Prosiding 1st NCBE FMB UC

advertisement
TIM EDITOR PROCEEDING
1st NATIONAL CONFERENCE ON BUSINESS AND ENTREPRENEUSHIP
KETUA EDITOR
Metta Padmalia, S.Si., M.M.
ANGGOTA EDITOR
Agustiono, S.E., M.Sc.
Antonius Juanta Tetangena Tarigan, S.E., S.Sos., M.B.A., M.P.A.
TEAM LAYOUT
Sri Nathasya Br. Sitepu, S.E., M.Ec. Dev.
Dewi Mustikasari Immanuel, S.E., M.M.
Warniancy Ariesty, S.E., M.M.
Monika Teguh, S.Sos., M.Med.Kom.
Wendra Hartono, S.T., MPA.
Stanislaus Adnanto Mastan, S.E., S.Kom., MSA., OCA, CPC
Fanny Septiana, S.E., M.M.
Yoseva Sumaji, S.E., M.M., M.B.A.
Dwi Christina Cahyaning, A.md.
Marcela Devina
Sabitha Rani Saraswati
Ni Wayan Diah Darmayanti
REVIEWER
Ir. Lieli Suharti Harmanto, M.M., PhD. (Universitas Kristen Satya Wacana)
Dr. Wirawan E.D.R., M.Sc., CMA., Ak., CA. (Universitas Ciputra)
Dr. Christina Whidya Utami, M.M., CLC. (Universitas Ciputra)
Dr. Christian Herdinata, S.E., M.M., CFP® (Universitas Ciputra)
Damelina Basauli Tambunan, S.E., M.M., CPM. (Universitas Ciputra)
Dr. Liliana Dewi, Ir., M.M. (Universitas Ciputra)
Ir. Venny Soetedja, M.M. (Universitas Ciputra)
Helena Sidharta, S.E., M.M. (Universitas Ciputra)
Carolina Novi Mustikarini, S.E., M.Sc., LP-NLP. (Universitas Ciputra)
i
SUSUNAN PANITIA
1st NATIONAL CONFERENCE ON BUSINESS AND ENTREPRENEUSHIP
Ketua
:
Maichal, S.E., M.Sc.
Sekretaris I
:
Fransisca Desiana Pranatasari, S.E., M.M..
Sekretaris II
:
Teofilus,S.E., M.M.
Sabitha Rani Saraswati
Bendahara I
:
Romauli Nainggolan, SE., M.Si
Bendahara II
:
Kazia Laturette, Ak., M.Ak.
Bendahara III
:
Christina Dwi Cahyaning, A.Md.
Bidang-Bidang:
Bidang I (Acara dan Persidangan) :
Koordinator : Krismi Budi Sienatra, S.E., M.M.
1.
Sri Nathasya Br. Sitepu, S.E., M.Ec. Dev.
2.
Monika Teguh, S.Sos., M.Med.Kom.
3.
Felicia Bella Kurniawan, S.E., M.Sc.
4.
Alicia Karina Limawal
5.
Michael Christopher D. Thorion
6.
Reza Rizky Toding La’bi
7.
Theresa Jennifer
Bidang II (Reviewer) :
Koordinator : Metta Padmalia, S.Si., M.M.
1.
Agustiono, S.E., M.Sc.
2.
Antonius Juanta Tetangena Tarigan, S.E., S.Sos., MBA., MPA
3.
Chintya Maria Manggala
4.
Marcella Devina Setiawan
5.
Ni Wayan Diah Darmayanti
ii
Bidang III (Sponsorship) :
Koordinator : Dewi Mustikasari Immanuel, S.E., M.M.
1.
Carolina Novi Mustikarini, S.E., M.Sc.
2.
Hans Kurniawan
3.
Mitchell
4.
Jonathan David
Bidang IV (Partnership) :
Koordinator : Hilda Yunita Wono, S.I.Kom., M.Med.Kom
1.
Ayu Dwidyah Rini, S.Pd., M.Pd.
2.
Meliana Indrawati, S.E., MBA., CMA., CPA.
3.
Geraldo Ricky
4.
Halim Santhio Wijaya
5.
Danisworo Tegar Haribawono
Bidang V (Publikasi dan Dokumentasi) :
Koordinator : Stanislaus Adnanto Mastan, S.E., S.Kom., MSA., OCA.
1.
Terry Immanuel Yoseph Wiranarta, B.S., MBA.
2.
Yohanes Santoso
3.
Celvin Wijaya
Bidang VI (Konsumsi) :
Koordinator : Flavia Tiara Aktrisanti, S.Si.
1.
Christina Ratnasari, A.md.
Bidang VII (Perlengkapan) :
Koordinator : Warniancy Ariesty, S.E., M.M.
1.
Laura Yuliana, S.Pd.
2.
Wendra Hartono, S.T., MPA
3.
Danny Aguswahyudi
4.
Guildy Harvey
iii
Bidang VIII (Pengadaan dan Percetakan) :
Koordinator : Fanny Septina, S.E., M.M.
1.
Gabriela Laras Dewi Swastika, S.I.Kom, M.A.
2.
Briandy Putra
3.
Evlyn Santoso
iv
KATA PENGANTAR
National Conference on Business and Entrepreneurship (NCBE) merupakan acara yang
diselenggarakan oleh Fakultas Manajemen dan Bisnis Universitas Ciputra yang berkerja sama dengan
Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci, Tangerang, Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya
(PPNS), dan Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA). Acara ini merupakan forum pertemuan
para akademisi dalam bidang entrepreneurship dengan tema besar “Building Indonesian Business and
Entrepreneurial Platform” di mana pada 1st NCBE tahun 2017 ini mengambil tema “Growing
Entrepreneurial Spirit in Private, Public, and Social Sectors”.
Konferensi Nasional dan Call for Papers ini terkumpul dari berbagai bidang keilmuan meliputi
bidang keilmuan entrepreneurship, keuangan, sumber daya manusia, pemasaran, strategik, ekonomi
dan akuntansi. Kami ucapkan terima kasih kepada para pemakalah yang telah hadir untuk
mempresentasikan makalahnya di Fakultas Manajemen dan Bisnis di Universitas Ciputra dan kepada
para peserta seminar yang telah datang. Ucapan terima kasih juga kami haturkan kepada para semua
panitia yang telah bekerja keras dalam mensukseskan dan kepada para pemangku kepentingan yang
telah mendukung penyelenggaraan National Conference on Business and Entrepreneurship. Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan atau keterbatasan selama penyelenggaraan National
Conference on Business and Entrepreneurship ini, oleh karena itu ijinkan kami mengucapkan mohon
maaf jika hal tersebut kurang berkenan di hati bapak ibu sekalian.
Surabaya, 18 Mei 2017
Ketua Panitia
Maichal, S.E., M.Sc.
v
DAFTAR ISI
PROCEEDING
1 NATIONAL CONFERENCE ON BUSINESS AND ENTREPRENEURSHIP
st
Tim Editorial………………………………………………………………………………….……...i
Susunan Panitia 1st NCBE…………………………………………………………………………...ii
Kata Pengantar………………………………………………………………………………………v
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………….vi
No.
Judul
Penulis
Halaman
1
Strategi Keberlanjutan Kewirausahaan
dan Daya Saing UMKM dalam
Menghadapi MEA
Ernani Hadiyati
1 - 15
2
Memanfaatkan Tantangan Sosial:
Menuju Inovasi Sosial dan Keunggulan
Kompetitif
Andreas W.
Djiwandono
16 - 22
3
The Impact of Developing Sustainable
Development of Firm’s Performance
Mediated by Dynamic Capability
Jo Jhony
23 - 31
4
Kajian Potensi Pariwisata Terhadap
Rencana Tata Ruang Wilayah (RT/RW)
Kota Depok
Siti Marti’ah dan Berta
Dian Theodora
32 - 38
5
Model Implementasi Green Human
Resource Management dalam Praktik
Manajemen Sumber Daya Manusia
Agus Sugiarto dan
Lieli Suharti
39 - 56
6
Effect of Service Quality on Customer
Satisfaction PD. BPR Djoko Tingkir in
District Sragen
Martina Primardhani
dan Istiatin
57 - 68
7
Implementasi Knowledge Management
dada Divisi Pemasaran PT Bank XXX
Tbk Cabang Pemuda Surabaya
Yugowati Praharsi, M.
Akmal Bariklana dan
M. Yazid Bustomi
69 - 75
8
Analisis Perbandingan Rantai Pasokan
Komoditas Kontrasepsi Jalur Pemerintah
dan Swasta di Jawa Barat
Sherlywati
76 - 90
vi
9
Analisa Income Smoothing Atas
Perusahaan Real-Estate Periode 20102015
Kartika Dewi
91 - 99
10
Memahami Produk Mode Indonesia
yang Menjual
Produk Secara Online Menggunakan
Majalah Mode Looks Magazine Sebagai
Media Iklan
M. Adhiramsyah
Choesin dan Yohana
F. Cahya Palupi
Meilani
100 - 114
11
Pengaruh Corporate Governance
Perception Index terhadap Manajemen
Laba pada Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di BEI
Yunietha dan Nico
Alexander
115 - 122
12
Tinjauan Etika, Kinerja Perusahaan, dan
Relevansi Guanxi pada Dunia Bisnis:
Persepsi Mahasiswa Fakultas Ekonomi
UKRIDA
Melitina Tecoalu dan
Bambang Siswanto
123 - 127
13
Kajian Relevansi Sertifikasi Kompetensi
dan Fenomena Skill Mismatch pada
Praktik MSDM
Yustina Ertie
Pravitasmara Dewi dan
Lieli Suharti
128 - 142
14
Trategi Penerapan Talent Management
dalam Pengembangan Sumber Daya
Manusia di Pusat Inovasi LIPI
Mahardhika
Berliandaldo
143 - 158
15
Pengembangan Industri Pariwisata dan
Peningkatan Ekonom Masyarakat di
Indonesia (Kajian Teoritis Kepustakaan)
Suharsono
159 - 172
16
Ekonomi Kreatif: Identitas Budaya
Lokal Kota Palembang dalam Sektor
UMKM
Irzanita, Zanariah, dan
FrettyWelta
173 - 179
Kinerja Manajemen Modal Kerja
Dengan Pendekatan Du Pont System
Sarah Usman, Rintar
Agus Simatupang dan
Riendhra Nadyarian
Artika Putri
180 - 193
Eko Budi Santoso dan
Wirawan E.D.
Radianto
194 - 204
17
18
19
Akuntansi untuk Pemberdayaan
Masyarakat: Sebuah Studi Peran
Pengendalian Manajemen Pada Program
Pelatihan di Satuan Kerja Perangkat
Daerah
Model Bisnis Kanvas: Alat Untuk
Mengidentifikasi Peluang Bisnis Baru
Bagi Pengusaha UKM Indonesia
Ismiriati Nasip dan Eka
Sudarmaji
205 - 219
vii
20
Budaya Perusahaan Unggul Untuk
Meningkatkan Kinerja Perusahaan
BUMN Konstruksi
Berebut Kue Pertumbuhan di
Lingkungan yang Kompetitif:
Analisa Industri Bisnis Air Dalam
Kemasan (AMDK)
Inersia Budaya Organisasi dan
Penguasaan Teknologi Informasi
Mempengaruhi Business Agility?
Agung Yunanto
220 - 233
Agus Samsudin
234 - 240
Arya Permadi dan Sri
Bramantoro
Abdinagoro
241 - 250
23
Disparitasregional dan Perang Harga:
Melihat ke dalam Industri Perlampuan
Di Indonesia
Dominicus Edwinarto
251 - 261
24
Navigasi Daya Saing Rumah Produksi
Film Nasional dengan Peningkatan
Kapabilitas Kapabilitas Dinamis
Gion Darwis
262 - 275
25
Inovasi Digital dalam I-Focus Model:
Faktor Kunci Keberlangsungan Industri
Media Luar Ruang
26
Kepengikutan dan Peran Pemimpin
dalam Meningkatkan Keunggulan
Bersaing Perusahaan
Nelly dan Santoso
Budijono
287 - 296
27
Analisis Pengaruh Belanja Modal
terhadap Indeks Pembangunan Manusia
di Provinsi Jambi
Yohanes Vyn Amzar
297 - 311
28
Antecedents of Employee Loyalty in
Educational Setting: A Research
Proposal
Sabrina O. Sihombing
dan Margaretha P.
Berlianto
312 - 320
29
Sistem Manajemen Kinerja Berbasis
Strategi Bagi Usaha Kecil Menengah
Patria Prasetio Adi
321 - 339
30
Impelementasi Knowledge Sharing
untuk Meningkatkan
Keunggulan bersaing di Sentra
Ikanbulak, Surabaya
Gaguk Suhardjito,
Ulfakaryatiningsih,
dan Puspita Indah
340 - 347
21
22
31
Pengembangan Strategi Bisnis Model
dengan Metode Efas Ifas (Studi Kasus
Revtech)
Jimmy Lizardo
Ni Putu Wiwiek Ary
Susyarini, Vivie
Sholichatin Nafi’ah,
Mariyana Astri
Fandani, Pavietta
Octywidya Ashifah
276 - 286
348 - 355
viii
32
Sistem Pengelolaan Program Magang
Bagi Mahasiswa di Perusahaan (Studi
Terhadap Tiga Perusahaan di Jawa
Tengah)
Linda Ratnasari dan
Lieli Suharti
356 - 376
33
Analisis Kinerja Saham Sub Sektor
Pariwisata Di Bursa Efek Indonesia
Agus Arman
377 - 386
34
Faktor-Faktor Pengambilan Keputusan
Sebagai Pertimbangan untuk
Melanjutkan Studi ke Luar Negeri
Rianto Nurcahyo, Raja
Halim Harahap, Didiet
Gharnaditya
387 - 393
35
Indonesian Manufacturing: Capital
Structure in Growth Stages
Adnas, Fachruzzaman,
Yuliyanti dan Rini
Indriani
394 - 404
36
Event Loemadjang Djaman Doloe
Strategi Efektif Creative Entepreneur
dalam Mendukung
Cultural Tourism
Nawangsih
405 - 420
37
Kepemimpinan Entrepreneur:
Kompetensi dan Kinerja Bidan
Endang Suswati
421 - 433
38
Pengaruh Kualitas Layanan Terhadap
Kepuasan Pasien dan Dampaknya Pada
Pemulihan Pembiayaan Pada Organisasi
Kesehatan Rumah Sakit
di Kota Bengkulu
Nurman Jaya, Silke
Wulandari dan
Fachruzzaman
434 - 448
39
The Impact of Entrepreneurship
Towards Sustainable Society in
Indonesia Year 2015-2016
40
41
Judith Marilyn
Tomasowa
449 - 456
Harmonisasi Strategi Bersaing BUMN
Jasa Konstruksi Dalam Menghadapi
MEA
Siddik Siregar
457 - 472
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Keputusan Pembelian
Smartphone Samsung Galaxy
(Studi Kasus: Mahasiswa FEB
Universitas Papua)
Rintar Agus
Simatupang dan
Florens Wamafma
473 – 489
ix
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
STRATEGI KEBERLANJUTAN KEWIRAUSAHAAN DAN DAYA SAING
UMKM DALAM MENGHADAPI MEA
Ernani Hadiyati
Universitas Gajayana Malang
[email protected]
Abstract: The national economic growth is a manifestation of the contribution of SMEs in Indonesia. The
government through various policies have done empowerment and guidance to minimize the problems
that have been faced by SMEs. One of the challenges currently faced by the nation and the people in
Indonesia are at Implement Presidential Instruction No. 6 of 2014 on Promoting Economic ASEAN (MEA)
which is a highly competitive economic region that must be faced by MSMEs. To face the MEA should be
able to change the mindset of the SME entrepreneurs of conditions threats into business opportunities.
Change of mindset should be formed through entrepreneurial efforts towards sustainability and
competitiveness of MSMEs. The method used is descriptive qualitative by analyzing secondary data as
well as using the concept of thought that comes from books and reputable foreign journals and the latest
so as to contribute new thinking. From the results of this study will contribute ideas to SMEs in determining
the competitive strategy that focuses on entrepreneurial sustainability and competitiveness, while the
government may be used in determining the policy considerations with respect to the empowerment of
SMEs in the face of the Asian market.
Keywards: Suistanability Entreprenenurship, Competitiveness, Government, MSMEs, MEA.
Abstrak: Pertumbuhan ekonomi nasional merupakan salah satu wujud kontribusi UMKM di Indonesia.
Pemerintah dengan berbagai kebijakan telah melakukan pemberdayaan dan pembinaan untuk
meminimumkan permasalahan yang telah dihadapi oleh UMKM. Salah satu tantangan saat ini yang
dihadapi oleh bangsa dan masyarakat di Indonesia adalah di Implementasikan Instruksi Presiden RI No 6
Tahun 2014 tentang Memasyarakatkan Ekonomi ASEAN (MEA) yang merupakan kawasan ekonomi
sangat kompetitif yang harus dihadapi pengusaha UMKM. Untuk menghadapi MEA harus mampu
merubah pola pikir pengusaha UMKM dari kondisi ancaman menjadi peluang usaha. Perubahan pola pikir
harus dibentuk melalui upaya terhadap keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing pengusaha UMKM.
Metode penelitian yang digunakan adalah diskriptif kualitatif dengan menganalisa data sekunder serta
menggunakan konsep pemikiran yang bersumber dari buku dan jurnal asing bereputasi dan terbaru
sehingga mampu memberikan kontribusi pemikiran yang baru. Dari Hasil penelitian ini akan memberikan
kontribusi pemikiran kepada UMKM dalam menentukan strategi bersaing yang memfokuskan pada
kewirausahaan keberlanjutan dan daya saing sedangkan bagi Pemerintah dapat digunakan pertimbangan
dalam menentukan kebijakan sehubungan dengan pemberdayaan UMKM dalam menghadapi pasar Asia.
Kata Kunci : Keberlanjutan Kewirausahaan, Daya Saing, Pemerintah, UMKM dan MEA.
PENDAHULUAN
Sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tertanggal 1 September 2014
tentang Peningkatan Daya Saing Nasional Dalam Rangka Menghadapi Masyarakat Ekonomi
Association Of Southeast Asian Nations (MEA), Presiden Republik Indonesia telah menugaskan
pemerintah pusat dan daerah. Pelaksanaan kebijakan salah satunya mampu meningkatkan daya saing
nasional dan persiapan pelaksanaan MEA.
Pembentukan Komunitas ASEAN 2015 berlandaskan pada 3 pilar, yaitu Komunitas Keamanan
ASEAN (ASEAN Security Community), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community), dan Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community).
1
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Komunitas Ekonomi ASEAN 2015, akan diarahkan kepada pembentukan sebuah integrasi ekonomi
kawasan dengan mengurangi biaya transaksi perdagangan, memperbaiki fasilitas perdagangan dan
bisnis, serta meningkatkan daya saing sektor UMKM (Bustami, G, 2013).
Usaha mikro kecil dan menengah merupakan salah satu penyumbang terbesar dalam
perekonomian Indonesia, oleh karena itu UMKM memiliki harus melakukan persiapan yang cukup
baik dalam menghadapi MEA sehingga perekonomian Indonesia dapat tumbuh dengan cepat seiring
berjalannya MEA yang dimulai sejak tahun 2015. Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA), Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memegang peranan penting dalam memberikan
kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan masalah ekonomi dan sosial
di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan UKM memberikan kontribusi besar
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menimbulkan pemerataan ekonomi bagi masyarakat
Indonesia (Prayogo, 2016). Sampai saat ini, pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM)
telah memberikan kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja sebanyak 114.144.082 orang atau 96,99%,
PDB sebesar Rp 1.536.918.900 atau 57,56%, ekspor non-migas sebesar Rp 182.112.700 atau 15,68%
dan investasi sebesar Rp 341.341.600 atau 56,15%.
Peranan UMKM terhadap perekonomian harus didukung suatu konsep keberlanjutan
kewirausahaan yang menunjukkan keberlanjutan pengusaha berpotensi menjadi kekuatan masa
depan. Kewirausahaan yang berkelanjutan merupakan suatu konsep melakukan bisnis yang
berkomitmen untuk standar etika dan perilaku, memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi,
sambil mempertahankan pemeliharaan progresif kesejahteraan masyarakat - termasuk angkatan kerja
dan keluarganya, komunitas dan dunia secara keseluruhan pada situasi sekarang dan yang akan
datang. John Elkington (1998) dengan teori Triple Bottom Line (TBL) yang merupakan perspektif
baru berhasil menjelaskan komponen utama penilaian keberlanjutan yaitu, orang, planet dan profit.
Tiga unsur ini di model integratif, TBL tentang korelasi antara ekonomi
kemakmuran, keadilan sosial dan perlindungan lingkungan dan mengemukakan pentingnya untuk
mencapai tujuan jangka panjang. Progresif, kebutuhan untuk pendekatan keseluruhan dengan
mempertimbangkan sosial, ekologi dan ekonomi merupakan pergeseran paradigma baru dalam dunia
bisnis. Pengembangan organisasi dilakukan dengan lebih terbuka dengan isu-isu sosial dan
lingkungan dengan memperhatikan pertumbuhan masyarakat, hak asasi manusia pada umumnya dan
tenaga kerja kondisi tertentu. Disisi lain pengusaha mulai memperhatikan tentang isu-isu ekologi,
mulai dari perlindungan lingkungan, teknologi berkelanjutan dan pengembangan produk bersih untuk
penerapan prinsip-prinsip etika yang kuat dalam keputusan kewirausahaan. Acosta et-al (2016). Hal
ini menyebabkan munculnya perspektif baru profitabilitas bisnis, sekarang disebut sebagai kinerja
perusahaan dengan memasukkan nilai-nilai sosial dan lingkungan (Bell, J.F.; Stellingwerf, J.J (2012),
Muñoz, P, 2013). Pendekatan kewirausahaan berkelanjutan akan mendukung perusahaan UMKM
untuk memiliki daya saing dalam menghadapi MEA.
Daya saing adalah sebuah konsep yang melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti keunggulan
komparatif atau perspektif daya saing harga, strategi, dan perspektif manajemen, juga perspektif
sebagai sejarah dan sosial budaya (Nelson, 1992; Waheeduzzaman & Ryans, 1996) dipahami sebagai
kemampuan untuk meningkatkan pangsa pasar, laba, pertumbuhan, nilai tambah dan untuk tetap
kompetitif untuk jangka panjang (Ramasamy, 1995). UMKM harus mampu meningkatkan daya
saing, serta meningkatkan efisiensi bisnis, sehingga kualitas maupun kuantitas proses bisnis dapat
lebih baik dan lebih berdaya saing, mengingat UMKM memiliki peranan penting terhadap
perekonomian nasional (Hadiyati, E, 2017).
Menyadari peran UMKM sebagai kelompok usaha yang memiliki jumlah paling besar dan cukup
dominan dalam perekonomian, maka pencapaian kesuksesan MEA 2015 mendatang juga akan
dipengaruhi oleh kesiapan UMKM. Di Indonesia, UMKM hingga saat ini masih menghadapi berbagai
2
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
permasalahan baik yang bersifat klasik atau intermediate atau advanced. Permasalahan tersebut bisa
berbeda di satu daerah dengan daerah lain atau antar sektor atau perusahaan pada sektor yang sama.
Namun ada sejumlah permasalahan yang umum dihadapi oleh semua UMKM. Walaupun
perkembangan UMKM yang meningkat dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi oleh meratanya
peningkatan kualitas UMKM. Permasalahan klasik yang dihadapi yaitu rendahnya produktivitas.
Keadaan ini disebabkan oleh masalah internal yang dihadapi UMKM yaitu: rendahnya kualitas SDM
UMKM dalam manajemen, organisasi, penguasaan teknologi, dan pemasaran, lemahnya
kewirausahaan dari para pelaku UMKM, dan terbatasnya akses UMKM terhadap permodalan,
informasi, teknologi dan pasar, serta faktor produksi lainnya. Permasalahan ini dipecahkan dengan
upaya yang tidak terlepas dari peran pemerintah melalui arah dan kebijakan strategi pembangunan
yang dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 20152019. Untuk mencapai strategi pembangunan tersebut, maka keberlanjutan kewirausahaan dan daya
saing untuk UMKM merupakan suatu konsep yang tepat dalam menghadapi MEA. Tujuan studi ini
adalah untuk mengetahui dan menganalisis strategi keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing pada
UMKM dalam menghadapi MEA.
TINJAUAN PUSTAKA
Dasar Hukum
Kebijakan Pemerintah Dalam Pemberdayaan UMKM Dalam Menghadapi MEA
1. UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM Prinsip Pemberdayaan Pasal 4
Prinsip pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah: a. penumbuhan kemandirian,
kebersamaan, dan kewirausahaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk berkarya dengan
prakarsa sendiri; b. perwujudan kebijakan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan; c.
pengembangan usaha berbasis potensi daerah dan berorientasi pasar sesuai dengan kompetensi
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; d. peningkatan daya saing Usaha Mikro, Kecil, dan
Menengah; dan e. penyelenggaraan perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian secara terpadu.
2. Instruksi Presiden Republik Indonesia No 6 Tahun 2014 tertanggal tanggal 01 September 2014
tentang Peningkatan Daya Saing Nasional Dalam menghadapi MEA. Pelaksanaan peningkatan
daya saing nasional dan persiapan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berpedoman
pada strategi pemberdayaan UMKM :
1. Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang fokus pada: a. Peningkatan Daya
Saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dari Sisi Pembiayaan; b. Pengembangan Daya Saing
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam Rangka Peningkatan Eligibilitas dan Kapabilitas
Daya Saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; c. Mendorong Pemberdayaan Sektor Riil dan
Daya Saing Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
2. Pengembangan Tenaga Kerja, yang fokus pada: a. Peningkatan Daya Saing Tenaga Kerja; b.
Peningkatan kompetensi dan produktivitas tenaga kerja;
3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019.
Strategi Peningkatan Daya Saing dan Produktivitas dijelaskan melalui peningkatan pembaharuan
keterampilan tenaga kerja dan peningkatan penguasaan iptek/inovasi melalui penumbuhan
entrepreneur berbasis inovasi teknologi (teknopreneur).
3
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Definisi Dan Kriteria Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)
Batasan umum dalam artikel ini mendefinisikan UMKM untuk industri pengolahan dan non
industri. Untuk definisi UMKM untuk industri pengolahan mengikuti definisi BPS berdasarkan
jumlah tenaga kerja sebagai berikut:
1. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah
tangga maupun suatu badan yang mempunyai pekerja antar 1-4 orang.
2. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah tangga
maupun suatu badan yang mempunyai pekerja antar 5-19 orang.
3. Usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah
tangga maupun suatu badan yang mempunyai pekerja antar 20-99 orang
Sedangkan definisi UMKM mengikuti definisi non industri, menurut Undang-Undang No. 20 Tahun
2008 tentang UMKM adalah sebagai berikut:
1. Usaha mikro adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah
tangga maupun suatu badan yang memiliki aset bersih sampai dengan Rp. 50.000.000 dan
bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan secara komersial dan
mempunyai omzet penjualan tahunan sampai dengan Rp. 300.000.000.
2. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan baik oleh perorangan atau rumah tangga
maupun suatu badan yang memiliki aset bersih sampai dengan Rp. 50.000.000 sampai dengan
Rp. 500.000.000 dan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa untuk diperniagakan
secara komersial dan mempunyai omzet penjualan tahunan sampai dengan Rp. 300.000.000
sampai dengan Rp. 2,5 miliar.
3. Usaha menengah adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan bik oleh perorangan atau rumah
tangga maupun suatu badan yang memiliki aset bersih sampai dengan Rp. 500.000.000
sampai dengan Rp. 10.000.000 miliar dan bertujuan untuk memproduksi barang atau jasa
untuk diperniagakan secara komersial dan mempunyai omzet penjualan tahunan sampai
dengan Rp. 2,5 miliar sampai dengan Rp. 50 miliar.
Sebagai kelengkapan definisi UMKM ditambahkan pendapat dari Baswir, R (2010:134)
mengatakan tentang ciri-ciri umum usaha kecil adalah sebagai berikut: (1) Kegiatan cenderung tidak
formal dan jarang memiliki rencana usaha, (2) Struktur organisasi bersifat sederhana, (3) Jumlah
tenaga kerja terbatas dengan pembagian kerja yang longgar, (4) Kebanyakan tidak melakukan
pemisahan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan perusahaan, (5) Sistem akutansi kurang baik,
bahkan kadang-kadang tidak memilikinya sama sekali, (6) Skala ekonomi terlalu kecil sehingga sukar
menekan biaya, (7) Kemampuan pemasaran serta diversifikasi pasar cenderung terbatas; dan (8)
Marjin keuntungan sangat tipis.
Keberlanjutan Kewirausahaan (Sustanibility Entrepreneurship) pada UMKM
Konsep Keberlanjutan Usaha
Konsep keberlanjutan kewirausahaan yang menunjukkan keberlanjutan pengusaha berpotensi
menjadi kekuatan masa depan. Rey Leonaris (2011) menyatakan kewirausahaan telah dikaitkan
dengan penciptaan kekayaan dan pertumbuhan ekonomi dan akibatnya dipromosikan dan didorong
dalam masyarakat modern. Kewirausahaan yang berkelanjutan di berbagai makalah, semua
menyampaikan definisi yang sama: melakukan bisnis yang berkomitmen untuk standar etika dan
perilaku, memberikan kontribusi untuk pembangunan ekonomi, sambil mempertahankan
pemeliharaan progresif kesejahteraan masyarakat - termasuk angkatan kerja dan keluarganya,
komunitas dan dunia secara keseluruhan, penduduk sekarang dan masa depan.
4
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Corporate Social Responsibility (CSR) sering dibandingkan dengan kewirausahaan yang
berkelanjutan, namun masih ada perbedaan yang mencolok antara keduanya. CSR berfokus terutama
pada perusahaan dan tanggung jawab korporasi untuk masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Terminologi kewirausahaan yang berkelanjutan, yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial, ekologi
dan ekonomi baik secara internal maupun eksternal, bukan tanggung jawab sosial perusahaan.
Kewirausahaan berkelanjutan, di sisi lain, berusaha untuk mengatur pola pikir yang universal untuk
berlatih metode berkelanjutan di seluruh organisasi, dari personil internal untuk barang yang dibeli
dari mitra, dari atas ke bawah. Untuk lebih jelasnya keberlanjutan kewirausahaan dari pendapat John
Elkington (1998) dapat dilihat pada gambar 3. John Elkington (1998) dengan teori Triple Bottom Line
(TBL) yang merupakan perspektif baru berhasil menjelaskan komponen utama penilaian
keberlanjutan, yaitu, orang, planet dan profit. Tiga unsur ini di model integratif, TBL tentang korelasi
antara kemakmuran ekonomi, keadilan sosial dan perlindungan lingkungan dan mengemukakan
pentingnya untuk mencapai tujuan jangka panjang. Progresif, kebutuhan untuk pendekatan
keseluruhan dengan mempertimbangkan sosial, ekologi dan ekonomi merupakan pergeseran
paradigma baru dalam dunia bisnis (Acosta et-al, 2016). Hal ini menyebabkan munculnya perspektif
baru profitabilitas bisnis yang disebut kinerja perusahaan dengan memasukkan nilai-nilai sosial dan
lingkungan (Bell, J.F.; Stellingwerf, J.J (2012), Muñoz, P, 2013). Kewirausahaan berkelanjutan akan
membentuk norma dapat menghasilkan standar kualitas hidup yang lebih tinggi dan untuk sektor
sosial, ekologi dan ekonomi dapat terus meningkat. Untuk perbandingan ilustrasi dari gambar 3,
keberlanjutan kewirausahaan dapat dilihat sebagai reaksi terhadap mendeteksi permintaan suatu
produk yang berkelanjutan untuk memperoleh keuntungan.
Keberla
Ekonomi
njutan
Kewiraus
ahaan
Ekologi
Sosial
Gambar 3 Keberlanjutan Kewirausahaan (Sustainibility Entrepreneurship)
Triple Bottom Line (TBL) John Elkington (1998).
.
Keberlanjutan Kewirausahaan melibatkan pernyataan bahwa setiap langkah dan setiap faktor
mematuhi tiga aspek mendasar bagi masyarakat dan sumber daya yang terlibat, terlepas dari produk.
Kewirausahaan berkelanjutan melihat fokus pada proses internal dan segala sesuatu di sekitarnya
sesuai output dari bisnis, sementara keberlanjutan kewirausahaan berfokus pada pemenuhan peluang
di pasar. Bell dan Stellingwerf (2012) menjelaskan bahwa keberlanjutan kewirausahaan melibatkan
pengusaha yang berusaha dan sangat termotivasi untuk memecahkan masalah sosial, memperhatikan
untuk manajemen sumber daya manusia dalam hal perekrutan, pembangunan berkelanjutan (dengan
membangun pembelajaran lingkungan dan budaya) dan pelatihan orang yang tepat dalam bisnis.
Pengusaha-bisnis yang berkelanjutan perlu memberikan rasa tanggung jawab dan akuntabilitas dan
memastikan bahwa tidak terjadi eksploitasi (yang melibatkan pemangku kepentingan, seperti pekerja,
mitra, masyarakat). Dalam kerangka TBL, laba memiliki kemanfaatan masyarakat umum dan khusus
yang terlibat dari entitas praktek dari bisnis yang berkelanjutan. Cohen dan Winn (2007)
mendefinisikan kewirausahaan yang berkelanjutan yang mengedepankan pentingnya "masa depan"
barang dan jasa yang ditemukan, diciptakan, dan dieksploitasi, oleh siapa, dan dengan bagaimana
5
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
konsekuensi ekonomi, psikologis, sosial, dan lingkungan. Sistem yang berkelanjutan dapat dicirikan
"kompleks, tersebar, global, tidak pasti, saling bergantung dan memiliki cakrawala jangka panjang ".
Orientasi perusahaan terhadap keberlanjutan dinilai dengan menganalisis ekonomi
Tujuan pengukuran kesejahteraan untuk melihat "peluang bisnis untuk membawa keberadaan produk
masa depan, proses dan jasa, dengan kontribusi untuk mempertahankan perkembangan masyarakat,
ekonomi dan lingkungan dan akibatnya untuk meningkatkan kesejahteraan generasi mendatang”
(Muñoz, P, 2013.). Margolis, Elfenbein dan Walsh (2016) menetapkan bahwa kinerja keuangan
perusahaan berkinerja baik dengan melibatkan kinerja sosial, yang mengacu pada reputasi perusahaan
yang baik. Schaltegger dan Wagner (2011) menjelaskan bahwa peran kunci dari pemangku
kepentingan yang memiliki harapan dan tuntutan, memberikan masukan yang relevan untuk peluang
bisnis dan kinerja. Dari hasil penelitian Acosta (2016) menjelaskan bahwa sikap kewirausahaan
positif terhadap orang dan keuntungan (dalam logika TBL) yang mungkin dilihat sebagai prasyarat
perilaku dari bisnis masa depan yang digambarkan dalam kewirausahaan yang berkelanjutan.
Kemanfataan Keberlanjutan kewirausahaan Dalam Kinerja Perekonomian
Kewirausahaan Berkelanjutan selain menguntungkan UMKM juga untuk kemajuan
perekonomian suatu negara secara keseluruhan. Crals dan Vereeck (2004) menyatakan bahwa
keberlanjutan kewirusahaan UKM berpengaruh signifikan terhadap perekonomian negara dalam hal
pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja. Hal ini diperkuat oleh pendapat Shapeer (2002)
menyatakan bahwa 95% dari UKM telah memiliki tanggung jawab terhadap kinerja perekonomian
negaranya. Kegiatan ekspor dari UKM juga akan memperkuat perekonomiannya (Bremen, 2002).
Pernyataan Bos (2002) bahwa UKM akan mendapatkan keuntungan apabila semua perusahaan
mematuhi gaya hidup yang berkelanjutan dan tidak melakukan kegiatan yang mengakibatkan kesan
negatif terhadap reputasi perusahaan. Perusahaan harus menunjukkan kemmpuan yang menonjol
dengan UKM yang lain misalnya mampu dalam mengembalikan dana pinjaman serta memiliki cash
flow yang dapat dipertanggung jawabkan untuk operasional perusahaan.
Krueger (2005) berpendapat tentang kewirausahaan yang berkelanjutan, yang merupakan
kombinasi pengertian antara keberlanjutan dan kewirausahaan sehingga menjadi pengertian yang
menarik yang mengambil unsur kesempatan kewirausahaan dan "memperluas" pengertian bukan
hanya mengubah peluang ekonomi, tetapi juga membuka batas sosial dan lingkungan.
Bidang keberlanjutan kewirausahaan secara aktif mencari peluang untuk menyusun perencanaan
strategis yang didukung oleh potensi yang menguntungkan. Krueger (2005) mendefinisikan
bagaimana peluang berbasis lingkungan ini dapat ditemukan dalam lima pernyataan sebagai berikut:
Pertama, bahwa anggota organisasi memiliki kesetiaan yang kuat dalam mencari peluang potensial.
Kedua, untuk menciptakan beberapa peluang, dan kemudian membandingkan satu sama lain untuk
membuat keputusan (s) untuk pilihan terbaik dalam hal kelangsungan hidup perusahaan. Ketiga,
menyatakan bahwa mengenali peluang adalah refleksi dari proses yang disengaja. Artinya, sebagai
niat didorong oleh keinginan yang bertekad untuk menjadi layak, pengusaha berkelanjutan adalah
tipe orang yang memiliki pemikirn untuk dapat memecahkan masalah ekonomi. Pengusaha yang
memiliki pandangan tentang ekonomi solusinya selain kecenderungan kewirausahaan, akan memulai
tren ekonomi dan sosial tumbuh yang sosial dan juga ramah lingkungan. Keempat, pengusaha
menunjukkan mental sebagai inovator yang menunjukkan kepercayaan pada gagasan bahwa
pengusaha memiliki mental dengan pendekatan yang baik dan berbasis kesempatan atau ancaman,
tergantung pada persepsi lingkungan. Kelima, pengusaha membawa banyak sumber literatur tentang
kewirausahaan dan inovasi tentang konsep intensionalitas (yang fokus terhadap subjek atau tujuan)
dan self-efficacy (keyakinan dengan menetapkan pada pikiran untuk dapat mencapai sesuatu).
6
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Daya Saing Dalam Pemberdayaan UMKM
Konsep Daya Saing Pada UMKM
Pentingnya peran UKM dalam mendorong perekonomian Indonesia tentunya harus diiringi
dengan kesadaran untuk memperkuat UKM dengan meningkatkan daya saing melalui peningkatan
produktivitas dan efesiensi. Daya saing adalah sebuah konsep populer di berbagai tingkat studi dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu seperti keunggulan komparatif atau perspektif daya saing harga,
strategi, dan perspektif manajemen, juga perspektif sebagai sejarah dan sosial budaya (Nelson, 1992;
Waheeduzzaman & Ryans, 1996). Konsep ini juga dipahami sebagai kemampuan untuk
meningkatkan pangsa pasar, laba, pertumbuhan, nilai tambah dan untuk tetap kompetitif untuk jangka
panjang (Ramasamy, 1995). Mohammad dan Khar (2010) mengatakan bahwa daya saing dicirikan
dengan 3 (tiga) hal meliputi: orientasi jangka panjang, kontrolabilitas, relativitas, dan dinamika. Studi
dikembangkan untuk penelitian O'Farrell, Hitchens, dan Moffat (1992) menunjukkan hubungan
antara sumber daya saing dan kinerja perusahaan, harga, kualitas, desain, pemasaran, dan
pengelolaan. Selain itu, Slevin dan Covin (1995) mengukur "total daya saing" UKM, menghadiri
beberapa faktor, seperti, struktur perusahaan, budaya, sumber daya manusia, dan pengembangan
produk/layanan. Pendekatan teoretis (Stoner, 1987; Pratten, 1991) disorot sejumlah faktor spesifik
perusahaan masing-masing, keuangan, sumber daya manusia dan teknologi, organisasi struktur dan
sistem, produktivitas, inovasi, kualitas, produktivitas, citra dan reputasi, budaya, layanan
produk/berbagai layanan, fleksibilitas, dan pelanggan. Juga sumber internal saing yang lain,
khususnya faktor manusia, yaitu, peran yang dimainkan oleh pemilik/manager dan keterampilan
mereka dan pengalaman (Stoner, 1987). Salavou, Baltas, dan Lioukas (2004) menunjukkan beberapa
keuntungan dari UKM lebih dari perusahaan besar karena ukuran dan fleksibilitas dalam beradaptasi
dengan perubahan seperti, pasar dan pembelajaran berorientasi dan ketika menghadapi persaingan
kuat, UKM cenderung lebih inovatif dan tangguh. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing
UKM dapat dibagi menjadi dua kelompok, eksternal dan faktor internal (Carvalho, L, 2014). Gambar
1 menyajikan beberapa faktor yang mempengaruhi daya saing UKM. Hal ini didukung oleh pendapat
Jahanshahi, Nawaser, Khaksar, Kamalian (2011) menjelaskan bahwa aspek yang mempengaruhi daya
saing UMKM meliputi: (1) faktor-faktor internal perusahaan; (2) lingkungan eksternal; dan (3)
pengaruh dari pengusaha/pemilik usaha.
Pengukuran Daya Saing
Untuk mengukur daya saing adalah tugas yang sulit, karena beberapa nilai-nilai, indikator, atau
fitur dapat diukur dan diakses. Secara umum dari UMKM tidak dihitung atau diakses dan harus
diidentifikasi pada tingkat perusahaan. Jorgensen dan Knudesen (2006) merujuk faktor lain yang
relevan dengan daya saing UKM, seperti kemampuan UKM untuk bertindak di pasar global. Untuk
bersaing di global pasar, UKM harus meningkatkan daya saing masing-masing (Fassoulsa, 2006)
serta memperoleh keuntungan dan mengeksploitasi efek sinergi dengan hubungan kerja sama dengan
UKM lain dan lembaga mitra terkait. Man dkk. (2002) membuat suatu model konseptual untuk
menghubungkan karakteristik-karakteristik dari manager atau pemilik UKM dan kinerja perusahaan
jangka panjang. Model konseptual untuk daya saing UKM tersebut terdiri dari empat (4) elemen:
skop daya saing perusahaan, kapabilitas organisasi dari perusahaan, kompetensi pengusaha/pemilik
usaha, dan kinerja. Hubungan antara kompetensi dan tiga elemen lainnya itu merupakan inti dari
model tersebut, dan hubungan itu dapat dihipotes akan kedalam tiga (3) tugas prinsip pengusaha: (a)
membentuk skop daya saing; (b) menciptakan kapabilitas organisasi; (c) menetapkan tujuan-tujuan
dan mencapainya.
7
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Faktor Internal
Pemaaran
Faktor Eksternal
Daya Saing UMKM
Tenaga Kerja
Inovasi
Global
Productivitas Modal
Ekonomi dan Sosial
Manajemen
Indikator Pengukuran:
Organisasi dan Struktur
Efisiensi
Pendapatan, ekspor,
profit,market share,
Jaringan Aliansi
productivitas, corporate
Gambar 2. Daya
value, kepuasan pelanggan,
nilai produkdan
jasa
Saing
UMKM
(Carvalho
Luisha, 2014)
Garg, Deshmukh (2008) menjelaskan bahwa berbagai bidang pengembangan strategi oleh
UMKM untuk daya saing. Bidang utama dipertimbangkan dalam rangka untuk studi ini dengan
kondisi pasar, pengembangan strategi, prioritas kompetitif, proses, kinerja dan benchmarking.
Untuk perbaikan terus-menerus dari berbagai proses dan ukuran kinerja, organisasi perlu patokan
dengan standar yang tersedia. Persaingan suatu perusahaan sebagian besar tergantung pada
kemampuannya untuk melakukan dengan baik dalam dimensi seperti biaya, kualitas, pengiriman,
kehandalan dan kecepatan, inovasi dan fleksibilitas untuk menyesuaikan diri dengan variasi dalam
permintaan (Carpinetti et al., 2000).
Peran yang sangat penting dalam upaya daya saing dalam jangka panjang. Empat prioritas
kompetitif diterima secara luas adalah biaya, pengiriman, kualitas dan fleksibilitas. Prioritas daya
saing dapat digunakan sebagai ukuran daya saing (eksternal) dan kompetensi (internal).
Menurut Fleury (2003), organisasi harus mengoptimalkan kualitas/rasio harga untuk keunggulan
operasional. Dangayach dan Deshmukh (2005) telah mengamati bahwa UMKM memberikan
prioritas tertinggi untuk kualitas dan yang paling prioritas fleksibilitas. Lagace dan Bourgault (2003)
telah menganjurkan untuk menghubungkan dari manufaktur program perbaikan dan praktek dengan
prioritas daya saing UMKM. Oleh karena itu, prioritas daya saing harus diputuskan sangat hati-hati.
Daya saing suatu perusahaan tercermin dari daya saing produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Daya
saing perusahaan ditentukan oleh banyak faktor, meliputi: keahlian pekerja, keahlian pengusaha,
ketersediaan modal, sistem organisasi dan manajemen yang baik (sesuai kebutuhan bisnis),
ketersediaan teknologi, ketersediaan informasi, dan ketersediaan input-input lainnya seperti enerji,
bahan baku. Keahlian pekerja dan pengusaha adalah aspek sumber daya manusia (SDM). Kehlian
pekerja memiliki keahlian meliputi bidang produksi, pemasaran, penelitian dan pengambangan.
Keahlian pengusaha memiliki keahlian tentang wawasan bisnis meliputi lingkungan internal dan
eksternal yang mempengaruhi perusahaan serta keahlian berinovasi untuk menciptakan daya saing.
Shahid (2007) menyatakan bahwa kemampuan UMKM dalam melakukan inovasi diantaranya adalah
kreativitas dan wawasan bisnis yang ditekuninya. UMKM yang memiliki daya saing yang tinggi
memiliki ciri oleh sejumlah aspek internal yang terkait dengan 7 (tujuh) faktor tersebut dan faktor
eksternal yang terkait dengan kinerja (Tambunan, 2010). Pendapat tersebut didukung oleh Septiani,
Sarma, Limbong (2012) menjelaskan bahwa daya saing menggunakan sub peubah: (1) pangsa pasar
dalam negeri yang didefinisikan komitmen terhadap persaingan pasar dalam konteks daya saing
8
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
UMKM, terkait pangsa pasar yang dimiliki. (2) Diversifikasi pasar domestik didefinisikan komitmen
terhadap persaingan pasar dalam konteks daya saing IK, terkait diversifikasi pasar domestik. (3) Nilai
produk didefinisikan komitmen terhadap persaingan pasar dalam konteks daya saing produk, terkait
nilai jual produk. (4) Kepuasan konsumen terhadap produk didefinisikan komitmen terhadap
persaingan pasar dalam konteks daya saing produk, dalam memberikan kepuasan bagi konsumen.
Dari uraian tersebut menjelaskan bahwa daya saing dari UMKM akan menentukan kinerja dari
perusahaan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan eksploratif deskriptif dengan mengimplementasikan
konsep keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing sektor UMKM dalam menghadapi MEA. Dan
dikembangkan dengan menggunakan pendekatan kajian literatur atau studi pustaka. Pendekatan
teori/konsep dilakukan dengan merujuk dari beberapa sumber, seperti buku, jurnal ilmiah, dan
internet. Semua uraian gagasan yang ada digabungkan dalam satu susunan kerangka pemikiran.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peranan dan Kontribusi UMKM terhadap Perekonomian Nasional
Peluang pasar UKM Indonesia baik secara domestik, regional maupun global sangat besar. Hal
ini disebabkan peran pelaku UMKM yang mayoritas menguasai sektor-sektor usaha strategis dan
sehingga kinerjanya mampu memberikan kontribusi terhadap perekonimian yang cukup signifikan.
pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Peranan dan kontribusi UMKM dalam
perekonomian nasional sesuai data BPS tahun 2010-2013 yang menunjukkan persentase
pertumbuhan: jumlah UMKM, jumlah tenaga kerja, kontribusi PDB, Nilai eksport. Untuk lebih
jelasnya data dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1 Kontribusi UMKM Terhadap Perekonomian Nasional
Tahun 2010-2013
Indikator
Pertumbuhan Dalam (%)
Tahun 2010
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Jumlah UMKM
2,01
2,57
2,41
2,41
Jumlah Tenaga Kerja
3,32
2,33
5,83
6,03
Kontribusi PDB
5,77
6,76
6,00
5,89
Jumlah Nilai Eksport
8,41
6,56
11,10
9,29
Sumber : BPS, 2017. https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1322.
Pada tabel 1 menunjukkan bahwa persentase jumlah UMKM tahun 2010-2011 meningkat
(0,56%), tahun 2011-2012 mengalami penurunan (0,16%), dan tahun 2012-2013 tidak ada
peningkatan. Jumlah tenaga kerja dari tahun 2010-2011 menurun (0,99%), tahun 2011-2012
meningkat (3,5%), tahun 2012-2013 meningkat (0,2 %). Kontribusi PDB tahun 2010-2011 meningkat
(0,99%), tahun 2011-2012 menurun (0,76%), tahun 2012-2013 menurun (1,1 %). Jumlah nilai
9
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
eksport tahun 2010-2011 menurun (1,85%), tahun 2011-2012 meningkat (4,54%), tahun 2012-2013
menurun (1,81%).
Sesuai kondisi data menunjukkan bahwa kinerja UMKM terhadap kontribusi perekonomian
secara umum menunjukkan berfluktuasi. Jumlah unit usaha UMKM 2 tahun terakhir pertumbuhan
tidak meningkat. Demikian juga untuk jumlah tenaga kerja. Kontribusi UMKM terhadap PDB 2
periode terakhir mengalami penurunan dan untuk nilai eksport tahun 2013 pertumbuhannya
mengalami penurunan.
Kewirausahaan Berkelanjuatan (Suistanability Entrepreneurship) dan UMKM
Terminologi kewirausahaan berkelanjutan, yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial, ekologi
dan ekonomi baik secara internal maupun eksternal merupakan suatu paradigma baru yang tepat
diimplementasikan UMKM dalam menghadapi pasar ASIA.
John Elkington (1998) dengan teori Triple Bottom Line (TBL) yang merupakan perspektif baru
berhasil menjelaskan komponen utama penilaian keberlanjutan, yaitu, orang, planet dan profit. Tiga
unsur ini di model integratif, TBL tentang korelasi antara kemakmuran ekonomi, keadilan sosial dan
perlindungan lingkungan dan mengemukakan pentingnya untuk mencapai tujuan jangka panjang.
Pergeseran paradigma dalam dunia bisnis melakukan pendekatan sosial, ekologi dan ekonomi.
Semakin luasnya pasar yang dihadapi UMKM pengusaha dalam pengembangan organisasi telah
menjadi lebih terbuka untuk isu-isu sosial dan lingkungan dengan memperhatikan pertumbuhan
masyarakat, hak asasi manusia pada umumnya dan tenaga kerja untuk penerapan prinsip-prinsip etika
yang kuat dalam keputusan kewirausahaan. Hasil penelitian Acosta, et-al (2016) menjelaskan adanya
hubungan positif antara kewirausahaan berkelanjutan dan kinerja bisnis dalam kasus UKM Rumania.
Kewirausahaan berkelanjutan ditujukan, dengan mempertimbangkan aspek sosial (perhatian
diberikan kepada para pemangku kepentingan, seperti masyarakat, mitra, pekerja, dan lain-lain),
aspek lingkungan (mengacu perlindungan jangka panjang dan pengurangan efek negatif), dan aspek
ekonomi (fokus pada pertumbuhan ekonomi).
Indonesia mempunyai kekuatan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi mencapai (4,5%)
setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan India. Ini akan menjadi modal yang penting untuk
mempersiapkan masyarakat Indonesia menuju AEC tahun 2015. Sebagai salah satu dari tiga pilar
utama ASEAN Community 2015, ASEAN Economic Community yang dibentuk dengan misi
menjadikan perekonomian di ASEAN menjadi lebih baik serta mampu bersaing dengan negaranegara yang perekonomiannya lebih maju dibandingkan dengan kondisi negara ASEAN saat ini.
Selain itu juga dengan terwujudnya ASEAN Community yang di dalamnya terdapat AEC, dapat
menjadikan posisi ASEAN menjadi lebih strategis di kancah Internasional, dan diharapkan dengan
terwujudnya komunitas masyarakat ekonomi ASEAN ini dapat membuka mata semua pihak,
sehingga terjadi suatu dialog antar sektor yang nantinya akan saling melengkapi diantara para
stakeholder sektor ekonomi di negara negara ASEAN. Indonesia adalah negara dengan jumlah
penduduk ke-4 terbesar di dunia dengan jumlah penduduk 242 juta jiwa lebih, Indonesia memiliki
potensi SDM yang sangat besar dari segi kuantitas. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih
dari 242,3 juta jiwa atau setara dengan dua perlima penduduk total ASEAN pada tahun 2011,
membuat posisi Indonesia harus menjadi perhatian bagi negara-negara ASEAN. Peluang Indonesia
untuk dapat bersaing dalam MEA 2015 sebenarnya cukup besar, saat ini Indonesia merupakan
peringkat 16 di dunia untuk besarnya skala ekonomi. Besarnya skala ekonomi juga didukung oleh
proporsi penduduk usia produktif dan pertumbuhan kelas menengah yang besar. Prospek ekonomi
Indonesia yang positif juga didukung oleh perbaikan peringkat investasi Indonesia oleh lembaga
pemeringkat dunia serta masuknya Indonesia sebagai peringkat empat prospective destinations
berdasarkan UNCTAD World Investment report. Makin kuatnya fundamental perekonomian
10
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Indonesia dapat dilihat dengan banyak negara yang “tumbang” dalam kancah perekonomian global
dan perekonomian Indonesia masih dapat terjaga untuk tumbuh positif. UMKM pada umumnya
berbasis pada sumber daya ekonomi lokal dan tidak bergantung pada impor, serta hasilnya mampu
diekspor karena keunikannya, sehingga pembangunan UMKM diyakini akan memperkuat fondasi
perekonomian nasional.Pertumbuhan UMKM akan menjadi pelaku utama yang produktif dan
berdaya saing dalam perekonomian nasional.
Daya Saing Globalisasi dan Keunggulan Kompetitif UMKM Di Indonesia
Tambunan (2001), menyatakan bahwa tingkat daya saing suatu negara di kancah perdagangan
internasional, pada dasarnya amat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif
(comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (Competitive advantage). Lebih lanjut,
faktor keenggulan komparatif dapat dianggap sebagai faktor yang bersifat acquired atau dapat
dikembangkan/diciptakan. Selain dua faktor tersebut, tingkat daya saing suatu negara sesungguhnya
juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Sustainable Competitive Advantage (SCA) atau keunggulan
daya saing berkelanjutan. Ini terutama dalam kerangka menghadapi tingkat persaingan global yang
semakin lama menjadi sedemikian ketat/keras atau hyper competitive. Meningkatnya daya saing
Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF), yang
merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia
naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia. Peringkat Indonesia mengungguli
Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir
(119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013
urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34.
Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh pertumbuhan ekonomi nasional di
atas 5% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global. Peningkatan daya saing
Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan infrastruktur. Meskipun infrastruktur
masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama
infrastruktur konektivitas.
Pengertian daya saing tidak hanya relevan untuk perdagangan internasional tetapi juga untuk
investasi. Negara dengan indeks daya saing global (global competitiveness index, CGI) yang tinggi
akan lebih menarik bagi investor asing dibandingkan negara dengan GCI yang lebih rendah. Laporan
tahun WEF dan laporan Bank Dunia yaitu Doing Business, termasuk sumber informasi yang
digunakan oleh calon investor asing mengenai Negara-negara tujuan investasi mereka. Menurut
Tambunan (2008), UMKM yang berdaya saing tinggi dicirikan oleh: (1) kecenderungan yang
meningkat dari laju pertumbuhan volume produksi, (2) pangsa pasar domestik dan atau pasar ekspor
yang selalu meningkat, (3) untuk pasar domestik, tidak hanya melayani pasar lokal saja tetapi juga
nasional, dan (4) untuk pasar ekspor, tidak hanya melayani di satu Negara tetapi juga banyak Negara.
Dalam mengukur daya saing UMKM harus dibedakan antara daya saing produk dan daya saing
perusahaan. Daya saing produk terkait erat dengan daya saing perusahaan yang menghasilkan produk
tersebut. Beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur daya saing sebuah produk diantaranya
adalah: (1) pangsa ekspor per tahun (% dari jumlah ekspor), (2) pangsa pasar luar negeri per tahun
(%), (3) laju pertumbuhan ekspor per tahun (%), (6) nilai atau harga produk, (7) diversifikasi pasar
domestik, (8) diversifikasi pasar ekspor, dan (9) kepuasan konsumen. Dewasa ini hampir semua
pemerintah daerah telah mengembangkan produk atau komoditas unggulan daerah. Penetapan produk
unggulan tentunya harus didasarkan pada keunggulan bersaing produk tersebut dibandingkan dengan
produk sejenis di luar daerah atau produk sejenis di pasar internasional. Jika upaya mengembangkan
11
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
komoditas unggulan tersebut dikerjakan dengan sungguh-sungguh maka nantinya akan muncul
komoditas daerah yang mempunyai daya saing di pasar internasional.
Selanjutnya hasil kajian dari Pusat Inovasi MKM APEC melakukan studi daya saing global
UMKM di 13 negara, termasuk Indonesia (Tambunan, 2008). Hasil studi tersebut menunjukkan
bahwa Indonesia termasuk Negara yang UMKM-nya berdaya saing rendah (skor 3,5 dari nilai skor
1,0–10,0), sedangkan daya saing UMKM Hongkong-China, Amerika Serikat, dan Australia tergolong
tinggi. Sedangkan peringkat daya saing Negara ASEAN lainnya, seperti Singapura, Malaysia,
Thailand, dan Filipina, diatas peringkat Indonesia. Peringkat China juga sedikit di atas peringkat daya
saing global UMKM Indonesia.
Untuk itu, eksistensi UKM dalam menembus pangsa pasar baik skala domestik, regional,
maupun global terbuka sangat lebar. Saat ini dengan berlakunya MEA, ASEAN-China Free Trade
Area (CAFTA) dan Free Trade Area (FTA) menjadi salah satu faktor eksternal yang dapat
memberikan dorongan serta kesempatan untuk mengakses pasar dan memasarkan produk UKM yang
semakin luas. Jumlah UKM di Indonesia sudah lebih dari 57 juta maka sudah sepantasnya pemerintah
memetakan potensi UKM. Dari hasil penelitian United States Agency for International Development
(USAID) dengan pertumbuhan UMKM sebanyak 2,01 % pertahun.
Berkaitan dengan pengembangan UMKM di Indonesia, terutama untuk meningkatkan daya
saing di pasar global, maka Tim Peneliti ISEI (2010) merekomendasikan beberapa hal sebagai
berikut: (1) uang tidak tepat sasaran, berpotensi overlapping dan menimbulkan moral hazard. Untuk
itu perlu dilakukan adalah koordinasi bantuan kepada UMKM sehingga tepat sasaran. Hal lain adalah
bantuan pelatihan teknis produksi, keuangan, pemasaran, dan kewirausahaan perlu ditingkatkan
kuantitas dan kualitasnya. Keikutsertaan UMKM dalam promosi untuk menembus pasar internasional
perlu ditingkatkan frekuesinya. (2) Diperlukan insentif untuk diversifikasi produk, pengkayaan
desain, dan hak paten untuk produk UMKM. Untuk itu diperlukan kebijakan insentif fiskal dan nonfiskal bagi pengembangan industri kreatif dan pengusaha pioneer. Di samping itu juga perlu
dilakukan perlindungan dan sosialisasi mengenai hak paten. (3) Mendorong penggunaan teknologi
informasi untuk kegiatan usaha UMKM. Untuk itu diperlukan alokasi APBN kementerian/lembaga
bagi UMKM dalam bentuk akses internet yang memadai dan biaya langganan yang terjangkau.
Dengan jaringan internet yang tersedia akan memudahkan UMKM untuk memperoleh bahan baku
dan memasarkan produknya. (4) Pemberian suku bunga khusus dan skema pembiayaan yang lebih
baik khususnya untuk UMKM yang menghasilkan produk yang prospek tinggi di pasar internasional.
Di samping itu juga perlu dilakukan penyederhanaan prosedur penyaluran kredit. Peran pemerintah
diharapkan sebagai komplementer untuk mendorong berbagai upaya yang telah dilakukan UMKM
dalam meningkatkan daya saingnya. Dengan iklim usaha yang kondusif yang diciptakan oleh
pemerintah, maka akan memudahkan UMKM untuk meningkatkan daya saing, baik daya saing
perusahaan maupun daya saing dari produk yang dihasilkan. Dalam UMKM, pengusaha atau pemilik
merupakan penggerak utama perusahaan. Untuk itu kreativitas, jiwa kewirausahaan, jiwa inovatif
dari pengusaha yang didukung oleh keterampilan para pekerja merupakan sumber utama dalam
peningkatan daya saing UMKM (Iriyani, Dwi, 2015).
Menurut Tambunan (2008) ada lima prasyarat utama agar pengusaha dan pekerja UMKM dapat berperan
dengan optimal, yaitu: (1) pendidikan, (2) modal, (3) teknologi, (4) informasi, dan (5) input krusial lainnya.
Pemenuhan kelima prasyarat tersebut sifatnya harus dinamis, dalam arti harus mengikuti: (1) perubahan pasar
yaitu selera konsumen dan tekanan persaingan, (2) perubahan ekonomi nasional dan global, (3) kemajuan
teknologi, dan (4) penemuan material baru untuk produksi. Tidak mudah bagi UMKM untuk memenuhi kelima
prasyarat tersebut. Perlu di garis bawahi bahwa pemenuhan kelima prasyarat utama tersebut adalah tanggung
jawab UMKM sepenuhnya. Bagaimana cara memenuhi adalah bagian strategi yang harus dilakukan oleh
UMKM. Strategi yang harus dilakukan oleh UMKM untuk meningkatkan daya saingnya terdiri dari dua
komponen. Komponen pertama adalah strategi untuk memenuhi kelima prasyarat utama tersebut.
12
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Pertanyaannya adalah bagaimanakah pengadaan pendidikan, modal, teknologi, informasi, dan input secara
kontinyu dan efisien?. Komponen kedua adalah strategi untuk menggunakan secara optimal kelima prasyarat
tersebut menjadi produk yang kompetitif. Khusus untuk komponen kedua, perhatian harus difokuskan kepada
peningkatan kemampuan produksi dan kemampuan pemasaran. Upaya peningkatan kemampuan produksi
termasuk peningkatan teknologi dan kemampuan disain produk. Selanjutnya upaya peningkatan kemampuan
pemasaran termasuk promosi, distribusi, dan pelayanan purna jual. Harus diakui sebagian besar UMKM di
Indonesia lemah dalam penguasaan teknologi dan juga dalam strategi pemasaran.
PENUTUP
Simpulan
Pergeseran paradigma baru untuk UMKM dalam menghadapi persaingan pasar bebas ASEAN
melalui pendekatan sosial, ekologi dan ekonomi. Dalam pengembangan organisasi pengusaha telah
menjadi lebih terbuka untuk isu-isu sosial dan lingkungan dengan memperhatikan pertumbuhan
masyarakat, hak asasi manusia pada umumnya. Hal ini menyebabkan munculnya perspektif baru
profitabilitas bisnis sebagai kinerja perusahaan dalam konteks keberlanjutan.
Daya saing UMKM dalam menghadapi pasar bebas ASEAN perlu menunjukkan keunggulan
bersaing sehingga produk tetap dapat diterima oleh pasar.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini hanya dilakukan dengan diskriptif kualitatif yang mengkaji dari
beberapa buku, jurnal nasional dan internasional yang menggambarkan budaya bisnis UMKM yang
berbeda dengan kondisi UMKM Di Indonesia.
Saran
Pemerintah dalam strategi pemberdayaan UMKM perlu mempertimbangkan dalam
mengimplementasikan paradigma baru untuk menganalisa peluang dan ancaman melalui pendekatan
keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing dengan mengintegrasikan tiga komponen: ekonomi,
sosial dan ekologi baik untuk strategi pasar domistik ataupun pasar Asia.
Pengusaha UMKM dalam menentukan strategi bisnisnya perlu mengimplementasikan
pendekatan keberlanjutan kewirausahaan dan daya saing dalam menghadapi pasar Asia.
13
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
Acosta , et-a (2016). Sustainable Entrepreneurship in SMEs: A Business Performance Perspective.
pp. 1-12. www.mdpi.com/journal/sustainability.
Bell, J.F.; Stellingwerf, J.J (2012). Sustainable Entrepreneurship: The Motivations & Challenges of
Sustainable Entrepreneurs in the Renewable Energy Industry. Master’s Thesis, Jönköping
International Business School, Jönköping, Sweden.
Bustami, Gusmardi (2013). Menuju Asean Economy Community. Jakarta: Departemen
Perdagangan.
Carpinetti, L.C.R., Gerolamo, M.C. and Dorta, M. (2000), “A conceptual framework for deployment
of strategy-related continuous improvements”, The TQM Magazine, Vol. 12 No. 5, pp. 340-9.
Carvalho L, (2014). Small and Medium Enterprises (SMEs) and Competitiveness: An Empirical
Study. Management Studies, ISSN 2328-2185 February, Vol. 2, No. 2, 88-95
Cohen, B.;Winn, M.I. (2007). Market imperfections, opportunity and sustainable entrepreneurship.
J. Bus. Ventur., 22, 29–49.
Crals, E. and Vereeck, L. (2004), ‘Sustainable Entrepreneurship in SMEs. Theory and Practice.’,
Belgium: Limburgs Universitair Centrum.
Fassoulsa, E. D. (2006). Transforming the supply chain. Journal of Manufacturing Technology
Management, 17(6), 848-860.
Fleury, A. and Fleury, M.T. (2003), “Competitive strategies and core competencies: perspectives for
the internationalization of industry in Brazil”, Integrated Manufacturing Systems, Vol. 14 No.
1, pp. 16-25.
Garg, Deshmukh (2008). Strategy development by SMEs for competitiveness: a review.
Benchmarking: An International Journal Vol. 15 No. 5, 2008 pp. 525-547 q Emerald Group
Publishing Limited 1463-5771DOI 10.1108/14635770810903132
Hadiyati E, (2017). Strategi Keunggulan Bersaing Industri Kreatif Dalam Menghadapi MEA. Pidato
Ilmiah Pada Acara Pengukuhan Guru Besar di Universitas Gajayana Malang, Selasa, 31
Januari 2017.
Iriyani, Dwi (2015). Penguatan Dan Peningkatan Daya Saing Pada UMKM Sebagai Strategi
Menghadapi MEA. repository.ut.ac.id/4558/1/2015-dn-010.pdf
Jorgensen, A. L., & Knudesen, J. S. (2006). Sustainable competitiveness in global value chains: How
do small Danish firms behave. Corporate Governance, 8(4), 449-462.
Krueger, N. F. (2005), ‘Social entrepreneurship: Further broadening the definition of ‘Opportunity’,
International Conference on Social Entrepreneurship, Barcelona.
Man T.W.Y; Lau T.; dan Chan K.F. (2002) “The competitiveness of small and medium enterprises –
A conceptualization with focus on entrepreneurial competencies”, Journal of Business
Venturing, 17 (2): 123-142.
Margolis, J.D.; Elfenbein, H.A.; Walsh, J.P (2016). Does it Pay to be Good? A Meta-Analysis and
Redirection of Research on the Relationship between Corporate Social and Financial
Performance.
Available
online:
http://www.hks.harvard.edu/mrcbg/papers/seminars/margolis_november_07.pdf (accessedon 31 March 2016).
Mohammad dan Khar (2010). Small and Medium Enterprises (SMEs) Competing in the Global
Business Environment: A Case of Malaysia. International Business Research. Business
Research. Januari, Vol. 3 No, 1.pp. 66-75
Muñoz, P (2013).The Distinctive Importance of Sustainable Entrepreneurship. Current Opinion in
Creativity. Innov. Entrep, 2, 1–6. .
14
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Nelson, R. (1992). Recent writings on competitiveness: Boxing the compass. California Management
Review, 34(2), 127-137.
O’Farrell, P. N., Hitchens, D., & Moffat, L. (1992). The competitiveness of business services firms:
A matched comparison between Scotland and the South East of England. Regional Studies,
26(6), 519-525.
Pratten, C. (1991). The competitiveness of small firms. Occasional Paper 57, Department of Applied
Economics, University of Cambridge. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Ramasamy, H. (1995). Productivity in the age of competitiveness: Focus on manufacturing in
Singapore. In Productivity in the Age of Competitiveness, APO Monograph Series (16), Asian
Productivity Organizations, Tokyo.
Rey Leonaris (2011). Sustainability Entrepreneurship and its Viability. Master Thesis Erasmus
School of Economics, Rotterdam.
Salavou, H., Baltas, G., & Lioukas, S. (2004). Organizational innovation in SMEs: The importance
of strategic orientation and competitive structure. European Journal of Marketing, 38(9-10),
1091-1112.
Schaltegger, S.; Wagner, M. (2011). Sustainable entrepreneurship and sustainability innovation:
Categories and interaction. Bus. Strategy Environ. 20, 222–237.
Schaper, M. (2002), ‘The challenge of environmental responsibility and sustainable development:
Implications for SME and entrepreneurship academics’, in: U. Füglistaller et al. (eds.) Radical
changes in the world – Will SMEs sour or crash?, Rencontres de St. Gall.
Septiani, Sarma, Limbong (2013). Pengaruh Entrepreneurial Marketing dan Kebijakan Pemerintah
terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor. Jurnal Manajemen dan Organisasi Vol IV,
No 2, Agustus. Hm. 92-111.
Slevin, D. P., & Covin, J. G. (1995). New ventures and total competitiveness: A conceptual model,
empirical results, and case study examples. Frontiers of Entrepreneurship Research (pp. 574588).
Stoner, C. (1987). Distinctive competitive and competitive advantage. Journal of Small Business
Management, 25(2), 33-39.
Tambunan, Tulus . (2010). Ukuran Daya Saing Koperasi dan IKM. Background Study RPJM
Nasional Tahun 2010-2014 Bidang Pemberdayaan Koperasi dan IKM, Bappenas. Jakarta (ID):
Pusat Studi Industri dan IKM, Universitas Trisakti, Kadin Indonesia.
_________. (2012). Pasar Bebas ASEAN: Peluang, Tantangan dan Ancaman bagi UMKM Indonesia.
Jakarata: Kementrian Koperasi UMKM.
Waheeduzzaman, A., & Ryans, J. (1996). Definition, perspectives, and understanding of international
competitiveness: A quest for a common ground. Competitiveness Review, 6(2), 7-26.
15
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
MEMANFAATKAN TANTANGAN SOSIAL:
MENUJU INOVASI SOSIAL DAN KEUNGGULAN KOMPETITIF
Andreas W. Djiwandono
Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstract: The World Bank’s statistics show that Indonesia has more than 11% population living in
poverty, and approximately 40% population still living very close to the poverty line. This means more
than half the population faces social challenges related to poverty. Social challenges normally have a
negative connotation. However, this study will cover the latest in social business research that shows why
and how businesses and entrepreneurs should embrace social challenges more in the future. Previous
studies show that social challenges are indicators of opportunities for social innovation and social value
creation. Other studies show that social challenges form a competitive advantage when it is present as a
constraint for the entrepreneurial business founder. This study will then offer a framework for empirical
research to measure the impact of social challenges to social innovation, social value creation, and the
development of a competitive advantage. This framework will offer a research agenda for academia, and
practical use in entrepreneurship and business management to fully embrace social challenges to ignite
social innovation as a path towards competitive advantage.
Keywords: social challenges, social innovation, competitive advantage, entrepreneurship
Abstrak: Statistik Bank Dunia menyatakan bahwa lebih dari 11% penduduk Indonesia hidup dalam
kemiskinan dan sekitar 40% penduduk masih hidup dekat dengan garis kemiskinan. Ini berarti lebih dari
setengah penduduk Indonesia menghadapi tantangan sosial yang terkait dengan kemiskinan. Tantangan
sosial seringkali dianggap berkonotasi negatif, namun penelitian ini akan mengulas riset terkini dalam riset
bisnis sosial yang menunjukkan mengapa dan bagaimana bisnis dan wiraswasta harus lebih merangkul
dan memanfaatkan tantangan sosial. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tantangan sosial
merupakan indikator peluang untuk inovasi sosial dan penciptaan nilai sosial. Studi lain menunjukkan
bahwa tantangan sosial membentuk keunggulan kompetitif ketika hadir sebagai kendala awal untuk
pendiri bisnis kewiraswastaan. Penelitian ini kemudian akan menawarkan kerangka riset untuk penelitian
empiris yang mengukur dampak dari tantangan sosial untuk inovasi sosial, penciptaan nilai sosial, dan
pengembangan keunggulan kompetitif. Kerangka riset ini akan menawarkan agenda penelitian untuk
akademisi, dan penggunaan praktis dalam kewiraswastaan dan manajemen bisnis untuk memanfaatkan
tantangan sosial sebagai pemicu inovasi sosial, serta jalan menuju keunggulan kompetitif.
Kata kunci: tantangan sosial, inovasi sosial, keunggulan kompetitif, kewiraswastaan
PENDAHULUAN
Prahalad dan Lieberthal (1998) menyoroti pasar segmen berpendapatan rendah yang sangat potensial
namun belum dimanfaatkan secara optimal oleh perusahaan multinasional karena tidak bersaing secara
inovatif. Segmen berpendapatan rendah ini dikenal sebagai segmen terendah di piramida kekayaan, atau
disebut juga Bottom of the Pyramid (BOP). London dan Hart (2004) mengamati perusahaan multinasional
beralih ke pasar negara berkembang seperti Cina, India, Indonesia dan Brazil, sebagai sumber pertumbuhan.
Prahalad dan Lieberthal (1998) melihat bahwa sebagian besar perusahaan multinasional akan berusaha untuk
memasuki pasar BOP di negara-negara berkembang ini dengan menawarkan produk dan layanan yang persis
sama dengan produk atau layanan yang mereka tawarkan ke pasar negara maju. Namun mereka juga
menunjukkan beberapa contoh perusahaan multinasional yang bersaing secara inovatif di negara-negara
berkembang sehingga berhasil mendapatkan sumber pendapatan baru bagi bisnis mereka. Prahalad (2005)
mengusulkan pendekatan baru untuk BOP mana inovasi sosial dan kewiraswastaan melalui kapitalisme
inklusif dapat menawarkan kinerja sosial dan keuangan yang baik untuk perusahaan multinasional dan
masyarakat BOP yang terlibat.
16
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Mulgan et.al. (2007) menunjukkan kurangnya perhatian terhadap inovasi sosial karena kurangnya literatur
penelitian yang menunjukkan bagaimana inovasi sosial dapat dilakukan dan bagaimana inovasi sosial dapat
menekan masalah sosial. Salah satu alasan kurangnya publikasi mengenai inovasi sosial dibandingkan dengan
inovasi bisnis adalah karena inovasi bisnis dirasa memberikan peluang yang lebih tinggi untuk
memaksimalkan keuntungan, yang merupakan fokus literatur manajemen. Selain itu masih dirasa kurangnya
pengetahuan mengenai cara inovasi sosial bisa menawarkan keunggulan kompetitif dan keuntungan finansial
di saat yang bersamaam. Akibatnya terjadi putusnya hubungan antara rekomendasi dari Prahalad (2005)
dengan publikasi akademik yang berkembang. Kolk, Rivera-Santos, dan Rufin (2013) melakukan tinjauan
literatur sistematis pada konsep BOP yang mengklaim kemiskinan dapat dikurangi melalui kegiatan yang
menguntungkan secara finansial. Walaupun konsep BOP pada awalnya diperkenalkan untuk membantu
perusahaan multinasional berkarya di BOP, studi literatur mereka menunjukan bahwa lebih banyak studi dalam
literatur yang tidak mencakup perusahaan multinasional. Kebanyakan inisiatif BOP yang disajikan dalam
literatur bahkan tidak diprakarsai oleh perusahaan yang berorientasi profit. Selain itu, mereka menemukan
bahwa sebagian besar contoh dari inisiatif BOP hanya memandang kalangan berpendapatan rendah sebagai
pelanggan dan bukan sebagai rekanan. Namun, Adams dan Hess (2010) menemukan bahwa perhatian terhadap
topik inovasi sosial sedang meningkat dalam literatur manajemen publik dan perekonomian komunitas sebagai
strategi inovasi yang menawarkan nilai sosial dan kesempatan ekonomi pada saat yang bersamaan. Makalah
ini dan studi yang diusulkan mencoba untuk mengisi celah dalam literatur saat ini dengan membawa perhatian
kembali ke proposisi asli dari Prahalad (2005) yang melibatkan perusahaan multinasional dan masyarakat BOP
bekerja sama, terutama dalam hal menggunakan masalah sosial untuk melakukan inovasi sosial dan
menciptakan nilai sosial dan keuangan secara bersamaan sehingga tercapai keunggulan kompetitif.
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka akan mengkaji dua variabel utama dalam rencana penelitian ini yang mendukung
terbentuknya keunggulan kompetitif, yaitu tantangan sosial dan inovasi sosial. Walaupun keunggulan
kompetitif merupakan tujuan akhir dari kegiatan yang diteliti, namun tujuan utama dari penelitian ini adalah
mempelajari kekhasan dalam tantangan sosial dan hubungannya dengan inovasi sosial, sehingga menjadi
pokok ulasan dalam tinjauan pustaka.
Tantangan Sosial
Bank Dunia (2015) melaporkan kemajuan dalam usaha pengentasan kemiskinan di Indonesia selama 10
tahun terakhir. Seperti terlihat dalam laporan tahun 2014, Bank Dunia melaporkan 36,4% populasi Indonesia
(92,7 juta orang) hidup di bawah garis kemiskinan $ 3,1 / hari, 8,3% populasi (21 juta orang) hidup di bawah
garis $ 1,9 / hari, dan 11,3% populasi (29 juta orang) hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Meskipun ada
perbaikan, terlihat bahwa setiap hari masih ada lebih dari sepertiga penduduk Indonesia menghadapi tantangan
sosial yang terkait dengan kemiskinan di BOP.
Kebanyakan penelitian mengenai penciptaan nilai sosial dan model bisnis di BOP mencakup perusahaan
BOP yang tidak berasal dari BOP. Sinkovics, Sinkovics, dan Yamin (2014) mengambil pendekatan yang
berbeda dimana perusahaan yang mereka diteliti adalah usaha-usaha yang di yang didirikan oleh individuindividu yang berasal dari dalam BOP. Dalam studi mereka, mereka menemukan sebuah variabel penting yang
menjadi alasan sebuah usaha sosial didirikan di BOP. Mereka menyebutnya "kendala pemicu" (trigger
constraints), yaitu keterbatasan yang dihadapi pengusaha sebagai individu, komunitas, atau masyarakat secara
keseluruhan. Contoh kendala pemicu ini adalah act of God (misalnya kekeringan), perubahan kondisi industri
(misalnya pengurangan keunggulan kompetitif industri), faktor sosial budaya (misalnya pengangguran karena
imobilitas), dan kendala sosial (misalnya ketidakadilan, eksploitasi, kurangnya kesempatan kerja, dll). Mereka
berpendapat bahwa perbedaan utama antara kewiraswastaan sosial dengan kewiraswastaan bisnis yang
memiliki misi sosial adalah apakah sebuah kendala berperan sebagai pemicu untuk mendirikan perusahaan
atau apakah kendala berperan membentuk strategi perusahaan setelah didirikan.
Hampir dapat dipastikan bahwa semua perusahaan multinasional yang ada saat ini tidak didirikan atas
dasar sebuah kendala pemicu. Terutama jika perusahaan multinasional itu berusaha memasuki sebuah pasar
17
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
BOP di negara baru, sudah pasti perusahaan multinasional tersebut tidak berasal dari BOP tersebut, sehingga
tidak mungkin mengalami tantangan sosial yang menjadi kendala pemicu. Oleh karena itu dalam memahami
tantangan sosial yang dapat memicu inovasi sosial, perusahaan multinasional mungkin berada dalam posisi
yang lebih lemah dibandingkan wirausaha yang datang dari BOP. Untuk menghadapi hal ini, London dan Hart
(2004) menamakan sebuah kemampuan organisasi yang disebut social embeddedness (ketertanaman nilai-nilai
sosial). Menurut mereka social embeddedness merupakan pemahaman yang mendalam dari lingkungan
setempat, dan fokus pada penciptaan strategi dan peluang bisnis bottom-up berdasarkan pada mengidentifikasi,
memanfaatkan, dan membangun infrastruktur sosial yang ada (misalnya, modal sosial dalam program
pinjaman mikro; keahlian mitra nonkorporasi; kewiraswastaan di masyarakat pengguna). Dalam pandangan
mereka perusahaan multinasional perlu membangun kemampuan social embeddedness ini secara global,
terutama untuk berhasil di negara di mana mereka berencana untuk memasuki pasar BOP. Penting untuk
menggarisbawahi bahwa social embeddedness ini berbeda dengan istilah sama yang dibuat oleh Mark
Granovetter pada tahun 1985 yang menjelaskan alasan di balik pengambilan keputusan oleh seorang individu
akibat hubungan individu tersebut dengan jaringan sosial tertentu. Social embeddedness versi London dan Hart
(2004) dapat dicapai oleh perusahaan multinasional di BOP dengan beroperasi di luar batas perusahaan. Hal
ini dapat dicapai melalui jaringan kerjasama dengan perusahaan besar lokal, kelompok masyarakat, organisasi
non-profit, dan wiraswasta lokal. Ini memerlukan cara membangun dan membina jaringan kerjasama yang
sama sekali baru bagi perusahaan multinasional karena hubungan dalam jaringan di BOP sangat berbeda
dengan hubungan bisnis di segmen pasar puncak piramida. Di BOP, hubungan antar entitas bisnis dan sosial
lebih banyak diatur oleh aturan informa dan kontrak sosial serta melibatkan penggunaan aset bersama-sama.
Ini berarti hubungan antara perusahaan multinasional dengan entitas lagin di BOP lebih inklusif.
Zur (2015) mempelajari variabel-variabel anteseden yang mempengaruhi peluang (opportunities) dalam
konteks kewiraswastaan sosial, dan menemukan empat anteseden utama peluang dalam konteks
kewiraswastaan sosial: masalah sosial, informasi, kesadaran sosial, dan pola pikir kewiraswastaan. Penelitian
ini akan fokus pada masalah / hambatan sosial yang merupakan tantangan sosial yang dialami segmen
berpenghasilan rendah di BOP dan telah terbukti oleh Zur (2015) sebagai anteseden identifikasi peluang dan
pendirian perusahaan sosial.
Inovasi Sosial
Inovasi sosial dapat didefinisikan sebagai "ide-ide baru yang bekerja dalam memenuhi tujuan sosial"
(Mulgan et.al., 2007, hal.8). Mereka juga menawarkan definisi yang lebih sempit yang membedakan inovasi
sosial dari inovasi bisnis yang didasarkan pada maksimalisasi profit. Namun, seperti disarankan oleh Prahalad
(2005), ada bukti bahwa memaksimalkan keuntungan dan memaksimalkan dampak sosial yang positif dapat
baik menjadi output inovasi sosial. Adams dan Hess (2010) melihat inovasi sosial sebagai suatu tindakan yang
dapat menciptakan nilai sosial lebih dari sistem yang ada. Hal ini juga menciptakan cara-cara baru menangani
masalah-masalah lama sambil membawa perubahan sosial. Adams dan Hess (2010) menyebutkan bahwa ada
enam karakteristik utama inovasi sosial. Pertama adalah pergeseran fokus dari kebutuhan sosial ke aset sosial.
Kedua, melihat masyarakat sebagai agen sosial. Ketiga adalah melihat masyarakat sebagai sebuah industri.
Keempat berfokus pada penciptaan keterampilan dan kesempatan kerja. Kelima, membangun usaha
masyarakat. Terakhir, keenam, adalah membangun kemitraan antar-sektor.
Harazin dan Kosi (2013) menyatakan bahwa salah satu cara bagi perusahaan untuk terlibat dalam inovasi
sosial adalah melalui CSR (Corporate Social Responsibility). Hubungan antara CSR dan keunggulan
kompetitif juga telah dibahas dalam berbagai penelitian sebelumnya seperti Vilanova, Lozano, dan Arena
(2009) yang menemukan CSR berdampak daya saing melalui siklus pembelajaran dan inovasi. Mereka
menemukan bahwa pembelajaran terjadi saat CSR tertanam dalam proses bisnis, yang menghasilkan praktekpraktek inovatif dan daya saing.
Certo dan Miller (2008) mengulas literatur penelitian kewiraswastaan sosial dengan menggunakan
definisi kewiraswastaan dari Shane & Venkataraman (2000) yaitu identifikasi, evaluasi dan eksploitasi
peluang. Kegiatan ini sangat mirip dengan model proses inovasi dari Tidd dan Bessant (2009) yang melibatkan
pencarian peluang, pemilihan peluang, pelaksanaan dan penuaian manfaat. Oleh karena itu inovasi sosial dapat
dilihat sebagai inovasi yang dilakukan oleh kewiraswastaan sosial, yang menghasilkan nilai sosial sebagai
output dari kegiatan terakhir - penuaian manfaat. Austin, Stevenson dan Wei-Skillern (2006) mendefinisikan
18
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
kewiraswastaan sosial sebagai kegiatan penciptaan manfaat sosial yang inovatif, yang terjadi di dalam salah
satu atau semua sektor nirlaba, bisnis, dan pemerintah. Sementara itu, Certo dan Miller (2008) juga
mengusulkan agar wiraswasta sosial dapat dilihat sebagai pelaku inovasi sosial.
Kewiraswastaan sosial berbeda dari kewiraswastaan komersial. Tujuan akhir dari kewiraswastaan sosial
adalah nilai sosial, sedangkan yang tujuan akhir dari kewiraswastaan komersial adalah maksimalisasi profit.
Emerson & Twersky (1996) berpendapat bahwa dari sudut pandang hasil kegiatan berwiraswasta, kedua jenis
wiraswasta tersebut hampir sama. Menurut mereka wiraswasta komersial dapat menghasilkan nilai sosial
dalam proses menciptakan keuntungan pribadi, dan wiraswasta sosial dapat menghasilkan keuntungan pribadi
dalam proses menciptakan nilai sosial. Namun, penelitian terbaru oleh Bellostas, López-Arceiz, dan Mateos
(2016) mengenai penciptaan nilai sosial dan nilai ekonomi di perusahaan sosial menunjukkan bahwa nilai
sosial memiliki prioritas yang lebih tinggi dalam tujuan bisnis, karena menjadikan nilai sosial sebagai target
utama akan memungkinkan perusahaan untuk mendapatkan nilai ekonomi sebagai konsekuensinya. Mereka
berpendapat bahwa hal itu tidak berlaku sebaliknya, karena fokus perusahaan yang tinggi pada nilai ekonomi
tidak akan menghasilkan nilai sosial sebagai konsekuensi. Sementara itu, Agafonow (2013) berpendapat
bahwa perusahaan sosial difokuskan pada memaksimalkan penciptaan nilai sosial, dan hanya menargetkan
hasil nilai ekonomi seperlunya (satisficing) untuk membiayai biaya operasional perusahaan dan pertumbuhan
perusahaan. Oleh karena itu, meskipun memiliki sedikit perbedaan dalam hal keberadaan atau urutan nilai
sosial dan nilai ekonomi, banyak penelitian juga telah menunjukkan keberadaan nilai sosial dan keuangan
sebagai akibat dari inovasi sosial. Hal ini sejalan dengan proposisi awal Prahalad (2005).
METODE PENELITIAN
Kerangka penelitian makalah ini dirancang untuk mengukur peran tantangan sosial terhadap inovasi
sosial, dan pada akhirnya peran terhadap keunggulan bersaing. Kerangka penelitian konseptual dapat dilihat
di Gambar.1 dibawah yang menghadirkan tiga variabel dan dua dimensi utama untuk variabel antesedennya.
Selanjutnya penjelasan mengenai operasionalisasi variabel dan metode pengumpulan data akan dijabarkan
lebih jauh.
Gambar.1 Kerangka Penelitian
Untuk mengukur tantangan sosial sebagai anteseden inovasi sosial, penelitian akan mengukur
keberadaan kendala pemicu yang diidentifikasi oleh Sinkovics, Sinkovics, dan Yamin (2014) dan juga
mengukur Social Embeddedness yang dijelaskan oleh London dan Hart (2004). Dengan menggunakan kedua
pendekatan tantangan sosial tersebut diharapkan penelitian akan mampu mengukur pemahaman akan
tantangan sosial baik oleh perusahaan multinasional, wiraswasta sosial, maupun oleh kemitraan perusahaan
multinasional dengan wiraswasta sosial dalam menciptakan bisnis baru di BOP. Hubungan tantangan sosial
dengan inovasi sosial didasarkan pada penelitian oleh Zur (2015) yang telah mengidentifikasi masalah sosial
sebagai salah satu anteseden inovasi sosial.
19
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Untuk mengukur inovasi sosial oleh perusahaan, Pedoman usulan Oslo (OECD / Eurostat, 2005) dapat
digunakan sebagai kerangka dasar yang komprehensif untuk mengidentifikasi tipe-tipe inovasi sosial yang
berada dalam sebuah usaha jasa, yaitu: (1) inovasi dalam jenis kegiatan, proyek atau program yang diadakan
oleh organisasi ( 'apa' yang diberikan oleh usaha jasa kepada penerima manfaat atau pelanggan mereka), (2)
inovasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan proses pelaksanaan kegiatan-kegiatan ( 'bagaimana' organisasi
jasa melaksanakan program atau kegiatan), termasuk di sini kemungkinan co-creation dengan pelanggan atau
stakeholder lainnya; (3) inovasi pemasaran, khususnya metode komunikasi dan pengelolaan hubungan dengan
para stakeholder, karena ini memainkan peran penting dalam mencapai keterlibatan proaktif dari jaringan
sosial dan komunitas, dan (4) inovasi organisasi (tata kelola baru, dll).
Untuk hubungan antara inovasi sosial dengan keunggulan kompetitif, studi ini didasarkan pada studi
Herrera (2015) yang fokus pada inovasi sosial yang menciptakan nilai sosial dan keunggulan kompetitif, serta
Hana (2013) yang mempelajari bagaimana keunggulan kompetitif dicapai melalui inovasi dan pengetahuan.
Dalam tinjauan pustakanya, Herrera (2015) mengutip penelitian sebelumnya yang menghubungkan inovasi
sosial untuk keuntungan kompetitif seperti Mintzberg (1994) melihat bahwa inovasi sangat mempengaruhi
daya saing, sementara Ferauge (2012) melihat bahwa kegagalan untuk berinovasi menurunkan daya saing.
Sementara itu, inovasi sosial memberikan kelanggengan bisnis (Eccles dan Serafeim, 2013) dan meningkatkan
keunggulan kompetitif (Fiorina, 2004). Tidd dan Bessant (2009) juga menyatakan bahwa "intinya adalah
bahwa apa pun kondisi teknologi, sosial atau pasar yang dominan, kunci untuk menciptakan - dan
mempertahankan - keunggulan kompetitif berada pada organisasi-organisasi yang terus berinovasi" (Tidd dan
Bessant 2009, hal.10). Hana (2013) menemukan bahwa sebagian besar inovasi dalam perusahaan dilakukan
untuk menjawab kebutuhan pelanggan utama mereka atau didorong oleh pemasok mereka. Ini menunjukkan
bahwa dua penggerak inovasi yang utama adalah kinerja keuangan yang didorong pelanggan serta keunggulan
kompetitif yang didorong supplier.
Berdasarkan tinjauan pustaka Saeidi et.al. (2015) keunggulan kompetitif dapat diukur menggunakan
kualitas produk atau jasa, citra perusahaan, posisi pasar, diferensiasi dan keragaman, pertumbuhan perusahaan,
dan kepemimpinan pasar sebagai dimensi yang paling umum digunakan. Oleh karena itu, penelitian ini akan
menggunakan dimesi yang sama berdasarkan persepsi responden dalam lima item dengan skala Likert lima
poin, di mana 1 = "sangat tidak setuju" dan 5 = "sangat setuju".
PENUTUP
Simpulan
Pasar di bagian bawah piramida tetap menjadi potensi besar untuk perusahaan multinasional dan
wiraswasta. Pendekatan yang berbeda disarankan oleh para pendukung konsep BOP, yang telah terbukti
berhasil di beberapa studi kasus. Untuk berhasil mengikuti konsel BOP, penting untuk memahami unsur-unsur
yang unik di BOP seperti tantangan sosial. Penelitian ini bertujuan untuk menawarkan lebih banyak wawasan
tentang bagaimana tantangan sosial mempengaruhi inovasi sosial, yang merupakan bagian integral dari konsep
BOP untuk mencapai keunggulan kompetitif. Dengan memahami dampak tantangan sosial, baik melalui
kendala pemicu dan embeddedness sosial, diharapkan praktisi dapat merencanakan strategi mereka untuk
merangkul perusahaan lokal atau menumbuhkan wiraswasta dalam menjawab tantangan sosial dan
mengadopsi konsep BOP sehingga tercipta keunggulan kompetitif.
Kerangka penelitian yang telah dijabarkan diatas akan dilakukan menggunakan pendekatan kuantitatif
dimana direncanakan pengambilan sampel secara acak dari daftar perusahaan multinasional dan perusahaan
besar yang diketahui memiliki usaha dagang barang atau jasa di BOP. Dari daftar itu akan dilakukan penelitian
data sekunder untuk menemukan perusahaan yang melakukan kemitraan bisnis atau usaha pemberdayaan
wiraswasta di BOP sehingga responden akan mengikutsertakan perusahaan multinasional, perusahaan lokal
besar, wiraswasta sebagai mitra perusahaan multinasional atau perusahaan sedang, serta wiraswasta yang
datang dari BOP. Setelah menetapkan daftar target responden maka akan dilakukan riset kuantitatif
menggunakan survey dan akan dilakukan analisa kuantitatif lebih jauh untuk menemukan hubungan antar
Tantangan Sosial, Inovasi Sosial, dan Keunggulan Kompetitif.
20
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
Adams, D., & Hess, M. (2010). Social Innovation and Why it has Policy Significance. Economic and Labour
Relations Review, 21(2), 139–155.
Agafonow, A. (2013). Toward A Positive Theory of Social Entrepreneurship . On Maximizing Versus
Satisficing Value Capture, (2012). http://doi.org/10.1007/s10551-013-1948-z
Austin, J., Stevenson, H., & Wei-Skillern, J. (2006). Social and Commercial Entrepreneurship: Same,
Different, or Both? Entrepreneurship Theory and Practice, 1–22.
Bank Dunia (2015). Poverty & Equity Data - Indonesia. Retrieved January 10, 2017, from
http://povertydata.worldbank.org/poverty/country/IDN
Bellostas, A. J., López-Arceiz, F. J., & Mateos, L. (2016). Social Value and Economic Value in Social
Enterprises: Value Creation Model of Spanish Sheltered Workshops. Voluntas, 27(1), 367–391.
Certo, S. T., & Miller, T. (2008). Social Entrepreneurship: Key issues and concepts. Business Horizons, 51(4),
267–271. http://doi.org/10.1016/j.bushor.2008.02.009
Eccles, R.G., & Serafeim, G. (2013, May). The Performance Frontier: Innovating for a Sustain- able Strategy,
Harvard Business Review [online]. Retrieved from http://hbr. org/2013/05/the-performance-frontierinnovating-for-a-sustainable-strategy
Emerson, J., & Twersky, F. 1996. New Social Entrepreneurs: The Success, Challenge And Lessons Of Nonprofit Enterprise Creation. San Francisco: Roberts Foundation, Homeless Economic Development Fund.
Ferauge, P. (2012). A Conceptual Framework of Corporate Social Responsibility & Innova- tion. Global
Journal of Business Research, 6(5), 85–96.
Fiorina, C. (2004, Spring). Invention for the Common Good, Stanford Social Innovation Review [online].
Retrieved from http://www.ssireview.org/articles/entry/ invention_for_the_common_good
Hana, U. (2013). Competitive Advantage Achievement Through Innovation And Knowledge. Journal of
Competitiveness, 5(1), 82–96
Harazin, P., & Kósi, K. (2013). Social challenges: Social innovation through social responsibility. Periodica
Polytechnica, Social and Management Sciences, 21(1), 27–38. http://doi.org/10.3311/PPso.2154
Herrera, M. E. B. (2015). Creating competitive advantage by institutionalizing corporate social innovation.
Journal of Business Research, 68(7), 1468–1474. http://doi.org/10.1016/j.jbusres.2015.01.036
Kolk, A., Rivera-Santos, M., & Rufin, C. (2013). Reviewing a Decade of Research on the “Base/Bottom of
the Pyramid” (BOP) Concept. Business & Society, 20(10), 1–40.
London, T., & Hart, S. L. (2004). Reinventing Strategies for Emerging Markets: Beyond the Transnational
Model. Journal of International Business Studies, 35(5), 350–370.
Mintzberg, H. (1994). The Rise And Fall Of Strategic Planning: Reconceiving Roles For Planning, Plans,
Planners. New York: Free Press
Mulgan, G., Tucker, S., Ali, R., & Sanders, B. (2007). Social Innovation What It Is, Why It Matters And How
It Can Be Accelerated. SAID Business School, University of Oxford.
Prahalad, C. K., & Lieberthal, K. (1998). The End of Corporate Imperialism. Harvard Business Review, 76(4),
68–79.
Prahalad, C. K. (2005). The Fortune at the Bottom of the Pyramid: Eradicating Poverty through Profit.
Wharton School Publishing.
Saeidi, S. P., Sofian, S., Saeidi, P., Saeidi, S. P., & Saaeidi, S. A. (2015). How does corporate social
responsibility contribute to firm financial performance? The mediating role of competitive advantage,
reputation, and customer satisfaction. Journal of Business Research, 68(2), 341–350.
http://doi.org/10.1016/j.jbusres.2014.06.024
Shane, S., & Venkataraman, S. (2000). The Promise Of Entrepreneurship As A Field Of Research. Academy
of Management Review, 25(1), 217–226.
21
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Sinkovics, N., Sinkovics, R. R., & Yamin, M. (2014). The Role of Social Value Creation in Business Model
Formulation at the Bottom of the Pyramid – Implications for MNEs?. International Business Review.
Tidd, J and Bessant, J (2009). Managing Innovation: Integrating Technological, Market and Organizational
Change. 4th Ed. John Wiley & Sons.
Vilanova, M., Lozano, J. M., & Arenas, D. (2009). Exploring the Nature of the Relationship Between CSR
and Competitiveness. Journal of Business Ethics, 87(SUPPL. 1), 57–69.
Ε»ur, A. (2015). Social Problems as Sources of Opportunity: Antecedents of Social Entrepreneurship
Opportunities. Entrepreneurial Business and Economics Review, 3(4), 73–87.
22
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
THE IMPACT OF DEVELOPING SUSTAINABLE DEVELOPMENT OF
FIRM’S PERFORMANCE MEDIATED BY DYNAMIC CAPABILITY
Jo Jhony
Universitas Bina Nusantara
E-mail: [email protected] or [email protected]
Abstract: Present day, with borderless communities and nations, palm oil industries are characterized by
increased global integration, innovation, sustainability development requirement, and new technology
into digitalization which present challenges to firms to survive from competitive during turbulence times.
This study was conducted by analyzing the implications of the application of sustainable development to
support the palm oil’s business units to remain competitive by integrating economic, environmental,
social, and operational performance factor which change organization innovation. The research analyzes
business unit in plantation that have implemented sustainable development in Indonesia and how they
integrate, build, and reconfigure internal and external competences to address rapidly changing
environments as requirement of sustainable development in their organization. Dynamic capabilities are
intended to align the internal resource configuration with the firm's environment where sustainable
development give a challenge to palm oil industries to change operation practice as required of
sustainability development. This paper also includes a conceptual model which operationalizes
sustainable development into innovation and explains their effect on firm performance. Results from this
research are expected to provide impact and strategic management of sustainable development which
mediated by dynamic capability in the palm oil’s business.
Keywords: Sustainable Development, Dynamic Capability, Strategic Management
Abstrak: Saat ini, dengan masyarakat tanpa batas dan negara, industri minyak sawit yang ditandai dengan
peningkatan integrasi global, inovasi, persyaratan pembangunan berkelanjutan, dan teknologi baru ke
dalam digitalisasi yang tantangan hadir untuk perusahaan-perusahaan untuk bertahan dari persaingan
selama masa turbulensi. Penelitian ini dilakukan dengan menganalisis implikasi dari penerapan
pembangunan berkelanjutan untuk mendukung unit bisnis minyak sawit untuk tetap kompetitif dengan
mengintegrasikan faktor ekonomi, lingkungan, sosial, dan operasional kinerja yang inovasi perubahan
organisasi. Penelitian ini menganalisis unit usaha di perkebunan yang telah menerapkan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia dan bagaimana mereka mengintegrasikan, membangun, dan mengkonfigurasi
ulang kompetensi internal dan eksternal untuk mengatasi dengan cepat perubahan lingkungan sebagai
syarat pembangunan berkelanjutan dalam organisasi mereka. kemampuan dinamis dimaksudkan untuk
menyelaraskan konfigurasi sumber daya internal lingkungan perusahaan di mana pembangunan
berkelanjutan memberikan tantangan untuk kelapa industri minyak untuk mengubah praktek operasi yang
diperlukan pembangunan keberlanjutan. Makalah ini juga mencakup model konseptual yang
mengoperasionalisasi pembangunan berkelanjutan ke dalam inovasi dan menjelaskan efeknya pada kinerja
perusahaan. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak dan manajemen strategis dari
pembangunan berkelanjutan yang dimediasi oleh kemampuan dinamis dalam bisnis kelapa sawit.
Kata kunci: Pembangunan Berkelanjutan, Kemampuan Dinamis, Manajemen Strategis
PENDAHULUAN
Industri Kelapa Sawit di Indonesia memegang peranan penting bagi perekonomian di Indonesia
selain sebagai sumber penghasil devisa melalui ekspor juga menjadi sumber penghasilan bagi berjuta
penduduk Indonesia baik yang bekerja di Industri Kelapa Sawit maupun Industri turunannya.
Walaupun demikian Industri Kelapa Sawit memiliki tantangan tersendiri baik antara lain pengaruh
harga minyak kelapa sawit sebagai basis komoditi yang harganya sangat dipengaruh oleh komoditi
23
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
lainnya yaitu minyak mentah dan minyak sayuran lainnya seperti minyak kacang kedelai dan minyak
kanola. Ketika kenaikan harga minyak mentah yang sangat tinggi pada tahun 2011 – 2014,
mendorong kenaikan harga minyak kelapa sawit.
Prospek dan keuntungan yang sangat tinggi dari industri kelapa sawit memicu investor baru
maupun pemain lama untuk meningkatkan lahan kelapa sawit yang meningkat tajam dari tahun ke
tahun. Hal ini menyebabkan peningkatan deforestrasi hutan yang digunakan menjadi lahan baru
pengembangan kelapa sawit. Issue mengenai deforestrasi hutan dan kerusakan lingkungan
mengakibatkan tanaman kelapa sawit diprotes oleh berbagai lembaga swadaya dan pemerhati
lingkungan yang mendorong boikot untuk produk kelapa sawit jika tidak memperhatikan
pembangunan berkelanjutan. Pembangunan Berkelanjutan adalah proses untuk mencapai tujuan
pembangunan usaha di sisi lain mempertahankan kemampuan sistem alam untuk terus menyediakan
sumber daya alam dan jasa ekosistem di mana ekonomi dan masyarakat. Konsep pembangunan
berkelanjutan didasarkan ide-ide sebelumnya tentang pengelolaan hutan lestari dan masalah
lingkungan. Kemudian konsep ini dikembangkan untuk lebih fokus pada pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan. Dengan pembangunan berkelanjutan diharapkan
dapat mengatasi issue permasalahan lingkungan yang berdampak di industri kelapa sawit saat ini.
Di Industri kelapa sawit untuk mengantiisipasi kebutuhan pembangunan berkelanjutan didirikan
organisasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun 2004 yang bertujuan untuk
mengubah industri kelapa sawit bekerjasama dengan rantai pasokan global, untuk meletakkannya di
jalur yang berkelanjutan. Selain itu ada ISCC merupakan salah satu sistem sertifikasi terkemuka
untuk emisi keberlanjutan dan gas rumah kaca. Komisi Eropa mengakui ISCC sebagai salah satu
skema sertifikasi pertama untuk menunjukkan kepatuhan dengan persyaratan Uni Eropa Renewable
Energy Directive (RED) untuk bahan bakar biodiesel. Sertifikasi ISCC dapat diterapkan untuk
memenuhi persyaratan hukum di pasar bioenergi serta untuk menunjukkan keberlanjutan dan
ketertelusuran bahan baku di industri makanan, pakan dan bahan kimia (ISCC, 2011). Sedangkan di
Indonesia sendiri pada tahun pada tahun 2009, berdiri Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) oleh
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementrian Pertanian untuk memastikan bahwa semua pihak
pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang diizinkan (ISPO, 2013).
Pembangunan berkelanjutan yang diharuskan dijalankan di Industri Kelapa Sawit memberikan
tekanan sosial baik ke perusahaan dan manajemen puncaknya dalam memenuhi persyaratanpersyaratan pencapaian kesesuaian dengan persyaratan-persyaratan sertifikasi RSPO, ISCC, dan
ISPO sesuai dengan legitimasi yang mempengaruhi perusahaan dan memaksa mereka untuk
mengadopsi praktek-praktek managerial tertentu yang mengikuti kaidah pembangunan
berkelanjutan. Banyak perusahaan Consumer Good seperti Nestle, Unilevel, dan lain-lain akhirnya
menetapkan kebijaksanaan untuk hanya membeli kelapa sawit dari perusahaan yang berkomitmen
untuk pembangunan berkelanjutan. Tekanan dari konsumen dan boikot dari lembaga swadaya
masyarakat seperti Green Peace mengakibatkan perusahaan kelapa sawit besar di Indonesia seperti
GAR (Golden Agri Resources) (Isdaryadi, 2015) dan Wilmar mengambil strategi pengembangan
pembangunan berkelanjutan. Perusahaan-perusahaan tersebut mengambil strategi tersebut ke dalam
kebijaksanaan perusahaan seperti “Zero Expansion” atau “Zero Deforestation”. Hal ini menyebabkan
pertumbuhan dari ekspansi lahan menjadi terhambat, disisi lain mendapatkan keuntungan penerimaan
produksi di pasar yang membutuhkan label sertifikasi “Sustainable” yang dapat dihargai premium
atau lebih mahal. Pada akhirnya beban dari biaya pembangunan berkelanjutan dibebankan ke
konsumen dalam bentuk produk jadi. Dengan demikian di Industri Kelapa Sawit terjadi differensiasi
dimana sebagian perusahaan melakukan strategi pengembangan pembangunan berkelanjutan,
sedangkan sebagian lagi mengambil strategi berbeda. Keuntungan perusahaan-perusahaan kelapa
sawit yang mengambil strategi “Sustainability Development” adalah berkurangnya boikot-boikot dari
24
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
lembaga lingkungan maupun dukungan pembelian produknya oleh perusahaan FMCG (Food
Manufacturing Consumer Good) yang ikut berkomitmen untuk “Sustainability Development”.
Kerugiannya adalah perusahaan-perusahaan tersebut terhambat untuk ekspansi lahannya maupun
biaya yang sangat tinggi untuk memenuhi standar dari “Sustainability” dalam hal ini biaya
implementasi dan sertifikasi RSPO dan ISCC. Sehingga strategi “Low Cost” beralih ke startegi
“Differentiation”. Sedangkan perusahaan-perusahaan yang kurang atau tidak berkomitmen untuk
pengembangan “Sustainability Development” tetap menjalankan strategi pengembangan kelapa sawit
berdasarkan batasan dari aturan peraturan pemerintah yang lebih ringan, tetap melakukan deforestrasi
untuk peluasan lahan, dengan melakukan penjualan produknya dijual lebih murah ke negara-negara
yang tidak membatasi karena faktor “Sustainable Development” seperti China dan India.
Pembangunan Berkelanjutan aplikasinya di Industri Kelapa Sawit
Pembangunan berkelanjutan adalah proses untuk mencapai tujuan pembangunan usaha di sisi
lain mempertahankan kemampuan sistem alam untuk terus menyediakan sumber daya alam dan jasa
ekosistem di mana ekonomi dan masyarakat. Konsep pembangunan berkelanjutan didasarkan ide-ide
sebelumnya tentang pengelolaan hutan lestari dan masalah lingkungan. Kemudian konsep ini
dikembangkan untuk lebih fokus pada pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan
lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan mendapat pengakuan internasional besar pertama
pada tahun 1972 pada Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diadakan di
Stockholm. Istilah ini tidak disebut secara eksplisit, namun masyarakat internasional setuju untuk
gagasan mengenai pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development). Kemudian konsep
pembangunan berkelanjutan sendiri terbentuk dari Konferensi PBB tentang Lingkungan dan
Pembangunan yang diselenggarakan di Rio de Janeiro pada tahun 1992.
KTT ini menandai upaya internasional pertama untuk menyusun rencana aksi dan strategi untuk
bergerak menuju pembangunan berkelanjutan. Acara ini dihadiri oleh lebih dari 100 Kepala Negara
dan perwakilan dari 178 pemerintah nasional. KTT juga dihadiri oleh perwakilan dari berbagai
organisasi lainnya yang mewakili masyarakat sipil. Tujuan dari KTT ini adalah mencari jalan
penyelesaian atas permasalahan kerusakan lingkungan yang telah dilaporkan oleh Komisi Brundtland
di 1987. Dimana kekhawatiran atas dampak kerusakan lingkungan oleh manusia yang tidak terkendali
dimana pada saat itu banyak pemerhati lingkungan menjadikan topik hangat. Di Komisi Brundtland
mengeluarkan istilah pembangunan berkelanjutan dengan definisi adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk
memenuhi kebutuhan mereka sendiri (Brundtland, 1987).
Teori manajemen mengenai pembangunan berkelanjutan (Herman E Daly, 1990) dikemukakan
bahwa pembangunan berkelanjutan harus disesuaikan dengan kebutuhan dan efisiensi, dimana
eksploitasi alam tidak boleh melebihi batas, pengembangan teknologi untuk pembangunan
berkelanjutan harus lebik meningkatkan secara efisien daripada peningkatan secara maksimal
berdasarkan kapasitas, sumber daya yang tergantikan dapat di manfaatkan dalam batas pencapaian
keuntungan yang maksimal yang berkelanjutan sehingga jangan sampai menyebabkan kepunahan
dan sumber daya alam yang tak tergantikan harus dimanfaatkan ditingkat produksi substitusi dari
sumber daya yang tergantikan.
Dalam visi dan misinya RSPO (di situs web RSPO), RSPO akan mengubah industri kelapa sawit
dengan pembangunan yang berkelanjutan dengan cara:
1. Memajukan produksi, pengadaan, keuangan dan penggunaan produk minyak sawit
lestari.
25
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
2. Mengembangkan, melaksanakan, memverifikasi, menjamin dan secara berkala meninjau
standar global yang kredibel untuk seluruh rantai pasokan minyak sawit berkelanjutan.
3. Memantau dan mengevaluasi dampak ekonomi, lingkungan dan sosial dari penyerapan
minyak sawit berkelanjutan di pasar.
4. Terlibat dan berkomitmen semua pemangku kepentingan di seluruh rantai pasokan,
termasuk pemerintah dan konsumen.
Pembangunan berkelanjutan yang diharuskan dijalankan di Industri Kelapa Sawit memberikan
tekanan sosial baik ke perusahaan dan manajemen puncaknya dalam memenuhi persyaratanpersyaratan pencapaian kesesuaian dengan persyaratan-persyaratan sertifikasi RSPO, ISCC, dan
ISPO sesuai dengan legitimasi yang mempengaruhi perusahaan dan memaksa mereka untuk
mengadopsi praktek-praktek managerial tertentu yang mengikuti kaidah pembangunan
berkelanjutan. Prinsip-prinsip atau kaidah dari perusahaan kelapa sawit untuk memperoleh sertifikasi
RSPO antara lain (RSPO, 2011):
1. Komitmen untuk transparansi
2. Pemenuhan kewajiban atas hukum dan peraturan.
3. Komitemen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang.
4. Penggunaan praktik terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik.
5. Bertanggung jawab terhadap lingkungan dan pelestarian sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati.
6. Bertanggung jawab dengan pertimbangan terhadap karyawan, individu dan masyarakat yang
terkena dampak oleh perkebunan dan pabrik.
7. Peluasan lahan kelapa sawit yang bertanggung jawab
8. Komitmen terhadap perbaikan terus menerus di kegiatan bidang utama.
Untuk itu perusahaan kelapa sawit yang sejalan dengan strategi pembangunan berkelanjutan harus
menjalankan prinsip-prinsip tersebut di keseluruhan unit usaha dan mempertahankan legitimasinya
walaupun secara ekonomis belum tentu efisien dan efektif. Dimana hal-hal yang menjadi perhatian
pembanguan berkelanjutan di industri kelapa sawit antara lain:
1. Forest/HCV Protection
Proteksi Nilai konservasi tinggi hutan (High Conservation Value Forest Protection) adalah
prinsip pengelolaan hutan yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Lembaga Forest
Stewardship. Dimana dilakukan proteksi terhadap hutan-hutan yang mempunyai nilai konservasi
tinggi, dengan memiliki satu atau lebih ciri-ciri
ο‚· Kawasan hutan yang secara global, regional atau nasional yang signifikan memiliki
konsentrasi nilai keanekaragaman hayati, endemisme, spesies yang terancam punah, dan
refugia.
ο‚· Kawasan hutan yang ditinggali oleh hewan yang berada dalam tingkat terancam atau hampir
punah ekosistem.
ο‚· Kawasan hutan yang memberikan perlindungan dalam situasi kritis seperti pengendali banjir
dan pengendalian erosi.
ο‚· Kawasan hutan yang menjadi sumber memenuhi kebutuhan dasar masyarakat lokal untuk
mata pencaharian atau merupakan kawasan identitas budaya, ekologi, ekonomi dan agama.
2. HCS Protection (High Carbon Stock Protection)
Daerah HCS adalah hutan yang menyimpan banyak karbon yang apabila dikonversi menjadi
perkebunan akan menimbulkan dampak kerusakan lingkungan dengan adanya pelepasan karbon
26
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
(CO2). Untuk mendeteksi HCS biasanya pendekatan menggunakan kombinasi gambar satelit
berkualitas tinggi dari konsesi hutan dan melakukan pemetaan dari kawasan hutan untuk dianalisis
efek emisi karbonnya. Hanya daerah yang mengandung karbon rendah, seperti semak dan padang
rumput bisa dipertimbangkan untuk konversi menjadi perkebunan.
3. Peat Protection (Proteksi Areal Gambut)
Areal Gambut adalah areal rendahan dengan jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisasisa tumbuhan yang setengah membusuk dan memiliki kandungan organiknya tinggi. Tanah ini
umumnya memiliki Carbon Stock yang sangat tinggi. Pembukaan lahan di areal gambut ditolak oleh
lembaga-lembagai lingkungan sedangkan oleh pemerintah dengan PERATURAN PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN
PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT, pemerintah mengatur mengenai upaya sistematis dan
terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi ekosistem gambut dan mencegah terjadinya
kerusakan ekosistem gambut yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum.
4. Human and Community Right Protection
Hak asasi manusia dan komunitas adalah dimana perusahaan-perusahaan kelapa sawit
diharuskan untuk menghormati hak asasi manusia, melindungi komunitas masyarakat lokat,
pemberian ganti rugi, dan memberikan pekerjaan kepada masyarakat sekitar
5. Rantai Pasok yang Berkelanjutan
6. Kesehatan karyawan, keselamatan dan kesejahteraan
7. Hubungan buruh dan hak asasi manusia
8. Efek gas rumah kaca. Hal ini membutuhkan dengan sertifikasi ISCC untuk mencapai standar
tertentu dari Emisi Gas Rumah Kaca
9. Hubungan dengan petani plasma
10. CSR
11. Kontaminasi dan polusi dari penggunaan pupuk dan pestisida.
12. Penggunaan air dan pengelolaan air limbah
13. Api dan Asap
14. Sertifikasi RSPO, ISCC, atau ISPO
Inovasi yang Berorientasi Kebelanjutan
Gary Hamel dalam bukunya “The Future of Management” (Hamel, 2007) berpendapat bahwa
organisasi perlu inovasi manajemen sekarang lebih dari sebelumnya dimana manajemen pada era
sebelumnya lebih berpusat pada kontrol dan efisiensi tidak lagi mencukupi di dunia di mana
keberhasilan adaptasi dan kreativitas untuk menghadapi persaingan bisnis Untuk berkembang di masa
depan, perusahaan harus menemukan kembali manajemen yang senantiasa berinovasi. Walaupun di
keadaan ekonomi dan lingkungan yang “turbulence”, innovasi menjadi sangat penting bagi
perusahaan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang naik turun dan mencapai keunggulan bersaing
yang berkelanjutan (Zhou and Wu, 2010). Werbach dalam bukunya “Strategy for Sustainability”
menjelaskan perusahaan disaat ini mencari pola pengembangan berkelanjutan yang baru yang
menghindari besarnya biaya lingkungan dan merugikan bagi produk, proses dan jasa perusahaan.
Menurutnya mengembangkan teknologi baru yang memungkinkan komunitas untuk lebih sehat dan
berkelanjutan tanpa harus merusak lingkungan alami menjadi tujuan utama manajemen inovasi
(Werbach, 2009) sehingga Sustainable Innovation dapat dijadikan langkah perusahaan untuk
mencapai Keunggulan Bersaing menjadi objek yang akan diteliti.
27
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Perusahaan sawit di masa yang akan datang tentunya akan mendapatkan persaingan baik didalam
industrinya maupun dengan industri lainnya yang berkaitan. Teori-teori manajemen di masa depan
yang diimplementasikan adalah teori-teori manajemen yang meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perusahaan untuk bersaing dan mencapai “Sustainable Competitive Advantage” Faktor “Dynamic
Capabilities” dari perusahaan akan memegang peranan yang sangat penting menentukan keunggulan
bersaing. Besar kecilnya “Dynamic Capabilties” dari perusahaan mempengaruhi keberhasilan
“Sustainable Innovation” yang dikembangkan dari inovasi yang ada. Konsep dari “Dynamic
Capabilities Approach” dimana dengannya perusahaan memiliki kemampuan untuk mengintegrasi,
membangun, merekonfigurasi kompetensi internal dan eksternal untuk menghadapi cepatnya
perubahan lingkungan (Teece et al., 1990) dibangun dari konsep Resouces Based Theory (RBV).
Resources Based View secara essensial adalah teori yang statis, dimana tidak menjelaskan evolusi
dari perkembangan dari waktu ke waktu dari sumber daya dan kapabilitas yang membentuk
keunggulan bersaing (Priem and Butler, 2001). Sehingga jangan lihat dari sudut pandang sebuah
perusahaan sebagai sebuah bundle dari sumber daya tetapi dicatat sebagai suatu mekanisme dimana
perusahaan dapat mempelajari dan mengakumulasi ketrampilan dan kapabilitas baru yang
mendorong sampai batas ratio dan arah dari proses (Teece et al., 1990).
Perusahaan kelapa sawit yang memperoleh keunggulan bersaing yang disebabkan faktor alam
atau sumber daya, dimasa depan akan berubah. Dimana faktor kapabilitas mengimplementasikan
inovasi yang berkelanjutan atau “Sustainability Innovation” yang memegang peranan penting bagi
perusahaan. Di industri kelapa sawit, perusahaan-perusahaan yang mengarahkan strateginya ke
pembangunan berkelanjutan, untuk bisa berkembang harus mengembangkan kemampuan dinamis
yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Sebagai contoh pola perawatan dan pemeliharaan
yang tidak merusak lingkungan dengan menghindari pertisida yang membahayakan ekosistem.
Pengembangan-pengembangan berbentuk inovasi yang mendukung inovasi yang berkelanjutan
(Sustainable Innovation), keberhasilannya dipengaruhi kemampuan dinamis yang dimiliki oleh
perusahaan. Inovasi masa depan yang berkelanjutan atau “Sustainable Innovation" menjadi sangat
penting bagi industri kelapa sawit. Inovasi berkelanjutan tidak hanya merefleksikan untuk
kepentingan ekonomi, tetapi kepentingan sosial dan lingkungan harus masuk dalam bagian dari
inovasi yaitu sisi “Dynamic Capability” diindikasikan sebagai sumber pengetahuan untuk mencapai
“Sustainability” (Cabral, 2010). Dalam hal ini inovasi berkelanjutan, perusahaan akan melakukan
inovasi yang mendukung “Sustainable Development” atau inovasi-inovasi yang dikembangkan
adalah berdasarkan keinginan-keinginan dari konsumen.
Pengembangan inovasi berkelanjutan dapat bersifat “Top Down Approach” maupun “Bottom Up
Approach”. Dimana inisiatif dapat berasal dari manajemen puncak yang membentuk tim inovasi
berdasarkan proyek dari pengetahuan baik internal maupun eksternal (konsultan). Contoh proyek Top
Down Approach dari inovasi berkelanjutan perusahaan adalah pembangunan pabrik Biogas untuk
menyerap emisi karbon yang dikeluarkan dari produksi dan limbah pabrik kelapa sawit. Pabrik
Biogas menghasilkan energi listrik yang dapat digunakan untuk kebutuhan internal pabrik dan kebun
atau dijual ke pihak eksternal (PLN). Contoh lain seperti pengembangan mekanisasi untuk prosesproses pekerjaan di kebun seperti proses perawatan, pemupukan, dan panen yang tidak merusak
lingkungan. Pengembangan inovasi berkelanjutan secara “Bottom Up Approach” dapat didorong dari
inovasi dari para pekerja di kebun dan pabrik (asisten sampai manager) mengeluarkan ide-ide inovasi
perbaikan yang berbasis inovasi berkelanjutan yang mendukung pembangunan yang berkelanjutan
dengan memperhatikan persyaratan “Sustainable Development”. Misalnya ide inovasi dari kebun
dalam hal penggunaan jenjang kosong sisa limbah kelapa sawit sebagai alternatif pupuk organik
untuk pemupukan kelapa sawit. Kemampuan mengembangkan, menginovasi, dan
mengimplementasikan di bisnis unitnya untuk inovasi berkelanjutan menjadi kunci sukses
28
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
perusahaan yang memilliki kemampuan dinamis dalam hal ini menghadapi persaingan baik di dalam
industri kelapa sawit maupun dengan industri minyak nabati lainnya yang menjadikan keunggulan
kompetitif bagi perusahaan yang menjalankan “Sustainable Innovation”.
Mediasi kapabilitas Dinamis atas Pembangunan Berkelanjutan untuk mendukung
kinerja perusahaan
Kapabilitas Dinamis memiliki dimensi-dimensi penginderaan kebutuhan untuk berubah,
pembelajaran bagaimana menanggapi peluang dan ancaman, dan pencapaian rekonfigurasi.
Hubungan pembanguna berkelanjutan sangat erat dengan kinerja perusahaan. Dimana perusahaan
yang berorientasi atas inovasi yang berkelanjutan perlu memiliki kapabilitas penginderaan meliputi
kemampuan perusahaan untuk mengenali pergeseran dalam lingkungan yang dibutuhkan untuk
pembangunan berkelanjutan bisa berpengaruh pada bisnis perusahaan berdasarkan posisi kapabilitas
saat ini. Sehingga perusahaan dapat memiliki penginderaan atas peluang pengembangan
pembangunan berkelanjutan yang diterapkan ke dalam proses kerjanya. Serta pengenalan peluang
dan tantangan dan pemantauan peran kapabiltas yang ada.
Dimensi yang kedua, yaitu pembelajaran dimana unit bisnis yang menerapkan pembangunan
berkelanjutan memerlukan pembelajaran baik mengenai prinsip-prinsip dari pembangunan
berkelanjutan atau prosedur-prosedur persyaratan sertifikasi RSPO ataupun ISCC. Pembelajaran
dalam konteks ini berhubungan dengan penciptaan pengetahuan, akuisisi pengetahuan, dan berbagi
pengetahuan sehingga perusahaan kelapa sawit yang menerapkan pembangunan berkelanjutan dapat
mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya kedalam inovasi organisasi yang memberikan
manfaat bagi perusahaan. Unit Bisnis dapat melakukan pengembangan pengetahuan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang pembangunan berkelanjutan dan lingkungan dari dalam dengan
berinovasi dalam unit bisnis sendiri atau perusahaan dengan merekrut dari luar. Dalam hal ini unit
bisnis sumber akuisisi melakukan di luar sumber daya yang ada di unit bisnis untuk mendukung
keberhasilan pelaksanaan persyaratan sertifikasi. Perusahaan kelapa sawit dapat membentuk divisi
keberlanjutan atau menemukan konsultan yang bertugas untuk mendukung dan memantau
pelaksanaan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Hasil yang diharapkan dari masing-masing
unit bisnis baik di kebun atau pabrik dapat memenuhi persyaratan yang sama. Divisi keberlanjutan
juga bertanggung jawab untuk media penghubung dengan pemegang saham lain seperti pemerintah,
organisasi non-pemerintah, lembaga sertifikasi, petani, organisasi lingkungan dan pemerintah di
samping mengembangkan implementasi inovasi berkelanjutan di seluruh unit bisnis dari perusahaan
kelapa sawit. Perusahaan akan menghabiskan biaya yang cukup untuk membiayai biaya pelaksanaan
sertifikasi dan juga memperhatikan kesiapan sumber daya manusia untuk mendukung pelaksanaan
proses baru yang berkelanjutan berorientasi. Dengan cara ini didalam perusahaan dapat dilakukan
prinsip sesuai kapabilitas dinamis dengan mengabsorsi pengetahuan dari luar baik melalui rekrutmen
atau konsultan, serta pengembangan penciptan pengetahuan dari dalam yang didasarkan oleh praktispraktis perkebunan yang dikombinasikan dengan persyaratan pembangunan berkelanjutan yang
disusun menjadi standar perusahaan. Standar perusahaann tersebut yang menjadi pegangan untuk
dimplementasikan atau dibagikan ke seluruh bisnis unit usaha yang ada (bisnis unit perkebunan yang
lain).
Dimensi yang ketiga adalah rekonfigurasi dimana perusahaan yang berorientasi inovasi yang
berkelanjutan akan merekonfigurasi bisnis unit di perkebunan menjadi lebih efisien, memanfaatkna
teknologi yang ada menuju mekanisasi dan digitalisasi dengan pemanfaatan teknologi. Proses
rekonfigurasi mengembangan inovasi berkelanjutan yang ada kedalam proses kerja agribisnis yang
29
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
memenuhi persyaratan pembangunan berkelanjutan. Untuk itu organisai perlu memiliki gambaran
yang berguna tentang apa yang diperlukan organisasi akan menghadapi tantangan pembangunan
keberlanjutan dan membantu mereka yang bertanggung jawab untuk memberlakukan praktik
keberlanjutan dalam organisasi. Proses dilakukan dengan mengidentifikasi setiap tahap
pembangunan keberlanjutan ke dalam organisai. Mampu mengidentifikasi atau mengkategorikan
tingkat keberlanjutan adalah latihan yang berguna untuk mengevaluasi kemajuan menuju
kepemimpinan dalam keberlanjutan. Selain itu, berbagai kompetensi berkaitan dengan setiap tahap
dapat berguna untuk mengidentifikasi kekurangan dalam sebuah organisasi. Mengatasi kelangkaan
di kompetensi yang diperlukan untuk pengembangan atau membantu organisasi untuk mencapai
kemajuan lebih lanjut dan memiliki dampak yang lebih tinggi dengan inisiatif keberlanjutan mereka.
Rekonfigurasi adalah rantai terakhir dari perspektif prosedural pada kapabilitas Rekonfigurasi
berhubungan dengan kreasi internal dari kapabilitas baru dan integrasi dari kapabilitas yang baru
diciptakan atau baru diperoleh.
Perusahaan kelapa sawit perlu dapat terus meningkatkan praktek standar mereka, terutama
dalam praktek agronomi menggabungkan teknologi baru. Inovasi yang berkelanjutan akan
berdampak kompetisi dan memberikan dampak terhadap unit bisnis kelapa sawit untuk tetap
kompetitif dengan mengintegrasikan faktor kinerja ekonomi, lingkungan, sosial, dan operasional
yang memberikan keunggulan kompetitif dengan menggunakan teknologi ramah lingkungan
Sementara disaat keuntungan merosot akibat penurunan harga CPO, pengembangan inovasi yang
berkelanjutan yang dimediasi oleh kapabilitas dinamis diharapkan dapat meningkatkan efisiensi
biaya produksi misalnya dengan inovasi dan proses bisnis transformasi ke dalam mekanisasi
produksi, pengurangan biaya administrasi oleh proses otomatisasi menggunakan teknologi informasi,
pengembangan inovasi, meningkatkan benih berkualitas untuk hasil produksi ganda menggunakan
Bioteknologi di Kultur Jaringan atau kloning sehingga bisa memenangkan persaingan dengan
memiliki biaya produksi terendah dan produksi hasil tertinggi dibandingkan persaing.
Pengembangan model bisnis baru ini sangat sulit bagi industri yang sudah berjalan lama di mana
dukungan eksekutif untuk pengenalan ide-ide baru atau perubahan sulit dilakukan Menerapkan
perubahan sering memerlukan waktu yang panjang dan perlu komitmen semua manajemen dan
organisasi. Untuk sukses dalam desain, rekonfigurasi dan pengembangan kebutuhan model bisnis
baru yang mendukung kapabilitas dinamis diperlukan:
1. “Keselarasan" (Alignment) Pencapaian harmoni dan menyatukan bagian-bagian yang berbeda
dari organisasi ke dalam satu unit sehingga organisasi dapat bekerja menuju visi perusahaan
dan memahami apa yang konsumen inginkan dan untuk mencari tahu cara yang berbeda untuk
memenuhi kebutuhan orang-orang di seluruh rantai pasokan. Dalam hal ini industri kelapa
sawit harus mampu melakukan penyelarasan antara industri hulu (Estate dan Mill Palm Oil
yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) diolah menjadi CPO), tengah industri (dalam
bentuk pengolahan kilang minyak sawit mentah menjadi RBDO, Olein, dan PFAD) dan
industri hilir (seperti RBDO pengolahan menjadi minyak goreng, kernel industri pengolahan
minyak oleo kimia menjadi produk kosmetik untuk konsumen) dan industri biodiesel yang
mengubah CPO menjadi biodiesel dalam model bisnis satu keberlanjutan.
2. “Flekbilitas” (Agility) kemampuan untuk merespon dengan cepat untuk risiko eksternal dan
tantangan dalam model bisnis dan proses. Dalam hal ini industri kelapa sawit harus memiliki
kemampuan dalam menanggapi proses bisnis perubahan yang beradaptasi perubahan
keberlanjutan.
3. “Dukungan Karyawan” (Employee Buy in) kemampuan untuk mengkomunikasikan strategi
kepada karyawan untuk memproses perubahan dalam Model Bisnis atau Business Process
30
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
yang beradaptasi perubahan keberlanjutan. Sehingga mereka memahami strategi perusahaan
dan mendukung kontribusi dalam pelaksanaan perubahan.
4. "Tanggung jawab yang jelas” (Clear Accountability) memiliki akuntabilitas yang jelas untuk
setiap proses bisnis di setiap level organisasi, dalam setiap individu untuk mencapai tujuan
dan sasaran dalam model bisnis baru atau proses.
5. “Sumber Daya Pengetahuan” (Knowledge Capital) untuk membantu proses belajar dan
mendorong berbagi pengetahuan dalam pekerjaan sehari-hari masalah yang berkelanjutan,
teknologi, dan kapasitas “Clear Akuntabilitas" memiliki akuntabilitas yang jelas untuk setiap
proses bisnis di setiap level organisasi, dalam setiap individu untuk mencapai tujuan dan
sasaran dalam model bisnis baru atau proses.
Sehingga hubungan pembangunan berkelanjutan yang dimediasi oleh kapabilitas dinamis dapat
dijadikan bahan penelitian yang mendukung apakan dapat meningkatkan kinerja perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA
Brundtland, G.H. 1987.Our Common Future. World Commission on Environment and Development:
Brussels.
Cabral, J.E. de O. 2010. Firms Dynamic Capabilities, Innovative Tyoes and Sustainability: A
Theoritical Framework, XVI Internationa Conference on Industrial Engineering and Operations
Management.
RSPO.ORG. 2015
Teece, D. J., Pisano, G & Shuen. 1990. A Firm capabilities, resources, and the concept of strategy.
University of California, mimeo.
Wisnu Isdaryadi, Felix. 2015. Implementing of business ethic in the palm oil industry Wright, P. M.,
and Snell, S. A. 2009. 'Human resources, organizational resources, and capabilities' in Storey,
J. (ed.), The Routledge companion to strategic human resource management, Routledge,
London, pp. 345-356.
Zhou, K. Z. and Wu, F. 2010. Technological capability, strategic flexibility, and product innovation.
Strategic Management Journal. 31:547-562.
31
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
KAJIAN POTENSI PARIWISATA TERHADAP RENCANA TATA RUANG
WILAYAH (RT/RW) KOTA DEPOK
Siti Marti’ah1 dan Berta Dian Theodora2
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
E-mail: [email protected]
Abstract: The Planning of the general plan of management of the Territory and the city of Depok changed
since the change of division of district in 2007. Changes in Spatial last occurred in 2015, Depok Regional
Regulation number 1 of 2015 on Spatial Planning Depok City Year 2012- 2032. Based Depok Regulation
No. 1 of 2015, Depok has three strategic areas: 1) strategic region from the point of economic interests,
2) strategic areas of cultural and social interests corner, 3) strategic areas of the interest of the function
and capacity for environment.The main objective of research to determine the potential of tourism in the
city of Depok on spatial plan Depok city. In the previous Spatial Plan, the Government of the region have
not planned specifically the area that will be used as a tourist destination in the city of Depok. This is due
to the unavailability of capacity that connects all Depok. Tourism became a part of the strategic area of
economic interest angle. Specifically Depok will have a tourist area that is developed specifically to
promote the tourism industry. The area is a tourist destination among the cultural heritage department
Depok lama, examples of nature that is the urban forest Universitas of Indonesia and Margonda area for
a culinary feast, Sawangan to the sport of golf and a playground for children in Depok fantasy at Kota
Kembang area. Expected by this Regulation, Depok city tourism will flourish and sustainable.
Keywords: Tourism, Spatial Planning, Depok
Abstrak: Rencana tata ruang wilayah kota Depok mengalami perubahan sejak terjadinya pemekaran
kecamatan pada tahun 2007. Perubahan rencata tata ruang wilayah terakhir terjadi pada tahun 2015 yaitu
dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (PERDA) Kota Depok nomor 1 tahun 2015 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2012-2032. Berdasarkan perda Kota Depok nomor 1 tahun 2015,
Kota Depok memiliki 3 kawasan strategis yaitu 1) kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi, 2)
kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya dan 3) kawasan strategis dari sudut kepentingan
fungsi dan daya dukung lingkungan. Tujuan utama penelitian untuk mengetahui potensi pariwisata yang
ada dikota Depok terhadap rencana tata ruang wilayah kota Depok. Pada RTRW sebelumnya, pemerintah
daerah belum merencanakan secara khusus kawasan yang akan dijadikan tujuan wisata dikota Depok. Hal
ini dikarenakan belum tersedianya daya dukung yang menghubungkan seluruh wilayah Depok. Pariwisata
menjadi bagian dari kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi. Secara spesifik, Depok akan
memiliki kawasan pariwisata yang dikembangkan secara khusus untuk memajukan industri pariwisata.
Kawasan yang menjadi tujuan wisata budaya diantaranya kawasan heritage Depok lama, contoh wisata
alam yaitu hutan kota Universitas Indonesia dan daerah margonda raya untuk kuliner, sawangan untuk
olahraga golf dan arena bermain anak Depok fantasi dikota kembang. Diharapkan dengan adanya
Peraturan ini, pariwisata kota Depok akan berkembang dan berkelanjutan.
Kata kunci: Pariwisata, Rencana Tata Ruang Wilayah, Depok
PENDAHULUAN
Pemerintah daerah kota Depok, Jawa Barat dalam meningkatkan sektor pariwisata, khususnya
rekreasi air melihat setu sebagai potensi tujuan wisata, terdapat 26 setu yang memiliki potensi untuk
menjadi objek ekowisata (Depok.go.id.2017). Salah satu setu yaitu Setu Rawa Besar atau dikenal
Setu Lio bertempat di kecamatan Pancoran Mas belum terlalu optimal difungsikan sebagai objek
wisata rekreasi air seperti yang dikatakan oleh Camat Pancoran mas Utang Wardaya “Saat ini potensi
wisata setu yang berada di Setu Lio sudah terlihat. Tapi fungsinya belum terlalu optimal. Mengingat
32
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
sarana dan prasarana belum memadai” (Depok.go.id. 2017). Selain Camat pancoran mas, Kamar
dagang dan Indutri (KADIN) bersama Dinas komunikasi dan informatika (Diskominfo) kota Depok
turut berupaya dalam pemerdayaan setu menjadi kawasan wisata khas Depok. Pihak DPRD kota
Depok tepatnya komisi B, T Farida Rachmayanti mengatakan bahwa untuk mengatur dan
meningkatkan potensi alam di kota Depok butuh sebuah regulasi khusus, jika pengelolaan pariwisata
di Depok semakin maju dan baik maka akan mendatangkan banyak pendapatan asli daerah (PAD)
untuk kota Depok (Depok.go.id.2017).
Gambaran umum Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota Depok pada tahun 2000-2010
menyebutkan bahwa kawasan pariwisata di kota Depok belum berkembang (Gambaran umum
RTRW 2000-2010. Hal 4). Pengembangan kawasan wisata yang direncakan antara lain lokasi Situ
(Setu) Rawa Besar dan Sempadan di sepanjang sungai ciliwung. Namun pada tahun 2009 terjadi
perubahan pada RTRW tersebut, melalui Perda Kota Depok nomor 2 tahun 2009 walikota Depok
melakukan perubahan atas RTRW tahun 2000-2010.
Rencana tata ruang wilayah kota Depok mengalami perubahan sejak terjadinya pemekaran
kecamatan pada tahun 2007. Perubahan rencata tata ruang wilayah terakhir terjadi pada tahun 2015
yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok nomor 1 tahun 2015 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok Tahun 2012-2032. Berdasarakan Perda Kota Depok nomor
1 tahun 2015, Kota Depok memiliki 3 kawasan strategis yaitu 1) kawasan strategis dari sudut
kepentingan ekonomi, 2) kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya dan 3) kawasan
strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan.
Perubahan RTRW kota Depok akan berdampak terhadap penataan kawasan wisata oleh
karenanya tujuan utama penelitian guna mengetahui potensi pariwisata yang ada dikota Depok dalam
rencana tata ruang wilayah kota Depok. Pada RTRW 2000-2010, pemerintah daerah belum
merencanakan secara khusus kawasan yang akan dijadikan tujuan wisata khas kota Depok. Hal ini
dikarenakan belum tersedianya daya dukung yang menghubungkan seluruh wilayah Depok. Atas
dasar Perda nomor 1 tahun 2015 perlu dilakukan kajian potensi wisata yang dimiliki untuk menjadi
objek wisata khas kota Depok.
TINJAUAN PUSTAKA
Rencana Tata Ruang Wilayah
Menurut Kamus Penataan Ruang (2010), definisi dari perencanaan tata ruang sendiri adalah
suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan
penetapan rencana tata ruang. Heterogenitas fungsi dan penggunaan lahan dari masing-masing
wilayah harus membentuk jaringan antarkawasan agar terdapat kerjasama untuk pengembangan
sektor dan keterkaitan spasial yang saling mendukung (Sugiri et al, 2014). Sehingga setiap potensi
yang ada mendapat perhatian dan dukungan untuk berkembang dari kebijakan spasial atau
perencanaan tata ruang dalam mengakomodasi peruntukan lahan mengenai potensi pariwisata di kota
Depok.
Perencanaan kota seringkali dihadapkan pada beberapa persoalan yang diselesaikan dengan cara
melalukan penataan terhadap tata ruang wilayah yang dimiliki. Beberapa persoalan diantaranya: 1)
pengendalian pertumbuhan fisik pada kawasan-kawasan padat penduduk, 2) mengantisipasi kawasan
yang sedang berkembang pesat karena lokasi yang strategis, 3) ketersediaan sarana dan prasarana
umum mulai dari pusat kota hingga pinggiran kota dan 4) ketersediaan kawasan industri. Terdapat
33
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
beberapa sektor strategis dalam perencanaan tata ruang wilayah yaitu penduduk, perumahan, industri,
perdagangan dan jasa, transportasi, lingkungan hidup serta pariwisata dan budaya.
Kota Depok
Kota Depok secara geografis terletak pada koordinat 60 18’ 30”-60 28’ 00” Lintang Selatan dan 1060
42’ 30”-1060 55’ 30” Bujur Timur, dengan luas kurang lebih 20.029 (dua puluh ribu dua puluh
sembilan) hekta terbagi menjadi 11 kecamatan yang terbagi lagi menjadi 63 kelurahan batas-batas
wilayah Kota Depok meliputi:
a. Utara : Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten
b. Timur : Kabupaten Bogor dan Kota Bekasi Provinsi Jawa Barat
c. Selatan : Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat
d. Barat : Kabupaten Bogor Provinsi Jawa Barat dan Kota Tangerang Selatan Provinsi Banten
METODE PENELITIAN
Kajian potensi pariwisata dalam rencana tata ruang wilayah kota Depok merupakan penelitian
kualitatif pendekatan studi kasus yaitu melihat peran RTRW terhadap potensi pariwisata yang
dimiliki kota Depok apakah bersifat netral, mendukung atau menghambat.
Teknik pengumpulan data berupa telaah dokumen, observasi lapangan dan wawancara. Data
sekunder berupa dokumen peraturan daerah, RTRW, RPJMD, Peraturan walikota, Hasil Musrenbang
kota Depok dan dokumen pendukung lainnya, serta data primer berdasarkan observasi lapangan dan
wawancara pihak terkait.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peraturan daerah nomor 1 tahun 2015 membahas tentang rencana tata ruang wilayah kota
Depok untuk tahun 2012 – 2032. Kebijakan dan strategi penataan ruang meliputi struktur ruang dan
pola ruang wilayah kota serta penetapan kawasan strategis kota. Adapun tujuan penataan ruang
wilayah kota Depok unutk mewujudkan kota pendidikan, perdagangan dan jasa yang nyaman, religius
dan berkelanjutan.
Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Struktur Ruang Wilayah Kota
Kebijakan pengembangan struktur ruang wilayah kota meliputi pengembangan pusat-pusat
pelayanan yang berhirarki yang memperkuat kegiatan pendidikan, riset dan inovasi teknologi,
perdagangan dan jasa berskala regional. Pengembangan sistem jaringan prasarana perkotaan yang
terdistribusi secara hirarkis. Pengembangan infrastruktur yang mendukung pengembangan kegiatan
pendidikan, riset dan inovasi teknologi, serta perdagangan dan jasa. Strategi dalam perencanaan
meliputi peningkatan aksesibilitas dari dan menuju kawasan pendidikan, perdagangan dan jasa
dengan mengoptimalkan sistem angkutan umum massal serta pengembangan jaringan infrastruktur
terpadu antar kawasan.
34
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Kebijakan Dan Strategi Pengembangan Pola Ruang Wilayah Kota
Kebijakan pengembangan pola ruang wilayah kota meliputi kebijakan dan strategi
pengembangan kawasan lindung serta kawasan budi daya. Kawasan lindung yang dimaksud adalah
kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya, kawasan perlindungan
setempat, ruang terbuka hijau (RTH), kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana dan kawasan
lindung lainnya.
Sedangkan kawasan yang termasuk dalam kebijakan dan strategi pengembangan budi daya
antara lain kawasan perumahan, perdagangan dan jasa, perkantoran, peruntukan industri, pariwisata,
ruang terbuka non hijau, ruang evakuasi bencana, ruang kegiatan sektor informal dan peruntukan
lainnya.
Kawasan pariwisata terbagi lagi menjadi pariwisata budaya, alam dan buatan. Pariwisata
budaya yang direncanakan dalam RTRW 2012-2032 terdapat pada wilayah Depok lama di kelurahan
pancoran mas sebagai kawasan wisata heritage dan wilayah kelurahan kukusan menjadi kawasan seni
dan budaya. Wilayah yang telah dan akan dikembangkan untuk menjadi kawasan pariwisata alam
meliputi Taman Hutan Raya, Hutan Kota Universitas Indonesia, Situ Pengasinan, Situ Rawa Besar,
Situ Asih Pulo, Situ Citayam, dan Situ Cilodong. Keberadaaan situ menjadi tujuan wisata merupakan
potensi besar yang dimiliki kota Depok, karena terdapat sebanyak 28 situ dan yang dikembangkan
untuk menjadi objek wisata barulah 5 situ.
Pariwisata buatan merupakan objek-objek wisata yang dibangun oleh pemerintah dan atau
individu. Kawasan pariwisata buatan yang terdapat dikota Depok antara lain Kawasan Studio Alam
TVRI, Margo City, Depok Town Square, ITC Depok, Masjid Kubah Emas, Taman Wiladatika,
Wisata Agro Belimbing dan Taman Hias, Padang Golf dan Depok Fantasi.
Kebijakan Dan Strategi Penetapan Kawasan Strategis Kota
Kebijakan penetapan kawasan strategis kota meliputi pengembangan kawasan strategis kota
melalui kebijakan penetapan kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi, kawasan strategis
dari sudut kepentingan sosial budaya dan kawasan strategis dari sudut kepentingan fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup.
Pembagian kawasan strategis akan memudahkan penataan dan fokus pembangunan wilayah.
Penetapan kawasan tidaklah berdasarkan letak wilayah atau kecamatan yang ada di Depok, melainkan
berdasarkan potensi yang dimiliki wilayah tersebut oleh karenanya tidak semua kecamatan atau
kelurahan tergabung dalam kawasan strategis kota. Berikut kelurahan yang termasuk dalam kawasan
strategis:
Kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi meliputi a) kawasan margonda termasuk
didalamnya sebagian Kelurahan Depok Jaya, Kelurahan Kemiri Muka, Kelurahan Pondok Cina dan
Kelurahan Depok sebagai pusat perdagangan dan jasa skala pelayanan kota dan regional; b) Kawasan
Bedahan yang mencakup kelurahan bedahan, kelurahan pengasinan, kelurahan bojongsari, kelurahan
serua, kelurahan duren mekar, kelurahan duren seribu, dan kelurahan pasir putih yang menjadi sentra
agroindustri untuk pengembangan agrobisnis produk buah-buahan, tanaman hias dan ikan hias; c)
Kawasan Meruyung terdapat di kelurahan meruyung merupakan kawasan wisata meliputi wisata
religi Masjid Kubah Emas dilengkapi pusat penjualan produk lokal Kota Depok; d) Kawasan SNADA
terdapat di kelurahan cipayung jaya dan kelurahan bojong pondok terong dikembangkan menjadi
kawasan perdagangan, pelestarian budaya, dan kawasan pendidikan terpadu.
Kawasan margonda dalam perencanaan tahun 2017 termasuk dalam kondisi pengendalian
dalam pemanfaatan ruangan karena kawasan margonda telah berkembang menjadi kawasan wisata
35
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
kuliner dan oleh-oleh khas Depok, terlihat dari hasil evaluasi tahun 2015. Sesuai dengan pernyataan
dari Ibu Putri staff Rencana Tata Ruang Wilayah bahwa kawasan Margonda dilakukan pengendalian
pertumbuhan bangunan dan difokuskan untuk pemanfaatan bangunan yang sudah ada.
Kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya dibagi menjadi 2 kawasan yaitu
Kawasan Depok Lama terdapat di Kelurahan Depok menjadi kawasan cagar budaya yang memiliki
nilai historis dan Kawasan Civic Center meliputi Kelurahan Tapos, Kelurahan Cilangkap, Kelurahan
Cimpaeun, dan Kelurahan Jatijajar merupakan pusat kegiatan sosial budaya baru, serta kawasan
lainnya yaitu kawasan dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi
kawasan tahura berupa merupakan hutan konservasi terdapat di kelurahan pancoran mas dan kawasan
Situ Bojongsari terdapat di kelurahan sawangan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan dinas Pariwisata kota Depok, diketahui bahwa rencana
kerja pemerintah dareah Kota Depok 2017, yang dilakukan oleh dinaspemuda, olahraga, pariwisata,
seni dan budaya menjabarkan akan dilakukan pengembangan Jumlah penyelenggaraan festival seni
dan budaya, pengembangan seni dan pelestarian budaya, serta melestarikan benda, situs, kawasan
cagar budaya.
Analisis Deskriptif karakteristik objek wisata kota Depok
Berdasarkan RTRW 2012-2032 kota Depok memiliki pariwisata yang terbalik menjadi 3 kategori:
1. Kategori heritage yaitu daerah Depok lama.
2. Kategori seni berada di daerah kukusan
3. Kategori buatan yaitu : Studio alam, Margo city, Depok town square, perbelanjaan ITC
Depok, masjid Dian Al Mahri, Taman bunga wiladatika, Argo wisata Belimbing.
36
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
4. Taman hias di 11 kecamatan, Padang golf dan Depok fantasi.
PENUTUP
Potensi Pariwisata yang dimiliki kota Depok perlu untuk dikembangkan secara terus menerus
terutama wisata alam berupa Situ. Depok memiliki situ sebanyak 28 situ dan baru 5 situ yang
dikembangkan untuk menjadi kawasan wisata. Kawasan Depok lama memiliki banyak bangunan
yang merupakan peninggalan sejarah sehingga dapat dijadikan situs atau buruk kunjungan wisata
sejarah. Rancangan RTRW 2012-2032 menjawbarkan adanya potensi Pariwisata dari kawasankawasan yang ada di Depok, namun Pemerintah belum menjadikan kawasan tersebut sebagai
destinasi wisata dikarenakan akses menuju lokasi sedang dalam tahap pembangunan. Diharapkan
Pemerintah dapat segera menetapkan destinasi unggulan wisata kota Depok berdasarkan kawasan
yang telah ditetapkan yaitu wisata seni dan budaya, wisata alam dan wisata buatan.
37
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Keterbatasan Penelitian
Penelitian yang kami lakukan dalam bentuk deskripsi dan bukan bersifat design, dimana
Keterbatasan penelitian terbatas pada data yang peroleh dari dinas tata ruang Pemerintah kota Depok
dan dinas pemuda, olahraga, Pariwisata, seni dan budaya.
Saran
Rencana tata ruang wilayah kota Depok mengalami perubahan terakhir terjadi pada tahun 2015.
Kota Depok memiliki 3 kawasan strategis yaitu 1) kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi,
2) kawasan strategis dari sudut kepentingan sosial budaya dan 3) kawasan strategis dari sudut
kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan. Saran kepada pemangku kebijakan dan strategi
pengembangan struktur Ruang Wilayah yaitu Depok memiliki potensi wisata alam situ yang banyak
dan potensial, Namun dalam RTRW 2012-2032 belum terlihat rencana untuk mengembangkan situ
yang dimiliki, di harapkan pemda Depok mengembangkan potensi yang ada menyediakan daya
dukung yang menghubungkan seluruh wilayah Depok.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.Depok.go.id/18/01/2017/01-berita-Depok/pariwisata-setu-lio-akan-dioptimalkan diakses
pada 20 Januari 2017.
http://www.Depok.go.id/04/02/2017/10-ekonomi-kota-Depok/kadin-bersama-diskominfo-kotaDepok-dorong-setu-jadi-wisata-khas-Depok. Diakses pada 18 Februari 2017
http://www.Depok.go.id/05/02/2017/01-berita-Depok/perda-pariwisata-alam-potensial-sumbangpad. Diakses pada18Februari 2017
Peraturan daerah kota Depok nomor 12 tahun 2001 tentang rencana tata ruang wilayah kota Depok
tahun 2000-2010.
Peraturan daerah kota Depok nomor 16 tahun 2013 tentang kepariwisataan.
Peraturan daerah nomor 1 tahun 2015 tentang rencana tata ruang kota Depok tahun 2012-2032.
Peraturan walikota Depok nomor 57 tahun 2016 tentang perubahan atas peraturan walikota Depok
nomor 37 tahun 2016 tentang rencana kerja Pemerintah daerah kota Depok tahun 2017.
Wahyuhana, Ratika T dan Agung Sugiri. 2014. Kajian Perencanaan Tata Ruang untuk memfasilitasi
kegiatan non-pertanian di kecamatan Sukorejo, kabupaten Kendal. Jurnal
wilayah
dan
lingkungan volume 2 nomor 2 agustus 2014, 169-182.
38
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
MODEL IMPLEMENTASI GREEN HUMAN RESOURCE MANAGEMENT
DALAM PRAKTIK MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Agus Sugiarto1 dan Lieli Suharti2
Universitas Kristen Satya Wacana
[email protected] dan [email protected]
Abstract
The awareness of preserving environment has been campaigned along with the phenomenon of
environmental damage. Human resource management in the enterprise area has an important role in
saving the environment through the implementation of the concept of Green Human Resource Management
(Green HRM). Implementation of Green HRM in human resource management practices have a positive
impact for the company. This article examined the literature on Green HRM then used it as the basis for
implementation of the Green HRM models in the practice of human resource management in a
comprehensive manner. The result model of this study includes three parts: First, the stimulus or motivator
of Green HRM implementation of both external and internal to the organization (awareness and
environmental ethics, rule or regulation, and organizational commitment). The second part is the
implementation process which include several sections, such as the determination of the vision and mission
of the organization, the organizational policies related to environmental friendly behavior within the
organization, the commitment in providing environmental friendly technologies, the availability of
facilities / infrastructure, and various work programs related organizations with environmental friendly
behavior. Green HRM implementation process in the recruitment process, employee training, performance
evaluation, compensation systems, and function of other human resources. The implementation process
will produce environmental friendly behavior for employees. The third part is the results or the impact of
implementing Green HRM such as, energy efficiency, other materials, and positive impact on the
employee’s performance of, along with positive image of the company as an environmental friendly
company.
Keywords: Green HRM, Behavior, Environmental Friendly, Human Resource Management
Abstrak
Kesadaran untuk penyelamatan lingkungan hidup telah dikampanyekan seiring dengan fenomena
kerusakan lingkungan. Manajemen sumber daya manusia dalam perusahaan memiliki peran penting dalam
upaya penyelamatan lingkungan hidup melalui implementasi konsep Green Human Resource management
(Green HRM). Implementasi Green HRM dalam Praktik Manajemen sumber daya manusia memiliki
dampak positif bagi perusahaan. Artikel ini mengkaji berbagai literature Green HRM selanjutnya
digunakan sebagai dasar penyusunan model implementasi Green HRM dalam praktik manajemen sumber
daya manusia secara komprehensif. Model yang dihasilkan dalam kajian ini meliputi 3 bagian, yaitu
Pertama, stimulus atau motivator dari implementasi Green HRM baik secara ekternal maupun internal
organisasi (kesadaran dan etika lingkungan, peraturan atau regulasi, serta komitmen organisasi). Bagian
kedua yaitu proses implementasi yang meliputi beberapa dimensi yaitu penentuan visi dan misi organisasi,
Kebijakan organisasi terkait dengan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi, komitmen dalam
penyediaan teknologi ramah lingkungan, penyediaan fasilitas/sarana prasarana, serta berbagai program
kerja organisasi yang berkaitan dengan perilaku ramah lingkungan. Proses implementasi Green HRM
dalam proses penerimaan karyawan, pelatihan karyawan, penilaian kinerja karyawan, sistem kompensasi,
serta dalam fungsi manajeme sumber daya manusia yang lain. Dari proses implementasi akan menghasikan
perilaku ramah lingkungan bagi karyawan. Sedangkan bagian ketiga yaitu hasil atau dampak dari
implementasi Green HRM yaitu, efisiensi energi, material dan lainnya, dampak positif pada kinerja
karyawan , serta citra perusahaan positif sebagai perusahaan ramah lingkungan.
Kata Kunci: Green-HRM, Perilaku, Ramah Lingkungan, Manajemen Sumber Daya Manusia.
39
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENDAHULUAN
Fenomena pemanasan global memicu meningkatnya kesadaran etika lingkungan dalam upaya
penyelamatan bumi dan lingkungan dari ancaman kerusakan. Salah satu konsep yang berhubungan
dengan upaya penyelamatan lingkungan adalah konsep ramah lingkungan atau sering dikenal dengan
istilah “Go Green”. Konsep "GoGreen" pada industri mulai dikenal pada tahun 1980-an, karena
berbagai faktor eksternal dan internal, termasuk krisis lingkungan, tekanan pelangganyang semakin
meningkat, kebutuhan organisasional, dan fungsi–fungsi lingkungan hidup (Heiskanen 2002). Saat
ini konsep ramah lingkungan banyak diterapkan sebagai strategi bisnis, baik dalam bidang produksi,
pemasaran, bidang sumber daya manusia serta bidang yang lainnya. Kesadaran akan etika lingkungan
menjadi pemicu munculnya konsep perusahaan yang ramah lingkungan (green company) dan telah
menjadi tuntutan bisnis di era globalisasi. Hasil penelitian Alhadid & As’ad(2014) menegaskan
adanya dampak kehadiran inovasi ramah lingkungan dalam kinerja organisasi, dan hal ini
menegaskan bahwa praktik manajemen ramah lingkungan memiliki manfaat yang signifikan pada
tingkat perekonomian nasional dan mencapai penghematan yang signifikan pada tingkat sektor
industri. Antje & Pietro (2014) juga telah melakukan kajian tentang konsep ramah lingkungan dan
keberlangsungan organisasi. Lebih Lanjut Antje menjelaskan bahwa pengelolaan lingkungan secara
positif memengaruhi kinerja ekonomi.
Perusahaan yang ramah lingkungan adalah suatu konsep di mana pihak manajemen sebuah
perusahaan secara sadar meletakkan pertimbangan akan perlindungan dan pengelolaan lingkungan,
serta keselamatan dan kesehatan ‘stakeholders’ dalam setiap pengambilan keputusan bisnisnya. Hal
ini merupakan wujud nyata tanggung jawab dan upaya memberikan kontribusi positif kepada
perusahaan dan karyawan pada khususnya dan masyarakat serta pembangunan yang berkelanjutan
pada umumnya. Perhatian dan semangat akan kesadaran ramah lingkungan diimplemantasikan dalam
berbagai bidang dalam organisasi, yaitu dalam bidang produksi, bidang pamasaran, bidang
teknologi& lingkungan fisik dan juga dalam bidang sumber daya manusia.
Penerapan perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumberdaya manusia disebut juga
dengan istilah Green Human Resource Management(Green HRM).Shaikh (2010) mengungkapkan
bahwa Green HRM akan memiliki peran penting dalam industri untuk mempromosikan isu-isu terkait
lingkungan dengan mengadopsi filosofi manajemen, praktik kebijakanSumber Daya Manusia (SDM),
program pelatihan dan pelaksanaan hukum yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan. Selain
itu Green HRM juga akan membantu pengusaha dan produsen dalam meningkatan citra dan
membangun merk dengan menerapkan standar ISO 14000, tentang audit lingkungan, sehingga
mengubah budaya organisasi, serta membantu karyawan dan masyarakat akan kesadaran dampak
lingkungan. Hal ini juga akan membuat karyawan dan anggota masyarakat sadar akan pemanfaatan
sumber daya alam yang lebih ekonomis dan mendorong produk ramah lingkungan.
Lebih lanjut Mandip (2012) berpendapat bahwa Green HRM merujuk untuk menggunakan
setiap potensi karyawan untuk mempromosikan praktik-praktk berkelanjutan dan meningkatkan
kesadaran karyawan dan komitmen pada isu-isu lingkungan secara keberlanjutan. Hal ini diperlukan
untuk melakukan inisiatif HR ramah lingkungan sehingga dapat diperoleh efisiensi yang lebih besar,
biaya yang lebih rendah dan keterlibatan karyawan yang lebih baik dan dapat mempertahankan
karyawan. Selain itu dapat pula membantu organisasi untuk berperilaku ramah lingkungan melalui
kegiatan secara elektronis, misalnya mobile-sharing, task-sharing, telekonferensi dan wawancara
secara virtual, pelatihan secara telekomuter online, ruang kantor yang hemat energi dan lain-lain.
40
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Berdasarkan Environmental Performance Index (EPI), kualitas lingkungan Indonesia pada 2015
berada pada peringkat 107 dari 180 negara dengan skor 65,85. Sebagai perbandingan, dua negara
tetangga terdekat Indonesia justru berada di posisi yang jauh lebih baik, yakni Singapura pada
peringkat 14 dengan indeks 87,04 dan Malaysia dengan indeks 74,23 berada pada urutan 63
(antarriau.com 2016).Rendahnya kesadaran ramah lingkungan ditunjukan juga dengan masih
rendahnya implementasi Green HRM di Indonesia. Masih banyak organisasi di Indonesia yang
belum menyadari pentingnya mengimplementasikan konsep ramah lingkungan dalam aktivitasnya.
Rendahnya perilaku karyawan untuk ramah lingkungan di lingkungan kerja yang salah satu
ditunjukan dengan aktivitas yang boros energi. Dalam publikasinya, kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia menyatakan bahwa pemborosan energi 80 % disebabkan oleh
faktor manusia (ESDM 2011). Dari publikasi tersebut nampak bahwa pemborosan energi masih
terjadi dipusat-pusat perkantoran, dan hal tersebut nampak bahwa perilaku ramah lingkungan belum
dapat diwujudkan oleh banyak pihak. Hal ini menjadi dasar perlunya pengelolaan sumber daya
manusia yang berkonsep ramah lingkungan (Green HRM) perlu diimplementasikan.
Dari uraian di atas nampak bahwa kesadaran akan kelestarian lingkungan menjadi perhatian
semua pihak. Kesadaran kelestarian lingkungan diikuti dengan implementasi perilaku ramah
lingkungan disetiap aktivitas masyarakat global, termasuk juga implementasi perilaku ramah
lingkungan dalam organisasi. Oleh karena itu, diperlukan sebuah penelitian untuk melakukan
identifikasi proses implementasi perilaku ramah lingkungan di berbagai perusahaan komprehensif
terutama dalam bidang sumber daya manusia. Penertian komprehensif ini adalah bahwa diperlukan
penelitian yang mengkaji tentang perilaku ramah lingkungan di organisasi secara menyeluruh, yakni
berbagai faktor yang berkaitan (stimulus) dengan implementasi perilaku ramah lingkungan baik
secara eksternal perusahaan maupun internal perusahaan, mengkaji proses yang terjadi, serta
melakukan identifikasi dampak dari implementasi perilaku ramah lingkungan dalam perusahaan.
Kajian ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah model implementasi perilaku ramah lingkungan
dalam praktik manajemen sumber daya manusia di Perusahaan.
Kajian ini merupakan kajian studi literatur. Peneliti mencari berbagai data melalui berbagai
literatur dan hasil penelitian tentang Green Human Resource Management yang telah dihasilkan dan
dipublikasikan melalui jurnal ilmiah dan buku oleh para peneliti sebelumnya. Data hasil penelitian
dikelompokan berdasarkan ketegori dan kriteria tertentu, dianalisis, selanjutkan digunakan sebagai
dasar penyusunan model implementasi Green HRM dalam praktik manajemen sumber daya manusia.
TINJAUAN PUSTAKA
Perilaku Ramah Lingkungan (Green Behavior)
Kesadaran akan etika lingkungan merupakan hal pemicu dalam penerapan perilaku ramah
lingkungan (Green Behavior).Menurut Keraf (2010) munculnya masalah lingkungan hidup adalah
masalah moral, persoalan perilaku manusia terhadap lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan
teknis. Demikian pula, krisis ekologi global yang dialami dewasa ini terjadi adalah persoalan moral,
krisis moral secara global. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Lebih lanjut
Keraf menjelaskan bahwa fokus dari etika lingkungan hidup adalah bagaimana manusia harus
bertindak atau bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan hidup. Etika
lingkungan hidup dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral
yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang
menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut.
41
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Ramah lingkungan adalah suatu progam yang tidak menyebabkan dampak negatif terhadap
lingkungan sekitar atau dapat di artikan sesuatu yang tidak merusak alam sekitarnya. Ramah
lingkungan juga bertujuan untuk melestarikan bumi agar bumi tetap lestari , lingkungan sekitar tetap
bersih, rapih, indah, dan nyaman, dan yang terpenting adalah membuat tubuh manusia sehat. Perilaku
ramah lingkungan memiliki enam prinsip, yakni Recycle, Recovery, Reduce, Reuse,Refine, serta
Retrieve Energy. Refine artinya memakai bahan yang ramah lingkungan dan lewat sistem yang lebih
aman dari teknologi sebelumnya. Reduce artinya mengurangi jumlah limbah dengan cara
memaksimalkan pemakaian bahan. Reuse yaitu menggunakan kembali beberapa bahan yg tidak
terpakai atau telah berbentuk limbah serta diolah dengan cara yang berbeda. Recycle nyaris sama juga
dengan reuse, hanya saja recycle memakai kembali bahan-bahan atau limbah dengan sistem yang
sama. Recovery artinya pemakaian material khusus dari limbah untuk diolah demi kepentingan yang
lain. Retrieve Energy yaitu penghematan daya dalam satu sistem produksi (Rantao 2012).
Pengertian Implementasi Green HRM dan Perannya
Secara umum konsep implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya
mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana
dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Usman 2002). Dalam penelitian ini konsep implementasi
dipahami sebagai suatu kegiatan yang terencana berupa aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya
mekanisme suatu sistem penerapan nilai nilai ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya
manusia (MSDM) atau dapat disebut sebagai Green Human Resource Management(Green HRM).
Green HRM merupakan semua kegiatan dalam pengembangan, pelaksanaan dan pemeliharaan
sistem yang bertujuan untuk membuat karyawan sebuah organisasi memiliki perilaku ramah
lingkungan (Opatha& Anton 2014). Green HRM merupakan salahsatu sisi manajemen sumber daya
manusia yang peduli dengan mengubah karyawan menjadi karyawan yang ramah lingkungan
sehingga mencapai tujuan lingkungan organisasi dan akhirnya membuat kontribusi yang signifikan
terhadap lingkungan. Green HRM berarti menggunakan setiap karyawan sedemikian rupa untuk
mempromosikan dan mempertahankan praktik-praktik bisnis yang berkelanjutan serta menciptakan
kesadaran, yang pada gilirannya, membantu organisasi untuk beroperasi dengan cara yang ramah
lingkungan. Tujuan dari Green HRM adalah untuk menciptakan, meningkatkan dan mempertahankan
moral ramah lingkungan atau penghijauan bagi setiap karyawan organisasi sehingga memberikan
kontribusi terhadap lingkungan (Rani & Mishra2014).
Lebih lanjut Cherian& Jelly (2012) mengungkapkan bahwa dalam implementasi konsep Green
Human Resources Management (Green HRM) diperlukan penerapan paradigma atau cara pandang
akan kelestarian lingkungan dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) perusahaan
sehingga akan meningkatkan moral karyawan terhadap pengelolaan lingkungan yang baik. Praktik
Green HRM penting untuk mempromosikansemangat kerja karyawan dan ini dapat bermanfaat bagi
organisasi dan karyawan. Beberapa manfaat yang dapat dicapai sebagai akibat dari memperkenalkan
prinsip Green HRM : yaitu peningkatan tingkat retensi karyawan, peningkatan citra publik,
peningkatan dalam menarik karyawan yang lebih baik, peningkatan produktivitas dan keberlanjutan,
pengurangan dampak lingkungan dari perusahaan, dan peningkatan daya saing dan peningkatan
kinerja secara keseluruhan.
42
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Green HRM dalam Praktik Sumber Daya Manusia
Untuk dapat mengimplementasikan konsep Green HRM pada organisasi, setiap organisasi
dapat memasukkan konsep ramah lingkungan ke dalam fungsi fungsi MSDM. Opatha&Anton (2014)
mengemukakan bahwa secara tradisional ada 18 fungsi MSDM termasuk desain pekerjaan, analisis
pekerjaan, perencanaan sumber daya manusia, rekrutmen, seleksi, perekrutan, induksi, evaluasi
kinerja, pelatihan dan pengembangan, manajemen karir, manajemen kompensasi, manajemen
insentif, manajemen kesejahteraan, manajemen gerakan karyawan, manajemen disiplin, manajemen
kesehatan dan keselamatan, manajemen hubungan tenaga kerja. Membuat praktik Green HRMdapat
dilakukan dengan melibatkan masuknya kebijakan, prosedur, dan praktik yang menjamin karyawan
berperilaku ramah lingkungan dan karyawan memiliki kinerja yang baik. Sementara itu Cherian&
Jelly (2012), melakukan kajian implementasi Green HRM dalam fungsi Rewards and Compensation,
Recruitment, Training and Development, Employee Empowerment, Employee Training, Employee
Teamwork and Managerial Environmental Training.
Partisipasi karyawan dalam mewujudkan suatu manajemen sumber daya manusia (MSDM)
yang ramah lingkungan (green human resources management – Green HRM) sudah lama
dikumandangkan oleh para ahli. Hal ini juga sudah dirasakan sangat perlu oleh perusahaanperusahaan besar dalam rangka mewujudkan perusahaan yang ramah lingkungan. Namun, selama ini
perusahaan lebih mengedepankan upaya ini kepada para karyawannya sebatas di lingkungan kerja
(working environment) saja. Inisiatif ramah lingungan menjadi faktor penting dalam bisnis di seluruh
dunia. Para peneliti berpendapat bahwa karyawan harus terinspirasi, diberdayakan dan memiliki
kesadaran lingkungan dalam rangka untuk melaksanakan inisiatif manajemen ramah lingkungan.
Green HRM memerlukan keterampilan teknis dan keterampilan manajemen dari karyawan, karena
perusahaan akan mengembangkan inisiatif inovasi lingkungan dan program yang memiliki implikasi
terhadap manajerial secara signifikan.
Implementasi perilaku ramah lingkungan dalam proses pengadaan karyawan (Recruitment)
melalui analisis pekerjaan (Job analysis), yaitu dengan menyertakan dimensi lingkungan sebagai
tugas dalam deskripsi pekerjaan. Menyertakan kompetensi ramah lingkungan sebagai komponen
khusus dalam spesifikasi pekerjaan. Internaliasi dalam Rekrutmen (Recruitment), yaitu dengan
menyertakan kriteria lingkungan dalam pesan perekrutan, dan mengkomunikasi kan perhatian
pimpinan atau pemberi kerja tentang penghijauan melalui proses rekrutmen. Implementasi dalam
seleksi (selection), yaitu dengan memilih pelamar yang cukup sadar lingkungan/penghijauan untuk
mengisi lowongan pekerjaan. Selain itu dengan memilih pelamar yang telah terlibat dalam
penghijauan sebagai konsumen di bawah domain kehidupan pribadi mereka. Implementasi dalam
induksi (Induction), dilakukan untuk membuat karyawan baru akrab dengan upaya ramah
lingkungan/penghijauan organisasi. Selain itu mengembangkan program induksi menunjukkan
perilaku ramah lingkungan dengan karyawan (Dechant & Altmah 1994, Bauer & Aiman-Smith 1996,
Frank 2003).
Implementasi perilaku ramah lingkungan dalam pelatihan (Training), dilakukan untuk
memberikan pengetahuan dan keterampilan yang tepat tentang penghijauan atau perilaku ramah
untuk masing-masing karyawan melalui program pelatihan yang dirancang khusus untuk penghijauan
(Perron et al 2006, Daily et al 2007, Unnikrishnan & Hadge 2007, Sarkis et al. 2010, Opatha & Anton
2014). Selain itu untuk melakukan analisis kebutuhan pelatihan untuk mengidentifikasi kebutuhan
pelatihan ramah lingkungan bagi karyawan. Implementasi dalam Evaluasi Kinerja (Performance
evaluation), untuk mengevaluasi prestasi kerja karyawan kerja sesuai dengan kriteria perilaku ramah
lingkungan (Mandip 2012).
Untuk memasukkan komponen perilaku ramah lingkungan dalam wawancara umpan balik
kinerja. Implementasi dalam Manajemen Imbalan (Rewards management), untuk memberikan
43
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
insentif keuangan kepada karyawan bagai yang berperilaku ramah lingkungan dalam bekerja.Selain
itu untuk memberikan imbalan non-keuangan seperti pujian dan pengakuan kepada karyawan untuk
karyawan yang berperilaku ramah lingkungan. Implementasi dalam manajemen disiplin (Discipline
management), untuk merumuskan dan mempublikasikan aturan perilaku yang berkaitan dengan
perilaku ramah lingkungan/penghijauan. Selain itu untuk mengembangkan sistem disiplin progresif
untuk menghukum karyawan yang melanggar aturan perilaku ramah lingkungan (Ramus 2001,
Forman & Jorgensen 2001, Alhadid 2014).
Teori Terkait
Grand Theory yang mendasari penelitian ini adalah teori etika lingkungan ekosentrisme. Teori
ekosentrisme dikemukakan oleh seorang filsuf Norwegia, pada tahun 1973. Teori Ekosentrisme
menawarkan pemahaman yang semakin memadai tentang lingkungan. Kepedulian moral diperluas
sehingga mencakup komunitas ekologis seluruhnya, baik yang hidup maupun tidak. Ekosentrisme
semakin diperluas dalam deep ecology dan ecosophy yang sangat menggugah pemahaman manusia
tentang kepentingan seluruh komunitas ekologis. Deep ecology menuntut suatu etika baru yang tidak
berpusat pada manusia, melainkan berpusat pada keseluruhan kehidupan dengan upaya mengatasi
persoalan lingkungan. Deep Ecology juga diterjemahkan sebagai gerakan yang nyata agar tercipta
suatu kehidupan yang selaras antara makhluk hidup dan alam. Gerakan nyata ini berpengaruh
terhadap cara pandang, tingkah laku, dan gaya hidup banyak orang. Paham ekosentrisme semakin
diperluas dan diperdalam melalui teori deep ecology yang menyebut dasar dari filosofi Arne Naess
tentang lingkungan hidup sebagai ecosophy, yakni kearifan mengatur hidup selaras dengan alam.
Dengan demikian, manusia dengan kesadaran penuh diminta untuk membangun suatu kearifan budi
dan kehendak untuk hidup dalam keterkaitan dan kesaling tergantungan satu sama lain dengan seluruh
isi alam semesta sebagai suatu gaya hidup yang semakin selaras dengan alam (Keraf 2010).
Teori kedua yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah teori Triple Bottom Line
(TBL). Teori Triple Bottom Line dikemukakan oleh John Elkington pada tahun 1997 melalui bukunya
“Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Bussiness”. Elkington
mengembangkan konsep triple bottom line dengan istilah economic prosperity, environmental quality
dan social justice. Elkington memberi pandangan bahwa jika sebuah perusahaan ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”.
Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada
pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet).
Teori triple bottom line memberi pemahaman bahwa jika sebuah perusahaan ingin
mempertahankan kelangsungan hidupnya, maka perusahaan tersebut harus memperhatikan “3P”.
Selain mengejar keuntungan (profit), perusahaan juga harus memperhatikan dan terlibat pada
pemenuhan kesejahteraan masyarakat (people) dan turut berkontribusi aktif dalam menjaga
kelestarian lingkungan (planet) (Wibisono 2007).
a. Profit (Keuntungan); Profit atau keuntungan menjadi tujuan utama dan terpenting dalam setiap
kegiatan usaha. Tidak heran bila fokus utama dari seluruh kegiatan dalam perusahaan adalah
mengejar profit dan mendongkrak harga saham setinggi-tingginya. Karena inilah bentuk tanggung
jawab ekonomi yang paling esensial terhadap pemegang saham. Aktivitas yang dapat ditempuh untuk
mendongkrak profit antara lain dengan meningkatkan produktivitas dan melakukan efiisensi biaya.
Peningkatan produktivitas bisa diperoleh dengan memperbaiki manajemen kerja mulai
penyederhanaan proses, mengurangi aktivitas yang tidak efisien, menghemat waktu proses dan
44
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pelayanan. Sedangkan efisiensi biaya dapat tercapai jika perusahaan menggunakan material sehemat
mungkin dan memangkas biaya serendah mungkin
b. People (Masyarakat Pemangku Kepentingan); People atau masyarakat merupakan stakeholders
yang sangat penting bagi perusahaan, karena dukungan masyarakat sangat diperlukan bagi
keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Maka dari itu perusahaan perlu
berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat. Perlu juga
disadari bahwa operasi perusahaan berpotensi memberi dampak kepada masyarakat. Karena itu
perusahaan perlu untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat menyentuh kebutuhan masyarakat.
c. Planet (Lingkungan); Planet atau Lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang
dalam kehidupan manusia. Karena semua kegiatan yang dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
hidup selalu berkaitan dengan lingkungan misalnya air yang diminum, udara yang dihirup dan seluruh
peralatan yang digunakan, semuanya berasal dari lingkungan. Namun sebagaian besar dari manusia
masih kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini disebabkan karena tidak ada keuntungan
langsung yang bisa diambil didalamnya.
Teori Triple Bottom Line yang terdiri dari Planet, Profit, dan People digunakan oleh
organisasi dalam strategi bisnis untuk mencapai keberlangsungan (sustainability) organisasi, dapat
digambarkan sebagai berikut:
Planet
(Enviromental)
SUSTAINABILITY
People
(Social)
Profit
(Economic)
Gambar 1. Model Teori Triple Bottom Line ,Sumber: Ε»ak (2015)
Teori ekosentrisme dan teori triple bottom line merupakan dua teori yang digunakan dasar dalam
mengkaji tentang kepedulian manusia terhadap kelestarian lingkungan melalui semua dimensi
aktivitas manusia, termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis.
45
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil studi literatur dari berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukan bahwa
perkembangan penelitian tentang perilaku ramah lingkungan (green behavior) dalam perusahaan
dalam beberapa tahun terakhir dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok, yaitu pertama, penelitian
yang mengkaji tentang faktor yang memovitasi perilaku ramah lingkungan, kedua, penelitian yang
mengkaji tentang pelaksanaan implemantasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber
daya manusia, dan ketiga, penelitian yang mengkaji tentang berbagai dampak dari implementasi
perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia.
Determinan Stimulus Implementasi Green HRM
Salah satu hal yang menjadi motivator dalam implementasi perilaku ramah lingkungan adalah
kesadaran akan kelestarian lingkungan hidup melalui etika lingkungan (Bansal 2000). Penelitian
Renwick (2008) membahas tentang komitmen stakeholder dan pengusaha dalam kelestarian
lingkungan, yang memungkinkan menghubungkan keterlibatan dan partisipasi karyawan dalam
program pengelolaan lingkungan untuk meningkatkan kinerja lingkungan organisasi. Sementara itu
Jackson (2010) menyimpulkan bahwa pemimpin perusahaan menyadari bahwa tanggung jawab
terhadap lingkungan adalah konsisten dengan keinginan mereka untuk mencapai keunggulan
kompetitif. Dengan kata lain kesadaran dan komitmen pimpinan perusahaan menjadi salah satu faktor
dalam implementasi perilaku ramah lingkungan di perusahaan.
Damayanti (2013) juga menghubungkan issu pemanasan global dengan kebijakan perusahaan.
Dalam kajiannya, Damayanti membahas tentang bagaimana memahami global warming dalam
perspektif Environmental Management Accounting (EMA) sehingga perusahaan dapat menerapkan
kebijakan lingkungan pada kegiatan operasional dan keputusan-keputusan bisnisnya. Unsur
lingkungan pada penilaian kinerja bisnis perusahaan melalui penilaian akuntansi lingkungan menjadi
krusial. Environmental Management Accounting (EMA) berperan penting dalam pengendalian
internal perusahaan melalui kebijakan kelestarian lingkungan pada kegiatan operasional dan
keputusan-keputusan bisnis. Penelitian Yusoff et, all. (2015) juga menyimpulkan bahwa sebagian
besar perusahaan yang diteliti memiliki prioritas yang sangat tinggi tentang Green HRM. Hal itu
berarti perusahaan telah memiliki komitmen yang baik dalam kelestarian lingkungan. Sedangkan
penelitian Erdogan (2015) menunjukan hasil bahwa komitmen manajemen terhadap lingkungan
berhubungan positif dengan komitmen organisasi, hubungan lebih kuat ketika karyawan dirasakan
mendapatkan dukungan dari organisasi. Kunci dalam perilaku karyawan adalah bagaimana organisasi
memperlakukan karyawan. Hasil penelitian Muster (2011) juga mendorong pihak perusahaan untuk
lebih memberikan perhatian yang lebih besar kepada para karyawan untuk mewujudkan perilaku yang
ramah lingkungan, baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan kehidupan sehari-hari.
Dari pembahasan di atas beberapa determinan implementasi perilaku ramah lingkungan
dapatdiidentifikasi sebagai berikut:
Kesadaran Etika Lingkungan: Kesadaran akan etika lingkungan merupakan hal pemicu dalam
penerapan Green HRM di perusahaan. Dalam kajian Bansal (2000), menyebutkan bahwa kesadaran
tanggungjawab lingkungan merupakan salah satu motivator bagi perusahaan dalam berperilaku
ramah lingkungan. Menurut Keraf (2010) munculnya masalah lingkungan hidup adalah masalah
moral, persoalan perilaku manusia terhadap lingkungan hidup bukan semata-mata persoalan teknis.
Demikian pula, krisis ekologi global yangalami dewasa ini terjadi adalah persoalan moral, krisis
moral secara global. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk mengatasinya. Lebih lanjut Keraf
menjelaskan bahwa fokus dari etika lingkungan hidup adalah bagaimana manusia harus bertindak
46
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
atau bagaimana perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan hidup. Etika lingkungan
hidup dipahami sebagai disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah moral yang
mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam serta nilai dan prinsip moral yang
menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam tersebut (Keraf 2010). Dari uraian di
atas dapat dipahami bahwa etika lingkungan merupakan kaidah moral yang mengatur perilaku
manusia dalam berhubungan dengan alam. Kaidah moral tersebut dapat diwujudkan dengan regulasi
formal dalam bentuk aturan dan hukum maupun berupa gerakan-gerakan masyarakat, baik secara
global, nasional maupun local/daerah.
Lebih lanjut Opatha & Anton (2014) menegaskan bahwa ada beberapa hal yang menjadi
alasan pentingnya perilaku ramah lingkungan adalah: 1) Untuk menghindari atau meminimalkan
pemanasan global.2) Untuk menghindari atau meminimalkan bencana alam seperti hujan asam, hujan
merah, tsunami, banjir, badai, kekeringan dan lain lain, karena penggunaan informal berbahaya dan
serakah sumber daya alam untuk produksi dan konsumsi. 3) Untuk menghindari atau meminimalkan
penyakit kesehatan karena polusi. 4) Untuk menghindari atau meminimalkan kerugian untuk hewan
dan makhluk alam lainnya. 5) Untuk menjamin keseimbangan yang tepat dari hubungan antara
tanaman, hewan, orang, dan lingkungan mereka. 6) Untuk menjamin kelangsungan hidup manusia
dan organisasi bisnis untuk jangka waktu lama. Berdasarkan argumentasi tersebut dapat disimpulkan
bahwa pemahaman dan kesadaran akan etika lingkungan merupakan determinan yang dapat diduga
berkaitan dengan implementasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia
dalam perusahaan.
Regulasi/ Aturan
Zaman (2012) meneliti tentang komitmen etika lingkungan (environmental ethicalcommitmentEEC) perusahaan manufaktur di Malaysia. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa regulasi
merupakan determinan yang dapat menjelaskan komitmen perusahaan dalam etika lingkungan di
Malaysia (Zaman 2012). Sementera itu Yusoffet al (2015) mengungkapkan bahwa kebijakan dan
aturan merupakan konsep yang terkait dengan pelaksanaan implementasi perilaku ramah lingkungan
dalam manajemen sumber daya manusia dalam organisasi.
Dalam konteks pelestarian lingkungan, terdapat beberapa regulasi yang berlaku secara global
(internasional) maupun secara nasional yang harus ditaati oleh masyarakat. Dalam lingkup
internasional beberapa kesepakatan masyarakat dunia dalam bentuk konferensi dunia telah dilakukan.
Konferensi internasional lingkungan hidup atau United Nations Conference on Human Environment
(UNCHE), di Stockholm, Swedia adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan
konferensi pertama tentang lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB yang diikuti oleh wakil dari
114 negara. Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan
hidup secara global. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro,
Brazil, pada 1992, merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan pembangunan dan
lingkungan.
KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) pada 2002 di
Johannesburg, Afrika Selatan, ditekankan pada plan of implementation yang mengintegrasikan
elemen ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan pada tata penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (good governance). Serta KTT Pemanasan Global di Nusa Dua, Bali pada tanggal 13 – 15
Desember 2007 merupakan momentum dalam upaya untuk membangun kesadaran semua warga
bumi untuk berbuat sekecil apapun demi menyelamatkan bumi, tempat yang menjadi sumber hidup
dan hidup bersama. Dalam konferensi tentang lingkungan hidup ini semua negara ambil bagian dalam
menentukan nasib bumi di waktu mendatang.
47
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Dalam lingkup nasional, Indonesia telah memiliki regulasi tentang lingkungan hidup, yaitu
Undang Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain
undang-undang tersebut terdapat beberapa peraturan di bawah undang-undang yang berkaitan dengan
lingkungan hidup. Berdasarkan argumentasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa regulasi atau
kebijakan merupakan determinan yang berkaitan dengan pelaksanaan implementasi perilaku ramah
lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia dalam perusahaan.
Komitmen Organisasi/Pimpinan
Erdogan et, al (2015) telah melakukan penelitian terhadap karyawan dan supervisor di Turki. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa komitmen organisasi memiliki pengaruh terhadap perilaku ramah
lingkungan para karyawan dan supervisor. Komitmen manajemen/organisisi merupakan salah satu
determinan dalam implementasi perilaku ramah lingkungan juga dijelaskan oleh Alhadid (2014) yang
mengemukakan bahwa inovasi ramah lingkungan dalam produk dan proses membutuhkan prinsip
praktik dan perilaku dalam perusahaan industri, karena manajemen adalah pendorong utama dalam
penerapan ini melalui kebijakan praktik dan perilaku yang ramah lingkungan. Renwick et, al (2013)
mengemukakan bahwa prediktor seperti masalah kepemimpinan, profil komitmen, iklim organisasi,
dan/ atau disposisi individu bisa dinilai untuk melihat dari mana mereka bertindak sebagai driver
mengenai adopsi perilaku Green HR di tempat kerja. Dari pendapat beberapa peneliti tersebut dapat
disimpulkan bahwa komitmen organisasi atau pimpinan lembaga patut diduga sebagai determinan
yang berkaitan dengan implementasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya
manusia dalam perushaan.
Proses Implementasi Green HRM dalam Praktik MSDM
Dari determinan stimulus, beberapa bentuk komitmen organisasional dalam penerapan Green
HRM pada perusahaan diwujudkan dalam beberapa bentuk respon organisasi dalam implementasi
perilaku ramah lingkungan dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yaitu penentuan visi dan misi
organisasi, Kebijakan organisasi terkait dengan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi,
Komitmen dalam penyediaan teknologi ramah lingkungan, penyediaan fasilitas/sarana prasarana bagi
semua stakeholders untuk berperilaku ramah lingkungan, serta perbagai program kerja organisasi
yang berkaitan dengan perilaku ramah lingkungan (Unnikrishnan & Hadge 2007, Lane 2009,
Renwick et, al. 2013; Alhadid 2014; Erdogan et al 2015). Beberapa peneliti telah membahas tentang
bagaimana mengimplementasikan perilaku ramah lingkungan dalam kebijakan dan program
perusahaan misalnya Intervensi HR berbasis Evaluation management system (EMS), green
intellectual capital (GIC) and corporate environmental citizenship (CEC), serta dalam praktik sumber
daya manusia yaitu manajemen kinerja; pelatihan, pengembangan, dan pembelajaran; kompensasi
dan manfaat; dan budaya organisasi (Sudin 2011; Jackson 2011; Milliman 2013; Pooja 2014).
Penelitian yang lain juga dilakukan yaitu tentang bagaimana pengusaha dan praktisi
menghubungkan keterlibatan karyawan dan partisipasi dalam program pengelolaan lingkungan untuk
peningkatan kinerja lingkungan organisasi (Mandip 2012; Paille 2013). Penelitian senada telah
membahas tentang beberapa bentuk perilaku ramah lingkungan, serta konsep Green Work Life yang
menekankan pada integrasi kehidupan pribadi dan kehidupan kerja karyawan dengan mengacu pada
sikap lingkungan, praktik dan perilaku (Harvey 2013; Datta 2015). Perilaku ramah lingkungan juga
dihubungkan dengan praktik manajemen sumber daya manusia, dan diuraikan sebagai berikut:
Penelitian tentang perilaku ramah lingkungan dalam pengelolaan sumber daya manusia khususnya
dalam kaitannya dalam rekrutmen telah dilakukan oleh Dechant & Altman (1994) dengan tujuan
penelitian untuk mengetahui bagaimana persepsi karyawan terhadap perilaku perusahaan ramah
48
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
lingkungan. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa terdapat hubungan antara rekrutmen karyawan
dengan profil perusahaan. Selain itu, kajian tentang Perilaku ramah lingkungan yang dikaitkan
dengan manajemen sumber daya manusia khususnya dalam hal rekrutmen telah dilakukan oleh Bauer
& Aiman-Smith (1996) yang menunjukan bahwa calon karyawan lebih bersedia untuk bekerja di
sebuah perusahaan yang mempromosikan karakteristik pro lingkungan. Frank (2003) yang
menunjukan bahwa karyawan bersedia bekerja untuk perusahaan yang ramah lingkungan untuk
menurunkan biaya. Brekke & Nybord (2008) yang menunjukan hasil bahwa karyawan akan lebih
memilih perusahaan ramah lingkungan dari pada perusahaan yang tidak ramah lingkungan jika
ditawarkan gaji yang sama.
Sementara itu kajian tentang perilaku ramah lingkungan yang dikaitkan dengan kompensasi
dalam manajemen sumber daya manusia dilakukan oleh Alhadid (2014) dengan kesimpulan bahwa
diidentifikasi perlunya penawaran insentif yang lebih baik dalam implementasi kebijakan manajemen
lingkungan. Forman & Jorgensen (2001) yang menyimpulkan bahwa penawaran kompensasi untuk
mengambil tugas dalam kaitannya dengan tanggung jawab lingkungan membantu meningkatkan
komitmen karyawan pada program manajemen lingkungan. Ramus (2001) yang menyimpulkan
bahwa penyajian insentif non finansial seperti pengakuan dukungan dari atasan membantu
meningkatkan motivasi karyawan untuk mengambil bagian dalam program manajemen lingkungan.
Kajian perilaku ramah lingkungan yang dikaitkan dengan program pelatihan karyawan dalam
manajemen sumber daya manusia telah dilakukan oleh Perron et, al. (2006) yang menyimpulkan
bahwa pelatihan lingkungan perlu disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan tertentu. Daily et, al.
(2007) dengan kesimpulan bahwa pelatihan akan membantu karyawan mengidentifikasi tantangan
dan peluang kerangka manajemen kelestarian lingkungan. Unnikrishnan & Hedge (2007) Dukungan
manajemen puncak dan kehadiran teknologi penting untuk mempromosikan pelatihan lingkungan.
Sarkis et, al. (2010) yang menyimpulkan bahwa karyawan yang diberikan pelatihan yang lebih baik,
memiliki persepsi yang lebih baik tentang manajemen lingkungan.
Hasil Implementasi Green HRM
Penerapan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi tentunya memiliki tujuan dan
manfaat.Berbagai manfaat atau dampak positif dari penerapan perilaku ramah lingkungan di
perusahaan telah diungkapkan oleh banyak pihak. Penelitian Edwards (2006) menghasilkan
kesimpulan bahwa bangunan kantor ramah lingkungan harus dipertimbangkan agar energi, kesehatan
dan manfaat produktivitas untuk diintegrasikan secara efektif. Kesimpulan yang kedua adalah sistem
pencahayaan secara alami dan kantor yang berventilasi diperlukan untuk mencapai efisiensi energi
dan bermanfaat secara signifikan bagi pekerja. Lebih lanjut disimpulkan bahwa kantor ramah
lingkungan tidak hanya menghemat energi, tetapi juga membantu mengurangi biaya staf perusahaan,
dan menambah daya saing.
Menurut Business Resource Efficiency Guide, manfaat ramah lingkungan ramah lingkungan
adalah; 1. Mengurangi biaya, 2.Peningkatan efisiensi sumber daya, 3.Mengurangi jejak karbon,
4.Peningkatan kinerja lingkungan, 5.Peningkatan citra perusahaan, dan 6.Karyawan lebih memiliki
kesadaran ramah lingkungan (Wrap 2009). Lebih lanjut Shaikh (2010) menegaskan bahwa sumber
daya manusia ramah lingkungan memainkanperan penting dalam organisasi untuk mendukung
masalah lingkungandalam sudut pandang manajemen, kebijakan SDM dan praktik, pelatihan
karyawan danpelaksanaan aturan terkait dengan perlindungan lingkungan. Itujuga akan membuat
karyawan dan stakeholders menyadaribahwa pemanfaatan sumber daya alam yang lebih ekonomis
dan mendukungproduk ramah lingkungan. Mandip(2012) sertamenyatakanbahwa sumber daya
manusia
ramah
lingkungan
mengacupada
menggunakansetiapkaryawanuntuk
mempromosikanpraktik-praktik berkelanjutandanmeningktkan komitmenkaryawan untukterlibat
dalam program lingkungan. Kegiatan SDM ramah lingkungan mengakibatkan efisiensi yang lebih
49
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
besar, biaya yang lebih rendahdanketerlibatan karyawanyang lebih baik, serta
dapat
mempertahankan karyawan .
Kesimpulan dari studi Cherian & Jelly (2012), dinyatakan bahwa harus diakui bahwa
pentingnya praktik Green HRM sangat penting untuk mempromosikan semangat kerja karyawan dan
ini dapat membantu dalam mencapai banyak keuntungan bagi perusahaan dan karyawan.Terkait
dengan manfaat dari implementasi konsep ramah lingkungan, lebih lanjut Cherian& Jelly
mengemukakan bahwa ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh bila suatu organisasi
memperkenalkan atau menerapkan prinsip Green HRM yaitu : Peningkatan tingkat retensi karyawan,
Peningkatan citra publik, Peningkatan dalam menarik karyawan yang lebih baik, Peningkatan
produktivitas dan keberlanjutan, Pengurangan dampak lingkungan dari perusahaan, dan Peningkatan
daya saing dan peningkatan kinerja secara keseluruhan.
Penelitian Renwick et,al (2013) menunjukan bahwa adanya hubungan yang kuat antara Green
HRM dalam kinerja organisasi, hal tersebut ditunjukan bahwa praktik Green HRM diidentifikasi
memiliki peran untuk meningkatkan tidak hanya kinerja lingkungan, tetapi juga kinerja keuangan
organisasi. Praktik Green HRM mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan di tempat
kerja, peningkatan lingkungan kerja dan memuaskan kebutuhan tenaga kerja yang semakin sadar
lingkungan. Singkatnya, Renwick percaya bahwa Green HRM memiliki potensi untuk memberikan
kontribusi positif untuk kesejahteraan karyawan dan peningkatan kinerja organisasi.
Dalam penelitiannya, Antje et, al. (2014) menemukan bahwa pengelolaan lingkungan secara
positif mempengaruhi kinerja ekonomi; di samping itu perusahaan dapat meningkatkan kinerja jika
mereka menginvestasikan kembali nilai ekonomi melalui pengelolaan lingkungan dalam pelaksanaan
ramah lingkungan. Penelitian Alhadid (2014) menegaskan bahwa kehadiran inovasi ramah
lingkungan berdampak dalam kinerja organisasi, hal ini menegaskan bahwa praktik manajemen
ramah lingkungan memiliki manfaat yang signifikan pada tingkat industri dan ekonomi nasional
dengan mencapai penghematan yang signifikan.
Dari argumentasi dari beberapa peneliti diatas dapat disimpulkan bahwa beberapa dampak
dari pelaksanaan perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia adalah efisiensi
sumber daya& dampak ekonomi(Edwards 2006, Wrap 2009, Shaikh 2010, Mandip 2012, Alhadid
2014). Dampak yang lain adalah terhadap semangat kerja dan kinerja karyawan dan organisasi
(Renwick et,al 2013, Antje &Giovanni 2014, Cherian & Jelly 2012). Selain berdampak pada efisiensi
sumber daya dan dampak terhadap kinerja, implementasi perilaku ramah lingkungan juga memiliki
dampak terhadap peningkatan citra organisasi (Wrap 2009, Cherian & Jelly2012).
Model Implementasi Green HRM dalam Praktik MSDM
Dari uraian di atas maka dapat diformulasikan kerangka pemikiran dalam bentuk model
implementasi perilaku ramah lingkungan dalam manajemen sumber daya manusia (MSDM) sebagai
berikut:
50
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PROSES IMPLEMENTASI
Eksternal
STIMULUS
HASIL
Kesadaran
Etika Lingkungan
Global
(Bansal 2000; Keraf 2010;
Rantao 2012)
Regulasi/Peraturan
(Global/Nasional)
(Zaman 2012; Yusoff
et al 2015)
Internal
Komitmen
Organisasi /
Pimpinan
(Renwick 2008; Jackson 2010;
Muster 2011; Yusoff 2015,
Damayanti 2013, Endorgan 2015)
Visi dan Misi Organisasi
Kebijakan Organisasi
Penyediaan Teknologi
Penyediaan Sarana
Program-Program
(Unnikrishnan & Hadge
2007, Renwick et al 2013;
Alhadid 2014; Erdogan et
al 2015, Yusoff 2015)
PRAKTIK MSDM
Rekrutmen Karyawan
Pelatihan Karyawan
Penilaian Kinerja
Kompensasi
Rekrutmen (Dechant & Altmah
1994, Bauer & Aiman-Smith 1996,
Frank 2003)
Pelatihan (Perron et al 2006, Daily
et al 2007, Unnikrishnan & Hadge
2007, Sarkis et al. 2010, Opatha &
Anton 2014)
Penilaian Kinerja (Mandip
2012, Pooja,2014)
PERILAKU RAMAH
LINGKUNGAN
- Green Competencies
- Green Attitude
- Green Behaviour
- Green Result
(Busck 2005; Collier &
Esteban 2007; Garavan et
al 2010 ; Sudin, 2011;
Renwick 2008; Sudin
2011;Mandip 2012; Harvey
2013; Paile 2013; Rani
2014; Datta 2015)
Kompensasi (Tylo et al 1992,
Ramus 2001, Forman & Jorgensen 2001,
Alhadid 2014)
1.Efisiensi Sumber
Daya
2.Kinerja
3. Citra Organisasi
Efisiensi Sumber
Daya ( Edwards
2006, Wrap 2009,
Shaikh 2010, Mandip
2012, Ekasatya
2014, Alhadid 2014).
Kinerja (Renwick et al
2013, Antje & Giovanni
2014, Cherian & Jelly
2012)
Citra Organisasi (Wrap
2009, Cherian & Jelly
2012)
Gambar 2. Model Implementasi Green HRM
Kerangka Model di atas memiliki tiga kategori utama yaitu stimulus, proses implementasi
serta hasil dari implementasi perilaku ramah lingkungan. Stimulus merupakan hal yang mendorong
subyek/organism baik secara organisasional maupun individual untuk melakukan sesuatu. Beberapa
determinan yang diduga sebagai pendorong atau motivator organisasi atau individu karyawan untuk
berperilaku ramah lingkungan diklasifikasikan berasal dari ekternal organisasi dan internal
organisasi. Stimulus dari ekternal adalah kesadaran akan etika lingkungan (Bansal 2000; Keraf 2010;
Rantao 2012), dan berbagai regulasi atau peraturan baik secara nasional maupun internasional
(Zaman 2012; Yusoff et al 2015). Sedangkan stimulus dari internal organisasi terdiri dari komitmen
organisasi dan pimpinan (Renwick 2008; Jackson 2010; Muster 2011; Yusoff 2015; Damayanti
2013).Stimulus merupakan sesuatu yang menjadi pendorong untuk subyek/organism
berperilaku.Subyek/organism terdiri atas organisasi dan individu. Stimulus dapat berasal dari luar
organisasi (Ekternal) dan dari dalam organisasi (Internal). Stimulus eksternal terdiri dari kesadaran
akan etika lingkungan. Kesadaran etika lingkungan ini berlaku secara global dan universal.Stimulus
yang kedua adalah peraturan atau regulasi dan kesepakatan tentang pelestarian lingkungan hidup yang
berlaku secara nasional maupun secara internasional.Kedua stimulus eksternal ini (Kesadaran etika
lingkungan dan peraturan) diduga dapat menjadi factor yang mendorong organisasi maupun individu
untuk melakukan penerapan perilaku ramah lingkungan di perusahaan khususnya dalam bidang
MSDM. Sedangkan stimulus internal merupakan komitmen organisasi dan pimpinan. Jika organisasi
dan pimpinan memiliki komitmen yang baik dalam kelestarian lingkungan maka hal ini akan menjadi
factor penentu dilakukannya implementasi perilaku ramah lingkungan di perusahaan khususnya
dalam bidang MSDM.
Beberapa bentuk respon organisasi dalam implementasi perilaku ramah lingkungan dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk yaitu penentuan visi dan misi organisasi, Kebijakan organisasi
terkait dengan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi, komitmen dalam penyediaan teknologi
ramah lingkungan, penyediaan fasilitas/sarana prasarana bagi semua stakeholders untuk berperilaku
51
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
ramah lingkungan, serta perbagai program kerja organisasi yang berkaitan dengan perilaku ramah
lingkungan(Unnikrishnan & Hadge 2007, Renwick et,al 2013; Alhadid 2014; Erdogan et,al 2015).
Proses implementasi perilaku ramah lingkungan dalam pengelolaan sumber daya manusia
diimplementasikan dalam proses penerimaan karyawan/rekrutment (Dechant & Altmah 1994, Bauer
& Aiman-Smith 1996, Frank 2003), kegiatan pelatihan karyawan/training (Perron et al 2006, Daily
et al 2007, Unnikrishnan & Hadge 2007, Sarkis et,al. 2010,Opatha & Anton 2014), proses penilaian
kinerja karyawan/performance assessment (Mandip 2012), dan dalam sistem kompensasi bagi
karyawan (Tylo et al 1992, Ramus 2001, Forman & Jorgensen 2001, Alhadid 2014).Setelah
komitmen organisasional dalam perilaku ramah lingkungan diterapkan dalam praktik manajeme
sumber daya manusia (MSDM), maka diharapkan terjadi perubahan perilaku individual karyawan
untuk berperilaku ramah lingkungan di lingkungan kerja.
Tahapan terakhir dari model implementasi Green HRM adalah hasil atau output. Hasil atau
dampak dari komitmen organisasional dalam praktik MSDM dan komitmen individual untuk
berperilaku ramah lingkungan adalah terjadinya efisiensi berbagai sumber daya, yaitu efisiensi
energy, material dan lainnya ( Edwards 2006, Wrap 2009, Shaikh 2010, Mandip 2012, Ekasatya
2014, Alhadid 2014) . Selain dampak efisiensi sumber daya, perilaku ramah lingkungan juga akan
membawa dampak pada kinerja karyawan yang lebih baik (Cherian & Jelly 2012, Renwick et al 2013,
Antje & Giovanni 2014). Dampak yang ketiga adalah citra perusahaan atau organisasi ramah
lingkungan akan diperoleh jika organisasi dan individual memiliki komitmen yang kuat untuk
berperilaku ramah lingkungan (Wrap 2009, Cherian & Jelly 2012). Dari ketiga dampak yang
dihasilkan yaitu efisiensi sumberdaya, kinerja, dan citra organisasi tentunya akan mendukung
pencapaian keunggulan kompetitif setiap organanisasi.
PENUTUP
Simpulan
Konsep Green HRM muncul seiring dengan meningkatkan kesadaran akan penyelematan
lingkungan dari kerusakan. Green HRM memiliki berbagai dampak positif bagi organisasi. Oleh
karena ini konsep ini perlu diimplementasikan dalam praktik manajemen sumber daya manusia di
perusahaan. Hasil studi literature ini dihasilkan sebuah model implementasi Green HRM dalam
praktik Manajemen sumber daya manusia secara komprehensif, yakni meliputi stimulus, proses
implementasi, dan hasil implementasi. Stimulus atau motivator dari implementasi Green HRM baik
secara ekternal maupun internal organisasi (kesadaran dan etika lingkungan, peraturan atau regulasi,
serta komitmen organisasi).
Proses Implementasi yang meliputi beberapa dimensi yaitu penentuan visi dan misi
organisasi, Kebijakan organisasi terkait dengan perilaku ramah lingkungan dalam organisasi,
komitmen dalam penyediaan teknologi ramah lingkungan, penyediaan fasilitas/sarana prasarana bagi
semua stakeholders untuk berperilaku ramah lingkungan, serta perbagai program kerja organisasi
yang berkaitan dengan perilaku ramah lingkungan.Proses implementasi perilaku ramah lingkungan
dalam pengelolaan sumber daya manusia diimplementasikan dalam proses penerimaan
karyawan/rekrutment kegiatan pelatihan karyawan/training,
proses penilaian kinerja
karyawan/performance assessment, dan dalam sistem kompensasi bagi karyawan. Setelah komitmen
organisasional dalam perilaku ramah lingkungan diterapkan dalam praktik manajemen sumber daya
manusia (MSDM), maka diharapkan terjadi perubahan perilaku individual karyawan untuk
berperilaku ramah lingkungan di lingkungan kerja.
52
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tahap terakhir adalah hasil atau dampak dari implementasi Green HRM yaitu efisiensi energi,
material dan lainnya, dampakpositif dalam kinerja karyawan, serta citra perusahaan yangpositif
sebagai perusahaan ramah lingkungan.
Masukan untuk Penelitian Mendatang
Penelitian ini hanya menghasilkan model implementasi Green HRM dalam praktik
manajemen sumber daya manusia berdasarkan studi literatur dari berbagai literatur dan hasil
penelitian dari para peneliti sebelumnya. Dengan dengan demikian penelitian ini belum bisa
memberikan gambaran secara empiris tentang bagaimana implementasi Green HRM dalam praktik
Manajemen sumber daya manusia pada perusahaan. Direkomendasikan kepada peneliti berikutnya
agar dilakukan kajian yang lebih mendalam agar bisa menemukan berbagai determinan lain yang
terkait dengan implementasi Green HRM dalam praktik manajemen sumber daya manusia di
perusahaan. Selain itu penelitian empirik perlu dilakukan agar menghasilkan gambaran secara nyata
tentang sejauhmana implementasi Green HRM dalam praktik manajemen sumber daya manusia di
perusahaan, khususnya di Indonesia.
53
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
Alhadid, Anas Y. & As’ad, H. Abu-Rumman. 2014. "The Impact of Green Innovation on
Organizational Performance, Environmental Management Behavior as a Moderate Variable:
An Analytical Study on Nuqul Group in Jordan." International Journal of Business and
Management; Vol. 9, No. 7; 2014 ISSN 1833-3850 E-ISSN 1833-8119 Published by Canadian
Center of Science and Education, 2014: 51-58.
Antarriau.com. Antar Riau. June 03, 2016. http://www.antarariau.com/berita/73767/bps-sebutkualitas-lingkungan-indonesia-nomor-107-di-dunia (accessed 11 08, 2016).
Antje, Gotscho, and Pietro De Giovanni. 2014. "Environmental management an economically
sustainable business?" (Journal of Environmental Management. ) Vol. 144, Nov2014 p73-82.
10p. (2014).
Bansal, Pratina, Kendall Roth. 2000. "Why Companies Go Green: A Model Of Ecological
Responsiveness." Academy of Management Journal. Aug2000, Vol. 43 Issue 4, 2000: 717736.
Bauer, Talya N. and Lynda Aiman-Smith. 1996. "Green Career Choices: The Influence of Ecological
Stance on Recruiting." Journal of Business and Psychology, Vol. 10, No. 4, 1996: 445-458.
Brekke, K. A., & Nyborg, K. 2008." Attracting responsible employees: green production as labor
market
screening."
Resource
and
Energy
Economics,
30(4)
http://dx.doi.org/10.1016/j.reseneeco.2008.05.001, 2008: 509-526.
Cherian, Jacob & Jacob, Jelly. 2012. "A Study of Green HR Practices and Its Effective
Implementation in the Organization: A Review." International Journal of Bussiness and
Management , 2012: Vol. 7 No. 21.
Daily, B. F., Bishop, J., & Steiner, R. 2007. "The mediating role of EMS teamwork as it pertains to
HR factors and perceived environmental performance." Journal of Applied Business
Research, 23(1), 2007: 95-109.
Damayanti, dan Destia Pentiana. 2013. "“Global Warming” dalam Perspektif Environmental
Management Accounting (EMA)." Jurnal Ilmiah ESAI Volume 7, No.1, Januari 2013.
Datta, Miss Aparajita. 2015. "Green Work- Life Balance: A New Concept in Green HRM."
International Journal of Multidisciplinary Approach and Studies Volume 02, No.2, March –
April, 2015, 2015: 83-89.
Dechant, K. and Altman, B. 2012. "Environmental leadership: From compliance to competitive
advantage." Academy of Management Executive. 8(3), 2012: 7-27.
Edwards, Brian. 2006. ""Benefits of Green Offices in the UK:Analysis from Examples Built ." ."
(Wiley InterScience , (www.interscience.wiley.com) DOI: 10.1002/sd.263) Sust. Dev. 14,
2006: 190–204.
Ekasatya, Hennidar Novia. 2014. "Penerapan Kesadaran Lingkungan dengan penghematan anggaran
Listrik, Kertas, Air di Kantor Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Probolinggo." Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol 3 Nomer 2, 2014: 1-15.
Erdogan, Berrin., Talya N Bauer, Sully Taylor. 2015. "Management commitment to the ecological
environment and employees: Implications for employee attitudes and citizenship behaviors."
human relations, DOI: 10.1177/0018726714565723, Downloaded from hum.sagepub.com by
Claire Castle on April 29, 2015, 2015: 1-23.
54
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
ESDM. 2011. Kementerian Ernergi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia, Pemborosan
Energi 80 Persen Faktor Manusia. 2011. http://www2.esdm.go.id/berita/listrik/39listrik/4448-pemborosan-energi-80- (accessed November 10, 2014).
Forman, M., & Jorgensen, M. S. 2001. " The social shaping of the participation of employees in
environmental work within enterprises – experiences from a Danish contex ." Technology
Analysis and Strategic Management, 13(1) http://dx.doi.org/10.1080/09537320120040455,
2001: 71-90.
Frank, R. H. 2003. What Price the Moral High Ground? Ethical Dilemmas in Competitive
Environment. Princeton University Press, 2003.
Harvey, Geraint, Karen Williams and Jane Probert,. 2013. "Greening the airline pilot: HRM and the
green performance of airlines." The International Journal of Human Resource Management
Vol. 24 No 1 January 2013, 2013: 152-166.
Heiskanen, Eva. 2002. "The Environmental Agenda in Organization and Management Research.
Towards Interdisciplinarity?" The Journal of Transdisciplinary Environmental Studies vol. 1,
no. 2, 2002, 2002: 1-15.
Jackson, Susan E & Janghoon Seo. 2010. "The greening of strategic HRM scholarship." Organization
Management Journal (2010) 7, 278–290,& 2010 Eastern Academy of Management All rights
reserved 1541-6518, 2010: 278-290.
Keraf, A Sonny. 2010. Etika Lingkunga Hidup. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.
Lane, Michael S, Angela Howard, and Srecko Howard. 2009. "The Energy Inefficiency of Office
Computing and Potential Emerging Technology Solutions." Issues in Informing Science and
Information Technology Volume 6, 2009: 798-808.
Mandip, Gill. 2012. "Green HRM: People Management Commitment." Research Journal of Recent
Sciences, Vol. 1 (ISC-2011), 244-252 (2012), ISSN 2277-2502, 2012: 244-252.
Muster, Viola, & Ulf Schrader. 2011. "Green Work-Life Balance: A New Perspective for Green
HRM." German Journal of Research in Human Resource Management, 25(2) Zeitschrift für
Personalforschung, 25(2), 140-156 DOI 10.1688/1862-0000_ZfP_2011_02_Muster, 2011:
140-156.
Opatha, H. H. D. N. P. & A. Anton Arulrajah. 2014. "Green Human Resource Management:
Simplified General Reflections." International Business Research; Vol. 7, No. 8; 2014, ISSN
1913-9004 E-ISSN 1913-9012, Published by Canadian Center of Science and Education,
2014: 102-112.
Perron, R. P., & Côte, J. F. 2006. " Duffy Improving environmental awareness training in business."
Journal of Cleaner Production, 14(6-7), http://dx.doi.org/10.1016/j.jclepro.2005.07.006,
2006: 551-562.
Ramus, C. A. . 2001. "Organizing support for employees: Encouraging creative ideas for
environmental
sustainability."
California
Management
Review,
43(3)
http://dx.doi.org/10.2307/41166090, 2001: 85–103.
Rani, Sushma & K. Mishra. 2014. "Green HRM: Practices and Strategic Implementation in the
Organizations." International Journal on Recent and Innovation Trends in Computing and
Communication Volume: 2 Issue: 11 ISSN: 2321-8169, 2014: 3633 – 3639.
Rantao,
Ary.
2012.http://green.kompasiana.com/penghijauan/2012/01/02/sistem-dan-prinsipmenejemen-lingkungan-424223.html. 2012. (accessed November 20, 2014).
Renwick, Douglas W.S., Tom Redman & Stuart Maguire. 2013. "Green Human Resource
Management: A Review and Research Agenda." International Journal of Management
Reviews, Vol. 15, 1–14 (2013) DOI: 10.1111/j.1468-2370.2011.00328.x, 2013: 1-4.
55
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Sarkis, J., Gonzalez-Torre, P., & Adenso-Diaz, B. 2009. " Stakeholder pressure and the adoption of
environmental practices, the mediating effect of training." Journal of Operations
Management, 28(2), http://dx.doi.org/10.1016/j.jom.2009.10.001, 2010: 163-176.
Shaikh, MW. 2010. "Green HRM, A Requirement Of 21st Century." National Monthly Refereed
Journal Of Reasearch In Commerce & Management, 2010: Volume No.1, Issue No.10 Issn
2277-1166. P. 122-127.
Taylo, Stuart R,. 1992.
"Green management." The next competitive weapon, 24(7),
http://dx.doi.org/10.1016/0016-3287(92)90075-Q, 1992: 669-680.
Unnikrishnan, D., & Hedge, S. 2007. " Environmental training and cleaner production in Indian
industry–amicro-level study." Resources Conservation and Recycling, 50(4),
http://dx.doi.org/10.1016/j.resconrec.2006.07.003, 2007: 427-441.
Usman, Nurdin. 2002. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002.
Wibisono, Yusuf. 2007. Membedah Konsep & Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing, 2007.
Wrap. 2009. Green Office: A Guide to Running a More Cost-effective and Environmentally
Sustainable Office. Business Resource Efficiency Guide, www.wrap.org.uk, 2009.
Yusoff, Yusliza Mohd, Nur Zahiyah Othman, Yudi Fernando, Azlan Amran,.2015.
"Conceptualization of Green Human Resource Management: An Exploratory Study from
Malaysian-based Multinational Companies." International Journal of Business Management
and Economic Research(IJBMER), Vol 6(3),2015,158-166, 2015: 158-166.
Ε»ak, Agnieszka. 2015. "Triple bottom line concept in theory and practice." Research Papers Of
WrocΕ‚aw University Of Economics No. 387 Issn 1899-3192 E-Issn 2392-0041 DOI:
10.15611/pn.2015.387.21, 2015: 251-264.
Zaman, Maliza Delima Kamarul. 2012. "The Environmental Ethical Commitment (EEC) of the
Business Corporations in Malaysia." Procedia - Social and Behavioral Sciences 36 , 2012:
565 – 572.
56
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
EFFECT OF SERVICE QUALITY ON CUSTOMER SATISFACTION PD.
BPR. DJOKO TINGKIR IN DISTRICT SRAGEN
Martina Primardhani1 dan Istiatin2
Universitas Islam Batik, Surakarta
E-mail : [email protected] & [email protected] 2
Abstract: Customer satisfaction is very important in the constellation of the business at the present time
both are engaged in the business of goods or services business. Good quality service is one of the important
things and become one of the conditions of success in the service industry, one of the banks. Quality of
care has an important role in the creation of customer satisfaction. customers are increasingly critical of
the service obtained by making the company should be able to carry out operational activities as possible
to provide the best services (Khatimah, 2011). It should also be carried by the PD. BPR Djoko Tingkir a
BPR (Rural Bank) owned by the Government of Sragen, Central Java province. As a micro-banking
financial institutions that have the commitment and active role in socio-economic development. Based on
the background of the problems above, it can be formulated the problem as follows: (1) What is the quality
of service consisting of physical evidence, reliability, responsiveness, assurance and empathy influence
simultaneously to customer satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen? ( 2) Does the physical
evidence of an effect on customer satisfaction in the Rural Bank Djoko Tingkir Sragen? (3) What is the
reliability influence on customer satisfaction in the Rural Bank Djoko Tingkir Sragen? (4) Do
responsiveness effect on customer satisfaction on Rural Banks Djoko Tingkir Sragen? (5) Is the effect on
customer satisfaction guarantee on Rural Bank Djoko Tingkir Sragen? (6) Is the empathy effect on
customer satisfaction in the Rural Bank Djoko Tingkir Sragen?Based on the formulation of the problem
that has been presented, the study aims to: (1) Determine the influence of simultaneous service quality
consists of physical evidence, reliability, responsiveness, assurance and empathy, to customer satisfaction
at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen. ( 2) Determine the influence of physical evidence to customer
satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen. (3) Determine the influence of reliability to customer
satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen. (4) Determine the influence responsiveness to customer
satisfaction at Rural Banks Djoko Tingkir Sragen. (5) Determine the influence of a guarantee to customer
satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen. (6) Determine the influence of empathy to customer
satisfaction at Rural Bank Djoko Tingkir Sragen.
Keywords: Service Quality and Customer Satisfaction
Abstrak: Kepuasan pelanggan menjadi hal yang sangat penting dalam konstelasi bisnis pada saat sekarang
ini baik yang bergerak dalam bisnis barang ataupun bisnis jasa. Kualitas layanan yang baik merupakan
salah satu hal yang penting dan menjadi salah satu syarat kesuksesan dalam industri jasa, salah satunya
perbankan. Kualitas pelayanan memiliki peran penting dalam penciptaan kepuasan nasabah, nasabah yang
semakin kritis terhadap pelayanan yang diperoleh membuat perusahaan harus dapat melaksanakan
kegiatan operasional sebaik mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik (Khatimah, 2011). Hal ini juga
harus dilakukan oleh PD. BPR Djoko Tingkir merupakan BPR (Bank Perkreditan Rakyat) milik
Pemerintah Kabupaten Sragen, provinsi Jawa Tengah. Sebagai lembaga keuangan perbankan mikro yang
memiliki komitmen dan peran aktif dalam pembangunan sosial ekonomi. Berdasarkan latar belakang
masalah di atas maka dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut: (1) Apakah kualitas pelayanan
yang terdiri dari bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan dan empati berpengaruh secara simultan
terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen? (2) Apakah
bukti fisik berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir
Kabupaten Sragen? (3) Apakah kehandalan berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank
Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen? (4) Apakah daya tanggap berpengaruh terhadap
57
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen? (5) Apakah jaminan
berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen?
(6) Apakah empati berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir
Kabupaten Sragen? Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini
bertujuan untuk: (1) Mengetahui pengaruh secara simultan kualitas pelayanan yang terdiri dari bukti fisik,
kehandalan, daya tanggap, jaminan dan empati, terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat
Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (2) Mengetahui pengaruh bukti fisik terhadap kepuasan nasabah pada
Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (3) Mengetahui pengaruh kehandalan
terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (4)
Mengetahui pengaruh daya tanggap terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko
Tingkir Kabupaten Sragen. (5) Mengetahui pengaruh jaminan terhadap kepuasan nasabah pada Bank
Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (6) Mengetahui pengaruh empati terhadap kepuasan
nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen.
Kata kunci: kualitas pelayanan dan kepuasan nasabah
PENDAHULUAN
Kepuasan pelanggan menjadi hal yang sangat penting dalam konstelasi bisnis pada saat
sekarang ini baik yang bergerak dalam bisnis barang ataupun bisnis jasa. Pada bisnis jasa, terutama
bisnis jasa perbankan yang sangat kompetitif diperlukan langkah-langkah strategis yang harus
dilakukan pelaku bisnis untuk mempertahankan nasabah ataupun mendapatkan nasabah baru
potensial. Selain produk jasa keuangan yang lebih menjanjikan dan memberikan jaminan kepastian
keamanan, kualitas pelayanan unit bisnis perbankan menjadi komponen penting dalam bisnis jasa
perbankan dan keuangan. Kualitas layanan yang baik merupakan salah satu hal yang penting dan
menjadi salah satu syarat kesuksesan dalam industri jasa, salah satunya perbankan. Kualitas
pelayanan memiliki peran penting dalam penciptaan kepuasan nasabah, nasabah yang semakin kritis
terhadap pelayanan yang diperoleh membuat perusahaan harus dapat melaksanakan kegiatan
operasional sebaik mungkin untuk memberikan pelayanan terbaik (Khatimah, 2011).
Kualitas pelayanan yang memuaskan akan memberikan kesan yang baik terhadap bank dan
sebaliknya jika kualitas layanan mengecewakan maka kesan yang diterima nasabah akan buruk.
Kualitas layanan juga akan berdampak langsung terhadap loyalitas nasabah (Koestanto, 2014).
Kenyataannya, antara harapan nasabah dengan kenyataan pelayanan yang diberikan kepada nasabah
sering kali terjadi sebaliknya. Tidak sedikit nasabah yang mengungkapkan kritikan dan keluhan
karena pelayanan yang diberikan kurang atau bahkan tidak memuaskan. Kritikan dan keluhan tersebut
yang dapat menimbulkan persepsi negatif nasabah. Apabila hal tersebut dibiarkan terus-menerus
dapat menurunkan tingkat kepercayaan nasabah. Kepercayaan merupakan kunci dari bisnis
perbankan oleh karena itu prinsip kehati-hatian sangat diperlukan. Unsur kepercayaan menjadi faktor
kunci bagi perusahaan untuk memenangkan persaingan. Kepercayaan juga sangat diperlukan untuk
membangun dan mempertahankan hubungan jangka panjang (Dewi, 2014).
Tingkat kepuasan juga amat subyektif dimana satu konsumen dengan konsumen lain akan
berbeda. Hal ini disebabkan oleh faktor seperti umur, pekerjaan, pendapatan, pendidikan, jenis
kelamin, kedudukan sosial, tingkat ekonomi, budaya, sikap mental dan kepribadian (Utomo, 2014).
Disamping itu, bank perlu menciptakan produk - produk inovatif yang mampu menarik minat calon
nasabah untuk bergabung menjadi nasabahnya. Produk-produk inovatif yang ini juga harus
memperhatikan kualitas positif yang dapat dirasakan atau diperoleh nasabah, karena kualitas ini dapat
memberikan kepuasan yang optimal pada nasabah. Selain itu, pihak bank dapat memberikan kotak
58
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
kritik dan saran yang disediakan ditempat transaksi para nasabah, hal ini penting dilakukan oleh pihak
untuk mengetahui, sejauh mana para nasabah merasakan pelayanan yang terdiri dari dimensi bukti
fisik (tangibles), keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), jaminan (assurance) dan
perhatian (empathy) yang diberikan oleh pihak bank. Menurut Yulianti (2013), Perbankan harus
memperhatikan langkah-langkah dalam mempertahankan atau menarik nasabah khususnya lima
dimensi kualitas jasa untuk dapat memberikan kepuasan kepada nasabah yang merupakan kekuatan
yang perlu ditingkatkan dalam memasarkan produk perbankan.
Hal ini juga harus dilakukan oleh PD. BPR Djoko Tingkir merupakan BPR (Bank Perkreditan
Rakyat) milik Pemerintah Kabupaten Sragen, provinsi Jawa Tengah. Sebagai lembaga keuangan
perbankan mikro yang memiliki komitmen dan peran aktif dalam pembangunan sosial ekonomi serta
memberikan kontribusi yang penting dalam pembangunan masyarakat Sragen pada khususnya
sebagai bank milik Pemerintah Kabupaten Sragen. PD. BPR Djoko Tingkir turut berperan dalam
meningkatkan pendapatan perkapita daerah, kesejahteraan dan kemandirian masyarakat melalui
produk-produk yang ditawarkan kepada masyarakat, sasarannya masyarakat ekonomi kecil dan
menengah serta kelompok-kelompok usaha yang ada di wilayah Kabupaten Sragen. Hal utama yang
menjadi kunci sukses PD. BPR Djoko Tingkir dalam memberikan pelayanan terbaik tersebut adalah
prosedur pelayanan yang sederhana dan lebih mengutamakan pendekatan personal, dan serta
fleksibilitas pola dan model pinjaman dengan bunga ringan, proses cepat dan persyaratan mudah.
TINJAUAN PUSTAKA
Kepuasan konsumen merupakan hal sangat penting dalam sebuah perusahaan. Kepuasan
konsumen adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau outcame yang
dirasakan dengan harapan-harapan terhadap suatu produk. (Kotler, 2011: 40). Bahwa dalam
mengevaluasi kepuasan terhadap produk, jasa, atau perusahaan tertentu, pelanggan umumnya
mengacu pada berbagai faktor atau dimensi (Tjiptono, 2008: 225). Faktor yang sering digunakan
dalam mengevaluasi kepuasan terhadap suatu produk antara lain : kinerja, keandalan, kesesuaian
dengan spesifikasi, daya tahan, estetika, kualitas yang dipersepsikan. Perilaku konsumen merupakan
hal-hal yang mendasari konsumen untuk membuat keputusan pembelian. Ketika memutuskan akan
membeli suatu barang atau produk, tentu anda sebagai konsumen selalu memikirkan terlebih dahulu
barang yang akan anda beli. Mulai dari harga, kualitas, fungsi atau kegunaan barang tersebut, dan
lain sebagainya.
Jasa merupakan semua aktivitas ekonomi yang hasilnya tidak merupakan produk dalam
bentuk fisik atau kontruksi, yang biasanya dikonsumsi pada saat yang sama dengan waktu yang
dihasilkan dan memberikan nilai tambah (Lupiyoadi dan Hamdani, 2008: 6). Menurut Kotler (2012:
284) mengungkap ada terdapat lima faktor dominan atau penentu kualitas pelayanan jasa, diantaranya
yaitu : Bukti Fisik, Keandalan, Daya tanggap, Jaminan, Empati. Kualitas sering dianggap sebagai
ukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas kualitas desain dan kualitas kesesuaian.
terdapat lima perspektif mengenai kualitas, salah satunya yaitu bahwa kualitas dilihat tergantung pada
orang yang menilainya, sehingga produk yang paling memuaskan preferensinya seseorang
merupakan produk yang berkualitas paling tinggi (Tjiptono, 2012: 143). Menurut Lovelock et al.,
(2005: 21) menyatakan kualitas pelayanan merupakan evolusi kognitif jangka panjang pelanggan
terhadap penyerahan jasa suatu perusahaan.
59
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Bukti fisik
Kehandalan
Kualitas
Pelayanan
Daya Tanggap
Kepuasan
Nasabah
Jaminan
Empati
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Instrument dalam penelitian ini
berupa kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan pada PD. BPR Djoko Tingkir, Jln. Sukowati No.249,
Sragen, Jawa Tengah. Populasi dalam penelitian ini adalah nasabah PD. BPR Djoko Tingkir
Kabupaten Sragen. Diasumsikan jumlah nasabah aktif pada PD. BPR Djoko Tingkir Kabupaten
Sragen tak terhingga. sampel yang di gunakan dalam penelitian ini adalah 10% dari nasabah yaitu
100 responden yang ditentukan berdasarkan rumus Slovin (dalam Riduwan, 2005: 65). Teknik
sampling yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sampling insidental. Teknik pengumpulan data
yabg digunakan adalah : (1) observasi, (2) dokumentasi, (3) wawancara, (4) kuesioner, (5) studi
pustaka.
Uji validitas dengan korelasi Pearson Correlation, sedangkan uji reliabilitas dengan
cronbach’s alpha. Uji asumsi klasik meliputi : Uji normalitas, Uji multikolinieritas, Uji
heteroskedstisitas. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis regresi linear berganda.
Berdasarkan hasil analisis maka dilakukan uji f untuk menguji pengaruh simultan variabel bebas
terhadap variabel terikat, uji t dilakukan untuk menguji pengaruh secara parsial dari masing-masing
variabel bebas terhadap variabel terikat dan uji koefisien determinasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji validitas digunakan untuk mengujii sejauh mana ketepatan alat pengukur dapat
mengungkapkan konsep gejala/kejadian yang diukur. Item kuesioner dinyatakan valid apabila nilai r
hitung > r tabel (0,349). Pengujian validitas selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut ini:
60
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tabel 1. Hasil Penelitian Validitas
Variabel
Bukti Fisik
R
Hitung
R
Tabel
Keterangan
X1
X1
X1
X1
X1
Keandalan (X2)
X2
X2
X2
X2
X2
Daya Tanggap (X3)
X3
X3
X3
X3
X3
Jaminan (X4)
X4
X4
X4
X4
X4
Empati (X5)
X5
X5
X5
X5
X5
Kepuasan Nasabah
Y1
Y2
Y3
Y4
Y5
0,983
0,970
0,971
0,962
0,863
0,349
0,349
0,349
0,349
0,349
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
0,977
0,879
0,878
0,909
0,731
0,349
0,349
0,349
0,349
0,349
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
0,386
0,414
0,864
0,894
0,749
0,349
0,349
0,349
0,349
0,349
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
0,738
0,804
0,792
0,425
0,565
0,349
0,349
0,349
0,349
0,349
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
0,755
0,834
0,901
0,901
0,265
0,349
0,349
0,349
0,349
0,349
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
0,725
0,749
0,585
0,578
0,725
0,349
0,349
0,349
0,349
0,349
Valid
Valid
Valid
Valid
Valid
61
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semua item pernyataan dinyatakan valid karena
nilai r hitung > r tabel. Uji reliabilitas dilakukan untuk mendapatkan tingkat ketepatan alat
pengumpulan data (instrumen) yang digunakan. Hasil pengujian reliabilitas untuk masing-masing
variabel yang diringkas pada tabel berikut ini :
Tabel 2. Hasil Pengujian Reliabilitas
Variabel
Cronbach
’s Alpha
Kesimpulan
Kepuasan Nasabah
Bukti Fisik
Keandalan
Daya Tanggap
Jaminan
Empati
0,700
0,973
0,925
0,713
0,639
0,811
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Reliabel
Dari tabel diatas diketahui bahwa semua variabel memiliki nilai cronbach’s alpha > nilai r
tabel (0,349). Yang artinya semua item-item kuesioner dapat dikatakan reliabel atau terpercaya
sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian. Uji asumsi klasik dilakukan sebelum pengujian
hipotesis yag meliputi uji normalitas, uji multikolineritas, uji heteroskedastisitas. Uji normalitas
digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel terikat dan variabel bebas keduanya
mempunyai distribusi normal atau tidak. Model regresi yang baik memiliki distribusi normal atau
setidaknya mendekati distribusi normal. Adapun uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji
statistik non parametrik Kolmogorov-Smirnov Test (K-S). Berikut hasil uji normalitas dengan
program SPSS.
Tabel 3. Hasil Pengujian Normalitas
N
Kolmogor
ovSmirnov Z
Asymp.
Sig. (2tailed)
Ket
100
0,480
0,975
Normal
Sumber: Output SPSS
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada variabel bukti
fisik, keandalan, daya tannggap, jaminan, empati sebesar 0,975 ≥ 0,05, maka dapat disimpulkan
bahwa data tiap variabel berdistribusi normal. Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya
multikolonieritas adalah dengan melihat nilai tolerance dan nilai Varian Inflation Factor (VIF), yaitu
apabila nilai tolerance variabel bebas lebih dari 0,10 dan nilai VIF kurang dari 10,00 dapat dikatakan
tidak terjadi multikolonieritas. Apabila nilai tolerance variabel bebas kurang dari 0,10 dan nilai VIF
lebih dari 10,00 dapat dikatakan terjadi multikolinieritas. Berikut hasil analisis dengan bantuan
program SPSS :
62
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tabel 4. Hasil Pengujian Multikolineritas
Variabel
Bukti Fisik
Keandalan
Daya
Tanggap
Jaminan
Empati
Tolerance
.702
.670
VIF
1.424
1.492
.541
1.848
.840
.972
1.191
1.029
Sumber: Output SPSS
Berdasarkan tabel diatas diketahui bahwa nilai tolerance variabel pelatihan, motivasi dan
penghargaan lebih besar dari 0,10 dan nilai VIF lebih kecil dari 10,00 sehingga dapat disimpulkan
tidak terjadi multikolineritas. Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam regresi
terjadi ketidaksamaan varians dari residual suatu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians
dari residual suatu pengamatan ke pengamatan lain tetap, maka disebut homokedastisitas dan jika
berbeda disebut heterokedastisitas. Uji yang digunakan uji Glejser. Selanjutnya dasar pengambilan
kepuasan dengan cara melihat nilai probabilitas, apabila probabilitas value > 0,05 berarti tidak terjadi
heteroskedastisitas artinya model regresi lolos uji heteroskedastisitas, sebaliknya jika probabilitas
value < 0,05 berarti terjadi heteroskedastisitas artinya model regresi tidak lolos uji heteroskedastisitas.
Berikut hasil uji heteroskedastisitas dengan program SPSS.
Tabel 5. Hasil Pengujian heteroskedastisitas
Variabel
B
Std.
t
Sig
Erro
r
(Constant)
21.592 .114 189.100
.000
X1_1
.065 .044
1.489
.140
X2_1
.086 .044
1.969
.052
X3_1
.096 .086
1.115
.268
X4_1
.092 .048
1.895
.061
X5_1
.084 .051
1.640
.104
Sumber: Output SPSS
Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai probabilitas value X1, X2, X3, X5,dan X5,
lebih besar (>) 0,05 yang berarti tidak signifikan, sehingga dapat disimpulkan bahwa data berasal dari
varians sama yang berarti tidak terjadi heteroskedastisitas dan uji homokedastisitas dapat diterima.
Analisis ini digunakan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas yang terdiri dari bukti fisik (X1),
keandalan (X2), daya tanggap (X3), jaminan (X4) dan empati (X5) terhadap variabel terikat yaitu
kepuasan nasabah (Y). Ringkasan hasil analisis regresi linier berganda dengan menggunakan progam
SPSS 20 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
63
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tabel 6. Rangkuman Hasil Uji Regresi Linier Berganda
Variabel
(Constant)
Bukti
Fisik
Keandalan
Daya
Tanggap
Jaminan
Empati
Koefisien
regresi
2.999
t
Sig
189.100
.000
.118
1.489
.140
.147
1.969
.052
.315
1.115
.268
.158
.172
1.895
1.640
.061
.104
Berdasarkan tabel ringkasan hasil analisis regresi di atas, maka dapat disusun persamaan
regresi linier berganda sebagai berikut:
Y = 2,999 + 0,118x1 + 0,147x2 + 0,315x3 + 0,158x4 + 0,172x5
Dari persamaan tersebut dapat dijelaskan bahwa: (1) variabel bukti fisik, keandalan , daya
tanggap , jaminan , dan empati , mempunyai arah koefisien yang bertanda positif terhadap kepuasan
nasabah. (2) koefisien bukti fisik memberikan nilai sebesar 0,118 hal ini berarti jika bukti fisik
semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami
peningkatan. (3) koefisien keandalan memberikan nilai sebesar 0,147 hal ini berarti jika bukti fisik
semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami
peningkatan.(4)koefisien daya tanggap (X3) memberikan nilai sebesar 0,315 hal ini berarti jika bukti
fisik semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami
peningkatan.(5) koefisien jaminan (X4) memberikan nilai sebesar 0,158 hal ini berarti jika bukti fisik
semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami
peningkatan.(6) koefisien empati (X5) memberikan nilai sebesar 0,172 hal ini berarti jika bukti fisik
semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami
peningkatan.
Uji f ini digunakan untuk mengetahui signifikansi pengaruh variabel bebas yaitu bukti fisik
(X1), keandalan (X2), daya tanggap (X3), jaminan (X4) dan empati (X5) secara bersama-sama terhadap
variabel terikat (kepuasan nasabah).
Tabel 7. Hasil Perhitungan Uji f
Sum of
Mean
Model
Squares Square
Regression
95.333 19.067
Residual
Total
84.667
180.000
F
Sig.
21. .000a
168
.901
Sumber: Output SPSS
Dari tabel 7 diketahui bahwa nilai f hitung 21.168 > f tabel 2.47 dan nilai signifikansi 0.000
< 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, yang artinya bahwa bukti fisik,
64
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati secara simultan dan signifikan berpengaruh terhadap
kepuasan nasabah sehingga dapat dinyatakan bahwa hipotesis pertama dapat diterima.
Uji t digunakan untuk mengetahui signifikansi pengaruh bukti fisik, keandalan, daya tanggap,
jaminan dan empati secara parsial terhadap kepuasan nasabah (Y). Dengan level of significance α =
0.05 hasil perhitungan uji t dari hasil olah data dengan program SPSS.
Tabel 8. Hasil Perhitungan Uji t
Model
t
Sig.
(Constant)
Bukti Fisik
Keandalan
Daya
Tanggap
Jaminan
Empati
1494
2.020
2.627
.139
.046
.010
3.238
.002
2.793
2.932
.006
.004
Sumber: Output SPSS
Berdasarkan tabel diatas, untuk pengaruh parsial dari masing-masing variabel independen
terhadap variabel dependen dapat di jelaskan sebagai berikut:
Variabel bukti fisik (X1) memiliki nilai signifikansi 0.046 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial
variabel bukti fisik berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. nilai t hitung jatuh di daerah
penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel bukti fisik berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan nasabah, maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis kedua dapat diterima. Variabel
kehandalan (X2) memiliki nilai signifikansi 0.010 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial variabel
kehandalan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. nilai t hitung jatuh di daerah
penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel kehandalan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan nasabah, maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis ketiga dapat diterima. Variabel daya
tanggap (X3) memiliki nilai signifikansi 0.002 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial variabel daya
tanggap berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. bahwa nilai t hitung jatuh di daerah
penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel daya tanggap berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kepuasan nasabah, maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis keempat dapat diterima.
Variabel jaminan (X4) memiliki nilai signifikansi 0.006 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial
variabel jaminan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. nilai t hitung jatuh di daerah
penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel jaminan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan nasabah. Maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis kelima dapat diterima.
Variabel empati (X5) memiliki nilai signifikansi 0,004 < 0.05. Hal ini berarti secara parsial
variabel empati berpengaruh signifikan terhadap kepuasan nasabah. nilai t hitung jatuh di daerah
penolakan Ho, hal ini berarti bahwa variabel empati berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan nasabah. Maka dapat dinyatakan bahwa hipotesis kelima dapat diterima.
Koefisien determinasi merupakan besaran yang menunjukkan besarnya variasi variabel
dependen yang dapat dijelaskan oleh variable independennya. Dengan kata lain, koefisien
determinasi ini digunakan untuk mengukur seberapa jauh variabel-variabel bebas berpengaruh
terhadap variabel terikat. Nilai koefisien determinasi ditentukan dengan nilai adjusted R square dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
65
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tabel 9. Koefisien Determinasi
R
Adjusted Std. Error of
Model R Square R Square the Estimate
1
.728a
.530
.505
.949
Sumber: Output SPSS
Dari hasil perhitungan dengan program SPSS versi 16.0 diperoleh nilai Adjusted R Square
(R²) sebesar 0.505. Berarti variabel bukti fisik (X1), keandalan (X2), daya tanggap (X3), jaminan (X4)
dan empati (X5) mempunyai sumbangan terhadap kepuasan nasabah (Y) sebesar 50.5%, sedangkan
sisanya 49.5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil analisis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut: (1) Bukti fisik, kehandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati secara simultan dan
signifikan berpengaruh terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir. (2)
Bukti fisik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan
Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (3) Kehandalan berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (4) Daya tanggap
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko
Tingkir Kabupaten Sragen. (5) Jaminan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan
nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir Kabupaten Sragen. (6) Empati berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kepuasan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat Djoko Tingkir
Kabupaten Sragen. (7) Koefisien bukti fisik memberikan nilai positif hal ini berarti jika bukti fisik
semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami
peningkatan. (8) Koefisien kehandalan memberikan nilai posotif hal ini berarti jika bukti fisik
semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami
peningkatan. (9) Koefisien daya tanggap memberikan nilai positif hal ini berarti jika bukti fisik
semakin baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami
peningkatan. (10) Koefisien jaminan memberikan nilai positif, hal ini berarti jika bukti fisik semakin
baik dengan asumsi variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan. (11)
Koefisien empati memberikan nilai positif hal ini berarti jika bukti fisik semakin baik dengan asumsi
variabel lain tetap maka kepuasan nasabah akan mengalami peningkatan. (12) Hasil uji koefisien
determinasi menunjukkan bahwa nilai Adjusted R Square (R²) sebesar 0,505. Berarti variabel bukti
fisik (X1), keandalan (X2), daya tanggap (X3), jaminan (X4) dan empati (X5) mempunyai sumbangan
terhadap kepuasan nasabah (Y) sebesar 50,5%, sedangkan sisanya 49,5% dipengaruhi oleh variabel
lain yang tidak diteliti yaitu keadilan, efektivitas, efisiensi, ekonomis, harga diri, pembenahan,
perberdayaan, perbaikan, perhatian, pandangan ke depan.
66
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Keterbatasan Penelitian
Adapun keterbatasan penelitian ini adalah: kurangnya waktu yang diijinkan oleh pihak
pimpinan BPR Djoko Tingkir karena ditakutkan mengganggu konsentrasi nasabah dalam transaksi
dan mengurangi waktu nasabah dalam berkomunikasi dengan pihak BPR Djoko Tingkir.
Saran
Adapun saran yang diberikan dalam penelitian ini antara lain: (1) Hendaknya karyawan PD.
BPR Djoko Tingkir Sragen dalam melayani nasabah dapat mengoptimalkan pemakaian bukti fisik
yang ada untuk mendukung pelayanan yang dilakukan sehingga nasabah puas dengan layanan yang
ada. (2) Sebaiknya PD. BPR Djoko Tingkir Sragen perlu meningkatkan keandalan pelayanan
karyawan dengan dilakukan berbagai latihan dan ketrampilan yang selalu diberikan oleh PD, BPR
Djoko Tingkri Sragen sehingga karyawan lebih trampil bekerja.(3)Hendaknya PD. BPR Djoko
Tingkir mampu meningkatkan daya tanggapnya sehingga nasabah akan mendapatkan informasi yang
tepat dari PD. BPR Djoko Tingkir Sragen sehingga tidak terjadi pengurusan yang berulangulang.(4)Sebaiknya jaminan karyawan PD. BPR Djoko Tingkir Sragen dalam memberikan pelayanan
penting untuk ditingkatkan sehingga nasabah merasa dihargai dan mendapatkan layanan sebagaimana
mestinya.(5)Diharapkan pegawai PD. BPR Djoko Tingkir Sragen lebih berempati pada nasabah,
sehingga nasabah akan merasa lebih diperhatikan segala bentu komplain dan masukannya juga
diterima dengan sebaik mungkin oleh PD. BPR Djoko Tingkir Sragen demi peningkatan kualitas
pelayanan PD. BPR Djoko Tingkir.
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Gusti Ayu Putu Ratih Kusuma. 2014. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Dan
Loyalitas Nasabah PT. BPR HOKI di Kabupaten Tabanan. www.pps.unud.ac.id. Diakses pada
20 Januari 2017 pukul 22.45 WIB.
Fandy, Tjiptono. 2008. Service Management : Mewujudkan Layanan Prima. Yogyakarta. ANDI
____________. 2012. Pemasaran Strategik. Yogyakarta. ANDI.
Khatimah. 2011. Analisis Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Pada Bank
BRI Cabang Patimura Semarang. Eprints.undip.ac.id. Diakses pada 20 Januari 2017 pukul
21.45 WIB.
Kotler, Philip. 2012. Marketing Management, 14e Global Edition. United State of America: Pearson.
Kotler, Philip. 2011. Prinsip-Prinsip Pemasaran. Erlangga. Jakarta.
Kotler, Philip. Armstrong, 2012. Manajemen Pemasaran, edisi Millenium jilid 2. Alih Bahasa
Alexander Sindoro dan Benyamin Molan. Prenhallindo. Jakarta.
Koestanto. 2014. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pelanggan Pada Bank Jatim
Cabang Klampis Surabaya. https://ejournal.stiesia.ac.id. Diakses pada 20 Januari 2017 pukul
21.30 WIB.
Lovelock, Christoper, Jochen Wirtz, Hean Tat Keh, Xiongwan Lu. 2005. Second Edition. “Service
Marketing in Asia : Managing People, Technology, and Strategy”. Pearson. Prentice Hall.
Lupiyoadi, A. Hamdani, 2008. Manajemen Pemasaran Jasa edisi 2. Jakarta : Salemba Empat.
Riduwan. 2013. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Bandung : Alfabeta.
67
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Utomo. 2014. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pengguna Jasa Pada PT. Rifanjalus
Cahaya Trans Surabaya. Ejournal.stiesia.ac.id. Diakses pada 20 Januari 2017 pukul 20.15 WIB
Yulianti. 2013. Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Nasabah Tabungan Pada Bank
Panin Tbk kcp A. Yani Banjarmasin. https://stiei-kayutangi-bjm.ac.id. Diakses pada 20 Januari
2017 pukul 20.51 WIB.
68
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
IMPLEMENTASI KNOWLEDGE MANAGEMENT PADA DIVISI
PEMASARAN PT. BANK XXX TBK CABANG PEMUDA SURABAYA
Yugowati Praharsi1, M. Akmal Bariklana2 dan M. Yazid Bustomi3
Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya
E-mail: [email protected]
Abstract: The successful company is determined by skill and knowledge of employee. The common problem
happened in the company is knowledge management (KM) such as: lost knowledge from experienced or
senior employee because of retirement or job movement; lacking of knowledge transfer among employee;
and undocumented seminar, training or workshop of employee activities. This study aims to explore the
implementation of knowledge management on marketing division at PT. Bank XXX Tbk branch Pemuda
Surabaya. Electronic questionnaire is used to collect the data. The results show that 83.3% of employees
agree that training and workshop documentation is arranged systematically and well distributed.
Furthermore, 90.9% of employees can practice the documented knowledge well. The optimal
implementation of KM is socialization process or knowledge sharing through discussion (54.2%), training
(33.3%), brainstorming (12.5%), and combination process through documented training or workshop in
web, book, and handout formats (100%).
Keywords: knowledge management, bank, marketing
Abstrak: Keberhasilan sebuah perusahaan ditentukan oleh keterampilan dan kemampuan
karyawan dalam perusahaan. Permasalahan yang lazim terjadi pada perusahaan yaitu
pengelolaan pengetahuan karyawan seperti kehilangan pengetahuan dari karyawan senior
yang berpengalaman karena pensiun atau pindah tempat kerja, kurangnya transfer
pengetahuan antar karyawan, serta tidak terdokumentasinya pengetahuan yang didapat
karyawan ketika mengikuti seminar, workshop dan pelatihan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana penerapan manajemen pengetahuan/knowledge management (KM)
pada divisi pemasaran PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya. Kuesioner elektronik
google spreadsheet digunakan sebagai media untuk tanya jawab dengan responden. Hasil
studi pendahuluan ini menunjukkan bahwa 83,3% responden menyatakan bahwa
dokumentasi pelatihan dan workshop sudah disusun secara sistematis dan didistribusikan
secara merata pada divisi pemasaran serta 90,9% karyawan sudah dapat mempraktekkan
pengetahuan yang diperoleh dengan baik. Penerapan KM yang sudah optimal yaitu proses
sosialisasi atau sharing pengetahuan melalui diskusi (54,2%), pelatihan (33,3%),
brainstorming (12,5%) serta proses pendokumentasian berbagai kegiatan pelatihan atau
workshop melalui web, buku, dan handout (100%).
Kata kunci: knowledge management, manajemen pengetahuan, perbankan, marketing, pemasaran
PENDAHULUAN
Penerapan manajemen pengetahuan atau knowledge management (KM) di perusahaan
perbankan sudah menjadi suatu kebutuhan mendasar pada era globalisasi saat ini. Manajemen
pengetahuan merupakan langkah-langkah yang sistematis dan efektif dalam mengelola pengetahuan
yang dimiliki perusahaan untuk menciptakan keunggulan kompetitif (Praharsi, 2016). Terdapat tiga
pilar dalam manajemen pengetahuan, yaitu: orang (people), proses, dan teknologi. Orang merupakan
69
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
aktor didalam pengelolaan manajemen pengetahuan. Sedangkan teknologi merupakan alat bantu
aktor (people) dalam mendukung empat proses manajemen pengetahuan, yaitu: proses penciptaan
pengetahuan, proses pembauran pengetahuan, proses penyebaran pengetahuan dan proses penerapan
pengetahuan (Tjakraatmadja dkk, 2015).
Kemampuan perusahaan dalam mengelola pengetahuan yang ada merupakan kekuatan untuk
dapat tetap bertahan. Jika pengetahuan dibagikan atau disharingkan kepada orang lain, maka
pengetahuan tersebut tidak akan pernah habis. Pengetahuan yang semakin digali dan digunakan akan
meningkat dari segi jumlah dan kualitasnya. Sebagai contoh transfer pengetahuan dari karyawan
senior kepada karyawan yuniornya. Pengelolaan transfer pengetahuan tersebut akan akan
meningkatkan koordinasi antar karyawan dan kinerja perusahaan. Jika transfer pengetahuan sudah
menjadi budaya dalam perusahaan, maka penerapannya sudah membentuk embedded knowledge
management system.
Studi pendahuluan implementasi manajemen pengetahuan pada divisi pemasaran perusahaan
perbankan dengan studi kasus pada PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya adalah bertujuan
untuk mengetahui bagaimana penerapan manajemen pengetahuan/KM dalam mengembangkan
pengetahuan dan meningkatkan kinerja karyawannya. Sehingga hasil atau temuan dari studi ini dapat
menjadi salah satu cara untuk mengukur keberhasilan penerapan KM pada divisi pemasaran serta
menemukan bagian penerapan KM yang masih harus diperbaiki atau ditingkatkan lagi.
TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen pengetahuan (knowledge management) adalah manajemen dengan pengetahuan
sebagai fokusnya (Yadi, 2016). Sedangkan pengetahuan merupakan kemampuan untuk mengambil
suatu tindakan yang efektif (Soleh, 2015). Manajemen pengetahuan dapat dipahami sebagai suatu
tindakan efektif dalam mengelola dan memanfaatkan informasi menjadi pengetahuan untuk
menciptakan keunggulan bersaing perusahaan (Praharsi, 2016). Manajemen pengetahuan juga dapat
diartikan sebagai seni mengalirkan pengetahuan ke seluruh sendi organisasi untuk meningkatkan
kinerja dan inovasi. Kemampuan untuk belajar lebih cepat dari pesaing merupakan solusi bagi
perusahaan untuk meraih kesuksesan dalam jangka panjang (Soleh, 2015).
Milton (2015) menjelaskan hubungan antara manajemen pengetahuan dengan inovasi.
Manajemen pengetahuan berfungsi pada saat pengujian ide yang lama berhasil digunakan untuk
menyelesaikan masalah. Inovasi dilakukan pada saat tidak adanya pengetahuan yang lama dapat
dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah. Ide-ide baru dapat berasal dari pengetahuan yang lama
dikombinasikan dalam cara-cara yang baru. Inovasi dan penggunaan kembali pengetahuan yang lama
digerakkan melalui tantangan. Jika orang-orang tidak tertantang, mereka akan mengerjakan apa yang
biasanya mereka kerjakan menggunakan pengetahuan yang sudah mereka miliki. Inovasi dan
manajemen pengetahuan berfokus pada kompetensi organisasi atau strategi pembelajaran organisasi.
Strategi ini akan memetakan kompetensi organisasi yaitu apa yang ada saat ini dan apa yang
diharapkan, serta memetakan pengetahuan yaitu pengetahuan apa yang sudah ada dan pengetahuan
apa yang pernah ada. Pengetahuan yang pernah ada dan masih ada dapat dipelajari kembali. Jika
pengetahuannya tidak ada, maka dapat dilakukan inovasi.
Nonaka memformulasikan pengetahuan menjadi pengetahuan tacit/taksit dan pengetahuan
eksplisit. Pengetahuan taksit adalah pengetahuan yang ada dalam pemikiran atau benak individu
sehingga bersifat personal. Pengetahuan taksit juga dapat diperoleh melalui pengalaman yang pernah
70
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
dialami secara individu. Sedangkan pengetahuan eksplisit adalah pengetahuan yang sudah
dikodifikasi atau didokumentasikan. Pengetahuan eksplisit bersifat formal dan sistematis. Sebagai
contoh bentuk tulisan atau pernyataan yang didokumentasikan, sehingga setiap karyawan dalam
perusahaan dapat mempelajarinya secara independent. Nonaka memodelkan empat proses penciptaan
pengetahuan seperti ditunjukkan pada Gambar 1 (Awad & Ghaziri, 2004; Tjakraatmadja dkk, 2013).
Taksit
Sosialisasi
Pertemuan tatap muka
Sharing pengalaman
Kunjungan
Taksit
Taksit
Eksternalisasi
Dokumentasi dari
kegiatan
brainstorming/curah
gagasan, pelatihan
atau workshop
Eksplisit
Taksit
Eksplisit
Learning by
doing
Internalisasi
Eksplisit
Penyusunan paket
pembelajaran,
Pembuatan
dokumen baru
Kombinasi
Eksplisit
Gambar 1. Proses dasar penciptaan pengetahuan
Sosialisasi merupakan transfer pengetahuan taksit dari satu individu ke individu yang lain.
Beberapa contoh kegiatannya yaitu pertemuan atau rapat yang melibatkan tatap muka, berbagi
pengalaman secara langsung, dan melakukan kunjungan. Eksternalisasi merupakan transformasi
pengetahuan taksit menjadi pengetahuan eksplisit. Beberapa contoh kegiatannya yaitu pengetahuan
atau pengalaman seseorang dituliskan kedalam sebuah buku sehingga dapat dipelajari oleh orang lain
serta pembuatan dokumentasi dari kegiatan brainstorming/curah gagasan, pelatihan, dan workshop.
Kombinasi merupakan kegiatan mengatur berbagai pengetahuan eksplisit/berbagai media menjadi
media yang lebih sistematis, terpadu, dan saling terkait. Beberapa contoh kombinasi yaitu
penyusunan paket pembelajaran dan pembuatan dokumen baru yang lebih baik. Internalisasi
merupakan transformasi pengetahuan eksplisit menjadi pengetahuan taksit. Contoh internalisasi yaitu
seorang karyawan mempelajari dokumentasi pelatihan atau workshop kemudian dapat
mempraktekkan pengetahuan yang diperolehnya dalam rutinitas pekerjaannya dimana proses
learning by doing ini secara perlahan akan membentuk pengetahuan baru dalam diri karyawan
tersebut.
METODE PENELITIAN
Studi pendahuluan implementasi KM pada divisi pemasaran PT. Bank XXX Tbk Cabang
Pemuda Surabaya menggunakan kuesioner elektronik seperti ditunjukkan pada Gambar 2. Kuesioner
ini disebarkan secara acak kepada seluruh karyawan divisi pemasaran dengan jumlah total 31
karyawan. Adapun karyawan yang mengisi kuesioner tersebut sebesar 24 orang atau 77.42% dari
total 31 karyawan.
71
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Gambar 2. Kuesioner elektronik tentang implementasi KM pada divisi pemasaran
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan bersifat deskriptif. Setiap indikator kuesioner
dijelaskan secara deskriptif dengan data-data statistik dari responden yang mendukung hasil studi.
Beberapa indikator kuesioner dirangkum dalam Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Indikator dalam setiap proses penciptaan pengetahuan
No Proses penciptaan pengetahuan
Indikator
1
Sosialisasi
a. Cara penyampaian pengetahuan antar karyawan
b. Hubungan antar karyawan
2
Eksternalisasi
a. Pendokumentasian hasil pelatihan/workshop
b. Pengembangan pengetahuan melalui proses
dokumentasi
3
Kombinasi
a. Pendokumentasian secara sistematis
b. Pendistribusian dokumentasi secara merata
4
Internalisasi
a. Mempelajari hasil dokumentasi untuk rutinitas
pekerjaan
b. Mempraktekkan hasil belajar dari dokumentasi
untuk rutinitas pekerjaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil studi ini berfokus pada proses penciptaan pengetahuan untuk mempertahankan aset
pengetahuan dan pembelajaran berkelanjutan pada karyawan divisi pemasaran PT. Bank XXX Tbk
Cabang Pemuda Surabaya. Terdapat 4 proses penciptaan pengetahuan yang akan didiskusikan yaitu:
sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi, dan internalisasi. Adapun pengetahuan yang wajib bagi
karyawan divisi marketing adalah pengetahuan komunikatif, customer maintenance, funding dan
lending/account officer, surveyor, manajemen waktu, kontrol dan pengawasan. Sedangkan
pengetahuan pilihan/optional bagi karyawan divisi pemasaran yaitu pengetahuan tentang manajemen
basis data (Saide et al., 2015).
72
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Proses penciptaan pengetahuan pada PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya
Sosialisasi
Setiap pengetahuan dan ketrampilan seharusnya dibagikan/disharingkan antar karyawan.
Dengan membagikan pengetahuan atau ketrampilan akan membantu setiap karyawan yang belum
mendapatkan pengetahuan dengan baik serta menunjang kekompakan dalam bekerja. Sharing
pengetahuan dan ketrampilan sudah diterapkan pada PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya.
Dari hasil kuesioner diperoleh bahwa sharing pengetahuan melalui diskusi memiliki persentase
sebesar 54,2%; melalui pelatihan sebesar 33,3%; dan sisanya melalui brainstorming/curah gagasan
sebesar 12,5%. Lebih lanjut, kegiatan sosialisasi ini didukung oleh hubungan antara karyawan senior
dengan karyawan yunior yang sangat baik (41.7%), hubungan baik (45.8%) dan cukup baik (12.5%).
Hal ini berarti bahwa kegiatan sosialisasi dapat berfungsi maksimal karena sudah tercipta budaya
kerja yang baik dan lingkungan kerja yang mendukung.
Eksternalisasi
Berbagai pelatihan dan workshop yang diadakan pada divisi pemasaran seharusnya
didokumentasikan dengan tujuan untuk disharingkan dengan karyawan lainnya yang tidak
mempunyai kesempatan untuk mengikuti pelatihan atau workshop tersebut. Hasil dokumentasi dapat
dikembangkan melalui beberapa media seperti web, buku, handout, dll. Dari hasil kuesioner diperoleh
100% responden setuju bahwa PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya sudah
mendokumentasikan pengetahuan dan pengalaman karyawannya yang diperoleh dari kegiatan
pelatihan dan workshop. Dengan membuat dokumentasi, 100% responden setuju bahwa mereka dapat
mengembangkan pengetahuan dan pengalaman kerja yang dimilikinya selama ini.
Kombinasi
Dokumentasi tentang workshop dan pelatihan yang sudah ada pada divisi pemasaran, disusun
kembali secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik.
Dari hasil kuesioner diperoleh 83,3% responden setuju bahwa dokumentasi sudah tersusun secara
sistematis dan didistribusikan secara merata pada karyawan divisi pemasaran. Sedangkan 16,7%
responden setuju bahwa dokumentasi sudah tersusun secara sistematis tetapi belum didistribusikan
secara merata pada karyawan divisi pemasaran. Hal ini sejalan dengan penelitian Darudiato dan
Setiawan (2013) bahwa KM dapat membantu perusahaan mengelola pengetahuan yang dimiliki
dengan baik sehingga pengetahuan ini dapat merata dimiliki oleh individu yang terkait dalam sebuah
organisasi atau perusahaan. Adapun dokumentasi yang unik untuk pelanggan disajikan melalui
gambar-gambar ataupun simbol-simbol dalam bentuk brosur, leaflet, dan poster. Dokumentasi
tersebut memberikan kenyamanan bagi pelanggan dan akan membentuk citra PT. Bank XXX yang
baik di masyarakat.
Internalisasi
Sesudah karyawan mempelajari hasil dokumentasi workshop dan pelatihan, maka karyawan
dapat mempraktekkan pengetahuan yang didapatkan sehingga diperoleh hasil kerja yang lebih
optimal dan tercapainya tujuan bersama. Berdasarkan hasil kuesioner diperoleh persentase 90,9%
karyawan sudah dapat mempraktekkan pengetahuan yang diperoleh dengan baik untuk rutinitas
pekerjaan. Penelitian Anggapraja (2016) dan Kandou et al., (2016) menyatakan bahwa KM
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja dan prestasi kerja karyawan. Sedangkan Rofiaty
et al., (2015) berpendapat bahwa KM merupakan input penting bagi implementasi strategi untuk
meningkatkan kinerja organisasi. Berdasarkan hasil kuesioner sisanya yaitu 9,1% karyawan belum
73
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
dapat mempraktekkan dengan baik. Hal ini berimplikasi pada masih diperlukannya pendampingan
awal atau pelatihan langsung secara khusus untuk jobdesk yang baru diberikan agar karyawan tidak
mendapatkan culture shock atas jobdesk yang baru tersebut.
PENUTUP
Simpulan
Manajemen pengetahuan diperlukan dalam sebuah organisasi/perusahaan karena pengetahuan
yang diciptakan harus didokumentasikan dengan baik serta didistribusikan/disharingkan secara
merata. Proses penciptaan pengetahuan pada studi ini mengikuti model Nonaka. Hasil studi
pendahuluan pada PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya menunjukkan bahwa penerapan
Knowledge Management sudah dilakukan dengan baik tetapi masih belum optimal. Data-data yang
mendukung hasil studi ini yaitu 83,3% responden menyatakan bahwa dokumentasi pelatihan dan
workshop sudah disusun secara sistematis dan didistribusikan secara merata pada divisi pemasaran
serta 90,9% karyawan sudah dapat mempraktekkan pengetahuan yang diperoleh dengan baik.
Penerapan KM yang sudah optimal yaitu proses sosialisasi atau sharing pengetahuan melalui diskusi
(54,2%), pelatihan (33,3%), brainstorming (12,5%) serta proses pendokumentasian berbagai kegiatan
pelatihan atau workshop melalui web, buku, dan handout (100%). Melalui hasil studi pendahuluan
ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat uji evaluasi dan sebagai salah satu cara untuk
meningkatkan kinerja PT. Bank XXX Tbk cabang Pemuda Surabaya.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian pendahuluan ini adalah jumlah sampel yang kurang dari 30 responden
karena total populasi pada divisi pemasaran PT. Bank XXX Tbk Cabang Pemuda Surabaya adalah
31 orang.
Saran
Penelitian lanjutan mengenai penerapan Knowledge Management pada PT. Bank XXX Tbk
Cabang Pemuda Surabaya dapat dilakukan melalui program-program pelatihan lainnya yang
mendukung kinerja divisi pemasaran seperti selling skill, legal credit, serta sharing mengenai
company product knowledge.
DAFTAR PUSTAKA
Anggapraja, I.T. 2016. Pengaruh penerapan knowledge management dan pengembangan sumber
daya manusia terhadap kinerja karyawan PT Telkom Tbk. (studi explanatory survey pada
karyawan unit human capital management PT Telkom Tbk). Jurnal Aplikasi Manajemen 14(1):
140-146.
Awad, E.M., Ghaziri, H.M. 2004. Knowledge Management. Prentice Hall: Pearson Education Inc.
74
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Darudiato, S dan Setiawan, K. 2013. Knowledge Management: Konsep dan Metodologi. Jurnal
Sistem Informasi 4(1): 11-17. Universitas Bina Nusantara. Jakarta.
Kandou, Y.L., Lengkong, V.P.K., Sendow, G. 2016. Pengaruh knowledge management, skill, dan
attitude terhadap kinerja karyawan (studi pada PT. Bank Sulutgo kantor pusat di Manado).
Jurnal Berkala Ilmiah Efisiensi 16(1): 147-158.
Milton, N. 2015. Innovation and knowledge management: competitors or partners?. Paper
dipresentasikan dalam Knowledge Management Summit Indonesia 2015. Jakarta. Agustus
2015. 25-27.
Praharsi, Y. 2016. Manajemen Pengetahuan dan Implementasinya dalam Organisasi dan Perorangan.
Jurnal Manajemen Maranatha 16(1): 77-89.
Rofiaty, Noviyanti, T., Mulyanto, A.D. 2015. Pengaruh Knowledge Management Terhadap Inovasi,
Implementasi Strategi, dan Kinerja Organisasi (Studi pada RS Lavalette Malang). Jurnal
Ekonomi Bisnis 20(1): 1-52. Universitas Negeri Malang, Malang.
Saide dan Rozanda , N.E. 2015. Analisis Kebutuhan Manajemen Pengetahuan Pada Perusahaan
perbankan. Jurnal Sistem Informasi 5(3): 343-351. Institut Teknologi Sepuluh Nopember,
Surabaya.
Soleh, A. 2015. Knowledge management for innovation: Success stories around the world, the new
& better KM implementation. Paper dipresentasikan dalam Knowledge Management Summit
Indonesia 2015, Jakarta, 25-27 Agustus 2015.
Tjakraatmadja, J.H., Rachman, H., Kristinawati, D. 2013. Personal Knowledge Management.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Yadi, S.P. 2016. Knowledge management: awareness or enforced?. Paper dipresentasikan dalam
Knowledge Management Forum. Surabaya: PT. Pembangkit Jawa Bali, 20 April 2016.
75
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
ANALISIS PERBANDINGAN RANTAI PASOKAN KOMODITAS
KONTRASEPSI JALUR PEMERINTAH
DAN SWASTA DI JAWA BARAT
Sherlywati
Program Studi Manajemen - Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Maranatha
[email protected]
Abstract
This research was initially comparing the effectiveness and efficiency of supply chain management of
contraceptive between private sector and public sector. This study was a combination of two studies, first,
in depth review of reseach on the supply chain of contraceptive in private sector in West Java 2015, which
specifically examine the supply chain providers of contraceptive in private sector. Second part, in depth
review of the literature regarding the supply chain of contraceptive in public sector. This research
presented quatitative description from field survey, and naratively from data, information, case study of
supply chain management of contraceptive in public sector. Sampling technique in survey research of
provider contraceptive on private sector is using purposive and quota sampling in six research sites. The
research results demonstrated the strength and weaknesses in the supply chain system of contraceptive in
private and public sector. Recommendation research consisted of practical and theoritical advise, first,
empowerment of private sector of contraceptive supply chain as it can become a mainstay of KB program.
Second, apply the six principles of supply chain planning system (right-number, type, place, time,
condition, price/cost). Third, synchronization program between local and central government in order to
contraceptive supply more efficient and effective. Fourth, conduct other research more holistic and
comprehensive on developing and strengthening of contraceptive supply chain system in Indonesia.
Keywords: supply chain management, contraceptive, private sector, public sector
Abstrak
Penelitian ini mencoba membandingkan efektivitas dan efisiensi sistem rantai pasokan alat dan obat
kontrasepsi (alokon) jalur swasta dengan jalur pemerintah. Desain penelitian ini merupakan gabungan dari
dua penelitian, pertama, kajian mendalam dari penelitian lapangan tentang penggunaan alokon pada jalur
swasta di Jawa Barat tahun 2015, yang secara khusus mengkaji bagian rantai pasokan penyedia alokon
pada fasilitas kesehatan jalur swasta. Dan kedua, kajian literatur mendalam mengenai rantai pasokan
alokon pada jalur pemerintah. Teknik penyajian penelitian adalah secara deskriptif dari data kuantitatif
penelitian survey lapangan serta secara naratif dari data, informasi, serta kasus-kasus pengadaan alokon
pada jalur pemerintah. Teknik sampling pada penelitian survey lapangan mata rantai penyedia alokon jalur
swasta adalah purposive sampling dan quota sampling. Tujuan utama dari penelitian ini adalah
membandingkan efektivitas serta efisiensi sistem rantai pasokan jalur pemerintah dan jalur swasta dengan
maksud memberikan input mengenai pengadaan alokon nasional jalur pemerintah. Hasil penelitian
memperlihatkan kekuatan dan kelemahan pada sistem rantai pasokan jalur swasta dan jalur pemerintah.
Saran penelitian menyajikan saran praktis dan teoritis, diantaranya 1. rantai pasokan jalur swasta perlu
diberdayakan karena dapat menjadi andalan keberhasilan program KB, 2. terapkan enam prinsip
perencanaan sistem rantai pasokan (tepat-kuantitas, jenis, tempat, waktu, kondisi, biaya), 3. sinkronisasi
program pemerintah daerah dan pusat agar rantai pasokan alokon lebih efektif dan efisien, 4. lakukan
penelitian lebih holistik dan komprehensif tentang pengembangan dan penguatan sistem pasokan alokon
di Indonesia.
Kata kunci: sistem rantai pasokan, alokon, jalur swasta, jalur pemerintah
76
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENDAHULUAN
Gerakan revolusi mental merupakan inisiasi Presiden Jokowi sebagai Presiden Republik
Indonesia periode 2014-2019 dengan tujuan mengangkat kembali karakter bangsa Indonesia. Manfaat
gerakan revolusi mental akan terasa jika gerakan ini disadari dan dilakukan bersama-sama oleh
segenap warga Indonesia demi menuju Indonesia yang lebih baik. Kepala BKKBN, Surya Chandra
Surapati, mengatakan bahwa seluruh keluarga di Indonesia dapat mulai menanamkan karakter pada
masing-masing anggota keluarga agar memiliki nilai-nilai revolusi mental, yaitu integritas, beretos
kerja, dan gotong royong. Dengan demikian, seyogyanya revolusi mental dimulai dari keluarga,
sebagai unit terkecil di masyarakat.
Keluarga merupakan unit sosial-ekonomi terkecil dalam masyarakat yang merupakan landasan
dasar dari semua institusi, merupakan kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih dari orang
yang mempunyai jaringan interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi
(Puspitawati, 2012). Keberlangsungan sebuah keluarga akan menciptakan unit sosial ekonomi pada
tingkat berikutnya di dalam sebuah negara. Peran pemerintah dalam mengelola keberlangsungan
keluarga adalah dalam hal kebijakan pengelolaan batasan ukuran keluarga dalam masyarakat.
Kebijakan perencanaan keluarga diatur secara khusus oleh Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN). Program utama BKKBN dalam mengendalikan tingkat pertumbuhan
penduduk dan mewujudkan akses kesehatan reproduksi bagi pasangan usia subur (PUS) adalah
dengan melaksanakan program Keluarga Berencana. Dalam UU No. 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, peran BKKBN tidak hanya
menyelenggarakan program KB semata, namun difokuskan pada penyerasian pengendalian
penduduk. Instruksi Presiden No. 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional, disebutkan salah satunya mengenai program KB dalam bidang kesehatan.
Jadi pemerintah sangat menaruh perhatian pada kesejahteraan keberlangsungan keluarga sebagai unit
inti sosial ekonomi terkecil dalam masyarakat.
Keberhasilan program KB ditentukan oleh ketersediaan serta kualitas alat dan obat kontrasepsi
(alokon). Jika alokon sulit diakses oleh akseptor, maka program keluarga berencana akan sulit
berhasil. Upaya peningkatan ketersediaan dan kemudahan akses alokon perlu diseimbangkan dengan
pengelolaan saluran distribusi serta rantai pasokan alokon. Proses pendistribusian alokon sampai tiba
ditangan akseptor merupakan pengelolaan rutin yang perlu diperhatikan pemerintah, dalam hal ini
dipercayakan kepada BKKBN sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Proses pengadaan alokon
membutuhkan pengelolaan rantai pasokan yang berjalan dengan baik, termasuk dukungan dan
komitmen dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan serta seluruh stakeholder yang berkaitan
dengan pasokan alokon. Sistem pengadaan alokon perlu difokuskan untuk pemenuhan permintaan
akseptor, baik akseptor perempuan maupun laki-laki yang ingin menggunakan guna merencanakan
ukuran keluarganya. Dengan sistem logistik dan rantai pasokan yang baik akan meningkatkan
ketersediaan alokon secara tepat waktu, tepat tempat, tepat kuantitas, dan tepat produk (jenis alokon).
Jalur distribusi pengadaan alokon di Indonesia dibedakan menjadi dua jalur, yaitu jalur
pemerintah dan jalur swasta. Jalur pemerintah mengadakan alokon berdasarkan perkiraan permintaan
masyarakat yang dikalkulasi menjadi pengadaan BKKBN Pusat. Jalur pemerintah hanya dapat
diakses oleh masyarakat golongan Pra-KS dan KS 1 secara cuma-cuma. Sementara jalur swasta
adalah jalur pengadaan yang mendistribusikan alokon melalui beberapa mata rantai sehingga dapat
diakses langsung oleh akseptor di fasilitas-fasilitas kesehatan dengan biaya secara mandiri.
Kedua jalur pengadaan alokon memiliki kelebihan dan kelemahan tersendiri. Kendala yang
sangat terasa pada pengadaan alokon jalur pemerintah adalah tantangan proses tender yang
membutuhkan proses birokrasi dan waktu yang panjang. Keterlambatan pengiriman alat kontrasepsi
77
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
ke daerah bagi keluarga tingkat kesejahteraan Pra KS dan KS 1 menjadi permasalahan yang selalu
terjadi. Ketidaksesuaian jenis alokon yang diminati dengan yang tersedia di fasilitas kesehatan
pemerintah pun menjadi tantangan pengadaan alokon jalur pemerintah. Keterlambatan
pendistribusian serta ketidaksesuaian jenis alokon yang diminati akseptor pada jalur pemerintah akan
menyebabkan capaian program Keluarga Berencana tidak optimal.
Berdasarkan penelitian penggunaan alat dan obat kontrasepsi pada jalur swasta di provinsi Jawa
Barat tahun 2015, jalur swasta menjadi salah satu pilihan akseptor bagi pemenuhan kebutuhan alat
kontrasepsi. Akses alokon pada jalur swasta tidak dirasakan sebagai beban tambahan ekonomi
keluarga, namun sebagai sarana dan fasilitas kesehatan yang memudahkan akseptor mengakses
alokon. Mata rantai akhir jalur alokon swasta, seperti bidan, dapat menjangkau pelosok daerah yang
belum terjangkau oleh pemerintah walaupun dengan cara pengadaan alokon yang tradisional, yakni
dengan mengadakan pembelian langsung di apotik dan/atau toko obat terdekat. Pengelolaan
persediaan pada setiap mata rantai jalur swasta masih menjadi kendala dalam penyediaan alokon jalur
swasta. Namun, sebagian besar akseptor KB beranggapan bahwa kualitas alokon jalur swasta lebih
baik dibandingkan dengan alokon pada jalur pemerintah.
Dengan adanya perbedaan serta kelemahan-kelebihan pengadaan alokon pada rantai pasokan
pemerintah dan swasta ini, penulis hendak menelaah lebih dalam mengenai perbandingan rantai
pasokan alokon pada jalur pemerintah dan jalur swasta. Untuk menilik lebih dalam rantai pasokan
alokon pada jalur swasta, peneliti membedah hasil penelitian “Penggunaan Alat dan Obat Kontrasepsi
pada Jalur Swasta di provinsi Jawa Barat pada tahun 2015”. Sementara untuk menelaah rantai
pasokan alokon pada jalur pemerintah, peneliti menggunakan kajian literatur serta studi kasus yang
memperlihatkan kelebihan serta kelemahan pasokan alokon pada jalur pemerintah. Tujuan dari
mengangkat topik “Perbandingan Rantai Pasokan Komoditas Kontrasepsi Jalur Pemerintah dan
Swasta” ini adalah memberikan masukkan baik kepada dunia edukasi maupun pemerintah, sebagai
pembuat kebijakan program Keluarga Berencana, agar dapat fokus pada rantai pasokan yang
memberikan nilai manfaat bagi akseptor dan calon akseptor KB.
TINJAUAN PUSTAKA
Kebijakan Komoditas Konstrasepsi
Perdagangan alat dan obat kontrasepsi, baik sektor publik maupun swasta, diatur dalam berbagai
kebijakan pemerintah, salah satunya dalam Kebijakan Obat Nasional (KONAS) Republik Indonesia
2006. Tujuan kebijkan ini adalah meningkatkan pemerataan dan keterjangkauan obat secara
berkelanjutan. Dengan perhatian pemerataan dan keterjangkauan obat, maka akan tercapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Untuk memastikan penggunaan obat yang
berkelanjutan serta pemerataan di berbagai kalangan masyarakat, maka melalui Sistem Kesehatan
Nasional (SKN) dan Kebijakan Obat Nasional (KONAS), dijabarkan prinsip-prinsip dasar SKN dan
KONAS sebagai berikut:
1. Obat harus diperlakukan sebagai komponen yang tidak tergantikan dalam pemberian
pelayanan kesehatan.
2. Pemerintah bertanggungjawab atas ketersediaan, keterjangkauan, dan pemerataan obat
esensial yang dibutuhkan masyarakat.
3. Pemerintah dan sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab untuk menjamin agar pasien
mendapat pengobatan yang rasional.
4. Pemerintah melaksanakan pembinaan, pengawasan, dan pengendalian obat. Sedangkan
pelaku usaha di bidang obat bertanggung jawab atas mutu obat sesuai dengan fungsi usahanya.
78
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tugas pengawasan dan pengendalian yang menjadi tanggung jawab pemerintah dilakukan
secara profesional, bertanggung jawab, independen dan transparan.
5. Masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi obat yang benar, lengkap dan tidak
menyesatkan. Pemerintah memberdayakan masyarakat untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan pengobatan.
Kebijakan Obat Nasional pun menyusun strategi pengadaan komoditas kesehatan yang dilakukan
sektor publik dalam rangka mencapai tujuan pengadaan obat secara nasional, termasuk di dalamnya
alat dan obat kontrasepsi. Adapun strategi kebijakan obat nasional tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan obat esensial.
2. Jaminan keamanan, khasiat, dan mutu obat beredar, serta perlindungan masyarakat dari
penggunaan yang salah dan penyalahgunaan obat
3. Penggunaan obat yang rasional
Dalam implementasi pengadaan obat nasional, KONAS menetapkan pokok-pokok dan langkah
kebijakan yang perlu dijalankan sektor publik dan sektor swasta dalam mendistribusikan obat-obatan
termasuk alat dan obat kontrasepsi. Tahapan yang menjadi perhatian KONAS dalam pengadaan
tersebut dimulai dari pembiayaan obat, ketersediaan dan pemerataan obat, seleksi obat esensial,
penggunaan obat yang rasional, pengawasan obat, penelitian dan pengembangan, pengembangan sumber daya
manusia, pemantauan dan evaluasi.
Capaian Program Keluarga Berencana
Tujuan akhir dari program Keluarga Berencana adalah mengendalikan laju pertumbuhan. Dalam
menghadapi era bonus demografi pada tahun 2020, pemerintah semakin gencar mensosialisasikan
program keluarga berencana. Beberapa data dan informasi terkait capaian dan dampak program
keluarga berencana dapat dilihat dari beberapa indicator, sebagai berikut:
a. Keberhasilan program KB dapat dilihat dari capaian angka keikutsertaan pasangan usia subur
terhadap program keluarga berencana. Sampai tahun 2012, persentase keikutsertaan pasangan
usia subur menunjukkan angka 61,9%.
b. Tigkat angka kesuburan (Total Fertility Rate) menunjukkan capaian program keluarga
berencana. Tingkat fertilitas (TFR) di Indonesia terlihat menurun dari tahun ke tahun. Tren
TFR di Indonesia dari beberapa tahun menunjukkan angka yang semakin menurun, yakni
pada tahun 1991=3.02, tahun 1994=2.85, tahun 1997=2.78, tahun 2002/2003=2.56, tahun
2007=2.59 dan tahun 2012=2.595.
c. Rentang tahun 1900-2000, penduduk Indonesia bertambah lima kali lipat dari 40,2 juta orang
menjadi 205,8 juta orang. Dalam rentang waktu tersebut, progran Keluarga Berencana (KB)
berhasil mencegah kelahiran 80 juta orang. Jika pada rentang waktu tersebut tidak dijalankan
program keluarga berencana, maka hingga tahun 2000 diprediksi jumlah penduduk Indonesia
bias mencapai 285 juta orang (Syarief, 2012).
Konsep Rantai Pasokan
Saluran distribusi merupakan suatu jalur yang dilalui oleh arus produk dari produsen ke perantara
sampai pada akhirnya tiba di tangan pemakai (end user) (Revzan, 1961). Definisi menurut Revzan
dalam buku lama Wholesaling in Marketing Organization ini merupakan definisi fisik dari sebuah
saluran distribusi, yang bersifat sempit hanya terfokus pada pendistribusian produk dari produsen ke
konsumen. Sudut pandang lama mengenai saluran distribusi cenderung memperlihatkan pemindahan
produk terbatas pada barang yang disalurkan.
The American Marketing Association memfokuskan saluran distribusi kepada banyaknya lembaga
yang terlibat dalam aliran produk. Saluran distribusi merupakan sebuah struktur unit internal dan
eksternal perusahaan, yang terdiri dari konsumen, dealer, distributor, pedagang besar, serta pengecer,
79
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
yang akan mengalirkan produk. Dengan adanya istilah struktur, definisi saluran distribusi mempunyai
tambahan makna yang bersifat statis pada saluran dan menjelaskan peran setiap unit lembaga yang
bersentuhan dengan aliran produk pada saluran distribusi.
Glen Walters (1997) mendefinisikan saluran sebagai kelompok pedagang dan agen perusahaan yang
dikombinasikan antara perpindahan fisik produk dan nama produk dalam rangka menciptakan
kegunaan bagi pasar tertentu. Demikian ahli marketing Philip Kottler (2009), mendefinisikan saluran
distribusi sebagai suatu perangkat organisasi yang saling tergantung, mencakup proses pembuatan
produk yang akan dikonsumsi oleh konsumen. Menurut Warren J Keegan (2003), saluran distribusi
adalah saluran yang dikelola oleh produsen untuk menyalurkan produk dari produsen sampai ke
tangan konsumen atau pemakai industri. Beberapa simpulan dari definisi saluran distribusi adalah
sebagai berikut:
a. Saluran merupakan kumpulan lembaga-lembaga yang mengadakan kerjasama mengalirkan
produk agar produk tersalurkan ke tangan konsumen.
b. Tujuan utama dari saluran distribusi adalah mencapai pasar-pasar yang sudah ditentukan.
Pasar merupakan tujuan akhir dari kegiatan saluran distribusi.
c. Dua kegiatan utama yang terjadi dalam saluran distribusi adalah mengelompokkan produk
dan mendistribusikannya. Pengelompokan produk akan memperlihatkan pengelolaan
kuantitas dan kualitas produk sesuai kebutuhan mata rantai agar dapat memberikan kepuasan
pada pasar.
Akses alokon pada jalur pemerintah
Berdasarkan data pendataan keluarga tahun 2005 oleh Badan Keluarga Berencana kota Bandung,
besar proporsi pasangan usia subur yang memanfaatkan akses pelayanan jalur pemerintah hanya
sebesar 24 persen. Hasil survey BKKBN tahun 2006 memperlihatkan data proporsi masyarakat
tahapan keluarga pra-sejahtera (pra-KS) yang memanfaatkan alokon pada jalur pemerintah adalah
sebesar 67%. Namun, dengan semakin tingginya tahapan keluarga pasangan usia subur, proporsi
pemanfaatan alokon jalur pemerintah semakin kecil. Akseptor pada kelompok tahapan KS2, hanya
memanfaatkan akses tidak berbayar jalur pemerintah sebanyak 44%. Pada kelompok akseptor KS3+,
hanya 10% yang memanfaatkan pelayanan KB di jalur pemerintah.
Tabel 1. Persentase Pasangan Usia Subur Berdasarkan Akses Pelayanan Kontrasepsi
Sumber : Hasil Survey BKKBN 2006
Kecenderungan pola pasangan usia subur kelompok KS3+ mendapatkan alokon di jalur swasta adalah
karena mereka lebih percaya pada kualitas alokon yang disediakan jalur swasta walaupun dengan
harga yang lebih tinggi dibanding alokon dan pelayanan di jalur pemerintah. Sementara
80
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
kecenderungan keluarga pra-KS yang mengakses alokon di jalur pemerintah adalah mereka
mengutamakan alokon yang diberikan secara cuma-cuma agar tidak memberatkan kehidupan
ekonomi keluarga. Dari data survey BKKBN tahun 2006 dapat disimpulkan bahwa kelompok
pasangan usia subur yang masih mengandalkan alokon dan pelayanan jalur pemerintah adalah
tahapan keluarga pra-KS.
Tabel 2. Persentase Pasangan Usia Subur yang Menggunakan
Pelayanan Pemerintah Berdasarkan Jenis Tempat Pelayanan KB
Pelayanan Pemerintah
Pra KS
KS 2
KS 3+
PLKB
3,0
Puskesmas
84,8
83,9
RS. Pemerintah
6,1
16,1
Safari KB
6,1
Total
100,0
100,0
Sumber : hasil survey BKKBN 2006
60,0
40,0
100,0
Berdasarkan pemilihan fasilitas kesehatan yang diakses oleh pasangan usia subur, data survey
BKKBN 2006 menunjukkan berbagai pilihan fasilitas kesehatan sebagai tempat akseptor mengakses
alokon. Persentase terbesar dari berbagai tahapan keluarga mengakses alokon di puskesmas, baik
akseptor yang secara mandiri membayar alokon maupun yang tidak berbayar di jalur pemerintah dan
swasta. Kelompok keluarga PraKS ya n g memanfaatkan layanan puskesmas sebesar 84,8 persen,
sementara kelompok KS2 dan KS3+ masing masing sebesar 83,9 persen dan 60,0 persen. Pengguna
layanan pemerintah dengan memanfaatkan puskesmas terlihat semakin menurun selaras dengan
makin tingginya tahapan keluarga. Sementara, penggunaan layanan rumah sakit pemerintah semakin
meningkat seiring meningkatnya tahapan keluarga.
Pasangan usia subur yang mengakses alokon melalui jalur swasta lebih memilih fasilitas kesehatan
bidan dan dokter yang membuka praktek swasta. Walaupun kedua layanan itu banyak dipilih,
nampaknya ada kecenderungan yang berbeda kalau dibedakan berdasarkan kelompok tahapan
keluarga. Semakin tinggi tingkat tahapan keluarga maka pemanfaatan layanan alokon di bidan
swasta semakin menurun. Hal sebaliknya terjadi dengan pemanfaatan dokter swasta, semakin tinggi
tingkat tahapan keluarga semakin banyak yang memanfaatkan layanan dokter swasta. Hal ini
rupanya sangat berkaitan dengan perbedaan kekuatan ekonomi dari masing masing kelompok, sebab
layanan dokter swasta biayanya jauh lebih besar ketimbang layanan bidan swasta.
Tabel 3. Persentase Pasangan Usia Subur yang Menggunakan Pelayanan Alokon
Jalur Swasta Berdasarkan Jenis Fasilitas Kesehatan
Pelayanan Swasta
Pra KS
KS 2
KS 3+
Apotik
10,3
6,3
5,1
Bidan Swasta
71,8
42,9
12,9
Dokter Swasta
12,8
46,0
76,9
Poliklinik
2,6
RS Swasta
2,6
4,8
5,1
Total
100,0
100,0
100,0
Sumber : hasil survey 2006
81
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
METODE PENELITIAN
Desain penelitian ini merupakan gabungan dari dua penelitian, pertama, kajian mendalam dari
penelitian utama berjudul “Penggunaan Alat dan Obat Kontrasepsi pada Jalur Swasta di Provinsi
Jawa Barat tahun 2015”, secara khusus pada bagian rantai pasokan pada penyedia alokon pada
fasilitas kesehatan jalur swasta, dan kedua, kajian literatur mendalam mengenai rantai pasokan alokon
jalur pemerintah. Penelitian ini merupakan kajian awal dalam membandingkan sistem rantai pasokan
jalur pemerintah dan swasta terhadap ketersediaan dan kualitas alokon. Teknik penyajian penelitian
ini adalah secara deskriptif, disajikan dari data kuantitatif penelitian survey lapangan serta secara
naratif dari data, informasi, serta kasus-kasus pengadaan alokon pada jalur pemerintah. Tujuan utama
dari penelitian ini adalah membandingkan efektivitas serta efisiensi sistem rantai pasokan jalur
pemerintah dan jalur swasta dengan maksud memberikan input mengenai pengadaan alokon nasional
jalur pemerintah.
Populasi penelitian kuantitatif bertema “Penggunaan Alat dan Obat Kontrasepsi pada Jalur
Swasta di Provinsi Jawa Barat tahun 2015” difokuskan pada populasi penyedia alokon pada fasilitas
kesehatan yang diandalkan akseptor dalam memenuhi kebutuhan kontrasepsi, seperti bidan, apotik,
dan klinik yang berada di provinsi Jawa Barat. Dalam Peraturan Menteri Kesehatan no. 6 tahun 2013,
definisi penyedia fasilitas kesehatan adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh
pemerintah, dan/atau masyarakat swasta. Lokasi yang dipilih dalam menggambarkan perwakilan
provinsi Jawa Barat adalah kota Bandung, kota Cimahi, kabupaten Bandung, kota Cirebon, kabupaten
Cirebon, dan kabupaten Purwakarta.
Teknik sampling pada penyedia fasilitas kesehatan menggunakan purposive sampling dan
quota sampling. Teknik tersebut merupakan teknik penentuan sampel dengan pertimbangan jumlah
jumlah klien terbanyak di setiap fasilitas kesehatan yang ada serta mengambil jumlah responden
sampai mencapai kuota minimum yang ditargetkan. Faktor yang dipertimbangkan dalam
menggunakan kedua teknik tersebut adalah accessibility factor terhadap penyedia fasilitas kesehatan
yang ada di wilayah penelitian. Teknik pengumpulan data pada fasilitas kesehatan adalah dengan
survey lapangan dan wawancara mendalam. Survey dilakukan dengan metode kuesioner dengan
tujuan memperoleh data tentang proses pengadaan dan ketersediaan alokon yang berkualitas pada
penyedia fasilitas kesehatan pada jalur swasta.
Pada penelitian kajian mendalam mengenai rantai pasokan alokon jalur pemerintah, peneliti
mendalami beberapa literature baik dari perundang-undangan terkait pengadaan alokon jalur
pemerintah, hasil penelitian terkait topik tersebut, dan referensi buku tentang pengadaan barang dan
jasa di sektor publik. Hasil kajian dari literature disajikan dalam bentuk narasi sehingga didapati
rangkaian terstruktur cara pengadaan alokon pada jalur pemerintah mulai dari pusat sampai alokon
tiba di fasilitas kesehatan milik pemerintah di daerah-daerah. Selanjutnya, narasi pengadaan alokon
pada jalur pemerintah akan dibandingkan dengan hasil survey pada pengadaan alokon pada jalur
swasta yang berada di level fasilitas kesehatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian Metode Survey pada Fasilitas Kesehatan
Penelitian initial survey fasilitas kesehatan jalur swasta dilakukan di enam wilayah penelitian,
1. Kota Bandung, 2. Kota Cimahi, 3. Kota Cirebon, 4. Kabupaten Bandung, 5. Kabupaten Purwakarta,
dan 6. Kabupaten Cirebon. Responden penyedia fasilitas kesehatan adalah bidan, klinik, dan apotek.
82
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Peran fasilitas kesehatan yang dilihat dalam penelitian ini adalah sebagai penyedia alokon, baik bagi
akseptor KB maupun bagi fasilitas kesehatan lainnya. Klinik dan bidan yang dijadikan responden
adalah klinik dan bidan praktek swasta di enam wilayah penelitian dengan total 31 klinik dan bidan
praktek swasta (BPS). Apotek yang diteliti sebagai responden berjumlah 53 apotek besar yang tingkat
kunjungannya ramai di enam wilayah penelitian. Metode survey menggunakan kuesioner dengan
tujuan melihat pola penjualan dan sistem persediaan alokon.
Tabel 4. Persentase Jenis Alokon yang Paling Sering Dicari
sumber: hasil survey 2015
Jenis alokon yang paling sering dicari pada jalur swasta di apotek dan bidan praktek swasta
cukup berbeda. Di BPS, alokon yang paling diminati adalah suntik KB, sementara di apotek, alokon
yang paling sering dicari adalah pil KB. Hal ini terjadi karena akseptor KB yang menggunakan pil
KB akan langsung mengakses pil di apotek, namun untuk akseptor KB yang menggunakan suntik,
akan mendatangi BPS untuk mendapatkan pelayanan suntik dari bidan setempat. Sementara di
apotek, alokon pil tidak hanya dicari oleh akseptor KB, namun banyak BPS yang membeli pil maupun
alokon lainnya di apotek. 94,34% apotek yang berada di wilayah penelitian memiliki frekuensi tinggi
dalam hal penjualan alokon PIL. Permintaan pil ini berasal dari akseptor KB dan BPS, dimana
akseptor KB sebagai pengguna akhir pil KB tersebut, sedangkan BPS akan menyalurkan lagi kepada
akseptor KB yang mengakses layanan kontrasepsi di BPS. Sementara tingginya frekuensi penjualan
alokon suntik di BPS adalah berasal dari permintaan akseptor KB yang menggunakan kontrasepsi
secara suntik. Diketahui terdapat 93.75% BPS yang memiliki frekuensi pembelian tertinggi alokon
suntik KB.
Faktor yang dipertimbangkan fasilitas kesehatan jalur swasta dalam menyediakan jenis, merk,
dan supplier alokon bervariasi. Faktor utama (33%) yang menjadi pertimbangan pihak apotek dan
BPS menyediakan jenis dan merk alokon berdasarkan permintaan akseptor, untuk digunakan, dan
BPS, untuk persediaan alokon di fasilitas kesehatannya. Sebanyak 14% apotek dan BPS
mempertimbangkan faktor penawaran produk dan harga promosi yang diberikan supplier, namun
penawaran supplier disesuaikan lagi dengan pola permintaan alokon dari konsumen. Faktor
pertimbangan lain dalam memilih supplier adalah faktor ketersediaan dan ketepatan pelayanan yang
diberikan oleh supplier (23%). Jika pelayanan supplier baik, maka apotek dan BPS akan langgeng
bekerja sama dengan supplier tersebut. Faktor hubungan baik (8%) dengan supplier menjadi
pertimbangan fasilitas kesehatan dalam memilih supplier alokon. Ketika hubungan baik sudah
terbangun, maka pihak supplier akan berusaha memberikan pelayanan terbaik dalam penyediaan
alokon. Namun jika tingkat pelayanan supplier kurang memadai, maka BPS akan melakukan
83
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pembelian secara mandiri ke apotek-apotek terdekat. Hal ini dilakukan oleh BPS agar persediaan
alokon tetap terjaga untuk memenuhi kebutuhan alokon akseptor.
Metode pemesanan alokon yang dilakukan oleh apotek dan klinik BPS dalam menyediakan
alokon yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan konsumen (akseptor KB dan fasilitas
kesehatan) terdiri dari tiga metode, yaitu 56% dengan metode kunjungan medical representatif, 24%
melakukan pemesanan dengan cara pembelian mandiri secara langsung ke apotek, dan 20%
melakukan pemesanan alokon dengan pembelian mandiri melalui telepon ke supplier. Metode
pemesanan dengan kunjungan medical representatif banyak dilakukan oleh apotek maupun klinik
BPS. Supplier yang memasok alokon secara kontinu akan memantau jumlah stok alokon di fasilitas
kesehatan secara rutin. Pemantauan jumlah persediaan alokon ini dilakukan oleh medical
representatif dari supplier. Tugas medical respresentatif adalah memantau jumlah persediaan alokon
dan menerima pesanan dari fasilitas kesehatan tersebut. Medical respresentatif dari supplier alokon
ini bertanggung jawab atas ketersediaan alokon agar jumlahnya tidak terlalu banyak namun tidak
sampai kosong pula. Banyak klinik BPS yang melakukan pemesanan dengan cara pembelian mandiri
secara langsung ke apotek. Hal ini dilakukan oleh BPS karena pedagang besar farmasi (supplier) tidak
mempunyai saluran distribusi ke BPS-BPS ini. Alasan lain BPS melakukan pemesanan secara
mandiri adalah karena pelayanan PBF masih dirasakan kurang tepat dari segi waktu maupun kualitas
pengiriman. Jadi dalam rangka menjaga tingkat persediaan alokon di klinik BPS, pihak BPS
melakukan pro active purchasing dengan cara membeli alokon secara langsung ke apotek-apotek
besar.
Ketiga metode pemesanan yang dilakukan oleh apotek dan klinik BPS dilakukan dengan
frekuensi waktu berbeda-beda. Frekuensi pemesanan bervariasi, mulai dari frekuensi pemesanan per
minggu, per dua minggu, per bulan, pemesanan dilakukan ketika persediaan alokon sudah habis, dan
ada yang pemesanan dilakukan ketika persediaan alokon sudah mencapai batas tertentu. 36% apotek
dan klinik BPS mempunyai frekeunsi pemesanan yang tidak menentu karena pemesanan dilakukan
ketika persediaan alokonsudah menunjukkan jumlah tertentu. Hal ini dilakukan berdasarkan
pengalaman dan perkiraan masa lalu, pihak pengelola persediaan telah memahami kapan waktu
pemesanan yang paling tepat dilakukan. Sebanyak 15% apotek dan klinik BPS melalukan pemesanan
secara rutin setiap minggu 21% apotek dan klinik BPS melakukan pemesanan sebulan sekali, dan
24% apotek dan klinik BPS melakukan pemesanan ketika persediaan alokon habis.
Kondisi persediaan alokon di apotek dan klinik BPS yang ditemui di enam wilayah penelitian
termasuk cukup baik. 36% apotek dan klinik BPS memiliki pengelolaan persediaan alokon yang
cukup baik karena kondisi persediaan alokon yang dikelolanya jarang kosong, 33% apotek dan klinik
BPS sangat baik dalam mengelola persediaan alokon karena tidak pernah terjadi kekosongan alokon.
Ada apotek dan klinik BPS yang terkadang mengalami kekosongan alokon, yaitu sebanyak 24%.
Sementara itu, ada beberapa apotek dan bidan praktek swasta yang sering mengalami kekosongan
persediaan alokon.
Kondisi persediaan alokon di apotek dan klinik BPS cukup bervariasi. Apotek dan bidan
praktek swasta yang masih pernah mengalami kekosongan persediaan alokon akan menyebabkan
keterlambatan akseptor KB dalam mengakses alokon. Jika di apotek dan atau bidan praktek swasta
mengalami kekosongan alokon pil atau kondom, maka akseptor KB akan mencarinya ke tempat lain,
namun jika akseptor KB menggunakan alokon suntik, akseptor mendapat kesulitan untuk
mendapatkan alokon suntikan di tempat lain. Jika apotek dan BPS mengalami kekosongan IUD dan
atau Implant, akseptor KB masih dapat menunggu sampai persediaan alokon ini ada kembali. Tingkat
pelayanan supplier dalam memasok alokon ke apotek dan klinik BPS menunjukkan kategori
pelayanan dengan tingkat menengah. Terlihat dalam tabel di bawah ini, bahwa sebanyak 54% apotek
dan klinik BPS mengatakan tingkat pelayanan supplier dalam memasok alokon adalah memuaskan.
84
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Sementara itu, 44% apotek dan klinik BPS merasa kinerja pelayanan supplier masih dalam tingkat
cukup memuaskan, dan hanya 2% apotek dan klinik BPS yang beranggapan bahwa tingkat pelayanan
supplier dalam memasok alokon masih kurang memuaskan.
Indikasi kekosongan persediaan alokon yang masih terjadi di apotek maupun klinik BPS dapat
disebabkan oleh kinerja supplier dalam melayani pemesanan alokon yang dipesan apotek dan atau
klinik BPS. Kinerja supplier masih diberikan nilai cukup dan kurang memuaskan oleh apotek dan
klinik BPS karena tingkat pelayanan supplier dalam memasok alokon yang masih rendah. Supplier
masih belum melayani BPS dengan baik dalam hal pemenuhan pesanan Hal ini terutama dirasakan
oleh BPS yang letaknya di pelosok kabupaten. Ketepatan kuantitas pesanan dan waktu pengiriman
masih menjadi permasalahan utama bagi klinik BPS sehingga dampaknya kepada stockout alokon
yang dibutuhkan akseptor KB.
Penentuan harga jual di apotek dan klinik BPS 94% ditentukan oleh pemilik, dan tidak ada
intervensi supplier sebagai pemasok alokon. Ada beberapa apotek dan bidan praktek swasta yang
menentukan harga jual berdasarkan saran dan masukkan dari supplier, namun jumlahnya tidak banyak
hanya sekitar 2%. Selebihnya, apotek dan klinik BPS menentukan harga jual dengan cara lain,
misalnya mereka mengadakan survey harga terlebih dahulu di kompetitor yang berada di sekitar
apotek bersangkutan atau menggunakan harga HET (Harga Eceran Tertinggi) dalam menjual produk
alokon. Harga jual produk alokon di apotek dan klinik bidan praktek swasta memiliki perbedaan yang
cukup signifikan. Harga alokon di apotek akan dijumpai lebih rendah dibandingkan dengan harga
alokon di klinik bidan praktek swasta. Hal ini terjadi karena di BPS, akseptor KB tidak hanya
mendapatkan produk alokon, tetapi akseptor KB juga mendapatkan pemeriksaan kesehatan dari bidan
setempat. Dan untuk alokon jenis IUD serta Implant, selain membayar produk alokon, akseptor KB
juga dikenakan biaya jasa pemasangan dan pemeriksaan kesehatan akseptor KB. Beberapa bidan
prakte swasta tidak memberikan harga alokon plus jasa kesehatan dalam tarif yang sama untuk semua
akseptor KB. Bidan-bidan di tingkat kabupaten akan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi
akseptor KB yang akan mengakses alokon. Jika yang dihadapi adalah akseptor KB dengan kategori
masyarakat yang tidak mampu, beberapa BPS tidak sungkan untuk memberikan gratis kepada
akseptor KB ini. Walaupun tidak banyak yang dibebasbiayakan oleh bidan setempat, namun tidak
jarang bidan-bidan di kabupaten melakukan pemotongan biaya untuk aksepstor KB yang kurang
mampu.
Hasil Penelitian Kajian Pengadaan Alokon Jalur Pemerintah
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, diatur
mengenai dana alokasi khusus (DAK). Terkait dengan adanya kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah, sejak 2008, pemerintah mengalokasikan dana khusus untuk menggiatkan pembangunan
kependudukan dan keluarga berencana. Untuk tujuan tersebut, dana alokasi khusus dialokasikan
kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus terkait dengan fisik layanan dan sarana
prasarana KB. Sarana prasarana tersebut antara lain adalah Muyan (untuk melakukan pelayanan KB
di daerah yang geografisnya sulit dijangkau), Mupen (untuk menjadikan proses komunikasi, edukasi,
dan informasi KB yang lebih efektif), sepeda motor (meningkatkan mobilitas petugas lapangan KB),
gudang alokon, sarana KIE, dan lainnya.
Perencanaan kebutuhan alokon diatur dalam Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan Kebutuhdan
Alat/Obat Kontrasepsi dan Nonkontrasepsi Program KB Nasional (BKKBN, 2008). Dalam
memenuhi kebutuhan alokon setiap tahun, pemerintah melakukan perhitungan berdasarkan data
sasaran keikutsertaan KB yang meliputi permintaan partisipasi masyarakat (PPM). PPM ini dilihat
dari dua peserta, yaitu peserta KB baru dan peserta KB aktif. Dan disesuaikan dengan rumusan
tertentu serta data persediaan alokon di gudang pada akhir bulannya. Rangkaian perencanaan dan
85
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pendistribusian alokon pada jalur pemerintah diatur dalam Peraturan Kepala badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional nomor 228 tahun 2015 tentang Pedoman Penyediaan Sarana
Penunjang Pelayanan Kontrasepsi dalam Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga.
Pengadaan alokon jalur pemerintah mengikuti siklus rantai pasokan yang telah ditetapkan,
mulai dari tahap pengelolaan data kebutuhan, analisis data kebutuhan, dan penyusunan rencana
kebutuhan. Proses pengadaan mulai dilakukan setelah perencanaan kebutuhan alokon disusun. Tahap
selanjutnya adalah proses penerimaan, penyimpanan, dan penyaluran alokon secara terstruktur. Pada
setiap tahapan, selalu dilakukan tindakan monitoring dan evaluasi pengadaan alokon. Dalam proses
penerimaan, dilaksanakan pemeriksanaan alokon meliputi, (1) tanggal kedatangan, (2) jenis dan merk
alokon, (3) jumlah (kotak, berat dan volume, unit, dll), (4) harga satuan, (5) tanggal pembuatan/tahun
produksi, (6) tanggal kadaluarsa, (7) kondisi alat dan obat alokon, (8) sumber dana, (9) nomor batch.
Setelah proses pemeriksaan selesai, akan disiapkan Surat Bukti Barang Masuk (SBBM), kartu barang,
kartu persediaan dan buku penerimaan. Proses penyimpanan merupakan kegiatan lanjutan dari
kegiatan penerimaan alat dan obat kontrasepsi, dilakukan dalam rangka pemeliharaan dan
pengamanan melalui standarisasi penataan alkon berdasarkan sistem FIFO (First in First Out).
Sistem distribusi alokon yang digunakan dibedakan menjadi dua, yaitu sistem berdasarkan
permintaan (pull distribution system) dan sistem dropping (push distribution system). Sistem
dropping adalah sistem pendistribusian yang sifatnya terpusat, daerah tidak dapat menentukan
kuantitas alokon tapi pusat mengalokasikan sejumlah tertentu berdasarkan data kemampuan
persediaan masing-masing. Sementara sistem distribusi berdasarkan permintaan, jumlah alokon yang
didistribusi dari pusat adalah sejumlah permintaan daerah dengan perhitungan persediaan minimum
dan maksimum daerah. Setelah proses pendistribusian, proses pencatanan dan pelaporan menjadi
penting sebagai bahan analisis perencanaan kebutuhan dan pelaksanaan pengadaan pada periode
berikutnya.Tujuan dari proses pencatatan pelaporan adalah mengetahui jumlah persediaan di fasilitas
kesehatan dengan laporan F/II/KB dan mengetahui jumlah persediaan di gudang (F/V/KB). Sistem
pelaporan alokon terdiri dari empat laporan, yaitu (1) tahunan : membuat mutasi barang secara
kumulatif selama satu tahun serta sisa persediaan pada akhir tahun (administrasi), (2) stock opname :
menghitung fisik barang dua kali setahun (Juli dan Desember), (3) triwulanan : membuat mutasi
barang secara kumulatif selama tiga bulanan serta sisa persediaan, dan (4) bulanan (laporan gudang
F/V/KB): membuat mutasi barang secara kumulatif selama satu bulan serta sisa persediaan akhir
bulan.
Berdasarkan laporan Direktorat Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan
Anak Kedeputian Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Bappenas tahun 2010, terdapat beberapa
pihak yang banyak memegang peran dalam pengadaan alokon jalur pemerintah adalah BKKBN pusat,
BKKBN provinsi, dan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) KB kabupaten/kota. BKKBN pusat
berperan sebagai kepala bagian perencanaan kebutuhan yang melakukan koordinasi antar bagian
terkait perolehan data dan informasi mengenai data PPM, stock alokon di gudang bulan terakhir.
Selain itu, BKKBN pusat menyusun perkiraan kebutuhan alokon tahun depan dengan berbagi
alternatif dan analisa kecupukan alokon saat ini dan yang akan datang. Selanjutnya, BKKBN pusat
akan mengajukan kepada biro perlengkapan dan perbekalan beberapa alternatif prakiraan kebutuhan
alokon tahun depan dan melaporkan hasil kecukupan alokon saat ini dan yang akan datang. Di tingkat
provinsi, sekretaris BKKBN provinsi bersama staf menyusun perencanaan kebutuhan alokon,
melakukan analisis kondisi stok alokon di wilayahnya, dan mengajukan hasil analisa serta rencana
kebutuhan alokon kepada Kepala BKKBN Provinsi. Sementara di tingkat kabupaten/kota, SKPD KB
melakukan analisis kebutuhan alokon, melakukan koordinasi untuk memperoleh angka stok alokon
bulanan di wilayahnya. Kepala bagian tata usaha SKPD KB menyusun rencana alokon di wilayahnya
86
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
dan mengajukan usulan kebutuhan alokon kepada Kepala BKKBN Provinsi yang bersangkutan. Jadi,
prosedur pengadaan alokon pada jalur pemerintah adalah sebagai berikut:
1. BKKBN pusat mendistribusikan alokon ke BKKBN provinsi berdasarkan pada besarnya
perkiraan permintaan masyarakat (PPM) dan ketersediaan alokon.
2. BKKBN provinsi melanjutkan pendistribusian alokon ke kabupaten/kota.
3. Kabupaten/kota menyalurkan alokon ke puskesmas di wilayah masing-masing dengan
bantuan ekspedisi.
4. Kabupaten/kota menyalurkan alokon ke klinik, LSM, RS swasta, BPS, dokter praktek swasta
untuk IUD dan kondom, sedangkan alokon lainnya diberikan untuk fasilitas kesehatan yang
ditunjuk bagi keluarga pra KS dan KS-1.
5. Puskesmas menyalurkan ke puskesmas pembantu, puskesmas desa/polindes, dan pos pembina
KB desa. Untuk puskesmas pembantu dan polindes diberikan alokon IUD, suntik, implant,
pil, dan kondom yang diberikan bagi akseptor pra KS dan KS-1. Sementara untuk pos
pembina KB desa, hanya diberikan alokon pil dan kondom.
6. Untuk distribusi alokon dari swasta, kabupaten/kota hanya mendistribusikan alokon ke RS,
RS swasta, LSM, KB swasta, organisasi profesi, dan bidan/dokter praktek swasta.
PENUTUP
Simpulan
Dari hasil penelitian survey lapangan dan kajian literatur ini, dapat diketahui bahwa sistem
rantai pasokan pengadaan alokon di Indonesia dilakukan dengan dua sistem, pertama rantai pasokan
alokon jalur swasta, kedua rantai pasokan alokon jalur pemerintah. Pengadaan alokon jalur swasta
menunjukkan kemandirian sistem rantai pasokannya. Sementara, pengadaan alokon jalur pemerintah
menunjukkan panjangnya sistem rantai pasokan, baik secara birokrasi maupun dari saluran
distribusinya. Beberapa kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis alokon yang paling diminati pada jalur swasta di apotek dan bidan praktek swasta cukup
berbeda. Di rantai pasokan apotek, alokon yang paling diminati adalah pil (94,34%).
Sementara di rantai pasokan bidan praktek swasta, alokon yang paling diminati adalah
suntikan (93,75%). Hal ini menunjukkan bahwa sebagians besar akseptor yang memenuhi
kebutuhan alokon secara mandiri melalui apotek, memilih pil sebagai alokon. Dan, akseptor
yang memenuhi kebutuhan alokon secara mandiri melalui bidan praktek swasta, memilih
suntikan sebagai alokon.
2. Ada beberapa faktor yang dipertimbangan rantai pasokan apotek dan bidan praktek swasta
dalam menentukan supplier alokon, yaitu 33% berdasarkan produk alokon yang sesuai
permintaan akseptor, 23% berdasarkan kinerja supplier dari ketersediaan dan ketepatan
pelayanan, 14% berdasarkan harga yang diberikan oleh supplier, 8% berdasarkan hubungan
baik dengan supplier, dan 22% berdasarkan faktor pertimbangan lainnya. Berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan ini, dapat dikatakan bahwa rantai pasok apotek dan bidan praktek
swasta cukup profesional dalam menentukan supplier yang akan me-supplai alokon ke tempat
mereka. Mengenai metode pemesanan dan pengelolaan persediaan alokon yang dilakukan
mata rantai apotek dan bidan praktek swasta cukup bervariasi. Pertama, mengandalkan
kunjungan medical representatif, kedua, melakukan pemesanan dengan cara pembelian
mandiri secara langsung ke apotek terdekat, ketiga, melakukan pembelian mandiri ke apotek
87
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
via telepon. Dalam rangka menjaga tingkat persediaan alokon di setiap mata rantai, pihak
bidan praktek swasta melakukan pro active purchasing agar kebutuhan alokon akseptor tetap
dapat dipenuhi. Dengan metode pengelolaan persediaan alokon yang dilakukan mata rantai
apotek dan bidan praktek swasta, kondisi persediaan alokon 36% jarang kosong, 33% tidak
pernah kosong, 24% kadang kosong, dan hanya 7% yang masih sering kosong. Indikasi
kekosongan persediaan alokon yang masih terjadi di apotek maupun klinik BPS dapat
disebabkan oleh kinerja supplier dalam melayani pemesanan alokon yang dipesan apotek dan
atau klinik BPS. Kinerja supplier masih diberikan nilai cukup dan kurang memuaskan oleh
apotek dan klinik BPS karena tingkat pelayanan supplier dalam memasok alokon yang masih
rendah. Penentuan harga jual di apotek dan klinik BPS 94% ditentukan oleh pemilik, dan tidak
ada intervensi supplier sebagai pemasok alokon.
3. Rantai pasokan alokon jalur pemerintah diatur oleh berbagai peraturan pemerintah maupun
daerah. Alokon jalur pemerintah yang digratiskan hanya diperbolehkan diakses oleh akseptor
kategori keluarga pra-KS dan KS1, dengan jenis alokon IUD, suntik, implant, pil, dan kondom
di puskesmas pembantu, dan alokon pil dan kondom pada pos pembina KB. Dengan adanya
otonomi daerah, pemerintah menganggarkan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung
aktivitas program KB di daerah. Namun, DAK program KB hanya diperkenankan untuk
belanja sarana prasarana dan fisik layanan KB. Pengadaan alokon jalur pemerintah perlu
memperhatikan saluran distribusi mulai dari pemerintah pusat sampai daerah. Pihak yang
memegang peranan penting dalam pengadaan alokon jalur pemerintah adalah BKKBN pusat,
BKKBN provinsi, dan SKPD KB kabupaten/kota. Saluran distribusi diawali dari BKKBN
pusat yang akan mengalokasikan alokon ke BKKBN provinsi berdasarkan perkiraan
permintaan masyarakat dan ketersediaan alokon. BKKBN provinsi melanjutkan
pendistribusian alokon ke kabupaten/kota. Kabupaten/kota menyalurkan alokon ke
puskesmas di wilayah masing-masing, baik ke mata rantai pemerintah maupun swasta.
Puskesmas akan menyalurkan ke puskesmas pembantu, puskesmas desa/polindes, dan pos
pembina KB desa. Untuk pendistribusian alokon ke jalur swasta, kabupaten/kota
mendistribusikan ke RS, RS swasta, LSM, KB swasta, organisasi profesi, dan bidan/dokter
praktek swasta.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diringkaskan diatas, peneliti mencoba mengemukakan
beberapa saran yang sekiranya dapat dijadikan masukkan baik bagi pelaksanaan program keluarga
berencana, maupun bagi para edukasi dalam mendukung pembaharuan dan peningkatan sistem rantai
pasokan keluarga berencana, adalah sebagai berikut:
1. Rantai pasokan jalur swasta dapat menjadi andalan pemerintah dalam menjalankan program
Keluarga Berencana karena jumlah peserta KB Mandiri muncul dari masyarakat, tanpa
paksaan dari siapapun, dan tidak terasa sebagai beban ekonomi keluarga. Maka dari itu, untuk
mengurangi beban pengadaan alokon jalur pemerintah, rantai pasokan jalur swasta perlu
diberdayakan dan pelatihan pengelolaan persediaan alokon agar kinerja mata rantai swasta
semakin dapat diandalkan bagi ketersediaan alokon.
2. Sistem rantai pasokan jalur swasta dan jalur pemerintah merupakan kunci sukses program
keluarga berencana di Indonesia. Perencanaan menjadi tahapan kunci proses pengadaan
alokon. Enam prinsip manajemen logistik yang perlu dipertimbangan dalam perencanaan
kebutuhan alokon, meliputi tepat kuantitas, tepat jenis, tepat tempat, tepat waktu, tepat
kondisi, dan tepat biaya. Rantai pasokan jalur pemerintah perlu mendesain sistem pengadaan
yang memperhatikan keenam prinsip tersebut agar kebutuhan alokon masyarakat dapat secara
tepat dipenuhi.
88
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
3. Perlu dilakukan sinkronisasi program pengadaan alokon antara sistem pasokan swasta dengan
pemerintah. Program pemerintah daerah yang berkaitan dengan kegiatan keluarga berencana
perlu disinergikan dengan program KB pusat khususnya dalam pengadaan jenis alokon.
Misalnya, jika pemerintah daerah mengadakan secara gratis jenis alokon suntikan, maka
pengadaan alokon jalur pemerintah untuk suntikan dapat dikurangi dan akseptor yang
menggunakan alokon lainnya diarahkan ke fasilitas kesehatan bidan praktek swasta.
4. Bagi penelitian selanjutnya, diharapkan penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk
pengembangan penelitian yang lebih holistik serta komprehensif bagi pengembangan dan
penguatan sistem pasokan alokon baik jalur swasta maupun jalur pemerintah di Indonesia.
Keterbatasan Penelitian
Hasil penelitian ini belum sepenuhnya menggambarkan kondisi keseluruhan pengadaan
alokon jalur swasta dan jalur pemerintah secara nasional. Penelitian lapangan masih terbatas di enam
wilayah di provinsi Jawa Barat. Serta, kajian literatur dalam rangka melihat pola pengadaan alokon
jalur pemerintah baru sebatas kajian laporan beberapa literatur, belum mendalam dari peraturan
perundang-undangan secara terstruktur dari tingkat pemerintahan pusat sampai ke daerah. Semoga
penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang akan menciptakan penelitian sejenis dengan
konsep yang lebih dalam dan terarah agar dapat memberikan masukkan terhadap kebijakan
pemerintah dalam hal pengadaan alokon di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang BKKBN Perwakitan Jawa Barat, Sherlywati. (2015). Penelitian Penggunaan Alat dan
Obat Kontrasepsi pada Jalur Swasta di Provinsi Jawa Barat tahun 2015. Bandung.
Bappenas. (2010). Evaluasi Pelayanan Keluarga Berencana Bagi Masyarakat Miskin (Keluarga
Prasejahtera/KPS dan Keluarga Sejahtera-1/KS-1). Jakarta.
Bowersox, D.J., Closs, D.J. and Cooper, M.C. (2007). Supply Chain Logistics Management. 2nd
edition. McGrawHill Irwin: Boston.
BKKBN. (2000). Pelaksanaan Teknis Penerimaan, Penyimpanan, dan Penyaluran Kontrasepsi
Program KB Nasional di Kabupaten/Kota. Jakarta: BKKBN.
_______. (2004). Peningkatan Partisipasi Pria Dalam Keluarga Berencana dan Kesehatan
Reproduksi, Jakarta.
_______. (2008). Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Keluarga Berencana Tahun
Anggaran 2009. Jakarta: BKKBN.
_______. (2010). Profil Hasil Pendataan kelaurga tahun 2009. Jakarta: BKKBN.
Christopher, M., Peck, H., Abley, J., Haywood, Major M., Saw, R., Rutherford, C., & Strathern, M.
(2003). Creating resilient supply chains: A practical guide. Centre for Logistics and Supply
chain management Cranfield School of Management, Cranfield University, Cranfield: UK.
Gaspersz, Vincent. (1998). Production Planning and Inventory Control. PT. Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta.
Haryanto, Eddy. (2007). Manajemen Operasi. Edisi tiga. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
Muslimat. (2015). Pengelolaan dan Distribusi Alkon dan Non Alkon. Rakor Kemitraan Program
KKBPK dengan IBI. Pontianak, 13 Mei 2015.
Mutiara, E. (1998). Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Alat Kontrasepsi
(Analisis SDKI 1994). Program Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Depok.
89
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Puspitawati, Herien. (2012). Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia. PT IPB Press.
Bogor.
Sherlywati. (2016). Analisis Rantai Pasokan Alat dan Obat Kontrasepsi pada Jalur Swasta di
Provinsi Jawa Barat tahun 2015. Prosiding Forum Manajemen Indonesia 2016: Palu.
Syarief, Sugiri. (2015). Studium Generale Kependudukan dan Program Keluarga Berencana:
Tantangan dan Peluang. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
USAID. 2011. The Logistic Handbook: A Practical Guide for the Supply Chain Management of
Health Commodities. John Snow Inc: USA.
www.bkkbn.go.id
90
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
ANALISA INCOME SMOOTHING ATAS PERUSAHAAN REAL-ESTATE
PERIODE 2010-2015
Kartika Dewi
Universitas Bina Nusantara
[email protected]
Abstract
The purpose of this research is to analyze the influence of Return On Asset, Net Profit Margin and Debt
Ratio toward Income Smoothing Practices in Real Estate Companies listed in Bursa Efek Indonesia period
2010-2015. Income Smoothing is a technique to reduce fluctuation of net income from one period to
another. Net income is a factor for investors make decision whether to make more investments in a
company or not. Financial Statements should be reliable,transparent and relevant for decision making.
The method of this research is quantitative using secondary data from www.idx.co.id, internet,journals
and text-books. Using 126 samples data from real-estate companies period 2010-2015. Hypothesis are
tested using binary logistic with help statistical tool SPSS version 20. The result from this research is
Return On Assets and Net Profit Margin are not significant influenced to Income Smoothing and Debt
Ratio is significant influenced to Income Smoothing.
Keywords: Return On Assets, Net Profit margin, Debt Ratio, Income Smoothing and index Eckel
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Return On Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio
terhadap praktek Income Smoothing. Ada beberapa tipe earning managemen yang dilakukan manajemen
salah satunya adalah income smoothing. Income Smoothing adalah tehnik untuk memperhalus fluktuasi
laba. Ukuran laba menjadi faktor penentu bagi investor dalam berinvestasi. Laporan yang dipublikasikan
ke publik seharusnya memiliki sifat yang dapat dipercaya, transparan dan relevan dalam membuat
keputusan berinvestasi. Laba besar yang dilaporkan dari kinerja perusahaan dengan posisi menguntungkan
belum tentu sejalan dengan kenyataan yang ada karena adanya faktor income smoothing. Penelitian ini
menggunakan data sekunder perusahaan real estate yang terdaftar di BEI periode tahun 2010 sampai
dengan tahun 2015. Sample yang digunakan dalam penelitian adalah 126 sample diambil dengan cara
simple random sampling. Metode yang digunakan adalah regresi logistik biner dengan bantuan program
SPSS versi 20. Untuk mengetahui perusahaan yang menggunakan income smoothing atau tidak, penulis
menggunakan index eckel. Hasil penelitian ini adalah return on asset dan net profit margin tidak
berpengaruh terhadap income smoothing dan debt ratio berpengaruh terhadap income smoothing
Kata kunci: Return On Assets, Net Profit Margin, Debt Ratio, Income Smoothing, Index Eckel.
91
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENDAHULUAN
Investor mencari ilnformasi keuangan melalui Laporan Keuangan yang dipublikasikan tentunya
para investor ini mengharapkan informasi yang benar, dapat dipercaya, akurat dan transparan karena
informasi tersebut akan digunakan untuk mengambil keputusan ekonomi. Informasi penting yang
selalu dilihat adalah laba operasi karena laba adalah hasil yang tersisa setelah pendapatan dikurangi
biaya. Laba mendapat perhatian khusus dari investor hendaknya laba yang disajikan juga bebas dari
rekayasa. Idealnya peran Good Corporate Governance sangat membantu para manager untuk
mempublikasikan laba yang ditampilkan. Etika berbisnispun mendapat peran untuk mengurangi
rekayasa laba. Rekayasa laba dengan earning management biasanya menggunakan metode Income
Smoothing. Income Smoothing diukur dengan menggunakan index Eckel dimana rumusnya adalah
coefficient delta income dibagi coefficient delta sales.
Return On Asset merupakan ukuran efektifitas manajemen dalam mengelola investasinya atau
berapa rasio keuntungan yang bisa dihasilkan dari total asset yang ada. Semakin tinggi Retun On
Asset semakin bagus kinerja perusahaan. Dengan menggunakan ratio Return On Asset kita bisa
membandingkan dengan perusahaan sejenis tanpa melihat ukuran perusahaan. Net Profit Margin
Ratio menunjukkan nilai laba yang dapat dihasilkan dari penjualan. Semakin tinggi ratio ini akan
semakin bagus karena semakin efisien kinerja perusahaan. Rasio ini bagus untuk mengukur kinerja
perusahaan dimasa lampau. Laba selalu diharapkan oleh semua pihak karena dengan laba yang besar,
manager bisa berinvestasi dan melakukan banyak diversifikasi usaha. Debt Ratio mengukur
kemampuan perusahaan dalam membayar hutangnya dengan asset yang ada. Semakin tinggi rasio ini
semakin besar resiko perusahaan karena didalam pinjaman ada bunga pinjaman yang bersifat tetap
yang harus dibayar perusahaan tanpa memandang kondisi ekonomi perusahaan pada saat itu. Bila
bisnis sedang mengalami kemajuan maka pembayaran bunga pinjaman tidak menjadi masalah, tetapi
bila perusahaan dalam kondisi lesu maka beban bunga bisa menambah resiko bagi perusahaan dimana
bila kondisi lesu tersebut berkesinambungan maka keuangan perusahaan dalam kondisi bahaya dan
tidak likuid.
Harga properti di Indonesia meningkat pesat dari tahun 2009-2014 dan permintaan akan produk
properti meningkat pesat, Kondisi ekonomi Indonesia sangat bagus diperiode tersebut menciptakan
banyak masyarakat ekonomi menengah sehingga banyak sekali permintaan produk properti dilapisan
masyarakat ekonomi menengah ini baik kebutuhan untuk tempat tinggal dan investasi masa depan.
Selain itu banyak kemudahan yang diberikan oleh perbankan akan (KPR) Kredit Pemilikan Rumah
dan banyaknya promosi dari pengembang sendiri membuat banyak orang membeli rumah baru dan
berinvestasi. Perusahaan properti Tbk di Indonesia menuai banyak keuntungan dan hal ini. Untuk
penelitian ini dipilih periode tahun 2010 sampai dengan 2015 karena diperiode awal adalah kenaikan
pesat harga properti dan diperiode akhir penurunan tajam harga properti walaupun trend permintaan
properti meningkat. Melihat trend kenaikan dan penurunan harga, tentunya berpengaruh pada laba
perusahaan. Sehingga peneliti ingin membuat penelitian dengan judul “Analisa Income Smoothing
atas Perusahaan Real-Estate periode 2010-2015”
Penelitian ini akan menguji pengaruh Return on Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio terhadap
Income Smoothing. Masalah-masalah penelitian yang dapat dirumuskan berdasarkan pendahuluan
yang telah dikemukan sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Apakah Return on Asset mempengaruhi income smoothing pada perusahaan real-estate yang
terdaftar di BEI periode 2010-2015?
2. Apakah Net Profit Margin perusahaan mempengaruhi income smoothing pada perusahaan
real-estate yang terdaftar di BEI periode 2010-2015?
92
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
3. Apakah Debt Ratio (Debt to Asset Ratio) mempengaruhi income smoothing pada perusahaan
real-estate yang terdaftar di BEI periode 2010-2015?
Berdasarkan perumusan masalah yang telah disebutkan, tujuan penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh Return on Assets, Net Profit Margin dan Debt ratio terhadap Income Smoothing di
perusahaan Real-Estate periode 2010-2015.
TINJAUAN PUSTAKA
Laporan Keuangan
Laporan Keuangan merupakan sarana komunikasi antara pihak perusahaan dengan para
stakeholdersnya. Laporan Keuangan dibaca untuk dianalisa dan diambil keputusan ekonomi. Laporan
Keuangan biasanya terdiri dari Laporan Laba Rugi, Laporan Perubahan Ekuitas, Neraca, Laporan
Arus Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan. Dalam laporan keuangan tersebut bisa dilakukan
earning manajemen biasanya dengan metode income smoothing. Laporan Keuangan menggambarkan
kinerja perusahaan selama periode pelaporan. Laporan Keuangan dilaporkan secara periodik dan
bersifat historis. Laporan Keuangan biasanya digunakan untuk rasio keuangan.
Laba
Menurut Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) No.1, informasi laba merupakan
perhatian utama untuk menaksir kinerja dan pertanggung jawaban manajemen. Laba menjadi banyak
tolok ukur bagi semua pihak, bagi internal atau manager sebagai tolok ukur kinerja dia dan bagi
external users laba sebagai earning power dalam distribusi dividen dan investasi. Manager berada
didua sisi yang saling bertentangan antara keperluan pribadi dengan mensejahterakan pemegang
saham, hal ini sering disebut dengan agency theory.
Earning Management
Earning Management banyak mempunyai definisi tetapi semua bersifat sama yaitu pemilihan
metode akuntansi untuk menaikan atau menurunkan laba pada periode tertentu bertujuan untuk
membuat laporan keuangan terlihat lebih bagus dimata pembaca external. De Chow et al. (1996)
dalam Widyaningdyah (2001) mendefinisikan Manajemen Laba sebagai manipulasi laba (earning
manipulation), baik di dalam maupun diluar batas Generally Accepted Accounting Principles
(GAAP). Scott (1997) dalam Argali (2006) mendefinisikan manajemen laba sebagai tindakan
manajemen untuk memilih kebijakan akuntansi dari suatu standar tertentu dengan tujuan
memaksimalkan kesejahteraan manajemen atau pemegang saham. Scott (1997) menganggap
Manajemen Laba merupakan intervensi manajemen dalam proses penyusunan laporan keuangan
external sehingga dapat menaikan atau menurunkan laba akuntansi. Ada beberapa tehnik yang
digunakan dalam earning manajemen yaitu taking a bath, income minimization, income maximization
dan income smoothing, Income Smoothing paling banyak digunakan untuk metode earning
manajemen.
Income Smoothing
Investor menyukai laba yang stabil dari tahun ke tahun oleh karena itu manager melakukan
income smoothing agar investor tetap menilai perusahaan dalam kondisi stabil dan baik. Menurut
Scott(1997, diacu dalam Pujinigsih,2011). Salah satu faktor yang mendorong manajer melakukan
praktik manajemen laba adalah pemberian informasi kepada investor. Income Smoothing yang
dilakukan manajemen perusahaan membuat kualitas laba yang dilaporkan menjadi berkurang,tidak
memadai, tidak transparan bisa jadi tidak relevan sehingga menyesatkan pembaca. Pembaca juga bisa
membuat kesalahan keputusan karena kualitas laba yang salah ini. Ada beberapa faktor yang
93
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
mempengaruhi income smoothing yaitu retun on asset, profitabilitas, debt ratio, Ukuran perusahaan,
sektor industry, Dividen payout ratio, winner/losser stocks, etika bisnis, karakter dan budaya.
Bisnis Properti
Permintaan produk properti di Indonesia khususnya Pulau Jawa meningkat pesat untuk periode
2009-2014. Menurut data statistic jumlah kepemilikan rumah sangat kecil dan banyak sekali
penduduk yang membutuhkan rumah. Untuk mengatasi kekurangan produk properti maka
perusahaan properti membangun banyak sekali real estate.
METODE PENELITIAN
Populasi dalam penelitian ini menggunakan perusahaan real-estate yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia (BEI) dalam periode waktu 2010-2015. Data diambil dari web www.idx.co.id. Kriteria
pemilihan sample adalah sebagai berikut laporan keuangan telah diaudit periode 2010-2015,
menggunakan mata uang Rupiah, memiliki data lengkap untuk laporan keuangan dan non-keuangan.
Pengolahan data menggunakan SPSS versi 20 dengan metode statistic non-parametrik regresi biner.
Peneliti menggunakan model regresi biner karena variable dependen menggunakan skala nominal.
Dependen variabel adalah income smoothing yang diukur dengan menggunakan Index Eckel
(1981). Model ini digunakan untuk menentukan index income smoothing. Index Eckel akan
membedakan perusahaan yang melakukan praktek income smoothing dan yang tidak melakukan
income smoothing. Adapun rumus Index Eckel adalah sebagai berikut:
Indeks Eckel = CV βˆ†I / CV βˆ†S.
Keterangan:
CV ΔI
: Coefficient of variation untuk perubahan net income dalam satu periode
CV ΔS
: Coefficient of variation untuk perubahan sales dalam satu periode
Jika nilai Indeks Eckel > 1, maka perusahaan tidak melakukan praktik perataan laba dan diberi simbol
0. Jika nilai Indeks Eckel < 1, maka perusahaan melakukan praktik perataan laba dan diberi simbol
1. Variable independen terdiri dari Return On Assets, Net Profit Margin, Debt Ratio. Adapun
kerangka pemikiran penelitian adalah sebagai berikut:
Gambar 1: Gambar Kerangka Penelitian yang dirumuskan oleh peneliti
Variabel Independen
Variabel dependen
X1 Return on Assets
Y : Income Smoothing
X2 Net Profit Margin
X3 Debt Ratio
Hipotesis yang diusulkan terdiri dari 3 yaitu:
H1: ROA berpengaruh signifikan terhadap Income Smoothing
H2: Net Profit Margin berpengaruh signifikan terhadap Income Smoothing
H3: Debt Ratio berpengaruh signifikan terhadap Income Smoothing
94
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tujuan penelitian adalah meneliti apakah Return On Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio
berpengaruh terhadap Income Smoothing di perusahaan Real Estate periode 2010 hingga 2015 (6
tahun). Peneliti menggunakan purposive sampling yaitu sample yang dipilih sesuai dengan kriteria
yang telah ditetapkan karena diharapkan sample yang terpilih dapat mewakili populasi yang sesuai
dengan tujuan penelitian. Berdasarkan hasil seleksi sesuai kriteria didapat sample sebanyak 126 data
yang didapat dari 21 perusahaan Real-Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia yang diambil
dari tahun 2010 sampai dengan 2015. Tabel 5.1 menunjukkan data deskriptif statistik dari sample
yang digunakan dalam penelitian. Sebanyak 126 sample dan nilai minimum, maximum, mean dan
standard deviasi dari ROA, NPM, Debt Ratio.
Tabel 5.1. Descriptive Statistics
N
Range
ROA
NPM
DebtRatio
Valid N (listwise)
126
126
126
126
.2418
.9824
.7494
Minimum Maximum
Mean
-.0012
-.2388
.0084
.073738
.296357
.424916
.2406
.7436
.7578
Std.
Deviation
.0407331
.1442877
.1662624
Varianc
e
.002
.021
.028
Tabel 5.2 menunjukkan kode untuk dependen variable nya. Kode 0 untuk bukan perata laba dan 1
untuk perata laba.
Table 5.2
Dependent Variable Encoding
Original Value
Internal Value
bukan perata laba
0
perata laba
1
Untuk regresi logistik binary ada dua hal yang harus dianalisa yaitu pertama adalah Overall
Model Fit (ada 3 uji di Overall Model Fit yaitu -2 Log Likelihood, Cox & Snell R Square and
Nagelkerke R Square dan Hosmer and Lemeshow Goodness of Fit Test). Kedua adalah Pengujian
Hipotesis. Tabel 5.3 menunjukkan uji keseluruhan model, dimana -2Log Likelihood
ditransformasikan menjadi -2LogL. Statistik 2Log L awal diberi kode 0 (blok number 0). Kemudian
variable bebas dimasukkan ke dalam model dan diuji lagi apakah penambahan variable bebas dapat
memperbaiki model (blok number 1). Apabila terjadi penurunan hasil maka dapat disimpulkan model
tersebut menunjukkan regresi yang baik. Dari table 5.3 menunjukkan -2Log Likehood blok 0
Table 5.3
-2Loglikehood Block 0
Iteration Historya,b,c
Iteration
-2 Log likelihood
Coefficients
Constant
-.286
-.288
-.288
1
172.093
Step 0
2
172.093
3
172.093
a. Constant is included in the model.
b. Initial -2 Log Likelihood: 172.093
c. Estimation terminated at iteration number 3 because parameter estimates changed by less
than .001.
95
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tabel 5.4 akan ditambahkan variabel bebas dan diuji lagi apakah nilai 172.093 akan mengalami
penurunan, bila angkanya lebih kecil dari 172.093 maka model regresi bagus dan dapat dilanjutkan
ke tahap berikutnya. Hasil yang diperoleh di block 1 sebesar 163.450 dan angka nya lebih kecil
sehingga model regresi dapat disimpulkan bagus.
Table 5.4
-2Loglikehood Block 0
Iteration
-2 Log likelihood Coefficients
Constant
ROA
1
163.450
-1.346
5.764
2
163.375
-1.474
6.388
Step 1
3
163.375
-1.476
6.401
4
163.375
-1.476
6.401
a. Method: Enter
b. Constant is included in the model.
c. Initial -2 Log Likelihood: 172.093
d. Estimation terminated at iteration number 4 because parameter
than .001.
NPM
-1.683
-1.832
-1.834
-1.834
Debt
2.668
2.907
2.912
2.912
estimates changed by less
Tabel 5.5 menunjukkan kesimpulan dari pengujian overall fit model dimana dapat disimpulkan
hasil regresi yang bagus dan dapat diteruskan.
Table 5.5
-2Loglikehood Block 0 and 1 Result
-2L Likelihood Blok 0
172.093
-2L Likelihood Blok 1
163.375
Kemudian kita lanjutkan pengujian model fit dengan Cox and Snell R Square and Nagelkerke
R Square ditabel 5.6. Nilai Cox & Snell R Square sebesar 6.7% dan Negelkerke R Square sebesar 9%
dapat menjelaskan bahwa variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas
variabel independen sebesar 9%,sedangkan sisanya 91% dipengaruhi faktor lain.
Table 5.6
Model Summary
Step
-2 Log likelihood
1
163.375a
Cox &
Square
.067
Snell
R Nagelkerke R Square
.090
Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit test ditunjukkan ditabel 5.7 menguji hipotesis nol
bahwa data empiris cocok atau sesuai dengan model (tidak ada perbedaan antara model dengan data
sehingga model dapat dikatakan fit). Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test bertujuan untuk
menguji ketepatan atau kecukupan data pada model regresi logistic, dengan hipotesis:
H0 : Model Logistik menunjukkan kecukupan data
H1: Model Logistik tidak menunjukkan kecukupan data
Jika nilai statistik Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit lebih besar dari 0,05 maka hipotesis nol
( H0 ) tidak dapat ditolak artinya model mampu memprediksi nilai obeservasinya. Tampilan statistik
SPSS menunjukkan nilai statistik 0,085 dimana nilai tersebut diatas 0,05. Dapat disimpulkan bahwa
model dapat diterima seperti yang ada di tabel 5.7.
96
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tabel 5.7
Hasil Pengujian Hosmer and Lemeshow’s Goodness of Fit Test
Hosmer and Lemeshow Test
Step
Chi-square
df
1
13.872
8
Sig.
.085
Tabel 5.8 menunjukkan ketepatan prediksi antara sampel perusahaan yang melakukan Income
Smoothing dan perusahaan yang tidak melakukan Income Smoothing. Berdasarkan tabel diatas
terdapat data perusahaan bukan perata laba 72 (55+17),sedangkan hasil observasinya 55 yang
merupakan perusahaan bukan perata laba dan 17 perusahaan merupakan perata laba. Jadi ketepatan
model ini untuk perusahaan bukan perata laba adalah 76.4%. Prediksi perusahaan perata laba
sebanyak 54 data perusahaan, sedangkan hasil observasi terdapat 21 perusahaan perata laba dan 33
perusahaan bukan perata laba. Ketepatan klasifikasi model ini untuk perusahaan perata laba adalah
38.9%. Keseluruhan ketepatan klasifikasi sebesar 60.3%. Angka ini cukup baik karena ketepatan
klasifikasi sudah lebih dari 50% sehingga dapat disimpulkan bahwa model dianggap baik
(Mahmudi&Zain,2008).
Tabel 5.8. Classification Tablea
Pengujian Hipotesis
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah Retun on Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio
terhadap praktek Income Smoothing. Dalam pengujian ini digunakan regresi logistik binari untuk
menguji signifikansi pengaruh variabel independen terhadap dependennya. Berdasarkan hasil regresi
analisis binary yang dilakukan diperoleh hasil pada tabel 5.9.
Tabel 5.9
Hasil Pengujian Multivariate
Variables in the Equation
B
Step 1a
a.
ROA
NPM
Debt
Constant
6.401
-1.834
2.912
-1.476
S.E.
6.013
1.635
1.269
.611
Wald
df
1.134
1.258
5.262
5.835
Sig.
1
1
1
1
.287
.262
.022
.016
Exp(B)
602.689
.160
18.387
.229
95% C.I.for EXP(B)
Lower
Upper
.005 79063610.654
.006
3.939
1.528
221.268
Variable(s) entered on step 1: ROA, NPM, Debt.
Sumber : Hasil pengolahan SPSS versi 20.
Berdasarkan hasil pengujian multivariate dapat dilihat nilai signifikan bervariasi, untuk variabel
return on asset (X1), net profit margin (X2) mempunyai nilai signifikan diatas 0.05 dan debt ratio
(X3) memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05. Berikut hasil olah statistiknya atas multivariate
secara serentak yaitu variabel return on asset (X1) sebesar 0,287, untuk variabel net profit margin
(X2) sebesar 0,262 dan untuk variabel debt ratio (X3) sebesar 0.022. Untuk X1 dan X2 hal ini
97
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
menunjukkan bahwa H0 diterima dan Ha ditolak untuk variabel return on asset (X1) dan net profit
margin (X2). X1 dan X2 tidak berpengaruh secara signifikan terhadap praktik perataan laba (Y).
Sedangkan variabel debts ratio (X3) memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu sebesar
0,022, sehingga H0 ditolak dan Ha diterima yang menunjukkan bahwa variabel debts ratio (X3)
berpengaruh secara signifikan terhadap praktik perataan laba (Y).
Tabel 5.10 Kesimpulan Hipotesis
Variabel
Return On Asset
Profitabilitas
Debt Ratio
p-value
0,287
0,262
0,022
Keterangan
P > 0,05
P > 0,05
P < 0,05
H0
Diterima
Diterima
Ditolak
PENUTUP
Simpulan
Pengujian yang dilakukan apakah Return On Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio
berpengaruh terhadap Income Smoothing menghasilkan signifikansi Debt Ratio terhadap Income
Smoothing. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tinggi debt yang dimiliki perusahaan akan membuat
manager melakukan rekayasa laba dengan tujuan memperindah laba sesuai tujuannya. Beban debt
yang besar akan menyulitkan perusahaan bila tidak beroperasi dengan baik. Dimasa-masa resesi
perusahaan, beban bunga debt akan memberatkan operasional perusahaan. Terlebih sektor real-estate
mengalami penurunan dari sisi demand, dimana masyarakat susah membeli produk properti karena
harga yang sangat tinggi dan tidak sesuai dengan penghasilan mereka sebagai karyawan. Seharusnya
penerapan Good Corporate Governance yang baik diperusahaan bisa mengurangi praktek perataan
laba sehingga laba yang disajikan bisa diandalkan untuk mengambil keputusan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap Income Smoothing dengan
menggunakan 3 variable independen yaitu Return On Asset, Net Profit Margin dan Debt Ratio.
Penelitian menggunakan 21 perusahaan properti selama 6 tahun sehingga didapat total data 126 data.
Analisis statistic yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah regresi logistic binary dengan
software SPSS versi 20. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh simpulan sebagai berikut:
1. Return On Asset berpengaruh positif tidak signifikan. Diduga Return On Asset mempunyai
pengaruh terhadap Income Smoothing tetapi dari hasil penelitian tidak terbukti. Laba yang
disajikan ke pembaca ternyata cukup bagus kualitasnya. Ada kemungkinan bisnis property
cukup menjanjikan dalam masalah laba sehingga management tidak perlu melakukan Income
Smoothing
2. Net Profit Margin berpengaruh negative tidak signifikan. Diduga Net Profit Margin mempunyai
pengaruh terhadap Income Smoothing tetapi dari hasil penelitian tidak terbukti. Perusahaan
property menghasilkan profit yang tinggi ditahun penelitian sehingga managemen tidak perlu
melakukan Income Smoothing.
3. Debt Ratio berpengaruh positif signifikan. Hasil penelitian membuktikan Debt Ratio
berpengaruh signifikan positif. Semakin tinggi Debt Ratio yang dimiliki perusahaan maka makin
besar kemungkinan managemen melakukan Income Smoothing.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian yang pertama adalah tidak menguji pengaruh Good Corporate
Governance dimana diduga bisa mengurangi praktek Income Smoothing. Seharusnya banyak pihak
98
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
yang terlibat dalam operasional perusahaan misalnya Komisaris independen dan komite audit bisa
mengurangi praktek Income Smoothing. Keterbatasan penelitian yang kedua adalah tidak menguji
kualitatif peranan etika bisnis dan culture perusahaan serta jenis karakter manager. Hal ini disebabkan
karena manager sebagai karyawan yang harus tunduk dengan atasan. Atasan manager tersebut telah
menentukan strategi bisnis perusahaan. Strategi tersbut ditentukan oleh karakter pribadi. Seperti yang
kita ketahui kebanyakan manusia adalah menghindar dari resiko tetapi ada juga yang suka mengambil
resiko demi penghasilan yang lebih besar. Hal-hal kualitatif ini tentunya mempengaruhi praktek
Income Smoothing di perusahaan. Keterbatasan penelitian yang ketiga adalah tidak menguji harga
saham di pasaran. Disebabkan investor selalu menanti dividen dan capital gain. Pelaporan dividen
dan capital gain bisa mempengaruhi praktek Income Smoothing. Harga Saham penutupan dan
fluktuasinya sangat berpengaruh terhadap keputusan investasi menyebabkan manager ingin
melakukan rekayasa laba.
Saran
Saran untuk peneliti selanjutnya dapat menambah variabel Good Corporate Governance
dengan menambahkan persentase masing-masing unsur Good Corporate Governance sehingga kita
bisa tahu elemen dari Good Corporate Governance yang mempengaruhi Income Smoothing. Selain
Good Corporate Governance, kita bisa menggunakan harga saham atau Dividen Payout Ratio juga,
dapat diuji apakah komponen harga saham dan Dividen Payout Ratio berpengaruh terhadap Income
Smoothing.
DAFTAR PUSTAKA
Argali, M. 2006. Analisis atas hubungan leverage dan harga saham terhadap earning management
pada industri dasar kimia. Skripsi tidak diterbitkan. Universitas Kristen Petra. Surabaya
Eckel, N. 1981. The Income Smoothing Hyphothesis Revisited. Abacus. Vol.17, No.1. hal 28-40
Pujiningsih, A. I., & ROHMAN, A. (2011). Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan,
Praktik Corporate Governance dan Kompensasi Bonus terhadap Manajemen Laba (Studi
Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 20072009) (Doctoral dissertation).
Widyaningdyah, A.U. (2001). Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap earning management
pada perusahaan go-public di Indonesia. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol 3, No.2, 89-101.
www.idx.co.id
99
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
MEMAHAMI PRODUK MODE INDONESIA YANG MENJUAL
PRODUK SECARA ONLINE MENGGUNAKAN MAJALAH MODE LOOKS
MAGAZINE SEBAGAI MEDIA IKLAN
M. Adhiramsyah Choesin 1 dan Yohana F. Cahya Palupi Meilani 2
Universitas Pelita Harapan
E-mail: [email protected] 2
Abstract: The purpose of research is to know how fashion products that sell products online
using the magazine as an advertising medium. Where the screening process is carried out by the
fashion magazine, will cause the image received by the reader after seeing an ad product that
mode. On the basis that the Indonesian fashion industry is growing rapidly and become one of
the leading contributor to Indonesia's creative industries. The research method uses a qualitative
approach with case studies. Data collection methods, ie interviews, observation, and
documentation. Using triangulation of sources to better understand the phenomenon. The object
of research is a fashion magazine Looks Magazine. Informants consists of managers Looks
Magazine; Informants persons represented Vogue Couture fashion products as fashion online
seller; Informants readers. The results showed the main objective fashion product
advertisements are for branding activities, the absence of a screening process conducted
magazines, as well as the factors that make the reader considers that the ads displayed on the
magazine influenced the image of magazine brands and products advertised. Factors stretcher
are: color prints magazines, advertising model selection, the sharpness of the magazine's print
resolution, and the selection of the product being advertised. It is intended that the management
of fashion magazines can apply the right strategy associated with the phenomenon of brand
image terhadapat products that affect the image of the magazine. Contributions of research is
to provide input for the fashion magazine manager manage media advertising to increase brand
image of fashion magazines.
Keywords: citra merek, komunikasi pemasaran, majalah, mode
Abstrak: Tujuan penelitian adalah mengetahui bagaimana produk mode yang menjual produk
secara online menggunakan majalah sebagai media iklan.Dimana melalui proses penyaringan
yang dilakukan pihak majalah mode, akan menimbulkan citra yang diterima pembaca setelah
melihat iklan produk mode tersebut. Dengan dasar bahwa industri mode Indonesia sedang
berkembang dengan pesat dan menjadi salah satu penyokong utama industri kreatif Indonesia.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus. Metode pengumpulan
data, yaitu wawancara, observasi, dan dokumentasi. Menggunakan triangulasi sumber untuk
lebih memahami fenomena. Objek penelitian adalah majalah mode Looks Magazine.
Narasumber terdiri dari pengelola Looks Magazine; Narasumber produk mode yang menjual
produk secara online diwakili Vogue Couture; Narasumber pembaca yaitu mahasiswi. Hasil
menunjukkan tujuan utama produk mode memasang iklan adalah untuk kegiatan branding, tidak
adanya proses penyaringan yang dilakukan majalah, serta adanya faktor-faktor yang membuat
pembaca menilai bahwa iklan yang ditampilkan pada majalah berpengaruh terhadap citra merek
majalah dan produk yang diiklankan. Faktor-faktor terebut adalah: warna cetak majalah,
pemilihan model iklan, ketajaman resolusi cetak majalah, dan pemilihan produk yang diiklankan.
Hal ini dimaksudkan agar pengelola majalah mode dapat menerapkan strategi yang tepat terkait
dengan fenomena citra merek produk yang berpengaruh terhadapat citra majalah. Kontribusi
penelitian adalah memberikan masukan bagi pengelola majalah mode dalam mengelola media
iklan untuk menaikkan citra merek majalah mode.
Kata kunci: citra merek, komunikasi pemasaran, majalah, mode
100
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENDAHULUAN
Industri mode Indonesia sedang berkembang pesat, produk mode berkontribusi dalam lima tahun
terakhir terhadap Produk Domestik rata-rata 5,9% sebesar Rp.71,9 trilliun. Produk mode merupakan
penyumbang terbesar ekspor sektor industri kreatif Indonesia sepanjang tahun 2010, yakni mencapai
kisaran US$ 72 miliar (Soelaeman, 2011). Perkembangan juga terlihat dari begitu banyaknya merek–
merek mode di Indonesia. Pertumbuhan tersebut dikarenakan semakin banyak faktor menyokong
pertumbuhan industri kreatif ini. Seperti, banyaknya event–event memberikan kesempatan bagi
merek lokal mempresentasikan karyanya (seperti Jakarta Fashion Week, Indonesia Fashion Week,
BrightSpot Market, Pop-Up Market, NextLevel Indonesia dan lain-lain). Hal tersebut sejalan
pernyataan Suryadi (2011) bahwa sejumlah festival mode berhasil membuat indusri mode tanah air
berpacu, tak sedikit perhelatan mode menjadi barometer dan agenda internasional. Seiring pesatnya
perkembangan industri mode di Indonesia, maka muncul majalah mode Indonesia pertama pada tahun
1972 yaitu Majalah Femina sebagai majalah mode dan gaya hidup pertama di Indonesia yang pada
awalnya hanya menyediakan informasi bagi kaum wanita (Femina Group, 2013) Sementara Majalah
mode menurut (Moeran, 2006) adalah majalah yang bertujuan menginformasikan pada pembaca
perkembangan tren busana terkini, dan memberikan panduan serta arahan pada pembaca atas produkproduk busana yang ditawarkan. Pada industri mode majalah mode berfungsi sebagai tempat
bertemunya antara produsen dan konsumen atau antara supply dan demand (Moeran, 2006).
Penelitian ini menggunakan Looks Magazine sebagai obyek penelitian dikarenakan Looks
Magazine adalah salah satu majalah Indonesia menyajikan fitur iklan bagi merek–merek perusahaan
mode di Indonesia. Looks Magazine adalah majalah asli Indonesia (bukan franchise) yang
mempunyai visi misi secara maksimal menyajikan informasi tentang dunia mode & dunia hiburan di
luar negeri untuk pembacanya. Berdasarkan wawancara dengan Creative Designer Looks Magazine
Elco Frebliaman, yang dimaksud maksimal yaitu tidak adanya fitur–fitur seperti yang ada pada
majalah wanita Indonesia lainnya seperti tips–tips, zodiak, cerpen dan lain-lain. Komitmen
menyajikan informasi hanya tentang dunia mode dan dunia hiburan luar negeri untuk pembacanya
menjadi suatu keunggulan Looks Magazine dibandingkan dengan majalah wanita Indonesia lainnya.
Dari hasil data eksplorasi yang dilakukan terhadap Looks Magazine dengan menggunakan kuesioner
yang disebarkan ke 100 narasumber yaitu mahasiswi Universitas Pelita Harapan pembaca Looks
Magazine menunjukkan data tentang bagaimana tanggapan narasumber tentang iklan pada Looks
Magazine, 50% beranggapan bahwa iklan yang terdapat pada Looks Magazine tergolong dalam
kategori baik; 2% menyatakan sedang, dan 48% memilih alternatif lain dengan menjabarkan alasan,
seperti bosan ; terlalu banyak merek online shop;kurang bervariasi; tampilan layout yang kurang
bagus ; segmentasi menjadi blur. Hasil di atas menunjukkan hampir 50% narasumber tidak terlalu
puas dengan iklan yang terdapat pada Looks Magazine. Pada penelitian ini, hal ini akan menjadi
permasalahan dasar tentang apakah iklan yang terdapat pada Looks Magazine akan berdampak pada
citra merek dan bagaimana strategi perusahaan pemasang iklan menggunakan fitur iklan pada Looks
Magazine sebagai kegiatan pemasaran, serta bagaimana proses Looks Magazine dalam memilih
katagori perusahaan pemasang iklan. Hal tersebut membuat keingin tahuan dari fenomena diatas.
Menurut Bungin (2007) peneliti harus memiliki sikap ingin tahu terutama pada apa yang diteliti dan
senantiasa terbuka akan pengetahuan baru. Dengan penjabaran hasil eksplorasi di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembaca Looks Magazine masih belum puas dengan iklan yang terdapat pada
Looks Magazine. Kesenjangan antara ekspektasi strategi pembangunan citra merek mode
menggunakan media majalah dengan kenyataan citra apa yang konsumen tangkap dari stimulus yang
disampaikan adalah yang melatar belakangi penelitian ini. Sehingga dapat dirumuskan permasalahan
penelitian adalah:
101
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Bagaimana produk mode Indonesia yang menjual produk secara onlinemenggunakan Looks
Magazine sebagai media iklan?
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana produk mode Indonesia yang menjual produk
secara online menggunakan Looks Magazine sebagai media iklan. Dimana melalui proses
penyaringan yang dilakukan pihak majalah mode, akan menimbulkan citra yang diterima pembaca
setelah melihat iklan produk mode tersebut. Kontribusi penelitian ini diharapkan dapat memberi
masukan bagi perusahaan majalah atas pengaruh iklan produk mode yang menjual produk secara
online terhadap citra merek majalah mode dalam hal ini majalah Looks Magazine, sehingga majalah
dapat menetapkan strategi yang lebih tetap dalam memilih iklan yang akan di tempatkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Pemasaran
Pengertian pemasaran menurut AMA (American Marketing Association), pemasaran adalah (Hair,
Charles, dan McDaniel, 2007) proses organisasi berkreasi, berkomunikasi dan menyampaikan nilai kepada
konsumen serta mengelola hubungan dengan konsumen untuk kepentingan organisasi dan pemangku
kepentingan. Sejalan dengan (Keller dan Kotler, 2006) pemasaran berhubungan dengan mengidentifikasi dan
memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat. Sexton, 2006 mengartikan pemasaran sebagai berikut
mengelola nilai yang menguntungkan bagi perusahaan sehingga perlu mempunyai keunggulan kompetitif,
target pasar, pemposisian produk dan jasa, membangung merek yang kuat, memuaskan konsumen,
menentukan harga, mengembangkan iklan , mengorganisasi penjualan untuk distribusi, memotivasi sumber
daya manusia dalam mencapainya.
Komunikasi Pemasaran (Integrated Marketing Communication)
Menurut (Duncan dan Ouwersloot, 2008) hal terpenting dan yang sangat diperlukan oleh komunikasi
pemasaran adalah media. Media (TV, radio, koran, majalah, papan billboard, internet, surat, surat elektronik,
dan telefon) adalah kendaraan bagi pesan yang akan disampaikan ke target pasar sebagai penerima stimulus
informasi yang diberikan. Untuk membangun citra merek serta keberhasilan penjualan produk diperlukan
kejelian dalam memilih media komunikasi serta alat komunikasi pemasaran yang paling tepat, alat (tools)
komunikasi pemasaran dapat di bagi menjadi sebagai berikut: (a) Advertising, alat komunikasi pemasaran
yang tidak personal, iklan berbayar dilakukan oleh sponsor, yang ingin melakukan komunikasi pemasaran dari
organisasi ke target pasar. Advertising berfungsi mencapai target pasar lebih luas, mencipta kesadaran merek,
membedakan produk dengan produk kompetitor, membangun citra merek. (b) Promosi Penjualan, adalah
kegiatan jangka pendek menawarkan produk/jasa dengan menambahkan nilai pada desain/harga untuk
memotivasi konsumen memberi respon cepat .Walaupun pada umumnya kegiatan promosi digunakan untuk
memperngaruhi keputusan pembelian, kegiatan promosi juga dapat digunakan untuk mempengaruhi konsumen
berpindah dari satu merek ke merek lain. (c) Pemasaran Langsung yaitu proses penyampaian barang atau jasa
tanpa ada pihak lain (distributor) terlibat pada kegiatan ini. (d) Publicity & Public Relations, ada perbedaan
mendasar antara publisitas dengan hubungan dengan publik. Publisitas diartikan sebagai cerita atau penjelasan
merek kepada masyarakat luas tanpa biaya. Sementara hubungan publik diartikan sebagai usaha untuk
membangun dan mengelola publik yang bertujuan untuk mencari dukungan dan kooperatif dari publik. (e)
Penjualan Personal, di hitung dari berapa banyak produk dijual namun dewasa ini organisasi memberlakukan
sistem kompensasi berdasarkan kualitas dalam membangun dan mempertahankan hubungan dengan konsumen.
(f)Packaging, dapat memuat begitu banyak informasi dari mulai informasi yang mendasar (nama produk,
tagline) hingga mencapai informasi yang lebih spesifik (resep, isi bahan pembuatan, cara pakai dan lain-lain).
Seperti layaknya promosi, pengemasan juga dapat menambah nilai pada produk.(g) Events and Sponsorship,
Events adalah kegiatan yang desain untuk mendekati konsumen secara lebih tertarget dengan mengedepankan
merek sebagai pengendali kegiatan. Sementara sponsorship memiliki arti sebagai dukungan finansial untuk
organisasi, individu atau aktivitas dengan cara menukarkan dengan publisitas merek.(h) Layanan Pelanggan
sebagai layanan pelanggan mencakup semua interaksi dengan konsumen, dan hal ini harus tercermin pada
102
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
setiap prilaku dan aktivitas organisasi seperti pada iklan, pengemasan, personal selling, public relation dan
lain-lain.
Tipe Majalah
Secara garis besar tipe majalah dibagi menjadi dua, yaitu (a) Consumer Magazine, adalah majalah
didesain untuk konsumen yang akan membeli produk tertentu.(b) Business Magazine, adalah majalah didesain
untuk kalangan lebih spesifik minat informasi lebih spesifik pula[9].Perbedaan yang mendasar dari kedua jenis
majalah di atas adalah tujuan dari target pembaca dalam membaca yaitu untuk menkonsumsi dan untuk
mencari informasi yang spesifik.
Klasifikasi Majalah
Majalah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (a) Geography, majalah yang diterbitkan berdasarkan
area atau zona waktu tertentu. Area cakupan majalah ini dapat besar maupun kecilcontoh: Los Angeles
Magazine, Boston Magazine, Southern Living Magazine). (b)Demographics, klasifikasi majalah dengan
menetapkan klasfikasi demografi tertentu (umur, pemasukan, pekerjaan dan lain-lain. Sebagai contoh majalah
Time, menerbitkan majalah khusus siswa, wirausahawan, dokter dan lain-lain. (c) Editorial Contents, Setiap
majalah mengangkat jenis tema yang berbeda-beda sesuai dengan target pasar yang dibidik, contoh: tema
umum majalah Reader's Digest, kehidupan wanita majalah Family Circle, tema interior dan bangunan majalah
House Beautiful, bisnis majalah Forbes, dan lain-lain.(d) Physical Characteristic, dikategorikan berdasarkan
dimensi cetak majalah. Pada umumnya majalah berukuran 8.5inci x11inci atau 6inci x 9inci. Ide majalah
dengan ukuran kecil muncul dengan tujuan agar pembaca lebih mudah membawa majalah. (e) Ownership,
beberapa majalah dimiliki oleh perusahaan publishing tertentu, atau perusahaan majalah dapat berdiri sendiri
tanpa tergabung dalam suatu grup publisitas tertentu. Perusahaan publishing umumnya membawahi majalahmajalah franchise dari luar negeri Sebagai contoh majalah Glamour, Gourmet, Vanity Fair, The New Yorker
dimiliki oleh perusahaan publishing Conde Nast. Di Indonesia majalah franchise dimiliki oleh perusahaan
publishing, contoh: Harper's Bazaar Indonesia dimiliki oleh perusahaan MRA Media Grup (Wells, Moriarty
dan Burnett, 2006).
Keunggulan Majalah
Sebuah majalah dapat mempunyai keunggulan meliputi: (a) Target Audiens, target audiens/pasar dapat
dibidik secara akurat dikarenakan setiap majalah mempunyai target tersendiri. Dikatakan secara akurat
dikarena target pasar majalah spesifik berdasarkan profesi, demografi, kegemaran dan lain-lain.(b) Audience
Receptivity, kemampuan menerima stimulus oleh pembaca. Majalah menyediakan kredibilitas dan validitas
informasi pada majalah dengan bantuan editor majalah. (c) LongLife Span, majalah memiliki usia hidup paling
lama di banding dengan media lainnya. Hal ini dikarenakan fisik majalah memadai untuk disimpan dan dibaca
pada waktu mendatang. Berbeda dengan media TV atau radio dengan informasi dapat sirna seiring dengan
waktu. Sekali majalah dimiliki seseorang, majalah akan selalu menyediakan informasi didalamnya. (d) Format,
pada majalah menyediakan berbagai fasilitas untuk melakukan advertising, contoh: halaman, ulasan, fitur
promosi dan lain-lain. (e) Visual Quality, kualitas majalah dikategorikan sebagai kualitas tinggi dikarenakan
cetakan pada kertas berkualitas dengan desain tulisan dan foto definisi tajam. (f) Promosi Penjualan, majalah
dapat digunakan organisasi dalam melakukan promosi. Seperti: kupon, sampel produk dan lain-lain (Wells,
Moriarty dan Burnett, 2006).
Kekurangan Majalah
Majalah dapat mempunyai kekurangan seperti:(a) Limited Flexibility, iklan pada majalah diserahkan
pada waktu tepat sebelum naik cetak setiap edisi. Ketepatan waktu membuat organisasi merencanakan iklan
dengan peramalan tertentu dikarenakan iklan pada majalah tidak dapat sewaktu-waktu diubah. (b) Lack Of
Immediacy, efek dari iklan pada majalah tidak dapat langsung dilihat dengan cepat. Organisasi mengharapkan
pembaca melihat iklan dengan cepat dan segera melakukan pembelian atau pencarian informasi. Namun, jika
majalah sudah tersimpan lama, makan informasi iklan yang tersedia sudah tidak relevan dengan keadaan. (c)
103
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
High Cost, tarif pemasangan iklan pada majalah tergolong mahal dikarenakan pemasukan majalah bersandar
pada pemasangan iklan. (d) Distribution, dapat menjadi kekurangan majalah dikarenakan tidak menyebarnya
distribusi jika dilakukan tanpa melalui distributor (Wells, Moriarty dan Burnett, 2006).
Pengertian Mode (fashion)
Menurut (Echols dan Shadily, 1997) mendefinisikan fashion sebagai cara atau kebiasaan mengenakan
sesuatu, yang diartikan pada bahasa Indonesia sebagai mode. Menurut (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2005) Mode diartikan sebagai ragam cara bentuk yang terbaru pada waktu tertentu, seperti pakaian,
potongan rambut, corak hiasan dan lain sebagainya. Namun, pengertian mode atau fashion masih
dipertanyakan dikarenakan banyaknya pandangan subjektifitas terhadapat mode. Johnson dan Yurchisin
(2010)merangkum definisi mode menjadi tiga definisi, yaitu: (a) Mode atau fashion adalah cara berperilaku.
(b) Mode adalah cara berperilaku yang diakui oleh lingkungan sekitar.(c) Mode adalah cara berperilaku yang
dapat berubah dari waktu ke waktu. Pada industri mode majalah mode berfungsi sebagai tempat bertemunya
produsen dan konsumen atau antara supply dan demand (Moeran, 2006). Hal tersebut menuntut produsen
produk mode harus selektif memilih majalah karena akan mempergaruhi supply chain keseluruhan.
Merek dan Citra Merek
Merek dijelaskan (Laforet, 2011) sebagai nama, symbol atau tanda desain yang dapat meningkatkan
nilai dari produk sesuai tujuan fungsionalnya. kegunaan merek: (a) Mengurangi Resiko, merek dapat
mengurangi resiko konsumen dalam proses pengambilan keputusan pembelian (b) Efisiensi Informasi, merek
dapat menjadi fasilitas dalam proses penyampaian informasi. Dikarenakan merek menyediakan informasi yang
berhubungan dengan produser dan asal produk berasal. Kesedian informasi tentang produser dan asal produk
dapat meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap produk. (c) Mencipta Citra, citra berhubungan dengan
benefit emosional yang dirasakan konsumen saat menggunakan produk. Sebagai contoh, saat konsumen
merasa nyaman menggunakan mobil dengan merek Volvo.
Seringkali merek yang baik disebut sebagai penyumbang nilai keatraktifan suatu produk (Laforet,
Sylvie, 2011). Untuk mencipta nilai dibutuhkan suatu pembeda antara satu produk dengan produk lain. Nilai
yang dicipta harus unik dan harus sustainable atau dapat dipertahankan untuk jangka waktu panjang. Branding
dibentuk melalui empat element, yaitu: identitas merek, citra merek, posisi merek, dan ekuitas merek (Laforet,
Sylvie, 2011). Ekuitas merek dibentuk oleh lima elemen: kesadaran merek, asosiasi merek, perceived quality
propriety brand asset dan loyalitas merek. Keempat elemen pertama di atas menentukan elemen terakhir yaitu
loyalitas merek. Loyalitas merek adalah ukuran kedekatan yang konsumen rasakan terhadap suatu merek
(Laforet, Sylvie, 2011). Sementara perceived quality dan brand association dapat dikategorikan kedalam
Deskripsi Merek. Deskripsi Merek adalah sesuatu yang pembuat merek dapat lakukan untuk mempertahankan
citra merek yang positif untuk disampaikan ke konsumen (Laforet, Sylvie, 2011). Selanjutnya, kesadaran
merek,loyalitas merek dan propriety brand asset dapat dikategorikan kedalam brand strength. Brand strength
adalah bentuk reaksi konsumen terhadap merek. Moeran (2006) menyatakan citra merek yang positif dapat
dibentuk melalui program pemasaran yang terhubung kuat satu sama lain, berkelas, dan memiliki keunikan
untuk diingat konsumen. Namun, pengevaluasian citra merek dapat bergantung pada tujuan pembelian
konsumen (Laforet, 2011).
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian adalah kerangka yang memandu pengumpulan dan analisis data (Churchill
dan Brown, 2004). Burns dan Bush (2005) menjelaskan desain penelitian sebagai seperangkat
keputusan yang membentuk rencana atau kerangka yang dapat menentukan metode dan prosedur
untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi yang dibutuhkan. Ihalauw (2008) menyatakan
desain penelitian dikenal juga dengan paradigma penelitian. Paradigma adalah seperangkat asumsi,
104
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
tersurat dan tersirat, yang menjadi dasar untuk gagasan-gagasan ilmiah. Paradigma penelitian
memberi arahan melakukan penelitian. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara pandang
peneliti. Paradigma bukanlah salah atau benar. Melainkan lebih bermanfaat/kurang bermanfaat
sebagai sebuah asumsi sesuatu Ihalauw (2008).Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif yaitu penelitian mencoba memahami fenomena konteks secara natural(bukan dalam
laboratorium)dimana peneliti tidak berusaha memanipulasi fenomena diamati (Sarosa, 2012). Metode
penelitian kualitatif disebut sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni
(kurang terpola), dan disebut metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan
interprestasi terhadap data yang ditemukan di lapangan (Sugiyono, 2011).
Objek Penelitian
Objek penelitian pada penelitian ini majalah Looks Magazine. Berlokasi di Kelapa Gading
Raya Boulevard blok CN 2/21, Jakarta Utara. Looks Magazine berfokus pada penyediaan informasi
mode dan dunia hiburan Hollywood. Penelitian menentukan Looks Magazine sebagai objek penelitian
dikarenakan belum ada penelitian yang menggunakan Looks Magazine sebagai objek penelitian, prapenelitian (eksplorasi) yang menunjukan adanya kesenjangan antara ekspektasi dari pembaca dengan
realita yang disediakan oleh Looks Magazine tentang iklan yang dimuat.
Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini dapat dilakukan dalam berbagai setting, berbagai sumber,
dan berbagai cara. Sugiyono (2011) menyatakan setting yang dimaksud adalah data dapat diperoleh
pada setting alamiah (natural setting). Bila dilihat dari sumber data, Sugiyono membagi data menjadi
dua kategori, yaitu: (a) Sumber Primer, sumber data yang secara langsung memberikan data kepada
pengumpul data. dalam penelitian ini dengan data langsung yang diperoleh dari wawancara(b)
Sumber Sekunder, sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data dalam
penelitian ini dengan menggunakan pustaka yang sudah dipublikasi maupun data dari Lookz
Magazine. Misal, melalui individu lain atau dokumen. Teknik pengumpulan data pada penelitian ini
dilakukan dengan observasi, wawancara dan dokumentasi.Teknik observasi NonpartispanTerstruktur. Terstruktur dikarenakan peneliti sudah mengtahui tujuan dan aspek bidang apa yang akan
diamati, yaitu proses penyeleksian iklan yang akan dimuat pada Looks Magazine. Nonpartisipan
dikarenakan peneliti hanya akan mengamati tanpa terlibat dalam pekerjaan teknis proses pemuatan
iklan pada Looks Magazine.Penelitian ini akan menggunakan metode wawancara semi-terstruktur.
Dikarenakan wawancara terstruktur akan lebih menggali data lebih dalam dibanding jenis wawancara
lainnya. Panduan wawancara akan disiapkan dengan pertanyaan seputar proses pemuatan iklan pada
Looks Magazine, pemilihan Looks Magazine sebagai media iklan dan lain-lain. Wawancara dilakukan
secara mendalam (in-depth interview). Wawancara mendalam sama seperti metode wawancara
lainnya, perbedaan mendasar adalah wawancara dilakukanberkali-kali atau dalam waktu yang lama
bertujuan untuk mendaptkan kelengkapan dan kedalaman data (Bungin, 2007). Hasil dari observasi
atau wawancara, akan lebih kredibel/dapat dipercaya jika didukung oleh sejarah pribadi, kehidupan
masa kecil, sekolah, perusahaan, masyarakat dan lain-lain. Namun perlu dicermati bahwa tidak semua
dokumen memiliki kredibilitas yang tinggi. Sebagai contoh: banyak foto yang tidak mencerminkan
keadaan sesungguhnya, karena foto dapat dibuat untuk keperluan tertentu (Sugiyono, 2011).
105
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Unit Observasi
Unit observasi adalah sesuatu yang dijadikan sumber untuk memperoleh data dalam rangka
menngambarkan atau menjelaskan tantang satuan analisis (Ihalauw, 2008). Sesuatu yang dijadikan
sumber yaitu individu (untuk data primer) merupakan dua informan kunci yang akan memberikan
jawaban pada peneliti, sedangkan data sekunder adalah tempat atau organisasi, data yang akan
diberikan oleh perusahaan demi kelengkapan penelitian. Peneliti memilih untuk melakukan
wawancara dengan pemilik dan bagian pemasaran Looks Magazine. Karena pemilik dan bagian
pemasran memiliki peranan penting dalam menentukan proses pemuatan iklan pada Looks Magazine.
Selain itu peneltiian ini juga akan menggunakan Looks Magazine sebagai organisasi untuk melakukan
pengamatan/observasi.
Teknik Analisis Data
Data analisis menurut Sugiyono (2011) adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, bahan-bahan lain. Sehingga
dapat mudah dfahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dengan
mengorganisasikan data, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam
pola, memilih penting dan akan dipelajari, membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang
lain. Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif. Selanjutnya Untuk memastikan kebenaran data
sosial yang sulit dipastikan kebenarannya. Pada penelitian kualitatif memerlukan teknik triangulasi,
uji kredibilitas, dan keandalan data Sugiyono (2011). Proses triangulasi menjadi tiga, yaitu: (a)
Triangulasi Sumber dengan cara menyocokkan data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber
data. (b) Triangulasi Teknik, dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan
teknik berbeda. (c) Triangulasi Waktu, dilakukan dengan cara pengecekan dalam waktu atau situasi
yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang
sehingga sampai ditemukan kepastian data Sugiyono (2011).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Perusahaan
Looks Magazine berdiri pada tahun 2007 di Jakarta. Looks Magazine didirikan oleh sepasang
suami-istri, Viona Then dan Erico Widjaja. Awal ide pendirian diawali dengan kegemaran pemilik
pada dunia mode internasional serta dunia hiburan Hollywood. Dengan penempatan manajerial
Enrico Widjaja sebagai General Director dan Viona Then sebagai Head Designer. Looks Magazine
memiliki misi yaitu menjadi majalah mode Indonesia yang paling unggul dalam penyajian informasi
tentang dunia mode internasional serta dunia hiburan Hollywood. Dengan misi Looks Magazine yaitu
menyajikan informasi dunia mode internasional dan dunia hiburan Hollywood secara update setiap
bulan, dengan kualitas yang unggul. Pada awal berdiri, kantor Looks Magazine berlokasi didaerah
Mangga Besar, Jakarta Utara. Namun setelah usaha mulai mengalami kemajuan, kantor Looks
Magazine pindah ke Kelapa Gading Raya Boulevard blok CN 2/21, Jakarta Utara. Looks Magazine
adalah majalah dengan tipe kepemilikan pribadi, Karena Looks Magazine adalah majalah asli ciptaan
Indonesia, tidak dimiliki perusahaan franchise tertentu. Dikarenakan kepemilikan yang pribadi,
sistem manajerial dan karyawan pada Looks Magazine tidak rumit. Karyawan terdiri dari enam bagian
dengan masing–masing satu orang disetiap posisi, yaitu: Creative Designer, Graphic Designer,
Fashion Stylist, Photographer & Reporter, Marketing & Promotion, Distribution & Circulation.
Looks Magazine terbit setiap sebulan sekali, dengan distribusi ke semua toko buku besar mencakup
Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Selain toko buku besar Looks Magazine juga didistribusikan ke
106
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
seluruh toko/kios majalah ukuran menengah dan kecil. Looks Magazine dijual dengan harga Rp
19.000 (Pulau Jawa) dan Rp 20.000 (Luar Pulau Jawa). Pada tahun 2013 Looks Magazine
memproduksi sebanyak 7.500 eksemplar per bulan. Jumlah ini jauh meningkat dengan tahun
sebelumnya yaitu 5.000 eksemplar. Penambahan ini dikarenakan meningkatnya permintaan atau
pertumbuhan pelanggan.
Profil Narasumber
Pada penelitian ini dilakukan wawancara semi-terstruktur. Untuk menggali data lebih dalam
wawancara dilakukan kepada tiga pihak sumber, yaitu: Looks Magazine, produk mode pemasangan
iklan, pembaca Looks Magazine (Mahasiswi Universitas Pelita Harapan), sebagai
berikut:(a)Narasumber pengelola majalah mewakili Looks Magazine adalah Veronika Santi (insisial:
VS) selaku Marketing & Promotion Looks Magazine. Pemilihan beliau berdasarkan usulan pemilik
Looks Magazine Viona Then yang menunjuk Veronika Santi sebagai sumber wawancara. Penunjukan
dikarenakan pemilik menganggap Veronika yang paling memahami tentang fitur pemasangan iklan
pada Looks Magazine, baik secara fundamental serta teknis. Veronika sudah bekerja untuk Looks
Magazine dari awal Looks Magazine didirikan. Veronika menangani proses pemasangan iklan dari
awal hinga akhir, dari proses negosiasi hingga pemuatan iklan pada Looks Magazine. (b)Narasumber
mewakili produk mode pemasang iklan adalah Phoebe Reynaldi (inisial: PR) dengan merek “Vogue
Couture”. Phoebe Reynaldi adalah pendiri dan pemilik Vogue Couture. Vogue Couture adalah merek
produk mode yang bertujuan menyediakan produk high-fashion dengan harga yang terjangkau. Vogue
Couture membidik pasar wanita usia 17 tahun hingga dibawah 30 tahun, dengan strata ekonomi
menengah (sumber: protokol wawancara). Kriteria pemilihan Vogue Couture sebagai narasumber
adalah sebagai berikut: Vogue Couture menjual produk mode, yang sesuai dengan topik penelitian.
Produk yang dijual diantaranya adalah baju, celana, rok, gaun, aksesoris dan lain-lain; Vogue Couture
merupakan salah satu klien tetap Looks Magazine yang sudah memasang iklan semenjak tahun 2010
hingga penelitian ini dilakukan. (c)Penetapan Mahasiswi Universitas Pelita Harapan (UPH) sebagai
narasumber pembaca sesuai dengan pembatasan masalah penelitian pada BAB I. Pemilihan
mahasiswi UPH juga didasarkan akan kesamaan antara segementasi Looks Magazine dengan
mahasiswi UPH. Narasumber dipilih berdasarkan kuesioner eksplorasi pra-penelitian. Dari 50
kuesioner ditemukan bahwa 24 narasumber tidak puas dengan iklan yang ada pada Looks Magazine.
Setelah itu dikerucutkan menjadi dua narasumber inti, dengan kriteria: narasumber membaca Looks
Magazine dalam 6 bulan terakhir, narasumber membaca Looks Magazine 2-3 kali perbulan.
Narasumber yaitu:EA, 19 tahun, dinilai rekan-rekannya memiliki gaya berpakaian yang cukup modis
dalam kesehariannya. Majalah adalah salah satu referensi Elizabeth dalam membeli produk mode. JJ,
19 tahun, memiliki kepedulian terhadap dunia mode yang tinggi, hal ini dapat ditunjukan dengan
seringnya Janice hadir ke pagelaran pameran busana fashion show. Narasumber dari pihak
konsumen/pembaca diperlukan untuk memperoleh informasi tentang bagaimana citra merek majalah.
Konsumen/pembaca adalah pihak yang menerima stimulus dari pesan yang disampaikan majalah
Looks Magazine.
Hasil Observasi
Observasi pada penelitian ini dilakukan dengan mengamati bagaimana proses pemuatan iklan
pada Looks Magazine. Proses pemuatan iklan dilakukan oleh Veronika Santi selaku Marketing and
Promotion.Veronika Santi menangani keseluruhan proses pemuatan iklan. Dengan rincian proses
sebagai berikut: Penawaran harga οƒ Penandatanganan media order οƒ  Pembayaran οƒ Informasi
rincian ukuran dan deadline pengiriman content οƒ Pemuatan iklan. Proses pemuatan dilakukan secara
tidak rumit. Setelah persetujuan harga, pihak Looks Magazine memberikan waktu maksimal
107
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pengiriman materi iklan. Materi iklan dikirim via surat elektronik atau email. Pembatasan waktu
pengiriman materi iklan berkaitan dengan tanggal naik cetak majalah setiap bulannya, yaitu kisaran
tanggal 20-30. Beberapa hari sebelum majalah naik cetak, keseluruhan content majalah sudah harus
siap dengan persetujuan pemilik. Waktu pencetakan membutuhkan waktu sekitar sepuluh hari. Sekitar
awal bulan majalah sudah dicetak dan siap didistribusikan.Tidak ada sistem komunikasi yang rumit
antara pihak majalah dan klien iklan, dilakukan secara fleksibel. Komunikasi dilakukan melalui
telepon, email, bahkan BBM (Blackberry Messenger). Slot iklan yang ditawarkan ada beberapa
macam, yaitu: full page, half page, ¼ page, 1/6 page, iklan kotak. Harga yang ditawarkan bermacammacam berkisar Rp 400.000 hingga Rp 4.000.000.
Proposisi Penelitian
Beberapa konsep penting dalam penelitian ini akan dirangkai menjadi suatu proposisi.
Proposisi adalah suatu pernyataan yang terdiri dari satu atau lebih konsep atau variabel (Sanusi, 2011).
Masing-masing proposisi menunjukkan keterhubungan antara dua konsep. Dari hasil wawancara
dapat dirumuskan pada proposisi sebagai berikut:
P1: Kualitas warna iklan mempengaruhi Proses Penyaringan Iklan pada majalah
Narasumber pembaca dan pengelola majalah menyatakan bahwa warna iklan diharapkan
cukup jelas dan menarik agar dapat menampilkan kesan pertama untuk pembaca yang melihat dapat
menilik lebih lanjut iklan yang dipasang. Strategi warna yang sebaiknya digunakan dapat bervariasi,
tergantung pada penempatan iklan dan warna latar belakang tempat iklan. Kombinasi warna latar
belakang dengan warna-warna cerah lebih dilihat ketimbang warna yang gelap dan disesuaikan
dengan topik iklan yang diangkat. Hal ini sesuai pernyataan (Wau, 2013).
Kualitas Warna
Iklan
Proses
Penyaringan
Iklan
P2: Pemilihan model iklan mempengaruhi Proses Penyaringan Iklan pada majalah
Narasumber pembaca menyarankan kepada pihak pengelola majalah atau pemasang iklan agar model
iklan yang dipakai dapat mencerminkan produk yang diawarkan dalam Looks Magazine. Kebanyakan
model yang dipakai dalam iklan adalah tokoh dalam dunia model seperti selebriti, peragawanperagawati atau model majalah. Pemilihan model iklan karena pemilihan model akan mempengaruhi
target pasar yang dituju karena model dianggap sebagai ikonik. Hal ini sesuai pernyataan
Soemanagara (2006) bahwa figur model iklan adalah simbol yang merepresentasikan suatu keinginan,
hasrat, kebutuhan untuk dapat memacu audiens mengartikan simbol iklan dalam bentuk gambar atau
dengan kata-kata.
108
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Pemilihan
Model Iklan
Proses
Penyaringan
Iklan
P3: Ketajaman Cetak mempengaruhi Proses Penyaringan Iklan pada majalah
Narasumber pembaca menyampaikan bahwa resolusi ketajaman cetak iklan diharapkan bagus agar
yang pembaca merasa puas dapat melihat gambar dengan jelas. Didukung pernyataan dari narasumber
produk mode pemasang iklan yang mengharapkan Looks Magazine memperhatikan hasil cetak iklan
yang diberikan dengan ketajaman cetak yang baik.Karena untuk mendapatkan ketajaman cetak
berupa elemen grafis melalui kepadatan pixel. Semakin padat pixel tersebut semakin tajam hasil cetak,
terlebih iklan cetak memerlukan resolusi lebih tinggi dibanding layar komputer. Maka sebelum
dicetak secara kolektif, gambar bitmap akan diolah (diproses) dalam photoshop. Pemrosesan itu dapat
berupa pemberian efek filter, penyesuaian warna, setting resolusi citra, penyesuaian ketajaman
gambar atau penyesuaian ukurannya (Ahlidesain, 2011).
Ketajaman
Cetak
Proses
Penyaringan
Iklan
P4: Pemilihan Produk mempengaruhi Proses Penyaringan Iklan pada majalah
Pemilihan produk iklan harus sesuai dengan tipe majalah sesuai pernyataan Kotler (2008) pesan yang
disampaikan pesan harus mendapat perhatian, menarik, membangkitkan keinginan, dan
menghasilkan tindakan, maka media yang digunakan harus sesuai karena pada dasarnya pemilihan
media adalah mencari cara dengan biaya yang paling efektif untuk menyampaikan sejumlah
pemberitahuan yang dikehendaki kepada pasar sasaran.
Pemilihan
Produk
Proses Penyaringan
Iklan
109
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
P5: Proses Penyaringan Iklan akan mempengaruhi Kualitas Iklan pada majalah
Narasumber pembaca dan produk mode pemasang iklan menyetujui apabila proses penyaringan iklan
akan mempengaruhi kualitas iklan majalah Looks Magazine. Bagian penerimaan iklan
menyampaikan pada iklan yang masuk selanjutnya dilakukan penyaringan iklan oleh staf filterisasi
iklan. Semakin selektif sesuai proposisi satu sampai empat maka semakin berkualitas proses
penyaringan iklan. Menurut pengelola Looks Magazine pedoman filter juga melakukan pengecekan
tentang kebenaran produk yang dijual. Konten adalah tanggung jawab klien. Namun narasumber
pengelola majalah juga mengakui keluhan klien tentang hasil cetak warna tidaklah sesuai hasil yang
diharapkan.Maka perlu adanya sesi pencarian ide bebas bersama klien dan pengelola majalah agar
tim kreatif iklan dapat menjaga relevansi iklan dengan harapan klien agar pesan dapat diterima
dengan pemahaman baik oleh pembaca (Hakim, 2005).
Proses
Penyaringan Iklan
Kualitas
Iklan
P6: Kualitas iklan yang terdapat pada majalah mempengaruhi citra merek majalah
Melalui wawancara dan observasi ditemukan bahwa permasalahan mendasar yang ternyata
pada Looks Magazine adalah tidak adanya penyaringan/screening pada saat proses pemuatan iklan
pada majalah. Hal tersebut yang membuat kualitas iklan pada Looks Magazine tidak terjaga dengan
baik. Narasumber pemasang iklan dan pembaca majalah menyampaikan bahwa perlu dibuat kualitas
iklan yang baik agar kesan yang baik atas majalah Looks Magazine juga tercapai. Pihak pengelola
selama ini ketika menghadapi komplain klien atas iklan memberikan penjelasan sebagai solusi.
Kualitas
Iklan
Citra Merek
Majalah
Usulan Model
Pada bagian ini, proposisi-proposisi yang telah dibentuk kemudian dirangkai menjadi sebuah
teori atau model. Model tersebut dibentuk dengan cara mengaitkan sebuah proposisi dengan proposisi
yang lainnya. Maka model yang terbentuk pada penelitian adalah sebagai berikut:
110
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Kualitas Warna
Iklan
Pemilihan Model
Iklan
Ketajaman Cetak
Proses
Penyaringan
Iklan
Kualitas
Iklan
Citra Merek
Majalah
Pemilihan Produk
PENUTUP
Simpulan
Dari hasil yang didapatkan dari penelitian ini, didapatkan beberapa kesimpulan yaitu:
1. Tujuan utama produk mode menggunakan Looks Magazine sebagai media iklan adalah untuk
branding, brand awereneses, dan promotion. Hal ini didasari dengan kesamaan antara strategi
segmentasi dan targeting Looks Magazine dengan segmentasi dan targeting produk mode.
2. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan Looks Magazine saat menerima produk mode untuk
dimuat sebegai iklan adalah kepastian produk yang dijual. Tidak ada penyaringan khusus baik
secara konsep iklan, desain, fisik dan lain-lain. Looks Magazine menganggap keseluruhan isi
iklan adalah sepenuhnya tanggung jawab klien pemasang iklan.
3. Citra merek yang ditangkap pembaca Looks Magazine setelah melihat iklan yang terdapat
didalamnya adalah kurang baik. Ada beberapa faktor yang membuat pembaca menganggap
iklan pada Looks Magazine kurang baik, yaitu: warna, pemilihan model iklan, ketajaman hasil
cetak, dan pemilihan produk.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan, yaitu hanya dilakukan kepada narasumber mahasiswi
Universitas Pelita Harapan sehingga belum dapat digeneralisasikan. Survei studi eksplorasi hanya
dilakukan kepada 50 narasumber pada daerah tertentu. Sehingga belum mewakili masyarakat
Indonesia secara keseluruhan. Narasumber dari perusahaan majalah hanya satu perusahaaan. Jika
penelitian dilakukan kepada beberapa perusahaan, kemungkinan akan memberikan hasil yang
berbeda. Narasumber dari perusahaan majalah adalah majalah dengan kepemilikan tunggal. Jika
penelitian dilakukan kepada perusahaan majalah franchise yang sudah mendunia kemungkinan akan
memberikan hasil yang berbeda. Narasumber dari perusahaan produk mode adalah perusahaan mode
yang memasarkan produknya di dunia internet (online shop). Jika penelitian dilakukan kepada produk
mode yang tidak memasarkan produknya di dunia internet (memiliki fisik toko), dapat memberikan
hasil yang berbeda.
111
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Saran
Implikasi Manajerial
Berdasarkan penelitian ini diperoleh beberapa implikasi manajerial. Implikasi ini dimaksudkan
untuk memberikan masukan bagi para pihak-pihak yang terkait di dalam pemuatan iklan produk mode
pada majalah mode:
1. Pembaca beranggapan bahwa iklan produk mode pada Looks Magazine belum memenuhi
kepuasan pembaca. Sehingga pembaca menilai citra produk mode yang diiklankan kurang
baik. Pembaca mengidentifikasi kualitas iklan yang menjadi pemicu penilaian tentang citra
iklan. Melalui penelitian ini ditemukan bahwa hal ini terjadi karena tidak adanya proses
penyaringan yang dilakukan majalah pada proses pemuatan iklan. Pengelola majalah harus
membuat ketentuan atau syarat layak pemuatan iklan. Dengan pertimbangan: kualitas warna,
ketajaman resolusi cetak, pemilihan model iklan, pemilihan produk. Kualitas warna yang jelas
dan terang akan membuat iklan lebih menarik perhatian. Ketajaman resolusi cetak akan
membuat iklan terlihat lebih profesional dan pesan yang disampaikan dapat diterima. Pesan
yang dimaksud adalah bentuk produk, tekstur produk mode dan lain-lain. Pemilihan model
akan berdampak terhadap bagaimana produk akan terlihat secara visual jika dikenakan
ditubuh manusia. Pemilihan model iklan profesional akan membuat iklan menjadi lebih
bercita rasa mode tinggi atau high-fashion. Pengelola majalah harus memilih produk yang
akan diiklankan. Pengelola harus sadar betul bagaimana citra merek produk online shop dan
produk yang dipasarkan di Pasar Mangga Dua. Pemilihan produk disesuaikan dengan citra
majalah yang direncanakan. Sebagai langkah awal pengelola majalah harus tahu betul citra
merek majalah dikalangan majalah, apakah sudah sesuai dengan yang diharapkan. Dengan
mengerti pembaca, pengelola dapat menentukan strategi berikutnya untuk memperbaiki
kesalahan dan menyediakan apa yang konsumen (pembaca) inginkan. Sehingga visi dan misi
perusahaan majalah dapat tercapai. Tujuan utama produk mode yang menjual produk secara
online menggunakan majalah sebagai media pemasangan iklan adalah untuk melakukan
kegiatan pencitraan merek atau branding. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Shimp
(2010) bahwa salah satu tujuan utama pemasar menggunakan iklan majalah adalah untuk
melakukan branding, menyentuh konsumen pengguna merek. Membangun citra merek dan
menggunakan branding sebagai perekat hubungan dengan konsumen. Namun selain itu
produk mode juga memanfaatkan iklan pada majalah sebagai media promosi. Pengelola
produk mode memanfaatkan jangka waktu terbit majalah (sebulan sekali) untuk melakukan
promosi produk yang sesuai dengan kejadian/event tertentu. Contoh, disaat mendekati masa
hari raya seperti Lebaran, Tahun Baru Cina dan lain lain. Produk mode memanfaatkan iklan
pada majalah untuk menyebarkan berita tentang kegiatan promosi tertentu. Promosi adalah
kegiatan jangka pendek untuk menawarkan produk/jasa dengan menambahkan nilai pada
desain/harga untuk memotivasi konsumen dengan mengharapakan respon yang cepat
(Duncan dan Ouwersloot, 2008). Hal ini sesuai dengan majalah Looks Magazine yang
tergolong dalam majalah yang terbit sebulan sekali, sehingga informasi yang terdapat didalam
sangat kini atau up-to-date.
2. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan majalah saat menerima iklan untuk dimuat
menentukan kredibilitas produk yang iklankan dan majalah. Majalah harus dapat menyaring
iklan produk mode yang akan dimuat dengan memberikan syarat-syarat ketentuan yang jelas.
Setelah klien mengirimkan materi yang akan diiklankan, majalah harus mempertimbangkan
beberapa hal. Hal ini sejalan dengan yang dikatakan oleh Sheenan (2004), yaitu dalam media
cetak editor akan memberikan penilaian secara spesigik atas iklan yang dimuat agar sesuai
112
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
nilai dan citra majalah. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penelitian ini adalah
kualitas fisik cetak majalah, warna, pemilihan model iklan, dan pemilihan produk mode yang
diiklankan.
3. Citra merek Looks Magazine dan produk mode yang ditangkap oleh pembaca setelah melihat
iklan adalah kurang baik. Pembaca menganggap kualitas iklan secara keseluruhan kurang
memadai. Lebih rinci lagi kualitas iklan yang dimaksud yaitu: kualitas warna, kualitas
ketajaman cetak, pemilihan model iklan, dan pemilihan produk. Iklan atau advertisement
sangat berhubungan dengan mencipta citra merek sesuai tujuan awal pengelola produk mode
memasang iklan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan (Drewniany dan Jewler, 2008)
bahwa iklan adalah citra, iklan dapat digunakan sebagai jalan pintas yang ampuh untuk
membantu konsumen membangun citra merek.
Saran Untuk Penelitian Selanjutnya
Berikut ini adalah saran-saran untuk penelitian selanjutnya. Diharapkan dengan dilaksanakan
saran tersebut dapat memberikan lebih banyak kontribusi bagi perusahaan maupun bagi akademis.
1. Dilakukan tes terhadap proposisi usulan. Dengan dilakukannya tes terhadap model dan
proposisi yang dihasilkan dari penelitian ini akan memberikan gambaran yang lebih jelas
terhadap masing-masing variabel dan menguji kebenaran dari model tersebut.
2. Penelitian selanjutnya dapat memilih narasumber dengan jangkauan yang lebih luas. Tidak
hanya narasumber pembaca mahasiswi Universitas Pelita Harapan.
3. Penelitian selanjutnya dapat memilih obyek penelitian majalah mode yang lebih besar atau
yang sudah lama berada di industri majalah mode. Dengan harapan majalah mode tersebut
sudah memiliki proses penyaringan dalam proses pemuatan iklan.
4. Penelitian selanjutnya dapat memilih narasumber produk mode dengan penjualan online yang
lebih ternama. Dengan harapan produk mode ternama sudah memiliki standar dan konsep
yang lebih professional.
DAFTAR PUSTAKA
Ahlidesain. (2011) .http://www.ahlidesain.com/perbedaan-vektor-dan-bitmap.html, accessed 7
Februari
2017.
Bungin, B. (2007). Penelitian Kualitatif, Edisi Ketiga. Jakarta: Kencana, 2007.
Burns, A. C. & Bush. R.F. (2005). Marketing Research, International Edition. New Jersey,
U.S.A:
Pearson.
Churchill, G. A. & Brown, T.J. (2004). Basic Marketing Research, 5th Edition. U.S.A: Thomson.
Drewniany, B. L. & Jewler, J. (2008). Creative Strategy in Advertising, 9th Ed.Boston. U.S.A:
Thomson Wadsworth.
Duncan, T. & Ouwersloot H. (2008). Integrated Marketing Communications (European Edition).
New York: McGraw-Hill.
Echols, J. M. & Shadily, H.(1997). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Femina Group. (2013). About Us. On-line. Available from https://www.Feminagroup.
com/about.us; diakses 2 Februari 2017.
Hair, J.F., Charles W. L., & McDaniel C. (2007). Essentials of Marketing, 5th Ed. U.S.A:
Thomson.
Hakim. (2005). Lenturan Tapi Relevan, Dasar-Dasar Kreatif Periklanan. Galang Press: Jogyakarta.
113
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Ihalauw, John J.O.I. (2008). Konstruksi Teori, Kompenen dan Proses, Jakarta: Grasindo.
Johnson, K.P. & Yurchisin, J. (2010). Fashion and the Costumer. New York, U.S.A: Berg.
Keller, Kevin Lane & Philip Kotler. (2006). Marketing management, 12th Ed., Upper
Saddle
River, NJ: Pearson Prentice Hall.
Kotler, Philip. (2008). Manajemen Pemasaran Edisi 12 Jilid 2. Jakarta: Indeks.
Laforet, Sylvie. (2011). Managing Brands. United Kingdom: McGraw-Hill.
Moeran, B. (2006). More Than Just a Fashion Magazine. Copenhagen: Sage.
Sarosa, Samiaji. (2012). Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. Jakarta: Indeks.
Sexton, Don. (2006). Trump University: How to Use the Most Powerful Ideas in Marketing to
Get
More Customers. New Jersey, U.S.A: John Wiley & Sons, Inc.
Sheenan, K. (2004). Controversies in Conteporary Advertising. U.S.A: Sage.
Shimp, T.A. (2010) Advertising, Promotion, And Other Aspect of Integrated Marketing
Communications. U.S.A: South-Western Cengage Learning.
Soelaeman, H. T. (2011). Pendar Industri Fashion, Majalah SWA, Edisi XXVII. Jakarta.
Soemanagara, Rd. (2006). Strategic Marketing Communications, Konsep Strategis Dan Terapan.
Bandung: CV Alfabeta.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.
Tim Penyusun. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Wau, J. L., (2013). https://www.academia.edu/6756057/Cara_Membuat_Iklan_
Yang_Menarik_Sekaligus_ Menciptakan_Pelanggan?auto=download ; accessed 7 Februari
2017.
Wells, M. L., Moriarty S. & Burnett, L. (2006). Advertising, 7th Ed. U.S.A: Pearson.
114
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENGARUH CORPORATE GOVERNANCE PERCEPTION INDEX
TERHADAP MANAJEMEN LABA PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR
YANG TERDAFTAR DI BEI
Yunietha1 dan Nico Alexander 2
Politeknik Negeri Malang
E-mail: [email protected] 2
Abstract: The purpose of this study was to determine the effect of corporate governance
perception index on earnings management. The samples of this research are 130manufacture
companies listed on the Indonesia Stock Exchange during the 2015. The research method used
in this research is multiple regression method. The results of this research show that corporate
governance perception index have no effect on earnings management, and show that corporate
governance in Indonesia not effective to prevent earnings management in companies.
Keywords: earnings management, corporate governance, corporate governance perception
index
Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh corporate governance
perception index terhadap manajemen laba. Sampel yang digunakan sebanyak 130 perusahaan
manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2015. Metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode regresi berganda. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa corporate governance perception index tidak mempengaruhi manajemen
laba dan menunjukan bahwa tata kelola di Indonesia masih kurang efektif untuk mencegah
manajemen laba dalam perusahaan.
Kata kunci: manajemen laba, tata kelola perusahaan, corporate governance perception index
PENDAHULUAN
Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek dan go public memiliki kewajiban untuk menerbitkan
laporan keuangan setiap tahunnya. Laporan keuangan yang dikeluarkan tersebut haruslah diaudit oleh
auditor yang independen sehingga dapat diandalkan oleh investor untuk pengambilan keputusan
investasi maupun pihak kreditor yang akan memberikan pinjaman. Informasi yang dihasilkan dari
laporan keuangan ini menjadi sinyal bagi investor untuk melakukan investasi dalam perusahaan.
Semakin relevan suatu informasi maka sinyal positif diberikan oleh investor bagi perusahaan dan
sebaliknya jika semakin tidak relevan maka sinyal negatif yang diberikan investor kepada perusahaan.
Penggunaan informasi di laporan keuangan inilah yang mendorong pihak manajemen untuk
melakukan manajemen laba sehingga mengakibatkan laporan keuangan menjadi kurang transparan
dan berkurang tingkat keandalannya dalam pengambilan keputusan.
Untuk mencegah terjadinya manajemen laba dalam perusahaan, maka diberlakukannya
konsep Good Corporate Governance (GCG) yang dirancang untuk mengakomodasi pihak pihak yang
terkait dengan perusahaan, seperti, kreditor, pemasok, pemerintah, investor dan masyarakat luas.
Semakin baik Good Corporate Governance yang diterapkan oleh perusahaan, maka perlindungan
terhadap pihak-pihak terkait dengan perusahaan akan semakin besar sehingga kemungkinan
terjadinya praktik manajemen laba dalam perusahaan akan diminimalkan.
Banyak penelitian yang meneliti tentang pengaruh nilai tata kelola perusahaan terhadap
manajemen laba. Berdasarkan hasil penelitian Jiang et al. (2008), menyatakan bahwa semakin tinggi
115
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
nilai tata kelola perusahaan yang dijalankan oleh perusahaan maka praktik manajemen laba dalam
perusahaan akan semakin berkurang. Namun hal tersebut mungkin berlaku untuk negara-negara yang
memiliki tata kelola yang baik, menurut Zhuang (2000) dalam Yahya dan Triyonowati (2015)
menyatakan bahwa perusahaan di Indonesia dibandingkan dengan negara Asia Tenggaralain
memiliki tingkat tanggung jawab yang lemah terhadap pemegang saham dalam hal pengungkapan
dan transparasi dan hal inilah yang menjadi motivasi dalam melakukan penelitian ini.
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah: (1) apakah nilai tata kelola perusahaan berpengaruh
negatif terhadap manajemen laba.Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji
pengaruh nilai tata kelola perusahaan terhadap manajemen laba. Penelitian ini dilakukan selama satu
tahun periode tahun 2015. Penelitian ini menggunakan periode penelitian 2015 untuk melihat
pengungkapan tata kelola perusahaan dalam laporan tahunan sesuai dengan peraturan Bapepam-LK
X.K.6 tahun 2012, sehingga semakin banyak pengungkapan dalam tata kelola perusahaan dapat
mengurangi manajemen laba dalam perusahaan.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Keagenan
Dalam teori keagenan ini, pihak yang terlibat adalah manajemen yang bertindak sebagai agen
dan investor yang bertindak sebagai prinsipal. Baik agenmaupun prinsipal memiliki hal-hal yang
harus ditingkatkan dan tidak ada alasan untuk percaya bahwa agen akan selalu bertindak dami
kepentingan prinsipal (Godfrey et al.,2010). Dalam keadaan prinsipal dan agen memiliki kepentingan
masing-masing, maka akan menyebabkan ketidakpercayaan bahwa agen akan selalu bertindak untuk
kepentingan prinsipal. Masalah yang muncul dari teori keagenan ini adalah membuat agenbertindak
untuk meningkatkan kesejahteraan prinsipal (Godfrey et al. 2010).
Menurut Charitou et al. (2016) konflik keagenan dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe I yang
merupakan konflik yang terjadi antara pemegang saham dengan manajer, dimana manajer akan
membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan diri sendiri tidak memperhatikan kepentingan
pemegang saham. Konflik keagenan tipe II yang merupakan konflik yang terjadi antara pemegang
saham mayoritas dengan pemegang saham minoritas. Pemegang saham mayoritas memiliki hak atas
perusahaan sehingga pemegang saham mayoritas akan membuat kebijakan-kebijakan yang
menguntungkan diri sendiri mengabaikan kepentingan pemegang saham minoritas. Untuk
mengurangi masalah keagenan ini, maka akan menimbulkan biaya keagenan yang menurut Jensen
and Meckling (1976) dibagi ke dalam 3 jenis biaya, yaitu: Monitoring Cost adalah biaya yang
dikeluarkan oleh prinsipal untuk mengawasi perilaku agen. Bonding Cost adalah biaya yang
dikeluarkan oleh prinsipal untuk agen agar dapat berperilaku untuk kepentingan prinsipal dengan cara
memberikan kompensasi bagi agen yang berperilaku demi kepentingan prinsipal. Residual Loss
adalah kerugian yang diterima oleh prinsipal karena agentetap tidak berperilaku demi kepentingan
prinsipal walaupun biaya-biaya yang lain telah dikeluarkan.
Tata Kelola Perusahaan
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan IICG (Indonesia Institute of Corporate Governance)
“Good Corporate Governance (GCG) merupakan struktur, sistem, dan proses yang digunakan oleh
organ-organ perusahaan sebgai upaya untuk memberi nilai tambah perusahaan secara
116
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder
lainnya, berlandaskan moral, etika, budaya dan aturan berlaku lainnya”.
Berdasarkan KNKG (2004) ada 5 asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,
independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha
(sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders).
Pengembangan Hipotesis
CGPI terhadap Manajemen Laba
Menurut Jiang et al. (2008) menyatakan bahwa dengan semakin tingginya nilai tata kelola
perusahaan akan menurunkan praktik manajemen laba dalam perusahaan. Hal ini menunjukan
pelaksanaan tata kelola yang baik dalam perusahaan akan mampu membatasi perilaku manajemen
untuk melakukan manajemen laba. Hasil penelitian Jiang et al. (2008) didukung oleh Abbadi et al.
(2016), Render dan Vandenbogaerde (2008), Bekiris dan Doukakis (2011) yang menyatakan bahwa
semakin tinggi nilai tata kelola perusahaan maka akan mampu mencegah manajemen melakukan
manajemen laba.
Kerangka pemikiran penelitian ini dapat digambarkan pada gambar 1
Corporate
Governance
Perception Index
Manajemen Laba
Control variabel
Size
Sales Growth
Cash Flow From
Operation
Gambar. 1 Kerangka Penelitian
METODE PENELITIAN
Manajemen laba diukur menggunakan model modified jones, tata kelola perusahaan diukur
menggunakanCorporate Governance Perception Index yang diperoleh dari www.mitrariset.com.
Analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda dengan persamaan sebagai berikut:
EMit =
β0 + β1CGPIit + β2Sizeit + β3Growth+ β4CFOit + εit
EMit
CGPI
Size
GROWTH
CFO
= Nilai Absolut Total Akrual Diskresioner
= Corporate Governance Perception Index
= Ukuran perusahaan
= Pertumbuhan penjualan
= Arus kas dari aktivitas operasi
117
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Model Modified Jones yang digunakan dalam penelitian Dechow et al. (1995) menjadi
model yang digunakan dalam penelitian inidengan model sebagai berikut:
TACit = NIit-OCFit
TACit
= Total akrual untuk perusahaan i pada periode t
NIit
= Laba bersih untuk perusahaan i pada periode t
OCFit
= Arus kas dari aktivitas operasi untuk perusahaan i pada periode t
TACit / Ait-1 = 1(1/Ait-1)+2(REVit-RECit)/Ait-1+3(PPEit/ Ait1)+e
TACCit
= Total akrual untuk perusahaan i pada periode t
Ait-1
= Total aset untuk perusahaan i pada periode t-1
REVit
= Perubahan pendapatan untuk perusahaan i pada periode t
RECit
= Perubahan piutang usaha bersih untuk perusahaan i pada periode t
PPEit
= Nilai kotor aset tetap untuk perusahaan i pada periode t
1-3
= Parameter regresi
e
= tingkat kesalahan
Akrual diskresioner/manajemen laba adalah nilai residu dari persamaan di atas.
Corporate Governance Perception Index diukur dengan index yang berasal dari
www.mitrariset.com dengan 38 item pertanyaan, jika terdapat dalam laporan tahunan perusahaan
diberikan nilai 1 dan sebaliknya diberikan nilai 0. Total maksimal yang dapat diperoleh adalah 28,5.
Dalam model penelitian juga dimasukkan beberapa variabel control. Berdasarkan penelitian
Swastika (2013) ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hasil ini
didukung oleh penelitian Jaggiet al. (2009), Azlina (2010), Jao dan Pagalung (2011), Jiang et al.
(2008), dan Chi et al. (2014) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan mempunyai pengaruh
negatif terhadap praktik manajemen laba. Ukuran perusahaan diukur dengan logaritma natural dari
total aset yang dimiliki oleh perusahaan.
Variabel kontrol berikutnya adalah pertumbuhan penjualan. Menurut Chi et al. (2014)
menyatakan bahwa pertumbuhan penjualan mempunyai pengaruh negatif terhadap keputusan untuk
melakukan manajemen laba. Menurut Safitri (2014) perusahaan dengan penjualan tinggi akan
melakukan manajemen laba untuk mempertahankan laba dan penjualannya.Pertumbuhan penjualan
diukur dengan prosentase pertumbuhan penjualan setiap tahunnya.
Beberapa penelitian terdahulu juga memasukkan arus kas operasi. Hasil penelitian Yoon dan
Miller (2002) yang menyatakan perusahaan yang memiliki arus kas negatif cenderung akan
melakukan peningkatan laba Hal ini karena perusahaan yang memiliki arus kas negatif, maka
perusahaan membutuhkan dana untuk perusahaan sehingga laba akan ditingkatkan untuk menarik
investor menanamkan modalnya diperusahaan. Arus kas operasi diukur dengan menggunakan skala
rasio dengan membagi arus kas operasi dengan total aset pada setiap periode.
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode penelitian adalah satu tahun, yaitu tahun 2015. Penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling yang bertujuan untuk mendapatkan sampel yang
representatif sesuai dengan kriteria yang ditentukan.
118
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, populasi data yang digunakan adalah perusahaan manufaktur yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2015. Jumlah sampel perusahaan yang berhasil
dikumpulkan dalam penelitian ini sebanyak 130 perusahaan sesuai dengan kriteria yang telah
ditentukan sebelumnya. Tabel 1 menunjukkan prosedur penetapan sampel yang dilakukan.
Tabel 1. Prosedur Pemilihan Sampel Penelitian
Keterangan
Jumlah
perusahaan
Perusahaan manufaktur yang terdaftar pada 142
tahun 2015
Perusahaan yang tidak melaporkan laporan (5)
keuangannya per 31 Desember
Perusahaan yang datanya tidak lengkap
(6)
Data outlier
(1)
Sampel penelitian
130
Analisis Deskriptif
Hasil statistik deskriptif ditampilkan dalam tabel 2 dapat diketahui bahwa pada variabel
manajemen laba(EM) yang diukur dengan menggunakan model Modified Jones memiliki nilai
terendah (minimum) sebesar 0,0004 dan nilai tertinggi (maximum) sebesar 0,5424, nilai rata-rata
(mean) sebesar 0,0633 dan standar deviasi sebesar 0,08265. Dari hasil statistik deskriptif ini dapat
ditarik kesimpulan bahwa manajemen laba yang dilakukan perusahaan atas aset yang dimiliki relatif
tidak besar karena nilai rata-rata dari manajemen laba adalah 0,0633 atau 6,33%. Corporate
Governance Perception Index (CGPI)memiliki nilai terendah (minimum) sebesar 5dan nilai tertinggi
(maximum) sebesar 21, dengan nilai rata-rata (mean) sebesar 13,231yang menunjukkan perusahaan
manufaktur di BEI secara rata-rata dikendalikan tidak melakukan tata kelola perusahaan melebihi
yang sudah diatur dalam peraturan.
Tabel 2. Statistik Deskriptif
Variabel
N
Maksimum
Minimum
Mean
EM
CGPI
SIZE
GROWTH
CFO
130
130
130
130
130
0,5424
21,0
33,1341
5,9473
0,7992
0,0004
5,0
17,2795
-0,8790
-0,2229
0,0633
13,231
26,548571
0,034167
0,074907
Standar
Deviation
0,08265
3,0123
3,7011935
0,6222896
0,1209676
Hasil Pengujian Hipotesis
Tabel 3 menunjukkan bahwa CGPI tidak mempengaruhi manajemen laba. Hal ini tidak
mendukung hasil penelitian Jiang et al. (2008), Abbadi et al. (2016), Render dan Vandenbogaerde
(2008), Bekiris dan Doukakis (2011) yang menyatakan bahwa semakin tinggi nilai tata kelola
perusahaan maka akan mampu mencegah manajemen melakukan manajemen laba. CGPI tidak
mempengaruhi manajemen laba karena menurut Render dan Vandenbogaerde (2008) setiap negara
memiliki aturan terhadap tata kelola yang berbeda-beda, termasuk di Indonesia dibandingkan dengan
119
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
negara Asia Tenggara memiliki tingkat tanggung jawab yang lemah terhadap pemegang saham dalam
hal pengungkapan dan transparasi. Selain itu perusahaan di Indonesia cenderung melakukan tata
kelola sesuai dengan standar minimal yang harus dipenuhi tidak melebihi standar minimal yang ada,
sehingga tata kelola perusahaan dijadikan sebagai syarat pemenuhan akan peraturan perseroan.
Tabel 4. Pengujian Hipotesis
Variabel
Constanta
CGPI
SIZE
GROWTH
CFO
R
Adjusted R-Square
F-Statistic
Sig (F-Statistic)
Coefficient
0,101
-0,001
-0,002
0,005
-0.270
t-statistic
1,864
-0,537
-0,849
0,484
4,798
Sig.
0,065
0,592
0,398
0,629
0,000
0,401
0,134
5,984
0,000
Ukuran perusahaan (SIZE)berpengaruh tidak berpengaruh terhadap manajemen laba dengan
tingkat signifikan 0,398. Hasil ini didukung oleh Hermiyetti dan Manik (2013). Hal ini menunjukan
bahwa perusahaan besar dan kecil melakukan manajemen laba.
Pertumbuhan penjualan (Growth) tidak berpengaruh terhadap manajemen laba dengan tingkat
signifikan 0,273. Hasil ini tidak mendukung hasil penelitian Chi et al. (2014) pertumbuhan penjualan
mempunyai pengaruh negatif terhadap keputusan untuk melakukan manajemen laba dan penelitian
yang dilakukan oleh penelitian Febriyanti dan Hanna (2014) yang meyimpulkan bahwa pertumbuhan
penjualan tidak berpengaruh terhadap manjemen laba. Dengan demikian perusahaan yang sedang
mengalami pertumbuhan penjualan ataupun tidak mengalami pertumbuhan penjualan tidak
mempengaruhi keputusan manajemen untuk melakukan praktik manajemen laba. Menurut Safitri
(2014) perusahaan dengan penjualan tinggi akan tetap melakukan laba untuk mempertahankan trend
laba dan trend penjualan dan sebaliknya jika perusahaan yang memiliki penjualan rendah, maka
perusahaan akan melakukan manajemen laba untuk mencapai laba yang ditargetkan.
Arus kas operasi (CFO)berpengaruh negatif terhadap manajemen laba dengan tingkat
signifikan 0,000. Hasil ini mendukung penelitian Yoon dan Miller (2002), Nastiti dan Gumanti (2011)
yang menyatakan bahwa arus kas operasi berpengaruh negatif terhadap manajemen Hal ini
menunjukan bahwa arus kas operasi yang semakin besar diperoleh perusahaan maka kemungkinan
terjadinya manajemen laba semakin kecil karena perusahaan dapat menjalankan operasinya dengan
baik dan dana yang dimiliki untuk menjalankan operasi masih terpenuhi tanpa melakukan manajemen
laba.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
CGPI tidak berpengaruh terhadap manajemen laba. hal ini dikarenakan Indonesia dibandingkan
dengan negara Asia Tenggara memiliki tingkat tanggung jawab yang lemah terhadap pemegang
saham dalam hal pengungkapan dan transparasi. Selain itu perusahaan di Indonesia cenderung
120
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
melakukan tata kelola sesuai dengan standar minimal yang harus dipenuhi tidak melebihi standar
minimal yang ada, sehingga tata kelola perusahaan dijadikan sebagai syarat pemenuhan akan
peraturan perseroan.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan sebagai berikut:
ο‚· Penilaian tata kelola ini bersifat subjektif karena melihat apa yang diungkapkan saja dalam
laporan tahunan. Untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan sampel perusahaan yang
termasuk dalam ARA (Annual Report Award) untuk menunjukan efektivitas dewan komisaris
yang baik.
ο‚· Dalam penelitian ini sampel yang digunakan hanya 1 tahun penelitian saja. Sehingga hasil
penelitian ini hanya fokus pada 1 periode saja tidak melihat periode lain. Oleh karena itu untuk
melakukan generalisasi kesimpulan dalam hasil penelitian ini perlu memperhatikan
keterbatasan tahun dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbadi, Sinan S, Qutabia F. Hijazi dan Ayat S. Al-Rahahleh. (2016). Corporate Governance
Quality and Earnings Management: Evidence from Jordan. AABFJ. Vol. 10, No. 2, 56-74.
Bekiris, Fivos V. dan Leonidas C. Doukakis. (2011). Corporate Governance and Accruals Earnings
Management. Managerial and Decision Economics. Vol. 32, 439-456.
Chen, Tiaran. (2010/2011). Analysis on Accrual-Based Model in Detecting Earnings Management.
Lingnan Journal of Banking, Finance and Economics. Vol. 2, 2010/2011, 57-65.
Charitou, Andreas, Christodoulos Louca, Ioannis Tsalavoutas.(2016). Corporate Governance,
Agency Problem, and Firm Performance: Empirical Evidance from an Emerging European
Market.
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2221612
Dechow, Patricia M., Richard G. Sloan, Amy P. Sweeney.(1995). Detecting Earnings Management.
The Accounting Review. Vol. 70, No. 2, April 1995, 193-225.
Dechow, Patricia M., Amy P. Hutton, Jung Hoon Kim, Richard G. Sloan. (2011). Detecting Earnings
Management: A New Approach. http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1735168
Febriyanti, Agnes dan Hanna. (2014). Pengaruh Deferred Tax Expense dalam Mendeteksi Earnings
Management dengan Menggunakan Pendekatan Discretionary Revenue. Jurnal Bisnis dan
Akuntansi. Vol. 16, No. 1, Juni 2014, 1-11.
Godfrey, Jayne, Allan Hodgson, Ann Tarca, Jane Hamilton, Scott Holmes. (2010). Accounting
Theory. 7th edition. John Willey & Sons Australia Ltd.
Guna, Welvin dan Arleen Herawaty. (2010). Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance,
Independensi Auditor, Kualitas Audit, dan Faktor Lainnya terhadap Manajemen Laba. Jurnal
Bisnis dan Akuntansi. Vol 12, No. 1, April 2010, 53-68.
Hermiyetti dan Evita Nora Manik. (2013). The Influence of Good Corporate Governance Mechanism
on Earnings Management: Empirical Study in Indonesian Stock Exchange Listed Company for
Periods of 2006-2010. Capital Market Review. Vol.V, No. 1.
121
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Jaggi, Bikki, Sidney Leung, Ferdinand Gul. (2009). Family Control, Board Independence and
Earnings Management: Evidence based on Hongkong Firms. J. Account. Public Policy. Vol. 28,
2009, 281-300.
Jao, Robert dan Gagaring Pagalung. (2011). Corporate Governance, Ukuran Perusahaan, dan
Leverage, terhadap Manajemen Laba Perusahaan Manufaktur Indonesia. Jurnal Akuntansi dan
Auditing. Vol. 8, No. 1, 2011, 43-54
Jensen, Michael C and William H. Meckling. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior,
Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, Vol. 3, 1976, 305-360.
Jiang, Wei, Picheng Lee, Asokan Anandarajan (2008). The Association Between Corporate
Governance and Earnings Quality: Further Evidance using GOV-Score. Advance in Accounting,
Incorporating Advances in International Accounting. Vol. 24, 2008, 191-201.
Peraturan BAPEPAM Nomor X.K.6. (2012). Penyampaian Laporan Tahunan Emiten atau
Perusahaan Publik.
Nastiti, Ari Sita dan Tatang Ary Gumanti. (2011). Kualitas Audit dan Manajemen Laba pada Initial
Public Offering di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi XIV Aceh.
Render, A. dan S. Vandenbogaerde. (2008). Corporate Governance and Earnings Management:
Evidence from Europe. Review of Business and Economics. No. 3, 2008.
Safitri, Enni. (2014). Analisis Pengaruh Leverage dan Siklus Hidup terhadap Manajemen Laba pada
Perusahaan Real Estate dan Property yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Akuntansi.
Vol. 3, No. 1, Oktober 2014, 72-89.
Swastika, Dwi Lusi Tyasing. (2013). Corporate Governance, Firm Size, and Earning Management:
Evidance in Indonesia Stock Exchange. IOSR Journal of Bussiness and Management. Vol. 10,
No. 4, May-Jun 2013, 77-82.
Yahya, Nur Yuda dan Triyonowati. (2015). Pengaruh Skor IICG terhadap Nilai Perusahaan dengan
Kualitas Laba sebagai Variabel Intervening. Jurnal STIESIA. 2015.
Yoon, Soon Suk, Gary A. Miller. (2002). Cash from Operations and Earnings Management in Korea.
The international Journal of Accounting. Vol. 37, 395-412.
122
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
TINJAUAN ETIKA, KINERJA PERUSAHAAN, DAN RELEVANSI GUANXI
PADA DUNIA BISNIS: PERSEPSI MAHASISWA FAKULTAS EKONOMI
UKRIDA
Melitina Tecoalu dan Bambang Siswanto
Universitas Kristen Krida Wacana
[email protected]
Abstrak: Bisnis tidak bisadipisahkan dari konteks budaya lokal dan nilai-nilai yang dianut para pelaku usaha
tersebut. Pengembangan bisnis di negara RRT atau menjalin bisnis dengan etnis Cina – di RRT, Taiwan, yang
sudah migrasi ke negara-negara lain termasuk orang-orang Tionghoa di Indonesia – tidak bisa dilepaskan dari
guanxi. Kajian literatur menunjukkan tiga fokus penelitian terkait guanxi, yaitu etika, kinerja, dan relevansi.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui persepsi mahasiswa tentang penerapan guanxi pada pengembangan
bisnis di Jakarta. Persepsi sebagian besar mahasiswa menunjukkan praktek guanxi pada dunia bisnis tidak
melanggar etika, praktek guanxi tidak meningkatkan kinerja perusahaan, dan guanxi masih relevan diterapkan di
Indonesia.
Kata kunci: guanxi, persepsi, etika, kinerja perusahaan, relevansi
PENDAHULUAN
Kesuksesan bisnis tidak bisa dipisahkan dari konteks bidaya lokal dimana usaha tersebut berada
dan nilai-nilai yang dianut oleh pelaku usaha tersebut. Guanxi adalah budaya yang sejauh ini dominan
mempengaruhi bagaimana etnis Cina – di RRT, Taiwan, orang-orang Tionghoa di Indonesia, atau
yang sudah bermigrasi di seluruh dinia – menjalankan bisnis mereka. Pada dasarnya guanxi adalah
relasi sosial yang dibangun secara resiprokal didasarkan pada prinsip balas budi dan upaya agar
siapapun tidak kehilangan muka. Akar dari guanxi adalah ajaran Konfusius tentang relasi antar
manusia.
Luo (1997a) menyatakan setiap entitas bisnis di negara RRT, baik perusahaan domestik ataupun
perusahaan modal asing, tidak bisa menghindar dari prinsip guanxi.Park dan Luo (2001) menyatakan
guanxi merupakan elemen sosial dan budaya yang penting di Cina, dan mempengaruhi kinerja
perusahaan.Gao (2006) menyatakan memiliki guanxi yang baik dan dekat dengan pemerintah
merupakan hal yang penting bagi perusahaan asing yang akan melakukan bisnis di negara RRT.
Meskipun praktek guanxi sepertinya hal yang lumrah, kajian dari sudut pandang etika, relevansi,
dan pengaruhnya terhadap kinerja perusahaan masih banyak dilakukan. Siswanto (2011)
menunjukkan Journal of Business Ethics (JBE) merupakan jurnal ilmiah yang paling banyak memuat
artikel tentang guanxi. Selain itu JBE juga merupakan jurnal yang paling banyak dirujuk oleh artikelartikel yang membahas tentang guanxi. Selain berkaitan dengan etika, Siswanto juga menunjukkan
artikel-artikel yang membahas pengaruh guanxi terhadap kinerja perusahaan, dan relevansinya pada
masa sekarang.
Guanxi tampaknya dipraktekkan pada dunia usaha yang dikelola dan/atau dimiliki orang-orang
Tionghoa di Indonesia. Di sisi lain kajian akademik tentang praktek guanxi pada dunia bisnis di
Indonesia relatif belum banyak dilakukan. Hasil penelusuran internet hanya menemukan beberapa
kajian antara lain: Rosari (2004), Khairunnisa (2004), Rahman (2008), Chandra (2010), dan
Heridiansyah (2012). Jumlahnya relatif sangat sedikit dibandingkan kajian-kajian tentang guanxi di
luar negeri. Berkenaan denganhal tersebut, makalah ini ditulis untuk melakukan kajian akademik
123
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
praktek guanxi di Indonesia. Tulisan ini merupakan kajian awal dengan menggunakan data persepsi
mahasiswa Fakultas Ekonomi UKRIDA. Kajian ini diharapkan menjadi titik mulai sebuah kajian
yang komprehensif tentang praktek guanxi di Indonesia. Makalah ini adalah hasil penelitian deskriptif
dan kualitatif. Data persepsi mahasiswa dikumpulkan melalui wawancara. Tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui persepsi mahasiswa Fakultas Ekonomi UKRIDA tentang tiga hal, yakni: (a)
apakah praktek guanxi melanggar etika?; (b) apakah praktek guanxi meningkatkan kinerja
perusahaan; dan (c) apakah guanxi masih relevan untuk diterapkan pada dunia bisnis di Indonesia?
TINJAUAN PUSTAKA
Hasil studi pustaka menunjukkan beberapa topik penelitian guanxi, yaitu: (a) berkenaan dengan
masalah etika; (b) keterkaitan guanxi dengan kinerja; dan (c) relevansi praktek guanxi pada masa
sekarang. Redfen dan Ho (2009) menyatakan kajian literatur tentang guanxi semakin meningkat
ketika dunia Barat menghadapi kompleksitas menjalankan bisnis di RRT. Sebelumnya dunia Barat
menganggap guanxi sekedar jejaring dan koneksi, hal yang dianggap masalah sederhana pada kajian
etika bisnis. Pada kenyataannya jejaring dan koneksi di RRT tidak sekadar kebutuhan menjalan
bisnis, tetapi berasosiasi dengan korupsi dan kalkulasi yang menentukan dalam menjankan bisnis.
Hasil penelitiannya pada industri perbankan di RRT menunjukkan guanxi memiliki dua dimensi,
pertama merepresentasikan nilai-nilai tradisinal orang-orang Cina dalam hal membalas budi dan
menjaga agar orang lain tidak kehilangan muka (reciprocity and face). Kedua, guanxi adalah model
jejaring bisnis moderen yang berbeda dengan yang dijalankan di dunia Barat.
Penelitian tentang keterkaitan guanxi dengan kinerja perusahaan telah dilakukan antara lain oleh
Luo (1997b) dan Park dan Luo (2001). Luo (1997b) meneliti pengaruh guanxiterhadap kinerja
perusahaan asing (PMA) yang dimoderasi variabel karateristik investasi. Karakter investasi yang
dimaksudkan adalah cara masuk investasi, asal negara investor, lamanya PMA beroperasi di negara
RRT pada masa sebelumnya. Hasil penelitiannya menunjukkan guanxi signigikan mempengaruhi
kinerja perusahaan PMA.
Park dan Luo (2001) meneliti pengaruh tingkat penerapan guanxiterhadap kinerja perusahaan,
hasilnya menunjukkan tingkat kebutuhan dan kapasitas aplikasiguanxi di tiap-tiap perusahaan
berbeda. Park dan Luo (2001) menunjukkan perusahaan-perusahaan milik orang Cina
mengembangkan guanxi sebagai mekanisme stratejik untuk mengatasi kompetisi dan keterbatasan
sumber daya dengan melakukan kerjasama dan pertukaran hadiah, pertolongan (tolong-menolong)
dengan kompetitor dan otoritas pemerintahan.Survei yang dilakukan terhadap 128 perusahaan di
negara RRT bagian tengah memberikan bukti yang kuat bahwa faktor institusional, stratejik, dan
organisasional merupakan penentu guanxi pada situasi tekanan yang kompetitif. Untuk hubungan
dengan otoritas pemerintah faktor yang signifikan hanya faktor institusional dan stratejik. Pada
umumnya guanxi meningkatkan kinerja perusahaan, tetapi memiliki pengaruh kecil pada peningkatan
penjualan dan pertumbuhan laba.
Relevansi penerapan guanxi pada masa sekarang ditunjukkan oleh penalitian yang dilakukan
oleh Hutchings dan Murray (2002), Millington (2006), Chen dan Easterby-Smith (2008), dan
Ledeneva (2008). Hutchings dan Murray(2002) menguji apakah guanxi yang berkembang pada
situasi perusahaan-perusahaan dimiliki negara selama periode komunisme masih relevan diterapkan
pada perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di negara RRT dengan landasan
kapitalisme. Hasil wawancara yang dilakukan terhadap pekerja asing dari Australiamenunjukkan
bahwa kebutuhan para pekerja asing untuk menjalin guanxi ditentukan oleh ukuran perusahaan dan
seberapa lama pekerja tersebut telah bekerja di negara RRT.
124
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Millington (2006) melakukan investigasi tentang peran guanxi dalam mencari pemasok lokal
untuk kepentingan perusahaan manufaktur asing – Inggris dan Amerika Serikat – yang beroperasi di
negara RRT. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peran hubungan bisnis lebih penting
dibandingkan hubungan keluarga (family) yang merupakan salah satu bentuk guanxi. Hasil penelitian
ini memperkuat penelitian sebelumnya, yakniGuthrie’s pada tahun 19991 yang menyatakan bahwa
industrialisasi dan modernisasi mengurangi peran guanxi.
Chen dan Easterby-Smith (2008) menyatakan pada manajemen gaya Cina, guanxi telah
diidentifikasi sebagai faktor yang vital jika diasosiasikan dengan strategi bisnis dan manajemen
sumber daya manusia (MSDM). Meskipun demikian, guanxi tidak lagi menjadi hal yang krusial
karena perusahaan-perusahaan multi nasional (MNC) yang dimiliki pengusaha-pengusaha Cina mulai
go global ataupun merjer dan mengakuisisi MNC dari negara-negara Barat. Selanjutnya Chen dan
Easterby-Smith (2008) melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana perusahaan-perusahaan
MNC dari negara-negara Timur mengelola tenaga kerja internasional yang dimilikinya dan
menerapakan strategi di tingkat internasional. Hasil penelitiannya menunjukkan terdapat perbedaan
penerapan guanxi pada perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan IT, meskipun
demikian penelitian menyimpulkan bahwa guanxi tetap menjadi faktor penting yang mempengaruhi
strategi internasional dan praktek pengelolaan SDM.
Ledeneva (2008) membandingkan praktek blat di Rusia dan guanxi di Cina. Pada dasarnya
keduanya memiliki prinsip dan praktek yang hampir serupa, dan berkembang pada situasi sistem
politik dan ekonomi yang hampir sama, yaitu sosialisme dan komunisme. Perbedaannya terjadi pada
saat rejim komunisme dan sosialisme mulai runtuh dan mulai masuknya kapitalisme. Praktek blat di
Rusia mulai menghilang, tetapi tidak demikian dengan guanxi di Cina. Perbedaan yang terjadi
disebabkan blat tidak memiliki akar budaya, sebaliknya guanxi memiliki akar budaya di masyarakat.
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI
Informan pada penelitian ini adalah mahasiswa dan dosen. Informan mahasiswa adalah
sekelompok mahaiswa yang sedang menempuh mata kuliah metodologi penelitian. Sebelum secara
sukarela dilibatkan sebagai informan, mahasiswa telah mendapatkan penjelasan yang memadai
tentang guanxi dan setelah itu mereka melakukan wawancara kepada pelaku usaha untuk mempelajari
praktek guanxi pada dunia bisnis di Indonesia.Selain itu, sebelum menjawab ketiga pertanyaan yang
merupakan tujuan penelitian, mahasiswa dievaluasi kembali tentang konsep guanxi, dengan demikian
mereka memiliki persepsi yang relatif sama dengan peneliti. Jumlah informan sebanyak 12 orang.
Pada penelitian ini juga dilakukan wawancara terhadap informan dosen, yakni dosen Fakultas
Ekonomi yang telah menyelesaikan pendidikan S2 dan sekarang sedang menempuh pendidikan S3 di
RRT2.
Hasil wawancara dengan informan ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel tersebut menunjukkan
sebagian mahasiswa berpersepsi praktek guanxi tidak melanggar etika, penerapan guanxi tidak
meningkatkan kinerja, dan guanxi masih relevan dipraktekkan di Indonesia.
Tabel 1. Persepsi Informan tentang Praktek Guanxi pada Dunia Bisnis
1
Guthrie, D.: 1999, Dragon in a Three-Piece Suit: The Emergence of Capitalism in China (Princeton UniversityPress,
Princeton, NJ). Dikutip dari referensi artikel Millington (2006).
2
S2 di Nanjing University of Information Science of Technology, Nanjing, RRT dan S3 di University of
International Business and Economics, Beijing, RRT.
125
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Pertanyaan
Ya
Tidak
Ya atau
Tidak
Jumlah
1.
Apakah praktek guanxi pada dunia bisnis
melanggar etika?
2
(16,67%)
7
(58,33%)
3 (25%)
12
(100%)
2.
Apakah praktek guanxi meningkatkan
kinerja perusahaan?
2
(16,67%)
7
(58,33%)
3 (25%)
12
(100%)
3.
Apakah guanxi masih relevan dipraktekkan
pada dunia bisnis di Indonesia?
8
(66,67%)
0
(0%)
4
(33,33%)
12
(100%)
Pada umumnya alasan yang disampaikan informan untuk jawaban pada pertanyaan tentang
keterkaitan guanxi dengan etika adalah sebagai berikut: (a) tidak etis karena cenderung nepotisme
dan bisa saja berakhir dengan korupsi; (b) tidak melanggar etika karena beberapa pembenaran – yang
sesungguhnya tidak diperkenankan – antara lain praktek guanxi tidak diketahui semua orang, hal itu
merupakan hak dan kewenangan pemilik, melanggar karena keberadaan guanxi tidak diketahui semua
orang.
Informan yang menyatakan guanxi meningkatkan kinerja perusahaan beralasan jika kita
direkomendasikan masuk ke sebuah perusahaan oleh orang yang kita kenal, maka kita harus menjaga
nama baik orang yang telah membantu kita. Persepsi seperti ini merupakan bentuk resiprokal dan
keinginan untuk tidak mempermalukan atau upaya tidak kehilangan muka. Informan yang
menyatakan guanxi tidak meningkatkan kinerja karena menimbulkan konflik yang disebabkan
sesuatu yang dipandang tidak adil oleh karyawan lainnya. Alasan lainnya adalah guanxi melemahkan
kontrol kualitas.
Informan dosen berpendapat praktek guanxietis sepanjang tidak mengakibatkan perubahan yang
tidak didasarkan pada proses yang benar, selain itu juga jika dilakukan dalam koridor hukum.
Selanjutnya informan menyatakan guanxi meningkatkan kinerja pada perusahaan skala kecil atau bila
proses birokrasi terlalu rumit, jika pada situasi sebaliknya akan menghambat kinerja. Guanxi masih
relevan diterapkan tapi tidak bolel dominan dan menjadi penentu proses bisnis.
SIMPULAN DAN SARAN
Sebagian besar mahasiswa memiliki persepsi guanxi tidak melanggar etika tetapi tidak
meningkatkan kinerja perusahaan. Guanxi masih relevan untuk diterapkan di Indonesia. Saran untuk
penelitian selanjutnya adalah dilakukan pendalaman wawancara sehingga alasan-alasan dibalik
persepsi sepenuhya terungkap.
DAFTAR PUSTAKA
Chandra, Y. 2010. Analyzing the Relationship Business Model of Guanxi’s Implementation and Its
Effectiveness in Indonesia, A Bachelor’s Thesis, Swiss German University, Bumi Serpong
Chen, C.L. and M. Easterby-Smith. 2008. Is Guanxi Still Working, While Chinese MNCs Go Global?
The Case of Taiwanese MNCs in the UK. Human Systems Management 27, 131-142.
Gao, Y. 2006. Building Guanxi with Government for Foreign Companies in China: A Case Study on
the Application of Commitment Instrument. The Business Review, Cambridge 6(2), 119-125.
126
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Heridiansyah, J. 2012. Pengaruh Satisfaction dan Interpersonal Trust Terhadap Guanxi Value (Studi
pada Pedagang dan Pemasok Komputer di Yogyakarta). Jurnal Dinamika Ekonomi dan
Bisnis9(2), 19-36.
Hutchings, K. and G. Murray. 2002. Australian Expatriates’ Experiences in Working Behind the
Bamboo Curtain: An Examination of Guanxi in Post-Communist China. Asian Business &
Management 1, 373-393.
Khairunnisa, R. 2004. Guanxi vs Good Corporate Governance. Tesis Program Magister Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Ledeneva, A. 2008. Blat and Guanxi: Informal Practices in Russia and China. Comparative Studies
in Society and History 50(1), 118-144.
Luo, Y. 1997a. Guanxi: Principles, Philosophies, and Implications. Human Systems Management 16,
43-51.
Luo, Y. 1997b. Guanxi and Performance of Foreign-invested Enterprises in China: An Empirical
Inquiry. Management International Review 37, 51-70.
Millington, A., M. Eberhardt and B. Wilkinson. 2006. Guanxi and Supplier Search Mechanisms in
China. Human Relations 59(4), 505-531.
Park, S.H. and Y. Luo. 2001. Guanxi and Organizational Dynamics: Organizational Networking in
Chinese Firms. Strategic Management Journal 22, 455-477.
Rahman, A.Z. 2008. Penggabungan Aspek NIlai Bisnis Dalam Grup Salim: Antara Guanxi dan
Profesional 1975-1988. Skripsi Program Studi Cina Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Universitas Indonesia. Depok.
Rosari, R. 2004. The Importance of Guanxi for Foreign Investor in Doing Business in China. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia19(4).
127
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
KAJIAN RELEVANSI SERTIFIKASI KOMPETENSI DAN FENOMENA
SKILL MISMATCH PADA PRAKTIK MSDM
Yustina Ertie Pravitasmara Dewi1 dan Lieli Suharti2
Universitas Kristen Satya Wacana
Abstract: This study aim to explain the relevance of certificate of competency with skill mismatch incidents
that appear on human resource management practices. Skill mismatch arises when there is a gap between
the skills possessed by a person with the skills expected by the company. Skill mismatch impact on the
level of individual satisfaction in their work and for companies that have an impact on work productivity.
One of the causes of skill mismatch triggered because of the lack applicants with the appropriate skills
and employers demanded immediate selection. In the middle of skill mismatch realities, companies in
Indonesia faced a growing choice but is less popular in terms of employee recruitment, it is a certificate
of competency. This study presents a theoretical foundation that developed in previous studies of skill
mismatch that came to pass in various countries. In addition, this study will link the skill mismatch with
competency certification system policies that apply in Indonesia since 2004, but has not been in great
demand as a requirement for the recruitment of employees. The recommendations put forward is the
existence of comprehensive information about the benefits of certificate of competency at various levels
that relevant to the labor market : the educational institutions and training, enterprise, and government
as a influential backbone in creating competitiveness of companies that originated from employees with
conditions that match between the skills possessed with the skills needed by the company.
Keywords: skill mismatch/ certificate of competency/ human resource management
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan relevansi sertifikasi kompetensi dengan insiden skill
mismatch yang muncul pada praktik MSDM. Skill mismatch terjadi manakala muncul kesenjangan antara
keterampilan yang dimiliki oleh seseorang dengan keterampilan yang diharapkan oleh perusahaan. Skill
mismatch berdampak pada tingkat kepuasan individu dalam bekerja dan bagi perusahaan hal itu
berdampak pada produktivitas kerja. Salah satu penyebab skill mismatch didorong oleh minimnya jumlah
kandidat pegawai dan pihak perusahaan tidak punya pilihan lain dan diharuskan segera melakukan
rekrutmen. Ditengah realitas skill mismatch, perusahaan di Indonesia dihadapkan pada pilihan yang
berkembang namun kurang populer dalam hal rekruitmen pegawai, yakni sertifikat kompetensi kerja.
Kajian ini menyajikan landasan teori yang berkembang pada penelitian sebelumnya mengenai skill
mismatch yang terjadi di berbagai negara. Selain itu, kajian ini akan mengaitkan skill mismatch dengan
kebijakan sistem sertifikasi kompetensi yang berlaku di Indonesia sejak Tahun 2004, namun belum
diminati sebagai persyaratan dalam rekruitmen pegawai. Rekomendasi yang diajukan adalah adanya
informasi yang menyeluruh mengenai manfaat sertifikasi kompetensi kerja di berbagai aras yang relevan
dengan pasar kerja, yakni lembaga pendidikan dan latihan, perusahaan, dan pemerintah sebagai kekuatan
yang saling berpengaruh dalam menciptakan daya saing perusahaan yang bermula dari pegawai dengan
kondisi yang match antara keterampilan yang dimiliki dengan keterampilan yang dibutuhkan perusahaan.
Kata kunci: skill mismatch/sertifikasi kompetensi/ manajemen sumber daya manusia
PENDAHULUAN
Berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN pada awal Tahun 2016 selain membuka tantangan
dan peluang baru, juga mengugah kewaspadaan akan kesiapan Indonesia dalam kompetisi antar
negara. Riset World Competitiveness Index Tahun 2016-2017 menunjukkan posisi Indonesia pada
peringkat 47 dari 138 negara di dunia, yang berarti turun 10 peringkat dari periode tahun sebelumnya.
Pada indikator mengenai sumberdaya manusia, WEF meletakkan Indonesia di peringkat 108 terkait
efisiensi pasar tenaga kerja. World Economic Forum (2016) yang merilis indeks daya saing negaranegara dunia berdasarkan tingkat produktivitas ekonomi suatu negara demi mencapai kemakmuran
128
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
itu, juga menunjukkan realitas persaingan kawasan Asia Timur dan Pasifik dimana Singapura secara
stabil seperti tahun-tahun sebelumnya tetap menunjukkan indikator terbaik di ASEAN, disusul
Malaysia, Thailand dan Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Pembangungan Manusia dan Kebudayaan (KOMPAS 2016)
menyebutkan tantangan terberat yang dihadapi Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
adalah daya saing SDM. Indonesia memimpin dari jumlah penduduk yang mencapai 60% dari total
jumlah penduduk ASEAN. Namun demikian, daya saing SDM Indonesia belum memimpin ASEAN.
Sebagai negara dengan populasi terbesar di ASEAN, Indonesia perlu memperbaiki posisi daya
saingnya, sehingga nantinya mampu memimpin pasar dan bukan dijadikan tujuan negara konsumsi
dari negara-negara lain. Salah satu penyebab lemahnya daya saing Indonesia di aras ASEAN
berkaitan dengan kurangnya ketersediaan tenaga kerja terampil jika dibandingngkan dengan negaranegara tetangganya (Kartika 2015). Temuan tersebut linear dengan yang dikemukakan Porter (2009)
bahwa Indonesia hendaknya memberi perhatian pada pengembangan SDM sebagai salah satu upaya
meningkatkan daya saing Indonesia.
Mengenai peningkatan daya saing, kantor International Labor Organization atau ILO (2015)
memberi rekomendasi pada pengembangan SDM yang holistik, menyebutkan perlunya portabilitas
keterampilan sehingga karyawan dapat menerapkan pengetahuan dan pengalaman mereka pada
pekerjaannya, serta mensertifikasi keterampilan karyawan sehingga derajat kompetensinya dapat
diakui oleh mitra sosial pada berbagai sektor tenaga kerja lintas nasional, kawasan maupun pasar
kerja internasional. Pemerintah Indonesia yang ikut meratifikasi aturan ILO berupaya meningkatkan
daya saing SDM dengan cara memberikan pengakuan atas kompetensi individu melalui mekanisme
sertifikasi profesi, yang dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2004 dan
membentuk Badan Nasional Sertifikasi Profesi sebagai lembaga (mitra sosial) dengan memberikan
lisensi kepada setiap profesi untuk menjalankan uji dan sertifikasi kompetensi. Dengan tujuan utama
meningkatkan daya saing, sertifikasi kompetensi juga diharapkan menjadi proteksi bagi Indonesia
menghadapi pergerakan bebas tenaga kerja bebas di ASEAN pasca pelaksanaan kawasan ekonomi
tunggal.
Menteri Tenaga Kerja pada Oktober 2016 menyebutkan, sejak Tahun 2006 hingga Agustus
2016 jumlah SDM bersertifikat kompetensi kerja di Indonesia mencapai 2.463.806 orang (Berita
Satu 2016), sementara jumlah total angkatan kerja sampai Agustus 2016 (BPS 2016) mencapai
118.411.973 juta jiwa. Artinya, hanya 2% jumlah pekerja di Indonesia pemegang sertifikat
kompetensi kerja, yang dapat diasumsikan menjadi dasar keraguan mengenai kurangnya daya saing
di pasar ASEAN.
Berbagai latar belakang yang menjadi dasar penerapan sistem sertifikasi kompetensi di
Indonesia, tidak serta-merta membuat pelaksanaannya berhasil dengan baik. Indikator kesuksesan
sertifikasi kompetensi di Indonesia dapat dilihat dari belum signifikannya jumlah lembaga yang
mendapat lisensi Badan Nasional Sertifikasi Profesi untuk melaksanakan uji kompetensi, hal ini
berpengaruh pada jumlah total pekerja yang memegang sertifikat kompetensi. Mengingat masih
minimnya jumlah pekerja bersertifikat kompetensi dapat diasumsikan pula masih minimnya
informasi mengenai sertifikasi kompetensi di lingkungan perusahaan. Hal ini ditengarai dari beberapa
fenomena berikut : 1) banyak rekrutmen yang dilakukan manajemen sumberdaya manusia tidak
mencantumkan sertifikat kompetensi kerja sebagai persyaratan, 2) pembentukan lembaga sertififikasi
profesi pihak pertama masih didominasi oleh pendidikan dan pelatihan kejuruan, dan hanya beberapa
yang berasal dari perusahaan swasta.
Suksesnya sertifikasi kompetensi di suatu negara tergantung bagaimana partisipasi dunia
usahanya. ILO (2004) menyebutkan bahwa Singapura, negara tanpa sumberdaya alam mulai
129
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
mencanangkan program Pendalaman Keterampilan pada Tahun 1996 dan pada Tahun 2004
mendapatkan dukungan dari 61 industri serta mencatat 500 standar keterampilan. Di Selandia Baru,
sejak Tahun 1990 telah terbentuk Dewan Kualifikasi yang memberi pengakuan bagi semua metode
pembelajaran mengenai pengetahuan dan keterampilan, dan menghasilkan kualifikasi terintegrasi
bagi 27 sub bidang manufaktur. Memperhatikan fenomena tersebut, terdapat kesenjangan yang perlu
mendapatkan ruang dalam penelitian. Pertama, belajar dari keterlibatan industri di negara Singapura
dan Selandia Baru dalam pengakuan kompetensi SDM-nya, menjadi perlu dilakukan penelitian pada
aras perusahaan Indonesia untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat keterlibatan
perusahaan pada pelaksanaan sertifikasi kompetensi baik dari sisi keterlibatan dalam membentuk
Lembaga Sertifikasi Profesi atau dalam penggunaan sertifikat kompetensi sebagai bagian dari
persyaratan yang diminta pada rekruitmen tenaga kerja.
Kedua, kenyataan mengenai bagaimana tata kelola manajemen SDM dan fungsi-fungsinya
berkenaan dengan tersedianya pekerja bersertifikat kompetensi belum mendapat perhatian dalam
penelitian. Literatur sertifikasi kompetensi terbatas pada manfaat serta pengaruhnya (Sugiarto 2004;
Kartiwa 2006; Ernawati 2014), dikaji pada sistem sertifikasi yang berlaku di Indonesia dan
perbandingannya dengan negara lain (Silitonga 2007), ditelaah sebagai perlindungan hukum bagi
para pekerja (Iskandar dan Setiawan 2015), dan diteliti dari sisi dukungan teknologi dalam
penyelenggaraan pelaksanaannya (Erawan, Winarno, Susanto 2014). Penelitian sertifikasi
kompetensi dari sisi manajemen sumber daya manusia (MSDM) dan bagaimana pelaksanaan fungsifungsi MSDM dengan ketersediaan pekerja bersertifikat kompetensi masih jarang dilakukan.
Penggunaan sertifikat kompetensi kerja di perusahaan dimaksudkan untuk mempermudah fungsi
manajer sumber daya manusia. Pemanfaatan sertifikat kompetensi kerja bagi manajer sumber daya
manusia diharapkan membantu tercapainya kesesuaian kompetensi antara kemampuan kerja individu
dengan yang diharapkan perusahaan. Namun demikian manfaat sertifikasi kompetensi belum
dirasakan perusahaan, secara khusus dalam praktik manajemen sumberdaya manusia. Persyaratan
rekrutmen karyawan, seleksi karyawan, maupun placement karyawan di perusahaan – perusahaan di
Indonesia secara umum belum mencantumkan keharusan kepemilikan sertifikat kompetensi kerja
Ketiga, dalam konteks meningkatkan daya saing negara di kawasan ekonomi tunggal
ASEAN, membutuhkan ketersediaan SDM Kompeten yang mendapatkan pengakuan kompetensi
dalam bentuk sertifikat kompetensi sesuai dengan pedoman dalam Mutual Recoginition
Arrangement. Sertifikat kompetensi akan menjadi jaminan sehingga terhindar dari skill mismatch
dan menjadi alat proteksi tenaga kerja Indonesia, baik yang bekerja di dalam negeri maupun yang
bekerja di kawasan ASEAN sebagai keniscayaan atas berlakunya pergerakan bebas tenaga terampil
di kawasan. Penelitian Ernawati (2014) menyebutkan bahwa salah satu manfaat sertifikasi
kompetensi adalah menghindari ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki karyawan dengan
keterampilan yang diharapkan suatu jabatan dalam pekerjaan dengan melakukan sertifikasi
kompetensi kerja. Situasi dimana terdapat kesenjangan antara keterampilan yang dimiliki karyawan
dengan keterampilan yang diharakan perusahaan adalah situasi skill mismatch.
Skill mismatch telah diteliti di berbagai negara. Penelitian di Korea Selatan oleh Jung-Youn
(2015) membuktikan adanya gap antara kebutuhan pasar pemberi kerja dan jenis keterampilan yang
dimiliki calon tenaga kerja mengalami peningkatan dan mencapai titik terburuk sejak Tahun 2009.
Hasil penelitian Dorking (2014) di Inggris mengungkapkan bahwa skill mismatch dalam jumlah besar
terjadi sejak tahap awal dimana calon pekerja masih pelajar dan duduk di bangku pendidikan. Hal ini
didukung dengan data mengenai lebih banyaknya pelajar yang memilih bidang karier tertentu dimana
posisi jabatan yang diminati telah banyak berkurang. Penelitian-penelitian terdahulu telah meletakkan
fondasi pemahaman mengenai skill mismatch dari sisi penyebab dan dampaknya. Namun demikian,
130
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
mengingat cakupan penelitian dari sudut pandang makro ekonomi, para peneliti terdahulu belum
membahas mengenai bagaimana mengatasi skill mismatch atau bagaimana mengendalikan fenomena
yang mengalami trend peningkatan.
Dalam konteks Indonesia, fenomena skill mismatch juga mendapatkan ruang penelitian
dimana Hakim (2013) menyatakan bahwa skill mismatch seharusnya menjadi salah satu bagian dalam
perencanaan strategis pembangunan baik jangka pendek atau jangka panjang dalam upaya
mengurangi pengangguran. Dalam tingkat penelitian yang lebih mikro, Florentine dan Prabowo
(2014) mengidentifikasi dampak skill mismatch pada stress karyawan. Penelitian yang dilakukannya
mengambil tema hubungan antara skill mismatch dengan stress kerja karyawan, yang dilakukan atas
dasar realitas rentannya perusahaan dalam mengupayakan kestabilan kinerja akibat stress yang dipicu
konflik di tempat kerja, pengembangan karier, atau situasi pekerjaan tidak kondusif. Stress karyawan,
dalam penelitian tersebut dinyatakan bersumber dari ketidakmampuan karyawan menjalankan
pekerjaan sesuai tuntutan jabatan, atau dikenal dengan skill mismatch.
Berdasarkan uraian mengenai kebutuhan meningkatkan daya saing SDM Indonesia dan belum
populernya manfaat sertifikasi kompetensi pada praktik manajemen sumber daya manusia, kajian ini
bertujuan untuk memberikan argumen dari sudut pandang teoritis mengenai relevansi antara
sertifikasi kompetensi dan skill mismatch. Kajian pustaka ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi dalam hal justifikasi pemanfaatan sertifikasi kompetensi dari sisi teoritis dan praktis.
Sebagai studi literatur, kajian ini disusun berdasarkan berbagai informasi yang relevan dengan
pembangunan SDM dan daya saingnya, sertifikasi kompetensi, dan jurnal ilmiah mengenai skill
mismatch yang diramban melalui Ebsco, Google Scholar dan Indonesian Publication Index. Tahun
penerbitan jurnal ilmiah yang digunakan dalam kajian ini dipilih antara 2009-2016. Struktur
penyajian kajian ini adalah sebagai berikut, bagian pendahuluan menyampaikan latar belakang situasi
yang berkembang terkait pelaksanaan sertifikasi kompetensi, dilanjutkan dengan pembahasan
mengenai penelitian terdahulu mengenai skill mismatch, urgensi skill mismatch saat ini, sistem
sertifikasi kompetensi di Indonesia, dan bagian ketiga membahas relevansi antara skill mismatch
dengan sertifikasi kompetensi di Indonesia, dan pada bagian akhir kajian ini akan menyajikan
kesimpulan dan rekomendasi.
Penelitian terdahulu tentang skill mismatch
Penelitian dengan latar belakang skill mismatch yang menjelaskan kesenjangan antara
keterampilan yang dimiliki karyawan dengan keterampilan yang diharapkan oleh perusahaan telah
berkembang selama 25 tahun terakhir. Topik ini menarik diteliti hingga saat ini, seperti diutarakan
Bainbridge dan Kvetan (2013) yang menyebut skill mismatch sebagai persoalan yang secara konstans
telah berkontribusi dalam perubahan pasar kerja. Skill mismatch didefinisikan oleh ILO atau
International Labor Organization (2013) sebagai terminologi yang merujuk pada berbagai tipe
ketidakseimbangan antara keterampilan yang dimiliki dan keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia
kerja. Dalam penelitiannya tersebut, ILO menggambarkan mengenai upaya mencapai situasi yang
matching, artinya terjadi keseimbangan antara keterampilan yang dimiliki karyawan dengan yang
diharapkan perusahaan. Gambar 1 menunjukkan bahwa skill mismatch dapat dihindari jika ada upaya
bersama-sama antara individu dan perusahaan dalam meminimalkan kesenjangan. Upaya dari sisi
individu adalah dengan mengupayakan pencapaian pendidikan dan perolehan keterampilan dalam
kerangka skill acquisition. Beberapa cara dalam mencapai skill acquisition seperti yang ditunjukkan
dalam gambar 1 adalah pencapaian pendidikan, tingkat keterampilan kognitif, dan pembentukan
keterampilan yang dapat diterjemahkan sebagai aktivitas yang mendukung individu dalam
mendapatkan tambahan keterampilan. Dari sisi perusahaan, kontribusinya dalam mengupayakan
131
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
situasi yang matching adalah dengan memberikan informasi jelas mengenai persyaratan apa saja yang
dibutuhkan untuk mengisi jabatan tertentu. Informasi dari perusahaan akan senantiasa bergerak
dinamis sesuai dengan trend bisnis dan permintaan pasar, yang akan berpengaruh pada dinamika jenis
keterampilan yang sebaiknya dimiliki oleh individu. Contoh yang sesuai untuk memahami dinamika
relasi antara individu dan perusahaan dapat ditemui dari perkembangan kebutuhan perusahaan pada
posisi manager media sosial. Kebutuhan perusahaan pada manager media sosial dapat berujung pada
penunjukkan manager tanpa latar belakang pendidikan mengenai media sosial tetapi memiliki
keterampilan dalam menangani isu dalam media berbasis internet ini. Pada situasi seperti itulah
matching terjadi karena individu menambah keterampilannya demi mengisi kebutuhan perusahaan.
Dalam gambar 1 ditegaskan bahwa keseimbangan dinamis antara sisi individu dan perusahaan itu
secara terus menerus dan bersama-sama akan menciptakan outcome yang mendorong perbaikan
makro ekonomi termasuk penguatan daya saing.
Gambar 1 : Model ILO pada Skill Mismatch
Peneliti terdahulu telah menyusun sebuah prediksi tentang fenomena skill mismtach di masa
mendatang. Fenomena skill mismatch diprediksi (Catalano 2015) akan mengalami puncaknya pada
Tahun 2030 dimana populasi pekerja pensiun mencapai angka paling tinggi. Abraham (2015)
menyebutkan tanpa kesesuaian antara permintaan perusahaan dan kemampuan pekerja, pasar kerja
akan terbeban secara terus menerus seiring dengan peningkatan pengangguran. Sementara itu
Jonbekova (2015) mengatakan kesempatan kerja yang terbatas juga menyumbangkan terjadinya
ketidaksesuaian antara pekerja dan kebutuhan perusahaan.
Di Tajikistan atau Asia Tengah penelitian Jonbekova (2015) mengemukakan situasi skill
132
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
mismatch terjadi karena dipicu oleh tantangan yang dihadapi sistem pendidikan, pasar laten
ketenagakerjaan dan pelemahan perekonomian. Modestino (2011) di Inggris sepakat menyebutkan
insiden skill mismatch terjadi di negara tersebut, meski menyebutkan bahwa belum ada persetujuan
universal diantara para ahli ekonomi yang merujuk situasi kekurangan tenaga kerja sehingga bisa
disebut sebagai labor mismatch. Definisi yang digunakannya dalam menyebut skill mismatch adalah
ketidakseimbangan yang muncul ketika ketersediaan jumlah pekerja meningkat lebih cepat daripada
permintaan dengan tingkat upah masa kini disesuaikan dengan kondisi yang lalu. Ini adalah situasi
sementara yang dinamik dimana pasar diharapkan dengan sendirinya menyeimbangkan dirinya dan
menutup kesenjangan yang ada. Potensi mismatch disebutkan terjadi antara keterampilan yang
dimiliki pencari kerja berbeda dengan yang dibutuhkan pemberi kerja telah terjadi di pasar kerja.
Berikut ini adalah studi terdahulu mengenai skill mismatch :
Tabel 1 : Penelitian Skill mismatch
Sumber
Allen, Jim and DeWeert,Egbert
(2007). What do educational
mismatches tell us abour skill
mismatches? A cross country
analysis.
Sala, Guillem (2011) Approaches to
Skills Mismatch in the Labour
Market: A Literature Review
Santos,
Marcelo Serra (2012)
Education, Educational Mismatch,
and Wage Inequality Evidence for
Different European Countries.
Jonbekova, Dilarabo (2015). Skill
mismatch in central asia: employers
perspective
from
post-soviet
Tajikistan
Abdul Rahim Anuar, Wan Nurmah
fuzah Jannah Wan Mansor, Badariah
Haji Din (2016). Skills Mismatch in
Small-sized Enterprises in Malaysia.
Kontribusi dalam studi skill mismatch
Terdapat relevansi positif antara Educational Mismatch dan Skill
mismatch. Skill mismatch mengakibatkan dimana pendidikan lebih
rendah dari bidang pekerjaan karyawan berdampak pada tingkat upah
yang diterima. Lulusan yang dapat matching job masih melaporkan
terjadinya SM. Jerman dan Belanda adalah dua negara dengan
pendidikan yang diarahkan pada pasar kerja menunjukkan hubungan
kuat antara pendidikan dan job match.
Melakukan penelitian pustaka yang menghasilkan latar belakang skill
mismatch dari sudut pandang teori – teori human capital, job competition
model, dan assigment models dengan instrumen yang digunakan untuk
mengukur skill mismatch adalah : Manpower Planning dan
Overeductaion Measurement.
Melakukan penelitian pada tingkat makro yakni pasar kerja di seluruh
eropa. Penelitian tersebut dilakukan dengan penghitungan regresi atas
skill mismatch dari tingkat pendidikan dan karakteristik pekerjaan dan
distribusi tingkat kompensasi.
Berangkat dari pemahaman mengenai pendidikan tinggi sebagai
kontributor dasar dalam pembangunan budaya dan sosial ekonomi
merupakan penyumbang tenaga kerja terampil yang adalah kunci bagi
pertumbuhan negara. Penelitian ini menguji persepsi pengguna tenaga
kerja pada keterampilan untuk persiapan kerja, yang menghasilkan
rekomendasi reformasi sistem pendidikan untuk mengurangi skill
mismatch.
Penelitian dilakukan pada 242 Manager UKM di Malaysia untuk
membuktikan adanya skill mismatch. Temuan penelitian ini adalah
eksistensi skill mismatch dalam bidang kerja karyawan, sehingga
rekomendasi yang disampaikan adalah melakukan perubahan pada
strategi rekrutmen dan fokus pada pelatihan kerja karyawan.
Skill mismatch atau ketidaksesuaian keterampilan di Indonesia terjadi di berbagai aras, baik
individu, organisasi, maupun aras makro. Dari aras makro, diungkapkan Hanafi (2012) bahwa
mismatch adalah salah satu faktor yang menyumbang angka pengangguran, dan dalam hal ini
diartikan sampai pada situasi yang menyangkut kegagalan karyawan bertahan pada pekerjaannya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO 2015) Hariyadi Sukamdani merujuk data
National Labor Force Survey menyebutkan angka pengangguran usia muda di Indonesia menempati
133
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
ranking tertinggi di kawasan Asia Pasifik dan mencapai 71,3 persen sebagai ancaman akan
meningkatnya potensi skill mismatch. Dalam hal ini skill mismatch terjadi Indonesia terjadi karena
adanya ketidaksesuaian antara keluaran pendidikan dengan kebutuhan industri, yang disebabkan oleh
pengetahuan dan keterampilan teknis yang dihasilkan dunia pendidikan kurang memenuhi kualifikasi
industri. Berangkat dari sudut pandang penyebab kurang terampilnya karyawan adalah latar belakang
pendidikan inilah yang mendorong penelitian mengenai skill mismatch dilakukan dari disiplin ilmu
pendidikan.
Penelitian mengenai skill mismatch dengan perspektif pendidikan juga dilakukan pada
penelitian luar negeri, dengan pemahaman faktor pendidikan yang melekat pada individu sebagai
penyebab mismatch dilakukan oleh Modestino (2011), Abdullah et all (2012), Artes et all (2014), dan
Jobenkova (2015), Salah satu alasan mengapa penelitian-penelitian terdahulu mengenai skill
mismatch banyak berasal dari bidang pendidikan disebutkan oleh Dobbs dan Anu (2015) karena
kemudahan dan ketersediaan data, sehingga lebih mudah untuk dilakukan analisa. Namun demikian,
menilai ketidaksesuaian keterampilan semata-mata dengan pendekatan pendidikan, dinilai memiliki
sisi kelemahan oleh Badillo-Amador (2013) yang menyebutkan bahwa antara skill mismatch dan
education mismatch masing-masing memiliki karakteristik dan aspek yang berbeda dalam tingkat
akurasi pada keseimbangan antara jenis pekerjaan dan pekerja, sehingga terdapat konsekuensi yang
berbeda bagi pekerja baik dalam bentuk moneter dan non moneter. Dengan demikian, untuk
memahami bagaimana skill mismatch sebaiknya juga dilakukan dari sudut pandang pelaku bisnis,
atau pada aras perusahaan, sebagai pihak yang memberikan pekerjaan pada karyawan.
Sesuai dengan telaah pada penelitian terdahulu tentang skill mismatch mengarah pada
pentingnya penelitian masa depan yang mengaitkan isu ini dengan pelatihan dan isu kompetensi
individu, seperti yang disarankan Sala (2011). Salah satu rekomendasinya adalah menggunakan
paradigma kompetensi karyawan dalam memahami skill mismatch.
Kompetensi
Konsep kompeten mulai dikenalkan tahun 1980-an pada berbagai literatur human resource
management yang menggantikan konsep keterampilan atau skill (Rigby and Sanchis 2006).
Seseorang disebut kompeten jika menguasai keterampilan, pengetahuan, dan sikap kerja sesuai
dengan standard yang disyaratkan dalam melaksanakan pekerjaan tertentu (Sumarna 2015).
Kompetensi disebutkan memiliki tujuan yang lebih jelas dan transparant, dimana ujian dilakukan
berbeda dan bukan dilakukan oleh penyedia pendidikan. Pengertian mengenai kompetensi disebutkan
oleh The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD 2005) sebagai lebih dari
sekedar pengetahuan dan keterampilan, kompetensi mencakup kemampuan untuk memadukan
berbagai permintaan yang kompleks dengan menunjukkan dan menggunakan sumberdaya psikologi
termasuk keterampilan dan sikap dalam konteks tertentu. Merujuk literatur review yang dilakukan
Guthrie (2009), kompetensi bukan hasil dari pembelajaran karena ia lebih dari sekedar hasil
pembelajaran, pelatihan, dan pengalaman, karenanya kompetensi disebut sebagai perjalanan yang
terintegrasi dari pengalaman baik formal dan non formal.
Karyawan dengan kompetensi yang memadai dan up-to-date adalah pekerja yang lebih
produktif dan memiliki kesempatan untuk mendapatkan pekerjaannya dibandingkan pekerja lain
(Buchel, 2002). Temuan ini senada dengan (e.g., Hanushek & Woessmann, 2014) yang menyatakan
bahwa pada aras individu, pengembangan keterampilan membuat pekerja mampu memahami dan
menjalankan pekerjaan lebih baik yang berimbas pada peningkatan proses ekonomi. Produktivitas
pekerja akan menambah jumlah kompensasi dan keluar dari masalah pengangguran.
134
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Sesuai dengan pergeseran makna keterampilan menjadi kompetensi, arah penelitian tentang
skill mismatch disarankan untuk mengaitkannya dengan isu kompetensi Sala (2011), Abdullah et all
(2012) serta Leoni dan Gritti (2013). Pendapat ini diperkuat dengan penelitian cedefop (2012) yang
menyebutkan mengenai trend rekrutmen pegawai akan membutuhkan lulusan pendidikan yang
memiliki campuran antara keterampilan, pengetahuan, sikap kerja, dan kompetensi.
Sertifikasi Kompetensi
Latar belakang diberlakukannya sistem sertifikasi kompetensi bersumber dari konsekuensi
Indonesia menyetujui kesepakatan umum perdagangan bidang jasa (General Agreement on Trade in
Service/GATS) – Tahun 1995 yang menuntut kepatuhan pada aturan yang disepakati bersama negara
anggota, yang antara lain : tentang perdagangan bidang jasa yakni pemasokan jasa dari satu negara
ke negara lain, dalam wilayah konsumen jasa dari negara lain, atau oleh pemasok jasa dari suatu
negara didalam wilayah negara lain (mode of supply 4, movement of natural person). Dalam konteks
World Trade Organization kesepakatan itu tetap mengikat, dengan salah satu kesepakatan yang
diterapkan adalah untuk saling memberi pengakuan atas kompetensi individu dari negara satu dengan
negara lain dalam Mutual Recognition Agreement (MRA). Dalam konteks Masyarakat Ekonomi
ASEAN, MRA diterjemahkan sebagai perjanjian yang didesain untuk memfasilitasi pergerakan bebas
pekerja bersertifikat kompetensi dan memenuhi persyaratan kualifikasi di lingkungan negara anggota
(Sumarna 2015).
Mengadopsi kesepakatan-kesepakatan internasional yang sudah dibuat pada aras internasional,
Indonesia menyusun seperangkat aturan mengenai sertifikasi kompetensi yang termuat dalam dalam
Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Tahun 2004, sebagai bentuk implementasi
UU No. 13 Tahun 2003 pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomer 23 tentang Badan
Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) yang berfungsi sebagai instrumen negara untuk menjadi
penjamin mutu SDM Indonesia, dalam bentuk pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja. Sistem
Sertifikasi Profesi tersebut didesain sesuai aturan dalam ASEAN Framework on Service (AFAS)
pada artikel ke 5 yang berbunyi : “Each Member State may recognise the education or experience
obtained, requirements met, or licenses or certifications granted in another Member State, for the
purpose of licensing or certification of service suppliers. Such recognition may be based upon an
agreement or arrangement with the Member State concerned or may be accorded autonomously.”
Dengan demikian implementasi sertifikasi kompetensi di Indonesia, didesain sebagai bentuk
kepatuhan pada aturan internasional dalam perdagangan bebas di tingkat ASEAN. Dengan tujuan
utama meningkatkan daya saing, sertifikat kompetensi juga diharapkan menjadi proteksi bagi pekerja
Indonesia menghadapi pergerakan bebas tenaga kerja di ASEAN pasca pelaksanaan pasar bebas.
Dalam pasar tunggal ASEAN dimana memberi peluang untuk perpindahan tenaga kerja dari satu
negara ke negara lain di kawasan maka, sertifikat kompetensi kerja-lah yang berfungsi sebagai lisensi
dan jaminan mutu terhadap kompetensi dan profesionalisme (Ali 2015).
Di Indonesia, penerapan sertifikasi kompetensi dibagi dalam tiga jenis, seperti yang dikutip
dari artikel “ BNSP menuju Indonesia Kompeten” di Sindonews ( Desember 2013 )
Terdapat 3 (tiga) jenis penerapan sertifikasi kompetensi yaitu Penarapan wajib sertifikasi, penerapan
disarankan sertifikasi (advisory) dan penerapan sukarela (voluntary). Penerapan Wajib pada sertifikasi
kompetensi dilakukan oleh otoritas kompeten sesua bidang teknisnya. Sesuai dengan regulasi perdagangan
jasa antar negara (WTO = World Trade and Services) terutama GATS yang diratifikasi Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, maka penerapan wajib sertifikasi harus mengacu pada perjanjian ini.
penerapan wajib sertifikasi kompetensi didasarkan pada hal-hal yang berkaitan dengan safety, security,
dan/atau mempunyai potensi dispute besar dimasyarakat, dan seharusnya dinotifikasikan ke WTO, karena
berlaku tidak hanya kepada tenaga Indonesia, tetapi juga tenaga asing yang masuk ke Indonesia. Beberapa
bidang sertifikasi yang telah diterapkan wajib pada saat ini adalah: pariwisata, manajemen resiko perbankan,
135
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pengawaskehutanan, penyuluh pertanian, tata laksana rumah tangga, penyuluh perikanan, inspektor
keamanan pangan dan penyuluh keamanan pangan. Penerapan Disarankan, ditujukan untuk programprogram percepatan pembangunan, dalam program ini pemerintah memberikan insentif apabila masyarakat
turut berpartisipasi dalam program sertifikasi ini, seperti bantuan sertifikasi, bantuan pengembangan
kelembagaan dan sebagainya. Beberapa program dalam kerangka ini adalah yang terkait dengan program
MP3KI dan MP3EI. Kemudian Penerapan Sukarela, yang dilakukan sepenuhnya inisiasi dari masyarakat baik
industri maupun masyarakat profesi. Bentuk skema/paket sertifikasi pada umumnya klaster dan individual unit
kompetensi untuk segera dimanfaatkan oleh industri jenis ini adalah yang paling banyak dilakukan oleh
Lembaga Sertifikasi Profesi.
Pada beberapa profesi, sertifikasi kompetensi bersifat sukarela dan belum diwajibkan (Lei
2013). Mengingat beberapa sektor belum diwajibkan untuk mengadopsi sertifikasi kompetensi kerja
sebagai jaminan keterampilannya, pencapaian target jumlah pekerja yang memegang sertifikat
kompetensi belum sesuai yang diharapkan. Tahun 2011, Kementerian Tenaga Kerja mencatat terdapat
1,2 juta pekerja pemegang sertifikat kompetensi, sementara jumlah angkatan kerja mencapai 119,4
juta orang (Rosidi 2011). Dikutip dari laman www.bnsp.go.id, taget Badan Nasional Sertifikasi
Profesi atas pencapaian jumlah pekerja yang memegang sertifikat kompetensi adalah mencapai 10
juta orang pada Tahun 2020.
Badan Nasional Sertifikasi Profesi, mendefinisi sertifikasi kompetensi kerja sebagai proses
pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji
kompetensi yang mengacu kepada standar kompetensi kerja nasional Indonesia atau regional atau
internasional. Standard kompetensi kerja nasional Indonesia dalam hal ini adalah rumusan
kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan atau keahlian serta sikap
kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (www.bnsp.go.id).
Sertifikasi kompetensi, tidak hanya diberlakukan di Indonesia, negara lain seperti Australia
mengenal konsep sertifikat kompetensi kerja mulai awal Tahun 1990. Australia memandang
sertifikasi kompetensi diperlukan karena manfaatnya fokus pada pekerja agar memiliki kesesuaian
antara kompetensi yang dimiliki dan apa yang dibutuhkan perusahaan (Pitman 1999). Selain Australia,
negara lain yang menerapkan sistem serifikasi kompetensi adalah Jepang dibawah lembaga bernama
Javada, Japan Center for Vocational Ability Development Association yang terbentuk sejak Tahun
1974. Menurut Silitonga (2007) Uji Kompetensi di Australia, Jepang, dan Indonesia menggunakan
metode yang sama.
Kenyataan bahwa sertifikasi kompetensi kerja belum mendapat dukungan dari dunia usaha
atau perusahaan di Indonesia, menunjukkan adanya kesenjangan dari penerapan rekomendasi ILO
Nomor 195 Tahun 2004 mengenai pembangunan sumber daya manusia. Dalam chapter pembangunan
kompetensi, negara anggota ILO diwajibkan untuk melibatkan partner sosial dalam mempromosikan
perkembangan trend kompetensi yang dibutuhkan oleh individu atau perusahaan dalam pembangunan
kompetensi SDM negaranya. Mendukung rekomendasi tersebut, beberapa penelitian telah
membuktikan manfaat dari diterapkannya sertifikasi kompetensi. Sudiarditha (2007) menemukan
bahwa sertifikasi kompetensi dapat digunakan sebagai alat untuk mengendalikan kualitas sumber
daya manusia. Secara lebih utuh, manfaat sertifikasi kompetensi bagi perusahaan seperti disebutkan
(BNSP 2015) dalam (Hapsari 2016) adalah membantu menyakinkan kepada kliennya bahwa
produk/jasanya telah dibuat oleh karyawan kompeten, membantu rekrutmen dan mengembangkan
tenaga berbasis kompetensi guna meningkatkan efisiensi HRD khususnya dan efisiensi nasional pada
umumnya, dan membantu dalam sistem pengembangan karir dan remunerasi tenaga berbasis
kompetensi dan meningkatkan produktivitas. Secara khusus bagi karyawan, sertifikasi kompetensi
136
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
akan membantu merencanakan karier dan mengukur tingkat pencapaian kompetensi, serta
mempunyai parameter yang jelas akan adanya keahlian dan pengetahuan yang dimiliki.
Relevansi Sertifikasi Kompetensi sebagai Solusi Skill Mismatch
Menurut Surono (2012) dari sisi lembaga pendidikan dan latihan, manfaat yang didapatkan
dengan sertifikat kompetensi adalah membantu memastikan link and match antara kompetensi
lulusan dengan tuntutan kompetensi dunia industri, sementara dari sisi perusahaan sertifikat
kompetensi yang dimiliki pekerja dapat mempermudah Manager HRD melaksanakan proses
rekrutmen dan mengembangkan tenaga kerja berbasis kompetensi untuk meningkatkan efisiensi.
Dengan demikian, ada dua hal utama yang diharapkan dari pelaksanaan sertifikasi kompetensi,
pertama adalah menghindari situasi skill mismatch, dimana hal ini telah lama menjadi topik penelitian
dari berbagai wilayah penelitian mikro maupun makro ekonomi dan kedua mencakup persoalan
hubungan antara karyawan dan perusahaan dimana pemerintah yang menyelenggarakan sistem
sertifikasi kompetensi mengharapkan hal ini berguna bagi daya saing perusahaan.
Perusahaan yang mengadopsi sistem jaminan mutu ISO 9001-2015, akan menjumpai klausul
yang meminta perusahaan membuktikan telah mempekerjakan karyawan kompeten. Sertifikat
kompetensi kerja dapat dipakai sebagai bukti fisik yang membuktikan komitmen perusahaan dan
kepatuhannya dalam menjaga mutu. Pasal 7, ISO 9001-2015 menyebutkan bahwa organisasi harus
memastikan pekerjanya kompeten berdasarkan pendidikan, pelatihan, atau pengalaman yang sesuai.
Dengan demikian, perusahaan yang menerapkan manajemen mutu berbasis ISO 9001-2015 terikat
pada kewajiban mempekerjakan karyawan kompeten sekaligus memelihara kompetensi karyawannya,
dan memberikan bukti atas kompetensi tersebut. Asumsi yang diperoleh dari aturan yang berlaku baik
dari rekomendasi ILO maupun ketentuan ISO dalam menjamin mutu manajemen perusahaan dapat
menjadi dasar pemanfaatan sertifikasi kompetensi dalam mengelola SDM perusahaan. Implementasi
manajemen SDM berbasis kompetensi akan mengaitkan posisi perusahaan pada manajemen mutu
yang sesuai dengan standard internasional sekaligus mencapai kesesuaian kompetensi antara
kemampuan kerja karyawan dengan persyaratan kerja perusahaan. Hal ini sesuai dengan kondisi ideal
yang digambarkan ILO (2013) dalam mengupayakan matching antara keterampilan yang dimiliki
karyawan dengan keterampilan yang diharapkan perusahaan.
Berdasarkan uraian mengenai manfaat sertifikasi kompetensi dan kebutuhan mengatasi skill
mismatch dengan optimalisasi skill acquisition menggunakan sertifikasi kompetensi maka dapat
diasumsikan bahwa ada relevansi antar keduanya dan jika dikombinasikan akan menjadi jawaban atas
situasi skill mismatch yang terjadi di perusahaan. Relevan dengan asumsi ini adalah rekomendasi dari
penelitian sebelumnya untuk mengaitkan persoalan skill mismatch dengan konsep kompetensi, yang
merupakan perkembangan dari konsep keterampilan. Pada model economic contex dan skill mismatch
yang dikembangkan dari ILO untuk mencapai situasi matching pada gambar 2 digambarkan bahwa
dari sisi karyawan perlu kemauan untuk mendapatkan tingkat keterampilan tertentu yakni melalui
skill acquisition, academic attainment dan skill formation. Dengan mengaitkannya pada konteks
Indonesia, dimana budaya masyarakatnya cenderung menerima pekerjaan apa saja meski tidak sesuai
dengan latar belakang pendidikannya demi memenuhi kebutuhan hidupnya, akan memunculkan gap
dan membutuhkan unsur lain agar melengkapi sisi memastikan kompetensi karyawan. Seorang
karyawan yang memiliki latar belakang pendidikan atau pelatihan tidak sesuai dengan persayaratan
perusahaan dapat mengupayakan pelatihan dan uji kompetensi unuk memperoleh sertifikat
kompetensi kerja. Berpegang sertifikat kompetensi kerja tersebut, diharapkan perusahaan mendapat
manfaat optimal dari mempekerjakan karyawan dengan pencapaian akademik maupun tingkat
kognitif yang tidak sesuai dengan persyaratan jabatan. Berpijak dari pemahaman akan keterkaitan
137
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
antara sertifikasi kompetensi kerja dan kebutuhan untuk mengatasi skill mismatch, maka model ILO
dalam mengupayakan situasi matching antara karyawan dan perusahaan dapat dikembangkan seperti
berikut ini :
Gambar 2 : Model Relevansi Sertifikasi Kompetensi terhadap Skill mismatch
Contextual Factors
Sertifikasi Kompetensi
Skill Requirements
Skill Acquisition
Educational attainment
Level of Cognitive Skill
MATCHIN
G
Employment by education
Employment by occupation
Job task measures of skill
Skill Formation
OUTCOMES
Sumber : Dikembangkan dari ILO (2013)
Pada Gambar 2 didapatkan penjelasan bahwa untuk memperoleh keterampilan (skill
acquisition) seorang karyawan atau calon karyawan yang telah mengakses pendidikan dan pelatihan
dapat serta melengkapi perolehan ketrampilannya dengan dengan sertifikasi kompetensi. Keuntungan
sertifikasi kompetensi bagi perusahaan adalah tercapainya situasi matching antara keterampilan yang
dibutuhkan jabatan dan keterampilan yang dimiliki karyawan. Dengan demikian, sertifikasi
kompetensi berfungsi sebagai alat untuk menjamin kompetensi karyawan sehingga mampu bekerja
dan meminimalkan insiden skill mismatch di perusahaan.
Pada praktik manajemen sumber daya manusia, dimana rekrutmen, seleksi dan penempatan
merupakan tiga fungsi utama terjadinya skill mismatch, menghadapi tantangan tersendiri untuk
mengelola kompetensi karyawan agar dapat menghasilkan kinerja sesuai yang diharapkan. Literatur
menyebutkan kesenjangan keterampilan tersebut dapat diatasi dengan pelatihan atau pemagangan
(Cedefop 2012). Baik pemagangan maupun pelatihan, keduanya memberikan dampak positif bagi
upaya meminimalkan kesenjangan keterampilan karyawan. Namun bagi perusahaan yang
mengadopsi sistem penjaminan mutu internasional, sesuai dengan klausul 7 ISO 900-2015 ada satu
permintaan yang wajib dipatuhi dalam unsur penyediaan pekerja kompeten, yakni bukti kompetensi
karyawan. Salah satu cara membuktikan kompetensi karyawan adalah dengan mengupayakan
karyawan yang memegang sertifikat kompetensi kerja untuk menjalankan pekerjaan sesuai jabatan
tertentu, disamping pencapaian akademik yang diperolehnya.
Manfaat sertifikasi kompetensi, sesuai pernyataan Surono (2012) dapat digunakan baik
secara individu karyawan maupun bagi perusahaan dalam praktik manajemen sumber daya manusia.
Bagi karyawan di perusahaan, sertifikat kompetensi diharapkan dapat meningkatkan akses kepada
jenjang karir dan promosi yang lebih baik, serta pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki. Bagi
Perusahaan, sertifikat kompetensi diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi
138
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
kesalahan kerja, dan menjaga komitmen terhadap kualitas serta mempunyai karyawan yang berdaya
saing, dimana hal itu makin menjauhkan perusahaan dari indikator terjadinya skill mismatch.
Manfaat yang diperoleh dengan implementasi sertifikasi kompetensi belum sepenuhnya
mendapatkan peluang dalam praktik manajemen SDM di perusahaan. Hal ini terbukti dari jumlah
karyawan atau pekerja Indonesia yang memegang sertifikat kompetensi belum sesuai target yang
diharapkan. Dugaan sementara bahwa keikutsertaan perusahaan dalam sertifikasi kompetensi adalah
karena kurangnya informasi mengenai manfaat maupun sistem sertifikasi di Indonesia dan
relevansinya dengan perusahaan.
PENUTUP
Simpulan
Penelitian terdahulu telah membuktikan skill mismatch yang terjadi pada karyawan di
perusahaan, dapat berdampak pada tingkat stress dan mempengaruhi daya saing perusahaan.
Ditengah situasi tersebut, aturan internasional menyarankan adanya pengakuan atas kompetensi
individu dalam bentuk sertifikasi kompetensi. Skill mismatch yang terjadi karena kesenjangan
keterampilan karyawan dalam bekerja dapat diperbaiki dengan akuisisi keterampilan melalui
pelatihan dan mengakui kompetensi yang dimiliki dengan sertifikasi kompetensi. Konsep kompetensi
yang mencakup ranah pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dianggap mampu mewakili skill
acquisition dalam menjawab kebutuhan perusahaan. Model yang diajukan ILO dalam mencapai
situasi matching menunjukkan bahwa demi memenuhi permintaan perusahaan, individu dapat meraih
skill acquistion tidak hanya pada pencapaian pendidikan, namun berbagai jalur untuk memenuhi
tingkat keterampilan yang sesuai. Dengan kata lain, pencapaian kompetensi dapat menjadi salah satu
faktor dalam memenuhi skill acquisition dan mendorong terjadinya kondisi matching.
Dalam konteks Indonesia, sertifikasi kompetensi masih dalam tahap berusaha mendapatkan
perhatian dari masyarakat, khususnya dalam praktik manajemen sumber daya manusia di tingkat
perusahaan. Penerimaan karyawan dengan sertifikat kompetensi dan menugaskannya di tempat kerja
yang sesuai dengan kompetensi Atas dasar manfaat-manfaat yang diberikan sertifikasi kompetensi,
dan rekomendasi dari penelitian terdahulu mengenai skill mismatch, didapatkan simpulan bahwa skill
mismatch dapat diatasi jika karyawan memiliki sertifikat kompetensi kerja.
Dari sudut pandang praktik manajemen sumber daya manusia, sertifikasi kompetensi kerja
relevan dalam memastikan kompetensi karyawan pada fungsi rekrutmen, seleksi, dan penempatan.
Dengan demikian, pada setiap jenjang jabatan karyawan dapat bekerja sesuai dengan kompetensi
serta ditambah pencapaian akademiknya, sehingga membantu perusahaan mencapai kinerja yang
diharapkan.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam metode studi pustaka, sehingga membutuhkan penelitian
lanjutan di masa yang akan datang untuk mengidentifikasi indikator dalam pengunaan sertifikasi
kompetensi kerja sebagai prediktor perilaku skill match dalam praktik manajemen sumber daya
manusia. Keterbatasan lain dalam penelitian ini adalah keterbatasan data empirik mengenai
139
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pengelolaan dan dampak skill mismatch baik pada aras individu maupun perusahaan.
Saran
Saran untuk penelitian masa mendatang mengenai skill mismatch adalah dengan identifikasi
perilaku skill mismatch pada praktik manajemen sumber daya manusia yang dihubungkan dengan
kinerja karyawan yang mempunyai sertifikat kompetensi. Bagi sertifikasi kompetensi, penelitian
masa depan dapat diarahkan pada analisa dan pengujian atas manfaat dan kegunaannya bagi
perusahaan dan karyawan.
Saran praktis dalam kajian ini adalah memperluas informasi mengenai sertifikasi kompetensi
bagi perusahaan, lembaga pendidikan dan pelatihan hingga pada aras pemerintah daerah untuk
memberi dukungan terutama pada industri di sektor prioritas ASEAN. Dukungan dalam bentuk
informasi mengenai sertifikasi kompetensi yang dapat digunakan untuk mengurangi dampak skill
mismatch kepada perusahaan, lembaga pendidikan dan pelatihan hingga pemerintah daerah dapat
mendorong penguatan daya saing perusahaan dan memperbaiki daya saing Indonesia di kawasan
ekonomi tunggal ASEAN.
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, Katharine. 2015. Is Skill Mismatch Impeding U.S. Economic Recovery?. Journal website:
ilr.sagepub.com
Abdullah, Abdul Ghani Kanesan ; Keat, Sim Hock; Ismail, Aziah ; Abdullah, Mohamad Hanif ; Purba, Miduk.
2012. Mismatch between higher education and employment in Malaysian Electronic Industry : An
Analysis of the acquired and required competencies. International Journal of Engineering Education.
Volume 28 Issue 5 Tahun 2012
Berita Satu. 2016. Menaker pemerintah terus bangun SDM yang berkompeten.
http://www.beritasatu.com/ekonomi/394508-menaker-pemerintah-terus-bangun-sdm-yangberkompeten.html
Buchel, F. B. 2002. The Effects of Overeducation on Productivity in Germany V The Firms’ Viewpoint,
Economics of Education Review, 21.
CEDEFOP. 2012. Skill Mismatch : The Role of Enterprise. A Research Paper. Luxembourg:
Publications Office of the European Union, 2012
Catalano, Rob. 2015 The workforce crisis of 2030 – only 15 years away, diunduh pada Sep 8 2015
http://www.hrzone.com/community-voice/blogs/robcatalano/the-workforce-crisis-of-2030-only-15years-away
Dobbs, Richard and Madgavkar, Anu. 2014. The world at work: Matching skills and jobs in Asia. Published
online: 24 June 2014UNESCO IBE
Dorking CH, Lord Baker. 2014. Skill Mismatch. Edge Foundation 2014
Ernawati, Endang. 2014. “Sertifikasi Kompetensi Pustakawan : Manfaat dan Pengaruhnya terhadap Jenjang
Karir Pustakawan di Perpustakaan Perguruan Tinggi”. Seminar dan Workshop Pemanfaatan Bersama
E-Resources Sertifikasi Jabatan Fungsional Pustakawan dan Kompetensi Pustakawan Menghadapi
MEA 2016. Universitas Indonesia, Jakarta.
Erawan, Winarno, Susanto. 2014. Pemodelan Sistem Informasi Web Sertifikasi Kompetensi di Lembaga
Sertifikasi Profesi Menggunakan Metodologi Model-driven UWE (UML-based Web Engineering).
Penelitian Hibah Bersaing, Universitas Dian Nuswantoro Semarang.
Jonbekova, Dilrabo. 2015 University Graduates’ Skills Mismatches in Central Asia: Employers’ Perspectives
From Post-Soviet Tajikistan. University of Cambridge, European Education
140
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Florentine dan Prabowo, Sumbodo. 2014. Hubungan antara Skill Mismatch dengan stress kerja pada
karyawan PT X. Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
Guthrie, Hugh. 2009. Competence and Competency-based Training : What the literature says. National Centre
for Vocational Education Research, commonwealth of Australia.
Hakim, Muhamad. 2013. Strategi Pemberdayaan Angkatan Kerja & Mengurangi Pengangguran, Kompasiana
pada laman http://www.kompasiana.com/muhamadhakim/strategi-pemberdayaan-angkatan-kerjamengurangi-pengangguran_551fd661a33311b242b65a6f diunduh pada 4 November 2015
Hanafi, Ivan. 2012. Re – Orientasi Keterampilan Kerja Lulusan Pendidikan Kejuruan, Jurnal Pendidikan
Vokasi, Vol 2, Nomor 1, Februari 2012
Hapsari, Melati Indri. 2016. Pengkajian Program Kursus dan Pelatihan terkait dengan Jenis
Keterampilan,Sertifikasi dan Penempatan Lulusan. Journal of Nonformal Education
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jne
Hanushek, E. A., & Woessmann, L. 2014. The knowledge capital of nations. Book manuscript.
International Labor Organization. 2004. R195 - Human Resources Development Recommendation, 2004 (No.
195) Recommendation concerning Human Resources Development: Education, Training and
Lifelong Learning Adoption: Geneva, 92nd ILC session (17 Jun 2004) diunduh pada 22 Januari 2017
di
http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=NORMLEXPUB:12100:0::NO::P12100_ILO_CODE:R195
International Labor Organization. 2013. Skills mismatch in Europe. Statistics Brief, Geneva 2014 Diunduh
pada http://www.cedefop.europe.eu /EN/Files/9023_en.pdf 1 Agustus 2015.
International Labor Organization. 2015. Angkatan Kerja yang Terampil untuk Pertumbuhan yang
Kuat,Berkelanjutan dan Seimbang. Strategi Pelatihan G20. Copyright © International Labour
Organization 2015. Edisi Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama 2015
Iskandar dan Setiawan.2015. “Sertifikasi Kompetensi sebagai upaya perlindungan hukum bagi lulusan
perguruan tinggi pariwisata dalam menyambut MEA.” E-Journal STP Bandung BARISTA, Volume
2, Nomor 2, Desember 2015
Jung-Youn, Park. 2015. Skill mismatch worsens since 2009. Suitable employment rarer, even with excess
skilled labor positions. Artikel pada blog ditulis July 30,2015 diunduh pada 9 September 2015 di
http://koreajoongangdaily.joins.com/news/article/Article.aspx?aid=3007240
Kartika, T. H. 2015. “Kesiapan Indonesia Dalam Merealisasikan Integrasi Tenaga Kerja Terampil Pada
Masyarakat Ekonomi ASEAN Tahun 2015.” Jurnal Ilmiah Universitas Bakrie, 3(03).
Kartiwa, HA. 2006. “Urgensi Kompetensi dan Sertifikasi Keahlian dalam Pengelolaan Perguruan Tinggi.”
Makalah disampaikan dalam Temu Dekan Fakultas Ilmu Sosial Politik dan Ilmu Administrasi
Indonesia Tahun 2006 di Semarang.
Kompas. 2016. Puan: Tantangan Terberat Hadapi MEA adalah Daya Saing SDM. Selasa, 26 April 2016 |
diunduh pada 7 Januari 2016.
http://nasional.kompas.com/read/2016/04/26/12032561/Puan.Tantangan.Terberat.Hadapi.MEA.adalah
.Daya.Saing.SDM
LEI. 2013. Lembaga Ekolabel Indonesia. “SEKILAS MENGENAI SERTIFIKASI MANDATORY DAN
VOLUNTARY”. Diunduh di https://kongreslei2013.wordpress.com/2014/10/10/sekilas-mengenaisertifikasi-mandatory-dan-voluntary/ pada 6 Mei 2016.
Leoni dan Gritti. 2013. High Performance Work Practices and Educational Mismatch: Creation and
Destruction of Competencies. www.aiel.it/Old/bacheca/LUISS/papers/leoni_gritti.pdf
Modestino, Alicia Sasser. 2011.Mismatch in the Labor Market : The Supply of and Demand for “middle
skill” workers in New England. New England Journal of Higher Education.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). 2005. Definition and selection of key
competencies: Executive summary. Paris: OECD.
Pitman J. A., Bell E. J., Fyfe I. K. 1999. Competency-Based Assessment: New challenges for teachers. A paper
presented at the conference of the Australian Association for Research in Education, and the New
Zealand Association for Research in Education, Melbourne, November 1999
141
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Porter, Michael E. 2009. Improving Indonesia’s Competitiveness. Presentation to President Susilo Bambang
Yudhoyono, Harvard Business School, Boston, Massachusetts, September 28, 2009
Rigby, Mike and Sanchis,Enric. 2006 The Concept of Skill and it’s social construction, European Journal of
Vocational Training, No 37 – 2006/1
Rosidi, Imam. 2011. 5 Juta Tenaga Kerja Ditargetkan Miliki Sertifikasi.
http://economy.okezone.com/read/2011/08/19/320/494080/5-juta-tenaga-kerja-ditargetkan-milikisertifikasi 19 Agustus 2011, diunduh pada 6 Mei 2016.
Sala, Guillem. 2011 Approaches to Skills Mismatch in the Labour Market: A Literature Review. Facultad de
Ciencias Políticas y Sociología. Universidad Complutense de Madrid
Sumarna, Abdurrahman. 2015. Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Surono. 2012. Sistem Sertifikasi Profesi Nasional. Badan Nasional Sertifikasi Profesi.
Silitonga, Parlagutan. 2007. “Perbandingan Penerapan Sistem Sertifikasi Kompetensi di Indonesia dan
negara-negara lain” Panorama Nusantara Vo. 2. No.1/ Januari-Juni 2007
Sindonews.2013. BNSP Menuju Indonesia Kompeten. 19 Desember 2013 diunduh dari
http://ekbis.sindonews.com/read/818761/77/bnsp-menuju-indonesia-yang-kompeten-1387448809
pada 6 Mei 2016.
Sugiarto,Agus 2004. Mengapa Manajer Risiko Bank Harus Disertifikasi. Artikel dicetak oleh Kompas tanggal
17 April 2004. Peneliti Bank Senior, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia
World Bank. 2010. INDONESIA SKILLS REPORT Trends in Skills Demand, Gaps, and Supply in Indonesia.
Human Development Department East Asia and Pacific Region Report No. 54741-EAP
World Bank. 2010. Indonesia Jobs Report. Towards Better Jobs and Security for All.
World Competitiveness Report 2016-2017. 2016. World Economic Forum-Geneva, Copyright © 2016
ISBN-13: 978-1-944835-04-0
142
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
TRATEGI PENERAPAN TALENT MANAGEMENT
DALAM PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DI PUSAT
INOVASI LIPI
Mahardhika Berliandaldo
Pusat Inovasi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Abstract: In the current era of globalization, the development of science and information
technology encourages an organization to be able to analyze and anticipate any changes
in the business environment or climate by providing a response that responds quickly,
accurately, effectively, and efficiently. Each organization is required to develop a Human
Resources (HR) is a reliable and qualified in the operations of the organization. HR is a
strategic factor in all activities of the organization that serves as a determinant of the
direction of policy and organizational performance in achieving the desired objectives.
Without strong and reliable human resources, an organization can not operate optimally;
HR is the main driving wheel business organization. Available human resources need to
be managed optimally so that the company can move forward in the competitive global
business. Competition between organizations is a fundamental issue to consider in
sustaining the life cycle of the company itself. Faced with these issues, companies need to
recognize that HR is an important factor to be managed optimally. For that companies
need to develop talent management in the organizational processes towards improving the
human resource development organization that is effective, efficient, resilient and
competitive.
Center for Innovation in this regard, continues to develop competencies related to the
increase of its human resources in order to compete globally. In improving the competence
of the human resources, human resources development pattern that is applied is the talent
management approach. The approach used to develop the human resources that have high
talent so as to improve overall organizational performance. Thus, in the management of
human resources, Center for Innovation to develop a model of talent management with the
preparation of Talent Strategy which includes Organization Plan, Talent Implication,
Growth Talent, and Outcomes. With the talent management models, the results obtained
show that the Innovation Center LIPI able to align talent management strategies with
organizational planning that has been determined. Preparation of the model used in the
implementation of activities and programs in order to be effective and sustainable.
Keywords: Talent Management, human Resource development
Abstrak: Pada era globalisasi saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
informasi mendorong sebuah organisasi untuk mampu menganalisis dan mengantispasi
setiap perubahan lingkungan atau iklim bisnis dengan memberikan respon yang tanggap
secara cepat, tepat, efektif, dan efisien. Setiap organisasi dituntut untuk dapat
mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal dan berkualitas dalam
melakukan kegiatan operasional organisasi. SDM merupakan faktor strategis dalam semua
kegiatan organisasi yang berfungsi sebagai penentu arah kebijakan dan kinerja organisasi
dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Tanpa adanya SDM yang kuat dan handal, suatu
organisasi tidak dapat beroperasi secara optimal, SDM adalah yang menjadi penggerak
utama roda bisnis organisasi. SDM yang tersedia ini perlu dikelola secara optimal agar
143
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
perusahaan dapat terus maju di tengah persaingan bisnis global. Persaingan antar organisasi
merupakan isu yang mendasar untuk dipertimbangkan dalam mempertahan siklus hidup
perusahaan itu sendiri. Menghadapi isu tersebut, perusahaan harus menyadari bahwa SDM
adalah faktor yang penting untuk dikelola secara maksimal. Untuk itu perusahaan perlu
melakukan pengembangan talent management dalam proses organisasional munuju
peningkatan pengembangan SDM organisasi yang efektif, efisien, tangguh dan kompetitif.
Pusat Inovasi LIPI dalam hal ini, terus melakukan pengembangan terkait peningkatan
kompetensi SDM yang dimilikinya agar mampu bersaing secara global. Dalam
peningkatan kompetensi SDM tersebut, pola pengembangan SDM yang diterapkan adalah
dengan pendekatan talent management. Pendekatan tersebut digunakan untuk
mengembangan SDM yang memiliki talenta tinggi sehingga dapat meningkatkan kinerja
organisasi secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam pengelolaan SDMnya, Pusat
Inovasi LIPI mengembangankan model talent management dengan penyusunan Talent
Strategy yang meliputi Organization Plan, Talent Implication, Growth Talent, dan
Outcomes. Dengan adanya talent management model, hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa Pusat Inovasi LIPI mampu menyelaraskan strategi manajemen talenta dengan
perencanaan organisasi yang telah ditentukan. Penyusunan model tersebut digunakan
dalam pelaksanaan kegiatan dan program – program agar dapat berjalan secara efektif dan
berkelanjutan.
Kata Kunci: Talent Management, Pengembangan SDM
PENDAHULUAN
Era globalisasi menyebabkan lingkungan bisnis berubah sangat cepat dan dinamis. Hal
tersebut akan menuntut Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten dan memiliki keterampilan
tinggi dalam menjalankan roda bisnis organisasi agar mampu bersaing dalam dinamika perubahan
iklim bisnis tersebut. Selain itu, untuk memberikan respon yang tanggap secara cepat, tepat, efektif,
dan efisien, setiap organisasi dituntut untuk memiliki SDM yang handal dan berkualitas agar dapat
bersaing dalam kompetisi global yang semakin tinggi. Keterlibatan SDM dalam menentukan
keunggulan dalam proses perubahan organisasi sangatlah penting, karena SDM merupakan subyek
utama yang akan melaksanakan proses perubahan tersebut. Untuk melaksanakan proses perubahan
tersebut dapat dilakukan melalui inovasi-inovasi dalam mencapai keunggulan bersaing, karena SDM
yang handal dan kompeten sangat diperlukan dalam lingkungan yang kompetitif dan berguna bagi
peningkatan kinerja organisasi pada umumnya.
Salah satu strategi dalam melaksanakan peningkatan kinerja organisasi adalah dengan
menerapkan Talent Management. Strategi tersebut dikembangkan dalam hal berkaitan dengan
mencari orang yang tepat dengan keterampilan dan kompetensi yang tepat untuk posisi yang tepat.
Organisasi yang mempunyai SDM dengan talenta yang sesuai dengan kebutuhan organisasi akan
mendorong organisasi lebih kompetitif dan berdaya saing. Dengan semakin besarnya kesadaran
organisasi-organisasi saat ini akan talenta tersebut, maka mereka akan bersaing untuk mendapatkan
pegawai yang bertalenta tinggi, baik dengan cara melakukan pengembangan berupa pendidikan dan
pelatihan maupun secara kaderisasi dan recruitment. Kekurangan orang-orang yang bertalenta
merupakan hal serius bagi pertumbuhan organisasi di masa depan. Untuk dapat berkompetisi dalam
persaingan, perusahan melakukan proses manajemen talenta yang meliputi mengidentifikasi,
mengembangkan, mempertahankan, dan menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat
(Ridha,et.al.,2016).
144
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Penerapan strategi talent management itu sendiri dapat diterapkan di Pusat Inovasi LIPI untuk
mendapatkan personil yang memiliki talenta dan kompetensi yang handal. Pusat Inovasi LIPI
melakukan sistem rekrutmen dan seleksi yang cukup ketat dalam memperoleh talenta-talenta yang
diperlukan, sampai dengan proses manajemen karir yang baik sesuai dengan kompetensi yang
dimilikinya. Sementara itu, dalam melakukan pengembangan lebih lanjut, personil yang memiliki
talenta baik maupun yang masih kurang akan terus dilakukan proses pengembangan melalui berbagai
mekanisme pendidikan dan pelatihan agar dapat berinovasi dan memiliki kreatifitas lebih dalam
pencapaian kinerjanya. Dengan meningkatnya kinerja personil atau pegawai Pusat Inovasi LIPI,
maka secara bersamaan pula akan meningkat kinerja organisasinya. Oleh karena itu, sangatlah
penting penerapan strategi talent management ini yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja
organisasi secara menyeluruh.
TINJAUAN PUSTAKA
1. TALENT
Menurut Fitzgerald (2014), talent telah didefinisikan sebagai ‘orang-orang yang dapat
membuat perbedaan untuk kinerja organisasi, baik melalui kontribusi langsung atau, dalam waktu
jangka panjang dengan menunjukkan tingkat tertinggi potensialnya. Strategi bakat dan
pelaksanaannya akan cukup bervariasi, tergantung pada apa definisi yang dipilih. Salah satu yang
berlaku untuk personil di bagian atas organisasi dan personil yang didefinisikan sebagai potensi tinggi
akan sangat berbeda dengan satu dan lainnya, di mana semua personil dianggap sebagai bakat terlepas
dari peran atau tingkat organisasinya. Terdapat implikasi dalam pengembangan individu, peningkatan
kinerja, perencanaan tenaga kerja dan perencanaan suksesi.
Gambar 1. The Talent Formula (Fitzgerald (2014:8)
Berdasarkan kedua definisi tersebut, bakat ditandai dengan keterampilan dan kontribusi
individu, dan bagaimana individu tersebut berhubungan dengan pencapaian tujuan organisasi.
Sementara itu, hal ini mungkin menjadi kerangka kerja yang akan menjadi permasalahan yang tampak
mudah untuk menentukan bakat, tetapi, pada kenyataannya bisa berbeda. Pengalaman unik dari setiap
organisasi juga akan mempengaruhi bagaimana bakat dapat didefinisikan. Bukti lebih lanjut dari
perbedaan pandangan tentang definisi bakat adalah menurut McKinsey (2009), yang menentang
konsepsi ‘War of Talent’ pandangan dari abad ke-20 akhir, yaitu menyatakan bahwa terdapat
beberapa varian bagaimana bakat didefinisikan. Masing-masing memiliki implikasi terhadap fokus,
alokasi sumber daya, dan manajemen yang bermuara pada definisinya, yaitu:
145
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
Definisi pertama adalah asumsi bahwa setiap orang dalam organisasi harus dianggap sebagai
bakat. Opsi ini menyediakan untuk pengaruh potensi penuh dari personil secara terbalik dari
inklusivitas dan tidak ada diskriminasi. Terdapat kompleksitas dalam pandangan ini yang
didasarkan pada banyaknya personil yang mungkin termasuk dalam proses organisasinal bisnis.
Kompleksitas lainnya adalah dalam proses manajemen dan masalah biaya-biaya;
Definisi kedua adalah strukturisasi bakat personil di berbagai jalur karir dan tingkatan. Definisi
dalam manajemen bakat ini dioperasionalkan dalam proses segmentasi personil dan pentargetan
setiap segmen dengan berbagai strategi dan praktek;
Definisi ketiga adalah menempatkan talenta terbaik sebagai manajemen puncak, potensi tinggi
dan spesialis di semua tingkatan. Identifikasi awal bakat merupakan karakteristik dari pendekatan
ini. Hal ini bisa dilihat sebagai pendekatan eksklusif dan memiliki filosofi yang sama dengan
definisi keempat, yaitu mereka (personil) yang berpotensi tinggi independen dari tingkat hirarki;
Definisi keempat lebih inklusif, yaitu, talenta disebut dengan potensi tinggi sebagai bagian dari
organisasi di mana pun mereka duduk dalam organisasi dalam berbagai tingkatannya.
2. TALENT MANAGEMENT
Menurut Pella dan Afifah (2011): “Manajemen talenta adalah suatu proses untuk memastikan
posisi kunci suatu perusahaan untuk terisi oleh pemimpin masa depan (future leaders) dan posisi yang
mendukung kompetensi inti perusahaan (unique skill and high strategic value)”. Praktek manajemen
talenta dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang paling permanen, sedangkan teknologi baru
dan inovasi dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing dan menghasilkan keunggulan kompetitif yang
bersifat sementara. Keunggulan kompetitif yang berasal dari praktek manajemen talenta adalah
bagaimana organisasi dapat menarik, mengembangkan, mempertahankan, memotivasi, mengelola,
dan penghargaan talentanya (Rita, 2013).
Manajemen talenta memiliki manfaat bagi perusahaan, seperti perusahaan akan mendapatkan
personil yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik, personil yang
bertalenta tersebut dapat dikembangkan untuk menerima tanggungjawab yang lebih luas dan lebih
besar serta pengangkatan dan pemilihan personil bertalenta tersebut dapat diambil dari sumber
internal. Terdapat 6 (enam) perspektif strategis yang diidentifikasi dalam membentuk organisasi
dengan pendekatan manajemen talenta (Haghparast et.al. 2012):
a. Perspektif Kompetitif (The Competitive Perspective);
Perspektif ini memandang bahwa manajemen talenta harus mengidentifikasi orang-orang
berbakat serta memberikan apa yang mereka inginkan, jika tidak mereka akan diburu oleh para
pesaing;
b. Perspektif Proses (The Process Perspective);
Perspektif ini memandang bahwa manajemen talenta harus terdiri dari semua proses yang
dibutuhkan untuk mengoptimalisasi individu pada suatu organisasi. Perusahaan harus
menggunakan suatu sistem atau proses yang memungkinkan individu bertalenta untuk menggali
kesuksesan karir pada perusahaan mereka. Menciptakan dan memelihara talenta merupakan suatu
tugas yang dilaksankan organisasi setiap hari. Hal ini berfokus pada proses yang mengoptimalkan
kinerja karyawan dan keyakinan bahwa masa depan didasarkan dengan memiliki bakat yang tepat.
c. Perspektif Perencanaan SDM (The HR Planning Perspective);
146
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Perspektif ini mirip dengan perspektif proses, tetapi mencerminkan orientasi SDM untuk
mencocokan orang yang tepat untuk pekerjaan yang tepat pada waktu yang tepat dan melakukan
hal yang benar.
d. Perspektif Pengembangan (The Developmental Perspective);
Perspektif ini berfokus pada pengembangan potensi SDM yang tinggi maupun bakat yang lebih
cepat dari pada SDM lainnya.
e. Perspektif Budaya (The Culture Perspective)
Perspektif ini memandang bahwa setiap individu akan sukses jika mereka memiliki talenta yang
cukup dan kesuksesan bisnis akan mengikuti kesuksesasan-kesuksesan mereka. Persepektif ini
menganggap manajemen bakat adalah sebuah pola pikir dan percaya bakat atas apa yang
diperlukan.
f. Perspektif Manajemen Perubahan (The Change Management Perspective);
Perspektif ini melihat bahwa manajemen talenta dipandang sebagai pendorong perubahan dan
dapat menjadi bagian dari inisiatif strategis SDM yang lebih luas untuk perubahan organisasi,
mungkin karena perubahan kepemilikan atau bentuk baru reformasi organisasi, terutama
organisasi pemerintahan.
Menurut Wellins et al., (2010), komponen kunci dari proses manajemen talenta yang sangat
efektif meliputi:
a. Pemahaman yang jelas tentang strategi bisnis organisasi saat ini dan masa depan;
b. Identifikasi kesenjangan utama antara talenta yang ada dan talenta yang diperlukan untuk
mendorong kesuksesan bisnis organisasi;
c. Perencanaan manajemen talenta yang dirancang untuk menutup kesenjangan talenta. Hal ini juga
harus terintegrasi dengan rencana strategis dan bisnis organisasi;
d. Perekrutan yang akurat dan keputusan promosi jabatan berbasis talenta;
e. Hubungan individu dan tim sukses untuk pencapaian tujuan organisasi, dan memberikan harapan
yang jelas dan umpan balik untuk mengelola kinerja;
f. Pengembangan talenta untuk meningkatkan kinerja dalam posisi saat ini serta kesiapan transisi
ke tingkat berikutnya;
g. Fokus tidak hanya pada strategi talenta itu sendiri, namun unsur yang diperlukan untuk
keberhasilan pelaksanaan;
h. Dampak bisnis dan pengukuran efektivitas tenaga kerja selama dan setelah pelaksanaan
manajemen talenta.
METODE PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun penerapan strategi manajemen talenta yang
digunakan dalam peningkatan kinerja organisasi Pusat Inovasi LIPI. Selain itu, strategi manajemen
147
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
talenta ini dapat dimanfaatkan personil/pegawai dalam meningkatkan kinerjanya secara individu.
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pendekatan kualitatif berbasis model
Talent management Strategy Frameworks. Pendekatan tersebut digunakan untuk menyusun strategi
pengembangan SDM yang memiliki talenta tinggi, sehingga dapat meningkatkan kinerja organisasi
secara menyeluruh. Sumber data dalam kajian ini digali dengan metode wawancara mendalam dan
Forum Group Discussion (FGD) pada informan kunci yang memahami dengan baik pada persoalan
yang dikaji. Wawancara mendalam dan FGD difokuskan pada pada aspek-aspek medel manajemen
talenta dalam penyusunan Talent Strategy terkait dengan karakteristik organisasional di Pusat Inovasi
LIPI, yang meliputi Business Landscape, Talent Implication, Growth Engine, dan Outcomes.
Diharapkan dalam kajian ini akan ditemukan model manajemen talenta terbaik yang dapat diterapkan
pada organisasi dan mampu meningkatkan kinerja personil maupun organisasi secara menyeluruh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. HASIL
Dalam kajian ini diperoleh hasil talent management model yang dapat digunakan di Pusat
Inovasi LIPI. Model tersebut digunakan untuk penyusunan strategi dalam proses pengembangan
SDM yang pada akhirnya berujung pada peningkatan kinerja pada organisasi. Model yang disusun
ini merupakan modifikasi dari model yang dikembangkan oleh Wellins et.al. (2010:10). Modifikasi
ini dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan kondisi dan lingkungan bisnis yang terdapat di Pusat
Inovasi LIPI. Modifikasi digunakan untuk dapat menjelaskan terkait hasil-hasil yang diperoleh dalam
pengembangan SDM untuk mencapai Kinerja Organisasi secara keseluruhan. Berikut adalah Talent
Management Model di Pusat Inovasi LIPI (Gambar 1).
Gambar 1. Talent Management Model di Pusat Inovasi LIPI
Sumber: Modifikasi dari Model Wellins et al., (2010:10)
2. PEMBAHASAN
Berdasarkan Gambar 1 di atas, talent strategy yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan
kinerja organisasi dan kinerja pegawai. Peningkatan kinerja organisasi tersebut dapat disebabkan oleh
148
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
adanya pengembangan manajemen talenta yang dapat dilakukan di Pusat Inovasi LIPI. Dengan
adanya pertumbuhan talenta, kompetensi dan keterampilan dari masing-masing pegawai dapat
meningkat seiring dengan pelaksanaan manajemen talenta. Penerapan talent management model ini
sangat berguna untuk menjalankan roda bisnis organisasi di Pusat Inovasi LIPI dalam menghadapi
persaingan secara global.
Perencaaan Organisasi (Organization Planning)
Untuk menjalankan organisasi agar dapat berlangsung sesuai dengan tujuannya, perencanaan
kerja sangatlah penting untuk dilakukan. Perencanaan kerja organisasi ini dilakukan berdasarkan
skala prioritas nasional dan skala prioritas LIPI. Dalam skala prioritas nasional, satuan kerja diminta
untuk menyusun perencanaan program/kegiatan berdasarkan Pembangunan wilayah, ketahanan
pangan, dan ketahanan energi. Ketiga prioritas tersebut sangatlah penting dalam meningkatkan daya
saing satuan kerja di LIPI termasuk Pusat Inovasi LIPI. Oleh karena itu, program yang dilaksanakan
diwajibkan untuk berkesinambungan terhadap salah satu dari ketiga program prioritas nasional yang
telah dicanangkan dan sesuai dengan koridor LIPI.
Selain itu, perencanaan organisasi perlu juga diselaraskan dengan program prioritas LIPI yang
telah ditentukan. Program prioritas LIPI terdiri dari Sektor Maritim, Kesehatan dan Obat, Lingkungan
dan Kebencanaan, Polhukam, Biodiversity, serta dunia usaha dan pariwisata. Untuk selanjutnya,
setiap pengusulan program maupun kegiatan diwajibkan selaras dengan program prioritas nasional
dan program prioritas LIPI, termasuk didalamnya pengelolaan SDMnya.
Gambar 2. Perencanaan Organisasi menuju Outcomes
Dalam pengembangan talent strategy, personel/pegawai yang terlibat dalam programprogram tersebut, perlu disesuaikan dengan kompetensinya. Jika dalam satuan unit kerja tidak
memiliki talenta yang sesuai dengan program tersebut, maka dapat dilakukan upaya melalui proses
pengembangan SDM untuk dapat meningkat kompetensinya. Sehingga dimasa yang akan datang,
penyesuaian rencana kerja, dapat rancang dan disusun dengan kesesuaian SDM yang memiliki
talenta-talenta yang bagus dan sesuai dalam menjalankan program kerja yang telah direncanakan.
Saat ini bagaimana memikirkan organization planning yang dapat berdampak pada outcomes
suatu organisasi. Dengan talent strategy ini, outcomes yang dihasilkan tidak hanya pada pegawai
yang bersangkutan, akan tetapi berdampak langsung pada kinerja organisasi secara keseluruhan.
Dengan meningkatnya kinerja pada pegawai, maka secara tidak langsung akan berdampak pada
kinerja organisasi itu sendiri, dan salah satu program Pusat Inovasi LIPI yang memiliki dampak
nasional adalah Pengembangan Science & Technology Park.
149
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Science & Technology Park atau yang sering disingkat STP ini adalah suatu program yang
telah dikembangkan mulai tahun 2015 sampai dengan saat ini. Pengembangan ini merupakan salah
satu perencanaan pengembangan kawasan berbudaya ilmu pengetahuan dan teknologi. Kawasan yang
berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) ini membutuhkan personil-personil yang memiliki
talenta dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Jika personil tersebut kurang mumpuni
dalam menangani suatu pekerjaan tertentu, maka diharuskan untuk mengikuti pola pengembangan
SDM agar dapat berdaya saing sesuai dengan talenta dan kompetensinya.
Talent Implication
Seiring dengan telah disusunnya rencana kerja yang berhubungan dengan program prioritas nasional
dan program prioritas LIPI, maka perlu dilihat implikasi terhadap ketersediaan talenta yang ada.
Apakah ketersediaan talenta yang dimiliki dapat memenuhi kriteria yang diinginkan atau tidak. Jika
telah memenuhi, maka perlu dilakukan suatu koordinasi yang tidak terlalu lama dalam melaksanakan
suatu program. Sementara itu, perlu untuk dilakukan suatu pengembangan manajemen talenta dan
evaluasi agar kompetensi yang dimiliki dapat sesuai dengan arah dan tujuan program tersebut,
sehingga akan berdampak baik terhadap perkembangan organisasi secara keseluruhan.
Gambar 3. Talent Implication
Berdasarkan gambar 3 di atas, dapat dilakukan penyusunan terkait tren dari personil/pegawai Pusat
Inovasi LIPI, dengan membuat suatu database terkait SDM yang dimiliki. Terkait database tersebut,
dapat dilakukan pengelompokan-pengelompokan terkait ketersediaaan SDM yang dimiliki. Dalam
pengelompokan SDM tersebut, perlu ditambahkan terkait kompetensi yang dimiliki masing-masing
personil/pegawai dan bagaimana histori dari kualitas pegawai tersebut agar dapat disusun secara baik
terkait talenta-talenta yang dimiliki oleh Pusat Inovasi LIPI.
Perlu diketahui kekuatan dan kelemahan dari masing-masing pegawai agar dapat dengan mudah
diketahui untuk dilakukan proses pengembangan SDM yang bersangkutan. Dengan adanya peta
kekuatan dan kelemahan tersebut, munculah masalah Capacity Gap. Kesenjangan kapasitas SDM
tersebut, perlu untuk dilakukan analisis lebih lanjut sehingga setiap pegawai memiliki kompetensi
yang sepadan di masa yang akan datang. Kesenjangan masa depan harus menjadi bagian dari rencana
hari ini yang telah disesuaikan perencanaan organisasi. Kekurangan talenta yang dimiliki ini akan
mempengaruhi keunggulan kompetitif dari organisasi yang bersangkutan.
150
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Setelah dapat ketahui terkait database pengelolaan SDM Pusat Inovasi LIPI, maka akan dapat
dilakukan proyeksi lebih lanjut di masa yang akan dating. Proyeksi tersebut harus terkait dengan
perencanaan organisasi yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerja organisasi yang sudah ada
sebelumnya. Untuk lebih lanjut, pola pengembangan SDM ini dapat dilakukan dengan
pengembangan manajemen talenta agar dapat memiliki daya saing lebih terhadap kompetitor dan
memiliki Competitive Advantage dari masing-masing personil/pegawai yang ada Pusat Inovasi LIPI.
Menurut Jackson (2010) dalam Adi (2015) mengungkapkan hubungan antara human capital (talent)
dan competitive advantages, sebagai berikut: Talenta yang tepat adalah batu bangunan fundamental
yang datang untuk menciptakan sebuah organisasi yang mampu berinovasi dan berubah serta
menggunakan hal tersebut sebagai sumber keunggulan kompetitif (competitive advantages). Mencari,
memperoleh dan mempertahankan talenta yang tepat merupakan hal yang diperlukan, tetapi belum
cukup untuk membuat sebuah organisasi tumbuh dan berkembang dengan keunggulan kompetitif
yang berkelanjutan. Dalam mencapai hal tersebut, sebuah organisasi harus memikirkan struktur yang
tepat, sistem, proses, dan praktik yang baik. Secara umum, organisasi memiliki personil yang unggul,
hanya saja kebanyakan organisasi tidak/belum mampu mengelola atau mendukung personil tersebut
dengan baik dan benar.
Pertumbuhan Talenta (Growth Talent)
Praktek Talent Management dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang paling permanen,
sementara itu, teknologi baru dan inovasi dapat dengan mudah ditiru oleh pesaing dan menghasilkan
keunggulan kompetitif yang bersifat sementara. Keunggulan kompetitif yang berkelanjutan berasal
dari praktek Talent Management, dengan kata lain, bagaimana organisasi dapat menarik,
mengembangkan, mempertahankan, memotivasi, mengelola, dan penghargaan talentanya (Rita,
2013). Menurut (Dessler 2013); “Talent Management as the goal-oriented and integrated process of
planning, recruiting, developing, managing and compensating employees”. Manajemen talenta
sebagai suatu proses yang berorientasi tujuan dan teritegrasi pada perencanaan, rekrutmen,
pengembangan, pengelolaan dan pemberian kompensasi personil/pegawai. Manajemen talenta juga
berarti bagaimana organisasi/perusahaan mampu mengelola sumber dayanya mulai dari proses
rekrutmen, penempatan pegawai, penilaian kinerja, pelatihan dan pengembangan karir, sampai
personil/pegawai meninggalkan personil/perusahaan, dan pada akhirnya tujuan-tujuan perusahaan
dapat tercapai.
Organisasi yang mempunyai karyawan dengan talenta yang sesuai dengan kebutuhan
organisasi/perusahaan akan membuat organisasi lebih kompetitif dan berdaya saing. Dengan semakin
besarnya kesadaran organisasi/perusahaan-perusahaan akan talenta tersebut, maka mereka bersaing
untuk mendapatkan karyawan yang bertalenta tinggi, baik dengan cara mencari dari luar maupun dari
pelatihan dan kaderisasi. Kekurangan talenta merupakan hal serius bagi pertumbuhan organisasi di
masa depan. Untuk dapat berkompetisi dalam persaingan, organisasi/perusahan melakukan proses
manajemen talenta yang meliputi mengidentifikasi, mengembangkan, mempertahankan, dan
menempatkan orang yang tepat di tempat yang tepat (Ridha,et.al.,2016).
151
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Gambar 4. Pola Pengembangan Talenta
Menurut Mangusho et al., (2015) dan Rita (2013) konsep pengembangan Manajemen Talenta
yaitu sebagai berikut:
1) Talent Attraction
Komponen dari menarik talenta ini adalah dengan cara rekruitmen dan seleksi, employer
branding, employee value proposition dan employer of choice (Armstrong, 2006). Proses
rekrutmen dan seleksi ini mengharuskan untuk menggunakan metode dan teknik-teknik khusus
terkait pemilihan talenta yang dibutuhkan yang sesuai dengan budaya dan nilai dari organisasi.
Selain itu, proses ini juga disesuaikan dengan perencanaan organisasi dalam jangka panjang.
Seumber-sumber talenta dapat diperoleh dari internal organisasi ataupun eksternal organisasi.
Talenta-talenta yang dipilih secara internal tersebut dapat dijadikan calon pemimpin dimasa yang
akan datang dengan menyesuaikan kompetensi dan keterampilan yang dimiliki. Para talenta
tersebut dapat langsung mengetahui proses bisnis pekerjaan, sehingga dapat beraktifitas kedalam
posisi baru tersebut dan dapat memberikan kinerja yang diinginkan. Dengan proses internal
tersebut, maka dibutuhkan waktu yang cukup untuk dapat memberikan dampak positif bagi
organisasi. Namun demikiam, jika organisasi ingin memperkenalkan perubahan radikal atau
untuk memperbaharui budaya atau kinerja, maka talenta yang berasal dari sumber eksternal
adalah pilihan yang terbaik (Ballesteros et al, 2010). Akan tetapi, sumber yang berasal dari
eksternal tidak juga akan memberikan jaminan keberhasilan organisasi yang cepat, karena pada
umumnya talenta-talenta ekternal tersebut berasal dari iklim dan budaya yang berbeda dari
organisasi tersebut.
Selain dengan proses rekrutmen dan seleksi maupun employer branding juga hal yang
diperlukan untuk mengembangkan citra organisasi, sehingga hal tersebut merupakan strategi yang
menarik dalam memperoleh pegawai yang bertalenta tinggi. Tanpa citra organisasi yang baik,
sulit untuk menarik bakat yang tepat (Ana, 2009). Perlu dipahami juga bahwa, pegawai juga dapat
menilai proposisi talenta mereka berdasarkan tantangan yang dimiliki dalam pekerjaan tersebut,
lingkungan kerja, kesempatan pelatihan, fleksibilitas dan reputasi organisasi (Oehley, 2007).
152
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Internal
Organisasi
Rekrutmen,
Citra Organisasi,
Talenta Memilih
Kinerja
External
Organisasi
Gambar 5. Proses Talent Attraction
2) Learning and Development
Davis et al., (2007) mencatat bahwa perekrutan dan pengembangan staf berbakat adalah sangat
penting untuk keberhasilan tujuan bisnis. Orang-orang di Aid (2013) lebih lanjut menekankan
perlunya pembelajaran dan pengembangan dengan mengatakan bahwa organisasi yang beroperasi
di lingkungan yang cepat berubah diperlukan untuk beradaptasi agar tetap di garis depan.
Kegunaan pembelajaran dan pengembangan diakui dalam keadaan ini karena tinggal di garis
depan berarti organisasi memperoleh teknik-teknik baru dan keterampilan.
Pengembangan bakat adalah proses mengubah suatu organisasi, karyawan, stakeholder,
dan kelompok orang di dalamnya, baik dengan menggunakan pembelajaran terencana dan tidak
terencana, dalam rangka mencapai dan mempertahankan keunggulan kompetitif bagi organisasi
(Davis et al, 2007). Sebagai organisasi yang selalu menerapkan teknologi baru, model
pertumbuhan bisnis baru, dan strategi pasar baru, membutuhkan tenaga kerja yang kemampuan
dan kompetensinya meningkat secara konstan dan terus menerus. Berikut ini adalah contoh
pengembangan untuk setiap kategori dalam pembangunan talenta.
153
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Gambar 6. Learning & Development
Sumber: Ratri (2015:200)
Organisasi harus memahami proses pembelajaran dan pengembangan yang efektif pada
personil/pegawai mereka. Organisasi harus mampu mengidentifikasi personil/karyawan yang
perlu mendapatkan pembelajaran dan pengembangan, serta tingkat pembelajaran dan
pengembangan yang mereka butuhkan dan durasi selama pembelajaran berlangsung (Harburg,
2003). Dengan membangun budaya pengembangan personil tersebut, maka peningkatan
kompetensi pada tenaga kerja menjadi sangat penting agar berdampak positif bagi perkembangan
kinerja secara organisasi. Semakin terus dilakukannya proses pengembangan pegawai, maka
dapat diperoleh personil-personil yang bertalenta tinggi, sehingga dapat menyelesaikan
permasalahan yang ada serta meningkatkan kinerja organisasi secara menyeluruh. Untuk itu,
perlu dilakukannya learning and development need analysis sebelum dilakukannya
pengembangan kompetensi SDM. Setelah pemetaan talenta dilakukan, organisasi akan
mengetahui bakat dan potensi kinerja setiap personil/karyawan sebagai dasar untuk mengetahui
pola pembangunan dan pembelajaran. Analisis ini adalah untuk meningkatkan produktivitas
dalam rangka menciptakan personil/karyawan yang akan masuk ke dalam kategori "Bintang" atau
“Super Talent”. Terdapat beberapa program pengembangan dan pembelajaran seperti pengayaan
pekerjaan, pembesaran pekerjaan, tugas khusus, mentoring, coaching, conceling, on-the-job
training, rotasi pekerjaan, dan lain sebaginya.
154
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
3) Talent Retention
Retensi Talenta bertujuan untuk mengambil langkah-langkah untuk mendorong karyawan untuk
tetap dalam organisasi dalam periode waktu maksimum. Vaiman et.al. (2008) mendefinisikan dua
klasifikasi alat retensi untuk mencukupi harapan karyawan: insentif ekstrinsik dan intrinsik.
Insentif ekstrinsik meliputi berbagai macam hadiah uang yang dapat memenuhi kebutuhan
fisiologis, sementara insentif intrinsik merujuk imbalan non-moneter yang dapat memenuhi
karyawan karyawan kebutuhan psikologis. Paket kompensasi yang baik adalah penting dalam
mempertahankan karyawan, seperti halnya penawaran yang menarik berupa paket manfaat
kompetitif dengan komponen seperti asuransi jiwa, asuransi cacat dan jam kerja yang fleksibel
dalam memotivasi karyawan untuk berkomitmen dalam sebuah organisasi.
Program manajemen talenta menawarkan kepada setiap organisasi tentang cara yang telah
terbukti dan praktis untuk secara signifikan meningkatkan kepuasan karyawan dan retensi untuk
mengurangi turnover dan biaya-biaya terkait. Selanjutnya karyawan dapat lebih produktif
memberikan tingkat tinggi layanan kepada pelanggan dan membantu untuk memberikan hasil
bisnis yang kuat secara keseluruhan. Sebuah deskripsi pekerjaan up-to-date adalah salah satu cara
terbaik untuk berkomunikasi terkait tanggung jawab pekerjaan karyawan baru, ruang lingkup
pengambilan keputusan dan luasnya kewenangan. Deskripsi pekerjaan yang menangkap budaya
dan nilai-nilai organisasi dapat membantu manajemen menarik dan mempertahankan jenis
karyawan yang diinginkan.
Setiap karyawan harus diberi tujuan individu yang secara langsung terkait dengan tujuan
organisasi tingkat yang lebih tinggi. Seringkali organisasi gagal untuk menetapkan tujuan yang
terhubung ke tujuan-tujuan organisasi, atau tidak menetapkan tujuan sama sekali. Karyawan yang
tidak memiliki arah yang jelas tidak dapat dengan mudah terhubung dengan pekerjaan yang
mereka lakukan untuk keberhasilan organisasi. Menghubungkan tujuan karyawan dengan tujuan
perusahaan secara keseluruhan membantu untuk menetapkan kinerja dan memberikan karyawan
dengan konteks yang sangat penting untuk pekerjaan mereka. Menghubungkan tujuan masingmasing untuk tujuan perusahaan membantu karyawan memahami bagaimana mereka bekerja
sehari-hari memberikan kontribusi untuk keberhasilan organisasi. Hal ini membantu karyawan
untuk memahami nilai mereka kepada organisasi, menjaga mereka terlibat dan termotivasi, yang
pada gilirannya berdampak pada keterlibatan karyawan dan retensi (Trevor, et al, 2003).
4) Career Management
Manajemen karir adalah proses di mana karyawan melibatkan diri dalam mengidentifikasi tujuan
karir, mengembangkan keterampilan dan kekuatan dan mengidentifikasi kelemahan untuk
mencapai tujuan karir. Kekurangan karyawan dapat disebabkan oleh perencanaan karir yang
buruk dan komitmen karyawan lebih rendah terhadap tujuan karir.
Ada beberapa elemen dari manajemen karir termasuk pengembangan karir dan
perencanaan yang berfokus pada perencanaan pertumbuhan dan perkembangan karyawan;
keterlibatan penjaluran karir dari pekerjaan tertentu yang memungkinkan karyawan memiliki visi
perkembangan serta tujuan dan harapan; pengembangan karyawan yang terdiri dari program dan
inisiatif; pembelajaran dan pengembangan inisiatif; manajemen pembinaan; sistem penghargaan
kompetitif; pusat karir; perencanaan suksesi; kinerja manajemen / umpan balik; dan program
pembangunan lintas-fungsional (Allen, 2005). Manajemen karir terdiri dari dau kegiatan yaitu
kegiatan formal dan informal termasuk lokakarya karyawan, rotasi kerja, Pengayaan pekerjaan,
dan tangga karir, misalnya program organisatoris direncanakan atau teori terkait tahap
perkembangan. Organisasi juga dapat berkontribusi untuk identitas karir dengan memberikan
peluang untuk pengembangan diri, peluang untuk kemajuan (Dargham, 2013). Sturgeins et.al.
155
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
(2002) mengamati bahwa manajemen karir organisasi meningkatkan komitmen karyawan dan
kinerja organisasi. Manajemen karir dapat dilihat sebagai salah satu bentuk dukungan organisasi
yang dirasakan terhadap pola pengembangan karyawan.
Kraimer et al. (2003) mempelajari hubungan antara manajemen karir organisasi dan dukungan
karir dirasakan. praktek manajemen karir organisasi meliputi; penilaian kinerja sebagai dasar
perencanaan karir, pusat penilaian, konseling karir oleh departemen sumber daya manusia,
mentoring formal, lokakarya karir, program persiapan pensiun, perencanaan suksesi, pendidikan
formal sebagai bagian dari pengembangan karir dan bergerak lateral yang untuk membuat
pengalaman lintas fungsional (Agarwala, 2007).
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Salah satu strategi dalam melaksanakan peningkatan kinerja organisasi adalah dengan menerapkan
manajemen talenta (Talent Management). Strategi tersebut dikembangkan dalam hal berkaitan
dengan mencari orang/personil yang tepat dengan keterampilan dan kompetensi yang tepat untuk
posisi yang tepat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menyusun penerapan strategi manajemen
talenta yang digunakan dalam peningkatan kinerja organisasi di Pusat Inovasi LIPI. Sementara itu,
strategi ini dapat dimanfaatkan personil/pegawai dalam meningkatkan kinerjanya secara individu.
Dengan adanya pertumbuhan talenta, kompetensi dan keterampilan dari masing-masing pegawai
akan dapat meningkat seiring dengan pelaksanaan manajemen talenta pada suatu organisasi.
Ketika menjalankan organisasi agar dapat berlangsung sesuai dengan tujuannya, perencanaan kerja
sangatlah penting untuk dilakukan. Perencanaan kerja organisasi ini dilakukan berdasarkan skala
prioritas nasional dan skala prioritas LIPI. Sementara itu, pada skala prioritas nasional, satuan kerja
di lingkungan LIPI diminta untuk menyusun perencanaan program/kegiatan berdasarkan
Pembangunan wilayah, ketahanan pangan, dan ketahanan energi. Selain itu, perencanaan organisasi
perlu juga diselaraskan dengan program prioritas LIPI yang telah ditentukan. Program prioritas LIPI
terdiri dari Sektor Maritim, Kesehatan dan Obat, Lingkungan dan Kebencanaan, Polhukam,
Biodiversity, serta dunia usaha dan pariwisata. Selanjutnya, setiap pengusulan program maupun
kegiatan diwajibkan selaras dengan program prioritas nasional dan program prioritas LIPI.
Berdasarkan penjelasan di atas, pada penyusunan perencanaan perlu adanya keterlibatan seluruh
pegawai agar dapat selaras dengan tujuan organisasi. Setiap karyawan harus diberi tujuan individu
yang secara langsung terkait dengan tujuan organisasi tingkat yang lebih tinggi. Menghubungkan
tujuan karyawan dengan tujuan organisasi secara keseluruhan membantu untuk menetapkan kinerja
dan memberikan karyawan dengan konteks yang sangat penting untuk pekerjaan mereka.
Menghubungkan tujuan masing-masing untuk tujuan perusahaan membantu karyawan memahami
bagaimana mereka bekerja sehari-hari memberikan kontribusi untuk keberhasilan organisasi.
Praktek Talent Management yang dapat menciptakan keunggulan kompetitif yang paling permanen
dibandingkan dengan penerapan teknologi baru dan inovasi yang dengan mudah ditiru oleh pesaing
dan menghasilkan keunggulan kompetitif yang bersifat sementara. Dengan meningkatnya
pengembangan talent management bagi masing-masing individu pegawai, akan memberikan dampak
yang baik terhadap kesuksesan organisasi secara keseluruhan. Pola pengembangan SDM perlu
dicermati sesuai dengan kebutuhan dari masing-masing individu dengan melihat perencanaan
organisasi. Strategi tersebut menempatkan SDM pada pola pengembangan SDM yang baik sehingga
memberikan outcome bagi organisasi yang baik pula.
156
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
2. SARAN
Pengembangan talent management perlu disesuaikan dengan perencanaan dari masing-masing
organisasi baik dari rencana jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang. Penyesuaian ini
dilakukan demi mendapatkan pola pengembangan SDM yang baik agar dalam pelaksanaan yang
dilakukan oleh masing-masing individu dapat selaras dengan kebutuhan dirinya maupun secara
organisasi. Seorang pimpian (manager), perlu menyesuaikan pekerjaan dari masing-masing talenta
yang dimiliki, agar tidak salah dalam mengembangan bakatnya. Penerapan strategi ini masih perlu
dikaji lebih lanjut, agar dapat menghasilkan strategi yang baik dalam menjalankan roda bisnis
organisasi. Hal ini, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan dilakukan pengimplementasian yang
baik agar dapat sesuai dengan harapan yang diinginkan organisasi.
157
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
Allen, R. (2005). Competitive management practices: gaining leveraging in the 21st century.
Retrieved 2nd June 2013 from http://www.ritaballenassociates.com/Career%20Managment
.pdf
Dargham, N.A.S. (2013). The organizational career management and career behavior. Retrieved 3rd
June 2013 from http://www.fgm.usj.edu.lb/files/a52010.pdf
Davis, T., Maggie, C.& Flynn (2007) Talent assessment, a new strategy for talent management.
Gower, United States.
Harburg, F. (2003). The Three Essential Elements of Learning and Development. Retrieved 2nd June
2013 from http://clomedia.com/articles/view/the three essential elements of learning and
development.
Kraimer, M.L., Seibert, S.E., Wayne, S.J. & Liden, R.C. (2003). ‘Examining employee performance
and turnover intentions from a career perspective’, Paper presented at the Annual meeting of
the Academy of Management, Seattle.
Oehley, A. (2007). The development and evaluation of a partial talent management competency
Model. Unpublished thesis. Stellenbosch. University of Stellenbosch.
Pella, Darmin A & Inayati, Afifah. 2011. Talent Management (Mengembangkan SDM untuk
Mencapai Pertumbuhan dan Kinerja Prima). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ridha Choirun Nisa, Endang Siti Astuti, & Arik Prasetya. 2016. Pengaruh Manajemen Talenta dan
Manajemen Pengetahuan Terhadap Kinerja Karyawan (Studi pada Karyawan PT. PLN
(Persero) Distribusi Jawa Timur, Surabaya). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB): Vol. 39 No. 2
Oktober 2016.
Sturgeins, J., Guest, D., Conway, N., & Mackenzie D. K. (2002). ‘A longitudinal study of the
relationship between career management and organizational commitment among graduates in
the first years of work; journal of organizational behavior ,23,731-748
Trevor, C.O., Boudreau, J.W., & Gerhart, B. (2003). Is it worth it to win the talent war? Evaluating
the utility of performance-based pay. Personnel Psychology, 56, 997-1035. Trevor, C.O.
Vaiman V. & Vance C.M. (2008). Smart talent management: building knowledge assets for
competitive advantage. Edward Elgar Publishing Ltd.
Wellins, Richard S., Smith, Audrey B., dan Scott Erker. 2010. Nine Best Practices for Effective Talent
Management. Development Dimensions International, Inc., MMVI. Revised MMIX. All rights
reserved.
158
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENGEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA DAN
PENINGKATAN EKONOM MASYARAKAT
DI INDONESIA
(Kajian Teoritis Kepustakaan)
Suharsono
Hospitality/Pariwisata Fiabikom Unika Atma Jaya, Jl. Jenderal Sudirman Kav. 51 Jakarta 12930
Email: [email protected]
Abstrak: Dari berbagai sumber referensi baik cetak maupun elektronik dapat dikatakan bahwa Indonesia
memiliki berbagai potensi wisata yang sangat mengagumkan. Jika potensi tersebut dikelola dengan baik
maka dapat menjadi produk wisata yang menjadi sumber penghasilan baik bagi masyarakat maupun negara.
Dalam konteks ini Gelgel (2006:v) mengatakan bahwa sektor industri pariwisata mampu memberikan
kontribusi yang sangat besar dalam perekonomian dunia. Seperti juga dikatakan oleh Spillane, James J
(1989:14) bahwa perkebangan pariwisata berdampak pada kesejahteraan masyarakat sekitar karena akan
memberikan lapangan pekerjaan dan bidang usaha lain yang cukup luas. Disinilah pentingnya pengembangan
industri pariwisata sebagai upaya peningkatan ekonomi masyarakat di Indonesia.Yang menjadi persoalan
adalah pengembangan industri pariwisata seperti apa yang berdampak pada peningkatan ekonomo
masyarakat di Indonesia ?. Penjelasan dalam tulisan ini akan difokuskan pada konsep tentang perkembangan
pariwisata, pengembangan industri pariwisata dan dampak pengembangan industri pariwisata terhadap
peningkatan ekonomi masyarakat di Indonesia.Metode penulisan yang digunakan adalah dengan
mengumpulkan sumber referensi yang terkait dengan konsep-konsep tersebut di atas dan dengan contoh dari
hasil penelitian dan pengamatan sebelumnya.Hasil gagasan akan ditindaklanjuti dalam penelitianyang lebih
mendalam.
Kata Kunci : Industri Pariwisata, Pengembangan Industri Pariwisata danPeningkatan Ekonomi Masyarakat.
PENDAHULUAN
Pengelolaan potensi pariwisata yang baik dapat menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk
datang ke tempat tersebut. Wisata pada dasarnya merupakan pergerakan atau perjalanan manusia atau
sekelompok manusia dari satu tempat ke tempat lain dan tinggal di tempat itu yang bersifat sementara
untuk mempelajari keunikan daya tarik yang dikunjungi atau mencari keseimbangan dan kebahagiaan
(kesenangan) hidup (A.J., Muljadi, 2009:7, dan H. Kodhyat dalam buku yang ditulis Spillane, James,
J., 1989:21, dan Undang No. 10 tahun 2009, pasal 1). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pengembangan pariwisata di daerah-daerah yang memiliki potensi pariwisata sangat penting untuk
menambah keunikan-keunikan baru yang dapat dinikmati oleh pengunjung. Disamping keunikan, hal
yang tidak kalah pentingnya adalah kemudahan transportasi dan akomodasi yang memadahi serta
aspek penunjang pariwisata lainnya agar menjadi daya tarik bagi pengunjung untuk datang ke tempat
wisata tersebut. Dengan peningkatan pengunjung ke suatu daerah tujuan wisata maka diharapkan
dapat meningkatkan aktifitas yang bermanfaat baik bagi pengunjung maupun bagi penyelenggara
pariwisata.
Bagi pengunjung, dengan melakukan perjalanan wisata dapat memperoleh
kesenangan/kebahagian yang diharapkan. Seperti dikatakan oleh Spillance, James J., (1989, 22)
bahwa perjalanan wisata dengan tujuan untuk memperoleh keseimbangan dan kebahagian hidup ini
antara lain bertujuan untuk “mengurangi ketegangan pikiran, beristirahat, dan mengembalikan
kesegaran pikiran dan jasmaninya pada alam lingkungan yang berbeda dengan lingkungannya seharihari”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang atau sekelompok orang yang melakukan
perjalanan wisata adalah mereka yang ingin menikmati hidup lepas dari kebiasaan sehari-hari.
159
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Dengan demikian maka diharapkan dapat memperoleh kesegaran dan semangat kembali dalam
menjalankan tugasnya.Sedangkan bagi penyelenggara dapat memperoleh manfaat atau keuntungan
dari kedatangan para pengunjung antara lain dengan menyediakan berbagai kebutuhan pengunjung
seperti akomodasi, kuliner, keramahan pelayanan dan cinderamata.
Berdasarkan beberapa sumber referensi dan pengamatan terutama pada hari-hari libur dapat
digambarkan bahwa kecenderungan minat masyarakat untuk berwisata semakin meningkat. Hal ini
antara lain dapat dilihat dari misalnya susahnya mencari tiket pada saat hari libur, lebih-lebih kalau
pada “hari libur kejepit”. Jika dilihat dengan membuka “google”, untuk mencari tiket terutama ke
kota-kota tujuan wisata yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat (misal Bali, Yogyakarta,
Lombok, Belitung dan sebagainya), harga tiket melonjak hingga 2 kali lipat dibanding dengan harihari biasa. Demikian juga pada musim libur anak sekolah. Selain itu dapat dilihat juga fenomena
kepadatan arus lalu lintas pada hari libur Sabtu dan Minggu. Sebagian besar daerah tujuan wisata di
Jakarta dan sekitarnya dipadati pengunjung dan berdampak pada kemacetan (macet).
Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa peluang peningkatan penawaran produk
industri pariwisata semakin tinggi (baik). Bila dikaitkan dengan potensi wisata di Indonesia, dari
berbagai sumber dan beberapa tulisan yang pernah penulis presentasikan misalnya di Surabaya
(Konferensi ASPIKOM, 3-5 November 2015), Bandung, (Unisba, SNaPP2015) dapat disimpulkan
bahwa potensi pariwisata Indonesia itu sangat besar dan beraneka ragam mulai dari keindahan pantai,
laut, pegunungan, kuliner, seni dan budaya masyarakat yang memiliki kekhasannya masing-masing.
Dengan demikian jika berbagai potensi tersebut di atas dikembangkan dan dikelola dengan
baik maka dapat menjadi industri pariwisata yang produknya dapat ditawarkan kepada wisatawan
(pengunjung) untuk dinikmati. Proses ini pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan aktivitas
ekonomi masyarakat. Seperti juga dikatakan oleh Spillane (1989:63) sebagai berikut: “.. beruntunglah
Indonesia mewarisi tanah air dan sosio-budaya yang keindahan dan keunikannya dapat dijadikan
obyek pariwisata. Memang tepat apabila kekayaan nasional ini dimanfaatkan untuk meningkatkan
kemakmuran bangsa dengan mengembangkan industri pariwisata besar”. Yang menjadi fokus kajian
dalam penulisan ini adalah bagaimana cara pengembangan industri pariwisata di Indonesia yang
berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat. Gagasan dalam tulisan ini diharapkan dapat
ditindaklanjuti dalam bentuk penelitian yang lebih fokus dan mendalam sehingga dapat menambah
hasil kajian baru yang bermanfaat khususnya bagi studi dan praktek pengembangan pariwisata di
Indonesia. Sebagai contoh misalnya identifikasi dampak peningkatan ekonomi masyarakat sebagai
akibat dari pengembangan industri pariwisata di suatu daerah tujuan wisata tertentu.
PEMBAHASAN
1. Pengembangan Industri Pariwisata di Indonesia
a. Menggali Potensi Daerah Tujuan Pariwisata (Destinasi Pariwisata)
Menurut berita dalam Harian Kompas (Rabu, 1 Maret 2017, hal. 17), dikatakan bahwa
pemerintah Indonesia pada tahun 2017 menargetkan realisasi investasi pariwisata sebesar 1,7 miliar
dollar yang diarahkan untuk membangun bidang akomodasi, taman wisata bertema dan marina.
Selanjutnya diinformasikan bahwa sebagai gambaran capaian realisasi anggaran, tahun 2016
ditargetkan sebesar 1,5 milyar dollar As dan terserap sekitar 1,35 milyar dollar AS. Hal ini
menggambarkan bahwa tingkat capaian target sebesar 90 %. Dengan adanya penambahan jumlah
investasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan aktivitas pariwisata baru yang mampu menjadi
daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Selain itu, dari berbagai sumber berita diinformasikan bahwa
kedatangan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dari Arab Saudi juga membawa angin segar bagi
pengembangan pariwisata di Indonesia dan khususnya di Bali. Dengan kedatangan Raja Salman ke
160
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Bali diharapkan dapat meningkatkan minat (daya tarik) wisatawan Timur Tengah dan khususnya
Saudi Arabia untuk berkunjung ke Bali. Selama ini jumlah wisatawan Timur Tengah yang datang ke
Indonesia paling kecil (sedikit) dibanding dengan negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia.
Kedatangan Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud disamping dapat meningkatkan daya
tarikBali bagi wisatawan Timur Tengah dan khususnya Saudi Arabia, juga akan
menginvestasikandana yang salah satunya adalah bidang pariwiata. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa pengembangan bidang industri pariwisatamasih terbuka luas. Berdasarkan Undangundang No. 10 tahun 2009 pasal 1 ayat 9 dikatakan bahwa yang dimaskud industri pariwisata adalah
: “kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa
bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwiata. Pengembangan menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:662) adalah “proses, cara perbuatan mengembangkan”.
Sedangkan arti mengembangkan (ibid,. 661) adalah “(2) menjadikan besar (luas, merata, dsb.)”.
Berdasarkan pengertian di atas maka pengembangan industri pariwisata yang dimaksudkan dalam
penulisan ini adalah berbagai upaya yang dilakukan untuk membuat obyek pariwisata yang sudah
dikelolamenjadi lebih besar, luas dan merata. Semakin besar dan luas yang dimaksudkan adalah
bahwa obyek wisata yang sudah ada terus ditingkatkan fungsi, manfaat dan pelayanannya. Selain itu
juga terus dicari bentuk keunikan baru sebagai pelengkap atau penunjang daya tarik yang sudah ada.
Dengan demikian diharapkan akan semakin manarik bagi pengunjung untuk datang dan
menikmatinya. Merata dalam kajian ini adalah terkait dengan penyebaran atau luas cakupan
daerah/wilayah pengembanganindustri pariwisata. Seperti telah diuraikan pada bab pendahuluan
bahwa seluruh wilayah atau daerah di Indonesia memiliki potensi pariwisata yang beraneka ragam
(keindahan alam, keunikan budaya, sejarah dan sebagainya) yang sangat baik untuk dijadikan obyek
pariwisata. Untuk ini maka para pemangku kepentingan di daerah perlu didorong untuk
mengidentifikasi berbagai potensi yang ada untuk dijadikan sebagai daerah tujuan wisata baru dengan
keunikan masing-masing. Sebagai contoh, daerah Belitung dengan obyek wisata bahari dapat menjadi
alternatif bagi wisatawan yang tertarik dengan obyek wisata bahari khas Belitung, yaitu batu-batuan
yang unik, pulau pasir dengan bintang laut, menara dan kuliner khas Belitung (Kopi, ikan segar).
Daerah Manggarai Barat, khususnya Labuan Bajo, disamping keindahan alam lautnya, Komodo yang
sudah sangat terkenal, ternyata juga memiliki potensi wisata alam berupa danau yang sangat bagus
yaitu Danau Sao Nggoang. Danau ini belum banyak dikunjungi wisatawan, tetapi dapat
dikembangkan menjadi daerah tujuan wisata alam baru sebagai pelengkap obyek pariwisata yang
sudah ada (Komodo) karena memiliki keunikan tersendiri. Dari segi jarak tidak terlalu jauh, dari
Labuan Bajo hanya sekitar 50 s.d. 60 kilometer dan dapat ditempuh menggunakan kendaraan sejenis
minibus sekitar 3 jam.
Disinilah pentingnya bagi setiap daerah untuk menggali berbagai potensi yang dapat
dikembangkan menjadi daya tarik yang unik (khas) sehingga dapat dikembangkan menjadi destinasi
baru. Pengembangan berbagai destinasi ini diharapkan menjadi pendorong pergerakan aktivitas
eknomi masyarakat sekitar yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat.
Selain berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat juga pada pendapatan daerah tersebut. Oleh
karena itu juga penting untuk menambah kapasitas SDM daerah agar mampu mengidentifikasi dan
mengelola berbagai potensi pariwisata daerahnya menjadi sumber pendapatan baik bagi daerah
maupun masyarakat.
b. Konsep “3A” dalam Pariwisata
Dalam kaitannya dengan kajian pengembangan pariwisata, dalam ilmu pariwista dikenal
konsep “3A” (Damanik, Janianton dan Weber, Helmut F., 2006:11) yaitu (1) Atraksi, (2)
Aksesibilitas dan (3) Amenitas.Atraksi pada dasarnya merupakan obyek wisata itu sendiri yang dapat
161
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
memberikan rasa kenikmatan bagi wisatawan ketika mengunjungi obyek tersebut. Menurut Yoeti
(2010:1-16) paling tidak ada tiga alasan bagi wisatawan untuk mengunjungi suatutempat pariwisata
antara lain karena faktor (1) pendidikan dan kebudayaan, (2) Santai, kesenangan dan petualangan, (3)
ingin melihat sesuatu yang unik, aneh dan langka. Selain itu, Yoeti (2008:77) menambahkan bahwa
salah satu alasan atau motivasi orang melakukan perjalanan wisata karena faktor emosional, yaitu
sekedar untuk menyaingi tetangganya (bisa teman-penulis). Aspek emosional ini tidak akan dibahas
dalam tulisan ini. Namun demikian dapat dipertimbangkan untuk kajian lain yang lebih fokus pada
aspek sosiologis atau psikologis.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas maka dalam pengelolaan obyek pariwisata paling tidak
harus digali untuk memenuhi minimal salah satu dari ketiga aspek kebutuhan wisatawan di atas.
Obyek wisata ini ada yang bersifat alamiah, tetapi juga ada yang berupa rekayasa. Yang alamiah tentu
saja sudah dibentuk dan disediakan seperti apa adanya oleh “alam”. Sedangkan yang bersifat rekayasa
(“bentukan”) adalah obyek wisata yang dirancang (dibentuk) oleh manusia berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan khusus seperti ekonomi (aspek bisnis), sosial dan budaya. Sebagai
contoh sekarang sudah mulai banyak para pemilik modal yang menciptakan suatu destinasi wisata
yang terpadu. Sebagai contoh,pada hari Minggu 5 Maret (lupa stasiun tv nya) ditayangkan salah satu
kawasan di Depok (luas sekitar 10 hektar) yang dibuat untuk lahan pertanian, peternakan, perikanan
dan wahana permainan anak. Tempat ini dijadikan “industri” pariwisata terpadu yang dapat dinikmati
oleh para pengunjung dengan harga yang terjangkau. Selain itu Yoeti (2008:167-168)
mengelompokkan daya tarik wisata ke dalam 4 bentuk atau jenis yaitu (1) natural attractions, (2)
build attractions, (3) cultural attractions, dan (4)social attractions.
Aksesibilitas pada dasarnya mencakup seluruh infrastruktur terutama transportasi yang
memudahkan bagi wisatawan atau pengunjung yang akan melakukan perjalanan menuju ke dan dari
obyek pariwisata tersebut. Selain itu juga kemudahan dalam memperoleh informasi. Dari beberapa
penelitian yang penulis lakukan di beberapa tempat khususnya tentang kajian “daya tarik” obyek
pariwisata, salah satu alasan yang sering disampaikan narasumber (pengunjung) ketika berwisata
adalah karena faktor kemudahan transportasi. Terkait dengan aspek kemudahan transportasi adalah
aspek keterjangakauan harga atau tarif dan pelayanan (keramahan)transportasi tersebut. Keramahan
trasportasi yang dimaksud adalah keramahan para penyelenggara rental baik mobil, sepeda motor dan
armada lain di daerah tujuan wisata. Khusus bagi rental mobil, keramahan sopir dalam memberikan
informasi baik sebelum maupun selama dalam perjalanan sangat berdampak pada kenyamanan
pengunjung. Tidak jarang pengunjung yang kemudian memberikan rekomendasi kepada teman atau
keluarga yang akan berkunjung ke tempat tersebut. Dari hasilpenelitian penulis antara lain di Setu
babakan, Jakarta,Keraton Kasepuhan dan Kanoman Cirebon, dan Pulau Untung Jawa, Kepulauan
Seribu (Laporan Penelitian : 2014, 2015 dan 2016) sekitar 40 % responden menyatakan bahwa
mendapat informasi dari antara lain teman dan saudara (dari mulut ke mulut).Dari hasil penelitian
tersebut dapat dikatakan bahwa peran komunikasi interpersonal berdampak pada sikap seseorang
dalam menentukan rencana kunjungannya ke suatu destinasi wisata. Dengan kemudahan
keterjangkauan dan keramahan transportasi ini diharapkan menjadi aspek kenangan tersediri bagi
pengunjung yang kemudian di rekomendasikan kepada yang lain (teman atau saudara).Dengan
demikian akan semakin bertambah daya tariknya bagi wisatawan untuk berkunjung ke daerah tujuan
wisata (destinasi wisata) tersebut.
Amenitas pada dasarnya meliputi infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait tetapi
memberikan kemudahan bagi wisatawan dalam melakukan ativitas selama mengunjungi obyek
wisata misalnya ATM, telekomunikasi, usaha persewaan (rental), buku petunjuk, cinderamata dan
sebagainya. Dari sekian banyak bentuk amenitas yang perlu disediakan dalam pengelolaan obyek
wisata, aspek penyewaan (rental) keperluan wisatawan yang terkait dengan jenis obyek wisata adalah
162
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
sangat penting. Sebagai contoh, untuk menikmati obyek wisata keindahan alam bawah laut
(snorkeling), tidak semua pengunjung datang dengan membawa peralatan tersebut. Disinilah
pentingnya usaha penyewaan alat bagi kebutuhan wisatawan, sehingga wisatwan tidak perlu repotrepot membawa atau membeli peralatan tersebut yang tidak dipakai terus menerus. Selain itu
cinderamata yang khas juga menjadi penting untuk disediakan bagi pengunjung. Salah satu aspek
dalam Sapta Pesona adalah “kenangan”. Dalam pengelolaan pariwisata, agar memiliki atau
menambah daya tarik bagi pengunjung maka harus dapat memberikan aspek kenangan. Aspek
kenangan ada yang sifatnya menetap (tidak bisa dipindahkan) dan ada yang dapat dipindahkan
(dibawa pulang). Kenangan yang bersifat menetap artinya bahwa kenangan tersebut hanya dapat
diperoleh atau dinikmati apabila seseorang langsung datang ke obyek pariwisata tersebut. Seperti
dikatakan oleh Yoety (2008:75) dan A.J. Muljadi (2010:48) bahwa pada dasarnya produk industri
pariwisata itu tidak dapat dipindahkan.Sedangkan aspek kenangan yang dapat dipindahkan adalah
bahwa kenangan tersebut dapat dibawa pulang ke tempat yang dikehendaki wisatawan tersebut. Salah
satu bentuk kenangan ini adalah berupa cinderamata.Cinderamata tersebut paling tidak dapat menjadi
sarana pengingat (kenangan) bagi wisatawan bahwa pernah datang berkunjung, atau diberi oleh orang
yang pernah berkunjung ke tempat tersebut.
Terkait dengan konsep “3A”, seperti dikatakan oleh Gartner yang dikutib oleh A.J. Mulyadi
(2009:8) bahwa “unsur pembentuk pengalaman wisatawan yang utama adalah adanya daya tarik dari
suatu tempat atau lokasi”. Dengan pengelolaan aspek Atraksi, Aksesibilitas dan Amenitas yang secara
umum diperlukan oleh wisatawan diharapkan dapat menambah aspek pengalaman yang unik bagi
pengunjung sehingga akhirnya berdampak pada keputusan untuk berkunjung ke destinasi tersbut.
c. Konsep Sapta Pesona
Selain konsep 3A, dalam pengembangan pariwisata di Indonesia juga dikembangkan konsep
Sapta Pesona yang meliputi aspek keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan,
keramah-tamahan, serta kenangan (A.J. Mulyadi, 2010:104-107). Selanjutnya dikatakan bahwa pada
dasarnya konsep sapta pesona ini awalnya digagas dalam rangka upaya pemerintah pada tahun 1990an untuk meningkatkan daya tarik obyek wisata Indonesia kepada khususnya wisatawan manca
negara. Konsep Sapta Pesona ini menurut penulis masih relevan untuk kajian tentang kepariwisataan
di Indonesia saat ini, mengingat belum semua potensi pariwisata dalam keadaan siap untuk
dikunjungi. Seperti telah diuraikan dalam pendahuluan di atas bahwa Indonesia memiliki berbagai
potensi pariwisata yang tersebar di seluruh wialayah (daerah) di Indonesia. Tetapi harus diakui bahwa
faktanya belum seluruh potensi tersebut sudah dikelola dengan baik.
Dari berbagai sumber dapat diketahui bahwa pengelolaan dan pengembangan pariwisata itu
membutuhkan dana yang tidak sedikit. Masih banyak potensi obyek pariwisata yang perlu ditata lebih
baik lagi, misalnya prasarana utama seperti jalan, listrik, transportasi, sarana seperti hotel atau tempat
penginapan, penjual makanan dan lainnya. Selain itu juga sarana pendukung seperti tersedianya
cinderamata khas, dan jasa penyewaan yang diperlukan pengunjung selama berada di lokasi
pariwisata. Sebagai contoh, salahsatu potensi wisata alam (danau terbesar)di NTT adalah Danau Sano
Nggoang (bisa di cari lewat google). Informasi tentang obyek wisata ini antara lain dimuat dalam
majalah maskapai penerbangan Batik (2017-lupa edisinya). Dinformasikan bahwa danau ini sangat
unik dan terbesar di NTT, tetapi jalan untuk menuju ke lokasi masih kurang bagus. Dari pengamatan
penulis, sebenarnya jalan menuju ke kecamatan Sano Nggoang sudah mulai diperbaiki, memang
masih ada sebagian ruas jalan yang agak kurang bagus. Dari Labuan Bajo dapat ditempuh dengan
menggunakan angkot khusus trayek Nunang-Labuan Bajo. Berangkat dari Nunag sekitar pukul 07.00
dan dari Labuan Bajo (pulang) sekitar pukul 14.00 waktu setempat. Selain itu juga dapat sewa
kendaraan pribadi dari Labuan Bajo. Berdasarkan informasi warga setempat, sudah ada dua WNA
163
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
(Warga Negara Asing) yang sudah membeli lahan di salah satu sisi di tepi danau dan sudah membuat
tempat tinggal di lokasi tersebut. Jika obyek pariwisata ini dikelola dengan baik maka dapat menjadi
alternatif destinasi wisata di Flores bagian Barat (Manggarai Barat) selain ke pulau Komodo. Atu
menjadi satu kesatuan dalam pengelolaan paket wisata di Flores, NTT. Demikian juga untuk daerahdaerah lain yang memiliki potensi unggulan dapat dikembangkan menjadi obyek pariwisata
baru.Pengembangan pariwisata yang mempertimbangkan aspek Sapta Pesona ini diharapkan mampu
menambah daya tarik obyek pariwisata tersebut sehingga dapat membantu upaya pemerintah dalam
mencapai target kunjungan wisatawan asing sebesar 20 juta pada tahun 2019.
d. Pengembangan Pariwisata yang Berkelanjutan
Penyelenggaraan pariwisata disamping memiliki dampak positif juga negatif. Positif karena
dapat memberikan dampak peningkatan ekonomi atau pendapatan baik bagi pemerintah, pengusaha
pariwisata maupun masyarakat sekitar destinasi pariwisata tersebut. Negatif karena penyelenggaraan
pariwisata menurutSpillance (1989, 139-141) dapat menyebabkan antara lain (1) pariwisata dapat
merusak lingkungan, (2) pariwisata ditangan orang asing, (3) berubahnya tujuan kesenian dan
upacara tradisional, (4) lingkungan yang kurang terjaga, (5) meningkatnya pencurian benda-benda
kuno. Demikian juga dikatakan oleh Yoeti (2008:21-24) bahwa pada dasarnya pengembangan
pariwisata itu seperti “madu dan racun”. Madu menggambarkan sisi positif dan racun
menggambarkan sisi negatifnya. Dari sisi negatifnya, pengembangan pariwisata pada dasarnya dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan dan sosial budaya. Selain itu dikatakan juga oleh Sunaryo (2013:
70) bahwa penyelenggaraan pariwisata yang tidak dikelola dengan baik disamping berakibat buruk
bagi lingkungan fisik juga berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap aspek sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat. Undang-undang No. 9 Tahun 2009 pasal 2 poin “h” menyebutkan bahwa
asas penyelenggaraan pariwisata di Indonesia adalah berkelanjutan. Disinilah pentingnya
pengembangan pariwisata yang dapat memberikan keuntungan bagi seluruh pemangku kepentingan
dan meminimalkan pengaruh yang merugikan sehingga dapat berjalan secara berkelanjutan.
Terkait dengan pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan, menurut Sunaryo
(2013:54) sering disamakan dengan pengembangan kepariwistaan yang bertanggungjawab
(responsible tourism). Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan kepariwisataan yang
bertanggungjawab pada dasarnya merupakan varian dari model pariwisata alternatif dan sekaligus
kritik terhadap pengembangan pariwisata yang berorientasi pada mass tourism. Pariwisata massa
(mass tourism) pada dasarnya merupakan bentuk pariwisata yang melibatkan (memobilisasi)
sejumlah besar pengunjung atau wisatawan ke suatu destinasi pariwisata tertentu. Didukung dengan
kemajuan teknologi yang luar biasa seperti pesawat terbang, kereta api (cepat) dan kapal laut serta
kapal khusus pesiar maka semakin memudahkan bagi wisatawan untuk berkunjung ke suatu destinasi
dengan jangkauan yang lebih luas dan jauh (antar negara-benua). Destinasi pariwisata bisa berupa
negara atau tempat-tempat tertentu dalam satu negara tertentu mislanya terjadinya gerhana matahari
total yang melintas di sebagian wialayah di Indonesia, olah raga nasional atau internasional, peristiwa
khusus lainya misalnya pesta “putri nyale” di Lombok dan sebagianya. Penyelenggaraan model
pariwisata massa seperti ini dianggap sering menimbulkan dampak negatif seperti pencemaran dan
kerusakan lingkungan yang pada akhirnya justru berpengaruh pada keberlanjutan penyelenggaraan
pariwisata itu sendiri. Seperti yang terjadi belum lama ini di destinasi Raja Ampat, Papua, terumbu
karang yang menjadi salah satu daya tarik utama pariwisata Raja Ampat ditabrak olehkapal pesiar,
Caledonian Sky, berbendera Bahama, ketika permukaan air laut surutpada tanggal 4 Maret 2017
(Tempo.Co., diakses pada tanggal 16 Maret 2017). Untuk meminimalkan berbagai potensi negatif
tersebut, kemudian di kembangkan suatu model alternatif penyelenggaraan pariwisata yang disebut
dengan responsible tourismataupariwisata yang bertanggungjawab yaitu model penyelengraan
164
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pariwisata yang lebih menekankan pada kesadaran wisatawan itu sendiri dalam usaha meminimalkan
berbagai dampak negatif dalam aktivitas wisatanya (Sunaryo, 2013:55). Selanjutnya (ibid: hal 55-56)
dikatakan bahwa ada beberapa prinsip yang diperjuangkan dalam pariwisata yang bertanggungjawab
yaitu :
(1) Mendorong keuntungan ekonomi untuk masyarakat lokal dan mempertinggi daya ketahanan
kearifan lokal, membuka akses masyarakat kepada usaha indistri pariwisata.
Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pariwiasta dapat mendorong tumbuhnya
aktivitas ekonomi masyarakat lokal yang digali atas dasar potensi dan kondisi lokal sehingga tatanan
kearifan lokal yang ada tetap terjaga. Sebagai contoh misalnya, makam raja-raja Mataram di Imogiri
sekarang dibuka untuk umum (wisatawan), tetapi untuk masuk kedalam komplek makam tersebut
ada persyaratan khusus yang tetap harus dipenuhi oleh pengunjung (wisatawan).Bagi perempuan
yang sedang “berhalangan/datang bulan” tidak diperbolehkan masuk. Ketika masukpun diharuskan
berpakaian sopan dan menggunakan “kain” untuk penutup tubuh. Demikian juga ketika kita datang
misalnya ke masjid kuno “wetu telu”, di Senaru, Lombok Utara, tidak semua orang dapat masuk ke
mesjid tersebut dan hanya pada hari-hari tertentu saja.
(2) Melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan dibidang kepariwisataan di
sekitarnya yang dapat mempengaruhi kehidupan mereka.
Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa penyelengraan pariwisata harus melibatkan masyarakat
sekitar (lokal) sehingga mereka juga ikut merasakan keberadaan obyek pariwisata yang ada yang pada
gilirannya juga dapat meningkatkan tanggungjawab masyarakat dalam pengelolaan pariwisata
tersebut. Dengan demikian masyarakat tidak hanya sekedar menjadi obyek atau bahkan menjadi
“penonton” tetapi menjadi pemilik dan sekaligus sebagai pelaku (pemangku kepentingan) atas
destinasi pariwisata tersebut.
(3) Menumbuhkan kontribusi positif untuk konservasi sumber daya alam dan cultural haritage, untuk
memperkaya keragaman yang ada.
Penyelenggaraan pariwisata modern konvensional yang selama ini sering dilakukan adalah dengan
membangun berbagai fasilitas modern secara besar-besaran seperti hotel dan restoran dengan standar
bintang, mal-mal besar, tempat rekreasi berstandar internasional dan sebagainya. Model
pengembangan pariwisata seperti ini dianggap kurang ramah lingkungan, karena akan “memakan”
berbagai sumber daya alam sekitar yang cukup besar, misalnya air tanah. Oleh karena itu,
pengembangan pariwisata yang bertanggungjawab ini di kemas dengan menghindari sebanyak
mungkin penggunaan apalagi pengrusakan sumber daya alam lokal, justru sebaliknya dikelola dengan
menumbuhkan kesadaran pengunjung untuk melakukan penghematan dan “pelestarian” sumber daya
alam yang ada. Selain itu juga kesadaran untuk tetap menjaga berbagai peninggalan budaya yang ada,
misalnya tidak membeli berbagai “benda” peninggalan sejarah dan benda-benda lain yang dilindungi
yang kadang-kadang diperjual belikan.
(4) Menyediakan pengalaman kujungan wisatawan yang lebih bernilai dalam hubungannya dengan
masyarakat lokal, kearifan lokal dan isu-isu sosial dan lingkungan setempat.
Salah satu aspek yang terkait dengan sapta pesona dalam penyelenggaraan pariwisata adalah
kenangan. Dalam konteks ini aspek kenangan diarahkan pada hubungan yang lebih bersifat
“monumental” bersama dengan masyarakat lokal. Wisatawan diajak untuk ikut berpartisipasi aktif
dalam pengembangan obyek pariwisata misalnya terkait dengan wisata konservasi penyu di
Kepulauan Seribu, wisatawan juga dilibatkan dalam proses pelestarian penyu tersebut misalnya
dengan melepas bibit penyu. Terkait dengan reboisasi di kawasan gundul yang dirintis oleh mbah
Diman di Jawa Tengah, wisatawan bisa diajak untuk menanam jenis pohon tertentu di kawasan
tersebut. Dengan model pariwisata alternatif yang partisipatif ini diharapkan wisatawan dapat
memperoleh pengalaman yang khas dan bersifat monumental.
165
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
(5) Meminimalisir dampak negatif ekonomi, lingkungan, budaya dan sosial dari kegiatan
kepariwisataan.
Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pariwisata yang berorientasi pada
partisipasi baik wisatawan maupun masyarakat lokal dalam menjaga berbagai potensinya diharapkan
dapat mengurangi dampak negatif baik dari aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan budayanya. Dari
beberapa sumber referensi dapat diketahui bahwa salah satu dampak negatif dari aspek ekonomi
adalah tidak terkontrolnya harga baik tanah, barang-barang konsumsi dan cinderamata. Hal ini dapat
menyebabkan wisatawan merasa “kapok” sehingga pada akhirnya dapat merugikan masyarakat atau
pelaku industri pariwisata di daerah tujuan wisata tersebut. Selain itu penyelenggaraan pariwisata
secara massal biasanya akan meninggalkan banyak sampah dari sisa makanan atau bungkus makanan
yang dibawa atau dibeli oleh pengunjung. Disinilah pentingnya memperhatikan aspek kebersihan dan
keindahan dalam konsep sapta pesona misalnya dengan menyediakan tempat sampah yang cukup dan
menata/meletakkannya pada lokasi yang tepat.
(6) Menumbuhkan saling menaruh respek antara wisatawan dengan tuan rumah, dan membangun
kebanggaan lokal serta percaya diri dari masyaralat.
Dalam konteks ini dapat diartikan bahwa penyelenggaraan pariwisata yang lebih memfokuskan pada
kesadaran wisatawan untuk berpartisipasi diharapkan tercipta hubungan yang saling menguntungkan
kedua belah pihak. Wisatawan tidak hanya datang untuk menikmati keindahan dan keunikan destinasi
pariwisata saja sehingga terkesan sebagai “raja” yang harus dilayani seluruh kebutuhannya, tetapi
juga turut bertanggungjawab untuk menjaga dan melestarikannya sehingga berubah menjadi
“pemilik”. Dengan demikian terjadi hubungan yang lebih harmonis antara pengunjung (wisatawan)
dan “tuan rumah”, saling melengkapi dan saling menguntungkan kedua belah pihak yang pada
akhirnya menumbuhkan rasa bangga dan percaya diri khususnya bagi masyarakat lokal. Sebagai
contoh misalnyapenyelenggaraan pariwisata pelestarian alam di Pusuk Lombok. Daya tarik yang ada
di Pusuk terutama adalah monyet yang berada di sepanjang jalan di pegunungan Pusuk. Disini
wisatawan tidak hanya menikmati keindahan perilaku monyet, tetapi juga ikut memberikan makan
monyet sehingga dapat terjaga kelestarian populasi monyet. Model seperti ini dapat dikembangkan
untuk bentuk wisata yang lain, seperti seni dan budaya masyarakat.
e. Pemangku Kepentingan dalam Pengembangan Industri Pariwisata
Dari berbagai sumber dapat diketahui bahwa pengembangan destinasi pariwisata
membutuhkan dana investasi yang cukup besar, oleh karena itu diperlukan kerjasama yang saling
melengkapi dan saling menguntungkan bagi para pemangku kepentingan. Damanik dan Weber
(2006:19-23)mengidentifikasi pihak-pihak (pemangku kepentingan) yang terlibat
dalam
pengembangan pariwisata terdiri dari : (1) Wisatawan, (2) Industri Pariwisata, (3) Pendukung Jasa
Wisata, (4) Pemerintah, (5) Masyarakat lokal dan (6) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Selanjutnya dikatakan oleh Gelgel, I Putu (2006:23) bahwa dalam aktivitas pariwisata sebagai
industri paling tidak ada tiga unsur penting yang terkait yaitu konsumen, produsen dan produk wisata.
Dalam konteks pariwisata konsumen adalah wisatawan atau pengunjung. Produsen dalam industri
pariwisata dapat diselenggarakan oleh pemerintah, swasta maupun perorangan (masyarakat).
Sedangkan produk pariwisata yang berupa barang dan jasa dapat disediakan baik oleh pemerintah,
swasta maupun masyarakat. Selain itu menurut A.J. Muljadi (2010:36) dikatakan bahwa “kekuatan
inti untuk menggerakkan pembangunan kepariwisataan nasional adalah perpaduan kekuatan (sinergi)
yang terdiri dari unsur-unsur dunia usaha, masyarakat (termasuk LSM,akademisi, media massa dan
pekerja) dan pemerintah.”
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur yang ada pada
pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pariwisata adalah (1) Dunia usaha (pengusaha), (2)
166
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Pemerintah dan (3) Masyarakat. Dunia usaha atau pengusaha pariwisata menurut Undang-undang
No. 10 tahun 2009 pasal 1 ayat 8 adalah “orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan
usaha pariwisata”. Dalam pasal 1 ayat 7 disebutkan bahwa “usaha pariwisata adalah usaha yang
menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan
pariwisata”.
Penyelenggaraan pariwisata yang baik pada dasarnya apabila terjadi koordinasi yang baik
diantara para pemangku kepentingan. Dengan adanya koordinasi yang baik maka diharapkan tidak
akan terjadi saling tumpang tindih program atau kegiatan pariwisata. Seperti dikatakan oleh Sunaryo
(2013: 77) bahwa
“Prinsip dari penyelenggaraan tata kelola kepariwisataan yang baik ini pada intinya adalah adanya koordinasi
dan sinkronisasi program antar pemangku kepentingan yang ada serta pelibatan partisipasi aktif yang sinergis
(terpadu dan saling menguatkan) antara fihak pemerintah, swasta/industri pariwisata, dan masyarakat setempat
yang terkait”.
Pendapat di atas menggambarkan bahwa disamping koordinasi, kerjasama antar pihak dalam
penyelenggaraan pariwisata itu harus melibatkan semua pihak secara aktif sehingga masing-masing
kepentingan dapat terakomodasi. Dengan demikian kerjasama yang terbangun ini dapat menciptakan
rasa tanggungjawab bersama atas keberhasilan atau ketidakberhasilan.
Konsep kerjasama antar pemangku kepentingan dalam penyelenggaraan pariwisata ini
menurut Sunaryo, Bambang (213 :88-89) disebut dengan hubungan kemitraan pemerintah-swasta
(public-private partnership).Selanjutnya dikatakan bahwa : “Konstruksi strategi public-private
partnership atau kemitraan pemerintah-swasta dalam proses pembangunan kepariwisataan
merupakan salah satu cara yang sangat strategis dalam penyediaan infrastruktur dan pelayanan
publik.....”.
Di atas telah diuraikan bahwa pengembangan pariwisata memerlukan investasi yang cukup
besar baik untuk prasarana, sarana dan pendukung lainnya. Sebagai contoh misalnya banyak obyek
wisata (daya tarik wisata) alam yang lokasinya berada ditengah hutan atau pegunungan. Untuk
menjadikan sebagai daya tarik wisata yang dapat dikunjungi oleh wisatawan maka harus disediakan
berbagai prasarana dan sarana seperti pembangunan jalan untuk akses ke lokasi, listrik untuk aktivitas
pendukung dan lainnya. Untuk membangun berbagai fasilitas tersebut diperlukan kerjasama yang
baik (sinergis)antara pemerintah, swasta dan masyarakat sehingga masing-masing dapat berperan
aktif sesuai dengan kapasitasnya. Seperti dikatakan oleh Osborne dan Gabler (Sunaryo, 2013:89)
bahwa public-private partnership pada dasarnya merupakan konsep “kerjasama yang disusun antara
pemerintah dan swasta atas dasar prinsip komplementaritas dan saling menguntungkan, yang
bertujuan mewujudkan penyediaan infrastruktur dan fasilitas publik yang efektif dan efisien”.
Undang-undang No. 9 Tahun 2009 pasal 2 poin “g” menyatakan bahwa asas dalam
penyelenggaraan pariwisata adalah partisipatif. Pelibatan masyaraka dalam penyelenggaraan
pariwisata menjadi sangat penting, dengan demikian memberi kesempatan kepada masyarakat untuk
mengembangkan berbagai potensi terutama ekonomi. Seperti dikatakan oleh Spillane (1989:55)
bahwa : “ ..sedapat mungkin mengikutsertakan masyarakat setempat dalam perencanaan dan
pengembangan. Pada penduduk setempat harus dibangkitkan perasaan, bahwa mereka mempunyai
kepentingan terhadap keberhasilan daerah pariwisata yang bersangkutan.” Dengan demikian prinsip
penyelenggaraan pariwisata bertanggungjawab (responsible tourism) yang ke enam yaitu
“Menumbuhkan saling menaruh respek antara wisatawan dengan tuan rumah, dan membangun
kebanggaan lokal serta percaya diri dari masyaralat.”, dapat terwujud. Dengan pelibatan masyarakat
setempat (lokal)diharapkan terjadi peningkatan ekonomi, sehingga masyarakat tidak hanya sekedar
menjadi penonton tetapi juga menjadi “pelaku” atas kemajuan (keindahan) di daerahnya.
167
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
2. Dampak Ekonomi Pengembangan Industri Pariwisata
Pengembangan dan pengelolaan berbagai potensi pariwisata pada dasarnya berkaitan erat
dengan peningkatan ekonomi bangsa. Oleh Spillane (1987:59) digambarkan bahwa pada awal
pembangunan sektor pariwisata di Indonesia (sekitar tahun 1970-an), presiden Soeharto menyatakan
bahwa industri pariwisata merupakan mata rantai yang panjang. Kegiatan yang terkait dengan
pembangunan pariwisata sangat banyak mulai dari biro perjalanan, hotel, restoran, pemandu,
kerajinan rakyat, pengembangan obyek wisata dan sebagainya. Dengan adanya hotel dan restoran
saja dapat digambarkan aktivitas masyarakat yang dapat dikembangkan untuk memenuhinya
misalnya saja, kebutuhan mebelernya, sayuran, buah-buahan, ikan, daging dan sebagainya.
Selanjutnya dikatakan oleh Spillane (ibid) bahwa : “… pengembangan sektor pariwiasta dapat
menggerakkan sektor-sektor ekonomi lainnya dengan jangkauan yang amat luas”. Demikian juga
dikatakan oleh Yoeti (2006: 229) bahwa dengan berkembangnya pariwisata diharapkan dapat
memberikan dampak pada peningkatan ekonomi masyarakat antara lain melalui penciptaan lapangan
kerja yang lebih luas. Selain itu dikatakan oleh Pitana dan gayatri (2005:110) bahwa pada dasarnya
pembangunan pariwisata berdampak positif terhadap peningkatan ekonomi masyarakat melalui (1)
penerimaan devisa, (2) peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, (3) peningkatan pendapatan
pemerintah dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah.
Uraian dan kutipan di atas pada dasarnya menggambarkan begitu besarnya dampak ekonomi
yang ditimbulkan oleh adanya pengembangan industri pariwisata. Dengan besarnya potensi
pariwisata yang dimiliki Indonesia maka masih terbuka luas untuk pengembangan produk industri
wisata. Jika dikembangkan dan dikelola dengan baik maka dapat berdampak pada peningkatan
ekonomi masyarakat. Sebagai contoh, beberapa daerah telah berupaya meningkatkan daya tarik
pariwisata dari potensinya masing-masing. Ada berbagai acara yang bertema “gelar” atau
“pameran” budaya, kuliner, hasil pertanian,olah raga, keindahan alam dan sebagianya. Untuk itu
diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM-Daerah) yang mampu merencanakan dengan baik
berbagai potensi pariwisata menjadi produk industri pariwisata yang dapat dinikmati oleh
pengunjung. Seperti yang dikatakan oleh Prof. Soebroto yang dikutip oleh Suharsono, dalam buku
karya Nurudin (editor, 2014:214) sebagai berikut :“Pariwisata khususnya di bali pada dasarnya
merupakan ‘engine of growth’ (pendorong ekonomi) yang tidak perlu diragukan lagi. Oleh karena
itu pengembangan pariwisata di Bali sebagai salah satu model terbaik dan nyata tidak boleh
menimbulkan kesenjangan yang mengakibatkan kemiskinan khususnya di Bali”. Demikian juga
apabila model ini dikembangkan di daerah-daerah lain di Indonesia, diharapkan dapat
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam aktivitas pariwisata yang berdampak pada penigkatan
ekonomi masyarakat.
Di atas telah dijelaskan bahwa pengembangan pariwisata disamping membutuhkan dana yang
cukup bersar juga diperlukan kerjasama yang baik antar pemangku kepentingan. Selain itu
berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aktivitas pariwisata tidak berdiri sendiri, tetapi
saling terkait dan saling membutuhkan satu dengan yang lain. Sebagai contoh ketika berdiri sebuah
usaha jasa hotel maka membutuhkan paling tidak tenaga kerja, dan produk pendukung lainnya seperti
kebutuhan bahan makanan, sayuran, buah untuk memenuhi kebutuhan pengunjungnya. Dalam kajian
organisasi disebutkan oleh Etzioni (Suharsono, 2013:14) bahwa organisasi pada dasarnya merupakan
unit sosial yang sengaja dibentuk untuk mencapai tujuan. Unit sosial dapat dimaknai bahwa secara
internal organisasi itu terdiri dari individu atau sekelompok individu yang berada atau bergabung
dalam suatu unit kegitan tertentu dan saling terkait satu dengan lain dalam menjalankan tugasnya
untuk mencapai tujuan. Sedangkang secara ekternal dapat diartikan bahwa sebuah organisasi tidak
berdiri sendiri, tetapi terkait dengan organisasi-organisasi lain yang saling terkait. Organisasi dalam
arti luas dapat berupa organisasi pemerintah, swasta atau perusahaan dan kemasyarakatan. Dalam
168
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
konteks ini organisasi yang dimaksudkan adalah organisasi swasta berupa perusahaan yang
melakukan usaha dibidang pariwisata (usaha pariwisata). Berdasarkan pemahaman konsep organisasi
Etzioni di atas dapat dismpulkan bahwa usaha pariwisata tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan
organisasi-organisasi lain seperti pemerintah, masyarakat dan organisasi swasta lain baik yang sejenis
maupun sebagai pendukung. Sebagai contoh ketika mau melakukan usaha dibidang perhotelan,
misalnya mau mendirikan sebuahhotel, maka harus melakukan interaksi atau komunikasi dengan
pemerintah misalnya untuk pengurusan berbagai perijinan. Ketika hotel sudah beraktivitas maka
memerlukan disamping tenaga kerja juga produk pendukung lain seperti, bahan baku beras, daging,
telor, sayuran, buah-buahan dan lainnya untuk memenuhi kebutuhan pengunjung. Undang-undang
No. 10 tahun 2009 pasal 4 menyebutkan bahwa penyelenggaraan pariwisata di Indonesia bertujuan
sebagai berikut : poin “a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi, b. meningkatkan kesejahteraan
rakyat, c. menghapus kemiskinan, d. mengurangi pengangguran, e. melestarikan alam, lingkungan
dan sumber daya (alam).” Jika berbagai kebutuhan tersebut dipenuhi dengan melakukan kerjasama
dengan masyarakat sekitar misalnya, SDM (karyawan), petani, peternak, pengrajin, penyedia
transportasi maka akan meningkatkan partisipasi masyarakat dan sekaligus meningkatkan aktivitas
ekonomi yang berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus pelestarian alam dan
lingkungan seperti diharapkan dalam undang-undang tersebut. Selain itu juga dilakukan kerjasama
dengan pemangku kepentingan lain yang tidak dapat dipenuhi oleh masyarakat sekitar. Para petani
dan peternak tidak akan ragu lagi dengan aktivitasnya karena yakin bahwa hasilnya sudah ada yang
menampung (membeli). Demikian juga SDM setempat yang tersedia dapat ditampung sehingga tidak
perlu lagi pergi ke daerah lain (kota) untuk mencari pekerjaan, apalagi kalau mereka diberikan
fasilitas pelatihan sesuai dengan kebutuhan usaha pariwisata di daerahnya.
Penyelenggaran pariwisata yang lebih memfokuskan pada keterlibatan atau partisipasi
masyarakat setempat dikenal dengan “strategi perencanaan pengembangan kepariwisataan yang
berorientasi pada pemberdayaan masyarakat” (Sunaryo, 2013:138) yang kemudian disebut dengan
istilah “Community Based Tourism Development”(CBT). Selanjutnya dikatakan bahwa secara teoritis
konsep pengembangan pariwisata “CBT” ini pada dasarnya merupakan kritik terhadap
penyelenggaran model pariwisata konvensional yang lebih mengejar “keuntungan” atau pertumbuhan
secara ekonomi sehingga kurang memperhatikan hak dan kepentingan masyarakat setempat (lokal)
yang memiliki sumber-sumber atau potensi pariwisata.
Undang-undang No. 10 tahun 2009)Pasal 5 poin “e” pada dasarnya mengamanatkan bahwa
pengembangan pariwisata di Indonesia beprinsip untuk “. memberdayakan masyarakat setempat”.
Terkait dengan konsep pemberdayan dikatakan oleh Wrihatnolo, Randy R. dan Dwidjowijoto, Riant
Nugroho (2007:1-6) bahwa pemberdayaan pada dasarnya merupakan proses “menjadi”, yaitu dari
kondisi tidak berdaya menjadi memiliki daya. Daya (“power”)dalam konteks ini dapat dipahami
sebagai “kekuatan” atau “kekuasaan”. Dengan demikian pemberdayaan (empowerment) masyarakat
dapat diartikan sebagai proses pemberian “daya” atau “kekuatan” kepada masyarakat. Menurut
Mardikanto dan Soebianto (2012:100) dikatakan bahwa : “pemberdayaan merupakan upaya yang
dilakukan oleh masyarakat, dengan atau tanpa dukungan dari pihak luar, untuk memperbaiki
kehidupannya yang berbasis kepada daya mereka sendiri, memalui upaya optimasi daya serta
peningkatan posisi tawar yang dimiliki, dengan perkataan lain, pemberdayaan harus menempatan
kekuatan masyarakat sebagai modal utama serta menghindari ‘rekayasa’ pihak luar …..”. Kutipan ini
pada dasarnya menggambarkan bahwa pemberdayaan menuntut adanya partisipasi masyarakat dalam
berbagai aktivitas (ekonomi,politik-kebijakan) untuk meningkatkan kemandirian sehingga memiliki
posisi tawar yang kuat.
169
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Dalam konteks pengembangan pariwisata, dikatakan oleh Hausler yang dikutip Sunaryo
(2013:139) bahwa :
“CBT (pemberdayaan-penulis) pada hakekatnya merupakan salah satu pendekatan dalam pengembangan
pariwisata yang menekankan pada masyarakat lokal, baik yang terlibat langsung dalam industri pariwisata
maupun tidak, dalam bentuk pemberian akses pada manajemen dan sistem pembengunan kepariwisataan yang
berujung padapemberdayaan politis melalui kehidupan yang lebih demokratis, termasuk dalam pembagian
keuntungan dari kegiatan kepariwisataan secara lebih adil bagi masyarakat lokal.
Kutipan di atas pada dasarnya menggambarkan bahwa pengembangan pariwisata yang berbasis
komunitas (masyarakat) harus melibatkan masyarakat agar terjadi pembagian keuntungan yang adil
yang berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Lebih tegas lagi dikatakan oleh Murphy yang
dikutip oleh Sunaryo (2013:138) sebagai berikut :
“pada hakekatnya pembangunan kepariwisataan tidak bisa lepas dari sumber daya dan keunikan komunitas lokal,
baik berupa elemen fisik maupun non fisik (tradisi dan budaya), yang merupakan unsur penggerak utama
kegiatan wisata itu sendiri sehingga semestinya kepariwisataan harus dipandang sebagai ‘kegiatan yang berbasis
pada komunitas setempat’”.
Dari berbagai pendapat di atas dapat dismpulkan bahwa penyelenggaraan pariwisata yang berbasis
komunitas (CBT) ini harus memberikan kesempatan kepada masyarakat (lokal) untuk ikut berperan
aktif dalam proses perencanan mulai dari menentukan hingga berlangsungnya (pelaksanaan)
aktivitas kepariwisataan. Dengan melibatkan masyarakat (lokal) maka akan memberikan kesempatan
untuk belajar dan memperoleh keuntungan secara adil dari berbagai potensi yang ada di daerahnya.
Dengan demikian masyarakat tidak sekedar menjadi penonton atas kemajuan dan pemanfaatan
potensi yang ada di daerahnya, tetapi menjadi pelaku yang terlibat secara langsung maupun tidak
langsung. Pengembangan pariwisata dengan perspektif CBT ini diharapkan mampu menjaga
keberlangsungan industri pariwisata, karena masyarakat ikut merasa “memiliki”. Dengan kata lain
pelibatan masyarakat ini tidak sebatas fisik tetapi juga secara emosional menjadi bagian dari hidup
(kehidupannya). Sebagai contoh seperti yang dilakukan oleh bapak Agung di Bali Utara (dapat dilihat
di google) antara lain di desa Munduk. Beliau berpandangan bahwa penyelenggaraan industri
pariwisata konvensional khususnya di Bali Selatan menimbulkan beberapa persoalan terkait dengan
kelestarian alam, sosial dan ekonomi.Sebagai model alternatifnya beliau mengembangkan pariwisata
yang berbasis pada komunitas (masyarakat) di daerah Bali Utara. Masyarakat diajak terlibat langsung
dengan mengembangkan berbagai potensi yang ada untuk dijadikan produk industri pariwisata yang
berbasis pada pelestarian alam dan kearifan lokal. Masyarakat yang memiliki lahan di bagian
belakang rumah yang biasanya hanya dipakai untuk kandang binatang, “diubah” menjadi “kandang
manusia” dalam bentuk homestayyang bagus dengan pemandangan alam persawahan dan
pegunungan. Selain itu juga melestarikan sistem pertanian “Subak” dan pemanfaatan “lumbung padi”
yang dulunya dipakai untuk menyimpan hasil panen menjadi wisma yang bagus dan diberi nama
“Wisma Lumbung” (Suharsono, 2014, laporan seminar nasional di Bali).Dengan model
pengembangan pariwisata Bali Utara di atas diharapkan dapat menjaga kelestarian alam dan
khususnya ketersediaan air tanah. Selain itu juga berdampak pada peningkatan ekonomi masyarakat
(lokal) dengan penyediaan fasilitas tempat tinggal, makanan dan sayuran, juga jasa transportasi yang
dikelola oleh kelompok masyarakat di Bali Utara.Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pengembangan pariwisata berbasis CBT dapat memberikan dampak ganda (multiplier effect) pada
aktivitas ekonomi masyarakat yang berujung pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Model ini
menurut saya dapat dikembangkan di daerah lain sesuai dengan potensi yang dimiliki sehingga
tercipta keharmonisan antar manusia dan manusia dengan alam (lingkungan).
170
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa potensi pariwisata di Indonesia sangat
luas, tersebar di seluruh wilayah (daerah). Masih banyak potensi pariwisata yang belum dikelola
menjadi produk industri pariwisata yang dapat dijadikan destinasi. Pengelolaan pariwisata
membutuhkan dana yang besar, oleh karena itu perlu kerjasama sinergis yang saling menguntungkan
(kemitraan) antar berbagai unsur pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat dan swasta).
Pengembangan pariwisata konvensionalyang selama ini dilakukan antara lain dengan
membangun hotel-hotel besar, taman-taman permainan dan berbagai sarana pendukung pariwisata
modern, berpotensi menimbulkan berbagai persoalan lingkungan, sosial dan ekonomi masyarakat
sekitar (lokal). Oleh karena itu perlu dicari model alternatif yaitu pengembangan pariwisata yang
bertanggungjawab (responsible tourism)dan berbasis komunitas (Community Based Tourism
Development - CBT). Pariwisata bertangungjawab pada dasarnya menekankan kesadaran pengunjung
(wisatawan) untuk berperilaku yang meminimalkan berbagai aspek negatif. Sedangkan model CBT
ini lebih memfokuskan pada partisipasi aktif masyarakat dalam berbagai aktivitas pariwisata sehingga
menjadi pelaku, bukan “penonton”. Dengan demikian terjadi hubungan yang harmonis antar
pengunjung danmasyarakat (lokal) yang pada akhirnya berdampak pada peningkatan aktivitas
ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (lokal).
Keterbatasan Penulisan
Penulisan ini bukan merupakan hasil penelitian, tetapi lebih pada kajian kepustakaan.
Sedangkan contoh-contoh sebagian berdasarkan hasil penelitian dan sebagian pengamatan dan hasil
seminar yang pernah penulis ikuti. Sebagai kajian ilmiah kepustakaan tentu saja masih jauh dari
sempurna, ditambah lagi dengan disiplin keilmuan penulis yang bukan dari latar belakang pariwisata
tentu saja akan menambah lengkapnya kekurangan tersebut. Oleh karena itu penulis dengan sangat
terbuka dan senag hati menerima berbagai masukan dan saran untuk penyempurnaan kajian tentang
pengembangan pariwisata di Indonesia.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka disarankan bahwa untuk memperdalam kajian tentang
pengembangan pariwisata di Indonesia, diperlukan tindaklanjut dalam bentuk penelitian yang lebih
mendalam misalnya tentang pengaruh pengembangan pariwisata terhadap peningkatan ekonom
masyarakat (lokal), dan kajian tentang model-model kerjasama kemitraan berbasis potensi dan
kearifan lokal yang efektif, berdampak pada peningkatan kesejahteraan (sosial dan ekonomi)
masyarakat. Selain itu juga dapat dikaitkan dengan bentuk kegiatan pengabdian yang tepat bagi
masyarakat untuk menunjang kebutuhan SDM dalam pengembangan pariwisata yang berbasis CBT.
171
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
A.J. Muljadi. (2009).Kepariwisataan dan Perjalanan. Jakarta, Rajawali Press
Damanik, Jamianton dan Weber, Helmut F.(2006). Perencanaan Ekowisata : Dari Teori dan
Aplikasi, Yogyakarta, Andi Press.
Mardikanto, Totok, dan Soebianto, Poerwoko. (2012). Pemberdayaan Masyarakat, dalam
Perspektif Kebijakan Publik, Bandung, Penerbit Alfabeta.
Nurudin, editor. (2014). Komunikasi Budaya,Pariwisata dan Religi, Yogyakarta, Penerbit Aspikom
dan Lintera.
Spillane, James J. (1987). Ekonomi Pariwisata, Sejarah dan Prospeknya, Yogyakarta, Kanisius.
Suharsono. (2013). Pengetahuan Dasar Organisasi, Jakarta, Penerbit Atma Jaya
Suharsono. (2014). Konferensi Nasional Kemiskinan dan Pemberdayaan Indonesia, IPEC 2014
(Indonesia Poverty Empowerment Conference) dengan tema : “Memutus Rantai Kemiskinan
(Belajar dari Kearifan Lokal Bali)”, Jakarta, Laporan peserta Unika Atma Jaya (tidak
dipublikasikan).
Suharsono, Heru Prasadja dan Tanete Pong. (2015). Upaya Meningkatkan Kunjungan Wisatawan ke
Obyek dan Daya Tarik Wisata di Tanjung Pasir, Tangerang, Banten, diseminarkan dan
dimuat dalam Prosiding :SNaPP, Vol. V, No. 1, 2015, Unisba Bandung.
Suharsono dan Heru Prasadja. (2016). Daya Tarik Wisata Keraton Kasepuhan dan Kanoman
Cirebon, diseminarkan dan dimuat dalam Prosiding : SnaPP, Vol 6, No. 1, 2016. Unisba
Bandung.
Sunaryo, Bambang. (2013). Kebijakan Pembangunan Destinasi Pariwisata, Konsep dan Aplikasinya
di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Gava Media.
Pitana, I. Gde dan Gayatri, Putu G. (2005). Sosiologi Pariwisata, Yogyakarta, Penerbit Andi.
Wrihatnolo, Randy R dan Dwidjowijoto, Rian Nugroho. (2007). Manajemen Pemberdayaan, sebuah
pengantar dan panduan untuk pemberdayaan masyarakat, Jakarta, Penerbit Elex Media
Komputindo.
Yoeti, Oka A. (2006).Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya, Jakarta, Pradnya Paramita.
Yoeti, Oka A. (2008).Ekonomi Pariwisata, Introduksi, Informasi, dan Implementasi,Jakarta,
Kompas.
Yoeti, Oka A.(2010).Dasar-dasar Pengertian Hospitality dan Pariwisata, Bandung, Penerbit
Alumni.
Harian Kompas, Rabu, 1 Maret 2017. https://m.tempo.co/read/news/2017/03/12/078855184/
terumbu-karang-raja-ampat-ditabrak-kapal-berapa-kerugiannya (diakses tanggal 16 Maret
2017, pukul 09.06).
172
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
EKONOMI KREATIF: IDENTITAS BUDAYA LOKAL KOTA PALEMBANG
DALAM SEKTOR UMKM
Irzanita, Zanariah, dan FrettyWelta
Universitas Kader Bangsa Palembang
Email: [email protected]
Abstract: The development of the creative economy in the city of Palembang growing so rapidly along with
economic development in Indonesia. Creative Economy has a very important role in the economy.
Characteristics of Palembang people today are dominated by small and medium sized circles made the
development of entrepreneurship in Palembang sector leads to small and medium enterprises (SMEs). This is
evident from the three cultures, Chinese, Arabic and Malay, the majority of them are traders.
This research is expected to provide insight into how important factor in building successful Cultural Identity
Palembang, particularly among small and medium enterprises which constitute the majority among the people
of Palembang. The participation of the government and universities at this time contributed not a little. The
college is required to provide an understanding and an arm of entrepreneurship for young people to socialize.
Keywords: Creative Economy, Culture, Small and Medium Enterprises (SMEs)
Abstrak: Perkembangan Ekonomi kreatif di Kota Palembang berkembang begitu pesat seiring dengan
perkembangan ekonomi di Indonesia. Ekonomi Kreatif memiliki peranan yang sangat penting dalam
perekonomian. Karakteristik masyarakat Palembang saat ini yang banyak didominasi oleh kalangan kecil dan
menengah membuat perkembangan kewirausahaan di Kota Palembang mengarah kepada sektor kecil dan
menengah (UKM). Hal ini terlihat dari 3 budaya yang ada di Kota Palembang yaitu, Cina, Arab dan Melayu,
yang mayoritas merupakan pedagang.
Analisis yang digunakan dengan menggunakan metode deskriptif, Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
wawasan mengenai seberapa penting Faktor Budaya dalam membangun kesuksesan Identitas Kota Palembang,
khususnya di kalangan usaha kecil dan menengah yang menjadi mayoritas di kalangan masyarakat Kota
Palembang. Peran serta pemerintah dan perguruan tinggi saat ini memberikan kontribusi yang tidak
sedikit. Perguruan tinggi dituntut untuk mampu memberikan pemahaman dan perpanjangan tangan
mensosialisasikan kewirausahaanbagi generasi muda.
Kata Kunci: Ekonomi Kreatif, Budaya, UKM
PENDAHULUAN
Ekonomi kreatif didefinisikan sebagai sebuah kumpulan aktifitas ekonomi berbasis
pengetahuan (knowledge-based economic activities) yang secara intensif menggunakan kreatifitas
dan inovasi sebagai primary input-nya untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang bernilai
tambah. Adapun ruang lingkup dari ekonomi kreatif mencakup aspek yang sangat luas dan tidak
terbatas pada seni dan budaya saja.
Secara umum ekonomi kreatif memiliki 3 dimensi yaitu dimensi inovasi dan
kreatifitas, dimensi kapabilitas teknologi, dan dimensi seni dan budaya. Pada gambar 1 di
bawah, ditampilkan spektrum dari ekonomi kreatif yang mencakup berbagai sektor mulai dari
pengetahuan tradisional, sampai dengan industri musik, filem, periklanan, dan berbagai industri
perangkat lunak. Meskipun spektrumnya sangat luas, akan tetapi esensi dari ekonomi kreatif adalah
semakin penting dan strategis kapasitas pengembangan kreasi dan daya inovasi.Sebagai
konsekuensinya, maka di era ekonomi kreatif, dituntut adanya berbagai bentuk pekerjaan baru,
173
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
yang tentunya berbeda dengan tuntutan pekerjaan di era industri maupun era agraris. Pekerjaan
jenis baru atau future of work di era ekonomi kreatif, sesuai dengan namanya, tentunya adalah
segala bentuk pekerjaan yang sarat dengan tuntutan untuk terus melakukan akumulasi
pengetahuan untuk menghasilkan berbagai inovasi baru atau sering disebut dengan innovation
intensive employment.
Gambar 1.
Sprektum Ekonomi Kreatif
Prinsip yang paling fundamental dari ekonomi kreatif adalah jika di era sebelumnya
kinerja dari masyarakatnya umumnya diukur sebatas dari tingkat produktifitas dalam memproduksi
produk, jasa maupun proses; maka dalam era ekonomi kreatif kinerja masyarakat diukur tidak
sebatas pada peningkatan produktifitas belaka, akan tetapi lebih diukur berdasarkan dari
peningkatan akumulasi pengetahuan dan peningkatan kapasitasnya dalam melakukan inovasiinovasi ketika melakukan sejumlah aktifitas produksi tersebut.
.
PEMBAHASAN
1. Manusia Kreatif: Modal Masa Depan
Unsur utama dari pengembangan ekonomi kreatif tentunya adalah sumber daya manusia
kreatif. Oleh karena itu, pembinaan sumber daya manusia menjadi para penemu dan pencetus ide
kreatif adalah solusi untuk menghadapi berbagai peluang di era masa depan.Pada dua paragraf
sebelumnya telah diulas tentang sejumlah tantangan strategis pada pembangunan ekonomi di masa
depan serta bentuk-bentuk pekerjaan yang dituntut oleh pembangunan ekonomi masa depan
tersebut. Maka pada paragraf ini akan diulas secara ringkas tentang pembinaan sumber daya manusia
174
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
kreatif dalam menghadapi sekaligus mengantisipasi hal-hal tersebut. Kunci
keberhasilan
pembangunan ekonomi kreatif terletak pada keunggulan modal manusia melalui pengembangan:
1. Investasi jangka panjang pada pendidikan;
2. Modernisasi infrastruktur informasi;
3. Peningkatan infrastruktur untuk pengembangan kreativitas dan kapabilitas inovasi;
4. Penciptaan lingkungan ekonomi yang kondusif untuk mendorong transaksi yang lebih atraktif
tetapi efisien.
Selain itu perlu juga mempertimbangkan konsep berikut ini, yaitu
1. Talenta, untuk menghasilkan sesuatu yang berdaya saing tinggi, dibutuhkan SDM yang
bertalenta, yakni orang-orang yang memiliki bakat khusus yang dibawa sejak lahir dan tidak
dimiliki oleh orang lain. Orang-orang seperti ini memiliki penghasilan yang tinggi dari
gagasan-gagasan kreatifnya.
2. Toleransi, manakala suatu daerah memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap gagasan-gagasan
kreatif dan kontroversial, serta mendukung orang-orang yang berani berbeda, maka iklim
penciptaan kreatifitas dan inovasi akan semakin kondusif dan pekerja-pekerja kreatif dapat
bebas mengekspresikan gagasannya. Termasuk dalam toleransi ini adalah kemudahan untuk
memulai usaha baru dan memadainya ketersediaan kanal-kanal solusi finansial untuk
mengembangkan bisnis.
3. Teknologi, akhir-akhir ini kehadiran teknologi memiliki peranan yang sangat strategis dalam
mempercepat, meningkatkan kualitas dan mempermudah kegitan ekonomi dan bisnis.
Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya pekerjaan manusia yang dapat digantikan oleh
teknologi, sehingga manusia sebagai pembuat atau operatornya memiliki lebih banyak waktu untuk
mengkreasi ide dan gagasan-gagasannya menjadi sebuah inovasi baru. Dengan demikian,
kemudahan mengakses dan membeli teknologi, transfer teknologi adalah faktor penting dalam
pembangunan ekonomi kreatif.Membangun citra pengembangan ekonomi kreatif dapat ditempuh
melalui beberapa langkah:
1. Melestarikan budaya lokal yang disertai dengan penyesuaian terhadap perkembangan terbaru
yang lebih modern agar menarik minat generasi muda dan pasar internasional. Hal ini sejalan
dengan karakteristik industri kreatif sebagai sektor industri yang dapat memberi pembaruan
dalam pelestarian budaya sekaligus mengeksplorasi potensi ekonominya.
2. Melestarikan dan memperkuat nilai-nilai budaya untuk meningkatkan reputasi melalui konversi
cagar budaya dan proteksi warisan budaya.
3. Membangun perilaku dan semangat kreativitas masyarakat berbasis budaya secara konsisten
yang tercermin di segala dimensi social kemasyarakatan.
4. Meningkatkan rasa memiliki budaya yang diwariskan oleh leluhur guna menumbuhkan
perilaku kebanggaan atas budaya lokal dan kebanggaan memakai produk dalam negeri.
5. Meningkatkan konektifitas melalui kemajuan teknologi yang disinergikan dengan nilai-nilai
simbolik suatu produk agar berkarakter spesifik sesuai dengan identitas budaya lokal yang unik
dan geniun.
2. Perspektif Ekonomi Kreatif
Dalam kenyataannya Palembang merupakan kota budaya dengan tiga etnis budaya besar
yaitu Cina, Melayu dan Arab. Ekonomi Kreatif yang diharapkan dapat menunjang pergerakan
ekonomi Palembang dalam sisi UMKM, dalam menghadapi perhelatan besar tingkat Internasional
ASIAN GAMES 2018, kota Palembang dituntut sebagai Tuan Rumah ajang olahraga bergensi
tersebut. Dalam pemahaman Ekonomi Kreatif bidang ekonomi, disebutkan sejumlah kekeliruan itu,
175
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
antara lain adalah rasionalitas yang didasarkan pada materi, kepercayaan yang berlebihan pada
mekanisme pasar untuk mengatur dirinya sendiri, dan kekakuan pada prinsip efisiensi tanpa
memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin. Ini semua menyebabkan timbulnya ketidakadilan
ekonomi, yang membuat gap yang semakin besar antara orang atau masyarakat miskin dan orang atau
masyarakat yang kaya. Ketidakadilan yang melekat secara intrinsik dalam ilmu dan sistem ekonomi,
tampaknya tidak akan dapat diatasi dengan upaya-upaya kedermawaan, apalagi mengharapkan efek
otomatis dari pertumbuhan ekonomi secara makro. Menarik untuk disimak sejumlah daftar kebutuhan
sistem yang diharapkan dapat mengatasi persoalan-persoalan ekonomi yang doihadapi umat manusia
dewasa ini, yaitu antara lain:
a. Membangun kembali aspek spritual dan moral ekonomi dan memasukkannya secara intrinsik
dalam ilmu ekonomi.
b. Menciptakan tata dunia baru yang adil dan tidak bersifat hegemonistik.
c. Menempatkan SDM sebagai salah satu modal dalam kegiatan ekonomi, dan peranan uang
diluruskan hanya sebagai bersifat instrumental, bukan sebagai komuditas.
d. Membuat sistem distribusi kekayaan dan pendapatan yang adil pada semua tingkatan.
e. Menghidupkan ekonomi pasar dengan tanggung jawab sosial, komitmen moral dan peran
positif negara untuk menjamin berlangsungnya aturan permainan.
Berdasarkan uraian tentang perlunya alternatif sistem ekonomi yang kondusif bagi kebutuhan
real bagi kelangsungan hidup manusia pada masa akan datang, ekonomi kreatif memiliki peluang
yang besar untuk menjadi alternatif itu. Peluang ini diperkuat oleh hasil –hasil kajian positif tentang
ekonomi kreatif pada tingkat teoritis keilmuan yang dilakukan oleh berbagai pihak, terutama oleh
keberhasilan lembaga-lembaga keuangan Islam untuk bersaing dengan lembaga-lembaga
konvensional sejenis yang mampu bertahan dalam menghadapi gejolak krisis ekonomi.
3. Epilog: Palembang terkenal dengan ragam budaya dan tradisi dengan mayoritas suku bangsa
Arab, China dan Melayu sebagai penduduknya
Mengulas Ekonomi Kreatif ini, karena ini adalah momentum bagus untuk mulai
menumbuhkembangkan profesi-profesi kreatif di Kota Palembang dalam menyonsong ASIAN
GAMES 2018. Topik ini sangat menarik, namun mulai saat ini kita harus membiasakan diri untuk
sering berganti-ganti kacamata sudut pandang, dari kaca mata makro ekonomi ke kacamata
sosiologi, etnografi, kreatif & artistik, teknologi ICT, planologi, bahkan studi pembangunan
dimana Kota Palembang Merupakan penduduk dengan keragaman budaya. Saat ini kita hidup di era
gelombang ke-4 peradaban yang dicirikan dengan semakin tumbuh dan berkembangnya ekonomi
kreatif. Dalam peradaban gelombang ke-4 itu, unsur penentu daya saing adalah kreatifitas dan
inovasi. Sehingga tantangan pembangunan yang terpenting yang harus kita hadapi dewasa ini, adalah
tantangan untuk terus berinovasi atau the need to continuosly innovating. Ekonomi kreatif ditopang
oleh 3 pilar yaitu: budaya kreatifitas, daya inovasi, dan kemajuan teknologi.
Karena maraknya peran daya kreatifitas dan inovasi tersebut, maka beberapa literatur
juga sering menyebutkan era sekarang ini sebagai abad inovasi atau the Century of Innovation. Saat
ini inovasi, di berbagai bidang nyaris berlangsung tanpa henti, dan sebagai konsekuensinya, para
inovator semakin menempati peran penting dalam peradaban sekarang ini. Dalam kondisi tersebut,
maka karakteristik pekerjaan masa depan (the future of works and employment) ditandai dengan
tuntutan untuk terus menerus melakukan inovasi atau innovative intensive employment dan
berintikan pada pengarusutamaan pembelajaran terus menerus.
Di era ekonomi kreatif, maka infrastruktur dan segenap aktivitas ekonomi dengan
sendirinya harus disesuaikan dengan karakteristik ekonomi kreatif, yaitu adanya basis
176
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pengetahuan yang menunjang inovasi, adanya mekanisme koordinasi yang menjamin sinergi
industri dan universitas, serta pembentukan kelembagaan yang memberikan akses pemodalan dan
pranata perlindungan hukum untuk kekayaan intelektual. Pemerintah baik pusat dan daerah,
termasuk Kabupaten/Kota,sedang dan terus mengembangkan sumber daya manusia sebagai aset
utama dalam meraih peluang di era ekonomi kreatif.
Banyak studi empiris menunjukan bahwa terdapat paling tidak, sedikitnya 4 (empat)
persyaratan pokok untuk membangun ekonomi kreatif, meliputi :
1. Peningkatan kapasitas pengetahuan(melalui peningkatan kerjasama penelitian, collaborative
research);
2. Peningkatan kualitas dan daya inovasi masyarakat (melalui pendidikan yang memadukan, iptek,
budaya dan seni);
3. Penyempurnaan infrastruktur (untuk transportasi, informasi dan telekomunikasi);
4. Perbaikan pranata kebijakan yang mendukung (perlindungan hak kekayaan intelektual, peraturan
anti monopoli, anti trust, pemodalan ventura, insentif pajak dan sejenisnya).
Kita semakin sadar betapa makin pentingnya konsepsi yang jelas dan terarahdalam
pengembangan kapasitas dan kemampuan Kota Palembang dalam membangun perekonomian
daerah berbasis ekonomi kreatif, karena melihat kecendrungan dan beberapa fakta yang telah ada
selama ini, antara lain :
1. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi semakin cepat. Kecepatan Produksi Inovasi semakin
tinggi. Siklus Inovasi semakin singkat;
2. Produksi Ekonomi Global (Global economy production) meningkat 6 kali lipat di 20 tahun
terakhir;
3. Mobilitas Manusia (Human Mobility) meningkat 5 kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir. Indikasi ini menunjukkan bahwa interaksi antar manusia makin intensif;
4. Munculnya Kekuatan Ekonomi Global Baru: Cina dan India;
5. Kesenjangan Negara Kaya dan Negara Miskin semakin lebar. Data dari World Bank (2010)
menunjukkan bahwa 80% kemajuan ekonomi global hanya dinikmati oleh 20% penduduk dunia.
Ekonomi kreatif tidak bisa dilihat dalam konteks ekonomi saja, tetapi juga dari dimensi
budaya. Ide-ide kreatif yang muncul adalah produk budaya. Karenanya strategi kebudayaan
sangat menentukan arah perkembangan ekonomi kreatif.
Masyarakat pada umumnya memiliki keunggulan toleransi keragaman sosiokultural, yaitu :
1. Sikap terbuka dan keramahan masyarakat terhadap orang asing maupun etnis lainnya;
2. Kesenian tradisi (warisan budaya) masyarakat dapat dilihat dalam kehidupan sehari; dan
3. Terpeliharanya warisan budaya dan aset-aset wisata alam yang khas dan unik. Ketiga
keunggulan tersebut mampu menjadi meeting point dari berbagai etnis dunia yang tidak sekadar
ingin menikmati keindahan alam, namun juga ingin berkarya dan berkolaborasi dengan warga
etnis lainnya.Interaksi semacam ini merupakan faktor penting bagi perekonomian masyarakat dan
menjadikan masyarakat Kota Palembang pada umumnya makin dikenal sebagai tempat
berkarya bagi banyak individu kreatif yang tidak hanya berkelas nasional, namun juga berkelas
dunia.
177
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan dari hasil penjelasan di atas adalah bahwa realitas dan fenomena ekonomi
kreatif sebenarnya bukanlah hal yang baru bagi kita, warga masyarakat yang telah terbukti
memiliki aset kreativitas sejak dulu tidak kekurangan modal kreatifitas, hanya saja pada saat ini kita
belum mengintegrasikan dan menyinergikannya. Untuk itu langkah-langkah yang dibutuhkan
adalah: Untuk itulah kiranya kita harus memulai menyusun langkah -langkah strategis sebagai berikut
:
1. Menyusun Cetak Biru Ekonomi Kreatif di Kota Palembang yang melibatkan seluruh
pemangku kepentingan (stake holder), seperti pemerintah daerah, pengusaha, seniman,
budayawan, tokoh spritual, akademisi, dan generasi muda.
2. Menyusun kebijakan taktis dan teknis mengenai ekonomi kreatif yang komprehensif
sehingga bisa menjadi semacam juknis dan juklak bagi semua pengambil keputusan
(decision maker)yang terkait dengan industri kreatif di Kota Palembang.
3. Menggiatkan inisiatif, baik swasta maupun Pemerintah untuk menciptakan tempat-tempat
pengembangan talenta industri kreatif di setiap wilayah Kota Palembang sampai dengan
Lingkungan RT (Rumah Tangga).
4. Menciptakan produk dan jasa unggulan daerah yang berbasis nilai-nilai kreativitas dan
berbasis budaya lokal yang geniun, unik, dan khas berdasarkan prioritasnya, misalnya :
a. Di bidang industri pariwisata, wisata religi
b. Kerajinan tangan (handy-craft) yang khas dan unik dengan muatan ciri local yaitu songket
dan handy craft lainnya.
c. Industri Jasa di bidang gaya hidup
d. Industri Makanan, menjual Pempek dan Kerupuk Kempalng dengan menggunakan
inovasi dan kreatif sehingga menjadi Icon Khas Kota Palembang.
e. Menciptakan pasar berbasis budaya lokal di internal Kota Palembang sendiri, karena
selama ini Kota Palembang telah menjadi target pasar dari daerah atau negara lain.
f. Menumbuhkan semangat invovasi dan kreativitas didalam dunia pendidikan agar
generasi muda mampu melahirkan gagasan baru berdasarkan apa yang sudah dimiliki
sejak awal.
g. Transfer teknologi yang konsisten dalam industri kreatif berwawasan budaya
terutama dari industriindustri besar dan menengah ke UMKM-UMKM dan Koperasi yang
telah ada di Kota Palembang.
h. Meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) bagi Pemerintah Kota Palembang dari
sumber-sumber aktivitas ekonomi produktif berbasis kreativitas budaya lokal yang
telah berorientasi industri dan berskala menengah dan besar, guna dijadikan modal dan
sumber pendanaan bagi Pemerintah Daerah dalam mendorong dan mengembangankan
industri kreatif yang belum berkembang terutama bagi kalangan UMKM dan Koperasi.
i. Promosi Potensi Kota Palembang baik di tingkat regional, nasional, dan internasional,
yang terkait dengan:
1. Potensi Alam dan Pariwisata yang eksotis dan berbau etnis yang geniun dan unik.
2. Pengembangan dan penguatan warisan budaya lokal (herritage).
3. Industri manufaktur dan jasa berbasis budaya dan seni
j. Sosialisasi, diseminasi, dan promosi harus dilakukan secara intens dan sistimatis
tentang kekuatan Kota Palembang dibidang Industri kreatif agar diperhitungkan di Peta
kompetensi nasional dan dunia.
178
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
Alvin Toffler (1980), The Third Wave, Penerbit Penguin Book, England.
Howkins, John, (2001), The Creative Economy: How People Make Money From Ideas,
Penguin Book, England.
Moelyono, Mauled. (2010), Menggerakkan Ekonomi Kreatif: Antara Tuntutan dan
Kebutuhan, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta.
Richard, Florida. (2001).“The Rise of Creative Class dan dalam Cities and the Creative
Class”.Harvard University Press.
179
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
KINERJA MANAJEMEN MODAL KERJA
DENGAN PENDEKATAN DU PONT SYSTEM
Sarah Usman1, Rintar Agus Simatupang2 dan Riendhra Nadyarian Artika Putri3
Papua University – West Papua
E-mail: [email protected] & [email protected]
Abstract: Return on assets the main supporting Industry to achieve the purpose. Return on asset consists
of money supply, credit, and supply. The sustainability of the industry can be preserved by good
management of it. Chip industry on Manokwari regency has problems in managing the return on asset.
Efficient management of return on asset needed to improve the industry performance. Du pont system is
the analyze finances method which used to measure it. The problem in this research is how to observe
total asset turnover, profit margin and return on asset (ROA) by du pont system approach on chip industry
regency of Manokwari. Purpose of this research is to know the turnover total asset, profit management
and return on asset (ROA) by du pont system approach on chip industry regency of Manokwari. Collect
method data is by questioner and interview. Analysis instrument is finances ratio instrument by du pont
system approach. Sampling method is by purposive sampling on these criteria : (1) chip industry have
license from the Health Department, (2) industry have finance data about one last year (3) Willing to meet
and give the data that it takes researches. The result show that highest of total asset turnover is Tegal Jaya
about 11,84 times or Rp 30.486.487,- and the lowest asset turnover is Tunas Jaya about 5,88 times or Rp
75.020.408,-. The highest profit margin is Sul Mandiri namely 30,23% or Rp 80.532.720,- and the lowest
is Bintang Timur namely 10,42% or Rp 26.883.600,-. The highest Return on Asset (ROA) is Sul Mandiri
namely 221,89% or Rp 113.569.787,- and the lowest is Bintang Timur namely 84,61% or Rp 422.361.423,.
Keywords: Working Capital, Management, Du Pont System, performance
Abstrak: Modal kerja merupakan penunjang utama sebuah perusahaan untuk melakukan kegiatan
operasional agar tujuan perusahaan dapat tercapai. Modal kerja terdiri dari kas, piutang dan persediaan.
Modal kerja perlu dikelola dengan baik agar dapat mempertahankan kelangsungan perusahaan. Usaha
keripik di kabupaten Manokwari memiliki permasalahan dalam megelola modal kerja sehingga perlu
pengelolaan modal kerja yang efisien sehingga dapat meningkatkan kinerja usaha. Dalam mengukur
kinerja usaha menggunakan metode analisis keuangan yaitu du pont system. Permasalahan dalam
penelitian ini adalah bagaimana total asset turnover, profit margin dan kinerja manajemen modal kerja
(ROA) dengan pendekatan du pont system pada usaha keripik di kabupaten Manokwari. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui total asset turnover, profit margin dan kinerja manajemen modal kerja (ROA)
dengan pendekatan du pont system pada usaha keripik di kabupaten Manokwari. Metode pengumpulan
data menggunakan kuesioner dan wawancara. Alat analisis yang digunakan adalah analisis rasio keuangan
dengan pendekatan du pont system. Metode sampling menggunakan purposive sampling dengan kriteria
sebagai berikut: (1) usaha keripik yang memiliki izin usaha dari Dinas Kesehatan, (2) usaha yang memiliki
data keuangan selama satu tahun terakhir dan (3) bersedia ditemui dan memberikan data yang dibutuhkan
peneliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa total asset turnover tertinggi adalah Tegal Jaya yaitu
11,84 kali atau sebesar Rp 30.486.487,- sedangkan total asset turnover terendah yaitu Tunas Jaya yaitu
5,88 kali atau sebesar Rp 75.020.408,-. Profit margin tertinggi adalah Sul Mandiri yaitu 30,23% atau
sebesar Rp 80.532.720,- sedangkan profit margin terendah adalah Bintang Timur yaitu 10,42% atau
sebesar Rp 26.883.600,-. Return on asset (ROA) tertinggi adalah Sul Mandiri yaitu 221,89% atau sebesar
Rp 113.569.787,- sedangkan return on asset (ROA) terendah adalah Bintang Timur yaitu 84,61% atau
sebesar Rp 422.361.423,-.
Kata kunci: Modal Kerja, Manajemen, Du Pont System, Kinerja
180
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENDAHULUAN
Sumber daya keuangan yaitu modal, merupakan salah satu sumber daya yang penting dalam
perusahaan. Perusahaan harus mampu menerapkan fungsi-fungsi manajemen yang diantaranya
meliputi perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian secara baik sehingga tujuan perusahaan
dapat tercapai. Serta melakukan pengelolaan modal dengan baik agar tersedia modal yang cukup
dalam melaksanakan peningkatan kegiatan operasi.
Pengelolaan modal mempunyai peranan yang sangat penting bagi suatu perusahaan dimana
dengan pengelolaan modal yang baik akan menciptakan keuntungan bagi perusahaan tersebut. agar
hasil yang diperoleh perusahaan dapat optimal dan tingkat keuntungan sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai. Untuk memperoleh keuntungan yang diharapkan maka manajer harus mampu memilih,
mengelola dan mengawasi penggunaan modal kerja perusahaan. Modal kerja menjadi penunjang
utama sebuah perusahaan untuk melakukan kegiatan operasional agar tujuan perusahaan yang telah
ditetapkan dapat tercapai.
Brigham dan Houston (2010) mengemukakan bahwa modal kerja adalah seluruh aset jangka
pendek, atau aset lancar yang berupa kas, efek yang dapat diperjualbelikan, persediaan dan piutang
usaha. Modal kerja dalam konsep kuantitatif merupakan sejumlah dana yang tertanam dalam aktiva
lancar yang berupa kas, piutang-piutang, persediaan yang akan mengalami perputaran sekali dalam
jangka waktu yang pendek (Riyanto, 2001) dalam (Syukriani, 2005). Modal kerja dalam perusahaan
perlu dikelola dengan baik karena modal kerja penting bagi setiap perusahaan, yaitu tanpa modal
kerja perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan operasional sehari-hari, sebagian besar waktu dari
manajer dicurahkan untuk mengelola modal kerja perusahaan dan aktiva lancar dari perusahaan
manufaktur maupun perusahaan jasa memiliki jumlah yang cukup besar dari total aktiva perusahaan.
Menurut Esra dan Apriweni (2002) dalam (Marantika, 2012), pengelolaan modal kerja perlu
memperhatikan tiga elemen utama, yaitu kas, piutang dan persediaan. Dari semua elemen modal kerja
dihitung perputarannya. Semakin cepat tingkat perputaran masing-masing elemen modal kerja, maka
modal kerja dapat dikatakan efisien. Tetapi jika perputarannya semakin lambat, maka penggunaan
modal kerja dalam perusahaan kurang efisien. Pengelolaan modal kerja bukan hanya penting bagi
perusahaan dalam skala besar tetapi juga perlu diterapkan pada usaha kecil dan menengah.
Usaha mikro kecil dan menengah tahun 2012 sebanyak 175 pengusaha makanan. Usaha makanan
yang turut berkembang salah satunya adalah usaha keripik. Terdapat 53 usaha keripik yang telah
terdaftar (Dinas PERINDAKOP dan UMKM, Kabupaten Manokwari, 2012). Usaha keripik perlu
melakukan pengelolaan modal kerja agar kelangsungan usaha dan tujuan dapat dicapai yaitu laba
usaha akan meningkat. Pengelolaan modal yang baik dan efisien akan meningkatkan kinerja
keuangan usaha kecil dan menengah.
Dalam mengukur kinerja keuangan suatu usaha dapat digunakan berbagai macam analisis. Salah
satu metode analisis yang digunakan untuk menilai kinerja keuangan adalah dengan pendekatan du
pont system. Pendekatan du pont system Untuk mengetahui tingkat efisiensi penggunaan modal dalam
turnover of operating asset melalui tingkat perputaran masing-masing komponen aktiva dengan cara
membandingkan pendapatan usaha dengan komponen aktiva. Dimana aktiva dalam penelitian ini
adalah kas, piutang dan persediaan.
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimana
kinerja manajemen modal kerja (ROA) dengan pendekatan du pont system? Adapun tujuan dalam
penelitian ini adalah: Untuk mengetahui kinerja manajemen modal kerja (ROA) dengan pendekatan
du pont system.
181
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
TINJAUAN PUSTAKA
Manajemen Modal Kerja
Menurut Gitosudarmo dan Basri (2000), pengertian modal kerja dapat dikemukakan dalam
beberapa konsep, yaitu:
1. Konsep kuantitatif
Dalam konsep kuantitatif, modal kerja adalah jumlah dana yang tertanam dalam aktiva lancar
yang berupa kas, piutang, dan persediaan. Dana yang tertanam dalam aktiva lancar akan mengalami
perputaran dalam waktu pendek. Besarnya modal kerja adalah sejumlah aktiva lancar.
2. Konsep kualitatif
Dalam konsep kualitatif, modal kerja dikaitkan dengan besarnya hutang lancar atau hutang yang
harus dibayar segera dalam jangka pendek. Besarnya modal kerja adalah sejumlah dana yang
tertanam dalam aktiva lancar yang benar-benar dapat dipergunakan untuk membiayai operasi
perusahaan atau sesudah dikurangi besarnya hutang lancar. Modal kerja adalah kelebihan aktiva
lancar diatas hutang lancar.
3. Konsep fungsional
Dalam konsep fungsional, besarnya modal kerja adalah didasarkan pada fungsi dari dana untuk
menghasilkan pendapatan. Pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan dalam satu periode
accounting (current income) bukan pada periode-periode berikutnya (future income). Terdapat
sejumlah dana yang tidak menghasilkan current income, atau jika menghasilkan tidak sesuai dengan
misi perusahaan, yang disebut nonworking capital. Besarnya modal kerja adalah besarnya kas,
besarnya persediaan, besarnya piutang (yang dikurangi besarnya keuntungan), dan besarnya sebagian
dana yang ditanamkan dalam aktiva tetap.
Pendekatan Du Pont System
Du pont system sangat bermanfaat memberikan gambaran tentang kondisi keuangan suatu
perusahaan. Menurut Atmaja (2006) du pont analysis memperlihatkan bagaimana perputaran aktiva
dan Profit Margin dikombinasikan untuk menentukan return on equity (ROE). Du pont system
memecah return on asset dan return on equity menjadi berbagai rasio lainnya. Menurut Brealey et al.,
(2006) du pont system merupakan penguraian ukuran kinerja menjadi rasio komponen. Rasio
komponen membantu mengisolasi pengaruh yang terpisah pada kinerja. Du pont system merupakan
pemecahan return on equity (ROE) dan return on asset (ROA) menjadi rasio komponen. Return on
equity (ROE) merupakan suatu pengukuran dari penghasilan (income) yang tersedia bagi para pemilik
perusahaan (baik pemegang saham biasa maupun saham preferen) atas modal yang mereka
investasikan di dalam perusahaan. Secara umum semakin tinggi return atau penghasilan yang
diperoleh maka semakin baik kedudukan pemilik perusahaan (Syamsuddin, 1998).
182
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
ROE
ROA
Profit Margin
Sales
Total Cost
Assets/Equity
Total Assets Turnover
Net Income
Total Assets
Sales
Sales
Total Assets
Total Assets
Sumber: Atmaja (2006)
Gambar 1. Bagan Du Pont
Analisis du pont menggabungkan rasio-rasio aktivitas dan Profit Margin, dan menunjukkan
bagaimana rasio-rasio tersebut berinteraksi untuk menentukan profitabilitas aktiva-aktiva yang
dimiliki perusahaan. Jika rasio perputaran dikalikan dengan marjin laba penjualan, hasilnya adalah
tingkat pengembalian aktiva/ return on asset (ROA) atau sering disebut juga tingkat pengembalian
investasi/return on investment (ROI) (Sawir, 2005) dalam (Lianto, 2013).
Return on asset (ROA) yaitu rasio yang membandingkan antara laba bersih setelah pajak
dengan jumlah aktiva. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan secara
keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di
dalam perusahaan (Setyorini et al., 2016). Menurut Hanafi dan Halim (2003) dalam Setyorini et al.
(2016) return on asset (ROA) merupakan rasio keuangan perusahaan yang berhubungan dengan
profitabilitas yang mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan atau laba
pada tingkat pendapatan, asset dan modal saham tertentu. Return on asset (ROA) yang tinggi
menunjukkan penerimaan perusahaan akan investasi yang sangat baik dan manajemen biaya yang
efektif. Semakin besar nilai return on asset (ROA), maka akan menunjukkan kinerja perusahaan yang
baik pula, karena tingkat pengembalian investasi semakin besar. Menurut Brealey et al. (2006)
perhitungan dengan menggunakan pendekatan du pont adalah sebagai berikut:
ROA =
Laba Bersih + Bunga Penjualan Laba Bersih + Bunga
=
x
Asset
Asset
Penjualan
↑
perputaran
asset
↑
margin laba
operasi
Brealey et al. (2006)
Total asset turnover menunjukkan tingkat efisiensi penggunaan keseluruhan aktiva perusahaan
di dalam menghasilkan volume penjualan tertentu. Semakin tinggi rasio total asset turnover berarti
semakin efisien penggunaan keseluruhan aktiva di dalam menghasilkan penjualan (Syamsudin, 1998).
Analisis total asset turnover digunakan untuk mengetahui efektivitas penggunaan seluruh aktiva
183
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
perusahaan dalam rangka menghasilkan penjualan, atau dapat dikatakan pengambilan beberapa
rupiah penjualan bersih yang dapat dihasilkan oleh setiap rupiah yang diinvestasikan dalam bentuk
harta perusahaan. Semakin cepat perputaran aktiva tersebut menunjukkan semakin efektifnya
perusahaan dalam menggunakan aktivanya secara produktif dan apabila perputaran aktiva tersebut
lambat maka menunjukkan aktiva yang dimiliki terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan
perusahaan untuk menjualnya (Sawir, 2001) dalam (Syukriani, 2005).
Profit Margin adalah rasio antara laba bersih (net profit) yaitu penjualan sesudah dikurangi
dengan seluruh espenses termasuk pajak dibandingkan dengan penjualan. Semakin tinggi Profit
Margin, semakin baik operasi suatu perusahaan. Profit Margin dikatakan baik tergantung dari jenis
industri di dalam mana perusahaan berusaha (Syamsudin, 1998). Profit Margin merupakan
kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari tingkat penjualan tertentu. Profit Margin dapat
diinterpertasikan sebagai tingkat efisiensi perusahaan yakni sejauh mana kemampuan perusahaan
menekan biaya-biaya yang ada di perusahaan. Semakin tinggi Profit Margin yang dicapai perusahaan
menunjukkan semakin efisiensinya operasi perusahaan (Riyanto, 2001) dalam (Syukriani, 2005).
Penelitian Terdahulu
Lianto (2013) melakukan penelitian berjudul “Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan
Menggunakan Analisis Du Pont”. Variabel dalam penelitian ini adalah total asset turnover, Profit
Margin dan return on investment (ROI). Metode analisis yang digunakan adalah analisis du pont.
Hasil penelitian ini adalah berdasarkan rata-rata Return On Invesment (ROI), rata-rata Profit Margin
(PM), dan rata-rata Total Assets Turn Over (TATO), selama tahun 2008-2010 menunjukkan bahwa
PT. Hanjaya Mandala Sampoerna, memiliki kinerja keuangan yang lebih baik dibandingkan PT.
Gudang Garam.
Wuryaningsih dan Dziqron (2014) melakukan penelitian berjudul “Penerapan Du Pont System
Untuk Mengukur Kinerja Keuangan Perusahaan (Studi Pada Perusahaan Semen Yang Terdaftar Di
BEI Tahun 2007-2011)”. Hasil penelitian ini adalah PT Holcim Indonesia Tbk menunjukkan ROI (Du
Pont System) berada dibawah rata-rata industri yang menunjukan bahwa perputaran aktiva dan Net
Profit Margin sangat rendah. Hal ini menunjukan bahwa kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba
kurang baik. PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk menunjukkan ROI (Du Pont System) berada
diatas rata-rata industri yang menun-jukan bahwa perputaran aktiva kurang baik namun Net Profit
Margin sangat tinggi. Hal ini menunjukan bahwa kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba cukup
baik. PT. Semen Gresik (Persero) Tbk menunjukkan ROI (Du Pont Sys-tem) berada diatas rata-rata
industri yang menunjukan bahwa perputaran ak-tiva dan Net Profit Margin sangat tinggi. Hal ini
menunjukan bahwa ki-nerja perusahaan dalam menghasilkan laba semakin baik.
McGowan dan Stambaugh pada tahun 2012 mengadakan penelitian berjudul “Using
Disaggregated Return on Assets to Conduct a Financial Analysis of a Commercial Bank Using an
Extension of the DuPont System of Financial Analysis”. Penelitian ini menggunakan sistem DuPont
analisis keuangan untuk melakukan analisis keuangan dari bank, pada data return on equity yang
didasarkan pada Margin net Laba, perputaran total aset, dan multiplier ekuitas. net Profit Margin
menjadi tiga komponen: pengembalian pinjaman (return asset), kembali pada surat berharga (return
on investment), dan pengembalian pada aset lain (returt other asset). Serta, data tambahan yang
disediakan dalam pengajuan SEC dari Monarch Bank. Analisis mencakup periode dari tahun 2003
sampai 2010. Hasil penelitian bahwa pengembalian aset untuk Monarch Bank berasal terutama dari
pengembalian pinjaman. Artinya, 86% dari laba tertimbang investasi pada aset untuk Monarch Bank
berasal dari pengembalian pinjaman.
184
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Collier et al. pada tahun 2010 mengadakan penelitian berjudul “Evaluating The Impact Of A
Rapidly Changing Economic Environment On Bank Financial Performance Using The Dupont
System Of Financial Analysis”. Penelitian ini menyajikan model untuk analisis keuangan dari bank
dalam lingkungan yang berubah dengan cepat berdasarkan sistem DuPont analisis keuangan. Sistem
DuPont analisis keuangan berdasarkan analisis pengembalian ekuitas yang dibedakan menjadi
Margin Laba bersih, perputaran total aset dan multiplier ekuitas. Analisis dimulai pada tahun 1999
yang merupakan tahun Affin Bank dibentuk sampai 2006. Sistem DuPont analisis keuangan
menunjukkan dampak dari krisis keuangan Asia dan restrukturisasi industri perbankan di Malaysia
pada kinerja keuangan Affin Bank dan pemulihan bertahap dari Affin Bank untuk kembali ke
performa stabil selama delapan tahun terakhir.
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif keuangan. Menurut Sugiyono
(2014) penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel
mandiri, baik satu variabel atau lebih (independent) tanpa membuat perbandingan atau
menghubungkan dengan variabel yang lain. Data kuantitatif keuangan adalah data yang berbentuk
angka atau data kualitatif yang diangkakan. Data yang digunakan merupakan data keuangan dari
usaha keripik.
Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data
sekunder (Sugiyono, 2014). Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data
kepada pengumpul data. Data primer diperoleh dengan melakukan survei lapangan dengan
menggunakan angket (kuesioner) yang berupa daftar pertanyaan dan wawancara (interview) yaitu
dengan bertanya secara langsung kepada responden. Sumber data sekunder adalah sumber yang tidak
langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.
Data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dari Dinas Perdagangan,
Perindustrian, Koperasi dan UMKM Kabupaten Manokwari berupa data jumlah usaha kecil dan
menengah (UKM) yang telah terdaftar dan memiliki izin usaha.
Populasi dan Sampel
Menurut Sugiyono (2014), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek
yang mempunyai kualitas dan karasteristik tertentu yang diciptakan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan sampel menurut Kuncoro (2003) adalah himpunan
bagian (subset) dari unit populasi. Populasi dalam penelitian ini adalah usaha keripik yang telah
memiliki izin usaha. Sampel yang akan digunakan dipilih dengan berdasarkan teknik non probability
sampling yaitu metode purposive sampling. Dimana teknik penentuan sampel berdasarkan
pertimbangan tertentu, sebagai berikut:
1. Usaha keripik yang memiliki izin usaha dari Dinas Kesehatan
2. Usaha yang memiliki data keuangan selama satu tahun terakhir
3. Bersedia ditemui dan memberikan data yang dibutuhkan peneliti
185
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data-data penelitian adalah
sebagai berikut:
a. Kuesioner (angket). Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang efisien bila peneliti
tahu dengan pasti variable yang akan diukur dan tahu apa yang bisa diharapkan responden
(Sugiyono, 2014). Kuesioner berisi data keuangan berupa kas, piutang, persediaan, penjualan,
laba usaha dan data keuangan lain yang diperlukan untuk dianalisis.
b. Wawancara (interview). Wawancara (interview) adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti, dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam
dan jumlah respondennya sedikit/kecil (Sugiyono, 2014). Dalam penelitian ini wawancara
sebagai data tambahan untuk melengkapi angket yang diberikan.
Metode dan Teknis Analisis Data
Analisis data merupakan suatu cara untuk mengukur, mengolah dan menganalisis data tersebut.
Sugiyono (2014) menyatakan bahwa analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh
responden terkumpul. Metode analisis data menggunakan du pont system. Du pont system bermanfaat
memberikan gambaran tentang kondisi keuangan suatu perusahaan. Teknik analisis data dalam
penelitian ini menggunakan analisis data keuangan, yaitu:
a. Total Asset Turnover
Penjualan
Total Aktiva
Aktiva = Kas + Piutang + Persediaan
Total Asset Turnover =
b. Profit Margin
Profit Margin =
Laba Setelah Pajak
Penjualan
(Syamsuddin, 1998)
c. Return On Asset (ROA)
ROA = (Profit Margin) x (Total Asset Turnover)
(Brealey et al., 2006)
Indikator pengukuran menggunakan rata-rata industri. Menurut Djarwanto (2004): Standar
rasio yang baik adalah yang memberikan gambaran rata-rata. Gambaran rata- rata yang paling tepat
adalah rasio industri (gabungan perusahaan sejenis). Sehingga, Rata-rata industri yang digunakan
adalah dengan menjumlahkan seluruh hasil rasio yang dihasilkan dan membagi dengan jumlah usaha
sejenis yaitu usaha keripik. Jika hasil yang diperoleh berada di atas rata-rata industri maka
dikategorikan baik karena melebihi standar yang telah ditetapkan sehingga menunjukkan bahwa
usaha tersebut dapat mengelola modal kerja dengan efisien dan sebaliknya jika hasil yang diperoleh
berada di bawah rata-rata industri maka dikategorikan kurang baik karena usaha tersebut lebih buruk
dibandingkan dengan usaha sejenis dan menunjukkan kurangnya pengelolaan terhadap modal kerja
sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal (Munawir, 1990).
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Menurut Kuncoro (2003) variabel adalah sesuatu yang dapat membedakan atau mengubah nilai.
Nilai dapat berbeda pada waktu yang berbeda untuk objek atau orang yang sama, atau nilai dapat
berbeda dalam waktu yang sama untuk objek atau orang yang berbeda. Sehingga variabel yang
186
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
menjadi objek dari penelitian ini adalah:
1. Du pont system merupakan penguraian ukuran kinerja menjadi rasio komponen. Rasio komponen
membantu mengisolasi pengaruh yang terpisah pada kinerja.
2. Return on asset (ROA) yaitu rasio yang membandingkan antara laba bersih setelah pajak dengan
jumlah aktiva. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan secara keseluruhan
di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam
perusahaan
3. Modal kerja (capital working) adalah sejumlah aktiva lancar yang digunakan dalam mengelola
produk.
4. Usaha Rumahan (home industries) adalah usaha yang dilakukan secara langsung dan mandiri
oleh seseorang, yang diproduksi di rumah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan, maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah
empat usaha keripik dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut:
Tabel 1. Daftar Pengusaha Keripik
Nama Usaha
Jenis Usaha
Bintang Timur
Perseroan
Komanditer
Perusahaan
Perseorangan
Perusahaan
Perseorangan
Perusahaan
Perseorangan
Sul Mandiri
Tunas Jaya
Tegal Jaya
Wulaningsih
Tahun
Berdiri
2009
Jl. Ekonomi Reremi
Sulikah
2001
Jl. Kota Raja
Mardoan
2003
Jl. Kota Raja
Hartoyo
2005
Mako Brimob
Pemilik Usaha
Alamat Usaha
Sumber: Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi dan UMKM Kabupaten Manokwari Tahun 2012.
Hasil penelitian usaha keripik berkaitan Total turn over diperoleh bahwa terdapat dua usaha
yang berada diatas rata-rata industri usaha keripik dimanokwari, yaitu usaha Tegal jaya dan Sul
Mandiri. Dan dua usaha lainnya berada dibawah rata-rata industri. Seperti terlihat pada gambar 2,
dibawah ini:
Total Asset turnover
Rata-rata
1.18
1.06
0.720.92
Bintang Timur
0.92
Sul Mandiri
0.730.92
Tunas Jaya
0.92
Tegal Jaya
Sumber. Data Olahan, 2016
187
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Gambar 2. Total Turn Over Usaha Keripik, Manokwari
Data yang terlihat pada gambar 2 diatas menjelaskan bahwa, dalam perputaran aset usaha atau
kemampuan aktiva usaha untuk menghasilkan penjualan tertinggi sebesar 1.18 kali. oleh usaha tegal
jaya dan terendah usaha bintang timur yaitu 0,72. Untuk melihat jumlah pemasukan atau keuntungan
yang diperoleh maka diperlukan perhitungan Profit Margin, seperti gambar dibawah ini:
Profit Margin
Rata-rata
30.23
17.90
17.90
17.90
16.26
10.42
Bintang Timur
Sul Mandiri
Tunas Jaya
17.90
14.67
Tegal Jaya
Sumber : data olahan, 2016
Gambar 3. Profit Margin Usaha Keripik,Manokwari.
Gambar 3 di atas menjelaskan besarnya persentasi keuntungan yang diperoleh setiap usaha
keripik di manokwari, dimana tertinggi dan diatas rata-rata industri dicapai oleh usaha sul mandiri,
diikuti oleh tunas jaya, tegal jaya dan bintang timur. Profit Margin Tiga usaha selain sul mandiri,
berada dibawah rata-rata industri.
Analisa dan Intrepretasi data
Return on asset (ROA) yaitu rasio yang membandingkan antara laba bersih setelah pajak
dengan jumlah aktiva. Rasio ini digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan secara
keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di
dalam perusahaan (Setyorini et al., 2016). Return on asset (ROA) yang tinggi menunjukkan
penerimaan perusahaan yang berasal dari aset, baik dan manajemen biaya yang efektif. Semakin besar
nilai return on asset (ROA), maka akan menunjukkan kinerja perusahaan yang baik pula, karena
tingkat pengembalian investasi dari aset yang dimiliki semakin besar.
Return On Asset
Rata-rata
31.96
19.43
19.43
7.52
Bintang Timur
Sul Mandiri
19.43
11.89
Tunas Jaya
17.33
19.43
Tegal Jaya
Sumber: Data Olahan, 2016
Gambar 4. Return On Asset (ROA) Pada Usaha Keripik di Kabupaten Manokwari
188
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Berdasarkan perhitungan du pont system dari masing-masing usaha, yaitu besarnya nilai ROA
Bintang Timur sebesar 7,52% terendah dibawah rata-rata industri. Kondisi ini terjadi disebabkan
karena biaya yang digunakan cukup tinggi terlihat dari turn over sebesar 0.72 atau 17 kali dalam
setahun, namun Profit Margin yang diperoleh rendah. Artinya terjadi perputaran kas yang besar,
persediaan dan piutang yang tinggi disebabkan penjualan kredit yang banyak namun belum terjual.
Pada Sul Mandiri memiliki kinerja yang sangat baik karena memiliki tingkat return on asset (ROA)
yang diatas rata-rata industri yaitu sebesar 31,96%. Return on asset (ROA) yang tinggi disebabkan
kemampuan memperoleh laba dari hasil penjualan sangat besar, hal ini ditunjukkan dengan nilai
Profit Margin yang tertinggi dibandingkan dengan usaha lainnya. Secara perputaran berada diposisi
2 terendah yaitu terjadi 10 kali perputaran dalam setahun, namun setiap penjualan menghasilkan
profit yang cukup tinggi karena dijual sendiri, sehingga memperoleh profit yang tinggi yang terlihat
pada ROA yang dihasilkan. Sedangkan, pada Tunas Jaya memiliki tingkat return on asset (ROA)
yaitu sebesar 11,89% dibawah rata-rata industri. kondisi ini disebabkan karena perputaran cukup
tinggi, namun laba yang diperoleh rendah. Nilai total aset turn over sebesar 0.73 atau 16 kali , artinya
perputarab kas, piutang dan persediaan sudah tinggi. Dimana tidak adanya kas menganggur, piutang
cepat tertagih dan produksi yang cepat, serta profit margin sudah cukup baik, sehingga ROA
mendekati rata-rata industri. Namun berbeda pada usaha Tegal Jaya memiliki tingkat return on asset
(ROA) sebesar 17,33% kedua tertinggi, namun masih berada dibawah rata-rata industri. disebabkan
karena meskipun nilai turn over tinggi namun nilai Profit Margin yang diperoleh lebih rendah
dibandingkan dengan sul mandiri dan Tunas Jaya, sehingga ROA masih berada dibawah rata-rata
industri.
Pembahasan
Kinerja keuangan pada suatu usaha dapat diketahui dari pengukuran tingkat profitabilitasnya
melalui tingkat return on asset (ROA). Penilaian kinerja keuangan perusahaan menggunakan
pendekatan du pont system yaitu merupakan suatu sistem analisis yang menunjukkan hubungan antara
return on asset (ROA), total assets turnover, dan Profit Margin. Besarnya return on asset (ROA)
akan berubah jika ada perubahan pada Profit Margin atau total assets turnover, baik masing-masing
atau kedua-duanya. Dengan demikian dapat menggunakan salah satu atau keduanya dalam rangka
meningkatkan return on asset (ROA). Dalam penelitian pada usaha keripik di Kabupaten Manokwari
kinerja keuangan dihitung menggunakan pendekatan du pont system sebagai cara untuk melihat lebih
jauh mengenai hal-hal yang menyebabkan atau mempengaruhi tinggi rendahnya return on asset
(ROA).
Menurut Du Pont, perubahan penjualan, biaya dan laba bersih serta Total Aktiva
akan mempengaruhi perubahan laba. Perubahan penjualan belum tentu proporsional dengan
perubahan laba, karena adanya perbedaan dalam perkembangan biaya. Di samping itu perubahan
laba juga dipengaruhi perubahan perputaran aktiva, semakin cepat perkembangan aktiva
berarti semakin efektif perusahaan dengan akibat meningkatnya laba yang diperoleh. Penilaian
ROA dalam du pont system melihat terlebih dahulu Total asset turnover yang dimiliki oleh setiap
usaha. Total asset turnover merupakan rasio aktivitas yang digunakan untuk mengukur seberapa
besar efektivitas perusahaan dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki berupa asset. Semakin
tinggi efisien penggunaan asset dan semakin cepat pengembalian dana dalam bentuk kas (Halim,
2007). Sedangkan menurut Brigham dan Houston (2001) TATO merupakan rasio pengelolaan
aktiva terakhir, mengukur perputaran atau pemanfaatan dari semua aktiva perusahaan. Apabila
perusahaan tidak menghasilkan volume usaha yang cukup untuk ukuran investasi sebesar total
189
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
aktivanya, penjualan harus ditingkatkan. Beberapa aktiva harus dijual, atau gabungan dari
langkah-langkah tersebut harus segera dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian dilihat dari total asset turnover, Tegal Jaya memiliki nilai tertinggi,
dan sul mandiri diatas rata-rata industri, sedangkan Bintang Timur dan Tunas Jaya memiliki nilai di
bawah rata-rata industri. Artinya dua usaha tegal jaya dan sul mandiri memiliki sumberdaya aktiva
yang besar dan mampu digunakan untuk penjualan dan sudah secara mampu dikelolah secara efisien.
Terlihat dari tingginya perputaran yang dihasilkan dalam setahun, namun usaha bintang timur dan sul
mandiri secara perputaran masih lambat, artinya aktiva yang dimiliki belum cukup efisien digunakan
dalam penjualan yang dengan kata lain masih banyak terdapat aktiva yang menganggur.
Profit Margin menurut Harahap (2007) mengemukakan; “Angka ini menunjukkan berapa besar
persentase pendapatan bersih yang diperoleh dari setiap penjualan. Semakin besar rasio ini semakin
baik karena dianggap kemampuan perusahaan dalam mendapatkan laba cukup tinggi. ”Rasio ini bisa
diinterpretasikan juga sebagai kemampuan perusahaan menekan biaya-biaya diperusahaan pada
periode tertentu. Profit Margin yang tinggi menandakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba
yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu. Profit Margin yang rendah menandakan penjualan yang
terlalu rendah untuk tingkat biaya tertentu, atau biaya yang terlalu tinggi untuk tingkat penjualan
tertentu, atau kombinasi dari kedua hal tersebut. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa Profit
Margin dimaksudkan untuk mengetahui efisiensi perusahaan dengan melihat kepada besar kecilnya
laba usaha dalam hubungannya dengan penjualan (sales).
Apabila ditinjau dari segi Profit Margin, Sul Mandiri memiliki Profit Margin yang tinggi diatas
rata-rata industri usaha lainnya yaitu: Bintang Timur, Tegal Jaya dan Tunas Jaya. Profit Margin,
bertujuan untuk melaporkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba pada tingkat penjualan
tertentu. Profit Margin bisa diinterpretasikan sebagai tingkat efisiensi perusahaan, yakni sejauh mana
kemampuan perusahaan mengelolah profit margin, yaitu menekan biaya-biaya yang ada diperusahaan,
sehingga profit marginnya tinggi. Menurut Bambang Riyanto (2001) pengelolaan Profit Margin dapat
dilakukan dengan dua cara bagi usaha lainnya yaitu:
1. Dengan menambah biaya usaha (operating expenses) sampai tingkat tertentu diusahakan
tercapainya tambahan sales yang sebesar-besarnya, atau menaikkan tingkat sales agar pendapatan
meningkat dengan jalan :
a. Memperbesar volume sales per unit pada tingkat harga penjualan tertentu
b. Menaikkan harga penjualan per unit produk pada luas sales dalam unit tertentu.
2. Dengan mengurangi pendapatan dari sales sampai tingkat tertentu diusahakan adanya
pengurangan operating expenses yang sebesar-besarnya, atau dengan kata lain mengurangi biaya
usaha relatif lebih besar daripada berkurangnya pendapatan dari sales. Meskipun jumlah sales
selama periode tertentu berkurang, tetapi oleh karena disertai dengan berkurangnya operating
expenses yang lebih sebanding maka akibatnya ialah bahwa Profit Marginnya makin besar.
Dengan kata lain maka usaha sul mandiri sudah mampu mengelola biaya produksi dan
menyeimbangkan dengan penjualan, dimana harga jual yang ditetapkan sudah mampu memberikan
laba yang cukup tinggi. Namun berbeda dengan tiga usaha lainnya, masih harus mengelola biaya dan
penjualan agar penjualan mampu memberikan keuntungan dalam Profit Margin.
ROA merupakan salah satu rasio profitabilitas yang digunakan untuk mengukur efektivitas
perusahaan didalam menghasilkan keuntungan dengan memanfaatkan total aktiva yang dimilikinya.
Return on asset (ROA) juga merupakan perkalian antara faktor profit margin dengan perputaran
aktiva (Husnan, 2005). profit margin menunjukkan kemampuan memperoleh laba dari setiap
penjualan yang diciptakan oleh perusahaan, sedangkan perputaran aktiva menunjukkan seberapa
jauh perusahaan mampu menciptakan penjualan dari aktiva yang dimilikinya. Apabila salah
190
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
satu dari dari faktor tersebut meningkat atau keduanya, maka ROA juga akan meningkat.
Apabila ROA meningkat, berarti profitabilitas perusahaan meningkat, sehingga dampak
akhirnya adalah peningkatan profitabilitas yang dinikmati oleh pemegang saham (Husnan, 2005).
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan dapat diketahui bagaimana kinerja usaha
keripik di Kabupaten Manokwari melalui rasio return on asset (ROA) dari hasil analisis rasio
perputaran kas, rasio perputaran piutang, rasio perputaran persediaan, dan profit margin, maka return
on asset (ROA) dengan pendekatan du pont system menunjukkan bahwa kinerja keuangan pada empat
usaha keripik di Kabupaten Manokwari berbeda, dimana usaha sul mandiri memiliki kinerja ROA
yang baik yaitu diatas rata-rata industri usaha sejenis yang diteliti, yaitu sebesar 31,96% dan tiga
usaha lainnya dibawah rata-rata industri. Jika dilihat usaha sul mandiri memiliki perputaran diatas
rata-rata industri dibawah tegal jaya dan nilai Profit Margin yang tertinggi diatas rata-rata untuk data
tahun 2015. Hal ini menandakan bahwa usaha sul mandiri mampu mengelolah keuntungan dari setiap
penjualan, dengan menekan biaya lebih kecil dibandingkan pendapatan penjualan, serta dengan
perputaran aset yang tinggi dalam setahun. Faktor pendukung lain bagi sul mandiri yaitu usaha ini
lebih lama dalam menjalankan usahanya dibandingkan usaha lainnya, sehingga dalam pengelolaan
siklus kehidupan produk atau usaha lebih efisien dibandingkan tiga usaha lainnya. Siklus kehidupan
produk bisa berpengaruh terhadap ROA yang berkaitan dengan Produk. Mulai dari produk muncul
sampai menghilang, melalui beberapa tahap (Griffin, 2002):
(1) Pada tahap perkenalan (introduction), pengelolaan biaya (agar diperoleh biaya yang efisien)
menjadi penting. Pada tahap ini perusahaan bisa memperoleh laba yang cukup tinggi
dibandingkan pada tahap-tahap lainnya. Pada tahap perkenalan, perusahaan sibuk menyiapkan
infrastruktur produk baru dengan melakukan investasi pada pabrik dan peralatan.
(2) Pada tahap pertumbuhan (Growth), penjualan mulai meningkat tajam. Pengeluaran mulai
berkurang. Pengeluaran pada saat ini ditujukan untuk mengakomodasi permintaan yang semakin
meningkat.
(3) Pada tahap dewasa (Maturity), aliran kas masuk sudah mulai meningkat karena produk sudah
semakin dikenal. Sebagai hasilnya perusahaan bisa memperoleh aliran kas positif yang cukup
besar.
(4) Pada tahap penurunan (Decline), permintaan produk sudah mulai melemah, karena kompetisi
semakin tajam. Pengeluaran investasi ditujukan untuk mempertahankan posisi produk dipasar.
Sedangkan usaha bintang timur, tunas jaya dan tegal jaya merupakan usaha yang berdiri setelah
usaha sul mandiri. Sehingga secara siklus kehidupan produk, sul mandiri sudah lebih matang
dibandingkan usaha yang lainnya. Jika dilihat berdasarkan pengelolaan tiga usaha lainnya, maka
secara pengelolaan belum sepenuhnya mampu mengelolah total aset turn over dan Profit Margin
secara seimbang. Misalkan pada usaha tegal jaya memiliki tingkat total asset turn over tertinggi,
namun nilai Profit Margin rendah dibawah rata-rata. Artinya secara perputaran aktiva usaha tegal jaya
secara frekuensi sudah efisien dalam melakukan penjualan. Namun, keuntungan yang diberikan oleh
setiap perputaran aktiva belum mampu memberikan keuntungan yang tinggi. Dikarenakan masih
adanya biaya yang cukup tinggi yang dikeluarkan dalam proses produksi, sehingga mempengaruhi
pendapatan yang diterima dari hasil penjualan.
191
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan tentang kinerja manajemen modal kerja dengan pendekatan du
pont system terhadap empat usaha keripik di Kabupaten Manokwari sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa: Return on asset (ROA) tertinggi dimiliki oleh Sul Mandiri yaitu sebesar 31,96%
atau laba yang diperoleh dari total aktiva lancar adalah sebesar Rp 80.528.000,- hal ini dipengaruhi
oleh laba usaha yang tinggi dan efisiensi penggunaan aset yang efektif dalam menghasilkan
penjualan. Kemudian di posisi kedua ditempati oleh Tegal Jaya dengan nilai 17,33% atau laba yang
diperoleh dari total aktiva lancar adalah sebesar Rp. 62.544.000,- . Posisi ketiga ditempati oleh Tunas
Jaya dengan nilai sebesar 11,89% atau laba yang diperoleh dari total aktiva lancar adalah sebesar
Rp.52.464.000,-. Nilai tersebut masih lebih baik jika dibandingkan Bintang Timur yang menempati
posisi terendah yaitu sebesar 7,52% atau laba yang diperoleh dari total aktiva lancar adalah sebesar
Rp.26.880.000,-. Berdasarkan standar rata-rata industri sebesar 19,43% maka usaha sul mandiri
memiliki kinerja yang baik yaitu diatas rata-rata industri dan usaha tegal jaya, tunas jaya, dan bintang
timur masih berada dibawah rata-rata industri.
Saran
1. Bagi usaha keripik, agar mampu menentukan biaya seefisien mungkin dengan
mempertimbangkan harga jual, agar mampu mendatangkan keuntungan yang lebih tinggi.
2. Setiap usaha keripik diharapkan dapat melakukan pencatatan keuangan secara teratur agar dapat
mengetahui besarnya penjualan dan biaya usaha serta laba yang diperoleh sehingga dapat
diketahui kinerja usaha secara berkelanjutan.
3. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan mampu memperluas jangkauan penelitian dengan
menambah jumlah sampel dan tahun data.
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, L.S. (2006). Manajemen Keuangan. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi
Brigham, E.F. & Houston, J.F. (2001). Manajemen Keuangan, Jakarta : Erlangga
Brealey, R.A., Myers, S.C., dan Marcus, A.J. (2006). Dasar-Dasar Manajemen Keuangan Perusahaan. Edisi
kelima. Jakarta: Erlangga
Collier, H.W., McGowan, C.B. & Muhammad, J. (2010). Evaluating The Impact Of A Rapidly Changing
Economic Environment On Bank Financial Performance Using The Dupont System Of Financial
Analysis. Asia Pacific Journal of Finance and Banking Research Vol. 4. No. 4. 2010.
Dinas PERINDAKOP dan UMKM, Kabupaten Manokwari. (2012). Data UMKM Kabupaten Manokwari
Provinsi Papua Barat. Manokwari: Pemerintah kabupaten Manokwari.
Djarwanto. (2004). Pokok-pokok Analisa Laporan Keuangan, Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Yogyakarta:
BPFE.
Gitosudarmo, I. dan Basri, H. 2000. Manajemen Keuangan. Edisi keempat. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Griffin, J. (2002). Customer Loyalty How to Earn It, How to Keep It. Kentucky: McGraw-Hill.
Halim, A. (2007). Manajemen Keuangan Bisnis. Ghalia Indonesia. Bogor
Harahap, S.S. (2007). Analisis Kritis atas Laporan Keuangan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
192
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Husnan, S. (2005). Dasar-dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas. Yogyakarta: Unit Penerbit dan
Percetakan AMP YKPN.
Kuncoro, M. (2003). Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta: Erlangga
Lianto, D. (2013). Penilaian Kinerja Keuangan Perusahaan Menggunakan Analisis Du Pont. Jurnal JIBEKA.
Vol 7 No 2, 25-31.
Marantika, A. (2012). Analisis Efisiensi Penggunaan Modal Kerja dan Profitabilitas Efficiency Analysis Of
The Use Of Working Capital And Probability. Jurnal Manajemen Keuangan. Vol. 10 No. 2, 54-64.
McGowan, C.B. & Stambaugh, A.R. (2012). Using Disaggregated Return on Assets to Conduct a Financial
Analysis of a Commercial Bank Using an Extension of the DuPont System of Financial Analysis.
Accounting and Finance Research Vol. 1, No. 1.
Munawir, S. (1990). Analisa Laporan Keuangan. Edisi keempat. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta
Riyanto, B. (2001). Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi Keempat, Cetakan Ketujuh, BPFE
Yogyakarta, Yogyakarta.
Setyorini, M., Maria, M. dan Haryono, A.T. (2016). Pengaruh Return On Asset (ROA), Return On Equity
(ROE), dan Earning Per Share (EPS) terhadap Harga Saham Perusahaaan Real Estate di Bursa Efek
Indonesia. Journal Of Management. Vol 2 No. 2.
Sugiyono. (2014). Metode Penelitian Manajemen. Cetakan ketiga. Bandung: CV Alfabeta
Syamsuddin, L. (1998). Manajemen Keuangan: Perusahaan Konsep Aplikasi Dalam Perencanaan,
Pengawasan, dan Pengambilan Keputusan. Edisi Baru. Cetakan keempat. Jakarta: PT Raja Grafindo
Syukriani, I. (2005). Analisis Tingkat Efisiensi Penggunaan Modal Melalui Pendekatan Du pont system Pada
PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari Cabang Semarang. Skripsi D-III, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Semarang (Tidak Dipublikasikan).
Wuryaningsih, D.L., dan Dziqron, M. (2014). Penerapan Du Pont System Untuk Mengukur Kinerja Keuangan
Perusahaan (Studi Pada Perusahaan Semen Yang Terdaftar Di BEI Tahun 2007-2011). Seminar
Nasional Dan Call For Paper Research Methods And Organizational Studies. ISBN 978-602-70429-19, 327-341
193
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
AKUNTANSI UNTUK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT:
Sebuah Studi Peran Pengendalian Manajemen
Pada Program Pelatihan Di Satuan Kerja Perangkat Daerah
Eko Budi Santoso1 dan Wirawan E.D. Radianto2
Universitas Ciputra Surabaya
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Abstract: The aim of this study is to evaluate the implementation of management control system in
basic skill training program for poor family using feedback mechanism from participants. This
program is held by Regional Work Unit namely Community Development and Family Planning
Agency. The novelty of this research is on the role of management control system in Regional Work
Unit program. This study uses desciptive qualitative approach to gather and disclose problem arise
during the training program. The informants are participants of the training and persons in charge
of the tranining program from the Regional Work Unit. Field survey and interview both in formal
and informal way are used to collect the data. Textual analysis is employed to analyze the data.
The result of the study shows management control system is still not effectively applied to manage
the training program. Regional Unit Work still put emphasize on the implementation of the training
for budget accountability rather than a comphensive program that focus on the outcome of the
program. Hence the Regional Unit Work should design and implement management control system
from the beginning to the end of the stage using both formal and informal control mechanism.
Keywords: Public Sector, Management Control, Control Mechanism, Diagnostic System
PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan permasalahan utama yang harus dipecahkan. Penanggulangan
kemiskinan secara sinergis dan sistematis harus dilakukan agar seluruh warganegara mampu
menikmati kehidupan yang bermartabat. Pemerintah kota Surabaya telah menetapkan strategi
pembangunan untuk menanggulangi masalah tersebut melalui strategi pro rakyat yang terdiri dari: (1)
Pro-Pertumbuhan (pro-growth), untuk meningkatkan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi
melalui investasi, melalui peningkatan kualitas pengeluaran pemerintah dan peningkatan konsumsi;
(2) Pro-Lapangan Kerja (pro-job), agar pertumbuhan ekonomi dapat menciptakan lapangan pekerjaan
yang seluas-luasnya dengan menekankan pada investasi padat pekerja; (3) Pro-Masyarakat Miskin
(pro-poor), agar pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar-besarnya
dengan penyempurnaan sistem perlindungan sosial, meningkatkan akses kepada pelayanan dasar dan
melakukan pemberdayaan masyarakat.
Upaya penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir telah
memberi dampak terhadap perluasan kesejahteraan rakyat. Berdasarkan catatan World Factbook dan
World Bank, penurunan jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang tercepat dibandingkan
negara lainnya. Sepanjang periode 2008 hingga 2013, laju rata-rata penurunan jumlah penduduk
194
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
miskin Indonesia per tahun sebesar 4,41%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian negara
lain semisal Kamboja, Thailand, Cina, dan Brasil yang hanya berada di kisaran 0,1% per
tahun. Bahkan India mencatat hasil minus atau terjadi penambahan penduduk miskin. Angka
kemiskinan di Indonesia di tahun 2008 sebesar 15,42% (34,96 juta orang) dapat ditekan menjadi
11,47% (28,55 juta orang) per september 2013. Hal ini menunjukkan telah terjadi pengurangan
jumlah penduduk miskin hingga 6,41 juta orang dengan tingkat konsistensi penurunan yang terjaga
termasuk pada pasca krisis dan perlambatan global tahun 2008-2009.
Terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin di tingkat Nasional ini juga tergambar pada
penurunan jumlah penduduk miskin yang ada di Provinsi Jawa Timur maupun di Kota Surabaya
sebagai ibu kota Provinsi Jawa Timur. Pada bulan Maret 2013 lalu, dari data Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan terjadinya penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 4.771 Juta (12,55%)
atau turun sebesar 3,82% dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin di Provinsi Jawa Timur pada
bulan September 2012 yang mencapai 4.961 juta jiwa (13,08%). Sedangkan di Kota Surabaya,
terjadinya penurunan jumlah angka kemiskinan ini terlihat pada penurunan nilai Indeks Kemiskinan
Manusia (IKM) selama periode tahun 2009 hingga 2014. Pada tahun 2012, IKM Surabaya sebesar
7,31. Dibandingkan dengan tahun 2011 terjadi penurunan sebesar 0,58 poin yaitu dari 7,89 di tahun
2011 menjadi 7,31 di tahun 2012. Prestasi Kota Surabaya dalam mengurangi angka kemiskinan tidak
terlepas dari kemampuan kota ini dalam menjaga ketahanan ekonomi domestik (resilient) melalui
kegiatan pemberdayaan masyarakat yang juga telah menghadirkan fundamental ekonomi nasional
yang kokoh.
Sejalan dengan strategi nasional penanggulangan kemiskinan tersebut, Pemerintah Kota
Surabaya juga mencanangkan beberapa kebijakan pembangunan dalam rangka penanggulangan
kemiskinan yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota
Surabaya tahun 2010-2015. Salah satu kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dituangkan dalam
RPJMD Kota Surabaya Tahun 2010-2015 adalah melakukan peningkatan kapasitas ekonomi
masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan dan perubahan pola pikir dan penguatan
kelembagaan komunitas dan usaha kerjasama antara masyarakat, dunia usaha, Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dan pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Berdasarkan kebijakan
tersebut, salah satu kegiatan program yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota dalam
penanggulangan kemiskinan adalah dengan menyelenggarakan kegiatan pelatihan ketrampilan dasar
usaha bagi kelompok keluarga miskin (gakin). Program pelatihan tersebut merupakan bagian dari
pemberdayaan masyarakat dibidang ekonomi berbasis kewirausahaan dengan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Pelaksana adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Keluarga Berencana
(Bapemas KB) Pemerintah Kota Surabaya. Kewirausahaan menjadi faktor penting dalam
pemberdayaan masyarakat miskin karena kewirausahaan dipandang dapat menjadi jalan untuk
masyrakat keluar dari kemiskinan (Ciputra, 2011). Melalui kewirausahaan masyarakat miskin
diharapkan tidak hanya mampu untuk keluar dari kemiskinannya namun juga dapat menolong
masyarakat lain dengan menciptakan lapangan pekerjaan sehingga dapat menciptakan multiplier
effect yang akan membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Meskipun terjadi peningkatan jumlah peserta setiap tahun, namun keberhasilan suatu program
tidak hanya diukur berdasarkan banyaknya peserta yang ikut dan anggaran yang terserap melainkan
juga perlu melakukan evaluasi pelaksanaan dan dampak dari pelatihan tersebut. Faktor penting yang
berperan dalam keberhasilan pelaksanaan suatu program adalah adanya sistem pengendalian. Otley
dan Berry (1994) menyatakan Sistem Pengendalian Manajemen (SPM) adalah satu set prosedur yang
digunakan untuk membantu memastikan pencapaian tujuan organisasi. Salah satu konsep penting
dalam sistem pengendalian adalah melakukan evaluasi terhadap program yang telah dilakukan untuk
melihat apakah program tersebut sudah mencapai tujuannya. Penelitian mengenai peran SPM di
195
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
sektor publik dalam literatur akuntansi sampai saat ini masih didominasi bagaimana peran SPM di
lembaga pemerintahan seperti bagaimana pengukuran kinerja organisasi pemerintah, penganggaran,
dan aspek lain yang berhubungan dengan pengelolaan lembaga pemerintahan. Hal inlah yang
memotivasi peneliti untuk melakukan penelitian mengenai SPM pada program kerja pemerintah.
Noveltis penelitian ini terletak pada bagaimana peran SPM dalam program-program yang dijalankan
pemerintah, secara khusus oleh SKPD di lingkungan pemerintah Kota Surabaya. Penelitian ini
bertujuan untuk melakukan evaluasi sistem pengendalian manajemen pada program pelatihan
keterampilan dasar usaha bagi gakin melalui mekasnisme umpan balik dari dari peserta pelatihan.
TINJAUAN PUSTAKA
SPM merupakan faktor penting dalam keberhasilan suatu program yang dijalankan baik itu
dalam sektor swasta ataupun sektor publik. Simons (1995) mengolongkan SPM ke dalam 4 aspek
yang dikenal sebagai the four levers of control yaitu beliefs system, boundary system, diagnostic
systems dan interactive systems. Dua sistem yang terakhir seringkali disebut dengan feedback and
measurement system. Sedangkan pengertian SPM dari Otley, et al. (1995) adalah satu set mekanisme
pengendalian yang luas dan didesain untuk membantu organisasi mengelola dirinya sendiri. Anthony
dan Govindarajan (2007) lebih menekankan pengendalian pada struktur pengendalian, termasuk di
dalamnya adanya hubungan antara strategi, responsibility center sampai pengukuran kinerja. Dari
beberapa konsep tersebut nampak bahwa SPM pada hakekatnya adalah alat yang digunakan untuk
mengimplementasi strategi agar tujuan organisasi dapat tercapai. Konsep SPM yang seringkali
digunakan adalah monitoring dan pengawasan yang pada akhirnya akan memunculkan feedback
penting sebagai bahan evaluasi pengelola organisasi.
Beberapa penelitian terdahulu mengenai peran SPM yaitu bagaimana penyusunan anggaran,
pengelolaan anggaran dalam hubungannya dengan perilaku individu dan bagaimana individu
mempengaruhi anggaran di lembaga sektor publik (Riharjo, et al, 2015; Ritonga dan Alam, 2010).
Topik yang cukup banyak diteliti adalah kinerja lembaga sektor publik dan kinerja aparatur
pemerintah (Pratiwi dan Akbar, 2015; Mawarni dan Yuliansah, 2015; Kusumaningrum dan Sutaryo,
2015; Purwanto dan Hadiyati, 2011; Haryani dan Syafruddin, 2010; Sopanah, 2010). Tema lain yang
berkenaan dengan SPM adalah mengenai desentralisasi di organisasi sektor publik (Wirahadi, 2010).
Hubungan antara strategi dan pengendalian manajemen di organisasi sektor publik diteliti oleh
Mediaty (2010). Dari beberapa penelitian sebelumnya nampak penelitian mengenai peran SPM di
program-program SKPD belum nampak dilakukan. Salah satu penelitian mengenai SKPD dilakukan
oleh Norman (2010) yang meneliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja aparatur
pemerintahan SKPD di Kota Bengkulu. Penelitian tersebut masih berfokus pada SKPD dan bukan
pada stakeholder pemerintah yaitu masyarakat.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi bagaimana SPM dalam program pemberdayaan
masyarakat pelatihan keterampilan dasar usaha bagi gakin di Kota Surabaya. Sehingga penelitian ini
menganalisis dan mengungkapkan bagaimana proses dan dampak pelatihan bagi gakin di Surabaya.
Dalam rangka mengumpulkan, mengungkapkan berbagai masalah yang terjadi selama proses
196
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pelatihan berlangsung maka penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada konteks obyek
yang alamiah. Metode ini mampu melukiskan keadaan obyektif dari peristiwa tertentu berdasarkan
fakta-fakta yang tampak dan penelitian yang tertuju pada penelaahan masalah obyek penelitian yaitu
pelatihan keterampilan dasar bagi gakin. Penelitian ini menggunakan sumber data primer yaitu gakin
yang telah mengikuti kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Surabaya
melalui SKPD Bapemas KB. Informan dalam penelitian ini adalah peserta pelatihan dan SKPD terkait
yang menangani pelatihan keterampilan dasar di Kota Surabaya. Pengumpulan data dilakukan
melalui survey lapangan dan wawancara dengan para informan. Wawancara dilakukan secara tidak
terstruktur baik secara formal maupun informal dalam berbagai situasi. Tahap berikutnya melakukan
analisis mengenai jawaban informan melalui analisis tekstural dan menemukan tema yang merupakan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Program Pelatihan Keterampilan Dasar yang dilaksanakan SKPD Bapemas KB adalah pelatihan
menjahit dan handycraft, pelatihan budidaya air payau, pelatihan pembuatan produk-produk rumah
tangga, pelatihan pembuatan produk makanan dan minuman, pelatihan pijat refleksi, dan pelatihan
urban farming. Peserta-peserta yang telah dilatih pada setiap jenis pelatihan kemudian dikelompokan
dan membentuk Kelompok Swadaya Masyakarat (KSM). KSM berfungsi sebagai wadah untuk
bersama-sama membangun usaha baru dan menjadi wadah untuk menampung bantuan permodalan
dari pemerintah baik dalam bentuk uang maupun peralatan usaha. Dengan adanya KSM diharapkan
terjadi pertumbuhan kelompok-kelompok usaha baru bagi gakin yang dapat membantu peningkatan
pendapatan keluarga-keluarga dan akhirnya dapat membantu keluar dari kemiskinan. Survey
dilakukan kepada 80 peserta pelatihan yang berasal dari 5 wilayah Kota Surabaya yaitu Surabaya
Pusat, Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, dan Surabaya Utara. Berdasarkan analisis
terhadap profil informan dapat diketahui bahwa informan memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan. Argumentasi yang melatarbelakangi adalah:
1. Sebagian besar informan memiliki tingkat pendidikan SMA/sederajat (51%), hal ini
menunjukkan bahwa mereka memiliki pendidikan yang tidak begitu rendah (bukan
SMP/sederajat dan SD) sehingga dalam cara berpikir masih bisa dikembangkan dibandingkan
dengan pendidikan yang lebih rendah.
2. Informan berpotensi menjadi wirausaha karena 49% adalah ibu rumah tangga yang memiliki
waktu cukup banyak untuk bekerja, disamping itu sebesar 20% dari informan adalah pedagang.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih bisa ditingkatkan kapasitasnya.
3. Sebagian besar informan adalah wanita (86%). Wanita biasanya dalam bekerja memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan pria yaitu lebih telaten, kreatif, tidak mudah putus asa, mampu
memiliki jejaring yang luas, dan mampu mengelola keuangan dengan lebih baik. Kondisi ini
berdampak positif bagi pemerintah untuk mengembangkan kewirausahaan. Hal ini sesuai dengan
kebijakan pemerintah Kota Surabaya untuk memfokuskan pemberdayaan kepada kamu
perempuan sebagai penunjang ekonomi keluarga.
4. Informan tidak memiliki pekerjaan sambilan. Dengan informan tidak memiliki pekerjaan
sambilan maka kondisi ini berpotensi positif bahwa informan akan fokus ke usaha mereka hasil
dari pelatihan yang diberikan oleh Pemerintah Kota Surabaya.
197
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Melihat penyajian data tersebut maka sebenarnya informan memiliki potensi yang besar untuk
dikembangkan. Namun profil informan yang menguntungkan ternyata tidak diimbangi dengan
program pelatihan yang komprehensif. Program pelatihan yang komprehensif harus meliputi tahap
pra pelatihan, tahap pelatihan, dan tahap paska pelatihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
program pelatihan dapat berjalan dengan baik. Hal ini dapat terlihat dari hasil jawaban informan
yang menyatakan bahwa pelatihan memiliki revelansi dan kualitas pelatihan yang baik.
Hasil dari survey menunjukkan walaupun informan mempersepsikan bahwa pelatihan tersebut
berjalan dengan baik namun ternyata pelatihan tersebut tidak berdampak positif atau tidak memilliki
dampak pada sasaran gakin. Beberapa data yang mendukung bahwa pelatihan tidak tepat sasaran
adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Fakta dan Penyebabnya pada Program Pelatihan
No.
Fakta
1.
Informan sulit
mengaplikasikan hasil
pelatihan
2.
3.
4.
5.
6.
Pekerjaan saat ini bukan
hasil dari pelatihan
Pelatihan tidak
mendukung usaha
informan
Informan menyatakan
bahwa pelatihan tidak
membekali informan
untuk menjadi
wirausaha
Informan tidak mampu
menjalankan bisnis
secara pribadi
Pelatihan tidak
berdampak secara
financial
Penyebab
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
ο‚·
Materi pelatihan memiliki tingkat kesulitan tinggi
Beberapa informan sudah cukup tua
Tidak ada pendampingan lanjutan
Keterbatasan peralatan pendukung
Produk tidak diminati pasar
Kurangnya modal
Motivasi informan untuk menerapkan hasil
pelatihan masih sangat rendah
Kurangnya pendampingan lanjutan
Apa yang diberikan di pelatihan tidak sesuai
dengan kebutuhan informan
Materi pelatihan memiliki tingkat kesulitan tinggi
Materi pelatihan memiliki tingkat kesulitan tinggi
Tidak didukung oleh modal
Informan sudah tua
Produk/jasa sulit diserap pasar
Kurangnya pendampingan lanjutan
Tidak adanya pendampingan
Kemampuan (skill) masih rendah
Tidak ada modal
Informan tidak berbisnis dengan baik
Kurangnya pendampingan lanjutan
198
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Proses Implementasi Mekanisme Pengendalian oleh SKPD
Berdasarkan temuan-temuan tersebut dapat terlihat beberapa permasalahan pokok. Pertama
ketidaksesuaian materi dengan kondisi di lapangan. Beberapa materi pelatihan yang dianggap terlalu
sulit seperti pelatihan produk handycraft, budidaya air payau dan pijat refleksi. Penyebab kesulitan
yang dihadapi dalam pelatihan pijat refleksi adalah kendala usia yang sudah tua dibandingkan tenaga
yang dibutuhkan untuk melakukan pijat refleksi. Sementara pelatihan pembuatan produk rumah
tangga dan makanan dan minuman dianggap relatif lebih mudah karena bahan mudah didapat dan
informan sudah memiliki pengalaman sebelumnya. Hal ini menunjukkan belum adanya perencanaan
dan koordinasi yang baik dalam melakukan pelatihan sehingga pelatihan belum mempertimbangkan
kemampuan informan untuk menguasai materi pelatihan. Perencanaan merupakan bagian dari tahap
pra pelatihan dan merupakan aspek penting dalam program pelatihan. Pada tahap ini yang merupakan
masa persiapan, pemetaan terhadap peserta perlu dilakukan agar pelatihan diberikan tepat sasaran
sesuai dengan karakteristik peserta. Berdasarkan hasil survey juga ditemukan bahwa menurut
informan skala prioritas untuk menjadi wirausaha adalah permodalan. Hal ini menunjukkan bahwa
informan belum memiliki mindset wirausaha. Modal menjadi bagian yang penting namun bukanlah
bagian yang utama dalam memulai usaha. Justru pola pikir wirausaha yang harus dibangun terlebih
dahulu. Pola pikir untuk berpikir kreatif dan inovatif, berani mengambil resiko dan mampu melihat
peluang (Ciputra, 2011) tanpa perubahan pola pikir wirausaha maka pelatihan keterampilan berbasis
wirausaha menjadi tidak efektif. Perubahan pola pikir juga dapat berhubungan dengan kemiskinan
kultural dimana gaya hidup dan perilaku individu membuatnya sulit untuk merubah diri dan merasa
harus selalu dibantu oleh pihak lain dalam hal ini pemerintah (Nugroho dan Dahuri, 2012). Faktor
penting yang juga perlu menjadi perhatian adalah menjadi wirausaha tidak mudah dan menghadapi
ketidakpastian yang tinggi. Hal ini juga menyebabkan tidak semua masyarakat berkeinginan untuk
berwirausaha karena tidak mau berhadapan dengan kondisi ketidakpastian tersebut. Bagi masyarakat
miskin yang tidak ingin menghadapi kondisi ketidakpastian dapat diarahkan untuk menjadi tenaga
kerja siap pakai dengan mengikuti pelatihan tenaga kerja siap pakai dibawah koordinasi SKPD Dinas
Tenaga Kerja. Hasil pelatihan tenaga kerja siap pakai akan diarahkan untuk masuk ke pasar tenaga
kerja. Kondisi-kondisi tersebut mensyaratkan perlu adanya pengendalian dalam bentuk penyaringan
awal bagi para calon peserta untuk melihat kesesuaian minat dan karakter peserta untuk berwirausaha.
Tanpa adanya penyaringan maka peserta pelatihan bisa jadi hanya mengikuti pelatihan namun tidak
berniat untuk berwirausaha yang bertentangan dengan tujuan dilaksanakannya pelatihan. Hal ini
dapat terjadi karena setiap peserta pelatihan akan mendapatkan uang transport. Mekanisme
pengendalian sudah harus diimplementasikan pada masa pra pelatihan terkait penyaringan peserta
pelatihan dan pemilihan materi pelatihan.
Masalah kedua adalah pendampingan yang belum efektif. Sebagai gakin yang ingin memulai
usaha baru maka penting bagi informan untuk mendapatkan pendampingan untuk membimbing
mereka dalam memulai usaha. Memulai usaha tidak hanya dibutuhkan skill untuk memproduksi
barang dan jasa namun juga dibutuhkan kemampuan menjaga konsistensi produksi dan kualitas
produk yang dihasilkan serta pemasaran produk. Disinilah kebutuhan menjadi pendamping menjadi
penting karena berperan penting untuk membantu informan untuk memulai usahanya. Pemerintah
Kota Surabaya telah berupaya menyediakan tenaga pendamping yang disebut sebagai Kader
Pemberdayaan Masyarakat (KPM) untuk membantu peserta menjalankan usahanya paska mendapat
pelatihan dasar. Namun permasalahan yang dihadapi dilapangan adalah ketersediaan tenaga
pendamping yang tidak sebanding dengan jumlah peserta yang harus didampingi sehingga KPM tidak
dapat melakukan pendampingan secara maksimal. KPM hanya berkunjungan untuk melakukan
fungsi monitoring (pengawasan) dengan melakukan pendataan dan mengecek perkembangan usaha
199
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
peserta tanpa melakukan fungsi mentoring (pendampingan). Fungsi pendampingan yang utama
adalah memberikan pendampingan bagi peserta dalam memulai usaha karena akan ada kendalakendala yang dihadapi terutama bagi usaha baru berjalan dengan pelaku usaha yang juga masih baru
dan relatif belum berpengalaman dalam berwirausaha. Hal ini dikonfirmasi oleh jawaban informan
yang menyatakan ketidakmampuan mereka menjalankan usaha mandiri karena tidak adanya
pendampingan. Sebagian besar informan adalah ibu rumah tangga yang belum memiliki pengalaman
untuk berwirausaha, maka peran pendamping menjadi krusial untuk membantu informan untuk
menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul ketika mulai berusaha. Penelitian yang
dilakukan oleh Nugroho, et al. (2013) dan Radianto dan Santoso (2015) menunjukkan jumlah KSM
yang masih aktif di Kota Surabaya dan sudah melakukan kegiatan produksi dan pemasaran hanya
sekitar 55-56% dari total seluruh KSM. Hal ini menunjukkan tujuan penumbuhan kelompokkelompok usaha baru bagi gakin belum tercapai. Selain itu masalah lain adalah tidak adanya
pembekalan khusus kepada tenaga pendamping agar dapat berperan optimal dalam memfasilitasi
perkembangan usaha peserta pelatihan dasar. KPM perlu diberikan pelatihan untuk menjadi coach
yang baik bagi peserta pelatihan sehingga KPM mampu memfasilitasi para pelaku usaha pemula
untuk menemukan solusi dan bantuan yang mereka butuhkan untuk mengatasi masalah-masalah yang
mereka hadapi. KPM juga harus mampu memotivasi peserta ketika menghadapi masalah seperti
kesalahan pengambilan keputusan atau kerugian usaha agar peserta tidak menyerah. Selain perlunya
penambahan dan pembekalan KPM, pemerintah juga perlu memberikan KPM target dengan
mekanisme reward dan punishment untuk memotivasi KPM dalam menjalani tugas sebagai
pendamping KSM. Dengan adanya target yang realistis dan mekanisme reward dan punishment yang
jelas akan memotivasi KPM untuk berkerja secara optimal.
Efektivitas Mekanisme Pengendalian
Hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pengendalian yang
dilakukan belum sepenuhnya efektif. Pengendalian yang dilakukan masih pada taraf pengendalian
anggaran, yaitu sampai sejauh mana anggaran terserap untuk memastikan bahwa program dapat
berjalan. Namun demikian meskipun anggaran sudah terserap dengan efektif namun dampak dari
program pelatihan yang telah dilakukan belum dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi
kesejahteraan masyarakat luas. Namun demikian tetap ada warga yang mampu meningkatkan
ekonominya. Salah satu kunci penting mengapa tetap ada masyarakat yang mampu meningkatkan
kesejahteraannya adalah karena adanya perubahan cara berpikir dan memiliki hasrat yang kuat untuk
memperbaiki kualitas hidupnya.
Penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme pengendalian yang paling penting untuk gakin
adalah melalui pengendalian personal yang merupakan pengendalian informal (Merchant dan Stede,
2007). Pengendalian informal adalah meningkatkan kualitas pendamping yang mendampingi
keluarga gakin dalam merintis usahanya. Adanya pendampingan saat ini merupakan sistem
diagnostic control (Simons, 1994, 1995). Diagnostic control memfokuskan peranan Sistem
Pengendalian Manajemen sebagai alat pengawasan. Namun yang lebih penting adalah bagaimana
peran soft skill dari para pendamping untuk mampu mempengaruhi gakin yang sedang didampingnya.
Jika mereka mampu mempengaruhi gakin maka gakin akan berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan oleh pemerintah. Namun demikian para pendamping belum mampu untuk mempengaruhi
pola pikir gakin. Pengendalian personal akan mampu untuk mempengaruhi perilaku individu
walaupun mungkin memerlukan waktu yang cukup lama. Kombinasi antara pengendalian formal dan
informal sangat penting untuk memastikan strategi pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
200
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
gakin dapat tercapai. Radianto (2015) dalam penelitiannya menemukan bahwa mekanisme
pengendalian yang efektif harus merupakan gabungan dari pengendalian formal dan informal, karena
kedua pengendalian tersebut bukan saling meniadakan namun saling memperlengkapi.
Aspek berikutnya adalah pengendalian untuk para pendamping. Sampai saat ini proses
pengendalian pendamping nampaknya masih lemah baik dari proses perekrutan sampai dengan
pemberian reward dan punishment. Tidak adanya target kerja yang jelas menjadikan pendampingan
lebih menitikberatkan pekerjaannya untuk mendata perkembangan dan melaporkan hasilnya ke
SKPD tanpa melakukan proses pendampingan yang intensif. Disamping itu jumlah pendamping yang
relatif lebih sedikit dibanding dengan gakin menyebabkan pengendalian menjadi tidak efektif karena
banyaknya persoalan yang muncul di lapangan dan sedikitnya personil yang tersedia.
Belief system (Simons 1994) memegang peranan yang pentng. Secara konsep dasar Sistem ini
digunakan untuk menginspirasi dan mengarahkan individu untuk menemukan kesempatankesempatan yang ada agar individu berperilaku sesuai tujuan dan arah organisasi (Wongkaew, 2013;
Hoque dan Chia, 2012). Oleh karena itu pemahaman yang jelas mengenai tujuan organisasi harus
dibagikan kepada anggota. Sehingga melalui “sharing” ini pimpinan akan dapat mengendalikan
anggota-anggotanya. Dalam kasus ini pimpinan adalah SKPD yang mengelola program
pemberdayaan dan anggota adalah para pendamping. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa staf
SKPD sudah memiliki belief system yang kuat. Hal tersebut ditunjukkan dengan komitmen mereka
dalam mensukseskan program peningkatan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan.
Namun mekanisme ini nampaknya tidak sampai ke para pendamping sehingga mereka belum
berperan optimal.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah pemerintah sebaiknya mengkombinasikan pengendalian
formal dan informal walau lebih mengutamakan pengendalian informal. Para pendamping diberikan
kesempatan untuk meningkatkan kompetensi dirinya dengan mengikuti pelatihan coaching maupun
mentoring sehingga dapat bekerja dengan lebih optimal. Berikutnya adalah merekomendasi agar
diterapkannya sistem manajemen sumberdaya manusia, dimulai dari perekrutan, seleksi, sampai pada
pengukuran kinerja bagi para pendamping. Job description yang merupakan bagian dari mekanisme
pengendalian manajemen (Merchant, 1998; Ouchi, 1979) harus dikembangkan agar pendamping
dapat melakukan tugasnya dengan optimal.
Fokus terbesar pemerintah sampai saat ini adalah bagaimana program dapat berjalan, namun
demikian aspek pengendalian masih belum menjadi fokus. Oleh karena itu diharapkan pada programprogram mendatang pemerintah dapat mendesain program pengendalian bersamaan dengan rencana
pengembangan masyarakat. Program pelatihan tidak hanya berfokus pada pemberian keterampilan
namun harus merupakan program satu kesatuan program yang komprehensif dengan mendesain sejak
tahap pra pelatihan, pelatihan dan sampai tahap paska pelatihan yaitu pendampingan. Pengedalian
juga dilakukan pada penentuan kriteria keberhasilan suatu program yaitu tidak hanya diukur pada
serapan anggaran namun harus melihat dampak dari program tersebut dalam pemberdayaan
masyarakat.
201
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa akuntansi melalui SPM memegang
peranan penting dalam program-program pemberdayaan masyarakat. Hasil analisis menunjukkan
SPM pada program pelatihan dasar belum memadai. Hal ini terlihat dari fokus SKPD pelaksana yang
masih hanya pada sisi pelaksanaan pelatihan. Suatu program pelatihan hendaknya didesain
menggunakan pendekatan yang komprehensif mulai dari tahap persiapan pelatihan, pelaksanaan
pelatihan dan pendampingan paska pelatihan. Pengendalian informal dan pengendalian formal
merupakan dua aspek yang saling melengkapi dan tidak mungkin salah satu dapat dihilangkan.
Strategi penerapan kedua mekanisme pengendalian tersebut harus didesain sesuai dengan tujuan
SKPD dalam memastikan bahwa tujuan program dapat dicapai.
Penelitian mengenai bagaimana implementasi program-program pemerintah sangat penting
untuk dikembangkan. Hal ini disebabkan manfaat dan tujuan dari program tersebut adalah untuk
pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sehingga saran penelitian selanjutnya adalah memperluas penelitian pengendalian manajemen di
program pemerintah. Penelitian dengan subjek tenaga outsourcing seperti pendamping yang bukan
pegawai negeri atau struktur lain di luar pemerintahan namun yang turut serta membantu pemerintah
dalam pengembangan masyarakat sangat penting untuk dilakukan. Penelitian peran sistem
pengendalian untuk memastikan program pemerintah dapat berjalan dengan lancar seperti
pendamping, aktivis kampung dan karang taruna, LSM, dan pihak ketiga lainnya juga merupakan
topik yang menarik untuk diteliti. Demikian juga subjek penelitian yang mencakup unsur aparatur
pemerintahan seperti Lurah, Camat, RT dan RW masih merupakan isu penelitian yang penting di
masa mendatang. Subjek penelitian ini masih sering terlupakan di penelitian-penelitian sektor publik.
DAFTAR PUSTAKA
Anthony R., dan V. Govindarajan. 2007. Management Control Systems 12ed. New York: McGraw
Hill.
Ciputra. 2011. Ciputra Quantum Leap 2: Kenapa dan Bagaimana Entrepreneurship Mengubah Masa
Depan Bangsa dan Masa Depan Anda. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Haryani, dan Syafruddin. 2010. Kepercayaan Dan Implementasi Peraturan Perundang-Undangan
Penyusunan Dan Pengelolaan Keuangan Daerah Di Kabupaten Batang. Dipresentasikan
pada Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.
Hoque, Z., dan M. Chia. 2012. Competitive Forces and The Levers of Control Framework in
Manufacturing Setting: A Tale of A Multinational Subsidiary. Qualitative Research in
Accounting and Management, 9 (2), 123-145.
Kusumaningrum, N.A., dan Sutaryo. 2015. Pengaruh Karakteristik Inspektorat Daerah Dan Kinerja
Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi
XVIII, Medan.
Mawarni, S., dan Yuliansyah. 2015. Pengaruh Sistem Pengukuran Kinerja Non-Finansial Terhadap
Kinerja Anggota Kepolisian, Job Tension Sebagai Faktor Pemediasi. Dipresentasikan pada
Simposium Nasional Akuntansi XVIII, Medan.
202
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Mediaty. 2010. Analisis Pengaruh Lingkungan Strategi, Budaya, Dan Perencanaan Strategi
Terhadap Kinerja Perusahaan Daerah (Studi Kasus Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
Di Sulawesi Selatan. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.
Merchant, K.A. 1998. Modern Management Control Systems, Text and Cases. New Jersey: PrenticeHall, Inc.
Merchant, K.A., dan W.A. Van der Stede. 2007. Management Control System: Performance
Measurement, Evaluation and incentives. London: Prentice Hall.
Norman, F. 2010. Implementasi Sistem Pengukuran Kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Di Kota Bengkulu. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.
Nugroho, I., dan R. Dahuri. 2012. Pembangungan Wilayah: Perspektif Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Nugroho, D.A.B., M.S. Soeaidy, M. Hadi. 2013. Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat
Melalui Pelatihan Keterampilan Dasar (Studi di Kecamatan Tambaksari Kota Surabaya).
Jurnal Administrasi Publik, 1 (5), 862-871.
Otley, D.T., dan A.J. Berry. 1994. Case study research in management accounting and control.
Management Accounting Research, 5, 45-65.
Otley, D.T., J.M. Broadbent, A.J. Berry. 1995. Research in Management Control: An Overview and
Its Development. British Journal of Management, 6, 531-534.
Ouchi, W.G. 1979. A Conceptual Framework for the Design of Organizational Control Mechanisms.
Management Science, 25 (9), 833-848.
Pratiwi, I, dan R. Akbar. 2015. Komitmen Afektif Manajemen, Implementasi Sistem Pengukuran
Kinerja, Akuntabilitas Dan Kinerja Organisasi Publik Dalam Perspektif Teori Institusional
Dan Teori Strukturisasi. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XVIII,
Medan.
Purwanto, A., dan S.N. Hadiyati. 2011. Pengaruh Strategic Performance Measurement Systems
Terhadap Manager Performance Dengan Job-Relevant Information, Role Ambiguity, Role
Conflict Dan Burnout Sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris Pada Rumah Sakit Swasta
Di Wilayah Jawa Tengah). Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIV, Banda
Aceh.
Radianto, W.E.D. 2015. Rekonstruksi Sistem Pengendalian Manajemen Konsep Simons: Studi
Fenomenologi di Entreprenurial University. (Disertasi, Universitas Airlangga Surabaya).
Radianto, W.E.D., dan E.B. Santoso. 2015. Laporan Hasil Survey KSM di Kota Surabaya Tahun
2015. Unpublished paper.
Riharjo, I.B., M. Sudarma, G. Irianto, Rosidi. 2015. Penganggaran Daerah: Konsesus, Kekuasaan,
dan Politik Anggaran. Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XVIII, Medan.
Ritonga, I.T., dan M.I. Alam. 2010. Apakah Incumbent Memanfaatkan Anggaran Pendapatan Dan
Belanja Daerah (APBD) Untuk Mencalonkan Kembali Dalam Pemilihan Umum Kepala
Daerah (Pemilukada). Dipresentasikan pada Simposium Nasional Akuntansi XIII,
Purwokerto.
Simons, R. 1994. How New Top Managers Use Control Systems as Levers of Strategic Renewal.
Strategic Management Journal 15, 169-189.
________. 1995. Control in an Age of Empowerment. Harvard Business Review (march-april), 8088.
Sopanah. 2010. Menguak Fenomena Penolakan Pembangunan Dengan Dana Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD): Sebuah Studi Interpretif. Dipresentasikan pada Simposium
Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.
203
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Wirahadi, A. 2010. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Outcomes Bidang Kesehatan: Studi
Empiris Di Kabupaten/Kota Propinsi Sumatera Barat. Dipresentasikan pada Simposium
Nasional Akuntansi XIII, Purwokerto.
Wongkaew, W. 2013. Management Accounting and Control Systems – Unnecessary Evils to
Innovation? Chulalongkorn Business Review 34 (3), 1-21.
204
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
MODEL BISNIS KANVAS: ALAT UNTUK MENGIDENTIFIKASI
PELUANG BISNIS BARU BAGI PENGUSAHA UKM INDONESIA
Ismiriati Nasip1 dan Eka Sudarmaji2
Universitas Bina Nusantara (BINUS), Jakarta & Universitas Pancasila, Jakarta
E-mail: [email protected] , [email protected] & [email protected]
Abstract: The generation of new business ideas is becoming an important element for Indonesian SmallMedium Enterprises (“SMEs”). The ability to identify business opportunities is expected to encourage
them to seek the best idea in developing their current business. The purpose of this study is to test the
ability of Indonesian entrepreneurs to generate new business opportunities when they participate in
entrepreneurship course, especially in creativity development course. Business Canvas Model is used as
a tool of ‘entrepreneur alertness’ in recognition, evaluation, and development of entrepreneurship. It also
identifies entrepreneur’s orientation as antecedents of the opportunity identification capabilities. Pre vs.
post-test comparisons showed the Indonesian entrepreneur who has a good orientation subsequently have
a higher level of divergent thinking. The outcome also indicates that the course has a significant effect on
individuals’ abilities to generate a greater number and more innovative business ideas inside the
experimental group. The implications of the result for developing opportunity identification competence
and entrepreneurship education will be presented.
Keywords: Business Model Canvas, Entrepreneurship Education, Indonesian Entrepreneur, Opportunity
Identification Capability.
Abstrak: Menghasilkan ide-ide bisnis baru sudah menjadi elemen penting bagi para pengusaha Usaha
Kecil-Menengah (“UKM”) di Indonesia. Dengan kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis,
diharapkan dapat mendorong mereka untuk mencari ide terbaik dalam mengembangkan bisnis mereka saat
ini. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji kemampuan para pengusaha Indonesia untuk
menghasilkan peluang bisnis baru ketika mereka berpartisipasi dalam pelatihan kewirausahaan, terutama
dalam pelatihan mengembangkan kreatifitas. Bisnis Model Kanvas digunakan sebagai alat untuk
mengidentifikasi kemampuan pengusaha dalam mengenali, mengevaluasi dan mengembangkan
kemampuan kewirausahaan. Hal ini juga untuk menguji orientasi para pengusaha UKM sebagai prasyarat
dari kemampuan mengidentifikasikan peluang bisnis. Perbandingan dari pengujian sebelum dan sesudah
pelatihan menunjukkan bahwa pengusaha Indonesia yang memiliki orientasi yang baik dan mempunyai
cara berfikir yang berbeda untuk mencapai tingkat yang lebih maju. Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa pelatihan tersebut memiliki dampak yang signifikan pada kemampuan pengusaha di dalam
kelompoknya (kelompok eksperimen) untuk menghasilkan ide-ide bisnis yang lebih besar dan lebih
inovatif. Implikasi dari hasil pelatihan untuk mengembangkan kemampuan melihat peluang akan disajikan
dalam penelitian ini.
Kata kunci: Model Bisnis Kanvas, Pelatihan Kewirausahaan, Pengusaha Indonesia, Kemampuan
Mengidentifikasi Peluang.
PENDAHULUAN
Banyak literatur yang menghubungkan antara kewirausahaan dengan kemakmuran ekonomi negara.
Lingkungan yang memudahkan pengusaha untuk mendirikan atau memulai bisnis penting dalam menciptakan
perusahaan tersebut untuk unggul dan tumbuh berkembang, sehingga pada akhirnya keberhasilan para
pengusahanya akan memberikan nilai tambah bagi keberhasilan ekonomi secara keseluruhan. Richard
Cantillon (1755), adalah orang yang pertama kali menjelaskan bahwa pengusaha adalah orang-orang yang
berani mengambil resiko. Sementara Joseph Schumpeter (1911) melihat bahwa pengusaha adalah individu
pencipta inovasi dan sebagai mesin pertumbuhan sebuah negara. Kebijakan untuk menciptakan pengusaha
baru sebagai mesin pertumbuhan merupakan kendala utama bagi para pembuat kebijakan, baik di negara maju
205
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
maupun negara-negara berkembang seperti Indonesia. Salah satu hambatan yang timbul adalah bahwa terlalu
banyak biaya overhead terjadi, dan lokasi dimana biaya overhead yang rendah akan memiliki lebih banyak
pengusaha dan akan mencipatkan lebih banyak perusahaan baru untuk memulai bisnisnya.
Keberhasilan pengusaha juga dipengaruhi oleh kesempatan belajar, dimana ada banyak cara bagi individu
untuk dapat belajar bagaimana untuk menjadi seorang pengusaha dan bagaimana menjadi sukses (misalnya
dari orang tua, teman, sekolah, dan lain-lain). Individu yang dibesarkan disebuah lokasi dimana kewirausahaan
berkembang, lebih mungkin untuk menjadi pengusaha (Guiso, 2016). Apakah ada aspek kewirausahaan yang
penting untuk dipelajari? Literatur modern tentang kewirausahaan menyatakan bahwa untuk menjadi seorang
pengusaha, maka perlu untuk memiliki berbagai keterampilan atau karakter khusus (Lazear, 2005). Teori
Klasik soal karakter kewirausahaan menitik beratkan pada kemampuan untuk berinovasi (Schumpeter, 1934),
dan keberanian menanggung ketidakpastian serta resiko (Cantillon, 1755; Kihlstrom & Laffont, 1979; Knight,
2002).
Kemampuan kewirausahaan adalah sebuah usaha komprehensif yang memiliki beberapa komponen
penting dan masih harus terus dipelajari sejauh mana mereka masih bisa dipelajarinya. Sementara itu,
kemampuan manajerial lebih mungkin untuk dipelajari secara terbatas. Guiso L (2016) juga menemukan
bahwa pengusaha yang dibesarkan di lokasi dimana kewirausahaan berkembang, akan memiliki praktek
manajerial yang jauh lebih baik. Di Indonesia ada begitu banyak pengusaha sukses, baik disektor formal
maupun informal. Ada banyak faktor dibalik kesuksesan sebuah perusahaan di Indonesia, dimana faktor utama
dan penting adalah pendirinya atau pengusaha itu sendiri.
Tom Grasty (2012) menyatakan bahwa penemuan sebuah produk dapat didefinisikan sebagai penciptaan
sebuah produk baru atau pengenalan proses baru untuk pertama kalinya. Sementara itu inovasi produk terjadi
jika seseorang meningkatkan atau membuat kontribusi yang signifikan terhadap produk yang sudah ada atau
proses baru yang terjadi atau jasa baru yang diberikan. Menjadi seorang pengusaha, tidak bisa hanya fokus
kepada inovasi produk saja atau pada sebuah penemuan produk baru saja. Para pengusaha didorong untuk
mencari dan mengidentifikasikan ide-ide bisnis atau sebuah peluang bisnis, yang dapat mengubah sebuah
penemuan produk baru atau sebuah inovasi produk, agar produk tersebut menjadi besar dan berguna dimasa
depan.
Penemuan sebuah produk baru berasal dari kombinasi sebuah pengetahuan umum, kesempatan,
kemampuan menciptakan, dan kapasitas dari para pengusaha tersebut serta teknik yang mendukung proses
penciptaan tersebut. Oleh karena itu, penemuan produk menjadi lebih penting pada tahap awal sebagai bentuk
pengetahuan, seperti dalam bidang manufaktur, pengolahan industri makanan dan lain-lain. Sementara itu,
sebuah inovasi produk adalah penggabungan pengetahuan termasuk di dalam disiplin banyak ilmu
pengetahuan dimana ide-ide cerdas terjadi, baik itu meningkatkan kegunaan yang ada pada produk tersebut
atau produk tersebut dapat dipakai untuk memecahkan permasalahan yang ada.
Fenomena kebangkrutan sebuah perusahaan banyak dimulai ketika bisnis yang dijalani oleh para
pengusaha tidak lagi menjadi menarik dan mengalami siklus penurunan seperti yang terjadi dalam siklus umur
sebuah produk (product life cycle). Pada saat itu para pengusaha dipaksa untuk memikirkan jalan keluar
melalui solusi penciptaan ide-ide bisnis baru dalam usaha meremajakan produk atau layanan yang
dijalankannya. Tidak jarang dari pengusaha tidak dapat meremajakan bisnis dan perusahaannya karena tidak
tahu harus memulai dari mana dan kehilangan arah bagaimana harus melahirkan ide-ide bisnis baru. Persaingan
yang tajam memerlukan sebuah terobosan dan ide bisnis yang berbeda. Dengan demikian, masing-masing
pengusaha mencoba untuk menjadi unik dari yang lainnya dalam usaha mereka untuk mencari pangsa pasar
baru.
Studi ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan: Bagaimana Bisnis Model Kanvas digunakan
untuk melihat kemajuan dari tambahan kemampuan yang didapat bagi para pengusaha dalam
mengindentifikasikan sebuah peluang baru yang menjanjikan dimasa depan? Apa yang membuat startegi
Bisnis Model Kanvas ini berbeda dan unik dibanding dengan startegi business plan lainnya? Faktor-faktor apa
yang mempengaruhi atau berdampak pada terhentinya penciptaan ide-ide bisnis baru yang dihasilkan oleh
pengusaha? Apa dampak dari terjadinya perubahan lingkungan bisnis yang terus berubah yang mendorong
206
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
pengusaha untuk menghasilkan bisnis baru dengan terlebih dahulu mampu melihat semua faktor yang ada
diperusahaan, baik itu faktor internal dan faktor eksternal terhadap kinerja bisnis dan keuangan perusahaan
saat ini?
Dilain pihak, pemerintah baik itu pemerintah nasional, pemerintah regional atau pemerintah daerah,
lembaga-lembaga swadaya masyarakat, asosiasi-asosiasi perusahaan, perusahaan-perusahaan milik negara
atau BUMN-BUMD dan institusi-institusi pendidikan sudah banyak membantu dalam melakukan pelatihan
pada para pengusaha nasional, khususnya adalah para pengusaha UKM. Hasil akhir dari pelatihan ini, banyak
yang tidak tepat sasaran dan kurang menghasilkan dampak yang besar dibandingkan dengan tujuan yang
diharapkan. Target dan prioritas pengusaha sebagai peserta pelatihan adalah hal yang paling penting yang
harus diperhatikan oleh institusi-institusi tersebut di atas, mengingat keterbatasan sumber daya yang
dimilikinya. Seleksi awal pengusaha sebagai peserta latihan diharapkan akan memunculkan hanya pengusahapengusaha yang mempunyai orientasi berbisnis yang lebih baik serta pengusaha yang mempunyai kemampuan
untuk melihat ide bisnis. Pada akhirnya, diharapkan bahwa pengusaha-pengusaha tersebut dapat memberikan
dampak yang besar bagi masyarakat sekitarnya dan perekonomian secara luas.
Dengan menggunakan analisa sembilan blok Bisnis Model Kanvas (“BMK”), studi ini akan mengkaji
seberapa besar tingkat orientasi pengusaha peserta pelatihan kewirausahaan yang diselenggarakan oleh sebuah
institusi BUMN. Hasil penyeleksian dan pengukuran tahap pertama untuk tingkat orientasi pengusaha tersebut
kemudian dilanjutkan pada tahap kedua berikutnya yaitu untuk menganalisa kemampuan peserta pengusaha
untuk mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan. Diharapkan bahwa pengusaha yang
mempunyai orientasi bisnis yang lebih baik, akan memiliki kemampuan untuk menghasilkan banyak ide-ide
bisnis. Dengan demikian, semakin banyak pengusaha yang mampu mengidentifikasi peluang bisnis dan
menghasilkan ide bisnis, semakin tinggi kemungkinan pengusaha tersebut sukses dimasa depan.
TINJAUAN PUSTAKA
Peluang Bisnis
Banyak UKM yang sukses saat ini tergantung pada para pengusahanya untuk terus belajar, beradaptasi,
dan menyesuaikan keahlian mereka pada perubahan lingkungan internal dan eksternal yang berubah sangat
cepat saat ini. Ini akan menjadi penting bagi para pengusaha UKM untuk mendapatkan keunggulan kompetitif
bagi perusahaannya dalam menentukan pasar yang dipilihnya, dengan sumber daya terbatas yang dimilikinya
saat ini, terutama dalam upaya untuk memanfaatkan peluang bisnis dimasa depan. Keahlian manajemen
strategis dalam lingkungan yang terus berubah seperti saat ini diperlukan oleh para pengusaha UKM.
Perubahan lingkungan eksternal yang cepat merupakan awal untuk memahami manajemen strategis terutama
dalam menjalankan perusahaan UKM seperti yang dirasakan sebagaimana proses kewirausahaan terjadi pada
saat para pengusaha tersebut memulainya.
Para pengusaha UKM membutuhkan strategi manajemen, sebagaimana tujuan mereka berikutnya adalah
bagaimana para pengusaha tersebut menjalankan perusahaan mereka untuk mendapatkan pertumbuhan yang
berkelanjutan. Kemampuan manajemen strategi dapat digunakan untuk mengembangkan produk baru, layanan
baru dan masuk ke pasar baru. Dengan kata lain, pengusaha UKM yang sukses memerlukan keahlian untuk
mengatur dan mengelola kegiatan yang melibatkan aktivitas inovasi dan mengelola perubahan lingkungan
eksternal yang menyertainya. Ini adalah bidang manajemen strategis yang pada awalnya terjadi dibisnis skala
besar dan tidak terjadi pada unit skala UKM. Kesempatan untuk melihat masa depan, adalah sebuah proses
yang tidak terjadi murni melalui analisis bisnis formal atau melalui proses peramalan, tetapi terjadi melalui
proses perencanaan strategis. Kesempatan untuk melihat peluang bisnis masa depan bisa melalui inspirasi dan
imajiasi para pengusaha, dimana kebanyakan orang lain tidak dapat melihatnya. Selalu ada gairah, misi, visi,
dan kesenangan yang bercampur dalam menciptakan sebuah peluang bisnis, dan penciptaan sebuah peluang
bisnis tidak dapat dijelaskan lebih detail oleh teori ekonomi dan teori-teori lainnya.
207
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Menciptakan sebuah peluang bisnis memerlukan sebuah antusiasme, keterampilan, sumber daya,
birokrasi, komitmen, dan juga strategi yang harus dipunyai oleh banyak individu dan perusahaan. Peluang
bisnis tidak dapat dibuat hanya karena faktor lingkungan dan/atau faktor pribadi, meskipun kedua faktor
tersebut terkait erat. Penciptaan kesempatan bisnis dapat dijelaskan dan memerlukan hampir semua disiplin
ilmu; ekonomi, psikologi dan ilmu kognitif, manajemen strategi, sumber daya, serta teori kontingensi yang
digabungkan secara bersama-sama, selaras dan membentuk serta menciptakan sesuatu yang baru dalam bentuk
ide bisnis. Aspek pentingnya adalah kemampuan melihat peluang bisnis untuk melihat pertama kalinya,
bertindak pertama kalinya dan sebelum orang lain melakukannya. Proses tersebut terjadi karena fungsi
pancaindera bekerja dan bagaimana cara memandang dunia luar, serta memproses semua informasi yang telah
diperolehnya sekaligus. Sesuatu yang dihasilkan oleh intuisi, visi, wawasan, penemuan, atau penciptaan ide
berkembang menjadi sebuah kamampuan melihat sebuah peluang, yaitu sebuah peluang bisnis.
Banyak individu membuat kesalahan tentang bagaimana mereka melihat dan melaksanakan peluang
bisnis tersebut. Disektor UKM, baik pemilik dan/atau perusahaannya memiliki nilai-nilai atau norma-norma
yang sama dalam melihat peluang bisnis. Oleh karena itu, peluang bisnis dipengaruhi oleh aspirasi pemilik,
keluarga mereka, dan motivasi yang tidak dapat dengan mudah dilepaskan dari tujuan awalnya. Jadi hirarki
melihat peluang datang dari tujuan pribadi, keluarga, dan bisnis. Setiap kisah seorang pengusaha sukses atau
pengusaha yang gagal adalah bersifat sangat unik/khas, dimana cerita dan alasan dibaliknya adalah hanya
mereka sendiri yang tahu; kenapa mereka berhasil atau kenapa mereka gagal. Keberhasilan dan kegagalan
akan tergantung pada kesempatan, keterampilan, fokus, waktu yang tepat, sumber daya, kompetensi individu,
dan strategi yang dijalankan saat ini yang mungkin cocok atau tidak untuk mengeksekusi peluang bisnis
tersebut. Beberapa perusahaan dapat berkembang pesat sejak mereka didirikan, karena mungkin mereka telah
mampu mengidentifikasi peluang bisnis yang tepat, memiliki keterampilan yang tepat untuk itu, dan memiliki
jaringan dan sumber daya yang cukup, serta menyusun strategi yang paling tepat untuk mengeksploitasi
peluang bisnis secara efektif, sementara perusahaan lain mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk
mencapainya.
Bisnis Model Kanvas
Definisi UKM diambil dari Peraturan Pemerintah No: 8/2008, yang mendefinisikan bahwa usaha kecil
dan menengah sebagai kegiatan bisnis independen yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha yang
bukan merupakan anak perusahaan atau cabang lain dari perusahaan atau menjadi bagian baik langsung
maupun tidak langsung dari unit usaha menengah atau perusahaan besar. Nilai bersih dari kedua jenis bisnis
tersebut juga didefinisikan secara jelas, termasuk didalamnya adalah kekayaan bersih dan nilai penjualan.
Fokus dari penelitian ini terletak pada visualisasi dan kemampuan mengidentifikasikan peluang bisnis
dan melakukan inovasi. Kemampuan melakukan inovasi pada kualitas produk, inovasi skala produksi atau
inovasi logistik belum dirasakan cukup bagi semua pengusaha. Kemampuan berinovasi pada bisnis model saat
ini menjadi penting, apalagi ketika pengusaha dipaksa untuk berinovasi karena persaingan bisnis yang sangat
ketat. Ada beberapa alasan mengapa inovasi bisnis model adalah topik yang menghangat saat ini bagi manajer,
pengusaha, dan para peneliti maupun akademisi. Pertama, karena inovasi bisnis model adalah merupakan
bahasan pokok yang sering kurang dimanfaatkan selama ini. Kedua, inovasi bisnis model merupakan hal yang
paling sulit ditiru bagi pesaing, karena mereka harus dapat meniru seluruh sistem kegiatan bisnisnya menjadi
baru, dan bukan hanya sekedar mempunyai proses baru atau produk baru saja. Inovasi pada tingkat bisnis
model dapat diubah menjadi keunggulan bisnis yang berkelanjutan karena lebih mudah untuk mengukurnya,
bahkan lebih mudah dari pengukuran tingkat pengembalian atas inovasi produk baru atau inovasi proses baru.
Ketiga, manajer harus terbiasa dengan kemungkinan upaya pesaing di pasar yang khusus, karena inovasi bisnis
model mungkin saja diperlukan sebagai alat untuk memenangkan persaingan dan mencapai keunggulan
kompetitif perusahaan.
Bisnis model perusahaan adalah sebuah mata rantai sistem yang saling berhubungan dan saling tergantung
tentang bagaimana cara mengontrol perusahaan untuk berbisnis, baik dengan konsumen, maupun melakukan
kemitraan dan berhubungan dengan pemasok. Kesimpulannya, bisnis model adalah sekumpulan sistem
kegiatan tertentu yang dilakukan oleh perusahaan untuk memenuhi kebutuhan pasar, serta hal-hal khusus yang
dipunyai perusahaan atau mitra perusahaan saat ini dalam melakukan kegiatan bisnis, dan bagaimana kegiatan
208
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
ini terhubung satu sama lain. Bisnis model yang inovatif dapat menciptakan pasar baru atau membantu
perusahaan membuat dan memanfaatkan peluang bisnis baru di pasar yang sebelumnya tidak ada.
Raphael Amit dan Christoph Zott Bisnis (2012) mengidentifikasi bahwa inovasi bisnis model terjadi
dengan cara: 1) menambahkan kegiatan baru, karena mengacu sebagai ciri, 2) menghubungkan kegiatan
dengan cara baru; karena merujuk sebagai inovasi proses baru, 3) mengubah satu atau lebih pihak yang
melakukan kegiatan, struktur; karena mengacu pada pemberdayaan sumber daya perusahaan (Amit & Zott,
2015).
UKM dapat memanfaatkan dan mencari peluang bisnis model baru dalam upaya mereka memperbaharui
siklus hidup bisnisnya atau produknya yang mungkin saja mengakibatkan penurunan pendapatan dan
terjadinya tekanan pada keuntungan perusahaan saat ini. Raphael Amit dan Christoph Zott Bisnis (2012)
mengemukakan bahwa pengusaha UKM perlu memeriksa enam pertanyaan kunci soal inovasi bisnis model:
1) apakah kebutuhan pokok perusahaan saat ini dapat terpenuhi?, 2) apakah diperlukan kegiatan baru untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut?, 3) bagaimana kegiatan baru tersebut terhubung dengan sistem yang
ada dan dengan cara seperti apa?, 4) siapa yang harus melakukan setiap kegiatan tersebut yang merupakan
bagian dari bisnis model baru, haruskah seluruh orang-orang yang ada diperusahaan, rekanan, pelanggan, dan
apakah pengaturan tata-kelola yang baru dapat dijalankan distruktur perusahaan saat ini?, 5) bagaimana nilai
perusahaan dapat diciptakan melalui bisnis model baru ini untuk masing-masing peserta?, 6) apa model
pendapatannya sesuai dengan bisnis model baru?
Model Bisnis Kanvas ("BMK") yang diciptakan Osterwalder & Yves Pigneur (2010) adalah alat
bagaimana perusahaan dapat menciptakan nilai. Melalui BMK, pengusaha bisa melihat bagaimana mereka
dapat menjalankan bisnis; yang akan melibatkan banyak unit, baik dalam proses produksi, pemasaran dan
departemen lainnya; dan bagaimana perusahaan menjaga hubungan mereka dengan para pelanggannya,
sehingga mereka juga dapat mempertahankan kelanjutan perusahaan mereka. Keuntungan dari BMK adalah
sebagai alat untuk perencanaan dan pengembangan strategis; alat untuk mengekspresikan ide-ide; alat untuk
mengetahui segmentasi pelanggan; sebagai dashboard atau indikator; alat untuk mengetahui bagaimana usaha
pesaing (seperti tingkat persaingan). Disamping semua itu, BMK juga bisa digunakan sebagai alat untuk
analisa bisnis model portofolio; perencanaan inovasi; dan juga sebagai alat untuk menyelaraskan pola pikir
individu yang ada di dalam organisasi tersebut (Osterwalder, Pigneur, Smith, & Movement, 2010).
Orientasi Pengusaha
Orientasi pengusaha didefinisikan sebagai kesiapan pengusaha untuk menemukan dan menerima peluang
baru, mengambil tanggung jawab baru, dan membuat perubahan di dalamnya. Miller (1983) mendefinisikan
orientasi pengusaha dalam tiga dimensi yaitu: inovasi, pengambilan resiko dan proaktif. Kemudian Lumpkin
dan Dess, (1996) menambahkan upaya daya saing yang agresif dan kemampuan mandiri yang ditambahkan
pada definisi Miller yang disebutkan di atas. Sementara itu, ada banyak dimensi lain yang digunakan untuk
mengukur orientasi pengusaha, yang sebagian besar peneliti menggunakan perilaku orientasi pengusaha atau
sikap orientasi pengusaha, yang dibuat oleh Robinson, Stimpson, Huefner, dan Hunt (1991).
Dimensi orientasi pengusaha didasarkan pada model perilaku manusia, yaitu melalui pengakuan,
pengaruh dan kesadaran kognitif sebagai tiga komponen utama perilaku. Dimensi ini diambil dari empat subdimensi yaitu prestasi, inovasi, kontrol pribadi dan harga diri, yang memberikan perbedaan antara pengusaha
dan bukan pengusaha (Huefner, Hunt, & Robinson, 1996). Konsensus tentang penyebab dan konsekuensi atas
orientasi pengusaha, atau alat ukurnya menjadi dilema sendiri dan sampai saat ini masih belum mencapai
kesepakatan diatara para peneliti dan praktisi (Miller, 2011). Memahami semua dimensi orientasi pengusaha
dapat dicapai melalui sebuah keputusan perekrutan atau dalam sebuah keputusan kemitraan atau sebuah
keputusan investasi, atau dalam pekerjaan dimana sikap kewirausahaan menjadi sangat penting, seperti alokasi
sumber daya atau pada tingkat yang lebih luas yaitu untuk mengidentifikasi cara-cara pengusaha untuk
meningkatkan aktivitas perusahaannya kearah pertumbuhan yang lebih berarti.
Kemampuan Mengidentifikasikan Peluang Bisnis
209
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Dalam konteks pendidikan, beberapa bukti empiris menunjukkan bahwa kemampuan untuk
mengidentifikasi peluang dapat dipelajari melalui pelatihan kewirausahaan, pendidikan dan lokakarya, yang
dapat memainkan peran penting dalam meningkatkan kemampuan siswa (DeTienne & Chandler, 2004; Fiet,
2007). Begitu juga kemampuan melihat peluang bisnis bagi pengusaha dapat ditingkatkan melalui pemberian
pelatihan dan pendidikan kewirausahaan, sehingga diharapkan terjadinya peningkatan kinerja ekonomi
perusahaan tersebut. Ketika kemampuan mengidentifikasi peluang itu dapat ditingkatkan, selalu ada faktorfaktor khusus yang melekat disetiap individu yang menjadi subjek perubahan selama proses pelatihan tersebut,
dimana hanya ada pengusaha tertentu yang lebih mampu mengidentifikasi peluang bisnis. Beberapa peneliti
menemukan bahwa kemampuan pengusaha untuk mengidentifikasi peluang bisnis dapat dikaitkan dengan
karakter individu (Baron, 2004; Gaglio & Katz, 2001; Krueger, 2004). Oleh karena itu, kemampuan untuk
mengidentifikasi peluang bisnis tersebut harus dikembangkan dari waktu ke waktu, ini yang mungkin
menjelaskan mengapa pengusaha mampu memahami realitas yang berbeda ketimbang individu lainnya.
Pengusaha dapat menghubungkan informasi yang mereka peroleh dari lingkungan luar dan bagaimana
mengidentifikasi peluang bisnis tersebut. Karakter individu menjadi peranan penting dalam mengidentifikasi
peluang, terutama selama proses pengidentifikasian tersebut berjalan.
Munoz et al (2011) dalam penelitiannya, mewawancarai 12 mahasiswa dari 15 siswa terbaik dari 1.800
mahasiswa yang berasal dari tiga kampus Universitas Nottingham yang berbeda: 850 mahasiswa di Inggris,
700 mahasiswa di Cina, dan 250 mahasiswa di Malaysia, yaitu dengan membandingkan perubahan representasi
visual dan wawancara untuk melihat perubahan kemampuan siswa dalam mengidentifikasi peluang bisnis dan
pemahaman tentang kewirausahaan. Melalui pelatihan, Munoz et all membuktikan bahwa dua belas mahasiswa
dari lima belas mengalami perubahan karakter, dan dapat meningkatkan kemampuan kewirausahaan mereka.
Karimi et al (2014), mengembangkan model khusus dan juga memberikan pelatihan yang dapat meningkatkan
kreativitas dan kemampuan individu untuk membangun cara berpikir secara berbeda, jadi orang-orang yang
telah dilatih tersebut dapat memiliki kemampuan untuk menghasilkan ide-ide bisnis dan kemampuan
memecahkan masalah. Kemampuan ini bisa menjadi keterampilan baru untuk dapat bertindak secara kreatif
dan mampu mengidentifikasi ide-ide bisnis baru atau peluang baru.
Dalam penelitian ini, sample eksperimental yang dipakai adalah dari 33 pengusaha yang terdiri dari 23
orang perempuan dan 10 orang laki-laki, yang semuanya mengambil pelatihan dasar kewirausahaan.
METODE PENELITIAN
Praktek penggunaan sembilan blok yang ada pada Bisnis Model Kanvas banyak digunakan oleh
perusahaan besar atau perusahaan skala kecil akhir-akhir ini. Penggunaan sembilan blok ini dianggap lebih
mudah dalam memahami kerumitan di dalam operasional sebuah perusahaan, sembilan blok BMK terbagi
menjadi dua faktor yang mempengaruhi lingkungan bisnis perusahaan yaitu; faktor internal dan faktor
eksternal. Dalam rangka untuk menguji sembilan blok BMK kepada para peserta pelatihan, penulis
menggunakan analisis campuran antara kualitatif dan kuantitatif untuk mengeksplorasi kegiatan pelatihan
pengusaha tersebut. Studi ini meliputi studi kasus, wawancara semi-terstruktur, dan analisis dokumen yaitu
visualisasi BMK dan pengisian kuesioner terstruktur. Meskipun data dalam studi ini berasal dari observasi dan
kuesioner terstruktur, tetapi seluruh penelitian banyak dilakukan dengan menganalisa dokumen berupa
visualisasi BMK (Gephart, 2004). Dokumen BMK yang diberikan pada awal pelatihan dan setelah pelatihan
dianalisa untuk mengecek perubahaan yang terjadi baik dari sisi kemajuan orientasi pengusaha, atau kemajuan
dalam melihat masalah yang terjadi di dalam perusahaan yang mereka pimpin, dan ide-ide bisnis baru yang
dihasilkan untuk mengatasi persoalan mereka saat ini.
Studi ini merupakan bagian dari penelitian yang lebih luas mengenai studi jebakan informalitas
(informality-trap) yang menyelidiki aspek penting bagi para pengusaha MUKM di Indonesia dalam
mentransformasikan perusahaannya dari yang bersifat informal menjadi formal (Nasip & Pradipto, 2016b).
Formalitas keberadaan perusahaan dipengaruhi juga oleh orientasi pengusaha dan keyakian akan kemampuan
pengusaha tersebut untuk membawa perubahan dan kemajuan saat ini dan masa depan. Sehingga pada
akhirnya, para pengusaha tersebut mempunyai strategi untuk mendorong perusahaan mereka untuk mampu
210
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
membuka pasar baru, mempromosikan produk dan layanannya secara luas, dan pada akhirnya menjaga kinerja
perusahaan untuk tetap tumbuh secara berkesinambungan.
Hipotesis atas studi ini digambarkan sebagai berikut:
1.
Kerangka Pemikiran 1: tahap eksplorasi mengulas konteks dan menguji masalah orientasi
pengusaha para peserta pelatihan, orientasi pengusaha yang rendah hanya akan menghasilkan
tingkat keberhasilan perusahaan yang rendah juga. Kemajuan perusahaan didapat dari kemampuan
untuk menyerap perubahaan yang terjadi pada lingkungan termasuk di dalamnya adalah kemajuan
tekhnologi. Dengan orientasi yang rendah, pengusaha dipastikan tidak mempunyai kemampuan
untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks, mengorganisasikan sumberdaya perusahaan
yang ada dan merespon atau memenuhi perubahan pasar yang sangat cepat. Grounded Theori
digunakan lewat wawancara semi-terstruktur dan kuesioner terstruktur. Grounded Theory
digunakan untuk mengeksplorasi apa yang ada dibalik fenomena (Nasip & Pradipto, 2016a, 2016b).
Dalam metode ini, pengumpulan data, analisa, dan teori akhirnya saling berhubungan satu dengan
lainnya. Teori ini berfokus pada kebutuhan untuk mengumpulkan informasi pada kejadian dan fakta
aktual. Tomkins dan Groves menunjukkan bahwa mengumpulkan informasi menggunakan studi
kasus dan wawancara memenuhi prinsip-prinsip langsung dan tanpa-hambatan (Tomkins & Groves,
1983).
Proposisi 1: Tingkat orientasi pengusaha dapat mempengaruhi kesiapan pengusaha dalam melihat
kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan.
2.
Kerangka Pemikiran 2: Kemampuan untuk beradaptasi pada lingkungan yang berubah sangat
cepat dan meremajakan siklus produk dan layanan yang ada pada perusahaan saat ini adalah kunci
untuk mencapai keunggulan kompetitif yang terus menerus. Grounded Theori digunakan lewat
observasi pada seluruh penelitian dan dilakukan dengan menganalisa dokumen BMK berupa
visualisasi BMK (Gephart, 2004). Teknik membandingkan visualisasi presentasi seperti itu
dikembangkan oleh Ambrosini dan Bowman (2001); Nadkarni, (2003). Perubahan presentasi
visualisasi di dalam BMK, diasumsikan bahwa peserta telah bereaksi terhadap perubahan
pengetahuan.
Proposisi 2: Kemampuan pengusaha mengindentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan
menjadi kunci keberhasilan pengusaha. Basis pengetahuan pengusaha sebelumnya menjadi dasar
kesiapan peserta sebagai dasar penyaringan, dimana diharapkan bahwa hanya pengusaha yang
mempunyai kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis masa depan saja yang lolos seleksi
dan mampu untuk menjadi pengusaha sukses dikemudian hari.
Pendekatan dan pemetaan kognitif dilakukan dengan mempelajari orientasi para peserta, yaitu pengusaha
UKM yang sedang melakukan lokakarya dan pelatihan bisnis di PT ”T” di Bandung. Pendekatan yang
mungkin saja berbeda pada setiap individu diberikan secara khusus, dimana hal ini karena adanya perbedaan
kelas sosial, usia, kebiasaan dan budaya. Setelah mengetahui orientasi para peserta, langkah berikutnya adalah
dengan memberikan pelatihan bisnis serta memberikan informasi-informasi yang terkait dengan kondisi
ekonomi dan suasana bisnis saat ini. Semua informasi diberikan dalam rangka meningkatkan kemampuan
kewirausahaan para peserta. Melalui pelatihan diharapkan bahwa kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis
akan meningkat, dan pada akhirnya para pengusaha diharapkan mampu meningkatkan kinerja bisnis mereka,
serta dapat memvisualisasikan kemampuan mereka untuk mengejar peluang bisnis saat ini dan masa depan.
Desain model dan teori yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan desain “corong” (Nasip &
Pradipto, 2016a), dimana model corong ini dipakai dalam penelitian yang digunakan untuk menyeleksi para
pengusaha dan mendorong pengusaha sektor informal untuk keluar dari perangkap sektor informal. Model
desain ini dipakai untuk menilai orientasi pengusaha atau dalam hal ini adalah orientasi para peserta pelatihan,
dan setelahnya proses penyaringan dilakukan berdasarkan penilaian atas kemampuan para peserta untuk
melihat kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan.
211
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Desain model hipotesis di atas dapat digambarkan ke dalam “corong” yang menunjukkan hubungan
antara orientasi pengusaha dan kemampuan mengidentifikasi peluang (Nasip & Pradipto, 2016b).
Tahap ke-1: Orientasi Pengusaha
Tahap ke-2: Kemampuan Mengidentifikasi Peluang
Mengeliminasi
Pengusaha
35
Pengusaha
Penilaian
26
Pengusaha
Evaluasi
Untuk
Menyesuaikan
Pemilihan
18
Pengusaha
Penerimaan Bantuan
Untuk Pengembangan
Bisnis
9 Pengusaha
Tereliminasi
Informasi Baru
(BMC, Pasar,
Kemungkinan)
8 Pengusaha
Tereliminasi
Gambar.1 Modifikasi dari sumber: (Nasip & Pradipto, 2016a)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prosedur Pengolahan Data
Data sampel diambil dari para pengusaha yang berpartisipasi dalam lokakarya dan pelatihan yang
diselenggarakan oleh PT. "T". Untuk tujuan publikasi ilmiah dan memberikan gambaran tentang penelitian
yang dilakukan secara deskriptif, maka nama perusahaan PT. "T" telah diubah untuk menjaga kerahasiaan dan
dicantumkan sebagai PT “T”. Proses pemilihan peserta ditentukan oleh PT. "T". Pada sesi pertama, para
peserta diminta untuk menyelesaikan dua penilaian, yaitu mengisi kuesioner dan tanya-jawab untuk
mengevaluasi perusahaan mereka (Hopf & Welter, 2010). Peserta kemudian juga diminta untuk mengisi data
BMK dengan informasi yang terbatas, sembilan data isian dari BMK diharuskan untuk diisi sesuai dengan
keadaan bisnis mereka saat ini. Jadi pengisisan BMK berkaitan dengan pemahaman mereka tentang
kewirausahaan dan persepsi mereka tentang kemampuan mereka untuk mengidentifikasi peluang saat ini.
Mereka juga diminta untuk menjelaskan apa saja yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya,
salah satunya adalah menimbulkan aspek berpikir kreatif, dan/atau bagaimana mereka mampu
mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan masa depan.
Pada sesi pertama, peserta mendengarkan penjabaran tentang situasi binis saat ini, manajemen mutahkir,
situasi ekonomi, dan juga motivasi serta bimbingan untuk menjelaskan apa yang pengusaha harus lakukan dan
bagaimana melakukannya. Dengan informasi ini para peserta diharapkan memiliki keinginan untuk maju dan
memperbaiki situasi bisnis mereka saat ini. Setelah sesi penjabaran selesai, kemudian dilanjutkan dengan
latihan, diskusi dan tanya jawab, kemudian peserta mulai diarahkan untuk mengisi kuesioner dan data isian
BMK tahap ke-1. Hasil kuesioner tahap ke-1 diberikan dan didiskusikan diantara para peserta dan dimoderasi
oleh penulis.
Kemudian tambahan pengetahuan tentang informasi, solusi atas bisnis mereka saat ini diberikan, starategi
bisnis alternatif yang mungkin bisa diambil dan informasi tambahan tentang bagaimana pengusaha dapat
menggunakan BMK dipaparkan lebih lanjut. Peserta kemudian diarahkan untuk menyelesaikan permasalahan
yang timbul seperti yang mereka hadapi dan tergambarkan dari kuesioner tahap ke-1. Kemudian peserta
diberikan kembali data isian BMK untuk tahap ke-2, pengisian BMK tahap ke-2 pada dasarnya berisi tentang
perubahan konsep atau cara berpikir yang terjadi, termasuk di dalamnya peserta mulai memperlihatkan
perubahan persepsi mereka tentang bisnis mereka, kemampuan mereka, dan pemahaman mereka tentang bisnis
dimana mereka tinggal.
212
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Perubahan Orientasi Pengusaha (Tahap ke-1)
Setelah tanya-jawab yang berlangsung seiring dengan pengisian kuesioner, maka kuesioner yang telah
terisi tersebut dianalisa dan diringkas oleh penulis. Penulis dibantu oleh pemeriksa independen melakukan
pemeriksaan kondisi bisnis dari peserta pada sesi latihan ke-1 dan sesi latihan ke-2. Pada tahap ke-1, kuesioner
diberikan dalam bentuk cek-list untuk melihat apakah para peserta bisnis saat ini melihat dan perlu
memperbaharui bisnis model mereka. Para peserta dapat melihat referensi kuesioner pada modul yang
diberikan oleh PT. “T”. Kuesioner dilakukan dengan melingkari pertanyaan dengan kondisi bisnis peserta saat
ini. Nilai kuesioner diberikan bobot sebagai berikut: "tidak sama” = 1, “serupa/hampir sama” = 2, dan “sama”
= 3", kecuali untuk pertanyaan organisasi, "tidak sama” = 0, “serupa/hampir sama = 5, dan “sama” = 10. Total
jawaban kuesioner masing-masing peserta kemudian dihitung dan dibandingkan dengan rekomendasi yang
diberikan dalam strategi bisnis yang dirancang di dalam modul pelatihan berikutnya.
Dari 35 peserta yang menghadiri sesi lokakarya dan pelatihan, hanya 26 peserta yang mengembalikan
dan mengisi kuesioner dan tugas yang diberikan (74,29% responden). Hal ini dapat dilihat dalam Gambar.1.
Sementara itu di Gambar.2, bahwa hasil dari nilai rata-rata jawaban yang diberikan atas kuesioner yang
dikembalikan peserta mempunyai ‘mean’=66,56 dengan median=65,00. Dari hasil analisa jawaban tersebut,
ada 22 dari 26 peserta memberikan jawaban bahwa mereka harus mempertimbangkan untuk memperbaharui
bisnis model meraka pada saat itu. Sementara sisanya 4 peserta menyatakan harus segera merubah bisnis model
mereka pada saat itu, juga karena kondisi bisnis mereka yang sedang bermasalah. Melalui analisa kuesioner
tahap ke-1 ini, didapati rata-rata para pengusaha UKM tersebut mengidentifikasi bahwa bisnis mereka
memerlukan pembaharuan, memerlukan bisnis model baru dengan peluang bisnis baru.
Gambar.2 Ringkasan Hasil Kuesioner – Alternatif dari Usulan Strategi
Analisa kriteria tahap ke-1 menilai perubahan dengan analisa sederhana dimana perubahan diamati
melalui perbedaan visual kuesioner dan data isian BMK. Tahap ke-1 menjadi kriteria yang paling signifikan
untuk mengamati bagaimana para peserta memberikan persepsi tentang bisnis mereka secara nyata saat ini.
Para pengusaha yang mampu mengembangkan kemampuan mengidentifikasi peluang saat pelatihan, secara
radikal mampu mengubah representasi mereka tentang aktivitas bisnis mereka, dan sementara yang tidak
mampu menambah kemampuan mereka hanya dapat memberikan perubahan visualisasi yang tidak signifikan.
Perubahan Kemampuan Mengidentifikasikan Peluang (Tahap ke-2)
213
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Beberapa studi sebelumnya menyarankan bagaimana mengukur kemampuan pengusaha untuk
mengidentifikasikan peluang dan juga bagaimana menilai kualitas dan kuantitas peluang bisnis. Perbaikan
dalam kemampuan ini telah digunakan untuk mengukur dampak dari pendidikan kewirausahaan yang ada
selama ini (DeTienne & Chandler, 2004; Fiet, 2007). Pendekatan ini diterapkan oleh penulis untuk para peserta
yang ikut pelatihan di PT. “T”, penilaian dilakukan ditahap awal pelatihan ke-1 dan setelah akhir pelatihan
tahap ke-2. Yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah para peserta membuat daftar dari setiap peluang bisnis
yang mereka bisa pikirkan. Kualitas kemampuan mengidentifikasikan peluang kemudian dievaluasi oleh
penulis dan juga direview oleh pemeriksa independen seperti yang disebutkan di atas. Dalam penelitian ini,
sejumlah kriteria digunakan untuk mengevaluasi kemampuan pengusaha UKM Indonesia dalam rangka
melihat kemampuan mereka mengidentifikasi peluang baru saat ini dan dimasa depan.
Penelitian ini dilakukan menurut analisa kualitatif. Logika kualitatif menurut penulis adalah didasarkan
pada gagasan bahwa penelitian kualitatif melibatkan kedua pengumpulan dan analisis data kualitatif dan
kuantitatif (Gephart, 2004), dan penulis berharap bahwa gagasan kekinian yang ada pada penelitian ini akan
memberikan wawasan yang menarik.
Gambar.3. Median & Persentase Perbaikan – Penilaian BMK
Kemajuan kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis dapat dilihat pada Gambar.3, peningkatan
kemampuan untuk menilai peluang bisnis pengusaha UKM melalui BMK telah terjadi. Sayangnya hanya 18
peserta dari 35 pengusaha yang mengikuti pelatihan yang dapat meningkatkan kemampuan mereka.
Peningkatan bervariasi terjadi karena pengetahuan yang dimiliki sebelumnya oleh para peserta juga beragam.
Batas tengah (median) kemampuan peningkatan terletak pada angka 33,33% (persentase peningkatan). Penulis
mengelompokkan peningkatan kemampuan menjadi tiga level peningkatan sesuai dengen penelitian yang
dilakukan Munoz et all (2011). Peningkatan kemampuan paling besar adalah sebanyak 38,89% peserta dari
seluruh peserta pelatihan yang mengalami peningkatan secara radikal tertinggi dan dikategorikan sebagai
perbaikan yang bersifat kualitatif, yang berarti peningkatan kemampuangnya sangat baik. Diikuti oleh
peningkatan secara moderat sebanyak 33,33% peserta dan 27,78% peserta hanya mengalami peningkatan
terendah.
Representasi Visual
Untuk menangkap perubahan yang terjadi, penulis menggunakan visual presentasi, sebagai teknik
penelitian untuk menangkap dinamika yang terjadi, prosesnya, dan pengalamannya. Melalui konsep dan
pengisian BMK, pola visual presentasi dari pengusaha sebelum pelatihan, pada saat pelatihan dan sesudah
diberikan pelatihan, dianalisa secara visual. Penulis dapat melihat dan memberikan peta gambaran bagaimana
para pengusaha berubah, bagaimana mereka mampu melihat kegiatan bisnis mereka dalam dua tahap
pembelajaran yang berbeda, sehingga perubahan ini memungkinkan evaluasi perubahan yang terjadi pada para
pengusaha dapat dilihat, terutama dalam rangka melihat apakah para pengusaha tersebut mampu
mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan dimasa depan.
214
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Perubahan visualisasi presentasi itu dapat membuktikan dan mengkonfirmasi secara kuat perubahan yang
muncul. Hanya 18 dari 35 pengusaha yang mengikuti pelatihan yang secara signifikan terlihat mampu
mengembangkan kemampuan mereka dalam mengidentifikasikan peluang selama pelatihan dengan cara
melihat representasi visual yang berubah, terutama pada data isian BMK yang diberikan pada tahap ke-1 dan
tahap ke-2. Untuk menganalisa perubahan, penulis menggunakan tiga level peningkatan untuk mengamati
perbedaan antara tahap ke-1 dan tahap ke-2. Penulis menggunakan ketiga level kriteria itu untuk memberikan
perspektif yang berbeda dari analisa perubahan. Perubahan level visualisasi digunakan sebagai pendekatan
analisa.
No
Peserta
1 Bengkel Mobil "45" - SOLO
2 Toko Mega Gasindo - PONTIANAK
3 Batik Sasirangan "Banjarmasin"
4 Jasa jahit "Masrifah"
5 Perdagangan Umum "Sadmono" (Tunai/Kredit)
6 CV. Intan Mandiri Sejahtera "Yuswari" - KEDIRI
7 Perkebunan Kelapa Sawit "Widi Arga"- Pontianak
8 Toko Aksesoris Telephone "Fikran" - Padang
9 Toko Buah "Rizki"
10 Usaha Meubel "Samsudin" - Makasar
11 Pengrajin Telur Asin "Arauf Saleh" - Karawang
12 Tas & Aksesoris "Breeta Ethnique"
13 Perhiasan Aksesoris "Nini Accesories"
14 Perdagangan Ikan & Hasil Laut "Ririn" - Lampung
15 Toko "Oleh-Oleh" - NurRiakan"
16 Rumah Kos & Penginapan -" Suratman"
17 Usaha Tenun Songket "Achmad" - Palembang
18 Kerajinan Tas 'Winoto"
Konsep dimodifikasi dari : Munoz et all (2011)
Status Peningkatan
Jumlah Data
Isian BMC Yang
Mengalami
Peningkatan
% Peningkatan
BMC
Tingkat
Peningkatan
(1, 2 & 3)
2
2
3
3
6
2
5
2
2
3
4
5
5
3
3
1
5
4
22.22%
22.22%
33.33%
33.33%
66.67%
22.22%
55.56%
22.22%
22.22%
33.33%
44.44%
55.56%
55.56%
33.33%
33.33%
11.11%
55.56%
44.44%
1
1
2
2
3
1
3
1
1
2
3
3
3
2
2
1
3
3
Tahap Peningkatan
Tidak tahu ke tahu
Tidak tahu ke tahu
Mempunyai pengetahuan
Sedikit tahu ke banyak tahu
Mempunyai pengetahuan
Tidak tahu ke tahu
Mempunyai pengetahuan
Tidak tahu ke tahu
Tidak tahu ke tahu
Sedikit tahu ke banyak tahu
Mempunyai pengetahuan
Mempunyai pengetahuan
Mempunyai pengetahuan
Sedikit tahu ke banyak tahu
Sedikit tahu ke banyak tahu
Tidak tahu ke tahu
Mempunyai pengetahuan
Mempunyai pengetahuan
Table.1. Ringkasan Status Peningkatan
Dari Tabel.1 di atas, penulis bersama pemeriksa independen mengidentifikasi peningkatan kemampuan
peserta pengusaha dalam mengidentifikasikan atau melihat peluang bisnis masa depan. Peserta pengusaha
yang mengikuti pelatihan dinilai ke dalam tiga tingkat level penilaian: level ke-1; dari tidak tahu sama sekali
menjadi sedikit tahu; level ke-2; dari sedikit tahu menjadi lebih banyak tahu; dan level ke-3; mempunyai
pengetahuan yang berkualitas. Dari perbedaan disiplin ilmu, orientasi kewirausahaan, pengetahuan yang
dimiliki, jenis kelamin, dan latar belakang budaya peserta, penulis mengamati bahwa peserta pelatihan
memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Bukti empiris di dalam literatur dan penelitian
sebelumnya mendukung laporan bahwa hasil peningkatan kemampuan peserta pelatihan berbeda satu dengan
yang lain, karena didasarkan atas latar belakang masing-masing peserta yang berbeda juga.
Berdasarkan penilaian seperti yang tercantum di dalam Table.1, 7 dari 18 pengusaha mengalami
peningkatan kemampuan secara signifikan dalam melihat peluang bisnis. Pada saat pengusaha dapat
menunjukkan peningkatan kemampuan mengidentifikasikan peluang, ini menunjukkan kemampuan
perkembangan dirinya sekaligus. Sementara itu 5 dari 18 pengusaha hanya mampu mengidentifikasi peluang
secara moderat dan diikuti oleh sisanya sebanyak enam pengusaha dengan nilai terendah.
215
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Gambar.4. Sembilan Blok Bisnis Model Kanvas
BMK digunakan sebagai visualisasi untuk melihat peningkatan kemampuan peserta pelatihan PT. “T”
melalui penyediaan data isian BMK. Pada tahap ke-2, para peserta diminta untuk mengisi data isian BMK
sekali lagi dengan kemungkinan mengembangkan bisnis mereka dimasa depan. Tambahan informasi,
pengetahuan, dan referensi bisnis alternatif diberikan pada tahap ke-2 tersebut. Dengan membandingkan kedua
data isian BMK (data isian BMK pada tahap ke-1 awal sesi pelatihan dan data isian BMK pada tahap ke-2
akhir pelatihan), penulis dapat memberikan gambaran visualisasi singkat peningkatan kemampuan bisnis para
peserta lewat data isian BMK. Teknik membandingkan visualisasi presentasi seperti itu dikembangkan oleh
Ambrosini dan Bowman (2001); Nadkarni, (2003). Dengan perubahan presentasi visualisasi di dalam data
isian BMK, diasumsikan bahwa peserta telah bereaksi terhadap perubahan pengetahuan terutama dalam
konsep bisnis mereka saat pelatihan. Peserta yang tidak bereaksi terhadap masukan pengetahuan dapat
dianggap bahwa peserta tersebut belum mampu untuk menerima atau memahami perubahan yang terjadi, dan
dapat disimpulkan bahwa kemampuan untuk meningkatkan peluang bisnis pada bisnis mereka tersebut tidak
terjadi.
Dari 26 pengusaha yang mengembalikan kuesioner dan data isian BMK awal, diidentifikasi sebagai calon
peserta yang berprospek dan mempunyai kemampuan awal, kemudian mereka dimasukkan ke dalam program
pelatihan berikutnya (tahap ke-2), yaitu pelatihan kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis. Hasilnya
pada tahap ke-2 adalah hanya 18 pengusaha yang mengembalikan lanjutan kuesioner dan termasuk di
dalamnya adalah data isian BMK (69,23% responden). Penekanan masalah atau kemampuan yang timbul
setelah pelatihan tahap ke-2 seperti terlihat dalam Gambar.4 diatas. Para pengusaha (means) menitik beratkan
kesadaran mereka pada data isian "proposisi nilai" (produk atau layanan) sebanyak 20%, diikuti oleh data
isian "segmen pelanggan" sebanyak 18% dan data isian “distribusi” sebanyak 13%. Pada ketiga data isian
BMK tersebut para pengusaha melihat dan memahami bahwa kebanyakan bisnis mereka pada saat pelatihan
mempunyai masalah dan mengharapkan perubahan yang mamadai. Kesadaran untuk merubah dan
memberikan inovasi pada segmen atau data isian “proposisi nilai”, “segmen pelanggan” dan “distribusi”
menandakan adanya kemajuan kemampuan para pengusaha dalam melihat kemungkinan alternatif strategi
untuk perubahan dalam bisnis mereka, termasuk di dalamnya penambahan kemampuan mereka dalam
mengidentifikasi peluang bisnis saat ini dan dikemudian hari.
216
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENUTUP
Kesimpulan
Ide utama dari penelitian ini adalah bahwa ada begitu banyak pengusaha UKM yang harus diseleksi
sebelum diberikan bantuan atau insentif; keputusan untuk memberikan hanya dapat dilakukan kepada
pengusaha yang memenuhi syarat saja. Langkah-langkah yang diambil dalam penyeleksian seperti gambar
"corong" di atas memenuhi dua tahapan yaitu: Tahap 1 proses penyeleksian pengusaha UKM dimulai dengan
bagaimana meningkatkan kemampuan pengusaha untuk mengidentifikasi ide-ide bisnis baru, inovasi baru,
atau pengusaha yang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis hari ini atau peluang bisnis
masa yang akan datang. Tahap 2 dilanjutkan dengan memperluas basis pengetahuan para pengusaha dengan
cara memberikan informasi-informasi yang berkaitan bagi bisnis mereka. Tahapan penyeleksian pengusaha
seperti terlihat dalam gambar corong di atas, memungkinkan pemerintah atau badan usaha negara untuk dapat
menyeleksi pengusaha. Sumber daya bantuan yang terbatas harus difokuskan pada pengusaha yang
mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi peluang bisnis saja. Dengan memberikan akses bisnis,
tambahan informasi bisnis, dan memberikan pelatihan, para pengusaha yang diberikan bantuan diharapkan
dapat menemukan kemampuan dan memvisualisasikan peluang bisnisnya saat ini dan masa depan.
Kompetisi bisnis adalah kendala terbesar bagi pengusaha dalam melakukan dan mengembangkan bisnis
mereka, yang merupakan salah satu dari sepuluh hambatan yang dihadapi oleh pengusaha UKM. Menganalisa
kemampuan untuk mengidentifikasi peluang melalui presentasi visualisasi dengan membandingkan BMK
tahap ke-1 dan tahap ke-2 selama pelatihan kewirausahaan pada para pengusaha UKM yang berada di bawah
bimbingan PT. "T", dapat memberikan gambaran tentang perlunya kemampuan mengidentifikasi peluang
bisnis untuk memenangkan kompetisi bisnis saat ini. BMK dapat digunakan sebagai indikator dalam
menganalisa strategi bisnis perusahaan, yaitu melihat pengamatan atas persaingan, pelanggan, pemasok, dan
lain-lain termasuk di dalamnya semua sumber daya yang terlibat dalam aspek bisnis secara keseluruhan.
Keterbatasan Penelitian
Kemampuan untuk menganalisa peluang bisnis tidak semata-mata berdasarkan pada peningkatan konsep
presentasi visualisasi kewirausahaan, tetapi ada begitu banyak faktor yang mendukungnya. Orientasi para
pengusaha UKM menjadi seleksi awalnya. Tanpa orientasi yang jelas, termasuk motivasi pengusaha untuk
bergerak maju, tidak ada pelatihan manapun yang dapat mengubah atau mempengaruhi kemampuan pengusaha
untuk mengidentifikasi peluang bisnis. Orientasi dan motivasi berbeda dari satu pengusaha ke pengusaha
lainnya, hal itu karena pengaruh pendidikan yang berbeda serta budaya dan latar belakang sosial yang berbeda
dari masing-masing pengusaha. Penulis menyadari bahwa kualitas dari orientasi pengusaha, motivasi, dan
kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis adalah konsep sangat sulit untuk diukur secara kuantitatif. Oleh
karena itu, penulis menggunakan kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis dengan menggunakan indikator
visualisasi presentasi seperti yang penulis jabarkan di atas. Penulis percaya ada banyak kemungkinan variabel
yang tidak dapat penulis temukan pada penelitian ini, terutama pada hal-hal umum yang menyangkut hubungan
antara orientasi pengusaha, motivasi, dan kemampuan mengidentifikasi peluang bisnis yang tidak dapat
penulis temukan disini (tersembunyi), dan yang tidak dapat penulis hitung atau gambarkan secara statistik atau
secara kuantitatif.
Saran
Penelitian ini diharapkan dapat membantu asosiasi, perguruan tinggi, dan pemerintah, terkait dalam
menemukan pengusaha yang harus dibantu, dimana kemampuan untuk mengidentifikasi peluang bisnis
sebagai alat seleksinya. Diperlukan lebih banyak variabel atau masukan untuk dapat ditambahkan ke dalam
penelitian yang sama dimasa depan, agar dapat mengevaluasi lebih detail, memberikan hasil nyata dan
bagaimana implikasinya atas praktek-praktek yang mungkin saja dilakukan setelah kemampuan para
pengusaha mengidentifikasi peluang bisnis itu terbentuk dan meningkat.
217
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
Amit, R., & Zott, C. (2015). Creating value through business model innovation. MIT Sloan
Management Review2, 53(3), 1–14. http://doi.org/10.2139/ssrn.1701660
Baron, R. a. (2004). Opportunity recognition: A cognitive perspective. Academy of Management
Proceedings, A1–A6. http://doi.org/Proceeding
Cantillon, R. (1755). An Essay on Economic Theory. Book. Retrieved from
http://books.google.com/books?hl=en&lr=&id=mUEniZfBW4sC&oi=fnd&pg=PA3&dq=An+
Essay+on+Economic+Theory&ots=X1uRmFYVig&sig=IX1QTLriQeypBYT6HmaDreLoaj8
DeTienne, D. R., & Chandler, G. N. (2004). Opportunity Identification and Its Role in the
Entrepreneurial Classroom: A Pedagogical Approach and Empirical Test. Academy of
Management Learning & Education, 3(3), 242–257.
http://doi.org/10.5465/AMLE.2004.14242103
Fiet, J. O. (2007). A prescriptive analysis of search and discovery. Journal of Management Studies,
44(4), 592–611. http://doi.org/10.1111/j.1467-6486.2006.00671.x
Gaglio, C. M., & Katz, J. A. (2001). The Psychological Basis of Opportunity Identification:
EntrepreneurialAlertness. Small Business Economics. CEUR Workshop Proceedings,
1225(February), 41–42. http://doi.org/10.1023/A
Gephart, R. P. (2004). Qualitative research and the Academy of Management Journal. Academy of
Management Journal. http://doi.org/10.5465/AMJ.2004.14438580
Guiso, L. (2016). Is entrepreneurship contagiousβ€―?, 1–10.
Hopf, L., & Welter, W. (2010). 12 Strategies To Renew Your Business And Boost Your Bottom
Line. Industrial Marketing Management. Adams Business.
Huefner, J. C., Hunt, H. K., & Robinson, P. B. (1996). A Comparison of Four Scales Predicting
Entrepreneurship. Academy of Entrepreneurship Journal, 1(2), 56–80.
Kihlstrom, R. E., & Laffont, J.-J. (1979). A General Equilibrium Entrepreneurial Theory of Firm
Formation Based on Risk Aversion.
Knight, F. H. (2002). Risk, uncertainty and profit, 381.
Krueger, N. F. (2004). The Cognitive Psychology of Entrepreneurship. http://doi.org/10.1007/0387-24519-7
Lazear, E. P. (2005). Entrepreneurship. Journal of Labor Economics, 23(4), 649–680.
http://doi.org/10.1086/491605
Miller, D. (2011). Miller (1983) revisited: A reflection on EO research and some suggestions for the
218
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
future. Entrepreneurship: Theory and Practice, 35(5), 873–894. http://doi.org/10.1111/j.15406520.2011.00457.x
Nasip, I., & Pradipto, Y. D. (2016a). Informality Trap Policy in Indonesia, 218–228.
Nasip, I., & Pradipto, Y. D. (2016b). Informality Trap Policy Revisited: Framework for Policy
Design in Indonesia.
Osterwalder, A., Pigneur, Y., Smith, A., & Movement, T. (2010). You ’ re holding a handbook for
visionaries , game changers , and challengers striving to defy outmoded business models and
design tomorrow ’ s enterprises . It ’ s a book for the … written by co-created by designed by.
Booksgooglecom (Vol. 30). http://doi.org/10.1523/JNEUROSCI.0307-10.2010
Schumpeter, J. A. (1934). The Theory of Economic Development: An Inquiry into Profitd, Capital,
Credit, Interest and the Business Cycle, translated from the German by Redvers Opie News
Brunswick (U.S.A) and London (U.K.): Transaction Publishers. Journal of Comparative
Research in Anthropology and Sociology. http://doi.org/10.2307/1812657
Tomkins, C., & Groves, R. (1983). The everyday accountant and researching his reality.
Accounting, Organizations and Society, 8(4), 361–374. http://doi.org/10.1016/03613682(83)90049-1
219
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
BUDAYA PERUSAHAAN UNGGUL UNTUK MENINGKATKAN KINERJA
PERUSAHAAN BUMN KONSTRUKSI
Agung Yunanto
Universitas Bina Nusantara Jakarta
E-mail: [email protected]
Abstract: This paper is literature study on the winning corporate culture (winning culture). Context of the
study of winning corporate culture is Indonesia State-Owned Enterprises (SOEs), especially in the
construction sector. SOE currently facing strategic challenges with the shareholder plans for the
establishment of the holding company as well as challenges to improve the performance at world-class level.
The study will discusses the meaning of corporate culture and a winning corporate culture, the role of
winning culture in building the company's performance, both financial performance and non-financial
performance, the key success factors and stages in building a winning culture, and the role of leadership in
upholding the winning culture.
Briefly, winning culture consist beliefs, values, norms of behavior that will serve as guidelines in running the
company along with its relationship of external parties. The dimension of winning culture are oriented to
customers, employees, performance standards and high accountability, innovation and commitment to
change, as well as systems in accordance with company’s business processes.
The key behavior of the companies with winning culture are "Humanistic-Encouraging", "Affiliative",
"Achievement", and "Self-actualizing". Well-managed Culture will provide a very significant impact on the
performance of the company, considering that winning culture can be a strategic asset in terms of its
uniqueness and un-imitated by the company's competitors.
The study results will show the role of winning culture in enhancing the performance of companies,especially
construction state-owned enterprises.
The study also concluded an eight (8) key to success in creating and building a winning culture, and eight
(8) steps in building a winning culture.
Keywords: Corporate Culture, Winning Culture, Company performance, Construction State-owned
Company.
Abstrak: Studi ini merupakan studi literature yang mempelajari budaya perusahaan unggul. Konteks
pembahasan budaya perusahaan unggul adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), khususnya sektor
Konstruksi. Saat ini BUMN menghadapi tantangan strategis dengan adanya rencana pembentukan
perusahaan holding serta tantangan untuk meningkatkan kinerja di tingkat kelas dunia.
Studi membahas tentang pengertian budaya perusahaan dan budaya perusahaan unggul, peran budaya
perusahaan unggul didalam membangun kinerja perusahaan, baik kinerja finansial maupun kinerja nonfinansial, kunci keberhasilan dan tahapan didalam membangun budaya perusahaan unggul, serta peranan
kepemimpinan didalam menegakkan budaya perusahaan unggul.
Secara singkat budaya perusahaan menggandung komponen keyakinan, nilai-nilai, norma-norma beserta
perilaku utamanya yang akan dijadikan sebagai pedoman didalam menjalankan perusahaan berserta
hubungannya dengan pihak-pihak eksternal. Budaya unggul mempunyai dimensi yang berorientasi kepada
pelanggan, pegawai, standar kinerja dan akuntabilitas yang tinggi, inovasi dan komitmen terhadap perubahan,
serta berorientasi kepada system sesuai proses bisnis perusahaan.
Perilaku yang menonjol dari perusahaan yang mempunyai budaya perusahaan yang unggul adalah
“Humanistic-Encouraging”, “Affiliative”, “Achievement”, dan“Self-actualizing”. Budaya yang unggul bila
dikelola dengan baik dan benar akan memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap kinerja
perusahaan, mengingat budaya yang unggul dapat menjadi asset strategis yang unik dan tidak dapat ditiru
oleh para pesaing perusahaan.
Hasil studi akan memperlihatkan peran budaya perusahaan unggul dalam eningkatkan kinerja perusahaan,
khususnya perusahaan BUMN Konstruksi. Studi juga akan menyimpulkan delapan (8) Kunci keberhasilan
didalam menciptakan dan membangun budaya perusahaan, dan delapan (8) langkah didalam membangun
budaya perusahaan unggul.
Kata kunci: Budaya Perusahaan, Budaya Perusahaan Unggul, Kinerja perusahaan. BUMN Konstruksi.
220
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENDAHULUAN
Dalam laporan riset Deloitte’s 2015 Global Human Capital terdapat 10 trend dimana issue / trend
yang paling penting adalah aspek Budaya perusahaan dan keterlekatan pegawai kepada perusahaan.
Studi menunjukkan bahwa perusahaan menganggap budaya perusahaan sangat penting (78%), namun
hanya 47 % yang menyatakan “somewhat ready” dalam penerapan budaya perusahaan, terdapat gap
sebesar 31 persen. Dari AT Kearney CxO Roundtables, didapatkan factor bahwa 78% perusahaan
mengakui pentingnya budaya perusahaan bagi keberhasilan usaha perusahaan, Juga, 88% perusahaan
mengakui budaya perusahaan menjadi pendorong utama kinerja keuangan perusahaan. Namun hanya
33% yang mengelola dan memonitor budaya perusahaan. Data dari Bain & Company (2006)
menunjukkan kurang dari 10% perusahaan yang sukses di dalam membangun budaya perusahaan
unggul.
Padahal beberapa studi menunjukkan bahwa budaya perusahaan memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap kinerja perusahaan, termasuk berpengaruh terhadap kemampuan daya saing
perusahaan. Hal ini disebabkan, budaya perusahaan bila dikelola dengan baik, yaitu budaya
perusahaan yang unggul dan konstruktif, adalah asset strategis yang sesungguhnya dan dapat menjadi
“ultimate strategic asset” (Eric G. Flamholtz & Yvone Randle, 2012).
Konsekuensi bagi perusahaan bisnis atas laporan dan studi tersebut di atas adalah setiap pimpinan
perusahaan dan pimpinan human capital, sebagai unit yang mengelola human capital perusahaan,
perlu mempunyai pemahaman yang jelas terhadap budaya perusahaan. Hal ini agar perusahaan dapat
menghasilkan kinerja usaha yang berkelanjutan ditengan tantangan usaha yang semakin tinggi akibat
perubahan lingkungan usaha yang sangat cepat dan dinamis.
Contoh perubahan lingkungan usaha adalah perubahan kebijakan dan strategi adalah yang dialami
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berupa kebijakan yang mendorong transformasi menjadi
perusahaan holding (integrated holding”). BUMN akan ditransformasi ke dalam 3 jenis holding yaitu
“Super holding development”, “Sectoral holding Restructuring”, dan Transformasi individual BUMN
(Aloysius K.Ro, 2016). Kebijakan ini diharapkan mendorong setiap BUMN menjadi perusahaan yang
berkemampuan laba yang tinggi serta menjadi perusahaan kelas dunia. Pada tahun 2019, ditargetkan
terdapat 19 BUMN yang akan masuk dalam “Forbes Global 2000” dengan pecapaian “service level
agreement” pada tingkat 94 – 100% (AT Kearney, 2016). Kebijakan ini tentunya selain memberikan
peluang peningkatan kinerja BUMN juga menimbulkan tantangan strategis – operasional berupa
membangun budaya perusahaan yang unggul agar harapan sebagai perusahaan kelas dunia tersebut
dapat tercapai secara maksimal. AT Kearney (2016) menyatakan bahwa salah satu kunci keberhasilan
transformasi menjadi perusahaan holding adalah keseimbangan dan dukungan kapabilitas dan budaya
perusahaan yang sesuai.Hal ini disebabkan program holding dan program transformasi akan
memunculkan persoalan budaya perusahaan (cultural incompatibility) di dalam mengintegrasikan
operasional beberapa perusahaan menjadi suatu perusahaan holding. Fakta menunjukan bahwa
penyebab kegagalan program transformasi melalui penggabungan perusahaan adalah kesesuaian
budaya perusahaan (A.K. Ro, 2016).
Studi ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi perusahaan-perusahaan didalam
meningkatkan kinerjanya, termasuk kinerja BUMN Indonesia yang akan bertransformasi menjadi
perusahaan kelas dunia.
221
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
TINJAUAN PUSTAKA
Peran Budaya Perusahaan dalam Meningkatkan Kinerja Perusahaan
Budaya perusahaan merupakan pendorong utama untuk peningkatan kinerja secara berkelanjutan
(AT Kearney, 2016), yang di ulas berdasarkan kinerja keuangan dan non keuangan. Pada umumnya
perusahaan yang berprestasi memandang perusahaan sebagai “enabler”, atau “accelerator” terhadap
srategi dan kinerja usaha (GE, 2012; Corporate Culture Pro, 2011; Scott Keller & Carolyn Aiken,
2004).
Budaya Perusahaan dan Kinerja Keuangan Perusahaan
Riset Mc Kinsey menemukan bahwa perusahaan dengan budaya kinerja yang unggul mempunyai
kinerja”total return to shareholder(TRS)”lebih tinggi 11%, dan“Return on Investment Capital
(ROIC)” lebih tinggi 5,2 % dibandingkan dengan perusahaan yang lemah budaya perusahaannya
(Scott Keller & Carolyn Aiken, 2004). Study yang dilakukan oleh human synergistic(2012) dan
Corporate Culture Pro (2011) juga menunjukan terdapat korelasi yang kuat antara budaya perusahaan
yang konstruktif dengan kinerja finansial perusahaan.
Riset empiris yang dilakukan Emmanuel Ogbonna dan Lloyd C Harris (2000) menunjukkan
budaya perusahaan yang kompetitif dan inovatif, yang sensitive terhadap kondisi eksternal secara
langsung dan kuat mempengaruhi kinerja. Hasil studi ini juga diperkuat oleh studi Corporate Culture
Pro (2011) menemukan bahwa perusahaan yang adaptif mempunyai kinerja keuangan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang tidak adaptif; khususnya dari aspek laba bersih,
pendapatan, dan harga saham.
Budaya Perusahaan dan Kinerja Non-Keuangan Perusahaan
Perubahan pasti akan selalu terjadi, setiap perusahaan harus ”agile” agar tetap bertahan secara
jangka panjang. “Agile” diartikan bahwa perusahaan tersebut mempunyai strategi yang jelas dan
terintegrasi dengan budaya perusahaan. Kombinasi dari kejelasan strategi dan integrasi dengan
budaya perusahaan akan membawa kepada kinerja usaha yang tinggi, melalui peningkatan
kemampuan inovasi (Accenture 2016), peningkatan apresiasi dari investor terhadap saham
perusahaan di group (Ekuslie Goestiandi, Astra Internasional, 2016). Studi Chandler Macleod
menunjukkan 20-30 % kinerja dapat disumbangkan dari peran budaya perusahaan.
Dari data Chandler Macleod, 2014 menunjukkan 99.5% responden yang disurvey meyakini
bahwa peningkatan (improvement) budaya perusahaan akan meningkatkan kinerja perusahaan, akan
mempengaruhi secara positif kepuasan pelanggan, produktivitas,’revenue’, keterlekatan pegawai,
penurunan”turn over”, dan peningkatan inovasi. 56% responden juga mempertimbangkan memilih
tempat kerja baru di perusahaan yang mempunyai reputasi sebagai “great place to work”
Kajian GE (2012), budaya perusahaan yang tidak terintegrasi dengan strategi korporasi akan
menyebabkan penurunan loyalitas, kurangnya motivasi, dan meningkatnya “turn over”pegawai.
Sebaliknya budaya yang sehat memberikan pengaruh positif terhadap kebanggaan dan “sense of
purpose”dari setiap pegawai, peningkatan produktivitas dan pemahaman yang lebih baik terhadap
sasaran secara perusahaan, peningkatan kinerja usaha termasuk pangsa pasar, peningkatan kualitas
dan inovasi (Evans Sokro, 2012).
222
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Budaya Perusahaan sebagai Asset Tan-wujud untuk Meningkatkan Kemampuan Bersaing
Karena budaya perusahaan itu unik, maka budaya perusahaan yang unggul dapat memenuhi
persyaratan sebagai sumber daya yang sulit untuk ditiru, sehingga dapat dikategorikan menjadi
sumber daya saing perusahaan (Andrew Klein, 2008). Budaya perusahaan yang konstruktif – unggul
dapat menjadi pembeda yang kompetitif diantara perusahaan dengan para pesaingnya yang
menjalankan bidang usaha yang sama. Flamholtz (2012) menyimpulkan bahwa budaya perusahaan
bukan hanya sebagai suatu sumber kemampuan bersaing perusahaan, peran budaya perusahaan lebih
jauh lagi yaitu sebagai sumber utama dari kemampuan bersaing yang sesungguhnya. Alasan
utamanya adalah karena budaya perusahaan yang konstruktif – unggul sangat sulit ditiru oleh pesaingpesaing lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai senjata untuk bersaing yang tan – wujud (“a
‘stealth’ competitive weapon”) dan dapat dikategorikan sebagai asset ekonomis dari suatu korporasi.
Bagi beberapa korporasi yang berhasil seperti Google, Wal-Mart, Starbucks; budaya perusahaan
merupakan aset sesungguhnya yang membawa kemampulabaan perusahaan. Namun Flamholtz pun
mengingatkan bahwa budaya perusahaan dapat menjadi suatu kewajiban (“liabilities”) bila tidak
dikelola dengan baik dan benar.
Budaya Perusahaan sebagai Komponen Strategis dari Model Bisnis.
Model bisnis merupakan suatu proses yang mencakup dari mulai pemilihan pasar sasaran sampai
dengan penyampaian produk dan jasa kepada para pelanggan. Secara singkat, model bisnis adalah
tentang bagaimana suatu perusahaan akan menyampaikan manfaat dan nilai tambah produk dan
jasanya kepada pelanggannya.
Model bisnis yang kompetitif mensyaratkan penerapan system, proses dan aset yang sulit untuk
ditiru serta dapat memenuhi harapan pelanggan, bukan hanya sekedar suatu tahapan yang baik
didalam menjalankan bisnis (David J. Teece, 2009). Budaya perusahaan sebagai suatu aset strategis
yang sulit ditiru dapat membawa dan menjadikan suatu dasar yang sangat “powerful” dalam suatu
model bisnis yang kompetitif. Hal ini sudah dibuktikan oleh perusahaan-perusahaan yang sukses
seperti Starbucks, Southwest Airlines, Google, dan Wal-Mart. Perusahaan-perusahaan ini
memandang budaya perusahaan sebagai komponen inti didalam strategi dan model bisnisnya.
Pengertian Budaya Perusahaan
Beragam pengertian tentang budaya perusahaan dari yang sederhana yaitu “the way we do things
around here” (Deal Kennedy, Corporate Culture, 1983); sampai definisi yang lebih lengkap
mencakup Artifacts, Espoused Values dan Underlying Assumptions.
Tingkat pertama dari budaya perusahaan adalah Artefak. Artefak dapat digambarkan dengan hal hal
yang kasat mata seperti gaya arsitektur, gaya interior dan iklim di perusahaan tersebut. Tingkatan
kedua dari budaya perusahaan adalah Nilai – nilai perusahaan, Tingkatan ke tiga adalah asumsiasumsi.
Dalam tatanan praktek di korporasi, komponen utama budaya perusahaan pada prinsipnya terdiri dari
Keyakinan, Nilai, norma-norma juga perilaku-perilaku utama yang mempengaruhi setiap pegawai
bertindak. Hal ini sejalan dengan kesimpulan Flamholtz dan Randle (2012) bahwa budaya perusahaan
223
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
terdiri dari nilai-nilai, keyakinan dan norma-norma yang mempengaruhi pemikiran dan perilaku
pegawai perusahaan.
Nilai adalah sesuatu yang oleh perusahaan dianggap paling penting terkait dengan operasi,
pegawai dan pelanggan perusahaan. Keyakinan adalah asumsi-asumsi yang dijadikan sebagai dasar
pemikiran oleh setiap komponen perusahaan. Norma-norma adalah aturan main yang tidak tertulis
tentang perilkau pegawai dalam berinteraksi di internal dan dengan eksternal. Norma-norma yang
ditetapkan perusahaan harus konsisten dengan nilai-nilai dan keyakinan perusahaan.
Lim Ghee Soon, Chua Siew Beng, Usa Skulkerewathana, dan Richard L. Daft (2015)
mengelompokkan jenis budaya kedalam 4 (empat) kelompok yaitu Adaptability culture,
Achievement culture, Involvement culture, dan Consistency culture. Pembagian jenis budaya ini
didasarkan pada dua dimensi yaitu tingkat dimana lingkungan eksternal mensyaratkan fleksibilitas
atau stabilitas dan focus strategi perusahaan ke internal atau eksternal. Budaya yang Adaptif
(“adaptability culture”) berkembang dalam suatu lingkungan usaha yang menuntut respon yang cepat
dan pembuatan keputusan bisnis yang mengandung risiko tinggi. Dalam budaya yang adaptif ini,
setiap pimpinan mendorong nilai-nilai perusahaan yang mendukung terciptanya kapabilitas
perusahaan di dalam merespon setiap perubahan lingkungan secara cepat. Setiap pegawai mempunyai
wewenang untuk mengambil keputusan dan merespon setiap kebutuhan pelanggan. Budaya yang
dikembangkan adalah kreatifitas dan pengambilan risiko yang terukur. Budaya adaptif ini berhasil
mengantarkan perusahaan untuk mengelola human capital dengan baik dan membangun strategi
inovasi
Pengertian Budaya Perusahaan Unggul
Pada perusahaan dengan budaya yang unggul, nilai –nilai dan perilakunya bersifat konstruktif dan
dipahami serta ditegakkan secara konsisten oleh setiap pegawai di setiap tingkatan manajemen. Pada
perusahaan dengan budaya unggul, setiap pegawai perusahaan tersebut bukan hanya mengetahui apa
yang sebaiknya mereka kerjakan, namun mereka mengetahui “kenapa” mereka harus mengerjakan
hal tersebut. Terkandung “sense of purpose” didalam setiap tindakannya.
Flamholtz dan Randle (2011) secara spesifik mengidentifikasi 5 (lima) dimensi budaya perusahaan
yang secara statistic memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kinerja finansial, yaitu:
1. Budaya yang berorientasi kepada Pelanggan,
Pendapat ini diperkuat oleh Andrew Klein (2008) yang menyimpulkan bahwaFocus ke
eksternal (pelanggan & pesaing serta pemegang saham), juga sangat adaptif dan fleksibel
didalam merespon setiap perubahannya, dikategorikan oleh sebagai salah satu ciri perusahaan
dengan budaya yang unggul.
2. Budaya yang berorientasi kepada Pegawai,
3. Budaya yang memberikan perhatian terhadap standard kinerja dan akuntabilitas.
4. Budaya yang mendorong inovasi atau komitmen terhadap perubahan,
5. Budaya yang berorientasi pada system – proses bisnis perusahaan.
Hasil study human synergistics International (Eric J. Sanders & Robert A. Cooke, 2012)
menunjukkan bahwa Perusahaan yang sukses mempunyai gaya budaya yang konstruktif dengan ciriciri perilaku utamanya mencakup:
1. “Humanistic-Encouraging”: Menyelesaikan konflik secara konstruktif, Mendorong
pertumbuhan dan pengembangan, melibatkan orang lain didalam mengambil keputusan,
mengembangan human capital.
224
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
2. “Affiliative”: kooperatif, “friendly”, Perhatian terhadap rekan kerja, hubungan yang baik
dengan pihak lain. Ciri ini juga ditemukan oleh Andrew Klein (2008) yaitu focus ke eksternal
dan adaptif terhadap perubahan dan Jim Collins (2001) yaitu suatu sikap yang tidak birokratis.
3. “Achievement”: bekerja sesuai dengan sasaran yang sudah ditetapkan, bertanggung jawab,
meyakini bahwa upaya invidu itu penting, bersedia mengerjakan tugas-tugas yang menantang.
Jim Collins (2001) menyebutnya pegawai yang self – disciplined. Studi oleh Lim Ghee Soon
dkk (2015) perusahaan-perusahaan yang sukses walaupun menghadapi turbulensi usaha
adalah perusahaan yang memberikan perhatian yang sangat serius kepada nilai-nilai dan
kinerja usaha.
4. “Self-actualizing”: Kreatif dan pemikir yang orisinil, terbuka terhadap perubahan, integritas,
dan self respecting.
Membangun Budaya Perusahaan Yang Unggul
Didalam membangun budaya yang unggul, kita perlu memahami kunci keberhasilannya sekaligus
penyebab kegagalannya. Dibagian ini juga akan dijelaskan peran kepemimpinan di dalam
membangun budaya perusahaan yang unggul.
Penyebab Kegagalan Program Transformasi Budaya Perusahaan
Sebagaimana disebutkan diawal tulisan ini, kurang dari 10% yang berhasil membangun budaya
unggul, hal itu disebabkan oleh beberapa faktor (Lisa Jackson and Gerry Schmidt dalam Corporate
Culture Pros, 2011)
1. Menganggap mudah dalam membangun budaya. Fixing Culture is the most critical – and the
most difficult part of corporate transformation (Scott Keller & Carolyn aiken, 2004).
2. Tanggung jawabnya membangun budaya perusahaan diserahkan kepada unit HR, tanpa
pelibatan fungsi/unit kerja lain & pimpinannya.
3. Tidak melibatkan semua manajemen
4. Tidak mempertimbangkan kemungkinan adanya penolakan. Lebih dari 70% kegagalan terkait
aspek budaya yaitu resistensi pegawai untuk berubah yang disebabkan oleh perilaku
manajemen yang tidak mendukung. Perlu disadari bahwa transformasi budaya perusahaan
perlu mempengaruhi keyakinan yang terdalam dari setiap pegawai dan perilaku yang sudah
berjalan dan sudah menjadi kebiasaan.
5. Tidak ada role model dari pimpinan. Gaya kepemimpinan, yang membangun atmofsirnya
dengan “ketakutan”, juga dapat menjadi penyebab kegagalan membangun budaya perusahaan
yang unggul (Andrea Klein, 2008).
6. Pemahaman yang salah tentang budaya perusahaan serta kurangnya visi pimpinan sehingga
mengakibatkan keengganan untuk melakukan perubahan (chandler macleod, 2014 )
7. Terjadi pertentangan dan perbedayaan budaya yang akan mengarah kepada menurunnya
keberhasilan dan kinerja perusahaan secara menyeluruh (chandler Macleod, 2014).
Pertentangan budaya ini dapat terjadi akibat antara lain merger dan akuisisi perusahaan,
perbedayaan budaya, perubahan kepemimpinan.
Studi empiris oleh Sumanto dan Andi Subroto (2011) pada perusahaan otomotif yang mempunyai
budaya perusahaan yang lemah, budaya perusahaan tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap kinerja perusahaan.
225
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tantangan utama dalam melakukan transformasi budaya adalah untuk mencairkan perilaku yang
sudah ada dan menciptakan motivasi untuk berubah agar setiap pegawai dapat mempelajari perilaku
yang baru (Bain & Company, 2006).
Kunci Keberhasilan di dalam Membangun Budaya Perusahaan yang Unggul
Selain tidak menjalankan hak-hak yang menyebabkan kegagalan dalam membangun budaya
perusahaan unggul, berikut adalah kunci keberhasilan di dalam membangun budaya perusahaan
unggul:
1. Dimulai dari manajemen puncak
Perlu keterlibatan, komitmen, dan kepemimpinan dari manajemen puncak dan pimpinan disetiap
level manajemen. Pimpinan harus mempunyai perilaku yang humanistic, memotivasi, dan afiliatif
(Andrew Klein, 2008). Pimpinan juga perlu menjadi teladan (“role model”) dan menggunakan
gaya kepemimpinan yang memungkinkan setiap pegawai dapat menyampaikan pandangannya
(Inc, 2016; Chandler Macleod, 2014). Pemimpin harus memimpin dengan contoh (“lead by
example”), AT Kearney (2016). Komitmen pimpinan puncak juga ditunjukkan dalam bentuk
penyediaan sumber daya yang diperlukan seperti antara lain paket pengharkatan yang sesuai
dengan harapan pegawai , serta komitmen terhadap transparansi dan atmosfir “trust” (inc,2016).
2. Mempunyai pemahaman yang jelas tentang budaya unggul yang sesuai dengan kebutuhan usaha
perusahaan dan strategi (Lisa Jackson & Gerry Schmidt), diidentifikasi atribut-atribut yang
melekat dalam budaya unggul. Budaya perlu mempertimbangkan aspek eksternal (Emmanuel
Ogbonna & Lloyd C. Harris, 2000).
3. Fokus dan mengelola pendorong terbentuknya budaya unggul
4. Perlu direview dan revisi secara berkala, sesuai perubahan lingkungan usaha perusahaan
(Chandler Macleod; GE, 2012)
5. Diintegrasikan dengan setiap aspek organisasi perusahaan (GE, 2012). Lim Ghee Soon dkk
(2015) menyebutkan bahwa budaya perusahaan yang tidak diintegrasikan dengan kinerja bisnis,
tidak akan memberikan manfaat bagi perusahaan pada saat menghadapi situasi usaha yang sulit
6. Dikomunikasikan secara berkesinambungan, baik internal maupun eksternal (GE, 2012).
7. Rumusan budaya perusahaan termasuk perumusan nilai-nilai dan perilaku-perilaku utamanya
harus dirumuskan secara sederhana (Chandler Macleod, 2014)
8. Dilakukan review didalam penerapannya sekaligus pengaruhnya terhadap “bottom-line”. (Scott
Keller & Carolyn Aiken, 2004).
Tahapan didalam membangun Budaya Unggul
Didalam membangun budaya yang unggul diperlukan pendekatan dan pandangan yang holistic
dari konteks perusahaan dan hasil yang diharapkan, didasarkan pada pendorong bagi budaya
perusahaan yang berorientasi pada kinerja yang tinggi. Pendorong tersebut terdiri dari Visi dan Nilai
– nilai perusahaan, Kepemimpinan, energy human capital, disiplin dan sumber daya (Accenture,
2016).
Tahapan didalam membangun budaya unggul terdiri dari
1. Menetapkan Urgensi – Membangun Motivasi
Menetapkan Ekpektasi terkait kebutuhan untuk berubah. Pegawai harus memahami kenapa
harus berubah, kenapa harus berubah sekarang. Penjelasan dilakukan dengan dukungan data
226
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
dan fakta yang nyata, serta pada tahap ini perlu melibatkan pimpinan/manajemen senior
(Scott Keller and Carolyn Aiken, 2004). Diperlukan kepemimpinan yang kuat di setiap
tingkatan manajemen dan kesadaran yang kuat untuk menjadikan program transformasi
budaya menjadi prioritas setiap pimpinan (bain & Company, 2006; Chandler Macleod,
2014).
2. Menetapkan Arah Strategis – Membangun Mimpi.
Perlu dirumuskan jenis budaya perusahaan baru yang diperlukan dan cara untuk mencapai
keberhasilan. “Leveraging culture to drive business performance means you must define
your strategy and the specific cultures attributes that will drive strategy” (Corporate Culture
Pros, 2011).Perlu dipastikan bahwa perumusannya terintegrasi dengan strategi perusahaan
dan setiap pegawai memahami dengan jelas ekspektasi yang diharapkan perusahaan.
Perencanaan strategis perusahaan harus terintegrasi dengan budaya perusahaan, yaitu antara
lain melalui rumusan Strategi perusahaan diterjemahkan ke dalam komponen-komponen
budaya perusahaan. Perusahaan perlu merumuskan perilaku-perilaku yang dapat memotivasi
pegawai untuk berkontribusi secara ekselen secara terus menerus.
Perusahaan harus memahami apa keunikan yg perlu dibangun dan atribut kinerja apa yang
belum teridentifikasi (culture gap). AT Kearney (2016) dan Accenture (2016) mengingatkan
pentingnya pemahaman yang baik dan benar atas kondisi budaya yang ada saat ini.Didalam
merumuskan budaya perusahaan yang unggul, Corporate Culture Pros (2011) menyatakan
perlunya focus ke ekternal perusahaan dimana setiap orang memahami manfaat yang akan
diperoleh oleh Pelanggan / Klien, mencari informasi dari berbagai perspektif dan
mengupayakan setiap pegawai mempunyai pemahaman terhadap pelanggannya.
3. Membentuk Tim Perubahan – Membangun “sponsorship”.
Tim harus yang mempunyai visi yang sama dan menunjukan perilaku yang diharapkan (tim
yang memotivasi, kreatif, dan mempunyai factor “likeability” yang tinggi, serta focus pada
pencapaian hasil sesuai rencana yang sudah ditetapkan). Para pimpinan adalah katalis yang
sangat penting didalam melakukan perubahan. Dengan demikian para pimpinan, dengan
sponsor dari Pimpinan Puncak, harus mempunyai motivasi dan dorongan untuk memimpin
perubahan dan bertanggung jawab terhadap tahapan pencapaian program (Accenture, 2016)
4. Komunikasi, Komunikasi, dan Komunikasi – Membangun Keterlekatan, kepemilikan dan
“empowerment”.
Bain & company (2011) menyatakan Komunikasi yang dilaksanakan harus dapat
membangun keterkaitan pegawai dengan visi dan misi perusahaan, komunikasi yang
berfokus pada hasil, didukung dengan role model yang tepat dari pimpinan (walk the talk).
Accenture (2016) mendorong para pimpinan untuk berkomunikasi dengan setiap
pegawainya melalui kombinasi media on-line dan off-line. Contohnya perusahaan
petrokimia terhemuka membangun Program Komunikasi Kepemimpinan untuk menunjukan
komitmen pimpinan terhadap perubahan dan menyampaikan pesan yang tepat kepada setiap
pegawai dengan menggunakan media “on-line”. AT Kearney (2016) merekomendasikan
dibuat buat program komunikasi – bergambar dan didefinisikan dalam istilah-istilah
perilaku. Demikian juga Flamholtz dan Randle (2012) menemukan bahwa perusahaan yang
membuat pernyataan yang tertulis tentang budaya perusahaan dan yang menciptakan ikon
atau duta budaya, maka perusahaan tersebut kecenderungan mempunyai budaya perusahaan
yang kuat – budaya perusahaan yang dipahami dengan jelas oleh setiap pegawainya.
Bagaimana pentingnya komunikasi dalam program transformasi dicontohkan oleh NokiaSiemens Network yang melaksanakan acara Big Conversation; yaitu dialog dengan 8000
pegawai, di 140 negara, selama 72 jam. Nokia–Siemens Network secara berkala
227
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
5.
6.
7.
8.
mengadakan dialog dengan tema-tema tertentu seperti antara lain Getting Closer to Our
Costumer, Becoming ONE Great Company.
Lim Ghee Soon dkk (2015) menyampaikan dua teknik utama di dalam mengkomunikasikan
program transformasi budaya yaitu melalui program pelatihan dan pengembangan dan
Pengembangan Organisasi (team building activities, survey-feedback activities, dan focus
group discussion).
Pelibatan dan pemberdayaan Pegawai – membangun Momentum.
Corporate Culture Pros (2011) mengingatkan perlunya melibatkan aspek Human Capital
dalam membangun budaya unggul ini antara lain pengembangan human capital,
mendengarkan dan menindaklanjuti feedback’ dan memberikan kewenangan didalam
pengambilan keputusan. Pegawai harus merasakan bahwa mereka mempunyai ketrampilan,
kapabilitas, dan peluang untuk berkontribusi dalam perubahan ini. Momentum dibangun
juga melalui struktur organisasi, proses dan system yang mendukung perubahan perilaku
yang diminta kepada setiap pegawai (Scott Keller and Carolyn Aiken, 2004).
Komunikasikan dan rayakan keberhasilan sekecil apapun (Bain & Company, 2011).
Mendayagunakan Infrastruktur dan meningkatkan “accountability” – Membangun kapasitas
untuk “reinvent” perusahaan secara berkelanjutan.
Melakukan Review secara berkala intensitas dan konsistensi serta kesesuaian nilai-nilai dan
perilaku terhadap perubahan lingkungan, juga melakukan review dampak nilai dan perilaku
terhadap “bottom-line” (Scott Keller & Carolyn Aiken, 2004).
Peranan Kepemimpinan
Budaya Perusahaan dan kepemimpinan adalah ibarat dua sisi dalam satu uang koin (Edgar H.
Schein, 2009). Kita tidak dapat memahami kepemimpinan tanpa pemahaman tentang budaya
perusahaan. Kepemimpinan mendorong budaya perusahaan, dan budaya perusahaan mendorong
kepemimpinan. Keduanya bersama-sama mendorong kinerja perusahaan; baik di tingkat individu,
ditingkat kelompok dan di tingkat korporasi. Jadi terjadi saling keterkaitan antara kepemimpinan dan
budaya perusahaan.
Tugas dari pemimpin dalam suatu perusahaan, disetiap tingkatan, adalah mengenali dan
memahami bahwa para pimpinan mempunyai suatu peran dalam menciptakan, mengelola, dan
menumbuhkankembangkan budaya di setiap unsur perusahaan. Kepemimpinan akan menjadi efektif
bila setiap pimpinannya menyadari peranan uniknya sebagai pencipta budaya,
menumbuhkembangkan budaya, dan peran sebagai manager. (Edgar, 2009)
Kepemimpinan yang suportif dan partisipatif secara positif mempengaruhi terbentuknya budaya
perubahan yang inovatif dan kompetitif dan akan membawa pengaruh positif terhadap kinerja
perusahaan (Emmanuel Ogbonna & Lloyd C. Harris, 2000; Mark Teoh).
Dengan studi tersebut, perusahaan yang akan melakukan perubahan budaya perlu lebih
mempertimbangkan dan memfokuskan pada gaya kepemimpinan. Mengingat merubah budaya itu
sulit, maka lebih tepat memfokuskan pada program perubahan kepemimpinan. Pengalaman dari The
Ohio State University Medical Center, transformasi dan peningkatan kinerja dilakukan melalui
program pengembangan kepemimpinan dan program perubahan budaya tingkat perusahaan secara
bersamaan (Eric J. Sanders & Robert A. Cooke, 2012). Pendekatan tersebut meningkatkan kinerja
riset, pendidikan dan perhatian terhadap pasien pada tingkat 50% lebih baik dan arus kas berubah
positif dari deficit dari 40 juta usd menjadi surplus 7 juta usd. Pengalaman yang sama juga dialami
oleh perusahaan lainnya yaitu Lion Nathan. Keberhasilan ini tidak lepas dari kepemimpinan yang
komit serta ketepatan dan kejelasan Misi perusahaan.
228
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Contoh lainnya adalah keberhasilan Ken Olsen, sebagai pimpinan Digital Equipment Corporation
(DEC), yang dapat merubah kinerja DEC dalam waktu singkat. Ken Olsen menciptakan budaya
unggul dimana setiap pegawai memiliki komitmen dan tanggung jawab yang tinggi terhadap
pertumbuhan dan keberhasilan perusahaan melalui inovasi. (Edgar H Schein,2009, p8)
Keefektifan peran setiap pimpinan dalam melakukan transformasi dapat dilihat dari beberapa aspek
seperti antara lain komitmen dan kehadiran pada acara-acara penting yang terkait dengan program
transformasi, menunjukan secara konsisten perilaku kepemimpinan yang konstruktif,
mengalokasikan waktu dan energinya untuk melakukan komunikasi dan meningkatkan keterlekatan
(engagement) pegawai (Eddy Tamboto , 2016).
Puncak kepemimpinan adalah tentang belajar untuk membaca situasi dan merespon sesegera
mungkin bila terdapat tanda-tanda budaya perusahaan yang tidak adaptif atau budaya yang tidak
seimbang (Corporate Culture Pros, 2011).
METODE PENELITIAN
Riset ini merupakan studi literature atas jurnal, text book, white paper, laporan riset, serta majalah
yang terkait dengan pembahasan – budaya perusahaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Implikasi Penerapan Budaya Unggul di Indonesia
Melihat pentingnya peran budaya perusahaan di dalam membangun daya saing perusahaan, maka
seharusnya setiap perusahaan di Indonesia sudah harus mulai membangun keunggulan bersaingnya
dari pengembangan aspek-aspek yang bersifat tan-wujud seperti membangun dan menerapkan secara
konstruktif budaya perusahaannya.
Isu nasional terkini dan strategis dalam pembangunan Indonesia ke depan adalah mengenai
holdingisasi BUMN menjadi 6 sektor, yaitu 1) sektor perbankan dan lembaga pembiayaan, 2) sektor
konstruksi dan jalan tol, 3) sektor perumahan, 4) sektor ketahanan energi, 5) sektor pangan dan 6)
sektor pertambangan.
Di sektor konstruksi dan jalan tol akan ada penggabungan beberapa BUMN, yaitu PT Hutama Karya
(Persero) (sebagai holding karena saham 100% milik pemerintah), PT Trans Sumatra OperatingCo,
PT Jasa Marga (Persero), Tbk., PT Waskita Karya (Persero), Tbk., PT. Wijaya Karya (Persero), Tbk.,
PT. Yodya Karya (Persero) dan PT Indra Karya (Persero).
Sebagaimana yang disampaikan Oleh John Kurtz & Shirley Santoso dalam acara CEO Talk on
Holding Company “Creating High Performing Organizations that Last”, (PTC, Jakarta 6 April 2012)
bahwa kesuksesan implementasi holdingisasi salah satunya adalah berkaitan dengan integrasi
operasional dan budaya perusahaan. Sebab, hal ini akan menjadi pendorong (enablers) bagi sebuah
organisasi dalam proses menuju holding sekaligus transformasi menuju perusahaan kelas dunia.
Apalagi mengingat peran penting BUMN bagi perekonomian nasional baik dalam bentuk kontribusi
laba kepada APBN maupun sebagai agen pembangunan nasional, seperti mendorong pertumbuhan,
perintisan usaha, pembangunan infrastruktur, penguat sektor keuangan dan pengembangan sektor
pangan dan kesehatan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh perusahaan Indonesia di dalam membangun budaya
perusahaannya adalah sebagai berikut:
1. Dimulai dari manajemen puncak perusahaan. Perlu keterlibatan, komitmen, dan
kepemimpinan dari manajemen puncak dan pimpinan disetiap level manajemen.
229
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
2. Kembangkan gaya kepemimpinan yang efektif yang bercirikan dan berwawasan Indonesia,
namun tetap memenuhi kaidah-kaidah hasil studi tersebut diatas yaitu gaya kepemimpinan
yang humanistic, memotivasi, afiliatif, memberikan teladan bagi setiap pegawainya.
3. Membuat rumusan budaya perusahaan yang unggul; sesuai dengan keunikan nilai – nilai
perusahaannya, visi-misi, dan strategi perusahaan, serta lingkungan usaha eksternal yang
mempengaruhi perusahaan antara lain seperti pelanggan dan pemegang saham. Pemimpin
harus berada di depan didalam menegakkan budaya perusahaannya secara disiplin.
4. Dibuat program komunikasi dan sosialisasi yang terpadu, menyeluruh dan sistematis kepada
setiap tingkatan manajemen dan pegawai agar mempunyai pemahaman yang jelas tentang
budaya perusahaannya. Komunikasi juga dilakukan kepada pihak ekternal yang terkait untuk
membangun “brand” yang positif terhadap perusahaan.
5. Budaya perusahaan diintegrasikan dengan seluruh operasi perusahaan, diintegrasikan dengan
setiap proses yang ada di dalam proses bisnis perusahaan.
6. Dilakukan review beserta tindaklanjutnya secara berkala untuk melihat gap yang terjadi antara
budaya perusahaan dengan realisasi penerapannya disetiap unit kerja dimanapun perusahaan
tersebut beroperasi, serta merumuskan program perubahan budayanya (unit culture plan).
7. Mengingat budaya perusahaan sangat erat kaitannya dengan kepemimpinan, maka perlu
dikembangkan program pelatihan dan pengembangan kepemimpinan bagi setiap pimpinan di
setiap tingkatan perusahaan. Program pengembangan kepemimpinan yang dilaksanakan harus
seimbang antara aspek “soft competencies” dan “hard competencies”, serta seimbang antara
aspek kemampuan strategis, operasional dan kemampuan mengelola aspek – aspek human
capital, termasuk didalam menciptakan budaya kerja yang konstruktif.
Sangat disadari bahwa membangun budaya perusahaan membutuhkan proses yang panjang.
Pembentukan holding BUMN tentu mengalami banyak tantangan. Diantaranya adalah mengenai
persoalan budaya beberapa BUMN yang berbeda-beda sehingga membutuhkan sinergi. Dalam hal
ini, bila memperhatikan dan menganalisis hasil riset Robert A Cooke and Janet L. Szumal dalam
Organizational Culture Inventory (OCI) maka budaya perusahaan di tingkat holding dapat
menggunakan gaya konstruktif (constructive style), yaitu budaya yang mampu membentuk perilakuperilaku achievement,self-actualizing,humanistic-encouraging dan affiliative, sebagai Model Ideal
Budaya Perusahaan BUMN Holding.
Budaya perusahaan di level Holding BUMN perlu dibangun dengan menggunakan gaya
konstruktif, demikian juga gaya konstruktif harus dibangun disetiap anap perusahaan BUMN holding
tersebut. Walaupun rumusan budayanya (basic belief, value dan artefak) bisa berbeda-beda. Dengan
demikian, keseluruhan komponen holding mempunyai budaya perusahaan unggul dengan
karakteristik perilaku dan gaya yang konstruktif, yaitu perilaku-perilaku yang berorientasi pada
achievement, self-actualizing, humanistic-encouraging dan affiliative.
Bagi perusahaan-perusahaan BUMN yang akan melakukan transformasi menjadi perusahaan
kelas dunia melalui pembentukan perusahaan holding; aspek budaya perusahaan yang terintegrasi
dengan strategi, proses bisnis perusahaan, beserta kapabilitas kepemimpinan menjadi kunci utama
untuk mewujudkan transformasi tersebut. Merujuk perusahaan Malaysia, Senheng, yang melakukan
transformasi budaya, melalui prinsip senantiasa melakukan perbaikan, buat lebih sederhana, lebih
cepat, dan “be confident”. (Tanyen fong, 2011).
230
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENUTUP
Simpulan
Hasil studi literature menunjukan bahwa budaya perusahaan yang dikelola dengan baik akan
menjadi budaya perusahaan yang unggul yang dapat menjadi asset strategis untuk meningkatkan
kinerja perusahaan, baik kinerja finansial maupun kinerja non-finansial. Hal ini mengingat budaya
yang unggul dapat menjadi asset strategis yang unik dan tidak dapat ditiru oleh para pesaing
perusahaan.
Agar suatu budaya perusahaan dapat dikategorikan sebagai budaya perusahaan yang unggul,
maka rumusan budaya perusahaan tersebut harus mempunyai dimensi yang berorientasi kepada
pelanggan, kepada pegawai, menerapkan standar kinerja dan akuntabilitas yang tinggi, berorientasi
inovasi dan komitmen terhadap perubahan untuk mencari cara terbaik dan berdaya saing bagi
perusahaan, serta berorientasi kepada sistem sesuai proses bisnis perusahaan.
Budaya perusahaan unggul juga perlu mengandung rumusan perilaku-perilaku utama yang
bersifat “Humanistic-Encouraging”, “Affiliative”, “Achievement”, dan“Self-actualizing”. Dimensi
dan perilaku-perilaku utama ini dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tantangan usaha perusahaan
ke depan, strategi perusahaan dan persyaratan pihak eksternal yang terkait terutama pelanggan,
pemegang saham serta pesaing terdekat perusahaan kita.
Setiap perusahaan di Indonesia khususnya perlu untuk mengembangan dan menegakkan budaya
perusahaan unggul, berbasis kearifan Indonesia dan keunikan perusahaannya, dalam rangka
meningkatkan kemampuan bersaing ditengah tantangan usaha yang semakin kompleks dan semakin
cepat perubahannya.
Keterbatasan Penelitian
Walaupun studi ini sudah dapat menyimpulkan budaya unggul di perusahaan konstruksi, namun
karena studi ini memfokuskan pada studi literatur, sehingga diperlukan studi lanjutan terhadap
keterkaitan budaya perusahaan unggul terhadap kinerja perusahaan, khususnya perusahaan
konstruksi.
Saran
Perusahaan yang dapat mengenali gaya budayanya makadapat menentukan langkah-langkah
strategis yang terarah dalam meningkatkan keunggulannya sehingga dapat memberikan dampak
kepada kinerja perusahaan
Setiap perusahaan di Indonesia, termasuk perusahaan BUMN, sangat disarankan untuk
merumuskan budaya perusahaan unggul yang dapat menjawab tantangan usaha ke depan yang
semakin kompleks. Perusahaan kemudian juga perlu mengukur gaya budaya konstruktif, budaya
unggul, untuk mengetahui sejauh mana kesiapan perusahaan dari aspek budaya perusahaan dalam
menghadapi lingkungan usaha yang semakin kompleks dan lingkungan persaingan usaha yang
semakin ketat. Bagi perusahaan-perusahaan BUMN, khususnya, yang dapat mengenali gaya
konstruktifnya akan dapat berbenah untuk mewujudkan budaya perusahaan yang unggul. Demikian
juga, BUMN yang akan dikembangkan melalui pola holding, perlu secara terintegrasi
mengembangan budaya unggul di masing-masing perusahaan yang menjadi anggota holding BUMN.
231
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
A.T. Kearney. (2016). Corporate Culture: The Secret of Company’s Longevity. Jakarta: Corporate
Culture Summit.
A.t. Kearney. (2016). Creating High Performing Organizations That Last. Jakarta: Corporate
Culture Summit.
Accenture. (2016). Developing Corporate Culture to Support Corporate Performance. Jakarta:
Corporate Culture Summit.
Chandler Macleod People Insights. Shaping Organisational Culture for Improved Business
Performance. Chandler Macleod Group.
Collins, Jim. (2001). Good to Great. New York: HarperCollins Publisher Inc.
Cooke, Reobert & J. Clayton Lafferty. (2015). Why Culture & Leadership Matter: Proving the
People Performance Connection. Human Synergistics.
Cooke, Reobert & J. Clayton Lafferty. (2013). The Leadership Culture Performance Connection
Transforming leadership & Culture The State of The Nations. Human Synergistics.
Corporate Culture Pros. (2011). Because Yours Culture Matters.
Deloitte university Press. (2015). Global Human Capital Trends 2015: Leading in the New World
of Work. DUPress.
Desai, Jatin. (2013). Innovation Engine: Driving Execution for Breaktrough Results. New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.
Flamholtz, Eric. (2001). Corporate Culture and Bottom Line. European Management Journal.
Vol.19, No.3, pp. 268-275. PII: S026-2373(01)00023-8.
Fong, Tan Yen. (2011). Senheng Corporate Culture The Engine of Growth. Kuala Lumpur:
Kanyin Publications.
GE Capital. (2012). Organizational culture: The effect of behavior on performance. General
Electric Company.
Keller, Scott and Carolyn Aiken. On Performance Culture. McKinsey&Company.
Klein, Andrew. (2008). Organizational Culture as a Source of Competitive Advantage. Bangkok:
E-Leader.
Lagorio, Christine & Chafkin. (2014, June). For a Border-Spanning Culture, celebrate Your
Seccesses, large and Small. Inc The Magazine for Growing Companies.
Madu, Boniface C. Organizational culture as driver of competitive advantage. Journal of
Academic and Business Ethics.
McGrath, Rita Gunther. (2013). The End of Competitive Advantage: How to Keep Your Strategy
Moving as Fast as Your Business. Boston: Harvard Business School Publishing.
Ministry of State-Owned Enterprises. (2016). Ministry of State-Owned Enterprises Restruturing:
Creating World-Class SOE Sectoral Holding. Jakarta: Corporate Culture Summit.
Motivation and Performance. Problems of Management In The 21st Century. Volume 3, 106. ISSN
2029-6932.
Ogbonna, Emmanuel and Lloyd C. Harris. (2000). Leadership style, organizational culture and
performance: empirical evidence from UK companies. Int. J. of Human Resource
Management 11:4, 766-788. ISSN 0958-5192 print/ISSN 1466-4399.
Roges, Paul, Paul Meehan and Scott Tanner. (2006). Building a winning culture. Melbourne: Bain
& Company.
Sanders, Eric J. & Robert A. Cooke. (2012). Financial Returns From Organizational Culture
Improvement: Translating “Soft” Changes into “Hard” Dollars. Human Synergistics
International.
232
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Schein, Edgar H. (2009). The Corporate Culture Survival Guide. San Francisco: John Wiley &
Sons, Inc.
Sumarto and Andi Subroto. (2011). Organizational Culture and Leadership Organizational
Performance: Automotive Components Industry In Indonesia. International Journal of
Innovation Management and Technology, Vol. 2, No. 5.
Sokro, Evans. (2012). Analysis of The Relationship that Exists Between Organisational Culture,
Soon, Lim Ghee, Chua Siew Beng, Usa Skulkerewathana, Richard L. Daft. (2015). New Era of
Management in a Globalized World; An Asian Perspective. Singapore: CENGAGE
Learning.
Xenikou, Athena, Maria Simosi. (2006). Organizational culture and transformational leadership
as predictors of business unit performance. Journal of Managerial Psychology. Vol. 21
No.6. pp. 566-579.
233
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
BEREBUT KUE PERTUMBUHAN DI LINGKUNGAN YANG
KOMPETITIF:
ANALISA INDUSTRI BISNIS AIR DALAM KEMASAN (AMDK)
COMPETING IN A COMPETITIVE ENVIRONMENT: INDUSTRY ANALYSIS
IN WATER BUSINESS
Agus Samsudin
Universitas Bina Nusantara
Email: [email protected]
Abstract: Abstract: Organization needs a strategy to ensure its performance and to be able to outperform
competitor. Question is how to build the strategy and what kind of tool applied in a high growth and
competitive market. Water packed industry in Indonesia since its inception 40 years ago represent both
condition, become a very competitive with 2000 brands and 10% market growth annually. However, only
a few big player were in a market able to survive and sustain. This paper aim to give an industry analysis
of the business with refers to Aqua Company which is the pioneer in industry. Being first and largest in
industry the company lead the market with more than 50% share (Mars research, 2016). To achieve the
objective secondary data analysis and market observation as well a literature review were done using 5
diamonds strategy. Analysis show that using 5 diamonds we can built a more comprehensive strategy.
Aqua play in high end market, focus in Java, Sumatera and Bali by using internal development of building
capacity and efficiency. They differentiate themselves by leading the industry in pricing and high image
as good product and company. Moving very fast to maintain market leadership while economic logic need
to be explore further. In fact that the company is dominating the business for more than a four decades its
proved that the business profitable and sustainable.
Keywords: strategy, competitive analysis, water industry
Abstrak: Organisasi membutuhkan strategi untuk menjamin kinerja dan bisa mengungguli pesaing.
Pertanyaannya adalah bagaimana caranya membangun strategi dan alat apa yang digunakanm ketika pasar
sangat kompetitif dengan pertumbuhan yang tinggi. Industri air minum dalam kemasan (AMDK) sejak
dikembangkan di Indonesia 40 tahun lalu mewakili keadaan tersebut, menjadi sangat kompetitif dengan
lebih dari 2000 merek dan pertumbuhan pasar sebesar 10% per tahun (Mars reseearch, 2016). Makalah ini
bertujuan untuk menganalisa industri AMDK ini dengan melihat perusahaan Aqua yang menjadi pionir
dalam bisnis. Sebagai yang pertama dan terbesar Aqua mendominasi pasar selama beberapa dekade.
Menggunakan kerangkan 5 elemen strategi dari Hambrick (2001) kita bisa membangun strategi yang lebih
komprehensif. Hasil analisa menunjukkan bahwa Aqua memilih arena pasar atas dan fokus di Jawa,
Sumatera dan Bali. Caranya dengan membangun kemampuan internal meningkatkan kapasitas produksi
dan efisiensi. Mereka membedakan dirinya dengan bermain di harga dan menjaga image sebagai produsen
produk unggulan dan perusahaan yang baik. Bergerak dengan cepat untuk menjaga kepemimpinannya
melalui peningkatan kapasitas produksi sedangkan secara ekonomi perlu penelitian lanjutan, akan tetapi
dengan dominasi selama bebrapa dekade menunjukkan bahwa bisnis ini menguntungkan dan
bekesinambungan.
Kata kunci: strategi, analisa kompetitif, industri air
234
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
PENDAHULUAN
Studi global PWC di tahun 2009 menegaskan bahwa 1 dari 3 orang akan terpengaruh oleh
kelangkaan air bersih dan jika tren seperti saat ini berlanjut maka 47% populasi dunia akan berada di
area dengan tingkat kekurangan yang tinggi di tahun 2030. Laporan ini juga menegaskan bahwa
kelangkaan air bisa berdampak pada kerusakan fisik, peraturan dan reputasi bisnis yang bisa
mengganggu, biaya tinggi dan kemungkinan kehilangan lisensi penggunaan air. Adanya resiko ini
membuat kesempatan bagi perusahaan air untuk meningkatkan kemampuannya dalam hal
mengingkatkan penngukuran tentang air, efisiensi internal, supplay chain, dan penggunaan produk
yang pada gilirannya mengurangi biaya produksi dan meningkatkan keunggulan kompetitif.
Industri air minum di Indonesia sejak dimulaiya tahun 1973 telah menjadi industri dengan
volume tahun 2016 sebesar .... yang masih akan tetap tumbuh sebesar 10% karena kurangnya fasilitas
umum air layak minu di Indonesia. Bagi konsumen sekarang mempunyai kesempatan untuk memilih
dengan begitu banyaknya produk berbasis air yang sanga beragam, tercatat sekarang ini ada lebih
dari 2000 produk yang beredar di pasaran. Tidak ketinggalan, pemerintah juga berperan besar sebagai
regulator, Undang-undang tentang Air sempa menjadi diskusi wacana selama setahun lebih denga
dibatalkannya oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya menjadi penting bagi siapapun yang telah
dan akan masuk di industri ini untuk bisa menganalisa secara komprehensif apa saja yang harus
dilakukan..
Tujuan makalah ini adalah untuk membuat analisa industri air minum dalam kemasan. Untuk
mencapai tujuan tersbut maka penulisan akan dimulai dengan konsep strategi dan pentingnya strategi
dan bagaimana cara melakukannya. Setelah itu sejarah singkat industri air minum dalam kemasan
(AMDK) yang dimulai dari tahun 1973. Analisa industri dilakukan dengan metode 5 elements of
strategy yang diperkenalkan oleh Hambrick 2001 yang diikuti dengan kesmpulan dan kemungkinan
riset di masa depan.
TINJAUAN PUSTAKA
Lima elemen strategi Hambrick
Wang (2014) dalam tulisannya tentng toeri utama keuggulan kompetitif dari tahun 1960 sampai
tahun 2013 menyimpulkan bahwa ada 2 teori besar yang berpengaruh diawalnya yakni Market-Based
View (MBV) and the Resource-Based View (RBV). Setelah itu ada beberapa teori pengembangan
yang berbasis RBV yaitu The knowledge-based view and capability-based view of strategy.
Sementara riset terakhit mengenal relational view of strategy dan transient advantage. Keunggulan
kompetitif diperlukan ketika organisasi nenbutuhkan atributes dalam rangka mengungguli kompetitor.
Strategi berasal dari kata Yunani strategia yang berarti tentara dalam perang. Secara
definisibanyak sekali telah dilakukan oleh para ahli manajemen untuk menyebut beberapa definisi
antara lain. Alfred Chandler menulis pada tahun 1962 bahwa: ". Strategi adalah penentuan tujuan
jangka panjang dasar perusahaan, dan adopsi kursus tindakan dan alokasi sumber daya yang
diperlukan untuk melaksanakan tujuan tersebut". Michael Porter strategi didefinisikan pada tahun
1980 sebagai "... rumus luas untuk bagaimana bisnis akan bersaing, apa tujuannya seharusnya, dan
apa kebijakan yang akan dibutuhkan untuk melaksanakan tujuan-tujuan" dan "... kombinasi dari ujung
(tujuan) untuk mana perusahaan berjuang dan sarana (kebijakan) oleh yang berusaha untuk sampai
ke sana.
Hambrick (2001) memperkenalkan apa yang disebut sebagai 5 elements of strategy dengan
menjawab pertanyaan yaitu:
235
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Arenas: Dimana kita akan bermain secara aktif? (where will we be active?)
Vehicle: Bagaimana kita akan sampai di sana? (how will we get there?)
Differentiators: bagaimana kita akan menang di pasar? (how will we win in the marketplace?)
Staging: Seberapa cepat rencana dan bagaimana langkahnya? (what will be our speed and sequence
of moves?)
Economic logic: bagaimana kita memperoleh pengembalian kami? : how will we obtain our returns?
Gambar dibawah ini menjelaskan secara secara singkat penjelasan dari komponen tersebut.
Gambar 1. Lima Elemen Strategi (Hambrick, 2001)
Industri AMDK di Indonesia: historical
Air minum adalah kebutuhan vital manusia. Gagasan untuk memasukkan air minum ke dalam
kemasan sebetulnya sudah dilakukan oleh bangsa Yunani kuno dan Romawi, jauh sejak abad
permulaan. Dalam sejarah modern, bisnis AMDK (Air Minum Dalam Kemasan) di Indonesia mulai
dikenal sejak dekade awal 1970-an. Perintisnya adalah Tirto Utomo, pendiri Aqua. Sejak mulai dijual
dalam bentuk kemasan, bisnis AMDK pun terus tumbuh. Dalam tujuh tahun terakhir perkembangan
produksi AMDK di Indonesia memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan. Tak heran, masih
banyak saja investor baru yang melirik bisnis ini. Studi yang dilakukan oleh MARS Indonesia
mengungkapkan bahwa produksi AMDK di Indonesia pada tahun 2008 mencapai 9,47 miliar liter,
kemudian meningkat menjadi 10,19 miliar liter pada tahun 2009 dan terus meningkat pada tahuntahun berikutnya, hingga menjadi 14,90 miliar liter pada tahun 2014. Selama periode tersebut
236
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
produksi AMDK di Indonesia telah meningkat rata-rata sebesar 7,9% per tahun. Meningkat pesatnya
produksi AMDK di Indonesia selama kurun waktu tersebut, selain didorong oleh permintaan di pasar
domestik, juga didorong oleh tingginya permintaan dari pasar ekspor. Dilihat dari bentuk kemasannya,
produksi AMDK di Tanah Air sampai saat ini masih didominasi oleh kemasan galon, volumenya
mencapai 8,54 miliar liter atau 57,3% dari total produksi AMDK nasional yang tercatat sebesar 14,90
miliar liter. Kemasan berikutnya adalah cup plastik yang komposisinya mencapai 20,8% dengan
volume produksi sebesar 3,10 miliar liter, diikuti oleh AMDK kemasan botol plastik sedang dengan
prosentase 11,3% dan kemasan botol plastik besar yang mencapai 8,2%. Lalu siapakah pemain yang
mengadu peruntungan dalam industri air minum ini? Sampai saat ini Danone-Aqua Grup menjadi
pemain utama disamping Nestle, Indofood dan Coca-Cola.
Gambar 2, menjelaskan secara singkat perkembangan organisasi ASPADIN (Asosiasi
Perusahaan Air Kemasan Indonesia). Berdiri sejak tahun 1991 dengan 36 perusahaan dengan volume
6 juta liter. Pasar yang menjanjikan membuat jumlah perusahaan menjadi 200 perusahaan dengan
volume 25 juta liter. Pasar terbesar adalah di Jawa dengan 40% nya adalah di Jabodetabek. Oleh
karenanya tidak heran jika pertarungan sesungguhnya adalah di Jawa mengingat jumlah
konsumennya yang besar.
Data dari euromonitor menjelaskan bahwa Danone Aqua PT adalah pemimpin utama air minum
kemasan dengan pangsa pasar 48% dari volume penjualan pada tahun 2015. Aqua adalah merek
andalannya, sedangkan VIT adalah merek ekstensi dari perusahaan untuk mencapai basis konsumen
yang lebih luas dengan lebih rendah untuk para segmen pendapatan. Aqua konsisten memasarkan
produk berkualitas tinggi dengan citra yang tinggi dan melalui iklan pemasaran yang inovatif. Ia
menawarkan air mineral alami sumber air di seluruh negeri dan mengembalikan dalam jumlah besar
dengan membangun tanggung jawab sosial terhadap lingkungan dari mana perusahaan mengambil
sumber air. Selama bertahun-tahun Aqua identik air mineral di Indonesia.
237
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Gambar 2: Perkembangan anggota ASPADIN
METODE PENELITIAN
Metode penelitian kuantitatif dengan menganalisa analisa data-data sekunder dari berbagai
sumber
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aplikasi dari Lima Elemen Strategi oleh Hambrick dapat diringkaskan sebagao berikut yaitu,
pertama bahwa Aqua bermain di semua segmen dengan fokus utama di Jawa, Bali dan Sumatra.
Teknologi utamanya adalah mesin pengolahan dan pengepakan. Kedua, model pengembangan
dilakukan secara pengembangan internal dengan membuka pabrik baru dan ekstensi dari merek
utamanya yaitu VIT. Ketiga, differentiator adalah air mineral alami pegunungan, kualitas terbagus
dan harga yang premium di kelasnya. Keampat, Staging-berkembang dengan cepat, membuka pabrik
baru untuk meningkatkan kapasitas dalam waktu cepat. Kelima, economic logic, dengan cara harga
produksi teendah dengan keuntungan atas produksinya serta memasang harga tinggi untuk
mendapatkan keuntungannya.
238
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
Tabel 1. Analisa 5 elemen strategi
Elements
Pertanyaan
Arena: where will be Which product category?
active?
Which market segment
Which geographic area
Which core of technology
Which value creation stage
Vehicle
Internal development?
Joint venture
Licensing
Acquisition
Differentiator
Image
Customization
Price
Styling
Product reliability
Staging
Speed of expansion
Sequence of initiative
Economic logic
Deskripsi
Air
Semua segment
Jawa, Bali dan Sumatra
Pengolahan dan pengepakan
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Air pegunungan alami
Tidak
Premium
Produk pertama
Kualitas nomor satu
Cepat
Membukan pabrik baru,
meluncurkan produk baru
Lowest cost through scales Tidak
advantage
Lowest cost through scope Ya
and replication advantages
Premium price due to Ya
unmatchable service
Premium prices due to
proprietary product feature
PENUTUP
Simpulan
Sejak berdirinya Aqua sampai sekarang telah terbukti bahwa perusaahaan ini memulai dan
memimpin pasar sejak tahun 1973. Strategi yang diterapkan dapat dianalisa dengan menggunakan
lima elemen strategi dari Hambrick bisa mempertajam strategi yang dibangun.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini hanya bersifat “snapshot” yaitu dengan memotret dengan satu data, akan lebih
baik jika dilakukan dalm kurun waktu tertentu sehingga bisa menjelaskan perubahan strategi dalam
merespon pasar AMDK.
239
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
The true value of water Best practices for managing water risks and opportunities, Practices®.
(2009). Focus Paper. A PwC Global Best.
Hambrick, D. C. & Fredrickson, J. W. (2001). Are you sure you have a strategy? Academy of
Management Executive. Vol. 19, No. 4.
Wang, H. (2014). Theories for competitive advantage. In H. Hasan (Eds.), Being Practical with
Theory: A Window into Business Research. Harvard business review • november–december
1996, HBR’s Must-Reads on Strategy (pp. 33-43). Wollongong: Australia.
Michael, E Porter (1998), Competitive Advantage: creating sustaining and superiot performance;
with a new introduction. Originally published: new York; Free press; Collier Macmillan c1985.
240
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
INERSIA BUDAYA ORGANISASI DAN PENGUASAAN TEKNOLOGI
INFORMASI MEMPENGARUHI BUSINESS AGILITY?
Arya Permadi1 dan Sri Bramantoro Abdinagoro2
Universitas Bina Nusantara
E-mail: [email protected] & [email protected]
Abstract: The world is facing turbulence and increased uncertainty as a result of the acceleration of
change in information technology, to overcome this required business agility. Changes that occur felt and
perceived differently by a whole group of (people) who are in a business, how well the group (people) are
making adjustments to the organizational culture that is dominant today is important. The inertia of
organizational culture provide differential preference on cultural change, namely the extent to which the
existing individual identified those changes to the culture of the group, the feeling of individual self-esteem
of the group's culture, and the perception that the culture is already (or not) changed. Besides mastery of
information technology can be a factor changes while enabling business agility enabled or not happening,
as well as a means for achieving agility. So to improve the business agility of an organization, the inertia
of organizational culture on changes and mastery of information technology we need to manage it well.
So expect the company can hit inertia against change organizational culture that exists and will continue
to improve the mastery of technologies to improve their business agility.
The primary objective of this study is to develop a conceptual framework of research on strategic
management discipline to develop business agility. This paper specifically to bridge this gap the business
ability to respond and adapt to changing.
Keywords: Business Agility, Organisation Culture Inertia, Information Technology mastery
Abstrak: Dunia sedang menghadapi turbulensi dan meningkatnya ketidakpastian sebagai akibat dari
percepatan perubahan teknologi informasi, untuk mengatasi ini dibutuhkan business agility. Perubahan
yang terjadi dirasakan dan dipersepsikan berbeda oleh seluruh kelompok (individu) yang ada dalam suatu
bisnis, seberapa baik kelompok (individu) tersebut melakukan penyesuaian dengan budaya organisasi yang
dominan saat ini menjadi penting. Inersia budaya organisasi memberikan preferensi diferensial terhadap
perubahan budaya yaitu sampai sejauh mana individu yang ada mengidentifikasikan perubahan itu
terhadap budaya kelompok, perasaan individu akan harga diri dari budaya kelompok, dan persepsi bahwa
budaya adalah sudah (atau tidak) berubah. Selain itu penguasaan akan teknologi informasi dapat menjadi
faktor perubahan sekaligus memungkinkan atau tidak memungkinkannya business agility terjadi, serta
menjadi sarana untuk mencapai agility. Jadi untuk meningkatkan business agility dari suatu organisasi
maka inersia budaya organisasi terhadap perubahan yang terjadi dan penguasaan akan teknologi informasi
perlu kita kelola dengan baik. Sehingga diharapkan perusahaan dapat menekan inersia budaya organisasi
terhadap perubahan yang ada dan terus meningkatkan penguasaan akan teknologi untuk meningkatkan
business agility mereka.
Tujuan utama dari studi konseptual ini adalah untuk mengembangkan kerangka penelitian tentang disiplin
manajemen strategis untuk mengembangkan business agility. Tulisan ini khusus untuk menjembatani
kesenjangan ini kemampuan bisnis untuk merespon dan adaptasi terhadap perubahan.
Kata kunci: Business agility, Inersia budaya organisasi, Penguasaan teknologi informasi
241
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
PENDAHULUAN
Pada awal abad kedua puluh satu, dunia menghadapi perubahan besar dalam persaingan pasar,
inovasi teknologi dan permintaan pelanggan. Pasar di mana produsen dan perusahaan jasa bersaing
semakin dipengaruhi oleh persaingan asing intens, perubahan teknologi yang cepat, lebih pendek
produk siklus hidup dan pelanggan semakin tidak bersedia untuk item atau jasa yang diproduksi
secara massal dengan nilai terbatas. Ini menimbulkan tekanan kompetitif di seluruh dunia, salah satu
persyaratan penting untuk kelangsungan hidup perusahaan adalah kemampuannya terus menerus
untuk memenuhi kebutuhan dan tuntutan pelanggann (pasar) (Supnick, 1984;Tseng & Lin, 2011).
Dalam lingkungan yang bergolak seperti ini, kemampuan perusahaan untuk merasakan perubahan
lingkungan dan menanggapi mudah, merupakan faktor penentu penting keberhasilan perusahaan
(Overby, Bharadwaj, & Sambamurthy, 2005).
Pertumbuhan teknologi telah menyebabkan persaingan yang ketat dan tingkat percepatan
perubahan yang inovatif di pasar. Muncul fragmentasi pasar dari massal menuju ke ceruk pasar, dan
pelanggan berubah menjadi lebih menuntut dengan meningkatnya harapan mereka. Situasi kritis ini
telah menyebabkan revisi utama dalam prioritas bisnis, visi strategis dan kelangsungan hidup model
dan metode konvensional dan relatif kontemporer.
Manajemen strategis mendeteksi munculnya ancaman lingkungan dan kesempatan, melakukan
prediksi terhadap dampak mereka di masa depan, dan melakukan pengembangan terhadap bagaimana
organisasi memberikan tanggapan. Idealnya, masa depan dapat diprediksi dengan cukup baik melalui
rencana kerja yang telah dipersiapkan sebelumnya. Karena lingkungan sangat tidak menentu dan
bergerak cepat dengan banyak potensi ancaman dan peluang, organisasi sering menemukan kesulitan
untuk bereaksi menggunakan pendekatan manajemen strategis konvensional (Margolis, Goode, &
Bernier, 2003).
Untuk itu kami melakukan suatu tinjauan literatur manajemen strategis, yang berkaitan dengan
membangun konsep Business Agility. Sebuah analisis komprehensif terhadap kecenderungan
lingkungan dan kemungkinan mengidentifikasi isu-isu strategis tambahan. Dengan demikian analisis
terhadap isu-isu strategis (analisis dampak dan respon terhadap perkembangan signifikan)
ditambahkan ke analisis strategi (penentuan menyodorkan untuk pengembangan masa depan
perusahaan) (Ansoff, 1980).
Istilah agile manufacture mendapat pengakuan luas sejak publikasi laporan Iaccoca Institute
"21st Century Manufacturing Enterprise Strategy". Dan agility baru-baru ini menarik perhatian
dalam studi sistem pengembangan sistem dan manajemen teknologi informasi (IT), ada pengakuan
yang terbatas dalam disiplin ilmu sistem informasi terhadap pentingnya dampak agility yang telah
dimiliki oleh organisasi pada umumnya (Overby et al., 2005). Walaupun business agility adalah
paradigma yang relatif baru sebagai solusi untuk menjaga keunggulan kompetitif selama masa
ketidakpastian dan turbulensi dalam lingkungan bisnis (Sharifi & Zang, 2001). Namun, menjadi agile
dengan mampu merasakan dan merespon peristiwa yang terjadi baik itu sudah diprediksi sebelumnya
maupun yang tak terduga memberikan harapan tersendiri.
Agility dibutuhkan ketika perubahan yang diperlukan tidak dibayangkan ketika proses
organisasi dan sistem dibentuk pada awalnya (van Oosterhout, Waarts, & van Hillegersberg, 2006).
Dalam kasus lain, perubahan bisa timbul lebih tak terduga dan membutuhkan respon yang tidak
mungkin telah ditentukan. Dalam kasus tersebut, tidak dapat dengan mudah melakukan rekayasa
sebagai bentuk respon ke dalam proses organisasi dan sistem. Mampu bertindak cepat baik pada
tingkat strategis dan operasional untuk perubahan tak terduga tersebut memerlukan tingkat baru dari
sekedar fleksibilitas, yang kita sebut sebagai agilty (Overby et al., 2006).
Dalam konsep agilty terdapat pikiran yang agile yang didefinisikan sebagai suatu cara berpikir
242
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
yang memiliki karakter cepat, bersumber daya (resourceful), dan mudah beradaptasi. Jadi, organisasi
yang agile itu sanggup merespon dengan cepat, mereka memiliki sumber daya (resourceful), dan
mereka mampu beradaptasi dengan lingkungan mereka (Mathiassen & Pries-Heje, 2006). Cepat
adalah tentang kecepatan dengan mana organisasi dapat merespon permintaan pelanggan, dinamika
pasar, dan muncul pilihan teknologi. Sumber daya adalah tentang kemampuan yang tersedia dalam
organisasi termasuk orang, teknologi, proses, dan pengetahuan. Sumber daya dapat menjadi berwujud
dan tidak berwujud dan mereka memberikan dasar untuk melakukan bisnis dan untuk memberikan
dorongan perubahan. Beradaptasi adalah tentang seberapa baik organisasi merespon tuntutan
perubahan, ancaman, atau peluang. Ini membutuhkan kemampuan untuk belajar serta proses yang
fleksibel dan produk yang dapat ulang tanpa biaya tambahan ekstensif.
Pada saat perusahaan sedang berjuang untuk berhasil dalam dunia yang tengah mengalami
globalisasi, selera konsumen berubah-ubah dan tumbuh ketidakpastian, ada suatu bentuk pengakuan
yang luas dari para pimpinan perusahaan bahwa teknologi informasi (TI) adalah kunci utama dalam
kemampuan perusahaan untuk mendeteksi dan menanggapi perubahan pasar (Luftman & McLean,
2004). Hal ini juga didukung dengan (V. Sambamurthy, 2003) yang mana dalam model penelitiannya
menemukan bahwa investasi dalam informasi teknologi dan kemampuan IT memungkinkan
perusahaan untuk mengembangkan pilihan digital dan kelincahan. Juga telah teridentifikasi potensi
TI mempengaruhi kinerja perusahaan melalui kemampuan TI atau sumber daya spesifik perusahaan
yang menciptakan pilihan untuk menanggapi perubahan.
Hasil penelitian empiris yang dilakukan (Lu & Ramamurthy, 2011) memperoleh hasil bahwa
kemampuan TI sangat penting untuk mencapai agility. Sementara jumlah belanja lebih besar di TI
tidak menyebabkan kelincahan yang lebih besar, menghabiskan dana dengan sedemikian banyaknya
bukan merupakan cara untuk meningkatkan dan menumbuhkan kemampuan TI. Disamping itu
perusahaan perlu untuk terus memelihara dan mengembangkan kemampuan sumber daya IT mereka
untuk membangun organisasi yang agile.
Resource-based theory menyatakan bahwa adanya keaneka ragaman sumber daya organisasi
dalam satu industri. Dan sumber daya yang dimiliki organisasi tidak dapat dimiliki oleh organisasi
lainnya, sehingga keberbedaan sumber daya dapat bertahan lama. Dua asumsi ini digunakan oleh
resource-based theory dalam menganalisa dan menciptakan sumber keunggulan bersaing
berkelanjutan (Barney, 1991). Untuk itu sumber daya yang mampu menghasilkan keunggulan
bersaing berkelanjutan yaitu sumber daya yang bernilai (value), langka (rare), tidak dapat ditiru
(imperfectly imitable), dan tidak ada substitusinya (substitutability).
Budaya organisasi biasanya didefinisikan sebagai satu set kompleks nilai, keyakinan, asumsi,
dan simbol-simbol yang menentukan cara di mana sebuah organisasi melakukan usahanya. Dalam
hal ini, budaya memiliki efek luas pada organisasi karena budaya organisasi tidak hanya
mendefinisikan siapa karyawan yang relevan, pelanggan, pemasok, dan pesaing, tetapi juga
mendefinisikan bagaimana suatu organisasi akan berinteraksi dengan aktor kunci-nya (Barney, 1986).
Budaya untuk organisasi ibaratnya adalah suatu bentuk kepribadian dari individu. Seperti budaya
manusia pada umumnya, bahwa itu diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dan itu
mengalami perubahan secara perlahan (Carrillo & Gromb, 2002). Selain itu beliau juga menyatakan
banyak terjadi kasus inersia budaya, yaitu, kasus di mana sebuah organisasi gagal untuk beradaptasi
budaya ke yang baru karena terjadinya perubahan lingkungan. Fenomena inersia budaya muncul
secara alami ketika kita mempertimbangkan perubahan lingkungan dalam organisasi kita.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan kontribusi pada literatur manajemen strategis
dengan mengusulkan definisi konseptual akan pengaruh inersia budaya organisasi terhadap
perubahan yang terjadi dan penguasaan akan teknologi informasi terhadap business agility. Sehingga
diharapkan organisasi dapat menekan inersia budaya organisasi terhadap perubahan yang ada dan
243
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
terus meningkatkan penguasaan akan teknologi untuk meningkatkan business agility mereka.
Penelitian ini dilakuak dengan membahas dalam literatur manajemen strategis untuk pengembangan
definisi konseptual secara utuh sebelum peneliti masuk kedalam penelitian dengan analisis statistik
empiris.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam penelitian ini kami menggunakan teori bersaing berbasiskan sumber daya dari Barney,
organisasi dapat dinyatakan memiliki keunggulan bersaing bila dalam mengimplemetasikan strategi
yang dilakukannya tidak dapat secara simultan dilakukan juga oleh pesaingnya. Sedangkan organisasi
dinyatakan memiliki keunggulan bersaing berkelanjutan bila implementasi strategi yang
dilakukannya tidak dapat secara simultan dilakukan juga oleh pesaingnya dan juga para pesaingnya
tidak mampu melakukan duplikasi terhadap keuntungan yang sama dari pelaksanaan strategi tersebut.
(J. Barney, 1991). Keunggulan bersaing berkelanjutan tidak akan bisa dicapai organisasi bila sumber
daya bisa ditiru dan dimiliki oleh organisasi lainnya dalam satu industri.
Pada saat ini menyatakan bahwa adanya keaneka ragaman sumber daya organisasi dalam satu
industri. Dan sumber daya yang dimiliki organisasi tidak dapat dimiliki oleh organisasi lainnya,
sehingga keberbedaan sumber daya dapat bertahan lama. Dua asumsi ini digunakan oleh resourcebased theory dalam menganalisa dan menciptakan sumber keunggulan bersaing berkelanjutan
(Barney, 1991). Untuk itu sumber daya yang mampu menghasilkan keunggulan bersaing
berkelanjutan yaitu sumber daya yang bernilai (value), langka (rare), tidak dapat ditiru (imperfectly
imitable), dan tidak ada substitusinya (substitutability).
Business Agility
Konsep Agility dimulai pada awal tahun sembilan puluhan di bidang manufaktur di Amerika
Serikat pertama kali diperkenalkan dengan penerbitan laporan berjudul 21st Century Manufacturing
Enterprise Strategy (van Oosterhout, Waarts, van Heck, & van Hillegersberg, 2007) dan konsensus
mengenai definisi agility belum disepakati (van Oosterhout et al., 2006).
Agility mengacu pada kemampuan perusahaan dalam hal melakukan beradaptasi dan
mengakomodasi perubahan yang cepat, tidak direncanakan dan tiba-tiba dalam menghadapi
perubahan peluang pasar dan tekanan, sehingga, dalam pengertian ini menjadi fleksibilitas yang lebih
komprehensif. (Supnick, 1984). (van Oosterhout et al., 2007) Menyebutkan bahwa agility adalah
cara untuk mengatasi perubahan eksternal dan internal yang sangat tidak pasti. Dimana ada tiga jenis
ketidakpastian: ketidakpastian negara, efek dari ketidakpastian, dan ketidakpastian respon.
Konsep ''agility'' diciptakan pertama kali di Iacocca Institute, dari Leigh University (USA)
didefinisikan sebagai: Sebuah sistem manufaktur dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
yang berubah dengan cepat dari pasar. Sebagai sebuah sistem yang menggeser cepat di antara model
produk atau antara lini produk, strategis di respon real-time untuk permintaan pelanggan (Yusuf,
Sarhadi, & Gunasekaran, 1999). Mereka juga mengusulkan bahwa kelincahan adalah bentuk
keberhasilan eksplorasi dasar kompetitif: kecepatan, fleksibilitas, inovasi proaktif, kualitas dan
profitabilitas yang terintegrasi dengan sumber daya dan praktik terbaik dalam lingkungan yang kaya
pengetahuan untuk menyediakan produk dan layanan pelanggan didorong dalam cepat perubahan
lingkungan pasar.
Agility diperlukan bila organisasi dihadapkan dengan perubahan yang dibutuhkan tidak pernah
terbayangkan ketika proses organisasi dan sistem dibentuk (van Oosterhout et al., 2006). Dalam kasus
lain, perubahan dapat terjadi dalam lebih tak terduga dan ini memerlukan tanggapan yang tidak
mungkin telah disiapkan sebelumnya. Dalam kasus tersebut, fleksibilitas tidak dapat dengan mudah
direkayasa ke dalam proses organisasi dan sistem. kemampuan organisasi untuk bertindak secara
244
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
cepat baik pada tataran strategis dan operasional terhadap perubahan tak terduga yang menuntut
tingkatan baru fleksibilitas, yang mereka sebut sebagai agility (Overby et al., 2006).
Konsep agility lebih memerhatikan pada economies of scope, bukan skala ekonomi (Dove,
2001). Yang mana artinya sementara lean operation biasanya berhubungan dengan penggunaan
sumber daya yang efisien, operasi agile itu terkait untuk secara efektif merespon lingkungan yang
berubah sementara pada saat yang sama juga tetap produktif. Idenya adalah untuk melayani ceruk
pasar yang lebih kecil dan pelanggan individu tanpa biaya yang tinggi dikaitkan dengan kustomisasi.
Jadi sebuah organisasi agile maka tidak hanya harus mampu berhasil mengimplementasikan
perubahan; mereka gesit dan mampu merespon dengan cepat untuk kedua peristiwa yang diharapkan
dan tak terduga di lingkungan mereka.
Di pasar yang selalu berubah, bisnis harus mampu membuat perubahan yang cepat untuk
beradaptasi dengan kebutuhan klien dan mengatasi penawaran yang diberikan oleh pesaing. Maka
dari itu suatu organisasi harus mampu menguasai kedua hal yaitu perencanaan untuk perubahan yang
tak terduga dan memiliki bisnis proses yang memungkinkan untuk perubahan. Bagaimana bisnis
dapat berhasil menangani perubahan lingkungan yang tak terduga, dinamis dan terus berubah telah
menjadi topik panas di industri dan akademisi selama beberapa dekade terakhir. Banyak solusi yang
berbeda telah diusulkan, kita fokus pada business agility.
Perubahan dapat terjadi lebih tak terduga dan ini memerlukan tanggapan yang tidak mungkin
telah disiapkan sebelumnya. Dalam kasus tersebut, fleksibilitas tidak mungkin dapat dengan mudah
direkayasa ke dalam proses organisasi dan sistem. Suatu Bisnis untuk dapat bertindak cepat baik di
tingkat strategis dan operasional terhadap perubahan tak terduga yang menuntut tingkatan baru
fleksibilitas, yang kita sebut sebagai agility (Overby et al., 2005). Jadi konsep bisnis berayun dari
fleksibilitas menuju agility. Mengapa? karena telah menjadi sulit untuk bisa tetap bertahan dan
berhasil dalam lingkungan bisnis yang ada pada saat ini jika tetap pada pola bisnis yang lama. Bisnis
saat ini dituntut menjadi agile dan yang harus mampu merasakan dan merespon peristiwa baik itu
yang diprediksi maupun tak terduga. Dengan demikian bisnis tersebut lebih memberikan janji yang
jauh lebih baik daripada yang lain yang tidak melakukannya. Business agility adalah paradigma relatif
baru sebagai solusi untuk menjaga keunggulan kompetitif selama masa ketidakpastian dan turbulensi
dalam lingkungan bisnis.
Karakteristik dari business agility harus memiliki agile mind yang artinya memiliki kecepatan,
pikiran, dan mereka mampu beradaptasi dengan perubahan dalam lingkungan mereka. Kecepatan
adalah tentang kecepatan dengan mana organisasi dapat menanggapi permintaan pelanggan, dinamika
perubahan di pasar, dan munculnya pilihan teknologi baru. Akal adalah tentang kemampuan yang
tersedia dalam organisasi termasuk orang, teknologi, proses, dan pengetahuan. Sementara adaptasi
adalah tentang seberapa baik organisasi untuk merespon tuntutan perubahan, ancaman atau peluang
(Mathiassen & Pries-Heje, 2006).
Kami mendefinisikan konsep business agility adalah "kemampuan untuk merasakan perubahan
eksternal dan internal yang tidak pasti dan menanggapi secara reaktif, berdasarkan inovasi proses
operasional internal yang melibatkan pelanggan dalam eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan agile
mind sebagai memiliki kecepatan, berbagai sumber daya, dan mampu beradaptasi dengan
lingkungan." Kecepatan (quickness) adalah tentang kecepatan (speed) dengan mana organisasi dapat
merespon permintaan pelanggan, dinamika pasar, dan muncul pilihan teknologi. Ini termasuk waktu
untuk merasakan peristiwa yang relevan, waktu yang dibutuhkan untuk menafsirkan apa yang terjadi
dan menilai konsekuensi bagi organisasi, waktu untuk mengeksplorasi pilihan dan memutuskan di
mana tindakan untuk mengambil, dan waktu untuk melaksanakan tanggapan yang sesuai (Mathiassen
& Pries-Heje, 2006). Sumber daya (resourceful) adalah tentang kemampuan yang tersedia dalam
245
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
organisasi termasuk orang, teknologi, proses, dan pengetahuan. Sumber daya dapat berwujud dan
tidak berwujud dan mereka memberikan dasar untuk melakukan bisnis (Mathiassen & Pries-Heje,
2006). Kemampuan beradaptasi (adaptability) adalah tentang seberapa baik organisasi merespon
tuntutan perubahan, ancaman, atau peluang. Ini membutuhkan kemampuan untuk belajar serta proses
yang fleksibel dan produk yang dapat ulang tanpa biaya tambahan ekstensif (Mathiassen & PriesHeje, 2006).
Inersia Budaya Organisasi
Budaya tidak hanya berwujud dan ilusif, tetapi juga dapat diamati pada berbagai tingkat dalam
sebuah organisasi. Tetapi budaya tercermin dalam nilai-nilai, norma, dan praktik. Pada tingkat
terdalam, budaya organisasi terdiri dari nilai-nilai yang tertanam, preferensi tacit tentang apa
organisasi harus berusaha untuk mencapai dan bagaimana harus melakukannya. Nilai seringkali sulit
untuk mengartikulasikan dan bahkan lebih sulit untuk berubah. dampaknya terhadap penciptaan
pengetahuan dan penggunaan, namun, yang diwujudkan dalam perilaku, tidak boleh diremehkan (De
Long & Fahey, 2000).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa budaya organisasi biasanya didefinisikan
sebagai satu set kompleks nilai, keyakinan, asumsi, dan simbol-simbol yang menentukan cara di mana
sebuah perusahaan melakukan usahanya. Budaya organisasi ini memandu setiap tindakan dari para
anggota organisasinya (Dong Wang et al., 2011). Dimana Budaya organisasi ini juga dapat menjadi
sumber keunggulan kompetitif berkelanjutan dari suatu organisasi asalkan bernilai (value), langka
(rare), tidak dapat ditiru (imperfectly imitable), dan tidak ada substitusinya (substitutability) (Barney,
1991).
Seperti yang sudah disebutakan sebelumnya bahwa budaya organisasi dapat adalah se-set nilai,
keyakinan, asumsi, dan simbol-simbol yang menentukan cara di mana sebuah organisasi melakukan
usahanya (Barney, 1986). Untuk itu setiap organisasi umumnya mengembangkan budaya tertentu
yang dapat mempengaruhi kinerja mereka. Keberhasilan dan kegagalan bisnis seringkali juga
dikaitkan dengan budaya organisasi tersebut. Karena itu manajemen puncak semakin menyadari
pentingnya budaya perusahaan dan berusaha secara aktif untuk mendefinisikan identitas budaya,
melindunginya, dan mendalangi perubahan budaya organisasinya (Carrillo & Gromb, 2002). Karena
budaya organisasi merupakan pendorong penting di balik semua gerakan dalam organisasi (Barney,
1986)
Ketika hal ini dilakukan secara efektif, maka akan terjadi perubahan evolusioner dalam
organisasi dan ini adalah bagian penting dari kesuksesan secara jangka pendek. Tetapi keberbasilan
ini juga memiliki sisi gelap, Karena salah dampaknya adalah mengakibatkan perusahaan menjadi
lebih besar dan sejalan dengan waktu akan menjadi lebih tua. Hal ini akan mengembangkan apa yang
disebut dengan inersia budaya dalam organisasi (Tushman & O’Reilly, 1996). Semakin sukses suatu
organisasi, semakin diinstitusikan atau mendarah dagingnya norma-norma, nilai-nilai, dan pelajaran
yang diperoleh maka semakin besar inersia budaya organisasinya yang ditunjukan dengan yang
makin besarnya kepuasan organisasi dan tingginya arogansi.
Inersia budaya organisasi didefinisikan sebagai bentuk keinginan untuk menghindari perubahan
budaya, atau perubahan lintasan budaya. Inersia budaya ini menunjukkan bahwa ada sekelompok
individu menolak perubahan karena tekanan yang dirasakan dari kekuatan luar (Zárate, Shaw,
Marquez, & Biagas, 2012). Kecenderungan ini pada umumnya muncul di organisasi yang budayanya
seragam dan umur organisasinya sudah tua sehingga rentan terhadap inersia budaya, yaitu, mereka
enggan untuk mengadopsi budaya yang berbeda dalam menanggapi perubahan lingkungan (Carrillo
& Gromb, 2002).
246
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Jika hal ini terjadi dalam lingkungan yang relatif stabil, maka budaya organisasi yang sudah
terbentuk melalui keberhasilan dan usia organisasi dapat menjadi komponen dari keberhasilan.
Karena udaya organisasi adalah cara yang efektif untuk mengendalikan dan mengkoordinasikan
orang tanpa sistem kontrol resmi rumit dan kaku. Namun ketika dihadapkan dengan perubahan putusputus, maka budaya yang dipupuk atau dibentuk melalui kisah sukses dengan cepat dapat menjadi
hambatan yang signifikan untuk perubahan (Tushman & O’Reilly, 1996).
Untuk perlu memperbaiki budaya organisasi yang sudah ada, hal ini yang paling penting dan
yang paling sulit sebagai bagian dari transformasi organisasi (Tushman & O’Reilly, 1996). Inersia
budaya organisasi adalah suatu fenomena yang seringkali terjadi dengan sendirinya, karena begitu
singkat dan sulit untuk basmi secara langsung. Maka hal itu seringkali digunakan oleh para manajer
sebagai alasan utama yang seringkali gagal memperkenalkan perubahan-bahkan revolusioner ketika
mereka tahu bahwa itu diperlukan.
Untuk itu kami mendifinisikan inersia budaya organisasi adalah kecenderungan dari suatu
organisasi untuk berpegang teguh pada budaya yang telah hidup lebih lama dalam organisasi sebagai
hasil bentukan dari akumulasi kisah sukses yang pernah dicapai. Kebalikan dari inersia budaya adalah
cultural agility organisasi yaitu budaya organisasi yang mengacu pada kemampuan tenaga kerja untuk
beroperasi secara efektif dan berhasil dalam lingkungan lintas budaya yang penuh dengan persaingan
(Mukerjee, 2014).
Penguasaan Teknologi Informasi
Tampak secara jelas bahwa teknologi informasi organisasi memainkan peran penting dalam
membentuk business agility. Kemampuan untuk dengan cepat mengubah jenis dan aliran informasi
dalam sebuah organisasi harus mendasari reorganisasi dengan cepat dan anggun (Baskerville,
Mathiassen, & Pries-Heje, 2005). Memperluas mengenai gagasan tradisional akan kemampuan
organisasi untuk fungsi TI perusahaan, dimana kemampuan TI suatu perusahaan didefinisikan di sini
sebagai kemampuan untuk memobilisasi dan menyebarkan sumber berbasis TI dalam kombinasi
dengan sumber daya dan kemampuan lainnya (Bharadwaj, 2000). Dimana juga diuraikan sumber
daya berbasis TI diklasifikasikan dalam urutan sebagai berikut: (1) sumber daya nyata yang terdiri
dari komponen-komponen infrastruktur TI fisik, (2) sumber daya manusia TI yang terdiri dari
keterampilan teknis dan manajerial TI, dan (3) sumber daya tidak berwujud TI-enabled seperti
sebagai aset pengetahuan, orientasi pelanggan, dan sinergi.
Secara umum perusahaan dikatakan memiliki keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bila
menerapkan strategi tidak secara bersamaan dilaksanakan oleh banyak perusahaan yang bersaing dan
di mana perusahaan-perusahaan lainnya menghadapi kerugian yang signifikan dalam memperoleh
sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan strategi ini. Sebuah perusahaan memiliki
keunggulan kompetitif sementara ketika sedang melaksanakan strategi yang berharga saat dikejar
oleh beberapa perusahaan yang bersaing, tetapi di mana perusahaan-perusahaan yang bersaing tidak
menghadapi kerugian yang signifikan dalam memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk
menerapkan strategi ini. Sebuah perusahaan mengalami paritas kompetitif ketika menerapkan strategi
yang berharga yang bersamaan dilaksanakan oleh beberapa perusahaan yang bersaing. Sebuah
perusahaan adalah pada kerugian kompetitif ketika menerapkan strategi yang tidak berharga (Mata,
Fuerst, & Barney, 1995).
Pada saat perusahaan sedang berjuang untuk berhasil dalam dunia yang tengah mengalami
globalisasi, selera konsumen berubah-ubah dan tumbuh ketidakpastian, ada suatu bentuk pengakuan
yang luas dari para pimpinan perusahaan bahwa teknologi informasi (TI) adalah kunci utama dalam
kemampuan perusahaan untuk mendeteksi dan menanggapi perubahan pasar (Luftman & McLean,
2004). Hal ini juga didukung dengan (V. Sambamurthy, 2003) yang mana dalam model penelitiannya
247
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
menemukan bahwa investasi dalam informasi teknologi dan kemampuan IT memungkinkan
perusahaan untuk mengembangkan pilihan digital dan kelincahan. Juga telah teridentifikasi potensi
TI mempengaruhi kinerja perusahaan melalui kemampuan TI atau sumber daya spesifik perusahaan
yang menciptakan pilihan untuk menanggapi perubahan.
Hasil penelitian empiris yang dilakukan (Lu & Ramamurthy, 2011) memperoleh hasil bahwa
kemampuan TI sangat penting untuk mencapai agility. Sementara jumlah belanja lebih besar di TI
tidak menyebabkan kelincahan yang lebih besar, menghabiskan dana dengan sedemikian banyaknya
bukan merupakan cara untuk meningkatkan dan menumbuhkan kemampuan TI. Disamping itu
perusahaan perlu untuk terus memelihara dan mengembangkan kemampuan sumber daya IT mereka
untuk membangun organisasi yang agile.
Sejalan dengan apa yang telah diteliti oleh (Mata et al., 1995) bahwa suatu sumber daya TI
yang baik itu adalah sumber daya TI yang bernilai (value), langka (rare), tidak dapat ditiru
(imperfectly imitable), dan tidak ada substitusinya (substitutability) dan diperkuat oleh temuan (Lu &
Ramamurthy, 2011) bahwa investasi di peralatan tidak secara signifikan meningkatkan business
agility. Maka pada sumber daya TI yang perlu mendapat perhatian lebih adalah sumber daya manusia
TI dan sumber daya tidak berwujud TI-enabled.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian studi konseptual yang kami lakukan ini merupakan bagian dari
penelitan kami terhadap aplikasi teori bersaing berdasarkan sumber daya pada konsep business
agility. Pada tulisan studi konseptual ini kami ingin menguraikan definisi dan menunjukan
hubungan antara inersia budaya organisasi, penguasaan teknologi informasi dan business
agility. Serta melakuakn studi konseptual terhadap pengaruh yang mungkin timbul antara
inersia budaya organisasi dan penguasaan teknologi informasi dengan konsep business agility.
PENUTUP
Simpulan
Setelah memberikan ringkasan dari tinjauan literatur, kami ingin menambahkan
beberapa pertimbangan singkat dari berbagai aspek yang telah dianalisis. manajemen strategis
melibatkan mendeteksi ancaman yang muncul dan peluang dalam lingkungan, prediksi
dampak tentang masa depan mereka, dan pengembangan respons organisasi. Idealnya, masa
depan dapat diprediksi dengan keyakinan yang cukup untuk membenarkan komitmen untuk
apa saja yang diperlukan oleh rencana aksi yang dihasilkan. Karena lingkungan sangat tidak
menentu dan bergerak cepat dengan banyak potensi ancaman dan peluang, organisasi sering
merasa sulit untuk bereaksi menggunakan pendekatan manajemen strategis konvensional.
Agility mengharuskan perusahaan untuk dapat merespon perubahan tak terduga di pasar
atau persyaratan pelanggan. Hal ini membutuhkan kemampuan lebih dari sekedar fleksibilitas,
di mana tanggapan yang dibuat untuk perubahan yang dikenal dengan prosedur yang telah
ditentukan. Agility adalah konteks yang spesifik di mana kemampuan tergantung pada situasi
248
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
kompetitif sehingga tidak ada model standar dapat digunakan untuk semua perusahaan untuk
mengikuti.
Kami mendefinisikan konsep business agilty yaitu "kemampuan untuk merasakan
perubahan eksternal dan internal yang tidak pasti dan menanggapi secara reaktif, berdasarkan
inovasi proses operasional internal yang melibatkan pelanggan dalam eksplorasi dan
eksploitasi berdasarkan agile mind sebagai memiliki kecepatan, berbagai sumber daya, dan
mampu beradaptasi dengan lingkungan."
Jelas penelitian empiris amat diperlukan untuk mendukung model awal ini, pengukuran
business agility belum dilaporkan dalam literatur, sehingga konstruksi ini juga perlu
pengembangan. Demikian pula dengan konsep inersia budaya organisasi yang kompleks dan
multidimensi, dan konteks-spesifik. Studi empiris perlu dilakukan untuk mengukur variable
tersebut dengan perhatian yang diberikan kepada sifat seperti multidimensi, kehandalan, dan
validitas. Penguasaan teknologi informasi juga perlu dilakukan pengukuran sampai sejauh
mana kedua variable ini mempengaruhi business agility.
DAFTAR PUSTAKA
Ansoff, H. I. (1980). Strategic Issue Management, 1(December 1979), 131–148.
Barney, J. (1986). Organizational Culture: Can It Be a Source of Sustained Competitive Advantage?
Academy of Management Review, 11(3), 656–665.
Barney, J. (1991). Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management,
17(1), 99–120.
Baskerville, R., Mathiassen, L., & Pries-Heje, J. (2005). Agility in fours: IT diffusion, IT
infrastructures, IT development, and business. Business Agility and Information Technology
Diffusion, 53(1), 3–10.
Bharadwaj, A. (2000). A resource-based perspective on information technology capability and firm
performance: an empirical investigation. MIS Quarterly, 24(1), 169–196.
Carrillo, J. D., & Gromb, D. (2002). Cultural Inertia and Uniformity in Organizations, 1–30.
De Long, D. W., & Fahey, L. (2000). Diagnosing cultural barriers to knowledge management.
Academy of Management Perspectives, 14(4), 113–127.
Dong Wang, Zhongfeng Su, Dongtao Yang, Wang, D., Su, Z., Yang, D., … Dongtao Yang. (2011).
Organizational culture and knowledge creation capability. Journal of Knowledge Management,
15(3), 363–373.
Lu, Y., & Ramamurthy, K. R. (2011). U NDERSTANDING THE L INK B ETWEEN I
NFORMATION T ECHNOLOGY C APABILITY AND O RGANIZATIONAL A GILITYβ€―:
A N E MPIRICAL E XAMINATION 1, 35(4), 931–954.
Luftman, J., & McLean, E. R. (2004). Key issues for IT executives. MIS Quarterly Executive, 3(2),
89–104.
Margolis, J., Goode, J., & Bernier, D. (2003). The need for strategic flexibility. Journal of Business
Strategy, 290(12), 74–82.
Mata, F. J., Fuerst, W. L., & Barney, J. B. (1995). Information technology and sustained
competitive advantage’.
Mathiassen, L., & Pries-Heje, J. (2006). Business agility and diffusion of information technology.
European Journal of Information Systems, 15(2), 116–119.
249
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Mukerjee, S. (2014). Agility: a crucial capability for universities in times of disruptive change and
innovation. Australian Universities’ Review, 56(1), 56–60.
Overby, E., Bharadwaj, A., & Sambamurthy, V. (2005). Enterprise agility and the enabling role of
information technology. European Journal of Information Systems, 15(June 2005), 120–131.
Overby, E., Bharadwaj, A., & Sambamurthy, V. (2006). Enterprise agility and the enabling role of
information technology. European Journal of Information Systems, 15(June 2005), 120–131.
Sharifi, H., & Zang, Z. (2001). Agile manufacturing in practice - Application of a methodology.
Journal of Operations & Production Management, 21(5/6), 772–794.
Supnick, M. (1984). On the measurement of shapes. Bulletin of Mathematical Biology, 46(1), 1–10.
Tseng, Y. H., & Lin, C. T. (2011). Enhancing enterprise agility by deploying agile drivers,
capabilities and providers. Information Sciences, 181(17), 3693–3708.
Tushman, M. L., & O’Reilly, C. A. (1996). Ambidextrous organizations: Managing evolutionary
and revolutionary change. California Management Review, 38(4), 8–30.
V. Sambamurthy. (2003). Shaping Agility through Digital Options: Reconceptualizing the Role of
Information Technology in Contemporary Firms. MIS Quarterly, 27(2), 237–263.
van Oosterhout, M., Waarts, E., van Heck, E., & van Hillegersberg, J. (2007). Business Agility:
Need, Readiness, and Alignment with IT Strategies. Agile Information Systems:
Conceptualization, Construction, and Management, 44(0), 52–69.
van Oosterhout, M., Waarts, E., & van Hillegersberg, J. (2006). Change factors requiring agility and
implications for IT. European Journal of Information Systems, 15(2), 132–145.
Yusuf, Y. Y., Sarhadi, M., & Gunasekaran, A. (1999). Agile manufacturing: the drivers, concepts
and attributes. International Journal of Production Economics, 62(1), 33–43.
Zárate, M. A., Shaw, M., Marquez, J. A., & Biagas, D. (2012). Cultural inertia: The effects of
cultural change on intergroup relations and the self-concept. Journal of Experimental Social
Psychology, 48(3), 634–645.
250
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
DISPARITASREGIONAL DAN PERANG HARGA: MELIHAT KE
DALAM INDUSTRI PERLAMPUAN DI INDONESIA
Dominicus Edwinarto
Universitas Bina Nusantara
E-mail: [email protected]
Abstract: In the midst of contemporary business environment, price war have been an inevitable part of
our daily activities. While dynamic strategies have been claimed by many as a vital aspect to achieve
sustainable market position, our economic landscape nevertheless are constantly controlled by a declining
standard in price. Based on recent study in the Indonesian consumer lighting industry, several aspects of
severe price competition have been indicated as the result of regional disparity, where the rate of product
development are disproportionately forced in order to maintain superior market leadership. Using
secondary data and examples from several distribution companies in the consumer lighting industry,
research methodology in this paper are prepared as an analysis result derived from real-time market
observation. In conculsion, this paper was presented as a conceptual argument in using price war as a
leverage to achieve evolutionary business performance that leads to the discovery of new regions of profit.
The resulting method of research have indicate that under severe pressure to survive, the dynamic of price
war could offer new opportunities to grow.
Keywords:Dynamic Strategy, Price War, Regional Disparity, Lighting Industry, Fox-Tail Theory
Abstrak: Di tengah lingkungan bisnis kontemporer, perang harga telah menjadi bagian tak terelakkan dari
kegiatan kita sehari-hari. Sementara dimana strategi dinamis sering diklaim oleh banyak orang sebagai
aspek penting untuk mencapai posisi pasar yang berkelanjutan, lanskap ekonomi kita tetap terus
dikendalikan oleh standar harga yang kian menurun. Berdasarkan penelitian terkini di industri perlampuan
konsumer Indonesia, beberapa aspek persaingan harga yang parah terindikasi sebagai hasil dari
kesenjangan regional, dimana laju pengembangan produk terjadi secara tidak proporsional dan dipaksa
guna mempertahankan kepemimpinan pasar yang superior. Dengan menggunakan data dan contoh-contoh
dari beberapa perusahaan distribusi di industri perlampuan konsumer, metodologi penelitian dalam
makalah ini disusun sebagai hasil analisis yang berasal dari pengamatan nyata di pasar. Dalam konklusinya,
makalah ini disajikan sebagai argumen konseptual untuk menggunakan perang harga sebagai sarana guna
mencapai evolusi kinerja bisnis yang dapat mengarah kepada penemuan sumber keuntungan baru. Metode
yang dihasilkan dari penelitian ini memberikan indikasi bahwa dalam tekanan yang berat untuk bertahan
hidup, dinamika perang harga bisa menawarkan peluang baru untuk tumbuh.
Kata kunci:Strategi Dinamis, Perang Harga, Disparitas Regional, Industri Perlampuan, Teori Ekor Rubah
PENDAHULUAN
Dalam pemahaman yang paling umum, perang harga digambarkan sebagai sebuah
skenario di mana perusahaan-perusahaan berjuang untuk menawarkan harga yang lebih
murah kepada pelanggan mereka (Assael, 1990), dan ini disebut sebagai sebuah periode
di mana harga ditekan dan akhirnya mendorong pesaing lainnya untuk mengikuti langkah
penurunan harga tersebut (Urbany & Dickson, 1991). Menggunakan harga secara terus
menerus sebagai variabel dalam strategi memerlukan perubahan cara pandang dimana
fokus bisnis tidak lagi diarahkan pada konsumen, melainkan pesaing, yang pada awalnya
tidak diinginkan oleh sebagian besar perusahaan (Heil & Helsen, 2001). Dalam dunia
bisnis kontemporer, perang harga telah menjadi kondisi umum di hampir setiap industri
(Rao, Bergen, & Davis, 2000).
Meskipun banyak orang telah mencoba untuk mengatasi masalah perang harga dengan
beberapa dan berbagai pendekatan kreatif, dari sumber-sumber yang telah dikumpulkan
251
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
terbukti bahwa tidak pernah ada solusi tegas dan pasti yang dapat digunakan untuk
menghindari ataupun mengakhiri perang itu sendiri. Beberapa peneliti telah membahas
dan beragumen bahwa jalan terbaik untuk mengakhiri perang tersebut adalah dengan
keluar dari industri dimana konflik harga tersebut terjadi (Van Heerde, Gijsbrechts, &
Pauwels, 2008), sementara beberapa peneliti lain menyarankan untuk berkompetisi
melalui peningkatan kompleksitas strategi non-harga (Rao, Bergen, & Davis, 2000).
Dalam kedua konteks tersebut mau tidak mau dapat dilihat bahwa kasus perang harga
merupakan proses bisnis yang patut diterima dan dimengerti, karena dapat memberikan
hasil yang berat dan dahsyat bagi perusahaan yang terjebak didalamnya. Indikasi
timbulnya perang harga dalam sebuah industri dapat diisyaratkan oleh sensitivitas
pelanggan terhadap aktifitas pembelian mereka dan reaksi mereka terhadap perubahan
hargameski dalam skala paling kecil.
Argumentasi dalam tulisan ini ditujukan untuk memperkenalkan solusi konseptual
baru guna menghindari kondisi perang harga. Diskusi dimulai dengan pembahasan
implikasi perang harga dan hasil komersial yang dihasilkan, dengan menggunakan contoh
dari industri perdagangan produk perlampuan konsumerdi Indonesia. Tinjauan pustaka
juga diambil dari beberapa artikel yang membahas isu harga dan aspek kelayakan
penerimaannya oleh pelanggan. Diskusi kemudian akan disimpulkan dalam bentuk
argumentasi terkait kelayakan standar harga dipasar yang dilihat dengan menggunakan
persepsi konsumen sebagai salah satu cara untuk menciptakan keseimbangan baru dalam
hal harga produk.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam pengertian ekonomi yang paling mendasar, harga merupakan isu sensitif
karena memiliki kemampuan untuk membentuk nilai suatu produk atau jasa. Meskipun
pada awalnya sebuah harga dibentuk dan disiapkan untuk menjadi dasar pergerakan
transaksi dalam sebuah industri, pada kenyataannya tidak ada batasan yang dapat
digunakan untuk membedakan dan menyaring pergerakan informasi antar segmen dalam
sebuah pasar dan bagi konsumen yang menjadi bagian dari pasar tersebut. Pada
akhirnya,informasi yang dipublikasikan dari pertama kali sebuah produk di tawarkan
kepada pelanggan tertentu di pasar tertentu dengan harga tertentu, akan tersebar secara
luas dan nilai penghargaan atas sebuah produk akan terus menurun seiringan dengan
meningkatnya pengetahuan pasar atas produk tersebut. Fenomena ini kemungkinan besar
pasti akan terjadi di setiap industri baik secara bertahap maupun secara agresif, terlepas
dari apapun jenis produk yang diperdagangkan. Jika operasi bisnis saat ini bisa
digambarkan sebagai api yang membakar lanskap ekonomi,saat ini harga dapat
diasumsikan sebagai api kecil yang berkedip tenang namun juga dapat terpicu menjadi
bara api yang mematikan.
Sebelumnya, beberapa penulis telah menyebutkan harga sebagai aspek dari etika dan
implikasinya pada praktek bisnis menjadi bagian penting dari kesejahteraan ekonomi kita
(Elegido, 2009; Schlegelmilch & Öberseder, 2010). Sehubungan dengan isu harga yang
dilihat dari hak seorang konsumen, banyak argumentasi telah dilakukan untuk membahas
arti dari kelayakan sebuah harga, sedangkan sebaliknya bila dilihat dari sisi seorang
penjual, kelayakan sebuah harga patut dibahas dari sisi biaya dan pemulihan atas biaya
tersebut melalui harga yang ditransaksikan. Dilihat dari kedua aspek tersebut, maka
252
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
operasional sebuah bisnis dapat didefinisikan sebagai aktifitas transaksi berkelanjutan
yang menguntungkan semua pihak yang terlibat didalamnya.
Berdasarkan pengertian ini, perbedaan-perbedaan dalam aspek harga dapat
digambarkan melalui sebuah gagasan reservasi yang dilihat dari dua sisi persepsi, yaitu
pembeli dan penjual. Bagi pembeli (konsumen), reservasi atas harga yang dapat mereka
terima diterjemahkan dalam nominal tertinggi yang bersedia mereka korbankan agar
dapat terlibat dalam aktifitas transaksional. Sedangkan untuk penjual, harga reservasi
mereka adalah nominal terendah yang bersedia mereka terima agar dapat terlibat dalam
kegiatan transaksional (Elegido, 2014; Frank, 1988). Meskipun banyak peneliti yang
berpendapat bahwa gagasan reservasi harga adalah hal yang kompleks dan pada
prakteknya tidak dapat dijelaskan secara sederhana, secara umum pengertian ini dapat
memberikan pemahaman dan generalisasi yang cukup memadai untuk mengerti
bagaimana harga berperan sebagai sarana transaksi di dunia bisnis. Namun demikian
standar atas harga tetap tidak bisa ditentukan secara baku, dan tidak ada hukum pasti
untuk dapat menentukan bahwa aspeksebuah harga bisa dianggap layak. Hingga hari ini
masalah kelayakan penerimaan harga tetap mengacu dan mendukung persepsi pembeli
sebagai penentu akhir dari sebuah transaksi. Sementara dimana para penjual diminta
untuk dapat menawarkan harga dalam kondisi layak, usaha mereka untuk mendapatkan
marjin sering dibatasi oleh regulasi yang ditentukan oleh pasar. Konsumen pada
umumnya selalu menyatakan bahwa mereka memiliki hak untuk melakukan transaksi
dengan nilai yang lebih besar dari pengorbanan ekonomi yang mereka berikan, dan pada
akhirnya penjual sering secara terpaksa harus mengorbankan potensi penghasilan mereka
guna memastikan bahwa pengorbanan pelanggan mereka patut dihargai.
Sebagai upaya untuk memberikan jalan tengah atas konsep kelayakan harga, Elegido
menayarankan agar pembenaran atas harga bisa diambil dari konteks standar pasar bebas
(open market) (Elegido, 2014). Proposalnya menyatakan bahwa standar pasar bebas
mendukung gagasan kelayakan harga melalui penerimaan pasar atas harga tertentu
sebuah produk yang dijual secara terbuka. Ketika berbagai pembeli siap untuk
membayarkan harga tertentu dari suatu produk, maka pasar telah memberikan bukti
bahwa harga produk tersebut benar-benar layak (Elegido, 2014). Namun demikian karena
sebuah pasar biasanya terbentuk oleh beberapa pemain kunci, produk-produk (atau jasa)
tertentu, dan area transaksaksi yang spesifik, standar pasar bebas tetap ditentukan secara
subjektif oleh tempat dimana harga tersebut diperoleh.
Salah satu contoh dari hal ini adalah dimana dua produk sejenis bersaing di pasar yang
sama, pengertian kelayakan harga harus dilihat dari pergerakan permintaan dan
dipertanyakan apakah kenaikan atau penurunan harga dari salah satu produk tersebut
memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi permintaan atas produk yang lain.
Demikian pula contoh ini dapat dilihat dan dijelaskan melalui aspek lokasi, dimana dua
wilayah geografis yang berbeda dalam pasar yang sama (katakanlah produk yang sama
di kota yang berbeda) memiliki implikasi yang sama. Dalam hubungannya dengan
pengertian standar etika, standar pasar bebas sebenarnya membatasi para pihak yang
terlibat dalam tansaksi dari kemungkinan-kemungkinan eksploitasi yang dilakukan atas
dasar kerentantan salah satu pihak oleh lawan transaksinya, dan bertujuan untuk
memastikan bahwa kegiatan ekonomi terjadi bukan atas dasar kondisi diskriminasi
tertentu.
Elegido menyarankan bahwa pada saat sebuah harga akhirnya dapat dipertahankan di
pasar bebas, harga tersebut menjadi harga yang layak. Berdasarkan gagasan atas
253
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
kesetaraan transaksional, Elegido mengusulkan bahwa penerimaan atas persamaan antara
harga yang dibayarkan dan keuntungan (benefit) yang diberikan oleh sebuah nilai (value)
harus dikedepankan secara utuh. Meskipun gagasan ini memiliki keterbatasan dan
mungkin tidak disetujui oleh semua peneliti, Elegido juga menyebutkan bahwa transaksi
tetap dapat dinyatakan layak bila sejumlah besar pembeli (dengan jumlah yang cukup
banyak dan memungkinkan penjual untuk dapat mempertahankan bisnis mereka)
bersedia untuk melakukan transaksi dengan sebuah harga tertentu, yang pada akhirnya
berlaku sebagai indikasi bahwa nilai pertukaran atas sebuah produk di sebuah pasar
mendekati standar kelayakan (Elegido, 2014).
Berdasarkan konsep pasar bebas, bisa diasumsikan bahwa aktifitas transaksional
sebenarnya didasari dan ditentukan oleh nilai yang layakditerima oleh pasar sebagai
materi yang ditukarkan atas nilai tertentu sebuah produk. Namun demikian dalam pasar
yang terbatas oleh sejumlah aspek ekonomi, kompetisi transaksional tetap bergantung
pada seberapa banyak penjual bersedia untuk mengorbankan nilai ekonomi yang mereka
tawarkan kepada para pembeli. Oleh karenanya apabila pasar tempat transaksi terjadi
telah terkondisikan (atau bahkan terpelihara) oleh persaingan yang berat dan perang harga
yang berkelanjutan, value sebuah produk yang dijual di pasar tersebut akan terus dibatasi
oleh harga dan tidak akan pernah sepenuhnya dapat mencapai kelayakan nilai dimana
produk tersebut seharusnya terjual. Hal ini pada akhirnya secara tidak langsung akan
mendidik pembeli untuk selalu mendiskreditkan nilai riil dari transaksi ekonomi yang
mereka lakukan.Kondisi persaingan harga yang berat yang berujung pada perang harga
pada akhirnya akan menciptakan kondisi pasar muktahirkarena perhatian pelanggan
terhadap harga meningkat dan menjadi lebih sensitif. Ketika ini terjadi, pembeli akan
lebih banyak melakukan aktifitas perbandingan harga saat berbelanja dan mereka tidak
lagi takut untuk menunda keterlibatan dalam aktifitas transaksi bersama penjual. Dalam
jangka panjang, fenomena ini akan mengurangi laju pergerakan produk dan pada akhirnya
akan memperlambat arus perputaran uang disemua lini industri.
METODE PENELITIAN
Khusus untuk industri yang dibahas sebagai bahan diskusi dalam tulisan ini, tandatanda perang harga dapat dilihat melalui perjuangan para penjual untuk dapat mencairkan
persediaan produk fast-moving mereka dalam periode waktu yang terbatas. Dalam sebuah
industri dimana pasar dilayani dengan pilihan produk yang terbatas dan inovasi yang
perlahan, salah satu aspek penting dari keberlangsungan jangka panjang sebuah bisnis
akan bergantung pada rasio perbandingan atara pembeli dan penjual. Ketika nilai penjual
terbatas (baca: sedikit) dan pembeli tidak (baca: banyak), maka harga dapat digunakan
sebagai alat untuk menciptakan marjin bagi perusahaan sebagai dasar investasi
perkembangan bisnis dikemudian hari. Namun ketika penjual (atau produk) tersedia
dalam kondisi berlebih dan pembeli hanya ada secara terbatas, maka harga hanya dapat
digunakan sebagai alat untuk menciptakan keunggulan kompetitif dan konsep nilai
tambah sebuah produk tidak dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan marjin yang cukup
(dan menguntungkan) bagi perusahaan.
Dengan demikian harga tetap menjadi variabel penting dan kemungkinan timbulnya
perang harga tetap ada karena peningkatan kompetisi akan lebih sering terjadi dimasa
mendatang. Meskipun perang harga akan menambah beban ekonomi, konsep tersebut
254
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
tetap menjadi strategi populer bagi banyak perusahaan yang pada akhirnya menjebak
mereka sendiri dalam belantara rutinitas potongan harga. Bagi mereka yang tidak
berpengalaman, pergerakan harga akan dianggap sebagai ancaman kompetitif dan
berlanjut dengan potongan harga yang lebih besar, yang pada akhirnya akan
mengekskalasi terjadinya perang harga. Saat ini tidak ada jaminan bahwa sebuah segmen
dalam sebuah pasar tertentu akan steril dari bahaya perang harga, dan seperti dijelaskan
sebelumnya, harga tetap menjadi faktor kompetitif penentu yang tersedia sebagai bagian
dari sumber daya (resource) sebuah perusahaan. Paradigma ini mungkin akan sulit untuk
dirubah dimasa yang akan datang bila mengingat bahwa pembeli juga selalu
menggunakan variabel ini sebagai alat penentu keputusan mereka sebelum melakukan
keterlibatan dalam sebuah transaksi. Karena perang harga tampaknya sudah menjadi
fenomena yang populer disetiap tingkat industri, maka penting bagi perusahaan untuk
dapat mengelola sumber daya mereka secara efisien dan efektif untuk bertahan hidup
dalam kondisi perang harga.
Sebagai contoh yang diambil dari industri perlampuan, indikasi perang harga timbul
dari kondisi disparitas (kesenjangan) regional (daerah) penjualan produk, dimana dapat
dilihat bahwa keterbatasan pasar memicu pertumbuhan yang tidak sehat dan berakibat
buruk pada performa penjualan. Khusunya untuk pembahasan dalam makalah ini, ada
enam daerah penelitian dan enam tipe produk dari industri perlampuan yang digunakan
sebagai dasar analisa. Nama daerah tempat sumber data disajikan dalam bentuk nomor 1
sampai dengan 6 atas pertimbangan kerahasiaan. Namun khususnya untuk nama tipe
produk, tetap disajikan sesuai dengan keadaan sesungguhnya.
Perbedaan struktur produk dari setiap daerah dapat dilihat tidak berbeda secara
signifikan, kecuali untuk daerah nomor 3. Secara gambaran dasar, hal ini memberikan
indikasi bahwa produk perlampuan sendiri hanya memiliki beberapa produk dasar yang
dapat digunakan sebagai penyangga tulang punggung aktifitas ekonomi di industri
perlampuan konsumer. Bila dilihat dari segi pertumbuhan penjualan, tanpa adanya produk
nomor 1 (consumer), sebagian besar perusahaan yang bergerak dalam industri ini tidak
akan dapat mempertahankan performa mereka secara terus-menerus. Atas dasar hal
tersebut oleh karenanya, disparitas regional yang terbentuk karena kemampuan daya
serap dan kondisi ekonomi setiap daerah berbeda dan tuntutan pertumbuhan yang tidak
sehat akan mendorong terjadinya perang harga, terutama untuk produk nomor 1.
Kondisi dimana sebuah perusahaan diharuskan untuk dapat bertahan dengan
keterbatasan pilihan produk sebenarnya mungkin saja dilakukan bila perusahaan tersebut
beroperasional dengan dukungan beberapa faktor seperti monopoli dimana pelanggan
tidak memiliki pilihan produk lain ataupun sumber pembelian (supplier) yang cukup.
Namun demikian dapat diketahui bahwa khususnya dalam pasar terbuka, pelanggan dapat
menentukan pilihan pemasok secara bebas tanpa kesulitan yang terlalu signifikan.
Meskipun pada sesungguhnya mungkin banyak dasar penentuan pilihan yang dapat
dipertimbangkan sebelum transaksi terjadi (seperti kualitas produk, pelayanan, dan
hubungan baik), kedua belah pihak biasanya memiliki keterbatasan untuk melakukan
eksplorasi terhadap opsi-opsi non harga tersebut. Pada saat keputusan transaksi harus
dilakukan, pilihan atas pengorbanan ekonomi dari pihak pembeli akhirnya tetap didorong
oleh kesiapan penjual untuk mengorbankan potensi keuntungan mereka melalui skema
harga.
255
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Gambar 1. Perbandingan dari enam daerah dimana produk perlampuan didistribusikan, dengan
indikator enam jenis produk perlampuan yang berbeda
Jika paradigma terhadap harga tersebut tetap tidak berubah dan terus berperan sebagai
aspek kunci dalam industri tertentu, maka variabel tersebut dapat digunakan sebagai
karakteristik khusus bagi sebuah perusahaan untuk dapat mengontrol pergerakan yang
terjadi dipasar tempat mereka beroperasional. Inti dari gagasan ini adalah dengan
membuat gangguan untuk menarik perhatian pesaing dimana setiap tindakan yang
dilakukan menjadi identifikasi sebuah penurunan harga dalam upaya untuk
mempertahankan hidup perusahaan tersebut. Dalam prakteknya, perusahaan bisa
bertindak sebagai rubah, dimana setiap gerakan strategis mereka dilihat oleh para pemain
lain dalam industri yang sama sebagai ancaman, tanpa mempedulikan posisi mereka di
256
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
pasar (baik sebagai market leader ataupun follower). Jika mereka berhasil dan mampu
menangkap perhatian para pesaingnya, harga dapat digunakan sebagai sebuah variabel
untuk mengusir para pesaing agar jatuh dan keluar dari pasar. Namun demikian sebelum
strategi ini dijalankan, beberapa indikator kunci harus terlebih dahulu ditempatkan
sebagai batasan bagi perusahaan untuk menghindari krisis operasional yang berakibat
pada kebangkrutan perusahaan. Dalam praktek sehari-hari, indikator-indikator ini dapat
ditempatkan dengan mengetahui secara persis seberapa besar ukuran pasar, siapa
pelanggan yang paling berpotensi, dan seberapa baik perusahaan dapat bertahan tanpa
kontribusi mereka dalam periode jangka panjang. Setelah titik puncak kinerja penjualan
dan titik penjualan terendah (baca: titik kebangkitan) diketahui, permainan kejarmengejar ini dapat dimulai. Sebagai sebuah strategi, pengetahuan ini adalah inti dari
konsepEkor Rubah(Fox-Tail): menggunakan harga sebagai variabel untuk menangkap
perhatian pasar, menghancurkannya, dan kemudian menyelesaikan permainan melalui
kebangkitan performa dengan penawaran baru – mengevolusikan aktifitas perusahaan
melalui kombinasi sumber daya dan kapabilitas kinerja dinamis (Edwinarto & Pradipto,
2016)..
Gambar 2. Contoh implementasi konsep Ekor Rubah (Fox-Tail)yang digunakan untuk menjebak
pesaing menuju kebangkrutan
Konsep Fox-Tail dapat digunakan sebagai solusi untuk memperoleh kepercayaan pasar
melalui exploitasi portfolio kinerja secara maksimal. Ilusi atas keuntungan yang dapat diperoleh
dari pertumbuhan yang berkelanjutan dapat menghasilkan bencana jika penurunan performa
benar-benar dilihat secara harafiah, terutama bila perusahaan yang bersangkutan tidak memiliki
kekuatan cukup untuk dapat membangkitkan diri mereka kembali kedalam permainan tersebut.
Agar dapat menggunakan konsep ini dengan baik, sebuah perusahaan harus memahami bahwa
perang harga merupakan aspek yang tidak terelakan dari dunia bisnis dan oleh karenanya
beberapa sumber pendapatan (baca: penjualan) sebelumnya harus diidentifikasikan terlebih
dahulu, selagi ketergantungan terhadap produk-produk inti digeser secara bertahap. Setelah
sumber-sumber baru dengan potensi tersebut diidentifikasi, kegiatan-kegiatan kinerja operasional
dan aktifitas perusahaan perlu di tinjau ulang dan di definisikan lagi dengan menambahkan
pengetahuan-pengetahuan baru, untuk memastikan bahwa keterlibatan dalam persaingan harga
257
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
(baca: perang harga) tidak akan menambah luka baru terhadap profitabilitas kinerja jangka
menengah dan panjang.
Seperti yang digambarkan di atas, titk puncak kinerja penjualan dan titik rendah kebangkitan
penjualan ditandai dengan lingkaran merah, dan digunakan di sini sebagai ilusi ukuran sebuah
pasar yang diciptakan melalui peningkatan volume penjualan atas hasil penurunan harga. Sebagai
pelaksana konsep Fox-Tail, perusahaan A menjebak perusahaan B dan C untuk segera mengikuti
jejak yang ditinggalkan sebagai upaya untuk mendapatkan kembali pangsa pasar yang hilang dan
telah direbut oleh perusahaan A.Sementara pada saat yang sama, setelah kedua perusahaan
tersebut terpancing untuk melakukan ekploitasi harga, perusahaan A melambat kinerja mereka
menuju titik kebangkitan. Setelah kinerja Perusahaan B dan C berada di puncaknya, perusahaan
A mulai mendapatkan momentum baru dari sisa hasil kinerja perusahaan B dan C yang mulai
kesulitan karena mereka tanpa sadar telah mengikuti jalan kinerja perusahaan D, yang sejak awal
telah gagal untuk menetapkan posisi pasar dalam kondisi lingkungan yang tergempur oleh perang
harga. Jika perusahaan B dan C gagal untuk mengenali titik kebangkitan mereka dalam waktu
dekat, berkurangnya penjualan mereka akan menunutun kedua perusahaan ini menuju pintu
keluar dari pasar yang mereka geluti, bahkan juga memungkinkan, menuju jurang kebangkrutan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagai sebuah konsep, Fox-Tail adalah sebuah metode untuk terus terlibat dalam permainan
harga dengan bertindak satu langkah dimuka dibandingkan dengan para pesaing. Dalam sebuah
pasar dimana hampir setiap aspek operasional antar perusahaan serupa dan produk yang
ditawarkan telah bergerak menuju sektor komoditas, sangat penting untuk memahami bahwa
sebuah pasar dapat di kapitalisasikan melalui eksploitasi konsumen. Namun demikian sebelum
dapat dilaksanakan, perlu dipahami bahwa sebagai sebuah strategi, Fox-Tail adalah jalan satu
arah dan bagi siapapun yang melaksanakannya diwajibkan untuk mempertaruhkan peluang
mereka agar tetap dapat beroperasional dalam industri mereka, karena dalam pelaksanaannya,
Fox-Tail adalah strategi dengan tujuan penghancuran pasar dalam jangka panjang melalui konflik
harga.
Meskipun menghancurkan, konsep Fox-Tail dapat menjadi alat yang efektif untuk mendorong
mutasi proses operasional bisnis dalam jangka pendek, yang jika digunakan secara efektif, dapat
menghasilkan eksaptasi penjualan progresif jangka menengah dalam kinerja bisnis. Meskipun
sebuah perusahaan mungkin memiliki keterbatasan operasional yang ditetapkan oleh posisi
mereka dalam mata rantai industri itu sendiri, pemetaan ulang pelanggan inti, portofolio produk
inti, dan proses kinerja inti dari bisnis mereka dapat memperkuat ilusi bahwa perusahaan tersebut
sedang kesulitan (baca: mendekati kebangkrutan) akibat ketidakmampuan mereka untuk bersaing
dalam perang harga, dimana sebenarnya mereka sedang menjalankan strategi untuk memikat
pesaing lainnya kedalam jurang kebangkrutan. Apabila berhasil, maka proses kebangkitan bisnis
dapat dimulai melalui penawaran portfolio yang baru, baik dipasar dan kepada pelanggan yang
sama maupun yang didapatkan secara baru.
Karena pada umumnya semua perusahaan senantiasa bergantung kepada harga sebagai
variabel penentu dari elemen pendapatan mereka, segmentasi dan pangsa sebuah pasar biasanya
didefinisikan melalui struktur harga dan telah menjadi indikator paling dasar dari ukuran dan nilai
total sebuah industri. Meskipun secara wajar semua perusahaan memiliki ketergantungan yang
tinggi pada validitas harga yang mereka gunakan dalam penjualan untuk menutupi biaya dan
pengeluaran mereka, sebuah pasar senantiasa menginginkan kepastian kesetaraan harga pada saat
aktifitas transaksi terjadi. Namun demikian gagasan tentang kesetaraan ini tetap dapat
diperdebatkan bila kita melakukan pembahasan dari segi utilitas (kegunaan) sebuah produk,
terutama pada saat transaksi terjadi di pasar terbuka. Saat seorang konsumen mendapatkan sebuah
produk dari sebuah pasar terbuka dengan struktur harga yang tervalidasi oleh anggota pasar
tersebut (baik penjual maupun pembeli lainnya), nilai kegunaan produk tersebut seutuhnya
258
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
menjadi milik pelanggan yang telah memilih untuk terlibat dalam transaksi yang dimediasi
dengan sebuah harga tertentu.
Gambar 3. Tingkat pengaruh produk ke pasar dan sebaliknya
Salah satu aspek pasar terbuka yang wajib untuk diingat adalah bahwa istilah tersebut
digunakan sebagai sebuah penjelasan ekspresif tempat sekelompok pelanggan dikelompokan, dan
bukan sebagai diskripsi sebuah industri secara keseluruhan. Sehubungan dengan industri
perlampuan yang sedang dibahas dalam makalah ini, produk yang sama bisa dijual kepada
pelanggan dari segmen pasar yang berbeda (dan dalam hal ini mereka semua tetap dapat disebut
sebagai bagian dari pasar terbuka), dengan struktur harga yang berbeda. Namun demikian
penyimpangan harga tetap dapat menghasilkan dampak buruk di segmen pasar yang berbeda,
karena setiap pelanggan tetap memiliki kepentingan dan keinginan yang berbeda sesuai dengan
informasi yang mereka terima dan pahami. Seorang pelanggan yang termasuk dalam segmen
eksklusif biasanya jauh lebih sensitif terhadap manfaat dan nilai sebuah produk yang mereka
(akan) gunakan, sehingga produk tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar kepada pelanggan
dan preferensi mereka. Ketika dihadapkan dengan jenis pelanggan seperti ini, setiap informasi
yang diberikan kepada mereka terkait kegunaan sebuah produk akan menjadi faktor penentu
dalam sebuah aktifitas transaksi ekonomi. Sebaliknya ketika seorang pelanggan melakukan bisnis
mereka di segmen pasar bagian bawah (baca: pasar komoditi), preferensi atas informasi yang
mereka terima tidak lagi dipengaruhi oleh kegunaan sebuah produk, melainkan oleh pergerakan
pasar (baca: harga), dimana nilai riil kegunaan sebuah produk tidak akan lagi dapat digunakan
untuk menaikan posisi kompetitif dari sisi penjual.
PENUTUP
Pada penerapannya, meskipun standar yang ditetapkan oleh pasar terbuka bisa dianggap
sebagai salah satu cara untuk memastikan kelayakan harga, hal tersebut tetap dianggap membatasi
keunggulan kompetitif dan kreatifitas pihak penjual, karena penilaian terhadap kinerja mereka
hanya bisa direpresentasikan melalui hasil kinerja pasar tempat dimana mereka melakukan
aktifitas. Saat ini bisnis dan segmentasi pasar telah menjadi sangat rumit sehingga istilah pasar
terbuka tidak lagi bisa digunakan sebagai dasar kelayakan harga yang tetap untuk semua
pelanggan. Sementara pasar senantiasa mengharuskan para penjual untuk terus menawarkan
keunggulan kompetitif, tidak semua penjual memiliki sumber daya dan kapabilitas dinamika yang
cukup untuk menghasilkan keunggulan tersebut.
259
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Dalam tekanan yang sangat berat, perusahaan-perusahaan ini biasaya memaksakan diri
mereka sendiri untuk menyediakan keunggulan tersebut melalui harga secara terus-menerus.
Pembahasan konsep Fox-Tail disini disajikan sebagai salah satu cara kreatif untuk dapat
menaklukan dan mempengaruhi standar harga pasar melalui penghancuran pasar. Karena
kelangsungan sebuah bisnis bergantung pada pendapatan dan pendapatan bergantung pada harga,
kapitalisasi sebuah standar di pasar akan menjadi panduan kelangsungan hidup yang
berkesinambungan dari semua penjual. Tidak semua hilang pada saat pasar memaksa kita untuk
bertekuk lutut dan menyerah pada keadaan.
Contoh yang digunakan dalam makalah ini diambil atas dasar analisa perbandingan data
penjualan guna mengetahui penyebab terjadinya perang harga di industri perlampuan konsumer.
Saat ini indikasi sumber masalah terlihat dari adanya disparitas regional yang (mungkin) tidak
sama dari segi sosial ekonomi dan pembangunan, sehingga dalam proses bisnis kontemporer yang
membutuhkan kesamaan persepsi atas persaingan tidak terwujud. Dalam praktek penentuan harga
sayangnya, perbedaan yang terjadi menimbulkan lebih banyak masalah dari segi standarisasi
harga sehingga pelanggan hanya bisa mengandalkan kelayakan harga melalui standar pasar
terbuka yang mungkin sebenarnya tidak perlu terpengaruh oleh kesenjangan daerah, selama
semua perusahaan menjaga stabilitas harga di daerah mereka masing-masing.
Simpulan
Meskipun konsep Fox-Tail yang disajikan dalam makalah ini dapat digunakan sebagai alat
untuk mengontrol harga di pasar terbuka, tidak ada jaminan bahwa perusahaan-perusahaan yang
terlibat dalam proses pelaksanaannya akan mampu untuk memanfaatkan kekacauan harga yang
diciptakan tanpa kehadiran inovasi kinerja dalam kegiatan operasional mereka. Bahkan dalam
batas-batas etika, konsep Fox-Tail patut diperdebatkan karena merupakan sebuah konsep
penghancuran dan pemusnahan pasar, dan mungkin tidak sesuai untuk perusahaan yang tidak
memiliki kapabilitas dinamis dan sumber daya yang cukup untuk dapat menggunakan perang
harga sebagai pemicu inovasi. Singkatnya, meskipun konsep Fox-Tail menawarkansalah satu
solusi untuk dapat mengendalikan harga di pasar terbuka melalui kepemimpinan harga dalam
perang harga, risiko yang dihasilkan tetap menjadi pertaruhan yang berbahaya bagi perusahaan
yang memutuskan untuk menggunakan strategi ini bila mereka menjalankannya dengan terburuburu dan tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan batas eksploitasi harga.
Dalam pelaksanaanya, hasil konsep Fox-Tail dapat diperdebatkan dan tetap menjadi bahan
untuk dikritik. Patut diakui bahwa strategi ini sangat tragis bagi perusahaan yang memiliki
keterbatasan sumber daya dan kapabilitasinovasi yang terbatas, karena sebagai sebuah konsep,
Fox-Tail hanya dapat dilaksanakan jika sebuah perusahaan memiliki pengetahuan yang cukup
mendalam agar dapat memanfaatkan dan mengekploitasi penawaran transaksi mereka kepada
pelanggan di pasar yang mereka layani. Namun demikian perlu di pahami bahwa persaingan dan
kompetisi telah selalu menjadi bagian dari bisnis dan dalam pengertian tertentu konsep ini bisa
secara murni dilihat sebagai bagian dari upaya sebuah perusahaan untuk menciptakan keunggulan
kompetitif tertentu.
Perlu juga diingat bahwa dalam sebuah kegiatan transaksi, tidak ada posisi yang pasti dan
tetap di mana penjual akan tetap bertindak sebagai seorang penjual dan pelanggan akan tetap
bertindak sebagai seorang pelanggan. Kedua belah pihak dalam hal ini adalah bagian dari pasar
dan secara tidak langsung tetap akan tunduk pada standar harga pasar terbuka. Ide ini pada
akhirnya,menyarankan agar semua pihak yang terlibat dalam sebuah industri untuk dapat
menyadari posisi sumber daya dan batas kapabilitas dinamis mereka untuk dapat bertahan hidup
didalam persaingan pasar. Karena konsep ini saat ini baru dijalankan dengan skala kecil dalam
industri perdagangan tradisional perlampuan di Indonesia, penelitian dan observasi lebih lanjut di
260
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
industri lainnya harus dilakukan sebelum konsep ini benar-benar dapat dinyatakan
memungkinkan untuk dapat dieksekusi secara operasional.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan penelitian ini secara umum dapat dilihat dari skala, segmen, dan tipe industri
yang dijadikan bahan pembahasan. Penelitian ini dilakukan dan dibatasi hanya pada segmen
perdagangan tradisional (informal) perlampuan konsumer, dan hanya dengan menggunakan
analisa perbandingan data dari enam daerah yang dipilih berdasarkan tren distribusi dan
penyerapan produk di masing-masing daerah tersebut. Meskipun pada prakteknya aktifitas
perdagangan informal memiliki kecenderungan proses bisnis yang sama, ada kemungkinan
bahwa perang harga terjadi bukan diakibatkan oleh disparitas regional, melainkan faktor lainnya,
seperti tipe produk, tipe pelanggan, dan persaingan antar merk.
Saran
Penelitian lebih lanjut dapat dilakukan dengan menggunakan data-data dari segmen industri
yang berbeda (selain perdagangan tradisional), dan data-data dari jenis produk dan industri yang
berbeda dari segmen industri perdagangan tradisional (seperti makanan, minuman, atau bahan
bangunan). Apabila diperluas secara skala, maka analisa secara menyeluruh dalam tingkat
nasional juga dapat diteliti guna menemukan sumber solusi terkait permasalahan perang harga
yang diakibatkan oleh disparitas regional. Pada dasarnya konsep Fox-Tail dikembangkan dari
sudut pandang kompetisi yang terbatas, dimana hal tersebut berarti industri tempat dimana
penelitian ini dilakukan, hanya dikontrol oleh pesaing yang terbatas. Ada kemungkinan bahwa
pada prakteknya, konsep Fox-Tail belum tentu cocok bila digunakan pada industri riil yang tidak
memiliki standarisasi pasar terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Assael, H. (1990). Marketing Principles and Strategy. Orlando: Dryden Press Int.
Edwinarto, D., & Pradipto, Y. D. (2016). Price Wars and Fox Tail Theory in Indonesia.
International Conference on Education for Economics, Business, and Finance
(ICEEBF), (pp. 207–217).
Elegido, J. M. (2014). The Just Price as the Price Obtainable in an Open Market. J. Bus.
Ethics, vol. 130, no. 3 , 557–572.
Elegido, J. M. (2009). The just price: Three insights from the Salamanca School. J. Bus.
Ethics, vol. 90, no. 1 , 29–46.
Frank, R. H. (1988). Passions Within Reason: The Strategic Role of the Emotions. New
York: W. W. Norton & Company.
Heil, O. P., & Helsen, K. (2001). Toward an understanding of price wars: Their nature
and how they erupt. Int. J. Res. Mark., vol. 18, no. 1–2 , 83–98.
Rao, A. R., Bergen, M., & Davis, S. (2000). How to Fight a Price War. Harv. Bus. Rev.,
vol. March-April, no. 78 , 107–116.
Schlegelmilch, B. B., & Öberseder, M. (2010). Half a century of marketing ethics:
Shifting perspectives and emerging trends. J. Bus. Ethics, vol. 93, no. 1 , 1–19.
Urbany, J. E., & Dickson, P. R. (1991). Competitive price-cutting momentum and
pricing reactions. Mark. Lett., vol. 2, no. 4 , 393-402.
Van Heerde, H. J., Gijsbrechts, E., & Pauwels, K. (2008). Winners and Losers in a
Major Price War. J. Mark. Res., vol. 45, no. 5 , 499–518.
261
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
NAVIGASI DAYA SAING RUMAH PRODUKSI FILM NASIONAL
DENGAN PENINGKATAN KAPABILITAS KAPABILITAS DINAMIS
Gion Darwis
Universitas Bina Nusantara
E-mail: [email protected]
Abstract: This study will investigate the strategic management aspect of cultural industries. Indonesian film market
has experienced a significant fluctuation in the last 5 years where the market is still being dominated by Hollywood
films. Some of the Indonesian blockbusters can achieve box office standard with 1 million viewers and above, but
most of the local films are basically at loss. The environmental uncertainty in the industry constituted of
government regulation, exhibitor availability and access to finance are apparent and constraining the
sustainability of the industry players. There is no significant government regulation to protect the local film and
worsened by the monopolistic behavior of 21 Cineplex Group as the exhibitor who solely control the number of
screens available for the local films. The high initial capital required to produce a movie also creates low
reproduction rate if there is high barriers to financial institutions. Hence, dynamic capabilities of Indonesian
production houses will become the key attribute in achieving competitive advantage in a current competitive
environment.The aim of this paper is to examine the literature review and conceptual framework model to show
that dynamic capability should be the main focus to battle the environmental uncertainty occurring in the industry.
In addition, this research will benefit academic society in terms of enhancing dynamic capabilities theorem as well
as variables of environmental uncertainty especially in the area of cultural industries.
Keywords: Indonesian film production houses, Perceived environmental uncertainty, dynamic capabilities, Firm
Performance
Abstrak: Penelitian ini akan menyelidiki aspek manajemen strategis dari industri budaya. Pasar film Indonesia
telah mengalami fluktuasi yang signifikan dalam 5 tahun terakhir di mana pasar masih didominasi oleh film-film
Hollywood. Beberapa blockbuster Indonesia dapat mencapai standar box office dengan 1 juta penontonke atas,
tetapi sebagian besar film-film lokal pada dasarnya mengalami kerugian. Perceived environmental uncertainty
dalam industri meliputi peraturan pemerintah, ketersediaan layar bioskop dan akses ke keuangan yang jelas
membatasi keberlanjutan pelaku industri. Tidak ada peraturan pemerintah yang signifikan untuk melindungi film
lokal dan diperparah oleh perilaku monopoli dari 21 Cineplex Group sebagai penyedia layar bioskopyang mampu
mengatur jumlah layar yang tersedia untuk film-film lokal. Modal awal yang tinggi diperlukan untuk menghasilkan
film juga menciptakan tingkat reproduksi yang rendah jika ada hambatan tinggi untuk mendapatkan bantuan dari
lembaga keuangan. Oleh karena itu, kapabilitias dinamis dari rumah produksi Indonesia akan menjadi atribut kunci
dalam mencapai keunggulan kompetitif dalam lingkungan yang kompetitif saat ini. Tujuan dari makalah ini adalah
untuk menguji tinjauan literatur dan model kerangka konseptual untuk menunjukkan bahwa kapabilitas dinamis
harus menjadi fokus utama untuk memerangi perceived environmental uncertainty yang terjadi di industri. Selain
itu, penelitian ini akan bermanfaat bagi masyarakat akademik dalam hal meningkatkan teori kapabilitas dinamis
serta variabel perceived environmental uncertainty terutama di bidang industri budaya.
Kata kunci: Rumah produksi film Indonesia, perceived environmental uncertainty yang dirasakan, kapabilitas
dinamis, Kinerja Perusahaan
PENDAHULUAN
Bisnis hiburan dan industri budaya khususnya film di Indonesia dimulai tahun 1926. Istilah ini
menunjukkan industri yang menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai simbolik tinggi dari
penggunaan praktis mereka karena mereka adalah sumber informasi, apresiasi seni dan hiburan
(Scott, 1999). Film pertama yang pernah diproduksi di Indonesia adalah film bisu hitam putih
berjudul 'Loetoeng Kasaroeng' yang diproduksi oleh perusahaan film milik Belanda. Sejak itu, bisnis
hiburan dan industri budaya telah berevolusi perlahan-lahan dan mencapai masa jayanya sekitar 7080an (Kristanto & Ardan, 2007). Seiring dengan perkembangannya, bisnis teater berkembang. Hal
ini mengakibatkan pertumbuhan distributor yang mengimpor film asing. Peraturan industri dan
262
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
pemerintah yang baru untuk industri film, sehingga dalam bisnis film di Indonesia telah tenggelam
dengan kedatangan film asing.
2016 telah menjadi tahun yang besar dari industri film nasional Indonesia. Lebih dari 6 film telah
mencapai rekor box office atau memiliki pemirsa lebih dari 1 juta yaitu: Ada Apa Dengan Cinta 2,
Warkop DKI Reborn, London Love Story, Comic 8, Hangout, Cek Toko Sebelah, Kuala Komal, Rudi
Habibi. Bahkan, yang paling menguntungkan dan film terlaris sepanjang masa dengan penghasilan
bruto tertinggi sepanjang masa industri perfilman nasional adalah "Warkop DKI Reborn" yang
ditampilkan di 2016. Gambar 1.1 menunjukan perolehan beberapa blockbuster di awal tahun 2016
dan terlihat bahwa industri film yang dalam tren penurunan 5 tahun terakhir kini menghadapi masa
depan yang cerah dan pelaku industri sangat optimis untuk membuat film yang lebih baik untuk
mempertahankan gerakan ini dan mengantisipasi pertumbuhan. Ketidakpastian lingkungan yang
dirasakan dalam industri meliputi peraturan pemerintah, ketersediaan layar bioskop dan akses ke
keuangan yang jelas membatasi keberlanjutan pelaku industri (Film Indonesia, 2016). Tidak ada
peraturan pemerintah yang signifikan untuk melindungi film lokal dan diperparah oleh perilaku
monopoli dari 21 Cineplex Group sebagai penyedia layar bioskop yang mampu mengatur jumlah
layar yang tersedia untuk film-film lokal. Modal awal yang tinggi diperlukan untuk menghasilkan
film juga menciptakan tingkat reproduksi yang rendah jika ada hambatan tinggi untuk mendapatkan
bantuan dari lembaga keuangan. Namun, penelitian ini akan menggunakan context moderasi dari
variabel ketidak pastian lingkungan yang dirasakan (Perceived Environmental Uncertainty) oleh para
rumah produksi film.Oleh karena itu, kapabilitias dinamis dari rumah produksi Indonesia akan
menjadi atribut kunci dalam meningkatkan kinerja perusahaan dalam lingkungan yang kompetitif saat
ini. Tetapi perlu diketahui apakah perceived environment bagi rumah produksi film nasional dan
seberapa besar variable ini mempengaruhi kapabilitas dinamis dalam meningkatkan kinerja
perusahaan.
Menurut referensi (Kaplan, 2011), bisnis telah memasuki era baru hiperkompetisi, pergeseran
dramatis dari yang bergerak lambat seperti oligopoli atau stabil untuk lingkungan yang rumit menjadi
tak terduga di mana keunggulan kompetitif tidak lagi berkelanjutan dalam jangka panjang. Fakta ini
sangat relevan untuk industri perfilman nasional. Produksi film nasional yang sangat banyak dengan
kualitas yang tidak menentu membentuk lingkungan usaha yang rumit dikarenakan hilangnya
kepercayaan penonton film nasional atas kualitas film yang layak dan bagus secara umum.
Keuntungan, sebaliknya, terus dibuat, terkikis, dihancurkan dan diciptakan melalui manuver strategis
dengan konten film baru (Kristanto & Ardan, 2007). Oleh karena itu, rumah produksi indonesia
semakin memiliki sejumlah alasan untuk merangkul teori kapabilitas dinamis sebagai strategi utama:
didefinisikan sebagai orientasi perilaku perusahaan untuk terus mengintegrasikan, mengkonfigurasi
ulang, memperbaharui, mengatur ulang dan menciptakan kembali sumber daya internal dan eksternal
dan kapabilitas, dan yang paling penting, meningkatkan dan merekonstruksi kapabilitas operasional
dalam menanggapi lingkungan pasar yang dinamis dan cepat bergeser untuk mencapai dan
mempertahankan keunggulan kompetitif (Teece, 2007). Kapabilitas tersebut memungkinkan rumah
produksi nasional untuk beradaptasi dengan lingkungan bisnis yang rumit. Untuk rumah produksi
nasional baru, referensi (Zahra & Covin, 1993) menyimpulkan bahwa kapabilitas dinamis dalam
usaha baru dan perusahaan yang didirikan berbeda. Referensi (Gao, 2015) juga digunakan untuk
perspektif kapabilitas dinamis pada awal fase kewirausahaan. Oleh karena itu, teori kapabilitas
dinamis dapat menjelaskan bagaimana usaha baru membuat, menentukan, menemukan, dan
memanfaatkan peluang kewirausahaan di lingkungan eksternal yang kompleks dan bergejolak dalam
mencari sumber daya yang tepat dan kebutuhan pasar. Banyak peneliti telah melakukan penelitian
263
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
dengan teori kapabilitas dinamis dari perspektif seperti definisi, faktor yang berpengaruh, dan
mekanisme pembangunan kapabilitas dinamis (Teece, 2007; Teece, Pisano, & Shuen, 2008).
Meskipun mereka percaya bahwa kapabilitas dinamis yang berhubungan positif dengan kinerja,
sampai saat ini, penelitian belum memberikan penjelasan menarik tentang pengaruh dinamika
lingkungan pada hubungan antara kapabilitas dinamis dan kinerja usaha terutama di lingkungan
perusahaan rumah produksi film nasional. Perceived environmental uncertainty usaha dalam
penelitian ini meliputi susahnya pendanaan untuk produksi film, keterbatasan layar bioskop serta
peraturan pemerintah yang cenderung tidak menguntungkan film film lokal dari segi keharusan
pemberian layar oleh pihak bioskop. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk mengeksplorasi
efek moderasi potensial ketidak pastian lingkungan pada hubungan antara kapabilitas dinamis dan
kinerja usaha.
Gambar 1.1. 10 Film Terlaris Selama Kuartal Pertama 2016
TINJAUAN PUSTAKA
Industri Budaya
Industri budaya yang ditandai dengan derajat kreativitas yang tinggi dalam proses produksi dan
distribusi mereka (Chen & Jaw, 2009). Meskipun banyak industri budaya sangat bergantung pada
kreativitas dan inovasi sebagai kompetensi inti mereka, kesulitan untuk mempertahankan kompetensi
adalah hal paling membedakan untuk jenis industri perfilman dengan industri lain. Tulisan ini
didasarkan pada konsep bahwa industri budaya meliputi pelaku ekonomi yang terlibat dalam produksi
barang dan jasa yang nilainya terutama atau ditentukan oleh estetika mereka, semiotik, sensorik, atau
konten pengalaman khususnya rumah produksi film nasional. Dalam tulisan ini, perspektif
diasumsikan oleh referensi (Morawetz, 2009) bahwa dinamika utama dalam industri budaya adalah:
264
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
tingkat resiko yang tinggi dapat ditemukan di industri budaya; biaya produksi yang tinggi dan biaya
reproduksi yang rendah, kelangkaan buatan, format dan longgar / kontrol ketat produksi dan sirkulasi.
Meskipun semua perubahan dalam 20 tahun terakhir, termasuk ekspansi besar-besaran dari industri
budaya, dan meningkatkan pentingnya mereka dalam kehidupan sosial dan ekonomi, bisnis budaya
masih harus mengelola permasalahan di atas, yang berasal dari kesulitan mengelola kreativitas dan
informasi sebagai sumber utama kinerja perusahaan dalam membuat produk (Fulton, Fulton, &
Garsombke, 2015). Digitalisasi telah menciptakan pasar baru yang memicu permintaan untuk produk
elektronik dan jasadan salah satu efek yang paling mencolok dari proses tersebut adalah bahwa ini
telah meningkatkan permintaan untuk konten baru (Randle & Dodourova, 2010).Konten budaya
dapat dibuat dari berbagai sumber yang berbeda dan aset budaya dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Akibatnya, produksi budaya dapat dilihat sebagai mitra yang penuh penelitian dan pengembangan
teknologi ilmiah dalam menempa ekonomi berbasis pengetahuan. Referensi (Chen & Jaw, 2009)
menggambarkan perubahan mendasar dari industri budaya yang ber transformasi berkaitan dengan
dinamika eksplorasi pengetahuan dan nilai digital lokal dan global. Perusahaan sosial media dan websharing based seperti youtube membuat permintaan akan konten film yang baru. Perubahan mendasar
dari perubahan permintaan dari pasar adalah ketidak pastian untuk rumah produksi dimana membuat
film dengan biaya yang mahal sudah tidak bisa menjadi jaminan bahwa film tersebut akan sukses.
Konten konten digital yang di filmkan bisa menjadi opsi baru yang mungkin bisa memberikan kinerja
positif bagi perusahaan. Referensi (Randle & Dodourova, 2010) berargumen bahwa ekonomi
pengetahuan dapat dibangun dengan berfokus pada nilai yang diberikan oleh aset budaya dalam
mengembangkan konten untuk kegiatan media yang muncul yang menghubungkan dengan
konvergensi digital. Jadi, bukan berurusan dengan organisasi yang padat modal atau pengetahuan,
manajer harus beradaptasi dengan bentuk baru dari organisasi, yaitu sebuah organisasi yang intensif
melambangkan keragaman, yang ditandai dengan kebutuhan untuk mengelola proses penciptaan
simbol dan inovasi yang berkelanjutan terkait dengan produksi budaya.
Pandangan Berbasis Sumber Daya (Resource-Based View)
Pandangan berbasis sumber daya (RBV) terakreditasi dari Penrose yang menyarankan pada tahun
1959 bahwa pembangunan berkelanjutan didasarkan pada karakteristik internal organisasi. Kemudian
referensi (Barney & Zhang, 2009) mendalilkan gagasan penghalang posisi sumber daya, yang
merupakan gagasan bahwa keunggulan kompetitif yang berkelanjutan berasal dari sumber suatu
perusahaan yang unik. RBV telah menjadi kehadiran konstan signifikan di perusahaan perusahaan
selama pengembangan strategi organisasi. RBV adalah teori yang memiliki berbagai aplikasi dan
karena itu mendefinisikan itu justru sangat sulit. Mirip dengan konsep spektrum luas, deskripsi yang
tepat dari penerapannya bisa menunjukkan aplikasi latennya. RBV menegaskan bahwa lebih penting
untuk berkonsentrasi pada penciptaan sumber daya utama yang berkelanjutan dan bukan
menyesuaikan operasi terus-menerus untuk beradaptasi dengan ketidak pastian lingkungan yang
berubah. Ini bisa menjadi tolak ukur lebih diandalkan untuk kemajuan dari tanggapan terhadap
lingkungan eksternal (Ramilo & Embi, 2014). Referensi (Barreto, 2010) menyebutkan bahwauntuk
sumber daya kunci untuk menjadi berharga dalam hal strategi mereka harus memiliki keunikan yang
cukup rumit dan tidak bisa dimitasi (tacit knowledge); sumber daya yang terbatas dan tidak bisa untuk
dikumpulkan dalam kurun waktu singkat. Untuk menjadi dasar utama keunggulan kompetitif
berkelanjutan, sumber daya harus langka, berharga, non-disubstitusikan, dan tidak bisa diduplikasi
(imitable) (Barreto, 2010). Memiliki sifat-sifat ini menunjukan bahwa sulit untuk kompetensi RBV
(pandangan berbasis sumber daya) dari perusahaan mengacu pada pendekatan yang terlihat pada
kinerja dan strategi sebagai hal yang dipengaruhi oleh kontrol sumber daya dalam organisasi - aset
teknologi dan informasi yang memiliki kemampuan untuk membantu bisnis memperluas keunggulan
265
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
kompetitif yang berkelanjutan. Berbagai peneliti seperti referensi (Barney & Zhang, 2009) dan
(Wiklund & Shepherd, 2003) telah secara empiris mendukung RBV dengan menyatakan bahwa ada
kebutuhan untuk membangun kapabilitas dinamis yang sama dengan kompetensi inti karena kondisi
pasar yang fluktuatif dan tekanan terhadap perusahaan. Dalam keadaan seperti itu, dengan memiliki
sumber daya sendiri yang unik, sebuah perusahaan kemungkinan mengubah keseimbangan kegagalan
atau keberhasilan untuk keuntungan perusahaan.
Barney berpendapat dengan mengklaim bahwa keunggulan kompetitif yang berkelanjutan muncul
ketika tidak ada saingan yang dapat melakukan duplikasi secara berhasil apa yang perusahaan dapat
menyediakan. Ini menunjukkan heterogenitas bukannya keadaan di mana sumber daya ini seragam
dan bergerak sehingga apa yang dapat dicapai oleh satu organisasi dapat dicapai oleh organisasi lain.
Alasannya adalah bahwa hambatan untuk masuk dalam persaingan kenyataannya ada di mana sumber
daya bervariasi dan mobilitas yang tidak sempurna sehingga keunggulan kompetitif berkelanjutan
bisa dicapai hanya oleh organisasi dengan penggunaan sumber daya tertentu oleh bisnis tertentu
(Hoskisson & Hitt, 1999). Dalam pandangan berbasis sumber daya perusahaan, perbedaan dalam
batas-batas sempit dari kelompok dalam suatu industri telah dicatat di samping perbedaan antara
perusahaan di pasar yang sama. Referensi (Weerawardena & Mavondo, 2011) mendukung argumen
tentang dampak sumber daya yang spesifik untuk sebuah organisasi pada kinerja dan mencatat bahwa
kepemilikan sumber daya tertentu adalah kritis dan penting bagi pencapaian perusahaan dan
pelestarian keunggulan kompetitif yang berkelanjutan.
Ketidakpastian Lingkungan yang Dirasakan (Perceived Environmental Uncertainty)
Lingkungan di mana perusahaan beroperasi sangat penting untuk keberhasilannya. Ini menghasilkan
ancaman dan peluang untuk bisnis. Lingkungan mempengaruhi proses, struktur organisasi, dan
pengambilan keputusan eksekutif (Gergely, 2016). Ini menghasilkan ketidakpastian bagi perusahaan
dan itu manajemen yang pada gilirannya mempengaruhi pengolahan informasi kebutuhan dalam tim
manajemen tingkat atas khususnya di kalangan UKM di negara-negara berkembang. Lingkungan
bisnis yang dirasakan umumnya dibagi menjadi tiga kategori yaitu munificence, dynamism and
complexity. Munificence di lingkungan mengacu pada kemampuan lingkungan untuk menyediakan
sumber daya yang memadai untuk organisasi bersaing di dalamnya. kompleksitas lingkungan
menunjukkan tingkat pemahaman lingkungan sementara dinamika lingkungan mengacu pada sifat
tak terduga dan tingkat perubahan dalam lingkungan (Kaplan, 2011). Dinamisme juga dapat melihat
melalui perspektif perubahan konstan. Di bawah sudut pandang ketidakpastian informasi,
meningkatkan tingkat lingkungan akan mengakibatkan ketidakpastian yang lebih besar. Oleh karena
itu, dinamika lingkungan bisa dikatakan berkorelasi dengan tingkat prediktabilitas (Li & Liu, 2014).
Munificence dalam lingkungan menunjukkan kemampuan lingkungan hidup untuk memungkinkan
stabilitas dan pertumbuhan organisasi. Munificence dapat memfasilitasi juga produksi sumber daya
berlebihan atau slack output dan bahwa perusahaan dapat memanfaatkan saat-saat kekurangan.
Sumber daya slack ini juga dapat digunakan untuk memfasilitasi inovasi dalam suatu organisasi
(Dibrell, Craig, & Dibrell, 2006). Lingkungan pasar yang kejam diwujudkan oleh persaingan kejam
dan tidak adanya peluang yang dapat dimanfaatkan, sementara lingkungan pasar yang dinamis yang
dicontohkan oleh kemajuan pesat dalam teknologi dan perubahan yang cepat dalam preferensi
konsumen yang dikenal memiliki dampak besar pada kinerja bisnis (Teece, Pisano, & Shuen, 2008).
Dinamisme lingkungan dalam bahasa sehari-hari mengacu pada aspek tak terduga dari tren pasar,
permintaan pelanggan, inovasi industri dan kompetensi pesaing. Ketika peluang berlimpah dalam
266
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
lingkungan yang dinamis, orientasi wirausaha (Entrepreneurial Orientation) dapat memfasilitasi
kegiatan pre-emptif dan proaktif yang mengarah ke peningkatan kinerja dan keberhasilan yang lebih
berkelanjutan. Lingkungan yang dikatakan dinamis diwujudkan oleh ketidakpastian dan perubahan
terus-menerus bisa menjadi sumber banyak kesempatan (Alon, Jiao, Kwong, & Cui, 2013). Area
ditandai dengan lingkungan yang dinamis, pertumbuhan pengalaman dalam industri, kemajuan
teknologi, perubahan kebutuhan konsumen, dan permintaan tinggi untuk barang dan jasa yang baru.
Ini bermanifestasi sebagai peluang bagi rumah produksi film nasional. Oleh karena itu, dalam upaya
untuk memanfaatkan peluang ini, bisnis menjadi lebih kreatif, mengembangkan strategi yang
inovatif, menjadi lebih proaktif, dan mengambil lebih banyak risiko ketika mengembangkan orientasi
kewirausahaan yang mengarah ke peningkatan kinerja (Gathungu, 2014).
Lingkungan yang tidak bersahabat (hostile) menghasilkan ancaman terhadap organisasi, baik melalui
penurunan permintaan atau meningkat persaingan. Sebuah bisnis harus karena itu menjadi lebih aktif
untuk mengalahkan para pesaingnya dengan menjadi inovatif dan mengambil lebih banyak risiko.
Munficence atau kelimpahan lingkungan mengacu pada ketersediaan sumber daya terbatas dalam
lingkungan dan kesempatan tak terbatas dalam aksesibilitas dan perolehan sumber daya yang
diperlukan. Munificence mendorong inovasi substansial, dan pro-keaktifan menjadi penting sebagai
kemungkinan kegagalan berkurang (Porter, 1991).
Diskusi diatas adalah konsisten dengan Market-Based View (MBV) yang menyatakan bahwa
orientasi eksternal dari pasar dan industri faktor penentu utama kinerja dari suatu perusahaan (Porter,
1991). Menurut referensi (Porter, 1991) sumber-sumber nilai bagi organisasi yang bercokol dalam
kondisi kompetitif mewujudkan posisi strategis produk akhir. Posisi strategis mengacu pada set yang
berbeda organisasi dari praktek-praktek yang berbeda dari pesaing. Berdasarkan perspektif ini,
kinerja organisasi atau profitabilitas ditentukan secara eksklusif oleh dinamika kompetitif dan
struktur pasar di perusahaan beroperasi.
Kapabilitas Dinamis
Kapabilitas dinamis dapat didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan,
membangun, dan mengkonfigurasi ulang kompetensi internal dan eksternal untuk mengatasi
lingkungan yang berubah cepat yang (Susanti & Arief, 2015). Kapabilitas dinamis dapat dibedakan
dari kemampuan operasional yang mengacu pada operasi inti dari suatu perusahaan. Kapabilitas
dinamis menunjukkan kapasitas organisasi untuk sengaja menciptakan, memperluas, atau
memodifikasi sumber daya yang ada (Arief & Basuki, 2015). Anggapan dasar konsep kapabilitas
dinamis adalah bahwa perusahaan harus menuntut kompetensi inti untuk beradaptasi untuk
mendapatkan posisi kompetitif jangka pendek dalam rangka untuk menciptakan keunggulan
kompetitif jangka panjang.
Banyak peneliti mendalilkan bahwa kapabilitas dinamis adalah kemampuan untuk menggabungkan
sumber daya eksternal dan internal untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, dan bakat
yang lebih tinggi untuk tumbuh, mengubah, atau membangun kapasitas konvensional yang
menentukan kecepatan dan arah perubahan (Teece, Pisano, & Shuen, 2008). Perkembangan
kapabilitas dinamis dan kesadaran mengikuti rute dari "akuisisi, transmisi, integrasi dan
pembaharuan", dan terakhir, organisasi harus memasukkan pengetahuan untuk kemajuan proses
perusahaan, dan mendukung kemampuan untuk meningkatkan efektivitas organisasi sehingga untuk
mengatasi suasana pasar yang rumit dan tidak stabil dan untuk memperoleh keunggulan kompetitif
yang berkelanjutan (Buttar & Koçak, 2011). Untuk penelitian ini kapabilitas dinamis dibagi menjadi
267
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
tiga lingkup: Koordinasi, Pembelajaran, dan Respon kompetitif strategis (coordination, learning, and
strategic competitive response).
Koordinasi adalah bakat untuk mengevaluasi nilai aktiva lancar dan campuran mereka untuk
menciptakan kompetensi baru. Pembelajaran mengacu pada kemampuan untuk memperoleh
pengetahuan dan mensintesis itu untuk membawa pembaharuan di perusahaan. Respon strategis
adalah kemampuan untuk bereaksi terhadap tindakan saingan dan perubahan lingkungan. Menurut
referensi (Dibrell, Craig, & Dibrell, 2006), kapabilitas dinamis memungkinkan perusahaan untuk
mengintegrasikan, membuat, dan mengkonfigurasi ulang kompetensi dan sumber daya mereka dan
sebagai hasilnya, terus tampil di muka pergeseran situasi bisnis.
Menurut referensi (Teece, Pisano, & Shuen, 2008), kapabilitas dinamis naik dari mekanisme
pembelajaran; mereka membuat metode sistematis korporasi untuk mengubah prosedur operasi
(Zahra & Covin, 1993). Model menunjukkan juga bahwa kemampuan substantif dan pengetahuan
organisasi memutuskan kemampuan yang dinamis sangat penting untuk menyesuaikan muncul
keadaan berdampak pada kinerja organisasi. Referensi (Zahra & Covin, 1993) juga membahas
kapabilitas dinamis dari perspektif organisasi belajar. Luo mengandaikan kemampuan itu,
"kepemilikan (sumber khas), penyebaran (alokasi sumber daya) dan peningkatan (belajar yang
dinamis)" adalah elemen dari kapabilitas dinamis untuk mendapatkan posisi kompetitif untuk
perluasan perusahaan. Referensi (Zahra, Sapienza, & Davidsson, 2006) memandang teori
pembelajaran organisasi dan menyarankan bahwa perusahaan yang bertujuan untuk ekspansi jalur
cepat harus membangun arah strategis kapabilitas dinamis. Selain itu,referensi (Eisenhardt & Martin,
2000) telah mempelajari efek kinerja kapabilitas dinamis perusahaan dalam pengaturan global.
Referensi (Sultan, 2007) menemukan bahwa keberhasilan dalam menggunakan konfigurasi ulang
kemampuan (yang merupakan bagian dari kapabilitas dinamis) berkorelasi dengan kinerja
perusahaan. Rekonfigurasi kemampuan melibatkan penerapan strategi perusahaan baru atau secara
signifikan berubah seperti penerapan jenis baru dari teknik manajemenbaru atau perubahan struktur
organisasi, strategi promosi atau metode dan peralatan berteknologi tinggi atau proses produksi,
pembaharuan bisnis yang signifikan dan manufaktur / produksi proses (Teece, Pisano, & Shuen,
2008). Penelitian ini mengkategorikan kapabilitas dinamis sebagai array dari praktik tertentu dan
diklasifikasikan, atau sebagai kelompok sumber daya yang perusahaan dapat menggabungkan,
memperbaharui, mengkonfigurasi ulang dan pindah sumber daya mereka dikelola (Deya, 2016).
Kapabilitas Dinamis dan Kinerja Perusahaan
Sangat penting untuk dicatat bahwa kesulitan dalam menghasilkan deskripsi, operasionalisasi, dan
evaluasi dampak kapabilitas dinamis pada kinerja perusahaan telah menghambat seluruh proses
pengujian empiris kemampuan ini. Namun, semakin banyak bukti menunjukkan bahwa kapabilitas
dinamis perusahaan sangat mempengaruhi kinerja perusahaan (Zahra, Sapienza, & Davidsson, 2006).
Kemampuan perusahaan untuk mengintegrasikan informasi dan pengetahuan dari sumber yang dapat
dipercaya eksternal memiliki korelasi positif dengan produktivitas penelitian yang otoritatif diukur
dengan jumlah paten. Secara khusus, peneliti yang masukan lebih banyak investasi ke dalam
kodifikasi dari proses integrasi mereka memiliki hasil keuntungan lebih unggul daripada mereka yang
tidak. Selain itu, kapabilitas dinamis seperti kualitas personil penelitian dan pembentukan proses
aliansi secara besar-besaran terkait dengan frekuensi produk baru dikembangkan di, katakanlah,
industri bioteknologi (Zahra, Sapienza, & Davidsson, 2006).
Sebanyak ada kemajuan berkelanjutan dalam pemeriksaan empiris dampak diferensial dari
kapabilitas dinamis ditentukan, tampak bahwa tidak banyak penelitian telah menyediakan rekening
komprehensif efek tertentu terhadap kinerja perusahaan. Penelitian mengusulkan bahwa kapabilitas
268
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
dinamis, yang dapat dihitung sebagai meta-kemampuan atau kemampuan tingkat tinggi adalah sangat
penting karena mereka membantu perusahaan menghindari proses normal yang tanpa disadari
dilakukan oleh kompetensi organisasi yang lebih rendah (Susanti & Arief, 2015). Dengan demikian,
perusahaan harus datang dengan kemampuan untuk belajar, percobaan, dan mendefinisikan kembali
dan mendesain ulang sumber daya dalam rangka untuk tidak terjebak oleh perangkap yang ditetapkan
oleh kompetensi rendah yang ada. Sebaliknya, perusahaan harus menciptakan sumber-sumber baru
dan jalan keunggulan kompetitif (Eisenhardt & Martin, 2000). Demikian pula, dapat dikatakan bahwa
sebanyak kapabilitas dinamis yang langka dan berharga, mereka equifinal; menyiratkan bahwa
mereka tetap konstan di perusahaan karena atribut khusus mereka yang tidak bergerak atau ditiru
(Wang & Shi, 2011). Ini berarti bahwa kapabilitas dinamis tidak bisa, sendiri, menjadi sumber
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dan dapat diandalkan. Sebaliknya, kemampuan ini
berkontribusi sangat untuk kinerja perusahaan yang lebih tinggi melalui pembaharuan dan kombinasi
kompetensi fungsional yang meningkatkan kinerja. Singkatnya, makalah ini berpendapat bahwa
kapabilitas dinamis memainkan peran sentral dalam membangun dan konfigurasi ulang posisi sumber
daya (Teece, Pisano, & Shuen, 2008). Dengan demikian, mereka menghasut kesadaran perusahaan
yang lebih baik dan penilaian, yang menghasilkan kinerja yang lebih baik. Ini rantai menyatakan
kausalitas menciptakan link langsung antara kinerja dan kapabilitas dinamis. Meskipun demikian,
mekanisme dan proses atau metodologi yang digunakan kapabilitas dinamis mempengaruhi kinerja
perusahaan tertentu tidak jelas diuraikan dan dipahami (Eisenhardt & Martin, 2000).
Ketidakpastian Lingkungan yang Dirasakan dan Kapabilitas Dinamis
Lingkungan di mana bisnis beroperasi sekarang secara bertahap menjadi lebih dinamis sebagai akibat
dari perubahan teknologi yang cepat dan penting, siklus hidup produk yang lebih pendek, tumbuh
persaingan global dan akselerasi keahlian serta praktek bisnis. Karena kenyataan bahwa lingkungan
menghilangkan kompetensi organisasi, menciptakan kemahiran fungsional baru mungkin suatu
keharusan bagi perusahaan untuk bersaing di pasar dan perkembangan teknologi (Hermano & Martíncruz, 2016). Dengan demikian, dalam lingkungan yang dinamis nilai laten kapabilitas dinamis dapat
ditingkatkan karena mereka memungkinkan perusahaan untuk mengkonfigurasi ulang dan
memperbaharui kemampuan fungsional mereka dan membawa konfigurasi baru yang lebih cocok
dengan keadaan lingkungan yang selalu berubah. Dinamisme lingkungan diwujudkan dengan tingkat
penyesuaian preferensi pelanggan, teknologi, dan metode persaingan di pasar utama organisasi. Latar
belakang lingkungan mungkin penting dalam pemeriksaan kinerja dan sumber daya sebagai
lingkungan yang berbeda memerlukan evaluasi yang berbeda dari sumber daya (Hoskisson & Hitt,
1999). Referensi mendefinisikan kapabilitas dinamis dan menjelaskan pentingnya mereka dalam
mencapai keunggulan kompetitif yang berkelanjutan dalam lingkungan yang selalu berubah
(Eisenhardt & Martin, 2000). Lingkungan yang dinamis membuat perusahaan untuk berpartisipasi
dalam konfigurasi ulang sumber daya secara teratur dan investasi di bakat fungsional baru yang
memiliki kemungkinan lebih besar mendukung ekspansi konstan dari barang dan jasa yang berharga
(Hermano & Martín-cruz, 2016). Oleh karena itu, semakin tinggi tingkat dinamisme di lingkungan,
kapabilitas dinamis lebih mungkin akan layak untuk usaha karena mereka memberikan organisasi
kesempatan untuk mencari prospek yang inovatif dan bahkan lebih menguntungkan (Stonehouse &
Snowdon, 2007).
METODE PENELITIAN
Seperti ditunjukkan dalam Gambar 2, model kerangka kerja konseptual yang dibangun menggunakan
3 (tiga) konstruk laten variabel: Strategi Kapabilitas Dinamis (Dynamic Capabilities Strategy),
269
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Ketidakpastian Lingkungan yang Dirasakan (Perceived Environmental Uncertainty) dan Kinerja
Perusahaan (Firm Performance). Penelitian ini akan menggunakan sebagian besar data primer seperti
survei kuesioner dan metode wawancara mendalam. Produser dari rumah produksi film nasional,
sutradara film yang mengambil pekerjaan borongan dari rumah produksi akan menjadi responden
utam. Dimasukkannya manajer senior seperti produser eksekutif untuk menjadi populasi tambahan
dari survei penelitian juga akan dilakukan. Selanjutnya, penelitian ini juga akan mengelompokkan
responden dengan jumlah film yang diproduksi secara setahun, besar anggaran produksi serta genre
dari film yang diproduksi. Kedua analisis statistik inferensial dan deskriptif akan digunakan secara
paralel untuk mengumpulkan data yang relevan.
PEMBAHASAN
Gambar 2. Model Kerangka Kerja Konseptual
Hipotesa 1: Strategi kapabilitas dinamis mempunya pengaruh positif terhadap kinerja
perusahaan.
Meskipun kesimpulan literatur yang kapabilitas dinamis memerlukan set rutinitas yang rumit,
argumen lebih lanjut menegaskan bahwa keberadaan kemampuan ini sering diambil untuk diberikan
tanpa menyoroti proses individual yang menghasilkan mereka. Namun, penelitian oleh referensi
(Eisenhardt & Martin, 2000) mengkritisi hal tersebut khususnya ketika menyatakan bahwa kapabilitas
dinamis terdiri dari rutinitas yang bisa diidentifikasi dan spesifik. Proses seperti pengembangan
produk, aliansi dan akuisisi dan pengambilan keputusan strategis, antara lain, adalah contoh sempurna
dari kapabilitas dinamis. Untuk menganalisis pengaruh kapabilitas dinamis pada kinerja suatu
perusahaan, sangat penting untuk menilai proses dan rutinitas tertentu dan untuk mempertimbangkan
dimensi komposit yang lebih luas (Teece, Pisano, & Shuen, 2008). Penelitian ini untuk membedakan
tiga dimensi: kegiatan koordinasi, respon kompetitif strategis, dan proses pembelajaran (coordinating
activities, strategic competitive response, and learning processes) (Teece, 2007). Hal ini sangat
percaya bahwa tiga hal tersebut merupakan driver yang berbeda dan penting yang menghasilkan
penciptaan dan munculnya konfigurasi baru kompetensi fungsional.
Kemampuan koordinasi (Coordination Capability) berfokus pada kemampuan perusahaan untuk
menilai nilai sumber daya eksistensial dan mengintegrasikan sumber daya kata untuk datang dengan
270
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
kompetensi baru. Selain itu, pelaksanaan desain baru dari kompetensi fungsional bergantung pada
koordinasi yang efektif dan penanganan berbagai tugas dan sumber daya serta sinkronisasi berbagai
kegiatan (Teece, 2007). Proses koordinasi melalui komunikasi, tugas tugas, dan penjadwalan,
menghubungkan dan memastikan interfacing dari rutinitas tunggal. Namun, kurangnya teknik
koordinasi diandalkan memudahkan perubahan teknologi kecil untuk memiliki dampak besar pada
posisi pasar yang kompetitif perusahaan incumbent. Misalnya, industri photolithographic telah
memiliki perusahaan yang menderita efek besar karena perubahan teknologi kecil, dalam hal inovasi
(Zahra & Covin, 1993). Untuk inovasi agar tidak memiliki efek buruk pada perusahaan harus ada
koordinasi yang efisien dan integrasi beberapa tugas atau proses yang dinamis.
Kemampuan respon kompetitif strategis (Strategic Competitive Response Capability) pada dasarnya
menyentuh munculnya perubahan pasar dan kemampuan perusahaan untuk merespon perubahan
eksogen tersebut. Dengan kata lain, itu adalah kemampuan perusahaan untuk melaksanakan
pemindaian dari lingkungannya, menilai posisinya kompetitif, memilih peluang baru, dan
menawarkan tanggapan yang muncul bergerak strategis kompetitif (Teece, 2007). Bahkan ketika
sebuah perusahaan yang didirikan sangat menyadari kebutuhan mendesak untuk perubahan untuk
menangani dan alamat mengubah persyaratan lingkungan, itu, lebih sering daripada tidak, sulit untuk
merespon dengan khasiat yang diinginkan. Penelitian menunjukkan bahwa terkecil dari perubahan
teknologi menawarkan tantangan keras kepada perusahaan, dan sulit untuk ditangani secara efektif
(Eisenhardt & Martin, 2000). Ini berarti bahwa kemampuan untuk strategis menanggapi perubahan
lingkungan adalah kunci bagi perusahaan, mengingat bahwa itu memungkinkan kata perusahaan
untuk mengkonfigurasi ulang kompetensi tertentu sebelum mereka berubah menjadi kekakuan inti
(Zahra & Covin, 1993).
Belajar kemampuan (Learning Capability) adalah murni sarana utama untuk mendapatkan
pembaharuan strategis. Secara khusus, pembaharuan menuntut perusahaan mengeksplorasi dan
belajar cara-cara baru sambil memastikan bahwa mereka masih memanfaatkan apa yang telah mereka
pelajari sebelumnya. Secara keseluruhan, pembelajaran sangat penting karena memfasilitasi resolusi
cepat dan lebih baik dari masalah sementara memungkinkan perusahaan untuk menentukan peluang
produksi baru melalui eksperimen berkelanjutan. Hal ini dapat dimungkinkan karena proses belajar
yang multi-level dan dinamis (Teece, 2007). Meskipun wawasan, visi, dan ide-ide inovatif mungkin
datang kepada individu, pribadi yang dihasilkan dan pengetahuan dibuat dibagi dalam konteks
perusahaan. Akhirnya, beberapa informasi menjadi dilembagakan sebagai perusahaan artefak (Zahra
& Covin, 1993).
Secara keseluruhan, argumen tersebut menunjukkan bahwa proses tertentu koordinasi, daya saing
strategis, dan belajar adalah kegiatan penting yang mempercepat perubahan dalam perusahaan. Oleh
karena itu, mereka dapat diambil untuk menjadi sub-dimensi yang lebih rumit, pembuatan abstrak
yang mewakili kapabilitas dinamis. Dengan cara ini, mereka dapat langsung berkontribusi pada
pemahaman yang lebih baik dan lebih jelas dan evaluasi dari materi yang komprehensif dari
kapabilitas dinamis.
Hipotesa 2 – Ketidakpastian perubahan yang dirasakan memoderasi strategi kapabilitas
dinamis terhadap kinerja perusahaan
Perceived environmental uncertainty menggambarkan tingkat dan ketidakpastian perubahan
lingkungan eksternal perusahaan (Gergely, 2016). Ketika rumah produksi film nasional menghadapi
lingkungan yang sangat dinamis, bisnis menghadapi jelas standar nilai-penilaian dan lingkungan
271
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
mengecilkan untuk pemilihan strategi operasional; faktor-faktor ini dapat memaksa bisnis untuk cepat
membuat keputusan strategis menggunakan pengamatan diagnostik terbatas lingkungan operasional
perusahaan, sehingga dapat membangun kapabilitas dinamis. Pasar film nasional yang bergejolak
dimana penjualan ticket tidak stabil dan sangat beranomali dari segi genre, sangat menentukan
kemana arah produksi konten dari rumah produksi film. Namun, organisasi dan pelaksanaan
kemampuan strategi dinamis pasti akan memakan biaya karena eksekusi oleh manajemen yang terlalu
flexibel dan menghasilkan film yang tidak diterima masyarakat. Jika sebuah organisasi harus
menegakkan strategi untuk mempertahankan kemampuan yang sangat dinamis dalam lingkungan
yang relatif stabil akan bisa menyebabkan kerugian lebih dari keuntungan. Oleh karena itu, perlu
untuk mempekerjakan dinamika lingkungan dan mengeksplorasi efeknya pada kapabilitas dinamis
dan kinerja usaha baru.
Perubahan frekuensi mengubah preferensi pelanggan dan lingkungan operasional. Menurut referensi
(Starik & Kanashiro, 2013), perusahaan bisnis di bawah lingkungan yang bergejolak perlu untuk terus
memperbaharui produk atau layanan agar dapat menanggapi perubahan lingkungan. Dengan
demikian, bisnis ini akan lebih mampu untuk memenuhi 'terus berubah preferensi, membuat respon
yang tepat waktu dan efektif untuk pesaing' pelanggan taktik. Lingkungan yang lebih dinamis
mengharuskan mereka untuk mempertahankan tingkat yang lebih tinggi dari kapabilitas dinamis,
sehingga dapat secara efektif merespon perubahan kebutuhan pelanggan serta transformasi teknologi
dalam rangka mewujudkan tingkat yang lebih tinggi dari kinerja selama periode tinggi dari
kompetisi.Selain itu, bagaimana strategi sesuai dengan sumber daya dan kemampuan untuk
lingkungan adalah fundamental dalam bidang manajemen strategis (Chesbrough, 2007). Selama
proses ini, dinamika lingkungan adalah varian dari efek penting. Literatur yang relevan menunjukkan
bahwa dinamika lingkungan ditandai dengan cepat berubah dinamis lingkungan organisasi dan
negara-negara krisis. Ketidakpastian dan kesempatan dapat mempengaruhi dan bahkan mengubah
posisi suatu organisasi dalam persaingan pasar (Dibrell, Craig, & Dibrell, 2006). Selain itu, penelitian
pada tampilan berbasis sumber daya keunggulan kompetitif memiliki semakin diakui bahwa nilai
strategis dari sumber daya atau kemampuan perusahaan bergantung pada konteks pasar tertentu
(Miller & Shamsie, 1996; Eisenhardt & Martin, 2000). Misalnya, referensi (Miller & Shamsie, 1996)
menemukan bahwa sumber daya berbasis properti seperti kontrak jangka panjang eksklusif dengan
aktor bintang meningkatkan kinerja keuangan di lingkungan diprediksi, sementara kemampuan
berbasis pengetahuan seperti produksi dan proses koordinatif mendorong kinerja keuangan dalam
perubahan dan lingkungan tak terduga. Menghadapi perubahan yang cepat dalam teknologi, pasar,
dan persaingan, usaha baru lebih mengandalkan kemampuan respon yang cepat untuk mengatasi
kondisi eksternal berubah dan dengan demikian bertahan dan berkembang di lingkungan baru. Ini
adalah dinamis strategi kemampuan yang membantu usaha baru untuk mendapatkan informasi realtime tentang bisnis mereka dan lingkungan, yang mempengaruhi kecepatan pengambilan keputusan
strategis.
PENUTUP
Simpulan
Penelitian ini mencoba membuat kerangka konseptual bagi rumah produksi film nasional untuk
meningkatkan kinerja perusahaanya dari segi peningkatan penjualan tiket film di bioskop yang
mereka produksi serta laba dari invetasi (return on investment) dari produk film tersebut. Rumah
produksi film nasional harus mengembangkan kapabilitas dinamis mereka untuk tetap kompetitif dan
bisa menaikan kinerja perusahaan. Learning, Strategic Competitive Response Capability, dan
Coordination Capability menjadi variable penting yang harus dikuasai. Tentunya peneletian ini juga
272
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
mencoba untuk menguji variabel moderasi yang itu persepi dari ketidak pastian lingkungan atau
Perceived Environmental Uncertainty. Ini penting dikarenakan industri film sangat dinamis dan
perubahan pasar dari segi konten juga sangat bergejolak. Assosiasi kapabilitas dinamis dan kinerja
perusahaan yang dimoderasi oleh ketidakpastian lingkungan yang dirasakan oleh rumah produksi
film nasional juga akan menambah kontribusi bagi literatur kapabilitas dinamis. Peneliti peneliti
sebelumnya belum banyak membuat penelitian empiris mengani kapabilitas dinamis yang dimoderasi
oleh ketidakpastian lingkungan apalagi dalam kontex industri budaya.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini adalah kerangka konseptual dari sebuah penelitian yang bisa dilakukan kedepannya.
Tentunya adanya keterbatasan akan terasa setelah pengumpulan data dan pengujian data mengingat
para pengusaha di industri kreatif akan berbeda berbeda dalam memposisikan kapabilitas dinamis di
dalam perusahaanya. Industri budaya merupakan industri yang sangat subjectif dan pengujian hasil
akan sangat menarik kedepannya pada saat pengujian empiris dilakukan.
Saran
Kerangka penelitian ini hanya mengisi sedikit ilmu kapabilitas dinamis yang dimoderasi oleh
ketidakpastian lingkungan yang dirasakan. Di masa depan, para peneliti bisa mengembangkan
kerangka penelitian ini dengan menambahkan variable variable pendukung seperti innovation,
business agility serta Firm configuration dalam melihat ketidakpastian lingkungan di industry budaya.
273
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
Alon, I., Jiao, H., Kwong, K. C., & Cui, Y. (2013). The moderating effects of environmental
dynamism on the relationship between dynamic capabilities strategy and new venture performance
in an emerging market.
Arief, M., & Basuki, Y. T. (2015). Dynamic Capability as a Business Strategy Enhancing the
Business Performance (A Conceptual Approach). Advanced Science Letters, 21(4), 690-694.
Barney, J. B., & Zhang, S. (2009). The future of chinese management research: A theory of chinese
management versus a chinese theory of management. Management and Organization Review, 5(1),
15–28.
Barreto, I. (2010). Dynamic Capabilities: A Review of Past Research and an Agenda for the Future.
Journal of Management, 36(1), 256–280.
Buttar, H. M., & Koçak, A. (2011). The relationship between entrepreneurial orientation dynamic
capabilities and firm performance: An exploratory study of small Turkish firms. International Journal
of Business and Globalisation, 7(3), 351–366.
Chen, C. L., & Jaw, Y. L. (2009). Building global dynamic capabilities through innovation: A case
study of Taiwan’s cultural organizations. Journal of Engineering and Technology Management - JETM, 26(4), 247–263.
Chesbrough, H. (2007). Business model innovation: it’s not just about technology anymore. Strategy
& Leadership, 35(6), 12–17.
Deya, J. (2016). Relationship between dynamic capabilities and competitive advantage of Technical,
Vocational and Entrepreneurship Training Institutions in Kenya. Doctoral dissertation, Business
Administration (Strategic Management), JKUAT.
Dibrell, C., Craig, J., & Dibrell, C. (2006). The natural environment, innovation, and firm
performance: A comparative study. Family Business Review, 19(3), 201.
Eisenhardt, K. M., & Martin, J. A. (2000). Dynamic capabilities: what are they? Strategic
Management Journal, 21(10–11), 1105–1121.
Film Indonesia. (2016, Juni 20). Jumlah Penonton Film Indonesia 2016 Terlaris. Retrieved from
Film Indonesia: http://filmindonesia.or.id/
Fulton, D., Fulton, R., & Garsombke, T. (2015). Shifting technology paradigm for the film and
entertainment industryβ€―: Interface modalities. Journal of Technology Research, 6, 1–14.
Gao, Y. &. (2015). Research on Dynamic Capabilities and Innovation Performance in the Chinese
Context: A Theory Model-Knowledge Based View. Open Journal of Business and Management,
3(04), 364.
Gathungu, J. M. (2014). Entrepreneurial Orientation, Networking, External Environment, and Firm
Performance: a Critical Literature Review. European Scientific Journal, 10(7), 1857–7881.
Gergely, F. (2016). The Effects of Strategic Orientations and Perceived Environment. Firm
Performance, 8(1), 55–65.
Hermano, V., & Martín-cruz, N. (2016). The role of top management involvement in firms
performing projectsβ€―: A dynamic capabilities approach. Journal of Business Research, 69(9), 34473458.
Hoskisson, R. E., & Hitt, M. A. (1999). Managementβ€―: Swings of a pendulum. Journal of
Management, 25(3), 417–456.
Kaplan, S. (2011). Research in Cognition and Strategy: Reflections on Two Decades of Progress and
a Look to the Future. Journal of Management Studies, 48(3), 665–695.
274
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Kristanto, J. B., & Ardan, S. M. (2007). Katalog film Indonesia, 1926-2007. Jakarta: enerbit Nalar
bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata,[dan] Gabungan
Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia.
Li, D., & Liu, J. (2014). Dynamic capabilities , environmental dynamism , and competitive
advantageβ€―: Evidence from China. Journal of Business Research, 67(1), 2793–2799.
Miller, D., & Shamsie, J. (1996). The resource-based view of the firm in two environments: The
Hollywood film studios from 1936 to 1965. Academy of Management Journal, 39(3), 519–543.
Morawetz, N. (2009, September). The Rise of Co-Productions in the Film Industry: The Impact of
Policy Change and Financial Dynamics on Industrial Organization in a High Risk Environment.
Retrieved from Handle.Net: http://hdl.handle.net/2299/3469
Porter, M. (1991). Towards a Dynamic Theory of Strategy. Strategic Management Journal, 12, 95–
117.
Ramilo, R., & Embi, M. R. (2014). Critical analysis of key determinants and barriers to digital
innovation adoption among architectural organizations. Frontiers of Architectural Research, 3(4),
431–451.
Randle, K., & Dodourova, M. (2010). Linking digital technologies and dynamic capabilities: A case
study of small firms in the UK audio visual sector. Journal of Global Strategic Management, 7, 39–
51.
Scott, A. J. (1999). The cultural economy: geography and the creative field. Media, Culture & Society
Vol. 21, 807-817.
Starik, M., & Kanashiro, P. (2013). Toward a Theory of Sustainability Management: Uncovering and
Integrating the Nearly Obvious. Organization & Environment, 26(1), 7–30.
Stonehouse, G., & Snowdon, B. (2007). Competitive advantage revisited: Michael Porter on strategy
and competitiveness. Journal of Management Inquiry, 16(3), 256–273.
Sultan, S. S. (2007). The Competitive Advantage Of Small and Medium Sized Enterprisesβ€―: The Case
of Jordan ’ s. Natural Stone, 1–345.
Susanti, A. A., & Arief, M. (2015). The Effect of Dynamic Capability for the Formation of
Competitive Advantage to Achieve Firm’s Performance (Empirical Study on Indonesian Credit Cooperatives). Advanced Science Letters, 21(4), 809-813.
Teece, D. J. (2007). Explicating dynamic capabilities: the nature and microfoundations of
(sustainable) enterprise performance. Strategic Management Journal, 28(13), 1319–1350.
Teece, D. J., Pisano, G., & Shuen, A. (2008). Dynamic Capabilties and Strategic Management.
Strategic Management Journal, 18(7), 509–533.
Wang, Y., & Shi, X. (2011). hrive, not just survive: enhance dynamic capabilities of SMEs through
IS competence. Journal of Systems and Information Technology, 13(2), 200–222.
Weerawardena, J., & Mavondo, F. T. (2011). Capabilities, innovation and competitive advantage.
Industrial Marketing Management, 40(8), 1220–1223.
Wiklund, J., & Shepherd, D. (2003). Knowledge-based resources, EO, and the performance of small
and medium-sized businesses. Strategic Management Journal, 24(13), 1307–1314.
Zahra, S. A., Sapienza, H. J., & Davidsson, P. (2006). Entrepreneurship and dynamic capabilities: a
review, model and research agenda. Journal of Management Studies, 43(4), 917–955.
Zahra, S. S., & Covin, J. J. (1993). Business strategy, technology policy and firm performance.
Strategic Management Journal, 14(6), 451–478.
275
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
INOVASI DIGITAL DALAM I-FOCUS MODEL: FAKTOR KUNCI
KEBERLANGSUNGAN INDUSTRI MEDIA LUAR RUANG
Jimmy Lizardo
Universitas Bina Nusantara Jakarta
E-mail : [email protected], [email protected]
Abstract: Out of home media as part of the creative industry is a business that has huge growth
potential, even the out of home media penetration in Indonesia become the second highest after
television. This growth leads to changes in the out of home media industry that become a
phenomenon in the strength of industry competition and affect the business performance of the
out of home media industry. This study examines the strategic management as an alternative
model of the solution in improving the business performance of the out of home media, which is
based on four aspects: the implementation of Digital Innovation, an adaptation of the Forces
Driving Competition, increasing the Core and Unique capabilities. Efforts to develop the Strategy
of out of home media business include partnership strategies.
However, in line with the rapid development of digital information and communication
technologies, out of home media industry undergoing significant change. Out of home media as a
communication medium, is no longer a one-way communication, but become a two-way
communication and being personalized. These changes affect of out of home media business
performance. The necessary efforts of it will be needed so that continuity of this kind of business
can take place. The key factor that business continuity out of home media industry can be sustained
is by doing a Digital Innovation.
Keywords : Out of Home Media, Digital Innovation, Digital Technology
Strategic Management, Business Performance
Abstrak: Media luar ruang sebagai bagian dari industri kreatif merupakan bisnis yang memiliki
potensi pertumbuhan yang besar. Penetrasi media luar ruang di Indonesia menjadi tertinggi kedua
setelah televisi. Pertumbuhan ini membawa dampak yang fenomenal dalam kekuatan persaingan
industri dan kinerja bisnis industri media luar ruang. Penelitian ini, secara teoritis, hendak
menelaah tentang manajemen strategis sebagai alternatif model solusi dalam meningkatkan
kinerja bisnis media luar ruang yang bertumpu pada empat aspek: implementasi inovasi digital
(Digital Innovation), pengadaptasian kekuatan persaingan industri (Forces Driving Competition),
peningkatan kapabilitas inti dan unik (Core and Unique Capabilities). Upaya mengembangkan
strategi bisnis media luar ruang (Strategy of Out of Home Media Business) meliputi strategi
kemitraan. Namun sejalan dengan perkembangan digital informasi dan teknologi komunikasi
yang demikian pesatnya, industri media luar ruang mengalami perubahan yang signifikan. Media
Luar Ruang sebagai medium komunikasi, tidak lagi menjadi medium satu arah namun menjadi
medium dua arah dan bersifat personal. Perubahan ini mempengaruhi kinerja bisnis media luar
ruang, sehingga diperlukan berbagai upaya agar keberlangsungan bisnis media luar ruang dapat
berlangsung. Faktor kunci agar keberlangsungan bisnis industri media luar ruang dapat
berkelanjutan adalah dengan melakukan Inovasi Digital.
Keywords : Media Luar Ruang, Inovasi Digital, Teknologi Digital,
Manajemen Strategis, Kinerja Bisnis
276
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
PENDAHULUAN
Transformasi besar sedang terjadi dalam tatanan ekonomi dunia. Pelaku bisnis dituntut
memiliki wawasan, daya imajinasi, dan kreatifitas yang tinggi untuk menghasilkan keunggulan
kompetitif dalam menghasilkan nilai tambah ekonomi. Kompetisi tidak lagi terbatas pada efisiensi
pengelolaan bahan baku, standar layanan, maupun pengembangan teknologi saja. Kemampuan untuk
fokus pada kekuatan inovasi dan merebut setiap kesempatan dengan menawarkan produk dan layanan
yang dihasilkan dengan cara yang kreatif, artistik, dan selalu terdepan dengan ide-ide brilian akan
memperoleh tempat utama pada masa sekarang.
Fenomena tersebut sebenarnya telah dijelaskan sebagian oleh beberapa teori modern klasik
periode 1950 – 1960 yang salah satunya dipelopori Walt Whitman Rostow dalam The Stages of
Economic Growth (1960). Teori Modernisasi Rostow menunjukkan bahwa setiap tahapan
pembangunan dapat dikaitkan dengan perubahan dari masyarakat agraris dengan budaya tradisional
ke masyarakat rasional, industrial, dan berfokus pada ekonomi pelayanan.
Pembangunan ekonomi yang selama ini telah memberikan peningkatan kesejahteraan bagi
umat manusia digambarkan oleh Pink (2005) dilalui dalam beberapa tahap. Pembangunan
perekonomian dunia diawali dengan pertumbuhan sektor pertanian diikuti oleh era industrial,
dominasi teknologi informasi, hingga era konseptual saat ini.
Era pertanian pada abad 18, mempunyai tingkat ATG terendah, produk pertanian masih
banyak bersifat lokal atau hanya regional dengan penggunaan teknologi sederhana sehingga tingkat
kemakmuran pada era terbatas. Abad 19 merupakan abad industri, dimana pada tahun 1876 mulai
diperkenalkan mesin uap yang membuat revolusi atas sistem pembuatan barang menjadi lebih massal
dan cepat. Era ini menunjukkan tingkat ATG yang lebih tinggi karena kemajuan teknologi dan
kemampuan memasarkan barang-barang menjadi lebih luas berkat diaplikasikannya mesin uap pada
kapal-kapal laut.
Abad 20 merupakan era informasi. Pada masa ini mulai diciptakan microprocessor untuk
perangkat komputer yang berperan penting dalam mendorong terjadinya pertukaran data dan
informasi melalui jaringan internet, sehingga ruang dan waktu untuk akses informasi semakin tidak
terbatas. Makin terbukanya peluang dalam mengakses data informasi mendorong pertumbuhan
ekonomi dengan lebih cepat, sehingga kapitalisasi semakin tumbuh dan memberikan dampak
meningkatnya ATG pada semua wilayah di dunia.
Abad 21, atau masa sekarang merupakan era konseptual. Ide baru untuk membuat manusia
lebih sejahtera menjadi tumpuan utama dalam perkembangan ekonomi dunia. Inovasi, berbagai
penemuan dan kreativitas menjadi modal utama untuk meningkatkan keunggulan dan memberikan
peluang memimpin perekonomian dunia. Dapat dikatakan nilai ATG pada era ini lebih tinggi dari
sebelumnya, karena teknologi dan globalisasi menjadi syarat utama sehingga kemakmuran suatu
negara menjadi tidak terbatas. Bila pada era dengan labor atau skilled worker intensive maka
diperlukan sekitar 10.000 atau 100.000 orang untuk 100 industri, maka dengan knowledge-creative
intensive satu orang akan berkontribusi secara ekonomis mulai pada dirinya hingga kepada lebih
banyak elemen industri lainnya. Industri yang berbasis konseptual dan kreativitas ini dikenal dengan
sebutan industri kreatif.
Industri kreatif sebenarnya sudah ada sejak era pertanian, industrial, maupun informasi,
namun pada masa itu tingkat kebutuhan manusia dan tingkat interaksi sosial belum mencapai kondisi
seperti saat ini, sehingga pada era sebelum ekonomi kreatif, industri ini belum menjadi pusat
perhatian atau fokus dalam pengembangan industri yang diyakini dapat berkontribusi secara positif
terhadap perekonomian suatu bangsa. Hal ini diungkapkan oleh Peter Drucker (2000) bahwa “The
277
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
success and failure of each country will be decided by the cultural industries in the 21st century. The
final battleground is the cultural industry”.
Industri kreatif ini dapat memberikan nilai tambah di beberapa aspek kehidupan, tidak hanya
ditinjau dari sudut pandang ekonomi semata, tetapi juga dapat memberikan dampak positif kepada
aspek lainnya seperti peningkatan citra dan identitas bangsa, menumbuhkan inovasi dan kreativitas
anak bangsa, mempromosikan industri yang ramah lingkungan karena menggunakan sumber daya
yang terbarukan, serta memiliki dampak positif dalam meningkatkan hubungan sosial antar manusia.
Karena alasan-alasan itulah maka industri kreatif ini sangat perlu dikembangkan di Indonesia.
Industri kreatif yang saat ini sangat berkembang pesat adalah industri kreatif yang berbasis
teknologi digital. Masa depan industri kreatif tidak dapat lepas dari kemampuan pelaku industri
kreatif digital ini dalam memanfaatkan Information and Communication Technology (ICT).
Teknologi berperan sangat penting dalam industri kreatif digital untuk menstimulasi pengembangan
produk dan layanan baru, kanal distribusi, model bisnis, dan bahkan kemungkinan ekspansi ke sektor
ekonomi yang baru. Contoh peran besar ICT bagi industri kreatif digital antara lain adalah dalam
mendistribusikan content dan aplikasi software dengan membangun pasar bagi pelaku industri digital.
ICT juga telah mendorong berbagai aktivitas ekonomi secara berkelanjutan dan memberikan ruang
inovasi yang tidak terbatas. Dengan berbagai sistem yang ada dan perangkat gadget yang menunjang,
para pengguna teknologi informasi akan terhubung pada jaringan dan bersama-sama menggunakan
berbagai aplikasi dengan biaya yang relatif sangat murah.
Menurut buku Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015, Studi Industri Kreatif
Indonesia (2008), pengembangan industri kreatif di Indonesia diarahkan pada beberapa subsektor
yang merupakan industri berbasis kreativitas diantaranya adalah subsektor Advertising yang
mencakup kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan. Industri Media Luar Ruang masuk dalam
industri kreatif pada subsektor Advertising, dimana pertumbuhan pada industri media luar ruang
meningkat cukup signifikan. Menurut survey Nielsen Advertising Information Services yang dirilis
Nielsen Indonesia pada tanggal 17 Mei 2016 lalu bahwa sepanjang kuartal I/2016, total nilai belanja
iklan pada media televisi meningkat menjadi Rp 24,2 triliun atau sebesar 24 persen dari kuartal
I/2015.
Global Entertainment and Media Outlook 2016-2020 yang dikeluarkan oleh PwC
(www.pwcmediaoutlook.com) menyatakan bahwa untuk periklanan Out of Home (OOH) di
Indonesia, akan terjadi adalah peningkatan yang cukup pesat dengan persentase sebesar 9,973%
CAGR (Compound Annual Growth Rate). Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan (CAGR) dari Media
Luar Ruang menempati ketiga terbesar setelah Internet dan TV. Gambar 1. menjelaskan lebih detail
mengenai pertumbuhan tersebut.
278
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Gambar 1. Entertainment and Media Market in Indonesia
Source: Global Entertainment and Media Outlook 2016-2020, PwC
(www.pwcmediaoutlook.com)
Media Luar Ruang Menurut Grant, A. E. & Meadows, J.H. (2010) adalah segala bentuk
apapun yang bisa menghantarkan pesan dari pemilik pesan ke penerima pesan dimana lokasi
penempatan bentuk penghantar pesan, yaitu berada di luar ruangan atau di luar rumah. Format bisnis
media luar ruang terdiri atas: Digital Out of home meliputi plasma screen, LCD monitor, LED monitor
dan projection screen, Physical Out of home meliputi billboard, spanduk, umbul-umbul, banner dan
baliho, Mall Solusion, Building Wrap dan Ambient Branding di semua tempat (perkantoran, pusat
belanja, alat transportasi dan sebagainya).
Perkembangan Media Luar Ruang kedepannya akan fokus kepada Digital Media Luar Ruang.
Gambar 2., menjelaskan perbandingan pertumbuhan digital out of home dengan physical out of home.
Gambar 2. Out of Home Advertising Market in Indonesia
Source: Global Entertainment and Media Outlook 2016-2020, PwC
(www.pwcmediaoutlook.com)
Pertumbuhan digital out of home mencapai 23.977% CAGR (Compound Annual Growth
Rate), artinya keberlangsungan industri media luar ruang akan fokus pada media luar ruang digital.
Media luar ruang digital menggunakan media elektronik yang berupa plasma screen, LCD monitor,
LED monitor, dan projection screen yang di hubungankan dengan sebuah sistem jaringan yang diolah
secara digital. Media luar ruang digital berbeda dengan media yang lain, karena media luar ruang
digital ini merupakan kombinasi dari beberapa teknologi, yaitu kombinasi dari jaringan internet dan
sistem broadcast (sistem penghantaran pesan yang memampukan penyebaran pesan ke beberapa titik
dalam waktu bersamaan) dalam mengolah data menjadi informasi. Dengan teknologi yang ada juga
membuat media luar ruang digital ini mampu menyajikan pesan langsung bisa sampai ke penerima
279
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
pesan dalam waktu yang sama yang dilakukan dengan sistem streaming sehingga bisa menyajikan
pesan langsung dari program televisi atau yang diambil dari server internet. Sehingga memungkinkan
pesan yang disajikan bersifat real time dan dinamis. Lokasi penempatan media luar ruang digital ini
bisa di mana-mana, di jalan-jalan, di jembatan penyeberangan orang, di gedung (baik di dalam gedung
maupun di luar gedung), di stasiun kereta, di terminal bis, di halte bis, di bandara, di depan restoran
atau cafe, di dalam bis, kereta dan pesawat, di hotel, di mal, supermarket, bahkan di toilet umum.
Karena posisinya di lokasi-lokasi tertentu sehingga bisa dikatakan bahwa penggunaan media luar
ruang ini bersifat direksional, yang bertindak sebagai media primer karena posisinya mendekati
penerima pesan yang dituju.
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian ini, secara teoritis, hendak menelaah tentang manajemen strategis sebagai alternatif
model solusi dalam meningkatkan kinerja bisnis media luar ruang, yaitu I-FOCUS Model yang
bertumpu pada empat aspek: implementasi inovasi digital (Digital Innovation), pengadaptasian
kekuatan persaingan industri (Forces Driving Competition), peningkatan kapabilitas inti dan unik
(Core and Unique Capabilities). Upaya mengembangkan strategi bisnis media luar ruang (Strategy
of Out of Home Media Business) yaitu strategi kemitraan. Sejalan dengan perkembangan digital
informasi dan teknologi komunikasi yang demikian pesatnya, industri media luar ruang mengalami
perubahan yang signifikan. Dan media luar ruang sebagai medium komunikasi, tidak lagi menjadi
medium satu arah namun menjadi medium dua arah dan bersifat personal. Perubahan ini
mempengaruhi kinerja bisnis media luar ruang, sehingga diperlukan berbagai upaya agar
keberlangsungan bisnis media luar ruang dapat berlangsung. Penulis melihat bahwa faktor kunci agar
keberlangsungan bisnis industri media luar ruang dapat berkelanjutan adalah dengan melakukan
Inovasi Digital.
Teknologi Digital
Teknologi digital semakin penting dalam mencapai tujuan bisnis, dan teknologi digital
memberi dampak yang radikal yang mengakibatkan restrukturisasi dalam industri media luar ruang.
Perubahan teknologi digital tidak hanya menyoroti bagaimana media dapat berinteraksi dengan target
audience nya tetapi yang lebih penting adalah bagaimana perusahaan mengelola inovasi digital agar
bisnis media luar ruang mengalami keberlangsungan. Teknologi digital telah menjadi semakin
penting bagi perusahaan untuk usaha mencapai tujuan bisnis mereka. Karena itu diperlukan investasi
pada teknologi digital. Grover & Kohli (2012) menyoroti kesulitan dalam mengevaluasi nilai yang
dihasilkan oleh investasi teknologi digital.
Pada tahun 1990-an, generasi pertama dari aplikasi Teknologi Informatika digunakan oleh
perusahaan untuk merampingkan operasi internal mereka sambil memberikan peluang bagi proses
inovasi (Lee & Berente, 2012). Namun demikian, teknologi digital tidak hanya berkembang di
internal namun juga berkembang sampai kepada layanan produk perusahaan (Yoo, Boland, Lyytinen,
& Majchrzak, 2012). Teknologi digital memiliki peran utama dalam restrukturisasi sejumlah industri
secara radikal (Evans, Hagiu, & Schmalensee, 2006), sehingga tidak mengherankan jika para
pengambil keputusan memiliki kepentingan untuk menangani produk digital dan inovasi layanan.
Sifat unik dari teknologi digital adalah kemampuannya dalam proses inovasi yang baru yang
bergerak sangat cepat dan sulit untuk mengontrol dan memprediksi (Henfridsson, Mathiassen, &
Svahn, 2014;. Yoo et al, 2012; Yoo, Lyytinen, Boland, & Berente, 2010).
280
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Setidaknya ada lima bidang utama yang dapat diidentifikasi, diukur dan dievaluasi dalam
mencari untuk mengelola produk digital dan inovasi layanan, yaitu: Pertama, produk dan layanan
digital tidak hanya harus efisien untuk digunakan dan mudah dipelajari, namun juga harus dapat
memberikan user experience, yang kemudian user experience itu harus dapat diukur pada tingkat
kegunaan, estetika, dan engagement. Kedua, perusahaan harus jelas mengartikulasikan value
proposition pada setiap produk dan layanan digital: Bagaimana mereka menciptakan nilai bagi
pengguna? Kualitas proposisi nilai tersebut dinilai pada dinamika segmentasi pelanggan, produk dan
layanan secara bundling, dan komisi bagi pemilik channel. Ketiga, digital evolution scanning
melibatkan pengumpulan intelijen pada perangkat baru; saluran digital seperti layanan web, mobile
operating system, media sosial dan aplikasi yang mampu untuk identifikasi/ memanfaatkan peluang
untuk inovasi. Keempat, inovasi digital membutuhkan keterampilan baru, sehingga perusahaan perlu
mengevaluasi mekanisme yang membantu proses pembelajaran terus menerus secara sampai
terbentuk tim inovasi yang dinamis. Kelima, dalam proses inovasi digital yang terjadi harus mampu
memberi ruang bagi anggota organisasi untuk memiliki waktu berimprovisasi, dan mekanisme untuk
mengkoordinasikan upaya tersebut adalah kuncinya.
Digital Inovasi
Digitalisasi dan mobile devices sesungguhnya mempercepat fungsi dan proses, dimana
melalui inovasi terbuka, arena dan arsitektur dalam komponen fisik dan digital dapat digabungkan
(Yoo et al, 2012.). Penelitian Henfridsson et al, (2014) dan Yoo et al (2012) mengamati bagaimana
sifat unik dari teknologi digital yang memungkinkan jenis baru dari proses inovasi yang khas yang
berbeda dari proses inovasi analog dari Era Industri. Topik inovasi digital dapat dieksplorasi secara
lebih rinci. Dalam mengeksplorasi topik inovasi digital, kita dapat membahas tantangan dalam
mengelola inovasi digital yaitu (1) Mengeksplorasi sifat unik dari inovasi proses digital. (2)
Kontekstualisasi semua fenomena inovasi digital dengan memberikan sejumlah contoh (3). Strategi
inovasi digital
Teknologi digital menghasilkan tantangan inovasi yang sangat kompleks. Kita telah melihat
bagaimana perusahaan yang gagal untuk mengatasinya dengan tepat akan menderita konsekuensi
besar (Lucas & Goh, 2009). Oleh karena itu, muncul pertanyaan: Bagaimana inovasi digital dikelola?
Atau, lebih tepatnya, apakah hal itu dapat dikelola? Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Evans et
al (2006); Robey & Holmstro M (2001); dan Tush- pria & Anderson (1986), telah meneliti hubungan
antara inovasi teknologi dan perubahan radikal. Untuk tujuan ini, teknologi baru sangat menantang
pasar yang ada, yang sudah terbentuk. Namun, kompetensi perusahaan mapan benar-benar harus
berdiri di jalan inovasi (Christensen, 1997). Para ahli telah diuraikan pada model strategis tingkat
makro yang dapat memungkinkan perusahaan untuk mengatasi dilema ini. Sebagai contoh, ia
berpendapat bahwa perusahaan dapat belajar bagaimana menangani inovasi radikal dan inkremental
bersamaan dengan membangun struktur ambidextrous dan mengumpulkan kemampuan dinamis
(O'Reilly & Tush- man, 2008). Sementara model strategis ini didirikan untuk manajemen inovasi
teknologi yang berguna, Benner & Tripsas (2012) dalam studinya memanfaatkan teknologi digital
baru, seperti kamera digital, sebagai objek penelitian. Namun, karakteristik yang berbeda dan unik
dari teknologi digital cenderung memudar ke latar belakang. Untuk tujuan ini, penelitian yang masih
ada pada teknologi digital dan organisasi menderita dua keterbatasan, yaitu (1). Hal ini cenderung
untuk tidak sepenuhnya membuka black box teknologi (Orlikowski & Iacono, 2001). Ketika bekerja
menuju mengelola inovasi digital, ini merupakan langkah pertama yang penting untuk; perusahaan
yang berusaha untuk berinovasi penawaran produk dan layanan mereka dengan teknologi digital
membutuhkan manajer berpengalaman dalam sifat spesifik teknologi digital. (2) Penelitian pada
281
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
inovasi teknologi cenderung untuk mengadopsi perspektif makro-level pada objeknya studi, sering
mengakibatkan deskripsi tingkat tinggi dari rekomendasi strategis. Untuk mengatasi kesenjangan ini,
kita mengalihkan perhatian ke daerah-daerah utama yang akan diatasi ketika mengelola proses
inovasi digital saat mereka terungkap dalam praktek.
Sementara inovasi digital merupakan sarana bagi pendatang baru untuk memanfaatkan
teknologi digital untuk menantang perusahaan incumbent - akhirnya menyebabkan transformasi
industri secara radikal, ini juga memberikan kesempatan bagi perusahaan incumbent untuk
meningkatkan dan memperluas produk dan layanan portofolio mereka ke domain baru. Namun,
tantangan utama bagi setiap perusahaan yang ingin mengelola inovasi digital memerlukan
pemahaman berdiri sifat unik dari proses inovasi digital (Yoo et al., 2010). Ketika terlibat dalam
inovasi digital, baik pemain lama dan pemain baru menghadapi tantangan dan kesempatankesempatan yang menampilkan kompleksitas yang luar biasa. Salah satu aspek kunci dari
kompleksitas ini adalah laju proses inovasi digital (Yoo et al., 2010). Salah satu alasan mengapa
proses inovasi digital sangat sulit untuk dikontrol dan memprediksi adalah generativity teknologi
digital (Avital & Te'eni, 2009;. Yoo et al, 2012).
Sejalan dengan perkembangan Inovasi Digital, maka dampaknya bagi media luar ruang adalah
bertambahnya fleksibilitas pada digital screen yang ada. Dalam artikel “Thinking outside the box:
Innovations in Out of Home advertising” (www.thedrum.com, 2012) dijelaskan bahwa bertambahnya
fleksibilitas dengan digital screens memungkinkan brands untuk menjalankan kampanye iklan
dengan terkoneksi, hal ini belum pernah terpikirkan sebelumnya. Dengan adanya Inovasi Digital, kita
dapat melihat bahwa element interaktif dapat dibangun pada format media luar ruang, seperti
billboard dengan augmented reality, NFC and QR codes, semuanya dibangun dengan baik oleh multisensory advertising and itu menggunakan panca indera seperti scent, touch, sound and taste
menambahkan dimensi yang baru sebagai brand experience pada media luar ruang. Inovasi Digital
memberikan perubahan yang siginifikan dalam industry media luar ruang (www.thedrum.com, 2012),
disini kita akan melihat: Contextual ads: disesuaikan dengan kondisi konsumen, misalnya seseorang
yang sedang menunggu bis akan ditunjukkan iklan tentang perusahaan perusahaan taksi local, atau
ketika hari tiba-tiba hujan, maka media dapat menampilkan iklan tentang payung sekaligus
memberitahukan toko terdekat dimana payung itu dijual. Gladvertising: menggunakan aplikasi yang
mengenali wajah, dengan kamera yang dapat mengetahui ekspresi wajah baik wajah yang gembira,
marah, sedih, takut atau terkejut, kemudian iklan akan muncul sesuai dengan mood dari konsumen
yang dikenali ekspresi wajahnya. Multi-sensory: menstimulasi indera konusmen dengan holographic
video, suara, mood lighting and smells untuk multiply impact dari iklan. Personal Preference Profiles
(PPP): supercharged social network profiles 50 kali lebih in-depth dari Facebook and termasuk
rincian bentuk tubuh, alergi, anniversary, dan makanan favorit. Phones that talk to Adverts: iklan
mengidentifikasi seseorang melalui PPP. Gesture recognition: mirip dengan teknologi yang
digunakan di Microsoft’s Xbox Kinect, interactive, dan gesture-based games.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini, secara teoritis, hendak menelaah tentang Inovasi Digital dalam I-FOCUS
Model sebagai faktor kunci keberlangsungan industri media luar ruang. I-FOCUS Model sebagai
alternatif model solusi dalam meningkatkan kinerja bisnis media luar ruang yang bertumpu pada
empat aspek: implementasi inovasi digital (Digital Innovation), pengadaptasian kekuatan persaingan
industri (Forces Driving Competition), peningkatan kapabilitas inti dan unik (Core and Unique
282
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Capabilities). Upaya mengembangkan strategi bisnis media luar ruang (Strategy of Out of Home
Media Business) meliputi tentang strategi kemitraan (Gambar 3.)
FOrce Driving
Industry
Core and Unique
Capabilities
Strategic Partnership
Digital Innovation
Business
Performance
I-FOCUS MODEL
Gambar 3. I-FOCUS MODEL pada industri Media Luar Ruang
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif analitis dan studi literatur
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketika membahas tentang Inovasi Digital, tentu kita harus mengetahui tentang teknologi
digital, karena teknologi digital semakin penting dalam mencapai tujuan bisnis, perkembangan
teknologi digital yang semakin cepat memberikan dampak yang radikal dalam industri media luar
ruang. Perubahan teknologi digital membawa Inovasi dalam industri media luar ruang, Inovasi ini
tidak hanya menyoroti bagaimana media dapat berinteraksi dengan target audience nya, karena
bertambahnya fleksibiltas pada digital screens sehingga brands lebih mudah berinteraksi dengan
konsumennya, namun yang lebih penting juga adalah bagaimana perusahaan menangani inovasi
digital agar bisnis media luar ruang mengalami keberlangsungan.
Dalam artikel “Thinking outside the box: Innovations in Out of Home advertising”
(www.thedrum.com, 2012) dijelaskan bahwa bertambahnya fleksibilitas dengan digital screens
memungkinkan brands untuk menjalankan kampanye iklan dengan terkoneksi, yang belum pernah
terpikirkan sebelumnya. Dengan adanya Inovasi Digital, kita dapat melihat bahwa element interaktif
dapat dibangun pada format media luar ruang, seperti billboard dengan augmented reality, NFC and
QR codes, semuanya dibangun dengan baik oleh multi-sensory advertising and itu menggunakan
panca indera seperti scent, touch, sound and taste menambahkan dimensi yang baru sebagai brand
experience pada media luar ruang. Inovasi Digital memberikan perubahan yang siginifikan dalam
industry media luar ruang (www.thedrum.com, 2012), disini kita akan melihat: Contextual ads,
Gladvertising, Personal Preference Profiles, Phones that talk to adverts dan Gesture Recognition.
Teknologi digital memiliki peran utama dalam restrukturisasi sejumlah industri secara radikal
(Evans, Hagiu, & Schmalensee, 2006), sehingga tidak mengherankan jika manajer memiliki
kepentingan untuk menangani produk digital dan inovasi layanan. Sifat unik dari teknologi digital
adalah kemampuannya dalam proses inovasi yang baru yang bergerak sangat cepat dan sulit untuk
mengontrol dan memprediksi (Henfridsson, Mathiassen, & Svahn, 2014;. Yoo et al, 2012; Yoo,
Lyytinen, Boland, & Berente, 2010). Setidaknya ada lima bidang utama yang dapat diidentifikasi,
diukur dan dievaluasi dalam mencari untuk mengelola produk digital dan inovasi layanan, yaitu:
Pertama, produk dan layanan digital tidak hanya harus efisien untuk digunakan dan mudah dipelajari,
tetapi juga memberikan user experience, kemudian user experience tersebut dapat diukur pada tingkat
kegunaan, estetika, dan engagement. Kedua, perusahaan harus jelas mengartikulasikan value
proposition pada setiap produk dan layanan digital: Bagaimana mereka menciptakan nilai bagi
283
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
pengguna? Kualitas proposisi nilai tersebut dinilai pada dinamika segmentasi pelanggan, produk dan
layanan bundling, dan komisi untuk pemilik channel. Ketiga, digital evolution scanning melibatkan
pengumpulan intelijen pada perangkat baru; saluran digital seperti layanan web, mobile operating
system, media sosial dan aplikasi untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang untuk inovasi.
Keempat, inovasi digital membutuhkan keterampilan baru, sehingga perusahaan perlu mengevaluasi
mekanisme yang membantu proses pembelajaran terus menerus secara sampai terbentuk tim inovasi
yang dinamis. Kelima, dalam proses inovasi digital yang terjadi harus mampu memberi ruang bagi
anggota organisasi untuk memiliki waktu berimprovisasi, dan mekanisme untuk mengkoordinasikan
upaya tersebut adalah kuncinya.
Ada dua faktor yang menjadikan Inovasi Digital menjadi faktor kunci keberlangsungan
keberlangsungan industri media luar ruang. Pertama, karena pertumbuhan bisnis media luar ruang
bertumpu pada Digital Media Luar Ruang yang dari tahun ke tahun bertumbuh pesat, hal ini dapat
dilihat pada Gambar 2. bahwa Laju Pertumbuhan Majemuk Tahunan Digital Media Luar Ruang
mencapai 23.977% CAGR (Compound Annual Growth Rate). Kedua, dengan adanya Inovasi Digital,
kita dapat melihat bahwa element interaktif dapat dibangun pada format media luar ruang sehingga
Inovasi Digital membawa perubahan paradigma periklanan. Iklan yang adalah pesan berbayar yang
impersonal dengan kemasan dan syarat tertentu yang diantarkan media kepada publik secara searah,
ternyata sedang bertransformasi menjadi dua arah dan bersifat personal. Dengan perkembangan
teknologi dan aplikasi, maka Digital Media Luar Ruang mampu menjadi sarana komunikasi interaksi
antara produk atau brand dengan konsumennya secara lebih personal. Tentu perubahan ini akan
berdampak kepada Media Habit dan Business Ethic yang ada dalam ranah periklananan.
Sehingga perusahaan yang mau kinerja bisnis nya baik harus mampu mengelola produk digital
dan inovasi layanan. Hal ini penting karena sifat unik dari teknologi digital adalah kemampuannya
dalam proses inovasi yang baru yang bergerak sangat cepat dan sulit untuk mengontrol dan
memprediksi (Henfridsson, Mathiassen, & Svahn, 2014;. Yoo et al, 2012; Yoo, Lyytinen, Boland, &
Berente, 2010).
PENUTUP
Inovasi Digital dalam I-FOCUS Model adalah faktor kunci keberlangsungan industri media
luar ruang. Ada dua faktor yang menjadikan Inovasi Digital menjadi faktor kunci keberlangsungan
keberlangsungan industri media luar ruang. Pertama, karena pertumbuhan bisnis media luar ruang
bertumpu pada Digital Media Luar Ruang, Kedua, dengan adanya Inovasi Digital, kita dapat melihat
bahwa element interaktif dapat dibangun pada format media luar ruang.
Kemampuan mengelola produk digital dan inovasi layanan menjadi issue yang penting karena sifat
unik dari teknologi digital adalah kemampuannya dalam proses inovasi yang baru yang bergerak
sangat cepat dan sulit untuk mengontrol dan memprediksi.
Penelitian pada teknologi digital dan organisasi memiliki dua keterbatasan, yaitu (1). Hal ini
cenderung untuk tidak sepenuhnya membuka black box teknologi (Orlikowski & Iacono, 2001).
Ketika bekerja menuju mengelola inovasi digital, ini merupakan langkah pertama yang penting untuk;
perusahaan yang berusaha untuk berinovasi penawaran produk dan layanan mereka dengan teknologi
digital membutuhkan manajer berpengalaman dalam sifat spesifik teknologi digital. (2) Penelitian
pada inovasi teknologi cenderung untuk mengadopsi perspektif makro-level pada objeknya studi,
sering mengakibatkan deskripsi tingkat tinggi dari rekomendasi strategis. Untuk mengatasi
kesenjangan ini, kita mengalihkan perhatian ke daerah-daerah utama yang akan diatasi ketika
mengelola proses inovasi digital saat mereka terungkap dalam praktek.
284
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
Anggraini, Nenny. (2008). “Industri Kreatif”, Jurnal ekonomi Desember 2008 Volume XIII No. 3
hal. 144-151
Andari, R., H. Bakhshi, W. Hutton, A. O’Keeffe, P. Schneider. (2007). Staying Ahead: The economic
performance of the UK’s Creative Industries, The Work Foundation, London
Anwar, Mokhamad, dkk. (2007). Identifikasi Sektor Industri dan Peranannya dalam Peningkatan
Pendapatan
Asli
Daerah
Kabupaten
Garut.
pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2011/08/Identifikasi_Sektor_Industri.doc (12 Des. 2012)
Avital, M., & Te’eni, D. (2009). From generative fit to generative capacity: Exploring an emerging
dimension of information systems design and task performance. Information Systems Journal,
19(4), 345—367.
Bakhshi, H., E. McVittie, J. Simmie. (2008). Creating Innovation. Do the creative industries
support innovation in the wider economy? NESTA Research Report March 2008,
London.
Benner, M. J., & Tripsas, M. (2012). The influence of prior industry affiliation on framing in
nascent industries: The evolution of digital cameras. Strategic Management Journal, 33(3),
277—302.
Best, Roger J., (2009). Market-Based Management: Strategies for Growing Customer Value and
Profitability. Third Edition. Prentice Hall: Upper Saddle River, New Jersey.
Buffet, Warrant and Charles T. Munger, (2011). Industry Analysis: Fundamentals. Introduction and
Objective. Prentice Hall. New York.
Craven, David W and Nigel. F. Piercy, (2013). Strategic Marketing. 9th Edition. New York: McGrawHill.
Christensen, C. M. (1997). The innovator’s dilemma: When new technologies cause great firms to
fail. Cambridge, MA: Harvard Business School Press.
Cunha, M. P., Cunha, J. V., & Kamoche, K. (1999). Organizational improvisation: What, when,
how, and why. International Journal of Management Reviews, 1(3), 299—341.
Departemen Perdagangan Republik Indonesia, (2008). Program KerjaPengembangan industri
Kreatif Nasional 2009-2015, Departemen Perdagangan RI, Jakarta
Diller, S., Shedroff, N., & Rhea, D. (2005). Making meaning: How successful businesses deliver
meaningful customer experiences. Berkeley, CA: New Riders.
Evans, D. S., Hagiu, A., & Schmalensee, R. (2006). Invisible engines: How software platforms
drive innovation and transform industries. Cambridge, MA: MIT Press.
Grant, A. E. & Meadows, J.H. (2010). Communication Technology Update and Fundamentals.
12th Edition. Focal Press : USA
Green, L., I. Miles, J. Rutter (2007), Hidden Innovation in the Creative Industries, NESTA
Working Paper, London
Grover, V., & Kohli, R. (2012). Cocreating IT value: New capabilities and metrics for multifirm
environments. MIS Quarterly, 36(1), 225—232.
Henfridsson, O., Mathiassen, L., & Svahn, F. (2014). Managing technological change in the digital
age: The role of architectural frames. Journal of Information Technology, 29(1), 27—43.
285
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Hubbard, Graham, and Paul Beamish, (2011). Strategic Management: Thinking, Analysis, Action.
Frechs Forest, N.S.W : Pearson Australia.
Ireland, DR, Hoskisson, RE, and Hitt, MA, (2013). Understanding Business Strategy, 3rd Edition,
South-Western College
Khristianto, Wheny, (2008). “Peluang dan Tantangan Industri Kreatif di Indonesia”.
Lee, J., & Berente, N. (2012). Digital innovation and the division of innovative labor: Digital
controls in the automotive industry. Organization Science, 23(5), 1428—1447.
Lucas, H. C., Jr., & Goh, J. M. (2009). Disruptive technology: How Kodak misd the digital
photography revolution. The Journal of Strategic Information Systems, 18(1), 46—55.
Mol, Michael J, Birkinshaw, Julian and Hamel, Gary. (2008). “Management Innovation” . Academy
of Management Review.
Nawawi, Hadari. (2005). Manajemen Strategik, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press
O’Reilly, C. A., III, & Tushman, M. (2008). Ambidexterity as a dynamic capability: Resolving the
innovator’s dilemma. Research in Organizational Behavior, 28, 185—206.
Orlikowski, W. J., & Iacono, C. S. (2001). Research commentary: Desperately seeking the ‘IT’ in IT
research—A call to theorizing the IT artifact. Information Systems Research, 12(2), 121—
134.
Pearce , John A. II, dan Richard B Robinson, Jr, (2011). Manajemen Strategis: Formulasi Strategi,
Implementasi dan Pengendalian, Edisi ke 12, Chicago, IL: RD Irwin, Inc.
Pearce, John A. II, Richard B. Robinson, Jr., (2013). Strategic Management: Planning for Domestic
& Global Competition, International Edition, McGraw Hill, Singapore.
Pink, Daniel H, (2005). A Whole New Mind, Riverhead Books, New York.
Straubhaar, J., LaRose, R. & Davenport R. (2011). Media Now: Understanding Media, Culture,
and Technology, 2011 Update Seventh Edition. Thomson-Wadsworth
Robey, D., & Holmstro ̈m, J. (2001). Transforming municipal gov- ernance in global context: A
case study of the dialectics of social change. Journal of Global Information Technology
Management, 4(4), 19—31.
Rostow, Walt Whitman. (1960). The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto.
Cambridge University Press.
Tushman, M. L., & Anderson, P. (1986). Technological disconti- nuities and organizational
environments. Administrative Sci- ence Quarterly, 31(3), 439—465.
Wheelen, Thomas L., & Hunger, J. David. (2012). Strategic Management and Business Policy:
Concepts 13th Edition. Pearson/Prentice Hall.
Yoo, Y., Boland, R. J., Jr., Lyytinen, K., & Majchrzak, A. (2012). Organizing for innovation in the
digitized world. Organization Science, 23(5), 1398—1408.
Yoo, Y., Lyytinen, K. J., Boland, R. J., Jr., & Berente, N. (2010). The next wave of digital
innovation: Opportunities and challenges: A report on the research workshop ‘digital
challenges
in
innovation
research.’
Retrieved
June
8
from
http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1622170
286
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
KEPENGIKUTAN DAN PERAN PEMIMPIN DALAM MENINGKATKAN
KEUNGGULAN BERSAING PERUSAHAAN
Nelly1 dan Santoso Budijono2
Universitas Bina Nusantara
E-mail: [email protected] 1 & [email protected] 2
Abstract: Quick Service Restaurant/QSR (also called Fast Food Restaurant) growth in Indonesia was the 2-digit
percentage, this is a big opportunity for food service industry to boost their store sales performance. However, Quick
Service Restaurant in Indonesia face challenges of high employee turnover. So, they need to collaboration as a teamwork
and good communication between the leader of each store with the employees.As we know, Fast Food Store naturally
have small of numbers of workers to run a store with high-intensity job serving many customers with a short period with
hospitality. This paper tries to provide a summary of how the behavior of a follower influence job satisfaction, which
effect on intention to stay. This paper tries to answer the question whether relationship between followers and their leader
(LMX) make a contribution to follower job happiness and make the longer plan to stay. The results of this study are
expected to help improve sales performance QSR from the standpoint of Human Resource strategy for increase
performance company.
Keywords: Follower style, LMX, Job Satisfaction, Intention to Stay, Organization Performance
Abstrak: Persentase pertumbuhan Quick Service Restaurant/QSR (sering juga disebut Fast Food Restaurant) di
Indonesia mencapai 2 digit, hal ini merupakan kesempatan bagi industri jasa makanan untuk meningkatkan kinerja
penjualan store mereka. Namun, Quick Service Restaurant di Indonesia menghadapi tantangan yang berasal dari turnover
karyawan yang tinggi. Seperti kita ketahui, umumnya store makanan cepat saji memiliki jumlah pekerja yang terbatas
untuk menjalankan sebuah store dengan pekerjaan intensitas tinggi serta dengan ramah melayani banyak pelanggan
dengan waktu singkat. Sehingga diperlukan kerjsama tim dan komunikasi yang baik antara leader setiap store dengan
karyawannya. Tulisan ini mencoba memberikan ringkasan tentang bagaimana perilaku pengikut dari karyawan terhadap
kepuasan kerja karyawan, dan pengaruhnya terhadap niat untuk tetap bekerja. Tulisan ini mencoba untuk menjawab
pertanyaan apakah hubungan antara pengikut dan pemimpin mereka (LMX) memberikan kontribusi terhadap kebahagiaan
pekerjaan (job satisfaction) sehingga berencana untuk tetap bekerja dalam jangka waktu yang panjang. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kinerja penjualan QSR dari sudut pandang strategi SDM dalam usaha
meningkatkan kinerja perusahaan.
Kata kunci: Perilaku kepengikutan, Hubungan pengikut dan pemimpin (LMX), Kepuasan kerja, Niat untuk tinggal,
Kinerja perusahaan
PENDAHULUAN
Suatu perusahaan akan berhasil bila di pimpin oleh orang yang berkompeten sehingga dengan kata lain
kemampuan seorang pemimpin di perusahaan berkaitan erat dengan keberhasilan perusahaan dalam
meningkatkan pendapatannya. Perusahaan yang mempunyai pemimpin yang baik, mampu melakukan prediksi
arah dan tujuan perusahaan agar berhasil selain itu mampu memiliki kepemimpinan yang kuat sehingga
mampu mencapai keberhasilan yang bagus dengan di dukung oleh para bawahannya. Sedangkan bawahan
yang memiliki kemampuan yang baik juga sangat berguna untuk membuat perusahaan berjalan secara
maksimal. Kemampuan pemimpin yang baik yang di dukung oleh bawahan yang tepat akan menjadikan
pemimpin seperti otak yang dapat mengkoordinasikan gerak dan arah anggota tubuh agar dicapai tujuan yang
dinginkan. Tujuan akan tercapai tidak hanya dengan pemimpin yang baik tetapi juga bawahan yang diibaratkan
anggota tubuh dapat bekerja dengan kemampuan yang sesuai serta kecepatan yang sesuai dengan arah / tujuan
perusahaan yang di inginkan oleh pemimpin.
Dalam mempelajari fungsi ataupun peran bawahan pada suatu organisasi, Kelley (1992) dalam
287
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
tulisannya di Harvard Business Review mengusulkan konsep bernama followership. Dimana followership
menurut penulis lainnya adalah sebuah perilaku yang di asosiasikan kepada para bawahan yang bekerja dengan
baik (Blanchard, Welbourne, Gilmore & Bullock, 2009). Model followership merupakan model yang
melengkapi model leadership sehingga dapat menjadi kesatuan yang antara Leadership dan Followership.
Kelley dalam tulisannya menjelaskan bahwa ada orang yang hanya bertujuan mengejar tujuan perusahaan
bersama-sama dalam sebuah perusahaan tanpa berkeinginan untuk menjadi seorang pemimpin ataupun
mengejar status, kemewahan maupun ketenaran.
Para bawahan yang memiliki kapabilitas masing-masing ini dalam perusahaan menjadi alat pergerakan
bagi perusahaan mencapai tujuannya, yaitu dengan mengintegrasikan kemampuan mereka kedalam tujuan
perusahaan yang pada akhirnya akan menciptakan sinergi antara pemimpin dan bawahan tanpa adanya konflik
internal.
Saat ini followership mulai diperhatikan di kalangan akademisi, bila dipindai di google.com maka
topik followership yang terpindai sebanyak 525ribu mulai dari journal ataupun dalam bentuk website, namun
masih terpaut jauh dengan Leadership yang terpindai sebanyak 730 juta topik.(pindai di google.com pada 20
Maret 2016). Hal ini menandakan masih terdapat perbedaan yang cukup jauh antara penelitian leadership
dengan followership.
Pada tahun 1992 saat Kelley mencetuskan ide followership, menurut Kelley berdasarkan studi yang
dilakukan didapat bahwa seorang CEO seringkali tidak mengetahui secara detail mengenai permasalahan yang
terjadi serta timbulnya kesulitan-kesulitan dalam proses memenuhi target perusahaan. CEO / pemimpin hanya
mampu menetapkan target perusahaan yang terkadang sulit di capai tanpa memberikan penjelasan serta tools
bagaimana untuk mencapai target tersebut. Sehingga organisasi yang berhasil tidak hanya disebabkan oleh
pemimpin yang berkualitas tetapi juga disebabkan oleh bawahan yang berkualitas.
Dengan demikian cara terbaik dalam pemenuhan target organisasi adalah dengan menemukan
keharmonisan antara peran leader yang memiliki pengalaman yang baik dengan kerja dan inovatif para
bawahan sehingga organisasi tersebut menjadi organisasi yang efektif dan efisien serta dapat berkelanjutan
dalam kondisi persaingan yang semakin berat saat ini.
Penelitian ini menggabungkan penelitian dari para peneliti terdahulu dengan di sesuaikan pada jenis
industri yang akan di teliti yaitu pada industri QSR. QSR (Quick Service Restaurant) merupakan konsep dari
restoran yang cara berkonsentrasi pada cara penyajian yang cepat, dimana jumlah pekerja tidak banyak tetapi
dapat melayani konsumen cukup banyak. Umumnya QSR ini berada pada pusat perbelanjaan (mall) dengan
luas restoran yang terbatas dan beban kerja yang tidak merata, dimana ramai hanya di waktu-waktu tertentu
saja. Para pekerja yang bekerja di industri ini di tuntut bekerja dengan cepat dan akurat dalam kurun waktu
tertentu dalam memberikan layanan kepada konsumennya.
Mengingat luas restoran yang terbatas dengan demikian jumlah pekerja pun menjadi terbatas sehingga
beban kerja setiap pekerja di industri QSR ini umumnya tinggi. Terlebih jenis pekerjaan yang tidak hanya satu
jenis, kasir harus dapat membuat produk. Sedangkan pekerja senior selain sebagai kasir, membuat produk juga
harus memantau kebersihan lingkungan kerjanya, semua jenis pekerjaan ini di lakukan hampir di saat yang
bersamaan atau dikenal sebagai multi tasking job.
Dengan tipikal pekerjaan seperti diatas, jarang seorang pekerja bertahan lama dalam bekerja di satu
organisasi / perusahaan, sehingga turnover karyawan di industri QSR ini menjadi tinggi. Tingginya turnover
tentu mengganggu kinerja organsiasi karena seorang pekerja baru harus beradaptasi lagi di lingkungan
kerjanya, mempelajari pekerjaan yang baru Di lain pihak, para senior mesti mencurahkan sebagian waktunya
untuk men-training pekerja baru atas pekerjaan yang perlu dilakukan di organisasi tersebut, tentunya
menambah beban kerja senior, sehingga terkadang proses training menjadi asal-asalan saja, yang nanti
tentunya berdampak pada kualitas pekerja baru tersebut.
Dengan kondisi diatas, dimana jenis pekerjaan di industri QSR yang mengharuskan multitasking serta
tingginya turnover nantinya akan berdampak pada menurunnya performance organisasi, sehingga perlu
temukan formula yang terbaik tipe pekerjanya untuk tetap dapat mempertahankan performance organisasi.
Namun ternyata ada pula karyawan yang bekerja cukup lama di industri QSR ini, bahkan pada satu
tempat yang sama dengan manager yang sama ada karyawan yang menunjukan kinerja yang baik sedangkan
288
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
yang lainnya cepat mengundurkan diri. Sehingga fenomena ini menarik untuk diteliti, karena jika penyebab
seorang karyawan cepat mengundurkan diri dan penyebab seorang karyawan bertahan pada kondisi yang sama
dapat diketahui maka manager QSR dapat mengatasi tingginya turnover ini.
Adapun pada penelitian-penelitian sebelumnya Turnover dipengaruhi oleh employee satisfaction
(AbuAlRub et al. 2015; Berghe 2011; Judge and Bono 2001; Kumari and Pandey 2011; Tett and Meyer
1993)(Mobley 1977)
Selanjutnya akan timbul pertanyaan apa saja yang mempengaruhi employee satisfaction, menurut
Chen maupun Graen, employee satisfaction dipengaruhi oleh hubungan atasan dan bawahan (LMX - Leader
Member Exchange) (Chen, Yu, and Son 2014)(J. Graen et al. 1975), selain itu hubungan atasan yang berbedabeda terhadap bawahan menyebabkan seorang karyawan menjadi loyal maupun menjadi keluar hal ini seperti
yang dikemukakan oleh Dae Jong Choi dalam disertasinya DIFFERENTIATED LEADER-MEMBER
EXCHANGE AND GROUP EFFECTIVENESS: A DUAL PERSPECTIVE.(Choi 2013)
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi turnover di
industri QSR. Faktor yang diteliti adalah tipe follower yang belum banyak dilakukan penelitian, selain itu
faktor hubungan atasan-bawahan (LMX), faktor-faktor ini berdasarkan literatur mempengaruhi kepuasan
karyawan yang lebih lanjut berdampak pada turnover.
Tujuan literatur ini adalah mendapatkan framework dalam meningkatkan keunggulan bersaing perusahaan
dengan cara mengurangi menemukan faktor penyebab turnover karyawan di industri QSR.
1. Studi pustaka mengenai pengaruh kepuasan kerja para karyawan terhadap turnover.
2. Studi pustaka mengenai pengaruh hubungan atasan-bawahan terhadap kepuasan kerja bawahan di
industri QSR.
3. Studi pustaka mengenai pengaruh tipe follower (followership style) dengan hubungan atasanbawahan di industri QSR.
4. Studi pustaka mengenai pengaruh tipe follower terhadap kepuasan kerja di industri QSR.
Dengan mengetahui penyebab dan pengaruh dari setiap variabel diatas diharapkan perusahaan yang
bergerak pada industri QSR dapat tetap membuat perusahaan unggul dibanding QSR lainnya dalam kompetisi
yang ketat di saat ini, mengingat sangat pentingnya peran karyawan di restoran QSR.
TINJAUAN PUSTAKA
Restoran Cepat Saji (QSR)
QSR / restoran cepat saja merupakan jenis usaha makanan (Food & Beverage) yang
menyediakan makanan kepada konsumen secara tepat dan cepat. Karyawan pada usaha ini pada setiap
toko umumnya terbatas, hal ini dikarenakan kondisi luas store yang terbatas dengan beban kerja yang
tidak merata sepanjang harinya, sehingga diperlukan strategi yang tepat untuk menentukan jumlah
karyawan dan kemampuan karyawan di store tersebut.
Dalam industry QSR dikenal dengan biaya “Prime Cost” yang merupakan total dari biaya bahan
baku dan biaya karyawan(Dittmer and Keefe III 2009, 9:15), “Prime Cost” ini menjadi biaya utama
dalam industry QSR , dimana sekitar 60% dari total sales merupakan biaya “Prime Cost” (“7
Restaurant Performance Metrics and How to Calculate Them” 2017), sehingga perlu dikelola dengan
baik.
Dalam mengelola “Prime Cost” ini penulis mengambil salah satu aspek yaitu karyawan yang
merupakan salah satu dari 2 faktor biaya dari “Prime Cost”. Dengan mengelola karyawan dengan
baik diharapkan dapat mengurangi turnover karyawan sekaligus mengurangi biaya pelatihan dan
terutama dapat tetap menjaga kualitas operasional restoran pada tingkat yang baik.
289
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Followership
Followership diperkenalkan oleh Robert Kelley dalam literatur di Harvard Business Review
(Kelley 1988),
dari hasil pemantauan Kelley pada perusahaan dimana saat terjadi resesi, di
perusahaan dilakukan perampingan bahkan sampai beberapa divisi tidak lagi di pimpin oleh seorang
leader, tetapi langsung di pimpin oleh supervisor yang lebih tinggi lagi. Dari kondisi ini Kelley
melihat ada bawahan yang tetap aktif bekerja walaupun tidak ada leader yang memantaunya.
Kelley lebih lanjut menjelaskan dalam suatu organisasi pada kenyataannya lebih banyak
orang yang berlaku sebagai bawahan dibandingkan dengan sebagai atasan, penelitian ini menjadi
penting agar dapat lebih memahami karakteristik seorang bawahan pada tempat kerja(Martin 2015),
tanpa ada pengaruh seberapa usia follower ataupun atasannya karena merupakan karakteristik
individu masing-masing seperti dianalisa dalam disertasi Johnson. (Johnson 2014)
Pada Gambar 1. Followership Style dijelaskan komponen komponen yang berkontribusi terhadap
followership style yang terdiri dari 2 komponen yaitu pasif - aktif (sumbu x) sedangkan ‘Dependent
Uncritical Thinking’ (sumbu y). dan mengelompokan style of followership menjadi beberapa kategori
yaitu :
a. sheep
b. Yes people
c. Effektif follower
d.Alienated follower
Gambar 1. Followership style (Kelley, 1998)
Setiap follower memiliki hubungan dengan leadernya, hal ini sudah banyak di kaji dalam
peneletian terdahulu, Fineman pada tahun 2002 menemukan hubungan emosional yang erat antara
follower dan leader begitu pula Ricketson (2008) dalam disertasinya meneliti peran follower dalam
industri QSR. Penelitian Sherrill pada tahun 2015 dengan judul “An Exploration of the Relationship
between Transformational Leadership and Courageous Followership Behaviors in Law Enforcement”
mendapati bahwa followerhsip tidak dipengaruhi oleh style dari atasannya (Sherrill 2015).
Menilik penelitian sebelumnya peneliti berprediksi seorang follower yang baik akan dapat
bekerja dengan baik dengan maupun tanpa kehadiran seorang atasan. Untuk itulah penelitian studi
pustaka ini bertujuan menemukan framework hubungan antara karakteristik seorang follower
290
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
(followership style) terhadap kepuasan kerja di industri QSR sehingga dapat menurunkan turnover
karyawan di perusahaan.
Hubungan Atasan Bawahan (LMX)
LMX (Leader Member Exchange) pada awalnya digunakan untuk menggambarkan proses
sosial psikologis antara pemimpin dan pengikut yang melibatkan hubungan interpersonal antara
keduanya. Berawal dari penelitian hubungan (vertical Dyad) antara pemimpin dan bawahan (J. Graen
et al. 1975) dan berkembang terus sampai saat ini, dimana hubungan atasan-bawahan memiliki
dampak terhadap kepuasan kerja dan tingkat berhentinya karyawan(Monahan 2013) serta
berpengaruh terhadap performance kerja karyawan.(Chernyak-hai and Tziner 2014). Dimana kualitas
LMX antara atasan bawahan ini semakin baik bila seorang atasan dapat membantu mengatur emosi
bawahan saat bawahan stress, frustasi sehingga kepuasan kerja bawahan menjadi meningkat(Little,
Gooty, and Williams 2016).
Hasil yang di dapat LMX atasan bawahan saat ini tidak cukup berpengaruh terhadap
performance kerja bawahan, malahan ada membuat negatif efek bagi bawahan di era organisasi saat
ini yang lebih mendasari pemberian reward dari performance bawahan dibandingkan kedekatan
bawahan dengan atasan.(Chen, Yu, and Son 2014) melalui penelitian membandingkan LMX dan
LMG dengan menggunakan variabel LMG yang telah dibuat sebelumnya (Chen et al. 2009)
Penelitian mengenai LMX untuk mendapatkan kualitas hubungan antara atasan-bawahan
dimana dapat menggunakan LMX-7 yang di adaptasi dari Graen dan Uhl-Bien(G. Graen 2010), dari
kualitas LMX ini akan di analisa keterkaitannya dengan job satisfaction dan job performance.
Penelitian LMX menunjukkan bahwa kualitas hubungan yang terjadi antara pemimpin bawahan
berdampak penting pada tingkat individu. Bukti jelas bahwa anggota yang memiliki pertukaran
berkualitas tinggi dengan para pemimpin mereka mengalami performance yang diinginkan dan
bermanfaat, seperti dukungan yang lebih besar, tugas yang diinginkan, promosi, sehingga teori LMX
adalah salah satu teori yang paling diteliti dan didukung kepemimpinan.
Implikasi akhir untuk praktek manajemen adalah bahwa hubungan pemimpin-anggota
berkembang melalui proses resmi, interpersonal yang menciptakan kualitas tertentu. Karakteristik
anggota dan pemimpin, serta karakteristik interpersonal, mempengaruhi perkembangan hubungan
atasan-bawahan, hubungan ini tidak semata-mata berdasarkan kinerja anggota atau kompetensi.
Sebaliknya, satu set karakteristik yang baik dapat mengurangi atau meningkatkan pengaruh,
hormat, loyalitas, dan kontribusi antara pihak-pihak menghasilkan kualitas hubungan atasan-bawahan.
Implikasinya adalah bahwa baik pemimpin dan anggota yang harus proaktif dan efektif mengelola
hubungan pertukaran antar atasan-bawahan sehingga menghasilkan kinerja yang diinginkan untuk
keduanya serta untuk organisasi secara keseluruhan.
Dari studi pustaka mengenai hubungan atasan bawahan serta studi pustaka followership style,
menghasilkan kesimpulan perlunya penelitian mengenai hubungan antara followership style terhadap
hubungan atasan bawahan dan apakah hubungan ini berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan
tersebut.
Kepuasan kerja
Kepuasan kerja atau Job Satisfaction menjadi salah satu tolok ukur dalam menggambarkan
hubungan dengan keluarnya sesorang dari tempat kerjanya(Tett and Meyer 1993) yang juga nantinya
berhubungan dengan performance kerja individu tersebut (Berghe 2011). Untuk di Indonesia pekerja
291
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
yang tidak puas terhadap pekerjaan saat ini adalah 17% dan ini yang memiliki potensi keluar dari
pekerjaannya sekarang (Michael Page Data Services 2015)
Kepuasan kerja ini berhubungan erat dengan turnover , dimana seseorang yang puas dalam
pekerjaannya memiliki kemungkinan yang kecil untuk keluar dari pekerjaan tersebut.(Mudor and
Phadett 2011; Mobley 1977)
Dari studi pustaka mengenai kepuasan kerja serta studi pustaka followership style,
menghasilkan kesimpulan perlunya penelitian yang menghubungkan kepuasan kerja dengan
followership style.
Selain itu berkaitan dengan hubungan atasan bawahan, perlu penelitian mengenai peranan
hubungan atasan bawahan terhadap hubungan followership style dengan kepuasan kerja karyawan
Turnover Intention
Penelitian mengenai turnover banyak dilakukan, bahkan secara meta analytics dimana
melakukan / menggabungkan beberapa hasil penelitian sebelumnya dengan topik dan variabel yang
mirip untuk di analisa ulang dengan sample yang lebih besar untuk mendapatkan informasi yang lebih
akurat dari data yang besar tersebut.(Borenstein et al. 2009).
Meta analitics mengenai employee retention dilakukan oleh Bidisha Lahkar Das dalam
literatur reviewnya. Kompensasi, reward & recognition, promosi, leader yang sesuai merupakan
antecedent dari kepuasan kerja dan kepuasan kerja yang baik membuat seorang pekerja puas dalam
bekerja sehingga mengurangi angka turnover.(Das and Baruah 2013)
Turnover Intention merupakan keinginan seseorang untuk keluar dari perusahaan, baru
berkeinginan belum sampai pada tahap realisasi yaitu melakukan perpindahan dari satu tempat kerja
ke tempat kerja lainnya. Banyak alasan yang menyebabkan timbulnya turnover intention ini dan
diantaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, hubungan dengan atasan
maupun kondisi / lingkungan kerja yang kurang disukai.(Abelson 1987)
Penelitian turnover yang berhubungan dengan leadership mencapai 384.000 hasil pencarian
di google scholar, namun pada saat yang bersamaan penelitian turnover yang berhubungan dengan
followership baru mencapai 3.300 penelitian. Hal ini menyatakan betapa sedikitnya penelitian
mengenai turnover yang berkaitan dengan followership, lebih kecil lagi bila dibandingkan penelitian
topik turnover yang mencapai total 2.720.000 penelitian. (data di search pada tanggal 15 Desember
2016, pk. 5:36). Sebagai dampaknya, penelitian mengenai followership dan hubungannya dengan
turnover menjadi sangat penting untuk menambah pengetahuan dari sisi akademis.
METODE PENELITIAN
Riset yang dilakukan di sini bersifat konseptual, dimana akan melakukan penelitian literatur
/ studi pustaka terdahulu dalam rangka menjelaskan keterkaitan dan hubungan antara variabel serta
model pengembangannya dalam penelitian ini. Pernyataan-pernyataan dibuat dengan melihat
hubungan antara variabel tersebut yang didukung oleh teori serta penelitian-penelitian sebelumnya.
Turnover karyawan memiliki dampak besar di industri QSR, dengan terbatasnya jumlah
karyawan toko membuat tidak dapatnya sebuah toko / restoran melayani konsumen dengan baik bila
karyawan toko tersebut berkurang. Antrian konsumen menjadi lebih lama membuat beberapa
konsumen beralih ke toko / restoran lainnya. Oleh karena itu, mengurangi kecenderungan karyawan
keluar menjadi sangat penting dalam industri QSR ini.
292
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Salah satu yang terpenting yang mempengaruhi turnover adalah kepuasan kerja dari karyawan
tersebut pada kondisi kerja yang berat dan berubah-ubah pada industri QSR. Banyak faktor / variabel
yang mempengaruhi tingkat kepuasan karyawan dalam sebuah perusahaan, pada QSR dengan
keterbatasan ruang membuat jumlah karyawan yang terbatas serta jenjang karier yang sedikit (crew,
cashier, leader, manager), faktor ini merupakan faktor yang tidak dapat dihindari sehingga faktor ini
tidak di analisa pada penelitian ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan, peneliti mengambil variabel hubungan
atasan bawahan sebagai faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, hal ini didasarkan pada
pengamatan yang dilakukan di industri QSR dimana jumlah karyawan yang terbatas sehingga
interaksi antara atasan-bawahan penulis anggap penting, terlebih lagi intensitas hubungan atasanbawahan yang terjadi sangat sering di industri QSR ini.
Faktor utama adalah tipe pengikut dimana pada kondisi di lapangan, turnover yang terjadi
terutama pada karyawan di level leader kebawah, semakin rendah semakin tinggi tingkat turnovernya.
Oleh karena itu bila dilakukan analisa terhadap tipe follower dikaitkan dengan hubungan
atasan-bawahan maka diharapkan kepuasan kerja individu tersebut lebih baik dan pada akhirnya
berpengaruh terhadap tingkat turnover karyawan di toko tersebut.
Adapun framework tersebut diatas penulis tuangkan dalam bentuk diagram seperti terlihat pada
gambar 2.
Leader
Member
Exchange
H1
H3
Followership
Style
H2
Job
Satisfact
ion
H4
Turnover
Intention
Gambar. 2. Kerangka Pemikiran Kepengikutan dan Peran Pemimpin Dalam Meningkatkan Keunggulan
Bersaing Perusahaan melalui pengurangan turnover
293
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
PENUTUP
Simpulan
Hasil dari literatur review ini didapat framework untuk meningkatkan daya saing perusahaan
melalui penurunan turnover dengan menganalisa follower behavior yang dipadukan dengan
komunikasi antara atasan dan bawahan (LMX).
Manfaat riset ini dapat dilihat dari dua perspektif:
Perspektif teoritis - ilmiah
Penelitian ini berguna untuk memperkaya dan memperluas penelitian tentang teori
followership, khususnya dengan memberikan pengetahuan tambahan tentang pengaruh moderator
variabel kualitas hubungan pemimpin-anggota dan hubungan followership dan kepuasan kerja, yang
pada gilirannya memberikan kontribusi untuk kinerja perusahaan.
Perspektif praktis - aplikatif
Penelitian ini memberikan kontribusi untuk industri jasa makanan (lebih khusus pada QSR)
mengenai jenis gaya followership yang tepat untuk meningkatkan kinerja masing-masing toko
melalui variabel mediasi kualitas hubungan pemimpin-anggota. Dimana untuk mengetahui jenis gaya
followership masing-masing individu dapat dilakukan dengan cara followership gaya mengubah
melalui manajemen sumber daya manusia dalam rangka untuk terus meningkatkan kinerja toko di
industri jasa makanan..
Keterbatasan Penelitian
Penelitian dalam riset ini hanya menghasilkan framework yang digali dari sintesa beberapa
literatur yang berhubungan antara variabel yang di analisa. Sehingga masih perlu dibuktikan lebih
lanjut dengan melalui analisa kuantitatif maupun kualitatif.
Saran
Perlu dilakukan analisa lebih lanjut secara kuantitatif maupun kualitatif pada industri QSR
untuk membuktikan ketepatan dari framework tersebut.
294
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
DAFTAR PUSTAKA
“7 Restaurant Performance Metrics and How to Calculate Them.” 2017. Accessed April 27.
https://pos.toasttab.com/blog/how-to-calculate-restaurant-performance-metrics.
Abelson, M.1987. “Examination of Avoidable and Unavoidable Turnover.” Journal of Applied
Psychology 72 (3): 382–86. doi:10.1037/0021-9010.72.3.382.
AbuAlRub, Raeda, Fadi El-Jardali, Diana Jamal, and Nawzat Abu Al-Rub. 2015. “Exploring the
Relationship between Work Environment, Job Satisfaction, and Intent to Stay of Jordanian
Nurses in Underserved Areas.” Applied Nursing Research 31. Elsevier B.V.: 19–23.
doi:10.1016/j.apnr.2015.11.014.
Berghe, Jae Vanden. 2011. “Job Satisfaction and Job Performance at the Work Place.” International
Business, 51.
http://www.theseus.fi/bitstream/handle/10024/28669/Vanden_Berghe_Jae.pdf?sequence=1.
Borenstein, Michael, Larry V. Hedges, Julian P. T. Higgins, and Hannah R. Rothstein. 2009.
Introduction to Meta-Analysis. Psychotherapy Research Journal of the Society for
Psychotherapy Research. Vol. 19. doi:10.1002/9780470743386.
Chen, Ying, Ray Friedman, Enhai Yu, Weihua Fang, and Xinping Lu. 2009. “SupervisorSubordinate Guanxi: Developing a Three-Dimensional Model and Scale.” Management and
Organization Review 5 (3). doi:10.1111/j.1740-8784.2009.00153.x.
Chen, Ying, Enhai Yu, and Jooyeon Son. 2014. “Beyond Leader-Member Exchange (LMX)
Differentiation: An Indigenous Approach to Leader-Member Relationship Differentiation.”
Leadership Quarterly 25 (3). Elsevier Inc.: 611–27. doi:10.1016/j.leaqua.2013.12.004.
Chernyak-hai, Lily, and Aharon Tziner. 2014. “Journal of Work and Organizational Psychology”
30: 1–12.
Choi, Daejeong. 2013. “Differentiated Leader-Member Exchange and Group Effectivenessβ€―: A Dual
Perspective.” University Of Iowa.
Das, Bidisha Lahkar, and Mukulesh Baruah. 2013. “Employee Retentionβ€―: A Review of Literature”
14 (2): 8–16.
Dittmer, Paul, and J. Desmond Keefe III. 2009. Principles of Food, Beverage and Labor Cost
Control. Principles of Food, Beverage, and Labor Cost Controls. Ninth. Vol. 9. willey.
doi:10.1177/109634807600100113.
Graen, G. 2010. “Leader-Member Exchange Scale.” Leadership Quarterly 6 (Lmx): 2010.
Graen, Joan, Carline Haga, Ginny Ingersoll, Chip Johnson, John Kimberly, Walter Franke, National
Science Foundation, and Human Resources. 1975. “A Vertical Dyad Linkage Approach to
Leadership within Formal Organizations A Longitudinal Investigation of the Role Making
Process.” Organizational Behavior and Human Performance 13: 46–78.
Johnson, R. 2014. “Follow Meβ€―! Followership , Leadership and the Multigenerational Workforce.”
Nova Southeastern University NSUWorks. http://nsuworks.nova.edu/hsbe_etd/3.
Judge, Timothy A., and Joyce E. Bono. 2001. “Relationship of Core Self-Evaluations Traits--SelfEsteem, Generalized Self-Efficacy, Locus of Control, and Emotional Stability--with Job
Satisfaction and Job Performance: A Meta-Analysis.” The Journal of Applied Psychology 86
(1): 80–92. doi:10.1037/0021-9010.86.1.80.
Kelley, R E. 1988. “In Praise of Followers.” Harvard Business Review 66 (6): 142–48. doi:Article.
295
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Kumari, Geeta, and K M Pandey. 2011. “Job Satisfaction in Public Sector and Private Sectorβ€―: A
Comparison.” International Journal of Innovation, Management and Technology 2 (3): 222–
28.
Little, Laura M, Janaki Gooty, and Michele Williams. 2016. “The Role of Leader Emotion
Management in Leader – Member Exchange and Follower Outcomes.” The Leadership
Quarterly 27 (1). The Authors: 85–97. doi:10.1016/j.leaqua.2015.08.007.
Martin, R. 2015. “A Review of the Literature of the Followership Since 2008: The Importance of
Relationships and Emotional Intelligence.” SAGE Open 5 (4): 9.
doi:10.1177/2158244015608421.
Michael Page Data Services. 2015. “2015 Employee Intentions Report Indonesia.”
http://www.michaelpage.com.sg/sites/michaelpage.com.sg/files/2015_SGMP_EMPLOYEE_I
NTENTIONS_FINAL_0.pdf.
Mobley, William H. 1977. “Intermediate Linkages in the Relationship Between Job Satisfaction and
Employee Turnover.” Journal of Applied Psychology 62 (2): 237–40.
Monahan, Kelly. 2013. “What Do Values Have to Do with It?: An Exploration into the Moderating
Impact of Work Values on the Relationship between Leader-Member-Exchange and Work
Satisfaction.” Academy of Strategic Management Journal 12 (1): 95–112.
Mudor, Hamdia, and Tooksoon Phadett. 2011. “Conceptual Framework on the Relationship
between Human Resource Management Practices, Job Satisfaction, and Turnover.” Journal of
Economic and Behaviors Studies 2 (2): 41–49. http://ifrnd.org/Research Papers/J2(2)1.pdf.
Oyetunji, Christianah O. 2013. “The Relationship between Followership Style and Job Performance
in Botswana Private Universities.” International Education Studies 6 (2): 179–87.
doi:10.5539/ies.v6n2p179.
Sherrill, Robynne Lynne. 2015. “An Exploration of the Relationship between Transformational
Leadership and Courageous Followership Behaviors in Law Enforcement.” ProQuest
Dissertations and Theses. Regent University, Virginia Beach, Virginia. http://navigatoriup.passhe.edu/login?url=http://search.proquest.com/docview/1669973505?accountid=11652%
5Cnhttp://fn9cr5xf4p.search.serialssolutions.com/?ctx_ver=Z39.882004&ctx_enc=info:ofi/enc:UTF8&rfr_id=info:sid/ProQuest+Dissertations+%26+Theses+Glob.
Tett, R.P., and J.P. Meyer. 1993. “Job Satisfaction, Organizational Commitment, Turnover
Intention, and Turnover: Path Analyses Based on Meta-Analytic Findings.” Personnel
Psychology 46: 259–93. doi:10.1111/j.1744-6570.1993.tb00874.x.
296
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
ANALISIS PENGARUH BELANJA MODAL TERHADAP INDEKS
PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI JAMBI
Yohanes Vyn Amzar
Universitas Jambi
[email protected]
Abstract: This study aimed to identify the effect of capital spending to human development index in Jambi Province. To
see the effect of the capital expenditure of the human development index 2009-2013 period. This research using analysis
method of time series data with VAR models (Vector auto regression).Based on the analysis that has been done shows
that capital expenditure have positive and significant impact in human development index over the study period. That is
the higher of capital expenditure allocated for public services, the higher human development index in Jambi
Province.Meanwhile, based on the results of causality test showed there is feedback between capital expenditure and
human development index. Where capital expenditure affect the HDI and HDI effect on capital spending. In the study
period, if there is an unstable or a shake it will affect the human development in Jambi Province. Thus, the unstable that
occur will have positive impacts on the HDI to improve the human development index in Jambi Province.
Keywords:
Capital Expenditure, Human Development Index, VAR (Vectorautoregression)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia
di Provinsi Jambi. Untuk melihat pengaruh Belanja Modal terhadap indeks pembangunan manusia periode 2009-2013
digunakan metode analisis data time series dengan model VAR (Vectorautoregression). Berdasarkan hasil analisis yang
telah dilakukan diperoleh hasil bahwa belanja modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap indeks pembangunan
manusia selama periode penelitian. Artinya, semakin tinggi belanja modal yang dialokasikan untuk pelayanan publik
maka semakin tinggi pula indeks pembangunan manusia di Provinsi Jambi. Sedangkan, berdasarkan hasil uji kausalitas
menunjukkan hubungan dua arah atau timbal balik antara belanja modal dan indeks pembangunan manusia. Dimana
belanja modal berpengaruh terhadap IPM dan IPM berpengaruh terhadap belanja modal. Dalam periode penelitian jika
terjadi shock atau guncangan pada Belanja Modal maka akan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi
Jambi. Jadi, adanya shock atau guncangan yang terjadi pada Belanja Modal akan memberikan dampak positif terhadap
IPM yaitu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi.
Kata Kunci :
Belanja Modal, Indeks Pembangunan Manusia, VAR(Vectorautoregression)
PENDAHULUAN
Dalam perencanaan pembangunan saat ini, pembangunan manusia senantiasa berada di baris
terdepan. Todaro dan Smith dalam Hendarmin (2012) mengartikan pembangunan ekonomi pada
hakekatnya adalah suatu proses perbaikan yang berkesinambungan dari suatu masyarakat atau sistem
sosial secara keseluruhan menuju kepada kehidupan yang lebih baik. Proses pembangunan bertujuan
untuk meningkatkan taraf hidup kesejahteraan rakyat serta harkat dan martabat manusia yang
meliputi peningkatan berbagai barang kebutuhan pokok, peningkatan standar hidup serta perluasan
pilihan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat.
Dalam hal ini tugas mempertinggi tingkat kesejahteraan bukan hanya kewajiban pemerintah,
tetapi juga seluruh komponen masyarakat. Untuk itu, pemerintah daerah harus mampu mendorong
dan memberdayakan seluruh komponen masyarakat, khususnya dalam mengalokasikan belanja
langsung terutama belanja modal yang digunakan untuk pembangunan publik, untuk berperan lebih
besar dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
297
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Ada salah satu komponen yang dapat mempengaruhi pembangunan manusia, di antaranya
adalah belanja modal pemerintah daerah. Belanja modal pemerintah secara umum dialokasikan untuk
membangun sarana dan prasarana yang selanjutnya diharapkan akan dapat mempertinggi intensitas
kegiatan ekonomi. Kenaikan aktivitas ekonomi kemudian diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi yang kemudian akan memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, belanja modal pemerintah dalam pelaksanaannya memerlukan tenaga kerja sehingga akan
memperbesar penyerapan tenaga kerja, yang berarti pengangguran akan menurun, lebih banyak orang
yang bekerja dan memperoleh penghasilan, yang pada akhirnya akan menuju pada perbaikan
kesejahteraan masyarakat.
Tingkat pencapaian IPM salah satunya ditentukan oleh kemampuan keuangan daerah,
terutama kebijakan alokasi belanja modal dalam APBD terhadap komponen pembentuk IPM seperti
: pendidikan, kesehatan, ekonomi, Infrastruktur maupun komponen lainnya yang berpengaruh
terhadap pencapaian IPM. Perbaikan alokasi belanja langsung khususnya belanja modal untuk
kegiatan dan program pemerintah daerah diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembangunan
manusia.
Studi yang dilakukan oleh Christy dan Adi (2009) yang menganalisishubungan antara dana
alokasi umum, belanja modal dan kualitas pembangunan manusia dengan menggunakan data
sekunder dan analisis regresi sederhana, berkesimpulan bahwa Belanja Modal berpengaruh terhadap
IPM. Hal ini menunjukkan besarnya alokasi belanja modal akan menentukan pengalokasian dana bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari tingkat IPM.
Oleh karena itu studi yang menganalisis tentang indeks pembangunan manusia menarik untuk
dikaji lebih dalam, terutama jika dikaitkan dengan belanja pemerintah khususnya belanja modaldi
Provinsi Jambi. Judul yang dikemukan untuk studi tersebut adalah Analisis Pengaruh Belanja Modal
Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Povinsi Jambi.
Perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : (1) Bagaimana Belanja Modal mempengaruhi Indeks
Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi?, (2) Bagaimana hubungan kausalitas antara Belanja Modal
dengan Indeks Pembangunan Manusia?, (3) Bagaimana respon akibat perubahan belanja modal
terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi?.
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut laporan UNDP (2004), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) adalah indeks komposit
untuk mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup secara lebih
berkualitas, baik dari aspek kesehatan, pendidikan, maupun aspek ekonomi.
Secara umum metode penghitungan IPM sesuai dengan metode yang digunakan The United
Nations Development Programme (UNDP). IPM terdapat 3 indikator utama, yaitu indikator
kesehatan, tingkat pendidikan dan indikator ekonomi. Pengukuran ini menggunakan tiga dimensi
dasar, yaitu: lamanya hidup, pengetahuan, dan kehidupan yang layak.
UNDP sudah merubah metodologi penghitungan IPM sejak tahun 2010 dan direvisi tahun
2011. Seperti diketahui, IPM merupakan indeks komposit hasil agregasi tiga jenis indeks masingmasing mewakili dimensi pembangunan manusia, yakni indeks kesehatan, indeks pendidikan dan
indeks standar hidup. Perubahan mendasar dalam perhitungan IPM dengan metode baru mencakup
penggunaan indikator harapan lama sekolah (HLS) menggantikan indikator angka melek huruf
(AMH) dalam perhitungan indeks pendidikan dan penggunaan indikator pendapatan nasional bruto
(PNB) per kapita menggantikan produk domestik bruto (PDB) per kapita dalam perhitungan indeks
standar hidup. Agregasi indeks juga mengalami perubahan. Semula, agregasi indeks menggunakan
298
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
rata-rata hitung. Pada IPM dengan metode baru, perhitungan indeks menggunakan rata-rata ukur
(geometrik).
Menurut Suyanto dalam Sumiyati (2011), pada hakekatnya pembangunan adalah
pembangunan manusia,sehingga perlu diprioritaskan alokasi belanja untuk keperluan ini dalam
penyusunananggaran.Perbaikan pengalokasian dana untuk belanja modal selain belanja rutin ikut
menopang perbaikan kesejahteraan dalam mencapai pembangunan manusia.Abdullah dan
Sumardjoko (2014), memberikan definisi bahwa belanja modal merupakan pendanaan kebutuhan
akan sarana dan prasarana baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun fasilitas
layanan publik.
Menurut Mardiasmo dalam Christy (2009), menyatakan bahwa dalam era otonomi,
pemerintah daerah harus semakin mendekatkan diri pada berbagai pelayanan dasar masyarakat. Oleh
karena itu, alokasi belanja modal memegang peranan penting guna peningkatan pelayanan
ini.Penyediaan infrastruktur di berbagai bidang baik jaringan, jalan, sarana pendidikan dan juga
pembangunan fasilitas kesehatan diharapkan mendorong kualitas hidup dan tingkat kecerdasan
masyarakat. Belanja modal daerah seperti penyediaan gedung, sarana dan prasarana sekolah
menciptakan kenyamanan pendidikan yang selanjutnya mendorong kualitas pembangunan manusia.
Adanya peningkatan belanja modal yang dialokasikan untuk pembiayaan pembangunan
pelayanan publik baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun infrastruktur secara tidak
langsung diharapkan akan meningkatkan kualitas pembangunan dan mutu hidup manusia. Perbaikan
pelayanan publik ini memang tidak secara langsung dapat dilihat hasilnya, untuk itu dibutuhkan
beberapa waktu agar dapat dilihat pengaruhnya terhadap kualitas hidup manusia. Dengan semakin
tingginya kualitas hidup manusia maka akan meningkatkan IPM pula.
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini adalahBelanja Daerah dan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi
Jambi. Semua data dari tahun 2009-2013 yang dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi
Jambi, yang bersumber dari Buku Laporan Statistik Keuangan Pemerintah Daerahdan Laporan
Tahunan BPS berbagai edisi.
Metode Analisis dan Pengolahan Data
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program EViews7.0dan metode
interpolasi untuk mengolah data. Interpolasi data merupakan metode pemecahan data menjadi bentuk
kuartalan, dimana data setahun dibagi menjadi empat data dalam bentuk kuartalan. Dalam melakukan
interpolasi data, digunakan metode quadratic match average dengan menggunakan EViews 7.0.
Dalam penulisan penelitian ini, model yang digunakan yaitu model VAR (Vector
Autoregression). Untuk memenuhi syarat dalam uji tersebut, maka terlebih dahulu harus dilakukan
beberapa tahapan pengujian yaitu :
Uji Stasioneritas (Unit Root Test)
Pengujian akar unit ini sering juga disebut dengan stationary stochastic process, karena pada
prinsipnya pengujian dilakukan untuk mengamati apakah koefisien tertentu dari model otogresif yang
ditaksir mempunyai nilai satu atau tidak. Dalam analisis time series, informasi tentang stasioneritas
suatu data series merupakan hal yang sangat penting karena mengikutsertakan variabel yang non
299
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
stasioner ke dalam persamaan estimasi koefisien regresi akan mengakibatkan standard error yang
dihasilkan menjadi bias.
Pada penelitian ini, uji stasioneritas dilakukan dengan menggunakan metode Augmented
Dickey-Fuller Test (ADF). Uji stasioneritas ini didasarkan atas hipotesis nol variabel stokastik
memiliki unit root. Dengan menggunakan model uji ADF test, hipotesis nol dan dasar pengambilan
keputusan lainnya yang digunakan dalam uji ini didasarkan pada nilai kritis MacKinnon sebagai
pengganti uji-t. Selanjutnya nisbah t tersebut dibandingkan dengan nilai kritis statistik pada t tabel
ADF untuk mengetahui ada atau tidaknya akar-akar unit. Jika hipotesa diterima berarti variabel
tersebut tidak stasioner, maka perlu dilakukan uji derajat integrasi. Uji derajat integrasi dimaksudkan
untuk melihat pada derajat atau order diferensi ke berapa data yang diamati akan stasioner.
Uji Kointegrasi
Apabila terdapat data yang stasioner pada proses diferensi data, maka kita harus melakukan
uji kointegrasi untuk mengetahui apakah data mempunyai hubungan dalam jangka panjang atau tidak.
Apabila terdapat kointegrasi maka model ini disebut model VECM, tetapi apabila tidak terdapat
kointegrasi maka model ini disebut model VAR dengan data diferensi (VAR in difference).Metode
yang dapat digunakan untuk melakukan uji kointegrasi, seperti Engle-Granger Cointegration Test,
Johansen Cointegration Test, dan Cointegration Regression Durbin-Watson Test.
Uji Kausalitas (Granger Causality)
Kausalitas Granger dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara variabel satu dengan
variabel yang lain dan menunjukkan arah hubungan sebab akibat.Kausalitas Granger hanya menguji
hubungan antar variabel dan tidak melakukan estimasi terhadap model.Secara matematis, persamaan
kausalitas Granger untuk 2 variabel dapat dituliskan sebagai berikut :
Yt= Σ aiYt-i + Σ bjXt-j + vt; X → Y jika bj > 0
Xt= Σ ciYt-i + Σ djXt-j + ut ; Y → X jika dj > 0
Adapun rumusan model kausalitas antara belanja modal dan indeks pembangunan manusia diajukan
dalam penelitian ini adalah :
IPMt = α IPMt-1 + β BMt-1.........(1)
BMt = 𝜸 IPMt-1 + 𝜹 BMt-1........(2)
Model VAR
Model VAR yang dikembangkan oleh Sims dalam Enders (2004) yang dikutip dari Hafidh
(2011), mengasumsikan bahwa seluruh variabel dalam persamaan simultan adalah variabel endogen.
Asumsi ini diterapkan karena seringkali penentuan variabel eksogen dalam persamaan simultan
bersifat subyektif. Dalam VAR, semua variabel tak bebas dalam persamaan juga akan muncul sebagai
variabel bebas dalam persamaan yang sama. Pendekatan VAR merupakan permodelan setiap variabel
endogen dalam sistem sebagai fungsi dari lag semua variabel endogen dalam sistem. Berdasarkan
standard form dalam model VAR, bentuk umum model empirisnya adalah sebagai berikut:
𝒀𝒕 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏 𝒀𝒕−𝒏 + 𝜷𝟐 𝑿𝒕−𝒏 + 𝒆𝒕
dimana :
Y
X
β0
𝛽1, 𝛽2
et
t
: Indeks Pembangunan Manusia ( Variabel Tidak Bebas)
: Belanja Modal (Variabel Bebas)
: Konstanta
: Koefisien regresi
: Kesalahan unsur penganggu / standar error
: Periode waktu (2009,…,2013)
300
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
t-n
: Periode sebelumnya
Adapun estimasi model VAR untuk melihat pengaruh Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan
Manusia di Provinsi Jambi dapat dituliskan sebagai berikut :
𝑰𝑷𝑴𝒕 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏 𝑰𝑷𝑴𝒕−𝒏 + 𝜷𝟐 𝑩𝑴𝒕−𝒏 + 𝒆𝒕 ......................
(4)
𝑩𝑴𝒕 = 𝜷𝟎 + 𝜷𝟏 𝑩𝑴𝒕−𝒏 + 𝜷𝟐 𝑰𝑷𝑴𝒕−𝒏 + 𝒆𝒕 .........................
(5)
dimana :
IPM : Indeks Pembangunan Manusia (%)
BM : Belanja Modal (Juta Rupiah)
β0
: Konstanta
𝛽1, 𝛽2 : Koefisien regresi
et
: Unsur kesalahan penganggu / standar error
t
: Periode waktu (2009,…,2013)
t-n
: Periode sebelumnya
Analisis Impuls Response Function (IRF)danForecast Error Decomposition of Variance (FEDV)
Menurut Juanda dan Junaidi (2012), model VAR dapat digunakan untuk melihat dampak
perubahan satu variabel terhadap variabel lainnya secara dinamis. Caranya adalah dengan
memberikan shock pada salah satu variabel endogen. Kejutan yang diberikan biasanya sebesar satu
standar deviasi dari variabel (disebut innovations). Penelusuran pengaruh kejutan yang dialami oleh
suatu variabel terhadap nilai semua variabel pada saat ini maupun pada beberapa periode mendatang
disebut teknik Impulse Response Function (IRF). Pada dasarnya IRF menggambarkan lintasan (path)
dimana suatu variabel akan kembali kepada keseimbangannya setelah mengalami kejutan dari
variabel lain.
FEDV bertujuan untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap peubah karena
adanya perubahan peubah tertentu dalam sistem VAR. Analisis FEDV digunakan untuk
menggambarkan relatif pentingnya setiap peubah dalam sistem VAR karena adanya kejutan. Hasil
variance decomposition menunjukkan kekuatan hubungan Granger Causality yang mungkin ada
diantaraanalisis dampak variabel. Dengan kata lain, jika suatu variabel menjelaskan porsi yang besar
mengenai forecast error variance dari variabel yang lain, maka hal tersebut mengindikasikan adanya
hubungan Granger Causality yang kuat.
Operasional Variabel
Variabel diartikan sebagai objek pengamatan peneltian atau faktor-faktoryang berperan dalam
peristiwa dan fenomena-fenomena yang akan diteliti.Variabel-variabel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Indeks komposit untuk mengukur pencapaian kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup
secara lebih berkualitas, dilihat dari aspek kesehatan, pendidikan, maupun aspek ekonomi. Data IPM
berupa data IPM di Provinsi Jambi yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik selama periode 20092013 yang kemudian diinterpolasikan menjadi data kuartal dan dinyatakan dalam satuan persen (%).
2. Belanja Modal (BM)
Alokasi belanja modal merupakan bagian dari belanja langsung yang didasarkan pada kebutuhan
daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun
untuk fasilitas publik. Data Belanja Modal berupa Belanja Modal di Provinsi Jambi yang diperoleh
dari buku publikasi Statistik Keuangan Pemerintah Daerah selama periode 2009-2013 yang kemudian
diinterpolasikan menjadi data kuartal dan dinyatakan dalam satuan juta rupiah.
301
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan regresi linear dengan model Vector Autoregression (VAR). Berikut hasil
olahan data yang telah dilakukan menurut prosedur yang telah ditentukan :
Hasil Uji Stasioneritas Data : Uji Akar Unit (Unit Root test)
Data time series dikatakan tidak mengandung unit root atau bersifat stasioner jika nilai
statistik ADFtest lebih besar dari nilai kritis MacKinnon 1%, 5%, dan 10 %. Uji dilakukan dengan
menggunakan program EViews 7.0 dengan hasil yang digambarkan melalui tabel yang telah
dilampirkan. Kesimpulan dari hasil uji akar unit yang telah dilakukan yaitu :
Tabel 1. Hasil Pengujian Unit Root Pada Tingkat Level
Variabel
IPM
BM
MacKinnon Critical Value
t-stat ADF
1%
-3.831511
4.006411
5%
10%
-3.029970
-2.655194
1%
-3.857386
5%
10%
-3.040391
-2.660551
Keterangan
Tidak
Stasioner
Tidak
Stasioner
0.368526
Sumber : Hasil olah data dengan menggunakan EViews 7.0
Tabel 1 menunjukkan bahwa variabel yang digunakan dalam penelitian tidak seluruhnya stasioner
pada tingkat level. Ketidakstasioneran data dilihat dari nilai t-ADF yang lebih kecil dari nilai kritis
MacKinnon pada taraf nyata 1%, 5% maupun 10% (terlampir). Oleh karena itu, pengujian akar-akar
unit ini perlu dilanjutkan pada tingkat first difference (Tabel 2) yaitu :
Tabel 2. Hasil Pengujian Unit Root Pada Tingkat FirstDifference
Variabel
IPM
BM
MacKinnon Critical Value
1%
-3.857386
5%
-3.040391
10%
-2.660551
1%
-3.857386
5%
-3.040391
10%
-2.660551
t-stat ADF
-2.201019
Keterangan
Tidak Stasioner
0.702376
Tidak Stasioner
Sumber : Hasil olah data dengan menggunakan EViews 7.0
Setelah dilakukan uji akar pada first difference, ternyata kedua variabel penelitian belum juga
dinyatakan stasioner karena nilai t-statistic ADF yang masih kecil dibanding nilai critical value
(terlampir). Artinya data yang digunakan pada penelitian ini tidak atau belum stasioner pada first
difference seperti yang terlihat pada Tabel 2. Oleh karena itu, pengujian akar-akar unit ini perlu
dilanjutkan pada tingkat second difference (Tabel 2.0) yaitu :
302
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Tabel 3. Hasil Pengujian Unit Root Pada Data 2nd Difference
Variabel
IPM
BM
MacKinnon Critical Value
1%
-3.886751
5%
-3.052169
10%
-2.666593
1%
-3.886751
5%
-3.052169
10%
-2.666593
t-stat ADF
-4.959883
Keterangan
Stasioner
-4.715736
Stasioner
Sumber : Hasil olah data dengan menggunakan EViews 7.0
Setelah dilakukan uji akar pada second difference, barulah semua data stasioner pada critical
value baik 1%, 5% maupun 10% (terlampir). Artinya data yang digunakan pada penelitian ini
terintegrasi atau stasioner pada tingkat second difference seperti yang terlihat pada tabel 3.
Hasil Uji Kointegrasi
Dari hasil uji stasioner diketahui bahwa terdapat data yang stasioner pada proses diferensi
data, maka untuk selanjutnya harus dilakukan uji kointegrasi. Berdasarkan hasil uji kointegrasi yang
telah dilakukan menggunakan Eviews 7.0 diketahui :
Max-Eigen Statistic = 9,245890
Critical Value 5%
= 14,26460
Dapat disimpulkan bahwa berdasarkan nilai Max-Eigen, nilai Max-Eigen test lebih kecil
daripada nilai kritis pada tingkat α=5%. Yaitu 9,24 < 14,26. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
terjadi kointegrasi antar variabel dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan jangka
panjang antara Indeks Pembangunan Manusia dan Belanja Modal (Hasil olahan data EViews dapat
dilihat pada lampiran).
Pengaruh Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi
Berikut hasil regresi analisis model VAR yang telah dilakukan dengan menggunakan EViews
7.0 : (Hasil regresi dapat dilihat pada hal lampiran)
Persamaan 1 :
IPMt = 18,519 + 2,352 IPMt-1 – 1,607 IPMt-2 + 5,796 BMt-1 – 5,842 BMt-2
F-stat = 4768,366
R2
= 0,999319
Artinya :
Nilai koefisien-nya bertanda positif dan nilai statistic F-nya berpengaruh signifikan pada tingkat
α=5%. Artinya, Belanja Modal berpengaruh signifikan terhadap Indeks Pembangunan
Manusia.Koefisien regresi variable BMt-1 sebesar 5,79. Artinya, Jika diasumsikan bahwa selama
metode penelitian Belanja Modal periode pertama meningkat sebesar 1 juta rupiah maka IPM periode
ini akan meningkat sebesar5,8%.Koefisien regresi variable BMt-2 sebesar-5,84. Artinya, Jika
diasumsikan bahwa selama metode penelitian Belanja Modal periode kedua meningkats ebesar 1 juta
rupiah maka IPM periode ini akan mengalami penurunan sebesar5,84 %.Nilai R-Squared-nyaa dalah
sebesar 0,99. Artinya :Variasi Perubahan (naik atau turunnya) belanja modal periode sebelumnya
mempengaruhi indeks pembangunan manusia sebesar 99%. Dan sisanya dipengaruhi oleh variable
lain yang tidak dimasukkan dalam penelitian.
303
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Persamaan 2 :
BMt = - 4184 - 8761 IPMt-1 + 1454 IPMt-2 + 0,723 BMt-1 + 0,285 BMt-2
F-stat = 9649,698
R2
= 0,999663
Artinya :
Nilai koefisien-nya bertanda positif dan negatif serta nilai statistikF-nya berpengaruh signifikan pada
tingkat α=5%. Artinya, Indeks Pembangunan Manusia berpengaruh signifikan terhadap Belanja
Modal.Koefisien regresi variable IPMt-1 sebesar-8761. Artinya, Jika diasumsikan bahwa selama
metode penelitian IPM periode pertama meningkat sebesar 1 % maka belanja modal periode ini akan
mengalami penurunan sebesar 8761 Juta Rupiah. Koefisien regresi variable IPMt-2 sebesar 1454.
Artinya, Jika diasumsikan bahwa selama metode penelitian IPM periode kedua meningkat sebesar 1
% maka BM periode ini akan meningkat sebesar 1454 Juta Rupiah. Nilai R-Squared-nya adalah
sebesar 0,99. Artinya :Variasi Perubahan (naik atau turunnya) IPM periode sebelumnya
mempengaruhi Belanja Modal sebesar 99%. Dan sisanya dipengaruhi oleh variable lain yang tidak
dimasukkan dalam penelitian.
Hubungan Kausalitas antara Belanja Modal dan Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi
Jambi
Granger Causality test digunakan untuk melihat hubungan kausalitas (timbal balik) antara
variabel-variabel yang diteliti yaitu IPM dan BM. Uji dilakukan dengan menggunakan program
EViews 7.0 dengan hasil yang digambarkan melalui tabel yang telah dilampirkan. Kesimpulan dari
hasil uji causality test yang telah dilakukan yaitu :
- BM does not Granger Cause IPM
= 0,0536
-
IPM does not Granger Cause BM
= 0,0051
Sehingga dapat disimpulkan bahwa :
- IPM mempengaruhi BM, karena nilai probabilitas-nya memenuhi tingkat signifikan α=5% →
(0,05= 0,05).
-
BM mempengaruhi IPM, karena nilai probabilitas-nya lebih kecil dari tingkat signifikan
α=5% → (0,005 <0,05).
Berdasarkan hasil uji Kausalitas Granger menunjukkan terjadi hubungan timbal balik atau
kausalitas dua arah antara IPM dan Belanja Modal selama kurun waktu 2009-2013. Pola atau arah
hubungan kausalitas adalah dari belanja modal ke IPM, dan dari IPM ke belanja modal. Tingginya
belanja modal menyebabkan meningkatnya IPM, begitu juga sebaliknya meningkatnya IPM
mendorong meningkatnya belanja modal.
Analisis Respon Akibat Perubahan Belanja Modal terhadap Indeks Pembangunan Manusia di
Provinsi Jambi.
304
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Analisis Impuls Response Function (IRF)
Analisis impulse response dilakukan untuk melihat dampak shock (guncangan) Indeks Pembangunan
Manusia pada horizon waktu ke depan. Berikut hasil grafik analisis impuls response yang telah
dilakukan dengan alat analisis EViews 7.0 :
Gambar 1. Grafik Impuls Response (IRF)
Response to Cholesky One S.D. Innovations
Res ponse of IPM to IPM
Res ponse of IPM to BM
.030
.030
.025
.025
.020
.020
.015
.015
.010
.010
.005
.005
.000
.000
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
Response of BM to IPM
6,000
4,000
4,000
2,000
2,000
0
0
-2,000
-2,000
-4,000
-4,000
-6,000
-
6
7
8
9
10
8
9
10
-6,000
1
-
5
Response of BM to BM
6,000
-
4
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
Pada grafik response of IPM to BM, menjelaskan respon IPM karena adanya shock atau kejutan
pada variabel BM. Perubahan belanja modal ini
dibutuhkan waktu satu triwulan untuk dapat meningkatkan IPM yang kemudian kembali normal
pada triwulan ke 5 hingga ke 10 tetapi dengan peningkatan yang kecil.
Pada grafik response of BM to IPM, menjelaskan respon BM karena adanya kejutan pada
variabel IPM. Adanya kejutan pada IPM pada triwulan pertama menyebabkan terjadinya
penurunan belanja modal pada triwulan kedua. Peningkatan IPM pada triwulan pertama hingga
kelima rata-rata mengalami peningkatan tetapi masih berada dibawah titik keseimbangan yang
berdampak negatif terhadap peningkatan belanja modal. Setelah triwulan ke-6, kejutan yang
terjadi pada IPM menyebabkan belanja modal kembali normal dan mengalami peningkatan
yang positif hingga triwulan ke-10. Jadi, untuk dapat meningkatkan Belanja Modal ini
dibutuhkan waktu 6 triwulan yang kemudian belanja modal kembali normal dan mengalami
peningkatan.
305
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Forecast Error Decomposition of Variance (FEDV)
Variance Decomposition berguna untuk memprediksi kontribusi presentase varian setiap
variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VAR. Analisis FEDV digunakan
untuk menggambarkan relatif pentingnya setiap peubah dalam sistem VAR karena adanya shock.
Hasil variance decomposition menunjukkan kekuatan hubungan Granger Causality yang mungkin
ada diantaraanalisis dampak variabel. Berikut hasil grafik analisis variance decomposition yang telah
dilakukan dengan alat analisis EViews 7.0 :
Gambar.2Grafik Variance Decomposition (FEDV)
Variance Decomposition
Percent IPM variance due to IPM
Percent IPM variance due to BM
100
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
Percent BM variance due to IPM
100
80
80
60
60
40
40
20
20
0
5
6
7
8
9
10
9
10
0
1
-
4
Percent BM variance due to BM
100
-
3
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
2
3
4
5
6
7
8
Pada grafik IPM variance due to BM, menjelaskan kontribusi belanja modal terhadap IPM.
Dapat dilihat bahwa dari awal periode hingga akhir periode kontribusi belanja modal terhadap
indeks pembangunan manusia semakin meningkat.
Pada grafik BM variance due to IPM, menjelaskan kontribusi IPM terhadap belanja modal.
Dapat dilihat bahwa dari awal periode hingga triwulan ke 5 kontribusi IPM tetap dalam kondisi
normal dan mengalami penurunan mulai dari triwulan ke 6 hingga ke 10. Ini berarti, kontribusi
IPM tidak sepenuhnya mampu meningkatkan alokasi belanja modal.
306
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Tabel.4 Hasil Estimasi Variance Decomposition (FEDV)
Variance
Decompositi
on of IPM:
Period
S.E.
IPM
BM
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
100.0000
95.66381
86.02158
74.60645
64.44413
56.57778
50.80767
46.60481
43.48732
41.09768
0.000000
4.336185
13.97842
25.39355
35.55587
43.42222
49.19233
53.39519
56.51268
58.90232
Variance
Decompositi
on of BM:
Period
S.E.
IPM
BM
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
91.81106
94.59537
95.77066
96.05281
95.45383
92.38699
84.69637
72.52574
58.91601
46.95392
8.188938
5.404625
4.229336
3.947190
4.546174
7.613005
15.30363
27.47426
41.08399
53.04608
0.020430
0.033026
0.042248
0.049717
0.056235
0.062086
0.067430
0.072423
0.077200
0.081851
4146.477
6300.546
7331.908
7700.174
7801.919
7931.169
8308.389
9077.710
10293.66
11941.72
Cholesky
Ordering:
IPM BM
307
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Variance decomposition of IPM :
Pada tabel 2.1 tersebut dijelaskan bahwa pada triwulan pertama, IPM sangat dipengaruhi oleh shock
IPM itu sendiri, sementara pada periode itu shock belanja modal masih belum memberikan pengaruh.
Seterusnya, mulai dari triwulan 1 hingga triwulan ke 4, proporsi shock atau kejutan IPM terhadap
IPM itu sendiri masih besar yaitu dengan kontribusi 74,6%. Akan tetapi, shock IPM memberikan
proporsi pengaruh yang sedikit demi sedikit menurun terhadap IPM itu sendiri hingga triwulan ke 10.
Selanjutnya, adanya shock belanja modal memiliki kontribusi yang semakin meningkat sepanjang
periode. Mulai dari triwulan ke 4, shock belanja modal bahkan sudah berkontribusi lebih dari 20%
terhadap IPM. Pada triwulan ke 5 hingga triwulan ke 10, ternyata shock belanja modal semakin terus
meningkat dan memberikan pengaruh terhadap IPM hingga 59%.
Variance decomposition of BM :
Pada tabel 2.1 tersebut dijelaskan bahwa pada triwulan pertama, BM sangat besar dipengaruhi oleh
shock IPM yaitu sebesar 92%, sementara itu BM itu sendiri hanya memberikan kontribusi sebesar
8%. Seterusnya, mulai dari triwulan 1 hingga triwulan ke 4, proporsi shock atau kejutan IPM terhadap
BM masih besar dan terus meningkat yaitu dengan kontribusi 96%. Akan tetapi, shock BM
memberikan proporsi pengaruh yang sedikit demi sedikit menurun terhadap BM itu sendiri hingga
triwulan ke 4. Selanjutnya, adanya shock IPM pada triwulan ke 5 hingga ke 10 memiliki kontribusi
terhadap BM yang semakin mengalami penurunan sepanjang periode sebesar 47%. Kebalikannya,
shock BM terhadap BM itu sendiri pada triwulan ke 5 hingga ke 10 malah semakin meningkat
sepanjang periode dengan kontribusi sebesar 53%. Ini berarti, shock IPM memberikan pengaruh dan
kontribusi yang tidak terlalu besar terhadap peningkatan belanja modal. Hal ini sejalan dengan hasil
dari uji kausalitas yang telah dilakukan, bahwa IPM dapat mempengaruhi belanja modal tetapi
pengaruhnya tidak terlalu besar.
Implikasi Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil olah data statistik dapat dilihat bahwa belanja modal berpengaruh terhadap
indeks pembangunan manusia dengan nilai R-Squared sebesar 99%, nilai F-stat yang signifikan pada
tingkat 1% atau 5% dan nilai koefisien regresi yang bertanda positif.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian oleh Christy dan Adi (2009) yang menyatakan bahwa
Belanja Modal berpengaruh terhadap IPM. Hal ini menunjukkan besarnya alokasi belanja modal akan
menentukan pengalokasian dana bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari tingkat
IPM. Sumiyati (2011) juga menyatakan bahwa belanja modal tidak mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap peningkatan IPM, namun demikian apabila dilihat dari bentuk hubungannya
masih menunjukkan arah yang positif yang dapat diartikan setiap peningkatan belanja modal
menyebabkan adanya peningkatan IPM.
Pada penelitian ini hampir sama, belanja modal berpengaruh signifikan dan positif terhadap
Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Hanya saja yang membedakannya yaitu provinsi
dan tahun penelitian. Belanja modal mempunyai dampak yang signifikan dan positif terhadap indeks
pembangunan manusia, ini berarti alokasi belanja modal yang terjadi di Provinsi Jambi telah dapat
dikatakan terealisasikan dengan baik untuk peningkatan layanan publik baik dibidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi maupun infrastruktur. Belanja modal tersebut mempunyai peranan strategis,
karena sasaran penggunaanya untuk membiayai pembangunan di bidang sarana dan prasarana yang
dapat menunjang kelancaran dan pemenuhan pelayanan masyarakat. Jika belanja modal naik maka
indeks pembangunan manusia juga akan naik karena belanja modal dialokasikan untuk layanan
publik sehingga dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kulitas hidup
manusia, yang secara tidak langsung akan mempengaruhi tingkat indeks pembangunan manusia.
308
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Hasil pada penelitian ini juga sesuai dengan teori menurut Suyanto dalam Sumiyati (2011)
yang menyatakan bahwa “Pada hakekatnya pembangunan adalah pembangunan manusia, sehingga
perlu diprioritaskan alokasi belanja untuk keperluan ini dalam penyusunan anggaran. Perbaikan
pengalokasian dana untuk belanja modal selain belanja rutin ikut menopang perbaikan kesejahteraan
dalam mencapai pembangunan manusia”. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi belanja modal akan
memberikan pengaruh penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
layanan publik baik di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun infrastruktur yang kemudian
akan meningkatkan IPM secara tidak langsung.
Hasil pada penelitian juga menyatakan bahwa Belanja Modal dan Indeks Pembangunan
Manusia memiliki hubungan kausalitas timbal balik (dua arah). Ini berarti, Belanja Modal memiliki
pengaruh terhadap Indeks Pembangunan Manusia begitu juga sebaliknya Indeks Pembangunan
Manusia berpengaruh terhadap Belanja Modal di Provinsi Jambi selama periode penelitian. Hasil uji
kausalitas ini juga memperkuat hasil model VAR yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah
yang pertama bahwa Belanja Modal berpengaruh signifikan dan positif terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Adanya peningkatan Belanja Modal juga diikuti dengan
peningkatan Indeks Pembangunan Manusia.
Hasil uji kausalitas juga menunjukkan bahwa IPM mempengaruhi belanja modal, ini berarti
bahwa semakin tinggi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), maka semakin tinggi pula Belanja
Modal yang dapat dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang
tinggi berarti daerah tersebut sebenarnya telah tergolong daerah yang sudah maju. Daerah maju
dengan fasilitas-fasilitas dan infrastruktur yang baik memicu peningkatan pendapatan daerah. Dengan
bertambahnya pendapatan pada daerah tersebut, pemerintah dapat menganggarkan belanja modalnya
lebih banyak. Di Indonesia, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) digunakan sebagai indikator
keberhasilan pembangunan suatu daerah sehingga mempengaruhi keputusan pemerintah daerah
dalam menggunakan Belanja Modalnya.
PENUTUP
Simpulan
Selama periode penelitian Belanja Modal berpengaruh positif dan signifikan terhadap Indeks
Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Jadi, Belanja Modal jelas dapat mempengaruhi tingkat
Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi.Terdapat hubungan timbal balik dua arah antara
variabel dependen dan variabel independen. Dimana Belanja Modal mempengaruhi IPM, begitu juga
sebaliknya. Jadi, dengan adanya peningkatan alokasi Belanja Modal baik dibidang pendidikan,
kesehatan, ekonomi maupun infrastruktur maka akan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia
di Provinsi Jambi. Begitu sebaliknya, dengan tingginya Indeks Pembangunan Manusia maka akan
meningkatkan alokasi Belanja Modal di Provinsi Jambi.Dalam periode penelitian jika terjadi shock
atau guncangan pada Belanja Modal maka akan mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di
Provinsi Jambi. Jadi, adanya shock atau guncangan yang terjadi pada Belanja Modal akan
memberikan dampak positif terhadap IPM yaitu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia di
Provinsi Jambi. Dampak yang diberikan tidak secara langsung dapat dilihat, melainkan dapat dilihat
pada beberapa periode yang akan datang, karena perbaikan atau peningkatan alokasi Belanja Modal
tersebut terlebih dahulu digunakan untuk peningkatan layanan publik seperti pendidikan, kesehatan,
infrastruktur, dan lainnya. Dengan meningkatnya layanan publik tersebut akan meningkatkan
309
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat, sehingga secara langsung tingkat Indeks Pembangunan
Manusia di Provinsi Jambi akan meningkat.
Saran
Pemerintah daerah provinsi sebaiknya mempertahankan kemampuan anggaran untuk belanja
pemerintah, khususnya belanja modal ditahun-tahun selanjutnya terutama seperti sarana prasarana,
pendidikan, kesehatan, maupun infrastruktur lainnya yang berkaitan dengan pelayanan publik
sehingga mampu memberikan efek positif terhadap pembangunan mnanusia berkelanjutan.
Untuk penelitian selanjutnya dengan tema yang sama disarankan menggunakan range data
lebih panjang untuk mengkaji lebih dalam efek Belanja Modal terhadap Indeks Pembanguan Manusia
(IPM) di Provinsi Jambi, menambahkan variabel-variabel independen lainnya sehingga dapat dilihat
variabel mana saja yang mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi dan
menggunakan model analisis yang dianggap lebih menjelaskan hubungan antar variabelnya, dan
disarankan untuk tidak menggunakan metode pengolahan data dengan interpolasi data untuk
menghindari dampak buruk yang akan mempengaruhi model dan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Christy, Fhino Andrea dan Adi, Priyo Hari. 2009. Hubungan Antara DAU, Belanja Modal dan
Kualitas Pembangunan Manusia. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana
Salatiga. The 3rd National Conference UKWMS Page 10. Surabaya.
Halim, Abdul. 2004. Pengaruh dana alokasi umum (DAU) dan pendapatan asli daerah (PAD)
terhadap belanja pemerintah daerah: Studi kasus kabupaten/kota di Jawa dan Bali. Jurnal
Ekonomi 13 (2): 90-109.
Putra W, Aditya. 2015. Pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Jumlah Penduduk
terhadap Belanja Modal Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur.
Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Jember (UNEJ).
Sari, Erlina dan Syahril. 2011.Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Dan Belanja Modal Terhadap
Indeks Pembangunan Manusia Pada Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara. Sekolah
Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. http://repository.usu.ac.id/handle.
Setiawan, Prabu. 2009. Interpolasi Data. http://prabusetiawan.blogspot.co.id/2009 /05/interpolasidata.html, diakses tanggal 4 Desember 2015.
Sumiyati, Euis Ety. 2011. Pengaruh Belanja Modal TerhadapPeningkatan Indeks Pembangunan
Manusia Di Propinsi Jawa Barat. Jurnal Ilmu Politik dan Ilmu Sosial.
310
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Sukirno, S. 2006. Ekonomi Pembangunan : Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Badan Penelitian
Fakultas Ekonomi UGM. Yogyakarta.
Wahyu W, Wing. 2011. Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan EViews. Yogyakarta : UPP
STIM YKPN.
Widarjono, Agus. 2013. Ekonometrika Pengantar dan Aplikasinya. Yogyakarta : UPP STIM YKPN.
311
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
ANTECEDENTS OF EMPLOYEE LOYALTY IN EDUCATIONAL
SETTING: A RESEARCH PROPOSAL
Sabrina O. Sihombing1 dan Margaretha P. Berlianto2
Universitas Pelita Harapan
[email protected] 1
Abstract: No studies have been conducted to link three variables of work values, internal marketing, and
job satisfaction in predicting employee loyalty. Therefore, this research aims to fulfill the gap by developing
a model that include work values, internal marketing, and job satisfaction in assessing employee loyalty
in educational context. This research will apply a purposive sampling with the sample size of 200 lecturers
from a private universities in Tangerang. The goodness of measures will be applied to assess reliability
and validity of measurements before hypothesis testing. Structural equation modeling will be applied in
testing the research hypotheses.
Keywords: work values, internal marketing, job satisfaction, employee loyalty, structural equation modeling
BACKGROUND
Employee loyalty has been attracted to many scholars since employee loyalty contribute
significantly to companies growth and performance. Many research focus on the link between job
satisfaction and employee loyalty (Dahl & Peltier, 2014; Hussain, 2012; Hwang & Wang, 2013; Kim
& Cho, 2016; Turkyilmaz, et al., 2011) as social science literature that shown that satisfaction is an
antecedent of loyalty. In relating with job satisfaction, research shown that job satisfaction can be
assessed with variables such as rewards (Mogelof & Rohrer, 2005; Mustapha, 2013; Sejjaaka &
Kaawaase, 2014; Westover & Taylor, 2010), supervisor support (Charoensukmongkol, Moqbel, &
Wirsching, 2016; Elias & Mittal, 2011; Griffin, Patterson, & West, 2001), job performance (GarcíaBuades, et al., 2015; Johnson & Sohi, 2014; Yang & Hwang, 2014; Yilmaz, 2002), work values (Mills
& Blaesing, 2000; Ravari et al., 2012; Yahyagil, 2015), internal marketing (Ahmad & Al-Borie, 2012;
Bailey et al., 2016; Dahl & Peltier, 2014; Edo et al., 2015; Kanyurhi & Akonkwa, 2016) and others.
This research focus on work values and internal marketing are two main variables that represent
internal and external side of employee in explaining job satisfaction. Internal marketing is focusing
on employee as important inside customer from managerial perspective (external side), and work
values as one significant variable in explaining human behavior (internal side)
Table 1 show previous studies focus on the relationship between job satisfaction and employee
loyalty, the relationship between internal marketing and job satisfaction, the relationship between
work values and job satisfaction. The table also shows that only one study that correlate the
relationship between three variables such as internal marketing, job satisfaction, and employee
loyalty. Moreover, there is none that emphasizes the correlation between four variables (i.e., work
values, internal marketing, job satisfaction, and employee loyalty). Therefore, this study aims to fill
that gap by developing a model that consists of those four variables. The four variable chosen are
aims to explain a phenomenon by limited variable to fulfill parsimony criteria scientific research
(McBurney & White, 2009; Sekaran, Bougie, & Ivonne, 2013)
312
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Table 1. Research on work values, internal marketing, job satisfaction, and employee loyalty
Researcher (s) (year)
Internal Marketing
Kanyurhi & Akonkwa
X
(2016)
Bailey et al. (2016)
X
Kim & Cho (2016)
Edo et al. (2015)
X
Dahl & Peltier (2014)
X
Gounaris (2008)
X
Iliopoulos & Priporas
X
(2011)
Hegney, Plank, &
X
Parker, (2006)
Ahmad & Al-Borie
X
(2012)
Al-Hawary et al. (2013)
X
Hwang & Chi (2005)
X
Kameswari &
X
Rajyalakshmi (2012)
Knoop (1994)
Ravari et al. (2012)
Yahyagil (2015)
Mills & Blaesing (2000)
Drummond & Stoddard
(1991)
Hwang & Wang (2013)
Hussain (2012)
Turkyilmaz. et al (2011)
Source: summarized from resarchers cited above
Work Values
Employee Satisfaction
X
X
X
X
X
X
X
Employee Loyalty
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Three research questions are considered in this study:
1. Does internal marketing positively impact on lecturers’ job satisfaction?
2. Does work values positively impact on lecturers’ job satisfaction?
3. Does lecturers’ job satisfaction positively impact on employee loyalty?
LITERATURE REVIEW
Employee loyalty
Employee loyalty is defined as a psychological attachment or commitment to the organization
and develops as result of increase satisfaction (Wan, 2012). Another researcher, (Lee, Lee, & Lin,
2015) defined more specifically by stating employee loyalty is the employees feel good and satisfied
with the working environment and the work itself, thereby heightening their allegiance to the
organization, and bringing forth their positive commitment towards the organization. Those two
definitions of employee loyalty pointed out that satisfaction as an ultimate factor influencing loyalty.
Loyalty is also perceived as an emotional attachment to firms or organizations.
Varona (2002 cited by Antoncic & Antoncic, 2011) describes why it is important for
companies to have employee loyalty. The loyal employee will have the strong feeling and belong to
the company. Not only that, loyal employee have willingness to support the companies and even stay
313
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
when the company has crises. They will do more than their actual work, and they will spread positive
information about the company. Job satisfaction is a key factor in describing employee loyalty.
Job satisfaction
Job satisfaction is one important factor that influences positive employee behavior (Arnett,
Laverie, & McLane, 2002). In other words, when individual is satisfied with his job, that individual
feels more responsible and committed to the organization. Job satisfaction is defined as a positive
emotional state resulting from evaluating one’s job experiences (Mathis & Jackson, 2003). Job
satisfaction can be achieved from several factors, for example, when employee like to work with its
partners, enjoy their work, believing that the income they get paid a reasonable or fair, have a realistic
opportunity for career advancement and respected and liked by his superiors.
Internal marketing
Internal marketing (IM) was first introduced by Berry, Hensel, & Burke (1976) in marketing
service context. They pointed that it is important to view employee as internal customer and treat job
as products. Specifically, Berry et al., (1976, cited by Farias, 2010) stated that IM is “concerned with
making available internal products (jobs) that satisfy the needs of a vital internal market (employees)
while satisfying the objectives of the organization”. In others words, satisfied customer can be
achieved when companies satisfied employees.
Since its introduction, internal marketing has been assessed in at least three different ways
(Ahmed, Rafiq, & Saad, 2003). First, IM is assessed as original conceptualization, that is, treating
employee as internal market and job as internal product. Second, IM as a significant part of market
orientation. Third, IM as marketing-like tools in motivating employee. This research applied IM as
treating employee as internal market and job as internal product with three main factors that can
represent IM: vision, development, and rewards (Foreman & Money, 1995).
Work values
A personal value is defined as the “normal” behavior for an in individual (Blackwell, Miniard,
& Engel, 2006). It includes normative standards and criterion that individuals use to to judge and to
choose among alternative modes of behaviour (Fraj & Martinez, 2006; Schwartz, 1992). It believes
serve as the guiding principle in people’s lives (Long & Schiffman, 2000; Watkins & Gnoth, 2005).
Thus, examining people’s values is a way in understanding the variation in people’s behavior
Work values are rooted in the understanding of personal or general values but in the work
context. Thus, work values refer to “normal” behavior of individual in the work context which
represents people believe to fundamentally right or wrong in the work setting (Smola & Sutton, 2002).
Understanding work values is important because these values guides employee behavior in their daily
works which leads them to other important situation in working areas such as job satisfaction
(Drummond & Stoddard, 1991; Knoop, 1994; Mills & Blaesing, 2000; Ravari et al., 2012; Yahyagil,
2015), organizational commitment (Elizur & Koslowsky, 2001; Ho, Oldenburg, Day, & Sun, 2012;
Xiao & Froese, 2008).
314
1st National Conference on Business and Entrepreneurship
“Building Indonesia Business and Entrepreneurial Platform”
Fakultas Manajemen dan Bisnis – Universitas Ciputra
Surabaya, 18-19 Mei 2017
Hypotheses and the Research Model
Three hypotheses are developed based on the literature review above:
1. Work values will be positivel
Download