Warisan Tokoh-tokoh Bangsa adalah Toleransi

advertisement
2016/6/20
Warisan Tokoh-tokoh Bangsa adalah Toleransi
Jakarta. Catatan Setara Institute menunjukkan, pelanggaran kebebasan
beragama dan berkeyakinan menunjukkan angka yang tinggi di 23 provinsi.
Periode Januari hingga November 2013 terjadi 213 peristiwa dengan 243
tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dengan fenomena ini, sikap toleransi menjadi penting.
Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak
menilai, persoalan intoleransi muncul karena rendahnya literasi sejarah
anak-anak muda saat ini.
Menurut Dahnil, pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang toleran dan menghargai keberagaman.
Hal ini bisa terlihat dari cara nenek moyang menerima agama dan
kebudayaan yang masuk dari luar, seperti Hindu, Buddha, Kristen dan
Islam.
"Pada dasarnya, secara genetika Indonesia itu sangat toleran.
Contohnya, ketika dulu agama Hindu masuk ke Indonesia, kemudian masuk
agama Buddha dan Kristen, lalu Islam. Itu sebenarnya menunjukkan secara
budaya, orang Indonesia relatif terbuka," ujar Dahnil saat ditemui
di sela Konferensi Antikorupsi, di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah,
Jakarta, Minggu (19/6/2016).
Dahnil mengatakan, jika mengacu pada fakta sejarah, seharusnya generasi
muda saat ini dapat memahami bahwa Indonesia dibangun atas kesadaran
akan keberagaman.
"Negeri ini dibangun atas kesadaran kolektif bahwa kita beragam.
Peristiwa seperti Sumpah Pemuda dan Kebangkitan Nasional oleh Boedi
Oetomo merupakan simbolisasi pengakuan terhadap keberagaman. Jika ada
pihak yang bertindak mengancam keberagaman itu sama dengan merusak
Indonesia," ungkapnya.
Selain itu, menurut Dahnil, ada satu peristiwa yang sering dilupakan
oleh banyak orang, yakni proses perumusan dasar negara Indonesia dalam
rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI).
Saat itu, sejumlah pemimpin politik berlatar belakang nasionalis Islam
seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, H. Agoes Salim dan Abdul
Kahar Muzakkir sepakat untuk menghilangkan tujuh kata dari sila pertama
Piagam Jakarta untuk mengakomodasi aspirasi kelompok agama lain.
Mereka sepakat agar Indonesia tidak pecah, maka sila pertama dalam
rumusan Piagam Jakarta yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya"
diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
"Momen itu mengingatkan bahwa kita tidak boleh egois. Kira-kira
seperti itu yang ingin ditunjukkan oleh Ki Bagus Hadikusumo. Mereka
sadar Indonesia ini beragam dan mau berkompromi, jadilah Ketuhanan Yang
Maha Esa," kata Dahnil.
Meneladani Kiai Ahmad Dahlan
Bagi Pemuda Muhammadiyah,lanjut Dahnil, upaya menjaga nilai-nilai
toleransi dilakukan dengan belajar memahami pesan-pesan yang
disampaikan oleh pendiri Muhammadiyah, Kiai Ahmad Dahlan.
Ia mengatakan, Kiai Ahmad Dahlan selalu menekankan pentingnya anak muda
memegang teguh prinsip yang dianutnya, tanpa harus bersikap fanatik
sempit dan tertutup dengan situasi di sekitarnya.
Praktik intoleransi dinilainya selalu muncul dari pandangan fanatik
yang menganggap satu paham tertentu sebagai kebenaran tunggal dan
menganggap paham lain yang tidak sejalan merupakan sebuah kesalahan.
"Seperti yang pernah dibilang oleh Kiai Ahmad Dahlan, orang yang
fanatik itu pasti orang bodoh. Kalau anak muda banyak baca sejarah,
maka praktik intoleransi tidak akan punya tempat di Indonesia. Leluhur
kita, tokoh-tokoh masyarakat zaman dulu itu tidak
mewariskanintoleransi, yang mereka wariskan adalah toleransi,"
ujar Dahnil.
Kiai Ahmad Dahlan, menurut Dahnil, selalu berpikiran terbuka dan
mengajarkan bahwa muslim harus bermanfaat untuk seluruh umat manusia.
"Kiai Dahlan memiliki pemikiran yang terbuka, frame yang digunakan
itu adalah kemanusiaan. Oleh sebab itu, anak-anak muda harus memahami,
apapun agama yang mereka anut, Indonesia memiliki karakter yang khas,
yaitu keberagaman," tutur Dahnil.
Sumber: Kompas
Download