DISERTASI SUPLEMENTASI KOMBINASI TEMPE M-2 DENGAN WORTEL (Daucus carrota) MENINGKATKAN HDL DAN ANTIOKSIDAN TOTAL, SERTA MENURUNKAN LDL, F2-ISOPROSTAN, DAN IL-6 PADA TIKUS WISTAR ATEROSKLEROSIS I GUSTI AYU ARI AGUNG PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 DISERTASI SUPLEMENTASI KOMBINASI TEMPE M-2 DENGAN WORTEL (Daucus carrota) MENINGKATKAN HDL DAN ANTIOKSIDAN TOTAL, SERTA MENURUNKAN LDL, F2-ISOPROSTAN, DAN IL-6 PADA TIKUS WISTAR ATEROSKLEROSIS I GUSTI AYU ARI AGUNG NIM 0890271002 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 SUPLEMENTASI KOMBINASI TEMPE M-2 DENGAN WORTEL (Daucus carrota) MENINGKATKAN HDL DAN ANTIOKSIDAN TOTAL, SERTA MENURUNKAN LDL, F2-ISOPROSTAN, DAN IL-6 PADA TIKUS WISTAR ATEROSKLEROSIS Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor pada Program Doktor, Program Studi Ilmu Kedokteran, Program Pascasarjana Universitas Udayana I GUSTI AYU ARI AGUNG NIM 0890271002 PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI ILMU KEDOKTERAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 Lembar Pengesahan DISERTASI INI TELAH DISETUJUI TANGGAL : 6 MEI 2013 Promotor Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH., Ph.D NIP. 194302151969021001 Kopromotor I, Kopromotor II, Prof. drh. I Nyoman Mantik Astawa, Ph.D NIP. 196012311988031003 Prof. Dr.Ir. I Ketut Suter, MS NIP. 195012311976021003 Mengetahui : Ketua Program Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana Dr.dr.I Wayan Putu Sutirta Yasa,M.Si NIP. 195705131986011001 Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195902151985102001 Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 6 Mei 2013 Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 0544/UN14.4/HK/2013 Ketua : Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si Anggota : 1. Prof.dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D 2. Prof. drh. I N. Mantik Astawa,Ph.D 3. Prof. Dr. Ir. I Ketut Suter, MS. 4. Prof. Dr. drh. Ida Bagus Arka, GDFT 5. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And. 6. Prof. Dr. Ir. I Made Narka Tenaya, MS. 7. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, SpS(K) 8. Prof. Dr.Dra. Putu Ristiati, M.Pd . UCAPAN TERIMAKASIH Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa atas Asung Wara Nugraha-Nya/karunia-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan disertasi yang berjudul ” Suplementasi Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel (Daucus carrota) Meningkatan HDL dan Antioksidan Total, serta Menurunkan LDL, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada Tikus Wistar Aterosklerosis Tingkat Awal ". Penulis telah mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak dalam penyusunan disertasi ini, dan pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada Prof.dr. N. T. Suryadhi MPH, Ph.D, sebagai pembimbing akademis dan promotor, Prof.drh. I N Mantik Astawa,Ph.D, sebagai kopromotor I, dan Prof.Dr.Ir. I Ketut Suter, MS, sebagai Kopromotor II yang dengan ketulusan hati telah membimbing, mengarahkan dan memberi semangat selama penulis mengikuti program doktor, khususnya dalam penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof.Dr.dr. I Made Bakta,SpPD (KHOM), Rektor Universitas Udayana, dan Prof.Dr. Ida Bagus Gde Yudha Triguna, MS, Rektor Universitas Hindu Indonesia atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang lama Prof.Dr.Ir. Dewa Ngurah Suprapta, M.Sc. maupun Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang baru Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K). atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Doktor ini, Prof.Dr. Made Budiarsa, MA, sebagai Asisten Direktur I, Prof.Dr.Ir. I Ketut Budi Susrusa, MS sebagai Asisten Direktur II, serta staf Administrasi Pascasarjana yang telah membantu urusan administrasi selama mengikuti pendidikan Doktor pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si, Ketua Program Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran, dan kepada Dr.dr.I Dewa Made Sukrama, M.Si,SpMK(K), Sekretaris Program Doktor Program Studi Ilmu Kedokteran atas segala kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk mengikuti program Doktor. Demikian juga, ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Prof.Dr.drh.Ida Bagus Arka, GDFT, Prof.Dr.dr.J. Alex Pangkahila, M.Sc.,Sp.And., Prof.Dr.Ir.I Made Narka Tenaya, MS, Prof.Dr.drh.I Ketut Berata, M.Si., Prof.Dr.Dra. Putu Ristiati, M.Pd. atas segala saran, perbaikan, arahan, dan bimbingannya selama menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terimakasih penulis juga sampaikan kepada para dosen Program S3 Ilmu Kedokteran Program Pascasarjana Universitas Udayana atas segala ilmu yang diberikan untuk mendukung penyusunan disertasi ini. Pada kesempatan ini penulis sampaikan terimakasih kepada teman mahasiswa program doktor angkatan 2008, khususnya kepada dr. A.A. Ngurah Subawa, M.Si. dan Dr.Ir. Sri Wahyuni, M.Kes. yang ikut memberi dorongan dan masukan dalam penyelesaian disertasi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pemerintah Republik Indonesia c.q. Menteri Pendidikan Nasional melalui Tim Managemen Program Doktor yang telah memberikan bantuan finansial dalam bentuk BPPS sehingga meringankan beban penulis dalam menyelesaikan studi ini. Selanjutnya penulis sampaikan rasa hormat dan terimakasih yang tidak terhingga kepada semua keluarga, khususnya kepada suami tercinta I Gusti Ngurah Bagus Suryawan, ST, S.Ag, MM., serta anak-anak I Gusti Ayu Mahatma Agung, S.S dan I Gusti Ayu Mahadewi tersayang atas segala dukungan dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis selama mengikuti program doktor. Semoga ananda bisa termotivasi untuk melanjutkan studi sampai ke jenjang pendidikan tertinggi. Semoga Ida Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa membalas dengan limpahan berkat dan rahmatNya atas semua kebaikan yang diberikan kepada penulis. Denpasar, 9 Mei 2013 Penulis ABSTRAK SUPLEMENTASI KOMBINASI TEMPE M-2 DENGAN WORTEL (Daucus carrota) MENINGKATKAN HDL DAN ANTIOKSIDAN TOTAL, SERTA MENURUNKAN LDL, F2-ISOPROSTAN, DAN IL-6 PADA TIKUS WISTAR ATEROSKLEROSIS Kombinasi tempe M-2 dengan wortel merupakan kombinasi makanan (diet food combining) yang sangat serasi, satu dengan yang lain saling bersinergi dalam meningkatkan aktivitas zat-zat bioaktif yang dikandungnya, utamanya sama-sama merupakan sumber antioksidan yang kuat, yang sangat berperan sebagai antiaterogenik. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat meningkatkan kadar HDL dan Kapasitas Antioksidan Total (TAC) serta menurunkan kadar LDL, F2-Isoprostan, dan IL-6. Sejauh ini belum ada laporan atau hasil penelitian mengenai masalah ini sehingga masih sangat relevan untuk dikaji lebih lanjut. Penelitian ini menggunakan rancangan The Randomized Post-test Only Control Group Design, dan Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial, dengan variabel bebas berupa KN : (pemberian pakan standar /pellet (50 g/kg bb/hari); KP : pemberian minyak babi : pellet (1: 9)(50 g/kg bb/hari); T : pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) dengan tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) ; W : pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) dengan wortel (20 g/kg bb/hari) ; serta TW : pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) dengan tempe M-2 (20 g/kg bb/hari), dan wortel (20 gr/kg bb/hari). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah TAC serum, HDL serum, LDL serum, F2-Isoprostan urine, dan IL-6 plasma. Data dianalisis menggunakan uji F (Anova dua arah), yang dilanjutkan dengan uji LSD. Pada penelitian ini juga melaksanakan penelitian deskritif dengan menguji histopatologi aorta dan pH urine. Rata-rata kadar HDL dan TAC tertinggi terdapat pada perlakuan TW, yaitu berturut-turut sebesar 68,640 ± 0,50 mg/dL HDL, 1,454 ± 0,01 nM/mL TAC. Hasil ini menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) Interaksi perlakuan TW menunjukkan pengaruh yang sangat bermakna (p < 0,01) pada semua parameter yang diamati kecuali pada HDL. Tempe M-2 memberikan pengaruh meningkatkan kadar HDL dan TAC tikus lebih tinggi dibandingkan pengaruh dari perlakuan wortel berturut-turut sebesar 27,48%, 59,56%. Rata-rata kadar LDL, F2-Isoprostan dan IL-6 terendah pada perlakuan TW yaitu berturut-turut sebesar 20,718 ± 1,33 mg/dL, 0,720 ± 0,065 ng/dL, dan 35,328 ± 1,000 pg/dL. Hasil ini menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, berarti kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat menurunkan secara sangat bermakna (p < 0,01) kadar LDL, F2-Isoprostan dan IL-6. Tempe M-2 memberikan pengaruh menurunkan F2-Isoprostan dan IL-6 lebih tinggi berturut-turut sebesar 30,28%, 28,05% dari pada pengaruh dari wortel pada perlakuan TW. Wortel menurunkan LDL lebih tinggi dari pada tempe M-2 yaitu sebesar 18,84% pada perlakuan TW. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel meningkatkan kadar HDL dan kapasitas antioksidan total, serta menurunkan kadar LDL, F2-Isoprostan dan IL-6. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel memberikan pengaruh interaksi terhadap kadar kapasitas antioksidan total, LDL, F2- Isoprostan, dan IL-6. Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel juga dapat menormalkan histopatologi aorta dan pH urine. Kata Kunci : Aterosklerosis, TAC, F2-Isoprostan, IL-6, dan Tempe M-2. ABSTRACT SUPPLEMENTATION OF COMBINED TEMPEH M-2 WITH CARROT (Daucus carrota) INCREASES HDL AND TOTAL ANTIOXIDANT, DECREASES LDL, F2-ISOPROSTAN, AND IL-6 IN ATHEROSCLEROSIS OF WISTAR RATS The combination of tempeh M-2 with carrots is a combination of food (food combining diet) which is very harmonious, to improve the activity of bioactive substances they contain, especially as a source of powerful antidispidemic, antioxidants and antiinflammation, which gets as antiatherogenic . The aim of the research is to show the effect of the combination of tempeh M-2 with carrots supplementation can increase HDL levels and Total Antioxidant Capacity (TAC), and reduce the level of LDL, F2-Isoprostan, and IL-6, as a biomarker of atherosclerosis extent. So far there have been no reports or results of research on this issue therefore it is still very relevant for further investigation. This study was designed as the randomized post test only control group design, and factorial completely randomized design, with independent variables such as KN (standard feeding / pellets (50 g / kg bw / day), KP: pig lubrication: pellets (1: 9) (50 g / kg bw / day), T : lubrication pig : pellets (1: 9) (50 g / kg bw / day), with tempeh M -2 (20 g / kg bw / day), W: pig lubrication: pellets (1: 9) (50 g / kg bw / day), with carrots (20 g / kg bw / day), and TW: pig lubrication: pellets (1: 9) (50 g / kg bw / day), with tempeh M-2 (20 g / kg bw / day), and carrots (20 g / kg bw / day). Dependent variables in this study are serum TAC, serum HDL, serum LDL, serum F2- Isoprostan, and plasma IL-6. Comparability of test used is the ANOVA, followed by multiple t-test. Descriptive research was also conducted in this study in order to find out the change of aortic histopathologic and urine pH. The highest average levels of HDL, TAC contained on atherogenic feed and combination treatment tempeh M-2 with carrots (TW), which respectively amounted 68.640 ± 0.50 mg /dL, 1.454 ± 0.01 nM / mL, and showed highly significant differences (p <0.01) in the various treatments. TW treatment showed highly significant interaction effect (p<0.01) were observed for all parameters except for HDL. Tempeh M-2 to give effect increases HDL and TAC higher, respectively for 27.48%, 59.56% compared to the effect of the treatment carrots. Average levels of LDL, F2- Isoprostan and IL-6 lowest in the treatment with a combination of atherogenic feed, tempeh M-2 with the carrot, which respectively amounted 20.718 ± 1.33 mg / dl, 0.720 ± 0.065 ng / dl, 35.328 ± 1.000 pg / dl, and showed highly significant differences (p<0.01) in the various treatments, TW can decrease highly significantly (p<0.01) levels of LDL, F2-Isoprostan and IL6. Tempe M-2 lowering influence F2- Isoprostan and IL-6 higher respectively for 30.28%, 28.05% than carrots. Carrots show the influence of lowering LDL higher than tempeh M-2 that is equal to 18.84%. The combination of tempeh M-2 with carrots showed a highly significant interaction effect (p<0.01) in all biomarkers were observed, except in HDL levels. IL-6. It can be concluded that supplementation with a combination of tempeh M-2 with carrots can increase HDL and TAC, and can decrease LDL, F2-Isoprostan, and IL-6. The combination of tempeh M-2 with carrots is interaction effect of increase the total antioxidant capacity, decrease LDL, F2-Isoprostan, and IL-6. The aortic histopathologic and urine pH showed TW treatment leads to changes of histopathologic structure from atheroschlerotic and acid pH to normal. Key words : Atherosclerosis, TAC, F2-Isoprostan, IL-6, and Tempeh M-2 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM…………………………………………..……………….. i PRASYARAT GELAR……………………………………….......................... ii LEMBAR PERSETUJUAN…………………………………..………........... . iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI…………………………..……………… iv UCAPAN TERIMAKASIH.............................................................................. v ABSTRAK…………………………………………………..………………… vii ABSTRACT……………………………………………………………..…….. ix DAFTAR ISI...................................................................................................... xi DAFTAR TABEL……………………………………………………..………. xiv DAFTAR GAMBAR………………………………………………….…….… xv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG………………………………... xvi DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………….. xvii BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1 1.1 Latar Belakang ……….………………………………………....... 1 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 4 1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….. 5 1.4 Manfaat Penelitian………………………………………................ 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA…………………………………………….... 8 2.1 Kolesterol.......................................................................................... 8 2.2 Dislipidemia, LDL Teroksidasi, Inflamasi, dan Aterosklerosis........ 12 2.3 Radikal Bebas................................................................................... 16 2.4 F2 –Isoprostan ………….................................................................. 20 2.5 Interleukin-6 ...................................................….............…...…..... 23 2.6 Antioksidan .....………………………............……………............ 26 2.6.1 Kapasitas Antioksidan Total...........….................................... 31 2.6.2 Tempe M-2 sebagai Sumber Antioksidan……..……........... 33 2.6.3 Wortel sebagai Sumber Antioksidan…………….…............. 38 2.7 Tempe M-2 sebagai Antiinflamasi………………..…….................. 43 2.8 Wortel sebagai Antiinflamasi...................................………...…...... 47 2.9 Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel….…….……...…………..... 49 2.10 Keunggulan Tempe Dibandingkan dengan Kedele.......................... 53 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS................ 58 3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................ 58 3.2 Konsep................................................................................................ 60 3.3 Hipotesis Penelitian............................................................................. 61 BAB IV METODE PENELITIAN.................................................................... 63 4.1 Rancangan Penelitian ....................................................................... 63 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian............................................................ 64 4.3 Populasi dan Sampel ..................................................................... 64 4.3.1 Populasi................................................................................... 64 4.3.2 Sampel.............................. ...................................................... 64 4.3.3 Besaran Sampel........................................................................ 65 4.4 Variabel............................................................................................... 65 4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel........................................ 65 4.4.2 Definisi Operasional Variabel.................................................. 66 4.5 Bahan dan Alat Penelitian.................................................................. 68 4.5.1 Bahan Penelitian....................................................................... 68 4.5.2 Alat Penelitian.......................................................................... 68 4.6 Prosedur Penelitian............................................................................. 68 4.7 Analisis Statistika.............................................................................. 70 BAB V HASIL PENELITIAN……………………………………………..…. 71 5.1 Kadar HDL Serum dan TAC Serum Tikus Wistar………................. 71 5.1.1 Kadar HDL serum Tikus Wistar…………………………........ 71 5.1.2 Kadar Kapasitas Antioksidan Total Serum Tikus Wistar…...... 74 5.2 Kadar LDL, F2-Isoprostan, dan IL-6 Tikus Wistar…..…………...... 76 5.2.1 Kadar LDL Tikus Wistar………………………...……….….. 76 5.2.2 Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar…………...………..... 79 5.2.3 Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar……………………………... 82 5.3 Perubahan Struktur Histopatologi Jaringan Aorta Tikus Wistar 84 5.4 Pemeriksaan Kenormalan pH Urine Tikus Wistar………………….. 89 BAB VI PEMBAHASAN ……………………………………………………. 90 6.1 Subyek Penelitian …………………………………………………. 90 6.2 Kadar HDL Serum dan dan TAC Serum Tikus Wistar……….…….. 92 6.2.1 Kadar HDL Serum Tikus Wistar……………………………… 92 6.2.2 Kadar Kapasitas Antioksidan Total Serum Tikus Wistar……... 94 6.3 Kadar LDL Serum, F2-Isoprostan Urine, dan IL-6 plasma Tikus…… 95 6.3.1 Kadar LDL serum Tikus Wistar………………………………. 95 6.3.2 Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar………………………. 98 6.3.3 Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar…………………………...…. 97 6.4 Perubahan Struktur Histopatologi jaringan Aorta pada Tikus Wistar 101 6.5 Pemeriksaan Kenormalan pH Urine Tikus Wistar………………….. 104 6.6 Keterbatasan Penelitian……………………………………………... 105 6.7 Temuan Baru …………………………………………………...…. 105 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN……..…………………………………. 106 7.1 Simpulan……..…………………………………………………….. 106 7.2 Saran……...………………………………………………………… 107 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………….………...… 108 DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………....…… 124 DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Komposisi LDL ….…................................................................................. 9 2.2 Substansi Aktif dalam Tempe..................................................................... 36 2.3 Komposisi Gizi per 100 gram Wortel.......................................................... 39 2.5 Kadar Beta Karoten pada Buah-buahan dan Sayuran................................ 42 5.1 Analisis Keragaman Kadar HDL serum Tikus Wistar..………………….. 73 5.2 Analisis Keragaman Kadar TAC serum Tikus Wistar.…………………… 75 5.3 Analisis Keragaman Kadar LDL serum Tikus Wistar …………………… 78 5.4 Analisis Keragaman Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar ...………... 80 5.5 Analisis Keragaman Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar ………………….. 83 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Struktur LDL.............................................................................................. 9 2.2 Sintesis,Transpor,danEkskresiKolesterol .................................................. 10 2.3 Struktur HDL............................................................................................. 11 2.4 Rangkaian Hipotek Proses Selular dan Interaksi Selular pada Aterosklerosis………………………………………………...………….. 13 2.5 Proses Aterosklerosis yang Dipicu oleh Jejas Endotel…………………… 15 2.6 Sumber Radikal Bebas Endogen dan Eksogen .......................................... 17 2.7 Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan dari PUFA Membran………....... 20 2.8 Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan (8-Iso-PGF2α) ……………..…. 21 2.9 Mekanisme Pemberian Elektron oleh Senyawa Antioksidan ..................... 26 2.10 Antioksidan dalam Sistem Pertahanan Tubuh .....................................….. 28 2.11 Biosintesis Faktor II .................................................................................. 34 3.1 Kerangka Konsep Penelitian....................................................................... 60 4.1 Rancangan Penelitian.................................................................................. 63 4.2 Bagan Alur Penelitian…………………………………………………….. 69 5.1 Kadar HDL Serum Tikus Wistar pada KN, KP, T, W, dan TW................. 72 5.2 Kadar TAC Serum Tikus Wistar pada KN, KP, T, W, dan TW.................. 74 5.3 Kadar LDL pada KN, KP, T, W, dan TW................................................... 77 5.4 Kadar F2-Isoprostan pada KN, KP, T, W , dan TW.................................... 80 5.5 Kadar IL-6 plasma pada KN, KP, T, W, dan TW....................................... 82 5.6 Perubahan Gambaran Struktur Hispatologi Aorta Tikus Wistar................. 85 5.7 Hispatologi Aorta Tikus dalam Proses Aterosklerosis dengan KP............. 86 5.8 Hispatologi Aorta Tikus dalam Proses Aterosklerosis dengan KN............ 87 5.9 Hispatologi Aorta Tikus dalam Proses Aterosklerosis dengan W.............. 88 5.10 Hispatologi Aorta Tikus dalam Proses Aterosklerosis dengan T............. 88 5.11 Hispatologi Aorta Tikus dalam proses aterosklerosis dengan TW............ 89 DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG Apo-B : Apolipoprotein-B bb : berat badan CRP : C-Reactive Protein DNA : Deoxyribonucleic Acid EDNO : Endotelium Derived Nitric Ocid EIA : Enzyme Immuno Assay EDTA : Enthylene Diamine Tetra Acetic Acid eNOS : Enzim Nitric Oxida Synthase Faktor II : 6, 7, 4 trihidoksil isoflavon g : gram HOCL : Radikal Hipoklorida HDL : High Density Lipoprotein iNOS : Inducible Nitric Oxide LO : Lipoksgenase Lp-PLA2 : Lipoprotein – Associated Phospholipase A2 NO : Nitric Oxida OH : Radikal Hidroksil ONOO : Peroksinitrit ORAC : Oxygen Radical Absorption Capacity Ox-LDL : Oxidatif Low Densitiy Lipoprotein PGF2α : Prostaglandin F2α PJK : Penyakit Jantung Koroner PUFA : Polyunsaturated Fatty Acid SOD : Superoksida Dismutase SOR : Spesies Oksigen Reaktif TAC : Total Antioxidant Capacity Tempe M-2 : Dua Modifikasi pada Prafermentasi Tempe TNF-α : Tumor Necrosis Factor α VCAM : Vascular Cellular Adhesion Molecule VLDL : Very Low Density Lipoprotein DAFTAR LAMPIRAN 1 Persiapan Ruangan Pemeliharaan Tikus dan Pengawasan yang Dilakukan 130 2.1 Konversi Perhitungan Dosis untuk Beberapa Hewan dan Manusia............ 131 2.2 Konversi Dosis Hewan Percobaan Berdasarkan Body Surface Area.......... 131 3.1 Pemeriksaan Kadar HDL dan LDL............................................................ 131 3.2 Pemeriksaan Kadar TAC............................................................................ 132 3.3 Pemeriksaan Kadar F2-Isoprostan.............................................................. 133 3.4 Pemeriksaan Kadar IL-6............................................................................ 134 4. Pemeriksaan Histopatologi.......................................................................... 135 5.1 Analisis Statistik HDL .............................................................................. 138 5.2 Analisis Statistik TAC ................................................................................ 139 5.3 Analisis Statistik LDL................................................................................. 140 5.4 Analisis Statistik F2-Isoprostan.................................................................... 140 5.5 Analisis Statistik IL-6................................................................................... 140 6.1 Bahan dan Peralatan Pembuatan Tempe M-2............................................... 142 6.2 Tempe M-2.................................................................................................... 142 6.3 Wortel........................................................................................................... 143 7.1 Penempatan Tikus Wistar.............................................................................. 143 7.2 Pengambilan Urine Tikus Wistar.................................................................. 144 8 Surat Kelaikan Etik........................................................................................ 145 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kolesterol Kolesterol ditemukan di dalam jaringan dan di dalam lipoprotein plasma, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai ester yaitu berikatan dengan asam lemak rantai panjang. Peranan yang penting dari kolesterol dalam tubuh adalah : (1) sebagai komponen dari struktur membran sel, dan (2) prekursor dari semua steroid tubuh yaitu kortikosteroid, asam empedu, hormon adrenal dan hormon kelamin (Freeman dan Junge, 2008 ; Murray et al., 2009 ). Kebanyakan sel dalam tubuh dapat mensintesis kolesterol, walaupun sebagian besar kolesterol disintesis dalam hati. VLDL yang mengandung kolesterol yang dibentuk dalam hati dimetabolisme menjadi LDL. LDL kemudian masuk ke dalam sel jaringan ekstrahepatik dan menyediakan kolesterol bagi sel-sel (Murray et al., 2009). LDL adalah suatu fraksi lipoprotein pengangkut lipid, dengan apolipoprotein B di bagian luarnya (Gambar 2.1). Bagian dalam fase lipid dari LDL tersusun dari ± 1500 molekul kolesterol ester. Inti lipid terbungkus dalam lapisan fosfolipid dan molekul kolesterol bebas. Molekul fosfolipid saling berdekatan, sehingga gugus hidrofilik berada di sebelah luar, memungkinkan LDL larut dalam darah (Marinetti, 1990). Sebagian besar asam lemak yang terikat pada LDL adalah asam lemak tak jenuh jamak (PUFA/poly unsaturated fatty acid). PUFA sangat rentan terhadap oksidasi karena ikatan rangkapnya, dan dilindungi dari serangan ROS oleh antioksidan. Antioksidan terbanyak dalam LDL adalah α-tokoferol (Tabel 2.1). Antioksidan potensial lain seperti γ-tokoferol, ubikuinol-10 dan β-karoten terdapat dalam jumlah yang lebih sedikit (Marinetti, 1990; Devaraj dan Jialal, 1997). Gambar 2.1 Struktur LDL (Anonimus, 2009). Tabel 2.1 Komposisi LDL (Stocker, 1994). Komponen Protein Apolipoprotein B100 Lipid Fosfolipid Fosfatidilkolin Kolesterol bebas Kolesterol ester Trigliserida Arakhidonat Linoleat Antioksidan α-tokoferol Mol/Mol LDL 1 700 450 600 1600 180 95 800 6-12 γ-tokoferol Ubikuinol-10 Likopen Beta karoten 0,5 0,5-0,8 0,2-0,7 0,1-0,4 Vesikel - vesikel yang mengandung LDL bergabung dengan lisosom, dan enzim-enzim lisosom menghidrolisis ester-ester kolesterol yang terdapat pada inti LDL. Kolesterol bebas yang terbentuk masuk sitoplasma, di mana sebagian dirubah menjadi ester-ester kolesterol dalam alat Golgi, dan berdifusi ke dalam membran sel. Dari membran sel diambil oleh HDL. Dalam plasma kolesterol tersebut diubah menjadi ester- ester kolesterol dan bergerak ke inti HDL, meninggalkan permukaan lipoprotein bebas untuk menerima lebih banyak kolesterol. HDL mentransport kolesterol kembali ke hati. Sebagian kolesterol ini bersiklus kembali ke dalam VLDL, tetapi sebagian besar tampak masuk ke dalam empedu dan dieksresi dalam faeses (Gambar 2.2). Gambar 2.2 Sintesis, Transpor, dan Ekskresi Kolesterol (Murray et al., 2009). HDL pada dasarnya adalah kebalikan dari LDL, LDL mengandung banyak lemak, sedang HDL mengandung banyak protein (Gambar 2.3). LDL mengantar kolesterrol ke seluruh tubuh, sedang HDL bertindak sebagai vacuum cleaner, yang mengisap sebanyak mungkin kolesterol berlebih, sehingga terrdapat hubungan terbalik antara kadar HDL dengan PJK. Ratio kolesterol LDL : HDL merupakan parameter prediktif yang penting. Kadar HDL disebutkan rendah apabila kurang dari 40 mg/dL, menyebabkan meningkatnya resiko PJK. Kadar HDL lebih tinggi dari 60 mg/dL disebutkan dapat melindungi jantung. Kadar LDL 160 mg/dL disebutkan termasuk kategori kadar kolesterol LDL tinggi ((Freeman dan Junge, 2008 ; Murray et al., 2009 ). Gambar 2.3 Struktur HDL (Anonimus, 2009) Kolesterol secara khas adalah produk metabolisme hewan dan karenanya terdapat di makanan yang berasal dari hewan seperti kuning telur, daging, hati, dan otak (Freeman dan Junge, 2008; Murray et al., 2009). 2.2 Dislipidemia, LDL Teroksidasi, Inflamasi dan Aterosklerosis. Komplikasi kronis yang terbanyak adalah dislipidemia (67%). Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan maupun penurunan dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, serta penurunan kadar kolesterol HDL (Hendromartono, 2009). Mekanisme bagaimana dislipidemia berperan pada aterogenesis adalah sebagai berikut : (1) Dislipidemia kronis, terutama pada hiperkolesterol, dapat secara langsung mengganggu fungsi sel endotel melalui peningkatan pembentukan radikal bebas oksigen yang mendeaktivasi nitrat oksida, faktor utama pelemas endotel. (2) Pada dislipidemia kronis terjadi penimbunan lipoprotein di dalam intima, di tempat permeabilitas endotelnya meningkat. (3) Perubahan kimiawi lemak yang dipicu oleh radikal bebas yang dihasilkan dalam makropag atau sel endotel di dinding arteri, akan menghasilkan LDL teroksidasi (Kumar et al., 2007b). Monosit dan makropag berperan penting dalam aterosklerosis, sel ini dapat : (1) Melekat ke endotel pada awal pembentukan aterosklerosis melalui molekul perekat endotel spesifik yang terbentuk di permukaan sel endotel disfungsional, (2) Bermigrasi di antara sel endotel untuk masuk ke intima, (3) Berubah menjadi makropag dan dengan ”rakus” menelan lipoprotein, terutama LDL teroksidasi, sehingga menjadi sel busa, (4) Menghasilkan IL-1 dan faktor nekrosis tumor, yang meningkatkan perlekatan leukosit, (5) Menghasilkan kemokin (misal, monocyte chemoattractant protein 1, dapat semakin merekrut leukosit ke dalam plak, (6) Menghasilkan spesies oksigen toksik, yang menyebabkan oksidasi LDL di lesi, dan (7) Mengeluarkan faktor pertumbuhan yang berperan dalam proliferasi sel otot polos, yang mengendapkan matriks ekstrasel, mengubah bercak perlemakan menjadi ateroma dan berperan menyebabkan pertumbuhan progresif lesi aterosklerotik. Diagram skematik rangkaian hipotetik proses selular dan interaksi selular pada aterosklerosis digambarkan pada Gambar 2.4 di bawah ini. Gambar 2.4 Rangkaian Hipotetik Proses Selular dan Interaksi Selular pada Aterosklerosis (Kumar et al., 2007b) Oksidasi LDL yang ekstensif tidak dikenali oleh reseptor LDL tapi sangat disukai oleh reseptor di makrofag dan memicu akumulasi ester kolesterol yang cukup besar dan terbentuk sel bergelembung (foam-cell). Oksidasi LDL memiliki beberapa efek biologi yang merugikan di antaranya pro-inflamasi, menyebabkan penghambatan sintesa oksida nitrit di endotel (eNOS), memicu vasokonstriksi dan adesi, menstimulasi sitokin seperti Interleukin-1 (IL-1), dan peningkatan agregasi platelet. Oksidasi LDL akan melahirkan produk seperti sitoktoksik dan bisa memicu apoptosis. Oksidasi LDL juga bisa membalikkan efek koagulasi dengan menstimulasi jaringan faktor dan sintesis plasminogen activator inhibitor-1. Properti aterogenik lain dari oksidasi LDL adalah imunogensiti dan kemampuannya memicu retensi makrofag pada dinding arteri dengan menghambat motilitas makrofag. Sebagai tambahan, LDL teroksidasi akan menstimulasi proliferasi SMC vascular. Sehingga, penebalan intima (lapisan pembuluh darah yang paling dalam) akan mengurangi lumen pembuluh darah dan akan berpotensi menyebabkan hipertensi dan aterosklerosis (Miller et al., 2007). Proses aterosklerosis sebagai respons terhadap hipotesis jejas endotel adalah sebagai berikut: (1) Jejas endotel kronis, biasanya samar, yang menyebabkan disfungsi endotel, menimbulkan peningkatan permeabilitas, perlekatan leukosit, dan kemungkinan thrombosis, (2) Merembesnya lipoprotein kedalam dinding pembuluh, terutama LDL dengan kandungan kolesterol yang tinggi, (3) Modifikasi lipoprotein di lesi oleh oksidasi, (4) Melekatnya monosit darah (dan leukosit lain) ke endotel, diikuti oleh migrasi ke dalam intima dan transformasi menjadi makrofag dan sel busa, (5) Melekatnya trombosit, (6) Pengeluaran faktor dari trombosit, makrofag, atau sel vaskular yang menyebabkan migrasi sel otot polos dari media ke dalam intima, (7) Proliferasi sel otot polos di intima, dan pengeluaran matriks ekstrasel sehingga terjadi akumulasi kolagen dan proteoglikan, (8) Peningkatan penimbunan lemak di dalam sel makrofag dan sel otot polos ) dan luar sel (Kumar et al.) (Gambar 2.5). ( Gambar 2.5 Proses Aterosklerosis yang Dipicu oleh Jejas Endotel (Norma, 2005) 2.3 Radikal Bebas. Eberhardt (2001) dan Winarsi (2007) menyebutkan bahwa spesies oksigen reaktif ada dua yaitu radikal dan non-radikal, dan secara garis besar dibedakan menjadi SOR, spesies nitrogen reaktif, spesies klorida reaktif (Halliwell, 2002). Radikal oksigen meliputi : OH●, O2●, lipid alkosil (LO●), hidroperoksil (OOH●) dan lipid peroksil (LOO●). Sedangkan derivat oksigen non radikal atau sering disebut oksidan, adalah suatu atom, molekul atau senyawa yang merupakan oxidizing agent atau mudah diubah menjadi radikal, meliputi H2O2, peroksida lipid (LOOH), singlet oksigen (1O2). Spesies nitrogen reaktif juga merupakan suatu kumpulan radikal nitrit oksida (NO●), nitrogen dioksida (NO2●), dan atom atau senyawa non radikal seperti HNO2, N2O4 dan ONOO●. Demikian juga halnya dengan spesies klorida reaktif, merupakan kumpulan senyawa radikal dan nonradikal klorida. Dalam kaitannya dengan peroksidasi lipid membran, SORlah yang paling berperan. Kemudian disebutkan pula oleh Eberhardt (2001) pengertian radikal bebas dan oksidan yang sering dikaburkan, karena keduanya memiliki sifat-sifat yang mirip. Aktivitas kedua jenis senyawa ini sering sama walaupun prosesnya berbeda. Oksidan adalah senyawa penerima elektron (oxidizing agent), demikian juga halnya dengan radikal bebas. Hanya saja radikal bebas memiliki elektron yang tidak berpasangan. Ditegaskan oleh Murray et al. (2009) radikal bebas adalah molekul atau atom yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Konsekuensi berupa kecenderungannya memperoleh elektron dari substansi lain menjadikan radikal bebas bersifat sangat reaktif, dan membentuk rantai reaksi yang sangat merusak (Youngson, 2005). Radikal bebas dalam tubuh dapat berasal dari dalam (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen). Secara endogen, radikal bebas terbentuk sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh, seperti reaksi redoks dengan reaksi fisik ikatan homolitik atau pemindahan elektron. Radikal nitrogen dibentuk dari oksigenasi rantai terminal atom guanidonitrogen pada L-arginin yang dikatalisasi oleh enzim NOS (Droge, 2002). Secara eksogen, radikal bebas diperoleh dari bermacam-macam sumber, antara lain polutan, makanan dan minuman, radiasi, ozon, dan pestisida. Secara endogen radikal bebas dapat timbul melalui beberapa macam mekanisme seperti auto-oksidasi, aktivitas oksidasi (misalnya siklo-oksigenase, lipoksigenase, dehidrogenase dan peroksidase) dan sistem transpor elektron. Radikal bebas diproduksi di dalam sel oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, peroksisom, endoplasmik retikulum dan inti sel (Kumar et al., 2004), seperti terlihat pada Gambar 2.6. Gambar 2.6 Sumber Radikal Bebas Endogen dan Eksogen (Kumar et al., 2004) Radikal bebas menyebabkan kerusakan atau kematian sel, hal ini terjadi karena radikal bebas mengoksidasi dan menyerang komponen RNA, DNA, protein, lipoprotein, lipid membran sel (Milner, 2000; Winarsi, 2007). Dari radikal oksigen yang paling banyak diteliti yang berkaitan dengan kerusakan sel tubuh adalah radikal superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil (Droge, 2002). Mitokondria merupakan sumber kehidupan atau sebagai pemicu kematian sel, oleh karena di mitokondria dapat dibentuk adenosin triphosphat (ATP), ataupun radikal bebas oksigen/ Spesies Oksigen Reaktif (SOR). Tidak selamanya senyawa oksigen reaktif yang terdapat di dalam tubuh itu merugikan. Pada kondisi-kondisi tertentu keberadaannya sangat dibutuhkan, misalnya, untuk membunuh bakteri yang masuk ke dalam tubuh, melawan radang dan mengatur tonus otot polos dalam organ dan pembuluh darah. Oleh sebab itu, keberadaannya harus dikendalikan oleh sistem antioksidan dalam tubuh (Winarsi, 2007). Kerusakan oksidatif pada senyawa lipid terjadi ketika senyawa radikal bebas bereaksi dengan senyawa PUFA (poly unsaturated fatty acids). Radikal bebas hidroksil (OH●) merupakan radikal bebas oksigen yang sangat reaktif, dapat menyerang PUFA dari fosfolipid membran antara lain seperti asam arakhidonat (Bast, 1991; Winarsi, 2007). Oksidasi lipid terjadi melalui tiga tahapan, yaitu insiasi (pencetusan), propagasi (perambatan), dan tahap terminasi (penghentian). Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut (Halliwell, 1994; Winarsi, 2007) : Pertama, radikal hidroksil akan menarik atom H dari rantai PUFA, terbentuk radikal karbon : H -C- + X● - XH + -C● Radikal karbon Kedua, radikal karbon akan bereaksi dengan oksigen membentuk radikal peroksil : O2 ● - C● - + O2 -CRadikal peroksil Ke tiga, radikal peroksil yang terbentuk akan menyerang PUFA berikutnya untuk membentuk radikal karbon baru dan reaksi akan berlanjut terus, merupakan reaksi berantai : O2 ● -C- H + -C- H2O -C- + - C● Peroksida lipid O2 ● - C● - + O2 - C - , dan seterusnya Akibat akhir reaksi berantai ini adalah terputusnya rantai PUFA menjadi senyawa yang bersifat toksik terhadap sel, antara lain menghasilkan aldehida seperti malondialdehida, 9-OH nonenal, etanal, dan pentanal (Winarsi, 2007). Senyawa toksik tersebut menimbulkan gangguan pada fluiditas membran, fungsi barier membran, dan inaktivasi enzim maupun reseptor-reseptor yang tergantung pada membran fosfolipid (Halliwell, 1996). Akibat lainnya dari radikal bebas terhadap LDL dalam sirkulasi atau fosfolipid membran adalah modifikasi oksidatif non siklooksigenase dari asam arakhidonat yang menghasilkan F2–Isoprostan (Patrono, 1997; McMichael, 2004; Nalsen et al., 2006). 2.4 F2-Isoprostan. F2-Isoprostan adalah biomarker terbaik untuk status stres oksidatif dan peroksidasi lipid in vivo, dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (Witztum, 1998; Morrow et al., 2002; Montuschi et al., 2004), menggambarkan proses kalsifikasi pada arteri koroner (Gross et al, 2005). Pada orang sehat kadar dalam plasma 35 ± 6 pg/ml, dalam urin 1600 ± 600 pg/mg kreatinin (Halliwell, 1997; Cadenas dan Packer, 2002). F2-Isoprostan adalah suatu produk mirip prostaglandin yang dibentuk in vivo dari peroksidasi non enzimatik asam arakhidonat oleh radikal bebas (McMichael, 2004; Yin et al., 2005). Radikal bebas oksigen menstimuli metabolisme asam arakhidonat, yang akhirnya terbentuk Isoprostan, mekanisme pembentukannya digambarkan pada Gambar 2.7 (Weber et al., 1991; McMichael, 2004). Asam Arakhidonat (PUFA membran sel) Radikal bebas Conjugated diene Oksigen Lipid hidroperoksida Radikal alkoksi Radikal peroksil bekerja pada asam arakhidonat Isoprostan Gambar 2.7 Mekanisme Pembentukan Isoprostan dari PUFA Membran Sel (Weber et al., 1991; McMichael, 2004) Pembentukan Isoprostan dimulai dari abstraksi atom hidrogen dari asam arakhidonat oleh radikal bebas, menghasilkan delocalized pentadienyl carbon centered radical, masuk oksigen dan menghasilkan radikal peroksil selanjutnya (Yin et al., 2005). Radikal peroksil melanjutkan siklus dengan penambahan molekul oksigen membentuk produk intermedier yaitu bicyclic endoperoxide (PPG-like). Produk intermedier ini kemudian direduksi menjadi FIsoPs. Berdasarkan lokasi pengambilan hidrogen dan penambahan oksigen ada empat IsoPs yang berbeda (Gambar 2.8). Gambar 2.8 Mekanisme Pembentukan F2-Isoprostan (8-Iso-PGF2α) (Patrono,1997) Berdasarkan regio isomernya F2-Isoprostan dapat dibagi menjadi F2-, D2-, E2- dan J2Isoprostan serta cyclopentenone-A2-Isoprostan (Montuschi et al., 2004). Isoprostan dibentuk pada tempat yang mengalami kerusakan, kemudian diesterifikasi dalam fosfolipid dan kemudian dilepaskan dalam bentuk bebas oleh aksi fosfolipase (Patrono, 1997; McMichael, 2004). Isoprostan masuk ke dalam sirkulasi diikat oleh lipoprotein (Yin et al., 2005). F2-Isoprostan yang terdeteksi pada bentuk esterifikasi nya dalam semua jaringan biologis normal, dan dalam bentuk bebas dalam semua cairan biologis normal, mengindikasikan tingkat stres oksidatif (Patrono, 1997; Morrow et al., 2002; McMichael, 2004; Montuschi et al., 2004). Jaringan dan cairan tubuh termasuk urin mengandung sedikit F2-Isoprostan. Pada keadaan stres oksidatif kadar Isoprostan meningkat (McMichael, 2004; Yin et al., 2005). Kadar F2-Isoprostan lebih rendah pada subyek yang mengkonsumsi suplemen antioksidan, seperti vitamin E, dan beta karoten. Pada penelitian tersebut menyimpulkan bahwa F2-Isoprostan merupakan metabolit utama yang merupakan marker status stres oksidatif endogen yang paling sensitif (Dorjgochoo et al., 2012). Masalah yang timbul pada pemeriksaan Isoprostan adalah autooksidasi pada sampel yang mengandung lipid saat pemeriksaan atau penyimpanan. Oleh karena darah banyak mengandung asam arakhidonat, sehingga darah bukan media terbaik untuk pemeriksaan Isoprostan. Sampel dari urin lebih baik, karena sedikit mengandung lemak. Banyak penelitian yang menganjurkan pengukuran F2- Isoprostan urin sebagai petanda noninvasive peroksilipid dan merupakan petanda paling baik untuk stres oksidatif in vivo, tetapi hasil ini juga dapat dirancu oleh Isoprostan yang diproduksi oleh ginjal (Yin, 2005; Comporti, et al., 2008). Haliwell dan Lee (2010) menyebutkan bahwa F2- Isoprostan cepat sekali dimetabolisme dan kemudian diekskresikan melalui urin sehingga dapat memberikan hasil yang berbeda bila dilakukan pada waktu yang berbeda, walaupun sampelnya sama. Selain sebagai petanda, Isoprostan dapat menyebabkan trauma oksidatif dan mempunyai fungsi biologik tertentu, yaitu Isoprostan merupakan vasokonstriktor potensial pada ginjal, paru, jantung, otak dan plasenta (Walsh et al., 2000). Metode pengukuran F2-Isoprostan sebagai marker stres oksidatif lebih menguntungkan karena F2-Isoprostan secara kimia stabil, hasil spesifik dari peroksidasi, terbentuk in vivo, terdeteksi pada jaringan dan cairan, naik secara substansial pada binatang dengan jejas oksidan, tidak dipengaruhi oleh jumlah lemak dalam makanan dan sensitif terhadap dosis antioksidan (Montuschi et al., 2004). 2.5 Interleukin-6 (IL-6). Okopien et al. (2001) menyebutkan bahwa tingkat IL-6 secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan dislipidemia. Diduga ada hubungan antara kadar IL-6 dengan dislipidemia, karena IL-6 terlibat langsung dalam mekanisme aterogenesis (Yudkin et al., 1999; Dubinski dan Zdrojewicz, 2007; Hong, 2007), dan ditemukan meningkat pada kejadian aterosklerosis (Calabro et al., 2003). Omoigui (2007) menghipotesiskan bahwa IL-6 memediasi teroksidasinya LDL menjadi ox-LDL. Kajian terbaru menunjukkan bahwa IL-6 merupakan prediktor yang paling kuat PJK (Cesari et al., 2003). Inflamasi mediasi IL-6 terlibat dalam gangguan yang berkaitan dengan aterosklerosis (Omoigui, 2007). Omoigui (2007) menyebutkan bahwa IL-6 dapat dihambat secara tidak langsung melalui pengaturan sintesa kolesterol endogen, dan isoflavon dapat menekan terbentuknya IL-6. Pada keadaan dislipidemia, peningkatan ion superoksida/SOR dapat menginduksi pengeluaran TNF-α, IL-1, dan IL-6 (Fogarty dan Davey, 2005; Dimayuga et al., 2006). Pada beberapa studi dilaporkan bahwa IL-6 dapat dipakai marker untuk mendeteksi terjadinya proses inflamasi secara dini (Harbarth et al., 2001). Interleukin-6 adalah sitokin yg dihasilkan oleh beberapa tipe sel tubuh manusia, termasuk activated mononuclear phagocytes, sel endotel, dan sel fibroblas (Abbas et al., 2009). IL-6 untuk pertama kali di kloning tahun 1986, yang merupakan substrat glikoprotein dengan BM 22-29 KD (Giannoudis at al., 2004). Gen IL-6 terdapat pada gen no 7. Bertumpang tindih dengan aktivitas TNF-α, IL-1, dan IL-6 mempunyai efek yang sangat luas terhadap berbagai macam sel target pada manusia (pleitrophy). Aktivitas IL-6 dikatakan bertumpang tindih dengan aktivitas TNF-α dan IL-1 (reduancy), tetapi IL-6 mempunyai sifat-sifat tambahan lain seperti menstimulasi hepatosit untuk menghasilkan protein fase akut, growth factor, dan fungsi hematopoesis (These, 1998; Kresno, 2001). Secara umum, IL-6 berhubungan dengan TNF-α dan IL-1 dimana ketiga sitokin tersebut dapat saling berkoordinasi pengeluarannya dari monosit yang aktif. IL-1, TNF-α, dan IL-6 dapat menginduksi pengeluaran sitokin lainnya. IL-1 dan TNF-α sebagai proximal cytokin dapat menginduksi pengeluaran IL-6 (efek parakrin), tetapi sebaliknya IL-6 tidak dapat menginduksi ekspresi IL-1 dan TNF-α (Kresno, 2001). Seperti diketahui sebelumnya, produksi SOR atau stres oksidatif yang berlebihan pada keadaan dislipidemia akan mengaktivasi faktor traskripsi TNF-β sehingga terjadi pelepasan sitokin. Sitokin yang paling pertama terbentuk oleh makropag (proximal cytokin) adalah TNF-α dan IL-1. Sitokin tersebut dengan efek otokrin dan parakrinnya akan memicu sel PMN yang lain untuk menghasilkan mediator lainnya seperti IL-6, NO, kemokin, ICAM, VCAM, dan VEGF, sehingga terjadi kaskade inflamasi yang kemudian menimbulkan gejala inflamasi sistemik (Dandona et al., 2001). Apabila keadaan ini tidak mendapat penanganan dengan baik akan berkembang menjadi disfungsi multi organ (Kim et al., 2000). Ox-LDL, radikal bebas dan kombinasinya diidentifikasi sebagai pemicu cedera dan peradangan dengan peningkatan kelengketan dan aktifasi leukosit (terutama monosit) dan platelet yang disertai dengan produksi sitokin (Cesari et al., 2003). IL-6 merupakan sitokin yang diproduksi oleh makrofag, disebut dengan sitokin proinflamasi, dan mempunyai efek lokal, yakni menginduksi molekul adhesin (ICAM) pada endotel dan menarik neutrofil ke tempat cidera. Efek sistemik IL-6 diantaranya adalah : (1) Merangsang sumsum tulang untuk mengerahkan neutrofil (jumlah meningkat), (2). Terhadap hati adalah untuk memproduksi APP (Acute Phase Protein), CRP (C-Reactive Protein), MBP (Myelin Basic Protein) dan SAP (Serum Amyloid Protein), (3). Pengaruh terhadap metabolisme protein dan energi pada lemak dan otot, (4). Mengaktifkan fase awal respons imun spesifik (Woods et al., 2000; Abbas et al., 2007; Karnen et al., 2009). Makrofag yang aktif tercermin dengan adanya pelepasan beberapa sitokin proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-8, yang menginduksi sel hati melepaskan protein fase akut seperti Creactive protein (CRP) dan komplemen, sedangkan IL-8 berperan sebagai neutrofil chemotactic factor (NCF) (Mashayekhi et al., 2005). Menurut Ismono (2004) kadar IL-6 di atas 50 pg/ml menandakan adanya suatu proses inflamasi aktif. Interleukin-6 merupakan sitokin pleiotropik dapat memberikan efek inflamasi dan sekaligus anti-inflamasi. Adanya IL-6 adalah akibat rangsangan dari IL-1β. Di perifer, IL-1β mengaktivasi reseptor IL-1 dalam endotel yang mengakibatkan diproduksinya IL-6 (Croston, 2000). IL-6 juga merupakan sitokin multifungsi yang dihasilkan oleh berbagai jenis sel (Michael et al., 1997). Dalam studi in vitro menunjukkan bahwa stres oksidatif menghasilkan peningkatan ekspresi dari faktor transkripsi proinflamasi (Fogarty et al., 2005). Ternyata ditemukan bahwa proses inflamasi pada dinding pembuluh darah merupakan penyebab utama terjadi aterosklerosis, dimulai dari penebalan dinding pembuluh darah, pembentukan ”plaque”, atherom, dan thrombus (Alrasjid et al., 2002). 2.6 Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang dapat menghambat atau mencegah oksidasi substrat dengan cara membersihkan (scavenger) atau memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas (Eberhardt, 2001; Sies et al., 2005). Dalam pengertian kimia, senyawa-senyawa antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan (Gambar 2.9). Gambar 2.9 Mekanisme Pemberian Elektron oleh Senyawa Antioksidan dalam Netralisir Radikal Bebas (Craig, 2005) Namun dalam arti biologis, pengertian antioksidan lebih luas yaitu merupakan senyawa yang dapat meredam dampak negatif oksidan. Senyawa ini mencegah stres oksidatif (Surjohudojo, 2000). Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi bekembangnya reaksi oksidasi, dengan mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Antioksidan mempunyai fungsi penting pada sistem imun, karena sistem imun menghasilkan radikal bebas. Jika tingkat radikal dalam sistem imun melewati tingkat normal, akan memberikan pengaruh negatif pada sistem imun. Sebaliknya, antioksidan mempunyai peran menangkap radikal bebas dalam sel, dan meningkatkan sistem imun (Salvayre et al., 2006). Sistem pertahanan ini mengatur produksi dan eliminasi oksidan dan sangat penting dalam penanganan kerusakan yang terjadi selama proses stres oksidatif. Pertahanan melawan senyawa oksigen reaktif (SOR) meliputi scavenger enzimatik dan antioksidan yang diperoleh dari diet. Scavenger utama terlibat dalam inaktivasi dan terminasi radikal oksigen bebas adalah SOD (Superoxide dismutase), katalase, dan sistem glutathion. SOD mengkatalis perubahan superoksida (O2●) menjadi oksigen dan H2O2. Glutathion peroksidase merupakan enzim antioksidan yang mengandung selenium (Se) pada sisi aktifnya. Kerja enzim ini mengubah molekul hidrogen peroksida (yang dihasilkan SOD dalam sitosol dan mitokondria) dan berbagai hidroksil serta lipid peroksida menjadi air. Glutathion peroksidase adalah enzim intraseluler yang terdispersi dalam sitoplasma, namun aktivitasnya juga ditemukan dalam mitokondria (Ji, 1999)(Gambar 2.10). Menurut Patel et al. (2002) antioksidan pencegah radikal pada dasarnya ditujukan untuk mencegah terbentuknya radikal hidroksil, oleh karena radikal inilah yang paling berbahaya. Untuk membentuk radikal hidroksil, diperlukan tiga komponen yaitu logam transisi terutama Fe, H2O2, dan O2. Oleh karena itu protein pengikat logam transisi seperti transferin dan feritin untuk mengikat Fe dan seruloplasmin untuk mengikat Cu termasuk kategori antioksidan pencegah. Seruloplasmin adalah suatu Gambar 2.10 Antioksidan dalam Sistem Pertahanan Tubuh (Muchtadi, 2009). feroksidase yang dapat mengoksidasi Fe2+ yang sangat toksik menjadi Fe3+ yang kurang toksik. Dengan demikian seruloplasmin merupakan antioksidan yang sangat kuat. Apabila radikal hidroksil masih juga terbentuk, masih ada senyawa untuk meredamnya seperti glutation dan sistein, sehingga tidak memberikan kesempatan untuk memulai reaksi berantai (Eberhardt, 2001). Glutation (GSH) adalah tripeptida yang tersusun atas asam amino glutamat, sistein dan glisin. Glutation adalah kosubstrat bagi enzim glutation peroksidase. Glutation dapat bereaksi dengan singlet oksigen, superoksida dan hidroksil, serta secara langsung dapat berperan sebagai scavenger radikal bebas. Glutation juga menghilangkan atau meminimalkan pembentukan asil peroksida dalam reaksi peroksidasi lipid sehingga struktur membran lebih stabil (Winarsi, 2007). Senyawa Spesies Oksigen Reaktif (SOR) memberikan efek merusak bila keseimbangan antara oksidan dan antioksidan terganggu. Produksi SOR merupakan bagian integral dari metabolisme manusia. Karena tingginya potensi untuk merusak sistem biologis penting, SOR kini telah memberatkan proses penuaan dan pada lebih dari 100 penyakit (Halliwell et al., 1992; Morow dan Lemos, 2009). Keseimbangan ini tergantung pada konsumsi pangan yang membawa asam-asam amino esensial, serta zat-zat gizi lain yang diperlukan untuk sintesis berbagai kofaktor seperti misalnya glutation tereduksi, antioksidan dan oligoelemen (Cu, Zn, dan Se) yang merupakan kofaktor enzim-enzim yang dapat mendegradasi senyawa-senyawa SOR serta vitamin-vitamin antioksidan (vitamin A, C, E, dan B2). Jadi, walaupun di dalam tubuh selalu terbentuk oksigen reaktif dan senyawa peroksida tetapi tubuh juga mampu membuangnya dengan mengubahnya menjadi air melalui reaksi yang melibatkan enzim yang mengandung cuprum, ferrum, zinkum atau selenium. Salah satu contohnya adalah peroksidase glutation dalam mikrosom sel hati. Tubuh juga mampu mencegah terjadinya kerusakan sel akibat stres oksidatif melalui pemanfaatan seyawa antioksidan. Uji coba antioksidan terhadap efek vascular untuk tujuan sebagai berikut (Youngson, 2005) : (1) Mengurangi sitotoksitas Ox-LDL. Ox-LDL mempunyai sifat sitotoksik karena dapat menyebabkan nekrosis endotel dan makrofag. Enzim proteolik seperti matriks metalloproteinase yang dilepaskan makrofag dapat menurunkan integritas struktur fibrous cap yang melapisi lesi aterosklerosis, diikuti lesi/plak vaskular tidak stabil dan mudah ruptur. Antioksidan mempunyai peranan untuk meningkatkan stabilitas plak aterosklerosis dan mencegah trombosis. (2) Mencegah inaktivasi nitritoksida (NO) pada sel endotel. Endothelium-derived NO (EDNO) merupakan molekul kunci untuk regulasi tonus vaskular dan homeostatis. EDNO mempunyai peranan yang luas, antara lain : (a) regulasi tonus vaskular terutarna vasodilator, (b) aktivitas antiaterogenik yang poten termasuk inhibisi proliferasi VSMC, agregasi platelet dan interaksi lekosit-endotel. EDNO disintesis dari Larginine oleh enzim NADPH-dependent NO synthase (NOS) baik isoform yang konstitutif maupun yang dapat diinduksi. Ox-LDL dapat menghambat sintesis dan pelepasan EDNO dan juga langsung inaktivasi EDNO. Radikal anion peroksida (O2●) dapat berinteraksi diikuti tidak berperannya fungsi EDNO. Tingginya aktifitas enzim SOD akan tergambarkan oleh rendahnya produk oksidasi lipid (Zakaria et al., 2000; Winarsi, 2004a). Sebagai metaloenzim, aktivitas SOD tergantung adanya logam Cu, Zn, dan Mn. Beberapa peneliti melaporkan peran logam-logam tersebut terhadap aktivitas SOD. Diantaranya adalah Davis et al. (2000) yang menyatakan bahwa pada wanita yang mengalami defisiensi Cu, aktivitas SOD ekstraseluler meningkat ketika dalam dietnya disuplementasi dengan Zn. Sementara, Marklund (1982) berpendapat bahwa aktivitas SOD ekstrseluler pada wanita dengan kadar Cu tinggi menjadi makin tinggi ketika dietnya disuplementasi dengan Zn kadar tinggi. Dan aktivitas SOD ekstraseluler pada wanita postmenopause berusia 65 tahun juga meningkat setelah mendapat suplementasi Zn sebanyak 50 mg/hari selama 90 hari (Davis et al., 2000). 2.6.1 Kapasitas Antioksidan Total (TAC) Pengukuran TAC pada beberapa tahun belakangan ini semakin intensif diteliti, menjadi sangat penting karena hampir 77% berhubungan dengan fisiologi dan patologi yang selalu dihubungkan dengan spesies oksigen reaktif dan spesies nitrogen reaktif. Kombinasi antioksidan dapat menetralkan pengaruh SOR/SNR. Diperkirakan aktivitasnya berperan penting dalam siklus perlindungan pada beberapa penyakit seperti aterosklerosis, cardiovaskular, saraf dan kanker (Johnson, 2002; Trumbeckaite, 2006). TAC serum mempunyai hubungan positif terhadap keparahan berbagai penyakit (Chuang et al., 2006). Pengukuran TAC adalah pengukuran stres oksidatif yang akurat, dalam masalah peran radikal bebas pada sistem biologi penyakit. Sejumlah test telah didiskripsikan untuk pengukuran berbagai kerusakan radikal bebas atau status antioksidan, teknik yang membuktikan tersedia fakta bahwa tidak ada metode yang ideal tersedia (Young, 2003). Konsep sebuah tes yang mungkin mencerminkan TAC adalah digambarkan kebanyakan salah satu yang di bawah ini (Koracevic et al., 2001): (1) TAC rendah dapat menunjukkan stres oksidatif atau peningkatan kerentanan terhadap kerusakan oksidatif. (2) Parameter Penangkapan Total Radikal (TRAP Assay), berdasarkan generasi radikal peroxyl, sebanding dengan TAC, standar untuk vitamin larut dalam air. TRAP Assay rumit, dengan sampel terbatas. Paradoksnya TAC Assay tidak mengukur kapasitas total antioksidan. (3) Pada umumnya TAC berkurang dalam kondisi yang terkait dengan stres oksidatif. (4) Cairan biologi penyumbang utama pengujian adalah asam urat, lebih besar dari 50 % dari total aktivitas antioksidan, mengakibatkan kesan menyimpang dari aktivitas total antioksidan. (5) Pada pasien gagal ginjal, seringkali TAC meningkat. Studi lebih lanjut menggunakan pengujian TAC dilaporkan bermanfaat menjadi nilai tes prediktif akan menjadi lebih jelas. Pendekatan yang lebih baik adalah dengan menggunakan berbagai pengukuran antioksidan dan kerusakan oksidatif, dengan TAC digunakan sebagai salah satu dari tes ini (Young, 2003). Analisis utama pada ” Bleaching Crocin”, menentukan kontribusi dengan tujuan pengukuran TAC, dapat substansi TAC eksogen (Kampa et al., 2002). Di lain pihak, kemungkinan intervensi dari antioksidan endogen dan eksogen dapat dievaluasi dan dites pada keadaan fisiologi dan patologi. TAC assay, otomatis penuh, stabil dan tepat, seperti dalam mengevaluasi kapasitas antioksidan plasma, dan kegunaan berbagai makanan dan minuman, dengan kegunaan yang pasti pada kesehatan masyarakat, dapat dievaluasi. Pengukuran TAC dalam plasma pada sumber-sumber tipe oksidasi yang berbeda, target dan pengukuran digunakan untuk mendeteksi produk-produk oksidasi. Perkembangan metode Crocin Assay, menjadi ekonomi dan sensitif untuk pengukuran TAC plasma, disamping untuk ekstrak tanaman dan campuran alami (Chatterjee et al., 2005). Mudah, mantap, tepat, sensitif, murah, otomatis penuh dapat diberikan oleh pengukuran TAC (Crossin Assay)(Ozcan, 2003). Beberapa metode telah dikembangkan untuk menilai Antioksidan Total serum atau plasma manusia, karena kesulitan dalam mengukur secara terpisah masing-masing komponen antioksidan dan interaksi antara berbagai komponen antioksidan dalam serum atau plasma, diantaranya adalah Oxygen Radical Absorption Capacity (ORAC) Assay, Randox-TEAC Assay, FRAP assay. Di antara ketiga metode ini ternyata ORAC assay memiliki kekhususan tinggi dan merespon berbagai antioksidan (Cao dan Prior, 2009). Metode yang relatif sederhana, sensitif dan akurat untuk mengukur kapasitass absorban radikal oksigen (ORAC) dari total antioksidan dalam jaringan, tetapi gagal menunjukan kontribusi beta karoten yang signifikan pada TAC dalam darah (Sergio dan Russell, 1999). Beta karoten dan Isoflavon termasuk kelompok antioksidan non-enzimatis atau disebut juga antioksidan sekunder, karena dapat diperoleh dari asupan bahan makanan. Senyawa- senyawa ini berfungsi menangkap senyawa oksidan serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Senyawa-senyawa tersebut tidak kalah penting perannya dalam menginduksi status antioksidan tubuh (Winarsi, et al., 2003). Isoflavon tempe dan beta karoten dapat meningkatkan aktivitas katalase. Isoflavon dan selenium mempengaruhi aktivitas enzim glutation peroksidase (Winarsi, 2007). Diet rendah beta karoten, tetapi cukup dalam semua zat gizi lain menghasilkan tandatanda berkurangnya Total Antioksidan darah (Omaye et al., 1997). Suplemen pada diet harian dengan 90 mg beta karoten telah menunjukkan peningkatan TAC plasma (Sergio dan Russell, 1999). Relevansi TAC sebagai alat baru untuk menyelidiki hubungan antara diet antioksidan dan stres oksidatif patologi, menunjukkan korelasi terbalik antara diet TAC dengan resiko PJK dan kangker. TAC dianjurkan diperhatikan sebagai keterangan dari diet (Serafini et al., 2002). 2.6.2 Tempe M-2 sebagai Sumber Antioksidan. Tempe dapat berfungsi sebagai antioksidan, hal ini disebabkan adanya isoflavonoid yaitu metabolit sekunder yang terdiri dari 19 kelompok senyawa aglikon (berada dalam keadaan bebas atau tidak terikat dengan senyawa yang lain) dan enam kelompok glikosida (berikatan dengan senyawa yang lain). Unsur utama penyusun isoflavonoid adalah sama yaitu 15 atom Carbon dengan susunan sebagai C6-C3-C6. King (2002) dan Soobrattee et al. (2005) melaporkan bahwa dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan Faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat. Antioksidan ini disintesis selama proses pembuatan tempe. Faktor II yang hanya terdapat dalam tempe, terbukti diproduksi oleh bakteri Micrococcus luteus, Microbacterium arborescens dan Brevibacterium epidermis (Papendorf dan Barz, 1991). Proses pembentukan Faktor II dapat terjadi melalui dua reaksi yaitu (1) melalui demetilasi glisitein oleh bakteri Micrococcus luteus dan Brevibacterium epidermis, dan (2) melalui hidroksilasi daidzein oleh bakteri Microbacterium arborescens (Gambar 2.11). Gambar 2.11 Biosintesa Faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) (Papendrof dan Barz, 1991) Terdapat tiga struktur penting isoflavon yang menentukan kekuatan aktivitas antioksidannya. Pertama, gugus–OH ganda, ke dua, gugus C=O pada posisi C4, ke tiga, gugus – OH pada posisi C2 atau C3 (Tharn, 1998). Fungsi sistem gugus demikian memungkinkan terbentuknya kompleks dengan ion logam. Kemampuan antiperoksidasi isoflavon dengan cara membersihkan radikal bebas dan membentuk kompleks dengan ion logam (ion besi atau tembaga), sehingga menghambat ion besi atau tembaga dalam mengkatalis reaksi oksidasi, karena ion besi menginduksi pembentukan radikal bebas OH● (Reaksi Fenton) (Morel, 1993; Winarsi, 2007). Genistin merupakan isoflavon yang terdapat dalam tempe yang diyakini dapat menghambat kerja enzim-enzim yang memacu perkembangan dan perpindahan sel-sel, sehingga genistin dapat mencegah perkembangan sel-sel yang membentuk sel-sel yang membentuk plak dalam pembuluh arteri (Mindell, 2008). Senyawa flavonoid dapat menggantikan vitamin E. Aktivitas antioksidan flavonoid tergantung pada struktur molekulnya, terutama gugus prenil (CH3)2C=CH-CH2. Dalam penelitian menunjukkan bahwa gugus prenil flavonoid dikembangkan untuk pencegahan atau terapi terhadap penyakit yang berhubungan dengan radikal bebas (Sofia, 2005). Tempe M-2 merupakan bahan makanan yang mengandung isoflavon , yaitu zat aktif yang mempunyai struktur dan fungsi mirip estrogen yang dikenal dengan fitoestrogen. Mengkonsumsi tempe yang mengandung isoflavon secara kontinyu dipercaya dapat membantu menurunkan kadar kolesterol sehingga meminimalisir terjadinya penyakit jantung akibat terhambatnya pembentukan plak atheroma pada pembuluh darah (Rahmad, 2009). Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adanya peningkatan derajat ketidakjenuhan terhadap lemak. Dengan demikian, asam lemak tidak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acids, PUFA) meningkat jumlahnya. Dalam proses itu asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kandungan kolesterol serum, sehingga dapat menetralkan efek negatif sterol di dalam tubuh. Disamping itu senyawa lain yang banyak disebut-sebut berefek menurunkan kandungan kolesterol LDL adalah asam-asam lemak tidak jenuh seperti khususnya asam linolenat (Omega-3), begitu juga kandungan asam oleat, linoleat, dan asam arakhidonat (Johan, 2005; Campbell, 2006). Substansi aktif terkandung dalam tempe yang bermanfaat sebagai obat disebutkan dalam Tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2.2 Substansi Aktif dalam Tempe No Substansi Aktif Potensi/Fungsi 1. Isoflavon : daidzein, genistein, glisitein, Antioksidan, Antihemolitik, Anti Faktor II 2. fungi, Anti kanker Asam lemak tidak jenuh jamak : Asam Antioksidan, Hipokolesterolemik, oleat, Asam linoleat, Asam linolenat Antiinflamasi Vitamin larut lemak : Vitamin E (α- Antioksidan, Antihemolitik, tokoferol) dan beta karoten Metabolisme, Melindungi sel. 4. Senyawa anti bakteri Menghambat pertumbuhan bakteri 5. Ergosterol Hipokolesterolemik,pro-vitamin D 6. Fitoestrogen Hipokolesterolemik,Antiinflamasi 7. Vitamin B kompleks : Tiamin, Riboflavin, Hipokolesterolemik, 3. 8. Niasin, Asam pantotenat, Antiinflamasi, Sianokobalamin, dan Folat enzim) Enzim : Protease, Metabolisme(ko- Lipase, Amilase, Metabolisme/hidrolisis Glikosidase, dan Superoksida dismutase 9. Hormon Tiroksin, Pankreas Hipokolesterolemik Sumber : Hendromartono (1997); Pawiroharsono (1997); Winarsi (2007); Mindell (2008) Kemudian disebutkan pula bahwa mineral mikro yang dibutuhkan untuk pertahanan tubuh dalam menanggulangi radikal bebas ialah zat besi, tembaga dan seng. Ketiga mineral ini terdapat dalam tempe yaitu : zat besi 9,39 mg; tembaga 2,87 mg; dan seng 8,05 mg setiap 100 g tempe. Tembaga yang terdapat di dalam fraksi sinositol umumnya berada dalam bentuk ensim superoksida dismutase, ataupun tembaga terikat oleh metallothienin. Sedangkan tembaga yang terdapat di dalam fraksi mitokondria pada umumnya dalam bentuk sitokrom oksidase, urikase dan superoksida dismutase. Zn, Cu, dan isoflavon terkandung dalam konsentrasi cukup tinggi dalam tempe (Ridwan, 1997), berarti tempe dapat meningkatkan aktivitas antioksidan enzimatis. Ditegaskan oleh Campbell (2006) bahwa tempe merupakan sumber mineral mikro seperti selenium, tembaga, seng, dan kromium. Tempe merupakan sumber vitamin B yang sangat potensial (Ridwan, 1997). Menurut Yuniastuti (2008) vitamin B2 termasuk antioksidan. Tempe juga mengandung alfa dan gamma tokoferol, alfa tokoferol merupakan antioksidan pemutus rantai yang bersifat lipofilik dan dapat bereaksi dengan radikal peroksida lemak sehingga terjadi hambatan oksidasi asam lemak tidak jenuh terutama asam arakhidonat (Bhagavan, 2002). Senyawa antioksidan Faktor II (6,7,4 trihidroksi isoflavon) mampu mengikat zat besi sehingga mencegah besi dalam mengkatalis reaksi oksidasi. Dalam penelitian lanjutan ditunjukkan bahwa rendahnya kadar peroksidasi lemak yang ditunjukkan oleh kadar melondialdehide (MDA) dalam darah tikus yang diberi pakan tempe, yang mana mampu menghambat proses oksidasi lemak dan mencegah kerusakan sel. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas (Ridwan ,1997). Alrasyid (2007) menyebutkan bahwa isoflavon genistein yang terdapat dalam tempe telah terbukti sebagai penghambat tirosin kinase yang kuat, adalah enzim yang berperan pada pembentukan trombin serta gangguan yang ditimbulkannya. Analisis molekular dari isoflavon genistein kedelai ternyata memperlihatkan struktur yang mirip dengan 17 β-estradiol., mendukung mekanisme kerja substansi ini dalam perbaikan profil lipid plasma (Kim et al., 2000). Genistein (17 βestradiol eksogen) secara tidak langsung enzyme hormone-sensitive lipase (Cooke et al., 2004). mempengaruhi lipolisis dengan memacu lipolytic atau dengan meningkatkan efek lipolitik dari epinefrin 2.6.3 Wortel sebagai Sumber Antioksidan. Wortel merupakan tanaman sayuran umbi yang kaya antioksidan beta karoten yang merupakan perkursor vitamin A, serta mengandung cukup banyak tiamin dan riboflavin (Asgar dan Musaddad, 2006). Wortel mentah atau dimasak merupakan sumber kalium, beta karoten, dan vitamin C. Beta karoten dan vitamin C pada wortel berkhasiat sebagai antioksidan, yang melindungi kolesterol LDL dari proses oksidasi. Oksidasi kolesterol LDL menghasilkan radikal bebas, penyebab timbulnya berbagai penyakit degeneratif (Wirakusumah, 1997). Suatu studi yang melibatkan 90.000 orang wanita, menunjukkan bahwa mereka yang mengkonsumsi beta karoten lebih dari 11.000 IU per hari mempunyai resiko mengindap penyakit jantung 22% lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang mengkonsumsi hanya 3.800 IU per hari. Studi ini juga menunjukkan bahwa mereka yang mengkonsumsi wortel sedikitnya lima umbi per minggu, mempunyai resiko terkena stroke 68% lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak mengkonsumsi wortel. Aliansi Penelitian Penuaan (the Alliance of Aging Research) menyarankan agar orang dewasa mengkonsumsi beta karoten sebanyak 10 mg (17.000 IU) sampai 30 mg (50.000 IU) per hari. Satu cangkir jus wortel mengandung sekitar 24 mg beta karoten, sedangkan satu umbi ubi jalar merah mengandung sekitar 10 mg beta karoten. Pemasakan dengan panas yang berlebihan menghancurkan beta karoten (Muchtadi, 2009). Komposisi gizi yang terkadung di dalam wortel disebutkan dalam Tabel 2.3. di bawah ini. Tabel 2.3 Komposisi gizi per 100 g Wortel BDD Kandungan Gizi Jumlah Energi (kkal) 36 Protein (g) 1 Lemak (g) 0,6 Karbohidrat (g) 7,9 Kalsium (mg) 45 Fosfor (mg) 74 Besi (mg) 1 Kalium (mg) 0,30 Sodium (mg) 0,03 Beta Karoten (mg) 21,6 Vitamin A (mg) 9,77 Vitamin B1 (mg) 0,05 Vitamin B2 (mg) 0,04 Niasin (mg) 0,53 Vitamin C (mg) 18 Serat pangan (g) 1 Abu (g) 0,6 Air (g) 89,9 Sumber : Adams (1975) dan Wirakusumah (1995) Konsumsi beta karoten yang berasal dari sumber tanaman bersifat aman dan tidak akan memberikan efek toksik sampai 100.000 IU per hari. Lain halnya beta karoten sintetis berlebihan mempunyai resiko potensial sebagai prooksidan (Linder, 1992; Patrick, 2000; Muchtadi, 2009; Sunita, 2009). Beta karoten sebagai antioksidan berperan dalam meredam singlet oxygen dan mencegah peroksidasi lipid, efeknya menyerupai efek vitamin E dan vitamin C dalam melindungi DNA dan membran dari serangan oksidatif endogenus (Sikka, 1996; Roche ,2000; Robbins et al., 2004; Murray et al., 2009). Beta karoten sebagai antioksidan berperan mencegah reaksi berantai yang ditimbulkan radikal hidroksil yang merupakan suatu SOR yang paling reaktif sehingga dapat mencegah terputusnya rantai asam lemak pada membran dan mencegah pembentukan ikatan disulfida (-S-S-) pada protein/enzim sehingga tidak kehilangan aktivitas biologisnya yang berhubungan dengan pembentukan energi (Mayes, 2002). Beta karoten adalah suatu antioksidan pemutus rantai, bersifat lipofilik sehingga berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Beta karoten adalah senyawa yang dapat memberikan elektron (electron donor) kepada radikal bebas atau oksidan sehingga senyawa radikal stabil (Mayes, 2002). Beta karoten disebutkan sebagai antioksidan yang sangat baik, karena kemampuannya untuk memadamkan singlet oxygen dan scavenger radikal peroksil (Osterlie dan Lerfall, 2005). Beta karoten merupakan antioksidan yang paling efisien untuk inaktivasi singlet oxygen dalam sistem biologis. Potensi beta karoten untuk menangkap oksigen singlet diduga melalui ikatan rangkap yang berjumlah sembilan pada rantai karbonnya. Kecepatan penghilangan singlet oxygen oleh karotenoid tergantung pada jumlah ikatan rangkap terkonyugasi dan pada jenis dan jumlah grup fungsional struktur cincin molekul karotenoid. Untuk dapat bertindak sebagai penghilang singlet oxygen yang efektif, paling sedikit harus terdapat tujuh ikatan terkonyugasi, dan makin efektif bila jumlah ikatan terkonyugasi semakin banyak. Mekanisme inaktivasi singlet teroksidasi. oxygen oleh karotenoid adalah secara fisik tanpa menghasilkan produk Beta karoten mendonorkan elektron kepada radikal bebas, dan menjadi kation radikal beta karoten, seperti reaksi di bawah ini : 1 O2 + 1Beta karoten 3 O2 + 3Beta karoten Aktivitas antioksidan beta karoten meningkat pada kosentrasi oksigen rendah (Paloza et al., 1997). Bukan hanya konsentrasi oksigen tetapi juga konsentrasi karotenoid memainkan peranan penting dalam menentukan sifat karoten apakah sebagai antioksidan atau sebagai prooksidan. Kosentrasi beta karoten tinggi, beta karoten sebagai prooksidan, tetapi bisa dimodifikasi oleh interaksi dengan nutrisi lainnya (Gaziano et al., 1995). Dengan menggunakan studi in vitro, menunjukkan bahwa efek prooksidan beta karoten benar-benar dicegah dengan penambahan tokoferol (Paloza, 1995). Relatif tingginya potensial reduksi 1-elektron radikal kation beta karoten (1060 mV), dapat menjelaskan sifat prooksidan beta karoten. Beta karoten tidak dapat secara efektif mendonorkan atom hidrogen kepada radikal peroksil yang mempunyai potensial reduksi 1elektron standar yang serupa (1000 mV), oleh karena itu tidak dapat berfungsi sebagai antioksidan. Kemungkinan beta karoten dapat bereaksi dengan radikal bebas melalui mekanisme lain, dan molekul beta karoten menjadi molekul stabil akibat resonansi, atau menjadi radikal terkonyugasi. Tergantung pada potensial redoks radikal bebas dan struktur kimia karotenoid, terutama terdapatnya group fungsional yang mengandung oksigen, baik hidrogen maupun elektron dapat ditransfer dari karotenoid kepada radikal bebas. menginaktifkan anion superoksida melalui reaksi sebagai Beta karoten dapat berikut (Omaye et al., 1997; Muchtadi, 2000) : ●O2 + beta karoten + 2H+ beta karoten● + H2O2 Beta karoten berperan dalam meningkatkan sistem imunitas melalui efek antioksidan. Beta karoten juga menjamin perkembangan kulit yang sehat, membran mukosa, kelenjar thymus dan jaringan lymphoid dan semua yang berhubungan dengan sistem kekebalan tubuh (Sofia, 2005). Diet tinggi buah-buahan, sayuran dan plasma yang tinggi beta karoten, dapat menghambat pembentukan LDL teroksidasi, yang berhubungan dengan penurunan risiko PJK (Gaziano et al.,1992; Muchtadi, 2000). Kadar beta karoten pada buah-buahan dan sayuran ditampilkan pada Tabel 2.4. Tabel 2.4 Kadar Beta Karoten pada Buah-Buahan dan Sayur-Sayuran BDD Komuditas Wortel Beta karoten (mg/100g) 21,6 Daun singkong 19,8 Sawi 11,6 Kangkung 11,3 Bayam 11 Pisang raja 1,7 Pepaya 1,1 Tomat masak 2,7 Semangka 1,1 Jeruk 0,03 Mangga gadung 11,4 Ubi jalar merah 13,9 Sumber : Linder (1992) dan Sunita (2009). Diet rendah karotenoid , tetapi cukup dalam semua zat gizi lain menghasilkan tandatanda berkurangnya TAC darah (Omaye, 1997). Beta karoten memiliki aktivitas antioksidan terbaik, telah dipelajari kemampuannya untuk mencegah penyakit kronis, memiliki sifat antioksidan in vitro dan hewan coba. Campuran beta karoten dengan antioksidan lainnya meningkatkan aktivitas mereka melawan radikal bebas (Sergio dan Russell, 1999). 2.7 Tempe M-2 sebagai Antiinflamasi. Tempe telah digemari oleh beberapa kalangan masyarakat di pedesaan dan perkotaan bahkan di luar negeri. Di beberapa tempat makanan tempe tidak lagi dijadikan menu tambahan melainkan disantap sebagai makanan kesehatan (Astawan, 2003). Menurut Harlinawati (2006) niasin dapat meningkatkan secara signifikan kandungan kolesterol HDL pada penderita jantung koroner serta individu dengan kadar kolesterol HDL yang rendah. Proses penempean meningkatkan kandungan niasin hingga dua sampai dengan lima kali. HDL meningkatkan aktivitas antioksidan sehingga memproteksi kolesterol LDL dari proses oksidasi dan menurunkan ekspresi molekul adhesi dari endotel pembuluh darah (Hastuti, 2005). Mekanisme potensial HDL dalam melindungi endotel dari kerusakan vaskular adalah melalui kemampuan HDL dalam mengeluarkan kolesterol dari dalam dinding arteri. IL-6 dapat dihambat secara tidak langsung melalui pengaturan sintesa kolesterol endogen (Endermann et al., 2004; Huang et al., 2005). Asam lemak tidak jenuh Omega-3 dapat mengurangi proinflamasi/properadangan dan menurunkan proses peradangan (inflamasi) sekresi sitokin (Sunita, 2009). Asam lemak tidak jenuh Omega-3 dapat mengurangi sekresi sitokin proinflamasi dan pengaturan penurunan proses peradangan. Supplementasi Omega-3 selama 18 minggu menghambat signal pada basal dan Lipopolysaccharide (LPS) yang merangsang IL-6 atau produksi monosit (Abbate et al., 1996). Penelitian pengaruh tiroid pada binatang menunjukkan bahwa tempe dapat meningkatkan kadar tiroksin plasma darah, hormon yang diproduksi oleh kelenjar gondok, yang pada saat yang sama juga mengurangi kadar kolesterol darah, sehingga mengurangi tingkat inflamasi (Mindell, 2008). Tempe mengandung antioksidan zat anti mutagenik (Simanjuntak dan Sudaryati,1998). Rifas et al. (1995) mendapatkan dalam penelitiannya bahwa kemampuan estrogen mengatur produksi sitokin sangat bervariasi dari masing-masing organ maupun masing-masing spesies, begitu juga terhadap produksi dari IL-6. Ditegaskan oleh Manolagas (1995) dan Keller et al. (1996) bahwa estrogen menghambat ekspresi gen IL-6, melalui represi aktivasi transkripsi dari gen IL-6 melalui efek estrogen reseptor dalam aktivitas transkripsi dari sequens proksimal 225bp dari promoter. Para peneliti menyatakan bahwa kombinasi asam amino yang terdapat dalam kedelai dapat mengubah tahap yang penting dalam pembentukan kolesterol. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa setelah makan kedelai kadar glucagon darah meningkat (glucagons adalah hormon yang dikeluarkan oleh pankreas). Mereka menduga bahwa perubahan dalam glucagons dapat mengubah kinerja HMG-KoA reduktase (Coenzym A), yang sangat penting dalam mensintesa kolesterol. Ada kemampuan inhibitor HMG-KoA reduktase untuk menurunkan kadar CRP (Nawawi et al.,2003 dan Mindell, 2008). Protein tempe memiliki kadar yang rendah akan asam amino, seperti lisin dan metionin, dibandingkan dengan protein hewani. Penelitian menunjukkan bahwa bila lisin tersebut ditambahkan dalam makanan tempe, maka akan meningkatkan kadar kolesterol LDL. Komposisi asam amino tempe meningkatkan kadar kolesterol HDL (Mindell, 2008). Kolesterol HDL sebagai komponen protektif sangat berperan dalam mekanisme aterosklerosis pada dislipidemia. Peranan kolesterol HDL beberapa jalan antara lain : pada penghambatan mempertahankan integritas proses ateroskleroses melalui endotel, memfasilitasi relaksasi pembuluh darah, menghambat adesi sel pada endotel, menurunkan agregasi platelet dan sistem koagulasi, serta memepertahankan proses fibrinolisis (Calabresi et al., 2003). Menurut Freeman et al. (2008) kolesterol HDL pada dasarnya adalah kebalikan dari kolesterol LDL, mempunyai ukuran yang paling kecil dengan densitas paling besar karena mengandung trigliserida yang paling sedikit. HDL memiliki banyak protein, bertindak sebagai vacuum cleaner yang mengisap sebanyak mungkin kolesterol berlebih yang bisa diisapnya. HDL memungut kolesterol ekstra dari sel-sel dan jaringan-jaringan lalu membawanya kembali ke hati, yang mengambil kolesterol dari HDL, dan menggunakannya untuk membuat cairan empedu atau mendaurulangnya. Di samping itu, kolesterol HDL juga meningkatkan aktivitas antioksidan sehingga memproteksi kolesterol LDL dari proses oksidasi dan menurunkan ekspresi molekul adhesi dari endotel pembuluh darah (Hastuti, 2005). Interaksi HDL memodifikasi distribusi dan morfologi kolesterol membran sehingga mempengaruhi aktivitas eNOS secara potensial. Studi in vivo mendukung konsep yang menyatakan bahwa HDL mencegah disfungsi endotel dengan memicu produksi NO endotel (Cines, 1998). Kolesterol HDL berperanan dalam aktivasi reverse cholesterol transport sehingga akan mempunyai pengaruh seperti : (1) Meningkatkan mobilisasi / penarikan kolesterol dari sel, (2) Menekan pertumbuhan plak aterosklerosis yang baru, (3) Stabilisasi plak aterosklerosis, dan (4) menurunkan kemungkinan ruptur dari plak. Kemudian disebutkan juga keuntungan aspek molekuler lainnya dari HDL adalah : (1) Anti agregasi platelet, (2) Antifibrinogenesis, (3) Antiinflamasi, (4) Menurunkan LDL3, (5) Menghentikan trombosis, dan (6) Antiapoptosis (Hendromartono, 2009). Penelitian pengaruh tiroid pada binatang menunjukkan bahwa tempe dapat meningkatkan kadar tiroksin plasma darah, hormon yang diproduksi oleh kelenjar gondok, yang pada saat yang sama juga mengurangi kadar kolesterol LDL darah, dan meningkatkan kolesterol HDL (Mindell, 2008). Isoflavon dapat menghambat inflamasi IL-6, penghambatan langsung pada jalur reaksi sinyal transduksi. Disebutkan pula bahwa aktivitas antiresorptive phytoestrogen pada tempe kedelai sebagai mediatornya. Isoflavon yang terdapat pada tempe, dapat meniru peranan dari hormon estrogen, dapat berikatan dengan reseptor estrogen sebagai aktivitas hormonal, menyebabkan serangkaian reaksi yang menguntungkan tubuh. Pada saat kadar hormon estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat walaupun afinitasnya tidak sebesar estrogen. Target terapi untuk mengontrol beberapa penyakit, mencakup inhibisi IL-6 (Baziad, 2003; Kim et al., 2003; Sun et al., 2003; Koswara, 2006; Omoigui, 2007). Selain itu, Isoflavon dapat meningkatkan kadar vitamin C dalam sel-sel tubuh, mengurangi kebocoran dan pecahnya pembuluh darah kecil, melindungi terhadap kerusakan akibat radikal bebas dan memperkuat struktur persendian, menghilangkan plak-plak arterosklerosis (pengerasan arteri) (Wirakusumah, 1997). 2.8 Wortel sebagai Antiinflamasi Beta karoten yang berasal dari wortel bersifat aman dan tidak akan memberikan efek toksik sampai 100.000 IU per hari. Lain halnya dengan suplemen beta karoten sintetis berlebihan akan mengganggu cara tubuh memanfaatkan lemak. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa, orang yang mengkonsumsi beta karoten dalam jumlah tinggi mempunyai kemampuan untuk mencegah timbulnya kanker. Suatu studi yang melibatkan 90.000 orang wanita, menunjukkan bahwa mereka yang mengkonsumsi beta karoten lebih dari 11.000 IU per hari mempunyai resiko mengidap penyakit jantung 22% lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang mengkonsumsi hanya 3800 IU per hari. Studi ini juga menunjukkan bahwa mereka yang mengkonsumsi wortel sedikitnya lima umbi per minggu, mempunyai resiko terkena stroke 68% lebih rendah, dibandingkan dengan mereka yang tidak mengkonsumsi wortel (Wirakusumah, 1997; Muchtadi, 2009). Hal ini dijelaskan oleh Kohlmeier ( 2003) dan Budi (2009) bahwa beta karoten berfungsi memperlambat berlangsungnya penumpukan flek pada arteri, sehingga aliran darah ke jantung dan otak berlangsung tanpa sumbatan. Ditegaskan oleh Sergio dan Russell (1999) bahwa trans-beta karoten dapat menghambat aterosklerosis pada kelinci dengan diet kolesterol tinggi. Beta karoten mampu menangkap oksigen reaktif dan radikal peroksil (Paiva dan Russel, 1999) lalu menetralkannya, menghambat oksidasi arakhidonat menjadi endoperoksida dan menurunkan aktivitas lipoksigenase (Lieber dan Leo, 1999). Apabila oksidasi asam arakhidonat dapat dihambat maka tidak terbentuk oksigen reaktif yang dapat menyebabkan nyeri dan inflamasi. Penurunan aktivitas enzim lipoksigenase menyebabkan tidak terbentuknya leukotrien yang dapat mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan (Lieber dan Leo, 1999). Adanya hambatan pada oksidasi asam arakhidonat dan penetralan oksigen reaktif menyebabkan beta karoten berefek antiinflamasi. Reseptor IL-6 dikendalikan oleh vitamin A (Parakkasi, 1999). Optimalnya aktivitas perasan umbi wortel tidak hanya beta karoten yang bertanggung jawab dalam memberikan antiinflamasi. Kemungkinan antioksidan lain yang terkandung dalam perasan umbi wortel, seperti vitamin C juga memberikan peran antiinflamasi (Esvandiary et al., 2007). Wortel mengandung kalium dan vitamin C, yang membantu menetralkan asam dalam darah dan menghilangkan toksin dalam tubuh. Wortel juga bersifat sebagai pembersih darah dan mendorong keluar sisa metabolisme sel tubuh melalui ginjal, sehingga dapat mencegah pengendapan sisa sisa metabolisme. Kalium dalam wortel menjaga keseimbangan air dalam tubuh dan membantu tekanan darah, menetralkan asam dalam darah. Wortel berkhasiat sebagai anti stroke, karena beta karoten dapat mencegah terjadinya plak pada pembuluh darah. Wortel merangsang dengan mudah dan cepat reaksi pembersih kelebihan lemak tubuh, sehingga wortel dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh (Jeanne, 2006; Nuansa, 2011). Dinding dalam wortel juga terkandung pektin, yaitu salah satu jenis serat pangan yang bersifat larut dalam air (soluble dietary fiber). Serat jenis ini berperan penting untuk menurunkan kadar kolesterol dan gula darah, sehingga bermanfaat untuk mencegah penyakit diabetes melitus dan aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah), yang merupakan cikal bakal penyakit jantung koroner dan stroke. Selain jenis serat larut dalam air, wortel juga mengandung serat tidak larut (insoluble dietary fiber), yang bermanfaat mencegah terjadinya gangguan pada saluran pencernaan, seperti konstipasi, kanker usus, dan divertikulosis (Vallerie, 2009). Wortel memiliki khasiat memperkuat fungsi hati, melancarkan kencing, membuang zat yang tidak berguna melalui ginjal, antiseptik, laksaktif, dan melindungi tubuh dari bahan kimia yang beracun. Beta karoten juga dikenal sebagai unsur pencegah kanker. Beta karoten dapat menjangkau lebih banyak bagian-bagian tubuh dalam waktu relatif lama dibandingkan dengan vitamin A, sehingga memberikan perlindungan lebih optimal terhadap munculnya kanker. Kandungan beta karoten dalam wortel dapat mencegah penyakit kanker, yaitu dengan jalan mengacaukan mekanisme kanker yang merusak sel. Disamping itu, beta karoten membantu sistem kekebalan tubuh menghasilkan sel pembunuh alami (natural killer cell). Beta karoten dapat mencegah terjadinya plak atau timbunan kolesterol dalam pembuluh darah, sehingga sering disebut sebagai anti stroke (Mayes, 2002). Hasil penelitian Widarsih (2003) menyebutkan bahwa air perasan umbi wortel memiliki daya antiinflamasi pada dosis 5 ml/kgbb/hari. 2.9 Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel sebagai Antiaterosklerosis. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel merupakan kombinasi makanan yang sangat serasi, satu dengan yang lain saling bersinergi menormalkan pH darah (pH 7,3 -7,5), maupun pH urine (pH 7 – 8) atau lebih ke arah basa. Kombinasi makanan yang tepat bertujuan mencapai keseimbangan asam dan basa, sehingga terhindar dari gangguan fungsi tubuh dan penyakit (Gunawan, 2001; Marsden, 2008; Farida dan Amalia, 2009). Keseimbangan dalam kondisi sedikit basa tersebut senantiasa dipertahankan agar enzim-enzim yang berperan dalam proses metabolisme dapat bekerja optimal. Jika pH bergeser, maka kerja enzim terhambat, keadaan ini dapat menyebabkan timbulnya sakit dan penyakit (Rampisela, 2009). Ditegaskan oleh Reagan et al. (2007) bahwa kondisi basa pH urine tikus adalah pada lebih besar atau sama dengan pH 7,5 sedangkan kondisi asam pH urine tikus adalah pada lebih kecil atau sama dengan pH 7. Cara pemeriksaan pH urine dengan pH Indicator Strips merupakan penentuan pH urine yang mudah, cepat dan tepat (Kosasih dan Kosasih, 2008). Makanan vegetarian dan makanan yang mengandung lemak polyunsaturated merupakan makanan pembentuk basa tubuh. Apabila pH urine sudah normal, untuk monitor kenormalan pH urine selanjutnya adalah pada dua belas minggu kemudian, dan monitor pH urine tiga minggu sekali apabila kondisi pH urine belum normal (Young, 2006). Tempe M-2 dengan wortel sama-sama merupakan sumber mineral logam natrium, magnesium, zat besi, kalsium dan utamanya kalium, kandungan mineral logam inilah yang dapat membantu menetralkan asam dalam darah. Tempe M-2 dengan wortel sama-sama sebagai sumber antioksidan yang kuat. Kombinasi antioksidan dapat menetralkan pH dan radikal bebas, aktivitasnya penting dalam perlindungan dari beberapa penyakit, seperti aterosklerosis, kardiovaskular, saraf dan kanker (Gunawan, 2001; Johnson, 2002; Thumbeckaite, 2006). Tempe M-2 merupakan makanan yang difermentasi, adalah pembentuk basa, karena perubahan status mikrobiologis dan nutrisi, meningkatkan flora usus yang baik, membantu menyintesis lebih banyak enzim dan vitamin, serta meningkatkan kecernaan protein (Marsden, 2008). Adapun akibat positif dari kombinasi makanan serasi tersebut adalah meminimalkan jumlah penumpukan sisa makanan dari hasil metabolisme tubuh, sehingga fungsi pencernaan dan penyerapan zat makanan menjadi lancar. Cara Food Combining mengkombinasikan ataupun memisahkan jenis makanan tertentu dilakukan atas dasar cara kerja enzim dan waktu yang diperlukan untuk mencerna setiap jenis makanan. Inti dari Food Combining yaitu kombinasi makanan yang serasi berdasarkan sifat pembentuk asam dan basa suatu makanan, sehingga keseimbangan asam dan basa dapat dicapai. Terdapat pola tersendiri dalam kombinasi makanan yang serasi. Seperti sayur dapat dimakan bersamaan dengan makanan kelompok protein (Gunawan, 2001). Kerusakan oksidatif yang terjadi di dalam tubuh secara in vitro dalam satu sel kira-kira terjadi 10.000 kali reaksi oksidasi dalam kurun waktu 24 jam. Hal ini membuktikan bahwa stres oksidatif sangat mengancam kehidupan manusia. Stres oksidatif hanya dapat dikendalikan oleh asupan antioksidan dari makanan, yang selanjutnya akan memacu kerja antioksidan dalam tubuh (Lampe, 1999; Winarsi, 2007). Masing-masing jenis antioksidan memiliki sifat dan cara kerja yang tidak sama, namun masing-masing memiliki target yang berbeda, yaitu menekan atau menghambat reaktivitas radikal bebas. Seperti superoksida dismutase mengkatalisis reaksi dismutasi dari radikal superoksida menjadi H2O2, menjadi H2O. sedangkan katalase dan glutation peroksidase mengubah H2O2 Oleh sebab itu, kesempurnaan kerja sistem enzim antioksidan sepenuhnya diperankan oleh tiga macam enzim tersebut. Namun yang perlu dipahami adalah, antioksidan seluler tidak dapat bekerja secara individual tanpa dukungan asupan antioksidan sekunder dari bahan pangan. Makin tinggi asupan antioksidan eksogenus, makin tinggi pula status antioksidan endogenus (Lampe, 1999). Jadi diperlukan konsumsi bahan makanan yang kaya akan komponen antioksidan dalam jumlah yang memadai, agar mampu menginduksi kerja enzim antioksidan dalam tubuh sehingga mampu menekan kerusakan sel yang berlebihan dan mempertahankan status antioksidan seluler. Beta karoten memegang peranan penting dalam pembentukan protein, dibutuhkan dalam membran mitokondria dalam level optimum untuk dapat merangsang aliran energi yang efisien melalui mitokondria. Kebutuhan beta karoten dapat pula meningkat bila konsumsi protein kadar tinggi (Linder, 1992; Parakkasi, 1999). Ditegaskan pula bahwa lesitin pada tempe meningkatkan kadar karoten dalam hati, dan kandungan tiroid pada tempe meningkatkan daya guna beta karoten. Stimulasi tiroid dapat meningkatkan kebutuhan beta karoten (Parakkasi, 1999). Ketersediaan beta karoten meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain (Sunita, 2009). Berbagai penelitian menemukan bahwa tokoferol (α atau γ) melindungi beta karoten dari autooksidasi (Palozza dan Krinsk, 1992). Beta karoten memperkuat potensi αtokoferol sebagai scavenger radikal peroksil. membentuk radikal karotenoid Beta karoten bereaksi dengan radikal peroksil peroksil, kemudian berubah menjadi karotenoid peroksida (Muchtadi, 2000). Ditegaskan oleh Murray et al. (2009) bahwa beta karoten merupakan antioksidan yang mempunyai peran dalam menangkap radikal bebas peroksil di dalam jaringan pada tekanan parsial oksigen yang rendah. Karena bersifat efektif pada konsentrasi oksigen rendah, beta karoten melengkapi sifat antioksidan vitamin E yang efektif pada konsentrasi oksigen lebih tinggi. Pada umumnya penggunaan beta karoten sebagai antioksidan berkombinasi dengan sumber antioksidan lain. Sebuah penelitian melibatkan subjek 29.000 kaum laki-laki Finisa yang memiliki kebiasaan merokok. Mereka diberi beta karoten dan vitamin E (keduanya senyawa aktif) selama enam tahun Dari percobaan tersebut tidak ditemukan kejadian penyakit kanker maupun kardiovaskuler (Winarsi, 2007). Vitamin E memberikan efek sinergis dengan beta karoten sebagai antioksidan di dalam tubuh, dapat membuat awet muda karena mampu mengatasi serangan radikal bebas, yang mempercepat ketuaan (Kohlmeier, 2003). Beta karoten berperan sebagai sparing effect vitamin E. Bila tekanan oksigen dalam tubuh tinggi, vitamin E diangkut darah melalui LDL dan HDL. Namun bila tekanan oksigen rendah, vitamin E digantikan oleh beta karoten. Suplementasi beta karoten pada manusia ditingkatkan dari 0,58 menjadi 2,06 μmol/100 g sereal, ternyata penyerapan Fe meningkat. Mekanisme ini melibatkan pembentukan kompleks beta karoten dengan Fe yang dapat larut dalam lumen usus, kemudian mencegah efek penghambatan fitat dan polifenol pada absorbsi Fe (Garcia dan Casal, 1998; Kohlmeier, 2003). Kompleks beta karoten dengan Fe dalam mengkorvensi beta karoten menjadi retinol dapat menghambat Fe dalam mengkatalis reaksi oksidasi dalam pembentukan radikal bebas OH● (Reaksi Fenton)(Winarsi, 2007). Konsentrasi beta karoten tinggi bisa menjadi prooksidan, dapat dimodifikasi oleh interaksi dengan nutrisi lainnya (Gaziano et al., 1995). Zn merupakan bagian dari karbonik anhidrase yang berperan dalam pengeluaran amonia dan dalam produksi hidroklorida yang diperlukan dalam pencernaan beta karoten. (Murray, et al., 2009; Sunita, 2009). Antioksidan mempunyai mekanisme untuk menetralkan kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Mekanisme tersebut diperankan oleh jaringan antioksidan (antioksidan network) yang saling menopang dalam jaringan kerjasama antar antioksidan (Berg et al., 2001; Block et al.,2001). Jadi diperlukan konsumsi bahan makanan yang kaya akan komponen antioksidan dalam jumlah yang memadai, agar mampu menginduksi kerja enzim antioksidan dalam tubuh sehingga mampu menekan kerusakan sel yang berlebihan dan mempertahankan status antioksidan seluler. Akhir-akhir ini beberapa penelitian fungsi antioksidan vitamin A, E, dan C dalam mencegah kejadian atau angka kematian dari PJK memberikan hasil yang kurang memuaskan ( Bagiada et al., 2004). Miller (2007) menyebutkan bahwa jika diputuskan akan mengkonsumsi antioksidan dalam bentuk suplemen makanan, sebaiknya juga dipastikan bahwa suplemen makanan tersebut mengandung antioksidan seperti A, E, C dan Se dan dilengkapi dengan Omega-3 dan Omega-6 yang seimbang. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel mengandung antioksidan A, E, C, Se, Omega-3 dan Omega-6. (Linder, 1992; Mindell, 2008; Vallerie, 2009). 2.10 Keunggulan Tempe M-2 Kedelai varietas Wilis (Kusamba, Klungkung, Bali), bahan baku tempe M-2, menjadikan tempe M-2 berasa lebih enak dan gurih dikonsumsi segar, dibanding tempe yang ada di pasaran, yang berbahan baku kedelai impor. Disamping itu tempe M-2 mengandung gizi dan nirgizi yang bermanfaat bagi kesehatan lebih tinggi daripada tempe biasa (Agung, 2002). Perebusan kedelai dalam pembuatan tempe M-2 dilaksanakan dua kali, hal ini dapat meningkatkan nilai cerna, gizi, nirgizi dan sensoris (Agung, 2002), sesuai dengan penelitian dari Karmini (1997) bahwa perebusan yang ideal dalam pembuatan tempe dilakukan sebanyak dua kali dengan tujuan akhir memaksimalkan jumlah isoflavon tempe, meningkat 58,7 % daripada sekali perebusan. Perebusan dua kali dalam pembuatan tempe M-2 menghasilkan tempe lebih bersih, lebih lama daya simpan dan rasanya lebih enak. Kandungan protein kedelai dan tempe hampir sama, namun melalui proses fermentasi, terjadi peningkatan asam amino bebas sebesar ± 35 kali (Kiers, 2001). Asam amino tertinggi pada tempe setelah fermentasi adalah arginin. Penelitian Ghozali (2008) menunujukkan bahwa asam amino arginin tempe mengalami kenaikan dibanding kedelai, dengan rata-rata peningkatan sebesar 68,8%. Tingginya rasio arginin/lisin dihubungkan dengan tingginya kosentrasi serum glukagon (Torres et al., 2006), yang berperan dalam homeostatis lipid. Sisa protein yang tidak dapat dicerna yaitu peptida hidrofobi akan mengikat asam empedu dan kolesterol dalam lumen usus menyebabkana penurunan absorbsi kolesterol (Utari, 2011). Penelitian Sugyarto (1990) yang memberikan 200 g tempe selama dua minggu pada laki-laki dan wanita menunjukkan efek yang baik pada perbaikan profil lipid. Tempe mengandung dua tipe protein yaitu globulin 11 S (glycinin) dan 7 S (βconglycinin). Protein 11 S (glycinin) punya peran sebagai antioksidan (Torres et al., 2006). Protein 7 S ((β-conglycinin) dilaporkan dapat menurunkan akumulasi kolesterol dalam aorta, sehingga dapat mencegah PJK. Proses fermentasi pada pembuatan tempe menyebabkan peningkatan asam amino, asam lemak dan isoflavon total tempe, jauh lebih tinggi dibanding kedelai (Utari, 2011). Isoflavon memberikan efek hipokolesterol melalui kemampuannya dapat mengatur aktivitas reseptor LDL. Isoflavon meningkatkan aktivitas enzim SOD diduga karena induksi gen yang bertanggungjawab pada sintensis enzim antioksidan (Suarsana, 2009). Ditegaskan pula bahwa kultur sel yamg diberikan genistein dapat meningkatkan ekspresi MnSOD yang kemungkinan melalui mekanisme interaksi genistein dengan reseptor estrogen. Dari berbagai makanan, yang paling banyak mengandung isoflavon adalah tempe ( Winarsi, 2007). Enzim lipase tempe melarutkan sebagian lemak kedelai, meningkat 30% atau 50-70 kali asam lemak bebas dibanding bentuk kedelai. Peningkatan asam lemak ini dapat meningkatkan daya cerna tempe. Asam lemak yang dominan adalah asam linoleat , disusul asam oleat, asam linolenat dan asam palmitat, yang semuanya tergolong asam lemak tidak jenuh rantai panjang dan jumlahnya sekitar 80% dari total asam lemak, Asam lemak linoleat (omega-3) tergolong esensial yaitu tidak dapat disintesa di dalam tubuh sehingga harus diperoleh dari konsumsi makanan (Ghozali, 2008; Utari, 2011). Minyak yang berasal dari tempe mempunyai daya tahan yang kuat terhadap peroksidasi lemak saat penyimpanan dalam suhu kamar, bahkan tidak berubah saat penyimpanan dalam suhu kamar, bahkan tidak berubah kadarnya ketika disimpan sekitar dua tahun, hal ini berbeda dengan minyak dari kedelai yang cenderung rentan terhadap peroksida saat penyimpanan (Utari, 2011). Asam oleat mempunyai kemampuan untuk meningkatkan HDL yang merupakan lemak yang dapat menurunkan resiko PJK, sehingga asam oleat juga sering diklaim untuk mencegah penyakit jantung (Mann dan Stewart, 2007). Begitu juga dengan asam linoleat pada tempe bersifat meningkatkan kadar HDL dan menurunkan LDL. Asam linoleat dan asam linoleat tidak hanya dibutuhkan untuk semua membran sel tetapi juga mengalami elengasi dan denaturasi menjadi rantai lebih panjang dan merupakan prekursor komponen eicosanoid yang menyerupai hormon, prostaglandin dan leukotrienes. Asam linoleat akan dikonversi menjadi asam arakidonat, sedangkan asam linolenat akan dikonversi menjadi eicosapentaenoic acid (EPA) dan decosahexosenoic acid (DHA)(Mann dan Stewart, 2007). EPA dan DHA dapat mencegah timbulnya platelet darah. Platelet dalam darah ini dalam jumlah besar akan mengganggu aliran darah dan merupakan faktor utama penyebab serangan jantung dan stroke. EPA dan DHA juga dapat memperbaiki trigliserida darah pada individu dengan hipertrigliserida (Utari, 2011). Asam linolenat merupakan ketiga terbanyak dalam tempe, lebih efektif menurunkan trigliserida darah dibanding asam linoleat. Namun harus diwaspadai karena jika dikonsumsi terlalu banyak pada individu yang kadar LDLnya tinggi justru akan semangkin meningkatkan kadar LDL serta menurunkan kadar HDL (Mann dan Stewart, 2007). Keunggulan dari tempe adalah karena asam linolenat bukan asam lemak bebas utama, sehingga lebih leluasa untuk dikonsumsi dalam jumlah banyak khususnya pada orang dengan dislipidemia tanpa mengurangi manfaatnya. Peran lain dari asam linoleat dan asam linolenat adalah : (1) untuk kekuatan membran sel, (2) untuk membantu transport dan metabolisme kolesterol sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol darah, (3) mengatur produksi enzim, yang dibutuhkan untuk sintesa asam lemak non esensial dalam hati, (4) meningkatkan imunitas dan mencegah kerentanan terhadap infeksi, merupakan prekursor komponen aktif prostaglandin yang dibutuhkan dalam semua jaringan tubuh dan aktivitasnya mempengaruhi tekanan darah, pembekuan darah dan fungsi jantung (Schlenker dan Sara, 2007). Kandungan serat pada tempe meningkat tujuh kali dibanding pada kedelai, oleh karena pertumbuhan miselium Rhizopus. Dalam serat juga terrkandung saponin yang mampu menghambat penyerapan kolesterol (Ghozali, 2009). Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat (yang mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol. Dengan terurainya asam fitat, mineralmineral tertentu seperti besi, kalsium, magnesium, dan seng menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh. Ditegaskan oleh Astuti (1992) yang menguji distribusi Fe, Cu dan Zn pada sel tikus dan ternyata mineral tersebut jauh lebih tinggi pada tikus yang diberi tempe dibanding yang diberi kasein atau kedelai. Tempe mengandung cukup tinggi vitamin B12, yang berkorelasi negatif dengan homosistein serum, kadar homosistein memicu peningkatan hidrogen peroksida sehingga menimbulkan resiko kerusakan sel endotel dan timbulnya platelet pada pembuluh darah yang akan mengakibatkan stroke atau PJK (Utari, 2011). Dibandingkan dengan kedelai sebagai bahan bakunya, tempe mempunyai beberapa keunggulan dalam mutu gizi. Proses fermentasi selain menjadikan nilai gizi tempe meningkat, menghilangkan bau langu yang terdapat dalam kedelai menjadi aroma khas tempe. Tempe mempunyai tekstur seluler yang unik sehingga mudah dicerna dan diserap. Disamping itu tempe juga mempunyai kandungan zat berkhasiat antibiotik dan stimulasi pertumbuhan. Enzim fitase yang dihasilkan oleh kapang akan menguraikan asam fitat, membebaskan fosfor dan biotin sehingga dapat dimanfaatkan tubuh. Penyerapan mineral yang tadinya terganggu oleh adanya asam fitat menjadi lebih baik (Ridwan, 1997). BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Penyakit jantung koroner (PJK) merupakan penyebab kematian tertinggi di dunia, PJK di Indonesia meningkat tajam sebagai penyebab kematian utama. Hal ini terjadi karena terjadinya perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat. Perubahan gaya hidup dan pola makan masyarakat akhir-akhir ini yang cenderung banyak mengkonsumsi makanan berlemak, terutama yang mengandung asam lemak jenuh. Asupan makanan dengan kandungan kolesterol tinggi yang berlangsung secara terus menerus mengakibatkan peningkatan kadar kolesterol LDL dalam darah. Kolesterol LDL rentan teroksidasi, dan dapat menimbulkan proses inflamasi, yang menginduksi pengeluaran IL-6, yang kemudian dapat berlanjut dengan timbulnya aterosklerosis. F2-Isoprostan merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid, dan merupakan prediktor dini pada aterogenesis awal. Pengukuran TAC adalah pengukuran stres oksidatif yang akurat. Antioksidan adalah senyawa yang dapat mencegah stres oksidatif, dengan menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan mencegah terbentuknya radikal bebas. Antioksidan mempunyai mekanisme untuk menetralkan kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas. Mekanisme tersebut diperankan oleh jaringan antioksidan, yang dalam bekerjanya saling menopang dalam jaringan kerjasama antar antioksidan. Oleh karena itu diperlukan konsumsi bahan makanan yang kaya akan komponen antioksidan dalam jumlah yang memadai, agar mampu menginduksi kerja enzim antioksidan dalam tubuh, sehingga mampu menekan kerusakan sel yang berlebihan dan mempertahankan status antioksidan seluler. Sehingga ditegaskan apabila akan mengkonsumsi antioksidan dalam bentuk suplemen makanan, sebaiknya juga dipastikan bahwa suplemen makanan tersebut mengandung antioksidan vitamin A, vitamin E, vitamin C, Se dan dilengkapi dengan Omega-3 dan Omega-6. Pangan fungsional kombinasi tempe M-2 dengan wortel merupakan kombinasi makanan (diet food combining) yang sangat serasi, satu dengan yang lain saling bersinergi dalam meningkatkan aktivitas zat-zat bioaktif yang dikandungnya, utamanya sama-sama bergizi tinggi dan merupakan sumber antioksidan, yang berperan sebagai antiaterosklerosis, sehingga memberikan harapan dalam upaya pencegahan PJK. Tempe M-2 adalah sumber antioksidan yang sangat baik, seperti protein, vitamin E, Omega-3, vitamin B2, Zn, Cu, Se dan isoflavon. Disamping itu tempe M-2 kaya akan substansi aktif yang berperan sebagai hipokolesterolemik dan antiinflamasi seperti niasin, susunan asam amino yang lengkap (cukup mengandung arginin dan rendah metionin), ergosterol, fitoestrogen, vitamin B kompleks, enzim (protease, lipase, amilase, glikosidase, SOD) dan hormon tiroksin. Isoflavon berperan sebagai antiinflamasi, antimutagenik dan dapat meningkatkan aktivitas enzim katalase dan glutation peroksidase. Wortel mengandung antioksidan Se, vitamin C, dan B2, serta yang paling penting adalah wortel kaya antioksidan beta karoten (provitamin A). Aktifitas antioksidan wortel melengkapi aktifitas antioksidan tempe M-2, seperti beta karoten berinteraksi dengan vitamin E sebagai antioksidan dalam beraktivitas di membran sel, retikulum endoplasma dan lisosom. Beta karoten meningkatkan aktivitas katalase. Beta karoten sebagai antioksidan sangat baik, karena kemampuan beta karoten untuk meredam radikal singlet oksigen peroxyl. 3.2 Konsep Berdasarkan kerangka berpikir di atas dibuat kerangka konsep penelitian seperti Gambar 3.1. Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel (mengandung Antidislipid, Antioksidan dan Antiinflamasi ) (Variabel bebas) Internal Umur, Jenis Kelamin, dan Berat Badan Eksternal Antidislipid, Antioksidan, dan Antiinflamasi Tikus Wistar Aterosklerosis HDL , TAC , LDL , F2-Isoprostan , dan IL-6 Tikus Wistar tanpa Aterosklerosis HDL , TAC , LDL , F2 -Isoprostan , dan IL-6 (variabel tergantung) Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Keterangan : = peningkatan, = penurunan, HDL = High Density Lipoprotein, TAC = Total Antioxidant Capacity, LDL = Low Density Lipoprotein, IL-6 = Interleukin-6, Tempe M-2 = tempe kedelai dua kali modifikasi proses 3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep di atas dapat dibuat hipotesis sebagai berikut : 1. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih tinggi dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel. 2. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih tinggi dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2. 3. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih tinggi dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan wortel. 4. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih rendah dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel. 5. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih rendah dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2. 6. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan Wistar aterosklerosis wortel lebih rendah dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan wortel. 7. Ada pengaruh interaksi antara perlakuan tempe M-2 dengan wortel terhadap kadar TAC serum, F2-Isoprostan urine, dan IL-6 plasma tikus Wistar aterosklerosis. 8. Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel mengakibatkan perubahan disfungsi endotel aorta pada tikus aterosklerosis. 9. Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel mengakibatkan perubahan pH urine pada tikus aterosklerosis. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimen sungguhan (true experimental) dengan rancangan The Randomized Post-test Only Control Group Design dan Rancangan Acak Lengkap pola Faktorial (Leedy,1974). Bagan rancangan dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada penelitian ini juga dilaksanakan penelitian deskritif untuk mengetahui perubahan histopatologi aorta dan pH urine. P RS RA KN X1 KP X2 T X3 W X4 TW X5 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Keterangan : P : Populasi sampel RS : Random sampling RA : Random alokasi KN : Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari) KP : Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) T : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) W : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari) TW : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari), dan wortel (20 g/kg bb/hari) X1 X2 X3 X4 X5 : : : : : rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada KN rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada KP rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada T rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada W rata-rata kadar HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, dan IL-6 pada TW 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pemeliharaan Hewan Percobaan (UPHP) Laboratorium Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, untuk perlakuan dengan hewan percobaan, kemudian dilanjutkan dengan analisis HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, IL-6, pH urine dan uji histopatologi aorta dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Waktu penelitian dilakukan bulan Desember 2011 sampai bulan Oktober 2012. 4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi 1. Populasi target pada penelitian eksperimental adalah seluruh tikus putih jantan Wistar dalam proses aterosklerosis. 2. Populasi terjangkau adalah meliputi tikus putih jantan Wistar dalam proses aterosklerosis, dengan berat badan 250 g sampai dengan 300 g, berumur tujuh bulan sampai dengan tujuh setengah bulan. 4.3.2 Sampel 1. Kriteria inklusi sampel adalah tikus putih jantan Wistar berumur dua bulan, dengan berat badan 250 g sampai dengan 300 g, sehat, tidak cacat fisik serta makan dan minum dengan normal. 2. Kriteria eksklusi sampel adalah tikus putih jantan Wistar dengan kondisi sakit. 3. Kriteria drop out sampel adalah selama penelitian tikus putih jantan Wistar mati. 4.3.3 Besaran Sampel Besaran sampel adalah jumlah sampel yang akan dipakai dalam penelitian mengikuti prosedur yang dilakukan oleh Federer (1963 dalam Rochiman, 1989) yaitu dihitung berdasarkan rumus : (t - 1)(r -1) ≥ 15 Keterangan : t r : banyaknya perlakuan : ulangan Dalam penelitian ini t = 5, sehingga menjadi: (5-1)(r-1) ≥ 15, dengan memakai rumus tersebut diperoleh r = 4,75 , sehingga dalam penelitian ini jumlah sampel minimal yang digunakan adalah 5 x 5 = 25 ekor tikus. 4.4. Variabel 4.4.1 Identifikasi dan Klasifikasi Variabel (1) Variabel bebas Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah : pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari); pemberian makanan aterogenik (minyak babi : pellet (1: 9)); pemberian makanan aterogenik (minyak babi : pellet (1: 9)) serta tempe M-2(20 g/kg bb/hari); pemberian makanan aterogenik (minyak babi (1: 9)) serta wortel (20 g/kg bb/hari); pemberian makanan minyak babi : pellet (1: 9), serta kombinasi tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) dan wortel (20 g/kg bb/hari) pada tikus dalam proses aterosklerosis. (2) Variabel Tergantung Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar HDL serum, TAC serum, HDL serum, LDL serum, F2-Isoprostan urine, dan IL-6 plasma. (3) Variabel Kendali Variabel kendali adalah variabel yang dikendalikan, meliputi jenis tikus, jenis kelamin tikus, kesehatan fisik tikus, umur tikus, berat badan, makanan dan minuman. Faktor yang lain seperti jenis dan ukuran kandang, waktu pemberian makan, dan lingkungan kandang juga diseragamkan. 4.4.2 Definisi operasional variabel Untuk keseragaman penelitian, maka variabel penelitian ini perlu didefinisikan sebagai berikut : 1. Tempe M-2 : tempe modifikasi yang dihasilkan dari proses pembuatan tempe kedelai lokal varietas Wilis (dari petani Kusamba, Klungkung), yang pada saat perebusan I kacang kedelai, kedelai dengan air rebusan yang sudah ditambah asam laktat (teknis) 1 % (v/v) kemudian direbus selama 30 menit, didinginkan 30 menit, setelah itu dibersihkan kulit luar dan kulit arinya dan dicuci bersih. Kemudian direbus lagi seperti perlakuan perebusan I selama 30 menit. Setelah itu ditiriskan, didinginkan, dan terakhir dilaksanakan inokulasi dengan menggunakan inokulum Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae dengan perbandingan 2 : 1, sejumlah 3 g/kg kedelai, dan difermentasi selama 48 jam. 2. Wortel adalah wortel varietas lokal dari perkebunan wortel di daerah Pupuan Tabanan. 3. Kapasitas Antioksidan Total adalah kadar total antioksidan yang terkandung dalam darah tikus Wistar. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode Elisa (Biovision, 2012). 4. Kadar F2-Isoprostan adalah kadar F2-Isoprostan yang terkandung dalam urin tikus Wistar. Pengambilan urin dilakukan dengan cara menampung urin masing-masing tikus selama satu malam, yang ditampung dengan wadah khusus, yang diberi penyaring. Pemeriksaan ini dilakukan dengan metode Elisa (Biovision, 2012). 5. Interleukin-6 adalah kadar Interleukin-6 plasma darah tikus Wistar. Pemeriksaan dilakukan dengan metode Elisa (Biovision, 2012). 6. Kerusakan jaringan aorta adalah perubahan struktur histopatologi jaringan aorta tikus Wistar dengan pengamatan mikroskop pembesaran 200 kali dan pewarnaan HE (Haematoxylin Eosin) (Muliartha et al., 2002). 7. pH urine adalah nilai pH urine tikus Wistar. Pemeriksaan dilakukan dengan pH-Indicator Strips (pH 0-14), Universal Indicator, merck KgaA 64271 Demstadt, Germany. 8. Umur tikus adalah umur tikus yang dihitung berdasarkan tanggal, bulan, dan tahun kelahiran yang sama. 9. Keseragaman pakan standar adalah makanan standar dari pakan standar Merk yang sama yaitu Confeed Pars Pellet (Arjuna, 2003). 10. Pakan aterogenik adalah pakan tinggi kolesterol (makanan yang terdiri atas campuran 1% otak babi kering, 5% kuning telur ayam matang, 10% lemak babi, 1% minyak kelapa, dan 83% makanan standar (Julyasih, 2011) yang diberikan sampai umur tikus tujuh bulan. Untuk mempercepat proses aterosklerosis tikus diberikan injeksi inisial adrenalin 0.006 mg/200 g bb sekali, dan dilanjutkan dengan pemberian (dengan zonde) diet kuning telur mentah 5 g/200 g bb/hari selama seminggu (Prasetyo, 2003). penelitian (50 g/kg bb/hari) adalah campuran Pemberian pakan aterogenik dalam minyak babi dengan pellet pakan standar (1 : 9) (Prasetyo, 2003; Wahyuni, 2011). 11. Air minum yang dipakai adalah air minum isi ulang. 12. LDL adalah kadar kolesterol-LDL tikus yang dihitung deng an metode Elisa untuk kadarnya dalam serum (Biovision, 2012). 13. HDL adalah kadar kolesterol-HDL tikus yang dihitung dengan metode Elisa untuk kadarnya dalam serum (Biovision, 2012). 14. Aterosklerosis adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan LDL dan penurunan HDL, sebesar minimal dua kali kadar LDL dan HDL tikus normal (Prasetyo et al., 2003). 4.5. Bahan dan Alat Penelitian 4.5.1 Bahan penelitian Bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tempe M-2, wortel, pakan aterogenik, minyak babi, adrenalin, kuning telur dan Kit, serta bahan lain untuk pemeriksaan LDL, HDL, TAC, F2-Isoprostan , dan IL-6, serta parafin, HE (Haematoxylin Eosin) dan bahan untuk pembuatan histopatologi aorta. 4.5.2 Alat Penelitian Alat yang digunakan adalah alat suntik, timbangan hewan, timbangan analitik, zonde tikus, pipet kapiler, hematokrik, Elisa, microtube, micropipette, sentrifuge, vortex, alat bedah tikus, dan mikroskop. well plate, 4.6 Prosedur penelitian Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian pada Gambar 4.2. Tikus Putih Jantan Wistar (60 ekor ) Aklimatisasi dan Pemberian Pakan Standar ( 1 minggu ) Diit Pakan Aterogenik ( 21 minggu ) Pemeriksaan HDL, LDL Tikus Tikus Putih Putih Jantan Jantan Wistar Wistar dalam dalam Proses proses Aterosklerosis aterosklerosis 25 ekor Tikus Wistar Perlakuan KN, KP, T, W, dan TW ( 13 minggu ) Pemeriksaan HDL, LDL, TAC, F2-Isoprostan, IL-6, pH urine dan Hispatologi Aorta (posttest ) Analisis Statistika Simpulan Penelitian Keterangan : KN KP T : Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari) : Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) W TW : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari), dan wortel (20 g/kg bb/hari) 4.7 Analisis Statistik Data yang diperoleh dari hasil penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan SPSS 19 for Windows (Trihendradi, 2011) dan (Permana, 2007) sebagai berikut : 1. Analisis deskritif. Data ditabulasi dan dihitung rerata kadar HDL, TAC, LDL, F2-Isoprostan dan Interleukin-6 pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sesudah perlakuan, dengan SPSS 19 (Trihendradi, 2011). 2. Uji komparabilitas. Uji ini dilakukan untuk membandingkan rerata data posttest. Uji komparabilitas yang dipakai adalah Simple Factorial Anova dengan Excel 2007 (Permana, 2007). 3. Apabila terdapat perbedaan bermakna di antara perlakuan pada uji anova, maka dilanjutkan dengan : Multiple Comparation t-test Independent. BAB V HASIL PENELITIAN Setelah mendapatkan data hasil penelitian, selanjutnya melakukan uji deskritif, uji normalitas Kolmogorov-Smirnov maupun Shapiro-Wilk dengan SPSS 19 (Trihendradi, 2011). Uji normalitas data bertujuan untuk membuktikan distribusi data dalam suatu variabel yang akan digunakan dalam penelitian. Data yang baik dan layak untuk membuktikan model-model penelitian adalah data yang memiliki distribusi normal. Hasil uji normalitas KolmogorovSmirnov maupun Shapiro-Wilk semua data hasil penelitian menunjukkan nilai p > α, berarti semua data berdistribusi normal, ditampilkan pada Lampiran 3. Selanjutnya, melakukan uji homogenitas Levene’s test. Uji homogenitas membuktikan varian antar kelompok adalah sama. Data yang baik dan layak untuk membuktikan model-model penelitian adalah data yang memiliki varian yang homogen. Hasil uji homogenitas varian untuk semua kelompok penelitian menunjukkan varian antar kelompok adalah sama (p > α), ditampilkan pada Lampiran 3. 5.1 Kadar HDL serum dan TAC serum Tikus Wistar. 5.1.1 Kadar HDL serum Tikus Wistar Rata-rata kadar HDL serum tertinggi terdapat pada perlakuan pakan aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 68,640 ± 0,50 mg/dL, rata-rata kadar HDL pada perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2 (T) sebesar 49,646 ± 2,87 mg/dL, sedang pada perlakuan pakan aterogenik dengan wortel (W) sebesar 44,31 ± 2,67 mg/dL, kemudian pada perlakuan pakan standar (kontrol negatif/KN) yaitu 37,080 ± 0,48 mg/dL, dan terendah pada perlakuan pakan aterogenik (kontrol positif/KP) dengan rata-rata kadar HDL serum yaitu 28,684 ± 3,32 mg/dL, disajikan pada Gambar 5.1. Gambar 5.1 Kadar HDL serum Tikus Wistar pada Perlakuan KN, KP, T, W dan TW Keterangan : KN KP T W TW : Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari) : Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari), dan wortel (20 g/kg bb/hari) Rata-rata HDL dengan huruf yang tidak sama berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Analisis keragaman kadar HDL serum menggunakan uji Anova dengan Excel 2007 (Permana, 2007). Hasil analisis keragaman kadar HDL serum tikus Wistar menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang tidak bermakna (p > 0,05), disajikan pada Tabel 5.1. Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel ditetapkan hipotesis pada pengamatan kadar HDL sebagai berikut : 1. Kadar HDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel (KP/Kontrol Positif). 2. Kadar HDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2 (T). 3. Kadar HDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan wortel (W). Tabel 5.1 Analisis Keragaman Kadar HDL Serum Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan Tempe M-2 dan Wortel Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F. Hitung Sig P Ulangan 4 40.29896 10.07474 1.995786 NS 0.144 3.007 4.77 Perlakuan 4 4496.744 1124.186 222.6991 ** 0.000 3.007 4.77 KN Vs KP 1 457.5321 457.5321 90.63622 ** 0.000 4.494 8.53 Perlk TW 3 4039.212 1346.404 266.72 ** 0.000 3.239 5.29 T 1 2543.866 2543.866 503.9349 ** 0.000 4.494 8.53 W 1 1482.642 1482.642 293.7085 ** 0.000 4.494 8.53 TxW 1 12.70418 12.70418 2.516673 NS 0.000 4.494 8.53 Galat Total KK = 4.9 % 16 24 80.76808 4617.811 5.048005 192.4088 - Keterangan : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01) NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05) F. Tabel 5% 1% Jadi dari Gambar 5.1 dan Tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa rata-rata kadar HDL perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan nilai yang paling tinggi dan menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) dibandingkan dengan perlakuan KP, W maupun T. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 1, hipotesis 2, dan hipotesis 3 pada pengamatan kadar HDL. 5.1.2 Kadar Kapasitas Antioksidan Total (TAC) serum Tikus Wistar. Rata-rata kadar TAC serum tertinggi terdapat pada kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 1,454 ± 0,01 nM/mL, pada perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2 (T) yaitu 0,866 ± 0,04 nM/mL, pada perlakuan pakan aterogenik dengan wortel (W) yaitu 0,646 ± 0,02 nM/mL, kemudian pada perlakuan kontrol negatif (KN) hanya dengan pakan standar yaitu 0,560 ± 0,02 nM/mL, dan terendah pada kontrol positif (KP) hanya dengan pakan aterogenik yaitu 0,444 ± 0,03 nM/mL, disajikan pada Gambar 5.2. Gambar 5.2 Kadar TAC serum Tikus Wistar pada Perlakuan KN, KP, T, W dan TW. Keterangan : KN : Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari) KP T W TW : Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari), dan wortel (20 g/kg bb/hari) Rata-rata TAC dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 1%. Analisis keragaman kadar TAC serum menggunakan uji Anova dengan Excel 2007 (Permana, 2007). Hasil analisis keragaman kadar TAC serum tikus Wistar menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01), disajikan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Analisis Keragaman Kadar TAC serum Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan Tempe M-2 dan Wortel Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F. Hitung Sig p F. Tabel 5% 1% Ulangan 4 0.00412 0.00103 2.070352 NS 0.133 3.01 4.77 Perlakuan 4 3.19972 0.79993 1607.899 ** 0.000 3.01 4.77 KN Vs KP 1 0.34223 0.34223 687.8894 ** 0.000 4.49 8.53 Perlk TW 3 2.8575 0.9525 1914.57 ** 0.000 3.24 5.29 T 1 1.89113 1.89113 3801.256 ** 0.000 4.49 8.53 W 1 0.78012 0.78012 1568.09 ** 0.000 4.49 8.53 TxW 1 0.18625 0.18625 374.3618 ** 0.000 4.49 8.53 Galat Total KK = 2.81% 16 24 0.00796 3.2118 0.0005 0.13383 - Keterangan : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01) NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05) Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel disebutkan hipotesis pada pengamatan kadar TAC sebagai berikut : 1. Kadar TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan pakan standar (KN/Kontrol Negatif), dengan yang diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel (KP). 2. Kadar TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2 (T). 3. Kadar TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih tinggi dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan wortel (W). 4. Ada pengaruh interaksi antara perlakuan tempe M-2 dengan wortel (TW) terhadap kadar TAC serum tikus Wistar aterosklerosis. Jadi dari Gambar 5.2 dan Tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa : 1. Rata-rata kadar TAC perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan nilai yang paling tinggi dan menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) dibandingkan dengan perlakuan KN, KP, T maupun W. 2. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat meningkatkan kadar TAC secara sangat bermakna (p < 0,01). 3. Ada pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01) antara perlakuan tempe M-2 dengan wortel terhadap kadar TAC serum tikus Wistar aterosklerosis 4. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 1, hipotesis 2, hipotesis 3 dan hipotesis 7 pada pengamatan kadar TAC. 5.2 Kadar LDL serum, F2-Isoprostan urine, dan IL-6 plasma Tikus Wistar. 5.2.1 Kadar LDL serum Tikus Wistar Rata-rata kadar LDL serum terendah terdapat pada perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 20,718 ± 1,33 mg/dL, pada perlakuan aterogenik dengan tempe (T) yaitu 24,15 ± 0.90 mg/dL, dengan wortel (W) yaitu 28,054 ± 1,52 mg/dL, pada pada perlakuan pakan aterogenik perlakuan kontrol negatif (KN) dengan pakan standar yaitu 33,922 ± 0,92 mg/dL, perlakuan pakan aterogenik (kontrol positif) yaitu 39,014 ± 2,43 mg/dL, dan disajikan pada Gambar 5.3. Gambar 5.3 Kadar LDL pada Perlakuan KN, KP, T,W dan TW. Keterangan : KN KP T W TW : Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari) : Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari), dan wortel (20 g/kg bb/hari) Rata-rata LDL dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 1%. Analisis keragaman kadar LDL serum menggunakan uji Anova dengan Excel 2007 (Permana, 2007). Hasil analisis keragaman kadar LDL serum tikus Wistar menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01), disajikan pada Tabel 5.3. Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel disebutkan hipotesis pada pengamatan kadar LDL sebagai berikut : 1. Kadar LDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan pakan standar (KN/Kontrol Negatif), dengan yang diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel (KP/Kontrol Positif). 2. Kadar LDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2 (T). 3. Kadar LDL serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan wortel (W). Tabel 5.3 Analisis Keragaman Kadar LDL serum Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan Tempe M-2 dan Wortel. Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F. Hitung Sig p F. Tabel 5% 1% Ulangan 4 5.1729 1.293224 0.499 NS 0.737 3.01 4.77 Perlakuan 4 1086.8399 271.70998 104.768 ** 0.000 3.01 4.77 KN Vs KP 1 141.03938 141.03938 54.383 ** 0.000 4.49 8.53 Perlk TW 3 945.80056 315.26685 121.562 ** 0.000 3.24 5.29 T 1 616.05 616.05 237.54 ** 0.000 4.49 8.53 W 1 258.91208 258.91208 99.833 ** 0.000 4.49 8.53 TxW 1 70.83848 70.83848 27.314 ** 0.000 4.49 8.53 Galat Total KK = 5.52% 16 24 41.4953 1133.5081 2.59346 47.22951 Keterangan : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01) NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05) Jadi dari Gambar 5.3 dan Tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa : 1. Rata-rata kadar LDL perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan nilai yang paling rendah dan menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) dibandingkan dengan perlakuan KN, KP, T maupun W. 2. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat menurunkan kadar LDL secara sangat bermakna (p < 0,01). 3. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 4, hipotesis 5, dan hipotesis 6 pada pengamatan kadar LDL. 5.2.2 Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar. Rata-rata kadar F2-Isoprostan urine terendah pada perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 0,720 ± 0,065 ng/dl, pada perlakuan aterogenik dengan tempe (T) yaitu 0,964 ± 0.527 ng/dl, pada perlakuan pakan aterogenik dengan wortel (W) yaitu 2,054 ± 1,555 ng/dl, pada perlakuan pakan standar (kontrol negatif/KN) yaitu, 3,034 ± 0,07 ng/mL, dan tertinggi pada perlakuan pakan aterogenik (kontrol positif/KP) yaitu 5,264 ± 0,07 ng/mL, dan disajikan pada Gambar 5.4. Analisis keragaman kadar F2-Isoprostan urine tikus menggunakan uji Anova dengan Excel 2007 (Permana, 2007). Hasil analisis keragaman kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01), disajikan pada Tabel 5.4. Gambar 5.4 Kadar F2-Isoprostan pada Perlakuan KN, KP, T,W dan TW Keterangan : KN : Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari) KP T W TW : Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari), dan wortel (20 g/kg bb/hari) Rata-rata F2-Isoprostan dengan huruf yang tidak sama berbeda sangat nyata pada taraf 1%. Tabel 5.4 Analisis Keragaman Kadar F2-Isoprostan urine Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan Tempe M-2 dan Wortel Sumber Keragaman Derajat Bebas Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah F. Hitung Sig p Ulangan 4 0.007664 0.001916 0.119743 NS 0.973 3.0069 4.7726 Perlakuan 4 68.04202 17.01051 1063.09 ** 0.000 3.0069 4.7726 KN Vs KP 1 2.455489 2.455489 153.4585 ** 0.000 4.494 8.531 Keterangan sangat bermakna (p < 0,01) Perlk TW: ** berbeda 3 65.58654 21.86218 1366.301 NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05) ** 0.000 3.2389 5.2922 ** 0.000 4.494 8.531 T W 1 39.67745 39.67745 2479.685 F. Tabel 5% 1% 1 14.91265 tempe 14.91265 931.9821 ** disebutkan 0.000 4.494 8.531 Pada perlakuan kombinasi M-2 dengan wortel hipotesis pada TxW 1 10.99645 10.99645 Galat Total 16 24 0.256016 68.3057 0.016001 2.846071 687.2349 pengamatan kadar F2-Isoprostan urine sebagai berikut : ** 0.000 4.494 8.531 KK=5,26 % Keterangan : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01) NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05) Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel disebutkan hipotesis pada pengamatan kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar sebagai berikut : 1. Kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan pakan standar (KN/Kontrol Negatif ), dengan yang diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel (KP/Kontrol Positif). 2. Kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2 (T). 3. Kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan wortel (W). 4. Ada pengaruh interaksi pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) terhadap kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis. Jadi dari Gambar 5.4 dan Tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa : 1. Rata-rata kadar F2-Isoprostan perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan nilai yang paling rendah dan menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) dibandingkan dengan perlakuan KN, KP, T maupun W. 2. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat menurunkan kadar F2-Isoprostan secara sangat bermakna (p < 0,01). 3. Ada pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01) antara perlakuan tempe M-2 dengan wortel terhadap kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis. 4. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 4, hipotesis 5, hipotesis 6 dan hipotesis 7 pada pengamatan kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar. 5.2.3 Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar. Rata-rata kadar IL-6 plasma tikus terendah pada perlakuan pakan aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 35,328 ± 1,000 pg/dl, pada perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2 (T) yaitu 39,758 ± 1,64 pg/dl, pada perlakuan pakan aterogenik dengan wortel yaitu 49,668 ± 1,440 pg/dl, pada perlakuan pakan standar (kontrol negatif) yaitu, 168,85 ± 11,29 pg/mL, tertinggi pada perlakuan pakan aterogenik (kontrol positif) yaitu 222,668 ± 10,56 pg/mL, dan disajikan pada Gambar 5.5. Gambar 5.5 Kadar IL-6 plasma pada Perlakuan KN, KP, T,W, dan TW. Keterangan : KN KP T W TW : Kontrol negatif, pemberian makanan standar/pellet (50 g/kg bb/hari) : Kontrol positif, pemberian minyak babi : pellet (1: 9) (50 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta wortel (20 g/kg bb/hari) : Pemberian minyak babi : pellet (1: 9), serta tempe M-2 (20 g/kg bb/hari), dan wortel (20 g/kg bb/hari) Rata-rata IL-6 dengan huruf yang tidak sama berbeda nyata pada taraf 1%. Analisis keragaman kadar IL-6 plasma tikus menggunakan uji Anova dengan Excel 2007 (Permana, 2007). Hasil analisis keragaman kadar IL-6 plasma tikus Wistar menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01), disajikan pada Tabel 5.5. Tabel 5.5 Analisis Keragaman Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar Diberikan Diet Aterogenik dengan Tempe M-2 dan Wortel Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F. F. Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Hitung Sig p 5% 1% Ulangan 4 73.63326 18.40831 0.32527 NS 0.857 3.01 4.77 Perlakuan 4 150398.4 37599.6 664.369 ** 0.000 3.01 4.77 KN Vs KP 1 26892.39 26892.39 475.177 ** 0.000 4.49 8.53 Perlk TW 3 123506 41168.67 727.432 ** 0.000 3.24 5.29 T 1 48634.45 48634.45 859.35 ** 0.000 4.49 8.53 W 1 39351.76 39351.76 695.328 ** 0.000 4.49 8.53 TxW 1 35519.81 35519.81 627.619 ** 0.000 4.49 8.53 Galat Total KK = 7.29% 16 24 905.5119 151377.6 56.59449 6307.398 - Keterangan : : ** berbeda sangat bermakna (p < 0,01) NS berbeda tidak bermakna (p > 0,05) Pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel disebutkan hipotesis pada pengamatan kadar IL-6 sebagai berikut : 1. Kadar IL-6 tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan pakan standar (Kontrol Negatif/KN), dengan yang diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel (Kontrol Positif/KP). 2. Kadar IL-6 tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2 (T). 3. Kadar IL-6 tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan diet aterogenik dengan wortel (W). 4. Ada pengaruh interaksi pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) terhadap kadar IL-6 tikus Wistar aterosklerosis. Jadi dari Gambar 5.5 dan Tabel 5.5 dapat disimpulkan bahwa : 1. Rata-rata kadar IL-6 perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan nilai yang paling rendah dan menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) dibandingkan dengan perlakuan KN, KP, T maupun W. 2. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat menurunkan kadar IL-6 secara sangat bermakna (p < 0,01). 3. Ada pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01) antara perlakuan tempe M-2 dengan wortel terhadap kadar IL-6 plasma tikus Wistar aterosklerosis. 4. Hal ini membuktikan kebenaran hipotesis 4, hipotesis 5, hipotesis 6 dan hipotesis 7 pada pengamatan kadar IL-6. 5.3 Perubahan Struktur Histopatologi Jaringan AortaTikus Wistar Perubahan struktur histopatologi jaringan aorta tikus Wistar dengan pembesaran 200 kali dan pewarnaan HE (Haematoxylin Eosin), dari adanya proses aterosklerosis hingga normal (Posttest), ditampilkan pada Gambar 5.6. Melihat perbedaan keberadaan aterosklerosis pada aorta dengan ketentuan sebagai berikut : (1) katagori 1 adalah aorta tanpa aterosklerosis (tanpa disfungsi endotel dan bercak perlemakan), (2) katagori 2 adalah aorta dengan aterosklerosis ringan (terdapat disfungsi endotel dan bercak perlemakan pada sebagian kecil jaringan aorta), dan katagori 3 adalah aorta dengan aterosklerosis berat (terdapat disfungsi endotel merata pada semua jaringan aorta dan terdapat banyak bercak perlemakan). Gambar 5.6 Perubahan Gambaran Struktur Histopatologi Aorta Tikus Wistar dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x. a. Pada Perlakuan Aterogenik/Kontrol Positif/KP b. Pada Perlakuan Pakan Standar/Kontrol Negatif/KN c. Pada Perlakuan Aterogenik dengan Wortel/W d. Pada Perlakuan Aterogenik dengan Tempe M-2/T e. Pada Perlakuan Aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel/TW Pada Gambar 5.6a menunjukkan aorta pada perlakuan pakan aterogenik/kontrol positif (KP) yang paling banyak mengandung bercak perlemakan (fatty streak) (yang ditunjukkan dengan tanda panah hitam), kemudian semakin berkurang kandungan bercak perlemakan (fatty streak) pada perlakuan pakan standar /kontrol negatif (KN) (Gambar 5.6b), kemudian pada perlakuan aterogenik dengan wortel (W) (Gambar 5.6c), kemudian pada perlakuan aterogenik dengan tempe (T)(Gambar 5.6d), dan terakhir pada perlakuan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) sudah tidak tampak adanya bercak perlemakan (fatty streak)(Gambar 5.6e). Pada perlakuan pakan aterogenik/kontrol positif/KP (Gambar 5.6a) maupun pada perlakuan pakan standar/kontrol negatif/KN (Gambar 5.6b) hampir keseluruhan endotel mengalami disfungsi (endotel terekspresi). Pada perlakuan aterogenik dan wortel (W) masih nampak disfungsi endotel pada sebagian kecil jaringan aorta (Gambar 5.6c). Pada perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2 (T) masih nampak disfungsi endotel, tetapi lebih sedikit daripada perlakuan W (Gambar 5.6d). Pada perlakuan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel sudah tidak nampak adanya disfungsi endotel (Gambar 5.6e). Gambar 5.7 Histopatologi Aorta Tikus Wistar Aterosklerosis dengan Perlakuan Pakan Aterogenik/Kontrol Positif (KP) dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x. Pada Gambar 5.7 di atas terjadi perubahan struktur histopatologis aorta tikus dengan perlakuan pakan aterogenik/Kontrol Positif/KP, termasuk katagori 3 karena nampak pada hampir semua endotel terjadi disfungsi dan banyak terdapat bercak perlemakan (fatty streak) (tanda panah hitam), dan sudah memperlihatkan sel-sel busa intima yang berasal dari makrofag (tanda panah putih), dan memperlihatkan membran elastik interna dan eksterna telah rusak, dan tunika media aorta sudah terlihat mulai menipis (tanda panah biru) (Kumar et al., 2007). dinding endotel terjadi infiltrasi sel-sel monosit ke bawah Pada jaringan subendotel, sehingga mengakibatkan kerusakan sel endotel dan mengalami inflamasi. Disfungsi endotel menimbulkan perlekatan leukosit dan kemungkinan trombosis, selanjutnya akan meningkatkan penimbunan lemak di dalam sel maupun di luar sel (Kumar et al, 2004). Dibandingkan dengan histopatologi aorta perlakuan KN (Kontrol Negatif), yang masih termasuk katagori 3, tetapi bercak perlemakan lebih sedikit, seperti terlihat pada Gambar 5.8. Gambar 5.8 Histopatologi Aorta tikus Wistar Aterosklerosis dengan Perlakuan Pakan Standar/Kontrol Negatif (KN ) dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x. Pada histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan standar/Kontrol Negatif/KN masih terjadi perlekatan leukosit, trombosit, masih terdapat sel busa (tanda panah putih), bercak perlemakan (tanda panah hitam), dan memperlihatkan bahwa membran elastik interna dan eksterna telah rusak (tanda panah biru) (Kumar et al., 2007). Histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan aterogenik dengan wortel (W) (Gambar 5.9) termasuk kategori 2 karena masih terdapat sedikit perlekatan/agregasi endotel dan bercak perlemakan (tanda panah hitam), masih terdapat sedikit sel busa (tanda panah putih). Histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2 (Gambar 5.10) termasuk kategori 2 karena masih terdapat sangat sedikit perlekatan/agregasi endotel (tanda panah putih) dan bercak perlemakan (tanda panah hitam), tetapi sudah tidak nampak adanya sel busa. Gambar 5.9 Histopatologi Aorta Tikus Wistar Aterosklerosis dengan Perlakuan Pakan Aterogenik dengan Wortel (W) dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x. Gambar 5.10 Histopatologi Aorta Tikus Wistar Aterosklerosis dengan Perlakuan Pakan Aterogenik dengan Tempe M-2/T, dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x. Pada histopatologi aorta tikus Wistar aterosklerosis dengan perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) (Gambar 5.11) di bawah termasuk kategori 1 karena sudah tidak terjadi agregasi endotel (disfungsi endotel) dan bercak perlemakan. Sudah tampak pembentukan endotel baru (tanda panah putih). Gambar 5.11 Histopatologi Aorta Tikus Wistar dalam Proses Aterosklerosis dengan Perlakuan Pakan Aterogenik dengan Kombinasi Tempe M-2 dengan Wortel (TW) dengan pewarnaan HE dan pembesaran 200 x. 5.4 Pemeriksaan Kenormalan pH Urine Tikus Wistar Pemeriksaan kenormalan pH urine tikus Wistar dengan menggunakan alat pH Indicator Strips, dan dengan ketentuan sebagai berikut : (1) katagori 1 adalah pH urine normal (pH ≥ 7), dan (2) katagori 2 adalah pH urine tidak normal (pH < 7). Hasil pemeriksaan kenormalan pH urine tikus Wistar yang termasuk katagori 1 adalah pada perlakuan TW (perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel) dengan hasil rata-rata pH urine sebesar 8, pada perlakuan T (perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2) dengan hasil rata-rata pH sebesar 7, dan pada perlakuan W (perlakuan pakan aterogenik dengan wortel) dengan hasil rata-rata pH sebesar 7,5. Hasil pemeriksaan kenormalan pH urine tikus Wistar termasuk katagori 2 adalah pada perlakuan KN (perlakuan kontrol negatif/perlakuan pakan standar) dengan hasil rata-rata pH sebesar 6,5, dan pada perlakuan KP (perlakuan kontrol positif/ perlakuan pakan aterogenik) dengan hasil rata-rata pH sebesar 6. BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Subyek Penelitian Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus Novergicus) galur Wistar, jantan, dewasa, aterosklerosis dislipidemia, berumur 7-7,5 bulan, dan dengan berat badan 250-300 g. Penelitian ini menggunakan tikus Wistar, karena memiliki sifat-sifat yang mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai macam penelitian. Disamping itu tikus memiliki keunggulan dibanding dengan hewan coba yang lain, adalah tidak dapat muntah, karena struktur anatomi yang tidak lazim di tempat esophagus bermuara ke dalam lambung, dan tikus tidak mempunyai kandung empedu (Kusumawati, 2004). Penelitian ini menggunakan sampel awal sebanyak 60 ekor tikus Wistar yang mendapatkan perlakuan aterosklerosis dengan pakan tinggi kolesterol (Julyasih, 2011) selama lima bulan, dilaksanakan analisa profil lipid di Instalasi Laboratorium Patologi Klinik Rumah Sakit Sanglah, dengan hasil kolesterol total sebesar ±78,50 mg/dl, dan HDL sebesar ±58,29 mg/dl. Menurut standar protokol dalam penelitian laboratorik, kadar kolesterol total normal tikus adalah 10-54 mg/dl, dan kadar HDL normal tikus adalah ±69 mg/dl (Kusumawati,2004; Setyaji, 2011), maka tikus Wistar telah hiperkolesterol. Szmitko, et al.(2003) dan Kumar et al. (2007b) menyebutkan bahwa aterosklerosis merupakan penyakit yang tumbuhnya lambat, selama bertahun-tahun. Disebutkan oleh Miyamoto et al. (2006) bahwa kondisi dislipidemia saja tidak cukup memfasilitasi terjadinya aterosklerosis, stress oksidasi lebih proaterosklerosis dibandingkan dengan dislipidemia saja tanpa stress oksidasi. Penelitian lebih lanjut menyatakan bahwa LDL kecil (fenotip B) berkaitan dengan profil lipoprotein yang aterogenik, karena lebih rentan terhadap oksidasi, karena mengandung asam lemak tidak jenuh jamak yang tinggi dibandingkan kandungan antioksidan, lebih lama berada dalam sirkulasi, afinitas terhadap proteoglikan sel endotel lebih besar sehingga mempermudah masuk ke dalam lapisan subendotel dimana proses oksidasi LDL akan berlangsung (Chait, 1994), hal ini akan terjadi pada individu dengan penurunan kolesterol HDL (Tribble, 1995; Freeman dan Junge, 2008). Oleh karena itu untuk menginduksi/mempercepat proses aterosklerosis, tikus Wistar diinjeksi inisial adrenalin secara intravena 0,006 mg/200 g BB pada semua tikus pada hari pertama saja, dan hari selanjutnya berturut-turut setiap hari selama seminggu diberikan/disonde diet kuning telur mentah 5 g/200 g BB/hari (Prasetyo et al., 2003), selanjutnya dilaksanakan analisa kolesterol HDL di Laboratorium Klinik Prodia Denpasar, dan hasilnya adalah sebesar ±16,9 mg/dl, ternyata telah dislipid lebih dari setengah kali dari kandar HDL normal, dan disebutkan oleh Prasetyo ( 2003) bahwa tikus Wistar telah menunjukkan proses aterosklerosis tingkat awal. Hal ini dipertegas dengan hasil penelitian dari Wahyuni (2011) yang menunjukkan telah terjadinya aterosklerosis karena asupan minyak babi selama 13 minggu. Penelitian telah siap dilaksanakan, dipilih 25 ekor tikus Wistar, dibagi ke dalam 5 kelompok perlakuan (KN/kontrol negatif/perlakuan pakan standar, KP/kontrol positif/perlakuan pakan aterogenik, T/perlakuan pakan aterogenik dengan tempe M-2, W/perlakuan pakan aterogenik dengan wortel, dan TW/perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel), dan pada setiap kelompok terdapat 5 ulangan. Sebelum penelitian dimulai, dilaksanakan penelitian pendahuluan selama seminggu untuk penetapan dosis tempe M-2 dan wortel, yang diberikan pada pagi dan sore hari, sebelum diberikan pakan standar maupun pakan aterogenik, didapatkan rata-rata habis makan tempe M-2 maupun wortel seberat 25 g/kg BB/hari. Berdasarkan hasil penelitian dari Karyadi dan Hermana (1995) menemukan dosis konsumsi tempe sebesar 150 g/hari, selama dua minggu dapat menurunkan kolesterol, karena pada penelitian ini bertujuan untuk penanggulangan aterosklerosis dan berdasarkan konversi perhitungan dosis pada Lampiran 2, maka ditetapkan perlakuan dosis tempe M-2 seberat 20 g/kg BB/hari. Penetapan dosis wortel berdasarkan temuan dari Muchtadi (2009) dan Sunita (2009) bahwa konsumsi beta karoten yang berasal dari tanaman bersifat aman dan tidak akan memberikan efek toksik sampai 100.000 IU per hari, maka ditetapkan perlakuan dosis wortel seberat 20 g/kg BB/hari . 6.2 Kadar HDL Serum dan TAC Serum Tikus Wistar 6.2.1 Kadar HDL Serum Tikus Wistar Rata-rata kadar HDL serum tikus Wistar aterosklerosis tertinggi terdapat pada perlakuan pakan aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel (TW) yaitu 68,640 ± 0,50 mg/dL, dan menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan, berarti kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat meningkatkan kadar HDL secara sangat bermakna (p < 0,01). Hal ini sesuai dengan hipotesis 1, 2 dan 3. Kadar HDL serum tikus pada perlakuan tempe M-2 memberikan pengaruh lebih tinggi 7,8 % dibandingkan dengan pengaruh kadar HDL pada perlakuan wortel, pada perlakuan kombinasi pakan aterogenik dengan tempe M-2 dengan wortel. Hal ini sesuai dengan pendapat Alrasyid (2007) yang menyebutkan bahwa analisis molekular dari isoflavon genistein tempe ternyata memperlihatkan struktur yang mirip dengan 17 β-estradiol, mendukung mekanisme kerja substansi ini dalam perbaikan profil lipid plasma (Kim et al., 2000). Genistein (17 β-estradiol eksogen) secara tidak langsung mempengaruhi lipolisis dengan memacu lipolytic enzyme hormone-sensitive lipase atau dengan meningkatkan efek lipolitik dari epinefrin (Cooke et al., 2004). Disebutkan pula oleh Kumar et al. (2007b) bahwa pada kasus dislipidemia kronis, membran sel jenuh akan kolesterol LDL, untuk itu tubuh akan melakukan penyeimbangan kolesterol melalui pengambilan kolesterol dan membawanya ke cairan ekstraselular untuk dibawa kembali ke hati (reserve cholesterol transport) oleh kolesterol HDL, sehingga terjadi peningkatan produksi kolesterol HDL, yang didukung oleh zat-zat dalam tempe yang diduga mempunyai sifat menormalkan lipid darah adalah protein, asam lemak PUFA, serat, niasin, vitamin E, karotenoid, isoflavon dan kalsium (Arsiniati, 1995; Johan, 2005). Disamping itu senyawa lain yang banyak disebut-sebut berefek menurunkan kandungan kolesterol LDL adalah asam-asam lemak tidak jenuh seperti khususnya asam linolenat (Omega3), begitu juga kandungan asam oleat dan linoleat. Menurut Harlinawati (2006) niasin dapat meningkatkan secara signifikan kandungan kolesterol HDL pada penderita jantung koroner serta individu dengan kadar kolesterol HDL yang rendah. Ditegaskan pula oleh Mindell (2008) bahwa komposisi asam amino tempe meningkatkan kadar kolesterol HDL, melalui peningkatan glucagons darah (hormon yang dikeluarkan oleh pankreas), dapat mengubah kinerja HMG-KoA reduktase (Coenzym A), yang sangat penting dalam mensintesa kolesterol HDL (Nawawi et al, 2003; Mindell, 2008). Pektin yang terkandung dalam wortel berperan penting untuk menurunkan kadar kolesterol LDL, serta meningkatkan kadar kolesterol HDL sehingga bermanfaat untuk mencegah terjadinya aterosklerosis (Vallerie, 2009). Wortel merupakan sumber beta karoten yang terbaik. Beta karoten memegang peranan penting dalam pembentukan protein, dibutuhkan dalam membran mitokondria dalam level optimum untuk dapat merangsang aliran energi yang efisien melalui mitokondria. Kebutuhan beta karoten dapat pula meningkat bila konsumsi protein kadar tinggi (Linder, 1992; Parakkasi, 1999). Ditegaskan pula bahwa lesitin pada tempe meningkatkan kadar karoten dalam hati, dan kandungan tiroid pada tempe meningkatkan daya guna beta karoten. Stimulasi tiroid dapat meningkatkan kebutuhan beta karoten (Parakkasi, 1999). Ketersediaan beta karoten meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain (Sunita, 2009). Berbagai penelitian menemukan bahwa tokoferol (α atau γ) melindungi beta karoten dari autooksidasi (Palozza dan Krinsk, 1992). 6.2.2 Kadar Kapasitas Antioksidan Total (TAC) serum Tikus Wistar. Rata-rata kadar TAC serum tertinggi terdapat pada kombinasi tempe M-2 dengan wortel yaitu 1,454 ± 0,01 nM/mL. Hasil analisis keragaman kadar TAC serum tikus Wistar menunjukkan perbedaan sangat bermakna (p<0,01) pada berbagai perlakuan, kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p<0,01), yang dapat disimpulkan bahwa kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat meningkatkan kadar TAC secara sangat bermakna (p< 0,01) dan terdapat pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p<0,01). Hal ini sesuai dengan hipotesis 1,2, dan 3 bahwa kadar TAC serum tikus Wistar lebih tinggi pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel dibandingkan dengan perlakuan yang lain, dan tempe M-2 memberikan pengaruh sebesar 59,56% lebih besar dari pengaruh wortel. Hal ini disebabkan karena tempe M-2 adalah sumber antioksidan yang sangat baik, seperti protein, vitamin E, Omega-3, vitamin B2, seng (Zn), tembaga (Cu), Selenium (Se), Fe, isoflavon, SOD (Agung, 2002; Winarsi, 2007; Mindell, 2008; Sunita, 2009). Isoflavon tempe dapat meningkatkan aktivitas enzim SOD, katalase dan glutation peroksidase (Winarsi, 2007). Wortel mengandung antioksidan beta karoten sangat tinggi, sebesar 66 μg/g wortel. Diet rendah karotenoid, tetapi cukup dalam semua zat gizi lain menghasilkan tanda-tanda berkurangnya TAC darah. Beta karoten memiliki aktivitas antioksidan terbaik, berperan dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit kardiovaskular (Sergio dan Russel, 1999; Deming et al., 2002; Sunita, 2009). Asupan beta karoten dapat meningkatkan kadar beta karoten dalam plasma sebesar 13 % (Het, 2000). Aktivitas katalase meningkat ketika laki-laki sehat diintervensi dengan karotenoid yang berasal dari jus tomat, wortel dan bayam selama dua minggu (Bub, 2000). Wortel mengandung antioksidan Se, vitamin C, dan B2, serta yang paling penting adalah wortel kaya antioksidan beta karoten (provitamin A). Beta karoten wortel bersifat aman dan tidak akan memberikan efek toksik sampai 100.000 IU per hari. Pada umumnya penggunaan beta karoten sebagai antioksidan berkombinasi dengan sumber antioksidan yang lain (Winarsi, 2007). Berg et al. (2001) dan Block et al. (2001) menyebutkan bahwa antioksidan dalam bekerjanya merupakan suatu network. Ketersediaan beta karoten meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain dalam tempe M-2 (Sunita, 2009). Berbagai penelitian menemukan bahwa tokoferol (α atau γ) yang terkandung dalam tempe M-2 melindungi beta karoten dari autooksidasi (Palozza dan Krinsk, 1992). Beta karoten dan isoflavon penting perannya dalam menginduksi status antioksidan tubuh (Winarsi et al., 2003). Isoflavon tempe M-2 dan beta karoten dapat meningkatkan aktivitas katalase. Isoflavon dan selenium mempengaruhi aktivitas enzim glutation peroksidase (Winarsi, 2007). Diet rendah beta karoten, tetapi cukup dalam semua zat gizi lain menghasilkan tandatanda berkurangnya Kapasitas Total Antioksidan darah (Omaye et al., 1997). Suplemen pada diet harian dengan 90 mg beta karoten telah menunjukkan peningkatan TAC plasma (Sergio dan Russell, 1999). Hal ini sesuai dengan hipotesis 7, bahwa ada interaksi tempe M-2 dengan wortel pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel terhadap kadar TAC serum tikus Wistar. 6.3 Kadar LDL Serum, F2-Isoprostan Urine, dan IL-6 Plasma Tikus Wistar. 6.3.1 Kadar LDL serum Tikus Wistar Rata-rata kadar LDL serum terendah pada perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel yaitu 20,718 ± 1,33 mg/dL, hasil analisis keragaman kadar LDL serum tikus Wistar menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01) dalam menurunkan kadar LDL serum tikus Wistar, hal ini sesuai dengan hipotesis 4,5, dan 6. Wortel memberikan pengaruh lebih tinggi 18,84% dari pada tempe M-2 dalam menurunkan kadar LDL serum tikus Wistar aterosklerosis pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel. Hal ini sesuai dengan pendapat Jeanne (2006) dan Nuansa (2011) bahwa wortel merangsang dengan mudah dan cepat reaksi pembersihan kelebihan lemak tubuh, sehingga wortel dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Dinding dalam wortel juga terkandung pektin, yaitu salah satu jenis serat pangan yang bersifat larut dalam air (soluble dietary fiber). Serat jenis ini berperan penting untuk menurunkan kadar kolesterol dan gula darah, sehingga bermanfaat untuk mencegah penyakit diabetes mellitus dan aterosklerosis, yang merupakan cikal bakal penyakit jantung koroner dan stroke (Vallerie, 2009). Beta karoten dalam wortel dapat mencegah terjadinya plak atau timbunan kolesterol dalam pembuluh darah, sehingga sering disebut sebagai antistroke (Mayes, 2002). Kemudian ditegaskan oleh Maida et al. (2008) bahwa diet karotenoid dapat bertindak sebagai agen hipokolesterolemik, dan menghambat enzim HMGKoA reduktase yang berperan penting pada sintesis kolesterol. Kemudian untuk pengaruh bermakna tempe M-2 dalam menurunkan kadar LDL serum tikus, dapat ditegaskan dalam hasil penelitian dari Arsiniati (1995) dan Mindell (2008) bahwa susunan amino pada tempe dapat menurunkan kadar kolesterol LDL. Komposisi asam amino tempe meningkatkan kadar kolesterol HDL (Mindell, 2008). HDL memiliki banyak protein, bertindak sebagai vacuum cleaner yang mengisap sebanyak mungkin kolesterol berlebih yang bisa diisapnya. HDL memungut kolesterol ekstra dari sel-sel dan jaringan-jaringan lalu membawanya kembali ke hati, yang mengambil kolesterol dari HDL, dan menggunakannya untuk membuat cairan empedu atau mendaurulangnya. Tempe M-2 mengandung lesitin, yang berperan dalam reverse cholesterol transport, dimulai dari HDL nascent yang dibentuk di hati dan usus halus masuk ke dalam aliran darah dan mencapai jaringan perifer seperti makrofag untuk mengambil kolesterol bebas. Setelah kolesterol bebas dalam HDL nascent, akan diubah menjadi kolesterol ester dengan bantuan Lecithin-cholesterol acyl transferase (LCAT) dan kofaktor apo A-1, dan HDL nascent menjadi HDL mature, yang sebagian (50%) ditangkap oleh reseptor HDL di hati dan untuk sintesis hormon steroid, atau asam empedu, dan sebagian kolesterol ester akan ditukar dengan trigliserida (Susanti, 2006). Disebutkan pula oleh Widowati (2007) bahwa vitamin E yang dikandung oleh tempe M-2 dapat menurunkan kadar kolesterol LDL, dengan cara mempercepat degradasi enzim HMG-CoA reduktase sehingga aktivitas enzim dihambat dan perubahan mevalonat menjadi kolesterol dihambat. 6.3.2 Kadar F2-Isoprostan Urine Tikus Wistar. Rata-rata kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar terendah pada perlakuan pakan aterogenik dengan kombinasi tempe M-2 dengan wortel yaitu 0,720 ± 0,065 ng/dl. Hasil analisis keragaman kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p < 0,01) pada berbagai perlakuan. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,05). Hal ini sesuai dengan hipotesis 4, 5, 6, dan 7. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Darjgochoo et al. (2012) yang menyebutkan bahwa konsentrasi F2-Isoprostan lebih rendah pada pasien yang menggunakan multivitamin. Tempe M-2 mengandung cukup tinggi vitamin B12, vitamin E, provitamin A (beta karoten), sianokobalamin, asam folat, thiamin, riboflavin, niasin, asam pantotenat, piridoksin, biotin (Hendromartono, 1997; Pawiroharsono, 1997; Ridwan, 1997; Winarsi, 2007; Mindell, 2008), dan wortel tinggi akan kandungan provitamin A (beta karoten)(Sunita, 2009), cukup mengandung vitamin B1, B2, C dan niasin (Wirakusumah, 1997). Tempe M-2 memberikan pengaruh menurunkan F2-Isoprostan lebih besar 30,28 % dari pada wortel dalam perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel pada tikus Wistar aterosklerosis. Hal ini sesuai dengan pendapat Astawan (2003) dan Winarsi (2007) bahwa tempe M-2 mengandung antioksidan dalam bentuk isoflavon yaitu daidzein, glisitein, genistein dan Faktor II. Zat-zat ini berperan dalam menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas, menangkap radikal, yaitu dengan cara mengubah radikal superoksida, yang dikatalis oleh reaksi dismutasi. Selain itu isoflavon dapat meningkatkan kadar vitamin C dalam sel-sel tubuh, melindungi terhadap kerusakan akibat radikal bebas dan menghilangkan plak-plak aterosklerosis (pengerasan arteri) (Wirakusumah, 1997). Kemudian dipertegas oleh Hastuti (2005) pada proses penempean meningkatkan kandungan niasin hingga dua sampai dengan lima kali, niasin dapat meningkatkan secara signifikan kandungan HDL, HDL meningkatkan aktivitas antioksidan sehingga memproteksi kolesterol LDL dari proses oksidasi. Pengaruh wortel dalam menurunkan kadar F2-Isoprostan urine tikus Wistar adalah karena kandungan beta karoten wortel merupakan suatu antioksidan pemutus rantai, bersifat lipofilik sehingga berperan pada membran sel untuk mencegah peroksidasi lipid. Beta karoten dan vitamin C pada wortel berkhasiat sebagai antioksidan, yang melidungi kolesterol LDL dari proses oksidasi (Winarsi, 2007), oleh karena modifikasi oksidatif non siklooksigenase dari asam arakhidonat yang menghasilkan F2 –Isoprostan (Patrono, 1997; McMichael, 2004; Nalsen et al., 2006). Akhir-akhir ini penetapan ox-LDL yang dianggap terbaik adalah pemeriksaan F2- Isoprostan (8 Iso-PGF2α) dengan metode Elisa baik dalam urine maupun dalam darah (Patrono, 1997). Kemudian dipertegas oleh Dorjgochoo et al. (2012) bahwa F2-Isoprostan dengan sensitivitas yang tinggi, sebagai biomarker dari stress oksidasif, dalam penetapan pengaruh dari antioksidan terhadap penyakit aterosklerosis, juga dapat menggambarkan proses kalsifikasi pada arteri koroner (Gross et al., 2005). F2-Isoprostan merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid. Peroksidasi juga dikatalis in vivo oleh senyawa heme dan oleh lipoksigenase, yang terdapat di trombosit dan leukosit. Pada keadaan stres oksidatif kadar Isoprostan meningkat (McMichael, 2004; Yin et al., 2005). Kadar F2-Isoprostan lebih rendah pada subyek yang mengkonsumsi suplemen antioksidan, seperti vitamin E, dan beta karoten. Antioksidan memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi bekembangnya reaksi oksidasi, dengan mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif (Surjohudojo, 2000). 6.3.3 Kadar IL-6 plasma Tikus Wistar Rata-rata kadar IL-6 plasma terendah pada perlakuan pakan aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel yaitu 35,328 ± 1,000 pg/dl. Hasil analisis keragaman kadar IL-6 plasma tikus Wistar menunjukkan perbedaan yang sangat bermakna (p<0,01) pada berbagai perlakuan. Tempe M-2 dengan wortel menunjukkan pengaruh interaksi yang sangat bermakna (p < 0,01). Hal ini sesuai dengan hipotesis 4,5, 6, dan 7. Pengaruh tempe M-2 dalam menurunkan kadar IL-6 lebih tinggi 28,05 % dari pada pengaruh wortel pada perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel. Hal ini sesuai dengan pendapat Omoigui (2007) yang menyebutkan bahwa IL-6 dapat dihambat secara tidak langsung melalui pengaturan sintesa kolesterol endogen, dan isoflavon tempe M-2 dapat menekan terbentuknya IL-6, penghambatan langsung pada jalur reaksi sinyal transduksi. Disebutkan pula bahwa aktivitas antiresorptive phytoestrogen sebagai mediatornya. Asam lemak tidak jenuh Omega-3 pada tempe M-2 dapat mengurangi sekresi sitokin proinflamasi dan pengaturan penurunan proses peradangan. Suplementasi Omega-3 selama 18 minggu menghambat signal pada basal dan Lipopolysaccharide (LPS) yang merangsang IL-6 atau produksi monosit (Abbate et al., 1996; dan Sunita, 2009). Tempe M-2 dapat meningkatkan kadar tiroksin plasma darah, sehingga mengurangi tingkat inflamasi. Tempe mengandung antioksidan zat anti mutagenik (Simanjuntak dan Sudaryati, 1998). Tempe M-2 juga mengandung estrogen yang dapat mengatur produksi IL-6 (Rifas et al., 1995). Ditegaskan oleh Manolagas (1995) dan Keller et al. (1996) bahwa estrogen menghambat ekspresi gen IL-6, melalui represi aktivasi transkripsi dari gen IL-6 melalui efek estrogen reseptor dalam aktivitas transkripsi dari sequens proksimal 225-bp dari promoter. Isoflavon yang terdapat pada tempe, dapat meniru peranan dari hormon estrogen, dapat berikatan dengan reseptor estrogen sebagai aktivitas hormonal, menyebabkan serangkaian reaksi yang menguntungkan tubuh. Pada saat kadar hormon estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat walaupun afinitasnya tidak sebesar estrogen (Baziad, 2003; Kim et al., 2003; Sun et al., 2003; Koswara, 2006; dan Omoigui, 2007). Optimalnya aktivitas perasan umbi wortel tidak hanya beta karoten yang bertanggung jawab dalam memberikan antiinflamasi, kemungkinan antioksidan lain yang terkandung dalam perasan umbi wortel, seperti vitamin C juga memberikan peran antiinflamasi (Esvandiary et al., 2007). Penurunan aktivitas enzim lipoksigenase menyebabkan tidak terbentuknya leukotrien yang dapat mengaktivasi leukosit yang memacu terjadinya peradangan (Lieber dan Leo, 1999). Adanya hambatan pada oksidasi asam arakhidonat dan penetralan oksigen reaktif menyebabkan beta karoten berefek antiinflamasi. Hasil penelitian Utami dan Wijoyo (2007) menyebutkan bahwa wortel signifikan memiliki daya antiinflamasi. Okopien et al. (2001) menyebutkan bahwa tingkat IL-6 secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan dislipidemia. Diduga ada hubungan antara kadar IL-6 dengan dislipidemia, karena IL-6 terlibat langsung dalam mekanisme aterosklerosis (Yudkin et al., 1999; Dubinski dan Zdrojewicz, 2007; dan Hong, 2007), dan ditemukan meningkat pada kejadian aterosklerosis (Calabro et al., 2003). 6.4 Perubahan Struktur Histopatologi Jaringan AortaTikus Wistar Lama pemberian pakan aterogenik pada penelitian ini menimbulkan 3 faktor risiko aterosklerosis yaitu meningkatnya metabolisme lipid, stres oksidasi dan inflamasi. Aterosklerosis pemicu penyakit jantung koroner melalui salah satu mekanisme umum, yaitu gangguan sirkulasi darah. Dislipidemia mempunyai peranan penting pada terjadinya kerusakan sel-sel endotel. Bila dislipidemia sudah kronik menyebabkan perubahan permeabilitas sel-sel endotel dan konstituen plasma sehingga mengakibatkan kerusakan sel-sel endotel. Kerusakan terhadap selsel endotel baik kecil ataupun besar dapat mengubah sifat permeabilitas dan kemampuan sel endotel untuk melekat satu sama lain dengan jaringan ikat di bawahnya. Dimana pada keadaan normal sel endotel yang membatasi tunika intima membentuk suatu barier yang permeabel untuk mengatur masuknya substansi plasma ke dalam dinding arteri. Dinding arteri yang akan menginduksi terjadinya perubahan permeabilitas sel-sel endotel akan menyebabkan konstituen plasma, misalnya lipoprotein yang menjadi mudah masuk ke dalam dinding arteri. Kerusakan sel endotel ini akan mengubah sifat trombosistein lumen arteri sehingga memungkinkan trombosit melekat pada dinding arteri yang mengalami kerusakan dan mengalami inflamasi yang mengakibatkan jaringan ikat di bawahnya kontak dengan trombosit dan elemen-elemen lainnya di dalam sirkulasi darah. Kerusakan sel endotel ini yang menyebabkan pembentukan radikal bebas oksigen, yang dipicu oleh sitokin, merupakan dasar patogenesis aterosklerosis. Fungsi endotel adalah mengendalikan peradangan dan imunitas (Kumar et al., 2007b; dan Murray et al., 2009). Mekanisme bagaimana dislipidemia berperan pada aterogenesis adalah sebagai berikut : (1) Dislipidemia kronis, terutama pada hiperkolesterol, dapat secara langsung mengganggu fungsi sel endotel melalui peningkatan pembentukan radikal bebas oksigen yang mendeaktivasi nitrat oksida, faktor utama pelemas endotel; (2) Pada dislipidemia kronis terjadi penimbunan lipoprotein di dalam tunika intima, di tempat permeabilitas endotelnya meningkat; (3) Perubahan kimiawi lemak yang dipicu oleh radikal bebas yang dihasilkan dalam makrofag atau sel endotel di dinding arteri, akan menghasilkan LDL teroksidasi (Kumar et al., 2007b). LDL teroksidasi dapat : (1) Ditelan oleh makrofag melalui scavenger receptor, sehingga terbentuk sel busa; (2) Meningkatkan akumulasi monosit di lesi; (3) Merangsang pengeluaran faktor pertumbuhan dan sitokin; (4) Bersifat sitotoksik bagi sel endotel dan sel otot polos dan (5) Dapat menyebabkan disfungsi sel endotel (Cesari et al., 2003; dan Kumar et al., 2007b). Oksidasi LDL menyebabkan perubahan muatan apoB-100 sehingga LDL cenderung membentuk agregat dan fusi (bercak perlemakan). LDL teroksidasi dapat berfungsi sebagai kemoatraktan sel inflamasi sehingga sel-sel inflamasi ini mengalami migrasi ke jaringan subendotel, kemudian sel endotel mengekspresi scavenger reseptor (SR). Pembentukan agregat dan perubahan muatan LDL membuat LDL tidak dikenal reseptor native. Melalui SR seperti CD36, SR-A dan SR-B makrofag memfagosit LDL teroksidasi tanpa down regulasi, sehingga terjadi penumpukan LDL dan terbentuklah makrofag sel busa (Adibhatla et al., 2010). Kombinasi tempe M-2 dengan wortel memperlihatkan uji histopatologis tanpa sel busa dan bercak lemak (Gambar 5.6), karena mengandung normolipid, antioksidan dan antiinflamasi yang lengkap dan tinggi, hal ini sesuai dengan pendapat Widowati (2007) bahwa sistem antioksidan tubuh sebagai mekanisme perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas terdiri atas banyak komponen, antara lain SOD, GPx, katalase dan antioksidan ekstraseluler (vitamin E, C, B3, dan isoflavon). Kekurangan salah satu komponen makanan menyebabkan terjadinya penurunan status antioksidan secara menyeluruh sehingga perlindungan tubuh terhadap serangan radikal bebas berkurang. Enzim lipase tempe melarutkan sebagian lemak kedelai, meningkat 30% atau 50-70 kali asam lemak bebas dibanding bentuk kedelai. Peningkatan asam lemak ini dapat meningkatkan daya cerna tempe. Asam lemak yang dominan adalah asam linoleat, disusul asam oleat, asam linolenat dan asam palmitat, yang semuanya tergolong asam lemak tidak jenuh rantai panjang dan jumlahnya sekitar 80% dari total asam lemak, Asam lemak linoleat (Omega3) tergolong esensial yaitu tidak dapat disintesa di dalam tubuh sehingga harus diperoleh dari konsumsi makanan (Ghozali, 2008; Utari, 2011). Asam oleat mempunyai kemampuan untuk meningkatkan HDL yang merupakan lemak yang dapat menurunkan resiko PJK, sehingga asam oleat juga sering diklaim untuk mencegah penyakit jantung (Mann dan Stewart, 2007). Begitu juga dengan asam linoleat pada tempe bersifat meningkatkan kadar HDL dan menurunkan LDL. Asam linoleat dan asam linolenat tidak hanya dibutuhkan untuk semua membran sel tetapi juga mengalami elengasi dan denaturasi menjadi rantai lebih panjang dan merupakan prekursor komponen eicosanoid yang menyerupai hormon, prostaglandin dan leukotrienes. Asam linoleat akan dikonversi menjadi asam arakhidonat, sedangkan asam linolenat akan dikonversi menjadi eicosapentaenoic acid (EPA) dan decosahexosenoic acid (DHA)(Mann dan Stewart, 2007). EPA dan DHA dapat mencegah timbulnya platelet darah. Platelet dalam darah ini dalam jumlah besar akan mengganggu aliran darah dan merupakan faktor utama penyebab serangan jantung dan stroke. Tempe mengandung cukup tinggi vitamin B12, yang berkorelasi negatif dengan homosistein serum, kadar homosistein memicu peningkatan hidrogen peroksida sehingga menimbulkan resiko kerusakan sel endotel dan timbulnya platelet pada pembuluh darah yang akan mengakibatkan stroke atau PJK (Utari, 2011). 6.5 Pemeriksaan Kenormalan pH Urine Tikus Wistar Perlakuan kombinasi tempe M-2 dengan wortel menghasilkan pH urine yang normal, hal ini membantu menormalkan proses metabolisme, sehingga dapat menurunkan secara signifikan kadar LDL, F2-Isoprostan dan IL-6, serta dapat meningkatkan kadar HDL dan TAC. Kombinasi tempe M-2 dengan wortel merupakan kombinasi makanan yang sangat serasi, satu yang lain saling dengan bersinergi menormalkan pH darah (pH 7,3 -7,5), maupun pH urine (pH 7 – 8) atau lebih ke arah basa. Kombinasi makanan yang tepat bertujuan mencapai keseimbangan asam dan basa, sehingga terhindar dari gangguan fungsi tubuh dan penyakit (Gunawan, 2001; Marsden, 2008; Farida dan Amalia, 2009). Keseimbangan dalam kondisi sedikit basa tersebut senantiasa dipertahankan agar enzim-enzim yang berperan dalam proses metabolisme dapat bekerja optimal. Jika pH bergeser, maka kerja enzim terhambat, keadaan ini dapat menyebabkan timbulnya sakit dan penyakit (Rampisela, 2009). Ditegaskan oleh Reagan et al. (2007) bahwa kondisi basa pH urine tikus adalah pada lebih besar atau sama dengan pH 7,5, sedangkan kondisi asam, pH urine tikus adalah pada lebih kecil atau sama dengan pH 7. Cara pemeriksaan pH urine dengan pH Indicator Strips merupakan penentuan pH urine yang mudah, cepat dan tepat (Kosasih dan Kosasih, 2008). Apabila pH urine sudah normal, untuk monitor kenormalan pH urine selanjutnya adalah pada dua belas minggu kemudian, dan monitor pH urine tiga minggu sekali apabila kondisi pH urine belum normal (Young, 2006). Tempe M-2 dengan wortel sama-sama merupakan sumber mineral logam natrium, magnesium, zat besi, kalsium dan utamanya kalium, kandungan mineral logam inilah yang dapat membantu menetralkan asam dalam darah. Tempe M-2 dengan wortel sama-sama sebagai sumber antioksidan yang kuat. Kombinasi antioksidan dapat menetralkan pH dan radikal bebas, aktivitasnya penting dalam perlindungan dari beberapa penyakit, seperti aterosklerosis, kardiovaskular, saraf dan kanker (Gunawan, 2001; Johnson, 2002; Thumbeckaite, 2006). Tempe M-2 merupakan makanan yang difermentasi, adalah pembentuk basa, karena perubahan status mikrobiologis dan nutrisi, meningkatkan flora usus yang baik, membantu menyintesis lebih banyak enzim dan vitamin, serta meningkatkan kecernaan protein (Marsden, 2008). Dipertegas oleh Young (2006) bahwa makanan vegetarian dan makanan yang mengandung lemak polyunsaturated merupakan makanan pembentuk basa tubuh . 6.6 Keterbatasan Penelitian Pelaksanaan penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan yaitu : 1. Penelitian ini hanya terbatas pada pengujian tempe M-2 dan wortel dengan dosis 20 g /kg bb/hari, tidak melakukan pengujian pada beberapa variasi dosis tempe M-2 dan wortel, dan lama waktu pemberian dosis tempe M-2 dan wortel hanya 13 minggu. 2. Penelitian ini hanya terbatas pada pengujian efek tempe M-2 dan wortel dalam meningkatkan LDL, TAC dan pH urine, serta menurunkan LDL, F2-Isoprostan, IL-6, histopatologis aorta, dan pH urine. Belum menguji efek tempe M-2 dan wortel terhadap trigliserida, kolesterol total, MDA dan Lp-PLA2. 6.7 Temuan Baru Pada penelitian ini ditemukan kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat sebagai antiaterosklerosis, dengan meningkatkan HDL, TAC dan pH urine, serta menurunkan LDL, F2Isoprostan, IL-6, dan histopatologis aorta pada tikus Wistar aterosklerosis. Kombinasi tempe M2 dengan wortel juga berperan sebagai hipokolesterolmik, antioksidan, dan antiinflamasi, sehingga dapat dikembangkan sebagai pangan fungsional yang berperan sebagai antioksidan, hipokolesterol, antiinflamasi, dan antiaterosklerosis. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka dapat dikemukan beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih tinggi secara sangat bermakna dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel. 2. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih tinggi secara sangat bermakna dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2. 3. Kadar HDL serum dan TAC serum tikus Wistar dalam proses aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih tinggi secara sangat bermakna dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan wortel. 4. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih rendah secara sangat bermakna dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik tanpa tempe M-2 maupun wortel. 5. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih rendah secara sangat bermakna dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dengan tempe M-2. 6. Kadar LDL serum, IL-6 plasma dan F2-Isoprostan urine tikus Wistar aterosklerosis diberikan diet aterogenik dan kombinasi tempe M-2 dengan wortel lebih rendah secara sangat bermakna dibandingkan dengan tikus Wistar aterosklerosis, dengan diberikan diet aterogenik dengan wortel. 7. Ada pengaruh interaksi secara sangat bermakna antara perlakuan tempe M-2 dengan wortel terhadap kadar TAC serum, F2-Isoprostan urine dan IL-6 plasma tikus Wistar aterosklerosis. 8. Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat mengakibatkan perubahan struktur histopatologi aorta tikus Wistar dari bentuk disfungsi endotel dan bercak perlemakan menjadi normal. 9. Suplementasi kombinasi tempe M-2 dengan wortel dapat mengakibatkan perubahan pH urine tikus Wistar dari pH urine tidak normal menjadi normal. 7.2 Saran 1. Perlu penelitian lebih lanjut peran kombinasi tempe M-2 dengan wortel terhadap biomarker non-invasif yang lainnya seperti Lp-PLA2, yang secara spesifik dapat mencerminkan proses aterosklerosis sejak dini. 2. Perlu dikembangkan pangan fungsional yang berasal dari kombinasi tempe M-2 dengan wortel. DAFTAR PUSTAKA Abbas, A.K., Lichtman, A.H., and Pillai, S. 2007. Cellular and Molecular Immunology. Six Edition. Philadelphia : Sounders Elsevier. p. 267-274. Abbate, R., Gori, A.M., Martini, F., Brunelli, T., Filippini, M., Francalanci, I., Paniccia, R., Prisco, D., Gensini, G.F., and Neri Serneri, G.G. 1996. PUFA Supplementation, Monocyte, PCA Expression and IL-6 Production. Prostaglandins Leukot Essent Fatty Acids J. 54 (6): 439444. Adeola. 1997. Research Figures Out How Tannins Block Nutrition. The Purdue News and Photoes Page. Purdue University Animal Scientist. 1-3. Adibhatla, RM., Hatcher, JF. 2010. Lipid Oxidation and Peroxidation in CNS Health and Disease : From Molecular Mechanisms to Therapeutic Opportunities. Antioxidant and Redox Signaling, 12. p 125-169. Agung, A. 2002. Pengaruh Pengasaman dan Lama Fermentasi Tempe Kedelai terhadap Kandungan Antinutrisi Tanin dan Uji Sensoris. Saintex J., Vol. 2 :15-20. Alrasyid, H. 2007. Peranan Isoflavon Tempe Kedelai, Fokus pada Obesitas dan Komorbil. Kedokteran Nusantara J., 40 (3) : 17-21. Anonimus. 2009. LDL 13. [cited 2010 Maret 19]. Available from URL: http://www.google.co.id/im glanding? Q=struktur % 20% LDL. Arjuna, R. 2003. F2-Isoprostan sebagai Prediktor Dini Aterogenesis Fase Awal Akibat Dislipidemia. [cited 2010 Feb. 15]. Available from : URL : http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-S3-2003-arjuna. Arsiniati, M.B.A. 1997. Pengaruh Tempe dan Tempe-A5 terhadap Profil Lipid pada Penderita Hiperlipidemia. Media Ikatan Dokter Indonesia. Vol. 20. No. 4-17: 4-8. Astawan, M. 2004. Tempe. [cited 2009 Agust. 9]. Available from : URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Tempe. Astawan, M. 2008. Sehat dengan Sayuran. Dian Rakyat. Jakarta. p. 144. Bast, H., Guido,R.M.N., Hoenim.1991. Oxidants and Antioxidants State of the Art. Am J.Med: 225-235 Baxter, N.J., Lilley,T.H., Haslam, E., Willamson, M.B. 1997. Multiple Interactions between Polyphenols and a Salivary Proline-Rich protein Repeat Result in Complexation an Precipitaion. Departement of Molecular Biology and Biotechnology. The Krebs Institute for Biomolecular Research, University of Sheffield U.K. p.31. Belch, J.H. 2002. Metabolic, Endocrine and Haemodynamic Risk Faktors in the Patients with Peripheral Arterial Disease. Diabetes Obes Met 4(2). 6-13 Berg, V.D.R., Vliet, V.T., Broekmans, W.M. 2001. Vegetable/Fruit Concentrate with High Antioksidant Capacity Has no Effect on Biomarkers of Antioxidant Status in Male Smokers. J. Nutr. 131 : 1714-1722. Bhagavan, N.V. 2002. Medical Biochemistry. Fourth Edition. Sandiago. Harcout/Academic Press : 157-161. BioVision. 2012. Quantification Kit. [cited 2012 Jan. 25]. Available from URL : http://www.biovision.com Block, G., Norkus, E., Hudes, M., Mandel, S., Helzlsouer, K. 2001. Which Plasma Antioxidant are Most Related to Fruit and Vegetable Consumption? . Am. J. Epidemiol. 154: 1113-1118. Boweris, A., Alvarez, S., Navarro, A. 2002. The Role of Mitochondrial Nitric Oxide Synthase in Inflammation and Septic Shock. Free Rad Biol Med , 33: 1186-1193. Browatzki, M., Schmidt, J., Kubler, W., dan Kranzhofer, R. 2000. Endothelin-1 induces interleukin-6 release via activation of the transcription factor NF-kappaB in human vascular smooth muscle cells. Basic Res. Cardiol., 95(2): 98-105. Bub, A. 2000. Moderate Intervention with Carotenoid-Rich Vegetable Products Reduces Lipid Peroxidation in Men. Nutrition J., 130. 2200-2206. Budi,I.M.2009. Sari Buah Merah Memberi Harapan Besar Bagi Pengidap HIV/AIDS. [cited 2010 Feb. 18]. Available from URL : http://health.dir.groups.yahoo/warta aids Cadenas, E., dan Packer, L. 2002. Quantification of Isoprostanes as Indicators of Oxidant Stress In Vivo. Handbook of Antioxidants. Second Edition. California: Mercel Dekker Inc. p. 57-90. Calabro, P., Willerson, J.T., Yeh, E.T.H. 2003. Inflammatory Cytokines Stimulated C-Reactive Protein Production by Human Coronary Artery Smooth Muscle Cell. Circulation 108: 19301932. Campbell, C.T. 2006. The China Study. USA: Benbella Books. p.2. Cao, G., Prior, R.L. 2009. Total Antioxidant Capacity of Plant Foods, Beverages and Oils Consumed in Italy Assessed by Three Different In Vitro Assays 1 US Department of Agriculture, Agriculture Research Service, Jean Mayer Human Nutrition Research Center onAging at Tufts University, Boston, MA 02111. Nutrient Requirements: 1-3. Cesari, M., Penninx B.W., Newman, A.B., Kritchevsky, S.B., Nicklas, B.J., Sutton-Tyrrell, K., Rubin, S.M., Ding, J., Simonsick, E.M., Harris, T.B., Pahor, M. 2003. Inflammatory markers and onset of cardiovascular events: results from the Health ABC study. Circulation 108(19): 231722. Chatterjee, S.; Podowal, T.B.; Tilak, J.C.;Devasagayam, T.P. 2005. Total Antioxidant Capacity (Crocin Assay). Clin. Chim. Acta J., 352 (1-2): 155-163. Chuang, C.C., Shiesh, S.C., Chi, C.H., Tu, Y.F., Hor, L.I., Shieh, C.C., Chen, M.F. 2006. Serum Total Antioxidant Capacity Reflects Severity of Illness in Patients with Severe Sepsis. Critical Care J, 10: 36 Comporti, M.; Signorini, C.; Arezzini, B; Vecchio, D.; Monaco, B.; Gardi, C. 2008. F2Isoprostanes are not Just Markes of Oxidative Stress. Free Radical Biology and Medicine, 44 (3). 247-256. Cooke, P.S., Naaz, A. 2004. Role of Estrogens in Adipocyte Development and Function. Exp Biol Med, 229, 11: 27-35. Cooper, K.H. 2001. Sehat Tanpa Obat, Empat Langkah Revolusi Antioksidan. Bandung, KAIFA. p. 148. Craig, R. 2005. Nutritional Report. [cited 2010 Jun. 9]. Available from: URL: http/www. Essential hearth and wellnesscentrecom//Essential Nutrition Report.htm. Dandona, P., Aljada, A. 2001. A Rational Approach to Pathogenesis and Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus, Insulin Resistance, Inflammation and Atheroclerosis. Am Cardiol 90: 154160. Dewaraj, S., Jialal,L. 1997. Laboratory Assessment of Lipoprotein Oxidation. Dalam Hand Book of Lipoprotein Testing. Washington AACC Press: 357-361. Dimayuga, F.O., Wang, C., Clark, J.M., Dimayuga, E.R., Dimayuga, V.M., Keller, A.J.B. 2006. SOD Overexpression Alters Production and Reduces Neurotoxic Inflammatory Signaling in Microgial Cells. Neuroimmunol J., 182: 89-99. Dinarello, C.A. 2004. Infection Fever, and Exogenousnand Endogenous Pyrogens : Some Concepts Have Changed. Endotoxin Res.J. 10: 201-222. Diniwati, M. 2007. Faktor Resiko Penyakit Degeneratif pada Usia Lanjut: Studi Kasus pada Perempuan Usia Lanjut di Panti Wreda Khusnul Khotimah. Kedokteran Yarsi J. 15 (3): 161170. Dorjgochoo, Yu-Tang G., Wong-Ho C., Xiao-Ou S., Gong Y., Cai Q., Rothman N., Cai H., Li H., Deng X., Franke A., Roberts, LJ., Milne, G., Zheng W., Dai Q. 2012. Plasma Concentrations of Antioxidant , Urinary Excretion Rates of Polyphenols, and Antioxidants in Food and Dietary Supplements are Attributable to both Urinary F2-Isoprostan and 15-F2 –IsoPM Concentrations. Am J. Clin. Nutr. 2012, 96. p. 439-444. Droge, W. 2002. Free Radicals in the Physiological Control of Cell Funtion. Physiol. Rev., 82: 47-95. Dubinski, A., Zdrojewicz, Z. 2007. The Role of IL-6 in Development and Progression of Atherosclerosis. Pol. Merkus Lekarski, 22 (130): 291-294. Eberhardt, M.K. 2001. Reactive Oxygen Metabolites; Chemistry and Medical Consequences. New York: CRC Press. p. 1-27. Endemann, D.H., and Schiffrin, E.L. 2004. Endothelial Dysfunction. Am. Soc. Nephrol., 15: 1983-1992. Esteve, E., Castro, A., Lopez-Bermejo, A., Vendrel, J., Fernandez-Real, JM. 2007. Serum Interleukin 6 Correlates with Endothelial Dysfunction in Healthy Men Independently of Insulin Sensitivity. Diabetes Care, 30 (4): 939-945. Esvandiary,E., Utami,M.F.S., dan Wijoyo, Y. 2007. ”Efek Analgetik dan Antiinflamasi Beta Karoten pada Mencit”. (tesis). Yogya. Fakultas Sanata Dharma. Farida,I., dan Amalia. 2009. Diet Sehat dan Efektif dengan Metode Food Combining. Buku Biru. Jogjakarta. p. 37-194. Federer, W.Y. 1963. Experimental Design Theory and Application. Man Wiliam & Co, Inc. New York. p. 91-99. Fogarty, A., dan Davey, G. 2005. Paracetamol, Antioxidants and Asthma. Clin. Exp. Allergy 35: 700-702 Freeman, M.W., dan Junge, C. 2008. Kolesterol Rendah, Jantung Sehat. Second Edition. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, Group Gramedia. p. 31 Garcia, Casal, M.N. 1998. Vitamin A and Beta Carotene can Improve Nonheme Iron Absorption from Rice, Wheat and Corn by Humans. Nutrition, J. 128. 646-650. Gaziano, J.M., Hatta, A., Flynn, M., Johson, E.J., Krinsky, N.I., Ridker, P.M., Hennekens, C.H., Frei, B. 1995. Supplementation with Beta Carotene in Vivo and in Vitro does not Inhibit LDL Oxidation. Artherosclerosis, 112: 187-195. Gaziano, J.M., Manson, J.E., Buring, J.E., Hennekens, C.H. 1992. Dietary Antioxidants and Cardiovascular Disease. Ann. N.Y. Acad. Sci., 669: 249-259. Giannoudis, P.V., Hilderbrand, F., Pape, H.C. 2004. Inflammatory Serum Markers in Patient With Multiple Trauma : Can They Predict Outcome? . JBJS., [cited 2010 Januari. 9]. Available from: URL: http://www.JBJS.com. Gibney, M.J., Margetts, B.M., Kearney, J.M., Arab, L. 2009. Gizi Kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. p. 254-258. Giriwijoyo, S. 2004. Ilmu Faal Olahraga Fungsi Tubuh Manusia pada Olahraga. Fakultas Pendidikan Olahraga Kesehatan. Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia. p. 98-112. Gross, M., Steffes, M. Jacobs, DR., Yu, X., Lewis, L., Lewis,CE., Loria, CM. 2005. Plasma F2-Isoprostanes and Coronary Artery Calcification: The Cardia Study, Clinical Chemistry, 51, (1). 14-15. Gunawan, A. 2001. Food Combining, Kombinasi Makanan Serasi Pola Makan untuk Langsing dan Sehat. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama,. 24-75. Gustone, FD. 1996. Fatty Acid and Lipid Chemistry. Blackie Academic & Professional, New York. P 81. Guyton, A.C., Hall, J.E. 2000. Textbook of Medical Physiology. Tenth Edition, WB Saunders Company, 81. 1283-1302. Halliwel, B.; Lee, C.Y. 2010.Using Isoprostanes as Biomarkers of Oxidative Stress : Some Rarely Considered Issues. Antioxidants and Redox Signaling, 13 (12): 1-11 Halliwell, B. 1994. Free Radicals, Antioxidants and Human Disease : Curiosity Cause, or Consequence. The Lancet J. 344: 721-724. Halliwell, B. 1996. Antioxidant, dalam Present Knowledgein Nutrition Knowledge in Nutrition (Zinglar E.E. dan Filer L.J.). 7 th ed. ILSI Press Washington DC: 596-601. Halliwell, B. 2002. Food-Derived Antioxidant: How to Evaluate Their Importance in Food and in Vivo. Dalam : Cedenas E, Packer L. Hand Book of Antioxidant. 2nd Ed. Los Angeles: Marcel Dekker. p. 1-46. Halliwell, B., Guteridge, J.M.C. 1999. Free Radicals in Biology and Medicine. Third edition. London: Oxford University Press. p.1-23. Halliwell, B., Gutteridge, J.M.C., Cross, C.E. 1992. Free Radicals, Antioxidants, and Human Disease: Where Are We Now?. J. Clin. Lqb. Med., 119: 598-620. Handelman, C.J., Van kuijk, F.J., Chatterjee, A., Krinsky, N.I. 1991. Characteritization of Product Formed during Autoxidation of beta carotene. Free Rad. Biol. Med. 10: 427-437. Harbarth, S., Haleckova, K., Fruidevaux, C., Pittet, D., Ricou, B., Grau, G.E., Vadas, L., Pugin, J. 2001. Diagnostic Value of Procal Citoning IL-6 and IL-8 in Critical III Patients Admitted with Sispected Sepsis. Am. J. Repir. Crit. Care Med., 164: 396-402. Harlinawati, Y. 2006. Terapi Jus untuk Kolesterol dan Ramuan Herbal. Jakarta. Puspa Swara. 8-14. Hastuti, T. 2005. Faktor-Faktor Resiko Terbaru untuk Penyakit Kardiovaskular. Jakarta: Prodia: 1-25. Hendromartono. 2008. Peran Radikal Bebas terhadap Komplikasi Vaskular Diabetes Mellitus Tipe 2. Pusat Diabetes dan Nutrisi RSUD Dr. Soetomo - FK Unair, Surabaya., [cited 2009, Agustus. 28]. Available from: URL : http://medicalborneo.com. Hendromartono. 2009. Bridging the Gap in Dislipidemia (Focus on HDL Raiser). Division of Endocrinology ad Metabolism, Departemen of Internal Medicine dr Soetomo Teaching Hospital , Airlangga University School of Medicine, Surabaya., [cited 2009, Agustus. 28]. Available from : URL : http://medicalborneo.com. Het, V.K.H., West, C.E., Weststrate, J.A. 2000. Dietary Factors that Affect the Bioavailability of Carotenoids. Journal of Nutrition , 130: 503-506. Hong, D.S. 2007. IL-6 and Its Reseptors in Cancer: Implications for Translational Therapeutics. Cancer, 110 (9): 1911-1928. Huang, H., Patel, D.D., Manton, K.G. 2005. The Immune System in Aging: Roles of Cytokines, T Cells and NK Cells. Front Biosci, 10: 192-215. Jeanne. 2006. Wortel dan Manfaatnya untuk Pengobatan. [cited 2009 Agustus 19]. Available from : URL : http: /www. Usd.ac.id/06/publ. dosen/far/Jeanne.pdf. Johan. 2005. Tempe dan Kolesterol Darah., [cited 2009 Agust. 29]. Available from : URL : http: /www.fatmawati.com. Johnson. 2002. Antioxidant Enzyme Expression in Health and Disease : Effects of Exercise and Hypertension. Comp. Biochemical Physiol, 133 c: 443-505 Kampa, M., Nistikaki, A.,Tsauosis,V., Maliaraki, N., Notas, G., Gastonas, E.2002, A New Automated Methode for the Determintation of TAC of Human Plasma Based on Crocin Bleacing Assay . BMG Clin.Pathol.,2: 3-21. Karnen, G.B., Rengganis, I. 2009. Imunologi Dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 217-287. Kaufman, P.B., Duke,J.A., Brielmaan, H., Boik, J.E. 1997. A Comparative Survey of Leguminous Plants as Sources of the Isoflavones Genistein and Daidzein; Implications for Human Nutrition and Health. J. Altern Compl Med. 3. 7-12. Kaysen, G.A., Stevenson, F.T., Depner, T.A. 1997. Determinant of Albumin Concentration in Hemodialysis Patients. Am. Journal. Kidney Dis, 29: 658-668. Keller, E.T., Wanagat, J., Ershler, W.B. 1996. Molecular and Cellular Biologyof Interleukin-6 and Its Reseptor. Frontiers in Bioscience, 1: 340-357., [cited 2010,Januari].Availablefrom:URL:http://www.bioscience.org/1996/v1/d/keller2/htmls/340357.htm. Kharb, S. 2000. Vitamin E dan C in Preeclampsia. Eur. J .Obstet. Gynecol. Reprod. Biol., 93 (1): 37-39. Kim, P.K., Deutschmann, C.S. 2000. Inflammatory Responses and Mediators. Surgical Clinical of North America, 80: 3. King , R.A. 2002. Soy Isoflavones in Foods: Processing Effects and Metabolism. Asa Technology Bulletin, 87 (10):1-10. Kohlmeier, M. 2003. Nutrient Metabolism. California. USA. Elsevier Ltd. p.92-475. Koracevic, D., Koracevic, G., Djordjevic, V. 2001. Method for the Measurement of Antioksidant Activity in Human Fluids. J.Clin.Pathol., 54: 356-361. Koswara, S. 2006. Isoflavon, Senyawa Multi Manfaat dalam Kedelai. [cited 2010,Januari].Availablefrom:URL:http://www.e-book pangan.com. Kresno, S.B. 2001. Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 27-31. Kumar, V., Abbas, A.K., Fausto,N. 2004. Pathologic Basis of Disease. Elsevier Saunders. p. 16-18. Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L. 2007a. Patologi 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. p. 35-50. Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, S.L. 2007b. Patologi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. p. 376-377. Kusumawati, D. 2004. Bersahabat dengan Hewan Coba. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. p. 9-97. Lampe, J.W. 1999. Health Effects of Vegetables anf Fruit Assessing Mechanisms of Action in Human Experimental Studies. John Willey and Sons. New York: 159 Leedy, P. 1974 Practical Research : Planning and Design. New York. Publishing Co. Lemieux, I., Pascot, A., Homme, D.P., Almeras, N., Bogaty, P., Nadeau, A. 2001. Elevated CReactive protein, Another Component of the Atherothombotic Profile of Abdominal Obesity. ATVB, 21: 961-967. Lieber, C.S. and Leo, M.A. 1999. Alcohol, Vitamin A and B,C, Adverse Interactions, Including Hepatotoxicity and Carcinogenicity. Am. J. Clin Nut, 69 (6). 1071-1085. Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. Jakarta,UI Press: 178-183. Marinetti, G.V. 1990. Disorders of Lipoprotein Metabolism, dalam Disorders of Lipid Metabolism. Plenum Press, New York. p. 101. Marsden, K. 2008. The Complete Book of Food Combining: A New, Easy-to-Use Guide to The Most Successful Diet Ever. Piatkus, London. p. 495, 508. Mashayekhi, F., Salehi, Z. 2005. Expression of Nerve Growth in Cerebrospinal Fluid of Congenital Hydrocephalic and Normal Children. Eur J. Neurol, 12 (8): 632-634. Mason, W.F., Christine, J. 2008. Kolesterol Rendah Jantung Sehat. Associate Professor The Havard Medical School, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. p.31-35. McMichael, M. 2004. Ischemia-Reperfusion Injury: Assessment and Treatment, part II. J. Vet. Emerg. Crit. Care, 14: 242-252. Mendall, M.A., Patel, P., Ballam, L., Morris, J., Strachan, D.P., Camm, A.J., Northfield, T.C. 1997. Relation of Serum Cytokine Concentrations to Cardiovascular Risk Factors and Coronary Heart Disease. Heart, 78: 273-277. Miller, D.T. 2007. Atherosclerosis: The Path from Genomics to Therapics. J.Am Coll Cardiology, 49.1589. Milner, J.A. 2000. New Insights Into the Mechanism of Action of Antioxidants. Bethesda: National Cancer Institute. p. 1-11. Mindell, E. 2008. Terapi Kedelai. Jakarta: Delapratrasa. p. 57-58. Miyamoto, T.,Yumoto,H.,. Takakashi, Y.,Davsoney, M.. Gibson, FC., Genco. 2006. Patogen accelerated Atherosclerosis Occur Early after Exposure and can be Prevented via Immunization. Infection and Immunity, 74: 1376-1380. Montuschi, P. Barnes, J.P., and Roberts II, L.J. 2004. Isoprostances : Markers and Mediators of Oxidative Stress. FASEB J. 18. 1791-1800. Lemieux, I., Pascot, A., Homme, D.P., Almeras, N., Bogaty, P., Nadeau, A. 2001. Elevated CReactive protein, Another Component of the Atherothombotic Profile of Abdominal Obesity. ATVB, 21: 961-967. Lieber, C.S. and Leo, M.A. (1999). Alcohol, Vitamin A and B,C, Adverse Interactions, Including Hepatotoxicity and Carcinogenicity. Am. J. Clin Nut, 69 (6). 1071-1085. Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. Jakarta,UI Press: 178-183. Marinetti, G.V. 1990. Disorders of Lipoprotein Metabolism, dalam Disorders of Lipid Metabolism. Plenum Press, New York. p. 101. Marsden, K. 2008. The Complete Book of Food Combining: A New, Easy-to-Use Guide to The Most Successful Diet Ever. Piatkus, London. p. 495, 508. Mashayekhi, F., Salehi, Z. 2005. Expression of Nerve Growth in Cerebrospinal Fluid of Congenital Hydrocephalic and Normal Children. Eur J. Neurol, 12 (8): 632-634. Mason, W.F., Christine, J. 2008. Kolesterol Rendah Jantung Sehat. Associate Professor The Havard Medical School, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. p.31-35. McMichael, M. 2004. Ischemia-Reperfusion Injury: Assessment and Treatment, part II. J. Vet. Emerg. Crit. Care, 14: 242-252. Mendall, M.A., Patel, P., Ballam, L., Morris, J., Strachan, D.P., Camm, A.J., Northfield, T.C. 1997. Relation of Serum Cytokine Concentrations to Cardiovascular Risk Factors and Coronary Heart Disease. Heart, 78: 273-277. Miller, D.T. 2007. Atherosclerosis: The Path from Genomics to Therapics. J.Am Coll Cardiology, 49.1589. Milner, J.A. 2000. New Insights Into the Mechanism of Action of Antioxidants. Bethesda: National Cancer Institute. p. 1-11. Mindell, E. 2008. Terapi Kedelai. Jakarta: Delapratrasa. p. 57-58. Miyamoto, T.,Yumoto,H.,. Takakashi, Y.,Davsoney, M.. Gibson, FC., Genco. 2006. Patogen accelerated Atherosclerosis Occur Early after Exposure and can be Prevented via Immunization. Infection and Immunity, 74: 1376-1380. Montuschi, P. Barnes, J.P., and Roberts II, L.J. 2004. Isoprostances : Markers and Mediators of Oxidative Stress. FASEB J. 18. 1791-1800. Morel, E., Lescoat, G., Cogrel, P., Sergent, O. 1993. Antioxidant and iron-Chelating Activities of the Flavonoids Catechin, Quercetin and Diosmetin on Iron-Loaded Rat Hepatocyte Cultures. Biochem. Pharmacol, 45: 13-19. Morow; Lemos, D. 2009. Biomarker dalam Gagal Jantung. [cited 2010, Januari]. Available from: URL: http://www.jantungku.con/tag/gagal jantung. Morrow, J.D., Zackert, W.E., Van der Ende, D.S., Reich, E.E., Terry, E.S., Cox, B., Sanchez, S.C., Montine, T.J., Roberts, L.J. 2002. Quantification of Isoprostances as Indicators of Oxidant Stress in Vivo. In : Handbook of Antioxidants, 2nd ed. Ed: Cadenas, E and Packer, L. Marcel Dekker, Inc. New York. Muchtadi, D. 2009. Gizi Anti Penuaan Dini. Bandung: Alfabeta. p. 5-79. Murray, R.K., Granner, D.K., Mayes, P.A., Rodwell, V.W. 2009. Biokimia Harper. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. p. 270-281. Nawawi, H., Osman, N.S., Annuar, R., Khalid, B.A., Yusoff, K. 2003. Soluble Intercelluler Adhesion Molecule-1 and IL-6 Levels Reflect Endothelial Dysfunction in Patients with Primary Hipercholesterolemia Treated wih Atorvastatin. Atherosclerosis, 169 (2). 283-291. Nelson, K.E, Pellan, Schofield, P., Zinders. 1995. Isolation and Characteristic of an Anaerobic Ruminal Bacterium Capable of Degrading Hidrolyzable Tannins. Appl. Environ Microbial 61(9). Departemen of Animal Science, Cornel University New York: 3293-3298. Nicoletta, P., Serafini, M., Colombi, B., Rio, D.,D., Salvatore, S., Bianchi, M., Brighenti, F. 2005. Total Antioxidant Capacity of Plant Foods, Beverages and Oils Consumed in Italy by Three Different In Vitro Assays. Nutrient Requirements, Departement of Public Health University of Parma, Italy: 1-25. Okopien, B., Hyper, M., Kowalski, J., Belowski, D., Madej, A., Zielinski, M., Tokarz, D., Kalina, Z., Herman, Z.S. 2001. A new immunological marker of atherosclerotic injury of arterial wall. Res Commun Mol Pathol Pharmacol, 109(3–4): 241-8. Omaye, S.T., Krinsky, N.I., Kagan, V.E., Mayne, S.T., Liebler, D.C., Bidlack, W.R. 1997. Beta Carotene : Friend or Foe ?. Fundam. Appl. Toxicol, 40: 163-174. Omaye, S.T., Zhang, P. 1998. Phytochemical Interactions: Beta Carotene, Tocopherol and Ascorbic Acid. In Bidlack W.R. Omaye ST (eds): “Phytochemical: Todays Knowledge for Tomorrrow ‘s Products” Lancaster, P.A.: Technomic Publishing Co., Inc., Press. Omoigui, S. 2007. The Interleukin-6 Inflammation Pathway from Cholesterol to Aging-Role of Status, Bisphosphorates and plant polyphenols in Aging and Age-related Diseases. Division of Inflamation and Pain Medicine, L.A. Pain Clinic, Los Angeles, USA. p. 31-33. Ortiz, C., Alzueta,, Trevino, J., Castano, M. 1994. Effects of Faba Bean Tannins on The Growth and Histological Stucture of the Intestinal Tract and Liver of Chicks and Rats. Par. Poult. Sci, Gec; 35 (5). p 734-754. Osterlie, M., Lerfall, J. 2005. Lycopene from Tomato Products Added Minced Meat: Effect on Storage Quality and Colour. Food Res. Int., 38: 925-929. Ozcan, E. 2003. To Develop a Novel Colorimetric and Automated Direct Measurement Method for TAC. Clinical Biochemistry, 37: 153-157. Paiva, S.A.R., Russel, R.M. 1999. Beta Carotene and Other Carotenoids as Antioxidants. Journal of the American College of Nutrition, 18 (5). 426-433. Paloza, P., Luberto, C., Calviello, G., Ricci, P., Bartolli, G.M. 1997. Antioxidant and Prooxidant Role of Beta Carotene in Murine Normal and Tumor Thymocytes : Effects of Oxygen Partial Pressure. Free Radic. Biol. Med., 22: 1065-1073. Paloza, P., Calviello, G., Bartolli, G.M. 1995. Prooxidant Activity of Beta Carotene under 100 % Oxygen Pressure in Rat Liver Microsomes. Free Radic. Biol. Med., 19: 887-892. Paloza, P., Krinsky, N.I. 1992. Beta Carotene and α- Tocoferol are Synergistic Antioxidants. Arch Biochem. Biophys.; 297: 184-187. Papendorf, B.G., Barz, W. 1991. Metabolisms of Isoflavones and Formation of Factor-II by Tempe Producing Microorganisms. Tempe Workshop, October 21, 1991, Cologne, Germany: 54-59. Parakkasi. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak dan Ruminan. UI Press. Jakarta. 327-328. Patrick, L.N.D. 2000. Beta-Carotene: the Controvercy Continues. Alternative Medicine Review, 5 (6): 530-535. Patrono, C. 1997. Isoprostanes : Potential Markers of oxidant Stress in Atherothrombotic Disease. Thromb. Vasc. Biol., 17: 2309-2315. Prasetyo, A., Sarjadi, Pudjadi. 2003. Pengaruh Injeksi Inisial Adrenalin dan Diet Kuning Telur terhadap Kadar Lipid, Jumlah Sel Busa dan Ketebalan Dinding Aorta Abdomalis Tikus Wistar. Media Medika Indonesiana, 38 (1). Prawiroharsono, S. 2000. Characterisation of Microorganism and its Implementation for Active Substances Improvement of Tempe. Proseding Masa Depan Industri Tempe Menghadapi Millenium Ketiga. Yayasan Tempe Indonesia: 1-17. Purwanto. 2001. Pengubahan Kacang Kedelai menjadi Tempe terhadap Kandungan Zat Antinutrisi Asam Fitat. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Airlangga: 17-19. Rahayu, I.D. 1997. “Pengaruh Penggunaan Sorghum Hasil Perendaman dalam Air Kapur dan Penambahan Metionin dalam Ransum terhadap Kinerja Protein Daging dan Lemak Karkas Ayam Pedaging” (Tesis). Surabaya: Pasca Sarjana Universitas Airlangga: 19-21. Rahmad, A.N. 2009. Studi Histopatologi Aktivitas Ekstrak Metanol Tempe Sebabai Bahan Pencegah Aterosklerosis pada Kelinci. (Disertasi) IPB Bogor. 2-19. Rahmawansa, S.S. 2009. Dislipidemia sebagai Faktor Resiko Utama Penyakit Jantung Koroner. JCDK, 169/vol 36 no 3: 181-184. Rampisela, J. 2009. Tabel Asam Basa Makanan. [cited 2010, 2 Agustus]. Available from : URL:http:/tatia30.multiply.com/journal/item/31. Reagan-Shaw, S.,Nihal, M., and Ahmad, N. 2007. Dose Translation from Animal to Human Studies Revisited. The FASEB Journal-Life Sciences Forum. 22(-): 659-661. Reagan, W.J., Vanderlind, B., Shearer, A,, Botts, S. 2007. Influence of Urine pH on Accurate Urinary Protein Determation in Sprague-Dawley Rats. Vet. Clin. Pathol., 36 (1): 73-78. Ridwan, E. 1997. Tempe Mampu Menghambat Proses Ketuaan. Cermin Dunia Kedokteran, 120. Jakarta: PT Kalbe Farma: 14. Roberts, C.S., Pape, H.C., Jones, A.L., Malkani, A.L., Rodroguez, Giannoudis, P.V. 2005. Damage Controle Orthopaedics. Evolving Concepts in the Treatment of patient Who Have Sustained Orthopaedics Trauma. JBJS Am., 87: 434-449. Roche. 2000. Vitamin;, Beta Karoten. [cited 2009 Des. 21]. Available from : URL:http:/www.roche.com/vitamins/what/hnh/vits/bc.html. Salvayre, A.N., Dousset, N., Ferretti, G., Bacchetti, T., Curalola, G., Salvayre, R. 2006. Antioxidant and Cytoprotective Properties of High- Density Lipoproteins in Vascular Cells. Free Radical Biology and Medicine Vol. 41 (7): 1031 – 1040. Schuster, B., Kovaleva, M., Sun, Y., Regehard, P, Matthews, V., Grotzinger, J., Rose-John, S., Kallen, K.J. 2003. Signaling of Human Ciliary Neurotrophic Factor (CNTF) Revisited The IL-6 Receptor can Serve as an Alpha Receptor for CTNF. J.Biol. Chem., 278 (11): 9528 Schwantner, A., Dingley, A.J., Ozbek, S., Rose-John, S., Grotzinger, J. 2004. Direct Determination of The IL-6 Binding Epitope of The IL-6 Receptor by NMR Spectroscopy. J.Biol. Chem., 279 (1): 571-576. Serafini, M., Bellocco,R., Wolk,A., Ekstrom, A.M. 2002. Total Antioxidant Potential of Fruit and Vegetable and Risk of Gastric Cancer. Gastroenterology, 123: 985-999. Sergio, A.R.P., Russell, R.M.D. 1999. Beta Carotene and Other Carotenoids as Antioxidants. J. of the American College of Nutrition, 18(5): 426-433. Shinya, H. 2009. The Miracle of Enzyme, Shelf-Healing Program, Meningkatkan Daya Tahan Tubuh dan Regenerasi Sel. Qanita. Bandung: 7-9. Sikka, C.S. 1996. Oxidative Stress and Role of Antioxidants in Normal and Abnormal Sperm Function. Departement of Urology, Tulane University School of Medicine, New Orleans, Louisiana, USA. 33. Simanjuntak, D.H.; Sudaryati, E. 1998. Aspek Pencegahan Radikal Bebas melalui Antioksidan. Majalah kedokteran Indonesia, vol. 48 No. 1. Sofia, D. 2005. Antioksidan dan Radikal Bebas. [cited 2010, Januari]. Available from: URL: http://www.chem-15-try.org/artikel-kimia/berita/antioksidan-dan radikal-bebas. Soobrattee, M.A., Neergheen, V.S. 2005. Phenolic as potential antioxidant therapeutic agents: Mechanism and actions. Mutation Research, 579(1-2): 200-13. Stocher, R. 1994. Lipoprotein Oxidation MechanisticAspects Methodological and Clinical Relevance. Curr. Opin. Lipidol, 5 : 422-433. Sunita, A. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. p. 51-75.Supari, F. 2005. Metabolic Syndrome in Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 55. No. 10: 618-621. Supari, F. 2005. Metabolic Syndrome in Jakarta. Majalah Kedokteran Indonesia. Vol. 55. No: 618-621. Surjohudojo, P. 2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta: CV Sagung Seto. p.31-47. Suyono, S. 1991. Aspek Klinis dan Pengobatan Dislipidemia. Surabaya: Simposium Nasional : Perkembangan Mutakhir Endokrinologi Metabolisme: p. 544-563. Svanberg, U., Lorri, W., Sendberg, A.S. 1993. Latic Fermentation Non-Tanin and High Tanin Cereals. Effects on In vitro Estimation of iron Availabilaty and Phytate Hidrolysis. Journal of Food Science 58 no 2. Dept of Food Science, Chalmers Univ. of Technology, Tanzania: 408412. Szmitko, P.E., Wang,C.H., Weisel, R.D., De-Almmeida,J.R., Anderson, T.J., and Verma, S. 2003. New Markers of Inflammation and Endothelial Cell Activation. Circulation 108: 1917 1923. Tharn, D.M. 1998. Potential Health Benefits of Dietary Phytoestrogens. A Review of the Clinical, Epidemiological and Mechanistic Evidence. J. Clin. Endrocrinol. Metab. 83: 22232235. Theze, J. 1998. The Cytokine Network and Immune Functions. New York: Oxford University Press. p 105-109. Tribble, D.L. 1995. Lipoprotein Oxidation in Dyslipidemia: Insight Intogeneral Mechanisms Affecting Lipoproteins Oxidative Behaviour. Curr.Opin. Lipidol. 6. 196-208. Trumbeckaite, S., Bernatoniene, J., Majkne, D., Jakstas, V., Savickas, A., Toleikis, A. 2006. The Effect of Flavonoids on Rat Heart Mitochondrial Function. Biomed. Pharmacotherapy, 60: 245-248. Utami, M.F.S., Wijoyo, Y. 2007. Efek Analgetik dan Antiinflamasi Beta Karoten pada Mencit. Fakultas Sanata Dharma. Yogya. 75. Utari, D.M. 2011. “Efek Intervensi Tempe terhadap Profil Lipid, SOD, LDL, HDL dan MDA pada Wanita Menopause” (tesis). Bogor. IPB. Vallerie, N. 2009. Empat Pilar Kesehatan, Panduan Memilih dan Mengonsumsi Vitamin, Suplemen, dan Herbal. Edisi pertama. Jakarta : Prestasi Pustaka publisher. p. 26-28. Varghese, J.N., Moritz, R.L., Lou, M.Z., Donkelaar, A.V., Ji, H., Branson, K.M., Simpson, R.J., Hall, N.E., Invancic, N., Simpson, R.J. 2002. Structure of the Extracellular Domains of the Human Interleukin-6 Receptor –Chain. PNAS 99 (25) : 15959-15964. Vedavanam, K., Srijayanta, S., Reilly, J.O. 1999. Antioxidant Action and Potential Antidiabetic Properties of an Isoflavonoid – Containing Soybean Phytochemical Extract. Phytotherapy Research, 13: 601-608. Walsh, S.W., Vaughan, J.E., Wang, Y., Robert, L.J. 2000. Placental Isoprostane is Significantly Increased in Preclampsia. The FASEB Journal,14: 1289-1296. Weber P.C., Leaf, A. 1991. Cardiovascular Effects of Omega 3 Fatty Acids. Atheroclerosis Risk Factor Modification by Omega 3 Fatty Acids. World Rev Nutr Diet. Basel, Karger: 218232. Widarsih, V.S.R. 2003. Daya Antiinflamasi Perasan Umbi Wortel (Daucus carota L.) pada Mencit Putih Betina. (Skripsi). Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogya. Widowati, W. 2007. Peran Antioksidan sebagai Agen Hipoklesterolemia. Majalah Kedokteran Damianus, Vol. 6, No. 3.;228-230. Winarsi, H. 2004a. Efek Minuman Fungsional yang Disuplementasi Isoflavon kedelai dan Zn terhadap Profil Lipid dan Produk MDA Plasma Wanita Premenopause. Yogyakarta: Proseding Seminar Nasional PBBMI : Peran Biokimia dan Biologi Molekuler dalam Eksplorasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Hayati Berkelanjutan. p. 10-15. Winarsi, H. 2004b. Status Antioksidan Enzimatis Intraseluler dan Ekstraseluler Wanita Premenopause yang yang Disuplementasi dangan Isoflavon Kedelai dan Zn. Jakarta: Proseding Seminar dan Kongres PATPI. p. 23-27. Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan Radikal Bebas, Potensi dan Aplikasinya dalam Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius. p. 9-108. Winarsi, H., Muchtadi, D., Zakaria, F.R., Purwantara, B. 2003. Status Antioksidan Wanita Premenopause yang Diberi Minuman Suplemen “Susumeno”. Yogyakarta: Dalam Proseding Seminar Nasional PATPI. p. 21-27. Wirakusumah, E.S. 1997. Buah dan Sayur untuk Terapi. Penebar Swadaya. Jakarta. 29-33. Witztum, J.L., Berliner, J.A. 1998. Oxidized Phospholipids and Isoprostanes in Atherosclerosis. Curr. Opin. Lipidol 9. 441-448. Woods, A., Brull, D.J., Humphries, S.E., Montgomery, H.E. 2000. Genetics of Inflammation and Risk of Coronary Artery Disease; the Central Role of Interleukin-6. Eur Heart J., 21: 15741583. Yeum, K.J., Russel, R.M. 2002. Carotenoid Bioavailability and Bioconversion. Annu. Rev. Nutr., 22 : 483-504. Yin, H., Musick, E.S., Morrow, J.D. 2005. Quantification of Isoprostane as an Index of Oxidative Stress. J. Biol . Sci., 5: 1-6. Young, R.O. 2006. Understanding and Testing the pH of Urine and Saliva. [cited 2013, Januari, 25]. Available from: URL: www.ph miraaacleliving.com/Articles-testing pH.html. Young, R.O. 2010. What is The Acid-Alkaline Diet ?. [cited 2010, Agustus, 2]. Available from: URL: http//www.energiseforlife.com. Youngson, R. 2005. Antioksidan, Manfaat Vitamin C dan E bagi Kesehatan.Arcan, Jakarta. p. 1-86. Yudkin, J.S., Stehouwer, C.D.A., Emeis, J.J., Oppack, S.W. 1999. C. Reactive Protein in Healthy Subjects : Associations with Obesity, Insulin Resistance and Endothelial Disfunction, A Potential Role for Cytokines Originating from Adipose Tissue. ATVB, 19: 972-978. Yulyasih, K.S.M. 2011. “Ekstrak Bulung Boni (Caulerpa spp.) dan Bulung Sangu (Gracilaria spp.) Memperbaiki Profil Lipid, Menurunkan Kadar MDA, dan Enzim HMG Reduktase Tikus Wistar Diberikan Diet Tinggi Kolesterol”. (Disertasi). Denpasar : Universitas Udayana. Zakaria, F.R., Irawan, B., Pramudya, S.M., Sanjaya. 2000. Intervensi Sayur dan Buah Pembawa Vitamin C dan E Meningkatkan Sistem Imun Populasi Buruh Pabrik di Bogor. Buletin Teknologi dan Industri Pangan, 11(2): 21-27. LAMPIRAN 1. Persiapan Ruangan untuk Pemeliharaan Tikus dan Pengawasan yang Dilakukan (modifikasi dari Astuti, 1996; Muliartha dan Mulyohadi, 2002; Kusumawati, 2004). 1. Ruang dan Kandang Pemeliharaan 1.1 Ruang pemeliharaan/penelitian tikus mempunyai kelembaban relatif 50-60%, suhu ruangan berkisar antara 23oC - 27oC. Lama penyinaran 13 jam, suara tidak gaduh dan tidak berbau. Kebersihan ruangan selalu dijaga. 1.2 Kandang tikus (kandang individu) terbuat dari kawat platik, yang beralaskan kotak platik, yang berisi limbah serutan kayu yang sudah disterilkan, setiap kandang berisi alat untuk minum dan makan. 2. Pengawasan Status Kesehatan 2.1 Kebersihan kandang merupakan standard tinggi. 2.3 Alas kandang diganti setidaknya dua hari sekali. 2.4 Selalu dilakukan pengamatan kesehatan tikus. 3. Pengawasan Petugas Pemeliharaan Tikus 3.1 Petugas pengawas dan pemelihara hewan coba dipilih yang memang menyenangi hewan dan mempunyai perasaan khusus. 3.2 Membuat jadwal kerja bulanan dan membuat laporan harian (jumlah makanan dan cairan) 3.3 Selalu waspada dan mengetahui gejala penyakit dan mengetahui pakan dan minum hewan, mengetahui hewan yang sehat, tidak mau makan, ataupun sakit. 3.4 Petugas pemelihara memakai pakaian yang bersih dan menggunakan masker dan sarung tangan pada waktu bekerja di kandang hewan. 3.5 Batasi keluar masuknya orang ke daerah kandang 4. Pengawasan Makanan dan Minuman 4.1 Kualitas dan kuantitas pakan dan minum untuk semua hewan coba harus cukup. Pemberian makanan dilakukan dua kali setiap hari (pagi dan sore), baik pakan standar (Cornfeed Pars/pellet) maupun suplemen (tempe M-2 atau wortel). LAMPIRAN 2. Konversi Dosis Makanan Lampiran 2.1. Konversi Perhitungan Dosis untuk Beberapa Jenis Hewan dan Manusia (Ghosh, 1971, dalam Kusumawati, 2004). Mencit 20 g Tikus 200 g Marmot 400 g Kelinci 1,5 kg Kucing 2 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg Mencit 20 g 1,0 7,0 2,25 27,8 29,7 64,1 124,2 387,5 Tikus 200 g 0,14 1,0 1,74 3,9 4,2 9,2 17,8 56,0 Marmot 400 g 0,08 0,57 1,0 2,25 2,4 5,2 10,2 31,5 Kelinci 1,5 kg 0,04 0,25 0,44 1,0 1,08 2,4 4,5 14,2 Kucing 2 kg 0,03 0,23 0,41 0,92 1,0 2,2 4,1 13,0 Kera 4 kg 0,016 0,11 0,19 0,42 0,45 1,0 1,9 6,1 Anjing 12kg 0,008 0,06 0,10 0,22 0,24 0,52 1,0 3,1 Manusia70 kg 0,0026 0,018 0,031 0,07 0,076 0,16 0,32 1,0 Lampiran 2.2. Konversi Dosis Hewan Percobaan Berdasarkan Body Surface Area (Reagan-Shaw et al., 2007). Spesies Berat (kg) BSA (m2) Km faktor Manusia dewasa 60 1,6 37 Anak-anak 20 0,8 25 Baboon 12 0,6 20 Anjing 10 0,5 20 Monyet 3 0,24 12 Kelinci 1,8 0,15 12 Babi Guinea 0,4 0,05 8 Tikus 0,15 0,025 6 Hamster 0,08 0,02 5 Mencit 0,02 0,007 3 HED (mg/kg) = animal dose (mg/kg) X animal Km/human Km HED : Human Equivalen Dose (mg/kg) BSA : Body Surface Area Km : Faktor Konversi LAMPIRAN 3 Pemeriksaan Laboratorium 3.1 Penentuan Kadar Kolesterol-HDL dan LDL Penentuan kadar kolesterol-HDL dan LDL dengan menggunakan Kit Biovision (HDL and LDL/VLDL Cholesterol Quantification Kit)(Catalog#K613-100, 100 assays, store at 20oC) merupakan metode kuantitatif sampel serum darah, dengan prosedur penentuan kadar kolesterol-HDL dan LDL yang sederhana. Dalam oksidase, uji kolesterol menghasilkan produk yang bereaksi dengan probe untuk menghasilkan warna (λ=570 nm) dan fuoresensi (Ex/Em=538/587 nm). Kolesterol esterase menghidrolisis kolesterol ester menjadi kolesterol bebas, oleh karena itu kolesterol ester dan kolesterol bebas dapat dideteksi secara terpisah, dan tidak terdapat kolesterol esterase dalam reaksi. Persiapan Reagen Cholesterol Probe : siap dipergunakan, dengan pemanasan sampai suhu kamar, untuk mencairkan DMSO solution. Simpan pada suhu -20oC, terlindung dari cahaya, dan gunakan dalam waktu dua bulan. Cholesterol Esterase : larutkan dalam 220 μl Cholesterol Assay Buffer sebelum digunakan. Simpan pada suhu -20oC, dan gunakan dalam waktu dua bulan. Enzyme Mix : larutkan dalam 220 ml Cholesterol Assay Buffer sebelum digunakan. Simpan pada suhu - 20oC, dan gunakan dalam waktu dua bulan. Prosedur Pemeriksaan Kolesterol : 1. Pemisahan HDL dan LDL : Campur 100 μl dari 2 x Precipitation Buffer dengan 100 μl dari serum sampel dalam tabung microcentrifuge. Inkubasi 10 menit pada suhu kamar, disentrifus pada 2000 x g (5000 rpm on bench-top microcentrifuge) selama 10 menit. Transfer supernatant ke tabung baru yang berlabel. Ini adalah adalah fraksi HDL. Endapannya adalah fraksi LDL/VLDL. Jika ingin mengukur tingkat LDL, endapan harus disentrifus kembali, untuk menjaring sisa-sisa fraksi HDL. Suspensi endapan dalam 200 μl tidak disertakan, ini adalah fraksi LDL. Catatan A : Jika supernatant keruh, sampel harus kembali disentrifuse. Jika sampel tetap berawan, encerkan sampel 1 : 1 dengan PBS, dan ulangi prosedur pemisahan. Kalikan hasil akhir 2 x karena pengenceran dilaksanakan 2 x. Catatan B : Waktu dan suhu presipitasi tidak mempengaruhi hasil secara signifikan. 2. Kurva Standard dan Persiapan Sampel. Encerkan Cholesterol standard menjadi 0,25 μg/ml dengan menambahkan 20 μl Cholesterol standard sampai 140 μl Cholesterol Assay Buffer, aduk rata. Tambahkan 0, 4, 8, 12, 16, 20 ml ke dalam 96 well plate. Sesuaikan volume untuk 50 μl/well dengan Cholesterol Assay Buffer untuk menghasilkan generasi 0, 1, 2, 3, 4, 5 μg/well dari Cholesterol standard. (Catatan : uji fluorometrik adalah 10 kali lebih sensitive dari uji kolorimetri, Cholesterol standard harus diencerkan 10 kali, jika menggunakan uji fluorometric). Untuk pengujian sampel, dengan menggunakan 1 hingga 20 μl dari fraksi HDL dan LDL, menyesuaikan jumlah volume menjadi 50 μl/well dengan Cholesterol Assay Buffer. 3. Persiapan Reaction Mix Untuk pengujian masing-masing, siapkan 50 μl total Reaction Mix yang mengandung : 44 μl Cholesterol Assay Buffer, 2 ml Cholesterol Probe, 2 μl Enzyme Mix, 2μl Cholesterol Esterase. 4. Tambahkan 50 μl Reaction Mix pada setiap sumur yang berisi Cholesterol standard atau sampel, aduk rata. 5. Inkubasi selama 60 menit pada suhu 37o C, terlindung dari cahaya. Ukur O.D. pada 570 nm. 6. Kalkulasi : Plot Kurve standar. Contoh konsentrasi kolesterol : C = A/V(μg/μl) Dimana : A adalah jumlah kolesterol sampel dari kurve standar (μg) V adalah volume sampel asli yang ditambahkan pada sampel reaction well (μl) Berat molekul kolesterol : 386,6; 1 μg/ μl = 100 mg/dL 3.2 Penentuan Kadar Kapasitas Antioksidan Total (TAC). Prinsip pemeriksaannya menggunakan Trolox sebagai standarisasi antioksidan yang ada dalam sampel. Sehingga antioksidan yang ada adalah setara dengan konsentrasi trolox. Pemeriksaan kadar bioaktif ini menggunakan Kit Kapasitas Antioksidan Total (TAC) dengan catalog # K274-100 merk Biovision. Kit ini terdiri dari reagen Cu++ Assay Diulent, Protein Mask dan Trolox standar. Cara kerja Kit Kapasitas Antioksidan Total (TAC) adalah sebagai berikut : 1. Buat kurva kalibrasi Trolox : pipet 0, 4, 8,, 12, 16, 20 μl Trolox standar dan tempatkan pada masing-masing plat sumur pemeriksaan dan tambahkan dd H2O hingga volume masing-masing 100 μl. 2. Pembuatan sampel : sampel berupa serum langsung dipipet sebanyak 2 μl dan ditambahkan dengan ddH2O hingga volume 100 μl. Masing-masing sampel dibuat duplo. 3. Pembuatan pereaksi (reagen kerja) : larutkan 1 bagian Cu++ dengan 49 bagian Assay diluent. Masing-masing sumur memerlukan 100 μl. 4. Tambahkan 100 μl, reagen kerja pada semua sampel dan reagen standar. 5. Inkubasi selama 1,5 jam pada suhu kamar. 6. Baca absorbansi pada 570 nm. 7. Perhitungan kadar TAC dengan menggunakan rumus : Kapasitas Antioksidan Total= [(Absornasi sampel-Absornasi blanko)x(μl sampel)] [slope kurve] Atau Sa/Sv = nmol/ μl or mN Trolox equivalent 3.3 Pengukuran F2 - Isoprostan dalam Urine Tikus Wistar. Pemeriksaan kadar F2-Isoprostan dilakukan dengan menggunakan 8-Iso-PGF2α Enzyme Immunoassay Kit (EIA) dari Assay Design, yang merupakan immunoassay yang kompetitif untuk penentuan kadar F2-Isoprostan dalam larutan biological. Kit tersebut menggunakan antibodi poliklonal terhadap F2-Isoprostan untuk dapat mengikatnya dengan cara yang kompetitif yang terdapat dalam sampel atau dalam molekul alkaline phospatase yang memiliki F2-Isoprostan yang secara kovalen melekat padanya. Prosedur penggunaan Kit : 1. Pertama ditentukan penomoran sumur yang akan digunakan dengan berpedoman pada lembar assay layout. 2. Memasukkan dengan pipet 100 μl standar diluent (Assay Buffer atau Tissue Culture Media) ke dalam sumur NSB dan B0 (0 pg/ml standard). 3. Memasukkan dengan pipet 100 μl cairan standar ke dalam sumur nomor satu sampai dengan tujuh. 4. Memasukkan dengan pipet 100 μl cairan sampel ke dalam sumur sesuai dengan penomorannya. 5. Memasukkan dengan pipet 50 μl assay buffer ke dalam sumur NSB. 6. Memasukkan dengan pipet 50 μl konjugat biru ke dalam semua sumur, kecuali Total Activity (TA) dan sumur kosong (blank). 7. Memasukkan dengan pipet 50 μl antibodi kuning ke dalam semua sumur kecuali sumur kosong (blank), TA dan NSB. Sebagai catatan semua sumur harus berwarna hijau kecuali sumur NSB yang seharusnya berwarna biru. Sumur TA dan blank seharusnya kosong dan tidak berwarna pada langkah ini. 8. Piring sampel kit diinkubasi pada suhu kamar ke dalam plate shaker selama dua jam pada 500 rpm, selama masa ini dapat digunakan plastik penutup piring sampel kit jika dikehendaki. 9. Masing-masing sumur dikosongkan dan dicuci dengan menambahkan 400 μl cairan pencuci, diulangi dua kali sehingga total dilakukan tiga kali pencucian. 10. Setelah pencucian terakhir, sumur dikosongkan dan piring ditepuk di atas kertas pembersih untuk mematikan buffer pencuci tidak ada yang tertinggal. 11. Ditambahkan 5 μl konjugat warna biru terang dalam pengenceran 1:10 ke dalam sumur TA. 12. Ditambahkan 200 μL cairan substrat kemudian diinkubasi dalam suhu kamar 45 menit tanpa dikocok. 13. Ditambahkan 50 μl stop solution ke dalam setiap sumur, hal ini akan segera menghentikan reaksi yang terjadi dan piring sampel harus segera dibaca setelahnya. 14. Kemudian dibaca dengan densitas optik pada 405 nm, dengan koreksi antara 570 dan 590 nm. 3.4 Pemeriksaan Interleukin-6 dengan metode d-human IL-6 Immunoassay (R & D Systems). Prosedur pemeriksaan d-Human Interleukin-6 Immunoassay (R & D System), menggunakan Cat. No.: D6050, adalah sebagai berikut : Prisip Pemeriksaan : Pemeriksaan ini menggunakan teknik quantitatif sandwich enzyme immunoassay. Sebelumnya antibody monoclonal spesifik untuk IL-6 telah di-coated dalam microplate. Standar, sampel, kontrol dan conjugate di pipet ke dalam well dan keberadaan IL-6 akan di sandwich (dipasangkan) oleh immobilized antibody dengan antibody enzyme-linked monoclonal spesifik untuk IL-6. Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan substansi-substansi yang terikat dan atau reagen antibody-enzyme, selanjutnya larutan substrat ditambahkan ke dalam well dan kemudian terbentuklah pembentukan warna yang sebanding dengan jumlah IL-6 yang terikat. Pembentukan wama dihentikan dan kemudian intensitas warna di ukur. Penanganan Reagen 1. Wash Buffer Concentrate Encerkan 20 ml Wash Buffer Concentrate dengan air de-ionized atau distilled hingga diperoleh 500 ml larutan Wash Buffer. 2. Standard Larutkan IL-6 standar dengan 5 ml Calibrator Diluent RD6F. Larutan ini merupakan larutan stok 300 pg/ml. Sebelum dilarutkan standar dikocok perlahan selama minimal 15 menit. Pipet 667 μL Calibrator Diluent RD6G masukkan ke dalam tabung 100 pg/mL dan 500 μL ke dalam sisa tabung lainnya. Gunakan larutan stok untuk mendapatkan serial larutan seperti gambar di bawah ini. 3. Larutan Substrat Campurkan Color reagent A dan B dalam jumlah yang sarna dalam waktu 15 menit sebelum digunakan. Lindungi dari sinar matahari. Presedur Kerja 1. Siapkan semua reagen, working standard, sampel dan kontrol. 2. Tambahkan 100 μL Assay Diluent RDIW ke dalam well . 3. Tambahkan 100 μL standar, control atau sampel ke dalam masing-masing well, campur dengan baik. 4. Tutup plate dengan plate sealer yang tersedia dan inkubasi pada. suhu kamar selama 2 jam. 5. Buang isi dari setiap well dan cuci dengan menambahkan 400 μL wash buffer ke dalam masingmasing well. Ulangi proses tersebut sebanyak 3 kali (total pencucian sebanyak 4 kali). Setelah pencucian terakhir, buang isi dari well, buang sisa wash buffer dengan mengetuk-ngetukkan plate secara terbalik pada lap kertas yang bersih. 6. Segera tambahkan 200 μL conjugate ke dalam masing-masing well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. 7. Ulangi kembali proses pencucian seperti pada nomer 5. 8. Segera tambahkan 200 μL substrate solution ke dalam masing-masing well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 20 menit. Lindungi dari sinar matahari. 9. Tambahkan 50 μL stop solution ke dalam masing-masing well. Warna dalam well akan erubah dari biru ke kuning. Jika warna yang ditimbulkan pada well hijau atau perubahan warnanya tidak terlihat seragam, goyang perlahan-lahan untuk memastikan bahwa sudah tercampur sempuma. 10. Tentukan optical density dari tiap well dalam waktu 30 menit menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm. 4. Pemeriksaan Hispatologi Pengamatan mikroskopik dari suatu jaringan baik yang normal maupun patologis merupakan bagian yang sangat penting dari proses pengambilan data yang menunjang suatu penelitian atapun diagnose suatu penyakit. Mikroteknik adalah metode pembuatan sediaan histology agar dengan pengamatan menggunakan mikroskop, diperoleh gambaran struktur sediaan yang diusahakan sedapat – dapatnya menyerupai struktur aslinya. Sebelum jaringan dapat diamati di bawah mikroskop terlebih dahulu melewati beberapa tahapan proses sebagai berikut : 1. Proses Pengambilan Sampel Proses pengambilan sample dilakukan dengan alat – alat bedah standar yang sudah dibersihkan dan disterilkan . Gunting ataupun pisau dan blade yang digunakan haruslah baru dan tajam. Segera setelah hewan mati, organ tubuh yang telah mengalami perubahan diambil dengan ukuran 1x1x1cm, kemudian dicuci dengan larutan buffer atau garam fisiologis kemudian dimasukkan ke dalam larutan pengawet 10 kali volume jaringan/organ. 2. Proses Pengawetan (Fiksasi ) Pada prinsipnya, sediaan yang dilihat di bawah mikroskop harus dapat memberikan gambaran histology yang sebenarnya dari jaringan tersebut. Untuk itu dibutuhkan suatu proses perlakukan yang dapat mencegah terjadinya perubahan pasca mati pada jaringan. Hal penting lainnya adalah menjaga tetap terpisahnya bagian padat dan bagian cair dari protoplasma sel, merubah bagian – bagian sel menjadi bahan – bahan yang tidak larut dalam setiap proses perlakukan berikutnya, melindungi sel dari kerusakan dan pengerutan saat dimasukkan ke alcohol atau paraffin panas. Juga untuk meningkatkan kemampuan bagian – bagian dari jaringan untuk dapat diwarnai ( stainability ), meningkatkan indek refraksi jaringan sehingga meningkatkan visibilitasnya. Contoh Larutan Fiksasi Larutan 10% formalin 40% formaldehyde : 100cc Aquadestilata : 900cc Setelah proses pengawetan selesai, jaringan dicuci ( larutan pengawetannya dicuci sampai hilang ) untuk mencegah adanya gangguan yang mungkin terjadi pada proses selanjutnya akibat masih tersisanya larutan pengawet pada jaringan. Untuk pencucian biasanya dipakai air kran atau alkohoh 50%, 70%. 3. Proses Dehidrasi Walaupun telah mengalami proses pengawetan dan pencucian, konsistensi jaringan masih saja kurang ideal untuk dapat dipotong tipis ( 5-6 mikrometer ) dengan microtome. Jaringan ini bias saja masih lunak atau jika jaringan tersebut berlumen bentuknya akan mudah berubah jika langsung dipotong . Untuk mengatasi masalah ini biasanya dilakukan proses penggantian cairan yang ada dijaringan dengan bahan yang dapat mengeras dan mudah dipotong. Yang paling umum digunakan untuk peruses standar biologi adalah paraffin. Paraffin dapat melakukan penetrasi secara intra dan ekstraseluler sehinga dapat menjadi bahan penunjang yang baik selama proses pemotongan. Sebelum di embedding dengan parafin, jaringan harus bebas dari air sebab air dengan parafin tidak dapat menyatu. Dehidrasi adalah penarikan air dari jaringan. Jaringan yang diawetkan dalam larutan dengan pelarut utama air cenderung mempertahankan kadar air tinggi dan dapat mengganggu proses selanjutnya. Jaringan biasanya di – dehidrasi dengan jalan merendam dalam alkohol dengan presentase bertingkat 70%,80% sampai alcohol absolute. Selain menarik air, perlakuan dengan alkohol bertingkat dapat mencegah terjadinya pengerutan atau collapse 4. Proses Clearing Proses clearing adalah proses intermedier antara proses dehidrasi dengan proses embedding dengan paraffin. Jika setelah dehidrasi dengan alcohol bertingkat jaringan langsung diproses ke embedding parafin , maka yang terjadi adalah paraffin tidak dapat melakukan penetrasi ke dalam 5. 6. 7. 8. jaringan. Ini karena sisa alkohol dalam jaringan tidak dapat bercampur atau larut dalam paraffin. Untuk itu jaringan perlu direndam dahulu ke dalam suatu perantara yang dapat bercampur dengan alcohol dan parafin. Biasanya yang banyak digunakan adalah xylol atau yang lain seperti toluene, chloroform dan benzene. Sebaliknya sebelum di clearing jaringan harus benar – benar bebas air karena dapat mengganggu proses selanjutnya ( xylol tidak dapat bercampur dengan air ). Ini berarti proses dehidrasi harus benar – benar sempurna. Jaringan yang telah mengalami proses clearing menjadi transparan dan menjadi lebih tua. Proses Infiltrasi Proses ini menggunakan parafin cair dengan suhu 50 – 60oC dengan maksud paraffin cair dapat melakukan penyusupan ke dalam jaringan yang berfungsi sebagai zat penunjang bagi jaringan saat pemotongan . Parafin harus merembes di sela – selan jaringan menggantikan cairan penjernih. Parafin dapat dibagi menjadi dua macam, parafin keras dan paraffin lunak. Parafin keras memiliki titik cair 55 – 58oC atau 60 -68oC, sedangkan yang lunak sekitar 50 – 52oC atau 53 -55oC. Pilihan berdasarkan pada jenis dan tujuan pekerjaan. Parafin keras memungkinkan memotong sayatan relatif tipis dari parafin lunak. Proses Embedding Proses embedding sebaiknya dikerjakan di dekat sumber panas (pembakaran Bunsen dan sebagainya ). Alat yang digunakan terlebih dahulu dihangatkan untuk mencegah agar parafin tidak mengeras sebelum proses selesai. Jaringan diletakkan di dalam wadah dari gelas atau kaleng yang sudah dihangatkan terlebih dahulu dan berisi parafin cair. Jaringan diletakkan sedemikian rupa sehingga memudahkan orientasi baik saat pemotongan maupun pengenalan jaringan. Blok yang sudah mengeras sebaiknya disimpan minimal 6 jam dalam lemari es sebelum dipotong. Proses Pemotongan Jaringan ( Sectioning ) Setelah penyimpanan dalam lemari es, blok sudah siap untuk dipotong. Alat pemotongan jaringan ini dinamakan microtome. Biasanya jaringan dipotong dengan ketebalan 1 – 10 mikron tergantung keinginan dan tujuan. Untuk pengamatan umum, jaringan biasanya dipotong dengan ketebalan sekitar 5 mikron. Perlu diperhatikan bahwa pisau microtome sangat tajam, pengerjaan pemotongan haruslah hati – hati dan teliti. Keadaan ruangan suhu dan kelembaban juga terpengaruh pada ketebalan sayatan. Sayatan biasanya diapungkan terlebih dahulu ke dalam water bath dengan temperature 45 oC, kemudian diletakan ke dalam obyek gelas dimana sebelumnya telah diolesi bahan perekat Mayers egg albumin atau adhesive dried albumen. Gelas obyek ini kemudian disimpan di incubator ( 37 – 40oC ) satu malam sebelum diwarnai. Freezing microtome, bahan yang dibutuhkan pada pemotongan ini antara lain chloride spray atau dengan cabon dioxide yang dimanpatkan. Untuk diagnose cepat caranya adalah : jaringan yang akan kita periksa , kita potong dengan ketebalan sekitar 3 mm kemudian difiksasi dengan formal salin sekitar 1 – 2 menit, supaya fisksinya baik dapat dibantu dengan pemanasan kemudian jaringan diambil letakkan pada tissue holder lalu disemprot dengan CO2 sehingga jaringan menjadi beku, setelah beku barulah dilakukan pemotongan. Sayatan yang diperoleh diambil dengan menggunakan jari dan dimasukkan ke dalam petridisk berisi aquadesk kemudian jaringan tersebut dipindahkan ke dalam suatu wadah yang telah berisi zat warna, cuci dengan air atau alcohol kadar rendah setelah itu baru diletakkan pada obyek gelas dimounting dengan gliserin Proses Pewarnaan ( Staining ) Jaringan yang telah melalui proses diatas segera diwarnai agar dapat mudah dilihat dan dikenali di bawah mikroskop. Karena setelah proses di atas jaringan menjadi kering, sedangkan proses pewarnaan melibatkan berbagai larutan maka keadaan yang kering ini harus dikembalikan menjadi basah. Proses ini dinamakan hidrasi. Proses ini mencakup juga penghilangan parafin dari dalam jaringan ( deparaffinisasi ) dengan merendam dalam xylol atau toluene. Setelah jaringan yang telah bebas paraffin direndam dalam alcohol dengan konsentrasi menurun mulai dari absolute, 80%, 70%. Setelah direndam dalam air , jaringan siap untuk proses pewarnaan. Menurut asalnya zat warna dibagi menjadi dua macam, yaitu yang berasal dari alam dan yang sintesis. Contoh zat warna asal alam adalah Haemtoxylin, sedang yang sintesis sangat banyak antara lain eosin. Haematoxylin – eosin adalah pewarna standar yang sangat umum dipakai. Haematoxylin mewarnai inti sel ( biru ) sedangkan eosin mewarnai sitoplasmanya ( merah ). Setelah proses pewarnaan, sediaan ( jaringan di atas objek gelas ) kembali dehidrasi dengan alkohol bertingkat dan xylol untuk kemudian dilanjutkan dengan mounting. Mounting media adalah suatu penyangga, terletak antara cover glass dengan sediaan sehingga jaringan yang telah diwarnai dapat diawetkan dan tampak tetap transparan. Mounting media natural diantaranya : Canada balsam, Cedar oil, Damar, Permount , dan Entellan. Penelitian ini menggunakan jenis entellan. 9. Pengamatan terhadap Sediaan LAMPIRAN 5. ANALISIS STATISTIK LAMPIRAN 5.1 ANALISIS STATISTIK KADAR HDL De scriptive Statistics N HDLKN HDLKP HDLT HDLW HDLTW Valid N (listwise) 5 5 5 5 5 5 Minimum 36,39 23,23 46,99 40,14 65,93 Maximum 37,51 31,52 54,45 46,57 70,84 Mean 37,0800 28,6840 49,6460 44,3100 68,4600 Std. Deviation ,47655 3,32193 2,86738 2,66931 1,91242 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk HDLKN Statistic ,217 Df 5 Sig. ,200(*) Statistic ,904 df 5 Sig. ,431(*) HDLKP ,295 5 ,178(*) ,845 5 ,178(*) HDLT ,291 5 ,193(*) ,865 5 ,248(*) HDLW ,317 5 ,113(*) ,849 5 ,193(*) HDLTW ,137 5 ,200(*) ,990 5 ,981(*) (*) Data berdistribusi normal (p>0,05) Te st of Homogeneity of Variances Kadar HDL Levene Statistic 1,816 df1 df2 4 20 Sig. ,165 Data homogen (p>0,05) Lampiran 5.2 ANALISIS STATISTIK KADAR TAC De scriptive Statistics N TACKN TACKP TACT TACW TACTW Valid N (listwise) 5 5 5 5 5 5 Minimum ,54 ,42 ,82 ,62 1,44 Maximum ,58 ,50 ,91 ,67 1,47 Mean ,5598 ,4444 ,8660 ,6458 1,4536 Std. Deviation ,01527 ,03350 ,03598 ,01912 ,01057 Tests of Normality TAC Kolmogorov-Smirnov(a) Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. TACKN ,121 5 ,200(*) ,994 5 ,991(*) TACKP ,305 5 ,145(*) ,787 5 ,064(*) TACT ,165 5 ,200(*) ,978 5 ,924(*) TACW ,239 5 ,200(*) ,925 5 ,564(*) ,197 5 ,200(*) (*) Data berdistribusi normal (p>0,05) ,971 5 ,884(*) TACTW Test of Homogeneity of Variances Kadar TAC Levene Statistic df1 df2 Sig. 1,829 4 20 ,163(*) Data homogen (p>0,05) LAMPIRAN 5.3 ANALISIS STATISTIK KADAR LDL Descriptive Statistics N Minimum Maximum Mean Std. Deviation LDLKN 5 32,59 34,74 33,9220 ,91699 LDLKP 5 36,73 42,72 39,0140 2,43394 LDLT 5 23,28 25,44 24,1500 ,90194 LDLW 5 26,43 29,67 28,0540 1,52103 LDLTW 5 19,72 22,92 20,7180 1,33232 Valid N (listwise) 5 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk LDLKN Statistic ,214 df 5 Sig. ,200(*) Statistic ,900 df 5 Sig. ,413(*) LDLKP ,249 5 ,200(*) ,910 5 ,465(*) LDLT ,227 5 ,200(*) ,905 5 ,435(*) LDLW ,225 5 ,200(*) ,869 5 ,264(*) ,271 5 ,200(*) ,822 5 ,122(*) LDLTW (*) Data berdistribusi normal (p>0,05) Test of Homogeneity of Variances Kadar LDL Levene Statistic df1 df2 Sig. 2,428 4 20 ,082 Data homogen (p>0,05) LAMPIRAN 4.4 ANALISIS STATISTIK KADAR F2-ISOPROSTAN De scriptive Statistics N IsopKN IsopKP IsopT IsopW IsopTW Valid N (listwise) 5 5 5 5 5 5 Minimum 2,96 5,13 ,89 1,84 ,62 Maximum 3,16 5,50 1,02 2,23 ,78 Mean 3,0340 5,2640 ,9640 2,0540 ,7200 Std. Deviation ,07765 ,17009 ,05273 ,15469 ,06519 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) Shapiro-Wilk IsopKN Statistic ,221 df 5 Sig. ,200(*) Statistic ,901 df 5 Sig. ,415 IsopKP ,330 5 ,080(*) ,811 5 ,098 IsopT ,209 5 ,200(*) ,915 5 ,500 IsopW ,173 5 ,200(*) ,972 5 ,890 IsopTW ,277 5 ,200(*) ,893 5 ,374 (*) Data berdistribusi normal (p>0,05) Test of Homogeneity of Variances Kadar Isop Levene Statistic 3,982 df1 df2 4 20 Sig. ,016 Data homogen (p>0,01) LAMPIRAN 5.5 ANALISIS STATISTIK KADAR IL-6 De scriptive Statistics N ILKN ILKP ILT ILW ILTW Valid N (listwise) 5 5 5 5 5 5 Minimum 153,18 211,10 37,57 48,20 34,32 Maximum 184,55 238,33 41,25 51,17 36,74 Mean 168,8500 222,6680 39,7580 49,6680 35,3280 Std. Deviation 11,29386 10,55796 1,63917 1,44068 1,00108 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov(a) Statistic df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. ILKN ,239 5 ,200(*) ,958 5 ,795 ILKP ,196 5 ,200(*) ,963 5 ,827 ILT ,292 5 ,189(*) ,861 5 ,232 ILW ,246 5 ,200(*) ,843 5 ,172 ,200(*) ,938 5 ,652 ILTW ,184 5 (*) Data berdistribusi normal (p>0,05) Test of Homogeneity of Variances IL-6 Levene Statistic df1 df2 4,136 4 Data homogen (p>0,05) 20 Sig. ,013 LAMPIRAN 6 Tempe M-2 dan Wortel LAMPIRAN 6.1 Bahan dan Peralatan Pembuatan Tempe M-2 a b c g h d e f Keterangan : (a) Gelas takar air, (b) Timbangan kedele, (c) Asam Laktat,(d) Gelas ukur, (e) Neraca elektrik, (f dan h) kedele, (g) Ragi tempe LAMPIRAN 6.2. Tempe M-2 (Fermentasi 48 jam) LAMPIRAN 6.3. Wortel LAMPIRAN 7 Penempatan Tikus dan Pengambilan Urine Tikus LAMPIRAN 7.1 Penempatan Tikus LAMPIRAN 7.2 Pengambilan Urine Tikus