konsep dasar keperawatan gerontik

advertisement
KONSEP DASAR KEPERAWATAN GERONTIK
PENGERTIAN
Ilmu + Keperawatan + Gerontik
•Ilmu : pengetahuan dan sesuatu yang dapat dipelajari
•Keperawatan : konsisten terhadap hasil lokakarya nasional keperawatan 1983
•Gerontik : gerontologi + geriatrik
•Gerontologi adalah cabang ilmu yang membahas/menangani tentang proses
penuaan/masalah yang timbul pada orang yang berusia lanjut.
•Geriatrik berkaitan dengan penyakit atau kecacatan yang terjadi pada orang yang berusia
lanjut.
•Keperawatan Gerontik : suatu bentuk pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu
dan kiat/teknik keperawatan yang berbentuk bio-psiko-sosio-spritual dan kultural yang
holistik, ditujukan pada klien lanjut usia, baik sehat maupun sakit pada tingkat individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat.
LINGKUP PERAN DAN TANGGUNGJAWAB
Fenomena yang menjadi bdang garap keperawatan gerontik adalah tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia (KDM) lanjut usia sebagai akibat proses penuaan.
Lingkup askep gerontik meliputi:
1. Pencegahan terhadap ketidakmampuan akibat proses penuaan
2. Perawatan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akibat proses penuaan
3. Pemulihan ditujukan untuk upaya mengatasi kebutuhan akibat proses penuaan
Dalam prakteknya keperawatan gerontik meliputi peran dan fungsinya sebagai berikut:
1. Sebagai Care Giver /pemberi asuhan langsung
2. Sebagai Pendidik klien lansia
3. Sebagai Motivator
4. Sebagai Advokasi
5. Sebagai Konselor
Tanggung jawab Perawat Gerontik
1. Membantu klien lansia memperoleh kesehatan secara optimal
2. Membantu klien lansia untuk memelihara kesehatannya
3. Membantu klien lansia menerima kondisinya
4. Membantu klien lansia menghadapi ajal dengan diperlakukan secara manusiawi
sampai dengan meninggal.
Sifat Pelayanan Gerontik
1. Independent (layanan tidak tergantung pada profesi lain/mandiri)
2. Interdependent
3. Humanistik (secara manusiawi)
4. Holistik (secara keseluruhan)
Model Pemberian Keperawatan Profesional
1. Model Asuhan
2. Model Manajerial◊berkaitan pada pengaturan/manajemen
Model asuhan yang sesuai masih dalam penelitian…………………………………
Diterima sementara ini “Ad an Adaptation Model of Nursing” (Sister Calista Roy)
PENDAHULUAN UMUM
Gerontologi
adalah bidang studi yang mempelajari aspek sosial, psikologi dan biologi dari proses
penuaan. Hal ini berbeda dengan geriatri, yang merupakan cabang dari ilmu kedokteran
yang mempelajari penyakit pada lanjut usia (lansia). Istilah geriatri ini berasal dari bahasa
Yunani geron yang berarti “orang tua” dan iatros yang berarti “penyembuh” alias dokter
atau dukun
Meski ilmu ini sudah diperkenalkan sejak 1909, namun perkembangannya tidak sepesat
ilmu kedokeran yang lain. Katakanlah ilmu biologi molekuler, saat ini sebagian
universitas terkenal di negeri ini “demam” dengan ilmu tersebut. Bisa jadi, penghargaan
kita terhadap generasi pendahulu kita perlu diperbaharui.
Konotasi “jompo” atau orang yang tidak berdaya, amat lekat pada lansia. Barangkali, bila
semakin banyak kelompok lansia yang cukup kaya untuk membiayai kesehatannya, ilmu
geriatri ini akan lebih berkembang
Di Amerika, ahli geriatri adalah dokter keluarga atau dokter penyakit dalam yang
memperoleh pelatihan sesuai kualifikasi ilmu geriatri. Pada pokoknya, dokter untuk
lansia ini bekerja di level komunitas. Sedangkan di Inggris, sebagian besar ahli geriatri
adalah ahli geriatri yang bekerja di rumah sakit, meskipun memiliki perhatian pula
terhadap geriatri komunitas. Pelayanannya meliputi pelayanan orthogeriatrics (fokus pada
osteoporosis dan penanganan komplikasinya), psychogeriatrics (fokus pada demensia dan
depresi pada geriatri) dan rehabilitasi.
Di Indonesia memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Adalah Prof Supartondo, ahli
penyakit dalam yang merintis bidang ini. Guru besar FKUI ini, merekrut ahli penyakit
dalam dari berbagai divisi seperti reumatologi (Prof Harry Isbagio), pulmonologi (dr
Asril Bahar), kardiologi (Prof) dan ginjal hipertensi (Dr Suhardjono) untuk membangun
divisi Geriatri. Saat ini sudah ada 2 orang ahli geriatri di FKUI yang secara khusus
mendalami bidang ini, Dr. Czeresna Heriawan dan Dr. Siti Setiati
Perkembangan IPTEK memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan yang terlihat
dari angka harapan hidup (AHH) yaitu:
AHH di Indonesia
tahun 1971 : 46,6 tahun
tahun 1999 : 67,5 tahun
Populasi lansia akan meningkat juga yaitu:
•Pada tahun 1990 jumlah penduduk 60 tahun ± 10 juta jiwa/5,5 % dari total populasi
penduduk.
•Pada tahun 2020 diperkirakan meningka 3X menjadi ± 29 juta jiwa/11,4 % dari total
populasi penduduk (Lembaga Demografi FE-UI-1993).
Selanjutnya :
Terdapat hasil yang mengejutkan, yaitu:
•62,3% lansia di Indonesia masih berpenghasilan dai pekerjaannya sendiri
•59,4% dari lansia masih berperan sebagai kepala keluarga
•53 % lansia masih menanggung beban kehidupan keluarga
•hanya 27,5 % lansia mendapat penghasilan dari anak/menantu
DEPKES RI membagi Lansia sebagai berikut:
1. kelompok menjelang usia lanjut (45 - 54 th) sebagai masa VIRILITAS
2. kelompok usia lanjut (55 - 64 th) sebagai masa PRESENIUM
3. kelompok usia lanjut (65 th > ) sebagai masa SENIUM
Sedangkan WHO membagi lansia menjadi 3 kategori, yaitu:
1. Usia lanjut : 60 - 74 tahun
2. Usia Tua : 75 - 89 tahun
3. Usia sangat lanjut : > 90 tahun
PROSES PENUAAN
Proses Terjadinya Penuaan
1. Biologi
a. Teori “Genetic Clock”;
Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat adanya program jam
genetik didalam nuklei. Jam ini akan berputar dalam jangka waktu tertentu dan
jika jam ini sudah habis putarannya maka, akan menyebabkan berhentinya proses
mitosis. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Haiflick, (1980) dikutif Darmojo
dan Martono (1999) dari teori itu dinyatakan adanya hubungan antara kemampuan
membelah sel dalam kultur dengan umur spesies Mutasisomatik (teori error
catastrophe) hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dalam menganalisis
faktor-aktor penyebab terjadinya proses menua adalah faktor lingkungan yang
menyebabkan terjadinya mutasi somatik. Sekarang sudah umum diketahui bahwa
radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur. Menurut teori ini terjadinya
mutasi yang progresif pada DNA sel somatik, akan menyebabkan terjadinya
penurunan kemampuan fungsional sel tersebut.
b. Teori “Error”
Salah satu hipotesis yang yang berhubungan dengan mutasi sel somatik adalah
hipotesis “Error Castastrophe” (Darmojo dan Martono, 1999). Menurut teori
tersebut menua diakibatkan oleh menumpuknya berbagai macam kesalahan
sepanjang kehidupan manusia. Akibat kesalahan tersebut akan berakibat
kesalahan metabolisme yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel
secara perlahan.
c. Teori “Autoimun”
Proses menua dapat terjadi akibat perubahan protein pasca tranlasi yang dapat
mengakibatkan berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya
sendiri (Self recognition). Jika mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan
pada permukaan sel, maka hal ini akan mengakibatkan sistem imun tubuh
menganggap sel yang mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing dan
menghancurkannya Goldstein(1989) dikutip dari Azis (1994). Hal ini dibuktikan
dengan makin bertambahnya prevalensi auto antibodi pada lansia
(Brocklehurst,1987 dikutif dari Darmojo dan Martono, 1999). Dipihak lain sistem
imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses
menua, daya serangnya terhadap antigen menjadi menurun, sehingga sel-sel
patologis meningkat sesuai dengan menigkatnya umur (Suhana,1994 dikutif dari
Nuryati, 1994)
d. Teori “Free Radical”
Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal bebas dalam
tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa : superoksida (O2), Radikal Hidroksil
(OH) dan Peroksida Hidrogen (H2O2). Radikal bebas sangat merusak karena
sangat reaktif , sehingga dapat bereaksi dengan DNA, protein, dan asam lemak
tak jenuh. Menurut Oen (1993) yang dikutif dari Darmojo dan Martono (1999)
menyatakan bahwa makin tua umur makin banyak terbentuk radikal bebas,
sehingga poses pengrusakan terus terjadi , kerusakan organel sel makin banyak
akhirnya sel mati.
e. Wear &Tear Teori
Kelebihan usaha dan stress menyebaban sel tubuh rusak.
f. Teori kolagen
Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan menyebabkan kecepatan
kerusakan jaringan dan melambatnya perbaikan sel jaringan.
2. Teori Sosiologi
a. Activity theory, ketuaan akan menyebabkan penurunan jumlah kegiatan secara
langsung.
b. Teori kontinuitas, adanya suatu kepribadian berlanjut yang menyebabkan adanya
suatu pola prilaku yang meningkatkan stress.
c. Disengagement Theory, putusnya hubungan dengan dunia luar seperti hubungan
dengan masyarakat, hubungan dengan individu lain.
d. Teori Stratifikasi usia, karena orang yang digolongkan dalam usia tua akan
mempercepat proses penuaan.
3. Teori Psikologis
a. Teori kebutuhan manusia dari Maslow, orang yang bisa mencapai aktualisasi
menurut penelitian 5% dan tidak semua orang bisa mencapai kebutuhan yang
sempurna.
b. Teori Jung, terdapat tingkatan-tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam
perkembangan kehidupan.
c. Course of Human Life Theory, Seseorang dalam hubungan dengan lingkungan ada
tingkat maksimumnya.
d. Development Task Theory, Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas
perkembangan sesuai dengan usianya.
•Penuaan Primer : perubahan pada tingkat sel (dimana sel yang mempunyai inti
DNA/RNA pada proses penuaan DNA tidak mampu membuat
protein dan RNA tidak lagi mampu mengambil oksigen,
sehingga membran sel menjadi kisut dan akibat kurang
mampunya membuat protein maka akan terjadi penurunan
imunologi dan mudah terjadi infeksi.
•Penuaan Skunder : proses penuaan akibat dari faktor lingkungan, fisik, psikis
dan sosial .
Stress fisik, psikis, gaya hidup dan diit dapat mempercepat
proses menjadi tua.
Contoh diet ; suka memakan oksidator, yaitu makanan yang
hampir expired.
Gairah hidup yang dapat mempercepat proses menjadi tua
dikaitkan dengan kepribadian seseorang, misal: pada
kepribadian tipe A yang tidak pernah puas dengan apa yang
diperolehnya.
Secara umum perubahan proses fisiologis proses menua adalah:
1. Perubahan Mikro
•Berkurangnya cairan dalam sel
•Berkurangnya besarnya sel
•Berkurangnya jumlah sel
2. Perubahan Makro
•Mengecilnya mandibula
•Menipisnya discus intervertebralis
•Erosi permukaan sendi-sendi
•Osteoporosis
•Atropi otot (otot semakin mengecil, bila besar berarti ditutupi oleh lemak
tetapi kemampuannya menurun)
•Emphysema Pulmonum
•Presbyopi
•Arterosklerosis
•Manopause pada wanita
•Demintia senilis
•Kulit tidak elastis
•Rambut memutih
Proses menua
Pada hakekatnya menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang
telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa anak, masa dewasa dan masa tua
( Nugroho, 1992). Tiga tahap ini berbeda baik secara biologis maupun psikologis.
Memasuki masa tua berarti mengalami kemunduran secara fisik maupun psikis.
Kemunduran fisik ditandai dengan kulit yang mengendor, rambut memutih,
penurunan pendengaran, penglihatan memburuk, gerakan lambat, kelainan berbagai
fungsi organ vital, sensitifitas emosional meningkat dan kurang gairah.
Meskipun harus menimbulkan penyakit oleh karenanya lanjut usia harus sehat. Sehat
dalam hal ini diartikan :
1) Bebas dari penyakit fisik, mental dan social
2) Mampu melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
3) Mendapat dukungan secara sosial dari keluarga dan masyarakat
(Rahardjo, 1996)
Akibat perkembangan usia, lanjut usia mengalami perubahan-perubahan yang
menuntut dirinya untuk menyesuaikan diri secara terus menerus. Apabila proses
penyesuaian diri dengan lingkungannya kurang berhasil maka timbullah berbagai
masalah. Hurlock (1979) seperti dikutip oleh Munandar Ashar Sunyoto ( 1994)
menyebutkan masalah-masalah yang menyertai lansia yaitu :
1) Ketidakberdayaan fisik yang menyebabkan ketergantungan pada orang lain
2) Ketidakpastian ekonomi sehingga memerlukan perubahan total dalam pola
Hidupnya
3) Membuat teman baru untuk mendapatkan ganti mereka yang telah meninggal
atau pindah
4) Mengembangkan aktifitas baru untuk mengisi waktu luang yang bertambah
banyak
5) Belajar memperlakukan anak-anak yang telah tumbuh dewasa. Berkaitan
dengan perubahan fisik, Hurlock mengemukakan bahwa perubahan fisik yang
mendasar adalhan perubahan gerak.
Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat. Pertama minat terhadap diri
makin bertambah. Kedua minat terhadap penampilan semakin berkurang. Ketiga
minat terhadap uang semakin meningkat, terkhir minta terhadap kegiatan rekreasi tak
berubah hanya cenderung menyempit. Untuk itu diperlukan motivasi yang tinggi pada
diri lansia untuk selalu menjaga kebugaran fisiknya agar tetap sehat secara fisik.
Motivasi tersebut diperlikan untuk melakukan latihan fisik secara benar dan teratur
untuk meningkatkan kebugaran fisiknya.
Berkaitan dengan perubahan, kemudian Hurlock (1990) mengatakan bahwa
perubahan yang dialami oleh setiap orang akan mempengaruhi minatnya terhadap
perubahan tersebut dan akhirnya mempengaruhi pola hidupnya. Bagaimana sikap
yang ditunjukan apakah memuaskan atau tidak memuaskan, hal ini tergantung dari
pengaruh perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya. Perubahan yang
diminati oleh para lanjut usia adalah perubahan yang berkaitan dengan masalah
peningkatan kesehatan, ekonmi atau pendapatan dan peran sosial (Goldstein, 1992).
Dalam menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri penyesuaian
yang tidak baik dari lansia ( Hurlock, 1979) di kutip oleh Munandar (1994) adalah :
1) Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya
2) penarikan diri ke dalam dunia fantasi
3) Selalu mengingat kembali masa lalu
4) Selalu kwuatir karena pengangguran
5) Kurang ada motivasi
6) Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga kurang baik
7) Tempat tinggal yang tidak diinginkan
Dilain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara lain adalah : Minat
yang kuat, ketidaktergantungan secara ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja
dan hasil kerja, menikmati kegiatan yang dilakukan saat ini dan memiliki kekuatiran
minimal terhadap diri dan orang lain.
Faktor faktor yang mempengaruhi penuaan
1)Hereditas atau ketuaan genetic
2)Nutrisi atau makanan
3)Status kesehatan
4)Pengalaman hidup
5)Lingkungan
6)Stres
KARAKTERISTIK PENYAKIT PADA LANSIA
•Saling berhubungan satu sama lain
•Penyakit sering multiple
•Penyakit bersifat degeneratif
•Berkembang secara perlahan
•Gejala sering tidak jelas
•Sering bersama-sama problem psikologis dan sosial
•Lansia sangat peka terhadap penyakit infeksi akut
•Sering terjadi penyakit iatrogenik (penyakit yang disebabkan oleh konsumsi obat yang
tidak sesuai dengan dosis)
Hasil penelitian Profil Penyakit Lansia di 4 kota (Padang, Bandung, Denpasar,
Makasar),
sebagai berikut:
•Fungsi tubuh dirasakan menurun:
Penglihatan (76,24 %),
Daya ingat (69,39 %),
Sexual (58,04 %),
Kelenturan (53,23 %),
Gilut (51,12 %).
•Masalah kesehatan yang sering muncul
Sakit tulang (69,39 %),
Sakit kepala (51,15 %),
Daya ingat menurun (38,51 %),
Selera makan menurun (30,08 %),
Mual/perut perih (26,66 %),
Sulit tidur (24,88 %) dan
sesak nafas (21,28 %).
Permasalahan umum
a) Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah garis kemiskinan
b) Makin melemahnya nilai kekerabatan sehinggan anggota keluaraga yang lanjut usia
kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati.
c) Lahirnya kelompok masyarakat industry
d) Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan lanjut usia
e) Belum membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia
Perubahan-Perubahan yang Terjadi pada Lansia
1. Perubahan Fisik
Meliputi perubahan dari tingkat sel sampai kesemua sistem organ tubuh, diantaranya
sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh,
muskuloskeletal, gastrointestinal, genito urinaria, endokrin dan integumen.
a. Sistem pernafasan pada lansia.
1) Otot pernafasan kaku dan kehilangan kekuatan, sehingga volume udara inspirasi
berkurang, sehingga pernafasan cepat dan dangkal.
2) Penurunan aktivitas silia menyebabkan penurunan reaksi batuk sehingga potensial
terjadi penumpukan sekret.
3) Penurunan aktivitas paru ( mengembang & mengempisnya ) sehingga jumlah udara
pernafasan yang masuk keparu mengalami penurunan, kalau pada pernafasan yang
tenang kira kira 500 ml.
4) Alveoli semakin melebar dan jumlahnya berkurang ( luas permukaan normal 50m²),
Ù menyebabkan terganggunya prose difusi.
5) Penurunan oksigen (O2) Arteri menjadi 75 mmHg menggangu prose oksigenasi dari
hemoglobin, sehingga O2 tidak terangkut semua kejaringan.
6) CO2 pada arteri tidak berganti sehingga komposisi O2 dalam arteri juga menurun
yang lama kelamaan menjadi racun pada tubuh sendiri.
7) kemampuan batuk berkurang, sehingga pengeluaran sekret & corpus alium dari
saluran nafas berkurang sehingga potensial terjadinya obstruksi.
b. Sistem persyarafan.
1) Cepatnya menurunkan hubungan persyarafan.
2) Lambat dalam merespon dan waktu untuk berfikir.
3) Mengecilnya syaraf panca indera.
4) Berkurangnya penglihatan, hilangnya pendengaran, mengecilnya syaraf pencium &
perasa lebih sensitif terhadap perubahan suhu dengan rendahnya ketahanan terhadap
dingin.
c. Perubahan panca indera yang terjadi pada lansia.
1) Penglihatan
a) Kornea lebih berbentuk skeris.
b) Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.
c) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa).
d)Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi terhadap kegelapan lebih
lambat, susah melihat dalam cahaya gelap.
e) Hilangnya daya akomodasi.
F Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas pandang.
g) Menurunnya daya membedakan warna biru atau warna hijau pada skala.
2) Pendengaran
a) Presbiakusis (gangguan pada pendengaran) :
Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap
bunyi suara, antara lain nada nada yang tinggi, suara yang tidak jelas, sulit mengerti
kata kata, 50 % terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.
b) Membran timpani menjadi atropi menyebabkan otosklerosis.
c) Terjadinya pengumpulan serumen, dapat mengeras karena meningkatnya kreatin.
3) Pengecap dan penghidu.
a) Menurunnya kemampuan pengecap.
b) Menurunnya kemampuan penghidu sehingga mengakibatkan selera makan
berkurang.
4) Peraba.
a) Kemunduran dalam merasakan sakit.
b) Kemunduran dalam merasakan tekanan, panas dan dingin.
b. Perubahan cardiovaskuler pada usia lanjut.
1) Katub jantung menebal dan menjadi kaku.
2) Kemampuan jantung memompa darah menurun 1 % pertahun sesudah berumur 20
tahun. Hal ini menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya.
3) Kehilangan elastisitas pembuluh darah.
Kurangnya efektifitasnya pembuluh darah perifer untuk oksigenasi, perubahan posisi
dari tidur keduduk ( duduk ke berdiri ) bisa menyebabkan tekanan darah menurun
menjadi 65 mmHg ( mengakibatkan pusing mendadak ).
4) Tekanan darah meningkat akibat meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer
(normal ± 170/95 mmHg ).
c. Sistem genito urinaria.
1) Ginjal, Mengecil dan nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun sampai
50 %, penyaringan diglomerulo menurun sampai 50 %, fungsi tubulus berkurang
akibatnya kurangnya kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun
proteinuria ( biasanya + 1 ) ; BUN meningkat sampai 21 mg % ; nilai ambang ginjal
terhadap glukosa meningkat.
2) Vesika urinaria / kandung kemih, Otot otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun
sampai 200 ml atau menyebabkan frekwensi BAK meningkat, vesika urinaria susah
dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga meningkatnya retensi urin.
3) Pembesaran prostat ± 75 % dimulai oleh pria usia diatas 65 tahun.
4) Atropi vulva.
5) Vagina, Selaput menjadi kering, elastisotas jaringan menurun juga permukaan
menjadi halus, sekresi menjadi berkurang, reaksi sifatnya lebih alkali terhadap
perubahan warna.
6Daya sexual, Frekwensi sexsual intercouse cendrung menurun tapi kapasitas untuk
melakukan dan menikmati berjalan terus.
d. Sistem endokrin / metabolik pada lansia.
1) Produksi hampir semua hormon menurun.
2) Fungsi paratiroid dan sekesinya tak berubah.
3) Pituitary, Pertumbuhan hormon ada tetapi lebih rendah dan hanya ada di pembuluh
darah dan berkurangnya produksi dari ACTH, TSH, FSH dan LH.
4) Menurunnya aktivitas tiriod Ù BMR turun dan menurunnya daya pertukaran zat.
5) Menurunnya produksi aldosteron.
6) Menurunnya sekresi hormon bonads : progesteron, estrogen, testosteron.
7) Defisiensi hormonall dapat menyebabkan hipotirodism, depresi dari sumsum tulang
serta kurang mampu dalam mengatasi tekanan jiwa (stess).
e. Perubahan sistem pencernaan pada usia lanjut.
1) Kehilangan gigi, Penyebab utama adanya periodontal disease yang biasa terjadi
setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang
buruk.
2) Indera pengecap menurun, Adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atropi
indera pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap dilidah terutama
rasa manis, asin, asam & pahit.
3) Esofagus melebar.
4) Lambung, rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun ), asam lambung menurun,
waktu mengosongkan menurun.
5) Peristaltik lemah & biasanya timbul konstipasi.
6) Fungsi absorbsi melemah ( daya absorbsi terganggu ).
7) Liver ( hati ), Makin mengecil & menurunnya tempat penyimpanan, berkurangnya
aliran darah.
f. Sistem muskuloskeletal.
1) Tulang kehilangan densikusnya Ù rapuh.
2) resiko terjadi fraktur.
3) kyphosis.
4) persendian besar & menjadi kaku.
5) pada wanita lansia > resiko fraktur.
6) Pinggang, lutut & jari pergelangan tangan terbatas.
7) Pada diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek ( tinggi badan berkurang ).
a. Gerakan volunter / gerakan berlawanan.
b. Gerakan reflektonik / Gerakan diluar kemauan sebagai reaksi terhadap rangsangan
pada lobus.
c. Gerakan involunter / Gerakan diluar kemauan, tidak sebagai reaksi terhadap suatu
perangsangan terhadap lobus
d. Gerakan sekutu / Gerakan otot lurik yang ikut bangkit untuk menjamin efektifitas
dan ketangkasan otot volunter.
g. Perubahan sistem kulit & karingan ikat.
1). Kulit keriput akibat kehilangan jaringan lemak.
2). Kulit kering & kurang elastis karena menurunnya cairan dan hilangnya jaringan
adiposa
3). Kelenjar kelenjar keringat mulai tak bekerja dengan baik, sehingga tidak begitu
tahan terhadap panas dengan temperatur yang tinggi.
4). Kulit pucat dan terdapat bintik bintik hitam akibat menurunnya aliran darah dan
menurunnya sel sel yang meproduksi pigmen.
5). Menurunnya aliran darah dalam kulit juga menyebabkan penyembuhan luka luka
kurang baik.
6). Kuku pada jari tangan dan kaki menjadi tebal dan rapuh.
7). Pertumbuhan rambut berhenti, rambut menipis dan botak serta warna rambut
kelabu.
8). Pada wanita > 60 tahun rambut wajah meningkat kadang kadang menurun.
9).Temperatur tubuh menurun akibat kecepatan metabolisme yang menurun.
10).Keterbatasan reflek menggigil dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak
rendahnya akitfitas otot.
11). Perubahan sistem reproduksi dan kegiatan sexual.
1) Perubahan sistem reprduksi.
a) selaput lendir vagina menurun/kering.
b) menciutnya ovarium dan uterus.
c) atropi payudara.
d) testis masih dapat memproduksi meskipun adanya penurunan secara berangsur
berangsur.
e) dorongan sex menetap sampai usia diatas 70 tahun, asal kondisi kesehatan baik.
2) Kegiatan sexual.
Sexualitas adalah kebutuhan dasar manusia dalam manifestasi kehidupan yang
berhubungan dengan alat reproduksi. Setiap orang mempunyai kebutuhan sexual, disini
kita bisa membedakan dalam tiga sisi : 1) fisik, Secara jasmani sikap sexual akan
berfungsi secara biologis melalui organ kelamin yang berhubungan dengan proses
reproduksi, 2) rohani, Secara rohani Ù tertuju pada orang lain sebagai manusia, dengan
tujuan utama bukan untuk kebutuhan kepuasan sexualitas melalui pola pola yang baku
seperti binatang dan 3) sosial, Secara sosial Ù kedekatan dengan suatu keadaan intim
dengan orang lain yang merupakan suatu alat yang apling diharapkan dalammenjalani
sexualitas.
Sexualitas pada lansia sebenarnya tergantung dari caranya, yaitu dengan cara yang lain
dari sebelumnya, membuat pihak lain mengetahui bahwa ia sangat berarti untuk anda.
Juga sebagai pihak yang lebih tua tampa harus berhubungan badan, msih banyak cara
lain unutk dapat bermesraan dengan pasangan anda. Pernyataan pernyataan lain yang
menyatakan rasa tertarik dan cinta lebih banyak mengambil alih fungsi hubungan
sexualitas dalam pengalaman sex.
2. Perubahan-perubahan mental/ psikologis
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah :
a. Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
b. kesehatan umum
c. Ttingkat pendidikan
d. Keturunan (herediter)
e. Lingkungan
f. Gangguan saraf panca indra, timbul kebutaan dan ketulian
g. Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan
h. Rangkaian dari kehilangan yaitu kehilangan hubungan dengan teman dan famili
i. Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap gambaran diri dan
perubahan konsep diri
Perubahan kepribadian yang drastis keadaan ini jarang terjadi lebih sering berupa
ungkapan yang tulus dari perasaan seseorang, kekakuan mungkin oleh karena faktor
lain seperti penyakit-penyakit.
Kenangan (memory) ada dua; 1) kenangan jangka panjang, berjam-jam sampai berharihari yang lalu, mencakup beberapa perubahan, 2) Kenangan jangka pendek atau
seketika (0-10 menit), kenangan buruk.
Intelegentia Quation; 1) tidakberubah dengan informasi matematika dan perkataan
verbal, 2) berkurangnya penampilan,persepsi dan keterampilan psikomotorterjadi
perubahan pada daya membayangkan, karena tekanan-tekanan dari faktro waktu.
Pengaruh proses penuaan pada fungsi psikososial.
1. perubahan fisik, sosial mengakibatkan timbulnya penurunan fungsi, kemunduran
orientasi, penglihatan, pendengaran mengakibatkan kurangnya percaya diri pada fungsi
mereka.
2. Mundurnya daya ingat, penurunan degenerasi sel sel otak.
3. Gangguan halusinasi.
4. Lebih mengambil jarak dalam berinteraksi.
5. Fungsi psikososial, seperti kemampuan berfikir dan gambaran diri.
3. Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegarsi dalam kehidupannya (Maslow,1970).
Lansia makin matur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat dalam berpikir dan
bertindak dalam sehari-hari. (Murray dan Zentner,1970)
Konsep Model Florence Nightingle
Inti konsep Florence Nightingale, pasien dipandang dalam kontek lingkungan secara
keseluruhan, terdiri dari lingkungan fisik, lingkungan psikologis dan lingkungan sosial.
a. Lingkungan fisik (physical enviroment)
Merupakan lingkungan dasar/alami yan berhubungan dengan ventilasi dan udara.
Faktor tersebut mempunyai efek terhadap lingkungan fisik yang bersih yang selalu akan
mempengaruhi pasien dimanapun dia berada didalam ruangan harus bebas dari debu,
asap, bau-bauan.Tempat tidur pasien harus bersih, ruangan hangat, udara bersih, tidak
lembab, bebas dari bau-bauan. Lingkungan dibuat sedemikian rupa sehingga
memudahkan perawatan baik bagi orang lain maupun dirinya sendiri. Luas, tinggi
penempatan tempat tidur harus memberikan memberikan keleluasaan pasien untuk
beraktifitas. Tempat tidur harus mendapatkan penerangan yang cukup, jauh dari
kebisingan dan bau limbah. Posisi pasien ditempat tidur harus diatur sedemikian rupa
supaya mendapat ventilasi.
b. Lingkungan psikologi (psychologi enviroment)
F. Nightingale melihat bahwa kondisi lingkungan yang negatif dapat menyebabkan
stress fsiik dan berpengaruh buruk terhadap emosi pasien. Oleh karena itu ditekankan
kepada pasien menjaga rangsangan fisiknya. Mendapatkan sinar matahari, makanan
yang menarik dan aktivitas manual dapat merangsang semua faktor untuk membantu
pasien dalam mempertahankan emosinya.
Komunikasi dengan pasien dipandang dalam suatu konteks lingkungan secara
menyeluruh, komunikasi jangan dilakukan secara terburu-buru atau terputus-putus.
Komunikasi tentang pasien yang dilakukan dokter dan keluarganya sebaiknya
dilakukan dilingkungan pasien dan kurang baik bila dilakukan diluar lingkungan pasien
atau jauh dari pendengaran pasien. Tidak boleh memberikan harapan yang terlalu
muluk, menasehati yang berlebihan tentang kondisi penyakitnya. Selain itu
membicarkan kondisi-kondisi lingkungan dimana dia berada atau cerita hal-hal yang
menyenangkan dan para pengunjung yang baik dapat memberikan rasa nyaman.
c. Lingkungan sosial (social environment)
Observasi dari lingkungan sosial terutama huhbungan yang spesifik, kumpulan datadata yang spesifik dihubungkan dengan keadaan penyakit, sangat penting untuk
pencegahan penyakit. Dengan demikian setiap perawat harus menggunakan
kemampuan observasi dalam hubungan dengan kasus-kasus secara spesifik lebih dari
sekedar data-data yang ditunjukkan pasien pada umumnya.
Seperti juga hubungan komuniti dengan lingkungan sosial dugaannya selalu
dibicarakan dalam hubungnya individu pasien yaitu lingkungan pasien secara
menyeluruh tidak hanya meliputi lingkungan rumah atau lingkungan rumah sakit tetapi
juga keseluruhan komunitas yang berpengaruh terhadap lingkungan secara khusus.
d. Hubungan teori Florence Nightingale dengan beberapa konsep
Hubungan teori Florence Nightingale dengan konsep keperawatan :
1) Individu / manusia
Memiliki kemampuan besar untuk perbaikan kondisinya dalam menghadapi
penyakit.
2) Keperawatan
Bertujuan membawa / mengantar individu pada kondisi terbaik untuk dapat
melakukan kegiatan melalui upaya dasar untuk mempengaruhi lingkungan.
3) Sehat / sakit
Fokus pada perbaikan untuk sehat.
4) Masyarakaat / lingkungan
Melibatkan kondisi eksternal yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan
individu, fokus pada ventilasi, suhu, bau, suara dan cahaya.
e. Hubungan teori Florence Nightingale dengan proses keperawatan
1) Pengkajian / pengumpulan data
Data pengkajian Florence N lebih menitik beratkan pada kondisi lingkungan
(lingkungan fisik, psikis dan sosial).
2 Analisa data
Data dikelompokkan berdasarkan lingkungan fisik, sosial dan mental yang
berkaitan dengan kondisi klien yang berhubungan dengan lingkungan
keseluruhan.
3) Masalah
Difokuskan pada hubungan individu dengan lingkungan misalnya :
Kurangnya informasi tentang kebersihan lingkungan ♣
Ventilasi ♣
Pembuangan sampah ♣
Pencemaran lingkungan ♣
Komunikasi sosial, dll ♣
4) Diagnosa keperawatan
Berrbagai masalah klien yang berhubungan dengan lingkungan antara lain :
Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap efektivitas asuhan. ♣
Penyesuaian terhadap lingkungan. ♣
Pengaruh stressor lingkungan terhadap efektivitas asuhan. ♣
5) Implementasi
Upaya dasar merubah / mempengaruhi lingkungan yang memungkinkan
terciptanya kondisi lingkungan yang baik yang mempengaruhi kehidupan,
perrtumbuhan dan perkembangan individu.
6) Evaluasi
Mengobservasi dampak perubahan lingkungan terhadap kesehatan individu.
f. Hubungan teori Florence Nightingale dengan teori-teori lain :
1) Teori adaptasi
Adaptasi menunjukkan penyesuaian diri terhadap kekuatan yang melawannya.
Kekuatan dipandang dalam konteks lingkungan menyeluruh yang ada pada
dirinya sendiri. Berrhasil tidaknya respon adapatsi seseorang dapat dilihat dengan
tinjauan lingkungan yang dijelaskan Florence N.
Kemampuan diri sendiri yang alami dapat bertindak sebagai pengaruh dari
lingkungannya berperanpenting pada setiap individu dalam berespon adaptif atau
mal adaptif.
2) Teori kebutuhan
Menurut Maslow pada dasarnya mengakui pada penekanan teori Florence N,
sebagai contoh kebutuhan oksigen dapat dipandang sebagai udara segar, ventilasi
dan kebutuhan lingkungan yang aman berhubungan dengan saluran yang baik dan
air yang bersih.
Teori kebutuhan menekankan bagaimana hubungan kebutuhan yang berhubungan
dengan kemampuan manusia dalam mempertahankan hidupnya.
3) Teori stress
Stress meliputi suatu ancaman atau suatu perubahan dalam lingkungan, yang
harus ditangani. Stress dapat positip atau negatip tergantung pada hasil akhir.
Stress dapat mendorong individu untuk mengambil tindakan positip dalam
mencapai keinginan atau kebutuhan.
Stress juga dapat menyebabkan kelelahan jika stress begitu kuat sehingga individu
tidak dapat mengatasi. Florence N, menekankan penempatan pasien dalam
lingkungan yang optimum sehingga akan menimumkan efek stressor, misalnya
tempat yang gaduh, membangunkan pasien dengan tiba-tiba, ,semuanya itu
dipandang sebagai suatu stressor yang negatif. Jumlah dan lamanya stressor juga
mempunyai pengaruh kuat pada kemampuan koping individu.
5. Teori Kejiwaan sosial
a) Aktifitas atau kegiatan ( activity theory )
Ketentuan akan meningkatnya pada penurunan jumlah secara langsung. Teri
ini menyatakan bahwa lanjut usia yang sukses adalah mereka yang aktif dan
ikut dalam banyak kegiatan sosial
Ukuran optimum ( pola hidup ) dilanjutkan pada cara hidup dari lanjut usia
Mempertahankan hubungan antara sistem sosial dan individu agar tetap stabil
dari usia pertengahan ke lanjut usia
b) Kepribadian berlanjut ( continuity theory )
Dasar kepribadian aatau tingkah laku tidak berubah pada lanjut usia. Teori ini
merupakan gabungan dari teori diatas. Pada teori ini menyatakan bahwa
perubahan yang terjadi pada seseorang yang lanjut usia sangat dipengaruhi
oleh tipe personality yang dimiliki.
c) Teori Pembebasan ( Disengagement theory )
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang secara
bengangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya. Keadaan
ini mengakibatkan interksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas
maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan ganda ( tripel loss ), yakni
1) kehilangan peran 2) hambatan kontak sosial 3) berkurangnya kontak
komitmen
Tanda-Tanda Bahaya Kala Nifas
Infeksi Masa Nifas
Setelah persalinan terjadi beberapa perubahan penting diantaranya makin
meningkatnya pembentukkan urin untuk mengurangi hemodilusi darah, terjadi
penyerapan beberapa bahan tertentu melalui pembuluh darah vena sehingga
terjadi peningkatan suhu badan sekitar 0,5 oC yang bukan merupakan keadaan
patologis atau menyimpang pada hari pertama. Perlukaan karena persalinan
merupakan tempat masuknya kuman kedalam tubuh, sehingga menimbulkan
infeksi pada kala nifas. Infeksi kala nifas adalah infeksi peradangan pada
semua alat genitalia pada masa nifas oleh sebab apapun dengan ketentuan
meningkatnya suhu badan melebihi 38 oC tanpa menghitung hari pertama dan
berturut-turut selama dua hari.
Gambaran klinis infeksi umum dapat dalam bentuk :
1. Infeksi Lokal
1. Pembengkakan luka episiotomi.
2. Terjadi penanahan.
3. Perubahan warna lokal.
4. Pengeluaran lochia bercampur nanah.
5. Mobilisasi terbatas karena rasa nyeri.
6. Temperatur badan dapat meningkat.
2. Infeksi General
1. Tampak sakit dan lemah.
2. Temperatur meningkat diatas 39 oC.
3. Tekanan darah dapat menurun dan nadi meningkat.
4. Pernapasan dapat meningkat dan napas terasa sesak.
5. Kesadaran gelisah sampai menurun dan koma.
6. Terjadi gangguan involusi uterus.
7. Lochia : berbau, bernanah serta kotor.
Faktor Predisposisi Infeksi Masa Nifas
Faktor predisposisi infeksi masa nifas diantaranya adalah :
1.Persalinan berlangsung lama sampai terjadi persalinan terlantar.
2.Tindakan operasi persalinan.
3.Tertinggalnya plasenta selaput ketuban dan bekuan darah.
4.Ketuban pecah dini atau pada pembukaan masih kecil melebihi enam jam.
5.Keadaan yang dapat menurunkan keadaan umum, yaitu perdarahan
antepartum dan post partum, anemia pada saat kehamilan, malnutrisi, kelelahan
dan ibu hamil dengan penyakit infeksi.
Terjadinya Infeksi Masa Nifas
Terjadinya infeksi masa nifas adalah sebagai berikut:
1.Manipulasi penolong: terlalu sering melakukan pemeriksaan dalam, alat yang
dipakai kurang suci hama.
2.Infeksi yang didapat di rumah sakit (nosokomial).
3.Hubungan seks menjelang persalinan.
4.Sudah terdapat infeksi intrapartum: persalinan lama terlantar, ketuban pecah
lebih dari enam jam, terdapat pusat infeksi dalam tubuh (lokal infeki).
Keadaan abnormal pada rahim
Beberapa keadaan abnormal pada rahim adalah :
1. Sub involusi uteri.
Proses involusi rahim tidak berjalan sebagaimana mestinya, sehingga proses
pengecilan rahim terhambat. Penyebab terjadinya sub involusi uteri adalah
terjadinya infeksi pada endometrium, terdapat sisa plasenta dan selaputnya,
terdapat bekuan darah, atau mioma uteri.
2. Pendarahan masa nifas sekunder.
Adalah pendarahan yang terjadi pada 24 jam pertama. Penyebabnya adalah
terjadinya infeksi pada endometrium dan terdapat sisa plasenta dan selaputnya.
3. Flegmansia alba dolens.
Merupakan salah satu bentuk infeksi puerpuralis yang mengenai pembuluh
darah vena femoralis. Gejala kliniknya adalah :
1. Terjadi pembengkakan pada tungkai.
2. Berwarna putih.
3. Terasa sangat nyeri.
4. Tampak bendungan pembuluh darah.
5Temperatur badan dapat meningkat.
Keadaan abnormal pada payudara
Beberapa keadaan abnormal yang mungkin terjadi adalah :
1. Bendungan ASI
Disebabkan oleh penyumbatan pada saluran ASI. Keluhan mamae bengkak,
keras, dan terasa panas sampai suhu badan meningkat.
2. Mastitis dan Abses Mamae
Infeksi ini menimbulkan demam, nyeri lokal pada mamae, pemadatan mamae
dan terjadi perubahan warna kulit mamae.
Keadaan abnormal pada psikologis
1Psikologi Pada Masa Nifas
Perubahan emosi selama masa nifas memiliki berbagai bentuk dan variasi.
Kondisi ini akan berangsur-angsur normal sampai pada minggu ke 12 setelah
melahirkan.
Pada 0 – 3 hari setelah melahirkan, ibu nifas berada pada puncak kegelisahan
setelah melahirkan karena rasa sakit pada saat melahirkan sangat terasa yang
berakibat ibu sulit beristirahat, sehingga ibu mengalami kekurangan istirahat
pada siang hari dan sulit tidur dimalam hari.
Pada 3 -10 hari setelah melahirkan, Postnatal blues biasanya muncul, biasanya
disebut dengan 3th day blues. Tapi pada kenyataanya berdasarkan riset yang
dilakukan paling banyak muncul pada hari ke lima. Postnatal blues adalah
suatu kondisi dimana ibu memiliki perasaan khawatir yang berlebihan terhadap
kondisinya dan kondisi bayinya sehingga ibu mudah panik dengan sedikit saja
perubahan pada kondisi dirinya atau bayinya.
Pada 1 – 12 minggu setelah melahirkan, kondisi ibu mulai membaik dan
menuju pada tahap normal. Pengembalian kondisi ibu ini sangat dipengaruhi
oleh kondisi lingkungannya, misalnya perhatian dari anggota keluarga terdekat.
Semakin baik perhatian yang diberikan maka semakin cepat emosi ibu kembali
pada keadaan normal.
2. Depresi Pada Masa Nifas
Riset menunjukan 10% ibu mengalami depresi setelah melahirkan dan 10%nya saja yang tidak mengalami perubahan emosi. Keadaan ini berlangsung
antara 3-6 bulan bahkan pada beberapa kasus terjadi selama 1 tahun pertama
kehidupan bayi.
Penyebab depresi terjadi karena reaksi terhadap rasa sakit yang muncul saat
melahirkan dan karena sebab-sebab yang kompleks lainnya. Berdasarkan hasil
riset yang dilakukan menunjukan faktor-faktor penyebab depresi adalah
terhambatnya karir ibu karena harus melahirkan, kurangnya perhatian orangorang terdekat terutama suami dan perubahan struktur keluarga karena
hadirnya bayi, terutama pada ibu primipara.
Surabaya, 2/8/2007 (Kominfo-Newsroom) - Yayasan Gerontologi Abiyoso
(YGA) Propinsi Jatim siap memantau penerapan peraturan daerah (Perda)
Lanjut Usia (Lansia) Propinsi Jatim, untuk memastikan kesejahateraan
kehidupan para lansia di Jatim dapat terjamin dan terpenuhi.
“Perda tersebut merupakan payung hukum bagi lansia di Jatim dalam
memperoleh kesejahteraan hidupnya,” kata Ketua Yayasan Gerontologi
Abiyoso (YGA) Propinsi Jatim Trimarjono, ditemui di kantornya Surabaya,
Rabu (1/8).
Karenanya, ia sangat mengharapkan pemerintah Kabupaten/Kota segera
mengadopsi perda lansia ini yang sudah disahkan DPRD Jatim, Selasa (31/7).
Selama ini, kesejahteraan para lansia di Jatim dinilai masih kurang, akibat
kurangnya perhatian dari semua pihak yang terkait, sehingga dengan adanya
perda lansia ini diharapkan mereka mendapatkan payung hukum dalam
memperoleh kesejahteraan. Perda tersebut sudah disahkan dan kini tinggal
menunggu teknis pelaksanaan di lapangan.
Sementara Wakil Ketua IV YGA Prop Jatim, Soerjadi Tjokrosoewito,
mengemukakn petunjuk teknis pelaksanaan dari perda itu akan diatur dalam
Peraturan Gubernur (Pergub).
Petunjuk teknis dari perda tersebut, mengatur mekanisme dan sistem
pelaksanaannya, mulai dari mengatur tentang pelanggaran hingga ke
penindakan. ”Tentang siapa yang berhak menindak apabila ditemukan ada
yang melanggar perda lansia, itu akan disebutkan pada pergub,” paparnya.
Jumlah lansia di Jatim tahun 2006, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS)
Jatim, tercatat sebanyak 3,94 juta orang dan dari jumlah itu sekitar 20 persen
diantaranya belum mendapatkan perhatian baik dari peroarangan, kelompok,
LSM ataupun pemerintah.
Dengan adanya Perda, para lansia yang tidak mendapatkan perhatian dapat
mengadukan kepada pihak terkait agar dapat segera ditindak tegas sesuai
kebijakan perda lansia yang sudah terbentuk ini.
Kebanyakan dari mereka yang tidak mendapatkan perhatian itu berdomisili di
pedesaan yaitu sekitar 76% dan sisanya, keberadaannya tinggal di perkotaan.
Sementara berdasar data YGA, jumlah lansia di Jatim sebanyak 3,94 juta orang
terdiri dari laki-laki 1,75 juta orang dan perempuan 2,18 juta orang. Sedangkan
rata-rata lansia di tiap Kecamatan terbanyak terdapat di Kota Malang, Kota
Kediri, Kab Malang, dan Kab Madiun. Sedangkan terbayak jumlah lansia di
desa-desa atau kelurahan berada di Kota Surabaya, Kota Malang, Kota Batu,
Kota Madiun, dan Kab Jember. ( www.d-infokom-jatim.go.id/hsn/toeb)
Thursday, January 22, 2009
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN GERONTOLOGI
I. PENDAHULUAN
Salah satu tolak ukur kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari umur
harapan hidup penduduknya. Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara
berkembang, dengan perkembangannya yang cukup baik, diproyeksikan angka
harapan hidupnya dapat mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2020 yang
akan datang. Hal ini semua merupakan gambaran yang terjadi pada seluruh
negara di dunia berkat adanya kemajuan teknologi dan kondisi sosio-ekonomi
yang dialaminya.
Menua merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki / mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita
(Constantinides, 1994).
Ilmu pengetahuan dan teknologi masih ditantang untuk menerangkan penyebab
orang menjadi tua. Banyak teori yang diajukan dan belum dapat memuaskan
semua pihak. Yang jelas ialah bahwa proses menua merupakan kombinasi
berbagai faktor yang saling berkaitan.
Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari segala aspek yang berhubungan
dengan masalah lanjut usia atau dapat pula diartikan sebagai suatu pendekatan
ilmiah dari berbagai aspek proses penuaan ditinjau dari segi kesehatan, sosial,
ekonomi, perilaku, hukum, lingkungan dan lain-lain. Perkembangan ilmu ini
tidak dapat dipisahkan dari kemajuan ilmu dan teknologi, karena sampai
setengah abad yang lalu ilmu ini memang belum dikenal.
Tujuan hidup manusia adalah menjadi tua tapi tetap sehat (healthy aging).
Tujuan geriatri / gerontologi adalah mewujudkan healthy aging tersebut dengan
jalan melaksanakan P4 di bidang kesehatan, yaitu peningkatan mutu kesehatan
(promotion), pencegahan penyakit (preventive), pengobatan penyakit
(curative), dan pemulihan kesehatan (rehabilitation).
Dengan mengembangkan kerangka model seperti di atas, jelaslah peranan dan
sasaran kerja promosi dan prevensi di bidang geriatri.
Masalah lanjut usia akan dihadapi oleh setiap insan dan akan berkembang
menjadi masalah yang lebih kompleks karena :
1.Umur harapan hidup (life expectancy) pada saat itu akan berada di atas usia
70 tahun, sehingga populasi lanjut usia di Indonesia tidak saja akan melebihi
jumlah balita tetapi dapat menduduki peringkat ke-empat di dunia setelah
RRC, India dan Amerika Serikat.
2.Sistem pensiun atau tunjangan kesehatan yang memadai sampai saat ini
masih belum dipikirkan secara mendasar, padahal angka kesakitan dan
kemiskinan pada lanjut usia tentunya akan meningkat.
3.Setiap keluarga pada saat itu rata-rata akan mempunyai 2 orang anak. Para
lansia akan menghadapi kedaan dimana semua anak mereka harus bekerja dan
berkarier. Sehingga muncul pertanyaan : siapakah yang dapat diharapkan dan
mau menjadi care provider bagi mereka?
Masalah globalisasi akan menuntut perkembangan keluarga yang tadinya
berintikan nilai tradisional / keluarga guyub beralih dan cenderung berkembang
menjadi keluarga individual / patembayan. Norma masyarakat juga akan
bergeser dan mengarah pada kehidupan yang egosentris.
Masalah gender akan berkembang menjadi topik besar, karena jumlah lansia
wanita akan melebihi jumlah prianya (karena umur harapan hidup wanita
memang lebih tinggi), sedangkan kelompok wanita tua lebih bercirikan
kekurangmampuan/ kemiskinan, kurangnya ketrampilan yang dimiliki
dibandingkan dengan kelompok pria dan ketidakberdayaan. Di lain pihak,
kelompok yang melayani lansia umumnya terdiri dari para wanita.
Terbatasnya aksebilitas lansia sehingga mobilitas menjadi sangat terbatas.
Terbatasnya hubungan dan komunikasi lanjut usia dan lingkungannya dan
penurunan kesempatan dan produktivitas kerja.
Terbatasnya kemampuan dalam memanfaatkan dan mendayagunakan sumbersumber yang ada.
Terberantasnya penyakit infeksi yang disebabkan kuman dan parasit,
berkembangnya ilmu kesehatan lingkungan serta keberhasilan program
keluarga berencana menyebabkan meningkatnya angka harapan hidup dan
tentunya dibarengi konsekuensi lainnya yang lebih kompleks. Perkembangan
ilmu kesehatan yang berkaitan dengan lansia juga tumbuh lebih cepat, karena
penyakit lanjut usia memiliki karakteristik tertentu yang jarang didapatkan
pada masa anak dan dewasa muda. Masalah lainnya pun berkembang cepat
sehingga sampai saat ini dikenal berbagai cabang ilmu seperti :
Proses biologik pada usia lanjut
Socio-gerontology
Psycho-gerontology
Medical-gerontology yang mencakup aspek preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Sementara itu, ilmu geriatri praktis mempelajari aspek kedokteran klinis dan
tidak terlampau banyak membicarakan aspek preventif
Anthropo-gerontology, dan lain sebagainya.
Semua pihak hendaknya mengantisipasi hal ini dan mempersiapkan diri
menghadapi permasalahan yang sangat kompleks yang akan timbul.
Permasalahan potensial yang akan terjadi tidak hanya ditimbulkan oleh faktor
kependudukan, akan tetapi juga disebabkan oleh faktor biologis, sosial budaya,
ekonomi, hukum dan etika, psikologis dan perilaku, kesehatan, pembinaan,
perawatan, pelayanan serta jaringan kerjasama tingkat lokal, nasional, regional,
bahkan global. Belum lagi sering terjadi saling mempengaruhi antar berbagai
faktor yang disebutkan tadi.
Beberapa produk hukum telah dikembangkan dan yang terbaru adalah UndangUndang Republik Indonesia nomor 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut
usia. Produk hukum tersebut dapat dijadikan pedoman guna memperbaiki
kinerja para pelaksana sehingga diperoleh kegiatan yang lebih terarah, terpadu,
efektif dan efisien dengan tujuan akhirnya, yaitu membuat lansia dan
keluarganya sejahtera.
Dengan demikian iklim yang tercipta perlu dimanfaatkan dengan sebaikbaiknya oleh seluruh pihak yang berkiprah dalam pembangunan lanjut usia.
ii. Demografi Lanjut Usia
Transisi Demografi
Pada pertemuan di Madrid, WHO mengungkapkan bahwa semasa abad yang
lalu telah terjadi perubahan-perubahan besar sebelum perang dunia pertama,
dimana hampir semua Negara-negara di seluruh dunia tercekam oleh penyakitpenyakit menular, kekurangan gizi dan menurunnya status kesehatan
lingkungan sehingga umur harapan hidup sangat rendah. Setelah Ilmu
Kesehatan Masyarakat dikembangkan, maka penyakit-penyakit tadi dapat
ditekan, oleh sebab itu sejak 60 tahun yang lalu ada paradigma kesehatan baru
yang disebut dengan epidemiological shift. Lalu berkembang suatu masa
dimana sejak perang dunia kedua, hampir semua penduduk dunia berkembang
biak dengan jumlah anak-anak kecil yang dilahirkan tanpa suatu program
khusus, jadi dalam keluarga tersebut bisa memiliki 10 orang anak bahkan lebih
sehingga jumlah penduduk menjadi tidak terkontrol. Saat itulah terjadi suatu
gerakan dunia untuk mengingatkan agar jangan sampai dunia mengalami
kekurangan pangan bagi penduduk-penduduk baru dan diproklamirkan suatu
gerakan berencana internasional yang disebut family planning program. Di
Indonesia gerakan family planning program ternyata cukup berhasil. Maka
kira-kira 30 tahun lalu terjadi suatu pergeseran baru dalam kesehatan yang
disebut dengan demographical shift.
Pada akhir abad yang lalu disinyalir umur lansia semakin banyak. Ada negaranegara yang mempunyai jumlah lansia diatas 10% dan disebut dengan Aging
Populated Countries. Di Indonesia, kini populasi lansia rata-rata 7,5% dari
jumlah total penduduk dan dalam waktu 20 tahun lagi jumlah lansia Indonesia
akan melebihi balita. Pada saat itulah WHO mengatakan bahwa milenium ini
ditandai dengan apa yang disebut dengan gerontological shift, dimana jumlah
lansia dengan permasalahannya akan jauh lebih besar, lebih serius dan lebih
kompleks. Karena itu diperlukan suatu program-program yang lebih terarah
dan hanya bisa dimulai bila institusi-institusi mulai memberikan perhatian. Dan
diharapkan lembaga-lembaga lainnya akan turut berperan serta dalam usaha
ini.
Seperti diketahui bahwa Indonesia saat ini sedang berada dalam transisi
demografi dengan persentasi lansia diproyeksikan menjadi 11,34% pada tahun
2020. Keberhasilan pembangunan akan meningkatkan derajat kesehatan
penduduk yang ditandai dengan menurunnya tingkat kelahiran dan kematian
serta diikuti oleh semakin luasnya cakupan dan meningkatnya mutu pelayanan
kesehatan dan gizi rakyat telah mendorong terjadinya pergeseran berbagai
paramater demografi ke arah yang lebih baik. Salah satu diantaranya adalah
meningkatnya usia harapan hidup dari 45,7 tahun pada tahun 1968 menjadi
61,3 tahun pada tahun 1992. Diproyeksikan usia harapan hidup penduduk
Indonesia akan semakin meningkat.
Salah satu konsekuensinya yang perlu diantisipasi sejak dini adalah
meningkatnya baik jumlah maupun persentasi penduduk lansia. Pada tahun
1990 penduduk berusia 60 tahun ke atas sudah mencapai 11,3 juta atau 6,4 %
dari jumlah penduduk dan akan terus meningkat. Pada tahun 2005 jumlah
lanjut usia diramalkan akan menjadi 19 juta (8,5%) dan pada tahun 2010 akan
melebihi jumlah balita. Keadaan ini mempunyai implikasi yang besar pada
kebijakan makro di berbagai sektor pembangunan.
Kebijakan makro pun akan banyak mengalami pergeseran. Secara alami proses
manjadi tua menyebabkan para lansia mengalami kemunduran fisik dan
mental. Makin lanjut usia seseorang, makin banyak ia mengalami
permasalahan terutama fisik, mental, spiritual, ekonomi dan sosial sehingga
diperlukan upaya khusus yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitatif agar para lanjut usia tetap dapat mandiri dan tidak menjadi beban
bagi dirinya maupun keluarga dan masyarakat.
Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat / populasi “muda”
(1971) enjadi populasi yang lebih “tua” pada tahun 2020. Piramida penduduk
Indonesia berubah bentuk dengan basis lebar (fertilitas tinggi) menjadi
piramida berbentuk bawang yang menunjukan rendahnya fertilitas dan
mortalitas. Pergeseran ini menuntut perubahan dalam strategi pelayanan
kesehatan, dengan kata lain perhatian dan prioritas untuk penyakit-penyakit
dewasa dan lanjut usia akan lebih dibutuhkan, namun penyakit-penyakit anak
dan balita masih juga belum diselesaikan (beban ganda). Perubahan struktur ini
juga akan mempengaruhi rasio ketergantungan (Dependency Ratio).
Dengan demikian lapisan kaum lansia dalam struktur demografi Indonesia
menjadi makin tebal, dan sebaliknya kaum muda menjadi relatif lebih sedikit.
Dengan kata lain, timbul regenerasi yang bisa membawa akibat negatif. Proses
ini berlangsung beberapa tahap, antara lain :
Tahap I
Timbul kesenjangan antar generasi (generation gap), karena kaum muda secara
lebih dinamis mengikuti kemajuan teknologi canggih, sedangkan kaum lansia
acuh, tetap tertinggal dan membiarkan kaum muda berjalan terus. Keadaan ini
belum berbahaya.
Tahap II
Karena makin tebalnya lapisan lansia dan makin meningkatnya tingkat
kesehatan,mereka pun masih mampu mengimbangi kaum muda dan
menghendaki tetap pada jabatannya, sehingga tidak mau digeser. Pada saat
inilah timbul tekanan pada generasi muda (generation pressure) yang lebih
berbahaya dari keadaan tahap I. Tahapan Indonesia saat ini adalah tahap I dan
mulai memasuki tahap II dengan timbulnya isu peningkatan usia pensiun.
Tahap III
Adalah yang paling berbahaya, ditandai dengan timbulnya konflik anyar
generasi (generation conflict). Dalam keadaan ini para lansia yang jumlahnya
makin banyak merasa makin kuat dan terus-menerus menekan generasi di
bawahnya, sedangkan generasi muda bereaksi dan melawan tekanan-tekanan
tersebut sehingga timbul konflik yang berkepanjangan dan sulit diatasi dengan
segera. Ini merupakan keadaan yang berbahaya.
Untuk mencegah proses regenerasi menuju keadaan yang berbahaya, maka
antara lain harus dilaksanakan hal-hal sebagai berikut :
1. menyelenggarakan program pensiun secara terpadu dan merata
2. menciptakan lapangan kerja/kegiatan bagi lanjut usia yang tidak
bertentangan
dengan kebutuhan kaum muda.
Pengaruh Proses Industrialisasi
Di negara-negara maju ternyata kualitas hidup dapat ditingkatkan dengan cepat
berkat industrialisasi. Hal ini umpamanya terjadi di Jepang yang pada tahun
1955 masih mempunyai persentase orang-orang usia lanjut sebesar 5,3%, pada
tahun 1975 telah meningkat menjadi 8,6% dan menjadi 14,3% pada tahun
2000.
Dengan kata lain, bahwa dengan adanya industrialisasi maka penggunaan
teknologi modern dapat lebih dimanfaatkan demi peningkatan derajat hidup.
Tetapi perkembangan industri membawa serta pula kontaminasi lingkungan
dan gangguan kelestarian lingkungan hidup, sehingga memerlukan pengaturan
dan pengawasan yang baik. Bila tidak, maka polusi ini akan berpengaruh buruk
pada lingkungannya dan terutama yang akan terkena lebih dahulu dampaknya
ialah anak-anak dan orang lanjut usia (WHO, 1974).
Dengan adanya industrialisasi, urbanisasi juga terjadi, sehingga menambah
kepadatan penduduk kota dan segala macam problemanya, yang secara
langsung atau tak langsung akan mempengaruhi perkembangan geriatri
(gerontologi) pada umumnya.
Selain itu industrialisasi juga membawa pikiran-pikiran yang lebih
materialistik dan dapat mendesak budaya tradisional yang baik. Jadi
perkembangan industri disini bisa berpengaruh positif, tetapi bila tidak diawasi
dengan baik juga dapat memberi dampak negatif terhadap golongan penduduk
berusia lanjut.
Pada era industrialisasi,baik suami maupun istri harus bekerja, sedangkan
anak-anak harus bersekolah. Seorang nenek atau kakek haruslah sendirian di
rumah. Masalah akan timbul bila mereka sudah lemah dan sakit-sakitan, maka
justru disini perlu adanya apa yang disebut “day care center” atau “day
hospital” untuk pengawasan, rehabilitasi dan lain sebagainya. Para lansia
tersebut pada sore / malam hari dapat dijemput pulang ke rumah kembali. Di
Indonesia hal ini praktis belum dikembangkan.
Indikator Demografi
Berbagai indikator demografi yang lazim dipakai adalah sebagai berikut :
1. Indeks Penuaan (The Ageing Index)
Rasio penduduk lanjut usia terhadap penduduk usia kurang dari 15 tahun.
2. Usia Median (Median Age)
Membagi sama penduduk usia muda dan tua.
3. Penuaan Penduduk Tua ( The Ageing of the Elderly Population)
Proporsi penduduk lansia diatas 75 tahun dibanding lanjut usia diatas.
4. Besar dan Proporsi Penduduk Lanjut Usia ( The Relative Weight of Elderly)
Angka 10% merupakan tanda transisi struktur penduduk muda ke arah tua.
5. Komposisi Penduduk Lanjut Usia Pria - Wanita (The Sex Composition of
the Elderly Population)
6. Angka Ketergantungan Penduduk Lanjut Usia ( The Aged Dependency
Ratio)
Jumlah penduduk lanjut usia terhadap 100 penduduk usia kerja yang berusia
15-59 tahun.
iii. Sejarah Gerontologi
Studi mengenai proses penuaan telah dikenal jauh dalam sejarah. Dalam
sebuah literatur kuno, tercantum bahwa Aristoteles mengajukan pertanyaanpertanyaan seputar proses menua. Dia berdiskusi mengenai umur harapan
hidup, teori penuaan, dan umur maksimal dari berbagai spesies. Kemudian
Galen dan Roger Bacon turut memberikan kontribusi berupa literatur-literatur
yang topiknya seputar masalah penuaan.
Pada zaman Renaissance, Francis Bacon menulis sebuah tulisan berjudul
“History of Life and Death”. Sebuah monograf yang ditulis oleh Joseph
Freeman menampilkan sebuah kilas balik yang menakjubkan yang beisi catatan
sejarah mengenai riset seputar masalah penuaan yang dilakukan lebih dari
2500 tahun yang lalu.
Era modern dalam riset mengenai masalah penuaan terjadi pada abad ke-20.
Sebagai contoh, pada tahun 1908, Elie Metchnikoff menerima penghargaan
nobel atas kontribusinya yang sangat besar dalam bidang biologi dan penelitian
tentang penuaan. Ia memperkenalkan konsep bahwa proses penuaan
disebabkan absorpsi toksin yang berasal dari bakteri usus.
Periode Gerontologi modern dimulai sekitar tahun 1950. Ketika itu studi yang
telah bersifat sistematik menjelaskan perubahan yang terjadi pada proses
menua, ditinjau secara fisiologi, biokimia dan morfologi seluler yang terjadi.
Beberapa penelitian pada zaman itu telah memperkenalkan kita pada teori-teori
penuaan.
Secara garis besar, teori penuaan dapat dibagi menjadi 2 grup utama. Grup
pertama menjelaskan bahwa proses menua terjadi karena adanya fenomena
“wear and tear”. Kelompok lainnya berpendapat bahwa penuaan dipengaruhi
oleh lingkungan, sebagai contoh misalnya toksin, sinar kosmis, gravitasi dan
lain-lain.
Di USA terutama pada tahun 1940, banyak studi yang difokuskan seputar
masalah panjang umur. Tujuannya adalah untuk memperpanjang umur harapan
hidup manusia. Pada tahun 1939 edisi pertama dari “Problems of Aging” yang
ditulis oleh Cowdry menandai awal era modern dalam penelitian seputar
masalah penuaan.
Secara kronologis, dibawah ini akan dijabarkan perkembangan gerontologi
khususnya di Indonesia dan kongres atau pertemuan internasional yang
memberi pengaruh pada perkembangan gerontologi di Indonesia.
Kurun Waktu 1965-1974
Kesejahteraan sosial lanjut usia selama kurun waktu 1965-1974 dilaksanakan
berdasarkan berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 4 tahun 1965 tentang
Pemberian Bantuan Bagi Orang Jompo. Setelah tahun 1974 telah dikeluarkan
perundang-undangan lannya yang materinya terkait dengan kesejahteraan
sosial lanjut usia baik secara langsung maupun tak langsung, diantaranya
Undang-undang No. 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial dan Undang-undang No.10 tahun 1992 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga sejahtera.Dengan
meningkatnya lanjut usia dituntut adanya upaya yang lebih proporsional dalam
meningkatkan kesejahteraan lanjut usia yang tidak saja kesejahteraan sosial
sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 4 tahun 1965 tetapi juga pelayanan
kesejahteraan lanjut usia dalam arti luas.
Pra WAA II
World Assembly on Ageing (1982)
Sejak PBB menggelar World Assembly on Ageing pada tahun 1982 di Wina
dan mengingatkan semua negara bahwa masalah lanjut usia akan menjadi
masalah besar, beberapa peserta yang berasal dari Indonesia telah mengambil
prakarsa di bidang ini dan sesampainya di Indonesia mulai menyebarkan
informasi seluas mungkin seputar permasalahan lanjut usia.
Terbentuknya PERGERI (1984)
Beberapa tokoh masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti menggelar simposium yang
bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan masalah tersebut dan
berupaya memecahkan problema yang kompleks tersebut. Kemudian
didirikannya Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGERI) pada tahun 1984
yang merupakan salah satu organisasi tertua di Indonesia yang mulai merintis
dan melangkah di bidang ini.
Dengan didirikannya PERGERI yang diakui sebagai satu-satunya organisasi
yang mewakili Indonesia dalam International Association of Gerontology /
IAG, para pakar dapat menemukan wadah dalam menyalurkan pendapat dan
aspirasinya.
Dengan adanya aktivitas PERGERI saat itu, hubungan dengan instansi
pemerintah maupun LSM lain mulai digarap, sehingga saat ini nama PERGERI
mulai dikenal baik di lingkungan pemerintahan maupun dalam kalangan ilmu
pengetahuan, dan suuatu saat PERGERI juga diakui sebagai anggota Forum
Organisasi Profersi di Indonesia / FOPI. Demikian pula di tingkat regional,
UN-ESCAP (united Nations Economic and Social Commission for Asia and
the Pacific) perwakilan PBB untuk regio Asia Pasifik.
Pencanangan Hari Lanjut Usia Nasional (1996)
Melalui melalui berbagai pendekatan terbentuklah suatu Kelompok Kerja
Tetap di lingkup Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang selain
mengkoordinasikan beberapa kementrerian / departemen yang terkait, juga
menampung beberapa anggota masyarakat baik dari PERGERI, PWRI maupun
wakil cerdik pandai dari kalangan universitas dan di dalam kerjasamanya
mereka menghasilkan beberapa butir kesepakatan, antara lain :
1.Agar Indonesia memiliki kelompok kerja / team-work yang secara konsisten
memikirkan masalah kesejahteraan lansia di Indonesia.
2.Agar Indonesia juga memutuskan ditentukannya Hari Lanjut Usia Nasional,
yang tanggal-tanggalnya sudah disesuaikan pada pemerintah sebagai alternatif.
3.Agar Indonesia juga setiap tahun dapat menyelenggarakan kegiatan yang
dapat dikordinasikan dengan departemen terkait secara bergilir, dan
mempunyai tema khusus bagi lanjut usia di Indonesia.
Melalui Surat Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat No.
15/KEP/MENKO/KESRA/IX/1994, telah dibentuk Panitia Nasional
Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa. Panitia Nasional tersebut
antara lain bertugas mempersiapkan bahan untuk mendukung terlaksananya
pencanangan Hari Lanjut Usia Nasional oleh presiden, menyiapkan konsepkonsep dasar untuk bahan penyusunan rancangan peraturan perundangundangan yang mendukung kehidupan bagi lanjut usia dalam tatanan
pembangunan nasional dan menyiapkan pola umum dan standar-standar yang
berkaitan dengan pelembagaan lansia dalam kehidupan bangsa.
Suatu saat diputuskan bahwa Indonesia memang layak mempunyai Hari Lanjut
Usia Nasional yang dicanangkan oleh presiden pada tanggal 29 Mei 1996 di
Semarang.
Diperingatinya Hari Lanjut Usia secara rutin diharapkan akan membantu
meresapkan ke dalam budaya kita bahwa masalah lanjut usia adalah masalah
nasional yang tidak bisa dihindarkan oleh siapa pun dan menyangkut semua
pihak. Peraturan perundang-undangan diperlukan untuk memberi hak
fundamental kepada Lanjut Usia sebagai imbalan dari perjuangan mereka
setelah bertahun-tahun mengabdi masyarakat, agar nyata bahwa mereka
dihargai dan dihormati, bukan dikasihani. Untuk itu dipergunakan adanya pola
umum agar upaya pelembagaan lanjut usia dalam kehidupan bangsa yang
menyangkut berbagai sektor mengacu pada pedoman yang sama.
Musyawarah Nasional II PERGERI dan cikal bakal berdirinya LKLU (1997)
Selanjutnya kegiatan terus bergulir sampai PERGERI menyelenggarakan
musyawarah nasionalnya yang kedua pada bulan Desember tahun 1997,
dimana menteri sosial saat itu mengisyaratkan agar PERGERI mengambil
prakarsa untuk membentuk Badan Nasional untuk dijadikan counter part
pemerintah yang nantinya menjadi cikal bakal National Council on Ageing.
Ternyata perkembangan menjadi lebih cepat sehingga pada tahun 1998 itu pun
telah dicantumkan dalam “GBHN” baru yang disahkan pada bulan Maret 1998
dan sebelum demisioner, Menteri Sosial Dra. Inten Suweno masih sempat
mengukuhkan didirikannya Lembaga Kesejahteraan Lanjut Usia / LKLU
(dikukuhkan pada tanggal 24 Februari 1998).
Tugas LKLU : memberikan sumbangan, pemikiran dan masukan kepada
pemerintah untuk perumusan dan penetapan kebijaksanaan upaya pelembagaan
lanjut usia dalam kehidupan bangsa.
Fungsi LKLU :
1. Merumuskan kebijaksanaan dan menetapkan pedoman umum baik yang
berkenaan dengan perencanaan program/kegiatan maupun pelaksanaan secara
terpadu dan terkordinasi.
2. Menyelenggarakan koordinasi dengan berbagai instansi terkait, organisasi
sosial, LSM, dalam rangka keterpaduan perumusan dan penetapan
kebijaksanaan.
3. Melakukan pemasyarakatan, pemantauan dan pengendalian sesuai ketentuan
yang berlaku.
Pencetusan Deklarasi Macao oleh UN-ESCAP (1998)
Di kawasan Asia Pasifik, UN-ESCAP (United Nations Economic and Social
Commission For Asia and the Pacific) berhasil mencetuskan deklarasi Macao
tentang lanjut usia di Asia dan Pasifik. Deklarasi dicetuskan pada akhir
Regional Meeting On A Plan Of Action On Ageing For Asia And The Pacific
yang diselanggarakan di Macao , 28 September - 1 Oktober 1998.
UN-ESCAP berhasil meyakinkan pemerintah di daerah Asia Pasifik bahwa
masalah lanjut usia merupakan masalah aktual yang harus diselesaikan secara
bersamaan. Upaya yang telah dirintis selama ini akan bermuara pada satu
tujuan utama yaitu tindakan preventif maupun promotif agar lanjut usia masih
dapat tetap produktif, sehingga mereka dapat menyumbangkan pengetahuan,
tenaga dan aspirasinya secara tepat demi kemajuan/perkembangan sosioekonomi negara masing-masing. Untuk itu dibutuhkan sarana infrastruktur
yang baru dalam menghadapi kebutuhan sosial, medik, finansial serta
emosional bagi penduduk yang sedang mengalami pergeseran demografik
tersebut. Untuk itu, plan of action yang dilahirkan pada regional meeting
tersebut diarahkan pada tujuh masalah besar yang dihadapi pada lanjut usia,
yakni:
Social Position of Older Persons (kedudukan lanjut usia dalam masyarakat) :
1.Older Persons and the Family (kedudukan lanjut usia dalam keluarga)
2.Health and Nutrition (masalah kesehatan dan gizi) Housing and
Transportation (masalah
perumahan dan transportasi)
3.Older Person and the Market (lanjut usia sebagai konsumen)
4.Income Security, maintenance an Employment (jaminan hari tua / jaminan
sosial,
pemeliharaan serta penyaluran kegiatannya)
5.Social Service and the Community (pelayanan sosial dan masyarakat)
Dalam memperingati Hari Lanjut Usia Internasional pada tanggal 1 Oktober
1998, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan telah mencanangkan International
Year of Older Persons (IYOP). Dalam kesempatan itu, selain tema yang
dikumandangkan berjudul “Towards A Society Of All Ages” di markas PBB di
New York, juga diselenggarakan pertemuan satu hari penuh yang diprakarsai
oleh NGO Comittee on Ageing dan bekerjasama dengan UN programme on
Ageing serta UN Departement of Public Information.
Peringatan dan Acara Tahun Lanjut Usia Internasional ini akan berlangsung
sampai akhir Desember 1999.
Penetapan Hari Kebangkitan Lansia RI (2000)
Di Indonesia telah ditetapkan hari Kebangkitan Lansia RI yaitu pada 20 Mei
2000. Dan diharapkan adanya lembaga untuk Lansia yang diresmikan oleh
Presiden. Kemudian adanya usaha dari UN-ESCAP yaitu pengajuan proposal
kepada PBB agar memiliki organisasi di bawah sekjen untuk Lansia dan tiap
negara diharapkan mengembangkan pengamanan sosial bagi lansia.
Pertemuan Gerontologi di Valencia (2002)
Pertemuan gerontologi di Valencia tahun 2002 yang diprakarsai oleh IAG
(International Association of Gerontology). Indonesia diwakili oleh Dr. Tony
Setiabudi. Sp.KJ. Ph.D.
Program Healthy Ageing dikemukakan dalam forum gerontologi di Valencia,
Spanyol. Program bagi lanjut usia ini berisi hal-hal sebagai berikut :
1.Aspek demografi
Aspek demografi adalah hal-hal yang menyangkut masalah kependudukan,
antara
lain: proyeksi populasi penduduk, umur harapan hidup, masalah gender
(perbedaan
jenis kelamin) dan distribusi lansia regional.
Proyeksi populasi Indonesia telah dibuat oleh pemerintah Indonesia dari tahun
1971-2020. Dalam proyeksi tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk balita
akan
semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh keberhasilan program KB. Di sisi
lain
jumlah penduduk lanjut usia semakin bertambah. Hal ini setidaknya
merupakan
hasil positif karena peningkatan pelayanan kesehatan dari pemerintah yang
diperlihatkan dari meningkatnya usia harapan hidup.
2. Aspek nasional-regional-global
3. Hal-hal yang perlu diantisipasi
4. Sumber daya manusia
5. Masalah dalam negeri Indonesia
Kongres WAA II di Madrid, Spanyol (2002)
Setelah pertemuan IAG diadakan kongres WAA II di Madrid, Spanyol pada
tanggal 8-12 April 2002 yang membahas masalah lansia dengan lebih serius
kemudian menghasilkan Deklarasi Madrid.
Pada pertemuan di Madrid, WHO mengungkapkan bahwa semasa abad yang
lalu telah terjadi perubahan-perubahan besar pertama sebelum perang dunia,
dimana hampir semua negara-negara di dunia tercekam oleh penyakit-penyakit
menular sehingga umur harapan hidup sangat rendah misalnya karena infeksi,
kekurangan gizi, kesehatan lingkungan turun dan penyakit-penyakit parasiter.
Setelah IKM (Ilmu Kesehatan Masyarakat) dikembangkan maka penyakitpenyakit tadi itu bisa ditekan, oleh sebab itu sejak 60 tahun lalu ada paradigma
kesehatan baru yang disebut dengan epidemiological shift. Lalu berkembang
suatu masa dimana setelah perang dunia II hampir semua penduduk dunia
berkembang biak dengan jumlah anak-anak kecil yang dilahirkan tanpa suatu
program khusus. Jadi dalam keluarga itu bisa memiliki 5 orang anak, 10 orang
anak dan bahkan lebih sehingga jumlah penduduk ini tidak terkontrol. Saat
itulah terjadi suatu gerakan dunia untuk mengingatkan agar jangan sampai
dunia mengalami kekurangan pangan bagi penduduk baru dan diproklamirkan
suatu gerakan berencana internasional yang disebut family planning program.
Di Indonesia gerakan family planning program ternyata cukup berhasil. Maka
kira-kira 30 tahun lalu terjadi suatu pergeseran baru dalam kesehatan yang
disebut dengan Demographical Shift.
Pada akhir abad yang lalu disinyalir umur lansia semakin banyak. Ada negaranegara yang mempunyai jumlah lansia diatas 10% dan disebut dengan Aging
Populated Countries. Di Indonesia, kini populasi lansia rata-rata 7,5% dari
jumlah total penduduk dan dalam waktu 20 tahun lagi jumlah lansia Indonesia
akan melebihi balita. Pada saat itulah WHO mengatakan bahwa millenium ini
ditandai dengan apa yang disebut dengan Gerontological Shift, dimana jumlah
lansia dengan permasalahannya akan jauh lebih besar, lebih serius dan lebih
kompleks. Karena itu diperlukan suatu program-program yang lebih terarah
dan hanya bisa dimulai bila institusi-institusi mulai memberikan perhatian. Dan
diharapkan lembaga-lembaga lainnya akan turut berperan serta dalam usaha
ini.
Di dalam Mukadimah deklarasi Madrid diungkapkan bahwa potensi para lansia
harus dapat dimaksimalkan agar bisa disumbangkan kepada masyarakat dan
negaranya. oleh karena itu diharapkan supaya sikap masyarakat, kebijakan
pemerintah, maupun perilaku masyarakat harus diubah sehingga bisa muncul
persepsi bahwa orang tua bukannya harus disingkirkan tapi harus diupayakan,
digandeng bersama-sama untuk ikut serta dalam pembangunan. Perlu diketahui
juga bahwa lansia itu berhak untuk hidup lebih lama dengan rasa aman dan
bermartabat, tentunya juga para lansia boleh tetap berperan serta dalam
pembangunan dan mempunyai hak sebagai warga negara yang penuh.
Isi deklarasi Madrid yang utama yaitu peran lanjut usia dalam pembangunan
harus dimaksimalkan dan tentunya peran tersebut hanya mungkin
dimaksimalkan kalau derajat kesehatan dan kesejahteraannya juga
ditingkatkan. Kedua hal tersebut hanya mungkin dilaksanakan apabila disertai
partisipasi dari masyarakat itu sendiri.
Kondisi lansia perlu dimaksimalkan karena lansia merasa masih menjadi
“orang” jika mereka merasa ikut berpartisipasi aktif, mereka masih diperlukan
dalam perkembangan masyarakat secara menyeluruh Hal penting lainnya
general issues sangat luar biasa karena pertama-tama dinilai bahwa lansia
khususnya di negara miskin harapan hidup perempuannya lebih banyak dari
laki-laki, sehingga hampir semua panti werdha wanita lebih banyak tetapi di
negara miskin karena wanita praktis tidak mendapat pendidikan yang tinggi
maka kehidupannya terpuruk karena kemiskinan dan kurangnya pendidikan.
Ternyata general issues tidak berhenti sampai disitu, para tenaga yang
melayani lansia dengan caregivers dimanapun di dunia dilakukan oleh
kelompok-¬kelompok wanita. Caregivers adalah yang mereka yang berusia 40
tahun keatas dan kebanyakan wanita, maka wanita yang berusia 40 tahun
keatas harus disiapkan untuk melayani orang tuanya. Akan tetapi di Singapore
terjadi suatu proses perubahan yang besar seperti halnya di Jepang dimana para
wanita mulai masuk ke karir sehingga merasa lebih mandiri dan tidak butuh
dukungan siapa-siapa lagi.
Secara singkat, tema yang ingin dibahas dan disampaikan pada WAA II
adalah: Peningkatan partisipasi lanjut usia dalam pembangunan, peningkatan
dukungan masyarakat bagi kesejahteraan lanjut usia, perlindungan dan jaminan
sosial bagi lanjut usia, perluasan akses dan kemudahan layanan kesehatan bagi
lanjut usia serta mempertimbangkan pembentukan komisi nasional lanjut usia.
Rencana Pertemuan Internasional yang Berkaitan dengan Perkembangan
Gerontologi di Indonesia
World Congress Rio de Janeiro 2005 dan Paris 2009 (Korea mencalonkan diri
sebagai tempat pertemuan selanjutnya untuk tahun 2013)
CIGP 2006 akan diadakan di Indonesia.
Kegiatan Pelayanan Lanjut Usia di Indonesia
Landasan hukum :
Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
Undang-undang No.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia.
Undang-undang No.22 tahun 2000 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang No.25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Tahun 2000-2004, bidang Pembangunan Sosial Budaya.
Keputusan Menkokesra No.15/KEP/IX/1994 tentang Panitia Nasional
Pelembagaan Lanjut Usia dalam Kehidupan Bangsa.
Keputusan Menteri Sosial No.10/HUK/1998 tentang Lembaga Kesejahteraan
Lanjut Usia
Sesuai Undang-undang No.13 tahun 1998, mengamanaykan bahwa pemerintah
dan masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia.
Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya masyarakat
Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang mengandung arti
yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi, yaitu: anak, orang tua
dan kakek / nenek.
Sarana pelayanan kesehatan yang dipergunakan untuk melayani Lanjut Usia
digolongkan dalam berbagai tingkatan, yaitu :
a. Pelayanan Tingkat Masyarakat
Pelayanan yang ditujukan kepada Lanjut Usia, keluarga yang mempunyai
lanjut usia, kelompok lanjut usia atau kelompok masyarakat seperti :
Karang Werdha
Adalah suatu perkumpulan/paguyuban dari para lansia yang biasanya berasal
dari satu lingkungan hunian. Di dalam klub ini, para lansia yang sehat mandiri
dapat mengadakan berbagai kegiatan fisik, rohani,social-ekonomi secara
bersama-sama
Posyandu Lansia
Day Care
Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
PUSAKA
Dana Sehat
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
b. Pelayanan Tingkat Dasar
Pelayanan diselenggarakan oleh berbagai instansi dan swasta serta organisasi
masyarakat, organisasi profesi dan yayasan seperti: praktek dokter, praktek
dokter gigi, balai pengobatan dan klinik, Puskesmas, Balai Kesehatan
Masyarakat, Panti Tresna Werdha, Pusat Pelayanan dan Perawatan Lanjut
Usia.
c. Pelayanan Rujukan Tingkat I dan Tingkat II
Pelayanan yang diberikan dapat bersifat sederhana, sedang, lengkap, dan
paripurna :
Rumah sakit yang memiliki : Poliklinik Geriatri / Gerontologi, unit rehabilitasi,
ruang rawat, laboratorium, Day Hospital, Unit Gawat Darurat, Instalasi Gawat
Darurat, Bangsal Akut.
Rumah Sakit Jiwa
Rumah Sakit Khusus (lainnya)
Sasana Tresna Werdha
Sasana Tresna Werdha adalah suatu institusi hunian bersama dari para lansia
yang secara fisik/kesehatan masih mandiri, akan tetapi (terutama) memiliki
keterbatasan di bidang sosial / ekonomi. Kebutuhan harian dari para penghuni
biasanya disediakan pengurus panti. Diselenggarakan oleh pemerintah atau
swasta.
Hospitium
Melalui pelayanan kesehatan yang dikerjakan terpadu dengan pelayanan
keperawatan, pelayanan sosial, ketenagakerjaan, hukum dan bidang-bidang
lainnya, diharapkan angka kesakitan (morbiditas), angka kematian (mortalitas)
serta permasalahan lanjut usia semakin menurun. Hal ini akan menunjang
tercapainya mutu kehidupan lanjut usia yang sehat secara fisik, psikis, mental
spiritual, serta sosial.
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS DALAM GERONTOLOGI
I. PENDAHULUAN
Ilmu Kedokteran Komunitas (Community Medicine) adalah cabang ilmu
kedokteran yang berurusan dengan kesehatan warga-warga suatu komunitas
atau suatu wilayah. Didalamnya dibagi lagi menjadi beberapa bidang, seperti
kedokteran keluarga, lansia, lingkungan, okupasi, industri, olahraga, kelautan,
dan kedirgantaraan.
Epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara berbagai faktor
yang menentukan frekuensi dan distribusi penyakit pada komunitas manusia.
Demografi adalah ilmu yang mempelajari kependudukan, mencakup jumlah,
presentase kenaikan, jenis kelamin, umur harapan hidup, lokasi, distribusi, dan
perpindahan, angka kematian, pekerjaan dan penghasilan, status perkawinan,
pendidikan, gaya hidup, dan lain-lain tentang penduduk.
Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari masalah Lanjut Usia. Yang disebut
Lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas.
Kelompok ini memerlukan perhatian khusus di abad 21 ini, mengingat
jumlahnya yang meningkat cepat dan berpotensi menimbulkan permasalahan
yang akan mempengaruhi kelompok penduduk lain, sehingga aspek demografi
dari kelompok lanjut usia perlu diketahui dan dipahami untuk mengambil
langkah antisipasi dalam mengatasi permasalahan lanjut usia.
Menurut laporan data demografi penduduk Internasional yang dikeluarkan oleh
Bureau of the Census USA (1993), dilaporkan bahwa Indonesia pada tahun
1990-2025 akan mempunyai kenaikan jumlah Lansia sebesar 414%, suatu
angka paling tinggi di dunia.
Pada tahun 2000, dua diantara tiga Lansia di seluruh dunia yang berjumlah 600
juta, akan hidup dan bertempat tinggal di negara- negara sedang berkembang.
Sebelumnya angka ini adalah 50% di tahun 1960. Kenaikan jumlah ini
terutama di Asia. Di Cina dan India, pertambahan mencapai 270 juta Lansia.
Pertambahan penduduk Lansia di Indonesia dan Brazil diproyeksikan naik
masing-masing melebihi 20 juta orang, sedang kenaikan kira-kira setengah
jumlah tersebut adalah di Meksiko, Nigeria, dan Pakistan. Tahun 1980,
Indonesia adalah urutan ke-10, pada tahun 2020 akan menjadi urutan ke-5 atau
6, sebagai Negara yang banyak jumlah populasi Lansianya. (WHO,1989).
Dimana dari 33 propinsi di Indonesia saat ini, Yogyakarta memiliki jumlah
Lansia terbanyak (13,72%).
Di Eropa pada tahun 2000 diproyeksikan jumlah populasi lansia 60+ akan
berjumlah 20%, bahkan akan terjadi kenaikan yang cepat pada populasi 80+.
II. ASPEK DEMOGRAFI
Transisi Demografi
Saat ini Indonesia ada dalam transisi demografi, persentase Lansia
diproyeksikan menjadi 11,34% pada tahun 2020 yang akan datang.
Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat atau populasi muda
menjadi populasi tua pada tahun 2020. Piramida penduduk Indonesia berubah
dari bentuk dengan basis lebar (fertilitas tinggi), menjadi piramida berbentuk
kubah mesjid atau bawang (fertilitas dan mortalitas rendah) pada tahun 2020.
Pergeseran ini menuntut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan,
dengan kata lain lebih minta perhatian dan prioritas untuk penyakit-penyakit
pada usia dewasa dan Lansia. Tapi dalam hal ini penyakit-penyakit pada balita
dan anak-anak masih menjadi masalah yang belum diselesaikan. Ini menjadi
beban ganda.
Perubahan struktur penduduk ini juga akan mempengaruhi ratio
ketergantungan (Dependency Ratio), baik pada golongan anak yang tidak
produktif (<15 tahun), dan golongan Lansia (>60 tahun), terhadap golongan
usia 15-60 tahun yang produktif. Tahun 1971, Dependency Ratio total 86,84%.
Angka ini makin menurun, sehingga tahun 2000, Dependency Ratio total
53,17%, seterusnya akan menurun sampai 41,38 pada tahun 2020, Dengan
catatan Dependency Ratio Lansia akan makin naik dan Dependency Ratio anak
muda makin menurun. Di Negara industri maju, Dependency Ratio ini sudah
sangat rendah, yang berarti golongan produktif sudah sangat tinggi
persentasenya.
IV. UPAYA PELAYANAN KESEHATAN
Upaya Mengatasi Permasalahan Kesehatan pada Lansia
Upaya pembinaan kesehatan
Upaya pelayanan kesehatan :
# Upaya promotif
# Upaya preventif
# Diagnosa dini dan pengobatan
# Pencegahan kecacatan
# Upaya rehabilitatif
Upaya perawatan
Upaya pelembagaan Lansia
Prinsip pelayanan kesehatan pada Lansia
a. Prinsip holistik
♥ Seorang penderita lanjut usia harus dipandang sebagai manusia seutuhnya
(lingkungan psikologik dan sosial ekonomi). Hal ini ditunjukkan dengan
asesmen geriatri sebagai aspek diagnostik, yang meliputi seluruh organ dan
sistem, juga aspek kejiwaan dan lingkungan sosial ekonomi.
♥ Sifat holistik mengandung artian baik secara vertikal ataupun horizontal.
Secara vertikal dalam arti pemberian pelayanan di masyarakat sampai ke
pelayanan rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit yang mempunyai pelayanan
subspesialis geriatri. Holistik secara horizontal berarti bahwa pelayanan
kesehatan harus merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan lansia secara
menyeluruh. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan harus bekerja secara lintas
sektoral dengan dinas/ lembaga terkait di bidang kesejahteraan, misalnya
agama, pendidikan, dan kebudayaan, serta dinas sosial.
♥ Pelayanan holistik juga berarti bahwa pelayanan harus mencakup aspek
pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan pemulihan
(rehabilitatif). Begitu pentingnya aspek pemulihan, sehingga WHO
menganjurkan agar diagnosis penyakit pada Lansia harus meliputi 4 tingkatan
penyakit :
â–ª Disease (penyakit), yaitu diagnosis penyakit pada penderita, misalnya
penyakit jantung iskemik.
â–ª Impairment (kerusakan/ gangguan), yaitu adanya gangguan atau kerusakan
dari organ akibat penyakit, missal pada MCI akut ataupun kronis.
â–ª Disability (ketidakmampuan), yaitu akibat obyektif pada kemampuan
fungsional dari organ atau dari individu tersebut. Pada kasus di atas misalnya
terjadi decompensasi jantung.
â–ª Handicap (hambatan), yaitu akibat sosial dari penyakit. Pada kasus tersebut di
atas adalah ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas sosial, baik
di rumah maupun di lingkungan sosialnya.
b. Prinsip tatakerja dan tatalaksana secara TIM
Tim geriatrik merupakan bentuk kerjasama multidisipliner yang bekerja secara
inter-disipliner dalam mencapai tujuan pelayanan geriatrik yang dilaksanakan.
Yang dimaksud dengan multidisiplin si sini adalah berbagai disiplin ilmu
kesehatan yang secara bersama-sama melakukan penanganan pada penderita
lanjut usia. Komponen utama tim geriatrik terdiri dari dokter, pekerja sosio
medik, dan perawat. Tergantung dari kompleksitas dan jenis layanan yang
diberikan. Anggota tim dapat ditambah dengan tenaga rehabilitasi medik
(dokter, fisioterapist, terapi okupasi, terapi bicara, dll.), psikolog, dan atau
psikiater, farmasis, ahli gizi,dan tenaga lain yang bekerja dalam layanan
tersebut.
Istilah interdisiplin diartikan sebagai suatu tatakerja dimana masing-masing
anggotanya saling tergantung (interdependent) satu sama lain. Jika tim
multidisiplin yang bekerja secara multidisiplin, dimana tujuan seolah-olah
dibagi secara kaku berdasarkan disiplin masing-masing anggota. Pada tim
interdisiplin, tujuan merupakan tujuan bersama. Masing-masing anggota
mengerjakan tugas sesuai disiplinnya sendiri-sendiri, tetapi tidak secara kaku.
Disiplin lain dapat memberi saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara
periodik dilakukan pertemuan anggota tim untuk mengadakan evaluasi kerja
yang telah dicapai, dan kalau perlu mengadakan perubahan demi tujuan
bersama yang hendak dicapai.
Pada tim multidisiplin, kerjasama terutama bersifat pada pembuatan dan
penyerasian konsep. Sedangkan pada tim interdisiplin, kerjasama meliputi
pembuatan dan penyerasian konsep serta penyerasian tindakan.
Tim geriatri disamping mengadakan asesmen atas masalah yang ada, juga
mengadakan asesmen atas sumber daya manusia dan sosial ekonomi yang bisa
digunakan untuk membantu pelaksanaan masalah penderita tersebut.
V. PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN USIA LANJUT
Pembinaan Kesehatan
Tujuannya adalah meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan untuk
mencapai masa tua yagn bahagia dan berguna dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat sesuai dengan keberadaannya dalam masyarakat.
Informasi yang diperlukan usia 40-45 tahun (masa virilitas)
1. Mengetahui sedini mungkin adanya akibat proses penuaan (keluhan mudah
jatuh, mudah lelah, nyeri dada, berdebar-debar, sesak nafas waktu beraktivitas.
2. Mengetahui pentingnya pemeriksaan kesehatan secara berkala.
3. Melakukan latihan kesegaran jasmani.
4. Melakukan diet dengan menu seimbang.
5. Meningkatkan kegiatan sosial di masyarakat.
6. Meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Informasi yang diperlukan usia 55-64 tahun (masa presenium)
1. Pemeriksaan kesehatan secara berkala.
2. Perawatan gizi/ diet seimbang
3. Kegiatan olahraga/ kesegaran jasmani.
4. Perlunya berbagai alat bantu untuki tetap berdaya guna.
5. Pengembangan dan peningkatan hubungan sosial di masyarakat.
6. Peningkatan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Informasi yang diperlukan > 65 tahun dan kelompok resiko tinggi
1. Pembinaan diri sendiri dalam hal pemenuhan kebutuhan pribadi, aktivitas di
dalam rumah maupun di luar rumah.
2. pemakaian alat bantu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan yang ada
pada mereka.
3. Pemeriksaan kesehatan secara berkala.
4. Perawatan fisioterapi di RS terdekat.
5. Latihan kesegaran jasmani.
6. Meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pelayanan kesehatan
a. Upaya peningkatan / Promosi Kesehatan
Pada dasarnya merupakan upaya pencegahan primer ( primary prevention).
Anjuran dari Prof. Dr. Slamet Suyono (RSCM, 1997) adalah : BAHAGIA
Berat badan berlebihan agar dihindari dan dikurangi
Aturlah makanan hingga seimbang
Hindari faktor risiko penyakit degeneratif
Agar terus berguna dengan mempunyai hobi yang bermanfaat
Gerak badan teratur agar terus dilakukan
Iman dan takwa tingkatkan, hindari dan tangkal situasi yang menegangkan
Awasi kesehatan dengan memeriksakan badan secara periodik
DepKes RI 1998, Buku Pedoman pemeliharaan Kesehatan Usia Lanjut,
memuat anjuran untuk hidup sehat :
• Perkuat ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa untuk mengendalikan stress
• Periksakan kesehatan secara berkala
• Makan dan minum
kurangi gula, lemak, dan garam
perbanyak buah, sayur, susu tanpa lemak dan ikan
hindari alkohol
berhenti merokok
perbanyak minum air putih 6-8 gelas per hari atau sesuai anjuran petugas
kesehatan
• Kegiatan fisik dan psikososial
pertahankan berat badan normal
lakukan kegiatan fisik sesuai kemampuan
lakukan latihan kesegaran jasmani sesuai kemampuan seperti jalan kaki,
senam, berenang, dan bersepeda
tingkatkan silaturahmi
sempatkan rekreasi dan salurkan hobi secara teratur dan bergairah
gunakan obat-obatan atas saran petugas kesehatan
pertahankan hubungan harmonis dalam keluarga
tetap melakukan kegiatan seksual dengan pasangan hidup
b. Upaya pencegahan / Prevention
♣ Bagaimanapun hebatnya penemuan dalam bidang teknologi dan obat-obatan
untuk merawat dan menyembuhkan Lansia yang sakit, tetapi peranan prevensi
(pencegahan) semakin besar, karena bila dilaksanakan secara cermat dan terus
menerus akan memberikan hasil yang lebih baik dengan biaya yang lebih
murah.
♣ Yang dimaksudkan dengan prevensi bukanlah menghindarkan ketuaan atau
proses menjadi tua, melainkan menghindarkan sejauh mungkin penyakitpenyakit yang dapat timbul dan mengusahakan agar fungsi tubuh selama
mungkin dapat dipertahankan.
1. Upaya pencegahan primer (Primary prevention)
Ditujukan kepada Lansia yang sehat, mempunyai risiko akan tetapi belum
menderita
penyakit. Dapat digolongkan pada upaya peningkatan
2. Upaya pencegahan sekunder (Secondary prevention)
Ditujukan kepada penderita tnpa gejala, yang mengidap faktor risiko. Upaya
ini dilakukan
sejak awal penyakit hingga awal timbulnya gejala atau keluhan.
Menurut DepKes RI 1998, keluhan yang perlu diwaspadai :
- cepat lelah - nyeri pinggang
- nyeri dada - nyeri sendi
- sesak napas - gangguan gerak
- berdebar-debar - kaki bengkak
- sulit tidur - kesemutan
- batuk - sering haus
- gangguan penglihatan - gangguan BAB/ BAK
- gangguan pendengaran - benjolan tidak normal / daging
- gangguan mulut tumbuh
- nafsu makan meningkat atau menurun - keluarnya darah atau cairan melalui
vagina secara terus-menerus
3. Upaya pencegahan tersier (Tertiary prevention)
Ditujukan kepada penderita penyakit dan penderita cacat, yang telah
memperlihatkan gejala penyakit.
* Tahap I : Ketika Lansia dirawat di RS
* Tahap II : Ketika Lansia pada masa rehabilitasi atau rawat jalan
* Tahap III : Ketika Lansia pada saat pemeliharaan jangka panjang
♣ Tindakan pencegahan praktis yang dapat dilaksanakan :
a. Hindari berat badan berlebihan (obesitas ataupun overweight)
b. Kurangi makan dan pilihlah makanan yang sesuai
c. Olahraga yang ringan dan teratur harus dilakukan
d. Menghindari faktor resiko PJK
- faktor resiko yang tidak dapat dihindari : umur, jenis kelamin, keturunan
- faktor resiko yang sukar dihindari : kepribadian
- faktor resiko yang dapat dihindari/ dibatasi : merokok, kelebihan BB,
hiperkolesterolemia, hipertensi, DM
e. Menghindari timbulnya kecelakaan pada Lansia
f. Tindakan yang mengisi kehidupan Lansia
g. Persiapan menghadapi pensiun
h. Pemeriksaan kesehatan secara periodik
b. Diagnosa dini dan pengobatan / Early diagnosis and prompt treatment
Dilaksanakan oleh Lansia, keluarga, petugas professional, dan petugas panti.
Pengobatan dijalankan terhadap gangguan sistem, mengurangi gejala yang
terjadi dan mengatasi manifestasi klinik.
Kegiatan dilaksanakan di tingkat keluarga, fasilitas pelayanan tingkat dasar,
dan fasilitas pelayanan rujukan tingkat I dan tingkat II.
1. Diagnosa dini oleh Lansia dan keluarga
Di Amerika Serikat, bimbingan diberikan oleh National Health Information
Clearinghouse (1994), untuk memungkinkan para Lansia memberi skor
terhadap gaya hidup sehat (healthstyle self-test) dengan menghitung skor
merokok, pemakaian alkohol, dan obat, kebiasaan makan, olahraga, dan
kebugaran, pengendalian stres, juga pengamanan diri terhadap kecelakaan dan
cedera.
Medical screening schedule (prosedur penapisan) dianjurkan U.S. Preventive
Services Task Force (1994), meliputi:
a. Penapisan :
 Anamnesa diarahkan terhadap tanda gejala nyeri dada, kebiasaan diet,
kebiasaan olahraga, pemakaian alcohol dan kebiasaan merokok, serta ada atau
tidaknya gangguan fungsi di rumah
Pemeriksaan fisik : berat dan tinggi badan, tekanan darah, visus, fungsi
pendengaran, alat Bantu dengar, pemeriksaan payudara, pemeriksaan
laboratorium, glukosa dan kolesterol, fungsi kelenjar tiroid, EKG, pap smear,
sigmoidoskopi, kolonoskopi
b. Konseling :
Olahraga dan latihan tertentu, diet, lemak, kolesterol, karbohidrat, kalori,
penyalahgunaan narkotika, alcohol, zat adiktif, pencegahan kecelakaan,
kesehatan gigi, glaucoma, pengobatan estrogen.
c. Imunisasi :
Hepatitis B, Vaksin influenza
Di Indonesia
Buku Kesehatan Pribadi dianjurkan untuk dimiliki oleh masyarakat, termasuk
Lansia¬
¬ Buku Pedoman Pemeliharaan Kesehatan Usia Lanjut (1998), agar diisi oleh
para Lansia, keluarga, atau pemberi pelayanan kesehatan setiap diberikan
pelayanan kesehatan, sehingga dapat terjalin komunikasi dan tukar menukar
informasi penting diantara Lansia dengan petugas pelayanan kesehatan setiap
saat.
Kartu Menuju Sehat Usia Lanjut (1993, 1997), yang disimpan oleh Lansia
sendiri¬
2. Diagnosa dini oleh petugas profesional atau tim
a. Pemeriksaan status fisik :
Pemeriksaan fisik diagnostik lengkap♣
b. Pemeriksaan laboratorium lengkap
Gula darah dan puasa 2 jam setelah makan♣
HDL dan LDL kolesterol, Trigliserid♣
Kadar hormon♣
Kanker prostat, pari♣
Tumor marker (jika perlu)♣
c. Skrining kesehatan
d. Pemeriksaan status kejiwaan
Status mental (memori, konsentrasi, orientasi, komunikasi, verbalisasi)♣
Status psikologis (kesan umum, mood/ afek, dan perilaku)♣
e. Pemeriksaan status sosial ekonomi
Kontak sosial♣
Penyesuaian diri (terhadap keadaan saat ini, terhadap masa depan)♣
♣ Evaluasi orang yang merawat Lansia (usia, status kesehatan, ketrampilan,
derajat stress, kepandaian, tanggung jawab sebagai keluarga)
f. Pemeriksaan status fungsi tubuh
Mandiri (independent)♣
Kurang mandiri (partially independent)♣
Tidak mandiri/ tergantung (dependent)♣
3. Pengobatan
a. Pengobatan terhadap gangguan sistem dan gejala yang timbul (sistem
muskuloskeletal, kardiovaskular, pernapasan, pencernaan, urogenital,
hormonal, saraf, kulit, kuku, dan rambut)
b. Pengobatan terhadap manifestasi klinik (nyeri kepala, nyeri dada, nyeri
pinggang, nyeri tungkai, nyeri kaki, demam, hipotermi, tidak ada nafsu makan,
kelemahan umum, sesak napas, edema, obstipasi, gangguan kemih, gangguan
neuropsikiatri, hipertensi, klimakterium, prostat)
c. Pengobatan terhadap Geriatric Giant (RSCM, 1997), (pikiran kacau, jatuh,
imobilisasi, dekubitus, incontinentia urinae, incontinentia alvi, gangguan mata,
gangguan telinga, osteoarthrosis.
Dasar Klinis Preventive Health Care Untuk Lansia, Rekomendasi Pemeriksaan
Kesehatan Berkala
Prevensi Primer dan Sekunder Frekuensi
Edukasi Tiap 4 tahun
Prevensi terhadap kecelakaan
Penggunaan seat belts
Pengecekan sendiri : kulit, mulut, payudara, testis
Melaporkan perdarahan postmenopause
Promosi Kebiasaan Sehat
Olah raga
Gizi
Obesitas Tiap 4 tahun atau kalaudiperlukan
Kebersihan mulut
Tidur
Penggunaan obat
Prevensi terhadap Penyakit
Skrining kolesterol Tiap 4 tahun
Imunisasi
Influenza Tiap tahun
Pneumococcus Sekali
Tetanus Booster Tiap 10 tahun
Pemeriksaan gigi
Penyakit periodontal
Caries gigi Tiap tahun
Skrining untuk Penyakit dini
Penurunan pendengaran Deteksi pada kelompok resiko tinggi
Hipertensi Pengukuran tekanan darah tiap 1/ 2 tahun
Hipothyroid Pemeriksaan klinis tiap 2 tahun
Ca mamae Pemeriksaan payudara tiap thn
Mammogram tiap thn sampai usia 80 thn
Ca serviks Pap smear tiap 5 thn, tiap 2 thn sp usia 70, tiap 3 tahun
Ca colorectal Pemeriksaan rectal tiap tahun atau setahun 2 kali
Sigmoidoscopy tiap 4 tahun
Ca mulut Pemeriksaan mulut tiap tahun setelah usia 75 tahun
Ca kulit Inspeksi dan konseling, frekuensi tergantung diagnosa klinis
Malnutrisi 2 kali setahun, 65-74 thn, tiap tahun untuk usia 75+
Kelompok resiko tinggi Seperti indikasi diagnosa klinisTBC
Ketidakmampuan progresif sesuai usia
Penilaian fungsi fisik, sosial, dan mental
Dengan kunjungan rumah tiap 2 thn (65-74 thn), tiap tahun (75+)
c. Pembatasan kecacatan / Disability limitation
Kecacatan : kesukaran dalam memfungsikan otot dan alat gerak atau sistem
saraf
Kecacatan :
bersifat sementara dan dapat diperbaikiϖ
menetap yang tidak dapat dipulihkan tapi masih mungkin dapat diganti dengan
alat bantuϖ
progresif yang tidak dapat pulih dan tidak dapat diganti dengan alat bantuϖ
Kegiatan yang dilakukan dalam pembatasan kecacatan :
a. Pemeriksaan (Assessment)
b. Identifikasi masalah ( Problem identification)
c. Perencanaan ( Planning)
d. Pelaksanaan ( Implementation)
e. Penilaian (Evaluation)
d. Upaya pemulihan / Rehabilitasi
Rehabilitasi dilaksanakan oleh tim rehabilitasi (petugas medik, paramedik, non
medik)
Prinsip :
a. Pertahankan lingkungan yang aman
b. Pertahankan kenyamanan (istirahat, aktivitas, mobilitas)
c. Pertahankan kecukupan gizi
d. Pertahankan fungsi pernapasan
e. Pertahankan fungsi aliran darah
f. Pertahankan fungsi aliran kemih
g. Meningkatkan fungsi psikososial
h. Pertahankan komunikasi
i. Mendorong pelaksanaan tugas
VI. TINGKAT PELAYANAN KESEHATAN
Untuk mengupayakan prinsip holistik yang berkesinambungan, secara garis
besar pelayanan kesehatan pada Lansia dapat dibagi sebagai berikut (HadiMartono, 1993, 1996)
1. Pelayanan Kesehatan Lansia di Masyarakat (Community Based Geriatric
Service)
Semua upaya kesehatan yang berhubungan dan dilaksanakan oleh masyarakat
harus diupayakan berperan serta dalam menangani kesehatan para Lansia.
Puskesmas dan dokter praktek swasta merupakan tulang punggung layanan di
tingkat ini. Puskesmas berperan dalam membentuk kelompok/ klub Lansia. Di
dalam dan melalui klub Lansia ini, pelayanan kesehatan dapat lebih mudah
dilaksanakan, baik usaha promotif, preventif, kuratif, atau rehabilitatif. Dokter
praktek swasta terutama menangani para Lansia yang memerlukan tindakan
kuratif insidental.
Semua pelayanan kesehatan harus diintegrasikan dengan layanan kesejahteraan
yang lain dari dinas sosial, agama, pendidikan, kebudayaan, dll. Peran serta
LSM untuk membentuk layanan sukarela misalnya dalam pendirian badan
yang memberikan layanan bantu perawatan (home nursing), kebersihan rumah,
atau pemberian makanan bagi para lansia (meals on wheels) juga perlu
didorong.
Pada dasarnya, layanan kesehatan Lansia di tingkat masyarakat seharusnya
mendayagunakan dan mengikutsertakan masyarakat (termasuk para Lansianya)
semaksimal mungkin. Yang perlu dikerjakan adalah meningkatkan kepedulian
dan pengetahuan masyarakat, dengan berbagai cara, antara lain ceramah,
simposium, lokakarya, dan penyuluhan-penyuluhan.
2. Pelayanan Kesehatan Lansia di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital
Based
Community Geriatric Service)
Pada layanan tingkat ini, rumah sakit setempat yang telah melakukan layanan
geriatri bertugas membina Lansia yang berada di wilayahnya, baik secara
langsung atau tidak langsung melalui pembinaan pada Puskesmas yang berada
di wilayah kerjanya.
“Transfer of Knowledge” berupa lokakarya, symposium, ceramah-ceramah,
baik kepada tenaga kesehatan ataupun kepada awam perlu dilaksanakan. Di
lain pihak, rumah sakit harus selalu bersedia bertindak sebagai rujukan dari
layanan kesehatan yang ada di masyarakat.
3. Layanan Kesehatan Lansia Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Geriatric
Service)
Pada layanan ini rumah sakit, tergantung dari jenis layanan yang ada,
menyediakan berbagai layanan bagi para Lansia, sampai pada layanan yang
lebih maju, misalnya bangsal akut, klinik siang terpadu (day hospital), bangsal
kronis, dan atau panti rawat wredha (nursing homes). Di samping itu, rumah
sakit jiwa juga menyediakan layanan kesehatan jiwa bagi Lansia sengan pola
yang sama. Pada tingkat ini, sebaiknya dilaksanakan suatu layanan terkait
(con-joint care) antara unit geriatri rumah sakit umum dengan unit psikogeriatri
suatu rumah sakit jiwa, terutama untuk menangani penderita penyakit fisik
dengan komponen gangguan psikis berat dan sebaliknya.
Tingkatan sarana pelayanan kesehatan:
a. Pelayanan tingkat masyarakat
Pelayanan yang ditujukan kepada Lansia, keluarga yang mempunyai Lansia,
kelompok Lansia atau kelompok masyarakat seperti :
1. Karang Wredha
2. Pos Yandu Lansia
3. Day Care
4. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
5. PUSAKA
6. Dana Sehat atau Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM)
b. Pelayanan tingkat dasar
Pelayanan diselenggarakan oleh berbagai instansi dan swasta serta organisasi
masyarakat, organisasi profesi dan yayasan seperti
:
1. Praktek Dokter
2. Praktek Dokter Gigi
3. Balai Pengobatan dan Klinik
4. Puskesmas
5. Balai Kesehatan Masyarakat
6. Panti Tresna Wredha
7. Pusat Pelayanan dan Perawatan Lanjut Usia
c. Pelayanan rujukan tingkat I dan tingkat II
Pelayanan yang diberikan dapat bersifat sederhana, sedang, lengkap, dan
paripurna :
1. Rumah sakit yang memiliki Poliklinik Geriatri/ Gerontologi, Unit
Rehabilitasi, Ruang Rawat, Laboratorium, Day Hospital, Unit Gawat Darurat,
Instalasi Gawat Darurat, Bangsal Akut.
2. Rumah Sakit Jiwa
3. Rumah Sakit Khusus lainnya
4. Sasana Tresna Wredha
5. Hospitium
1. Poliklinik geriatri : layanan geriatri di mana diberikan jasa asesmen,
tindakan kuratif sederhana, dan konsultasi, bagi penderita rawat jalan. Sifatnya
adalah subspesialistik, sehingga hanya penderita yang telah melewati poliklinik
spesialis lain dan memenuhi syarat sebagai penderita geriatri bisa dikonsulkan
ke poliklinik ini.
2. Bangsal geriatri akut : bangsal di mana penderita geriatri dengan penyakit
akut atau subakut (stroke, pneumonia, keto-asidosis diabetika, penyakit jantung
kongestif akut, dll.).
Pada penderita tersebut dilakukan tindakan asesmen, kuratif, dan rehabilitasi
jalur cepat oleh tim geriatri.
3. Day-hospital : layanan geriatri yang dapat melaksanakan semua tindakan
yang dilakukan oleh bangsalakut atau kronis, tetapi tanpa penderita harus rawat
inap, dan layanan hanya dilakukan pada jam kerja. Jasa yang diberikan antara
lain : asesmen, kuratif, ambulatoir, rehabilitasi, dan rekreasi. Oleh karenanya
tenaga yang diperlukan selain geriatris/ internis, perawat dan sosiomedik, juga
tenaga rehabilitasi, psikolog, rekreasionis, dll.
4. Bangsal geriatri kronis : bangsal ini diperlukan untuk merawat penderita
dengan penyakit kronis yang memerlukan tindakan kuratif inap dalam jangka
waktu lama. “Turn over rate”-nya rendah, sehingga pembiayaannya menjadi
sangat mahal.
5. Panti rawat wredha : Di negara maju, layanan ini disebut “nursing home”,
yaitu suatu institusi yang memberikan layanan bagi penderita Lansia dengan
masalah medis kronis yang sudah tidak memerlukan tindakan perawatan di RS,
akan tetapi masih terlalu berat untuk bisa dirawat di rumah sendiri. Oleh karena
tidak memerlukan tindakan spesialistik oleh dokter, maka biayanya bisa
ditekan. Turn over rate juga rendah, tetapi untuk kepentingan pendidikan,
adanya bangsal ini di suatu RS pemerintah dapat menggantikan keberadaan
suatu bangsal kronis.
6. Rehabilitasi geriatri : merupakan suatu keharusan untuk dikerjakan pada
semua penderita geriatrik. Rehabilitasi jalur cepat (fast stream rehabilitation)
dikerjakan selama penderita masih dirawat di bangsal geriatri, oleh karena itu
pelaksanaannya sebaiknya diintegrasikan dengan pelayanan geriatri.
Rehabilitasi jalur lambat (slow stream rehabilitation) dilaksanankan secara
kronis, yang bisa dilaksanakan oleh unit rehabilitasi medik atau bisa juga
diintegrasikan ke dalam pelayanan geriatri.
7. Konsultasi geriatri : yaitu surat layanan konsultatif dari bagian lain terhadap
seorang penderita Lansia. Dari tindakan konsultatif ini, pada penderita yang
bersangkutan dapat diberikan pengobatan bahkan pindah perawatan ke bagian
geriatri.
8. Pendidikan dan riset : merupakan bagian implisit dari pelayanan geriatri.
Riset dilaksanakan baik untuk publikasi atau yang lebih penting adalah untuk
memperbaiki pelayanan itu sendiri.
VII. PELAYANAN SOSIAL BAGI USIA LANJUT
Pelayanan sosial pada Lansia merupakan bagian dari layanan holistik
horizontal pada populasi Lansia. Berbagai layanan yang bisa diberikan
kepada :
Institusi yang memberikan akomodasi, antara lain panti wredha (terutama bagi
para Lansia dengan keterbatasan sosial-ekonomi), akomodasi terlindung
(sheltered accomodation) bagi mereka dengan ketergantungan fisik sebagian
(semi/ partial dependency)
Bantuan pengerjaan aspek domestik (home help services), misalnya
membersihkan rumah, cuci-setrika, dll.
Bantuan penyediaan makan sehari-hari (meals on wheels)
Penjagaan penderita di malam hari (night attendants)
Penyediaan pramu wredha
Dll.
Pelayanan sosial ini sebaiknya merupakan kegiatan dari badan-badan sukarela/
partisipasi masyarakat, yang dikoordinasikan oleh dinas sosial dan atau dinas
kesehatan setempat.
Kaum Lansia Perlu Mendapat Konsep Penanganan Terpadu
JAKARTA (Media): Kaum lanjut usia (lansia) harus mendapatkan perhatian
lebih. Karena itu, perlu konsep terpadu agar penanganan kaum lansia semakin
baik. Keberadaan para lansia tersebut diharapkan tidak membebani semua
orang.
Pakar gerontologi dr Tony Setiabudhi menegaskan hal itu di Jakarta, Sabtu
(11/12), di sela-sela acara simposium Healthy and Active Ageing bertema
Successfull ageing an emerging paradigm of gerontology illness, crisis, and
loss, yang dilaksanakan oleh Pusat Kajian Masalah Lansia bersama Majelis
Fakultas Kedokteran Swasta Indonesia, Universitas Trisakti, dan Universitas
Krida Wacana.
Jumlah populasi lansia di Indonesia pada tahun-tahun mendatang akan
melonjak sangat pesat, ucapnya selaku ketua umum simposium tersebut.
Berdasarkan proyeksi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
2002, jumlah penduduk Indonesia pada 2050 mencapai 293 juta jiwa.
Selain masalah jumlah penduduk, maka masalah struktur penduduk juga harus
diperhatikan. Menurut Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN), pada 2050 akan terjadi perubahan struktur umur yang akan
didominasi oleh mereka yang berusia 60 tahun ke atas.
Dengan jumlah lansia sekarang telah mencapai 15 juta lebih penduduk, ia
memperkirakan, persentase kenaikannya pada 20 tahun lagi menjadi makin
besar dibanding negara lain.
''Kenyataan itu mesti diantisipasi sebelumnya karena proses tersebut akan
membawa konsekuensi yang kompleks,'' ulas Tony, didampingi pakar
gerontologi lainnya, Dr dr Frits August Kakiailatu.
Dalam pertemuan ini pula, dia mengingatkan agar lembaga swadaya
masyarakat (LSM) bersama kalangan profesional menyadari bahwa lansia
harus memperoleh perhatian lebih.
Menurut dia, pemerintah juga diminta untuk memberikan perhatian lebih
kepada lansia walaupun beberapa instansi pemerintah telah menciptakan
program-program yang menyejahterakan mereka.
Namun, ia mengungkapkan, program-program itu belum dirasakan maksimal
oleh lansia sehingga diperlukan konsep terpadu supaya penanganan bagi
mereka bisa menjadi lebih baik.
Bahkan, Tony mengharapkan, seluruh organisasi penanganan lansia
memikirkan, bagaimana agar para orang tua tersebut kelak tidak menjadi beban
bagi keluarga, masyarakat, dan negara.
Maka, pihaknya memandang pentingnya menomorsatukan program kesehatan
untuk kelompok lansia karena mereka yang miskin cukup banyak, meskipun
pertumbuhannya masih berkisar 7% sampai 8%.
Untungnya, jelas Tony, sebagian besar lansia di Indonesia masih dalam
perawatan anak maupun cucunya di rumah yang dihuni bersama. ''Hal ini suatu
yang baik di negara kita.''
Tetapi pada satu saat, apabila anak dan cucu mereka terpaksa bekerja di luar
rumah sehingga orang tua atau kakek/nenek ditinggal sendiri, ia khawatir, akan
timbul masalah.
Tony yang merupakan spesialis kesehatan jiwa meyakini, kenyataan tersebut
kemungkinan terjadi 10 tahun mendatang. Maka kita wajib memikirkan dan
menyiapkan solusinya dari sekarang.
Dalam simposium awam, Prof R Boedho Darmojo mengutip data demografi
penduduk internasional yang dikeluarkan Bureau of the Cencus, 1993, bahwa
Indonesia pada 1990-2025 mengalami peningkatan jumlah lansia sebesar
414%.
''Suatu angka yang paling tinggi di seluruh dunia,'' ujarnya, seraya
membandingkannya dengan yang terjadi di negara Kenya sebanyak 347%,
Brasil 255%, India 242%, China 220%, Jepang 129%, Jerman 66%, dan
Swedia 33%.
Pakar gerontologi tersebut mengingatkan, Indonesia saat ini berada dalam
transisi demografi dengan persentase kaum lansia diproyeksikan menjadi
11,34% pada 2020 mendatang.
DPR mendukung
Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat antara Kepala BKKBN Sumarjati
Arjoso dan jajarannya dengan Komisi IX DPR pada Selasa (7/12) lalu,
menurut Sumarjati, Komisi XI dapat memahami misi dan visi program
Keluarga Berencana (KB) Nasional.
''Karena itu, DPR meminta BKKBN secara sungguh-sungguh untuk
mengimplementasikan program kerja 10 tahun ke depan yang meliputi
pengendalian kelahiran, memperkecil angka kematian terutama ibu dan anak
serta meningkatkan kualitas program KB,'' kata dia.
Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IX Muhyidin
Arubusman, Sumarjati menegaskan, Komisi IX mendukung BKKBN untuk
mempertahankan posisi Indonesia sebagai salah satu Center of Excellence di
bidang kependudukan dan keluarga berencana yang telah banyak ditiru oleh
negara-negara berkembang di dunia. (Rse/V-2)
VIII. KESIMPULAN
Karena jumlah Lansia dari hari ke hari makin meningkat dengan cepat, dan hal
ini dapat menimbulkan permasalahan yang akan mempengaruhi kelompok
penduduk lain, maka aspek demografi dari kelompok Lansia ini penting
diketahui dan dipahami, sehingga dapat diambil langkah antisipasi untuk
mengatasi permasalahan yang dapat timbul tadi.
Dengan kemajuan teknologi dan umur manusia yang makin panjang, maka
terjadi pergeseran sebab-sebab kematian, dari penyakit infeksi kearah penyakit
degeneratif. Hal ini tentu memerlukan pendekatan yang berbeda di bidang
kesehatan.
Peranan prevensi/ pencegahan semakin besar, karena jika dilakukan secara
cermat dan terus menerus akan memberikan hasil yang lebih baik dengan biaya
yang lebih murah. Maksud dari prevensi sendiri adalah menghindarkan sejauh
mungkin penyakit-penyakit yang dapat timbul dan mengusahakan agar fungsi
tubuh selama mungkin dapat dipertahankan
Karena alasan-alasan di atas, prinsip pelayanan kesehatan pada Lansia adalah
holistik dan bekerja di dalam tim. Sedangkan pelaksanaannya sendiri
melibatkan masyarakat juga Rumah Sakit dan berada dalam tingkatantingkatan. Pelayanannya sendiri dikelompokkan menjadi 5, promosi, prevensi,
diagnosis dini dan pengobatan, pembatasan kecacatan, dan rehabilitasi. Sebagai
pelengkap adalah pelayanan sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, Boedhi: Bunga Rampai Karangan Ilmiah : UPF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RS Dr. Kariadi Semarang,
1996.
Darmojo, Boedhi; Martono, Hadi : Buku Ajar Geriatri : Balai Penerbit FKUI
Jakarta, 1999.
Hardywinoto; Setiabudhi, Tony : Panduan Gerontologi Tinjauan dari Berbagai
Aspek : Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2005
Hazzard, William R : Principle of Geriatric Medicine and Gerontology, 2nd
edition : Mc Graw Hill Inc. USA. 1990.
posting, realse,transfer by :
ivanishadisofyan.blogspot.com / IVAN ISHADI SOFYAN, SKp
[email protected] / [email protected]
PANTI WERDHA SEBUAH PILIHAN
Keberhasilan pembangunan terutama dalam bidang kesejahteraan dan
kesehatan berdampak terhadap meningkatnya usia harapan hidup. Peningkatan
usia harapan hidup ini berbading terbalik dengan angka kelahiran yang
disebabkan oleh keberhasilan program Keluarga Berencana dan keengganan
ibu-ibu untuk melahirkan anak lebih dari dua orang. Akibatnya terjadi
perubahan struktur penduduk menjadi berbentuk piramid terbalik, dimana
jumlah orang lanjut usia lebih banyak dibandingkan anak berusia 14 tahun
kebawah.
Sekarang ini indonesia menempati peringkat keempat dunia dengan penduduk
orang berusia lanjut terbanyak di Dunia dibawah Cina, India, dan Amerika
Serikat. Berdasarkan data dari BPS penduduk orang lanjut usia (60 tahun
keatas) cenderung meningkat. Jumlah penduduk orang lanjut usia di Indonesia
tahun 2000 adalah 17.767.709 orang atau 7.97 % dari jumlah penduduk
Indonesia. Pada tahun 2010 Diprediksikan jumlah orang lanjut usia meningkat
menjadi 9,58 % dan pada tahun 2020 sebesar 11,20 %.
Peningkatan populsi orang lanjut usia diikuti pula berbagai persoalan-persoalan
bagi orang lanjut usia itu sendiri. Penurunan kondisi fisik dan psikis,
menurunnya penghasilan akibat pensiun, kesepian akibat ditinggal oleh
pasangan atau teman seusia dan lain-lain. Oleh karena itu diperlukan adanya
suatu perhatian besar dan penanganan khusus bagi orang lanjut usia tersebut.
Untuk mengatasi salah satu dari berbagai persoalan orang lanjut usia,
pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial mengupayakan suatu wadah atau
sarana untuk menampung orang lanjut usia dalam satu institusi yang disebut
Panti Werdha.
Pada awalnya intitusi ini dimaksudkan untuk menampung orang lanjut usia
yang miskin dan terlantar untuk diberikan fasilatas yang layak mulai dari
kebutuhan makan minum sampai kebutuhan aktualisasi. Namun lambat laun
dirasakan bahwa yang membutuhkan pelayanan kesejahteraan lanjut usia yang
berbasis panti tidak hanya bagi mereka yang miskin dan terlantar saja, tetapi
orang yang berkecukupan dan mapan pun membutuhkannya.
Mengapa demikian? Ada beberapa alasan yang yang menyebabkannya,
Pertama; perubahan tipe keluarga dari keluarga besar (extended family)
menjadi keluarga kecil (nuclear family). Dimana pada awalnya dalam keluarga
terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Tapi sesuai dengan perkembangan
keluarga ada tahap dimana keluarga menghadapi anak yang menikah atau
membentuk keluarga sendiri, sehingga yang terjadi adalah orang tua akan
tinggal berdua saja, tentu saja kondisi ini membutuhkan peran pengganti
keluarga
Kedua adalah perubah peran ibu. Pada awalnya peran ibu adalah mengurus
rumah tangga, anak-anak, dan lain-lain. Sekarang telah mengalami perubahan
dimana ibu juga bertindak sebagai pencari nafkah bekerja di Kantoran dan
sebagainya. Sehingga anggota keluarga seperti anak-anak dan kakek serta
nenek dititipkan pada institusi tertentu.
Ketiga kebutuhan sosialisasi orang lanjut usia itu sendiri. Apabila ia tinggal
dalam keluarga mungkin ia akan mengalami perasaan yang bosan ditinggal
sendiri, anaknya mungkin berangkat bekerja dan cucunya kesekolah. Sehingga
ia membutuhkan suatu lingkungan sosial diamana didalam komunitas tersebut
terdapat beberapa kesamaan sehingga ia merasa betah dan kembali
bersemangat.
Inilah dilema yang terjadi, diperhadapkannya seseorang pada suatu pilihan
yang sulit, dimana keluarga mengalami situasi yang tidak memungkinkan
untuk merawat sendiri ayah dan ibu yang telah senja karena alasan pekerjaan
dan kesibukan lainnya, membuat keluarga tidak memiliki waktu untuk lebih
banyak bersama kedua orang tua.
Sebaliknya karena lebih seringnya ditinggal seorang diri di Rumah membuat
orang tua merasa kesepian dan membutuhakan suatu lingkungan dengan
komunitas yang sama.
Menjadi tua bukanlah pilihan tetapi hidup di panti werdha adalah sebuah
pilihan
Tidak dipungkiri bahwa keluargalah yang merupakan unit yang paling tepat
untuk memberikan pelayananan terhadap orang tuanya yang lanjut usia, dan
peran-peran keluarga ini perlu diamaksimalkan. Tetapi jika menghadapi
kondisi yang disebutkan diatas maka inilah yang dapat dikatakan sebagai
jawaban atas permasalahan yang dihadapi oleh keluarga yang memiliki orang
tua lanjut usia.
Dengan menggunakan jasa panti werdha sebagai suatu solusi adalah tepat.
Asalkan pengambilan keputusan/kesepakatan untuk tinggal di Panti Werdha
melibatkan seluruh anggota keluarga serta persetujuan orang tua kita yang
sudah lansia. Keluarga yang memasukkan orang tuanya ke panti werdha harus
tetap menunjukkan kasih sayangnya meski mereka berada di Panti Werdha.
Panti Werdha bisa menjadi pilihan yang baik untuk menikmati hari tua. Akan
tetapi sebagian masyarakat Indonesia memandangnya sebagai suatu yang
negative. Pandangan masyarakat tentang Panti Jompo dan orang tua yang
dititipkan di sana agaknya perlu diluruskan. Orang tua yang dititipkan di Panti
Werdha tidak berarti mereka terbuang, mereka tetap memiliki keluarga yang
merupakan bagian penting dari keberadaannya.
Di Panti Werdha mereka menemukan teman yang relative seusia dengannya
dimana mereka dapat berbagi cerita. Karena kebereadaan lansia di Panti
dengan berbagai karakter serta memiliki berbagai ragam problematika maka
dipandang perlu untuk memberikan suatu penanganan khusus sesuai kelebihan
serta kekurangan yang mereka miliki.
Di Panti Werdha selain mendapatkan pelayanan berupa pemenuhan kebutuhan
dasar juga diberikan fungsi positif lainnya yaitu program-program pelayanan
sosial yang bisa memberikan kesibukan buat mereka sebagai pengisian waktu
luang diantaranya pemberian Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental Spiritual
serta Rekreasi, penyaluran bakat dan hoby, terapi kelompok, senam dan banyak
kegiatan lainnya.
Di Panti mereka mendapatkan fasilitas serta kemudahan–
kemudahan/aksesibilitas lainnya. selain bersama teman seusianya, mereka juga
mendapatkan pelayanan maksimal dari para Pekerja Sosial dimana mereka
menemukan hari-harinya dengan ceria
ISSUE DAN KECENDRUNGAN KEPERAWATAN GERONTIK
Perubahan, tantangan dan peluang merupakan tiga aspek inti yang sedang
terjadi dalam pelayanan keperawatan di Indonesia saat ini. Disamping itu,
suatu proses yang mendasar untuk merestrukturisasi pelayanan kesehatan telah
mempengaruhi proses perubahan dalam pelayanan keperawatan.
Fokus dan orientasi system pelayanan kesehatan telah mempengaruhi proses
perubahan dalam pelayanan keperawatan.
Fokus dan orientasi system pelayanan kesehatan dan suatu penyakit dan
pelayanan kesehatan akut telah berubah menjadi focus kepada
kesahatan/kesejahteraan dan berorientasi pada masyarakat.
Sejalan dengan situasi-tersebut, maka profesi keperawatan seyogyanya harus
mampu berespon darn meningkatkan diri agar dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat. Salah satu cara adalah untuk meningkatkan sumber daya tenaga
keperawatan adalah dengan meningkatkan pengetahuan, ketrampilan
memimpin dan kompetensi (Nurachmah, 1999).
Pada masa lalu [dan bahkan sebagian besar sampai sekarang keperawatan
dilakukan berdasarkan intuisi dan tradisi sehingga keperawatan dianggap
sebagai kiat tanpa komponen ilmiah. Pandangan ini telah menempatkan
keperawatan hanya sebagai `pelengkap' atau bagian dari disiplin kesehatan lain
dengan ketidakpastian tentang keperawatan sebagai disiplin ilmu vang unik.
Sementara sebagai profesi, keperawatan harus memiliki ilmu dan kiat vang
diprasyaratkan untuk dapat secara otonom mengendalikan mutu pendidikan
dan praktik keperawatan (Hamid, 1999).
Sementara itu, untuk dapat melakukan perubahan, menghadapi tantangan dan
mengacnbil peluang serta merubai persepsi tentang profesi keperawatan yang
tidak benar memerlukan kesiapan sernua komponen keperawatan yang secara
factual masih acak¬acakan dan penuh ketidakpastian.
Untuk dapat mengembangkan pelayanan keperawatan dibidang gerontik perlu
adanya pengembangan yang serasi tiga komponen cikal bakal pengembangan
disiplin keperawatan, yang secara skematis ditunjukan dalam diagram berikut:
Sumber Hamid, 1999
Dengan demikian perawatan system pelayanan keperawatan gerontik akan kuat
karena didukung oleh teori yang kokoh, prakti keperawatan gerontik yang
terstandarisasi dan penelitian yang berkelanjutan untuk mengembangkan kedua
komponen tersebut.
Pertanyaannya yang muncul adalah: bagaimana pengembangan penelitian
gerotik di Indonesia sekarang ?. Jawabnya untuk saat sekarang ini adalah bisa
tapi sangat sulit karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Kita sepakat
bahwa penelitian ceperawatan diperlukan dan harus dikembangkan namun
pada waktu yang akan datang. Dikatakan bisa karena terbuka lebar tempat
penelilian, fenomena penelitian dan banyak area penelitian gerontik yang
belum tersentuh. Dalain melakukan penelitian keperawatan di pelayanan
gerontik kita harus melakukan analisa SWOT sehingga kita sadar dan
memandang persoalan secara jernih.
Faktor-faktor yang mempersulit penelitian keperawatan gerontik adalah: I.
Sumber daya manusia keperawatan
Tingkat pendidikan keperawatan di Indonesia sekarang ini masih sangat
bervariasi dari jenjang pendidikan menengah sampai jeniang pendidikan tinggi.
Keheterogenitasan inilah yang akan mempersulit pengembangan penelitian
tersebut karena jenjang pendidikan keperawatan didoininasi oleh pendidikan
keperawatan tingkat menengah yang secara konseptual dan kemampuan sangat
terbatas. Kelompok pendidikan keperawatan menegah diperkirakan menguasai
80 % dari seluruh jumlah tenaga keperawatan yang ada di Indonesia saat ini.
Jumlah perawat dengan kwalifikasi sarjana keperawatan (SI keperawatan),
.magisler keperawatan dan Dok-tor
2. Model praktek keperawafan yang belum baku
Setelah peraturan menteri kesehatan nomer 647 diterbitkan, sampai sekarang
belum ada bentuk konkrit praktek keperawatan yang akan dikembangkan.
Bentuk praktek keperawatan yang jelas sangat penting termasuk praktek
keperavatan gerontik karena penelitian keperawatan yang akan dilakukan akan
berhubungan erat dengan system atau bentuk praktek yang dikembangkan.
Padahal dalam Musyawarah nasional ke VI di bandung telah menyepakati
beberapa butir untuk menindaklanjuti peraturan menteri kesehatan no 647 yang
salah satunya memberikan amanat agar Pengurus Pusat PPNI untuk membuat
petujuk tekhnis operasional (Bina sehat 2000).
3. Sistem pelayanan kesehatan yang masih buruk.
Selama ini bentuk pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di Indonesia masih
beorientasi pada pelayanan medis (medical oriented). Selama ini kebijakan
yang dilahirkan oleh depatemen kesehatan se!alu berorientasi medis dan
menempatkan dokter sebagai 'penguasa tunggal' dalam pelayanan kesehatan.
Para dokter selalu berangapan bahwa pendekatan tim terhadap upaya
penyembuhan dan pemulihan memerlukan adanya seorang kordinator, disini
seorang tenaga medis/dokter yang bertindak sebagai nahkoda (Yusa, 2000).
Sehingga apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan
selalu berorientasi medis.
Sebagai contoh konkrit baliwa pelayanan kesehatan hanya dibagi menjadi
pelayanan kedokteran (medical services) dan pelayanan keseliatan masyarakat
(public health services) (Az_war, 1996) sehingga mengangap profesi-profesi
kesehatan diluar kedokteran sebagai pelengkap atau sebagal subsistem
pelayanan kedokteran.
Semestinya perlu dikembangkan secara professional sehingga masing - masing
profesi yang telah diakui oleh Peraturan Pemerintah No 32 tentang tenaga
kesehatan (Hanafiah dan Amir, 1999) diberi kebebasan mengembangkan diri
sesual dengan sudut padang dan otonomi profesi tersebut yang salah satunya
dikembangkan melalui penelitian. Jangan semua keputusan pengembangan
system pelayana kesehatan di tentukan oleh Departemen Kesehatan tapi
organisasi profesi tak gterlibat.
Berdasarkan masalah-masalah yang ada diatas sudah saatnya dilakukan
restrukturisasi pelayanan kesehatan secara bertahap dan berkelanjutan sehingga
semua profesi di area kesehatan mempunyai kesempatan mengembangkan diri,
mengembangkan praktek yang pada akhirnya mengembangakan pelayanan
kesehatannya kepada masyarakat.
Restrukturisasi pelayana kesehatan merupakan suatu upaya mencapai suatu
perubahan yang diharapkan melalui perancangan kembali aspek-aspek yang
dianggap menjadi penghambat terjadinya perubahan (Nurachmah, 2000).
Selama restrukturisasi ini belum dilakukan maka selama ilu juga terjadi
kesulitan pengembangan profesi keperawatan termasuk dalam hal penelitian
karena- akan berbentura.n dengan system yang masih buruk.
4. Sumber pembiayaan penelitian yang ada belum terkoordinir
Keperawatan sebagai profesi, saat li masih dalam fase pengembangan sehingga
dibutuhkan kerja keras serta infrastruktur yang menunjang perubahan tersebut.
Sebagai organisasi profesi yang datam tahap pengembangan, perawat masih
lemah dari segala segi termasuk dalam pendanaan, bargaining power dan
penentuan kebijakan (regulasi).
Penelitian untuk mengembangkan pelayanan keperawatan termasuk pelayanan
keperawatan gerontik akan sangat memerlukan dana yang sangat besar untuk
ini perlu dikembangkan usaha untuk menghimpun dana dari berbagai pihak
sehingga semua penelitian keperawatan dapat di danai dari dana yang
terkumpul tersebut. Perlu satu badan yang mengurusi tentang pendanaan
penelitian keperawatan. Badan tersebut berfungsi mencari donatur insidentil
dan donatur tetap serta melakukan mobilisasi terhadap dana yang terkumpul
demi kepentingan penelitian keperatvatan.
Jika perawat hanya mengandalkan dana penelitian yang disedikan oleh
departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial akan selalu menemui
hambatan/kesulitan karena akan berbenturan dengan system yang berlaku
sekarang ini dan proporsi pendanaan yang disedikan juga tidak seimbang untuk
masing-tnasing profesi.
Untuk mengatasi kesulitan tersebut, oerlu dilakukan klasifikasi karakteristik
dan prioritas penelitian keperawatan. Menurut Diers (dikutip Cracen dan
Hirnle, 1996) secara umum karakteristik penelitian keperawatan yang
diperlukan adalah:
1. Riset keperatvatan harus berfokus pada variabel yang meningkatkan asuhan
keperawatan.
2. Riset keperawatan mempunvai potensi untuk berkontribusi pada
pengembangan teori dan pengembangan tubuh ilmu pengetahuan
keperarwatan.
3. Masalah riset merupakan masalah riset keperawatan apabila perawat
mempunyai akses dan kendali terhadap fenomena yang diteliti.
4. Perawat yang tertarik terhadap penelitian harus mempunyai keingintahuan
dan pertanyaan yang perlu dijawab secara ilmiah.
Prioritas penelitian atau risetnva adalah sebagai berikut(Hamid, 1999 dengan
modifikasi):
1. Meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan kemampuan merawat diri
sendiri sehingga tiap lansia baik di rumah sakit, keluarga, kelompok, dan
masyarakat.
2. Meminimalkan atau mencegah perilaku atau lingkungan yang menimbulkan
masalah kesehatan dan berdampak pada menurunnya kualitas hidup dan
produktifitas.
3. Meminimalkan dampak negatif dari teknologi kcsehatan baru terhadap
kemampuan adaptif individu lansia dan keluarga yang sedang mengalami
masalah kesehatan akut dan kronik.
4. Memastikan bahwa asuhan keperawatan yang diperlukan bagi kelompok
yang beresiko: seperti lansia dengan penyakit kronik, lansia dengan gangguan
jiwa, lansia pada masyarakat miskin dengan cara yang dapat diterima dan
efektif.
5. Mengklasifikasi fenomena praktek keperawatan gerontik.
6. Memastikan prinsip etik sebagai pegangan dalam melakukan riset
keperawatan
7. Mengembangkan instrumen untuk mengukur hasil intervensi keperawatan.
8. Mengembangkan metodologi yang integrative untuk mengkaji manusia
secara holistic dan kontek keluarga dan gaya hidup.
9. Merancang dan mengevaluasi model alternatif teori keperawatan dan
pelayanan keperawatan dan system pelayanan kesehatan sehingga perawat
mampu meningkatkan mutu dan menghemat biaya yang dikeluarkan dalam
mernenuhi kebutuhan 'tansia khususnya dan masyarakat pada umumnya.
10. Mengevaluasi keberhasilan pendekatan altematif yang memerlukan
pengetahuan yang luas dan ketrampilan yang tinggi dalam praktek pelayanan
keperawatan geonlik.
11. Mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor histories dan kontenporer
yang mempengaruhi bentuk keterlibatan keperawatan porofesional dalam
pengembangan kebijakan kesehatan nasional.
ASKEP ISK GERONTIK
Realese by Ivan
LAPORAN PENDAHULUAN
INFEKSI SALURAN KEMIH (ISK)
A. Pengertian
KeInfeksi Saluran mih (ISK) atau Urinarius Tractus Infection (UTI) adalah
suatu keadaan adanya infasi mikroorganisme pada saluran kemih.
(Agus Tessy, 2001)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan adanya infeksi bakteri pada
saluran kemih. (Enggram, Barbara, 1998)
B. Klasifikasi
Jenis Infeksi Saluran Kemih, antara lain:
1. Kandung kemih (sistitis)
2. uretra (uretritis)
3. prostat (prostatitis)
4. ginjal (pielonefritis)
Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut, dibedakan menjadi:
1. ISK uncomplicated (simple)
ISK sederhana yang terjadi pada penderita dengan saluran kencing tak baik,
anatomic maupun fungsional normal. ISK ini pada usi lanjut terutama
mengenai penderita wanita dan infeksi hanya mengenai mukosa superficial
kandung kemih.
2. ISK complicated
Sering menimbulkan banyak masalah karena sering kali kuman penyebab sulit
diberantas, kuman penyebab sering resisten terhadap beberapa macam
antibiotika, sering terjadi bakterimia, sepsis dan shock. ISK ini terjadi bila
terdapat keadaan-keadaan sebagi berikut:
a. Kelainan abnormal saluran kencing, misalnya batu, reflex vesiko uretral
obstruksi, atoni kandung kemih, paraplegia, kateter kandung kencing menetap
dan prostatitis.
b. Kelainan faal ginjal: GGA maupun GGK.
c. Gangguan daya tahan tubuh
d. Infeksi yang disebabkan karena organisme virulen sperti prosteus spp yang
memproduksi urease.
C. Etiologi
1. Jenis-jenis mikroorganisme yang menyebabkan ISK, antara lain:
a. Escherichia Coli: 90 % penyebab ISK uncomplicated (simple)
b. Pseudomonas, Proteus, Klebsiella : penyebab ISK complicated
c. Enterobacter, staphylococcus epidemidis, enterococci, dan-lain-lain.
2. Prevalensi penyebab ISK pada usia lanjut, antara lain:
a. Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan
kandung kemih yang kurang efektif
b. Mobilitas menurun
c. Nutrisi yang sering kurang baik
d. Sistem imunitas menurun, baik seluler maupun humoral
e. Adanya hambatan pada aliran urin
f. Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat
D. Patofisiologi
Infeksi Saluran Kemih disebabkan oleh adanya mikroorganisme patogenik
dalam traktus urinarius. Mikroorganisme ini masuk melalui : kontak langsung
dari tempat infeksi terdekat, hematogen, limfogen. Ada dua jalur utama
terjadinya ISK, asending dan hematogen. Secara asending yaitu:
? masuknya mikroorganisme dalm kandung kemih, antara lain: factor anatomi
dimana pada wanita memiliki uretra yang lebih pendek daripada laki-laki
sehingga insiden terjadinya ISK lebih tinggi, factor tekanan urine saat miksi,
kontaminasi fekal, pemasangan alat ke dalam traktus urinarius (pemeriksaan
sistoskopik, pemakaian kateter), adanya dekubitus yang terinfeksi.
? Naiknya bakteri dari kandung kemih ke ginjal
Secara hematogen yaitu: sering terjadi pada pasien yang system imunnya
rendah sehingga mempermudah penyebaran infeksi secara hematogen Ada
beberapa hal yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal sehingga
mempermudah penyebaran hematogen, yaitu: adanya bendungan total urine
yang mengakibatkan distensi kandung kemih, bendungan intrarenal akibat
jaringan parut, dan lain-lain.
Pada usia lanjut terjadinya ISK ini sering disebabkan karena adanya:
? Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat akibat pengosongan
kandung kemih yang tidak lengkap atau kurang efektif.
? Mobilitas menurun
? Nutrisi yang sering kurang baik
? System imunnitas yng menurun
? Adanya hambatan pada saluran urin
? Hilangnya efek bakterisid dari sekresi prostat.
Sisa urin dalam kandung kemih yang meningkat tersebut mengakibatkan
distensii yang berlebihan sehingga menimbulkan nyeri, keadaan ini
mengakibatkan penurunan resistensi terhadap invasi bakteri dan residu kemih
menjadi media pertumbuhan bakteri yang selanjutnya akan mengakibatkan
gangguan fungsi ginjal sendiri, kemudian keadaan ini secara hematogen
menyebar ke suluruh traktus urinarius. Selain itu, beberapa hal yang menjadi
predisposisi ISK, antara lain: adanya obstruksi aliran kemih proksimal yang
menakibtakan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter
yang disebut sebagai hidronefroses. Penyebab umum obstruksi adalah: jaringan
parut ginjal, batu, neoplasma dan hipertrofi prostate yang sering ditemukan
pada laki-laki diatas usia 60 tahun.
Pathway : terlampir
E. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala ISK pada bagian bawah (sistitis):
? Nyeri yang sering dan rasa panas ketika berkemih
? Spasame pada area kandung kemih dan suprapubis
? Hematuria
? Nyeri punggung dapat terjadi
Tanda dan gejala ISK bagian atas (pielonefritis)
? Demam
? Menggigil
? Nyeri panggul dan pinggang
? Nyeri ketika berkemih
? Malaise
? Pusing
? Mual dan muntah
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Urinalisis
? Leukosuria atau piuria: merupakan salah satu petunjuk penting adanya ISK.
Leukosuria positif bila terdapat lebih dari 5 leukosit/lapang pandang besar
(LPB) sediment air kemih
? Hematuria: hematuria positif bila terdapat 5-10 eritrosit/LPB sediment air
kemih. Hematuria disebabkan oleh berbagai keadaan patologis baik berupa
kerusakan glomerulus ataupun urolitiasis.
2. Bakteriologis
? Mikroskopis
? Biakan bakteri
3. Kultur urine untuk mengidentifikasi adanya organisme spesifik
4. Hitung koloni: hitung koloni sekitar 100.000 koloni per milliliter urin dari
urin tampung aliran tengah atau dari specimen dalam kateter dianggap sebagai
criteria utama adanya infeksi.
5. Metode tes
? Tes dipstick multistrip untuk WBC (tes esterase lekosit) dan nitrit (tes Griess
untuk pengurangan nitrat). Tes esterase lekosit positif: maka psien mengalami
piuria. Tes pengurangan nitrat, Griess positif jika terdapat bakteri yang
mengurangi nitrat urin normal menjadi nitrit.
? Tes Penyakit Menular Seksual (PMS):
Uretritia akut akibat organisme menular secara seksual (misal, klamidia
trakomatis, neisseria gonorrhoeae, herpes simplek).
? Tes- tes tambahan:
Urogram intravena (IVU). Pielografi (IVP), msistografi, dan ultrasonografi
juga dapat dilakukan untuk menentukan apakah infeksi akibat dari
abnormalitas traktus urinarius, adanya batu, massa renal atau abses,
hodronerosis atau hiperplasie prostate. Urogram IV atau evaluasi ultrasonic,
sistoskopi dan prosedur urodinamik dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
penyebab kambuhnya infeksi yang resisten.
G. Penatalaksanaan
Penanganan Infeksi Saluran Kemih (ISK) yang ideal adalah agens antibacterial
yang secara efektif menghilangkan bakteri dari traktus urinarius dengan efek
minimal terhaap flora fekal dan vagina.
Terapi Infeksi Saluran Kemih (ISK) pada usia lanjut dapat dibedakan atas:
? Terapi antibiotika dosis tunggal
? Terapi antibiotika konvensional: 5-14 hari
? Terapi antibiotika jangka lama: 4-6 minggu
? Terapi dosis rendah untuk supresi
Pemakaian antimicrobial jangka panjang menurunkan resiko kekambuhan
infeksi. Jika kekambuhan disebabkan oleh bakteri persisten di awal infeksi,
factor kausatif (mis: batu, abses), jika muncul salah satu, harus segera
ditangani. Setelah penanganan dan sterilisasi urin, terapi preventif dosis
rendah.
Penggunaan medikasi yang umum mencakup: sulfisoxazole (gastrisin),
trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMZ, bactrim, septra), kadang
ampicillin atau amoksisilin digunakan, tetapi E. Coli telah resisten terhadap
bakteri ini. Pyridium, suatu analgesic urinarius jug adapt digunakan untuk
mengurangi ketidaknyamanan akibat infeksi.
Pemakaian obat pada usia lanjut perlu dipikirkan kemungkina adanya:
? Gangguan absorbsi dalam alat pencernaan
? Interansi obat
? Efek samping obat
? Gangguan akumulasi obat terutama obat-obat yang ekskresinya melalui ginjal
Resiko pemberian obat pada usia lanjut dalam kaitannya dengan faal ginjal:
1. Efek nefrotosik obat
2. Efek toksisitas obat
Pemakaian obat pada usia lanjut hendaknya setiasp saat dievalusi
keefektifannya dan hendaknya selalu menjawab pertanyaan sebagai berikut:
? Apakah obat-obat yang diberikan benar-benar berguna/diperlukan/
? Apakah obat yang diberikan menyebabkan keadaan lebih baik atau malh
membahnayakan/
? Apakah obat yang diberikan masih tetap diberikan?
? Dapatkah sebagian obat dikuranngi dosisnya atau dihentikan?
H. Pengkajian
1. Pemerikasaan fisik: dilakukan secara head to toe dan system tubuh
2. Riwayat atau adanya faktor-faktor resiko:
? Adakah riwayat infeksi sebelumnya?
? Adakah obstruksi pada saluran kemih?
3. Adanya factor yang menjadi predisposisi pasien terhadap infeksi
nosokomial.
? Bagaimana dengan pemasangan kateter foley?
? Imobilisasi dalam waktu yang lama.
? Apakah terjadi inkontinensia urine?
4. Pengkajian dari manifestasi klinik infeksi saluran kemih
? Bagaimana pola berkemih pasien? untuk mendeteksi factor predisposisi
terjadinya ISK pasien (dorongan, frekuensi, dan jumlah)
? Adakah disuria?
? Adakah urgensi?
? Adakah hesitancy?
? Adakah bau urine yang menyengat?
? Bagaimana haluaran volume orine, warna (keabu-abuan) dan konsentrasi
urine?
? Adakah nyeri-biasanya suprapubik pada infeksi saluran kemih bagian bawah
? Adakah nyesi pangggul atau pinggang-biasanya pada infeksi saluran kemih
bagian atas
? Peningkatan suhu tubuh biasanya pada infeksi saluran kemih bagian atas.
5. Pengkajian psikologi pasien:
? Bagaimana perasaan pasien terhadap hasil tindakan dan pengobatan yang
telah dilakukan? Adakakan perasaan malu atau takut kekambuhan terhadap
penyakitnya.
I. Diagnosa Keperawatan Yang Timbul
1. Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi
uretra, kandung kemih dan sruktur traktus urinarius lain.
2. Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada
kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
3. Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
J. Intervensi Keperawatan
1. Dx 1 :
Nyeri dan ketidaknyamanan berhubungan dengan inflamasi dan infeksi uretra,
kandung kemih dan struktur traktus urinarius lain.
Kriteria evaluasi:
Tidak nyeri waktu berkemih, tidak nyeri pada perkusi panggul
Intervensi:
a. Pantau haluaran urine terhadap perubahan warna, baud an pola berkemih,
masukan dan haluaran setiap 8 jam dan pantau hasil urinalisis ulang
Rasional: untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari
hasil yang diharapkan
b. Catat lokasi, lamanya intensitas skala (1-10) penyebaran nyeri.
Rasional: membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan penyebab nyeri
c. Berikan tindakan nyaman, seprti pijatan punggung, lingkungan istirahat;
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot.
d. Bantu atau dorong penggunaan nafas berfokus
Relaksasi: membantu mengarahkan kembali perhatian dan untuk relaksasi otot.
e. Berikan perawatan perineal
Rasional: untuk mencegah kontaminasi uretra
f. Jika dipaang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2 nkali per hari.
Rasional: Kateter memberikan jalan bakteri untuk memasuki kandung kemih
dan naik ke saluran perkemihan.
g. Kolaborasi:
? Konsul dokter bila: sebelumnya kuning gading-urine kuning, jingga gelap,
berkabut atau keruh. Pla berkemih berubah, sring berkemih dengan jumlah
sedikit, perasaan ingin kencing, menetes setelah berkemih. Nyeri menetap atau
bertambah sakit
Rasional: Temuan- temuan ini dapat memeberi tanda kerusakan jaringan lanjut
dan perlu pemeriksaan luas
? Berikan analgesic sesuia kebutuhan dan evaluasi keberhasilannya
Rasional: analgesic memblok lintasan nyeri sehingga mengurangi nyeri
h. Berikan antibiotic. Buat berbagai variasi sediaan minum, termasuk air segar .
Pemberian air sampai 2400 ml/hari
Rasional: akibta dari haluaran urin memudahkan berkemih sering dan
membentu membilas saluran berkemih
2. Dx 2:
Perubahan pola eliminasi berhubungan dengan obstruksi mekanik pada
kandung kemih ataupun struktur traktus urinarius lain.
Kriteria Evaluasi:
Pola eliminasi membaik, tidak terjadi tanda-tanda gangguan berkemih (urgensi,
oliguri, disuria)
Intervensi:
a. Awasi pemasukan dan pengeluaran karakteristi urin
Rasional: memberikan informasi tentang fungsi ginjal dan adanya komplikasi
b. Tentukan pola berkemih pasien
c. Dorong meningkatkan pemasukan cairan
Rasional: peningkatan hidrasi membilas bakteri.
d. Kaji keluhan kandung kemih penuh
Rasional: retensi urin dapat terjadi menyebabkan distensi jaringan(kandung
kemih/ginjal)
e. Observasi perubahan status mental:, perilaku atau tingkat kesadaran
Rasional: akumulasi sisa uremik dan ketidakseimbangan elektrolit dapat
menjadi toksik pada susunan saraf pusat
f. Kecuali dikontraindikasikan: ubah posisi pasien setiap dua jam
Rasional: untuk mencegah statis urin
g. Kolaborasi:
? Awasi pemeriksaan laboratorium; elektrolit, BUN, kreatinin
Rasional: pengawasan terhadap disfungsi ginjal
? Lakukan tindakan untuk memelihara asam urin: tingkatkan masukan sari
buah berri dan berikan obat-obat untuk meningkatkan aam urin.
Rasional: aam urin menghalangi tumbuhnya kuman. Peningkatan masukan sari
buah dapt berpengaruh dalm pengobatan infeksi saluran kemih.
3. Dx 3:
Kurangnya pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan kurangnya sumber informasi.
Kriteria Evaluasi: menyatakna mengerti tentang kondisi, pemeriksaan
diagnostic, rencana pengobatan, dan tindakan perawatan diri preventif.
Intervensi:
a. Kaji ulang prose pemyakit dan harapan yang akan datanng
Rasional: memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat
pilihan beradasarkan informasi.
b. Berikan informasi tentang: sumber infeksi, tindakan untuk mencegah
penyebaran, jelaskna pemberian antibiotic, pemeriksaan diagnostic: tujuan,
gambaran singkat, persiapan ynag dibutuhkan sebelum pemeriksaan, perawatan
sesudah pemeriksaan.
Rasional: pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi ansietas dan
m,embantu mengembankan kepatuhan klien terhadap rencan terapetik.
c. Pastikan pasien atau orang terdekat telah menulis perjanjian untuk perawatan
lanjut dan instruksi tertulis untuk perawatn sesudah pemeriksaan
Rasional: instruksi verbal dapat dengan mudah dilupakan
d. Instruksikan pasien untuk menggunakan obat yang diberikan, inum sebanyak
kurang lebih delapan gelas per hari khususnya sari buah berri.
Rasional: Pasien sering menghentikan obat mereka, jika tanda-tanda penyakit
mereda. Cairan menolong membilas ginjal. Asam piruvat dari sari buah berri
membantu mempertahankan keadaan asam urin dan mencegah pertumbuhan
bakteri
e. Berikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan perasaan dan
masalah tentang rencana pengobatan.
Rasional: Untuk mendeteksi isyarat indikatif kemungkinan ketidakpatuhan dan
membantu mengembangkan penerimaan rencana terapeutik.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan: pedoman untuk perencanaan
dan pendokumentasian perawatan pasien. Alih Bahasa: I Made Kariasa, Ni made
Sumarwati. Edisi: 3. Jakrta: EGC.
Enggram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan
Nugroho, Wahyudi. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi: 2. Jakarta: EGC.
Parsudi, Imam A. (1999). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI
Price, Sylvia Andrson. (1995). Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit:
pathophysiologi clinical concept of disease processes. Alih Bahasa: Peter Anugrah. Edisi:
4. Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddart. Alih Bhasa: Agung Waluyo. Edisi: 8. Jakarta: EGC.
Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran
Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.
Download