PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ( Studi Kasus Pelaku Poligami di Desa Suruh Kec. Suruh Kab. Semarang 2011) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar (S1) Sarjana Hukum Islam (SH.I) EMMA NAYLY SYIFA 21106017 JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AHWAL AS SYAKHSIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA 2011 ii PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA ( Studi Kasus Pelaku Poligami di Desa Suruh Kec. Suruh Kab. Semarang 2011) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Kewajiban dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar (S1) Sarjana Hukum Islam (SH.I) EMMA NAYLY SYIFA 21106017 JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI AHWAL AS SYAKHSIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA 2011 iii iv v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Emma Naily Syifa NIM : 21106017 Jurusan : Syari’ah Program Studi : al Ahwal Al Syakhsiyyah Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Salatiga, 25 September 2011 Emma Naily Syifa NIM. 21106017 vi MOTTO “ Hidup itu awal dari proses kita menuju sebuah impian, dengan proses yang kita alami dan disertai ikhtiar yang kuat niscaya kita akan mereguk hasilnya” Salatiga, 25 September 2011 Emma Naily Syifa NIM. 21106017 vii PERSEMBAHAN Skripsi ini aku persembahkan untuk..... 1. Bapak, yang telah membiayai seluruh pendidikanku selama ini dan doa dari Ibu, kakak-kakakku yang telah memberikan supportnya selama ini. 2. Keluarga besarku yang telah memberikan doa serta support yang luar biasa. 3. Teman-teman serta sahabat-sahabat yang telah memberikan dorongan agar cepat lulus. 4. Tak lupa untuk untuk teman-teman AHS 06 fiah, kuni,nikmah, fuad,hanic, udin,aziz, titik, dan teman-teman lain yang telah mendukung serta mendoakan terselesaiknnya skripsi ini. 5. Untuk orang-orang yang spesial, yang pernah mengisi hari-hari dan kehidupanku trima kasih atas doa dan dukungan kalian. 6. Buat mas dhani yang selama ini telah memberikan semangat dan dukungan,serta perhatian penuh untukku.. viii KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah Dzat Penguasa alam, atas limpahan rahmat, hidayah, taufiq dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan pada panutan umat Islam Nabi Muhammad SAW, anak kerabat dan para sahabat yang telah menunjukkan jalan yang benar dengan perantara agama Islam. Penukisan skripsi ini dimaksudkan guna memenuhi kewajiban sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Hukum Islam. Tersusunnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak, maka dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. 2. Bapak Drs. Badwan, M.Ag selaku dosen pembimbing yang penuh dengan kesabaran telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. 3. Bapak Illya Muhsin, M.Si selaku Ketua Program Studi Al Ahwal Al Syakhsiyah. ix 4. Para responden yang telah meluangkan waktunya dan memberikan informasi sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini. 5. Kepada bapak,ibu, dan kakak-kakakku, yang telah memberikan segenap perhatian dan mencurahkan kasih sayangnya dalam mendidik dan membesarkan penulis. 6. Kepada teman-teman, sahabat serta kerabat yang telah memberikan perhatian dan dukungan terhadap penulis. 7. Orang-orang spesial yang pernah mengisi hari dan kehidupanku, dan telah memberikan dukungan moril maupun spirituil. Penulis menyadari dan mengakui bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, semua itu dikarenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Sehingga masih banyak kekurangan yang perlu untuk diperbaiki dalam skripsi ini. Akhirnya penulis berharap dan berdo’a semoga skripsi ini memberikan sumbangan positif bagi para pembaca yang budiman. Salatiga, September 2011 Emma Naily Syifa NIM. 21106017 x ABSTRAK Syifa Naily Emma. 2011. Perkawinan Poligami Menurut Hukum Islam Dan perundang-Undangan di Indonesia ( studi kasus perilaku poligami Di desa suruh Kab. Semarang 2011). Skripsi, jurusan syariah. Program Al Ahwal Al syakhsiyah. Sekolah tinggi Agama Islam Negeri Salatiga.Pembimbing: Drs. Badwan M.Ag Kata kunci : Perkawinan, Perundang-undangan di Indonesia, Hukum Islam. Penelitian ini merupakan tolak ukur dari penerapan perundang-undangan di Indonesia No. 1 tahun 1974 dalam mengatur hal-hal yang menyangkut tentang perkawinan,yang khususnya membahas perkawinan poligami. Pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Poligami? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif analisis yang bersifat natural setting dengan rancangan studi yang sumber datanya berasal dari manusia (human instrument). Metode pengumpulan data yang dipakai oleh peneliti adalah metode interview, metode observasi,metode dokumentasi. Sedangkan teknik analisis data peneliti menggunakan metode analisis data deduksi. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa perkawinan poligami diperbolehkan dalam Hukum Islam jika memang terdapat alasan yang jelas sesuai dengan perundang-undangan di Indonesia yaitu UU perkawinan No 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Sedangkan jawaban dari pertanyaan diatas yang sesuai dengan hasil penelitian di lapangan adalah sebagai berikut : (1) perkawinan adalah suatu hakikat manusia yang diberikan fitrah untuk berpasangan, melanjutkan keturunan dan membentuk jiwa yang sakinah. Pada dasarnya perkawinan hanya berasaskan monogami, tetapi dalam Hukum Islam seorang suami diperbolehkan memiliki lebih dari satu istri. Dalam penelitian yang ada dilapangan suami berpoligami karena memang ada halangan yang dihadapi dalam kehidupan rumah tangganya. xi DAFTAR ISI SAMPUL .............................................................................................................. i LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii JUDUL .................................................................................................................. iii PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iv PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ vi MOTTO ................................................................................................................ vii PERSEMBAHAN ................................................................................................. viii KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix ABSTRAK ............................................................................................................ x DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1 A. Latar belakang masalah .................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................................................ 5 C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 5 D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 6 E. Penegasan Istilah .............................................................................. 7 F. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 8 G. Metode Penelitian ............................................................................. 11 1. Pendekatan dan jenis penelitian ................................................. 11 2. Kehadiran peneliti ...................................................................... 12 xii 3. Lokasi penelitian ........................................................................ 12 4. Sumber data ................................................................................ 12 5. Prosedur pengumpulan data ....................................................... 14 6. Analisis data ............................................................................... 15 7. Pengecekan keabsahan data ....................................................... 15 8. Tahap-tahap penelitian ............................................................... 16 H. Sistematika penulisan skripsi ........................................................... 17 BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 19 A. Poligami Menurut Hukum Islam ...................................................... 19 1. Sejarah ........................................................................................ 20 2. Syarat Poligami .......................................................................... 21 3. Hukum Poligami dalam Islam .................................................... 22 4. Akibat Hukum dari Poligami ..................................................... 24 5. Hikmah Poligami ....................................................................... 26 B. Poligami Menurut Perundang-Undangan di Indonesia .................... 29 1. Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 ......................... 29 2. Kompilasi Hukum Islam ............................................................ 31 BAB III PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI DIDESA SURUH KAB. SEMARANG .......................................................................................... 32 A. Profil Desa Suruh Kec. Suruh Kab. Semarang 1. Letak geografis Desa Suruh ...................................................... 32 2. Administrasi Kependudukan Desa Suruh. ................................. 32 3. Sosial dan Keagamaan ............................................................... 32 xiii B. PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI ........................................ 33 1. Faktor pendorong Suami melakukan Poligami .......................... 33 2. Alasan Istri memperbolehkan Suaminya berpoligami ............... 41 C. KEHIDUPAN RUMAH TANGGA PASANGAN POLIGAMI ...... 43 D. PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI ........................................................... 48 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI DI DESA SURUH KAB. SEMARANG ................................................................. 51 A. Analisis Terhadap Faktor Pendorong Suami Melakukan Poligami . 51 B. Analisis Terhadap Istri Tentang Poligami Yang Dilakukan Oleh Suaminya .......................................................................................... 52 C. Analisis Terhadap pandangan Masyarakat Tentang Adanya Poligami ............................................................................................ 54 D. Analisis Terhadap Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 .......................................................................................... 57 E. Manfaat dan madharat Poligami ....................................................... 60 BAB V PENUTUP ................................................................................................. 65 A. Kesimpulan ....................................................................................... 65 B. Saran .................................................................................................. 65 C. Kata Penutup .................................................................................... 66 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ LAMPIRAN ......................................................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Islam adalah agama yang membawa misi rahmat lil „alamin (rahmat bagi alam semesta), dan sangat memperhatikan arti penting perkawinan sebagai satu-satunya cara yang sah untuk berketurunan. Tidak kurang dari 80 ayat di dalam al-Qur’an yang berbicara tentang perkawinan, baik yang memakai kata nikah (berhimpun), maupun menggunakan kata zawwaja (berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntunan kepada manusia bagaimana seharusnya menjalani perkawinan itu dapat menjadi jembatan yang mengantarkan manusia, laki-laki dan perempuan, menuju kehidupan sakinah (damai, tenang, dan bahagia) yang diridhai Allah. Pada dasarnya prinsip perkawinan adalah monogami, namun dalam prakteknya, pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Status hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Sunnah Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami atau poligami bukanlah sesuatu yang didasarkan pilihan bebas, melainkan harus selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syari’ah, yaitu terwujudnya keadilan yang membawa kemashlahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan. Perkembangan poligami dalam sejarah manusia mengikuti pola pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat 1 memandang kedudukan dan derajat perempuan berada di bawah laki-laki maka poligami menjadi subur, sebaliknya pada masa masyarakat yang memandang kedudukan dan derajat perempuan itu terhormat dan setara dengan laki-laki, poligami pun berkurang. Jadi, perkembangan poligami mengalami pasang surut mengikuti tinggi-rendahnya kedudukan dan derajat perempuan di mata masyarakat. Sebenarnya poligami dilakukan oleh berbagai kalangan didasarkan pada pertimbangan moral untuk menghindari perbuatan asusila, pelecehan seksual, perdagangan perempuan (trafficking), serta tindakantindakan moral lainnya. Akan tetapi pada zaman sekarang ini tidak menutup kemungkinan poligami dilakukan karena hanya untuk pemuasan hasrat biologis saja, tanpa mempertimbangkan hak-hak perempuan. Poligami berakar pada mentalitas dominasi (merasa berkuasa) dan sifat despostis (semenamena) kaum pria, dan sebagian lagi berasal dari perbedaan kecenderungan alami antara perempuan dan laki-laki dalam hal fungsi-fungsi reproduksi. Dalam UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menganut kebolehan poligami bagi suami, walaupun terbatas hanya empat orang istri. Ketentuan itu termaktub dalam pasal 3 dan 4 UndangUndang Perkawinan dan Bab XI pasal 55 s/d 59 KHI. Dalam KHI antara lain disebutkan bahwa syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya (pasal 55 ayat 2). Selain syarat utama tersebut, ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu adanya persetujuan istri dan adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin kehidupan istri-istri dan 2 anak-anak mereka. Perkawinan poligami adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh seseorang (suami) karena adanya sebab/alasan tertentu yang menyebabkan perkawinan itu terjadi (Zuhdi, 1993: 30). Di dalam KHI pasal 57 dijelaskan bahwa alasan-alasan bagi suami berpoligami adalah : 1. istri tidak dapat melayani suami seperti pada umumnya. 2. istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung sembuh. 3. istri tidak dapat melahirkan keturunan. Ketiga alasan yang tertuang di atas tidak sesuai tuntutan Allah swt seperti yang tertuang dalam Q.s. An–Nisa’ ayat 16 yang artinya: "Dan pergaulilah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian, bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” Dengan merujuk ayat di atas tampak dengan jelas bahwa semua alasan yang dikemukakan dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah untuk membolehkan suami berpoligami hanya dilihat dari kepentingan suami sama sekali tidak mempertimbangkan perspektif kepentingan istri. Lagi pula, jika dihayati dengan hati yang jernih, mau tidak mau harus diakui bahwa kondisi istri yang mandul atau berpenyakit bukanlah kondisi yang disengaja. Kondisi itu lebih merupakan takdir dari Tuhan, karena tidak ada istri yang menginginkan dirinya mandul atau berpenyakit. Semua perempuan tentu menginginkan dirinya sehat, hanya saja tidak semua keinginan manusia dapat terwujud sesuai harapan. Akan tetapi pada prakteknya, pelaku poligami tidak 3 berdasar pada hal tersebut bahkan justru pelaku menyimpangkan hal-hal tersebut. Secara jasmani dan rohani sang istri masih dapat melakukan seluruh kewajibannya, baik mengurus suami maupun mendidik anak-anaknya. Sekiranya apa yang digambarkan di atas itu benar-benar terjadi, disinilah muncul suatu konflik antara teori dan praktek, artinya syarat-syarat yang telah disebutkan diatas tadi sama sekali tidak dijadikan acuan orang dalam melakukan poligami. Perkawinan poligami tidak dilakukan berdasar pada alasan-alasan yang ditentukan oleh perundang-undangan, melainkan karena alasan-alasan lain termasuk untuk pemenuhan kebutuhan biologis saja. Seseorang bisa saja membuat alasan dengan menganggap pasangannya tidak mampu memberikan kepuasan batin. Faktor inilah yang patut diduga sering melatar belakangi perkawinan poligami sebagaimana yang terjadi di Desa Suruh. Ada empat kasus praktek perkawinan poligami yang akan dikaji oleh penulis. Poligami yang marak terjadi di kalangan masyarakat kita, tidak semua orang mengetahui dengan jelas bagaimana sebenarnya perkawinan poligami itu terjadi dan sah secara hukum (baik perundang-undangan yang dibuat oleh negara maupun menurut hukum syari’at Islam). Sebenarnya perkawinan poligami tidak hanya menimbulkan rasa kekecewaan terhadap istri, tetapi juga menimbulkan rasa ketidakadilan terhadap kaum perempuan pada umumnya. Istri yang dipoligami selalu merasa tersisihkan karena suami cenderung lebih memperhatikan istri yang baru (isteri mudanya) ketimbang istri pertama. Agaknya keharusan berlaku adil kepada kedua istrinya sulit diwujudkan, 4 sehingga bukanlah surga yang diperoleh tetapi akan menambah dosa disebabkan berkembangnya rasa saling curiga antara isteri pertama dengan isteri kedua. Dengan demikian tujuan utama membangun rumahtangga jauh dari harapan, bahkan yang dirasakan adalah timbulnya kemudharatan. B. Rumusan masalah 1. Bagaimana praktik poligami terjadi di Desa Suruh? 2. Mengapa terjadi praktik perkawinan poligami di Desa Suruh? 3. Apakah pelaku perkawinan poligami menegakkan perlakuan yang adil terhadap istri-istrinya? 4. Bagaimana respon mayarakat terhadap praktik poligami di Desa Suruh? 5. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundang-undangan di Indonesia terhadap praktik poligami di Desa Suruh kab. Semarang. C. Tujuan penelitian Adapun yang menjadi tujuan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana perkawinan poligami di Desa Suruh. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perkawinan poligami. 3. Untuk mengetahui konsep adil yang diterapkan oleh suami terhadap istriistrinya yang sesuai dengan Hukum Islam dan Perundang-undangan. 4. Untuk mengetahui tanggapan masyarakat tentang praktek perkawinan poligami yang terjadi di Desa Suruh. 5 5. Untuk mengetahui bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Perundangundangan dalam menanggapi praktik perkawinan poligami di Desa Suruh. D. Manfaat penelitian Adapun manfaat yang hendak dicapai dari penelitian skripsi ini adalah : 1. Teoritis a. Untuk menambah khasanah pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum tentang poligami. b. Untuk mengetahui bagaimana ketetapan Hukum Islam dan Perundangundangan tentang poligami. c. Untuk mengetahui tentang praktik poligami yang ada di lapangan. 2. Praktis a. Progdi AS Memberikan informasi tentang praktik poligami yang sesuai dengan Hukum Islam dan perundang-undangan di Indonesia. b. KUA Memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan permasalahan poligami. c. Masyarakat Memberikan sumbangan pengetahuan tentang praktik poligami sesuai dengan fakta yang ada. 6 E. Penegasan istilah Untuk menghindari adanya kesalahan penafsiran pada judul yang penulis ajukan, maka perlu kiranya penulis jelaskan pengertian serta maksud dari judul sebagai berikut : 1. Poligami Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan (Mulia, 2000 : 2). Ringkasnya, poligami adalah perkawinan antara satu pria dengan lebih dari satu perempuan sebagai isteri-isterinya. 2. Hukum Islam Hukum Islam adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan Wahyu Allah subhanahu wa ta‟ala dan Sunnah Rasul Muhammad shallallah „alaihi wa sallam tentang tingkah laku mukallaf yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam. (Ali, 2000 : 112) 3. Perundang-undangan Perkawinan NO. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Perundang-undangan dalam arti formil, yaitu keputusan (beslising) tertulis yang diadakan badan-badan negara. Dalam arti materiil, yaitu peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa atau negara (Purnadi, 1989 : 3) . 7 4. Perilaku Poligami Kata “perilaku” adalah tindakan atau perilaku suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Sedang yang dimaksud dengan “perilaku poligami” adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh individu yang berada dalam ikatan perkawinan dikarenakan adanya sebab tertentu (Hamdani, 2001 :38). Karya ini dibuat oleh penulis bertujuan menganalisa tentang bagaimana pelaku perkawinan poligami dapat menegakkan sistem keadilan seperti yang diajarkan oleh syari’at Islam. Benarkah dalam praktek poligami orang telah mampu menegakkan keadilan dengan menunjang apa-apa yang dibutuhkan oleh istri dan anak-anaknya. Sebagaimana kita tahu bahwa peran pelaku poligami dituntut lebih dari yang bukan poligami karena tanggung jawab yang lebih besar terhadap keluarga. F. Tinjauan Pustaka Banyak karya ilmiah atau penulisan yang membahas tentang kasuskasus poligami, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk terus dikaji dan ditelusuri lebih dalam lagi. Banyaknya kasus yang berhubungan dengan perkawinan poligami mendorong penulis mencoba mengungkap fenomena tersebut dengan mengamati dalam praktek kehidupan pasangan poligami. Dengan demikian diharapkan penelitian ini tidak sama dengan yang sudah ada. Pada umumnya kajian kasus poligami - sejauh pengkajian penulis hanya terbatas pada teori saja, seperti pada penulisan skripsi yang ditulis oleh 8 Sudibyo (2001:25) yang berjudul "Konsep Keadilan Dalam Berpoligami menurut Hukum Islam". Sudibyo menjelaskan bahwa konsep adil dalam perkawinan poligami harus sesuai dengan apa yang ada di dalam aturan Islam serta penerapan konsep keadilan yang benar menurut Al-Qur’an dan hukum Tuhan. Menurutnya, adil di sini tidak hanya adil dalam pemberian nafkah saja tetapi juga adil terhadap pembagian terhadap cinta dan kasih sayang kepada istri-istrinya seperti pembagian jatah malam, nafkah lahiriah maupun batiniah. Bukan hanya itu, adil terhadap pemberian kasih sayang kepada anak-anaknya pun harus diperhatikan yaitu dengan memberikan hak-haknya secara penuh dan tidak berbuat aniaya kepada mereka. Begitu juga karya dari Siti Mulyani (1997:18) yang mengangkat tema "Poligami Dalam Perspektif Keadilan Gender" , dalam karyanya dijabarkan bahwa poligami yang dilakukan oleh suami terhadap istri adalah merupakan suatu perbuatan yang sangat merendahkan kaum perempuan karena terdapat unsur diskriminasi sosial maupun kejiwaan. Tidak hanya itu, jika dilihat dari sisi suami itu sendiri maka tampak sangat jelas unsur yang terkandung di dalamnya lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang dari sisi kaum perempuan yang jelas-jelas lebih merasakan dampak dari poligami itu sendiri. Jelas di sini bahwa, kaum perempuan merasa seperti tersisihkan karena adanya sebab yang menjadi alasan-alasan bagi suami untuk berpoligami seperti yang telah disebutkan di atas. Berbeda dengan karya-karya di atas, M. Sholihan (1999:30) "Poligami Dalam Perspektif Fazlur Rahman" menjelaskan bahwa Fazlur Rahman 9 memaparkan pendapat bahwa adanya kontradiksi di antara izin untuk beristri sampai empat orang dan keharusan untuk berlaku adil kepada mereka dengan pernyataan tegas bahwa keadilan terhadap istri-istri tersebut adalah mustahil. Menurut penafsiran yang tradisional izin untuk berpoligami itu mempunyai kekuatan hukum, sedang keharusan untuk berbuat adil kepada mereka walaupun sangat penting, terserah kepada kebaikan si suami (walaupun Hukum Islam yang tradisional memberikan hak kepada kaum wanita untuk meminta pertolongan atau perceraian apabila mereka dianiaya atau dikejami oleh suami mereka). Dari sudut pandang agama yang normatif keadilan terhadap istri yang memiliki posisi lemah ini tergantung kepada kebaikan suami, walaupun pasti akan dilanggar. Sebaliknya modernis-modernis muslim cenderung untuk mengutamakan keharusan untuk berbuat adil tersebut, bahwa perlakuan adil tersebut adalah mustahil, mereka mengatakan bahwa izin untuk berpoligami itu hanya untuk sementara waktu dan tujuan tertentu saja. Beliau memang membenarkan pendapat di atas bahwa izin berpoligami merupakan hukum, sedang sanksinya adalah untuk mencapai ideal moral yang harus diperjuangkan masyarakat karena poligami itu tidak dapat dihilangkan begitu saja. Dari karya-karya di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa orang yang melakukan poligami tidak mudah, di dalamnya terdapat ketentuanketentuan yang harus dijalankan. Serta banyak kontradiksi yang terjadi tentang hal tersebut, dan hal inilah yang ingin penulis bahas lebih lanjut karena perkawinan poligami masih belum ada pemecahan yang ada 10 khususnya praktek di lapangan. Hal inilah yang membuat peneliti mencoba menggali kembali tentang poligami, meskipun telah banyak pula para peneliti yang mengangkat tema di atas. Sedikit berbeda dengan karya-karya ilmiah lainnya disini penulis mengemukakan penelitian secara lapangan, yang lebih terperinci secara utuh berdasarkan fakta yang ada. G. Metode Penelitian Metode dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu, sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan menggunakan metode-metode tertentu (Hadi, 1997 : 30 ). Adapun metode yang digunakan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan yuridis empiris, yaitu sebagai usaha mendekati masalah yang diteliti sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pendekatan yuridis ini dimaksudkan untuk memperoleh fakta hukum yang mengatur tentang perkawinan poligami menurut Hukum Islam, sedangkan pendekatan empiris dalam penelitian ini dimaksudkan memperoleh fakta atau kenyataan yang sebenarnya mengenai bagaimana pelaksanaan perkawinan poligami. 11 Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian yang mencoba mengungkapkan gejala secara menyeluruh dan sesuai dengan konteks (holistik-kontekstual) melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. b. Kehadiran Peneliti Dalam penulisan skripsi ini peneliti menggunakan metode dua arah di mana ada interaksi antara peneliti dengan subyek penelitian. Dalam hal ini peneliti menggunakan pendekatan psikologis untuk memperoleh data yang relevan sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu dengan mencari informan guna melengkapi data. Kehadiran peneliti disini mencoba menggali lebih jauh tentang poligami dan melibatkan secara langsung subyek peneliti, dengan kata lain penelitian ini telah diketahui oleh subyek penelitian. c. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini penulis memilih lokasi di Desa Suruh Kabupaten Semarang karena merupakan salah satu terjadinya perkawinan poligami dan peneliti menemukan adanya 3 kasus praktik perkawinan tersebut. d. Sumber data a. Data primer Data ini merupakan sejumlah keterangan-keterangan dan fakta langsung yang diperoleh dari lapangan melalui wawancara dengan pihak-pihak yang dipandang mengetahui obyek yang diteliti. Yaitu dengan mencari informan yang terpercaya dan mengetahui kondisi dari 12 informan seperti keluarga, tetangga, orang-orang terdekat, maupun langsung kepada subyek penelitian. 1.1.1 No. Subyek Penelitian (pelaku Poligami) Pelaku Pekerjaan Istri 1 2 1 Hadi Suryo Wiraswasta Kenanga Emi 2 Mus’ab Wiraswasta Lis Hanna 3 Andri Wiraswata Lusi Khadijah b. Data sekunder Data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka berupa, buku, literatur, dokumen-dokumen resmi, Al-Qur’an dan Al-Hadits yang berhubungan dengan obyek masalah. 1.2 Informan lain No. Nama Pekerjaan Hubungan 1. Aminah Wiraswasta Ibu kandung 2. Sulistiyowati Ibu rumah tangga Tetangga 3. Nur jawad Wiraswasta Tetangga 4 Yahya Wiraswasta Tetangga 5 Nur zainal Pegawai Saudara kandung 6 Mila Ibu rumah tangga Tetangga 13 e. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan adalah : a. Kajian pustaka dan dokumentasi, yaitu mengumpulkan karya-karya yang diperkirakan dapat mendukung penelitian ini, yaitu karya-karya yang memberikan informasi tentang perkawinan poligami secara umum. b. Wawancara, yaitu pengumpulan data dimana penulis mengadakan tanya jawab secara langsung dengan sumber data terkait. Wawancara akan dilakukan terhadap pelaku maupun orang terdekat seperti, keluarga, tetangga, maupun pihak-pihak yang mengetahui praktik perkawinan poligami di Desa Suruh. c. Observasi, yaitu peneliti mengamati apakah benar ekspresi yang diperlihatkan subyek penelitian sesuai dengan respon verbal yang diberikannya (Mulyana, 2006:30). Lebih lanjut menurut Patton (Poerwandari,1998:23) hasil observasi menjadi data yang penting karena : a. Peneliti akan mendapatkan pemahaman lebih baik tentang konteks hal yang diteliti atau terjadi. b. Observasi berorientasi memungkinkan pada peneliti penemuan untuk daripada bersikap terbuka, pembuktian, dan mempertahankan pilihan untuk mendekati masalah secara induktif. 14 Dengan berada dalam situasi lapangan yang nyata, kecenderungan untuk dipengaruhi berbagai konseptualisasi tentang topik yang diamati akan berkurang. c. Observasi memungkinkan peneliti memperoleh data tentang hal-hal yang menyangkut penelitian, dan karena berbagai sebab tidak diungkap oleh informan secara terbuka dalam wawancara, seperti kegiatan informan sehari-hari, hubungan informan dengan pasangannya, keadaan rumah, dan lingkungan tempat tinggal dan lain sebagainya. f. Teknik Analisa Data Dalam penulisan ini, setelah data yang diperoleh, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode yaitu : a. Metode induksi, yaitu cara berfikir dari pernyataan yang bersifat khusus untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. b. Metode deduksi, yaitu cara berpikir dari pernyataan yang bersifat umum untuk ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus. g. Pengecekan Keabsahan Data Dalam suatu penelitian, validitas data mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan hasil akhir suatu penelitian sehingga untuk mendapatkan data yang valid diperlukan suatu teknis untuk memeriksa keabsahan suatu data. Keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber, menurut Patton (2002:180) berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu 15 informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Moleong, 2002:178). Untuk menggunakan teknik triangulasi dengan sumber dapat ditempuh dengan cara, membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi, membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Moleong, 2002 : 178). h. Tahap-Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan berbagai tahap, pertama pra lapangan, peneliti menentukan topik penelitian, mencari informasi tentang adanya praktik perkawinan poligami. Tahap selanjutnya peneliti terjun langsung ke lapangan untuk mencari informan atau pelaku dan melakukan observasi, dokumentasi dan wawancara terhadap informan yaitu pelaku perkawinan poligami, keluarganya, tokoh agama atau masyarakat dan tetangga pelaku perkawinan poligami. Tahap terakhir yaitu penyusunan laporan atau penelitian dengan cara menganalisis data atau temuan kemudian memaparkannya dengan narasi deskriptif. H. SISTEMATIKA PENULISAN 16 Untuk memudahkan dalam pembahasan dan pemahaman yang lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian ini, maka disusunlah sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut: Bab I Pendahuluan; Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian, dan Sistematika Penulisan. Bab II Poligami; bab ini berisi Poligami Menurut Hukum Islam, Sejarah Poligami, Syarat Poligami, Hukum Poligami Dalam Islam, Akibat Hukum Dari Poligami, Hikmah Poligami, Poligami Menurut Perundang-Undangan di Indonesia. Bab III Praktik Perkawinan Poligami Di Desa Suruh Kab. Semarang; bab ini berisi tentang Gambaran Umum Desa Suruh, Jaminan Terhadap Identitas Diri dan Status Kewarganegaraan, Jaminan Terhadap Pendidikan dan Pengajaran Serta Jaminan Terhadap Pelayanan Kesehatan Dan Jaminan Sosial. Bab IV Tinjauan Hukum Islam dan Perundang-Undangan Terhadap Praktik Perkawinan Poligami Di Desa Kab. Semarang. Bab ini berisi tentang Analisis Terhadap Faktor Suami melakukan Poligami dan Analisis Terhadap pendapat istri Tentang Poligami yang dilakukan oleh Suaminya . Bab V Penutup; Berisi kesimpulan dan saran. 17 BAB II POLIGAMI A. Poligami Menurut Hukum Islam Secara etimologis atau lughowi bahwa kata Poligami bersal dari bahasa Yunani gabungan dari dua kata poli dan polus yang berarti banyak, serta gamien dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikan poligami berarti perkawinan yang banyak. Secara terminologi atau istilah poligami adalah salah satu perkawinan yang pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu yang bersamaan. Dalam Hukum Islam poligami berarti suatu perkawinan yang dilakukan oleh salah satu pihak (suami) mengawini beberapa (lebih dari satu) istri dalam waktu yang bersamaan. Laki-laki yang melakukan bentuk perkawinan seperti itu dikatakan bersifat poligam yaitu perkawinan yang dilakukan karena adanya sebab-sebab tertentu yang mengakibatkan seseorang melakukan hal tersebut. Selain poligami dikenal juga poliandri, sebaliknya justru istri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang bersamaan. Akan tetapi, dibandingkan dengan poligami, bentuk poliandri tidak banyak dipraktekkan. (Mulia, 2000:2) 18 Islam memperbolehkan seseorang untuk berpoligami, tetapi hanya terbatas pada jumlah bilangan istri yaitu hanya dengan 4 orang istri dan tidak dianjurkan atau tidak diperbolehkan untuk menambah lebih dari jumlah bilangan tersebut. Syarat utama bagi pelaku poligami adalah mampu bersikap adil dalam memenuhi semua kebutuhan istri-istri dan anakanaknya. Maka apabila tidak mampu dalam pemenuhan kebutuhan hidup maupun kesejahteraan keluarga tidak diperbolehkan melakukan poligami. Tidak terjaminnya kesejahteraan hidup keluarga yang dibinanya akan berdampak buruk terhadap kelangsungan rumah tangganya. Undang-Undang Perkawinan juga menegaskan bahwa jika seorang suami ingin melakukan poligami maka harus dengan ijin dari istri, baik secara lisan maupun tertulis. 1. Sejarah poligami Poligami sudah berlangsung sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang-orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, dan Inggris semuanya adalah bangsa-bangsa yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islam yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina, dan Jepang. (Ali:2001) 19 Agama Nasrani pada mulanya tidak mengharamkan poligami, karena tidak ada satu ayatpun dalam Injil yang secara tegas melarang poligami. Apabila orang-orang Kristen di eropa melaksanakan monogami tidak lain hanyalah karena kebanyakan seperti orang Yunani dan Romawi sudah lebih dulu melarang poligami, kemudian setelah mereka memeluk agama Kristen mereka tetap mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka yang melarang poligami. Dengan demikian, peraturan tentang monogami atau kawin dengan seorang istri bukanlah peraturan dari agama Kristen yang masuk ke negeri mereka, tetapi monogami adalah peraturan lama yang sudah berlaku sejak mereka menganut agama berhala. Gereja hanya meneruskan larangan poligami dan menganggapnya sebagai peraturan dari agama, padahal lembaranlembaran dari Kitab Injil sendiri tidak menyebutkan adanya larangan poligami (Hamdani, 39 : 2001). 2. Syarat Poligami Dalam berpoligami tercatat beberapa alasan-alasan yang dianggap kondusif, seperti yang tercantum pada UU No. 1 1974 pasal 40 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 57 yaitu : 1) Istri tidak dapat melayani suami seperti pada umumnya. 2) Istri mengalami cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung sembuh. 3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 20 Selain alasan-alasan di atas, dijelaskan pula bahwa pelaku poligami harus mendapat persetujuan dari istri terlebih dahulu baik secara lisan maupun tertulis, dan persetujuan tersebut harus disebutkan di depan Sidang Pengadilan. Pada saat proses pengijinan berpoligami di sini (suami) harus bisa menunjukkan bukti-bukti kepada Pengadilan Agama bahwa suami tersebut sanggup menghidupi keluarga dan anakanaknya, baik dari istri pertama maupun kedua serta berlaku adil sesuai dengan syariat agama yang telah ditetapkan. Bukti-bukti tersebut antara lain dengan melampirkan surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda tangani oleh bendahara tempat bekerja atau dengan menunjukkan surat keterangan pajak penghasilan atau dengan surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan. Permohonan ijin poligami dapat dikabulkan oleh pihak Pengadilan Agama menurut pertimbangan majlis hakim yaitu dengan melihat persetujuan dari istri pertama tentang kesediaannya di poligami atau tidak dan ada beberapa pengajuan persyaratan yang terdapat di dalam UU No. 1 1974. Apabila ada salah satu persyaratan yang diajukan oleh pemohon itu kurang, maka Pengadilan Agama berhak memutuskan menolak berpoligami. 3. Hukum Poligami Dalam Islam Perkawinan merupakan bagian dari sunnah Rasul, dan termasuk salah satu bentuk ibadah dalam Islam. Islam menganjurkan bagi umatnya untuk melaksanakan perkawinan yang pada asasnya menganut 21 asas monogami. Dalam situasi dan kondisi tertentu laki-laki muslim di perbolehkan kawin paling banyak dengan empat orang perempuan dalam satu waktu apabila ia sanggup memelihara dan berlaku adil terhadap istri-istri mereka dalam soal nafkah, tempat tinggal, dan pembagian waktu. Apabila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka dilarang kawin dengan perempuan lebih dari satu, sama seperti dilarang kawin dengan perempuan lebih dari empat. Allah berfirman: Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:dua,tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S An Nisa: 3) Maksud adil disini adalah sekedar yang dapat dilakukan seseorang untuk berlaku adil, misalnya dalam soal membagi waktu, nafkah, pakaian, dan tempat tinggal. Adapun yang tidak dapat dilakukan oleh manusia, seperti melebihkan cintanya kepada salah 22 seorang istri mereka, maka tidak termasuk dosa. Rasulullah s.a.w sendiri pernah bersabda: Artinya : Ya Allah, inilah bagian yang yang aku punya, tapi janganlah Engkau cela atas sesuatu yang Engkau miliki tapi aku tidak memilikinya. (H.R. Abu Daud, Turmudzi, dan Nasa‟i) 4. Akibat Hukum Dari Poligami Dalam Islam memang diperbolehkan melakukan poligami, namun harus ada alasan-alasan yang tepat seperti yang diatur dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dari beberapa pernyataan diatas, perkawinan poligami merupakan suatu sunnah yang boleh dilakukan apabila seseorang yang melakukan poligami mampu baik secara materi maupun rohani. Dari sini tuntutan adil memang sangat diutamakan, karena Islam menganjurkan sikap adil terhadap penghidupan keluarga. Hal ini memang sangat berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga yang dibangun, begitu juga dalam perkembangan pertumbuhan anak. Jika suami sendiri tidak mampu berlaku adil terhadap istriistrinya, maka tidak menutup kemungkinan juga bagi anak-anaknya 23 tidak diperlakukan adil oleh orang tuanya. Hal ini juga menyangkut tentang keadaan sosial disekitarnya, seperti pandangan dari tetangga yang melihat perkawinan poligami tersebut. Mungkin bagi sebagian orang poligami adalah hal yang dianggap aneh, karena bukan hal yang umum dikalangan masyarakat. Pada umumnya perkawinan hanya memiliki satu orang istri saja, tetapi lain hal dengan penelitian ini, dalam penelitian ini dapat diambil kesimpulan bahwa informan-informan yang ada melakukan poligami lebih mengacu pada syari’at Islam. Ditinjau dari alasan-alasan mereka sebenarnya lebih kepada kebaikan ummat saja, yang dimaksud disini adalah perlindungan terhadap kaum perempuan yang belum mampu berjalan sebagaimana mestinya. Menurut cara pandang bahwa wanita jumlahnya cenderung lebih banyak ketimbang laki-laki, sehingga dikhawatirkan akan banyak terjadi tindakan-tindakan yang mengancam keselamatan perempuan, dari itu poligami dapat dipandang akan menyelamatkan jiwa, harkat dan martabat mereka. Seorang imam yang baik dapat menuntun mereka menuju jalan yang baik serta menjaga hati mereka dari fitnah yang keji. Karena wanita sangat rentan terhadap fitnah dan perbuatan-perbuatan amoral. Meski demikian, orang-orang disekitar menilai hal tersebut adalah hal yang tidak pada umumnya, karena bukan persoalan yang mudah jika suatu perkawinan memiliki pasangan lebih dari satu orang dan tinggal 24 dalam satu atap. Mengingat perkawinan bukanlah persoalan yang mudah, dibutuhkan kesabaran dan keadilan yang sama terhadap seluruh anggota keluarga. Tidak ada kata lebih baik dari A atau B dan lainnya, dan ketika terjadi perselisihan harus dibicarakan bersama. Perkawinan poligami merupakan komunikasi tiga arah, sehingga cenderung menambah lebih banyak dan lebih banyak tanggung jawab suami daripada memiliki satu istri. 5. Hikmah Poligami Islam adalah agama yang mengatur tentang kemasyarakatan. Islam mempunyai konsep kemanusiaan yang luhur, harus dibebankan kepada manusia untuk menegakkannya dan harus disebarluaskan kepada seluruh umat manusia. Risalah Islamiyah tidak akan tegak melainkan apabila ada kekuatan yang mendukung, adanya pemerintahan yang mengelola segala segi, pertahanan keamanan, pendidikan, industri, perdagangan, dan sektor-sektor lain yang menunjang tegaknya suatu pemerintahan. Semuanya itu tidak akan sempurna tanpa adanya orang-orang yang hidup pada tiap generasi yang banyak jumlahnya. Jalan untuk mendapatkan massa yang banyak ini ialah dengan kawin dan memperbanyak keturunan. Negara-negara yang maju banyak membutuhkan sumber daya manusia untuk tenaga kerja maupun untuk keperluan pertahanan keamanan. Di negara-negara yang sedang dilanda peperangan tidak jarang rakyatnya gugur di medan perang dan dan banyak janda-janda 25 yang harus dilindungi. Tidak ada jalan yang terbaik untuk melindungi mereka selain dengan mengawini mereka dan tidak ada jalan untuk menggantikan orang yang gugur di peperangan itu selain dengan memperbanyak keturunan, dan poligami adalah jalan untuk memperbanyak keturunan. Demikian pula di beberapa negara, penduduk perempuannya lebih banyak dari laki-lakinya, seperti yang lazim terjadi di negara yang habis berperang. Bahkan pertambahan jumlah kaum perempuan pasti terjadi pada banyak negara meskipun dalam suasana damai, karena kesibukan kerja menyebabkan kaum lelaki cepat tua dan berarti membuat mereka cepat mati, oleh karenanya jumlah kaum perempuan akan lebih banyak dari kaum laki-laki. Perbedaan jumlah ini mengharuskan adanya poligami untuk menjaga dan melindungi perempuan. Apabila mereka dibiarkan hidup sendiri mereka lebih mudah terombang-ambing dan gampang terjerumus ke dalam perbuatan nista yang akan merusakkan kehidupan masyarakat, akhlak mereka akan rusak dan mereka akan merana sendirian. Kemudian, bahwa kesanggupan seorang laki-laki untuk berketurunan lebih kuat daripada perempuan. Laki-laki sanggup melaksanakan tugas biologisnya sejak ia baligh sampai usia akhirnya. Sedang kaum perempuan tidak mampu melaksanakannya di waktu sedang haid, nifas, hamil dan waktu menyusui. Kesanggupan kaum 26 perempuan untuk berketurunan terbatas sampai usia antara 40 hingga 50 tahun, sedangkan kaum lelaki sanggup sampai usia 60 tahun lebih. Apabila perempuan dalam keadaan seperti tersebut di atas tidak dapat melaksanakan fungsinya sebagai seorang istri lantas apa yang harus dilakukan oleh suaminya? Ia harus menyalurkannya kepada istrinya yang halal untuk menjaga kehormatannya ataukah ia harus mencari penyaluran seperti yang dilakukan oleh binatang? Tanpa perkawinan sah? Padahal islam secara tegas melarang pelacuran. سبِيلًا َ َوَلَا تَقْ َربُوا ال ِّزنَا ِإنَهُ كَانَ فَاحِشَ ًة وَسَاء Janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sungguh zina itu keji dan jalan yang buruk. (Q.S 17, Al-Isra’ : 33) Kadang-kadang ada seorang suami mempunyai istri berpenyakit atau mandul yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, padahal si istri ingin tetap bersama suaminya, sedang suami menginginkan adanya anak serta punya istri yang dapat mengatur rumah tangganya. Dalam keadaan seperti ini apakah suami harus tetap rela dengan menanggung beban yang menyedihkan? Tetap bersama istrinya yang berpenyakit atau mandul, yang tidak dapat mengatur rumah tangganya, dan beban itu harus dipikul suami sendirian? Ataukah si istri harus diceraikan padahal ia masih mencintai suaminya dan suami juga masih mencintainya, ia tidak mau menyakiti istri dengan menceraikan 27 istrinya? Ataukah kasih sayang suami istri itu tetap diteruskan tetapi suami kawin dengan perempuan lain tanpa harus berpisah dengan istri lama dan maslahat keduanya masih tetap terjaga? Inilah petunjuk terbaik yang lebih layak untuk diterima. Kadang-kadang juga ada seorang laki-laki yang karena kejiwaannya atau karena fisiknya sangat kuat nafsu seksnya, ia belum akan puas kalau hanya dilayani oleh seorang istri, maka sebagai gantinya agar ia tidak mengambil gundik yang akan merusakkan moralnya, ia diizinkan untuk memuaskan nafsu (gharizahnya) dengan jalan yang halal, yaitu berpoligami. B. Poligami Menurut Perundang-undangan di Indonesia 1. Undang- undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 Sebagai komponen terkecil dalam tata kehidupan bermasyarakat, keharmonisan keluarga berperan penting dalam membentuk kepribadian setiap anggota keluarga. Banyak masalah sosial yang muncul karena ketidak harmonisan dalam keluarga, sehingga dipandang perlu adanya peraturan perundangan mengenai Perkawinan. Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi hak-hak individu untuk berkeluarga, sekaligus menjamin kepentingan dan hakhak setiap anggota keluarga. Hal utama yang menjadi pijakan dari 28 Undang-undang ini adalah asas monogami, tetapi didalamnya pun mencakup tentang perkawinan poligami. Dalam pasal 40 ayat 1 tentang Poligami dijelaskan bahwa seorang suami yang ingin memiliki istri lebih dari seorang harus mengacu kepada sebab-sebab yang tercantum pada perundang- undangan. Di sini pihak Pengadilan memiliki peran penting dalam memutuskan alasan-alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah: a. Bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri b. Bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak kunjung sembuh c. Bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan Selain itu ada syarat yang diperuntukkan bagi istri diantaranya, ialah: 1. Dzahir batin tercukupi 2. Semua kebutuhan sandang, pangan, papan tercukupi. 3. Kebutuhan serta kesejahteraan bagi anak-anak tercukupi. 4. Adil terhadap anak-anaknya. Dijelaskan pula, jika seorang suami ingin menikahi perempuan lebih dari seorang harus mendapat ijin terlebih dahulu dari istri pertama secara lisan maupun tertulis yang disahkan dan diucapkan di depan Sidang pengadilan. 29 Pemohon harus memiliki jaminan kehidupan yang layak terhadap istri dan anak-anaknya, baik secara materiil maupun spiritual. Hal ini bertujuan untuk menghindari diskriminasi terhadap kesejahteraan keluarga, selain itu suami harus berlaku adil sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. 2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam KHI dijelaskan tentang bagaimana hukum perkawinan yang sah menurut hukum dan agama. Bahwa suatu perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak memiliki kekuatan hukum . Akan tetapi dalam pasal 58 (3) dijelaskan bahwa persetujuan istri tidak diperlukan jika memang istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri atau istri-istrinya sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Di sini jelas bahwa jika seorang istri tidak mau memberikan persetujuan kepada suami untuk berpoligami, maka pihak Pengadilan tidak dapat memaksakan untuk memberikan ijin terhadap suami. Hal ini dilihat karena adanya pertimbangan majlis Hakim. Akan tetapi Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. 30 BAB III PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI DI DESA SURUH KAB. SEMARANG A. Profil Desa Suruh Kec. Suruh Kab. Semarang 1. Letak Geografis Desa Suruh Desa Suruh adalah sebuah Desa kecil yang terletak di Kec. Suruh Kab. Semarang yaitu tepatnya di sebelah timur Kota Salatiga. Desa Suruh terletak 15 km dari Kota Salatiga yang memiliki luas 505 935 ha dan memiliki batas-batas wilayah desa seperti sebelah utara Desa krandon lor , Desa Purworejo, Suruh, dan Medayu. Kondisi cuaca yang sejuk dan curah hujan yang cukup tinggi di daerah ini sangat potensial untuk para penduduknya yang umumnya sebagai petani, hal ini disebabkan karena terletak di 581 m diatas permukaan laut dan suhu rata-rata mencapai 36’ C. 2. Administrasi Kependudukan Desa Suruh Desa Suruh merupakan pusat pemerintahan, karena diwilayah ini hanya memiliki satu kecamatan saja. Jumlah penduduknya 1250 jiwa dari seluruh desa yang ada di Kec. Suruh. 3. Sosial dan Keagamaan Untuk mengetahui dampak perkawinan poligami di Desa Suruh, maka perlu kiranya memahami lingkungan dan keadaan 31 disekelilingnya. Praktik perkawinan poligami sangat erat hubungannya dengan sosial keagamaan, khususnya agama Islam. B. PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI 1. Faktor Pendorong Suami Melakukan Poligami Dari 1250 penduduk Suruh, ada tiga suami yang melakukan poligami. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya keinginan untuk memiliki banyak keturunan. Hal tersebut diungkapkan oleh Ussy dan Khadijah warga Rt 05 Rw 2. Andri menikah dengan istri yang pertama pada tahun 1993, kemudian menikah lagi pada tahun 1997. Awalnya suami hanya bercanda saja dengan istri saat bangun tidur, ia berkata “ nopo tow bi kok nguyu-ngguyu dewe ki”? suami menjawab “ ora, kok lucu wae mi..,aku kok yo ngimpi nikah meneh? ” dan istri menjawab dengan candaan “yo ra popo tow bi..,nek emang wes siap?” l suami berujar “ aku gelem wae ning umi wae sing golekke calonne aku ga pengen golek dewe, ngko wedi nak ono opo-opo kan iki gawe kebaikan awake dewe mi...” sang istri pun menanggapi “ yo ga popo bi, nek pancen wes siap,iyo tapi ga usah kesusu laah...” Setelah beberapa hari dari kejadian itu tanpa sengaja Ussy melihat pesan singkat di handphone suaminya yang menanyakan kepada teman-teman dekatnya apakah ada calon yang pas untuk dijadikan istri? Akhirnya banyak pesan yang masuk yang memberikan respon, tapi dia hanya mencari calon yang usianya jauh lebih muda, kisaran 19- 32 23 tahun dengan alasan masih dalam masa produktif untuk memperoleh keturunan. Akhirnya ada 2 calon yang membuat Ussy tertarik yaitu dari Lampung dan Boyolali, tapi setelah dipikir lagi kalau harus ke Lampung saat walimah kasihan anak-anak ga ada yang ngurus... walaupun masih ada orang tua yang mau dan bisa menjaga anak-anak, tapi kan kasian kalo harus ditinggal jauh sama Abi dan Uminya? akhirnya Ussy memutuskan untuk berkenalan dengan Khadijah yang berasal dari Boyolali, saat itu ia masih berumur 20 tahun mereka bertemu dan bercakap-cakap “ umi.. kenapa ya kok saya waktu liat raut wajah umi kelihatannya sante-sante aj, kaya ga ada rasa keberatan sama sekali kalo suaminya mau nikah lagi? kata Khadijah, lalu Ussy menegaskan “ ya kalo anti udah siap ana ga masalah kok, yang penting anti harus lebih memantapkan hati anti.. “ dan Khadijah pun menjawab “ insyaallah ana sudah siap umi.., ana sudah ikhtiar dan istikharah, mungkin ini memang sudah jalannya?” “ ya sudah kalo gitu, anti harus tau kalo suami ana ini juga punya banyak kekurangan dan kelebihan karena sudah sekian tahun sudah hidup bersama dan sudah punya anak sekian banyaknya, anti bisa menerima apa ga?” “Lalu gimana dengan keluarga anti? Kata Ussy “ keluarga ana ga ada masalah umi, itu semua terserah saya, mereka menyerahkan keputusan kepada saya” ujar Khadijah. Dalam hati Ussy sedikit kuatir karena tidak menyangka bahwa keluarganya tidak keberatan dengan 33 keputusannya itu, akhirnya tidak lama proses perkenalan pun berlanjut ke tahap berikutnya. Dan suami juga mengingatkan “ umi..., kalo dari proses awal sampe akhir setuju dan ga ada masalah, ya aku tak lanjut aja? Tapi kalo ga setuju, mending aku tak mundur ae.. daripada nanti jd ga baik akhirnya?” Akhirnya keduanya saling cocok dan setelah 2 minggu perkenalan itu langsung didakan akad nikah, ia pun tinggal di rumah Ussy beserta anak-anaknya. Selama 2 tahun hidup dalam satu atap, Khadijah belajar menjadi istri yang baik dengan bimbingan Ussy pada akhirnya ketika Khadijah mempunyai anak ia sepakat untuk tinggal terpisah, dengan alasan untuk lebih belajar mandiri dan lebih terampil dalam mengurus anak-anak. Pada saat melakukan wawancara, penulis menanyakan bagaimana cara suami berlaku adil kepada keluarga khususnya terhadap istri-istrinya? Ussy mengatakan bahwa selama ini suami cukup adil kepada saya maupun anak-anak, ” ya mungkin memang waktu yang harus bisa dibagi-bagi karena dalam seminggu juga ga mungkin harus disini terus toh..? lagian kan kalo di syari‟ itu kan udah jelas, yang penting pas waktu malamnya harus sama-sama adil.. kalo disni Cuma 2 hari disana 3 hari ya ga masalah, kan juga kerja jadi kadang-kadang ada urusan mendadak jadi ga bisa lama kumpul sama anak-anak?” “Kecuali kalo ada diantara salah satu istri yang sakit, ya tergantung ridhonya aja.. kalo lebih baik disana ya ga masalah? Penulis 34 juga menanyakan tentang biaya materiil, bagaimana pembagian nafkah lahir dengan istri lain? Ia mengungkapkan “ kalo masalah nafkah ya alhamdulillah adil lah ya.., ga harus banyak yang penting disesuaikan dengan kebutuhan aja?” Dari istri pertama beliau dikaruniai 7 orang anak, sedangkan dari istri kedua dikaruniai 4 orang anak. Dari banyaknya keturunan, beliau beranggapan bahwa jikalau nanti beliau terkena musibah, maka anakanaknya yang sholeh dan sholekhah akan mendo’akannya. Awalnya pernikahan mereka dilakukan secara sirri pada tahun 2006 baru kemudian dicatatkan ke KUA pada tahun 2008 dan pihak Pengadilan Agama. Hal ini dikarenakan adanya berbagai pertimbangan dalam mencatatkan pernikahan mereka di KUA. Namun sayangnya subyek peneliti berkeberatan memberikan bukti ataupun dokumen kepada peneliti. Hal ini sejalan dengan metode penelitian kualitatif yang menitik beratkan pada kesediaan subyek penelitian untuk memberikan bukti otentik berupa data/dokumen.(wawancara, 6 april 2011) Hal ini bertentangan dengan pendapat dari Hadi Suryo warga dari Rt 01 Rw 2. Faktor beliau melakukan poligami adalah untuk menjalankan Sunah Rasul. Beliau melakukan poligami atas dasar kaidah Islam yang selama ini dipelajari, dengan alasan bahwa wanita di dunia ini jumlahnya sangat banyak. Seperti yang diungkapkan oleh Emi, bahwa seorang wanita membutuhkan mahram, dalam arti imam dalam membentuk sebuah keluarga. 35 Pada saat melakukan wawancara, peneliti menanyakan beberapa hal kepada obyek. “sebenere apa to mbak yang bikin mbak bersedia poligami?” Emi menjelaskan “ awalnya saya itu baru belajar mengenal agama,ya sedikit demi sedikit lah yaa...kan waktu itu kebetulan saya baru belajar agama, dan emang saya juga yatim piatu. Setelah orang tua saya meninggal saya diurus keluarga paman sampai akhirnya saya menikah..” dan pada waktu itu saya juga merasa kehilangan sosok keluarga,karena memang orang tua saya sudah meninggal ketika saya masih berumur 13 tahun. Dan saya merasa bahwa saya itu membutuhkan sosok imam dunia akhirat, yang bisa menuntun saya. Awalnya saya merasa bahwa poligami itu bukan hal yang aneh, karena memang pada dasarnya boleh... kalo dilihat dari jumlah laki-laki dan perempuan itu kan banyak banget perbandingannya? Jumlah laki-laki jauh lebih sedikit ketimbang yang perempuan, maka bagi siapa aja yang sudah siap dan mampu secara financial itu mbok ya‟o menikahi salah satu dari mereka...” “yaa... beberapa dari temen-temen banyak yang punya keinginan kaya‟ gitu, tapi ya mungkin aja karena emang ga siap dari segi materi tapi dari segi lahir udah siap... tapi ada juga yang lahir udah siap tapi materi ga siap, makanya mereka itu minta dikasih saran ato mungkin contoh dulu laah?” kalo orang yang berilmu itu kan bisa memberikan contoh yang baik... dan akhirnya mbak Kenanga dan suami sepakat 36 untuk mencarikan istri kedua, dan itu juga beliau sendri yang nawarke yaa...untuk jadi contoh ke temen-temen yang laen.” Peneliti memberikan pertanyaan “lha trs gimana awalnya mbak bisa ketemu sama suami?” Emi menjawab “ dulu saya itu sudah lama temenan sama mbak Kenanga, udah tau gimana karakter masing-masing laah... kebetulan kita itu juga punya yaa..bisa dibilang visi yang sama.” Waktu itu mbak Kenanga langsung nawarke ke saya, tapi saya ga langsung bilang iya.. tak pikir-pikir dulu, tak timbang-timbang dulu dan akhirnya saya istikharah, alhamdulillah ternyata itu memang jodoh saya.. dan dari awal komitmen itu bukan untuk yang laen-laen tapi bisa dibilang untuk kemashlahatan.” “Dan alhamdulillah setelah saya menikah banyak juga tementemen yang akhirnya pada brani, yang sudah siap secara lahir batin laah ...” “trus tanggapane keluarga mbak sendiri gimana?” ujar peneliti “ tanggapannya yaa..jelas berat apa pun namanya keputusan yang baik ato buruk pasti ada konsekuensinya...” mereka memang susah untuk menerima keputusan saya, tapi dengan melakukan pendekatan terus menerus dengan memberikan penjelasan yang memang masuk akal dan kembali kepada Islam sebenenya yaa.. akhirnya mereka mau menerima keputusan saya?” “Bahwa memang seorang wanita tidak disarankan menikah dengan seorang laki-laki yang tidak bisa mendidik dengan baik, maka 37 wanita dianjurkan memilih salah satu diantara mereka... dan dari situ saya membuktikan kepada keluarga bagaimana kehidupan poligami bisa berjalan dengan baik dan alhamdulillah sudah berjalan 19 tahun dan sama sekali tidak ada masalah, yang sampe bikin keluarga jadi ga karuan laah?” “Perkara ujian itu biasa kan yaa.. itu smua kan juga tergantung kita menyikapinya aja? Dan pasti dibalik ujian itu ada hal yang nantinya jadi baik, dari situ alhamdulillah keluarga bisa mengerti... dan mereka juga tidak melihat hal-hal yang selama ini dikhawatirkan?” “Lha selama menikah dari tahun ‟92 sampe sekarang apa mbak sudah merasa adil ato masih biasa-biasa aja?” tanya peneliti Emi menjelaskan “ gini ya..., yang dimaksud adil kalo diayatnya itu kan secara fisik kan? Ada pun masalah hati itu kita kembali ke Allah, terserah kalo suami mau mencintai saya 20 % ato 100 % , yaa... itu hak mereka? Kalo untuk saya pribadi, cinta itu kembali lagi kepada Allah dan mencintai seseorang itu memang benar-benar karena Allah. Jadi, mau diprosentase berapa pun itu ga masalah yang penting tidak mengurangi hak dan kewajiban,gitu... kalo buat saya ga masalah suami mau mencintai saya berapa besarnya, yang penting apa yang sudah saya jalani ya disyukuri aja? Misalnya seperti nafkah ya.., orang mungkin punya padangan dari nilainya kalo segini tuh kurang,ga cukup ato apa?tapi kalo kita itu bersyukur insyallah apa yang ada itu ga akan terus merasa kurang malah akan terus ditambah sama Allah, bahkan 38 waktu kita sendiri pun ya itu mungkin lum bisa dibilang cukup kalo kita ga bersyukur?jadi ya relatif laah ya menurut saya adil itu...ga ada masalah kok, malah saya lebih suka berbagi sebenernya. Maksud saya gini, suami saya itu kan bukan tipe orang yang suka diam dirumah, beliau cenderung sering diluar,jadi seberapa pun suami punya waktu luang dirumah ga masalah. Mau cuma semalam pun kita menghargai, dan ga menuntut waktu lebih karena emang keadaan suami yang sedang sakit. jadi, tergantung dimana tempatnya aja? Kalo mbak Kenanga sendiri emang tipe orang yang lebih telaten banget tapi kalo saya sendiri emang cenderung kurang telaten.saya lebih merasa kalo emang lebih baik yaa...monggo aja ga apa-apa? Jadi kan sama-sama enaknya gitu lho... Peneliti menanyakan “kalo biaya hidup anak-anak sendiri gimana mbak?” Emi menjawab “ yaa.. kalo biaya untuk anak-anak karena memang suami bertugas menjadi kepala keluarga itu kan tanggung jawabnya, kita cuma bantu-bantu aja?ya kalo misalnya dari suami itu kurang ya paling ga kita bisa dikit ngebantu laah... tapi kalo masalah yang pokok kan udah ditanggung sama suami?” “kalo tanggapan orang sekitar mbak gimana?” tanya peneliti “ alhamdulillah tetangga bersikap baik,kuncinya satu bisa berhubungan baik dengan orang sekitar..” ujar Emi. “seneng ga mbak jadi istri kedua?” tanya peneliti “ saya merasa ga keberatan atau beban ya.., saya ngejalaninya karena memang atas 39 dasar ibadah, tapi saya kuatir kalo nanti seandainya nanti mbak kenanga yang meninggal saya takut ga bisa ngurusi anak-anak karena memang beliau itu bener-bener partner yang baik? Tapi kalo seandainya suami saya yang meninggal insyaallah saya dan mbak Kenanga masih bisa saling bantu, dan kalo pun saya yang meninggal malah saya berpikiran anak-anak bisa jadi lebih baik..” tegas Emi Hadi Suryo menikah dengan istri yang pertama pada tahun 1988 dan menikah dengan istri kedua pada tahun 1992. Dari pernikahannya dengan istri pertama dikaruniai 8 orang anak, sedangkan dengan istri kedua dikaruniai 5 anak. Pernikahan mereka awalnya dilakukan secara sirri, tetapi subyek penelitian tidak menyebutkan tahun pencatatan pernikahan di KUA.(wawancara, 7 april 2011) Selain Bapak Yahya dan Bapak Hadi Suryo, Bapak Mus’ab seorang warga yang berada di Rt 08 RW 1 mempunyai faktor lain beliau melakukan poligami. Faktor tersebut yaitu karena istri pertama meninggal dunia dan istri kedua tidak mempunyai keturunan. Dari istri pertama beliau mempunyai dua orang anak, dari istri kedua tidak mempunyai keturunan sedangkan dari istri ketiga belum dikaruniai anak karena baru saja melaksanakan perkawinan. Pada saat melakukan penelitian subyek tidak memberikan keterangan jelas karena terbatasnya waktu, sehingga data yang diperoleh kurang valid. Dari pernikahannya yang ketiga belum dicatatkan ke Pengadilan karena memang butuh 40 proses yang panjang, selain itu mereka juga baru menikah.(wawancara, 7 april 2011) 2. Alasan Istri Memperbolehkan Suaminya Berpoligami Dari beberapa faktor-faktor suami untuk berpoligami yang dikemukakan diatas, maka berbeda dengan pendapat dari istri- istri mereka. Seperti yang diungkapkan oleh Kenanga bahwa ia membolehkan suaminya menikah lagi karena memang ia membutuhkan seorang partner dalam mengurus rumah tangga, khususnya anak-anak. Karena mereka lebih membutuhkan perhatian lebih, sedangkan ia sibuk mengurus suami yang sedang sakit dan bekerja. Pada saat memutuskan hal tersebut, ia sudah memikirkannya matang-matang baik akibat positif /negatifnya, karena semua itu demi anak-anak. Pada saat itu ia sendiri yang memilih calon istri untuk suaminya,yaitu Emi yang memang sudah lama dikenalnya. Dia merasa bahwa Emi yang pantas untuk menjadi partner yang baik dalam membina keluarga. Emi merupakan sosok yang bertanggung jawab. Jadi, Kenanga tidak salah dalam memilih istri untuk suaminya. Selain itu kesibukan suami yang sering pergi keluar kota membuatnya jarang pulang kerumah, sehingga ditakutkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. (wawancara, 6 april 2011) Berbeda dengan pendapat Ussy, awalnya tidak menyetujui alasan suami untuk berpoligami mengingat dari buah perkawinan mereka sudah 41 dikaruniai 7 anak. Jika ingin memperbanyak keturunan lagi, sudah tidak sanggup untuk mengurusnya. Akan tetapi, dengan meyakinkan hatinya dan mengingat ini adalah kebaikan untuk ummat akhirnya dijinkanlah suami untuk menikah lagi. Dari proses awalnya, suami menginginkan istrinya saja yang memilih untuk jadi pasangannya. Hal ini dilakukan karena tidak ingin dianggap memilih hanya karena keinginan hawa nafsu saja, tetapi lebih kepada penunjang syari’at. Akhirnya Khadijah yang dipilih sebagai calon istri, lalu ditahun 2000 mereka menikah dan telah dikaruniai 4 orang anak. Sedangkan Lis Ambarwati memiliki alasan sendiri terhadap suaminya yang berpoligami, dari pernikahan suaminya dari istri pertama telah dikaruniai 2 anak. Ditahun 2007 istri pertamanya meninggal dunia dikarenakan sakit, selama 5 tahun menikah dia menyadari bahwa tidak bisa memperoleh keturunan sehingga tidak ada masalah jika suami ingin menikah lagi. (wawancara, 7 april 2011) C. KEHIDUPAN RUMAH TANGGA PASANGAN POLIGAMI 1. Pasangan Hadi Suryo, Kenanga dan Emi Hadi Suryo 45 tahun seorang wiraswastawan yang memiliki usaha di bidang pendidikan, selain itu ia merupakan seorang tenaga pengajar disebuah pondok pesantren di Desa Tingkir. Menikah dengan Kenanga 35 tahun pada tahun 1990 dan telah dikaruniai 8 anak. Kehidupan rumah 42 tangga mereka sangat harmonis, awalnya mereka memulai usaha dengan menjual busana muslimah yang disediakan di toko mereka.Secara bersama-sama mereka berusaha menghidupi anak-anaknya, tidak hanya itu mereka juga merintis sebuah sarana pendidikan yang dibangun dengan kerja keras dan kemauan yang tinggi. Dengan maksud membimbing anak-anak secara jasmani maupun rohani, dibekali dengan ilmu pengetahuan dan ilmu agama yang baik. Dalam jangka waktu 3 tahun sekolah rintisan mereka mampu berkembang pesat, dan memiliki banyak peserta didik yang sudah cukup banyak sampai sekarang. Ditahun pertama saat anak ke 5 mereka lahir, banyak terjadi cobaan yang menimpa keluarganya. Hadi Suryo jatuh sakit, dan tidak mampu membantu istri yang sibuk mengurus segala urusan yang ada. Dengan terpaksa Kenanga mengatasi semua persoalan dan kewajibannya sendirian, pada akhirnya ia memutuskan untuk mencarikan pendamping baru untuk suaminya. Dengan pertimbangan semua urusan yang ada di dalam rumah terselesaikan dan anak-anak tidak merasa terganggu karena kesibukannya. Kenanga pun mengungkapkan niatnya kepada hadi Suryo, awalnya ia kaget dan bingung karena memang istrinya sendiri yang menawarkan diri untuk dipoligami. Namun, setelah diberi penjelasan olehnya Hadi Suryo pun mengiyakan permintaan itu, ia menyerahkan semua keputusan kepada Kenanga. 43 Tidak berselang lama setelah itu Kenanga memperkenalkan Emi yang sudah lama dikenalnya, ia merasa bahwa Emi mampu bertanggung jawab dan bisa diandalkan untuk mengurus rumah tangga. Dari perkenalan itu selama 3 bulan mereka saling mengenal satu sama lain, begitu pun dengan anak-anaknya yang butuh pendekatan khusus. Tak lama kemudian mereka menikah di tahun 1992, dan telah dikaruniai 5 orang anak. Selama 17 tahun perkawinan Kenanga dan Emi saling membantu dalam mengurus rumah tangga, mereka hidup dalam satu atap. Banyak tanggapan negatif orang-orang tentang mereka, menganggap poligami bukanlah hal yang wajar jika hidup satu atap.menurut mereka suatu perkawinan yang ideal hanya dengan satu istri saja, menurut mereka hal itu menjadi sangat aneh.Tetapi, Kenanga dan Emi mematahkan anggapan tersebut, kehidupan perkawinan mereka jauh lebih baik. Suami juga berlaku adil kepada mereka, tidak ada perbedaan dalam pembagian kasih sayang terhadap anak-anaknya. Begitu juga dengan istri, tidak saling dibedakan satu sama lain baik pembagian nafkah lahir maupun batin semuanya disama ratakan. 2. Pasangan Yahya, Ussy dan Khadijah Yahya 52 tahun, adalah seorang wiraswastawan yaitu sebagai pedagang disebuah pasar tradisional di karanggede. Ia menikah dengan Ussy 35 tahun seorang ibu rumah tangga dan telah dikaruniai 10 orang anak. 44 Kehidupan rumah tangga mereka terbina dengan baik, dan semua berjalan dengan lancar. Saling menerti dan memahami satu sama lain adalah kunci dari mereka, dengan itu mereka mampu memabangun pondasi yang kokoh. Di tahun 2007 Yahya menikahi Khadijah 25 tahun, pada awalnya saat bangun tidur ia bercerita kepada istri kalau tadi malam ia bermimpi menikah lagi. Saat mendengar hal tersebut dia terkejut, karena tidak biasanya suami begitu. Lalu, istrinya menjawab dengan nada bercanda “kalo udah siap ya ga apa..apa mau tak carike tow bi? Dari situ suami meminta istrinya untuk mencarikan seorang calon istri yang dirasa cocok dengannya, karena semua demi kebaikan bersama dan meminta untuk tidak terburu-buru. Awalnya ada 2 calon yaitu dari Lampung dan Boyolali, tetapi karena ada pertimbangan yang lain akhirnya Ussy memilih Khadijah sebagai calonnya. Pada saat itu Khadijah berusia 19 tahun, karena Yahya menginginkan calon yang usianya masih produktif. Alasannya, ia ingin memiliki banyak anak dan berharap anak-anaknya kelak bisa menjadi sholeh/sholihah yang mampu mendoakan mereka jika sudah meninggal. Sebenarnya Ussy tidak bisa menerima keputusan suaminya itu, dengan alasan tidak yakin kalau nantinya suami mampu bersikap adil kepada suatu saat ada apa-apa dengan Ussy maka akan ada yang mengurus mereka. Dia berusaha untuk ikhlas, karena ini untuk kebaikan bersama bukan semata-mata untuk kesenangan batiniah saja. 45 Lalu, mereka pun berkenalan lebih jauh dan menceritakan tentang suaminya yang dirasa memiliki banyak kekurangan dan meminta Khadijah untuk memahami apa-apa yang ada didalam suaminya. Dan keduanya pun saling cocok dan berharap bisa bekerjasama dalam membina rumah tangga, akhirnya tahun 2007 mereka menikah secara resmi. Di awal perkawinan mereka hidup satu atap, karena pada saat itu Khadijah masih belum paham betul bagaimana mengurus kebutuhan rumah tangga. Butuh waktu 1 tahun untuk membiarkan Khadijah mandiri, dan pada saat itu ia telah mempunyai anak. Dari situ Ussy membiarkan Khadijah untuk hidup terpisah, agar tahu bagaimana cara mengurus anak dan suami serta melatih kedewasaannya. Saat ini Khadijah tinggal bersama 4 orang anaknya di Ambarawa dan bekerja sebagai guru disebuah play group, dan Ussy tinggal dengan 10 anaknya di desa Morangan Suruh. Dalam pembagian jatah malam dan nafkah suami tidak membandingkan, ia berusaha adil kepada istri dan anak-anaknya. Satu minggu dibagi-bagi, 3 hari berada dirumah istri 1 dan 3 hari lagi tinggal dirumah Khadijah (istri keduanya). 3. Pasangan Mus’ab ,Lis Ambarwati , Hanna Mus’ab adalah seorang ustad di sebuah pesantren yang ada di daerah Suruh, menikah dengan Lis Ambarwati yang berprofesi sebagai dokter. Sebelumnya ia sudah menikah dan memiliki 2 orang anak dari 46 istri pertamanya, tetapi pada saat anak pertamanya berusia 10 tahun istrinya meninggal karena sakit yang tidak kunjung sembuh. Lalu, tahun 1993 ia bertemu dengan Lis (istri yang sekarang) dan menikah. Selama 15 tahun perkawinan mereka tidak mempunyai keturunan, hal ini disebabkan karena ada kelainan dirahimnya yang mengakibatkan rahimnya harus diangkat. Setelah menikah Lis tidak lagi menjalankan profesinya, dia lebih senang menjadi pengusaha dan telah memiliki perusahaan konfeksi yang ada di Solo dan Yogyakarta. Kini ia sibuk dengan urusan bisnis tersebut, begitu pun dengan suami yang jarang pulang kerumah karena kesibukannya. Pada bulan Februari 2011 Mus’ab menikahi seorang dokter gigi yang bernama Hanna 28 tahun, dan belum memiliki keturunan. Ia mengenal Hanna dari seorang temannya yang telah lama mengenal Hanna, kebetulan Hanna juga mencari seorang pendamping kemudian dikenalkanlah kepada Mus’ab. Mus’ab memperkenalkan Hanna kepada Lis dan mengutarakan keinginannya untuk menikah lagi, dan tanpa berpikir lama Lis pun menyetujui hal tersebut. Karena dia tahu betul bagaimana keadaannya saat ini, jadi tidak ada masalah untuknya. 47 D. PANDANGAN MASYARAKAT TENTANG PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, ada beberapa pandangan masyarakat tentang perkawinan Poligami. Ada yang pro maupun kontra, yang pro berpendapat bahwa adalah sah-sah saja jika memang para pelakunya mampu bersikap adil dan bertanggung jawab penuh kepada keluarganya. Setiap pebuatan/keputusan yang telah diambil pasti ada konsekuensinya. Berbeda dengan yang kontra, mereka justru menentang Poligami, mereka menganggap bahwa Poligami hanya menindas kaum perempuan dan tidak sesuai dengan asas pekawinan yang sebenarnya. Dalam hukum Islam asas perkawinan hanya menganut asas monogami, dan tidak ada asas poli. Memang dalam Islam diperbolehkan untuk berpoligami, tetapi tidak dianjurkan bagi orang yang tidak mampu berlaku adil. Karena didalamnya terdapat syarat-syarat yang masuk akal dan tidak memberatkan posisi istri, terkadang pelaku lebih mengesampingkan nurani. Justru mereka lebih mengedepankan ego semata, dengan segala macam alasan yang mereka miliki. Selain mencari sumber dari masyarakat tentang hal tersebut, peneliti juga meminta pendapat dari beberapa para ulama setempat. Menurut Bapak Khazim, Perkawinan Poligami memang ada dalam Islam dan diperbolehkan, asal kapasitasnya sesuai dengan ajaran syari’at. Dan keharusan berlaku adil 48 adalah tuntutan yang tidak bisa ditawar lagi,karena itu sudah dalam satu paket. Berani mengambil keputusan berarti berani mengambil resiko. Berbeda dengan Bapak Fuad yang menilai bahwa Perkawinan Poligami adalah hal yang memang merupakan sunah, yang apabila tidak dikerjakan bukanlah suatu perbuatan dosa dan jika dikerjakan mendapatkan pahala. Bisa dikatakan dosa jika dari pelaku sendiri tidak memahami tentang konsep adil yang diajarkan dalam Islam,kita ini manusia biasa yang kadang tidak adil kepada diri sendiri dan orang lain. Setiap orang memiliki penilaian yang berbeda tentang keadilan, dan itu merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Menurutnya hati dan perasan tidak dapat dibagi, karena hati merupakan hal yang sensitif. Bapak Nur Salim menyatakan pendapat Perkawinan Poligami boleh dilakukan, tetapi jika tidak merasa mampu untuk berlaku adil lebih baik jangan dilakukan. Lebih baik memiliki satu istri saja tapi adil kepada keluarga, dan itu membuat kehidupan rumah tangga menjadi lebih tentram. 49 BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN TERHADAP PRAKTIK PERKAWINAN POLIGAMI DI DESA SURUH KAB. SEMARANG A. Analisis Terhadap Faktor Pendorong Suami Malakukan Poligami Dalam melakukan poligami, seorang suami pasti mempunyai alasanalasannya. Alasan tersebut antara lain: 1. Jika terkena musibah akan banyak orang yang mendoakan 2. Menjalankan sunah Rasul 3. Tidak mempunyai keturunan Faktor-faktor diatas diungkapkan oleh tiga orang suami. Faktor jika suatu saat terkena musibah akan banyak orang yang mendo’akan diungkapkan oleh Bapak Andri. Hal itu memang benar, karena jika memiliki istri lebih dari satu, maka akan memperoleh banyak keturunan. Sehingga istri istri dan anakanaknya dapat mendoakan bersama-sama. Menjalakan sunah Rasul juga merupakan faktor suami melakukan poligami seperti yang diungkapkan oleh Bapak Hadi Suryo. Beliau beranggapan bahwa salah satu cara untuk menjalankan ibadah yang disunahkan oleh Rasul adalah dengan cara menikahi wanita lebih dari satu. Agar wanita yang dinikahinya mempunyai panutan dalam menjalankan kehidupan di dunia dan akhirat. Maka Bapak Hadi Suryo melakukan poligami seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. 50 Selain karena sunah rasul ada juga faktor suami melakukan poligami yaitu tidak adanya keturunan dari perkawinannya. Hal ini terjadi pada Bapak Mus’ab, ia menikah lagi karena istri tidak bisa memberikan keturunan seperti yang diidamkan setiap orang. Faktor semacam ini wajar terjadi, karena seorang suami pasti menginginkan datangnya seorang anak untuk meneruskan kehidupan keluarganya. Maka dengan adanya hal tersebut seorang suami dapat melakukan poligami atas dasar ijin dari istri. B. Analisis Terhadap Pendapat Istri Tentang Poligami Yang Dilakukan Oleh Suaminya 1. Karena membutuhkan patner dalam mengurus rumah tangga 2. Tidak ingin membebani anak-anak 3. Tidak mempunyai keturunan Diatas merupakan alasan-alasan istri dalam memperbolehkan suaminya untuk berpoligami. Dalam mengurus rumah tangga yang disibukkan oleh urusan pekerjaan dan kesibukan lainnya, tidak jarang perhatian untuk anak dan suami berkurang. Hal ini dirasa menjadi tidak sinkron dengan kewajiban seorang istri yang seharusnya mengurus segala kebutuhan dan kepentingan rumah tangga, maka dari itu dibutuhkan seorang partner untuk mengurus segala urusan rumah tangga. Hal itu diungkapkan oleh Ibu Kenanga, ia beranggapan bahwa dengan adanya seorang partner yang bisa diandalkan maka segala urusan rumah lebih terkendali. 51 Selain menjadi partner dalam mengurus rumah tangga ia beranggapan jika suatu saat nanti anak-anaknya kehilangan seorang ibu, maka masih ada seorang ibu lagi untuk mendidik mereka dengan baik. Dari situ mereka tidak akan kehilangan sosok seorang ibu dalam kehidupannya. Tidak ingin anak-anaknya nanti kehilangan sosok ayah dalam pertumbuhan mereka, karena mereka akan mendapatkan sosok ibu baru karena hal itu dapat menjadi beban terberat bagi anak-anak. Khususnya dalam perkembangan kejiwaannya, hal ini diungkapkan oleh Ibu Ussy. Ia berpendapat dengan memperbolehkan suami berpoligami, maka kedekatan mereka dengan ayahnya ditakutkan akan berkurang. Dari sini ia beranggapan dengan memperbolehkan suaminya untuk berpoligami, anak-anak masih bisa dekat dengan ayahnya. Selain itu ia juga mendapatkan sosok ibu yang baru, yang bisa menjadi panutan mereka. Tidak hanya mempunyai satu ibu, tapi ada dua ibu yang mampu memberikan kasih sayang kepada mereka. Tidak adanya kehadiran buah hati dalam kehidupan rumah tangganya membuat Ibu Lis memperbolehkan suaminya untuk menikah lagi, ia pasrah dalam menjalani kehidupan tersebut. Ia menyadari keadaannya, karena dalam kehidupan rumah tangga tidak akan lengkap tanpa adanya kehadiran seorang anak. Keputusan ini memang berat untuk diterima, dalam hatinya ia merasa bukan menjadi wanita yang sempurna. Tapi hal ini bukan salahnya atau siapa pun, ini merupakan takdir dari Allah yang harus diterima. Ujian yang begitu 52 berat harus dijalani bagi seorang wanita, hal ini ia lakukan karena ingin membahagiakan suaminya. C. Analisis Terhadap Pandangan Masyarakat Tentang Adanya Poligami Tiap masyarakat mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang hal perkawinan poligami, hal itu disebabkan adanya faktor pengetahuan yang minim dan prakteknya yang cenderung lebih sedikit ketimbang teori yang ada. Dari masyarakat sendiri lebih memilih untuk mengikuti syari’at Islam yang ada di dalam Al-Qur’an, maka dari itu dalam pandangan mereka perkawinan Poligami merupakan sunah Rasul yang memang diajarkan. Tetapi jika tidak mampu untuk melaksanakannya pun tidak dijatuhi hukum, boleh dilakukan jika memang dianggap mampu untuk membagi cinta untuk keluarganya. Sebagian masyarakat khususnya di Desa Suruh Kab. Semarang memandang bahwa Perkawinan poligami belum menjadi hal yang umum/tabu untuk diungkap, seperti yang diungkap oleh Bapak Khazim tentang poligami itu sendiri sebenarnya diperbolehkan dan jika memang mampu untuk dilakukan, hal itu sah-sah saja. Beliau menyatakan jika seseorang mengambil keputusan maka akan ada suatu kewajiban atau konsekuensi yang harus kita tanggung, sebuah perkawinan merupakan dasar untuk membangun keluarga yang sejahtera dengan menganut ajaran rasulullah saw. Memberikan sikap adil terhadap satu istri saja belum tentu mampu seperti yang diharapkan apalagi dengan dua,tiga, empat istri? Maka dari itu dalam melakukan Poligami harus memahami 53 sistem keadilan terlebih dahulu, agar nantinya tidak salah dalam menentukan arah kehidupan rumah tangga. Perasaan seseorang tidak bisa diukur dengan materi, terlebih seorang wanita yang tidak rela jika hatinya dibagi dengan orang lain. Pernyataan ini diujarkan oleh Bapak Fuad, perkawinan poligami bukanlah hal yang mudah dijalani. Karena disini posisi wanita serba salah/terjepit keadaan, disatu sisi dia ingin membahagiakan keluarganya dengan mengikuti ajaran Islam serta mengharap ridhoNya. Namun, disisi lain ia harus rela suaminya membagi kasih sayangnya dengan orang lain. Hal ini dapat menjadi beban yang berat jika dari istri tidak mampu memberikan keikhlasannya, karena ini menyangkut kehidupan rumah tangga. Maka dari itu, Bapak Fuad menyatakan perkawinan poligami bukanlah hal yang mudah dijalani bagi seseorang karena ini sudah menyangkut hati seseorang yang sifatnya lebih sensitif. Beliau beranggapan bahwa seorang wanita bisa jadi korban utama dalam poligami, Mengapa? Karena dalam prakteknya posisi wanita lebih dirugikan daripada diuntungkan, kerugian yang diperoleh adalah jika sikap suami /pemahamannya kurang menyeluruh tentang konsep keadilan dalam pelaksanaan perkawinan poligami. Ini akan menjadi akar masalah dalam kehidupan rumah tangga, seperti nafkah secara financial yang tidak maksimal. Serta pembagian jatah menginap jika salah satu dari istri tinggal terpisah dan perhatian terhadap anak-anaknya yang tidak bisa terpenuhi secara utuh. Karena dalam hal ini suami mempunyai kewajiban lebih, yang biasanya menghidupi satu keluarga 54 tetapi kini harus menghidupi dua keluarga. Dan tanggung jawab yang dipikul terasa lebih berat dari yang lain, hal ini menjadi konsekuensi yang harus ditanggung. Kemampuan seseorang dapat diukur dari tanggung jawab yang dipikul, hal ini diungkapkan oleh Bapak Nur Salim tentang perkawinan poligami. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpoligami, jika orang tersebut memiliki kemampuan untuk adil kepada istri-istrinya. Yang dimaksud disini adalah mampu untuk bertanggung jawab atas semua keputusan yang telah diambil yaitu memenuhi kewajiban serta hakhak istri dan anak-anak. Maka dari itu kadar dari kemampuan itu sendiri cenderung kepada kebutuhan ekonomi, tidak dipungkiri lagi jika dalam suatu perkawinan tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup maka akan muncul masalah-masalah yang bisa merusak kehidupan rumah tangga. Begitu juga dengan pembagian kasih sayang terhadap kedua istri dan anak-anaknya, harus sama dan tidak boleh ada ketimpangan antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, jika memang tidak mampu berlaku adil maka tidak disarankan untuk berpoligami lebih baik memiliki seorang istri saja agar hidupnya tentram. Untuk apa memiliki banyak istri tapi kehidupan rumah tangganya tidak tentram, dan hanya kemadharatan yang didapat. Perkawinan bukan untuk mencari madharat akan tetapi mencari kebahagiaan dunia akhirat, karena tujuan utama dari perkawinan adalah untuk membangun sebuah keluarga yang utuh dan sejahtera lahir batin. 55 D. Analisis Terhadap Hukum Islam Dan Undang-Undang NO. 1 tahun 1974 Terdapat persamaan tentang ketentuan berpoligami dalam hukum islam dan UU NO.1 tahun 1974. Dalam Hukum Islam poligami itu diperbolehkan dengan ketentuan mendapat izin dari istri, mampu menafkahi lahir dan batin serta berlaku adil terhadap istri-istrinya. Kemudian, didalam UU NO. 1 tahun 1974 memperbolehkan jika ingin berpoligami yaitu dengan syarat istri memberikan persetujuan baik secara lisan maupun tertulis pada pihak Pengadilan. Selain itu juga mampu untuk berlaku adil dalam memberikan nafkah lahir maupun batin, terhadap keluarga seperti yang tertera dalam UU NO. 1 tahun1974 pasal 41. Jadi, pada dasarnya jika seseorang ingin berpoligami diperbolehkan dengan syarat maupun ketentuan yang ada. Dalam Hukum Islam, terdapat perbedaan tentang boleh atau tidaknya berpoligami. Ada pendapat ulama yang membolehkan maupun yang tidak membolehkan. Yang menanggapi dengan positif beralasan, dalam berpoligami ada beberapa syarat yaitu jika suami mampu dalam arti mampu menafkahi lahir dan batin serta pembagian jatah malam kepada istri-istrinya. Dan wajib untuk berlaku adil secara benar seperti yang diajarkan Rasul serta tertulis didalam Al Qur’an dan Hadits. Ulama yang berpendapat negatif mengatakan bahwa Poligami bukanlah hal yang masuk akal, jika tidak disertai alasan yang jelas. Hal ini jelas tidak diperbolehkan, karena jika dilihat dari faktor-faktor yang ada di 56 masyarakat pada umumnya hanya berdasar pada ketidak puasan saja. Yang dimaksud adalah lebih kepada kepuasan biologis semata, dengan kata lain hanya berdasarkan nafsu. Seorang suami merasa tidak puas dengan apa yang diberikan oleh istri (kebutuhan biologis), maka hal itu yang pada akhirnya menjadi pemicu seseorang berpoligami. Padahal sebenarnya Poligami dilakukan karena Rasul mengajarkan untuk menolong para janda-janda tua yang sudah tidak mampu serta yang ditinggal mati suaminya saat berperang sehingga kehidupannya terlantar. Ditakutkan jika tidak dinikahi maka tidak ada yang mampu melindungi mereka secara utuh, karena pada masa itu masih banyak terjadi peperangan sehingga wanita sering menjadi korban pelecehan oleh kaum kafir. Jadi, Poligami diperbolehkan, asalkan bertujuan untuk ibadah bukan untuk memuaskan hawa nafsu. Dalam UU NO. 1 tahun 1974 pasal 41 poin b disebutkan bahwa suami tidak dapat berpoligami jika tidak ada persetujuan dari istri baik secara lisan maupun tertulis yang harus diucapkan di Pengadilan, dan jika ada suami yang berpoligami tanpa adanya persetujuan istri maka perkawinannya dianggap tidak sah secara Hukum. Dengan demikian, hal-hal yang bersangkutan dengan proses tersebut harus diketahui oleh pihak Pengadilan. Disini peran majlis Hakim sangat membantu dalam mempertimbangkan/memutus permohonan tersebut, karena merekalah yang memahami situasi maupun kondisi yang dihadapi oleh 57 pemohon dan mampu memberi keputusan yang bijak sekiranya dapat memberi jalan keluar sebagaimana mestinya. Maka dari itu, dalam mengambil keputusan untuk berpoligami dari pihak pemohon sendiri harus memiliki pertimbangan yang matang baik secara materiil/immateriil. Selain itu di pertimbangkan juga tentang hak-hak istri yang sering dilupakan oleh suami., karena pada umumnya jika seseorang telah menikah dan memiliki istri lebih dari satu hak dari istri itu sendiri terabaikan. Hal ini tidak diperbolehkan karena bisa berdampak buruk bagi keutuhan rumah tangga itu sendiri. Selain itu peran suami juga sangat berpengaruh besar terhadap kelangsungan rumah tangga yang dibangun, demikian juga seorang istri yang menjadi panutan bagi anak-anaknya kelak akan tumbuh menjadi manusia dewasa. Jika seorang suami tidak mampu menunjukkan bagaimana memperlakukan istri secara adil, jasmani dan rohani maka akan berdampak buruk juga pada psikologis istri itu sendiri. Jika dicermati dengan seksama, disini istri lebih banyak berkorban ketimbang suami. Karena pada dasarnya kaum perempuan harus lebih berbesar hati atas apa yang dialaminya, penulis mencoba menganalisa bagaimana seorang wanita berjuang dalam menghadapi kehidupan rumah tangga yang lebih kompleks. Pada umumnya perkawinan Poligami banyak ditentang oleh sebagian orang, karena dianggap perbuatan yang kurang manusiawi dan mengesampingkan hak-hak perempuan. 58 Sebagai kaum mayoritas yang menghargai hak-hak kaum perempuan, penulis sekiranya kurang sependapat dengan adanya Perkawinan Poligami. Walaupun tidak banyak dari perkawinan tersebut dapat berjalan harmonis, akan tetapi dalam praktek dilapangan yang ada perkawinan tersebut mampu berjalan dengan baik. Tanpa menutup kemungkinan adanya perselisihan dalam perkawinan itu sendiri. E. Manfaat dan Madharat Poligami. Tidak diragukan lagi bahwa poligami jika dilihat dari satu sisi akan mempunyai manfaat yang sangat berarti bagi pelakunya, tetapi jika dilihat dari sisi lain sebaliknya akan menimbulkan banyak madharat. Dari sisi poligami akan menimbulkan banyak manfaat, diataranya Pertama: Manfaat Poligami, diantaranya: 1. Dalam hal negara dimana jumlah perempuan lebih banyak dari pada lakilaki maka poligami dapat mengatasi masalah krisis perkawinan. Karena jika harus dipaksakan satu laki-laki dengan satu perempuan maka akan terjadi kesenjangan bagi wanita yang tidak memiliki jodoh. Demikian juga bagi laki-laki yang mempunyai nafsu super extra kuat jiaka hanya memiliki satu perempuan saja dan disaat itu pula isteri sedang ada halangan/datang bulan dan ia mempunyai kemampuan dan memenuhi syarat poligami maka ia akan tersiksa jika ia tidak poligami. 59 2. Dalam hal isteri tidak melahirkan keturunan, karena sakit, mandul dan karena sebab lain maka poligami dapat dijadikan sebaggai solusi bagi suami untuk mengatasi masalah keturunan. Jika suami tidak mengambil cara ini, apakah suami rela dengan kondisi seperti itu tidak mempunyai anak karena disebabkan isteri mandul? Jika suami harus dipaksakan dengan kondisi seperti itu tentu isteri juga menzhalimi suami karena ia telah mengkang suami harus menerima dengan kondisi isteri tidak melahirkan keturunan. Kedua: Madharat Poligami, diantaranya: 1. Kemungkinan suami tidak berlaku adil, sebagai misal:seorang anak yang bapaknya berpoligami menceritakan pengalamannya dalam Kompas (6 Oktober 2003). Penulis ini mempunyai kenangan indah dengan bapaknya waktu masih kecil. Akan tetapi, saat bapaknya menikah lagi, dia dan delapan saudaranya merasa tidak diperhatikan lagi. Menurut penulis ini, bapaknya tidak berlaku adil. Misalnya, kedua istrinya melahirkan anak perempuan dengan selisih hanya beberapa minggu. Untuk anak dari istri mudanya dilaksanakan kenduri, sedangkan untuk anak dari istri tuanya tidak diadakannya upacara apa-apa. Menurut penulis, adik bungsunya ini menjadi pemberontak karena dia tidak pernah merasakan kasih sayang dari bapaknya. 2. Poligami berpotensi menciptakan rasa cemburu bagi sesama isteri. Jika dipahami jiwa perempuan sangat sensitis dalam hal segala yang berhubungan dengan cinta. Apapun bentuknya yang dapat menyerang kemerdekaannya akan selalu ditolak oleh perempuan, terutama hal-hal yang berhubungan 60 dengan rasa cinta. Dalam istilah sisnis poligami sebenarnya merupakan tindakan penyimpangan dari bentuk perkawinan dengan asas monogami. Ada tiga hal penyimpangan di dalam perkawinan pada umumnya: Pertama: Nikah poligami, sebagaimana telah penulis uraikan di atas, dimana poligami itu merupakan perkawinan yang bertujuan untuk mengatai masalah suami tetapi dibalik itu menimbulkan masalah baru yang dibebankan kepada isteri yang dipoligami, istilah lain mengatasi masalah, tetapi menimbulkan masalah. Kedua: Nikah mut’ah, atau dengan istlah lain disebut kawin kontrak. Dikatakan kawin kontrak karena orang hanya akan menikahi perempuan yang ia kehendaki hanya untuk waktu tertentu, misalnya 1 (satu) minggu atau 1 (satu) bulan. Setelah lewat waktu yang dijanjikan maka habis dengan sendirinya. Perkawinan model ini tidak ada tujuan memperoleh atau memelihara keturunan, melainkan hanya untuk memenuhi keperluan syahwat semata. Perkawinan model ini dulu oleh Rasulullah SAW diperbolehkan,dan berjalan tidak lama, tetapi kemudian Rasulullah melarang bentuk perkawinan ini , sebagaimana disebutkan di dalam Hadis Riwayat Ibnu Majah: ِح َّر َههَا اِلى يَىْمِ الِقيَاهَة َ َيَا ُيهَاالٌَاس اًِِى كٌُْتُ اَذًَْتُ َلكُن ْفِي االسْ ِتوْتَاعَ اَالَ َواِىَ اهلل Artinya: Wahai manusia sesungguhnya dahulu saya mengizinkan kawin mut‟ah kepada kamu sekalian, tetapi ingat sekarang Allah SWT telah mengharamkan hingga hari qiamat. 61 Di dalam Hadis lain disebutkan sebagai berikut: ِح ُوّر ُ علِى ابْي اَبِي طََا لِب اَىَ َرسُىلُ اهلل ًَهَى هُ ْتعَةَ ال ٌِسَاء يَىْمَ خَيْ َبّرَ وَعَيْ لُحُىْمِ ال َ ْعَي ِاال ًْسِيَة Artinya: Dari Ali bin Abi Talib bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW melarang kawin mut’ah pada perang Khaibar dan melarang memakan daging Himar Jinak. Al-Khattabi menegaskan bahwa hukum keharaman kawin mut’ah itu telah ijma’ (sepakat) ulama’ kecuali sebagian Ulama Syi’ah saja yang tidak mengharamkan. Hukum keharaman nikah mut’ah itu bahkan menurut Imam al-Baihaqi dari Ja’far bin Muhammad mengatakan bahwa nikah mut’ah itu termasuk zina. Ketiga: Nikah sirri. Istilah kawin sirri, baik di dalam kitab fiqh maupun di dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak diatur dengan jelas, tetapi secara tekstual di dalam UU No. 1 tentang perkawinan dapat dipahami pada bab I Ps 1 disebutkan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada ps 2 ayat 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu Pada ayat 2 dijelaskan bahwa 62 tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut penulis kawin sirri sah menurut agamanya, tetapi dari segi perundang-undangani belum memenuhi kriteria, yaitu adanya pencatatan. Pencatatan menurut penjelsan UU No. 1 tahun 1974 atau Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang penjelasan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ditegaskan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 1954 tentang pencatatan nikah talak dan rujuk. Tegasnya Pegawai Pencatat Nikah itu adalah Pejabat KUA setempat. Perkawinan yang tidak memenuhi syarat ini, termasuk kawin sirri tidak mempunyai akibat hukum, sehingga dikhawatirkan jika dikemudian hari terjadi perselisihan yang mengakibatkan perceraian semua hak-hak wanita yang dikawini sirri, seperti hak nafkah, rumah tempat tinggal, hak anak, hak saling mewarisi tidak dapat dituntut di muka pengadilan, dan ini sangat merugikan kepada pihak wanita yang dinikahi secara sirri. 63 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu ikatan atau akad yang sangat kuat/mitsaqan ghalidzan. Disamping itu perkawinan tidak lepas dari unsur mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ubudiyah (ibadat). Yang bertujuan untuk membina dan membentuk terwujudnya hubungan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dalam kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan agama Allah. Faktor-faktor Poligami menurut Hukum Islam dan UU NO.1 tahun 1974 adalah istri tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi, tidak dapat menghasilkan keturunan, istri menderita sakit yang tidak bisa disembuhkan. Hal ini menjadi acuan yang baku karena telah sah dimata hukum, akan tetapi tidak menutup kemungkinan jika permohonan tersebut ditolak oleh pihak pengadilan karena syarat yang disebutkan tidak tercantum didalamnya. Dalam berpoligami seorang suami harus berlaku adil terhadap istriistrinya, jika dalam perkawinan tersebut suami tidak mampu berlaku adil maka kehidupan rumah tangga tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Adil yang dimaksud disini adalah memberikan penghidupan yang layak terhadap keluarganya serta memenuhi kebutuhan hidup secara jasmani dan rohani. Selain itu kerelaan dari istri juga harus diperhatikan, hal ini akan berdampak pada keharmonisan rumah tangga itu sendiri, selain itu tanggapan 64 masyarakat tentang poligami itu sendiri beragam. Masyarakat awam beranggapan bahwa poligami merupakan perbuatan yang kurang manusiawi khususnya terhadap kaum wanita, tetapi pada prakteknya perkawinan poligami mampu berjalan secara harmonis. Hal itu disebabkan karena adanya rasa saling pengertian terhadap pasangan, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi perselisihan antara suami dan istri-istrinya. B. Saran 1. Pelaku Poligami a. Suami Mengajarkan kepada orang-orang yang ingin berpoligami atau yang sudah berpoligami, untuk memahami bagaimana konsep adil dalam perkawinan poligami secara benar. b. Istri Memberikan panutan yang baik kepada para istri dalam menghadapi persoalan hidup yang dihadapi, serta menjadi contoh yang baik bagi para pelaku lainnya. c. Lingkungan Masyarakat memandang perkawinan poligami masih secara awam, dan dianggap sebagai hal yang tabu. Hal yang tidak bisa diterima dikalangan masyarakat umum lainnya. Maka dari itu masyarakat perlu memahami bagaimana perilaku poligami yang ada dalam lingkungan masyarakat. 65 2. Pembaca Menjadikan sebuah wacana dan ilmu pengetahuan bagi para insan pembaca yang budiman. C. Kata penutup Demikian skripsi ini kami buat semoga dapat dijadikan suatu pembelajaran serta sarana ilmu pengetahuan dimasa yang akan datang. 66 DAFTAR PUSTAKA Mulia, M. 2000. Pandangan Islam Tentang Poligami. Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender dengan Perserikatan Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation. Wibisono, Y. 1980. Monogami atau Poligami, Masalah Sepanjang Masa. Jakarta : bulan Bintang. Departemen Agama RI. 1998. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Hamdani, Al H.S.A. 2001. Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam). Jakarta : Pustaka Amani. Hadi Sutrisno, Prof. MA. 2004. Metodologi Research. Yogyakarta : ANDI Ali Zaenudin. Drs. 2000. Filsafat Hukum Islam. Jakarta : Grafindo Skripsi Sudibyo, 2001. “Konsep Keadilan Dalam Berpoligami Menurut Hukum Islam”. STAIN Salatiga. Nur Dimaan, Drs. H. 1993. Fiqh Munakahat. Semarang : DINA UTAMA Skripsi Siti Mulyani. 1997. Poligami Dalam Perspektif Keadilan Gender”. STAIN Salatiga. Skripsi M. Sholihan. 1999. “Poligami Dalam Perspektif Fazlur Rahman”. STAIN Salatiga. Hamid Abdul Muhyiddin Abu Usamah. 2006. Legalitas Poligami menurut Sudut Pandang Ajaran Agama Islam. Yogyakarta : SKETSA