MADRASAH SEBAGAI SOLUSI DIKOTOMI PENDIDIKAN Oleh; Achmad Nasrudin, M.Pd. (Pendidik di MIN 1 Tubaba) Almarhum kakek saya sering menyampaikan dongeng tentang kisah pendidikan masa remajanya kepada para cucunya. Sebagai keluarga Wedana (pembantu bupati) di salah satu wilayah Jawa di era kolonial, beliau diminta ayahnya untuk masuk MULO (SMP umum) selepas lulus HIS (SD umum). Akan tetapi, atas saran ibunya beliau menolak dengan dalih ingin belajar agama di Pesantren. Sang Ibu yang memang berdarah santri merasa sayang jika anaknya sekolah, pada akhirnya hanya akan menjadi pegawai penjajah dan tak mengenal agama, seperti ayahnya. Akhirnya, jadilah kakek seorang yang cukup ‘alim, namun “hanya bisa” menjadi petani karna tak punya ijazah pendidikan formal untuk melamar kerja di sektor formal. Berbagai peristiwa kegundahan memilih pendidikan tersebut banyak kita temui diberbagai keluarga. Ada satu keluarga yang ingin anaknya sekolah umum dengan harapan kelak bisa mudah mendapat pekerjaan formal, dengan konsekwensi tak memiliki bekal ilmu agama. Dilain pihak, ada orang tua yang mendorong anaknya masuk pesantren untuk mendalami ilmu agama agar kelak menjadi ulama, dengan resiko tak memiliki ijazah pendidikan formal untuk bekal mencari kerja. Beragam fakta tersebut merupakan akibat dari fenomena yang dinamai dikotomi pendidikan. Dikotomi berasal dari bahasa Inggris dichotomy yang artinya pembagian dua bagian, pembelahan dua, bercabang dua bagian. Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian di dua kelompok yang saling bertentangan. Secara terminologis, dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). Beberapa pakar menengarai, faktor penyebab terjadinya dikotomi pendidikan Islam karena: Pertama, faktor perkembangan pembidangan ilmu itu sendiri, yang bergerak demikian pesat sehinggga membentuk berbagai cabang disiplin ilmu, bahkan anak cabangnya. Hal ini menyebabkan jarak ilmu dengan induknya, filsafat, dan antara ilmu agama dengan ilmu umum, kian jauh. Kedua, faktor historis perkembangan umat Islam ketika mengalami masa stagnan atau kemunduran sejak Abad Pertengahan. Pada era ini ilmu Fiqih terlalu dominan, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi kurang menjadi perhatian umat Islam. Da Ketiga, faktor internal kelembagaan pendidikan Islam yang kurang mampu melakukan upaya pembenahan dan pembaruan akibat kompleksnya problematika ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya yang dihadapi umat dan negara yang berpenduduk mayoritas Islam. Senada, Al-Faruqi menjelaskan, dikotomi pendidikan Islam disebabkan oleh dua faktor, yaitu: pertama imperialisme atau kolonialisme Barat atas dunia Islam, kedua pemisahan antara pemikiran dan aksi di kalangan umat Islam. Di Indonesia, bentuk dikotomi pendidikan berlangsung sejak adanya sistem lembaga pendidikan di era pertengahan abad ke-19 hingga memasuki masa kemerdekaan. Kala itu, belanda menerapkan politik etik yang salah satu bentuknya membuka sekolahan bagi kaum bumi putera (SR) pada tahun 1870. Tentu, dengan tujuan untuk kepentingan mereka di tanah jajahannya, seperti untuk mencetak tenaga kerja. Dalam sitem pendidikan ini, pendidikan agama tidak diberikan di sekolah dengan alasan pemerintah bersikap netral untuk tidak mencampuri masalah pendidikan agama, karena pendidikan agama merupakan tanggung jawab keluarga. Dipihak lain, pribumi Indonesia yang memiliki keteguhan aqidah serta jiwa nasionalis (kaum Santri) tak mau mengikuti pola pendidikan belanda. Mereka memperkuat basis pendidikan agama melalui lembaga pesantren. Di pesantren, peserta didik mendapatkan pelajaran agama secara mendalam, hanya mendapat sedikit porsi pendidikan umum (Sains). Setelah Indonesia merdeka, para pemimpin dan perintis kemerdekaan menyadari betapa pentingnya pendidikan agama. Bahkan, Kihajar Dewantoro selaku Menteri pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan pada kabinet pertama menyatakan pendidikan agama perlu diajarkan di sekoklah-sekolah negeri. Akan tetapi, praktek dikotomi juga tak langsung berhenti hingga saat ini baik secara kultural mapun struktur kenegaraan. Secara kultural, masyarakat umum bahkan sebagian pelaku pendidikan masih menganggap adanya pemilahan “ilmu-ilmu agama” (al-‘umum aldiniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum”. Dari sisi struktural nampak lebih nyata. Meskipun telah menjadi bagain dari sistem pendidikan nasional melalui UU Sisdiknas 3003, namun pendididkan Agama Islam melalui madrasah, institut agama, dan pesantren masih menjadi kaplingan Kemementrian Agama, sedangkan pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, dan kejuruan serta perguruan tinggi umum dikelola oleh Kementerian Pendidikan Nasional. Padahal sesungguhnya ilmu tak berbeda, semuanya datang dan milik Allah. Juga, pendidikan Islam tidak semata-mata mengajarkan pengetahuan Islam secara teoritik belaka, tetapi pendidikan Islam juga menekankan pada pembentukan sikap dan perilaku serta memberi bekal pengetahuan teknologi serta kecakapan hidup layaknya pendidikan umum. Kegundahan akan adanya dikotomi pendidikan harus lekas diakhiri. Al-Faruqi menawarkan Islamisasi ilmu dalam pendidikan Islam, yakni dengan melebur dua sistem pendidikan; tradisional dan modern, menjadi sistem pendidikan yang berwawasan Islam. Ide ”Islamisasi Ilmu” dalam pendidikan Islam berisikan suatu prinsip; bahwa keilmuan Barat tidak harus ditolak, dapat diterima tetapi harus melalui proses filterisasi yang disejalankan dengan nafas Islami. Lebih kongkrit lagi, Fazlur Rahman memberi solusi dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang secara umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk “mengislamkan”nya dengan mengisinya dengan ajaran dan nilai Islam. Hal yang perlu dilakukan ialah melakukan modernisasi pendidikan Islam, yakni membuatnya mampu untuk produktivitas intelektual Islam yang kreatif dalam semua bidang usaha intelektual bersamasama dengan keterkaiatan yang serius kepada Islam. Terlepas dari berbagai diskursus pro dan kontra posisi dibawah naungan kementerian apa, penulis meyakini bahwa madrasah merupakan sintesis dan solusi bagi umat Islam untuk mengakhiri sejarah dikotomi pendidikan Islam. Dengan sistem yang telah dimiliki di semua jenjang (MI,MTs dan MA), madrasah merupakan perguruan atau lembaga pendidikan yang paling ideal bagi umat islam di Indonesia. Dari aspek kurikulum, madrasah mengajarkan seluruh ilmu yang diajarkan oleh sekolah umum, sekaligus diperkaya dengan lima cabang ilmu ke-Islaman. Selain itu madrasah juga memiliki guru dan media belajar yang berkualitas. Sehingga optimisme dan kebanggaan patut disandangkan kepada madrasah, sebagai lembaga pendidikan terbaik bagi Umat Islam sekaligus bangsa Indonesia. Semoga!Panaragan, 13 April 2016