PENGARUH JAMUR ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae TERHADAP MORTALITAS SERANGGA PENYERBUK Trigona sp. SKRIPSI Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Oleh : ITAT YANTI 1209702023 BANDUNG 2013 M/1434 H PERNYATAAN SKRIPSI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi PENGARUH JAMUR ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae TERHADAP MORTALITAS SERANGGA PENYERBUK Trigona sp. merupakan karya saya berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan. Jika terdapat karya orang lain, sumber dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan, penulis mencantumkan sumber dengan jelas yang dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian skripsi ini. Bandung, November 2013 Itat Yanti 1209702023 LEMBAR PENGESAHAN PENGARUH JAMUR ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae TERHADAP MORTALITAS SERANGGA PENYERBUK Trigona sp. Oleh: ITAT YANTI NIM: 1209702023 Menyetujui, Pembimbing II Pembimbing I Ida Kinasih, Ph.D. NIP:197604182011012004 Ramadhani Eka Putra, Ph.D. NIP: 1977090720092100 Lulus diuji pada tanggal: 1 November 2013 Penguji I Penguji II Ana Widiana, M.Si. NIP: 197003052009122002 Tri Cahyanto, S.Pd., M.Si. NIP: 198205182009021002 Mengesahkan: Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Dr. H. M. Subandi, Drs., Ir., M.P. NIP: 195404241985031004 Ketua Jurusan Yani Suryani, S.Pd., M.Si. NIP: 197205181998012001 MOTTO PERSEMBAHAN Hal sesulit apapun dapat teratasi asalkan selalu berusaha, berdoa, dan bertawakal. Atas izin Allah SWT, skripsi ini dapat terselesaikan. Karya kecil ini saya persembahkan untuk Bapak dan Ibuku tercinta yang senantiasa selalu mendo’akan dan memberikan motivasi yang tiada henti. RIWAYAT HIDUP Nama lengkap penulis bernama Itat Yanti, dilahirkan di Sumedang pada tanggal 21 Juli 1990. Penulis merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Memed dan Ibu Kanah, yang bertempat tinggal di Dsn. Sindang RT. 003/001 Desa Rancakalong Kecamatan RancakalongSumedang. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2003 di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Pasir. Pada tahun 2003-2006, penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Rancakalong. Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Rancakalong pada tahun 2006-2009. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi pada tahun 2009-2013. Pengaruh Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae Terhadap Mortalitas Serangga Penyerbuk Trigona sp. ABSTRAK Jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae dikenal sebagai agen hayati pengendali serangga hama, karena jamur ini memiliki spektrum pengendalian yang sangat luas dapat menginfeksi beberapa jenis serangga seperti Scapteriscus sp., semut api, Salenopsis invicta, Oryctes rhinocerus, Phyllophaga sp., dan Cetana nitida. Namun, tidak semua serangga merupakan hama pengganggu, contohnya lebah madu yang membantu penyerbukan tanaman. Penggunaan ini menggunakan jamur entomopatogen M. anisopliae yang diinfeksikan ke lebah madu Trigona sp. dengan 6 perlakuan yaitu kontrol, konsentrasi 1,02 x 109 konidia/ml, 5,98 x 108 konidia/ml, 0,88 x 107 konidia/ml, 2,4 x 106 konidia/ml, dan 8 x 105 konidia/ml. Hasil penelitian menunjukan bahwa konsentrasi yang aman digunakan untuk Trigona sp. yaitu 0,88 x 107 konidia/ml, dengan nilai LC50 sebesar 3,26 x 1010 konidia/ml. Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi jamur entomopatogen M. anisopliae aman digunakan untuk serangga bukan sasaran. Kata kunci: Metarhizium anisopliae, Trigona sp., pengendalian hayati, mortalitas. KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan hidayah-Nya. Atas izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae terhadap Mortalitas Serangga Penyerbuk Trigona sp.”. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda alam Nabi besar Muhammad SAW. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tanpa adanya bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak, tidak akan terselesaikan. Dalam kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada: 1. Bapak Dr. H. M. Subandi, Drs., Ir., M.P selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati. 2. Ibu Yani Suryani, S.Pd., M.Si selaku ketua jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati. 3. Ibu Ida Kinasih, Ph.D selaku pembimbing I, yang dengan sabar memberikan bimbingan, arahan, serta masukan. 4. Bapak Ramadhani, Eka Putra, Ph.D selaku pembimbing II, yang selalu memberikan bimbingan, masukan serta bantuannya kepada penulis. 5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Biologi yang telah memberikan ilmu pengetahuannya. 6. Orang tua yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi. vii 7. Keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik secara moril maupun materil. 8. Anggi Puji Lestari merupakan rekan penelitian yang selalu menyemangati, menemani dan banyak membantu selama penelitian, serta buat “Si Putih” yang mau membawa saya ke tempat nan jauh itu. 9. Boka yang selalu menemani, mendengarkan keluh kesah, memberikan semangat, berbagi pengalaman, mengajarkan banyak hal baru. Terimakasih atas pencerahan, peran serta selama penelitian hingga penulisan skripsi terselesaikan. 10. Hilda, Sunsun, Asri, Atha, Shintia, Ayu, Ismi, Hana. Terimakasih telah menjadikan hidup ini lebih berwarna, tempat berbagi, memberikan banyak bantuan serta dukungan pada penulis. 11. Kawanku, Asep dan Galih terimaksih atas bantuannya dan telah bersedia mendengarkan ceritaku. 12. Sahabat-sahabat seperjuangan Bios 09 terimakasih atas motivasi serta kebersamaan yang sangat berharga. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran, sangat penulis harapkan dari semua pihak. Semoga karya kecil ini bisa bermanfaat bagi kemajuan pendidikan. Bandung, November 2013 Penulis DAFTAR ISI PERNYATAAN ................................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii MOTTO PERSEMBAHAN ............................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ iv ABSTRAK .......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 3 1.3 Tujuan........................................................................................................ 4 1.4 Kerangka Berfikir ...................................................................................... 4 1.5 Hipotesis .................................................................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 5 2.1 Lebah Madu ............................................................................................... 6 2.1.1 Hubungan Bunga Dengan Lebah ..................................................... 7 2.1.2 Trigona sp ........................................................................................ 9 2.2 Jamur Entomopatogen ............................................................................... 10 2.2.1 Metarhizium anisopliae.................................................................... 11 ix 2.2.2 Mekanisme Penginfeksian ............................................................... 13 2.3 Faktor -faktor yang mempengaruhi pertumbuhan M. anisopliae .............. 15 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 16 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 16 3.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 16 3.3 Rancangan Percobaan ........................................................................ 17 3.4 Prosedur Penelitian ............................................................................. 17 3.4.1 Pemeliharaan Lebah .................................................................. 17 3.4.2 Kultur Jamur M. anisopliae ...................................................... 18 3.4.3 Penghitungan Konidia .............................................................. 19 3.4.4 Pengaplikasian Suspensi Jamur M. anisopliae ......................... 20 3.4.5 Parameter Pengamatan .............................................................. 21 3.4.6 Analisis Data ............................................................................. 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 22 4.1 Hasil Penelitian .................................................................................. 22 4.1.1 Kurva sporulasi ......................................................................... 22 4.2 Persentase Mortalitas Trigona sp. ..................................................... 23 4.3 Trigona sp. yang ditumbuhi oleh M. anisopliae ................................ 26 4.4 Uji Statistik dan Penentuan LC50 ....................................................... 29 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 32 5.1 Kesimpulan......................................................................................... 32 5.2 Saran ................................................................................................... 32 x DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33 LAMPIRAN ......................................................................................................... 39 DAFTAR GAMBAR No. Judul Hal 1. Trigona sp. 8 2. M. anisopliae 11 3. Mekanisme penginfeksian 13 4. Bee cup 16 5. Kultur M. anisopliae 18 6. Gambar spora pada kotak haemocytometer 19 7. Kurva sporulasi 22 8. Grafik persentase mortalitas Trigona sp. 23 9. Trigona sp. yang terinfeksi M. anisopliae 26 10. Gambar mikroskopik konidia dan spora 37 DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Hal 1. Data mortalitas Trigona sp. setiap perlakuan 39 2. Jumlah perhitungan spora dalam 10 hari 40 3. Perhitungan jumlah spora pada kotak haemocytometer 10 kali pengenceran dan perhitungan kerapatan spora 41 4. Hasil Uji ANOVA 42 5. Hasil Uji Duncan 43 6. Hasil analisis probit 44 7. Alat dan Bahan 46 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Petani umumnya menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama pada tanamannya. Akan tetapi, dengan semakin ketatnya peraturan pemakaian bahan kimia, karena efek merugikannya terhadap lingkungan dan kesehatan, pengendalian hayati atau biokontrol merupakan salah satu strategi untuk mengatasi masalah hama pertanian yang diyakini memiliki dampak pencemaran lingkungan yang minim (Desyanti dkk., 2007). Menurut Munif (1997), salah satu alternatif pengendalian hayati adalah memanfaatkan agen pengendali berupa cendawan patogen yang menghasilkan endotoksin bersifat racun bagi serangga. Sejarah aplikasi cendawan sebagai agen pengendali hayati serangga dimulai pada tahun 1835 ketika Bassi de Lodi menemukan bahwa cendawan dapat menyebabkan penyakit serta kematian pada ulat sutra. Saat ini manusia telah mengisolasi berbagai cendawan-cendawan entomopatogen yang digunakan untuk memberantas hama seperti Beauveria bassiana, Duddingtonia flagrans, dan Metarhizium sp. Di antara ketiga spesies cendawan tersebut, Metarhizium sp. tergolong paling umum digunakan karena efektif dalam berbagai tingkat perkembangan serangga mulai dari telur, larva, pupa dan imago. Sebagai contoh adalah nimfa Sogatella frucifera, (Herlinda dkk., 2008) dan telur Blissus antillus (Hemiptera: Lygalidae) (Samuels dkk., 2002 dalam Syahrawati dan Mardiah 2011), dan larva Phragmatoecia castanae (Prasasya, 2008). Di antara spesies 1 pada genus Metarhizium, Metarhizium anisopliae merupakan spesies yang paling umum digunakan sebagai agen pengendali hayati hama. Sebagai agen pengendali hayati, jamur M. anisopliae untuk mengendalikan hama tanaman perkebunan dan persawahan (Kaaya dan Hassan, 2000), vektor malaria (Scholte dkk., 2005; Farenhorst dkk., 2008), nyamuk Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus (Widiyanti dan Muyadiharja, 2004), serangga kepik (Prayogo dkk., 2005), dan wereng coklat (Suryadi dan Kadir, 2007). Dari sekian banyaknya serangga yang hidup di bumi, tidak semuanya merugikan tetapi ada juga yang menguntungkan seperti lebah yang berperan membantu penyerbukan pada tumbuhan dan bermanfaat bagi manusia, sebagaimana Allah berfirman dalam surat An Nahl ayat 68-69: Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia", Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu), dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. Serangga (lebah) merupakan agen penyerbuk yang penting pada berbagai spesies tanaman. Di lahan pertanian, serangga penyerbuk yang umum dijumpai adalah lebah madu dan bumble bees yang dilaporkan mengunjungi spesies tanaman sekitar 20 - 30% (Atmowidi, 2008). Walaupun dikenal sebagai biopestisida, jamur entomopatogen memiliki spektrum yang relatif luas sehingga terdapat kemungkinan pengaruh pada hewan bukan target seperti lebah yang aktif pada lahan pertanian. Oleh karena itu, tujuan utama dari penelitian ini diarahkan pada pengaruh penggunaan jamur entomopatogen M. anisopliae sebagai biopestisida terhadap serangga penyerbuk yaitu lebah yang dalam hal ini diwakilkan oleh Trigona sp. 1.2 Perumusan Masalah Bagaimanakah pengaruh penggunaan jamur entomopatogen M. anisopliae terhadap serangga bukan sasaran, seperti lebah madu (Trigona sp.). 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui konsentrasi M. anisopliae yang mampu mematikan 50% populasi lebah (Trigona sp.). 1.3.2 Manfaat Penelitian Memberikan informasi mengenai dosis aman dalam penggunaan biopestisida M. anisopliae terhadap lebah (Trigona sp.). 1.4 Kerangka Berfikir Lebah madu merupakan spesies lebah dengan peran utamanya sebagai polinator yang selalu berada pada tanaman sepanjang musim dan tersebar hampir di seluruh dunia. Lebah tersebut memiliki peralatan yang baik untuk mengumpulkan polen dan nektar dalam jumlah yang banyak karena lebah ditutupi rambut yang tebal, juga ada pengait kecil yang efektif menangkap dan memegang butiran polen pada saat serangga menyentuh anteridium bunga (Sarwono, 2001). Petani seringkali menggunakan insektisida kimia untuk memberantas hama pada tanamannya. Beberapa jenis pupuk dan pestisida anorganik bersifat resisten sehingga mampu bertahan lama sebagai residu di dalam tanah, air, maupun dalam berbagai komponen biotik. Salah satu contohnya yaitu residu pupuk dan pestisida anorganik pada tanaman apel dapat mempengaruhi keanekaragaman serangga polinator (Abdurahman, 2008). Para peneliti dari Pennsylvania State University, Amerika Serikat telah meneliti penyebab kematian lebah madu akibat suatu penyakit yang disebabkan oleh pestisida (Neonecotinoid) di lahan pertenakan lebah madu. Kematian lebah akibat penyakit ini mengancam kehidupan para peternak lebah, petani buah apel, biji-bijian, dan jeruk, karena mereka mengandalkan lebah untuk penyerbukan bunga (Pudjiatmoko, 2007). Rosichon (2004 dalam Abdurahman, 2008) menyatakan bahwa keberadaan beberapa jenis serangga penyerbuk (polinator) tanaman berbuah dan berbiji di pulau Jawa ternyata di ambang krisis. Penggunaan agen hayati cendawan entomopatogen sebagai pengganti pestisida sintetik yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk pengendalian serangga tanpa menimbulkan masalah lingkungan. Salah satu cendawan entomopatogen yang potensial digunakan sebagai agen hayati adalah M. anisopliae. Walaupun dipercaya memiliki efek yang tidak merugikan lingkungan, Penelitian yang dilakukan oleh Sinia (2013) menunjukan bahwa konsentrasi M. anisopliae sebesar 3,7 x 106 konidia/ml dapat mematikan lebah madu. Penemuan ini melahirkan suatu pemikiran baru bahwa diperlukan evaluasi aplikasi M. anisopliae terhadap hewan-hewan non target seperti Trigona sp. 1.5 Hipotesis Jamur entomopatogen M. anisopliae dapat menyebabkan mortalitas pada Trigona sp. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lebah Madu Lebah pertama diperkirakan muncul bersamaan dengan tumbuhan berbunga pada 74-146 juta tahun yang lalu. Lebah fosil tertua, '' Trigona” prisca (Apidae: Meliponini), ditemukan terakhir kali terperangkap dalam sebuah amber di New Jersey (Engel, 2000). Lebah madu diperkirakan muncul pertama kali di wilayah Eropa. Lebah madu merupakan serangga sosial yang kaya akan manfaat. Lebah ini termasuk ke dalam ordo Hymenoptera (sayap bening). Sebagian besar lebah ini hidup soliter dan sebagian kecil hidup berkoloni. Lebah yang hidup soliter membuat sarang tunggal dan menyediakan cadangan pakan berupa serbuk sari dan madu untuk anak-anaknya. Sedangkan lebah madu yang hidup berkoloni membentuk sistem masyarakat yang bisa beranggotakan puluhan hingga ratusan ribu lebah. Lebah madu memiliki bahasa khusus yang dapat menginformasikan lokasi sumber pakan. Lebah ini mengeluarkan sandi seperti gerakan menari (Suranto, 2007). Lebah madu termasuk golongan serangga berdarah dingin, sehingga dalam aktifitas kehidupan dipengaruhi perubahan suhu lingkungannya. Menurut Nasution (2009), suhu dibawah 10°C dapat mengakibatkan urat sayapnya menjadi lemah sehingga tidak mampu terbang, suhu sekitar 10°C lebah madu cenderung lebih banyak memperbaiki sarang sebagai upaya meningatkan temperatur agar mencapai kondisi kenyamanan yang ideal dan suhu di atas 10°C lebah mulai aktif dan kegiatannya akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu. Pada suhu 26°C lebah dapat beraktifitas dengan normal. Suhu 30°-35°C merupakan suhu optimum untuk lebah dalam melakukan kegiatan, lebah ratu aktif bertelur dan aktifitas lebah pekerja meningkat (Widiantara, 2013). 2.1.1 Hubungan Bunga Dengan Lebah Indonesia merupakan negara agraris, yang sebagian besar luas daratan terdiri dari hutan, perkebunan, tanaman sayuran dan obat-obatan, tanaman pangan, dan semak belukar. Potensi tumbuh-tumbuhan yang didukung iklim tropis memungkinkan tersedianya bunga sepanjang tahun. Polen dan nektar yang terdapat pada bunga tanaman merupakan pakan lebah yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya (Sumadi, 2006). Lebah adalah agen penyerbukan paling penting di dunia. Penyerbuk pada dasarnya dilakukan lebah betina, yang mengumpulkan serbuk sari untuk makanan mereka sendiri dan khususnya untuk memberi makan larva mereka. Sedangkan, lebah jantan dari hampir semua spesies, sama seperti lebah betina yang merupakan spesies parasit, mengambil nektar dari bunga, tapi hanya membawa serbuk sari yang menempel pada tubuh mereka. Lebah jantan berperan dalam penyerbukan, walaupun kurang penting dibanding lebah betina, yang secara aktif mengumpulkan serbuk sari dan (sebagai pekerja) dalam kelompok sosial, jumlah mereka lebih banyak daripada jantan. Lebah kecil pada bunga yang besar bisa mengumpulkan serbuk sari, nektar ataupun keduanya tanpa membuat cacat. Dalam hal ini tidak ada penyerbukan. Lebah hampir seperti pencuri. Sebuah contoh adalah Predita kiowi griswold, lebah berwarna keputihputihan di Amerika Utara yang jelas merupakan spesialis pemanen serbuk sari dari benang sari yang panjang pada bunga besar Mentzelia decaptila berwarna krem yang menutup di akhir senja. Jarang terjadi di dekat putik, sepertinya penyerbukan biasanya oleh ngengat. Keefektifan seekor lebah sebagai penyerbuk tergantung pada banyak faktor. Seekor lebah yang telah mendatangi bunga lain dalam satu tumbuhan atau dalam satu koloni memungkinkan terjadinya penyerbukan silang (Michener, 2000). Serangga yang berperan dalam polinasi, seperti lebah disebut dengan enthomophily (Gulland & Cranston 2000, dalam Abdurahman, 2008). Gambar 2.1 Trigona sp. (Dokumentasi pribadi) 2.1.2 Trigona sp. Pada penelitian ini, kelompok lebah madu yang dijadikan sebagai objek penelitian adalah Trigona sp. (Gambar 2.1). Berikut adalah klasifikasi Trigona sp. menurut NBCI (2014): Kerajaan : Animalia Filum : Arthropoda Sub filum : Hexapoda Kelas : Insecta Ordo : Hymnoptera Subordo : Apocrita Famili : Apidae Subfamili : Apinae Tribe : Meliponini Genus : Trigona Species : Trigona sp. Lebah tersebut tidak memiliki sengat untuk pertahanan diri (stingless bee). Sebagai pertahanan koloni, beberapa spesies Trigona mempertahankan koloninya dengan gigitan (Free 1982 dalam Angraini, 2006). Aktivitas lebah ini sendiri dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari (sebagian besar aktivitas dilakukan pada pagi dan sore hari saat intensitas sinar matahari relatif rendah) dan ukuran tubuh yang mempengaruhi jarak terbang lebah untuk mencari makanan. Lebah tersebut memiliki peralatan yang baik untuk mengumpulkan polen dan nektar dalam jumlah yang banyak karena lebah ditutupi rambut yang tebal, juga ada pengait kecil yang efektif menangkap dan memegang butiran polen pada saat serangga menyentuh anteridium bunga. Lebah ini berukuran sangat kecil. Lebah ini berfungsi sebagai penyerbuk bunga-bunga kecil. Serangga ini membuat sarang dalam lubang-lubang pohon, celah-celah dinding dan lubang bambu. Trigona sp. atau lebah kelanceng tidak suka berpindah tempat karena lebah ratunya sangat gemuk dan tidak pandai terbang. Selain mencari nektar dan tepung sari, lebah ini gemar mengambil getah pohon (terutama dari bekas luka tebangan) untuk menutup celah sarang. Lebah ini menghasilkan madu dan lilin. Jumlah madu yang dihasilkan sedikit, berasa asam, dan sering dipakai untuk obat sariawan. Lilinnya dipakai untuk membatik sehingga dikenal dengan sebutan malam klanceng (Sarwono, 2001). 2.2 Jamur Entomopatogen Jamur atau fungi merupakan sel eukariota multiseluler, bersifat heterotrof yang mendapatkan nutriennya melalui penyerapan. Memiliki hifa yang terbagi menjadi sel-sel yang bersilangan atau septa. Umumnya septa memiliki pori yang cukup besar agar ribosom, mitokondria dan nukleus dapat mengalir dari satu ke sel yang lainnya. Sebagian besar dinding sel fungi terbentuk dari kitin, suatu polisakarida yang mengandung nitrogen kuat. Fungi memiliki miselium yang tumbuh dengan sangat cepat, pertumbuhan yang sangat cepat disebabkan karena protein dan bahan-bahan lain yang disintesis oleh keseluruhan miselium tersebut disalurkan oleh aliran sitoplasmik ke bagian ujung dari hifa yang menjulur. (Campbell, 2003). Sekitar 400-500 spesies jamur, telah diketahui memiliki sifat patogen terhadap serangga,dimana jenis entomopatogen yang sering digunakan yaitu Beauveria dan Metarhizium. Kedua jenis jamur ini diketahui serangga dari kelompok Lepidoptera, Homoptera, Hymenoptera, Coleoptera dan Diptera (Nyle dkk., 2005). 2.2.1 Metarhizium anisopliae Pada tahun 1878, penelitian tentang green Muscardine jamur M. anisopliae (Metsch) Sorokin, dimulai di Rusia dalam upaya untuk mengendalikan larva kumbang di Sugarbeet (Greathead dan Prior, 1990 dalam Ine 1999). Jamur M. anisopliae (Gambar 2.2) ini banyak ditemukan di dalam tanah, bersifat saprofit, dan umumnya dijumpai pada berbagai stadia serangga yang terinfeksi, tumbuh pada suhu 18,3o-29,5o C dan kelembapan 30-90%. Gambar 2.2 M. anisopliae (Deptan, 2008) Jamur M. anisopliae mempunyai koloni berwarna hijau zaitun, konidiofor dapat mencapai panjang 75 μm, bertumpuk - tumpuk diselubungi oleh konidia yang berbentuk apikal berukuran 6-9,50 rim x 1,50-3,90 rim, bercabang-cabang, berkelompok membentuk massa yang padat dan longgar. Dalam menginfeksi serangga dan akarida, konidia berkecambah pada kutikula inang dan melakukan penetrasi dengan enzim hidrolisis (peptidase dan kitinase), lalu dengan bantuan tekanan mekanis enzim tersebut menghancurkan kulit dengan cara lisis. Setelah kapang masuk, konidianya dengan cepat memperbanyak diri sehingga blastospora segera menyelaputi tubuh inang (Ahmad, 2006). Namun menurut Soper (1985) dalam Suryadi & Kadir (2007), propagul miselia akan disebarkan ke seluruh rongga tubuh serangga melalui aliran haemolymph. Kematian inang disebabkan oleh kolonisasi miselia yang ekstensif sehingga menyebabkan starvasi atau melalui racun yang dilepaskan pada saat penyerangan (Ahmad, 2006). Berikut adalah klasifikasi Metarhizium anisopliae (Barnet, 1960 dalam Prasasya 2008): Divisio : Amasgomycota Sub. Division : Deuteromycota Kelas : Deuteromycetes Ordo : Momiliales Family : Momiliaceae Genus : Metarrhizium Species : Metarrhizium anisopliae (Metch) Sorokin. Widiyanti dan Muyadihardja (2004), menyatakan cendawan M. anisopliae memiliki aktivitas larvisidal karena menghasilkan cyclopeptida, destruxin dan desmethyldestrusin. Cendawan M. anisopliae menghasilkan endotoksin yang mematikan yaitu destruxins yang menyebabkan kelumpuhan dan kematian pada serangga antara tiga dan empat belas hari setelah infeksi, tergantung dari jenis dan ukuran. Senyawa destruxin A, B, C, D, E dan demethyl destruxintin yang dipertimbangkan sebagai bahan insektisida generasi baru. Efek destruxin berpengaruh pada organel target yaitu mitokondria, retikulum endoplasma dan membran nukleus yang menyebabkan parasitis sel dan kelainan fungsi terhadap lambung tengah, tubulus malphigi, hemocit dan jaringan otot (Widiyanti dan Muyadihardja, 2004). 2.2.2 Mekanisme Penginfeksian Gambar 2.3 Mekanisme Penginfeksian (Thomas, 2007 dalam Maharlinka, 2009) Mekanisme penetrasi M. anisopliae pada kutikula serangga terdiri dari beberapa tahap yaitu (Thomas, 2007 dalam Maharlinka, 2009) (Gambar 2.3): 1. Tahap pertama yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh serangga. 2. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul cendawan pada integumen serangga. 3. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Cendawan dalam melakukan penetrasi menembus integumen dapat membentuk tabung kecambah (appresorium). Titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim dan toksin. 4. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya blastospora yang kemudian beredar ke dalam haemolymph dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Sehingga pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh seranggga habis digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras. 2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan M. anisopliae M. anisopliae dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika didukung oleh beberapa faktor seperti: 1. Suhu dan kelembaban Suhu dan kelembaban ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkecambahan konidia M. anisopliae serta patogenesitasnya. Batasan suhu yang untuk pertumbuhan jamur yaitu 5-35° C, pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 25-30° C. Konidia akan tumbuh baik pada kelembaban 80-92% (Ouedraogo dkk., 2004 dalam Windarti, 2010). 2. Cahaya matahari Perkembangan konidia M. anisopliae akan terhambat jika terkena cahaya matahari secara langsung. Gelombang ultraviolet B dapat merusak membran nukleus dan mendenaturasi protein pada M. anisopliae, sedangkan konidia yang terlindung dari cahaya matahari memiliki viabilitas yang tinggi. Konidia yang disimpan pada suhu 8° C dengan kondisi yang gelap masih mampu berkecambah 90%, sedangkan pada keadaan terang hanya 50% (Ouedraogo dkk., 2004 dalam Windarti, 2010). 3. pH Tingkat pH untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 3,38,5. Pertumbuhan optimal terjadi pada pH 7, dalam penelitian Windarti (2010) pH medium untuk pertumbuhan M. anisopliae rata-rata 7. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juli 2013. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mikroskop, gelas ukur, pinset, pipet tetes, cawan petri, kasa, kapas, mikropipet, hemocytometer, lemari es, tabung reaksi, rak tabung reaksi, kertas saring, jarum ose, alat tulis, label, dan bee cup (Gambar 3.1) sebagai tempat pemeliharaan lebah pada saat pengujian. Gambar 3.1 Bee cup (Dokumentasi pribadi) 3.2.2 Bahan Penelitian ini menggunakan bahan yang terdiri dari biakan jamur M. anisopliae, lebah madu (Trigona sp.) yang merupakan jenis lebah pekerja, aquades, madu, media agar PDA (Potato Dextrose Agar). 3.3 Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan enam perlakuan sebagai berikut: Perlakuan Konsentrasi M. anisopliae I Kontrol II 1,02 x 109 III 5,98 x 108 IV 0,88 x 107 V 2,4 x 106 VI 8 x 105 3.4 Prosedur Penelitian 3.4.1 Pemeliharaan Lebah Lebah Trigona diperoleh dari penangkaran lebah Dago Pakar Bandung. Sebelum diuji, lebah ini dipindahkan ke Kebun Biologi Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati agar dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Lama adapatasi dilakukan sekitar 4 hari sebelum dilakukan pengujian. Lebah diberi pakan berupa air gula yang disimpan di sekitar kandang lebah. 3.4.2 Kultur jamur M. anisopliae Jamur M. anisopliae didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Dan Sayuran, Lembang. Isolat M. anisopliae tersebut disubkultur pada media PDA dengan komposisi 1 liter ekstrak kentang yang terdiri dari 20 gram gula dan 7 gram agar-agar tak berwarna. Menurut Sumanti (2009), media PDA baik untuk pertumbuhan kapang dan khamir, karena mengandung sumber karbohidrat dalam jumlah cukup yaitu terdiri dari 20% ekstrak kentang dan 2% glukosa, tetapi kurang baik untuk pertumbuhan bakteri. Subkultur tersebut selanjutnya diinkubasi selama 10 hari sampai spora tumbuh (Gambar 3.2). Gambar 3.2 Kultur M. anisopliae pada hari ke-6 (Dokumentasi pribadi) 3.4.3 Penghitungan konidia Suspensi cendawan didapatkan dengan cara menambahkan aquades sebanyak 10 ml yang dituangkan kedalam cawan petri yang berisi biakan M. anisopliae yang telah berumur satu sampai sepuluh hari. Ose digesekan secara perlahan pada permukaan media PDA. Setelah spora homogen dengan aquades, suspensi jamur dipindahkan kedalam tabung reaksi steril. Untuk mendapatkan konsentrasi cendawan yang diinginkan maka suspensi diambil secukupnya dengan pipet tetes, lalu diteteskan pada hemocytometer dan ditutup dengan cover glass (Gambar 3.3). spora Ida Kinasih, Ph.D. NIP: 1976041820 11012004 Gambar 3.3: Pengamatan spora pada kotak hemocytometer (perbesaran 10x40) (Dokumentasi pribadi) Penghitungan jumlah spora dilakukan di bawah mikroskop cahaya selama sepuluh hari, dengan menggunakan rumus (Gabriel dan Riyanto, 1989 dalam Herlinda, 2006): S= 𝑡.𝑑 𝑛.0.25 𝑥 10 Ket: S = jumlah spora t = jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati d = tingkat pengenceran n = jumlah kotak sampel yang diamati 0,25 merupakan faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil dalam hemocytometer, Serta rumus kerapatan spora: C= Ket: 𝑡 𝑛.0.25 𝑥 106 C = kerapatan spora per ml larutan t = jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati n = jumlah kotak sampel yang diamati 0,25 merupakan faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil dalam hemocytometer. 3.4.4 Pengaplikasian suspensi jamur M. anisopliae Pada setiap perlakuan membutuhkan 10 ekor lebah yang disimpan pada cawan petri yang sebelumnya di anastesi dengan cara dimasukan ke dalam lemari es selama ± 10 menit. Suspensi jamur diteteskan sebanyak 0,1 ml pada toraks lebah menggunakan mikropipet. Setelah penginfeksian, lebah dikembalikan ke bee cup. Pengamatan pertama dilakukan setelah 24 jam dari pengaplikasian jamur sampai 14 hari. Pemeliharaan lebah yang telah diinfeksi oleh jamur M. anisopliae diberi pakan berupa madu yang dioleskan pada kapas dan ditaruh sebagai alas di tempat pemeliharaan. 3.4.5 Parameter Pengamatan Parameter yang digunakan adalah jumlah lebah yang mati. Pengamatan pertama kali dilakukan pada 24 jam setelah aplikasi, selanjutnya pengamatan dilakukan setiap 12 jam, selama 7 hari. Setelah itu juga dicatat suhu ruangan tempat penelitian. 3.4.6 Analisis Data Analisis data menggunakan Uji Duncan untuk mengetahui perbedaan perlakuan dan analisis ragam digunakan untuk mengetahui efektifitas spora. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Kurva sporulasi Kurva sporulasi dibuat untuk mengetahui jumlah spora terbanyak M. anisopliae berdasarkan usia isolat yang disubkultur pada media Potato Dextrosa Agar (PDA) (Gambar 4.1). 700 600 konidia/ml 500 400 300 200 100 0 0 2 4 6 8 10 12 hari keGambar 4.1 Kurva sporulasi Setelah hari pertama inokulasi M. anisopliae pada media PDA, mulai diamati dan dilakukan perhitungan kerapatan spora di bawah mikroskop dengan bantuan hemocytometer. Pada hari ke 1 sampai hari ke 6 jumlah pertumbuhan spora tiap harinya semakin meningkat. Namun pada hari ke 7 sampai hari ke 10 pertumbuhan spora menurun. Ini dikarenakan bahwa pertumbuhan mikroorganisme terdiri dari 4 fase (Mangunwardoyo, 2007) yaitu, fase lag, fase eksponensial dan fase kematian. Isolat yang digunakan untuk mengifeksi Trigona sp. yaitu isolat yang berusia 6 hari, karena jumlah kerapatan spora yang paling banyak terdapat pada hari ke 6 yaitu 5,6 x 108 spora/ml. Temperatur optimum untuk pertumbuhan cendawan M. anisopliae berkisar 22-27 ºC (Roddam dan Rath 1997, dalam Prayogo, 2008), walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa cendawan masih dapat tumbuh pada temperatur yang lebih dingin. Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban di atas 90%, namun konidia akan berkecambah dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembaban udara sangat tinggi hingga 100%. Patogenisitas cendawan M. anisopliae akan menurun apabila kelembaban udara di bawah 8%. 4.2 Persentase Mortalitas Trigona sp. 80 70 mortalitas (%) 60 50 40 30 20 10 0 kontrol M1 M2 M3 M4 perlakuan Gambar 4.2 Grafik persentase mortalitas Trigona sp. M5 Dari gambar 4.2 terlihat bahwa Trigona sp. tanpa perlakuan (kontrol) hanya mengalami mortalitas 17,5%. Konsentrasi 1,02 x 109 (M1) menyebabkan mortalitas sebesar 32,5%, konsentrasi 5,98 x 108 (M2) menyebabkan mortalitas sebesar 70%, konsentrasi 0,88 x 107 (M3)menyebabkan mortalitas sebesar 22,5%, konsentrasi 2,4 x 106 (M4) menyebabkan mortalitas sebesar 25%, dan konsentrasi 8 x 105 (M5) menyebabkan mortalitas sebesar 40%. Secara umum tampak bahwa semakin tinggi konsentrasi yang diberikan terhadap Trigona sp. maka semakin tinggi tingkat mortalitasnya. Dari penelitian Rustama (2008), menunjukan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia yang diinfeksikan, maka semakin tinggi peluang kontak antara patogen dengan inang, sehingga proses kematian serangga yang terinfeksi semakin cepat. Namun pada perlakuan M. Anisopliae (M5)dengan konsentrasi 8 x 105, mortalitas lebah meningkat dari 25% menjadi 40%, sehingga data yang didapat terlihat sedikit rancu, akan tetapi hal ini dapat dijelaskan karena pada konsentrasi 8 x 105 merupakan satu-satunya data yang tumbuh hifa di luar tubuh lebah. Menurut Ferron (1985) dalam Prayogo (2008), saat kondisi inang tidak mendukung maka, M. anisopliae akan membentuk arthospora untuk dapat bertahan pada inang dan kondisi tersebut menyebabkan tidak munculnya hifa. Hal tersebut menunjukan bahwa hanya pada Trigona sp. dengan konsentrasi 8 x 105 yang sesuai/ optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan M. anisopliae. Menurut Juaharlina (1999) dalam Dwiastuti (2007), bahwa hifa akan muncul jika cendawan dapat melakukan penetrasi menembus integumen yang paling lunak, yaitu diantara ruasruas tubuh serangga dan mulutnya. Dari penelitian Butt dkk., (1994), dilaporkan bahwa lebah kurang rentan terhadap pemberian dosis rendah, namun pada M. anisopliae 1 x 1010 konidia/ml hampir semua lebah mengalami kematian pada hari ke 5. M. anisopliae dapat tumbuh baik apabila inang berada pada kondisi yang mendukung seperti, suhu dan kelembaban, sinar matahari, pH dan nutrisi. Setelah penginfeksian Trigona sp. disimpan di dalam ruangan dengan suhu 26°C. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan menurut Ouedraogo dkk. (2004) dalam Windarti (2010), bahwa suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi pertumbuhan M. anisopliae terutama untuk pertumbuhan dan perkecambahan konidia, serta patogenesitasnya. Batasan suhu untuk pertumbuhan jamur antara 5-35°C, pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 25-30°C. Jika suhu lebih dari 30°C akan menghambat pertumbuhan jamur serta patogenisitasnya (Inglis dkk., 2006 dalam Sinia, 2013). Trigona sp. yang telah diinfeksi dan disimpan didalam ruangan, terhindar dari cahaya matahari sehingga mempunyai viabilitas yang tinggi meskipun disimpan lebih dari tiga minggu, hal tersebut mendukung pertumbuhan M. anisopliae pada Trigona sp. Selain suhu dan kelembaban, pH juga mempengaruhi pertumbuhan M. anisopliae. Tingkat pH yang sesuai berkisar 3,38,5 dan pH optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae yaitu 7 (Windarti, 2010). 4.3 Trigona sp. yang ditumbuhi oleh M. anisopliae Hifa Hifa Tri B Cah yant Gambaro,4.3 Trigona sp. yang terinfeksi M. anisopliae S.Pd A:Hari ke5 setelah kematian ., B:Hari ke14 setelah kematian M.S (Dokumentasi pribadi) i. A Ram a d h a ni E k a P ut ra , P h. D . NIP: 198 5 Pada konsentrasiM. 205 anisopliae 8 x 10 , tumbuh jamur M. anisopliae pada N 182 Trigona sp. di hari ke 5 setelah kematian, dengan spora mula-mula berwarna I 009 P 021 putih. Dari hasil pengamatan bahwa lebah yang mati tubuhnya menjadi keras dan : 002 diselimuti hifa berwarna putih (Gambar 4.3). Menurut Mulyono (2007),1 selama 9 7 dua sampai tiga hari setelah mati, cendawan ini menembus bagian kulit sehingga 7 kulit tertutup oleh spora-spora seperti lapisan tepung. Lapisan spora ini berwarna 0 9 putih dan sehari kemudian warnanya berubah menjadi hijau. Cendawan M. 0 7 tetapi anisopliae masuk ke dalam tubuh serangga tidak melalui saluran makanan, 2 melalui kulit. Setelah konidia cendawan masuk ke dalam tubuh serangga, 0 0 9 2 cendawan memperbanyak diri melalui pembentukan hifa dalam jaringan epidermis dan jaringan lainnya sampai dipenuhi miselia cendawan. Perkembangan cendawan dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan sekitar 7 hari dan setelah inang terbunuh, jaringan membentuk konidia primer dan sekunder dalam kondisi cuaca yang sesuai muncul dari kutikula serangga (Gambar 4.4). Konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan dan air. a b Y A Gambar 4.4.a Mikroskopik pembesaran 10x40. n n a: konidia, a b: spora i (Dokumentasi pribadi) W S i u d r i perkembangan saprofit cendawan dimulai Pada waktu serangga mati, fase y a dengan penyerangan jaringan a dan n berakhir dengan pembentukan organ n a reproduksi. Pada umumnya semua i , jaringan dan cairan tubuh serangga habis , digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang mengeras M S . diikuti dengan pengeluaran pigmen atau seperti mumi. Pertumbuhan cendawan . S toksin yang dapat melindungi serangga dari serangan mikroorganisme lain P i d . terutama bakteri (Mulyono, 2007). . , N I M. anisopliae tidak semuanya tumbuh pada tubuh lebah. Cendawan ini tidak selalu tumbuh ke luar menembus integumen serangga. Apabila keadaan kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam tubuh serangga tanpa ke luar menembus integumen dalam hal ini cendawan membentuk struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora (Ferron, 1985 dalam Prayogo, 2008). Menurut Suryadi (2007), cendawan M. anisopliae menginfeksi serangga dimulai melalui integumen, namun infeksi tergantung dari jenis serangga, kondisi lingkungan dan waktu infeksi. Kutikula dipenetrasi dengan bantuan enzim yang dihasilkan dari ujung hifa penetrasi. Hifa penetrasi akan meningkatkan jumlah hifa sebelum kematian dari inang. Miselium kemudian didistribusikan keseluruh bagian bawah badan serangga, kemudian akan meningkatkan jumlah hifa sekunder. Kelembapan dan suhu lingkungan akan membantu hifa dalam beberapa hari sesudah serangga terinfeksi, umumnya melalui bagian yang lemah dari integument. 4.4 Uji Statistik dan Penentuan LC50 Untuk menguji M. anisopliae terhadap mortalitas Trigona sp. dilakukan uji Duncan pada Tabel 1: Tabel 1: Hasil uji Duncan terhadap pengaruh perlakuan M. anisopliae terhadap mortalitas Trigona sp. (Total Mortalitas Signifikasi Selama Pengamatan) (α = 0,05) Perlakuan K 15 M4 22.5 M3 25 M1 37.5 M5 40 M2 70 A AB AB AB AB B Dari hasil analisis uji Duncan di atas, tingkat kematian paling tinggi terdapat pada perlakuan M2 yaitu 70% yang berbeda nyata dengan keenam perlakuan lainnya. Untuk kontrol dibandingkan dengan perlakuan lain tidak berbeda nyata dan memiliki perbedaan yang signifikan, begitu juga untuk perlakuan M3, M4, M5, M1, dalam tabel terlihat bahwa hasilnya tidak berbeda nyata. Pada kontrol lebah dapat bertahan lebih lama dan sampai hari terakhir pengamatan lebah yang hidup lebih dari setengah dari jumlah yang diujikan. Lebah yang mati kemungkinan akibat keadaan lingkungan yang berbeda dengan habitat aslinya. Untuk pengujian mortalitas lebah yang disebabkan oleh M. anisopliae menggunakan analisis probit LC50 dengan menggunakan program SPSS, menunjukan nilai 3,26 x 1010 konidia/ml. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sinia (2013) menyatakan bahwa konsentrasi 3,7 x 106 konidia/ml dapat mematikan lebah madu yang merupakan serangga bukan sasaran. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa konsentrasi yang aman untuk lebah Trigona sp. yaitu dengan penggunaan konsentrasi ≤ 1010 konidia/ml yaitu pada konsentrasi 0,88 x 107 konidia/mlyang mengakibatkan kematian sebesar 22,5%. Penggunaan jamur entomopatogen M. anisopliae dengan konsentrasi 0,88 x 107 konidia/ml dapat mematikan serangga sasaran seperti tungau yang lingkungan hidupnya berdekatan dengan lebah, hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian Sinia (2013) bahwa nilai LC50 untuk tungau adalah 1,5 x 105 konidia/ml. Jika jamur entomopatogen M. anisopliae dibandingkan dengan B. Bassiana yang dapat mematikan lebah madu dengan konsentrasi 2,62 x 105 konidia/ml, maka M. anisopliae akan menjadi agen pengendali hayati yang berpotensi lebih baik dan memberikan keselamatan yang tinggi untuk lebah madu. Dari hasil pengujian M. anisopliae terhadap lebah Trigona sp. dengan nilai konsentrasi LC50 1010 konidia/ml, merupakan konsentrasi yang aman digunakan. Konsentrasi ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi konidia M. anisopliae yang mematikan serangga hama seperti (i) 5x106 konidia/ml yang membunuh 80% populasi rayap Coptotermes gestroi (Desyanti, 2007), (ii) 5x106 konidia/ml yang membunuh 100% telur Blissus antillus (Samuels dkk., 2002), (iii) 8,73x107 konidia/ml menyebabkan kematian hingga 91,1% populasi nyamuk Ae. Aegypti (Widiyanti, 2004), dan (iv) larva nyamuk dengan konsentrasi 2,8x108 konidia/ml menyebabkan kematian 80% populasi Anopheles aconitus (Windarti, 2010). Berdasarkan ini maka dapat disimpulkan bahwa aplikasi jamur entomopatogen M. Anisopliae aman terhadap Trigona sp. Namun pengujian jamur entomopatogen di laboratorium dengan uji lapangan, keduanya memiliki tingkat efektifitas berbeda dalam menginfeksi serangga bukan sasaran karena adanya faktor yang membatasi seperti suhu dan kelembaban serta keadaan ekologis serangga. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Nilai LC50 jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Trigona sp. adalah 3,26 x 1010 konidia/ml. 5.2 Saran M. anisopliae dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati pada daerah pertanian yang mengandalkan Trigona sp. sebagai agen penyerbukan. Diperlukan penelitian lebih lanjut di lapangan untuk memastikan hal ini. DAFTAR PUSTAKA Abdurahman, 2008. Studi Keanekaragaman Serangga Polinator Pada Perkebunan Apel Organik dan Anorganik. (SKRIPSI). Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang. Angraini, Annisa Dian. 2006. Potensi Propolis Lebah Madu Trigona spp. Sebagai Bahan Aktif Bakteri. (SKRIPSI). Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Ahmad, R.Z.. 2008. Pemanfaatan Cendawan Untuk Meningkatkan Produktivitas Dan Kesehatan Ternak.Balai Besar Penelitian Peteriner. JurnalLitbang Pertanian, 27(3), 2008. Atmowidi, Tri. 2008. Keanekaragaman dan perilaku kunjungan serangga penyerbuk serta pengaruhnya dalam pembentukan biji tanaman Caisin (Brassica rapa L.:Brassicaceae). Sekolah Pasca Sarjana IPB. Barnett. 1960. Ilustrated Genera of Imperfecty Fungy. Second Edition. Burgess Publishing Company. P : 62. Butt, T.M., L. Ibrahim., B.V. Ball., and S.J. Clark. Pathogenicity Of The Entomogenous Fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana Againts Crucifer Pests and The Honey Bee. Biocontrol Science and Technology (1994) 4, 207-214. Campbell, 2003. Biologi. Edisi kelima jilid 2. Erlangga. Jakarta. Delaplane, K.S. dan Mayer, D.F. 2000.Crop pollination by bees. New York, Oxon (CABI Publishing) Desyanti, Hadi, Y.S., Yusuf, S., Santoso, T. 2007. Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomopatogen untuk Mengendalikan Rayap Tanah Coptotermes gestroi WASMANN (Isoptera:Rhinotermitidae) dengan Metode Kontak dan Umpan. J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.5 No. 2. Dwiastui, M.E. W. Nawir dan S. Wuryantini. Uji Patogenisitas Jamur Entomopatogen Hirsutella citriformis, Beauveria Bassina, dan Metarhizium anisopliae Secara Eka & Dwiinfeksi Untuk Mengendalikan Diaphorrina Citri Kuw. J.Hort-17(1):75-80, 2007. Engel, M.S. 2000. A New Interpretation of the Oldest Fossil Bee (Hymenoptera: Apidae). Farenhorst, M., Farina, D., Scholte, E.J., Takken, W., Hunt, R.H., Coetzee, M., Knols, B.G. 2008.African water storage pots for the delivery of the entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae to the malaria vectors Anopheles gambiae s.s. and Anopheles funestus. American Journal of Tropical Medicine & Hygiene, 78: 910-916. Herlinda, S., Muhamad D.U., Yulia, P., Suwandi. 2006. Kerapatan Dan Viabilitas Spora Beauveria Bassiana (Bals.) Akibat Subkultur Dan Pengayaan Media, Serta Virulensinya Terhadap Larva Plutella Xylostella (Linn.) J. HPT Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 6, No. 2 : 70 – 78, September 2006. Herlinda, S., Hartono. Irsan, C. 2008. Efikasi Bioinsektisida Formulasi Cair Berbahan Aktif Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill. Dan Metarhizium Sp. Pada Wereng Punggung Putih (Sogatella Furcifera Horv.Seminar Nasional dan Kongres PATPI 2008,Palembang 14-16 Oktober 2008. Ine. 1999. The effect of metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin (=flavoviride) Gams and Rozsypal var. acridum (Deuteromycotina: Hyphomicetes) on Non-target Hymenoptera. Inglis, D.G., Goettel, M.S., Butt, T.M. and Strasser, H. 2001. Use of Hyphomycete fungi for managing insect pests. In Butt TM, Jakson CW, Magan N (eds.). Fungi as biocontrol Agents-Progress Problems and Potential. Wallingford, UK: CAB International pp. 23-69. Juaharlina. 1999. Potensi Beauveria Bassiana Sebagai Cendawan Entomopatogen Pada Hama Ulat Grayak (Spodoptera Litura). Agrista. 3(1):64-67. Kaaya, G.P. dan Hassan, S.M. 2000.Entomogenous fungi as promising biopesticides for tick control. Experimental and Applied Acarology, 24: 913-923. Maharlinka, Fivin. 2009. Cendawan Metarhizium anisopliae. (http://fivinmaharlinka.blogspot.com) diakses 5 juni 2013. Mangunwardoyo. Wibowo, 2007. Seleksi Dan Pengujian Aktivitas Enzim LHistidine Decarboxylase Dari Bakteri Pembentuk Histamin.Makara, Sains, Vol. 11, No. 2, November 2007: 104-109. Michener, C.D. 2000. The Best Of The World. The Johns Hopkins University Press. Diakses 10 September 2013. Mulyono. 2007. Kajian patogenisitas cendawan Metarhizium anisopliae terhadap hama Oryctes rhinoceros L. tanaman kelapa pada berbagai waktu aplikasi. (TESIS). Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 2007. Munif, A. 1997. Pengaruh Destruxin dari Konidiospora M. Anisopliae yang Dikultur pada Berbagai Media terhadap Larva Aedes aegypti. Cermin Dunia Kedokteran No. 119, 1997. 17. Nasution, A.S. 2009. Hubungan Iklim dengan Lebah Madu. (http://sanoesi.wordpress.com/tag/faktor-iklim-dan-kehidupan-lebah/) diakses 9 November 2013. NCBI. 2014. Trigona. (www.NCBI.nlm.gov/taxonomy/trigona). diakses 24 Maret 2014. Prasasya. 2008. Uji Efikasi Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana balsano dan Metarrhizium anisopliae (Metch). Sorokin Terhadap Mortalitas Larva Phragmatoecia castanae Hubner di Labolatorium. Departemen Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan. Prayogo, Yusmani, T., Wedanimbi, dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan Entomopatogen Metarhizium Anisopliae Untuk Mengendalikan Ulat Grayak (Spodoptera litura) Pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1). Pudjiatmoko, 2007. Neonicotinoid Diduga Penyebab Kematian Lebah Madu. (http://atanitokyo.blogspot.com/2007/06/neonicotinoid-diduga-penyebabkematian.html) diakses 27 September 2013. Rustama, Mia Miranti. 2008. Patogenisitas Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae terhadap Crocidolomia favonana Fab. Dalam Kegiatan Studi Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kubis Dengan Menggunakan Agensia Hayati. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Bandung. Samuels, R.I, Coracini, D.L.A., Dos Santos, C.A. Martins, Gava, C.A.T. 2002.Infection of Blissus antillus eggs by the entomopathogenic fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana. Biological Control 23(3): 269-273. Sarwono. B. 2013.Kiat mengatasi permasalahan praktis lebah madu. (http://books.google.co.id/Kiat-mengatasi-permasalahan-praktis-lebahmadu)diakses 4 Juli 2013. Scholte, E.J., Ng’habi, K., Kihonda, J., Takken, W., Paajimans, K., Abdulla, S., Killeen, G.F., Knols, B.G. 2005.An entomopathogenic fungus for control of adult African malaria mosquitoes.Science, 308 (5728): 1641-1642. Sinia, Alice. 2013. Evaluation of the Fungi Beauveria bassiana, Metarhizium anisopliae, and Clonostachys rosea as Bio-control Agents against the Honey Bee Parasitic Mite, Varroa destructor. (TESIS). Guelph, Ontario, Canada. Sumadi, B. 2006. Budi Daya Lebah Madu. Cv Aneka Ilmu. Semarang. Sumanti. D.M. 2009. Diktat Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Jurusan Teknologi Industri Pangan Fakultas Teknologi Madu. Penebar Industri Pertanian Swadaya. Jakarta. Universitas Padjajaran. Suranto, A. 2007. Terapi (http://books.google.co.id/terapi-madu)diakses 4 Juli 2013. Suryadi. K. 2007. Pengamtan Infeksi Jamur Patogen Serangga Metarhizium Anisopliae (Metsch. Sorokin) Pada Wereng Cokelat. Observation on infection on fungus entomopathogen M. anisopliae on brown plant hopper. Berita biologi 8(6) – desember 2007. Widiantara, Dianeka. 2013. Cara Lebah Tak Bersengat Mengatasi Suhu. (http://trigonasfarmer.blogspot.com/2013/08/cara-lebah-tak-bersengatmengatasi-suhu.html) diakses 12 November 2013. Widiyanti, Ni Luh P.M. dan Muyadihardja, S. 2004. Uji Toksisitas Metarhizium anisopliae Terhadap Larva Nyamuk Aedes Aegypti. Media Litbang Kesehatan Volume XIV Nomor 3 Tahun 2004. Windarti, Priska Wahyu. 2010. Pengaruh Suspensi Jamur Metarhizium anisopliae Terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Anopheles aconitus. (SKRIPSI). Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.