dense wavelength division multiplexing (dwdm) pada sistem

advertisement
Makalah Seminar Kerja Praktek
DENSE WAVELENGTH DIVISION MULTIPLEXING (DWDM)
PADA SISTEM TRANSMISI FIBER OPTIK
Oleh : Ahmad Fashiha Hastawan (L2F008003)
Jurusan Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Abstrak
Pada 30 tahun belakangan ini, telah dikembangkan sebuah teknologi baru yang menawarkan kecepatan data
yang lebih besar dan panjang jarak yang lebih jauh dengan harga yang lebih rendah daripada sistem kawat tembaga.
Teknologi baru ini adalah serat optik, serat optik menggunakan cahaya untuk mengirimkan informasi (data). Cahaya
yang membawa informasi dapat dipandu melalui serat optik berdasarkan fenomena fisika yang disebut total
internal reflection (pemantulan sempurna). Secara tinjauan cahaya sebagai gelombang elektromagnetik, informasi
dibawa sebagai kumpulan gelombang-gelombang elektro-magnetik terpandu yang disebut mode. Serat optik terbagi
menjadi 2 tipe yaitu single mode dan multi mode. Secara umum sistem komunikasi serat optik terdiri dari :
transmitter, serat optik sebagai saluran informasi dan receiver. Pada transmitter terdapat modulator, carrier source
dan channel coupler, pada saluran informasi serat optik terdapat repeater dan sambungan sedangkan pada receiver
terdapat photo detector, amplifier dan data processing. Sebagai sumber cahaya untuk sistem komunikasi serat optik
digunakan LED atau Laser Diode (LD). Teknik transmisi sangat penting diperhatikan untuk meningkatkan
efisiensi serat optik berupa spektrum dan kapasistas bandwidth. Teknik tranmisi data melalui serat optik pada
awalnya menggunakan teknik clock tunggal dan kemudian dikembangkankan dengan teknik penjamakan salah
satu diantaranya yaitu DWDM (Dense Wavelength Division Multiplexing). Penerapan DWDM harus
memperhatikan perencaan dan perhitungan Link Budget DWDM.
Kata Kunci : Serat Optik, DWDM, Link Budget.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan teknologi dalam bidang
telekomunikasi memungkinkan penyediaan
sarana telekomunikasi dalam biaya relatif
rendah, mutu pelayanan yang tinggi, cepat,
aman, dan mempunyai kapasitas yang besar
dalam menyalurkan informasi. Dampak dari
perkembangann teknologi digital adalah
perubahan jaringan analog menjadi jaringan
digital baik dalam sistem switching maupun
dalam sistem transmisinya. Katerpaduan ini
akan meningkatkan kualitas dan kuantitas
informasi yang dikirim, serta biaya operasi dan
pemeliharaan lebih ekonomis.
Sebagai sarana transmisi dalam
jaringan digital, serat optik berperan sebagai
pemandu gelombang cahaya. Serat optik dari
bahan gelas atau silika dengan ukuran kecil
dan sangat ringan, dapat melakukan informasi
dalam jumlah besar dengan rugi-rugi relatif
rendah. Permasalahan yang muncul ketika
serat optik ini mulai diimplementasikan adalah
pertumbuhan trafik pada sejumlah jaringan
backbone mengalami percepatan yang tinggi
sehingga kapasitas jaringan tersebut dengan
cepatnya terisi. Sedangkan teknik lama terbatas
pada kapasitas serat optik yang begitu besar di
mana hanya dapat digunakan satu jalur dan
sebagian kecil saja.
Pemanfaatan jaringan yang ada
dibandingkan dengan membangun jaringan
yang baru menjadi solusi dan dasar pemikiran
yang paling tepat saat ini. Teknik
meningkatkan penambahan jalur sebagai
langkah efisiensi penggunaan kapasitas serat
optik sudah mulai dikembangkan, sehingga
mendorong penyusun dalam pembuatan
laporan ini untuk mengambil judul “DENSE
WAVELENGTH DIVISION MULTIPLEXING
(DWDM) PADA SISTEM TRANSMISI SERAT
OPTIK”
1.2 Tujuan
Tujuan penulis melakukan Kerja Praktek
ini adalah :
1. Menerapkan teknik Dense Wavelength
Division Multiplexing (DWDM)
pada
perusahaan yang sebenarnya.
2. Membandingkan antara teori dan praktek
yaitu penerapan teori dan mengetahui
relevansi materi teknik transmisi DWDM
yang diberikan sesuai dengan kebutuhan
perusahaan.
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah yang diambil oleh penulis
pada penulisan laporan kerja praktek ini
adalah:
1. Dalam laporan ini hanya dijelaskan secara
singkat tentang Sistem Komunikasi Serat
Optik.
2. Dalam laporan ini membahas transmisi
serat optik menggunakan teknik DWDM
serta keuntungan dan kerugian teknik
DWDM, sedangkan untuk teknik lainnya
dibahas secara sekilas.
3. Dalam laporan ini membahas perhitungan
power kalkulasi menggunakan teknik
DWDM yang diterapkan pada Wates Yogyakarta - Solo.
4. Dalam laporan ini tidak membahas trafik
pada Wates - Yogyakarta - Solo.
II. DASAR TEORI
2.1 Serat Optik
2.2.1 Pengertian Serat Optik
Fiber optic (Serat optik) adalah media
saluran transmisi yang terbuat dari kaca atau
plastik yang digunakan untuk mentransmisikan
sinyal cahaya dari suatu tempat ke tempat lain.
Cahaya yang ada di dalam serat optik sulit
keluar karena indeks bias dari kaca lebih besar
daripada indeks bias dari udara. Sumber
cahaya yang digunakan adalah laser karena
laser mempunyai spektrum yang sangat sempit.
Kecepatan transmisi serat optik sangat tinggi
sehingga sangat bagus digunakan sebagai
saluran komunikasi. Serat optik umumnya
digunakan dalam sistem telekomunikasi serta
dalam pencahayaan, sensor, dan optik
pencitraan.
1. Core (inti)
Core berfungsi untuk menentukan
cahaya merambat dari satu ujung ke ujung
lainnya. Core terbuat dari bahan kuarsa
dengan kualitas sangat tinggi. Ada juga
yang terbuat dari hasil campuran silica dan
glass. Sebagai inti, core juga tempat
merambatnya cahaya pada serat optik.
Memiliki diameter 10 µm - 50 µm.
Cladding (lapisan)
Cladding berfungsi sebagai cermin
yaitu memantulkan cahaya agar dapat
merambat ke ujung lainnya. Cladding
terbuat dari bahan gelas. Cladding
merupakan selubung dari core. Diameter
cladding antara 5 µm – 250 µm. Hubungan
indeks bias antara core dan cladding akan
mempengaruhi perambatan cahaya pada
core (mempengaruhi besarnya sudut kritis).
3. Coating (jaket)
Coating berfungsi sebagai pelindung
mekanis pada serat optik dan identitas kode
warna. Terbuat dari bahan plastik.
Berfungsi untuk melindungi serat optik dari
kerusakan.
2.2.4 Sistem Transmisi Serat Optik
Sistem komunikasi serat optik adalah
suatu sistem komunikasi yang menggunakan
kabel serat optik sebagai saluran transmisinya
yang dapat menyalurkan informasi dengan
kapasitas besar dan tingkat keandalan yang
tinggi. Secara umum metode point-to-point
sistem transmisi terdiri dari tiga elemen dasar,
yaitu transmitter, tranduser elektrooptic, kabel
serat optik, receiver.
2.2.2 Struktur Serat Optik
Struktur Serat Optik pada umumnya
terdiri dari 3 bagian yaitu:
Gambar 2.2 Sistem Transmisi Serat Optik
Gambar 2.1 Susunan Serat Optik
2.2.5 Keuntungan dan Kerugian Serat Optik
 Keuntungan serat optik antara lain:
1. Mempunyai lebar pita frekuensi
(bandwith yang lebar).
2. Redaman sangat rendah dibandingkan
dengan kabel yang terbuat dari tembaga,
terutama
pada
frekuensi
yang
3.
4.
5.
6.
7.
mempunyai panjang gelombang sekitar
1300 nm yaitu 0,2 dB / km.
Kebal terhadap gangguan gelombang
elektromagnet.
Terbuat dari kaca atau plastik sehingga
tidak dapat dialiri arus listrik (terhindar
dari terjadinya hubungan pendek).
Upgrading yang mudah
Versatilities yang besar
Regenerasi sinyal yang mudah
 Kerugian Serat Optik
1. Konstruksi fiber optik lemah
2. Tidak dapat dialiri arus listrik, sehingga
tidak dapat memberikan catuan pada
pemasangan repeater.
3. Konversi optik –Elektrik.
4. Instalasi khusus.
5. Perbaikan yang lebih kompleks karena
sifatnya lebih rapuh
2.2 Teknologi WDM
Teknologi WDM pada dasarnya adalah
teknologi transport untuk menyalurkan
berbagai jenis trafik (data, suara, dan video)
secara transparan, dengan menggunakan
panjang gelombang (l) yang berbeda-beda
dalam suatu fiber tunggal secara bersamaan.
Implementasi WDM dapat diterapkan baik
pada jaringan long haul (jarak jauh) maupun
untuk aplikasi short haul (jarak dekat).
WDM sistem dibagi menjadi 2 segmen,
dense and coarse WDM. Sistem dengan lebih
dari 8 panjang gelombang aktif per fiber
dikenal sebagai Dense WDM (DWDM),
sedangkan untuk panjang gelombang aktif
diklasifikasikan sebagai Coarse WDM
(CWDM). Teknologi CWDM dan DWDM
didasarkan pada konsep yang sama yaitu
menggunakan beberapa panjang gelombang
cahaya pada sebuah serat optik, tetapi kedua
teknologi tersebut berbeda pada spasi antar
gelombang, jumlah kanal, dan kemampuan
untuk memperkuat sinyal pada medium optik.
2.3 DWDM (Dense Wavelength Density
Multiplexing)
2.3.1 Pengertisan DWDM
Dense
Wavelength
Division
Multiplexing (DWDM) merupakan suatu teknik
transmisi yang memanfaatkan cahaya dengan
panjang gelombang yang berbeda-beda sebagai
kanal-kanal informasi, sehingga setelah
dilakukan proses multiplexing seluruh panjang
gelombang tersebut dapat ditransmisikan
melalui sebuah serat optik. Pada dasarnya,
DWDM merupakan pemecahan dari masalahmasalah yang ditemukan pada WDM
Gambar 2.3 Prinsip dasar sistem DWDM
Teknologi DWDM adalah teknologi
dengan
memanfaatkan
sistem
SDH
(Synchoronous Digital Hierarchy) yang sudah
ada
(solusi
terintegrasi)
dengan
memultiplekskan sumber-sumber sinyal yang
ada. Menurut definisi, teknologi DWDM
dinyatakan sebagai suatu teknologi jaringan
transport yang memiliki kemampuan untuk
membawa sejumlah panjang gelombang (4, 8,
16, 32, dan seterusnya) dalam satu fiber
tunggal. Artinya, apabila dalam satu fiber itu
dipakai empat gelombang, maka kecepatan
transmisinya menjadi 4x10 Gbs (kecepatan
awal dengan menggunakan teknologi SDH).
Pada
perkembangan
selanjutnya,
teknologi DWDM ini tidak saja dipergunakan
pada jaringan utama (backbone), melainkan
juga pada jaringan akses di kota-kota
metropolitan di seluruh dunia. Alasan utama
yang mendorong penggunaan DWDM pada
jaringan akses ini tentu saja kemampuan
sehelai serat optik yang sudah mampu
mengakomodasikan puluhan bahkan ratusan
panjang
gelombang.
Sehingga,
setiap
perusahaan penyewa dapat memiliki 'jaringan'
masing-masing.
Inti perbaikan yang dimiliki oleh
teknologi DWDM terletak pada jenis filter,
serat optik dan amplifier. Serat optic yang
digunakan memiliki dispersi yang rendah,
dimana
karakteristik
demikian
sangat
diperlukan mengingat dispersi secara langsung
berkaitan dengan kapasitas transmisi suatu
sistem.
2.3.2 Pemilihan DWDM
Secara umum ada beberapa alternatif cara yang
dapat ditempuh untuk memenuhi kebutuhan
kapasitas akibat perkembangan trafik yang
sangat cepat, yaitu:
1. Menambah fiber
2. Memperbesar kecepatan transmisi
3. Mengimplementasikan WDM
Secara umum ada beberapa faktor yang
menjadi landasan pemilihan teknologi DWDM
ini, yaitu:
1. Menurunkan biaya instalasi awal, karena
implementasi DWDM berarti kemungkinan
besar tidak perlu menggelar fiber baru, cukup
menggunakan fiber eksisting (sesuai ITU-T
G.652
atau
ITU-T
G.655)
dan
mengintegrasikan perangkat SDH eksisting
dengan perangkat DWDM
2. Dapat dipakai untuk memenuhi demand
yang berkembang, dimana teknologi DWDM
mampu untuk melakukan penambahan
kapasitas dengan orde n x 2,5 Gbps atau n x 10
Gbps (n= bilangan bulat).
3. Dapat mengakomodasikan layanan baru
(memungkinkan proses
rekonfigurasi dan
transparency). Hal ini dimungkinkan karena
sifat dari operasi teknologi DWDM yang
terbuka terhadap protokol dan format sinyal
(mengakomodasi format frame SDH).
Secara umum keunggulan teknologi DWDM
adalah sebagai berikut:
- Tepat untuk diimplementasikan pada
jaringan telekomunikasi jarak jauh (long
haul) baik untuk sistem point-to-point
maupun ring topology.
- Lebih fleksibel untuk mengantisipasi
pertumbuhan trafik yang tidak terprediksi.
- Transparan terhadap berbagai bit rate dan
protokol jaringan
- Tepat untuk diterapkan pada daerah dengan
perkembangan kebutuhan bandwidth sangat
cepat.
2.3.3 Teknik Operasional DWDM
Sinyal informasi yang dikirimkan
awalnya diubah menjadi panjang gelombang
yang sesuai dengan panjang gelombang yang
tersedia pada kabel serat optik kemudian
dimultipleksikan pada satu fiber. Dengan
teknologi DWDM ini, pada satu kable serat
optik dapat tersedia beberapa panjang
gelombang yang berbeda sebagai media
transmisi yang biasa disebut dengan kanal.
Berikut ilustrasi pengiriman informasi pada
WDM:
Gambar 2.4 Ilustrasi pengiriman informasi pada
WDM
Sebagai perbandingan dengan DWDM,
ilustrasi transmisi dengan TDM:
Gambar 2.5Ilustrasi transmisi dengan TDM
TDM menggunakan teknik pengiriman
tetap
pada
satu
channel
dengan
mengefisiensikan
skala
waktu
untuk
mengangkut berbagai macam informasi.
2.3.3.1 Komponen Penting dalam DWDM
Komponen-komponen penting DWDM
adalah sebagai berikut:
1. Transmitter yaitu komponen yang
menjembatani antara sumber sinyal
informasi dengan multiplekser pada
system DWDM.
2. Receiver
yaitu
komponen
yang
menerima sinyal informasi dari
demultiplekser untuk dapat dipilah
berdasarkan macam-macam informasi.
3. DWDM terminal multiplexer. Terminal
mux sebenarnya terdiri dari transponder
converting wavelength untuk setiap
signal panjang gelombang tertentu yang
akan dibawa.
4. Intermediate
optical
terminal
(amplifier). Komponen ini merupakan
amplifier jarak jauh yang menguatkan
sinyal
dengan
banyak
panjang
gelombang yang ditransfer sampai
sejauh 140 km atau lebih.
5. DWDM terminal demux. Terminal ini
mengubah sinyal dengan banyak
panjang gelombang menjadi sinyal
dengan hanya 1 panjang gelombang dan
mengeluarkannya ke dalam beberapa
fiber yang berbeda untuk masingmasing client untuk dideteksi.
6. Optikal supervisory channel. Ini
merupakan
tambahan
panjang
gelombang yang selalu ada di antara
1510 nm-1310 nm. OSC membawa
informasi optik multi wavelength sama
halnya dengan kondisi jarak jauh pada
terminal optik atau daerah EDFA.
2.3.3.2 Channel spacing
Channel spacing menentukan sistem
performansi dari DWDM. Standar channel
spacing dari ITU adalah 50 GHz sampai 100
GHz (100 GHz akhir-akhir ini sering
digunakan). Spacing (sekat) ini membuat
channel dapat dipakai dengan memperhatikan
batasan-batasan fiber amplifier. Channel
spacing bergantung pada sistem komponen
yang dipakai.
Channel spacing merupakan sistem
frekuensi minimum yang memisahkan 2 sinyal
yang dimultipleksikan. Atau bisa disebut
sebagai perbedaan panjang gelombang diantara
2 sinyal yang ditransmisikan. Amplifier optic
dan kemampuan receiver untuk membedakan
sinyal menjadi penentu dari spacing pada 2
gelombang yang berdekatan.
Gambar 2.6 Karakteristik tipe optik untuk channel
DWDM
Pada perkembangan selanjutnya, sistem
DWDM berusaha untuk menambah channel
yang sebanyak-banyaknya untuk memenuhi
kebutuhan lalu lintas data informasi. Salah
satunya adalah dengan memperkecil channel
spacing tanpa adanya suatu interferensi dari
pada sinyal pada satu fiber optik tersebut.
Dengan demikian, hal ini sangat bergantung
pada sistem komponen yang digunakan. Salah
satu contohnya
adalah pada demultiplekser DWDM
yang harus memenuhi beberapa kriteria di
antaranya adalah bahwa demux harus stabil
pada setiap waktu dan pada berbagai suhu,
harus memiliki penguatan yang relatif besar
pada suatu daerah frekuensi tertentu dan dapat
tetap memisahkan sinyal informasi sehingga
tidak terjadi interferensi antar sinyal. Sistem
yang sebelumnya sudah dijelaskan yaitu FBG
(Fiber Bragg Grating) mampu memberikan
spacing channel tertentu seperti pada gambar
berikut:
Gambar 2.7 Channel Spacing 0.4 nm Fiber
DWDM Bragg Grating
2.3.4 Aplikasi DWDM
Kemunculan teknologi DWDM tersebut
dengan segera menjadi daya tarik sendiri bagi
perusahaan-perusahaan
penyedia
jasa
telekomunikasi (carriers). Hal ini dikarenakan
teknologi DWDM memungkinkan carriers
untuk memiliki sebuah jaringan tanpa perlu
susah payah membangun sendiri infrastruktur
jaringannya, cukup menyewa beberapa
panjang-gelombang sesuai kebutuhan dengan
daerah tujuan yang sama ataupun berbeda.
Metoda penyewaan panjang-gelombang ini
pula yang saat ini banyak dilakukan oleh
carriers, khususnya yang tergolong baru, di
kawasan Eropa, dimana trafik telepon dan
internet di kota-kota besar di kawasan tersebut
menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi.
Sementara bagi produsen perangkat
telekomunikasi sendiri, kemunculan teknologi
ini seakan memberi angin segar bagi
perusahaan baru untuk turut bermain di dalam
bisnis bernilai milyaran dollar ini. Sebagai
contoh adalah China, yang menjadi pemain
papan atas untuk produk DWDM.
III. ISI
1.1 Sekilas tentang DWDM
Dense Wavelength Division Multiplexing
(DWDM) merupakan suatu teknik transmisi
yang yang memanfaatkan cahaya dengan
panjang gelombang yang berbeda-beda sebagai
kanal-kanal informasi, sehingga setelah
dilakukan proses multiplexing seluruh panjang
gelombang tersebut dapat ditransmisikan
melalui sebuah serat optik.
Gambar 3.1 Prinsip dasar sistem DWDM
Teknologi DWDM adalah teknologi
dengan
memanfaatkan
sistem
SDH
(Synchoronous Digital Hierarchy) yang sudah
ada
(solusi
terintegrasi)
dengan
memultiplekskan sumber-sumber sinyal yang
ada. Menurut definisi, teknologi DWDM
dinyatakan sebagai suatu teknologi jaringan
transport yang memiliki kemampuan untuk
membawa sejumlah panjang gelombang (4, 8,
16, 32, dan seterusnya) dalam satu fiber
tunggal. Artinya, apabila dalam satu fiber itu
dipakai empat gelombang, maka kecepatan
transmisinya menjadi 4x10 Gbs (kecepatan
awal dengan menggunakan teknologi SDH).
1.2 Perhitungan perangkat DWDM
Sebelum mendesain suatu jaringan
menggunakan teknik DWDM kita perlu
mengetahui terlebih dahulu bagaimana cara
pembacaan parameter perangkat pada masingmasing perangkat yang digunakan dan cara
perhitungan power input-output nya. Beberapa
contoh pembacaan dan perhitungan adalah
sebagai berikut :
1. OMU40 ( Optical Multiplexer Unit (40) )
OMU
(Optical
Multiplexer
Unit)
merupakan perangkat yang dipasang
pertama kali setelah OTU yang digunakan
untuk memutipleksikan channel yang
digunakan.
Transponder Unit ) yang sudah ditetapkan
sebesar -3 dBm. Langkah pertama yang
dilakukan untuk mengetahui nilai OMU
adalah menghitung nilai PS dengan
menggunakan rumus :
( PS ) = ( P max OBA - 10 log N)..... (3.1)
P max OBA
Di mana nilai
didapatkan dari pembacaan modul OBA
yang dituju. Misalkan tipe perangkat OMU
adalah 40 (N=40), channel yang beroperasi
sebanyak 11, dan P max adalah 20 dBm.
Maka PS = 20 dBm-10 log (40) sehingga
didapatkan nilai PS adalah 4 dBm. Setelah
didapat nilai PS kemudian hitung nilai
Pch dengan rumus:
( Pch ) = ( PS +10 log n ).........(3.2)
Sehingga Pch = ( 4+10 log 11 ) =
14.4 dBm. Nilai Pch ini dicari terlebih
dahulu dengan tujuan sebagai nilai acuan
masukan untuk modul OBA. Setelah
menghitung nilai Pch selanjutnya dapat
dihitung ouput power dari OMU ( Pn
OMU).
Untuk menghitung output power
dari OMU ( Pn OMU), dapat digunakan
rumus :
Pn OMU = Pi OMU +10 log (N) –
Insertion Loss.........(3.3)
Insertion Loss ( IL ) pada
perhitungan DWDM fiber optik sudah
ditetapkan yaitu sebesar 6 dB. Sehingga
apabila Pi OMU = -3 dBm, N = 11, dan
Insertion Loss = 6 dB maka didapatkan Pn
OMU sebesar 1.4 dBm.
Gambar 3.2 Ilustrasi multiplexing pada
DWDM
Keluaran OMU ini merupakan
masukan untuk perangkat selanjutnya yang
biasanya berupa modul OBA (Optical
Booster Amplifier). Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi dalam perhitungan
OMU, diantaranya adalah power 1 channel
( PS ), power channel dari lambda yang
beroperasi ( Pch ), tipe perangkat OMU
(N), nilai output power maksimal dari
perangkat OBA yang dituju ( P max OBA),
jumlah lambda yang beroperasi (n), serta
power input OMU ( Pi OMU) yang
merupakan keluaran dari OTU ( Optical
Gambar 3.3 Modul OMUX DWDM
2. OBA ( Optical Booster Amplifier )
OBA (Optical Bosster Amplifier)
merupakan perangkat yang dipasang setelah
OMU dan keluarannya akan menjadi
masukan pada modul OPA ( Optical Pre –
Amplifier ). Di mana dengan adanya OBA
ini dapat diperhitungan perlu tidaknya suatu
jaringan dipasang attenuator.
Gambar 3.4 Modul OBA DWDM
Sebelum
melakukan
operasi
perhitungan yang berhubungan dengan
modul OBA terlebih dahulu dibahas tentang
cara pembacaan parameter perangkat OBA.
Apabila pada modul tertulis tipe OBA
adalah OBA2520 maka ini berarti 25
merupakan gain power maximum dan 20
output power maximum sehingga penguatan
maksimal adalah 25 dBm dan keluaran
OBA maksimal adalah 20 dBm. Apabila
parameter ini diabaikan dan nilai power
melampaui batas maka modul dapat rusak.
Untuk menghitung nilai input OBA
( Pi OBA) digunakan rumus:
Pn OBA = Pch dari OMU yang
bersesuaian..............(3.4)
hasil perhitungan didapatkan ( Pn OMU)
sebesar 1.4 dBm dan ( Pi OBA) sebesar 10.6 dBm. Dari data tersebut dapat kita
amati bahwa keluaran OMU yang nantinya
akan menjadi masukan untuk OBA terlalu
besar. Hal ini dapat kita lihat bahwa nilai
( Pn OMU) lebih besar dari ( Pi OBA)
sehingga perlu dipasang suatu attenuator
untuk menurunkan nilai ( Pn OMU)
sehingga nilainya sama dengan ( Pi OBA).
Untuk
menentukan
besarnya
nilai
attenuator yang perlu dipasang, maka dapat
digunakan rumus :
Attenuator = ( Pn OMU) – (– Pi OBA)
....................................................(3.6)
Apabila
dari
perhitungan
didapatkan nilai ( Pn OMU ) = 1.4 dBm
dan ( Pi OBA ) = -10.6 dBm, maka dapat
kita hitung nilai attenuator yaitu ( 1.4 dBm
– (– 10.6 dBm ) sehingga didapatkan nilai
12 dB.
3. OPA ( Optical Pre – Amplifier )
OPA ( Optical Pre – Amplifier )
merupakan perangkat yang dipasang setelah
OBA dan keluarannya akan menjadi
masukan pada modul OBA ( Optical Pre –
Amplifier ) berikutnya.
Setelah itu digunakan rumus :
( Pn OBA ) = Pi OBA + Gain.......(3.5)
Dari persamaan di atas dapat kita
lihat bahwa kita harus mengetahui terlebih
dahulu nilai power channel dari banyaknya
lambda yang digunakan ( Pch ) pada OMU
yang bersesuaian dengan perangkat OBA.
Nilai Pch OMU yang didapatkan ini
digunakan sebagai acuan untuk menentukan
nilai Pn OBA. Sehingga apabila diketahui
Pch OMU = 14.4 dBm dan Gain = 25 dB
maka akan didapatkan ( Pi OBA) = 14.4 –
25 = -10.6 dBm. Setelah didapatkan nilai
( Pi OBA) maka selanjutnya adalah
melakukan adjustment antara input OBA
( Pi OBA) hasil perhitungan dengan output
ideal OMU ( Pn OMU ), yang mana hasil
adjustment ini akan digunakan untuk
menentukan perlu tidaknya suatu jaringan
dipasang attenuator atau ampifier. Dari
Gambar 3.5 Modul OPA DWDM
Pada perangkat OPA memiliki tata
cara pembacaan parameter yang dimiliki
sama seperti pada OBA. Apabila pada
perangkat OPA tertulis 1412 maka ini
berarti perangkat OPA memiliki gain 14
dBm dan power maksimum 12 dBm. Pada
perhitungan power input ( Pi ) maupun
power ouput ( Pn ) OBA, besarnya Loss FO
( hilangnya daya FO ) pada media fiber
optik harus dihitung terlebih dahulu. Rumus
untuk menghitung Loss FO adalah sebagai
berikut :
Loss FO = Jarak media transmisi x FO
Rata-rata (0.27).............................(3.7)
Selain itu besarnya Pn OBA yang
dipasang sebelum OPA juga harus
diketahui. Apabila besarnya Pn OBA dan
Loss FO sudah diketahui maka untuk
menghitung power input ( Pi ) dan power
output ( Pn ) OPA digunakan persamaan
berikut :
( Pi ) OPA = ( Pn ) OBA – Loss FO ....(3.8)
Dan
( Pn ) OPA = ( Pi ) OPA + Gain OPA
............................................................(3.9)
Misalkan
diketahui
dari
perhitungan ( Pn ) OBA sebelumnya
didapatkan nilai sebesar 14.4 dBm dan
jarak medium yang dilalui adalah 66 Km,
maka ( Pi ) OPA dapat dicari dengan
mengurangkan nilai 14.4 dBm dengan ( 66
x 0.27 ) sehingga didapat nilai ( Pi ) OPA =
- 3.6 dBm. Hasil dari ( Pi ) OPA yang
didapat kemudian digunakan untuk mencari
besarnya ( Pn ) OPA yaitu dengan
menambahkan nilai ( Pi ) OPA yang
didapat yaitu -3.6 dBm dengan Gain 14
dBm sehingga didapat nilai ( Pn ) OPA
sebesar 10.4 dBm.
4. ODU40 ( Optical De – Multiplexer Unit
(40) )
Modul ODU merupakan masukan
untuk modul OTU pada sisi penerima. Pada
perhitungan harus disesuaikan dengan type
Modul OTU yang digunakan. Best input
OTU tipe PIN yaitu antara -6 s/d -9 Bm,
sedangkan untuk tipe APD yaitu antara -4
dBm s/d -17 dBm. Untuk perhitungan pada
modul ODU40 ini yang digunakan dalam
perhitungan adalah Modul OTU tipe PIN
dan nilai masukan referensi ( Pi ) yang
diambil adalah -6 dBm, sehingga untuk
mencari ( Pn ) gabungan pada ODU dapat
diterapkan pada rumus :
( Pn ) ODU = ( Pi )+10 log (N) + IL...(3.10)
Sehingga dengan memasukan nilai
yang diketahui kita mendapatkan ( Pn )
ODU = (-6) + 10 log (11) + 6 = 10.4 dBm.
1.3 Contoh Perhitungan Power Kalkulasi
Kota Wates – Yogyakarta – Solo
i. Perhitungan Lokasi Wates (WTS)
Dalam perhitungan ini akan dimulai
dari lokasi Wates, kita akan menghitung power
ideal pada modul OBA 2520 ( Gain 25 dB dan
maksimum 20 dBm ) dengan jumlah
lambda yang beroperasi ( n ) yaitu 11 lambda.
Perhitungan dapat dilakukan melalui beberapa
tahap sebagai berikut :
a) Menghitung power output 1 channel ( )
= 20 dBm
N
= 40
Persamaan :
Maka :
= 20 – 10 log(40)
= 4 dBm
b) Menghitung power output 11 channel ( )
= 4 dBm
n = 11
Persamaan :
= + 10 log (n)
Maka :
= + 10 log (11)
= 4 + 10.4
= 14.4 dBm
c) Menghitung power input OBA
Jenis OBA = OBA 2520
OBA =
(11 lambda)
OBA = 14.4 dBm
Gain
= 25
Persamaan :
OBA = OBA + Gain
Maka:
14.4
= OBA + 25
OBA = 14.4 – 25
OBA = -10.6 dBm
d) Menghitung power output ideal OMU (
OMU)
=
OTU di mana memiliki nilai ideal
yaitu -3 dBm
= 11
= 6 dB
Persamaan :
OMU = + 10 log (N) Maka :
OMU = -3 + 10 log (11) – 6
OMU = -3 + 10.4 – 6
OMU = 1.4 dBm
e) Menghitung besarnya attenuator antara
modul OMU dan OBA
OMU = 1.4 dBm
OBA = -10.6 dBm
Karena besarnya nilai power
keluaran OMU lebih besar daripada nilai
inputan OBA ideal maka antara perangkat
OMU dan OBA 2520 hendaknya dipasang
sebuah attenuator yang nilainya dapat
dihitung dengan cara berikut :
Persamaan :
Attenuator =
OMU – (–
OBA )
Maka :
Attenuator = 1.4 – (– 10.6)
Attenuator = 12 dB
ii. Perhitungan Lokasi Yogyakarta (YK1)
Perhitungan
selanjutnya
akan
menghitung besarnya power input dan power
output pada modul OPA dan OBA di lokasi
Yogyakarta. Jarak antara Wates – Yogyakarta
adalah 38 Km dengan Loss rata-rata sebesar
0.27 dB. Perhitungan power kalkulasinya dapat
dilihat pada langkah-langkah berikut :
a) Menghitung nilai power input OPA
Yogyakarta
OBA Wates
= 14.4 dBm
Jenis OPA
= OPA 1412
Loss FO
= 38 x 0.27 dB =
10.26 dB
Persamaan :
OPA =
OBA sebelumnya - Loss
FO
Maka:
OPA = 14.4 – (10.26 )
OPA = 4.14 dBm
b) Menghitung nilai power output OPA
Yogyakarta
Gain OPA = 14 dB
Persamaan :
OPA = OPA – Gain OPA
Maka:
OPA = 4.14 + 14
OPA = 18.14 dBm
c) Menghitung nilai power ideal 1 channel
= 20 dBm
= 40
Persamaan :
=
- 10 log (N)
Maka :
= 20 – 10 log (40)
= 20 – 16
= 4 dBm
d) Menghitung nilai power ideal 11 channel
= 4 dBm
= 11
Persamaan :
= + 10 log (n)
Maka :
= 4 + 10 log (11)
= 4 + 10.4
= 14.4 dBm
e) Menghitung nilai power input OBA
Yogyakarta
Jenis OBA = OBA2520
OBA
=
untuk 11 channel
OBA
= 14.4 dBm
Persamaan :
OBA = OBA + Gain OBA
Maka :
OBA = 14.4 – ( 25 )
OBA = -10.6 dBm
f) Menghitung nilai attenuator yang
dibutuhkan antara OPA 1412 dan OBA
2520
OPA = 18.14 dBm
OBA = -10.6 dBm
Karena terdapat perbedaan nilai
power antara keluaran OPA yang akan
menjadi masukan OBA dengan nilai
masukan OBA, maka hendaknya dipasang
sebuah attenuator antara perangkat OPA
1412 dengan OBA 2520 yang dapat
dihitung dengan persamaan berikut :
Persamaan :
Attenuator =
OPA – (– OBA)
Maka :
Attenuator = 18.14 – (– 10.6 )
Attenuator = 28.74 dB
iii. Perhitungan Lokasi Solo (SLO-4)
Perhitungan
selanjutnya
akan
menghitung besarnya power input dan power
output pada modul OPA di lokasi Solo. Jarak
antara Yogyakarta – Solo adalah 85 Km
dengan Loss rata-rata sebesar 0.27 dB.
Perhitungan power kalkulasinya dapat dilihat
pada langkah-langkah berikut :
a) Menghitung power input OPA dari
keluran OBA terhadap Loss FO
Jenis OPA
= OPA 2212
OBA Yogyakarta
= 14.4 dBm
Loss FO
= 85 x 0.27 =
22.95 dB
Persamaan :
OPA =
OBA Yogyakarta – Loss FO
Maka :
OPA = 14.4 – 22.95
OPA = -8.55 dBm
b) Menghitung power input OPA
OPA
= 12 dBm
Gain OPA
= 22 dB
Persamaan :
OPA = OPA + Gain OPA
Maka :
OPA =
OPA - Gain OPA
OPA = 12 – 22
OPA = – 10 dBm
c) Menghitung power input ideal ODU
OTU ideal
= -6 dBm
n
= 11
= 6 dB
Persamaan :
ODU= OTU ideal + 10 log ( n ) +
Maka :
ODU = -6 + 10 log ( 11 ) + 6
ODU= 10.4 dBm
d) Menghitung attenuator yang dipasang
antara OBA dan OPA
Dari hasil perhitungan terlihat
bahwa power output OPA (
OPA)
nilainya tidak sama dengan power input
ODU ( ODU ), sehingga perlu dipasang
suatu attenuator atau LACT antara
perangkat OPA 2212 dengan ODU
dengan perhitungan sebagai berikut :
OPA 2212
= 12 dBm
ODU
= 10.4 dBm
Persamaan :
Attenuator =
OPA - ODU
Maka :
Attenuator =
OPA - ODU
Attenuator = 12 – ( 10.4 )
Attenuator = 1.6 dB
1.4 Contoh Perhitungan Link Budget OBA
dan OPA
Link budget merupakan suatu cara
untuk menghitung mengenai semua parameter
dalam transmisi sinyal, mulai dari gain dan
losses dari Tx sampai Rx melalui media
transmisi. Dalam hal ini perhitungan dengan
media transmisi FO dengan menggunakan
teknik DWDM.
Link merupakan parameter dalam
merencanakan
suatu
jaringan
yang
menggunakan media transmisi berbagai
macam. Link budget ini dihitung berdasarkan
jarak antara transmitter (Tx) dan receiver (Rx).
Link budget juga dihitung karena adanya
penghalang antara Tx dan Rx misal gedung
atau pepohonan. Link budget juga dihitung
dengan melihat spesifikasi yang ada pada
antena.
Untuk menghitung Link Budget loss
antara OBA dan OPA ada beberapa parameter
perangkat yang harus diketahui diantaranya
adalah jenis OBA dan jenis OPA yang
diketahui. Sebagai contoh lihat gambar
perencanaan link budget OBA Wates dan OPA
Yogyakarta di bawah ini :
90 Km
OBA
2520
OPA
1412
Loss F0= 38 x 0.27
=10.26 dB
Gambar 3.6 Konfigurasi Perangkat OBA 2520 dan
OPA 1412
Dari gambar di ata dapat dilihat bahwa
perangkat OBA memiliki Gain maksimal 25
dan Power Output 20, sedangkan OPA
memiliki Gain maksimal 14 dan Power Output
12. Untuk menghitung Loss ideal digunakan
persamaan berikut :
Loss Ideal = (
maks OPA – Gain OPA) +
maks OBA +
Link Budget Margin Pabrikan
Untuk nilai link budget pabrikan
ditetapkan nilai sebesar 4 dB sehingga
didapatkan nilai nilai Loss Ideal = ( 12 – 14) +
20 + 4 = 26. Sedangkan untuk loss sebenarnya
adalah 0.27 x 90 = 27 dB.
Sehingga
didapatkan link budget untuk OBA Wates dan
OPA Yogyakarta adalah 26 / 27 dB.
IV. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan
selama melakukan Kerja Praktek pada PT
Telekomunikasi
Indonesia,
diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Teknologi Dense Wavelength Division
Multiplexing (DWDM) adalah
suatu
teknologi jaringan transport yang
memiliki kemampuan untuk membawa
sejumlah panjang gelombang (4, 8, 16, 32,
dan seterusnya) dalam satu fiber tunggal.
2. Teknologi DWDM memanfaatkan sistem
SDH (Synchoronous Digital Hierarchy)
dengan memultiplekskan sumber-sumber
sinyal yang ada.
3. Parameter yang perlu diperhatikan pada
DWDM adalah Nilai output / input power
ideal pada masing-masing modul (OBA (
Optical Booster Amplifier ), OPA (
Optical Pre- Amplifier ), OMU ( Optical
Multiplexer Unit ), dan ODU ( Optical
De-Multiplexer Unit ) ) dan Nilai dispersi
fiber optik yang digunakan.
4. Komponen
DWDM
terdiri
dari
Transmitter, Receiver, DWDM terminal,
multiplexer, Intermediate optical terminal
( amplifier ), DWDM terminal demux,
Optikal supervisory channel.
5. Permasalahan yang timbul pada DWDM
disebabkan oleh faktor internal (kualitas
fiber optik) dan eksternal (kerusakan
modul/ input output power).
6. Setiap ada permasalahan/ gangguan pada
sistem perangkat yang ada kaitan dengan
power input / output, maka harus
berpedoman pada metoda formulasi
power kalkulasi yang telah diuraikan
dalam pembahasan.
7. Untuk menentukan link buget pada
lintasan FO, bisa menggunakan referensi
perhitungan formula power kalkulasi.
8. Jika ada permasalahan/gangguan pada
perangkat (trafik/lambda terganggu),
sebagai referensi pertama adalah melihat “
Current Perfomance “ pada modul OTU.
9. Setelah melakukan perhitungan formula
power kalkulasi ini, maka nilai link
budget perangkat bisa diketahui.
10. Nilai Attenuator yang terpasang dan
power input/ output yang ideal pada
masing-masing modul hasil dari pada
perhitungan ini hanya berlaku untuk kanal
yang beroperasi sebanyak 11 lambda, jika
ada penambahan lambda perhitungan
harus menyesuaikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. www.scribd.com/doc/19770017/Modul96-13-SKSO dalam artikel “Modul
SKSO”
2. Nurman,
Fauzi.
2009.Pemeliharaan
Perangkat dan Jaringan Kabel Optik.
3. http://elfri.wordpress.com dalam artikel
“Makna Dari Perubahan Sebuah Logo
(Case Study : TELKOM)”
4. ______________,
Materi
Pelatihan
Sistem
Komunikasi
serat
Optik,
PT.TELKOM.
5. Dwi, Agus Mulyono. Paper Power
Kalkulasi Pada Perangkat BB Jawa
DWDM ZTE. PT TELKOM
6. http://id.wikipedia.org
7. fiberoptic.net.id/index.php
8. www.telkom.co.id
9. www.google.co.id
Biodata Penulis
Ahmad
Fashiha
Hastawan
(L2F008003)
lahir di Semarang, 10
Februari
1988.
Menempuh pendidikan
Di TK Mardi Putra,
kemudian SD Negeri
Banyumanik 02, SMP
Negeri 21 Semarang,
SMA Negeri 4 Semarang dan saat ini
melanjutkan di Jurusan Teknik Elektro
Universitas
Diponegoro
Konsentrasi
Elektronika Telekomunikasi.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Sudjadi, M.T
NIP 195906191985111001
Download