BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Telaah Pustaka 2.1.1 Infeksi Saluran Kemih Anak 2.1.1.1 Definisi Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan yang menunjukkan adanya infeksi, yaitu pertumbuhan dan perkembangbiakan bakteri disepanjang saluran kemih (meliputi parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih) dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria sendiri adalah istilah untuk adanya suatu bakteri dalam urin, dan bakteriuria bermakna adalah keadaan dimana bakteri dalam urin mencapai jumlah >100.000 koloni/ml urin segar dengan cara kultur (baku emas diagnostik ISK). Bakteriuria dapat bersifat asimtomatik pada anak dengan jumlah bakteri bermakna tetapi tidak menunjukkan gejala klinis khas isk, biasanya pada anak wanita yaitu 1-2% pada usia 5-16 tahun dan dari 72% kasus dapat sembuh spontan dalam 5-6 tahun. ISK dapat dibagi dibedakan menjadi ISK atas (Upper UTI) dan ISK bawah (lower UTI). ISK atas (Upper UTI) adalah Infeksi Saluran Kemih bagian atas terutama parenkim ginjal, yang sering disebut dengan pielonefritis. ISK bawah (lower UTI) adalah Infeksi Saluran Kemih yang mengenai vesika urinaria (sistisis) atau uretra (Rusdidjas dan Ramayati, 2010). Berdasarkan kekambuhannya, Infeksi Saluran Kemih (ISK) dapat diklasifikasikan menjadi ISK berulang dan kasus ISK relaps. ISK berulang berarti ada dua kali episode atau lebih dari pielonefritis akut atau Upper UTI, atau satu episode pielonefritis akut disertai dengan satu episode atau lebih dari ISK bawah, atau terdapat tiga atau lebih episode sistisis atau ISK bawah. Sedangkan, kasus relaps adalah timbulnya bakteriuria dengan jenis mikroorganisme yang sama pada biakan urin pertama kali, dan terjadi setelah dilakukan pengobatan terhadap bakteri tersebut (UKK Nefrologi IDAI, 2011). 6 7 Genetik dapat mempengaruhi pasien untuk ISK berulang. Identifikasi komponen genetik memungkinkan identifikasi individu yang berisiko mengalami ISK berulang. Beberapa gen bertanggung jawab untuk kerentanan terhadap ISK berulang, yaitu HSPA1B, CXCR1, CXCR2, TLR2, TLR4, dan TGFβ1 (Zaffanello et al,2010). ISK juga dapat di klasifikasikan menjadi ISK kompleks dan ISK simpleks. ISK kompleks adalah istilah untuk ISK dengan komplikasi (complicated UTI), yaitu berupa lesi anatomik maupun fungsional, misalnya sumbatan muara uretra, refluks vesikoureter, urolitiasis, parut ginjal, dan sebagainya, sedangkan ISK simplek adalah ISK tanpa komplikasi (uncomplicated UTI) atau penyulit struktural maupun fungsional (Rusdidjas dan Ramayati, 2010). 2.1.1.2 Kausa Penyebab tersering infeksi saluran kemih pada anak baik simtomatis maupun asimtomatis adalah bakteri gram negatif yaitu Escherichia coli (70-80%). Bakteri lain yang dapat menyebabkan infeksi saluran kemih seperti Klebsiella, Proteus, Staphylococcus saphrophyticus, coagulase-negative staphylococcus, Pseudomonas aeroginosa, Streptococcus fecalis dan Streptococcus agalactiiae sangat jarang ditemukan. Biasanya bakteri ini bisa muncul pada ISK nosokomial (Rusdidjas dan Ramayati, 2010). Escherichia coli bertanggung jawab atas >80% infeksi pertama dan 75% infeksi ulangan. Organisme seperti Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas lebih sering ditemukan pada ISK dengan komplikasi atau infeksi berulang dan mereka menyebabkan 15% infeksi tambahan. Penyebab ISK lainnya juga dapat berasal dari bakteri anaerobik, seperti Clostridium perfingens, dan spesies Bacteroides serta Fusobacterium yang biasanya dijumpai pada obstruksi dan stasis urinaria. Selain itu, mycobacterium tuberculosis dan beberapa jamur lain terkadang juga menjadi penyebab ISK. Sedangkan virus, belum didapatkan patogenesis yang jelas, namun adenovirus tipe 2 telah diimplikasikan pada sistisis hemoragik (Rudolph et al., 2006). 8 Staphylococcus saprophyticus, terutama di kalangan remaja perempuan yang aktif secara seksual sedangkan kelompok streptokokus B lebih sering mengenai neonatus. Jamur (Candida Species) juga dapat menyebabkan ISK, terutama setelah instrumentasi saluran kemih. Adenovirus merupakan penyebab yang jarang dari ISK namun dapat menyebabkan sistitis hemoragik (Finnell, 2011). 2.1.1.3 Faktor Risiko Berbagai faktor baik internal (Host) maupun eksternal (environment) telah diyakini berpengaruh terhadap terjadinya Infeksi Saluran Kemih. Faktor internal seperti kelainan anatomi baik kongenital maupun didapat merupakan faktor yang jelas dapat menyebabkan ISK. Stasis urin dan hambatan aliran urin menjadi faktor risiko mayor yang dapat diakibatkan oleh kelainan anatomi, tumor ginjal, nefrolitiasis, kateter urin yang dipasang terlalu lama, megaureter, ureteropelvic junction, dan lain-lain. Selain itu Refluks vesikoureteral primer (70% kasus) dan sekunder akibat obstruksi traktus urinarius juga merupakan faktor risiko ISK kronis dan meningkatkan kejadian parut ginjal pada anak. Refluks vesikoureteral adalah suatu keadaan terjadinya aliran balik urin dari vesika urinaria ke ureter dan dapat mencapai ginjal. Ginjal yang terpapar aliran balik urin tadi dapat mengakibatkan infeksi akibat pengosongan ureter dan kandung kemih yang tidak tuntas (Marcdante, 2014). Jenis kelainan anatomi lain seperti ureterokel, divertikulum kandung kemih juga menjadi faktor risiko terjadinya ISK pada anak dengan meningkatkan perlengketan mikroorganisme pada mukosa saluran kemih (Syahny, 2012). Selain faktor tersebut, faktor lain pada anak juga ikut mempengaruhi tingkat prevalensi ISK. Prevalensi tersebut bervariasi bergantung oleh faktor risiko ISK yaitu : 9 1. Usia Kejadian ISK pertama kali sangat tinggi pada tahun pertama kehidupan dan menurun setelah itu. Prevalensi keseluruhan ISK pada bayi yang mengalami demam adalah 7,0%. Sedangkan tingkat kejadian pada anak perempuan berdasarkan usia 0-3 bulan, 3-6 bulan, 6-12 bulan, dan >12 bulan berturut-turut adalah 7,5%, 5,7%, 8,3%, 2,1% (Shaikh et al., 2008). Pada masa neonatus, laki-laki memiliki risiko lebih tinggi terkena ISK dibanding perempuan, tetapi belum ada penjelasan yang jelas. Namun, keadaan ini dikaitkan dengan kematuran fungsional mekanisme pertahanan lokal pada anak laki-laki yang lebih lambat dibanding perempuan. Berbeda dengan masa sekolah, angka kejadian pada anak perempuan 30 kali lebih tinggi dibanding anak laki-laki (Rudolph et al., 2006). 2. Jenis Kelamin Jenis kelamin erat kaitannya dengan struktur anatomi. Pada laki-laki, saluran kemih memiliki struktur yang lebih panjang dibanding perempuan. Uretra perempuan yang pendek memudahkan terjadinya infeksi secara ascendens (Rudolph et al., 2006). Pengaruh higienitas dan perilaku toilet training terutama cara cebok dari depan ke belakang juga mempengaruhi mikroorganisme mencapai saluran kemih secara asenden (Natalia dkk, 2006). 2.1.1.4 Patogenesis Patogenesis ISK bergantung dari beberapa faktor, yaitu host, lingkungan dan virulensi organisme. Bakteri yang menginfeksi dapat berasal dari ginjal, pielum, vesikaurinaria ataupun uretra. Selain itu terjadinya infeksi juga bergantung dari faktor risiko yang ikut berperan, seperti kelainan anatomi sistem kemih, obstruksi urin, refluks ataupun konstipasi yang lama. Pada bayi biasanya bakteri bisa berasal dari penjalaran secara asending dari tinjanya sendiri (Rusdidjas dan Ramayati, 2010). 10 Faktor pejamu (Host) sangat penting dalam hal mekanisme perlindungan. Mukosa saluran kemih, glikoprotein yang menghambat perlekatan bakteri merupakan suatu mekanisme pertahanan alamiah pejamu (Syahny, 2012). ISK biasanya berkembang ketika uropatogen secara ascendens mencapai vesica urinaria (VU) melalui uretra. Dari VU, patogen dapat menyebar ke saluran kemih lain seperti ginjal (pielonefritis) dan tidak menutup kemungkinan menyebar ke aliran darah (bekteremia). Urin dalam uretra proksimal dan kandung kemih biasanya steril. Masuknya bakteri ke dalam kandung kemih bisa terjadi akibat aliran turbulen selama berkemih normal, disfungsi berkemih, atau kateterisasi. Patogen juga dapat menginfeksi saluran kemih melalui penyebaran langsung melalui rute fecal-perineum-uretra (Finnell, 2011). Pada saat organisme mencapai target sasaran, mereka akan melekat ke sel epitel berkorelasi dengan phili dan fimbriae bakteri. Pili melekat ke suatu reseptor spesifik pada sel epitel. Disamping daya lekat, beberapa strain bakteri memiliki sifat berupa kemampuan hidup dan tumbuh didalam urin, dan kemampuan ini berkorelasi langsung dengan kapasitas organisme dapat menyebabkan pielonefritis. Selain itu, seperti halnya kapsul dari E.coli atau antigen K dapat memengaruhi resistensi organisme terhadap fagositosis. Sehingga bakteri lebih mudah untuk berkembang (Rudolph et al., 2006). Karakteristik bakteri yang memiliki toksin yang mengganggu peristaltik normal ureter dan adanya faktor adhesi, fimbria ataupun fili menyebabkan brkurangnya bakteri yang dikeluarkan melalui urin saat proses miksi, sehingga bakteri dapat naik ke ureter walaupun tanpa adanya refluks vesikoureter. Terdapat 2 jenis fimbria yang mampu melekat pada sel uroepitel. Tipe 1 banyak ditemukan pada bakteri E. Coli. Perlekatan fimbria tipe ini dapat dihambat oleh D-mannose, sehingga fimbria dapat diubah menjadi mannose-sensitive yang tidak memiliki peranan dalam pyelonefritis. Namun, pada fimbria tipe 2 yang ditemukan pada sebagian strain E. Coli tidak berperan dalam terjadinya pyelonefritis. Tetapi reseptor dari fimbria tipe ini yaitu glycosphingolipid dapat dijumpai di sel uroepitel dan eritrosit, sehingga tipe ini dapat menyebabkan aglutinasi dari eritrosit (Syahny, 2012). 11 2.1.1.5 Diagnosis 2.1.1.5.1 Gambaran Klinis Gambaran klinis ISK pada anak bervariasi berdasarkan usia. Pada neonatus, gejala cenderung lebih sistemik dibandingkan dengan Batita, dan yang lebih tua. Gambaran yang paling sering adalah kegagalan tumbuh kembang serta nafsu makan yang kurang, muntah, dan diare. Sekitar 30% bayi dengan ISK yang simtomatik menunjukkan gejala sistem saraf pusat (SSP) yaitu, letargi, iritabilitas, serangan kejang dan koma, sedangkan 20% menunjukkan tanda septikemia dan kolik hanya berkisar 5% (Rudolph et al., 2006). Gejala pada masa neonatus tidak spesifik. Gejala seperti apati, anoreksia, ikterus atau kolestatis, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau minum, oliguria, iritabel, atau distensi abdomen dapat muncul. Demam terkadang tidak begitu tinggi dan sering tidak terdeteksi. Kadang-kadang gejala klinik hanya berupa apati dan warna kulit keabu-abuan (grayish colour). Anak yang mengalami pielonefritis dapat menunjukkan demam tinggi disertai menggigil, gejala saluran cerna seperti mual, muntah, diare. Nyeri pinggang dapat ditemukan, disertai gejala neurologis seperti iritabel dan kejang (UKK Nefrologi IDAI, 2011). Anak usia 0-2 bulan dengan ISK memiliki gejala seperti jaundice, demam, gagal tumbuh kembang, nafsu makan yang buruk, muntah, dan iritabilitas. Bayi dan anak usia 2 bulan sampai 2 tahun yang terkena ISK menampilkan gejala seperti demam >38°C (suhu rektum dan membran timpani), iritabilitas, nafsu makan yang buruk, muntah, nyeri abdomen, dan urin yang berbau tajam (Schroeder, 2015). Batita dan pra-sekolah (usia 2-6 tahun) dapat menampilkan gejala seperti demam, nyeri perut bawah, muntah, urin berbau tajam, enuresis dan urinary simptoms (disuria, urgensi, frekuensi). Anak usia sekolah (>6 tahun) bisa menampilkan gejala seperti pada anak pra sekolah namun dengan urinary simptoms (disuria, urgensi, frekuensi) yang lebih menonjol dan gejala tambahan seperti nyeri punggung, incontinence, dan urin berbau tajam. 12 Pemeriksaan fisik dapat dijumpai nyeri sudut costovertebral, nyeri perut dan suprapubik saat palpasi, dan VU teraba (Prentiss, 2011). Miesien (2006) menuliskan sebaran gejala klinis ISK pada anak di RS dr.Cipto Mangunkusumo berdasarkan kelompok usia berkisar 2 bulan hingga 5 tahun. Kasus ISK terbanyak usia 2 bulan – 2 tahun (32 anak dari 50 total subyek). Didapatkan lima gejala klinis terbanyak yaitu nafsu makan menurun pada 28 anak, demam 2-7 hari dialami 17 anak, diare pada 21 anak, kencing tidak lancar dialami 17 anak dan muntah pada 15 anak, sedangkan konstipasi hanya dialami oleh 2 orang anak. Tiga tanda klinis lain terbanyak lainnya adalah demam, balanitis dan ikterus. Sebagian besar pemeriksaan penunjang normal. 2.1.1.5.2 Pemeriksaan Urin 2.1.1.5.2.1 Urinalisis Pemeriksaan urinalisis terdiri dari leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan darah. Leukosituria merupakan tanda yang mengarah kepada bakteriuria, bukan sebagai diagnostik spesifik dalam menentukan ISK atau bukan ISK. Namun, pada anak ISK biasanya ditemukan leukosituria sekitar 80-90% disetiap episode ISK simtomatik. Dalam hal ini, hasil leukosituria yang negatif tidak menyingkirkan kemungkinan ISK. Pada infeksi kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan ureaplasma urealitikum perlu pertimbangan untuk leukosituria dengan urin steril (UKK Nefrologi IDAI, 2011). Piuria (leukosituria, ditemukan >10 leukosit/mm3) menunjukkan adanya infeksi, namun tidak hanya pada ISK tetapi dapat juga ditemukan pada kasus uretritis, vaginitis, nefrolitiasis, glomerulonefritis, dan nefritis interstisialis (Marcdante, 2014). Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase yang merupakan suatu enzim didalam leukosit neutrofil yang mewakili gambaran banyaknya leukosit dalam urin. Dalam urin normal, tidak ditemukan kadar nitrit, terkecuali nitrat yang diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap bakteri dalam urin. 13 Sehingga uji nitrat positif dapat menunjukkan adanya pertumbuhan bakteri dalam urin. Namun uji urin ini bergantung dengan berat jenis urin. Semakin tinggi berat jenis, maka sensisitivitas uji nitrit akan menurun. Pemeriksaan lain seperti protein dan darah dalam urin tidak dijadikan sebagai indikator diagnostik, walaupun sebagian besar hematuria dapat menyertai ISK. Protein dan darah memiliki sensitivitas dan spesifitas rendah dalam diagnostik urin (UKK Nefrologi IDAI, 2011). Pemeriksaan urinalisis menurut American Academy of Pediatric (1999) didapatkan nilai yang signifikan dalam mendiagnosis ISK. Leukosit Esterase (LE) memiliki nilai sensitivitas dan spesifitas masing-masing 83% dan 84%. Jika dikombinasi dengan 2 parameter, yaitu leukosit esterase dan nitrit akan didapatkan nilai sensitivitas 88% dan spesifitas 93%. Sedangkan untuk pemeriksaan mikroskopik cat gram memiliki sensitivitas 93% dan spesifitas 95%. Purbanugraha (2012) melakukan uji diagnostik pada 140 anak dengan ISK di RSUP Sardjito pada tahun 2011-2012, didapatkan bahwa pemeriksaan dengan kombinasi menghasilkan nilai sensitivitas dan spesifitas yang semakin tinggi. Pemeriksaan mikroskopik dengan pengecatan gram memiliki sensitivitas dan spesifitas masing-masing 76% dan 95%, nitrit dengan nilai sensitivitas 60% dan spesifitas 93%, sedangkan LE dengan nilai sensistivitas 88% dan spesifitas 71%. Uji diagnostik dengan 2 parameter didapatkan nilai yang semakin baik, yaitu sensitivitas 88% dan spesifitas 94% pada pengecatan gram dan LE. Uji diagnostik juga dilakukan dengan mengkombinasi 3 parameter yaitu gram, nitrit, dan LE memiliki sensitivitas dan spesifitas masing-masing 91% dan 92%. 2.1.1.5.2.2 Dipstick test Tes dipstik urin yaitu reagen strip berupa strip plastik dengan kertas seluloid yang merupakan kombinasi pemeriksaan leukosit esterase dan nitrit memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (masing-masing 88% dan 93%) untuk mendeteksi adanya ISK (Marcdante, 2014). 14 Dalam sebuah studi pada 6.394 bayi demam berusia 1-90 hari, telah dibuktikan bahwa dengan tes dipstik saja sudah cukup memberikan gambaran ISK awal yang memadai dibandingkan dengan tes miksroskopis (Glissmeyer, 2014). 2.1.1.5.2.3 Kultur urin Kultur urin merupakan baku emas untuk diagnosis ISK. Urin dibiakan dalam media agar darah dan McConkey. Dalam hal ini, tidak semua bakteri dapat tumbuh baik pada media tersebut, sehingga untuk bakteri yang tidak lazim pada ISK harus memerlukan media kultur khusus. Urin yang digunakan untuk kultur dapat diperoleh dengan cara aspirasi suprapubik, kateter urin, pancar tengah (midstream), dan menggunakan urine collector. Aspirasi suprapubik adalah cara terbaik untuk menghindari kontaminasi urin. Setelah sampel urin didapat, maka harus segera dibiakkan di laboratorium mikrobiologi. Pengiriman bahan yang terlalu lama atau sampel urin berada dalam suhu kamar lebih dari ½ jam, maka kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil biakan positif palsu. Jika tidak langsung dikultur, maka bahan tadi dapat disimpan dalam lemari es pada suhu 40°C selama 48-72 jam sebelum dibiak. Teknik pengambilan sampel urin, waktu, dan keadaan klinik sangat bergantung pada interpretasi hasil biakan urin (UKK Nefrologi IDAI, 2011). Pada pengambilan midstream urine dianggap bakteriuria bermakna jika terdapat 100.000 CFU/ml (colony forming unit) bakteri yang tumbuh dari organisme tunggal. Urin yang didapatkan dari kateterisasi, akan dianggap bakteriuria bermakna jika ditemukan bakteri lebih dari 10.000 CFU/ml. Urin yang diperoleh dengan dengan aspirasi suprapubik dianggap bakteriuria bermakna jika ditemukan 1000 CFU/ml pertumbuhan bakteri dari satu organisme. Meskipun metode aspirasi suprapubik merupakan cara yang paling baik untuk kultur, namun pada bayi hanya dilakukan apabila bayi tersebut tidak dapat berkemih selama 1-3 jam (Marcdante, 2014). 15 2.1.1.5.3 Pemeriksaan Penunjang 2.1.1.5.3.1 USG (Ultrasonografi) Ultrasonografi dari saluran kemih telah diganti menjadi pyelographyintravena (IVP) sebagai studi pencitraan pilihan pada anak dengan ISK. The AAP Clinical Practice Guidelines merekomendasikan pemeriksaan USG secara rutin pada anak usia 2-24 bulan setelah terkena demam ISK pertama. USG sangat aman digunakan, bersifat non-invasif dan juga mudah digunakan. Pemeriksaan USG memberikan informasi yang sangat terbatas terhadap adanya parut ginjal (renal scarring), namun dapat digunakan untuk menyingkirkan adanya kelainan anatomi (Marcdante, 2014). 2.1.1.5.3.2 VCUG (Voiding Cystourethrogram) VCUG merupakan pencitraan yang terbaik dalam mendeteksi refluks vesikoureteral. Dahulu VCUG telah direkomendasikan untuk bayi dan anak-anak setelah demam ISK pertama. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sebagian besar ISK bagian atas terjadi karena infeksi kandung kemih dan refluksvesicoureteral (VUR) mentransfer bakteri dikandung kemih ke ginjal. Namun, penelitian scintigraphic telah menunjukkan bahwa banyak anak-anak dengan pielonefritis tidak memiliki bukti VUR. VCUG diindikasikan jika hasil USG ginjal dan kandung kemih ditemukan hidronefrosis, jaringan parut, atau temuan lain yang menyarankan baik bermutu tinggi VUR atau uropati obstruktif (American Academy of Pediatrics, 2011). VCUG dibagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkat 1 yang hanya melibatkan ureter, sampai tingkat ke-5 yang dapat memperlihatkan pelebaran menyeluruh pada ureter dan obliterasi pada kaliks ginjal dan anatomi panggul (Marcdante, 2014). 2.1.1.5.3.3 Pemeriksaan Pencitraan Lainnya Selain USG, jenis pemeriksaan pencitraan lainnya adalah miksiosistouretrografi (MSU), PIV (pielografi inravena), skintigrafi DMSA (dimercapto succinic acid), CT-scan dan magnetic resonance imaging (MRI). 16 Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi kelainan anatomi dan fungsional ginjal yang dapat menjadi faktor predisposisi ISK pada anak. Menurut rekomendasi NICE 2007, pemeriksan pencitraan pada anak dengan ISK, dibedakan menjadi rekomendasi untuk bayi < 6 bulan, bayi 6 bulan hingga 3 tahun, dan untuk anak > 3 tahun (UKK Nefrologi IDAI, 2011). 2.1.1.5.3.4 Algoritma pencitraan Menurut Konsensus Infeksi Saluran Kemih pada anak, IDAI (2011), algoritma pencitraan dibagi menurut usia, yaitu : 1) Usia < 6 bulan <6 Bulan Responsif antibiotik dalam 48 jam ISK Atipik ISK Berulang USG + DMSA/PIV + MSU USG + DMSA/PIV + MSU USG Normal Abnormal Observasi MSU 2) Usia 6 bulan – 3 tahun 6 bulan-3 tahun Responsif antibiotik dalam 48 jam ISK Atipikal ISK Berulang USG+DMSA/PIV USG+DMSA/PIV Normal Abnormal Normal Abnormal Observasi Observasi MSU Observasi MSU 17 3) >3 tahun >3 tahun ISK Atipikal ISK Berulang USG USG+DMSA/PIV Normal Responsif antibiotik dalam 48 jam Kelainan Major Observasi Observasi DMSA/PIV Normal Abnormal MSU 2.1.1.6 Terapi Pada anak dengan gejala klinis dan hasil kultur urin positif ISK perlu diberikan terapi empiris yang sesuai. Sama halnya pada anak dengan gejala negatif namun didapatkan hasil kultur positif, harus diberikan terapi antibiotik secara parenteral ataupun oral. Neonatus yang terkena ISK diberikan antibiotik secara parenteral selama 10-14 hari, sedangkan anak-anak yang lebih tua diberikan terapi selama 7-14 hari dengan antibiotik oral. Trimethoprimsulfamethoxazole (TMP-SMZ) masih sering digunakan walaupun dengan tingkat resistensi tinggi. Jika bayi dan anak tidak menunjukkan respon klinis setelah pemberian antibiotik selama 2 hari, harus dievaluasi ulang dengan mengambil ulang sampel urin untuk kultur kembali, serta menjalani pemeriksaan USG, VCUG segera (Marcdante, 2014). 18 Tabel 2. Pilihan antimikroba parenteral pada infeksi saluran kemih (UKK Nefrologi IDAI, 2011). Jenis antibiotik Seftriakson Sefotaksim Seftazidim Sefazolin Gentamisin Amikasin Tobramisin Tikarsilin Ampisilin Dosis per hari 75 mg/kgbb/hari 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam 150 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam 50 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam 7 ,5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam 15 mg/kgbb/hari dibagi setiap 12 jam 5 mg/kgbb/hari dibagi setiap 8 jam 300 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam 100 mg/kgbb/hari dibagi setiap 6 jam Tabel 3. Pilihan antibiotik oral untuk ISK anak (Robinson et al.,2011). Drug Dosage per day Amoxicillin 50 mg/kg/day (dibagi dalam 3 dosis ) Amoxicillin/clavulanate (7:1 formulation) 40 mg/kg/day (dibagi dalam 3 dosis) Co-trimoxazole Cefixime 8 mg/kg/day of the trimethoprim component, dibagi dalam 2 dosis (0.5 mL/kg/dose) 8 mg/kg/day (single dose ) Cefprozil 30 mg/kg/day (dibagi dalam 2 dosis) Cephalexin 50 mg/kg/day (dibagi dalam 2 dosis) Ciprofloxacin* 30 mg/g/day (dibagi dalam 2 dosis) Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dapat dipertimbangkan. Pada anak dengan gejala demam dan muntah dapat diberikan tambahan cairan. Terapi cairan harus adekuat untuk menjamin diuresis yang lancar. Gejala disuria dapat diberikan fenazopiridin HCl (Pyridium) dengan dosis 7 – 10 mg/ kgbb/hari. Perawatan di rumah sakit diperlukan bagi pasien sakit berat seperti demam tinggi, muntah, sakit perut maupun sakit pinggang. Edukasi yang baik juga sangat diperlukan. 19 Anak yang sudah besar dapat disuruh untuk mengosongkan kandung kemih setiap miksi. Higiene perineum perlu ditekankan terutama pada anak perempuan (UKK Nefrologi IDAI, 2011). 2.1.1.7 Komplikasi Komplikasi yang dapat timbul karena ISK menurut UKK Nefrologi IDAI (2011) adalah gagal ginjal akut, bakteremia, sepsis, dan meningitis. ISK jangka panjang dapat menyebabkan parut ginjal (8-40% pasien setelah mengalami pielonefritis akut). Keadaan ini dapat meningkat pada usia yang lebih muda, infeksi berulang, RVU, dan obstruksi saluran kemih. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah hipertensi dan gagal ginjal. 2.1.1.7 Prognosis Prognosis ISK anak bergantung dari banyak hal. Kekambuhan pada ISK cukup tinggi yaitu 25-40% dan sering terjadi setelah 2 – 3 minggu setelah terapi. Maka dari itu, perlu kultur urin ulang 1 – 2 minggu setelah terapi selesai. Tingkatan dari refluk juga akan mempengaruhi lamanya penyembuhan, dimana refluk tingkat 1 dan 3 memiliki angka kesembuhan 13% tahun dan tingkat 4-5 hanya 5% pertahun (Marcdante, 2014). 20 2.2 Kerangka Teori Kelainan Anatomi : 70% kasus Usia : Usia sekolah 30x meningkat pada wanita (Shaikh et al., 2008) (Marcdante, 2014) Jenis Kelamin : Laki-laki > wanita pada neonatus. Wanita > laki-laki pada usia lebih tua. (Rudolph et al.,2006) Antibiotik ISK atas (Pielonefritis) ISK bawah (sistisis) Per-oral Parenteral Infeksi Saluran Kemih (Rusdidjas dan Ramayati, 2010) (UKK Nefrologi IDAI,2011) Bakteri : 80% E.Coli (Rudolph et al.,2006) Virus : Adenovirus (Rudolph et al.,2006) Fungi : Clostridium Perfingens (Rudolph et al.,2006) Urinalisis : mikroskopis gram, nitrit dan LE (sensitivitas 91%, spesifitas 92%) (Purbanugraha,2012) Gambaran Klinis Demam Iritabilitas Mual,muntah Diare Nyeri pinggang Gagal tumbuh Urinary symptoms Komplikasi Gagal ginjal akut Bakteremia Sepsis Meningitis (UKK Nefrologi IDAI,2011) (UKK Nefrologi IDAI,2011) Dipstick : sensitivitas 88%, spesifisitas 93% (Marcdante,2014) Kultur Urin : Gold Standar (UKK Nefrologi IDAI,2011) ISK simpleks (tanpa komplikasi) ISK kompleks (dengan komplikasi) (UKK Nefrologi IDAI,2011) ISK relaps ISK berulang (UKK Nefrologi IDAI,2011) 21 2.3 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Tergantung Variabel Bebas Infeksi Saluran Usia Kemih pada Anak Jenis Kelamin 2.4 Hipotesis Usia dan jenis kelamin merupakan faktor risiko terjadinya Infeksi Saluran Kemih pada anak usia 0-18 tahun di RS PKU Muhammadiyah Bantul tahun 20092015.