BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Reog Ponorogo sangat terkenal di Indonesia. Kesenian Reog Ponorogo
sebagai kesenian tradisional penuh dengan nilai-nilai historis dan legendaris.
Kesenian Reog Ponorogo yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu hingga
sekarang bukan saja menjadi kebanggaan daerah melainkan menjadi kebanggaan
nasional. Penyajian kesenian Reog Ponorogo berjalan serasi, seimbang dan
sampai hari ini tetap hidup berkembang di kalangan masyarakat Ponorogo.
Kesesuaian itu berasal dari perpaduan konsep batiniah dan lahiriah dengan
karakter yang penuh nilai-nilai magis. Nilai atau unsur magis yang terdapat pada
kesenian Reog Ponorogo tampak pada upacara spiritual yang di lakukan pada saat
pertunjukkan berlangsung. Seperti halnya terjadinya kerasukan pada pemain Reog
Ponorogo (Anonim, 2004: 4).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Reog merupakan tarian tradisional
dalam arena terbuka yang berfungsi sebagai hiburan rakyat (2008: 1166).
Selanjutnya dalam kesenian Reog Ponorogo mengandung unsur magis, dengan
penari utama adalah orang dengan topeng berkepala singa dengan hiasan bulu
merak. Ditambah pula beberapa penari bertopeng dan berkuda lumping yang
diperagakan oleh laki-laki. Serta disebut seni tradisional sebagai hiburan rakyat
atau masyarakat dengan lagu-lagu segar yang diiringi calung, dan diselingi
sindiran atau pujian dalam bentuk. Beberapa literatur kemudian menyebutkan
bahwa salah satu pengertian kata “Reog”atau “Reyog” berasal dari kata “Riyet”
1
2
yaitu kondisi bangunan yang hampir rubuh, dan suara gamelan Reog yang
bergemuruh itulah yang diidentikan dengan suara “bata rubuh” ( Fauzannafi,
2005:15).
Tarian Reog Ponorogo dikenal menampilkan sosok penari yang memakai
topeng raksasa berwujud kepala harimau dengan seekor merak yang bertengger di
atasnya lengkap dengan bulu-bulu ekornya yang bertengker menjulang ke atas
dengan indahnya yang biasa disebut Dhadak Merak. Terdapat beberapan para
penari perempuan yang memerankan sosok prajurit berkuda yang disebut Jathilan.
Di samping itu, terdapat penari laki-laki yang memiliki badan gempal berseragam
pakaian hitam, berhias kumis dan cambang yang lebat yang biasa disebut Warok.
Selanjutnya seorang penari yang mengenakan topeng berwarna merah, berhidung
mancung, berkumis tipis, lengkap dengan mahkota seorang raja yaitu Prabu
Kelana Sewandana. Lalu patihnya yang diperankan oleh penari yang juga
bertopeng merah dengan hidung besar, mata melotot, mulut lebar, dan rambut
jabrig yang dikenal dengan Patih Bujangganong (Fauzannafi, 2005: 13-14).
Dalam kesenian Reog Ponorogo terdapat beberapa unsur. Antara lain
yaitu, unsur seni rupa yang terdiri atas aspek peralatan seperti gamelan. Aspek
busana dan tata rias. Pada umumnya busana pelaku Reog Ponorogo terdiri dari
warna hitam, merah, putih dan kuning. Sedangkan tata rias wajah peran atau
pelaku Reog Ponorogo sangat diperlukan. Dengan melihat tata rias wajah dan
busana di samping menambah keindahan pelaku dan mendukung pentas, juga
berguna untuk membedakan karakteristik dari masing-masing pelaku. Di samping
unsur seni rupa, seni pertunjukkan jelas yang paling penting. Terdapat unsur seni
3
pertunjukkan yang terdiri atas aspek instrumen dan aransemen musik dan aspek
penari dan pelaku. Gamelan atau musik Reog Ponorogo, berfungsi sebagai
tabuhan dan pengiring pagelaran kesenian Reog yang sangat dominan.
Keistimewaan gamelan Reog Ponorogo apabila sedang dibunyikan meskipun
tanpa penari mampu mengetarkan jiwa dan menggerakkan hati orang-orang di
sekitarnya sejauh bunyi gamelan reog tersebut dapat didengar. Aspek tari kesenian
tradisional reog Ponorogo bersifat legendaris, di mana eksistensinya mengandung
nilai-nilai historis, filosofis, religius, rekreatif dan edukatif serta terdapat ajaran
yang disampaikan secara kiasan atau simbol, yang isinya dipergunakan sebagai
pendorong cinta tanah air. Di samping unsur seni rupa dan kesenian juga hadir
unsur kebahasaan dan unsur kesusasteraan yang terdapat dalam syair, tembang,
dan mantra. Unsur kebahasaan dan unsur kesusasteraan terkait beberapa istilah
pada nama istilah busana tarian kesenian Reog Ponorogo (Pemkab daerah tingkat
II Ponorogo, 2004: 9).
Reog sebagai bagian dari hasil budaya mempunyai kaitan yang erat
dengan faktor kebahasaan, terutama dengan nama dan istilah. Namun demikian
perlu diketahui bahwa dalam pertunjukkan kesenian Reog Ponorogo terdapat tiga
golongan dalam penyajian pertunjukkan kesenian Reog tersebut. Antara lain yaitu
Reog Pusaka, Reog Festival, dan Reog Obyog. Reog Pusaka biasanya
dipertunjukkan pada waktu tertentu saja dan yang menonton adalah orang-orang
penting. Biasanya pertunjukkan terjadi pada saat ada permintaan dari orang-orang
penting. Selain itu dalam pertunjukkan Reog Pusaka semua pemain dan semua
perlengkapan dalam pertunjukkan sangat lengkap dan terkesan formal. Cenderung
4
berbeda dengan Reog Festival yang setiap tahun bahkan hampir setiap bulan
selalu diadakan pertunjukkan di alun-alun Ponorogo dan juga di berbagai tempat
disetiap Kecamatan. Biasanya juga menjadi pengisi acara dalam sebuah acara
perkawinan, khitanan, dan lain sebagainya. Reog Festival dalam pertunjukkannya
juga cenderung lengkap seperti halnya Reog Pusaka. Namun demikian, berbeda
dengan Reog Obyog, yang semua desa bahkan hampir semua dusun mempunyai
Reog Obyog dan dipertunjukkan dalam waktu seminggu sekali bahkan dua kali.
Namun Reog Obyog tidak memiliki pelaku atau penari, perlengkapan maupun
peralatan yang lengkap dalam setiap pertunjukkannya. Biasanya hanya ada
Jathilan, Bujang Ganong, dan Barongan tanpa adanya penari lainnya seperti
Warok dan Kelana Sewandana. Perlengkapan musikpun juga terbatas dan tidak
lengkap begitu pula dengan busana yang digunakkannya juga cenderung kurang
menarik1.
Dari beberapa penjelasan di atas, maka dalam kajian penelitian ini lebih
ditekankan pada busana penari kesenian Reog Ponorogo. Dikarenakan cukup
beragam dan memiliki istilah yang berbeda-beda. Maka penelitian ini ditegaskan
pada nama-nama busana penari dalam pertunjukkan kesenian Reog Ponorogo.
1
Wawancara penulis dengan Sudirman, M. Pd pada tanggal 21 April 2015.
5
1.2 Rumusan Masalah
Pertunjukan kesenian Reog Ponorogo merupakan salah satu seni
pertunjukan yang sering dimainkan di Kabupaten Ponorogo. Pertunjukan ini
dilakukan untuk memperingati berbagai perayaan tertentu. Dalam pertunjukan
kesenian Reog Ponorogo dilengkapi dengan berbagai perlengkapan seperti
perlengkapan musik, peralatan hiasan, dan perlengkapan busana. Setiap
perlengkapan yang digunakan oleh penari Reog Ponorogo memiliki nama dan
makna sendiri-sendiri.
Akan tetapi pada penelitian kali ini lebih dititikberatkan pada makna
busana penari-penari pada kesenian Reog Ponorogo. Dikarenakan bahwa busana
adalah bagian yang penting yang digunakan penari, maka ditemukan berbagai
permasalahan sebagai tersebut.
a. Apa saja nama-nama pakaian pada busana penari kesenian Reog
Ponorogo?
b. Apa makna yang terkandung dalam nama-nama pakaian pada busana
penari kesenian Reog Ponorogo?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan diadakan penelitian ini ada dua, yaitu tujuan umum dan tujuan
khusus. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui apa saja nama-nama
busana penari dalam pertunjukan kesenian Reog Ponorogo yang kurang diketahui
oleh masyarakat. Sedangkan, tujuan khusus penelitian ini adalah untuk
menyajikan analisis nama-nama busana penari dalam pertunjukan kesenian Reog
6
Ponorogo di Kabupaten Ponorogo dari segi semiotik, sehingga dapat diketahui
makna-maknanya.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian terhadap analisis semiotis nama-nama busana
penari dalam pertunjukkan kesenian Reog Ponorogo di Kabupaten Ponorogo yaitu
untuk memperkenalkan pada masyarakat, bahwa nama-nama busana penari dalam
pertunjukkan kesenian Reog Ponorogo bukanlah bentuk fisik yang tidak
mempunyai arti, melainkan setiap nama busana yang disajikan mempunyai
makna.
1.5 Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian mengenai Reog Ponorogo, khususnya dalam
seni pertunjukkan dalam aspek busana penari dalam pertunjukkan kesenian Reog
Ponorogo.Berikut adalah penelitian-penelitian mengenai Reog Ponorogo yang
dapat dijangkau oleh peneliti.
Pada tahun 2003, Lono Simatupang menyelesaikan penelitian yang
berjudul Pengaruh Festival Bagi Kelompok Kesenian Rakyat Reyog Ponorogo di
Kabupaten Ponorogo. Penelitian ini menyajikan gambaran umum masyarakat
Ponorogo, legenda asal-usul Reog Ponorogo, unsur-unsur formal kesenian reog
Ponorogo, serta konteks pertunjukannya. Kemudian Lono juga mengatakan bahwa
pelaksanaan festival Reog Ponorogo terbukti mampu mendorong kreativitas
artistik praktisi-praktisi lokal kesenian rakyat reog Ponorogo. Walaupun
7
penyelenggaraan festival telah berhasil menanam bibit bagi tumbuhnya sikap
profesionalisme di kalangan praktisi Reog Ponorogo di kabupaten tersebut, tetapi
sikap tersebut masih dangkal dan terbatas lingkup pengaruhnya pada praktisi kelas
festival.
Pada tahun 2004, Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Ponorogo
menyusun buku yang berjudul Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo dalam
Pentas Budaya Bangsa. Penelitian tersebut merupakan proyek untuk meninjau
tentang kesenian reog Ponorogo dengan segala aspeknya yang penuh dengan
nilai-nilai historis dan legendaris yang tumbuh dan berkembang sejak dahulu
hingga sekarang. Memberi gambaran mengenai pedoman dasar dalam pentas
kesenian Reog Ponorogo seperti pedoman tata pakaian atau busana dari pelaku
pertunjukkan, tata rias yang digunakan oleh para pelaku, serta jenis tari dasar yang
dimainkan dalam pementasan tersebut.
Selanjutnya, Muhammad Zamzam telah menyelesaikan penelitian yang
berjudul Reog Ponorogo, Menari di Antara Dominasi dan Keragaman. Pada
tahun 2005. Pada penelitian ini dijelaskan pengertian Reog Ponorogo. Dalam
buku ini Zamzam tidak hendak bercerita tentang makna-makna di balik
pertunjukkan Reog Ponorogo, melainkan berkisah tentang bagaimana formasi
sosial masyarakat Ponorogo dibentuk, tidak dibentuk, dan dibentuk kembali.
dengan kata lain, Zamzam menempatkan Reog Ponorogo sebagai medan kajian
tentang praktik politik kebudayaan. Dalam hal ini Zamzam berhasil menyuguhkan
informasi seputar konteks reog Ponorogo secara menawan dan rinci, serta
menawarkan pembacaan secara kritis.
8
Kemudian, pada tahun 2007 Ratna Pradhipta Dadi dalam skripsinya yang
berjudul Analisis Semiotis Mantra Pembarong dalam Kesenian Reyog Ponorogo.
Ratna Menjelaskan bahwa terdapat beberapa mantra pembarong pada kesenian
Reog Ponorogo, mantra pembarong tersebut mengandung permohonan kepada
Tuhan Yang Maha Esa atas kekuatan dan keselamatan pembarong serta
keselamatan seluruh pihak yang terlibat dalam pertunjukkan Reog Ponorogo.
Baik para pemain maupun masyarakat atau penikmat seni Reog Ponorogo.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang diuraikan di atas, tampaknya
penelitian mengenai gambaran umum seperti sejarah Reog Ponorogo, fungsi
pertunjukkan Reog Ponorogo, dan tujuan pertunjukkan kesenian Reog Ponorogo
sudah dilakukan oleh beberapa peneliti. Akan tetapi, penelitian mengenai analisis
nama-nama busana penari dalam pertunjukkan kesenian Reog Ponorogo melalui
pendekatan semiotik belum pernah dilakukan. Dengan begitu penelitian ini
original dan perlu untuk diteruskan.
1.6 Kerangka Teori
Teori yang digunakan untuk menganalisis nama-nama busana penari
dalam pertunjukan kesenian Reog Ponorogo adalah teori semiotik. Semiotik
adalah ilmu tentang tanda, istilah tersebut berasal dari kata Yunani semion yang
berarti „tanda‟. Tanda adalah kombinasi konsep dan gambaran akustik yang
dibayangkan atau dipikirkan untuk mudah dipahami dan dimengerti dengan jelas
(Saussure, 1996:147).
9
Semiotik sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami
dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan
„tanda‟. Dengan demikian semiotik mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu
tanda. Dalam tanda ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya dan bukan
merupakan tanda itu sendiri (Sobur, 2001: 87).
Dalam penelitian ini, teori yang digunakan adalah The Triangle of
Signification „segitiga arti‟ yang dijelaskan oleh John Lyons dalam bukunya yang
berjudul Semantics. Berikut bagan dari teori The Triangle of Signification.
(B) Concept
signifying
signifying
thought
thought
(A) Sign
Indirect relationship
---------------------(C) Significatum/referent
(Lyons, 1977: 96-98)
Bagan di atas menunjukkan adanya korelasi dari tanda, yaitu : (A) sign
atau tanda, yang merupakan pengucapan nama istilah dari sebuah tanda. (B)
concept atau konsep, yaitu merupakan makna leksikal dan gagasan suatu istilah
dari sebuah tanda, dan (C) significatum atau referen, adalah acuan unsur luar
10
bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa dan dalam kehidupan sosial, referen ini
merupakan sebuah bentuk simbolik di kehidupan.
Garis putus-putus dalam segitiga di atas menunjukkan sifat tidak langsung
dari hubungan antara Sign „tanda‟ dengan Significatum „referen‟. Hubungan
antara tanda dan referen melalui concep „konsep‟ Lyons menjelaskan bahwa
hubungan antara lexem “leksem” (A) dan referen (C) adalah tidak langsung, yaitu
melalui media konsep (B). Hal ini menunjukkan pada bagan di atas bahwa antara
(A) dan (C) terhubung dengan garis putus-putus, tidak seperti garis AB dan BC.
Hubungan antara garis AB dan BC, yaitu pada garis AB berarti leksem (A)
signifying „menandai‟ konsep (B), dan pada garis BC berarti konsep (B) menandai
The thing „sesuatu‟ (C). Lyons menjelaskan bahwa objek (C) disebutkan thought
„pikiran‟ dan menjadi sebuah bentuk simbolik dalam kehidupan oleh pembicara
adalah (B), dan (B) adalah makna leksikal yang ditimbulkan oleh tanda (A).
Sehingga Sign „tanda‟ (A) yang akan dipikirkan dalam pikiran akan secara
langsung menunjuk pada (C) dan memunculkan sebuah bentuk simbolik (Lyons,
1977:96-98).
Peneliti akan menganalisis nama-nama busana penari pada pertunjukkan
kesenian Reog ponorogo dengan menggunakan teori The Triangle of Signification
oleh Lyons. Berikut adalah salah satu contoh analisis nama busana penari pada
pertunjukkan kesenian Reog Ponorogo di Kabupaten Ponorogo.
11
(B) Concept :1. Celana bermodel kolor.
2. Mênêp, berwibawa, dan mumpuni.
3. Berilmu tinggi, tenang, dan kesederhanaan.
______________
(A) sign
(C) referen
Clana dingkikan
[clɔnɔdʰiŋki?an]
Gambar 1: Clana dingkikan
(Foto : Sawitri, 2015)
Bagan di atas adalah terapan dari teori The Triangle of Signification
„segitiga arti‟ John Lyons yang digunakan untuk menganalisis data. Adapun clana
dingkikan sebagai sign yang berwujud fonemis yang menandai atas concept yang
akan dijelaskan, kemudian acuannya adalah gambar atau referen. Clana dingkikan
12
[ c l ɔ n ɔ d ʰ i ŋ k i ? a n ] berasal dari kata dingkik dengan mendapat akhiran -an
dan memiliki sebuah konsep „celana yang digunakan oleh penari Bujang Ganong
dalam pertunjukkan kesenian Reog Ponorogo yang bersifa berwibawa, mumpuni,
dan mênêp‟.
Clana dingkikan artinya celana sepanjang pertengahan betis dan bermodel
kolor. Di pakai oleh pelaku Bujang Ganong yang merupakan seorang patih dalam
cerita pertunjukkan kesenian Reog Ponorogo, namun walapun Bujang Ganong
seorang patih, juga dari rakyat biasa. Oleh sebab itu sangat merakyat dan familiar
dengan rakyat. Pakaian yang digunakan Bujang Ganong sangat sederhana. Hanya
warnanya hitam dan merah yang menjunjukkan kesederhanaan dari seorang
manusia.
Clana dingkikan sebagai penanda atas konsep telah dimaknai sebagai
suatu gambaran yaitu hitam dan merah yang memiliki makna yaitu menep. Mênêp
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pendiam tapi berisi, tenang, dan
kesederhanaan (2008: 899). Mênêp memiliki makna bahwa seseorang yang sudah
mempunyai ilmu sudah tidak macam-macam, sudah tidak mempunyai nafsu
marah, dan menjadi seseorang yang memiliki jiwa tenang. Manusia yang memiliki
karakter mênêp dalam kehidupannya dapat menjadi seseorang yang berwibawa
dan mumpuni. Mumpuni yang dimaksud dapat melakukan segalanya, akan tetapi
tidak bersifat sombong2.
2
Wawancara penulis dengan Sudirman, M. Pd. pada tanggal 21 April 2015.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1
Metode Pengumpulan Data
Langkah pertama yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah
mengumpulkan data yang diperoleh melalui sumber lisan yaitu melalui informan
dan dilengkapi dengan sumber tertulis. Informan adalah orang yang membantu
penulis dalam memberikan informasi bahasa. Dalam hal ini informan yang dipilih
harus memenuhi syarat-syarat berikut, antara lain:
1. Penduduk asli Ponorogo.
2. Mengetahui, memahami, dan menguasai bentuk-bentuk kesenian
tari Reog Ponorogo.
3. Berpengalaman, yaitu sudah lama menjadi pemain dalam kesenian
tari Reog Ponorogo.
Dalam penelitian ini, data yang diutamakan adalah data yang diperoleh
dari sumber lisan yaitu informan yang telah memenuhi syarat-syarat di atas. Data
lisan dilengkapi dengan sumber tertulis yaitu buku-buku yang mendukung data
penelitian seperti yang sudah disebutkan pada tinjauan pustaka.
Metode wawancara, dilanjutkan dengan teknik catat berdasarkan
pengelompokan data atau klasifikasi. Metode cakap berupa percakapan, yaitu
percakapan antara penulis dan informan untuk mendapatkan data. Penulis
melakukan wawancara dengan informan untuk mendapatkan data yang berkaitan
dengan busana utama dalam tari reog Ponorogo. Metode cakap ini meliputi teknik
dasar yaitu teknik pancing. Teknik pancing ini digunakan untuk memancing
informan agar dapat atau mau berbicara dan menjawab pertanyaan yang diajukan
1
14
oleh penulis. Teknik pancing dilanjutkan dengan teknik lanjutan: teknik cakap
semuka dan teknik cakap tidak semuka. Teknik cakap semuka yaitu dengan cara
percakapan langsung atau bertatap muka antara penulis dan informan. Jadi
dilakukan secara lisan. Sedangkan teknik cakap tidak semuka yaitu dengan cara
tidak bertemu langsung melainkan bisa melalui angket atau media masa dan
media elektronik lainnya.
1.7.1 Metode Pengolahan Data
Dalam penelitian selanjutnya adapun metode yang ditempuh yang harus
dilakukan adalah dengan mengumpulkan sebanyak mungkin data mengenai nama
busana utama dalam kesenian tari Reog Ponorogo dengan metode wawancara
dengan beberapa sesepuh kesenian tari Reog Ponorogo.
Data nama-nama busana utama dalam kesenian tari Reog Ponorogo yang
diperoleh dari informan, baik secara lisan maupun tertulis dicatat dan
diklasifikasikan, kemudian data dianalisis secara semiotis dengan mencari makna
dari simbol, tanda, atau lambang yang terdapat dala data tersebut. Langkah
selanjutnya adalah melakukan analisis fungsi terhadap data tersebut. Analisis
fungsi dilakukan dengan cara mengkaji fungsi nama busana utama dalam konteks
struktur sosial-budaya kelompok etnik, baik bagi kepentingan seni maupun
kepentingan sosial dalam suatu kesenian tersebut.
15
1.8 Sistematika Penulisan
Penelitian ini secara lengkap dibagi menjadi empat bab. Bab I
Pendahuluan. Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,
metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II membahas tentang deskripsi
wilayah penelitian. Bab ini mengungkap geografis Kabupaten Ponorogo, sejarah
Kabupaten Ponorogo, cerita asal-usul kesenian Reog Ponorogo, Deskripsi Para
Pelaku dan Nama-Nama Busana dalam Pertunjukkan Kesenian Reog Ponorogo.
Bab III akan membahas tentang analisis semiotis tetang nama-nama busana dalam
kesenian tari Reog Ponorogo. Bab ini menguraikan tentang simbol-simbol yang
terkandung dalam busana dalam kesenian tari Reog Ponorogo. Kemudian yang
terakhir dalam bab IV membahas tentang kesimpulan dan saran. Bab ini berisi
tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.
Download