Pengakuan Negara Terhadap Hak Atas Tanah Adat Bagi

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengantar
Bab ini akan membahas mengenai hukum hak atas tanah adat. Yang
dimaksud dengan hukum hak atas tanah adat ini adalah tempat untuk menemukan
pengertian hukum adat, hak adat, masyarakat adat, asas, dan
prinsip-prinsip
umum dalam hukum adat. Pembahasan yang dilakukan disini adalah dalam kaitan
dengan tujuan penelitian penulis yang meliputi: mengetahui pengakuan yang ada
dalam hak atas tanah adat bagi masyarakat hukum adat di Indonesia dalam sistem
hukum indonesia.
B. Pengertian hukum adat, hak adat, masyarakat adat.
- Namun menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai
hukum kebiasaan. Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks
peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya
orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu
peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi,
menurut Van Dijk, hukum adat dan hukum kebiasaan itu memiliki
perbedaan.
14
- Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan
hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das
sein das sollen). Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan
yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan
yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada
Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.
- Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori
keputusan) mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh
peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para
pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam
pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh
hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut
dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan
kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan
bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.
- C.van Vallenhoven menyebutkan adanya hukum adat golongan pribumi
dan hukum adat golongan timur asing.
- Syekh Jalaluddin menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama
merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak
adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang.
Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa
yang tidak tertulis dibelakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis
15
itu adalah ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang
menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
- Selanjutnya secara internasional
Konvesi
ILO 169 tahun 1989
merumuskan masyarakat adat sebagai masyarakat yang berdiam dinegaranegara yang merdeka dimana kondisi sosial, kultural dan ekonominya
membedakan mereka dari bagian-bagian masyarakat lain di negara
tersebut, dan statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat
dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum dan peraturan
khusus.
- Sedangkan Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat
Adat Nusantara (AMAN) merumuskan masyarakat adat sebagai suatu
komunitas yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di
wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi
politik, budaya dan sosial yang khas.
- Masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat adat yang bersifat
otonom dimana mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik,
ekonomi dsb) dan selain itu bersifat otohton yaitu suatu kesatuan
masyarakat adat yang lahir/dibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan
dibentuk oleh kekuatan lain misal kesatuan desa dengan LKMDnya.
Kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat kini tidak sepenuhnya
otonom dan terlepas dari proses pengintegrasian ke dalam kesatuan
organisasi kehidupan negara bangsa yang berskala besar dan berformat
nasional. Sehingga rumusan-rumusan mengenai Masyarakat Adat yang
16
dibuat pada masa sebelum kemerdekaan cenderung kaku dalam kondisi
masyarakat adat yang statis tanpa tekanan perubahan, sedangkan rumusan
tentang masyarakat adat yang dibuat setelah kemerdekaan lebih bersifat
dinamis melihat kenyataan masyarakat adat saat ini dalam tekanan
perubahan.14
- Kusumadi Pudjosewojo menggunakan seburan “hukum Adat” sebagai
keseluruhan aturan hukum tidak tertulis. Hukum adat dalam pengertian ini
bukan merupakan bidang hukum tersendiri disamping bidang-bidang
hukum yang lain.
Dengan demikian hubungan hukum adat dengan masyarakat adat adalah
hukum aslinya golongan pribumi yang merupakan hukum yang hidup dalam
bentuk tidak tertulis dan mengandung unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat
kemasyarakatan dan kekeluargaan, yang berasaskan keseimbangan serta diliputi
oleh suasana keagamaan di dalam masyarakat adat.
C. Prinsip dan Asas dalam Hukum Tanah Nasional dan Hukum Adat
1.
Pengertian
Dasar-dasar hukum agraria nasional diletakkan mulai pasal 1 sampai pasal 15
UUPA, sifat dari UUPA ialah nasional, baik formal maupun material. Formal
nasional, karena dibuat oleh pembentuk undang-undang Indonesia, dan disusun
14
Martua
Sirait,
disadur
http://www.worldagroforestrycenter.org/sea/Publication/files/book/BK0047-04.PDF.
akses: 28 november 2011
dari:
tanggal
17
dalam bahasa Indonesia. Material Indonesia, karena berisi ketentuan yang sesuai
dengan asas-asas dan kepentingan nasional.15
2.
Asas Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional
Asas-asas Hukum Adat yang digunakan dalam Hukum Tanah Nasional antara
lain adalah
a) Asas religiusitas (pasal1)
b) Asas kebangsaan (pasal 1,2,dan 9)
c) Asas demokrasi (pasal 9)
d) Asas kemasyarakatan, pemerataan dan keadilan sosial (pasal 6,7,10,11dan
13)
e) Asas penggunaan dan pemeliharaan tanah secara berencana (pasal 14dan
15)
f) Asas pemisahan horizontal tanah dengan bangunan tanah dan tanaman
yang ada diatasnya
3. Sifat-sifat Hukum Tanah Nasional.16
15
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta 1986, hal 200
Budi Harsono, Sejarah Pembentuk Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya,
penerbit:DJambatan, jilid 1 1997,hal 158
16
18
a). Sifat Nasional formal
UUPA memulai dengan menyebut dalam konsideransnya cacat-cacat dan
kekurangan-kekurangan Hukum tanah yang lama. Berhubung dengan itu
Hukum Tanah yang lama tersebut harus diganti Hukum Tanah yang baru,
Hukum Tanah Nasional. Hukum Tanah yang baru itu harus bersifat nasional,
baik mengenai segi formal maupun materiilnya. Mengenai segi formalnya
Hukum Tanah Nasional harus dibuat oleh pembentuk Undang-Undang
Indonesia, dibuat di Indonesia dan disusun pula dalam Bahasa Indonesia.
Lagipula Hukum Tanah Nasional berlaku diseluruh wilayah Indonesia dan
meliputi semua tanah yang ada diwilayah tanah yang ada di wilayah Negara.
UUPA memenuhi syarat nasional yang formal itu.
b). Sifat nasional materiil
Mengenai segi materiilnya Hukum Tanah yang baru harus nasional
pula,yaitu berkenaan dengan tujuan, konsepsi, asas-asas, sistem dan isinya.
Dalam hubungan ini UUPA menyatakan pula dalam Konsideransnya, bahwa
Hukum Agraria / Tanah harus:
1) Harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah
2) Harus sederhana
3) Harus menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia
4) Harus tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama
19
5) Harus memberi kemungkinan supaya bumi, air dan ruang-angkasa
dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan
makmur
6) Harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia
7) Harus memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan
zaman dalam soal agraria
8) Harus mewujudkan penjelmaan daripada Ketuhanan Yang Maha
Esa,Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial,
sebagai asas kerohanian Negara dan cita-cita Bangsa, seperti yang
tercantum didalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
9) Harus merupakan pelaksanaan daripada Dekrit Presiden tanggal 5 juli
1959 dan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai yang
ditegaskan dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960
10) Harus melaksanakan pula ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang
Dasar, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah
dalam memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh
wilayah kedaulatan Bangsa dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, penggunaan itu bisa secara perseorangan maupun
secara gotong royong.
20
4. Gambaran Hukum Tanah Nasional17
a) Hukum adat sebagai dasar
Bahwa Hukum Adat diakui sebagai dasar Hukum Tanah Nasional adalah
sesuai dengan kepribadian bangsa kita, karena Hukum Adat adalah hukum asli
kita. Dengan demikian, Hukum Adat tersebut masih harus dibersihkan dari
cacatnya yang tidak asli dan kemudian disempurnakan hingga sesuai dengan
tuntunan zaman.(penjelasan pasal 5 UUPA).
b) Hukum yang sederhana
Kesederhanan adalah sesuai dengan sifat dan tingkat pengetahuan Bangsa
Indonesia. Oleh karena itu hukumnya harus sederhana pula. Dengan
menghapuskan dualisme dan memilih Hukum Adat sebagai dasar hukum baru,
maka akan diperoleh kesederhanaan itu.
c) Jaminan kepastian hukum
Dengan bertambah majunya perekonomian rakyat dan perekonomian
nasional kita bertambah pula keperluan akan kepastian mengenai soal-soal
yang bersangkutan dengan kegiatan-kegiatan ekonomi itu. Tanah rakyat
tambah lama tambah banyak tersangkut dalam kegiatan-kegiatan tersebut,
misalnya dalam jual-beli, sewa-menyewa, pemberian kredit dan lain-lainnya.
Berhubung dengan itulah makin lama makin terasa pula perlunya ada jaminan
kepastian hukum dan kepastian hak di bidang pertanahan.
17
Ibid, hal 159-169
21
d) Unsur-unsur hukum agama
Bahwa Hukum Tanah Nasioanal tidak boleh mengabaikan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama adalah sesuai dengan Pancasila, khususnya
sila pertama. Bukankah Hukum Tanah harus mewujudkan pula penjelmaan
dari Pancasila? Hubungan antara masyarakat dan orang-seorang anggota
masyarakat dengan tanah dan bumi menurut Hukum Adat dan kepercayaan
rakyat merupakan hubungan yang sifatnya bukan hanya sosial-ekonomis atau
yuridis saja, tetapi juga apa yang dikatakan religio magis, suatu hubungan
gaib, seperti; upacara panen, upacara jual-beli tanah dan sebagainya.
e) Fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dalam pembangunan masyarakat yang adil dan makmur
berdasarkan Pancasila
Betapa pentingnya fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dalam pembangunan masyarakat adil dan
makmur, yang merupakan tujuan perjuangan kita, kiranya tidak memerlukan
penjelasan lagi. Untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur perlu
dilakukan
kegiatan-kegiatan
pembangunan.
Bagi
penyelenggaraan
pembangunan fisik selalu diperlukan tanah. Bahkan bagi pembangunan dalam
bidang-bidang tertentu yang memerlukan tanah yang luas (seperti perusahaan
kebun besar, kawasan industri, perusahaan pembangunan perumahan)
tersedianya tanah merupakan unsur yang menentukan apakah usaha yang
direncanakan akan dapat dilaksanakan atau tidak.
22
Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan seperti dialami dimulai
pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun (PELITA) Pertama yang lalu (19691974) meningkat pula kebutuhan akan tanah. Hal ini tampak sekali didaerahdaerah dimana kegiatan pembangunan meningkat dengan cepat, seperti yang
terjadi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan sekitarnya. Untuk dapat
memenuhi kebutuhan akan tanah bagi keperluan pembangunan itu secara
memuaskan, dengan meningat pula penyediaannya untuk keperluan-keperluan
lain, hingga tanah yang tersedia itu dapat dipergunakan secara efisien,
diperlukan pengaturan, pengendalian dan pembinaan oleh Pemerintah,
disamping jaminan kepastian hukum dan kepastian hak bagi pihak-pihak yang
berkepentingan. Hal-hal tersebut memerlukan landasan hukum dituangkan
dalam Hukum Tanah yang efisien dan efektif.
f) Masyarakat Sosialis Indonesia dan unsur-unsur Sosialisme Indonesia
Pada
waktu
terbentuknya
UUPA
lazim
dipergunakan
kata-kata
“Revolusi”, “Sosialis Indonesia” dan “Masyarakat Sosialis Indonesia”.
Sebagai suatu Undang-Undang yang merupakan produk dari zamannya,
didalam UUPA terdapat juga kata-kata tersebut. Dalam perkembangannya
sebutan “Sosialisme Indonesia” dalam Konsiderans dan berbagai pasalnya,
harus diartikan menurut pengertiannya pada tahun 1959-1960, yaitu tahun
disusunnya kembali Rancangan UUPA menjadi “Rancangan Sadjarwwo” dan
mulai berlakunya UUPA sendiri.
23
Dalam
Konsiderans
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Sementara no.II/MPRS/1960 terdapat penjelasan otentik mengenai pengertian
“Sosialisme Indonesia” tersebut. Dinyatakan bahwa “Masyarakat Sosialis
Indonesia” adalah sama dengan “masyarakat-adil-dan-makmur-berdasarkan
Pancasila”.
(Ringkasan
Ketetapan
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat
Sementara Republik Indonesia np. I dan II/MPRS/1960 terbitan Departemen
Penerangan tahun 1962, halaman 51).
Dalam buku ringkasan tersebut diatas dimuat penjelasan mengenai
pengertian “Sosialisme Indonesia”, antara lain sebagai berikut: “Sosialisme
Indonesia adalah suatu ajaran gerakan tentang
makmur
berdasarkan
Pancasila.
tata-masyarakat-adil-dan-
Tata-masyarakat-adil-dan-makmur-
berdasarkan Pancasila adalan tuntunan Amanat Penderitaan Rakyat Indonesia.
Masyarakat-adil-dan-makmu
berdasrkan
Pancasila
sebagai
perwujudan
Sosialisme Indonesia bersendi pokok pada Keadilan, Kerakyatan dan
Kesejahteraan”. Sosialisme Indonesia Indonesia yaitu tata-masyarakat-adildan-makmur
berdasarkan
Pancasila”.
Sosialisme
Indonesia
bukanlah
sosialisme seperti diartikan oleh negara-negara Barat atau seperti diartikan
oleh negara-negara Sosialis asing, tetapi Sosialisme Indonesia berisi
perpaduan yang laras dari unsur-unsur Sosialisme, yaitu Keadilan Sosial dan
Kesejahteraan, dan unsur-unsur Indonesia, seperti tergambar dalam asas:
Gotong-royong dan Kekeluargaan, yang merupakan ciri-ciri pokok dari
kepribadian Indonesia.
24
Dalam melaksanakan Keadilan Sosial dan Kesejahteraan dengan
berlandaskan Gotong-royong dan Kekeluargaan, tujuan yang dikejar dan akan
dilaksanakan adalah: kesejahteraan bersama, dimana terdapat kemakmuran
materiil dan spiritual dalam bentuk kekayaan umum bendaniah dan rohaniah
yang melimpah-limpah serta pembagiannya yang rata dan merata sesuai
dengan sifat perbedaan masing-masing warga dalam keluarga bangsa... Dalam
bidang ekonomi Sosialisme Indonesia mengejar terwujudnya suatu tataperekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan kekeluargaan,
dimana Pemerintah dan Rakyat atau Negara dan Swasta bekerja bersama
saling isi-mengisi untuk menjalankan produksi dan distribusi guna
mewujudkan kekayaan umum yang berlimpah-limpah serta pembagiannya
adil-merata. Dengan berpedoman, bahwa kemakmuran masyarakatlah yang
harus senatiasa diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang. Tataperekonomian Sosialisme Indonesia berpedoman-dasar, bahwa tujuan dari
segala usala dalam lapangan ekonomi dan keuangan adalah untuk
mewujudkan keadilan dan melenyapkan penjajahan dalam bentuk apapun
serta pemberantasan perbudakan yang memandang manusia hanya sebagai alat
untuk kepentingan sendiri atau golongan sendiri. Kata-kata Sosialisme
terdapat dalam UUPA dalam pasal 5 dan 14.
g) Harus sesuai dengan kepentingan rakyat
Hukum Tanah Nasional sudah barang tentu harus sesuai dengan
kepentingan rakyat, artinya rakyat banyak, rakyat Indonesia. Bukan hanya
rakyat orang-perorangan, apalagi rakyat asing. Hukum Tanah Nasional tidak
25
diadakan untuk hanya menjamin kepentingan orang-orang asing atau modal
asing, seperti Agrarische Wet dahulu.
h) Harus memenuhi keperluan menurut permintaan zaman
Hukum Tanah Nasional bukan saja memenuhi keperluan-keperluan
dewasa sekarang ini, tetapi harus memberi kemungkinan untuk menampung
dan menyelesaikan persoalan-persoalan hari depan.
i) Harus mewujudkan penjelmaan daripada Pancasila
Bahwa Hukum Tanah Nasional harus mewujudkan penjelmaan daripada
Pancasila kiranya tidak memberikan penjelasan. Bukan hanya Hukum Tanah,
bukan hanya Hukum Indonesia seluruhnya, tetapi seluruh kehidupan dan
penghidupan Bangsa harus mewujudkan pancasila itu.
5. Hak Atas Tanah Adat
a). Pengertian Hak Atas Tanah
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada yang
empunya hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang
dihakinya. Jadi, hak atas tanah adalah suatu hubungan hak yang berisi wewenang
dan kewajiban dilihat dari ojeknya (tanahnya) merupakan status atau kedudukan
hak yang masing-masing mempunyai sifat dan ciri-ciri tertentu yang
26
membedakan. Misalnya: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, atau
dengan hak lainnya. 18
b). Sifat dan ciri19
Dengan sifat dan ciri yang melekat pada setiap hak atas tanah tersebut
terkandung hak dan kewajiban serta larangan. Hak bagi pemiliknya untuk
menggunakan sesuai dengan sifat dan cirinya. Selain itu terdapat hak untuk
menggunakan ruang diatas nama hak tersebut dan ruang di bawah hak tersebut
yang dikenal dengan nama atau sebutan tubuh bumi sesuai dengan sifat dan ciri
dari setiap hak.
Adapun dalam setiap hak melekat suatu kewajiban untuk memelihara agar
dalam penggunaannya tidak bertentangan dengan sifat dan ciri hak tersebut serta
tidak bertentangan dengan fungsi sosial dari setiap hak. Jenis hak atas tanah dalam
pasal 16 UUPA menampakkan suatu sifat pengaturan hak atas tanah dalam hukum
tanah nasional (UUPA). Sifat pengaturan hak atas tanah tersebut tampak pada
perumusan pasal 16 ayat (1) huruf h bagian pertama yang berbunyi: selain hakhak tersebut diatas akan diatur dengan undang-undang…………….. Dari
perumusan demikian memberikan pemahaman bahwa sifat pengaturan hak atas
tanah dalam pasal 16 ini bersifat terbuka atau tidak limitative. Karena itu
dimungkinkan timbulnya atau lahirnya hak atas tanah baru dengan pengaturan
setingkat Undang-undang.
18
19
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1986, hal 229
Sri Harini Dwiyatmi,.Hukum Agraria,2008, FH,Salatiga, hlm 19-22
27
Dengan demikian pasal 16 ini membuka kemungkinan lahirnya hak atas
tanah baru. Dari perumusan tersebut sebenarnya tidak perlu lagi kuatir perlunya
perubahan terhadap UUPA sebab pasal 16 memang memungkinkan lahirnya hak
atas tanah baru ataupun namanya selama hal tersebut merupakan bagian dari
permukaan bumi yang disebut tanah.
c). Macam-macam Hak Atas Tanah menurut UUPA20
Dalam UUPA diatur sekaligus ditetapkan tata jenjang atu hierarki hak-hak
penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, yaitu:
1) Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1 UUPA, sebagai hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik
2) Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2 UUPA, sematamata beraspek publik
3) Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3 UUPA,
beraspek perdata dan publik
4) Hak-hak perseorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri
atas:

Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya
secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada Hak
Bangsa, yang disebut dalam pasal 16 dan 53 UUPA
20
Budi Harsono, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Penerbit: Djambatan, jilid 1 2005, hal 24
28

Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan dalam pasal 49
UUPA

Hak Jaminan atas Tanah yang disebut hak tanggungan dalam pasal
25, 33, 39, dan 51 UUPA
Sedangkan macam-macam Hak Atas Tanah, disebutkan dalam pasal 4 ayat
1 dan 2, dan pasal 53 UUPA.
-
Pasal 4 ayat 1 dan 2 bunyinya sebagi berikut:
(1). Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud dalam pasal
2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah,yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta
bahan-bahan hukum
(2). Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian
pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan
peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi
-
Hak-hak atas tanah yang sifatnya sementara tersebut diatur dalam
pasal 53 UUPA yang bunyinya sebagai berikut:
29
(1). Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal
16 ayat 1 huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang
dan hak sewa tanah pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang
bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan
hapusnya dalam waktu yang singkat.
(2). Ketentuan dalam pasal 52 ayat 2 dan 3 UUPA berlaku terhadap
peraturan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini.
Selain hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional yang disebutkan
diatas, dijumpai tanah-tanah lain yang juga dikuasai dengan hak-hak atas tanah
primer, yang juga termasuk dalam pengertian tanah-tanah hak. Yaitu tanah-tanah
yang dikuasai dengan hak-hak individual:
(1). Diatas tanah Hak Ulayat, yang diperoleh para warga masyarakat
hukum adat bersangkutan, menurut Hukum Adat yang berlaku, setelah mengalami
konversi
(2). Diatas tanah kaum, yang diperoleh para warganya menurut hukum
adat Kaum yang bersangkutan, setelah mengalami konversi.
(3). Diatas tanah Hak Pengelolaan, yang atas permintaan pemegang Hak
Pengelolaan yang bersangkutan, diberikan Negara, dalam hal ini Bdan Pertanahan
Nasional, kepada pihakpihak yang memerlukan.
(4). Diatas tanah yang termasuk Kawasan Hutan, yang dengan persetujuan
Menteri Kehutanan, diberikan Negara,dalam hal ini Badan Pertanahan Nasiona,
30
kepada pihak-pihak yang memerlukan untuk kegiatan usaha yang tidak langsung
berhubungan dengan kegiatan Hak Penguasaan Hutan,
Bagi pemegang hak-hak atas tanah yang disebutkan diatas juga
mempunyai kewajiban-kewajiban. Pada umunya dapat disimpulkan, bahwa selain
memberikan kewenanganuntuk mempergunakan tanah yang dihaki, seperti halnya
dalam Hukum Adat, hak-hak atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional juga
meletakkan kewajiban untuk menggunakan dan memelihara potensi tanah yang
bersangkutan. Dalam UUPA kewajiban-kewajiban tersebut yang bersifat umum,
artinya berlaku terhadap setiap hak atas tanah, diatur dalam:
(1). Pasal 6 yang menyatakan, bahwa: Semua hak atas tanah mempunyai
fungsi sosial
(2). Pasal 15 UUPA dihubungkan dengan pasal 52 ayat 1 tentang
kewajiban memelihara tanah yang dihaki
(3). Pasal 10 UUPA khusus mengenai tanah pertanian, yaitu tentang
kewajiban
bagi
pihak
yang
mempunyai
untuk
mengerjakan
atau
mengusahakannya sendiri secara aktif.
31
D. Konsepsi dan Sistem Hukum Adat21
1. Konsepsi Hukum Adat
Hukum adat dapat dirumuskan sebagai konsepsi yang komunalistik
religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hakhak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan.
Sifat komunalistik menunjuk kepada adanya hak bersama para anggota
masyarakat hukum Adat atas tanah, dalam kepustakaan umum disebut hak ulayat.
Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama, yang diyakini sebagai karunia
suatu kekuatan gaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang
merupakan Masyarakat hukum Adat,sebagai unsur pendukung utama bagi
kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Disinilah tampak
sifat religious atau unsur keagamaan dalam hubungan hukum antara para warga
masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya itu.
Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak
untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah bersama tersebut guna
memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak yang bersifat
sementara, sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang umum disebut hak
milik. Penguasaan dan penggunaan tanah tersebut dapat dilakukan sendiri secara
individual atau bersama-sama dengan warga kelompok lain. Tidak ada kewajiban
untuk menguasai dan menggunakannya secara kolektif. Karena itu, penguasaan
tanahnya dirumuskan dengan sifat individual.
21
Budi Harsono, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Penerbit: Djambatan, jilid 1 2005, hal 181-185
32
Hak penguasaan yang individual tersebut merupakan hak yang bersifat
pribadi, karena tanah yang dikuasainya diperuntukan bagi pemenuhan pribadi dan
keluarganya. Bukan untuk pemenuhan kebutuhan kelompok. Kebutuhan
kelompok dipenuhi dengan penggunaan sebagian tanah-bersama oleh kelompok
dibawah pimpinan Kepala Adat Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.
Misalnya, tanah untuk tempat pengembalaan ternak bersama atau tanah untuk
pasar dan keperluan bersama lainnya.
Dengan demikian, Hak Ulayat dari Masyarakat Adat tersebut:
a. Selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah bersama para
anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata.
b. Juga mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur dan memimpin
penguasaan,
pemeliharaan,
peruntukan
dan
penggunaannya,
yang
termasuk bidang hukum publik.
Tugas kewajiban mengelolah, mengatur dan memimpin penguasaan tanahbersama, baik yang diperuntukkan bagi kepentingan kepentingan bersama oleh
warga masyarakat Hukum Adat itu sendiri. Maka, sebagian tugas tersebut
pelaksanaannya sehari-hari diserahkan kepada Kepala Adat atau bersama para
Tetua Adat.
Hak bersama yang merupakan hak ulayat itu bukan milik dalam arti
yuridis, melainkan merupakan hak kepunyaan bersama. Maka, dalam rangka hak
ulayat, dimungkinkan adanya Hak Milik atas tanah yang dikuasai pribadi oleh
warga Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan.
33
2.Sistem hak-hak penguasaan atas tanah22
Dalam hukum adat hak penguasaan atas tanah tertinggi adalah Hak Ulayat,
yang mengandung 2 unsur yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik.
Subjek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik territorial ataupun
genealogic, sebagai bentuk-bersama para warganya. Tanah Ulayat adalah tanah
bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Di bawah Hak Ulayat adalah Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, yang
sebagai petugas masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur,
pemeliharaan, peruntukkan dan penggunaan tanah bersama tersebut. Tugas
kewenangan ini beraspek hukum public semata.
Kemudian ada berbagai hak-hak atas tanah yang dikuasai oleh warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang semuanya secara langsung
ataupun tidak langsung bersumber pada Hak Ulayat, sebagai hak-bersama.
Sebagai hak-hak perorangan yang merupakan hubungan hukum konkret
pengaturannya termasuk bidang hukum perdata. Tetapi pengaturan penguasaan
dan penggunaannya oleh masyarakat hukum adat dan Kepala Adat termasuk
bidang hukum publik.
Maka Hukum Tanah Adat memuat ketentuan-ketentuan hukum yang
merupakan baik Hukum Tanah Perdata maupun Hukum Tanah Administratif.
Dalam Hukum Tanah Adat tidak dikenal lembaga hak jaminan atas tanah
dalam pengertian modern. Yaitu hak yang diberikan kepada kreditur untuk, jika
debitur ingkar janji, menjual lelang tanah yang ditunjuk sebagai jaminan, dan
22
Ibid. hal 177-179
34
mengambil seluruh atau bagian dari hasil penjualan tersebut bagi pelunasan
piutangnya, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang lain. Dalam
Hukum Adat dikenal lembaga “jonggolan”.
Dibandingkan dengan sistem-sistem hukum lain, akan jelas tampak
perbedaannya. Sebagai telah dikemukakan diatas dalam Hukum Adat hak
penguasaan tanah yang tertinggi adalah Hak Ulayat, yang memungkinkan pemilik
tanah secara individual yang bersifat pribadi.
Dalam sistem Hukum Tanah Barat yang berkonsepsi individualistik, hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah hak milik pribadi, yang disebut Hak
Eigendom. Tanah diseluruh wilayah Negara terbagi habis dalam tanah-tanah hak
eigendom Negara. Hak-hak penguasaan yang lain bersumber pada hak eigendom
perorangan dan hak eigendom Negara tersebut.
Dalam sistem Hukum Tanah yang berkonsepsi komunis, hak penguasaan
atas tanah yang tertinggi adalah hak milik-bersama dari rakyat, yang untuk
sementara diwakili oleh Negara. Hak milik-bersama tersebut meliputi semua
tanah diseluruh wilayah Negara. Maka tidak dikenal hak milik pribadi atas tanah.
3.Asas-asas/konsepsi, lembaga-lembaga hukum, dan sistem hukum adat23
a. Asas-asas/konsepsi Hukum Adat yang diambil sebagai dasar.
- Menurut Konsepsi Hukum Adat, hubungan manusia dengan kekayaan
alam, seperti tanah mempunyai sifat “reliomagis”, artinya kekayaan
alam itu merupakan kekayaan yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang
23
Prof.Dr.H.Muchsin.SH.,Iman
Koeswahyono,SH.,M.Hum.,Soimin,SH.,Hukum
Indonesia, Penerbit: PT.refika Aditama, Bandung, 2007, hal 67
Agraria
35
Maha Esa pada masyarakat hukum adat. Konsep ini kemudian dimuat
dalam pasal 1 ayat(2) UUPA
- Di dalam lingkungan masyarakat hukum adat dikenal hak ulayat. Hak
ulayat ini bukan hak untuk dimiliki, akan tetapi hanya merupakan hak
menguasai. Hak ulayat ini kemudian dijadikan dasar dalam menetukan
hubungan Negara dengan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. (pasal 2 UUPA).
- Di dalam konsep Hukum Adat disamping ada hak masyarakat hukum
adat yaitu hak ulayat, juga hak perseorangan atas tanah diakui. Artinya
masing-masing individu mempunyai kesempatan untuk mempunyai hak
atas tanah. Konsep ini kemudian dimuat dalam pasal 4 dan 16 UUPA
- Di dalam Hukum Adat dikenal suatu asas:”Di dalam hak-hak individu
selalu terlekat hak masyarakat”. Hal ini merupakan perwujudan dari
sifat kemasyarakatan Indonesia. Asas ini mengandung arti bahwa
penggunaan hak individu harus memperhatikan dan bahkan tidak boleh
merugikan kepentingan masyarakat. Konsep ini kemudian dimuat
dalam pasal 6UUPA.
- Dalam masyarakat hukum adat dikenal asas gotong royong. Setiap
usaha yang menyangkut kepentingan individu dan masyarakat selalu
dikatakan sebagai gotong royong. Hal ini untuk mencegah adanya
persaingan dan pemerasan antara golongan yang mampu terhadap
golongan yang tidak mampu. Konsepsi ini kemudian dimuat dalam
pasal 12 ayat (1)UUPA.
36
- Asas yang lain dari Hukum Adat adalah ada perbedaan antara warga
masyarakat dan warga asing dalam kaitannya dengan penguasaan,
penggunaan kekayaan alam. Warga masyarakat dapat mengolah,
memetik hasil hutan, dan bahkan mempunyai tanah. Sedangkan warga
asing tidak mempunyai hak atas tanah, mereka hanya dapat memetik
hasil hutan dan itupun dengan syarat harus memperoleh izin dari kepala
adat masyarakat yang bersangkutan. Dalam konsepsi ini ada perbedaan
kedudukan antara warga masyarakat dengan warga asing dalam
hubungannya dengan penguasaan tanah tanah. Konsepsi ini kemudian
dimuat dalam pasal 9 UUPA.
b. Lembaga-lembaga Hukum Adat
Yang dimaksud lembaga hukum adat yang diambil sebagai dasar utama
pembentuk Hukum Agraria Nasional adalah susunan macam-macam hak atas
tanah yang ada dalam Hukum Adat seperti hak milik/hak yasan, hak pakai,
hak sewa, hak membuka tanah, hak menikmati hasil hutan. Susunan macammacam hak atas tanah yang demikian ini kemudian diangkat dan dijadikan
dasar dalam penyusunan hak-hak atas tanah dalam Hukum Agraria Nasional
sebagaimana yang diatur dalam pasal 16 UUPA.
Namun demikian, macam-macam hak atas tanah yang ada dalam hukum
adat tersebut masih perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan
masyarakat Indonesia yang menuju masyarakat modern. Penyempurnaan
tersebut adalah adanya tambahan hak baru, yaiti hak guna usaha dan hak guna
37
bangunan. Juga adanya keharusan pendaftaran tanah terhadap macam-macam
hak atas tanah tersebut.
c. Sistem Hukum Agraria Adat terutama mengenai sistematika hubungan
manusia dengan tanah.
Di dalam sistem hukum adat , tanah merupakan hak milik bersama
masyarakat hukum adat atau yang dikenal dengan hak ulayat. Hak ini
merupakan hak yang tertinggi kedudukannya. Hak ulayat ini mengandung
dua unsur, yaitu unsur kepunyaan artinya semua anggota masyarakat
mempunyai hak untuk menggunakan, dan unsur kewenangan yaitu untuk
mengatur, merencanakan, dan memimpin penggunaannya. Kemudian karena
anggota masyarakat tidak mungkin melaksanakan pengurusan hak ulaya,
maka tugas tersebut dilimpahkan kepada kepala adat. Namun yang perlu
ditekankan pelimpahan itu hanya mengenai unsure kewenangan saja. Atas
dasar kewenangan itu, kepala adat berhak memberikan hak-hak atas tanah
kepada perseorangan seperti hak milik/hak yasan, hak pakai dan sebagainya.
Sebagai hukum adat ini diangkat sebagai sistem Hukum Agraria Nasional,
yang dimuat dalam pasal 2, pasal 4 dan pasal 16 UUPA.
E. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat24
1. Hak Ulayat.
Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
24
Ibid. hal 184
38
lingkungan wilayahnya. Sebagaimana telah kita ketahui, wewenang dan
kewajiban tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata. Yaitu yang
berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tanah tersebut. Ada juga
yang termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola,
mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan
penggunaannya.
Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang
maupun yang belum. Dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah sebagai
“res nullius”.
Masyarakat hukum adatlah, sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya,
yang mempunyai Hak Ulayat, bukan orang seorang.
Hak Ulayat mempunyai kekuatan berlaku didalam dan keluar. Kedalam
berhubungan dengan para warganya. Sedang kekuatan berlaku keluar dalam
hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut
“orang asing” atau “orang luar”.
2. Hak Ulayat dalam UUPA.25
Hak Ulayat diakui oleh UUPA, tetapi pengakuan itu disertai syarat yaitu
mengenai “eksistensinya” dan mengenai pelaksaannya, hak ulayat diakui
“sepanjang menurut kenyataannya masih ada”, demikian pasal 3. Didaerahdaerah dimana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Di
25
Ibid, hal 89
39
daerah-daerah dimana tidak pernah ada Hak Ulayat, tidak akan dilahirkan Hak
Ulayat baru. Pelaksanaan Hak Ulayat diatur juga didalam pasal 3.
“Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak bertentangan dengan Undang–Undang dan peraturan–peraturan
lain yang lebih tinggi”, demikian pasal 3.
Pengalaman menunjukkan, bahwa
pelaksanaanya
menghambat,
bahkan
ada kalanya
merintangi
Hak
Ulayat
usaha-usaha
itu
besar
Pemerintah. Sebagai contoh dapat dikemukakan kesukaran yang harus diatasi
Pemerintah untuk mendapat tanah guna pelaksanaan usaha proyek pertanian
modern di Waytuba (Sumatra Selatan) pada menjelang tahun 1960.
Masyarakat hukum adat yang bersangkutan hanya bersedia menyerahkan
tanahnya yang notabene berupa tanah alang-alang yang tidak mungkin dapat
diusahakan sendiri sendiri oleh anggota–anggota masyarakat hukum itu
dengan syarat-syarat yang bukan-bukan. Pengalaman pun menunjukkan
bahwa Hak Ulayat ada kalanya merupakan penghambat pembangunan daerah
itu sendiri. UUPA mendudukkan Hak Ulayat itu pada tempat yang sewajarnya
dalam alam bernegara dewasa ini. Memori penjelasan (angka II/3)
menegaskan, bahwa kepentingan sesuatu masyarakat hukum harus tunduk
pada kepentingan nasional dan Negara yang lebih tinggi dan lebih luas. Hak
Ulayat pelaksanaanya harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan yang lebih luas itu. Tidak dapat dibenarkan- demikian memori
penjelasan jika dalam alam bernegara dewasa ini suatu masyarakat hukum
40
adat masih mempertahankan isi dan pelaksanaan Hak Ulayat secara mutlak.
Seakan-akan masyarakat hukum adat itu terlepas dari masyarakat-masyarakat
hukum dan daerah-daerah lainnya, didalam lingkungan Negara sebagai
kesatuan. Seakan-akan anggota- anggota masyarakat hukum itu sendirilah
yang berhak atas tanah wilayahnya itu. Seakan-akan tanah wilayahnya itu
hanya diperuntukkan bagi anggota–anggota masyarakat hukum adat itu
sendiri. Sikap yang demikian oleh UUPA dianggap bertentangan dalam pasal
1 dan 2.
UUPA berpangkal pada pengakuan Hak Ulayat dalam hukum Tanah yang
baru, tetapi pelaksanaannya dibatasi. Jika pemerintah akan memberikan
sesuatu hak atas tanah (umpama hak guna-usaha untuk usaha perkebunan),
maka sebagai tanda pengakuan itu masyarakat hukum adat yang bersangkutan
sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang
memang ia berhak menerimanya sebagai pemegang Hak Ulayat. Contoh ini
diberikan dalam Memori Penjelasan. Dari contoh ini kita dapat mengetahui
pula pendirian UUPA mengenai hubungan Hak Ulayat dengan “tanah
Negara”. Menurut pasal 28 ayat 1 yang dapat diberikan dengan Hak GunaUsaha ialah tanah–tanah yang dikuasai oleh Negara”. Tanah–tanah demikian
itu disebut “tanah Negara”. Dalam contoh diatas tanah yang diberikan dengan
hak guna-usaha itu masih ada Hak Ulayatnya. Jadi tanah–tanah yang masih
ada Hak Ulayatnya pun menurut pengertian UUPA termasuk golongan “tanah
Negara”, termasuk golongan tanah yang “dikuasai langsung oleh Negara”.
Pemberian “recognitie” bukanlah berarti, bahwa Hak Ulayat itu dilepaskan
41
oleh masyakat hukum adat yang bersangkutan. Tetapi justru merupakan suatu
pengakuan adanya hak tersebut. Jika demikian apakah selama hak gunausahanya berlangsung sampai 50-60 tahun sedang gejala-umumnya adalah
bahwa Hak Ulayat karena berbagai faktor, baik intern maupun extern tambah
lama tambah menjadi lemah atau hilang sama sekali. Bagaimana nasib Hak
Ulayat sesudah Hak Guna-Usahanya berakhir kiranya akan tergantung pada
keadaan dan kekuatan Hak-hak Ulayat di daerah sekitar areal Hak GunaUsaha tersebut pada waktu itu.
UUPA dan Hukum Tanah Nasional kita tidak menghapus Hak Ulayat,
tetapi juga tidak akan mengaturnya. Mengatur Hak Ulayat dapat berakibat
melanggengkan
eksistensinya.
Padahal
perkembangan
masyarakat
menunjukkan kecenderungan akan hapusnya Hak Ulayat tersebut melalui
proses alamiah. Yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam
masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Kecenderungan tersebut tampak pada perkembangan tanah–tanah kaum di
Minangkabau, yang dimintakan perdaftaran sebagai tanah milik-bersama.
Setelah didaftar sebagai milik-bersama, maka diadakan pemecahan menjadi
tanah-tanah hak milik para anggota kaum masing-masing. Padahal hak
penguasaan oleh para anggota kaum menurut hukum adat bukan hak milik,
melainkan “ganggam bauntuak”, yang dalam Hukum Tanah Nasional kita
konversinya menjadi Hak Pakai (pasal VI Ketentuan-ketentuan Konversi).
42
3. Eksistensi Hak Ulayat26
UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu.
Namun, kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan
dengan keberadaan hak ulayat tersebut adalah:
a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu
sebagai subyek hak ulayat,
b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai
lebensraum (ruang hidup) yang merupakan obyek hak ulayat;
c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan
tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber
daya alam lain serta perbuatan-perbuatan hukum.
Dipenuhi ketiga persyaratan tersebut secara komulatif, kiranya cukup
objektif sebagai penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat, sehingga
misalnya, walaupun ada masyarakat hukum dan ada tanah atau wilayahnya,
namun apabila masyarakat hukum tersebut sudah tidak mempunyai
kewenangan untuk melakukan tiga tindakan tersebut, maka hak ulayat dapat
dikatakan sudah tidak ada lagi.
Pemenuhan kriteria tersebut sesuai rasa keadilan berdasarkan dua hal. Di
satu pihak, Bila hak ulayat memang sudah menipis atau sudah tidak ada lagi
hendaknya hal ini menjadi kesadaran bersama, bahwa sebetulnya secara
sosiologis masyarakat hukum adat telah ditingkatkan menjadi bangsa
Indonesia sejak 17 agustus 1945. Tidaklah pada tempatnya untuk mencoba
26
Maria S.W. Sumarjono,Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,Penerbit:
Buku Kompas. Jakarta. 2001 , hal 57
43
menghidupkan kembali hal-hal yang justru dapat mengamburkan kesadaran
berbangsa dan bertanah air satu.
Dipihak lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada maka harus
diberikan pengakuan atas hak tersebut disamping pembebanan kewajiban
oleh Negara. Pengakuan atas hak itu tampak misalnya,apabila tanah ulayat
diberikan untuk pembangunan ( sesuai dengan fungsi social yang melekat
pada hak ulayat) maka pihak yang memerlukan tanah harus minta izin pada
masyarakat hukum tersebut. Dan apabila diperlukan,juga memberikan
pemulihan keseimbangan berupa apapun bagi seluruh anggota masyarakat
hukum tersebut maupun masyarakat sekitarnya. Kewajiban yang dibebankan
kepada masyarakat hukum tersebut, antara lain berupa pemeliharaan tanah,
penambahan kesuburannya, serta pelestarian lingkungannya.
44
Download