MENINGKATKAN HDL DAN ANTIOKSIDAN TOTAL

advertisement
DISERTASI
SUPLEMENTASI KOMBINASI TEMPE M-2
DENGAN WORTEL (Daucus carrota) MENINGKATKAN HDL
DAN ANTIOKSIDAN TOTAL, SERTA MENURUNKAN LDL,
F2-ISOPROSTAN, DAN IL-6 PADA TIKUS WISTAR
ATEROSKLEROSIS
I GUSTI AYU ARI AGUNG
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
DISERTASI
SUPLEMENTASI KOMBINASI TEMPE M-2
DENGAN WORTEL (Daucus carrota) MENINGKATKAN HDL
DAN ANTIOKSIDAN TOTAL, SERTA MENURUNKAN LDL,
F2-ISOPROSTAN, DAN IL-6 PADA TIKUS WISTAR
ATEROSKLEROSIS
I GUSTI AYU ARI AGUNG
NIM 0890271002
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
SUPLEMENTASI KOMBINASI TEMPE M-2
DENGAN WORTEL (Daucus carrota) MENINGKATKAN HDL
DAN ANTIOKSIDAN TOTAL, SERTA MENURUNKAN LDL,
F2-ISOPROSTAN, DAN IL-6 PADA TIKUS WISTAR
ATEROSKLEROSIS
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor
pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AYU ARI AGUNG
NIM 0890271002
PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL : 6 MEI 2013
Promotor
Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH., Ph.D
NIP. 194302151969021001
Kopromotor I,
Kopromotor II,
Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D
NIP. 196012311988031003
Prof. Dr.Ir. I Ketut Suter, MS
NIP. 195012311976021003
Mengetahui :
Ketua Program Doktor
Program Studi Ilmu Kedokteran
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Dr.dr.I Wayan Putu Sutirta Yasa,M.Si
NIP. 195705131986011001
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 195902151985102001
Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup
Tanggal 6 Mei 2013
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana Nomor : 0544/UN14.4/HK/2013
Ketua
:
Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si
Anggota :
1.
Prof.dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D
2.
Prof. drh. I N. Mantik Astawa,Ph.D
3.
Prof. Dr. Ir. I Ketut Suter, MS.
4.
Prof. Dr. drh. Ida Bagus Arka, GDFT
5.
Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And.
6.
Prof. Dr. Ir. I Made Narka Tenaya, MS.
7.
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K)
8.
Prof. Dr.Dra. Putu Ristiati, M.Pd
.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa
atas Asung Wara Nugraha-Nya/karunia-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan disertasi yang
berjudul ” Suplementasi Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel (Daucus carrota) Meningkatan
HDL dan Antioksidan Total, serta Menurunkan LDL, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada Tikus Wistar
Aterosklerosis Tingkat Awal ".
Penulis telah mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak dalam
penyusunan disertasi ini, dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada
Prof.dr. N. T. Suryadhi MPH, Ph.D, sebagai pembimbing akademis dan promotor, Prof.drh. I N
Mantik Astawa,Ph.D, sebagai kopromotor I,
dan Prof.Dr.Ir. I Ketut Suter, MS, sebagai
Kopromotor II yang dengan ketulusan hati telah membimbing, mengarahkan dan memberi
semangat selama penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof.Dr.dr. I Made Bakta,SpPD
(KHOM), Rektor Universitas Udayana, dan Prof.Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, MS, Rektor
Universitas Hindu Indonesia atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk
mengikuti pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang lama
Prof.Dr.Ir. Dewa Ngurah Suprapta, M.Sc. maupun Direktur Program Pascasarjana Universitas
Udayana yang baru Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). atas kesempatan yang diberikan
kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program
Doktor ini, Prof.Dr. Made
Budiarsa, MA, sebagai Asisten Direktur I, Prof.Dr.Ir. I Ketut Budi Susrusa, MS sebagai Asisten
Direktur II, serta staf Administrasi Pascasarjana yang telah membantu urusan administrasi
selama mengikuti pendidikan Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si,
Ketua Program Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran, dan kepada Dr.dr.I Dewa Made
Sukrama, M.Si,SpMK(K), Sekretaris Program Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran atas
segala kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti program Doktor. Demikian
juga, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof.Dr.drh.Ida Bagus Arka, GDFT,
Prof.Dr.dr.J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And., Prof.Dr.Ir.I Made Narka Tenaya, MS,
Prof.Dr.drh.I Ketut Berata, M.Si., Prof.Dr.Dra. Putu Ristiati, M.Pd. atas segala saran, perbaikan,
arahan, dan bimbingannya selama menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terimakasih penulis juga
sampaikan kepada para dosen Program S3 Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas
Udayana atas segala ilmu yang diberikan untuk mendukung penyusunan disertasi ini.
Pada
kesempatan ini penulis sampaikan terimakasih kepada teman mahasiswa program doktor
angkatan 2008, khususnya kepada dr. A.A. Ngurah Subawa, M.Si. dan Dr.Ir. Sri Wahyuni,
M.Kes. yang ikut memberi dorongan dan masukan dalam penyelesaian disertasi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik
Indonesia c.q. Menteri Pendidikan Nasional melalui Tim Managemen Program Doktor yang
telah memberikan bantuan finansial dalam bentuk BPPS sehingga meringankan beban penulis
dalam menyelesaikan studi ini.
Selanjutnya penulis sampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tidak terhingga kepada
semua keluarga, khususnya kepada suami tercinta I Gusti Ngurah Bagus Suryawan, ST, S.Ag,
MM., serta anak-anak I Gusti Ayu Mahatma Agung, S.S dan I Gusti Ayu Mahadewi tersayang
atas segala dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti
program doktor. Semoga ananda bisa termotivasi untuk melanjutkan studi sampai ke jenjang
pendidikan tertinggi.
Semoga Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa membalas dengan limpahan
berkat dan rahmatNya atas semua kebaikan yang diberikan kepada penulis.
Denpasar, 9 Mei 2013
Penulis
ABSTRAK
SUPLEMENTASI KOMBINASI TEMPE M-2 DENGAN WORTEL
(Daucus carrota) MENINGKATKAN HDL DAN ANTIOKSIDAN TOTAL,
SERTA MENURUNKAN LDL, F2-ISOPROSTAN, DAN IL-6 PADA
TIKUS WISTAR ATEROSKLEROSIS
Kombinasi tempe M-2 dengan wortel
merupakan kombinasi makanan (diet food
combining) yang sangat serasi, satu dengan yang lain saling bersinergi dalam meningkatkan
aktivitas zat-zat bioaktif yang dikandungnya, utamanya sama-sama merupakan sumber
antioksidan yang kuat, yang sangat berperan sebagai antiaterogenik.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan
wortel
dapat meningkatkan kadar HDL dan Kapasitas Antioksidan
Total (TAC) serta
menurunkan kadar LDL, F2-Isoprostan, dan IL-6. Sejauh ini belum ada laporan atau hasil
penelitian mengenai masalah ini sehingga masih sangat relevan untuk dikaji lebih lanjut.
Penelitian ini menggunakan rancangan The Randomized Post-test Only Control Group
Design, dan Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial, dengan variabel bebas berupa KN :
(pemberian pakan standar /pellet (50 g/kg bb/hari); KP : pemberian minyak babi : pellet (1:
9)(50 g/kg bb/hari); T : pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) dengan tempe
M-2 (20 g/kg bb/hari) ; W : pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) dengan
wortel (20 g/kg bb/hari) ; serta TW : pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari)
dengan tempe M-2 (20 g/kg bb/hari), dan wortel (20 gr/kg bb/hari). Variabel tergantung dalam
penelitian ini adalah TAC serum, HDL serum, LDL serum, F2-Isoprostan urine, dan IL-6 plasma.
Data dianalisis menggunakan uji F (Anova dua arah), yang dilanjutkan dengan uji LSD. Pada
penelitian ini juga melaksanakan penelitian deskritif dengan menguji histopatologi aorta dan pH
urine.
Rata-rata kadar HDL dan TAC tertinggi terdapat pada perlakuan TW, yaitu berturut-turut
sebesar 68,640 ± 0,50 mg/dL HDL, 1,454 ± 0,01 nM/mL TAC. Hasil ini menunjukkan
perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) Interaksi perlakuan TW menunjukkan pengaruh
yang sangat bermakna (p < 0,01) pada semua parameter yang diamati kecuali pada HDL. Tempe
M-2 memberikan pengaruh meningkatkan kadar HDL dan TAC tikus lebih tinggi dibandingkan
pengaruh dari perlakuan wortel berturut-turut sebesar 27,48%, 59,56%.
Rata-rata kadar LDL,
F2-Isoprostan dan IL-6 terendah pada perlakuan TW yaitu berturut-turut sebesar 20,718 ± 1,33
mg/dL, 0,720 ± 0,065 ng/dL, dan 35,328 ± 1,000 pg/dL. Hasil ini menunjukkan perbedaan
sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, berarti kombinasi tempe M-2 dengan
wortel dapat menurunkan secara sangat bermakna (p < 0,01) kadar LDL, F2-Isoprostan dan IL-6.
Tempe M-2 memberikan pengaruh menurunkan F2-Isoprostan dan IL-6 lebih tinggi berturut-turut
sebesar 30,28%, 28,05% dari pada pengaruh dari wortel pada perlakuan TW.
Wortel
menurunkan LDL lebih tinggi dari pada tempe M-2 yaitu sebesar 18,84% pada perlakuan TW.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan
wortel meningkatkan kadar HDL dan kapasitas antioksidan total, serta menurunkan kadar LDL,
F2-Isoprostan dan IL-6. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel memberikan pengaruh interaksi
terhadap kadar kapasitas antioksidan total, LDL, F2- Isoprostan, dan IL-6.
Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel juga dapat menormalkan histopatologi aorta
dan pH urine.
Kata Kunci : Aterosklerosis, TAC, F2-Isoprostan, IL-6, dan Tempe M-2.
ABSTRACT
SUPPLEMENTATION OF COMBINED TEMPEH M-2 WITH CARROT
(Daucus carrota) INCREASES HDL AND TOTAL ANTIOXIDANT,
DECREASES LDL, F2-ISOPROSTAN, AND IL-6
IN ATHEROSCLEROSIS OF WISTAR RATS
The combination of tempeh M-2 with carrots is a combination of food (food combining
diet) which is very harmonious, to improve the activity of bioactive substances they contain,
especially as a source of powerful antidispidemic, antioxidants and antiinflammation, which gets
as antiatherogenic .
The aim of the research is to show the effect of the combination of tempeh M-2 with
carrots supplementation can increase HDL levels and Total Antioxidant Capacity (TAC), and
reduce the level of LDL, F2-Isoprostan, and IL-6, as a biomarker of atherosclerosis extent. So far
there have been no reports or results of research on this issue therefore it is still very relevant for
further investigation.
This study was designed as the randomized post test only control group design, and
factorial completely randomized design,
with independent variables such as KN (standard
feeding / pellets (50 g / kg bw / day), KP: pig lubrication: pellets (1: 9) (50 g / kg bw / day), T :
lubrication pig : pellets (1: 9) (50 g / kg bw / day), with tempeh M -2 (20 g / kg bw / day), W: pig
lubrication: pellets (1: 9) (50 g / kg bw / day), with carrots (20 g / kg bw / day), and TW: pig
lubrication: pellets (1: 9) (50 g / kg bw / day), with tempeh M-2 (20 g / kg bw / day), and carrots
(20 g / kg bw / day). Dependent variables in this study are serum TAC, serum HDL, serum
LDL, serum F2- Isoprostan, and plasma IL-6. Comparability of test used is the ANOVA,
followed
by multiple t-test. Descriptive research was also conducted in this study in order to
find out the change of aortic histopathologic and urine pH.
The highest average levels of HDL, TAC contained on atherogenic feed and combination
treatment tempeh M-2 with carrots (TW), which respectively amounted 68.640 ± 0.50 mg /dL,
1.454 ± 0.01 nM / mL, and showed highly significant differences (p <0.01) in the various
treatments. TW treatment showed highly significant interaction effect (p<0.01) were observed
for all parameters except for HDL. Tempeh M-2 to give effect increases HDL and TAC higher,
respectively for 27.48%, 59.56% compared to the effect of the treatment carrots. Average levels
of LDL, F2- Isoprostan and IL-6 lowest in the treatment with a combination of atherogenic feed,
tempeh M-2 with the carrot, which respectively amounted 20.718 ± 1.33 mg / dl, 0.720 ± 0.065
ng / dl, 35.328 ± 1.000 pg / dl, and showed highly significant differences (p<0.01) in the various
treatments, TW can decrease highly significantly (p<0.01) levels of LDL, F2-Isoprostan and IL6. Tempe M-2 lowering influence F2- Isoprostan and IL-6 higher respectively for 30.28%,
28.05% than carrots. Carrots show the influence of lowering LDL higher than tempeh M-2 that is
equal to 18.84%. The combination of tempeh M-2 with carrots showed a highly significant
interaction effect (p<0.01) in all biomarkers were observed, except in HDL levels. IL-6.
It can be concluded that supplementation with a combination of tempeh M-2 with carrots
can increase HDL and TAC, and can decrease LDL, F2-Isoprostan, and IL-6. The combination of
tempeh M-2 with carrots is interaction effect of increase the total antioxidant capacity, decrease
LDL, F2-Isoprostan, and IL-6. The aortic histopathologic and urine pH showed TW treatment
leads to changes of histopathologic structure from atheroschlerotic and acid pH to normal.
Key words : Atherosclerosis, TAC, F2-Isoprostan, IL-6, and Tempeh M-2
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM…………………………………………..………………..
i
PRASYARAT GELAR………………………………………..........................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN…………………………………..………........... .
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI…………………………..………………
iv
UCAPAN TERIMAKASIH..............................................................................
v
ABSTRAK…………………………………………………..…………………
vii
ABSTRACT……………………………………………………………..……..
ix
DAFTAR ISI......................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL……………………………………………………..……….
xiv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………….…….…
xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG………………………………...
xvi
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………..
xvii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang ……….……………………………………….......
1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………
4
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………..
5
1.4 Manfaat Penelitian………………………………………................
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA……………………………………………....
8
2.1 Kolesterol..........................................................................................
8
2.2 Dislipidemia, LDL Teroksidasi, Inflamasi, dan Aterosklerosis........
12
2.3 Radikal Bebas...................................................................................
16
2.4 F2 –Isoprostan …………..................................................................
20
2.5 Interleukin-6 ...................................................….............…...….....
23
2.6 Antioksidan .....………………………............……………............
26
2.6.1 Kapasitas Antioksidan Total...........…....................................
31
2.6.2 Tempe M-2 sebagai Sumber Antioksidan……..……...........
33
2.6.3 Wortel sebagai Sumber Antioksidan…………….….............
38
2.7 Tempe M-2 sebagai Antiinflamasi………………..……..................
43
2.8 Wortel sebagai Antiinflamasi...................................………...…......
47
2.9 Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel….…….……...………….....
49
2.10 Keunggulan Tempe Dibandingkan dengan Kedele..........................
53
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS................
58
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................
58
3.2 Konsep................................................................................................
60
3.3 Hipotesis Penelitian.............................................................................
61
BAB IV METODE PENELITIAN....................................................................
63
4.1 Rancangan Penelitian .......................................................................
63
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................
64
4.3 Populasi dan Sampel
.....................................................................
64
4.3.1 Populasi...................................................................................
64
4.3.2 Sampel.............................. ......................................................
64
4.3.3 Besaran Sampel........................................................................
65
4.4 Variabel...............................................................................................
65
4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel........................................
65
4.4.2 Definisi Operasional Variabel..................................................
66
4.5 Bahan dan Alat Penelitian..................................................................
68
4.5.1 Bahan Penelitian.......................................................................
68
4.5.2 Alat Penelitian..........................................................................
68
4.6 Prosedur Penelitian.............................................................................
68
4.7 Analisis Statistika..............................................................................
70
BAB V HASIL PENELITIAN……………………………………………..….
71
5.1 Kadar HDL Serum dan TAC Serum Tikus Wistar……….................
71
5.1.1 Kadar HDL serum Tikus Wistar…………………………........
71
5.1.2 Kadar Kapasitas Antioksidan Total Serum Tikus Wistar…......
74
5.2 Kadar LDL, F2-Isoprostan, dan IL-6 Tikus Wistar…..…………......
76
5.2.1 Kadar LDL Tikus Wistar………………………...……….…..
76
5.2.2 Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar…………...……….....
79
5.2.3 Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar……………………………...
82
5.3 Perubahan Struktur Histopatologi Jaringan Aorta Tikus Wistar
84
5.4 Pemeriksaan Kenormalan pH Urine Tikus Wistar…………………..
89
BAB VI PEMBAHASAN …………………………………………………….
90
6.1 Subyek Penelitian ………………………………………………….
90
6.2 Kadar HDL Serum dan dan TAC Serum Tikus Wistar……….……..
92
6.2.1 Kadar HDL Serum Tikus Wistar………………………………
92
6.2.2 Kadar Kapasitas Antioksidan Total Serum Tikus Wistar……...
94
6.3 Kadar LDL Serum, F2-Isoprostan Urine, dan IL-6 plasma Tikus……
95
6.3.1 Kadar LDL serum Tikus Wistar……………………………….
95
6.3.2 Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar……………………….
98
6.3.3 Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar…………………………...….
97
6.4 Perubahan Struktur Histopatologi jaringan Aorta pada Tikus Wistar
101
6.5 Pemeriksaan Kenormalan pH Urine Tikus Wistar…………………..
104
6.6 Keterbatasan Penelitian……………………………………………...
105
6.7 Temuan Baru …………………………………………………...….
105
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……..………………………………….
106
7.1 Simpulan……..……………………………………………………..
106
7.2 Saran……...…………………………………………………………
107
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….………...…
108
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………....……
124
DAFTAR TABEL
Halaman
2.1 Komposisi LDL ….….................................................................................
9
2.2 Substansi Aktif dalam Tempe.....................................................................
36
2.3 Komposisi Gizi per 100 gram Wortel..........................................................
39
2.5 Kadar Beta Karoten pada Buah-buahan dan Sayuran................................
42
5.1 Analisis Keragaman Kadar HDL serum Tikus Wistar..…………………..
73
5.2 Analisis Keragaman Kadar TAC serum Tikus Wistar.……………………
75
5.3 Analisis Keragaman Kadar LDL serum Tikus Wistar ……………………
78
5.4 Analisis Keragaman Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar ...………...
80
5.5 Analisis Keragaman Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar …………………..
83
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Struktur LDL..............................................................................................
9
2.2 Sintesis,Transpor,danEkskresiKolesterol ..................................................
10
2.3 Struktur HDL.............................................................................................
11
2.4 Rangkaian Hipotek Proses Selular dan Interaksi Selular pada
Aterosklerosis………………………………………………...…………..
13
2.5 Proses Aterosklerosis yang Dipicu oleh Jejas Endotel……………………
15
2.6 Sumber Radikal Bebas Endogen dan Eksogen ..........................................
17
2.7 Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan dari PUFA Membran……….......
20
2.8 Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan (8-Iso-PGF2α) ……………..….
21
2.9 Mekanisme Pemberian Elektron oleh Senyawa Antioksidan .....................
26
2.10 Antioksidan dalam Sistem Pertahanan Tubuh .....................................…..
28
2.11 Biosintesis Faktor II ..................................................................................
34
3.1
Kerangka Konsep Penelitian.......................................................................
60
4.1
Rancangan Penelitian..................................................................................
63
4.2
Bagan Alur Penelitian……………………………………………………..
69
5.1
Kadar HDL Serum Tikus Wistar pada KN, KP, T, W, dan TW.................
72
5.2
Kadar TAC Serum Tikus Wistar pada KN, KP, T, W, dan TW..................
74
5.3
Kadar LDL pada KN, KP, T, W, dan TW...................................................
77
5.4
Kadar F2-Isoprostan pada KN, KP, T, W , dan TW....................................
80
5.5
Kadar IL-6 plasma pada KN, KP, T, W, dan TW.......................................
82
5.6
Perubahan Gambaran Struktur Hispatologi Aorta Tikus Wistar.................
85
5.7
Hispatologi Aorta Tikus dalam Proses Aterosklerosis dengan KP.............
86
5.8
Hispatologi Aorta Tikus dalam Proses Aterosklerosis dengan KN............
87
5.9
Hispatologi Aorta Tikus dalam Proses Aterosklerosis dengan W..............
88
5.10 Hispatologi Aorta Tikus dalam Proses Aterosklerosis dengan T.............
88
5.11 Hispatologi Aorta Tikus dalam proses aterosklerosis dengan TW............
89
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
Apo-B
:
Apolipoprotein-B
bb
:
berat badan
CRP
:
C-Reactive Protein
DNA
:
Deoxyribonucleic Acid
EDNO
:
Endotelium Derived Nitric Ocid
EIA
:
Enzyme Immuno Assay
EDTA
:
Enthylene Diamine Tetra Acetic Acid
eNOS
:
Enzim Nitric Oxida Synthase
Faktor II
:
6, 7, 4 trihidoksil isoflavon
g
:
gram
HOCL
:
Radikal Hipoklorida
HDL
:
High Density Lipoprotein
iNOS
:
Inducible Nitric Oxide
LO
:
Lipoksgenase
Lp-PLA2
:
Lipoprotein – Associated Phospholipase A2
NO
:
Nitric Oxida
OH
:
Radikal Hidroksil
ONOO
:
Peroksinitrit
ORAC
:
Oxygen Radical Absorption Capacity
Ox-LDL
:
Oxidatif Low Densitiy Lipoprotein
PGF2α
:
Prostaglandin F2α
PJK
:
Penyakit Jantung Koroner
PUFA
:
Polyunsaturated Fatty Acid
SOD
:
Superoksida Dismutase
SOR
:
Spesies Oksigen Reaktif
TAC
:
Total Antioxidant Capacity
Tempe M-2
:
Dua Modifikasi pada Prafermentasi Tempe
TNF-α
:
Tumor Necrosis Factor α
VCAM
:
Vascular Cellular Adhesion Molecule
VLDL
:
Very Low Density Lipoprotein
DAFTAR LAMPIRAN
1 Persiapan Ruangan Pemeliharaan Tikus dan Pengawasan yang Dilakukan
130
2.1 Konversi Perhitungan Dosis untuk Beberapa Hewan dan Manusia............
131
2.2 Konversi Dosis Hewan Percobaan Berdasarkan Body Surface Area..........
131
3.1 Pemeriksaan Kadar HDL dan LDL............................................................
131
3.2 Pemeriksaan Kadar TAC............................................................................
132
3.3 Pemeriksaan Kadar F2-Isoprostan..............................................................
133
3.4 Pemeriksaan Kadar IL-6............................................................................
134
4. Pemeriksaan Histopatologi..........................................................................
135
5.1 Analisis Statistik HDL ..............................................................................
138
5.2 Analisis Statistik TAC ................................................................................
139
5.3 Analisis Statistik LDL.................................................................................
140
5.4 Analisis Statistik F2-Isoprostan....................................................................
140
5.5 Analisis Statistik IL-6...................................................................................
140
6.1 Bahan dan Peralatan Pembuatan Tempe M-2...............................................
142
6.2 Tempe M-2....................................................................................................
142
6.3 Wortel...........................................................................................................
143
7.1 Penempatan Tikus Wistar..............................................................................
143
7.2 Pengambilan Urine Tikus Wistar..................................................................
144
8 Surat Kelaikan Etik........................................................................................
145
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kolesterol
Kolesterol ditemukan di dalam jaringan dan di dalam lipoprotein plasma, baik sebagai
kolesterol bebas maupun sebagai ester yaitu berikatan dengan asam lemak rantai panjang.
Peranan yang penting dari kolesterol dalam tubuh adalah :
(1) sebagai komponen dari struktur membran sel, dan
(2) prekursor dari semua steroid tubuh yaitu kortikosteroid, asam empedu, hormon adrenal dan
hormon kelamin (Freeman dan Junge, 2008 ; Murray et al., 2009 ).
Kebanyakan sel dalam tubuh dapat mensintesis kolesterol, walaupun sebagian besar
kolesterol disintesis dalam hati. VLDL yang mengandung kolesterol yang dibentuk dalam hati
dimetabolisme menjadi LDL. LDL kemudian masuk ke dalam sel jaringan ekstrahepatik dan
menyediakan kolesterol bagi sel-sel (Murray et al., 2009).
LDL adalah suatu fraksi lipoprotein pengangkut lipid, dengan apolipoprotein B di bagian
luarnya (Gambar 2.1).
Bagian dalam fase lipid dari LDL tersusun dari
± 1500 molekul
kolesterol ester. Inti lipid terbungkus dalam lapisan fosfolipid dan molekul kolesterol bebas.
Molekul fosfolipid saling berdekatan, sehingga gugus hidrofilik berada di sebelah luar,
memungkinkan LDL larut dalam darah (Marinetti, 1990).
Sebagian besar asam lemak yang terikat pada LDL adalah asam lemak tak jenuh jamak
(PUFA/poly unsaturated fatty acid).
PUFA sangat rentan terhadap oksidasi karena ikatan
rangkapnya, dan dilindungi dari serangan ROS oleh antioksidan. Antioksidan terbanyak dalam
LDL adalah α-tokoferol (Tabel 2.1). Antioksidan potensial lain seperti γ-tokoferol, ubikuinol-10
dan β-karoten terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit (Marinetti, 1990; Devaraj dan Jialal,
1997).
Gambar 2.1
Struktur LDL (Anonimus, 2009).
Tabel 2.1
Komposisi LDL (Stocker, 1994).
Komponen
Protein
Apolipoprotein B100
Lipid
Fosfolipid
Fosfatidilkolin
Kolesterol bebas
Kolesterol ester
Trigliserida
Arakhidonat
Linoleat
Antioksidan
α-tokoferol
Mol/Mol LDL
1
700
450
600
1600
180
95
800
6-12
γ-tokoferol
Ubikuinol-10
Likopen
Beta karoten
0,5
0,5-0,8
0,2-0,7
0,1-0,4
Vesikel - vesikel yang mengandung LDL bergabung dengan lisosom, dan enzim-enzim
lisosom menghidrolisis ester-ester kolesterol yang terdapat pada inti LDL. Kolesterol bebas
yang terbentuk masuk sitoplasma, di mana sebagian dirubah menjadi ester-ester kolesterol
dalam alat Golgi, dan berdifusi ke dalam membran sel. Dari membran sel diambil oleh HDL.
Dalam plasma kolesterol tersebut diubah menjadi ester- ester kolesterol dan bergerak ke inti
HDL, meninggalkan permukaan lipoprotein bebas untuk menerima lebih banyak kolesterol. HDL
mentransport kolesterol kembali ke hati. Sebagian kolesterol ini bersiklus kembali ke dalam
VLDL, tetapi sebagian besar tampak masuk ke dalam empedu dan dieksresi dalam faeses
(Gambar 2.2).
Gambar 2.2
Sintesis, Transpor, dan Ekskresi Kolesterol (Murray et al., 2009).
HDL pada dasarnya adalah kebalikan dari LDL, LDL mengandung banyak lemak, sedang
HDL mengandung banyak protein (Gambar 2.3). LDL mengantar kolesterrol ke seluruh tubuh,
sedang HDL bertindak sebagai vacuum cleaner, yang mengisap sebanyak mungkin kolesterol
berlebih, sehingga terrdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dengan PJK. Ratio kolesterol
LDL : HDL merupakan parameter prediktif yang penting.
Kadar HDL disebutkan rendah
apabila kurang dari 40 mg/dL, menyebabkan meningkatnya resiko PJK. Kadar HDL lebih tinggi
dari 60 mg/dL disebutkan dapat melindungi jantung.
Kadar LDL 160 mg/dL disebutkan
termasuk kategori kadar kolesterol LDL tinggi ((Freeman dan Junge, 2008 ; Murray et al., 2009
).
Gambar 2.3
Struktur HDL (Anonimus, 2009)
Kolesterol secara khas adalah produk metabolisme hewan dan karenanya terdapat di
makanan yang berasal dari hewan seperti kuning telur, daging, hati, dan otak (Freeman dan
Junge, 2008; Murray et al., 2009).
2.2 Dislipidemia, LDL Teroksidasi, Inflamasi dan Aterosklerosis.
Komplikasi kronis yang terbanyak adalah dislipidemia (67%).
Dislipidemia adalah
kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan dalam plasma.
Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL,
trigliserida, serta penurunan kadar kolesterol HDL (Hendromartono, 2009).
Mekanisme bagaimana dislipidemia berperan pada aterogenesis adalah sebagai berikut :
(1) Dislipidemia kronis, terutama pada hiperkolesterol, dapat secara langsung mengganggu
fungsi sel endotel melalui peningkatan pembentukan radikal bebas oksigen
yang
mendeaktivasi nitrat oksida, faktor utama pelemas endotel.
(2) Pada dislipidemia kronis terjadi penimbunan lipoprotein
di dalam intima, di tempat
permeabilitas endotelnya meningkat.
(3) Perubahan kimiawi lemak yang dipicu oleh radikal bebas yang dihasilkan dalam makropag
atau sel endotel di dinding arteri, akan menghasilkan LDL teroksidasi (Kumar et al., 2007b).
Monosit dan makropag berperan penting dalam aterosklerosis, sel ini dapat :
(1) Melekat ke endotel pada awal pembentukan aterosklerosis melalui molekul perekat endotel
spesifik yang terbentuk di permukaan sel endotel
disfungsional, (2) Bermigrasi di antara sel
endotel untuk masuk ke intima, (3) Berubah menjadi makropag dan dengan ”rakus” menelan
lipoprotein, terutama LDL teroksidasi, sehingga menjadi sel busa, (4) Menghasilkan IL-1 dan
faktor nekrosis tumor, yang meningkatkan perlekatan leukosit, (5) Menghasilkan kemokin
(misal, monocyte chemoattractant
protein
1,
dapat
semakin
merekrut
leukosit
ke
dalam plak, (6) Menghasilkan spesies oksigen toksik, yang menyebabkan oksidasi LDL di lesi,
dan (7) Mengeluarkan faktor pertumbuhan yang berperan dalam proliferasi sel otot polos, yang
mengendapkan matriks ekstrasel, mengubah bercak perlemakan menjadi ateroma dan berperan
menyebabkan pertumbuhan progresif lesi aterosklerotik. Diagram skematik rangkaian hipotetik
proses selular dan interaksi selular pada aterosklerosis digambarkan pada Gambar 2.4 di bawah
ini.
Gambar 2.4
Rangkaian Hipotetik Proses Selular dan Interaksi Selular pada
Aterosklerosis
(Kumar et al., 2007b)
Oksidasi LDL yang ekstensif tidak dikenali oleh reseptor LDL tapi sangat disukai oleh
reseptor di makrofag dan memicu akumulasi ester kolesterol yang cukup besar dan terbentuk sel
bergelembung (foam-cell). Oksidasi LDL memiliki beberapa efek biologi yang merugikan di
antaranya pro-inflamasi, menyebabkan penghambatan sintesa oksida nitrit di endotel (eNOS),
memicu vasokonstriksi dan adesi, menstimulasi sitokin seperti Interleukin-1 (IL-1), dan
peningkatan agregasi platelet. Oksidasi LDL akan melahirkan produk seperti sitoktoksik dan bisa
memicu apoptosis. Oksidasi LDL juga bisa membalikkan efek koagulasi dengan menstimulasi
jaringan faktor dan sintesis plasminogen activator inhibitor-1. Properti aterogenik lain dari
oksidasi LDL adalah imunogensiti dan kemampuannya memicu retensi makrofag pada dinding
arteri dengan menghambat motilitas makrofag. Sebagai tambahan, LDL teroksidasi akan
menstimulasi proliferasi SMC vascular. Sehingga, penebalan intima (lapisan pembuluh darah
yang paling dalam) akan mengurangi lumen pembuluh darah dan akan berpotensi menyebabkan
hipertensi dan aterosklerosis (Miller et al., 2007).
Proses aterosklerosis sebagai respons terhadap hipotesis jejas endotel adalah sebagai
berikut: (1) Jejas endotel kronis, biasanya samar, yang menyebabkan disfungsi endotel,
menimbulkan peningkatan permeabilitas, perlekatan leukosit, dan kemungkinan thrombosis, (2)
Merembesnya lipoprotein kedalam dinding pembuluh, terutama LDL dengan kandungan
kolesterol yang tinggi, (3) Modifikasi lipoprotein di lesi oleh oksidasi, (4) Melekatnya monosit
darah (dan leukosit lain) ke endotel, diikuti oleh migrasi ke dalam intima dan transformasi
menjadi makrofag dan sel busa, (5) Melekatnya trombosit, (6) Pengeluaran faktor dari trombosit,
makrofag, atau sel vaskular yang menyebabkan migrasi sel otot polos dari media ke dalam
intima, (7) Proliferasi sel otot polos di intima, dan pengeluaran matriks ekstrasel sehingga terjadi
akumulasi kolagen dan proteoglikan, (8) Peningkatan penimbunan lemak di dalam sel
makrofag dan sel otot polos ) dan luar sel (Kumar et al.) (Gambar 2.5).
(
Gambar 2.5
Proses Aterosklerosis yang Dipicu oleh Jejas Endotel (Norma, 2005)
2.3 Radikal Bebas.
Eberhardt (2001) dan Winarsi (2007) menyebutkan bahwa spesies oksigen reaktif ada dua
yaitu radikal dan non-radikal, dan secara garis besar dibedakan menjadi SOR, spesies nitrogen
reaktif, spesies klorida reaktif (Halliwell, 2002). Radikal oksigen meliputi : OH●, O2●, lipid
alkosil (LO●), hidroperoksil (OOH●) dan lipid peroksil (LOO●). Sedangkan derivat oksigen non
radikal atau sering disebut oksidan, adalah suatu atom, molekul atau senyawa yang merupakan
oxidizing agent atau mudah diubah menjadi radikal, meliputi H2O2, peroksida lipid (LOOH),
singlet oksigen (1O2). Spesies
nitrogen reaktif juga merupakan suatu kumpulan radikal nitrit oksida (NO●), nitrogen dioksida
(NO2●), dan atom atau senyawa non radikal seperti HNO2, N2O4 dan ONOO●. Demikian juga
halnya dengan spesies klorida reaktif, merupakan kumpulan senyawa radikal dan nonradikal
klorida. Dalam kaitannya dengan peroksidasi lipid membran, SORlah yang paling berperan.
Kemudian disebutkan pula oleh Eberhardt (2001)
pengertian radikal bebas dan oksidan
yang sering dikaburkan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang mirip. Aktivitas kedua jenis
senyawa ini sering sama walaupun prosesnya berbeda.
Oksidan adalah senyawa penerima
elektron (oxidizing agent), demikian juga halnya dengan radikal bebas. Hanya saja radikal bebas
memiliki elektron yang tidak berpasangan. Ditegaskan oleh Murray et al. (2009) radikal bebas
adalah molekul atau atom yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan
pada orbit luarnya. Konsekuensi berupa kecenderungannya memperoleh elektron dari substansi
lain menjadikan radikal bebas bersifat sangat reaktif, dan membentuk rantai reaksi yang sangat
merusak (Youngson, 2005).
Radikal bebas dalam tubuh dapat berasal dari dalam (endogen) atau dari luar tubuh
(eksogen). Secara endogen, radikal bebas terbentuk sebagai respon normal dari rantai peristiwa
biokimia dalam tubuh,
seperti reaksi redoks dengan reaksi fisik ikatan homolitik atau
pemindahan elektron. Radikal nitrogen dibentuk dari oksigenasi rantai terminal atom guanidonitrogen pada L-arginin yang dikatalisasi oleh enzim NOS (Droge, 2002).
Secara eksogen,
radikal bebas diperoleh dari bermacam-macam sumber, antara lain polutan, makanan dan
minuman, radiasi, ozon, dan pestisida. Secara endogen radikal bebas dapat timbul melalui
beberapa macam mekanisme seperti auto-oksidasi, aktivitas oksidasi (misalnya siklo-oksigenase,
lipoksigenase, dehidrogenase dan peroksidase) dan sistem transpor elektron. Radikal bebas
diproduksi di dalam sel oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, peroksisom, endoplasmik
retikulum dan inti sel (Kumar et al., 2004), seperti terlihat pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6
Sumber Radikal Bebas Endogen dan Eksogen (Kumar et al., 2004)
Radikal bebas menyebabkan kerusakan atau kematian sel, hal ini terjadi karena radikal
bebas mengoksidasi dan menyerang komponen RNA, DNA, protein, lipoprotein, lipid membran
sel (Milner, 2000; Winarsi, 2007). Dari radikal oksigen yang paling banyak diteliti yang
berkaitan dengan kerusakan sel tubuh adalah radikal superoksida, hidrogen peroksida, dan
radikal hidroksil (Droge, 2002). Mitokondria merupakan sumber kehidupan atau sebagai pemicu
kematian sel, oleh karena di mitokondria dapat dibentuk adenosin triphosphat (ATP), ataupun
radikal bebas oksigen/ Spesies Oksigen Reaktif (SOR).
Tidak selamanya senyawa oksigen reaktif yang terdapat di dalam tubuh itu merugikan.
Pada kondisi-kondisi tertentu keberadaannya sangat dibutuhkan, misalnya, untuk membunuh
bakteri yang masuk ke dalam tubuh, melawan radang dan mengatur tonus otot polos dalam
organ dan pembuluh darah. Oleh sebab itu, keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem
antioksidan dalam tubuh (Winarsi, 2007).
Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi ketika senyawa radikal bebas bereaksi
dengan senyawa PUFA (poly unsaturated fatty acids).
Radikal bebas hidroksil (OH●)
merupakan radikal bebas oksigen yang sangat reaktif, dapat menyerang PUFA dari fosfolipid
membran antara lain seperti asam arakhidonat (Bast, 1991; Winarsi, 2007). Oksidasi lipid terjadi
melalui tiga tahapan, yaitu insiasi (pencetusan), propagasi (perambatan), dan tahap terminasi
(penghentian). Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut (Halliwell, 1994; Winarsi, 2007) :
Pertama, radikal hidroksil akan menarik atom H dari rantai PUFA, terbentuk radikal karbon :
H
-C- +
X●
- XH + -C●
Radikal karbon
Kedua, radikal karbon akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil :
O2 ●
- C● - +
O2
-CRadikal peroksil
Ke tiga, radikal peroksil yang terbentuk akan menyerang PUFA berikutnya untuk membentuk
radikal karbon baru dan reaksi akan berlanjut terus, merupakan reaksi berantai :
O2 ●
-C-
H
+ -C-
H2O
-C-
+
- C●
Peroksida lipid
O2 ●
- C● - +
O2
- C - , dan seterusnya
Akibat akhir reaksi berantai ini adalah terputusnya rantai PUFA menjadi senyawa yang
bersifat toksik terhadap sel, antara lain menghasilkan aldehida seperti malondialdehida, 9-OH
nonenal, etanal, dan pentanal (Winarsi, 2007). Senyawa toksik tersebut menimbulkan gangguan
pada fluiditas membran, fungsi barier membran, dan inaktivasi enzim maupun reseptor-reseptor
yang tergantung pada membran fosfolipid (Halliwell, 1996). Akibat lainnya dari radikal bebas
terhadap LDL
dalam sirkulasi atau fosfolipid membran adalah modifikasi oksidatif non
siklooksigenase dari asam arakhidonat yang menghasilkan F2–Isoprostan (Patrono, 1997;
McMichael, 2004; Nalsen et al., 2006).
2.4 F2-Isoprostan.
F2-Isoprostan adalah biomarker terbaik untuk status stres oksidatif dan peroksidasi lipid in
vivo, dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (Witztum, 1998; Morrow et al., 2002;
Montuschi et al., 2004), menggambarkan proses kalsifikasi pada arteri koroner (Gross et al,
2005).
Pada orang sehat kadar dalam plasma 35 ± 6 pg/ml, dalam urin 1600 ± 600 pg/mg
kreatinin (Halliwell, 1997; Cadenas dan Packer, 2002).
F2-Isoprostan adalah suatu produk mirip prostaglandin yang dibentuk in vivo dari
peroksidasi non enzimatik asam arakhidonat oleh radikal bebas (McMichael, 2004; Yin et al.,
2005). Radikal bebas oksigen menstimuli metabolisme asam arakhidonat, yang akhirnya
terbentuk Isoprostan, mekanisme pembentukannya digambarkan pada Gambar 2.7 (Weber et al.,
1991; McMichael, 2004).
Asam Arakhidonat
(PUFA membran sel)
Radikal bebas
Conjugated diene
Oksigen
Lipid hidroperoksida
Radikal alkoksi
Radikal peroksil bekerja
pada asam arakhidonat
Isoprostan
Gambar 2.7
Mekanisme Pembentukan Isoprostan dari PUFA Membran Sel
(Weber et al., 1991; McMichael, 2004)
Pembentukan Isoprostan dimulai dari abstraksi atom hidrogen dari asam arakhidonat oleh
radikal bebas, menghasilkan delocalized pentadienyl carbon centered radical,
masuk oksigen dan menghasilkan radikal peroksil
selanjutnya
(Yin et al., 2005). Radikal peroksil
melanjutkan siklus dengan penambahan molekul oksigen membentuk produk
intermedier
yaitu bicyclic endoperoxide (PPG-like). Produk intermedier ini kemudian direduksi menjadi FIsoPs. Berdasarkan lokasi pengambilan hidrogen dan penambahan oksigen ada empat IsoPs yang
berbeda (Gambar 2.8).
Gambar 2.8
Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan (8-Iso-PGF2α) (Patrono,1997)
Berdasarkan regio isomernya F2-Isoprostan dapat dibagi menjadi F2-, D2-, E2- dan J2Isoprostan serta cyclopentenone-A2-Isoprostan (Montuschi et al., 2004). Isoprostan dibentuk
pada tempat yang mengalami kerusakan, kemudian diesterifikasi dalam fosfolipid dan kemudian
dilepaskan dalam bentuk bebas oleh aksi fosfolipase (Patrono, 1997; McMichael, 2004).
Isoprostan masuk ke dalam sirkulasi diikat oleh lipoprotein (Yin et al., 2005). F2-Isoprostan yang
terdeteksi pada bentuk esterifikasi nya dalam semua jaringan biologis normal, dan dalam
bentuk bebas dalam
semua cairan biologis normal, mengindikasikan tingkat stres oksidatif
(Patrono, 1997; Morrow et al., 2002; McMichael, 2004; Montuschi et al., 2004).
Jaringan dan cairan tubuh termasuk urin mengandung sedikit F2-Isoprostan.
Pada
keadaan stres oksidatif kadar Isoprostan meningkat (McMichael, 2004; Yin et al., 2005). Kadar
F2-Isoprostan lebih rendah pada subyek yang mengkonsumsi suplemen antioksidan, seperti
vitamin E, dan beta karoten.
Pada penelitian tersebut menyimpulkan bahwa F2-Isoprostan
merupakan metabolit utama yang merupakan marker status stres oksidatif endogen yang paling
sensitif (Dorjgochoo et al., 2012).
Masalah yang timbul pada pemeriksaan Isoprostan adalah autooksidasi pada sampel yang
mengandung lipid saat pemeriksaan atau penyimpanan. Oleh karena darah banyak mengandung
asam arakhidonat, sehingga darah bukan media terbaik untuk pemeriksaan Isoprostan. Sampel
dari urin lebih baik, karena sedikit mengandung lemak. Banyak penelitian yang menganjurkan
pengukuran F2- Isoprostan urin sebagai petanda noninvasive peroksilipid dan merupakan petanda
paling baik untuk stres oksidatif in vivo, tetapi hasil ini juga dapat dirancu oleh Isoprostan yang
diproduksi oleh ginjal
(Yin,
2005; Comporti, et al., 2008).
Haliwell dan Lee (2010)
menyebutkan bahwa F2- Isoprostan cepat sekali dimetabolisme dan kemudian diekskresikan
melalui urin sehingga dapat memberikan hasil yang berbeda bila dilakukan pada waktu yang
berbeda, walaupun sampelnya sama. Selain sebagai petanda, Isoprostan dapat menyebabkan
trauma oksidatif dan mempunyai fungsi biologik tertentu, yaitu Isoprostan merupakan
vasokonstriktor potensial pada ginjal, paru, jantung, otak dan plasenta (Walsh et al., 2000).
Metode pengukuran F2-Isoprostan sebagai marker stres oksidatif lebih menguntungkan
karena F2-Isoprostan secara kimia stabil, hasil spesifik dari peroksidasi, terbentuk in vivo,
terdeteksi pada jaringan dan cairan, naik secara substansial pada binatang dengan jejas oksidan,
tidak dipengaruhi oleh jumlah lemak dalam makanan dan sensitif terhadap dosis antioksidan
(Montuschi et al., 2004).
2.5 Interleukin-6 (IL-6).
Okopien et al. (2001) menyebutkan bahwa tingkat IL-6 secara signifikan lebih tinggi
pada pasien dengan dislipidemia. Diduga ada hubungan antara kadar IL-6 dengan dislipidemia,
karena IL-6 terlibat langsung dalam mekanisme aterogenesis (Yudkin et al., 1999; Dubinski dan
Zdrojewicz, 2007;
Hong, 2007), dan
ditemukan meningkat pada kejadian aterosklerosis
(Calabro et al., 2003). Omoigui (2007) menghipotesiskan bahwa IL-6 memediasi teroksidasinya
LDL menjadi ox-LDL.
Kajian terbaru menunjukkan bahwa IL-6 merupakan prediktor yang paling kuat PJK
(Cesari et al., 2003). Inflamasi mediasi IL-6 terlibat dalam gangguan yang berkaitan dengan
aterosklerosis (Omoigui, 2007). Omoigui (2007) menyebutkan bahwa IL-6 dapat dihambat
secara
tidak langsung melalui pengaturan sintesa kolesterol endogen, dan isoflavon dapat
menekan terbentuknya IL-6.
Pada keadaan dislipidemia, peningkatan ion superoksida/SOR dapat menginduksi
pengeluaran TNF-α, IL-1, dan IL-6 (Fogarty dan Davey, 2005; Dimayuga et al., 2006).
Pada
beberapa studi dilaporkan bahwa IL-6 dapat dipakai marker untuk mendeteksi terjadinya proses
inflamasi secara dini (Harbarth et al., 2001).
Interleukin-6 adalah sitokin
yg
dihasilkan
oleh beberapa tipe sel tubuh manusia,
termasuk activated mononuclear phagocytes, sel endotel, dan sel fibroblas (Abbas et al., 2009).
IL-6 untuk pertama kali di kloning tahun 1986, yang merupakan substrat glikoprotein dengan
BM 22-29 KD (Giannoudis at al., 2004). Gen IL-6 terdapat pada gen no 7. Bertumpang tindih
dengan aktivitas TNF-α, IL-1, dan IL-6 mempunyai efek yang sangat luas terhadap berbagai
macam sel target pada manusia (pleitrophy).
Aktivitas IL-6 dikatakan bertumpang tindih
dengan aktivitas TNF-α dan IL-1 (reduancy), tetapi IL-6 mempunyai sifat-sifat tambahan lain
seperti menstimulasi hepatosit untuk menghasilkan protein fase akut, growth factor, dan fungsi
hematopoesis (These, 1998; Kresno, 2001).
Secara umum, IL-6 berhubungan dengan TNF-α dan IL-1 dimana ketiga sitokin tersebut
dapat saling berkoordinasi pengeluarannya dari monosit yang aktif. IL-1, TNF-α, dan IL-6 dapat
menginduksi pengeluaran sitokin lainnya. IL-1 dan TNF-α sebagai proximal cytokin dapat
menginduksi pengeluaran IL-6 (efek parakrin), tetapi sebaliknya IL-6 tidak dapat menginduksi
ekspresi IL-1 dan TNF-α (Kresno, 2001).
Seperti diketahui sebelumnya, produksi SOR atau stres oksidatif yang berlebihan pada
keadaan dislipidemia akan mengaktivasi faktor traskripsi TNF-β sehingga terjadi pelepasan
sitokin. Sitokin yang paling pertama terbentuk oleh makropag (proximal cytokin) adalah TNF-α
dan IL-1. Sitokin tersebut dengan efek otokrin dan parakrinnya akan memicu sel PMN yang lain
untuk menghasilkan mediator lainnya seperti IL-6, NO, kemokin, ICAM, VCAM, dan VEGF,
sehingga terjadi kaskade inflamasi yang kemudian menimbulkan
gejala inflamasi sistemik
(Dandona et al., 2001). Apabila keadaan ini tidak mendapat penanganan dengan baik akan
berkembang menjadi disfungsi multi organ (Kim et al., 2000).
Ox-LDL, radikal bebas dan kombinasinya diidentifikasi sebagai pemicu cedera dan
peradangan dengan peningkatan kelengketan dan aktifasi leukosit (terutama monosit) dan
platelet yang disertai dengan produksi sitokin (Cesari et al., 2003).
IL-6
merupakan sitokin yang diproduksi oleh makrofag, disebut dengan sitokin
proinflamasi, dan mempunyai efek lokal, yakni menginduksi molekul adhesin (ICAM) pada
endotel dan menarik neutrofil ke tempat cidera. Efek sistemik IL-6 diantaranya adalah : (1)
Merangsang sumsum tulang untuk mengerahkan neutrofil (jumlah meningkat), (2). Terhadap hati
adalah untuk memproduksi APP (Acute Phase Protein), CRP (C-Reactive Protein),
MBP
(Myelin Basic Protein) dan SAP (Serum Amyloid Protein), (3). Pengaruh terhadap metabolisme
protein dan energi pada lemak dan otot, (4). Mengaktifkan fase awal respons imun spesifik
(Woods et al., 2000; Abbas et al., 2007; Karnen et al., 2009).
Makrofag yang aktif tercermin dengan adanya pelepasan beberapa sitokin proinflamasi
seperti IL-1, IL-6, IL-8, yang menginduksi sel hati melepaskan protein fase akut seperti Creactive protein (CRP) dan komplemen, sedangkan IL-8 berperan sebagai neutrofil chemotactic
factor (NCF) (Mashayekhi et al., 2005). Menurut Ismono (2004) kadar IL-6 di atas 50 pg/ml
menandakan adanya suatu proses inflamasi aktif.
Interleukin-6 merupakan sitokin pleiotropik dapat memberikan efek inflamasi dan
sekaligus anti-inflamasi. Adanya IL-6 adalah akibat rangsangan dari IL-1β. Di perifer, IL-1β
mengaktivasi reseptor IL-1 dalam endotel yang mengakibatkan
diproduksinya IL-6 (Croston,
2000). IL-6 juga merupakan sitokin multifungsi yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel (Michael
et al., 1997).
Dalam studi in vitro menunjukkan bahwa stres oksidatif menghasilkan peningkatan
ekspresi dari faktor transkripsi proinflamasi (Fogarty et al., 2005). Ternyata ditemukan bahwa
proses inflamasi pada dinding pembuluh darah merupakan penyebab utama terjadi aterosklerosis,
dimulai dari penebalan dinding pembuluh darah, pembentukan ”plaque”, atherom, dan thrombus
(Alrasjid et al., 2002).
2.6 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat atau mencegah oksidasi substrat
dengan cara membersihkan (scavenger) atau memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh
radikal bebas (Eberhardt, 2001; Sies et al., 2005). Dalam pengertian kimia, senyawa-senyawa
antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan (Gambar 2.9).
Gambar 2.9
Mekanisme Pemberian Elektron oleh Senyawa Antioksidan dalam Netralisir Radikal
Bebas (Craig, 2005)
Namun dalam arti biologis, pengertian antioksidan lebih luas yaitu merupakan senyawa
yang dapat meredam dampak negatif oksidan.
Senyawa ini mencegah stres oksidatif
(Surjohudojo, 2000). Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi
bekembangnya reaksi oksidasi, dengan mencegah
terbentuknya radikal.
Antioksidan juga
merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan
molekul yang sangat reaktif.
Antioksidan mempunyai fungsi penting pada sistem imun, karena sistem imun
menghasilkan radikal bebas. Jika tingkat radikal dalam sistem imun melewati tingkat normal,
akan memberikan pengaruh negatif pada sistem imun. Sebaliknya, antioksidan mempunyai
peran menangkap radikal bebas dalam sel, dan meningkatkan sistem imun (Salvayre et al.,
2006).
Sistem pertahanan ini mengatur produksi dan eliminasi oksidan dan sangat penting
dalam penanganan kerusakan yang terjadi selama proses stres oksidatif. Pertahanan melawan
senyawa oksigen reaktif (SOR) meliputi scavenger enzimatik dan antioksidan yang diperoleh
dari diet. Scavenger utama terlibat dalam inaktivasi dan terminasi radikal oksigen bebas adalah
SOD (Superoxide dismutase), katalase, dan sistem glutathion.
SOD mengkatalis perubahan
superoksida (O2●) menjadi oksigen dan H2O2. Glutathion peroksidase merupakan enzim
antioksidan yang mengandung selenium (Se) pada sisi aktifnya. Kerja enzim ini mengubah
molekul hidrogen peroksida (yang dihasilkan SOD dalam sitosol dan mitokondria) dan berbagai
hidroksil serta lipid peroksida menjadi air. Glutathion peroksidase adalah enzim intraseluler
yang terdispersi dalam sitoplasma, namun aktivitasnya juga ditemukan dalam mitokondria (Ji,
1999)(Gambar 2.10).
Menurut Patel et al. (2002) antioksidan pencegah radikal pada dasarnya ditujukan untuk
mencegah terbentuknya radikal hidroksil, oleh karena radikal inilah yang paling berbahaya.
Untuk membentuk radikal hidroksil, diperlukan tiga komponen yaitu logam transisi terutama Fe,
H2O2, dan O2. Oleh karena itu protein pengikat logam transisi seperti transferin dan feritin untuk
mengikat Fe dan seruloplasmin untuk mengikat Cu termasuk kategori antioksidan pencegah.
Seruloplasmin adalah suatu
Gambar 2.10
Antioksidan dalam Sistem Pertahanan Tubuh (Muchtadi, 2009).
feroksidase yang dapat mengoksidasi Fe2+ yang sangat toksik menjadi Fe3+ yang kurang toksik.
Dengan demikian seruloplasmin merupakan antioksidan yang sangat kuat. Apabila radikal
hidroksil masih juga terbentuk, masih ada senyawa untuk meredamnya seperti glutation dan
sistein, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk
memulai reaksi berantai (Eberhardt,
2001). Glutation (GSH) adalah tripeptida yang tersusun atas asam amino glutamat, sistein dan
glisin. Glutation adalah kosubstrat bagi enzim glutation peroksidase. Glutation dapat bereaksi
dengan singlet oksigen, superoksida dan hidroksil, serta secara langsung dapat berperan sebagai
scavenger radikal bebas. Glutation juga menghilangkan atau meminimalkan pembentukan asil
peroksida dalam reaksi peroksidasi lipid sehingga struktur membran lebih stabil (Winarsi, 2007).
Senyawa Spesies Oksigen Reaktif (SOR) memberikan efek merusak bila keseimbangan
antara oksidan dan antioksidan terganggu.
Produksi SOR merupakan bagian integral dari
metabolisme manusia. Karena tingginya potensi untuk merusak sistem biologis penting, SOR
kini telah memberatkan proses penuaan dan pada lebih dari 100 penyakit (Halliwell et al., 1992;
Morow dan Lemos, 2009).
Keseimbangan ini tergantung pada konsumsi pangan yang membawa asam-asam amino
esensial, serta zat-zat gizi lain yang diperlukan untuk sintesis berbagai kofaktor seperti misalnya
glutation tereduksi, antioksidan dan oligoelemen (Cu, Zn, dan Se) yang merupakan kofaktor
enzim-enzim yang dapat mendegradasi senyawa-senyawa SOR serta vitamin-vitamin antioksidan
(vitamin A, C, E, dan B2). Jadi, walaupun di dalam tubuh selalu terbentuk oksigen reaktif dan
senyawa peroksida tetapi tubuh juga mampu membuangnya dengan mengubahnya menjadi air
melalui reaksi yang melibatkan enzim yang mengandung cuprum, ferrum, zinkum atau selenium.
Salah satu contohnya adalah peroksidase glutation dalam mikrosom sel hati. Tubuh juga mampu
mencegah terjadinya kerusakan sel akibat stres oksidatif melalui pemanfaatan seyawa
antioksidan.
Uji coba antioksidan terhadap efek vascular untuk tujuan sebagai berikut (Youngson,
2005) :
(1) Mengurangi sitotoksitas Ox-LDL.
Ox-LDL mempunyai sifat sitotoksik karena dapat menyebabkan nekrosis endotel dan
makrofag. Enzim proteolik seperti matriks metalloproteinase yang dilepaskan makrofag
dapat menurunkan integritas struktur fibrous cap yang melapisi lesi aterosklerosis, diikuti
lesi/plak vaskular tidak stabil dan mudah ruptur. Antioksidan mempunyai peranan untuk
meningkatkan stabilitas plak aterosklerosis dan mencegah trombosis.
(2) Mencegah inaktivasi nitritoksida (NO) pada sel endotel.
Endothelium-derived NO (EDNO) merupakan molekul kunci untuk regulasi tonus vaskular
dan homeostatis. EDNO mempunyai peranan yang luas, antara lain : (a) regulasi tonus
vaskular terutarna vasodilator, (b) aktivitas antiaterogenik yang poten termasuk inhibisi
proliferasi VSMC, agregasi platelet dan interaksi lekosit-endotel. EDNO disintesis dari Larginine oleh enzim NADPH-dependent NO synthase (NOS) baik isoform yang konstitutif
maupun yang dapat diinduksi.
Ox-LDL dapat
menghambat sintesis dan pelepasan EDNO dan juga langsung inaktivasi EDNO. Radikal
anion peroksida (O2●) dapat berinteraksi diikuti tidak berperannya fungsi EDNO.
Tingginya aktifitas enzim SOD akan tergambarkan oleh rendahnya produk oksidasi lipid
(Zakaria et al., 2000; Winarsi, 2004a). Sebagai metaloenzim, aktivitas SOD tergantung adanya
logam Cu, Zn, dan Mn.
Beberapa peneliti melaporkan peran logam-logam tersebut terhadap
aktivitas SOD. Diantaranya adalah Davis et al. (2000) yang menyatakan bahwa pada wanita
yang mengalami defisiensi Cu, aktivitas SOD ekstraseluler meningkat ketika dalam dietnya
disuplementasi dengan Zn. Sementara, Marklund (1982) berpendapat bahwa aktivitas SOD
ekstrseluler pada wanita dengan kadar Cu tinggi menjadi makin tinggi ketika dietnya
disuplementasi dengan
Zn kadar tinggi.
Dan aktivitas
SOD ekstraseluler pada wanita
postmenopause berusia 65 tahun juga meningkat setelah mendapat suplementasi Zn sebanyak 50
mg/hari selama 90 hari (Davis et al., 2000).
2.6.1 Kapasitas Antioksidan Total (TAC)
Pengukuran TAC pada beberapa tahun belakangan ini semakin intensif diteliti, menjadi
sangat penting karena hampir 77% berhubungan dengan fisiologi dan patologi yang selalu
dihubungkan dengan spesies oksigen reaktif
dan spesies nitrogen reaktif.
Kombinasi
antioksidan dapat menetralkan pengaruh SOR/SNR. Diperkirakan aktivitasnya berperan penting
dalam siklus perlindungan pada beberapa penyakit seperti aterosklerosis, cardiovaskular, saraf
dan kanker (Johnson, 2002; Trumbeckaite, 2006). TAC serum mempunyai hubungan positif
terhadap keparahan berbagai penyakit (Chuang et al., 2006).
Pengukuran TAC adalah pengukuran stres oksidatif yang akurat, dalam masalah peran
radikal bebas pada sistem biologi penyakit. Sejumlah test telah didiskripsikan untuk pengukuran
berbagai kerusakan radikal bebas atau status antioksidan, teknik yang
membuktikan
tersedia
fakta bahwa tidak ada metode yang ideal tersedia (Young, 2003).
Konsep sebuah tes yang mungkin mencerminkan TAC adalah
digambarkan
kebanyakan
salah satu yang
di bawah ini (Koracevic et al., 2001):
(1) TAC rendah dapat menunjukkan stres oksidatif atau peningkatan kerentanan terhadap
kerusakan oksidatif.
(2) Parameter Penangkapan Total Radikal (TRAP Assay), berdasarkan generasi radikal peroxyl,
sebanding dengan TAC, standar untuk vitamin larut dalam air. TRAP Assay rumit, dengan
sampel terbatas. Paradoksnya TAC Assay tidak mengukur kapasitas total antioksidan.
(3) Pada umumnya TAC berkurang dalam kondisi yang terkait dengan stres oksidatif.
(4) Cairan biologi penyumbang utama pengujian
adalah asam urat, lebih besar dari 50 %
dari total aktivitas antioksidan, mengakibatkan kesan menyimpang
dari aktivitas total
antioksidan.
(5) Pada pasien gagal ginjal, seringkali TAC meningkat.
Studi lebih lanjut menggunakan pengujian TAC dilaporkan bermanfaat menjadi nilai tes
prediktif akan menjadi lebih jelas. Pendekatan yang lebih baik adalah dengan menggunakan
berbagai pengukuran antioksidan dan kerusakan oksidatif, dengan TAC digunakan sebagai salah
satu dari tes ini (Young, 2003).
Analisis utama pada ” Bleaching Crocin”,
menentukan
kontribusi
dengan tujuan pengukuran TAC, dapat
substansi TAC eksogen (Kampa et al., 2002).
Di lain pihak,
kemungkinan intervensi dari antioksidan endogen dan eksogen dapat dievaluasi dan dites pada
keadaan fisiologi dan patologi. TAC assay, otomatis penuh, stabil dan tepat, seperti dalam
mengevaluasi kapasitas antioksidan plasma, dan kegunaan berbagai makanan dan minuman,
dengan kegunaan yang pasti pada kesehatan masyarakat, dapat dievaluasi. Pengukuran TAC
dalam plasma pada sumber-sumber tipe oksidasi yang berbeda, target dan pengukuran digunakan
untuk mendeteksi produk-produk oksidasi. Perkembangan metode
Crocin Assay, menjadi
ekonomi dan sensitif untuk pengukuran TAC plasma, disamping untuk ekstrak tanaman dan
campuran alami (Chatterjee et al., 2005). Mudah, mantap, tepat, sensitif, murah, otomatis penuh
dapat diberikan oleh pengukuran TAC (Crossin Assay)(Ozcan, 2003).
Beberapa metode telah dikembangkan untuk menilai Antioksidan Total serum atau
plasma manusia, karena kesulitan dalam mengukur secara terpisah masing-masing komponen
antioksidan dan interaksi antara berbagai komponen antioksidan dalam serum atau plasma,
diantaranya adalah Oxygen Radical Absorption Capacity (ORAC) Assay, Randox-TEAC Assay,
FRAP assay. Di antara ketiga metode ini ternyata ORAC assay memiliki kekhususan tinggi dan
merespon berbagai antioksidan (Cao dan Prior, 2009). Metode yang relatif sederhana, sensitif
dan akurat untuk mengukur kapasitass absorban radikal oksigen (ORAC) dari total antioksidan
dalam jaringan, tetapi gagal menunjukan kontribusi beta karoten yang signifikan pada TAC
dalam darah (Sergio dan Russell, 1999).
Beta karoten dan Isoflavon termasuk kelompok antioksidan non-enzimatis atau disebut
juga antioksidan sekunder, karena dapat diperoleh dari asupan bahan makanan.
Senyawa-
senyawa ini berfungsi menangkap senyawa oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai.
Senyawa-senyawa tersebut tidak kalah penting perannya dalam menginduksi status antioksidan
tubuh (Winarsi, et al., 2003). Isoflavon tempe dan beta karoten dapat meningkatkan aktivitas
katalase. Isoflavon dan selenium mempengaruhi aktivitas enzim glutation peroksidase (Winarsi,
2007). Diet rendah beta karoten, tetapi cukup dalam semua zat gizi lain menghasilkan tandatanda berkurangnya Total
Antioksidan
darah (Omaye et al., 1997). Suplemen pada diet
harian dengan 90 mg beta karoten telah menunjukkan peningkatan TAC plasma (Sergio dan
Russell, 1999).
Relevansi TAC sebagai alat baru untuk menyelidiki hubungan antara diet antioksidan dan
stres oksidatif patologi, menunjukkan korelasi terbalik antara diet TAC dengan resiko PJK dan
kangker. TAC dianjurkan diperhatikan sebagai keterangan dari diet (Serafini et al., 2002).
2.6.2 Tempe M-2 sebagai Sumber Antioksidan.
Tempe dapat berfungsi sebagai antioksidan, hal ini disebabkan adanya isoflavonoid yaitu
metabolit sekunder yang terdiri dari 19 kelompok senyawa aglikon (berada dalam keadaan
bebas atau tidak terikat dengan senyawa yang lain) dan enam kelompok glikosida (berikatan
dengan senyawa yang lain). Unsur utama penyusun isoflavonoid adalah sama yaitu 15 atom
Carbon dengan susunan sebagai C6-C3-C6.
King (2002) dan Soobrattee et al. (2005) melaporkan bahwa dalam kedelai terdapat tiga
jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe, di samping ketiga jenis
isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan Faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang
mempunyai sifat antioksidan paling kuat. Antioksidan ini disintesis selama proses pembuatan
tempe. Faktor II yang hanya terdapat dalam tempe, terbukti diproduksi oleh bakteri Micrococcus
luteus, Microbacterium arborescens dan Brevibacterium epidermis (Papendorf dan Barz, 1991).
Proses pembentukan Faktor II dapat terjadi melalui dua reaksi yaitu (1) melalui demetilasi
glisitein oleh bakteri Micrococcus luteus dan Brevibacterium epidermis, dan (2) melalui
hidroksilasi daidzein oleh bakteri Microbacterium arborescens (Gambar 2.11).
Gambar 2.11
Biosintesa Faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) (Papendrof dan Barz, 1991)
Terdapat tiga struktur penting isoflavon yang menentukan kekuatan aktivitas
antioksidannya. Pertama, gugus–OH ganda, ke dua, gugus C=O pada posisi C4, ke tiga, gugus –
OH pada posisi C2 atau C3 (Tharn, 1998).
Fungsi sistem gugus demikian memungkinkan
terbentuknya kompleks dengan ion logam. Kemampuan antiperoksidasi isoflavon dengan cara
membersihkan radikal bebas dan membentuk kompleks dengan ion logam (ion
besi atau
tembaga), sehingga menghambat ion besi atau tembaga dalam mengkatalis reaksi oksidasi,
karena ion besi menginduksi pembentukan radikal bebas OH● (Reaksi Fenton) (Morel, 1993;
Winarsi, 2007).
Genistin merupakan isoflavon yang terdapat dalam tempe yang diyakini dapat
menghambat kerja enzim-enzim yang memacu perkembangan dan perpindahan sel-sel, sehingga
genistin dapat mencegah perkembangan sel-sel yang membentuk sel-sel yang membentuk plak
dalam pembuluh arteri (Mindell, 2008).
Senyawa flavonoid dapat menggantikan vitamin E.
Aktivitas antioksidan flavonoid
tergantung pada struktur molekulnya, terutama gugus prenil (CH3)2C=CH-CH2.
Dalam
penelitian menunjukkan bahwa gugus prenil flavonoid dikembangkan untuk pencegahan atau
terapi terhadap penyakit yang berhubungan dengan radikal bebas (Sofia, 2005).
Tempe M-2 merupakan bahan makanan yang mengandung isoflavon , yaitu zat aktif
yang mempunyai struktur
dan fungsi mirip estrogen yang dikenal dengan fitoestrogen.
Mengkonsumsi tempe yang mengandung isoflavon secara kontinyu dipercaya dapat membantu
menurunkan kadar kolesterol sehingga meminimalisir terjadinya penyakit jantung akibat
terhambatnya pembentukan plak atheroma pada pembuluh darah (Rahmad, 2009).
Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adanya peningkatan derajat
ketidakjenuhan terhadap lemak. Dengan demikian, asam lemak tidak jenuh majemuk
(polyunsaturated fatty acids, PUFA) meningkat jumlahnya. Dalam proses itu asam palmitat dan
asam linoleat sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan
linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak jenuh mempunyai efek
penurunan terhadap kandungan kolesterol serum, sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol
di dalam tubuh. Disamping itu senyawa lain yang banyak disebut-sebut berefek menurunkan
kandungan kolesterol LDL adalah asam-asam lemak tidak jenuh seperti khususnya asam
linolenat (Omega-3), begitu juga kandungan asam oleat, linoleat, dan asam arakhidonat (Johan,
2005; Campbell, 2006). Substansi aktif terkandung dalam tempe yang bermanfaat sebagai obat
disebutkan dalam Tabel 2.2 di bawah ini.
Tabel 2.2
Substansi Aktif dalam Tempe
No
Substansi Aktif
Potensi/Fungsi
1.
Isoflavon : daidzein, genistein, glisitein,
Antioksidan, Antihemolitik, Anti
Faktor II
2.
fungi, Anti kanker
Asam lemak tidak jenuh jamak : Asam Antioksidan, Hipokolesterolemik,
oleat, Asam linoleat, Asam linolenat
Antiinflamasi
Vitamin larut lemak : Vitamin E (α-
Antioksidan, Antihemolitik,
tokoferol) dan beta karoten
Metabolisme, Melindungi sel.
4.
Senyawa anti bakteri
Menghambat pertumbuhan bakteri
5.
Ergosterol
Hipokolesterolemik,pro-vitamin D
6.
Fitoestrogen
Hipokolesterolemik,Antiinflamasi
7.
Vitamin B kompleks : Tiamin, Riboflavin, Hipokolesterolemik,
3.
8.
Niasin, Asam pantotenat,
Antiinflamasi,
Sianokobalamin, dan Folat
enzim)
Enzim
:
Protease,
Metabolisme(ko-
Lipase, Amilase, Metabolisme/hidrolisis
Glikosidase, dan Superoksida dismutase
9.
Hormon Tiroksin, Pankreas
Hipokolesterolemik
Sumber : Hendromartono (1997); Pawiroharsono (1997); Winarsi (2007); Mindell (2008)
Kemudian disebutkan pula bahwa mineral mikro yang dibutuhkan untuk pertahanan
tubuh dalam menanggulangi radikal bebas ialah zat besi, tembaga dan seng. Ketiga mineral ini
terdapat dalam tempe yaitu : zat besi 9,39 mg; tembaga 2,87 mg; dan seng 8,05 mg setiap 100 g
tempe. Tembaga yang terdapat di dalam fraksi sinositol umumnya berada dalam bentuk ensim
superoksida dismutase, ataupun tembaga terikat oleh metallothienin. Sedangkan tembaga yang
terdapat di dalam fraksi mitokondria pada umumnya dalam bentuk sitokrom oksidase, urikase
dan superoksida dismutase. Zn, Cu, dan isoflavon terkandung dalam konsentrasi cukup tinggi
dalam tempe (Ridwan, 1997), berarti tempe dapat meningkatkan aktivitas antioksidan enzimatis.
Ditegaskan oleh Campbell (2006) bahwa tempe merupakan sumber mineral mikro seperti
selenium, tembaga, seng, dan kromium.
Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial (Ridwan, 1997). Menurut
Yuniastuti (2008) vitamin B2 termasuk antioksidan. Tempe juga mengandung alfa dan gamma
tokoferol, alfa tokoferol merupakan antioksidan pemutus rantai yang bersifat lipofilik dan
dapat bereaksi dengan radikal peroksida lemak sehingga terjadi hambatan oksidasi asam lemak
tidak jenuh terutama asam arakhidonat (Bhagavan, 2002).
Senyawa antioksidan Faktor II (6,7,4 trihidroksi isoflavon) mampu mengikat zat besi
sehingga mencegah besi dalam mengkatalis reaksi oksidasi.
Dalam penelitian lanjutan
ditunjukkan bahwa rendahnya kadar peroksidasi lemak yang ditunjukkan oleh kadar
melondialdehide (MDA) dalam darah tikus yang diberi pakan tempe, yang mana mampu
menghambat proses oksidasi lemak dan mencegah kerusakan sel. Seperti halnya vitamin C, E,
dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk
menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas (Ridwan ,1997).
Alrasyid (2007)
menyebutkan bahwa isoflavon genistein yang terdapat dalam tempe telah terbukti sebagai
penghambat tirosin kinase yang kuat, adalah enzim yang berperan pada pembentukan trombin
serta gangguan yang ditimbulkannya.
Analisis molekular dari isoflavon genistein kedelai
ternyata memperlihatkan struktur yang mirip dengan 17 β-estradiol., mendukung mekanisme
kerja substansi ini dalam perbaikan profil lipid plasma (Kim et al., 2000). Genistein (17 βestradiol eksogen) secara tidak langsung
enzyme hormone-sensitive lipase
(Cooke et al., 2004).
mempengaruhi lipolisis dengan memacu lipolytic
atau dengan meningkatkan
efek lipolitik
dari epinefrin
2.6.3 Wortel sebagai Sumber Antioksidan.
Wortel merupakan tanaman sayuran umbi yang kaya antioksidan beta karoten yang
merupakan perkursor vitamin A, serta mengandung cukup banyak tiamin dan riboflavin (Asgar
dan Musaddad, 2006). Wortel mentah atau dimasak merupakan sumber kalium, beta karoten,
dan vitamin C. Beta karoten dan vitamin C pada wortel berkhasiat sebagai antioksidan, yang
melindungi kolesterol LDL dari proses oksidasi. Oksidasi kolesterol LDL menghasilkan radikal
bebas, penyebab timbulnya berbagai penyakit degeneratif (Wirakusumah, 1997).
Suatu studi yang melibatkan 90.000 orang wanita, menunjukkan bahwa mereka yang
mengkonsumsi beta karoten lebih dari 11.000 IU per hari mempunyai resiko mengindap penyakit
jantung 22% lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang mengkonsumsi hanya 3.800 IU
per hari.
Studi ini juga menunjukkan bahwa
mereka yang mengkonsumsi wortel sedikitnya
lima umbi per minggu, mempunyai resiko terkena stroke 68% lebih rendah dibandingkan dengan
mereka yang tidak mengkonsumsi wortel. Aliansi Penelitian Penuaan (the Alliance of Aging
Research) menyarankan agar orang dewasa mengkonsumsi beta karoten sebanyak 10 mg (17.000
IU) sampai 30 mg (50.000 IU) per hari. Satu cangkir jus wortel mengandung sekitar 24 mg
beta karoten, sedangkan satu umbi ubi jalar merah mengandung sekitar 10 mg beta karoten.
Pemasakan dengan panas yang berlebihan menghancurkan beta karoten (Muchtadi, 2009).
Komposisi gizi yang terkadung di dalam wortel disebutkan dalam Tabel 2.3. di bawah ini.
Tabel 2.3
Komposisi gizi per 100 g Wortel BDD
Kandungan Gizi
Jumlah
Energi (kkal)
36
Protein (g)
1
Lemak (g)
0,6
Karbohidrat (g)
7,9
Kalsium (mg)
45
Fosfor (mg)
74
Besi (mg)
1
Kalium (mg)
0,30
Sodium (mg)
0,03
Beta Karoten (mg)
21,6
Vitamin A (mg)
9,77
Vitamin B1 (mg)
0,05
Vitamin B2 (mg)
0,04
Niasin (mg)
0,53
Vitamin C (mg)
18
Serat pangan (g)
1
Abu (g)
0,6
Air (g)
89,9
Sumber : Adams (1975) dan Wirakusumah (1995)
Konsumsi beta karoten yang berasal dari sumber tanaman bersifat aman dan tidak akan
memberikan efek toksik sampai 100.000 IU per hari. Lain halnya beta karoten sintetis berlebihan
mempunyai resiko potensial sebagai prooksidan (Linder, 1992; Patrick, 2000; Muchtadi, 2009;
Sunita, 2009).
Beta karoten sebagai antioksidan berperan dalam meredam singlet oxygen dan mencegah
peroksidasi lipid, efeknya menyerupai efek vitamin E dan vitamin C dalam melindungi DNA
dan membran dari serangan oksidatif endogenus (Sikka, 1996; Roche ,2000; Robbins et al.,
2004; Murray et al., 2009).
Beta karoten sebagai antioksidan berperan mencegah reaksi
berantai yang ditimbulkan radikal hidroksil yang merupakan suatu SOR yang paling reaktif
sehingga dapat mencegah terputusnya rantai asam lemak pada membran dan mencegah
pembentukan ikatan disulfida (-S-S-) pada protein/enzim sehingga tidak kehilangan aktivitas
biologisnya yang berhubungan dengan pembentukan energi (Mayes, 2002).
Beta karoten adalah suatu antioksidan pemutus rantai, bersifat lipofilik sehingga berperan
pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Beta karoten adalah senyawa yang dapat
memberikan elektron (electron donor) kepada radikal bebas atau oksidan sehingga senyawa
radikal stabil (Mayes, 2002). Beta karoten disebutkan sebagai antioksidan yang sangat baik,
karena kemampuannya untuk memadamkan singlet oxygen dan scavenger
radikal peroksil
(Osterlie dan Lerfall, 2005).
Beta karoten merupakan antioksidan yang paling efisien untuk inaktivasi singlet oxygen
dalam sistem biologis.
Potensi beta karoten untuk menangkap oksigen singlet diduga melalui
ikatan rangkap yang berjumlah sembilan pada rantai karbonnya. Kecepatan penghilangan
singlet oxygen oleh karotenoid tergantung pada jumlah ikatan rangkap terkonyugasi dan pada
jenis dan jumlah grup fungsional struktur cincin molekul karotenoid. Untuk dapat bertindak
sebagai penghilang singlet oxygen
yang efektif, paling sedikit harus terdapat tujuh ikatan
terkonyugasi, dan makin efektif bila jumlah ikatan terkonyugasi semakin banyak. Mekanisme
inaktivasi singlet
teroksidasi.
oxygen oleh karotenoid adalah secara fisik tanpa menghasilkan produk
Beta karoten mendonorkan elektron kepada radikal bebas, dan menjadi kation
radikal beta karoten, seperti reaksi di bawah ini :
1
O2 + 1Beta karoten
3
O2 + 3Beta karoten
Aktivitas antioksidan beta karoten meningkat pada kosentrasi oksigen rendah (Paloza et
al., 1997). Bukan hanya konsentrasi oksigen tetapi juga konsentrasi karotenoid memainkan
peranan penting dalam menentukan sifat karoten apakah sebagai antioksidan atau sebagai
prooksidan.
Kosentrasi beta karoten tinggi, beta karoten sebagai prooksidan, tetapi bisa
dimodifikasi oleh interaksi dengan nutrisi lainnya (Gaziano et al., 1995). Dengan menggunakan
studi in vitro, menunjukkan bahwa efek prooksidan beta karoten benar-benar dicegah dengan
penambahan tokoferol (Paloza, 1995).
Relatif tingginya potensial reduksi 1-elektron radikal kation beta karoten (1060 mV),
dapat menjelaskan sifat prooksidan beta karoten.
Beta karoten tidak dapat secara efektif
mendonorkan atom hidrogen kepada radikal peroksil yang mempunyai potensial reduksi 1elektron standar yang serupa (1000 mV), oleh karena itu tidak dapat berfungsi sebagai
antioksidan. Kemungkinan beta karoten dapat bereaksi dengan radikal bebas melalui mekanisme
lain, dan molekul beta karoten menjadi molekul stabil akibat resonansi, atau menjadi radikal
terkonyugasi. Tergantung pada potensial redoks radikal bebas dan struktur kimia karotenoid,
terutama terdapatnya group fungsional yang mengandung oksigen, baik hidrogen maupun
elektron dapat ditransfer dari karotenoid kepada radikal bebas.
menginaktifkan anion superoksida melalui reaksi sebagai
Beta karoten dapat
berikut (Omaye et al., 1997;
Muchtadi, 2000) :
●O2 + beta karoten + 2H+
beta karoten● + H2O2
Beta karoten berperan dalam meningkatkan sistem imunitas melalui efek antioksidan.
Beta karoten juga menjamin perkembangan kulit yang sehat, membran mukosa, kelenjar thymus
dan jaringan lymphoid dan semua yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh (Sofia,
2005).
Diet tinggi buah-buahan, sayuran dan plasma yang tinggi beta karoten, dapat
menghambat pembentukan LDL teroksidasi, yang berhubungan dengan penurunan risiko PJK
(Gaziano et al.,1992; Muchtadi, 2000). Kadar beta karoten pada buah-buahan dan sayuran
ditampilkan pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4
Kadar Beta Karoten pada Buah-Buahan
dan Sayur-Sayuran BDD
Komuditas
Wortel
Beta karoten
(mg/100g)
21,6
Daun singkong
19,8
Sawi
11,6
Kangkung
11,3
Bayam
11
Pisang raja
1,7
Pepaya
1,1
Tomat masak
2,7
Semangka
1,1
Jeruk
0,03
Mangga gadung
11,4
Ubi jalar merah
13,9
Sumber : Linder (1992) dan Sunita (2009).
Diet rendah karotenoid , tetapi cukup dalam semua zat gizi lain menghasilkan tandatanda berkurangnya TAC darah (Omaye, 1997). Beta karoten memiliki aktivitas antioksidan
terbaik, telah dipelajari
kemampuannya untuk mencegah penyakit kronis, memiliki sifat
antioksidan in vitro dan hewan coba. Campuran
beta karoten dengan antioksidan lainnya
meningkatkan aktivitas mereka melawan radikal bebas (Sergio dan Russell, 1999).
2.7
Tempe M-2 sebagai Antiinflamasi.
Tempe telah digemari oleh beberapa kalangan masyarakat di pedesaan dan perkotaan
bahkan di luar negeri. Di beberapa tempat makanan tempe tidak lagi dijadikan menu tambahan
melainkan disantap sebagai makanan kesehatan (Astawan, 2003).
Menurut Harlinawati (2006) niasin dapat meningkatkan secara signifikan kandungan
kolesterol HDL pada penderita jantung koroner serta individu dengan kadar kolesterol HDL yang
rendah. Proses penempean meningkatkan kandungan niasin hingga dua sampai dengan lima kali.
HDL meningkatkan aktivitas antioksidan sehingga memproteksi kolesterol LDL dari proses
oksidasi dan menurunkan ekspresi molekul adhesi dari endotel pembuluh darah (Hastuti, 2005).
Mekanisme potensial HDL dalam melindungi endotel dari kerusakan vaskular adalah melalui
kemampuan HDL dalam mengeluarkan kolesterol dari dalam dinding arteri.
IL-6 dapat
dihambat secara tidak langsung melalui pengaturan sintesa kolesterol endogen (Endermann et
al., 2004; Huang et al., 2005).
Asam
lemak
tidak
jenuh
Omega-3
dapat
mengurangi
proinflamasi/properadangan dan menurunkan proses peradangan (inflamasi)
sekresi
sitokin
(Sunita, 2009).
Asam lemak tidak jenuh Omega-3 dapat mengurangi sekresi sitokin proinflamasi dan pengaturan
penurunan proses peradangan. Supplementasi Omega-3 selama 18 minggu menghambat signal
pada basal dan Lipopolysaccharide (LPS) yang merangsang IL-6 atau produksi monosit (Abbate
et al., 1996).
Penelitian pengaruh tiroid pada binatang menunjukkan bahwa tempe dapat meningkatkan
kadar tiroksin plasma darah, hormon yang diproduksi oleh kelenjar gondok, yang pada saat yang
sama juga mengurangi kadar kolesterol darah, sehingga mengurangi tingkat inflamasi (Mindell,
2008).
Tempe mengandung antioksidan zat anti mutagenik (Simanjuntak dan Sudaryati,1998).
Rifas et al. (1995) mendapatkan dalam penelitiannya bahwa kemampuan estrogen mengatur
produksi sitokin sangat bervariasi dari masing-masing organ maupun masing-masing spesies,
begitu juga terhadap produksi dari IL-6. Ditegaskan oleh Manolagas (1995) dan Keller et al.
(1996) bahwa estrogen menghambat ekspresi gen IL-6, melalui represi aktivasi transkripsi dari
gen IL-6 melalui efek estrogen reseptor dalam aktivitas transkripsi dari sequens proksimal 225bp dari promoter.
Para peneliti menyatakan bahwa kombinasi asam amino yang terdapat dalam kedelai dapat
mengubah tahap yang penting dalam pembentukan kolesterol.
Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa setelah makan kedelai kadar glucagon darah meningkat (glucagons adalah
hormon yang dikeluarkan oleh pankreas). Mereka menduga bahwa perubahan dalam glucagons
dapat mengubah kinerja HMG-KoA reduktase (Coenzym A), yang sangat penting dalam
mensintesa kolesterol. Ada kemampuan inhibitor
HMG-KoA reduktase untuk menurunkan
kadar CRP (Nawawi et al.,2003 dan Mindell, 2008).
Protein tempe memiliki kadar yang rendah akan asam amino, seperti lisin dan metionin,
dibandingkan dengan protein hewani.
Penelitian menunjukkan bahwa bila lisin tersebut
ditambahkan dalam makanan tempe, maka akan meningkatkan kadar kolesterol LDL.
Komposisi asam amino tempe meningkatkan kadar kolesterol HDL (Mindell, 2008). Kolesterol
HDL sebagai komponen protektif sangat berperan dalam mekanisme aterosklerosis pada
dislipidemia.
Peranan kolesterol HDL
beberapa jalan antara lain :
pada penghambatan
mempertahankan integritas
proses ateroskleroses melalui
endotel, memfasilitasi relaksasi
pembuluh darah, menghambat adesi sel pada endotel, menurunkan agregasi platelet dan sistem
koagulasi, serta memepertahankan proses fibrinolisis (Calabresi et al., 2003).
Menurut Freeman et al. (2008)
kolesterol HDL pada dasarnya adalah kebalikan dari
kolesterol LDL, mempunyai ukuran yang paling kecil dengan densitas paling besar karena
mengandung trigliserida yang paling sedikit. HDL memiliki banyak protein, bertindak sebagai
vacuum cleaner yang mengisap sebanyak mungkin kolesterol berlebih yang bisa diisapnya.
HDL memungut kolesterol ekstra dari sel-sel dan jaringan-jaringan lalu membawanya kembali
ke hati, yang mengambil kolesterol dari HDL, dan menggunakannya untuk membuat cairan
empedu atau mendaurulangnya. Di samping itu, kolesterol HDL juga meningkatkan aktivitas
antioksidan sehingga memproteksi kolesterol LDL dari proses oksidasi dan menurunkan ekspresi
molekul adhesi dari endotel pembuluh darah (Hastuti, 2005).
Interaksi HDL memodifikasi
distribusi dan morfologi kolesterol membran sehingga mempengaruhi aktivitas eNOS secara
potensial. Studi in vivo mendukung konsep yang menyatakan bahwa HDL mencegah disfungsi
endotel dengan memicu produksi NO endotel (Cines, 1998).
Kolesterol HDL berperanan dalam aktivasi reverse cholesterol transport sehingga akan
mempunyai pengaruh seperti : (1) Meningkatkan mobilisasi / penarikan kolesterol dari sel, (2)
Menekan pertumbuhan plak aterosklerosis yang baru, (3) Stabilisasi plak aterosklerosis, dan (4)
menurunkan kemungkinan ruptur dari plak.
Kemudian disebutkan juga keuntungan aspek
molekuler lainnya dari HDL adalah : (1) Anti agregasi platelet, (2) Antifibrinogenesis, (3)
Antiinflamasi, (4) Menurunkan LDL3,
(5) Menghentikan trombosis, dan (6) Antiapoptosis
(Hendromartono, 2009).
Penelitian pengaruh tiroid pada binatang menunjukkan bahwa tempe dapat meningkatkan
kadar tiroksin plasma darah, hormon yang diproduksi oleh kelenjar gondok, yang pada saat yang
sama juga mengurangi kadar kolesterol LDL darah, dan meningkatkan kolesterol HDL (Mindell,
2008).
Isoflavon dapat menghambat inflamasi IL-6, penghambatan langsung pada jalur reaksi
sinyal transduksi. Disebutkan pula bahwa aktivitas antiresorptive phytoestrogen pada tempe
kedelai sebagai mediatornya. Isoflavon yang terdapat pada tempe, dapat meniru peranan dari
hormon estrogen, dapat berikatan dengan reseptor estrogen sebagai aktivitas hormonal,
menyebabkan serangkaian reaksi yang menguntungkan tubuh. Pada saat kadar hormon estrogen
menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat walaupun
afinitasnya tidak sebesar estrogen. Target terapi untuk mengontrol beberapa penyakit, mencakup
inhibisi IL-6 (Baziad, 2003; Kim et al., 2003; Sun et al., 2003; Koswara, 2006; Omoigui, 2007).
Selain itu, Isoflavon dapat meningkatkan kadar vitamin C dalam sel-sel tubuh, mengurangi
kebocoran dan pecahnya pembuluh darah kecil, melindungi terhadap kerusakan akibat radikal
bebas dan memperkuat struktur persendian, menghilangkan plak-plak arterosklerosis
(pengerasan arteri) (Wirakusumah, 1997).
2.8
Wortel sebagai Antiinflamasi
Beta karoten yang berasal dari wortel bersifat aman dan tidak akan memberikan efek
toksik sampai 100.000 IU per hari.
Lain halnya dengan suplemen beta karoten sintetis
berlebihan akan mengganggu cara tubuh memanfaatkan lemak.
Banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa, orang yang mengkonsumsi beta karoten dalam jumlah tinggi mempunyai
kemampuan untuk mencegah timbulnya kanker. Suatu studi yang melibatkan 90.000 orang
wanita, menunjukkan bahwa mereka yang mengkonsumsi beta karoten lebih dari 11.000 IU per
hari mempunyai resiko mengidap penyakit jantung 22% lebih rendah dibandingkan dengan
mereka yang mengkonsumsi hanya 3800 IU per hari. Studi ini juga menunjukkan bahwa mereka
yang mengkonsumsi wortel sedikitnya lima umbi per minggu, mempunyai resiko terkena stroke
68% lebih rendah, dibandingkan dengan mereka yang tidak
mengkonsumsi wortel
(Wirakusumah, 1997; Muchtadi, 2009). Hal ini dijelaskan oleh Kohlmeier ( 2003) dan Budi
(2009) bahwa beta karoten berfungsi memperlambat berlangsungnya penumpukan flek pada
arteri, sehingga aliran darah ke jantung dan otak berlangsung tanpa sumbatan. Ditegaskan oleh
Sergio dan Russell (1999) bahwa trans-beta karoten dapat menghambat aterosklerosis pada
kelinci dengan diet kolesterol tinggi.
Beta karoten mampu menangkap oksigen reaktif dan radikal peroksil (Paiva dan Russel,
1999) lalu menetralkannya, menghambat oksidasi arakhidonat menjadi endoperoksida dan
menurunkan aktivitas lipoksigenase (Lieber dan Leo, 1999). Apabila oksidasi asam arakhidonat
dapat dihambat maka tidak terbentuk oksigen reaktif yang dapat menyebabkan nyeri dan
inflamasi. Penurunan aktivitas enzim lipoksigenase menyebabkan tidak terbentuknya leukotrien
yang dapat mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan (Lieber dan Leo, 1999).
Adanya hambatan pada oksidasi asam arakhidonat dan penetralan oksigen reaktif menyebabkan
beta karoten berefek antiinflamasi. Reseptor IL-6 dikendalikan oleh vitamin A (Parakkasi,
1999). Optimalnya aktivitas perasan umbi wortel tidak hanya beta karoten yang bertanggung
jawab dalam memberikan antiinflamasi. Kemungkinan antioksidan lain yang terkandung dalam
perasan umbi wortel, seperti vitamin C juga memberikan peran antiinflamasi (Esvandiary et al.,
2007). Wortel mengandung kalium dan vitamin C, yang membantu menetralkan asam dalam
darah dan menghilangkan toksin dalam tubuh. Wortel juga bersifat sebagai pembersih darah dan
mendorong keluar sisa metabolisme
sel tubuh melalui ginjal, sehingga dapat mencegah
pengendapan sisa sisa metabolisme. Kalium dalam wortel menjaga keseimbangan air dalam
tubuh dan membantu tekanan darah, menetralkan asam dalam darah. Wortel berkhasiat sebagai
anti stroke, karena beta karoten dapat mencegah terjadinya plak pada pembuluh darah. Wortel
merangsang dengan mudah dan cepat reaksi pembersih kelebihan lemak tubuh, sehingga wortel
dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Jeanne, 2006; Nuansa, 2011). Dinding dalam
wortel juga terkandung pektin, yaitu salah satu jenis serat pangan yang bersifat larut dalam air
(soluble dietary fiber). Serat jenis ini berperan penting untuk menurunkan kadar kolesterol dan
gula darah, sehingga bermanfaat untuk mencegah penyakit diabetes melitus dan aterosklerosis
(penyempitan pembuluh darah), yang merupakan cikal bakal penyakit jantung koroner dan
stroke.
Selain jenis serat larut dalam air, wortel juga mengandung serat tidak larut (insoluble
dietary fiber), yang bermanfaat mencegah terjadinya gangguan pada saluran pencernaan, seperti
konstipasi, kanker usus, dan divertikulosis (Vallerie, 2009).
Wortel memiliki khasiat memperkuat fungsi hati, melancarkan kencing, membuang zat
yang tidak berguna melalui ginjal, antiseptik, laksaktif, dan melindungi tubuh dari bahan kimia
yang beracun. Beta karoten juga dikenal sebagai unsur pencegah kanker. Beta karoten dapat
menjangkau lebih banyak bagian-bagian tubuh dalam waktu relatif lama dibandingkan dengan
vitamin A, sehingga memberikan perlindungan lebih optimal terhadap munculnya kanker.
Kandungan beta karoten dalam wortel dapat mencegah penyakit kanker, yaitu dengan jalan
mengacaukan mekanisme kanker yang merusak sel. Disamping itu, beta karoten membantu
sistem kekebalan tubuh menghasilkan sel pembunuh alami (natural killer cell). Beta karoten
dapat mencegah terjadinya plak atau timbunan kolesterol dalam pembuluh darah, sehingga
sering disebut sebagai anti stroke (Mayes, 2002). Hasil penelitian Widarsih (2003) menyebutkan
bahwa air perasan umbi wortel memiliki daya antiinflamasi pada dosis 5 ml/kgbb/hari.
2.9
Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel sebagai Antiaterosklerosis.
Kombinasi tempe M-2 dengan wortel merupakan kombinasi makanan yang sangat serasi,
satu
dengan yang lain saling
bersinergi menormalkan pH darah (pH 7,3 -7,5), maupun pH
urine (pH 7 – 8) atau lebih ke arah basa. Kombinasi makanan yang tepat bertujuan mencapai
keseimbangan asam dan basa, sehingga terhindar dari gangguan fungsi tubuh dan penyakit
(Gunawan, 2001; Marsden, 2008; Farida dan Amalia, 2009). Keseimbangan dalam kondisi
sedikit basa tersebut senantiasa dipertahankan agar enzim-enzim yang berperan dalam proses
metabolisme dapat bekerja optimal. Jika pH bergeser, maka kerja enzim terhambat, keadaan ini
dapat menyebabkan timbulnya sakit dan penyakit (Rampisela, 2009).
Ditegaskan oleh Reagan et al. (2007) bahwa kondisi basa pH urine tikus adalah pada
lebih besar atau sama dengan pH 7,5 sedangkan kondisi asam pH urine tikus adalah pada lebih
kecil atau sama dengan pH 7.
Cara pemeriksaan pH urine dengan pH Indicator Strips
merupakan penentuan pH urine yang mudah, cepat dan tepat (Kosasih dan Kosasih, 2008).
Makanan vegetarian dan makanan yang mengandung lemak polyunsaturated merupakan
makanan pembentuk basa tubuh. Apabila pH urine sudah normal, untuk monitor kenormalan pH
urine selanjutnya adalah pada dua belas minggu kemudian, dan monitor pH urine tiga minggu
sekali apabila kondisi pH urine belum normal (Young, 2006).
Tempe M-2 dengan wortel sama-sama merupakan sumber mineral logam natrium,
magnesium, zat besi, kalsium dan utamanya kalium, kandungan mineral logam inilah yang dapat
membantu menetralkan asam dalam darah. Tempe M-2 dengan wortel sama-sama sebagai
sumber antioksidan yang kuat. Kombinasi antioksidan dapat menetralkan pH dan radikal bebas,
aktivitasnya penting dalam perlindungan dari beberapa penyakit, seperti aterosklerosis,
kardiovaskular, saraf dan kanker (Gunawan, 2001; Johnson, 2002; Thumbeckaite, 2006).
Tempe M-2 merupakan makanan yang difermentasi, adalah pembentuk basa, karena perubahan
status mikrobiologis dan nutrisi, meningkatkan flora usus yang baik, membantu menyintesis
lebih banyak enzim dan vitamin, serta meningkatkan kecernaan protein (Marsden, 2008).
Adapun akibat positif dari kombinasi makanan serasi tersebut adalah meminimalkan
jumlah penumpukan sisa makanan dari hasil metabolisme tubuh, sehingga fungsi pencernaan
dan penyerapan zat makanan menjadi lancar.
Cara Food Combining mengkombinasikan
ataupun memisahkan jenis makanan tertentu dilakukan atas dasar cara kerja enzim dan waktu
yang diperlukan untuk mencerna setiap jenis makanan. Inti dari
Food Combining yaitu
kombinasi makanan yang serasi berdasarkan sifat pembentuk asam dan basa suatu makanan,
sehingga keseimbangan asam dan basa dapat dicapai. Terdapat pola tersendiri dalam kombinasi
makanan yang serasi. Seperti sayur dapat dimakan bersamaan dengan makanan kelompok
protein (Gunawan, 2001).
Kerusakan oksidatif yang terjadi di dalam tubuh secara in vitro dalam satu sel kira-kira
terjadi 10.000 kali reaksi oksidasi dalam kurun waktu 24 jam. Hal ini membuktikan bahwa
stres oksidatif sangat mengancam kehidupan manusia. Stres oksidatif hanya dapat dikendalikan
oleh asupan antioksidan dari makanan, yang selanjutnya akan memacu kerja antioksidan dalam
tubuh (Lampe, 1999; Winarsi, 2007).
Masing-masing jenis antioksidan memiliki sifat dan cara kerja yang tidak sama, namun
masing-masing memiliki target yang berbeda, yaitu menekan atau menghambat reaktivitas
radikal bebas.
Seperti superoksida dismutase mengkatalisis reaksi dismutasi dari radikal
superoksida menjadi H2O2,
menjadi H2O.
sedangkan katalase dan glutation peroksidase mengubah H2O2
Oleh sebab itu, kesempurnaan kerja sistem enzim antioksidan
sepenuhnya
diperankan oleh tiga macam enzim tersebut. Namun yang perlu dipahami adalah, antioksidan
seluler tidak dapat bekerja secara individual tanpa dukungan asupan antioksidan sekunder dari
bahan pangan.
Makin tinggi
asupan antioksidan
eksogenus, makin tinggi pula status
antioksidan endogenus (Lampe, 1999). Jadi diperlukan konsumsi bahan makanan yang kaya
akan komponen antioksidan dalam jumlah yang memadai, agar mampu menginduksi kerja
enzim antioksidan dalam tubuh sehingga mampu menekan kerusakan sel yang berlebihan dan
mempertahankan status antioksidan seluler.
Beta karoten memegang peranan penting dalam pembentukan protein, dibutuhkan dalam
membran mitokondria dalam level optimum untuk dapat merangsang aliran energi yang efisien
melalui mitokondria. Kebutuhan beta karoten dapat pula meningkat bila konsumsi protein kadar
tinggi (Linder, 1992; Parakkasi, 1999). Ditegaskan pula bahwa lesitin pada tempe meningkatkan
kadar karoten dalam hati, dan kandungan tiroid pada tempe meningkatkan daya guna beta
karoten. Stimulasi tiroid dapat meningkatkan kebutuhan beta karoten (Parakkasi, 1999).
Ketersediaan beta karoten meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain
(Sunita, 2009). Berbagai penelitian menemukan bahwa tokoferol (α atau γ) melindungi beta
karoten dari autooksidasi (Palozza dan Krinsk, 1992). Beta karoten memperkuat potensi αtokoferol sebagai scavenger radikal peroksil.
membentuk radikal karotenoid
Beta karoten bereaksi dengan radikal peroksil
peroksil, kemudian berubah menjadi karotenoid peroksida
(Muchtadi, 2000). Ditegaskan oleh Murray et al. (2009) bahwa beta karoten merupakan
antioksidan yang mempunyai peran dalam menangkap radikal bebas peroksil di dalam jaringan
pada tekanan parsial oksigen yang rendah. Karena bersifat efektif pada konsentrasi oksigen
rendah, beta karoten melengkapi sifat antioksidan vitamin E yang efektif pada konsentrasi
oksigen lebih tinggi.
Pada umumnya penggunaan beta karoten sebagai antioksidan berkombinasi dengan
sumber antioksidan lain. Sebuah penelitian melibatkan subjek 29.000 kaum laki-laki Finisa yang
memiliki kebiasaan merokok. Mereka diberi beta karoten dan vitamin E (keduanya senyawa
aktif) selama enam tahun Dari percobaan tersebut tidak ditemukan
kejadian penyakit kanker
maupun kardiovaskuler (Winarsi, 2007). Vitamin E memberikan efek sinergis dengan beta
karoten sebagai antioksidan
di dalam tubuh, dapat membuat awet muda karena mampu
mengatasi serangan radikal bebas, yang mempercepat ketuaan (Kohlmeier, 2003). Beta karoten
berperan sebagai sparing effect vitamin E. Bila tekanan oksigen dalam tubuh tinggi, vitamin E
diangkut darah
melalui LDL dan HDL.
Namun bila tekanan oksigen rendah, vitamin E
digantikan oleh beta karoten.
Suplementasi beta karoten pada
manusia ditingkatkan
dari 0,58 menjadi
2,06
μmol/100 g sereal, ternyata penyerapan Fe meningkat. Mekanisme ini melibatkan pembentukan
kompleks beta karoten dengan Fe yang dapat larut dalam lumen usus, kemudian mencegah efek
penghambatan fitat dan polifenol pada absorbsi Fe (Garcia dan Casal, 1998; Kohlmeier, 2003).
Kompleks beta karoten dengan Fe dalam mengkorvensi beta karoten menjadi retinol dapat
menghambat Fe dalam mengkatalis reaksi oksidasi dalam pembentukan radikal bebas OH●
(Reaksi Fenton)(Winarsi, 2007). Konsentrasi beta karoten tinggi bisa menjadi prooksidan, dapat
dimodifikasi oleh interaksi dengan nutrisi lainnya (Gaziano et al., 1995). Zn merupakan bagian
dari karbonik anhidrase yang berperan dalam pengeluaran amonia dan dalam produksi
hidroklorida yang diperlukan dalam pencernaan beta karoten. (Murray, et al., 2009; Sunita,
2009).
Antioksidan mempunyai mekanisme untuk menetralkan kerusakan yang ditimbulkan
oleh radikal bebas. Mekanisme tersebut diperankan oleh jaringan antioksidan (antioksidan
network) yang saling menopang dalam jaringan kerjasama antar antioksidan (Berg et al., 2001;
Block et al.,2001). Jadi diperlukan konsumsi bahan makanan yang kaya akan komponen
antioksidan dalam jumlah yang memadai, agar mampu menginduksi kerja enzim antioksidan
dalam tubuh sehingga mampu menekan kerusakan sel yang berlebihan dan mempertahankan
status antioksidan seluler.
Akhir-akhir ini beberapa penelitian fungsi antioksidan vitamin A, E, dan C dalam
mencegah kejadian atau angka kematian dari PJK memberikan
hasil
yang
kurang
memuaskan ( Bagiada et al., 2004). Miller (2007) menyebutkan bahwa jika diputuskan akan
mengkonsumsi antioksidan dalam bentuk suplemen makanan, sebaiknya juga dipastikan bahwa
suplemen makanan tersebut mengandung antioksidan seperti A, E, C dan Se dan dilengkapi
dengan Omega-3 dan Omega-6 yang seimbang. Kombinasi tempe M-2
dengan wortel
mengandung antioksidan A, E, C, Se, Omega-3 dan Omega-6. (Linder, 1992; Mindell, 2008;
Vallerie, 2009).
2.10 Keunggulan Tempe M-2
Kedelai varietas Wilis (Kusamba, Klungkung, Bali), bahan baku tempe M-2, menjadikan
tempe M-2 berasa lebih enak dan gurih dikonsumsi segar, dibanding tempe yang ada di pasaran,
yang berbahan baku kedelai impor. Disamping itu tempe M-2 mengandung gizi dan nirgizi yang
bermanfaat bagi kesehatan lebih tinggi daripada tempe biasa (Agung, 2002).
Perebusan kedelai dalam pembuatan tempe M-2 dilaksanakan dua kali, hal ini dapat
meningkatkan nilai cerna, gizi, nirgizi dan sensoris (Agung, 2002), sesuai dengan penelitian dari
Karmini (1997) bahwa perebusan yang ideal dalam pembuatan tempe dilakukan sebanyak dua
kali dengan tujuan akhir memaksimalkan jumlah isoflavon tempe, meningkat 58,7 % daripada
sekali perebusan. Perebusan dua kali dalam pembuatan tempe M-2 menghasilkan tempe lebih
bersih, lebih lama daya simpan dan rasanya lebih enak.
Kandungan protein kedelai dan tempe hampir sama, namun melalui proses fermentasi,
terjadi peningkatan asam amino bebas sebesar ± 35 kali (Kiers, 2001). Asam amino tertinggi
pada tempe setelah fermentasi adalah arginin. Penelitian Ghozali (2008) menunujukkan bahwa
asam amino arginin tempe mengalami kenaikan dibanding kedelai, dengan rata-rata peningkatan
sebesar 68,8%. Tingginya rasio arginin/lisin dihubungkan dengan tingginya kosentrasi serum
glukagon (Torres et al., 2006), yang berperan dalam homeostatis lipid. Sisa protein yang tidak
dapat dicerna yaitu peptida hidrofobi akan mengikat asam empedu dan kolesterol dalam lumen
usus menyebabkana penurunan absorbsi kolesterol (Utari, 2011). Penelitian Sugyarto (1990)
yang memberikan 200 g tempe selama dua minggu pada laki-laki dan wanita menunjukkan efek
yang baik pada perbaikan profil lipid.
Tempe mengandung dua tipe protein yaitu globulin 11 S (glycinin) dan 7 S (βconglycinin). Protein 11 S (glycinin) punya peran sebagai antioksidan (Torres et al., 2006).
Protein 7 S ((β-conglycinin) dilaporkan dapat menurunkan akumulasi kolesterol dalam aorta,
sehingga dapat mencegah PJK.
Proses fermentasi pada pembuatan tempe menyebabkan peningkatan asam amino, asam
lemak dan isoflavon total tempe, jauh lebih tinggi dibanding kedelai (Utari, 2011). Isoflavon
memberikan efek hipokolesterol melalui kemampuannya dapat mengatur aktivitas reseptor LDL.
Isoflavon meningkatkan aktivitas enzim SOD diduga karena induksi gen yang bertanggungjawab
pada sintensis enzim antioksidan (Suarsana, 2009). Ditegaskan pula bahwa kultur sel yamg
diberikan genistein dapat meningkatkan ekspresi MnSOD yang kemungkinan melalui
mekanisme interaksi genistein dengan reseptor estrogen. Dari berbagai makanan, yang paling
banyak mengandung isoflavon adalah tempe ( Winarsi, 2007).
Enzim lipase tempe melarutkan sebagian lemak kedelai, meningkat 30% atau 50-70 kali
asam lemak bebas dibanding bentuk kedelai. Peningkatan asam lemak ini dapat meningkatkan
daya cerna tempe. Asam lemak yang dominan adalah asam linoleat , disusul asam oleat, asam
linolenat dan asam palmitat, yang semuanya tergolong asam lemak tidak jenuh rantai panjang
dan jumlahnya sekitar 80% dari total asam lemak, Asam lemak linoleat (omega-3) tergolong
esensial yaitu tidak dapat disintesa di dalam tubuh sehingga harus diperoleh dari konsumsi
makanan (Ghozali, 2008; Utari, 2011).
Minyak yang berasal dari tempe mempunyai daya tahan yang kuat terhadap peroksidasi
lemak saat penyimpanan dalam suhu kamar, bahkan tidak berubah saat penyimpanan dalam suhu
kamar, bahkan tidak berubah kadarnya ketika disimpan sekitar dua tahun, hal ini berbeda dengan
minyak dari kedelai yang cenderung rentan terhadap peroksida saat penyimpanan (Utari, 2011).
Asam oleat mempunyai kemampuan untuk meningkatkan HDL yang merupakan lemak
yang dapat menurunkan resiko PJK, sehingga asam oleat juga sering diklaim untuk mencegah
penyakit jantung (Mann dan Stewart, 2007). Begitu juga dengan asam linoleat pada tempe
bersifat meningkatkan kadar HDL dan menurunkan LDL.
Asam linoleat dan asam linoleat tidak hanya dibutuhkan untuk semua membran sel tetapi
juga mengalami elengasi dan denaturasi menjadi rantai lebih panjang dan merupakan prekursor
komponen eicosanoid yang menyerupai hormon, prostaglandin dan leukotrienes. Asam linoleat
akan dikonversi menjadi asam arakidonat, sedangkan asam linolenat akan dikonversi menjadi
eicosapentaenoic acid (EPA) dan decosahexosenoic acid (DHA)(Mann dan Stewart, 2007).
EPA dan DHA dapat mencegah timbulnya platelet darah. Platelet dalam darah ini dalam jumlah
besar akan mengganggu aliran darah dan merupakan faktor utama penyebab serangan jantung
dan stroke. EPA dan DHA juga dapat memperbaiki trigliserida darah pada individu dengan
hipertrigliserida (Utari, 2011).
Asam linolenat merupakan ketiga terbanyak dalam tempe, lebih efektif menurunkan
trigliserida darah dibanding asam linoleat. Namun harus diwaspadai karena jika dikonsumsi
terlalu banyak pada individu yang kadar LDLnya tinggi justru akan semangkin meningkatkan
kadar LDL serta menurunkan kadar HDL (Mann dan Stewart, 2007). Keunggulan dari tempe
adalah karena asam linolenat bukan asam lemak bebas utama, sehingga lebih leluasa untuk
dikonsumsi dalam jumlah banyak khususnya pada orang dengan dislipidemia tanpa mengurangi
manfaatnya. Peran lain dari asam linoleat dan asam linolenat adalah : (1) untuk kekuatan
membran sel, (2) untuk membantu transport dan metabolisme kolesterol sehingga dapat
menurunkan kadar kolesterol darah, (3) mengatur produksi enzim, yang dibutuhkan untuk sintesa
asam lemak non esensial dalam hati, (4) meningkatkan imunitas dan mencegah kerentanan
terhadap infeksi, merupakan prekursor komponen aktif prostaglandin yang dibutuhkan dalam
semua jaringan tubuh dan aktivitasnya mempengaruhi tekanan darah, pembekuan darah dan
fungsi jantung (Schlenker dan Sara, 2007).
Kandungan serat pada tempe meningkat tujuh kali dibanding pada kedelai, oleh karena
pertumbuhan miselium Rhizopus.
Dalam serat juga terrkandung saponin yang mampu
menghambat penyerapan kolesterol (Ghozali, 2009).
Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat (yang
mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam fitat, mineralmineral tertentu seperti besi, kalsium, magnesium, dan seng
menjadi lebih tersedia untuk
dimanfaatkan tubuh. Ditegaskan oleh Astuti (1992) yang menguji distribusi Fe, Cu dan Zn pada
sel tikus dan ternyata mineral tersebut jauh lebih tinggi pada tikus yang diberi tempe dibanding
yang diberi kasein atau kedelai.
Tempe mengandung cukup tinggi vitamin B12,
yang berkorelasi
negatif dengan
homosistein serum, kadar homosistein memicu peningkatan hidrogen peroksida sehingga
menimbulkan resiko kerusakan sel endotel dan timbulnya platelet pada pembuluh darah yang
akan mengakibatkan stroke atau PJK (Utari, 2011).
Dibandingkan dengan kedelai sebagai bahan bakunya, tempe mempunyai beberapa
keunggulan dalam mutu gizi. Proses fermentasi selain menjadikan nilai gizi tempe meningkat,
menghilangkan bau langu yang terdapat dalam kedelai menjadi aroma khas tempe. Tempe
mempunyai tekstur seluler yang unik sehingga mudah dicerna dan diserap. Disamping itu tempe
juga mempunyai kandungan zat berkhasiat antibiotik dan stimulasi pertumbuhan. Enzim fitase
yang dihasilkan oleh kapang akan menguraikan asam fitat, membebaskan fosfor dan biotin
sehingga dapat dimanfaatkan tubuh. Penyerapan mineral yang tadinya terganggu oleh adanya
asam fitat menjadi lebih baik (Ridwan, 1997).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, PJK di
Indonesia meningkat tajam sebagai penyebab kematian utama. Hal ini terjadi karena terjadinya
perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat.
Perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat akhir-akhir ini yang cenderung
banyak mengkonsumsi makanan berlemak, terutama yang mengandung asam lemak jenuh.
Asupan makanan dengan kandungan kolesterol tinggi yang berlangsung secara terus menerus
mengakibatkan peningkatan kadar kolesterol LDL dalam darah.
Kolesterol LDL rentan
teroksidasi, dan dapat menimbulkan proses inflamasi, yang menginduksi pengeluaran IL-6, yang
kemudian dapat berlanjut dengan timbulnya aterosklerosis. F2-Isoprostan merupakan produk
akhir dari peroksidasi lipid, dan merupakan prediktor dini pada aterogenesis awal. Pengukuran
TAC adalah pengukuran stres oksidatif yang akurat.
Antioksidan
adalah
senyawa
yang
dapat
mencegah
stres
oksidatif,
dengan
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan mencegah terbentuknya radikal bebas.
Antioksidan mempunyai mekanisme untuk menetralkan kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal
bebas. Mekanisme tersebut diperankan oleh jaringan antioksidan, yang dalam bekerjanya saling
menopang dalam jaringan kerjasama antar antioksidan. Oleh karena itu diperlukan konsumsi
bahan makanan yang kaya akan komponen antioksidan dalam jumlah yang memadai, agar
mampu menginduksi kerja enzim antioksidan dalam tubuh, sehingga mampu menekan kerusakan
sel yang berlebihan dan mempertahankan status antioksidan seluler.
Sehingga ditegaskan
apabila akan mengkonsumsi antioksidan dalam bentuk suplemen makanan, sebaiknya juga
dipastikan bahwa suplemen makanan tersebut mengandung antioksidan vitamin A, vitamin E,
vitamin C, Se dan dilengkapi dengan Omega-3 dan Omega-6.
Pangan fungsional kombinasi tempe M-2 dengan wortel merupakan kombinasi makanan
(diet food combining) yang sangat serasi, satu dengan yang lain saling bersinergi dalam
meningkatkan aktivitas zat-zat bioaktif yang dikandungnya, utamanya sama-sama bergizi tinggi
dan merupakan sumber antioksidan, yang berperan sebagai antiaterosklerosis, sehingga
memberikan harapan dalam upaya pencegahan PJK.
Tempe M-2 adalah sumber antioksidan yang sangat baik, seperti protein, vitamin E,
Omega-3, vitamin B2, Zn, Cu, Se dan isoflavon. Disamping itu tempe M-2 kaya akan substansi
aktif yang berperan sebagai hipokolesterolemik dan antiinflamasi seperti niasin, susunan asam
amino yang lengkap (cukup mengandung arginin dan rendah metionin), ergosterol, fitoestrogen,
vitamin B kompleks, enzim (protease, lipase, amilase, glikosidase, SOD) dan hormon tiroksin.
Isoflavon berperan sebagai antiinflamasi, antimutagenik dan dapat meningkatkan aktivitas enzim
katalase dan glutation peroksidase.
Wortel mengandung antioksidan Se, vitamin C, dan B2, serta yang paling penting adalah
wortel kaya antioksidan beta karoten (provitamin A). Aktifitas antioksidan wortel melengkapi
aktifitas antioksidan tempe M-2, seperti beta karoten berinteraksi dengan vitamin E sebagai
antioksidan dalam beraktivitas di membran sel, retikulum endoplasma dan lisosom. Beta
karoten meningkatkan aktivitas katalase.
Beta karoten sebagai antioksidan sangat baik, karena
kemampuan beta karoten untuk meredam radikal singlet oksigen peroxyl.
3.2
Konsep
Berdasarkan kerangka berpikir di atas dibuat kerangka konsep penelitian seperti Gambar
3.1.
Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel
(mengandung Antidislipid, Antioksidan dan Antiinflamasi )
(Variabel bebas)
Internal
Umur,
Jenis Kelamin,
dan Berat Badan
Eksternal
Antidislipid,
Antioksidan,
dan Antiinflamasi
Tikus Wistar Aterosklerosis
HDL , TAC ,
LDL , F2-Isoprostan , dan IL-6
Tikus Wistar tanpa Aterosklerosis
HDL , TAC ,
LDL , F2 -Isoprostan , dan IL-6
(variabel tergantung)
Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian
Keterangan :
= peningkatan,
= penurunan, HDL = High Density Lipoprotein,
TAC = Total Antioxidant Capacity, LDL = Low Density Lipoprotein,
IL-6 = Interleukin-6, Tempe M-2 = tempe kedelai dua kali modifikasi proses
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dibuat hipotesis sebagai berikut :
1.
Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan
kombinasi tempe M-2 dengan
wortel lebih tinggi dibandingkan dengan tikus Wistar
aterosklerosis diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel.
2. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan
kombinasi tempe M-2 dengan
wortel lebih tinggi dibandingkan dengan tikus Wistar
aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2.
3. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan
kombinasi tempe M-2 dengan
wortel lebih tinggi dibandingkan dengan tikus Wistar
aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan wortel.
4. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan
diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih rendah dibandingkan dengan
tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel.
5. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan
diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih rendah dibandingkan dengan
tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2.
6. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus
diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan
Wistar
aterosklerosis
wortel lebih rendah
dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan wortel.
7. Ada pengaruh interaksi antara perlakuan tempe M-2 dengan wortel terhadap kadar TAC
serum, F2-Isoprostan urine, dan IL-6 plasma tikus Wistar aterosklerosis.
8. Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel mengakibatkan perubahan disfungsi
endotel aorta pada tikus aterosklerosis.
9. Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel mengakibatkan perubahan pH urine pada
tikus aterosklerosis.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimen sungguhan (true experimental) dengan
rancangan The Randomized Post-test Only Control Group Design dan Rancangan Acak Lengkap
pola Faktorial (Leedy,1974). Bagan rancangan dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada penelitian
ini juga dilaksanakan penelitian deskritif untuk mengetahui perubahan histopatologi aorta dan
pH urine.
P
RS
RA
KN
X1
KP
X2
T
X3
W
X4
TW
X5
Gambar 4.1
Rancangan Penelitian
Keterangan :
P
: Populasi sampel
RS
: Random sampling
RA
: Random alokasi
KN
: Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari)
KP
: Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari)
T
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari)
W
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari)
TW : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari),
dan wortel (20 g/kg bb/hari)
X1
X2
X3
X4
X5
:
:
:
:
:
rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada KN
rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada KP
rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada T
rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada W
rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada TW
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan
di Unit Pemeliharaan Hewan Percobaan (UPHP)
Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
untuk perlakuan dengan
hewan percobaan, kemudian dilanjutkan dengan analisis HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, IL-6,
pH urine dan uji histopatologi aorta dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Udayana. Waktu penelitian dilakukan bulan Desember 2011 sampai bulan
Oktober 2012.
4.3 Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
1. Populasi target pada penelitian eksperimental adalah seluruh tikus putih jantan Wistar dalam
proses aterosklerosis.
2. Populasi terjangkau adalah meliputi tikus putih jantan Wistar dalam proses aterosklerosis,
dengan berat badan 250 g sampai dengan 300 g, berumur tujuh bulan sampai dengan tujuh
setengah bulan.
4.3.2 Sampel
1. Kriteria inklusi sampel adalah tikus putih jantan Wistar berumur dua bulan, dengan berat
badan 250 g sampai dengan 300 g, sehat, tidak cacat fisik serta makan dan minum dengan
normal.
2. Kriteria eksklusi sampel adalah tikus putih jantan Wistar dengan kondisi sakit.
3. Kriteria drop out sampel adalah selama penelitian tikus putih jantan Wistar mati.
4.3.3 Besaran Sampel
Besaran sampel adalah jumlah sampel yang akan dipakai dalam penelitian mengikuti
prosedur yang dilakukan oleh Federer (1963 dalam Rochiman, 1989) yaitu dihitung berdasarkan
rumus :
(t - 1)(r -1) ≥ 15
Keterangan :
t
r
: banyaknya perlakuan
: ulangan
Dalam penelitian ini t = 5, sehingga menjadi: (5-1)(r-1) ≥ 15, dengan memakai rumus
tersebut diperoleh r =
4,75 , sehingga dalam penelitian ini jumlah sampel minimal yang
digunakan adalah 5 x 5 = 25 ekor tikus.
4.4.
Variabel
4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel
(1) Variabel bebas
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah : pemberian makanan standar/pellet
(50 g/kg bb/hari); pemberian makanan aterogenik (minyak babi : pellet (1: 9)); pemberian
makanan aterogenik (minyak babi : pellet (1: 9)) serta tempe M-2(20 g/kg bb/hari); pemberian
makanan aterogenik (minyak babi (1: 9)) serta wortel (20 g/kg bb/hari); pemberian makanan
minyak babi : pellet (1: 9), serta kombinasi tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) dan wortel (20 g/kg
bb/hari) pada tikus dalam proses aterosklerosis.
(2) Variabel Tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar HDL serum, TAC serum, HDL
serum, LDL serum, F2-Isoprostan urine, dan IL-6 plasma.
(3) Variabel Kendali
Variabel kendali adalah variabel yang dikendalikan, meliputi jenis tikus, jenis kelamin
tikus, kesehatan fisik tikus, umur tikus, berat badan, makanan dan minuman. Faktor yang lain
seperti jenis dan ukuran kandang, waktu pemberian makan, dan lingkungan kandang juga
diseragamkan.
4.4.2 Definisi operasional variabel
Untuk keseragaman penelitian, maka variabel penelitian ini perlu didefinisikan sebagai
berikut :
1. Tempe M-2 : tempe modifikasi yang dihasilkan dari proses pembuatan tempe kedelai lokal
varietas Wilis (dari petani Kusamba, Klungkung), yang pada saat perebusan I
kacang
kedelai, kedelai dengan air rebusan yang sudah ditambah asam laktat (teknis) 1 % (v/v)
kemudian direbus selama 30 menit, didinginkan 30 menit, setelah itu dibersihkan kulit luar
dan kulit arinya dan dicuci bersih. Kemudian direbus lagi seperti perlakuan perebusan I
selama 30 menit. Setelah itu ditiriskan, didinginkan, dan terakhir dilaksanakan inokulasi
dengan menggunakan inokulum Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae dengan
perbandingan 2 : 1, sejumlah 3 g/kg kedelai, dan difermentasi selama 48 jam.
2. Wortel adalah wortel varietas lokal dari perkebunan wortel di daerah Pupuan Tabanan.
3. Kapasitas Antioksidan Total adalah kadar total antioksidan yang terkandung dalam darah
tikus Wistar. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode Elisa (Biovision, 2012).
4. Kadar F2-Isoprostan adalah kadar F2-Isoprostan yang terkandung dalam urin tikus Wistar.
Pengambilan urin dilakukan dengan cara menampung urin masing-masing tikus selama satu
malam, yang ditampung dengan wadah khusus, yang diberi penyaring. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan metode Elisa
(Biovision, 2012).
5. Interleukin-6 adalah kadar Interleukin-6 plasma darah tikus Wistar. Pemeriksaan dilakukan
dengan metode Elisa (Biovision, 2012).
6. Kerusakan jaringan aorta adalah perubahan struktur histopatologi jaringan aorta tikus Wistar
dengan pengamatan mikroskop pembesaran 200 kali dan pewarnaan HE (Haematoxylin
Eosin) (Muliartha et al., 2002).
7. pH urine adalah nilai pH urine tikus Wistar. Pemeriksaan dilakukan dengan pH-Indicator
Strips (pH 0-14), Universal Indicator, merck KgaA 64271 Demstadt, Germany.
8. Umur tikus adalah umur tikus yang dihitung berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran
yang sama.
9. Keseragaman pakan standar adalah makanan standar dari pakan standar Merk yang sama
yaitu Confeed Pars Pellet (Arjuna, 2003).
10. Pakan aterogenik adalah pakan tinggi kolesterol (makanan yang terdiri atas campuran 1%
otak babi kering, 5% kuning telur ayam matang, 10% lemak babi, 1% minyak kelapa, dan
83% makanan standar (Julyasih, 2011) yang diberikan sampai umur tikus tujuh bulan. Untuk
mempercepat proses aterosklerosis tikus diberikan injeksi inisial adrenalin 0.006 mg/200 g
bb sekali, dan dilanjutkan dengan pemberian (dengan zonde) diet kuning telur mentah 5
g/200 g bb/hari selama seminggu (Prasetyo, 2003).
penelitian (50 g/kg bb/hari) adalah
campuran
Pemberian pakan aterogenik dalam
minyak
babi dengan
pellet pakan
standar (1 : 9) (Prasetyo, 2003; Wahyuni, 2011).
11. Air minum yang dipakai adalah air minum isi ulang.
12. LDL adalah kadar kolesterol-LDL tikus yang dihitung deng an
metode Elisa
untuk
kadarnya dalam serum (Biovision, 2012).
13. HDL adalah kadar kolesterol-HDL tikus yang dihitung dengan metode Elisa untuk kadarnya
dalam serum (Biovision, 2012).
14. Aterosklerosis adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan LDL
dan penurunan HDL, sebesar minimal dua kali kadar LDL dan HDL tikus normal (Prasetyo
et al., 2003).
4.5. Bahan dan Alat Penelitian
4.5.1 Bahan penelitian
Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tempe M-2, wortel, pakan
aterogenik, minyak babi, adrenalin, kuning telur dan Kit, serta bahan lain untuk pemeriksaan
LDL, HDL, TAC, F2-Isoprostan , dan IL-6, serta parafin, HE (Haematoxylin Eosin) dan bahan
untuk pembuatan histopatologi aorta.
4.5.2 Alat Penelitian
Alat yang digunakan adalah alat suntik, timbangan hewan, timbangan analitik, zonde
tikus, pipet kapiler, hematokrik, Elisa, microtube, micropipette, sentrifuge, vortex,
alat bedah tikus, dan mikroskop.
well plate,
4.6 Prosedur penelitian
Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur penelitian
yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.2.
Tikus Putih Jantan Wistar (60 ekor )
Aklimatisasi dan Pemberian Pakan Standar ( 1 minggu )
Diit Pakan Aterogenik ( 21 minggu )
Pemeriksaan HDL, LDL
Tikus
Tikus Putih
Putih Jantan
Jantan Wistar
Wistar dalam
dalam Proses
proses Aterosklerosis
aterosklerosis
25 ekor Tikus Wistar
Perlakuan KN, KP, T, W, dan TW ( 13 minggu )
Pemeriksaan HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, IL-6, pH urine dan
Hispatologi Aorta (posttest )
Analisis Statistika
Simpulan Penelitian
Keterangan :
KN
KP
T
: Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari)
: Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari)
W
TW
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari),
dan wortel (20 g/kg bb/hari)
4.7 Analisis Statistik
Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan SPSS 19 for
Windows (Trihendradi, 2011) dan (Permana, 2007) sebagai berikut :
1. Analisis deskritif. Data ditabulasi dan dihitung rerata kadar HDL, TAC, LDL, F2-Isoprostan
dan Interleukin-6 pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sesudah perlakuan,
dengan SPSS 19 (Trihendradi, 2011).
2. Uji komparabilitas. Uji ini dilakukan untuk membandingkan rerata data
posttest. Uji
komparabilitas yang dipakai adalah Simple Factorial Anova dengan Excel 2007 (Permana,
2007).
3. Apabila terdapat perbedaan bermakna di antara perlakuan pada uji anova, maka dilanjutkan
dengan : Multiple Comparation t-test Independent.
BAB V
HASIL PENELITIAN
Setelah mendapatkan data hasil penelitian, selanjutnya melakukan uji deskritif, uji
normalitas Kolmogorov-Smirnov maupun Shapiro-Wilk dengan SPSS 19 (Trihendradi, 2011).
Uji normalitas data bertujuan untuk membuktikan distribusi data dalam suatu variabel yang akan
digunakan dalam penelitian.
Data yang baik dan layak untuk membuktikan model-model
penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal. Hasil uji normalitas KolmogorovSmirnov maupun Shapiro-Wilk semua data hasil penelitian menunjukkan nilai p > α, berarti
semua data berdistribusi normal, ditampilkan pada Lampiran 3.
Selanjutnya, melakukan uji homogenitas Levene’s test. Uji homogenitas membuktikan
varian antar kelompok adalah sama. Data yang baik dan layak untuk membuktikan model-model
penelitian adalah data yang memiliki varian yang homogen. Hasil uji homogenitas varian untuk
semua kelompok penelitian menunjukkan varian antar kelompok adalah sama (p > α),
ditampilkan pada Lampiran 3.
5.1 Kadar HDL serum dan TAC serum Tikus Wistar.
5.1.1 Kadar HDL serum Tikus Wistar
Rata-rata kadar HDL serum tertinggi terdapat pada perlakuan pakan aterogenik dan
kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 68,640 ± 0,50 mg/dL, rata-rata kadar HDL
pada perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2 (T) sebesar 49,646 ± 2,87 mg/dL, sedang
pada perlakuan pakan aterogenik dengan wortel (W) sebesar 44,31 ± 2,67 mg/dL, kemudian pada
perlakuan pakan standar (kontrol negatif/KN) yaitu 37,080 ± 0,48 mg/dL, dan terendah pada
perlakuan pakan aterogenik (kontrol positif/KP) dengan rata-rata kadar HDL serum yaitu 28,684
± 3,32 mg/dL, disajikan pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1
Kadar HDL serum Tikus Wistar pada Perlakuan KN, KP, T, W dan TW
Keterangan :
KN
KP
T
W
TW
: Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari)
: Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari),
dan wortel (20 g/kg bb/hari)
Rata-rata HDL dengan huruf yang tidak sama berbeda sangat nyata pada taraf 1%.
Analisis keragaman kadar HDL serum menggunakan uji Anova dengan Excel 2007
(Permana, 2007).
Hasil analisis keragaman kadar HDL serum tikus Wistar menunjukkan
perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan. Kombinasi tempe M-2 dengan
wortel menunjukkan pengaruh interaksi
yang tidak bermakna (p > 0,05), disajikan pada
Tabel 5.1.
Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel ditetapkan hipotesis pada pengamatan
kadar HDL sebagai berikut :
1. Kadar HDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi
tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet
aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel (KP/Kontrol Positif).
2. Kadar HDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi
tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet
aterogenik dengan tempe M-2 (T).
3. Kadar HDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi
tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet
aterogenik dengan wortel (W).
Tabel 5.1
Analisis Keragaman Kadar HDL Serum Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan Tempe
M-2 dan Wortel
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F.
Hitung
Sig
P
Ulangan
4
40.29896
10.07474
1.995786
NS
0.144
3.007
4.77
Perlakuan
4
4496.744
1124.186
222.6991
**
0.000
3.007
4.77
KN Vs KP
1
457.5321
457.5321
90.63622
**
0.000
4.494
8.53
Perlk TW
3
4039.212
1346.404
266.72
**
0.000
3.239
5.29
T
1
2543.866
2543.866
503.9349
**
0.000
4.494
8.53
W
1
1482.642
1482.642
293.7085
**
0.000
4.494
8.53
TxW
1
12.70418
12.70418
2.516673
NS
0.000
4.494
8.53
Galat
Total
KK = 4.9 %
16
24
80.76808
4617.811
5.048005
192.4088
-
Keterangan : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01)
NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
F. Tabel
5%
1%
Jadi dari Gambar 5.1 dan Tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa rata-rata kadar HDL
perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan nilai yang paling tinggi dan
menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) dibandingkan dengan perlakuan KP,
W maupun T. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 1, hipotesis 2, dan hipotesis 3 pada
pengamatan kadar HDL.
5.1.2 Kadar Kapasitas Antioksidan Total (TAC) serum Tikus Wistar.
Rata-rata kadar TAC serum tertinggi terdapat pada kombinasi tempe M-2 dengan wortel
(TW) yaitu 1,454 ± 0,01 nM/mL, pada perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2 (T)
yaitu 0,866 ± 0,04 nM/mL, pada perlakuan pakan aterogenik dengan wortel (W) yaitu 0,646 ±
0,02 nM/mL, kemudian pada perlakuan kontrol negatif (KN) hanya dengan pakan standar yaitu
0,560 ± 0,02 nM/mL, dan terendah pada kontrol positif (KP) hanya dengan pakan aterogenik
yaitu 0,444 ± 0,03 nM/mL, disajikan pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2
Kadar TAC serum Tikus Wistar pada Perlakuan KN, KP, T, W dan TW.
Keterangan :
KN
: Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari)
KP
T
W
TW
: Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari),
dan wortel (20 g/kg bb/hari)
Rata-rata TAC dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 1%.
Analisis keragaman kadar TAC serum menggunakan uji Anova dengan Excel 2007
(Permana, 2007). Hasil analisis keragaman kadar TAC serum tikus Wistar menunjukkan
perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe M-2 dengan
wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01), disajikan pada Tabel
5.2.
Tabel 5.2
Analisis Keragaman Kadar TAC serum Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan Tempe
M-2 dan Wortel
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F.
Hitung
Sig
p
F. Tabel
5%
1%
Ulangan
4
0.00412
0.00103
2.070352
NS
0.133
3.01
4.77
Perlakuan
4
3.19972
0.79993
1607.899
**
0.000
3.01
4.77
KN Vs KP
1
0.34223
0.34223
687.8894
**
0.000
4.49
8.53
Perlk TW
3
2.8575
0.9525
1914.57
**
0.000
3.24
5.29
T
1
1.89113
1.89113
3801.256
**
0.000
4.49
8.53
W
1
0.78012
0.78012
1568.09
**
0.000
4.49
8.53
TxW
1
0.18625
0.18625
374.3618
**
0.000
4.49
8.53
Galat
Total
KK = 2.81%
16
24
0.00796
3.2118
0.0005
0.13383
-
Keterangan : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01)
NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel disebutkan hipotesis pada
pengamatan kadar TAC sebagai berikut :
1. Kadar TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe
M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan pakan standar
(KN/Kontrol Negatif), dengan yang diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun
wortel (KP).
2. Kadar TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe
M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik
dengan tempe M-2 (T).
3. Kadar TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe
M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik
dengan wortel (W).
4. Ada pengaruh interaksi antara perlakuan tempe M-2 dengan wortel (TW) terhadap kadar
TAC serum tikus Wistar aterosklerosis.
Jadi dari Gambar 5.2 dan Tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa :
1. Rata-rata kadar TAC perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan nilai
yang paling tinggi dan menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01)
dibandingkan dengan perlakuan KN, KP, T maupun W.
2. Kombinasi tempe M-2
dengan wortel dapat meningkatkan kadar TAC secara sangat
bermakna (p < 0,01).
3. Ada pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01) antara perlakuan tempe M-2 dengan
wortel terhadap kadar TAC serum tikus Wistar aterosklerosis
4. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 1, hipotesis 2, hipotesis 3 dan hipotesis 7 pada
pengamatan kadar TAC.
5.2 Kadar LDL serum, F2-Isoprostan urine, dan IL-6 plasma Tikus Wistar.
5.2.1 Kadar LDL serum Tikus Wistar
Rata-rata kadar LDL serum terendah terdapat pada perlakuan pakan aterogenik dengan
kombinasi tempe M-2
dengan wortel (TW) yaitu 20,718 ± 1,33 mg/dL, pada perlakuan
aterogenik dengan tempe (T) yaitu 24,15 ± 0.90 mg/dL,
dengan wortel (W) yaitu 28,054 ± 1,52 mg/dL, pada
pada perlakuan pakan aterogenik
perlakuan kontrol negatif (KN) dengan
pakan standar yaitu 33,922 ± 0,92 mg/dL, perlakuan pakan aterogenik (kontrol positif) yaitu
39,014 ± 2,43 mg/dL, dan disajikan pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3
Kadar LDL pada Perlakuan KN, KP, T,W dan TW.
Keterangan :
KN
KP
T
W
TW
: Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari)
: Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari),
dan wortel (20 g/kg bb/hari)
Rata-rata LDL dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 1%.
Analisis keragaman kadar LDL serum menggunakan uji Anova dengan Excel 2007
(Permana, 2007).
Hasil analisis keragaman kadar LDL serum tikus Wistar menunjukkan
perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe M-2 dengan
wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01), disajikan pada Tabel
5.3.
Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel disebutkan hipotesis pada
pengamatan kadar LDL sebagai berikut :
1. Kadar LDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe
M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan pakan standar
(KN/Kontrol Negatif), dengan yang diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun
wortel (KP/Kontrol Positif).
2. Kadar LDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe
M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik
dengan tempe M-2 (T).
3. Kadar LDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe
M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik
dengan wortel (W).
Tabel 5.3
Analisis Keragaman Kadar LDL serum Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan Tempe
M-2 dan Wortel.
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F.
Hitung
Sig
p
F. Tabel
5%
1%
Ulangan
4
5.1729
1.293224
0.499
NS
0.737
3.01
4.77
Perlakuan
4
1086.8399
271.70998
104.768
**
0.000
3.01
4.77
KN Vs KP
1
141.03938
141.03938
54.383
**
0.000
4.49
8.53
Perlk TW
3
945.80056
315.26685
121.562
**
0.000
3.24
5.29
T
1
616.05
616.05
237.54
**
0.000
4.49
8.53
W
1
258.91208
258.91208
99.833
**
0.000
4.49
8.53
TxW
1
70.83848
70.83848
27.314
**
0.000
4.49
8.53
Galat
Total
KK = 5.52%
16
24
41.4953
1133.5081
2.59346
47.22951
Keterangan : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01)
NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
Jadi dari Gambar 5.3 dan Tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa :
1. Rata-rata kadar LDL perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan nilai
yang paling rendah dan menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01)
dibandingkan dengan perlakuan KN, KP, T maupun W.
2. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat menurunkan kadar LDL secara sangat bermakna
(p < 0,01).
3. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 4, hipotesis 5, dan hipotesis 6 pada pengamatan
kadar LDL.
5.2.2 Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar.
Rata-rata kadar F2-Isoprostan urine terendah pada perlakuan pakan aterogenik dengan
kombinasi tempe M-2
dengan wortel (TW) yaitu 0,720 ± 0,065 ng/dl,
pada perlakuan
aterogenik dengan tempe (T) yaitu 0,964 ± 0.527 ng/dl, pada perlakuan pakan aterogenik dengan
wortel (W) yaitu 2,054 ± 1,555 ng/dl, pada perlakuan pakan standar (kontrol negatif/KN) yaitu,
3,034 ± 0,07 ng/mL, dan tertinggi pada perlakuan pakan aterogenik (kontrol positif/KP) yaitu
5,264 ± 0,07 ng/mL, dan disajikan pada Gambar 5.4.
Analisis keragaman kadar F2-Isoprostan urine tikus menggunakan uji Anova dengan
Excel 2007 (Permana, 2007). Hasil analisis keragaman kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar
menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe
M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01), disajikan
pada Tabel 5.4.
Gambar 5.4
Kadar F2-Isoprostan pada Perlakuan KN, KP, T,W dan TW
Keterangan :
KN
: Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari)
KP
T
W
TW
: Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari),
dan wortel (20 g/kg bb/hari)
Rata-rata F2-Isoprostan dengan huruf yang tidak sama berbeda sangat nyata pada taraf 1%.
Tabel 5.4
Analisis Keragaman Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan
Tempe M-2 dan Wortel
Sumber
Keragaman
Derajat
Bebas
Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
Tengah
F.
Hitung
Sig
p
Ulangan
4
0.007664
0.001916
0.119743
NS
0.973
3.0069
4.7726
Perlakuan
4
68.04202
17.01051
1063.09
**
0.000
3.0069
4.7726
KN Vs KP
1
2.455489
2.455489
153.4585
**
0.000
4.494
8.531
Keterangan
sangat
bermakna
(p < 0,01)
Perlk TW: ** berbeda
3
65.58654
21.86218
1366.301
NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
**
0.000
3.2389
5.2922
**
0.000
4.494
8.531
T
W
1
39.67745
39.67745
2479.685
F. Tabel
5%
1%
1
14.91265 tempe
14.91265
931.9821
** disebutkan
0.000 4.494
8.531
Pada perlakuan
kombinasi
M-2 dengan
wortel
hipotesis
pada
TxW
1
10.99645
10.99645
Galat
Total
16
24
0.256016
68.3057
0.016001
2.846071
687.2349
pengamatan kadar F2-Isoprostan urine sebagai berikut :
**
0.000
4.494
8.531
KK=5,26 %
Keterangan : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01)
NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel disebutkan hipotesis pada
pengamatan kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar sebagai berikut :
1. Kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi
tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan pakan
standar (KN/Kontrol Negatif ), dengan yang diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2
maupun wortel (KP/Kontrol Positif).
2. Kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi
tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet
aterogenik dengan tempe M-2 (T).
3. Kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi
tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet
aterogenik dengan wortel (W).
4. Ada pengaruh interaksi pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) terhadap
kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis.
Jadi dari Gambar 5.4 dan Tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa :
1. Rata-rata kadar F2-Isoprostan perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan
nilai yang paling rendah dan menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01)
dibandingkan dengan perlakuan KN, KP, T maupun W.
2. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat menurunkan kadar F2-Isoprostan secara sangat
bermakna (p < 0,01).
3. Ada pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01) antara perlakuan tempe M-2 dengan
wortel terhadap kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis.
4. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 4, hipotesis 5, hipotesis 6 dan hipotesis 7 pada
pengamatan kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar.
5.2.3 Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar.
Rata-rata kadar IL-6 plasma tikus terendah pada perlakuan pakan aterogenik dan
kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 35,328 ± 1,000 pg/dl, pada perlakuan pakan
aterogenik dengan tempe M-2 (T) yaitu 39,758 ± 1,64 pg/dl, pada perlakuan pakan aterogenik
dengan wortel yaitu 49,668 ± 1,440 pg/dl, pada perlakuan pakan standar (kontrol negatif) yaitu,
168,85 ± 11,29 pg/mL, tertinggi pada perlakuan pakan aterogenik (kontrol positif) yaitu 222,668
± 10,56 pg/mL, dan disajikan pada Gambar 5.5.
Gambar 5.5
Kadar IL-6 plasma pada Perlakuan KN, KP, T,W, dan TW.
Keterangan :
KN
KP
T
W
TW
: Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari)
: Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari)
: Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari),
dan wortel (20 g/kg bb/hari)
Rata-rata IL-6 dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 1%.
Analisis keragaman kadar IL-6 plasma tikus menggunakan uji Anova dengan Excel 2007
(Permana, 2007).
Hasil analisis keragaman kadar IL-6 plasma tikus Wistar menunjukkan
perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe M-2
dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01), disajikan pada
Tabel 5.5.
Tabel 5.5
Analisis Keragaman Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan Tempe
M-2 dan Wortel
Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
F.
F. Tabel
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
Hitung
Sig
p
5%
1%
Ulangan
4
73.63326
18.40831
0.32527
NS
0.857
3.01
4.77
Perlakuan
4
150398.4
37599.6
664.369
**
0.000
3.01
4.77
KN Vs KP
1
26892.39
26892.39
475.177
**
0.000
4.49
8.53
Perlk TW
3
123506
41168.67
727.432
**
0.000
3.24
5.29
T
1
48634.45
48634.45
859.35
**
0.000
4.49
8.53
W
1
39351.76
39351.76
695.328
**
0.000
4.49
8.53
TxW
1
35519.81
35519.81
627.619
**
0.000
4.49
8.53
Galat
Total
KK = 7.29%
16
24
905.5119
151377.6
56.59449
6307.398
-
Keterangan : : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01)
NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05)
Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel disebutkan hipotesis pada
pengamatan kadar IL-6 sebagai berikut :
1. Kadar IL-6 tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2
dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan pakan standar
(Kontrol Negatif/KN), dengan yang diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun
wortel (Kontrol Positif/KP).
2. Kadar IL-6 tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2
dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik
dengan tempe M-2 (T).
3. Kadar IL-6 tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2
dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik
dengan wortel (W).
4. Ada pengaruh interaksi pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) terhadap
kadar IL-6 tikus Wistar aterosklerosis.
Jadi dari Gambar 5.5 dan Tabel 5.5 dapat disimpulkan bahwa :
1. Rata-rata kadar IL-6 perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan nilai yang
paling rendah dan menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) dibandingkan
dengan perlakuan KN, KP, T maupun W.
2. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat menurunkan kadar IL-6 secara sangat bermakna
(p < 0,01).
3. Ada pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01) antara perlakuan tempe M-2 dengan
wortel terhadap kadar IL-6 plasma tikus Wistar aterosklerosis.
4. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 4, hipotesis 5, hipotesis 6 dan hipotesis 7 pada
pengamatan kadar IL-6.
5.3 Perubahan Struktur Histopatologi Jaringan AortaTikus Wistar
Perubahan struktur histopatologi jaringan aorta tikus Wistar dengan pembesaran 200 kali
dan pewarnaan HE (Haematoxylin Eosin), dari adanya proses aterosklerosis hingga normal
(Posttest), ditampilkan pada Gambar 5.6.
Melihat perbedaan keberadaan aterosklerosis pada aorta dengan ketentuan sebagai
berikut : (1) katagori 1 adalah aorta tanpa aterosklerosis (tanpa disfungsi endotel dan bercak
perlemakan), (2) katagori 2 adalah aorta dengan aterosklerosis ringan (terdapat disfungsi endotel
dan bercak perlemakan pada sebagian kecil jaringan aorta), dan katagori 3 adalah aorta dengan
aterosklerosis berat (terdapat disfungsi endotel merata pada semua jaringan aorta dan terdapat
banyak bercak perlemakan).
Gambar 5.6
Perubahan Gambaran Struktur Histopatologi Aorta Tikus Wistar dengan pewarnaan HE dan
pembesaran 200 x.
a. Pada Perlakuan Aterogenik/Kontrol Positif/KP
b. Pada Perlakuan Pakan Standar/Kontrol Negatif/KN
c. Pada Perlakuan Aterogenik dengan Wortel/W
d. Pada Perlakuan Aterogenik dengan Tempe M-2/T
e. Pada Perlakuan Aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel/TW
Pada Gambar 5.6a menunjukkan aorta pada perlakuan pakan aterogenik/kontrol positif
(KP) yang paling banyak mengandung bercak perlemakan (fatty streak) (yang ditunjukkan
dengan tanda panah hitam), kemudian semakin berkurang kandungan bercak perlemakan (fatty
streak) pada perlakuan pakan standar /kontrol negatif (KN) (Gambar 5.6b), kemudian pada
perlakuan aterogenik dengan wortel (W) (Gambar 5.6c), kemudian pada perlakuan aterogenik
dengan tempe (T)(Gambar 5.6d), dan terakhir pada perlakuan aterogenik dengan kombinasi
tempe M-2 dengan wortel (TW) sudah tidak tampak adanya bercak perlemakan (fatty
streak)(Gambar 5.6e).
Pada perlakuan pakan aterogenik/kontrol positif/KP (Gambar 5.6a) maupun pada
perlakuan pakan standar/kontrol negatif/KN (Gambar 5.6b) hampir keseluruhan endotel
mengalami disfungsi (endotel terekspresi). Pada perlakuan aterogenik dan wortel (W) masih
nampak disfungsi endotel pada sebagian kecil jaringan aorta (Gambar 5.6c). Pada perlakuan
pakan aterogenik dengan tempe M-2 (T) masih nampak disfungsi endotel, tetapi lebih sedikit
daripada perlakuan W (Gambar 5.6d). Pada perlakuan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2
dengan wortel sudah tidak nampak adanya disfungsi endotel (Gambar 5.6e).
Gambar 5.7
Histopatologi Aorta Tikus Wistar Aterosklerosis
dengan Perlakuan Pakan Aterogenik/Kontrol Positif (KP)
dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x.
Pada Gambar 5.7 di atas terjadi perubahan struktur histopatologis aorta tikus dengan
perlakuan pakan aterogenik/Kontrol Positif/KP, termasuk katagori 3 karena nampak pada hampir
semua endotel terjadi disfungsi dan banyak terdapat bercak perlemakan (fatty streak) (tanda
panah hitam), dan sudah memperlihatkan sel-sel busa intima yang berasal dari makrofag (tanda
panah putih), dan memperlihatkan membran elastik interna dan eksterna telah rusak, dan tunika
media aorta sudah terlihat mulai menipis (tanda panah biru) (Kumar et al., 2007).
dinding endotel terjadi infiltrasi sel-sel monosit ke bawah
Pada
jaringan subendotel, sehingga
mengakibatkan kerusakan sel endotel dan mengalami inflamasi. Disfungsi endotel menimbulkan
perlekatan leukosit dan kemungkinan trombosis, selanjutnya akan meningkatkan penimbunan
lemak di dalam sel maupun di luar sel (Kumar et al, 2004). Dibandingkan dengan histopatologi
aorta perlakuan KN (Kontrol Negatif), yang masih termasuk katagori 3, tetapi
bercak
perlemakan lebih sedikit, seperti terlihat pada Gambar 5.8.
Gambar 5.8
Histopatologi Aorta tikus Wistar Aterosklerosis
dengan Perlakuan Pakan Standar/Kontrol Negatif (KN )
dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x.
Pada histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis
dengan perlakuan pakan
standar/Kontrol Negatif/KN masih terjadi perlekatan leukosit, trombosit, masih terdapat sel busa
(tanda panah putih), bercak perlemakan (tanda panah hitam), dan memperlihatkan bahwa
membran elastik interna dan eksterna telah rusak (tanda panah biru) (Kumar et al., 2007).
Histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan aterogenik
dengan wortel (W) (Gambar 5.9) termasuk kategori 2 karena masih terdapat sedikit
perlekatan/agregasi endotel dan bercak perlemakan (tanda panah hitam), masih terdapat sedikit
sel busa (tanda panah putih).
Histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan aterogenik
dengan tempe M-2 (Gambar 5.10) termasuk kategori 2 karena masih terdapat sangat sedikit
perlekatan/agregasi endotel (tanda panah putih) dan bercak perlemakan (tanda panah hitam),
tetapi sudah tidak nampak adanya sel busa.
Gambar 5.9
Histopatologi Aorta Tikus Wistar Aterosklerosis
dengan Perlakuan Pakan Aterogenik dengan Wortel (W)
dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x.
Gambar 5.10
Histopatologi Aorta Tikus Wistar Aterosklerosis dengan Perlakuan Pakan Aterogenik dengan
Tempe M-2/T, dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x.
Pada histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan aterogenik
dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) (Gambar 5.11) di bawah termasuk kategori 1
karena sudah tidak terjadi agregasi endotel (disfungsi endotel) dan bercak perlemakan. Sudah
tampak pembentukan endotel baru (tanda panah putih).
Gambar 5.11
Histopatologi Aorta Tikus Wistar dalam Proses Aterosklerosis dengan Perlakuan Pakan
Aterogenik dengan Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel (TW)
dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x.
5.4 Pemeriksaan Kenormalan pH Urine Tikus Wistar
Pemeriksaan kenormalan pH urine tikus Wistar dengan menggunakan alat pH Indicator
Strips, dan dengan ketentuan sebagai berikut : (1) katagori 1 adalah pH urine normal (pH ≥ 7),
dan (2) katagori 2 adalah pH urine tidak normal (pH < 7).
Hasil pemeriksaan kenormalan pH urine tikus Wistar yang termasuk katagori 1 adalah
pada perlakuan TW (perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel)
dengan hasil rata-rata pH urine sebesar 8, pada perlakuan T (perlakuan pakan aterogenik dengan
tempe M-2) dengan hasil rata-rata pH sebesar 7, dan pada perlakuan W (perlakuan pakan
aterogenik dengan wortel) dengan hasil rata-rata pH sebesar 7,5. Hasil pemeriksaan kenormalan
pH urine tikus Wistar
termasuk katagori 2 adalah pada perlakuan KN (perlakuan kontrol
negatif/perlakuan pakan standar) dengan hasil rata-rata pH sebesar 6,5, dan pada perlakuan KP
(perlakuan kontrol positif/ perlakuan pakan aterogenik) dengan hasil rata-rata pH sebesar 6.
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Subyek Penelitian
Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, jantan,
dewasa, aterosklerosis dislipidemia, berumur 7-7,5 bulan, dan dengan berat badan 250-300 g.
Penelitian ini menggunakan tikus Wistar, karena memiliki sifat-sifat yang mudah dipelihara,
merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Disamping itu
tikus memiliki keunggulan dibanding dengan hewan coba yang lain, adalah tidak dapat muntah,
karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esophagus bermuara ke dalam lambung, dan
tikus tidak mempunyai kandung empedu (Kusumawati, 2004).
Penelitian ini menggunakan sampel awal sebanyak 60 ekor tikus Wistar yang
mendapatkan perlakuan aterosklerosis dengan pakan tinggi kolesterol (Julyasih, 2011) selama
lima bulan, dilaksanakan analisa profil lipid di Instalasi Laboratorium Patologi Klinik Rumah
Sakit Sanglah, dengan hasil kolesterol total sebesar ±78,50 mg/dl, dan HDL sebesar ±58,29
mg/dl. Menurut standar protokol dalam penelitian laboratorik, kadar kolesterol total normal
tikus adalah 10-54 mg/dl, dan kadar HDL normal tikus adalah ±69 mg/dl (Kusumawati,2004;
Setyaji, 2011), maka tikus Wistar telah hiperkolesterol. Szmitko, et al.(2003) dan Kumar et al.
(2007b) menyebutkan bahwa aterosklerosis merupakan penyakit yang tumbuhnya lambat, selama
bertahun-tahun. Disebutkan oleh Miyamoto et al. (2006) bahwa kondisi dislipidemia saja tidak
cukup
memfasilitasi
terjadinya
aterosklerosis,
stress
oksidasi
lebih
proaterosklerosis
dibandingkan dengan dislipidemia saja tanpa stress oksidasi. Penelitian lebih lanjut menyatakan
bahwa LDL kecil (fenotip B) berkaitan dengan profil lipoprotein yang aterogenik, karena lebih
rentan terhadap oksidasi, karena mengandung asam lemak tidak jenuh jamak yang tinggi
dibandingkan kandungan antioksidan, lebih lama berada dalam sirkulasi, afinitas terhadap
proteoglikan sel endotel lebih besar sehingga mempermudah masuk ke dalam lapisan subendotel
dimana proses oksidasi LDL akan berlangsung (Chait, 1994), hal ini akan terjadi pada individu
dengan penurunan kolesterol HDL (Tribble, 1995; Freeman dan Junge, 2008).
Oleh karena itu
untuk menginduksi/mempercepat proses aterosklerosis, tikus Wistar diinjeksi inisial adrenalin
secara intravena 0,006 mg/200 g BB pada semua tikus pada hari pertama saja, dan hari
selanjutnya berturut-turut setiap hari selama seminggu diberikan/disonde diet kuning telur
mentah 5 g/200 g BB/hari (Prasetyo et al., 2003), selanjutnya dilaksanakan analisa kolesterol
HDL di Laboratorium Klinik Prodia Denpasar, dan hasilnya adalah sebesar ±16,9 mg/dl, ternyata
telah dislipid lebih dari setengah kali dari kandar HDL normal, dan disebutkan oleh Prasetyo (
2003)
bahwa tikus Wistar telah menunjukkan proses aterosklerosis tingkat awal.
Hal ini
dipertegas dengan hasil penelitian dari Wahyuni (2011) yang menunjukkan telah terjadinya
aterosklerosis karena asupan minyak babi selama 13 minggu. Penelitian telah siap dilaksanakan,
dipilih 25 ekor tikus Wistar, dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan (KN/kontrol
negatif/perlakuan pakan standar, KP/kontrol positif/perlakuan pakan aterogenik, T/perlakuan
pakan aterogenik dengan tempe M-2, W/perlakuan pakan aterogenik dengan wortel, dan
TW/perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel), dan pada setiap
kelompok terdapat 5 ulangan.
Sebelum penelitian dimulai, dilaksanakan penelitian pendahuluan selama seminggu untuk
penetapan dosis tempe M-2
dan wortel, yang diberikan pada pagi dan sore hari, sebelum
diberikan pakan standar maupun pakan aterogenik, didapatkan rata-rata habis makan tempe M-2
maupun wortel seberat 25 g/kg BB/hari.
Berdasarkan hasil penelitian dari Karyadi dan
Hermana (1995) menemukan dosis konsumsi tempe sebesar 150 g/hari, selama dua minggu
dapat menurunkan kolesterol, karena pada penelitian ini bertujuan untuk penanggulangan
aterosklerosis dan berdasarkan konversi perhitungan dosis pada Lampiran 2, maka ditetapkan
perlakuan dosis tempe M-2 seberat 20 g/kg BB/hari. Penetapan dosis wortel berdasarkan temuan
dari Muchtadi (2009) dan Sunita (2009) bahwa konsumsi beta karoten yang berasal dari tanaman
bersifat aman dan tidak akan memberikan efek toksik sampai 100.000 IU per hari, maka
ditetapkan perlakuan dosis wortel seberat 20 g/kg BB/hari .
6.2 Kadar HDL Serum dan TAC Serum Tikus Wistar
6.2.1 Kadar HDL Serum Tikus Wistar
Rata-rata kadar HDL serum tikus Wistar aterosklerosis tertinggi terdapat pada perlakuan
pakan aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 68,640 ± 0,50 mg/dL,
dan menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, berarti
kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat meningkatkan kadar HDL secara sangat bermakna
(p < 0,01). Hal ini sesuai dengan hipotesis 1, 2 dan 3. Kadar HDL serum tikus pada perlakuan
tempe M-2 memberikan pengaruh lebih tinggi 7,8 % dibandingkan dengan pengaruh kadar HDL
pada perlakuan wortel, pada perlakuan kombinasi pakan aterogenik dengan tempe M-2 dengan
wortel.
Hal ini sesuai dengan pendapat Alrasyid (2007) yang menyebutkan bahwa analisis
molekular dari isoflavon genistein tempe ternyata memperlihatkan struktur yang mirip dengan 17
β-estradiol, mendukung mekanisme kerja substansi ini dalam perbaikan profil lipid plasma (Kim
et al., 2000). Genistein (17 β-estradiol eksogen) secara tidak langsung mempengaruhi lipolisis
dengan memacu lipolytic enzyme hormone-sensitive lipase atau dengan meningkatkan efek
lipolitik dari epinefrin (Cooke et al., 2004). Disebutkan pula oleh Kumar et al. (2007b) bahwa
pada kasus dislipidemia kronis, membran sel jenuh akan kolesterol LDL, untuk itu tubuh akan
melakukan penyeimbangan kolesterol melalui pengambilan kolesterol dan membawanya ke
cairan ekstraselular untuk dibawa kembali ke hati (reserve cholesterol transport) oleh kolesterol
HDL, sehingga terjadi peningkatan produksi kolesterol HDL, yang didukung oleh zat-zat dalam
tempe yang diduga mempunyai sifat menormalkan lipid darah adalah protein, asam lemak
PUFA, serat, niasin, vitamin E, karotenoid, isoflavon dan
kalsium (Arsiniati, 1995; Johan,
2005). Disamping itu senyawa lain yang banyak disebut-sebut berefek menurunkan kandungan
kolesterol LDL adalah asam-asam lemak tidak jenuh seperti khususnya asam linolenat (Omega3), begitu juga kandungan asam oleat dan linoleat. Menurut Harlinawati (2006) niasin dapat
meningkatkan secara signifikan kandungan kolesterol HDL pada penderita jantung koroner serta
individu dengan kadar kolesterol HDL yang rendah. Ditegaskan pula oleh Mindell (2008) bahwa
komposisi asam amino tempe meningkatkan kadar kolesterol HDL, melalui peningkatan
glucagons darah (hormon yang dikeluarkan oleh pankreas), dapat mengubah kinerja HMG-KoA
reduktase (Coenzym A), yang sangat penting dalam mensintesa kolesterol HDL (Nawawi et al,
2003; Mindell, 2008).
Pektin yang terkandung dalam wortel berperan penting untuk menurunkan kadar
kolesterol LDL, serta meningkatkan kadar kolesterol HDL sehingga bermanfaat untuk mencegah
terjadinya aterosklerosis (Vallerie, 2009). Wortel merupakan sumber beta karoten yang terbaik.
Beta karoten memegang peranan penting dalam pembentukan protein, dibutuhkan dalam
membran mitokondria dalam level optimum untuk dapat merangsang aliran energi yang efisien
melalui mitokondria. Kebutuhan beta karoten dapat pula meningkat bila konsumsi protein kadar
tinggi (Linder, 1992; Parakkasi, 1999). Ditegaskan pula bahwa lesitin pada tempe meningkatkan
kadar karoten dalam hati, dan kandungan tiroid pada tempe meningkatkan daya guna beta
karoten.
Stimulasi tiroid dapat meningkatkan kebutuhan beta karoten (Parakkasi, 1999).
Ketersediaan beta karoten meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain (Sunita,
2009). Berbagai penelitian menemukan bahwa tokoferol (α atau γ) melindungi beta karoten dari
autooksidasi (Palozza dan Krinsk, 1992).
6.2.2 Kadar Kapasitas Antioksidan Total (TAC) serum Tikus Wistar.
Rata-rata kadar TAC serum tertinggi terdapat pada kombinasi tempe M-2 dengan wortel
yaitu 1,454 ± 0,01 nM/mL.
Hasil analisis keragaman kadar TAC serum tikus Wistar
menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p<0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe
M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p<0,01), yang dapat
disimpulkan bahwa kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat meningkatkan kadar TAC secara
sangat bermakna (p< 0,01) dan terdapat pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p<0,01). Hal
ini sesuai dengan hipotesis 1,2, dan 3 bahwa kadar TAC serum tikus Wistar lebih tinggi pada
perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel dibandingkan dengan perlakuan yang lain, dan
tempe M-2 memberikan pengaruh sebesar 59,56% lebih besar dari pengaruh wortel. Hal ini
disebabkan karena tempe M-2 adalah sumber antioksidan yang sangat baik, seperti protein,
vitamin E, Omega-3, vitamin B2, seng (Zn), tembaga (Cu), Selenium (Se), Fe, isoflavon, SOD
(Agung, 2002; Winarsi, 2007; Mindell, 2008; Sunita, 2009). Isoflavon tempe dapat
meningkatkan aktivitas enzim SOD, katalase dan glutation peroksidase (Winarsi, 2007).
Wortel mengandung antioksidan beta karoten sangat tinggi, sebesar 66 μg/g wortel. Diet
rendah karotenoid, tetapi cukup dalam semua zat gizi lain menghasilkan tanda-tanda
berkurangnya TAC darah. Beta karoten memiliki aktivitas antioksidan terbaik, berperan dalam
pencegahan dan penyembuhan penyakit kardiovaskular (Sergio dan Russel, 1999; Deming et al.,
2002; Sunita, 2009). Asupan beta karoten dapat meningkatkan kadar beta karoten dalam plasma
sebesar 13 % (Het, 2000). Aktivitas katalase meningkat ketika laki-laki sehat diintervensi
dengan karotenoid yang berasal dari jus tomat, wortel dan bayam selama dua minggu (Bub,
2000). Wortel mengandung antioksidan Se, vitamin C, dan B2, serta yang paling penting adalah
wortel kaya antioksidan beta karoten (provitamin A). Beta karoten wortel bersifat aman dan
tidak akan memberikan efek toksik sampai 100.000 IU per hari.
Pada umumnya penggunaan beta karoten sebagai antioksidan berkombinasi dengan
sumber antioksidan yang lain (Winarsi, 2007). Berg et al. (2001) dan Block et al. (2001)
menyebutkan bahwa antioksidan dalam bekerjanya merupakan suatu network. Ketersediaan beta
karoten meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain dalam tempe M-2 (Sunita,
2009). Berbagai penelitian menemukan bahwa tokoferol (α atau γ) yang terkandung dalam
tempe M-2 melindungi beta karoten dari autooksidasi (Palozza dan Krinsk, 1992).
Beta karoten dan isoflavon penting perannya dalam menginduksi status antioksidan tubuh
(Winarsi et al., 2003). Isoflavon tempe M-2 dan beta karoten dapat meningkatkan aktivitas
katalase. Isoflavon dan selenium mempengaruhi aktivitas enzim glutation peroksidase (Winarsi,
2007). Diet rendah beta karoten, tetapi cukup dalam semua zat gizi lain menghasilkan tandatanda berkurangnya Kapasitas Total Antioksidan darah (Omaye et al., 1997). Suplemen pada
diet harian dengan 90 mg beta karoten telah menunjukkan peningkatan TAC plasma (Sergio dan
Russell, 1999). Hal ini sesuai dengan hipotesis 7, bahwa ada interaksi tempe M-2 dengan wortel
pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel terhadap kadar TAC serum tikus Wistar.
6.3 Kadar LDL Serum, F2-Isoprostan Urine, dan IL-6 Plasma Tikus Wistar.
6.3.1 Kadar LDL serum Tikus Wistar
Rata-rata kadar LDL serum terendah pada perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi
tempe M-2 dengan wortel yaitu 20,718 ± 1,33 mg/dL, hasil analisis keragaman kadar LDL
serum tikus Wistar menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai
perlakuan. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat
bermakna (p < 0,01) dalam menurunkan kadar LDL serum tikus Wistar, hal ini sesuai dengan
hipotesis 4,5, dan 6.
Wortel memberikan pengaruh lebih tinggi 18,84% dari pada tempe M-2 dalam
menurunkan kadar LDL serum tikus Wistar aterosklerosis pada perlakuan kombinasi tempe M-2
dengan wortel. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeanne (2006) dan Nuansa (2011) bahwa wortel
merangsang dengan mudah dan cepat reaksi pembersihan kelebihan lemak tubuh, sehingga
wortel dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Dinding dalam wortel juga terkandung
pektin, yaitu salah satu jenis serat pangan yang bersifat larut dalam air (soluble dietary fiber).
Serat jenis ini berperan penting untuk menurunkan kadar kolesterol dan gula darah, sehingga
bermanfaat untuk mencegah penyakit diabetes mellitus dan aterosklerosis, yang merupakan cikal
bakal penyakit jantung koroner dan stroke (Vallerie, 2009). Beta karoten dalam wortel dapat
mencegah terjadinya plak atau timbunan kolesterol dalam pembuluh darah, sehingga sering
disebut sebagai antistroke (Mayes, 2002). Kemudian ditegaskan oleh Maida et al. (2008) bahwa
diet karotenoid dapat bertindak sebagai agen hipokolesterolemik, dan menghambat enzim HMGKoA reduktase yang berperan penting pada sintesis kolesterol.
Kemudian untuk pengaruh bermakna tempe M-2 dalam menurunkan kadar LDL serum
tikus, dapat ditegaskan dalam hasil penelitian dari Arsiniati (1995) dan Mindell (2008) bahwa
susunan amino pada tempe dapat menurunkan kadar kolesterol LDL.
Komposisi asam amino
tempe meningkatkan kadar kolesterol HDL (Mindell, 2008). HDL memiliki banyak protein,
bertindak sebagai vacuum cleaner yang mengisap sebanyak mungkin kolesterol berlebih yang
bisa diisapnya.
HDL memungut kolesterol ekstra dari sel-sel dan jaringan-jaringan lalu
membawanya kembali ke hati, yang mengambil kolesterol dari HDL, dan menggunakannya
untuk membuat cairan empedu atau mendaurulangnya. Tempe M-2 mengandung lesitin, yang
berperan dalam reverse cholesterol transport, dimulai dari HDL nascent yang dibentuk di hati
dan usus halus masuk ke dalam aliran darah dan mencapai jaringan perifer seperti makrofag
untuk mengambil kolesterol bebas. Setelah kolesterol bebas dalam HDL nascent, akan diubah
menjadi kolesterol ester dengan bantuan Lecithin-cholesterol acyl transferase (LCAT) dan
kofaktor apo A-1, dan HDL nascent menjadi HDL mature, yang sebagian (50%) ditangkap oleh
reseptor HDL di hati dan untuk sintesis hormon steroid, atau asam empedu, dan sebagian
kolesterol ester akan ditukar dengan trigliserida (Susanti, 2006). Disebutkan pula oleh Widowati
(2007) bahwa vitamin E yang dikandung oleh tempe M-2 dapat menurunkan kadar kolesterol
LDL, dengan cara mempercepat degradasi enzim HMG-CoA reduktase sehingga aktivitas enzim
dihambat dan perubahan mevalonat menjadi kolesterol dihambat.
6.3.2 Kadar F2-Isoprostan Urine Tikus Wistar.
Rata-rata kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar terendah pada perlakuan pakan
aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel yaitu 0,720 ± 0,065 ng/dl. Hasil
analisis keragaman kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar menunjukkan perbedaan yang sangat
bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan.
Kombinasi
tempe M-2 dengan wortel
menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,05). Hal ini sesuai dengan
hipotesis 4, 5, 6, dan 7. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Darjgochoo et al. (2012)
yang menyebutkan bahwa konsentrasi F2-Isoprostan lebih rendah pada pasien yang
menggunakan multivitamin. Tempe M-2 mengandung cukup tinggi vitamin B12, vitamin E,
provitamin A (beta karoten), sianokobalamin, asam folat, thiamin, riboflavin, niasin, asam
pantotenat, piridoksin, biotin (Hendromartono, 1997; Pawiroharsono, 1997; Ridwan, 1997;
Winarsi, 2007; Mindell, 2008),
dan wortel tinggi akan kandungan provitamin A (beta
karoten)(Sunita, 2009), cukup mengandung vitamin B1, B2, C dan niasin (Wirakusumah, 1997).
Tempe M-2 memberikan pengaruh menurunkan F2-Isoprostan lebih besar 30,28 % dari
pada wortel dalam perlakuan kombinasi tempe M-2
dengan wortel pada tikus Wistar
aterosklerosis. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan (2003) dan Winarsi (2007) bahwa tempe
M-2 mengandung antioksidan dalam bentuk isoflavon yaitu daidzein, glisitein, genistein dan
Faktor II.
Zat-zat ini berperan dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas,
menangkap radikal, yaitu dengan cara mengubah radikal superoksida, yang dikatalis oleh reaksi
dismutasi. Selain itu isoflavon dapat meningkatkan kadar vitamin C dalam sel-sel tubuh,
melindungi terhadap kerusakan akibat radikal bebas dan menghilangkan plak-plak aterosklerosis
(pengerasan arteri) (Wirakusumah, 1997).
Kemudian dipertegas oleh Hastuti (2005) pada proses penempean meningkatkan
kandungan niasin hingga dua sampai dengan lima kali, niasin dapat meningkatkan secara
signifikan kandungan HDL, HDL meningkatkan aktivitas antioksidan sehingga memproteksi
kolesterol LDL dari proses oksidasi.
Pengaruh wortel dalam menurunkan kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar adalah karena
kandungan beta karoten wortel merupakan suatu antioksidan pemutus rantai, bersifat lipofilik
sehingga berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Beta karoten dan
vitamin C pada wortel berkhasiat sebagai antioksidan, yang melidungi kolesterol LDL dari
proses oksidasi (Winarsi, 2007), oleh karena modifikasi oksidatif non siklooksigenase dari asam
arakhidonat yang menghasilkan F2 –Isoprostan (Patrono, 1997; McMichael, 2004; Nalsen et al.,
2006).
Akhir-akhir ini penetapan ox-LDL
yang dianggap terbaik adalah pemeriksaan F2-
Isoprostan (8 Iso-PGF2α) dengan metode Elisa baik dalam urine maupun dalam darah (Patrono,
1997). Kemudian dipertegas oleh Dorjgochoo et al. (2012) bahwa F2-Isoprostan dengan
sensitivitas yang tinggi, sebagai biomarker dari stress oksidasif, dalam penetapan pengaruh dari
antioksidan terhadap penyakit aterosklerosis, juga dapat menggambarkan proses kalsifikasi
pada arteri koroner (Gross et al., 2005). F2-Isoprostan merupakan produk akhir dari peroksidasi
lipid. Peroksidasi juga dikatalis in vivo oleh senyawa heme dan oleh lipoksigenase, yang
terdapat di trombosit dan leukosit.
Pada keadaan stres oksidatif kadar Isoprostan meningkat (McMichael, 2004; Yin et al.,
2005).
Kadar F2-Isoprostan lebih rendah pada subyek yang mengkonsumsi suplemen
antioksidan, seperti vitamin E, dan beta karoten. Antioksidan memiliki berat molekul kecil,
tetapi mampu menginaktivasi bekembangnya reaksi oksidasi, dengan mencegah terbentuknya
radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan
mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Surjohudojo, 2000).
6.3.3 Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar
Rata-rata kadar IL-6 plasma terendah pada perlakuan pakan aterogenik dan kombinasi
tempe M-2 dengan wortel yaitu 35,328 ± 1,000 pg/dl. Hasil analisis keragaman kadar IL-6
plasma tikus Wistar menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p<0,01) pada berbagai
perlakuan. Tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p
< 0,01). Hal ini sesuai dengan hipotesis 4,5, 6, dan 7.
Pengaruh tempe M-2 dalam menurunkan kadar IL-6 lebih tinggi 28,05 % dari pada
pengaruh wortel pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel. Hal ini sesuai dengan
pendapat
Omoigui (2007) yang
menyebutkan bahwa IL-6 dapat dihambat secara
tidak
langsung melalui pengaturan sintesa kolesterol endogen, dan isoflavon tempe M-2
dapat
menekan terbentuknya IL-6, penghambatan langsung pada jalur reaksi sinyal transduksi.
Disebutkan pula bahwa aktivitas antiresorptive phytoestrogen sebagai mediatornya.
Asam lemak tidak jenuh Omega-3 pada tempe M-2 dapat mengurangi sekresi sitokin
proinflamasi dan pengaturan penurunan proses peradangan. Suplementasi Omega-3 selama 18
minggu menghambat signal pada basal dan Lipopolysaccharide (LPS) yang merangsang IL-6
atau
produksi
monosit
(Abbate et al., 1996; dan Sunita, 2009).
Tempe M-2
dapat
meningkatkan kadar tiroksin plasma darah, sehingga mengurangi tingkat inflamasi. Tempe
mengandung antioksidan zat anti mutagenik (Simanjuntak dan Sudaryati, 1998).
Tempe M-2 juga mengandung estrogen yang dapat mengatur produksi IL-6 (Rifas et al.,
1995). Ditegaskan oleh Manolagas (1995) dan Keller et al. (1996) bahwa estrogen menghambat
ekspresi gen IL-6, melalui represi aktivasi transkripsi dari gen IL-6 melalui efek estrogen
reseptor dalam aktivitas transkripsi dari sequens proksimal 225-bp dari promoter.
Isoflavon yang terdapat pada tempe, dapat meniru peranan dari hormon estrogen, dapat
berikatan dengan reseptor estrogen sebagai aktivitas hormonal, menyebabkan serangkaian reaksi
yang menguntungkan tubuh. Pada saat kadar hormon estrogen menurun, akan terdapat banyak
kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat walaupun afinitasnya tidak sebesar estrogen
(Baziad, 2003; Kim et al., 2003; Sun et al., 2003; Koswara, 2006; dan Omoigui, 2007).
Optimalnya aktivitas perasan umbi wortel tidak hanya beta karoten yang bertanggung
jawab dalam memberikan antiinflamasi, kemungkinan antioksidan lain yang terkandung dalam
perasan umbi wortel, seperti vitamin C juga memberikan peran antiinflamasi (Esvandiary et al.,
2007). Penurunan aktivitas enzim lipoksigenase menyebabkan tidak terbentuknya leukotrien
yang dapat mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan (Lieber dan Leo, 1999).
Adanya hambatan pada oksidasi asam arakhidonat dan penetralan oksigen reaktif menyebabkan
beta karoten berefek antiinflamasi.
Hasil penelitian Utami dan Wijoyo (2007) menyebutkan
bahwa wortel signifikan memiliki daya antiinflamasi.
Okopien et al. (2001) menyebutkan bahwa tingkat IL-6 secara signifikan lebih tinggi
pada pasien dengan dislipidemia. Diduga ada hubungan antara kadar IL-6 dengan dislipidemia,
karena IL-6 terlibat langsung dalam mekanisme aterosklerosis (Yudkin et al., 1999; Dubinski
dan Zdrojewicz, 2007; dan Hong, 2007), dan ditemukan meningkat pada kejadian aterosklerosis
(Calabro et al., 2003).
6.4 Perubahan Struktur Histopatologi Jaringan AortaTikus Wistar
Lama pemberian pakan aterogenik pada penelitian ini menimbulkan 3 faktor risiko
aterosklerosis
yaitu
meningkatnya
metabolisme
lipid,
stres
oksidasi
dan
inflamasi.
Aterosklerosis pemicu penyakit jantung koroner melalui salah satu mekanisme umum, yaitu
gangguan sirkulasi darah.
Dislipidemia mempunyai peranan penting pada terjadinya kerusakan sel-sel endotel.
Bila dislipidemia sudah kronik menyebabkan perubahan permeabilitas sel-sel endotel dan
konstituen plasma sehingga mengakibatkan kerusakan sel-sel endotel. Kerusakan terhadap selsel endotel baik kecil ataupun besar dapat mengubah sifat permeabilitas dan kemampuan sel
endotel untuk melekat satu sama lain dengan jaringan ikat di bawahnya. Dimana pada keadaan
normal sel endotel yang membatasi tunika intima membentuk suatu barier yang permeabel
untuk mengatur masuknya substansi plasma ke dalam dinding arteri. Dinding arteri yang akan
menginduksi terjadinya perubahan permeabilitas sel-sel endotel akan menyebabkan konstituen
plasma, misalnya lipoprotein yang menjadi mudah masuk ke dalam dinding arteri. Kerusakan
sel endotel ini akan mengubah
sifat
trombosistein lumen arteri sehingga memungkinkan
trombosit melekat pada dinding arteri yang mengalami kerusakan dan mengalami inflamasi yang
mengakibatkan jaringan ikat di bawahnya kontak dengan trombosit dan elemen-elemen lainnya
di dalam sirkulasi darah. Kerusakan sel endotel ini yang menyebabkan pembentukan radikal
bebas oksigen, yang dipicu oleh sitokin, merupakan dasar patogenesis aterosklerosis. Fungsi
endotel adalah mengendalikan peradangan dan imunitas (Kumar et al., 2007b; dan Murray et
al., 2009).
Mekanisme bagaimana dislipidemia berperan pada aterogenesis adalah sebagai berikut :
(1) Dislipidemia kronis, terutama pada hiperkolesterol, dapat secara langsung mengganggu
fungsi sel endotel melalui peningkatan pembentukan radikal bebas oksigen yang mendeaktivasi
nitrat oksida, faktor utama pelemas endotel; (2) Pada dislipidemia kronis terjadi penimbunan
lipoprotein
di dalam tunika intima, di tempat permeabilitas endotelnya
meningkat; (3)
Perubahan kimiawi lemak yang dipicu oleh radikal bebas yang dihasilkan dalam makrofag atau
sel endotel di dinding arteri, akan menghasilkan LDL teroksidasi (Kumar et al., 2007b).
LDL teroksidasi dapat : (1) Ditelan oleh makrofag melalui scavenger receptor, sehingga
terbentuk
sel
busa;
(2)
Meningkatkan
akumulasi
monosit
di
lesi;
(3) Merangsang pengeluaran faktor pertumbuhan dan sitokin; (4) Bersifat sitotoksik bagi sel
endotel dan sel otot polos dan (5) Dapat menyebabkan disfungsi sel endotel (Cesari et al.,
2003; dan Kumar et al., 2007b).
Oksidasi LDL menyebabkan perubahan muatan apoB-100 sehingga LDL cenderung
membentuk agregat dan fusi (bercak perlemakan). LDL teroksidasi dapat berfungsi sebagai
kemoatraktan sel inflamasi sehingga sel-sel inflamasi ini mengalami migrasi ke jaringan
subendotel, kemudian sel endotel mengekspresi scavenger reseptor (SR). Pembentukan agregat
dan perubahan muatan LDL membuat LDL tidak dikenal reseptor native. Melalui SR seperti
CD36, SR-A dan SR-B makrofag memfagosit LDL teroksidasi tanpa down regulasi, sehingga
terjadi penumpukan LDL dan terbentuklah makrofag sel busa (Adibhatla et al., 2010).
Kombinasi tempe M-2 dengan wortel memperlihatkan uji histopatologis tanpa sel busa
dan bercak lemak (Gambar 5.6), karena mengandung normolipid, antioksidan dan antiinflamasi
yang lengkap dan tinggi, hal ini sesuai dengan pendapat Widowati (2007) bahwa sistem
antioksidan tubuh sebagai mekanisme perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas terdiri
atas banyak komponen, antara lain SOD, GPx, katalase dan antioksidan ekstraseluler (vitamin E,
C, B3, dan isoflavon). Kekurangan salah satu komponen makanan menyebabkan terjadinya
penurunan status antioksidan secara menyeluruh sehingga perlindungan tubuh terhadap serangan
radikal bebas berkurang. Enzim lipase tempe melarutkan sebagian lemak kedelai, meningkat
30% atau 50-70 kali asam lemak bebas dibanding bentuk kedelai. Peningkatan asam lemak ini
dapat meningkatkan daya cerna tempe. Asam lemak yang dominan adalah asam linoleat, disusul
asam oleat, asam linolenat dan asam palmitat, yang semuanya tergolong asam lemak tidak jenuh
rantai panjang dan jumlahnya sekitar 80% dari total asam lemak, Asam lemak linoleat (Omega3) tergolong esensial yaitu tidak dapat disintesa di dalam tubuh sehingga harus diperoleh dari
konsumsi makanan (Ghozali, 2008; Utari, 2011). Asam oleat mempunyai kemampuan untuk
meningkatkan HDL yang merupakan lemak yang dapat menurunkan resiko PJK, sehingga asam
oleat juga sering diklaim untuk mencegah penyakit jantung (Mann dan Stewart, 2007). Begitu
juga dengan asam linoleat pada tempe bersifat meningkatkan kadar HDL dan menurunkan LDL.
Asam linoleat dan asam linolenat tidak hanya dibutuhkan untuk semua membran sel
tetapi juga mengalami elengasi dan denaturasi menjadi rantai lebih panjang dan merupakan
prekursor komponen eicosanoid yang menyerupai hormon, prostaglandin dan leukotrienes.
Asam linoleat akan dikonversi menjadi asam arakhidonat, sedangkan asam linolenat akan
dikonversi menjadi eicosapentaenoic acid (EPA) dan decosahexosenoic acid (DHA)(Mann dan
Stewart, 2007). EPA dan DHA dapat mencegah timbulnya platelet darah. Platelet dalam darah
ini dalam jumlah besar akan mengganggu aliran darah dan merupakan faktor utama penyebab
serangan jantung dan stroke.
Tempe mengandung cukup tinggi vitamin B12,
yang berkorelasi
negatif dengan
homosistein serum, kadar homosistein memicu peningkatan hidrogen peroksida sehingga
menimbulkan resiko kerusakan sel endotel dan timbulnya platelet pada pembuluh darah yang
akan mengakibatkan stroke atau PJK (Utari, 2011).
6.5 Pemeriksaan Kenormalan pH Urine Tikus Wistar
Perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menghasilkan pH urine yang normal, hal
ini membantu menormalkan proses metabolisme, sehingga dapat menurunkan secara signifikan
kadar LDL, F2-Isoprostan dan IL-6, serta dapat meningkatkan kadar HDL dan TAC. Kombinasi
tempe M-2 dengan wortel merupakan kombinasi makanan yang sangat serasi, satu
yang lain saling
dengan
bersinergi menormalkan pH darah (pH 7,3 -7,5), maupun pH urine (pH 7 –
8) atau lebih ke arah basa. Kombinasi makanan yang tepat bertujuan mencapai keseimbangan
asam dan basa, sehingga terhindar dari gangguan fungsi tubuh dan penyakit (Gunawan, 2001;
Marsden, 2008; Farida dan Amalia, 2009). Keseimbangan dalam kondisi sedikit basa tersebut
senantiasa dipertahankan agar enzim-enzim yang berperan dalam proses metabolisme dapat
bekerja optimal. Jika pH bergeser, maka kerja enzim terhambat, keadaan ini dapat menyebabkan
timbulnya sakit dan penyakit (Rampisela, 2009).
Ditegaskan oleh Reagan et al. (2007) bahwa kondisi basa pH urine tikus adalah pada
lebih besar atau sama dengan pH 7,5, sedangkan kondisi asam, pH urine tikus adalah pada lebih
kecil atau sama dengan pH 7.
Cara pemeriksaan pH urine dengan pH Indicator Strips
merupakan penentuan pH urine yang mudah, cepat dan tepat (Kosasih dan Kosasih, 2008).
Apabila pH urine sudah normal, untuk monitor kenormalan pH urine selanjutnya adalah pada
dua belas minggu kemudian, dan monitor pH urine tiga minggu sekali apabila kondisi pH urine
belum normal (Young, 2006).
Tempe M-2 dengan wortel sama-sama merupakan sumber mineral logam natrium,
magnesium, zat besi, kalsium dan utamanya kalium, kandungan mineral logam inilah yang dapat
membantu menetralkan asam dalam darah. Tempe M-2 dengan wortel sama-sama sebagai
sumber antioksidan yang kuat. Kombinasi antioksidan dapat menetralkan pH dan radikal bebas,
aktivitasnya penting dalam perlindungan dari beberapa penyakit, seperti aterosklerosis,
kardiovaskular, saraf dan kanker (Gunawan, 2001; Johnson, 2002; Thumbeckaite, 2006).
Tempe M-2 merupakan makanan yang difermentasi, adalah pembentuk basa, karena perubahan
status mikrobiologis dan nutrisi, meningkatkan flora usus yang baik, membantu menyintesis
lebih banyak enzim dan vitamin, serta meningkatkan kecernaan protein (Marsden, 2008).
Dipertegas oleh Young (2006) bahwa makanan vegetarian dan makanan yang mengandung
lemak polyunsaturated merupakan makanan pembentuk basa tubuh .
6.6 Keterbatasan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yaitu :
1. Penelitian ini hanya terbatas pada pengujian tempe M-2 dan wortel dengan dosis 20 g /kg
bb/hari, tidak melakukan pengujian pada beberapa variasi dosis tempe M-2 dan wortel,
dan lama waktu pemberian dosis tempe M-2 dan wortel hanya 13 minggu.
2. Penelitian ini
hanya terbatas pada pengujian efek tempe M-2 dan wortel dalam
meningkatkan LDL, TAC dan pH urine, serta menurunkan LDL, F2-Isoprostan, IL-6,
histopatologis aorta, dan pH urine. Belum menguji efek tempe M-2 dan wortel terhadap
trigliserida, kolesterol total, MDA dan Lp-PLA2.
6.7 Temuan Baru
Pada penelitian ini ditemukan kombinasi tempe M-2
dengan wortel dapat sebagai
antiaterosklerosis, dengan meningkatkan HDL, TAC dan pH urine, serta menurunkan LDL, F2Isoprostan, IL-6, dan histopatologis aorta pada tikus Wistar aterosklerosis. Kombinasi tempe M2
dengan wortel juga berperan sebagai hipokolesterolmik, antioksidan, dan antiinflamasi,
sehingga dapat dikembangkan sebagai pangan fungsional yang berperan sebagai antioksidan,
hipokolesterol, antiinflamasi, dan antiaterosklerosis.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka dapat dikemukan beberapa
simpulan sebagai berikut :
1. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan
kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih tinggi secara sangat bermakna dibandingkan
dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun
wortel.
2. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan
kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih tinggi secara sangat bermakna dibandingkan
dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2.
3. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar dalam proses aterosklerosis diberikan diet
aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih tinggi secara sangat bermakna
dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan wortel.
4. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan
diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan
wortel lebih rendah secara sangat
bermakna dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik tanpa
tempe M-2 maupun wortel.
5. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan
diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan
wortel lebih rendah secara sangat
bermakna dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan
tempe M-2.
6. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan
diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan
wortel lebih rendah secara sangat
bermakna dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis, dengan diberikan diet aterogenik
dengan wortel.
7. Ada pengaruh interaksi secara sangat bermakna antara perlakuan tempe M-2 dengan wortel
terhadap kadar TAC serum, F2-Isoprostan urine dan IL-6 plasma tikus Wistar aterosklerosis.
8. Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat mengakibatkan perubahan struktur
histopatologi aorta tikus Wistar dari bentuk disfungsi endotel dan bercak perlemakan menjadi
normal.
9. Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat mengakibatkan perubahan pH urine
tikus Wistar dari pH urine tidak normal menjadi normal.
7.2 Saran
1. Perlu penelitian lebih lanjut peran kombinasi tempe M-2 dengan wortel terhadap biomarker
non-invasif yang lainnya seperti Lp-PLA2, yang secara spesifik dapat mencerminkan proses
aterosklerosis sejak dini.
2. Perlu dikembangkan pangan fungsional yang berasal dari kombinasi tempe M-2 dengan
wortel.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, A.K., Lichtman, A.H., and Pillai, S. 2007. Cellular and Molecular Immunology. Six
Edition. Philadelphia : Sounders Elsevier. p. 267-274.
Abbate, R., Gori, A.M., Martini, F., Brunelli, T., Filippini, M., Francalanci, I., Paniccia, R.,
Prisco, D., Gensini, G.F., and Neri Serneri, G.G. 1996. PUFA Supplementation, Monocyte,
PCA Expression and IL-6 Production. Prostaglandins Leukot Essent Fatty Acids J. 54 (6): 439444.
Adeola. 1997. Research Figures Out How Tannins Block Nutrition. The Purdue News and
Photoes Page. Purdue University Animal Scientist. 1-3.
Adibhatla, RM., Hatcher, JF. 2010. Lipid Oxidation and Peroxidation in CNS Health and
Disease : From Molecular Mechanisms to Therapeutic Opportunities. Antioxidant and Redox
Signaling, 12. p 125-169.
Agung, A. 2002. Pengaruh Pengasaman dan Lama Fermentasi Tempe Kedelai terhadap
Kandungan Antinutrisi Tanin dan Uji Sensoris. Saintex J., Vol. 2 :15-20.
Alrasyid, H. 2007. Peranan Isoflavon Tempe Kedelai, Fokus pada Obesitas dan Komorbil.
Kedokteran Nusantara J., 40 (3) : 17-21.
Anonimus. 2009. LDL 13. [cited 2010 Maret 19]. Available from URL:
http://www.google.co.id/im glanding? Q=struktur % 20% LDL.
Arjuna, R. 2003. F2-Isoprostan sebagai Prediktor Dini Aterogenesis Fase Awal Akibat
Dislipidemia. [cited 2010 Feb. 15]. Available from : URL :
http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-S3-2003-arjuna.
Arsiniati, M.B.A. 1997. Pengaruh Tempe dan Tempe-A5 terhadap Profil Lipid pada Penderita
Hiperlipidemia. Media Ikatan Dokter Indonesia. Vol. 20. No. 4-17: 4-8.
Astawan, M. 2004. Tempe. [cited 2009 Agust. 9]. Available from : URL :
http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe.
Astawan, M. 2008. Sehat dengan Sayuran. Dian Rakyat. Jakarta. p. 144.
Bast, H., Guido,R.M.N., Hoenim.1991. Oxidants and Antioxidants State of the Art. Am J.Med:
225-235
Baxter, N.J., Lilley,T.H., Haslam, E., Willamson, M.B. 1997. Multiple Interactions between
Polyphenols and a Salivary Proline-Rich protein Repeat Result in Complexation an Precipitaion.
Departement of Molecular Biology and Biotechnology. The Krebs Institute for Biomolecular
Research, University of Sheffield U.K. p.31.
Belch, J.H. 2002. Metabolic, Endocrine and Haemodynamic Risk Faktors in the Patients with
Peripheral Arterial Disease. Diabetes Obes Met 4(2). 6-13
Berg, V.D.R., Vliet, V.T., Broekmans, W.M. 2001. Vegetable/Fruit Concentrate with High
Antioksidant Capacity Has no Effect on Biomarkers of Antioxidant Status in Male Smokers. J.
Nutr. 131 : 1714-1722.
Bhagavan, N.V. 2002. Medical Biochemistry. Fourth Edition. Sandiago. Harcout/Academic
Press : 157-161.
BioVision. 2012. Quantification Kit. [cited 2012 Jan. 25]. Available from URL :
http://www.biovision.com
Block, G., Norkus, E., Hudes, M., Mandel, S., Helzlsouer, K. 2001. Which Plasma Antioxidant
are Most Related to Fruit and Vegetable Consumption? . Am.
J. Epidemiol. 154: 1113-1118.
Boweris, A., Alvarez, S., Navarro, A. 2002. The Role of Mitochondrial Nitric Oxide Synthase
in Inflammation and Septic Shock. Free Rad Biol Med , 33: 1186-1193.
Browatzki, M., Schmidt, J., Kubler, W., dan Kranzhofer, R. 2000. Endothelin-1 induces
interleukin-6 release via activation of the transcription factor NF-kappaB in human vascular
smooth muscle cells. Basic Res. Cardiol., 95(2): 98-105.
Bub, A. 2000. Moderate Intervention with Carotenoid-Rich Vegetable Products Reduces Lipid
Peroxidation in Men. Nutrition J., 130. 2200-2206.
Budi,I.M.2009. Sari Buah Merah Memberi Harapan Besar Bagi Pengidap HIV/AIDS. [cited
2010 Feb. 18]. Available from URL : http://health.dir.groups.yahoo/warta aids
Cadenas, E., dan Packer, L. 2002. Quantification of Isoprostanes as Indicators of Oxidant
Stress In Vivo. Handbook of Antioxidants. Second Edition. California: Mercel Dekker Inc. p.
57-90.
Calabro, P., Willerson, J.T., Yeh, E.T.H. 2003. Inflammatory Cytokines Stimulated C-Reactive
Protein Production by Human Coronary Artery Smooth Muscle Cell. Circulation 108: 19301932.
Campbell, C.T. 2006. The China Study. USA: Benbella Books. p.2.
Cao, G., Prior, R.L. 2009. Total Antioxidant Capacity of Plant Foods, Beverages and Oils
Consumed in Italy Assessed by Three Different In Vitro Assays 1 US Department of Agriculture,
Agriculture Research Service, Jean Mayer Human Nutrition Research Center onAging at Tufts
University, Boston, MA 02111.
Nutrient Requirements: 1-3.
Cesari, M., Penninx B.W., Newman, A.B., Kritchevsky, S.B., Nicklas, B.J., Sutton-Tyrrell, K.,
Rubin, S.M., Ding, J., Simonsick, E.M., Harris, T.B., Pahor, M. 2003. Inflammatory markers and
onset of cardiovascular events: results from the Health ABC study. Circulation 108(19): 231722.
Chatterjee, S.; Podowal, T.B.; Tilak, J.C.;Devasagayam, T.P. 2005. Total Antioxidant Capacity
(Crocin Assay). Clin. Chim. Acta J., 352 (1-2): 155-163.
Chuang, C.C., Shiesh, S.C., Chi, C.H., Tu, Y.F., Hor, L.I., Shieh, C.C., Chen, M.F. 2006.
Serum Total Antioxidant Capacity Reflects Severity of Illness in Patients with Severe Sepsis.
Critical Care J, 10: 36
Comporti, M.; Signorini, C.; Arezzini, B; Vecchio, D.; Monaco, B.; Gardi, C. 2008. F2Isoprostanes are not Just Markes of Oxidative Stress. Free Radical Biology and Medicine, 44
(3). 247-256.
Cooke, P.S., Naaz, A. 2004. Role of Estrogens in Adipocyte Development and Function. Exp
Biol Med, 229, 11: 27-35.
Cooper, K.H. 2001. Sehat Tanpa Obat, Empat Langkah Revolusi Antioksidan. Bandung,
KAIFA. p. 148.
Craig, R. 2005. Nutritional Report. [cited 2010 Jun. 9]. Available from: URL: http/www.
Essential hearth and wellnesscentrecom//Essential Nutrition Report.htm.
Dandona, P., Aljada, A. 2001. A Rational Approach to Pathogenesis and Treatment of Type 2
Diabetes Mellitus, Insulin Resistance, Inflammation and Atheroclerosis. Am Cardiol 90: 154160.
Dewaraj, S., Jialal,L. 1997. Laboratory Assessment of Lipoprotein Oxidation. Dalam Hand
Book of Lipoprotein Testing. Washington AACC Press: 357-361.
Dimayuga, F.O., Wang, C., Clark, J.M., Dimayuga, E.R., Dimayuga, V.M., Keller, A.J.B. 2006.
SOD Overexpression Alters Production and Reduces Neurotoxic Inflammatory Signaling in
Microgial Cells. Neuroimmunol J., 182: 89-99.
Dinarello, C.A. 2004. Infection Fever, and Exogenousnand Endogenous Pyrogens : Some
Concepts Have Changed. Endotoxin Res.J. 10: 201-222.
Diniwati, M. 2007. Faktor Resiko Penyakit Degeneratif pada Usia Lanjut: Studi Kasus pada
Perempuan Usia Lanjut di Panti Wreda Khusnul Khotimah. Kedokteran Yarsi J. 15 (3): 161170.
Dorjgochoo, Yu-Tang G., Wong-Ho C., Xiao-Ou S., Gong Y., Cai Q., Rothman N., Cai H., Li
H., Deng X., Franke A., Roberts, LJ., Milne, G., Zheng W., Dai Q. 2012. Plasma
Concentrations of Antioxidant , Urinary Excretion Rates of Polyphenols, and Antioxidants in
Food and Dietary Supplements are Attributable to both Urinary F2-Isoprostan and 15-F2 –IsoPM Concentrations. Am J. Clin. Nutr. 2012, 96. p. 439-444.
Droge, W. 2002. Free Radicals in the Physiological Control of Cell Funtion. Physiol. Rev., 82:
47-95.
Dubinski, A., Zdrojewicz, Z. 2007. The Role of IL-6 in Development and Progression of
Atherosclerosis. Pol. Merkus Lekarski, 22 (130): 291-294.
Eberhardt, M.K. 2001. Reactive Oxygen Metabolites; Chemistry and Medical Consequences.
New York: CRC Press. p. 1-27.
Endemann, D.H., and Schiffrin, E.L. 2004. Endothelial Dysfunction. Am. Soc. Nephrol., 15:
1983-1992.
Esteve, E., Castro, A., Lopez-Bermejo, A., Vendrel, J., Fernandez-Real, JM. 2007. Serum
Interleukin 6 Correlates with Endothelial Dysfunction in Healthy Men Independently of Insulin
Sensitivity. Diabetes Care, 30 (4): 939-945.
Esvandiary,E., Utami,M.F.S., dan Wijoyo, Y. 2007. ”Efek Analgetik dan Antiinflamasi Beta
Karoten pada Mencit”. (tesis). Yogya. Fakultas Sanata Dharma.
Farida,I., dan Amalia. 2009. Diet Sehat dan Efektif dengan Metode Food Combining. Buku
Biru. Jogjakarta. p. 37-194.
Federer, W.Y. 1963. Experimental Design Theory and Application. Man Wiliam & Co, Inc.
New York. p. 91-99.
Fogarty, A., dan Davey, G. 2005. Paracetamol, Antioxidants and Asthma. Clin. Exp. Allergy
35: 700-702
Freeman, M.W., dan Junge, C. 2008. Kolesterol Rendah, Jantung Sehat. Second Edition.
Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, Group Gramedia. p. 31
Garcia, Casal, M.N. 1998. Vitamin A and Beta Carotene can Improve Nonheme Iron
Absorption from Rice, Wheat and Corn by Humans. Nutrition, J. 128. 646-650.
Gaziano, J.M., Hatta, A., Flynn, M., Johson, E.J., Krinsky, N.I., Ridker, P.M., Hennekens, C.H.,
Frei, B. 1995. Supplementation with Beta Carotene in Vivo and in Vitro does not Inhibit LDL
Oxidation. Artherosclerosis, 112: 187-195.
Gaziano, J.M., Manson, J.E., Buring, J.E., Hennekens, C.H. 1992. Dietary Antioxidants and
Cardiovascular Disease. Ann. N.Y. Acad. Sci., 669: 249-259.
Giannoudis, P.V., Hilderbrand, F., Pape, H.C. 2004. Inflammatory Serum Markers in Patient
With Multiple Trauma : Can They Predict Outcome? . JBJS., [cited 2010 Januari. 9].
Available from: URL: http://www.JBJS.com.
Gibney, M.J., Margetts, B.M., Kearney, J.M., Arab, L. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat.
Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. p. 254-258.
Giriwijoyo, S. 2004. Ilmu Faal Olahraga Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga. Fakultas
Pendidikan Olahraga Kesehatan. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia. p. 98-112.
Gross, M., Steffes, M. Jacobs, DR., Yu, X., Lewis, L., Lewis,CE., Loria, CM. 2005. Plasma
F2-Isoprostanes and Coronary Artery Calcification: The Cardia Study, Clinical Chemistry, 51,
(1). 14-15.
Gunawan, A. 2001. Food Combining, Kombinasi Makanan Serasi Pola Makan untuk Langsing
dan Sehat. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama,. 24-75.
Gustone, FD. 1996. Fatty Acid and Lipid Chemistry. Blackie Academic & Professional, New
York. P 81.
Guyton, A.C., Hall, J.E. 2000. Textbook of Medical Physiology. Tenth Edition, WB Saunders
Company, 81. 1283-1302.
Halliwel, B.; Lee, C.Y. 2010.Using Isoprostanes as Biomarkers of Oxidative Stress : Some
Rarely Considered Issues. Antioxidants and Redox Signaling, 13 (12): 1-11
Halliwell, B. 1994. Free Radicals, Antioxidants and Human Disease : Curiosity Cause, or
Consequence. The Lancet J. 344: 721-724.
Halliwell, B. 1996. Antioxidant, dalam Present Knowledgein Nutrition Knowledge in Nutrition
(Zinglar E.E. dan Filer L.J.). 7 th ed. ILSI Press Washington DC: 596-601.
Halliwell, B. 2002. Food-Derived Antioxidant: How to Evaluate Their Importance in Food and
in Vivo. Dalam : Cedenas E, Packer L. Hand Book of Antioxidant. 2nd Ed. Los Angeles:
Marcel Dekker. p. 1-46.
Halliwell, B., Guteridge, J.M.C. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. Third edition.
London: Oxford University Press. p.1-23.
Halliwell, B., Gutteridge, J.M.C., Cross, C.E. 1992. Free Radicals, Antioxidants, and Human
Disease: Where Are We Now?. J. Clin. Lqb. Med., 119: 598-620.
Handelman, C.J., Van kuijk, F.J., Chatterjee, A., Krinsky, N.I. 1991. Characteritization of
Product Formed during Autoxidation of beta carotene. Free Rad. Biol. Med. 10: 427-437.
Harbarth, S., Haleckova, K., Fruidevaux, C., Pittet, D., Ricou, B., Grau, G.E., Vadas, L., Pugin,
J. 2001. Diagnostic Value of Procal Citoning IL-6 and IL-8 in Critical III Patients Admitted
with Sispected Sepsis. Am. J. Repir. Crit. Care Med., 164: 396-402.
Harlinawati, Y. 2006. Terapi Jus untuk Kolesterol dan Ramuan Herbal. Jakarta. Puspa
Swara. 8-14.
Hastuti, T. 2005. Faktor-Faktor Resiko Terbaru untuk Penyakit Kardiovaskular. Jakarta:
Prodia: 1-25.
Hendromartono. 2008. Peran Radikal Bebas terhadap Komplikasi Vaskular Diabetes Mellitus
Tipe 2. Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD Dr. Soetomo - FK Unair, Surabaya., [cited 2009,
Agustus. 28]. Available from: URL : http://medicalborneo.com.
Hendromartono. 2009. Bridging the Gap in Dislipidemia (Focus on HDL Raiser). Division of
Endocrinology ad Metabolism, Departemen of Internal Medicine dr Soetomo Teaching Hospital
, Airlangga University School of Medicine, Surabaya., [cited 2009, Agustus. 28]. Available
from : URL : http://medicalborneo.com.
Het, V.K.H., West, C.E., Weststrate, J.A. 2000. Dietary Factors that Affect the Bioavailability
of Carotenoids. Journal of Nutrition , 130: 503-506.
Hong, D.S. 2007. IL-6 and Its Reseptors in Cancer: Implications for Translational Therapeutics.
Cancer, 110 (9): 1911-1928.
Huang, H., Patel, D.D., Manton, K.G. 2005. The Immune System in Aging: Roles of Cytokines,
T Cells and NK Cells. Front Biosci, 10: 192-215.
Jeanne. 2006. Wortel dan Manfaatnya untuk Pengobatan. [cited 2009 Agustus 19]. Available
from : URL : http: /www. Usd.ac.id/06/publ. dosen/far/Jeanne.pdf.
Johan. 2005. Tempe dan Kolesterol Darah., [cited 2009 Agust. 29]. Available from : URL :
http: /www.fatmawati.com.
Johnson. 2002. Antioxidant Enzyme Expression in Health and Disease : Effects of Exercise
and Hypertension. Comp. Biochemical Physiol, 133 c: 443-505
Kampa, M., Nistikaki, A.,Tsauosis,V., Maliaraki, N., Notas, G., Gastonas, E.2002, A New
Automated Methode for the Determintation of TAC of Human Plasma Based on Crocin Bleacing
Assay . BMG Clin.Pathol.,2: 3-21.
Karnen, G.B., Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. p. 217-287.
Kaufman, P.B., Duke,J.A., Brielmaan, H., Boik, J.E. 1997. A Comparative Survey of
Leguminous Plants as Sources of the Isoflavones Genistein and Daidzein; Implications for
Human Nutrition and Health. J. Altern Compl Med. 3. 7-12.
Kaysen, G.A., Stevenson, F.T., Depner, T.A. 1997. Determinant of Albumin Concentration in
Hemodialysis Patients. Am. Journal. Kidney Dis, 29: 658-668.
Keller, E.T., Wanagat, J., Ershler, W.B. 1996. Molecular and Cellular Biologyof Interleukin-6
and Its Reseptor. Frontiers in Bioscience, 1: 340-357., [cited
2010,Januari].Availablefrom:URL:http://www.bioscience.org/1996/v1/d/keller2/htmls/340357.htm.
Kharb, S. 2000. Vitamin E dan C in Preeclampsia. Eur. J .Obstet. Gynecol. Reprod. Biol., 93
(1): 37-39.
Kim, P.K., Deutschmann, C.S. 2000. Inflammatory Responses and Mediators. Surgical
Clinical of North America, 80: 3.
King , R.A. 2002. Soy Isoflavones in Foods: Processing Effects and Metabolism. Asa
Technology Bulletin, 87 (10):1-10.
Kohlmeier, M. 2003. Nutrient Metabolism. California. USA. Elsevier Ltd. p.92-475.
Koracevic, D., Koracevic, G., Djordjevic, V. 2001. Method for the Measurement of
Antioksidant Activity in Human Fluids. J.Clin.Pathol., 54: 356-361.
Koswara, S. 2006. Isoflavon, Senyawa Multi Manfaat dalam Kedelai. [cited
2010,Januari].Availablefrom:URL:http://www.e-book pangan.com.
Kresno, S.B. 2001. Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. p. 27-31.
Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto,N. 2004. Pathologic Basis of Disease. Elsevier Saunders. p.
16-18.
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L. 2007a. Patologi 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
p. 35-50.
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L. 2007b. Patologi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.
p. 376-377.
Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta. Gadjah Mada University
Press. p. 9-97.
Lampe, J.W. 1999. Health Effects of Vegetables anf Fruit Assessing Mechanisms of Action in
Human Experimental Studies. John Willey and Sons. New York: 159
Leedy, P. 1974 Practical Research : Planning and Design. New York. Publishing Co.
Lemieux, I., Pascot, A., Homme, D.P., Almeras, N., Bogaty, P., Nadeau, A. 2001. Elevated CReactive protein, Another Component of the Atherothombotic Profile of Abdominal Obesity.
ATVB, 21: 961-967.
Lieber, C.S. and Leo, M.A. 1999. Alcohol, Vitamin A and B,C, Adverse Interactions, Including
Hepatotoxicity and Carcinogenicity. Am. J. Clin Nut, 69 (6). 1071-1085.
Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis.
Jakarta,UI Press: 178-183.
Marinetti, G.V. 1990. Disorders of Lipoprotein Metabolism, dalam Disorders of Lipid
Metabolism. Plenum Press, New York. p. 101.
Marsden, K. 2008. The Complete Book of Food Combining: A New, Easy-to-Use Guide to The
Most Successful Diet Ever. Piatkus, London. p. 495, 508.
Mashayekhi, F., Salehi, Z. 2005. Expression of Nerve Growth in Cerebrospinal Fluid of
Congenital Hydrocephalic and Normal Children. Eur J. Neurol, 12 (8): 632-634.
Mason, W.F., Christine, J. 2008. Kolesterol Rendah Jantung Sehat. Associate Professor The
Havard Medical School, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. p.31-35.
McMichael, M. 2004. Ischemia-Reperfusion Injury: Assessment and Treatment, part II. J. Vet.
Emerg. Crit. Care, 14: 242-252.
Mendall, M.A., Patel, P., Ballam, L., Morris, J., Strachan, D.P., Camm, A.J., Northfield, T.C.
1997. Relation of Serum Cytokine Concentrations to Cardiovascular Risk Factors and Coronary
Heart Disease. Heart, 78: 273-277.
Miller, D.T. 2007. Atherosclerosis: The Path from Genomics to Therapics. J.Am Coll
Cardiology, 49.1589.
Milner, J.A. 2000. New Insights Into the Mechanism of Action of Antioxidants. Bethesda:
National Cancer Institute. p. 1-11.
Mindell, E. 2008. Terapi Kedelai. Jakarta: Delapratrasa. p. 57-58.
Miyamoto, T.,Yumoto,H.,. Takakashi, Y.,Davsoney, M.. Gibson, FC., Genco. 2006. Patogen
accelerated Atherosclerosis Occur Early after Exposure and can be Prevented via Immunization.
Infection and Immunity, 74: 1376-1380.
Montuschi, P. Barnes, J.P., and Roberts II, L.J. 2004. Isoprostances : Markers and Mediators
of Oxidative Stress. FASEB J. 18. 1791-1800.
Lemieux, I., Pascot, A., Homme, D.P., Almeras, N., Bogaty, P., Nadeau, A. 2001. Elevated CReactive protein, Another Component of the Atherothombotic Profile of Abdominal Obesity.
ATVB, 21: 961-967.
Lieber, C.S. and Leo, M.A. (1999). Alcohol, Vitamin A and B,C, Adverse Interactions,
Including Hepatotoxicity and Carcinogenicity. Am. J. Clin Nut, 69 (6). 1071-1085.
Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis.
Jakarta,UI Press: 178-183.
Marinetti, G.V. 1990. Disorders of Lipoprotein Metabolism, dalam Disorders of Lipid
Metabolism. Plenum Press, New York. p. 101.
Marsden, K. 2008. The Complete Book of Food Combining: A New, Easy-to-Use Guide to The
Most Successful Diet Ever. Piatkus, London. p. 495, 508.
Mashayekhi, F., Salehi, Z. 2005. Expression of Nerve Growth in Cerebrospinal Fluid of
Congenital Hydrocephalic and Normal Children. Eur J. Neurol, 12 (8): 632-634.
Mason, W.F., Christine, J. 2008. Kolesterol Rendah Jantung Sehat. Associate Professor The
Havard Medical School, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. p.31-35.
McMichael, M. 2004. Ischemia-Reperfusion Injury: Assessment and Treatment, part II. J. Vet.
Emerg. Crit. Care, 14: 242-252.
Mendall, M.A., Patel, P., Ballam, L., Morris, J., Strachan, D.P., Camm, A.J., Northfield, T.C.
1997. Relation of Serum Cytokine Concentrations to Cardiovascular Risk Factors and Coronary
Heart Disease. Heart, 78: 273-277.
Miller, D.T. 2007. Atherosclerosis: The Path from Genomics to Therapics. J.Am Coll
Cardiology, 49.1589.
Milner, J.A. 2000. New Insights Into the Mechanism of Action of Antioxidants. Bethesda:
National Cancer Institute. p. 1-11.
Mindell, E. 2008. Terapi Kedelai. Jakarta: Delapratrasa. p. 57-58.
Miyamoto, T.,Yumoto,H.,. Takakashi, Y.,Davsoney, M.. Gibson, FC., Genco. 2006. Patogen
accelerated Atherosclerosis Occur Early after Exposure and can be Prevented via Immunization.
Infection and Immunity, 74: 1376-1380.
Montuschi, P. Barnes, J.P., and Roberts II, L.J. 2004. Isoprostances : Markers and Mediators
of Oxidative Stress. FASEB J. 18. 1791-1800.
Morel, E., Lescoat, G., Cogrel, P., Sergent, O. 1993. Antioxidant and iron-Chelating Activities
of the Flavonoids Catechin, Quercetin and Diosmetin on Iron-Loaded Rat Hepatocyte Cultures.
Biochem. Pharmacol, 45: 13-19.
Morow; Lemos, D. 2009. Biomarker dalam Gagal Jantung. [cited 2010, Januari]. Available
from: URL: http://www.jantungku.con/tag/gagal jantung.
Morrow, J.D., Zackert, W.E., Van der Ende, D.S., Reich, E.E., Terry, E.S., Cox, B., Sanchez,
S.C., Montine, T.J., Roberts, L.J. 2002. Quantification of Isoprostances as Indicators of
Oxidant Stress in Vivo. In : Handbook of Antioxidants, 2nd ed. Ed: Cadenas, E and Packer, L.
Marcel Dekker, Inc. New York.
Muchtadi, D. 2009. Gizi Anti Penuaan Dini. Bandung: Alfabeta. p. 5-79.
Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell, V.W. 2009. Biokimia Harper. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran. p. 270-281.
Nawawi, H., Osman, N.S., Annuar, R., Khalid, B.A., Yusoff, K. 2003. Soluble Intercelluler
Adhesion Molecule-1 and IL-6 Levels Reflect Endothelial Dysfunction in Patients with Primary
Hipercholesterolemia Treated wih Atorvastatin. Atherosclerosis, 169 (2). 283-291.
Nelson, K.E, Pellan, Schofield, P., Zinders. 1995. Isolation and Characteristic of an Anaerobic
Ruminal Bacterium Capable of Degrading Hidrolyzable Tannins. Appl. Environ Microbial
61(9). Departemen of Animal Science, Cornel University New York: 3293-3298.
Nicoletta, P., Serafini, M., Colombi, B., Rio, D.,D., Salvatore, S., Bianchi, M., Brighenti, F.
2005. Total Antioxidant Capacity of Plant Foods, Beverages and Oils Consumed in Italy by
Three Different In Vitro Assays. Nutrient Requirements, Departement of Public Health
University of Parma, Italy: 1-25.
Okopien, B., Hyper, M., Kowalski, J., Belowski, D., Madej, A., Zielinski, M., Tokarz, D.,
Kalina, Z., Herman, Z.S. 2001. A new immunological marker of atherosclerotic injury of
arterial wall. Res Commun Mol Pathol Pharmacol, 109(3–4): 241-8.
Omaye, S.T., Krinsky, N.I., Kagan, V.E., Mayne, S.T., Liebler, D.C., Bidlack, W.R. 1997. Beta
Carotene : Friend or Foe ?. Fundam. Appl. Toxicol, 40: 163-174.
Omaye, S.T., Zhang, P. 1998. Phytochemical Interactions: Beta Carotene, Tocopherol and
Ascorbic Acid. In Bidlack W.R. Omaye ST (eds): “Phytochemical: Todays Knowledge for
Tomorrrow ‘s Products” Lancaster, P.A.: Technomic Publishing Co., Inc., Press.
Omoigui, S. 2007. The Interleukin-6 Inflammation Pathway from Cholesterol to Aging-Role of
Status, Bisphosphorates and plant polyphenols in Aging and Age-related Diseases. Division of
Inflamation and Pain Medicine, L.A. Pain Clinic, Los Angeles, USA. p. 31-33.
Ortiz, C., Alzueta,, Trevino, J., Castano, M. 1994. Effects of Faba Bean Tannins on The Growth
and Histological Stucture of the Intestinal Tract and Liver of Chicks and Rats. Par. Poult. Sci,
Gec; 35 (5). p 734-754.
Osterlie, M., Lerfall, J. 2005. Lycopene from Tomato Products Added Minced Meat: Effect
on Storage Quality and Colour. Food Res. Int., 38: 925-929.
Ozcan, E. 2003. To Develop a Novel Colorimetric and Automated Direct Measurement
Method for TAC. Clinical Biochemistry, 37: 153-157.
Paiva, S.A.R., Russel, R.M. 1999. Beta Carotene and Other Carotenoids as Antioxidants.
Journal of the American College of Nutrition, 18 (5). 426-433.
Paloza, P., Luberto, C., Calviello, G., Ricci, P., Bartolli, G.M. 1997. Antioxidant and
Prooxidant Role of Beta Carotene in Murine Normal and Tumor Thymocytes : Effects of
Oxygen Partial Pressure. Free Radic. Biol. Med., 22: 1065-1073.
Paloza, P., Calviello, G., Bartolli, G.M. 1995. Prooxidant Activity of Beta Carotene under 100
% Oxygen Pressure in Rat Liver Microsomes. Free Radic. Biol. Med., 19: 887-892.
Paloza, P., Krinsky, N.I. 1992. Beta Carotene and α- Tocoferol are Synergistic Antioxidants.
Arch Biochem. Biophys.; 297: 184-187.
Papendorf, B.G., Barz, W. 1991. Metabolisms of Isoflavones and Formation of Factor-II by
Tempe Producing Microorganisms. Tempe Workshop, October 21, 1991, Cologne, Germany:
54-59.
Parakkasi. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak dan Ruminan. UI Press. Jakarta. 327-328.
Patrick, L.N.D. 2000. Beta-Carotene: the Controvercy Continues. Alternative Medicine
Review, 5 (6): 530-535.
Patrono, C. 1997. Isoprostanes : Potential Markers of oxidant Stress in Atherothrombotic
Disease. Thromb. Vasc. Biol., 17: 2309-2315.
Prasetyo, A., Sarjadi, Pudjadi. 2003. Pengaruh Injeksi Inisial Adrenalin dan Diet Kuning Telur
terhadap Kadar Lipid, Jumlah Sel Busa dan Ketebalan Dinding Aorta Abdomalis Tikus Wistar.
Media Medika Indonesiana, 38 (1).
Prawiroharsono, S. 2000. Characterisation of Microorganism and its Implementation for Active
Substances Improvement of Tempe. Proseding Masa Depan Industri Tempe Menghadapi
Millenium Ketiga. Yayasan Tempe Indonesia: 1-17.
Purwanto. 2001. Pengubahan Kacang Kedelai menjadi Tempe terhadap Kandungan Zat
Antinutrisi Asam Fitat. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga: 17-19.
Rahayu, I.D. 1997. “Pengaruh Penggunaan Sorghum Hasil Perendaman dalam Air Kapur dan
Penambahan Metionin dalam Ransum terhadap Kinerja Protein Daging dan Lemak Karkas
Ayam Pedaging” (Tesis). Surabaya: Pasca Sarjana Universitas Airlangga: 19-21.
Rahmad, A.N. 2009. Studi Histopatologi Aktivitas Ekstrak Metanol Tempe Sebabai Bahan
Pencegah Aterosklerosis pada Kelinci. (Disertasi) IPB Bogor. 2-19.
Rahmawansa, S.S. 2009. Dislipidemia sebagai Faktor Resiko Utama Penyakit Jantung Koroner.
JCDK, 169/vol 36 no 3: 181-184.
Rampisela, J. 2009. Tabel Asam Basa Makanan. [cited 2010, 2 Agustus]. Available from :
URL:http:/tatia30.multiply.com/journal/item/31.
Reagan-Shaw, S.,Nihal, M., and Ahmad, N. 2007. Dose Translation from Animal to Human
Studies Revisited. The FASEB Journal-Life Sciences Forum. 22(-): 659-661.
Reagan, W.J., Vanderlind, B., Shearer, A,, Botts, S. 2007. Influence of Urine pH on Accurate
Urinary Protein Determation in Sprague-Dawley Rats. Vet. Clin. Pathol., 36 (1): 73-78.
Ridwan, E. 1997. Tempe Mampu Menghambat Proses Ketuaan. Cermin Dunia Kedokteran,
120. Jakarta: PT Kalbe Farma: 14.
Roberts, C.S., Pape, H.C., Jones, A.L., Malkani, A.L., Rodroguez, Giannoudis, P.V. 2005.
Damage Controle Orthopaedics. Evolving Concepts in the Treatment of patient Who Have
Sustained Orthopaedics Trauma. JBJS Am., 87: 434-449.
Roche. 2000. Vitamin;, Beta Karoten. [cited 2009 Des. 21]. Available from :
URL:http:/www.roche.com/vitamins/what/hnh/vits/bc.html.
Salvayre, A.N., Dousset, N., Ferretti, G., Bacchetti, T., Curalola, G., Salvayre, R. 2006.
Antioxidant and Cytoprotective Properties of High- Density Lipoproteins in Vascular Cells. Free
Radical Biology and Medicine Vol. 41 (7): 1031 – 1040.
Schuster, B., Kovaleva, M., Sun, Y., Regehard, P, Matthews, V., Grotzinger, J., Rose-John, S.,
Kallen, K.J. 2003. Signaling of Human Ciliary Neurotrophic Factor (CNTF) Revisited The IL-6
Receptor can Serve as an Alpha Receptor for CTNF. J.Biol. Chem., 278 (11): 9528
Schwantner, A., Dingley, A.J., Ozbek, S., Rose-John, S., Grotzinger, J. 2004. Direct
Determination of The IL-6 Binding Epitope of The IL-6 Receptor by NMR Spectroscopy.
J.Biol. Chem., 279 (1): 571-576.
Serafini, M., Bellocco,R., Wolk,A., Ekstrom, A.M. 2002. Total Antioxidant Potential of Fruit
and Vegetable and Risk of Gastric Cancer. Gastroenterology, 123: 985-999.
Sergio, A.R.P., Russell, R.M.D. 1999. Beta Carotene and Other Carotenoids as Antioxidants. J.
of the American College of Nutrition, 18(5): 426-433.
Shinya, H. 2009. The Miracle of Enzyme, Shelf-Healing Program, Meningkatkan Daya Tahan
Tubuh dan Regenerasi Sel. Qanita. Bandung: 7-9.
Sikka, C.S. 1996. Oxidative Stress and Role of Antioxidants in Normal and Abnormal Sperm
Function. Departement of Urology, Tulane University School of Medicine, New Orleans,
Louisiana, USA. 33.
Simanjuntak, D.H.; Sudaryati, E. 1998. Aspek Pencegahan Radikal Bebas melalui Antioksidan.
Majalah kedokteran Indonesia, vol. 48 No. 1.
Sofia, D. 2005. Antioksidan dan Radikal Bebas. [cited 2010, Januari]. Available from: URL:
http://www.chem-15-try.org/artikel-kimia/berita/antioksidan-dan radikal-bebas.
Soobrattee, M.A., Neergheen, V.S. 2005. Phenolic as potential antioxidant therapeutic agents:
Mechanism and actions. Mutation Research, 579(1-2): 200-13.
Stocher, R. 1994. Lipoprotein Oxidation MechanisticAspects Methodological and Clinical
Relevance. Curr. Opin. Lipidol, 5 : 422-433.
Sunita, A. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. p. 51-75.Supari,
F. 2005. Metabolic Syndrome in Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 55. No. 10:
618-621.
Supari, F. 2005. Metabolic Syndrome in Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 55. No:
618-621.
Surjohudojo, P. 2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta: CV Sagung Seto.
p.31-47.
Suyono, S. 1991. Aspek Klinis dan Pengobatan Dislipidemia. Surabaya: Simposium Nasional :
Perkembangan Mutakhir Endokrinologi Metabolisme: p. 544-563.
Svanberg, U., Lorri, W., Sendberg, A.S. 1993. Latic Fermentation Non-Tanin and High Tanin
Cereals. Effects on In vitro Estimation of iron Availabilaty and Phytate Hidrolysis. Journal of
Food Science 58 no 2. Dept of Food Science, Chalmers Univ. of Technology, Tanzania: 408412.
Szmitko, P.E., Wang,C.H., Weisel, R.D., De-Almmeida,J.R., Anderson, T.J., and Verma, S.
2003. New Markers of Inflammation and Endothelial Cell Activation. Circulation 108: 1917 1923.
Tharn, D.M. 1998. Potential Health Benefits of Dietary Phytoestrogens. A Review of the
Clinical, Epidemiological and Mechanistic Evidence. J. Clin. Endrocrinol. Metab. 83: 22232235.
Theze, J. 1998. The Cytokine Network and Immune Functions. New York: Oxford University
Press. p 105-109.
Tribble, D.L. 1995. Lipoprotein Oxidation in Dyslipidemia: Insight Intogeneral Mechanisms
Affecting Lipoproteins Oxidative Behaviour. Curr.Opin. Lipidol. 6. 196-208.
Trumbeckaite, S., Bernatoniene, J., Majkne, D., Jakstas, V., Savickas, A., Toleikis, A. 2006.
The Effect of Flavonoids on Rat Heart Mitochondrial Function. Biomed. Pharmacotherapy, 60:
245-248.
Utami, M.F.S., Wijoyo, Y. 2007. Efek Analgetik dan Antiinflamasi Beta Karoten pada Mencit.
Fakultas Sanata Dharma. Yogya. 75.
Utari, D.M. 2011. “Efek Intervensi Tempe terhadap Profil Lipid, SOD, LDL, HDL dan MDA
pada Wanita Menopause” (tesis). Bogor. IPB.
Vallerie, N. 2009. Empat Pilar Kesehatan, Panduan Memilih dan Mengonsumsi Vitamin,
Suplemen, dan Herbal. Edisi pertama. Jakarta : Prestasi Pustaka publisher. p. 26-28.
Varghese, J.N., Moritz, R.L., Lou, M.Z., Donkelaar, A.V., Ji, H., Branson, K.M., Simpson,
R.J., Hall, N.E., Invancic, N., Simpson, R.J. 2002. Structure of the Extracellular Domains of
the Human Interleukin-6 Receptor –Chain. PNAS 99 (25) : 15959-15964.
Vedavanam, K., Srijayanta, S., Reilly, J.O. 1999. Antioxidant Action and Potential
Antidiabetic Properties of an Isoflavonoid – Containing Soybean Phytochemical Extract.
Phytotherapy Research, 13: 601-608.
Walsh, S.W., Vaughan, J.E., Wang, Y., Robert, L.J. 2000. Placental Isoprostane is Significantly
Increased in Preclampsia. The FASEB Journal,14: 1289-1296.
Weber P.C., Leaf, A. 1991. Cardiovascular Effects of Omega 3 Fatty Acids. Atheroclerosis
Risk Factor Modification by Omega 3 Fatty Acids. World Rev Nutr Diet. Basel, Karger: 218232.
Widarsih, V.S.R. 2003. Daya Antiinflamasi Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) pada
Mencit Putih Betina. (Skripsi). Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogya.
Widowati, W. 2007. Peran Antioksidan sebagai Agen Hipoklesterolemia. Majalah Kedokteran
Damianus, Vol. 6, No. 3.;228-230.
Winarsi, H. 2004a. Efek Minuman Fungsional yang Disuplementasi Isoflavon kedelai dan Zn
terhadap Profil Lipid dan Produk MDA Plasma Wanita Premenopause. Yogyakarta: Proseding
Seminar Nasional PBBMI : Peran Biokimia dan Biologi Molekuler dalam Eksplorasi dan
Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Berkelanjutan. p. 10-15.
Winarsi, H. 2004b. Status Antioksidan Enzimatis Intraseluler dan Ekstraseluler Wanita
Premenopause yang yang Disuplementasi dangan Isoflavon Kedelai dan Zn. Jakarta: Proseding
Seminar dan Kongres PATPI. p. 23-27.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan Radikal Bebas, Potensi dan Aplikasinya dalam
Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius. p. 9-108.
Winarsi, H., Muchtadi, D., Zakaria, F.R., Purwantara, B. 2003. Status Antioksidan Wanita
Premenopause yang Diberi Minuman Suplemen “Susumeno”. Yogyakarta: Dalam Proseding
Seminar Nasional PATPI. p. 21-27.
Wirakusumah, E.S. 1997. Buah dan Sayur untuk Terapi. Penebar Swadaya. Jakarta. 29-33.
Witztum, J.L., Berliner, J.A. 1998. Oxidized Phospholipids and Isoprostanes in
Atherosclerosis. Curr. Opin. Lipidol 9. 441-448.
Woods, A., Brull, D.J., Humphries, S.E., Montgomery, H.E. 2000. Genetics of Inflammation
and Risk of Coronary Artery Disease; the Central Role of Interleukin-6. Eur Heart J., 21: 15741583.
Yeum, K.J., Russel, R.M. 2002. Carotenoid Bioavailability and Bioconversion. Annu. Rev.
Nutr., 22 : 483-504.
Yin, H., Musick, E.S., Morrow, J.D. 2005. Quantification of Isoprostane as an Index of
Oxidative Stress. J. Biol . Sci., 5: 1-6.
Young, R.O. 2006. Understanding and Testing the pH of Urine and Saliva. [cited 2013,
Januari, 25]. Available from: URL: www.ph miraaacleliving.com/Articles-testing pH.html.
Young, R.O. 2010. What is The Acid-Alkaline Diet ?. [cited 2010, Agustus, 2]. Available
from: URL: http//www.energiseforlife.com.
Youngson, R. 2005. Antioksidan, Manfaat Vitamin C dan E bagi Kesehatan.Arcan, Jakarta. p.
1-86.
Yudkin, J.S., Stehouwer, C.D.A., Emeis, J.J., Oppack, S.W. 1999. C. Reactive Protein in
Healthy Subjects : Associations with Obesity, Insulin Resistance and Endothelial Disfunction,
A Potential Role for Cytokines Originating from Adipose Tissue. ATVB, 19: 972-978.
Yulyasih, K.S.M. 2011. “Ekstrak Bulung Boni (Caulerpa spp.) dan Bulung Sangu (Gracilaria
spp.) Memperbaiki Profil Lipid, Menurunkan Kadar MDA, dan Enzim HMG Reduktase Tikus
Wistar Diberikan Diet Tinggi Kolesterol”. (Disertasi). Denpasar : Universitas Udayana.
Zakaria, F.R., Irawan, B., Pramudya, S.M., Sanjaya. 2000. Intervensi Sayur dan Buah Pembawa
Vitamin C dan E Meningkatkan Sistem Imun Populasi Buruh Pabrik di Bogor. Buletin
Teknologi dan Industri Pangan, 11(2): 21-27.
LAMPIRAN 1. Persiapan Ruangan untuk Pemeliharaan Tikus dan Pengawasan yang
Dilakukan (modifikasi dari Astuti, 1996; Muliartha dan Mulyohadi, 2002;
Kusumawati, 2004).
1. Ruang dan Kandang Pemeliharaan
1.1 Ruang pemeliharaan/penelitian tikus mempunyai kelembaban relatif 50-60%, suhu
ruangan berkisar antara 23oC - 27oC. Lama penyinaran 13 jam, suara tidak gaduh dan tidak
berbau. Kebersihan ruangan selalu dijaga.
1.2 Kandang tikus (kandang individu) terbuat dari kawat platik, yang beralaskan kotak platik,
yang berisi limbah serutan kayu yang sudah disterilkan, setiap kandang berisi alat untuk minum
dan makan.
2. Pengawasan Status Kesehatan
2.1 Kebersihan kandang merupakan standard tinggi.
2.3 Alas kandang diganti setidaknya dua hari sekali.
2.4 Selalu dilakukan pengamatan kesehatan tikus.
3. Pengawasan Petugas Pemeliharaan Tikus
3.1 Petugas pengawas dan pemelihara hewan coba dipilih yang memang
menyenangi
hewan dan mempunyai perasaan khusus.
3.2 Membuat jadwal kerja bulanan dan membuat laporan harian (jumlah makanan dan
cairan)
3.3 Selalu waspada dan mengetahui gejala penyakit dan mengetahui pakan dan minum
hewan, mengetahui hewan yang sehat, tidak mau makan, ataupun sakit.
3.4 Petugas pemelihara memakai pakaian yang bersih dan menggunakan masker dan sarung tangan
pada waktu bekerja di kandang hewan.
3.5 Batasi keluar masuknya orang ke daerah kandang
4. Pengawasan Makanan dan Minuman
4.1 Kualitas dan kuantitas pakan dan minum untuk semua hewan coba harus cukup.
Pemberian makanan dilakukan dua kali setiap hari (pagi dan sore), baik pakan standar (Cornfeed
Pars/pellet) maupun suplemen (tempe M-2 atau wortel).
LAMPIRAN 2. Konversi Dosis Makanan
Lampiran 2.1. Konversi Perhitungan Dosis untuk Beberapa Jenis Hewan dan Manusia
(Ghosh, 1971, dalam Kusumawati, 2004).
Mencit
20 g
Tikus
200 g
Marmot
400 g
Kelinci
1,5 kg
Kucing
2 kg
Kera
4 kg
Anjing
12 kg
Manusia
70 kg
Mencit 20 g
1,0
7,0
2,25
27,8
29,7
64,1
124,2
387,5
Tikus 200 g
0,14
1,0
1,74
3,9
4,2
9,2
17,8
56,0
Marmot 400 g
0,08
0,57
1,0
2,25
2,4
5,2
10,2
31,5
Kelinci 1,5 kg
0,04
0,25
0,44
1,0
1,08
2,4
4,5
14,2
Kucing 2 kg
0,03
0,23
0,41
0,92
1,0
2,2
4,1
13,0
Kera 4 kg
0,016
0,11
0,19
0,42
0,45
1,0
1,9
6,1
Anjing 12kg
0,008
0,06
0,10
0,22
0,24
0,52
1,0
3,1
Manusia70 kg
0,0026
0,018
0,031
0,07
0,076
0,16
0,32
1,0
Lampiran 2.2. Konversi Dosis Hewan Percobaan Berdasarkan Body Surface Area
(Reagan-Shaw et al., 2007).
Spesies
Berat (kg)
BSA (m2)
Km faktor
Manusia dewasa
60
1,6
37
Anak-anak
20
0,8
25
Baboon
12
0,6
20
Anjing
10
0,5
20
Monyet
3
0,24
12
Kelinci
1,8
0,15
12
Babi Guinea
0,4
0,05
8
Tikus
0,15
0,025
6
Hamster
0,08
0,02
5
Mencit
0,02
0,007
3
HED (mg/kg) = animal dose (mg/kg) X animal Km/human Km
HED : Human Equivalen Dose (mg/kg)
BSA : Body Surface Area
Km : Faktor Konversi
LAMPIRAN 3 Pemeriksaan Laboratorium
3.1 Penentuan Kadar Kolesterol-HDL dan LDL
Penentuan kadar kolesterol-HDL dan LDL dengan menggunakan Kit Biovision (HDL and
LDL/VLDL Cholesterol Quantification Kit)(Catalog#K613-100, 100 assays, store at 20oC) merupakan metode kuantitatif sampel serum darah, dengan prosedur penentuan
kadar kolesterol-HDL dan LDL yang sederhana. Dalam oksidase, uji kolesterol
menghasilkan produk yang bereaksi dengan probe untuk menghasilkan warna (λ=570 nm)
dan fuoresensi (Ex/Em=538/587 nm). Kolesterol esterase menghidrolisis kolesterol ester
menjadi kolesterol bebas, oleh karena itu kolesterol ester dan kolesterol bebas dapat
dideteksi secara terpisah, dan tidak terdapat kolesterol esterase dalam reaksi.
Persiapan Reagen
Cholesterol Probe : siap dipergunakan, dengan pemanasan sampai suhu kamar, untuk
mencairkan DMSO solution. Simpan pada suhu -20oC, terlindung dari cahaya, dan gunakan
dalam waktu dua bulan.
Cholesterol Esterase : larutkan dalam 220 μl Cholesterol Assay Buffer sebelum digunakan.
Simpan pada suhu -20oC, dan gunakan dalam waktu dua bulan.
Enzyme Mix : larutkan dalam 220 ml Cholesterol Assay Buffer sebelum digunakan. Simpan
pada suhu - 20oC, dan gunakan dalam waktu dua bulan.
Prosedur Pemeriksaan Kolesterol :
1. Pemisahan HDL dan LDL : Campur 100 μl dari 2 x Precipitation Buffer dengan 100 μl dari
serum sampel dalam tabung microcentrifuge. Inkubasi 10 menit pada suhu kamar,
disentrifus pada 2000 x g (5000 rpm on bench-top microcentrifuge) selama 10 menit.
Transfer supernatant ke tabung baru yang berlabel. Ini adalah adalah fraksi HDL.
Endapannya adalah fraksi LDL/VLDL. Jika ingin mengukur tingkat LDL, endapan harus
disentrifus kembali, untuk menjaring sisa-sisa fraksi HDL. Suspensi endapan dalam 200 μl
tidak disertakan, ini adalah fraksi LDL.
Catatan A : Jika supernatant keruh, sampel harus kembali disentrifuse. Jika sampel tetap
berawan, encerkan sampel 1 : 1 dengan PBS, dan ulangi prosedur pemisahan. Kalikan hasil
akhir 2 x karena pengenceran dilaksanakan 2 x.
Catatan B : Waktu dan suhu presipitasi tidak mempengaruhi hasil secara signifikan.
2. Kurva Standard dan Persiapan Sampel. Encerkan Cholesterol standard menjadi 0,25 μg/ml
dengan menambahkan 20 μl Cholesterol standard sampai 140 μl Cholesterol Assay Buffer,
aduk rata. Tambahkan 0, 4, 8, 12, 16, 20 ml ke dalam 96 well plate. Sesuaikan volume
untuk 50 μl/well dengan Cholesterol Assay Buffer untuk menghasilkan generasi 0, 1, 2, 3, 4,
5 μg/well dari Cholesterol standard. (Catatan : uji fluorometrik adalah 10 kali lebih
sensitive dari uji kolorimetri, Cholesterol standard harus diencerkan 10 kali, jika
menggunakan uji fluorometric). Untuk pengujian sampel, dengan menggunakan 1 hingga 20
μl dari fraksi HDL dan LDL, menyesuaikan jumlah volume menjadi 50 μl/well dengan
Cholesterol Assay Buffer.
3. Persiapan Reaction Mix
Untuk pengujian masing-masing, siapkan 50 μl total Reaction Mix yang mengandung : 44
μl Cholesterol Assay Buffer, 2 ml Cholesterol Probe, 2 μl Enzyme Mix, 2μl Cholesterol
Esterase.
4. Tambahkan 50 μl Reaction Mix pada setiap sumur yang berisi Cholesterol standard atau
sampel, aduk rata.
5. Inkubasi selama 60 menit pada suhu 37o C, terlindung dari cahaya. Ukur O.D. pada 570 nm.
6. Kalkulasi : Plot Kurve standar. Contoh konsentrasi kolesterol :
C = A/V(μg/μl)
Dimana :
A adalah jumlah kolesterol sampel dari kurve standar (μg)
V adalah volume sampel asli yang ditambahkan pada sampel reaction well (μl)
Berat molekul kolesterol : 386,6; 1 μg/ μl = 100 mg/dL
3.2 Penentuan Kadar Kapasitas Antioksidan Total (TAC).
Prinsip pemeriksaannya menggunakan Trolox sebagai standarisasi antioksidan yang ada
dalam sampel. Sehingga antioksidan yang ada adalah setara dengan konsentrasi trolox.
Pemeriksaan kadar bioaktif ini menggunakan Kit Kapasitas Antioksidan Total (TAC) dengan
catalog # K274-100 merk Biovision. Kit ini terdiri dari reagen Cu++ Assay Diulent, Protein
Mask dan Trolox standar.
Cara kerja Kit Kapasitas Antioksidan Total (TAC) adalah sebagai berikut :
1. Buat kurva kalibrasi Trolox : pipet 0, 4, 8,, 12, 16, 20 μl Trolox standar dan tempatkan
pada masing-masing plat sumur pemeriksaan dan tambahkan dd H2O hingga volume
masing-masing 100 μl.
2. Pembuatan sampel : sampel berupa serum langsung dipipet sebanyak 2 μl dan
ditambahkan dengan ddH2O hingga volume 100 μl. Masing-masing sampel dibuat duplo.
3. Pembuatan pereaksi (reagen kerja) : larutkan 1 bagian Cu++ dengan 49 bagian Assay
diluent. Masing-masing sumur memerlukan 100 μl.
4. Tambahkan 100 μl, reagen kerja pada semua sampel dan reagen standar.
5. Inkubasi selama 1,5 jam pada suhu kamar.
6. Baca absorbansi pada 570 nm.
7. Perhitungan kadar TAC dengan menggunakan rumus :
Kapasitas Antioksidan Total= [(Absornasi sampel-Absornasi blanko)x(μl sampel)]
[slope kurve]
Atau
Sa/Sv = nmol/ μl or mN Trolox equivalent
3.3 Pengukuran F2 - Isoprostan dalam Urine Tikus Wistar.
Pemeriksaan kadar F2-Isoprostan dilakukan dengan menggunakan 8-Iso-PGF2α Enzyme
Immunoassay Kit (EIA) dari Assay Design, yang merupakan immunoassay yang kompetitif
untuk penentuan kadar F2-Isoprostan dalam larutan biological. Kit tersebut menggunakan
antibodi poliklonal terhadap F2-Isoprostan untuk dapat mengikatnya dengan cara yang
kompetitif yang terdapat dalam sampel atau dalam molekul alkaline phospatase yang
memiliki F2-Isoprostan yang secara kovalen melekat padanya.
Prosedur penggunaan Kit :
1. Pertama ditentukan penomoran sumur yang akan digunakan dengan berpedoman pada lembar
assay layout.
2. Memasukkan dengan pipet 100 μl standar diluent (Assay Buffer atau Tissue Culture Media)
ke dalam sumur NSB dan B0 (0 pg/ml standard).
3. Memasukkan dengan pipet 100 μl cairan standar ke dalam sumur nomor satu sampai dengan
tujuh.
4. Memasukkan dengan pipet 100 μl cairan sampel ke dalam sumur sesuai dengan
penomorannya.
5. Memasukkan dengan pipet 50 μl assay buffer ke dalam sumur NSB.
6. Memasukkan dengan pipet 50 μl konjugat biru ke dalam semua sumur, kecuali Total Activity
(TA) dan sumur kosong (blank).
7. Memasukkan dengan pipet 50 μl antibodi kuning ke dalam semua sumur kecuali sumur
kosong (blank), TA dan NSB. Sebagai catatan semua sumur harus berwarna hijau kecuali
sumur NSB yang seharusnya berwarna biru. Sumur TA dan blank seharusnya kosong dan
tidak berwarna pada langkah ini.
8. Piring sampel kit diinkubasi pada suhu kamar ke dalam plate shaker selama dua jam pada
500 rpm, selama masa ini dapat digunakan plastik penutup piring sampel kit jika
dikehendaki.
9. Masing-masing sumur dikosongkan dan dicuci dengan menambahkan 400 μl cairan pencuci,
diulangi dua kali sehingga total dilakukan tiga kali pencucian.
10. Setelah pencucian terakhir, sumur dikosongkan dan piring ditepuk di atas kertas pembersih
untuk mematikan buffer pencuci tidak ada yang tertinggal.
11. Ditambahkan 5 μl konjugat warna biru terang dalam pengenceran 1:10 ke dalam sumur TA.
12. Ditambahkan 200 μL cairan substrat kemudian diinkubasi dalam suhu kamar 45 menit tanpa
dikocok.
13. Ditambahkan 50 μl stop solution ke dalam setiap sumur, hal ini akan segera menghentikan
reaksi yang terjadi dan piring sampel harus segera dibaca setelahnya.
14. Kemudian dibaca dengan densitas optik pada 405 nm, dengan koreksi antara 570 dan 590
nm.
3.4 Pemeriksaan Interleukin-6 dengan metode d-human IL-6 Immunoassay (R & D
Systems).
Prosedur pemeriksaan d-Human Interleukin-6 Immunoassay (R & D System), menggunakan
Cat. No.: D6050, adalah sebagai berikut :
Prisip Pemeriksaan :
Pemeriksaan ini menggunakan teknik quantitatif sandwich enzyme immunoassay.
Sebelumnya antibody monoclonal spesifik untuk IL-6 telah di-coated dalam microplate.
Standar, sampel, kontrol dan conjugate di pipet ke dalam well dan keberadaan IL-6 akan di
sandwich (dipasangkan) oleh immobilized antibody dengan antibody enzyme-linked
monoclonal spesifik untuk IL-6.
Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan substansi-substansi yang terikat dan atau
reagen antibody-enzyme, selanjutnya larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan
kemudian terbentuklah pembentukan warna yang sebanding dengan jumlah IL-6 yang terikat.
Pembentukan wama dihentikan dan kemudian intensitas warna di ukur.
Penanganan Reagen
1. Wash Buffer Concentrate
Encerkan 20 ml Wash Buffer Concentrate dengan air de-ionized atau distilled hingga
diperoleh 500 ml larutan Wash Buffer.
2. Standard
Larutkan IL-6 standar dengan 5 ml Calibrator Diluent RD6F. Larutan ini merupakan larutan
stok 300 pg/ml. Sebelum dilarutkan standar dikocok perlahan selama minimal 15 menit.
Pipet 667 μL Calibrator Diluent RD6G masukkan ke dalam tabung 100
pg/mL dan 500 μL ke dalam sisa tabung lainnya. Gunakan larutan stok untuk mendapatkan
serial larutan seperti gambar di bawah ini.
3. Larutan Substrat
Campurkan Color reagent A dan B dalam jumlah yang sarna dalam waktu 15 menit sebelum
digunakan. Lindungi dari sinar matahari.
Presedur Kerja
1. Siapkan semua reagen, working standard, sampel dan kontrol.
2. Tambahkan 100 μL Assay Diluent RDIW ke dalam well .
3. Tambahkan 100 μL standar, control atau sampel ke dalam masing-masing well, campur dengan baik.
4. Tutup plate dengan plate sealer yang tersedia dan inkubasi pada. suhu kamar selama 2 jam.
5. Buang isi dari setiap well dan cuci dengan menambahkan 400 μL wash buffer ke dalam masingmasing well. Ulangi proses tersebut sebanyak 3 kali (total pencucian sebanyak 4 kali). Setelah
pencucian terakhir, buang isi dari well, buang sisa wash buffer dengan mengetuk-ngetukkan plate
secara terbalik pada lap kertas yang bersih.
6. Segera tambahkan 200 μL conjugate ke dalam masing-masing well. Tutup plate dengan plate sealer
baru, inkubasi pada suhu kamar selama 2 jam.
7. Ulangi kembali proses pencucian seperti pada nomer 5.
8. Segera tambahkan 200 μL substrate solution ke dalam masing-masing well. Tutup plate dengan plate
sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 20 menit. Lindungi dari sinar matahari.
9. Tambahkan 50 μL stop solution ke dalam masing-masing well. Warna dalam well akan erubah dari
biru ke kuning. Jika warna yang ditimbulkan pada well hijau atau perubahan warnanya tidak terlihat
seragam, goyang perlahan-lahan untuk memastikan bahwa sudah tercampur sempuma.
10. Tentukan optical density dari tiap well dalam waktu 30 menit menggunakan microplate reader pada
panjang gelombang 450 nm.
4. Pemeriksaan Hispatologi
Pengamatan mikroskopik dari suatu jaringan baik yang normal maupun patologis merupakan
bagian yang sangat penting dari proses pengambilan data yang menunjang suatu penelitian atapun
diagnose suatu penyakit. Mikroteknik adalah metode pembuatan sediaan histology agar dengan
pengamatan menggunakan mikroskop, diperoleh gambaran struktur sediaan yang diusahakan sedapat
– dapatnya menyerupai struktur aslinya. Sebelum jaringan dapat diamati di bawah mikroskop terlebih
dahulu melewati beberapa tahapan proses sebagai berikut :
1. Proses Pengambilan Sampel
Proses pengambilan sample dilakukan dengan alat – alat bedah standar yang sudah
dibersihkan dan disterilkan . Gunting ataupun pisau dan blade yang digunakan haruslah baru dan
tajam. Segera setelah hewan mati, organ tubuh yang telah mengalami perubahan diambil dengan
ukuran 1x1x1cm, kemudian dicuci dengan larutan buffer atau garam fisiologis kemudian dimasukkan
ke dalam larutan pengawet 10 kali volume jaringan/organ.
2. Proses Pengawetan (Fiksasi )
Pada prinsipnya, sediaan yang dilihat di bawah mikroskop harus dapat memberikan gambaran
histology yang sebenarnya dari jaringan tersebut. Untuk itu dibutuhkan suatu proses perlakukan yang
dapat mencegah terjadinya perubahan pasca mati pada jaringan. Hal penting lainnya adalah menjaga
tetap terpisahnya bagian padat dan bagian cair dari protoplasma sel, merubah bagian – bagian sel
menjadi bahan – bahan yang tidak larut dalam setiap proses perlakukan berikutnya, melindungi sel
dari kerusakan dan pengerutan saat dimasukkan ke alcohol atau paraffin panas. Juga untuk
meningkatkan kemampuan bagian – bagian dari jaringan untuk dapat diwarnai ( stainability ),
meningkatkan indek refraksi jaringan sehingga meningkatkan visibilitasnya.
Contoh Larutan Fiksasi
Larutan 10% formalin
40% formaldehyde
: 100cc
Aquadestilata
: 900cc
Setelah proses pengawetan selesai, jaringan dicuci ( larutan pengawetannya dicuci sampai hilang )
untuk mencegah adanya gangguan yang mungkin terjadi pada proses selanjutnya akibat masih
tersisanya larutan pengawet pada jaringan. Untuk pencucian biasanya dipakai air kran atau alkohoh
50%, 70%.
3. Proses Dehidrasi
Walaupun telah mengalami proses pengawetan dan pencucian, konsistensi jaringan masih saja kurang
ideal untuk dapat dipotong tipis ( 5-6 mikrometer ) dengan microtome. Jaringan ini bias saja masih
lunak atau jika jaringan tersebut berlumen bentuknya akan mudah berubah jika langsung dipotong .
Untuk mengatasi masalah ini biasanya dilakukan proses penggantian cairan yang ada dijaringan
dengan bahan yang dapat mengeras dan mudah dipotong. Yang paling umum digunakan untuk
peruses standar biologi adalah paraffin. Paraffin dapat melakukan penetrasi secara intra dan
ekstraseluler sehinga dapat menjadi bahan penunjang yang baik selama proses pemotongan.
Sebelum di embedding dengan parafin, jaringan harus bebas dari air sebab air dengan parafin
tidak dapat menyatu. Dehidrasi adalah penarikan air dari jaringan. Jaringan yang diawetkan dalam
larutan dengan pelarut utama air cenderung mempertahankan kadar air tinggi dan dapat mengganggu
proses selanjutnya. Jaringan biasanya di – dehidrasi dengan jalan merendam dalam alkohol dengan
presentase bertingkat 70%,80% sampai alcohol absolute. Selain menarik air, perlakuan dengan
alkohol bertingkat dapat mencegah terjadinya pengerutan atau collapse
4. Proses Clearing
Proses clearing adalah proses intermedier antara proses dehidrasi dengan proses embedding
dengan paraffin. Jika setelah dehidrasi dengan alcohol bertingkat jaringan langsung diproses ke
embedding parafin , maka yang terjadi adalah paraffin tidak dapat melakukan penetrasi ke dalam
5.
6.
7.
8.
jaringan. Ini karena sisa alkohol dalam jaringan tidak dapat bercampur atau larut dalam paraffin.
Untuk itu jaringan perlu direndam dahulu ke dalam suatu perantara yang dapat bercampur dengan
alcohol dan parafin. Biasanya yang banyak digunakan adalah xylol atau yang lain seperti toluene,
chloroform dan benzene. Sebaliknya sebelum di clearing jaringan harus benar – benar bebas air
karena dapat mengganggu proses selanjutnya ( xylol tidak dapat bercampur dengan air ). Ini berarti
proses dehidrasi harus benar – benar sempurna. Jaringan yang telah mengalami proses clearing
menjadi transparan dan menjadi lebih tua.
Proses Infiltrasi
Proses ini menggunakan parafin cair dengan suhu 50 – 60oC dengan maksud paraffin cair
dapat melakukan penyusupan ke dalam jaringan yang berfungsi sebagai zat penunjang bagi jaringan
saat pemotongan . Parafin harus merembes di sela – selan jaringan menggantikan cairan penjernih.
Parafin dapat dibagi menjadi dua macam, parafin keras dan paraffin lunak. Parafin keras memiliki
titik cair 55 – 58oC atau 60 -68oC, sedangkan yang lunak sekitar 50 – 52oC atau 53 -55oC. Pilihan
berdasarkan pada jenis dan tujuan pekerjaan. Parafin keras memungkinkan memotong sayatan relatif
tipis dari parafin lunak.
Proses Embedding
Proses embedding sebaiknya dikerjakan di dekat sumber panas (pembakaran Bunsen dan
sebagainya ). Alat yang digunakan terlebih dahulu dihangatkan untuk mencegah agar parafin tidak
mengeras sebelum proses selesai. Jaringan diletakkan di dalam wadah dari gelas atau kaleng yang
sudah dihangatkan terlebih dahulu dan berisi parafin cair. Jaringan diletakkan sedemikian rupa
sehingga memudahkan orientasi baik saat pemotongan maupun pengenalan jaringan. Blok yang
sudah mengeras sebaiknya disimpan minimal 6 jam dalam lemari es sebelum dipotong.
Proses Pemotongan Jaringan ( Sectioning )
Setelah penyimpanan dalam lemari es, blok sudah siap untuk dipotong. Alat pemotongan
jaringan ini dinamakan microtome. Biasanya jaringan dipotong dengan ketebalan 1 – 10 mikron
tergantung keinginan dan tujuan. Untuk pengamatan umum, jaringan biasanya dipotong dengan
ketebalan sekitar 5 mikron. Perlu diperhatikan bahwa pisau microtome sangat tajam, pengerjaan
pemotongan haruslah hati – hati dan teliti. Keadaan ruangan suhu dan kelembaban juga terpengaruh
pada ketebalan sayatan.
Sayatan biasanya diapungkan terlebih dahulu ke dalam water bath dengan temperature 45 oC,
kemudian diletakan ke dalam obyek gelas dimana sebelumnya telah diolesi bahan perekat Mayers
egg albumin atau adhesive dried albumen. Gelas obyek ini kemudian disimpan di incubator ( 37 –
40oC ) satu malam sebelum diwarnai.
Freezing microtome, bahan yang dibutuhkan pada pemotongan ini antara lain chloride spray
atau dengan cabon dioxide yang dimanpatkan. Untuk diagnose cepat caranya adalah : jaringan yang
akan kita periksa , kita potong dengan ketebalan sekitar 3 mm kemudian difiksasi dengan formal
salin sekitar 1 – 2 menit, supaya fisksinya baik dapat dibantu dengan pemanasan kemudian jaringan
diambil letakkan pada tissue holder lalu disemprot dengan CO2 sehingga jaringan menjadi beku,
setelah beku barulah dilakukan pemotongan. Sayatan yang diperoleh diambil dengan menggunakan
jari dan dimasukkan ke dalam petridisk berisi aquadesk kemudian jaringan tersebut dipindahkan ke
dalam suatu wadah yang telah berisi zat warna, cuci dengan air atau alcohol kadar rendah setelah itu
baru diletakkan pada obyek gelas dimounting dengan gliserin
Proses Pewarnaan ( Staining )
Jaringan yang telah melalui proses diatas segera diwarnai agar dapat mudah dilihat dan
dikenali di bawah mikroskop. Karena setelah proses di atas jaringan menjadi kering, sedangkan
proses pewarnaan melibatkan berbagai larutan maka keadaan yang kering ini harus dikembalikan
menjadi basah. Proses ini dinamakan hidrasi. Proses ini mencakup juga penghilangan parafin dari
dalam jaringan ( deparaffinisasi ) dengan merendam dalam xylol atau toluene. Setelah jaringan yang
telah bebas paraffin direndam dalam alcohol dengan konsentrasi menurun mulai dari absolute, 80%,
70%. Setelah direndam dalam air , jaringan siap untuk proses pewarnaan.
Menurut asalnya zat warna dibagi menjadi dua macam, yaitu yang berasal dari alam dan yang
sintesis. Contoh zat warna asal alam adalah Haemtoxylin, sedang yang sintesis sangat banyak antara
lain eosin. Haematoxylin – eosin adalah pewarna standar yang sangat umum dipakai.
Haematoxylin mewarnai inti sel
( biru ) sedangkan eosin mewarnai sitoplasmanya ( merah ).
Setelah proses pewarnaan, sediaan ( jaringan di atas objek gelas ) kembali dehidrasi dengan alkohol
bertingkat dan xylol untuk kemudian dilanjutkan dengan mounting. Mounting media adalah suatu
penyangga, terletak antara cover glass dengan sediaan sehingga jaringan yang telah diwarnai dapat
diawetkan dan tampak tetap transparan. Mounting media natural diantaranya : Canada balsam, Cedar
oil, Damar, Permount , dan Entellan. Penelitian ini menggunakan jenis entellan.
9. Pengamatan terhadap Sediaan
LAMPIRAN 5. ANALISIS STATISTIK
LAMPIRAN 5.1 ANALISIS STATISTIK KADAR HDL
De scriptive Statistics
N
HDLKN
HDLKP
HDLT
HDLW
HDLTW
Valid N (listwise)
5
5
5
5
5
5
Minimum
36,39
23,23
46,99
40,14
65,93
Maximum
37,51
31,52
54,45
46,57
70,84
Mean
37,0800
28,6840
49,6460
44,3100
68,4600
Std. Deviation
,47655
3,32193
2,86738
2,66931
1,91242
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a)
Shapiro-Wilk
HDLKN
Statistic
,217
Df
5
Sig.
,200(*)
Statistic
,904
df
5
Sig.
,431(*)
HDLKP
,295
5
,178(*)
,845
5
,178(*)
HDLT
,291
5
,193(*)
,865
5
,248(*)
HDLW
,317
5
,113(*)
,849
5
,193(*)
HDLTW
,137
5
,200(*)
,990
5
,981(*)
(*) Data berdistribusi normal (p>0,05)
Te st of Homogeneity of Variances
Kadar HDL
Levene
Statistic
1,816
df1
df2
4
20
Sig.
,165
Data homogen (p>0,05)
Lampiran 5.2 ANALISIS STATISTIK KADAR TAC
De scriptive Statistics
N
TACKN
TACKP
TACT
TACW
TACTW
Valid N (listwise)
5
5
5
5
5
5
Minimum
,54
,42
,82
,62
1,44
Maximum
,58
,50
,91
,67
1,47
Mean
,5598
,4444
,8660
,6458
1,4536
Std. Deviation
,01527
,03350
,03598
,01912
,01057
Tests of Normality TAC
Kolmogorov-Smirnov(a)
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
TACKN
,121
5
,200(*)
,994
5
,991(*)
TACKP
,305
5
,145(*)
,787
5
,064(*)
TACT
,165
5
,200(*)
,978
5
,924(*)
TACW
,239
5
,200(*)
,925
5
,564(*)
,197
5
,200(*)
(*) Data berdistribusi normal (p>0,05)
,971
5
,884(*)
TACTW
Test of Homogeneity of Variances Kadar TAC
Levene Statistic df1
df2
Sig.
1,829
4
20
,163(*)
Data homogen (p>0,05)
LAMPIRAN 5.3 ANALISIS STATISTIK KADAR LDL
Descriptive Statistics
N
Minimum
Maximum
Mean
Std. Deviation
LDLKN
5
32,59
34,74
33,9220
,91699
LDLKP
5
36,73
42,72
39,0140
2,43394
LDLT
5
23,28
25,44
24,1500
,90194
LDLW
5
26,43
29,67
28,0540
1,52103
LDLTW
5
19,72
22,92
20,7180
1,33232
Valid N (listwise)
5
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a)
Shapiro-Wilk
LDLKN
Statistic
,214
df
5
Sig.
,200(*)
Statistic
,900
df
5
Sig.
,413(*)
LDLKP
,249
5
,200(*)
,910
5
,465(*)
LDLT
,227
5
,200(*)
,905
5
,435(*)
LDLW
,225
5
,200(*)
,869
5
,264(*)
,271
5
,200(*)
,822
5
,122(*)
LDLTW
(*) Data berdistribusi normal (p>0,05)
Test of Homogeneity of Variances Kadar LDL
Levene Statistic
df1
df2
Sig.
2,428
4
20
,082
Data homogen (p>0,05)
LAMPIRAN 4.4 ANALISIS STATISTIK KADAR F2-ISOPROSTAN
De scriptive Statistics
N
IsopKN
IsopKP
IsopT
IsopW
IsopTW
Valid N (listwise)
5
5
5
5
5
5
Minimum
2,96
5,13
,89
1,84
,62
Maximum
3,16
5,50
1,02
2,23
,78
Mean
3,0340
5,2640
,9640
2,0540
,7200
Std. Deviation
,07765
,17009
,05273
,15469
,06519
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a)
Shapiro-Wilk
IsopKN
Statistic
,221
df
5
Sig.
,200(*)
Statistic
,901
df
5
Sig.
,415
IsopKP
,330
5
,080(*)
,811
5
,098
IsopT
,209
5
,200(*)
,915
5
,500
IsopW
,173
5
,200(*)
,972
5
,890
IsopTW
,277
5
,200(*)
,893
5
,374
(*) Data berdistribusi normal (p>0,05)
Test of Homogeneity of Variances
Kadar Isop
Levene
Statistic
3,982
df1
df2
4
20
Sig.
,016
Data homogen (p>0,01)
LAMPIRAN 5.5 ANALISIS STATISTIK KADAR IL-6
De scriptive Statistics
N
ILKN
ILKP
ILT
ILW
ILTW
Valid N (listwise)
5
5
5
5
5
5
Minimum
153,18
211,10
37,57
48,20
34,32
Maximum
184,55
238,33
41,25
51,17
36,74
Mean
168,8500
222,6680
39,7580
49,6680
35,3280
Std. Deviation
11,29386
10,55796
1,63917
1,44068
1,00108
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov(a)
Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
ILKN
,239
5
,200(*)
,958
5
,795
ILKP
,196
5
,200(*)
,963
5
,827
ILT
,292
5
,189(*)
,861
5
,232
ILW
,246
5
,200(*)
,843
5
,172
,200(*)
,938
5
,652
ILTW
,184
5
(*) Data berdistribusi normal (p>0,05)
Test of Homogeneity of Variances IL-6
Levene
Statistic
df1
df2
4,136
4
Data homogen (p>0,05)
20
Sig.
,013
LAMPIRAN 6 Tempe M-2 dan Wortel
LAMPIRAN 6.1 Bahan dan Peralatan Pembuatan Tempe M-2
a
b
c
g
h
d
e
f
Keterangan : (a) Gelas takar air, (b) Timbangan kedele, (c) Asam Laktat,(d) Gelas
ukur, (e) Neraca elektrik, (f dan h) kedele, (g) Ragi tempe
LAMPIRAN 6.2. Tempe M-2 (Fermentasi 48 jam)
LAMPIRAN 6.3. Wortel
LAMPIRAN 7 Penempatan Tikus dan Pengambilan Urine Tikus
LAMPIRAN 7.1 Penempatan Tikus
LAMPIRAN 7.2 Pengambilan Urine Tikus
Download