PENGARUH JAMUR ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae

advertisement
PENGARUH JAMUR ENTOMOPATOGEN
Metarhizium anisopliae TERHADAP MORTALITAS
SERANGGA PENYERBUK Trigona sp.
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Sains pada Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Oleh :
ITAT YANTI
1209702023
BANDUNG
2013 M/1434 H
PERNYATAAN
SKRIPSI
Dengan
ini
saya
menyatakan
bahwa
skripsi
PENGARUH
JAMUR
ENTOMOPATOGEN Metarhizium anisopliae TERHADAP MORTALITAS
SERANGGA PENYERBUK Trigona sp. merupakan karya saya berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan. Jika terdapat karya orang lain, sumber dan
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan, penulis mencantumkan sumber dengan jelas yang dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian skripsi ini.
Bandung, November 2013
Itat Yanti
1209702023
LEMBAR PENGESAHAN
PENGARUH JAMUR ENTOMOPATOGEN
Metarhizium anisopliae TERHADAP MORTALITAS
SERANGGA PENYERBUK Trigona sp.
Oleh:
ITAT YANTI
NIM: 1209702023
Menyetujui,
Pembimbing II
Pembimbing I
Ida Kinasih, Ph.D.
NIP:197604182011012004
Ramadhani Eka Putra, Ph.D.
NIP: 1977090720092100
Lulus diuji pada tanggal: 1 November 2013
Penguji I
Penguji II
Ana Widiana, M.Si.
NIP: 197003052009122002
Tri Cahyanto, S.Pd., M.Si.
NIP: 198205182009021002
Mengesahkan:
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Dr. H. M. Subandi, Drs., Ir., M.P.
NIP: 195404241985031004
Ketua Jurusan
Yani Suryani, S.Pd., M.Si.
NIP: 197205181998012001
MOTTO PERSEMBAHAN
Hal sesulit apapun dapat teratasi asalkan selalu berusaha,
berdoa, dan bertawakal.
Atas izin Allah SWT, skripsi ini dapat terselesaikan. Karya
kecil ini saya persembahkan untuk Bapak dan Ibuku tercinta
yang senantiasa selalu mendo’akan dan memberikan
motivasi yang tiada henti.
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis bernama Itat Yanti, dilahirkan
di Sumedang pada tanggal 21 Juli 1990. Penulis
merupakan anak tunggal dari pasangan Bapak Memed
dan Ibu Kanah, yang bertempat tinggal di Dsn. Sindang
RT. 003/001 Desa Rancakalong Kecamatan RancakalongSumedang.
Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2003 di Sekolah Dasar
Negeri (SDN) Pasir. Pada tahun 2003-2006, penulis melanjutkan pendidikan ke
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Rancakalong. Penulis
melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Rancakalong
pada tahun 2006-2009. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi pada tahun 2009-2013.
Pengaruh Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae
Terhadap Mortalitas Serangga Penyerbuk Trigona sp.
ABSTRAK
Jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae dikenal sebagai agen hayati
pengendali serangga hama, karena jamur ini memiliki spektrum pengendalian
yang sangat luas dapat menginfeksi beberapa jenis serangga seperti Scapteriscus
sp., semut api, Salenopsis invicta, Oryctes rhinocerus, Phyllophaga sp., dan
Cetana nitida. Namun, tidak semua serangga merupakan hama pengganggu,
contohnya lebah madu yang membantu penyerbukan tanaman. Penggunaan ini
menggunakan jamur entomopatogen M. anisopliae yang diinfeksikan ke lebah
madu Trigona sp. dengan 6 perlakuan yaitu kontrol, konsentrasi 1,02 x 109
konidia/ml, 5,98 x 108 konidia/ml, 0,88 x 107 konidia/ml, 2,4 x 106 konidia/ml, dan
8 x 105 konidia/ml. Hasil penelitian menunjukan bahwa konsentrasi yang aman
digunakan untuk Trigona sp. yaitu 0,88 x 107 konidia/ml, dengan nilai LC50
sebesar 3,26 x 1010 konidia/ml. Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi jamur
entomopatogen M. anisopliae aman digunakan untuk serangga bukan sasaran.
Kata kunci: Metarhizium anisopliae, Trigona sp., pengendalian hayati,
mortalitas.
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
Rahmat dan hidayah-Nya. Atas izin-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “Pengaruh Jamur Entomopatogen Metarhizium anisopliae terhadap
Mortalitas Serangga Penyerbuk Trigona sp.”. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda alam Nabi besar Muhammad SAW.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa tanpa adanya
bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak, tidak akan terselesaikan. Dalam
kesempatan ini, penulis juga mengucapkan rasa terimakasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Dr. H. M. Subandi, Drs., Ir., M.P selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Sunan Gunung Djati.
2. Ibu Yani Suryani, S.Pd., M.Si selaku ketua jurusan Biologi Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati.
3. Ibu Ida Kinasih, Ph.D selaku pembimbing I, yang dengan sabar
memberikan bimbingan, arahan, serta masukan.
4. Bapak Ramadhani, Eka Putra, Ph.D selaku pembimbing II, yang selalu
memberikan bimbingan, masukan serta bantuannya kepada penulis.
5. Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Biologi yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya.
6. Orang tua yang senantiasa mendoakan dan memberikan motivasi.
vii
7. Keluarga besar yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik
secara moril maupun materil.
8. Anggi Puji Lestari merupakan rekan penelitian yang selalu menyemangati,
menemani dan banyak membantu selama penelitian, serta buat “Si Putih”
yang mau membawa saya ke tempat nan jauh itu.
9. Boka yang selalu menemani, mendengarkan keluh kesah, memberikan
semangat,
berbagi
pengalaman,
mengajarkan
banyak
hal
baru.
Terimakasih atas pencerahan, peran serta selama penelitian hingga
penulisan skripsi terselesaikan.
10. Hilda, Sunsun, Asri, Atha, Shintia, Ayu, Ismi, Hana. Terimakasih telah
menjadikan hidup ini lebih berwarna, tempat berbagi, memberikan banyak
bantuan serta dukungan pada penulis.
11. Kawanku, Asep dan Galih terimaksih atas bantuannya dan telah bersedia
mendengarkan ceritaku.
12. Sahabat-sahabat seperjuangan Bios 09 terimakasih atas motivasi serta
kebersamaan yang sangat berharga.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran, sangat penulis harapkan dari
semua pihak. Semoga karya kecil ini bisa bermanfaat bagi kemajuan
pendidikan.
Bandung, November 2013
Penulis
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ ii
MOTTO PERSEMBAHAN ............................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................ iv
ABSTRAK .......................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................ vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3 Tujuan........................................................................................................ 4
1.4 Kerangka Berfikir ...................................................................................... 4
1.5 Hipotesis .................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 5
2.1 Lebah Madu ............................................................................................... 6
2.1.1 Hubungan Bunga Dengan Lebah ..................................................... 7
2.1.2 Trigona sp ........................................................................................ 9
2.2 Jamur Entomopatogen ............................................................................... 10
2.2.1 Metarhizium anisopliae.................................................................... 11
ix
2.2.2 Mekanisme Penginfeksian ............................................................... 13
2.3 Faktor -faktor yang mempengaruhi pertumbuhan M. anisopliae .............. 15
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 16
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 16
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 16
3.3 Rancangan Percobaan ........................................................................ 17
3.4 Prosedur Penelitian ............................................................................. 17
3.4.1 Pemeliharaan Lebah .................................................................. 17
3.4.2 Kultur Jamur M. anisopliae ...................................................... 18
3.4.3 Penghitungan Konidia .............................................................. 19
3.4.4 Pengaplikasian Suspensi Jamur M. anisopliae ......................... 20
3.4.5 Parameter Pengamatan .............................................................. 21
3.4.6 Analisis Data ............................................................................. 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 22
4.1 Hasil Penelitian .................................................................................. 22
4.1.1 Kurva sporulasi ......................................................................... 22
4.2 Persentase Mortalitas Trigona sp. ..................................................... 23
4.3 Trigona sp. yang ditumbuhi oleh M. anisopliae ................................ 26
4.4 Uji Statistik dan Penentuan LC50 ....................................................... 29
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 32
5.1 Kesimpulan......................................................................................... 32
5.2 Saran ................................................................................................... 32
x
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33
LAMPIRAN ......................................................................................................... 39
DAFTAR GAMBAR
No.
Judul
Hal
1.
Trigona sp.
8
2.
M. anisopliae
11
3.
Mekanisme penginfeksian
13
4.
Bee cup
16
5.
Kultur M. anisopliae
18
6.
Gambar spora pada kotak haemocytometer
19
7.
Kurva sporulasi
22
8.
Grafik persentase mortalitas Trigona sp.
23
9.
Trigona sp. yang terinfeksi M. anisopliae
26
10.
Gambar mikroskopik konidia dan spora
37
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Judul
Hal
1.
Data mortalitas Trigona sp. setiap perlakuan
39
2.
Jumlah perhitungan spora dalam 10 hari
40
3.
Perhitungan jumlah spora pada kotak haemocytometer 10 kali
pengenceran dan perhitungan kerapatan spora
41
4.
Hasil Uji ANOVA
42
5.
Hasil Uji Duncan
43
6.
Hasil analisis probit
44
7.
Alat dan Bahan
46
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Petani umumnya menggunakan insektisida untuk mengendalikan hama pada
tanamannya. Akan tetapi, dengan semakin ketatnya peraturan pemakaian bahan
kimia, karena efek merugikannya terhadap lingkungan dan kesehatan,
pengendalian hayati atau biokontrol merupakan salah satu strategi untuk
mengatasi masalah hama pertanian yang diyakini memiliki dampak pencemaran
lingkungan yang minim (Desyanti dkk., 2007). Menurut Munif (1997), salah satu
alternatif pengendalian hayati adalah memanfaatkan agen pengendali berupa
cendawan patogen yang menghasilkan endotoksin bersifat racun bagi serangga.
Sejarah aplikasi cendawan sebagai agen pengendali hayati serangga dimulai
pada tahun 1835 ketika Bassi de Lodi menemukan bahwa cendawan dapat
menyebabkan penyakit serta kematian pada ulat sutra. Saat ini manusia telah
mengisolasi berbagai cendawan-cendawan entomopatogen yang digunakan untuk
memberantas hama seperti Beauveria bassiana, Duddingtonia flagrans, dan
Metarhizium sp. Di antara ketiga spesies cendawan tersebut, Metarhizium sp.
tergolong paling umum digunakan karena efektif dalam berbagai tingkat
perkembangan serangga mulai dari telur, larva, pupa dan imago. Sebagai contoh
adalah nimfa Sogatella frucifera, (Herlinda dkk., 2008) dan telur Blissus antillus
(Hemiptera: Lygalidae) (Samuels dkk., 2002 dalam Syahrawati dan Mardiah
2011), dan larva Phragmatoecia castanae (Prasasya, 2008). Di antara spesies
1
pada genus Metarhizium, Metarhizium anisopliae merupakan spesies yang paling
umum digunakan sebagai agen pengendali hayati hama.
Sebagai
agen
pengendali
hayati,
jamur
M.
anisopliae
untuk
mengendalikan hama tanaman perkebunan dan persawahan (Kaaya dan Hassan,
2000), vektor malaria (Scholte dkk., 2005; Farenhorst dkk., 2008), nyamuk
Aedes aegypti dan Culex quinquefasciatus (Widiyanti dan Muyadiharja, 2004),
serangga kepik (Prayogo dkk., 2005), dan wereng coklat (Suryadi dan Kadir,
2007).
Dari sekian banyaknya serangga yang hidup di bumi, tidak semuanya
merugikan tetapi ada juga yang menguntungkan seperti lebah yang berperan
membantu penyerbukan pada tumbuhan dan bermanfaat bagi manusia,
sebagaimana Allah berfirman dalam surat An Nahl ayat 68-69:
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit,
di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibuat manusia", Kemudian
makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu
yang telah dimudahkan (bagimu), dari perut lebah itu ke luar minuman (madu)
yang
bermacam-macam
warnanya,
di
dalamnya
terdapat
obat
yang
menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.
Serangga (lebah) merupakan agen penyerbuk yang penting pada berbagai
spesies tanaman. Di lahan pertanian, serangga penyerbuk yang umum dijumpai
adalah lebah madu dan bumble bees yang dilaporkan mengunjungi spesies
tanaman sekitar 20 - 30% (Atmowidi, 2008).
Walaupun dikenal sebagai biopestisida, jamur entomopatogen memiliki
spektrum yang relatif luas sehingga terdapat kemungkinan pengaruh pada hewan
bukan target seperti lebah yang aktif pada lahan pertanian. Oleh karena itu, tujuan
utama dari penelitian ini diarahkan pada pengaruh penggunaan jamur
entomopatogen M. anisopliae sebagai biopestisida terhadap serangga penyerbuk
yaitu lebah yang dalam hal ini diwakilkan oleh Trigona sp.
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimanakah pengaruh penggunaan jamur entomopatogen M. anisopliae
terhadap serangga bukan sasaran, seperti lebah madu (Trigona sp.).
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui konsentrasi M. anisopliae yang mampu mematikan
50% populasi lebah (Trigona sp.).
1.3.2 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi mengenai dosis aman dalam penggunaan
biopestisida M. anisopliae terhadap lebah (Trigona sp.).
1.4 Kerangka Berfikir
Lebah madu merupakan spesies lebah dengan peran utamanya sebagai
polinator yang selalu berada pada tanaman sepanjang musim dan tersebar hampir
di seluruh dunia. Lebah tersebut memiliki peralatan yang baik untuk
mengumpulkan polen dan nektar dalam jumlah yang banyak karena lebah ditutupi
rambut yang tebal, juga ada pengait kecil yang efektif menangkap dan memegang
butiran polen pada saat serangga menyentuh anteridium bunga (Sarwono, 2001).
Petani seringkali menggunakan insektisida kimia untuk memberantas
hama pada tanamannya. Beberapa jenis pupuk dan pestisida anorganik bersifat
resisten sehingga mampu bertahan lama sebagai residu di dalam tanah, air,
maupun dalam berbagai komponen biotik. Salah satu contohnya yaitu residu
pupuk dan pestisida anorganik pada tanaman apel dapat mempengaruhi
keanekaragaman serangga polinator (Abdurahman, 2008). Para peneliti dari
Pennsylvania State University, Amerika Serikat telah meneliti penyebab kematian
lebah madu akibat suatu penyakit yang disebabkan oleh pestisida (Neonecotinoid)
di lahan pertenakan lebah madu. Kematian lebah akibat penyakit ini mengancam
kehidupan para peternak lebah, petani buah apel, biji-bijian, dan jeruk, karena
mereka mengandalkan lebah untuk penyerbukan bunga (Pudjiatmoko, 2007).
Rosichon (2004 dalam Abdurahman, 2008) menyatakan bahwa keberadaan
beberapa jenis serangga penyerbuk (polinator) tanaman berbuah dan berbiji di
pulau Jawa ternyata di ambang krisis.
Penggunaan agen hayati cendawan entomopatogen sebagai pengganti
pestisida sintetik yang diharapkan dapat menjadi solusi untuk pengendalian
serangga tanpa menimbulkan masalah lingkungan. Salah satu cendawan
entomopatogen yang potensial digunakan sebagai agen hayati adalah M.
anisopliae. Walaupun dipercaya memiliki efek yang tidak merugikan lingkungan,
Penelitian yang dilakukan oleh Sinia (2013) menunjukan bahwa konsentrasi M.
anisopliae sebesar 3,7 x 106 konidia/ml dapat mematikan lebah madu. Penemuan
ini melahirkan suatu pemikiran baru bahwa diperlukan evaluasi aplikasi M.
anisopliae terhadap hewan-hewan non target seperti Trigona sp.
1.5 Hipotesis
Jamur entomopatogen M. anisopliae dapat menyebabkan mortalitas pada
Trigona sp.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lebah Madu
Lebah pertama diperkirakan muncul bersamaan dengan tumbuhan
berbunga pada 74-146 juta tahun yang lalu. Lebah fosil tertua, '' Trigona” prisca
(Apidae: Meliponini), ditemukan terakhir kali terperangkap dalam sebuah amber
di New Jersey (Engel, 2000). Lebah madu diperkirakan muncul pertama kali di
wilayah Eropa.
Lebah madu merupakan serangga sosial yang kaya akan manfaat. Lebah
ini termasuk ke dalam ordo Hymenoptera (sayap bening). Sebagian besar lebah ini
hidup soliter dan sebagian kecil hidup berkoloni. Lebah yang hidup soliter
membuat sarang tunggal dan menyediakan cadangan pakan berupa serbuk sari dan
madu untuk anak-anaknya. Sedangkan lebah madu yang hidup berkoloni
membentuk sistem masyarakat yang bisa beranggotakan puluhan hingga ratusan
ribu lebah. Lebah madu memiliki bahasa khusus yang dapat menginformasikan
lokasi sumber pakan. Lebah ini mengeluarkan sandi seperti gerakan menari
(Suranto, 2007).
Lebah madu termasuk golongan serangga berdarah dingin, sehingga dalam
aktifitas kehidupan dipengaruhi perubahan suhu lingkungannya. Menurut
Nasution (2009), suhu dibawah 10°C dapat mengakibatkan urat sayapnya
menjadi lemah sehingga tidak mampu terbang, suhu sekitar 10°C lebah madu
cenderung lebih banyak memperbaiki sarang sebagai upaya meningatkan
temperatur agar mencapai kondisi kenyamanan yang ideal dan suhu di atas 10°C
lebah mulai aktif dan kegiatannya akan meningkat seiring dengan kenaikan suhu.
Pada suhu 26°C lebah dapat beraktifitas dengan normal. Suhu 30°-35°C
merupakan suhu optimum untuk lebah dalam melakukan kegiatan, lebah ratu
aktif bertelur dan aktifitas lebah pekerja meningkat (Widiantara, 2013).
2.1.1 Hubungan Bunga Dengan Lebah
Indonesia merupakan negara agraris, yang sebagian besar luas daratan
terdiri dari hutan, perkebunan, tanaman sayuran dan obat-obatan, tanaman
pangan, dan semak belukar. Potensi tumbuh-tumbuhan yang didukung iklim
tropis memungkinkan tersedianya bunga sepanjang tahun. Polen dan nektar yang
terdapat pada bunga tanaman merupakan pakan lebah yang diperlukan untuk
kelangsungan hidupnya (Sumadi, 2006).
Lebah adalah agen penyerbukan paling penting di dunia. Penyerbuk pada
dasarnya dilakukan lebah betina, yang mengumpulkan serbuk sari untuk
makanan mereka sendiri dan khususnya untuk memberi makan larva mereka.
Sedangkan, lebah jantan dari hampir semua spesies, sama seperti lebah betina
yang merupakan spesies parasit, mengambil nektar dari bunga, tapi hanya
membawa serbuk sari yang menempel pada tubuh mereka. Lebah jantan berperan
dalam penyerbukan, walaupun kurang penting dibanding lebah betina, yang
secara aktif mengumpulkan serbuk sari dan (sebagai pekerja) dalam kelompok
sosial, jumlah mereka lebih banyak daripada jantan. Lebah kecil pada bunga
yang besar bisa mengumpulkan serbuk sari, nektar ataupun keduanya tanpa
membuat cacat. Dalam hal ini tidak ada penyerbukan. Lebah hampir seperti
pencuri. Sebuah contoh adalah Predita kiowi griswold, lebah berwarna keputihputihan di Amerika Utara yang jelas merupakan spesialis pemanen serbuk sari
dari benang sari yang panjang pada bunga besar Mentzelia decaptila berwarna
krem yang menutup di akhir senja. Jarang terjadi di dekat putik, sepertinya
penyerbukan biasanya oleh ngengat. Keefektifan seekor lebah sebagai penyerbuk
tergantung pada banyak faktor. Seekor lebah yang telah mendatangi bunga lain
dalam satu tumbuhan atau dalam satu koloni memungkinkan terjadinya
penyerbukan silang (Michener, 2000). Serangga yang berperan dalam polinasi,
seperti lebah disebut dengan enthomophily (Gulland & Cranston 2000, dalam
Abdurahman, 2008).
Gambar 2.1 Trigona sp.
(Dokumentasi pribadi)
2.1.2 Trigona sp.
Pada penelitian ini, kelompok lebah madu yang dijadikan sebagai objek
penelitian adalah Trigona sp. (Gambar 2.1). Berikut adalah klasifikasi Trigona sp.
menurut NBCI (2014):
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Sub filum
: Hexapoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Hymnoptera
Subordo
: Apocrita
Famili
: Apidae
Subfamili
: Apinae
Tribe
: Meliponini
Genus
: Trigona
Species
: Trigona sp.
Lebah tersebut tidak memiliki sengat untuk pertahanan diri (stingless bee).
Sebagai pertahanan koloni, beberapa spesies Trigona mempertahankan koloninya
dengan gigitan (Free 1982 dalam Angraini, 2006). Aktivitas lebah ini sendiri
dipengaruhi oleh intensitas sinar matahari (sebagian besar aktivitas dilakukan
pada pagi dan sore hari saat intensitas sinar matahari relatif rendah) dan ukuran
tubuh yang mempengaruhi jarak terbang lebah untuk mencari makanan.
Lebah tersebut memiliki peralatan yang baik untuk mengumpulkan polen
dan nektar dalam jumlah yang banyak karena lebah ditutupi rambut yang tebal,
juga ada pengait kecil yang efektif menangkap dan memegang butiran polen pada
saat serangga menyentuh anteridium bunga. Lebah ini berukuran sangat kecil.
Lebah ini berfungsi sebagai penyerbuk bunga-bunga kecil. Serangga ini
membuat sarang dalam lubang-lubang pohon, celah-celah dinding dan lubang
bambu. Trigona sp. atau lebah kelanceng tidak suka berpindah tempat karena
lebah ratunya sangat gemuk dan tidak pandai terbang. Selain mencari nektar dan
tepung sari, lebah ini gemar mengambil getah pohon (terutama dari bekas luka
tebangan) untuk menutup celah sarang. Lebah ini menghasilkan madu dan lilin.
Jumlah madu yang dihasilkan sedikit, berasa asam, dan sering dipakai untuk obat
sariawan. Lilinnya dipakai untuk membatik sehingga dikenal dengan sebutan
malam klanceng (Sarwono, 2001).
2.2 Jamur Entomopatogen
Jamur atau fungi merupakan sel eukariota multiseluler, bersifat heterotrof
yang mendapatkan nutriennya melalui penyerapan. Memiliki hifa yang terbagi
menjadi sel-sel yang bersilangan atau septa. Umumnya septa memiliki pori yang
cukup besar agar ribosom, mitokondria dan nukleus dapat mengalir dari satu ke
sel yang lainnya. Sebagian besar dinding sel fungi terbentuk dari kitin, suatu
polisakarida yang mengandung nitrogen kuat. Fungi memiliki miselium yang
tumbuh dengan sangat cepat, pertumbuhan yang sangat cepat disebabkan karena
protein dan bahan-bahan lain yang disintesis oleh keseluruhan miselium tersebut
disalurkan oleh aliran sitoplasmik ke bagian ujung dari hifa yang menjulur.
(Campbell, 2003).
Sekitar 400-500 spesies jamur, telah diketahui memiliki sifat patogen
terhadap serangga,dimana jenis entomopatogen yang sering digunakan yaitu
Beauveria dan Metarhizium. Kedua jenis jamur ini diketahui serangga dari
kelompok Lepidoptera, Homoptera, Hymenoptera, Coleoptera dan Diptera
(Nyle dkk., 2005).
2.2.1 Metarhizium anisopliae
Pada tahun 1878, penelitian tentang green Muscardine jamur M.
anisopliae (Metsch) Sorokin, dimulai di Rusia dalam upaya untuk mengendalikan
larva kumbang di Sugarbeet (Greathead dan Prior, 1990 dalam Ine 1999). Jamur
M. anisopliae (Gambar 2.2) ini banyak ditemukan di dalam tanah, bersifat
saprofit, dan umumnya dijumpai pada berbagai stadia serangga yang terinfeksi,
tumbuh pada suhu 18,3o-29,5o C dan kelembapan 30-90%.
Gambar 2.2 M. anisopliae (Deptan, 2008)
Jamur M. anisopliae mempunyai koloni berwarna hijau zaitun, konidiofor
dapat mencapai panjang 75 μm, bertumpuk - tumpuk diselubungi oleh konidia
yang berbentuk apikal berukuran 6-9,50 rim x 1,50-3,90 rim, bercabang-cabang,
berkelompok membentuk massa yang padat dan longgar. Dalam menginfeksi
serangga dan akarida, konidia berkecambah pada kutikula inang dan melakukan
penetrasi dengan enzim hidrolisis (peptidase dan kitinase), lalu dengan bantuan
tekanan mekanis enzim tersebut menghancurkan kulit dengan cara lisis. Setelah
kapang masuk, konidianya dengan cepat memperbanyak diri sehingga blastospora
segera menyelaputi tubuh inang (Ahmad, 2006). Namun menurut Soper (1985)
dalam Suryadi & Kadir (2007), propagul miselia akan disebarkan ke seluruh
rongga tubuh serangga melalui aliran haemolymph. Kematian inang disebabkan
oleh kolonisasi miselia yang ekstensif sehingga menyebabkan starvasi atau
melalui racun yang dilepaskan pada saat penyerangan (Ahmad, 2006).
Berikut adalah klasifikasi Metarhizium anisopliae (Barnet, 1960 dalam Prasasya
2008):
Divisio
: Amasgomycota
Sub. Division : Deuteromycota
Kelas
: Deuteromycetes
Ordo
: Momiliales
Family
: Momiliaceae
Genus
: Metarrhizium
Species
: Metarrhizium anisopliae (Metch) Sorokin.
Widiyanti dan Muyadihardja (2004), menyatakan cendawan M. anisopliae
memiliki aktivitas larvisidal karena menghasilkan cyclopeptida, destruxin dan
desmethyldestrusin. Cendawan M. anisopliae menghasilkan endotoksin yang
mematikan yaitu destruxins yang menyebabkan kelumpuhan dan kematian pada
serangga antara tiga dan empat belas hari setelah infeksi, tergantung dari jenis dan
ukuran. Senyawa destruxin A, B, C, D, E dan demethyl destruxintin yang
dipertimbangkan sebagai bahan insektisida generasi baru. Efek destruxin
berpengaruh pada organel target yaitu mitokondria, retikulum endoplasma dan
membran nukleus yang menyebabkan parasitis sel dan kelainan fungsi terhadap
lambung tengah, tubulus malphigi, hemocit dan jaringan otot (Widiyanti dan
Muyadihardja, 2004).
2.2.2 Mekanisme Penginfeksian
Gambar 2.3 Mekanisme Penginfeksian (Thomas, 2007 dalam Maharlinka,
2009)
Mekanisme penetrasi M. anisopliae pada kutikula serangga terdiri dari
beberapa tahap yaitu (Thomas, 2007 dalam Maharlinka, 2009) (Gambar 2.3):
1. Tahap pertama yaitu kontak antara propagul cendawan dengan tubuh
serangga.
2. Tahap kedua adalah proses penempelan dan perkecambahan propagul
cendawan pada integumen serangga.
3. Tahap ketiga yaitu penetrasi dan invasi. Cendawan dalam melakukan
penetrasi menembus integumen dapat membentuk tabung kecambah
(appresorium). Titik penetrasi sangat dipengaruhi oleh konfigurasi
morfologi integumen. Penembusan dilakukan secara mekanis atau kimiawi
dengan mengeluarkan enzim dan toksin.
4. Tahap keempat yaitu destruksi pada titik penetrasi dan terbentuknya
blastospora yang kemudian beredar ke dalam haemolymph dan
membentuk hifa sekunder untuk menyerang jaringan lainnya. Sehingga
pada umumnya semua jaringan dan cairan tubuh seranggga habis
digunakan oleh cendawan, sehingga serangga mati dengan tubuh yang
mengeras.
2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan M. anisopliae
M. anisopliae dapat tumbuh dan berkembang dengan baik jika didukung
oleh beberapa faktor seperti:
1. Suhu dan kelembaban
Suhu dan kelembaban ini sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
perkecambahan konidia M. anisopliae serta patogenesitasnya. Batasan suhu yang
untuk pertumbuhan jamur yaitu 5-35° C, pertumbuhan optimal terjadi pada suhu
25-30° C. Konidia akan tumbuh baik pada kelembaban 80-92% (Ouedraogo dkk.,
2004 dalam Windarti, 2010).
2. Cahaya matahari
Perkembangan konidia M. anisopliae akan terhambat jika terkena cahaya
matahari secara langsung. Gelombang ultraviolet B dapat merusak membran
nukleus dan mendenaturasi protein pada M. anisopliae, sedangkan konidia yang
terlindung dari cahaya matahari memiliki viabilitas yang tinggi. Konidia yang
disimpan pada suhu 8° C dengan kondisi yang gelap masih mampu berkecambah
90%, sedangkan pada keadaan terang hanya 50% (Ouedraogo dkk., 2004 dalam
Windarti, 2010).
3. pH
Tingkat pH untuk pertumbuhan M. anisopliae berkisar 3,38,5. Pertumbuhan
optimal terjadi pada pH 7, dalam penelitian Windarti (2010) pH medium untuk
pertumbuhan M. anisopliae rata-rata 7.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biologi, Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Waktu
penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juli 2013.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mikroskop, gelas ukur,
pinset, pipet tetes, cawan petri, kasa, kapas, mikropipet, hemocytometer, lemari
es, tabung reaksi, rak tabung reaksi, kertas saring, jarum ose, alat tulis, label, dan
bee cup (Gambar 3.1) sebagai tempat pemeliharaan lebah pada saat pengujian.
Gambar 3.1 Bee cup
(Dokumentasi pribadi)
3.2.2 Bahan
Penelitian ini menggunakan bahan yang terdiri dari biakan jamur M.
anisopliae, lebah madu (Trigona sp.) yang merupakan jenis lebah pekerja,
aquades, madu, media agar PDA (Potato Dextrose Agar).
3.3 Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
menggunakan enam perlakuan sebagai berikut:
Perlakuan
Konsentrasi M. anisopliae
I
Kontrol
II
1,02 x 109
III
5,98 x 108
IV
0,88 x 107
V
2,4 x 106
VI
8 x 105
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Pemeliharaan Lebah
Lebah Trigona diperoleh dari penangkaran lebah Dago Pakar Bandung.
Sebelum diuji, lebah ini dipindahkan ke Kebun Biologi Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Sunan Gunung Djati agar dapat beradaptasi dengan lingkungan
barunya. Lama adapatasi dilakukan sekitar 4 hari sebelum dilakukan pengujian.
Lebah diberi pakan berupa air gula yang disimpan di sekitar kandang lebah.
3.4.2 Kultur jamur M. anisopliae
Jamur M. anisopliae didapatkan dari Balai Penelitian Tanaman Dan
Sayuran, Lembang. Isolat M. anisopliae tersebut disubkultur pada media PDA
dengan komposisi 1 liter ekstrak kentang yang terdiri dari 20 gram gula dan 7
gram agar-agar tak berwarna. Menurut Sumanti (2009), media PDA baik untuk
pertumbuhan kapang dan khamir, karena mengandung sumber karbohidrat dalam
jumlah cukup yaitu terdiri dari 20% ekstrak kentang dan 2% glukosa, tetapi
kurang baik untuk pertumbuhan bakteri. Subkultur tersebut selanjutnya
diinkubasi selama 10 hari sampai spora tumbuh (Gambar 3.2).
Gambar 3.2 Kultur M. anisopliae pada hari ke-6
(Dokumentasi pribadi)
3.4.3 Penghitungan konidia
Suspensi cendawan didapatkan dengan cara menambahkan aquades
sebanyak 10 ml yang dituangkan kedalam cawan petri yang berisi biakan M.
anisopliae yang telah berumur satu sampai sepuluh hari. Ose digesekan secara
perlahan pada permukaan media PDA. Setelah spora homogen dengan aquades,
suspensi jamur dipindahkan kedalam tabung reaksi steril.
Untuk mendapatkan konsentrasi cendawan yang diinginkan maka suspensi
diambil secukupnya dengan pipet tetes, lalu diteteskan pada hemocytometer dan
ditutup dengan cover glass (Gambar 3.3).
spora
Ida Kinasih,
Ph.D.
NIP:
1976041820
11012004
Gambar 3.3: Pengamatan spora
pada kotak hemocytometer (perbesaran 10x40)
(Dokumentasi pribadi)
Penghitungan jumlah spora dilakukan di bawah mikroskop cahaya selama
sepuluh hari, dengan menggunakan rumus (Gabriel dan Riyanto, 1989 dalam
Herlinda, 2006):
S=
𝑡.𝑑
𝑛.0.25
𝑥 10
Ket:
S = jumlah spora
t = jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati
d = tingkat pengenceran
n = jumlah kotak sampel yang diamati
0,25 merupakan faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil
dalam hemocytometer,
Serta rumus kerapatan spora:
C=
Ket:
𝑡
𝑛.0.25
𝑥 106
C = kerapatan spora per ml larutan
t = jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati
n = jumlah kotak sampel yang diamati
0,25 merupakan faktor koreksi penggunaan kotak sampel skala kecil
dalam hemocytometer.
3.4.4 Pengaplikasian suspensi jamur M. anisopliae
Pada setiap perlakuan membutuhkan 10 ekor lebah yang disimpan pada
cawan petri yang sebelumnya di anastesi dengan cara dimasukan ke dalam lemari
es selama ± 10 menit. Suspensi jamur diteteskan sebanyak 0,1 ml pada toraks
lebah menggunakan mikropipet. Setelah penginfeksian, lebah dikembalikan ke
bee cup.
Pengamatan pertama dilakukan setelah 24 jam dari pengaplikasian jamur
sampai 14 hari. Pemeliharaan lebah yang telah diinfeksi oleh jamur M. anisopliae
diberi pakan berupa madu yang dioleskan pada kapas dan ditaruh sebagai alas di
tempat pemeliharaan.
3.4.5 Parameter Pengamatan
Parameter yang digunakan adalah jumlah lebah yang mati. Pengamatan
pertama kali dilakukan pada 24 jam setelah aplikasi, selanjutnya pengamatan
dilakukan setiap 12 jam, selama 7 hari. Setelah itu juga dicatat suhu ruangan
tempat penelitian.
3.4.6 Analisis Data
Analisis data menggunakan Uji Duncan untuk mengetahui perbedaan
perlakuan dan analisis ragam digunakan untuk mengetahui efektifitas spora.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
4.1.1 Kurva sporulasi
Kurva sporulasi dibuat untuk mengetahui jumlah spora terbanyak
M. anisopliae berdasarkan usia isolat yang disubkultur pada media Potato
Dextrosa Agar (PDA) (Gambar 4.1).
700
600
konidia/ml
500
400
300
200
100
0
0
2
4
6
8
10
12
hari keGambar 4.1 Kurva sporulasi
Setelah hari pertama inokulasi M. anisopliae pada media PDA, mulai
diamati dan dilakukan perhitungan kerapatan spora di bawah mikroskop dengan
bantuan hemocytometer. Pada hari ke 1 sampai hari ke 6 jumlah pertumbuhan
spora tiap harinya semakin meningkat. Namun pada hari ke 7 sampai hari ke 10
pertumbuhan
spora
menurun.
Ini
dikarenakan
bahwa
pertumbuhan
mikroorganisme terdiri dari 4 fase (Mangunwardoyo, 2007) yaitu, fase lag, fase
eksponensial dan fase kematian.
Isolat yang digunakan untuk mengifeksi Trigona sp. yaitu isolat yang
berusia 6 hari, karena jumlah kerapatan spora yang paling banyak terdapat pada
hari ke 6 yaitu 5,6 x 108 spora/ml. Temperatur optimum untuk pertumbuhan
cendawan M. anisopliae berkisar 22-27 ºC (Roddam dan Rath 1997, dalam
Prayogo, 2008), walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa cendawan masih
dapat tumbuh pada temperatur yang lebih dingin. Konidia akan membentuk
kecambah pada kelembaban di atas 90%, namun konidia akan berkecambah
dengan baik dan patogenisitasnya meningkat bila kelembaban udara sangat tinggi
hingga 100%. Patogenisitas cendawan M. anisopliae akan menurun apabila
kelembaban udara di bawah 8%.
4.2 Persentase Mortalitas Trigona sp.
80
70
mortalitas (%)
60
50
40
30
20
10
0
kontrol
M1
M2
M3
M4
perlakuan
Gambar 4.2 Grafik persentase mortalitas Trigona sp.
M5
Dari gambar 4.2 terlihat bahwa Trigona sp. tanpa perlakuan (kontrol)
hanya mengalami mortalitas 17,5%. Konsentrasi 1,02 x 109 (M1) menyebabkan
mortalitas sebesar 32,5%, konsentrasi 5,98 x 108 (M2) menyebabkan mortalitas
sebesar 70%, konsentrasi 0,88 x 107 (M3)menyebabkan mortalitas sebesar 22,5%,
konsentrasi 2,4 x 106 (M4) menyebabkan mortalitas sebesar 25%, dan konsentrasi
8 x 105 (M5) menyebabkan mortalitas sebesar 40%. Secara umum tampak bahwa
semakin tinggi konsentrasi yang diberikan terhadap Trigona sp. maka semakin
tinggi tingkat mortalitasnya. Dari penelitian Rustama (2008), menunjukan bahwa
semakin tinggi kerapatan konidia yang diinfeksikan, maka semakin tinggi peluang
kontak antara patogen dengan inang, sehingga proses kematian serangga yang
terinfeksi semakin cepat. Namun pada perlakuan M. Anisopliae (M5)dengan
konsentrasi 8 x 105, mortalitas lebah meningkat dari 25% menjadi 40%, sehingga
data yang didapat terlihat sedikit rancu, akan tetapi hal ini dapat dijelaskan karena
pada konsentrasi 8 x 105 merupakan satu-satunya data yang tumbuh hifa di luar
tubuh lebah. Menurut Ferron (1985) dalam Prayogo (2008), saat kondisi inang
tidak mendukung maka, M. anisopliae akan membentuk arthospora untuk dapat
bertahan pada inang dan kondisi tersebut menyebabkan tidak munculnya hifa. Hal
tersebut menunjukan bahwa hanya pada Trigona sp. dengan konsentrasi 8 x 105
yang sesuai/ optimum untuk pertumbuhan dan perkembangan M. anisopliae.
Menurut Juaharlina (1999) dalam Dwiastuti (2007), bahwa hifa akan muncul jika
cendawan dapat melakukan penetrasi menembus integumen yang paling lunak,
yaitu diantara ruasruas tubuh serangga dan mulutnya. Dari penelitian Butt dkk.,
(1994), dilaporkan bahwa lebah kurang rentan terhadap pemberian dosis rendah,
namun pada M. anisopliae 1 x 1010 konidia/ml hampir semua lebah mengalami
kematian pada hari ke 5.
M. anisopliae dapat tumbuh baik apabila inang berada pada kondisi yang
mendukung seperti, suhu dan kelembaban, sinar matahari, pH dan nutrisi. Setelah
penginfeksian Trigona sp. disimpan di dalam ruangan dengan suhu 26°C. Hal ini
sesuai dengan yang dijelaskan menurut Ouedraogo dkk. (2004) dalam Windarti
(2010), bahwa suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi pertumbuhan M.
anisopliae terutama untuk pertumbuhan dan perkecambahan konidia, serta
patogenesitasnya. Batasan suhu untuk pertumbuhan jamur antara 5-35°C,
pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 25-30°C. Jika suhu lebih dari 30°C akan
menghambat pertumbuhan jamur serta patogenisitasnya (Inglis dkk., 2006 dalam
Sinia, 2013). Trigona sp. yang telah diinfeksi dan disimpan didalam ruangan,
terhindar dari cahaya matahari sehingga mempunyai viabilitas yang tinggi
meskipun disimpan lebih dari tiga minggu, hal tersebut mendukung pertumbuhan
M. anisopliae pada Trigona sp. Selain suhu dan kelembaban, pH juga
mempengaruhi pertumbuhan M. anisopliae. Tingkat pH yang sesuai berkisar 3,38,5 dan pH optimum untuk pertumbuhan M. anisopliae yaitu 7 (Windarti, 2010).
4.3 Trigona sp. yang ditumbuhi oleh M. anisopliae
Hifa
Hifa
Tri
B
Cah
yant
Gambaro,4.3 Trigona sp. yang terinfeksi M. anisopliae
S.Pd A:Hari ke5 setelah kematian
.,
B:Hari ke14 setelah kematian
M.S
(Dokumentasi pribadi)
i.
A
Ram
a
d
h
a
ni
E
k
a
P
ut
ra
,
P
h.
D
.
NIP:
198
5
Pada konsentrasiM.
205 anisopliae 8 x 10 , tumbuh jamur M. anisopliae pada
N
182
Trigona sp. di hari ke 5 setelah kematian, dengan spora mula-mula berwarna
I
009
P
021
putih. Dari hasil pengamatan
bahwa lebah yang mati tubuhnya menjadi keras dan
:
002
diselimuti hifa berwarna putih (Gambar 4.3). Menurut Mulyono (2007),1 selama
9
7
dua sampai tiga hari setelah mati, cendawan ini menembus bagian kulit sehingga
7
kulit tertutup oleh spora-spora seperti lapisan tepung. Lapisan spora ini berwarna
0
9
putih dan sehari kemudian warnanya berubah menjadi hijau. Cendawan M.
0
7 tetapi
anisopliae masuk ke dalam tubuh serangga tidak melalui saluran makanan,
2
melalui kulit. Setelah konidia cendawan masuk ke dalam tubuh serangga,
0
0
9
2
cendawan memperbanyak diri melalui pembentukan hifa dalam jaringan
epidermis dan jaringan lainnya sampai dipenuhi miselia cendawan. Perkembangan
cendawan dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan sekitar 7 hari dan setelah
inang terbunuh, jaringan membentuk konidia primer dan sekunder dalam kondisi
cuaca yang sesuai muncul dari kutikula serangga (Gambar 4.4). Konidia akan
menyebarkan sporanya melalui angin, hujan dan air.
a
b
Y
A
Gambar 4.4.a Mikroskopik
pembesaran 10x40.
n
n a: konidia,
a
b: spora
i
(Dokumentasi
pribadi)
W
S
i
u
d
r
i perkembangan saprofit cendawan dimulai
Pada waktu serangga mati,
fase
y
a
dengan penyerangan jaringan
a dan
n berakhir dengan pembentukan organ
n
a
reproduksi. Pada umumnya semua
i
, jaringan dan cairan tubuh serangga habis
,
digunakan oleh cendawan, sehingga
serangga mati dengan tubuh yang mengeras
M
S
. diikuti dengan pengeluaran pigmen atau
seperti mumi. Pertumbuhan cendawan
.
S
toksin yang dapat melindungi
serangga
dari serangan mikroorganisme lain
P
i
d
.
terutama bakteri (Mulyono, 2007).
.
, N
I
M. anisopliae tidak semuanya tumbuh pada tubuh lebah. Cendawan ini
tidak selalu tumbuh ke luar menembus integumen serangga. Apabila keadaan
kurang mendukung, perkembangan saprofit hanya berlangsung di dalam tubuh
serangga tanpa ke luar menembus integumen dalam hal ini cendawan membentuk
struktur khusus untuk dapat bertahan, yaitu arthrospora (Ferron, 1985 dalam
Prayogo, 2008).
Menurut Suryadi (2007), cendawan M. anisopliae menginfeksi serangga
dimulai melalui integumen, namun infeksi tergantung dari jenis serangga, kondisi
lingkungan dan waktu infeksi. Kutikula dipenetrasi dengan bantuan enzim yang
dihasilkan dari ujung hifa penetrasi. Hifa penetrasi akan meningkatkan jumlah
hifa sebelum kematian dari inang. Miselium kemudian didistribusikan keseluruh
bagian bawah badan serangga, kemudian akan meningkatkan jumlah hifa
sekunder. Kelembapan dan suhu lingkungan akan membantu hifa dalam beberapa
hari sesudah serangga terinfeksi, umumnya melalui bagian yang lemah dari
integument.
4.4 Uji Statistik dan Penentuan LC50
Untuk menguji M. anisopliae terhadap mortalitas Trigona sp. dilakukan
uji Duncan pada Tabel 1:
Tabel 1: Hasil uji Duncan terhadap pengaruh perlakuan M. anisopliae
terhadap mortalitas Trigona sp.
(Total Mortalitas
Signifikasi
Selama Pengamatan)
(α = 0,05)
Perlakuan
K
15
M4
22.5
M3
25
M1
37.5
M5
40
M2
70
A
AB
AB
AB
AB
B
Dari hasil analisis uji Duncan di atas, tingkat kematian paling tinggi
terdapat pada perlakuan M2 yaitu 70% yang berbeda nyata dengan keenam
perlakuan lainnya. Untuk kontrol dibandingkan dengan perlakuan lain tidak
berbeda nyata dan memiliki perbedaan yang signifikan, begitu juga untuk
perlakuan M3, M4, M5, M1, dalam tabel terlihat bahwa hasilnya tidak berbeda
nyata. Pada kontrol lebah dapat bertahan lebih lama dan sampai hari terakhir
pengamatan lebah yang hidup lebih dari setengah dari jumlah yang diujikan.
Lebah yang mati kemungkinan akibat keadaan lingkungan yang berbeda dengan
habitat
aslinya. Untuk pengujian mortalitas lebah
yang disebabkan oleh
M. anisopliae menggunakan analisis probit LC50 dengan menggunakan
program SPSS, menunjukan nilai 3,26 x 1010 konidia/ml. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Sinia (2013) menyatakan bahwa konsentrasi 3,7 x 106 konidia/ml
dapat mematikan lebah madu yang merupakan serangga bukan sasaran. Dari hasil
penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa konsentrasi yang aman untuk lebah
Trigona sp. yaitu dengan penggunaan konsentrasi ≤ 1010 konidia/ml yaitu pada
konsentrasi 0,88 x 107 konidia/mlyang mengakibatkan kematian sebesar 22,5%.
Penggunaan jamur entomopatogen M. anisopliae dengan konsentrasi 0,88 x 107
konidia/ml dapat mematikan serangga sasaran seperti tungau yang lingkungan
hidupnya berdekatan dengan lebah, hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian
Sinia (2013) bahwa nilai LC50 untuk tungau adalah 1,5 x 105 konidia/ml. Jika
jamur entomopatogen M. anisopliae dibandingkan dengan B. Bassiana yang dapat
mematikan lebah madu dengan konsentrasi 2,62 x 105 konidia/ml, maka M.
anisopliae akan menjadi agen pengendali hayati yang berpotensi lebih baik dan
memberikan keselamatan yang tinggi untuk lebah madu. Dari hasil pengujian M.
anisopliae terhadap lebah Trigona sp. dengan nilai konsentrasi LC50 1010
konidia/ml, merupakan konsentrasi yang aman digunakan. Konsentrasi ini jauh
lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi konidia M. anisopliae yang
mematikan serangga hama seperti (i) 5x106 konidia/ml yang membunuh 80%
populasi rayap Coptotermes gestroi (Desyanti, 2007), (ii) 5x106 konidia/ml yang
membunuh 100% telur Blissus antillus (Samuels dkk., 2002), (iii) 8,73x107
konidia/ml menyebabkan kematian hingga 91,1% populasi nyamuk Ae. Aegypti
(Widiyanti, 2004), dan (iv) larva nyamuk dengan konsentrasi 2,8x108 konidia/ml
menyebabkan kematian 80% populasi Anopheles aconitus (Windarti, 2010).
Berdasarkan ini maka dapat disimpulkan bahwa aplikasi jamur entomopatogen M.
Anisopliae aman terhadap Trigona sp. Namun pengujian jamur entomopatogen di
laboratorium dengan uji lapangan, keduanya memiliki tingkat efektifitas berbeda
dalam menginfeksi serangga bukan sasaran karena adanya faktor yang membatasi
seperti suhu dan kelembaban serta keadaan ekologis serangga.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Nilai LC50 jamur entomopatogen Metarhizium anisopliae untuk Trigona
sp. adalah 3,26 x 1010 konidia/ml.
5.2 Saran
M. anisopliae dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati pada
daerah pertanian yang mengandalkan Trigona sp. sebagai agen penyerbukan.
Diperlukan penelitian lebih lanjut di lapangan untuk memastikan hal ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman,
2008.
Studi
Keanekaragaman
Serangga
Polinator
Pada
Perkebunan Apel Organik dan Anorganik. (SKRIPSI). Fakultas Sains dan
Teknologi Universitas Islam Negeri Malang.
Angraini, Annisa Dian. 2006. Potensi Propolis Lebah Madu Trigona spp. Sebagai
Bahan Aktif Bakteri. (SKRIPSI). Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor.
Ahmad, R.Z.. 2008. Pemanfaatan Cendawan Untuk Meningkatkan Produktivitas
Dan Kesehatan Ternak.Balai Besar Penelitian Peteriner. JurnalLitbang
Pertanian, 27(3), 2008.
Atmowidi, Tri. 2008. Keanekaragaman dan perilaku kunjungan serangga
penyerbuk serta pengaruhnya dalam pembentukan biji tanaman Caisin
(Brassica rapa L.:Brassicaceae). Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Barnett. 1960. Ilustrated Genera of Imperfecty Fungy. Second Edition. Burgess
Publishing Company. P : 62.
Butt, T.M., L. Ibrahim., B.V. Ball., and S.J. Clark. Pathogenicity Of The
Entomogenous Fungi Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana
Againts Crucifer Pests and The Honey Bee. Biocontrol Science and
Technology (1994) 4, 207-214.
Campbell, 2003. Biologi. Edisi kelima jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Delaplane, K.S. dan Mayer, D.F. 2000.Crop pollination by bees. New York, Oxon
(CABI Publishing)
Desyanti, Hadi, Y.S., Yusuf, S., Santoso, T. 2007. Keefektifan Beberapa Spesies
Cendawan
Entomopatogen
untuk
Mengendalikan
Rayap
Tanah
Coptotermes gestroi WASMANN (Isoptera:Rhinotermitidae) dengan Metode
Kontak dan Umpan. J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis Vol.5 No. 2.
Dwiastui, M.E. W. Nawir dan S. Wuryantini. Uji Patogenisitas Jamur
Entomopatogen Hirsutella citriformis, Beauveria Bassina, dan Metarhizium
anisopliae Secara Eka & Dwiinfeksi Untuk Mengendalikan Diaphorrina
Citri Kuw. J.Hort-17(1):75-80, 2007.
Engel, M.S. 2000. A New Interpretation of the Oldest Fossil Bee (Hymenoptera:
Apidae).
Farenhorst, M., Farina, D., Scholte, E.J., Takken, W., Hunt, R.H., Coetzee, M.,
Knols, B.G. 2008.African water storage pots for the delivery of the
entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae to the malaria vectors
Anopheles gambiae s.s. and Anopheles funestus. American Journal of
Tropical Medicine & Hygiene, 78: 910-916.
Herlinda, S., Muhamad D.U., Yulia, P., Suwandi. 2006. Kerapatan Dan Viabilitas
Spora Beauveria Bassiana (Bals.) Akibat Subkultur Dan Pengayaan Media,
Serta Virulensinya Terhadap Larva Plutella Xylostella (Linn.) J. HPT
Tropika. ISSN 1411-7525 Vol. 6, No. 2 : 70 – 78, September 2006.
Herlinda, S., Hartono. Irsan, C. 2008. Efikasi Bioinsektisida Formulasi Cair
Berbahan Aktif Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill. Dan Metarhizium Sp.
Pada Wereng Punggung Putih (Sogatella Furcifera Horv.Seminar Nasional
dan Kongres PATPI 2008,Palembang 14-16 Oktober 2008.
Ine. 1999. The effect of metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin (=flavoviride)
Gams and Rozsypal var. acridum (Deuteromycotina: Hyphomicetes) on
Non-target Hymenoptera.
Inglis, D.G., Goettel, M.S., Butt, T.M. and Strasser, H. 2001. Use of
Hyphomycete fungi for managing insect pests. In Butt TM, Jakson CW,
Magan N (eds.). Fungi as biocontrol Agents-Progress Problems and
Potential. Wallingford, UK: CAB International pp. 23-69.
Juaharlina. 1999. Potensi Beauveria Bassiana Sebagai Cendawan Entomopatogen
Pada Hama Ulat Grayak (Spodoptera Litura). Agrista. 3(1):64-67.
Kaaya, G.P. dan Hassan, S.M. 2000.Entomogenous fungi as promising
biopesticides for tick control. Experimental and Applied Acarology, 24:
913-923.
Maharlinka,
Fivin.
2009.
Cendawan
Metarhizium
anisopliae.
(http://fivinmaharlinka.blogspot.com) diakses 5 juni 2013.
Mangunwardoyo. Wibowo, 2007. Seleksi Dan Pengujian Aktivitas Enzim LHistidine Decarboxylase Dari Bakteri Pembentuk Histamin.Makara, Sains,
Vol. 11, No. 2, November 2007: 104-109.
Michener, C.D. 2000. The Best Of The World. The Johns Hopkins University
Press. Diakses 10 September 2013.
Mulyono. 2007. Kajian patogenisitas cendawan Metarhizium anisopliae terhadap
hama Oryctes rhinoceros L. tanaman kelapa pada berbagai waktu aplikasi.
(TESIS). Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta 2007.
Munif, A. 1997. Pengaruh Destruxin dari Konidiospora M. Anisopliae yang
Dikultur pada Berbagai Media terhadap Larva Aedes aegypti. Cermin
Dunia Kedokteran No. 119, 1997. 17.
Nasution,
A.S.
2009.
Hubungan
Iklim
dengan
Lebah
Madu.
(http://sanoesi.wordpress.com/tag/faktor-iklim-dan-kehidupan-lebah/)
diakses 9 November 2013.
NCBI. 2014. Trigona. (www.NCBI.nlm.gov/taxonomy/trigona). diakses 24 Maret
2014.
Prasasya. 2008. Uji Efikasi Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana balsano
dan Metarrhizium anisopliae (Metch). Sorokin Terhadap Mortalitas Larva
Phragmatoecia castanae Hubner di Labolatorium. Departemen Ilmu Hama
dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Prayogo, Yusmani, T., Wedanimbi, dan Marwoto. 2005. Prospek Cendawan
Entomopatogen Metarhizium Anisopliae Untuk Mengendalikan Ulat Grayak
(Spodoptera litura) Pada Kedelai. Jurnal Litbang Pertanian, 24(1).
Pudjiatmoko, 2007. Neonicotinoid Diduga Penyebab Kematian Lebah Madu.
(http://atanitokyo.blogspot.com/2007/06/neonicotinoid-diduga-penyebabkematian.html) diakses 27 September 2013.
Rustama, Mia Miranti. 2008. Patogenisitas Jamur Entomopatogen Metarhizium
anisopliae terhadap Crocidolomia favonana Fab. Dalam Kegiatan Studi
Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kubis Dengan Menggunakan Agensia
Hayati. Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran. Bandung.
Samuels, R.I, Coracini, D.L.A., Dos Santos, C.A. Martins, Gava, C.A.T.
2002.Infection of Blissus antillus eggs by the entomopathogenic fungi
Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana. Biological Control 23(3):
269-273.
Sarwono.
B.
2013.Kiat
mengatasi
permasalahan
praktis
lebah
madu.
(http://books.google.co.id/Kiat-mengatasi-permasalahan-praktis-lebahmadu)diakses 4 Juli 2013.
Scholte, E.J., Ng’habi, K., Kihonda, J., Takken, W., Paajimans, K., Abdulla, S.,
Killeen, G.F., Knols, B.G. 2005.An entomopathogenic fungus for control of
adult African malaria mosquitoes.Science, 308 (5728): 1641-1642.
Sinia, Alice. 2013. Evaluation of the Fungi Beauveria bassiana, Metarhizium
anisopliae, and Clonostachys rosea as Bio-control Agents against the
Honey Bee Parasitic Mite, Varroa destructor. (TESIS). Guelph, Ontario,
Canada.
Sumadi, B. 2006. Budi Daya Lebah Madu. Cv Aneka Ilmu. Semarang.
Sumanti. D.M. 2009. Diktat Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Jurusan
Teknologi
Industri
Pangan
Fakultas
Teknologi
Madu.
Penebar
Industri
Pertanian
Swadaya.
Jakarta.
Universitas Padjajaran.
Suranto,
A.
2007.
Terapi
(http://books.google.co.id/terapi-madu)diakses 4 Juli 2013.
Suryadi. K. 2007. Pengamtan Infeksi Jamur Patogen Serangga Metarhizium
Anisopliae (Metsch. Sorokin) Pada Wereng Cokelat. Observation on
infection on fungus entomopathogen M. anisopliae on brown plant hopper.
Berita biologi 8(6) – desember 2007.
Widiantara, Dianeka. 2013. Cara Lebah Tak Bersengat Mengatasi Suhu.
(http://trigonasfarmer.blogspot.com/2013/08/cara-lebah-tak-bersengatmengatasi-suhu.html) diakses 12 November 2013.
Widiyanti, Ni Luh P.M. dan Muyadihardja, S. 2004. Uji Toksisitas Metarhizium
anisopliae Terhadap Larva Nyamuk Aedes Aegypti. Media Litbang
Kesehatan Volume XIV Nomor 3 Tahun 2004.
Windarti, Priska Wahyu. 2010. Pengaruh Suspensi Jamur Metarhizium anisopliae
Terhadap Mortalitas Larva Nyamuk Anopheles aconitus. (SKRIPSI).
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Download