BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rabies merupakan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rabies merupakan penyakit hewan menular yang bersifat zoonosis. Kasus rabies
sangat ditakuti dikalangan masyarakat, karena mengakibatkan penderitaan yang berat
dengan gejala saraf yang progresif dan hampir selalu berakhir dengan kematian. Korban
meninggal akibat rabies di Afrika dan Asia diperkirakan mencapai 55.000 orang per tahun
(Knobel et al., 2005). Di Indonesia, keberadaan Rabies menimbulkan masalah utama dari
aspek kesehatan masyarakat dengan kematian yang dilaporkan rata-rata 125 orang per
tahun (Sedyaningsih, 2011). Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
4026/Kpts/OT.140/3/2013, rabies dikelompokkan ke dalam Penyakit Hewan Menular
Strategis (PHMS) dan mendapat prioritas dalam pencegahan, pengendalian, dan
pemberantasannya.
Kejadian rabies di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Provinsi Jawa Barat
pada tahun 1884. Wabah rabies dalam dua dekade belakangan ini memiliki kecenderungan
semakin cepat menyebar ke pulau/wilayah lain yang sebelumnya berstatus bebas seperti ke
Pulau Flores (1997), Provinsi Maluku (2003), Provinsi Maluku Utara (2005), Provinsi
Kalimantan Barat (2005), Provinsi Bali (2008), Pulau Nias (2010), Pulau Larat (2010), dan
Pulau Dawera (2012). Situasi ini terkait dengan keadaan setempat yang menyangkut pola
pemeliharaan anjing, pemahamam, partisipasi, dan perilaku masyarakat. Kebiasaan
masyarakat membawa anjing antar pulau, dari daerah tertular ke daerah bebas telah
terbukti berperan dalam penyebaran penyakit ini (Dibia dan Amintorogo, 1998; Akoso,
2007; Mailles et al., 2011; Peraita et al., 2012).
Berdasarkan hasil konfirmasi laboratorium, kasus rabies di Bali pertama kali
dilaporkan terjadi di Semenanjung Bukit, Kabupaten Badung pada November 2008.
Berdasarkan penelusuran kasus gigitan anjing pada manusia yang berakhir dengan
kematian dan didiagnosis suspect rabies paling awal serta mempertimbangkan masa
inkubasi rabies pada anjing sekitar 2 bulan, maka diperkirakan anjing yang menderita
rabies dalam masa inkubasi masuk ke Semenanjung Bukit sekitar bulan April 2008 (Putra
et al., 2009). Rabies dalam kurun waktu 19 bulan sejak dilaporkan secara resmi, menyebar
keseluruh kabupaten dan kota di Bali. Sumber virus kemungkinan berasal dari wilayahwilayah endemik rabies di Indonesia (Mahardika et al., 2009). Analisis filogenetik
terhadap virus rabies di Indonesia yang dilakukan Dibia et al. (2014a), menunjukkan
bahwa virus rabies di Indonesia membentuk satu klaster dan virus rabies Bali berada dalam
klaster Indonesia. Lebih lanjut Dibia et al. (2014a) membuktikan bahwa virus rabies di
Bali berkerabat dekat dengan virus rabies di Sulawesi.
Metode standar yang digunakan untuk mendiagnosa rabies yang direkomendasi oleh
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organisation) dan Badan Kesehatan Hewan Dunia
(Office International des Epizooties) adalah dengan teknik Fluorescent Antibody
Technique (FAT) (OIE, 2008; Wacharapluesadee et al., 2008). Metode uji tersebut
merupakan salah satu uji untuk mendeteksi antigen rabies dalam jaringan, yang
memberikan hasil positif 98-100% dari kasus-kasus Rabies (McColl dan Lunt, 2003;
Franka et al., 2004; Tepsumethanon et al., 2004; OIE, 2008). Dalam kondisi tertentu, uji
diagnostik konvensional masih tetap digunakan di beberapa laboratorium seperti Seller’s
stain yang memiliki sensitivitas yang rendah, sementara Tissue-Culture Infection Test
(TCIT) dan Mouse Inoculation Test (MIT) memerlukan waktu yang yang relatif lama.
Disamping itu, metode diagnosa tersebut tidak mampu membedakan strain-strain spesifik
virus rabies di lapangan.
Rabies disebabkan oleh virus rabies, genus Lyssavirus dari keluarga Rhabdoviridae
(Boldbaatar et al., 2010; Nguyen et al., 2011; Muleya et al., 2012). Berdasarkan materi
genetik, virus rabies tergolong virus RNA beruntai tunggal. Virus RNA adalah virus yang
sangat cepat mengalami perubahan genetik (Khawplod et al., 2006).
Setiap infeksi virus pada hewan pada umumnya akan bereplikasi membentuk jutaan
progeny virion. Enzim RNA polymerase pada virus-virus RNA tidak mempunyai
kemampuan memperbaiki kesalahan (proofreading) penyusunan RNA pada saat replikasi
(Carter dan Saunders, 2007; Murphy et al., 2007), akibatnya virus-virus tersebut sering
mengalami mutasi secara spontan (Fenner et al., 1993). Mutasi yang paling umum terjadi
pada virus rabies adalah mutasi nukleotida tunggal pada genom virus yang disebut mutasi
titik. Terjadinya mutasi titik sering berlangsung secara alamiah (Ratam, 2005). Mutasi titik
dapat bersifat substitusi sinonim atau substitusi non-sinonim. Substitusi sinonim adalah
perubahan nukleotida yang terjadi tidak diikuti perubahan asam amino dari protein yang
diekpresikan. Kejadian mutasi seperti ini dapat terjadi, karena adanya coding redundancy
kecuali asam amino methionin dan asam amino triptofan yang hanya disandi oleh satu
kodon. Sebaliknya, substitusi non-sinonim adalah perubahan nukleotida yang diikuti
dengan perubahan asam amino penyusun protein yang diekspresikan (Nei dan Kumar,
2000). Tuffereau et al. (1989) melaporkan bahwa substitusi asam amino arginin pada
posisi 333 gen glikoprotein dengan asam amino yang lain seperti glisin, isoleusin, leusin,
methionin atau sistein akan menyebabkan menurunnya patogenitas virus rabies.
Disamping itu, menurut Nagarajan et al. (2006) perubahan asam amino yang bersifat
spesifik yang terjadi dari substitusi non-sinonim pada gen-gen virus rabies merupakan
penanda molekuler (molecular marker). Dibia et al. (2014b) menyebutkan bahwa virus
rabies strain Bali memiliki penanda molekuler berupa asam amino isoleusin pada posisi
308 (open reading frame) gen penyandi nukleoprotein. Walaupun demikian, mengingat
virus rabies adalah virus RNA yang dikenal sangat cepat mengalami mutasi di alam seiring
dengan perjalanan waktu, maka perlu dibuktikan bahwa penanda molekuler virus rabies
Bali yakni asam amino pada posisi 308 masih conserve. Berbasis penanda molekuler pada
virus rabies Bali tersebut, sangat memungkinkan untuk dapat dikembangkan metode RTPCR yang mampu membedakan virus rabies Bali dengan non Bali, tanpa harus melakukan
sekuensing nukleotida dari gen virus rabies. Disamping itu, penanda molekuler dapat
digunakan sebagai penanda epidemiologi (epidemiology marker) untuk melacak
penyebaran rabies melalui teknik biologi molekuler. Salah satu metode uji tersebut adalah
RT-PCR.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dapat diidentifikasi masalah
sebagai berikut :
1.
Apakah penanda molekuler virus rabies Bali masih stabil?
2.
Apakah metode uji RT-PCR yang dikembangkan dapat digunakan untuk
mengidentifikasi virus rabies isolat Bali dan isolat non Bali ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1.
Untuk mengetahui stabilitas penanda molekuler virus rabies Bali.
2.
Mengembangkan
metode
uji
RT-PCR
yang
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi virus rabies isolat Bali dan isolat non Bali.
1.4 Manfaat Penelitian
Keluaran yang diharapkan dari kegiatan pengembangan metoda ini adalah:
1.
Dapat menjadi informasi ilmiah tentang kestabilan penanda molekuler virus rabies
Bali.
2.
Dapat mengembangkan metode RT-PCR sebagai perangkat diagnosa yang mampu
mengidentifikasi virus rabies spesifik isolat Bali sehingga dapat digunakan untuk
melacak dinamika penyebarannya.
Download