10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pola Berjalan Normal

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pola Berjalan Normal
Gerakan berjalan merupakan gerakan dengan koordinasi tinggi
yang dikontrol oleh susunan saraf pusat yang melibatkan sistem yang
sangat kompleks, (Irfan, 2010). Menurut Marton Trew dan Tony Everett
(1997) dikutip dalam Irfan (2010): Gait dapat diartikan sebagai pola atau
ragam berjalan dimana berjalan berpindah tempat dan mengandung
pertimbangan yang detail dan rinci yang terkait dengan sendi dan otot.
Berjalan merupakan cara untuk menempuh jarak tertentu. Berjalan
adalah hasil dari hilangnya keseimbangan pada sikap bersiri dari kedua
kaki secara berturut-turut. Setiap keseimbangan dari satu kaki hilang,
diganti atau diikuti oleh tumpuan baru kaki yang lain, sehingga terjadi
keseimbangan kembali. Laju kedepan pada peristiwa berjalan, disebabkan
karena kombinasi dari tiga kekuatan yang bekerja, yaitu:
1. Kekuatan otot yang menyebabkan tekanan pada kaki terhadap
permukaan tumpuan.
2. Gaya berat yang berusaha menarik tubuh ke depan dan ke bawah bila
terjadi ketidak seimbangan (imbalance).
3. Kekuatan momentum yang bermaksud mempertahankan tubuh yang
bergerak dalam arah yang sama dengan kecepatan yang tetap.
Kekuatan-kekuatan lain yang membantu adalah pemindahan
momentum ayunan lengan, yang semula dimaksudkan untuk membantu
keseimbangan, (Muryono, 2001).
10
11
2.1.1 Gait cycle
Siklus Berjalan (Gait
Cycle)
merupakan suatu rangkaian
fungsional dengan adanya gerakan pada satu anggota badan (Extremitas
Inferior). Hal ini berlangsung sejak kaki kanan menginjak lantai hingga
kaki kanan mneginjak lantai kembali (Irfan, 2010).
Dalam satu Siklus berjalan (Gait Cycle) terdiri dari 2 fase, yaitu
fase menapak (Stance phase) dan fase mengayun (Swing Phase). Menurut
Christoper et al. (1999), fase stance 60% dan fase Swing 40% dimana
setiap fase memiliki tahapan masing-masing:
1. Stance Phase
a. Initial Contact (interval: 0-2%)
Fase ini merupakan moment ketika tumit menyentuh lantai.
Initial contact merupakan awal dari fase stance dengan posisi heel
rocker. Posisi sendi pada waktu mengakhiri gerakan ini,
menentukan pola loading response.
Fase ini merupakan moment seluruh centre of gravity
berada pada tingkat terendah dan seseorang berada pada tingkat
yang paling stabil. Pada periode ini anggota bawah yang lain juga
menyentuh lantai sehingga terjadi posisi double stance.
Menyentuhnya tumit dengan lantai, memberikan bayangan
yang mengindikasikan bahwa tungkai akan bergerak, sedang
tungkai yang lain berada pada akhir terminal stance.
12
b. Loading Response (interval: 0-10%)
Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase
dilakukan dengan menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki
yang lain mengangkat untuk mengayun.
Berat tubuh berpindah ke depan pada tungkai. Dengan
tumit seperti rocker, knee fleksi sebagai shock absorption. Saat
heel rocker, ankle plantar fleksi dengan kaki depan menyentuh
lantai sedangkan tungkai yang berlawanan pada posisi fase
preswing
c. Midstance (interval: 10-30%)
Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai. Untuk
awalan gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan sampai berat
tubuh berpindah pada kaki yang lain dengan lurus. Saat ankle
dorsal fleksi (ankle rocker) bayangan tungkai mulai bergerak ke
depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang
berlawanan mulai bergerak menuju fase mid-swing.
d. Terminal stance (interval: 30-50%)
Pada fase ini satu tungkai memberikan bantuan. Fase ini
dimulai dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki
memijak tanah. Keseluruhan pada fase ini berat badan berpindah
ke depan dari forefoot. Saat posisi ekstensi knee yang meningkat
dan akan diikuti sedikit fleksi. Dimana posisi tungkai yang lain
berada pada fase terminal swing.
13
Pada fase Terminal stance,
depan
kaki
yang
menapak
jadi
centre of gravity berada di
tekanan
gravitasi
akan
meningkatkan lingkup dari ekstensi hip dan dorsal fleksi ankle.
e. Preswing (interval: 50-60%)
Pada akhir fase stance adalah interval gerakan kedua double
stance pada siklus berjalan. Dimulai dari initial contact pada
anggota gerak bawah kontralateral dan diakhiri toe-off pada
anggota gerak ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi
plantar fleksi diikuti fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi
ekstensi. Disaat yang sama anggota gerak bawah yang lain pada
fase loading response. Menyentuhnya anggota gerak atau tungkai
kontralateral merupakan awal dari terminal double support.
2. Swing Phase
a. Initial swing (interval: 60-73%)
Pada fase pertama adalah perkiraan satu dari tiga fase
mengayun. Diawali dengan mengangkat kaki dari lantai dan
diakhiri ketika mengayun kaki sisi kontralateral dari kaki yang
menumpu. Pada saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan
knee naik menjadi fleksi dan ankle pada setengah dorsalfleksi.
Pada saat yang sama, sisi kontralateral bersiap pada mid stance.
b. Mid swing (interval: 73-87%)
Pada fase kedua dari periode swing dimulai, saat mengayun
anggota gerak bawah yang berlawanan dari tungkai yang
14
menumpu. Akhir dari fase ini ketika tungkai mengayun ke depan
dan tibia vertikal atau lurus. Saat mid-swing, hip fleksi dengan knee
bergerak ekstensi untuk merespon gravitasi, dan diikuti dengan
ankle dorsifleksi menuju posisi netral. Sedangkan tungkai yang
lain berada pada akhir dari fase midstance.
c. Terminal swing (interval: 87-100%)
Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan
diakhiri saat kaki memijakkan lantai. Kedudukan tungkai yang
baik adalah dengan posisi ekstensi knee dan hip mempertahankan
fleksi sedangkan ankle bergerak dari dorsifleksi ke netral. Anggota
gerak bawah yang lain berada pasa fase terminal stance.
2.2 Stroke
Stroke adalah suatu sindrom klinis dengan karakteristik kehilangan
fungsi otak fokal akut yang mengarah ke kematian, dimungkingkan karena
perdarahan spontan pada substansi otak (perdarahan intracerebral primer atau
perdarahan subarachnoid yang secara berurutan menjadi stroke hemoragik)
atau tidak tercukupinya suplai darah yang menuju bagian dari otak sebagai
akibat dari aliran darah yang lambat atau rendah, trombosis,atau emboli yang
berhubungan dengan penyakit pembuluh darah , jantung, atau darah (stroke
iskemik atau infark cerebal. (Hankey, 2002).
Dengan kata lain stroke merupakan manifestasi keadaan pembuluh
darah cerebral yang tidak sehat sehingga disebut juga cerebral arterial
disease atau cerebrovascular disease. Cedera dapat diakibatkan oleh
15
sumbatan bekuan darah, penyempitan pembuluh darah, sumbatan dan
penyempitan atau pecahnya pembuluh darah otak, semua ini akan
menyebabkan kurangnya pasokan darah ke otak (Irfan, 2010).
2.2.1 Klasifikasi stroke
Secara garis besar stroke dibagi menjadi 2 golongan, yaitu stroke
pendarahan (hemoragik) dan stroke non pendarahan (ischemic). Stroke
ischemic hampir 85% disebabkan oleh sumbatan bekuan darah,
penyempitan sebuah arteri yang mengarah ke otak, atau embolus yang
terlepas dari jantung atau arteri extrakranial yang menyebabkan sumbatan
di satu atau beberapa arteri intrakranial (Irfan, 2010).
Stroke hemoragik terjadi sekitar 15% - 20% dari total kejadian.
Dapat terjadi apabila lesi vasculer intraserebrum mengalami ruptur
sehingga terjadi pendarahan ke dalam ruang subsracnoid atau langsung ke
dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskuler yang dapat menyebabkan
pendarahan subaracnoid adalah aneurisma sakular, dan mallformasi
arteriovena (Price, 2005).
Berdasarkan perjalanan klinisnya stroke dikelompokkan menjadi;
1) Transient Ischemic Attack (TIA); 2) Reversibel Ischemic Neurogical
Deficit (RIND); 3) Stroke in evolution; 3) completed stroke hemoragic dan
non hemoragic, (Sidharta dan Mardjono, 2008)
1. Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan gangguan pembuluh
darah otak yang menimbulkan defisit
neurologis akut
yang
berlangsung kurang dari 24 jam. Stroke ini tidak meninggalkan gejala
16
sisa sehingga pasien tidak akan terlihat pernah mengalami serangan
stroke. Tetapi dengan adanya TIA merupakan peringatan akan
serangan stroke selanjutnya.
2. Reversibel Ischemic Neurogical Deficit (RIND) hampir sama dengan
TIA hanya saja waktunya berlangsung lebih lama, maksimal 1 minggu.
RIND juga tidak meninggalkan gejala sisa.
3. Complete stroke merupakan gangguan pembuluh darah otak yang
menyebabkan deficit neurologik akut yang berlangsung lebih dari 24
jam. Stroke ini akan meninggalkan gejala sisa.
4. Stroke in evolution merupakan jenis yang paling sulit ditentukan
prognosanya karena kondisi pasien yang cenderung labil dan dapat
mengarah kek kondisi yang lebih buruk.
Klasifikasi stroke berdasarkan klinis dikelompokkan menjadi (Irfan,
2010):1) Lacunar Syndromes (LACS), 2) Posterior Circulation Syndrome
(POCS), 3) Total Anterior Circulation Syndromes (TACS), dan 4) Partial
Circulation Syndromes (PACS).
1. Lacunar Syndromes (LACS), terjadi penyumbatan tunggal pada lubang
arteri sehingga menyebabkan area terbatas akibat infark yang disebut
dengan lacune. Istilah lacune adalah salah satu yang patologis akan
tetapi terdapat dalam beberapa literatur yang memiliki korelasi
patologi dengan klinikoradiologikal. Mayoritas lacune terjadi di area
seperti nucleus lentiform dan gejala klinisnya tidak diketahui.
Terkadang terjadi kemunduran kognitif pada pasien. Lacunar yang lain
17
juga dapat mengenai kapsula interna dan pons dimana akan
mempengaruhi traktus asendens dan desendens yang menyebabkan
defisit klinis yang lebih luas. Jika diketahui lebih awal tentang pola
neurovaskuler, lesi tersebut dapat dikurangi sehingga mempunyai
tingkat kognitif dan fungsi visual yang lebih tinggi.
Kategori Lacunar Syndromes (LACS):
a. Pure Motor Stroke (PMS)
PMS merupakan kategori yang paling banyak ditemui pada
LACS, dimana pada syndrome ini mengalami paralisis komplit
atau inkomplit pada wajah, lengan, dan tungkai pada satu sisi tanpa
disertai oleh tanda-tanda sensoris, kerusakan visual, dysphasia,
ataxia cerebral, dan nystagmus. Mungkin terdapat gangguan
sensoris tetapi tidak muncul gejalanya.
b. Pure Sensory Stroke (PSS)
PSS mempunyai frekuensi yang lebih kecil, kemungkinan
terdapat gangguan sensori terus menerus tetapi dengan tanda yang
tidak terlihat. PSS biasanya mengenai thalamus dimana lesi yang
mengenai PSS lebih kecil dengan gejala yang kecil tetapi dengan
infark yang lebih dalam.
c. Homolateral Ataxia and Crural Pharesis (HACP), Dysarthria
Clumsy-Hand Syndrome (DCHS) dan Ataxia Hemiparesis (AH).
Kasus dengan kondisi HACP ini ditandai dengan adanya
kelemahan pada ekstrimitas bawah, terutama pada pergelangan
18
kaki dan ibu jari, refleks babinski positif, dismetria pada lengan
dan tungkai satu sisi. Pada DCHS defisitnya berupa dysarthria,
kekakuan pada satu tangan, dua dari tiga kasus tanda-tandanya
mengarah pada kerusakan piramidal berupa disfungsi dari tungkai
sisi yang sama dengan pola jalan ataksik.
d. Sensory Motor Stroke (SMS)
SMS terjadi pada kapsula interna, terdapat defisit sensoris
yang menyebabkan lesi pada ekstremitas bagian posterior dari
kapsula interna, diduga terjadi gangguan jalur thalamocortikal.
Infark pada SMS merupakan yang terbesar dari semua kategori
LACS.
2. Posterior Circulation Syndromes (POCS), menyebabkan kelumpuhan
bagian saraf cranial ipsilateral (tunggal maupun majemuk) dengan
kontralateral defisit sensorik maupun motorik. Terjadi pula defisit
motorik-sensorik bilateral. Gangguan gerak bola mata (horizontal atau
vertikal), gangguan cereberal tanpa defisit tractus bagian ipsilateral,
terjadi hemianopia atau kebutaan kortikal. POCS merupakan gagguan
fungsi pada tingkat kortikal yang lebih tinggi atau yang dapat
dikategorikan sebagai POCS.
3. Total Anterior Circulation Syndrome (TACS). Meliputi hemiplegia,
hemianopia kontralateral pada lesi cerebral, gangguan fungsi serebral
pada tingkat yang lebih tinggi (dys-phasia, visuosphasia).
19
4. Partial Circulation Ssyndromes (PACS), semua yang termasuk defisit
motorik dan sensorik dengan hemianopia, ganggua fungsi cerebral,
atau gangguan fungsi cerebral dengan hemianopia, murni dari
gangguan motorik atau sensorik yang lebih sempit dari LACS
(monofaresis), disfungsi serebral murni, bila terjadi gangguan lebih
dari satu tipe, kemungkinan terjadi kerusakan di bagian otak sisi yang
sama.
2.2.2 Patofisiologi stroke
Sistem cerebrovaskular memberi otak aliran darah yang banyak
mengandung zat makanan yang penting bagi fungsi normal otak.
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam
arteri-arteri yang membentuk sirkulus Willisi: arteria karotis interna, dan
sistem vertebrobarsilar atau semua cabang-cabangnya.
Secara umum, apabila aliran darah ke otak terputus selama 15 – 20
menit, akan terjadi infark atau kematian jaringan. Oklusi di suatu arteri
tidak selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh
arteri tersebut diakibatkan adanya sirkulasi kolateral yang memadai.
Aliran kolateral dapat terbentuk secara perlahan saat aliran darah ke salah
satu bagian otak berkurang. Sebagian besar sirkulasi kolateral terbentuk
dari arteri-arteri besar melalui sirkulus willisi. Efek sirkulasi kolateral ini
adalah untuk menjamin terdstribusinya darah ke otak sehingga iskemia
dapat ditekan minimal apabila terjadi sumbatan arteri.
20
Proses patologi yang mendasari mungkin dari salah satu dari
berbagai proses yang terjadi didalam pembuluh darah yang mensuplai
darah ke otak. Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada
pembuluh darah itu sendiri, seperti aterosklerosis dan trombosis, robeknya
dinding pembuluh darah, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi akibat
gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3)
gangguan pembuluh darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang
berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium; (4) ruptur vaskular di
dalam jaringan otak atau ruang subaracnoid.
Fungsi dari korteks adalah memilah-milah dan menghubungkan
informasi yang diterima dengan memori masa lalu. Lesi pada korteks
motorik primer (area 4) akan menimbulkan paralysis yang lebih parah dari
kerusakan daerah motorik sekunder (area 6), kerusakan area ini akan
menimbulkan paralysis kontralateral lengkap.
Lesi pada girus frontalis inferior kiri (area broca) menyebabkan
kehilangan kemampuan untuk bicara (aphasia) ekspresif, dimana pasien
masih mampu memikirkan kata-kata, menuliskan kata-kata, masih
mengerti tulisan dan mendengarkan kata-kata. Lesi pada girus angularis
pada lobus parietalis superior akan mengganggu kemampuan untuk
mengkombinasikan rangsangan raba, tekanan propioseptif, tidak mampu
mengapresiasikan susunan, ukuran, dan bentuk stereognosis (Feigin,
2006).
21
Cerebellum yang merupakan bagian penting dari susunan saraf
pusat secara tidak sadar mengendalikan kontraksi otot-otot volunter secara
optimal. Secara umum fungsi cerebellum adalah melakukan kerja sinergis
semua reflek dan aktivitas otot volunter.
Thalamus (bersama sub-thalamus, epithalamus, dan hipothalamus)
adalah stasiun relay sensorik yang sangat penting, sedangkan subthalamus
merupakan nukleus motorik ekstrapiramidal untuk gerakan involuntary
yang kuat. Epithalamus membantu dalam korelasi dalam korelasi ompuls
olfactorius dan somatic. Hipothalamus akan mempengaruhi suhu tubuh,
fungsi genital, tidur dan intake makan (Ganong, 2003).
Bagian lain dari sistem saraf pusat adalah medulla oblongata yang
secara terstruktur dibagi menjadi empat tingkatan yaitu: tingkat decusstio
piramidum motorik besar, tingkat decusstio piramidum sensorik besar,
tingkat olives dengan saraf cranialis (vestibulo cochlearis, glosso
pharyngeus, vagus, assesorium, hipoglossus, dan nucleus acuata) dan
tingkat di inferior pons. Pons merupakan bagian dari sistem saraf pusat
yang merupakan nucleus saraf cranialis: trigeminus, abduscens, fasialis,
dan vestibochlearis (Ganong, 2003).
2.2.3 Faktor resiko stroke
Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang
dapat dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya
adalah hipertensi, penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes melitus,
22
merokok, konsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang aktivitas, dan stenosis
arteri karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara
lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik (Goetz, 2007 dan
Ropper and Brown, 2005). Diabetes mellitus juga merupakan faktor yang
signifikan dan terjadi pada 10% pasien post stroke. Keadaan ini
dihubungkan dengan terjadinya atherosklerosis intrakranial (Goetz, 2007).
1. Hipertensi
Tekanan darah terdiri dari dua komponen yang disebut dengan tekanan
darah sistolik dan diastolik. Apabila tekanan darah sistolik melebihi
160 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg maka
tekanan darah yang demikian harus diwaspadai. Hipertensi dapat
menyebabkan pecahnya maupun penyempitan pembuluh darah otak,
dan usia 30 tahun merupakan awal kewaspadaan tentang munculnya
hipertensi.
2. Diabetes melitus
Menurut WHO seseorang dikatakan penderita diabetes melitus bila
kadar glukosa darah vena dalam keasaan puasa lebih dari 140
mg/desiliter dan kadar gula darah vena 2 jam setelah diberi minum
75mg glukosa lebih dari 200 mg/desiliter. Diabetes melitus mampu
menebalkan pembuluh darah otak yang berukuran besar, sehingga
akan mengganggu kelancaran aliran darah ke otak yang dapat
mengakibatkan infark sel-sel otak
23
3. Penyakit jantung
Berbagai penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan GPDO.
Penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dengan infark otot
jantung, dan gangguan irama denyut jantung merupakan faktor GPDO
yang potensial. Faktor resiko ini umumnya akan menimbulkan
sumbatan pada aliran darah ke otak karena jantung akan melepaskan
gumpalan darah atau sel-sel yang telah mati ke aliran darah. Peristiwa
ini disebut dengan emboli.
4. Hiperkolesterolemi
Meningginya kadar kolesterol dalam darah, terutama low density
lipoprotein LDL, merupakan faktor resiko terjadinya aterosklerosis,
yaitu penebalan dinding pembuluh darah yang kemudian diikuti
dengan penurunan elastisitas dinding pembuluh darah.
5. Kelainan pembuluh darah otak
Kodisi kelainan pembuluh darah otak ini jarang sekali ditemui,
biasanya akan terdeteksi setelah pasien mengalami infark melalui
pemeriksaan radiologi. Pembuluh darah yang tidak normal tadi suatu
saat dapat pecah atau robek secara spontan, sehingga menimbulkan
pendarahan atau mengganggu kelancaran aliran darah otak yang
mengakibatkan bagian otak tertentu akan mengalami infark.
24
2.2.4 Pemulihan motorik
Stroke adalah penyakit Upper Motor Neuron (UMN) dan
kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik seperti hemiplegia
dan hemiparesis dapat terlihat pada penderita stroke. Pada awalnya,
gambaran yang muncul yakni paralysis dan hilang atau menurunnya reflex
tendon yang akan muncul lagi dalam 48 jam, dan sering disertai dengan
peningkatan reflek-reflek patologis, (Nurhidayat dan Rosijidi, 2008).
Pemulihan pada stroke masih banyak yang belum diketahui
bagaimana kompensasi otak untuk kerusakan tersebut. Beberapa
kerusakan sel otak dapat bersifat sementara, tidak mengakibatkan
kematian sel, hanya berkurangnya fungsi. Pada beberapa kasus otak dapat
mengorganisasi fungsi mereka sendiri, terkadang daerah otak yang lain
mengambil alih fungsi daerah yang rusak akibat stroke. Secara umum
pemulihan stroke dapat digambarkan sebagai berikut, (National Stroke
Assosiation, 2001):
1. 10% penderita stroke mengalami pemulihan hampir sempurna.
2. 25% pulih dengan kelemahan minimum.
3. 40% mengalami pemulihan sedang hingga berat dan membutuhkan
perawatan khusus.
4. 10% membutuhkan perawat pribadi di rumah atau fasilitas perawatan
jangka panjang lainnya.
5. 15% meninggal dunia setelah stroke
25
Perbaikan fungsi motorik pada pasien post stroke berhubungan
dengan beratnya defisit motorik saat serangan stroke akut. Pasien dengan
defisit motorik ringan saat serangan akan lebih banyak kemungkinan
untuk mengalami perbaikan dibanding dengan pasien yang mempunyai
defisit motorik berat, (Mohr and Pessin, 1992).
Pengaruh usia dan jenis kelamin terhadap perbaikan fungsi
neurologis masih belum ada kesamaan pendapat dari beberapa penelitian.
Wade (1998) tidak mendapatkan hubungan bermakna antara usia dan jenis
kelamin terhadap perbaikan fungsi motorik.
Duncan et al. (1992), dalam penelitiannya melaporkan bahwa
perbaikan fungsi motorik dan aktivitas sehari-hari terjadi paling cepat
dalam 30 hari pertama pasca stroke. Sedangkan Wade (1998),
mendapatkan 50% pasien mengalami perbaikan fungsional paling cepat
dalam 2 minggu pertama.
Berdasarkan observasi pola pemulihan pasien post stroke dengan
hemiparesis, didokumentasikan adanya kemajuan pemulihan kontrol
motorik lengan dan tungkai saat di rumah sakit. Pemulihan motorik dapat
timbul secara komplit dan hanya meninggalkan sedikit gejala sisa berupa
peningkatan refleks tendon dalam dan mudah lelah atau dengan berbagai
tingkat kelemahan dan spastisitas (Cailet, 1990).
Brunnstrom membagi pemulihan penderita hemiplegi dalam 6
tahapan, (Reding and Potes, 1988):
26
Tahap 1
: Periode segera setelah fase akut, flacid, penderita tidak
bisa menggerakkan badannya yang lumpuh.
Tahap 2
: Spastisitas dan pola sinergis mulai muncul, penderita
mulai dapat menggerakkan anggota badannya yang lumpuh
secara volunter meskipun baru minimal.
Tahap 3
: Spastisitas semakin nyata. Penderita mulai dapat
mengontrol gerakan sinergis
Tahap 4
: Spastisitas mulai menurun. Penderita dapat menggerakkan
anggota tubuhnya diluar pola sinergis.
Tahap 5
: Spastisitas minimal, penderita dapat melakukan gerakan
kombinasi yang lebih kompleks diluar pola sinergis
Tahap 6
: Penderita sudah dapat melakukan banyak kombinasi
gerakan dengan koordinasi yang cukup baik yang jika
dilihat
sepintas
tampak
normal.
Spastisitas
sudah
menghilang.
Stadium pertama merupakan periode flaccid yang biasanya
berlangsung 7- 10 hari. Pada minggu kedua spastisitas mulai muncul.
Variasi terjadi menurut luas dan lokasi lesi. Reding dan Potes (1988),
menunjukkan bahwa penderita dengan defisit motorik murni (hemiparesis)
lebih dari 90% kemungkinan berjalan tanpa alat bantu dalam 3,5 bulan
setelah stroke. Mayoritas penderita dapat memperoleh kembali ambulasi
dengan bantuan, tetapi waktu mencapai tujuan ini tergantung pada
hubungannya dengan defisit neurologik: 14 minggu untuk kelompok
27
motorik murni, 22 minggu untuk kelompok sensorimotorik,
dan 28
minggu untuk sensorimotor ditambah kelompok hemianopia.
Proses pemulihan setelah stroke dibedakan atas pemulihan
neurologis dan pemulihan fungsional. Pemulihan neurologis terjadi di
awal setelah terjadinya stroke. Mekanisme yang mendasari adalah
pulihnya fungsi sel otak dan terbukanya kembali sirkuit saraf yang
sebelumnya tertutup. Kemampuan fungsional pulih sejalan dengan
pemulihan neurologis yang terjadi (Wirawan, 2009).
Otak memiliki kapasitas untuk sembuh, selama otak tersebut
digunakan, dan otak juga mampu untuk melakukan reorganisasi dan
adaptasi. Pelatihan fungsi terarah dapat meningkatkan kemampuan otak
untuk membaik (Susanti dan Irfan, 2010).
2.2.5 Neuroplastisity
Otak manusia terbukti sangat adaptif dan plastis serta dapat
mengadakan perubahan struktural dan fungsional apabila diberikan
stimulasi lingkungan, stimulasi sensoris diterima oleh individu sebagai
sebuah pengalaman & respon tindakan (sensorimotor). Dan aktivitas di
otak juga meningkat pada saat membayangkan gerakan (mental practice),
tanpa harus melakukan aktivitas (Michael et al., 2004).
Kusumoputro (1995) mengartikan plastisitas sebagai kemampuan
struktur otak dan fungsi terkait untuk tetap berkembang karena adanya
suatu stimulus. Dengan stimulasi lingkungan tersebut terjadi pertumbuhan
jaringan dendrit sel dan terjadilah koneksi antar neuron yang lebih banyak.
28
Neuroplastisitas
adalah
perubahan
aktivasi
otak
yang
merefleksikan kemampuan adaptasi otak (Wilbert, 2008). Setelah lesi
susunan saraf pusat, terjadi proses penyembuhan anatomis melalui
mekanisme Neuroplastisitas yang meliputi (Bruno, 2007):
1. Collateral sprouting and synaptogenesis
Collateral sprouting merupakan suatu keadaan dimana axon saraf
normal di sekitar lesi akan membentuk cabang sinaps dengan serabut
saraf degenerasi yang ada di dekatnya. Collateral sprouting ini hanya
terjadi pada axon yang mempunyai target sel yang sama dengan axon
yang mengalami degenerasi. Fenomena ini juga disebut reactive
synaptogenesis
2. Unmasking of pathway
Unmasking of pathway adalah proses aktivasi jalur laten multisynaptik (yang tidak difungsikan dalam keadaan sebelum lesi) tetapi
bisa diaktifkan ketika jalur yang dominan gagal atau mengalami
kerusakan
3. Neural regeneration
Neural regeneration juga merupakan sprouting dari serabut saraf
yang cedera kemudian membentuk regenerative synaptogenesis
4. Reorganisasi Mekanisme
Reorganisasi mekanisme saraf merupakan penataan kembali
koneksi sinaps, melalui aktivitas spesifik dan terus menerus secara
berulang-ulang.
29
Pada situasi tertentu bagian-bagian otak dapat mengambil alih
fungsi dari bagian-bagian yang rusak. Dengan kata lain bagian-bagian otak
seperti belajar sebuah kemampuan baru. Hal ini mungkin mekanisme yang
paling penting dalam pemulihan stroke (Magoun, 2005).
Kesembuhan
anatomis
tersebut
tidak
spontan
membawa
kesembuhan fungsional, karena untuk aktivitas otak memerlukan
pengalaman dan pemahaman tertentu secara spesifik menurut tempat dan
tugasnya. Oleh karena itu , harus diadakan suatu program relearning
melalui (Hamid dan Satori, 1992):
1. Memberikan stimulus sebanyak mungkin pada sisi yang sakit
2. Mengajarkan kembali pengaturan posisi dan gerak melalui tahapan
yang berorientasi pada pola perkembangan refleks bayi/ anak, dimana
refleks
primitif
ditekan
untuk
digantikan
reaksi
tegak
dan
keseimbangan, inhibisi spastisitas dan postur abnormal, dan latihan
gerak volunter.
2.2.6 Gait pada pasien post stroke
Pasien dengan kondisi stroke akan mengalami banyak gangguangangguan yang bersifat fungsional. Kelemahan ekstremitas sesisi, kontrol
tubuh yang buruk serta ketidakstabilan pola berjalan merupakan aspekaspek pada pasien post stroke yang tak terpisahkan.
Pola jalan penderita stroke antara lain:
1. Fase menapak (stance phase)
a. Terbatasnya fleksi hip dan dorsifleksi ankle
30
b. Terbatasnya kontrol fleksi-ekstensi lutut pada lingkup gerak sendi
0-15o (dapat berubah hiperekstensi lutut atau fleksi lutut yang
berlebih)
c. Terlalu besarnya terbatasnya geseran horizontal pelvis
d. Terbatasnya plantar fleksi ankle saat toe off
e. Terlalu besarnya gerakan pada sisi sehat berupa pelvis tilt ke arah
bawah dan geseran horizontal lateral ke arah sisi sakit.
Gambar 2.1 Fase Menapak pada Pasien post stroke
Sumber: Jones, 1996
2. Fase mengayun (Swing phase)
a. Terbatasnya fleksi lutut saat akan mengayun
b. Terbatasnya fleksi hip
c. Terbatasnya ekstensi lutut dan dorsofleksi ankle saat heel strike
31
Gambar 2.2 Fase Mengayun pada Pasien post stroke
Sumber: Jones, 1996
Menurut Knutson dan richards, ada 3 tipe jalan penderita
hemiplegia, yaitu:
1. Type I
a. Hiperaktif Stretch Refleks
b. Gangguan jalan sedang
c. Hiperekstensi lutut saat menapak
d. Mampu berjalan cukup jauh
2. Type II
a. Sangat minim aktivitas kontrol motorik
b. Hiperekstensi lutut yang ekstrem
c. Terbatasnya fleksi lutut
d. Tidak adanya aktivitas calf muscle dan tibialis anterior
e. Kemampuan jalannya bervariasi
f. Kebanyakan memerlukan splint
32
3. Type III
a. Sangat berlebihan
b. Stereotype
c. Disorganisasi saat fase menapak dan mengayun
2.3 Metode Konvensional
Rehabilitasi pasien post stroke salah satunya dengan terapi latihan.
Pemberian terapi latihan berupa gerakan pasif sangat bermanfaat dalam
menjaga sifat fisiologis dari jaringan otot dan sendi. Jenis latihan ini dapat
diberikan sedini mungkin untuk menghindari adanya komplikasi akibat
kurang gerak.
Pemberian terapi latihan sangat bermanfaat, sehingga sangat
dianjurkan untuk pasien post stroke. Penelitian Kwakkel et. al (2004),
sebuah meta-analisis, memperlihatkan bahwa peningkatan intensitas waktu
latihan, khususnya jika penambahannya minimal sebanyak 16 jam dalam
enam bulan pertama memiliki pengaruh yang kecil tapi bermakna pada
kemampuan fungsional penderita stroke.
Menurut Berman et. al, (2009), ROM aktif-asistif dilakukan
dengan cara klien mengguanakan lengan atau tungkai yang berlawanan
yang lebih kuat, atau dengan bantuan fisioterapist untuk menggerakkan
setiap sendi pada ekstrimitas yang tidak mampu melakukan gerakan aktif.
Penelitian Irdawati, (2008), menunjukkan, dengan memberikan perlakuan
melatih ROM terhadap pasien post stroke selama 12 hari didapatkan hasil
33
bahwa kekuatan otot setelah terapi latihan jauh lebih tinggi daripada
sebelum terapi.
2.3.1 Definisi terapi latihan
Terapi latihan adalah salah satu alat untuk mempercepat pemulihan
pasien dari cedera dan penyakit yang dalam pelaksanaannya menggunakan
gerakan-gerakan aktif maupun pasif (Gardiner, 1964). Hal serupa juga
dikatakan Kwakkel, et. al, (2004) bahwa terapi latihan merupakan kegiatan
fisik yang reguler dan dilakukan dengan tujuan meningkatkan atau
mempertahankan kebugaran fisik atau kesehatan dan termasuk didalamnya
fisioterapi dan okupasional terapi.
Menurut Kisner dan Colby (2007), terapi latihan dapat dibagi
mejadi beberapa kategori yaitu: 1) ROM exercise; 2) Stretching; 3) Joint
mobilization; 4) Resistance exercise; 5) Aerobic exercise; 6) Aquatic
exercise.
2.3.2 ROM exercise
Latihan Range of Motion (ROM) merupakan sebuah teknik dasar
yang digunakan untuk pemeriksaan gerak dan sebagai permulaan program
intervensi terapeutik (Kisner dan Colby, 2007). Range of Motion (ROM)
merupakan tindakan atau latihan otot atau persendian yang diberikan
kepada pasien yang mengalami kterbatasan mobilitas sendi karena
penyakit, disabilitas, atau trauma. Terdapat tiga tipe latihan ROM yaitu
(Kisner dan Colby, 2007):
34
1. Passive ROM (PROM)
Passive ROM (PROM) adalah sebuah gerakan dimana energi yang
digunakan berasal dari luar, sehingga tidak ada kontraksi otot secara
volunter. Sumber energi dapat berasal dari grafitasi, mesin, orang lain,
ataupun bagian tubuh lain dari pasien itu sendiri.
Tujuan dari PROM adalah: 1) Untuk menjaga fisiologis dari sendi
dan jaringan ikat; 2) Mencegah kontraktur karena imobilisasi; 3)
Menjaga elastisitas sendi; 4) Membantu sirkulasi dan vascular
dynamic; 5) Membantu pergerakan cairan sinovial untuk nutrisi
kartilago; 6) Mengurangi nyeri.
2. Aktive ROM (AROM)
Aktive ROM (AROM) adalah gerakan sebuah segmen dimana
tenaganya berasal dari kontraksi otot-otot penggerak segmen tersebut.
Manfaat dari AROM adalah: 1) Menjaga sifat fisiologis, elastisitas,
dan kontraktilitas dari otot; 2) Memberikan sensory feedback dari
kontraksi otot; 3) Memberikan stimulus untuk integritas tulang
danjaringan; 4) Meningkatkan sirkulasi dan mencegah adanya
trombus; 5) Meningkatkan koordinasi dan kemampuan motorik untuk
aktivitas fungsional.
3. Aktive-Assistive ROM (A-AROM)
Aktive-Assistive ROM (A-AROM) merupakan salah satu jenis
AROM dimana otot penggerak mengalami kelemahan sehingga
memerlukan bantuan bantuan untuk dapat melakukan gerakan.
35
Bantuan dapat berasal dari orang lain, mesin, ataupun bagian lain dari
tubuh pasien sendiri.
2.4 Kinesiotaping
2.4.1 Definisi kinesiotaping
Kinesiotaping adalah pita khusus yang tipis, elastic, dan dapat
ditarik hingga 100 persen dari panjang aslinya sehingga cukup dikatakan
elastic
dibanding
dengan
taping
yang
konvensional.
Hal
ini
memungkinkan pergerakan yang maksimal dari otot dan sendi, adanya
tarikan pada kulit oleh pita perekat (taping) bertujuan untuk meningkatkan
ruang antara kulit dan otot, sehingga mengurangi tekanan local dan
membantu meningkatkan sirkulasi dan drainase limfatik, akibat dari proses
tersebut dapat pengurangan nyeri, mengurangi oedema, dan mengurangi
spasme otot (Kase et al., 2003)
Kinesiotaping dikembangkan oleh Dr. Kenzo Kase pada tahun
1970-an. Pada awal penggunaannya Kinesiotaping banyak digunakan
untuk
dunia
olahraga.
Kinesiotaping
dibuat
menyerupai
kulit,
ketebalannya menyerupai epidermis kulit manusia dan dapat diregangkan
hingga 140% dari panjang normal sebelum diaplikasikan ke kulit,
sehingga memberikan ketegangan yang kuat saat diaplikasikan pada kulit
(Prentice , 2011; Thelen et al., 2008).
Kinesiotaping terdiri dari polimer elastic yang dibungkus serat
katun 100%. Serat katun memungkinkan untuk terjadinya penguapan
36
kelembapan tubuh dan cepat kering. Tidak terdapat lateks di dalam
Kinesiotaping, perekat ini 100% acrylic (Kase et al., 2003).
2.4.2 Pengaruh fisiologis kinesiotaping
Kinesiotaping ini merangsang beberapa proses fisiologis tubuh
seperti meningkatkan fungsi otot, menurunkan tonus otot, melancarkan
sistem limfatik, dan mekanisme analgesic endogen serta meningkatkan
mikrosirkulasi. Kinesiotaping memiliki pengaruh recoil yang dapat
mengangkat kulit dan memberikan ruang pemisah antara kulit dan otot,
serta
meningkatkan
respon
propioseptif
melalui
kulit
untuk
menormalisasikan tonus otot, mengurangi nyeri, mengkoreksi posisi
jaringan, dan merangsan mechanoreseptor di kulit (Slupik et al., 2007;
Akbas et al., 2011; Prentice, 2011).
2.4.3 Pengaruh neuromuscular Kinesiotaping
Kinesiotaping melalui reseptor di cutaneus dapat memberikan
rangsangan pada sistem neuromuskuler dalam mengaktivasi kinerja saraf
dan otot saat melakukan suatu gerak fungsional (Yasukawa et al., 2006).
Kinesiotaping
juga
akan
memfasilitasi
mechanoreseptor
untuk
mengarahkan gerakan yang sesuai dan memberikan rasa nyaman pada area
yang dipasangkan (Kase et al., 2003).
37
2.4.4 Aplikasi dan manfaat Kinesiotaping
Metode Kinesiotaping dikembangkan berdasarkan struktur jaringan
otot sebagai penggerak utama tubuh manusia. Pemasangan Kinesiotaping
diawali dengan mengukur lembar Kinesiotaping mulai 2 inci dibawah
origo atau 2 inci diatas insersio otot. Pemasangan diharuskan
menyesuaikan bentuk anatomis tubuh manusia. Dasar pemasangan
Kinesiotaping selalu diawali dan diakhiri dan diakhiri tanpa adanya
tegangan dari Kinesiotaping. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir
rasa kurang nyaman dari aplikasi Kinesiotaping (Kase et al., 2003)
Kinesiotaping memiliki 4 fungsi utama yaitu:
1. Supporting muscle
Kinesiotaping dapat meningkatkan kemampuan otot yang lemah,
mengurangi nyeri dan rasa lelah, dan menjaga otot dari keadaan kram,
ketegangan dan kontraksi yang berlebihan.
2. Melancarkan sistem sirkulasi
Kinesiotaping dapat meningkatkan sirkulasi darah dan sistem limfatik,
juga mengurangi pembengkakan yang terjadi pada jaringan.
3. Mengaktifkan sistem analgesik endogen
Kinesiotaping dapat memfasilitasi tubuh untuk melakukan Self healing
dan memproduksi zat analgesik sehingga dapat mengurangi nyeri.
38
4. Memperbaiki masalah persendian
Tujuan dari Kinesiotaping adalah memperbaiki Range of motion
dan menyesuaikan posisi sendi yang salah yang dihasilkan dari otot
yang tegang.
Aplikasi Kinesiotaping dapat dilakukan dengan beberapa teknik,
dapat dilakukan secara tunggal ataupun kombinasi tergantung kondisi dan
tujuan pemasangan. Teknik-teknik aplikasi Kinesiotaping antara lain:
1. Mechanichal correction
Hal yang harus diperhatikan pada koreksi mekanik ini
adalah posisi jaringan harus dalam keadaan bebas, dan bukan
membuat jaringan atau sendi berada dalam posisi terfiksasi.
Kinesiotaping diaplikasikan untuk memberikan stimulus pada
mechanoreseptor pada jaringan atau sendi. Teknik ini dapat
digunakan untuk membantu posisi dari otot, fascia, atau sendi
untuk menstimulasi mechanoreseptor sehingga akan membantu
tubuh beradaptasi dengan stimulus tersebut
2. Fascia correction
Fascia correction ini diaplikasikan untuk membuat fascia
pada posisi yang benar, dan menjaga fascia untuk tidak kembali ke
posisi yang tidak diinginkan. Teknik ini dimaksudkan untuk
mengurai keterbatasan fascia secara perlahan melalui gerakan kulit
dan kemampuan elastisitas dari Kinesiotaping itu sendiri.
39
3. Space correction
Space corection ini diaplikasikan untuk membuat ruang
lebih langsung di area nyeri, inflamasi, atau oedem. Ruang yang
meningkat akan menurunkan tekanan dengan cara mengkerutkan
kulit pada area cidera. Hasil dari penurunan tekanan akan
menurunkan tingkat iritasi receptor kimia dan akan menurunkan
nyeri.
4. Ligament/ tendon correction
Ligamen/ tendon correction ini diaplikasikan untuk
membuat peningkatan pada daerah ligamen atau tendon yang
dihasilkan dari peningkatan stimulasi mechanoreceptor. Stimulus
ini dipercaya akan dirasakan sebagai propioceptive stimulation
yang akan diinterpretasikan oleh otak sebagai tegangan jaringan
yang normal.
5. Functional correction
Functional
correction
digunakan
ketika
membantu
keterbatasan gerak melalui stimulasi sensoris. Kinesiotaping
diaplikasikan dengan tanpa tarikan selama gerak aktif. Tegangan
yang muncul dipercaya akan memberikan stimulasi pada
mechanoreceptor. Persepsi stimulasi dipercaya diinterpretasikan
sebagai stimulasi propioceptif yang bertindak sebagai penanda
pada posisi akhir gerakan.
40
6. Lymphatic correction
Lymphatic
corection
digunakan
untuk
membantu
mengurangi bengkak dengan cara mengarahkan cairan menuju
nodus lympatik yang lebih longgar.
Hal yang perlu dipahami pada aplikasi Kinesiotaping adalah
derajad dari penguluran pada area target. Ada beberapa pembagian
penguluran sesuai dengan teknik aplikasi yang diberikan:
1. Full
: 100%
2. Berat
: 75%
3. Sedang
: 50%
4. Ringan/ Paper off
: 15-25%
5. Sangat ringan
: 0-15%
6. Tidak diulur
Aplikasi Kinesiotaping cukup tiga hari karena sesuai dengan
penelitian
Slupik
et
al.
(2007)
,
bahwa
berdasarkan
data
electromyography (EMG) pengaruh puncak dari Kinesiotaping setelah
24 jam akan memfasilitasi motor unit untuk dapat melakukan
kontraksi, dan akan menurun setelah 72 jam pemakaian.
Pada penelitian ini penulis menggunakan mechanic correction
dan
fungsional
mechanoreceptor
correction
pada
pasien
untuk
post
meningkatkan
stroke.
stimulasi
Mechanoreseptor
merupakan salah satu informasi yang diperlukan untuk feedback
sebuah gerakan volunter.
41
2.5 Motor Relearning Programme
Motor Relearning Programme (MRP) pertama kali dikembangkan
oleh Janet H. Carr dan Roberta Shepherd pada tahun 1980-an. Metode ini
fokus pada pemahaman gerak normal dan bagaimana gerakan itu dipelajari
dan dipelajari ulang (Carr dan Shepherd, 1983). Carr and shepherd (dalam
Patricia dan barbara, 2003), mengatakan bahwa orang dewasa yang
mengalami gangguan neurologis mungkin tidak tahu bagaimana caranya
bergerak dan mungkin harus belajar kembali tentang gerakan tersebut.
Potensi serta kontribusi fisioterapi dalam proses pemulihan stroke
menjadikan prinsip-prinsip MRP berupa: pelatihan kembali kontrol
motorik berdasarkan pemahaman tentang kinematika dan kinetika gerakan
normal (biomekanik), kontrol dan latihan motorik (motor control and
motor learning), yang melibatkan proses kognitif, ilmu perilaku dan
psikologi, pelatihan, pemahaman, tentang anatomi dan fisiologi saraf, serta
tidak berdasarkan pada teori perkembangan normal (neurodevelopmental)
(Susanti dan Irfan, 2010).
Teknik Motor Relearning Programme dilakukan latihan fungsional
dan identifikasi kunci utama tugas-tugas motorik. Setiap aktivitas motorik
dianalisis dan ditentukan komponen-komponen yang tidak dapat
dilakukan, melatih penderita serta memastikan latihan dilakukan pada
aktivitas sehari-hari pasien. Latihan aktivitas motorik harus dilakukan
dalam bentuk aktivitas fungsional, karena tujuan dari rehabilitasi tidak
hanya
sekedar
mengembalikan
suatu
pergerakan
tetapi
juga
42
mengembalikan fungsi. Delapan puluh persen penderita stroke mempunyai
defisit neuromotor sehingga memberikan gejala kelumpuhan setengah
badan, dengan tingkat kelemahan bervariasi dari yang lemah hingga berat,
kehilangan sensibilitas, kegagalan sistem koordinasi, perubahan pola jalan
dan tergangguanya sistem keseimbangan.
Dalam teknik ini dilakukan latihan fungsional dan identifikasi
kunci utama suatu tugas-tugas motorik, seperti duduk, berdiri atau
berjalan. Setiap tugas motorik dianalisis, ditentukan komponen-komponen
yang tidak dapat dilakukan.
2.5.1 Konsep motor learning
Pembelajaran (learning) merupakan suatu fenomena internal yang
tidak dapat secara langsung diamati. Fenomena ini didefinisikan sebagai
suatu perubahan permanen dalam kemampuan merespon sebagai akibat
latihan atau suatu pengalaman. Duncan dan Badke (1987) mendefinisikan
kemampuan motor learning sebagai kemampuan seseorang untuk belajar
dan mengorganisasikan pergerakan dengan tujuan untuk beradaptasi
dengan lingkungannya.
Terdapat perbedaan antara Motor Performance dengan Motor
Learning. Tse (1999), mendefinisikan Motor Performance sebagai suatu
penampilan keterampilan motorik tertentu yang terjadi selama latihan dan
tidak bersifat permanen, sementara Motor Learning adalah keterampilan
yang dipertahankan bahkan setelah latihan dihentikan. Penelitian yang
dilakukan Winstein (1987), menemukan bahwa kemampuan untuk
43
mempelajari tugas-tugas motorik setelah stroke dapat berubah, tetapi
derajadnya bervariasi tergantung gejala yang diakibatkan oleh stroke.
Penderita stroke dengan apraksia akan mempunyai dampak negatif pada
proses motor learning, tetapi pada penderita stroke dengan hemiparetik
ringan, proses motor learning hanya sedikit terganggu
Asumsi utama tentang kontrol motorik berdasarkan model ini
adalah: peningkatan kemampuan motorik seperti berjalan, meraih dan
berdiri memerlukan proses belajar yang sama dengan orang normal
(pasien memerlukan pelatihan, umpan balik, tujuan); kontrol motorik yang
saling berhubungan dengan antisipasi, persiapan dan gerakan yang
dibentuk; kontrol dari gerakan motorik yang spesifik dapat semakin
meningkat dengan di dukung oleh lingkungan yang bervariasi; dan input
sensoris yang mempengaruhi gerakan (Susanti dan Irfan, 2010).
Patricia dan Barbara, (2003) mengatakan bahwa faktor utama
dalam proses motor learning, seperti yang diidentifikasi oleh Carr dan
Shepherd termasuk:
a. Mengidentifikasi tujuan
b. Inhibisi aktivitas yang tidak perlu
c. Kemampuan
untuk
mengatasi
efek
gravitasi
dan
penyesuaian keseimbangan selama perpindahan berat tubuh
d. Body alignment yang tepat
e. Berlatih (baik secara fisik maupun mental)
f. Motivasi
melakukan
44
g. Feedback
Terdapat tiga tahapan dalam motor learning, antara lain:
1. Cognitive Stage
Pada tahap ini dibutuhkan pemusatan perhatian dalam
memahami tugas-tugas motorik yang akan dilakukan dan strategi
untuk melakukannya.
2. Associative Stage
Tahap ini mulai dikembangkan rujukan interna tentang
pergerakan motorik yang tepat dalam melakukan suatu tugas
motorik.
3. Autonomous Stage
Tahap ini ditandai dengan atensi minimal pada penampilan
motorik.
Kemampuan
untuk
mendeteksi
kesalahan
telah
berkembang penuh dan penampilan motorik bersifat stabil dan
otomatis.
2.5.2 Aplikasi Motor Relearning Programme
Setiap pasien post stroke memerlukan penanganan yang berbeda
sesuai dengan tujuan yang dicapai. Tetapi semua pasien post stroke
memiliki gangguan motorik berupa komponen gerak utama seperti berdiri
dan berjalan.
Motor Relearning Programme memiliki asumsi bahwa otak
memiliki kapasitas untuk sembuh, selama otak tersebut digunakan, dan
otak juga mampu untuk melakukan reorganisasi dan adaptasi. Pelatihan
45
fungsi terarah dapat meningkatkan kemampuan otak untuk membaik
(Susanti dan Irfan, 2010).
MRP terdiri dari tujuh sesi yang mewakili fungsi penting (tugas
motorik) dari kehidupan sehari-hari yang dikelompokkan menjadi:
1. Fungsi Ekstremitas atas
2. Fungsi orofacial
3. Gerakan motorik dari tidur ke duduk di tepi tempat tidur
4. Keseimbangan duduk
5. Posisi duduk ke berdiri
6. Keseimbangan berdiri
7. Berjalan
Setiap sesi terdiri dari berbagai macam pola gerak yang mengacu
kepada empat tahap yaitu:
1. Tahap pertama
a. Analisa gerakan
b. Pengamatan
c. Perbandingan
d. Analisa
2. Tahap kedua
a. Latihan untuk komponen yang hilang
b. Penjelasan identifikasi dari tujuan
c. Instruksi
d. Pelatihan, umpan balik verbal dan visual, dan petunjuk manual
46
3. Tahap ketiga
a. Pelatihan gerakan
b. Penjelasan identifikasi dari tujuan
c. Instruksi
d. Pelatihan, umpan balik verbal dan visual, dan petunjuk manual
e. Re-evaluasi
f. Melatih fleksibilitas
4. Tahap keempat
a. Perpindahan dari latihan
b. Kesempatan untuk berlatih sesuai aktivitas
c. Konsistensi dari latihan
d. Mengorganisasikan untuk memonitor latihannya sendiri
e. Keterlibatan keluarga dan orang terdekat
Setiap sesi terdiri dari berbagai macam pola gerak mengacu pada
empat tahap diatas, dan didasari oleh aktivitas normal termasuk komponen
gerakan yang paling utama. Terdapat tiga hal penting yang perlu
diperhatikan menggunakan metode MRP, yaitu:
1. Kemampuan motorik dilatih secara komponen atau secara keseluruhan.
Pada umumnya, pasien pada tahap awal tidak dapat latihan langsung
secara keseluruhan sehingga perlu dilakukan gerakan yang terpisah.
2. Teknik. Penjelasan, demonstrasi dan arahan manual akan membantu
pasien untuk mengerti tujuan latihan yang akan dijalaninya.
47
3. Metode untuk peningkatan ketika pasien menguasai gerkan-gerakan,
pasien dilatih ketrampilan yang sama, tetapi dengan kondisi
lingkungan yang berbeda, sehingga pasien terbiasa dan beradaptasi
dengan semua kondisi.
2.5.3 Propioseptif Feedback pada MRP
Propioseptif memiliki beberapa peran penting dalam Motor
Relearning Programme antara lain (Eyal, 2010):
1. Feedback untuk penyesuaian dengan segera dan penyempurnaan
gerakan
2. Feedback untuk motor learning
3. Replenishment pre-exiting motor programmes
Motor kontrol bergantung pada propioception untuk penyesuaian
akhir, perbaikan dan sinkronisasi dari gerakan yang kompleks (Bagesteiro
et al., 2006). Hal ini juga akan memberikan informasi jika gerakan
menyimpang jauh dari apa yang dimaksudkan, misalnya berjalan dan
tersandung. Untuk gerakan yang cepat, pengolahan informasi umpan balik
sensoris terlalu lambat untuk memungkinkan koreksi gerakan yang sedang
berlangsung (Eyal, 2010). Penyempurnaan dari program motor learning
yang sudah disimpan juga tergantung dari propioseptif, karena
propioseptif memainkan peranan penting dalam body-image dan sense of
self.
Download