Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA Februari 2011 VOL. XI NO. 2, 380-391 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN Fatimah Ibda Dosen Tetap Pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Abstract This article discusses some approaches in understanding children’s moral development. Moral development is one of common topics discussed in social development. The issues about children adaptation to the rules and moral values can be traced from three philosophical concepts, they are: first, the concept initiated by Augustine (354-430 M) in which child is seen as someone who is full of sins. Children need to be punished by adults. Second, the concept of Locke ((1632-1704). Students are considered neutral morally or tabularasa. Exercises and experiences will determine whether they are good or bad. The last is Rousseau concept (1712-1778). He has an idea that children are innately pure. Immoral behavior resulted from adults influences. Abstrak Artikel ini mencoba mendiskusikan beberapa pendekatan dalam memahami perkembangan moral pada anak. Perkembangan moral merupakan salah satu topik yang banyak dibahas dalam perkembangan sosial. Pembicaraan mengenai penyesuaian anak terhadap aturan-aturan dan nilai-nilai moral dapat ditelusuri melalui tiga konsep filosofis yaitu pertama, konsep yang dikemukakan oleh Augustine (354-430 M). Konsep ini memandang anak pada dasarnya penuh dosa. Anak membutuhkan perlakuan hukuman dari orang dewasa. Kedua; konsep yang dikemukakan oleh Locke (1632-1704). Anak dipandang netral secara moral atau tabularasa. Latihan dan pengalaman akan menentukan apakah anak akan menjadi baik atau buruk. Dan terakhir, konsep yang dikemukakan Rousseau (1712-1778). Menurut Rousseau anak memiliki pembawaan suci. Perilaku tidak bermoral sebagai hasil dari ubahan orang dewasa. Kata Kunci: moralitas, perkembangan moral, perilaku moral. PENDAHULUAN Dalam pandangan psikologi kontemporer ketiga konsep filosofis perkembangan moral tersebut di atas sejalan dengan teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh Freud. Pendekatan kedua muncul dalam pandangan teori belajar kognitif yang dikemukakan oleh Piaget dan Kohlberg, dan pendekatan ketiga muncul dalam pandangan teori belajar sosial yang dikembangkan oleh Fatimah Ibda Damon. Ketiga pandangan ini akan di bahas secara mendalam dalam tulisan di bawah ini. Perkembangan Moral Dalam Pandangan Teori Psikoanalisis Menurut pandangan teori psikoanalisis perkembangan moral berakar dalam pemunculan super ego.1 Freud menyatakan anak memiliki dorongan bawaan yaitu insting agresif dan seksual yang ada di dalam id. Orangtua menghalangi dorongandorongan ini untuk mensosialisasikan anak agar sesuai dengan norma-norma masyarakat. Permusuhan ini menyebabkan perlawanan anak terhadap orangtuanya, tetapi karena anak takut kehilangan cinta orangtuanya, anak menekan permusuhan dan memunculkan kerjasama yang oleh Freud disebut internalisasi. Proses internalisasi norma-norma orangtua menjadikan anak memiliki moral karena menghindari hukuman, kecemasan, dan kesalahan. Dengan mengambil evaluasi orangtua terhadap perilakunya, anak menginternalisasikan ke dalam dirinya norma-norma moral dari masyarakat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kesadaran adalah hasil dari identifikasi. Dengan proses identifikasi anak menuntut dirinya untuk sesuai (conform) dengan norma-norma tingkah laku yang memunculkan superego. Perilaku anak cenderung didasarkan pada hedonistik yang ditentukan oleh reward (hadiah) eksternal dan sangsi. Secara perlahan-lahan anak mulai menginternalisasi standarstandar moral dan larangan dalam cara yang sama dengan sifat orangtuanya. Anak merasa cemas dan menghukum dirinya bila ia melakukan sesuatu yang dia yakini orangtua akan menghukumnya. Internalisasi mengacu pada pengambilan norma-norma sosial melalui usaha dari pemberi sosialisasi awal yaitu orangtua.2 Orangtua menyajikan panduan yang diinternalisasi sehingga anak berperilaku mengacu pada nilai-nilai meskipun ketika otoritas eksternal tidak ada di sisi anak. Pengendalian yang semula dilakukan oleh orangtua digantikan dengan pengendalian diri oleh anak sendiri. 1 Hoffman, M.L., Discipline and Internalization, Developmental Psychology.30, 26-28, 1994. 2 Staub, E., Positive Social Behavior and Morality, Social and Personal Influences, New York: Academic Press Inc, 1978. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----381 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN Konsep mengenai internalisasi sering digunakan untuk menunjuk pada adopsi anak terhadap norma-norma sosial dan menghasilkan kontrol yang evaluatif terhadap perilakunya. Proses internalisasi ini dilakukan oleh sebagian besar fungsi kognitif dan proses verbal. Perkembangan Moral dalam Pandangan Teori Kognitif Teori perkembangan kognitif memandang bahwa perkembangan moral tumbuh searah dengan perkembangan kognitif secara perlahan-lahan dan berkelanjutan tanpa banyak terjadi perubahan yang tiba-tiba. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Piaget dan Kohlberg yang menyatakan bahwa perkembangan moral pada anak cenderung berkembang melalui rangkaian urutan tingkatan tertentu, kemampuan untuk berkembang dari satu tingkatan ke tingkatan yang lain tergantung pada hubungan perkembangan kognitif.3 Piaget menyatakan bahwa ada keteraturan dan pola yang logis dalam perkembangan penalaran moral pada anak. Perkembangan ini didasarkan pada urutan perubahan berkaitan dengan pertumbuhan intelektual anak, khususnya tahap yang dicirikan dengan munculnya berpikir logis. Lebih lanjut Piaget menyatakan bahwa perkembangan moral sejajar dengan perkembangan kognitif, karena dengan perkembangan penalaran moral terjadi perubahan kualitatif pada kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi isu moral yang melalui caranya sendiri berupaya menentukan tingkah laku moral. Piaget memberikan dua tahap dari teori perkembangan moral. Pertama, moralitas heteronomi; muncul dari interaksi yang tidak seimbang antara anak dan orang dewasa. Selama masa pra sekolah dan awal tahun pertama sekolah, anak terbenam dalam lingkungan otoriter di mana mereka menempati posisi inferior dari orang dewasa. Anak mengembangkan konsep aturan moral yang absolut, tidak berubah, dan kaku. Pada tahap ini anak memandang aturan moral sebagai sesuatu yang telah ditetapkan dari luar individu karena adanya figur otoritas. Pada saat anak memasuki masa remaja muncul suatu tahap baru dalam perkembangan moral yang disebut dengan moralitas autonomi; muncul dari interaksi status yang seimbang dalam hubungan di antara teman sebaya. Melalui 3 Piaget, J., Moral Judgement of The Child, New York: Free Press, 1965. 382----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Fatimah Ibda hubungan dengan teman sebaya, anak memperoleh pengertian tentang keadilan, perhatian terhadap hak-hak orang lain, persamaan hak, dan hubungan manusia. Moralitas autonomi digambarkan sebagai moralitas atas dasar persamaan dan demokrasi yang oleh Piaget dinamakan dengan moralitas kerjasama. Ada empat dimensi yang membedakan antara tahap moralitas heteronomi dan autonomi. Dimensi-dimensi ini didefinisikan berkenaan dengan ketidakmatangan atau tahap heteronomi yaitu 1) moral absolut. Anak berasumsi di semua waktu dan tempat peraturan yang berlaku sama. Mereka memandang peraturan sebagai eksistensi dari diri mereka sendiri. 2) konsep tentang peraturan tidak dapat diubah. Anak meyakini bahwa peraturan adalah kaku dan tidak dapat diubah. 3) Keyakinan bahwa keadilan pasti ada. Anak berasumsi kemalangan yang terjadi pada dirinya diakibatkan kesalahan yang dilakukannya. Misalnya anak mencuri sesuatu tetapi gagal dan jatuh terluka maka dia berpikir hal itu terjadi akibat dia mencuri dan, terakhir mengevaluasi tanggung jawab yang berhubungan dengan sebab akibat. Anak menilai sebuah tindakan lebih didasarkan pada hasilnya daripada maksud pelaku. Keterbatan moral pada tahap heteronomi antara usia 7 sampai 11 tahun berhubungan erat dengan kemampuan berpikir pra operasional dan konkrit operasional di mana pada tahap pra operasional kemampuan berpikir anak masih bersifat subyektif sedang pada tahap konkrit operasional mulai berkembang kemampuan menerima dunia luar menurut adanya (objektif). Lebih lanjut Piaget mengidentifikasi dua faktor yang mendasari keterbatasan penalaran moral pada tahap heteronomi ini. Pertama, selama periode pra operasional anak lebih terpusat pada egosentris. Mereka tidak dapat mendesentralisasi pandangannya dan menerima dunia dari perspektif orang lain. Sedangkan setelah usia 11 tahun anak memasuki tahap operasional formal. Anak memandang moralitas lebih fleksibel, dan berorientasi sosial. Pada tahap ini anak sudah mampu mengembangkan kemampuan berpikir abstrak dan konseptualisasi. Kohlberg memperluas dan merevisi teori Piaget. Kohlberg mengemukakan tiga tingkatan perkembangan moral. Ketiga tingkatan itu mencerminkan tiga Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----383 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN orientasi sosial yang berbeda. Masing-masing tingkatan dibagi menjadi dua tahapan.4 Urutan tahapan perkembangan penalaran moral tersebut adalah: Tingkatan Pra-Konvensional Tahap 1. Orientasi hukuman dan kepatuhan. Konsekuensi fisik merupakan landasan penilaian dari baik-buruknya suatu tindakan. Anak patuh agar terhindar dari hukuman. Tahap 2. Orientasi relativitas instrumental. Anak mencoba memenuhi harapan sosial dengan selalu berbuat baik. Hal ini dilakukan hanya sebagai sarana untuk memperoleh reward (hadiah). Elemen timbal balik sudah mulai tampak tetapi hanya dipahami secara fisik dan pragmatis belum merupakan prinsip keadilan yang sesungguhnya. Tingkatan Konvensional Tahap 3. Orientasi masuk ke kelompok ‘anak baik’ dan ‘anak manis’. Menjadi anak baik adalah hal yang paling dianggap penting. Individu belajar memutuskan bagaimana seharusnya bertindak dan mempertimbangkan perasaan orang lain supaya dirinya diterima. Individu berupaya untuk selalu berbuat baik dengan menjadi anak manis karena dia percaya bahwa hal yang benar adalah hidup sesuai dengan harapan orang lain yang dekat dengan dirinya. Tahap 4. Orientasi hukuman dan ketertiban. Pemenuhan kewajiban, rasa hormat terhadap otoritas merupakan hal penting yang harus dijalani. Hukum dan tata tertib bermasyarakat adalah sesuatu yang dijunjung tinggi dan memelihara ketertiban sosial yang sudah ada demi ketertiban itu sendiri. Maka individu selalu berusaha untuk mematuhi segala aturan agar dirinya diterima. Tingkatan Pasca-Konvensional Tahap 5. Orientasi kontrak sosial legalistik. Timbul kesadaran bahwa setiap orang tidak harus memiliki nilai-nilai dan pendapat yang sama. Nilai-nilai, aturan, norma hukum mempunyai arti yang relatif bagi masing-masing orang. Oleh karenanya hukum dapat diubah melalui cara yang demokratis. Hukum bukan sesuatu yang absolut dan kaku. 4 Kohlberg, L., The Psychology of Moral Development, San Fransisco: Harper and Row, 1984. 384----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Fatimah Ibda Tahap 6. Orientasi asas etika universal. Kebenaran dihayati sebagai hasil dari suara hati yang logis dan sesuai dengan prinsip-prinsip etika universal yaitu prinsip keadilan, pertukaran hak, keseimbangan, dan kesamaan hak asasi manusia serta penghormatan terhadap martabat manusia. Konformitas dilakukan bukan berdasar perintah tetapi karena hasrat dan dorongan dari dalam diri sendiri. Ketiga tahapan tersebut tidak didasarkan pada apa yang menjadi keputusan moral tetapi lebih pada penalaran yang digunakan untuk sampai pada keputusan yang dibuat. Tiap-tiap tahapan ini menggambarkan pola ciri yang berbeda dari hubungan antara diri (self) dan aturan-aturan masyarakat serta harapan. Perkembangan moral tiap individu ini mengikuti pola urutan yang tidak dapat dilompati sehingga bila terdapat perbedaan disebabkan masing-masing individu mempunyai kesempatan yang tidak sama dalam mencapai tahap tertentu. Tingkatan pra konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang kebanyakan dicapai oleh anak di bawah usia 9 tahun dan sebagian remaja dan para pelaku tindak kriminal baik remaja maupun orang dewasa. Pada tahap ini aturanaturan dan harapan lebih didasarkan pada luar diri individu atau eksternal. Tingkatan konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang kebanyakan telah dicapai oleh remaja dan orang dewasa. Pada tahap ini individu telah menginternalisasikan aturan-aturan dan harapan masyarakat. Tingkatan pasca konvensional adalah tingkatan penalaran moral yang biasanya dicapai oleh orang dewasa awal yaitu setelah usia 20 tahun atau pada tahap remaja akhir. Pada tahap ini individu sudah membedakan antara diri mereka dan aturan-aturan serta harapan-harapan orang lain, lebih mendefinisikan nilainilai mereka secara rasional, dikenal dengan prinsip-prinsip pilihan diri.5 Zanden mengemukakan bahwa orang dalam semua budaya memakai konsep moral dasar yang sama dengan memasukkan keadilan, persamaan, cinta, kehormatan, dan hak. 6 Semua individu dalam semua budaya melalui tahapan dan urutan penalaran moral yang sama dengan konsep perkembangan moral tersebut di atas. Demikian juga pendapat Colby dan Kohlberg bahwa aturan yang menata perkembangan tahapan tersebut sama untuk setiap individu, hal ini bukan 5 Kohlberg, L., The Psychology of ..., hal. 272-279. 6 Zanden, J.W.V., Human Development, Third Edition, New York: Alfred A. Knopf, 1985 Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----385 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN disebabkan karena tahapan-tahapan tersebut dari pembawaan lahir melainkan karena adanya logika yang melandasi urutan perkembangan tahapan itu.7 Perbedaannya hanya dalam bagaimana cepatnya mereka berpindah dari satu tahapan ke tahapan berikutnya dan seberapa jauh mereka berkembang selama tahapan itu. Dari sudut pandang kedua ahli ini tampaknya moral bukanlah persoalan pikiran atau pendapat tetapi lebih pada moralitas yang universal. Perkembangan Moral dalam Pandangan Teori Belajar Sosial Teori belajar sosial menekankan pada besarnya pengaruh lingkungan sosial dalam mengajarkan anak berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial yang ada. Salah satu pandangan dalam teori ini dikemukakan oleh Damon. Damon mengidentifikasi perkembangan moral anak dari cara anak memberikan alasan tentang keadilan. Dengan mengajukan dilema-dilema moral pada anak usia 4 (empat) sampai 9 (sembilan) tahun. Kepada anak diberikan pertanyaan bagaimana mereka membagi sesuatu diantara sesamanya.8 Dari jawaban anak tersebut Damon memberikan tingkat perkembangan moral sebagai berikut: Tingkatan 1. Anak menyatakan pilihan mereka dan tidak berusaha membagi secara adil diantara sesamanya. Contoh anak mengatakan harus mendapatkan es krim yang lebih banyak dari kakaknya karena dia menyukai es krim dan dia memang ingin lebih banyak. Tingkatan 2. Anak membenarkan pilihannya lebih didasarkan pada lingkungan eksternal. Sifat-sifat yang dapat diamati seperti ukuran, usia, atau sejumlah karakteristik lain. Contoh anak mengatakan harus memperoleh es krim lebih banyak karena dia lebih besar atau karena berlari lebih cepat. Tingkatan 3. Anak mengembangkan pikiran bahwa keadilan adalah penyamaan secara tegas. Misalnya setiap orang harus memperoleh bagian yang sama. Tingkatan 4. Anak mulai mengembangkan pikiran tentang kebaikan. Misalnya orang bekerja keras, pintar atau melakukan tindakan terpuji harus diberi hadiah karena mereka memang berhak mendapatkannya. 7 Kurtines, W.L. and Gewirtz, J.L., Morality, Moral Behavior and Moral Development, New York: John Wiley and Sons Inc, 1984. 8 Zanden J.W.V, Human…, hal .153-159. 386----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Fatimah Ibda Tingkatan 5. Anak memperoleh pengertian relatifitas moral. Mereka sudah dapat menerima bahwa orang memang dapat berbeda. Tingkatan 6. Anak berusaha menyeimbangkan tuntutan-tuntutan konflik didasarkan dari pandangan persamaan; setiap orang harus menerima dalam jumlah yang sama suatu hadiah, dan keadilan; hadiah harus dibagikan secara proposional diantara individu sesuai dengan kebutuhannya. Anak-anak jarang menggunakan satu tipe penalaran moral secara eksklusif, tetapi mereka cenderung menggunakan tingkat penalaran moral yang lebih tinggi dengan frekuensi yang lebih besar ketika mereka lebih tua. Inkonsistensi antara Penalaran Moral dengan Perilaku Moral Perilaku moral adalah perilaku sehari-hari yang diterima sebagai benar dan salah. Menurut Coles perilaku moral diungkapkan dalam tindakan; bagaimana orang harus berperilaku dan bersikap terhadap orang lain.9 Tingkat kematangan penalaran moral belum mampu memprediksi bagaimana seseorang akan bereaksi dalam keadaan yang sebenarnya ketika dihadapkan dalam situasi pada perilaku yang diharapkan atau tidak diharapkan secara moral. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang konsisten antara penalaran moral dengan perilaku moral misalnya perilaku menyontek.10 Dalam penelitian lain anak diberi tugas membuat gelang lalu mereka di wawancara secara individual bagaimana cara yang paling adil membagi gelang tersebut diantara sesamanya, sebagian besar anak mengatakan semua gelang harus dibagi secara adil karena mereka telah bekerja keras, namun ketika mereka membagikannya cenderung didasarkan pada kepentingan pribadi. Dalam penelitian lebih lanjut ditemukan juga bahwa anak yang mencapai tahapan tiga pada perkembangan moral Kohlberg yaitu orientasi ‘anak baik’ di mana anak berupaya untuk selalu berbuat baik sesuai dengan harapan orang lain terutama orangtuanya, namun ketika adiknya merusak mainan favoritnysa, dia akan memukulnya meskipun orangtua mencela perilakunya. 9 Coles, R., Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak. Alih bahasa: T.Hermaya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000. 10 Hetherington, E.M. and R.D. Parke., Child Psychology: A Contemporary Viewpoint, Toronto: McGraw-Hill Inc, 1979. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----387 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN Pengetahuan tentang penalaran moral saja tidak cukup untuk memahami mengapa orang menunjukkan perilaku berbeda dalam situasi moral yang berbedabeda. Ada sejumlah faktor yang berhubungan dengan perilaku moral. Misalnya motivasi, nilai-nilai, pengalaman masa lalu, dan hasil yang diperoleh dari pelanggaran moral. Penelitian yang dilakukan oleh Hartshorne dan Feldman menemukan bahwa mahasiswa belajar menyontek dalam tiga kali ujian, 59 persen mahasiswa menyontek dalam satu dari tiga ujian. 64 persen menyontek dalam dua dari tiga ujian, dan 22 persen menyontek dalam ketiga ujian tersebut.11 Berbeda dengan Hurlock yang menyatakan bahwa perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak lebih disebabkan oleh ketidaktahuan akan apa yang diharapkan padanya atau karena salah mengerti peraturan. Beberapa pelanggaran yang dilakukan anak adalah usaha untuk menguji tokoh otoriter dan untuk memaksakan kemandiriannya. Namun sebagian besar pelanggaran yang dilakukan anak merupakan akibat dari keikutsertaannya dalam perbuatan kelompok yang salah. Diantara pelanggaran perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak yang umum terjadi di sekolah antara lain: mencuri, menipu, berbohong, menggunakan kata-kata kasar dan kotor, merusak milik sekolah, membolos, mengganggu anak lain dengan mengejek, menggertak, menciptakan gangguan, membaca komik atau mengunyah permen, berbisik-bisik, melucu, membuat gaduh di kelas, berkelahi dengan teman sekelas, dan minum obat-obatan terlarang. Sedangkan pelanggaran di rumah yang umum terjadi pada akhir masa kanak-kanak di antaranya: berkelahi, mencuri dan merusak barang milik saudara, bersikap kasar kepada saudara yang lebih dewasa, malas melakukan kegiatan rutin, melalaikan tanggung jawab, berbohong, dan tidak jujur.12 Disamping itu, ada enam bahaya moral yang umumnya dikaitkan dengan perkembangan sikap dan perilaku moral pada akhir masa kanak-kanak yaitu: pertama, perkembangan kode moral berdasarkan konsep teman-teman atau berdasarkan konsep media massa tentang benar dan salah yang tidak sama dengan kode moral orang dewasa; kedua, tidak berhasil mengembangkan suara hati sebagai pengawas dalam terhadap perilaku; ketiga, disiplin yang tidak konsisten 11 Stewart, A.C. and J.B. Koch., Children Development Through Adolescence, New York: John Wiley and Sons, 1983. 12 Hurlock, E.B., Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, 1997. 388----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Fatimah Ibda membuat anak tidak yakin akan apa yang sebaiknya dilakukan; keempat, hukuman fisik merupakan contoh agresivitas anak; kelima, menganggap dukungan temanteman terhadap perilaku yang salah begitu memuaskan sehingga perilaku tersebut menjadi kebiasaan; dan keenam, tidak sabar terhadap perbuatan orang lain yang salah. SIMPULAN Ada beberapa emosi moral negatif yang dapat dimasukkan ke dalam budaya untuk mengatasi krisis moral pada anak seperti rasa malu dan rasa bersalah. Malu yang didefinisikan sebagai salah satu bentuk rasa rendah diri ekstrem yang terjadi ketika anak-anak merasa gagal memenuhi harapan orang lain dalam bertindak. Rasa malu juga didefinisikan sebagai reaksi emosi yang tidak menyenangkan, timbul pada diri seseorang sebagai akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Rasa malu hanya bergantung pada sanksi eksternal, walaupun mungkin disertai rasa bersalah. Rasa malu disetujui sebagai cara yang tepat untuk menghukum orang yang berperilaku antisosial. Ekspresi dari perasaan-perasaan negatif ini khususnya rasa malu dan rasa bersalah setelah melakukan pelanggaran moral ditunjukkan dari rasa takut yang terekspresikan karena konsekuensi eksternal. Disisi lain rasa bersalah terjadi bila anak gagal memenuhi standar perilaku yang diterapkannya sendiri. Hal ini terjadi karena setiap pengalaman yang melibatkan emosi ekstrem akan memberikan efek langsung yang lebih nyata pada perilaku anak sekaligus efek jangka panjang pada perkembangan kepribadian. Rasa bersalah juga dikatakan lebih berdaya guna dan lebih membekas sebagai pemotivasi moral. Rasa bersalah sebagai evaluasi diri khusus yang negatif terjadi bila individu mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakan wajib untuk dipenuhi. Anak yang merasa bersalah pada tindakan yang dilakukannya telah mengakui pada dirinya bahwa perilakunya jauh di bawah standar yang ditetapkannya sendiri. Rasa bersalah bergantung pada sanksi internal dan eksternal. Rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikologis yang paling penting dalam proses sosialisasi. Apabila anak tidak merasa bersalah, anak tidak Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----389 PERKEMBANGAN MORAL PADA ANAK DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN akan merasa terdorong untuk belajar sesuai yang diharapkan kelompok sosialnya atau untuk menyesuaikan perilakunya dengan harapan masyarakatnya. Perkembangan moral juga dipengaruhi oleh cara-cara dan nilai-nilai dalam membesarkan anak. Nilai-nilai ini sangat ditentukan oleh budaya suatu bangsa atau suku. Budaya dikatakan dapat mengkomunikasikan standar etika dan pembentukan serta penguatan kebiasaan perilaku yang baik pada pertumbuhan anak. Anak diharapkan belajar aturan-aturan, mengalami ketidakenakan emosi ketika melanggar aturan-aturan moral serta merasakan kepuasan ketika mematuhinya. Aspek lain yang dapat dikembangkan untuk menanamkan perilaku moral pada anak adalah melalui penerapan disiplin. Disiplin merupakan suatu cara untuk mengajarkan anak berperilaku moral yang sesuai dengan harapan sosial. Tujuan dari semua bentuk disiplin ini adalah untuk membentuk perilaku sehingga perilaku tersebut sesuai dengan budaya dimana seseorang individu itu hidup. Dan yang terpenting perilaku moral yang sesungguhnya tidak hanya sesuai dengan standar sosial tetapi harus dilakukan dengan tulus didasarkan pada dorongan hati nurani. Perilaku moral pada anak harus dikembangkan untuk memiliki keinginan melakukan suatu perbuatan yang baik dan menjauhkan perbuatan yang buruk. Seiring dengan perkembangannya anak juga harus diberikan pemahaman mengapa hal ini dikatakan “benar” dan hal itu dikatakan “salah”. 390----|--- Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011 Fatimah Ibda DAFTAR PUSTAKA Coles, R., Menumbuhkan Kecerdasan Moral Pada Anak. Alih bahasa: T.Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama , 2000. Hetherington, E.M. and R.D. Parke., Child Psychology: A Contemporary Viewpoint. Toronto: McGraw-Hill Inc, 1979. Hoffman, M.L., Discipline and Internalization, Developmental Psychology.30, 26-28, 1994. Hurlock, E.B., Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, 1997. Kohlberg, L., The Psychology of Moral Development, San Fransisco: Harper and Row, 1984. Kurtines, W.L. and Gewirtz, J.L., Morality, Moral Behavior and Moral Development, New York: John Wiley and Sons Inc, 1984. Piaget, J., Moral Judgement of The Child, New York: Free Press, 1965. Staub, E., Positive Social Behavior and Morality, Social and Personal Influences, New York: Academic Press Inc, 1978. Stewart, A.C. and J.B. Koch., Children Development Through Adolescence, New York: John Wiley and Sons, 1983. Zanden, J.W.V., Human Development, Third Edition. New York: Alfred A. Knopf, 1985. Jurnal Ilmiah Didaktika Vol. XI, No. 2, Februari 2011----|----391