Universitas Kristen Satya Wacana [email protected] dan [email protected] Abstract The awareness of preserving environment has been campaigned along with the phenomenon of environmental damage. Human resource management in the enterprise area has an important role in saving the environment through the implementation of the concept of Green Human Resource Management (Green HRM). Implementation of Green HRM in human resource management practices have a positive impact for the company. This article examined the literature on Green HRM then used it as the basis for implementation of the Green HRM models in the practice of human resource management in a comprehensive manner. The result model of this study includes three parts: First, the stimulus or motivator of Green HRM implementation of both external and internal to the organization (awareness and environmental ethics, rule or regulation, and organizational commitment). The second part is the implementation process which include several sections, such as the determination of the vision and mission of the organization, the organizational policies related to environmental friendly behavior within the organization, the commitment in providing environmental friendly technologies, the availability of facilities / infrastructure, and various work programs related organizations with environmental friendly behavior. Green HRM implementation process in the recruitment process, employee training, performance evaluation, compensation systems, and function of other human resources. The implementation process will produce environmental friendly behavior for employees. The third part is the results or the impact of implementing Green HRM such as, energy efficiency, other materials, and positive impact on the employee’s performance of, along with positive image of the company as an environmental friendly company. Keywords: Green HRM, Behavior, Environmental Friendly, Human Resource Management Abstrak Kesadaran untuk penyelamatan lingkungan hidup telah dikampanyekan seiring dengan fenomena kerusakan lingkungan. Manajemen sumber daya manusia dalam perusahaan memiliki peran penting dalam upaya penyelamatan lingkungan hidup melalui implementasi konsep Green Human Resource management (Green HRM). Implementasi Green HRM dalam Praktik Manajemen sumber daya manusia memiliki dampak positif bagi perusahaan. Artikel ini mengkaji berbagai literature Green HRM selanjutnya digunakan sebagai dasar penyusunan model implementasi Green HRM dalam praktik manajemen sumber daya manusia secara komprehensif. Model yang dihasilkan dalam kajian ini meliputi 3 bagian, yaitu Pertama, stimulus atau motivator dari implementasi Green HRM baik secara ekternal maupun internal organisasi (kesadaran dan etika lingkungan, peraturan atau regulasi, serta komitmen organisasi). Bagian kedua yaitu proses implementasi yang meliputi beberapa dimensi yaitu penentuan visi dan misi organisasi, Kebijakan organisasi terkait dengan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi, komitmen dalam penyediaan teknologi ramah lingkungan, penyediaan fasilitas/sarana prasarana, serta berbagai program kerja organisasi yang berkaitan dengan perilaku ramah lingkungan. Proses implementasi Green HRM dalam proses penerimaan karyawan, pelatihan karyawan, penilaian kinerja karyawan, sistem kompensasi, serta dalam fungsi manajeme sumber daya manusia yang lain. Dari proses implementasi akan menghasikan perilaku ramah lingkungan bagi karyawan. Sedangkan bagian ketiga yaitu hasil atau dampak dari implementasi Green HRM yaitu, efisiensi energi, material dan lainnya, dampak positif pada kinerja karyawan , serta citra perusahaan positif sebagai perusahaan ramah lingkungan. Kata Kunci: Green-HRM, Perilaku, Ramah Lingkungan, Manajemen Sumber Daya Manusia. 39 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENDAHULUAN Fenomena pemanasan global memicu meningkatnya kesadaran etika lingkungan dalam upaya penyelamatan bumi dan lingkungan dari ancaman kerusakan. Salah satu konsep yang berhubungan dengan upaya penyelamatan lingkungan adalah konsep ramah lingkungan atau sering dikenal dengan istilah “Go Green”. Konsep "GoGreen" pada industri mulai dikenal pada tahun 1980-an, karena berbagai faktor eksternal dan internal, termasuk krisis lingkungan, tekanan pelangganyang semakin meningkat, kebutuhan organisasional, dan fungsi–fungsi lingkungan hidup (Heiskanen 2002). Saat ini konsep ramah lingkungan banyak diterapkan sebagai strategi bisnis, baik dalam bidang produksi, pemasaran, bidang sumber daya manusia serta bidang yang lainnya. Kesadaran akan etika lingkungan menjadi pemicu munculnya konsep perusahaan yang ramah lingkungan (green company) dan telah menjadi tuntutan bisnis di era globalisasi. Hasil penelitian Alhadid & As’ad(2014) menegaskan adanya dampak kehadiran inovasi ramah lingkungan dalam kinerja organisasi, dan hal ini menegaskan bahwa praktik manajemen ramah lingkungan memiliki manfaat yang signifikan pada tingkat perekonomian nasional dan mencapai penghematan yang signifikan pada tingkat sektor industri. Antje & Pietro (2014) juga telah melakukan kajian tentang konsep ramah lingkungan dan keberlangsungan organisasi. Lebih Lanjut Antje menjelaskan bahwa pengelolaan lingkungan secara positif memengaruhi kinerja ekonomi. Perusahaan yang ramah lingkungan adalah suatu konsep di mana pihak manajemen sebuah perusahaan secara sadar meletakkan pertimbangan akan perlindungan dan pengelolaan lingkungan, serta keselamatan dan kesehatan ‘stakeholders’ dalam setiap pengambilan keputusan bisnisnya. Hal ini merupakan wujud nyata tanggung jawab dan upaya memberikan kontribusi positif kepada perusahaan dan karyawan pada khususnya dan masyarakat serta pembangunan yang berkelanjutan pada umumnya. Perhatian dan semangat akan kesadaran ramah lingkungan diimplemantasikan dalam berbagai bidang dalam organisasi, yaitu dalam bidang produksi, bidang pamasaran, bidang teknologi& lingkungan fisik dan juga dalam bidang sumber daya manusia. Penerapan perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumberdaya manusia disebut juga dengan istilah Green Human Resource Management(Green HRM).Shaikh (2010) mengungkapkan bahwa Green HRM akan memiliki peran penting dalam industri untuk mempromosikan isu-isu terkait lingkungan dengan mengadopsi filosofi manajemen, praktik kebijakanSumber Daya Manusia (SDM), program pelatihan dan pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan. Selain itu Green HRM juga akan membantu pengusaha dan produsen dalam meningkatan citra dan membangun merk dengan menerapkan standar ISO 14000, tentang audit lingkungan, sehingga mengubah budaya organisasi, serta membantu karyawan dan masyarakat akan kesadaran dampak lingkungan. Hal ini juga akan membuat karyawan dan anggota masyarakat sadar akan pemanfaatan sumber daya alam yang lebih ekonomis dan mendorong produk ramah lingkungan. Lebih lanjut Mandip (2012) berpendapat bahwa Green HRM merujuk untuk menggunakan setiap potensi karyawan untuk mempromosikan praktik-praktk berkelanjutan dan meningkatkan kesadaran karyawan dan komitmen pada isu-isu lingkungan secara keberlanjutan. Hal ini diperlukan untuk melakukan inisiatif HR ramah lingkungan sehingga dapat diperoleh efisiensi yang lebih besar, biaya yang lebih rendah dan keterlibatan karyawan yang lebih baik dan dapat mempertahankan karyawan. Selain itu dapat pula membantu organisasi untuk berperilaku ramah lingkungan melalui kegiatan secara elektronis, misalnya mobile-sharing, task-sharing, telekonferensi dan wawancara secara virtual, pelatihan secara telekomuter online, ruang kantor yang hemat energi dan lain-lain. 40 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Berdasarkan Environmental Performance Index (EPI), kualitas lingkungan Indonesia pada 2015 berada pada peringkat 107 dari 180 negara dengan skor 65,85. Sebagai perbandingan, dua negara tetangga terdekat Indonesia justru berada di posisi yang jauh lebih baik, yakni Singapura pada peringkat 14 dengan indeks 87,04 dan Malaysia dengan indeks 74,23 berada pada urutan 63 (antarriau.com 2016).Rendahnya kesadaran ramah lingkungan ditunjukan juga dengan masih rendahnya implementasi Green HRM di Indonesia. Masih banyak organisasi di Indonesia yang belum menyadari pentingnya mengimplementasikan konsep ramah lingkungan dalam aktivitasnya. Rendahnya perilaku karyawan untuk ramah lingkungan di lingkungan kerja yang salah satu ditunjukan dengan aktivitas yang boros energi. Dalam publikasinya, kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia menyatakan bahwa pemborosan energi 80 % disebabkan oleh faktor manusia (ESDM 2011). Dari publikasi tersebut nampak bahwa pemborosan energi masih terjadi dipusat-pusat perkantoran, dan hal tersebut nampak bahwa perilaku ramah lingkungan belum dapat diwujudkan oleh banyak pihak. Hal ini menjadi dasar perlunya pengelolaan sumber daya manusia yang berkonsep ramah lingkungan (Green HRM) perlu diimplementasikan. Dari uraian di atas nampak bahwa kesadaran akan kelestarian lingkungan menjadi perhatian semua pihak. Kesadaran kelestarian lingkungan diikuti dengan implementasi perilaku ramah lingkungan disetiap aktivitas masyarakat global, termasuk juga implementasi perilaku ramah lingkungan dalam organisasi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian untuk melakukan identifikasi proses implementasi perilaku ramah lingkungan di berbagai perusahaan komprehensif terutama dalam bidang sumber daya manusia. Penertian komprehensif ini adalah bahwa diperlukan penelitian yang mengkaji tentang perilaku ramah lingkungan di organisasi secara menyeluruh, yakni berbagai faktor yang berkaitan (stimulus) dengan implementasi perilaku ramah lingkungan baik secara eksternal perusahaan maupun internal perusahaan, mengkaji proses yang terjadi, serta melakukan identifikasi dampak dari implementasi perilaku ramah lingkungan dalam perusahaan. Kajian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah model implementasi perilaku ramah lingkungan dalam praktik manajemen sumber daya manusia di Perusahaan. Kajian ini merupakan kajian studi literatur. Peneliti mencari berbagai data melalui berbagai literatur dan hasil penelitian tentang Green Human Resource Management yang telah dihasilkan dan dipublikasikan melalui jurnal ilmiah dan buku oleh para peneliti sebelumnya. Data hasil penelitian dikelompokan berdasarkan ketegori dan kriteria tertentu, dianalisis, selanjutkan digunakan sebagai dasar penyusunan model implementasi Green HRM dalam praktik manajemen sumber daya manusia. TINJAUAN PUSTAKA Perilaku Ramah Lingkungan (Green Behavior) Kesadaran akan etika lingkungan merupakan hal pemicu dalam penerapan perilaku ramah lingkungan (Green Behavior).Menurut Keraf (2010) munculnya masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia terhadap lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis. Demikian pula, krisis ekologi global yang dialami dewasa ini terjadi adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Lebih lanjut Keraf menjelaskan bahwa fokus dari etika lingkungan hidup adalah bagaimana manusia harus bertindak atau bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut. 41 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Ramah lingkungan adalah suatu progam yang tidak menyebabkan dampak negatif terhadap lingkungan sekitar atau dapat di artikan sesuatu yang tidak merusak alam sekitarnya. Ramah lingkungan juga bertujuan untuk melestarikan bumi agar bumi tetap lestari , lingkungan sekitar tetap bersih, rapih, indah, dan nyaman, dan yang terpenting adalah membuat tubuh manusia sehat. Perilaku ramah lingkungan memiliki enam prinsip, yakni Recycle, Recovery, Reduce, Reuse,Refine, serta Retrieve Energy. Refine artinya memakai bahan yang ramah lingkungan dan lewat sistem yang lebih aman dari teknologi sebelumnya. Reduce artinya mengurangi jumlah limbah dengan cara memaksimalkan pemakaian bahan. Reuse yaitu menggunakan kembali beberapa bahan yg tidak terpakai atau telah berbentuk limbah serta diolah dengan cara yang berbeda. Recycle nyaris sama juga dengan reuse, hanya saja recycle memakai kembali bahan-bahan atau limbah dengan sistem yang sama. Recovery artinya pemakaian material khusus dari limbah untuk diolah demi kepentingan yang lain. Retrieve Energy yaitu penghematan daya dalam satu sistem produksi (Rantao 2012). Pengertian Implementasi Green HRM dan Perannya Secara umum konsep implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Usman 2002). Dalam penelitian ini konsep implementasi dipahami sebagai suatu kegiatan yang terencana berupa aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya mekanisme suatu sistem penerapan nilai nilai ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia (MSDM) atau dapat disebut sebagai Green Human Resource Management(Green HRM). Green HRM merupakan semua kegiatan dalam pengembangan, pelaksanaan dan pemeliharaan sistem yang bertujuan untuk membuat karyawan sebuah organisasi memiliki perilaku ramah lingkungan (Opatha& Anton 2014). Green HRM merupakan salahsatu sisi manajemen sumber daya manusia yang peduli dengan mengubah karyawan menjadi karyawan yang ramah lingkungan sehingga mencapai tujuan lingkungan organisasi dan akhirnya membuat kontribusi yang signifikan terhadap lingkungan. Green HRM berarti menggunakan setiap karyawan sedemikian rupa untuk mempromosikan dan mempertahankan praktik-praktik bisnis yang berkelanjutan serta menciptakan kesadaran, yang pada gilirannya, membantu organisasi untuk beroperasi dengan cara yang ramah lingkungan. Tujuan dari Green HRM adalah untuk menciptakan, meningkatkan dan mempertahankan moral ramah lingkungan atau penghijauan bagi setiap karyawan organisasi sehingga memberikan kontribusi terhadap lingkungan (Rani & Mishra2014). Lebih lanjut Cherian& Jelly (2012) mengungkapkan bahwa dalam implementasi konsep Green Human Resources Management (Green HRM) diperlukan penerapan paradigma atau cara pandang akan kelestarian lingkungan dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) perusahaan sehingga akan meningkatkan moral karyawan terhadap pengelolaan lingkungan yang baik. Praktik Green HRM penting untuk mempromosikansemangat kerja karyawan dan ini dapat bermanfaat bagi organisasi dan karyawan. Beberapa manfaat yang dapat dicapai sebagai akibat dari memperkenalkan prinsip Green HRM : yaitu peningkatan tingkat retensi karyawan, peningkatan citra publik, peningkatan dalam menarik karyawan yang lebih baik, peningkatan produktivitas dan keberlanjutan, pengurangan dampak lingkungan dari perusahaan, dan peningkatan daya saing dan peningkatan kinerja secara keseluruhan. 42 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Green HRM dalam Praktik Sumber Daya Manusia Untuk dapat mengimplementasikan konsep Green HRM pada organisasi, setiap organisasi dapat memasukkan konsep ramah lingkungan ke dalam fungsi fungsi MSDM. Opatha&Anton (2014) mengemukakan bahwa secara tradisional ada 18 fungsi MSDM termasuk desain pekerjaan, analisis pekerjaan, perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen, seleksi, perekrutan, induksi, evaluasi kinerja, pelatihan dan pengembangan, manajemen karir, manajemen kompensasi, manajemen insentif, manajemen kesejahteraan, manajemen gerakan karyawan, manajemen disiplin, manajemen kesehatan dan keselamatan, manajemen hubungan tenaga kerja. Membuat praktik Green HRMdapat dilakukan dengan melibatkan masuknya kebijakan, prosedur, dan praktik yang menjamin karyawan berperilaku ramah lingkungan dan karyawan memiliki kinerja yang baik. Sementara itu Cherian& Jelly (2012), melakukan kajian implementasi Green HRM dalam fungsi Rewards and Compensation, Recruitment, Training and Development, Employee Empowerment, Employee Training, Employee Teamwork and Managerial Environmental Training. Partisipasi karyawan dalam mewujudkan suatu manajemen sumber daya manusia (MSDM) yang ramah lingkungan (green human resources management – Green HRM) sudah lama dikumandangkan oleh para ahli. Hal ini juga sudah dirasakan sangat perlu oleh perusahaanperusahaan besar dalam rangka mewujudkan perusahaan yang ramah lingkungan. Namun, selama ini perusahaan lebih mengedepankan upaya ini kepada para karyawannya sebatas di lingkungan kerja (working environment) saja. Inisiatif ramah lingungan menjadi faktor penting dalam bisnis di seluruh dunia. Para peneliti berpendapat bahwa karyawan harus terinspirasi, diberdayakan dan memiliki kesadaran lingkungan dalam rangka untuk melaksanakan inisiatif manajemen ramah lingkungan. Green HRM memerlukan keterampilan teknis dan keterampilan manajemen dari karyawan, karena perusahaan akan mengembangkan inisiatif inovasi lingkungan dan program yang memiliki implikasi terhadap manajerial secara signifikan. Implementasi perilaku ramah lingkungan dalam proses pengadaan karyawan (Recruitment) melalui analisis pekerjaan (Job analysis), yaitu dengan menyertakan dimensi lingkungan sebagai tugas dalam deskripsi pekerjaan. Menyertakan kompetensi ramah lingkungan sebagai komponen khusus dalam spesifikasi pekerjaan. Internaliasi dalam Rekrutmen (Recruitment), yaitu dengan menyertakan kriteria lingkungan dalam pesan perekrutan, dan mengkomunikasi kan perhatian pimpinan atau pemberi kerja tentang penghijauan melalui proses rekrutmen. Implementasi dalam seleksi (selection), yaitu dengan memilih pelamar yang cukup sadar lingkungan/penghijauan untuk mengisi lowongan pekerjaan. Selain itu dengan memilih pelamar yang telah terlibat dalam penghijauan sebagai konsumen di bawah domain kehidupan pribadi mereka. Implementasi dalam induksi (Induction), dilakukan untuk membuat karyawan baru akrab dengan upaya ramah lingkungan/penghijauan organisasi. Selain itu mengembangkan program induksi menunjukkan perilaku ramah lingkungan dengan karyawan (Dechant & Altmah 1994, Bauer & Aiman-Smith 1996, Frank 2003). Implementasi perilaku ramah lingkungan dalam pelatihan (Training), dilakukan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan yang tepat tentang penghijauan atau perilaku ramah untuk masing-masing karyawan melalui program pelatihan yang dirancang khusus untuk penghijauan (Perron et al 2006, Daily et al 2007, Unnikrishnan & Hadge 2007, Sarkis et al. 2010, Opatha & Anton 2014). Selain itu untuk melakukan analisis kebutuhan pelatihan untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan ramah lingkungan bagi karyawan. Implementasi dalam Evaluasi Kinerja (Performance evaluation), untuk mengevaluasi prestasi kerja karyawan kerja sesuai dengan kriteria perilaku ramah lingkungan (Mandip 2012). Untuk memasukkan komponen perilaku ramah lingkungan dalam wawancara umpan balik kinerja. Implementasi dalam Manajemen Imbalan (Rewards management), untuk memberikan 43 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 insentif keuangan kepada karyawan bagai yang berperilaku ramah lingkungan dalam bekerja.Selain itu untuk memberikan imbalan non-keuangan seperti pujian dan pengakuan kepada karyawan untuk karyawan yang berperilaku ramah lingkungan. Implementasi dalam manajemen disiplin (Discipline management), untuk merumuskan dan mempublikasikan aturan perilaku yang berkaitan dengan perilaku ramah lingkungan/penghijauan. Selain itu untuk mengembangkan sistem disiplin progresif untuk menghukum karyawan yang melanggar aturan perilaku ramah lingkungan (Ramus 2001, Forman & Jorgensen 2001, Alhadid 2014). Teori Terkait Grand Theory yang mendasari penelitian ini adalah teori etika lingkungan ekosentrisme. Teori ekosentrisme dikemukakan oleh seorang filsuf Norwegia, pada tahun 1973. Teori Ekosentrisme menawarkan pemahaman yang semakin memadai tentang lingkungan. Kepedulian moral diperluas sehingga mencakup komunitas ekologis seluruhnya, baik yang hidup maupun tidak. Ekosentrisme semakin diperluas dalam deep ecology dan ecosophy yang sangat menggugah pemahaman manusia tentang kepentingan seluruh komunitas ekologis. Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, melainkan berpusat pada keseluruhan kehidupan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan. Deep Ecology juga diterjemahkan sebagai gerakan yang nyata agar tercipta suatu kehidupan yang selaras antara makhluk hidup dan alam. Gerakan nyata ini berpengaruh terhadap cara pandang, tingkah laku, dan gaya hidup banyak orang. Paham ekosentrisme semakin diperluas dan diperdalam melalui teori deep ecology yang menyebut dasar dari filosofi Arne Naess tentang lingkungan hidup sebagai ecosophy, yakni kearifan mengatur hidup selaras dengan alam. Dengan demikian, manusia dengan kesadaran penuh diminta untuk membangun suatu kearifan budi dan kehendak untuk hidup dalam keterkaitan dan kesaling tergantungan satu sama lain dengan seluruh isi alam semesta sebagai suatu gaya hidup yang semakin selaras dengan alam (Keraf 2010). Teori kedua yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah teori Triple Bottom Line (TBL). Teori Triple Bottom Line dikemukakan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya “Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness”. Elkington mengembangkan konsep triple bottom line dengan istilah economic prosperity, environmental quality dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Teori triple bottom line memberi pemahaman bahwa jika sebuah perusahaan ingin mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”. Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Wibisono 2007). a. Profit (Keuntungan); Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap kegiatan usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. Karena inilah bentuk tanggung jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efiisensi biaya. Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan memperbaiki manajemen kerja mulai penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan 44 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat mungkin dan memangkas biaya serendah mungkin b. People (Masyarakat Pemangku Kepentingan); People atau masyarakat merupakan stakeholders yang sangat penting bagi perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Perlu juga disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada masyarakat. Karena itu perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat menyentuh kebutuhan masyarakat. c. Planet (Lingkungan); Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang dalam kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara yang dihirup dan seluruh peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan. Namun sebagaian besar dari manusia masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena tidak ada keuntungan langsung yang bisa diambil didalamnya. Teori Triple Bottom Line yang terdiri dari Planet, Profit, dan People digunakan oleh organisasi dalam strategi bisnis untuk mencapai keberlangsungan (sustainability) organisasi, dapat digambarkan sebagai berikut: Planet (Enviromental) SUSTAINABILITY People (Social) Profit (Economic) Gambar 1. Model Teori Triple Bottom Line ,Sumber: Ε»ak (2015) Teori ekosentrisme dan teori triple bottom line merupakan dua teori yang digunakan dasar dalam mengkaji tentang kepedulian manusia terhadap kelestarian lingkungan melalui semua dimensi aktivitas manusia, termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis. 45 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil studi literatur dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa perkembangan penelitian tentang perilaku ramah lingkungan (green behavior) dalam perusahaan dalam beberapa tahun terakhir dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu pertama, penelitian yang mengkaji tentang faktor yang memovitasi perilaku ramah lingkungan, kedua, penelitian yang mengkaji tentang pelaksanaan implemantasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia, dan ketiga, penelitian yang mengkaji tentang berbagai dampak dari implementasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia. Determinan Stimulus Implementasi Green HRM Salah satu hal yang menjadi motivator dalam implementasi perilaku ramah lingkungan adalah kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup melalui etika lingkungan (Bansal 2000). Penelitian Renwick (2008) membahas tentang komitmen stakeholder dan pengusaha dalam kelestarian lingkungan, yang memungkinkan menghubungkan keterlibatan dan partisipasi karyawan dalam program pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan kinerja lingkungan organisasi. Sementara itu Jackson (2010) menyimpulkan bahwa pemimpin perusahaan menyadari bahwa tanggung jawab terhadap lingkungan adalah konsisten dengan keinginan mereka untuk mencapai keunggulan kompetitif. Dengan kata lain kesadaran dan komitmen pimpinan perusahaan menjadi salah satu faktor dalam implementasi perilaku ramah lingkungan di perusahaan. Damayanti (2013) juga menghubungkan issu pemanasan global dengan kebijakan perusahaan. Dalam kajiannya, Damayanti membahas tentang bagaimana memahami global warming dalam perspektif Environmental Management Accounting (EMA) sehingga perusahaan dapat menerapkan kebijakan lingkungan pada kegiatan operasional dan keputusan-keputusan bisnisnya. Unsur lingkungan pada penilaian kinerja bisnis perusahaan melalui penilaian akuntansi lingkungan menjadi krusial. Environmental Management Accounting (EMA) berperan penting dalam pengendalian internal perusahaan melalui kebijakan kelestarian lingkungan pada kegiatan operasional dan keputusan-keputusan bisnis. Penelitian Yusoff et, all. (2015) juga menyimpulkan bahwa sebagian besar perusahaan yang diteliti memiliki prioritas yang sangat tinggi tentang Green HRM. Hal itu berarti perusahaan telah memiliki komitmen yang baik dalam kelestarian lingkungan. Sedangkan penelitian Erdogan (2015) menunjukan hasil bahwa komitmen manajemen terhadap lingkungan berhubungan positif dengan komitmen organisasi, hubungan lebih kuat ketika karyawan dirasakan mendapatkan dukungan dari organisasi. Kunci dalam perilaku karyawan adalah bagaimana organisasi memperlakukan karyawan. Hasil penelitian Muster (2011) juga mendorong pihak perusahaan untuk lebih memberikan perhatian yang lebih besar kepada para karyawan untuk mewujudkan perilaku yang ramah lingkungan, baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan kehidupan sehari-hari. Dari pembahasan di atas beberapa determinan implementasi perilaku ramah lingkungan dapatdiidentifikasi sebagai berikut: Kesadaran Etika Lingkungan: Kesadaran akan etika lingkungan merupakan hal pemicu dalam penerapan Green HRM di perusahaan. Dalam kajian Bansal (2000), menyebutkan bahwa kesadaran tanggungjawab lingkungan merupakan salah satu motivator bagi perusahaan dalam berperilaku ramah lingkungan. Menurut Keraf (2010) munculnya masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia terhadap lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis. Demikian pula, krisis ekologi global yangalami dewasa ini terjadi adalah persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Lebih lanjut Keraf menjelaskan bahwa fokus dari etika lingkungan hidup adalah bagaimana manusia harus bertindak 46 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 atau bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan hidup. Etika lingkungan hidup dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut (Keraf 2010). Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa etika lingkungan merupakan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam. Kaidah moral tersebut dapat diwujudkan dengan regulasi formal dalam bentuk aturan dan hukum maupun berupa gerakan-gerakan masyarakat, baik secara global, nasional maupun local/daerah. Lebih lanjut Opatha & Anton (2014) menegaskan bahwa ada beberapa hal yang menjadi alasan pentingnya perilaku ramah lingkungan adalah: 1) Untuk menghindari atau meminimalkan pemanasan global.2) Untuk menghindari atau meminimalkan bencana alam seperti hujan asam, hujan merah, tsunami, banjir, badai, kekeringan dan lain lain, karena penggunaan informal berbahaya dan serakah sumber daya alam untuk produksi dan konsumsi. 3) Untuk menghindari atau meminimalkan penyakit kesehatan karena polusi. 4) Untuk menghindari atau meminimalkan kerugian untuk hewan dan makhluk alam lainnya. 5) Untuk menjamin keseimbangan yang tepat dari hubungan antara tanaman, hewan, orang, dan lingkungan mereka. 6) Untuk menjamin kelangsungan hidup manusia dan organisasi bisnis untuk jangka waktu lama. Berdasarkan argumentasi tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman dan kesadaran akan etika lingkungan merupakan determinan yang dapat diduga berkaitan dengan implementasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia dalam perusahaan. Regulasi/ Aturan Zaman (2012) meneliti tentang komitmen etika lingkungan (environmental ethicalcommitmentEEC) perusahaan manufaktur di Malaysia. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa regulasi merupakan determinan yang dapat menjelaskan komitmen perusahaan dalam etika lingkungan di Malaysia (Zaman 2012). Sementera itu Yusoffet al (2015) mengungkapkan bahwa kebijakan dan aturan merupakan konsep yang terkait dengan pelaksanaan implementasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia dalam organisasi. Dalam konteks pelestarian lingkungan, terdapat beberapa regulasi yang berlaku secara global (internasional) maupun secara nasional yang harus ditaati oleh masyarakat. Dalam lingkup internasional beberapa kesepakatan masyarakat dunia dalam bentuk konferensi dunia telah dilakukan. Konferensi internasional lingkungan hidup atau United Nations Conference on Human Environment (UNCHE), di Stockholm, Swedia adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB yang diikuti oleh wakil dari 114 negara. Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil, pada 1992, merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan pembangunan dan lingkungan. KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, ditekankan pada plan of implementation yang mengintegrasikan elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan pada tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance). Serta KTT Pemanasan Global di Nusa Dua, Bali pada tanggal 13 – 15 Desember 2007 merupakan momentum dalam upaya untuk membangun kesadaran semua warga bumi untuk berbuat sekecil apapun demi menyelamatkan bumi, tempat yang menjadi sumber hidup dan hidup bersama. Dalam konferensi tentang lingkungan hidup ini semua negara ambil bagian dalam menentukan nasib bumi di waktu mendatang. 47 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Dalam lingkup nasional, Indonesia telah memiliki regulasi tentang lingkungan hidup, yaitu Undang Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain undang-undang tersebut terdapat beberapa peraturan di bawah undang-undang yang berkaitan dengan lingkungan hidup. Berdasarkan argumentasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa regulasi atau kebijakan merupakan determinan yang berkaitan dengan pelaksanaan implementasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia dalam perusahaan. Komitmen Organisasi/Pimpinan Erdogan et, al (2015) telah melakukan penelitian terhadap karyawan dan supervisor di Turki. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa komitmen organisasi memiliki pengaruh terhadap perilaku ramah lingkungan para karyawan dan supervisor. Komitmen manajemen/organisisi merupakan salah satu determinan dalam implementasi perilaku ramah lingkungan juga dijelaskan oleh Alhadid (2014) yang mengemukakan bahwa inovasi ramah lingkungan dalam produk dan proses membutuhkan prinsip praktik dan perilaku dalam perusahaan industri, karena manajemen adalah pendorong utama dalam penerapan ini melalui kebijakan praktik dan perilaku yang ramah lingkungan. Renwick et, al (2013) mengemukakan bahwa prediktor seperti masalah kepemimpinan, profil komitmen, iklim organisasi, dan/ atau disposisi individu bisa dinilai untuk melihat dari mana mereka bertindak sebagai driver mengenai adopsi perilaku Green HR di tempat kerja. Dari pendapat beberapa peneliti tersebut dapat disimpulkan bahwa komitmen organisasi atau pimpinan lembaga patut diduga sebagai determinan yang berkaitan dengan implementasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia dalam perushaan. Proses Implementasi Green HRM dalam Praktik MSDM Dari determinan stimulus, beberapa bentuk komitmen organisasional dalam penerapan Green HRM pada perusahaan diwujudkan dalam beberapa bentuk respon organisasi dalam implementasi perilaku ramah lingkungan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yaitu penentuan visi dan misi organisasi, Kebijakan organisasi terkait dengan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi, Komitmen dalam penyediaan teknologi ramah lingkungan, penyediaan fasilitas/sarana prasarana bagi semua stakeholders untuk berperilaku ramah lingkungan, serta perbagai program kerja organisasi yang berkaitan dengan perilaku ramah lingkungan (Unnikrishnan & Hadge 2007, Lane 2009, Renwick et, al. 2013; Alhadid 2014; Erdogan et al 2015). Beberapa peneliti telah membahas tentang bagaimana mengimplementasikan perilaku ramah lingkungan dalam kebijakan dan program perusahaan misalnya Intervensi HR berbasis Evaluation management system (EMS), green intellectual capital (GIC) and corporate environmental citizenship (CEC), serta dalam praktik sumber daya manusia yaitu manajemen kinerja; pelatihan, pengembangan, dan pembelajaran; kompensasi dan manfaat; dan budaya organisasi (Sudin 2011; Jackson 2011; Milliman 2013; Pooja 2014). Penelitian yang lain juga dilakukan yaitu tentang bagaimana pengusaha dan praktisi menghubungkan keterlibatan karyawan dan partisipasi dalam program pengelolaan lingkungan untuk peningkatan kinerja lingkungan organisasi (Mandip 2012; Paille 2013). Penelitian senada telah membahas tentang beberapa bentuk perilaku ramah lingkungan, serta konsep Green Work Life yang menekankan pada integrasi kehidupan pribadi dan kehidupan kerja karyawan dengan mengacu pada sikap lingkungan, praktik dan perilaku (Harvey 2013; Datta 2015). Perilaku ramah lingkungan juga dihubungkan dengan praktik manajemen sumber daya manusia, dan diuraikan sebagai berikut: Penelitian tentang perilaku ramah lingkungan dalam pengelolaan sumber daya manusia khususnya dalam kaitannya dalam rekrutmen telah dilakukan oleh Dechant & Altman (1994) dengan tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana persepsi karyawan terhadap perilaku perusahaan ramah 48 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 lingkungan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa terdapat hubungan antara rekrutmen karyawan dengan profil perusahaan. Selain itu, kajian tentang Perilaku ramah lingkungan yang dikaitkan dengan manajemen sumber daya manusia khususnya dalam hal rekrutmen telah dilakukan oleh Bauer & Aiman-Smith (1996) yang menunjukan bahwa calon karyawan lebih bersedia untuk bekerja di sebuah perusahaan yang mempromosikan karakteristik pro lingkungan. Frank (2003) yang menunjukan bahwa karyawan bersedia bekerja untuk perusahaan yang ramah lingkungan untuk menurunkan biaya. Brekke & Nybord (2008) yang menunjukan hasil bahwa karyawan akan lebih memilih perusahaan ramah lingkungan dari pada perusahaan yang tidak ramah lingkungan jika ditawarkan gaji yang sama. Sementara itu kajian tentang perilaku ramah lingkungan yang dikaitkan dengan kompensasi dalam manajemen sumber daya manusia dilakukan oleh Alhadid (2014) dengan kesimpulan bahwa diidentifikasi perlunya penawaran insentif yang lebih baik dalam implementasi kebijakan manajemen lingkungan. Forman & Jorgensen (2001) yang menyimpulkan bahwa penawaran kompensasi untuk mengambil tugas dalam kaitannya dengan tanggung jawab lingkungan membantu meningkatkan komitmen karyawan pada program manajemen lingkungan. Ramus (2001) yang menyimpulkan bahwa penyajian insentif non finansial seperti pengakuan dukungan dari atasan membantu meningkatkan motivasi karyawan untuk mengambil bagian dalam program manajemen lingkungan. Kajian perilaku ramah lingkungan yang dikaitkan dengan program pelatihan karyawan dalam manajemen sumber daya manusia telah dilakukan oleh Perron et, al. (2006) yang menyimpulkan bahwa pelatihan lingkungan perlu disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan tertentu. Daily et, al. (2007) dengan kesimpulan bahwa pelatihan akan membantu karyawan mengidentifikasi tantangan dan peluang kerangka manajemen kelestarian lingkungan. Unnikrishnan & Hedge (2007) Dukungan manajemen puncak dan kehadiran teknologi penting untuk mempromosikan pelatihan lingkungan. Sarkis et, al. (2010) yang menyimpulkan bahwa karyawan yang diberikan pelatihan yang lebih baik, memiliki persepsi yang lebih baik tentang manajemen lingkungan. Hasil Implementasi Green HRM Penerapan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi tentunya memiliki tujuan dan manfaat.Berbagai manfaat atau dampak positif dari penerapan perilaku ramah lingkungan di perusahaan telah diungkapkan oleh banyak pihak. Penelitian Edwards (2006) menghasilkan kesimpulan bahwa bangunan kantor ramah lingkungan harus dipertimbangkan agar energi, kesehatan dan manfaat produktivitas untuk diintegrasikan secara efektif. Kesimpulan yang kedua adalah sistem pencahayaan secara alami dan kantor yang berventilasi diperlukan untuk mencapai efisiensi energi dan bermanfaat secara signifikan bagi pekerja. Lebih lanjut disimpulkan bahwa kantor ramah lingkungan tidak hanya menghemat energi, tetapi juga membantu mengurangi biaya staf perusahaan, dan menambah daya saing. Menurut Business Resource Efficiency Guide, manfaat ramah lingkungan ramah lingkungan adalah; 1. Mengurangi biaya, 2.Peningkatan efisiensi sumber daya, 3.Mengurangi jejak karbon, 4.Peningkatan kinerja lingkungan, 5.Peningkatan citra perusahaan, dan 6.Karyawan lebih memiliki kesadaran ramah lingkungan (Wrap 2009). Lebih lanjut Shaikh (2010) menegaskan bahwa sumber daya manusia ramah lingkungan memainkanperan penting dalam organisasi untuk mendukung masalah lingkungandalam sudut pandang manajemen, kebijakan SDM dan praktik, pelatihan karyawan danpelaksanaan aturan terkait dengan perlindungan lingkungan. Itujuga akan membuat karyawan dan stakeholders menyadaribahwa pemanfaatan sumber daya alam yang lebih ekonomis dan mendukungproduk ramah lingkungan. Mandip(2012) sertamenyatakanbahwa sumber daya manusia ramah lingkungan mengacupada menggunakansetiapkaryawanuntuk mempromosikanpraktik-praktik berkelanjutandanmeningktkan komitmenkaryawan untukterlibat dalam program lingkungan. Kegiatan SDM ramah lingkungan mengakibatkan efisiensi yang lebih 49 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 besar, biaya yang lebih rendahdanketerlibatan karyawanyang lebih baik, serta dapat mempertahankan karyawan . Kesimpulan dari studi Cherian & Jelly (2012), dinyatakan bahwa harus diakui bahwa pentingnya praktik Green HRM sangat penting untuk mempromosikan semangat kerja karyawan dan ini dapat membantu dalam mencapai banyak keuntungan bagi perusahaan dan karyawan.Terkait dengan manfaat dari implementasi konsep ramah lingkungan, lebih lanjut Cherian& Jelly mengemukakan bahwa ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh bila suatu organisasi memperkenalkan atau menerapkan prinsip Green HRM yaitu : Peningkatan tingkat retensi karyawan, Peningkatan citra publik, Peningkatan dalam menarik karyawan yang lebih baik, Peningkatan produktivitas dan keberlanjutan, Pengurangan dampak lingkungan dari perusahaan, dan Peningkatan daya saing dan peningkatan kinerja secara keseluruhan. Penelitian Renwick et,al (2013) menunjukan bahwa adanya hubungan yang kuat antara Green HRM dalam kinerja organisasi, hal tersebut ditunjukan bahwa praktik Green HRM diidentifikasi memiliki peran untuk meningkatkan tidak hanya kinerja lingkungan, tetapi juga kinerja keuangan organisasi. Praktik Green HRM mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan di tempat kerja, peningkatan lingkungan kerja dan memuaskan kebutuhan tenaga kerja yang semakin sadar lingkungan. Singkatnya, Renwick percaya bahwa Green HRM memiliki potensi untuk memberikan kontribusi positif untuk kesejahteraan karyawan dan peningkatan kinerja organisasi. Dalam penelitiannya, Antje et, al. (2014) menemukan bahwa pengelolaan lingkungan secara positif mempengaruhi kinerja ekonomi; di samping itu perusahaan dapat meningkatkan kinerja jika mereka menginvestasikan kembali nilai ekonomi melalui pengelolaan lingkungan dalam pelaksanaan ramah lingkungan. Penelitian Alhadid (2014) menegaskan bahwa kehadiran inovasi ramah lingkungan berdampak dalam kinerja organisasi, hal ini menegaskan bahwa praktik manajemen ramah lingkungan memiliki manfaat yang signifikan pada tingkat industri dan ekonomi nasional dengan mencapai penghematan yang signifikan. Dari argumentasi dari beberapa peneliti diatas dapat disimpulkan bahwa beberapa dampak dari pelaksanaan perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia adalah efisiensi sumber daya& dampak ekonomi(Edwards 2006, Wrap 2009, Shaikh 2010, Mandip 2012, Alhadid 2014). Dampak yang lain adalah terhadap semangat kerja dan kinerja karyawan dan organisasi (Renwick et,al 2013, Antje &Giovanni 2014, Cherian & Jelly 2012). Selain berdampak pada efisiensi sumber daya dan dampak terhadap kinerja, implementasi perilaku ramah lingkungan juga memiliki dampak terhadap peningkatan citra organisasi (Wrap 2009, Cherian & Jelly2012). Model Implementasi Green HRM dalam Praktik MSDM Dari uraian di atas maka dapat diformulasikan kerangka pemikiran dalam bentuk model implementasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia (MSDM) sebagai berikut: 50 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PROSES IMPLEMENTASI Eksternal STIMULUS HASIL Kesadaran Etika Lingkungan Global (Bansal 2000; Keraf 2010; Rantao 2012) Regulasi/Peraturan (Global/Nasional) (Zaman 2012; Yusoff et al 2015) Internal Komitmen Organisasi / Pimpinan (Renwick 2008; Jackson 2010; Muster 2011; Yusoff 2015, Damayanti 2013, Endorgan 2015) Visi dan Misi Organisasi Kebijakan Organisasi Penyediaan Teknologi Penyediaan Sarana Program-Program (Unnikrishnan & Hadge 2007, Renwick et al 2013; Alhadid 2014; Erdogan et al 2015, Yusoff 2015) PRAKTIK MSDM Rekrutmen Karyawan Pelatihan Karyawan Penilaian Kinerja Kompensasi Rekrutmen (Dechant & Altmah 1994, Bauer & Aiman-Smith 1996, Frank 2003) Pelatihan (Perron et al 2006, Daily et al 2007, Unnikrishnan & Hadge 2007, Sarkis et al. 2010, Opatha & Anton 2014) Penilaian Kinerja (Mandip 2012, Pooja,2014) PERILAKU RAMAH LINGKUNGAN - Green Competencies - Green Attitude - Green Behaviour - Green Result (Busck 2005; Collier & Esteban 2007; Garavan et al 2010 ; Sudin, 2011; Renwick 2008; Sudin 2011;Mandip 2012; Harvey 2013; Paile 2013; Rani 2014; Datta 2015) Kompensasi (Tylo et al 1992, Ramus 2001, Forman & Jorgensen 2001, Alhadid 2014) 1.Efisiensi Sumber Daya 2.Kinerja 3. Citra Organisasi Efisiensi Sumber Daya ( Edwards 2006, Wrap 2009, Shaikh 2010, Mandip 2012, Ekasatya 2014, Alhadid 2014). Kinerja (Renwick et al 2013, Antje & Giovanni 2014, Cherian & Jelly 2012) Citra Organisasi (Wrap 2009, Cherian & Jelly 2012) Gambar 2. Model Implementasi Green HRM Kerangka Model di atas memiliki tiga kategori utama yaitu stimulus, proses implementasi serta hasil dari implementasi perilaku ramah lingkungan. Stimulus merupakan hal yang mendorong subyek/organism baik secara organisasional maupun individual untuk melakukan sesuatu. Beberapa determinan yang diduga sebagai pendorong atau motivator organisasi atau individu karyawan untuk berperilaku ramah lingkungan diklasifikasikan berasal dari ekternal organisasi dan internal organisasi. Stimulus dari ekternal adalah kesadaran akan etika lingkungan (Bansal 2000; Keraf 2010; Rantao 2012), dan berbagai regulasi atau peraturan baik secara nasional maupun internasional (Zaman 2012; Yusoff et al 2015). Sedangkan stimulus dari internal organisasi terdiri dari komitmen organisasi dan pimpinan (Renwick 2008; Jackson 2010; Muster 2011; Yusoff 2015; Damayanti 2013).Stimulus merupakan sesuatu yang menjadi pendorong untuk subyek/organism berperilaku.Subyek/organism terdiri atas organisasi dan individu. Stimulus dapat berasal dari luar organisasi (Ekternal) dan dari dalam organisasi (Internal). Stimulus eksternal terdiri dari kesadaran akan etika lingkungan. Kesadaran etika lingkungan ini berlaku secara global dan universal.Stimulus yang kedua adalah peraturan atau regulasi dan kesepakatan tentang pelestarian lingkungan hidup yang berlaku secara nasional maupun secara internasional.Kedua stimulus eksternal ini (Kesadaran etika lingkungan dan peraturan) diduga dapat menjadi factor yang mendorong organisasi maupun individu untuk melakukan penerapan perilaku ramah lingkungan di perusahaan khususnya dalam bidang MSDM. Sedangkan stimulus internal merupakan komitmen organisasi dan pimpinan. Jika organisasi dan pimpinan memiliki komitmen yang baik dalam kelestarian lingkungan maka hal ini akan menjadi factor penentu dilakukannya implementasi perilaku ramah lingkungan di perusahaan khususnya dalam bidang MSDM. Beberapa bentuk respon organisasi dalam implementasi perilaku ramah lingkungan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk yaitu penentuan visi dan misi organisasi, Kebijakan organisasi terkait dengan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi, komitmen dalam penyediaan teknologi ramah lingkungan, penyediaan fasilitas/sarana prasarana bagi semua stakeholders untuk berperilaku 51 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 ramah lingkungan, serta perbagai program kerja organisasi yang berkaitan dengan perilaku ramah lingkungan(Unnikrishnan & Hadge 2007, Renwick et,al 2013; Alhadid 2014; Erdogan et,al 2015). Proses implementasi perilaku ramah lingkungan dalam pengelolaan sumber daya manusia diimplementasikan dalam proses penerimaan karyawan/rekrutment (Dechant & Altmah 1994, Bauer & Aiman-Smith 1996, Frank 2003), kegiatan pelatihan karyawan/training (Perron et al 2006, Daily et al 2007, Unnikrishnan & Hadge 2007, Sarkis et,al. 2010,Opatha & Anton 2014), proses penilaian kinerja karyawan/performance assessment (Mandip 2012), dan dalam sistem kompensasi bagi karyawan (Tylo et al 1992, Ramus 2001, Forman & Jorgensen 2001, Alhadid 2014).Setelah komitmen organisasional dalam perilaku ramah lingkungan diterapkan dalam praktik manajeme sumber daya manusia (MSDM), maka diharapkan terjadi perubahan perilaku individual karyawan untuk berperilaku ramah lingkungan di lingkungan kerja. Tahapan terakhir dari model implementasi Green HRM adalah hasil atau output. Hasil atau dampak dari komitmen organisasional dalam praktik MSDM dan komitmen individual untuk berperilaku ramah lingkungan adalah terjadinya efisiensi berbagai sumber daya, yaitu efisiensi energy, material dan lainnya ( Edwards 2006, Wrap 2009, Shaikh 2010, Mandip 2012, Ekasatya 2014, Alhadid 2014) . Selain dampak efisiensi sumber daya, perilaku ramah lingkungan juga akan membawa dampak pada kinerja karyawan yang lebih baik (Cherian & Jelly 2012, Renwick et al 2013, Antje & Giovanni 2014). Dampak yang ketiga adalah citra perusahaan atau organisasi ramah lingkungan akan diperoleh jika organisasi dan individual memiliki komitmen yang kuat untuk berperilaku ramah lingkungan (Wrap 2009, Cherian & Jelly 2012). Dari ketiga dampak yang dihasilkan yaitu efisiensi sumberdaya, kinerja, dan citra organisasi tentunya akan mendukung pencapaian keunggulan kompetitif setiap organanisasi. PENUTUP Simpulan Konsep Green HRM muncul seiring dengan meningkatkan kesadaran akan penyelematan lingkungan dari kerusakan. Green HRM memiliki berbagai dampak positif bagi organisasi. Oleh karena ini konsep ini perlu diimplementasikan dalam praktik manajemen sumber daya manusia di perusahaan. Hasil studi literature ini dihasilkan sebuah model implementasi Green HRM dalam praktik Manajemen sumber daya manusia secara komprehensif, yakni meliputi stimulus, proses implementasi, dan hasil implementasi. Stimulus atau motivator dari implementasi Green HRM baik secara ekternal maupun internal organisasi (kesadaran dan etika lingkungan, peraturan atau regulasi, serta komitmen organisasi). Proses Implementasi yang meliputi beberapa dimensi yaitu penentuan visi dan misi organisasi, Kebijakan organisasi terkait dengan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi, komitmen dalam penyediaan teknologi ramah lingkungan, penyediaan fasilitas/sarana prasarana bagi semua stakeholders untuk berperilaku ramah lingkungan, serta perbagai program kerja organisasi yang berkaitan dengan perilaku ramah lingkungan.Proses implementasi perilaku ramah lingkungan dalam pengelolaan sumber daya manusia diimplementasikan dalam proses penerimaan karyawan/rekrutment kegiatan pelatihan karyawan/training, proses penilaian kinerja karyawan/performance assessment, dan dalam sistem kompensasi bagi karyawan. Setelah komitmen organisasional dalam perilaku ramah lingkungan diterapkan dalam praktik manajemen sumber daya manusia (MSDM), maka diharapkan terjadi perubahan perilaku individual karyawan untuk berperilaku ramah lingkungan di lingkungan kerja. 52 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tahap terakhir adalah hasil atau dampak dari implementasi Green HRM yaitu efisiensi energi, material dan lainnya, dampakpositif dalam kinerja karyawan, serta citra perusahaan yangpositif sebagai perusahaan ramah lingkungan. Masukan untuk Penelitian Mendatang Penelitian ini hanya menghasilkan model implementasi Green HRM dalam praktik manajemen sumber daya manusia berdasarkan studi literatur dari berbagai literatur dan hasil penelitian dari para peneliti sebelumnya. Dengan dengan demikian penelitian ini belum bisa memberikan gambaran secara empiris tentang bagaimana implementasi Green HRM dalam praktik Manajemen sumber daya manusia pada perusahaan. Direkomendasikan kepada peneliti berikutnya agar dilakukan kajian yang lebih mendalam agar bisa menemukan berbagai determinan lain yang terkait dengan implementasi Green HRM dalam praktik manajemen sumber daya manusia di perusahaan. Selain itu penelitian empirik perlu dilakukan agar menghasilkan gambaran secara nyata tentang sejauhmana implementasi Green HRM dalam praktik manajemen sumber daya manusia di perusahaan, khususnya di Indonesia. 53 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA Alhadid, Anas Y. & As’ad, H. Abu-Rumman. 2014. "The Impact of Green Innovation on Organizational Performance, Environmental Management Behavior as a Moderate Variable: An Analytical Study on Nuqul Group in Jordan." International Journal of Business and Management; Vol. 9, No. 7; 2014 ISSN 1833-3850 E-ISSN 1833-8119 Published by Canadian Center of Science and Education, 2014: 51-58. Antarriau.com. Antar Riau. June 03, 2016. http://www.antarariau.com/berita/73767/bps-sebutkualitas-lingkungan-indonesia-nomor-107-di-dunia (accessed 11 08, 2016). Antje, Gotscho, and Pietro De Giovanni. 2014. "Environmental management an economically sustainable business?" (Journal of Environmental Management. ) Vol. 144, Nov2014 p73-82. 10p. (2014). Bansal, Pratina, Kendall Roth. 2000. "Why Companies Go Green: A Model Of Ecological Responsiveness." Academy of Management Journal. Aug2000, Vol. 43 Issue 4, 2000: 717736. Bauer, Talya N. and Lynda Aiman-Smith. 1996. "Green Career Choices: The Influence of Ecological Stance on Recruiting." Journal of Business and Psychology, Vol. 10, No. 4, 1996: 445-458. Brekke, K. A., & Nyborg, K. 2008." Attracting responsible employees: green production as labor market screening." Resource and Energy Economics, 30(4) http://dx.doi.org/10.1016/j.reseneeco.2008.05.001, 2008: 509-526. Cherian, Jacob & Jacob, Jelly. 2012. "A Study of Green HR Practices and Its Effective Implementation in the Organization: A Review." International Journal of Bussiness and Management , 2012: Vol. 7 No. 21. Daily, B. F., Bishop, J., & Steiner, R. 2007. "The mediating role of EMS teamwork as it pertains to HR factors and perceived environmental performance." Journal of Applied Business Research, 23(1), 2007: 95-109. Damayanti, dan Destia Pentiana. 2013. "“Global Warming” dalam Perspektif Environmental Management Accounting (EMA)." Jurnal Ilmiah ESAI Volume 7, No.1, Januari 2013. Datta, Miss Aparajita. 2015. "Green Work- Life Balance: A New Concept in Green HRM." International Journal of Multidisciplinary Approach and Studies Volume 02, No.2, March – April, 2015, 2015: 83-89. Dechant, K. and Altman, B. 2012. "Environmental leadership: From compliance to competitive advantage." Academy of Management Executive. 8(3), 2012: 7-27. Edwards, Brian. 2006. ""Benefits of Green Offices in the UK:Analysis from Examples Built ." ." (Wiley InterScience , (www.interscience.wiley.com) DOI: 10.1002/sd.263) Sust. Dev. 14, 2006: 190–204. Ekasatya, Hennidar Novia. 2014. "Penerapan Kesadaran Lingkungan dengan penghematan anggaran Listrik, Kertas, Air di Kantor Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Probolinggo." Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol 3 Nomer 2, 2014: 1-15. Erdogan, Berrin., Talya N Bauer, Sully Taylor. 2015. "Management commitment to the ecological environment and employees: Implications for employee attitudes and citizenship behaviors." human relations, DOI: 10.1177/0018726714565723, Downloaded from hum.sagepub.com by Claire Castle on April 29, 2015, 2015: 1-23. 54 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 ESDM. 2011. Kementerian Ernergi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Pemborosan Energi 80 Persen Faktor Manusia. 2011. http://www2.esdm.go.id/berita/listrik/39listrik/4448-pemborosan-energi-80- (accessed November 10, 2014). Forman, M., & Jorgensen, M. S. 2001. " The social shaping of the participation of employees in environmental work within enterprises – experiences from a Danish contex ." Technology Analysis and Strategic Management, 13(1) http://dx.doi.org/10.1080/09537320120040455, 2001: 71-90. Frank, R. H. 2003. What Price the Moral High Ground? Ethical Dilemmas in Competitive Environment. Princeton University Press, 2003. Harvey, Geraint, Karen Williams and Jane Probert,. 2013. "Greening the airline pilot: HRM and the green performance of airlines." The International Journal of Human Resource Management Vol. 24 No 1 January 2013, 2013: 152-166. Heiskanen, Eva. 2002. "The Environmental Agenda in Organization and Management Research. Towards Interdisciplinarity?" The Journal of Transdisciplinary Environmental Studies vol. 1, no. 2, 2002, 2002: 1-15. Jackson, Susan E & Janghoon Seo. 2010. "The greening of strategic HRM scholarship." Organization Management Journal (2010) 7, 278–290,& 2010 Eastern Academy of Management All rights reserved 1541-6518, 2010: 278-290. Keraf, A Sonny. 2010. Etika Lingkunga Hidup. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Lane, Michael S, Angela Howard, and Srecko Howard. 2009. "The Energy Inefficiency of Office Computing and Potential Emerging Technology Solutions." Issues in Informing Science and Information Technology Volume 6, 2009: 798-808. Mandip, Gill. 2012. "Green HRM: People Management Commitment." Research Journal of Recent Sciences, Vol. 1 (ISC-2011), 244-252 (2012), ISSN 2277-2502, 2012: 244-252. Muster, Viola, & Ulf Schrader. 2011. "Green Work-Life Balance: A New Perspective for Green HRM." German Journal of Research in Human Resource Management, 25(2) Zeitschrift für Personalforschung, 25(2), 140-156 DOI 10.1688/1862-0000_ZfP_2011_02_Muster, 2011: 140-156. Opatha, H. H. D. N. P. & A. Anton Arulrajah. 2014. "Green Human Resource Management: Simplified General Reflections." International Business Research; Vol. 7, No. 8; 2014, ISSN 1913-9004 E-ISSN 1913-9012, Published by Canadian Center of Science and Education, 2014: 102-112. Perron, R. P., & Côte, J. F. 2006. " Duffy Improving environmental awareness training in business." Journal of Cleaner Production, 14(6-7), http://dx.doi.org/10.1016/j.jclepro.2005.07.006, 2006: 551-562. Ramus, C. A. . 2001. "Organizing support for employees: Encouraging creative ideas for environmental sustainability." California Management Review, 43(3) http://dx.doi.org/10.2307/41166090, 2001: 85–103. Rani, Sushma & K. Mishra. 2014. "Green HRM: Practices and Strategic Implementation in the Organizations." International Journal on Recent and Innovation Trends in Computing and Communication Volume: 2 Issue: 11 ISSN: 2321-8169, 2014: 3633 – 3639. Rantao, Ary. 2012.http://green.kompasiana.com/penghijauan/2012/01/02/sistem-dan-prinsipmenejemen-lingkungan-424223.html. 2012. (accessed November 20, 2014). Renwick, Douglas W.S., Tom Redman & Stuart Maguire. 2013. "Green Human Resource Management: A Review and Research Agenda." International Journal of Management Reviews, Vol. 15, 1–14 (2013) DOI: 10.1111/j.1468-2370.2011.00328.x, 2013: 1-4. 55 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Sarkis, J., Gonzalez-Torre, P., & Adenso-Diaz, B. 2009. " Stakeholder pressure and the adoption of environmental practices, the mediating effect of training." Journal of Operations Management, 28(2), http://dx.doi.org/10.1016/j.jom.2009.10.001, 2010: 163-176. Shaikh, MW. 2010. "Green HRM, A Requirement Of 21st Century." National Monthly Refereed Journal Of Reasearch In Commerce & Management, 2010: Volume No.1, Issue No.10 Issn 2277-1166. P. 122-127. Taylo, Stuart R,. 1992. "Green management." The next competitive weapon, 24(7), http://dx.doi.org/10.1016/0016-3287(92)90075-Q, 1992: 669-680. Unnikrishnan, D., & Hedge, S. 2007. " Environmental training and cleaner production in Indian industry–amicro-level study." Resources Conservation and Recycling, 50(4), http://dx.doi.org/10.1016/j.resconrec.2006.07.003, 2007: 427-441. Usman, Nurdin. 2002. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep & Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing, 2007. Wrap. 2009. Green Office: A Guide to Running a More Cost-effective and Environmentally Sustainable Office. Business Resource Efficiency Guide, www.wrap.org.uk, 2009. Yusoff, Yusliza Mohd, Nur Zahiyah Othman, Yudi Fernando, Azlan Amran,.2015. "Conceptualization of Green Human Resource Management: An Exploratory Study from Malaysian-based Multinational Companies." International Journal of Business Management and Economic Research(IJBMER), Vol 6(3),2015,158-166, 2015: 158-166. Ε»ak, Agnieszka. 2015. "Triple bottom line concept in theory and practice." Research Papers Of WrocΕaw University Of Economics No. 387 Issn 1899-3192 E-Issn 2392-0041 DOI: 10.15611/pn.2015.387.21, 2015: 251-264. Zaman, Maliza Delima Kamarul. 2012. "The Environmental Ethical Commitment (EEC) of the Business Corporations in Malaysia." Procedia - Social and Behavioral Sciences 36 , 2012: 565 – 572. 56 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 EFFECT OF SERVICE QUALITY ON CUSTOMER SATISFACTION PD. BPR. DJOKO TINGKIR IN DISTRICT SRAGEN Martina Primardhani1 dan Istiatin2 Universitas Islam Batik, Surakarta E-mail : [email protected] & [email protected] 2 Abstract: Customer satisfaction is very important in the constellation of the business at the present time both are engaged in the business of goods or services business. Good quality service is one of the important things and become one of the conditions of success in the service industry, one of the banks. Quality of care has an important role in the creation of customer satisfaction. customers are increasingly critical of the service obtained by making the company should be able to carry out operational activities as possible to provide the best services (Khatimah, 2011). It should also be carried by the PD. BPR Djoko Tingkir a BPR (Rural Bank) owned by the Government of Sragen, Central Java province. As a micro-banking financial institutions that have the commitment and active role in socio-economic development. Based on the background of the problems above, it can be formulated the problem as follows: (1) What is the quality of service consisting of physical evidence, reliability, responsiveness, assurance and empathy influence simultaneously to customer satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen? ( 2) Does the physical evidence of an effect on customer satisfaction in the Rural Bank Djoko Tingkir Sragen? (3) What is the reliability influence on customer satisfaction in the Rural Bank Djoko Tingkir Sragen? (4) Do responsiveness effect on customer satisfaction on Rural Banks Djoko Tingkir Sragen? (5) Is the effect on customer satisfaction guarantee on Rural Bank Djoko Tingkir Sragen? (6) Is the empathy effect on customer satisfaction in the Rural Bank Djoko Tingkir Sragen?Based on the formulation of the problem that has been presented, the study aims to: (1) Determine the influence of simultaneous service quality consists of physical evidence, reliability, responsiveness, assurance and empathy, to customer satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen. ( 2) Determine the influence of physical evidence to customer satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen. (3) Determine the influence of reliability to customer satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen. (4) Determine the influence responsiveness to customer satisfaction at Rural Banks Djoko Tingkir Sragen. (5) Determine the influence of a guarantee to customer satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen. (6) Determine the influence of empathy to customer satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen. Keywords: Service Quality and Customer Satisfaction Abstrak: Kepuasan pelanggan menjadi hal yang sangat penting dalam konstelasi bisnis pada saat sekarang ini baik yang bergerak dalam bisnis barang ataupun bisnis jasa. Kualitas layanan yang baik merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi salah satu syarat kesuksesan dalam industri jasa, salah satunya perbankan. Kualitas pelayanan memiliki peran penting dalam penciptaan kepuasan nasabah, nasabah yang semakin kritis terhadap pelayanan yang diperoleh membuat perusahaan harus dapat melaksanakan kegiatan operasional sebaik mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik (Khatimah, 2011). Hal ini juga harus dilakukan oleh PD. BPR Djoko Tingkir merupakan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) milik Pemerintah Kabupaten Sragen, provinsi Jawa Tengah. Sebagai lembaga keuangan perbankan mikro yang memiliki komitmen dan peran aktif dalam pembangunan sosial ekonomi. Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut: (1) Apakah kualitas pelayanan yang terdiri dari bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan dan empati berpengaruh secara simultan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen? (2) Apakah bukti fisik berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen? (3) Apakah kehandalan berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen? (4) Apakah daya tanggap berpengaruh terhadap 57 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen? (5) Apakah jaminan berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen? (6) Apakah empati berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen? Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui pengaruh secara simultan kualitas pelayanan yang terdiri dari bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan dan empati, terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (2) Mengetahui pengaruh bukti fisik terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (3) Mengetahui pengaruh kehandalan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (4) Mengetahui pengaruh daya tanggap terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (5) Mengetahui pengaruh jaminan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (6) Mengetahui pengaruh empati terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. Kata kunci: kualitas pelayanan dan kepuasan nasabah PENDAHULUAN Kepuasan pelanggan menjadi hal yang sangat penting dalam konstelasi bisnis pada saat sekarang ini baik yang bergerak dalam bisnis barang ataupun bisnis jasa. Pada bisnis jasa, terutama bisnis jasa perbankan yang sangat kompetitif diperlukan langkah-langkah strategis yang harus dilakukan pelaku bisnis untuk mempertahankan nasabah ataupun mendapatkan nasabah baru potensial. Selain produk jasa keuangan yang lebih menjanjikan dan memberikan jaminan kepastian keamanan, kualitas pelayanan unit bisnis perbankan menjadi komponen penting dalam bisnis jasa perbankan dan keuangan. Kualitas layanan yang baik merupakan salah satu hal yang penting dan menjadi salah satu syarat kesuksesan dalam industri jasa, salah satunya perbankan. Kualitas pelayanan memiliki peran penting dalam penciptaan kepuasan nasabah, nasabah yang semakin kritis terhadap pelayanan yang diperoleh membuat perusahaan harus dapat melaksanakan kegiatan operasional sebaik mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik (Khatimah, 2011). Kualitas pelayanan yang memuaskan akan memberikan kesan yang baik terhadap bank dan sebaliknya jika kualitas layanan mengecewakan maka kesan yang diterima nasabah akan buruk. Kualitas layanan juga akan berdampak langsung terhadap loyalitas nasabah (Koestanto, 2014). Kenyataannya, antara harapan nasabah dengan kenyataan pelayanan yang diberikan kepada nasabah sering kali terjadi sebaliknya. Tidak sedikit nasabah yang mengungkapkan kritikan dan keluhan karena pelayanan yang diberikan kurang atau bahkan tidak memuaskan. Kritikan dan keluhan tersebut yang dapat menimbulkan persepsi negatif nasabah. Apabila hal tersebut dibiarkan terus-menerus dapat menurunkan tingkat kepercayaan nasabah. Kepercayaan merupakan kunci dari bisnis perbankan oleh karena itu prinsip kehati-hatian sangat diperlukan. Unsur kepercayaan menjadi faktor kunci bagi perusahaan untuk memenangkan persaingan. Kepercayaan juga sangat diperlukan untuk membangun dan mempertahankan hubungan jangka panjang (Dewi, 2014). Tingkat kepuasan juga amat subyektif dimana satu konsumen dengan konsumen lain akan berbeda. Hal ini disebabkan oleh faktor seperti umur, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, jenis kelamin, kedudukan sosial, tingkat ekonomi, budaya, sikap mental dan kepribadian (Utomo, 2014). Disamping itu, bank perlu menciptakan produk - produk inovatif yang mampu menarik minat calon nasabah untuk bergabung menjadi nasabahnya. Produk-produk inovatif yang ini juga harus memperhatikan kualitas positif yang dapat dirasakan atau diperoleh nasabah, karena kualitas ini dapat memberikan kepuasan yang optimal pada nasabah. Selain itu, pihak bank dapat memberikan kotak 58 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 kritik dan saran yang disediakan ditempat transaksi para nasabah, hal ini penting dilakukan oleh pihak untuk mengetahui, sejauh mana para nasabah merasakan pelayanan yang terdiri dari dimensi bukti fisik (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan perhatian (empathy) yang diberikan oleh pihak bank. Menurut Yulianti (2013), Perbankan harus memperhatikan langkah-langkah dalam mempertahankan atau menarik nasabah khususnya lima dimensi kualitas jasa untuk dapat memberikan kepuasan kepada nasabah yang merupakan kekuatan yang perlu ditingkatkan dalam memasarkan produk perbankan. Hal ini juga harus dilakukan oleh PD. BPR Djoko Tingkir merupakan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) milik Pemerintah Kabupaten Sragen, provinsi Jawa Tengah. Sebagai lembaga keuangan perbankan mikro yang memiliki komitmen dan peran aktif dalam pembangunan sosial ekonomi serta memberikan kontribusi yang penting dalam pembangunan masyarakat Sragen pada khususnya sebagai bank milik Pemerintah Kabupaten Sragen. PD. BPR Djoko Tingkir turut berperan dalam meningkatkan pendapatan perkapita daerah, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat melalui produk-produk yang ditawarkan kepada masyarakat, sasarannya masyarakat ekonomi kecil dan menengah serta kelompok-kelompok usaha yang ada di wilayah Kabupaten Sragen. Hal utama yang menjadi kunci sukses PD. BPR Djoko Tingkir dalam memberikan pelayanan terbaik tersebut adalah prosedur pelayanan yang sederhana dan lebih mengutamakan pendekatan personal, dan serta fleksibilitas pola dan model pinjaman dengan bunga ringan, proses cepat dan persyaratan mudah. TINJAUAN PUSTAKA Kepuasan konsumen merupakan hal sangat penting dalam sebuah perusahaan. Kepuasan konsumen adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau outcame yang dirasakan dengan harapan-harapan terhadap suatu produk. (Kotler, 2011: 40). Bahwa dalam mengevaluasi kepuasan terhadap produk, jasa, atau perusahaan tertentu, pelanggan umumnya mengacu pada berbagai faktor atau dimensi (Tjiptono, 2008: 225). Faktor yang sering digunakan dalam mengevaluasi kepuasan terhadap suatu produk antara lain : kinerja, keandalan, kesesuaian dengan spesifikasi, daya tahan, estetika, kualitas yang dipersepsikan. Perilaku konsumen merupakan hal-hal yang mendasari konsumen untuk membuat keputusan pembelian. Ketika memutuskan akan membeli suatu barang atau produk, tentu anda sebagai konsumen selalu memikirkan terlebih dahulu barang yang akan anda beli. Mulai dari harga, kualitas, fungsi atau kegunaan barang tersebut, dan lain sebagainya. Jasa merupakan semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk dalam bentuk fisik atau kontruksi, yang biasanya dikonsumsi pada saat yang sama dengan waktu yang dihasilkan dan memberikan nilai tambah (Lupiyoadi dan Hamdani, 2008: 6). Menurut Kotler (2012: 284) mengungkap ada terdapat lima faktor dominan atau penentu kualitas pelayanan jasa, diantaranya yaitu : Bukti Fisik, Keandalan, Daya tanggap, Jaminan, Empati. Kualitas sering dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian. terdapat lima perspektif mengenai kualitas, salah satunya yaitu bahwa kualitas dilihat tergantung pada orang yang menilainya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensinya seseorang merupakan produk yang berkualitas paling tinggi (Tjiptono, 2012: 143). Menurut Lovelock et al., (2005: 21) menyatakan kualitas pelayanan merupakan evolusi kognitif jangka panjang pelanggan terhadap penyerahan jasa suatu perusahaan. 59 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Bukti fisik Kehandalan Kualitas Pelayanan Daya Tanggap Kepuasan Nasabah Jaminan Empati Gambar 1. Kerangka Pemikiran METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Instrument dalam penelitian ini berupa kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada PD. BPR Djoko Tingkir, Jln. Sukowati No.249, Sragen, Jawa Tengah. Populasi dalam penelitian ini adalah nasabah PD. BPR Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. Diasumsikan jumlah nasabah aktif pada PD. BPR Djoko Tingkir Kabupaten Sragen tak terhingga. sampel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah 10% dari nasabah yaitu 100 responden yang ditentukan berdasarkan rumus Slovin (dalam Riduwan, 2005: 65). Teknik sampling yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sampling insidental. Teknik pengumpulan data yabg digunakan adalah : (1) observasi, (2) dokumentasi, (3) wawancara, (4) kuesioner, (5) studi pustaka. Uji validitas dengan korelasi Pearson Correlation, sedangkan uji reliabilitas dengan cronbach’s alpha. Uji asumsi klasik meliputi : Uji normalitas, Uji multikolinieritas, Uji heteroskedstisitas. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda. Berdasarkan hasil analisis maka dilakukan uji f untuk menguji pengaruh simultan variabel bebas terhadap variabel terikat, uji t dilakukan untuk menguji pengaruh secara parsial dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat dan uji koefisien determinasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Uji validitas digunakan untuk mengujii sejauh mana ketepatan alat pengukur dapat mengungkapkan konsep gejala/kejadian yang diukur. Item kuesioner dinyatakan valid apabila nilai r hitung > r tabel (0,349). Pengujian validitas selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini: 60 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tabel 1. Hasil Penelitian Validitas Variabel Bukti Fisik R Hitung R Tabel Keterangan X1 X1 X1 X1 X1 Keandalan (X2) X2 X2 X2 X2 X2 Daya Tanggap (X3) X3 X3 X3 X3 X3 Jaminan (X4) X4 X4 X4 X4 X4 Empati (X5) X5 X5 X5 X5 X5 Kepuasan Nasabah Y1 Y2 Y3 Y4 Y5 0,983 0,970 0,971 0,962 0,863 0,349 0,349 0,349 0,349 0,349 Valid Valid Valid Valid Valid 0,977 0,879 0,878 0,909 0,731 0,349 0,349 0,349 0,349 0,349 Valid Valid Valid Valid Valid 0,386 0,414 0,864 0,894 0,749 0,349 0,349 0,349 0,349 0,349 Valid Valid Valid Valid Valid 0,738 0,804 0,792 0,425 0,565 0,349 0,349 0,349 0,349 0,349 Valid Valid Valid Valid Valid 0,755 0,834 0,901 0,901 0,265 0,349 0,349 0,349 0,349 0,349 Valid Valid Valid Valid Valid 0,725 0,749 0,585 0,578 0,725 0,349 0,349 0,349 0,349 0,349 Valid Valid Valid Valid Valid 61 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semua item pernyataan dinyatakan valid karena nilai r hitung > r tabel. Uji reliabilitas dilakukan untuk mendapatkan tingkat ketepatan alat pengumpulan data (instrumen) yang digunakan. Hasil pengujian reliabilitas untuk masing-masing variabel yang diringkas pada tabel berikut ini : Tabel 2. Hasil Pengujian Reliabilitas Variabel Cronbach ’s Alpha Kesimpulan Kepuasan Nasabah Bukti Fisik Keandalan Daya Tanggap Jaminan Empati 0,700 0,973 0,925 0,713 0,639 0,811 Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Reliabel Dari tabel diatas diketahui bahwa semua variabel memiliki nilai cronbach’s alpha > nilai r tabel (0,349). Yang artinya semua item-item kuesioner dapat dikatakan reliabel atau terpercaya sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian. Uji asumsi klasik dilakukan sebelum pengujian hipotesis yag meliputi uji normalitas, uji multikolineritas, uji heteroskedastisitas. Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik memiliki distribusi normal atau setidaknya mendekati distribusi normal. Adapun uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov Test (K-S). Berikut hasil uji normalitas dengan program SPSS. Tabel 3. Hasil Pengujian Normalitas N Kolmogor ovSmirnov Z Asymp. Sig. (2tailed) Ket 100 0,480 0,975 Normal Sumber: Output SPSS Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada variabel bukti fisik, keandalan, daya tannggap, jaminan, empati sebesar 0,975 ≥ 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa data tiap variabel berdistribusi normal. Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya multikolonieritas adalah dengan melihat nilai tolerance dan nilai Varian Inflation Factor (VIF), yaitu apabila nilai tolerance variabel bebas lebih dari 0,10 dan nilai VIF kurang dari 10,00 dapat dikatakan tidak terjadi multikolonieritas. Apabila nilai tolerance variabel bebas kurang dari 0,10 dan nilai VIF lebih dari 10,00 dapat dikatakan terjadi multikolinieritas. Berikut hasil analisis dengan bantuan program SPSS : 62 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tabel 4. Hasil Pengujian Multikolineritas Variabel Bukti Fisik Keandalan Daya Tanggap Jaminan Empati Tolerance .702 .670 VIF 1.424 1.492 .541 1.848 .840 .972 1.191 1.029 Sumber: Output SPSS Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa nilai tolerance variabel pelatihan, motivasi dan penghargaan lebih besar dari 0,10 dan nilai VIF lebih kecil dari 10,00 sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi multikolineritas. Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas. Uji yang digunakan uji Glejser. Selanjutnya dasar pengambilan kepuasan dengan cara melihat nilai probabilitas, apabila probabilitas value > 0,05 berarti tidak terjadi heteroskedastisitas artinya model regresi lolos uji heteroskedastisitas, sebaliknya jika probabilitas value < 0,05 berarti terjadi heteroskedastisitas artinya model regresi tidak lolos uji heteroskedastisitas. Berikut hasil uji heteroskedastisitas dengan program SPSS. Tabel 5. Hasil Pengujian heteroskedastisitas Variabel B Std. t Sig Erro r (Constant) 21.592 .114 189.100 .000 X1_1 .065 .044 1.489 .140 X2_1 .086 .044 1.969 .052 X3_1 .096 .086 1.115 .268 X4_1 .092 .048 1.895 .061 X5_1 .084 .051 1.640 .104 Sumber: Output SPSS Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai probabilitas value X1, X2, X3, X5,dan X5, lebih besar (>) 0,05 yang berarti tidak signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa data berasal dari varians sama yang berarti tidak terjadi heteroskedastisitas dan uji homokedastisitas dapat diterima. Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yang terdiri dari bukti fisik (X1), keandalan (X2), daya tanggap (X3), jaminan (X4) dan empati (X5) terhadap variabel terikat yaitu kepuasan nasabah (Y). Ringkasan hasil analisis regresi linier berganda dengan menggunakan progam SPSS 20 dapat dilihat pada tabel dibawah ini: 63 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tabel 6. Rangkuman Hasil Uji Regresi Linier Berganda Variabel (Constant) Bukti Fisik Keandalan Daya Tanggap Jaminan Empati Koefisien regresi 2.999 t Sig 189.100 .000 .118 1.489 .140 .147 1.969 .052 .315 1.115 .268 .158 .172 1.895 1.640 .061 .104 Berdasarkan tabel ringkasan hasil analisis regresi di atas, maka dapat disusun persamaan regresi linier berganda sebagai berikut: Y = 2,999 + 0,118x1 + 0,147x2 + 0,315x3 + 0,158x4 + 0,172x5 Dari persamaan tersebut dapat dijelaskan bahwa: (1) variabel bukti fisik, keandalan , daya tanggap , jaminan , dan empati , mempunyai arah koefisien yang bertanda positif terhadap kepuasan nasabah. (2) koefisien bukti fisik memberikan nilai sebesar 0,118 hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan. (3) koefisien keandalan memberikan nilai sebesar 0,147 hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan.(4)koefisien daya tanggap (X3) memberikan nilai sebesar 0,315 hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan.(5) koefisien jaminan (X4) memberikan nilai sebesar 0,158 hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan.(6) koefisien empati (X5) memberikan nilai sebesar 0,172 hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan. Uji f ini digunakan untuk mengetahui signifikansi pengaruh variabel bebas yaitu bukti fisik (X1), keandalan (X2), daya tanggap (X3), jaminan (X4) dan empati (X5) secara bersama-sama terhadap variabel terikat (kepuasan nasabah). Tabel 7. Hasil Perhitungan Uji f Sum of Mean Model Squares Square Regression 95.333 19.067 Residual Total 84.667 180.000 F Sig. 21. .000a 168 .901 Sumber: Output SPSS Dari tabel 7 diketahui bahwa nilai f hitung 21.168 > f tabel 2.47 dan nilai signifikansi 0.000 < 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya bahwa bukti fisik, 64 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati secara simultan dan signifikan berpengaruh terhadap kepuasan nasabah sehingga dapat dinyatakan bahwa hipotesis pertama dapat diterima. Uji t digunakan untuk mengetahui signifikansi pengaruh bukti fisik, keandalan, daya tanggap, jaminan dan empati secara parsial terhadap kepuasan nasabah (Y). Dengan level of significance α = 0.05 hasil perhitungan uji t dari hasil olah data dengan program SPSS. Tabel 8. Hasil Perhitungan Uji t Model t Sig. (Constant) Bukti Fisik Keandalan Daya Tanggap Jaminan Empati 1494 2.020 2.627 .139 .046 .010 3.238 .002 2.793 2.932 .006 .004 Sumber: Output SPSS Berdasarkan tabel diatas, untuk pengaruh parsial dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen dapat di jelaskan sebagai berikut: Variabel bukti fisik (X1) memiliki nilai signifikansi 0.046 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial variabel bukti fisik berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. nilai t hitung jatuh di daerah penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel bukti fisik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah, maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis kedua dapat diterima. Variabel kehandalan (X2) memiliki nilai signifikansi 0.010 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial variabel kehandalan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. nilai t hitung jatuh di daerah penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel kehandalan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah, maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis ketiga dapat diterima. Variabel daya tanggap (X3) memiliki nilai signifikansi 0.002 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial variabel daya tanggap berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. bahwa nilai t hitung jatuh di daerah penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel daya tanggap berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah, maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis keempat dapat diterima. Variabel jaminan (X4) memiliki nilai signifikansi 0.006 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial variabel jaminan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. nilai t hitung jatuh di daerah penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel jaminan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah. Maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis kelima dapat diterima. Variabel empati (X5) memiliki nilai signifikansi 0,004 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial variabel empati berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. nilai t hitung jatuh di daerah penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel empati berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah. Maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis kelima dapat diterima. Koefisien determinasi merupakan besaran yang menunjukkan besarnya variasi variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variable independennya. Dengan kata lain, koefisien determinasi ini digunakan untuk mengukur seberapa jauh variabel-variabel bebas berpengaruh terhadap variabel terikat. Nilai koefisien determinasi ditentukan dengan nilai adjusted R square dapat dilihat pada tabel berikut ini: 65 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tabel 9. Koefisien Determinasi R Adjusted Std. Error of Model R Square R Square the Estimate 1 .728a .530 .505 .949 Sumber: Output SPSS Dari hasil perhitungan dengan program SPSS versi 16.0 diperoleh nilai Adjusted R Square (R²) sebesar 0.505. Berarti variabel bukti fisik (X1), keandalan (X2), daya tanggap (X3), jaminan (X4) dan empati (X5) mempunyai sumbangan terhadap kepuasan nasabah (Y) sebesar 50.5%, sedangkan sisanya 49.5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. PENUTUP Simpulan Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: (1) Bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati secara simultan dan signifikan berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir. (2) Bukti fisik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (3) Kehandalan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (4) Daya tanggap berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (5) Jaminan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (6) Empati berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (7) Koefisien bukti fisik memberikan nilai positif hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan. (8) Koefisien kehandalan memberikan nilai posotif hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan. (9) Koefisien daya tanggap memberikan nilai positif hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan. (10) Koefisien jaminan memberikan nilai positif, hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan. (11) Koefisien empati memberikan nilai positif hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan. (12) Hasil uji koefisien determinasi menunjukkan bahwa nilai Adjusted R Square (R²) sebesar 0,505. Berarti variabel bukti fisik (X1), keandalan (X2), daya tanggap (X3), jaminan (X4) dan empati (X5) mempunyai sumbangan terhadap kepuasan nasabah (Y) sebesar 50,5%, sedangkan sisanya 49,5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti yaitu keadilan, efektivitas, efisiensi, ekonomis, harga diri, pembenahan, perberdayaan, perbaikan, perhatian, pandangan ke depan. 66 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Keterbatasan Penelitian Adapun keterbatasan penelitian ini adalah: kurangnya waktu yang diijinkan oleh pihak pimpinan BPR Djoko Tingkir karena ditakutkan mengganggu konsentrasi nasabah dalam transaksi dan mengurangi waktu nasabah dalam berkomunikasi dengan pihak BPR Djoko Tingkir. Saran Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini antara lain: (1) Hendaknya karyawan PD. BPR Djoko Tingkir Sragen dalam melayani nasabah dapat mengoptimalkan pemakaian bukti fisik yang ada untuk mendukung pelayanan yang dilakukan sehingga nasabah puas dengan layanan yang ada. (2) Sebaiknya PD. BPR Djoko Tingkir Sragen perlu meningkatkan keandalan pelayanan karyawan dengan dilakukan berbagai latihan dan ketrampilan yang selalu diberikan oleh PD, BPR Djoko Tingkri Sragen sehingga karyawan lebih trampil bekerja.(3)Hendaknya PD. BPR Djoko Tingkir mampu meningkatkan daya tanggapnya sehingga nasabah akan mendapatkan informasi yang tepat dari PD. BPR Djoko Tingkir Sragen sehingga tidak terjadi pengurusan yang berulangulang.(4)Sebaiknya jaminan karyawan PD. BPR Djoko Tingkir Sragen dalam memberikan pelayanan penting untuk ditingkatkan sehingga nasabah merasa dihargai dan mendapatkan layanan sebagaimana mestinya.(5)Diharapkan pegawai PD. BPR Djoko Tingkir Sragen lebih berempati pada nasabah, sehingga nasabah akan merasa lebih diperhatikan segala bentu komplain dan masukannya juga diterima dengan sebaik mungkin oleh PD. BPR Djoko Tingkir Sragen demi peningkatan kualitas pelayanan PD. BPR Djoko Tingkir. DAFTAR PUSTAKA Dewi, Gusti Ayu Putu Ratih Kusuma. 2014. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Dan Loyalitas Nasabah PT. BPR HOKI di Kabupaten Tabanan. www.pps.unud.ac.id. Diakses pada 20 Januari 2017 pukul 22.45 WIB. Fandy, Tjiptono. 2008. Service Management : Mewujudkan Layanan Prima. Yogyakarta. ANDI ____________. 2012. Pemasaran Strategik. Yogyakarta. ANDI. Khatimah. 2011. Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Pada Bank BRI Cabang Patimura Semarang. Eprints.undip.ac.id. Diakses pada 20 Januari 2017 pukul 21.45 WIB. Kotler, Philip. 2012. Marketing Management, 14e Global Edition. United State of America: Pearson. Kotler, Philip. 2011. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Erlangga. Jakarta. Kotler, Philip. Armstrong, 2012. Manajemen Pemasaran, edisi Millenium jilid 2. Alih Bahasa Alexander Sindoro dan Benyamin Molan. Prenhallindo. Jakarta. Koestanto. 2014. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pelanggan Pada Bank Jatim Cabang Klampis Surabaya. https://ejournal.stiesia.ac.id. Diakses pada 20 Januari 2017 pukul 21.30 WIB. Lovelock, Christoper, Jochen Wirtz, Hean Tat Keh, Xiongwan Lu. 2005. Second Edition. “Service Marketing in Asia : Managing People, Technology, and Strategy”. Pearson. Prentice Hall. Lupiyoadi, A. Hamdani, 2008. Manajemen Pemasaran Jasa edisi 2. Jakarta : Salemba Empat. Riduwan. 2013. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung : Alfabeta. 67 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Utomo. 2014. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pengguna Jasa Pada PT. Rifanjalus Cahaya Trans Surabaya. Ejournal.stiesia.ac.id. Diakses pada 20 Januari 2017 pukul 20.15 WIB Yulianti. 2013. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Tabungan Pada Bank Panin Tbk kcp A. Yani Banjarmasin. https://stiei-kayutangi-bjm.ac.id. Diakses pada 20 Januari 2017 pukul 20.51 WIB. 68 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 IMPLEMENTASI KNOWLEDGE MANAGEMENT PADA DIVISI PEMASARAN PT. BANK XXX TBK CABANG PEMUDA SURABAYA Yugowati Praharsi1, M. Akmal Bariklana2 dan M. Yazid Bustomi3 Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya E-mail: [email protected] Abstract: The successful company is determined by skill and knowledge of employee. The common problem happened in the company is knowledge management (KM) such as: lost knowledge from experienced or senior employee because of retirement or job movement; lacking of knowledge transfer among employee; and undocumented seminar, training or workshop of employee activities. This study aims to explore the implementation of knowledge management on marketing division at PT. Bank XXX Tbk branch Pemuda Surabaya. Electronic questionnaire is used to collect the data. The results show that 83.3% of employees agree that training and workshop documentation is arranged systematically and well distributed. Furthermore, 90.9% of employees can practice the documented knowledge well. The optimal implementation of KM is socialization process or knowledge sharing through discussion (54.2%), training (33.3%), brainstorming (12.5%), and combination process through documented training or workshop in web, book, and handout formats (100%). Keywords: knowledge management, bank, marketing Abstrak: Keberhasilan sebuah perusahaan ditentukan oleh keterampilan dan kemampuan karyawan dalam perusahaan. Permasalahan yang lazim terjadi pada perusahaan yaitu pengelolaan pengetahuan karyawan seperti kehilangan pengetahuan dari karyawan senior yang berpengalaman karena pensiun atau pindah tempat kerja, kurangnya transfer pengetahuan antar karyawan, serta tidak terdokumentasinya pengetahuan yang didapat karyawan ketika mengikuti seminar, workshop dan pelatihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen pengetahuan/knowledge management (KM) pada divisi pemasaran PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya. Kuesioner elektronik google spreadsheet digunakan sebagai media untuk tanya jawab dengan responden. Hasil studi pendahuluan ini menunjukkan bahwa 83,3% responden menyatakan bahwa dokumentasi pelatihan dan workshop sudah disusun secara sistematis dan didistribusikan secara merata pada divisi pemasaran serta 90,9% karyawan sudah dapat mempraktekkan pengetahuan yang diperoleh dengan baik. Penerapan KM yang sudah optimal yaitu proses sosialisasi atau sharing pengetahuan melalui diskusi (54,2%), pelatihan (33,3%), brainstorming (12,5%) serta proses pendokumentasian berbagai kegiatan pelatihan atau workshop melalui web, buku, dan handout (100%). Kata kunci: knowledge management, manajemen pengetahuan, perbankan, marketing, pemasaran PENDAHULUAN Penerapan manajemen pengetahuan atau knowledge management (KM) di perusahaan perbankan sudah menjadi suatu kebutuhan mendasar pada era globalisasi saat ini. Manajemen pengetahuan merupakan langkah-langkah yang sistematis dan efektif dalam mengelola pengetahuan yang dimiliki perusahaan untuk menciptakan keunggulan kompetitif (Praharsi, 2016). Terdapat tiga pilar dalam manajemen pengetahuan, yaitu: orang (people), proses, dan teknologi. Orang merupakan 69 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 aktor didalam pengelolaan manajemen pengetahuan. Sedangkan teknologi merupakan alat bantu aktor (people) dalam mendukung empat proses manajemen pengetahuan, yaitu: proses penciptaan pengetahuan, proses pembauran pengetahuan, proses penyebaran pengetahuan dan proses penerapan pengetahuan (Tjakraatmadja dkk, 2015). Kemampuan perusahaan dalam mengelola pengetahuan yang ada merupakan kekuatan untuk dapat tetap bertahan. Jika pengetahuan dibagikan atau disharingkan kepada orang lain, maka pengetahuan tersebut tidak akan pernah habis. Pengetahuan yang semakin digali dan digunakan akan meningkat dari segi jumlah dan kualitasnya. Sebagai contoh transfer pengetahuan dari karyawan senior kepada karyawan yuniornya. Pengelolaan transfer pengetahuan tersebut akan akan meningkatkan koordinasi antar karyawan dan kinerja perusahaan. Jika transfer pengetahuan sudah menjadi budaya dalam perusahaan, maka penerapannya sudah membentuk embedded knowledge management system. Studi pendahuluan implementasi manajemen pengetahuan pada divisi pemasaran perusahaan perbankan dengan studi kasus pada PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya adalah bertujuan untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen pengetahuan/KM dalam mengembangkan pengetahuan dan meningkatkan kinerja karyawannya. Sehingga hasil atau temuan dari studi ini dapat menjadi salah satu cara untuk mengukur keberhasilan penerapan KM pada divisi pemasaran serta menemukan bagian penerapan KM yang masih harus diperbaiki atau ditingkatkan lagi. TINJAUAN PUSTAKA Manajemen pengetahuan (knowledge management) adalah manajemen dengan pengetahuan sebagai fokusnya (Yadi, 2016). Sedangkan pengetahuan merupakan kemampuan untuk mengambil suatu tindakan yang efektif (Soleh, 2015). Manajemen pengetahuan dapat dipahami sebagai suatu tindakan efektif dalam mengelola dan memanfaatkan informasi menjadi pengetahuan untuk menciptakan keunggulan bersaing perusahaan (Praharsi, 2016). Manajemen pengetahuan juga dapat diartikan sebagai seni mengalirkan pengetahuan ke seluruh sendi organisasi untuk meningkatkan kinerja dan inovasi. Kemampuan untuk belajar lebih cepat dari pesaing merupakan solusi bagi perusahaan untuk meraih kesuksesan dalam jangka panjang (Soleh, 2015). Milton (2015) menjelaskan hubungan antara manajemen pengetahuan dengan inovasi. Manajemen pengetahuan berfungsi pada saat pengujian ide yang lama berhasil digunakan untuk menyelesaikan masalah. Inovasi dilakukan pada saat tidak adanya pengetahuan yang lama dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah. Ide-ide baru dapat berasal dari pengetahuan yang lama dikombinasikan dalam cara-cara yang baru. Inovasi dan penggunaan kembali pengetahuan yang lama digerakkan melalui tantangan. Jika orang-orang tidak tertantang, mereka akan mengerjakan apa yang biasanya mereka kerjakan menggunakan pengetahuan yang sudah mereka miliki. Inovasi dan manajemen pengetahuan berfokus pada kompetensi organisasi atau strategi pembelajaran organisasi. Strategi ini akan memetakan kompetensi organisasi yaitu apa yang ada saat ini dan apa yang diharapkan, serta memetakan pengetahuan yaitu pengetahuan apa yang sudah ada dan pengetahuan apa yang pernah ada. Pengetahuan yang pernah ada dan masih ada dapat dipelajari kembali. Jika pengetahuannya tidak ada, maka dapat dilakukan inovasi. Nonaka memformulasikan pengetahuan menjadi pengetahuan tacit/taksit dan pengetahuan eksplisit. Pengetahuan taksit adalah pengetahuan yang ada dalam pemikiran atau benak individu sehingga bersifat personal. Pengetahuan taksit juga dapat diperoleh melalui pengalaman yang pernah 70 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 dialami secara individu. Sedangkan pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang sudah dikodifikasi atau didokumentasikan. Pengetahuan eksplisit bersifat formal dan sistematis. Sebagai contoh bentuk tulisan atau pernyataan yang didokumentasikan, sehingga setiap karyawan dalam perusahaan dapat mempelajarinya secara independent. Nonaka memodelkan empat proses penciptaan pengetahuan seperti ditunjukkan pada Gambar 1 (Awad & Ghaziri, 2004; Tjakraatmadja dkk, 2013). Taksit Sosialisasi Pertemuan tatap muka Sharing pengalaman Kunjungan Taksit Taksit Eksternalisasi Dokumentasi dari kegiatan brainstorming/curah gagasan, pelatihan atau workshop Eksplisit Taksit Eksplisit Learning by doing Internalisasi Eksplisit Penyusunan paket pembelajaran, Pembuatan dokumen baru Kombinasi Eksplisit Gambar 1. Proses dasar penciptaan pengetahuan Sosialisasi merupakan transfer pengetahuan taksit dari satu individu ke individu yang lain. Beberapa contoh kegiatannya yaitu pertemuan atau rapat yang melibatkan tatap muka, berbagi pengalaman secara langsung, dan melakukan kunjungan. Eksternalisasi merupakan transformasi pengetahuan taksit menjadi pengetahuan eksplisit. Beberapa contoh kegiatannya yaitu pengetahuan atau pengalaman seseorang dituliskan kedalam sebuah buku sehingga dapat dipelajari oleh orang lain serta pembuatan dokumentasi dari kegiatan brainstorming/curah gagasan, pelatihan, dan workshop. Kombinasi merupakan kegiatan mengatur berbagai pengetahuan eksplisit/berbagai media menjadi media yang lebih sistematis, terpadu, dan saling terkait. Beberapa contoh kombinasi yaitu penyusunan paket pembelajaran dan pembuatan dokumen baru yang lebih baik. Internalisasi merupakan transformasi pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan taksit. Contoh internalisasi yaitu seorang karyawan mempelajari dokumentasi pelatihan atau workshop kemudian dapat mempraktekkan pengetahuan yang diperolehnya dalam rutinitas pekerjaannya dimana proses learning by doing ini secara perlahan akan membentuk pengetahuan baru dalam diri karyawan tersebut. METODE PENELITIAN Studi pendahuluan implementasi KM pada divisi pemasaran PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya menggunakan kuesioner elektronik seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Kuesioner ini disebarkan secara acak kepada seluruh karyawan divisi pemasaran dengan jumlah total 31 karyawan. Adapun karyawan yang mengisi kuesioner tersebut sebesar 24 orang atau 77.42% dari total 31 karyawan. 71 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Gambar 2. Kuesioner elektronik tentang implementasi KM pada divisi pemasaran Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan bersifat deskriptif. Setiap indikator kuesioner dijelaskan secara deskriptif dengan data-data statistik dari responden yang mendukung hasil studi. Beberapa indikator kuesioner dirangkum dalam Tabel 1 berikut ini: Tabel 1. Indikator dalam setiap proses penciptaan pengetahuan No Proses penciptaan pengetahuan Indikator 1 Sosialisasi a. Cara penyampaian pengetahuan antar karyawan b. Hubungan antar karyawan 2 Eksternalisasi a. Pendokumentasian hasil pelatihan/workshop b. Pengembangan pengetahuan melalui proses dokumentasi 3 Kombinasi a. Pendokumentasian secara sistematis b. Pendistribusian dokumentasi secara merata 4 Internalisasi a. Mempelajari hasil dokumentasi untuk rutinitas pekerjaan b. Mempraktekkan hasil belajar dari dokumentasi untuk rutinitas pekerjaan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil studi ini berfokus pada proses penciptaan pengetahuan untuk mempertahankan aset pengetahuan dan pembelajaran berkelanjutan pada karyawan divisi pemasaran PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya. Terdapat 4 proses penciptaan pengetahuan yang akan didiskusikan yaitu: sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi. Adapun pengetahuan yang wajib bagi karyawan divisi marketing adalah pengetahuan komunikatif, customer maintenance, funding dan lending/account officer, surveyor, manajemen waktu, kontrol dan pengawasan. Sedangkan pengetahuan pilihan/optional bagi karyawan divisi pemasaran yaitu pengetahuan tentang manajemen basis data (Saide et al., 2015). 72 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Proses penciptaan pengetahuan pada PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya Sosialisasi Setiap pengetahuan dan ketrampilan seharusnya dibagikan/disharingkan antar karyawan. Dengan membagikan pengetahuan atau ketrampilan akan membantu setiap karyawan yang belum mendapatkan pengetahuan dengan baik serta menunjang kekompakan dalam bekerja. Sharing pengetahuan dan ketrampilan sudah diterapkan pada PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya. Dari hasil kuesioner diperoleh bahwa sharing pengetahuan melalui diskusi memiliki persentase sebesar 54,2%; melalui pelatihan sebesar 33,3%; dan sisanya melalui brainstorming/curah gagasan sebesar 12,5%. Lebih lanjut, kegiatan sosialisasi ini didukung oleh hubungan antara karyawan senior dengan karyawan yunior yang sangat baik (41.7%), hubungan baik (45.8%) dan cukup baik (12.5%). Hal ini berarti bahwa kegiatan sosialisasi dapat berfungsi maksimal karena sudah tercipta budaya kerja yang baik dan lingkungan kerja yang mendukung. Eksternalisasi Berbagai pelatihan dan workshop yang diadakan pada divisi pemasaran seharusnya didokumentasikan dengan tujuan untuk disharingkan dengan karyawan lainnya yang tidak mempunyai kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau workshop tersebut. Hasil dokumentasi dapat dikembangkan melalui beberapa media seperti web, buku, handout, dll. Dari hasil kuesioner diperoleh 100% responden setuju bahwa PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya sudah mendokumentasikan pengetahuan dan pengalaman karyawannya yang diperoleh dari kegiatan pelatihan dan workshop. Dengan membuat dokumentasi, 100% responden setuju bahwa mereka dapat mengembangkan pengetahuan dan pengalaman kerja yang dimilikinya selama ini. Kombinasi Dokumentasi tentang workshop dan pelatihan yang sudah ada pada divisi pemasaran, disusun kembali secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik. Dari hasil kuesioner diperoleh 83,3% responden setuju bahwa dokumentasi sudah tersusun secara sistematis dan didistribusikan secara merata pada karyawan divisi pemasaran. Sedangkan 16,7% responden setuju bahwa dokumentasi sudah tersusun secara sistematis tetapi belum didistribusikan secara merata pada karyawan divisi pemasaran. Hal ini sejalan dengan penelitian Darudiato dan Setiawan (2013) bahwa KM dapat membantu perusahaan mengelola pengetahuan yang dimiliki dengan baik sehingga pengetahuan ini dapat merata dimiliki oleh individu yang terkait dalam sebuah organisasi atau perusahaan. Adapun dokumentasi yang unik untuk pelanggan disajikan melalui gambar-gambar ataupun simbol-simbol dalam bentuk brosur, leaflet, dan poster. Dokumentasi tersebut memberikan kenyamanan bagi pelanggan dan akan membentuk citra PT. Bank XXX yang baik di masyarakat. Internalisasi Sesudah karyawan mempelajari hasil dokumentasi workshop dan pelatihan, maka karyawan dapat mempraktekkan pengetahuan yang didapatkan sehingga diperoleh hasil kerja yang lebih optimal dan tercapainya tujuan bersama. Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh persentase 90,9% karyawan sudah dapat mempraktekkan pengetahuan yang diperoleh dengan baik untuk rutinitas pekerjaan. Penelitian Anggapraja (2016) dan Kandou et al., (2016) menyatakan bahwa KM berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja dan prestasi kerja karyawan. Sedangkan Rofiaty et al., (2015) berpendapat bahwa KM merupakan input penting bagi implementasi strategi untuk meningkatkan kinerja organisasi. Berdasarkan hasil kuesioner sisanya yaitu 9,1% karyawan belum 73 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 dapat mempraktekkan dengan baik. Hal ini berimplikasi pada masih diperlukannya pendampingan awal atau pelatihan langsung secara khusus untuk jobdesk yang baru diberikan agar karyawan tidak mendapatkan culture shock atas jobdesk yang baru tersebut. PENUTUP Simpulan Manajemen pengetahuan diperlukan dalam sebuah organisasi/perusahaan karena pengetahuan yang diciptakan harus didokumentasikan dengan baik serta didistribusikan/disharingkan secara merata. Proses penciptaan pengetahuan pada studi ini mengikuti model Nonaka. Hasil studi pendahuluan pada PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya menunjukkan bahwa penerapan Knowledge Management sudah dilakukan dengan baik tetapi masih belum optimal. Data-data yang mendukung hasil studi ini yaitu 83,3% responden menyatakan bahwa dokumentasi pelatihan dan workshop sudah disusun secara sistematis dan didistribusikan secara merata pada divisi pemasaran serta 90,9% karyawan sudah dapat mempraktekkan pengetahuan yang diperoleh dengan baik. Penerapan KM yang sudah optimal yaitu proses sosialisasi atau sharing pengetahuan melalui diskusi (54,2%), pelatihan (33,3%), brainstorming (12,5%) serta proses pendokumentasian berbagai kegiatan pelatihan atau workshop melalui web, buku, dan handout (100%). Melalui hasil studi pendahuluan ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat uji evaluasi dan sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kinerja PT. Bank XXX Tbk cabang Pemuda Surabaya. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian pendahuluan ini adalah jumlah sampel yang kurang dari 30 responden karena total populasi pada divisi pemasaran PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya adalah 31 orang. Saran Penelitian lanjutan mengenai penerapan Knowledge Management pada PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya dapat dilakukan melalui program-program pelatihan lainnya yang mendukung kinerja divisi pemasaran seperti selling skill, legal credit, serta sharing mengenai company product knowledge. DAFTAR PUSTAKA Anggapraja, I.T. 2016. Pengaruh penerapan knowledge management dan pengembangan sumber daya manusia terhadap kinerja karyawan PT Telkom Tbk. (studi explanatory survey pada karyawan unit human capital management PT Telkom Tbk). Jurnal Aplikasi Manajemen 14(1): 140-146. Awad, E.M., Ghaziri, H.M. 2004. Knowledge Management. Prentice Hall: Pearson Education Inc. 74 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Darudiato, S dan Setiawan, K. 2013. Knowledge Management: Konsep dan Metodologi. Jurnal Sistem Informasi 4(1): 11-17. Universitas Bina Nusantara. Jakarta. Kandou, Y.L., Lengkong, V.P.K., Sendow, G. 2016. Pengaruh knowledge management, skill, dan attitude terhadap kinerja karyawan (studi pada PT. Bank Sulutgo kantor pusat di Manado). Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi 16(1): 147-158. Milton, N. 2015. Innovation and knowledge management: competitors or partners?. Paper dipresentasikan dalam Knowledge Management Summit Indonesia 2015. Jakarta. Agustus 2015. 25-27. Praharsi, Y. 2016. Manajemen Pengetahuan dan Implementasinya dalam Organisasi dan Perorangan. Jurnal Manajemen Maranatha 16(1): 77-89. Rofiaty, Noviyanti, T., Mulyanto, A.D. 2015. Pengaruh Knowledge Management Terhadap Inovasi, Implementasi Strategi, dan Kinerja Organisasi (Studi pada RS Lavalette Malang). Jurnal Ekonomi Bisnis 20(1): 1-52. Universitas Negeri Malang, Malang. Saide dan Rozanda , N.E. 2015. Analisis Kebutuhan Manajemen Pengetahuan Pada Perusahaan perbankan. Jurnal Sistem Informasi 5(3): 343-351. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Soleh, A. 2015. Knowledge management for innovation: Success stories around the world, the new & better KM implementation. Paper dipresentasikan dalam Knowledge Management Summit Indonesia 2015, Jakarta, 25-27 Agustus 2015. Tjakraatmadja, J.H., Rachman, H., Kristinawati, D. 2013. Personal Knowledge Management. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Yadi, S.P. 2016. Knowledge management: awareness or enforced?. Paper dipresentasikan dalam Knowledge Management Forum. Surabaya: PT. Pembangkit Jawa Bali, 20 April 2016. 75 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 ANALISIS PERBANDINGAN RANTAI PASOKAN KOMODITAS KONTRASEPSI JALUR PEMERINTAH DAN SWASTA DI JAWA BARAT Sherlywati Program Studi Manajemen - Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Maranatha [email protected] Abstract This research was initially comparing the effectiveness and efficiency of supply chain management of contraceptive between private sector and public sector. This study was a combination of two studies, first, in depth review of reseach on the supply chain of contraceptive in private sector in West Java 2015, which specifically examine the supply chain providers of contraceptive in private sector. Second part, in depth review of the literature regarding the supply chain of contraceptive in public sector. This research presented quatitative description from field survey, and naratively from data, information, case study of supply chain management of contraceptive in public sector. Sampling technique in survey research of provider contraceptive on private sector is using purposive and quota sampling in six research sites. The research results demonstrated the strength and weaknesses in the supply chain system of contraceptive in private and public sector. Recommendation research consisted of practical and theoritical advise, first, empowerment of private sector of contraceptive supply chain as it can become a mainstay of KB program. Second, apply the six principles of supply chain planning system (right-number, type, place, time, condition, price/cost). Third, synchronization program between local and central government in order to contraceptive supply more efficient and effective. Fourth, conduct other research more holistic and comprehensive on developing and strengthening of contraceptive supply chain system in Indonesia. Keywords: supply chain management, contraceptive, private sector, public sector Abstrak Penelitian ini mencoba membandingkan efektivitas dan efisiensi sistem rantai pasokan alat dan obat kontrasepsi (alokon) jalur swasta dengan jalur pemerintah. Desain penelitian ini merupakan gabungan dari dua penelitian, pertama, kajian mendalam dari penelitian lapangan tentang penggunaan alokon pada jalur swasta di Jawa Barat tahun 2015, yang secara khusus mengkaji bagian rantai pasokan penyedia alokon pada fasilitas kesehatan jalur swasta. Dan kedua, kajian literatur mendalam mengenai rantai pasokan alokon pada jalur pemerintah. Teknik penyajian penelitian adalah secara deskriptif dari data kuantitatif penelitian survey lapangan serta secara naratif dari data, informasi, serta kasus-kasus pengadaan alokon pada jalur pemerintah. Teknik sampling pada penelitian survey lapangan mata rantai penyedia alokon jalur swasta adalah purposive sampling dan quota sampling. Tujuan utama dari penelitian ini adalah membandingkan efektivitas serta efisiensi sistem rantai pasokan jalur pemerintah dan jalur swasta dengan maksud memberikan input mengenai pengadaan alokon nasional jalur pemerintah. Hasil penelitian memperlihatkan kekuatan dan kelemahan pada sistem rantai pasokan jalur swasta dan jalur pemerintah. Saran penelitian menyajikan saran praktis dan teoritis, diantaranya 1. rantai pasokan jalur swasta perlu diberdayakan karena dapat menjadi andalan keberhasilan program KB, 2. terapkan enam prinsip perencanaan sistem rantai pasokan (tepat-kuantitas, jenis, tempat, waktu, kondisi, biaya), 3. sinkronisasi program pemerintah daerah dan pusat agar rantai pasokan alokon lebih efektif dan efisien, 4. lakukan penelitian lebih holistik dan komprehensif tentang pengembangan dan penguatan sistem pasokan alokon di Indonesia. Kata kunci: sistem rantai pasokan, alokon, jalur swasta, jalur pemerintah 76 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENDAHULUAN Gerakan revolusi mental merupakan inisiasi Presiden Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 dengan tujuan mengangkat kembali karakter bangsa Indonesia. Manfaat gerakan revolusi mental akan terasa jika gerakan ini disadari dan dilakukan bersama-sama oleh segenap warga Indonesia demi menuju Indonesia yang lebih baik. Kepala BKKBN, Surya Chandra Surapati, mengatakan bahwa seluruh keluarga di Indonesia dapat mulai menanamkan karakter pada masing-masing anggota keluarga agar memiliki nilai-nilai revolusi mental, yaitu integritas, beretos kerja, dan gotong royong. Dengan demikian, seyogyanya revolusi mental dimulai dari keluarga, sebagai unit terkecil di masyarakat. Keluarga merupakan unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih dari orang yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (Puspitawati, 2012). Keberlangsungan sebuah keluarga akan menciptakan unit sosial ekonomi pada tingkat berikutnya di dalam sebuah negara. Peran pemerintah dalam mengelola keberlangsungan keluarga adalah dalam hal kebijakan pengelolaan batasan ukuran keluarga dalam masyarakat. Kebijakan perencanaan keluarga diatur secara khusus oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Program utama BKKBN dalam mengendalikan tingkat pertumbuhan penduduk dan mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi pasangan usia subur (PUS) adalah dengan melaksanakan program Keluarga Berencana. Dalam UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, peran BKKBN tidak hanya menyelenggarakan program KB semata, namun difokuskan pada penyerasian pengendalian penduduk. Instruksi Presiden No. 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional, disebutkan salah satunya mengenai program KB dalam bidang kesehatan. Jadi pemerintah sangat menaruh perhatian pada kesejahteraan keberlangsungan keluarga sebagai unit inti sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat. Keberhasilan program KB ditentukan oleh ketersediaan serta kualitas alat dan obat kontrasepsi (alokon). Jika alokon sulit diakses oleh akseptor, maka program keluarga berencana akan sulit berhasil. Upaya peningkatan ketersediaan dan kemudahan akses alokon perlu diseimbangkan dengan pengelolaan saluran distribusi serta rantai pasokan alokon. Proses pendistribusian alokon sampai tiba ditangan akseptor merupakan pengelolaan rutin yang perlu diperhatikan pemerintah, dalam hal ini dipercayakan kepada BKKBN sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Proses pengadaan alokon membutuhkan pengelolaan rantai pasokan yang berjalan dengan baik, termasuk dukungan dan komitmen dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan serta seluruh stakeholder yang berkaitan dengan pasokan alokon. Sistem pengadaan alokon perlu difokuskan untuk pemenuhan permintaan akseptor, baik akseptor perempuan maupun laki-laki yang ingin menggunakan guna merencanakan ukuran keluarganya. Dengan sistem logistik dan rantai pasokan yang baik akan meningkatkan ketersediaan alokon secara tepat waktu, tepat tempat, tepat kuantitas, dan tepat produk (jenis alokon). Jalur distribusi pengadaan alokon di Indonesia dibedakan menjadi dua jalur, yaitu jalur pemerintah dan jalur swasta. Jalur pemerintah mengadakan alokon berdasarkan perkiraan permintaan masyarakat yang dikalkulasi menjadi pengadaan BKKBN Pusat. Jalur pemerintah hanya dapat diakses oleh masyarakat golongan Pra-KS dan KS 1 secara cuma-cuma. Sementara jalur swasta adalah jalur pengadaan yang mendistribusikan alokon melalui beberapa mata rantai sehingga dapat diakses langsung oleh akseptor di fasilitas-fasilitas kesehatan dengan biaya secara mandiri. Kedua jalur pengadaan alokon memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Kendala yang sangat terasa pada pengadaan alokon jalur pemerintah adalah tantangan proses tender yang membutuhkan proses birokrasi dan waktu yang panjang. Keterlambatan pengiriman alat kontrasepsi 77 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 ke daerah bagi keluarga tingkat kesejahteraan Pra KS dan KS 1 menjadi permasalahan yang selalu terjadi. Ketidaksesuaian jenis alokon yang diminati dengan yang tersedia di fasilitas kesehatan pemerintah pun menjadi tantangan pengadaan alokon jalur pemerintah. Keterlambatan pendistribusian serta ketidaksesuaian jenis alokon yang diminati akseptor pada jalur pemerintah akan menyebabkan capaian program Keluarga Berencana tidak optimal. Berdasarkan penelitian penggunaan alat dan obat kontrasepsi pada jalur swasta di provinsi Jawa Barat tahun 2015, jalur swasta menjadi salah satu pilihan akseptor bagi pemenuhan kebutuhan alat kontrasepsi. Akses alokon pada jalur swasta tidak dirasakan sebagai beban tambahan ekonomi keluarga, namun sebagai sarana dan fasilitas kesehatan yang memudahkan akseptor mengakses alokon. Mata rantai akhir jalur alokon swasta, seperti bidan, dapat menjangkau pelosok daerah yang belum terjangkau oleh pemerintah walaupun dengan cara pengadaan alokon yang tradisional, yakni dengan mengadakan pembelian langsung di apotik dan/atau toko obat terdekat. Pengelolaan persediaan pada setiap mata rantai jalur swasta masih menjadi kendala dalam penyediaan alokon jalur swasta. Namun, sebagian besar akseptor KB beranggapan bahwa kualitas alokon jalur swasta lebih baik dibandingkan dengan alokon pada jalur pemerintah. Dengan adanya perbedaan serta kelemahan-kelebihan pengadaan alokon pada rantai pasokan pemerintah dan swasta ini, penulis hendak menelaah lebih dalam mengenai perbandingan rantai pasokan alokon pada jalur pemerintah dan jalur swasta. Untuk menilik lebih dalam rantai pasokan alokon pada jalur swasta, peneliti membedah hasil penelitian “Penggunaan Alat dan Obat Kontrasepsi pada Jalur Swasta di provinsi Jawa Barat pada tahun 2015”. Sementara untuk menelaah rantai pasokan alokon pada jalur pemerintah, peneliti menggunakan kajian literatur serta studi kasus yang memperlihatkan kelebihan serta kelemahan pasokan alokon pada jalur pemerintah. Tujuan dari mengangkat topik “Perbandingan Rantai Pasokan Komoditas Kontrasepsi Jalur Pemerintah dan Swasta” ini adalah memberikan masukkan baik kepada dunia edukasi maupun pemerintah, sebagai pembuat kebijakan program Keluarga Berencana, agar dapat fokus pada rantai pasokan yang memberikan nilai manfaat bagi akseptor dan calon akseptor KB. TINJAUAN PUSTAKA Kebijakan Komoditas Konstrasepsi Perdagangan alat dan obat kontrasepsi, baik sektor publik maupun swasta, diatur dalam berbagai kebijakan pemerintah, salah satunya dalam Kebijakan Obat Nasional (KONAS) Republik Indonesia 2006. Tujuan kebijkan ini adalah meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat secara berkelanjutan. Dengan perhatian pemerataan dan keterjangkauan obat, maka akan tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk memastikan penggunaan obat yang berkelanjutan serta pemerataan di berbagai kalangan masyarakat, maka melalui Sistem Kesehatan Nasional (SKN) dan Kebijakan Obat Nasional (KONAS), dijabarkan prinsip-prinsip dasar SKN dan KONAS sebagai berikut: 1. Obat harus diperlakukan sebagai komponen yang tidak tergantikan dalam pemberian pelayanan kesehatan. 2. Pemerintah bertanggungjawab atas ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat esensial yang dibutuhkan masyarakat. 3. Pemerintah dan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk menjamin agar pasien mendapat pengobatan yang rasional. 4. Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian obat. Sedangkan pelaku usaha di bidang obat bertanggung jawab atas mutu obat sesuai dengan fungsi usahanya. 78 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi tanggung jawab pemerintah dilakukan secara profesional, bertanggung jawab, independen dan transparan. 5. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi obat yang benar, lengkap dan tidak menyesatkan. Pemerintah memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pengobatan. Kebijakan Obat Nasional pun menyusun strategi pengadaan komoditas kesehatan yang dilakukan sektor publik dalam rangka mencapai tujuan pengadaan obat secara nasional, termasuk di dalamnya alat dan obat kontrasepsi. Adapun strategi kebijakan obat nasional tersebut adalah sebagai berikut: 1. Ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat esensial. 2. Jaminan keamanan, khasiat, dan mutu obat beredar, serta perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat 3. Penggunaan obat yang rasional Dalam implementasi pengadaan obat nasional, KONAS menetapkan pokok-pokok dan langkah kebijakan yang perlu dijalankan sektor publik dan sektor swasta dalam mendistribusikan obat-obatan termasuk alat dan obat kontrasepsi. Tahapan yang menjadi perhatian KONAS dalam pengadaan tersebut dimulai dari pembiayaan obat, ketersediaan dan pemerataan obat, seleksi obat esensial, penggunaan obat yang rasional, pengawasan obat, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya manusia, pemantauan dan evaluasi. Capaian Program Keluarga Berencana Tujuan akhir dari program Keluarga Berencana adalah mengendalikan laju pertumbuhan. Dalam menghadapi era bonus demografi pada tahun 2020, pemerintah semakin gencar mensosialisasikan program keluarga berencana. Beberapa data dan informasi terkait capaian dan dampak program keluarga berencana dapat dilihat dari beberapa indicator, sebagai berikut: a. Keberhasilan program KB dapat dilihat dari capaian angka keikutsertaan pasangan usia subur terhadap program keluarga berencana. Sampai tahun 2012, persentase keikutsertaan pasangan usia subur menunjukkan angka 61,9%. b. Tigkat angka kesuburan (Total Fertility Rate) menunjukkan capaian program keluarga berencana. Tingkat fertilitas (TFR) di Indonesia terlihat menurun dari tahun ke tahun. Tren TFR di Indonesia dari beberapa tahun menunjukkan angka yang semakin menurun, yakni pada tahun 1991=3.02, tahun 1994=2.85, tahun 1997=2.78, tahun 2002/2003=2.56, tahun 2007=2.59 dan tahun 2012=2.595. c. Rentang tahun 1900-2000, penduduk Indonesia bertambah lima kali lipat dari 40,2 juta orang menjadi 205,8 juta orang. Dalam rentang waktu tersebut, progran Keluarga Berencana (KB) berhasil mencegah kelahiran 80 juta orang. Jika pada rentang waktu tersebut tidak dijalankan program keluarga berencana, maka hingga tahun 2000 diprediksi jumlah penduduk Indonesia bias mencapai 285 juta orang (Syarief, 2012). Konsep Rantai Pasokan Saluran distribusi merupakan suatu jalur yang dilalui oleh arus produk dari produsen ke perantara sampai pada akhirnya tiba di tangan pemakai (end user) (Revzan, 1961). Definisi menurut Revzan dalam buku lama Wholesaling in Marketing Organization ini merupakan definisi fisik dari sebuah saluran distribusi, yang bersifat sempit hanya terfokus pada pendistribusian produk dari produsen ke konsumen. Sudut pandang lama mengenai saluran distribusi cenderung memperlihatkan pemindahan produk terbatas pada barang yang disalurkan. The American Marketing Association memfokuskan saluran distribusi kepada banyaknya lembaga yang terlibat dalam aliran produk. Saluran distribusi merupakan sebuah struktur unit internal dan eksternal perusahaan, yang terdiri dari konsumen, dealer, distributor, pedagang besar, serta pengecer, 79 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 yang akan mengalirkan produk. Dengan adanya istilah struktur, definisi saluran distribusi mempunyai tambahan makna yang bersifat statis pada saluran dan menjelaskan peran setiap unit lembaga yang bersentuhan dengan aliran produk pada saluran distribusi. Glen Walters (1997) mendefinisikan saluran sebagai kelompok pedagang dan agen perusahaan yang dikombinasikan antara perpindahan fisik produk dan nama produk dalam rangka menciptakan kegunaan bagi pasar tertentu. Demikian ahli marketing Philip Kottler (2009), mendefinisikan saluran distribusi sebagai suatu perangkat organisasi yang saling tergantung, mencakup proses pembuatan produk yang akan dikonsumsi oleh konsumen. Menurut Warren J Keegan (2003), saluran distribusi adalah saluran yang dikelola oleh produsen untuk menyalurkan produk dari produsen sampai ke tangan konsumen atau pemakai industri. Beberapa simpulan dari definisi saluran distribusi adalah sebagai berikut: a. Saluran merupakan kumpulan lembaga-lembaga yang mengadakan kerjasama mengalirkan produk agar produk tersalurkan ke tangan konsumen. b. Tujuan utama dari saluran distribusi adalah mencapai pasar-pasar yang sudah ditentukan. Pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan saluran distribusi. c. Dua kegiatan utama yang terjadi dalam saluran distribusi adalah mengelompokkan produk dan mendistribusikannya. Pengelompokan produk akan memperlihatkan pengelolaan kuantitas dan kualitas produk sesuai kebutuhan mata rantai agar dapat memberikan kepuasan pada pasar. Akses alokon pada jalur pemerintah Berdasarkan data pendataan keluarga tahun 2005 oleh Badan Keluarga Berencana kota Bandung, besar proporsi pasangan usia subur yang memanfaatkan akses pelayanan jalur pemerintah hanya sebesar 24 persen. Hasil survey BKKBN tahun 2006 memperlihatkan data proporsi masyarakat tahapan keluarga pra-sejahtera (pra-KS) yang memanfaatkan alokon pada jalur pemerintah adalah sebesar 67%. Namun, dengan semakin tingginya tahapan keluarga pasangan usia subur, proporsi pemanfaatan alokon jalur pemerintah semakin kecil. Akseptor pada kelompok tahapan KS2, hanya memanfaatkan akses tidak berbayar jalur pemerintah sebanyak 44%. Pada kelompok akseptor KS3+, hanya 10% yang memanfaatkan pelayanan KB di jalur pemerintah. Tabel 1. Persentase Pasangan Usia Subur Berdasarkan Akses Pelayanan Kontrasepsi Sumber : Hasil Survey BKKBN 2006 Kecenderungan pola pasangan usia subur kelompok KS3+ mendapatkan alokon di jalur swasta adalah karena mereka lebih percaya pada kualitas alokon yang disediakan jalur swasta walaupun dengan harga yang lebih tinggi dibanding alokon dan pelayanan di jalur pemerintah. Sementara 80 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 kecenderungan keluarga pra-KS yang mengakses alokon di jalur pemerintah adalah mereka mengutamakan alokon yang diberikan secara cuma-cuma agar tidak memberatkan kehidupan ekonomi keluarga. Dari data survey BKKBN tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa kelompok pasangan usia subur yang masih mengandalkan alokon dan pelayanan jalur pemerintah adalah tahapan keluarga pra-KS. Tabel 2. Persentase Pasangan Usia Subur yang Menggunakan Pelayanan Pemerintah Berdasarkan Jenis Tempat Pelayanan KB Pelayanan Pemerintah Pra KS KS 2 KS 3+ PLKB 3,0 Puskesmas 84,8 83,9 RS. Pemerintah 6,1 16,1 Safari KB 6,1 Total 100,0 100,0 Sumber : hasil survey BKKBN 2006 60,0 40,0 100,0 Berdasarkan pemilihan fasilitas kesehatan yang diakses oleh pasangan usia subur, data survey BKKBN 2006 menunjukkan berbagai pilihan fasilitas kesehatan sebagai tempat akseptor mengakses alokon. Persentase terbesar dari berbagai tahapan keluarga mengakses alokon di puskesmas, baik akseptor yang secara mandiri membayar alokon maupun yang tidak berbayar di jalur pemerintah dan swasta. Kelompok keluarga PraKS ya n g memanfaatkan layanan puskesmas sebesar 84,8 persen, sementara kelompok KS2 dan KS3+ masing masing sebesar 83,9 persen dan 60,0 persen. Pengguna layanan pemerintah dengan memanfaatkan puskesmas terlihat semakin menurun selaras dengan makin tingginya tahapan keluarga. Sementara, penggunaan layanan rumah sakit pemerintah semakin meningkat seiring meningkatnya tahapan keluarga. Pasangan usia subur yang mengakses alokon melalui jalur swasta lebih memilih fasilitas kesehatan bidan dan dokter yang membuka praktek swasta. Walaupun kedua layanan itu banyak dipilih, nampaknya ada kecenderungan yang berbeda kalau dibedakan berdasarkan kelompok tahapan keluarga. Semakin tinggi tingkat tahapan keluarga maka pemanfaatan layanan alokon di bidan swasta semakin menurun. Hal sebaliknya terjadi dengan pemanfaatan dokter swasta, semakin tinggi tingkat tahapan keluarga semakin banyak yang memanfaatkan layanan dokter swasta. Hal ini rupanya sangat berkaitan dengan perbedaan kekuatan ekonomi dari masing masing kelompok, sebab layanan dokter swasta biayanya jauh lebih besar ketimbang layanan bidan swasta. Tabel 3. Persentase Pasangan Usia Subur yang Menggunakan Pelayanan Alokon Jalur Swasta Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan Pelayanan Swasta Pra KS KS 2 KS 3+ Apotik 10,3 6,3 5,1 Bidan Swasta 71,8 42,9 12,9 Dokter Swasta 12,8 46,0 76,9 Poliklinik 2,6 RS Swasta 2,6 4,8 5,1 Total 100,0 100,0 100,0 Sumber : hasil survey 2006 81 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 METODE PENELITIAN Desain penelitian ini merupakan gabungan dari dua penelitian, pertama, kajian mendalam dari penelitian utama berjudul “Penggunaan Alat dan Obat Kontrasepsi pada Jalur Swasta di Provinsi Jawa Barat tahun 2015”, secara khusus pada bagian rantai pasokan pada penyedia alokon pada fasilitas kesehatan jalur swasta, dan kedua, kajian literatur mendalam mengenai rantai pasokan alokon jalur pemerintah. Penelitian ini merupakan kajian awal dalam membandingkan sistem rantai pasokan jalur pemerintah dan swasta terhadap ketersediaan dan kualitas alokon. Teknik penyajian penelitian ini adalah secara deskriptif, disajikan dari data kuantitatif penelitian survey lapangan serta secara naratif dari data, informasi, serta kasus-kasus pengadaan alokon pada jalur pemerintah. Tujuan utama dari penelitian ini adalah membandingkan efektivitas serta efisiensi sistem rantai pasokan jalur pemerintah dan jalur swasta dengan maksud memberikan input mengenai pengadaan alokon nasional jalur pemerintah. Populasi penelitian kuantitatif bertema “Penggunaan Alat dan Obat Kontrasepsi pada Jalur Swasta di Provinsi Jawa Barat tahun 2015” difokuskan pada populasi penyedia alokon pada fasilitas kesehatan yang diandalkan akseptor dalam memenuhi kebutuhan kontrasepsi, seperti bidan, apotik, dan klinik yang berada di provinsi Jawa Barat. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 6 tahun 2013, definisi penyedia fasilitas kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, dan/atau masyarakat swasta. Lokasi yang dipilih dalam menggambarkan perwakilan provinsi Jawa Barat adalah kota Bandung, kota Cimahi, kabupaten Bandung, kota Cirebon, kabupaten Cirebon, dan kabupaten Purwakarta. Teknik sampling pada penyedia fasilitas kesehatan menggunakan purposive sampling dan quota sampling. Teknik tersebut merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan jumlah jumlah klien terbanyak di setiap fasilitas kesehatan yang ada serta mengambil jumlah responden sampai mencapai kuota minimum yang ditargetkan. Faktor yang dipertimbangkan dalam menggunakan kedua teknik tersebut adalah accessibility factor terhadap penyedia fasilitas kesehatan yang ada di wilayah penelitian. Teknik pengumpulan data pada fasilitas kesehatan adalah dengan survey lapangan dan wawancara mendalam. Survey dilakukan dengan metode kuesioner dengan tujuan memperoleh data tentang proses pengadaan dan ketersediaan alokon yang berkualitas pada penyedia fasilitas kesehatan pada jalur swasta. Pada penelitian kajian mendalam mengenai rantai pasokan alokon jalur pemerintah, peneliti mendalami beberapa literature baik dari perundang-undangan terkait pengadaan alokon jalur pemerintah, hasil penelitian terkait topik tersebut, dan referensi buku tentang pengadaan barang dan jasa di sektor publik. Hasil kajian dari literature disajikan dalam bentuk narasi sehingga didapati rangkaian terstruktur cara pengadaan alokon pada jalur pemerintah mulai dari pusat sampai alokon tiba di fasilitas kesehatan milik pemerintah di daerah-daerah. Selanjutnya, narasi pengadaan alokon pada jalur pemerintah akan dibandingkan dengan hasil survey pada pengadaan alokon pada jalur swasta yang berada di level fasilitas kesehatan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Metode Survey pada Fasilitas Kesehatan Penelitian initial survey fasilitas kesehatan jalur swasta dilakukan di enam wilayah penelitian, 1. Kota Bandung, 2. Kota Cimahi, 3. Kota Cirebon, 4. Kabupaten Bandung, 5. Kabupaten Purwakarta, dan 6. Kabupaten Cirebon. Responden penyedia fasilitas kesehatan adalah bidan, klinik, dan apotek. 82 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Peran fasilitas kesehatan yang dilihat dalam penelitian ini adalah sebagai penyedia alokon, baik bagi akseptor KB maupun bagi fasilitas kesehatan lainnya. Klinik dan bidan yang dijadikan responden adalah klinik dan bidan praktek swasta di enam wilayah penelitian dengan total 31 klinik dan bidan praktek swasta (BPS). Apotek yang diteliti sebagai responden berjumlah 53 apotek besar yang tingkat kunjungannya ramai di enam wilayah penelitian. Metode survey menggunakan kuesioner dengan tujuan melihat pola penjualan dan sistem persediaan alokon. Tabel 4. Persentase Jenis Alokon yang Paling Sering Dicari sumber: hasil survey 2015 Jenis alokon yang paling sering dicari pada jalur swasta di apotek dan bidan praktek swasta cukup berbeda. Di BPS, alokon yang paling diminati adalah suntik KB, sementara di apotek, alokon yang paling sering dicari adalah pil KB. Hal ini terjadi karena akseptor KB yang menggunakan pil KB akan langsung mengakses pil di apotek, namun untuk akseptor KB yang menggunakan suntik, akan mendatangi BPS untuk mendapatkan pelayanan suntik dari bidan setempat. Sementara di apotek, alokon pil tidak hanya dicari oleh akseptor KB, namun banyak BPS yang membeli pil maupun alokon lainnya di apotek. 94,34% apotek yang berada di wilayah penelitian memiliki frekuensi tinggi dalam hal penjualan alokon PIL. Permintaan pil ini berasal dari akseptor KB dan BPS, dimana akseptor KB sebagai pengguna akhir pil KB tersebut, sedangkan BPS akan menyalurkan lagi kepada akseptor KB yang mengakses layanan kontrasepsi di BPS. Sementara tingginya frekuensi penjualan alokon suntik di BPS adalah berasal dari permintaan akseptor KB yang menggunakan kontrasepsi secara suntik. Diketahui terdapat 93.75% BPS yang memiliki frekuensi pembelian tertinggi alokon suntik KB. Faktor yang dipertimbangkan fasilitas kesehatan jalur swasta dalam menyediakan jenis, merk, dan supplier alokon bervariasi. Faktor utama (33%) yang menjadi pertimbangan pihak apotek dan BPS menyediakan jenis dan merk alokon berdasarkan permintaan akseptor, untuk digunakan, dan BPS, untuk persediaan alokon di fasilitas kesehatannya. Sebanyak 14% apotek dan BPS mempertimbangkan faktor penawaran produk dan harga promosi yang diberikan supplier, namun penawaran supplier disesuaikan lagi dengan pola permintaan alokon dari konsumen. Faktor pertimbangan lain dalam memilih supplier adalah faktor ketersediaan dan ketepatan pelayanan yang diberikan oleh supplier (23%). Jika pelayanan supplier baik, maka apotek dan BPS akan langgeng bekerja sama dengan supplier tersebut. Faktor hubungan baik (8%) dengan supplier menjadi pertimbangan fasilitas kesehatan dalam memilih supplier alokon. Ketika hubungan baik sudah terbangun, maka pihak supplier akan berusaha memberikan pelayanan terbaik dalam penyediaan alokon. Namun jika tingkat pelayanan supplier kurang memadai, maka BPS akan melakukan 83 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pembelian secara mandiri ke apotek-apotek terdekat. Hal ini dilakukan oleh BPS agar persediaan alokon tetap terjaga untuk memenuhi kebutuhan alokon akseptor. Metode pemesanan alokon yang dilakukan oleh apotek dan klinik BPS dalam menyediakan alokon yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan konsumen (akseptor KB dan fasilitas kesehatan) terdiri dari tiga metode, yaitu 56% dengan metode kunjungan medical representatif, 24% melakukan pemesanan dengan cara pembelian mandiri secara langsung ke apotek, dan 20% melakukan pemesanan alokon dengan pembelian mandiri melalui telepon ke supplier. Metode pemesanan dengan kunjungan medical representatif banyak dilakukan oleh apotek maupun klinik BPS. Supplier yang memasok alokon secara kontinu akan memantau jumlah stok alokon di fasilitas kesehatan secara rutin. Pemantauan jumlah persediaan alokon ini dilakukan oleh medical representatif dari supplier. Tugas medical respresentatif adalah memantau jumlah persediaan alokon dan menerima pesanan dari fasilitas kesehatan tersebut. Medical respresentatif dari supplier alokon ini bertanggung jawab atas ketersediaan alokon agar jumlahnya tidak terlalu banyak namun tidak sampai kosong pula. Banyak klinik BPS yang melakukan pemesanan dengan cara pembelian mandiri secara langsung ke apotek. Hal ini dilakukan oleh BPS karena pedagang besar farmasi (supplier) tidak mempunyai saluran distribusi ke BPS-BPS ini. Alasan lain BPS melakukan pemesanan secara mandiri adalah karena pelayanan PBF masih dirasakan kurang tepat dari segi waktu maupun kualitas pengiriman. Jadi dalam rangka menjaga tingkat persediaan alokon di klinik BPS, pihak BPS melakukan pro active purchasing dengan cara membeli alokon secara langsung ke apotek-apotek besar. Ketiga metode pemesanan yang dilakukan oleh apotek dan klinik BPS dilakukan dengan frekuensi waktu berbeda-beda. Frekuensi pemesanan bervariasi, mulai dari frekuensi pemesanan per minggu, per dua minggu, per bulan, pemesanan dilakukan ketika persediaan alokon sudah habis, dan ada yang pemesanan dilakukan ketika persediaan alokon sudah mencapai batas tertentu. 36% apotek dan klinik BPS mempunyai frekeunsi pemesanan yang tidak menentu karena pemesanan dilakukan ketika persediaan alokonsudah menunjukkan jumlah tertentu. Hal ini dilakukan berdasarkan pengalaman dan perkiraan masa lalu, pihak pengelola persediaan telah memahami kapan waktu pemesanan yang paling tepat dilakukan. Sebanyak 15% apotek dan klinik BPS melalukan pemesanan secara rutin setiap minggu 21% apotek dan klinik BPS melakukan pemesanan sebulan sekali, dan 24% apotek dan klinik BPS melakukan pemesanan ketika persediaan alokon habis. Kondisi persediaan alokon di apotek dan klinik BPS yang ditemui di enam wilayah penelitian termasuk cukup baik. 36% apotek dan klinik BPS memiliki pengelolaan persediaan alokon yang cukup baik karena kondisi persediaan alokon yang dikelolanya jarang kosong, 33% apotek dan klinik BPS sangat baik dalam mengelola persediaan alokon karena tidak pernah terjadi kekosongan alokon. Ada apotek dan klinik BPS yang terkadang mengalami kekosongan alokon, yaitu sebanyak 24%. Sementara itu, ada beberapa apotek dan bidan praktek swasta yang sering mengalami kekosongan persediaan alokon. Kondisi persediaan alokon di apotek dan klinik BPS cukup bervariasi. Apotek dan bidan praktek swasta yang masih pernah mengalami kekosongan persediaan alokon akan menyebabkan keterlambatan akseptor KB dalam mengakses alokon. Jika di apotek dan atau bidan praktek swasta mengalami kekosongan alokon pil atau kondom, maka akseptor KB akan mencarinya ke tempat lain, namun jika akseptor KB menggunakan alokon suntik, akseptor mendapat kesulitan untuk mendapatkan alokon suntikan di tempat lain. Jika apotek dan BPS mengalami kekosongan IUD dan atau Implant, akseptor KB masih dapat menunggu sampai persediaan alokon ini ada kembali. Tingkat pelayanan supplier dalam memasok alokon ke apotek dan klinik BPS menunjukkan kategori pelayanan dengan tingkat menengah. Terlihat dalam tabel di bawah ini, bahwa sebanyak 54% apotek dan klinik BPS mengatakan tingkat pelayanan supplier dalam memasok alokon adalah memuaskan. 84 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Sementara itu, 44% apotek dan klinik BPS merasa kinerja pelayanan supplier masih dalam tingkat cukup memuaskan, dan hanya 2% apotek dan klinik BPS yang beranggapan bahwa tingkat pelayanan supplier dalam memasok alokon masih kurang memuaskan. Indikasi kekosongan persediaan alokon yang masih terjadi di apotek maupun klinik BPS dapat disebabkan oleh kinerja supplier dalam melayani pemesanan alokon yang dipesan apotek dan atau klinik BPS. Kinerja supplier masih diberikan nilai cukup dan kurang memuaskan oleh apotek dan klinik BPS karena tingkat pelayanan supplier dalam memasok alokon yang masih rendah. Supplier masih belum melayani BPS dengan baik dalam hal pemenuhan pesanan Hal ini terutama dirasakan oleh BPS yang letaknya di pelosok kabupaten. Ketepatan kuantitas pesanan dan waktu pengiriman masih menjadi permasalahan utama bagi klinik BPS sehingga dampaknya kepada stockout alokon yang dibutuhkan akseptor KB. Penentuan harga jual di apotek dan klinik BPS 94% ditentukan oleh pemilik, dan tidak ada intervensi supplier sebagai pemasok alokon. Ada beberapa apotek dan bidan praktek swasta yang menentukan harga jual berdasarkan saran dan masukkan dari supplier, namun jumlahnya tidak banyak hanya sekitar 2%. Selebihnya, apotek dan klinik BPS menentukan harga jual dengan cara lain, misalnya mereka mengadakan survey harga terlebih dahulu di kompetitor yang berada di sekitar apotek bersangkutan atau menggunakan harga HET (Harga Eceran Tertinggi) dalam menjual produk alokon. Harga jual produk alokon di apotek dan klinik bidan praktek swasta memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Harga alokon di apotek akan dijumpai lebih rendah dibandingkan dengan harga alokon di klinik bidan praktek swasta. Hal ini terjadi karena di BPS, akseptor KB tidak hanya mendapatkan produk alokon, tetapi akseptor KB juga mendapatkan pemeriksaan kesehatan dari bidan setempat. Dan untuk alokon jenis IUD serta Implant, selain membayar produk alokon, akseptor KB juga dikenakan biaya jasa pemasangan dan pemeriksaan kesehatan akseptor KB. Beberapa bidan prakte swasta tidak memberikan harga alokon plus jasa kesehatan dalam tarif yang sama untuk semua akseptor KB. Bidan-bidan di tingkat kabupaten akan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi akseptor KB yang akan mengakses alokon. Jika yang dihadapi adalah akseptor KB dengan kategori masyarakat yang tidak mampu, beberapa BPS tidak sungkan untuk memberikan gratis kepada akseptor KB ini. Walaupun tidak banyak yang dibebasbiayakan oleh bidan setempat, namun tidak jarang bidan-bidan di kabupaten melakukan pemotongan biaya untuk aksepstor KB yang kurang mampu. Hasil Penelitian Kajian Pengadaan Alokon Jalur Pemerintah Dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, diatur mengenai dana alokasi khusus (DAK). Terkait dengan adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, sejak 2008, pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk menggiatkan pembangunan kependudukan dan keluarga berencana. Untuk tujuan tersebut, dana alokasi khusus dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus terkait dengan fisik layanan dan sarana prasarana KB. Sarana prasarana tersebut antara lain adalah Muyan (untuk melakukan pelayanan KB di daerah yang geografisnya sulit dijangkau), Mupen (untuk menjadikan proses komunikasi, edukasi, dan informasi KB yang lebih efektif), sepeda motor (meningkatkan mobilitas petugas lapangan KB), gudang alokon, sarana KIE, dan lainnya. Perencanaan kebutuhan alokon diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan Kebutuhdan Alat/Obat Kontrasepsi dan Nonkontrasepsi Program KB Nasional (BKKBN, 2008). Dalam memenuhi kebutuhan alokon setiap tahun, pemerintah melakukan perhitungan berdasarkan data sasaran keikutsertaan KB yang meliputi permintaan partisipasi masyarakat (PPM). PPM ini dilihat dari dua peserta, yaitu peserta KB baru dan peserta KB aktif. Dan disesuaikan dengan rumusan tertentu serta data persediaan alokon di gudang pada akhir bulannya. Rangkaian perencanaan dan 85 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pendistribusian alokon pada jalur pemerintah diatur dalam Peraturan Kepala badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional nomor 228 tahun 2015 tentang Pedoman Penyediaan Sarana Penunjang Pelayanan Kontrasepsi dalam Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga. Pengadaan alokon jalur pemerintah mengikuti siklus rantai pasokan yang telah ditetapkan, mulai dari tahap pengelolaan data kebutuhan, analisis data kebutuhan, dan penyusunan rencana kebutuhan. Proses pengadaan mulai dilakukan setelah perencanaan kebutuhan alokon disusun. Tahap selanjutnya adalah proses penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran alokon secara terstruktur. Pada setiap tahapan, selalu dilakukan tindakan monitoring dan evaluasi pengadaan alokon. Dalam proses penerimaan, dilaksanakan pemeriksanaan alokon meliputi, (1) tanggal kedatangan, (2) jenis dan merk alokon, (3) jumlah (kotak, berat dan volume, unit, dll), (4) harga satuan, (5) tanggal pembuatan/tahun produksi, (6) tanggal kadaluarsa, (7) kondisi alat dan obat alokon, (8) sumber dana, (9) nomor batch. Setelah proses pemeriksaan selesai, akan disiapkan Surat Bukti Barang Masuk (SBBM), kartu barang, kartu persediaan dan buku penerimaan. Proses penyimpanan merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan penerimaan alat dan obat kontrasepsi, dilakukan dalam rangka pemeliharaan dan pengamanan melalui standarisasi penataan alkon berdasarkan sistem FIFO (First in First Out). Sistem distribusi alokon yang digunakan dibedakan menjadi dua, yaitu sistem berdasarkan permintaan (pull distribution system) dan sistem dropping (push distribution system). Sistem dropping adalah sistem pendistribusian yang sifatnya terpusat, daerah tidak dapat menentukan kuantitas alokon tapi pusat mengalokasikan sejumlah tertentu berdasarkan data kemampuan persediaan masing-masing. Sementara sistem distribusi berdasarkan permintaan, jumlah alokon yang didistribusi dari pusat adalah sejumlah permintaan daerah dengan perhitungan persediaan minimum dan maksimum daerah. Setelah proses pendistribusian, proses pencatanan dan pelaporan menjadi penting sebagai bahan analisis perencanaan kebutuhan dan pelaksanaan pengadaan pada periode berikutnya.Tujuan dari proses pencatatan pelaporan adalah mengetahui jumlah persediaan di fasilitas kesehatan dengan laporan F/II/KB dan mengetahui jumlah persediaan di gudang (F/V/KB). Sistem pelaporan alokon terdiri dari empat laporan, yaitu (1) tahunan : membuat mutasi barang secara kumulatif selama satu tahun serta sisa persediaan pada akhir tahun (administrasi), (2) stock opname : menghitung fisik barang dua kali setahun (Juli dan Desember), (3) triwulanan : membuat mutasi barang secara kumulatif selama tiga bulanan serta sisa persediaan, dan (4) bulanan (laporan gudang F/V/KB): membuat mutasi barang secara kumulatif selama satu bulan serta sisa persediaan akhir bulan. Berdasarkan laporan Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas tahun 2010, terdapat beberapa pihak yang banyak memegang peran dalam pengadaan alokon jalur pemerintah adalah BKKBN pusat, BKKBN provinsi, dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) KB kabupaten/kota. BKKBN pusat berperan sebagai kepala bagian perencanaan kebutuhan yang melakukan koordinasi antar bagian terkait perolehan data dan informasi mengenai data PPM, stock alokon di gudang bulan terakhir. Selain itu, BKKBN pusat menyusun perkiraan kebutuhan alokon tahun depan dengan berbagi alternatif dan analisa kecupukan alokon saat ini dan yang akan datang. Selanjutnya, BKKBN pusat akan mengajukan kepada biro perlengkapan dan perbekalan beberapa alternatif prakiraan kebutuhan alokon tahun depan dan melaporkan hasil kecukupan alokon saat ini dan yang akan datang. Di tingkat provinsi, sekretaris BKKBN provinsi bersama staf menyusun perencanaan kebutuhan alokon, melakukan analisis kondisi stok alokon di wilayahnya, dan mengajukan hasil analisa serta rencana kebutuhan alokon kepada Kepala BKKBN Provinsi. Sementara di tingkat kabupaten/kota, SKPD KB melakukan analisis kebutuhan alokon, melakukan koordinasi untuk memperoleh angka stok alokon bulanan di wilayahnya. Kepala bagian tata usaha SKPD KB menyusun rencana alokon di wilayahnya 86 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 dan mengajukan usulan kebutuhan alokon kepada Kepala BKKBN Provinsi yang bersangkutan. Jadi, prosedur pengadaan alokon pada jalur pemerintah adalah sebagai berikut: 1. BKKBN pusat mendistribusikan alokon ke BKKBN provinsi berdasarkan pada besarnya perkiraan permintaan masyarakat (PPM) dan ketersediaan alokon. 2. BKKBN provinsi melanjutkan pendistribusian alokon ke kabupaten/kota. 3. Kabupaten/kota menyalurkan alokon ke puskesmas di wilayah masing-masing dengan bantuan ekspedisi. 4. Kabupaten/kota menyalurkan alokon ke klinik, LSM, RS swasta, BPS, dokter praktek swasta untuk IUD dan kondom, sedangkan alokon lainnya diberikan untuk fasilitas kesehatan yang ditunjuk bagi keluarga pra KS dan KS-1. 5. Puskesmas menyalurkan ke puskesmas pembantu, puskesmas desa/polindes, dan pos pembina KB desa. Untuk puskesmas pembantu dan polindes diberikan alokon IUD, suntik, implant, pil, dan kondom yang diberikan bagi akseptor pra KS dan KS-1. Sementara untuk pos pembina KB desa, hanya diberikan alokon pil dan kondom. 6. Untuk distribusi alokon dari swasta, kabupaten/kota hanya mendistribusikan alokon ke RS, RS swasta, LSM, KB swasta, organisasi profesi, dan bidan/dokter praktek swasta. PENUTUP Simpulan Dari hasil penelitian survey lapangan dan kajian literatur ini, dapat diketahui bahwa sistem rantai pasokan pengadaan alokon di Indonesia dilakukan dengan dua sistem, pertama rantai pasokan alokon jalur swasta, kedua rantai pasokan alokon jalur pemerintah. Pengadaan alokon jalur swasta menunjukkan kemandirian sistem rantai pasokannya. Sementara, pengadaan alokon jalur pemerintah menunjukkan panjangnya sistem rantai pasokan, baik secara birokrasi maupun dari saluran distribusinya. Beberapa kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis alokon yang paling diminati pada jalur swasta di apotek dan bidan praktek swasta cukup berbeda. Di rantai pasokan apotek, alokon yang paling diminati adalah pil (94,34%). Sementara di rantai pasokan bidan praktek swasta, alokon yang paling diminati adalah suntikan (93,75%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagians besar akseptor yang memenuhi kebutuhan alokon secara mandiri melalui apotek, memilih pil sebagai alokon. Dan, akseptor yang memenuhi kebutuhan alokon secara mandiri melalui bidan praktek swasta, memilih suntikan sebagai alokon. 2. Ada beberapa faktor yang dipertimbangan rantai pasokan apotek dan bidan praktek swasta dalam menentukan supplier alokon, yaitu 33% berdasarkan produk alokon yang sesuai permintaan akseptor, 23% berdasarkan kinerja supplier dari ketersediaan dan ketepatan pelayanan, 14% berdasarkan harga yang diberikan oleh supplier, 8% berdasarkan hubungan baik dengan supplier, dan 22% berdasarkan faktor pertimbangan lainnya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, dapat dikatakan bahwa rantai pasok apotek dan bidan praktek swasta cukup profesional dalam menentukan supplier yang akan me-supplai alokon ke tempat mereka. Mengenai metode pemesanan dan pengelolaan persediaan alokon yang dilakukan mata rantai apotek dan bidan praktek swasta cukup bervariasi. Pertama, mengandalkan kunjungan medical representatif, kedua, melakukan pemesanan dengan cara pembelian mandiri secara langsung ke apotek terdekat, ketiga, melakukan pembelian mandiri ke apotek 87 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 via telepon. Dalam rangka menjaga tingkat persediaan alokon di setiap mata rantai, pihak bidan praktek swasta melakukan pro active purchasing agar kebutuhan alokon akseptor tetap dapat dipenuhi. Dengan metode pengelolaan persediaan alokon yang dilakukan mata rantai apotek dan bidan praktek swasta, kondisi persediaan alokon 36% jarang kosong, 33% tidak pernah kosong, 24% kadang kosong, dan hanya 7% yang masih sering kosong. Indikasi kekosongan persediaan alokon yang masih terjadi di apotek maupun klinik BPS dapat disebabkan oleh kinerja supplier dalam melayani pemesanan alokon yang dipesan apotek dan atau klinik BPS. Kinerja supplier masih diberikan nilai cukup dan kurang memuaskan oleh apotek dan klinik BPS karena tingkat pelayanan supplier dalam memasok alokon yang masih rendah. Penentuan harga jual di apotek dan klinik BPS 94% ditentukan oleh pemilik, dan tidak ada intervensi supplier sebagai pemasok alokon. 3. Rantai pasokan alokon jalur pemerintah diatur oleh berbagai peraturan pemerintah maupun daerah. Alokon jalur pemerintah yang digratiskan hanya diperbolehkan diakses oleh akseptor kategori keluarga pra-KS dan KS1, dengan jenis alokon IUD, suntik, implant, pil, dan kondom di puskesmas pembantu, dan alokon pil dan kondom pada pos pembina KB. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintah menganggarkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung aktivitas program KB di daerah. Namun, DAK program KB hanya diperkenankan untuk belanja sarana prasarana dan fisik layanan KB. Pengadaan alokon jalur pemerintah perlu memperhatikan saluran distribusi mulai dari pemerintah pusat sampai daerah. Pihak yang memegang peranan penting dalam pengadaan alokon jalur pemerintah adalah BKKBN pusat, BKKBN provinsi, dan SKPD KB kabupaten/kota. Saluran distribusi diawali dari BKKBN pusat yang akan mengalokasikan alokon ke BKKBN provinsi berdasarkan perkiraan permintaan masyarakat dan ketersediaan alokon. BKKBN provinsi melanjutkan pendistribusian alokon ke kabupaten/kota. Kabupaten/kota menyalurkan alokon ke puskesmas di wilayah masing-masing, baik ke mata rantai pemerintah maupun swasta. Puskesmas akan menyalurkan ke puskesmas pembantu, puskesmas desa/polindes, dan pos pembina KB desa. Untuk pendistribusian alokon ke jalur swasta, kabupaten/kota mendistribusikan ke RS, RS swasta, LSM, KB swasta, organisasi profesi, dan bidan/dokter praktek swasta. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah diringkaskan diatas, peneliti mencoba mengemukakan beberapa saran yang sekiranya dapat dijadikan masukkan baik bagi pelaksanaan program keluarga berencana, maupun bagi para edukasi dalam mendukung pembaharuan dan peningkatan sistem rantai pasokan keluarga berencana, adalah sebagai berikut: 1. Rantai pasokan jalur swasta dapat menjadi andalan pemerintah dalam menjalankan program Keluarga Berencana karena jumlah peserta KB Mandiri muncul dari masyarakat, tanpa paksaan dari siapapun, dan tidak terasa sebagai beban ekonomi keluarga. Maka dari itu, untuk mengurangi beban pengadaan alokon jalur pemerintah, rantai pasokan jalur swasta perlu diberdayakan dan pelatihan pengelolaan persediaan alokon agar kinerja mata rantai swasta semakin dapat diandalkan bagi ketersediaan alokon. 2. Sistem rantai pasokan jalur swasta dan jalur pemerintah merupakan kunci sukses program keluarga berencana di Indonesia. Perencanaan menjadi tahapan kunci proses pengadaan alokon. Enam prinsip manajemen logistik yang perlu dipertimbangan dalam perencanaan kebutuhan alokon, meliputi tepat kuantitas, tepat jenis, tepat tempat, tepat waktu, tepat kondisi, dan tepat biaya. Rantai pasokan jalur pemerintah perlu mendesain sistem pengadaan yang memperhatikan keenam prinsip tersebut agar kebutuhan alokon masyarakat dapat secara tepat dipenuhi. 88 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 3. Perlu dilakukan sinkronisasi program pengadaan alokon antara sistem pasokan swasta dengan pemerintah. Program pemerintah daerah yang berkaitan dengan kegiatan keluarga berencana perlu disinergikan dengan program KB pusat khususnya dalam pengadaan jenis alokon. Misalnya, jika pemerintah daerah mengadakan secara gratis jenis alokon suntikan, maka pengadaan alokon jalur pemerintah untuk suntikan dapat dikurangi dan akseptor yang menggunakan alokon lainnya diarahkan ke fasilitas kesehatan bidan praktek swasta. 4. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk pengembangan penelitian yang lebih holistik serta komprehensif bagi pengembangan dan penguatan sistem pasokan alokon baik jalur swasta maupun jalur pemerintah di Indonesia. Keterbatasan Penelitian Hasil penelitian ini belum sepenuhnya menggambarkan kondisi keseluruhan pengadaan alokon jalur swasta dan jalur pemerintah secara nasional. Penelitian lapangan masih terbatas di enam wilayah di provinsi Jawa Barat. Serta, kajian literatur dalam rangka melihat pola pengadaan alokon jalur pemerintah baru sebatas kajian laporan beberapa literatur, belum mendalam dari peraturan perundang-undangan secara terstruktur dari tingkat pemerintahan pusat sampai ke daerah. Semoga penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang akan menciptakan penelitian sejenis dengan konsep yang lebih dalam dan terarah agar dapat memberikan masukkan terhadap kebijakan pemerintah dalam hal pengadaan alokon di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Balitbang BKKBN Perwakitan Jawa Barat, Sherlywati. (2015). Penelitian Penggunaan Alat dan Obat Kontrasepsi pada Jalur Swasta di Provinsi Jawa Barat tahun 2015. Bandung. Bappenas. (2010). Evaluasi Pelayanan Keluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin (Keluarga Prasejahtera/KPS dan Keluarga Sejahtera-1/KS-1). Jakarta. Bowersox, D.J., Closs, D.J. and Cooper, M.C. (2007). Supply Chain Logistics Management. 2nd edition. McGrawHill Irwin: Boston. BKKBN. (2000). Pelaksanaan Teknis Penerimaan, Penyimpanan, dan Penyaluran Kontrasepsi Program KB Nasional di Kabupaten/Kota. Jakarta: BKKBN. _______. (2004). Peningkatan Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi, Jakarta. _______. (2008). Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Keluarga Berencana Tahun Anggaran 2009. Jakarta: BKKBN. _______. (2010). Profil Hasil Pendataan kelaurga tahun 2009. Jakarta: BKKBN. Christopher, M., Peck, H., Abley, J., Haywood, Major M., Saw, R., Rutherford, C., & Strathern, M. (2003). Creating resilient supply chains: A practical guide. Centre for Logistics and Supply chain management Cranfield School of Management, Cranfield University, Cranfield: UK. Gaspersz, Vincent. (1998). Production Planning and Inventory Control. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Haryanto, Eddy. (2007). Manajemen Operasi. Edisi tiga. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Muslimat. (2015). Pengelolaan dan Distribusi Alkon dan Non Alkon. Rakor Kemitraan Program KKBPK dengan IBI. Pontianak, 13 Mei 2015. Mutiara, E. (1998). Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi (Analisis SDKI 1994). Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Depok. 89 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Puspitawati, Herien. (2012). Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. PT IPB Press. Bogor. Sherlywati. (2016). Analisis Rantai Pasokan Alat dan Obat Kontrasepsi pada Jalur Swasta di Provinsi Jawa Barat tahun 2015. Prosiding Forum Manajemen Indonesia 2016: Palu. Syarief, Sugiri. (2015). Studium Generale Kependudukan dan Program Keluarga Berencana: Tantangan dan Peluang. Institut Pertanian Bogor: Bogor. USAID. 2011. The Logistic Handbook: A Practical Guide for the Supply Chain Management of Health Commodities. John Snow Inc: USA. www.bkkbn.go.id 90 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 ANALISA INCOME SMOOTHING ATAS PERUSAHAAN REAL-ESTATE PERIODE 2010-2015 Kartika Dewi Universitas Bina Nusantara [email protected] Abstract The purpose of this research is to analyze the influence of Return On Asset, Net Profit Margin and Debt Ratio toward Income Smoothing Practices in Real Estate Companies listed in Bursa Efek Indonesia period 2010-2015. Income Smoothing is a technique to reduce fluctuation of net income from one period to another. Net income is a factor for investors make decision whether to make more investments in a company or not. Financial Statements should be reliable,transparent and relevant for decision making. The method of this research is quantitative using secondary data from www.idx.co.id, internet,journals and text-books. Using 126 samples data from real-estate companies period 2010-2015. Hypothesis are tested using binary logistic with help statistical tool SPSS version 20. The result from this research is Return On Assets and Net Profit Margin are not significant influenced to Income Smoothing and Debt Ratio is significant influenced to Income Smoothing. Keywords: Return On Assets, Net Profit margin, Debt Ratio, Income Smoothing and index Eckel Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Return On Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio terhadap praktek Income Smoothing. Ada beberapa tipe earning managemen yang dilakukan manajemen salah satunya adalah income smoothing. Income Smoothing adalah tehnik untuk memperhalus fluktuasi laba. Ukuran laba menjadi faktor penentu bagi investor dalam berinvestasi. Laporan yang dipublikasikan ke publik seharusnya memiliki sifat yang dapat dipercaya, transparan dan relevan dalam membuat keputusan berinvestasi. Laba besar yang dilaporkan dari kinerja perusahaan dengan posisi menguntungkan belum tentu sejalan dengan kenyataan yang ada karena adanya faktor income smoothing. Penelitian ini menggunakan data sekunder perusahaan real estate yang terdaftar di BEI periode tahun 2010 sampai dengan tahun 2015. Sample yang digunakan dalam penelitian adalah 126 sample diambil dengan cara simple random sampling. Metode yang digunakan adalah regresi logistik biner dengan bantuan program SPSS versi 20. Untuk mengetahui perusahaan yang menggunakan income smoothing atau tidak, penulis menggunakan index eckel. Hasil penelitian ini adalah return on asset dan net profit margin tidak berpengaruh terhadap income smoothing dan debt ratio berpengaruh terhadap income smoothing Kata kunci: Return On Assets, Net Profit Margin, Debt Ratio, Income Smoothing, Index Eckel. 91 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENDAHULUAN Investor mencari ilnformasi keuangan melalui Laporan Keuangan yang dipublikasikan tentunya para investor ini mengharapkan informasi yang benar, dapat dipercaya, akurat dan transparan karena informasi tersebut akan digunakan untuk mengambil keputusan ekonomi. Informasi penting yang selalu dilihat adalah laba operasi karena laba adalah hasil yang tersisa setelah pendapatan dikurangi biaya. Laba mendapat perhatian khusus dari investor hendaknya laba yang disajikan juga bebas dari rekayasa. Idealnya peran Good Corporate Governance sangat membantu para manager untuk mempublikasikan laba yang ditampilkan. Etika berbisnispun mendapat peran untuk mengurangi rekayasa laba. Rekayasa laba dengan earning management biasanya menggunakan metode Income Smoothing. Income Smoothing diukur dengan menggunakan index Eckel dimana rumusnya adalah coefficient delta income dibagi coefficient delta sales. Return On Asset merupakan ukuran efektifitas manajemen dalam mengelola investasinya atau berapa rasio keuntungan yang bisa dihasilkan dari total asset yang ada. Semakin tinggi Retun On Asset semakin bagus kinerja perusahaan. Dengan menggunakan ratio Return On Asset kita bisa membandingkan dengan perusahaan sejenis tanpa melihat ukuran perusahaan. Net Profit Margin Ratio menunjukkan nilai laba yang dapat dihasilkan dari penjualan. Semakin tinggi ratio ini akan semakin bagus karena semakin efisien kinerja perusahaan. Rasio ini bagus untuk mengukur kinerja perusahaan dimasa lampau. Laba selalu diharapkan oleh semua pihak karena dengan laba yang besar, manager bisa berinvestasi dan melakukan banyak diversifikasi usaha. Debt Ratio mengukur kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya dengan asset yang ada. Semakin tinggi rasio ini semakin besar resiko perusahaan karena didalam pinjaman ada bunga pinjaman yang bersifat tetap yang harus dibayar perusahaan tanpa memandang kondisi ekonomi perusahaan pada saat itu. Bila bisnis sedang mengalami kemajuan maka pembayaran bunga pinjaman tidak menjadi masalah, tetapi bila perusahaan dalam kondisi lesu maka beban bunga bisa menambah resiko bagi perusahaan dimana bila kondisi lesu tersebut berkesinambungan maka keuangan perusahaan dalam kondisi bahaya dan tidak likuid. Harga properti di Indonesia meningkat pesat dari tahun 2009-2014 dan permintaan akan produk properti meningkat pesat, Kondisi ekonomi Indonesia sangat bagus diperiode tersebut menciptakan banyak masyarakat ekonomi menengah sehingga banyak sekali permintaan produk properti dilapisan masyarakat ekonomi menengah ini baik kebutuhan untuk tempat tinggal dan investasi masa depan. Selain itu banyak kemudahan yang diberikan oleh perbankan akan (KPR) Kredit Pemilikan Rumah dan banyaknya promosi dari pengembang sendiri membuat banyak orang membeli rumah baru dan berinvestasi. Perusahaan properti Tbk di Indonesia menuai banyak keuntungan dan hal ini. Untuk penelitian ini dipilih periode tahun 2010 sampai dengan 2015 karena diperiode awal adalah kenaikan pesat harga properti dan diperiode akhir penurunan tajam harga properti walaupun trend permintaan properti meningkat. Melihat trend kenaikan dan penurunan harga, tentunya berpengaruh pada laba perusahaan. Sehingga peneliti ingin membuat penelitian dengan judul “Analisa Income Smoothing atas Perusahaan Real-Estate periode 2010-2015” Penelitian ini akan menguji pengaruh Return on Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio terhadap Income Smoothing. Masalah-masalah penelitian yang dapat dirumuskan berdasarkan pendahuluan yang telah dikemukan sebelumnya adalah sebagai berikut: 1. Apakah Return on Asset mempengaruhi income smoothing pada perusahaan real-estate yang terdaftar di BEI periode 2010-2015? 2. Apakah Net Profit Margin perusahaan mempengaruhi income smoothing pada perusahaan real-estate yang terdaftar di BEI periode 2010-2015? 92 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 3. Apakah Debt Ratio (Debt to Asset Ratio) mempengaruhi income smoothing pada perusahaan real-estate yang terdaftar di BEI periode 2010-2015? Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Return on Assets, Net Profit Margin dan Debt ratio terhadap Income Smoothing di perusahaan Real-Estate periode 2010-2015. TINJAUAN PUSTAKA Laporan Keuangan Laporan Keuangan merupakan sarana komunikasi antara pihak perusahaan dengan para stakeholdersnya. Laporan Keuangan dibaca untuk dianalisa dan diambil keputusan ekonomi. Laporan Keuangan biasanya terdiri dari Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca, Laporan Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Dalam laporan keuangan tersebut bisa dilakukan earning manajemen biasanya dengan metode income smoothing. Laporan Keuangan menggambarkan kinerja perusahaan selama periode pelaporan. Laporan Keuangan dilaporkan secara periodik dan bersifat historis. Laporan Keuangan biasanya digunakan untuk rasio keuangan. Laba Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No.1, informasi laba merupakan perhatian utama untuk menaksir kinerja dan pertanggung jawaban manajemen. Laba menjadi banyak tolok ukur bagi semua pihak, bagi internal atau manager sebagai tolok ukur kinerja dia dan bagi external users laba sebagai earning power dalam distribusi dividen dan investasi. Manager berada didua sisi yang saling bertentangan antara keperluan pribadi dengan mensejahterakan pemegang saham, hal ini sering disebut dengan agency theory. Earning Management Earning Management banyak mempunyai definisi tetapi semua bersifat sama yaitu pemilihan metode akuntansi untuk menaikan atau menurunkan laba pada periode tertentu bertujuan untuk membuat laporan keuangan terlihat lebih bagus dimata pembaca external. De Chow et al. (1996) dalam Widyaningdyah (2001) mendefinisikan Manajemen Laba sebagai manipulasi laba (earning manipulation), baik di dalam maupun diluar batas Generally Accepted Accounting Principles (GAAP). Scott (1997) dalam Argali (2006) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan memaksimalkan kesejahteraan manajemen atau pemegang saham. Scott (1997) menganggap Manajemen Laba merupakan intervensi manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan external sehingga dapat menaikan atau menurunkan laba akuntansi. Ada beberapa tehnik yang digunakan dalam earning manajemen yaitu taking a bath, income minimization, income maximization dan income smoothing, Income Smoothing paling banyak digunakan untuk metode earning manajemen. Income Smoothing Investor menyukai laba yang stabil dari tahun ke tahun oleh karena itu manager melakukan income smoothing agar investor tetap menilai perusahaan dalam kondisi stabil dan baik. Menurut Scott(1997, diacu dalam Pujinigsih,2011). Salah satu faktor yang mendorong manajer melakukan praktik manajemen laba adalah pemberian informasi kepada investor. Income Smoothing yang dilakukan manajemen perusahaan membuat kualitas laba yang dilaporkan menjadi berkurang,tidak memadai, tidak transparan bisa jadi tidak relevan sehingga menyesatkan pembaca. Pembaca juga bisa membuat kesalahan keputusan karena kualitas laba yang salah ini. Ada beberapa faktor yang 93 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 mempengaruhi income smoothing yaitu retun on asset, profitabilitas, debt ratio, Ukuran perusahaan, sektor industry, Dividen payout ratio, winner/losser stocks, etika bisnis, karakter dan budaya. Bisnis Properti Permintaan produk properti di Indonesia khususnya Pulau Jawa meningkat pesat untuk periode 2009-2014. Menurut data statistic jumlah kepemilikan rumah sangat kecil dan banyak sekali penduduk yang membutuhkan rumah. Untuk mengatasi kekurangan produk properti maka perusahaan properti membangun banyak sekali real estate. METODE PENELITIAN Populasi dalam penelitian ini menggunakan perusahaan real-estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam periode waktu 2010-2015. Data diambil dari web www.idx.co.id. Kriteria pemilihan sample adalah sebagai berikut laporan keuangan telah diaudit periode 2010-2015, menggunakan mata uang Rupiah, memiliki data lengkap untuk laporan keuangan dan non-keuangan. Pengolahan data menggunakan SPSS versi 20 dengan metode statistic non-parametrik regresi biner. Peneliti menggunakan model regresi biner karena variable dependen menggunakan skala nominal. Dependen variabel adalah income smoothing yang diukur dengan menggunakan Index Eckel (1981). Model ini digunakan untuk menentukan index income smoothing. Index Eckel akan membedakan perusahaan yang melakukan praktek income smoothing dan yang tidak melakukan income smoothing. Adapun rumus Index Eckel adalah sebagai berikut: Indeks Eckel = CV βI / CV βS. Keterangan: CV ΔI : Coefficient of variation untuk perubahan net income dalam satu periode CV ΔS : Coefficient of variation untuk perubahan sales dalam satu periode Jika nilai Indeks Eckel > 1, maka perusahaan tidak melakukan praktik perataan laba dan diberi simbol 0. Jika nilai Indeks Eckel < 1, maka perusahaan melakukan praktik perataan laba dan diberi simbol 1. Variable independen terdiri dari Return On Assets, Net Profit Margin, Debt Ratio. Adapun kerangka pemikiran penelitian adalah sebagai berikut: Gambar 1: Gambar Kerangka Penelitian yang dirumuskan oleh peneliti Variabel Independen Variabel dependen X1 Return on Assets Y : Income Smoothing X2 Net Profit Margin X3 Debt Ratio Hipotesis yang diusulkan terdiri dari 3 yaitu: H1: ROA berpengaruh signifikan terhadap Income Smoothing H2: Net Profit Margin berpengaruh signifikan terhadap Income Smoothing H3: Debt Ratio berpengaruh signifikan terhadap Income Smoothing 94 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 HASIL DAN PEMBAHASAN Tujuan penelitian adalah meneliti apakah Return On Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio berpengaruh terhadap Income Smoothing di perusahaan Real Estate periode 2010 hingga 2015 (6 tahun). Peneliti menggunakan purposive sampling yaitu sample yang dipilih sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan karena diharapkan sample yang terpilih dapat mewakili populasi yang sesuai dengan tujuan penelitian. Berdasarkan hasil seleksi sesuai kriteria didapat sample sebanyak 126 data yang didapat dari 21 perusahaan Real-Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang diambil dari tahun 2010 sampai dengan 2015. Tabel 5.1 menunjukkan data deskriptif statistik dari sample yang digunakan dalam penelitian. Sebanyak 126 sample dan nilai minimum, maximum, mean dan standard deviasi dari ROA, NPM, Debt Ratio. Tabel 5.1. Descriptive Statistics N Range ROA NPM DebtRatio Valid N (listwise) 126 126 126 126 .2418 .9824 .7494 Minimum Maximum Mean -.0012 -.2388 .0084 .073738 .296357 .424916 .2406 .7436 .7578 Std. Deviation .0407331 .1442877 .1662624 Varianc e .002 .021 .028 Tabel 5.2 menunjukkan kode untuk dependen variable nya. Kode 0 untuk bukan perata laba dan 1 untuk perata laba. Table 5.2 Dependent Variable Encoding Original Value Internal Value bukan perata laba 0 perata laba 1 Untuk regresi logistik binary ada dua hal yang harus dianalisa yaitu pertama adalah Overall Model Fit (ada 3 uji di Overall Model Fit yaitu -2 Log Likelihood, Cox & Snell R Square and Nagelkerke R Square dan Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit Test). Kedua adalah Pengujian Hipotesis. Tabel 5.3 menunjukkan uji keseluruhan model, dimana -2Log Likelihood ditransformasikan menjadi -2LogL. Statistik 2Log L awal diberi kode 0 (blok number 0). Kemudian variable bebas dimasukkan ke dalam model dan diuji lagi apakah penambahan variable bebas dapat memperbaiki model (blok number 1). Apabila terjadi penurunan hasil maka dapat disimpulkan model tersebut menunjukkan regresi yang baik. Dari table 5.3 menunjukkan -2Log Likehood blok 0 Table 5.3 -2Loglikehood Block 0 Iteration Historya,b,c Iteration -2 Log likelihood Coefficients Constant -.286 -.288 -.288 1 172.093 Step 0 2 172.093 3 172.093 a. Constant is included in the model. b. Initial -2 Log Likelihood: 172.093 c. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less than .001. 95 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tabel 5.4 akan ditambahkan variabel bebas dan diuji lagi apakah nilai 172.093 akan mengalami penurunan, bila angkanya lebih kecil dari 172.093 maka model regresi bagus dan dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya. Hasil yang diperoleh di block 1 sebesar 163.450 dan angka nya lebih kecil sehingga model regresi dapat disimpulkan bagus. Table 5.4 -2Loglikehood Block 0 Iteration -2 Log likelihood Coefficients Constant ROA 1 163.450 -1.346 5.764 2 163.375 -1.474 6.388 Step 1 3 163.375 -1.476 6.401 4 163.375 -1.476 6.401 a. Method: Enter b. Constant is included in the model. c. Initial -2 Log Likelihood: 172.093 d. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter than .001. NPM -1.683 -1.832 -1.834 -1.834 Debt 2.668 2.907 2.912 2.912 estimates changed by less Tabel 5.5 menunjukkan kesimpulan dari pengujian overall fit model dimana dapat disimpulkan hasil regresi yang bagus dan dapat diteruskan. Table 5.5 -2Loglikehood Block 0 and 1 Result -2L Likelihood Blok 0 172.093 -2L Likelihood Blok 1 163.375 Kemudian kita lanjutkan pengujian model fit dengan Cox and Snell R Square and Nagelkerke R Square ditabel 5.6. Nilai Cox & Snell R Square sebesar 6.7% dan Negelkerke R Square sebesar 9% dapat menjelaskan bahwa variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel independen sebesar 9%,sedangkan sisanya 91% dipengaruhi faktor lain. Table 5.6 Model Summary Step -2 Log likelihood 1 163.375a Cox & Square .067 Snell R Nagelkerke R Square .090 Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit test ditunjukkan ditabel 5.7 menguji hipotesis nol bahwa data empiris cocok atau sesuai dengan model (tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat dikatakan fit). Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test bertujuan untuk menguji ketepatan atau kecukupan data pada model regresi logistic, dengan hipotesis: H0 : Model Logistik menunjukkan kecukupan data H1: Model Logistik tidak menunjukkan kecukupan data Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit lebih besar dari 0,05 maka hipotesis nol ( H0 ) tidak dapat ditolak artinya model mampu memprediksi nilai obeservasinya. Tampilan statistik SPSS menunjukkan nilai statistik 0,085 dimana nilai tersebut diatas 0,05. Dapat disimpulkan bahwa model dapat diterima seperti yang ada di tabel 5.7. 96 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tabel 5.7 Hasil Pengujian Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test Hosmer and Lemeshow Test Step Chi-square df 1 13.872 8 Sig. .085 Tabel 5.8 menunjukkan ketepatan prediksi antara sampel perusahaan yang melakukan Income Smoothing dan perusahaan yang tidak melakukan Income Smoothing. Berdasarkan tabel diatas terdapat data perusahaan bukan perata laba 72 (55+17),sedangkan hasil observasinya 55 yang merupakan perusahaan bukan perata laba dan 17 perusahaan merupakan perata laba. Jadi ketepatan model ini untuk perusahaan bukan perata laba adalah 76.4%. Prediksi perusahaan perata laba sebanyak 54 data perusahaan, sedangkan hasil observasi terdapat 21 perusahaan perata laba dan 33 perusahaan bukan perata laba. Ketepatan klasifikasi model ini untuk perusahaan perata laba adalah 38.9%. Keseluruhan ketepatan klasifikasi sebesar 60.3%. Angka ini cukup baik karena ketepatan klasifikasi sudah lebih dari 50% sehingga dapat disimpulkan bahwa model dianggap baik (Mahmudi&Zain,2008). Tabel 5.8. Classification Tablea Pengujian Hipotesis Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah Retun on Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio terhadap praktek Income Smoothing. Dalam pengujian ini digunakan regresi logistik binari untuk menguji signifikansi pengaruh variabel independen terhadap dependennya. Berdasarkan hasil regresi analisis binary yang dilakukan diperoleh hasil pada tabel 5.9. Tabel 5.9 Hasil Pengujian Multivariate Variables in the Equation B Step 1a a. ROA NPM Debt Constant 6.401 -1.834 2.912 -1.476 S.E. 6.013 1.635 1.269 .611 Wald df 1.134 1.258 5.262 5.835 Sig. 1 1 1 1 .287 .262 .022 .016 Exp(B) 602.689 .160 18.387 .229 95% C.I.for EXP(B) Lower Upper .005 79063610.654 .006 3.939 1.528 221.268 Variable(s) entered on step 1: ROA, NPM, Debt. Sumber : Hasil pengolahan SPSS versi 20. Berdasarkan hasil pengujian multivariate dapat dilihat nilai signifikan bervariasi, untuk variabel return on asset (X1), net profit margin (X2) mempunyai nilai signifikan diatas 0.05 dan debt ratio (X3) memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Berikut hasil olah statistiknya atas multivariate secara serentak yaitu variabel return on asset (X1) sebesar 0,287, untuk variabel net profit margin (X2) sebesar 0,262 dan untuk variabel debt ratio (X3) sebesar 0.022. Untuk X1 dan X2 hal ini 97 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 menunjukkan bahwa H0 diterima dan Ha ditolak untuk variabel return on asset (X1) dan net profit margin (X2). X1 dan X2 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap praktik perataan laba (Y). Sedangkan variabel debts ratio (X3) memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar 0,022, sehingga H0 ditolak dan Ha diterima yang menunjukkan bahwa variabel debts ratio (X3) berpengaruh secara signifikan terhadap praktik perataan laba (Y). Tabel 5.10 Kesimpulan Hipotesis Variabel Return On Asset Profitabilitas Debt Ratio p-value 0,287 0,262 0,022 Keterangan P > 0,05 P > 0,05 P < 0,05 H0 Diterima Diterima Ditolak PENUTUP Simpulan Pengujian yang dilakukan apakah Return On Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio berpengaruh terhadap Income Smoothing menghasilkan signifikansi Debt Ratio terhadap Income Smoothing. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tinggi debt yang dimiliki perusahaan akan membuat manager melakukan rekayasa laba dengan tujuan memperindah laba sesuai tujuannya. Beban debt yang besar akan menyulitkan perusahaan bila tidak beroperasi dengan baik. Dimasa-masa resesi perusahaan, beban bunga debt akan memberatkan operasional perusahaan. Terlebih sektor real-estate mengalami penurunan dari sisi demand, dimana masyarakat susah membeli produk properti karena harga yang sangat tinggi dan tidak sesuai dengan penghasilan mereka sebagai karyawan. Seharusnya penerapan Good Corporate Governance yang baik diperusahaan bisa mengurangi praktek perataan laba sehingga laba yang disajikan bisa diandalkan untuk mengambil keputusan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Income Smoothing dengan menggunakan 3 variable independen yaitu Return On Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio. Penelitian menggunakan 21 perusahaan properti selama 6 tahun sehingga didapat total data 126 data. Analisis statistic yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah regresi logistic binary dengan software SPSS versi 20. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Return On Asset berpengaruh positif tidak signifikan. Diduga Return On Asset mempunyai pengaruh terhadap Income Smoothing tetapi dari hasil penelitian tidak terbukti. Laba yang disajikan ke pembaca ternyata cukup bagus kualitasnya. Ada kemungkinan bisnis property cukup menjanjikan dalam masalah laba sehingga management tidak perlu melakukan Income Smoothing 2. Net Profit Margin berpengaruh negative tidak signifikan. Diduga Net Profit Margin mempunyai pengaruh terhadap Income Smoothing tetapi dari hasil penelitian tidak terbukti. Perusahaan property menghasilkan profit yang tinggi ditahun penelitian sehingga managemen tidak perlu melakukan Income Smoothing. 3. Debt Ratio berpengaruh positif signifikan. Hasil penelitian membuktikan Debt Ratio berpengaruh signifikan positif. Semakin tinggi Debt Ratio yang dimiliki perusahaan maka makin besar kemungkinan managemen melakukan Income Smoothing. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian yang pertama adalah tidak menguji pengaruh Good Corporate Governance dimana diduga bisa mengurangi praktek Income Smoothing. Seharusnya banyak pihak 98 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 yang terlibat dalam operasional perusahaan misalnya Komisaris independen dan komite audit bisa mengurangi praktek Income Smoothing. Keterbatasan penelitian yang kedua adalah tidak menguji kualitatif peranan etika bisnis dan culture perusahaan serta jenis karakter manager. Hal ini disebabkan karena manager sebagai karyawan yang harus tunduk dengan atasan. Atasan manager tersebut telah menentukan strategi bisnis perusahaan. Strategi tersbut ditentukan oleh karakter pribadi. Seperti yang kita ketahui kebanyakan manusia adalah menghindar dari resiko tetapi ada juga yang suka mengambil resiko demi penghasilan yang lebih besar. Hal-hal kualitatif ini tentunya mempengaruhi praktek Income Smoothing di perusahaan. Keterbatasan penelitian yang ketiga adalah tidak menguji harga saham di pasaran. Disebabkan investor selalu menanti dividen dan capital gain. Pelaporan dividen dan capital gain bisa mempengaruhi praktek Income Smoothing. Harga Saham penutupan dan fluktuasinya sangat berpengaruh terhadap keputusan investasi menyebabkan manager ingin melakukan rekayasa laba. Saran Saran untuk peneliti selanjutnya dapat menambah variabel Good Corporate Governance dengan menambahkan persentase masing-masing unsur Good Corporate Governance sehingga kita bisa tahu elemen dari Good Corporate Governance yang mempengaruhi Income Smoothing. Selain Good Corporate Governance, kita bisa menggunakan harga saham atau Dividen Payout Ratio juga, dapat diuji apakah komponen harga saham dan Dividen Payout Ratio berpengaruh terhadap Income Smoothing. DAFTAR PUSTAKA Argali, M. 2006. Analisis atas hubungan leverage dan harga saham terhadap earning management pada industri dasar kimia. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Kristen Petra. Surabaya Eckel, N. 1981. The Income Smoothing Hyphothesis Revisited. Abacus. Vol.17, No.1. hal 28-40 Pujiningsih, A. I., & ROHMAN, A. (2011). Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, Praktik Corporate Governance dan Kompensasi Bonus terhadap Manajemen Laba (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 20072009) (Doctoral dissertation). Widyaningdyah, A.U. (2001). Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap earning management pada perusahaan go-public di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol 3, No.2, 89-101. www.idx.co.id 99 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 MEMAHAMI PRODUK MODE INDONESIA YANG MENJUAL PRODUK SECARA ONLINE MENGGUNAKAN MAJALAH MODE LOOKS MAGAZINE SEBAGAI MEDIA IKLAN M. Adhiramsyah Choesin 1 dan Yohana F. Cahya Palupi Meilani 2 Universitas Pelita Harapan E-mail: [email protected] 2 Abstract: The purpose of research is to know how fashion products that sell products online using the magazine as an advertising medium. Where the screening process is carried out by the fashion magazine, will cause the image received by the reader after seeing an ad product that mode. On the basis that the Indonesian fashion industry is growing rapidly and become one of the leading contributor to Indonesia's creative industries. The research method uses a qualitative approach with case studies. Data collection methods, ie interviews, observation, and documentation. Using triangulation of sources to better understand the phenomenon. The object of research is a fashion magazine Looks Magazine. Informants consists of managers Looks Magazine; Informants persons represented Vogue Couture fashion products as fashion online seller; Informants readers. The results showed the main objective fashion product advertisements are for branding activities, the absence of a screening process conducted magazines, as well as the factors that make the reader considers that the ads displayed on the magazine influenced the image of magazine brands and products advertised. Factors stretcher are: color prints magazines, advertising model selection, the sharpness of the magazine's print resolution, and the selection of the product being advertised. It is intended that the management of fashion magazines can apply the right strategy associated with the phenomenon of brand image terhadapat products that affect the image of the magazine. Contributions of research is to provide input for the fashion magazine manager manage media advertising to increase brand image of fashion magazines. Keywords: citra merek, komunikasi pemasaran, majalah, mode Abstrak: Tujuan penelitian adalah mengetahui bagaimana produk mode yang menjual produk secara online menggunakan majalah sebagai media iklan.Dimana melalui proses penyaringan yang dilakukan pihak majalah mode, akan menimbulkan citra yang diterima pembaca setelah melihat iklan produk mode tersebut. Dengan dasar bahwa industri mode Indonesia sedang berkembang dengan pesat dan menjadi salah satu penyokong utama industri kreatif Indonesia. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Metode pengumpulan data, yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Menggunakan triangulasi sumber untuk lebih memahami fenomena. Objek penelitian adalah majalah mode Looks Magazine. Narasumber terdiri dari pengelola Looks Magazine; Narasumber produk mode yang menjual produk secara online diwakili Vogue Couture; Narasumber pembaca yaitu mahasiswi. Hasil menunjukkan tujuan utama produk mode memasang iklan adalah untuk kegiatan branding, tidak adanya proses penyaringan yang dilakukan majalah, serta adanya faktor-faktor yang membuat pembaca menilai bahwa iklan yang ditampilkan pada majalah berpengaruh terhadap citra merek majalah dan produk yang diiklankan. Faktor-faktor terebut adalah: warna cetak majalah, pemilihan model iklan, ketajaman resolusi cetak majalah, dan pemilihan produk yang diiklankan. Hal ini dimaksudkan agar pengelola majalah mode dapat menerapkan strategi yang tepat terkait dengan fenomena citra merek produk yang berpengaruh terhadapat citra majalah. Kontribusi penelitian adalah memberikan masukan bagi pengelola majalah mode dalam mengelola media iklan untuk menaikkan citra merek majalah mode. Kata kunci: citra merek, komunikasi pemasaran, majalah, mode 100 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENDAHULUAN Industri mode Indonesia sedang berkembang pesat, produk mode berkontribusi dalam lima tahun terakhir terhadap Produk Domestik rata-rata 5,9% sebesar Rp.71,9 trilliun. Produk mode merupakan penyumbang terbesar ekspor sektor industri kreatif Indonesia sepanjang tahun 2010, yakni mencapai kisaran US$ 72 miliar (Soelaeman, 2011). Perkembangan juga terlihat dari begitu banyaknya merek– merek mode di Indonesia. Pertumbuhan tersebut dikarenakan semakin banyak faktor menyokong pertumbuhan industri kreatif ini. Seperti, banyaknya event–event memberikan kesempatan bagi merek lokal mempresentasikan karyanya (seperti Jakarta Fashion Week, Indonesia Fashion Week, BrightSpot Market, Pop-Up Market, NextLevel Indonesia dan lain-lain). Hal tersebut sejalan pernyataan Suryadi (2011) bahwa sejumlah festival mode berhasil membuat indusri mode tanah air berpacu, tak sedikit perhelatan mode menjadi barometer dan agenda internasional. Seiring pesatnya perkembangan industri mode di Indonesia, maka muncul majalah mode Indonesia pertama pada tahun 1972 yaitu Majalah Femina sebagai majalah mode dan gaya hidup pertama di Indonesia yang pada awalnya hanya menyediakan informasi bagi kaum wanita (Femina Group, 2013) Sementara Majalah mode menurut (Moeran, 2006) adalah majalah yang bertujuan menginformasikan pada pembaca perkembangan tren busana terkini, dan memberikan panduan serta arahan pada pembaca atas produkproduk busana yang ditawarkan. Pada industri mode majalah mode berfungsi sebagai tempat bertemunya antara produsen dan konsumen atau antara supply dan demand (Moeran, 2006). Penelitian ini menggunakan Looks Magazine sebagai obyek penelitian dikarenakan Looks Magazine adalah salah satu majalah Indonesia menyajikan fitur iklan bagi merek–merek perusahaan mode di Indonesia. Looks Magazine adalah majalah asli Indonesia (bukan franchise) yang mempunyai visi misi secara maksimal menyajikan informasi tentang dunia mode & dunia hiburan di luar negeri untuk pembacanya. Berdasarkan wawancara dengan Creative Designer Looks Magazine Elco Frebliaman, yang dimaksud maksimal yaitu tidak adanya fitur–fitur seperti yang ada pada majalah wanita Indonesia lainnya seperti tips–tips, zodiak, cerpen dan lain-lain. Komitmen menyajikan informasi hanya tentang dunia mode dan dunia hiburan luar negeri untuk pembacanya menjadi suatu keunggulan Looks Magazine dibandingkan dengan majalah wanita Indonesia lainnya. Dari hasil data eksplorasi yang dilakukan terhadap Looks Magazine dengan menggunakan kuesioner yang disebarkan ke 100 narasumber yaitu mahasiswi Universitas Pelita Harapan pembaca Looks Magazine menunjukkan data tentang bagaimana tanggapan narasumber tentang iklan pada Looks Magazine, 50% beranggapan bahwa iklan yang terdapat pada Looks Magazine tergolong dalam kategori baik; 2% menyatakan sedang, dan 48% memilih alternatif lain dengan menjabarkan alasan, seperti bosan ; terlalu banyak merek online shop;kurang bervariasi; tampilan layout yang kurang bagus ; segmentasi menjadi blur. Hasil di atas menunjukkan hampir 50% narasumber tidak terlalu puas dengan iklan yang terdapat pada Looks Magazine. Pada penelitian ini, hal ini akan menjadi permasalahan dasar tentang apakah iklan yang terdapat pada Looks Magazine akan berdampak pada citra merek dan bagaimana strategi perusahaan pemasang iklan menggunakan fitur iklan pada Looks Magazine sebagai kegiatan pemasaran, serta bagaimana proses Looks Magazine dalam memilih katagori perusahaan pemasang iklan. Hal tersebut membuat keingin tahuan dari fenomena diatas. Menurut Bungin (2007) peneliti harus memiliki sikap ingin tahu terutama pada apa yang diteliti dan senantiasa terbuka akan pengetahuan baru. Dengan penjabaran hasil eksplorasi di atas, dapat disimpulkan bahwa pembaca Looks Magazine masih belum puas dengan iklan yang terdapat pada Looks Magazine. Kesenjangan antara ekspektasi strategi pembangunan citra merek mode menggunakan media majalah dengan kenyataan citra apa yang konsumen tangkap dari stimulus yang disampaikan adalah yang melatar belakangi penelitian ini. Sehingga dapat dirumuskan permasalahan penelitian adalah: 101 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Bagaimana produk mode Indonesia yang menjual produk secara onlinemenggunakan Looks Magazine sebagai media iklan? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana produk mode Indonesia yang menjual produk secara online menggunakan Looks Magazine sebagai media iklan. Dimana melalui proses penyaringan yang dilakukan pihak majalah mode, akan menimbulkan citra yang diterima pembaca setelah melihat iklan produk mode tersebut. Kontribusi penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi perusahaan majalah atas pengaruh iklan produk mode yang menjual produk secara online terhadap citra merek majalah mode dalam hal ini majalah Looks Magazine, sehingga majalah dapat menetapkan strategi yang lebih tetap dalam memilih iklan yang akan di tempatkan. TINJAUAN PUSTAKA Pemasaran Pengertian pemasaran menurut AMA (American Marketing Association), pemasaran adalah (Hair, Charles, dan McDaniel, 2007) proses organisasi berkreasi, berkomunikasi dan menyampaikan nilai kepada konsumen serta mengelola hubungan dengan konsumen untuk kepentingan organisasi dan pemangku kepentingan. Sejalan dengan (Keller dan Kotler, 2006) pemasaran berhubungan dengan mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat. Sexton, 2006 mengartikan pemasaran sebagai berikut mengelola nilai yang menguntungkan bagi perusahaan sehingga perlu mempunyai keunggulan kompetitif, target pasar, pemposisian produk dan jasa, membangung merek yang kuat, memuaskan konsumen, menentukan harga, mengembangkan iklan , mengorganisasi penjualan untuk distribusi, memotivasi sumber daya manusia dalam mencapainya. Komunikasi Pemasaran (Integrated Marketing Communication) Menurut (Duncan dan Ouwersloot, 2008) hal terpenting dan yang sangat diperlukan oleh komunikasi pemasaran adalah media. Media (TV, radio, koran, majalah, papan billboard, internet, surat, surat elektronik, dan telefon) adalah kendaraan bagi pesan yang akan disampaikan ke target pasar sebagai penerima stimulus informasi yang diberikan. Untuk membangun citra merek serta keberhasilan penjualan produk diperlukan kejelian dalam memilih media komunikasi serta alat komunikasi pemasaran yang paling tepat, alat (tools) komunikasi pemasaran dapat di bagi menjadi sebagai berikut: (a) Advertising, alat komunikasi pemasaran yang tidak personal, iklan berbayar dilakukan oleh sponsor, yang ingin melakukan komunikasi pemasaran dari organisasi ke target pasar. Advertising berfungsi mencapai target pasar lebih luas, mencipta kesadaran merek, membedakan produk dengan produk kompetitor, membangun citra merek. (b) Promosi Penjualan, adalah kegiatan jangka pendek menawarkan produk/jasa dengan menambahkan nilai pada desain/harga untuk memotivasi konsumen memberi respon cepat .Walaupun pada umumnya kegiatan promosi digunakan untuk memperngaruhi keputusan pembelian, kegiatan promosi juga dapat digunakan untuk mempengaruhi konsumen berpindah dari satu merek ke merek lain. (c) Pemasaran Langsung yaitu proses penyampaian barang atau jasa tanpa ada pihak lain (distributor) terlibat pada kegiatan ini. (d) Publicity & Public Relations, ada perbedaan mendasar antara publisitas dengan hubungan dengan publik. Publisitas diartikan sebagai cerita atau penjelasan merek kepada masyarakat luas tanpa biaya. Sementara hubungan publik diartikan sebagai usaha untuk membangun dan mengelola publik yang bertujuan untuk mencari dukungan dan kooperatif dari publik. (e) Penjualan Personal, di hitung dari berapa banyak produk dijual namun dewasa ini organisasi memberlakukan sistem kompensasi berdasarkan kualitas dalam membangun dan mempertahankan hubungan dengan konsumen. (f)Packaging, dapat memuat begitu banyak informasi dari mulai informasi yang mendasar (nama produk, tagline) hingga mencapai informasi yang lebih spesifik (resep, isi bahan pembuatan, cara pakai dan lain-lain). Seperti layaknya promosi, pengemasan juga dapat menambah nilai pada produk.(g) Events and Sponsorship, Events adalah kegiatan yang desain untuk mendekati konsumen secara lebih tertarget dengan mengedepankan merek sebagai pengendali kegiatan. Sementara sponsorship memiliki arti sebagai dukungan finansial untuk organisasi, individu atau aktivitas dengan cara menukarkan dengan publisitas merek.(h) Layanan Pelanggan sebagai layanan pelanggan mencakup semua interaksi dengan konsumen, dan hal ini harus tercermin pada 102 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 setiap prilaku dan aktivitas organisasi seperti pada iklan, pengemasan, personal selling, public relation dan lain-lain. Tipe Majalah Secara garis besar tipe majalah dibagi menjadi dua, yaitu (a) Consumer Magazine, adalah majalah didesain untuk konsumen yang akan membeli produk tertentu.(b) Business Magazine, adalah majalah didesain untuk kalangan lebih spesifik minat informasi lebih spesifik pula[9].Perbedaan yang mendasar dari kedua jenis majalah di atas adalah tujuan dari target pembaca dalam membaca yaitu untuk menkonsumsi dan untuk mencari informasi yang spesifik. Klasifikasi Majalah Majalah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) Geography, majalah yang diterbitkan berdasarkan area atau zona waktu tertentu. Area cakupan majalah ini dapat besar maupun kecilcontoh: Los Angeles Magazine, Boston Magazine, Southern Living Magazine). (b)Demographics, klasifikasi majalah dengan menetapkan klasfikasi demografi tertentu (umur, pemasukan, pekerjaan dan lain-lain. Sebagai contoh majalah Time, menerbitkan majalah khusus siswa, wirausahawan, dokter dan lain-lain. (c) Editorial Contents, Setiap majalah mengangkat jenis tema yang berbeda-beda sesuai dengan target pasar yang dibidik, contoh: tema umum majalah Reader's Digest, kehidupan wanita majalah Family Circle, tema interior dan bangunan majalah House Beautiful, bisnis majalah Forbes, dan lain-lain.(d) Physical Characteristic, dikategorikan berdasarkan dimensi cetak majalah. Pada umumnya majalah berukuran 8.5inci x11inci atau 6inci x 9inci. Ide majalah dengan ukuran kecil muncul dengan tujuan agar pembaca lebih mudah membawa majalah. (e) Ownership, beberapa majalah dimiliki oleh perusahaan publishing tertentu, atau perusahaan majalah dapat berdiri sendiri tanpa tergabung dalam suatu grup publisitas tertentu. Perusahaan publishing umumnya membawahi majalahmajalah franchise dari luar negeri Sebagai contoh majalah Glamour, Gourmet, Vanity Fair, The New Yorker dimiliki oleh perusahaan publishing Conde Nast. Di Indonesia majalah franchise dimiliki oleh perusahaan publishing, contoh: Harper's Bazaar Indonesia dimiliki oleh perusahaan MRA Media Grup (Wells, Moriarty dan Burnett, 2006). Keunggulan Majalah Sebuah majalah dapat mempunyai keunggulan meliputi: (a) Target Audiens, target audiens/pasar dapat dibidik secara akurat dikarenakan setiap majalah mempunyai target tersendiri. Dikatakan secara akurat dikarena target pasar majalah spesifik berdasarkan profesi, demografi, kegemaran dan lain-lain.(b) Audience Receptivity, kemampuan menerima stimulus oleh pembaca. Majalah menyediakan kredibilitas dan validitas informasi pada majalah dengan bantuan editor majalah. (c) LongLife Span, majalah memiliki usia hidup paling lama di banding dengan media lainnya. Hal ini dikarenakan fisik majalah memadai untuk disimpan dan dibaca pada waktu mendatang. Berbeda dengan media TV atau radio dengan informasi dapat sirna seiring dengan waktu. Sekali majalah dimiliki seseorang, majalah akan selalu menyediakan informasi didalamnya. (d) Format, pada majalah menyediakan berbagai fasilitas untuk melakukan advertising, contoh: halaman, ulasan, fitur promosi dan lain-lain. (e) Visual Quality, kualitas majalah dikategorikan sebagai kualitas tinggi dikarenakan cetakan pada kertas berkualitas dengan desain tulisan dan foto definisi tajam. (f) Promosi Penjualan, majalah dapat digunakan organisasi dalam melakukan promosi. Seperti: kupon, sampel produk dan lain-lain (Wells, Moriarty dan Burnett, 2006). Kekurangan Majalah Majalah dapat mempunyai kekurangan seperti:(a) Limited Flexibility, iklan pada majalah diserahkan pada waktu tepat sebelum naik cetak setiap edisi. Ketepatan waktu membuat organisasi merencanakan iklan dengan peramalan tertentu dikarenakan iklan pada majalah tidak dapat sewaktu-waktu diubah. (b) Lack Of Immediacy, efek dari iklan pada majalah tidak dapat langsung dilihat dengan cepat. Organisasi mengharapkan pembaca melihat iklan dengan cepat dan segera melakukan pembelian atau pencarian informasi. Namun, jika majalah sudah tersimpan lama, makan informasi iklan yang tersedia sudah tidak relevan dengan keadaan. (c) 103 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 High Cost, tarif pemasangan iklan pada majalah tergolong mahal dikarenakan pemasukan majalah bersandar pada pemasangan iklan. (d) Distribution, dapat menjadi kekurangan majalah dikarenakan tidak menyebarnya distribusi jika dilakukan tanpa melalui distributor (Wells, Moriarty dan Burnett, 2006). Pengertian Mode (fashion) Menurut (Echols dan Shadily, 1997) mendefinisikan fashion sebagai cara atau kebiasaan mengenakan sesuatu, yang diartikan pada bahasa Indonesia sebagai mode. Menurut (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005) Mode diartikan sebagai ragam cara bentuk yang terbaru pada waktu tertentu, seperti pakaian, potongan rambut, corak hiasan dan lain sebagainya. Namun, pengertian mode atau fashion masih dipertanyakan dikarenakan banyaknya pandangan subjektifitas terhadapat mode. Johnson dan Yurchisin (2010)merangkum definisi mode menjadi tiga definisi, yaitu: (a) Mode atau fashion adalah cara berperilaku. (b) Mode adalah cara berperilaku yang diakui oleh lingkungan sekitar.(c) Mode adalah cara berperilaku yang dapat berubah dari waktu ke waktu. Pada industri mode majalah mode berfungsi sebagai tempat bertemunya produsen dan konsumen atau antara supply dan demand (Moeran, 2006). Hal tersebut menuntut produsen produk mode harus selektif memilih majalah karena akan mempergaruhi supply chain keseluruhan. Merek dan Citra Merek Merek dijelaskan (Laforet, 2011) sebagai nama, symbol atau tanda desain yang dapat meningkatkan nilai dari produk sesuai tujuan fungsionalnya. kegunaan merek: (a) Mengurangi Resiko, merek dapat mengurangi resiko konsumen dalam proses pengambilan keputusan pembelian (b) Efisiensi Informasi, merek dapat menjadi fasilitas dalam proses penyampaian informasi. Dikarenakan merek menyediakan informasi yang berhubungan dengan produser dan asal produk berasal. Kesedian informasi tentang produser dan asal produk dapat meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk. (c) Mencipta Citra, citra berhubungan dengan benefit emosional yang dirasakan konsumen saat menggunakan produk. Sebagai contoh, saat konsumen merasa nyaman menggunakan mobil dengan merek Volvo. Seringkali merek yang baik disebut sebagai penyumbang nilai keatraktifan suatu produk (Laforet, Sylvie, 2011). Untuk mencipta nilai dibutuhkan suatu pembeda antara satu produk dengan produk lain. Nilai yang dicipta harus unik dan harus sustainable atau dapat dipertahankan untuk jangka waktu panjang. Branding dibentuk melalui empat element, yaitu: identitas merek, citra merek, posisi merek, dan ekuitas merek (Laforet, Sylvie, 2011). Ekuitas merek dibentuk oleh lima elemen: kesadaran merek, asosiasi merek, perceived quality propriety brand asset dan loyalitas merek. Keempat elemen pertama di atas menentukan elemen terakhir yaitu loyalitas merek. Loyalitas merek adalah ukuran kedekatan yang konsumen rasakan terhadap suatu merek (Laforet, Sylvie, 2011). Sementara perceived quality dan brand association dapat dikategorikan kedalam Deskripsi Merek. Deskripsi Merek adalah sesuatu yang pembuat merek dapat lakukan untuk mempertahankan citra merek yang positif untuk disampaikan ke konsumen (Laforet, Sylvie, 2011). Selanjutnya, kesadaran merek,loyalitas merek dan propriety brand asset dapat dikategorikan kedalam brand strength. Brand strength adalah bentuk reaksi konsumen terhadap merek. Moeran (2006) menyatakan citra merek yang positif dapat dibentuk melalui program pemasaran yang terhubung kuat satu sama lain, berkelas, dan memiliki keunikan untuk diingat konsumen. Namun, pengevaluasian citra merek dapat bergantung pada tujuan pembelian konsumen (Laforet, 2011). METODE PENELITIAN Desain Penelitian Desain penelitian adalah kerangka yang memandu pengumpulan dan analisis data (Churchill dan Brown, 2004). Burns dan Bush (2005) menjelaskan desain penelitian sebagai seperangkat keputusan yang membentuk rencana atau kerangka yang dapat menentukan metode dan prosedur untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi yang dibutuhkan. Ihalauw (2008) menyatakan desain penelitian dikenal juga dengan paradigma penelitian. Paradigma adalah seperangkat asumsi, 104 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 tersurat dan tersirat, yang menjadi dasar untuk gagasan-gagasan ilmiah. Paradigma penelitian memberi arahan melakukan penelitian. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara pandang peneliti. Paradigma bukanlah salah atau benar. Melainkan lebih bermanfaat/kurang bermanfaat sebagai sebuah asumsi sesuatu Ihalauw (2008).Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu penelitian mencoba memahami fenomena konteks secara natural(bukan dalam laboratorium)dimana peneliti tidak berusaha memanipulasi fenomena diamati (Sarosa, 2012). Metode penelitian kualitatif disebut sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan (Sugiyono, 2011). Objek Penelitian Objek penelitian pada penelitian ini majalah Looks Magazine. Berlokasi di Kelapa Gading Raya Boulevard blok CN 2/21, Jakarta Utara. Looks Magazine berfokus pada penyediaan informasi mode dan dunia hiburan Hollywood. Penelitian menentukan Looks Magazine sebagai objek penelitian dikarenakan belum ada penelitian yang menggunakan Looks Magazine sebagai objek penelitian, prapenelitian (eksplorasi) yang menunjukan adanya kesenjangan antara ekspektasi dari pembaca dengan realita yang disediakan oleh Looks Magazine tentang iklan yang dimuat. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data penelitian ini dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber, dan berbagai cara. Sugiyono (2011) menyatakan setting yang dimaksud adalah data dapat diperoleh pada setting alamiah (natural setting). Bila dilihat dari sumber data, Sugiyono membagi data menjadi dua kategori, yaitu: (a) Sumber Primer, sumber data yang secara langsung memberikan data kepada pengumpul data. dalam penelitian ini dengan data langsung yang diperoleh dari wawancara(b) Sumber Sekunder, sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data dalam penelitian ini dengan menggunakan pustaka yang sudah dipublikasi maupun data dari Lookz Magazine. Misal, melalui individu lain atau dokumen. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.Teknik observasi NonpartispanTerstruktur. Terstruktur dikarenakan peneliti sudah mengtahui tujuan dan aspek bidang apa yang akan diamati, yaitu proses penyeleksian iklan yang akan dimuat pada Looks Magazine. Nonpartisipan dikarenakan peneliti hanya akan mengamati tanpa terlibat dalam pekerjaan teknis proses pemuatan iklan pada Looks Magazine.Penelitian ini akan menggunakan metode wawancara semi-terstruktur. Dikarenakan wawancara terstruktur akan lebih menggali data lebih dalam dibanding jenis wawancara lainnya. Panduan wawancara akan disiapkan dengan pertanyaan seputar proses pemuatan iklan pada Looks Magazine, pemilihan Looks Magazine sebagai media iklan dan lain-lain. Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam sama seperti metode wawancara lainnya, perbedaan mendasar adalah wawancara dilakukanberkali-kali atau dalam waktu yang lama bertujuan untuk mendaptkan kelengkapan dan kedalaman data (Bungin, 2007). Hasil dari observasi atau wawancara, akan lebih kredibel/dapat dipercaya jika didukung oleh sejarah pribadi, kehidupan masa kecil, sekolah, perusahaan, masyarakat dan lain-lain. Namun perlu dicermati bahwa tidak semua dokumen memiliki kredibilitas yang tinggi. Sebagai contoh: banyak foto yang tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya, karena foto dapat dibuat untuk keperluan tertentu (Sugiyono, 2011). 105 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Unit Observasi Unit observasi adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka menngambarkan atau menjelaskan tantang satuan analisis (Ihalauw, 2008). Sesuatu yang dijadikan sumber yaitu individu (untuk data primer) merupakan dua informan kunci yang akan memberikan jawaban pada peneliti, sedangkan data sekunder adalah tempat atau organisasi, data yang akan diberikan oleh perusahaan demi kelengkapan penelitian. Peneliti memilih untuk melakukan wawancara dengan pemilik dan bagian pemasaran Looks Magazine. Karena pemilik dan bagian pemasran memiliki peranan penting dalam menentukan proses pemuatan iklan pada Looks Magazine. Selain itu peneltiian ini juga akan menggunakan Looks Magazine sebagai organisasi untuk melakukan pengamatan/observasi. Teknik Analisis Data Data analisis menurut Sugiyono (2011) adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, bahan-bahan lain. Sehingga dapat mudah dfahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dengan mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih penting dan akan dipelajari, membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain. Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif. Selanjutnya Untuk memastikan kebenaran data sosial yang sulit dipastikan kebenarannya. Pada penelitian kualitatif memerlukan teknik triangulasi, uji kredibilitas, dan keandalan data Sugiyono (2011). Proses triangulasi menjadi tiga, yaitu: (a) Triangulasi Sumber dengan cara menyocokkan data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber data. (b) Triangulasi Teknik, dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik berbeda. (c) Triangulasi Waktu, dilakukan dengan cara pengecekan dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian data Sugiyono (2011). HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Perusahaan Looks Magazine berdiri pada tahun 2007 di Jakarta. Looks Magazine didirikan oleh sepasang suami-istri, Viona Then dan Erico Widjaja. Awal ide pendirian diawali dengan kegemaran pemilik pada dunia mode internasional serta dunia hiburan Hollywood. Dengan penempatan manajerial Enrico Widjaja sebagai General Director dan Viona Then sebagai Head Designer. Looks Magazine memiliki misi yaitu menjadi majalah mode Indonesia yang paling unggul dalam penyajian informasi tentang dunia mode internasional serta dunia hiburan Hollywood. Dengan misi Looks Magazine yaitu menyajikan informasi dunia mode internasional dan dunia hiburan Hollywood secara update setiap bulan, dengan kualitas yang unggul. Pada awal berdiri, kantor Looks Magazine berlokasi didaerah Mangga Besar, Jakarta Utara. Namun setelah usaha mulai mengalami kemajuan, kantor Looks Magazine pindah ke Kelapa Gading Raya Boulevard blok CN 2/21, Jakarta Utara. Looks Magazine adalah majalah dengan tipe kepemilikan pribadi, Karena Looks Magazine adalah majalah asli ciptaan Indonesia, tidak dimiliki perusahaan franchise tertentu. Dikarenakan kepemilikan yang pribadi, sistem manajerial dan karyawan pada Looks Magazine tidak rumit. Karyawan terdiri dari enam bagian dengan masing–masing satu orang disetiap posisi, yaitu: Creative Designer, Graphic Designer, Fashion Stylist, Photographer & Reporter, Marketing & Promotion, Distribution & Circulation. Looks Magazine terbit setiap sebulan sekali, dengan distribusi ke semua toko buku besar mencakup Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Selain toko buku besar Looks Magazine juga didistribusikan ke 106 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 seluruh toko/kios majalah ukuran menengah dan kecil. Looks Magazine dijual dengan harga Rp 19.000 (Pulau Jawa) dan Rp 20.000 (Luar Pulau Jawa). Pada tahun 2013 Looks Magazine memproduksi sebanyak 7.500 eksemplar per bulan. Jumlah ini jauh meningkat dengan tahun sebelumnya yaitu 5.000 eksemplar. Penambahan ini dikarenakan meningkatnya permintaan atau pertumbuhan pelanggan. Profil Narasumber Pada penelitian ini dilakukan wawancara semi-terstruktur. Untuk menggali data lebih dalam wawancara dilakukan kepada tiga pihak sumber, yaitu: Looks Magazine, produk mode pemasangan iklan, pembaca Looks Magazine (Mahasiswi Universitas Pelita Harapan), sebagai berikut:(a)Narasumber pengelola majalah mewakili Looks Magazine adalah Veronika Santi (insisial: VS) selaku Marketing & Promotion Looks Magazine. Pemilihan beliau berdasarkan usulan pemilik Looks Magazine Viona Then yang menunjuk Veronika Santi sebagai sumber wawancara. Penunjukan dikarenakan pemilik menganggap Veronika yang paling memahami tentang fitur pemasangan iklan pada Looks Magazine, baik secara fundamental serta teknis. Veronika sudah bekerja untuk Looks Magazine dari awal Looks Magazine didirikan. Veronika menangani proses pemasangan iklan dari awal hinga akhir, dari proses negosiasi hingga pemuatan iklan pada Looks Magazine. (b)Narasumber mewakili produk mode pemasang iklan adalah Phoebe Reynaldi (inisial: PR) dengan merek “Vogue Couture”. Phoebe Reynaldi adalah pendiri dan pemilik Vogue Couture. Vogue Couture adalah merek produk mode yang bertujuan menyediakan produk high-fashion dengan harga yang terjangkau. Vogue Couture membidik pasar wanita usia 17 tahun hingga dibawah 30 tahun, dengan strata ekonomi menengah (sumber: protokol wawancara). Kriteria pemilihan Vogue Couture sebagai narasumber adalah sebagai berikut: Vogue Couture menjual produk mode, yang sesuai dengan topik penelitian. Produk yang dijual diantaranya adalah baju, celana, rok, gaun, aksesoris dan lain-lain; Vogue Couture merupakan salah satu klien tetap Looks Magazine yang sudah memasang iklan semenjak tahun 2010 hingga penelitian ini dilakukan. (c)Penetapan Mahasiswi Universitas Pelita Harapan (UPH) sebagai narasumber pembaca sesuai dengan pembatasan masalah penelitian pada BAB I. Pemilihan mahasiswi UPH juga didasarkan akan kesamaan antara segementasi Looks Magazine dengan mahasiswi UPH. Narasumber dipilih berdasarkan kuesioner eksplorasi pra-penelitian. Dari 50 kuesioner ditemukan bahwa 24 narasumber tidak puas dengan iklan yang ada pada Looks Magazine. Setelah itu dikerucutkan menjadi dua narasumber inti, dengan kriteria: narasumber membaca Looks Magazine dalam 6 bulan terakhir, narasumber membaca Looks Magazine 2-3 kali perbulan. Narasumber yaitu:EA, 19 tahun, dinilai rekan-rekannya memiliki gaya berpakaian yang cukup modis dalam kesehariannya. Majalah adalah salah satu referensi Elizabeth dalam membeli produk mode. JJ, 19 tahun, memiliki kepedulian terhadap dunia mode yang tinggi, hal ini dapat ditunjukan dengan seringnya Janice hadir ke pagelaran pameran busana fashion show. Narasumber dari pihak konsumen/pembaca diperlukan untuk memperoleh informasi tentang bagaimana citra merek majalah. Konsumen/pembaca adalah pihak yang menerima stimulus dari pesan yang disampaikan majalah Looks Magazine. Hasil Observasi Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan mengamati bagaimana proses pemuatan iklan pada Looks Magazine. Proses pemuatan iklan dilakukan oleh Veronika Santi selaku Marketing and Promotion.Veronika Santi menangani keseluruhan proses pemuatan iklan. Dengan rincian proses sebagai berikut: Penawaran harga ο Penandatanganan media order ο Pembayaran ο Informasi rincian ukuran dan deadline pengiriman content ο Pemuatan iklan. Proses pemuatan dilakukan secara tidak rumit. Setelah persetujuan harga, pihak Looks Magazine memberikan waktu maksimal 107 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pengiriman materi iklan. Materi iklan dikirim via surat elektronik atau email. Pembatasan waktu pengiriman materi iklan berkaitan dengan tanggal naik cetak majalah setiap bulannya, yaitu kisaran tanggal 20-30. Beberapa hari sebelum majalah naik cetak, keseluruhan content majalah sudah harus siap dengan persetujuan pemilik. Waktu pencetakan membutuhkan waktu sekitar sepuluh hari. Sekitar awal bulan majalah sudah dicetak dan siap didistribusikan.Tidak ada sistem komunikasi yang rumit antara pihak majalah dan klien iklan, dilakukan secara fleksibel. Komunikasi dilakukan melalui telepon, email, bahkan BBM (Blackberry Messenger). Slot iklan yang ditawarkan ada beberapa macam, yaitu: full page, half page, ¼ page, 1/6 page, iklan kotak. Harga yang ditawarkan bermacammacam berkisar Rp 400.000 hingga Rp 4.000.000. Proposisi Penelitian Beberapa konsep penting dalam penelitian ini akan dirangkai menjadi suatu proposisi. Proposisi adalah suatu pernyataan yang terdiri dari satu atau lebih konsep atau variabel (Sanusi, 2011). Masing-masing proposisi menunjukkan keterhubungan antara dua konsep. Dari hasil wawancara dapat dirumuskan pada proposisi sebagai berikut: P1: Kualitas warna iklan mempengaruhi Proses Penyaringan Iklan pada majalah Narasumber pembaca dan pengelola majalah menyatakan bahwa warna iklan diharapkan cukup jelas dan menarik agar dapat menampilkan kesan pertama untuk pembaca yang melihat dapat menilik lebih lanjut iklan yang dipasang. Strategi warna yang sebaiknya digunakan dapat bervariasi, tergantung pada penempatan iklan dan warna latar belakang tempat iklan. Kombinasi warna latar belakang dengan warna-warna cerah lebih dilihat ketimbang warna yang gelap dan disesuaikan dengan topik iklan yang diangkat. Hal ini sesuai pernyataan (Wau, 2013). Kualitas Warna Iklan Proses Penyaringan Iklan P2: Pemilihan model iklan mempengaruhi Proses Penyaringan Iklan pada majalah Narasumber pembaca menyarankan kepada pihak pengelola majalah atau pemasang iklan agar model iklan yang dipakai dapat mencerminkan produk yang diawarkan dalam Looks Magazine. Kebanyakan model yang dipakai dalam iklan adalah tokoh dalam dunia model seperti selebriti, peragawanperagawati atau model majalah. Pemilihan model iklan karena pemilihan model akan mempengaruhi target pasar yang dituju karena model dianggap sebagai ikonik. Hal ini sesuai pernyataan Soemanagara (2006) bahwa figur model iklan adalah simbol yang merepresentasikan suatu keinginan, hasrat, kebutuhan untuk dapat memacu audiens mengartikan simbol iklan dalam bentuk gambar atau dengan kata-kata. 108 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Pemilihan Model Iklan Proses Penyaringan Iklan P3: Ketajaman Cetak mempengaruhi Proses Penyaringan Iklan pada majalah Narasumber pembaca menyampaikan bahwa resolusi ketajaman cetak iklan diharapkan bagus agar yang pembaca merasa puas dapat melihat gambar dengan jelas. Didukung pernyataan dari narasumber produk mode pemasang iklan yang mengharapkan Looks Magazine memperhatikan hasil cetak iklan yang diberikan dengan ketajaman cetak yang baik.Karena untuk mendapatkan ketajaman cetak berupa elemen grafis melalui kepadatan pixel. Semakin padat pixel tersebut semakin tajam hasil cetak, terlebih iklan cetak memerlukan resolusi lebih tinggi dibanding layar komputer. Maka sebelum dicetak secara kolektif, gambar bitmap akan diolah (diproses) dalam photoshop. Pemrosesan itu dapat berupa pemberian efek filter, penyesuaian warna, setting resolusi citra, penyesuaian ketajaman gambar atau penyesuaian ukurannya (Ahlidesain, 2011). Ketajaman Cetak Proses Penyaringan Iklan P4: Pemilihan Produk mempengaruhi Proses Penyaringan Iklan pada majalah Pemilihan produk iklan harus sesuai dengan tipe majalah sesuai pernyataan Kotler (2008) pesan yang disampaikan pesan harus mendapat perhatian, menarik, membangkitkan keinginan, dan menghasilkan tindakan, maka media yang digunakan harus sesuai karena pada dasarnya pemilihan media adalah mencari cara dengan biaya yang paling efektif untuk menyampaikan sejumlah pemberitahuan yang dikehendaki kepada pasar sasaran. Pemilihan Produk Proses Penyaringan Iklan 109 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 P5: Proses Penyaringan Iklan akan mempengaruhi Kualitas Iklan pada majalah Narasumber pembaca dan produk mode pemasang iklan menyetujui apabila proses penyaringan iklan akan mempengaruhi kualitas iklan majalah Looks Magazine. Bagian penerimaan iklan menyampaikan pada iklan yang masuk selanjutnya dilakukan penyaringan iklan oleh staf filterisasi iklan. Semakin selektif sesuai proposisi satu sampai empat maka semakin berkualitas proses penyaringan iklan. Menurut pengelola Looks Magazine pedoman filter juga melakukan pengecekan tentang kebenaran produk yang dijual. Konten adalah tanggung jawab klien. Namun narasumber pengelola majalah juga mengakui keluhan klien tentang hasil cetak warna tidaklah sesuai hasil yang diharapkan.Maka perlu adanya sesi pencarian ide bebas bersama klien dan pengelola majalah agar tim kreatif iklan dapat menjaga relevansi iklan dengan harapan klien agar pesan dapat diterima dengan pemahaman baik oleh pembaca (Hakim, 2005). Proses Penyaringan Iklan Kualitas Iklan P6: Kualitas iklan yang terdapat pada majalah mempengaruhi citra merek majalah Melalui wawancara dan observasi ditemukan bahwa permasalahan mendasar yang ternyata pada Looks Magazine adalah tidak adanya penyaringan/screening pada saat proses pemuatan iklan pada majalah. Hal tersebut yang membuat kualitas iklan pada Looks Magazine tidak terjaga dengan baik. Narasumber pemasang iklan dan pembaca majalah menyampaikan bahwa perlu dibuat kualitas iklan yang baik agar kesan yang baik atas majalah Looks Magazine juga tercapai. Pihak pengelola selama ini ketika menghadapi komplain klien atas iklan memberikan penjelasan sebagai solusi. Kualitas Iklan Citra Merek Majalah Usulan Model Pada bagian ini, proposisi-proposisi yang telah dibentuk kemudian dirangkai menjadi sebuah teori atau model. Model tersebut dibentuk dengan cara mengaitkan sebuah proposisi dengan proposisi yang lainnya. Maka model yang terbentuk pada penelitian adalah sebagai berikut: 110 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Kualitas Warna Iklan Pemilihan Model Iklan Ketajaman Cetak Proses Penyaringan Iklan Kualitas Iklan Citra Merek Majalah Pemilihan Produk PENUTUP Simpulan Dari hasil yang didapatkan dari penelitian ini, didapatkan beberapa kesimpulan yaitu: 1. Tujuan utama produk mode menggunakan Looks Magazine sebagai media iklan adalah untuk branding, brand awereneses, dan promotion. Hal ini didasari dengan kesamaan antara strategi segmentasi dan targeting Looks Magazine dengan segmentasi dan targeting produk mode. 2. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan Looks Magazine saat menerima produk mode untuk dimuat sebegai iklan adalah kepastian produk yang dijual. Tidak ada penyaringan khusus baik secara konsep iklan, desain, fisik dan lain-lain. Looks Magazine menganggap keseluruhan isi iklan adalah sepenuhnya tanggung jawab klien pemasang iklan. 3. Citra merek yang ditangkap pembaca Looks Magazine setelah melihat iklan yang terdapat didalamnya adalah kurang baik. Ada beberapa faktor yang membuat pembaca menganggap iklan pada Looks Magazine kurang baik, yaitu: warna, pemilihan model iklan, ketajaman hasil cetak, dan pemilihan produk. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu hanya dilakukan kepada narasumber mahasiswi Universitas Pelita Harapan sehingga belum dapat digeneralisasikan. Survei studi eksplorasi hanya dilakukan kepada 50 narasumber pada daerah tertentu. Sehingga belum mewakili masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Narasumber dari perusahaan majalah hanya satu perusahaaan. Jika penelitian dilakukan kepada beberapa perusahaan, kemungkinan akan memberikan hasil yang berbeda. Narasumber dari perusahaan majalah adalah majalah dengan kepemilikan tunggal. Jika penelitian dilakukan kepada perusahaan majalah franchise yang sudah mendunia kemungkinan akan memberikan hasil yang berbeda. Narasumber dari perusahaan produk mode adalah perusahaan mode yang memasarkan produknya di dunia internet (online shop). Jika penelitian dilakukan kepada produk mode yang tidak memasarkan produknya di dunia internet (memiliki fisik toko), dapat memberikan hasil yang berbeda. 111 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Saran Implikasi Manajerial Berdasarkan penelitian ini diperoleh beberapa implikasi manajerial. Implikasi ini dimaksudkan untuk memberikan masukan bagi para pihak-pihak yang terkait di dalam pemuatan iklan produk mode pada majalah mode: 1. Pembaca beranggapan bahwa iklan produk mode pada Looks Magazine belum memenuhi kepuasan pembaca. Sehingga pembaca menilai citra produk mode yang diiklankan kurang baik. Pembaca mengidentifikasi kualitas iklan yang menjadi pemicu penilaian tentang citra iklan. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa hal ini terjadi karena tidak adanya proses penyaringan yang dilakukan majalah pada proses pemuatan iklan. Pengelola majalah harus membuat ketentuan atau syarat layak pemuatan iklan. Dengan pertimbangan: kualitas warna, ketajaman resolusi cetak, pemilihan model iklan, pemilihan produk. Kualitas warna yang jelas dan terang akan membuat iklan lebih menarik perhatian. Ketajaman resolusi cetak akan membuat iklan terlihat lebih profesional dan pesan yang disampaikan dapat diterima. Pesan yang dimaksud adalah bentuk produk, tekstur produk mode dan lain-lain. Pemilihan model akan berdampak terhadap bagaimana produk akan terlihat secara visual jika dikenakan ditubuh manusia. Pemilihan model iklan profesional akan membuat iklan menjadi lebih bercita rasa mode tinggi atau high-fashion. Pengelola majalah harus memilih produk yang akan diiklankan. Pengelola harus sadar betul bagaimana citra merek produk online shop dan produk yang dipasarkan di Pasar Mangga Dua. Pemilihan produk disesuaikan dengan citra majalah yang direncanakan. Sebagai langkah awal pengelola majalah harus tahu betul citra merek majalah dikalangan majalah, apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan. Dengan mengerti pembaca, pengelola dapat menentukan strategi berikutnya untuk memperbaiki kesalahan dan menyediakan apa yang konsumen (pembaca) inginkan. Sehingga visi dan misi perusahaan majalah dapat tercapai. Tujuan utama produk mode yang menjual produk secara online menggunakan majalah sebagai media pemasangan iklan adalah untuk melakukan kegiatan pencitraan merek atau branding. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Shimp (2010) bahwa salah satu tujuan utama pemasar menggunakan iklan majalah adalah untuk melakukan branding, menyentuh konsumen pengguna merek. Membangun citra merek dan menggunakan branding sebagai perekat hubungan dengan konsumen. Namun selain itu produk mode juga memanfaatkan iklan pada majalah sebagai media promosi. Pengelola produk mode memanfaatkan jangka waktu terbit majalah (sebulan sekali) untuk melakukan promosi produk yang sesuai dengan kejadian/event tertentu. Contoh, disaat mendekati masa hari raya seperti Lebaran, Tahun Baru Cina dan lain lain. Produk mode memanfaatkan iklan pada majalah untuk menyebarkan berita tentang kegiatan promosi tertentu. Promosi adalah kegiatan jangka pendek untuk menawarkan produk/jasa dengan menambahkan nilai pada desain/harga untuk memotivasi konsumen dengan mengharapakan respon yang cepat (Duncan dan Ouwersloot, 2008). Hal ini sesuai dengan majalah Looks Magazine yang tergolong dalam majalah yang terbit sebulan sekali, sehingga informasi yang terdapat didalam sangat kini atau up-to-date. 2. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan majalah saat menerima iklan untuk dimuat menentukan kredibilitas produk yang iklankan dan majalah. Majalah harus dapat menyaring iklan produk mode yang akan dimuat dengan memberikan syarat-syarat ketentuan yang jelas. Setelah klien mengirimkan materi yang akan diiklankan, majalah harus mempertimbangkan beberapa hal. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Sheenan (2004), yaitu dalam media cetak editor akan memberikan penilaian secara spesigik atas iklan yang dimuat agar sesuai 112 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 nilai dan citra majalah. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penelitian ini adalah kualitas fisik cetak majalah, warna, pemilihan model iklan, dan pemilihan produk mode yang diiklankan. 3. Citra merek Looks Magazine dan produk mode yang ditangkap oleh pembaca setelah melihat iklan adalah kurang baik. Pembaca menganggap kualitas iklan secara keseluruhan kurang memadai. Lebih rinci lagi kualitas iklan yang dimaksud yaitu: kualitas warna, kualitas ketajaman cetak, pemilihan model iklan, dan pemilihan produk. Iklan atau advertisement sangat berhubungan dengan mencipta citra merek sesuai tujuan awal pengelola produk mode memasang iklan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan (Drewniany dan Jewler, 2008) bahwa iklan adalah citra, iklan dapat digunakan sebagai jalan pintas yang ampuh untuk membantu konsumen membangun citra merek. Saran Untuk Penelitian Selanjutnya Berikut ini adalah saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Diharapkan dengan dilaksanakan saran tersebut dapat memberikan lebih banyak kontribusi bagi perusahaan maupun bagi akademis. 1. Dilakukan tes terhadap proposisi usulan. Dengan dilakukannya tes terhadap model dan proposisi yang dihasilkan dari penelitian ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap masing-masing variabel dan menguji kebenaran dari model tersebut. 2. Penelitian selanjutnya dapat memilih narasumber dengan jangkauan yang lebih luas. Tidak hanya narasumber pembaca mahasiswi Universitas Pelita Harapan. 3. Penelitian selanjutnya dapat memilih obyek penelitian majalah mode yang lebih besar atau yang sudah lama berada di industri majalah mode. Dengan harapan majalah mode tersebut sudah memiliki proses penyaringan dalam proses pemuatan iklan. 4. Penelitian selanjutnya dapat memilih narasumber produk mode dengan penjualan online yang lebih ternama. Dengan harapan produk mode ternama sudah memiliki standar dan konsep yang lebih professional. DAFTAR PUSTAKA Ahlidesain. (2011) .http://www.ahlidesain.com/perbedaan-vektor-dan-bitmap.html, accessed 7 Februari 2017. Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif, Edisi Ketiga. Jakarta: Kencana, 2007. Burns, A. C. & Bush. R.F. (2005). Marketing Research, International Edition. New Jersey, U.S.A: Pearson. Churchill, G. A. & Brown, T.J. (2004). Basic Marketing Research, 5th Edition. U.S.A: Thomson. Drewniany, B. L. & Jewler, J. (2008). Creative Strategy in Advertising, 9th Ed.Boston. U.S.A: Thomson Wadsworth. Duncan, T. & Ouwersloot H. (2008). Integrated Marketing Communications (European Edition). New York: McGraw-Hill. Echols, J. M. & Shadily, H.(1997). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Femina Group. (2013). About Us. On-line. Available from https://www.Feminagroup. com/about.us; diakses 2 Februari 2017. Hair, J.F., Charles W. L., & McDaniel C. (2007). Essentials of Marketing, 5th Ed. U.S.A: Thomson. Hakim. (2005). Lenturan Tapi Relevan, Dasar-Dasar Kreatif Periklanan. Galang Press: Jogyakarta. 113 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Ihalauw, John J.O.I. (2008). Konstruksi Teori, Kompenen dan Proses, Jakarta: Grasindo. Johnson, K.P. & Yurchisin, J. (2010). Fashion and the Costumer. New York, U.S.A: Berg. Keller, Kevin Lane & Philip Kotler. (2006). Marketing management, 12th Ed., Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall. Kotler, Philip. (2008). Manajemen Pemasaran Edisi 12 Jilid 2. Jakarta: Indeks. Laforet, Sylvie. (2011). Managing Brands. United Kingdom: McGraw-Hill. Moeran, B. (2006). More Than Just a Fashion Magazine. Copenhagen: Sage. Sarosa, Samiaji. (2012). Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. Jakarta: Indeks. Sexton, Don. (2006). Trump University: How to Use the Most Powerful Ideas in Marketing to Get More Customers. New Jersey, U.S.A: John Wiley & Sons, Inc. Sheenan, K. (2004). Controversies in Conteporary Advertising. U.S.A: Sage. Shimp, T.A. (2010) Advertising, Promotion, And Other Aspect of Integrated Marketing Communications. U.S.A: South-Western Cengage Learning. Soelaeman, H. T. (2011). Pendar Industri Fashion, Majalah SWA, Edisi XXVII. Jakarta. Soemanagara, Rd. (2006). Strategic Marketing Communications, Konsep Strategis Dan Terapan. Bandung: CV Alfabeta. Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta. Tim Penyusun. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka. Wau, J. L., (2013). https://www.academia.edu/6756057/Cara_Membuat_Iklan_ Yang_Menarik_Sekaligus_ Menciptakan_Pelanggan?auto=download ; accessed 7 Februari 2017. Wells, M. L., Moriarty S. & Burnett, L. (2006). Advertising, 7th Ed. U.S.A: Pearson. 114 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI Yunietha1 dan Nico Alexander 2 Politeknik Negeri Malang E-mail: [email protected] 2 Abstract: The purpose of this study was to determine the effect of corporate governance perception index on earnings management. The samples of this research are 130manufacture companies listed on the Indonesia Stock Exchange during the 2015. The research method used in this research is multiple regression method. The results of this research show that corporate governance perception index have no effect on earnings management, and show that corporate governance in Indonesia not effective to prevent earnings management in companies. Keywords: earnings management, corporate governance, corporate governance perception index Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh corporate governance perception index terhadap manajemen laba. Sampel yang digunakan sebanyak 130 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2015. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa corporate governance perception index tidak mempengaruhi manajemen laba dan menunjukan bahwa tata kelola di Indonesia masih kurang efektif untuk mencegah manajemen laba dalam perusahaan. Kata kunci: manajemen laba, tata kelola perusahaan, corporate governance perception index PENDAHULUAN Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek dan go public memiliki kewajiban untuk menerbitkan laporan keuangan setiap tahunnya. Laporan keuangan yang dikeluarkan tersebut haruslah diaudit oleh auditor yang independen sehingga dapat diandalkan oleh investor untuk pengambilan keputusan investasi maupun pihak kreditor yang akan memberikan pinjaman. Informasi yang dihasilkan dari laporan keuangan ini menjadi sinyal bagi investor untuk melakukan investasi dalam perusahaan. Semakin relevan suatu informasi maka sinyal positif diberikan oleh investor bagi perusahaan dan sebaliknya jika semakin tidak relevan maka sinyal negatif yang diberikan investor kepada perusahaan. Penggunaan informasi di laporan keuangan inilah yang mendorong pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba sehingga mengakibatkan laporan keuangan menjadi kurang transparan dan berkurang tingkat keandalannya dalam pengambilan keputusan. Untuk mencegah terjadinya manajemen laba dalam perusahaan, maka diberlakukannya konsep Good Corporate Governance (GCG) yang dirancang untuk mengakomodasi pihak pihak yang terkait dengan perusahaan, seperti, kreditor, pemasok, pemerintah, investor dan masyarakat luas. Semakin baik Good Corporate Governance yang diterapkan oleh perusahaan, maka perlindungan terhadap pihak-pihak terkait dengan perusahaan akan semakin besar sehingga kemungkinan terjadinya praktik manajemen laba dalam perusahaan akan diminimalkan. Banyak penelitian yang meneliti tentang pengaruh nilai tata kelola perusahaan terhadap manajemen laba. Berdasarkan hasil penelitian Jiang et al. (2008), menyatakan bahwa semakin tinggi 115 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 nilai tata kelola perusahaan yang dijalankan oleh perusahaan maka praktik manajemen laba dalam perusahaan akan semakin berkurang. Namun hal tersebut mungkin berlaku untuk negara-negara yang memiliki tata kelola yang baik, menurut Zhuang (2000) dalam Yahya dan Triyonowati (2015) menyatakan bahwa perusahaan di Indonesia dibandingkan dengan negara Asia Tenggaralain memiliki tingkat tanggung jawab yang lemah terhadap pemegang saham dalam hal pengungkapan dan transparasi dan hal inilah yang menjadi motivasi dalam melakukan penelitian ini. Pertanyaan dalam penelitian ini adalah: (1) apakah nilai tata kelola perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba.Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji pengaruh nilai tata kelola perusahaan terhadap manajemen laba. Penelitian ini dilakukan selama satu tahun periode tahun 2015. Penelitian ini menggunakan periode penelitian 2015 untuk melihat pengungkapan tata kelola perusahaan dalam laporan tahunan sesuai dengan peraturan Bapepam-LK X.K.6 tahun 2012, sehingga semakin banyak pengungkapan dalam tata kelola perusahaan dapat mengurangi manajemen laba dalam perusahaan. TINJAUAN PUSTAKA Teori Keagenan Dalam teori keagenan ini, pihak yang terlibat adalah manajemen yang bertindak sebagai agen dan investor yang bertindak sebagai prinsipal. Baik agenmaupun prinsipal memiliki hal-hal yang harus ditingkatkan dan tidak ada alasan untuk percaya bahwa agen akan selalu bertindak dami kepentingan prinsipal (Godfrey et al.,2010). Dalam keadaan prinsipal dan agen memiliki kepentingan masing-masing, maka akan menyebabkan ketidakpercayaan bahwa agen akan selalu bertindak untuk kepentingan prinsipal. Masalah yang muncul dari teori keagenan ini adalah membuat agenbertindak untuk meningkatkan kesejahteraan prinsipal (Godfrey et al. 2010). Menurut Charitou et al. (2016) konflik keagenan dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe I yang merupakan konflik yang terjadi antara pemegang saham dengan manajer, dimana manajer akan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan diri sendiri tidak memperhatikan kepentingan pemegang saham. Konflik keagenan tipe II yang merupakan konflik yang terjadi antara pemegang saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Pemegang saham mayoritas memiliki hak atas perusahaan sehingga pemegang saham mayoritas akan membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan diri sendiri mengabaikan kepentingan pemegang saham minoritas. Untuk mengurangi masalah keagenan ini, maka akan menimbulkan biaya keagenan yang menurut Jensen and Meckling (1976) dibagi ke dalam 3 jenis biaya, yaitu: Monitoring Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi perilaku agen. Bonding Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh prinsipal untuk agen agar dapat berperilaku untuk kepentingan prinsipal dengan cara memberikan kompensasi bagi agen yang berperilaku demi kepentingan prinsipal. Residual Loss adalah kerugian yang diterima oleh prinsipal karena agentetap tidak berperilaku demi kepentingan prinsipal walaupun biaya-biaya yang lain telah dikeluarkan. Tata Kelola Perusahaan Berdasarkan pengertian yang dikemukakan IICG (Indonesia Institute of Corporate Governance) “Good Corporate Governance (GCG) merupakan struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ-organ perusahaan sebgai upaya untuk memberi nilai tambah perusahaan secara 116 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan moral, etika, budaya dan aturan berlaku lainnya”. Berdasarkan KNKG (2004) ada 5 asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders). Pengembangan Hipotesis CGPI terhadap Manajemen Laba Menurut Jiang et al. (2008) menyatakan bahwa dengan semakin tingginya nilai tata kelola perusahaan akan menurunkan praktik manajemen laba dalam perusahaan. Hal ini menunjukan pelaksanaan tata kelola yang baik dalam perusahaan akan mampu membatasi perilaku manajemen untuk melakukan manajemen laba. Hasil penelitian Jiang et al. (2008) didukung oleh Abbadi et al. (2016), Render dan Vandenbogaerde (2008), Bekiris dan Doukakis (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai tata kelola perusahaan maka akan mampu mencegah manajemen melakukan manajemen laba. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 1 Corporate Governance Perception Index Manajemen Laba Control variabel Size Sales Growth Cash Flow From Operation Gambar. 1 Kerangka Penelitian METODE PENELITIAN Manajemen laba diukur menggunakan model modified jones, tata kelola perusahaan diukur menggunakanCorporate Governance Perception Index yang diperoleh dari www.mitrariset.com. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan persamaan sebagai berikut: EMit = β0 + β1CGPIit + β2Sizeit + β3Growth+ β4CFOit + εit EMit CGPI Size GROWTH CFO = Nilai Absolut Total Akrual Diskresioner = Corporate Governance Perception Index = Ukuran perusahaan = Pertumbuhan penjualan = Arus kas dari aktivitas operasi 117 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Model Modified Jones yang digunakan dalam penelitian Dechow et al. (1995) menjadi model yang digunakan dalam penelitian inidengan model sebagai berikut: TACit = NIit-OCFit TACit = Total akrual untuk perusahaan i pada periode t NIit = Laba bersih untuk perusahaan i pada periode t OCFit = Arus kas dari aktivitas operasi untuk perusahaan i pada periode t TACit / Ait-1 = ο‘1(1/Ait-1)+ο‘2(ο²REVit-ο²RECit)/Ait-1+ο‘3(PPEit/ Ait1)+e TACCit = Total akrual untuk perusahaan i pada periode t Ait-1 = Total aset untuk perusahaan i pada periode t-1 ο²REVit = Perubahan pendapatan untuk perusahaan i pada periode t ο²RECit = Perubahan piutang usaha bersih untuk perusahaan i pada periode t PPEit = Nilai kotor aset tetap untuk perusahaan i pada periode t ο‘1-ο‘3 = Parameter regresi e = tingkat kesalahan Akrual diskresioner/manajemen laba adalah nilai residu dari persamaan di atas. Corporate Governance Perception Index diukur dengan index yang berasal dari www.mitrariset.com dengan 38 item pertanyaan, jika terdapat dalam laporan tahunan perusahaan diberikan nilai 1 dan sebaliknya diberikan nilai 0. Total maksimal yang dapat diperoleh adalah 28,5. Dalam model penelitian juga dimasukkan beberapa variabel control. Berdasarkan penelitian Swastika (2013) ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hasil ini didukung oleh penelitian Jaggiet al. (2009), Azlina (2010), Jao dan Pagalung (2011), Jiang et al. (2008), dan Chi et al. (2014) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh negatif terhadap praktik manajemen laba. Ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural dari total aset yang dimiliki oleh perusahaan. Variabel kontrol berikutnya adalah pertumbuhan penjualan. Menurut Chi et al. (2014) menyatakan bahwa pertumbuhan penjualan mempunyai pengaruh negatif terhadap keputusan untuk melakukan manajemen laba. Menurut Safitri (2014) perusahaan dengan penjualan tinggi akan melakukan manajemen laba untuk mempertahankan laba dan penjualannya.Pertumbuhan penjualan diukur dengan prosentase pertumbuhan penjualan setiap tahunnya. Beberapa penelitian terdahulu juga memasukkan arus kas operasi. Hasil penelitian Yoon dan Miller (2002) yang menyatakan perusahaan yang memiliki arus kas negatif cenderung akan melakukan peningkatan laba Hal ini karena perusahaan yang memiliki arus kas negatif, maka perusahaan membutuhkan dana untuk perusahaan sehingga laba akan ditingkatkan untuk menarik investor menanamkan modalnya diperusahaan. Arus kas operasi diukur dengan menggunakan skala rasio dengan membagi arus kas operasi dengan total aset pada setiap periode. Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode penelitian adalah satu tahun, yaitu tahun 2015. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yang bertujuan untuk mendapatkan sampel yang representatif sesuai dengan kriteria yang ditentukan. 118 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, populasi data yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2015. Jumlah sampel perusahaan yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini sebanyak 130 perusahaan sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya. Tabel 1 menunjukkan prosedur penetapan sampel yang dilakukan. Tabel 1. Prosedur Pemilihan Sampel Penelitian Keterangan Jumlah perusahaan Perusahaan manufaktur yang terdaftar pada 142 tahun 2015 Perusahaan yang tidak melaporkan laporan (5) keuangannya per 31 Desember Perusahaan yang datanya tidak lengkap (6) Data outlier (1) Sampel penelitian 130 Analisis Deskriptif Hasil statistik deskriptif ditampilkan dalam tabel 2 dapat diketahui bahwa pada variabel manajemen laba(EM) yang diukur dengan menggunakan model Modified Jones memiliki nilai terendah (minimum) sebesar 0,0004 dan nilai tertinggi (maximum) sebesar 0,5424, nilai rata-rata (mean) sebesar 0,0633 dan standar deviasi sebesar 0,08265. Dari hasil statistik deskriptif ini dapat ditarik kesimpulan bahwa manajemen laba yang dilakukan perusahaan atas aset yang dimiliki relatif tidak besar karena nilai rata-rata dari manajemen laba adalah 0,0633 atau 6,33%. Corporate Governance Perception Index (CGPI)memiliki nilai terendah (minimum) sebesar 5dan nilai tertinggi (maximum) sebesar 21, dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 13,231yang menunjukkan perusahaan manufaktur di BEI secara rata-rata dikendalikan tidak melakukan tata kelola perusahaan melebihi yang sudah diatur dalam peraturan. Tabel 2. Statistik Deskriptif Variabel N Maksimum Minimum Mean EM CGPI SIZE GROWTH CFO 130 130 130 130 130 0,5424 21,0 33,1341 5,9473 0,7992 0,0004 5,0 17,2795 -0,8790 -0,2229 0,0633 13,231 26,548571 0,034167 0,074907 Standar Deviation 0,08265 3,0123 3,7011935 0,6222896 0,1209676 Hasil Pengujian Hipotesis Tabel 3 menunjukkan bahwa CGPI tidak mempengaruhi manajemen laba. Hal ini tidak mendukung hasil penelitian Jiang et al. (2008), Abbadi et al. (2016), Render dan Vandenbogaerde (2008), Bekiris dan Doukakis (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai tata kelola perusahaan maka akan mampu mencegah manajemen melakukan manajemen laba. CGPI tidak mempengaruhi manajemen laba karena menurut Render dan Vandenbogaerde (2008) setiap negara memiliki aturan terhadap tata kelola yang berbeda-beda, termasuk di Indonesia dibandingkan dengan 119 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 negara Asia Tenggara memiliki tingkat tanggung jawab yang lemah terhadap pemegang saham dalam hal pengungkapan dan transparasi. Selain itu perusahaan di Indonesia cenderung melakukan tata kelola sesuai dengan standar minimal yang harus dipenuhi tidak melebihi standar minimal yang ada, sehingga tata kelola perusahaan dijadikan sebagai syarat pemenuhan akan peraturan perseroan. Tabel 4. Pengujian Hipotesis Variabel Constanta CGPI SIZE GROWTH CFO R Adjusted R-Square F-Statistic Sig (F-Statistic) Coefficient 0,101 -0,001 -0,002 0,005 -0.270 t-statistic 1,864 -0,537 -0,849 0,484 4,798 Sig. 0,065 0,592 0,398 0,629 0,000 0,401 0,134 5,984 0,000 Ukuran perusahaan (SIZE)berpengaruh tidak berpengaruh terhadap manajemen laba dengan tingkat signifikan 0,398. Hasil ini didukung oleh Hermiyetti dan Manik (2013). Hal ini menunjukan bahwa perusahaan besar dan kecil melakukan manajemen laba. Pertumbuhan penjualan (Growth) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba dengan tingkat signifikan 0,273. Hasil ini tidak mendukung hasil penelitian Chi et al. (2014) pertumbuhan penjualan mempunyai pengaruh negatif terhadap keputusan untuk melakukan manajemen laba dan penelitian yang dilakukan oleh penelitian Febriyanti dan Hanna (2014) yang meyimpulkan bahwa pertumbuhan penjualan tidak berpengaruh terhadap manjemen laba. Dengan demikian perusahaan yang sedang mengalami pertumbuhan penjualan ataupun tidak mengalami pertumbuhan penjualan tidak mempengaruhi keputusan manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba. Menurut Safitri (2014) perusahaan dengan penjualan tinggi akan tetap melakukan laba untuk mempertahankan trend laba dan trend penjualan dan sebaliknya jika perusahaan yang memiliki penjualan rendah, maka perusahaan akan melakukan manajemen laba untuk mencapai laba yang ditargetkan. Arus kas operasi (CFO)berpengaruh negatif terhadap manajemen laba dengan tingkat signifikan 0,000. Hasil ini mendukung penelitian Yoon dan Miller (2002), Nastiti dan Gumanti (2011) yang menyatakan bahwa arus kas operasi berpengaruh negatif terhadap manajemen Hal ini menunjukan bahwa arus kas operasi yang semakin besar diperoleh perusahaan maka kemungkinan terjadinya manajemen laba semakin kecil karena perusahaan dapat menjalankan operasinya dengan baik dan dana yang dimiliki untuk menjalankan operasi masih terpenuhi tanpa melakukan manajemen laba. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa CGPI tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. hal ini dikarenakan Indonesia dibandingkan dengan negara Asia Tenggara memiliki tingkat tanggung jawab yang lemah terhadap pemegang saham dalam hal pengungkapan dan transparasi. Selain itu perusahaan di Indonesia cenderung 120 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 melakukan tata kelola sesuai dengan standar minimal yang harus dipenuhi tidak melebihi standar minimal yang ada, sehingga tata kelola perusahaan dijadikan sebagai syarat pemenuhan akan peraturan perseroan. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut: ο· Penilaian tata kelola ini bersifat subjektif karena melihat apa yang diungkapkan saja dalam laporan tahunan. Untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan sampel perusahaan yang termasuk dalam ARA (Annual Report Award) untuk menunjukan efektivitas dewan komisaris yang baik. ο· Dalam penelitian ini sampel yang digunakan hanya 1 tahun penelitian saja. Sehingga hasil penelitian ini hanya fokus pada 1 periode saja tidak melihat periode lain. Oleh karena itu untuk melakukan generalisasi kesimpulan dalam hasil penelitian ini perlu memperhatikan keterbatasan tahun dalam penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Abbadi, Sinan S, Qutabia F. Hijazi dan Ayat S. Al-Rahahleh. (2016). Corporate Governance Quality and Earnings Management: Evidence from Jordan. AABFJ. Vol. 10, No. 2, 56-74. Bekiris, Fivos V. dan Leonidas C. Doukakis. (2011). Corporate Governance and Accruals Earnings Management. Managerial and Decision Economics. Vol. 32, 439-456. Chen, Tiaran. (2010/2011). Analysis on Accrual-Based Model in Detecting Earnings Management. Lingnan Journal of Banking, Finance and Economics. Vol. 2, 2010/2011, 57-65. Charitou, Andreas, Christodoulos Louca, Ioannis Tsalavoutas.(2016). Corporate Governance, Agency Problem, and Firm Performance: Empirical Evidance from an Emerging European Market. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2221612 Dechow, Patricia M., Richard G. Sloan, Amy P. Sweeney.(1995). Detecting Earnings Management. The Accounting Review. Vol. 70, No. 2, April 1995, 193-225. Dechow, Patricia M., Amy P. Hutton, Jung Hoon Kim, Richard G. Sloan. (2011). Detecting Earnings Management: A New Approach. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1735168 Febriyanti, Agnes dan Hanna. (2014). Pengaruh Deferred Tax Expense dalam Mendeteksi Earnings Management dengan Menggunakan Pendekatan Discretionary Revenue. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol. 16, No. 1, Juni 2014, 1-11. Godfrey, Jayne, Allan Hodgson, Ann Tarca, Jane Hamilton, Scott Holmes. (2010). Accounting Theory. 7th edition. John Willey & Sons Australia Ltd. Guna, Welvin dan Arleen Herawaty. (2010). Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance, Independensi Auditor, Kualitas Audit, dan Faktor Lainnya terhadap Manajemen Laba. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol 12, No. 1, April 2010, 53-68. Hermiyetti dan Evita Nora Manik. (2013). The Influence of Good Corporate Governance Mechanism on Earnings Management: Empirical Study in Indonesian Stock Exchange Listed Company for Periods of 2006-2010. Capital Market Review. Vol.V, No. 1. 121 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Jaggi, Bikki, Sidney Leung, Ferdinand Gul. (2009). Family Control, Board Independence and Earnings Management: Evidence based on Hongkong Firms. J. Account. Public Policy. Vol. 28, 2009, 281-300. Jao, Robert dan Gagaring Pagalung. (2011). Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, dan Leverage, terhadap Manajemen Laba Perusahaan Manufaktur Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Auditing. Vol. 8, No. 1, 2011, 43-54 Jensen, Michael C and William H. Meckling. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Vol. 3, 1976, 305-360. Jiang, Wei, Picheng Lee, Asokan Anandarajan (2008). The Association Between Corporate Governance and Earnings Quality: Further Evidance using GOV-Score. Advance in Accounting, Incorporating Advances in International Accounting. Vol. 24, 2008, 191-201. Peraturan BAPEPAM Nomor X.K.6. (2012). Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau Perusahaan Publik. Nastiti, Ari Sita dan Tatang Ary Gumanti. (2011). Kualitas Audit dan Manajemen Laba pada Initial Public Offering di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi XIV Aceh. Render, A. dan S. Vandenbogaerde. (2008). Corporate Governance and Earnings Management: Evidence from Europe. Review of Business and Economics. No. 3, 2008. Safitri, Enni. (2014). Analisis Pengaruh Leverage dan Siklus Hidup terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi. Vol. 3, No. 1, Oktober 2014, 72-89. Swastika, Dwi Lusi Tyasing. (2013). Corporate Governance, Firm Size, and Earning Management: Evidance in Indonesia Stock Exchange. IOSR Journal of Bussiness and Management. Vol. 10, No. 4, May-Jun 2013, 77-82. Yahya, Nur Yuda dan Triyonowati. (2015). Pengaruh Skor IICG terhadap Nilai Perusahaan dengan Kualitas Laba sebagai Variabel Intervening. Jurnal STIESIA. 2015. Yoon, Soon Suk, Gary A. Miller. (2002). Cash from Operations and Earnings Management in Korea. The international Journal of Accounting. Vol. 37, 395-412. 122 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 TINJAUAN ETIKA, KINERJA PERUSAHAAN, DAN RELEVANSI GUANXI PADA DUNIA BISNIS: PERSEPSI MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI UKRIDA Melitina Tecoalu dan Bambang Siswanto Universitas Kristen Krida Wacana [email protected] Abstrak: Bisnis tidak bisadipisahkan dari konteks budaya lokal dan nilai-nilai yang dianut para pelaku usaha tersebut. Pengembangan bisnis di negara RRT atau menjalin bisnis dengan etnis Cina – di RRT, Taiwan, yang sudah migrasi ke negara-negara lain termasuk orang-orang Tionghoa di Indonesia – tidak bisa dilepaskan dari guanxi. Kajian literatur menunjukkan tiga fokus penelitian terkait guanxi, yaitu etika, kinerja, dan relevansi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang penerapan guanxi pada pengembangan bisnis di Jakarta. Persepsi sebagian besar mahasiswa menunjukkan praktek guanxi pada dunia bisnis tidak melanggar etika, praktek guanxi tidak meningkatkan kinerja perusahaan, dan guanxi masih relevan diterapkan di Indonesia. Kata kunci: guanxi, persepsi, etika, kinerja perusahaan, relevansi PENDAHULUAN Kesuksesan bisnis tidak bisa dipisahkan dari konteks bidaya lokal dimana usaha tersebut berada dan nilai-nilai yang dianut oleh pelaku usaha tersebut. Guanxi adalah budaya yang sejauh ini dominan mempengaruhi bagaimana etnis Cina – di RRT, Taiwan, orang-orang Tionghoa di Indonesia, atau yang sudah bermigrasi di seluruh dinia – menjalankan bisnis mereka. Pada dasarnya guanxi adalah relasi sosial yang dibangun secara resiprokal didasarkan pada prinsip balas budi dan upaya agar siapapun tidak kehilangan muka. Akar dari guanxi adalah ajaran Konfusius tentang relasi antar manusia. Luo (1997a) menyatakan setiap entitas bisnis di negara RRT, baik perusahaan domestik ataupun perusahaan modal asing, tidak bisa menghindar dari prinsip guanxi.Park dan Luo (2001) menyatakan guanxi merupakan elemen sosial dan budaya yang penting di Cina, dan mempengaruhi kinerja perusahaan.Gao (2006) menyatakan memiliki guanxi yang baik dan dekat dengan pemerintah merupakan hal yang penting bagi perusahaan asing yang akan melakukan bisnis di negara RRT. Meskipun praktek guanxi sepertinya hal yang lumrah, kajian dari sudut pandang etika, relevansi, dan pengaruhnya terhadap kinerja perusahaan masih banyak dilakukan. Siswanto (2011) menunjukkan Journal of Business Ethics (JBE) merupakan jurnal ilmiah yang paling banyak memuat artikel tentang guanxi. Selain itu JBE juga merupakan jurnal yang paling banyak dirujuk oleh artikelartikel yang membahas tentang guanxi. Selain berkaitan dengan etika, Siswanto juga menunjukkan artikel-artikel yang membahas pengaruh guanxi terhadap kinerja perusahaan, dan relevansinya pada masa sekarang. Guanxi tampaknya dipraktekkan pada dunia usaha yang dikelola dan/atau dimiliki orang-orang Tionghoa di Indonesia. Di sisi lain kajian akademik tentang praktek guanxi pada dunia bisnis di Indonesia relatif belum banyak dilakukan. Hasil penelusuran internet hanya menemukan beberapa kajian antara lain: Rosari (2004), Khairunnisa (2004), Rahman (2008), Chandra (2010), dan Heridiansyah (2012). Jumlahnya relatif sangat sedikit dibandingkan kajian-kajian tentang guanxi di luar negeri. Berkenaan denganhal tersebut, makalah ini ditulis untuk melakukan kajian akademik 123 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 praktek guanxi di Indonesia. Tulisan ini merupakan kajian awal dengan menggunakan data persepsi mahasiswa Fakultas Ekonomi UKRIDA. Kajian ini diharapkan menjadi titik mulai sebuah kajian yang komprehensif tentang praktek guanxi di Indonesia. Makalah ini adalah hasil penelitian deskriptif dan kualitatif. Data persepsi mahasiswa dikumpulkan melalui wawancara. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui persepsi mahasiswa Fakultas Ekonomi UKRIDA tentang tiga hal, yakni: (a) apakah praktek guanxi melanggar etika?; (b) apakah praktek guanxi meningkatkan kinerja perusahaan; dan (c) apakah guanxi masih relevan untuk diterapkan pada dunia bisnis di Indonesia? TINJAUAN PUSTAKA Hasil studi pustaka menunjukkan beberapa topik penelitian guanxi, yaitu: (a) berkenaan dengan masalah etika; (b) keterkaitan guanxi dengan kinerja; dan (c) relevansi praktek guanxi pada masa sekarang. Redfen dan Ho (2009) menyatakan kajian literatur tentang guanxi semakin meningkat ketika dunia Barat menghadapi kompleksitas menjalankan bisnis di RRT. Sebelumnya dunia Barat menganggap guanxi sekedar jejaring dan koneksi, hal yang dianggap masalah sederhana pada kajian etika bisnis. Pada kenyataannya jejaring dan koneksi di RRT tidak sekadar kebutuhan menjalan bisnis, tetapi berasosiasi dengan korupsi dan kalkulasi yang menentukan dalam menjankan bisnis. Hasil penelitiannya pada industri perbankan di RRT menunjukkan guanxi memiliki dua dimensi, pertama merepresentasikan nilai-nilai tradisinal orang-orang Cina dalam hal membalas budi dan menjaga agar orang lain tidak kehilangan muka (reciprocity and face). Kedua, guanxi adalah model jejaring bisnis moderen yang berbeda dengan yang dijalankan di dunia Barat. Penelitian tentang keterkaitan guanxi dengan kinerja perusahaan telah dilakukan antara lain oleh Luo (1997b) dan Park dan Luo (2001). Luo (1997b) meneliti pengaruh guanxiterhadap kinerja perusahaan asing (PMA) yang dimoderasi variabel karateristik investasi. Karakter investasi yang dimaksudkan adalah cara masuk investasi, asal negara investor, lamanya PMA beroperasi di negara RRT pada masa sebelumnya. Hasil penelitiannya menunjukkan guanxi signigikan mempengaruhi kinerja perusahaan PMA. Park dan Luo (2001) meneliti pengaruh tingkat penerapan guanxiterhadap kinerja perusahaan, hasilnya menunjukkan tingkat kebutuhan dan kapasitas aplikasiguanxi di tiap-tiap perusahaan berbeda. Park dan Luo (2001) menunjukkan perusahaan-perusahaan milik orang Cina mengembangkan guanxi sebagai mekanisme stratejik untuk mengatasi kompetisi dan keterbatasan sumber daya dengan melakukan kerjasama dan pertukaran hadiah, pertolongan (tolong-menolong) dengan kompetitor dan otoritas pemerintahan.Survei yang dilakukan terhadap 128 perusahaan di negara RRT bagian tengah memberikan bukti yang kuat bahwa faktor institusional, stratejik, dan organisasional merupakan penentu guanxi pada situasi tekanan yang kompetitif. Untuk hubungan dengan otoritas pemerintah faktor yang signifikan hanya faktor institusional dan stratejik. Pada umumnya guanxi meningkatkan kinerja perusahaan, tetapi memiliki pengaruh kecil pada peningkatan penjualan dan pertumbuhan laba. Relevansi penerapan guanxi pada masa sekarang ditunjukkan oleh penalitian yang dilakukan oleh Hutchings dan Murray (2002), Millington (2006), Chen dan Easterby-Smith (2008), dan Ledeneva (2008). Hutchings dan Murray(2002) menguji apakah guanxi yang berkembang pada situasi perusahaan-perusahaan dimiliki negara selama periode komunisme masih relevan diterapkan pada perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di negara RRT dengan landasan kapitalisme. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap pekerja asing dari Australiamenunjukkan bahwa kebutuhan para pekerja asing untuk menjalin guanxi ditentukan oleh ukuran perusahaan dan seberapa lama pekerja tersebut telah bekerja di negara RRT. 124 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Millington (2006) melakukan investigasi tentang peran guanxi dalam mencari pemasok lokal untuk kepentingan perusahaan manufaktur asing – Inggris dan Amerika Serikat – yang beroperasi di negara RRT. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peran hubungan bisnis lebih penting dibandingkan hubungan keluarga (family) yang merupakan salah satu bentuk guanxi. Hasil penelitian ini memperkuat penelitian sebelumnya, yakniGuthrie’s pada tahun 19991 yang menyatakan bahwa industrialisasi dan modernisasi mengurangi peran guanxi. Chen dan Easterby-Smith (2008) menyatakan pada manajemen gaya Cina, guanxi telah diidentifikasi sebagai faktor yang vital jika diasosiasikan dengan strategi bisnis dan manajemen sumber daya manusia (MSDM). Meskipun demikian, guanxi tidak lagi menjadi hal yang krusial karena perusahaan-perusahaan multi nasional (MNC) yang dimiliki pengusaha-pengusaha Cina mulai go global ataupun merjer dan mengakuisisi MNC dari negara-negara Barat. Selanjutnya Chen dan Easterby-Smith (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana perusahaan-perusahaan MNC dari negara-negara Timur mengelola tenaga kerja internasional yang dimilikinya dan menerapakan strategi di tingkat internasional. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat perbedaan penerapan guanxi pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan IT, meskipun demikian penelitian menyimpulkan bahwa guanxi tetap menjadi faktor penting yang mempengaruhi strategi internasional dan praktek pengelolaan SDM. Ledeneva (2008) membandingkan praktek blat di Rusia dan guanxi di Cina. Pada dasarnya keduanya memiliki prinsip dan praktek yang hampir serupa, dan berkembang pada situasi sistem politik dan ekonomi yang hampir sama, yaitu sosialisme dan komunisme. Perbedaannya terjadi pada saat rejim komunisme dan sosialisme mulai runtuh dan mulai masuknya kapitalisme. Praktek blat di Rusia mulai menghilang, tetapi tidak demikian dengan guanxi di Cina. Perbedaan yang terjadi disebabkan blat tidak memiliki akar budaya, sebaliknya guanxi memiliki akar budaya di masyarakat. HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI Informan pada penelitian ini adalah mahasiswa dan dosen. Informan mahasiswa adalah sekelompok mahaiswa yang sedang menempuh mata kuliah metodologi penelitian. Sebelum secara sukarela dilibatkan sebagai informan, mahasiswa telah mendapatkan penjelasan yang memadai tentang guanxi dan setelah itu mereka melakukan wawancara kepada pelaku usaha untuk mempelajari praktek guanxi pada dunia bisnis di Indonesia.Selain itu, sebelum menjawab ketiga pertanyaan yang merupakan tujuan penelitian, mahasiswa dievaluasi kembali tentang konsep guanxi, dengan demikian mereka memiliki persepsi yang relatif sama dengan peneliti. Jumlah informan sebanyak 12 orang. Pada penelitian ini juga dilakukan wawancara terhadap informan dosen, yakni dosen Fakultas Ekonomi yang telah menyelesaikan pendidikan S2 dan sekarang sedang menempuh pendidikan S3 di RRT2. Hasil wawancara dengan informan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan sebagian mahasiswa berpersepsi praktek guanxi tidak melanggar etika, penerapan guanxi tidak meningkatkan kinerja, dan guanxi masih relevan dipraktekkan di Indonesia. Tabel 1. Persepsi Informan tentang Praktek Guanxi pada Dunia Bisnis 1 Guthrie, D.: 1999, Dragon in a Three-Piece Suit: The Emergence of Capitalism in China (Princeton UniversityPress, Princeton, NJ). Dikutip dari referensi artikel Millington (2006). 2 S2 di Nanjing University of Information Science of Technology, Nanjing, RRT dan S3 di University of International Business and Economics, Beijing, RRT. 125 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Pertanyaan Ya Tidak Ya atau Tidak Jumlah 1. Apakah praktek guanxi pada dunia bisnis melanggar etika? 2 (16,67%) 7 (58,33%) 3 (25%) 12 (100%) 2. Apakah praktek guanxi meningkatkan kinerja perusahaan? 2 (16,67%) 7 (58,33%) 3 (25%) 12 (100%) 3. Apakah guanxi masih relevan dipraktekkan pada dunia bisnis di Indonesia? 8 (66,67%) 0 (0%) 4 (33,33%) 12 (100%) Pada umumnya alasan yang disampaikan informan untuk jawaban pada pertanyaan tentang keterkaitan guanxi dengan etika adalah sebagai berikut: (a) tidak etis karena cenderung nepotisme dan bisa saja berakhir dengan korupsi; (b) tidak melanggar etika karena beberapa pembenaran – yang sesungguhnya tidak diperkenankan – antara lain praktek guanxi tidak diketahui semua orang, hal itu merupakan hak dan kewenangan pemilik, melanggar karena keberadaan guanxi tidak diketahui semua orang. Informan yang menyatakan guanxi meningkatkan kinerja perusahaan beralasan jika kita direkomendasikan masuk ke sebuah perusahaan oleh orang yang kita kenal, maka kita harus menjaga nama baik orang yang telah membantu kita. Persepsi seperti ini merupakan bentuk resiprokal dan keinginan untuk tidak mempermalukan atau upaya tidak kehilangan muka. Informan yang menyatakan guanxi tidak meningkatkan kinerja karena menimbulkan konflik yang disebabkan sesuatu yang dipandang tidak adil oleh karyawan lainnya. Alasan lainnya adalah guanxi melemahkan kontrol kualitas. Informan dosen berpendapat praktek guanxietis sepanjang tidak mengakibatkan perubahan yang tidak didasarkan pada proses yang benar, selain itu juga jika dilakukan dalam koridor hukum. Selanjutnya informan menyatakan guanxi meningkatkan kinerja pada perusahaan skala kecil atau bila proses birokrasi terlalu rumit, jika pada situasi sebaliknya akan menghambat kinerja. Guanxi masih relevan diterapkan tapi tidak bolel dominan dan menjadi penentu proses bisnis. SIMPULAN DAN SARAN Sebagian besar mahasiswa memiliki persepsi guanxi tidak melanggar etika tetapi tidak meningkatkan kinerja perusahaan. Guanxi masih relevan untuk diterapkan di Indonesia. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah dilakukan pendalaman wawancara sehingga alasan-alasan dibalik persepsi sepenuhya terungkap. DAFTAR PUSTAKA Chandra, Y. 2010. Analyzing the Relationship Business Model of Guanxi’s Implementation and Its Effectiveness in Indonesia, A Bachelor’s Thesis, Swiss German University, Bumi Serpong Chen, C.L. and M. Easterby-Smith. 2008. Is Guanxi Still Working, While Chinese MNCs Go Global? The Case of Taiwanese MNCs in the UK. Human Systems Management 27, 131-142. Gao, Y. 2006. Building Guanxi with Government for Foreign Companies in China: A Case Study on the Application of Commitment Instrument. The Business Review, Cambridge 6(2), 119-125. 126 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Heridiansyah, J. 2012. Pengaruh Satisfaction dan Interpersonal Trust Terhadap Guanxi Value (Studi pada Pedagang dan Pemasok Komputer di Yogyakarta). Jurnal Dinamika Ekonomi dan Bisnis9(2), 19-36. Hutchings, K. and G. Murray. 2002. Australian Expatriates’ Experiences in Working Behind the Bamboo Curtain: An Examination of Guanxi in Post-Communist China. Asian Business & Management 1, 373-393. Khairunnisa, R. 2004. Guanxi vs Good Corporate Governance. Tesis Program Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Ledeneva, A. 2008. Blat and Guanxi: Informal Practices in Russia and China. Comparative Studies in Society and History 50(1), 118-144. Luo, Y. 1997a. Guanxi: Principles, Philosophies, and Implications. Human Systems Management 16, 43-51. Luo, Y. 1997b. Guanxi and Performance of Foreign-invested Enterprises in China: An Empirical Inquiry. Management International Review 37, 51-70. Millington, A., M. Eberhardt and B. Wilkinson. 2006. Guanxi and Supplier Search Mechanisms in China. Human Relations 59(4), 505-531. Park, S.H. and Y. Luo. 2001. Guanxi and Organizational Dynamics: Organizational Networking in Chinese Firms. Strategic Management Journal 22, 455-477. Rahman, A.Z. 2008. Penggabungan Aspek NIlai Bisnis Dalam Grup Salim: Antara Guanxi dan Profesional 1975-1988. Skripsi Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Depok. Rosari, R. 2004. The Importance of Guanxi for Foreign Investor in Doing Business in China. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia19(4). 127 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 KAJIAN RELEVANSI SERTIFIKASI KOMPETENSI DAN FENOMENA SKILL MISMATCH PADA PRAKTIK MSDM Yustina Ertie Pravitasmara Dewi1 dan Lieli Suharti2 Universitas Kristen Satya Wacana Abstract: This study aim to explain the relevance of certificate of competency with skill mismatch incidents that appear on human resource management practices. Skill mismatch arises when there is a gap between the skills possessed by a person with the skills expected by the company. Skill mismatch impact on the level of individual satisfaction in their work and for companies that have an impact on work productivity. One of the causes of skill mismatch triggered because of the lack applicants with the appropriate skills and employers demanded immediate selection. In the middle of skill mismatch realities, companies in Indonesia faced a growing choice but is less popular in terms of employee recruitment, it is a certificate of competency. This study presents a theoretical foundation that developed in previous studies of skill mismatch that came to pass in various countries. In addition, this study will link the skill mismatch with competency certification system policies that apply in Indonesia since 2004, but has not been in great demand as a requirement for the recruitment of employees. The recommendations put forward is the existence of comprehensive information about the benefits of certificate of competency at various levels that relevant to the labor market : the educational institutions and training, enterprise, and government as a influential backbone in creating competitiveness of companies that originated from employees with conditions that match between the skills possessed with the skills needed by the company. Keywords: skill mismatch/ certificate of competency/ human resource management Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan relevansi sertifikasi kompetensi dengan insiden skill mismatch yang muncul pada praktik MSDM. Skill mismatch terjadi manakala muncul kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dengan keterampilan yang diharapkan oleh perusahaan. Skill mismatch berdampak pada tingkat kepuasan individu dalam bekerja dan bagi perusahaan hal itu berdampak pada produktivitas kerja. Salah satu penyebab skill mismatch didorong oleh minimnya jumlah kandidat pegawai dan pihak perusahaan tidak punya pilihan lain dan diharuskan segera melakukan rekrutmen. Ditengah realitas skill mismatch, perusahaan di Indonesia dihadapkan pada pilihan yang berkembang namun kurang populer dalam hal rekruitmen pegawai, yakni sertifikat kompetensi kerja. Kajian ini menyajikan landasan teori yang berkembang pada penelitian sebelumnya mengenai skill mismatch yang terjadi di berbagai negara. Selain itu, kajian ini akan mengaitkan skill mismatch dengan kebijakan sistem sertifikasi kompetensi yang berlaku di Indonesia sejak Tahun 2004, namun belum diminati sebagai persyaratan dalam rekruitmen pegawai. Rekomendasi yang diajukan adalah adanya informasi yang menyeluruh mengenai manfaat sertifikasi kompetensi kerja di berbagai aras yang relevan dengan pasar kerja, yakni lembaga pendidikan dan latihan, perusahaan, dan pemerintah sebagai kekuatan yang saling berpengaruh dalam menciptakan daya saing perusahaan yang bermula dari pegawai dengan kondisi yang match antara keterampilan yang dimiliki dengan keterampilan yang dibutuhkan perusahaan. Kata kunci: skill mismatch/sertifikasi kompetensi/ manajemen sumber daya manusia PENDAHULUAN Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada awal Tahun 2016 selain membuka tantangan dan peluang baru, juga mengugah kewaspadaan akan kesiapan Indonesia dalam kompetisi antar negara. Riset World Competitiveness Index Tahun 2016-2017 menunjukkan posisi Indonesia pada peringkat 47 dari 138 negara di dunia, yang berarti turun 10 peringkat dari periode tahun sebelumnya. Pada indikator mengenai sumberdaya manusia, WEF meletakkan Indonesia di peringkat 108 terkait efisiensi pasar tenaga kerja. World Economic Forum (2016) yang merilis indeks daya saing negaranegara dunia berdasarkan tingkat produktivitas ekonomi suatu negara demi mencapai kemakmuran 128 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 itu, juga menunjukkan realitas persaingan kawasan Asia Timur dan Pasifik dimana Singapura secara stabil seperti tahun-tahun sebelumnya tetap menunjukkan indikator terbaik di ASEAN, disusul Malaysia, Thailand dan Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Pembangungan Manusia dan Kebudayaan (KOMPAS 2016) menyebutkan tantangan terberat yang dihadapi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah daya saing SDM. Indonesia memimpin dari jumlah penduduk yang mencapai 60% dari total jumlah penduduk ASEAN. Namun demikian, daya saing SDM Indonesia belum memimpin ASEAN. Sebagai negara dengan populasi terbesar di ASEAN, Indonesia perlu memperbaiki posisi daya saingnya, sehingga nantinya mampu memimpin pasar dan bukan dijadikan tujuan negara konsumsi dari negara-negara lain. Salah satu penyebab lemahnya daya saing Indonesia di aras ASEAN berkaitan dengan kurangnya ketersediaan tenaga kerja terampil jika dibandingngkan dengan negaranegara tetangganya (Kartika 2015). Temuan tersebut linear dengan yang dikemukakan Porter (2009) bahwa Indonesia hendaknya memberi perhatian pada pengembangan SDM sebagai salah satu upaya meningkatkan daya saing Indonesia. Mengenai peningkatan daya saing, kantor International Labor Organization atau ILO (2015) memberi rekomendasi pada pengembangan SDM yang holistik, menyebutkan perlunya portabilitas keterampilan sehingga karyawan dapat menerapkan pengetahuan dan pengalaman mereka pada pekerjaannya, serta mensertifikasi keterampilan karyawan sehingga derajat kompetensinya dapat diakui oleh mitra sosial pada berbagai sektor tenaga kerja lintas nasional, kawasan maupun pasar kerja internasional. Pemerintah Indonesia yang ikut meratifikasi aturan ILO berupaya meningkatkan daya saing SDM dengan cara memberikan pengakuan atas kompetensi individu melalui mekanisme sertifikasi profesi, yang dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 dan membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagai lembaga (mitra sosial) dengan memberikan lisensi kepada setiap profesi untuk menjalankan uji dan sertifikasi kompetensi. Dengan tujuan utama meningkatkan daya saing, sertifikasi kompetensi juga diharapkan menjadi proteksi bagi Indonesia menghadapi pergerakan bebas tenaga kerja bebas di ASEAN pasca pelaksanaan kawasan ekonomi tunggal. Menteri Tenaga Kerja pada Oktober 2016 menyebutkan, sejak Tahun 2006 hingga Agustus 2016 jumlah SDM bersertifikat kompetensi kerja di Indonesia mencapai 2.463.806 orang (Berita Satu 2016), sementara jumlah total angkatan kerja sampai Agustus 2016 (BPS 2016) mencapai 118.411.973 juta jiwa. Artinya, hanya 2% jumlah pekerja di Indonesia pemegang sertifikat kompetensi kerja, yang dapat diasumsikan menjadi dasar keraguan mengenai kurangnya daya saing di pasar ASEAN. Berbagai latar belakang yang menjadi dasar penerapan sistem sertifikasi kompetensi di Indonesia, tidak serta-merta membuat pelaksanaannya berhasil dengan baik. Indikator kesuksesan sertifikasi kompetensi di Indonesia dapat dilihat dari belum signifikannya jumlah lembaga yang mendapat lisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi untuk melaksanakan uji kompetensi, hal ini berpengaruh pada jumlah total pekerja yang memegang sertifikat kompetensi. Mengingat masih minimnya jumlah pekerja bersertifikat kompetensi dapat diasumsikan pula masih minimnya informasi mengenai sertifikasi kompetensi di lingkungan perusahaan. Hal ini ditengarai dari beberapa fenomena berikut : 1) banyak rekrutmen yang dilakukan manajemen sumberdaya manusia tidak mencantumkan sertifikat kompetensi kerja sebagai persyaratan, 2) pembentukan lembaga sertififikasi profesi pihak pertama masih didominasi oleh pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan hanya beberapa yang berasal dari perusahaan swasta. Suksesnya sertifikasi kompetensi di suatu negara tergantung bagaimana partisipasi dunia usahanya. ILO (2004) menyebutkan bahwa Singapura, negara tanpa sumberdaya alam mulai 129 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 mencanangkan program Pendalaman Keterampilan pada Tahun 1996 dan pada Tahun 2004 mendapatkan dukungan dari 61 industri serta mencatat 500 standar keterampilan. Di Selandia Baru, sejak Tahun 1990 telah terbentuk Dewan Kualifikasi yang memberi pengakuan bagi semua metode pembelajaran mengenai pengetahuan dan keterampilan, dan menghasilkan kualifikasi terintegrasi bagi 27 sub bidang manufaktur. Memperhatikan fenomena tersebut, terdapat kesenjangan yang perlu mendapatkan ruang dalam penelitian. Pertama, belajar dari keterlibatan industri di negara Singapura dan Selandia Baru dalam pengakuan kompetensi SDM-nya, menjadi perlu dilakukan penelitian pada aras perusahaan Indonesia untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat keterlibatan perusahaan pada pelaksanaan sertifikasi kompetensi baik dari sisi keterlibatan dalam membentuk Lembaga Sertifikasi Profesi atau dalam penggunaan sertifikat kompetensi sebagai bagian dari persyaratan yang diminta pada rekruitmen tenaga kerja. Kedua, kenyataan mengenai bagaimana tata kelola manajemen SDM dan fungsi-fungsinya berkenaan dengan tersedianya pekerja bersertifikat kompetensi belum mendapat perhatian dalam penelitian. Literatur sertifikasi kompetensi terbatas pada manfaat serta pengaruhnya (Sugiarto 2004; Kartiwa 2006; Ernawati 2014), dikaji pada sistem sertifikasi yang berlaku di Indonesia dan perbandingannya dengan negara lain (Silitonga 2007), ditelaah sebagai perlindungan hukum bagi para pekerja (Iskandar dan Setiawan 2015), dan diteliti dari sisi dukungan teknologi dalam penyelenggaraan pelaksanaannya (Erawan, Winarno, Susanto 2014). Penelitian sertifikasi kompetensi dari sisi manajemen sumber daya manusia (MSDM) dan bagaimana pelaksanaan fungsifungsi MSDM dengan ketersediaan pekerja bersertifikat kompetensi masih jarang dilakukan. Penggunaan sertifikat kompetensi kerja di perusahaan dimaksudkan untuk mempermudah fungsi manajer sumber daya manusia. Pemanfaatan sertifikat kompetensi kerja bagi manajer sumber daya manusia diharapkan membantu tercapainya kesesuaian kompetensi antara kemampuan kerja individu dengan yang diharapkan perusahaan. Namun demikian manfaat sertifikasi kompetensi belum dirasakan perusahaan, secara khusus dalam praktik manajemen sumberdaya manusia. Persyaratan rekrutmen karyawan, seleksi karyawan, maupun placement karyawan di perusahaan – perusahaan di Indonesia secara umum belum mencantumkan keharusan kepemilikan sertifikat kompetensi kerja Ketiga, dalam konteks meningkatkan daya saing negara di kawasan ekonomi tunggal ASEAN, membutuhkan ketersediaan SDM Kompeten yang mendapatkan pengakuan kompetensi dalam bentuk sertifikat kompetensi sesuai dengan pedoman dalam Mutual Recoginition Arrangement. Sertifikat kompetensi akan menjadi jaminan sehingga terhindar dari skill mismatch dan menjadi alat proteksi tenaga kerja Indonesia, baik yang bekerja di dalam negeri maupun yang bekerja di kawasan ASEAN sebagai keniscayaan atas berlakunya pergerakan bebas tenaga terampil di kawasan. Penelitian Ernawati (2014) menyebutkan bahwa salah satu manfaat sertifikasi kompetensi adalah menghindari ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki karyawan dengan keterampilan yang diharapkan suatu jabatan dalam pekerjaan dengan melakukan sertifikasi kompetensi kerja. Situasi dimana terdapat kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki karyawan dengan keterampilan yang diharakan perusahaan adalah situasi skill mismatch. Skill mismatch telah diteliti di berbagai negara. Penelitian di Korea Selatan oleh Jung-Youn (2015) membuktikan adanya gap antara kebutuhan pasar pemberi kerja dan jenis keterampilan yang dimiliki calon tenaga kerja mengalami peningkatan dan mencapai titik terburuk sejak Tahun 2009. Hasil penelitian Dorking (2014) di Inggris mengungkapkan bahwa skill mismatch dalam jumlah besar terjadi sejak tahap awal dimana calon pekerja masih pelajar dan duduk di bangku pendidikan. Hal ini didukung dengan data mengenai lebih banyaknya pelajar yang memilih bidang karier tertentu dimana posisi jabatan yang diminati telah banyak berkurang. Penelitian-penelitian terdahulu telah meletakkan fondasi pemahaman mengenai skill mismatch dari sisi penyebab dan dampaknya. Namun demikian, 130 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 mengingat cakupan penelitian dari sudut pandang makro ekonomi, para peneliti terdahulu belum membahas mengenai bagaimana mengatasi skill mismatch atau bagaimana mengendalikan fenomena yang mengalami trend peningkatan. Dalam konteks Indonesia, fenomena skill mismatch juga mendapatkan ruang penelitian dimana Hakim (2013) menyatakan bahwa skill mismatch seharusnya menjadi salah satu bagian dalam perencanaan strategis pembangunan baik jangka pendek atau jangka panjang dalam upaya mengurangi pengangguran. Dalam tingkat penelitian yang lebih mikro, Florentine dan Prabowo (2014) mengidentifikasi dampak skill mismatch pada stress karyawan. Penelitian yang dilakukannya mengambil tema hubungan antara skill mismatch dengan stress kerja karyawan, yang dilakukan atas dasar realitas rentannya perusahaan dalam mengupayakan kestabilan kinerja akibat stress yang dipicu konflik di tempat kerja, pengembangan karier, atau situasi pekerjaan tidak kondusif. Stress karyawan, dalam penelitian tersebut dinyatakan bersumber dari ketidakmampuan karyawan menjalankan pekerjaan sesuai tuntutan jabatan, atau dikenal dengan skill mismatch. Berdasarkan uraian mengenai kebutuhan meningkatkan daya saing SDM Indonesia dan belum populernya manfaat sertifikasi kompetensi pada praktik manajemen sumber daya manusia, kajian ini bertujuan untuk memberikan argumen dari sudut pandang teoritis mengenai relevansi antara sertifikasi kompetensi dan skill mismatch. Kajian pustaka ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam hal justifikasi pemanfaatan sertifikasi kompetensi dari sisi teoritis dan praktis. Sebagai studi literatur, kajian ini disusun berdasarkan berbagai informasi yang relevan dengan pembangunan SDM dan daya saingnya, sertifikasi kompetensi, dan jurnal ilmiah mengenai skill mismatch yang diramban melalui Ebsco, Google Scholar dan Indonesian Publication Index. Tahun penerbitan jurnal ilmiah yang digunakan dalam kajian ini dipilih antara 2009-2016. Struktur penyajian kajian ini adalah sebagai berikut, bagian pendahuluan menyampaikan latar belakang situasi yang berkembang terkait pelaksanaan sertifikasi kompetensi, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai penelitian terdahulu mengenai skill mismatch, urgensi skill mismatch saat ini, sistem sertifikasi kompetensi di Indonesia, dan bagian ketiga membahas relevansi antara skill mismatch dengan sertifikasi kompetensi di Indonesia, dan pada bagian akhir kajian ini akan menyajikan kesimpulan dan rekomendasi. Penelitian terdahulu tentang skill mismatch Penelitian dengan latar belakang skill mismatch yang menjelaskan kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki karyawan dengan keterampilan yang diharapkan oleh perusahaan telah berkembang selama 25 tahun terakhir. Topik ini menarik diteliti hingga saat ini, seperti diutarakan Bainbridge dan Kvetan (2013) yang menyebut skill mismatch sebagai persoalan yang secara konstans telah berkontribusi dalam perubahan pasar kerja. Skill mismatch didefinisikan oleh ILO atau International Labor Organization (2013) sebagai terminologi yang merujuk pada berbagai tipe ketidakseimbangan antara keterampilan yang dimiliki dan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Dalam penelitiannya tersebut, ILO menggambarkan mengenai upaya mencapai situasi yang matching, artinya terjadi keseimbangan antara keterampilan yang dimiliki karyawan dengan yang diharapkan perusahaan. Gambar 1 menunjukkan bahwa skill mismatch dapat dihindari jika ada upaya bersama-sama antara individu dan perusahaan dalam meminimalkan kesenjangan. Upaya dari sisi individu adalah dengan mengupayakan pencapaian pendidikan dan perolehan keterampilan dalam kerangka skill acquisition. Beberapa cara dalam mencapai skill acquisition seperti yang ditunjukkan dalam gambar 1 adalah pencapaian pendidikan, tingkat keterampilan kognitif, dan pembentukan keterampilan yang dapat diterjemahkan sebagai aktivitas yang mendukung individu dalam mendapatkan tambahan keterampilan. Dari sisi perusahaan, kontribusinya dalam mengupayakan 131 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 situasi yang matching adalah dengan memberikan informasi jelas mengenai persyaratan apa saja yang dibutuhkan untuk mengisi jabatan tertentu. Informasi dari perusahaan akan senantiasa bergerak dinamis sesuai dengan trend bisnis dan permintaan pasar, yang akan berpengaruh pada dinamika jenis keterampilan yang sebaiknya dimiliki oleh individu. Contoh yang sesuai untuk memahami dinamika relasi antara individu dan perusahaan dapat ditemui dari perkembangan kebutuhan perusahaan pada posisi manager media sosial. Kebutuhan perusahaan pada manager media sosial dapat berujung pada penunjukkan manager tanpa latar belakang pendidikan mengenai media sosial tetapi memiliki keterampilan dalam menangani isu dalam media berbasis internet ini. Pada situasi seperti itulah matching terjadi karena individu menambah keterampilannya demi mengisi kebutuhan perusahaan. Dalam gambar 1 ditegaskan bahwa keseimbangan dinamis antara sisi individu dan perusahaan itu secara terus menerus dan bersama-sama akan menciptakan outcome yang mendorong perbaikan makro ekonomi termasuk penguatan daya saing. Gambar 1 : Model ILO pada Skill Mismatch Peneliti terdahulu telah menyusun sebuah prediksi tentang fenomena skill mismtach di masa mendatang. Fenomena skill mismatch diprediksi (Catalano 2015) akan mengalami puncaknya pada Tahun 2030 dimana populasi pekerja pensiun mencapai angka paling tinggi. Abraham (2015) menyebutkan tanpa kesesuaian antara permintaan perusahaan dan kemampuan pekerja, pasar kerja akan terbeban secara terus menerus seiring dengan peningkatan pengangguran. Sementara itu Jonbekova (2015) mengatakan kesempatan kerja yang terbatas juga menyumbangkan terjadinya ketidaksesuaian antara pekerja dan kebutuhan perusahaan. Di Tajikistan atau Asia Tengah penelitian Jonbekova (2015) mengemukakan situasi skill 132 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 mismatch terjadi karena dipicu oleh tantangan yang dihadapi sistem pendidikan, pasar laten ketenagakerjaan dan pelemahan perekonomian. Modestino (2011) di Inggris sepakat menyebutkan insiden skill mismatch terjadi di negara tersebut, meski menyebutkan bahwa belum ada persetujuan universal diantara para ahli ekonomi yang merujuk situasi kekurangan tenaga kerja sehingga bisa disebut sebagai labor mismatch. Definisi yang digunakannya dalam menyebut skill mismatch adalah ketidakseimbangan yang muncul ketika ketersediaan jumlah pekerja meningkat lebih cepat daripada permintaan dengan tingkat upah masa kini disesuaikan dengan kondisi yang lalu. Ini adalah situasi sementara yang dinamik dimana pasar diharapkan dengan sendirinya menyeimbangkan dirinya dan menutup kesenjangan yang ada. Potensi mismatch disebutkan terjadi antara keterampilan yang dimiliki pencari kerja berbeda dengan yang dibutuhkan pemberi kerja telah terjadi di pasar kerja. Berikut ini adalah studi terdahulu mengenai skill mismatch : Tabel 1 : Penelitian Skill mismatch Sumber Allen, Jim and DeWeert,Egbert (2007). What do educational mismatches tell us abour skill mismatches? A cross country analysis. Sala, Guillem (2011) Approaches to Skills Mismatch in the Labour Market: A Literature Review Santos, Marcelo Serra (2012) Education, Educational Mismatch, and Wage Inequality Evidence for Different European Countries. Jonbekova, Dilarabo (2015). Skill mismatch in central asia: employers perspective from post-soviet Tajikistan Abdul Rahim Anuar, Wan Nurmah fuzah Jannah Wan Mansor, Badariah Haji Din (2016). Skills Mismatch in Small-sized Enterprises in Malaysia. Kontribusi dalam studi skill mismatch Terdapat relevansi positif antara Educational Mismatch dan Skill mismatch. Skill mismatch mengakibatkan dimana pendidikan lebih rendah dari bidang pekerjaan karyawan berdampak pada tingkat upah yang diterima. Lulusan yang dapat matching job masih melaporkan terjadinya SM. Jerman dan Belanda adalah dua negara dengan pendidikan yang diarahkan pada pasar kerja menunjukkan hubungan kuat antara pendidikan dan job match. Melakukan penelitian pustaka yang menghasilkan latar belakang skill mismatch dari sudut pandang teori – teori human capital, job competition model, dan assigment models dengan instrumen yang digunakan untuk mengukur skill mismatch adalah : Manpower Planning dan Overeductaion Measurement. Melakukan penelitian pada tingkat makro yakni pasar kerja di seluruh eropa. Penelitian tersebut dilakukan dengan penghitungan regresi atas skill mismatch dari tingkat pendidikan dan karakteristik pekerjaan dan distribusi tingkat kompensasi. Berangkat dari pemahaman mengenai pendidikan tinggi sebagai kontributor dasar dalam pembangunan budaya dan sosial ekonomi merupakan penyumbang tenaga kerja terampil yang adalah kunci bagi pertumbuhan negara. Penelitian ini menguji persepsi pengguna tenaga kerja pada keterampilan untuk persiapan kerja, yang menghasilkan rekomendasi reformasi sistem pendidikan untuk mengurangi skill mismatch. Penelitian dilakukan pada 242 Manager UKM di Malaysia untuk membuktikan adanya skill mismatch. Temuan penelitian ini adalah eksistensi skill mismatch dalam bidang kerja karyawan, sehingga rekomendasi yang disampaikan adalah melakukan perubahan pada strategi rekrutmen dan fokus pada pelatihan kerja karyawan. Skill mismatch atau ketidaksesuaian keterampilan di Indonesia terjadi di berbagai aras, baik individu, organisasi, maupun aras makro. Dari aras makro, diungkapkan Hanafi (2012) bahwa mismatch adalah salah satu faktor yang menyumbang angka pengangguran, dan dalam hal ini diartikan sampai pada situasi yang menyangkut kegagalan karyawan bertahan pada pekerjaannya. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO 2015) Hariyadi Sukamdani merujuk data National Labor Force Survey menyebutkan angka pengangguran usia muda di Indonesia menempati 133 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 ranking tertinggi di kawasan Asia Pasifik dan mencapai 71,3 persen sebagai ancaman akan meningkatnya potensi skill mismatch. Dalam hal ini skill mismatch terjadi Indonesia terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara keluaran pendidikan dengan kebutuhan industri, yang disebabkan oleh pengetahuan dan keterampilan teknis yang dihasilkan dunia pendidikan kurang memenuhi kualifikasi industri. Berangkat dari sudut pandang penyebab kurang terampilnya karyawan adalah latar belakang pendidikan inilah yang mendorong penelitian mengenai skill mismatch dilakukan dari disiplin ilmu pendidikan. Penelitian mengenai skill mismatch dengan perspektif pendidikan juga dilakukan pada penelitian luar negeri, dengan pemahaman faktor pendidikan yang melekat pada individu sebagai penyebab mismatch dilakukan oleh Modestino (2011), Abdullah et all (2012), Artes et all (2014), dan Jobenkova (2015), Salah satu alasan mengapa penelitian-penelitian terdahulu mengenai skill mismatch banyak berasal dari bidang pendidikan disebutkan oleh Dobbs dan Anu (2015) karena kemudahan dan ketersediaan data, sehingga lebih mudah untuk dilakukan analisa. Namun demikian, menilai ketidaksesuaian keterampilan semata-mata dengan pendekatan pendidikan, dinilai memiliki sisi kelemahan oleh Badillo-Amador (2013) yang menyebutkan bahwa antara skill mismatch dan education mismatch masing-masing memiliki karakteristik dan aspek yang berbeda dalam tingkat akurasi pada keseimbangan antara jenis pekerjaan dan pekerja, sehingga terdapat konsekuensi yang berbeda bagi pekerja baik dalam bentuk moneter dan non moneter. Dengan demikian, untuk memahami bagaimana skill mismatch sebaiknya juga dilakukan dari sudut pandang pelaku bisnis, atau pada aras perusahaan, sebagai pihak yang memberikan pekerjaan pada karyawan. Sesuai dengan telaah pada penelitian terdahulu tentang skill mismatch mengarah pada pentingnya penelitian masa depan yang mengaitkan isu ini dengan pelatihan dan isu kompetensi individu, seperti yang disarankan Sala (2011). Salah satu rekomendasinya adalah menggunakan paradigma kompetensi karyawan dalam memahami skill mismatch. Kompetensi Konsep kompeten mulai dikenalkan tahun 1980-an pada berbagai literatur human resource management yang menggantikan konsep keterampilan atau skill (Rigby and Sanchis 2006). Seseorang disebut kompeten jika menguasai keterampilan, pengetahuan, dan sikap kerja sesuai dengan standard yang disyaratkan dalam melaksanakan pekerjaan tertentu (Sumarna 2015). Kompetensi disebutkan memiliki tujuan yang lebih jelas dan transparant, dimana ujian dilakukan berbeda dan bukan dilakukan oleh penyedia pendidikan. Pengertian mengenai kompetensi disebutkan oleh The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD 2005) sebagai lebih dari sekedar pengetahuan dan keterampilan, kompetensi mencakup kemampuan untuk memadukan berbagai permintaan yang kompleks dengan menunjukkan dan menggunakan sumberdaya psikologi termasuk keterampilan dan sikap dalam konteks tertentu. Merujuk literatur review yang dilakukan Guthrie (2009), kompetensi bukan hasil dari pembelajaran karena ia lebih dari sekedar hasil pembelajaran, pelatihan, dan pengalaman, karenanya kompetensi disebut sebagai perjalanan yang terintegrasi dari pengalaman baik formal dan non formal. Karyawan dengan kompetensi yang memadai dan up-to-date adalah pekerja yang lebih produktif dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaannya dibandingkan pekerja lain (Buchel, 2002). Temuan ini senada dengan (e.g., Hanushek & Woessmann, 2014) yang menyatakan bahwa pada aras individu, pengembangan keterampilan membuat pekerja mampu memahami dan menjalankan pekerjaan lebih baik yang berimbas pada peningkatan proses ekonomi. Produktivitas pekerja akan menambah jumlah kompensasi dan keluar dari masalah pengangguran. 134 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Sesuai dengan pergeseran makna keterampilan menjadi kompetensi, arah penelitian tentang skill mismatch disarankan untuk mengaitkannya dengan isu kompetensi Sala (2011), Abdullah et all (2012) serta Leoni dan Gritti (2013). Pendapat ini diperkuat dengan penelitian cedefop (2012) yang menyebutkan mengenai trend rekrutmen pegawai akan membutuhkan lulusan pendidikan yang memiliki campuran antara keterampilan, pengetahuan, sikap kerja, dan kompetensi. Sertifikasi Kompetensi Latar belakang diberlakukannya sistem sertifikasi kompetensi bersumber dari konsekuensi Indonesia menyetujui kesepakatan umum perdagangan bidang jasa (General Agreement on Trade in Service/GATS) – Tahun 1995 yang menuntut kepatuhan pada aturan yang disepakati bersama negara anggota, yang antara lain : tentang perdagangan bidang jasa yakni pemasokan jasa dari satu negara ke negara lain, dalam wilayah konsumen jasa dari negara lain, atau oleh pemasok jasa dari suatu negara didalam wilayah negara lain (mode of supply 4, movement of natural person). Dalam konteks World Trade Organization kesepakatan itu tetap mengikat, dengan salah satu kesepakatan yang diterapkan adalah untuk saling memberi pengakuan atas kompetensi individu dari negara satu dengan negara lain dalam Mutual Recognition Agreement (MRA). Dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN, MRA diterjemahkan sebagai perjanjian yang didesain untuk memfasilitasi pergerakan bebas pekerja bersertifikat kompetensi dan memenuhi persyaratan kualifikasi di lingkungan negara anggota (Sumarna 2015). Mengadopsi kesepakatan-kesepakatan internasional yang sudah dibuat pada aras internasional, Indonesia menyusun seperangkat aturan mengenai sertifikasi kompetensi yang termuat dalam dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Tahun 2004, sebagai bentuk implementasi UU No. 13 Tahun 2003 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomer 23 tentang Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang berfungsi sebagai instrumen negara untuk menjadi penjamin mutu SDM Indonesia, dalam bentuk pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja. Sistem Sertifikasi Profesi tersebut didesain sesuai aturan dalam ASEAN Framework on Service (AFAS) pada artikel ke 5 yang berbunyi : “Each Member State may recognise the education or experience obtained, requirements met, or licenses or certifications granted in another Member State, for the purpose of licensing or certification of service suppliers. Such recognition may be based upon an agreement or arrangement with the Member State concerned or may be accorded autonomously.” Dengan demikian implementasi sertifikasi kompetensi di Indonesia, didesain sebagai bentuk kepatuhan pada aturan internasional dalam perdagangan bebas di tingkat ASEAN. Dengan tujuan utama meningkatkan daya saing, sertifikat kompetensi juga diharapkan menjadi proteksi bagi pekerja Indonesia menghadapi pergerakan bebas tenaga kerja di ASEAN pasca pelaksanaan pasar bebas. Dalam pasar tunggal ASEAN dimana memberi peluang untuk perpindahan tenaga kerja dari satu negara ke negara lain di kawasan maka, sertifikat kompetensi kerja-lah yang berfungsi sebagai lisensi dan jaminan mutu terhadap kompetensi dan profesionalisme (Ali 2015). Di Indonesia, penerapan sertifikasi kompetensi dibagi dalam tiga jenis, seperti yang dikutip dari artikel “ BNSP menuju Indonesia Kompeten” di Sindonews ( Desember 2013 ) Terdapat 3 (tiga) jenis penerapan sertifikasi kompetensi yaitu Penarapan wajib sertifikasi, penerapan disarankan sertifikasi (advisory) dan penerapan sukarela (voluntary). Penerapan Wajib pada sertifikasi kompetensi dilakukan oleh otoritas kompeten sesua bidang teknisnya. Sesuai dengan regulasi perdagangan jasa antar negara (WTO = World Trade and Services) terutama GATS yang diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, maka penerapan wajib sertifikasi harus mengacu pada perjanjian ini. penerapan wajib sertifikasi kompetensi didasarkan pada hal-hal yang berkaitan dengan safety, security, dan/atau mempunyai potensi dispute besar dimasyarakat, dan seharusnya dinotifikasikan ke WTO, karena berlaku tidak hanya kepada tenaga Indonesia, tetapi juga tenaga asing yang masuk ke Indonesia. Beberapa bidang sertifikasi yang telah diterapkan wajib pada saat ini adalah: pariwisata, manajemen resiko perbankan, 135 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pengawaskehutanan, penyuluh pertanian, tata laksana rumah tangga, penyuluh perikanan, inspektor keamanan pangan dan penyuluh keamanan pangan. Penerapan Disarankan, ditujukan untuk programprogram percepatan pembangunan, dalam program ini pemerintah memberikan insentif apabila masyarakat turut berpartisipasi dalam program sertifikasi ini, seperti bantuan sertifikasi, bantuan pengembangan kelembagaan dan sebagainya. Beberapa program dalam kerangka ini adalah yang terkait dengan program MP3KI dan MP3EI. Kemudian Penerapan Sukarela, yang dilakukan sepenuhnya inisiasi dari masyarakat baik industri maupun masyarakat profesi. Bentuk skema/paket sertifikasi pada umumnya klaster dan individual unit kompetensi untuk segera dimanfaatkan oleh industri jenis ini adalah yang paling banyak dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi. Pada beberapa profesi, sertifikasi kompetensi bersifat sukarela dan belum diwajibkan (Lei 2013). Mengingat beberapa sektor belum diwajibkan untuk mengadopsi sertifikasi kompetensi kerja sebagai jaminan keterampilannya, pencapaian target jumlah pekerja yang memegang sertifikat kompetensi belum sesuai yang diharapkan. Tahun 2011, Kementerian Tenaga Kerja mencatat terdapat 1,2 juta pekerja pemegang sertifikat kompetensi, sementara jumlah angkatan kerja mencapai 119,4 juta orang (Rosidi 2011). Dikutip dari laman www.bnsp.go.id, taget Badan Nasional Sertifikasi Profesi atas pencapaian jumlah pekerja yang memegang sertifikat kompetensi adalah mencapai 10 juta orang pada Tahun 2020. Badan Nasional Sertifikasi Profesi, mendefinisi sertifikasi kompetensi kerja sebagai proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia atau regional atau internasional. Standard kompetensi kerja nasional Indonesia dalam hal ini adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (www.bnsp.go.id). Sertifikasi kompetensi, tidak hanya diberlakukan di Indonesia, negara lain seperti Australia mengenal konsep sertifikat kompetensi kerja mulai awal Tahun 1990. Australia memandang sertifikasi kompetensi diperlukan karena manfaatnya fokus pada pekerja agar memiliki kesesuaian antara kompetensi yang dimiliki dan apa yang dibutuhkan perusahaan (Pitman 1999). Selain Australia, negara lain yang menerapkan sistem serifikasi kompetensi adalah Jepang dibawah lembaga bernama Javada, Japan Center for Vocational Ability Development Association yang terbentuk sejak Tahun 1974. Menurut Silitonga (2007) Uji Kompetensi di Australia, Jepang, dan Indonesia menggunakan metode yang sama. Kenyataan bahwa sertifikasi kompetensi kerja belum mendapat dukungan dari dunia usaha atau perusahaan di Indonesia, menunjukkan adanya kesenjangan dari penerapan rekomendasi ILO Nomor 195 Tahun 2004 mengenai pembangunan sumber daya manusia. Dalam chapter pembangunan kompetensi, negara anggota ILO diwajibkan untuk melibatkan partner sosial dalam mempromosikan perkembangan trend kompetensi yang dibutuhkan oleh individu atau perusahaan dalam pembangunan kompetensi SDM negaranya. Mendukung rekomendasi tersebut, beberapa penelitian telah membuktikan manfaat dari diterapkannya sertifikasi kompetensi. Sudiarditha (2007) menemukan bahwa sertifikasi kompetensi dapat digunakan sebagai alat untuk mengendalikan kualitas sumber daya manusia. Secara lebih utuh, manfaat sertifikasi kompetensi bagi perusahaan seperti disebutkan (BNSP 2015) dalam (Hapsari 2016) adalah membantu menyakinkan kepada kliennya bahwa produk/jasanya telah dibuat oleh karyawan kompeten, membantu rekrutmen dan mengembangkan tenaga berbasis kompetensi guna meningkatkan efisiensi HRD khususnya dan efisiensi nasional pada umumnya, dan membantu dalam sistem pengembangan karir dan remunerasi tenaga berbasis kompetensi dan meningkatkan produktivitas. Secara khusus bagi karyawan, sertifikasi kompetensi 136 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 akan membantu merencanakan karier dan mengukur tingkat pencapaian kompetensi, serta mempunyai parameter yang jelas akan adanya keahlian dan pengetahuan yang dimiliki. Relevansi Sertifikasi Kompetensi sebagai Solusi Skill Mismatch Menurut Surono (2012) dari sisi lembaga pendidikan dan latihan, manfaat yang didapatkan dengan sertifikat kompetensi adalah membantu memastikan link and match antara kompetensi lulusan dengan tuntutan kompetensi dunia industri, sementara dari sisi perusahaan sertifikat kompetensi yang dimiliki pekerja dapat mempermudah Manager HRD melaksanakan proses rekrutmen dan mengembangkan tenaga kerja berbasis kompetensi untuk meningkatkan efisiensi. Dengan demikian, ada dua hal utama yang diharapkan dari pelaksanaan sertifikasi kompetensi, pertama adalah menghindari situasi skill mismatch, dimana hal ini telah lama menjadi topik penelitian dari berbagai wilayah penelitian mikro maupun makro ekonomi dan kedua mencakup persoalan hubungan antara karyawan dan perusahaan dimana pemerintah yang menyelenggarakan sistem sertifikasi kompetensi mengharapkan hal ini berguna bagi daya saing perusahaan. Perusahaan yang mengadopsi sistem jaminan mutu ISO 9001-2015, akan menjumpai klausul yang meminta perusahaan membuktikan telah mempekerjakan karyawan kompeten. Sertifikat kompetensi kerja dapat dipakai sebagai bukti fisik yang membuktikan komitmen perusahaan dan kepatuhannya dalam menjaga mutu. Pasal 7, ISO 9001-2015 menyebutkan bahwa organisasi harus memastikan pekerjanya kompeten berdasarkan pendidikan, pelatihan, atau pengalaman yang sesuai. Dengan demikian, perusahaan yang menerapkan manajemen mutu berbasis ISO 9001-2015 terikat pada kewajiban mempekerjakan karyawan kompeten sekaligus memelihara kompetensi karyawannya, dan memberikan bukti atas kompetensi tersebut. Asumsi yang diperoleh dari aturan yang berlaku baik dari rekomendasi ILO maupun ketentuan ISO dalam menjamin mutu manajemen perusahaan dapat menjadi dasar pemanfaatan sertifikasi kompetensi dalam mengelola SDM perusahaan. Implementasi manajemen SDM berbasis kompetensi akan mengaitkan posisi perusahaan pada manajemen mutu yang sesuai dengan standard internasional sekaligus mencapai kesesuaian kompetensi antara kemampuan kerja karyawan dengan persyaratan kerja perusahaan. Hal ini sesuai dengan kondisi ideal yang digambarkan ILO (2013) dalam mengupayakan matching antara keterampilan yang dimiliki karyawan dengan keterampilan yang diharapkan perusahaan. Berdasarkan uraian mengenai manfaat sertifikasi kompetensi dan kebutuhan mengatasi skill mismatch dengan optimalisasi skill acquisition menggunakan sertifikasi kompetensi maka dapat diasumsikan bahwa ada relevansi antar keduanya dan jika dikombinasikan akan menjadi jawaban atas situasi skill mismatch yang terjadi di perusahaan. Relevan dengan asumsi ini adalah rekomendasi dari penelitian sebelumnya untuk mengaitkan persoalan skill mismatch dengan konsep kompetensi, yang merupakan perkembangan dari konsep keterampilan. Pada model economic contex dan skill mismatch yang dikembangkan dari ILO untuk mencapai situasi matching pada gambar 2 digambarkan bahwa dari sisi karyawan perlu kemauan untuk mendapatkan tingkat keterampilan tertentu yakni melalui skill acquisition, academic attainment dan skill formation. Dengan mengaitkannya pada konteks Indonesia, dimana budaya masyarakatnya cenderung menerima pekerjaan apa saja meski tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya demi memenuhi kebutuhan hidupnya, akan memunculkan gap dan membutuhkan unsur lain agar melengkapi sisi memastikan kompetensi karyawan. Seorang karyawan yang memiliki latar belakang pendidikan atau pelatihan tidak sesuai dengan persayaratan perusahaan dapat mengupayakan pelatihan dan uji kompetensi unuk memperoleh sertifikat kompetensi kerja. Berpegang sertifikat kompetensi kerja tersebut, diharapkan perusahaan mendapat manfaat optimal dari mempekerjakan karyawan dengan pencapaian akademik maupun tingkat kognitif yang tidak sesuai dengan persyaratan jabatan. Berpijak dari pemahaman akan keterkaitan 137 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 antara sertifikasi kompetensi kerja dan kebutuhan untuk mengatasi skill mismatch, maka model ILO dalam mengupayakan situasi matching antara karyawan dan perusahaan dapat dikembangkan seperti berikut ini : Gambar 2 : Model Relevansi Sertifikasi Kompetensi terhadap Skill mismatch Contextual Factors Sertifikasi Kompetensi Skill Requirements Skill Acquisition Educational attainment Level of Cognitive Skill MATCHIN G Employment by education Employment by occupation Job task measures of skill Skill Formation OUTCOMES Sumber : Dikembangkan dari ILO (2013) Pada Gambar 2 didapatkan penjelasan bahwa untuk memperoleh keterampilan (skill acquisition) seorang karyawan atau calon karyawan yang telah mengakses pendidikan dan pelatihan dapat serta melengkapi perolehan ketrampilannya dengan dengan sertifikasi kompetensi. Keuntungan sertifikasi kompetensi bagi perusahaan adalah tercapainya situasi matching antara keterampilan yang dibutuhkan jabatan dan keterampilan yang dimiliki karyawan. Dengan demikian, sertifikasi kompetensi berfungsi sebagai alat untuk menjamin kompetensi karyawan sehingga mampu bekerja dan meminimalkan insiden skill mismatch di perusahaan. Pada praktik manajemen sumber daya manusia, dimana rekrutmen, seleksi dan penempatan merupakan tiga fungsi utama terjadinya skill mismatch, menghadapi tantangan tersendiri untuk mengelola kompetensi karyawan agar dapat menghasilkan kinerja sesuai yang diharapkan. Literatur menyebutkan kesenjangan keterampilan tersebut dapat diatasi dengan pelatihan atau pemagangan (Cedefop 2012). Baik pemagangan maupun pelatihan, keduanya memberikan dampak positif bagi upaya meminimalkan kesenjangan keterampilan karyawan. Namun bagi perusahaan yang mengadopsi sistem penjaminan mutu internasional, sesuai dengan klausul 7 ISO 900-2015 ada satu permintaan yang wajib dipatuhi dalam unsur penyediaan pekerja kompeten, yakni bukti kompetensi karyawan. Salah satu cara membuktikan kompetensi karyawan adalah dengan mengupayakan karyawan yang memegang sertifikat kompetensi kerja untuk menjalankan pekerjaan sesuai jabatan tertentu, disamping pencapaian akademik yang diperolehnya. Manfaat sertifikasi kompetensi, sesuai pernyataan Surono (2012) dapat digunakan baik secara individu karyawan maupun bagi perusahaan dalam praktik manajemen sumber daya manusia. Bagi karyawan di perusahaan, sertifikat kompetensi diharapkan dapat meningkatkan akses kepada jenjang karir dan promosi yang lebih baik, serta pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki. Bagi Perusahaan, sertifikat kompetensi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi 138 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 kesalahan kerja, dan menjaga komitmen terhadap kualitas serta mempunyai karyawan yang berdaya saing, dimana hal itu makin menjauhkan perusahaan dari indikator terjadinya skill mismatch. Manfaat yang diperoleh dengan implementasi sertifikasi kompetensi belum sepenuhnya mendapatkan peluang dalam praktik manajemen SDM di perusahaan. Hal ini terbukti dari jumlah karyawan atau pekerja Indonesia yang memegang sertifikat kompetensi belum sesuai target yang diharapkan. Dugaan sementara bahwa keikutsertaan perusahaan dalam sertifikasi kompetensi adalah karena kurangnya informasi mengenai manfaat maupun sistem sertifikasi di Indonesia dan relevansinya dengan perusahaan. PENUTUP Simpulan Penelitian terdahulu telah membuktikan skill mismatch yang terjadi pada karyawan di perusahaan, dapat berdampak pada tingkat stress dan mempengaruhi daya saing perusahaan. Ditengah situasi tersebut, aturan internasional menyarankan adanya pengakuan atas kompetensi individu dalam bentuk sertifikasi kompetensi. Skill mismatch yang terjadi karena kesenjangan keterampilan karyawan dalam bekerja dapat diperbaiki dengan akuisisi keterampilan melalui pelatihan dan mengakui kompetensi yang dimiliki dengan sertifikasi kompetensi. Konsep kompetensi yang mencakup ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dianggap mampu mewakili skill acquisition dalam menjawab kebutuhan perusahaan. Model yang diajukan ILO dalam mencapai situasi matching menunjukkan bahwa demi memenuhi permintaan perusahaan, individu dapat meraih skill acquistion tidak hanya pada pencapaian pendidikan, namun berbagai jalur untuk memenuhi tingkat keterampilan yang sesuai. Dengan kata lain, pencapaian kompetensi dapat menjadi salah satu faktor dalam memenuhi skill acquisition dan mendorong terjadinya kondisi matching. Dalam konteks Indonesia, sertifikasi kompetensi masih dalam tahap berusaha mendapatkan perhatian dari masyarakat, khususnya dalam praktik manajemen sumber daya manusia di tingkat perusahaan. Penerimaan karyawan dengan sertifikat kompetensi dan menugaskannya di tempat kerja yang sesuai dengan kompetensi Atas dasar manfaat-manfaat yang diberikan sertifikasi kompetensi, dan rekomendasi dari penelitian terdahulu mengenai skill mismatch, didapatkan simpulan bahwa skill mismatch dapat diatasi jika karyawan memiliki sertifikat kompetensi kerja. Dari sudut pandang praktik manajemen sumber daya manusia, sertifikasi kompetensi kerja relevan dalam memastikan kompetensi karyawan pada fungsi rekrutmen, seleksi, dan penempatan. Dengan demikian, pada setiap jenjang jabatan karyawan dapat bekerja sesuai dengan kompetensi serta ditambah pencapaian akademiknya, sehingga membantu perusahaan mencapai kinerja yang diharapkan. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam metode studi pustaka, sehingga membutuhkan penelitian lanjutan di masa yang akan datang untuk mengidentifikasi indikator dalam pengunaan sertifikasi kompetensi kerja sebagai prediktor perilaku skill match dalam praktik manajemen sumber daya manusia. Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah keterbatasan data empirik mengenai 139 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pengelolaan dan dampak skill mismatch baik pada aras individu maupun perusahaan. Saran Saran untuk penelitian masa mendatang mengenai skill mismatch adalah dengan identifikasi perilaku skill mismatch pada praktik manajemen sumber daya manusia yang dihubungkan dengan kinerja karyawan yang mempunyai sertifikat kompetensi. Bagi sertifikasi kompetensi, penelitian masa depan dapat diarahkan pada analisa dan pengujian atas manfaat dan kegunaannya bagi perusahaan dan karyawan. Saran praktis dalam kajian ini adalah memperluas informasi mengenai sertifikasi kompetensi bagi perusahaan, lembaga pendidikan dan pelatihan hingga pada aras pemerintah daerah untuk memberi dukungan terutama pada industri di sektor prioritas ASEAN. Dukungan dalam bentuk informasi mengenai sertifikasi kompetensi yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak skill mismatch kepada perusahaan, lembaga pendidikan dan pelatihan hingga pemerintah daerah dapat mendorong penguatan daya saing perusahaan dan memperbaiki daya saing Indonesia di kawasan ekonomi tunggal ASEAN. DAFTAR PUSTAKA Abraham, Katharine. 2015. Is Skill Mismatch Impeding U.S. Economic Recovery?. Journal website: ilr.sagepub.com Abdullah, Abdul Ghani Kanesan ; Keat, Sim Hock; Ismail, Aziah ; Abdullah, Mohamad Hanif ; Purba, Miduk. 2012. Mismatch between higher education and employment in Malaysian Electronic Industry : An Analysis of the acquired and required competencies. International Journal of Engineering Education. Volume 28 Issue 5 Tahun 2012 Berita Satu. 2016. Menaker pemerintah terus bangun SDM yang berkompeten. http://www.beritasatu.com/ekonomi/394508-menaker-pemerintah-terus-bangun-sdm-yangberkompeten.html Buchel, F. B. 2002. The Effects of Overeducation on Productivity in Germany V The Firms’ Viewpoint, Economics of Education Review, 21. CEDEFOP. 2012. Skill Mismatch : The Role of Enterprise. A Research Paper. Luxembourg: Publications Office of the European Union, 2012 Catalano, Rob. 2015 The workforce crisis of 2030 – only 15 years away, diunduh pada Sep 8 2015 http://www.hrzone.com/community-voice/blogs/robcatalano/the-workforce-crisis-of-2030-only-15years-away Dobbs, Richard and Madgavkar, Anu. 2014. The world at work: Matching skills and jobs in Asia. Published online: 24 June 2014UNESCO IBE Dorking CH, Lord Baker. 2014. Skill Mismatch. Edge Foundation 2014 Ernawati, Endang. 2014. “Sertifikasi Kompetensi Pustakawan : Manfaat dan Pengaruhnya terhadap Jenjang Karir Pustakawan di Perpustakaan Perguruan Tinggi”. Seminar dan Workshop Pemanfaatan Bersama E-Resources Sertifikasi Jabatan Fungsional Pustakawan dan Kompetensi Pustakawan Menghadapi MEA 2016. Universitas Indonesia, Jakarta. Erawan, Winarno, Susanto. 2014. Pemodelan Sistem Informasi Web Sertifikasi Kompetensi di Lembaga Sertifikasi Profesi Menggunakan Metodologi Model-driven UWE (UML-based Web Engineering). Penelitian Hibah Bersaing, Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Jonbekova, Dilrabo. 2015 University Graduates’ Skills Mismatches in Central Asia: Employers’ Perspectives From Post-Soviet Tajikistan. University of Cambridge, European Education 140 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Florentine dan Prabowo, Sumbodo. 2014. Hubungan antara Skill Mismatch dengan stress kerja pada karyawan PT X. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang Guthrie, Hugh. 2009. Competence and Competency-based Training : What the literature says. National Centre for Vocational Education Research, commonwealth of Australia. Hakim, Muhamad. 2013. Strategi Pemberdayaan Angkatan Kerja & Mengurangi Pengangguran, Kompasiana pada laman http://www.kompasiana.com/muhamadhakim/strategi-pemberdayaan-angkatan-kerjamengurangi-pengangguran_551fd661a33311b242b65a6f diunduh pada 4 November 2015 Hanafi, Ivan. 2012. Re – Orientasi Keterampilan Kerja Lulusan Pendidikan Kejuruan, Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol 2, Nomor 1, Februari 2012 Hapsari, Melati Indri. 2016. Pengkajian Program Kursus dan Pelatihan terkait dengan Jenis Keterampilan,Sertifikasi dan Penempatan Lulusan. Journal of Nonformal Education http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jne Hanushek, E. A., & Woessmann, L. 2014. The knowledge capital of nations. Book manuscript. International Labor Organization. 2004. R195 - Human Resources Development Recommendation, 2004 (No. 195) Recommendation concerning Human Resources Development: Education, Training and Lifelong Learning Adoption: Geneva, 92nd ILC session (17 Jun 2004) diunduh pada 22 Januari 2017 di http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:R195 International Labor Organization. 2013. Skills mismatch in Europe. Statistics Brief, Geneva 2014 Diunduh pada http://www.cedefop.europe.eu /EN/Files/9023_en.pdf 1 Agustus 2015. International Labor Organization. 2015. Angkatan Kerja yang Terampil untuk Pertumbuhan yang Kuat,Berkelanjutan dan Seimbang. Strategi Pelatihan G20. Copyright © International Labour Organization 2015. Edisi Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama 2015 Iskandar dan Setiawan.2015. “Sertifikasi Kompetensi sebagai upaya perlindungan hukum bagi lulusan perguruan tinggi pariwisata dalam menyambut MEA.” E-Journal STP Bandung BARISTA, Volume 2, Nomor 2, Desember 2015 Jung-Youn, Park. 2015. Skill mismatch worsens since 2009. Suitable employment rarer, even with excess skilled labor positions. Artikel pada blog ditulis July 30,2015 diunduh pada 9 September 2015 di http://koreajoongangdaily.joins.com/news/article/Article.aspx?aid=3007240 Kartika, T. H. 2015. “Kesiapan Indonesia Dalam Merealisasikan Integrasi Tenaga Kerja Terampil Pada Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015.” Jurnal Ilmiah Universitas Bakrie, 3(03). Kartiwa, HA. 2006. “Urgensi Kompetensi dan Sertifikasi Keahlian dalam Pengelolaan Perguruan Tinggi.” Makalah disampaikan dalam Temu Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik dan Ilmu Administrasi Indonesia Tahun 2006 di Semarang. Kompas. 2016. Puan: Tantangan Terberat Hadapi MEA adalah Daya Saing SDM. Selasa, 26 April 2016 | diunduh pada 7 Januari 2016. http://nasional.kompas.com/read/2016/04/26/12032561/Puan.Tantangan.Terberat.Hadapi.MEA.adalah .Daya.Saing.SDM LEI. 2013. Lembaga Ekolabel Indonesia. “SEKILAS MENGENAI SERTIFIKASI MANDATORY DAN VOLUNTARY”. Diunduh di https://kongreslei2013.wordpress.com/2014/10/10/sekilas-mengenaisertifikasi-mandatory-dan-voluntary/ pada 6 Mei 2016. Leoni dan Gritti. 2013. High Performance Work Practices and Educational Mismatch: Creation and Destruction of Competencies. www.aiel.it/Old/bacheca/LUISS/papers/leoni_gritti.pdf Modestino, Alicia Sasser. 2011.Mismatch in the Labor Market : The Supply of and Demand for “middle skill” workers in New England. New England Journal of Higher Education. Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 2005. Definition and selection of key competencies: Executive summary. Paris: OECD. Pitman J. A., Bell E. J., Fyfe I. K. 1999. Competency-Based Assessment: New challenges for teachers. A paper presented at the conference of the Australian Association for Research in Education, and the New Zealand Association for Research in Education, Melbourne, November 1999 141 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Porter, Michael E. 2009. Improving Indonesia’s Competitiveness. Presentation to President Susilo Bambang Yudhoyono, Harvard Business School, Boston, Massachusetts, September 28, 2009 Rigby, Mike and Sanchis,Enric. 2006 The Concept of Skill and it’s social construction, European Journal of Vocational Training, No 37 – 2006/1 Rosidi, Imam. 2011. 5 Juta Tenaga Kerja Ditargetkan Miliki Sertifikasi. http://economy.okezone.com/read/2011/08/19/320/494080/5-juta-tenaga-kerja-ditargetkan-milikisertifikasi 19 Agustus 2011, diunduh pada 6 Mei 2016. Sala, Guillem. 2011 Approaches to Skills Mismatch in the Labour Market: A Literature Review. Facultad de Ciencias Políticas y Sociología. Universidad Complutense de Madrid Sumarna, Abdurrahman. 2015. Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Surono. 2012. Sistem Sertifikasi Profesi Nasional. Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Silitonga, Parlagutan. 2007. “Perbandingan Penerapan Sistem Sertifikasi Kompetensi di Indonesia dan negara-negara lain” Panorama Nusantara Vo. 2. No.1/ Januari-Juni 2007 Sindonews.2013. BNSP Menuju Indonesia Kompeten. 19 Desember 2013 diunduh dari http://ekbis.sindonews.com/read/818761/77/bnsp-menuju-indonesia-yang-kompeten-1387448809 pada 6 Mei 2016. Sugiarto,Agus 2004. Mengapa Manajer Risiko Bank Harus Disertifikasi. Artikel dicetak oleh Kompas tanggal 17 April 2004. Peneliti Bank Senior, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia World Bank. 2010. INDONESIA SKILLS REPORT Trends in Skills Demand, Gaps, and Supply in Indonesia. Human Development Department East Asia and Pacific Region Report No. 54741-EAP World Bank. 2010. Indonesia Jobs Report. Towards Better Jobs and Security for All. World Competitiveness Report 2016-2017. 2016. World Economic Forum-Geneva, Copyright © 2016 ISBN-13: 978-1-944835-04-0 142 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 TRATEGI PENERAPAN TALENT MANAGEMENT DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DI PUSAT INOVASI LIPI Mahardhika Berliandaldo Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Abstract: In the current era of globalization, the development of science and information technology encourages an organization to be able to analyze and anticipate any changes in the business environment or climate by providing a response that responds quickly, accurately, effectively, and efficiently. Each organization is required to develop a Human Resources (HR) is a reliable and qualified in the operations of the organization. HR is a strategic factor in all activities of the organization that serves as a determinant of the direction of policy and organizational performance in achieving the desired objectives. Without strong and reliable human resources, an organization can not operate optimally; HR is the main driving wheel business organization. Available human resources need to be managed optimally so that the company can move forward in the competitive global business. Competition between organizations is a fundamental issue to consider in sustaining the life cycle of the company itself. Faced with these issues, companies need to recognize that HR is an important factor to be managed optimally. For that companies need to develop talent management in the organizational processes towards improving the human resource development organization that is effective, efficient, resilient and competitive. Center for Innovation in this regard, continues to develop competencies related to the increase of its human resources in order to compete globally. In improving the competence of the human resources, human resources development pattern that is applied is the talent management approach. The approach used to develop the human resources that have high talent so as to improve overall organizational performance. Thus, in the management of human resources, Center for Innovation to develop a model of talent management with the preparation of Talent Strategy which includes Organization Plan, Talent Implication, Growth Talent, and Outcomes. With the talent management models, the results obtained show that the Innovation Center LIPI able to align talent management strategies with organizational planning that has been determined. Preparation of the model used in the implementation of activities and programs in order to be effective and sustainable. Keywords: Talent Management, human Resource development Abstrak: Pada era globalisasi saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi mendorong sebuah organisasi untuk mampu menganalisis dan mengantispasi setiap perubahan lingkungan atau iklim bisnis dengan memberikan respon yang tanggap secara cepat, tepat, efektif, dan efisien. Setiap organisasi dituntut untuk dapat mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan berkualitas dalam melakukan kegiatan operasional organisasi. SDM merupakan faktor strategis dalam semua kegiatan organisasi yang berfungsi sebagai penentu arah kebijakan dan kinerja organisasi dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Tanpa adanya SDM yang kuat dan handal, suatu organisasi tidak dapat beroperasi secara optimal, SDM adalah yang menjadi penggerak utama roda bisnis organisasi. SDM yang tersedia ini perlu dikelola secara optimal agar 143 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 perusahaan dapat terus maju di tengah persaingan bisnis global. Persaingan antar organisasi merupakan isu yang mendasar untuk dipertimbangkan dalam mempertahan siklus hidup perusahaan itu sendiri. Menghadapi isu tersebut, perusahaan harus menyadari bahwa SDM adalah faktor yang penting untuk dikelola secara maksimal. Untuk itu perusahaan perlu melakukan pengembangan talent management dalam proses organisasional munuju peningkatan pengembangan SDM organisasi yang efektif, efisien, tangguh dan kompetitif. Pusat Inovasi LIPI dalam hal ini, terus melakukan pengembangan terkait peningkatan kompetensi SDM yang dimilikinya agar mampu bersaing secara global. Dalam peningkatan kompetensi SDM tersebut, pola pengembangan SDM yang diterapkan adalah dengan pendekatan talent management. Pendekatan tersebut digunakan untuk mengembangan SDM yang memiliki talenta tinggi sehingga dapat meningkatkan kinerja organisasi secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam pengelolaan SDMnya, Pusat Inovasi LIPI mengembangankan model talent management dengan penyusunan Talent Strategy yang meliputi Organization Plan, Talent Implication, Growth Talent, dan Outcomes. Dengan adanya talent management model, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa Pusat Inovasi LIPI mampu menyelaraskan strategi manajemen talenta dengan perencanaan organisasi yang telah ditentukan. Penyusunan model tersebut digunakan dalam pelaksanaan kegiatan dan program – program agar dapat berjalan secara efektif dan berkelanjutan. Kata Kunci: Talent Management, Pengembangan SDM PENDAHULUAN Era globalisasi menyebabkan lingkungan bisnis berubah sangat cepat dan dinamis. Hal tersebut akan menuntut Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten dan memiliki keterampilan tinggi dalam menjalankan roda bisnis organisasi agar mampu bersaing dalam dinamika perubahan iklim bisnis tersebut. Selain itu, untuk memberikan respon yang tanggap secara cepat, tepat, efektif, dan efisien, setiap organisasi dituntut untuk memiliki SDM yang handal dan berkualitas agar dapat bersaing dalam kompetisi global yang semakin tinggi. Keterlibatan SDM dalam menentukan keunggulan dalam proses perubahan organisasi sangatlah penting, karena SDM merupakan subyek utama yang akan melaksanakan proses perubahan tersebut. Untuk melaksanakan proses perubahan tersebut dapat dilakukan melalui inovasi-inovasi dalam mencapai keunggulan bersaing, karena SDM yang handal dan kompeten sangat diperlukan dalam lingkungan yang kompetitif dan berguna bagi peningkatan kinerja organisasi pada umumnya. Salah satu strategi dalam melaksanakan peningkatan kinerja organisasi adalah dengan menerapkan Talent Management. Strategi tersebut dikembangkan dalam hal berkaitan dengan mencari orang yang tepat dengan keterampilan dan kompetensi yang tepat untuk posisi yang tepat. Organisasi yang mempunyai SDM dengan talenta yang sesuai dengan kebutuhan organisasi akan mendorong organisasi lebih kompetitif dan berdaya saing. Dengan semakin besarnya kesadaran organisasi-organisasi saat ini akan talenta tersebut, maka mereka akan bersaing untuk mendapatkan pegawai yang bertalenta tinggi, baik dengan cara melakukan pengembangan berupa pendidikan dan pelatihan maupun secara kaderisasi dan recruitment. Kekurangan orang-orang yang bertalenta merupakan hal serius bagi pertumbuhan organisasi di masa depan. Untuk dapat berkompetisi dalam persaingan, perusahan melakukan proses manajemen talenta yang meliputi mengidentifikasi, mengembangkan, mempertahankan, dan menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat (Ridha,et.al.,2016). 144 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Penerapan strategi talent management itu sendiri dapat diterapkan di Pusat Inovasi LIPI untuk mendapatkan personil yang memiliki talenta dan kompetensi yang handal. Pusat Inovasi LIPI melakukan sistem rekrutmen dan seleksi yang cukup ketat dalam memperoleh talenta-talenta yang diperlukan, sampai dengan proses manajemen karir yang baik sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Sementara itu, dalam melakukan pengembangan lebih lanjut, personil yang memiliki talenta baik maupun yang masih kurang akan terus dilakukan proses pengembangan melalui berbagai mekanisme pendidikan dan pelatihan agar dapat berinovasi dan memiliki kreatifitas lebih dalam pencapaian kinerjanya. Dengan meningkatnya kinerja personil atau pegawai Pusat Inovasi LIPI, maka secara bersamaan pula akan meningkat kinerja organisasinya. Oleh karena itu, sangatlah penting penerapan strategi talent management ini yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja organisasi secara menyeluruh. TINJAUAN PUSTAKA 1. TALENT Menurut Fitzgerald (2014), talent telah didefinisikan sebagai ‘orang-orang yang dapat membuat perbedaan untuk kinerja organisasi, baik melalui kontribusi langsung atau, dalam waktu jangka panjang dengan menunjukkan tingkat tertinggi potensialnya. Strategi bakat dan pelaksanaannya akan cukup bervariasi, tergantung pada apa definisi yang dipilih. Salah satu yang berlaku untuk personil di bagian atas organisasi dan personil yang didefinisikan sebagai potensi tinggi akan sangat berbeda dengan satu dan lainnya, di mana semua personil dianggap sebagai bakat terlepas dari peran atau tingkat organisasinya. Terdapat implikasi dalam pengembangan individu, peningkatan kinerja, perencanaan tenaga kerja dan perencanaan suksesi. Gambar 1. The Talent Formula (Fitzgerald (2014:8) Berdasarkan kedua definisi tersebut, bakat ditandai dengan keterampilan dan kontribusi individu, dan bagaimana individu tersebut berhubungan dengan pencapaian tujuan organisasi. Sementara itu, hal ini mungkin menjadi kerangka kerja yang akan menjadi permasalahan yang tampak mudah untuk menentukan bakat, tetapi, pada kenyataannya bisa berbeda. Pengalaman unik dari setiap organisasi juga akan mempengaruhi bagaimana bakat dapat didefinisikan. Bukti lebih lanjut dari perbedaan pandangan tentang definisi bakat adalah menurut McKinsey (2009), yang menentang konsepsi ‘War of Talent’ pandangan dari abad ke-20 akhir, yaitu menyatakan bahwa terdapat beberapa varian bagaimana bakat didefinisikan. Masing-masing memiliki implikasi terhadap fokus, alokasi sumber daya, dan manajemen yang bermuara pada definisinya, yaitu: 145 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 ο· ο· ο· ο· Definisi pertama adalah asumsi bahwa setiap orang dalam organisasi harus dianggap sebagai bakat. Opsi ini menyediakan untuk pengaruh potensi penuh dari personil secara terbalik dari inklusivitas dan tidak ada diskriminasi. Terdapat kompleksitas dalam pandangan ini yang didasarkan pada banyaknya personil yang mungkin termasuk dalam proses organisasinal bisnis. Kompleksitas lainnya adalah dalam proses manajemen dan masalah biaya-biaya; Definisi kedua adalah strukturisasi bakat personil di berbagai jalur karir dan tingkatan. Definisi dalam manajemen bakat ini dioperasionalkan dalam proses segmentasi personil dan pentargetan setiap segmen dengan berbagai strategi dan praktek; Definisi ketiga adalah menempatkan talenta terbaik sebagai manajemen puncak, potensi tinggi dan spesialis di semua tingkatan. Identifikasi awal bakat merupakan karakteristik dari pendekatan ini. Hal ini bisa dilihat sebagai pendekatan eksklusif dan memiliki filosofi yang sama dengan definisi keempat, yaitu mereka (personil) yang berpotensi tinggi independen dari tingkat hirarki; Definisi keempat lebih inklusif, yaitu, talenta disebut dengan potensi tinggi sebagai bagian dari organisasi di mana pun mereka duduk dalam organisasi dalam berbagai tingkatannya. 2. TALENT MANAGEMENT Menurut Pella dan Afifah (2011): “Manajemen talenta adalah suatu proses untuk memastikan posisi kunci suatu perusahaan untuk terisi oleh pemimpin masa depan (future leaders) dan posisi yang mendukung kompetensi inti perusahaan (unique skill and high strategic value)”. Praktek manajemen talenta dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang paling permanen, sedangkan teknologi baru dan inovasi dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing dan menghasilkan keunggulan kompetitif yang bersifat sementara. Keunggulan kompetitif yang berasal dari praktek manajemen talenta adalah bagaimana organisasi dapat menarik, mengembangkan, mempertahankan, memotivasi, mengelola, dan penghargaan talentanya (Rita, 2013). Manajemen talenta memiliki manfaat bagi perusahaan, seperti perusahaan akan mendapatkan personil yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik, personil yang bertalenta tersebut dapat dikembangkan untuk menerima tanggungjawab yang lebih luas dan lebih besar serta pengangkatan dan pemilihan personil bertalenta tersebut dapat diambil dari sumber internal. Terdapat 6 (enam) perspektif strategis yang diidentifikasi dalam membentuk organisasi dengan pendekatan manajemen talenta (Haghparast et.al. 2012): a. Perspektif Kompetitif (The Competitive Perspective); Perspektif ini memandang bahwa manajemen talenta harus mengidentifikasi orang-orang berbakat serta memberikan apa yang mereka inginkan, jika tidak mereka akan diburu oleh para pesaing; b. Perspektif Proses (The Process Perspective); Perspektif ini memandang bahwa manajemen talenta harus terdiri dari semua proses yang dibutuhkan untuk mengoptimalisasi individu pada suatu organisasi. Perusahaan harus menggunakan suatu sistem atau proses yang memungkinkan individu bertalenta untuk menggali kesuksesan karir pada perusahaan mereka. Menciptakan dan memelihara talenta merupakan suatu tugas yang dilaksankan organisasi setiap hari. Hal ini berfokus pada proses yang mengoptimalkan kinerja karyawan dan keyakinan bahwa masa depan didasarkan dengan memiliki bakat yang tepat. c. Perspektif Perencanaan SDM (The HR Planning Perspective); 146 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Perspektif ini mirip dengan perspektif proses, tetapi mencerminkan orientasi SDM untuk mencocokan orang yang tepat untuk pekerjaan yang tepat pada waktu yang tepat dan melakukan hal yang benar. d. Perspektif Pengembangan (The Developmental Perspective); Perspektif ini berfokus pada pengembangan potensi SDM yang tinggi maupun bakat yang lebih cepat dari pada SDM lainnya. e. Perspektif Budaya (The Culture Perspective) Perspektif ini memandang bahwa setiap individu akan sukses jika mereka memiliki talenta yang cukup dan kesuksesan bisnis akan mengikuti kesuksesasan-kesuksesan mereka. Persepektif ini menganggap manajemen bakat adalah sebuah pola pikir dan percaya bakat atas apa yang diperlukan. f. Perspektif Manajemen Perubahan (The Change Management Perspective); Perspektif ini melihat bahwa manajemen talenta dipandang sebagai pendorong perubahan dan dapat menjadi bagian dari inisiatif strategis SDM yang lebih luas untuk perubahan organisasi, mungkin karena perubahan kepemilikan atau bentuk baru reformasi organisasi, terutama organisasi pemerintahan. Menurut Wellins et al., (2010), komponen kunci dari proses manajemen talenta yang sangat efektif meliputi: a. Pemahaman yang jelas tentang strategi bisnis organisasi saat ini dan masa depan; b. Identifikasi kesenjangan utama antara talenta yang ada dan talenta yang diperlukan untuk mendorong kesuksesan bisnis organisasi; c. Perencanaan manajemen talenta yang dirancang untuk menutup kesenjangan talenta. Hal ini juga harus terintegrasi dengan rencana strategis dan bisnis organisasi; d. Perekrutan yang akurat dan keputusan promosi jabatan berbasis talenta; e. Hubungan individu dan tim sukses untuk pencapaian tujuan organisasi, dan memberikan harapan yang jelas dan umpan balik untuk mengelola kinerja; f. Pengembangan talenta untuk meningkatkan kinerja dalam posisi saat ini serta kesiapan transisi ke tingkat berikutnya; g. Fokus tidak hanya pada strategi talenta itu sendiri, namun unsur yang diperlukan untuk keberhasilan pelaksanaan; h. Dampak bisnis dan pengukuran efektivitas tenaga kerja selama dan setelah pelaksanaan manajemen talenta. METODE PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun penerapan strategi manajemen talenta yang digunakan dalam peningkatan kinerja organisasi Pusat Inovasi LIPI. Selain itu, strategi manajemen 147 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 talenta ini dapat dimanfaatkan personil/pegawai dalam meningkatkan kinerjanya secara individu. Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pendekatan kualitatif berbasis model Talent management Strategy Frameworks. Pendekatan tersebut digunakan untuk menyusun strategi pengembangan SDM yang memiliki talenta tinggi, sehingga dapat meningkatkan kinerja organisasi secara menyeluruh. Sumber data dalam kajian ini digali dengan metode wawancara mendalam dan Forum Group Discussion (FGD) pada informan kunci yang memahami dengan baik pada persoalan yang dikaji. Wawancara mendalam dan FGD difokuskan pada pada aspek-aspek medel manajemen talenta dalam penyusunan Talent Strategy terkait dengan karakteristik organisasional di Pusat Inovasi LIPI, yang meliputi Business Landscape, Talent Implication, Growth Engine, dan Outcomes. Diharapkan dalam kajian ini akan ditemukan model manajemen talenta terbaik yang dapat diterapkan pada organisasi dan mampu meningkatkan kinerja personil maupun organisasi secara menyeluruh. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. HASIL Dalam kajian ini diperoleh hasil talent management model yang dapat digunakan di Pusat Inovasi LIPI. Model tersebut digunakan untuk penyusunan strategi dalam proses pengembangan SDM yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kinerja pada organisasi. Model yang disusun ini merupakan modifikasi dari model yang dikembangkan oleh Wellins et.al. (2010:10). Modifikasi ini dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan kondisi dan lingkungan bisnis yang terdapat di Pusat Inovasi LIPI. Modifikasi digunakan untuk dapat menjelaskan terkait hasil-hasil yang diperoleh dalam pengembangan SDM untuk mencapai Kinerja Organisasi secara keseluruhan. Berikut adalah Talent Management Model di Pusat Inovasi LIPI (Gambar 1). Gambar 1. Talent Management Model di Pusat Inovasi LIPI Sumber: Modifikasi dari Model Wellins et al., (2010:10) 2. PEMBAHASAN Berdasarkan Gambar 1 di atas, talent strategy yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan kinerja organisasi dan kinerja pegawai. Peningkatan kinerja organisasi tersebut dapat disebabkan oleh 148 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 adanya pengembangan manajemen talenta yang dapat dilakukan di Pusat Inovasi LIPI. Dengan adanya pertumbuhan talenta, kompetensi dan keterampilan dari masing-masing pegawai dapat meningkat seiring dengan pelaksanaan manajemen talenta. Penerapan talent management model ini sangat berguna untuk menjalankan roda bisnis organisasi di Pusat Inovasi LIPI dalam menghadapi persaingan secara global. Perencaaan Organisasi (Organization Planning) Untuk menjalankan organisasi agar dapat berlangsung sesuai dengan tujuannya, perencanaan kerja sangatlah penting untuk dilakukan. Perencanaan kerja organisasi ini dilakukan berdasarkan skala prioritas nasional dan skala prioritas LIPI. Dalam skala prioritas nasional, satuan kerja diminta untuk menyusun perencanaan program/kegiatan berdasarkan Pembangunan wilayah, ketahanan pangan, dan ketahanan energi. Ketiga prioritas tersebut sangatlah penting dalam meningkatkan daya saing satuan kerja di LIPI termasuk Pusat Inovasi LIPI. Oleh karena itu, program yang dilaksanakan diwajibkan untuk berkesinambungan terhadap salah satu dari ketiga program prioritas nasional yang telah dicanangkan dan sesuai dengan koridor LIPI. Selain itu, perencanaan organisasi perlu juga diselaraskan dengan program prioritas LIPI yang telah ditentukan. Program prioritas LIPI terdiri dari Sektor Maritim, Kesehatan dan Obat, Lingkungan dan Kebencanaan, Polhukam, Biodiversity, serta dunia usaha dan pariwisata. Untuk selanjutnya, setiap pengusulan program maupun kegiatan diwajibkan selaras dengan program prioritas nasional dan program prioritas LIPI, termasuk didalamnya pengelolaan SDMnya. Gambar 2. Perencanaan Organisasi menuju Outcomes Dalam pengembangan talent strategy, personel/pegawai yang terlibat dalam programprogram tersebut, perlu disesuaikan dengan kompetensinya. Jika dalam satuan unit kerja tidak memiliki talenta yang sesuai dengan program tersebut, maka dapat dilakukan upaya melalui proses pengembangan SDM untuk dapat meningkat kompetensinya. Sehingga dimasa yang akan datang, penyesuaian rencana kerja, dapat rancang dan disusun dengan kesesuaian SDM yang memiliki talenta-talenta yang bagus dan sesuai dalam menjalankan program kerja yang telah direncanakan. Saat ini bagaimana memikirkan organization planning yang dapat berdampak pada outcomes suatu organisasi. Dengan talent strategy ini, outcomes yang dihasilkan tidak hanya pada pegawai yang bersangkutan, akan tetapi berdampak langsung pada kinerja organisasi secara keseluruhan. Dengan meningkatnya kinerja pada pegawai, maka secara tidak langsung akan berdampak pada kinerja organisasi itu sendiri, dan salah satu program Pusat Inovasi LIPI yang memiliki dampak nasional adalah Pengembangan Science & Technology Park. 149 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Science & Technology Park atau yang sering disingkat STP ini adalah suatu program yang telah dikembangkan mulai tahun 2015 sampai dengan saat ini. Pengembangan ini merupakan salah satu perencanaan pengembangan kawasan berbudaya ilmu pengetahuan dan teknologi. Kawasan yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) ini membutuhkan personil-personil yang memiliki talenta dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Jika personil tersebut kurang mumpuni dalam menangani suatu pekerjaan tertentu, maka diharuskan untuk mengikuti pola pengembangan SDM agar dapat berdaya saing sesuai dengan talenta dan kompetensinya. Talent Implication Seiring dengan telah disusunnya rencana kerja yang berhubungan dengan program prioritas nasional dan program prioritas LIPI, maka perlu dilihat implikasi terhadap ketersediaan talenta yang ada. Apakah ketersediaan talenta yang dimiliki dapat memenuhi kriteria yang diinginkan atau tidak. Jika telah memenuhi, maka perlu dilakukan suatu koordinasi yang tidak terlalu lama dalam melaksanakan suatu program. Sementara itu, perlu untuk dilakukan suatu pengembangan manajemen talenta dan evaluasi agar kompetensi yang dimiliki dapat sesuai dengan arah dan tujuan program tersebut, sehingga akan berdampak baik terhadap perkembangan organisasi secara keseluruhan. Gambar 3. Talent Implication Berdasarkan gambar 3 di atas, dapat dilakukan penyusunan terkait tren dari personil/pegawai Pusat Inovasi LIPI, dengan membuat suatu database terkait SDM yang dimiliki. Terkait database tersebut, dapat dilakukan pengelompokan-pengelompokan terkait ketersediaaan SDM yang dimiliki. Dalam pengelompokan SDM tersebut, perlu ditambahkan terkait kompetensi yang dimiliki masing-masing personil/pegawai dan bagaimana histori dari kualitas pegawai tersebut agar dapat disusun secara baik terkait talenta-talenta yang dimiliki oleh Pusat Inovasi LIPI. Perlu diketahui kekuatan dan kelemahan dari masing-masing pegawai agar dapat dengan mudah diketahui untuk dilakukan proses pengembangan SDM yang bersangkutan. Dengan adanya peta kekuatan dan kelemahan tersebut, munculah masalah Capacity Gap. Kesenjangan kapasitas SDM tersebut, perlu untuk dilakukan analisis lebih lanjut sehingga setiap pegawai memiliki kompetensi yang sepadan di masa yang akan datang. Kesenjangan masa depan harus menjadi bagian dari rencana hari ini yang telah disesuaikan perencanaan organisasi. Kekurangan talenta yang dimiliki ini akan mempengaruhi keunggulan kompetitif dari organisasi yang bersangkutan. 150 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Setelah dapat ketahui terkait database pengelolaan SDM Pusat Inovasi LIPI, maka akan dapat dilakukan proyeksi lebih lanjut di masa yang akan dating. Proyeksi tersebut harus terkait dengan perencanaan organisasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja organisasi yang sudah ada sebelumnya. Untuk lebih lanjut, pola pengembangan SDM ini dapat dilakukan dengan pengembangan manajemen talenta agar dapat memiliki daya saing lebih terhadap kompetitor dan memiliki Competitive Advantage dari masing-masing personil/pegawai yang ada Pusat Inovasi LIPI. Menurut Jackson (2010) dalam Adi (2015) mengungkapkan hubungan antara human capital (talent) dan competitive advantages, sebagai berikut: Talenta yang tepat adalah batu bangunan fundamental yang datang untuk menciptakan sebuah organisasi yang mampu berinovasi dan berubah serta menggunakan hal tersebut sebagai sumber keunggulan kompetitif (competitive advantages). Mencari, memperoleh dan mempertahankan talenta yang tepat merupakan hal yang diperlukan, tetapi belum cukup untuk membuat sebuah organisasi tumbuh dan berkembang dengan keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Dalam mencapai hal tersebut, sebuah organisasi harus memikirkan struktur yang tepat, sistem, proses, dan praktik yang baik. Secara umum, organisasi memiliki personil yang unggul, hanya saja kebanyakan organisasi tidak/belum mampu mengelola atau mendukung personil tersebut dengan baik dan benar. Pertumbuhan Talenta (Growth Talent) Praktek Talent Management dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang paling permanen, sementara itu, teknologi baru dan inovasi dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing dan menghasilkan keunggulan kompetitif yang bersifat sementara. Keunggulan kompetitif yang berkelanjutan berasal dari praktek Talent Management, dengan kata lain, bagaimana organisasi dapat menarik, mengembangkan, mempertahankan, memotivasi, mengelola, dan penghargaan talentanya (Rita, 2013). Menurut (Dessler 2013); “Talent Management as the goal-oriented and integrated process of planning, recruiting, developing, managing and compensating employees”. Manajemen talenta sebagai suatu proses yang berorientasi tujuan dan teritegrasi pada perencanaan, rekrutmen, pengembangan, pengelolaan dan pemberian kompensasi personil/pegawai. Manajemen talenta juga berarti bagaimana organisasi/perusahaan mampu mengelola sumber dayanya mulai dari proses rekrutmen, penempatan pegawai, penilaian kinerja, pelatihan dan pengembangan karir, sampai personil/pegawai meninggalkan personil/perusahaan, dan pada akhirnya tujuan-tujuan perusahaan dapat tercapai. Organisasi yang mempunyai karyawan dengan talenta yang sesuai dengan kebutuhan organisasi/perusahaan akan membuat organisasi lebih kompetitif dan berdaya saing. Dengan semakin besarnya kesadaran organisasi/perusahaan-perusahaan akan talenta tersebut, maka mereka bersaing untuk mendapatkan karyawan yang bertalenta tinggi, baik dengan cara mencari dari luar maupun dari pelatihan dan kaderisasi. Kekurangan talenta merupakan hal serius bagi pertumbuhan organisasi di masa depan. Untuk dapat berkompetisi dalam persaingan, organisasi/perusahan melakukan proses manajemen talenta yang meliputi mengidentifikasi, mengembangkan, mempertahankan, dan menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat (Ridha,et.al.,2016). 151 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Gambar 4. Pola Pengembangan Talenta Menurut Mangusho et al., (2015) dan Rita (2013) konsep pengembangan Manajemen Talenta yaitu sebagai berikut: 1) Talent Attraction Komponen dari menarik talenta ini adalah dengan cara rekruitmen dan seleksi, employer branding, employee value proposition dan employer of choice (Armstrong, 2006). Proses rekrutmen dan seleksi ini mengharuskan untuk menggunakan metode dan teknik-teknik khusus terkait pemilihan talenta yang dibutuhkan yang sesuai dengan budaya dan nilai dari organisasi. Selain itu, proses ini juga disesuaikan dengan perencanaan organisasi dalam jangka panjang. Seumber-sumber talenta dapat diperoleh dari internal organisasi ataupun eksternal organisasi. Talenta-talenta yang dipilih secara internal tersebut dapat dijadikan calon pemimpin dimasa yang akan datang dengan menyesuaikan kompetensi dan keterampilan yang dimiliki. Para talenta tersebut dapat langsung mengetahui proses bisnis pekerjaan, sehingga dapat beraktifitas kedalam posisi baru tersebut dan dapat memberikan kinerja yang diinginkan. Dengan proses internal tersebut, maka dibutuhkan waktu yang cukup untuk dapat memberikan dampak positif bagi organisasi. Namun demikiam, jika organisasi ingin memperkenalkan perubahan radikal atau untuk memperbaharui budaya atau kinerja, maka talenta yang berasal dari sumber eksternal adalah pilihan yang terbaik (Ballesteros et al, 2010). Akan tetapi, sumber yang berasal dari eksternal tidak juga akan memberikan jaminan keberhasilan organisasi yang cepat, karena pada umumnya talenta-talenta ekternal tersebut berasal dari iklim dan budaya yang berbeda dari organisasi tersebut. Selain dengan proses rekrutmen dan seleksi maupun employer branding juga hal yang diperlukan untuk mengembangkan citra organisasi, sehingga hal tersebut merupakan strategi yang menarik dalam memperoleh pegawai yang bertalenta tinggi. Tanpa citra organisasi yang baik, sulit untuk menarik bakat yang tepat (Ana, 2009). Perlu dipahami juga bahwa, pegawai juga dapat menilai proposisi talenta mereka berdasarkan tantangan yang dimiliki dalam pekerjaan tersebut, lingkungan kerja, kesempatan pelatihan, fleksibilitas dan reputasi organisasi (Oehley, 2007). 152 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Internal Organisasi Rekrutmen, Citra Organisasi, Talenta Memilih Kinerja External Organisasi Gambar 5. Proses Talent Attraction 2) Learning and Development Davis et al., (2007) mencatat bahwa perekrutan dan pengembangan staf berbakat adalah sangat penting untuk keberhasilan tujuan bisnis. Orang-orang di Aid (2013) lebih lanjut menekankan perlunya pembelajaran dan pengembangan dengan mengatakan bahwa organisasi yang beroperasi di lingkungan yang cepat berubah diperlukan untuk beradaptasi agar tetap di garis depan. Kegunaan pembelajaran dan pengembangan diakui dalam keadaan ini karena tinggal di garis depan berarti organisasi memperoleh teknik-teknik baru dan keterampilan. Pengembangan bakat adalah proses mengubah suatu organisasi, karyawan, stakeholder, dan kelompok orang di dalamnya, baik dengan menggunakan pembelajaran terencana dan tidak terencana, dalam rangka mencapai dan mempertahankan keunggulan kompetitif bagi organisasi (Davis et al, 2007). Sebagai organisasi yang selalu menerapkan teknologi baru, model pertumbuhan bisnis baru, dan strategi pasar baru, membutuhkan tenaga kerja yang kemampuan dan kompetensinya meningkat secara konstan dan terus menerus. Berikut ini adalah contoh pengembangan untuk setiap kategori dalam pembangunan talenta. 153 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Gambar 6. Learning & Development Sumber: Ratri (2015:200) Organisasi harus memahami proses pembelajaran dan pengembangan yang efektif pada personil/pegawai mereka. Organisasi harus mampu mengidentifikasi personil/karyawan yang perlu mendapatkan pembelajaran dan pengembangan, serta tingkat pembelajaran dan pengembangan yang mereka butuhkan dan durasi selama pembelajaran berlangsung (Harburg, 2003). Dengan membangun budaya pengembangan personil tersebut, maka peningkatan kompetensi pada tenaga kerja menjadi sangat penting agar berdampak positif bagi perkembangan kinerja secara organisasi. Semakin terus dilakukannya proses pengembangan pegawai, maka dapat diperoleh personil-personil yang bertalenta tinggi, sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang ada serta meningkatkan kinerja organisasi secara menyeluruh. Untuk itu, perlu dilakukannya learning and development need analysis sebelum dilakukannya pengembangan kompetensi SDM. Setelah pemetaan talenta dilakukan, organisasi akan mengetahui bakat dan potensi kinerja setiap personil/karyawan sebagai dasar untuk mengetahui pola pembangunan dan pembelajaran. Analisis ini adalah untuk meningkatkan produktivitas dalam rangka menciptakan personil/karyawan yang akan masuk ke dalam kategori "Bintang" atau “Super Talent”. Terdapat beberapa program pengembangan dan pembelajaran seperti pengayaan pekerjaan, pembesaran pekerjaan, tugas khusus, mentoring, coaching, conceling, on-the-job training, rotasi pekerjaan, dan lain sebaginya. 154 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 3) Talent Retention Retensi Talenta bertujuan untuk mengambil langkah-langkah untuk mendorong karyawan untuk tetap dalam organisasi dalam periode waktu maksimum. Vaiman et.al. (2008) mendefinisikan dua klasifikasi alat retensi untuk mencukupi harapan karyawan: insentif ekstrinsik dan intrinsik. Insentif ekstrinsik meliputi berbagai macam hadiah uang yang dapat memenuhi kebutuhan fisiologis, sementara insentif intrinsik merujuk imbalan non-moneter yang dapat memenuhi karyawan karyawan kebutuhan psikologis. Paket kompensasi yang baik adalah penting dalam mempertahankan karyawan, seperti halnya penawaran yang menarik berupa paket manfaat kompetitif dengan komponen seperti asuransi jiwa, asuransi cacat dan jam kerja yang fleksibel dalam memotivasi karyawan untuk berkomitmen dalam sebuah organisasi. Program manajemen talenta menawarkan kepada setiap organisasi tentang cara yang telah terbukti dan praktis untuk secara signifikan meningkatkan kepuasan karyawan dan retensi untuk mengurangi turnover dan biaya-biaya terkait. Selanjutnya karyawan dapat lebih produktif memberikan tingkat tinggi layanan kepada pelanggan dan membantu untuk memberikan hasil bisnis yang kuat secara keseluruhan. Sebuah deskripsi pekerjaan up-to-date adalah salah satu cara terbaik untuk berkomunikasi terkait tanggung jawab pekerjaan karyawan baru, ruang lingkup pengambilan keputusan dan luasnya kewenangan. Deskripsi pekerjaan yang menangkap budaya dan nilai-nilai organisasi dapat membantu manajemen menarik dan mempertahankan jenis karyawan yang diinginkan. Setiap karyawan harus diberi tujuan individu yang secara langsung terkait dengan tujuan organisasi tingkat yang lebih tinggi. Seringkali organisasi gagal untuk menetapkan tujuan yang terhubung ke tujuan-tujuan organisasi, atau tidak menetapkan tujuan sama sekali. Karyawan yang tidak memiliki arah yang jelas tidak dapat dengan mudah terhubung dengan pekerjaan yang mereka lakukan untuk keberhasilan organisasi. Menghubungkan tujuan karyawan dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan membantu untuk menetapkan kinerja dan memberikan karyawan dengan konteks yang sangat penting untuk pekerjaan mereka. Menghubungkan tujuan masingmasing untuk tujuan perusahaan membantu karyawan memahami bagaimana mereka bekerja sehari-hari memberikan kontribusi untuk keberhasilan organisasi. Hal ini membantu karyawan untuk memahami nilai mereka kepada organisasi, menjaga mereka terlibat dan termotivasi, yang pada gilirannya berdampak pada keterlibatan karyawan dan retensi (Trevor, et al, 2003). 4) Career Management Manajemen karir adalah proses di mana karyawan melibatkan diri dalam mengidentifikasi tujuan karir, mengembangkan keterampilan dan kekuatan dan mengidentifikasi kelemahan untuk mencapai tujuan karir. Kekurangan karyawan dapat disebabkan oleh perencanaan karir yang buruk dan komitmen karyawan lebih rendah terhadap tujuan karir. Ada beberapa elemen dari manajemen karir termasuk pengembangan karir dan perencanaan yang berfokus pada perencanaan pertumbuhan dan perkembangan karyawan; keterlibatan penjaluran karir dari pekerjaan tertentu yang memungkinkan karyawan memiliki visi perkembangan serta tujuan dan harapan; pengembangan karyawan yang terdiri dari program dan inisiatif; pembelajaran dan pengembangan inisiatif; manajemen pembinaan; sistem penghargaan kompetitif; pusat karir; perencanaan suksesi; kinerja manajemen / umpan balik; dan program pembangunan lintas-fungsional (Allen, 2005). Manajemen karir terdiri dari dau kegiatan yaitu kegiatan formal dan informal termasuk lokakarya karyawan, rotasi kerja, Pengayaan pekerjaan, dan tangga karir, misalnya program organisatoris direncanakan atau teori terkait tahap perkembangan. Organisasi juga dapat berkontribusi untuk identitas karir dengan memberikan peluang untuk pengembangan diri, peluang untuk kemajuan (Dargham, 2013). Sturgeins et.al. 155 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 (2002) mengamati bahwa manajemen karir organisasi meningkatkan komitmen karyawan dan kinerja organisasi. Manajemen karir dapat dilihat sebagai salah satu bentuk dukungan organisasi yang dirasakan terhadap pola pengembangan karyawan. Kraimer et al. (2003) mempelajari hubungan antara manajemen karir organisasi dan dukungan karir dirasakan. praktek manajemen karir organisasi meliputi; penilaian kinerja sebagai dasar perencanaan karir, pusat penilaian, konseling karir oleh departemen sumber daya manusia, mentoring formal, lokakarya karir, program persiapan pensiun, perencanaan suksesi, pendidikan formal sebagai bagian dari pengembangan karir dan bergerak lateral yang untuk membuat pengalaman lintas fungsional (Agarwala, 2007). PENUTUP 1. KESIMPULAN Salah satu strategi dalam melaksanakan peningkatan kinerja organisasi adalah dengan menerapkan manajemen talenta (Talent Management). Strategi tersebut dikembangkan dalam hal berkaitan dengan mencari orang/personil yang tepat dengan keterampilan dan kompetensi yang tepat untuk posisi yang tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun penerapan strategi manajemen talenta yang digunakan dalam peningkatan kinerja organisasi di Pusat Inovasi LIPI. Sementara itu, strategi ini dapat dimanfaatkan personil/pegawai dalam meningkatkan kinerjanya secara individu. Dengan adanya pertumbuhan talenta, kompetensi dan keterampilan dari masing-masing pegawai akan dapat meningkat seiring dengan pelaksanaan manajemen talenta pada suatu organisasi. Ketika menjalankan organisasi agar dapat berlangsung sesuai dengan tujuannya, perencanaan kerja sangatlah penting untuk dilakukan. Perencanaan kerja organisasi ini dilakukan berdasarkan skala prioritas nasional dan skala prioritas LIPI. Sementara itu, pada skala prioritas nasional, satuan kerja di lingkungan LIPI diminta untuk menyusun perencanaan program/kegiatan berdasarkan Pembangunan wilayah, ketahanan pangan, dan ketahanan energi. Selain itu, perencanaan organisasi perlu juga diselaraskan dengan program prioritas LIPI yang telah ditentukan. Program prioritas LIPI terdiri dari Sektor Maritim, Kesehatan dan Obat, Lingkungan dan Kebencanaan, Polhukam, Biodiversity, serta dunia usaha dan pariwisata. Selanjutnya, setiap pengusulan program maupun kegiatan diwajibkan selaras dengan program prioritas nasional dan program prioritas LIPI. Berdasarkan penjelasan di atas, pada penyusunan perencanaan perlu adanya keterlibatan seluruh pegawai agar dapat selaras dengan tujuan organisasi. Setiap karyawan harus diberi tujuan individu yang secara langsung terkait dengan tujuan organisasi tingkat yang lebih tinggi. Menghubungkan tujuan karyawan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan membantu untuk menetapkan kinerja dan memberikan karyawan dengan konteks yang sangat penting untuk pekerjaan mereka. Menghubungkan tujuan masing-masing untuk tujuan perusahaan membantu karyawan memahami bagaimana mereka bekerja sehari-hari memberikan kontribusi untuk keberhasilan organisasi. Praktek Talent Management yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang paling permanen dibandingkan dengan penerapan teknologi baru dan inovasi yang dengan mudah ditiru oleh pesaing dan menghasilkan keunggulan kompetitif yang bersifat sementara. Dengan meningkatnya pengembangan talent management bagi masing-masing individu pegawai, akan memberikan dampak yang baik terhadap kesuksesan organisasi secara keseluruhan. Pola pengembangan SDM perlu dicermati sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing individu dengan melihat perencanaan organisasi. Strategi tersebut menempatkan SDM pada pola pengembangan SDM yang baik sehingga memberikan outcome bagi organisasi yang baik pula. 156 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 2. SARAN Pengembangan talent management perlu disesuaikan dengan perencanaan dari masing-masing organisasi baik dari rencana jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Penyesuaian ini dilakukan demi mendapatkan pola pengembangan SDM yang baik agar dalam pelaksanaan yang dilakukan oleh masing-masing individu dapat selaras dengan kebutuhan dirinya maupun secara organisasi. Seorang pimpian (manager), perlu menyesuaikan pekerjaan dari masing-masing talenta yang dimiliki, agar tidak salah dalam mengembangan bakatnya. Penerapan strategi ini masih perlu dikaji lebih lanjut, agar dapat menghasilkan strategi yang baik dalam menjalankan roda bisnis organisasi. Hal ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan dilakukan pengimplementasian yang baik agar dapat sesuai dengan harapan yang diinginkan organisasi. 157 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA Allen, R. (2005). Competitive management practices: gaining leveraging in the 21st century. Retrieved 2nd June 2013 from http://www.ritaballenassociates.com/Career%20Managment .pdf Dargham, N.A.S. (2013). The organizational career management and career behavior. Retrieved 3rd June 2013 from http://www.fgm.usj.edu.lb/files/a52010.pdf Davis, T., Maggie, C.& Flynn (2007) Talent assessment, a new strategy for talent management. Gower, United States. Harburg, F. (2003). The Three Essential Elements of Learning and Development. Retrieved 2nd June 2013 from http://clomedia.com/articles/view/the three essential elements of learning and development. Kraimer, M.L., Seibert, S.E., Wayne, S.J. & Liden, R.C. (2003). ‘Examining employee performance and turnover intentions from a career perspective’, Paper presented at the Annual meeting of the Academy of Management, Seattle. Oehley, A. (2007). The development and evaluation of a partial talent management competency Model. Unpublished thesis. Stellenbosch. University of Stellenbosch. Pella, Darmin A & Inayati, Afifah. 2011. Talent Management (Mengembangkan SDM untuk Mencapai Pertumbuhan dan Kinerja Prima). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Ridha Choirun Nisa, Endang Siti Astuti, & Arik Prasetya. 2016. Pengaruh Manajemen Talenta dan Manajemen Pengetahuan Terhadap Kinerja Karyawan (Studi pada Karyawan PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur, Surabaya). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB): Vol. 39 No. 2 Oktober 2016. Sturgeins, J., Guest, D., Conway, N., & Mackenzie D. K. (2002). ‘A longitudinal study of the relationship between career management and organizational commitment among graduates in the first years of work; journal of organizational behavior ,23,731-748 Trevor, C.O., Boudreau, J.W., & Gerhart, B. (2003). Is it worth it to win the talent war? Evaluating the utility of performance-based pay. Personnel Psychology, 56, 997-1035. Trevor, C.O. Vaiman V. & Vance C.M. (2008). Smart talent management: building knowledge assets for competitive advantage. Edward Elgar Publishing Ltd. Wellins, Richard S., Smith, Audrey B., dan Scott Erker. 2010. Nine Best Practices for Effective Talent Management. Development Dimensions International, Inc., MMVI. Revised MMIX. All rights reserved. 158 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENGEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA DAN PENINGKATAN EKONOM MASYARAKAT DI INDONESIA (Kajian Teoritis Kepustakaan) Suharsono Hospitality/Pariwisata Fiabikom Unika Atma Jaya, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 51 Jakarta 12930 Email: [email protected] Abstrak: Dari berbagai sumber referensi baik cetak maupun elektronik dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki berbagai potensi wisata yang sangat mengagumkan. Jika potensi tersebut dikelola dengan baik maka dapat menjadi produk wisata yang menjadi sumber penghasilan baik bagi masyarakat maupun negara. Dalam konteks ini Gelgel (2006:v) mengatakan bahwa sektor industri pariwisata mampu memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perekonomian dunia. Seperti juga dikatakan oleh Spillane, James J (1989:14) bahwa perkebangan pariwisata berdampak pada kesejahteraan masyarakat sekitar karena akan memberikan lapangan pekerjaan dan bidang usaha lain yang cukup luas. Disinilah pentingnya pengembangan industri pariwisata sebagai upaya peningkatan ekonomi masyarakat di Indonesia.Yang menjadi persoalan adalah pengembangan industri pariwisata seperti apa yang berdampak pada peningkatan ekonomo masyarakat di Indonesia ?. Penjelasan dalam tulisan ini akan difokuskan pada konsep tentang perkembangan pariwisata, pengembangan industri pariwisata dan dampak pengembangan industri pariwisata terhadap peningkatan ekonomi masyarakat di Indonesia.Metode penulisan yang digunakan adalah dengan mengumpulkan sumber referensi yang terkait dengan konsep-konsep tersebut di atas dan dengan contoh dari hasil penelitian dan pengamatan sebelumnya.Hasil gagasan akan ditindaklanjuti dalam penelitianyang lebih mendalam. Kata Kunci : Industri Pariwisata, Pengembangan Industri Pariwisata danPeningkatan Ekonomi Masyarakat. PENDAHULUAN Pengelolaan potensi pariwisata yang baik dapat menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk datang ke tempat tersebut. Wisata pada dasarnya merupakan pergerakan atau perjalanan manusia atau sekelompok manusia dari satu tempat ke tempat lain dan tinggal di tempat itu yang bersifat sementara untuk mempelajari keunikan daya tarik yang dikunjungi atau mencari keseimbangan dan kebahagiaan (kesenangan) hidup (A.J., Muljadi, 2009:7, dan H. Kodhyat dalam buku yang ditulis Spillane, James, J., 1989:21, dan Undang No. 10 tahun 2009, pasal 1). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengembangan pariwisata di daerah-daerah yang memiliki potensi pariwisata sangat penting untuk menambah keunikan-keunikan baru yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Disamping keunikan, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kemudahan transportasi dan akomodasi yang memadahi serta aspek penunjang pariwisata lainnya agar menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk datang ke tempat wisata tersebut. Dengan peningkatan pengunjung ke suatu daerah tujuan wisata maka diharapkan dapat meningkatkan aktifitas yang bermanfaat baik bagi pengunjung maupun bagi penyelenggara pariwisata. Bagi pengunjung, dengan melakukan perjalanan wisata dapat memperoleh kesenangan/kebahagian yang diharapkan. Seperti dikatakan oleh Spillance, James J., (1989, 22) bahwa perjalanan wisata dengan tujuan untuk memperoleh keseimbangan dan kebahagian hidup ini antara lain bertujuan untuk “mengurangi ketegangan pikiran, beristirahat, dan mengembalikan kesegaran pikiran dan jasmaninya pada alam lingkungan yang berbeda dengan lingkungannya seharihari”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalanan wisata adalah mereka yang ingin menikmati hidup lepas dari kebiasaan sehari-hari. 159 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Dengan demikian maka diharapkan dapat memperoleh kesegaran dan semangat kembali dalam menjalankan tugasnya.Sedangkan bagi penyelenggara dapat memperoleh manfaat atau keuntungan dari kedatangan para pengunjung antara lain dengan menyediakan berbagai kebutuhan pengunjung seperti akomodasi, kuliner, keramahan pelayanan dan cinderamata. Berdasarkan beberapa sumber referensi dan pengamatan terutama pada hari-hari libur dapat digambarkan bahwa kecenderungan minat masyarakat untuk berwisata semakin meningkat. Hal ini antara lain dapat dilihat dari misalnya susahnya mencari tiket pada saat hari libur, lebih-lebih kalau pada “hari libur kejepit”. Jika dilihat dengan membuka “google”, untuk mencari tiket terutama ke kota-kota tujuan wisata yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat (misal Bali, Yogyakarta, Lombok, Belitung dan sebagainya), harga tiket melonjak hingga 2 kali lipat dibanding dengan harihari biasa. Demikian juga pada musim libur anak sekolah. Selain itu dapat dilihat juga fenomena kepadatan arus lalu lintas pada hari libur Sabtu dan Minggu. Sebagian besar daerah tujuan wisata di Jakarta dan sekitarnya dipadati pengunjung dan berdampak pada kemacetan (macet). Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa peluang peningkatan penawaran produk industri pariwisata semakin tinggi (baik). Bila dikaitkan dengan potensi wisata di Indonesia, dari berbagai sumber dan beberapa tulisan yang pernah penulis presentasikan misalnya di Surabaya (Konferensi ASPIKOM, 3-5 November 2015), Bandung, (Unisba, SNaPP2015) dapat disimpulkan bahwa potensi pariwisata Indonesia itu sangat besar dan beraneka ragam mulai dari keindahan pantai, laut, pegunungan, kuliner, seni dan budaya masyarakat yang memiliki kekhasannya masing-masing. Dengan demikian jika berbagai potensi tersebut di atas dikembangkan dan dikelola dengan baik maka dapat menjadi industri pariwisata yang produknya dapat ditawarkan kepada wisatawan (pengunjung) untuk dinikmati. Proses ini pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat. Seperti juga dikatakan oleh Spillane (1989:63) sebagai berikut: “.. beruntunglah Indonesia mewarisi tanah air dan sosio-budaya yang keindahan dan keunikannya dapat dijadikan obyek pariwisata. Memang tepat apabila kekayaan nasional ini dimanfaatkan untuk meningkatkan kemakmuran bangsa dengan mengembangkan industri pariwisata besar”. Yang menjadi fokus kajian dalam penulisan ini adalah bagaimana cara pengembangan industri pariwisata di Indonesia yang berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Gagasan dalam tulisan ini diharapkan dapat ditindaklanjuti dalam bentuk penelitian yang lebih fokus dan mendalam sehingga dapat menambah hasil kajian baru yang bermanfaat khususnya bagi studi dan praktek pengembangan pariwisata di Indonesia. Sebagai contoh misalnya identifikasi dampak peningkatan ekonomi masyarakat sebagai akibat dari pengembangan industri pariwisata di suatu daerah tujuan wisata tertentu. PEMBAHASAN 1. Pengembangan Industri Pariwisata di Indonesia a. Menggali Potensi Daerah Tujuan Pariwisata (Destinasi Pariwisata) Menurut berita dalam Harian Kompas (Rabu, 1 Maret 2017, hal. 17), dikatakan bahwa pemerintah Indonesia pada tahun 2017 menargetkan realisasi investasi pariwisata sebesar 1,7 miliar dollar yang diarahkan untuk membangun bidang akomodasi, taman wisata bertema dan marina. Selanjutnya diinformasikan bahwa sebagai gambaran capaian realisasi anggaran, tahun 2016 ditargetkan sebesar 1,5 milyar dollar As dan terserap sekitar 1,35 milyar dollar AS. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat capaian target sebesar 90 %. Dengan adanya penambahan jumlah investasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan aktivitas pariwisata baru yang mampu menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Selain itu, dari berbagai sumber berita diinformasikan bahwa kedatangan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dari Arab Saudi juga membawa angin segar bagi pengembangan pariwisata di Indonesia dan khususnya di Bali. Dengan kedatangan Raja Salman ke 160 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Bali diharapkan dapat meningkatkan minat (daya tarik) wisatawan Timur Tengah dan khususnya Saudi Arabia untuk berkunjung ke Bali. Selama ini jumlah wisatawan Timur Tengah yang datang ke Indonesia paling kecil (sedikit) dibanding dengan negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Kedatangan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud disamping dapat meningkatkan daya tarikBali bagi wisatawan Timur Tengah dan khususnya Saudi Arabia, juga akan menginvestasikandana yang salah satunya adalah bidang pariwiata. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengembangan bidang industri pariwisatamasih terbuka luas. Berdasarkan Undangundang No. 10 tahun 2009 pasal 1 ayat 9 dikatakan bahwa yang dimaskud industri pariwisata adalah : “kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwiata. Pengembangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:662) adalah “proses, cara perbuatan mengembangkan”. Sedangkan arti mengembangkan (ibid,. 661) adalah “(2) menjadikan besar (luas, merata, dsb.)”. Berdasarkan pengertian di atas maka pengembangan industri pariwisata yang dimaksudkan dalam penulisan ini adalah berbagai upaya yang dilakukan untuk membuat obyek pariwisata yang sudah dikelolamenjadi lebih besar, luas dan merata. Semakin besar dan luas yang dimaksudkan adalah bahwa obyek wisata yang sudah ada terus ditingkatkan fungsi, manfaat dan pelayanannya. Selain itu juga terus dicari bentuk keunikan baru sebagai pelengkap atau penunjang daya tarik yang sudah ada. Dengan demikian diharapkan akan semakin manarik bagi pengunjung untuk datang dan menikmatinya. Merata dalam kajian ini adalah terkait dengan penyebaran atau luas cakupan daerah/wilayah pengembanganindustri pariwisata. Seperti telah diuraikan pada bab pendahuluan bahwa seluruh wilayah atau daerah di Indonesia memiliki potensi pariwisata yang beraneka ragam (keindahan alam, keunikan budaya, sejarah dan sebagainya) yang sangat baik untuk dijadikan obyek pariwisata. Untuk ini maka para pemangku kepentingan di daerah perlu didorong untuk mengidentifikasi berbagai potensi yang ada untuk dijadikan sebagai daerah tujuan wisata baru dengan keunikan masing-masing. Sebagai contoh, daerah Belitung dengan obyek wisata bahari dapat menjadi alternatif bagi wisatawan yang tertarik dengan obyek wisata bahari khas Belitung, yaitu batu-batuan yang unik, pulau pasir dengan bintang laut, menara dan kuliner khas Belitung (Kopi, ikan segar). Daerah Manggarai Barat, khususnya Labuan Bajo, disamping keindahan alam lautnya, Komodo yang sudah sangat terkenal, ternyata juga memiliki potensi wisata alam berupa danau yang sangat bagus yaitu Danau Sao Nggoang. Danau ini belum banyak dikunjungi wisatawan, tetapi dapat dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata alam baru sebagai pelengkap obyek pariwisata yang sudah ada (Komodo) karena memiliki keunikan tersendiri. Dari segi jarak tidak terlalu jauh, dari Labuan Bajo hanya sekitar 50 s.d. 60 kilometer dan dapat ditempuh menggunakan kendaraan sejenis minibus sekitar 3 jam. Disinilah pentingnya bagi setiap daerah untuk menggali berbagai potensi yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik yang unik (khas) sehingga dapat dikembangkan menjadi destinasi baru. Pengembangan berbagai destinasi ini diharapkan menjadi pendorong pergerakan aktivitas eknomi masyarakat sekitar yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Selain berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat juga pada pendapatan daerah tersebut. Oleh karena itu juga penting untuk menambah kapasitas SDM daerah agar mampu mengidentifikasi dan mengelola berbagai potensi pariwisata daerahnya menjadi sumber pendapatan baik bagi daerah maupun masyarakat. b. Konsep “3A” dalam Pariwisata Dalam kaitannya dengan kajian pengembangan pariwisata, dalam ilmu pariwista dikenal konsep “3A” (Damanik, Janianton dan Weber, Helmut F., 2006:11) yaitu (1) Atraksi, (2) Aksesibilitas dan (3) Amenitas.Atraksi pada dasarnya merupakan obyek wisata itu sendiri yang dapat 161 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 memberikan rasa kenikmatan bagi wisatawan ketika mengunjungi obyek tersebut. Menurut Yoeti (2010:1-16) paling tidak ada tiga alasan bagi wisatawan untuk mengunjungi suatutempat pariwisata antara lain karena faktor (1) pendidikan dan kebudayaan, (2) Santai, kesenangan dan petualangan, (3) ingin melihat sesuatu yang unik, aneh dan langka. Selain itu, Yoeti (2008:77) menambahkan bahwa salah satu alasan atau motivasi orang melakukan perjalanan wisata karena faktor emosional, yaitu sekedar untuk menyaingi tetangganya (bisa teman-penulis). Aspek emosional ini tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Namun demikian dapat dipertimbangkan untuk kajian lain yang lebih fokus pada aspek sosiologis atau psikologis. Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka dalam pengelolaan obyek pariwisata paling tidak harus digali untuk memenuhi minimal salah satu dari ketiga aspek kebutuhan wisatawan di atas. Obyek wisata ini ada yang bersifat alamiah, tetapi juga ada yang berupa rekayasa. Yang alamiah tentu saja sudah dibentuk dan disediakan seperti apa adanya oleh “alam”. Sedangkan yang bersifat rekayasa (“bentukan”) adalah obyek wisata yang dirancang (dibentuk) oleh manusia berdasarkan pertimbangan-pertimbangan khusus seperti ekonomi (aspek bisnis), sosial dan budaya. Sebagai contoh sekarang sudah mulai banyak para pemilik modal yang menciptakan suatu destinasi wisata yang terpadu. Sebagai contoh,pada hari Minggu 5 Maret (lupa stasiun tv nya) ditayangkan salah satu kawasan di Depok (luas sekitar 10 hektar) yang dibuat untuk lahan pertanian, peternakan, perikanan dan wahana permainan anak. Tempat ini dijadikan “industri” pariwisata terpadu yang dapat dinikmati oleh para pengunjung dengan harga yang terjangkau. Selain itu Yoeti (2008:167-168) mengelompokkan daya tarik wisata ke dalam 4 bentuk atau jenis yaitu (1) natural attractions, (2) build attractions, (3) cultural attractions, dan (4)social attractions. Aksesibilitas pada dasarnya mencakup seluruh infrastruktur terutama transportasi yang memudahkan bagi wisatawan atau pengunjung yang akan melakukan perjalanan menuju ke dan dari obyek pariwisata tersebut. Selain itu juga kemudahan dalam memperoleh informasi. Dari beberapa penelitian yang penulis lakukan di beberapa tempat khususnya tentang kajian “daya tarik” obyek pariwisata, salah satu alasan yang sering disampaikan narasumber (pengunjung) ketika berwisata adalah karena faktor kemudahan transportasi. Terkait dengan aspek kemudahan transportasi adalah aspek keterjangakauan harga atau tarif dan pelayanan (keramahan)transportasi tersebut. Keramahan trasportasi yang dimaksud adalah keramahan para penyelenggara rental baik mobil, sepeda motor dan armada lain di daerah tujuan wisata. Khusus bagi rental mobil, keramahan sopir dalam memberikan informasi baik sebelum maupun selama dalam perjalanan sangat berdampak pada kenyamanan pengunjung. Tidak jarang pengunjung yang kemudian memberikan rekomendasi kepada teman atau keluarga yang akan berkunjung ke tempat tersebut. Dari hasilpenelitian penulis antara lain di Setu babakan, Jakarta,Keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon, dan Pulau Untung Jawa, Kepulauan Seribu (Laporan Penelitian : 2014, 2015 dan 2016) sekitar 40 % responden menyatakan bahwa mendapat informasi dari antara lain teman dan saudara (dari mulut ke mulut).Dari hasil penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa peran komunikasi interpersonal berdampak pada sikap seseorang dalam menentukan rencana kunjungannya ke suatu destinasi wisata. Dengan kemudahan keterjangkauan dan keramahan transportasi ini diharapkan menjadi aspek kenangan tersediri bagi pengunjung yang kemudian di rekomendasikan kepada yang lain (teman atau saudara).Dengan demikian akan semakin bertambah daya tariknya bagi wisatawan untuk berkunjung ke daerah tujuan wisata (destinasi wisata) tersebut. Amenitas pada dasarnya meliputi infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait tetapi memberikan kemudahan bagi wisatawan dalam melakukan ativitas selama mengunjungi obyek wisata misalnya ATM, telekomunikasi, usaha persewaan (rental), buku petunjuk, cinderamata dan sebagainya. Dari sekian banyak bentuk amenitas yang perlu disediakan dalam pengelolaan obyek wisata, aspek penyewaan (rental) keperluan wisatawan yang terkait dengan jenis obyek wisata adalah 162 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 sangat penting. Sebagai contoh, untuk menikmati obyek wisata keindahan alam bawah laut (snorkeling), tidak semua pengunjung datang dengan membawa peralatan tersebut. Disinilah pentingnya usaha penyewaan alat bagi kebutuhan wisatawan, sehingga wisatwan tidak perlu repotrepot membawa atau membeli peralatan tersebut yang tidak dipakai terus menerus. Selain itu cinderamata yang khas juga menjadi penting untuk disediakan bagi pengunjung. Salah satu aspek dalam Sapta Pesona adalah “kenangan”. Dalam pengelolaan pariwisata, agar memiliki atau menambah daya tarik bagi pengunjung maka harus dapat memberikan aspek kenangan. Aspek kenangan ada yang sifatnya menetap (tidak bisa dipindahkan) dan ada yang dapat dipindahkan (dibawa pulang). Kenangan yang bersifat menetap artinya bahwa kenangan tersebut hanya dapat diperoleh atau dinikmati apabila seseorang langsung datang ke obyek pariwisata tersebut. Seperti dikatakan oleh Yoety (2008:75) dan A.J. Muljadi (2010:48) bahwa pada dasarnya produk industri pariwisata itu tidak dapat dipindahkan.Sedangkan aspek kenangan yang dapat dipindahkan adalah bahwa kenangan tersebut dapat dibawa pulang ke tempat yang dikehendaki wisatawan tersebut. Salah satu bentuk kenangan ini adalah berupa cinderamata.Cinderamata tersebut paling tidak dapat menjadi sarana pengingat (kenangan) bagi wisatawan bahwa pernah datang berkunjung, atau diberi oleh orang yang pernah berkunjung ke tempat tersebut. Terkait dengan konsep “3A”, seperti dikatakan oleh Gartner yang dikutib oleh A.J. Mulyadi (2009:8) bahwa “unsur pembentuk pengalaman wisatawan yang utama adalah adanya daya tarik dari suatu tempat atau lokasi”. Dengan pengelolaan aspek Atraksi, Aksesibilitas dan Amenitas yang secara umum diperlukan oleh wisatawan diharapkan dapat menambah aspek pengalaman yang unik bagi pengunjung sehingga akhirnya berdampak pada keputusan untuk berkunjung ke destinasi tersbut. c. Konsep Sapta Pesona Selain konsep 3A, dalam pengembangan pariwisata di Indonesia juga dikembangkan konsep Sapta Pesona yang meliputi aspek keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramah-tamahan, serta kenangan (A.J. Mulyadi, 2010:104-107). Selanjutnya dikatakan bahwa pada dasarnya konsep sapta pesona ini awalnya digagas dalam rangka upaya pemerintah pada tahun 1990an untuk meningkatkan daya tarik obyek wisata Indonesia kepada khususnya wisatawan manca negara. Konsep Sapta Pesona ini menurut penulis masih relevan untuk kajian tentang kepariwisataan di Indonesia saat ini, mengingat belum semua potensi pariwisata dalam keadaan siap untuk dikunjungi. Seperti telah diuraikan dalam pendahuluan di atas bahwa Indonesia memiliki berbagai potensi pariwisata yang tersebar di seluruh wialayah (daerah) di Indonesia. Tetapi harus diakui bahwa faktanya belum seluruh potensi tersebut sudah dikelola dengan baik. Dari berbagai sumber dapat diketahui bahwa pengelolaan dan pengembangan pariwisata itu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Masih banyak potensi obyek pariwisata yang perlu ditata lebih baik lagi, misalnya prasarana utama seperti jalan, listrik, transportasi, sarana seperti hotel atau tempat penginapan, penjual makanan dan lainnya. Selain itu juga sarana pendukung seperti tersedianya cinderamata khas, dan jasa penyewaan yang diperlukan pengunjung selama berada di lokasi pariwisata. Sebagai contoh, salahsatu potensi wisata alam (danau terbesar)di NTT adalah Danau Sano Nggoang (bisa di cari lewat google). Informasi tentang obyek wisata ini antara lain dimuat dalam majalah maskapai penerbangan Batik (2017-lupa edisinya). Dinformasikan bahwa danau ini sangat unik dan terbesar di NTT, tetapi jalan untuk menuju ke lokasi masih kurang bagus. Dari pengamatan penulis, sebenarnya jalan menuju ke kecamatan Sano Nggoang sudah mulai diperbaiki, memang masih ada sebagian ruas jalan yang agak kurang bagus. Dari Labuan Bajo dapat ditempuh dengan menggunakan angkot khusus trayek Nunang-Labuan Bajo. Berangkat dari Nunag sekitar pukul 07.00 dan dari Labuan Bajo (pulang) sekitar pukul 14.00 waktu setempat. Selain itu juga dapat sewa kendaraan pribadi dari Labuan Bajo. Berdasarkan informasi warga setempat, sudah ada dua WNA 163 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 (Warga Negara Asing) yang sudah membeli lahan di salah satu sisi di tepi danau dan sudah membuat tempat tinggal di lokasi tersebut. Jika obyek pariwisata ini dikelola dengan baik maka dapat menjadi alternatif destinasi wisata di Flores bagian Barat (Manggarai Barat) selain ke pulau Komodo. Atu menjadi satu kesatuan dalam pengelolaan paket wisata di Flores, NTT. Demikian juga untuk daerahdaerah lain yang memiliki potensi unggulan dapat dikembangkan menjadi obyek pariwisata baru.Pengembangan pariwisata yang mempertimbangkan aspek Sapta Pesona ini diharapkan mampu menambah daya tarik obyek pariwisata tersebut sehingga dapat membantu upaya pemerintah dalam mencapai target kunjungan wisatawan asing sebesar 20 juta pada tahun 2019. d. Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan Penyelenggaraan pariwisata disamping memiliki dampak positif juga negatif. Positif karena dapat memberikan dampak peningkatan ekonomi atau pendapatan baik bagi pemerintah, pengusaha pariwisata maupun masyarakat sekitar destinasi pariwisata tersebut. Negatif karena penyelenggaraan pariwisata menurutSpillance (1989, 139-141) dapat menyebabkan antara lain (1) pariwisata dapat merusak lingkungan, (2) pariwisata ditangan orang asing, (3) berubahnya tujuan kesenian dan upacara tradisional, (4) lingkungan yang kurang terjaga, (5) meningkatnya pencurian benda-benda kuno. Demikian juga dikatakan oleh Yoeti (2008:21-24) bahwa pada dasarnya pengembangan pariwisata itu seperti “madu dan racun”. Madu menggambarkan sisi positif dan racun menggambarkan sisi negatifnya. Dari sisi negatifnya, pengembangan pariwisata pada dasarnya dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan sosial budaya. Selain itu dikatakan juga oleh Sunaryo (2013: 70) bahwa penyelenggaraan pariwisata yang tidak dikelola dengan baik disamping berakibat buruk bagi lingkungan fisik juga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Undang-undang No. 9 Tahun 2009 pasal 2 poin “h” menyebutkan bahwa asas penyelenggaraan pariwisata di Indonesia adalah berkelanjutan. Disinilah pentingnya pengembangan pariwisata yang dapat memberikan keuntungan bagi seluruh pemangku kepentingan dan meminimalkan pengaruh yang merugikan sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan. Terkait dengan pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan, menurut Sunaryo (2013:54) sering disamakan dengan pengembangan kepariwistaan yang bertanggungjawab (responsible tourism). Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan kepariwisataan yang bertanggungjawab pada dasarnya merupakan varian dari model pariwisata alternatif dan sekaligus kritik terhadap pengembangan pariwisata yang berorientasi pada mass tourism. Pariwisata massa (mass tourism) pada dasarnya merupakan bentuk pariwisata yang melibatkan (memobilisasi) sejumlah besar pengunjung atau wisatawan ke suatu destinasi pariwisata tertentu. Didukung dengan kemajuan teknologi yang luar biasa seperti pesawat terbang, kereta api (cepat) dan kapal laut serta kapal khusus pesiar maka semakin memudahkan bagi wisatawan untuk berkunjung ke suatu destinasi dengan jangkauan yang lebih luas dan jauh (antar negara-benua). Destinasi pariwisata bisa berupa negara atau tempat-tempat tertentu dalam satu negara tertentu mislanya terjadinya gerhana matahari total yang melintas di sebagian wialayah di Indonesia, olah raga nasional atau internasional, peristiwa khusus lainya misalnya pesta “putri nyale” di Lombok dan sebagianya. Penyelenggaraan model pariwisata massa seperti ini dianggap sering menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran dan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya justru berpengaruh pada keberlanjutan penyelenggaraan pariwisata itu sendiri. Seperti yang terjadi belum lama ini di destinasi Raja Ampat, Papua, terumbu karang yang menjadi salah satu daya tarik utama pariwisata Raja Ampat ditabrak olehkapal pesiar, Caledonian Sky, berbendera Bahama, ketika permukaan air laut surutpada tanggal 4 Maret 2017 (Tempo.Co., diakses pada tanggal 16 Maret 2017). Untuk meminimalkan berbagai potensi negatif tersebut, kemudian di kembangkan suatu model alternatif penyelenggaraan pariwisata yang disebut dengan responsible tourismataupariwisata yang bertanggungjawab yaitu model penyelengraan 164 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pariwisata yang lebih menekankan pada kesadaran wisatawan itu sendiri dalam usaha meminimalkan berbagai dampak negatif dalam aktivitas wisatanya (Sunaryo, 2013:55). Selanjutnya (ibid: hal 55-56) dikatakan bahwa ada beberapa prinsip yang diperjuangkan dalam pariwisata yang bertanggungjawab yaitu : (1) Mendorong keuntungan ekonomi untuk masyarakat lokal dan mempertinggi daya ketahanan kearifan lokal, membuka akses masyarakat kepada usaha indistri pariwisata. Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pariwiasta dapat mendorong tumbuhnya aktivitas ekonomi masyarakat lokal yang digali atas dasar potensi dan kondisi lokal sehingga tatanan kearifan lokal yang ada tetap terjaga. Sebagai contoh misalnya, makam raja-raja Mataram di Imogiri sekarang dibuka untuk umum (wisatawan), tetapi untuk masuk kedalam komplek makam tersebut ada persyaratan khusus yang tetap harus dipenuhi oleh pengunjung (wisatawan).Bagi perempuan yang sedang “berhalangan/datang bulan” tidak diperbolehkan masuk. Ketika masukpun diharuskan berpakaian sopan dan menggunakan “kain” untuk penutup tubuh. Demikian juga ketika kita datang misalnya ke masjid kuno “wetu telu”, di Senaru, Lombok Utara, tidak semua orang dapat masuk ke mesjid tersebut dan hanya pada hari-hari tertentu saja. (2) Melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dibidang kepariwisataan di sekitarnya yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa penyelengraan pariwisata harus melibatkan masyarakat sekitar (lokal) sehingga mereka juga ikut merasakan keberadaan obyek pariwisata yang ada yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan pariwisata tersebut. Dengan demikian masyarakat tidak hanya sekedar menjadi obyek atau bahkan menjadi “penonton” tetapi menjadi pemilik dan sekaligus sebagai pelaku (pemangku kepentingan) atas destinasi pariwisata tersebut. (3) Menumbuhkan kontribusi positif untuk konservasi sumber daya alam dan cultural haritage, untuk memperkaya keragaman yang ada. Penyelenggaraan pariwisata modern konvensional yang selama ini sering dilakukan adalah dengan membangun berbagai fasilitas modern secara besar-besaran seperti hotel dan restoran dengan standar bintang, mal-mal besar, tempat rekreasi berstandar internasional dan sebagainya. Model pengembangan pariwisata seperti ini dianggap kurang ramah lingkungan, karena akan “memakan” berbagai sumber daya alam sekitar yang cukup besar, misalnya air tanah. Oleh karena itu, pengembangan pariwisata yang bertanggungjawab ini di kemas dengan menghindari sebanyak mungkin penggunaan apalagi pengrusakan sumber daya alam lokal, justru sebaliknya dikelola dengan menumbuhkan kesadaran pengunjung untuk melakukan penghematan dan “pelestarian” sumber daya alam yang ada. Selain itu juga kesadaran untuk tetap menjaga berbagai peninggalan budaya yang ada, misalnya tidak membeli berbagai “benda” peninggalan sejarah dan benda-benda lain yang dilindungi yang kadang-kadang diperjual belikan. (4) Menyediakan pengalaman kujungan wisatawan yang lebih bernilai dalam hubungannya dengan masyarakat lokal, kearifan lokal dan isu-isu sosial dan lingkungan setempat. Salah satu aspek yang terkait dengan sapta pesona dalam penyelenggaraan pariwisata adalah kenangan. Dalam konteks ini aspek kenangan diarahkan pada hubungan yang lebih bersifat “monumental” bersama dengan masyarakat lokal. Wisatawan diajak untuk ikut berpartisipasi aktif dalam pengembangan obyek pariwisata misalnya terkait dengan wisata konservasi penyu di Kepulauan Seribu, wisatawan juga dilibatkan dalam proses pelestarian penyu tersebut misalnya dengan melepas bibit penyu. Terkait dengan reboisasi di kawasan gundul yang dirintis oleh mbah Diman di Jawa Tengah, wisatawan bisa diajak untuk menanam jenis pohon tertentu di kawasan tersebut. Dengan model pariwisata alternatif yang partisipatif ini diharapkan wisatawan dapat memperoleh pengalaman yang khas dan bersifat monumental. 165 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 (5) Meminimalisir dampak negatif ekonomi, lingkungan, budaya dan sosial dari kegiatan kepariwisataan. Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pariwisata yang berorientasi pada partisipasi baik wisatawan maupun masyarakat lokal dalam menjaga berbagai potensinya diharapkan dapat mengurangi dampak negatif baik dari aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budayanya. Dari beberapa sumber referensi dapat diketahui bahwa salah satu dampak negatif dari aspek ekonomi adalah tidak terkontrolnya harga baik tanah, barang-barang konsumsi dan cinderamata. Hal ini dapat menyebabkan wisatawan merasa “kapok” sehingga pada akhirnya dapat merugikan masyarakat atau pelaku industri pariwisata di daerah tujuan wisata tersebut. Selain itu penyelenggaraan pariwisata secara massal biasanya akan meninggalkan banyak sampah dari sisa makanan atau bungkus makanan yang dibawa atau dibeli oleh pengunjung. Disinilah pentingnya memperhatikan aspek kebersihan dan keindahan dalam konsep sapta pesona misalnya dengan menyediakan tempat sampah yang cukup dan menata/meletakkannya pada lokasi yang tepat. (6) Menumbuhkan saling menaruh respek antara wisatawan dengan tuan rumah, dan membangun kebanggaan lokal serta percaya diri dari masyaralat. Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pariwisata yang lebih memfokuskan pada kesadaran wisatawan untuk berpartisipasi diharapkan tercipta hubungan yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Wisatawan tidak hanya datang untuk menikmati keindahan dan keunikan destinasi pariwisata saja sehingga terkesan sebagai “raja” yang harus dilayani seluruh kebutuhannya, tetapi juga turut bertanggungjawab untuk menjaga dan melestarikannya sehingga berubah menjadi “pemilik”. Dengan demikian terjadi hubungan yang lebih harmonis antara pengunjung (wisatawan) dan “tuan rumah”, saling melengkapi dan saling menguntungkan kedua belah pihak yang pada akhirnya menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri khususnya bagi masyarakat lokal. Sebagai contoh misalnyapenyelenggaraan pariwisata pelestarian alam di Pusuk Lombok. Daya tarik yang ada di Pusuk terutama adalah monyet yang berada di sepanjang jalan di pegunungan Pusuk. Disini wisatawan tidak hanya menikmati keindahan perilaku monyet, tetapi juga ikut memberikan makan monyet sehingga dapat terjaga kelestarian populasi monyet. Model seperti ini dapat dikembangkan untuk bentuk wisata yang lain, seperti seni dan budaya masyarakat. e. Pemangku Kepentingan dalam Pengembangan Industri Pariwisata Dari berbagai sumber dapat diketahui bahwa pengembangan destinasi pariwisata membutuhkan dana investasi yang cukup besar, oleh karena itu diperlukan kerjasama yang saling melengkapi dan saling menguntungkan bagi para pemangku kepentingan. Damanik dan Weber (2006:19-23)mengidentifikasi pihak-pihak (pemangku kepentingan) yang terlibat dalam pengembangan pariwisata terdiri dari : (1) Wisatawan, (2) Industri Pariwisata, (3) Pendukung Jasa Wisata, (4) Pemerintah, (5) Masyarakat lokal dan (6) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Selanjutnya dikatakan oleh Gelgel, I Putu (2006:23) bahwa dalam aktivitas pariwisata sebagai industri paling tidak ada tiga unsur penting yang terkait yaitu konsumen, produsen dan produk wisata. Dalam konteks pariwisata konsumen adalah wisatawan atau pengunjung. Produsen dalam industri pariwisata dapat diselenggarakan oleh pemerintah, swasta maupun perorangan (masyarakat). Sedangkan produk pariwisata yang berupa barang dan jasa dapat disediakan baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat. Selain itu menurut A.J. Muljadi (2010:36) dikatakan bahwa “kekuatan inti untuk menggerakkan pembangunan kepariwisataan nasional adalah perpaduan kekuatan (sinergi) yang terdiri dari unsur-unsur dunia usaha, masyarakat (termasuk LSM,akademisi, media massa dan pekerja) dan pemerintah.” Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang ada pada pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pariwisata adalah (1) Dunia usaha (pengusaha), (2) 166 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Pemerintah dan (3) Masyarakat. Dunia usaha atau pengusaha pariwisata menurut Undang-undang No. 10 tahun 2009 pasal 1 ayat 8 adalah “orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata”. Dalam pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa “usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata”. Penyelenggaraan pariwisata yang baik pada dasarnya apabila terjadi koordinasi yang baik diantara para pemangku kepentingan. Dengan adanya koordinasi yang baik maka diharapkan tidak akan terjadi saling tumpang tindih program atau kegiatan pariwisata. Seperti dikatakan oleh Sunaryo (2013: 77) bahwa “Prinsip dari penyelenggaraan tata kelola kepariwisataan yang baik ini pada intinya adalah adanya koordinasi dan sinkronisasi program antar pemangku kepentingan yang ada serta pelibatan partisipasi aktif yang sinergis (terpadu dan saling menguatkan) antara fihak pemerintah, swasta/industri pariwisata, dan masyarakat setempat yang terkait”. Pendapat di atas menggambarkan bahwa disamping koordinasi, kerjasama antar pihak dalam penyelenggaraan pariwisata itu harus melibatkan semua pihak secara aktif sehingga masing-masing kepentingan dapat terakomodasi. Dengan demikian kerjasama yang terbangun ini dapat menciptakan rasa tanggungjawab bersama atas keberhasilan atau ketidakberhasilan. Konsep kerjasama antar pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pariwisata ini menurut Sunaryo, Bambang (213 :88-89) disebut dengan hubungan kemitraan pemerintah-swasta (public-private partnership).Selanjutnya dikatakan bahwa : “Konstruksi strategi public-private partnership atau kemitraan pemerintah-swasta dalam proses pembangunan kepariwisataan merupakan salah satu cara yang sangat strategis dalam penyediaan infrastruktur dan pelayanan publik.....”. Di atas telah diuraikan bahwa pengembangan pariwisata memerlukan investasi yang cukup besar baik untuk prasarana, sarana dan pendukung lainnya. Sebagai contoh misalnya banyak obyek wisata (daya tarik wisata) alam yang lokasinya berada ditengah hutan atau pegunungan. Untuk menjadikan sebagai daya tarik wisata yang dapat dikunjungi oleh wisatawan maka harus disediakan berbagai prasarana dan sarana seperti pembangunan jalan untuk akses ke lokasi, listrik untuk aktivitas pendukung dan lainnya. Untuk membangun berbagai fasilitas tersebut diperlukan kerjasama yang baik (sinergis)antara pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga masing-masing dapat berperan aktif sesuai dengan kapasitasnya. Seperti dikatakan oleh Osborne dan Gabler (Sunaryo, 2013:89) bahwa public-private partnership pada dasarnya merupakan konsep “kerjasama yang disusun antara pemerintah dan swasta atas dasar prinsip komplementaritas dan saling menguntungkan, yang bertujuan mewujudkan penyediaan infrastruktur dan fasilitas publik yang efektif dan efisien”. Undang-undang No. 9 Tahun 2009 pasal 2 poin “g” menyatakan bahwa asas dalam penyelenggaraan pariwisata adalah partisipatif. Pelibatan masyaraka dalam penyelenggaraan pariwisata menjadi sangat penting, dengan demikian memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengembangkan berbagai potensi terutama ekonomi. Seperti dikatakan oleh Spillane (1989:55) bahwa : “ ..sedapat mungkin mengikutsertakan masyarakat setempat dalam perencanaan dan pengembangan. Pada penduduk setempat harus dibangkitkan perasaan, bahwa mereka mempunyai kepentingan terhadap keberhasilan daerah pariwisata yang bersangkutan.” Dengan demikian prinsip penyelenggaraan pariwisata bertanggungjawab (responsible tourism) yang ke enam yaitu “Menumbuhkan saling menaruh respek antara wisatawan dengan tuan rumah, dan membangun kebanggaan lokal serta percaya diri dari masyaralat.”, dapat terwujud. Dengan pelibatan masyarakat setempat (lokal)diharapkan terjadi peningkatan ekonomi, sehingga masyarakat tidak hanya sekedar menjadi penonton tetapi juga menjadi “pelaku” atas kemajuan (keindahan) di daerahnya. 167 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 2. Dampak Ekonomi Pengembangan Industri Pariwisata Pengembangan dan pengelolaan berbagai potensi pariwisata pada dasarnya berkaitan erat dengan peningkatan ekonomi bangsa. Oleh Spillane (1987:59) digambarkan bahwa pada awal pembangunan sektor pariwisata di Indonesia (sekitar tahun 1970-an), presiden Soeharto menyatakan bahwa industri pariwisata merupakan mata rantai yang panjang. Kegiatan yang terkait dengan pembangunan pariwisata sangat banyak mulai dari biro perjalanan, hotel, restoran, pemandu, kerajinan rakyat, pengembangan obyek wisata dan sebagainya. Dengan adanya hotel dan restoran saja dapat digambarkan aktivitas masyarakat yang dapat dikembangkan untuk memenuhinya misalnya saja, kebutuhan mebelernya, sayuran, buah-buahan, ikan, daging dan sebagainya. Selanjutnya dikatakan oleh Spillane (ibid) bahwa : “… pengembangan sektor pariwiasta dapat menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya dengan jangkauan yang amat luas”. Demikian juga dikatakan oleh Yoeti (2006: 229) bahwa dengan berkembangnya pariwisata diharapkan dapat memberikan dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat antara lain melalui penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Selain itu dikatakan oleh Pitana dan gayatri (2005:110) bahwa pada dasarnya pembangunan pariwisata berdampak positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat melalui (1) penerimaan devisa, (2) peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, (3) peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah. Uraian dan kutipan di atas pada dasarnya menggambarkan begitu besarnya dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh adanya pengembangan industri pariwisata. Dengan besarnya potensi pariwisata yang dimiliki Indonesia maka masih terbuka luas untuk pengembangan produk industri wisata. Jika dikembangkan dan dikelola dengan baik maka dapat berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, beberapa daerah telah berupaya meningkatkan daya tarik pariwisata dari potensinya masing-masing. Ada berbagai acara yang bertema “gelar” atau “pameran” budaya, kuliner, hasil pertanian,olah raga, keindahan alam dan sebagianya. Untuk itu diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM-Daerah) yang mampu merencanakan dengan baik berbagai potensi pariwisata menjadi produk industri pariwisata yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Soebroto yang dikutip oleh Suharsono, dalam buku karya Nurudin (editor, 2014:214) sebagai berikut :“Pariwisata khususnya di bali pada dasarnya merupakan ‘engine of growth’ (pendorong ekonomi) yang tidak perlu diragukan lagi. Oleh karena itu pengembangan pariwisata di Bali sebagai salah satu model terbaik dan nyata tidak boleh menimbulkan kesenjangan yang mengakibatkan kemiskinan khususnya di Bali”. Demikian juga apabila model ini dikembangkan di daerah-daerah lain di Indonesia, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas pariwisata yang berdampak pada penigkatan ekonomi masyarakat. Di atas telah dijelaskan bahwa pengembangan pariwisata disamping membutuhkan dana yang cukup bersar juga diperlukan kerjasama yang baik antar pemangku kepentingan. Selain itu berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas pariwisata tidak berdiri sendiri, tetapi saling terkait dan saling membutuhkan satu dengan yang lain. Sebagai contoh ketika berdiri sebuah usaha jasa hotel maka membutuhkan paling tidak tenaga kerja, dan produk pendukung lainnya seperti kebutuhan bahan makanan, sayuran, buah untuk memenuhi kebutuhan pengunjungnya. Dalam kajian organisasi disebutkan oleh Etzioni (Suharsono, 2013:14) bahwa organisasi pada dasarnya merupakan unit sosial yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan. Unit sosial dapat dimaknai bahwa secara internal organisasi itu terdiri dari individu atau sekelompok individu yang berada atau bergabung dalam suatu unit kegitan tertentu dan saling terkait satu dengan lain dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan. Sedangkang secara ekternal dapat diartikan bahwa sebuah organisasi tidak berdiri sendiri, tetapi terkait dengan organisasi-organisasi lain yang saling terkait. Organisasi dalam arti luas dapat berupa organisasi pemerintah, swasta atau perusahaan dan kemasyarakatan. Dalam 168 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 konteks ini organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi swasta berupa perusahaan yang melakukan usaha dibidang pariwisata (usaha pariwisata). Berdasarkan pemahaman konsep organisasi Etzioni di atas dapat dismpulkan bahwa usaha pariwisata tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan organisasi-organisasi lain seperti pemerintah, masyarakat dan organisasi swasta lain baik yang sejenis maupun sebagai pendukung. Sebagai contoh ketika mau melakukan usaha dibidang perhotelan, misalnya mau mendirikan sebuahhotel, maka harus melakukan interaksi atau komunikasi dengan pemerintah misalnya untuk pengurusan berbagai perijinan. Ketika hotel sudah beraktivitas maka memerlukan disamping tenaga kerja juga produk pendukung lain seperti, bahan baku beras, daging, telor, sayuran, buah-buahan dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan pengunjung. Undang-undang No. 10 tahun 2009 pasal 4 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pariwisata di Indonesia bertujuan sebagai berikut : poin “a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi, b. meningkatkan kesejahteraan rakyat, c. menghapus kemiskinan, d. mengurangi pengangguran, e. melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya (alam).” Jika berbagai kebutuhan tersebut dipenuhi dengan melakukan kerjasama dengan masyarakat sekitar misalnya, SDM (karyawan), petani, peternak, pengrajin, penyedia transportasi maka akan meningkatkan partisipasi masyarakat dan sekaligus meningkatkan aktivitas ekonomi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus pelestarian alam dan lingkungan seperti diharapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilakukan kerjasama dengan pemangku kepentingan lain yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat sekitar. Para petani dan peternak tidak akan ragu lagi dengan aktivitasnya karena yakin bahwa hasilnya sudah ada yang menampung (membeli). Demikian juga SDM setempat yang tersedia dapat ditampung sehingga tidak perlu lagi pergi ke daerah lain (kota) untuk mencari pekerjaan, apalagi kalau mereka diberikan fasilitas pelatihan sesuai dengan kebutuhan usaha pariwisata di daerahnya. Penyelenggaran pariwisata yang lebih memfokuskan pada keterlibatan atau partisipasi masyarakat setempat dikenal dengan “strategi perencanaan pengembangan kepariwisataan yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat” (Sunaryo, 2013:138) yang kemudian disebut dengan istilah “Community Based Tourism Development”(CBT). Selanjutnya dikatakan bahwa secara teoritis konsep pengembangan pariwisata “CBT” ini pada dasarnya merupakan kritik terhadap penyelenggaran model pariwisata konvensional yang lebih mengejar “keuntungan” atau pertumbuhan secara ekonomi sehingga kurang memperhatikan hak dan kepentingan masyarakat setempat (lokal) yang memiliki sumber-sumber atau potensi pariwisata. Undang-undang No. 10 tahun 2009)Pasal 5 poin “e” pada dasarnya mengamanatkan bahwa pengembangan pariwisata di Indonesia beprinsip untuk “. memberdayakan masyarakat setempat”. Terkait dengan konsep pemberdayan dikatakan oleh Wrihatnolo, Randy R. dan Dwidjowijoto, Riant Nugroho (2007:1-6) bahwa pemberdayaan pada dasarnya merupakan proses “menjadi”, yaitu dari kondisi tidak berdaya menjadi memiliki daya. Daya (“power”)dalam konteks ini dapat dipahami sebagai “kekuatan” atau “kekuasaan”. Dengan demikian pemberdayaan (empowerment) masyarakat dapat diartikan sebagai proses pemberian “daya” atau “kekuatan” kepada masyarakat. Menurut Mardikanto dan Soebianto (2012:100) dikatakan bahwa : “pemberdayaan merupakan upaya yang dilakukan oleh masyarakat, dengan atau tanpa dukungan dari pihak luar, untuk memperbaiki kehidupannya yang berbasis kepada daya mereka sendiri, memalui upaya optimasi daya serta peningkatan posisi tawar yang dimiliki, dengan perkataan lain, pemberdayaan harus menempatan kekuatan masyarakat sebagai modal utama serta menghindari ‘rekayasa’ pihak luar …..”. Kutipan ini pada dasarnya menggambarkan bahwa pemberdayaan menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai aktivitas (ekonomi,politik-kebijakan) untuk meningkatkan kemandirian sehingga memiliki posisi tawar yang kuat. 169 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Dalam konteks pengembangan pariwisata, dikatakan oleh Hausler yang dikutip Sunaryo (2013:139) bahwa : “CBT (pemberdayaan-penulis) pada hakekatnya merupakan salah satu pendekatan dalam pengembangan pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal, baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata maupun tidak, dalam bentuk pemberian akses pada manajemen dan sistem pembengunan kepariwisataan yang berujung padapemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian keuntungan dari kegiatan kepariwisataan secara lebih adil bagi masyarakat lokal. Kutipan di atas pada dasarnya menggambarkan bahwa pengembangan pariwisata yang berbasis komunitas (masyarakat) harus melibatkan masyarakat agar terjadi pembagian keuntungan yang adil yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Lebih tegas lagi dikatakan oleh Murphy yang dikutip oleh Sunaryo (2013:138) sebagai berikut : “pada hakekatnya pembangunan kepariwisataan tidak bisa lepas dari sumber daya dan keunikan komunitas lokal, baik berupa elemen fisik maupun non fisik (tradisi dan budaya), yang merupakan unsur penggerak utama kegiatan wisata itu sendiri sehingga semestinya kepariwisataan harus dipandang sebagai ‘kegiatan yang berbasis pada komunitas setempat’”. Dari berbagai pendapat di atas dapat dismpulkan bahwa penyelenggaraan pariwisata yang berbasis komunitas (CBT) ini harus memberikan kesempatan kepada masyarakat (lokal) untuk ikut berperan aktif dalam proses perencanan mulai dari menentukan hingga berlangsungnya (pelaksanaan) aktivitas kepariwisataan. Dengan melibatkan masyarakat (lokal) maka akan memberikan kesempatan untuk belajar dan memperoleh keuntungan secara adil dari berbagai potensi yang ada di daerahnya. Dengan demikian masyarakat tidak sekedar menjadi penonton atas kemajuan dan pemanfaatan potensi yang ada di daerahnya, tetapi menjadi pelaku yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Pengembangan pariwisata dengan perspektif CBT ini diharapkan mampu menjaga keberlangsungan industri pariwisata, karena masyarakat ikut merasa “memiliki”. Dengan kata lain pelibatan masyarakat ini tidak sebatas fisik tetapi juga secara emosional menjadi bagian dari hidup (kehidupannya). Sebagai contoh seperti yang dilakukan oleh bapak Agung di Bali Utara (dapat dilihat di google) antara lain di desa Munduk. Beliau berpandangan bahwa penyelenggaraan industri pariwisata konvensional khususnya di Bali Selatan menimbulkan beberapa persoalan terkait dengan kelestarian alam, sosial dan ekonomi.Sebagai model alternatifnya beliau mengembangkan pariwisata yang berbasis pada komunitas (masyarakat) di daerah Bali Utara. Masyarakat diajak terlibat langsung dengan mengembangkan berbagai potensi yang ada untuk dijadikan produk industri pariwisata yang berbasis pada pelestarian alam dan kearifan lokal. Masyarakat yang memiliki lahan di bagian belakang rumah yang biasanya hanya dipakai untuk kandang binatang, “diubah” menjadi “kandang manusia” dalam bentuk homestayyang bagus dengan pemandangan alam persawahan dan pegunungan. Selain itu juga melestarikan sistem pertanian “Subak” dan pemanfaatan “lumbung padi” yang dulunya dipakai untuk menyimpan hasil panen menjadi wisma yang bagus dan diberi nama “Wisma Lumbung” (Suharsono, 2014, laporan seminar nasional di Bali).Dengan model pengembangan pariwisata Bali Utara di atas diharapkan dapat menjaga kelestarian alam dan khususnya ketersediaan air tanah. Selain itu juga berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat (lokal) dengan penyediaan fasilitas tempat tinggal, makanan dan sayuran, juga jasa transportasi yang dikelola oleh kelompok masyarakat di Bali Utara.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengembangan pariwisata berbasis CBT dapat memberikan dampak ganda (multiplier effect) pada aktivitas ekonomi masyarakat yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Model ini menurut saya dapat dikembangkan di daerah lain sesuai dengan potensi yang dimiliki sehingga tercipta keharmonisan antar manusia dan manusia dengan alam (lingkungan). 170 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENUTUP Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa potensi pariwisata di Indonesia sangat luas, tersebar di seluruh wilayah (daerah). Masih banyak potensi pariwisata yang belum dikelola menjadi produk industri pariwisata yang dapat dijadikan destinasi. Pengelolaan pariwisata membutuhkan dana yang besar, oleh karena itu perlu kerjasama sinergis yang saling menguntungkan (kemitraan) antar berbagai unsur pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat dan swasta). Pengembangan pariwisata konvensionalyang selama ini dilakukan antara lain dengan membangun hotel-hotel besar, taman-taman permainan dan berbagai sarana pendukung pariwisata modern, berpotensi menimbulkan berbagai persoalan lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat sekitar (lokal). Oleh karena itu perlu dicari model alternatif yaitu pengembangan pariwisata yang bertanggungjawab (responsible tourism)dan berbasis komunitas (Community Based Tourism Development - CBT). Pariwisata bertangungjawab pada dasarnya menekankan kesadaran pengunjung (wisatawan) untuk berperilaku yang meminimalkan berbagai aspek negatif. Sedangkan model CBT ini lebih memfokuskan pada partisipasi aktif masyarakat dalam berbagai aktivitas pariwisata sehingga menjadi pelaku, bukan “penonton”. Dengan demikian terjadi hubungan yang harmonis antar pengunjung danmasyarakat (lokal) yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan aktivitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (lokal). Keterbatasan Penulisan Penulisan ini bukan merupakan hasil penelitian, tetapi lebih pada kajian kepustakaan. Sedangkan contoh-contoh sebagian berdasarkan hasil penelitian dan sebagian pengamatan dan hasil seminar yang pernah penulis ikuti. Sebagai kajian ilmiah kepustakaan tentu saja masih jauh dari sempurna, ditambah lagi dengan disiplin keilmuan penulis yang bukan dari latar belakang pariwisata tentu saja akan menambah lengkapnya kekurangan tersebut. Oleh karena itu penulis dengan sangat terbuka dan senag hati menerima berbagai masukan dan saran untuk penyempurnaan kajian tentang pengembangan pariwisata di Indonesia. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan bahwa untuk memperdalam kajian tentang pengembangan pariwisata di Indonesia, diperlukan tindaklanjut dalam bentuk penelitian yang lebih mendalam misalnya tentang pengaruh pengembangan pariwisata terhadap peningkatan ekonom masyarakat (lokal), dan kajian tentang model-model kerjasama kemitraan berbasis potensi dan kearifan lokal yang efektif, berdampak pada peningkatan kesejahteraan (sosial dan ekonomi) masyarakat. Selain itu juga dapat dikaitkan dengan bentuk kegiatan pengabdian yang tepat bagi masyarakat untuk menunjang kebutuhan SDM dalam pengembangan pariwisata yang berbasis CBT. 171 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA A.J. Muljadi. (2009).Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta, Rajawali Press Damanik, Jamianton dan Weber, Helmut F.(2006). Perencanaan Ekowisata : Dari Teori dan Aplikasi, Yogyakarta, Andi Press. Mardikanto, Totok, dan Soebianto, Poerwoko. (2012). Pemberdayaan Masyarakat, dalam Perspektif Kebijakan Publik, Bandung, Penerbit Alfabeta. Nurudin, editor. (2014). Komunikasi Budaya,Pariwisata dan Religi, Yogyakarta, Penerbit Aspikom dan Lintera. Spillane, James J. (1987). Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya, Yogyakarta, Kanisius. Suharsono. (2013). Pengetahuan Dasar Organisasi, Jakarta, Penerbit Atma Jaya Suharsono. (2014). Konferensi Nasional Kemiskinan dan Pemberdayaan Indonesia, IPEC 2014 (Indonesia Poverty Empowerment Conference) dengan tema : “Memutus Rantai Kemiskinan (Belajar dari Kearifan Lokal Bali)”, Jakarta, Laporan peserta Unika Atma Jaya (tidak dipublikasikan). Suharsono, Heru Prasadja dan Tanete Pong. (2015). Upaya Meningkatkan Kunjungan Wisatawan ke Obyek dan Daya Tarik Wisata di Tanjung Pasir, Tangerang, Banten, diseminarkan dan dimuat dalam Prosiding :SNaPP, Vol. V, No. 1, 2015, Unisba Bandung. Suharsono dan Heru Prasadja. (2016). Daya Tarik Wisata Keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon, diseminarkan dan dimuat dalam Prosiding : SnaPP, Vol 6, No. 1, 2016. Unisba Bandung. Sunaryo, Bambang. (2013). Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata, Konsep dan Aplikasinya di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Gava Media. Pitana, I. Gde dan Gayatri, Putu G. (2005). Sosiologi Pariwisata, Yogyakarta, Penerbit Andi. Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowijoto, Rian Nugroho. (2007). Manajemen Pemberdayaan, sebuah pengantar dan panduan untuk pemberdayaan masyarakat, Jakarta, Penerbit Elex Media Komputindo. Yoeti, Oka A. (2006).Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya, Jakarta, Pradnya Paramita. Yoeti, Oka A. (2008).Ekonomi Pariwisata, Introduksi, Informasi, dan Implementasi,Jakarta, Kompas. Yoeti, Oka A.(2010).Dasar-dasar Pengertian Hospitality dan Pariwisata, Bandung, Penerbit Alumni. Harian Kompas, Rabu, 1 Maret 2017. https://m.tempo.co/read/news/2017/03/12/078855184/ terumbu-karang-raja-ampat-ditabrak-kapal-berapa-kerugiannya (diakses tanggal 16 Maret 2017, pukul 09.06). 172 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 EKONOMI KREATIF: IDENTITAS BUDAYA LOKAL KOTA PALEMBANG DALAM SEKTOR UMKM Irzanita, Zanariah, dan FrettyWelta Universitas Kader Bangsa Palembang Email: [email protected] Abstract: The development of the creative economy in the city of Palembang growing so rapidly along with economic development in Indonesia. Creative Economy has a very important role in the economy. Characteristics of Palembang people today are dominated by small and medium sized circles made the development of entrepreneurship in Palembang sector leads to small and medium enterprises (SMEs). This is evident from the three cultures, Chinese, Arabic and Malay, the majority of them are traders. This research is expected to provide insight into how important factor in building successful Cultural Identity Palembang, particularly among small and medium enterprises which constitute the majority among the people of Palembang. The participation of the government and universities at this time contributed not a little. The college is required to provide an understanding and an arm of entrepreneurship for young people to socialize. Keywords: Creative Economy, Culture, Small and Medium Enterprises (SMEs) Abstrak: Perkembangan Ekonomi kreatif di Kota Palembang berkembang begitu pesat seiring dengan perkembangan ekonomi di Indonesia. Ekonomi Kreatif memiliki peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Karakteristik masyarakat Palembang saat ini yang banyak didominasi oleh kalangan kecil dan menengah membuat perkembangan kewirausahaan di Kota Palembang mengarah kepada sektor kecil dan menengah (UKM). Hal ini terlihat dari 3 budaya yang ada di Kota Palembang yaitu, Cina, Arab dan Melayu, yang mayoritas merupakan pedagang. Analisis yang digunakan dengan menggunakan metode deskriptif, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai seberapa penting Faktor Budaya dalam membangun kesuksesan Identitas Kota Palembang, khususnya di kalangan usaha kecil dan menengah yang menjadi mayoritas di kalangan masyarakat Kota Palembang. Peran serta pemerintah dan perguruan tinggi saat ini memberikan kontribusi yang tidak sedikit. Perguruan tinggi dituntut untuk mampu memberikan pemahaman dan perpanjangan tangan mensosialisasikan kewirausahaanbagi generasi muda. Kata Kunci: Ekonomi Kreatif, Budaya, UKM PENDAHULUAN Ekonomi kreatif didefinisikan sebagai sebuah kumpulan aktifitas ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economic activities) yang secara intensif menggunakan kreatifitas dan inovasi sebagai primary input-nya untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang bernilai tambah. Adapun ruang lingkup dari ekonomi kreatif mencakup aspek yang sangat luas dan tidak terbatas pada seni dan budaya saja. Secara umum ekonomi kreatif memiliki 3 dimensi yaitu dimensi inovasi dan kreatifitas, dimensi kapabilitas teknologi, dan dimensi seni dan budaya. Pada gambar 1 di bawah, ditampilkan spektrum dari ekonomi kreatif yang mencakup berbagai sektor mulai dari pengetahuan tradisional, sampai dengan industri musik, filem, periklanan, dan berbagai industri perangkat lunak. Meskipun spektrumnya sangat luas, akan tetapi esensi dari ekonomi kreatif adalah semakin penting dan strategis kapasitas pengembangan kreasi dan daya inovasi.Sebagai konsekuensinya, maka di era ekonomi kreatif, dituntut adanya berbagai bentuk pekerjaan baru, 173 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 yang tentunya berbeda dengan tuntutan pekerjaan di era industri maupun era agraris. Pekerjaan jenis baru atau future of work di era ekonomi kreatif, sesuai dengan namanya, tentunya adalah segala bentuk pekerjaan yang sarat dengan tuntutan untuk terus melakukan akumulasi pengetahuan untuk menghasilkan berbagai inovasi baru atau sering disebut dengan innovation intensive employment. Gambar 1. Sprektum Ekonomi Kreatif Prinsip yang paling fundamental dari ekonomi kreatif adalah jika di era sebelumnya kinerja dari masyarakatnya umumnya diukur sebatas dari tingkat produktifitas dalam memproduksi produk, jasa maupun proses; maka dalam era ekonomi kreatif kinerja masyarakat diukur tidak sebatas pada peningkatan produktifitas belaka, akan tetapi lebih diukur berdasarkan dari peningkatan akumulasi pengetahuan dan peningkatan kapasitasnya dalam melakukan inovasiinovasi ketika melakukan sejumlah aktifitas produksi tersebut. . PEMBAHASAN 1. Manusia Kreatif: Modal Masa Depan Unsur utama dari pengembangan ekonomi kreatif tentunya adalah sumber daya manusia kreatif. Oleh karena itu, pembinaan sumber daya manusia menjadi para penemu dan pencetus ide kreatif adalah solusi untuk menghadapi berbagai peluang di era masa depan.Pada dua paragraf sebelumnya telah diulas tentang sejumlah tantangan strategis pada pembangunan ekonomi di masa depan serta bentuk-bentuk pekerjaan yang dituntut oleh pembangunan ekonomi masa depan tersebut. Maka pada paragraf ini akan diulas secara ringkas tentang pembinaan sumber daya manusia 174 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 kreatif dalam menghadapi sekaligus mengantisipasi hal-hal tersebut. Kunci keberhasilan pembangunan ekonomi kreatif terletak pada keunggulan modal manusia melalui pengembangan: 1. Investasi jangka panjang pada pendidikan; 2. Modernisasi infrastruktur informasi; 3. Peningkatan infrastruktur untuk pengembangan kreativitas dan kapabilitas inovasi; 4. Penciptaan lingkungan ekonomi yang kondusif untuk mendorong transaksi yang lebih atraktif tetapi efisien. Selain itu perlu juga mempertimbangkan konsep berikut ini, yaitu 1. Talenta, untuk menghasilkan sesuatu yang berdaya saing tinggi, dibutuhkan SDM yang bertalenta, yakni orang-orang yang memiliki bakat khusus yang dibawa sejak lahir dan tidak dimiliki oleh orang lain. Orang-orang seperti ini memiliki penghasilan yang tinggi dari gagasan-gagasan kreatifnya. 2. Toleransi, manakala suatu daerah memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap gagasan-gagasan kreatif dan kontroversial, serta mendukung orang-orang yang berani berbeda, maka iklim penciptaan kreatifitas dan inovasi akan semakin kondusif dan pekerja-pekerja kreatif dapat bebas mengekspresikan gagasannya. Termasuk dalam toleransi ini adalah kemudahan untuk memulai usaha baru dan memadainya ketersediaan kanal-kanal solusi finansial untuk mengembangkan bisnis. 3. Teknologi, akhir-akhir ini kehadiran teknologi memiliki peranan yang sangat strategis dalam mempercepat, meningkatkan kualitas dan mempermudah kegitan ekonomi dan bisnis. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya pekerjaan manusia yang dapat digantikan oleh teknologi, sehingga manusia sebagai pembuat atau operatornya memiliki lebih banyak waktu untuk mengkreasi ide dan gagasan-gagasannya menjadi sebuah inovasi baru. Dengan demikian, kemudahan mengakses dan membeli teknologi, transfer teknologi adalah faktor penting dalam pembangunan ekonomi kreatif.Membangun citra pengembangan ekonomi kreatif dapat ditempuh melalui beberapa langkah: 1. Melestarikan budaya lokal yang disertai dengan penyesuaian terhadap perkembangan terbaru yang lebih modern agar menarik minat generasi muda dan pasar internasional. Hal ini sejalan dengan karakteristik industri kreatif sebagai sektor industri yang dapat memberi pembaruan dalam pelestarian budaya sekaligus mengeksplorasi potensi ekonominya. 2. Melestarikan dan memperkuat nilai-nilai budaya untuk meningkatkan reputasi melalui konversi cagar budaya dan proteksi warisan budaya. 3. Membangun perilaku dan semangat kreativitas masyarakat berbasis budaya secara konsisten yang tercermin di segala dimensi social kemasyarakatan. 4. Meningkatkan rasa memiliki budaya yang diwariskan oleh leluhur guna menumbuhkan perilaku kebanggaan atas budaya lokal dan kebanggaan memakai produk dalam negeri. 5. Meningkatkan konektifitas melalui kemajuan teknologi yang disinergikan dengan nilai-nilai simbolik suatu produk agar berkarakter spesifik sesuai dengan identitas budaya lokal yang unik dan geniun. 2. Perspektif Ekonomi Kreatif Dalam kenyataannya Palembang merupakan kota budaya dengan tiga etnis budaya besar yaitu Cina, Melayu dan Arab. Ekonomi Kreatif yang diharapkan dapat menunjang pergerakan ekonomi Palembang dalam sisi UMKM, dalam menghadapi perhelatan besar tingkat Internasional ASIAN GAMES 2018, kota Palembang dituntut sebagai Tuan Rumah ajang olahraga bergensi tersebut. Dalam pemahaman Ekonomi Kreatif bidang ekonomi, disebutkan sejumlah kekeliruan itu, 175 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 antara lain adalah rasionalitas yang didasarkan pada materi, kepercayaan yang berlebihan pada mekanisme pasar untuk mengatur dirinya sendiri, dan kekakuan pada prinsip efisiensi tanpa memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin. Ini semua menyebabkan timbulnya ketidakadilan ekonomi, yang membuat gap yang semakin besar antara orang atau masyarakat miskin dan orang atau masyarakat yang kaya. Ketidakadilan yang melekat secara intrinsik dalam ilmu dan sistem ekonomi, tampaknya tidak akan dapat diatasi dengan upaya-upaya kedermawaan, apalagi mengharapkan efek otomatis dari pertumbuhan ekonomi secara makro. Menarik untuk disimak sejumlah daftar kebutuhan sistem yang diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang doihadapi umat manusia dewasa ini, yaitu antara lain: a. Membangun kembali aspek spritual dan moral ekonomi dan memasukkannya secara intrinsik dalam ilmu ekonomi. b. Menciptakan tata dunia baru yang adil dan tidak bersifat hegemonistik. c. Menempatkan SDM sebagai salah satu modal dalam kegiatan ekonomi, dan peranan uang diluruskan hanya sebagai bersifat instrumental, bukan sebagai komuditas. d. Membuat sistem distribusi kekayaan dan pendapatan yang adil pada semua tingkatan. e. Menghidupkan ekonomi pasar dengan tanggung jawab sosial, komitmen moral dan peran positif negara untuk menjamin berlangsungnya aturan permainan. Berdasarkan uraian tentang perlunya alternatif sistem ekonomi yang kondusif bagi kebutuhan real bagi kelangsungan hidup manusia pada masa akan datang, ekonomi kreatif memiliki peluang yang besar untuk menjadi alternatif itu. Peluang ini diperkuat oleh hasil –hasil kajian positif tentang ekonomi kreatif pada tingkat teoritis keilmuan yang dilakukan oleh berbagai pihak, terutama oleh keberhasilan lembaga-lembaga keuangan Islam untuk bersaing dengan lembaga-lembaga konvensional sejenis yang mampu bertahan dalam menghadapi gejolak krisis ekonomi. 3. Epilog: Palembang terkenal dengan ragam budaya dan tradisi dengan mayoritas suku bangsa Arab, China dan Melayu sebagai penduduknya Mengulas Ekonomi Kreatif ini, karena ini adalah momentum bagus untuk mulai menumbuhkembangkan profesi-profesi kreatif di Kota Palembang dalam menyonsong ASIAN GAMES 2018. Topik ini sangat menarik, namun mulai saat ini kita harus membiasakan diri untuk sering berganti-ganti kacamata sudut pandang, dari kaca mata makro ekonomi ke kacamata sosiologi, etnografi, kreatif & artistik, teknologi ICT, planologi, bahkan studi pembangunan dimana Kota Palembang Merupakan penduduk dengan keragaman budaya. Saat ini kita hidup di era gelombang ke-4 peradaban yang dicirikan dengan semakin tumbuh dan berkembangnya ekonomi kreatif. Dalam peradaban gelombang ke-4 itu, unsur penentu daya saing adalah kreatifitas dan inovasi. Sehingga tantangan pembangunan yang terpenting yang harus kita hadapi dewasa ini, adalah tantangan untuk terus berinovasi atau the need to continuosly innovating. Ekonomi kreatif ditopang oleh 3 pilar yaitu: budaya kreatifitas, daya inovasi, dan kemajuan teknologi. Karena maraknya peran daya kreatifitas dan inovasi tersebut, maka beberapa literatur juga sering menyebutkan era sekarang ini sebagai abad inovasi atau the Century of Innovation. Saat ini inovasi, di berbagai bidang nyaris berlangsung tanpa henti, dan sebagai konsekuensinya, para inovator semakin menempati peran penting dalam peradaban sekarang ini. Dalam kondisi tersebut, maka karakteristik pekerjaan masa depan (the future of works and employment) ditandai dengan tuntutan untuk terus menerus melakukan inovasi atau innovative intensive employment dan berintikan pada pengarusutamaan pembelajaran terus menerus. Di era ekonomi kreatif, maka infrastruktur dan segenap aktivitas ekonomi dengan sendirinya harus disesuaikan dengan karakteristik ekonomi kreatif, yaitu adanya basis 176 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pengetahuan yang menunjang inovasi, adanya mekanisme koordinasi yang menjamin sinergi industri dan universitas, serta pembentukan kelembagaan yang memberikan akses pemodalan dan pranata perlindungan hukum untuk kekayaan intelektual. Pemerintah baik pusat dan daerah, termasuk Kabupaten/Kota,sedang dan terus mengembangkan sumber daya manusia sebagai aset utama dalam meraih peluang di era ekonomi kreatif. Banyak studi empiris menunjukan bahwa terdapat paling tidak, sedikitnya 4 (empat) persyaratan pokok untuk membangun ekonomi kreatif, meliputi : 1. Peningkatan kapasitas pengetahuan(melalui peningkatan kerjasama penelitian, collaborative research); 2. Peningkatan kualitas dan daya inovasi masyarakat (melalui pendidikan yang memadukan, iptek, budaya dan seni); 3. Penyempurnaan infrastruktur (untuk transportasi, informasi dan telekomunikasi); 4. Perbaikan pranata kebijakan yang mendukung (perlindungan hak kekayaan intelektual, peraturan anti monopoli, anti trust, pemodalan ventura, insentif pajak dan sejenisnya). Kita semakin sadar betapa makin pentingnya konsepsi yang jelas dan terarahdalam pengembangan kapasitas dan kemampuan Kota Palembang dalam membangun perekonomian daerah berbasis ekonomi kreatif, karena melihat kecendrungan dan beberapa fakta yang telah ada selama ini, antara lain : 1. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi semakin cepat. Kecepatan Produksi Inovasi semakin tinggi. Siklus Inovasi semakin singkat; 2. Produksi Ekonomi Global (Global economy production) meningkat 6 kali lipat di 20 tahun terakhir; 3. Mobilitas Manusia (Human Mobility) meningkat 5 kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Indikasi ini menunjukkan bahwa interaksi antar manusia makin intensif; 4. Munculnya Kekuatan Ekonomi Global Baru: Cina dan India; 5. Kesenjangan Negara Kaya dan Negara Miskin semakin lebar. Data dari World Bank (2010) menunjukkan bahwa 80% kemajuan ekonomi global hanya dinikmati oleh 20% penduduk dunia. Ekonomi kreatif tidak bisa dilihat dalam konteks ekonomi saja, tetapi juga dari dimensi budaya. Ide-ide kreatif yang muncul adalah produk budaya. Karenanya strategi kebudayaan sangat menentukan arah perkembangan ekonomi kreatif. Masyarakat pada umumnya memiliki keunggulan toleransi keragaman sosiokultural, yaitu : 1. Sikap terbuka dan keramahan masyarakat terhadap orang asing maupun etnis lainnya; 2. Kesenian tradisi (warisan budaya) masyarakat dapat dilihat dalam kehidupan sehari; dan 3. Terpeliharanya warisan budaya dan aset-aset wisata alam yang khas dan unik. Ketiga keunggulan tersebut mampu menjadi meeting point dari berbagai etnis dunia yang tidak sekadar ingin menikmati keindahan alam, namun juga ingin berkarya dan berkolaborasi dengan warga etnis lainnya.Interaksi semacam ini merupakan faktor penting bagi perekonomian masyarakat dan menjadikan masyarakat Kota Palembang pada umumnya makin dikenal sebagai tempat berkarya bagi banyak individu kreatif yang tidak hanya berkelas nasional, namun juga berkelas dunia. 177 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan dari hasil penjelasan di atas adalah bahwa realitas dan fenomena ekonomi kreatif sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi kita, warga masyarakat yang telah terbukti memiliki aset kreativitas sejak dulu tidak kekurangan modal kreatifitas, hanya saja pada saat ini kita belum mengintegrasikan dan menyinergikannya. Untuk itu langkah-langkah yang dibutuhkan adalah: Untuk itulah kiranya kita harus memulai menyusun langkah -langkah strategis sebagai berikut : 1. Menyusun Cetak Biru Ekonomi Kreatif di Kota Palembang yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stake holder), seperti pemerintah daerah, pengusaha, seniman, budayawan, tokoh spritual, akademisi, dan generasi muda. 2. Menyusun kebijakan taktis dan teknis mengenai ekonomi kreatif yang komprehensif sehingga bisa menjadi semacam juknis dan juklak bagi semua pengambil keputusan (decision maker)yang terkait dengan industri kreatif di Kota Palembang. 3. Menggiatkan inisiatif, baik swasta maupun Pemerintah untuk menciptakan tempat-tempat pengembangan talenta industri kreatif di setiap wilayah Kota Palembang sampai dengan Lingkungan RT (Rumah Tangga). 4. Menciptakan produk dan jasa unggulan daerah yang berbasis nilai-nilai kreativitas dan berbasis budaya lokal yang geniun, unik, dan khas berdasarkan prioritasnya, misalnya : a. Di bidang industri pariwisata, wisata religi b. Kerajinan tangan (handy-craft) yang khas dan unik dengan muatan ciri local yaitu songket dan handy craft lainnya. c. Industri Jasa di bidang gaya hidup d. Industri Makanan, menjual Pempek dan Kerupuk Kempalng dengan menggunakan inovasi dan kreatif sehingga menjadi Icon Khas Kota Palembang. e. Menciptakan pasar berbasis budaya lokal di internal Kota Palembang sendiri, karena selama ini Kota Palembang telah menjadi target pasar dari daerah atau negara lain. f. Menumbuhkan semangat invovasi dan kreativitas didalam dunia pendidikan agar generasi muda mampu melahirkan gagasan baru berdasarkan apa yang sudah dimiliki sejak awal. g. Transfer teknologi yang konsisten dalam industri kreatif berwawasan budaya terutama dari industriindustri besar dan menengah ke UMKM-UMKM dan Koperasi yang telah ada di Kota Palembang. h. Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi Pemerintah Kota Palembang dari sumber-sumber aktivitas ekonomi produktif berbasis kreativitas budaya lokal yang telah berorientasi industri dan berskala menengah dan besar, guna dijadikan modal dan sumber pendanaan bagi Pemerintah Daerah dalam mendorong dan mengembangankan industri kreatif yang belum berkembang terutama bagi kalangan UMKM dan Koperasi. i. Promosi Potensi Kota Palembang baik di tingkat regional, nasional, dan internasional, yang terkait dengan: 1. Potensi Alam dan Pariwisata yang eksotis dan berbau etnis yang geniun dan unik. 2. Pengembangan dan penguatan warisan budaya lokal (herritage). 3. Industri manufaktur dan jasa berbasis budaya dan seni j. Sosialisasi, diseminasi, dan promosi harus dilakukan secara intens dan sistimatis tentang kekuatan Kota Palembang dibidang Industri kreatif agar diperhitungkan di Peta kompetensi nasional dan dunia. 178 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA Alvin Toffler (1980), The Third Wave, Penerbit Penguin Book, England. Howkins, John, (2001), The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, Penguin Book, England. Moelyono, Mauled. (2010), Menggerakkan Ekonomi Kreatif: Antara Tuntutan dan Kebutuhan, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta. Richard, Florida. (2001).“The Rise of Creative Class dan dalam Cities and the Creative Class”.Harvard University Press. 179 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 KINERJA MANAJEMEN MODAL KERJA DENGAN PENDEKATAN DU PONT SYSTEM Sarah Usman1, Rintar Agus Simatupang2 dan Riendhra Nadyarian Artika Putri3 Papua University – West Papua E-mail: [email protected] & [email protected] Abstract: Return on assets the main supporting Industry to achieve the purpose. Return on asset consists of money supply, credit, and supply. The sustainability of the industry can be preserved by good management of it. Chip industry on Manokwari regency has problems in managing the return on asset. Efficient management of return on asset needed to improve the industry performance. Du pont system is the analyze finances method which used to measure it. The problem in this research is how to observe total asset turnover, profit margin and return on asset (ROA) by du pont system approach on chip industry regency of Manokwari. Purpose of this research is to know the turnover total asset, profit management and return on asset (ROA) by du pont system approach on chip industry regency of Manokwari. Collect method data is by questioner and interview. Analysis instrument is finances ratio instrument by du pont system approach. Sampling method is by purposive sampling on these criteria : (1) chip industry have license from the Health Department, (2) industry have finance data about one last year (3) Willing to meet and give the data that it takes researches. The result show that highest of total asset turnover is Tegal Jaya about 11,84 times or Rp 30.486.487,- and the lowest asset turnover is Tunas Jaya about 5,88 times or Rp 75.020.408,-. The highest profit margin is Sul Mandiri namely 30,23% or Rp 80.532.720,- and the lowest is Bintang Timur namely 10,42% or Rp 26.883.600,-. The highest Return on Asset (ROA) is Sul Mandiri namely 221,89% or Rp 113.569.787,- and the lowest is Bintang Timur namely 84,61% or Rp 422.361.423,. Keywords: Working Capital, Management, Du Pont System, performance Abstrak: Modal kerja merupakan penunjang utama sebuah perusahaan untuk melakukan kegiatan operasional agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Modal kerja terdiri dari kas, piutang dan persediaan. Modal kerja perlu dikelola dengan baik agar dapat mempertahankan kelangsungan perusahaan. Usaha keripik di kabupaten Manokwari memiliki permasalahan dalam megelola modal kerja sehingga perlu pengelolaan modal kerja yang efisien sehingga dapat meningkatkan kinerja usaha. Dalam mengukur kinerja usaha menggunakan metode analisis keuangan yaitu du pont system. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana total asset turnover, profit margin dan kinerja manajemen modal kerja (ROA) dengan pendekatan du pont system pada usaha keripik di kabupaten Manokwari. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui total asset turnover, profit margin dan kinerja manajemen modal kerja (ROA) dengan pendekatan du pont system pada usaha keripik di kabupaten Manokwari. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara. Alat analisis yang digunakan adalah analisis rasio keuangan dengan pendekatan du pont system. Metode sampling menggunakan purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut: (1) usaha keripik yang memiliki izin usaha dari Dinas Kesehatan, (2) usaha yang memiliki data keuangan selama satu tahun terakhir dan (3) bersedia ditemui dan memberikan data yang dibutuhkan peneliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa total asset turnover tertinggi adalah Tegal Jaya yaitu 11,84 kali atau sebesar Rp 30.486.487,- sedangkan total asset turnover terendah yaitu Tunas Jaya yaitu 5,88 kali atau sebesar Rp 75.020.408,-. Profit margin tertinggi adalah Sul Mandiri yaitu 30,23% atau sebesar Rp 80.532.720,- sedangkan profit margin terendah adalah Bintang Timur yaitu 10,42% atau sebesar Rp 26.883.600,-. Return on asset (ROA) tertinggi adalah Sul Mandiri yaitu 221,89% atau sebesar Rp 113.569.787,- sedangkan return on asset (ROA) terendah adalah Bintang Timur yaitu 84,61% atau sebesar Rp 422.361.423,-. Kata kunci: Modal Kerja, Manajemen, Du Pont System, Kinerja 180 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENDAHULUAN Sumber daya keuangan yaitu modal, merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam perusahaan. Perusahaan harus mampu menerapkan fungsi-fungsi manajemen yang diantaranya meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian secara baik sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai. Serta melakukan pengelolaan modal dengan baik agar tersedia modal yang cukup dalam melaksanakan peningkatan kegiatan operasi. Pengelolaan modal mempunyai peranan yang sangat penting bagi suatu perusahaan dimana dengan pengelolaan modal yang baik akan menciptakan keuntungan bagi perusahaan tersebut. agar hasil yang diperoleh perusahaan dapat optimal dan tingkat keuntungan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan maka manajer harus mampu memilih, mengelola dan mengawasi penggunaan modal kerja perusahaan. Modal kerja menjadi penunjang utama sebuah perusahaan untuk melakukan kegiatan operasional agar tujuan perusahaan yang telah ditetapkan dapat tercapai. Brigham dan Houston (2010) mengemukakan bahwa modal kerja adalah seluruh aset jangka pendek, atau aset lancar yang berupa kas, efek yang dapat diperjualbelikan, persediaan dan piutang usaha. Modal kerja dalam konsep kuantitatif merupakan sejumlah dana yang tertanam dalam aktiva lancar yang berupa kas, piutang-piutang, persediaan yang akan mengalami perputaran sekali dalam jangka waktu yang pendek (Riyanto, 2001) dalam (Syukriani, 2005). Modal kerja dalam perusahaan perlu dikelola dengan baik karena modal kerja penting bagi setiap perusahaan, yaitu tanpa modal kerja perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan operasional sehari-hari, sebagian besar waktu dari manajer dicurahkan untuk mengelola modal kerja perusahaan dan aktiva lancar dari perusahaan manufaktur maupun perusahaan jasa memiliki jumlah yang cukup besar dari total aktiva perusahaan. Menurut Esra dan Apriweni (2002) dalam (Marantika, 2012), pengelolaan modal kerja perlu memperhatikan tiga elemen utama, yaitu kas, piutang dan persediaan. Dari semua elemen modal kerja dihitung perputarannya. Semakin cepat tingkat perputaran masing-masing elemen modal kerja, maka modal kerja dapat dikatakan efisien. Tetapi jika perputarannya semakin lambat, maka penggunaan modal kerja dalam perusahaan kurang efisien. Pengelolaan modal kerja bukan hanya penting bagi perusahaan dalam skala besar tetapi juga perlu diterapkan pada usaha kecil dan menengah. Usaha mikro kecil dan menengah tahun 2012 sebanyak 175 pengusaha makanan. Usaha makanan yang turut berkembang salah satunya adalah usaha keripik. Terdapat 53 usaha keripik yang telah terdaftar (Dinas PERINDAKOP dan UMKM, Kabupaten Manokwari, 2012). Usaha keripik perlu melakukan pengelolaan modal kerja agar kelangsungan usaha dan tujuan dapat dicapai yaitu laba usaha akan meningkat. Pengelolaan modal yang baik dan efisien akan meningkatkan kinerja keuangan usaha kecil dan menengah. Dalam mengukur kinerja keuangan suatu usaha dapat digunakan berbagai macam analisis. Salah satu metode analisis yang digunakan untuk menilai kinerja keuangan adalah dengan pendekatan du pont system. Pendekatan du pont system Untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunaan modal dalam turnover of operating asset melalui tingkat perputaran masing-masing komponen aktiva dengan cara membandingkan pendapatan usaha dengan komponen aktiva. Dimana aktiva dalam penelitian ini adalah kas, piutang dan persediaan. Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana kinerja manajemen modal kerja (ROA) dengan pendekatan du pont system? Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah: Untuk mengetahui kinerja manajemen modal kerja (ROA) dengan pendekatan du pont system. 181 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 TINJAUAN PUSTAKA Manajemen Modal Kerja Menurut Gitosudarmo dan Basri (2000), pengertian modal kerja dapat dikemukakan dalam beberapa konsep, yaitu: 1. Konsep kuantitatif Dalam konsep kuantitatif, modal kerja adalah jumlah dana yang tertanam dalam aktiva lancar yang berupa kas, piutang, dan persediaan. Dana yang tertanam dalam aktiva lancar akan mengalami perputaran dalam waktu pendek. Besarnya modal kerja adalah sejumlah aktiva lancar. 2. Konsep kualitatif Dalam konsep kualitatif, modal kerja dikaitkan dengan besarnya hutang lancar atau hutang yang harus dibayar segera dalam jangka pendek. Besarnya modal kerja adalah sejumlah dana yang tertanam dalam aktiva lancar yang benar-benar dapat dipergunakan untuk membiayai operasi perusahaan atau sesudah dikurangi besarnya hutang lancar. Modal kerja adalah kelebihan aktiva lancar diatas hutang lancar. 3. Konsep fungsional Dalam konsep fungsional, besarnya modal kerja adalah didasarkan pada fungsi dari dana untuk menghasilkan pendapatan. Pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan dalam satu periode accounting (current income) bukan pada periode-periode berikutnya (future income). Terdapat sejumlah dana yang tidak menghasilkan current income, atau jika menghasilkan tidak sesuai dengan misi perusahaan, yang disebut nonworking capital. Besarnya modal kerja adalah besarnya kas, besarnya persediaan, besarnya piutang (yang dikurangi besarnya keuntungan), dan besarnya sebagian dana yang ditanamkan dalam aktiva tetap. Pendekatan Du Pont System Du pont system sangat bermanfaat memberikan gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan. Menurut Atmaja (2006) du pont analysis memperlihatkan bagaimana perputaran aktiva dan Profit Margin dikombinasikan untuk menentukan return on equity (ROE). Du pont system memecah return on asset dan return on equity menjadi berbagai rasio lainnya. Menurut Brealey et al., (2006) du pont system merupakan penguraian ukuran kinerja menjadi rasio komponen. Rasio komponen membantu mengisolasi pengaruh yang terpisah pada kinerja. Du pont system merupakan pemecahan return on equity (ROE) dan return on asset (ROA) menjadi rasio komponen. Return on equity (ROE) merupakan suatu pengukuran dari penghasilan (income) yang tersedia bagi para pemilik perusahaan (baik pemegang saham biasa maupun saham preferen) atas modal yang mereka investasikan di dalam perusahaan. Secara umum semakin tinggi return atau penghasilan yang diperoleh maka semakin baik kedudukan pemilik perusahaan (Syamsuddin, 1998). 182 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 ROE ROA Profit Margin Sales Total Cost Assets/Equity Total Assets Turnover Net Income Total Assets Sales Sales Total Assets Total Assets Sumber: Atmaja (2006) Gambar 1. Bagan Du Pont Analisis du pont menggabungkan rasio-rasio aktivitas dan Profit Margin, dan menunjukkan bagaimana rasio-rasio tersebut berinteraksi untuk menentukan profitabilitas aktiva-aktiva yang dimiliki perusahaan. Jika rasio perputaran dikalikan dengan marjin laba penjualan, hasilnya adalah tingkat pengembalian aktiva/ return on asset (ROA) atau sering disebut juga tingkat pengembalian investasi/return on investment (ROI) (Sawir, 2005) dalam (Lianto, 2013). Return on asset (ROA) yaitu rasio yang membandingkan antara laba bersih setelah pajak dengan jumlah aktiva. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan (Setyorini et al., 2016). Menurut Hanafi dan Halim (2003) dalam Setyorini et al. (2016) return on asset (ROA) merupakan rasio keuangan perusahaan yang berhubungan dengan profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan atau laba pada tingkat pendapatan, asset dan modal saham tertentu. Return on asset (ROA) yang tinggi menunjukkan penerimaan perusahaan akan investasi yang sangat baik dan manajemen biaya yang efektif. Semakin besar nilai return on asset (ROA), maka akan menunjukkan kinerja perusahaan yang baik pula, karena tingkat pengembalian investasi semakin besar. Menurut Brealey et al. (2006) perhitungan dengan menggunakan pendekatan du pont adalah sebagai berikut: ROA = Laba Bersih + Bunga Penjualan Laba Bersih + Bunga = x Asset Asset Penjualan ↑ perputaran asset ↑ margin laba operasi Brealey et al. (2006) Total asset turnover menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan keseluruhan aktiva perusahaan di dalam menghasilkan volume penjualan tertentu. Semakin tinggi rasio total asset turnover berarti semakin efisien penggunaan keseluruhan aktiva di dalam menghasilkan penjualan (Syamsudin, 1998). Analisis total asset turnover digunakan untuk mengetahui efektivitas penggunaan seluruh aktiva 183 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 perusahaan dalam rangka menghasilkan penjualan, atau dapat dikatakan pengambilan beberapa rupiah penjualan bersih yang dapat dihasilkan oleh setiap rupiah yang diinvestasikan dalam bentuk harta perusahaan. Semakin cepat perputaran aktiva tersebut menunjukkan semakin efektifnya perusahaan dalam menggunakan aktivanya secara produktif dan apabila perputaran aktiva tersebut lambat maka menunjukkan aktiva yang dimiliki terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan perusahaan untuk menjualnya (Sawir, 2001) dalam (Syukriani, 2005). Profit Margin adalah rasio antara laba bersih (net profit) yaitu penjualan sesudah dikurangi dengan seluruh espenses termasuk pajak dibandingkan dengan penjualan. Semakin tinggi Profit Margin, semakin baik operasi suatu perusahaan. Profit Margin dikatakan baik tergantung dari jenis industri di dalam mana perusahaan berusaha (Syamsudin, 1998). Profit Margin merupakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari tingkat penjualan tertentu. Profit Margin dapat diinterpertasikan sebagai tingkat efisiensi perusahaan yakni sejauh mana kemampuan perusahaan menekan biaya-biaya yang ada di perusahaan. Semakin tinggi Profit Margin yang dicapai perusahaan menunjukkan semakin efisiensinya operasi perusahaan (Riyanto, 2001) dalam (Syukriani, 2005). Penelitian Terdahulu Lianto (2013) melakukan penelitian berjudul “Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Menggunakan Analisis Du Pont”. Variabel dalam penelitian ini adalah total asset turnover, Profit Margin dan return on investment (ROI). Metode analisis yang digunakan adalah analisis du pont. Hasil penelitian ini adalah berdasarkan rata-rata Return On Invesment (ROI), rata-rata Profit Margin (PM), dan rata-rata Total Assets Turn Over (TATO), selama tahun 2008-2010 menunjukkan bahwa PT. Hanjaya Mandala Sampoerna, memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan PT. Gudang Garam. Wuryaningsih dan Dziqron (2014) melakukan penelitian berjudul “Penerapan Du Pont System Untuk Mengukur Kinerja Keuangan Perusahaan (Studi Pada Perusahaan Semen Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2007-2011)”. Hasil penelitian ini adalah PT Holcim Indonesia Tbk menunjukkan ROI (Du Pont System) berada dibawah rata-rata industri yang menunjukan bahwa perputaran aktiva dan Net Profit Margin sangat rendah. Hal ini menunjukan bahwa kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba kurang baik. PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk menunjukkan ROI (Du Pont System) berada diatas rata-rata industri yang menun-jukan bahwa perputaran aktiva kurang baik namun Net Profit Margin sangat tinggi. Hal ini menunjukan bahwa kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba cukup baik. PT. Semen Gresik (Persero) Tbk menunjukkan ROI (Du Pont Sys-tem) berada diatas rata-rata industri yang menunjukan bahwa perputaran ak-tiva dan Net Profit Margin sangat tinggi. Hal ini menunjukan bahwa ki-nerja perusahaan dalam menghasilkan laba semakin baik. McGowan dan Stambaugh pada tahun 2012 mengadakan penelitian berjudul “Using Disaggregated Return on Assets to Conduct a Financial Analysis of a Commercial Bank Using an Extension of the DuPont System of Financial Analysis”. Penelitian ini menggunakan sistem DuPont analisis keuangan untuk melakukan analisis keuangan dari bank, pada data return on equity yang didasarkan pada Margin net Laba, perputaran total aset, dan multiplier ekuitas. net Profit Margin menjadi tiga komponen: pengembalian pinjaman (return asset), kembali pada surat berharga (return on investment), dan pengembalian pada aset lain (returt other asset). Serta, data tambahan yang disediakan dalam pengajuan SEC dari Monarch Bank. Analisis mencakup periode dari tahun 2003 sampai 2010. Hasil penelitian bahwa pengembalian aset untuk Monarch Bank berasal terutama dari pengembalian pinjaman. Artinya, 86% dari laba tertimbang investasi pada aset untuk Monarch Bank berasal dari pengembalian pinjaman. 184 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Collier et al. pada tahun 2010 mengadakan penelitian berjudul “Evaluating The Impact Of A Rapidly Changing Economic Environment On Bank Financial Performance Using The Dupont System Of Financial Analysis”. Penelitian ini menyajikan model untuk analisis keuangan dari bank dalam lingkungan yang berubah dengan cepat berdasarkan sistem DuPont analisis keuangan. Sistem DuPont analisis keuangan berdasarkan analisis pengembalian ekuitas yang dibedakan menjadi Margin Laba bersih, perputaran total aset dan multiplier ekuitas. Analisis dimulai pada tahun 1999 yang merupakan tahun Affin Bank dibentuk sampai 2006. Sistem DuPont analisis keuangan menunjukkan dampak dari krisis keuangan Asia dan restrukturisasi industri perbankan di Malaysia pada kinerja keuangan Affin Bank dan pemulihan bertahap dari Affin Bank untuk kembali ke performa stabil selama delapan tahun terakhir. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif keuangan. Menurut Sugiyono (2014) penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel yang lain. Data kuantitatif keuangan adalah data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan. Data yang digunakan merupakan data keuangan dari usaha keripik. Sumber dan Jenis Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder (Sugiyono, 2014). Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data. Data primer diperoleh dengan melakukan survei lapangan dengan menggunakan angket (kuesioner) yang berupa daftar pertanyaan dan wawancara (interview) yaitu dengan bertanya secara langsung kepada responden. Sumber data sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen. Data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dari Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UMKM Kabupaten Manokwari berupa data jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) yang telah terdaftar dan memiliki izin usaha. Populasi dan Sampel Menurut Sugiyono (2014), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karasteristik tertentu yang diciptakan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel menurut Kuncoro (2003) adalah himpunan bagian (subset) dari unit populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah usaha keripik yang telah memiliki izin usaha. Sampel yang akan digunakan dipilih dengan berdasarkan teknik non probability sampling yaitu metode purposive sampling. Dimana teknik penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu, sebagai berikut: 1. Usaha keripik yang memiliki izin usaha dari Dinas Kesehatan 2. Usaha yang memiliki data keuangan selama satu tahun terakhir 3. Bersedia ditemui dan memberikan data yang dibutuhkan peneliti 185 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data-data penelitian adalah sebagai berikut: a. Kuesioner (angket). Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti tahu dengan pasti variable yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan responden (Sugiyono, 2014). Kuesioner berisi data keuangan berupa kas, piutang, persediaan, penjualan, laba usaha dan data keuangan lain yang diperlukan untuk dianalisis. b. Wawancara (interview). Wawancara (interview) adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil (Sugiyono, 2014). Dalam penelitian ini wawancara sebagai data tambahan untuk melengkapi angket yang diberikan. Metode dan Teknis Analisis Data Analisis data merupakan suatu cara untuk mengukur, mengolah dan menganalisis data tersebut. Sugiyono (2014) menyatakan bahwa analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden terkumpul. Metode analisis data menggunakan du pont system. Du pont system bermanfaat memberikan gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data keuangan, yaitu: a. Total Asset Turnover Penjualan Total Aktiva Aktiva = Kas + Piutang + Persediaan Total Asset Turnover = b. Profit Margin Profit Margin = Laba Setelah Pajak Penjualan (Syamsuddin, 1998) c. Return On Asset (ROA) ROA = (Profit Margin) x (Total Asset Turnover) (Brealey et al., 2006) Indikator pengukuran menggunakan rata-rata industri. Menurut Djarwanto (2004): Standar rasio yang baik adalah yang memberikan gambaran rata-rata. Gambaran rata- rata yang paling tepat adalah rasio industri (gabungan perusahaan sejenis). Sehingga, Rata-rata industri yang digunakan adalah dengan menjumlahkan seluruh hasil rasio yang dihasilkan dan membagi dengan jumlah usaha sejenis yaitu usaha keripik. Jika hasil yang diperoleh berada di atas rata-rata industri maka dikategorikan baik karena melebihi standar yang telah ditetapkan sehingga menunjukkan bahwa usaha tersebut dapat mengelola modal kerja dengan efisien dan sebaliknya jika hasil yang diperoleh berada di bawah rata-rata industri maka dikategorikan kurang baik karena usaha tersebut lebih buruk dibandingkan dengan usaha sejenis dan menunjukkan kurangnya pengelolaan terhadap modal kerja sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal (Munawir, 1990). Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Menurut Kuncoro (2003) variabel adalah sesuatu yang dapat membedakan atau mengubah nilai. Nilai dapat berbeda pada waktu yang berbeda untuk objek atau orang yang sama, atau nilai dapat berbeda dalam waktu yang sama untuk objek atau orang yang berbeda. Sehingga variabel yang 186 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 menjadi objek dari penelitian ini adalah: 1. Du pont system merupakan penguraian ukuran kinerja menjadi rasio komponen. Rasio komponen membantu mengisolasi pengaruh yang terpisah pada kinerja. 2. Return on asset (ROA) yaitu rasio yang membandingkan antara laba bersih setelah pajak dengan jumlah aktiva. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan 3. Modal kerja (capital working) adalah sejumlah aktiva lancar yang digunakan dalam mengelola produk. 4. Usaha Rumahan (home industries) adalah usaha yang dilakukan secara langsung dan mandiri oleh seseorang, yang diproduksi di rumah. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah empat usaha keripik dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut: Tabel 1. Daftar Pengusaha Keripik Nama Usaha Jenis Usaha Bintang Timur Perseroan Komanditer Perusahaan Perseorangan Perusahaan Perseorangan Perusahaan Perseorangan Sul Mandiri Tunas Jaya Tegal Jaya Wulaningsih Tahun Berdiri 2009 Jl. Ekonomi Reremi Sulikah 2001 Jl. Kota Raja Mardoan 2003 Jl. Kota Raja Hartoyo 2005 Mako Brimob Pemilik Usaha Alamat Usaha Sumber: Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UMKM Kabupaten Manokwari Tahun 2012. Hasil penelitian usaha keripik berkaitan Total turn over diperoleh bahwa terdapat dua usaha yang berada diatas rata-rata industri usaha keripik dimanokwari, yaitu usaha Tegal jaya dan Sul Mandiri. Dan dua usaha lainnya berada dibawah rata-rata industri. Seperti terlihat pada gambar 2, dibawah ini: Total Asset turnover Rata-rata 1.18 1.06 0.720.92 Bintang Timur 0.92 Sul Mandiri 0.730.92 Tunas Jaya 0.92 Tegal Jaya Sumber. Data Olahan, 2016 187 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Gambar 2. Total Turn Over Usaha Keripik, Manokwari Data yang terlihat pada gambar 2 diatas menjelaskan bahwa, dalam perputaran aset usaha atau kemampuan aktiva usaha untuk menghasilkan penjualan tertinggi sebesar 1.18 kali. oleh usaha tegal jaya dan terendah usaha bintang timur yaitu 0,72. Untuk melihat jumlah pemasukan atau keuntungan yang diperoleh maka diperlukan perhitungan Profit Margin, seperti gambar dibawah ini: Profit Margin Rata-rata 30.23 17.90 17.90 17.90 16.26 10.42 Bintang Timur Sul Mandiri Tunas Jaya 17.90 14.67 Tegal Jaya Sumber : data olahan, 2016 Gambar 3. Profit Margin Usaha Keripik,Manokwari. Gambar 3 di atas menjelaskan besarnya persentasi keuntungan yang diperoleh setiap usaha keripik di manokwari, dimana tertinggi dan diatas rata-rata industri dicapai oleh usaha sul mandiri, diikuti oleh tunas jaya, tegal jaya dan bintang timur. Profit Margin Tiga usaha selain sul mandiri, berada dibawah rata-rata industri. Analisa dan Intrepretasi data Return on asset (ROA) yaitu rasio yang membandingkan antara laba bersih setelah pajak dengan jumlah aktiva. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan (Setyorini et al., 2016). Return on asset (ROA) yang tinggi menunjukkan penerimaan perusahaan yang berasal dari aset, baik dan manajemen biaya yang efektif. Semakin besar nilai return on asset (ROA), maka akan menunjukkan kinerja perusahaan yang baik pula, karena tingkat pengembalian investasi dari aset yang dimiliki semakin besar. Return On Asset Rata-rata 31.96 19.43 19.43 7.52 Bintang Timur Sul Mandiri 19.43 11.89 Tunas Jaya 17.33 19.43 Tegal Jaya Sumber: Data Olahan, 2016 Gambar 4. Return On Asset (ROA) Pada Usaha Keripik di Kabupaten Manokwari 188 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Berdasarkan perhitungan du pont system dari masing-masing usaha, yaitu besarnya nilai ROA Bintang Timur sebesar 7,52% terendah dibawah rata-rata industri. Kondisi ini terjadi disebabkan karena biaya yang digunakan cukup tinggi terlihat dari turn over sebesar 0.72 atau 17 kali dalam setahun, namun Profit Margin yang diperoleh rendah. Artinya terjadi perputaran kas yang besar, persediaan dan piutang yang tinggi disebabkan penjualan kredit yang banyak namun belum terjual. Pada Sul Mandiri memiliki kinerja yang sangat baik karena memiliki tingkat return on asset (ROA) yang diatas rata-rata industri yaitu sebesar 31,96%. Return on asset (ROA) yang tinggi disebabkan kemampuan memperoleh laba dari hasil penjualan sangat besar, hal ini ditunjukkan dengan nilai Profit Margin yang tertinggi dibandingkan dengan usaha lainnya. Secara perputaran berada diposisi 2 terendah yaitu terjadi 10 kali perputaran dalam setahun, namun setiap penjualan menghasilkan profit yang cukup tinggi karena dijual sendiri, sehingga memperoleh profit yang tinggi yang terlihat pada ROA yang dihasilkan. Sedangkan, pada Tunas Jaya memiliki tingkat return on asset (ROA) yaitu sebesar 11,89% dibawah rata-rata industri. kondisi ini disebabkan karena perputaran cukup tinggi, namun laba yang diperoleh rendah. Nilai total aset turn over sebesar 0.73 atau 16 kali , artinya perputarab kas, piutang dan persediaan sudah tinggi. Dimana tidak adanya kas menganggur, piutang cepat tertagih dan produksi yang cepat, serta profit margin sudah cukup baik, sehingga ROA mendekati rata-rata industri. Namun berbeda pada usaha Tegal Jaya memiliki tingkat return on asset (ROA) sebesar 17,33% kedua tertinggi, namun masih berada dibawah rata-rata industri. disebabkan karena meskipun nilai turn over tinggi namun nilai Profit Margin yang diperoleh lebih rendah dibandingkan dengan sul mandiri dan Tunas Jaya, sehingga ROA masih berada dibawah rata-rata industri. Pembahasan Kinerja keuangan pada suatu usaha dapat diketahui dari pengukuran tingkat profitabilitasnya melalui tingkat return on asset (ROA). Penilaian kinerja keuangan perusahaan menggunakan pendekatan du pont system yaitu merupakan suatu sistem analisis yang menunjukkan hubungan antara return on asset (ROA), total assets turnover, dan Profit Margin. Besarnya return on asset (ROA) akan berubah jika ada perubahan pada Profit Margin atau total assets turnover, baik masing-masing atau kedua-duanya. Dengan demikian dapat menggunakan salah satu atau keduanya dalam rangka meningkatkan return on asset (ROA). Dalam penelitian pada usaha keripik di Kabupaten Manokwari kinerja keuangan dihitung menggunakan pendekatan du pont system sebagai cara untuk melihat lebih jauh mengenai hal-hal yang menyebabkan atau mempengaruhi tinggi rendahnya return on asset (ROA). Menurut Du Pont, perubahan penjualan, biaya dan laba bersih serta Total Aktiva akan mempengaruhi perubahan laba. Perubahan penjualan belum tentu proporsional dengan perubahan laba, karena adanya perbedaan dalam perkembangan biaya. Di samping itu perubahan laba juga dipengaruhi perubahan perputaran aktiva, semakin cepat perkembangan aktiva berarti semakin efektif perusahaan dengan akibat meningkatnya laba yang diperoleh. Penilaian ROA dalam du pont system melihat terlebih dahulu Total asset turnover yang dimiliki oleh setiap usaha. Total asset turnover merupakan rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur seberapa besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki berupa asset. Semakin tinggi efisien penggunaan asset dan semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk kas (Halim, 2007). Sedangkan menurut Brigham dan Houston (2001) TATO merupakan rasio pengelolaan aktiva terakhir, mengukur perputaran atau pemanfaatan dari semua aktiva perusahaan. Apabila perusahaan tidak menghasilkan volume usaha yang cukup untuk ukuran investasi sebesar total 189 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 aktivanya, penjualan harus ditingkatkan. Beberapa aktiva harus dijual, atau gabungan dari langkah-langkah tersebut harus segera dilakukan. Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari total asset turnover, Tegal Jaya memiliki nilai tertinggi, dan sul mandiri diatas rata-rata industri, sedangkan Bintang Timur dan Tunas Jaya memiliki nilai di bawah rata-rata industri. Artinya dua usaha tegal jaya dan sul mandiri memiliki sumberdaya aktiva yang besar dan mampu digunakan untuk penjualan dan sudah secara mampu dikelolah secara efisien. Terlihat dari tingginya perputaran yang dihasilkan dalam setahun, namun usaha bintang timur dan sul mandiri secara perputaran masih lambat, artinya aktiva yang dimiliki belum cukup efisien digunakan dalam penjualan yang dengan kata lain masih banyak terdapat aktiva yang menganggur. Profit Margin menurut Harahap (2007) mengemukakan; “Angka ini menunjukkan berapa besar persentase pendapatan bersih yang diperoleh dari setiap penjualan. Semakin besar rasio ini semakin baik karena dianggap kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba cukup tinggi. ”Rasio ini bisa diinterpretasikan juga sebagai kemampuan perusahaan menekan biaya-biaya diperusahaan pada periode tertentu. Profit Margin yang tinggi menandakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu. Profit Margin yang rendah menandakan penjualan yang terlalu rendah untuk tingkat biaya tertentu, atau biaya yang terlalu tinggi untuk tingkat penjualan tertentu, atau kombinasi dari kedua hal tersebut. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Profit Margin dimaksudkan untuk mengetahui efisiensi perusahaan dengan melihat kepada besar kecilnya laba usaha dalam hubungannya dengan penjualan (sales). Apabila ditinjau dari segi Profit Margin, Sul Mandiri memiliki Profit Margin yang tinggi diatas rata-rata industri usaha lainnya yaitu: Bintang Timur, Tegal Jaya dan Tunas Jaya. Profit Margin, bertujuan untuk melaporkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba pada tingkat penjualan tertentu. Profit Margin bisa diinterpretasikan sebagai tingkat efisiensi perusahaan, yakni sejauh mana kemampuan perusahaan mengelolah profit margin, yaitu menekan biaya-biaya yang ada diperusahaan, sehingga profit marginnya tinggi. Menurut Bambang Riyanto (2001) pengelolaan Profit Margin dapat dilakukan dengan dua cara bagi usaha lainnya yaitu: 1. Dengan menambah biaya usaha (operating expenses) sampai tingkat tertentu diusahakan tercapainya tambahan sales yang sebesar-besarnya, atau menaikkan tingkat sales agar pendapatan meningkat dengan jalan : a. Memperbesar volume sales per unit pada tingkat harga penjualan tertentu b. Menaikkan harga penjualan per unit produk pada luas sales dalam unit tertentu. 2. Dengan mengurangi pendapatan dari sales sampai tingkat tertentu diusahakan adanya pengurangan operating expenses yang sebesar-besarnya, atau dengan kata lain mengurangi biaya usaha relatif lebih besar daripada berkurangnya pendapatan dari sales. Meskipun jumlah sales selama periode tertentu berkurang, tetapi oleh karena disertai dengan berkurangnya operating expenses yang lebih sebanding maka akibatnya ialah bahwa Profit Marginnya makin besar. Dengan kata lain maka usaha sul mandiri sudah mampu mengelola biaya produksi dan menyeimbangkan dengan penjualan, dimana harga jual yang ditetapkan sudah mampu memberikan laba yang cukup tinggi. Namun berbeda dengan tiga usaha lainnya, masih harus mengelola biaya dan penjualan agar penjualan mampu memberikan keuntungan dalam Profit Margin. ROA merupakan salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur efektivitas perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan total aktiva yang dimilikinya. Return on asset (ROA) juga merupakan perkalian antara faktor profit margin dengan perputaran aktiva (Husnan, 2005). profit margin menunjukkan kemampuan memperoleh laba dari setiap penjualan yang diciptakan oleh perusahaan, sedangkan perputaran aktiva menunjukkan seberapa jauh perusahaan mampu menciptakan penjualan dari aktiva yang dimilikinya. Apabila salah 190 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 satu dari dari faktor tersebut meningkat atau keduanya, maka ROA juga akan meningkat. Apabila ROA meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang saham (Husnan, 2005). Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat diketahui bagaimana kinerja usaha keripik di Kabupaten Manokwari melalui rasio return on asset (ROA) dari hasil analisis rasio perputaran kas, rasio perputaran piutang, rasio perputaran persediaan, dan profit margin, maka return on asset (ROA) dengan pendekatan du pont system menunjukkan bahwa kinerja keuangan pada empat usaha keripik di Kabupaten Manokwari berbeda, dimana usaha sul mandiri memiliki kinerja ROA yang baik yaitu diatas rata-rata industri usaha sejenis yang diteliti, yaitu sebesar 31,96% dan tiga usaha lainnya dibawah rata-rata industri. Jika dilihat usaha sul mandiri memiliki perputaran diatas rata-rata industri dibawah tegal jaya dan nilai Profit Margin yang tertinggi diatas rata-rata untuk data tahun 2015. Hal ini menandakan bahwa usaha sul mandiri mampu mengelolah keuntungan dari setiap penjualan, dengan menekan biaya lebih kecil dibandingkan pendapatan penjualan, serta dengan perputaran aset yang tinggi dalam setahun. Faktor pendukung lain bagi sul mandiri yaitu usaha ini lebih lama dalam menjalankan usahanya dibandingkan usaha lainnya, sehingga dalam pengelolaan siklus kehidupan produk atau usaha lebih efisien dibandingkan tiga usaha lainnya. Siklus kehidupan produk bisa berpengaruh terhadap ROA yang berkaitan dengan Produk. Mulai dari produk muncul sampai menghilang, melalui beberapa tahap (Griffin, 2002): (1) Pada tahap perkenalan (introduction), pengelolaan biaya (agar diperoleh biaya yang efisien) menjadi penting. Pada tahap ini perusahaan bisa memperoleh laba yang cukup tinggi dibandingkan pada tahap-tahap lainnya. Pada tahap perkenalan, perusahaan sibuk menyiapkan infrastruktur produk baru dengan melakukan investasi pada pabrik dan peralatan. (2) Pada tahap pertumbuhan (Growth), penjualan mulai meningkat tajam. Pengeluaran mulai berkurang. Pengeluaran pada saat ini ditujukan untuk mengakomodasi permintaan yang semakin meningkat. (3) Pada tahap dewasa (Maturity), aliran kas masuk sudah mulai meningkat karena produk sudah semakin dikenal. Sebagai hasilnya perusahaan bisa memperoleh aliran kas positif yang cukup besar. (4) Pada tahap penurunan (Decline), permintaan produk sudah mulai melemah, karena kompetisi semakin tajam. Pengeluaran investasi ditujukan untuk mempertahankan posisi produk dipasar. Sedangkan usaha bintang timur, tunas jaya dan tegal jaya merupakan usaha yang berdiri setelah usaha sul mandiri. Sehingga secara siklus kehidupan produk, sul mandiri sudah lebih matang dibandingkan usaha yang lainnya. Jika dilihat berdasarkan pengelolaan tiga usaha lainnya, maka secara pengelolaan belum sepenuhnya mampu mengelolah total aset turn over dan Profit Margin secara seimbang. Misalkan pada usaha tegal jaya memiliki tingkat total asset turn over tertinggi, namun nilai Profit Margin rendah dibawah rata-rata. Artinya secara perputaran aktiva usaha tegal jaya secara frekuensi sudah efisien dalam melakukan penjualan. Namun, keuntungan yang diberikan oleh setiap perputaran aktiva belum mampu memberikan keuntungan yang tinggi. Dikarenakan masih adanya biaya yang cukup tinggi yang dikeluarkan dalam proses produksi, sehingga mempengaruhi pendapatan yang diterima dari hasil penjualan. 191 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan tentang kinerja manajemen modal kerja dengan pendekatan du pont system terhadap empat usaha keripik di Kabupaten Manokwari sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa: Return on asset (ROA) tertinggi dimiliki oleh Sul Mandiri yaitu sebesar 31,96% atau laba yang diperoleh dari total aktiva lancar adalah sebesar Rp 80.528.000,- hal ini dipengaruhi oleh laba usaha yang tinggi dan efisiensi penggunaan aset yang efektif dalam menghasilkan penjualan. Kemudian di posisi kedua ditempati oleh Tegal Jaya dengan nilai 17,33% atau laba yang diperoleh dari total aktiva lancar adalah sebesar Rp. 62.544.000,- . Posisi ketiga ditempati oleh Tunas Jaya dengan nilai sebesar 11,89% atau laba yang diperoleh dari total aktiva lancar adalah sebesar Rp.52.464.000,-. Nilai tersebut masih lebih baik jika dibandingkan Bintang Timur yang menempati posisi terendah yaitu sebesar 7,52% atau laba yang diperoleh dari total aktiva lancar adalah sebesar Rp.26.880.000,-. Berdasarkan standar rata-rata industri sebesar 19,43% maka usaha sul mandiri memiliki kinerja yang baik yaitu diatas rata-rata industri dan usaha tegal jaya, tunas jaya, dan bintang timur masih berada dibawah rata-rata industri. Saran 1. Bagi usaha keripik, agar mampu menentukan biaya seefisien mungkin dengan mempertimbangkan harga jual, agar mampu mendatangkan keuntungan yang lebih tinggi. 2. Setiap usaha keripik diharapkan dapat melakukan pencatatan keuangan secara teratur agar dapat mengetahui besarnya penjualan dan biaya usaha serta laba yang diperoleh sehingga dapat diketahui kinerja usaha secara berkelanjutan. 3. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan mampu memperluas jangkauan penelitian dengan menambah jumlah sampel dan tahun data. DAFTAR PUSTAKA Atmaja, L.S. (2006). Manajemen Keuangan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi Brigham, E.F. & Houston, J.F. (2001). Manajemen Keuangan, Jakarta : Erlangga Brealey, R.A., Myers, S.C., dan Marcus, A.J. (2006). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan Perusahaan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga Collier, H.W., McGowan, C.B. & Muhammad, J. (2010). Evaluating The Impact Of A Rapidly Changing Economic Environment On Bank Financial Performance Using The Dupont System Of Financial Analysis. Asia Pacific Journal of Finance and Banking Research Vol. 4. No. 4. 2010. Dinas PERINDAKOP dan UMKM, Kabupaten Manokwari. (2012). Data UMKM Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat. Manokwari: Pemerintah kabupaten Manokwari. Djarwanto. (2004). Pokok-pokok Analisa Laporan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Yogyakarta: BPFE. Gitosudarmo, I. dan Basri, H. 2000. Manajemen Keuangan. Edisi keempat. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta Griffin, J. (2002). Customer Loyalty How to Earn It, How to Keep It. Kentucky: McGraw-Hill. Halim, A. (2007). Manajemen Keuangan Bisnis. Ghalia Indonesia. Bogor Harahap, S.S. (2007). Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 192 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Husnan, S. (2005). Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN. Kuncoro, M. (2003). Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga Lianto, D. (2013). Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Menggunakan Analisis Du Pont. Jurnal JIBEKA. Vol 7 No 2, 25-31. Marantika, A. (2012). Analisis Efisiensi Penggunaan Modal Kerja dan Profitabilitas Efficiency Analysis Of The Use Of Working Capital And Probability. Jurnal Manajemen Keuangan. Vol. 10 No. 2, 54-64. McGowan, C.B. & Stambaugh, A.R. (2012). Using Disaggregated Return on Assets to Conduct a Financial Analysis of a Commercial Bank Using an Extension of the DuPont System of Financial Analysis. Accounting and Finance Research Vol. 1, No. 1. Munawir, S. (1990). Analisa Laporan Keuangan. Edisi keempat. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta Riyanto, B. (2001). Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi Keempat, Cetakan Ketujuh, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta. Setyorini, M., Maria, M. dan Haryono, A.T. (2016). Pengaruh Return On Asset (ROA), Return On Equity (ROE), dan Earning Per Share (EPS) terhadap Harga Saham Perusahaaan Real Estate di Bursa Efek Indonesia. Journal Of Management. Vol 2 No. 2. Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Manajemen. Cetakan ketiga. Bandung: CV Alfabeta Syamsuddin, L. (1998). Manajemen Keuangan: Perusahaan Konsep Aplikasi Dalam Perencanaan, Pengawasan, dan Pengambilan Keputusan. Edisi Baru. Cetakan keempat. Jakarta: PT Raja Grafindo Syukriani, I. (2005). Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Modal Melalui Pendekatan Du pont system Pada PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari Cabang Semarang. Skripsi D-III, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang (Tidak Dipublikasikan). Wuryaningsih, D.L., dan Dziqron, M. (2014). Penerapan Du Pont System Untuk Mengukur Kinerja Keuangan Perusahaan (Studi Pada Perusahaan Semen Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2007-2011). Seminar Nasional Dan Call For Paper Research Methods And Organizational Studies. ISBN 978-602-70429-19, 327-341 193 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 AKUNTANSI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT: Sebuah Studi Peran Pengendalian Manajemen Pada Program Pelatihan Di Satuan Kerja Perangkat Daerah Eko Budi Santoso1 dan Wirawan E.D. Radianto2 Universitas Ciputra Surabaya Email: [email protected] Email: [email protected] Abstract: The aim of this study is to evaluate the implementation of management control system in basic skill training program for poor family using feedback mechanism from participants. This program is held by Regional Work Unit namely Community Development and Family Planning Agency. The novelty of this research is on the role of management control system in Regional Work Unit program. This study uses desciptive qualitative approach to gather and disclose problem arise during the training program. The informants are participants of the training and persons in charge of the tranining program from the Regional Work Unit. Field survey and interview both in formal and informal way are used to collect the data. Textual analysis is employed to analyze the data. The result of the study shows management control system is still not effectively applied to manage the training program. Regional Unit Work still put emphasize on the implementation of the training for budget accountability rather than a comphensive program that focus on the outcome of the program. Hence the Regional Unit Work should design and implement management control system from the beginning to the end of the stage using both formal and informal control mechanism. Keywords: Public Sector, Management Control, Control Mechanism, Diagnostic System PENDAHULUAN Kemiskinan merupakan permasalahan utama yang harus dipecahkan. Penanggulangan kemiskinan secara sinergis dan sistematis harus dilakukan agar seluruh warganegara mampu menikmati kehidupan yang bermartabat. Pemerintah kota Surabaya telah menetapkan strategi pembangunan untuk menanggulangi masalah tersebut melalui strategi pro rakyat yang terdiri dari: (1) Pro-Pertumbuhan (pro-growth), untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi melalui investasi, melalui peningkatan kualitas pengeluaran pemerintah dan peningkatan konsumsi; (2) Pro-Lapangan Kerja (pro-job), agar pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya dengan menekankan pada investasi padat pekerja; (3) Pro-Masyarakat Miskin (pro-poor), agar pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar-besarnya dengan penyempurnaan sistem perlindungan sosial, meningkatkan akses kepada pelayanan dasar dan melakukan pemberdayaan masyarakat. Upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir telah memberi dampak terhadap perluasan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan catatan World Factbook dan World Bank, penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat dibandingkan negara lainnya. Sepanjang periode 2008 hingga 2013, laju rata-rata penurunan jumlah penduduk 194 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 miskin Indonesia per tahun sebesar 4,41%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian negara lain semisal Kamboja, Thailand, Cina, dan Brasil yang hanya berada di kisaran 0,1% per tahun. Bahkan India mencatat hasil minus atau terjadi penambahan penduduk miskin. Angka kemiskinan di Indonesia di tahun 2008 sebesar 15,42% (34,96 juta orang) dapat ditekan menjadi 11,47% (28,55 juta orang) per september 2013. Hal ini menunjukkan telah terjadi pengurangan jumlah penduduk miskin hingga 6,41 juta orang dengan tingkat konsistensi penurunan yang terjaga termasuk pada pasca krisis dan perlambatan global tahun 2008-2009. Terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin di tingkat Nasional ini juga tergambar pada penurunan jumlah penduduk miskin yang ada di Provinsi Jawa Timur maupun di Kota Surabaya sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur. Pada bulan Maret 2013 lalu, dari data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 4.771 Juta (12,55%) atau turun sebesar 3,82% dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur pada bulan September 2012 yang mencapai 4.961 juta jiwa (13,08%). Sedangkan di Kota Surabaya, terjadinya penurunan jumlah angka kemiskinan ini terlihat pada penurunan nilai Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) selama periode tahun 2009 hingga 2014. Pada tahun 2012, IKM Surabaya sebesar 7,31. Dibandingkan dengan tahun 2011 terjadi penurunan sebesar 0,58 poin yaitu dari 7,89 di tahun 2011 menjadi 7,31 di tahun 2012. Prestasi Kota Surabaya dalam mengurangi angka kemiskinan tidak terlepas dari kemampuan kota ini dalam menjaga ketahanan ekonomi domestik (resilient) melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat yang juga telah menghadirkan fundamental ekonomi nasional yang kokoh. Sejalan dengan strategi nasional penanggulangan kemiskinan tersebut, Pemerintah Kota Surabaya juga mencanangkan beberapa kebijakan pembangunan dalam rangka penanggulangan kemiskinan yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Surabaya tahun 2010-2015. Salah satu kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dituangkan dalam RPJMD Kota Surabaya Tahun 2010-2015 adalah melakukan peningkatan kapasitas ekonomi masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan dan perubahan pola pikir dan penguatan kelembagaan komunitas dan usaha kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan kebijakan tersebut, salah satu kegiatan program yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota dalam penanggulangan kemiskinan adalah dengan menyelenggarakan kegiatan pelatihan ketrampilan dasar usaha bagi kelompok keluarga miskin (gakin). Program pelatihan tersebut merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat dibidang ekonomi berbasis kewirausahaan dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Pelaksana adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana (Bapemas KB) Pemerintah Kota Surabaya. Kewirausahaan menjadi faktor penting dalam pemberdayaan masyarakat miskin karena kewirausahaan dipandang dapat menjadi jalan untuk masyrakat keluar dari kemiskinan (Ciputra, 2011). Melalui kewirausahaan masyarakat miskin diharapkan tidak hanya mampu untuk keluar dari kemiskinannya namun juga dapat menolong masyarakat lain dengan menciptakan lapangan pekerjaan sehingga dapat menciptakan multiplier effect yang akan membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Meskipun terjadi peningkatan jumlah peserta setiap tahun, namun keberhasilan suatu program tidak hanya diukur berdasarkan banyaknya peserta yang ikut dan anggaran yang terserap melainkan juga perlu melakukan evaluasi pelaksanaan dan dampak dari pelatihan tersebut. Faktor penting yang berperan dalam keberhasilan pelaksanaan suatu program adalah adanya sistem pengendalian. Otley dan Berry (1994) menyatakan Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) adalah satu set prosedur yang digunakan untuk membantu memastikan pencapaian tujuan organisasi. Salah satu konsep penting dalam sistem pengendalian adalah melakukan evaluasi terhadap program yang telah dilakukan untuk melihat apakah program tersebut sudah mencapai tujuannya. Penelitian mengenai peran SPM di 195 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 sektor publik dalam literatur akuntansi sampai saat ini masih didominasi bagaimana peran SPM di lembaga pemerintahan seperti bagaimana pengukuran kinerja organisasi pemerintah, penganggaran, dan aspek lain yang berhubungan dengan pengelolaan lembaga pemerintahan. Hal inlah yang memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai SPM pada program kerja pemerintah. Noveltis penelitian ini terletak pada bagaimana peran SPM dalam program-program yang dijalankan pemerintah, secara khusus oleh SKPD di lingkungan pemerintah Kota Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi sistem pengendalian manajemen pada program pelatihan keterampilan dasar usaha bagi gakin melalui mekasnisme umpan balik dari dari peserta pelatihan. TINJAUAN PUSTAKA SPM merupakan faktor penting dalam keberhasilan suatu program yang dijalankan baik itu dalam sektor swasta ataupun sektor publik. Simons (1995) mengolongkan SPM ke dalam 4 aspek yang dikenal sebagai the four levers of control yaitu beliefs system, boundary system, diagnostic systems dan interactive systems. Dua sistem yang terakhir seringkali disebut dengan feedback and measurement system. Sedangkan pengertian SPM dari Otley, et al. (1995) adalah satu set mekanisme pengendalian yang luas dan didesain untuk membantu organisasi mengelola dirinya sendiri. Anthony dan Govindarajan (2007) lebih menekankan pengendalian pada struktur pengendalian, termasuk di dalamnya adanya hubungan antara strategi, responsibility center sampai pengukuran kinerja. Dari beberapa konsep tersebut nampak bahwa SPM pada hakekatnya adalah alat yang digunakan untuk mengimplementasi strategi agar tujuan organisasi dapat tercapai. Konsep SPM yang seringkali digunakan adalah monitoring dan pengawasan yang pada akhirnya akan memunculkan feedback penting sebagai bahan evaluasi pengelola organisasi. Beberapa penelitian terdahulu mengenai peran SPM yaitu bagaimana penyusunan anggaran, pengelolaan anggaran dalam hubungannya dengan perilaku individu dan bagaimana individu mempengaruhi anggaran di lembaga sektor publik (Riharjo, et al, 2015; Ritonga dan Alam, 2010). Topik yang cukup banyak diteliti adalah kinerja lembaga sektor publik dan kinerja aparatur pemerintah (Pratiwi dan Akbar, 2015; Mawarni dan Yuliansah, 2015; Kusumaningrum dan Sutaryo, 2015; Purwanto dan Hadiyati, 2011; Haryani dan Syafruddin, 2010; Sopanah, 2010). Tema lain yang berkenaan dengan SPM adalah mengenai desentralisasi di organisasi sektor publik (Wirahadi, 2010). Hubungan antara strategi dan pengendalian manajemen di organisasi sektor publik diteliti oleh Mediaty (2010). Dari beberapa penelitian sebelumnya nampak penelitian mengenai peran SPM di program-program SKPD belum nampak dilakukan. Salah satu penelitian mengenai SKPD dilakukan oleh Norman (2010) yang meneliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja aparatur pemerintahan SKPD di Kota Bengkulu. Penelitian tersebut masih berfokus pada SKPD dan bukan pada stakeholder pemerintah yaitu masyarakat. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi bagaimana SPM dalam program pemberdayaan masyarakat pelatihan keterampilan dasar usaha bagi gakin di Kota Surabaya. Sehingga penelitian ini menganalisis dan mengungkapkan bagaimana proses dan dampak pelatihan bagi gakin di Surabaya. Dalam rangka mengumpulkan, mengungkapkan berbagai masalah yang terjadi selama proses 196 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pelatihan berlangsung maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada konteks obyek yang alamiah. Metode ini mampu melukiskan keadaan obyektif dari peristiwa tertentu berdasarkan fakta-fakta yang tampak dan penelitian yang tertuju pada penelaahan masalah obyek penelitian yaitu pelatihan keterampilan dasar bagi gakin. Penelitian ini menggunakan sumber data primer yaitu gakin yang telah mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya melalui SKPD Bapemas KB. Informan dalam penelitian ini adalah peserta pelatihan dan SKPD terkait yang menangani pelatihan keterampilan dasar di Kota Surabaya. Pengumpulan data dilakukan melalui survey lapangan dan wawancara dengan para informan. Wawancara dilakukan secara tidak terstruktur baik secara formal maupun informal dalam berbagai situasi. Tahap berikutnya melakukan analisis mengenai jawaban informan melalui analisis tekstural dan menemukan tema yang merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian. HASIL DAN PEMBAHASAN Program Pelatihan Keterampilan Dasar yang dilaksanakan SKPD Bapemas KB adalah pelatihan menjahit dan handycraft, pelatihan budidaya air payau, pelatihan pembuatan produk-produk rumah tangga, pelatihan pembuatan produk makanan dan minuman, pelatihan pijat refleksi, dan pelatihan urban farming. Peserta-peserta yang telah dilatih pada setiap jenis pelatihan kemudian dikelompokan dan membentuk Kelompok Swadaya Masyakarat (KSM). KSM berfungsi sebagai wadah untuk bersama-sama membangun usaha baru dan menjadi wadah untuk menampung bantuan permodalan dari pemerintah baik dalam bentuk uang maupun peralatan usaha. Dengan adanya KSM diharapkan terjadi pertumbuhan kelompok-kelompok usaha baru bagi gakin yang dapat membantu peningkatan pendapatan keluarga-keluarga dan akhirnya dapat membantu keluar dari kemiskinan. Survey dilakukan kepada 80 peserta pelatihan yang berasal dari 5 wilayah Kota Surabaya yaitu Surabaya Pusat, Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, dan Surabaya Utara. Berdasarkan analisis terhadap profil informan dapat diketahui bahwa informan memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Argumentasi yang melatarbelakangi adalah: 1. Sebagian besar informan memiliki tingkat pendidikan SMA/sederajat (51%), hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki pendidikan yang tidak begitu rendah (bukan SMP/sederajat dan SD) sehingga dalam cara berpikir masih bisa dikembangkan dibandingkan dengan pendidikan yang lebih rendah. 2. Informan berpotensi menjadi wirausaha karena 49% adalah ibu rumah tangga yang memiliki waktu cukup banyak untuk bekerja, disamping itu sebesar 20% dari informan adalah pedagang. Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih bisa ditingkatkan kapasitasnya. 3. Sebagian besar informan adalah wanita (86%). Wanita biasanya dalam bekerja memiliki beberapa kelebihan dibandingkan pria yaitu lebih telaten, kreatif, tidak mudah putus asa, mampu memiliki jejaring yang luas, dan mampu mengelola keuangan dengan lebih baik. Kondisi ini berdampak positif bagi pemerintah untuk mengembangkan kewirausahaan. Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah Kota Surabaya untuk memfokuskan pemberdayaan kepada kamu perempuan sebagai penunjang ekonomi keluarga. 4. Informan tidak memiliki pekerjaan sambilan. Dengan informan tidak memiliki pekerjaan sambilan maka kondisi ini berpotensi positif bahwa informan akan fokus ke usaha mereka hasil dari pelatihan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Surabaya. 197 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Melihat penyajian data tersebut maka sebenarnya informan memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Namun profil informan yang menguntungkan ternyata tidak diimbangi dengan program pelatihan yang komprehensif. Program pelatihan yang komprehensif harus meliputi tahap pra pelatihan, tahap pelatihan, dan tahap paska pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pelatihan dapat berjalan dengan baik. Hal ini dapat terlihat dari hasil jawaban informan yang menyatakan bahwa pelatihan memiliki revelansi dan kualitas pelatihan yang baik. Hasil dari survey menunjukkan walaupun informan mempersepsikan bahwa pelatihan tersebut berjalan dengan baik namun ternyata pelatihan tersebut tidak berdampak positif atau tidak memilliki dampak pada sasaran gakin. Beberapa data yang mendukung bahwa pelatihan tidak tepat sasaran adalah sebagai berikut: Tabel 1. Fakta dan Penyebabnya pada Program Pelatihan No. Fakta 1. Informan sulit mengaplikasikan hasil pelatihan 2. 3. 4. 5. 6. Pekerjaan saat ini bukan hasil dari pelatihan Pelatihan tidak mendukung usaha informan Informan menyatakan bahwa pelatihan tidak membekali informan untuk menjadi wirausaha Informan tidak mampu menjalankan bisnis secara pribadi Pelatihan tidak berdampak secara financial Penyebab ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· ο· Materi pelatihan memiliki tingkat kesulitan tinggi Beberapa informan sudah cukup tua Tidak ada pendampingan lanjutan Keterbatasan peralatan pendukung Produk tidak diminati pasar Kurangnya modal Motivasi informan untuk menerapkan hasil pelatihan masih sangat rendah Kurangnya pendampingan lanjutan Apa yang diberikan di pelatihan tidak sesuai dengan kebutuhan informan Materi pelatihan memiliki tingkat kesulitan tinggi Materi pelatihan memiliki tingkat kesulitan tinggi Tidak didukung oleh modal Informan sudah tua Produk/jasa sulit diserap pasar Kurangnya pendampingan lanjutan Tidak adanya pendampingan Kemampuan (skill) masih rendah Tidak ada modal Informan tidak berbisnis dengan baik Kurangnya pendampingan lanjutan 198 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Proses Implementasi Mekanisme Pengendalian oleh SKPD Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat terlihat beberapa permasalahan pokok. Pertama ketidaksesuaian materi dengan kondisi di lapangan. Beberapa materi pelatihan yang dianggap terlalu sulit seperti pelatihan produk handycraft, budidaya air payau dan pijat refleksi. Penyebab kesulitan yang dihadapi dalam pelatihan pijat refleksi adalah kendala usia yang sudah tua dibandingkan tenaga yang dibutuhkan untuk melakukan pijat refleksi. Sementara pelatihan pembuatan produk rumah tangga dan makanan dan minuman dianggap relatif lebih mudah karena bahan mudah didapat dan informan sudah memiliki pengalaman sebelumnya. Hal ini menunjukkan belum adanya perencanaan dan koordinasi yang baik dalam melakukan pelatihan sehingga pelatihan belum mempertimbangkan kemampuan informan untuk menguasai materi pelatihan. Perencanaan merupakan bagian dari tahap pra pelatihan dan merupakan aspek penting dalam program pelatihan. Pada tahap ini yang merupakan masa persiapan, pemetaan terhadap peserta perlu dilakukan agar pelatihan diberikan tepat sasaran sesuai dengan karakteristik peserta. Berdasarkan hasil survey juga ditemukan bahwa menurut informan skala prioritas untuk menjadi wirausaha adalah permodalan. Hal ini menunjukkan bahwa informan belum memiliki mindset wirausaha. Modal menjadi bagian yang penting namun bukanlah bagian yang utama dalam memulai usaha. Justru pola pikir wirausaha yang harus dibangun terlebih dahulu. Pola pikir untuk berpikir kreatif dan inovatif, berani mengambil resiko dan mampu melihat peluang (Ciputra, 2011) tanpa perubahan pola pikir wirausaha maka pelatihan keterampilan berbasis wirausaha menjadi tidak efektif. Perubahan pola pikir juga dapat berhubungan dengan kemiskinan kultural dimana gaya hidup dan perilaku individu membuatnya sulit untuk merubah diri dan merasa harus selalu dibantu oleh pihak lain dalam hal ini pemerintah (Nugroho dan Dahuri, 2012). Faktor penting yang juga perlu menjadi perhatian adalah menjadi wirausaha tidak mudah dan menghadapi ketidakpastian yang tinggi. Hal ini juga menyebabkan tidak semua masyarakat berkeinginan untuk berwirausaha karena tidak mau berhadapan dengan kondisi ketidakpastian tersebut. Bagi masyarakat miskin yang tidak ingin menghadapi kondisi ketidakpastian dapat diarahkan untuk menjadi tenaga kerja siap pakai dengan mengikuti pelatihan tenaga kerja siap pakai dibawah koordinasi SKPD Dinas Tenaga Kerja. Hasil pelatihan tenaga kerja siap pakai akan diarahkan untuk masuk ke pasar tenaga kerja. Kondisi-kondisi tersebut mensyaratkan perlu adanya pengendalian dalam bentuk penyaringan awal bagi para calon peserta untuk melihat kesesuaian minat dan karakter peserta untuk berwirausaha. Tanpa adanya penyaringan maka peserta pelatihan bisa jadi hanya mengikuti pelatihan namun tidak berniat untuk berwirausaha yang bertentangan dengan tujuan dilaksanakannya pelatihan. Hal ini dapat terjadi karena setiap peserta pelatihan akan mendapatkan uang transport. Mekanisme pengendalian sudah harus diimplementasikan pada masa pra pelatihan terkait penyaringan peserta pelatihan dan pemilihan materi pelatihan. Masalah kedua adalah pendampingan yang belum efektif. Sebagai gakin yang ingin memulai usaha baru maka penting bagi informan untuk mendapatkan pendampingan untuk membimbing mereka dalam memulai usaha. Memulai usaha tidak hanya dibutuhkan skill untuk memproduksi barang dan jasa namun juga dibutuhkan kemampuan menjaga konsistensi produksi dan kualitas produk yang dihasilkan serta pemasaran produk. Disinilah kebutuhan menjadi pendamping menjadi penting karena berperan penting untuk membantu informan untuk memulai usahanya. Pemerintah Kota Surabaya telah berupaya menyediakan tenaga pendamping yang disebut sebagai Kader Pemberdayaan Masyarakat (KPM) untuk membantu peserta menjalankan usahanya paska mendapat pelatihan dasar. Namun permasalahan yang dihadapi dilapangan adalah ketersediaan tenaga pendamping yang tidak sebanding dengan jumlah peserta yang harus didampingi sehingga KPM tidak dapat melakukan pendampingan secara maksimal. KPM hanya berkunjungan untuk melakukan fungsi monitoring (pengawasan) dengan melakukan pendataan dan mengecek perkembangan usaha 199 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 peserta tanpa melakukan fungsi mentoring (pendampingan). Fungsi pendampingan yang utama adalah memberikan pendampingan bagi peserta dalam memulai usaha karena akan ada kendalakendala yang dihadapi terutama bagi usaha baru berjalan dengan pelaku usaha yang juga masih baru dan relatif belum berpengalaman dalam berwirausaha. Hal ini dikonfirmasi oleh jawaban informan yang menyatakan ketidakmampuan mereka menjalankan usaha mandiri karena tidak adanya pendampingan. Sebagian besar informan adalah ibu rumah tangga yang belum memiliki pengalaman untuk berwirausaha, maka peran pendamping menjadi krusial untuk membantu informan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul ketika mulai berusaha. Penelitian yang dilakukan oleh Nugroho, et al. (2013) dan Radianto dan Santoso (2015) menunjukkan jumlah KSM yang masih aktif di Kota Surabaya dan sudah melakukan kegiatan produksi dan pemasaran hanya sekitar 55-56% dari total seluruh KSM. Hal ini menunjukkan tujuan penumbuhan kelompokkelompok usaha baru bagi gakin belum tercapai. Selain itu masalah lain adalah tidak adanya pembekalan khusus kepada tenaga pendamping agar dapat berperan optimal dalam memfasilitasi perkembangan usaha peserta pelatihan dasar. KPM perlu diberikan pelatihan untuk menjadi coach yang baik bagi peserta pelatihan sehingga KPM mampu memfasilitasi para pelaku usaha pemula untuk menemukan solusi dan bantuan yang mereka butuhkan untuk mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi. KPM juga harus mampu memotivasi peserta ketika menghadapi masalah seperti kesalahan pengambilan keputusan atau kerugian usaha agar peserta tidak menyerah. Selain perlunya penambahan dan pembekalan KPM, pemerintah juga perlu memberikan KPM target dengan mekanisme reward dan punishment untuk memotivasi KPM dalam menjalani tugas sebagai pendamping KSM. Dengan adanya target yang realistis dan mekanisme reward dan punishment yang jelas akan memotivasi KPM untuk berkerja secara optimal. Efektivitas Mekanisme Pengendalian Hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengendalian yang dilakukan belum sepenuhnya efektif. Pengendalian yang dilakukan masih pada taraf pengendalian anggaran, yaitu sampai sejauh mana anggaran terserap untuk memastikan bahwa program dapat berjalan. Namun demikian meskipun anggaran sudah terserap dengan efektif namun dampak dari program pelatihan yang telah dilakukan belum dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat luas. Namun demikian tetap ada warga yang mampu meningkatkan ekonominya. Salah satu kunci penting mengapa tetap ada masyarakat yang mampu meningkatkan kesejahteraannya adalah karena adanya perubahan cara berpikir dan memiliki hasrat yang kuat untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme pengendalian yang paling penting untuk gakin adalah melalui pengendalian personal yang merupakan pengendalian informal (Merchant dan Stede, 2007). Pengendalian informal adalah meningkatkan kualitas pendamping yang mendampingi keluarga gakin dalam merintis usahanya. Adanya pendampingan saat ini merupakan sistem diagnostic control (Simons, 1994, 1995). Diagnostic control memfokuskan peranan Sistem Pengendalian Manajemen sebagai alat pengawasan. Namun yang lebih penting adalah bagaimana peran soft skill dari para pendamping untuk mampu mempengaruhi gakin yang sedang didampingnya. Jika mereka mampu mempengaruhi gakin maka gakin akan berperilaku sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Namun demikian para pendamping belum mampu untuk mempengaruhi pola pikir gakin. Pengendalian personal akan mampu untuk mempengaruhi perilaku individu walaupun mungkin memerlukan waktu yang cukup lama. Kombinasi antara pengendalian formal dan informal sangat penting untuk memastikan strategi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan 200 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 gakin dapat tercapai. Radianto (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa mekanisme pengendalian yang efektif harus merupakan gabungan dari pengendalian formal dan informal, karena kedua pengendalian tersebut bukan saling meniadakan namun saling memperlengkapi. Aspek berikutnya adalah pengendalian untuk para pendamping. Sampai saat ini proses pengendalian pendamping nampaknya masih lemah baik dari proses perekrutan sampai dengan pemberian reward dan punishment. Tidak adanya target kerja yang jelas menjadikan pendampingan lebih menitikberatkan pekerjaannya untuk mendata perkembangan dan melaporkan hasilnya ke SKPD tanpa melakukan proses pendampingan yang intensif. Disamping itu jumlah pendamping yang relatif lebih sedikit dibanding dengan gakin menyebabkan pengendalian menjadi tidak efektif karena banyaknya persoalan yang muncul di lapangan dan sedikitnya personil yang tersedia. Belief system (Simons 1994) memegang peranan yang pentng. Secara konsep dasar Sistem ini digunakan untuk menginspirasi dan mengarahkan individu untuk menemukan kesempatankesempatan yang ada agar individu berperilaku sesuai tujuan dan arah organisasi (Wongkaew, 2013; Hoque dan Chia, 2012). Oleh karena itu pemahaman yang jelas mengenai tujuan organisasi harus dibagikan kepada anggota. Sehingga melalui “sharing” ini pimpinan akan dapat mengendalikan anggota-anggotanya. Dalam kasus ini pimpinan adalah SKPD yang mengelola program pemberdayaan dan anggota adalah para pendamping. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa staf SKPD sudah memiliki belief system yang kuat. Hal tersebut ditunjukkan dengan komitmen mereka dalam mensukseskan program peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan. Namun mekanisme ini nampaknya tidak sampai ke para pendamping sehingga mereka belum berperan optimal. Rekomendasi dari penelitian ini adalah pemerintah sebaiknya mengkombinasikan pengendalian formal dan informal walau lebih mengutamakan pengendalian informal. Para pendamping diberikan kesempatan untuk meningkatkan kompetensi dirinya dengan mengikuti pelatihan coaching maupun mentoring sehingga dapat bekerja dengan lebih optimal. Berikutnya adalah merekomendasi agar diterapkannya sistem manajemen sumberdaya manusia, dimulai dari perekrutan, seleksi, sampai pada pengukuran kinerja bagi para pendamping. Job description yang merupakan bagian dari mekanisme pengendalian manajemen (Merchant, 1998; Ouchi, 1979) harus dikembangkan agar pendamping dapat melakukan tugasnya dengan optimal. Fokus terbesar pemerintah sampai saat ini adalah bagaimana program dapat berjalan, namun demikian aspek pengendalian masih belum menjadi fokus. Oleh karena itu diharapkan pada programprogram mendatang pemerintah dapat mendesain program pengendalian bersamaan dengan rencana pengembangan masyarakat. Program pelatihan tidak hanya berfokus pada pemberian keterampilan namun harus merupakan program satu kesatuan program yang komprehensif dengan mendesain sejak tahap pra pelatihan, pelatihan dan sampai tahap paska pelatihan yaitu pendampingan. Pengedalian juga dilakukan pada penentuan kriteria keberhasilan suatu program yaitu tidak hanya diukur pada serapan anggaran namun harus melihat dampak dari program tersebut dalam pemberdayaan masyarakat. 201 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa akuntansi melalui SPM memegang peranan penting dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Hasil analisis menunjukkan SPM pada program pelatihan dasar belum memadai. Hal ini terlihat dari fokus SKPD pelaksana yang masih hanya pada sisi pelaksanaan pelatihan. Suatu program pelatihan hendaknya didesain menggunakan pendekatan yang komprehensif mulai dari tahap persiapan pelatihan, pelaksanaan pelatihan dan pendampingan paska pelatihan. Pengendalian informal dan pengendalian formal merupakan dua aspek yang saling melengkapi dan tidak mungkin salah satu dapat dihilangkan. Strategi penerapan kedua mekanisme pengendalian tersebut harus didesain sesuai dengan tujuan SKPD dalam memastikan bahwa tujuan program dapat dicapai. Penelitian mengenai bagaimana implementasi program-program pemerintah sangat penting untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan manfaat dan tujuan dari program tersebut adalah untuk pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sehingga saran penelitian selanjutnya adalah memperluas penelitian pengendalian manajemen di program pemerintah. Penelitian dengan subjek tenaga outsourcing seperti pendamping yang bukan pegawai negeri atau struktur lain di luar pemerintahan namun yang turut serta membantu pemerintah dalam pengembangan masyarakat sangat penting untuk dilakukan. Penelitian peran sistem pengendalian untuk memastikan program pemerintah dapat berjalan dengan lancar seperti pendamping, aktivis kampung dan karang taruna, LSM, dan pihak ketiga lainnya juga merupakan topik yang menarik untuk diteliti. Demikian juga subjek penelitian yang mencakup unsur aparatur pemerintahan seperti Lurah, Camat, RT dan RW masih merupakan isu penelitian yang penting di masa mendatang. Subjek penelitian ini masih sering terlupakan di penelitian-penelitian sektor publik. DAFTAR PUSTAKA Anthony R., dan V. Govindarajan. 2007. Management Control Systems 12ed. New York: McGraw Hill. Ciputra. 2011. Ciputra Quantum Leap 2: Kenapa dan Bagaimana Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Haryani, dan Syafruddin. 2010. Kepercayaan Dan Implementasi Peraturan Perundang-Undangan Penyusunan Dan Pengelolaan Keuangan Daerah Di Kabupaten Batang. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto. Hoque, Z., dan M. Chia. 2012. Competitive Forces and The Levers of Control Framework in Manufacturing Setting: A Tale of A Multinational Subsidiary. Qualitative Research in Accounting and Management, 9 (2), 123-145. Kusumaningrum, N.A., dan Sutaryo. 2015. Pengaruh Karakteristik Inspektorat Daerah Dan Kinerja Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XVIII, Medan. Mawarni, S., dan Yuliansyah. 2015. Pengaruh Sistem Pengukuran Kinerja Non-Finansial Terhadap Kinerja Anggota Kepolisian, Job Tension Sebagai Faktor Pemediasi. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XVIII, Medan. 202 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Mediaty. 2010. Analisis Pengaruh Lingkungan Strategi, Budaya, Dan Perencanaan Strategi Terhadap Kinerja Perusahaan Daerah (Studi Kasus Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Di Sulawesi Selatan. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto. Merchant, K.A. 1998. Modern Management Control Systems, Text and Cases. New Jersey: PrenticeHall, Inc. Merchant, K.A., dan W.A. Van der Stede. 2007. Management Control System: Performance Measurement, Evaluation and incentives. London: Prentice Hall. Norman, F. 2010. Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Di Kota Bengkulu. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto. Nugroho, I., dan R. Dahuri. 2012. Pembangungan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. Nugroho, D.A.B., M.S. Soeaidy, M. Hadi. 2013. Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pelatihan Keterampilan Dasar (Studi di Kecamatan Tambaksari Kota Surabaya). Jurnal Administrasi Publik, 1 (5), 862-871. Otley, D.T., dan A.J. Berry. 1994. Case study research in management accounting and control. Management Accounting Research, 5, 45-65. Otley, D.T., J.M. Broadbent, A.J. Berry. 1995. Research in Management Control: An Overview and Its Development. British Journal of Management, 6, 531-534. Ouchi, W.G. 1979. A Conceptual Framework for the Design of Organizational Control Mechanisms. Management Science, 25 (9), 833-848. Pratiwi, I, dan R. Akbar. 2015. Komitmen Afektif Manajemen, Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja, Akuntabilitas Dan Kinerja Organisasi Publik Dalam Perspektif Teori Institusional Dan Teori Strukturisasi. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XVIII, Medan. Purwanto, A., dan S.N. Hadiyati. 2011. Pengaruh Strategic Performance Measurement Systems Terhadap Manager Performance Dengan Job-Relevant Information, Role Ambiguity, Role Conflict Dan Burnout Sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris Pada Rumah Sakit Swasta Di Wilayah Jawa Tengah). Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIV, Banda Aceh. Radianto, W.E.D. 2015. Rekonstruksi Sistem Pengendalian Manajemen Konsep Simons: Studi Fenomenologi di Entreprenurial University. (Disertasi, Universitas Airlangga Surabaya). Radianto, W.E.D., dan E.B. Santoso. 2015. Laporan Hasil Survey KSM di Kota Surabaya Tahun 2015. Unpublished paper. Riharjo, I.B., M. Sudarma, G. Irianto, Rosidi. 2015. Penganggaran Daerah: Konsesus, Kekuasaan, dan Politik Anggaran. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XVIII, Medan. Ritonga, I.T., dan M.I. Alam. 2010. Apakah Incumbent Memanfaatkan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Untuk Mencalonkan Kembali Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto. Simons, R. 1994. How New Top Managers Use Control Systems as Levers of Strategic Renewal. Strategic Management Journal 15, 169-189. ________. 1995. Control in an Age of Empowerment. Harvard Business Review (march-april), 8088. Sopanah. 2010. Menguak Fenomena Penolakan Pembangunan Dengan Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD): Sebuah Studi Interpretif. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto. 203 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Wirahadi, A. 2010. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Outcomes Bidang Kesehatan: Studi Empiris Di Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera Barat. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto. Wongkaew, W. 2013. Management Accounting and Control Systems – Unnecessary Evils to Innovation? Chulalongkorn Business Review 34 (3), 1-21. 204 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 MODEL BISNIS KANVAS: ALAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI PELUANG BISNIS BARU BAGI PENGUSAHA UKM INDONESIA Ismiriati Nasip1 dan Eka Sudarmaji2 Universitas Bina Nusantara (BINUS), Jakarta & Universitas Pancasila, Jakarta E-mail: [email protected] , [email protected] & [email protected] Abstract: The generation of new business ideas is becoming an important element for Indonesian SmallMedium Enterprises (“SMEs”). The ability to identify business opportunities is expected to encourage them to seek the best idea in developing their current business. The purpose of this study is to test the ability of Indonesian entrepreneurs to generate new business opportunities when they participate in entrepreneurship course, especially in creativity development course. Business Canvas Model is used as a tool of ‘entrepreneur alertness’ in recognition, evaluation, and development of entrepreneurship. It also identifies entrepreneur’s orientation as antecedents of the opportunity identification capabilities. Pre vs. post-test comparisons showed the Indonesian entrepreneur who has a good orientation subsequently have a higher level of divergent thinking. The outcome also indicates that the course has a significant effect on individuals’ abilities to generate a greater number and more innovative business ideas inside the experimental group. The implications of the result for developing opportunity identification competence and entrepreneurship education will be presented. Keywords: Business Model Canvas, Entrepreneurship Education, Indonesian Entrepreneur, Opportunity Identification Capability. Abstrak: Menghasilkan ide-ide bisnis baru sudah menjadi elemen penting bagi para pengusaha Usaha Kecil-Menengah (“UKM”) di Indonesia. Dengan kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis, diharapkan dapat mendorong mereka untuk mencari ide terbaik dalam mengembangkan bisnis mereka saat ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan para pengusaha Indonesia untuk menghasilkan peluang bisnis baru ketika mereka berpartisipasi dalam pelatihan kewirausahaan, terutama dalam pelatihan mengembangkan kreatifitas. Bisnis Model Kanvas digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi kemampuan pengusaha dalam mengenali, mengevaluasi dan mengembangkan kemampuan kewirausahaan. Hal ini juga untuk menguji orientasi para pengusaha UKM sebagai prasyarat dari kemampuan mengidentifikasikan peluang bisnis. Perbandingan dari pengujian sebelum dan sesudah pelatihan menunjukkan bahwa pengusaha Indonesia yang memiliki orientasi yang baik dan mempunyai cara berfikir yang berbeda untuk mencapai tingkat yang lebih maju. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa pelatihan tersebut memiliki dampak yang signifikan pada kemampuan pengusaha di dalam kelompoknya (kelompok eksperimen) untuk menghasilkan ide-ide bisnis yang lebih besar dan lebih inovatif. Implikasi dari hasil pelatihan untuk mengembangkan kemampuan melihat peluang akan disajikan dalam penelitian ini. Kata kunci: Model Bisnis Kanvas, Pelatihan Kewirausahaan, Pengusaha Indonesia, Kemampuan Mengidentifikasi Peluang. PENDAHULUAN Banyak literatur yang menghubungkan antara kewirausahaan dengan kemakmuran ekonomi negara. Lingkungan yang memudahkan pengusaha untuk mendirikan atau memulai bisnis penting dalam menciptakan perusahaan tersebut untuk unggul dan tumbuh berkembang, sehingga pada akhirnya keberhasilan para pengusahanya akan memberikan nilai tambah bagi keberhasilan ekonomi secara keseluruhan. Richard Cantillon (1755), adalah orang yang pertama kali menjelaskan bahwa pengusaha adalah orang-orang yang berani mengambil resiko. Sementara Joseph Schumpeter (1911) melihat bahwa pengusaha adalah individu pencipta inovasi dan sebagai mesin pertumbuhan sebuah negara. Kebijakan untuk menciptakan pengusaha baru sebagai mesin pertumbuhan merupakan kendala utama bagi para pembuat kebijakan, baik di negara maju 205 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 maupun negara-negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu hambatan yang timbul adalah bahwa terlalu banyak biaya overhead terjadi, dan lokasi dimana biaya overhead yang rendah akan memiliki lebih banyak pengusaha dan akan mencipatkan lebih banyak perusahaan baru untuk memulai bisnisnya. Keberhasilan pengusaha juga dipengaruhi oleh kesempatan belajar, dimana ada banyak cara bagi individu untuk dapat belajar bagaimana untuk menjadi seorang pengusaha dan bagaimana menjadi sukses (misalnya dari orang tua, teman, sekolah, dan lain-lain). Individu yang dibesarkan disebuah lokasi dimana kewirausahaan berkembang, lebih mungkin untuk menjadi pengusaha (Guiso, 2016). Apakah ada aspek kewirausahaan yang penting untuk dipelajari? Literatur modern tentang kewirausahaan menyatakan bahwa untuk menjadi seorang pengusaha, maka perlu untuk memiliki berbagai keterampilan atau karakter khusus (Lazear, 2005). Teori Klasik soal karakter kewirausahaan menitik beratkan pada kemampuan untuk berinovasi (Schumpeter, 1934), dan keberanian menanggung ketidakpastian serta resiko (Cantillon, 1755; Kihlstrom & Laffont, 1979; Knight, 2002). Kemampuan kewirausahaan adalah sebuah usaha komprehensif yang memiliki beberapa komponen penting dan masih harus terus dipelajari sejauh mana mereka masih bisa dipelajarinya. Sementara itu, kemampuan manajerial lebih mungkin untuk dipelajari secara terbatas. Guiso L (2016) juga menemukan bahwa pengusaha yang dibesarkan di lokasi dimana kewirausahaan berkembang, akan memiliki praktek manajerial yang jauh lebih baik. Di Indonesia ada begitu banyak pengusaha sukses, baik disektor formal maupun informal. Ada banyak faktor dibalik kesuksesan sebuah perusahaan di Indonesia, dimana faktor utama dan penting adalah pendirinya atau pengusaha itu sendiri. Tom Grasty (2012) menyatakan bahwa penemuan sebuah produk dapat didefinisikan sebagai penciptaan sebuah produk baru atau pengenalan proses baru untuk pertama kalinya. Sementara itu inovasi produk terjadi jika seseorang meningkatkan atau membuat kontribusi yang signifikan terhadap produk yang sudah ada atau proses baru yang terjadi atau jasa baru yang diberikan. Menjadi seorang pengusaha, tidak bisa hanya fokus kepada inovasi produk saja atau pada sebuah penemuan produk baru saja. Para pengusaha didorong untuk mencari dan mengidentifikasikan ide-ide bisnis atau sebuah peluang bisnis, yang dapat mengubah sebuah penemuan produk baru atau sebuah inovasi produk, agar produk tersebut menjadi besar dan berguna dimasa depan. Penemuan sebuah produk baru berasal dari kombinasi sebuah pengetahuan umum, kesempatan, kemampuan menciptakan, dan kapasitas dari para pengusaha tersebut serta teknik yang mendukung proses penciptaan tersebut. Oleh karena itu, penemuan produk menjadi lebih penting pada tahap awal sebagai bentuk pengetahuan, seperti dalam bidang manufaktur, pengolahan industri makanan dan lain-lain. Sementara itu, sebuah inovasi produk adalah penggabungan pengetahuan termasuk di dalam disiplin banyak ilmu pengetahuan dimana ide-ide cerdas terjadi, baik itu meningkatkan kegunaan yang ada pada produk tersebut atau produk tersebut dapat dipakai untuk memecahkan permasalahan yang ada. Fenomena kebangkrutan sebuah perusahaan banyak dimulai ketika bisnis yang dijalani oleh para pengusaha tidak lagi menjadi menarik dan mengalami siklus penurunan seperti yang terjadi dalam siklus umur sebuah produk (product life cycle). Pada saat itu para pengusaha dipaksa untuk memikirkan jalan keluar melalui solusi penciptaan ide-ide bisnis baru dalam usaha meremajakan produk atau layanan yang dijalankannya. Tidak jarang dari pengusaha tidak dapat meremajakan bisnis dan perusahaannya karena tidak tahu harus memulai dari mana dan kehilangan arah bagaimana harus melahirkan ide-ide bisnis baru. Persaingan yang tajam memerlukan sebuah terobosan dan ide bisnis yang berbeda. Dengan demikian, masing-masing pengusaha mencoba untuk menjadi unik dari yang lainnya dalam usaha mereka untuk mencari pangsa pasar baru. Studi ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan: Bagaimana Bisnis Model Kanvas digunakan untuk melihat kemajuan dari tambahan kemampuan yang didapat bagi para pengusaha dalam mengindentifikasikan sebuah peluang baru yang menjanjikan dimasa depan? Apa yang membuat startegi Bisnis Model Kanvas ini berbeda dan unik dibanding dengan startegi business plan lainnya? Faktor-faktor apa yang mempengaruhi atau berdampak pada terhentinya penciptaan ide-ide bisnis baru yang dihasilkan oleh pengusaha? Apa dampak dari terjadinya perubahan lingkungan bisnis yang terus berubah yang mendorong 206 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 pengusaha untuk menghasilkan bisnis baru dengan terlebih dahulu mampu melihat semua faktor yang ada diperusahaan, baik itu faktor internal dan faktor eksternal terhadap kinerja bisnis dan keuangan perusahaan saat ini? Dilain pihak, pemerintah baik itu pemerintah nasional, pemerintah regional atau pemerintah daerah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, asosiasi-asosiasi perusahaan, perusahaan-perusahaan milik negara atau BUMN-BUMD dan institusi-institusi pendidikan sudah banyak membantu dalam melakukan pelatihan pada para pengusaha nasional, khususnya adalah para pengusaha UKM. Hasil akhir dari pelatihan ini, banyak yang tidak tepat sasaran dan kurang menghasilkan dampak yang besar dibandingkan dengan tujuan yang diharapkan. Target dan prioritas pengusaha sebagai peserta pelatihan adalah hal yang paling penting yang harus diperhatikan oleh institusi-institusi tersebut di atas, mengingat keterbatasan sumber daya yang dimilikinya. Seleksi awal pengusaha sebagai peserta latihan diharapkan akan memunculkan hanya pengusahapengusaha yang mempunyai orientasi berbisnis yang lebih baik serta pengusaha yang mempunyai kemampuan untuk melihat ide bisnis. Pada akhirnya, diharapkan bahwa pengusaha-pengusaha tersebut dapat memberikan dampak yang besar bagi masyarakat sekitarnya dan perekonomian secara luas. Dengan menggunakan analisa sembilan blok Bisnis Model Kanvas (“BMK”), studi ini akan mengkaji seberapa besar tingkat orientasi pengusaha peserta pelatihan kewirausahaan yang diselenggarakan oleh sebuah institusi BUMN. Hasil penyeleksian dan pengukuran tahap pertama untuk tingkat orientasi pengusaha tersebut kemudian dilanjutkan pada tahap kedua berikutnya yaitu untuk menganalisa kemampuan peserta pengusaha untuk mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan. Diharapkan bahwa pengusaha yang mempunyai orientasi bisnis yang lebih baik, akan memiliki kemampuan untuk menghasilkan banyak ide-ide bisnis. Dengan demikian, semakin banyak pengusaha yang mampu mengidentifikasi peluang bisnis dan menghasilkan ide bisnis, semakin tinggi kemungkinan pengusaha tersebut sukses dimasa depan. TINJAUAN PUSTAKA Peluang Bisnis Banyak UKM yang sukses saat ini tergantung pada para pengusahanya untuk terus belajar, beradaptasi, dan menyesuaikan keahlian mereka pada perubahan lingkungan internal dan eksternal yang berubah sangat cepat saat ini. Ini akan menjadi penting bagi para pengusaha UKM untuk mendapatkan keunggulan kompetitif bagi perusahaannya dalam menentukan pasar yang dipilihnya, dengan sumber daya terbatas yang dimilikinya saat ini, terutama dalam upaya untuk memanfaatkan peluang bisnis dimasa depan. Keahlian manajemen strategis dalam lingkungan yang terus berubah seperti saat ini diperlukan oleh para pengusaha UKM. Perubahan lingkungan eksternal yang cepat merupakan awal untuk memahami manajemen strategis terutama dalam menjalankan perusahaan UKM seperti yang dirasakan sebagaimana proses kewirausahaan terjadi pada saat para pengusaha tersebut memulainya. Para pengusaha UKM membutuhkan strategi manajemen, sebagaimana tujuan mereka berikutnya adalah bagaimana para pengusaha tersebut menjalankan perusahaan mereka untuk mendapatkan pertumbuhan yang berkelanjutan. Kemampuan manajemen strategi dapat digunakan untuk mengembangkan produk baru, layanan baru dan masuk ke pasar baru. Dengan kata lain, pengusaha UKM yang sukses memerlukan keahlian untuk mengatur dan mengelola kegiatan yang melibatkan aktivitas inovasi dan mengelola perubahan lingkungan eksternal yang menyertainya. Ini adalah bidang manajemen strategis yang pada awalnya terjadi dibisnis skala besar dan tidak terjadi pada unit skala UKM. Kesempatan untuk melihat masa depan, adalah sebuah proses yang tidak terjadi murni melalui analisis bisnis formal atau melalui proses peramalan, tetapi terjadi melalui proses perencanaan strategis. Kesempatan untuk melihat peluang bisnis masa depan bisa melalui inspirasi dan imajiasi para pengusaha, dimana kebanyakan orang lain tidak dapat melihatnya. Selalu ada gairah, misi, visi, dan kesenangan yang bercampur dalam menciptakan sebuah peluang bisnis, dan penciptaan sebuah peluang bisnis tidak dapat dijelaskan lebih detail oleh teori ekonomi dan teori-teori lainnya. 207 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Menciptakan sebuah peluang bisnis memerlukan sebuah antusiasme, keterampilan, sumber daya, birokrasi, komitmen, dan juga strategi yang harus dipunyai oleh banyak individu dan perusahaan. Peluang bisnis tidak dapat dibuat hanya karena faktor lingkungan dan/atau faktor pribadi, meskipun kedua faktor tersebut terkait erat. Penciptaan kesempatan bisnis dapat dijelaskan dan memerlukan hampir semua disiplin ilmu; ekonomi, psikologi dan ilmu kognitif, manajemen strategi, sumber daya, serta teori kontingensi yang digabungkan secara bersama-sama, selaras dan membentuk serta menciptakan sesuatu yang baru dalam bentuk ide bisnis. Aspek pentingnya adalah kemampuan melihat peluang bisnis untuk melihat pertama kalinya, bertindak pertama kalinya dan sebelum orang lain melakukannya. Proses tersebut terjadi karena fungsi pancaindera bekerja dan bagaimana cara memandang dunia luar, serta memproses semua informasi yang telah diperolehnya sekaligus. Sesuatu yang dihasilkan oleh intuisi, visi, wawasan, penemuan, atau penciptaan ide berkembang menjadi sebuah kamampuan melihat sebuah peluang, yaitu sebuah peluang bisnis. Banyak individu membuat kesalahan tentang bagaimana mereka melihat dan melaksanakan peluang bisnis tersebut. Disektor UKM, baik pemilik dan/atau perusahaannya memiliki nilai-nilai atau norma-norma yang sama dalam melihat peluang bisnis. Oleh karena itu, peluang bisnis dipengaruhi oleh aspirasi pemilik, keluarga mereka, dan motivasi yang tidak dapat dengan mudah dilepaskan dari tujuan awalnya. Jadi hirarki melihat peluang datang dari tujuan pribadi, keluarga, dan bisnis. Setiap kisah seorang pengusaha sukses atau pengusaha yang gagal adalah bersifat sangat unik/khas, dimana cerita dan alasan dibaliknya adalah hanya mereka sendiri yang tahu; kenapa mereka berhasil atau kenapa mereka gagal. Keberhasilan dan kegagalan akan tergantung pada kesempatan, keterampilan, fokus, waktu yang tepat, sumber daya, kompetensi individu, dan strategi yang dijalankan saat ini yang mungkin cocok atau tidak untuk mengeksekusi peluang bisnis tersebut. Beberapa perusahaan dapat berkembang pesat sejak mereka didirikan, karena mungkin mereka telah mampu mengidentifikasi peluang bisnis yang tepat, memiliki keterampilan yang tepat untuk itu, dan memiliki jaringan dan sumber daya yang cukup, serta menyusun strategi yang paling tepat untuk mengeksploitasi peluang bisnis secara efektif, sementara perusahaan lain mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapainya. Bisnis Model Kanvas Definisi UKM diambil dari Peraturan Pemerintah No: 8/2008, yang mendefinisikan bahwa usaha kecil dan menengah sebagai kegiatan bisnis independen yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang lain dari perusahaan atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari unit usaha menengah atau perusahaan besar. Nilai bersih dari kedua jenis bisnis tersebut juga didefinisikan secara jelas, termasuk didalamnya adalah kekayaan bersih dan nilai penjualan. Fokus dari penelitian ini terletak pada visualisasi dan kemampuan mengidentifikasikan peluang bisnis dan melakukan inovasi. Kemampuan melakukan inovasi pada kualitas produk, inovasi skala produksi atau inovasi logistik belum dirasakan cukup bagi semua pengusaha. Kemampuan berinovasi pada bisnis model saat ini menjadi penting, apalagi ketika pengusaha dipaksa untuk berinovasi karena persaingan bisnis yang sangat ketat. Ada beberapa alasan mengapa inovasi bisnis model adalah topik yang menghangat saat ini bagi manajer, pengusaha, dan para peneliti maupun akademisi. Pertama, karena inovasi bisnis model adalah merupakan bahasan pokok yang sering kurang dimanfaatkan selama ini. Kedua, inovasi bisnis model merupakan hal yang paling sulit ditiru bagi pesaing, karena mereka harus dapat meniru seluruh sistem kegiatan bisnisnya menjadi baru, dan bukan hanya sekedar mempunyai proses baru atau produk baru saja. Inovasi pada tingkat bisnis model dapat diubah menjadi keunggulan bisnis yang berkelanjutan karena lebih mudah untuk mengukurnya, bahkan lebih mudah dari pengukuran tingkat pengembalian atas inovasi produk baru atau inovasi proses baru. Ketiga, manajer harus terbiasa dengan kemungkinan upaya pesaing di pasar yang khusus, karena inovasi bisnis model mungkin saja diperlukan sebagai alat untuk memenangkan persaingan dan mencapai keunggulan kompetitif perusahaan. Bisnis model perusahaan adalah sebuah mata rantai sistem yang saling berhubungan dan saling tergantung tentang bagaimana cara mengontrol perusahaan untuk berbisnis, baik dengan konsumen, maupun melakukan kemitraan dan berhubungan dengan pemasok. Kesimpulannya, bisnis model adalah sekumpulan sistem kegiatan tertentu yang dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pasar, serta hal-hal khusus yang dipunyai perusahaan atau mitra perusahaan saat ini dalam melakukan kegiatan bisnis, dan bagaimana kegiatan 208 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 ini terhubung satu sama lain. Bisnis model yang inovatif dapat menciptakan pasar baru atau membantu perusahaan membuat dan memanfaatkan peluang bisnis baru di pasar yang sebelumnya tidak ada. Raphael Amit dan Christoph Zott Bisnis (2012) mengidentifikasi bahwa inovasi bisnis model terjadi dengan cara: 1) menambahkan kegiatan baru, karena mengacu sebagai ciri, 2) menghubungkan kegiatan dengan cara baru; karena merujuk sebagai inovasi proses baru, 3) mengubah satu atau lebih pihak yang melakukan kegiatan, struktur; karena mengacu pada pemberdayaan sumber daya perusahaan (Amit & Zott, 2015). UKM dapat memanfaatkan dan mencari peluang bisnis model baru dalam upaya mereka memperbaharui siklus hidup bisnisnya atau produknya yang mungkin saja mengakibatkan penurunan pendapatan dan terjadinya tekanan pada keuntungan perusahaan saat ini. Raphael Amit dan Christoph Zott Bisnis (2012) mengemukakan bahwa pengusaha UKM perlu memeriksa enam pertanyaan kunci soal inovasi bisnis model: 1) apakah kebutuhan pokok perusahaan saat ini dapat terpenuhi?, 2) apakah diperlukan kegiatan baru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut?, 3) bagaimana kegiatan baru tersebut terhubung dengan sistem yang ada dan dengan cara seperti apa?, 4) siapa yang harus melakukan setiap kegiatan tersebut yang merupakan bagian dari bisnis model baru, haruskah seluruh orang-orang yang ada diperusahaan, rekanan, pelanggan, dan apakah pengaturan tata-kelola yang baru dapat dijalankan distruktur perusahaan saat ini?, 5) bagaimana nilai perusahaan dapat diciptakan melalui bisnis model baru ini untuk masing-masing peserta?, 6) apa model pendapatannya sesuai dengan bisnis model baru? Model Bisnis Kanvas ("BMK") yang diciptakan Osterwalder & Yves Pigneur (2010) adalah alat bagaimana perusahaan dapat menciptakan nilai. Melalui BMK, pengusaha bisa melihat bagaimana mereka dapat menjalankan bisnis; yang akan melibatkan banyak unit, baik dalam proses produksi, pemasaran dan departemen lainnya; dan bagaimana perusahaan menjaga hubungan mereka dengan para pelanggannya, sehingga mereka juga dapat mempertahankan kelanjutan perusahaan mereka. Keuntungan dari BMK adalah sebagai alat untuk perencanaan dan pengembangan strategis; alat untuk mengekspresikan ide-ide; alat untuk mengetahui segmentasi pelanggan; sebagai dashboard atau indikator; alat untuk mengetahui bagaimana usaha pesaing (seperti tingkat persaingan). Disamping semua itu, BMK juga bisa digunakan sebagai alat untuk analisa bisnis model portofolio; perencanaan inovasi; dan juga sebagai alat untuk menyelaraskan pola pikir individu yang ada di dalam organisasi tersebut (Osterwalder, Pigneur, Smith, & Movement, 2010). Orientasi Pengusaha Orientasi pengusaha didefinisikan sebagai kesiapan pengusaha untuk menemukan dan menerima peluang baru, mengambil tanggung jawab baru, dan membuat perubahan di dalamnya. Miller (1983) mendefinisikan orientasi pengusaha dalam tiga dimensi yaitu: inovasi, pengambilan resiko dan proaktif. Kemudian Lumpkin dan Dess, (1996) menambahkan upaya daya saing yang agresif dan kemampuan mandiri yang ditambahkan pada definisi Miller yang disebutkan di atas. Sementara itu, ada banyak dimensi lain yang digunakan untuk mengukur orientasi pengusaha, yang sebagian besar peneliti menggunakan perilaku orientasi pengusaha atau sikap orientasi pengusaha, yang dibuat oleh Robinson, Stimpson, Huefner, dan Hunt (1991). Dimensi orientasi pengusaha didasarkan pada model perilaku manusia, yaitu melalui pengakuan, pengaruh dan kesadaran kognitif sebagai tiga komponen utama perilaku. Dimensi ini diambil dari empat subdimensi yaitu prestasi, inovasi, kontrol pribadi dan harga diri, yang memberikan perbedaan antara pengusaha dan bukan pengusaha (Huefner, Hunt, & Robinson, 1996). Konsensus tentang penyebab dan konsekuensi atas orientasi pengusaha, atau alat ukurnya menjadi dilema sendiri dan sampai saat ini masih belum mencapai kesepakatan diatara para peneliti dan praktisi (Miller, 2011). Memahami semua dimensi orientasi pengusaha dapat dicapai melalui sebuah keputusan perekrutan atau dalam sebuah keputusan kemitraan atau sebuah keputusan investasi, atau dalam pekerjaan dimana sikap kewirausahaan menjadi sangat penting, seperti alokasi sumber daya atau pada tingkat yang lebih luas yaitu untuk mengidentifikasi cara-cara pengusaha untuk meningkatkan aktivitas perusahaannya kearah pertumbuhan yang lebih berarti. Kemampuan Mengidentifikasikan Peluang Bisnis 209 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Dalam konteks pendidikan, beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa kemampuan untuk mengidentifikasi peluang dapat dipelajari melalui pelatihan kewirausahaan, pendidikan dan lokakarya, yang dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan kemampuan siswa (DeTienne & Chandler, 2004; Fiet, 2007). Begitu juga kemampuan melihat peluang bisnis bagi pengusaha dapat ditingkatkan melalui pemberian pelatihan dan pendidikan kewirausahaan, sehingga diharapkan terjadinya peningkatan kinerja ekonomi perusahaan tersebut. Ketika kemampuan mengidentifikasi peluang itu dapat ditingkatkan, selalu ada faktorfaktor khusus yang melekat disetiap individu yang menjadi subjek perubahan selama proses pelatihan tersebut, dimana hanya ada pengusaha tertentu yang lebih mampu mengidentifikasi peluang bisnis. Beberapa peneliti menemukan bahwa kemampuan pengusaha untuk mengidentifikasi peluang bisnis dapat dikaitkan dengan karakter individu (Baron, 2004; Gaglio & Katz, 2001; Krueger, 2004). Oleh karena itu, kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis tersebut harus dikembangkan dari waktu ke waktu, ini yang mungkin menjelaskan mengapa pengusaha mampu memahami realitas yang berbeda ketimbang individu lainnya. Pengusaha dapat menghubungkan informasi yang mereka peroleh dari lingkungan luar dan bagaimana mengidentifikasi peluang bisnis tersebut. Karakter individu menjadi peranan penting dalam mengidentifikasi peluang, terutama selama proses pengidentifikasian tersebut berjalan. Munoz et al (2011) dalam penelitiannya, mewawancarai 12 mahasiswa dari 15 siswa terbaik dari 1.800 mahasiswa yang berasal dari tiga kampus Universitas Nottingham yang berbeda: 850 mahasiswa di Inggris, 700 mahasiswa di Cina, dan 250 mahasiswa di Malaysia, yaitu dengan membandingkan perubahan representasi visual dan wawancara untuk melihat perubahan kemampuan siswa dalam mengidentifikasi peluang bisnis dan pemahaman tentang kewirausahaan. Melalui pelatihan, Munoz et all membuktikan bahwa dua belas mahasiswa dari lima belas mengalami perubahan karakter, dan dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan mereka. Karimi et al (2014), mengembangkan model khusus dan juga memberikan pelatihan yang dapat meningkatkan kreativitas dan kemampuan individu untuk membangun cara berpikir secara berbeda, jadi orang-orang yang telah dilatih tersebut dapat memiliki kemampuan untuk menghasilkan ide-ide bisnis dan kemampuan memecahkan masalah. Kemampuan ini bisa menjadi keterampilan baru untuk dapat bertindak secara kreatif dan mampu mengidentifikasi ide-ide bisnis baru atau peluang baru. Dalam penelitian ini, sample eksperimental yang dipakai adalah dari 33 pengusaha yang terdiri dari 23 orang perempuan dan 10 orang laki-laki, yang semuanya mengambil pelatihan dasar kewirausahaan. METODE PENELITIAN Praktek penggunaan sembilan blok yang ada pada Bisnis Model Kanvas banyak digunakan oleh perusahaan besar atau perusahaan skala kecil akhir-akhir ini. Penggunaan sembilan blok ini dianggap lebih mudah dalam memahami kerumitan di dalam operasional sebuah perusahaan, sembilan blok BMK terbagi menjadi dua faktor yang mempengaruhi lingkungan bisnis perusahaan yaitu; faktor internal dan faktor eksternal. Dalam rangka untuk menguji sembilan blok BMK kepada para peserta pelatihan, penulis menggunakan analisis campuran antara kualitatif dan kuantitatif untuk mengeksplorasi kegiatan pelatihan pengusaha tersebut. Studi ini meliputi studi kasus, wawancara semi-terstruktur, dan analisis dokumen yaitu visualisasi BMK dan pengisian kuesioner terstruktur. Meskipun data dalam studi ini berasal dari observasi dan kuesioner terstruktur, tetapi seluruh penelitian banyak dilakukan dengan menganalisa dokumen berupa visualisasi BMK (Gephart, 2004). Dokumen BMK yang diberikan pada awal pelatihan dan setelah pelatihan dianalisa untuk mengecek perubahaan yang terjadi baik dari sisi kemajuan orientasi pengusaha, atau kemajuan dalam melihat masalah yang terjadi di dalam perusahaan yang mereka pimpin, dan ide-ide bisnis baru yang dihasilkan untuk mengatasi persoalan mereka saat ini. Studi ini merupakan bagian dari penelitian yang lebih luas mengenai studi jebakan informalitas (informality-trap) yang menyelidiki aspek penting bagi para pengusaha MUKM di Indonesia dalam mentransformasikan perusahaannya dari yang bersifat informal menjadi formal (Nasip & Pradipto, 2016b). Formalitas keberadaan perusahaan dipengaruhi juga oleh orientasi pengusaha dan keyakian akan kemampuan pengusaha tersebut untuk membawa perubahan dan kemajuan saat ini dan masa depan. Sehingga pada akhirnya, para pengusaha tersebut mempunyai strategi untuk mendorong perusahaan mereka untuk mampu 210 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 membuka pasar baru, mempromosikan produk dan layanannya secara luas, dan pada akhirnya menjaga kinerja perusahaan untuk tetap tumbuh secara berkesinambungan. Hipotesis atas studi ini digambarkan sebagai berikut: 1. Kerangka Pemikiran 1: tahap eksplorasi mengulas konteks dan menguji masalah orientasi pengusaha para peserta pelatihan, orientasi pengusaha yang rendah hanya akan menghasilkan tingkat keberhasilan perusahaan yang rendah juga. Kemajuan perusahaan didapat dari kemampuan untuk menyerap perubahaan yang terjadi pada lingkungan termasuk di dalamnya adalah kemajuan tekhnologi. Dengan orientasi yang rendah, pengusaha dipastikan tidak mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks, mengorganisasikan sumberdaya perusahaan yang ada dan merespon atau memenuhi perubahan pasar yang sangat cepat. Grounded Theori digunakan lewat wawancara semi-terstruktur dan kuesioner terstruktur. Grounded Theory digunakan untuk mengeksplorasi apa yang ada dibalik fenomena (Nasip & Pradipto, 2016a, 2016b). Dalam metode ini, pengumpulan data, analisa, dan teori akhirnya saling berhubungan satu dengan lainnya. Teori ini berfokus pada kebutuhan untuk mengumpulkan informasi pada kejadian dan fakta aktual. Tomkins dan Groves menunjukkan bahwa mengumpulkan informasi menggunakan studi kasus dan wawancara memenuhi prinsip-prinsip langsung dan tanpa-hambatan (Tomkins & Groves, 1983). Proposisi 1: Tingkat orientasi pengusaha dapat mempengaruhi kesiapan pengusaha dalam melihat kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan. 2. Kerangka Pemikiran 2: Kemampuan untuk beradaptasi pada lingkungan yang berubah sangat cepat dan meremajakan siklus produk dan layanan yang ada pada perusahaan saat ini adalah kunci untuk mencapai keunggulan kompetitif yang terus menerus. Grounded Theori digunakan lewat observasi pada seluruh penelitian dan dilakukan dengan menganalisa dokumen BMK berupa visualisasi BMK (Gephart, 2004). Teknik membandingkan visualisasi presentasi seperti itu dikembangkan oleh Ambrosini dan Bowman (2001); Nadkarni, (2003). Perubahan presentasi visualisasi di dalam BMK, diasumsikan bahwa peserta telah bereaksi terhadap perubahan pengetahuan. Proposisi 2: Kemampuan pengusaha mengindentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan menjadi kunci keberhasilan pengusaha. Basis pengetahuan pengusaha sebelumnya menjadi dasar kesiapan peserta sebagai dasar penyaringan, dimana diharapkan bahwa hanya pengusaha yang mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis masa depan saja yang lolos seleksi dan mampu untuk menjadi pengusaha sukses dikemudian hari. Pendekatan dan pemetaan kognitif dilakukan dengan mempelajari orientasi para peserta, yaitu pengusaha UKM yang sedang melakukan lokakarya dan pelatihan bisnis di PT ”T” di Bandung. Pendekatan yang mungkin saja berbeda pada setiap individu diberikan secara khusus, dimana hal ini karena adanya perbedaan kelas sosial, usia, kebiasaan dan budaya. Setelah mengetahui orientasi para peserta, langkah berikutnya adalah dengan memberikan pelatihan bisnis serta memberikan informasi-informasi yang terkait dengan kondisi ekonomi dan suasana bisnis saat ini. Semua informasi diberikan dalam rangka meningkatkan kemampuan kewirausahaan para peserta. Melalui pelatihan diharapkan bahwa kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis akan meningkat, dan pada akhirnya para pengusaha diharapkan mampu meningkatkan kinerja bisnis mereka, serta dapat memvisualisasikan kemampuan mereka untuk mengejar peluang bisnis saat ini dan masa depan. Desain model dan teori yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan desain “corong” (Nasip & Pradipto, 2016a), dimana model corong ini dipakai dalam penelitian yang digunakan untuk menyeleksi para pengusaha dan mendorong pengusaha sektor informal untuk keluar dari perangkap sektor informal. Model desain ini dipakai untuk menilai orientasi pengusaha atau dalam hal ini adalah orientasi para peserta pelatihan, dan setelahnya proses penyaringan dilakukan berdasarkan penilaian atas kemampuan para peserta untuk melihat kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan. 211 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Desain model hipotesis di atas dapat digambarkan ke dalam “corong” yang menunjukkan hubungan antara orientasi pengusaha dan kemampuan mengidentifikasi peluang (Nasip & Pradipto, 2016b). Tahap ke-1: Orientasi Pengusaha Tahap ke-2: Kemampuan Mengidentifikasi Peluang Mengeliminasi Pengusaha 35 Pengusaha Penilaian 26 Pengusaha Evaluasi Untuk Menyesuaikan Pemilihan 18 Pengusaha Penerimaan Bantuan Untuk Pengembangan Bisnis 9 Pengusaha Tereliminasi Informasi Baru (BMC, Pasar, Kemungkinan) 8 Pengusaha Tereliminasi Gambar.1 Modifikasi dari sumber: (Nasip & Pradipto, 2016a) HASIL DAN PEMBAHASAN Prosedur Pengolahan Data Data sampel diambil dari para pengusaha yang berpartisipasi dalam lokakarya dan pelatihan yang diselenggarakan oleh PT. "T". Untuk tujuan publikasi ilmiah dan memberikan gambaran tentang penelitian yang dilakukan secara deskriptif, maka nama perusahaan PT. "T" telah diubah untuk menjaga kerahasiaan dan dicantumkan sebagai PT “T”. Proses pemilihan peserta ditentukan oleh PT. "T". Pada sesi pertama, para peserta diminta untuk menyelesaikan dua penilaian, yaitu mengisi kuesioner dan tanya-jawab untuk mengevaluasi perusahaan mereka (Hopf & Welter, 2010). Peserta kemudian juga diminta untuk mengisi data BMK dengan informasi yang terbatas, sembilan data isian dari BMK diharuskan untuk diisi sesuai dengan keadaan bisnis mereka saat ini. Jadi pengisisan BMK berkaitan dengan pemahaman mereka tentang kewirausahaan dan persepsi mereka tentang kemampuan mereka untuk mengidentifikasi peluang saat ini. Mereka juga diminta untuk menjelaskan apa saja yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya, salah satunya adalah menimbulkan aspek berpikir kreatif, dan/atau bagaimana mereka mampu mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan. Pada sesi pertama, peserta mendengarkan penjabaran tentang situasi binis saat ini, manajemen mutahkir, situasi ekonomi, dan juga motivasi serta bimbingan untuk menjelaskan apa yang pengusaha harus lakukan dan bagaimana melakukannya. Dengan informasi ini para peserta diharapkan memiliki keinginan untuk maju dan memperbaiki situasi bisnis mereka saat ini. Setelah sesi penjabaran selesai, kemudian dilanjutkan dengan latihan, diskusi dan tanya jawab, kemudian peserta mulai diarahkan untuk mengisi kuesioner dan data isian BMK tahap ke-1. Hasil kuesioner tahap ke-1 diberikan dan didiskusikan diantara para peserta dan dimoderasi oleh penulis. Kemudian tambahan pengetahuan tentang informasi, solusi atas bisnis mereka saat ini diberikan, starategi bisnis alternatif yang mungkin bisa diambil dan informasi tambahan tentang bagaimana pengusaha dapat menggunakan BMK dipaparkan lebih lanjut. Peserta kemudian diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul seperti yang mereka hadapi dan tergambarkan dari kuesioner tahap ke-1. Kemudian peserta diberikan kembali data isian BMK untuk tahap ke-2, pengisian BMK tahap ke-2 pada dasarnya berisi tentang perubahan konsep atau cara berpikir yang terjadi, termasuk di dalamnya peserta mulai memperlihatkan perubahan persepsi mereka tentang bisnis mereka, kemampuan mereka, dan pemahaman mereka tentang bisnis dimana mereka tinggal. 212 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Perubahan Orientasi Pengusaha (Tahap ke-1) Setelah tanya-jawab yang berlangsung seiring dengan pengisian kuesioner, maka kuesioner yang telah terisi tersebut dianalisa dan diringkas oleh penulis. Penulis dibantu oleh pemeriksa independen melakukan pemeriksaan kondisi bisnis dari peserta pada sesi latihan ke-1 dan sesi latihan ke-2. Pada tahap ke-1, kuesioner diberikan dalam bentuk cek-list untuk melihat apakah para peserta bisnis saat ini melihat dan perlu memperbaharui bisnis model mereka. Para peserta dapat melihat referensi kuesioner pada modul yang diberikan oleh PT. “T”. Kuesioner dilakukan dengan melingkari pertanyaan dengan kondisi bisnis peserta saat ini. Nilai kuesioner diberikan bobot sebagai berikut: "tidak sama” = 1, “serupa/hampir sama” = 2, dan “sama” = 3", kecuali untuk pertanyaan organisasi, "tidak sama” = 0, “serupa/hampir sama = 5, dan “sama” = 10. Total jawaban kuesioner masing-masing peserta kemudian dihitung dan dibandingkan dengan rekomendasi yang diberikan dalam strategi bisnis yang dirancang di dalam modul pelatihan berikutnya. Dari 35 peserta yang menghadiri sesi lokakarya dan pelatihan, hanya 26 peserta yang mengembalikan dan mengisi kuesioner dan tugas yang diberikan (74,29% responden). Hal ini dapat dilihat dalam Gambar.1. Sementara itu di Gambar.2, bahwa hasil dari nilai rata-rata jawaban yang diberikan atas kuesioner yang dikembalikan peserta mempunyai ‘mean’=66,56 dengan median=65,00. Dari hasil analisa jawaban tersebut, ada 22 dari 26 peserta memberikan jawaban bahwa mereka harus mempertimbangkan untuk memperbaharui bisnis model meraka pada saat itu. Sementara sisanya 4 peserta menyatakan harus segera merubah bisnis model mereka pada saat itu, juga karena kondisi bisnis mereka yang sedang bermasalah. Melalui analisa kuesioner tahap ke-1 ini, didapati rata-rata para pengusaha UKM tersebut mengidentifikasi bahwa bisnis mereka memerlukan pembaharuan, memerlukan bisnis model baru dengan peluang bisnis baru. Gambar.2 Ringkasan Hasil Kuesioner – Alternatif dari Usulan Strategi Analisa kriteria tahap ke-1 menilai perubahan dengan analisa sederhana dimana perubahan diamati melalui perbedaan visual kuesioner dan data isian BMK. Tahap ke-1 menjadi kriteria yang paling signifikan untuk mengamati bagaimana para peserta memberikan persepsi tentang bisnis mereka secara nyata saat ini. Para pengusaha yang mampu mengembangkan kemampuan mengidentifikasi peluang saat pelatihan, secara radikal mampu mengubah representasi mereka tentang aktivitas bisnis mereka, dan sementara yang tidak mampu menambah kemampuan mereka hanya dapat memberikan perubahan visualisasi yang tidak signifikan. Perubahan Kemampuan Mengidentifikasikan Peluang (Tahap ke-2) 213 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Beberapa studi sebelumnya menyarankan bagaimana mengukur kemampuan pengusaha untuk mengidentifikasikan peluang dan juga bagaimana menilai kualitas dan kuantitas peluang bisnis. Perbaikan dalam kemampuan ini telah digunakan untuk mengukur dampak dari pendidikan kewirausahaan yang ada selama ini (DeTienne & Chandler, 2004; Fiet, 2007). Pendekatan ini diterapkan oleh penulis untuk para peserta yang ikut pelatihan di PT. “T”, penilaian dilakukan ditahap awal pelatihan ke-1 dan setelah akhir pelatihan tahap ke-2. Yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah para peserta membuat daftar dari setiap peluang bisnis yang mereka bisa pikirkan. Kualitas kemampuan mengidentifikasikan peluang kemudian dievaluasi oleh penulis dan juga direview oleh pemeriksa independen seperti yang disebutkan di atas. Dalam penelitian ini, sejumlah kriteria digunakan untuk mengevaluasi kemampuan pengusaha UKM Indonesia dalam rangka melihat kemampuan mereka mengidentifikasi peluang baru saat ini dan dimasa depan. Penelitian ini dilakukan menurut analisa kualitatif. Logika kualitatif menurut penulis adalah didasarkan pada gagasan bahwa penelitian kualitatif melibatkan kedua pengumpulan dan analisis data kualitatif dan kuantitatif (Gephart, 2004), dan penulis berharap bahwa gagasan kekinian yang ada pada penelitian ini akan memberikan wawasan yang menarik. Gambar.3. Median & Persentase Perbaikan – Penilaian BMK Kemajuan kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis dapat dilihat pada Gambar.3, peningkatan kemampuan untuk menilai peluang bisnis pengusaha UKM melalui BMK telah terjadi. Sayangnya hanya 18 peserta dari 35 pengusaha yang mengikuti pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan mereka. Peningkatan bervariasi terjadi karena pengetahuan yang dimiliki sebelumnya oleh para peserta juga beragam. Batas tengah (median) kemampuan peningkatan terletak pada angka 33,33% (persentase peningkatan). Penulis mengelompokkan peningkatan kemampuan menjadi tiga level peningkatan sesuai dengen penelitian yang dilakukan Munoz et all (2011). Peningkatan kemampuan paling besar adalah sebanyak 38,89% peserta dari seluruh peserta pelatihan yang mengalami peningkatan secara radikal tertinggi dan dikategorikan sebagai perbaikan yang bersifat kualitatif, yang berarti peningkatan kemampuangnya sangat baik. Diikuti oleh peningkatan secara moderat sebanyak 33,33% peserta dan 27,78% peserta hanya mengalami peningkatan terendah. Representasi Visual Untuk menangkap perubahan yang terjadi, penulis menggunakan visual presentasi, sebagai teknik penelitian untuk menangkap dinamika yang terjadi, prosesnya, dan pengalamannya. Melalui konsep dan pengisian BMK, pola visual presentasi dari pengusaha sebelum pelatihan, pada saat pelatihan dan sesudah diberikan pelatihan, dianalisa secara visual. Penulis dapat melihat dan memberikan peta gambaran bagaimana para pengusaha berubah, bagaimana mereka mampu melihat kegiatan bisnis mereka dalam dua tahap pembelajaran yang berbeda, sehingga perubahan ini memungkinkan evaluasi perubahan yang terjadi pada para pengusaha dapat dilihat, terutama dalam rangka melihat apakah para pengusaha tersebut mampu mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan dimasa depan. 214 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Perubahan visualisasi presentasi itu dapat membuktikan dan mengkonfirmasi secara kuat perubahan yang muncul. Hanya 18 dari 35 pengusaha yang mengikuti pelatihan yang secara signifikan terlihat mampu mengembangkan kemampuan mereka dalam mengidentifikasikan peluang selama pelatihan dengan cara melihat representasi visual yang berubah, terutama pada data isian BMK yang diberikan pada tahap ke-1 dan tahap ke-2. Untuk menganalisa perubahan, penulis menggunakan tiga level peningkatan untuk mengamati perbedaan antara tahap ke-1 dan tahap ke-2. Penulis menggunakan ketiga level kriteria itu untuk memberikan perspektif yang berbeda dari analisa perubahan. Perubahan level visualisasi digunakan sebagai pendekatan analisa. No Peserta 1 Bengkel Mobil "45" - SOLO 2 Toko Mega Gasindo - PONTIANAK 3 Batik Sasirangan "Banjarmasin" 4 Jasa jahit "Masrifah" 5 Perdagangan Umum "Sadmono" (Tunai/Kredit) 6 CV. Intan Mandiri Sejahtera "Yuswari" - KEDIRI 7 Perkebunan Kelapa Sawit "Widi Arga"- Pontianak 8 Toko Aksesoris Telephone "Fikran" - Padang 9 Toko Buah "Rizki" 10 Usaha Meubel "Samsudin" - Makasar 11 Pengrajin Telur Asin "Arauf Saleh" - Karawang 12 Tas & Aksesoris "Breeta Ethnique" 13 Perhiasan Aksesoris "Nini Accesories" 14 Perdagangan Ikan & Hasil Laut "Ririn" - Lampung 15 Toko "Oleh-Oleh" - NurRiakan" 16 Rumah Kos & Penginapan -" Suratman" 17 Usaha Tenun Songket "Achmad" - Palembang 18 Kerajinan Tas 'Winoto" Konsep dimodifikasi dari : Munoz et all (2011) Status Peningkatan Jumlah Data Isian BMC Yang Mengalami Peningkatan % Peningkatan BMC Tingkat Peningkatan (1, 2 & 3) 2 2 3 3 6 2 5 2 2 3 4 5 5 3 3 1 5 4 22.22% 22.22% 33.33% 33.33% 66.67% 22.22% 55.56% 22.22% 22.22% 33.33% 44.44% 55.56% 55.56% 33.33% 33.33% 11.11% 55.56% 44.44% 1 1 2 2 3 1 3 1 1 2 3 3 3 2 2 1 3 3 Tahap Peningkatan Tidak tahu ke tahu Tidak tahu ke tahu Mempunyai pengetahuan Sedikit tahu ke banyak tahu Mempunyai pengetahuan Tidak tahu ke tahu Mempunyai pengetahuan Tidak tahu ke tahu Tidak tahu ke tahu Sedikit tahu ke banyak tahu Mempunyai pengetahuan Mempunyai pengetahuan Mempunyai pengetahuan Sedikit tahu ke banyak tahu Sedikit tahu ke banyak tahu Tidak tahu ke tahu Mempunyai pengetahuan Mempunyai pengetahuan Table.1. Ringkasan Status Peningkatan Dari Tabel.1 di atas, penulis bersama pemeriksa independen mengidentifikasi peningkatan kemampuan peserta pengusaha dalam mengidentifikasikan atau melihat peluang bisnis masa depan. Peserta pengusaha yang mengikuti pelatihan dinilai ke dalam tiga tingkat level penilaian: level ke-1; dari tidak tahu sama sekali menjadi sedikit tahu; level ke-2; dari sedikit tahu menjadi lebih banyak tahu; dan level ke-3; mempunyai pengetahuan yang berkualitas. Dari perbedaan disiplin ilmu, orientasi kewirausahaan, pengetahuan yang dimiliki, jenis kelamin, dan latar belakang budaya peserta, penulis mengamati bahwa peserta pelatihan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Bukti empiris di dalam literatur dan penelitian sebelumnya mendukung laporan bahwa hasil peningkatan kemampuan peserta pelatihan berbeda satu dengan yang lain, karena didasarkan atas latar belakang masing-masing peserta yang berbeda juga. Berdasarkan penilaian seperti yang tercantum di dalam Table.1, 7 dari 18 pengusaha mengalami peningkatan kemampuan secara signifikan dalam melihat peluang bisnis. Pada saat pengusaha dapat menunjukkan peningkatan kemampuan mengidentifikasikan peluang, ini menunjukkan kemampuan perkembangan dirinya sekaligus. Sementara itu 5 dari 18 pengusaha hanya mampu mengidentifikasi peluang secara moderat dan diikuti oleh sisanya sebanyak enam pengusaha dengan nilai terendah. 215 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Gambar.4. Sembilan Blok Bisnis Model Kanvas BMK digunakan sebagai visualisasi untuk melihat peningkatan kemampuan peserta pelatihan PT. “T” melalui penyediaan data isian BMK. Pada tahap ke-2, para peserta diminta untuk mengisi data isian BMK sekali lagi dengan kemungkinan mengembangkan bisnis mereka dimasa depan. Tambahan informasi, pengetahuan, dan referensi bisnis alternatif diberikan pada tahap ke-2 tersebut. Dengan membandingkan kedua data isian BMK (data isian BMK pada tahap ke-1 awal sesi pelatihan dan data isian BMK pada tahap ke-2 akhir pelatihan), penulis dapat memberikan gambaran visualisasi singkat peningkatan kemampuan bisnis para peserta lewat data isian BMK. Teknik membandingkan visualisasi presentasi seperti itu dikembangkan oleh Ambrosini dan Bowman (2001); Nadkarni, (2003). Dengan perubahan presentasi visualisasi di dalam data isian BMK, diasumsikan bahwa peserta telah bereaksi terhadap perubahan pengetahuan terutama dalam konsep bisnis mereka saat pelatihan. Peserta yang tidak bereaksi terhadap masukan pengetahuan dapat dianggap bahwa peserta tersebut belum mampu untuk menerima atau memahami perubahan yang terjadi, dan dapat disimpulkan bahwa kemampuan untuk meningkatkan peluang bisnis pada bisnis mereka tersebut tidak terjadi. Dari 26 pengusaha yang mengembalikan kuesioner dan data isian BMK awal, diidentifikasi sebagai calon peserta yang berprospek dan mempunyai kemampuan awal, kemudian mereka dimasukkan ke dalam program pelatihan berikutnya (tahap ke-2), yaitu pelatihan kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis. Hasilnya pada tahap ke-2 adalah hanya 18 pengusaha yang mengembalikan lanjutan kuesioner dan termasuk di dalamnya adalah data isian BMK (69,23% responden). Penekanan masalah atau kemampuan yang timbul setelah pelatihan tahap ke-2 seperti terlihat dalam Gambar.4 diatas. Para pengusaha (means) menitik beratkan kesadaran mereka pada data isian "proposisi nilai" (produk atau layanan) sebanyak 20%, diikuti oleh data isian "segmen pelanggan" sebanyak 18% dan data isian “distribusi” sebanyak 13%. Pada ketiga data isian BMK tersebut para pengusaha melihat dan memahami bahwa kebanyakan bisnis mereka pada saat pelatihan mempunyai masalah dan mengharapkan perubahan yang mamadai. Kesadaran untuk merubah dan memberikan inovasi pada segmen atau data isian “proposisi nilai”, “segmen pelanggan” dan “distribusi” menandakan adanya kemajuan kemampuan para pengusaha dalam melihat kemungkinan alternatif strategi untuk perubahan dalam bisnis mereka, termasuk di dalamnya penambahan kemampuan mereka dalam mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan dikemudian hari. 216 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENUTUP Kesimpulan Ide utama dari penelitian ini adalah bahwa ada begitu banyak pengusaha UKM yang harus diseleksi sebelum diberikan bantuan atau insentif; keputusan untuk memberikan hanya dapat dilakukan kepada pengusaha yang memenuhi syarat saja. Langkah-langkah yang diambil dalam penyeleksian seperti gambar "corong" di atas memenuhi dua tahapan yaitu: Tahap 1 proses penyeleksian pengusaha UKM dimulai dengan bagaimana meningkatkan kemampuan pengusaha untuk mengidentifikasi ide-ide bisnis baru, inovasi baru, atau pengusaha yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis hari ini atau peluang bisnis masa yang akan datang. Tahap 2 dilanjutkan dengan memperluas basis pengetahuan para pengusaha dengan cara memberikan informasi-informasi yang berkaitan bagi bisnis mereka. Tahapan penyeleksian pengusaha seperti terlihat dalam gambar corong di atas, memungkinkan pemerintah atau badan usaha negara untuk dapat menyeleksi pengusaha. Sumber daya bantuan yang terbatas harus difokuskan pada pengusaha yang mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi peluang bisnis saja. Dengan memberikan akses bisnis, tambahan informasi bisnis, dan memberikan pelatihan, para pengusaha yang diberikan bantuan diharapkan dapat menemukan kemampuan dan memvisualisasikan peluang bisnisnya saat ini dan masa depan. Kompetisi bisnis adalah kendala terbesar bagi pengusaha dalam melakukan dan mengembangkan bisnis mereka, yang merupakan salah satu dari sepuluh hambatan yang dihadapi oleh pengusaha UKM. Menganalisa kemampuan untuk mengidentifikasi peluang melalui presentasi visualisasi dengan membandingkan BMK tahap ke-1 dan tahap ke-2 selama pelatihan kewirausahaan pada para pengusaha UKM yang berada di bawah bimbingan PT. "T", dapat memberikan gambaran tentang perlunya kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis untuk memenangkan kompetisi bisnis saat ini. BMK dapat digunakan sebagai indikator dalam menganalisa strategi bisnis perusahaan, yaitu melihat pengamatan atas persaingan, pelanggan, pemasok, dan lain-lain termasuk di dalamnya semua sumber daya yang terlibat dalam aspek bisnis secara keseluruhan. Keterbatasan Penelitian Kemampuan untuk menganalisa peluang bisnis tidak semata-mata berdasarkan pada peningkatan konsep presentasi visualisasi kewirausahaan, tetapi ada begitu banyak faktor yang mendukungnya. Orientasi para pengusaha UKM menjadi seleksi awalnya. Tanpa orientasi yang jelas, termasuk motivasi pengusaha untuk bergerak maju, tidak ada pelatihan manapun yang dapat mengubah atau mempengaruhi kemampuan pengusaha untuk mengidentifikasi peluang bisnis. Orientasi dan motivasi berbeda dari satu pengusaha ke pengusaha lainnya, hal itu karena pengaruh pendidikan yang berbeda serta budaya dan latar belakang sosial yang berbeda dari masing-masing pengusaha. Penulis menyadari bahwa kualitas dari orientasi pengusaha, motivasi, dan kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis adalah konsep sangat sulit untuk diukur secara kuantitatif. Oleh karena itu, penulis menggunakan kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis dengan menggunakan indikator visualisasi presentasi seperti yang penulis jabarkan di atas. Penulis percaya ada banyak kemungkinan variabel yang tidak dapat penulis temukan pada penelitian ini, terutama pada hal-hal umum yang menyangkut hubungan antara orientasi pengusaha, motivasi, dan kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis yang tidak dapat penulis temukan disini (tersembunyi), dan yang tidak dapat penulis hitung atau gambarkan secara statistik atau secara kuantitatif. Saran Penelitian ini diharapkan dapat membantu asosiasi, perguruan tinggi, dan pemerintah, terkait dalam menemukan pengusaha yang harus dibantu, dimana kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis sebagai alat seleksinya. Diperlukan lebih banyak variabel atau masukan untuk dapat ditambahkan ke dalam penelitian yang sama dimasa depan, agar dapat mengevaluasi lebih detail, memberikan hasil nyata dan bagaimana implikasinya atas praktek-praktek yang mungkin saja dilakukan setelah kemampuan para pengusaha mengidentifikasi peluang bisnis itu terbentuk dan meningkat. 217 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA Amit, R., & Zott, C. (2015). Creating value through business model innovation. MIT Sloan Management Review2, 53(3), 1–14. http://doi.org/10.2139/ssrn.1701660 Baron, R. a. (2004). Opportunity recognition: A cognitive perspective. Academy of Management Proceedings, A1–A6. http://doi.org/Proceeding Cantillon, R. (1755). An Essay on Economic Theory. Book. Retrieved from http://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=mUEniZfBW4sC&oi=fnd&pg=PA3&dq=An+ Essay+on+Economic+Theory&ots=X1uRmFYVig&sig=IX1QTLriQeypBYT6HmaDreLoaj8 DeTienne, D. R., & Chandler, G. N. (2004). Opportunity Identification and Its Role in the Entrepreneurial Classroom: A Pedagogical Approach and Empirical Test. Academy of Management Learning & Education, 3(3), 242–257. http://doi.org/10.5465/AMLE.2004.14242103 Fiet, J. O. (2007). A prescriptive analysis of search and discovery. Journal of Management Studies, 44(4), 592–611. http://doi.org/10.1111/j.1467-6486.2006.00671.x Gaglio, C. M., & Katz, J. A. (2001). The Psychological Basis of Opportunity Identification: EntrepreneurialAlertness. Small Business Economics. CEUR Workshop Proceedings, 1225(February), 41–42. http://doi.org/10.1023/A Gephart, R. P. (2004). Qualitative research and the Academy of Management Journal. Academy of Management Journal. http://doi.org/10.5465/AMJ.2004.14438580 Guiso, L. (2016). Is entrepreneurship contagiousβ―?, 1–10. Hopf, L., & Welter, W. (2010). 12 Strategies To Renew Your Business And Boost Your Bottom Line. Industrial Marketing Management. Adams Business. Huefner, J. C., Hunt, H. K., & Robinson, P. B. (1996). A Comparison of Four Scales Predicting Entrepreneurship. Academy of Entrepreneurship Journal, 1(2), 56–80. Kihlstrom, R. E., & Laffont, J.-J. (1979). A General Equilibrium Entrepreneurial Theory of Firm Formation Based on Risk Aversion. Knight, F. H. (2002). Risk, uncertainty and profit, 381. Krueger, N. F. (2004). The Cognitive Psychology of Entrepreneurship. http://doi.org/10.1007/0387-24519-7 Lazear, E. P. (2005). Entrepreneurship. Journal of Labor Economics, 23(4), 649–680. http://doi.org/10.1086/491605 Miller, D. (2011). Miller (1983) revisited: A reflection on EO research and some suggestions for the 218 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 future. Entrepreneurship: Theory and Practice, 35(5), 873–894. http://doi.org/10.1111/j.15406520.2011.00457.x Nasip, I., & Pradipto, Y. D. (2016a). Informality Trap Policy in Indonesia, 218–228. Nasip, I., & Pradipto, Y. D. (2016b). Informality Trap Policy Revisited: Framework for Policy Design in Indonesia. Osterwalder, A., Pigneur, Y., Smith, A., & Movement, T. (2010). You ’ re holding a handbook for visionaries , game changers , and challengers striving to defy outmoded business models and design tomorrow ’ s enterprises . It ’ s a book for the … written by co-created by designed by. Booksgooglecom (Vol. 30). http://doi.org/10.1523/JNEUROSCI.0307-10.2010 Schumpeter, J. A. (1934). The Theory of Economic Development: An Inquiry into Profitd, Capital, Credit, Interest and the Business Cycle, translated from the German by Redvers Opie News Brunswick (U.S.A) and London (U.K.): Transaction Publishers. Journal of Comparative Research in Anthropology and Sociology. http://doi.org/10.2307/1812657 Tomkins, C., & Groves, R. (1983). The everyday accountant and researching his reality. Accounting, Organizations and Society, 8(4), 361–374. http://doi.org/10.1016/03613682(83)90049-1 219 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 BUDAYA PERUSAHAAN UNGGUL UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PERUSAHAAN BUMN KONSTRUKSI Agung Yunanto Universitas Bina Nusantara Jakarta E-mail: [email protected] Abstract: This paper is literature study on the winning corporate culture (winning culture). Context of the study of winning corporate culture is Indonesia State-Owned Enterprises (SOEs), especially in the construction sector. SOE currently facing strategic challenges with the shareholder plans for the establishment of the holding company as well as challenges to improve the performance at world-class level. The study will discusses the meaning of corporate culture and a winning corporate culture, the role of winning culture in building the company's performance, both financial performance and non-financial performance, the key success factors and stages in building a winning culture, and the role of leadership in upholding the winning culture. Briefly, winning culture consist beliefs, values, norms of behavior that will serve as guidelines in running the company along with its relationship of external parties. The dimension of winning culture are oriented to customers, employees, performance standards and high accountability, innovation and commitment to change, as well as systems in accordance with company’s business processes. The key behavior of the companies with winning culture are "Humanistic-Encouraging", "Affiliative", "Achievement", and "Self-actualizing". Well-managed Culture will provide a very significant impact on the performance of the company, considering that winning culture can be a strategic asset in terms of its uniqueness and un-imitated by the company's competitors. The study results will show the role of winning culture in enhancing the performance of companies,especially construction state-owned enterprises. The study also concluded an eight (8) key to success in creating and building a winning culture, and eight (8) steps in building a winning culture. Keywords: Corporate Culture, Winning Culture, Company performance, Construction State-owned Company. Abstrak: Studi ini merupakan studi literature yang mempelajari budaya perusahaan unggul. Konteks pembahasan budaya perusahaan unggul adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya sektor Konstruksi. Saat ini BUMN menghadapi tantangan strategis dengan adanya rencana pembentukan perusahaan holding serta tantangan untuk meningkatkan kinerja di tingkat kelas dunia. Studi membahas tentang pengertian budaya perusahaan dan budaya perusahaan unggul, peran budaya perusahaan unggul didalam membangun kinerja perusahaan, baik kinerja finansial maupun kinerja nonfinansial, kunci keberhasilan dan tahapan didalam membangun budaya perusahaan unggul, serta peranan kepemimpinan didalam menegakkan budaya perusahaan unggul. Secara singkat budaya perusahaan menggandung komponen keyakinan, nilai-nilai, norma-norma beserta perilaku utamanya yang akan dijadikan sebagai pedoman didalam menjalankan perusahaan berserta hubungannya dengan pihak-pihak eksternal. Budaya unggul mempunyai dimensi yang berorientasi kepada pelanggan, pegawai, standar kinerja dan akuntabilitas yang tinggi, inovasi dan komitmen terhadap perubahan, serta berorientasi kepada system sesuai proses bisnis perusahaan. Perilaku yang menonjol dari perusahaan yang mempunyai budaya perusahaan yang unggul adalah “Humanistic-Encouraging”, “Affiliative”, “Achievement”, dan“Self-actualizing”. Budaya yang unggul bila dikelola dengan baik dan benar akan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kinerja perusahaan, mengingat budaya yang unggul dapat menjadi asset strategis yang unik dan tidak dapat ditiru oleh para pesaing perusahaan. Hasil studi akan memperlihatkan peran budaya perusahaan unggul dalam eningkatkan kinerja perusahaan, khususnya perusahaan BUMN Konstruksi. Studi juga akan menyimpulkan delapan (8) Kunci keberhasilan didalam menciptakan dan membangun budaya perusahaan, dan delapan (8) langkah didalam membangun budaya perusahaan unggul. Kata kunci: Budaya Perusahaan, Budaya Perusahaan Unggul, Kinerja perusahaan. BUMN Konstruksi. 220 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENDAHULUAN Dalam laporan riset Deloitte’s 2015 Global Human Capital terdapat 10 trend dimana issue / trend yang paling penting adalah aspek Budaya perusahaan dan keterlekatan pegawai kepada perusahaan. Studi menunjukkan bahwa perusahaan menganggap budaya perusahaan sangat penting (78%), namun hanya 47 % yang menyatakan “somewhat ready” dalam penerapan budaya perusahaan, terdapat gap sebesar 31 persen. Dari AT Kearney CxO Roundtables, didapatkan factor bahwa 78% perusahaan mengakui pentingnya budaya perusahaan bagi keberhasilan usaha perusahaan, Juga, 88% perusahaan mengakui budaya perusahaan menjadi pendorong utama kinerja keuangan perusahaan. Namun hanya 33% yang mengelola dan memonitor budaya perusahaan. Data dari Bain & Company (2006) menunjukkan kurang dari 10% perusahaan yang sukses di dalam membangun budaya perusahaan unggul. Padahal beberapa studi menunjukkan bahwa budaya perusahaan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan, termasuk berpengaruh terhadap kemampuan daya saing perusahaan. Hal ini disebabkan, budaya perusahaan bila dikelola dengan baik, yaitu budaya perusahaan yang unggul dan konstruktif, adalah asset strategis yang sesungguhnya dan dapat menjadi “ultimate strategic asset” (Eric G. Flamholtz & Yvone Randle, 2012). Konsekuensi bagi perusahaan bisnis atas laporan dan studi tersebut di atas adalah setiap pimpinan perusahaan dan pimpinan human capital, sebagai unit yang mengelola human capital perusahaan, perlu mempunyai pemahaman yang jelas terhadap budaya perusahaan. Hal ini agar perusahaan dapat menghasilkan kinerja usaha yang berkelanjutan ditengan tantangan usaha yang semakin tinggi akibat perubahan lingkungan usaha yang sangat cepat dan dinamis. Contoh perubahan lingkungan usaha adalah perubahan kebijakan dan strategi adalah yang dialami oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berupa kebijakan yang mendorong transformasi menjadi perusahaan holding (integrated holding”). BUMN akan ditransformasi ke dalam 3 jenis holding yaitu “Super holding development”, “Sectoral holding Restructuring”, dan Transformasi individual BUMN (Aloysius K.Ro, 2016). Kebijakan ini diharapkan mendorong setiap BUMN menjadi perusahaan yang berkemampuan laba yang tinggi serta menjadi perusahaan kelas dunia. Pada tahun 2019, ditargetkan terdapat 19 BUMN yang akan masuk dalam “Forbes Global 2000” dengan pecapaian “service level agreement” pada tingkat 94 – 100% (AT Kearney, 2016). Kebijakan ini tentunya selain memberikan peluang peningkatan kinerja BUMN juga menimbulkan tantangan strategis – operasional berupa membangun budaya perusahaan yang unggul agar harapan sebagai perusahaan kelas dunia tersebut dapat tercapai secara maksimal. AT Kearney (2016) menyatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan transformasi menjadi perusahaan holding adalah keseimbangan dan dukungan kapabilitas dan budaya perusahaan yang sesuai.Hal ini disebabkan program holding dan program transformasi akan memunculkan persoalan budaya perusahaan (cultural incompatibility) di dalam mengintegrasikan operasional beberapa perusahaan menjadi suatu perusahaan holding. Fakta menunjukan bahwa penyebab kegagalan program transformasi melalui penggabungan perusahaan adalah kesesuaian budaya perusahaan (A.K. Ro, 2016). Studi ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi perusahaan-perusahaan didalam meningkatkan kinerjanya, termasuk kinerja BUMN Indonesia yang akan bertransformasi menjadi perusahaan kelas dunia. 221 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 TINJAUAN PUSTAKA Peran Budaya Perusahaan dalam Meningkatkan Kinerja Perusahaan Budaya perusahaan merupakan pendorong utama untuk peningkatan kinerja secara berkelanjutan (AT Kearney, 2016), yang di ulas berdasarkan kinerja keuangan dan non keuangan. Pada umumnya perusahaan yang berprestasi memandang perusahaan sebagai “enabler”, atau “accelerator” terhadap srategi dan kinerja usaha (GE, 2012; Corporate Culture Pro, 2011; Scott Keller & Carolyn Aiken, 2004). Budaya Perusahaan dan Kinerja Keuangan Perusahaan Riset Mc Kinsey menemukan bahwa perusahaan dengan budaya kinerja yang unggul mempunyai kinerja”total return to shareholder(TRS)”lebih tinggi 11%, dan“Return on Investment Capital (ROIC)” lebih tinggi 5,2 % dibandingkan dengan perusahaan yang lemah budaya perusahaannya (Scott Keller & Carolyn Aiken, 2004). Study yang dilakukan oleh human synergistic(2012) dan Corporate Culture Pro (2011) juga menunjukan terdapat korelasi yang kuat antara budaya perusahaan yang konstruktif dengan kinerja finansial perusahaan. Riset empiris yang dilakukan Emmanuel Ogbonna dan Lloyd C Harris (2000) menunjukkan budaya perusahaan yang kompetitif dan inovatif, yang sensitive terhadap kondisi eksternal secara langsung dan kuat mempengaruhi kinerja. Hasil studi ini juga diperkuat oleh studi Corporate Culture Pro (2011) menemukan bahwa perusahaan yang adaptif mempunyai kinerja keuangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak adaptif; khususnya dari aspek laba bersih, pendapatan, dan harga saham. Budaya Perusahaan dan Kinerja Non-Keuangan Perusahaan Perubahan pasti akan selalu terjadi, setiap perusahaan harus ”agile” agar tetap bertahan secara jangka panjang. “Agile” diartikan bahwa perusahaan tersebut mempunyai strategi yang jelas dan terintegrasi dengan budaya perusahaan. Kombinasi dari kejelasan strategi dan integrasi dengan budaya perusahaan akan membawa kepada kinerja usaha yang tinggi, melalui peningkatan kemampuan inovasi (Accenture 2016), peningkatan apresiasi dari investor terhadap saham perusahaan di group (Ekuslie Goestiandi, Astra Internasional, 2016). Studi Chandler Macleod menunjukkan 20-30 % kinerja dapat disumbangkan dari peran budaya perusahaan. Dari data Chandler Macleod, 2014 menunjukkan 99.5% responden yang disurvey meyakini bahwa peningkatan (improvement) budaya perusahaan akan meningkatkan kinerja perusahaan, akan mempengaruhi secara positif kepuasan pelanggan, produktivitas,’revenue’, keterlekatan pegawai, penurunan”turn over”, dan peningkatan inovasi. 56% responden juga mempertimbangkan memilih tempat kerja baru di perusahaan yang mempunyai reputasi sebagai “great place to work” Kajian GE (2012), budaya perusahaan yang tidak terintegrasi dengan strategi korporasi akan menyebabkan penurunan loyalitas, kurangnya motivasi, dan meningkatnya “turn over”pegawai. Sebaliknya budaya yang sehat memberikan pengaruh positif terhadap kebanggaan dan “sense of purpose”dari setiap pegawai, peningkatan produktivitas dan pemahaman yang lebih baik terhadap sasaran secara perusahaan, peningkatan kinerja usaha termasuk pangsa pasar, peningkatan kualitas dan inovasi (Evans Sokro, 2012). 222 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Budaya Perusahaan sebagai Asset Tan-wujud untuk Meningkatkan Kemampuan Bersaing Karena budaya perusahaan itu unik, maka budaya perusahaan yang unggul dapat memenuhi persyaratan sebagai sumber daya yang sulit untuk ditiru, sehingga dapat dikategorikan menjadi sumber daya saing perusahaan (Andrew Klein, 2008). Budaya perusahaan yang konstruktif – unggul dapat menjadi pembeda yang kompetitif diantara perusahaan dengan para pesaingnya yang menjalankan bidang usaha yang sama. Flamholtz (2012) menyimpulkan bahwa budaya perusahaan bukan hanya sebagai suatu sumber kemampuan bersaing perusahaan, peran budaya perusahaan lebih jauh lagi yaitu sebagai sumber utama dari kemampuan bersaing yang sesungguhnya. Alasan utamanya adalah karena budaya perusahaan yang konstruktif – unggul sangat sulit ditiru oleh pesaingpesaing lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai senjata untuk bersaing yang tan – wujud (“a ‘stealth’ competitive weapon”) dan dapat dikategorikan sebagai asset ekonomis dari suatu korporasi. Bagi beberapa korporasi yang berhasil seperti Google, Wal-Mart, Starbucks; budaya perusahaan merupakan aset sesungguhnya yang membawa kemampulabaan perusahaan. Namun Flamholtz pun mengingatkan bahwa budaya perusahaan dapat menjadi suatu kewajiban (“liabilities”) bila tidak dikelola dengan baik dan benar. Budaya Perusahaan sebagai Komponen Strategis dari Model Bisnis. Model bisnis merupakan suatu proses yang mencakup dari mulai pemilihan pasar sasaran sampai dengan penyampaian produk dan jasa kepada para pelanggan. Secara singkat, model bisnis adalah tentang bagaimana suatu perusahaan akan menyampaikan manfaat dan nilai tambah produk dan jasanya kepada pelanggannya. Model bisnis yang kompetitif mensyaratkan penerapan system, proses dan aset yang sulit untuk ditiru serta dapat memenuhi harapan pelanggan, bukan hanya sekedar suatu tahapan yang baik didalam menjalankan bisnis (David J. Teece, 2009). Budaya perusahaan sebagai suatu aset strategis yang sulit ditiru dapat membawa dan menjadikan suatu dasar yang sangat “powerful” dalam suatu model bisnis yang kompetitif. Hal ini sudah dibuktikan oleh perusahaan-perusahaan yang sukses seperti Starbucks, Southwest Airlines, Google, dan Wal-Mart. Perusahaan-perusahaan ini memandang budaya perusahaan sebagai komponen inti didalam strategi dan model bisnisnya. Pengertian Budaya Perusahaan Beragam pengertian tentang budaya perusahaan dari yang sederhana yaitu “the way we do things around here” (Deal Kennedy, Corporate Culture, 1983); sampai definisi yang lebih lengkap mencakup Artifacts, Espoused Values dan Underlying Assumptions. Tingkat pertama dari budaya perusahaan adalah Artefak. Artefak dapat digambarkan dengan hal hal yang kasat mata seperti gaya arsitektur, gaya interior dan iklim di perusahaan tersebut. Tingkatan kedua dari budaya perusahaan adalah Nilai – nilai perusahaan, Tingkatan ke tiga adalah asumsiasumsi. Dalam tatanan praktek di korporasi, komponen utama budaya perusahaan pada prinsipnya terdiri dari Keyakinan, Nilai, norma-norma juga perilaku-perilaku utama yang mempengaruhi setiap pegawai bertindak. Hal ini sejalan dengan kesimpulan Flamholtz dan Randle (2012) bahwa budaya perusahaan 223 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 terdiri dari nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang mempengaruhi pemikiran dan perilaku pegawai perusahaan. Nilai adalah sesuatu yang oleh perusahaan dianggap paling penting terkait dengan operasi, pegawai dan pelanggan perusahaan. Keyakinan adalah asumsi-asumsi yang dijadikan sebagai dasar pemikiran oleh setiap komponen perusahaan. Norma-norma adalah aturan main yang tidak tertulis tentang perilkau pegawai dalam berinteraksi di internal dan dengan eksternal. Norma-norma yang ditetapkan perusahaan harus konsisten dengan nilai-nilai dan keyakinan perusahaan. Lim Ghee Soon, Chua Siew Beng, Usa Skulkerewathana, dan Richard L. Daft (2015) mengelompokkan jenis budaya kedalam 4 (empat) kelompok yaitu Adaptability culture, Achievement culture, Involvement culture, dan Consistency culture. Pembagian jenis budaya ini didasarkan pada dua dimensi yaitu tingkat dimana lingkungan eksternal mensyaratkan fleksibilitas atau stabilitas dan focus strategi perusahaan ke internal atau eksternal. Budaya yang Adaptif (“adaptability culture”) berkembang dalam suatu lingkungan usaha yang menuntut respon yang cepat dan pembuatan keputusan bisnis yang mengandung risiko tinggi. Dalam budaya yang adaptif ini, setiap pimpinan mendorong nilai-nilai perusahaan yang mendukung terciptanya kapabilitas perusahaan di dalam merespon setiap perubahan lingkungan secara cepat. Setiap pegawai mempunyai wewenang untuk mengambil keputusan dan merespon setiap kebutuhan pelanggan. Budaya yang dikembangkan adalah kreatifitas dan pengambilan risiko yang terukur. Budaya adaptif ini berhasil mengantarkan perusahaan untuk mengelola human capital dengan baik dan membangun strategi inovasi Pengertian Budaya Perusahaan Unggul Pada perusahaan dengan budaya yang unggul, nilai –nilai dan perilakunya bersifat konstruktif dan dipahami serta ditegakkan secara konsisten oleh setiap pegawai di setiap tingkatan manajemen. Pada perusahaan dengan budaya unggul, setiap pegawai perusahaan tersebut bukan hanya mengetahui apa yang sebaiknya mereka kerjakan, namun mereka mengetahui “kenapa” mereka harus mengerjakan hal tersebut. Terkandung “sense of purpose” didalam setiap tindakannya. Flamholtz dan Randle (2011) secara spesifik mengidentifikasi 5 (lima) dimensi budaya perusahaan yang secara statistic memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja finansial, yaitu: 1. Budaya yang berorientasi kepada Pelanggan, Pendapat ini diperkuat oleh Andrew Klein (2008) yang menyimpulkan bahwaFocus ke eksternal (pelanggan & pesaing serta pemegang saham), juga sangat adaptif dan fleksibel didalam merespon setiap perubahannya, dikategorikan oleh sebagai salah satu ciri perusahaan dengan budaya yang unggul. 2. Budaya yang berorientasi kepada Pegawai, 3. Budaya yang memberikan perhatian terhadap standard kinerja dan akuntabilitas. 4. Budaya yang mendorong inovasi atau komitmen terhadap perubahan, 5. Budaya yang berorientasi pada system – proses bisnis perusahaan. Hasil study human synergistics International (Eric J. Sanders & Robert A. Cooke, 2012) menunjukkan bahwa Perusahaan yang sukses mempunyai gaya budaya yang konstruktif dengan ciriciri perilaku utamanya mencakup: 1. “Humanistic-Encouraging”: Menyelesaikan konflik secara konstruktif, Mendorong pertumbuhan dan pengembangan, melibatkan orang lain didalam mengambil keputusan, mengembangan human capital. 224 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 2. “Affiliative”: kooperatif, “friendly”, Perhatian terhadap rekan kerja, hubungan yang baik dengan pihak lain. Ciri ini juga ditemukan oleh Andrew Klein (2008) yaitu focus ke eksternal dan adaptif terhadap perubahan dan Jim Collins (2001) yaitu suatu sikap yang tidak birokratis. 3. “Achievement”: bekerja sesuai dengan sasaran yang sudah ditetapkan, bertanggung jawab, meyakini bahwa upaya invidu itu penting, bersedia mengerjakan tugas-tugas yang menantang. Jim Collins (2001) menyebutnya pegawai yang self – disciplined. Studi oleh Lim Ghee Soon dkk (2015) perusahaan-perusahaan yang sukses walaupun menghadapi turbulensi usaha adalah perusahaan yang memberikan perhatian yang sangat serius kepada nilai-nilai dan kinerja usaha. 4. “Self-actualizing”: Kreatif dan pemikir yang orisinil, terbuka terhadap perubahan, integritas, dan self respecting. Membangun Budaya Perusahaan Yang Unggul Didalam membangun budaya yang unggul, kita perlu memahami kunci keberhasilannya sekaligus penyebab kegagalannya. Dibagian ini juga akan dijelaskan peran kepemimpinan di dalam membangun budaya perusahaan yang unggul. Penyebab Kegagalan Program Transformasi Budaya Perusahaan Sebagaimana disebutkan diawal tulisan ini, kurang dari 10% yang berhasil membangun budaya unggul, hal itu disebabkan oleh beberapa faktor (Lisa Jackson and Gerry Schmidt dalam Corporate Culture Pros, 2011) 1. Menganggap mudah dalam membangun budaya. Fixing Culture is the most critical – and the most difficult part of corporate transformation (Scott Keller & Carolyn aiken, 2004). 2. Tanggung jawabnya membangun budaya perusahaan diserahkan kepada unit HR, tanpa pelibatan fungsi/unit kerja lain & pimpinannya. 3. Tidak melibatkan semua manajemen 4. Tidak mempertimbangkan kemungkinan adanya penolakan. Lebih dari 70% kegagalan terkait aspek budaya yaitu resistensi pegawai untuk berubah yang disebabkan oleh perilaku manajemen yang tidak mendukung. Perlu disadari bahwa transformasi budaya perusahaan perlu mempengaruhi keyakinan yang terdalam dari setiap pegawai dan perilaku yang sudah berjalan dan sudah menjadi kebiasaan. 5. Tidak ada role model dari pimpinan. Gaya kepemimpinan, yang membangun atmofsirnya dengan “ketakutan”, juga dapat menjadi penyebab kegagalan membangun budaya perusahaan yang unggul (Andrea Klein, 2008). 6. Pemahaman yang salah tentang budaya perusahaan serta kurangnya visi pimpinan sehingga mengakibatkan keengganan untuk melakukan perubahan (chandler macleod, 2014 ) 7. Terjadi pertentangan dan perbedayaan budaya yang akan mengarah kepada menurunnya keberhasilan dan kinerja perusahaan secara menyeluruh (chandler Macleod, 2014). Pertentangan budaya ini dapat terjadi akibat antara lain merger dan akuisisi perusahaan, perbedayaan budaya, perubahan kepemimpinan. Studi empiris oleh Sumanto dan Andi Subroto (2011) pada perusahaan otomotif yang mempunyai budaya perusahaan yang lemah, budaya perusahaan tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja perusahaan. 225 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tantangan utama dalam melakukan transformasi budaya adalah untuk mencairkan perilaku yang sudah ada dan menciptakan motivasi untuk berubah agar setiap pegawai dapat mempelajari perilaku yang baru (Bain & Company, 2006). Kunci Keberhasilan di dalam Membangun Budaya Perusahaan yang Unggul Selain tidak menjalankan hak-hak yang menyebabkan kegagalan dalam membangun budaya perusahaan unggul, berikut adalah kunci keberhasilan di dalam membangun budaya perusahaan unggul: 1. Dimulai dari manajemen puncak Perlu keterlibatan, komitmen, dan kepemimpinan dari manajemen puncak dan pimpinan disetiap level manajemen. Pimpinan harus mempunyai perilaku yang humanistic, memotivasi, dan afiliatif (Andrew Klein, 2008). Pimpinan juga perlu menjadi teladan (“role model”) dan menggunakan gaya kepemimpinan yang memungkinkan setiap pegawai dapat menyampaikan pandangannya (Inc, 2016; Chandler Macleod, 2014). Pemimpin harus memimpin dengan contoh (“lead by example”), AT Kearney (2016). Komitmen pimpinan puncak juga ditunjukkan dalam bentuk penyediaan sumber daya yang diperlukan seperti antara lain paket pengharkatan yang sesuai dengan harapan pegawai , serta komitmen terhadap transparansi dan atmosfir “trust” (inc,2016). 2. Mempunyai pemahaman yang jelas tentang budaya unggul yang sesuai dengan kebutuhan usaha perusahaan dan strategi (Lisa Jackson & Gerry Schmidt), diidentifikasi atribut-atribut yang melekat dalam budaya unggul. Budaya perlu mempertimbangkan aspek eksternal (Emmanuel Ogbonna & Lloyd C. Harris, 2000). 3. Fokus dan mengelola pendorong terbentuknya budaya unggul 4. Perlu direview dan revisi secara berkala, sesuai perubahan lingkungan usaha perusahaan (Chandler Macleod; GE, 2012) 5. Diintegrasikan dengan setiap aspek organisasi perusahaan (GE, 2012). Lim Ghee Soon dkk (2015) menyebutkan bahwa budaya perusahaan yang tidak diintegrasikan dengan kinerja bisnis, tidak akan memberikan manfaat bagi perusahaan pada saat menghadapi situasi usaha yang sulit 6. Dikomunikasikan secara berkesinambungan, baik internal maupun eksternal (GE, 2012). 7. Rumusan budaya perusahaan termasuk perumusan nilai-nilai dan perilaku-perilaku utamanya harus dirumuskan secara sederhana (Chandler Macleod, 2014) 8. Dilakukan review didalam penerapannya sekaligus pengaruhnya terhadap “bottom-line”. (Scott Keller & Carolyn Aiken, 2004). Tahapan didalam membangun Budaya Unggul Didalam membangun budaya yang unggul diperlukan pendekatan dan pandangan yang holistic dari konteks perusahaan dan hasil yang diharapkan, didasarkan pada pendorong bagi budaya perusahaan yang berorientasi pada kinerja yang tinggi. Pendorong tersebut terdiri dari Visi dan Nilai – nilai perusahaan, Kepemimpinan, energy human capital, disiplin dan sumber daya (Accenture, 2016). Tahapan didalam membangun budaya unggul terdiri dari 1. Menetapkan Urgensi – Membangun Motivasi Menetapkan Ekpektasi terkait kebutuhan untuk berubah. Pegawai harus memahami kenapa harus berubah, kenapa harus berubah sekarang. Penjelasan dilakukan dengan dukungan data 226 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 dan fakta yang nyata, serta pada tahap ini perlu melibatkan pimpinan/manajemen senior (Scott Keller and Carolyn Aiken, 2004). Diperlukan kepemimpinan yang kuat di setiap tingkatan manajemen dan kesadaran yang kuat untuk menjadikan program transformasi budaya menjadi prioritas setiap pimpinan (bain & Company, 2006; Chandler Macleod, 2014). 2. Menetapkan Arah Strategis – Membangun Mimpi. Perlu dirumuskan jenis budaya perusahaan baru yang diperlukan dan cara untuk mencapai keberhasilan. “Leveraging culture to drive business performance means you must define your strategy and the specific cultures attributes that will drive strategy” (Corporate Culture Pros, 2011).Perlu dipastikan bahwa perumusannya terintegrasi dengan strategi perusahaan dan setiap pegawai memahami dengan jelas ekspektasi yang diharapkan perusahaan. Perencanaan strategis perusahaan harus terintegrasi dengan budaya perusahaan, yaitu antara lain melalui rumusan Strategi perusahaan diterjemahkan ke dalam komponen-komponen budaya perusahaan. Perusahaan perlu merumuskan perilaku-perilaku yang dapat memotivasi pegawai untuk berkontribusi secara ekselen secara terus menerus. Perusahaan harus memahami apa keunikan yg perlu dibangun dan atribut kinerja apa yang belum teridentifikasi (culture gap). AT Kearney (2016) dan Accenture (2016) mengingatkan pentingnya pemahaman yang baik dan benar atas kondisi budaya yang ada saat ini.Didalam merumuskan budaya perusahaan yang unggul, Corporate Culture Pros (2011) menyatakan perlunya focus ke ekternal perusahaan dimana setiap orang memahami manfaat yang akan diperoleh oleh Pelanggan / Klien, mencari informasi dari berbagai perspektif dan mengupayakan setiap pegawai mempunyai pemahaman terhadap pelanggannya. 3. Membentuk Tim Perubahan – Membangun “sponsorship”. Tim harus yang mempunyai visi yang sama dan menunjukan perilaku yang diharapkan (tim yang memotivasi, kreatif, dan mempunyai factor “likeability” yang tinggi, serta focus pada pencapaian hasil sesuai rencana yang sudah ditetapkan). Para pimpinan adalah katalis yang sangat penting didalam melakukan perubahan. Dengan demikian para pimpinan, dengan sponsor dari Pimpinan Puncak, harus mempunyai motivasi dan dorongan untuk memimpin perubahan dan bertanggung jawab terhadap tahapan pencapaian program (Accenture, 2016) 4. Komunikasi, Komunikasi, dan Komunikasi – Membangun Keterlekatan, kepemilikan dan “empowerment”. Bain & company (2011) menyatakan Komunikasi yang dilaksanakan harus dapat membangun keterkaitan pegawai dengan visi dan misi perusahaan, komunikasi yang berfokus pada hasil, didukung dengan role model yang tepat dari pimpinan (walk the talk). Accenture (2016) mendorong para pimpinan untuk berkomunikasi dengan setiap pegawainya melalui kombinasi media on-line dan off-line. Contohnya perusahaan petrokimia terhemuka membangun Program Komunikasi Kepemimpinan untuk menunjukan komitmen pimpinan terhadap perubahan dan menyampaikan pesan yang tepat kepada setiap pegawai dengan menggunakan media “on-line”. AT Kearney (2016) merekomendasikan dibuat buat program komunikasi – bergambar dan didefinisikan dalam istilah-istilah perilaku. Demikian juga Flamholtz dan Randle (2012) menemukan bahwa perusahaan yang membuat pernyataan yang tertulis tentang budaya perusahaan dan yang menciptakan ikon atau duta budaya, maka perusahaan tersebut kecenderungan mempunyai budaya perusahaan yang kuat – budaya perusahaan yang dipahami dengan jelas oleh setiap pegawainya. Bagaimana pentingnya komunikasi dalam program transformasi dicontohkan oleh NokiaSiemens Network yang melaksanakan acara Big Conversation; yaitu dialog dengan 8000 pegawai, di 140 negara, selama 72 jam. Nokia–Siemens Network secara berkala 227 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 5. 6. 7. 8. mengadakan dialog dengan tema-tema tertentu seperti antara lain Getting Closer to Our Costumer, Becoming ONE Great Company. Lim Ghee Soon dkk (2015) menyampaikan dua teknik utama di dalam mengkomunikasikan program transformasi budaya yaitu melalui program pelatihan dan pengembangan dan Pengembangan Organisasi (team building activities, survey-feedback activities, dan focus group discussion). Pelibatan dan pemberdayaan Pegawai – membangun Momentum. Corporate Culture Pros (2011) mengingatkan perlunya melibatkan aspek Human Capital dalam membangun budaya unggul ini antara lain pengembangan human capital, mendengarkan dan menindaklanjuti feedback’ dan memberikan kewenangan didalam pengambilan keputusan. Pegawai harus merasakan bahwa mereka mempunyai ketrampilan, kapabilitas, dan peluang untuk berkontribusi dalam perubahan ini. Momentum dibangun juga melalui struktur organisasi, proses dan system yang mendukung perubahan perilaku yang diminta kepada setiap pegawai (Scott Keller and Carolyn Aiken, 2004). Komunikasikan dan rayakan keberhasilan sekecil apapun (Bain & Company, 2011). Mendayagunakan Infrastruktur dan meningkatkan “accountability” – Membangun kapasitas untuk “reinvent” perusahaan secara berkelanjutan. Melakukan Review secara berkala intensitas dan konsistensi serta kesesuaian nilai-nilai dan perilaku terhadap perubahan lingkungan, juga melakukan review dampak nilai dan perilaku terhadap “bottom-line” (Scott Keller & Carolyn Aiken, 2004). Peranan Kepemimpinan Budaya Perusahaan dan kepemimpinan adalah ibarat dua sisi dalam satu uang koin (Edgar H. Schein, 2009). Kita tidak dapat memahami kepemimpinan tanpa pemahaman tentang budaya perusahaan. Kepemimpinan mendorong budaya perusahaan, dan budaya perusahaan mendorong kepemimpinan. Keduanya bersama-sama mendorong kinerja perusahaan; baik di tingkat individu, ditingkat kelompok dan di tingkat korporasi. Jadi terjadi saling keterkaitan antara kepemimpinan dan budaya perusahaan. Tugas dari pemimpin dalam suatu perusahaan, disetiap tingkatan, adalah mengenali dan memahami bahwa para pimpinan mempunyai suatu peran dalam menciptakan, mengelola, dan menumbuhkankembangkan budaya di setiap unsur perusahaan. Kepemimpinan akan menjadi efektif bila setiap pimpinannya menyadari peranan uniknya sebagai pencipta budaya, menumbuhkembangkan budaya, dan peran sebagai manager. (Edgar, 2009) Kepemimpinan yang suportif dan partisipatif secara positif mempengaruhi terbentuknya budaya perubahan yang inovatif dan kompetitif dan akan membawa pengaruh positif terhadap kinerja perusahaan (Emmanuel Ogbonna & Lloyd C. Harris, 2000; Mark Teoh). Dengan studi tersebut, perusahaan yang akan melakukan perubahan budaya perlu lebih mempertimbangkan dan memfokuskan pada gaya kepemimpinan. Mengingat merubah budaya itu sulit, maka lebih tepat memfokuskan pada program perubahan kepemimpinan. Pengalaman dari The Ohio State University Medical Center, transformasi dan peningkatan kinerja dilakukan melalui program pengembangan kepemimpinan dan program perubahan budaya tingkat perusahaan secara bersamaan (Eric J. Sanders & Robert A. Cooke, 2012). Pendekatan tersebut meningkatkan kinerja riset, pendidikan dan perhatian terhadap pasien pada tingkat 50% lebih baik dan arus kas berubah positif dari deficit dari 40 juta usd menjadi surplus 7 juta usd. Pengalaman yang sama juga dialami oleh perusahaan lainnya yaitu Lion Nathan. Keberhasilan ini tidak lepas dari kepemimpinan yang komit serta ketepatan dan kejelasan Misi perusahaan. 228 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Contoh lainnya adalah keberhasilan Ken Olsen, sebagai pimpinan Digital Equipment Corporation (DEC), yang dapat merubah kinerja DEC dalam waktu singkat. Ken Olsen menciptakan budaya unggul dimana setiap pegawai memiliki komitmen dan tanggung jawab yang tinggi terhadap pertumbuhan dan keberhasilan perusahaan melalui inovasi. (Edgar H Schein,2009, p8) Keefektifan peran setiap pimpinan dalam melakukan transformasi dapat dilihat dari beberapa aspek seperti antara lain komitmen dan kehadiran pada acara-acara penting yang terkait dengan program transformasi, menunjukan secara konsisten perilaku kepemimpinan yang konstruktif, mengalokasikan waktu dan energinya untuk melakukan komunikasi dan meningkatkan keterlekatan (engagement) pegawai (Eddy Tamboto , 2016). Puncak kepemimpinan adalah tentang belajar untuk membaca situasi dan merespon sesegera mungkin bila terdapat tanda-tanda budaya perusahaan yang tidak adaptif atau budaya yang tidak seimbang (Corporate Culture Pros, 2011). METODE PENELITIAN Riset ini merupakan studi literature atas jurnal, text book, white paper, laporan riset, serta majalah yang terkait dengan pembahasan – budaya perusahaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Implikasi Penerapan Budaya Unggul di Indonesia Melihat pentingnya peran budaya perusahaan di dalam membangun daya saing perusahaan, maka seharusnya setiap perusahaan di Indonesia sudah harus mulai membangun keunggulan bersaingnya dari pengembangan aspek-aspek yang bersifat tan-wujud seperti membangun dan menerapkan secara konstruktif budaya perusahaannya. Isu nasional terkini dan strategis dalam pembangunan Indonesia ke depan adalah mengenai holdingisasi BUMN menjadi 6 sektor, yaitu 1) sektor perbankan dan lembaga pembiayaan, 2) sektor konstruksi dan jalan tol, 3) sektor perumahan, 4) sektor ketahanan energi, 5) sektor pangan dan 6) sektor pertambangan. Di sektor konstruksi dan jalan tol akan ada penggabungan beberapa BUMN, yaitu PT Hutama Karya (Persero) (sebagai holding karena saham 100% milik pemerintah), PT Trans Sumatra OperatingCo, PT Jasa Marga (Persero), Tbk., PT Waskita Karya (Persero), Tbk., PT. Wijaya Karya (Persero), Tbk., PT. Yodya Karya (Persero) dan PT Indra Karya (Persero). Sebagaimana yang disampaikan Oleh John Kurtz & Shirley Santoso dalam acara CEO Talk on Holding Company “Creating High Performing Organizations that Last”, (PTC, Jakarta 6 April 2012) bahwa kesuksesan implementasi holdingisasi salah satunya adalah berkaitan dengan integrasi operasional dan budaya perusahaan. Sebab, hal ini akan menjadi pendorong (enablers) bagi sebuah organisasi dalam proses menuju holding sekaligus transformasi menuju perusahaan kelas dunia. Apalagi mengingat peran penting BUMN bagi perekonomian nasional baik dalam bentuk kontribusi laba kepada APBN maupun sebagai agen pembangunan nasional, seperti mendorong pertumbuhan, perintisan usaha, pembangunan infrastruktur, penguat sektor keuangan dan pengembangan sektor pangan dan kesehatan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan Indonesia di dalam membangun budaya perusahaannya adalah sebagai berikut: 1. Dimulai dari manajemen puncak perusahaan. Perlu keterlibatan, komitmen, dan kepemimpinan dari manajemen puncak dan pimpinan disetiap level manajemen. 229 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 2. Kembangkan gaya kepemimpinan yang efektif yang bercirikan dan berwawasan Indonesia, namun tetap memenuhi kaidah-kaidah hasil studi tersebut diatas yaitu gaya kepemimpinan yang humanistic, memotivasi, afiliatif, memberikan teladan bagi setiap pegawainya. 3. Membuat rumusan budaya perusahaan yang unggul; sesuai dengan keunikan nilai – nilai perusahaannya, visi-misi, dan strategi perusahaan, serta lingkungan usaha eksternal yang mempengaruhi perusahaan antara lain seperti pelanggan dan pemegang saham. Pemimpin harus berada di depan didalam menegakkan budaya perusahaannya secara disiplin. 4. Dibuat program komunikasi dan sosialisasi yang terpadu, menyeluruh dan sistematis kepada setiap tingkatan manajemen dan pegawai agar mempunyai pemahaman yang jelas tentang budaya perusahaannya. Komunikasi juga dilakukan kepada pihak ekternal yang terkait untuk membangun “brand” yang positif terhadap perusahaan. 5. Budaya perusahaan diintegrasikan dengan seluruh operasi perusahaan, diintegrasikan dengan setiap proses yang ada di dalam proses bisnis perusahaan. 6. Dilakukan review beserta tindaklanjutnya secara berkala untuk melihat gap yang terjadi antara budaya perusahaan dengan realisasi penerapannya disetiap unit kerja dimanapun perusahaan tersebut beroperasi, serta merumuskan program perubahan budayanya (unit culture plan). 7. Mengingat budaya perusahaan sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan, maka perlu dikembangkan program pelatihan dan pengembangan kepemimpinan bagi setiap pimpinan di setiap tingkatan perusahaan. Program pengembangan kepemimpinan yang dilaksanakan harus seimbang antara aspek “soft competencies” dan “hard competencies”, serta seimbang antara aspek kemampuan strategis, operasional dan kemampuan mengelola aspek – aspek human capital, termasuk didalam menciptakan budaya kerja yang konstruktif. Sangat disadari bahwa membangun budaya perusahaan membutuhkan proses yang panjang. Pembentukan holding BUMN tentu mengalami banyak tantangan. Diantaranya adalah mengenai persoalan budaya beberapa BUMN yang berbeda-beda sehingga membutuhkan sinergi. Dalam hal ini, bila memperhatikan dan menganalisis hasil riset Robert A Cooke and Janet L. Szumal dalam Organizational Culture Inventory (OCI) maka budaya perusahaan di tingkat holding dapat menggunakan gaya konstruktif (constructive style), yaitu budaya yang mampu membentuk perilakuperilaku achievement,self-actualizing,humanistic-encouraging dan affiliative, sebagai Model Ideal Budaya Perusahaan BUMN Holding. Budaya perusahaan di level Holding BUMN perlu dibangun dengan menggunakan gaya konstruktif, demikian juga gaya konstruktif harus dibangun disetiap anap perusahaan BUMN holding tersebut. Walaupun rumusan budayanya (basic belief, value dan artefak) bisa berbeda-beda. Dengan demikian, keseluruhan komponen holding mempunyai budaya perusahaan unggul dengan karakteristik perilaku dan gaya yang konstruktif, yaitu perilaku-perilaku yang berorientasi pada achievement, self-actualizing, humanistic-encouraging dan affiliative. Bagi perusahaan-perusahaan BUMN yang akan melakukan transformasi menjadi perusahaan kelas dunia melalui pembentukan perusahaan holding; aspek budaya perusahaan yang terintegrasi dengan strategi, proses bisnis perusahaan, beserta kapabilitas kepemimpinan menjadi kunci utama untuk mewujudkan transformasi tersebut. Merujuk perusahaan Malaysia, Senheng, yang melakukan transformasi budaya, melalui prinsip senantiasa melakukan perbaikan, buat lebih sederhana, lebih cepat, dan “be confident”. (Tanyen fong, 2011). 230 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENUTUP Simpulan Hasil studi literature menunjukan bahwa budaya perusahaan yang dikelola dengan baik akan menjadi budaya perusahaan yang unggul yang dapat menjadi asset strategis untuk meningkatkan kinerja perusahaan, baik kinerja finansial maupun kinerja non-finansial. Hal ini mengingat budaya yang unggul dapat menjadi asset strategis yang unik dan tidak dapat ditiru oleh para pesaing perusahaan. Agar suatu budaya perusahaan dapat dikategorikan sebagai budaya perusahaan yang unggul, maka rumusan budaya perusahaan tersebut harus mempunyai dimensi yang berorientasi kepada pelanggan, kepada pegawai, menerapkan standar kinerja dan akuntabilitas yang tinggi, berorientasi inovasi dan komitmen terhadap perubahan untuk mencari cara terbaik dan berdaya saing bagi perusahaan, serta berorientasi kepada sistem sesuai proses bisnis perusahaan. Budaya perusahaan unggul juga perlu mengandung rumusan perilaku-perilaku utama yang bersifat “Humanistic-Encouraging”, “Affiliative”, “Achievement”, dan“Self-actualizing”. Dimensi dan perilaku-perilaku utama ini dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tantangan usaha perusahaan ke depan, strategi perusahaan dan persyaratan pihak eksternal yang terkait terutama pelanggan, pemegang saham serta pesaing terdekat perusahaan kita. Setiap perusahaan di Indonesia khususnya perlu untuk mengembangan dan menegakkan budaya perusahaan unggul, berbasis kearifan Indonesia dan keunikan perusahaannya, dalam rangka meningkatkan kemampuan bersaing ditengah tantangan usaha yang semakin kompleks dan semakin cepat perubahannya. Keterbatasan Penelitian Walaupun studi ini sudah dapat menyimpulkan budaya unggul di perusahaan konstruksi, namun karena studi ini memfokuskan pada studi literatur, sehingga diperlukan studi lanjutan terhadap keterkaitan budaya perusahaan unggul terhadap kinerja perusahaan, khususnya perusahaan konstruksi. Saran Perusahaan yang dapat mengenali gaya budayanya makadapat menentukan langkah-langkah strategis yang terarah dalam meningkatkan keunggulannya sehingga dapat memberikan dampak kepada kinerja perusahaan Setiap perusahaan di Indonesia, termasuk perusahaan BUMN, sangat disarankan untuk merumuskan budaya perusahaan unggul yang dapat menjawab tantangan usaha ke depan yang semakin kompleks. Perusahaan kemudian juga perlu mengukur gaya budaya konstruktif, budaya unggul, untuk mengetahui sejauh mana kesiapan perusahaan dari aspek budaya perusahaan dalam menghadapi lingkungan usaha yang semakin kompleks dan lingkungan persaingan usaha yang semakin ketat. Bagi perusahaan-perusahaan BUMN, khususnya, yang dapat mengenali gaya konstruktifnya akan dapat berbenah untuk mewujudkan budaya perusahaan yang unggul. Demikian juga, BUMN yang akan dikembangkan melalui pola holding, perlu secara terintegrasi mengembangan budaya unggul di masing-masing perusahaan yang menjadi anggota holding BUMN. 231 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA A.T. Kearney. (2016). Corporate Culture: The Secret of Company’s Longevity. Jakarta: Corporate Culture Summit. A.t. Kearney. (2016). Creating High Performing Organizations That Last. Jakarta: Corporate Culture Summit. Accenture. (2016). Developing Corporate Culture to Support Corporate Performance. Jakarta: Corporate Culture Summit. Chandler Macleod People Insights. Shaping Organisational Culture for Improved Business Performance. Chandler Macleod Group. Collins, Jim. (2001). Good to Great. New York: HarperCollins Publisher Inc. Cooke, Reobert & J. Clayton Lafferty. (2015). Why Culture & Leadership Matter: Proving the People Performance Connection. Human Synergistics. Cooke, Reobert & J. Clayton Lafferty. (2013). The Leadership Culture Performance Connection Transforming leadership & Culture The State of The Nations. Human Synergistics. Corporate Culture Pros. (2011). Because Yours Culture Matters. Deloitte university Press. (2015). Global Human Capital Trends 2015: Leading in the New World of Work. DUPress. Desai, Jatin. (2013). Innovation Engine: Driving Execution for Breaktrough Results. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Flamholtz, Eric. (2001). Corporate Culture and Bottom Line. European Management Journal. Vol.19, No.3, pp. 268-275. PII: S026-2373(01)00023-8. Fong, Tan Yen. (2011). Senheng Corporate Culture The Engine of Growth. Kuala Lumpur: Kanyin Publications. GE Capital. (2012). Organizational culture: The effect of behavior on performance. General Electric Company. Keller, Scott and Carolyn Aiken. On Performance Culture. McKinsey&Company. Klein, Andrew. (2008). Organizational Culture as a Source of Competitive Advantage. Bangkok: E-Leader. Lagorio, Christine & Chafkin. (2014, June). For a Border-Spanning Culture, celebrate Your Seccesses, large and Small. Inc The Magazine for Growing Companies. Madu, Boniface C. Organizational culture as driver of competitive advantage. Journal of Academic and Business Ethics. McGrath, Rita Gunther. (2013). The End of Competitive Advantage: How to Keep Your Strategy Moving as Fast as Your Business. Boston: Harvard Business School Publishing. Ministry of State-Owned Enterprises. (2016). Ministry of State-Owned Enterprises Restruturing: Creating World-Class SOE Sectoral Holding. Jakarta: Corporate Culture Summit. Motivation and Performance. Problems of Management In The 21st Century. Volume 3, 106. ISSN 2029-6932. Ogbonna, Emmanuel and Lloyd C. Harris. (2000). Leadership style, organizational culture and performance: empirical evidence from UK companies. Int. J. of Human Resource Management 11:4, 766-788. ISSN 0958-5192 print/ISSN 1466-4399. Roges, Paul, Paul Meehan and Scott Tanner. (2006). Building a winning culture. Melbourne: Bain & Company. Sanders, Eric J. & Robert A. Cooke. (2012). Financial Returns From Organizational Culture Improvement: Translating “Soft” Changes into “Hard” Dollars. Human Synergistics International. 232 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Schein, Edgar H. (2009). The Corporate Culture Survival Guide. San Francisco: John Wiley & Sons, Inc. Sumarto and Andi Subroto. (2011). Organizational Culture and Leadership Organizational Performance: Automotive Components Industry In Indonesia. International Journal of Innovation Management and Technology, Vol. 2, No. 5. Sokro, Evans. (2012). Analysis of The Relationship that Exists Between Organisational Culture, Soon, Lim Ghee, Chua Siew Beng, Usa Skulkerewathana, Richard L. Daft. (2015). New Era of Management in a Globalized World; An Asian Perspective. Singapore: CENGAGE Learning. Xenikou, Athena, Maria Simosi. (2006). Organizational culture and transformational leadership as predictors of business unit performance. Journal of Managerial Psychology. Vol. 21 No.6. pp. 566-579. 233 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 BEREBUT KUE PERTUMBUHAN DI LINGKUNGAN YANG KOMPETITIF: ANALISA INDUSTRI BISNIS AIR DALAM KEMASAN (AMDK) COMPETING IN A COMPETITIVE ENVIRONMENT: INDUSTRY ANALYSIS IN WATER BUSINESS Agus Samsudin Universitas Bina Nusantara Email: [email protected] Abstract: Abstract: Organization needs a strategy to ensure its performance and to be able to outperform competitor. Question is how to build the strategy and what kind of tool applied in a high growth and competitive market. Water packed industry in Indonesia since its inception 40 years ago represent both condition, become a very competitive with 2000 brands and 10% market growth annually. However, only a few big player were in a market able to survive and sustain. This paper aim to give an industry analysis of the business with refers to Aqua Company which is the pioneer in industry. Being first and largest in industry the company lead the market with more than 50% share (Mars research, 2016). To achieve the objective secondary data analysis and market observation as well a literature review were done using 5 diamonds strategy. Analysis show that using 5 diamonds we can built a more comprehensive strategy. Aqua play in high end market, focus in Java, Sumatera and Bali by using internal development of building capacity and efficiency. They differentiate themselves by leading the industry in pricing and high image as good product and company. Moving very fast to maintain market leadership while economic logic need to be explore further. In fact that the company is dominating the business for more than a four decades its proved that the business profitable and sustainable. Keywords: strategy, competitive analysis, water industry Abstrak: Organisasi membutuhkan strategi untuk menjamin kinerja dan bisa mengungguli pesaing. Pertanyaannya adalah bagaimana caranya membangun strategi dan alat apa yang digunakanm ketika pasar sangat kompetitif dengan pertumbuhan yang tinggi. Industri air minum dalam kemasan (AMDK) sejak dikembangkan di Indonesia 40 tahun lalu mewakili keadaan tersebut, menjadi sangat kompetitif dengan lebih dari 2000 merek dan pertumbuhan pasar sebesar 10% per tahun (Mars reseearch, 2016). Makalah ini bertujuan untuk menganalisa industri AMDK ini dengan melihat perusahaan Aqua yang menjadi pionir dalam bisnis. Sebagai yang pertama dan terbesar Aqua mendominasi pasar selama beberapa dekade. Menggunakan kerangkan 5 elemen strategi dari Hambrick (2001) kita bisa membangun strategi yang lebih komprehensif. Hasil analisa menunjukkan bahwa Aqua memilih arena pasar atas dan fokus di Jawa, Sumatera dan Bali. Caranya dengan membangun kemampuan internal meningkatkan kapasitas produksi dan efisiensi. Mereka membedakan dirinya dengan bermain di harga dan menjaga image sebagai produsen produk unggulan dan perusahaan yang baik. Bergerak dengan cepat untuk menjaga kepemimpinannya melalui peningkatan kapasitas produksi sedangkan secara ekonomi perlu penelitian lanjutan, akan tetapi dengan dominasi selama bebrapa dekade menunjukkan bahwa bisnis ini menguntungkan dan bekesinambungan. Kata kunci: strategi, analisa kompetitif, industri air 234 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 PENDAHULUAN Studi global PWC di tahun 2009 menegaskan bahwa 1 dari 3 orang akan terpengaruh oleh kelangkaan air bersih dan jika tren seperti saat ini berlanjut maka 47% populasi dunia akan berada di area dengan tingkat kekurangan yang tinggi di tahun 2030. Laporan ini juga menegaskan bahwa kelangkaan air bisa berdampak pada kerusakan fisik, peraturan dan reputasi bisnis yang bisa mengganggu, biaya tinggi dan kemungkinan kehilangan lisensi penggunaan air. Adanya resiko ini membuat kesempatan bagi perusahaan air untuk meningkatkan kemampuannya dalam hal mengingkatkan penngukuran tentang air, efisiensi internal, supplay chain, dan penggunaan produk yang pada gilirannya mengurangi biaya produksi dan meningkatkan keunggulan kompetitif. Industri air minum di Indonesia sejak dimulaiya tahun 1973 telah menjadi industri dengan volume tahun 2016 sebesar .... yang masih akan tetap tumbuh sebesar 10% karena kurangnya fasilitas umum air layak minu di Indonesia. Bagi konsumen sekarang mempunyai kesempatan untuk memilih dengan begitu banyaknya produk berbasis air yang sanga beragam, tercatat sekarang ini ada lebih dari 2000 produk yang beredar di pasaran. Tidak ketinggalan, pemerintah juga berperan besar sebagai regulator, Undang-undang tentang Air sempa menjadi diskusi wacana selama setahun lebih denga dibatalkannya oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya menjadi penting bagi siapapun yang telah dan akan masuk di industri ini untuk bisa menganalisa secara komprehensif apa saja yang harus dilakukan.. Tujuan makalah ini adalah untuk membuat analisa industri air minum dalam kemasan. Untuk mencapai tujuan tersbut maka penulisan akan dimulai dengan konsep strategi dan pentingnya strategi dan bagaimana cara melakukannya. Setelah itu sejarah singkat industri air minum dalam kemasan (AMDK) yang dimulai dari tahun 1973. Analisa industri dilakukan dengan metode 5 elements of strategy yang diperkenalkan oleh Hambrick 2001 yang diikuti dengan kesmpulan dan kemungkinan riset di masa depan. TINJAUAN PUSTAKA Lima elemen strategi Hambrick Wang (2014) dalam tulisannya tentng toeri utama keuggulan kompetitif dari tahun 1960 sampai tahun 2013 menyimpulkan bahwa ada 2 teori besar yang berpengaruh diawalnya yakni Market-Based View (MBV) and the Resource-Based View (RBV). Setelah itu ada beberapa teori pengembangan yang berbasis RBV yaitu The knowledge-based view and capability-based view of strategy. Sementara riset terakhit mengenal relational view of strategy dan transient advantage. Keunggulan kompetitif diperlukan ketika organisasi nenbutuhkan atributes dalam rangka mengungguli kompetitor. Strategi berasal dari kata Yunani strategia yang berarti tentara dalam perang. Secara definisibanyak sekali telah dilakukan oleh para ahli manajemen untuk menyebut beberapa definisi antara lain. Alfred Chandler menulis pada tahun 1962 bahwa: ". Strategi adalah penentuan tujuan jangka panjang dasar perusahaan, dan adopsi kursus tindakan dan alokasi sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan tujuan tersebut". Michael Porter strategi didefinisikan pada tahun 1980 sebagai "... rumus luas untuk bagaimana bisnis akan bersaing, apa tujuannya seharusnya, dan apa kebijakan yang akan dibutuhkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan" dan "... kombinasi dari ujung (tujuan) untuk mana perusahaan berjuang dan sarana (kebijakan) oleh yang berusaha untuk sampai ke sana. Hambrick (2001) memperkenalkan apa yang disebut sebagai 5 elements of strategy dengan menjawab pertanyaan yaitu: 235 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Arenas: Dimana kita akan bermain secara aktif? (where will we be active?) Vehicle: Bagaimana kita akan sampai di sana? (how will we get there?) Differentiators: bagaimana kita akan menang di pasar? (how will we win in the marketplace?) Staging: Seberapa cepat rencana dan bagaimana langkahnya? (what will be our speed and sequence of moves?) Economic logic: bagaimana kita memperoleh pengembalian kami? : how will we obtain our returns? Gambar dibawah ini menjelaskan secara secara singkat penjelasan dari komponen tersebut. Gambar 1. Lima Elemen Strategi (Hambrick, 2001) Industri AMDK di Indonesia: historical Air minum adalah kebutuhan vital manusia. Gagasan untuk memasukkan air minum ke dalam kemasan sebetulnya sudah dilakukan oleh bangsa Yunani kuno dan Romawi, jauh sejak abad permulaan. Dalam sejarah modern, bisnis AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) di Indonesia mulai dikenal sejak dekade awal 1970-an. Perintisnya adalah Tirto Utomo, pendiri Aqua. Sejak mulai dijual dalam bentuk kemasan, bisnis AMDK pun terus tumbuh. Dalam tujuh tahun terakhir perkembangan produksi AMDK di Indonesia memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan. Tak heran, masih banyak saja investor baru yang melirik bisnis ini. Studi yang dilakukan oleh MARS Indonesia mengungkapkan bahwa produksi AMDK di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 9,47 miliar liter, kemudian meningkat menjadi 10,19 miliar liter pada tahun 2009 dan terus meningkat pada tahuntahun berikutnya, hingga menjadi 14,90 miliar liter pada tahun 2014. Selama periode tersebut 236 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 produksi AMDK di Indonesia telah meningkat rata-rata sebesar 7,9% per tahun. Meningkat pesatnya produksi AMDK di Indonesia selama kurun waktu tersebut, selain didorong oleh permintaan di pasar domestik, juga didorong oleh tingginya permintaan dari pasar ekspor. Dilihat dari bentuk kemasannya, produksi AMDK di Tanah Air sampai saat ini masih didominasi oleh kemasan galon, volumenya mencapai 8,54 miliar liter atau 57,3% dari total produksi AMDK nasional yang tercatat sebesar 14,90 miliar liter. Kemasan berikutnya adalah cup plastik yang komposisinya mencapai 20,8% dengan volume produksi sebesar 3,10 miliar liter, diikuti oleh AMDK kemasan botol plastik sedang dengan prosentase 11,3% dan kemasan botol plastik besar yang mencapai 8,2%. Lalu siapakah pemain yang mengadu peruntungan dalam industri air minum ini? Sampai saat ini Danone-Aqua Grup menjadi pemain utama disamping Nestle, Indofood dan Coca-Cola. Gambar 2, menjelaskan secara singkat perkembangan organisasi ASPADIN (Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia). Berdiri sejak tahun 1991 dengan 36 perusahaan dengan volume 6 juta liter. Pasar yang menjanjikan membuat jumlah perusahaan menjadi 200 perusahaan dengan volume 25 juta liter. Pasar terbesar adalah di Jawa dengan 40% nya adalah di Jabodetabek. Oleh karenanya tidak heran jika pertarungan sesungguhnya adalah di Jawa mengingat jumlah konsumennya yang besar. Data dari euromonitor menjelaskan bahwa Danone Aqua PT adalah pemimpin utama air minum kemasan dengan pangsa pasar 48% dari volume penjualan pada tahun 2015. Aqua adalah merek andalannya, sedangkan VIT adalah merek ekstensi dari perusahaan untuk mencapai basis konsumen yang lebih luas dengan lebih rendah untuk para segmen pendapatan. Aqua konsisten memasarkan produk berkualitas tinggi dengan citra yang tinggi dan melalui iklan pemasaran yang inovatif. Ia menawarkan air mineral alami sumber air di seluruh negeri dan mengembalikan dalam jumlah besar dengan membangun tanggung jawab sosial terhadap lingkungan dari mana perusahaan mengambil sumber air. Selama bertahun-tahun Aqua identik air mineral di Indonesia. 237 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Gambar 2: Perkembangan anggota ASPADIN METODE PENELITIAN Metode penelitian kuantitatif dengan menganalisa analisa data-data sekunder dari berbagai sumber HASIL DAN PEMBAHASAN Aplikasi dari Lima Elemen Strategi oleh Hambrick dapat diringkaskan sebagao berikut yaitu, pertama bahwa Aqua bermain di semua segmen dengan fokus utama di Jawa, Bali dan Sumatra. Teknologi utamanya adalah mesin pengolahan dan pengepakan. Kedua, model pengembangan dilakukan secara pengembangan internal dengan membuka pabrik baru dan ekstensi dari merek utamanya yaitu VIT. Ketiga, differentiator adalah air mineral alami pegunungan, kualitas terbagus dan harga yang premium di kelasnya. Keampat, Staging-berkembang dengan cepat, membuka pabrik baru untuk meningkatkan kapasitas dalam waktu cepat. Kelima, economic logic, dengan cara harga produksi teendah dengan keuntungan atas produksinya serta memasang harga tinggi untuk mendapatkan keuntungannya. 238 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 Tabel 1. Analisa 5 elemen strategi Elements Pertanyaan Arena: where will be Which product category? active? Which market segment Which geographic area Which core of technology Which value creation stage Vehicle Internal development? Joint venture Licensing Acquisition Differentiator Image Customization Price Styling Product reliability Staging Speed of expansion Sequence of initiative Economic logic Deskripsi Air Semua segment Jawa, Bali dan Sumatra Pengolahan dan pengepakan Ya Ya Tidak Tidak Air pegunungan alami Tidak Premium Produk pertama Kualitas nomor satu Cepat Membukan pabrik baru, meluncurkan produk baru Lowest cost through scales Tidak advantage Lowest cost through scope Ya and replication advantages Premium price due to Ya unmatchable service Premium prices due to proprietary product feature PENUTUP Simpulan Sejak berdirinya Aqua sampai sekarang telah terbukti bahwa perusaahaan ini memulai dan memimpin pasar sejak tahun 1973. Strategi yang diterapkan dapat dianalisa dengan menggunakan lima elemen strategi dari Hambrick bisa mempertajam strategi yang dibangun. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini hanya bersifat “snapshot” yaitu dengan memotret dengan satu data, akan lebih baik jika dilakukan dalm kurun waktu tertentu sehingga bisa menjelaskan perubahan strategi dalam merespon pasar AMDK. 239 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA The true value of water Best practices for managing water risks and opportunities, Practices®. (2009). Focus Paper. A PwC Global Best. Hambrick, D. C. & Fredrickson, J. W. (2001). Are you sure you have a strategy? Academy of Management Executive. Vol. 19, No. 4. Wang, H. (2014). Theories for competitive advantage. In H. Hasan (Eds.), Being Practical with Theory: A Window into Business Research. Harvard business review • november–december 1996, HBR’s Must-Reads on Strategy (pp. 33-43). Wollongong: Australia. Michael, E Porter (1998), Competitive Advantage: creating sustaining and superiot performance; with a new introduction. Originally published: new York; Free press; Collier Macmillan c1985. 240 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 INERSIA BUDAYA ORGANISASI DAN PENGUASAAN TEKNOLOGI INFORMASI MEMPENGARUHI BUSINESS AGILITY? Arya Permadi1 dan Sri Bramantoro Abdinagoro2 Universitas Bina Nusantara E-mail: [email protected] & [email protected] Abstract: The world is facing turbulence and increased uncertainty as a result of the acceleration of change in information technology, to overcome this required business agility. Changes that occur felt and perceived differently by a whole group of (people) who are in a business, how well the group (people) are making adjustments to the organizational culture that is dominant today is important. The inertia of organizational culture provide differential preference on cultural change, namely the extent to which the existing individual identified those changes to the culture of the group, the feeling of individual self-esteem of the group's culture, and the perception that the culture is already (or not) changed. Besides mastery of information technology can be a factor changes while enabling business agility enabled or not happening, as well as a means for achieving agility. So to improve the business agility of an organization, the inertia of organizational culture on changes and mastery of information technology we need to manage it well. So expect the company can hit inertia against change organizational culture that exists and will continue to improve the mastery of technologies to improve their business agility. The primary objective of this study is to develop a conceptual framework of research on strategic management discipline to develop business agility. This paper specifically to bridge this gap the business ability to respond and adapt to changing. Keywords: Business Agility, Organisation Culture Inertia, Information Technology mastery Abstrak: Dunia sedang menghadapi turbulensi dan meningkatnya ketidakpastian sebagai akibat dari percepatan perubahan teknologi informasi, untuk mengatasi ini dibutuhkan business agility. Perubahan yang terjadi dirasakan dan dipersepsikan berbeda oleh seluruh kelompok (individu) yang ada dalam suatu bisnis, seberapa baik kelompok (individu) tersebut melakukan penyesuaian dengan budaya organisasi yang dominan saat ini menjadi penting. Inersia budaya organisasi memberikan preferensi diferensial terhadap perubahan budaya yaitu sampai sejauh mana individu yang ada mengidentifikasikan perubahan itu terhadap budaya kelompok, perasaan individu akan harga diri dari budaya kelompok, dan persepsi bahwa budaya adalah sudah (atau tidak) berubah. Selain itu penguasaan akan teknologi informasi dapat menjadi faktor perubahan sekaligus memungkinkan atau tidak memungkinkannya business agility terjadi, serta menjadi sarana untuk mencapai agility. Jadi untuk meningkatkan business agility dari suatu organisasi maka inersia budaya organisasi terhadap perubahan yang terjadi dan penguasaan akan teknologi informasi perlu kita kelola dengan baik. Sehingga diharapkan perusahaan dapat menekan inersia budaya organisasi terhadap perubahan yang ada dan terus meningkatkan penguasaan akan teknologi untuk meningkatkan business agility mereka. Tujuan utama dari studi konseptual ini adalah untuk mengembangkan kerangka penelitian tentang disiplin manajemen strategis untuk mengembangkan business agility. Tulisan ini khusus untuk menjembatani kesenjangan ini kemampuan bisnis untuk merespon dan adaptasi terhadap perubahan. Kata kunci: Business agility, Inersia budaya organisasi, Penguasaan teknologi informasi 241 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 PENDAHULUAN Pada awal abad kedua puluh satu, dunia menghadapi perubahan besar dalam persaingan pasar, inovasi teknologi dan permintaan pelanggan. Pasar di mana produsen dan perusahaan jasa bersaing semakin dipengaruhi oleh persaingan asing intens, perubahan teknologi yang cepat, lebih pendek produk siklus hidup dan pelanggan semakin tidak bersedia untuk item atau jasa yang diproduksi secara massal dengan nilai terbatas. Ini menimbulkan tekanan kompetitif di seluruh dunia, salah satu persyaratan penting untuk kelangsungan hidup perusahaan adalah kemampuannya terus menerus untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pelanggann (pasar) (Supnick, 1984;Tseng & Lin, 2011). Dalam lingkungan yang bergolak seperti ini, kemampuan perusahaan untuk merasakan perubahan lingkungan dan menanggapi mudah, merupakan faktor penentu penting keberhasilan perusahaan (Overby, Bharadwaj, & Sambamurthy, 2005). Pertumbuhan teknologi telah menyebabkan persaingan yang ketat dan tingkat percepatan perubahan yang inovatif di pasar. Muncul fragmentasi pasar dari massal menuju ke ceruk pasar, dan pelanggan berubah menjadi lebih menuntut dengan meningkatnya harapan mereka. Situasi kritis ini telah menyebabkan revisi utama dalam prioritas bisnis, visi strategis dan kelangsungan hidup model dan metode konvensional dan relatif kontemporer. Manajemen strategis mendeteksi munculnya ancaman lingkungan dan kesempatan, melakukan prediksi terhadap dampak mereka di masa depan, dan melakukan pengembangan terhadap bagaimana organisasi memberikan tanggapan. Idealnya, masa depan dapat diprediksi dengan cukup baik melalui rencana kerja yang telah dipersiapkan sebelumnya. Karena lingkungan sangat tidak menentu dan bergerak cepat dengan banyak potensi ancaman dan peluang, organisasi sering menemukan kesulitan untuk bereaksi menggunakan pendekatan manajemen strategis konvensional (Margolis, Goode, & Bernier, 2003). Untuk itu kami melakukan suatu tinjauan literatur manajemen strategis, yang berkaitan dengan membangun konsep Business Agility. Sebuah analisis komprehensif terhadap kecenderungan lingkungan dan kemungkinan mengidentifikasi isu-isu strategis tambahan. Dengan demikian analisis terhadap isu-isu strategis (analisis dampak dan respon terhadap perkembangan signifikan) ditambahkan ke analisis strategi (penentuan menyodorkan untuk pengembangan masa depan perusahaan) (Ansoff, 1980). Istilah agile manufacture mendapat pengakuan luas sejak publikasi laporan Iaccoca Institute "21st Century Manufacturing Enterprise Strategy". Dan agility baru-baru ini menarik perhatian dalam studi sistem pengembangan sistem dan manajemen teknologi informasi (IT), ada pengakuan yang terbatas dalam disiplin ilmu sistem informasi terhadap pentingnya dampak agility yang telah dimiliki oleh organisasi pada umumnya (Overby et al., 2005). Walaupun business agility adalah paradigma yang relatif baru sebagai solusi untuk menjaga keunggulan kompetitif selama masa ketidakpastian dan turbulensi dalam lingkungan bisnis (Sharifi & Zang, 2001). Namun, menjadi agile dengan mampu merasakan dan merespon peristiwa yang terjadi baik itu sudah diprediksi sebelumnya maupun yang tak terduga memberikan harapan tersendiri. Agility dibutuhkan ketika perubahan yang diperlukan tidak dibayangkan ketika proses organisasi dan sistem dibentuk pada awalnya (van Oosterhout, Waarts, & van Hillegersberg, 2006). Dalam kasus lain, perubahan bisa timbul lebih tak terduga dan membutuhkan respon yang tidak mungkin telah ditentukan. Dalam kasus tersebut, tidak dapat dengan mudah melakukan rekayasa sebagai bentuk respon ke dalam proses organisasi dan sistem. Mampu bertindak cepat baik pada tingkat strategis dan operasional untuk perubahan tak terduga tersebut memerlukan tingkat baru dari sekedar fleksibilitas, yang kita sebut sebagai agilty (Overby et al., 2006). Dalam konsep agilty terdapat pikiran yang agile yang didefinisikan sebagai suatu cara berpikir 242 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 yang memiliki karakter cepat, bersumber daya (resourceful), dan mudah beradaptasi. Jadi, organisasi yang agile itu sanggup merespon dengan cepat, mereka memiliki sumber daya (resourceful), dan mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan mereka (Mathiassen & Pries-Heje, 2006). Cepat adalah tentang kecepatan dengan mana organisasi dapat merespon permintaan pelanggan, dinamika pasar, dan muncul pilihan teknologi. Sumber daya adalah tentang kemampuan yang tersedia dalam organisasi termasuk orang, teknologi, proses, dan pengetahuan. Sumber daya dapat menjadi berwujud dan tidak berwujud dan mereka memberikan dasar untuk melakukan bisnis dan untuk memberikan dorongan perubahan. Beradaptasi adalah tentang seberapa baik organisasi merespon tuntutan perubahan, ancaman, atau peluang. Ini membutuhkan kemampuan untuk belajar serta proses yang fleksibel dan produk yang dapat ulang tanpa biaya tambahan ekstensif. Pada saat perusahaan sedang berjuang untuk berhasil dalam dunia yang tengah mengalami globalisasi, selera konsumen berubah-ubah dan tumbuh ketidakpastian, ada suatu bentuk pengakuan yang luas dari para pimpinan perusahaan bahwa teknologi informasi (TI) adalah kunci utama dalam kemampuan perusahaan untuk mendeteksi dan menanggapi perubahan pasar (Luftman & McLean, 2004). Hal ini juga didukung dengan (V. Sambamurthy, 2003) yang mana dalam model penelitiannya menemukan bahwa investasi dalam informasi teknologi dan kemampuan IT memungkinkan perusahaan untuk mengembangkan pilihan digital dan kelincahan. Juga telah teridentifikasi potensi TI mempengaruhi kinerja perusahaan melalui kemampuan TI atau sumber daya spesifik perusahaan yang menciptakan pilihan untuk menanggapi perubahan. Hasil penelitian empiris yang dilakukan (Lu & Ramamurthy, 2011) memperoleh hasil bahwa kemampuan TI sangat penting untuk mencapai agility. Sementara jumlah belanja lebih besar di TI tidak menyebabkan kelincahan yang lebih besar, menghabiskan dana dengan sedemikian banyaknya bukan merupakan cara untuk meningkatkan dan menumbuhkan kemampuan TI. Disamping itu perusahaan perlu untuk terus memelihara dan mengembangkan kemampuan sumber daya IT mereka untuk membangun organisasi yang agile. Resource-based theory menyatakan bahwa adanya keaneka ragaman sumber daya organisasi dalam satu industri. Dan sumber daya yang dimiliki organisasi tidak dapat dimiliki oleh organisasi lainnya, sehingga keberbedaan sumber daya dapat bertahan lama. Dua asumsi ini digunakan oleh resource-based theory dalam menganalisa dan menciptakan sumber keunggulan bersaing berkelanjutan (Barney, 1991). Untuk itu sumber daya yang mampu menghasilkan keunggulan bersaing berkelanjutan yaitu sumber daya yang bernilai (value), langka (rare), tidak dapat ditiru (imperfectly imitable), dan tidak ada substitusinya (substitutability). Budaya organisasi biasanya didefinisikan sebagai satu set kompleks nilai, keyakinan, asumsi, dan simbol-simbol yang menentukan cara di mana sebuah organisasi melakukan usahanya. Dalam hal ini, budaya memiliki efek luas pada organisasi karena budaya organisasi tidak hanya mendefinisikan siapa karyawan yang relevan, pelanggan, pemasok, dan pesaing, tetapi juga mendefinisikan bagaimana suatu organisasi akan berinteraksi dengan aktor kunci-nya (Barney, 1986). Budaya untuk organisasi ibaratnya adalah suatu bentuk kepribadian dari individu. Seperti budaya manusia pada umumnya, bahwa itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan itu mengalami perubahan secara perlahan (Carrillo & Gromb, 2002). Selain itu beliau juga menyatakan banyak terjadi kasus inersia budaya, yaitu, kasus di mana sebuah organisasi gagal untuk beradaptasi budaya ke yang baru karena terjadinya perubahan lingkungan. Fenomena inersia budaya muncul secara alami ketika kita mempertimbangkan perubahan lingkungan dalam organisasi kita. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pada literatur manajemen strategis dengan mengusulkan definisi konseptual akan pengaruh inersia budaya organisasi terhadap perubahan yang terjadi dan penguasaan akan teknologi informasi terhadap business agility. Sehingga diharapkan organisasi dapat menekan inersia budaya organisasi terhadap perubahan yang ada dan 243 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 terus meningkatkan penguasaan akan teknologi untuk meningkatkan business agility mereka. Penelitian ini dilakuak dengan membahas dalam literatur manajemen strategis untuk pengembangan definisi konseptual secara utuh sebelum peneliti masuk kedalam penelitian dengan analisis statistik empiris. TINJAUAN PUSTAKA Dalam penelitian ini kami menggunakan teori bersaing berbasiskan sumber daya dari Barney, organisasi dapat dinyatakan memiliki keunggulan bersaing bila dalam mengimplemetasikan strategi yang dilakukannya tidak dapat secara simultan dilakukan juga oleh pesaingnya. Sedangkan organisasi dinyatakan memiliki keunggulan bersaing berkelanjutan bila implementasi strategi yang dilakukannya tidak dapat secara simultan dilakukan juga oleh pesaingnya dan juga para pesaingnya tidak mampu melakukan duplikasi terhadap keuntungan yang sama dari pelaksanaan strategi tersebut. (J. Barney, 1991). Keunggulan bersaing berkelanjutan tidak akan bisa dicapai organisasi bila sumber daya bisa ditiru dan dimiliki oleh organisasi lainnya dalam satu industri. Pada saat ini menyatakan bahwa adanya keaneka ragaman sumber daya organisasi dalam satu industri. Dan sumber daya yang dimiliki organisasi tidak dapat dimiliki oleh organisasi lainnya, sehingga keberbedaan sumber daya dapat bertahan lama. Dua asumsi ini digunakan oleh resourcebased theory dalam menganalisa dan menciptakan sumber keunggulan bersaing berkelanjutan (Barney, 1991). Untuk itu sumber daya yang mampu menghasilkan keunggulan bersaing berkelanjutan yaitu sumber daya yang bernilai (value), langka (rare), tidak dapat ditiru (imperfectly imitable), dan tidak ada substitusinya (substitutability). Business Agility Konsep Agility dimulai pada awal tahun sembilan puluhan di bidang manufaktur di Amerika Serikat pertama kali diperkenalkan dengan penerbitan laporan berjudul 21st Century Manufacturing Enterprise Strategy (van Oosterhout, Waarts, van Heck, & van Hillegersberg, 2007) dan konsensus mengenai definisi agility belum disepakati (van Oosterhout et al., 2006). Agility mengacu pada kemampuan perusahaan dalam hal melakukan beradaptasi dan mengakomodasi perubahan yang cepat, tidak direncanakan dan tiba-tiba dalam menghadapi perubahan peluang pasar dan tekanan, sehingga, dalam pengertian ini menjadi fleksibilitas yang lebih komprehensif. (Supnick, 1984). (van Oosterhout et al., 2007) Menyebutkan bahwa agility adalah cara untuk mengatasi perubahan eksternal dan internal yang sangat tidak pasti. Dimana ada tiga jenis ketidakpastian: ketidakpastian negara, efek dari ketidakpastian, dan ketidakpastian respon. Konsep ''agility'' diciptakan pertama kali di Iacocca Institute, dari Leigh University (USA) didefinisikan sebagai: Sebuah sistem manufaktur dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang berubah dengan cepat dari pasar. Sebagai sebuah sistem yang menggeser cepat di antara model produk atau antara lini produk, strategis di respon real-time untuk permintaan pelanggan (Yusuf, Sarhadi, & Gunasekaran, 1999). Mereka juga mengusulkan bahwa kelincahan adalah bentuk keberhasilan eksplorasi dasar kompetitif: kecepatan, fleksibilitas, inovasi proaktif, kualitas dan profitabilitas yang terintegrasi dengan sumber daya dan praktik terbaik dalam lingkungan yang kaya pengetahuan untuk menyediakan produk dan layanan pelanggan didorong dalam cepat perubahan lingkungan pasar. Agility diperlukan bila organisasi dihadapkan dengan perubahan yang dibutuhkan tidak pernah terbayangkan ketika proses organisasi dan sistem dibentuk (van Oosterhout et al., 2006). Dalam kasus lain, perubahan dapat terjadi dalam lebih tak terduga dan ini memerlukan tanggapan yang tidak mungkin telah disiapkan sebelumnya. Dalam kasus tersebut, fleksibilitas tidak dapat dengan mudah direkayasa ke dalam proses organisasi dan sistem. kemampuan organisasi untuk bertindak secara 244 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 cepat baik pada tataran strategis dan operasional terhadap perubahan tak terduga yang menuntut tingkatan baru fleksibilitas, yang mereka sebut sebagai agility (Overby et al., 2006). Konsep agility lebih memerhatikan pada economies of scope, bukan skala ekonomi (Dove, 2001). Yang mana artinya sementara lean operation biasanya berhubungan dengan penggunaan sumber daya yang efisien, operasi agile itu terkait untuk secara efektif merespon lingkungan yang berubah sementara pada saat yang sama juga tetap produktif. Idenya adalah untuk melayani ceruk pasar yang lebih kecil dan pelanggan individu tanpa biaya yang tinggi dikaitkan dengan kustomisasi. Jadi sebuah organisasi agile maka tidak hanya harus mampu berhasil mengimplementasikan perubahan; mereka gesit dan mampu merespon dengan cepat untuk kedua peristiwa yang diharapkan dan tak terduga di lingkungan mereka. Di pasar yang selalu berubah, bisnis harus mampu membuat perubahan yang cepat untuk beradaptasi dengan kebutuhan klien dan mengatasi penawaran yang diberikan oleh pesaing. Maka dari itu suatu organisasi harus mampu menguasai kedua hal yaitu perencanaan untuk perubahan yang tak terduga dan memiliki bisnis proses yang memungkinkan untuk perubahan. Bagaimana bisnis dapat berhasil menangani perubahan lingkungan yang tak terduga, dinamis dan terus berubah telah menjadi topik panas di industri dan akademisi selama beberapa dekade terakhir. Banyak solusi yang berbeda telah diusulkan, kita fokus pada business agility. Perubahan dapat terjadi lebih tak terduga dan ini memerlukan tanggapan yang tidak mungkin telah disiapkan sebelumnya. Dalam kasus tersebut, fleksibilitas tidak mungkin dapat dengan mudah direkayasa ke dalam proses organisasi dan sistem. Suatu Bisnis untuk dapat bertindak cepat baik di tingkat strategis dan operasional terhadap perubahan tak terduga yang menuntut tingkatan baru fleksibilitas, yang kita sebut sebagai agility (Overby et al., 2005). Jadi konsep bisnis berayun dari fleksibilitas menuju agility. Mengapa? karena telah menjadi sulit untuk bisa tetap bertahan dan berhasil dalam lingkungan bisnis yang ada pada saat ini jika tetap pada pola bisnis yang lama. Bisnis saat ini dituntut menjadi agile dan yang harus mampu merasakan dan merespon peristiwa baik itu yang diprediksi maupun tak terduga. Dengan demikian bisnis tersebut lebih memberikan janji yang jauh lebih baik daripada yang lain yang tidak melakukannya. Business agility adalah paradigma relatif baru sebagai solusi untuk menjaga keunggulan kompetitif selama masa ketidakpastian dan turbulensi dalam lingkungan bisnis. Karakteristik dari business agility harus memiliki agile mind yang artinya memiliki kecepatan, pikiran, dan mereka mampu beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan mereka. Kecepatan adalah tentang kecepatan dengan mana organisasi dapat menanggapi permintaan pelanggan, dinamika perubahan di pasar, dan munculnya pilihan teknologi baru. Akal adalah tentang kemampuan yang tersedia dalam organisasi termasuk orang, teknologi, proses, dan pengetahuan. Sementara adaptasi adalah tentang seberapa baik organisasi untuk merespon tuntutan perubahan, ancaman atau peluang (Mathiassen & Pries-Heje, 2006). Kami mendefinisikan konsep business agility adalah "kemampuan untuk merasakan perubahan eksternal dan internal yang tidak pasti dan menanggapi secara reaktif, berdasarkan inovasi proses operasional internal yang melibatkan pelanggan dalam eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan agile mind sebagai memiliki kecepatan, berbagai sumber daya, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan." Kecepatan (quickness) adalah tentang kecepatan (speed) dengan mana organisasi dapat merespon permintaan pelanggan, dinamika pasar, dan muncul pilihan teknologi. Ini termasuk waktu untuk merasakan peristiwa yang relevan, waktu yang dibutuhkan untuk menafsirkan apa yang terjadi dan menilai konsekuensi bagi organisasi, waktu untuk mengeksplorasi pilihan dan memutuskan di mana tindakan untuk mengambil, dan waktu untuk melaksanakan tanggapan yang sesuai (Mathiassen & Pries-Heje, 2006). Sumber daya (resourceful) adalah tentang kemampuan yang tersedia dalam 245 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 organisasi termasuk orang, teknologi, proses, dan pengetahuan. Sumber daya dapat berwujud dan tidak berwujud dan mereka memberikan dasar untuk melakukan bisnis (Mathiassen & Pries-Heje, 2006). Kemampuan beradaptasi (adaptability) adalah tentang seberapa baik organisasi merespon tuntutan perubahan, ancaman, atau peluang. Ini membutuhkan kemampuan untuk belajar serta proses yang fleksibel dan produk yang dapat ulang tanpa biaya tambahan ekstensif (Mathiassen & PriesHeje, 2006). Inersia Budaya Organisasi Budaya tidak hanya berwujud dan ilusif, tetapi juga dapat diamati pada berbagai tingkat dalam sebuah organisasi. Tetapi budaya tercermin dalam nilai-nilai, norma, dan praktik. Pada tingkat terdalam, budaya organisasi terdiri dari nilai-nilai yang tertanam, preferensi tacit tentang apa organisasi harus berusaha untuk mencapai dan bagaimana harus melakukannya. Nilai seringkali sulit untuk mengartikulasikan dan bahkan lebih sulit untuk berubah. dampaknya terhadap penciptaan pengetahuan dan penggunaan, namun, yang diwujudkan dalam perilaku, tidak boleh diremehkan (De Long & Fahey, 2000). Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa budaya organisasi biasanya didefinisikan sebagai satu set kompleks nilai, keyakinan, asumsi, dan simbol-simbol yang menentukan cara di mana sebuah perusahaan melakukan usahanya. Budaya organisasi ini memandu setiap tindakan dari para anggota organisasinya (Dong Wang et al., 2011). Dimana Budaya organisasi ini juga dapat menjadi sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan dari suatu organisasi asalkan bernilai (value), langka (rare), tidak dapat ditiru (imperfectly imitable), dan tidak ada substitusinya (substitutability) (Barney, 1991). Seperti yang sudah disebutakan sebelumnya bahwa budaya organisasi dapat adalah se-set nilai, keyakinan, asumsi, dan simbol-simbol yang menentukan cara di mana sebuah organisasi melakukan usahanya (Barney, 1986). Untuk itu setiap organisasi umumnya mengembangkan budaya tertentu yang dapat mempengaruhi kinerja mereka. Keberhasilan dan kegagalan bisnis seringkali juga dikaitkan dengan budaya organisasi tersebut. Karena itu manajemen puncak semakin menyadari pentingnya budaya perusahaan dan berusaha secara aktif untuk mendefinisikan identitas budaya, melindunginya, dan mendalangi perubahan budaya organisasinya (Carrillo & Gromb, 2002). Karena budaya organisasi merupakan pendorong penting di balik semua gerakan dalam organisasi (Barney, 1986) Ketika hal ini dilakukan secara efektif, maka akan terjadi perubahan evolusioner dalam organisasi dan ini adalah bagian penting dari kesuksesan secara jangka pendek. Tetapi keberbasilan ini juga memiliki sisi gelap, Karena salah dampaknya adalah mengakibatkan perusahaan menjadi lebih besar dan sejalan dengan waktu akan menjadi lebih tua. Hal ini akan mengembangkan apa yang disebut dengan inersia budaya dalam organisasi (Tushman & O’Reilly, 1996). Semakin sukses suatu organisasi, semakin diinstitusikan atau mendarah dagingnya norma-norma, nilai-nilai, dan pelajaran yang diperoleh maka semakin besar inersia budaya organisasinya yang ditunjukan dengan yang makin besarnya kepuasan organisasi dan tingginya arogansi. Inersia budaya organisasi didefinisikan sebagai bentuk keinginan untuk menghindari perubahan budaya, atau perubahan lintasan budaya. Inersia budaya ini menunjukkan bahwa ada sekelompok individu menolak perubahan karena tekanan yang dirasakan dari kekuatan luar (Zárate, Shaw, Marquez, & Biagas, 2012). Kecenderungan ini pada umumnya muncul di organisasi yang budayanya seragam dan umur organisasinya sudah tua sehingga rentan terhadap inersia budaya, yaitu, mereka enggan untuk mengadopsi budaya yang berbeda dalam menanggapi perubahan lingkungan (Carrillo & Gromb, 2002). 246 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Jika hal ini terjadi dalam lingkungan yang relatif stabil, maka budaya organisasi yang sudah terbentuk melalui keberhasilan dan usia organisasi dapat menjadi komponen dari keberhasilan. Karena udaya organisasi adalah cara yang efektif untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan orang tanpa sistem kontrol resmi rumit dan kaku. Namun ketika dihadapkan dengan perubahan putusputus, maka budaya yang dipupuk atau dibentuk melalui kisah sukses dengan cepat dapat menjadi hambatan yang signifikan untuk perubahan (Tushman & O’Reilly, 1996). Untuk perlu memperbaiki budaya organisasi yang sudah ada, hal ini yang paling penting dan yang paling sulit sebagai bagian dari transformasi organisasi (Tushman & O’Reilly, 1996). Inersia budaya organisasi adalah suatu fenomena yang seringkali terjadi dengan sendirinya, karena begitu singkat dan sulit untuk basmi secara langsung. Maka hal itu seringkali digunakan oleh para manajer sebagai alasan utama yang seringkali gagal memperkenalkan perubahan-bahkan revolusioner ketika mereka tahu bahwa itu diperlukan. Untuk itu kami mendifinisikan inersia budaya organisasi adalah kecenderungan dari suatu organisasi untuk berpegang teguh pada budaya yang telah hidup lebih lama dalam organisasi sebagai hasil bentukan dari akumulasi kisah sukses yang pernah dicapai. Kebalikan dari inersia budaya adalah cultural agility organisasi yaitu budaya organisasi yang mengacu pada kemampuan tenaga kerja untuk beroperasi secara efektif dan berhasil dalam lingkungan lintas budaya yang penuh dengan persaingan (Mukerjee, 2014). Penguasaan Teknologi Informasi Tampak secara jelas bahwa teknologi informasi organisasi memainkan peran penting dalam membentuk business agility. Kemampuan untuk dengan cepat mengubah jenis dan aliran informasi dalam sebuah organisasi harus mendasari reorganisasi dengan cepat dan anggun (Baskerville, Mathiassen, & Pries-Heje, 2005). Memperluas mengenai gagasan tradisional akan kemampuan organisasi untuk fungsi TI perusahaan, dimana kemampuan TI suatu perusahaan didefinisikan di sini sebagai kemampuan untuk memobilisasi dan menyebarkan sumber berbasis TI dalam kombinasi dengan sumber daya dan kemampuan lainnya (Bharadwaj, 2000). Dimana juga diuraikan sumber daya berbasis TI diklasifikasikan dalam urutan sebagai berikut: (1) sumber daya nyata yang terdiri dari komponen-komponen infrastruktur TI fisik, (2) sumber daya manusia TI yang terdiri dari keterampilan teknis dan manajerial TI, dan (3) sumber daya tidak berwujud TI-enabled seperti sebagai aset pengetahuan, orientasi pelanggan, dan sinergi. Secara umum perusahaan dikatakan memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bila menerapkan strategi tidak secara bersamaan dilaksanakan oleh banyak perusahaan yang bersaing dan di mana perusahaan-perusahaan lainnya menghadapi kerugian yang signifikan dalam memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan strategi ini. Sebuah perusahaan memiliki keunggulan kompetitif sementara ketika sedang melaksanakan strategi yang berharga saat dikejar oleh beberapa perusahaan yang bersaing, tetapi di mana perusahaan-perusahaan yang bersaing tidak menghadapi kerugian yang signifikan dalam memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan strategi ini. Sebuah perusahaan mengalami paritas kompetitif ketika menerapkan strategi yang berharga yang bersamaan dilaksanakan oleh beberapa perusahaan yang bersaing. Sebuah perusahaan adalah pada kerugian kompetitif ketika menerapkan strategi yang tidak berharga (Mata, Fuerst, & Barney, 1995). Pada saat perusahaan sedang berjuang untuk berhasil dalam dunia yang tengah mengalami globalisasi, selera konsumen berubah-ubah dan tumbuh ketidakpastian, ada suatu bentuk pengakuan yang luas dari para pimpinan perusahaan bahwa teknologi informasi (TI) adalah kunci utama dalam kemampuan perusahaan untuk mendeteksi dan menanggapi perubahan pasar (Luftman & McLean, 2004). Hal ini juga didukung dengan (V. Sambamurthy, 2003) yang mana dalam model penelitiannya 247 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 menemukan bahwa investasi dalam informasi teknologi dan kemampuan IT memungkinkan perusahaan untuk mengembangkan pilihan digital dan kelincahan. Juga telah teridentifikasi potensi TI mempengaruhi kinerja perusahaan melalui kemampuan TI atau sumber daya spesifik perusahaan yang menciptakan pilihan untuk menanggapi perubahan. Hasil penelitian empiris yang dilakukan (Lu & Ramamurthy, 2011) memperoleh hasil bahwa kemampuan TI sangat penting untuk mencapai agility. Sementara jumlah belanja lebih besar di TI tidak menyebabkan kelincahan yang lebih besar, menghabiskan dana dengan sedemikian banyaknya bukan merupakan cara untuk meningkatkan dan menumbuhkan kemampuan TI. Disamping itu perusahaan perlu untuk terus memelihara dan mengembangkan kemampuan sumber daya IT mereka untuk membangun organisasi yang agile. Sejalan dengan apa yang telah diteliti oleh (Mata et al., 1995) bahwa suatu sumber daya TI yang baik itu adalah sumber daya TI yang bernilai (value), langka (rare), tidak dapat ditiru (imperfectly imitable), dan tidak ada substitusinya (substitutability) dan diperkuat oleh temuan (Lu & Ramamurthy, 2011) bahwa investasi di peralatan tidak secara signifikan meningkatkan business agility. Maka pada sumber daya TI yang perlu mendapat perhatian lebih adalah sumber daya manusia TI dan sumber daya tidak berwujud TI-enabled. METODE PENELITIAN Metode penelitian studi konseptual yang kami lakukan ini merupakan bagian dari penelitan kami terhadap aplikasi teori bersaing berdasarkan sumber daya pada konsep business agility. Pada tulisan studi konseptual ini kami ingin menguraikan definisi dan menunjukan hubungan antara inersia budaya organisasi, penguasaan teknologi informasi dan business agility. Serta melakuakn studi konseptual terhadap pengaruh yang mungkin timbul antara inersia budaya organisasi dan penguasaan teknologi informasi dengan konsep business agility. PENUTUP Simpulan Setelah memberikan ringkasan dari tinjauan literatur, kami ingin menambahkan beberapa pertimbangan singkat dari berbagai aspek yang telah dianalisis. manajemen strategis melibatkan mendeteksi ancaman yang muncul dan peluang dalam lingkungan, prediksi dampak tentang masa depan mereka, dan pengembangan respons organisasi. Idealnya, masa depan dapat diprediksi dengan keyakinan yang cukup untuk membenarkan komitmen untuk apa saja yang diperlukan oleh rencana aksi yang dihasilkan. Karena lingkungan sangat tidak menentu dan bergerak cepat dengan banyak potensi ancaman dan peluang, organisasi sering merasa sulit untuk bereaksi menggunakan pendekatan manajemen strategis konvensional. Agility mengharuskan perusahaan untuk dapat merespon perubahan tak terduga di pasar atau persyaratan pelanggan. Hal ini membutuhkan kemampuan lebih dari sekedar fleksibilitas, di mana tanggapan yang dibuat untuk perubahan yang dikenal dengan prosedur yang telah ditentukan. Agility adalah konteks yang spesifik di mana kemampuan tergantung pada situasi 248 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 kompetitif sehingga tidak ada model standar dapat digunakan untuk semua perusahaan untuk mengikuti. Kami mendefinisikan konsep business agilty yaitu "kemampuan untuk merasakan perubahan eksternal dan internal yang tidak pasti dan menanggapi secara reaktif, berdasarkan inovasi proses operasional internal yang melibatkan pelanggan dalam eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan agile mind sebagai memiliki kecepatan, berbagai sumber daya, dan mampu beradaptasi dengan lingkungan." Jelas penelitian empiris amat diperlukan untuk mendukung model awal ini, pengukuran business agility belum dilaporkan dalam literatur, sehingga konstruksi ini juga perlu pengembangan. Demikian pula dengan konsep inersia budaya organisasi yang kompleks dan multidimensi, dan konteks-spesifik. Studi empiris perlu dilakukan untuk mengukur variable tersebut dengan perhatian yang diberikan kepada sifat seperti multidimensi, kehandalan, dan validitas. Penguasaan teknologi informasi juga perlu dilakukan pengukuran sampai sejauh mana kedua variable ini mempengaruhi business agility. DAFTAR PUSTAKA Ansoff, H. I. (1980). Strategic Issue Management, 1(December 1979), 131–148. Barney, J. (1986). Organizational Culture: Can It Be a Source of Sustained Competitive Advantage? Academy of Management Review, 11(3), 656–665. Barney, J. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management, 17(1), 99–120. Baskerville, R., Mathiassen, L., & Pries-Heje, J. (2005). Agility in fours: IT diffusion, IT infrastructures, IT development, and business. Business Agility and Information Technology Diffusion, 53(1), 3–10. Bharadwaj, A. (2000). A resource-based perspective on information technology capability and firm performance: an empirical investigation. MIS Quarterly, 24(1), 169–196. Carrillo, J. D., & Gromb, D. (2002). Cultural Inertia and Uniformity in Organizations, 1–30. De Long, D. W., & Fahey, L. (2000). Diagnosing cultural barriers to knowledge management. Academy of Management Perspectives, 14(4), 113–127. Dong Wang, Zhongfeng Su, Dongtao Yang, Wang, D., Su, Z., Yang, D., … Dongtao Yang. (2011). Organizational culture and knowledge creation capability. Journal of Knowledge Management, 15(3), 363–373. Lu, Y., & Ramamurthy, K. R. (2011). U NDERSTANDING THE L INK B ETWEEN I NFORMATION T ECHNOLOGY C APABILITY AND O RGANIZATIONAL A GILITYβ―: A N E MPIRICAL E XAMINATION 1, 35(4), 931–954. Luftman, J., & McLean, E. R. (2004). Key issues for IT executives. MIS Quarterly Executive, 3(2), 89–104. Margolis, J., Goode, J., & Bernier, D. (2003). The need for strategic flexibility. Journal of Business Strategy, 290(12), 74–82. Mata, F. J., Fuerst, W. L., & Barney, J. B. (1995). Information technology and sustained competitive advantage’. Mathiassen, L., & Pries-Heje, J. (2006). Business agility and diffusion of information technology. European Journal of Information Systems, 15(2), 116–119. 249 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Mukerjee, S. (2014). Agility: a crucial capability for universities in times of disruptive change and innovation. Australian Universities’ Review, 56(1), 56–60. Overby, E., Bharadwaj, A., & Sambamurthy, V. (2005). Enterprise agility and the enabling role of information technology. European Journal of Information Systems, 15(June 2005), 120–131. Overby, E., Bharadwaj, A., & Sambamurthy, V. (2006). Enterprise agility and the enabling role of information technology. European Journal of Information Systems, 15(June 2005), 120–131. Sharifi, H., & Zang, Z. (2001). Agile manufacturing in practice - Application of a methodology. Journal of Operations & Production Management, 21(5/6), 772–794. Supnick, M. (1984). On the measurement of shapes. Bulletin of Mathematical Biology, 46(1), 1–10. Tseng, Y. H., & Lin, C. T. (2011). Enhancing enterprise agility by deploying agile drivers, capabilities and providers. Information Sciences, 181(17), 3693–3708. Tushman, M. L., & O’Reilly, C. A. (1996). Ambidextrous organizations: Managing evolutionary and revolutionary change. California Management Review, 38(4), 8–30. V. Sambamurthy. (2003). Shaping Agility through Digital Options: Reconceptualizing the Role of Information Technology in Contemporary Firms. MIS Quarterly, 27(2), 237–263. van Oosterhout, M., Waarts, E., van Heck, E., & van Hillegersberg, J. (2007). Business Agility: Need, Readiness, and Alignment with IT Strategies. Agile Information Systems: Conceptualization, Construction, and Management, 44(0), 52–69. van Oosterhout, M., Waarts, E., & van Hillegersberg, J. (2006). Change factors requiring agility and implications for IT. European Journal of Information Systems, 15(2), 132–145. Yusuf, Y. Y., Sarhadi, M., & Gunasekaran, A. (1999). Agile manufacturing: the drivers, concepts and attributes. International Journal of Production Economics, 62(1), 33–43. Zárate, M. A., Shaw, M., Marquez, J. A., & Biagas, D. (2012). Cultural inertia: The effects of cultural change on intergroup relations and the self-concept. Journal of Experimental Social Psychology, 48(3), 634–645. 250 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 DISPARITASREGIONAL DAN PERANG HARGA: MELIHAT KE DALAM INDUSTRI PERLAMPUAN DI INDONESIA Dominicus Edwinarto Universitas Bina Nusantara E-mail: [email protected] Abstract: In the midst of contemporary business environment, price war have been an inevitable part of our daily activities. While dynamic strategies have been claimed by many as a vital aspect to achieve sustainable market position, our economic landscape nevertheless are constantly controlled by a declining standard in price. Based on recent study in the Indonesian consumer lighting industry, several aspects of severe price competition have been indicated as the result of regional disparity, where the rate of product development are disproportionately forced in order to maintain superior market leadership. Using secondary data and examples from several distribution companies in the consumer lighting industry, research methodology in this paper are prepared as an analysis result derived from real-time market observation. In conculsion, this paper was presented as a conceptual argument in using price war as a leverage to achieve evolutionary business performance that leads to the discovery of new regions of profit. The resulting method of research have indicate that under severe pressure to survive, the dynamic of price war could offer new opportunities to grow. Keywords:Dynamic Strategy, Price War, Regional Disparity, Lighting Industry, Fox-Tail Theory Abstrak: Di tengah lingkungan bisnis kontemporer, perang harga telah menjadi bagian tak terelakkan dari kegiatan kita sehari-hari. Sementara dimana strategi dinamis sering diklaim oleh banyak orang sebagai aspek penting untuk mencapai posisi pasar yang berkelanjutan, lanskap ekonomi kita tetap terus dikendalikan oleh standar harga yang kian menurun. Berdasarkan penelitian terkini di industri perlampuan konsumer Indonesia, beberapa aspek persaingan harga yang parah terindikasi sebagai hasil dari kesenjangan regional, dimana laju pengembangan produk terjadi secara tidak proporsional dan dipaksa guna mempertahankan kepemimpinan pasar yang superior. Dengan menggunakan data dan contoh-contoh dari beberapa perusahaan distribusi di industri perlampuan konsumer, metodologi penelitian dalam makalah ini disusun sebagai hasil analisis yang berasal dari pengamatan nyata di pasar. Dalam konklusinya, makalah ini disajikan sebagai argumen konseptual untuk menggunakan perang harga sebagai sarana guna mencapai evolusi kinerja bisnis yang dapat mengarah kepada penemuan sumber keuntungan baru. Metode yang dihasilkan dari penelitian ini memberikan indikasi bahwa dalam tekanan yang berat untuk bertahan hidup, dinamika perang harga bisa menawarkan peluang baru untuk tumbuh. Kata kunci:Strategi Dinamis, Perang Harga, Disparitas Regional, Industri Perlampuan, Teori Ekor Rubah PENDAHULUAN Dalam pemahaman yang paling umum, perang harga digambarkan sebagai sebuah skenario di mana perusahaan-perusahaan berjuang untuk menawarkan harga yang lebih murah kepada pelanggan mereka (Assael, 1990), dan ini disebut sebagai sebuah periode di mana harga ditekan dan akhirnya mendorong pesaing lainnya untuk mengikuti langkah penurunan harga tersebut (Urbany & Dickson, 1991). Menggunakan harga secara terus menerus sebagai variabel dalam strategi memerlukan perubahan cara pandang dimana fokus bisnis tidak lagi diarahkan pada konsumen, melainkan pesaing, yang pada awalnya tidak diinginkan oleh sebagian besar perusahaan (Heil & Helsen, 2001). Dalam dunia bisnis kontemporer, perang harga telah menjadi kondisi umum di hampir setiap industri (Rao, Bergen, & Davis, 2000). Meskipun banyak orang telah mencoba untuk mengatasi masalah perang harga dengan beberapa dan berbagai pendekatan kreatif, dari sumber-sumber yang telah dikumpulkan 251 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 terbukti bahwa tidak pernah ada solusi tegas dan pasti yang dapat digunakan untuk menghindari ataupun mengakhiri perang itu sendiri. Beberapa peneliti telah membahas dan beragumen bahwa jalan terbaik untuk mengakhiri perang tersebut adalah dengan keluar dari industri dimana konflik harga tersebut terjadi (Van Heerde, Gijsbrechts, & Pauwels, 2008), sementara beberapa peneliti lain menyarankan untuk berkompetisi melalui peningkatan kompleksitas strategi non-harga (Rao, Bergen, & Davis, 2000). Dalam kedua konteks tersebut mau tidak mau dapat dilihat bahwa kasus perang harga merupakan proses bisnis yang patut diterima dan dimengerti, karena dapat memberikan hasil yang berat dan dahsyat bagi perusahaan yang terjebak didalamnya. Indikasi timbulnya perang harga dalam sebuah industri dapat diisyaratkan oleh sensitivitas pelanggan terhadap aktifitas pembelian mereka dan reaksi mereka terhadap perubahan hargameski dalam skala paling kecil. Argumentasi dalam tulisan ini ditujukan untuk memperkenalkan solusi konseptual baru guna menghindari kondisi perang harga. Diskusi dimulai dengan pembahasan implikasi perang harga dan hasil komersial yang dihasilkan, dengan menggunakan contoh dari industri perdagangan produk perlampuan konsumerdi Indonesia. Tinjauan pustaka juga diambil dari beberapa artikel yang membahas isu harga dan aspek kelayakan penerimaannya oleh pelanggan. Diskusi kemudian akan disimpulkan dalam bentuk argumentasi terkait kelayakan standar harga dipasar yang dilihat dengan menggunakan persepsi konsumen sebagai salah satu cara untuk menciptakan keseimbangan baru dalam hal harga produk. TINJAUAN PUSTAKA Dalam pengertian ekonomi yang paling mendasar, harga merupakan isu sensitif karena memiliki kemampuan untuk membentuk nilai suatu produk atau jasa. Meskipun pada awalnya sebuah harga dibentuk dan disiapkan untuk menjadi dasar pergerakan transaksi dalam sebuah industri, pada kenyataannya tidak ada batasan yang dapat digunakan untuk membedakan dan menyaring pergerakan informasi antar segmen dalam sebuah pasar dan bagi konsumen yang menjadi bagian dari pasar tersebut. Pada akhirnya,informasi yang dipublikasikan dari pertama kali sebuah produk di tawarkan kepada pelanggan tertentu di pasar tertentu dengan harga tertentu, akan tersebar secara luas dan nilai penghargaan atas sebuah produk akan terus menurun seiringan dengan meningkatnya pengetahuan pasar atas produk tersebut. Fenomena ini kemungkinan besar pasti akan terjadi di setiap industri baik secara bertahap maupun secara agresif, terlepas dari apapun jenis produk yang diperdagangkan. Jika operasi bisnis saat ini bisa digambarkan sebagai api yang membakar lanskap ekonomi,saat ini harga dapat diasumsikan sebagai api kecil yang berkedip tenang namun juga dapat terpicu menjadi bara api yang mematikan. Sebelumnya, beberapa penulis telah menyebutkan harga sebagai aspek dari etika dan implikasinya pada praktek bisnis menjadi bagian penting dari kesejahteraan ekonomi kita (Elegido, 2009; Schlegelmilch & Öberseder, 2010). Sehubungan dengan isu harga yang dilihat dari hak seorang konsumen, banyak argumentasi telah dilakukan untuk membahas arti dari kelayakan sebuah harga, sedangkan sebaliknya bila dilihat dari sisi seorang penjual, kelayakan sebuah harga patut dibahas dari sisi biaya dan pemulihan atas biaya tersebut melalui harga yang ditransaksikan. Dilihat dari kedua aspek tersebut, maka 252 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 operasional sebuah bisnis dapat didefinisikan sebagai aktifitas transaksi berkelanjutan yang menguntungkan semua pihak yang terlibat didalamnya. Berdasarkan pengertian ini, perbedaan-perbedaan dalam aspek harga dapat digambarkan melalui sebuah gagasan reservasi yang dilihat dari dua sisi persepsi, yaitu pembeli dan penjual. Bagi pembeli (konsumen), reservasi atas harga yang dapat mereka terima diterjemahkan dalam nominal tertinggi yang bersedia mereka korbankan agar dapat terlibat dalam aktifitas transaksional. Sedangkan untuk penjual, harga reservasi mereka adalah nominal terendah yang bersedia mereka terima agar dapat terlibat dalam kegiatan transaksional (Elegido, 2014; Frank, 1988). Meskipun banyak peneliti yang berpendapat bahwa gagasan reservasi harga adalah hal yang kompleks dan pada prakteknya tidak dapat dijelaskan secara sederhana, secara umum pengertian ini dapat memberikan pemahaman dan generalisasi yang cukup memadai untuk mengerti bagaimana harga berperan sebagai sarana transaksi di dunia bisnis. Namun demikian standar atas harga tetap tidak bisa ditentukan secara baku, dan tidak ada hukum pasti untuk dapat menentukan bahwa aspeksebuah harga bisa dianggap layak. Hingga hari ini masalah kelayakan penerimaan harga tetap mengacu dan mendukung persepsi pembeli sebagai penentu akhir dari sebuah transaksi. Sementara dimana para penjual diminta untuk dapat menawarkan harga dalam kondisi layak, usaha mereka untuk mendapatkan marjin sering dibatasi oleh regulasi yang ditentukan oleh pasar. Konsumen pada umumnya selalu menyatakan bahwa mereka memiliki hak untuk melakukan transaksi dengan nilai yang lebih besar dari pengorbanan ekonomi yang mereka berikan, dan pada akhirnya penjual sering secara terpaksa harus mengorbankan potensi penghasilan mereka guna memastikan bahwa pengorbanan pelanggan mereka patut dihargai. Sebagai upaya untuk memberikan jalan tengah atas konsep kelayakan harga, Elegido menayarankan agar pembenaran atas harga bisa diambil dari konteks standar pasar bebas (open market) (Elegido, 2014). Proposalnya menyatakan bahwa standar pasar bebas mendukung gagasan kelayakan harga melalui penerimaan pasar atas harga tertentu sebuah produk yang dijual secara terbuka. Ketika berbagai pembeli siap untuk membayarkan harga tertentu dari suatu produk, maka pasar telah memberikan bukti bahwa harga produk tersebut benar-benar layak (Elegido, 2014). Namun demikian karena sebuah pasar biasanya terbentuk oleh beberapa pemain kunci, produk-produk (atau jasa) tertentu, dan area transaksaksi yang spesifik, standar pasar bebas tetap ditentukan secara subjektif oleh tempat dimana harga tersebut diperoleh. Salah satu contoh dari hal ini adalah dimana dua produk sejenis bersaing di pasar yang sama, pengertian kelayakan harga harus dilihat dari pergerakan permintaan dan dipertanyakan apakah kenaikan atau penurunan harga dari salah satu produk tersebut memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi permintaan atas produk yang lain. Demikian pula contoh ini dapat dilihat dan dijelaskan melalui aspek lokasi, dimana dua wilayah geografis yang berbeda dalam pasar yang sama (katakanlah produk yang sama di kota yang berbeda) memiliki implikasi yang sama. Dalam hubungannya dengan pengertian standar etika, standar pasar bebas sebenarnya membatasi para pihak yang terlibat dalam tansaksi dari kemungkinan-kemungkinan eksploitasi yang dilakukan atas dasar kerentantan salah satu pihak oleh lawan transaksinya, dan bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan ekonomi terjadi bukan atas dasar kondisi diskriminasi tertentu. Elegido menyarankan bahwa pada saat sebuah harga akhirnya dapat dipertahankan di pasar bebas, harga tersebut menjadi harga yang layak. Berdasarkan gagasan atas 253 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 kesetaraan transaksional, Elegido mengusulkan bahwa penerimaan atas persamaan antara harga yang dibayarkan dan keuntungan (benefit) yang diberikan oleh sebuah nilai (value) harus dikedepankan secara utuh. Meskipun gagasan ini memiliki keterbatasan dan mungkin tidak disetujui oleh semua peneliti, Elegido juga menyebutkan bahwa transaksi tetap dapat dinyatakan layak bila sejumlah besar pembeli (dengan jumlah yang cukup banyak dan memungkinkan penjual untuk dapat mempertahankan bisnis mereka) bersedia untuk melakukan transaksi dengan sebuah harga tertentu, yang pada akhirnya berlaku sebagai indikasi bahwa nilai pertukaran atas sebuah produk di sebuah pasar mendekati standar kelayakan (Elegido, 2014). Berdasarkan konsep pasar bebas, bisa diasumsikan bahwa aktifitas transaksional sebenarnya didasari dan ditentukan oleh nilai yang layakditerima oleh pasar sebagai materi yang ditukarkan atas nilai tertentu sebuah produk. Namun demikian dalam pasar yang terbatas oleh sejumlah aspek ekonomi, kompetisi transaksional tetap bergantung pada seberapa banyak penjual bersedia untuk mengorbankan nilai ekonomi yang mereka tawarkan kepada para pembeli. Oleh karenanya apabila pasar tempat transaksi terjadi telah terkondisikan (atau bahkan terpelihara) oleh persaingan yang berat dan perang harga yang berkelanjutan, value sebuah produk yang dijual di pasar tersebut akan terus dibatasi oleh harga dan tidak akan pernah sepenuhnya dapat mencapai kelayakan nilai dimana produk tersebut seharusnya terjual. Hal ini pada akhirnya secara tidak langsung akan mendidik pembeli untuk selalu mendiskreditkan nilai riil dari transaksi ekonomi yang mereka lakukan.Kondisi persaingan harga yang berat yang berujung pada perang harga pada akhirnya akan menciptakan kondisi pasar muktahirkarena perhatian pelanggan terhadap harga meningkat dan menjadi lebih sensitif. Ketika ini terjadi, pembeli akan lebih banyak melakukan aktifitas perbandingan harga saat berbelanja dan mereka tidak lagi takut untuk menunda keterlibatan dalam aktifitas transaksi bersama penjual. Dalam jangka panjang, fenomena ini akan mengurangi laju pergerakan produk dan pada akhirnya akan memperlambat arus perputaran uang disemua lini industri. METODE PENELITIAN Khusus untuk industri yang dibahas sebagai bahan diskusi dalam tulisan ini, tandatanda perang harga dapat dilihat melalui perjuangan para penjual untuk dapat mencairkan persediaan produk fast-moving mereka dalam periode waktu yang terbatas. Dalam sebuah industri dimana pasar dilayani dengan pilihan produk yang terbatas dan inovasi yang perlahan, salah satu aspek penting dari keberlangsungan jangka panjang sebuah bisnis akan bergantung pada rasio perbandingan atara pembeli dan penjual. Ketika nilai penjual terbatas (baca: sedikit) dan pembeli tidak (baca: banyak), maka harga dapat digunakan sebagai alat untuk menciptakan marjin bagi perusahaan sebagai dasar investasi perkembangan bisnis dikemudian hari. Namun ketika penjual (atau produk) tersedia dalam kondisi berlebih dan pembeli hanya ada secara terbatas, maka harga hanya dapat digunakan sebagai alat untuk menciptakan keunggulan kompetitif dan konsep nilai tambah sebuah produk tidak dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan marjin yang cukup (dan menguntungkan) bagi perusahaan. Dengan demikian harga tetap menjadi variabel penting dan kemungkinan timbulnya perang harga tetap ada karena peningkatan kompetisi akan lebih sering terjadi dimasa mendatang. Meskipun perang harga akan menambah beban ekonomi, konsep tersebut 254 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 tetap menjadi strategi populer bagi banyak perusahaan yang pada akhirnya menjebak mereka sendiri dalam belantara rutinitas potongan harga. Bagi mereka yang tidak berpengalaman, pergerakan harga akan dianggap sebagai ancaman kompetitif dan berlanjut dengan potongan harga yang lebih besar, yang pada akhirnya akan mengekskalasi terjadinya perang harga. Saat ini tidak ada jaminan bahwa sebuah segmen dalam sebuah pasar tertentu akan steril dari bahaya perang harga, dan seperti dijelaskan sebelumnya, harga tetap menjadi faktor kompetitif penentu yang tersedia sebagai bagian dari sumber daya (resource) sebuah perusahaan. Paradigma ini mungkin akan sulit untuk dirubah dimasa yang akan datang bila mengingat bahwa pembeli juga selalu menggunakan variabel ini sebagai alat penentu keputusan mereka sebelum melakukan keterlibatan dalam sebuah transaksi. Karena perang harga tampaknya sudah menjadi fenomena yang populer disetiap tingkat industri, maka penting bagi perusahaan untuk dapat mengelola sumber daya mereka secara efisien dan efektif untuk bertahan hidup dalam kondisi perang harga. Sebagai contoh yang diambil dari industri perlampuan, indikasi perang harga timbul dari kondisi disparitas (kesenjangan) regional (daerah) penjualan produk, dimana dapat dilihat bahwa keterbatasan pasar memicu pertumbuhan yang tidak sehat dan berakibat buruk pada performa penjualan. Khusunya untuk pembahasan dalam makalah ini, ada enam daerah penelitian dan enam tipe produk dari industri perlampuan yang digunakan sebagai dasar analisa. Nama daerah tempat sumber data disajikan dalam bentuk nomor 1 sampai dengan 6 atas pertimbangan kerahasiaan. Namun khususnya untuk nama tipe produk, tetap disajikan sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Perbedaan struktur produk dari setiap daerah dapat dilihat tidak berbeda secara signifikan, kecuali untuk daerah nomor 3. Secara gambaran dasar, hal ini memberikan indikasi bahwa produk perlampuan sendiri hanya memiliki beberapa produk dasar yang dapat digunakan sebagai penyangga tulang punggung aktifitas ekonomi di industri perlampuan konsumer. Bila dilihat dari segi pertumbuhan penjualan, tanpa adanya produk nomor 1 (consumer), sebagian besar perusahaan yang bergerak dalam industri ini tidak akan dapat mempertahankan performa mereka secara terus-menerus. Atas dasar hal tersebut oleh karenanya, disparitas regional yang terbentuk karena kemampuan daya serap dan kondisi ekonomi setiap daerah berbeda dan tuntutan pertumbuhan yang tidak sehat akan mendorong terjadinya perang harga, terutama untuk produk nomor 1. Kondisi dimana sebuah perusahaan diharuskan untuk dapat bertahan dengan keterbatasan pilihan produk sebenarnya mungkin saja dilakukan bila perusahaan tersebut beroperasional dengan dukungan beberapa faktor seperti monopoli dimana pelanggan tidak memiliki pilihan produk lain ataupun sumber pembelian (supplier) yang cukup. Namun demikian dapat diketahui bahwa khususnya dalam pasar terbuka, pelanggan dapat menentukan pilihan pemasok secara bebas tanpa kesulitan yang terlalu signifikan. Meskipun pada sesungguhnya mungkin banyak dasar penentuan pilihan yang dapat dipertimbangkan sebelum transaksi terjadi (seperti kualitas produk, pelayanan, dan hubungan baik), kedua belah pihak biasanya memiliki keterbatasan untuk melakukan eksplorasi terhadap opsi-opsi non harga tersebut. Pada saat keputusan transaksi harus dilakukan, pilihan atas pengorbanan ekonomi dari pihak pembeli akhirnya tetap didorong oleh kesiapan penjual untuk mengorbankan potensi keuntungan mereka melalui skema harga. 255 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Gambar 1. Perbandingan dari enam daerah dimana produk perlampuan didistribusikan, dengan indikator enam jenis produk perlampuan yang berbeda Jika paradigma terhadap harga tersebut tetap tidak berubah dan terus berperan sebagai aspek kunci dalam industri tertentu, maka variabel tersebut dapat digunakan sebagai karakteristik khusus bagi sebuah perusahaan untuk dapat mengontrol pergerakan yang terjadi dipasar tempat mereka beroperasional. Inti dari gagasan ini adalah dengan membuat gangguan untuk menarik perhatian pesaing dimana setiap tindakan yang dilakukan menjadi identifikasi sebuah penurunan harga dalam upaya untuk mempertahankan hidup perusahaan tersebut. Dalam prakteknya, perusahaan bisa bertindak sebagai rubah, dimana setiap gerakan strategis mereka dilihat oleh para pemain lain dalam industri yang sama sebagai ancaman, tanpa mempedulikan posisi mereka di 256 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 pasar (baik sebagai market leader ataupun follower). Jika mereka berhasil dan mampu menangkap perhatian para pesaingnya, harga dapat digunakan sebagai sebuah variabel untuk mengusir para pesaing agar jatuh dan keluar dari pasar. Namun demikian sebelum strategi ini dijalankan, beberapa indikator kunci harus terlebih dahulu ditempatkan sebagai batasan bagi perusahaan untuk menghindari krisis operasional yang berakibat pada kebangkrutan perusahaan. Dalam praktek sehari-hari, indikator-indikator ini dapat ditempatkan dengan mengetahui secara persis seberapa besar ukuran pasar, siapa pelanggan yang paling berpotensi, dan seberapa baik perusahaan dapat bertahan tanpa kontribusi mereka dalam periode jangka panjang. Setelah titik puncak kinerja penjualan dan titik penjualan terendah (baca: titik kebangkitan) diketahui, permainan kejarmengejar ini dapat dimulai. Sebagai sebuah strategi, pengetahuan ini adalah inti dari konsepEkor Rubah(Fox-Tail): menggunakan harga sebagai variabel untuk menangkap perhatian pasar, menghancurkannya, dan kemudian menyelesaikan permainan melalui kebangkitan performa dengan penawaran baru – mengevolusikan aktifitas perusahaan melalui kombinasi sumber daya dan kapabilitas kinerja dinamis (Edwinarto & Pradipto, 2016).. Gambar 2. Contoh implementasi konsep Ekor Rubah (Fox-Tail)yang digunakan untuk menjebak pesaing menuju kebangkrutan Konsep Fox-Tail dapat digunakan sebagai solusi untuk memperoleh kepercayaan pasar melalui exploitasi portfolio kinerja secara maksimal. Ilusi atas keuntungan yang dapat diperoleh dari pertumbuhan yang berkelanjutan dapat menghasilkan bencana jika penurunan performa benar-benar dilihat secara harafiah, terutama bila perusahaan yang bersangkutan tidak memiliki kekuatan cukup untuk dapat membangkitkan diri mereka kembali kedalam permainan tersebut. Agar dapat menggunakan konsep ini dengan baik, sebuah perusahaan harus memahami bahwa perang harga merupakan aspek yang tidak terelakan dari dunia bisnis dan oleh karenanya beberapa sumber pendapatan (baca: penjualan) sebelumnya harus diidentifikasikan terlebih dahulu, selagi ketergantungan terhadap produk-produk inti digeser secara bertahap. Setelah sumber-sumber baru dengan potensi tersebut diidentifikasi, kegiatan-kegiatan kinerja operasional dan aktifitas perusahaan perlu di tinjau ulang dan di definisikan lagi dengan menambahkan pengetahuan-pengetahuan baru, untuk memastikan bahwa keterlibatan dalam persaingan harga 257 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 (baca: perang harga) tidak akan menambah luka baru terhadap profitabilitas kinerja jangka menengah dan panjang. Seperti yang digambarkan di atas, titk puncak kinerja penjualan dan titik rendah kebangkitan penjualan ditandai dengan lingkaran merah, dan digunakan di sini sebagai ilusi ukuran sebuah pasar yang diciptakan melalui peningkatan volume penjualan atas hasil penurunan harga. Sebagai pelaksana konsep Fox-Tail, perusahaan A menjebak perusahaan B dan C untuk segera mengikuti jejak yang ditinggalkan sebagai upaya untuk mendapatkan kembali pangsa pasar yang hilang dan telah direbut oleh perusahaan A.Sementara pada saat yang sama, setelah kedua perusahaan tersebut terpancing untuk melakukan ekploitasi harga, perusahaan A melambat kinerja mereka menuju titik kebangkitan. Setelah kinerja Perusahaan B dan C berada di puncaknya, perusahaan A mulai mendapatkan momentum baru dari sisa hasil kinerja perusahaan B dan C yang mulai kesulitan karena mereka tanpa sadar telah mengikuti jalan kinerja perusahaan D, yang sejak awal telah gagal untuk menetapkan posisi pasar dalam kondisi lingkungan yang tergempur oleh perang harga. Jika perusahaan B dan C gagal untuk mengenali titik kebangkitan mereka dalam waktu dekat, berkurangnya penjualan mereka akan menunutun kedua perusahaan ini menuju pintu keluar dari pasar yang mereka geluti, bahkan juga memungkinkan, menuju jurang kebangkrutan. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebagai sebuah konsep, Fox-Tail adalah sebuah metode untuk terus terlibat dalam permainan harga dengan bertindak satu langkah dimuka dibandingkan dengan para pesaing. Dalam sebuah pasar dimana hampir setiap aspek operasional antar perusahaan serupa dan produk yang ditawarkan telah bergerak menuju sektor komoditas, sangat penting untuk memahami bahwa sebuah pasar dapat di kapitalisasikan melalui eksploitasi konsumen. Namun demikian sebelum dapat dilaksanakan, perlu dipahami bahwa sebagai sebuah strategi, Fox-Tail adalah jalan satu arah dan bagi siapapun yang melaksanakannya diwajibkan untuk mempertaruhkan peluang mereka agar tetap dapat beroperasional dalam industri mereka, karena dalam pelaksanaannya, Fox-Tail adalah strategi dengan tujuan penghancuran pasar dalam jangka panjang melalui konflik harga. Meskipun menghancurkan, konsep Fox-Tail dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong mutasi proses operasional bisnis dalam jangka pendek, yang jika digunakan secara efektif, dapat menghasilkan eksaptasi penjualan progresif jangka menengah dalam kinerja bisnis. Meskipun sebuah perusahaan mungkin memiliki keterbatasan operasional yang ditetapkan oleh posisi mereka dalam mata rantai industri itu sendiri, pemetaan ulang pelanggan inti, portofolio produk inti, dan proses kinerja inti dari bisnis mereka dapat memperkuat ilusi bahwa perusahaan tersebut sedang kesulitan (baca: mendekati kebangkrutan) akibat ketidakmampuan mereka untuk bersaing dalam perang harga, dimana sebenarnya mereka sedang menjalankan strategi untuk memikat pesaing lainnya kedalam jurang kebangkrutan. Apabila berhasil, maka proses kebangkitan bisnis dapat dimulai melalui penawaran portfolio yang baru, baik dipasar dan kepada pelanggan yang sama maupun yang didapatkan secara baru. Karena pada umumnya semua perusahaan senantiasa bergantung kepada harga sebagai variabel penentu dari elemen pendapatan mereka, segmentasi dan pangsa sebuah pasar biasanya didefinisikan melalui struktur harga dan telah menjadi indikator paling dasar dari ukuran dan nilai total sebuah industri. Meskipun secara wajar semua perusahaan memiliki ketergantungan yang tinggi pada validitas harga yang mereka gunakan dalam penjualan untuk menutupi biaya dan pengeluaran mereka, sebuah pasar senantiasa menginginkan kepastian kesetaraan harga pada saat aktifitas transaksi terjadi. Namun demikian gagasan tentang kesetaraan ini tetap dapat diperdebatkan bila kita melakukan pembahasan dari segi utilitas (kegunaan) sebuah produk, terutama pada saat transaksi terjadi di pasar terbuka. Saat seorang konsumen mendapatkan sebuah produk dari sebuah pasar terbuka dengan struktur harga yang tervalidasi oleh anggota pasar tersebut (baik penjual maupun pembeli lainnya), nilai kegunaan produk tersebut seutuhnya 258 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 menjadi milik pelanggan yang telah memilih untuk terlibat dalam transaksi yang dimediasi dengan sebuah harga tertentu. Gambar 3. Tingkat pengaruh produk ke pasar dan sebaliknya Salah satu aspek pasar terbuka yang wajib untuk diingat adalah bahwa istilah tersebut digunakan sebagai sebuah penjelasan ekspresif tempat sekelompok pelanggan dikelompokan, dan bukan sebagai diskripsi sebuah industri secara keseluruhan. Sehubungan dengan industri perlampuan yang sedang dibahas dalam makalah ini, produk yang sama bisa dijual kepada pelanggan dari segmen pasar yang berbeda (dan dalam hal ini mereka semua tetap dapat disebut sebagai bagian dari pasar terbuka), dengan struktur harga yang berbeda. Namun demikian penyimpangan harga tetap dapat menghasilkan dampak buruk di segmen pasar yang berbeda, karena setiap pelanggan tetap memiliki kepentingan dan keinginan yang berbeda sesuai dengan informasi yang mereka terima dan pahami. Seorang pelanggan yang termasuk dalam segmen eksklusif biasanya jauh lebih sensitif terhadap manfaat dan nilai sebuah produk yang mereka (akan) gunakan, sehingga produk tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar kepada pelanggan dan preferensi mereka. Ketika dihadapkan dengan jenis pelanggan seperti ini, setiap informasi yang diberikan kepada mereka terkait kegunaan sebuah produk akan menjadi faktor penentu dalam sebuah aktifitas transaksi ekonomi. Sebaliknya ketika seorang pelanggan melakukan bisnis mereka di segmen pasar bagian bawah (baca: pasar komoditi), preferensi atas informasi yang mereka terima tidak lagi dipengaruhi oleh kegunaan sebuah produk, melainkan oleh pergerakan pasar (baca: harga), dimana nilai riil kegunaan sebuah produk tidak akan lagi dapat digunakan untuk menaikan posisi kompetitif dari sisi penjual. PENUTUP Pada penerapannya, meskipun standar yang ditetapkan oleh pasar terbuka bisa dianggap sebagai salah satu cara untuk memastikan kelayakan harga, hal tersebut tetap dianggap membatasi keunggulan kompetitif dan kreatifitas pihak penjual, karena penilaian terhadap kinerja mereka hanya bisa direpresentasikan melalui hasil kinerja pasar tempat dimana mereka melakukan aktifitas. Saat ini bisnis dan segmentasi pasar telah menjadi sangat rumit sehingga istilah pasar terbuka tidak lagi bisa digunakan sebagai dasar kelayakan harga yang tetap untuk semua pelanggan. Sementara pasar senantiasa mengharuskan para penjual untuk terus menawarkan keunggulan kompetitif, tidak semua penjual memiliki sumber daya dan kapabilitas dinamika yang cukup untuk menghasilkan keunggulan tersebut. 259 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Dalam tekanan yang sangat berat, perusahaan-perusahaan ini biasaya memaksakan diri mereka sendiri untuk menyediakan keunggulan tersebut melalui harga secara terus-menerus. Pembahasan konsep Fox-Tail disini disajikan sebagai salah satu cara kreatif untuk dapat menaklukan dan mempengaruhi standar harga pasar melalui penghancuran pasar. Karena kelangsungan sebuah bisnis bergantung pada pendapatan dan pendapatan bergantung pada harga, kapitalisasi sebuah standar di pasar akan menjadi panduan kelangsungan hidup yang berkesinambungan dari semua penjual. Tidak semua hilang pada saat pasar memaksa kita untuk bertekuk lutut dan menyerah pada keadaan. Contoh yang digunakan dalam makalah ini diambil atas dasar analisa perbandingan data penjualan guna mengetahui penyebab terjadinya perang harga di industri perlampuan konsumer. Saat ini indikasi sumber masalah terlihat dari adanya disparitas regional yang (mungkin) tidak sama dari segi sosial ekonomi dan pembangunan, sehingga dalam proses bisnis kontemporer yang membutuhkan kesamaan persepsi atas persaingan tidak terwujud. Dalam praktek penentuan harga sayangnya, perbedaan yang terjadi menimbulkan lebih banyak masalah dari segi standarisasi harga sehingga pelanggan hanya bisa mengandalkan kelayakan harga melalui standar pasar terbuka yang mungkin sebenarnya tidak perlu terpengaruh oleh kesenjangan daerah, selama semua perusahaan menjaga stabilitas harga di daerah mereka masing-masing. Simpulan Meskipun konsep Fox-Tail yang disajikan dalam makalah ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengontrol harga di pasar terbuka, tidak ada jaminan bahwa perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam proses pelaksanaannya akan mampu untuk memanfaatkan kekacauan harga yang diciptakan tanpa kehadiran inovasi kinerja dalam kegiatan operasional mereka. Bahkan dalam batas-batas etika, konsep Fox-Tail patut diperdebatkan karena merupakan sebuah konsep penghancuran dan pemusnahan pasar, dan mungkin tidak sesuai untuk perusahaan yang tidak memiliki kapabilitas dinamis dan sumber daya yang cukup untuk dapat menggunakan perang harga sebagai pemicu inovasi. Singkatnya, meskipun konsep Fox-Tail menawarkansalah satu solusi untuk dapat mengendalikan harga di pasar terbuka melalui kepemimpinan harga dalam perang harga, risiko yang dihasilkan tetap menjadi pertaruhan yang berbahaya bagi perusahaan yang memutuskan untuk menggunakan strategi ini bila mereka menjalankannya dengan terburuburu dan tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan batas eksploitasi harga. Dalam pelaksanaanya, hasil konsep Fox-Tail dapat diperdebatkan dan tetap menjadi bahan untuk dikritik. Patut diakui bahwa strategi ini sangat tragis bagi perusahaan yang memiliki keterbatasan sumber daya dan kapabilitasinovasi yang terbatas, karena sebagai sebuah konsep, Fox-Tail hanya dapat dilaksanakan jika sebuah perusahaan memiliki pengetahuan yang cukup mendalam agar dapat memanfaatkan dan mengekploitasi penawaran transaksi mereka kepada pelanggan di pasar yang mereka layani. Namun demikian perlu di pahami bahwa persaingan dan kompetisi telah selalu menjadi bagian dari bisnis dan dalam pengertian tertentu konsep ini bisa secara murni dilihat sebagai bagian dari upaya sebuah perusahaan untuk menciptakan keunggulan kompetitif tertentu. Perlu juga diingat bahwa dalam sebuah kegiatan transaksi, tidak ada posisi yang pasti dan tetap di mana penjual akan tetap bertindak sebagai seorang penjual dan pelanggan akan tetap bertindak sebagai seorang pelanggan. Kedua belah pihak dalam hal ini adalah bagian dari pasar dan secara tidak langsung tetap akan tunduk pada standar harga pasar terbuka. Ide ini pada akhirnya,menyarankan agar semua pihak yang terlibat dalam sebuah industri untuk dapat menyadari posisi sumber daya dan batas kapabilitas dinamis mereka untuk dapat bertahan hidup didalam persaingan pasar. Karena konsep ini saat ini baru dijalankan dengan skala kecil dalam industri perdagangan tradisional perlampuan di Indonesia, penelitian dan observasi lebih lanjut di 260 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 industri lainnya harus dilakukan sebelum konsep ini benar-benar dapat dinyatakan memungkinkan untuk dapat dieksekusi secara operasional. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini secara umum dapat dilihat dari skala, segmen, dan tipe industri yang dijadikan bahan pembahasan. Penelitian ini dilakukan dan dibatasi hanya pada segmen perdagangan tradisional (informal) perlampuan konsumer, dan hanya dengan menggunakan analisa perbandingan data dari enam daerah yang dipilih berdasarkan tren distribusi dan penyerapan produk di masing-masing daerah tersebut. Meskipun pada prakteknya aktifitas perdagangan informal memiliki kecenderungan proses bisnis yang sama, ada kemungkinan bahwa perang harga terjadi bukan diakibatkan oleh disparitas regional, melainkan faktor lainnya, seperti tipe produk, tipe pelanggan, dan persaingan antar merk. Saran Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menggunakan data-data dari segmen industri yang berbeda (selain perdagangan tradisional), dan data-data dari jenis produk dan industri yang berbeda dari segmen industri perdagangan tradisional (seperti makanan, minuman, atau bahan bangunan). Apabila diperluas secara skala, maka analisa secara menyeluruh dalam tingkat nasional juga dapat diteliti guna menemukan sumber solusi terkait permasalahan perang harga yang diakibatkan oleh disparitas regional. Pada dasarnya konsep Fox-Tail dikembangkan dari sudut pandang kompetisi yang terbatas, dimana hal tersebut berarti industri tempat dimana penelitian ini dilakukan, hanya dikontrol oleh pesaing yang terbatas. Ada kemungkinan bahwa pada prakteknya, konsep Fox-Tail belum tentu cocok bila digunakan pada industri riil yang tidak memiliki standarisasi pasar terbuka. DAFTAR PUSTAKA Assael, H. (1990). Marketing Principles and Strategy. Orlando: Dryden Press Int. Edwinarto, D., & Pradipto, Y. D. (2016). Price Wars and Fox Tail Theory in Indonesia. International Conference on Education for Economics, Business, and Finance (ICEEBF), (pp. 207–217). Elegido, J. M. (2014). The Just Price as the Price Obtainable in an Open Market. J. Bus. Ethics, vol. 130, no. 3 , 557–572. Elegido, J. M. (2009). The just price: Three insights from the Salamanca School. J. Bus. Ethics, vol. 90, no. 1 , 29–46. Frank, R. H. (1988). Passions Within Reason: The Strategic Role of the Emotions. New York: W. W. Norton & Company. Heil, O. P., & Helsen, K. (2001). Toward an understanding of price wars: Their nature and how they erupt. Int. J. Res. Mark., vol. 18, no. 1–2 , 83–98. Rao, A. R., Bergen, M., & Davis, S. (2000). How to Fight a Price War. Harv. Bus. Rev., vol. March-April, no. 78 , 107–116. Schlegelmilch, B. B., & Öberseder, M. (2010). Half a century of marketing ethics: Shifting perspectives and emerging trends. J. Bus. Ethics, vol. 93, no. 1 , 1–19. Urbany, J. E., & Dickson, P. R. (1991). Competitive price-cutting momentum and pricing reactions. Mark. Lett., vol. 2, no. 4 , 393-402. Van Heerde, H. J., Gijsbrechts, E., & Pauwels, K. (2008). Winners and Losers in a Major Price War. J. Mark. Res., vol. 45, no. 5 , 499–518. 261 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 NAVIGASI DAYA SAING RUMAH PRODUKSI FILM NASIONAL DENGAN PENINGKATAN KAPABILITAS KAPABILITAS DINAMIS Gion Darwis Universitas Bina Nusantara E-mail: [email protected] Abstract: This study will investigate the strategic management aspect of cultural industries. Indonesian film market has experienced a significant fluctuation in the last 5 years where the market is still being dominated by Hollywood films. Some of the Indonesian blockbusters can achieve box office standard with 1 million viewers and above, but most of the local films are basically at loss. The environmental uncertainty in the industry constituted of government regulation, exhibitor availability and access to finance are apparent and constraining the sustainability of the industry players. There is no significant government regulation to protect the local film and worsened by the monopolistic behavior of 21 Cineplex Group as the exhibitor who solely control the number of screens available for the local films. The high initial capital required to produce a movie also creates low reproduction rate if there is high barriers to financial institutions. Hence, dynamic capabilities of Indonesian production houses will become the key attribute in achieving competitive advantage in a current competitive environment.The aim of this paper is to examine the literature review and conceptual framework model to show that dynamic capability should be the main focus to battle the environmental uncertainty occurring in the industry. In addition, this research will benefit academic society in terms of enhancing dynamic capabilities theorem as well as variables of environmental uncertainty especially in the area of cultural industries. Keywords: Indonesian film production houses, Perceived environmental uncertainty, dynamic capabilities, Firm Performance Abstrak: Penelitian ini akan menyelidiki aspek manajemen strategis dari industri budaya. Pasar film Indonesia telah mengalami fluktuasi yang signifikan dalam 5 tahun terakhir di mana pasar masih didominasi oleh film-film Hollywood. Beberapa blockbuster Indonesia dapat mencapai standar box office dengan 1 juta penontonke atas, tetapi sebagian besar film-film lokal pada dasarnya mengalami kerugian. Perceived environmental uncertainty dalam industri meliputi peraturan pemerintah, ketersediaan layar bioskop dan akses ke keuangan yang jelas membatasi keberlanjutan pelaku industri. Tidak ada peraturan pemerintah yang signifikan untuk melindungi film lokal dan diperparah oleh perilaku monopoli dari 21 Cineplex Group sebagai penyedia layar bioskopyang mampu mengatur jumlah layar yang tersedia untuk film-film lokal. Modal awal yang tinggi diperlukan untuk menghasilkan film juga menciptakan tingkat reproduksi yang rendah jika ada hambatan tinggi untuk mendapatkan bantuan dari lembaga keuangan. Oleh karena itu, kapabilitias dinamis dari rumah produksi Indonesia akan menjadi atribut kunci dalam mencapai keunggulan kompetitif dalam lingkungan yang kompetitif saat ini. Tujuan dari makalah ini adalah untuk menguji tinjauan literatur dan model kerangka konseptual untuk menunjukkan bahwa kapabilitas dinamis harus menjadi fokus utama untuk memerangi perceived environmental uncertainty yang terjadi di industri. Selain itu, penelitian ini akan bermanfaat bagi masyarakat akademik dalam hal meningkatkan teori kapabilitas dinamis serta variabel perceived environmental uncertainty terutama di bidang industri budaya. Kata kunci: Rumah produksi film Indonesia, perceived environmental uncertainty yang dirasakan, kapabilitas dinamis, Kinerja Perusahaan PENDAHULUAN Bisnis hiburan dan industri budaya khususnya film di Indonesia dimulai tahun 1926. Istilah ini menunjukkan industri yang menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai simbolik tinggi dari penggunaan praktis mereka karena mereka adalah sumber informasi, apresiasi seni dan hiburan (Scott, 1999). Film pertama yang pernah diproduksi di Indonesia adalah film bisu hitam putih berjudul 'Loetoeng Kasaroeng' yang diproduksi oleh perusahaan film milik Belanda. Sejak itu, bisnis hiburan dan industri budaya telah berevolusi perlahan-lahan dan mencapai masa jayanya sekitar 7080an (Kristanto & Ardan, 2007). Seiring dengan perkembangannya, bisnis teater berkembang. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan distributor yang mengimpor film asing. Peraturan industri dan 262 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 pemerintah yang baru untuk industri film, sehingga dalam bisnis film di Indonesia telah tenggelam dengan kedatangan film asing. 2016 telah menjadi tahun yang besar dari industri film nasional Indonesia. Lebih dari 6 film telah mencapai rekor box office atau memiliki pemirsa lebih dari 1 juta yaitu: Ada Apa Dengan Cinta 2, Warkop DKI Reborn, London Love Story, Comic 8, Hangout, Cek Toko Sebelah, Kuala Komal, Rudi Habibi. Bahkan, yang paling menguntungkan dan film terlaris sepanjang masa dengan penghasilan bruto tertinggi sepanjang masa industri perfilman nasional adalah "Warkop DKI Reborn" yang ditampilkan di 2016. Gambar 1.1 menunjukan perolehan beberapa blockbuster di awal tahun 2016 dan terlihat bahwa industri film yang dalam tren penurunan 5 tahun terakhir kini menghadapi masa depan yang cerah dan pelaku industri sangat optimis untuk membuat film yang lebih baik untuk mempertahankan gerakan ini dan mengantisipasi pertumbuhan. Ketidakpastian lingkungan yang dirasakan dalam industri meliputi peraturan pemerintah, ketersediaan layar bioskop dan akses ke keuangan yang jelas membatasi keberlanjutan pelaku industri (Film Indonesia, 2016). Tidak ada peraturan pemerintah yang signifikan untuk melindungi film lokal dan diperparah oleh perilaku monopoli dari 21 Cineplex Group sebagai penyedia layar bioskop yang mampu mengatur jumlah layar yang tersedia untuk film-film lokal. Modal awal yang tinggi diperlukan untuk menghasilkan film juga menciptakan tingkat reproduksi yang rendah jika ada hambatan tinggi untuk mendapatkan bantuan dari lembaga keuangan. Namun, penelitian ini akan menggunakan context moderasi dari variabel ketidak pastian lingkungan yang dirasakan (Perceived Environmental Uncertainty) oleh para rumah produksi film.Oleh karena itu, kapabilitias dinamis dari rumah produksi Indonesia akan menjadi atribut kunci dalam meningkatkan kinerja perusahaan dalam lingkungan yang kompetitif saat ini. Tetapi perlu diketahui apakah perceived environment bagi rumah produksi film nasional dan seberapa besar variable ini mempengaruhi kapabilitas dinamis dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Menurut referensi (Kaplan, 2011), bisnis telah memasuki era baru hiperkompetisi, pergeseran dramatis dari yang bergerak lambat seperti oligopoli atau stabil untuk lingkungan yang rumit menjadi tak terduga di mana keunggulan kompetitif tidak lagi berkelanjutan dalam jangka panjang. Fakta ini sangat relevan untuk industri perfilman nasional. Produksi film nasional yang sangat banyak dengan kualitas yang tidak menentu membentuk lingkungan usaha yang rumit dikarenakan hilangnya kepercayaan penonton film nasional atas kualitas film yang layak dan bagus secara umum. Keuntungan, sebaliknya, terus dibuat, terkikis, dihancurkan dan diciptakan melalui manuver strategis dengan konten film baru (Kristanto & Ardan, 2007). Oleh karena itu, rumah produksi indonesia semakin memiliki sejumlah alasan untuk merangkul teori kapabilitas dinamis sebagai strategi utama: didefinisikan sebagai orientasi perilaku perusahaan untuk terus mengintegrasikan, mengkonfigurasi ulang, memperbaharui, mengatur ulang dan menciptakan kembali sumber daya internal dan eksternal dan kapabilitas, dan yang paling penting, meningkatkan dan merekonstruksi kapabilitas operasional dalam menanggapi lingkungan pasar yang dinamis dan cepat bergeser untuk mencapai dan mempertahankan keunggulan kompetitif (Teece, 2007). Kapabilitas tersebut memungkinkan rumah produksi nasional untuk beradaptasi dengan lingkungan bisnis yang rumit. Untuk rumah produksi nasional baru, referensi (Zahra & Covin, 1993) menyimpulkan bahwa kapabilitas dinamis dalam usaha baru dan perusahaan yang didirikan berbeda. Referensi (Gao, 2015) juga digunakan untuk perspektif kapabilitas dinamis pada awal fase kewirausahaan. Oleh karena itu, teori kapabilitas dinamis dapat menjelaskan bagaimana usaha baru membuat, menentukan, menemukan, dan memanfaatkan peluang kewirausahaan di lingkungan eksternal yang kompleks dan bergejolak dalam mencari sumber daya yang tepat dan kebutuhan pasar. Banyak peneliti telah melakukan penelitian 263 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 dengan teori kapabilitas dinamis dari perspektif seperti definisi, faktor yang berpengaruh, dan mekanisme pembangunan kapabilitas dinamis (Teece, 2007; Teece, Pisano, & Shuen, 2008). Meskipun mereka percaya bahwa kapabilitas dinamis yang berhubungan positif dengan kinerja, sampai saat ini, penelitian belum memberikan penjelasan menarik tentang pengaruh dinamika lingkungan pada hubungan antara kapabilitas dinamis dan kinerja usaha terutama di lingkungan perusahaan rumah produksi film nasional. Perceived environmental uncertainty usaha dalam penelitian ini meliputi susahnya pendanaan untuk produksi film, keterbatasan layar bioskop serta peraturan pemerintah yang cenderung tidak menguntungkan film film lokal dari segi keharusan pemberian layar oleh pihak bioskop. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi efek moderasi potensial ketidak pastian lingkungan pada hubungan antara kapabilitas dinamis dan kinerja usaha. Gambar 1.1. 10 Film Terlaris Selama Kuartal Pertama 2016 TINJAUAN PUSTAKA Industri Budaya Industri budaya yang ditandai dengan derajat kreativitas yang tinggi dalam proses produksi dan distribusi mereka (Chen & Jaw, 2009). Meskipun banyak industri budaya sangat bergantung pada kreativitas dan inovasi sebagai kompetensi inti mereka, kesulitan untuk mempertahankan kompetensi adalah hal paling membedakan untuk jenis industri perfilman dengan industri lain. Tulisan ini didasarkan pada konsep bahwa industri budaya meliputi pelaku ekonomi yang terlibat dalam produksi barang dan jasa yang nilainya terutama atau ditentukan oleh estetika mereka, semiotik, sensorik, atau konten pengalaman khususnya rumah produksi film nasional. Dalam tulisan ini, perspektif diasumsikan oleh referensi (Morawetz, 2009) bahwa dinamika utama dalam industri budaya adalah: 264 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 tingkat resiko yang tinggi dapat ditemukan di industri budaya; biaya produksi yang tinggi dan biaya reproduksi yang rendah, kelangkaan buatan, format dan longgar / kontrol ketat produksi dan sirkulasi. Meskipun semua perubahan dalam 20 tahun terakhir, termasuk ekspansi besar-besaran dari industri budaya, dan meningkatkan pentingnya mereka dalam kehidupan sosial dan ekonomi, bisnis budaya masih harus mengelola permasalahan di atas, yang berasal dari kesulitan mengelola kreativitas dan informasi sebagai sumber utama kinerja perusahaan dalam membuat produk (Fulton, Fulton, & Garsombke, 2015). Digitalisasi telah menciptakan pasar baru yang memicu permintaan untuk produk elektronik dan jasadan salah satu efek yang paling mencolok dari proses tersebut adalah bahwa ini telah meningkatkan permintaan untuk konten baru (Randle & Dodourova, 2010).Konten budaya dapat dibuat dari berbagai sumber yang berbeda dan aset budaya dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Akibatnya, produksi budaya dapat dilihat sebagai mitra yang penuh penelitian dan pengembangan teknologi ilmiah dalam menempa ekonomi berbasis pengetahuan. Referensi (Chen & Jaw, 2009) menggambarkan perubahan mendasar dari industri budaya yang ber transformasi berkaitan dengan dinamika eksplorasi pengetahuan dan nilai digital lokal dan global. Perusahaan sosial media dan websharing based seperti youtube membuat permintaan akan konten film yang baru. Perubahan mendasar dari perubahan permintaan dari pasar adalah ketidak pastian untuk rumah produksi dimana membuat film dengan biaya yang mahal sudah tidak bisa menjadi jaminan bahwa film tersebut akan sukses. Konten konten digital yang di filmkan bisa menjadi opsi baru yang mungkin bisa memberikan kinerja positif bagi perusahaan. Referensi (Randle & Dodourova, 2010) berargumen bahwa ekonomi pengetahuan dapat dibangun dengan berfokus pada nilai yang diberikan oleh aset budaya dalam mengembangkan konten untuk kegiatan media yang muncul yang menghubungkan dengan konvergensi digital. Jadi, bukan berurusan dengan organisasi yang padat modal atau pengetahuan, manajer harus beradaptasi dengan bentuk baru dari organisasi, yaitu sebuah organisasi yang intensif melambangkan keragaman, yang ditandai dengan kebutuhan untuk mengelola proses penciptaan simbol dan inovasi yang berkelanjutan terkait dengan produksi budaya. Pandangan Berbasis Sumber Daya (Resource-Based View) Pandangan berbasis sumber daya (RBV) terakreditasi dari Penrose yang menyarankan pada tahun 1959 bahwa pembangunan berkelanjutan didasarkan pada karakteristik internal organisasi. Kemudian referensi (Barney & Zhang, 2009) mendalilkan gagasan penghalang posisi sumber daya, yang merupakan gagasan bahwa keunggulan kompetitif yang berkelanjutan berasal dari sumber suatu perusahaan yang unik. RBV telah menjadi kehadiran konstan signifikan di perusahaan perusahaan selama pengembangan strategi organisasi. RBV adalah teori yang memiliki berbagai aplikasi dan karena itu mendefinisikan itu justru sangat sulit. Mirip dengan konsep spektrum luas, deskripsi yang tepat dari penerapannya bisa menunjukkan aplikasi latennya. RBV menegaskan bahwa lebih penting untuk berkonsentrasi pada penciptaan sumber daya utama yang berkelanjutan dan bukan menyesuaikan operasi terus-menerus untuk beradaptasi dengan ketidak pastian lingkungan yang berubah. Ini bisa menjadi tolak ukur lebih diandalkan untuk kemajuan dari tanggapan terhadap lingkungan eksternal (Ramilo & Embi, 2014). Referensi (Barreto, 2010) menyebutkan bahwauntuk sumber daya kunci untuk menjadi berharga dalam hal strategi mereka harus memiliki keunikan yang cukup rumit dan tidak bisa dimitasi (tacit knowledge); sumber daya yang terbatas dan tidak bisa untuk dikumpulkan dalam kurun waktu singkat. Untuk menjadi dasar utama keunggulan kompetitif berkelanjutan, sumber daya harus langka, berharga, non-disubstitusikan, dan tidak bisa diduplikasi (imitable) (Barreto, 2010). Memiliki sifat-sifat ini menunjukan bahwa sulit untuk kompetensi RBV (pandangan berbasis sumber daya) dari perusahaan mengacu pada pendekatan yang terlihat pada kinerja dan strategi sebagai hal yang dipengaruhi oleh kontrol sumber daya dalam organisasi - aset teknologi dan informasi yang memiliki kemampuan untuk membantu bisnis memperluas keunggulan 265 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 kompetitif yang berkelanjutan. Berbagai peneliti seperti referensi (Barney & Zhang, 2009) dan (Wiklund & Shepherd, 2003) telah secara empiris mendukung RBV dengan menyatakan bahwa ada kebutuhan untuk membangun kapabilitas dinamis yang sama dengan kompetensi inti karena kondisi pasar yang fluktuatif dan tekanan terhadap perusahaan. Dalam keadaan seperti itu, dengan memiliki sumber daya sendiri yang unik, sebuah perusahaan kemungkinan mengubah keseimbangan kegagalan atau keberhasilan untuk keuntungan perusahaan. Barney berpendapat dengan mengklaim bahwa keunggulan kompetitif yang berkelanjutan muncul ketika tidak ada saingan yang dapat melakukan duplikasi secara berhasil apa yang perusahaan dapat menyediakan. Ini menunjukkan heterogenitas bukannya keadaan di mana sumber daya ini seragam dan bergerak sehingga apa yang dapat dicapai oleh satu organisasi dapat dicapai oleh organisasi lain. Alasannya adalah bahwa hambatan untuk masuk dalam persaingan kenyataannya ada di mana sumber daya bervariasi dan mobilitas yang tidak sempurna sehingga keunggulan kompetitif berkelanjutan bisa dicapai hanya oleh organisasi dengan penggunaan sumber daya tertentu oleh bisnis tertentu (Hoskisson & Hitt, 1999). Dalam pandangan berbasis sumber daya perusahaan, perbedaan dalam batas-batas sempit dari kelompok dalam suatu industri telah dicatat di samping perbedaan antara perusahaan di pasar yang sama. Referensi (Weerawardena & Mavondo, 2011) mendukung argumen tentang dampak sumber daya yang spesifik untuk sebuah organisasi pada kinerja dan mencatat bahwa kepemilikan sumber daya tertentu adalah kritis dan penting bagi pencapaian perusahaan dan pelestarian keunggulan kompetitif yang berkelanjutan. Ketidakpastian Lingkungan yang Dirasakan (Perceived Environmental Uncertainty) Lingkungan di mana perusahaan beroperasi sangat penting untuk keberhasilannya. Ini menghasilkan ancaman dan peluang untuk bisnis. Lingkungan mempengaruhi proses, struktur organisasi, dan pengambilan keputusan eksekutif (Gergely, 2016). Ini menghasilkan ketidakpastian bagi perusahaan dan itu manajemen yang pada gilirannya mempengaruhi pengolahan informasi kebutuhan dalam tim manajemen tingkat atas khususnya di kalangan UKM di negara-negara berkembang. Lingkungan bisnis yang dirasakan umumnya dibagi menjadi tiga kategori yaitu munificence, dynamism and complexity. Munificence di lingkungan mengacu pada kemampuan lingkungan untuk menyediakan sumber daya yang memadai untuk organisasi bersaing di dalamnya. kompleksitas lingkungan menunjukkan tingkat pemahaman lingkungan sementara dinamika lingkungan mengacu pada sifat tak terduga dan tingkat perubahan dalam lingkungan (Kaplan, 2011). Dinamisme juga dapat melihat melalui perspektif perubahan konstan. Di bawah sudut pandang ketidakpastian informasi, meningkatkan tingkat lingkungan akan mengakibatkan ketidakpastian yang lebih besar. Oleh karena itu, dinamika lingkungan bisa dikatakan berkorelasi dengan tingkat prediktabilitas (Li & Liu, 2014). Munificence dalam lingkungan menunjukkan kemampuan lingkungan hidup untuk memungkinkan stabilitas dan pertumbuhan organisasi. Munificence dapat memfasilitasi juga produksi sumber daya berlebihan atau slack output dan bahwa perusahaan dapat memanfaatkan saat-saat kekurangan. Sumber daya slack ini juga dapat digunakan untuk memfasilitasi inovasi dalam suatu organisasi (Dibrell, Craig, & Dibrell, 2006). Lingkungan pasar yang kejam diwujudkan oleh persaingan kejam dan tidak adanya peluang yang dapat dimanfaatkan, sementara lingkungan pasar yang dinamis yang dicontohkan oleh kemajuan pesat dalam teknologi dan perubahan yang cepat dalam preferensi konsumen yang dikenal memiliki dampak besar pada kinerja bisnis (Teece, Pisano, & Shuen, 2008). Dinamisme lingkungan dalam bahasa sehari-hari mengacu pada aspek tak terduga dari tren pasar, permintaan pelanggan, inovasi industri dan kompetensi pesaing. Ketika peluang berlimpah dalam 266 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 lingkungan yang dinamis, orientasi wirausaha (Entrepreneurial Orientation) dapat memfasilitasi kegiatan pre-emptif dan proaktif yang mengarah ke peningkatan kinerja dan keberhasilan yang lebih berkelanjutan. Lingkungan yang dikatakan dinamis diwujudkan oleh ketidakpastian dan perubahan terus-menerus bisa menjadi sumber banyak kesempatan (Alon, Jiao, Kwong, & Cui, 2013). Area ditandai dengan lingkungan yang dinamis, pertumbuhan pengalaman dalam industri, kemajuan teknologi, perubahan kebutuhan konsumen, dan permintaan tinggi untuk barang dan jasa yang baru. Ini bermanifestasi sebagai peluang bagi rumah produksi film nasional. Oleh karena itu, dalam upaya untuk memanfaatkan peluang ini, bisnis menjadi lebih kreatif, mengembangkan strategi yang inovatif, menjadi lebih proaktif, dan mengambil lebih banyak risiko ketika mengembangkan orientasi kewirausahaan yang mengarah ke peningkatan kinerja (Gathungu, 2014). Lingkungan yang tidak bersahabat (hostile) menghasilkan ancaman terhadap organisasi, baik melalui penurunan permintaan atau meningkat persaingan. Sebuah bisnis harus karena itu menjadi lebih aktif untuk mengalahkan para pesaingnya dengan menjadi inovatif dan mengambil lebih banyak risiko. Munficence atau kelimpahan lingkungan mengacu pada ketersediaan sumber daya terbatas dalam lingkungan dan kesempatan tak terbatas dalam aksesibilitas dan perolehan sumber daya yang diperlukan. Munificence mendorong inovasi substansial, dan pro-keaktifan menjadi penting sebagai kemungkinan kegagalan berkurang (Porter, 1991). Diskusi diatas adalah konsisten dengan Market-Based View (MBV) yang menyatakan bahwa orientasi eksternal dari pasar dan industri faktor penentu utama kinerja dari suatu perusahaan (Porter, 1991). Menurut referensi (Porter, 1991) sumber-sumber nilai bagi organisasi yang bercokol dalam kondisi kompetitif mewujudkan posisi strategis produk akhir. Posisi strategis mengacu pada set yang berbeda organisasi dari praktek-praktek yang berbeda dari pesaing. Berdasarkan perspektif ini, kinerja organisasi atau profitabilitas ditentukan secara eksklusif oleh dinamika kompetitif dan struktur pasar di perusahaan beroperasi. Kapabilitas Dinamis Kapabilitas dinamis dapat didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan, membangun, dan mengkonfigurasi ulang kompetensi internal dan eksternal untuk mengatasi lingkungan yang berubah cepat yang (Susanti & Arief, 2015). Kapabilitas dinamis dapat dibedakan dari kemampuan operasional yang mengacu pada operasi inti dari suatu perusahaan. Kapabilitas dinamis menunjukkan kapasitas organisasi untuk sengaja menciptakan, memperluas, atau memodifikasi sumber daya yang ada (Arief & Basuki, 2015). Anggapan dasar konsep kapabilitas dinamis adalah bahwa perusahaan harus menuntut kompetensi inti untuk beradaptasi untuk mendapatkan posisi kompetitif jangka pendek dalam rangka untuk menciptakan keunggulan kompetitif jangka panjang. Banyak peneliti mendalilkan bahwa kapabilitas dinamis adalah kemampuan untuk menggabungkan sumber daya eksternal dan internal untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, dan bakat yang lebih tinggi untuk tumbuh, mengubah, atau membangun kapasitas konvensional yang menentukan kecepatan dan arah perubahan (Teece, Pisano, & Shuen, 2008). Perkembangan kapabilitas dinamis dan kesadaran mengikuti rute dari "akuisisi, transmisi, integrasi dan pembaharuan", dan terakhir, organisasi harus memasukkan pengetahuan untuk kemajuan proses perusahaan, dan mendukung kemampuan untuk meningkatkan efektivitas organisasi sehingga untuk mengatasi suasana pasar yang rumit dan tidak stabil dan untuk memperoleh keunggulan kompetitif yang berkelanjutan (Buttar & Koçak, 2011). Untuk penelitian ini kapabilitas dinamis dibagi menjadi 267 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 tiga lingkup: Koordinasi, Pembelajaran, dan Respon kompetitif strategis (coordination, learning, and strategic competitive response). Koordinasi adalah bakat untuk mengevaluasi nilai aktiva lancar dan campuran mereka untuk menciptakan kompetensi baru. Pembelajaran mengacu pada kemampuan untuk memperoleh pengetahuan dan mensintesis itu untuk membawa pembaharuan di perusahaan. Respon strategis adalah kemampuan untuk bereaksi terhadap tindakan saingan dan perubahan lingkungan. Menurut referensi (Dibrell, Craig, & Dibrell, 2006), kapabilitas dinamis memungkinkan perusahaan untuk mengintegrasikan, membuat, dan mengkonfigurasi ulang kompetensi dan sumber daya mereka dan sebagai hasilnya, terus tampil di muka pergeseran situasi bisnis. Menurut referensi (Teece, Pisano, & Shuen, 2008), kapabilitas dinamis naik dari mekanisme pembelajaran; mereka membuat metode sistematis korporasi untuk mengubah prosedur operasi (Zahra & Covin, 1993). Model menunjukkan juga bahwa kemampuan substantif dan pengetahuan organisasi memutuskan kemampuan yang dinamis sangat penting untuk menyesuaikan muncul keadaan berdampak pada kinerja organisasi. Referensi (Zahra & Covin, 1993) juga membahas kapabilitas dinamis dari perspektif organisasi belajar. Luo mengandaikan kemampuan itu, "kepemilikan (sumber khas), penyebaran (alokasi sumber daya) dan peningkatan (belajar yang dinamis)" adalah elemen dari kapabilitas dinamis untuk mendapatkan posisi kompetitif untuk perluasan perusahaan. Referensi (Zahra, Sapienza, & Davidsson, 2006) memandang teori pembelajaran organisasi dan menyarankan bahwa perusahaan yang bertujuan untuk ekspansi jalur cepat harus membangun arah strategis kapabilitas dinamis. Selain itu,referensi (Eisenhardt & Martin, 2000) telah mempelajari efek kinerja kapabilitas dinamis perusahaan dalam pengaturan global. Referensi (Sultan, 2007) menemukan bahwa keberhasilan dalam menggunakan konfigurasi ulang kemampuan (yang merupakan bagian dari kapabilitas dinamis) berkorelasi dengan kinerja perusahaan. Rekonfigurasi kemampuan melibatkan penerapan strategi perusahaan baru atau secara signifikan berubah seperti penerapan jenis baru dari teknik manajemenbaru atau perubahan struktur organisasi, strategi promosi atau metode dan peralatan berteknologi tinggi atau proses produksi, pembaharuan bisnis yang signifikan dan manufaktur / produksi proses (Teece, Pisano, & Shuen, 2008). Penelitian ini mengkategorikan kapabilitas dinamis sebagai array dari praktik tertentu dan diklasifikasikan, atau sebagai kelompok sumber daya yang perusahaan dapat menggabungkan, memperbaharui, mengkonfigurasi ulang dan pindah sumber daya mereka dikelola (Deya, 2016). Kapabilitas Dinamis dan Kinerja Perusahaan Sangat penting untuk dicatat bahwa kesulitan dalam menghasilkan deskripsi, operasionalisasi, dan evaluasi dampak kapabilitas dinamis pada kinerja perusahaan telah menghambat seluruh proses pengujian empiris kemampuan ini. Namun, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa kapabilitas dinamis perusahaan sangat mempengaruhi kinerja perusahaan (Zahra, Sapienza, & Davidsson, 2006). Kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan informasi dan pengetahuan dari sumber yang dapat dipercaya eksternal memiliki korelasi positif dengan produktivitas penelitian yang otoritatif diukur dengan jumlah paten. Secara khusus, peneliti yang masukan lebih banyak investasi ke dalam kodifikasi dari proses integrasi mereka memiliki hasil keuntungan lebih unggul daripada mereka yang tidak. Selain itu, kapabilitas dinamis seperti kualitas personil penelitian dan pembentukan proses aliansi secara besar-besaran terkait dengan frekuensi produk baru dikembangkan di, katakanlah, industri bioteknologi (Zahra, Sapienza, & Davidsson, 2006). Sebanyak ada kemajuan berkelanjutan dalam pemeriksaan empiris dampak diferensial dari kapabilitas dinamis ditentukan, tampak bahwa tidak banyak penelitian telah menyediakan rekening komprehensif efek tertentu terhadap kinerja perusahaan. Penelitian mengusulkan bahwa kapabilitas 268 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 dinamis, yang dapat dihitung sebagai meta-kemampuan atau kemampuan tingkat tinggi adalah sangat penting karena mereka membantu perusahaan menghindari proses normal yang tanpa disadari dilakukan oleh kompetensi organisasi yang lebih rendah (Susanti & Arief, 2015). Dengan demikian, perusahaan harus datang dengan kemampuan untuk belajar, percobaan, dan mendefinisikan kembali dan mendesain ulang sumber daya dalam rangka untuk tidak terjebak oleh perangkap yang ditetapkan oleh kompetensi rendah yang ada. Sebaliknya, perusahaan harus menciptakan sumber-sumber baru dan jalan keunggulan kompetitif (Eisenhardt & Martin, 2000). Demikian pula, dapat dikatakan bahwa sebanyak kapabilitas dinamis yang langka dan berharga, mereka equifinal; menyiratkan bahwa mereka tetap konstan di perusahaan karena atribut khusus mereka yang tidak bergerak atau ditiru (Wang & Shi, 2011). Ini berarti bahwa kapabilitas dinamis tidak bisa, sendiri, menjadi sumber keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dan dapat diandalkan. Sebaliknya, kemampuan ini berkontribusi sangat untuk kinerja perusahaan yang lebih tinggi melalui pembaharuan dan kombinasi kompetensi fungsional yang meningkatkan kinerja. Singkatnya, makalah ini berpendapat bahwa kapabilitas dinamis memainkan peran sentral dalam membangun dan konfigurasi ulang posisi sumber daya (Teece, Pisano, & Shuen, 2008). Dengan demikian, mereka menghasut kesadaran perusahaan yang lebih baik dan penilaian, yang menghasilkan kinerja yang lebih baik. Ini rantai menyatakan kausalitas menciptakan link langsung antara kinerja dan kapabilitas dinamis. Meskipun demikian, mekanisme dan proses atau metodologi yang digunakan kapabilitas dinamis mempengaruhi kinerja perusahaan tertentu tidak jelas diuraikan dan dipahami (Eisenhardt & Martin, 2000). Ketidakpastian Lingkungan yang Dirasakan dan Kapabilitas Dinamis Lingkungan di mana bisnis beroperasi sekarang secara bertahap menjadi lebih dinamis sebagai akibat dari perubahan teknologi yang cepat dan penting, siklus hidup produk yang lebih pendek, tumbuh persaingan global dan akselerasi keahlian serta praktek bisnis. Karena kenyataan bahwa lingkungan menghilangkan kompetensi organisasi, menciptakan kemahiran fungsional baru mungkin suatu keharusan bagi perusahaan untuk bersaing di pasar dan perkembangan teknologi (Hermano & Martíncruz, 2016). Dengan demikian, dalam lingkungan yang dinamis nilai laten kapabilitas dinamis dapat ditingkatkan karena mereka memungkinkan perusahaan untuk mengkonfigurasi ulang dan memperbaharui kemampuan fungsional mereka dan membawa konfigurasi baru yang lebih cocok dengan keadaan lingkungan yang selalu berubah. Dinamisme lingkungan diwujudkan dengan tingkat penyesuaian preferensi pelanggan, teknologi, dan metode persaingan di pasar utama organisasi. Latar belakang lingkungan mungkin penting dalam pemeriksaan kinerja dan sumber daya sebagai lingkungan yang berbeda memerlukan evaluasi yang berbeda dari sumber daya (Hoskisson & Hitt, 1999). Referensi mendefinisikan kapabilitas dinamis dan menjelaskan pentingnya mereka dalam mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dalam lingkungan yang selalu berubah (Eisenhardt & Martin, 2000). Lingkungan yang dinamis membuat perusahaan untuk berpartisipasi dalam konfigurasi ulang sumber daya secara teratur dan investasi di bakat fungsional baru yang memiliki kemungkinan lebih besar mendukung ekspansi konstan dari barang dan jasa yang berharga (Hermano & Martín-cruz, 2016). Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat dinamisme di lingkungan, kapabilitas dinamis lebih mungkin akan layak untuk usaha karena mereka memberikan organisasi kesempatan untuk mencari prospek yang inovatif dan bahkan lebih menguntungkan (Stonehouse & Snowdon, 2007). METODE PENELITIAN Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2, model kerangka kerja konseptual yang dibangun menggunakan 3 (tiga) konstruk laten variabel: Strategi Kapabilitas Dinamis (Dynamic Capabilities Strategy), 269 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Ketidakpastian Lingkungan yang Dirasakan (Perceived Environmental Uncertainty) dan Kinerja Perusahaan (Firm Performance). Penelitian ini akan menggunakan sebagian besar data primer seperti survei kuesioner dan metode wawancara mendalam. Produser dari rumah produksi film nasional, sutradara film yang mengambil pekerjaan borongan dari rumah produksi akan menjadi responden utam. Dimasukkannya manajer senior seperti produser eksekutif untuk menjadi populasi tambahan dari survei penelitian juga akan dilakukan. Selanjutnya, penelitian ini juga akan mengelompokkan responden dengan jumlah film yang diproduksi secara setahun, besar anggaran produksi serta genre dari film yang diproduksi. Kedua analisis statistik inferensial dan deskriptif akan digunakan secara paralel untuk mengumpulkan data yang relevan. PEMBAHASAN Gambar 2. Model Kerangka Kerja Konseptual Hipotesa 1: Strategi kapabilitas dinamis mempunya pengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Meskipun kesimpulan literatur yang kapabilitas dinamis memerlukan set rutinitas yang rumit, argumen lebih lanjut menegaskan bahwa keberadaan kemampuan ini sering diambil untuk diberikan tanpa menyoroti proses individual yang menghasilkan mereka. Namun, penelitian oleh referensi (Eisenhardt & Martin, 2000) mengkritisi hal tersebut khususnya ketika menyatakan bahwa kapabilitas dinamis terdiri dari rutinitas yang bisa diidentifikasi dan spesifik. Proses seperti pengembangan produk, aliansi dan akuisisi dan pengambilan keputusan strategis, antara lain, adalah contoh sempurna dari kapabilitas dinamis. Untuk menganalisis pengaruh kapabilitas dinamis pada kinerja suatu perusahaan, sangat penting untuk menilai proses dan rutinitas tertentu dan untuk mempertimbangkan dimensi komposit yang lebih luas (Teece, Pisano, & Shuen, 2008). Penelitian ini untuk membedakan tiga dimensi: kegiatan koordinasi, respon kompetitif strategis, dan proses pembelajaran (coordinating activities, strategic competitive response, and learning processes) (Teece, 2007). Hal ini sangat percaya bahwa tiga hal tersebut merupakan driver yang berbeda dan penting yang menghasilkan penciptaan dan munculnya konfigurasi baru kompetensi fungsional. Kemampuan koordinasi (Coordination Capability) berfokus pada kemampuan perusahaan untuk menilai nilai sumber daya eksistensial dan mengintegrasikan sumber daya kata untuk datang dengan 270 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 kompetensi baru. Selain itu, pelaksanaan desain baru dari kompetensi fungsional bergantung pada koordinasi yang efektif dan penanganan berbagai tugas dan sumber daya serta sinkronisasi berbagai kegiatan (Teece, 2007). Proses koordinasi melalui komunikasi, tugas tugas, dan penjadwalan, menghubungkan dan memastikan interfacing dari rutinitas tunggal. Namun, kurangnya teknik koordinasi diandalkan memudahkan perubahan teknologi kecil untuk memiliki dampak besar pada posisi pasar yang kompetitif perusahaan incumbent. Misalnya, industri photolithographic telah memiliki perusahaan yang menderita efek besar karena perubahan teknologi kecil, dalam hal inovasi (Zahra & Covin, 1993). Untuk inovasi agar tidak memiliki efek buruk pada perusahaan harus ada koordinasi yang efisien dan integrasi beberapa tugas atau proses yang dinamis. Kemampuan respon kompetitif strategis (Strategic Competitive Response Capability) pada dasarnya menyentuh munculnya perubahan pasar dan kemampuan perusahaan untuk merespon perubahan eksogen tersebut. Dengan kata lain, itu adalah kemampuan perusahaan untuk melaksanakan pemindaian dari lingkungannya, menilai posisinya kompetitif, memilih peluang baru, dan menawarkan tanggapan yang muncul bergerak strategis kompetitif (Teece, 2007). Bahkan ketika sebuah perusahaan yang didirikan sangat menyadari kebutuhan mendesak untuk perubahan untuk menangani dan alamat mengubah persyaratan lingkungan, itu, lebih sering daripada tidak, sulit untuk merespon dengan khasiat yang diinginkan. Penelitian menunjukkan bahwa terkecil dari perubahan teknologi menawarkan tantangan keras kepada perusahaan, dan sulit untuk ditangani secara efektif (Eisenhardt & Martin, 2000). Ini berarti bahwa kemampuan untuk strategis menanggapi perubahan lingkungan adalah kunci bagi perusahaan, mengingat bahwa itu memungkinkan kata perusahaan untuk mengkonfigurasi ulang kompetensi tertentu sebelum mereka berubah menjadi kekakuan inti (Zahra & Covin, 1993). Belajar kemampuan (Learning Capability) adalah murni sarana utama untuk mendapatkan pembaharuan strategis. Secara khusus, pembaharuan menuntut perusahaan mengeksplorasi dan belajar cara-cara baru sambil memastikan bahwa mereka masih memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya. Secara keseluruhan, pembelajaran sangat penting karena memfasilitasi resolusi cepat dan lebih baik dari masalah sementara memungkinkan perusahaan untuk menentukan peluang produksi baru melalui eksperimen berkelanjutan. Hal ini dapat dimungkinkan karena proses belajar yang multi-level dan dinamis (Teece, 2007). Meskipun wawasan, visi, dan ide-ide inovatif mungkin datang kepada individu, pribadi yang dihasilkan dan pengetahuan dibuat dibagi dalam konteks perusahaan. Akhirnya, beberapa informasi menjadi dilembagakan sebagai perusahaan artefak (Zahra & Covin, 1993). Secara keseluruhan, argumen tersebut menunjukkan bahwa proses tertentu koordinasi, daya saing strategis, dan belajar adalah kegiatan penting yang mempercepat perubahan dalam perusahaan. Oleh karena itu, mereka dapat diambil untuk menjadi sub-dimensi yang lebih rumit, pembuatan abstrak yang mewakili kapabilitas dinamis. Dengan cara ini, mereka dapat langsung berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik dan lebih jelas dan evaluasi dari materi yang komprehensif dari kapabilitas dinamis. Hipotesa 2 – Ketidakpastian perubahan yang dirasakan memoderasi strategi kapabilitas dinamis terhadap kinerja perusahaan Perceived environmental uncertainty menggambarkan tingkat dan ketidakpastian perubahan lingkungan eksternal perusahaan (Gergely, 2016). Ketika rumah produksi film nasional menghadapi lingkungan yang sangat dinamis, bisnis menghadapi jelas standar nilai-penilaian dan lingkungan 271 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 mengecilkan untuk pemilihan strategi operasional; faktor-faktor ini dapat memaksa bisnis untuk cepat membuat keputusan strategis menggunakan pengamatan diagnostik terbatas lingkungan operasional perusahaan, sehingga dapat membangun kapabilitas dinamis. Pasar film nasional yang bergejolak dimana penjualan ticket tidak stabil dan sangat beranomali dari segi genre, sangat menentukan kemana arah produksi konten dari rumah produksi film. Namun, organisasi dan pelaksanaan kemampuan strategi dinamis pasti akan memakan biaya karena eksekusi oleh manajemen yang terlalu flexibel dan menghasilkan film yang tidak diterima masyarakat. Jika sebuah organisasi harus menegakkan strategi untuk mempertahankan kemampuan yang sangat dinamis dalam lingkungan yang relatif stabil akan bisa menyebabkan kerugian lebih dari keuntungan. Oleh karena itu, perlu untuk mempekerjakan dinamika lingkungan dan mengeksplorasi efeknya pada kapabilitas dinamis dan kinerja usaha baru. Perubahan frekuensi mengubah preferensi pelanggan dan lingkungan operasional. Menurut referensi (Starik & Kanashiro, 2013), perusahaan bisnis di bawah lingkungan yang bergejolak perlu untuk terus memperbaharui produk atau layanan agar dapat menanggapi perubahan lingkungan. Dengan demikian, bisnis ini akan lebih mampu untuk memenuhi 'terus berubah preferensi, membuat respon yang tepat waktu dan efektif untuk pesaing' pelanggan taktik. Lingkungan yang lebih dinamis mengharuskan mereka untuk mempertahankan tingkat yang lebih tinggi dari kapabilitas dinamis, sehingga dapat secara efektif merespon perubahan kebutuhan pelanggan serta transformasi teknologi dalam rangka mewujudkan tingkat yang lebih tinggi dari kinerja selama periode tinggi dari kompetisi.Selain itu, bagaimana strategi sesuai dengan sumber daya dan kemampuan untuk lingkungan adalah fundamental dalam bidang manajemen strategis (Chesbrough, 2007). Selama proses ini, dinamika lingkungan adalah varian dari efek penting. Literatur yang relevan menunjukkan bahwa dinamika lingkungan ditandai dengan cepat berubah dinamis lingkungan organisasi dan negara-negara krisis. Ketidakpastian dan kesempatan dapat mempengaruhi dan bahkan mengubah posisi suatu organisasi dalam persaingan pasar (Dibrell, Craig, & Dibrell, 2006). Selain itu, penelitian pada tampilan berbasis sumber daya keunggulan kompetitif memiliki semakin diakui bahwa nilai strategis dari sumber daya atau kemampuan perusahaan bergantung pada konteks pasar tertentu (Miller & Shamsie, 1996; Eisenhardt & Martin, 2000). Misalnya, referensi (Miller & Shamsie, 1996) menemukan bahwa sumber daya berbasis properti seperti kontrak jangka panjang eksklusif dengan aktor bintang meningkatkan kinerja keuangan di lingkungan diprediksi, sementara kemampuan berbasis pengetahuan seperti produksi dan proses koordinatif mendorong kinerja keuangan dalam perubahan dan lingkungan tak terduga. Menghadapi perubahan yang cepat dalam teknologi, pasar, dan persaingan, usaha baru lebih mengandalkan kemampuan respon yang cepat untuk mengatasi kondisi eksternal berubah dan dengan demikian bertahan dan berkembang di lingkungan baru. Ini adalah dinamis strategi kemampuan yang membantu usaha baru untuk mendapatkan informasi realtime tentang bisnis mereka dan lingkungan, yang mempengaruhi kecepatan pengambilan keputusan strategis. PENUTUP Simpulan Penelitian ini mencoba membuat kerangka konseptual bagi rumah produksi film nasional untuk meningkatkan kinerja perusahaanya dari segi peningkatan penjualan tiket film di bioskop yang mereka produksi serta laba dari invetasi (return on investment) dari produk film tersebut. Rumah produksi film nasional harus mengembangkan kapabilitas dinamis mereka untuk tetap kompetitif dan bisa menaikan kinerja perusahaan. Learning, Strategic Competitive Response Capability, dan Coordination Capability menjadi variable penting yang harus dikuasai. Tentunya peneletian ini juga 272 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 mencoba untuk menguji variabel moderasi yang itu persepi dari ketidak pastian lingkungan atau Perceived Environmental Uncertainty. Ini penting dikarenakan industri film sangat dinamis dan perubahan pasar dari segi konten juga sangat bergejolak. Assosiasi kapabilitas dinamis dan kinerja perusahaan yang dimoderasi oleh ketidakpastian lingkungan yang dirasakan oleh rumah produksi film nasional juga akan menambah kontribusi bagi literatur kapabilitas dinamis. Peneliti peneliti sebelumnya belum banyak membuat penelitian empiris mengani kapabilitas dinamis yang dimoderasi oleh ketidakpastian lingkungan apalagi dalam kontex industri budaya. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini adalah kerangka konseptual dari sebuah penelitian yang bisa dilakukan kedepannya. Tentunya adanya keterbatasan akan terasa setelah pengumpulan data dan pengujian data mengingat para pengusaha di industri kreatif akan berbeda berbeda dalam memposisikan kapabilitas dinamis di dalam perusahaanya. Industri budaya merupakan industri yang sangat subjectif dan pengujian hasil akan sangat menarik kedepannya pada saat pengujian empiris dilakukan. Saran Kerangka penelitian ini hanya mengisi sedikit ilmu kapabilitas dinamis yang dimoderasi oleh ketidakpastian lingkungan yang dirasakan. Di masa depan, para peneliti bisa mengembangkan kerangka penelitian ini dengan menambahkan variable variable pendukung seperti innovation, business agility serta Firm configuration dalam melihat ketidakpastian lingkungan di industry budaya. 273 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA Alon, I., Jiao, H., Kwong, K. C., & Cui, Y. (2013). The moderating effects of environmental dynamism on the relationship between dynamic capabilities strategy and new venture performance in an emerging market. Arief, M., & Basuki, Y. T. (2015). Dynamic Capability as a Business Strategy Enhancing the Business Performance (A Conceptual Approach). Advanced Science Letters, 21(4), 690-694. Barney, J. B., & Zhang, S. (2009). The future of chinese management research: A theory of chinese management versus a chinese theory of management. Management and Organization Review, 5(1), 15–28. Barreto, I. (2010). Dynamic Capabilities: A Review of Past Research and an Agenda for the Future. Journal of Management, 36(1), 256–280. Buttar, H. M., & Koçak, A. (2011). The relationship between entrepreneurial orientation dynamic capabilities and firm performance: An exploratory study of small Turkish firms. International Journal of Business and Globalisation, 7(3), 351–366. Chen, C. L., & Jaw, Y. L. (2009). Building global dynamic capabilities through innovation: A case study of Taiwan’s cultural organizations. Journal of Engineering and Technology Management - JETM, 26(4), 247–263. Chesbrough, H. (2007). Business model innovation: it’s not just about technology anymore. Strategy & Leadership, 35(6), 12–17. Deya, J. (2016). Relationship between dynamic capabilities and competitive advantage of Technical, Vocational and Entrepreneurship Training Institutions in Kenya. Doctoral dissertation, Business Administration (Strategic Management), JKUAT. Dibrell, C., Craig, J., & Dibrell, C. (2006). The natural environment, innovation, and firm performance: A comparative study. Family Business Review, 19(3), 201. Eisenhardt, K. M., & Martin, J. A. (2000). Dynamic capabilities: what are they? Strategic Management Journal, 21(10–11), 1105–1121. Film Indonesia. (2016, Juni 20). Jumlah Penonton Film Indonesia 2016 Terlaris. Retrieved from Film Indonesia: http://filmindonesia.or.id/ Fulton, D., Fulton, R., & Garsombke, T. (2015). Shifting technology paradigm for the film and entertainment industryβ―: Interface modalities. Journal of Technology Research, 6, 1–14. Gao, Y. &. (2015). Research on Dynamic Capabilities and Innovation Performance in the Chinese Context: A Theory Model-Knowledge Based View. Open Journal of Business and Management, 3(04), 364. Gathungu, J. M. (2014). Entrepreneurial Orientation, Networking, External Environment, and Firm Performance: a Critical Literature Review. European Scientific Journal, 10(7), 1857–7881. Gergely, F. (2016). The Effects of Strategic Orientations and Perceived Environment. Firm Performance, 8(1), 55–65. Hermano, V., & Martín-cruz, N. (2016). The role of top management involvement in firms performing projectsβ―: A dynamic capabilities approach. Journal of Business Research, 69(9), 34473458. Hoskisson, R. E., & Hitt, M. A. (1999). Managementβ―: Swings of a pendulum. Journal of Management, 25(3), 417–456. Kaplan, S. (2011). Research in Cognition and Strategy: Reflections on Two Decades of Progress and a Look to the Future. Journal of Management Studies, 48(3), 665–695. 274 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Kristanto, J. B., & Ardan, S. M. (2007). Katalog film Indonesia, 1926-2007. Jakarta: enerbit Nalar bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,[dan] Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia. Li, D., & Liu, J. (2014). Dynamic capabilities , environmental dynamism , and competitive advantageβ―: Evidence from China. Journal of Business Research, 67(1), 2793–2799. Miller, D., & Shamsie, J. (1996). The resource-based view of the firm in two environments: The Hollywood film studios from 1936 to 1965. Academy of Management Journal, 39(3), 519–543. Morawetz, N. (2009, September). The Rise of Co-Productions in the Film Industry: The Impact of Policy Change and Financial Dynamics on Industrial Organization in a High Risk Environment. Retrieved from Handle.Net: http://hdl.handle.net/2299/3469 Porter, M. (1991). Towards a Dynamic Theory of Strategy. Strategic Management Journal, 12, 95– 117. Ramilo, R., & Embi, M. R. (2014). Critical analysis of key determinants and barriers to digital innovation adoption among architectural organizations. Frontiers of Architectural Research, 3(4), 431–451. Randle, K., & Dodourova, M. (2010). Linking digital technologies and dynamic capabilities: A case study of small firms in the UK audio visual sector. Journal of Global Strategic Management, 7, 39– 51. Scott, A. J. (1999). The cultural economy: geography and the creative field. Media, Culture & Society Vol. 21, 807-817. Starik, M., & Kanashiro, P. (2013). Toward a Theory of Sustainability Management: Uncovering and Integrating the Nearly Obvious. Organization & Environment, 26(1), 7–30. Stonehouse, G., & Snowdon, B. (2007). Competitive advantage revisited: Michael Porter on strategy and competitiveness. Journal of Management Inquiry, 16(3), 256–273. Sultan, S. S. (2007). The Competitive Advantage Of Small and Medium Sized Enterprisesβ―: The Case of Jordan ’ s. Natural Stone, 1–345. Susanti, A. A., & Arief, M. (2015). The Effect of Dynamic Capability for the Formation of Competitive Advantage to Achieve Firm’s Performance (Empirical Study on Indonesian Credit Cooperatives). Advanced Science Letters, 21(4), 809-813. Teece, D. J. (2007). Explicating dynamic capabilities: the nature and microfoundations of (sustainable) enterprise performance. Strategic Management Journal, 28(13), 1319–1350. Teece, D. J., Pisano, G., & Shuen, A. (2008). Dynamic Capabilties and Strategic Management. Strategic Management Journal, 18(7), 509–533. Wang, Y., & Shi, X. (2011). hrive, not just survive: enhance dynamic capabilities of SMEs through IS competence. Journal of Systems and Information Technology, 13(2), 200–222. Weerawardena, J., & Mavondo, F. T. (2011). Capabilities, innovation and competitive advantage. Industrial Marketing Management, 40(8), 1220–1223. Wiklund, J., & Shepherd, D. (2003). Knowledge-based resources, EO, and the performance of small and medium-sized businesses. Strategic Management Journal, 24(13), 1307–1314. Zahra, S. A., Sapienza, H. J., & Davidsson, P. (2006). Entrepreneurship and dynamic capabilities: a review, model and research agenda. Journal of Management Studies, 43(4), 917–955. Zahra, S. S., & Covin, J. J. (1993). Business strategy, technology policy and firm performance. Strategic Management Journal, 14(6), 451–478. 275 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 INOVASI DIGITAL DALAM I-FOCUS MODEL: FAKTOR KUNCI KEBERLANGSUNGAN INDUSTRI MEDIA LUAR RUANG Jimmy Lizardo Universitas Bina Nusantara Jakarta E-mail : [email protected], [email protected] Abstract: Out of home media as part of the creative industry is a business that has huge growth potential, even the out of home media penetration in Indonesia become the second highest after television. This growth leads to changes in the out of home media industry that become a phenomenon in the strength of industry competition and affect the business performance of the out of home media industry. This study examines the strategic management as an alternative model of the solution in improving the business performance of the out of home media, which is based on four aspects: the implementation of Digital Innovation, an adaptation of the Forces Driving Competition, increasing the Core and Unique capabilities. Efforts to develop the Strategy of out of home media business include partnership strategies. However, in line with the rapid development of digital information and communication technologies, out of home media industry undergoing significant change. Out of home media as a communication medium, is no longer a one-way communication, but become a two-way communication and being personalized. These changes affect of out of home media business performance. The necessary efforts of it will be needed so that continuity of this kind of business can take place. The key factor that business continuity out of home media industry can be sustained is by doing a Digital Innovation. Keywords : Out of Home Media, Digital Innovation, Digital Technology Strategic Management, Business Performance Abstrak: Media luar ruang sebagai bagian dari industri kreatif merupakan bisnis yang memiliki potensi pertumbuhan yang besar. Penetrasi media luar ruang di Indonesia menjadi tertinggi kedua setelah televisi. Pertumbuhan ini membawa dampak yang fenomenal dalam kekuatan persaingan industri dan kinerja bisnis industri media luar ruang. Penelitian ini, secara teoritis, hendak menelaah tentang manajemen strategis sebagai alternatif model solusi dalam meningkatkan kinerja bisnis media luar ruang yang bertumpu pada empat aspek: implementasi inovasi digital (Digital Innovation), pengadaptasian kekuatan persaingan industri (Forces Driving Competition), peningkatan kapabilitas inti dan unik (Core and Unique Capabilities). Upaya mengembangkan strategi bisnis media luar ruang (Strategy of Out of Home Media Business) meliputi strategi kemitraan. Namun sejalan dengan perkembangan digital informasi dan teknologi komunikasi yang demikian pesatnya, industri media luar ruang mengalami perubahan yang signifikan. Media Luar Ruang sebagai medium komunikasi, tidak lagi menjadi medium satu arah namun menjadi medium dua arah dan bersifat personal. Perubahan ini mempengaruhi kinerja bisnis media luar ruang, sehingga diperlukan berbagai upaya agar keberlangsungan bisnis media luar ruang dapat berlangsung. Faktor kunci agar keberlangsungan bisnis industri media luar ruang dapat berkelanjutan adalah dengan melakukan Inovasi Digital. Keywords : Media Luar Ruang, Inovasi Digital, Teknologi Digital, Manajemen Strategis, Kinerja Bisnis 276 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 PENDAHULUAN Transformasi besar sedang terjadi dalam tatanan ekonomi dunia. Pelaku bisnis dituntut memiliki wawasan, daya imajinasi, dan kreatifitas yang tinggi untuk menghasilkan keunggulan kompetitif dalam menghasilkan nilai tambah ekonomi. Kompetisi tidak lagi terbatas pada efisiensi pengelolaan bahan baku, standar layanan, maupun pengembangan teknologi saja. Kemampuan untuk fokus pada kekuatan inovasi dan merebut setiap kesempatan dengan menawarkan produk dan layanan yang dihasilkan dengan cara yang kreatif, artistik, dan selalu terdepan dengan ide-ide brilian akan memperoleh tempat utama pada masa sekarang. Fenomena tersebut sebenarnya telah dijelaskan sebagian oleh beberapa teori modern klasik periode 1950 – 1960 yang salah satunya dipelopori Walt Whitman Rostow dalam The Stages of Economic Growth (1960). Teori Modernisasi Rostow menunjukkan bahwa setiap tahapan pembangunan dapat dikaitkan dengan perubahan dari masyarakat agraris dengan budaya tradisional ke masyarakat rasional, industrial, dan berfokus pada ekonomi pelayanan. Pembangunan ekonomi yang selama ini telah memberikan peningkatan kesejahteraan bagi umat manusia digambarkan oleh Pink (2005) dilalui dalam beberapa tahap. Pembangunan perekonomian dunia diawali dengan pertumbuhan sektor pertanian diikuti oleh era industrial, dominasi teknologi informasi, hingga era konseptual saat ini. Era pertanian pada abad 18, mempunyai tingkat ATG terendah, produk pertanian masih banyak bersifat lokal atau hanya regional dengan penggunaan teknologi sederhana sehingga tingkat kemakmuran pada era terbatas. Abad 19 merupakan abad industri, dimana pada tahun 1876 mulai diperkenalkan mesin uap yang membuat revolusi atas sistem pembuatan barang menjadi lebih massal dan cepat. Era ini menunjukkan tingkat ATG yang lebih tinggi karena kemajuan teknologi dan kemampuan memasarkan barang-barang menjadi lebih luas berkat diaplikasikannya mesin uap pada kapal-kapal laut. Abad 20 merupakan era informasi. Pada masa ini mulai diciptakan microprocessor untuk perangkat komputer yang berperan penting dalam mendorong terjadinya pertukaran data dan informasi melalui jaringan internet, sehingga ruang dan waktu untuk akses informasi semakin tidak terbatas. Makin terbukanya peluang dalam mengakses data informasi mendorong pertumbuhan ekonomi dengan lebih cepat, sehingga kapitalisasi semakin tumbuh dan memberikan dampak meningkatnya ATG pada semua wilayah di dunia. Abad 21, atau masa sekarang merupakan era konseptual. Ide baru untuk membuat manusia lebih sejahtera menjadi tumpuan utama dalam perkembangan ekonomi dunia. Inovasi, berbagai penemuan dan kreativitas menjadi modal utama untuk meningkatkan keunggulan dan memberikan peluang memimpin perekonomian dunia. Dapat dikatakan nilai ATG pada era ini lebih tinggi dari sebelumnya, karena teknologi dan globalisasi menjadi syarat utama sehingga kemakmuran suatu negara menjadi tidak terbatas. Bila pada era dengan labor atau skilled worker intensive maka diperlukan sekitar 10.000 atau 100.000 orang untuk 100 industri, maka dengan knowledge-creative intensive satu orang akan berkontribusi secara ekonomis mulai pada dirinya hingga kepada lebih banyak elemen industri lainnya. Industri yang berbasis konseptual dan kreativitas ini dikenal dengan sebutan industri kreatif. Industri kreatif sebenarnya sudah ada sejak era pertanian, industrial, maupun informasi, namun pada masa itu tingkat kebutuhan manusia dan tingkat interaksi sosial belum mencapai kondisi seperti saat ini, sehingga pada era sebelum ekonomi kreatif, industri ini belum menjadi pusat perhatian atau fokus dalam pengembangan industri yang diyakini dapat berkontribusi secara positif terhadap perekonomian suatu bangsa. Hal ini diungkapkan oleh Peter Drucker (2000) bahwa “The 277 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 success and failure of each country will be decided by the cultural industries in the 21st century. The final battleground is the cultural industry”. Industri kreatif ini dapat memberikan nilai tambah di beberapa aspek kehidupan, tidak hanya ditinjau dari sudut pandang ekonomi semata, tetapi juga dapat memberikan dampak positif kepada aspek lainnya seperti peningkatan citra dan identitas bangsa, menumbuhkan inovasi dan kreativitas anak bangsa, mempromosikan industri yang ramah lingkungan karena menggunakan sumber daya yang terbarukan, serta memiliki dampak positif dalam meningkatkan hubungan sosial antar manusia. Karena alasan-alasan itulah maka industri kreatif ini sangat perlu dikembangkan di Indonesia. Industri kreatif yang saat ini sangat berkembang pesat adalah industri kreatif yang berbasis teknologi digital. Masa depan industri kreatif tidak dapat lepas dari kemampuan pelaku industri kreatif digital ini dalam memanfaatkan Information and Communication Technology (ICT). Teknologi berperan sangat penting dalam industri kreatif digital untuk menstimulasi pengembangan produk dan layanan baru, kanal distribusi, model bisnis, dan bahkan kemungkinan ekspansi ke sektor ekonomi yang baru. Contoh peran besar ICT bagi industri kreatif digital antara lain adalah dalam mendistribusikan content dan aplikasi software dengan membangun pasar bagi pelaku industri digital. ICT juga telah mendorong berbagai aktivitas ekonomi secara berkelanjutan dan memberikan ruang inovasi yang tidak terbatas. Dengan berbagai sistem yang ada dan perangkat gadget yang menunjang, para pengguna teknologi informasi akan terhubung pada jaringan dan bersama-sama menggunakan berbagai aplikasi dengan biaya yang relatif sangat murah. Menurut buku Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015, Studi Industri Kreatif Indonesia (2008), pengembangan industri kreatif di Indonesia diarahkan pada beberapa subsektor yang merupakan industri berbasis kreativitas diantaranya adalah subsektor Advertising yang mencakup kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan. Industri Media Luar Ruang masuk dalam industri kreatif pada subsektor Advertising, dimana pertumbuhan pada industri media luar ruang meningkat cukup signifikan. Menurut survey Nielsen Advertising Information Services yang dirilis Nielsen Indonesia pada tanggal 17 Mei 2016 lalu bahwa sepanjang kuartal I/2016, total nilai belanja iklan pada media televisi meningkat menjadi Rp 24,2 triliun atau sebesar 24 persen dari kuartal I/2015. Global Entertainment and Media Outlook 2016-2020 yang dikeluarkan oleh PwC (www.pwcmediaoutlook.com) menyatakan bahwa untuk periklanan Out of Home (OOH) di Indonesia, akan terjadi adalah peningkatan yang cukup pesat dengan persentase sebesar 9,973% CAGR (Compound Annual Growth Rate). Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (CAGR) dari Media Luar Ruang menempati ketiga terbesar setelah Internet dan TV. Gambar 1. menjelaskan lebih detail mengenai pertumbuhan tersebut. 278 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Gambar 1. Entertainment and Media Market in Indonesia Source: Global Entertainment and Media Outlook 2016-2020, PwC (www.pwcmediaoutlook.com) Media Luar Ruang Menurut Grant, A. E. & Meadows, J.H. (2010) adalah segala bentuk apapun yang bisa menghantarkan pesan dari pemilik pesan ke penerima pesan dimana lokasi penempatan bentuk penghantar pesan, yaitu berada di luar ruangan atau di luar rumah. Format bisnis media luar ruang terdiri atas: Digital Out of home meliputi plasma screen, LCD monitor, LED monitor dan projection screen, Physical Out of home meliputi billboard, spanduk, umbul-umbul, banner dan baliho, Mall Solusion, Building Wrap dan Ambient Branding di semua tempat (perkantoran, pusat belanja, alat transportasi dan sebagainya). Perkembangan Media Luar Ruang kedepannya akan fokus kepada Digital Media Luar Ruang. Gambar 2., menjelaskan perbandingan pertumbuhan digital out of home dengan physical out of home. Gambar 2. Out of Home Advertising Market in Indonesia Source: Global Entertainment and Media Outlook 2016-2020, PwC (www.pwcmediaoutlook.com) Pertumbuhan digital out of home mencapai 23.977% CAGR (Compound Annual Growth Rate), artinya keberlangsungan industri media luar ruang akan fokus pada media luar ruang digital. Media luar ruang digital menggunakan media elektronik yang berupa plasma screen, LCD monitor, LED monitor, dan projection screen yang di hubungankan dengan sebuah sistem jaringan yang diolah secara digital. Media luar ruang digital berbeda dengan media yang lain, karena media luar ruang digital ini merupakan kombinasi dari beberapa teknologi, yaitu kombinasi dari jaringan internet dan sistem broadcast (sistem penghantaran pesan yang memampukan penyebaran pesan ke beberapa titik dalam waktu bersamaan) dalam mengolah data menjadi informasi. Dengan teknologi yang ada juga membuat media luar ruang digital ini mampu menyajikan pesan langsung bisa sampai ke penerima 279 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 pesan dalam waktu yang sama yang dilakukan dengan sistem streaming sehingga bisa menyajikan pesan langsung dari program televisi atau yang diambil dari server internet. Sehingga memungkinkan pesan yang disajikan bersifat real time dan dinamis. Lokasi penempatan media luar ruang digital ini bisa di mana-mana, di jalan-jalan, di jembatan penyeberangan orang, di gedung (baik di dalam gedung maupun di luar gedung), di stasiun kereta, di terminal bis, di halte bis, di bandara, di depan restoran atau cafe, di dalam bis, kereta dan pesawat, di hotel, di mal, supermarket, bahkan di toilet umum. Karena posisinya di lokasi-lokasi tertentu sehingga bisa dikatakan bahwa penggunaan media luar ruang ini bersifat direksional, yang bertindak sebagai media primer karena posisinya mendekati penerima pesan yang dituju. TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini, secara teoritis, hendak menelaah tentang manajemen strategis sebagai alternatif model solusi dalam meningkatkan kinerja bisnis media luar ruang, yaitu I-FOCUS Model yang bertumpu pada empat aspek: implementasi inovasi digital (Digital Innovation), pengadaptasian kekuatan persaingan industri (Forces Driving Competition), peningkatan kapabilitas inti dan unik (Core and Unique Capabilities). Upaya mengembangkan strategi bisnis media luar ruang (Strategy of Out of Home Media Business) yaitu strategi kemitraan. Sejalan dengan perkembangan digital informasi dan teknologi komunikasi yang demikian pesatnya, industri media luar ruang mengalami perubahan yang signifikan. Dan media luar ruang sebagai medium komunikasi, tidak lagi menjadi medium satu arah namun menjadi medium dua arah dan bersifat personal. Perubahan ini mempengaruhi kinerja bisnis media luar ruang, sehingga diperlukan berbagai upaya agar keberlangsungan bisnis media luar ruang dapat berlangsung. Penulis melihat bahwa faktor kunci agar keberlangsungan bisnis industri media luar ruang dapat berkelanjutan adalah dengan melakukan Inovasi Digital. Teknologi Digital Teknologi digital semakin penting dalam mencapai tujuan bisnis, dan teknologi digital memberi dampak yang radikal yang mengakibatkan restrukturisasi dalam industri media luar ruang. Perubahan teknologi digital tidak hanya menyoroti bagaimana media dapat berinteraksi dengan target audience nya tetapi yang lebih penting adalah bagaimana perusahaan mengelola inovasi digital agar bisnis media luar ruang mengalami keberlangsungan. Teknologi digital telah menjadi semakin penting bagi perusahaan untuk usaha mencapai tujuan bisnis mereka. Karena itu diperlukan investasi pada teknologi digital. Grover & Kohli (2012) menyoroti kesulitan dalam mengevaluasi nilai yang dihasilkan oleh investasi teknologi digital. Pada tahun 1990-an, generasi pertama dari aplikasi Teknologi Informatika digunakan oleh perusahaan untuk merampingkan operasi internal mereka sambil memberikan peluang bagi proses inovasi (Lee & Berente, 2012). Namun demikian, teknologi digital tidak hanya berkembang di internal namun juga berkembang sampai kepada layanan produk perusahaan (Yoo, Boland, Lyytinen, & Majchrzak, 2012). Teknologi digital memiliki peran utama dalam restrukturisasi sejumlah industri secara radikal (Evans, Hagiu, & Schmalensee, 2006), sehingga tidak mengherankan jika para pengambil keputusan memiliki kepentingan untuk menangani produk digital dan inovasi layanan. Sifat unik dari teknologi digital adalah kemampuannya dalam proses inovasi yang baru yang bergerak sangat cepat dan sulit untuk mengontrol dan memprediksi (Henfridsson, Mathiassen, & Svahn, 2014;. Yoo et al, 2012; Yoo, Lyytinen, Boland, & Berente, 2010). 280 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Setidaknya ada lima bidang utama yang dapat diidentifikasi, diukur dan dievaluasi dalam mencari untuk mengelola produk digital dan inovasi layanan, yaitu: Pertama, produk dan layanan digital tidak hanya harus efisien untuk digunakan dan mudah dipelajari, namun juga harus dapat memberikan user experience, yang kemudian user experience itu harus dapat diukur pada tingkat kegunaan, estetika, dan engagement. Kedua, perusahaan harus jelas mengartikulasikan value proposition pada setiap produk dan layanan digital: Bagaimana mereka menciptakan nilai bagi pengguna? Kualitas proposisi nilai tersebut dinilai pada dinamika segmentasi pelanggan, produk dan layanan secara bundling, dan komisi bagi pemilik channel. Ketiga, digital evolution scanning melibatkan pengumpulan intelijen pada perangkat baru; saluran digital seperti layanan web, mobile operating system, media sosial dan aplikasi yang mampu untuk identifikasi/ memanfaatkan peluang untuk inovasi. Keempat, inovasi digital membutuhkan keterampilan baru, sehingga perusahaan perlu mengevaluasi mekanisme yang membantu proses pembelajaran terus menerus secara sampai terbentuk tim inovasi yang dinamis. Kelima, dalam proses inovasi digital yang terjadi harus mampu memberi ruang bagi anggota organisasi untuk memiliki waktu berimprovisasi, dan mekanisme untuk mengkoordinasikan upaya tersebut adalah kuncinya. Digital Inovasi Digitalisasi dan mobile devices sesungguhnya mempercepat fungsi dan proses, dimana melalui inovasi terbuka, arena dan arsitektur dalam komponen fisik dan digital dapat digabungkan (Yoo et al, 2012.). Penelitian Henfridsson et al, (2014) dan Yoo et al (2012) mengamati bagaimana sifat unik dari teknologi digital yang memungkinkan jenis baru dari proses inovasi yang khas yang berbeda dari proses inovasi analog dari Era Industri. Topik inovasi digital dapat dieksplorasi secara lebih rinci. Dalam mengeksplorasi topik inovasi digital, kita dapat membahas tantangan dalam mengelola inovasi digital yaitu (1) Mengeksplorasi sifat unik dari inovasi proses digital. (2) Kontekstualisasi semua fenomena inovasi digital dengan memberikan sejumlah contoh (3). Strategi inovasi digital Teknologi digital menghasilkan tantangan inovasi yang sangat kompleks. Kita telah melihat bagaimana perusahaan yang gagal untuk mengatasinya dengan tepat akan menderita konsekuensi besar (Lucas & Goh, 2009). Oleh karena itu, muncul pertanyaan: Bagaimana inovasi digital dikelola? Atau, lebih tepatnya, apakah hal itu dapat dikelola? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Evans et al (2006); Robey & Holmstro M (2001); dan Tush- pria & Anderson (1986), telah meneliti hubungan antara inovasi teknologi dan perubahan radikal. Untuk tujuan ini, teknologi baru sangat menantang pasar yang ada, yang sudah terbentuk. Namun, kompetensi perusahaan mapan benar-benar harus berdiri di jalan inovasi (Christensen, 1997). Para ahli telah diuraikan pada model strategis tingkat makro yang dapat memungkinkan perusahaan untuk mengatasi dilema ini. Sebagai contoh, ia berpendapat bahwa perusahaan dapat belajar bagaimana menangani inovasi radikal dan inkremental bersamaan dengan membangun struktur ambidextrous dan mengumpulkan kemampuan dinamis (O'Reilly & Tush- man, 2008). Sementara model strategis ini didirikan untuk manajemen inovasi teknologi yang berguna, Benner & Tripsas (2012) dalam studinya memanfaatkan teknologi digital baru, seperti kamera digital, sebagai objek penelitian. Namun, karakteristik yang berbeda dan unik dari teknologi digital cenderung memudar ke latar belakang. Untuk tujuan ini, penelitian yang masih ada pada teknologi digital dan organisasi menderita dua keterbatasan, yaitu (1). Hal ini cenderung untuk tidak sepenuhnya membuka black box teknologi (Orlikowski & Iacono, 2001). Ketika bekerja menuju mengelola inovasi digital, ini merupakan langkah pertama yang penting untuk; perusahaan yang berusaha untuk berinovasi penawaran produk dan layanan mereka dengan teknologi digital membutuhkan manajer berpengalaman dalam sifat spesifik teknologi digital. (2) Penelitian pada 281 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 inovasi teknologi cenderung untuk mengadopsi perspektif makro-level pada objeknya studi, sering mengakibatkan deskripsi tingkat tinggi dari rekomendasi strategis. Untuk mengatasi kesenjangan ini, kita mengalihkan perhatian ke daerah-daerah utama yang akan diatasi ketika mengelola proses inovasi digital saat mereka terungkap dalam praktek. Sementara inovasi digital merupakan sarana bagi pendatang baru untuk memanfaatkan teknologi digital untuk menantang perusahaan incumbent - akhirnya menyebabkan transformasi industri secara radikal, ini juga memberikan kesempatan bagi perusahaan incumbent untuk meningkatkan dan memperluas produk dan layanan portofolio mereka ke domain baru. Namun, tantangan utama bagi setiap perusahaan yang ingin mengelola inovasi digital memerlukan pemahaman berdiri sifat unik dari proses inovasi digital (Yoo et al., 2010). Ketika terlibat dalam inovasi digital, baik pemain lama dan pemain baru menghadapi tantangan dan kesempatankesempatan yang menampilkan kompleksitas yang luar biasa. Salah satu aspek kunci dari kompleksitas ini adalah laju proses inovasi digital (Yoo et al., 2010). Salah satu alasan mengapa proses inovasi digital sangat sulit untuk dikontrol dan memprediksi adalah generativity teknologi digital (Avital & Te'eni, 2009;. Yoo et al, 2012). Sejalan dengan perkembangan Inovasi Digital, maka dampaknya bagi media luar ruang adalah bertambahnya fleksibilitas pada digital screen yang ada. Dalam artikel “Thinking outside the box: Innovations in Out of Home advertising” (www.thedrum.com, 2012) dijelaskan bahwa bertambahnya fleksibilitas dengan digital screens memungkinkan brands untuk menjalankan kampanye iklan dengan terkoneksi, hal ini belum pernah terpikirkan sebelumnya. Dengan adanya Inovasi Digital, kita dapat melihat bahwa element interaktif dapat dibangun pada format media luar ruang, seperti billboard dengan augmented reality, NFC and QR codes, semuanya dibangun dengan baik oleh multisensory advertising and itu menggunakan panca indera seperti scent, touch, sound and taste menambahkan dimensi yang baru sebagai brand experience pada media luar ruang. Inovasi Digital memberikan perubahan yang siginifikan dalam industry media luar ruang (www.thedrum.com, 2012), disini kita akan melihat: Contextual ads: disesuaikan dengan kondisi konsumen, misalnya seseorang yang sedang menunggu bis akan ditunjukkan iklan tentang perusahaan perusahaan taksi local, atau ketika hari tiba-tiba hujan, maka media dapat menampilkan iklan tentang payung sekaligus memberitahukan toko terdekat dimana payung itu dijual. Gladvertising: menggunakan aplikasi yang mengenali wajah, dengan kamera yang dapat mengetahui ekspresi wajah baik wajah yang gembira, marah, sedih, takut atau terkejut, kemudian iklan akan muncul sesuai dengan mood dari konsumen yang dikenali ekspresi wajahnya. Multi-sensory: menstimulasi indera konusmen dengan holographic video, suara, mood lighting and smells untuk multiply impact dari iklan. Personal Preference Profiles (PPP): supercharged social network profiles 50 kali lebih in-depth dari Facebook and termasuk rincian bentuk tubuh, alergi, anniversary, dan makanan favorit. Phones that talk to Adverts: iklan mengidentifikasi seseorang melalui PPP. Gesture recognition: mirip dengan teknologi yang digunakan di Microsoft’s Xbox Kinect, interactive, dan gesture-based games. METODE PENELITIAN Penelitian ini, secara teoritis, hendak menelaah tentang Inovasi Digital dalam I-FOCUS Model sebagai faktor kunci keberlangsungan industri media luar ruang. I-FOCUS Model sebagai alternatif model solusi dalam meningkatkan kinerja bisnis media luar ruang yang bertumpu pada empat aspek: implementasi inovasi digital (Digital Innovation), pengadaptasian kekuatan persaingan industri (Forces Driving Competition), peningkatan kapabilitas inti dan unik (Core and Unique 282 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Capabilities). Upaya mengembangkan strategi bisnis media luar ruang (Strategy of Out of Home Media Business) meliputi tentang strategi kemitraan (Gambar 3.) FOrce Driving Industry Core and Unique Capabilities Strategic Partnership Digital Innovation Business Performance I-FOCUS MODEL Gambar 3. I-FOCUS MODEL pada industri Media Luar Ruang Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis dan studi literatur HASIL DAN PEMBAHASAN Ketika membahas tentang Inovasi Digital, tentu kita harus mengetahui tentang teknologi digital, karena teknologi digital semakin penting dalam mencapai tujuan bisnis, perkembangan teknologi digital yang semakin cepat memberikan dampak yang radikal dalam industri media luar ruang. Perubahan teknologi digital membawa Inovasi dalam industri media luar ruang, Inovasi ini tidak hanya menyoroti bagaimana media dapat berinteraksi dengan target audience nya, karena bertambahnya fleksibiltas pada digital screens sehingga brands lebih mudah berinteraksi dengan konsumennya, namun yang lebih penting juga adalah bagaimana perusahaan menangani inovasi digital agar bisnis media luar ruang mengalami keberlangsungan. Dalam artikel “Thinking outside the box: Innovations in Out of Home advertising” (www.thedrum.com, 2012) dijelaskan bahwa bertambahnya fleksibilitas dengan digital screens memungkinkan brands untuk menjalankan kampanye iklan dengan terkoneksi, yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Dengan adanya Inovasi Digital, kita dapat melihat bahwa element interaktif dapat dibangun pada format media luar ruang, seperti billboard dengan augmented reality, NFC and QR codes, semuanya dibangun dengan baik oleh multi-sensory advertising and itu menggunakan panca indera seperti scent, touch, sound and taste menambahkan dimensi yang baru sebagai brand experience pada media luar ruang. Inovasi Digital memberikan perubahan yang siginifikan dalam industry media luar ruang (www.thedrum.com, 2012), disini kita akan melihat: Contextual ads, Gladvertising, Personal Preference Profiles, Phones that talk to adverts dan Gesture Recognition. Teknologi digital memiliki peran utama dalam restrukturisasi sejumlah industri secara radikal (Evans, Hagiu, & Schmalensee, 2006), sehingga tidak mengherankan jika manajer memiliki kepentingan untuk menangani produk digital dan inovasi layanan. Sifat unik dari teknologi digital adalah kemampuannya dalam proses inovasi yang baru yang bergerak sangat cepat dan sulit untuk mengontrol dan memprediksi (Henfridsson, Mathiassen, & Svahn, 2014;. Yoo et al, 2012; Yoo, Lyytinen, Boland, & Berente, 2010). Setidaknya ada lima bidang utama yang dapat diidentifikasi, diukur dan dievaluasi dalam mencari untuk mengelola produk digital dan inovasi layanan, yaitu: Pertama, produk dan layanan digital tidak hanya harus efisien untuk digunakan dan mudah dipelajari, tetapi juga memberikan user experience, kemudian user experience tersebut dapat diukur pada tingkat kegunaan, estetika, dan engagement. Kedua, perusahaan harus jelas mengartikulasikan value proposition pada setiap produk dan layanan digital: Bagaimana mereka menciptakan nilai bagi 283 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 pengguna? Kualitas proposisi nilai tersebut dinilai pada dinamika segmentasi pelanggan, produk dan layanan bundling, dan komisi untuk pemilik channel. Ketiga, digital evolution scanning melibatkan pengumpulan intelijen pada perangkat baru; saluran digital seperti layanan web, mobile operating system, media sosial dan aplikasi untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang untuk inovasi. Keempat, inovasi digital membutuhkan keterampilan baru, sehingga perusahaan perlu mengevaluasi mekanisme yang membantu proses pembelajaran terus menerus secara sampai terbentuk tim inovasi yang dinamis. Kelima, dalam proses inovasi digital yang terjadi harus mampu memberi ruang bagi anggota organisasi untuk memiliki waktu berimprovisasi, dan mekanisme untuk mengkoordinasikan upaya tersebut adalah kuncinya. Ada dua faktor yang menjadikan Inovasi Digital menjadi faktor kunci keberlangsungan keberlangsungan industri media luar ruang. Pertama, karena pertumbuhan bisnis media luar ruang bertumpu pada Digital Media Luar Ruang yang dari tahun ke tahun bertumbuh pesat, hal ini dapat dilihat pada Gambar 2. bahwa Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan Digital Media Luar Ruang mencapai 23.977% CAGR (Compound Annual Growth Rate). Kedua, dengan adanya Inovasi Digital, kita dapat melihat bahwa element interaktif dapat dibangun pada format media luar ruang sehingga Inovasi Digital membawa perubahan paradigma periklanan. Iklan yang adalah pesan berbayar yang impersonal dengan kemasan dan syarat tertentu yang diantarkan media kepada publik secara searah, ternyata sedang bertransformasi menjadi dua arah dan bersifat personal. Dengan perkembangan teknologi dan aplikasi, maka Digital Media Luar Ruang mampu menjadi sarana komunikasi interaksi antara produk atau brand dengan konsumennya secara lebih personal. Tentu perubahan ini akan berdampak kepada Media Habit dan Business Ethic yang ada dalam ranah periklananan. Sehingga perusahaan yang mau kinerja bisnis nya baik harus mampu mengelola produk digital dan inovasi layanan. Hal ini penting karena sifat unik dari teknologi digital adalah kemampuannya dalam proses inovasi yang baru yang bergerak sangat cepat dan sulit untuk mengontrol dan memprediksi (Henfridsson, Mathiassen, & Svahn, 2014;. Yoo et al, 2012; Yoo, Lyytinen, Boland, & Berente, 2010). PENUTUP Inovasi Digital dalam I-FOCUS Model adalah faktor kunci keberlangsungan industri media luar ruang. Ada dua faktor yang menjadikan Inovasi Digital menjadi faktor kunci keberlangsungan keberlangsungan industri media luar ruang. Pertama, karena pertumbuhan bisnis media luar ruang bertumpu pada Digital Media Luar Ruang, Kedua, dengan adanya Inovasi Digital, kita dapat melihat bahwa element interaktif dapat dibangun pada format media luar ruang. Kemampuan mengelola produk digital dan inovasi layanan menjadi issue yang penting karena sifat unik dari teknologi digital adalah kemampuannya dalam proses inovasi yang baru yang bergerak sangat cepat dan sulit untuk mengontrol dan memprediksi. Penelitian pada teknologi digital dan organisasi memiliki dua keterbatasan, yaitu (1). Hal ini cenderung untuk tidak sepenuhnya membuka black box teknologi (Orlikowski & Iacono, 2001). Ketika bekerja menuju mengelola inovasi digital, ini merupakan langkah pertama yang penting untuk; perusahaan yang berusaha untuk berinovasi penawaran produk dan layanan mereka dengan teknologi digital membutuhkan manajer berpengalaman dalam sifat spesifik teknologi digital. (2) Penelitian pada inovasi teknologi cenderung untuk mengadopsi perspektif makro-level pada objeknya studi, sering mengakibatkan deskripsi tingkat tinggi dari rekomendasi strategis. Untuk mengatasi kesenjangan ini, kita mengalihkan perhatian ke daerah-daerah utama yang akan diatasi ketika mengelola proses inovasi digital saat mereka terungkap dalam praktek. 284 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA Anggraini, Nenny. (2008). “Industri Kreatif”, Jurnal ekonomi Desember 2008 Volume XIII No. 3 hal. 144-151 Andari, R., H. Bakhshi, W. Hutton, A. O’Keeffe, P. Schneider. (2007). Staying Ahead: The economic performance of the UK’s Creative Industries, The Work Foundation, London Anwar, Mokhamad, dkk. (2007). Identifikasi Sektor Industri dan Peranannya dalam Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Garut. pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/08/Identifikasi_Sektor_Industri.doc (12 Des. 2012) Avital, M., & Te’eni, D. (2009). From generative fit to generative capacity: Exploring an emerging dimension of information systems design and task performance. Information Systems Journal, 19(4), 345—367. Bakhshi, H., E. McVittie, J. Simmie. (2008). Creating Innovation. Do the creative industries support innovation in the wider economy? NESTA Research Report March 2008, London. Benner, M. J., & Tripsas, M. (2012). The influence of prior industry affiliation on framing in nascent industries: The evolution of digital cameras. Strategic Management Journal, 33(3), 277—302. Best, Roger J., (2009). Market-Based Management: Strategies for Growing Customer Value and Profitability. Third Edition. Prentice Hall: Upper Saddle River, New Jersey. Buffet, Warrant and Charles T. Munger, (2011). Industry Analysis: Fundamentals. Introduction and Objective. Prentice Hall. New York. Craven, David W and Nigel. F. Piercy, (2013). Strategic Marketing. 9th Edition. New York: McGrawHill. Christensen, C. M. (1997). The innovator’s dilemma: When new technologies cause great firms to fail. Cambridge, MA: Harvard Business School Press. Cunha, M. P., Cunha, J. V., & Kamoche, K. (1999). Organizational improvisation: What, when, how, and why. International Journal of Management Reviews, 1(3), 299—341. Departemen Perdagangan Republik Indonesia, (2008). Program KerjaPengembangan industri Kreatif Nasional 2009-2015, Departemen Perdagangan RI, Jakarta Diller, S., Shedroff, N., & Rhea, D. (2005). Making meaning: How successful businesses deliver meaningful customer experiences. Berkeley, CA: New Riders. Evans, D. S., Hagiu, A., & Schmalensee, R. (2006). Invisible engines: How software platforms drive innovation and transform industries. Cambridge, MA: MIT Press. Grant, A. E. & Meadows, J.H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals. 12th Edition. Focal Press : USA Green, L., I. Miles, J. Rutter (2007), Hidden Innovation in the Creative Industries, NESTA Working Paper, London Grover, V., & Kohli, R. (2012). Cocreating IT value: New capabilities and metrics for multifirm environments. MIS Quarterly, 36(1), 225—232. Henfridsson, O., Mathiassen, L., & Svahn, F. (2014). Managing technological change in the digital age: The role of architectural frames. Journal of Information Technology, 29(1), 27—43. 285 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Hubbard, Graham, and Paul Beamish, (2011). Strategic Management: Thinking, Analysis, Action. Frechs Forest, N.S.W : Pearson Australia. Ireland, DR, Hoskisson, RE, and Hitt, MA, (2013). Understanding Business Strategy, 3rd Edition, South-Western College Khristianto, Wheny, (2008). “Peluang dan Tantangan Industri Kreatif di Indonesia”. Lee, J., & Berente, N. (2012). Digital innovation and the division of innovative labor: Digital controls in the automotive industry. Organization Science, 23(5), 1428—1447. Lucas, H. C., Jr., & Goh, J. M. (2009). Disruptive technology: How Kodak misd the digital photography revolution. The Journal of Strategic Information Systems, 18(1), 46—55. Mol, Michael J, Birkinshaw, Julian and Hamel, Gary. (2008). “Management Innovation” . Academy of Management Review. Nawawi, Hadari. (2005). Manajemen Strategik, Yogyakarta: Gajah Mada University Press O’Reilly, C. A., III, & Tushman, M. (2008). Ambidexterity as a dynamic capability: Resolving the innovator’s dilemma. Research in Organizational Behavior, 28, 185—206. Orlikowski, W. J., & Iacono, C. S. (2001). Research commentary: Desperately seeking the ‘IT’ in IT research—A call to theorizing the IT artifact. Information Systems Research, 12(2), 121— 134. Pearce , John A. II, dan Richard B Robinson, Jr, (2011). Manajemen Strategis: Formulasi Strategi, Implementasi dan Pengendalian, Edisi ke 12, Chicago, IL: RD Irwin, Inc. Pearce, John A. II, Richard B. Robinson, Jr., (2013). Strategic Management: Planning for Domestic & Global Competition, International Edition, McGraw Hill, Singapore. Pink, Daniel H, (2005). A Whole New Mind, Riverhead Books, New York. Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R. (2011). Media Now: Understanding Media, Culture, and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth Robey, D., & Holmstro Μm, J. (2001). Transforming municipal gov- ernance in global context: A case study of the dialectics of social change. Journal of Global Information Technology Management, 4(4), 19—31. Rostow, Walt Whitman. (1960). The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridge University Press. Tushman, M. L., & Anderson, P. (1986). Technological disconti- nuities and organizational environments. Administrative Sci- ence Quarterly, 31(3), 439—465. Wheelen, Thomas L., & Hunger, J. David. (2012). Strategic Management and Business Policy: Concepts 13th Edition. Pearson/Prentice Hall. Yoo, Y., Boland, R. J., Jr., Lyytinen, K., & Majchrzak, A. (2012). Organizing for innovation in the digitized world. Organization Science, 23(5), 1398—1408. Yoo, Y., Lyytinen, K. J., Boland, R. J., Jr., & Berente, N. (2010). The next wave of digital innovation: Opportunities and challenges: A report on the research workshop ‘digital challenges in innovation research.’ Retrieved June 8 from http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1622170 286 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 KEPENGIKUTAN DAN PERAN PEMIMPIN DALAM MENINGKATKAN KEUNGGULAN BERSAING PERUSAHAAN Nelly1 dan Santoso Budijono2 Universitas Bina Nusantara E-mail: [email protected] 1 & [email protected] 2 Abstract: Quick Service Restaurant/QSR (also called Fast Food Restaurant) growth in Indonesia was the 2-digit percentage, this is a big opportunity for food service industry to boost their store sales performance. However, Quick Service Restaurant in Indonesia face challenges of high employee turnover. So, they need to collaboration as a teamwork and good communication between the leader of each store with the employees.As we know, Fast Food Store naturally have small of numbers of workers to run a store with high-intensity job serving many customers with a short period with hospitality. This paper tries to provide a summary of how the behavior of a follower influence job satisfaction, which effect on intention to stay. This paper tries to answer the question whether relationship between followers and their leader (LMX) make a contribution to follower job happiness and make the longer plan to stay. The results of this study are expected to help improve sales performance QSR from the standpoint of Human Resource strategy for increase performance company. Keywords: Follower style, LMX, Job Satisfaction, Intention to Stay, Organization Performance Abstrak: Persentase pertumbuhan Quick Service Restaurant/QSR (sering juga disebut Fast Food Restaurant) di Indonesia mencapai 2 digit, hal ini merupakan kesempatan bagi industri jasa makanan untuk meningkatkan kinerja penjualan store mereka. Namun, Quick Service Restaurant di Indonesia menghadapi tantangan yang berasal dari turnover karyawan yang tinggi. Seperti kita ketahui, umumnya store makanan cepat saji memiliki jumlah pekerja yang terbatas untuk menjalankan sebuah store dengan pekerjaan intensitas tinggi serta dengan ramah melayani banyak pelanggan dengan waktu singkat. Sehingga diperlukan kerjsama tim dan komunikasi yang baik antara leader setiap store dengan karyawannya. Tulisan ini mencoba memberikan ringkasan tentang bagaimana perilaku pengikut dari karyawan terhadap kepuasan kerja karyawan, dan pengaruhnya terhadap niat untuk tetap bekerja. Tulisan ini mencoba untuk menjawab pertanyaan apakah hubungan antara pengikut dan pemimpin mereka (LMX) memberikan kontribusi terhadap kebahagiaan pekerjaan (job satisfaction) sehingga berencana untuk tetap bekerja dalam jangka waktu yang panjang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kinerja penjualan QSR dari sudut pandang strategi SDM dalam usaha meningkatkan kinerja perusahaan. Kata kunci: Perilaku kepengikutan, Hubungan pengikut dan pemimpin (LMX), Kepuasan kerja, Niat untuk tinggal, Kinerja perusahaan PENDAHULUAN Suatu perusahaan akan berhasil bila di pimpin oleh orang yang berkompeten sehingga dengan kata lain kemampuan seorang pemimpin di perusahaan berkaitan erat dengan keberhasilan perusahaan dalam meningkatkan pendapatannya. Perusahaan yang mempunyai pemimpin yang baik, mampu melakukan prediksi arah dan tujuan perusahaan agar berhasil selain itu mampu memiliki kepemimpinan yang kuat sehingga mampu mencapai keberhasilan yang bagus dengan di dukung oleh para bawahannya. Sedangkan bawahan yang memiliki kemampuan yang baik juga sangat berguna untuk membuat perusahaan berjalan secara maksimal. Kemampuan pemimpin yang baik yang di dukung oleh bawahan yang tepat akan menjadikan pemimpin seperti otak yang dapat mengkoordinasikan gerak dan arah anggota tubuh agar dicapai tujuan yang dinginkan. Tujuan akan tercapai tidak hanya dengan pemimpin yang baik tetapi juga bawahan yang diibaratkan anggota tubuh dapat bekerja dengan kemampuan yang sesuai serta kecepatan yang sesuai dengan arah / tujuan perusahaan yang di inginkan oleh pemimpin. Dalam mempelajari fungsi ataupun peran bawahan pada suatu organisasi, Kelley (1992) dalam 287 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 tulisannya di Harvard Business Review mengusulkan konsep bernama followership. Dimana followership menurut penulis lainnya adalah sebuah perilaku yang di asosiasikan kepada para bawahan yang bekerja dengan baik (Blanchard, Welbourne, Gilmore & Bullock, 2009). Model followership merupakan model yang melengkapi model leadership sehingga dapat menjadi kesatuan yang antara Leadership dan Followership. Kelley dalam tulisannya menjelaskan bahwa ada orang yang hanya bertujuan mengejar tujuan perusahaan bersama-sama dalam sebuah perusahaan tanpa berkeinginan untuk menjadi seorang pemimpin ataupun mengejar status, kemewahan maupun ketenaran. Para bawahan yang memiliki kapabilitas masing-masing ini dalam perusahaan menjadi alat pergerakan bagi perusahaan mencapai tujuannya, yaitu dengan mengintegrasikan kemampuan mereka kedalam tujuan perusahaan yang pada akhirnya akan menciptakan sinergi antara pemimpin dan bawahan tanpa adanya konflik internal. Saat ini followership mulai diperhatikan di kalangan akademisi, bila dipindai di google.com maka topik followership yang terpindai sebanyak 525ribu mulai dari journal ataupun dalam bentuk website, namun masih terpaut jauh dengan Leadership yang terpindai sebanyak 730 juta topik.(pindai di google.com pada 20 Maret 2016). Hal ini menandakan masih terdapat perbedaan yang cukup jauh antara penelitian leadership dengan followership. Pada tahun 1992 saat Kelley mencetuskan ide followership, menurut Kelley berdasarkan studi yang dilakukan didapat bahwa seorang CEO seringkali tidak mengetahui secara detail mengenai permasalahan yang terjadi serta timbulnya kesulitan-kesulitan dalam proses memenuhi target perusahaan. CEO / pemimpin hanya mampu menetapkan target perusahaan yang terkadang sulit di capai tanpa memberikan penjelasan serta tools bagaimana untuk mencapai target tersebut. Sehingga organisasi yang berhasil tidak hanya disebabkan oleh pemimpin yang berkualitas tetapi juga disebabkan oleh bawahan yang berkualitas. Dengan demikian cara terbaik dalam pemenuhan target organisasi adalah dengan menemukan keharmonisan antara peran leader yang memiliki pengalaman yang baik dengan kerja dan inovatif para bawahan sehingga organisasi tersebut menjadi organisasi yang efektif dan efisien serta dapat berkelanjutan dalam kondisi persaingan yang semakin berat saat ini. Penelitian ini menggabungkan penelitian dari para peneliti terdahulu dengan di sesuaikan pada jenis industri yang akan di teliti yaitu pada industri QSR. QSR (Quick Service Restaurant) merupakan konsep dari restoran yang cara berkonsentrasi pada cara penyajian yang cepat, dimana jumlah pekerja tidak banyak tetapi dapat melayani konsumen cukup banyak. Umumnya QSR ini berada pada pusat perbelanjaan (mall) dengan luas restoran yang terbatas dan beban kerja yang tidak merata, dimana ramai hanya di waktu-waktu tertentu saja. Para pekerja yang bekerja di industri ini di tuntut bekerja dengan cepat dan akurat dalam kurun waktu tertentu dalam memberikan layanan kepada konsumennya. Mengingat luas restoran yang terbatas dengan demikian jumlah pekerja pun menjadi terbatas sehingga beban kerja setiap pekerja di industri QSR ini umumnya tinggi. Terlebih jenis pekerjaan yang tidak hanya satu jenis, kasir harus dapat membuat produk. Sedangkan pekerja senior selain sebagai kasir, membuat produk juga harus memantau kebersihan lingkungan kerjanya, semua jenis pekerjaan ini di lakukan hampir di saat yang bersamaan atau dikenal sebagai multi tasking job. Dengan tipikal pekerjaan seperti diatas, jarang seorang pekerja bertahan lama dalam bekerja di satu organisasi / perusahaan, sehingga turnover karyawan di industri QSR ini menjadi tinggi. Tingginya turnover tentu mengganggu kinerja organsiasi karena seorang pekerja baru harus beradaptasi lagi di lingkungan kerjanya, mempelajari pekerjaan yang baru Di lain pihak, para senior mesti mencurahkan sebagian waktunya untuk men-training pekerja baru atas pekerjaan yang perlu dilakukan di organisasi tersebut, tentunya menambah beban kerja senior, sehingga terkadang proses training menjadi asal-asalan saja, yang nanti tentunya berdampak pada kualitas pekerja baru tersebut. Dengan kondisi diatas, dimana jenis pekerjaan di industri QSR yang mengharuskan multitasking serta tingginya turnover nantinya akan berdampak pada menurunnya performance organisasi, sehingga perlu temukan formula yang terbaik tipe pekerjanya untuk tetap dapat mempertahankan performance organisasi. Namun ternyata ada pula karyawan yang bekerja cukup lama di industri QSR ini, bahkan pada satu tempat yang sama dengan manager yang sama ada karyawan yang menunjukan kinerja yang baik sedangkan 288 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 yang lainnya cepat mengundurkan diri. Sehingga fenomena ini menarik untuk diteliti, karena jika penyebab seorang karyawan cepat mengundurkan diri dan penyebab seorang karyawan bertahan pada kondisi yang sama dapat diketahui maka manager QSR dapat mengatasi tingginya turnover ini. Adapun pada penelitian-penelitian sebelumnya Turnover dipengaruhi oleh employee satisfaction (AbuAlRub et al. 2015; Berghe 2011; Judge and Bono 2001; Kumari and Pandey 2011; Tett and Meyer 1993)(Mobley 1977) Selanjutnya akan timbul pertanyaan apa saja yang mempengaruhi employee satisfaction, menurut Chen maupun Graen, employee satisfaction dipengaruhi oleh hubungan atasan dan bawahan (LMX - Leader Member Exchange) (Chen, Yu, and Son 2014)(J. Graen et al. 1975), selain itu hubungan atasan yang berbedabeda terhadap bawahan menyebabkan seorang karyawan menjadi loyal maupun menjadi keluar hal ini seperti yang dikemukakan oleh Dae Jong Choi dalam disertasinya DIFFERENTIATED LEADER-MEMBER EXCHANGE AND GROUP EFFECTIVENESS: A DUAL PERSPECTIVE.(Choi 2013) Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi turnover di industri QSR. Faktor yang diteliti adalah tipe follower yang belum banyak dilakukan penelitian, selain itu faktor hubungan atasan-bawahan (LMX), faktor-faktor ini berdasarkan literatur mempengaruhi kepuasan karyawan yang lebih lanjut berdampak pada turnover. Tujuan literatur ini adalah mendapatkan framework dalam meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan dengan cara mengurangi menemukan faktor penyebab turnover karyawan di industri QSR. 1. Studi pustaka mengenai pengaruh kepuasan kerja para karyawan terhadap turnover. 2. Studi pustaka mengenai pengaruh hubungan atasan-bawahan terhadap kepuasan kerja bawahan di industri QSR. 3. Studi pustaka mengenai pengaruh tipe follower (followership style) dengan hubungan atasanbawahan di industri QSR. 4. Studi pustaka mengenai pengaruh tipe follower terhadap kepuasan kerja di industri QSR. Dengan mengetahui penyebab dan pengaruh dari setiap variabel diatas diharapkan perusahaan yang bergerak pada industri QSR dapat tetap membuat perusahaan unggul dibanding QSR lainnya dalam kompetisi yang ketat di saat ini, mengingat sangat pentingnya peran karyawan di restoran QSR. TINJAUAN PUSTAKA Restoran Cepat Saji (QSR) QSR / restoran cepat saja merupakan jenis usaha makanan (Food & Beverage) yang menyediakan makanan kepada konsumen secara tepat dan cepat. Karyawan pada usaha ini pada setiap toko umumnya terbatas, hal ini dikarenakan kondisi luas store yang terbatas dengan beban kerja yang tidak merata sepanjang harinya, sehingga diperlukan strategi yang tepat untuk menentukan jumlah karyawan dan kemampuan karyawan di store tersebut. Dalam industry QSR dikenal dengan biaya “Prime Cost” yang merupakan total dari biaya bahan baku dan biaya karyawan(Dittmer and Keefe III 2009, 9:15), “Prime Cost” ini menjadi biaya utama dalam industry QSR , dimana sekitar 60% dari total sales merupakan biaya “Prime Cost” (“7 Restaurant Performance Metrics and How to Calculate Them” 2017), sehingga perlu dikelola dengan baik. Dalam mengelola “Prime Cost” ini penulis mengambil salah satu aspek yaitu karyawan yang merupakan salah satu dari 2 faktor biaya dari “Prime Cost”. Dengan mengelola karyawan dengan baik diharapkan dapat mengurangi turnover karyawan sekaligus mengurangi biaya pelatihan dan terutama dapat tetap menjaga kualitas operasional restoran pada tingkat yang baik. 289 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Followership Followership diperkenalkan oleh Robert Kelley dalam literatur di Harvard Business Review (Kelley 1988), dari hasil pemantauan Kelley pada perusahaan dimana saat terjadi resesi, di perusahaan dilakukan perampingan bahkan sampai beberapa divisi tidak lagi di pimpin oleh seorang leader, tetapi langsung di pimpin oleh supervisor yang lebih tinggi lagi. Dari kondisi ini Kelley melihat ada bawahan yang tetap aktif bekerja walaupun tidak ada leader yang memantaunya. Kelley lebih lanjut menjelaskan dalam suatu organisasi pada kenyataannya lebih banyak orang yang berlaku sebagai bawahan dibandingkan dengan sebagai atasan, penelitian ini menjadi penting agar dapat lebih memahami karakteristik seorang bawahan pada tempat kerja(Martin 2015), tanpa ada pengaruh seberapa usia follower ataupun atasannya karena merupakan karakteristik individu masing-masing seperti dianalisa dalam disertasi Johnson. (Johnson 2014) Pada Gambar 1. Followership Style dijelaskan komponen komponen yang berkontribusi terhadap followership style yang terdiri dari 2 komponen yaitu pasif - aktif (sumbu x) sedangkan ‘Dependent Uncritical Thinking’ (sumbu y). dan mengelompokan style of followership menjadi beberapa kategori yaitu : a. sheep b. Yes people c. Effektif follower d.Alienated follower Gambar 1. Followership style (Kelley, 1998) Setiap follower memiliki hubungan dengan leadernya, hal ini sudah banyak di kaji dalam peneletian terdahulu, Fineman pada tahun 2002 menemukan hubungan emosional yang erat antara follower dan leader begitu pula Ricketson (2008) dalam disertasinya meneliti peran follower dalam industri QSR. Penelitian Sherrill pada tahun 2015 dengan judul “An Exploration of the Relationship between Transformational Leadership and Courageous Followership Behaviors in Law Enforcement” mendapati bahwa followerhsip tidak dipengaruhi oleh style dari atasannya (Sherrill 2015). Menilik penelitian sebelumnya peneliti berprediksi seorang follower yang baik akan dapat bekerja dengan baik dengan maupun tanpa kehadiran seorang atasan. Untuk itulah penelitian studi pustaka ini bertujuan menemukan framework hubungan antara karakteristik seorang follower 290 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 (followership style) terhadap kepuasan kerja di industri QSR sehingga dapat menurunkan turnover karyawan di perusahaan. Hubungan Atasan Bawahan (LMX) LMX (Leader Member Exchange) pada awalnya digunakan untuk menggambarkan proses sosial psikologis antara pemimpin dan pengikut yang melibatkan hubungan interpersonal antara keduanya. Berawal dari penelitian hubungan (vertical Dyad) antara pemimpin dan bawahan (J. Graen et al. 1975) dan berkembang terus sampai saat ini, dimana hubungan atasan-bawahan memiliki dampak terhadap kepuasan kerja dan tingkat berhentinya karyawan(Monahan 2013) serta berpengaruh terhadap performance kerja karyawan.(Chernyak-hai and Tziner 2014). Dimana kualitas LMX antara atasan bawahan ini semakin baik bila seorang atasan dapat membantu mengatur emosi bawahan saat bawahan stress, frustasi sehingga kepuasan kerja bawahan menjadi meningkat(Little, Gooty, and Williams 2016). Hasil yang di dapat LMX atasan bawahan saat ini tidak cukup berpengaruh terhadap performance kerja bawahan, malahan ada membuat negatif efek bagi bawahan di era organisasi saat ini yang lebih mendasari pemberian reward dari performance bawahan dibandingkan kedekatan bawahan dengan atasan.(Chen, Yu, and Son 2014) melalui penelitian membandingkan LMX dan LMG dengan menggunakan variabel LMG yang telah dibuat sebelumnya (Chen et al. 2009) Penelitian mengenai LMX untuk mendapatkan kualitas hubungan antara atasan-bawahan dimana dapat menggunakan LMX-7 yang di adaptasi dari Graen dan Uhl-Bien(G. Graen 2010), dari kualitas LMX ini akan di analisa keterkaitannya dengan job satisfaction dan job performance. Penelitian LMX menunjukkan bahwa kualitas hubungan yang terjadi antara pemimpin bawahan berdampak penting pada tingkat individu. Bukti jelas bahwa anggota yang memiliki pertukaran berkualitas tinggi dengan para pemimpin mereka mengalami performance yang diinginkan dan bermanfaat, seperti dukungan yang lebih besar, tugas yang diinginkan, promosi, sehingga teori LMX adalah salah satu teori yang paling diteliti dan didukung kepemimpinan. Implikasi akhir untuk praktek manajemen adalah bahwa hubungan pemimpin-anggota berkembang melalui proses resmi, interpersonal yang menciptakan kualitas tertentu. Karakteristik anggota dan pemimpin, serta karakteristik interpersonal, mempengaruhi perkembangan hubungan atasan-bawahan, hubungan ini tidak semata-mata berdasarkan kinerja anggota atau kompetensi. Sebaliknya, satu set karakteristik yang baik dapat mengurangi atau meningkatkan pengaruh, hormat, loyalitas, dan kontribusi antara pihak-pihak menghasilkan kualitas hubungan atasan-bawahan. Implikasinya adalah bahwa baik pemimpin dan anggota yang harus proaktif dan efektif mengelola hubungan pertukaran antar atasan-bawahan sehingga menghasilkan kinerja yang diinginkan untuk keduanya serta untuk organisasi secara keseluruhan. Dari studi pustaka mengenai hubungan atasan bawahan serta studi pustaka followership style, menghasilkan kesimpulan perlunya penelitian mengenai hubungan antara followership style terhadap hubungan atasan bawahan dan apakah hubungan ini berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan tersebut. Kepuasan kerja Kepuasan kerja atau Job Satisfaction menjadi salah satu tolok ukur dalam menggambarkan hubungan dengan keluarnya sesorang dari tempat kerjanya(Tett and Meyer 1993) yang juga nantinya berhubungan dengan performance kerja individu tersebut (Berghe 2011). Untuk di Indonesia pekerja 291 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 yang tidak puas terhadap pekerjaan saat ini adalah 17% dan ini yang memiliki potensi keluar dari pekerjaannya sekarang (Michael Page Data Services 2015) Kepuasan kerja ini berhubungan erat dengan turnover , dimana seseorang yang puas dalam pekerjaannya memiliki kemungkinan yang kecil untuk keluar dari pekerjaan tersebut.(Mudor and Phadett 2011; Mobley 1977) Dari studi pustaka mengenai kepuasan kerja serta studi pustaka followership style, menghasilkan kesimpulan perlunya penelitian yang menghubungkan kepuasan kerja dengan followership style. Selain itu berkaitan dengan hubungan atasan bawahan, perlu penelitian mengenai peranan hubungan atasan bawahan terhadap hubungan followership style dengan kepuasan kerja karyawan Turnover Intention Penelitian mengenai turnover banyak dilakukan, bahkan secara meta analytics dimana melakukan / menggabungkan beberapa hasil penelitian sebelumnya dengan topik dan variabel yang mirip untuk di analisa ulang dengan sample yang lebih besar untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat dari data yang besar tersebut.(Borenstein et al. 2009). Meta analitics mengenai employee retention dilakukan oleh Bidisha Lahkar Das dalam literatur reviewnya. Kompensasi, reward & recognition, promosi, leader yang sesuai merupakan antecedent dari kepuasan kerja dan kepuasan kerja yang baik membuat seorang pekerja puas dalam bekerja sehingga mengurangi angka turnover.(Das and Baruah 2013) Turnover Intention merupakan keinginan seseorang untuk keluar dari perusahaan, baru berkeinginan belum sampai pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Banyak alasan yang menyebabkan timbulnya turnover intention ini dan diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, hubungan dengan atasan maupun kondisi / lingkungan kerja yang kurang disukai.(Abelson 1987) Penelitian turnover yang berhubungan dengan leadership mencapai 384.000 hasil pencarian di google scholar, namun pada saat yang bersamaan penelitian turnover yang berhubungan dengan followership baru mencapai 3.300 penelitian. Hal ini menyatakan betapa sedikitnya penelitian mengenai turnover yang berkaitan dengan followership, lebih kecil lagi bila dibandingkan penelitian topik turnover yang mencapai total 2.720.000 penelitian. (data di search pada tanggal 15 Desember 2016, pk. 5:36). Sebagai dampaknya, penelitian mengenai followership dan hubungannya dengan turnover menjadi sangat penting untuk menambah pengetahuan dari sisi akademis. METODE PENELITIAN Riset yang dilakukan di sini bersifat konseptual, dimana akan melakukan penelitian literatur / studi pustaka terdahulu dalam rangka menjelaskan keterkaitan dan hubungan antara variabel serta model pengembangannya dalam penelitian ini. Pernyataan-pernyataan dibuat dengan melihat hubungan antara variabel tersebut yang didukung oleh teori serta penelitian-penelitian sebelumnya. Turnover karyawan memiliki dampak besar di industri QSR, dengan terbatasnya jumlah karyawan toko membuat tidak dapatnya sebuah toko / restoran melayani konsumen dengan baik bila karyawan toko tersebut berkurang. Antrian konsumen menjadi lebih lama membuat beberapa konsumen beralih ke toko / restoran lainnya. Oleh karena itu, mengurangi kecenderungan karyawan keluar menjadi sangat penting dalam industri QSR ini. 292 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Salah satu yang terpenting yang mempengaruhi turnover adalah kepuasan kerja dari karyawan tersebut pada kondisi kerja yang berat dan berubah-ubah pada industri QSR. Banyak faktor / variabel yang mempengaruhi tingkat kepuasan karyawan dalam sebuah perusahaan, pada QSR dengan keterbatasan ruang membuat jumlah karyawan yang terbatas serta jenjang karier yang sedikit (crew, cashier, leader, manager), faktor ini merupakan faktor yang tidak dapat dihindari sehingga faktor ini tidak di analisa pada penelitian ini. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan, peneliti mengambil variabel hubungan atasan bawahan sebagai faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, hal ini didasarkan pada pengamatan yang dilakukan di industri QSR dimana jumlah karyawan yang terbatas sehingga interaksi antara atasan-bawahan penulis anggap penting, terlebih lagi intensitas hubungan atasanbawahan yang terjadi sangat sering di industri QSR ini. Faktor utama adalah tipe pengikut dimana pada kondisi di lapangan, turnover yang terjadi terutama pada karyawan di level leader kebawah, semakin rendah semakin tinggi tingkat turnovernya. Oleh karena itu bila dilakukan analisa terhadap tipe follower dikaitkan dengan hubungan atasan-bawahan maka diharapkan kepuasan kerja individu tersebut lebih baik dan pada akhirnya berpengaruh terhadap tingkat turnover karyawan di toko tersebut. Adapun framework tersebut diatas penulis tuangkan dalam bentuk diagram seperti terlihat pada gambar 2. Leader Member Exchange H1 H3 Followership Style H2 Job Satisfact ion H4 Turnover Intention Gambar. 2. Kerangka Pemikiran Kepengikutan dan Peran Pemimpin Dalam Meningkatkan Keunggulan Bersaing Perusahaan melalui pengurangan turnover 293 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 PENUTUP Simpulan Hasil dari literatur review ini didapat framework untuk meningkatkan daya saing perusahaan melalui penurunan turnover dengan menganalisa follower behavior yang dipadukan dengan komunikasi antara atasan dan bawahan (LMX). Manfaat riset ini dapat dilihat dari dua perspektif: Perspektif teoritis - ilmiah Penelitian ini berguna untuk memperkaya dan memperluas penelitian tentang teori followership, khususnya dengan memberikan pengetahuan tambahan tentang pengaruh moderator variabel kualitas hubungan pemimpin-anggota dan hubungan followership dan kepuasan kerja, yang pada gilirannya memberikan kontribusi untuk kinerja perusahaan. Perspektif praktis - aplikatif Penelitian ini memberikan kontribusi untuk industri jasa makanan (lebih khusus pada QSR) mengenai jenis gaya followership yang tepat untuk meningkatkan kinerja masing-masing toko melalui variabel mediasi kualitas hubungan pemimpin-anggota. Dimana untuk mengetahui jenis gaya followership masing-masing individu dapat dilakukan dengan cara followership gaya mengubah melalui manajemen sumber daya manusia dalam rangka untuk terus meningkatkan kinerja toko di industri jasa makanan.. Keterbatasan Penelitian Penelitian dalam riset ini hanya menghasilkan framework yang digali dari sintesa beberapa literatur yang berhubungan antara variabel yang di analisa. Sehingga masih perlu dibuktikan lebih lanjut dengan melalui analisa kuantitatif maupun kualitatif. Saran Perlu dilakukan analisa lebih lanjut secara kuantitatif maupun kualitatif pada industri QSR untuk membuktikan ketepatan dari framework tersebut. 294 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 DAFTAR PUSTAKA “7 Restaurant Performance Metrics and How to Calculate Them.” 2017. Accessed April 27. https://pos.toasttab.com/blog/how-to-calculate-restaurant-performance-metrics. Abelson, M.1987. “Examination of Avoidable and Unavoidable Turnover.” Journal of Applied Psychology 72 (3): 382–86. doi:10.1037/0021-9010.72.3.382. AbuAlRub, Raeda, Fadi El-Jardali, Diana Jamal, and Nawzat Abu Al-Rub. 2015. “Exploring the Relationship between Work Environment, Job Satisfaction, and Intent to Stay of Jordanian Nurses in Underserved Areas.” Applied Nursing Research 31. Elsevier B.V.: 19–23. doi:10.1016/j.apnr.2015.11.014. Berghe, Jae Vanden. 2011. “Job Satisfaction and Job Performance at the Work Place.” International Business, 51. http://www.theseus.fi/bitstream/handle/10024/28669/Vanden_Berghe_Jae.pdf?sequence=1. Borenstein, Michael, Larry V. Hedges, Julian P. T. Higgins, and Hannah R. Rothstein. 2009. Introduction to Meta-Analysis. Psychotherapy Research Journal of the Society for Psychotherapy Research. Vol. 19. doi:10.1002/9780470743386. Chen, Ying, Ray Friedman, Enhai Yu, Weihua Fang, and Xinping Lu. 2009. “SupervisorSubordinate Guanxi: Developing a Three-Dimensional Model and Scale.” Management and Organization Review 5 (3). doi:10.1111/j.1740-8784.2009.00153.x. Chen, Ying, Enhai Yu, and Jooyeon Son. 2014. “Beyond Leader-Member Exchange (LMX) Differentiation: An Indigenous Approach to Leader-Member Relationship Differentiation.” Leadership Quarterly 25 (3). Elsevier Inc.: 611–27. doi:10.1016/j.leaqua.2013.12.004. Chernyak-hai, Lily, and Aharon Tziner. 2014. “Journal of Work and Organizational Psychology” 30: 1–12. Choi, Daejeong. 2013. “Differentiated Leader-Member Exchange and Group Effectivenessβ―: A Dual Perspective.” University Of Iowa. Das, Bidisha Lahkar, and Mukulesh Baruah. 2013. “Employee Retentionβ―: A Review of Literature” 14 (2): 8–16. Dittmer, Paul, and J. Desmond Keefe III. 2009. Principles of Food, Beverage and Labor Cost Control. Principles of Food, Beverage, and Labor Cost Controls. Ninth. Vol. 9. willey. doi:10.1177/109634807600100113. Graen, G. 2010. “Leader-Member Exchange Scale.” Leadership Quarterly 6 (Lmx): 2010. Graen, Joan, Carline Haga, Ginny Ingersoll, Chip Johnson, John Kimberly, Walter Franke, National Science Foundation, and Human Resources. 1975. “A Vertical Dyad Linkage Approach to Leadership within Formal Organizations A Longitudinal Investigation of the Role Making Process.” Organizational Behavior and Human Performance 13: 46–78. Johnson, R. 2014. “Follow Meβ―! Followership , Leadership and the Multigenerational Workforce.” Nova Southeastern University NSUWorks. http://nsuworks.nova.edu/hsbe_etd/3. Judge, Timothy A., and Joyce E. Bono. 2001. “Relationship of Core Self-Evaluations Traits--SelfEsteem, Generalized Self-Efficacy, Locus of Control, and Emotional Stability--with Job Satisfaction and Job Performance: A Meta-Analysis.” The Journal of Applied Psychology 86 (1): 80–92. doi:10.1037/0021-9010.86.1.80. Kelley, R E. 1988. “In Praise of Followers.” Harvard Business Review 66 (6): 142–48. doi:Article. 295 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Kumari, Geeta, and K M Pandey. 2011. “Job Satisfaction in Public Sector and Private Sectorβ―: A Comparison.” International Journal of Innovation, Management and Technology 2 (3): 222– 28. Little, Laura M, Janaki Gooty, and Michele Williams. 2016. “The Role of Leader Emotion Management in Leader – Member Exchange and Follower Outcomes.” The Leadership Quarterly 27 (1). The Authors: 85–97. doi:10.1016/j.leaqua.2015.08.007. Martin, R. 2015. “A Review of the Literature of the Followership Since 2008: The Importance of Relationships and Emotional Intelligence.” SAGE Open 5 (4): 9. doi:10.1177/2158244015608421. Michael Page Data Services. 2015. “2015 Employee Intentions Report Indonesia.” http://www.michaelpage.com.sg/sites/michaelpage.com.sg/files/2015_SGMP_EMPLOYEE_I NTENTIONS_FINAL_0.pdf. Mobley, William H. 1977. “Intermediate Linkages in the Relationship Between Job Satisfaction and Employee Turnover.” Journal of Applied Psychology 62 (2): 237–40. Monahan, Kelly. 2013. “What Do Values Have to Do with It?: An Exploration into the Moderating Impact of Work Values on the Relationship between Leader-Member-Exchange and Work Satisfaction.” Academy of Strategic Management Journal 12 (1): 95–112. Mudor, Hamdia, and Tooksoon Phadett. 2011. “Conceptual Framework on the Relationship between Human Resource Management Practices, Job Satisfaction, and Turnover.” Journal of Economic and Behaviors Studies 2 (2): 41–49. http://ifrnd.org/Research Papers/J2(2)1.pdf. Oyetunji, Christianah O. 2013. “The Relationship between Followership Style and Job Performance in Botswana Private Universities.” International Education Studies 6 (2): 179–87. doi:10.5539/ies.v6n2p179. Sherrill, Robynne Lynne. 2015. “An Exploration of the Relationship between Transformational Leadership and Courageous Followership Behaviors in Law Enforcement.” ProQuest Dissertations and Theses. Regent University, Virginia Beach, Virginia. http://navigatoriup.passhe.edu/login?url=http://search.proquest.com/docview/1669973505?accountid=11652% 5Cnhttp://fn9cr5xf4p.search.serialssolutions.com/?ctx_ver=Z39.882004&ctx_enc=info:ofi/enc:UTF8&rfr_id=info:sid/ProQuest+Dissertations+%26+Theses+Glob. Tett, R.P., and J.P. Meyer. 1993. “Job Satisfaction, Organizational Commitment, Turnover Intention, and Turnover: Path Analyses Based on Meta-Analytic Findings.” Personnel Psychology 46: 259–93. doi:10.1111/j.1744-6570.1993.tb00874.x. 296 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 ANALISIS PENGARUH BELANJA MODAL TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI JAMBI Yohanes Vyn Amzar Universitas Jambi [email protected] Abstract: This study aimed to identify the effect of capital spending to human development index in Jambi Province. To see the effect of the capital expenditure of the human development index 2009-2013 period. This research using analysis method of time series data with VAR models (Vector auto regression).Based on the analysis that has been done shows that capital expenditure have positive and significant impact in human development index over the study period. That is the higher of capital expenditure allocated for public services, the higher human development index in Jambi Province.Meanwhile, based on the results of causality test showed there is feedback between capital expenditure and human development index. Where capital expenditure affect the HDI and HDI effect on capital spending. In the study period, if there is an unstable or a shake it will affect the human development in Jambi Province. Thus, the unstable that occur will have positive impacts on the HDI to improve the human development index in Jambi Province. Keywords: Capital Expenditure, Human Development Index, VAR (Vectorautoregression) Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia di Provinsi Jambi. Untuk melihat pengaruh Belanja Modal terhadap indeks pembangunan manusia periode 2009-2013 digunakan metode analisis data time series dengan model VAR (Vectorautoregression). Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan manusia selama periode penelitian. Artinya, semakin tinggi belanja modal yang dialokasikan untuk pelayanan publik maka semakin tinggi pula indeks pembangunan manusia di Provinsi Jambi. Sedangkan, berdasarkan hasil uji kausalitas menunjukkan hubungan dua arah atau timbal balik antara belanja modal dan indeks pembangunan manusia. Dimana belanja modal berpengaruh terhadap IPM dan IPM berpengaruh terhadap belanja modal. Dalam periode penelitian jika terjadi shock atau guncangan pada Belanja Modal maka akan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Jadi, adanya shock atau guncangan yang terjadi pada Belanja Modal akan memberikan dampak positif terhadap IPM yaitu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Kata Kunci : Belanja Modal, Indeks Pembangunan Manusia, VAR(Vectorautoregression) PENDAHULUAN Dalam perencanaan pembangunan saat ini, pembangunan manusia senantiasa berada di baris terdepan. Todaro dan Smith dalam Hendarmin (2012) mengartikan pembangunan ekonomi pada hakekatnya adalah suatu proses perbaikan yang berkesinambungan dari suatu masyarakat atau sistem sosial secara keseluruhan menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Proses pembangunan bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup kesejahteraan rakyat serta harkat dan martabat manusia yang meliputi peningkatan berbagai barang kebutuhan pokok, peningkatan standar hidup serta perluasan pilihan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat. Dalam hal ini tugas mempertinggi tingkat kesejahteraan bukan hanya kewajiban pemerintah, tetapi juga seluruh komponen masyarakat. Untuk itu, pemerintah daerah harus mampu mendorong dan memberdayakan seluruh komponen masyarakat, khususnya dalam mengalokasikan belanja langsung terutama belanja modal yang digunakan untuk pembangunan publik, untuk berperan lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 297 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Ada salah satu komponen yang dapat mempengaruhi pembangunan manusia, di antaranya adalah belanja modal pemerintah daerah. Belanja modal pemerintah secara umum dialokasikan untuk membangun sarana dan prasarana yang selanjutnya diharapkan akan dapat mempertinggi intensitas kegiatan ekonomi. Kenaikan aktivitas ekonomi kemudian diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang kemudian akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Selain itu, belanja modal pemerintah dalam pelaksanaannya memerlukan tenaga kerja sehingga akan memperbesar penyerapan tenaga kerja, yang berarti pengangguran akan menurun, lebih banyak orang yang bekerja dan memperoleh penghasilan, yang pada akhirnya akan menuju pada perbaikan kesejahteraan masyarakat. Tingkat pencapaian IPM salah satunya ditentukan oleh kemampuan keuangan daerah, terutama kebijakan alokasi belanja modal dalam APBD terhadap komponen pembentuk IPM seperti : pendidikan, kesehatan, ekonomi, Infrastruktur maupun komponen lainnya yang berpengaruh terhadap pencapaian IPM. Perbaikan alokasi belanja langsung khususnya belanja modal untuk kegiatan dan program pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembangunan manusia. Studi yang dilakukan oleh Christy dan Adi (2009) yang menganalisishubungan antara dana alokasi umum, belanja modal dan kualitas pembangunan manusia dengan menggunakan data sekunder dan analisis regresi sederhana, berkesimpulan bahwa Belanja Modal berpengaruh terhadap IPM. Hal ini menunjukkan besarnya alokasi belanja modal akan menentukan pengalokasian dana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari tingkat IPM. Oleh karena itu studi yang menganalisis tentang indeks pembangunan manusia menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama jika dikaitkan dengan belanja pemerintah khususnya belanja modaldi Provinsi Jambi. Judul yang dikemukan untuk studi tersebut adalah Analisis Pengaruh Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Povinsi Jambi. Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : (1) Bagaimana Belanja Modal mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi?, (2) Bagaimana hubungan kausalitas antara Belanja Modal dengan Indeks Pembangunan Manusia?, (3) Bagaimana respon akibat perubahan belanja modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi?. TINJAUAN PUSTAKA Menurut laporan UNDP (2004), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks komposit untuk mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup secara lebih berkualitas, baik dari aspek kesehatan, pendidikan, maupun aspek ekonomi. Secara umum metode penghitungan IPM sesuai dengan metode yang digunakan The United Nations Development Programme (UNDP). IPM terdapat 3 indikator utama, yaitu indikator kesehatan, tingkat pendidikan dan indikator ekonomi. Pengukuran ini menggunakan tiga dimensi dasar, yaitu: lamanya hidup, pengetahuan, dan kehidupan yang layak. UNDP sudah merubah metodologi penghitungan IPM sejak tahun 2010 dan direvisi tahun 2011. Seperti diketahui, IPM merupakan indeks komposit hasil agregasi tiga jenis indeks masingmasing mewakili dimensi pembangunan manusia, yakni indeks kesehatan, indeks pendidikan dan indeks standar hidup. Perubahan mendasar dalam perhitungan IPM dengan metode baru mencakup penggunaan indikator harapan lama sekolah (HLS) menggantikan indikator angka melek huruf (AMH) dalam perhitungan indeks pendidikan dan penggunaan indikator pendapatan nasional bruto (PNB) per kapita menggantikan produk domestik bruto (PDB) per kapita dalam perhitungan indeks standar hidup. Agregasi indeks juga mengalami perubahan. Semula, agregasi indeks menggunakan 298 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 rata-rata hitung. Pada IPM dengan metode baru, perhitungan indeks menggunakan rata-rata ukur (geometrik). Menurut Suyanto dalam Sumiyati (2011), pada hakekatnya pembangunan adalah pembangunan manusia,sehingga perlu diprioritaskan alokasi belanja untuk keperluan ini dalam penyusunananggaran.Perbaikan pengalokasian dana untuk belanja modal selain belanja rutin ikut menopang perbaikan kesejahteraan dalam mencapai pembangunan manusia.Abdullah dan Sumardjoko (2014), memberikan definisi bahwa belanja modal merupakan pendanaan kebutuhan akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun fasilitas layanan publik. Menurut Mardiasmo dalam Christy (2009), menyatakan bahwa dalam era otonomi, pemerintah daerah harus semakin mendekatkan diri pada berbagai pelayanan dasar masyarakat. Oleh karena itu, alokasi belanja modal memegang peranan penting guna peningkatan pelayanan ini.Penyediaan infrastruktur di berbagai bidang baik jaringan, jalan, sarana pendidikan dan juga pembangunan fasilitas kesehatan diharapkan mendorong kualitas hidup dan tingkat kecerdasan masyarakat. Belanja modal daerah seperti penyediaan gedung, sarana dan prasarana sekolah menciptakan kenyamanan pendidikan yang selanjutnya mendorong kualitas pembangunan manusia. Adanya peningkatan belanja modal yang dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan pelayanan publik baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun infrastruktur secara tidak langsung diharapkan akan meningkatkan kualitas pembangunan dan mutu hidup manusia. Perbaikan pelayanan publik ini memang tidak secara langsung dapat dilihat hasilnya, untuk itu dibutuhkan beberapa waktu agar dapat dilihat pengaruhnya terhadap kualitas hidup manusia. Dengan semakin tingginya kualitas hidup manusia maka akan meningkatkan IPM pula. METODE PENELITIAN Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data-data yang diperlukan dalam penelitian ini adalahBelanja Daerah dan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Semua data dari tahun 2009-2013 yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi, yang bersumber dari Buku Laporan Statistik Keuangan Pemerintah Daerahdan Laporan Tahunan BPS berbagai edisi. Metode Analisis dan Pengolahan Data Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program EViews7.0dan metode interpolasi untuk mengolah data. Interpolasi data merupakan metode pemecahan data menjadi bentuk kuartalan, dimana data setahun dibagi menjadi empat data dalam bentuk kuartalan. Dalam melakukan interpolasi data, digunakan metode quadratic match average dengan menggunakan EViews 7.0. Dalam penulisan penelitian ini, model yang digunakan yaitu model VAR (Vector Autoregression). Untuk memenuhi syarat dalam uji tersebut, maka terlebih dahulu harus dilakukan beberapa tahapan pengujian yaitu : Uji Stasioneritas (Unit Root Test) Pengujian akar unit ini sering juga disebut dengan stationary stochastic process, karena pada prinsipnya pengujian dilakukan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model otogresif yang ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam analisis time series, informasi tentang stasioneritas suatu data series merupakan hal yang sangat penting karena mengikutsertakan variabel yang non 299 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 stasioner ke dalam persamaan estimasi koefisien regresi akan mengakibatkan standard error yang dihasilkan menjadi bias. Pada penelitian ini, uji stasioneritas dilakukan dengan menggunakan metode Augmented Dickey-Fuller Test (ADF). Uji stasioneritas ini didasarkan atas hipotesis nol variabel stokastik memiliki unit root. Dengan menggunakan model uji ADF test, hipotesis nol dan dasar pengambilan keputusan lainnya yang digunakan dalam uji ini didasarkan pada nilai kritis MacKinnon sebagai pengganti uji-t. Selanjutnya nisbah t tersebut dibandingkan dengan nilai kritis statistik pada t tabel ADF untuk mengetahui ada atau tidaknya akar-akar unit. Jika hipotesa diterima berarti variabel tersebut tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji derajat integrasi. Uji derajat integrasi dimaksudkan untuk melihat pada derajat atau order diferensi ke berapa data yang diamati akan stasioner. Uji Kointegrasi Apabila terdapat data yang stasioner pada proses diferensi data, maka kita harus melakukan uji kointegrasi untuk mengetahui apakah data mempunyai hubungan dalam jangka panjang atau tidak. Apabila terdapat kointegrasi maka model ini disebut model VECM, tetapi apabila tidak terdapat kointegrasi maka model ini disebut model VAR dengan data diferensi (VAR in difference).Metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji kointegrasi, seperti Engle-Granger Cointegration Test, Johansen Cointegration Test, dan Cointegration Regression Durbin-Watson Test. Uji Kausalitas (Granger Causality) Kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara variabel satu dengan variabel yang lain dan menunjukkan arah hubungan sebab akibat.Kausalitas Granger hanya menguji hubungan antar variabel dan tidak melakukan estimasi terhadap model.Secara matematis, persamaan kausalitas Granger untuk 2 variabel dapat dituliskan sebagai berikut : Yt= Σ aiYt-i + Σ bjXt-j + vt; X → Y jika bj > 0 Xt= Σ ciYt-i + Σ djXt-j + ut ; Y → X jika dj > 0 Adapun rumusan model kausalitas antara belanja modal dan indeks pembangunan manusia diajukan dalam penelitian ini adalah : IPMt = α IPMt-1 + β BMt-1.........(1) BMt = πΈ IPMt-1 + πΉ BMt-1........(2) Model VAR Model VAR yang dikembangkan oleh Sims dalam Enders (2004) yang dikutip dari Hafidh (2011), mengasumsikan bahwa seluruh variabel dalam persamaan simultan adalah variabel endogen. Asumsi ini diterapkan karena seringkali penentuan variabel eksogen dalam persamaan simultan bersifat subyektif. Dalam VAR, semua variabel tak bebas dalam persamaan juga akan muncul sebagai variabel bebas dalam persamaan yang sama. Pendekatan VAR merupakan permodelan setiap variabel endogen dalam sistem sebagai fungsi dari lag semua variabel endogen dalam sistem. Berdasarkan standard form dalam model VAR, bentuk umum model empirisnya adalah sebagai berikut: ππ = π·π + π·π ππ−π + π·π πΏπ−π + ππ dimana : Y X β0 π½1, π½2 et t : Indeks Pembangunan Manusia ( Variabel Tidak Bebas) : Belanja Modal (Variabel Bebas) : Konstanta : Koefisien regresi : Kesalahan unsur penganggu / standar error : Periode waktu (2009,…,2013) 300 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 t-n : Periode sebelumnya Adapun estimasi model VAR untuk melihat pengaruh Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi dapat dituliskan sebagai berikut : π°π·π΄π = π·π + π·π π°π·π΄π−π + π·π π©π΄π−π + ππ ...................... (4) π©π΄π = π·π + π·π π©π΄π−π + π·π π°π·π΄π−π + ππ ......................... (5) dimana : IPM : Indeks Pembangunan Manusia (%) BM : Belanja Modal (Juta Rupiah) β0 : Konstanta π½1, π½2 : Koefisien regresi et : Unsur kesalahan penganggu / standar error t : Periode waktu (2009,…,2013) t-n : Periode sebelumnya Analisis Impuls Response Function (IRF)danForecast Error Decomposition of Variance (FEDV) Menurut Juanda dan Junaidi (2012), model VAR dapat digunakan untuk melihat dampak perubahan satu variabel terhadap variabel lainnya secara dinamis. Caranya adalah dengan memberikan shock pada salah satu variabel endogen. Kejutan yang diberikan biasanya sebesar satu standar deviasi dari variabel (disebut innovations). Penelusuran pengaruh kejutan yang dialami oleh suatu variabel terhadap nilai semua variabel pada saat ini maupun pada beberapa periode mendatang disebut teknik Impulse Response Function (IRF). Pada dasarnya IRF menggambarkan lintasan (path) dimana suatu variabel akan kembali kepada keseimbangannya setelah mengalami kejutan dari variabel lain. FEDV bertujuan untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap peubah karena adanya perubahan peubah tertentu dalam sistem VAR. Analisis FEDV digunakan untuk menggambarkan relatif pentingnya setiap peubah dalam sistem VAR karena adanya kejutan. Hasil variance decomposition menunjukkan kekuatan hubungan Granger Causality yang mungkin ada diantaraanalisis dampak variabel. Dengan kata lain, jika suatu variabel menjelaskan porsi yang besar mengenai forecast error variance dari variabel yang lain, maka hal tersebut mengindikasikan adanya hubungan Granger Causality yang kuat. Operasional Variabel Variabel diartikan sebagai objek pengamatan peneltian atau faktor-faktoryang berperan dalam peristiwa dan fenomena-fenomena yang akan diteliti.Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks komposit untuk mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup secara lebih berkualitas, dilihat dari aspek kesehatan, pendidikan, maupun aspek ekonomi. Data IPM berupa data IPM di Provinsi Jambi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik selama periode 20092013 yang kemudian diinterpolasikan menjadi data kuartal dan dinyatakan dalam satuan persen (%). 2. Belanja Modal (BM) Alokasi belanja modal merupakan bagian dari belanja langsung yang didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Data Belanja Modal berupa Belanja Modal di Provinsi Jambi yang diperoleh dari buku publikasi Statistik Keuangan Pemerintah Daerah selama periode 2009-2013 yang kemudian diinterpolasikan menjadi data kuartal dan dinyatakan dalam satuan juta rupiah. 301 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan regresi linear dengan model Vector Autoregression (VAR). Berikut hasil olahan data yang telah dilakukan menurut prosedur yang telah ditentukan : Hasil Uji Stasioneritas Data : Uji Akar Unit (Unit Root test) Data time series dikatakan tidak mengandung unit root atau bersifat stasioner jika nilai statistik ADFtest lebih besar dari nilai kritis MacKinnon 1%, 5%, dan 10 %. Uji dilakukan dengan menggunakan program EViews 7.0 dengan hasil yang digambarkan melalui tabel yang telah dilampirkan. Kesimpulan dari hasil uji akar unit yang telah dilakukan yaitu : Tabel 1. Hasil Pengujian Unit Root Pada Tingkat Level Variabel IPM BM MacKinnon Critical Value t-stat ADF 1% -3.831511 4.006411 5% 10% -3.029970 -2.655194 1% -3.857386 5% 10% -3.040391 -2.660551 Keterangan Tidak Stasioner Tidak Stasioner 0.368526 Sumber : Hasil olah data dengan menggunakan EViews 7.0 Tabel 1 menunjukkan bahwa variabel yang digunakan dalam penelitian tidak seluruhnya stasioner pada tingkat level. Ketidakstasioneran data dilihat dari nilai t-ADF yang lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon pada taraf nyata 1%, 5% maupun 10% (terlampir). Oleh karena itu, pengujian akar-akar unit ini perlu dilanjutkan pada tingkat first difference (Tabel 2) yaitu : Tabel 2. Hasil Pengujian Unit Root Pada Tingkat FirstDifference Variabel IPM BM MacKinnon Critical Value 1% -3.857386 5% -3.040391 10% -2.660551 1% -3.857386 5% -3.040391 10% -2.660551 t-stat ADF -2.201019 Keterangan Tidak Stasioner 0.702376 Tidak Stasioner Sumber : Hasil olah data dengan menggunakan EViews 7.0 Setelah dilakukan uji akar pada first difference, ternyata kedua variabel penelitian belum juga dinyatakan stasioner karena nilai t-statistic ADF yang masih kecil dibanding nilai critical value (terlampir). Artinya data yang digunakan pada penelitian ini tidak atau belum stasioner pada first difference seperti yang terlihat pada Tabel 2. Oleh karena itu, pengujian akar-akar unit ini perlu dilanjutkan pada tingkat second difference (Tabel 2.0) yaitu : 302 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Tabel 3. Hasil Pengujian Unit Root Pada Data 2nd Difference Variabel IPM BM MacKinnon Critical Value 1% -3.886751 5% -3.052169 10% -2.666593 1% -3.886751 5% -3.052169 10% -2.666593 t-stat ADF -4.959883 Keterangan Stasioner -4.715736 Stasioner Sumber : Hasil olah data dengan menggunakan EViews 7.0 Setelah dilakukan uji akar pada second difference, barulah semua data stasioner pada critical value baik 1%, 5% maupun 10% (terlampir). Artinya data yang digunakan pada penelitian ini terintegrasi atau stasioner pada tingkat second difference seperti yang terlihat pada tabel 3. Hasil Uji Kointegrasi Dari hasil uji stasioner diketahui bahwa terdapat data yang stasioner pada proses diferensi data, maka untuk selanjutnya harus dilakukan uji kointegrasi. Berdasarkan hasil uji kointegrasi yang telah dilakukan menggunakan Eviews 7.0 diketahui : Max-Eigen Statistic = 9,245890 Critical Value 5% = 14,26460 Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai Max-Eigen, nilai Max-Eigen test lebih kecil daripada nilai kritis pada tingkat α=5%. Yaitu 9,24 < 14,26. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi kointegrasi antar variabel dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan jangka panjang antara Indeks Pembangunan Manusia dan Belanja Modal (Hasil olahan data EViews dapat dilihat pada lampiran). Pengaruh Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi Berikut hasil regresi analisis model VAR yang telah dilakukan dengan menggunakan EViews 7.0 : (Hasil regresi dapat dilihat pada hal lampiran) Persamaan 1 : IPMt = 18,519 + 2,352 IPMt-1 – 1,607 IPMt-2 + 5,796 BMt-1 – 5,842 BMt-2 F-stat = 4768,366 R2 = 0,999319 Artinya : Nilai koefisien-nya bertanda positif dan nilai statistic F-nya berpengaruh signifikan pada tingkat α=5%. Artinya, Belanja Modal berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia.Koefisien regresi variable BMt-1 sebesar 5,79. Artinya, Jika diasumsikan bahwa selama metode penelitian Belanja Modal periode pertama meningkat sebesar 1 juta rupiah maka IPM periode ini akan meningkat sebesar5,8%.Koefisien regresi variable BMt-2 sebesar-5,84. Artinya, Jika diasumsikan bahwa selama metode penelitian Belanja Modal periode kedua meningkats ebesar 1 juta rupiah maka IPM periode ini akan mengalami penurunan sebesar5,84 %.Nilai R-Squared-nyaa dalah sebesar 0,99. Artinya :Variasi Perubahan (naik atau turunnya) belanja modal periode sebelumnya mempengaruhi indeks pembangunan manusia sebesar 99%. Dan sisanya dipengaruhi oleh variable lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian. 303 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Persamaan 2 : BMt = - 4184 - 8761 IPMt-1 + 1454 IPMt-2 + 0,723 BMt-1 + 0,285 BMt-2 F-stat = 9649,698 R2 = 0,999663 Artinya : Nilai koefisien-nya bertanda positif dan negatif serta nilai statistikF-nya berpengaruh signifikan pada tingkat α=5%. Artinya, Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.Koefisien regresi variable IPMt-1 sebesar-8761. Artinya, Jika diasumsikan bahwa selama metode penelitian IPM periode pertama meningkat sebesar 1 % maka belanja modal periode ini akan mengalami penurunan sebesar 8761 Juta Rupiah. Koefisien regresi variable IPMt-2 sebesar 1454. Artinya, Jika diasumsikan bahwa selama metode penelitian IPM periode kedua meningkat sebesar 1 % maka BM periode ini akan meningkat sebesar 1454 Juta Rupiah. Nilai R-Squared-nya adalah sebesar 0,99. Artinya :Variasi Perubahan (naik atau turunnya) IPM periode sebelumnya mempengaruhi Belanja Modal sebesar 99%. Dan sisanya dipengaruhi oleh variable lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian. Hubungan Kausalitas antara Belanja Modal dan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi Granger Causality test digunakan untuk melihat hubungan kausalitas (timbal balik) antara variabel-variabel yang diteliti yaitu IPM dan BM. Uji dilakukan dengan menggunakan program EViews 7.0 dengan hasil yang digambarkan melalui tabel yang telah dilampirkan. Kesimpulan dari hasil uji causality test yang telah dilakukan yaitu : - BM does not Granger Cause IPM = 0,0536 - IPM does not Granger Cause BM = 0,0051 Sehingga dapat disimpulkan bahwa : - IPM mempengaruhi BM, karena nilai probabilitas-nya memenuhi tingkat signifikan α=5% → (0,05= 0,05). - BM mempengaruhi IPM, karena nilai probabilitas-nya lebih kecil dari tingkat signifikan α=5% → (0,005 <0,05). Berdasarkan hasil uji Kausalitas Granger menunjukkan terjadi hubungan timbal balik atau kausalitas dua arah antara IPM dan Belanja Modal selama kurun waktu 2009-2013. Pola atau arah hubungan kausalitas adalah dari belanja modal ke IPM, dan dari IPM ke belanja modal. Tingginya belanja modal menyebabkan meningkatnya IPM, begitu juga sebaliknya meningkatnya IPM mendorong meningkatnya belanja modal. Analisis Respon Akibat Perubahan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. 304 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Analisis Impuls Response Function (IRF) Analisis impulse response dilakukan untuk melihat dampak shock (guncangan) Indeks Pembangunan Manusia pada horizon waktu ke depan. Berikut hasil grafik analisis impuls response yang telah dilakukan dengan alat analisis EViews 7.0 : Gambar 1. Grafik Impuls Response (IRF) Response to Cholesky One S.D. Innovations Res ponse of IPM to IPM Res ponse of IPM to BM .030 .030 .025 .025 .020 .020 .015 .015 .010 .010 .005 .005 .000 .000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 Response of BM to IPM 6,000 4,000 4,000 2,000 2,000 0 0 -2,000 -2,000 -4,000 -4,000 -6,000 - 6 7 8 9 10 8 9 10 -6,000 1 - 5 Response of BM to BM 6,000 - 4 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 Pada grafik response of IPM to BM, menjelaskan respon IPM karena adanya shock atau kejutan pada variabel BM. Perubahan belanja modal ini dibutuhkan waktu satu triwulan untuk dapat meningkatkan IPM yang kemudian kembali normal pada triwulan ke 5 hingga ke 10 tetapi dengan peningkatan yang kecil. Pada grafik response of BM to IPM, menjelaskan respon BM karena adanya kejutan pada variabel IPM. Adanya kejutan pada IPM pada triwulan pertama menyebabkan terjadinya penurunan belanja modal pada triwulan kedua. Peningkatan IPM pada triwulan pertama hingga kelima rata-rata mengalami peningkatan tetapi masih berada dibawah titik keseimbangan yang berdampak negatif terhadap peningkatan belanja modal. Setelah triwulan ke-6, kejutan yang terjadi pada IPM menyebabkan belanja modal kembali normal dan mengalami peningkatan yang positif hingga triwulan ke-10. Jadi, untuk dapat meningkatkan Belanja Modal ini dibutuhkan waktu 6 triwulan yang kemudian belanja modal kembali normal dan mengalami peningkatan. 305 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Forecast Error Decomposition of Variance (FEDV) Variance Decomposition berguna untuk memprediksi kontribusi presentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VAR. Analisis FEDV digunakan untuk menggambarkan relatif pentingnya setiap peubah dalam sistem VAR karena adanya shock. Hasil variance decomposition menunjukkan kekuatan hubungan Granger Causality yang mungkin ada diantaraanalisis dampak variabel. Berikut hasil grafik analisis variance decomposition yang telah dilakukan dengan alat analisis EViews 7.0 : Gambar.2Grafik Variance Decomposition (FEDV) Variance Decomposition Percent IPM variance due to IPM Percent IPM variance due to BM 100 100 80 80 60 60 40 40 20 20 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 Percent BM variance due to IPM 100 80 80 60 60 40 40 20 20 0 5 6 7 8 9 10 9 10 0 1 - 4 Percent BM variance due to BM 100 - 3 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5 6 7 8 Pada grafik IPM variance due to BM, menjelaskan kontribusi belanja modal terhadap IPM. Dapat dilihat bahwa dari awal periode hingga akhir periode kontribusi belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia semakin meningkat. Pada grafik BM variance due to IPM, menjelaskan kontribusi IPM terhadap belanja modal. Dapat dilihat bahwa dari awal periode hingga triwulan ke 5 kontribusi IPM tetap dalam kondisi normal dan mengalami penurunan mulai dari triwulan ke 6 hingga ke 10. Ini berarti, kontribusi IPM tidak sepenuhnya mampu meningkatkan alokasi belanja modal. 306 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Tabel.4 Hasil Estimasi Variance Decomposition (FEDV) Variance Decompositi on of IPM: Period S.E. IPM BM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 100.0000 95.66381 86.02158 74.60645 64.44413 56.57778 50.80767 46.60481 43.48732 41.09768 0.000000 4.336185 13.97842 25.39355 35.55587 43.42222 49.19233 53.39519 56.51268 58.90232 Variance Decompositi on of BM: Period S.E. IPM BM 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 91.81106 94.59537 95.77066 96.05281 95.45383 92.38699 84.69637 72.52574 58.91601 46.95392 8.188938 5.404625 4.229336 3.947190 4.546174 7.613005 15.30363 27.47426 41.08399 53.04608 0.020430 0.033026 0.042248 0.049717 0.056235 0.062086 0.067430 0.072423 0.077200 0.081851 4146.477 6300.546 7331.908 7700.174 7801.919 7931.169 8308.389 9077.710 10293.66 11941.72 Cholesky Ordering: IPM BM 307 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Variance decomposition of IPM : Pada tabel 2.1 tersebut dijelaskan bahwa pada triwulan pertama, IPM sangat dipengaruhi oleh shock IPM itu sendiri, sementara pada periode itu shock belanja modal masih belum memberikan pengaruh. Seterusnya, mulai dari triwulan 1 hingga triwulan ke 4, proporsi shock atau kejutan IPM terhadap IPM itu sendiri masih besar yaitu dengan kontribusi 74,6%. Akan tetapi, shock IPM memberikan proporsi pengaruh yang sedikit demi sedikit menurun terhadap IPM itu sendiri hingga triwulan ke 10. Selanjutnya, adanya shock belanja modal memiliki kontribusi yang semakin meningkat sepanjang periode. Mulai dari triwulan ke 4, shock belanja modal bahkan sudah berkontribusi lebih dari 20% terhadap IPM. Pada triwulan ke 5 hingga triwulan ke 10, ternyata shock belanja modal semakin terus meningkat dan memberikan pengaruh terhadap IPM hingga 59%. Variance decomposition of BM : Pada tabel 2.1 tersebut dijelaskan bahwa pada triwulan pertama, BM sangat besar dipengaruhi oleh shock IPM yaitu sebesar 92%, sementara itu BM itu sendiri hanya memberikan kontribusi sebesar 8%. Seterusnya, mulai dari triwulan 1 hingga triwulan ke 4, proporsi shock atau kejutan IPM terhadap BM masih besar dan terus meningkat yaitu dengan kontribusi 96%. Akan tetapi, shock BM memberikan proporsi pengaruh yang sedikit demi sedikit menurun terhadap BM itu sendiri hingga triwulan ke 4. Selanjutnya, adanya shock IPM pada triwulan ke 5 hingga ke 10 memiliki kontribusi terhadap BM yang semakin mengalami penurunan sepanjang periode sebesar 47%. Kebalikannya, shock BM terhadap BM itu sendiri pada triwulan ke 5 hingga ke 10 malah semakin meningkat sepanjang periode dengan kontribusi sebesar 53%. Ini berarti, shock IPM memberikan pengaruh dan kontribusi yang tidak terlalu besar terhadap peningkatan belanja modal. Hal ini sejalan dengan hasil dari uji kausalitas yang telah dilakukan, bahwa IPM dapat mempengaruhi belanja modal tetapi pengaruhnya tidak terlalu besar. Implikasi Hasil Penelitian Berdasarkan hasil olah data statistik dapat dilihat bahwa belanja modal berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia dengan nilai R-Squared sebesar 99%, nilai F-stat yang signifikan pada tingkat 1% atau 5% dan nilai koefisien regresi yang bertanda positif. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Christy dan Adi (2009) yang menyatakan bahwa Belanja Modal berpengaruh terhadap IPM. Hal ini menunjukkan besarnya alokasi belanja modal akan menentukan pengalokasian dana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari tingkat IPM. Sumiyati (2011) juga menyatakan bahwa belanja modal tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan IPM, namun demikian apabila dilihat dari bentuk hubungannya masih menunjukkan arah yang positif yang dapat diartikan setiap peningkatan belanja modal menyebabkan adanya peningkatan IPM. Pada penelitian ini hampir sama, belanja modal berpengaruh signifikan dan positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Hanya saja yang membedakannya yaitu provinsi dan tahun penelitian. Belanja modal mempunyai dampak yang signifikan dan positif terhadap indeks pembangunan manusia, ini berarti alokasi belanja modal yang terjadi di Provinsi Jambi telah dapat dikatakan terealisasikan dengan baik untuk peningkatan layanan publik baik dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun infrastruktur. Belanja modal tersebut mempunyai peranan strategis, karena sasaran penggunaanya untuk membiayai pembangunan di bidang sarana dan prasarana yang dapat menunjang kelancaran dan pemenuhan pelayanan masyarakat. Jika belanja modal naik maka indeks pembangunan manusia juga akan naik karena belanja modal dialokasikan untuk layanan publik sehingga dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kulitas hidup manusia, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat indeks pembangunan manusia. 308 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Hasil pada penelitian ini juga sesuai dengan teori menurut Suyanto dalam Sumiyati (2011) yang menyatakan bahwa “Pada hakekatnya pembangunan adalah pembangunan manusia, sehingga perlu diprioritaskan alokasi belanja untuk keperluan ini dalam penyusunan anggaran. Perbaikan pengalokasian dana untuk belanja modal selain belanja rutin ikut menopang perbaikan kesejahteraan dalam mencapai pembangunan manusia”. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi belanja modal akan memberikan pengaruh penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan layanan publik baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun infrastruktur yang kemudian akan meningkatkan IPM secara tidak langsung. Hasil pada penelitian juga menyatakan bahwa Belanja Modal dan Indeks Pembangunan Manusia memiliki hubungan kausalitas timbal balik (dua arah). Ini berarti, Belanja Modal memiliki pengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia begitu juga sebaliknya Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh terhadap Belanja Modal di Provinsi Jambi selama periode penelitian. Hasil uji kausalitas ini juga memperkuat hasil model VAR yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah yang pertama bahwa Belanja Modal berpengaruh signifikan dan positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Adanya peningkatan Belanja Modal juga diikuti dengan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia. Hasil uji kausalitas juga menunjukkan bahwa IPM mempengaruhi belanja modal, ini berarti bahwa semakin tinggi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka semakin tinggi pula Belanja Modal yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi berarti daerah tersebut sebenarnya telah tergolong daerah yang sudah maju. Daerah maju dengan fasilitas-fasilitas dan infrastruktur yang baik memicu peningkatan pendapatan daerah. Dengan bertambahnya pendapatan pada daerah tersebut, pemerintah dapat menganggarkan belanja modalnya lebih banyak. Di Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan suatu daerah sehingga mempengaruhi keputusan pemerintah daerah dalam menggunakan Belanja Modalnya. PENUTUP Simpulan Selama periode penelitian Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Jadi, Belanja Modal jelas dapat mempengaruhi tingkat Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi.Terdapat hubungan timbal balik dua arah antara variabel dependen dan variabel independen. Dimana Belanja Modal mempengaruhi IPM, begitu juga sebaliknya. Jadi, dengan adanya peningkatan alokasi Belanja Modal baik dibidang pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun infrastruktur maka akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Begitu sebaliknya, dengan tingginya Indeks Pembangunan Manusia maka akan meningkatkan alokasi Belanja Modal di Provinsi Jambi.Dalam periode penelitian jika terjadi shock atau guncangan pada Belanja Modal maka akan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Jadi, adanya shock atau guncangan yang terjadi pada Belanja Modal akan memberikan dampak positif terhadap IPM yaitu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Dampak yang diberikan tidak secara langsung dapat dilihat, melainkan dapat dilihat pada beberapa periode yang akan datang, karena perbaikan atau peningkatan alokasi Belanja Modal tersebut terlebih dahulu digunakan untuk peningkatan layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan lainnya. Dengan meningkatnya layanan publik tersebut akan meningkatkan 309 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, sehingga secara langsung tingkat Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi akan meningkat. Saran Pemerintah daerah provinsi sebaiknya mempertahankan kemampuan anggaran untuk belanja pemerintah, khususnya belanja modal ditahun-tahun selanjutnya terutama seperti sarana prasarana, pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur lainnya yang berkaitan dengan pelayanan publik sehingga mampu memberikan efek positif terhadap pembangunan mnanusia berkelanjutan. Untuk penelitian selanjutnya dengan tema yang sama disarankan menggunakan range data lebih panjang untuk mengkaji lebih dalam efek Belanja Modal terhadap Indeks Pembanguan Manusia (IPM) di Provinsi Jambi, menambahkan variabel-variabel independen lainnya sehingga dapat dilihat variabel mana saja yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi dan menggunakan model analisis yang dianggap lebih menjelaskan hubungan antar variabelnya, dan disarankan untuk tidak menggunakan metode pengolahan data dengan interpolasi data untuk menghindari dampak buruk yang akan mempengaruhi model dan hasil penelitian. DAFTAR PUSTAKA Christy, Fhino Andrea dan Adi, Priyo Hari. 2009. Hubungan Antara DAU, Belanja Modal dan Kualitas Pembangunan Manusia. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. The 3rd National Conference UKWMS Page 10. Surabaya. Halim, Abdul. 2004. Pengaruh dana alokasi umum (DAU) dan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap belanja pemerintah daerah: Studi kasus kabupaten/kota di Jawa dan Bali. Jurnal Ekonomi 13 (2): 90-109. Putra W, Aditya. 2015. Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Jumlah Penduduk terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur. Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Jember (UNEJ). Sari, Erlina dan Syahril. 2011.Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara. Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/handle. Setiawan, Prabu. 2009. Interpolasi Data. http://prabusetiawan.blogspot.co.id/2009 /05/interpolasidata.html, diakses tanggal 4 Desember 2015. Sumiyati, Euis Ety. 2011. Pengaruh Belanja Modal TerhadapPeningkatan Indeks Pembangunan Manusia Di Propinsi Jawa Barat. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Sosial. 310 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Sukirno, S. 2006. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Badan Penelitian Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta. Wahyu W, Wing. 2011. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. Yogyakarta : UPP STIM YKPN. Widarjono, Agus. 2013. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya. Yogyakarta : UPP STIM YKPN. 311 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 ANTECEDENTS OF EMPLOYEE LOYALTY IN EDUCATIONAL SETTING: A RESEARCH PROPOSAL Sabrina O. Sihombing1 dan Margaretha P. Berlianto2 Universitas Pelita Harapan [email protected] 1 Abstract: No studies have been conducted to link three variables of work values, internal marketing, and job satisfaction in predicting employee loyalty. Therefore, this research aims to fulfill the gap by developing a model that include work values, internal marketing, and job satisfaction in assessing employee loyalty in educational context. This research will apply a purposive sampling with the sample size of 200 lecturers from a private universities in Tangerang. The goodness of measures will be applied to assess reliability and validity of measurements before hypothesis testing. Structural equation modeling will be applied in testing the research hypotheses. Keywords: work values, internal marketing, job satisfaction, employee loyalty, structural equation modeling BACKGROUND Employee loyalty has been attracted to many scholars since employee loyalty contribute significantly to companies growth and performance. Many research focus on the link between job satisfaction and employee loyalty (Dahl & Peltier, 2014; Hussain, 2012; Hwang & Wang, 2013; Kim & Cho, 2016; Turkyilmaz, et al., 2011) as social science literature that shown that satisfaction is an antecedent of loyalty. In relating with job satisfaction, research shown that job satisfaction can be assessed with variables such as rewards (Mogelof & Rohrer, 2005; Mustapha, 2013; Sejjaaka & Kaawaase, 2014; Westover & Taylor, 2010), supervisor support (Charoensukmongkol, Moqbel, & Wirsching, 2016; Elias & Mittal, 2011; Griffin, Patterson, & West, 2001), job performance (GarcíaBuades, et al., 2015; Johnson & Sohi, 2014; Yang & Hwang, 2014; Yilmaz, 2002), work values (Mills & Blaesing, 2000; Ravari et al., 2012; Yahyagil, 2015), internal marketing (Ahmad & Al-Borie, 2012; Bailey et al., 2016; Dahl & Peltier, 2014; Edo et al., 2015; Kanyurhi & Akonkwa, 2016) and others. This research focus on work values and internal marketing are two main variables that represent internal and external side of employee in explaining job satisfaction. Internal marketing is focusing on employee as important inside customer from managerial perspective (external side), and work values as one significant variable in explaining human behavior (internal side) Table 1 show previous studies focus on the relationship between job satisfaction and employee loyalty, the relationship between internal marketing and job satisfaction, the relationship between work values and job satisfaction. The table also shows that only one study that correlate the relationship between three variables such as internal marketing, job satisfaction, and employee loyalty. Moreover, there is none that emphasizes the correlation between four variables (i.e., work values, internal marketing, job satisfaction, and employee loyalty). Therefore, this study aims to fill that gap by developing a model that consists of those four variables. The four variable chosen are aims to explain a phenomenon by limited variable to fulfill parsimony criteria scientific research (McBurney & White, 2009; Sekaran, Bougie, & Ivonne, 2013) 312 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Table 1. Research on work values, internal marketing, job satisfaction, and employee loyalty Researcher (s) (year) Internal Marketing Kanyurhi & Akonkwa X (2016) Bailey et al. (2016) X Kim & Cho (2016) Edo et al. (2015) X Dahl & Peltier (2014) X Gounaris (2008) X Iliopoulos & Priporas X (2011) Hegney, Plank, & X Parker, (2006) Ahmad & Al-Borie X (2012) Al-Hawary et al. (2013) X Hwang & Chi (2005) X Kameswari & X Rajyalakshmi (2012) Knoop (1994) Ravari et al. (2012) Yahyagil (2015) Mills & Blaesing (2000) Drummond & Stoddard (1991) Hwang & Wang (2013) Hussain (2012) Turkyilmaz. et al (2011) Source: summarized from resarchers cited above Work Values Employee Satisfaction X X X X X X X Employee Loyalty X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Three research questions are considered in this study: 1. Does internal marketing positively impact on lecturers’ job satisfaction? 2. Does work values positively impact on lecturers’ job satisfaction? 3. Does lecturers’ job satisfaction positively impact on employee loyalty? LITERATURE REVIEW Employee loyalty Employee loyalty is defined as a psychological attachment or commitment to the organization and develops as result of increase satisfaction (Wan, 2012). Another researcher, (Lee, Lee, & Lin, 2015) defined more specifically by stating employee loyalty is the employees feel good and satisfied with the working environment and the work itself, thereby heightening their allegiance to the organization, and bringing forth their positive commitment towards the organization. Those two definitions of employee loyalty pointed out that satisfaction as an ultimate factor influencing loyalty. Loyalty is also perceived as an emotional attachment to firms or organizations. Varona (2002 cited by Antoncic & Antoncic, 2011) describes why it is important for companies to have employee loyalty. The loyal employee will have the strong feeling and belong to the company. Not only that, loyal employee have willingness to support the companies and even stay 313 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 when the company has crises. They will do more than their actual work, and they will spread positive information about the company. Job satisfaction is a key factor in describing employee loyalty. Job satisfaction Job satisfaction is one important factor that influences positive employee behavior (Arnett, Laverie, & McLane, 2002). In other words, when individual is satisfied with his job, that individual feels more responsible and committed to the organization. Job satisfaction is defined as a positive emotional state resulting from evaluating one’s job experiences (Mathis & Jackson, 2003). Job satisfaction can be achieved from several factors, for example, when employee like to work with its partners, enjoy their work, believing that the income they get paid a reasonable or fair, have a realistic opportunity for career advancement and respected and liked by his superiors. Internal marketing Internal marketing (IM) was first introduced by Berry, Hensel, & Burke (1976) in marketing service context. They pointed that it is important to view employee as internal customer and treat job as products. Specifically, Berry et al., (1976, cited by Farias, 2010) stated that IM is “concerned with making available internal products (jobs) that satisfy the needs of a vital internal market (employees) while satisfying the objectives of the organization”. In others words, satisfied customer can be achieved when companies satisfied employees. Since its introduction, internal marketing has been assessed in at least three different ways (Ahmed, Rafiq, & Saad, 2003). First, IM is assessed as original conceptualization, that is, treating employee as internal market and job as internal product. Second, IM as a significant part of market orientation. Third, IM as marketing-like tools in motivating employee. This research applied IM as treating employee as internal market and job as internal product with three main factors that can represent IM: vision, development, and rewards (Foreman & Money, 1995). Work values A personal value is defined as the “normal” behavior for an in individual (Blackwell, Miniard, & Engel, 2006). It includes normative standards and criterion that individuals use to to judge and to choose among alternative modes of behaviour (Fraj & Martinez, 2006; Schwartz, 1992). It believes serve as the guiding principle in people’s lives (Long & Schiffman, 2000; Watkins & Gnoth, 2005). Thus, examining people’s values is a way in understanding the variation in people’s behavior Work values are rooted in the understanding of personal or general values but in the work context. Thus, work values refer to “normal” behavior of individual in the work context which represents people believe to fundamentally right or wrong in the work setting (Smola & Sutton, 2002). Understanding work values is important because these values guides employee behavior in their daily works which leads them to other important situation in working areas such as job satisfaction (Drummond & Stoddard, 1991; Knoop, 1994; Mills & Blaesing, 2000; Ravari et al., 2012; Yahyagil, 2015), organizational commitment (Elizur & Koslowsky, 2001; Ho, Oldenburg, Day, & Sun, 2012; Xiao & Froese, 2008). 314 1st National Conference on Business and Entrepreneurship “Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform” Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra Surabaya, 18-19 Mei 2017 Hypotheses and the Research Model Three hypotheses are developed based on the literature review above: 1. Work values will be positivel