1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dewasa ini telah mengalami perubahan pola penyakit yaitu dari
penyakit infeksi ke penyakit tidak menular (PTM) termasuk penyakit degeneratif
yang merupakan fakor utama masalah morbiditas dan mortalitas. Transisi
epidemiologi ini disebabkan perubahan sosial ekonomi, lingkungan, dan gaya
hidup yang tidak sehat. WHO memperkirakan pada tahun 2020 PTM akan
menyebabkan 73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di dunia. Diperkirakan
negara yang paling merasakan dampaknya adalah negara berkembang termasuk
Indonesia. Salah satu PTM yang menjadi masalah kesehatan yang sangat serius
saat ini adalah hipertensi yang disebut sebagai the silent killer (Rahajeng, 2009).
Hipertensi masih merupakan tantangan besar di Indonesia. Sesuai dengan hasil
Riskesdas tahun 2013, hipertensi merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi
yang tinggi yaitu sebesar 25,8%, dan sebagian besar (63,2%) kasus hipertensi di
masyarakat tidak terdiagnosis. Disamping itu pengontrolan hipertensi belum
adekuat meskipun obat-obatan yang efektif banyak tersedia (Riskesdas, 2013).
Hipertensi yang tidak terkendali akan menyerang organ target sehingga dapat
1
55
menyebabkan serangan jantung, stroke, gangguan ginjal, serta kebutaan. Penyakit
hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan peluang 6 kali lebih besar
terkena Congestive Heart Failure (CHF) (Rahajeng, 2009).
Provinsi DIY termasuk dalam 5 provinsi dengan kasus hipertensi terbanyak
(35,8%) dan berada diatas prevalensi nasional (29,8%). Selain itu, hipertensi
merupakan penyebab kematian ke-3 setelah stroke dan tuberkulosis dengan
proporsi kematian 6,8% (Riskesdas, 2007).
Di Indonesia, prevalensi penyakit sistem sirkulasi darah, termasuk penyakit
jantung terus meningkat dan menjadi peringkat pertama penyebab kematian pada
tahun 2000. Prevalensi penyakit jantung di Indonesia yaitu sebesar 9,2% yang
meningkat seiring dengan peningkatan umur dan mempunyai angka yang lebih
tinggi pada perempuan, status ekonomi yang rendah, perilaku merokok, pasien
dengan diabetes melitus, hipertensi, dan obesitas (Delima dkk., 2009).
Gagal jantung adalah sindrom klinis kompleks yang progresif yang
disebabkan oleh adanya gangguan sehingga mengganggu kemampuan ventrikel
untuk menerima dan mengeluarkan darah, sehingga jantung tidak bisa memompa
darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh (Parker dkk.,
2008).
Menurut Riskesdas tahun 2013, prevalensi gagal jantung meningkat seiring
bertambahnya umur. Prevalensi terbesar adalah pada umur ≥ 75 tahun yaitu 1,1%,
dan pada umur 65-74 tahun sebesar 0,5%, sedangkan pada laki-laki dan
perempuan sama yaitu sebesar 0,3% (Riskesdas, 2013).
56
Rumah sakit merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan yang
mempunyai peranan penting dalam upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat. Banyak faktor yang berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan yang
optimal di rumah sakit, diantaranya adalah peran farmasi rumah sakit.
Hipertensi merupakan penyebab kematian ketiga di Indonesia, sedangkan
penyakit jantung di tahun 2000 merupakan penyebab kematian pertama
(Riskesdas, 2007, dan Delima dkk., 2009). Pengobatan pada pasien hipertensi
dengan komplikasi CHF hendaknya dilakukan secara tepat dan cepat, sehingga
diharapkan dapat memberikan hasil terapi optimal dan dapat meningkatkan
kualitas hidup pasien.
Obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Penanganan dan
pencegahan berbagai penyakit tidak dapat dipisahkan dari tindakan terapi dengan
obat atau farmakoterapi. Obat yang tersedia saat ini sangat beragam, sehingga
diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang cermat dalam memilih obat untuk
suatu penyakit, sehingga obat yang nantinya akan digunakan dapat memberikan
manfaat klinik yang optimal. Dalam pemilihan obat untuk pasien, praktisi medis
ada kalanya mengalami kesulitan karena tidak semua sediaan mempunyai manfaat
dan resiko yang setara. Keanekaragaman obat yang dipilih memungkinkan
terjadinya pemilihan yang tidak sesuai dengan drug of choice dalam pedoman
pengobatan
yang
ada.
Dokter
dalam
meresepkan
obat
hendaknya
mempertimbangkan keamanan, efikasi, dan cost effectiveness untuk pasien.
57
Formularium rumah sakit pada hakekatnya merupakan daftar produk obat
yang telah disepakati untuk digunakan di rumah sakit yang bersangkutan, beserta
informasi yang relevan mengenai indikasi, cara penggunaan, dan informasi lain
mengenai tiap produk (Pionas, 2015). Penggunaan obat di rumah sakit diatur
dalam formularium rumah sakit untuk tiap penyakit. Namun kadang terjadi
ketidaksesuaian peresepan obat dengan formularium rumah sakit untuk penyakit
tertentu. Oleh karena itu, peneliti perlu mengkaji seberapa besar kesesuaian
peresepan yang dilakukan dokter untuk pasien hipertensi komplikasi CHF
terhadap formularium rumah sakit dan standar pelayanan mutu rumah sakit.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kesesuaian penggunaan obat-obat antihipertensi dengan
formularium rumah sakit dan standar pelayanan medik untuk terapi
hipertensi dengan komplikasi CHF?
2. Berapa persentase pasien hipertensi komplikasi CHF yang tekanan
darahnya mencapai target selama menjalani rawat inap di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kesesuaian penggunaan obat-obat antihipertensi dengan
formularium Rumah Sakit, dan standar pelayanan medis untuk terapi
hipertensi dengan komplikasi CHF.
58
2. Mengetahui persentase pasien hipertensi komplikasi CHF yang tekanan
darahnya mencapai target selama menjalani rawat inap di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai salah satu sumber informasi terhadap kesesuaian pengobatan
pasien hipertensi komplikasi CHF di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah
Yogyakarta.
2. Menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang pengobatan hipertensi
dengan komplikasi CHF untuk perkembangan profesionalisme dan
penelitian di masa yang akan datang.
E. Tinjauan Pustaka
1. Hipertensi
a. Definisi dan Klasifikasi
Hipertensi adalah suatu penyakit kardiovaskuler yang ditandai dengan
meningkatnya tekanan darah seseorang, yaitu tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg
dan/atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg pada pemeriksaan yang berulang.
Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi dasar
penentuan diagnosis hipertensi. Adapun pembagian derajat keparahan hipertensi
pada seseorang merupakan salah satu dasar penentuan tatalaksana hipertensi
(PERKI, 2015a).
Klasifikasi tekanan darah menurut The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
59
Pressure (JNC 7) mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah
sistolik (TDS) <120 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) <80 mmHg.
Perhipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi
pasien-pasien yang tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi
hipertensi di di masa yang akan datang. Ada dua kelas hipertensi yang dapat
dilihat pada tabel I, dan semua pasien pada kategori ini harus diterapi obat.
Tabel I. Klasifikasi tekanan darah dewasa umur ≥ 18 tahun menurut JNC 7
Klsaifikasi tekanan
darah
Tekanan darah sistolik
(mmHg)
Tekanan darah diastolik
(mmHg)
Normal
< 120
Dan
< 80
Prehipertensi
120 – 139
Atau
80 – 89
Hipertensi kelas 1
140 – 159
Atau
90 – 99
Hipertensi kelas 2
≥ 160
Atau
≥ 100
(Chobanian dkk., 2004)
b. Etiologi hipertensi
Hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan tingginya tekanan darah dan
etiologinya. Berikut adalah klasifikasi hipertensi berdasar etiologi :
1) Hipertensi primer (esensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi
essensial (hipertensi primer). Beberapa mekanisme yang mungkin
berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun
belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi
primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga,
hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peran
penting pada patogenesis hipertensi primer. Stress, kegemukan,
60
merokok, aktivitas fisik yang kurang, dan konsumsi garam dalam
jumlah besar dianggap sebagai faktor eksogen dalam hipertensi
(DEPKES RI, 2006a).
2) Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita, hipertensi merupakan penyakit
sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat
meningkatkan tekanan darah. Obat-obat tertentu, baik secara langsung
ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat
hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Apabila penyebab
sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang
bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang
menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan
hipertensi sekunder (DEPKES RI, 2006a). Beberapa penyebab
hipertensi sekunder menurut DEPKES dapat di lihat pada tabel II.
Tabel II. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi
Penyakit
Obat
 Penyakit gagal ginjal kronis
 Kortikosteroid, ACTH
 Hiperaldosteronisme primer
 Estrogen (biasanya pil KB dengan kadar
estrogen tinggi)
 Penyakit renovaskular
 Sindrom Cushing
 Pheochromocytoma
 Koarktasi aorta
 Penyakit tiroid atau paratiroid
 NSAID, cox-2 inhibitor
 Fenilpropanolamin dan analog
 Cyclosporine
 Tacrolimus
 Eritropoetin
 Sibutramin
 Antidepresan (terutama venlafaxine)
61
c. Gejala klinis
Sebagian besar penderita hipertensi tidak merasakan gejala penyakit. Ada
kesalahan pemikiran yang sering terjadi pada masyarakat bahwa penderita
hipertensi selalu merasakan gejala penyakit. Kenyataannya justru sebagian besar
penderita hipertens tidak merasakan adanya gejala penyakit. Hipertensi terkadang
menimbulkan gejala seperti sakit kepala, nafas pendek, pusing, nyeri dada,
palpitasi, dan epistaksis. Gejala-gejala tersebut berbahaya jika diabaikan, tetapi
bukan tolak ukur keparahan dari penyakit hipertensi (WHO, 2013).
d. Patofisiologi
Tekanan darah merupakan suatu sifat kompleks yang ditentukan oleh interaksi
berbagai faktor seperti faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi dua
variable hemodinamik yaitu curah jantung dan resistensi perifer total. Curah
jantung merupakan faktor yang menentukan nilai tekanan darah sistolik. Kenaikan
tekanan darah dapat terjadi akibat kenaikan curah jantung dan/atau kenaikan
resistesi perifer total (Saseen dan Maclaughlin, 2008). Banyak faktor yang
menentukan tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya
hipertensi. Faktor tersebut adalah :
1) Meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik, mungkin berhubungan
dengan meningkatnya respon terhadap stress psikososial
2) Produksi hormon berlebihan yang menahan natrium dan vasokontriktor
3) Asupan natrium berlebih
4) Tidakcukupnya asupan kalium dan kalsium
62
5) Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya
produksi angiotensin II dan aldosterone
6) Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin nitrit oksida (NO), dan peptide
natiriuretik
7) Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi
tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
8) Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada
pembuluh darah kecil di ginjal
9) Diabetes Mellitus
10) Resistensi insulin
11) Obesitas
12) Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
13) Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung,
karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
14) Berubahnya transfer ion dalam sel (DEPKES RI, 2006c)
e. Pengobatan
Pengobatan hipertensi dapat dikategorikan menjadi terapi non farmakologi
dan terapi farmakologi. Target tekanan darah untuk pasien secara umum menurut
JNC 7 adalah 140/90 mmHg; untuk pasien dengan Diabetes Mellitus dan gagal
ginjal adalah 130/80 mmHg. Beberapa prinsip pengobatan hipetensi yaitu
63
menghilangkan penyebab hipertensi, menurunkan tekanan darah dengan atau
tanpa obat antihipertensi, dan pengobatan dilakukan jangka panjang (DEPKES RI,
2006b). Sedangkan tujuan umum pengobatan hipertensi adalah menurunkan
mortalitas dan morbiditas dengan pengontrolan tekanan darah hingga tidak
mengganggu fungsi ginjal, otak, jantung, maupun kualitas hidup (DEPKES RI,
2006a).
Pasien hipertensi dengan penyakit penyerta memiliki resiko atau kondisi
penyakit kardiovaskuler yang lebih besar dan harus ditangani secara cepat. Selain
pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau kondisi penyerta
lainnya juga harus dilakukan sampai mencapai target terapi masing-masing
kondisi (Chobanian dkk., 2004).
Tabel III. Target nilai tekanan darah berdasarkan AHA 2007
Target penurunan
Pasien
tekanan darah
kondisi hipertensi umum
<140/90 mmHg
No
1
2
STEMI, nonSTEMI, resiko tinggi CAD, stable angina
<130/80 mmHg
3
Pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (gagal jantung)
<120/80 mmHg
(AHA, 2007)
Adapun terapi yang dapat diakukan pada pasien hipertensi dapat dibagi menjadi 2,
yaitu:
1) Terapi nonfarmakologi
Terapi non farmakologi merupakan terapi tanpa obat. Terapi ini bisa
diterapkan untuk pasien prehipertensi agar tidak terjadi perburukan kondisi
dengan cara mengubah gaya hidup seperti yang dijelaskan pada JNC 7
dengan tabel sebagai berikut.
64
Tabel IV. Modifikas gaya hidup untuk mengontrol hipertensi menurut JNC 7
MODIFIKASI
PENURUNAN
TEKANAN
DARAH
SISTOLIK
REKOMENDASI
Penurunan berat
badan
Mengatur berat badan normal
Diet makan
menurut DASH
Mengkonsumsi buah, sayuran, makanan
rendah lemak dengan cara mengurangi lemak
jemuh dan lemak total
8-14 mmHg
Pengurangan
konsumsi natrium
Mengurangi konsumsi natrium, tidak lebih
dari 100 mmol/hari
2-8 mmHg
(body mass index 18,5-24,9 kg/m2)
5-20 mmHg / 10kg
penurunan berat
badan
(2,4g natrium atau 6g natrium klorida)
Aktivitas fisik
Regular aktivitas fisik aerobik seperti jalan
kaki 30 menit/hari, beberapa hari/minggu
4-9 mmHg
Membatasi
konsumsi alkohol
Mengkonsumsi alkohol tidak lebih dari 2
kali/hari (30 mL etanol, misal 720 mL beer;
300 mL wine) untuk laki-laki dan 1 kali/hari
untuk perempuan
2-4 mmHg
DASH, Dietary Approaches to Stop Hypertension
(Chobanian dkk., 2004)
2) Terapi farmakologi
Obat-obat dalam farmakoterapi hipertensi dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu : first line drug dan second line drug. Untuk golongan
first line drug adalah diuretik, β-blocker, ACEI, ARB, CCB. Golongan
second line drug adalah α-1 receptor blocker, central α-2 agonist, reserpin,
dan vasodilator.
a) Diuretik
Diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesi
simpanan natrium tubuh. Diuretik efektif untuk menurunkan tekana darah sampai
10-15 mmHg pada sebagian besar pasien, diuretik sebagai obat tunggal sering kali
memberikan efek yang memadahi untuk hipertensi esensial ringan dan sedang.
65
Pada hipertensi yang lebih berat, diuretik digunakan dalam kombinasi dengan
vasodilator dan simpatoplegik (Katzung, 2001). Empat subkelas diuretik yang
digunakan untuk mengobati hipertensi yaitu diuretik kuat (loop), tiazid, diuretik
hemat kalium, dan antagonis aldosteron (DEPKES RI, 2006c).
Diuretik kuat secara selektif menghambat reabsorbsi NaCl dengan cara
menghambat symport Na+-K+-2Cl- bagian membran luminal lengkung henle.
Diuretic ini mampu mengekskresikan natrium sebanyak 15-25% dan menjadi
salah satu agen diuretic yang paling efektifbekerja di lengkung henle. Contoh obat
dari subkelas ini adalah furosemide, bumetanid, dan azosemida (Katzung, 2001).
Tiazid digunakan untuk pasien dengan hipertensi ringan atau sedang serta
dengan fungsi jantung dan ginjal normal. Thiazide merupakan lini pertama pada
pasien hipertensi. Thiazide menghambat transport Na dan Cl di tubulus distal
ginjal.
Contoh
obat
golongan
ini
adalah
hidroklortiazid
(HCT),
bendroflumethiazide, dan indapamid (Sukandar, 2008).
Diuretik hemat kalium bekerja pada duktus kolektivus, merupakan
antihipertensi yang lemah jika digunakan tunggal. Efek hipotensi terjadi bila
dikombinasi thiazide atau jerat henle. Diuretik hemat kalium dapat mengatasi
kekurangan kalium dan natrium yang disebabkan diuretik lainnya. Contoh obat
yang termasuk dalam diuretika ini adalah amiloride hidroklorida dan triamterene
(Sukandar, 2008).
Antagonis aldosteron termasuk jenis diuretik hemat kalium, tetapi lebih
berpotensi sebagai antihipertensi dengan onset yang lebih lama (hingga 6 minggu
66
dengan spironolakton). Contoh antagonis aldosteron adalah eplerenon dan
spironolakton (Sukandar, 2008).
b) ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor)
ACEI memblok sistem renin-angiotensin dengan cara mencegah perubahan
angiotensin I menjadi angiotensin II (vasokonstriktor potensial dan stimulus
sekresi aldosteron). ACEI juga mencegah degradasi bradikinin dan menstimulasi
sintesis senyawa vasodilator termasuk prostaglandin dan prostasiklin (Sukandar,
2008). Obat ini dikontraindikasikan untuk ibu hamil trimester kedua dan ketiga
karena dapat menyebabkan masalah neonatus yang serius, termasuk kematian dan
gagal ginjal kronis (Saseen dan Maclaughlin, 2008).
Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan ACEI adalah batuk kering.
Efek samping lain adalah angioedema. Walaupun jarang terjadi namun memiliki
bahaya yang potensial terhadap fungsi saluran nafas Contoh ACEI adalah
captopril, lisinopril, elanapril (Sukandar, 2008).
c) β-Blocker
Mekanisme hipotensi β-blocker tidak diketahui, tetapi dapat melibatkan
menurunnya curah jantung dan inhibisi pelepasan renin dari ginjal. β-blocker
memiliki manfaat klinis pada pasien yang memiliki riwayat infark miokard dan
gagal jantung dan efektif untuk menangani angina pektoris (Weber, 2014).
Atenolol, betaxolol, bisoprolol, dan metoprolol merupakan kardioselektif pada
reseptor β1 dari pada reseptor β2, sehingga tidak merangsang bronkospasme dan
vasokonstriksi serta lebih aman dari nonselektif β-blocker pada penderita asma.
67
Contoh β-blocker lainnya adalah propranolol, metoprolol dan atenolol (Sukandar,
2008). Efek samping utama yang ditemukan adalah penurunan fungsi seksual,
kelelahan dan menurunkan toleransi kerja (Weber, 2014).
d) ARB (Angiotensin Receptor Blocker)
Aksi ARB mirip dengan ACEI, bedanya ARB bekerja dengan cara
menghambat reseptor angiotensin II khususnya AT-1, yaitu reseptor yang
memperantarai efek angiotensin II (vasokonstriksi, pelepasan aldosteron, aktivasi
simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik, dan konstriksi arteriol eferen
glomerulus). ARB tidak mencegah pemecahan bradikinin,sehingga tidak memberi
efek samping batuk. ARB memiliki efek samping yang lebih rendah dari
antihipertensi lain. ARB tidak boleh digunakan untuk ibu hamil trimester kedua
atau trimester ketiga karena menghambat perkembangan fetus. Untuk penderita
dengan gagal jantung sistolik, terapi ARB juga telah ditujukkan untuk mengurangi
resiko kardiovaskuler saat ditambahkan pada regimen diuretik, ACEI dan β-bloker
atau terapi alternatif ACEI penderita intoleran. Contoh ARB adalah losartan dan
valsartan (Sukandar, 2008).
e) CCB (Calcium Channel Blocker)
CCB dapat menurunkan resistensi perifer (karena penurunan kontraksi otot
polos dan vasodilatasi) dan tekanan darah. Mekanisme aksi CCB pada hipertensi
adalah menghambat masuknya kalsium ke sel otot polos arteri dan otot jantung.
Penurunan kalsium intraseluler jantung menyebabkan penurunan kontraksi sel
otot jantung, sehingga curah jantung menurun (Katzung, 2001).
68
Terdapat dua jenis CCB yaitu dihidropiridin, seperti amlodipin dan nifedipin
yang memiliki efek dilatasi arteri; dan nondihidropiridin, seperti diltiazem dan
verapamil yang memiliki efek rendah untuk dilatasi arteri namun dapat
mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas (Weber, 2014). Nifedipine dan
dihidropiridin lainnya selektif sebagai vasodilator dan memiliki efek depresi
jantung lebih rendah dari pada verapamil dan diltiazem (Katzung, 2001). Efek
samping utama dari CCB adalah edema perifer yang terjadi pada pemberian dosis
tinggi, efek samping ini dapat dikurangi dengan mengkombinasikan CCB dengan
ACEI atau ARB (Weber, 2014).
CCB memiliki efek menurunkan tekanan darah yang besar jika dikombinasi
dengan ACEI atau ARB. CCB nondihidropiridin tidak direkomendasikan untuk
pasien gagal janting, tetapi lebih dipilih pada pasien dengan detak jantung yang
cepat dan untuk mengontrol detak jantung pada atrial fibrilasi yang tidak dapat
mentoleransi penyekat beta (Weber, 2014).
f) α1 receptor blocker
Prazosin, terazosin, dan doxazosin merupakan penghambat reseptor α1 yang
menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vascular perifer yang memberikan
efek vasodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas reseptor α2 sehingga
tidak menimbulkan efek takikardi. Retensi air dan natrium dapat terjadi sehingga
sering dikombinasi dengan diuretik untuk mempertahankan efikasi hipotensif dan
meminimalkan potensi edema (Sukandar, 2008).
69
g) Central α-2 agonist
Agonis α2 pusat menurunkan tekanan darah dengan cara menstimulasi reseptor
α2 adrenergik di otak, yang mengurangi aliran simpatetik dari pusat vasomotor
dan meningkatkan tonus vagal. Stimulasi reseptor α2 presinaptik secara perifer
menyebabkan penurunan tonus simpatetik. Oleh karena itu dapat terjadi
penurunan denyut jantung, resistensi perifer total, aktivitas renin plasma, dan
reflek baroreseptor. Penghentian menadak obat ini dapat mengakibatkan
hipertensi balik (peningkatan tekanan darah secara tiba-tiba ke nilai sebelum
penanganan) atau overshoot hypertension (peningkatan tekanan darah ke nilai
yang lebih tinggi dari sebelum penanganan). Contoh obat agonis α2 sentral adalah
metildopa dan klonidin (Sukandar, 2008).
h) Vasodilator arteri langsung
Hidralazin dan minoxidil menyebabkan relaksasi langsung otot polos arteriol.
Aktivitas reflek baroreseptor dapat meningkatkan aliran simpatetik dari pusat
vasomotor, meningkatnya denyut jantung, curah jantung, dan pelepasan renin.
Oleh karena itu, efek hipotensif dari vasodilator langsung berkurang pada
penderita yang juga mendapatkan pengobatan inhibitor simpatetik dan diuretik
(Sukandar, 2008).
i) Reserpin
Reserpin mengosongkan norepinefrin dari saraf akhir simpatik dan memblok
transpor norepinefrin ke dalam granul penyimpanan. Pada saat saraf terstimulasi,
sejumlah norepinefrin (kurang dari jumlah biasanya) dilepaskan ke dalam sinaps.
70
Pengurangan tonus simpatetik menurunkan resistensi perifer dan tekanan darah.
Reserpin dapat mengakibatkan retensi air dan natrium dengan signifikan sehingga
perlu diberikan bersama diuretik tiazid. Kekuatan reserpin terhadap inhibisi
simpatetik dapat meningkatkan aktivitas parasimpatik, sehingga menyebabkan
hidung tersumbat, meningkatnya sekresi asam lambung, diare, dan bradikardi
(Sukandar, 2008).
Tabel V merupakan golongan obat yang direkomendasikan oleh JNC 7 untuk
penanganan hipertensi dengan indikasi penyakit khusus.
Tabel V. Terapi hipertensi dengan indikasi khusus yang direkomendasikan oleh JNC 7
Obat
Indikasi Khusus
Aldosteron
Diuretik
BB
ACEI
ARB
CCB
antagonis
Gagal Jantung
*
*
*
*
*
Infark postmiokard
*
*
*
Risiko penyakit jantung
koroner tinggi
*
*
*
Diabetes
*
*
*
*
*
*
Penyakit ginjal Kronik
Stroke
*
*
*
*
(Chobanian dkk., 2004)
2. Congestive Heart Failure
a. Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan gejala klinik yang kompleks yang disebabkan
karena adanya gangguan baik fungsional maupun struktural jantung yang dapat
mengurangi kemampuan ventrikel untuk menerima dan memompa darah (Yancy
dkk., 2013). Gagal jantung merupakan ketidakmampuan jantung untuk memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan tubuh karena perburukan otot jantung atau
71
terdapat kerusakan pada jantung yang menghalangi darah untuk keluar menuju
sirkulasi. Ketika jantung tidak dapat memompa darah dengan normal menuju
sirkulasi, ginjal hanya sedikit menerima dan memfiltrasi darah untuk
diekskresikan dalam bentuk urin. Kelebihan cairan di sirkulasi akan tertahan di
paru-paru, liver, sekitar mata, dan kaki. Hal ini disebut dengan kongesti, sehingga
penyakit ini disebut sebagai gagal jantug kongesti (Congestive Heart Failure)
(AHA, 2011).
b. Etiologi
Gagal jantung adalah hasil dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi
kemampuan jantung untuk kontraksi dan/atau relaksasi. Gagal jantung dapat
diklasifikasikan berdasarkan etiologinya sebagai iskemi dan noniskemi dengan
70% dari gagal jantung berhubungan dengan iskemi. Penyebab terbesar gagal
jantung adalah coronary arterial disease, hipertensi, dan kardiomiopati. Penyakit
arteri coroner menyebabkan infark miokard akut dan penurunan fungsi ventrikel.
Etiologi noniskemi meliputi hipertensi, virus, penyakit tiroid, penggunaan alkohol
berlebih, penyalahgunaan obat, pregnancy-related heart disease, penyakit bawaan
keluarga, dan gangguan valvula seperti regurgitasi mitral atau trikuspidalis, atau
stenosis (Chisholm-burns, 2008).
Abnormalitas pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) dan/atau kontraksi
ventrikel (disfungsi sistolik) dapat mengakibatkan penurunan cardiac output
sehingga menimbulkan gejala gagal jantung. Kebanyakan gagal jantung berkaitan
dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri (penurunan ejeksi fraksi) dengan atau
72
tanpa disfungsi diastolik pada 2/3 pasien. Disfungsi diastolik terisolasi terjadi
pada 1/3 pasien gagal jantung, terdiagnosis ketika pasien menunjukkan gangguan
pengisian ventrikel dengan atau tanpa disertai gejala gagal jantung tetapi fungsi
sistoliknya normal. Hipertensi kronis adalah penyebab utama disfungsi diastolik.
Disfungsi ventrikel juga terlibat, baik ventrikel kiri maupun kanan atau keduanya.
Hal ini berimplikasi gejala sebagai manifestasi right-sided failure kongesti
sistemik, sedangkan left-sided failure menyebabkan gejala pada paru-paru
(Chisholm-burns dkk., 2008).
c. Klasifikasi gagal jantung
Tabel VI. Klasifikasi fungsional gagal jantung menurut NYHA
Kelas
Definisi
I (asimtomatik) Kelainan jantung, tanpa batasan aktivitas fisik. Aktivitas fisik tidak
menyebabkan kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri dada.
II (ringan)
Kelainan jantug, ada keterbatasan ringan pada aktivitas fisik. Menghilang pada
saat istirahat. Aktivitas fisik yang berat menyebabkan kelelahan, palpitasi,
sesak, atau nyeri dada.
III (sedang)
Keterbatasan pada saat aktivitas fisik. Menghilang pada saat istirahat. Aktivitas
yang lebih ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi, sesak, atau nyeri dada.
IV (berat)
Penyakit jantung menyebabkan ketidaknyamanan dalam melakukan aktivitas
fisik. Gejala penyakit jantung atau sindroma angina mungkin ditemukan pada
keadaan istirahat.
NYHA: New York Heart Association
(PERKI, 2015b)
d. Gejala dan tanda
Tanda dan gejala utama dari semua tipe CHF meliputi takikardi, penurunan
toleransi latihan (pembebanan) dan pemendekan nafas, edem perifer dan paru, dan
kardiomegali. Penurunan toleransi latihan dengan kelelahan otot yang terjadi
secara cepat adalah konsekuensi lansung utama dari penurunan curah jantung.
73
Manifestasi lain yang terjadi karena usaha tubuh untuk melakukan kompensasi
terhadap kekurangan intrinsik jantung (Katzung, 2001).
e. Patofisiologi
Cogestive Heart Failure adalah suatu sindroma dengan penyebab ganda yang
diduga melibatkan ventrikel kanan, ventrikel kiri, atau keduanya (Katzung, 2001).
CHF merupakan suatu kondisi dimana jantung tidak dapat memompa darah yang
mencukupi kebutuhan tubuh. CHF dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan
otot jantung berkontraksi atau meningkatnya beban kerja jantung. CHF diikuti
oleh peningkatan volume darah yang abnormal dan cairan interstinal jantung.
Karena itu, pembuluh vena dan kapiler melebar diisi darah (Mycek dkk., 2001)
Mekanisme kompensasi pada gagal jantung ketika jantung mulai melemah:
1) Meningkatkan aktivitas simpatik
Baroreseptor merasakan penurunan tekanan darah, dan memacu
aktivitas reseptor β-adrenergik dalam jantung. Hal ini menimbulkan
kecepatan jantung dan peningkatan kontraksi dari otot-otot jantung yang
lebih besar. Selain itu vasokonstriksi memacu venous return dan
meningkatkan preload jantung. Respon kompensasi ini meningkatkan
kerja jantung dan karena itu, dapat menyebabkan penurunan selanjutnya
dalam fungsi jantung.
74
2) Retensi cairan
Penurunan curah jantung akan memperlambat aliran darah ke ginjal,
menyebabkan
lepasnya
renin,
dengan
hasil
peningkatan
sintesis
angiotensin II dan aldosteron. Hal ini meningkatkan resistensi perifer dan
retensi natrium dan air. Volume darah meningkat dan semakin banyak
darah kembali ke jantung. Jika jantung tidak dapat memompa volume
ekstra ini, tekanan vena meningkat, dan edema perifer dan paru-paru
terjadi. Respon kompensasi ini meningkatkan kerja jantung sehingga
menyebabkan penurunan fungsi jantung.
3) Hipertrofi miokard
Jantung membesar dan ruangannya melebar. Pertama peregangan otot
jantung menyebabkan kontraksi jantung lebih kuat, tetapi perpanjangan
serat tersebut menyebabkan kontraksi semakin lemah. Jenis kegagalan ini
disebut gagal sistoik dan diakibatkan oleh ventrikel yang tidak dapat
memompa secara efektif. Jarang, pasien yang gagal jantung kongestif
dapat mempunyai disfungsi diastolik (suatu istilah yang diberikan jika
kemampuan ventrikel relaksasi dan menerima darah terganggu karena
perubahan struktural, seperti hipertrofi). Penebalan dinding ventrikel dan
selanjutnya penurunan volume ventrikel menurunkan kemampuan otot
jantung untuk relaksasi. Dalam hal ini, ventrikel tidak terisi cukup, dan
curah jantung yang tidak cukup disebut sebagai gagal jantung diastolik
(Mycek dkk., 2001).
75
4) Remodeling
Remodeling terjadi sebagai proses adaptasi kompensasi terhadap
perubahan
tekanan
dinding
dan
diatur
terutama
oleh
aktivasi
neurohormonal, yaitu angiotensin II dan aldosteron. Proses tersebut
mengakibatkan perubahan miokard dan komposisi matriks ekstraseluler
dan fungsional. Pada gagal jantung, perubahan ukuran jantung, bentuk,
dan komposisi dapat merugikan fungsi jantung. Selain ukuran miosit dan
perubahan matriks ekstraseluler, perubahan geometri jantung dari elips
menjadi bulat juga menjadikan jantung kurang efisien. Setelah terjadi
remodeling, jantung masih dapat mempertahankan cardiac output selama
bertahun-tahun. Namun, fungsi jantung akan terus memburuk hingga
menjadi gagal jantung (Chisholm-burns, 2008).
Jika memperbaiki curah jantung, maka gagal jantung dikatakan terkompensasi.
Namun,
kompensasi
ini
meningkatkan
kerja
jantung
dan
selanjutnya
menyebabkan penurunan kemampuan jantung. Jika mekanisme adaptif gagal
mempertahankan curah jantung, gagal jantung disebut dekompensasi (Mycek
dkk., 2001).
3. Hipertensi dengan komplikasi CHF
Pria dan wanita penderita hipertensi memiliki resiko jauh lebih besar untuk
menderita gagal jantung dibandingkan pria dan wanita dengan tekanan darah
normal. Peningkatan tekanan darah diastolik dan terutama sistolik adalah faktor
76
resiko utama untuk terjadinya gagal jantung. Kejadian gagal jantung lebih besar
terjadi pada pasien dengan tekanan darah yang lebih tinggi, usia yang lebih tua,
dan durasi menderita hipertensi yang lebih lama. Pengobatan jangka panjang
hipertensi sistolik dan diastolik dapat mengurangi resiko gagal jantung sebesar
sekitar 50% (Yancy dkk., 2013).
Hipertensi merupakan penyebab dan/atau kontributor utama pada gagal
jantung (PERKI, 2015a). Hipertensi menyebabkan hipertrofi ventrikel kiri dan
remodeling. Hipertensi harus ditangani pada semua kondisi gagal jantung. Kontrol
tekanan darah yang baik dapat mengurangi progresivitas hipertrofi ventrikel kiri
dan remodeling dan meningkatkan kondisi klinis. ACEI, ARB, dan β-blocker
adalah pilihan lini pertama untuk terapi hipertensi pada gagal jantung (Lee dan
Vasan, 2006).
4. Formularium Rumah Sakit
Formularium rumah sakit adalah himpunan obat yang disetujui oleh Panitia
Farmasi dan Terapi untuk digunakan di rumah sakit pada batas waktu tertentu.
Obat yang terdaftar dalam formularium merupakan obat pilihan utama dan obat
alternatifnya. Formularium yang digunakan dalam penelitian adalah formularium
rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta edisi pertama tahun 2015.
Formularium ini berisi bermacam-macam nama sediaan obat yang digunakan,
dosis, indikasi, kontraindikasi, interaksi obat, keamanan, efek samping, dan cara
pemberian obat.
77
5. Standar Pelayanan Medis (SPM)
Standar pelayanan medis rumah sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta
digunakan sebagai acuan dalam memberikan layanan medis pada pasien, termasuk
di dalamnya pedoman pemilihan terapi obat maupun nonobat. Penelitian ini
menggunakan SPM tahun 2012 untuk hipertensi dan penyakit penyertanya, yang
berisi golongan obat yang digunakan untuk terapi hipertensi, termasuk
didalamnya terapi untuk hipertensi dengan komplikasi CHF.
Tabel VII merupakan daftar golongan obat yang digunakan untuk terapi
hipertensi dengan indikasi penyakit khusus yang tercantum dalam SPM Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Tabel VII. Pemilihan obat hipertensi dengan indikasi khusus berdasarkan SPM rumah sakit
tahun 2012
Obat-obat yang direkomendasikan
Kondisi resiko tinggi
dengan compelling
Antagonis
Diuretik β Blocker
ACEI
ARB
CCB
indication
Aldosteron
Gagal jantung
√
Pasca infark miokard
Resiko tinggi penyakit
coroner
√
Diabetes Mellitus
Penyakit ginjal kronis
√
Pencegahan stroke berulang
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
78
F. Keterangan Empiris
Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan dapat diketahui ketepatan
pola pengobatan dan pencapaian tekanan darah setelah rawat inap pada pasien
hipertensi dengan komplikasi Congestive Heart Failure di Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari 2014 – Desember 2014
Download