BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN 4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Selama berabad-abad pondok pesantren telah memberikan kontribusi besar dan nyata bagi masyarakat Indonesia, utamanya dalam pengembangan dakwah dan pendidikan Islam. Sebagai wadah pembentukan generasi muslim yang tangguh, pondok pesantren berada di garda terdepan membentengi akidah umat, menanamkan akhláqul karímah, membentuk karakter, dan menjadi media transformasi nilai-nilai luhur serta ilmu pengetahuan. Keberadaan pondok pesantren itu tentu saja tidak terlepas dari peran santri dan pengelolanya. Dalam catatan sejarah negeri ini, peran santri, kiai, dan ulama memang tidak perlu disangsikan lagi. Sejak zaman prakemerdekaan hingga di era pasca Reformasi ini peran ketiganya masih terasa penting bahkan makin penting. Bagi para santri yang merupakan embrio kiai dan ulama, pengabdian kepada ibu pertiwi merupakan implementasi dari setiap ajaran yang diterima di pondok pesantren sekaligus salah satu bentuk peribadatan mereka kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Maka tak heran jika para santri selalu berada di garda terdepan perjuangan bersama para kiai, ulama, dan para pahlawan lainnya. Sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan atas peran para santri, pemerintah pun menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Pengakuan itu juga muncul dari Jenderal Gatot Nurmantyo saat turut serta 80 http://digilib.mercubuana.ac.id/ 81 memperingati acara perayaan Hari Santri Nasional di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta pada Kamis (22/11/2015). "Hari ini saya datang ke sini bersama Marinir, Kopassus, Paskhas, Kostrad, dan Armed, untuk ingatkan perjuangan yang rebut kemerdekaan bukan hanya TNI tapi juga santri dan ulama," katanya seperti dilansir tribunnews.com yang diunduh penulis pada 20 November 2015. Dan kelak ketika para santri lulus dari pondok pesantren, peran mereka semakin terasa, baik oleh masyarakat di tingkat grassroot hingga di tingkat nasional. Begitu pula halnya dengan alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Gontor yang perannya dirasakan betul masyarakat di berbagai tingkatan, termasuk peran alumni Pondok Modern Darussalam Gontor di kancah politik Indonesia. Di Indonesia, ribuan pondok pesantren tersebar di berbagai daerah. Pondok Modern Darussalam Gontor merupakan salah satu pondok pesantren yang berperan besar mewarnai dunia pendidikan di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Hal ini ditengarai oleh banyaknya santri Pondok Modern Darussalam Gontor yang berasal dari luar negeri, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan lain sebagainya. Pondok Modern Darussalam Gontor atau biasa disebut Pondok Gontor atau Pondok Modern Gontor adalah sebuah pondok pesantren besar di antara pondok-pondok pesantren di Indonesia. Pondok Modern Gontor berada di Desa Gontor (luas 1.332 km2), Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, terletak lebih kurang 3 kilometer sebelah timur Tegalsari dan 11 kilometer ke arah tenggara dari Kota Ponorogo. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 82 Pondok Modern Darussalam Gontor merupakan lembaga pendidikan yang mandiri dan berstatus swasta penuh sejak masa awal berdirinya hingga saat ini. Didirikan pada 20 September 1926 oleh Trimuri, yakni KH. Ahmad Sahal (lahir pada 22 Mei 1901 – wafat pada 9 April 1977), KH. Zainuddin Fananie (23 Desember 1905 – 21 Juli 1967), dan KH. Imam Zarkasyi (21 Maret 1910 – 30 April 1985). Lembaga ini secara resmi diwakafkan pada 12 Oktober 1958 oleh para pendirinya kepada umat Islam dunia. Pondok ini juga terdaftar secara resmi dengan nomor 24 pada 18 Maret 1956 di Madiun dan terdaftar di Pengadilan Negeri Ponorogo dengan nomor 3 dan telah diumumkan secara resmi melalui surat edaran Negara bernomor 85/1960 (Suharto, 2011:5). Saat ini Pondok Modern Gontor untuk putra memiliki 12 cabang di seluruh Indonesia. Sementara Pondok Modern Gontor untuk putri memiliki 6 cabang. Pondok Modern Gontor 1 dan 2 ada di Ponorogo; Pondok Modern Gontor Gontor 3 di Kediri; Gontor 4 (Putri 1) di Mantingan, Ngawi; Pondok Modern Gontor Putri 2 dan 3 juga di Ngawi; Pondok Modern Gontor Putri 4 di Kendari; Pondok Modern Gontor Putri 5 di Kediri; Pondok Modern Gontor 5 di Banyuwangi; Pondok Modern Gontor 6 di Magelang; Pondok Modern Gontor 7 di Kendari; Pondok Modern Gontor 8 dan 9 di Lampung; Pondok Modern Gontor 10 di Aceh; Pondok Modern Gontor 11 di Padang; dan Pondok Modern Gontor 12 di Jambi. Berikut di bawah ini adalah daftar pondok-pondok pesantren cabang Pondok Modern Gontor: http://digilib.mercubuana.ac.id/ 83 Tabel 4.1. Daftar Pondok-Pondok Pesantren Cabang Pondok Modern Gontor NO NAMA PONDOK KETERANGAN 1 Pondok Modern Darussalam Gontor 1 Berlokasi di Desa Gontor, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, diasuh oleh KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. dan KH. Hasan Abdullah Sahal. 2 Pondok Modern Darussalam Gontor 2 Berada di Desa Madusari, Kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo, di atas areal tanah seluas lebih kurang 10 ha. Dibuka secara resmi pada 10 Oktober 1965 oleh Wakil Presiden RI Try Sutrisno. Diasuh oleh KH. Husni Kamil Jaelani, S.Ag dan memiliki kapasitas 2.000 santri. 3 Pondok Modern Darul Ma’arif Gontor 3 Terletak di Sumbercangkring, Gurah, Kediri, di atas areal tanah seluas 12 ha. Pondok berkapasitas 1.500 santri ini diasuh oleh KH. Saiful Anwar, S.Ag. 4 Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 1 Beralamat di Desa Sambirejo, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, dengan diasuh oleh KH. Dr. Ahmad Hidayatullah Zarkasyi, MA. Pondok ini menempati lahan seluas 25 ha dan berkapasitas 4.000 santriwati. 5 Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 2 Berada di sebelah barat Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 1 dengan menempati areal tanah seluas 10 ha dan berkapasitas 2.000 santriwati. Pondok ini diasuh oleh KH. Suwarno TM. 6 Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 3 Menempati areal tanah seluas lebih kurang 11 ha, pondok ini berada di Desa Karangbanyu, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi. Diresmikan pada 18 Syawwal 1423/25 Desember 2002 oleh Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, pondok ini diasuh oleh KH. Muhammad Hudaya, Lc., M.Ag. Pondok ini memiliki kapasitas 2.500 santriwari. 7 Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 4 Berada di Desa Lamomea, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe Selatan, Propinsi Sulawesi Tenggara. Pondok yang diasuh http://digilib.mercubuana.ac.id/ 84 KH. Hanif Hafidz, S.Ag., ini berada di atas lahan seluas 10 ha dengan kapasitas 1.000 santri. 8 Pondok Modern Darussalam Gontor Putri 5 Berdiri di atas lahan seluas 5,5 ha, pondok ini berada di Bobosan, Kemiri, Kandangan, Kediri, Jawa Timur. Pondok ini memiliki kapasitas 1.000 santriwati dan diasuh oleh KH. Agus Mulyana, S.Ag. 9 Pondok Modern Ittihadul Ummah Putri 6 Terletak di Desa Tokorondo, Kecamatan Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dengan luas 32 ha. Dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pondok ini diasuh oleh KH. Abdul Fatah, S.Th.I. dan memiliki kapasitas 750 santriwati. 10 Pondok Modern Darul Muttaqin Gontor 5 Berada di Kaligung, Rogojampi, Banyuwangi, pondok ini terletak di atas areal seluas 7 ha dan memiliki kapasitas 1.000 santri. Pondok diasuh oleh KH. Suwito Jemari, S.Ag. 11 Pondok Modern Darul Qiyam Gontor 6 Terletak di Dusun Gadingsari, Desa Mangunsari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, di atas arela seluas 6,5 ha. Pondok berkapasitas 1.000 santri ini diasuh oleh KH. Ahmad Syuja’i, BA. 12 Pondok Modern Riyadhatul Mujahidin Gontor 7 Berada di Desa Pudahoa, Kecamatan Landono, Kabupaten Kendari, Sulawesi Tenggara, pondok ini berada di lahan seluas 174 ha. Pondok berkapasitas 1.000 santri ini diasuh oleh KH. Heru Wahyudi, S.Ag. 13 Pondok Modern Darussalam Gontor 8 Pondok yang diasuh Ustadz Abdulla Syukron ini berada di Desa Labuhan Ratu VI, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten Lampung Timur. 14 Pondok Modern Darussalam Gontor 9 Berlokasi di Dusun Kubupanglima, Desa Tajimalela, Kecamatan Kalianda, Lampung Selatan, pondok ini berada di areal lahan seluas 11,5 ha dan berkapasitas 1.000 santri. Pondok ini diasuh oleh KH. Syamsuddin Basyir, S.Ag. 15 Pondok Modern Darul Amin Gontor 10 Berada di Meunasah Baro Seulimum Aceh, di atas lahan seluas 10.1 ha dan berkapasitas 500 santri. Pondok ini diasuh oleh Ustadz http://digilib.mercubuana.ac.id/ 85 Nurwaini Sholeh, S.H.I. 16 Pondok Modern Darussalam Gontor 11 Terletak di Sulit Air, Solok, Sumatera Barat, pondok ini diasuh oleh Ustadz Bambang Nur Cholis, S.Th.I., dan berkapasitas 200 santri. 17 Pondok Modern Darussalam Gontor 12 Berlokasi di Parit Culum, Muara Sabak Barat, Tanjung Jabung Timur, Jambi. Menempati lahan seluas 8 ha, pondok ini masih terus membangun untuk melengkapi bermacam fasilitasnya. 18 Pondok Modern Ittihadul Ummah Gontor 11 Berada di Desa Tokorondo, Kecamatan Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, dengan luas 32 ha. Dibuka secara resmi oleh Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pondok ini diasuh oleh Ustadz Cecep Sobar Rahmat, S.Th.I. dan memiliki kapasitas 750 santri. Selain pondok-pondok cabang, para alumni Pondok Modern Gontor juga telah mendirikan banyak pesantren di seluruh Indonesia. Tercatat kurang lebih 200 pondok alumni sudah berdiri di seluruh Indonesia. Sebut saja misalnya Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Amin Perinduan Madura, Ponpes Nurul Harmain Narmada, Ponpes Darunnajah, dan lain-lain. 4.1.1. Sejarah Pondok Modern Gontor Sejatinya, menelusuri sejarah Pondok Modern Gontor tidaklah sulit. Penulis banyak menemukan media rujukan yang mendeskripsikan sejarah Pondok Modern Gontor. Rujukan tersebut antara lain berbentuk buku maupun media online dan broadcast, utamanya dalam bentuk company profile lembaga tersebut. Namun demikian, sumber rujukan utama yang digunakan penulis adalah buku http://digilib.mercubuana.ac.id/ 86 berjudul “Gontor & Pembaharu Pendidikan Pesantren” karya KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. yang diterbitkan pada 2005, buku company profile berjudul “Darussalam Gontor, Modern Islamic Boarding School” yang disusun H. Ahmad Suharto, S.Ag. dan dirilis pada 2011, serta situs resmi Pondok Modern Darussalam Gontor dengan alamat website di www.gontor.ac.id. Pondok Modern Gontor memiliki sejarah yang cukup panjang. Untuk mengetahuinya secara sistematis—berdasarkan rujukan di atas—penulis coba mendeskripsikan sejarah Pondok Modern Gontor ke dalam tiga babak pembahasan, yakni Pondok Tegalsari, Pondok Gontor Lama, dan Pondok Gontor Baru. 4.1.1.1. Pondok Tegalsari Cikal bakal Pondok Modern Gontor bermula dari sebuah pondok pesantren bernama Pondok Tegalsari. Pondok tersebut didirikan oleh seorang kiai besar bernama Kiai Ageng Hasan Bashari atau Besari pada awal abad ke-18 di desa Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil yang diapit sungai Keyang dan sungai Malo serta berjarak lebih kurang 10 kilometer ke arah selatan kota Ponorogo. (www.gontor.ac.id., Sejarah Pondok Modern Gontor) Pondok Tegalsari yang diamksudkan di sini, tampaknya, bukanlah Pondok Pesantren Tegalsari yang dimaksud Zamakhsari dalam bukunya Tradisi Pesantren. Jika Pondok Tegalsari yang menjadi cikal bakal Pondok Modern Gontor berada di wilayah Ponorogo, Jawa Timur, maka Pondok Tegalsari yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 87 dimaksud Zamakhsari berada di wilayah Salatiga, Jawa Tengah, yang didirikan Kiai Muhammad Rozi dengan bantuan saudara iparnya, Kiai Ali Munawar. Menurut catatan gontor.ac.id, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kiai yang mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini. Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok. Bahkan untuk menampung para santri, pondokan juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya Desa Jabung (Nglawu), Desa Bantengan, dan lain-lain. Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran Pondok Tegalsari. Alumni Pondok ini pun banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa Indonesia. Beberapa di antara mereka ada yang menjadi kiai, ulama, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dan lain sebagainya. Beberapa alumni Pondok Tegalsari antara lain adalah Paku Buana II atau Sunan Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat 1803), seorang pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh pergerakan nasional H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934). Di dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang Paku Buana II menjadi santri Pondok Tegalsari. Alkisah, pada suatu hari, tepatnya tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan komunitas China yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning. Ia merupakan seorang sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para http://digilib.mercubuana.ac.id/ 88 pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II berserah diri kepada Kanjeng Kiai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini selanjutnya menjadi santri dari kiai wara` itu. Dia ditempa dan dibimbing untuk selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Sang Penguasa dari segala penguasa di semesta alam. Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah, berdoa, serta keikhlasan bimbingan dan doa Kiai Ageng Hasan Besari, Allah ‘Azza wa Jalla mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II menjadikan Kiai Hasan Besari sebagai menantunya. Sejak itu nama kiai yang alim ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kiai Hasan Bashari (Besari). Sejak itu pula Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan. Setelah Kiai Ageng Hasan Besari wafat, beliau digantikan oleh putra ketujuh beliau yang bernama Kiai Hasan Yahya. Seterusnya Kiai Hasan Yahya digantikan oleh Kiai Bagus Hasan Besari II yang kemudian digantikan oleh Kiai Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada http://digilib.mercubuana.ac.id/ 89 pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kiai Besari, Pondok Tegalsari mulai surut. Hingga saat Pondok Tegalsari dipimpin Kiai Khalifah, terdapat seorang santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Santri itu bernama Sulaiman Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan kiainya dan kiai pun sayang kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh kiai. Jadilah Sulaiman Jamaluddin sebagai kiai muda yang sering dipercaya menggantikan kiai untuk memimpin pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang kiai akhirnya memberikan kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri di desa Gontor. 4.1.1.2. Pondok Gontor Lama Ketika Kiai Sulaiman Jamaluddin membuka pondok pesantren, saat itu Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang. Bahkan hutan tersebut dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok, penjahat, penyamun, pemabuk, dan sebagainya. Di tempat inilah kiai muda Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok pesantren seperti Tegalsari. Berbekal 40 santri yang diberikan Kiai Khalifah kepadanya, maka berangkatlah rombongan tersebut menuju desa Gontor untuk mendirikan Pondok Gontor. Pendirian Pondok Gontor oleh Kiai Sulaiman Jamaluddin ini disebut sebagai mulainya era Pondok Gontor Lama. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 90 Singkat cerita, Pondok Gontor yang didirikan Kiai Sulaiman Jamaluddin ini berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang bernama Kiai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai daerah di Jawa. Konon, banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan Jawa Barat. Setelah Kiai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau bernama Kiai Santoso Anom Besari. Kiai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Sayangnya, pada kepemimpinan generasi ketiga ini era Pondok Gontor Lama mulai surut. Kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren pun mulai memudar. Di antara sebab kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi. Jumlah santri pun kian menyusut. Beberapa santri yang tinggal sedikit itu belajar di sebuah masjid kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya. Meskipun Pondok Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman ayah dan neneknya, Kiai Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa Gontor. Ia tetap menjadi figur dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan di desa Gontor dan sekitarnya. Pada usia yang belum begitu lanjut, Kiai Santoso dipanggil Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan wafatnya Kiai Santoso ini, masa kejayaan Pondok Gontor Lama benar-benar sirna. Saudara-saudara Kiai Santoso tidak ada lagi yang sanggup menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok Gontor. Yang tinggal hanyalah janda Kiai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan peninggalan sebuah rumah sederhana dan masjid tua warisan nenek moyangnya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 91 Bahkan, sepeninggal Kiai Santoso Anom Besari dan seiring dengan runtuhnya kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya yang sebelumnya taat beragama, tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka berubah menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama. Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan), madat (menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari. Ini ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi gemblakan di kalangan para warok. 4.1.1.3. Pondok Gontor Baru Rupanya, Nyai Santoso tidak ingin melihat Pondok Gontor pupus dan lenyap ditelan sejarah. Terlebih lagi saat ia melihat perilaku buruk masyarakat di sekitarnya. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat meneruskan perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Pondok Gontor yang telah mati. Kemudian Nyai Santoso memasukkan tiga puteranya ke beberapa pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannanie (anak keenam), dan Imam Zarkasyi (anak bungsu). Ketiga putera Ibu Nyai Santoso yang dikirimkan ke beberapa lembaga pendidikan itu terus memperdalam ilmu. Di sisi lain, Nyai Santoso tidak pernah berhenti berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar ketiga puteranya itu kelak dapat menghidupkan kembali Pondok Gontor Lama yang telah runtuh itu. Berkat pendidikan, pengarahan, dan doa yang tulus dan ikhlas dari sang ibu serta http://digilib.mercubuana.ac.id/ 92 kesungguhan ketiga puteranya itu, akhirnya Allah Swt. membuka hati ketiga putera itu untuk menghidupkan kembali pondok pesantren yang telah mati itu. Pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal 1345 Hijriah, dalam peringatan Maulid Nabi Saw., di hadapan masyarakat yang hadir pada kesempatan itu, dideklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor. Sayangnya, ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan kebangkitan kembali Pondok Gontor di tangan ketiga puteranya itu. Beliau wafat saat ketiga puteranya masih dalam masa belajar. Fase pendirian Pondok Gontor ini disebut sebagai era Pondok Gontor Baru. Langkah pertama untuk menghidupkan kembali Pondok Gontor adalah dengan membuka Tarbiyatul Athfal (T.A.) pada tahun 1926. Tarbiyatul Athfal adalah suatu program pendidikan bagi anak-anak masyarakat Gontor. Materi, prasarana, dan sarana pendidikannya sangat sederhana. Semuanya dilakukan dengan modal seadanya. Tetapi dengan kesungguhan, keuletan, kesabaran, dan keikhlasan pengasuh Pondok Gontor, usaha ini telah dapat membangkitkan kembali semangat belajar masyarakat desa Gontor. Program inipun pada berikutnya tidak hanya diikuti oleh anak-anak, orang dewasa juga ikut belajar di tempat ini. Peserta didiknya juga tidak terbatas pada masyarakat desa Gontor, tetapi juga masyarakat desa sekitar. Para santri Tarbiyatul Athfal itu dididik langsung oleh Pak Sahal (panggilan untuk KH. Ahmad Sahal). Dengan beralaskan tikar dan daun kelapa, pendidikan dilangsungkan pada siang hari dan malam hari. Pada siang hari http://digilib.mercubuana.ac.id/ 93 mereka belajar di bawah pepohonan di alam terbuka, sedangkan pada malam hari mereka belajar diterangi oleh lampu batok (tempurung kelapa). Berkat kegigihan dan keuletan beliau, pada tiga tahun pertama para santri yang belajar di Pondok Gontor telah mencapai jumlah 300 santri. Mereka belajar tanpa dipungut biaya apapun. Bahkan tidak jarang pengasuh pondok yang memenuhi keperluan sehari-hari mereka. Pada prinsipnya, tujuan utama pembelajaran di Tarbiyatul Athfal adalah penyadaran siswa terhadap pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama. Pada saat Tarbiyatul Athfal berusia tujuh tahun, santri yang mengenyam pendidikan di sana telah mencapai 500 orang putra dan putri. Fasilitas belajarmengajar belum mencukupi sehingga mereka belajar di rumah-rumah penduduk dan sebagian masih di alam terbuka di bawah pepohonan. Tekad membuat bangunan untuk ruang kelas semakin menguat, tetapi dana tidak ada, karena selama sepuluh tahun pertama siswa tidak dipungut bayaran apapun. Untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan dibentuklah “Anshar Gontor”, yaitu orang-orang yang bertugas mencari dana di seluruh wilayah Jawa. Selain itu para santri di dalam pondok juga dilibatkan dalam pembuatan batu merah. Tarbiyatul Athfal terus berkembang seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk belajar. Karena itu, setelah berjalan beberapa tahun, didirikanlah cabang-cabang Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor. Madrasah-madrasah Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor itu ditangani oleh para kader yang telah disiapkan secara khusus melalui kursus pengkaderan. Disamping membantu pendirian madrasah-madrasah Tarbiyatul Athfal tersebut, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 94 mutu Tarbiyatul Athfal di Gontor juga ditingkatkan agar para lulusannya memiliki kemampuan yang memadai untuk ikut berkiprah membina beberapa Tarbiyatul Athfal cabang yang ada. Untuk itu dibukalah jenjang pendidikan di atas Tarbiyatul Athfal yang diberi nama Sullamul Muta’allimin pada tahun 1932, sekaligus untuk menjawab adanya minat yang tinggi dari masyarakat untuk memperoleh pendidikan lebih lanjut. Pada tingkatan ini para santri diajari secara lebih dalam dan luas pelajaran fikih, hadis, tafsir, terjemah Al-Quran, cara berpidato (muhâdlarah), cara membahas suatu persoalan (bahtsul masâ-il), juga diberi sedikit bekal untuk menjadi guru berupa ilmu jiwa dan ilmu pendidikan. Disamping itu mereka juga diajari keterampilan, kesenian, olahraga, gerakan kepanduan, dan lain-lain. Kegiatan ekstrakurikuler mendapat perhatian luar biasa dari pengasuh pondok, sehingga setelah tiga tahun berdirinya Sullamul Muta’allimin telah berdiri pula berbagai gerakan dan barisan pemuda, antara lain: Tarbiyatul Ikhwan (Organisasi Pemuda), Tarbiyatul Mar’ah (Organisasi Pemudi), Muballighin (Organisasi Juru Dakwah), Bintang Islam (Gerakan Kepanduan), Ri-Ba-Ta, yaitu Riyadlatul Badaniyah Tarbiyatul Athfal (Organisasi Olahraga), Miftahussa’adah dengan “Mardi Kasampurnaan”, Klub Seni Suara, dan Klub Teater. Upaya pengasuh Pondok Gontor untuk membangkitkan gairah masyarakat Gontor dan sekitarnya sudah tampak membuahkan hasil. Madrasah-madrasah yang menjadi cabang Tarbiyatul Athfal sudah banyak berdiri di desa-desa sekitar Gontor. Para murid dan alumni Tarbiyatul Athfal dan Sullamul Muta’allimin Gontor menjadi tulang punggung dari berlangsungnya proses belajar mengajar di http://digilib.mercubuana.ac.id/ 95 madrasah-madrasah itu. Mengingat banyak madrasah Tarbiyatul Athfal yang telah dibuka, maka dibentuklah sebuah wadah yang menggabungkan seluruh Tarbiyatul Athfal itu, yaitu Taman Perguruan Islam (TPI) yang dipimpin langsung oleh Pak Sahal. Menjelang usia 10 tahun pembukaan kembali Gontor, TPI telah mempunyai murid lebih dari 1000. Pondok Gontor yang telah dibuka kembali terus berkembang. Kehadiran Tarbiyatul Athfal telah membawa angin segar yang menggugah minat belajar masyarakat. Program pendidikan di Tarbiyatul Athfal pun berkembang. Jika pada awalnya Tarbiyatul Athfal hanya bermula dengan mengumpulkan anak-anak desa dan mengajari mereka mandi dan membersihkan diri serta cara berpakaian untuk menutupi aurat mereka, maka dalam satu dasawarsa kemudian lembaga ini telah berhasil mencetak para kader Islam dan muballigh di tingkat desa yang tersebar di sekitar Gontor. Melalui mereka nama Gontor menjadi lebih dikenal masyarakat. Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati pengasuh pesantren yang baru dibuka kembali ini. Banyak sekali yang perlu disyukuri. Terlebih lagi setelah K.H. Imam Zarkasyi kembali dari belajarnya di berbagai pesantren dan lembaga pendidikan di Jawa dan Sumatra pada tahun 1935. Beliau mulai ikut membenahi pendidikan di Pondok Gontor Baru ini. Kesyukuran tersebut ditandai dengan Peringatan atau “Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor”. Acara kesyukuran dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan diikrarkannya pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah atas yang dinamakan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) atau Sekolah Guru Islam pada tanggal 19 Desember 1936. Program pendidikan baru ini http://digilib.mercubuana.ac.id/ 96 ditangani oleh K.H. Imam Zarkasyi, yang sebelumnya pernah memimpin sekolah serupa tetapi untuk perempuan, yaitu Mu’allimat Muhammadiyah di Padang Sidempuan, Sumatra Utara (dalam versi Husnan Bey Fananie, KH. Imam Zarkasyi memimpin sekolah Thawalib). Dalam peringatan 10 tahun ini pula tercetus nama baru untuk Pondok Gontor yang dihidupkan kembali ini, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor. Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok Gontor yang nama aslinya Darussalam, artinya Kampung Damai. Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI) adalah Sekolah Pendidikan Guru Islam yang modelnya hampir sama dengan Sekolah Noormal Islam di Padang Panjang; di mana Pak Zar menempuh jenjang pendidikan menengahnya. Model ini kemudian dipadukan dengan model pendidikan pondok pesantren. Pelajaran agama, seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya, diajarkan di kelas-kelas. Namun pada saat yang sama para santri tinggal di dalam asrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan pesantren. Proses pendidikan berlangsung selama 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan secara seimbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan keterampilan, kesenian, olahraga, organisasi, dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan santri di Pondok. Selain K.H. Imam Zarkasyi, sejatinya, pendirian Kulliyatul Mu’allimin AlIslamiyyah (KMI) ini juga tidak bisa lepas dari pemikiran kakaknya, K.H. Zainuddin Fananie. Bahkan keduanya—K.H. Zainuddin Fananie dan K.H. Imam Zarkasyi—menuliskan buah pikirannya tentang pendidikan modern dalam sebuah http://digilib.mercubuana.ac.id/ 97 buku berjudul Pedoman Pendidikan Modern yang diterbitkan sekitar tahun 1934. Lebih dari itu, K.H. Zainuddin Fananie, di masa-masa kolonial Belanda, pernah menggagas konsep homeschooling. Gagasan itu terlihat dalam pernyataannya: “Jika anak yang sekolah tak berkembang baik, maka rumah adalah sekolah bagi anak-anak. Syaratnya rumah itu menetapkan aturan dan sistem pendidikan sekolah dengan orangtua sebagai gurunya”. (Kurniati, abiummi.com) Terkait pendirian Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI), penulis mendapatkan penjelasan lain dari DR. H. Husnan Bey Fananie. Menurutnya, pada sekitar tahun 1933, KH. Imam Zarkasyi diminta kakaknya KH. Zainuddin Fananie untuk mengedit buku Pedoman Pendidikan Modern yang kemudian terbit pada 1934. Buku ini merupakan salah satu karya otentik KH. Zainuddin Fananie selain buku-buku lainnya seperti Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam yang terbit pada 1937, Pedoman Penangkis Crisis, serta beberapa karya lainnya yang umumnya tidak dapat ditemukan di Indonesia. Husnan sendiri menjumpai sejumlah buku karya kakeknya itu di perpustakaan Leiden, Belanda. Konsep Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI) yang terdapat dalam buku Pedoman Pendidikan Modern itu, menurut Husnan, telah terlebih dahulu dipraktikkan oleh KH. Zainuddin Fananie yang dimintai pendapat oleh Mahmud Yunus saat mendirikan Sekolah Thawalib. Pada konsep KMI, pola pendidikan dijadikan integral, dimana pendidikan rumah atau keluarga sebagai al-madrasatul ûla (the first school) digabungkan dan berada dalam satu atap dengan almadrasatul tsâni (the second school), yakni sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, serta al-madrasatul tsâlits (the third school), yaitu masyarakat. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 98 Artinya, melihat situasi tersebut, Husnan berpendapat bahwa KH. Imam Zarkasyi tidaklah datang ke Sumatra sebagai pelajar melainkan seorang guru bahkan menjadi direktur di Thawalib. Kedatangan KH. Imam Zarkasyi ke Sumatra dalam hal ini tidak hanya untuk mengedit buku Pedoman Pendidikan Modern, melainkan juga untuk membantu Mahmud Yunus dalam upaya mendirikan sekolah Thawalib, dan pada akhirnya menjadi saksi atas pernikahan KH. Zainuddin Fananie dan Hj. Rabiah M, seorang perempuan dari Payakumbuh. Usai menyelesaikan masa baktinya sebagai Konsul Muhammadiyah di Sumatra Bagian Selatan, pada sekitar tahun 1935, KH. Zainuddin Fananie pun mengajak adiknya KH. Imam Zarkasyi pulang ke kampung halaman. Keduanya pulang untuk membantu sang kakak, KH. Ahmad Sahal, yang tengah mengembangkan Pondok Pesantren Gontor. Kepada kakaknya inilah KH. Zainuddin Fananie menawarkan konsep KMI seraya mengatakan bahwa model pendidikan ini telah dipraktikkan pada sekolah Thawalib dan KH. Imam Zarkasyi yang telah menjadi direktur dan perintisnya. Awalnya, meski telah mendapatkan paparan dari kedua adiknya, KH. Ahmad Sahal tidak langsung menyetujui. Beliau perlu merenungkan dan meminta petunjuk dari Allah ‘Azza wa Jalla. Atas petunjuk dari Allah itulah kemudian Pak Sahal menyetujui usulan Pak Fananie dan Pak Zar tersebut sambil mengatakan jika model pendidikan seperti itu harus segera dilakukan. Bahkan ia mendukung penuh sekalipun ia harus berkorban bondo (harta), bahu (tenaga), pikir (pikiran), lek perlu sak nyawane pisan (bila perlu nyawa). (Wawancara Husnan Bey Fananie) Pada tahun pertama pembukaan program ini, sambutan masyarakat belum memuaskan. Bahkan tidak sedikit kritik dan ejekan yang dialamatkan kepada http://digilib.mercubuana.ac.id/ 99 program baru yang diterapkan oleh Gontor. Sistem pendidikan semacam yang diterapkan oleh Gontor tersebut memang masih sangat asing. Sistem belajar secara klasikal, penggunaan kitab-kitab tertentu yang tidak umum dipakai di pesantren, pemberian pelajaran umum, guru dan santri memakai celana panjang dan dasi. Demikian juga pemakaian Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan bahkan juga Bahasa Belanda, ketika itu masih dianggap tabu. Sebab Bahasa Arab adalah bahasa Islam sedangkan Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda adalah bahasa orang kafir. Masih asingnya sistem pendidikan baru ini menyebabkan merosotnya jumlah santri Gontor saat itu. Santri Gontor yang sebelumnya berjumlah ratusan hanya tersisa 16 orang. Keadaan ini tidak mematahkan semangat Pak Sahal dan Pak Zar. Dalam keadaan demikian Pak Zar bertekad dan berucap: “Biarpun tinggal satu saja dari yang 16 orang ini, program akan tetap akan kami jalankan sampai selesai, namun yang satu itulah nantinya yang akan mewujudkan 10…100 hingga 1000 orang.” Bahkan suatu saat Pak Zar pernah berujar: “Seandainya saya tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan pena.” Pak Sahal juga tanpa ragu-ragu berdoa: “Ya Allah, kalau sekiranya saya akan melihat bangkai pondok saya ini, panggillah saya lebih dahulu kehadirat-Mu untuk mempertanggung jawabkan urusan ini.” Allah rupanya mendengar doa dan tekad kakak-beradik itu. Pada tahun kedua, mulai datang para santri dari Kalimantan, Sumatra, dan dari berbagai pelosok tanah Jawa. Gontor mulai ramai oleh kehadiran para santri yang semakin banyak. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 100 Akhirnya, setelah tiga tahun berjalan, Pondok Gontor dibanjiri oleh para santri dari berbagai kota dan pulau dengan tingkat pengetahuan yang berbedabeda. Ada yang sudah baik pengetahuan agamanya tetapi lemah dalam pengetahuan umum dan ada pula yang sebaliknya. Untuk mengatasi persoalan ini dibukalah kelas khusus untuk menampung mereka, yaitu Voorklas atau Kelas Pendahuluan. Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama Bovenbow. Jumlah santri yang semakin banyak dan pembukaan kelas baru ini menimbulkan persoalan baru, yaitu terbatasnya jumlah guru. Dalam kondisi demikian ini tidak jarang Pak Zar mengajar 2 kelas dalam satu jam pelajaran. Namun pada tahun kelima datanglah seorang guru muda bernama R. Muin yang cakap berbahasa Belanda. R. Muin ini kemudian diserahi mengajar Bahasa Belanda untuk murid-murid kelas I tingkat atas, atau kelas IV. Setelah berjalan 5 tahun, pengembangan tingkatan pendidikan di KMI menjadi program Onderbow dengan lama belajar 3 tahun dan program Bovenbow dengan lama belajar 2 tahun). ***** Selain paparan di atas, gagasan untuk membangun Pondok Gontor Baru dan bentuk pendidikannya diilhami oleh sebuah peristiwa dalam Kongres Umat Islam Indonesia di Surabaya pada pertengahan tahun 1926. Kongres itu dihadiri http://digilib.mercubuana.ac.id/ 101 oleh tokoh-tokoh umat Islam Indonesia, seperti H.O.S. Cokroaminoto, Kyai Mas Mansur, H. Agus Salim, AM. Sangaji, Usman Amin, dan lain-lain. (www.gontor.ac.id.: 2015) Kongres tersebut antara lain memutuskan bahwa umat Islam Indonesia akan mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-Dunia yang akan diselenggarakan di Makkah. Tetapi kemudian muncul masalah tentang siapa yang akan menjadi utusan. Padahal utusan yang akan dikirim ke Muktamar tersebut harus mahir sekurang-kurangnnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari peserta kongres tersebut tak seorang pun yang menguasai dua bahasa tersebut dengan baik. Akhirnya dipilih dua orang utusan, yaitu H.O.S. Cokroaminoto yang mahir berbahasa Inggris dan K.H. Mas Mansur yang menguasai bahasa Arab. Peristiwa ini mengilhami Pak Sahal yang hadir sebagai peserta kongres tersebut. Pak Sahal berpikir tentang perlunya mencetak tokoh-tokoh yang memiliki kriteria di atas. Kesan-kesan Kyai Ahmad Sahal dari kongres itu menjadi topik pembicaraan dan merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi bentuk dan ciri lembaga yang akan dibinanya di masa mendatang. Disamping itu, situasi masyarakat dan lembaga pendidikan di tanah air saat itu juga memicu munculnya ide-ide mereka. Banyak sekolah yang dibina oleh zending-zending Kristen yang berasal dari Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat; guru-guru yang pandai dan cakap dalam penguasaan materi dan metodologi pengajaran serta penguasaan ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan. Sementara itu, lembaga pendidikan Islam belum mampu menyamai kemajuan mereka. Di antara sebab ketidakmampuan itu adalah kurangnya pendidikan Islam yang dapat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 102 mencetak guru-guru muslim yang cakap, berilmu luas, dan ikhlas dalam bekerja serta memiliki tanggung jawab untuk memajukan masyarakat. Sementara di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada saat itu pun sangat timpang. Satu lembaga pendidikan memberikan pelajaran umum saja dan mengabaikan pelajaran-pelajaran agama serta lembaga-lembaga pendidikan lainnya hanya mengajarkan ilmu agama dan mengesampingkan pelajaran umum. Padahal keduanya adalah ilmu Islam dan sangat diperlukan oleh umat Islam. Melihat kondisi tersebut, maka muncul gagasan agar pondok pesantren yang akan dikembangkan haruslah memperhatikan hal ini. Begitu pula halnya, situasi sosial dan politik bangsa Indonesia saat itu berpengaruh pada pendidikan. Saat itu banyak lembaga pendidikan yang didirikan oleh partai-partai dan golongan-golongan politik, sehingga lembaga pemdidikan tersebut menanamkan pelajaran tentang partai atau golongan. Tak heran jika kemudian muncul fanatisme golongan. Sementara para pemimpinnya terpecah karena masuknya benih-benih perpecahan yang disebarkan oleh penjajah. Atas kondisi tersebut, maka muncullah gagasan agar lembaga pendidikan itu harus dibebaskan dari kepentingan golongan atau partai politik tertentu, dan “berdiri di atas dan untuk semua golongan”. Kondisi umat Islam Indonesia—seperti juga yang terjadi pada umat Islam di seluruh dunia—terbagi ke dalam beragam suku, bangsa, negara, dan bahasa. Belum lagi mereka juga terbagi ke dalam aliran-aliran paham agama serta terbagi ke dalam kelompok-kelompok organisasi dan gerakan, baik politik, sosial, dakwah, ekonomi, maupun lainnya. Kenyataan ini menunjukkan adanya faktor http://digilib.mercubuana.ac.id/ 103 pengkategorian yang beragam, meski harus disadari juga bahwa kategori-kategori tersebut tidak bersifat mutlak. Karena itu, semua dasar klasifikasi tersebut tidak boleh dijadikan dasar pengkotak-kotakan ummat yang menjurus kepada timbulnya pertentangan dan perpecahan di antara mereka. Maka lembaga pendidikan harus berusaha menanamkan kesadaran mengenai hal ini, serta mengajarkan bahwa faktor pengkategori yang sebenarnya adalah Islam itu sendiri; umat Islam seluruhnya adalah bersaudara dalam satu ukhuwwah diniyyah. 4.1.2. Pondok, Santri, dan IKPM Gontor Sebelum jauh membahas hasil penelitian, ada baiknya penulis memberikan definisi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan obyek penelitian. Beberapa hal yang terkait dengan obyek penelitian tersebut, antara lain pondok, santri, dan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor. A. Pondok Menurut KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA (2005), pondok adalah sebutan masyarakat Jawa bagi tempat pengajaran keagamaan. Selain pondok, masyarakat Jawa juga ada yang menyebutnya pesantren. Sejatinya istilah pondok, imbuhnya, berasal dari Bahasa Arab funduq yang artinya hotel atau asrama. Adapun istilah pesantren mengandung arti tempat menumpang para santri. Tidak ada perbedaan yang berarti antara sebutan pondok atau pesantren. Bahkan, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 104 seringkali pondok dipahami sebagai sinonim dari pesantren atau dipakai sekaligus, pondok pesantren. Di Sumatra, lembaga semacam pesantren disebut surau, meunasah, dayah, atau rangkang. Pada lembaga-lembaga seperti itulah tradisi perkumpulan atau halaqah diperkenalkan. Dalam perkumpulan itu, secara tradisional dikenal istilah ‘kaji’ atau ‘ngaji’, di mana murid (santri) menyimak, sementara guru (kiai) menerangkan. Zamakhsyari (1994) menyebutkan jika pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kiai merupakan lima elemen dasar dari tradisi pesantren. Sementara itu KH. Imam Zarkasyi (dalam Zarkasyi, 2005) memberikan ciri-ciri pondok pesantren, yakni: (1) pesantren harus berbentuk asrama (full residential Islamic boarding school); (2) fungsi kiai sebagai central figure (uswah hasanah) yang berperan sebagai guru (mu’allim), pendidik (murabbi), dan pembimbing (mursyid); (3) masjid sebagai pusat kegiatan; dan (4) materi yang diajarkan tidak terbatas kepada kitab kuning saja. Jika menilik ciri-ciri yang disebutkan Zamakhsyari (1994) maupun KH. Imam Zarkasyi memang terdapat sedikit perbedaan, utamanya dalam hal kajian yang menjadi obyek pelajaran para santri. Jika Zamakhsyari menyebutkan kitabkitab Islam klasik sebagai elemen dasar pondok pesantren, Pak Zar menyebutkan elemen yang lebih komprehensif, tidak terbatas kepada kitab kuning semata. Perbedaan ini pula yang menjadi titik perbedaan antara pondok pesantren salaf dan khalaf. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 105 Hal ini dituturkan pula oleh Abdurrahman Wahid dalam Halim Ghazali (2009), sebagai wajah pesantren yang tidak tunggal. Menurutnya, paling tidak ada dua kelompok pesantren, yakni salaf dan khalaf. Pesantren salaf biasanya hanya menyajikan pendidikan Islam yang lebih banyak merujuk kepada kitab kuning. Sementara pesantren khalaf adalah pesantren yang sudah mulai mengakomodasi modernitas, sehingga kitab kuning bukan menjadi pusat kajiannya. Tentu saja klasifikasi ini merupakan penyederhanaan karena pesantren sebagai subkultur sangatlah unik. Masing-masing pesantren memiliki karakteristik yang berbedabeda sesuai dengan selera pemangkunya. Walaupun sama-sama masuk kategori salaf, misalnya, satu pesantren dengan lainnya bisa jadi berbeda. Seperti tampak pada istilahnya, pesantren khalaf atau kerap disebut pesantren modern sudah mulai menerapkan sistem pendidikan modern. Tak hanya sistem, kurikulumnya pun mengakomodasi kepentingan zaman, sehingga pesantren dalam kategori ini tidak saja mempelajari kitab kuning, tetapi juga diajarkan mata pelajaran umum dan ketrampilan lainnya (Fathurrohman, 2014). Penyelesaian terhadap segala persoalan bagi pesantren model ini tidak sematamata ditempuh melalui jalur agama (Islam), tetapi juga menggunakan perangkat lainnya. Sebagaimana terefleksi dari namanya, pesantren salaf biasanya telah berusia tua, bahkan sebelum negeri ini merdeka. Beberapa pesantren dalam kategori ini antara lain pesantren Tebuireng, Tambakberas Jombang, Buntet Cirebon, Babakan Ciwaringin Cirebon, Sukorejo Situbondo, dan lain sebagainya. Walaupun berada dalam kategori yang sama, masing-masing pesantren ini http://digilib.mercubuana.ac.id/ 106 memiliki karakter yang berbeda. Pesantren-pesantren yang telah lama berdiri di negeri ini biasanya banyak berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama yang terkumpul dalam RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah). Kecenderungan pesantren-pesantren kuno ini tidaklah bersifat keras, anti Pancasila, dan menolak NKRI. Sebaliknya, pesantren-pesantren inilah yang berjuang terus untuk mempertahankan Pancasila, mengembangkan perdamaian, dan nasionalis (hubb al-wathon). Menurut Imam Tolkhah dalam Halim Ghazali (2009), ada pula jenis pesantren salaf dengan menambah istilah haraki (pergerakan). Jenis ini dikembangkan oleh pesantren Al-Mukmin Ngruki. Disebut salafi haraki, karena pesantren ini hendak menegaskan dirinya sebagai institusi dakwah dan pendidikan. Model pesantren ini langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dengan menolak peran akal untuk menafsirkannya (literalisme). Pesantren inilah yang sering disebut-sebut ketika terjadi aksi terorisme di tanah air. Di pesantren ini, wacana jihad, penerapan syariat Islam secara kaffah, mati syahid menjadi tema penting. Kategori di atas menunjukkan bahwa pesantren tidaklah tunggal. Sekaligus menepis tudingan generalisasi terhadap pesantren sebagai lumbung terorisme. Perihal terdapat segelintir pesantren yang memiliki cara pandang ekslusif, literal dan kerap menggunakan jalan-jalan kekerasan merupakan fakta. Tetapi, tidak semua pesantren menempuh jalan tersebut. Sebaliknya, sejarah mencatat dengan baik bagaimana konstribusi pesantren, baik pra ataupun pasca kemerdekaan RI. Terletak di pinggiran kota, pesantren hendak menegaskan dirinya untuk http://digilib.mercubuana.ac.id/ 107 empowering civil society, mencerdaskan bangsa, dan membela yang termarginalkan. Pada kasus Pondok Modern Gontor, KH. Imam Zarkasyi melakukan inisiatif dengan menggabungkan sistem madrasi (klasikal) dan salafi (halaqah, bandongan, sorogan). Modernisasi juga tampak terlihat dengan menata seluruh kegiatan pondok dalam organisasi-organisasi yang rapi dan terlaksana dengan baik (Zarkasyi, 2005). B. Santri Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (http://kbbi.web.id, diunduh pada 4 Maret 2015), santri adalah orang yang mendalami agama Islam atau orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh. Sementara menurut penelitian Johns, istilah kata “santri” berasal dari bahasa tamil yang berarti “guru mengaji”. Sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata “shastri”, yang dalam bahasa India berarti “orang yang mengetahui buku-buku suci agama hindu”. Pendapat ini didukung oleh Karel. A. Steenbrink, yang menyatakan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, memang mirip dengan pendidikan ala Hindu di India. (Dhofir, 1994) Menurut Dr. KH. M.A Sahal Mahfud (dalam Mas Dewa, 2003), kata santri berasal dari bahasa arab, yaitu “ ” (santaro) yang berarti “menutup”. Kalimat ini mempunyai bentuk jamak (plural) “ ” (beberapa santri). Sementara http://digilib.mercubuana.ac.id/ 108 almarhum KH. Abdullah Dimyathy, seorang kiai dari Pandeglang-Banten, berpendapat bahwa kata santri mengimplementasikan fungsi manusia, dengan 4 huruf yang dikandungnya, yakni: berarti berarti (wakil dari ulama); kemaksiatan); dan berarti berarti (menutup aurat); (meninggalkan (pemimpin umat). Nurcholis Madjid dalam Dhofir (1994) mengemukakan, “santri” berasal dari kata sastri, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang artinya “melek huruf” alias bisa membaca. Pendapat lain mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata cantrik, yang berarti “seseorang yang selalu mengikuti gurunya ke manapun gurunya pergi/menetap”. (Mastuhu, 1999) Zamakhsyari (Dhofir, 1994) sendiri mengemukakan bahwa santri adalah murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitabkitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: (a) Santri Mukim, yakni santri atau murid-murid yang berasal dari jauh dan tinggal atau menetap di lingkungan pesantren; (b) Santri Kalong, yakni santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren dan mereka tidak menetap di lingkungan kompleks pesantren. Setelah mengikuti pelajaran, mereka pun pulang. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 109 Di negeri ini, santri memiliki peran sangat penting. Selain menjadi garda terdepan dalam merebut kemerdekaan, seperti disebutkan di atas, santri juga berkontribusi dalam pembangunan. Terakhir, KH. Abdurrahman Wahid yang merupakan santri sekaligus cucu pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari, menjadi Presiden RI ke-4. Sementara para elit politik maupun sosial pun banyak yang berasal dari kalangan santri. Sebut saja KH. Hasyim Muzadi, KH. Said Aqil Siradj, Prof. DR. Din Syamsuddin, MA, DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA, Lukman Hakim Syaifuddin, DR. Husnan Bey Fananie, MA, dan lain sebagainya. Sebagai penghargaan atas peran dan jasa para santri, Presiden Joko Widodo menjadikan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. C. Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor Seperti yang sudah dijabarkan di Bab 1, kata “alumni” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang-orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi (http://kbbi.web.id, diunduh pada 4 Maret 2015). Jadi, kata “alumni” yang dimaksud dalam penelitian ini berarti orang-orang yang telah mengikuti atau tamat dari Pondok Modern Darussalam Gontor. Biasanya, beberapa santri terpilih yang telah lulus—sebelum menjadi alumni di luar pondok—akan ditunjuk oleh kiai untuk mengabdikan diri sebagai ustad atau pengajar. Lamanya mengajar sesuai dengan kebutuhan pondok. Namun demikian, umumnya hanya diminta mengajar selama 1-2 tahun. Selama ini Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki sebuah wadah pemersatu dan pemberdaya para alumni Gontor dalam IKPM (Ikatan Keluarga http://digilib.mercubuana.ac.id/ 110 Pondok Modern). Saat ini IKPM telah memiliki 82 cabang di dalam dan di luar negeri yang dipimpin KH. Drs. Akrim Mariyat, Dipl. Ad.Ed. Namun demikian, pada perjalanannya, beberapa alumni Pondok Modern Gontor terutama yang berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mendirikan sebuah wadah lainnya yang dinamakan Persatuan Alumni Gontor atau PAGon. Menurut Sunandar Ibnu Noer saat diwawancarai penulis pada 22 Juni 2015, PAGon didirikan atas inisiatif para alumni yang kecewa atas sikap oknum keluarga kiai Pondok Modern Gontor yang berseberangan dengan sikap para alumni di IKPM. Akibatnya, Sunandar beserta sejumlah alumni lainnya termasuk Helmi Hidayat mendirikan PAGon setelah berkonsultasi kepada Hidayat Nur Wahid sebagai alumni senior. Namun, setelah kepengurusan PAGon yang pertama kali dipegang Sunandar, hingga kini PAGon tidak tampak lagi aktivitasnya. IKPM Gontor sendiri memiliki sejarah panjang. Sejarah berawal ketika KH. Imam Zarkasy turut menghadiri Kongres Muslimin Indonesia yang diadakan di Yogyakarta pada tahun 1949. Ketika itu, Pak Zar yang ditemani Mukari berangkat dengan menggunakan kereta uap, melewati Surabaya demi keamanan. Di kereta, Pak Zar bertemu dengan 6 orang peserta lain dari Kalimantan, yang dipimpin oleh H. Idham Cholid, alumni Gontor. Ketika Kongres Muslimin dilaksanakan, banyak alumni Gontor yang menjadi wakil daerah dan organisasi. Pada pertemuan itu, terjadi jalinan keluarga yang sangat erat dan rasa tunggal guru yang kuat, apalagi banyak di antara alumni Pondok Modern Gontor yang sudah lama tidak bertemu. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 111 Mukari yang melihat keakraban Pak Zar dengan beberapa alumni itu, merasa heran dengan eratnya hubungan antara guru dan murid ketika bertemu. Kemudian Mukari pun berkata: “Begini, Pak. Saya yakin cita-cita Bapak akan tercapai. Pondok Modern akan abadi. Masa depannya cerah.” Sejatinya, kata-kata yang dilontarkan Mukari itu, memang merupakan citacita Pak Zar untuk membina ukhuwah Islamiyah. Cita-cita untuk membuat suatu organisasi kekeluargaan bagi alumni Pondok Modern Gontor yang tercetus sejak Tarbiyatul Athfal kelihatan berjalan dengan lancar dan memiliki pengaruh yang semakin luas di masyarakat. Maka, setelah Kongres Muslimin Indonesia I itu selesai, para alumni yang hadir ketika itu sepakat untuk mengadakan pertemuan untuk membicarakan terbentuknya organisasi kekeluargaan bagi segenap alumni. Singkat kisah, pertemuan yang berlangsung di rumah salah seorang alumni Gontor bernama Pak Dukhan di Ngasem, Yogyakarta, berhasil membentuk organisasi alumni yang disebut dengan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) pada tanggal 17 Desember 1949. Organisasi yang akhirnya diresmikan kemudian pada tahun 1951 itu bertujuan agar hubungan batin alumni dengan pondoknya tetap terpelihara. Setelah terbentuknya IKPM, disusunlah AD/ART yang kemudian disahkan pada Kongres I atau Mubes I IKPM di Pondok Modern Gontor pada 31 Oktober 1951. Kongres I ini bertepatan dengan Peringatan Seperempat Abad berdirinya Pondok Modern Darussalam Gontor yang berlangsung pada tanggal 27 Oktober sampai dengan 4 November 1951. Pada Kongres I itu dipilih kepengurusan pusat IKPM dengan susunan sebagai berikut: Ali Murtadho dan Suroso BHS (ketua), http://digilib.mercubuana.ac.id/ 112 Ma’shum (sekretaris), Subani (bendahara), serta Shoimun, Ihsanuddin, Samuri, Ghozali Anwar, Kafrawi, Suadi, Idham kholid, dan Sholihin (pembantu). Pada peringatan tersebut, IKPM mendapat amanat yang sangat berat dari pendiri Pondok Modern, KH. Ahmad Sahal. Dalam pidato sambutannya, Pak Sahal mengungkapkan bahwa Pondok Modern Gontor sejak saat itu bukan lagi milik para pendiri, tetapi telah diwakafkan kepada umat Islam dan pertanggungjawaban maju-mundurnya diserahkan kepada para alumninya. Susunan pengurus hasil Kongres I mengalami perubahan setelah diadakannya Kongres II pada tanggal 14 Oktober 1958, bertepatan dengan Peringatan Empat Windu Pondok Modern yang dilaksanakan pada tanggal 11 sampai dengan 17 Oktober 1985. Sebagai realisasi pernyataan Pak Sahal tentang penyerahan Pondok Modern Gontor dari milik keluarga menjadi milik umat Islam seluruhnya, maka pada tanggal 12 Oktober 1985, Pondok Modern Gontor yang diwakafkan kepada umat Islam diserahkan kepada IKPM yang diwakili oleh 15 orang alumni yang berbentuk “Badan Wakaf Pondok Modern”. Susunan Pengurus Badan Wakaf yang menerima amanat dan penandatanganan Piagam Penyerahan Wakaf adalah sebagai berikut: K.H. Idham Kholid (Ketua Umum – Jakarta), Aly Murtadlo (Ketua I – Pacitan), Shoiman BHM (Ketua II – Gontor), Ghozali Anwar (Sekretaris I – Ponorogo), Abdullah Mahmud (Sekretaris II – Madiun), Al-Muhammady (Bendahara I – Yogyakarta), Hadiyin Rifa’i (Bendahara II – Jakarta), Letkol Hasan Basri, Kapten Irchamni, H. Mahfudz Thohir, Aly Saifullah, Abdullah Syukri (Anggota). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 113 Penyerahan wakaf itu diawali pula dengan pidato sambutan dari K.H. Ahmad Sahal yang isinya antara lain: “Yang kecil ini (Pondok Modern) supaya dibesar-besarkan, sebesar-besarnya. Seterusnya supaya menuju Universitas Darussalam yang mementingkan ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab serta pengetahuan umum”. Pada Kongres II tersebut berhasil disahkan susunan pengurus PP-IKPM sebagai berikut: Aly Murtadho (Ketua Umum), Ghozali Anwar (Ketua I), M. Syamsuddin P (Ketua II), Abdullah Mahmud (Sekretaris I), Hasanuddin Fadli (Sekretaris II), Muchlison Sj (Sekretaris III), H. Mawardi (Bendahara I), H. mahfudz Thohir (Bendahara II), serta pembantu-pembantu PP-IKPM perdaerah, yaitu Kapten Mustahal, Hadiyin Rifa’i, dan Zainuri (Jakarta), M. Sholihin, AlMuhammady, dan Kafrawi (Yogyakarta), Abdurrahmim Ali, Najib Ghozali, dan Ma’sum Saadullah (Surabaya), Wazir dan M. Syarof (Sumatera), Abdullah Sani dan Masdar Damang (Kaltim), Hamran dan Hamid Jibron (Sul-Ut). Pada perjalanan berikutnya, IKPM menjadi wadah para alumni Pondok Modern Gontor untuk beraktivitas di segala bidang, termasuk juga politik. Ada tokoh alumni yang mampu memanfaatkan jaringan ini, namun tak jarang pula alumni yang tidak berhasil memanfaatkannya. Pada pembahasan selanjutnya, penulis akan memaparkan sejumlah alasan mengapa alumni tidak berhasil memanfaatkan jaringan IKPM ini sebagai salah satu temuan penelitian. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 114 4.1.3. Profil Informan Penelitian Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara in depth interview atau wawancara mendalam. Penulis melakukan sejumlah cara agar wawancara mendalam dapat dilakukan, baik dengan berkunjung ke rumah, kantor, pondok pesantren, maupun mengikuti kegiatan para informan, bahkan juga dengan door stop. Penulis bertatap muka dengan informan untuk mendapatkan data lengkap melalui cara wawancara tidak terstruktur tapi mendalam dan dalam suasana keterbukaan. Melalui cara seperti ini penulis dapat mengeksplorasi bagaimana sebenarnya konsep diri para informan, tindakan, dan pola komunikasinya di dunia politik. Penulis sengaja memilih para informan pokok dengan latar belakang partai politik yang berbeda dan usia yang relatif berjenjang. Artinya, meski mereka sama-sama alumni Pondok Modern Gontor (PMG), namun para informan berasal dari marhalah (tahun kelulusan) yang berbeda. Hal ini dilakukan agar penulis memiliki perspektif beragam seputar pengaruh falsafah dan nilai PMG terhadap para alumninya. Dan untuk mendapatkan hasil yang optimal, penulis melakukan telaah pustaka dan konfirmasi ulang kepada para informan ketika dirasakan data yang dikumpulkan masih kurang. Awalnya, sejumlah nama politisi alumni PMG dibidik penulis untuk dijadikan informan pokok. Bahkan surat permohonan wawancara dan outline tesis pun sudah disampaikan, baik ke kantor atau rumah mereka. Untuk menindaklanjuti surat permohonan wawancara itu, penulis juga berkali-kali meminta konfirmasi kesediaan, baik kepada calon informan maupun asisten dan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 115 tenaga ahlinya (bagi alumni PMG yang menjadi birokrat). Penulis melakukannya dengan komunikasi via telepon atau email, WhatsApp, BlackBerry Messenger (BBM), dan Facebook. Meski sebagian calon informan dapat dihubungi, namun kebanyakan dari mereka tidak merespon dengan baik. Awalnya bisa dihubungi, namun pada komunikasi berikutnya tidak bisa dihubungi. Beberapa politisi alumni PMG yang dibidik penulis sebagai calon informan pokok itu antara lain Anshary Siregar (Anggota DPR RI-FPKS), Zainun Ahmadi (PDIP), Kuntum Khairu Basya (calon Wakil Bupati Rembang), Din Syamsuddin (mantan Ketua PB Muhammadiyah), KH. Hasyim Muzadi (mantan Cawapres dan Ketua Umum PBNU), KH. Idris Abdul Shamad (Wakil Walikota Depok), Fuad Syauqi (politisi Partai Hanura), Ustad Yayat (Anggota DPRD Banten-FPPP), Mulyadi Azis (Anggota DPRD Pandeglang-FPPP), dan Yosep Saepul Akbar (mantan Anggota DPRD Kota Bandung-FPPP). Untuk mendapatkan hasil lebih mendalam, penulis juga melakukan wawancara (in depth interview) terhadap informan kunci. Dari informan kunci inilah penulis mendapatkan dimensi lain seputar kiprah politik para alumni PMG, khususnya kiprah politik informan pokok. Melalui informan kunci ini pula penulis bermaksud sebisa mungkin ‘menguliti’ kaitan kurikulum PMG dengan pembentukan jiwa leadership para santri dan alumninya. Para informan kunci sengaja dipilih penulis berdasarkan latar belakang kemampuannya dalam memindai sejumlah persoalan terkait penelitian ini, seperti soal kurikulum dan pembentukan karakter, perkembangan perpolitikan alumni PMG, serta pola komunikasinya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 116 Berikut ini adalah profil para informan penelitian yang berhasil dikumpulkan penulis: 1. DR. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA Penulis cukup lama melakukan hunting untuk dapat mewawancarai DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA. Setelah mengirimkan surat permohonan wawancara dan outline penelitian tesis langsung ke kantor DPP PKS, penulis juga mendatangi kantor Wakil Ketua MPR RI ini di Senayan untuk menindaklanjutinya. Bahkan selanjutnya penulis juga cukup intens menjalin komunikasi dengan ajudannya menanyakan kesediaan beliau. Beberapa kali penulis mengikuti aktivitas beliau, seperti saat beliau mengisi ceramah di Bumi Serpong Damai atas undangan Kerukunan Keluarga Muslim BSD (KKMB). Dalam sejumlah kesempatan lainnya, penulis bermaksud melakukan doorstop untuk melakukan wawancara, meski lebih sering gagal. Akhirnya, kesempatan itu datang. Atas lobi DR. H. Husnan Bey Fananie, MA, penulis dapat mewawancarai salah satu deklarator Partai Keadilan (saat ini bermetaformosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera) walaupun melalui sambungan telepon dan direkam dengan digital recorder. Tepat pukul 14.00 WIB pada Selasa 20 Oktober 2015, penulis mewawancarai beliau sekira 25 menit 20 detik. Lahir di Kebon Dalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, pada 8 April 1960, Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA tumbuh dari lingkungan yang sangat relijius dan aktivis organisasi. Ayahnya, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 117 Muhammad Syukri merupakan guru lulusan IKIP Yogyakarta dan pengurus di Muhammadiyah. Demikian juga ibunya, Siti Rahayu yang merupakan aktivis Aisyiyah, sayap kewanitaan Muhammadiyah dan juga seorang guru Taman Kanak-kanak. Usai menamatkan jenjang pendidikan dasarnya, Hidayat belajar di Pondok Modern Darussalam Gontor (PMG) selama hampir 6 tahun. Sebelumnya, ia pernah mengecap nyantri di Pondok Pesantren Wali Songo selama setahun. Masa nyantri di Pondok Pesantren Wali Songo yang merupakan pondok alumni ini, tampaknya, menjadi tradisi para calon santri sebelum mondok di PMG. Umumnya, alasan para calon santri PMG berada di pondok ini ada dua, yakni: pertama, mereka yang tidak lulus saat tes masuk di PMG sehingga meneruskan nyantri di pondok tersebut; dan kedua, mereka yang menunggu waktu untuk masuk ke PMG karena tanggal masuk berbeda dengan tanggal kurikulum pendidikan secara nasional. Sekadar untuk diketahui, tes masuk PMG dilakukan pada bulan Syawal, sekitar tanggal 4 atau 5. Karena alasan inilah para calon santri banyak yang mondok sementara di Pondok Pesantren Wali Songo sejak Ramadhan untuk melakukan bimbingan tes agar nantinya diterima masuk PMG. Di PMG Hidayat mendapatkan gemblengan kepemimpinan melalui kegiatan kesantrian dan organisasi. Di PMG, Hidayat antara lain aktif menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika duduk di kelas V Pondok Gontor dan pernah dikirim sebagai peserta http://digilib.mercubuana.ac.id/ 118 Jambore tingkat provinsi. Ia tercatat pula sebagai anggota Pelajar Islam Indonesia (PII). Selain memang wajib menggunakan bahasa Arab dan Inggris dalam komunikasi sehari-hari, Hidayat juga mengikuti kajian sastra, hingga kursus menjahit. Di PMG, menurut catatan Sigit Kamseno (Sketsa Biografi Hidayat Nur Wahid, dakwatuna.com), Hidayat termasuk siswa yang cerdas dan menonjol. Ia duduk di kelas B yang hanya diisi oleh santri-santri berprestasi. Di kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking pertama atau kedua. Menurut Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang kemudian menjadi rekannya di Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat adalah satu-satunya dari 132 santri pada 1978 yang mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes. Selepas nyantri, Hidayat melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga). Ia hanya belajar selama setahun karena mendapatkan beasiswa kuliah di Universitas Islam Madinah. Di universitas inilah Hidayat menyelesaikan studinya mulai Strata 1 hingga Strata 3. Di Madinah, ia aktif berorganisasi hingga terpilih sebagai Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Arab Saudi periode 1983-1985. Di Madinah, karena idealismenya, sewaktu menjabat sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Arab Saudi, Hidayat pernah berurusan dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan Penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Sepulangnya ke Indonesia, selain menjadi dosen di sejumlah perguruan tinggi seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas http://digilib.mercubuana.ac.id/ 119 Muhammadiyah Jakarta, dan Universitas As-Syafi’iyah, Hidayat pun mulai terlibat dalam Gerakan Tarbiyah dan ikut mendirikan Yayasan Alumni Timur Tengah, yakni Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam (LP2SI) di bawah Yayasan al-Haramain. Di organisasi ini Hidayat menjadi ketuanya dan juga menjabat sebagai redaktur jurnal Ma'rifat yang diterbitkan oleh lembaga tersebut. Jurnal ini diterbitkan untuk mengimbangi peredaran jurnal-jurnal yang menyuarakan pembaharuan Islam yang dipimpin tokoh seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur). Rupanya, LP2SI menjadi pintu masuk baginya untuk terjun di dunia politik. Hidayat aktif dalam gerakan dakwah Tarbiyah yang mulai marak di kampus-kampus Indonesia pada era 1980-an. Apalagi kemudian ia bertemu dengan para mahasiswa negeri-negeri Timur Tengah seperti Salim Segaf Al-Jufri, Yusuf Supendi, dan Mustafa Abdul Rahman. Gerakan inilah yang kelak melahirkan Lembaga Mujahid Dakwah, Lembaga Dakwah Kampus, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia dan kelak, Partai Keadilan Sejahtera. Keterlibatannya dalam dunia politik pun dimaknai Hidayat sebagai cara untuk meneruskan tradisi perjuangan keluarga yang notabene memang menjadi aktivis pergerakan yang berkontribusi dalam pemberdayaan umat serta meneruskan tradisi perjuangan para ulama Islam yang telah turut berjuang dengan gigih mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi kontributor utama dalam upaya mendidik dan memajukan bangsa Indonesia. Hal tersebut diutarakan Hidayat kepada http://digilib.mercubuana.ac.id/ 120 penulis dalam wawancara yang dilakukan pada 20 Oktober 2015 berikut ini: “Motif saya terjun ke politik, utamanya ingin melanjutkan peran umat Islam dalam sejarah negeri ini. Sejak dulu mereka sudah berperan dalam mendidik dan memajukan bangsa Indonesia, termasuk di bidang politik”. Tokoh Islam yang dimaksud Hidayat turut menjadi inspirasi dalam berpolitik itu antara lain HOS Cokroaminoto (Syarikat Islam) yang dianggapnya sebagai guru politik bangsa Indonesia, lalu KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), KH. Agus Salim, dan masih banyak tokoh Islam lainnya. Keterlibatan tokoh-tokoh Islam dalam pusaran politik Indonesia itu juga, imbuhnya, tampak pada dalam BPUPKI yang terlibat dalam penentuan asas negara dan Piagam Jakarta. Umat Islam juga ada saat menghadirkan Resolusi Jihad, menghadirkan Hari Pahlawan, dan lain-lain. Termasuk juga menggagalkan kudeta komunis dan menjadi garda terdepan dalam Reformasi. Hidayat merasa dengan melanjutkan peran para tokoh Islam tersebut, ia turut menjaga keberlangsungan peran umat Islam melalui jalur politik. Di sisi lain, sangat banyak kepentingan umat yang bisa diperjuangkannya melalui politik. Hidayat yang tumbuh dari keluarga aktivis menilai motif berpolitiknya sudah mulai tumbuh sejak ia gemar ia membaca buku-buku sejarah Islam. Tak hanya sejarah Islam di Indonesia, tetapi juga sejarah Islam di luar negeri, utamanya sejarah Islam sejak zaman Rasulullah Saw., era Khulafâur Râsyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyah, hingga politik http://digilib.mercubuana.ac.id/ 121 Islam di era kekinian. Hobinya membaca buku terus berlanjut hingga kini disertai hobi bermain bulu tangkis yang rutin dilakukan di lapangan yang tak jauh dari kediamannya. Karir politik Hidayat dimulai saat ia turut menjadi deklarator Partai Keadilan (PK) di tengah hiruk pikuk era Reformasi. Ia merasa harus ikut terjun ke partai politik dengan alasan supaya ia bisa turut memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Islam. Hanya saja, ia memang tidak masuk ke dalam partai politik yang sudah eksis, karena partai politik yang ada dirasa tidak cukup untuk mewadahi aspirasi umat tersebut. Di sisi lain, Hidayat beranggapan bahwa dirinya bersama para aktivis PK merupakan generasi yang lahir di era Reformasi dan belum aktif di partai politik manapun, dimana mereka lahir pasca era Masyumi. Kehadiran PK, menurutnya, tidak menghadirkan dikotomi atau pengkotakan, tetapi untuk mewadahi aspirasi umat Islam. Ini dibuktikan dengan PK yang melakukan aliansi dengan parpol lain, bahkan di DPR pun PK berkoalisi dengan PAN untuk membentuk Fraksi Reformasi. PK hadir membawa tradisi komunikasi politik yang unik. Saat partai politik lainnya melakukan komunikasi politik yang konvensional, antara lain dengan hanya mengandalkan konstituen tradisional mereka, PK hadir melalui gerakan dakwah Tarbiyah. Melalui gerakan ini PK memandang Islam sebagai sebuah konsep yang integral, komprehenshif, fundamental, dan penuh toleransi. Paradigma keislamannya ini kemudian http://digilib.mercubuana.ac.id/ 122 diaktualisasikan melalui keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan politik. Sejatinya, gerakan dakwah Tarbiyah merupakan gerakan dakwah Islam yang sudah marak di Indonesia pada era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di Timur Tengah, terutama Al-Ikhwan Al-Muslimun. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada. Aktivis gerakan ini secara khusyuk mengikuti mentoring rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid Qutb, Hassan AlBanna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah cover Lembaga Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada Islam, seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air. Pada akhirnya, gerakan dakwah Tarbiyah ini pada tahun 1998 melahirkan organisasi kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama Partai Keadilan (PK) pada 20 Mei 1998. (Sigit Kamseno, dakwatuna.com) Menurut dosen dan pengamat politik Bachtiar Effendi, Partai Keadilan adalah partai yang luxury dengan segmen pemilih yang terkonsentrasi dari kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini menurut sejarahwan Prof. DR. Azyumardi Azra, MA, membuat PK dipandang cenderung eksklusif. Padahal tuntutan rasional sebagai peserta Pemilu mengharuskan setiap partai politik untuk merebut sebanyak http://digilib.mercubuana.ac.id/ 123 mungkin simpati publik. Untuk memudahkan partai dalam memperjuangkan visi dan misi politiknya, maka partai politik harus semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu. Menjawab tantangan itu sekaligus demi mendulang parliamentary electoral threshold, PK kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera pada 2003 serta melakukan komunikasi politik lebih terbuka dengan partai politik lain, media, dan publik. Sikap ini sekaligus ingin mematahkan anggapan bahwa PKS hadir dalam lingkup eksklusivitas. Pada 2003, Hidayat menjabat sebagai presiden partai pada 21 Mei 2000 menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan. Ketika Hidayat memimpin inilah PKS berhasil melipatgandakan suaranya pada Pemilu 2004 sebesar 600%. Jika pada Pemilu 1999 Partai Keadilan hanya memperoleh 1,4% suara nasional, maka PKS meraih 7,34% suara nasional pada pemilu 2004. Untuk partai yang baru dideklarasikan pada tahun 2003, perolehan tersebut merupakan sebuah prestasi yang menurut penulis Saiful Mujani amat mengesankan. PKS bahkan mampu mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai yang lebih awal berdiri, dan dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais. (Sigit Kamseno, dakwatuna.com) Lompatan suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik http://digilib.mercubuana.ac.id/ 124 Indonesia setelah mengalahkan Sucipto dengan selisih hanya dua suara dalam pemilihan yang berlangsung secara demokratis dalam Sidang Paripurna V MPR tanggal 6 Oktober 2004. Setelah memimpin MPR itu nama Hidayat Nur Wahid dikenal luas sebagai tokoh nasional yang sederhana dan sebagai ikon anti KKN. Sementara menurut Azyumardi Azra, fenomena kemunculan Hidayat dan semua kiprah PKS tadi merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai mainstreaming of Islamic politics, pengarusutamaan politik Islam, sebagaimana dipahami dan ditampilkan PKS. Dalam pengarusutamaan ini Hidayat membawa PKS semakin ke tengah. Ia tidak lagi terpinggir dan terpencil dari hiruk pikuk politik yang berlangsung. Sebaliknya, ia menjadi aktor dan pelaku yang cukup menentukan. Melalui PKS ini pula karir politik Hidayat terus melesat. Sejak 2004, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dan kini menjabat Wakil Ketua MPR RI untuk periode 2014-2019. Pilihan Hidayat untuk berpolitik bukan berarti ia mengabaikan pemeo yang berkembang di masyarakat bahwa politik itu kotor atau mengamini definisi Harold D. Lasswell bahwa politics is who gets what, when, and how, politik hanya untuk meraih kekuasaan. Justru karena itulah Hidayat ingin menempatkan makna politik pada khittah-nya. Menurutnya, pemeo itu muncul karena adanya praktik politik kotor yang dilakukan sebagian politisi. Tapi itu merupakan cara pandang yang sekuleristik, apatis, dan tidak sesuai dengan prinsip dasar politik. Dasar politik itu sejatinya agar para politisi terlibat dalam sebuah kebijakan yang membawa http://digilib.mercubuana.ac.id/ 125 kebaikan, bukan keburukan atau kotor. Jikapun ada yang melakukan politik kotor, maka ada ketentuan yang akan menghukumnya. Jadi, politik kotor itu bukanlah pemeo yang tidak bisa dikoreksi. Dan politik kotor itu merupakan satu penyimpangan dalam berpolitik. Untuk itulah, menurutnya, PK dihadirkan dengan berasaskan Islam. Hidayat dan kompatriotnya berijtihad bahwa berpolitik merupakan cara untuk membuat kebijakan bagi kepentingan publik. Maka seharusnya praktik politik dihadirkan dalam partai yang tidak kotor. Kalaupun ada kotornya, maka praktik politik harus dikoreksi. Bukan berarti karena politik kotor lalu harus dihindari. Atau sebaliknya, karena politik kotor maka agama jangan dibawa ke sana agar tidak dikotori politik. Justru sejatinya, agama membersihkan dihadirkan kekotoran dalam yang sebuah dipraktikkan partai oknum politik untuk politisi. Ia berpandangan: “Jika ada yang mengatakan politik itu kotor, berarti kan dia mengatakan jangan bawa agama ke dalam politik. Karena agama itu bersih, politik itu kotor. Kalau agama masuk politik, maka agama akan terkotori. Jika logika itu digunakan dan kita tidak ingin hasil dari politik yang kotor, maka politik harus dibersihkan dengan satu materi yang bisa membersihkan sesuatu yang kotor. Dan materi itu adalah agama Islam,” tandasnya. Secara lebih tegas Hidayat mengungkapkan bahwa istilah politik itu kotor merupakan ungkapan yang sangat menipu dan bias serta akan mengekalkan produk-produk dari politik yang kotor itu. Sementara agama akan dihalangi masuk dengan alasan agama akan terkotori. Maka dari itu, jika ingin politik kotor itu dibersihkan, maka harus menggunakan agama. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 126 Adapun agama yang baik adalah Islam yang membawa pada keterbukaan, sikap adil, professional, dan amanah. Hal ini akan menghadirkan prinsipprinsip berpolitik yang membawa kemaslahatan. Dalam praktik komunikasi politiknya, Hidayat mengaku tidak pernah menggunakan jaringan alumni seperti IKPM Gontor. Hal ini dilakukan untuk menjaga netralitas PMG yang setia menggunakan tagline: PNG untuk dan di atas semua golongan. Bahkan, ketika hendak mendirikan Partai Keadilan, Hidayat melakukan komunikasi dengan pimpinan PMG, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi dan memohon izin untuk mendirikan partai politik. Dalam kesempatan itu, Kiai Syukri pun sempat mengingatkan posisi PMG dalam politik. Hidayat yang sangat sadar akan hal itu pun mengatakan bahwa ia tidak akan melibatkan Gontor di dalam jaringan politik yang akan dikelolanya. Perihal ia meminta izin dimaksudkan agar keluarga besar PMG tidak salah paham dan di kemudian hari menimbulkan masalah. Adapun ada alumni PMG yang satu ide, satu pemikiran, satu cita-cita untuk memperjuangkan kemaslahatan umat, itu merupakan faktor berikutnya. Dan itu bukan karena jaringan PMG. 2. DR. H. Husnan Bey Fananie, MA Sosok politisi Partai Persatuan Pembangunan yang low profile, ramah, dan murah senyum ini menjadikannya mudah dikenal—demikian menurut penulis dan juga beberapa teman wartawan yang kenal http://digilib.mercubuana.ac.id/ 127 dengannya. Di sisi lain, penulis juga pernah merampungkan penulisan buku biografi DR. H. Husnan Bey Fananie, MA berjudul: Menapaki Kakikaki Langit yang diterbitkan Fananie Center pada medio Agustus 2014. Mungkin karena alasan inilah penulis tidak mengalami kesulitan berarti saat mewawancarai Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan ini di kediamannya yang asri di kawasan Gandul, Pondok Labu, pada 29 Maret 2015. Cucu salah satu pendiri Pondok Modern Gontor (PMG)—KH. Zainuddin Fananie—ini lahir di Jakarta, 13 November 1967 dari pasangan Drs. H. Rusdy Bey Fananie bin KH. Zainuddin Fananie dan Hj. Kiki Zakiah binti H. Zaini Meki. Meski sejak kecil hingga lulus SMP tinggal di ibu kota, namun Husnan sangat kental kegontorannya. Ini tak lepas dari pengaruh genetis yang dimilikinya, selain juga karena faktor para alumni PMG, mulai KH. Idham Cholid hingga KH. Hasyim Muzadi yang kerap mengunjungi rumah kakeknya yang juga ia tempati bersama ayah, ibu, dan adik-adiknya. Melalui para alumni itu pula Husnan sering berinteraksi dan berkomunikasi mengenai banyak hal, termasuk bidang agama, sosial, dan politik. Terlebih ketika pamannya yang kini menjadi pengasuh PMG, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi sering singgah di rumahnya ketika belajar di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN Jakarta). Bahkan rumah yang letaknya di kawasan Polonia, Matraman-Jakarta Pusat itu juga kerap dikunjungi para tokoh nasional, semacam Wiranto, dan lain sebagainya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 128 Karena interaksi yang intens dengan banyak tokoh tersebut, utamanya para politisi, membuat ghirah Husnan dalam berpolitik kelak cukup tinggi. Maka usai menamatkan pendidikan di PMG selama 6 tahun, dilanjutkan studi S1 di University of The Punjab, Lahore-Pakistan (19901992), dan pendidikan S2 di RijksUniversiteit Leiden-Nederland (19941997), Husnan terjun aktif di politik. Sejak 1999 Husnan sudah terlibat di Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai Asisten Pribadi Ketua Umum PPP (1999 – 2001) dan dilanjutkan sebagai Asisten Pribadi Wakil Presiden RI Hamzah Haz bidang pendidikan, sosial, politik, budaya, agama dan hubungan internasional (2001–2004). (Fathurrohman, 2014) Sempat mencalonkan diri sebagai calon legislator pada gelaran pemilu 2009 dan 2014, Husnan akhirnya dapat menduduki kursi parlemen tersebut melalui proses Pergantian Antar Waktu di pertengahan periode 2009-2014. Sayangnya, pada pemilu legislatif berikutnya (2014-2019) Husnan tidak terpilih kembali. Namun rupanya hal itu tidak menutupi karirnya di dunia politik. Meski partai yang menaunginya, yakni PPP terpecah dua, karir politik Husnan tetap berlanjut. Presiden RI Joko Widodo mencantumkan nama Husnan di deretan calon Duta Besar yang diajukan kepada Komisi I DPR RI. Setelah melalui fit and proper test, Husnan pun dilantik menjadi Duta Besar RI untuk Azerbaijan. Sebagai politisi yang mendarma-baktikan dirinya di partai politik, Husnan sudah terbiasa mengalami naik-turun dalam karirnya. Baginya, politik itu merupakan proses, strategi, metode, atau cara bagi seseorang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 129 untuk mencapai sesuatu. Dalam konteks politik praktis, sesuatu itu adalah kekuasaan. Dalam konteks umum, politik itu merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan termasuk pengaruh. “Bagi saya, politik menjadi suatu cara penyampaian ideologi, asas, pemahaman, ide-ide keislaman. Namun demikian, harus diingat bahwa politik praktis bukan satu-satunya cara. Saya memahami bahwa politik itu sangat luas,” tandasnya. Sosoknya yang low profile membuat Husnan mudah bergaul dengan siapa saja. Tak heran jika ia memiliki jaringan pertemanan yang cukup luas. Terlebih di dalam jaringan alumni PMG. Posisinya sebagai ahlul bait—sebutan sebagian alumni bagi keluarga kiai PMG—membuat Husnan mudah diterima para alumni PMG. Bahkan, kediamannya di kawasan Gandul-Pondok Labu seolah-olah menjadi basecamp bagi para alumni PMG di Jabodetabek karena sering digunakan untuk berkumpul dan berdiskusi atau untuk menginap bagi alumni dari luar Jabodetabek. ***** Rupanya motif berpolitik Husnan tak hanya karena komunikasinya yang intens dengan para tokoh politik. Berdasarkan pengakuannya, motif berpolitik Husnan lebih pada idealismenya tentang keislaman. Hal itu terbentuk sejak ia belajar di Pakistan selama 6 tahun lalu dilanjutkan di Belanda selama 4 tahun. Di dua negara itulah ia melihat banyak hal yang terkait dengan umat Islam. Saat ia pergi ke Pakistan tahun 1988, di sana sedang terjadi gejolak politik. Saat itu Presiden Pakistan Zia-ul Haq baru saja tewas dibom saat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 130 naik pesawat. Ditambah suasana politik yang memanas karena saat itu Afganistan yang merupakan negara tetangga Pakistan sedang berperang melawan Uni Soviet. Para pejuang Mujahidin Afganistan berjihad melepaskan diri dari penjajahan Uni Soviet. Kondisi tersebut sedikit-banyaknya mempengaruhi pola kehidupan dan cara berpikir Husnan dalam konteks politik. Walaupun saat itu ia memang tidak belajar ilmu politik. Tapi setelah menyelesaikan studi di Ali Jinnah University untuk mengambil diploma Sasrta Inggris, lalu ke Lahore, di Punjab University ia mengambil Islamic Studies. Namun karena ingin mengetahui banyak tentang politik, Husnan juga masuk kuliah S1 di Government College—Punjab University di Fakultas Political Science. Ketertarikannya untuk menekuni dunia politik, antara lain disebabkan keprihatinannya melihat kondisi umat Islam yang lemah, terutama dalam konteks politik, ekonomi, dan budaya. Tolok ukurnya saat itu adalah Pakistan, dimana Pakistan merupakan sebuah Republik Islam yang didirikan Ali Jinnah dan didukung Muhammad Iqbal, seorang pemikir yang memiliki ide two nations yang memisahkan negara Hindu dan negara Islam. Dari situlah ia melihat bahwa ternyata umat Islam perlu dan harus memiliki kekuatan politik. Keyakinannya itu dipertegas lagi saat ia meneruskan studi ke Belanda, dimana ia mengkhususkan diri mengambil jurusan Pendidikan Islam Modern di Leiden University. Di situ ia melihat bahwa penjajahan di Indonesia yang dilakukan Belanda, Portugis, Inggris, Jepang, tidak terlepas http://digilib.mercubuana.ac.id/ 131 dari hal-hal yang terkait dengan ideologi, kepercayaan, agama, belief (keyakinan). Perlu diketahui bahwa saat penjajah Belanda melalui VOC di datang ke Indonesia di abad ke-15, negeri ini masih terdiri dari kerajaankerajaan yang mayoritas beragama Islam, seperti Samudera Pasai, Minangkabau, Palembang, Demak, Banten, Cirebon, Ternate, Tidore, Makassar, Bone, hingga ke Raja Ampat. Mengenai hal ini Husnan berpendapat: “Saya berpandangan, ternyata, pemahaman ideologi yang menjadi dasar gerakan kemasyarakatan dapat juga dibawa ke gerakangerakan politik-kemasyarakatan. Dan nyatanya memang benar. Indonesia dapat disatukan oleh Bung Karno karena adanya satu benang merah, yaitu adanya kesamaan keyakinan dan asas yang sama: Lâ ilâha illallâh. Lain halnya jika kita melihat suku bangsa, dimana Indonesia memiliki sekitar 500 lebih suku bangsa, apalagi melihat keragaman bahasa. Baik suku bangsa maupun bahasa yang beragam itu tidak memungkinkan untuk bersatu menjadi Indonesia. Saya menilai, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya dapat bersatu karena adanya kesamaan ideologi merupakan satu keyakinan dalam sebuah agama. Ternyata, orang Sumatra sama dengan kita, sama-sama orang Islam dan ingin memerdekakan diri dari penjajah”. Atas dasar itulah ia juga memiliki pendekatan rasional, bahwa sesungguhnya jika Indonesia ingin menjadi negara yang bersatu dan kuat, haruslah didasari oleh kesamaan keyakinan. Hal itu ia saksikan di manamana. Israel bisa ada karena umat Yahudi di seluruh penjuru dunia bersatu. Kesamaan menganut Yahudi itulah yang menyatukan mereka dalam konteks politik. Begitu juga dengan Indonesia yang memiliki sejarah panjang agama-agama. Ada sejarah Hindu, Budha, hingga yang terakhir Islam. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 132 Islam ini kemudian menjadi anutan, budaya, dan adat. Seperti di Minangkabau ada istilah “adat bersandi sara, sara bersanding kitabullah” yang artinya adat bersandikan syariat, sementara syariat bersandikan kitabullah. Begitu pula halnya dengan daerah-daerah lain yang mayoritas muslim dan menjadikan Islam sebagai way of live. Islam tidak mengkotakkotakan hanya masjid, mushalla, pesantren, atau majelis taklim. Islam itu juga ada di dalam ekonomi, sosial, politik. ***** Sejak bergabung ke PPP, Husnan memiliki target untuk menyalurkan idealismenya. Saat itu di tahun 1997-1998, PPP merupakan partai politik yang tidak hanya dikenal sebagai satu-satunya partai Islam, melainkan juga partai “kolot”. Julukan itu disematkan kepada PPP karena kebijakan partai yang kurang mengakomodir pemikiran kader-kader muda dan memang berisikan orang-orang tua di jajaran pengurus pusatnya. Karena alasan itulah, saat menjadi sekretaris Majelis Pakar PPP, Husnan melakukan sejumlah terobosan untuk membongkar kekolotan pengurus partai. Beberapa terobosan penting yang dilakukannya adalah dengan menggelar Diskusi Pakar setiap dua minggu sekali dan menerbitkan majalah Pakar yang terbit setiap bulan. Kedua terobosan penting itu dilakukannya dengan modal “nekat” karena kurang mendapat dukungan moral maupun materiil dari PPP. Hanya dukungan SK Pengangkatan sebagai sekretaris Majelis Pakar dan izin menyelenggarakan kegiatan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 133 tersebut saja yang dikantunginya. Sementara untuk urusan sokongan dana, Husnan lebih banyak mencari bantuan dana dari sponsor pribadi maupun lembaga. Di sisi lain, kedua program itu menjadi tools komunikasi politiknya di internal partai. Meski awalnya banyak yang kurang menyukai terobosannya, namun lambat laun hal itu bisa diterima. Pada akhirnya Husnan pun menjadi salah satu tokoh PPP yang dikenal memiliki integritas dan intelektual yang menonjol. Sosok pribadinya yang low profile juga menjadi modal penting bagi Husnan untuk mendulang simpatik kawan politiknya. Husnan lugas saat berkomunikasi tanpa melihat status dan jabatan. Tak heran jika ia mudah bergaul dengan komunitas manapun. Termasuk saat ia berkampanye dalam pileg lalu. Beragam cara ia lakukan. Bagi Husnan, kampanye tak ubahnya memperluas silaturrahim untuk menambah kawan dan kerabat. Husnan akan dengan sungguhsungguh memperhatikan setiap kesempatan berkunjung ke daerah pemilihannya. Maka tak heran jika Husnan bisa hadir sebagai penceramah dalam pernikahan, nara sumber seminar, maupun menjadi khâtib Jumat, dan komunikasi langsung dengan masyarakat personal maupun organisasi. Husnan juga mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat, seperti kiai, ulama, kepala desa, budayawan, pengurus karang taruna, termasuk pimpinan pondok pesantren, dan anggota-anggota Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor yang berada di daerah pemilihannya. Sementara http://digilib.mercubuana.ac.id/ 134 beragam tools kampanye juga ia buat dan sebarkan, seperti kartu nama, pamflet, booklet, brosur, spanduk, kalender, baliho, hingga membuat buku biografi yang penulis tulis. Sayangnya, menurut kompetitornya yang kompetitornya itu Husnan, money bermain bermain di ia digelincirkan politics. tingkat Ada Kelompok oleh aksi dugaan jika Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk memanipulasi data perolehan suara. Sementara ia yang tak ingin bermain money politics pada akhirnya harus ‘tersingkir’ dari pacuan kompetisi yang tidak sehat. Meski “nasi sudah menjadi bubur”, Husnan tak berkecil hati. Baginya, “kekalahan” itu merupakan ketetapan dari Allah ‘Azza wa Jalla yang mesti ia terima. Toh kiprahnya untuk berkontribusi untuk membangun bangsa dan umat serta mengabdi kepada ibu pertiwi dapat dilakukannya dalam bentuk lain. Sikapnya itu pun menuai ganjaran. Husnan ditunjuk Presiden Joko Widodo dan diajukan ke parlemen sebagai calon duta besar. Dan kini, Husnan pun resmi dilantik menjadi Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan. 3. Drs. H. Helmi Hidayat, MA Penulis mengenal nara sumber ini dari beberapa pertemuan alumni Pondok Modern Gontor (PMG) dan pengajian. Umumnya beliau menjadi penceramah atau nara sumber pengajian tersebut. Selain seorang politisi, Drs. Helmi Hidayat, MA juga merupakan dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah http://digilib.mercubuana.ac.id/ 135 Jakarta, serta menjadi penceramah pengajian atau nara sumber keagamaan di sejumlah radio dan stasiun televisi. Meski demikian, mantan redaktur Harian Umum REPUBLIKA (1993-2003) dan Harian Umum PELITA (1990-1993) ini tidak terlalu sulit ditemui. Ia sangat kooperatif untuk urusan dunia pendidikan. Tak heran, ketika penulis menghubunginya, ia langsung menyambut baik dan bersedia diwawancara. Akhirnya, wawancara dilakukan pada 31 Maret 2015 di kantin Universitas Muhammadiyah Jakarta usai nara sumber mengajar. ***** Sejatinya, mengikuti rekam jejak politik Helmi Hidayat terbilang unik. Hal itu bisa dilihat dari motif dirinya berpolitik dan pilihan partai politiknya. Pengakuannya kepada penulis, ia resmi bergabung di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ketika dirinya diajak membidani Baitul Muslimin, sebuah sayap organisasi PDIP. Baginya, bergabung di Partai Merah itu seperti berjihad fî sabîlillâh. “Kalau Partai Golkar sudah ada sayap Islamnya. Namanya Jamus (Jam’iyyatul Muslimin). Jamus ini sebetulnya bentukan PDI. Saya juga baru tahu. Namun diambil alih oleh Golkar. Biasalah, dulu kan Golkar terkuat. Sementara PPP sudah Islam. Dan menurut saya, yang paling konyol dalam hal berbangsa dan bernegara adalah PDIP”. Kenapa konyol? Menurutnya, pertama, ketika pada tahun 1999 memenangkan pemilu, para politisi dan konstituen PDIP terlalu euforia. Saat itu PDIP paling banyak menempatkan kadernya sebagai anggota DPR RI. Tapi jika dilihat lebih teliti, kebanyakan dari mereka itu belum cukup http://digilib.mercubuana.ac.id/ 136 pantas menjadi anggota parlemen karena tidak berpendidikan cukup dan terpilih hanya karena memiliki modal materi, dan lain sebagainya. Kedua, setiap rapat kerap kali diwarnai perilaku tidak islami, seperti ada di antara mereka yang membawa minuman keras. Itu benar-benar terjadi. Kebiasaan itu baru berakhir setelah adanya Baitul Muslimin. Informasi itu didapat Helmi dari informan yang valid, meski Helmi sendiri memang tidak pernah melihatnya karena kejadian itu terjadi saat rapat DPP bukan Baitul Muslimin, dan Helmi bukanlah pengurus partai. Namun demikian, menurut Helmi, ia cukup berbahagia dan patut berbangga karena PDIP adalah partai pertama yang melaksanakan Shalat ‘Id di kantor DPP. Bukan PKS atau Golkar. Dan Helmi adalah khâtib pertamanya. Lucunya, imbuh Helmi, waktu potong kurban, hewannya masih dikalungi kembang dan disiapkan kendi. Itulah PDI Perjuangan. Di situlah Helmi dan gerbong Baitul Muslimin masuk untuk memberikan warna Islam. Menurutnya, nasionalisme politisi PDIP begitu kental. Saking kentalnya, mereka selalu berhadapan dengan partai hijau. Hubungan PDIP dengan Golkar sudah cair dan sama-sama berhaluan nasionalisme. Apalagi dulu Golkar merupakan partai politik terbaik se-Asia Tenggara. Tidak seperti Partai Golkar sekarang yang menurutnya hancur-hancuran. Partai Golkar punya lebih dari 1000 doktor, hampir 2000 master, dan tidak ada partai politik di Asia Tenggara sehebat Partai Golkar. Jadi, masuk Partai http://digilib.mercubuana.ac.id/ 137 Golkar bukan menjadi tantangan buat Helmi. Buat apa lagi ia memberi warna? PDIP lebih layak ia masuki melalui Baitul Muslimin. “Ketika masuk, saya bukan tidak memiliki pikiran akan menjadi bulan-bulanan. Dan benar saja, hal itu terjadi. Gontor memusuhi saya, ustad-ustad juga memandang miring kepada saya. Tapi buat saya inilah perjuangan. Memangnya elu yang punya surga? Yang tahu isi hati saya kan cuma Allah,” tandasnya. Helmi menyayangkan orang-orang yang memandang miring kepadanya. Ia santai menghadapi hal itu. Ia teringat jika di pondok ada sebuah mahfudzat (kalimat baik yang dihafal) yang selalu diulang-ulang oleh almarhum KH. Imam Zarkasyi, yaitu: annâsu a’dâ-u ma jâhilu (orang cenderung memusuhi yang ia tidak tahu). Itulah sebabnya, orang tidak ada yang tahu seberapa dalamnya sumur, sehingga mereka tak mau untuk memasukinya Tapi bagi yang tahu seberapa dalamnya, dia tak canggung untuk memasukinya. Boleh jadi, menurutnya, orang-orang yang memandangnya miring itu cuma tidak tahu PDIP. Dan mereka pun tidak berusaha masuk. Itu yang kemudian menjadi stigma buruk di kepala mereka. Di sisi lain, Helmi beranggapan adanya pandangan bahwa gerakan PDIP ini, di antara faksifaksinya terdapat komunis di dalamnya yang menggerus banyak kebijakan Islam. Maka kemudian menempatkan diri sebagai pihak yang berseberangan dengan PDIP. “Pernah suatu saat saya menjadi komunikator PDIP, saya menjadi bulan-bulanan orang yang tidak mencoba memperluas wawasan. Seolah-olah negara ini harus menjadi Negara Islam. Kan harus realistis. Orang-orang seperti itu banyak dan masih seperti itu sampai sekarang. Teman-teman di grup BBM, apalagi angkatan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 138 saya ke atas umumnya langsung menjaga jarak. Saya bilang, elu pimpinan pesantren tapi cara berpikirnya begitu. Buat saya sih peanut. Lha saya masuk PKS bisa. Kenapa you masuk PDIP tidak bisa? Coba mana yang lebih lentur?” tandasnya. ***** Pertama kali yang mengusulkan berdirinya Baitul Muslimin adalah para petinggi organisasi masyarakat dan Almarhum Taufik Kiemas. Helmi berkisah, ia pernah mendengar Taufik Kiemas mengatakan, akan berbahaya bagi bangsa jika merah dan hijau terus saling berhadapan. Lalu dipanggillah Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Syafi’i Ma’arif, dan lainnya. Kemudian disepakati didirikannya Baitul Muslimin. Maksudnya agar ada sayap Islam di PDIP. Partai seperti PDIP harus diantisipasi supaya tidak terus berhadaphadapan dengan partai Islam. Sama-sama muslim tapi bentrok hanya karena gara-gara beda ideologi, padahal sama-sama hamba Allah dan umatnya Nabi Muhammad. Ini mengerikan. Maka dibuatlah Baitul Muslimin. Karena memiliki pandangan yang sama, Helmi pun senang saat diajak bergabung. Ketika motif ingin mewarnai Partai Merah dengan Baitul Muslimin terus dipancangkan, Helmi tak menyangkal jika kemudian ia pun tertarik untuk meraih kekuasaan. Helmi pernah ikut menjadi kontestan pemilu legislatif. Dalam banyangannya, jika nanti ia menjadi anggota DPR, maka ia akan dapat berbuat banyak. Motifnya dari duniawi sampai ukhrawi. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 139 Namun rupanya Allah Subhânahû wa Ta’alâ berkehendak lain. Helmi gagal dalam pencalegan. Ia anggap kisah pencalegan itu sudah selesai dan merasa dirinya tidak cocok menjadi anggota legislatif. Bahkan, pencalegan itu ia anggap sebagai riset antropologis. Kini, ia lebih merasa menikmati hidup sebagai dosen. Ia bisa bercanda dengan mahasiswa. Meski di dalam hatinya ia masih terus ingin berbuat untuk kemaslahatan umat. Itulah alasan mengapa posisinya di Baitul Muslimin tetap dipertahankan. Namun saat ia ditanya, apakah masih tertarik untuk mendapatkan kekuasaan di bidang politik, Helmi mengaku tidak memiliki jawaban pasti. Sebab ke depan ia tidak pernah tahu. Ia realistis, karena khittah awalnya ingin berdakwah di PDIP. Tapi, jika kekuasaan yang dimaksud tidak hanya menjadi anggota DPR, ia masih menginginkannya. Misalnya jika ia suatu ketika diminta menjadi staf ahli Presiden, speech writer, duta besar, atau jabatan lainnya, tentu ia tidak akan menolak. “Saya berprinsip, jika kita punya power, maka itu lebih baik. Bukankah al-mu’minul qawiy khairun minal mu’min adh-dha’if? Harus realistis. Rasulullah juga kan membangun jaringan di Madinah. Kenapa kita tidak?” tegasnya beralasan saat diwawancarai penulis pada 31 Maret 2015. Di sisi lain, para pengurus PDIP rupanya paham kapasitas Helmi. Jika ada kegiatan partai yang bersifat akademis, seringkali Helmi dilibatkan. Contohnya, Helmi pernah diminta DPP PDIP untuk mewakili partai hadir sebagai nara sumber dalam sebuah seminar internasional tentang kepartaian. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 140 Dalam paradigma Helmi, ia ingin Indonesia seperti Al-Madinah Al-Munawarah. Kota Nabi Saw. itu multikulturalis persis seperti Indonesia. Dari sisi agama, saat itu ada dua agama besar yang berkuasa, yaitu Yahudi dan Nasrani baru kemudian Shâbi-în. Dari sisi kesukuan, ada dua suku yang berkuasa, yakni Auz dan Hadraj serta suku-suku kecil. Itu dari sisi geopolitiknya. Di sana, bertahun-tahun tidak pernah ada pemimpinnya. Kenapa? Karena setiap ada pemimpin yang tampil dari Yahudi, maka kelompok Nasrani akan ‘memotong’. Ketika pemimpin dari Auz yang muncul, maka kelompok Hadraj akan ‘memotong’. Begitu juga sebaliknya. Terus seperti itu. Maka kemudian mereka bersepakat untuk ‘mengimpor’ pemimpin supaya netral. Dan terpilihlah Muhammad Al-Amin. Maka terjadilah Perjanjian atau Ikrar ‘Aqabah Pertama yang berisi sumpah setia. Kemudian terjadi lagi Perjanjian ‘Aqabah Kedua yang membuat mereka hijrah. Dan ketika hijrah, geopolitik bertambah kompleksitasnya. Kalau dulu Auz-Hadraj, Yahudi-Nasrani, sekarang ditambah MuhajirinAnshar. Fenomena itu luar biasa dan begitu juga di Indonesia yang banyak suku dan kelompok, tapi disatukan dengan sebuah peradaban baru bernama Islam. Helmi meyakini bahwa Rasulullah Saw. sangat menghormati multikulturalisme. Ketika Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah, sekretaris beliau seorang Yahudi. Beliau membuat perjanjian dengan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 141 Yahudi dan Nasrani. Semua dirangkul. Karena alasan ini pula Helmi berkeinginan Indonesia seperti Madinah di zaman Rasulullah. ***** Keinginan Helmi untuk berkiprah di politik, diakuinya, merupakan manifestasi dari ajaran Pondok Modern Gontor (PMG) yang diterimanya. Salah satunya karena petuah KH. Imam Zarkasyi, yang mengatakan bahwa beliau lebih bangga pada santri yang menjadi pimpinan sebuah langgar kecil dengan jamaah yang konsisten dibandingkan santri yang menjadi pemimpin besar tapi tidak mampu berdedikasi apa-apa. Petuah tersebut, menurutnya, memuat pengertian bahwa PMG pada intinya membuka peluang untuk apa saja. PMG tidak hanya membentuk santrinya untuk menjadi pimpinan dalam pengetian politik semata, tapi juga menjadi pemimpin di segala bidang. Adapun tolok ukurnya adalah dedikasi kepada umat. Helmi berpandangan: “Itu paradigma berpikir beliau. Menurutnya, semua anak Gontor harus menjadi matahari. Inilah kelebihan Gontor sekaligus kekurangannya. Karena itu Anda tidak mungkin menyatukan pemimpin dari Gontor di satu tempat. Coba Anda lihat PKS, meskipun banyak anak Gontor (alumni Pondok Modern Gontor— red), di dalamnya gontok-gontokan. Saya tahu persis”. Ajaran PMG agar santri-santrinya menjadi pemimpin, dianggap Helmi sebagai doktrin. Hanya saja para santri tidak sadar kalau sudah disuntik oleh doktrin-doktrin tersebut. Doktrin yang dimaksud Helmi, antara lain terjadi saat ia duduk di kelas 3 SMP. Para santri seusianya saat itu sudah diajari filsafat melalui kitab Attarbiyyah wa Atta’lîm. Di situ para http://digilib.mercubuana.ac.id/ 142 santri diperkenalkan teorinya Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain sebagainya. Buku berbahasa arab itu mereka hafalkan dan tanpa sadar masuk ke dalam pikiran, darah, dan daging mereka. Saat duduk di bangku kelas 1 SMA, ketika teman-teman seusia mereka tawuran, Helmi dan para santri seangkatannya diajarkan untuk berpikir sangat liberal melalui Bidâyatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd. Ajaran-ajaran seperti itu dirasakan Helmi sangat multipluralis. Saat itu Helmi dan teman-temannya tidak sadar. Mereka hanya belajar dan belajar saja. Bahkan saat dii kelas 2 SMA mereka belajar tentang agama-agama, lalu belajar logika. Padahal itu merupakan pelajaran untuk mahasiswa semester 6 di IAIN. Itulah sebabnya Helmi seringkali merenung. Betapa selama ia mondok di PMG telah mendapatkan pelajaran yang luar biasa. Begitulah metode dari para kiai PMG. Begitulah mencetak matahari. ***** Sebagai politisi, diakui Helmi, jika ia memiliki pola komunikasi yang tak berbeda dengan pola komunikasi para alumni Pondok Modern Gontor lainnya. Ketika ia menjadi caleg, ia pun aktif berceramah di berbagai pengajian, menjadi nara sumber seminar, bahkan penceramah di radio dan televisi seperti yang ia lakukan sampai sekarang. Ia juga aktif mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat dan rekan-rekannya di IKPM Gontor. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 143 Pola komunikasi yang lebih kompleks justru ia terapkan saat Baitul Muslimin mendukung pencapresan Megawati Soekarnoputri hingga Joko Widodo. Dalam kapasitasnya sebagai salah satu ketua Baitul Muslimin, Helmi kerap melakukan debat dan hadir sebagai nara sumber seminar. Bersama rekan-rekan Biatul Muslimin, ia juga membagikan brosur, booklet, dan lain sebagainya. Misalnya, ketika mendukung Megawati Soekarnoputri, Baitul Muslimin sudah siap dengan berbagai argumentasi. Antara lain mereka berargumentasi bahwa betapa Aisyah istri Rasulullah Saw. itu pernah memimpin Perang Jamal. Bahkan Al-Quran mengabadikan Ratu Bilqis dan mencatatnya sebagai malikah, sehingga tidak ada larangan perempuan untuk memimpin. Begitupun waktu pemenangan Jokowi, ia juga banyak menggunakan pola komunikasi seperti itu. Dalam banyak hal, bersama Baitul Muslimin, Helmi mengenalkan bahwa Jokowi itu pro kepada rakyat kecil, pengusaha kecil, karena dia berangkat dari seorang pengusaha kecil. Berbeda dengan Prabowo yang sejak awal sudah kaya raya. 4. H. Lookh Makhfudz, SS Komunikasi dengan H. Lookh Makhfudz, SS, sebenarnya sudah dimulai sejak Agustus 2015. Namun karena berbagai hal, penulis baru dapat mewawancarainya pada 20 Oktober 2015. Domisili nara sumber http://digilib.mercubuana.ac.id/ 144 yang berada di Kota Malang menjadi salah satu kendala. Hingga pada akhirnya penulis dapat melakukan wawancara. Ustad Lookh, demikian biasa H. Lookh Makhfudz disapa, dikenal sebagai seorang da’i di Kota Malang. Sejak muda ia merupakan aktivis Muhammadiyah. Tak heran jika kemudian karir politiknya bermula dari organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tersebut. Karena alasan dakwah itu pula ia kemudian terjun ke dunia politik. Baginya, melalui dakwah ia berharap dapat mewarnai politik dan internalisasi nilai-nilai, sekaligus ingin membuktikan bahwa pendakwah bukanlah subordinat melainkan ordinat. Jelasnya, politik itu adalah salah satu instumen untuknya berdakwah. Apalagi dakwah harus dilakukan, berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw., paling tidak dengan 3 hal, yakni ad-da’watu bi al-lisân (dakwah dengan perkataan), ad-da’watu bi al-hâl (dakwah dengan perbuatan), dan ad-da’watu bi al-qalb (dakwah dengan doa). Jika menilik ketiga kategori dakwah tersebut, Lookh memilih dakwah dengan perbuatan yang menurutnya lebih memiliki power. Artinya, ia harus meraih “kekuasaan” agar dakwah yang dilakukannya lebih melebar. Pilihan ini tentunya sesuai dengan kaidah yang diyakininya, bahwa muslim yang kuat itu lebih baik dibandingkan muslim yang lemah. Agar kekuatan dakwahnya lebih besar, Lookh mengandalkan majelis taklim untuk meraih posisinya di partai politik. Euphoria Reformasi yang gaungnya santer pada 1998 dimanfaatkan Lookh untuk masuk ke dunia politik. Karir politiknya dimulai ketika bergabung dengan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 145 Partai Amanat Nasional. Perkenalannya dengan partai yang didirikan pada 23 Agustus 1998 itu dimulai sejak ia aktif di organisasi Muhammadiyah. Setelah sempat menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Malang, Lookh bergabung dengan PAN. Dipilihnya PAN, menurutnya, tak hanya karena ia aktif di Muhammadiyah yang kerap dianggap sebagai “cikal bakal” partai berlambang matahari terbit itu. PAN dipilih karena paham nasionalisme yang dianutnya lebih diterima masyarakat Indonesia. Bahkan menurutnya PAN memiliki value added karena meski nasionalis, namun PAN memiliki basis konstituen dari kalangan umat Islam. Secara perlahan karir politiknya pun terjaut. Mulai terpilih sebagai Ketua DPC PAN Kedungkandang hingga terpilih sebagai Ketua DPD PAN Kota Malang pada 2005. Dan Lookh pun meraih puncak karir politiknya saat memenangkan bursa Anggota DPRD Kota Malang dalam Pemilu Legislatif 2009-2014. Bahkan ia menduduki Ketua Fraksi PAN di kursi parlemen itu. Kunci suksesnya meraih kursi DPRD Kota Malang diakui Lookh berkat kerja sosial yang dilakukannya. Salah satunya adalah dengan menjadi da’i yang tak kenal lelah berdakwah dari satu majelis ke majelis. Sejatinya, kerja sosial seperti itu bukanlah hal aneh bagi alumni Pondok Modern Gontor (PMG) seperti dirinya. Doktrin-doktrin seperti “khairunnas anfa’uhum linnas” sudah diterimanya sejak menjadi santri. Hal itu dianggap Lookh justru menjadi support yang mampu menggiring para alumni PMG tampil sebagai pemimpin di masyarakat. Kerja sosial itu http://digilib.mercubuana.ac.id/ 146 kemudian lebih dimantapkannya dengan mendirikan pondok pesantren AlMunawaroh dan Sahlan Tour & Travel. Melalui 2 lembaga tersebut lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing di Kota Malang itu dapat berinteraksi lebih intens dengan masyarakat, utamanya jamaah yang sudah terbangun sejak awal. Cara seperti inilah yang dianggapnya sebagai pola komunikasi politik yang selalu digunakannya untuk meraih suara dari konstituen. Lookh mengakui bahwa PMG mengajarkan banyak hal kepada para santri. Ajaran-ajaran itulah yang menjadikan para santri PMG memiliki jiwa kemandirian dan kepemimpinan. PMG mengajarkan kebebasan berpikir, demokratis dalam bermusyawarah, saling mengenal (ta’aruf), bertindak jujur, dan yang terpenting adalah kemandirian berpikir dan bertindak. Semua itu, dianggap Lookh, merupakan proses pembentukan karakter yang luar biasa, baik sebagai politisi maupun pemimpin atau apapun jabatannya di masyarakat. Menurutnya: “Kami seringkali diajarkan doktrin-doktrin semacam ready to be right and ready to be left. Itu selalu dikemukakan para ustad di PMG. Seperti juga doktrin “siap memimpin dan siap dipimpin.” Pemimpin dalam arti yang luas, sekalipun jadi guru ngaji. Karena yang penting adalah bermanfaat bagi umat. Sehingga, khairunnas anfa’uhum linnas wa ahsanu khuluqan itu menjadi doktrin agar kita bermanfaat bagi manusia”. Dengan bekal yang didapatnya dari PMG itu, Lookh pun tak ragu tampil di dunia politik. Di satu sisi ia juga sering mendengar anggapan bahwa politik itu kotor. Namun ia memiliki anggapan lain bahwa politik itu hanyalah sebuah cara dalam rangka meraih kekuasaan untuk membela http://digilib.mercubuana.ac.id/ 147 kepentingan yang benar. Politik juga bisa dianggap sebagai alat. Tergantung siapa yang menggunakan alat tersebut. Namun satu hal yang ia sepakat adalah bahwa negeri ini perlu politisi-politisi yang berakhlak baik. Inilah tantangan baginya. Jika politik dikatakan kotor, maka ia ingin masuk ke ranah itu untuk memberikan definisi positif bagi politik. Terkait anggapan politik itu kotor, Lookh memiliki sebuah kaidah yang bisa diikutinya. Kaidah itu adalah “mâ lâ yudroku kulluhu lâ yudroku kulluhu”. Artinya bahwa jika sesuatu itu hanya sebagian saja yang salah maka jangan semua ditinggalkan. Sayangnya, kiprah Lookh di panggung parlemen tak berlanjut. Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, Lookh gagal mempertahankan posisinya sebagai anggota DPRD Kota Malang. Ada sejumlah alasan yang pantas dikemukakan, seperti persoalan hati nurani dan money politics. Peta politik pada Pemilu Legislatif 2014 dirasakan berbeda dengan periode sebelumnya. Kali ini nuansa money politics sangat terasa dan masyarakat pun seolah menikmatinya. Sebagai seorang santri yang memahami pentingnya makna kejujuran, Lookh tentu saja enggan untuk melakukan money politics. Perilaku buruk itu sangat bertentangan dengan hati nuraninya. Di PMG, ia dan para santri lainnya diajarkan untuk selalu ikhlas dalam melakukan segala hal. Namun di sisi lain, lawan politiknya tidak mempedulikan hal itu. Besarnya jumlah alumni PMG juga tak menjadi tolok ukur keberhasilan karir politik seorang Lookh. Meski ia pernah didaulat sebagai http://digilib.mercubuana.ac.id/ 148 Ketua Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor, namun ia tak menggunakan jejaring ini sebagai lumbung untuk mendulang suara. Lookh menyadari jika IKPM Gontor merupakan jejaring alumni yang masuk dalam bagian struktur organisasi PMG. Sebagai alumninya, Lookh sadar betul bahwa PMG memiliki tagline: PMG untuk dan di atas semua golongan. PMG tak akan pernah mendukung suatu kelompok manapun, apalagi jika dikaitkan dengan partai politik. Di sisi lain, Lookh pun sadar jika alumni PMG itu memiliki ciri independen dan obyektif. Sebagai perbandingan, ketika LHI (Luthfi Hasan Ishak) menjadi Presiden PKS, tidak serta-merta alumni PMG berbondong-bondong mendukungnya. Pun demikian dengan keberadaan DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA di PKS. Meski ia adalah tokoh utama di PKS, namun tidak serta-merta para alumni mendukungnya. Meski saat ini ia gagal mempertahankan kursi di parlemen, namun Lookh tetap memiliki harapan untuk tetap eksis di dunia politik. Setiap insan politik, menurutnya, sudah pasti selalu berpikir bagaimana meng-up grade diri menjadi seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Sama halnya ketika seorang guru ingin menjadi dosen. Hanya saja persoalannya, mungkinkah ia bisa mewujudkan hal itu? Lookh mengaku akan bersikap cair dalam hal ini. Ia ingin karir politiknya mengalir begitu saja. Meski tetap harus diperjuangkan, namun ia tak ingin terlalu ngoyo untuk meraihnya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 149 5. Imam Wahyudi Tidak terlalu sulit menemui politisi muda ini. Imam Wahyudi yang menjadi Tenaga Ahli Anggota DPR RI dapat ditemui dikantornya, gedung DPR/MPR RI. Penulis hanya membutuhkan sedikit approach untuk memintanya jadi nara sumber tesis. Senyum ramah dan low profile menjadi ciri khasnya. Lahir di Bangka pada 13 September 1978, Imam Wahyudi mengenyam pendidikan dasar dan menengahnya di kampung halaman. Setelah menyelesaikan studinya di SDN 51 Bangka, Imam meneruskan studinya di MTs Al-Islam Kemoja sambil nyantri di pondok yang berjarak 20 kilometer dari rumahnya. Ketika mondok itulah Imam memiliki guru Bahasa Arab yang merupakan alumni Pondok Modern Gontor (PMG). Rupanya, pertemuan Imam dengan gurunya yang bernama Ustad Ahmad Sofyan itu sangat berkesan. “Kalau kami masuk jam 7 pagi, beliau itu sudah ada di kelas kurang dari jam 7. Dia berbeda dengan guru-guru lainnya. Nama beliau Ahmad Sofyan dan sekarang menjadi ketua Islamic Center di Bangka Belitung,” terangnya. Menurutnya, Ustad Ahmad Sofyan memiliki metode mengajar yang asyik untuk diikuti. Selain fasih berbahasa Arab, tulisan Ustad Ahmad Sofyan juga bagus. Kekagumannya terhadap Ustad Ahmad Sofyan membuat Imam tertarik untuk lebih banyak berinteraksi. Pernah Ustad Ahmad Sofyan memberinya Majalah Wardun (Warta Dunia) yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 150 menyampaikan banyak informasi tentang Gontor. Selain itu, cerita Ustad Ahmad Sofyan tentang PMG membuat Imam berkeinginan untuk mondok di PMG usai menyelesaikan studinya di MTs. Sayangnya, tradisi penerimaan santri baru di PMG tidak beriringan dengan tahun ajaran di sekolah formal pada umumnya. PMG selalu membukan penerimaan santri baru di bulan Syawal yang ketika itu jatuh sebelum tahun ajaran sekolah formal usai. Karena itulah Imam diantar oleh konsulat Bangka Belitung ke Pondok Pesantren Al-Barokah yang merupakan pondok pesantren milik mantan Menteri Penerangan di Era Orde Baru, Harmoko. Pondok pesantren pimpinan Kiai Rosyidin Ali Said yang terletak di Desa Ngepung, Kertosono, Nganjuk, itu merupakan pondok alumni PMG. Terlebih lagi istri beliau adalah adik KH. Syukri Abdullah Zarkasyi, pimpinan PMG. Di Pondok pesantren itulah Imam nyantri sambil menunggu penerimaan santri baru di PMG di tahun berikutnya. Ia berkisah: “Ketika bulan Syawal tahun berikutnya saya ikut lagi dan alhamdulillah terpilih masuk. Lalu saya ikut tes akselerasi dan diterima. Saat itu yang dites dari pondok alumni sekitar 300 orang dan diterima 40 orang. Saya salah satunya dan salah satunya juga anaknya KH. Hasan Sahal, namanya Haikal Januarsyah, sering dipanggil Ancah dan sekarang salah seorang pimpinan PMG.” Di PMG, Imam nyantri selama 3 tahun. Berdasarkan hasil tes, ia masuk ke kelas 3 lalu langsung ke kelas 5 eksperimen (sekarang intensif). Akselerasi yang berhasil dilakukan Imam karena ia sudah memiliki dasar http://digilib.mercubuana.ac.id/ 151 di Pondok Pesantren Al-Barokah, sehingga dengan mudah ia lulus tes akselerasi. Bahkan, ia pun langsung menjadi pengurus baru tanpa pernah menjadi qudamâ (santri lama) yang umumnya dipersiapkan untuk menjadi pengurus. Ketika kelas 6 Imam terpilih menjadi pengurus Organisasi Pondok Pesantren Modern (OPPM) Gontor atau semacam OSIS di sekolah formal. Di OPPM ini Imam menjadi pengurus syirkah (koperasi). Sejak itulah Imam mengaku sangat menyukai aktivitas berorganisasi. Apalagi selain menjadi pengurus OPPM, semua santri PMG diwajibkan mengikuti Gerakan Pramuka dan aktivitas organisasi lainnya, seperti ikut menjadi anggota klub Bahasa Inggris dan Arab, serta anggota tim olahraga. Jika dihitung, Imam nyantri di PMG selama 3 tahun ditambah 1 tahun mengabdi sebagai ustad di Kulliyyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI) Gontor. Saat menjadi ustad inilah Imam mendapatkan pengalaman sebagai guru yang setiap saat berhadapan dengan murid-muridnya. Ia belajar secara langsung bagaimana menjadi guru yang mampu menyiapkan pelajaran dan menyampaikannya di depan murid-muridnya secara classical. Dan akhirnya, di tahun 1999 Imam pun resmi menjadi alumni PMG. ***** Usai nyantri, Imam meneruskan pendidikan strata 1 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya Palembang. Di sela-sela aktivitasnya sebagai mahasiswa, Imam sempat bekerja sebagai wartawan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 152 Lintas Timur Palembang (2002-2004) dan mengajar di Pondok Pesantren Al-Khair Palembang (2002-2005). Ia juga aktif di berbagai organisasi kampus, seperti di Wahana Kerohanian Islam (WAKI) FISIP Unsri sebagai ketua pada 2001-2002, menjadi ketua BEM Universitas Sriwijaya Palembang untuk periode 2002-2003, dan menjadi ketua KAMMI Palembang sepanjang 2002-2003. Setelah menyelesaikan studi S1 di tahun 2005, Imam mencoba peruntungannya dengan mendaftarkan diri sebagai CPNS di Kementerian Luar Negeri. Sayangnya gagal. Lalu pada 2006 Imam aktif di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) IPCOS sebagai peneliti. Di LSM yang mayoritas merupakan lulusan UI Jakarta ini Imam juga berkenalan dengan salah seorang petinggi PDIP bernama (Alm) Tara Ginting. Karena sosok Tara Ginting inilah kemudian IPCOS kerap dianggap sebagai lembaga think tank-nya PDIP. Meski demikian, tak serta merta Imam dan temantemannya masuk sebagai kader PDIP. Di IPCOS inilah Imam banyak mengerjakan proyek yang terkait dengan isu partai lokal dan partai nasional. Di luar aktivitasnya sebagai peneliti di IPCOS, Imam terus membangun silaturrahim di kalangan alumni PMG. Salah satu ciri khas PMG adalah jaringan alumninya yang sangat kuat. Di awal-awal 2005 hingga 2006, Imam bersama teman alumni PMG bernama Asep Affandi dan Wahid yang saat itu mengelola majalah Gontor, rajin mengunjungi senior-senior alumni PMG. Kunjungan yang dilakukannya tersebut, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 153 menurut Imam, tidak lebih untuk menjalankan pesan KH. Syukri Abdullah Zarkasyi yang sering mengimbau para santrinya untuk membangun jaringan seluas-luasnya. “Maksud kami bertiga, utamanya saya, adalah kami ingin eksis di Jakarta. Itu kan awal-awal kami “hidup” di Jakarta. Kami datang mengunjungi Ustad Husnan Bey Fananie, Ustad Zainun Ahmadi, dan lainnya. Saya pribadi menganggap Ustad Husnan dan Ustad Zainun adalah mentor. Bahkan kami sering menginap di rumah Ustad Husnan. Kami juga mengunjungi Ustad Din Syamsuddin, apalagi saat pengajian Orbit kami juga sering ikut. Kami juga mengunjungi KH. Hasyim Muzadi, Pak Zainal Maarif (Wakil Ketua DPR RI-FBR), Habib Hirzin (Komnas HAM), dan para senior lainnya.” Bahkan kunjungan Imam kepada Zainal Maarif dan Habib Hirzin memiliki misi khusus, yakni ingin meminta rekomendasi dari keduanya untuk memuluskan rencana Imam meneruskan studi ke luar negeri. Namun di tengah perjalanan, Imam yang saat itu sering ‘nongkrong’ di kantor notaris Ustad Zainun Ahmadi justru bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan, termasuk pegiat LSM dan pengurus PDIP. Karena itulah rencananya studi ke luar negeri pun pelan-pelan pupus. Pada 2007 Imam diajak Ustad Zainun Ahmadi membentuk sayap PDIP, yaitu Baitul Muslimin. Menurutnya, Baitul Muslimin sengaja dibentuk dalam rangka mengajak rekan-rekan di PDIP—yang dicitrakan masyarakat sebagai eks PKI dan tempatnya orang-orang tidak baik—untuk mendalami ajaran Islam. Apalagi jika melihat PDIP sebagai partai besar yang 80 persen pemilihnya adalah muslim. Baitul Muslimin dianggap sebagai titik tolak islamisasi di PDIP. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 154 Imam pun menyambut baik ajakan Ustad Zainun Ahmadi tersebut dan bersama-sama membangun Baitul Muslimin. Ustad Zainun Ahmadi ditunjuk sebagai salah seorang formatur (ada 5 orang) dan Sekretaris Jenderal oleh (Alm) Taufik Kiemas. Imam sendiri ditunjuk sebagai Kepala Sekretariat Baitul Muslimin hingga saat ini. Sejak 2007 itulah Imam mulai berinteraksi dan terlibat aktif dengan pengurus-pengurus PDIP. Lalu pada 2009 saat Ustad Zainun Ahmadi ditempatkan PDIP sebagai calon legislatif di Jatim X meliputi Gresik dan Lamongan, sesekali Imam diminta untuk membantunya. Hubungan baik itu terus berlanjut. Saat Ustad Zainun Ahmadi terpilih sebagai anggota DPR RI untuk periode 2009-2014, Imam diminta untuk membantunya di DPR RI sebagai tenaga ahli sambil membangun jejaring alumni PMG yang ada di PDIP. Saat Imam mengambil studi S1 di FISIP Unsri Palembang, sejatinya, ia sudah meletakkan tekad untuk menjadi seorang politisi. Maka tak heran jika ia masuk partai politik, hal itu sebenarnya sesuai dengan niat yang sudah dipancangkannya. Apalagi, Imam yang juga bercita-cita menjadi pemimpin di masyarakatnya, baik sebagai bupati, gubernur, atau anggota dewan itu meyakini bahwa cara yang paling mainstream untuk mewujudkannya adalah melalui partai politik. Menjadi politisi, menurutnya, adalah naluri alamiah yang tumbuh di dalam dirinya. Imam memiliki alasan khusus kenapa ia ingin menjadi politisi, yaitu ingin menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 155 Seperti ajaran yang sering didengarnya waktu di pondok bahwa: khairunnâs anfa’uhum linnâs (sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya). Baginya, partai politik hanyalah kendaraan untuk memaksimalkan kontribusinya bagi orang lain. Meski di sisi lain ia juga sadar bahwa selama ini politik dianggap banyak kalangan sebagai “dunia hitam” yang dihuni banyak orang untuk bermain kotor. Karena alasan itu pula Imam berpolitik dan ingin menepis pemeo itu. Untuk itu baginya yang berada di dalam partai politik, dibutuhkan kerja keras untuk memperbaikinya. Imam meyakini jika sebenarnya politik itu merupakan upaya untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. ***** Upaya untuk merealisasikan khairunnâs anfa’uhum linnâs itu telah dimulai Imam saat turut membangun Baitul Muslimin di PDIP. Agar lebih maksimal, pada tahun 2014 Imam mencoba peruntungannya menjadi calon legislatif di wilayahnya, Bangka Belitung. Imam yang menempati nomor urut 7 secara intensif berkampanye untuk mendapatkan salah satu kursi parlemen daerah untuk periode 2014-2019. Saat berkampanye, Imam melakukan berbagai upaya pola komunikasi. Ia menyadari bahwa pola komunikasi itu merupakan cara menjual dirinya supaya laku. Terlebih dirinya adalah santri yang sudah dipersiapkan untuk terjun ke masyarakat. Ada sebuah doktrin yang dipelajarinya saat di PMG, yakni: ath-tharîqatu ahammu min al-mâddah http://digilib.mercubuana.ac.id/ 156 (cara itu lebih penting dari materi). Karena itulah Imam mengerahkan segala cara untuk menjalankan pola komunikasinya, baik dengan menjadi penceramah, khâtib, memberikan sambutan di acara pernikahan, dan komunikasi door to door. Tak hanya itu, beragam tools kampanye juga ia buat, seperti kartu nama, pamflet, booklet, brosur, spanduk, kalender, dan baliho. Seperti para caleg pada umumnya, Imam juga mengunjungi tokohtokoh masyarakat, seperti kepala desa, ulama, budayawan, pengurus karang taruna, termasuk pimpinan pondok pesantren terutama pondok alumni Gontor, dan anggota-anggota Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor yang berada di daerah pemilihannya. Intinya, semua ia lakukan. Celah sekecil apapun ia manfaatkan. Tapi sayang, pada akhirnya ia tidak lolos menjadi anggota legislatif. Diakuinya, saat pemilihan umum, masyarakat pemilih memiliki ‘penyakit’ yang sama, yakni UUD (ujungujungnya duit). Hal itu betul-betul dirasakannya. Meski dirinya “kalah” saat pencalegan, Imam mengaku tak kapok menjadi politisi. Ia pun tetap memilih PDIP sebagai kendaraan politiknya. Ia mencoba untuk tidak jadi politisi ‘kutu loncat’. Karena menurutnya hal itu tidak baik untuk pencitraan dirinya di masa depan. Lagipula, setelah ia dalami, partai politik itu hanya merupakan washilah saja, sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Partai politik berlabel agama juga banyak yang tidak beres. Jadi menurutnya, semua itu kembali kepada individu masing-masing. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 157 Imam melihat karakter Indonesia itu berwarna, tidak bisa disekat oleh satu warna saja. Bhinneka Tunggal Ika. Jika sebagian orang ingin mendirikan negara Islam, boleh jadi Bali akan lepas. Sebaliknya, jika sebagian orang ingin mendirikan negara Hindu, maka boleh jadi Nanggroe Aceh Darussalam dan banyak daerah yang akan lepas, dan seterusnya. Jadi menurutnya, biarlah jadi Indonesia sejatinya dengan Garuda Pancasila sebagai lambangnya. Berdasarkan hal itu, menurut Imam, rumah yang paling tepat adalah PDIP yang dapat menaungi semuanya. Apalagi di dalamnya, Imam dapat berdakwah mengajak rekanrekan di PDIP. Maklum saja, Imam di PDIP lebih kental dikenal sebagai santri Gontor dibanding alumni Unsri atau aktivis KAMMI. Dan obsesinya ke luar PDIP, Imam ingin mengkampanyekan bahwa rumah politik yang paling tepat itu adalah PDIP yang nasionalis dan bisa menampung berbagai kalangan. 6. DR. H. M. Dian Assafri, SH, MH Kegiatan aktivis muda sekaligus politisi Partai Golkar ini lumayan padat. Setelah berkali-kali gagal menemuinya, penulis berhasil melakukan door stop untuk mewawancarainya di tengah Musyawarah Nasional KNPI pada 1 Juni 2015 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Kami berbincang di sebuah kamar yang disewakan panitia untuknya. Hanya saja, karena kesibukannya waktu itu, ia meminta agar wawancara dilakukan melalui email. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 158 Gaya lelaki asli Lampung ini di tengah massa peserta Mukernas sudah seperti politisi “kawakan”. Dirinya tak canggung menyapa setiap peserta sambil menjabat tangan dan berbincang sekadarnya. Ia mengaku tak ingin dicap sombong oleh peserta Mukernas yang notabene hampir semua mengenalnya dan nama mereka pun dihafalnya. Bagi DR. H.M. Dian Assafri, SH., MH, berbaur dengan banyak orang merupakan tradisi yang sudah dikenalnya sejak kecil. Terlebih saat ia nyantri di Pondok Modern Gontor (PMG) sepanjang merampungkan pendidikan menengah atasnya. Kisah nyantri lelaki tinggi besar ini dimulai saat ia masuk Pondok Pesantren Wali Songo pada tahun 1995 usai menyelesaikan pendidikan tingkat lanjut pertamanya di SMPN I Patoman, Pagelaran, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Hanya setahun ia mondok di pesantren tersebut. Pada awal Ramadhan di tahun 1996, ia kemudian masuk Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. PMG dipilihnya karena pondok yang didirikan Trimurti tersebut terkenal dengan kedisiplinan dan penggunaan bilingual-nya. Secara sadar, sejak itu pula ia bertekad untuk melatih diri dalam kedisiplinan dan memperdalam bahasa Arab dan bahasa Inggris. Di sini, ia rampungkan studinya selama 4 tahun. Dian atau Aryan, demikian ia akrab disapa, mengaku bahwa sepanjang nyantri di PMG memiliki kisah beragam dan mendalam. Salah sebuah kisah yang tidak bisa dilupakannya antara lain budaya antre yang dilakoni sekitar 4000 santri PMG saat itu. Di sinilah ia dan teman- http://digilib.mercubuana.ac.id/ 159 temannya lebih memahami makna bersabar saat mengantre. Betapa tidak, hampir seluruh aktivitas di PMG berkaitan dengan antrean. Mulai dari mengantre makan, mandi, sampai mengambil surat izin libur. Banyak hal yang dipelajarinya di PMG. Seperti belajar komunikasi melalui pelajaran muhadlarah atau pidato. Jika pada muhadlarah diajarkan berkomunikasi secara formal, para santri juga diajarkan untuk berkomunikasi dalam keseharian dengan menggunakan dua bahasa, yakni bahasa Arab dan Inggris. Kedua bahasa itu wajib digunakan saat berbincang dalam kesempatan apapun. Jika tidak, maka beragam hukum siap dijatuhkan pengurus pondok pada setiap santri yang melanggarnya. “Setelah 2 tahun masuk tahun ke-3, saya menjadi pengurus asrama. Di sinilah saya mempelajari banyak hal tentang cara berkomunikasi. Hingga saya duduk di kelas 6 KMI, saya mendapat amanah untuk menjadi ketua di bagian keamaan pusat, dimana saya dibentuk dan dilatih agar bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan seluruh santri PMG. Pengalaman menggunakan bahasa dan cara-cara berkomunikasi itulah yang saya gunakan untuk berkomunikasi setelah masuk dalam ke dunia politik.” Ajaran PMG yang juga selalu diingatnya adalah ketika para santri ditempa menjadi seorang pemimpin umat. Hal itu tersirat dalam petuah Almarhum K.H. Ahmad Sahal yang mengajarkan “sekali hidup, maka hiduplah yang berarti”. Petuah itu menjadi semboyan hidupnya dan dijadikan motivasi dalam setiap langkah kehidupannya, terutama di bidang politik. Usai menempa diri di PMG, Dian semakin merasakan betul arti kekeluargaan. Meski sudah tidak terikat dalam struktur kesantrian, Ikatan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 160 Keluarga Pondok Modern (IKPM) menjadi sandaran sekaligus wadah baginya untuk mempererat ikatan silaturrahim dengan rekan-rekan alumni lainnya. Wadah ini pula yang kemudian ia manfaatkan untuk mendulang dukungan pada setiap aktivitasnya. Dirasakan ayah 3 anak ini bahwa PMG memang mencetak kader pemimpin bagi umat dan bangsa ini. Pada sejumlah kesempatan, pimpinan pondok selalu mengatakan—misalnya—lebih baik mengajar di surausurau kecil tapi memiliki jamaah konsisten dan bermanfaat bagi orang lain daripada di sebuah tempat yang besar tapi tidak konsisten. Maksud dari petuah itu, menurutnya, seluruh santri diajarkan untuk menjadi seorang pemimpin di masyarakat. Pemimpin bukan hanya yang memiliki jabatan tinggi, tetapi pemimpin menurut ajaran Gontor adalah seorang yang mampu mengajar di surau-surau kecil. Ia meyakini, meski PMG mengajarkan pola-pola asuh kepemimpinan, namun tidak pernah mendukung suatu golongan apalagi partai politik. PMG itu diwakafkan pada umat Islam seluruh dunia, sehingga berdiri di atas dan untuk semua golongan. PMG benar-benar lembaga yang mandiri, tidak berafiliasi ke ormas atau parpol tertentu dan PMG juga tidak mendukung capres tertentu. PMG mendukung masyarakat untuk menentukan sendiri pemimpin pilihan umat. Untuk itu, imbuhnya, jika ada pihak yang menyatakan bahwa PMG mendukung salah satu capres, itu tentu tidak benar karena PMG tidak berpolitik praktis. Bahkan, PMG memberikan ruang kebebasan kepada http://digilib.mercubuana.ac.id/ 161 para alumni untuk menentukan pilihannya dengan syarat tidak membawa nama PMG secara lembaga. PMG hanya hadir sebagai perekat umat dan mencetak kader pemimpin umat. Itulah makna yang dapat pahaminya dari semboyan “Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan”. Satu hal yang membedakan PMG dengan pondok pesantren lainnya, antara lain dengan adanya Panca Jiwa. Inilah landasan hidup yang mesti ditaati seluruh santri PMG. Tidak hanya ditaati dalam bidang pendidikan saja tetapi segala aspek di dalam kehidupan termasuk bidang politik. Sesuai namanya, Panca Jiwa terdiri dari lima jiwa. Dan Dian memiliki penjabaran tentang hal ini. Pertama, jiwa keikhlasan. Artinya, seorang santri PMG harus hidup dengan jiwa sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillâh. Jika para kiai ikhlas medidik, para pembantu kiai ikhlas membantu menjalankan proses pendidikan, maka para santri mesti ikhlas dididik. Jiwa keikhlasan ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang harmonis antara kiai yang disegani dan santri yang taat, cinta, dan penuh hormat. Jiwa ini juga menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan Allah, di manapun dan kapanpun. Kedua, jiwa kesederhanaan. Kehidupan di PMG diliputi suasana kesederhanaan. Sederhana bukan berarti pasif atau nerimo, tidak juga berarti miskin atau melarat. Justru dalam jiwa kesederhanaan itu terdapat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 162 nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan penguasaan diri dalam menghadapi perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa besar, berani maju dan tak pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan. Ketiga, jiwa berdikari. Berdikari atau kesanggupan menolong diri sendiri merupakan senjata ampuh yang di bekalkan PMG kepada para santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajardan berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan pihak lain. Inilah zelp berdruiping systeem (sama-sama memberikan iuran sama-sama memakai). Pondok pun tidak bersifat kaku, sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan yang ada di dalam pondok di kerjakan oleh kiai dan para santrinya sendiri. Tidak ada pegawai di dalam pondok. Keempat, jiwa ukhuwwah islamiyah. Kehidupan di PMG diliputi suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah islamiyah. Tidak ada dinding yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwwah ini bukan saja terjalin selama para santri di pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan umat setelah mereka terjun di masyarakat. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 163 Dan kelima adalah jiwa bebas. Maksudnya, bebas dalam berpikir dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih jalan hidup, dan bahkan bebas dari segala pengaruh negatif dari masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif bila kebebasan itu disalahgunakan. Sehingga jika terlalu bebas (liberal) akan berakibat hilangnya arah dan tujuan atau prinsip. Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau dipengaruhi), berpegang teguh dengan tradisi yang dianggap pernah menguntungkan pada zamannya. Sehinggga ia tidak lagi menoleh ke zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena mengingatkan diri pada yang diketahuinya saja. Maka kebebasan ini harus dikembalikan pada aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif dengan penuh tanggung jawab, baik di dalam kehidupan pondok maupun dalam kehidupan masyarakat. “Jiwa yang meliputi suasana kehidupan pondok itulah yang dibawa santri sebagai bekal utama dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya,” katanya. ***** Perkenalan Dian dengan dunia politik, menurutnya, berawal dari pertemuannya dengan politisi senior, AM Fatwa. Saat itu, AM Fatwa yang merupakan Wakil Ketua MPR RI datang ke Yayasan Al-Quran Center http://digilib.mercubuana.ac.id/ 164 yang dibangun Dian. Sebagai tamu kehormatan, AM Fatwa kemudian mengajak Dian untuk ikut membantu beliau di gedung parlemen. Namun ketika itu Dian menolak tawaran tersebut karena teringat pesan kiai di PMG, yakni agar setiap santrinya mampu berdiri di atas dan untuk semua golongan. Hal ini pula yang menjadi dasar bagi Dian mendirikan Yayasan Al-Quran Center untuk mendidik anak-anak dari beragam asal-usul dan latar belakang keluarga. Namun, AM Fatwa kemudian memberikan penjelasan bahwa bergabungnya Dian di Senayan nantinya untuk bekeja sebagai Staf Administrasi Umum Wakil Ketua MPR RI, bukan bergabung di partai politik atau keormasan. Karena tidak terlibat langsung dengan politik praktis itulah Dian akhirnya mau bekerja di Senayan. Sejak itulah ia terlibat dengan kegiatan dunia politik, meski tidak secara langsung. “Itulah karir pertama kali saya masuk di dunia politik. Dari situ lalu saya menjadi Staf Ahli beberapa anggota DPR RI yang berbeda daerah pemilihan dan lintas partai politik selama tiga periode. Sekarang saya menjadi Staf Ahli Komisi di DPR RI,” jelasnya. Setelah masuk ke lingkaran lebih dalam, Dian pun menentukan motif yang dipilihnya dalam memasuki dunia politik. Dian memiliki keyakinan jika berkiprah di politik ia akan membantu dan berbuat banyak bagi masyarakat. Utamanya ia ingin mewujudkan masyarakat yang memiliki keterampilan sehingga mandiri dan mampu keluar dari masalah kemiskinan dan kebodohan melalui jalur pendidikan. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 165 Cita-cita ini sesungguhnya sudah diwujudkan Dian sejak tahun 2004, yaitu dengan mengambil anak-anak putus sekolah di perkampungan. Mereka diberikan beasiswa untuk dapat kuliah secara gratis hingga S3. Dari kegiatan inilah Dian terpacu untuk melakukan sesuatu yang lebih besar bagi masyarakat luas. Salah satunya dengan memperjuangkan kegiatan ini melalui lembaga wakil rakyat, sehingga kegiatan mulia ini mampu diterapkan secara merata ke daerah-daerah lain. Dian merasa jika dirinya tidak hanya memiliki konsep. Lebih dari itu ia yakin mampu membumikan gagasan pemikiran dan konsep yang dimilikinya serta aspirasi dari masyarakat luas melalui lembaga politik. Dian meyakini bahwa lembaga politik bertujuan menyejahterakan rakyat dengan menjalankan amanah dan keinginan serta aspirasi dari rakyat. Namun terkadang cita-cita itu disalahgunakan oknum-oknum yang mengatas-namakan rakyat. Akibatnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada elit politik berkurang bahkan hilang. Apalagi banyak dijumpai perilaku politisi yang merugikan keuangan negara dan mementingkan kepentingan pribadi kelompok dan golongannya saja daripada mengutamakan masyarakat luas. Belum lagi sumber pendanaan partai politik yang sampai hari ini masih belum diatur secara jelas dan terperinci dan transparan. Alasanalasan seperti inilah yang mendorong Dian untuk melakukan perbaikan dan pembenahan dengan terlibat langsung menjembatani program-program http://digilib.mercubuana.ac.id/ 166 pemerintah dan diselaraskan dengan aspirasi masyarakat. Menurutnya penuh keyakinan: “Siapapun yang mau menjadikan orang lain sukses, maka sejuta peluang sukses lainnya akan dibukakan dan dimudahkan oleh-Nya. Moto ini yang selalu saya pegang dan mendorong saya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat”. Adapun caranya, Dian membentuk kelompok-kelompok masyarakat binaan yang diberi nama Mitra 1, Mitra 2, Mitra 3 sampai dengan Mitra 11. Kelompok-kelompok mitra binaan tersebut bertugas membumikan seluruh program-program dari kementerian terkait yang menjadi mitra dari komisi 1 sampai dengan komisi 11 di DPR RI. Contohnya, Mitra 4 di bidang pemberdayaan kelompok-kelompok tani di bidang pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan di masingmasing desa. Kelompok Mitra 4 kemudian menggulirkan gagasan dan program kegiatan pemberdayaan masyarakat kelompok perikanan, peternakan, perkebunan dan lain-lain. Contoh lainnya, Mitra 9 dengan konsep pengobatan gratis untuk warga dari desa ke desa yang sudah berjalan kurang lebih selama 2 tahun sampai dengan sekarang. Ada juga Mitra 10 yang mengusung program “satu rumah satu sarjana”, selain itu juga ada ”rumah prestasi”, “rumah 1000 sarjana”, dan “rumah baca masyarakat”. Selain itu juga Mitra 10 mendirikan “rumah sehat warga” dengan memberikan penyuluhan tentang hidup sehat. Hasilnya, Yayasan Al Quran Center yang didirikan Dian dapat berkembang guna memberikan kesempatan kepada anak-anak putus http://digilib.mercubuana.ac.id/ 167 sekolah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dengan dibekali kegiatan ekonomi dan bekal agama agar mereka memiliki keseimbangan dunia dan akhirat. ***** Dian memahami jika politik oleh sebagian orang dipandang sebagai perkara kotor. Hingga akhirnya, tak sedikit pula orang yang tidak mau berkecimpung di dunia politik. Dian menganggap pandangan itu sebagai hal yang wajar. Sebab, realitas di lapangan menyebutkan bahwa politik memang seperti itu. Hanya saja, meski memaklumi pandangan itu, Dian memiliki pendapat lain. Menurutnya, pandangan sebagian masyarakat itu tidak serta-merta menjadi kesimpulan bahwa politik itu kotor. Sebab, pada dasarnya politik itu baik. Namun, banyaknya politisi yang bermain kotor, maka politik pun akhirnya dipandang sebagai perkara yang menyebabkan banyak kemadlorot-an. “Nah, pandangan seperti inilah yang secara tidak langsung membuat dunia perpolitikan di negeri ini dipandang sebelah mata. Dalihnya, politik itu kotor,” tegasnya. Anggapan politik itu kotor membuat banyak orang baik tidak mau berkecimpung di bidang ini. Dengan kata lain, kebanyakan dari mereka tidak mau terkena getah dari kekotoran politik. Padahal jika dipikir secara rasional, menurut Dian, suatu sistem tidak akan menjadi buruk jika aktor atau pemerannya adalah orang-orang baik. Dengan hadirnya orang-orang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 168 baik ini diharapkan politik menjadi sarana untuk mensejahterakan rakyat dengan konsep dan gagasan-gagasan yang baik dan benar. Meski sudah memiliki pandangan pribadi tentang politik, namun Dian tidak serta merta memutuskan diri untuk langsung terjun ke politik praktis. Pada saat itu pikirannya terpecah antara peduli atau tidak peduli politik. Hingga pada sebuah dialog batin, ia berujar, jika tidak peduli politik kemudian negeri ini salah urus, bangkrut, dan sejenisnya, maka ia hanya bisa meratapi karena tidak berbuat apa-apa. Pada titik itulah kemudian Dian memutuskan untuk “peduli politik”. “Saya ini anak muda. Sebagai anak bangsa, saya harus peduli politik. Saya tidak mau hanya jadi penonton. Tapi saya ingin ikut andil. Jika negara ini salah urus maka saya ikut bertanggung jawab. Tetapi jika negara ini maju, maka saya juga bertanggung jawab. Pikiran peduli politik pada waktu itu masih sebatas dalam konteks kepentingan kebangsaan secara umum. Setelah memutuskan peduli politik, saluran tertinggi dalam politik adalah ikut partai politik. Pada tahap ini muncul lagi pertimbangan baru dalam otak: saya ini harus ikut partai apa?” kisahnya. Memutuskan pilihan untuk bergabung dengan partai politik ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Ini menjadi pertimbangan penting. Pilihannya, apakah ia akan ikut partai kecil dan langsung menjadi kepala teri, atau ia ikut partai besar tetapi menjadi buntut ikan hiu atau buntut naga. Pertimbangan itu terus dipikirkan hingga pada akhirnya, ia memutuskan untuk bergabung dengan partai besar, yakni Partai Golkar. Baginya, untuk apa menjadi kepala teri kalau ukurannya hanya sebesar teri. Artinya, meski ia akan cepat puas, cepat senang, tetapi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 169 sebetulnya tempaan atau penggodokannya tidak maksimal. Sebaliknya, jika ia menjadi buntut naga, ia akan ditempa dan digodok dengan sistem yang tertata baik. Sehingga kemudian, suatu ketika ia dapat menjadi kepala naga yang tangguh. Pada akhirnya Dian melabuhkan pilihan pada Partai Golkar dengan tiga pertimbangan utama, yakni: Pertama, sumber daya manusia partai. Dibanding partai lain, Partai Golkar memiliki sumber daya manusia yang sangat teruji, terlatih, pintar, educated, dan mapan. Sumber Daya Manusia Partai Golkar pun tangguh, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Dari segi kuantitas pun sangat banyak, sudah menyebar di Nusantara. Kedua, infrastruktur Partai Golkar sudah establish hingga tingkat kecamatan dan desa-desa. Dan ketiga, Partai Golkar lebih demokratis dibandingkan partai lain. Ketika partai besar lain masih dibayangi “kepemimpinan kharismatis” dan “tokoh sentral”, Partai Golkar sudah menunjukkan diri sebagai partai modern dan demokratis. Tidak ada tokoh sentral. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pimpinan. Tak peduli dari garis keturunan siapapun atau etnis manapun. Partai pada akhirnya menjadi sangat dinamis dan kompetitif. Sosok-sosok yang melaju sudah pasti sosok yang teruji dan kader terbaik. Dian sadar jika keputusannya masuk Partai Golkar bukan tanpa implikasi. Seperti ia harus siap jadi “buntut” partai. Sadar akan hal itu, ia pun aktif mengikuti kegiatan partai dengan sering berkunjung ke DPP Partai Golkar di Slipi, serta menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh http://digilib.mercubuana.ac.id/ 170 partai. Di awal-awal masa bergabung dengan Partai Golkar, Dian mengalami banyak pengalaman yang menuntut kesabarannya. “Awal-awal bergabung sering diakali orang. Tapi dari situ saya dapat pengalaman, dapat pelajaran. Oh, ternyata begini toh caranya ngakalin orang,” kisahnya sambil tersenyum. “Namun, karena berpikir positif seperti itu, saya akhirnya tabah saja jika diakali senior. Diakali sekali saya tabah. Diakali dua kali tabah, diakali lagi tabah lagi. Setiap kali diakali berarti ilmu saya terus bertambah. Jadi itu pengalaman yang menarik,” imbuh Staff Pengajar Universitas Indonesia ini. Memasuki Pemilu 2014, Dian mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Dapil Jabar II Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat dengan nomor urut 8. Pencalonan dirinya adalah aplikasi dari pemahaman dirinya tentang kekuasaan dan politik. Baginya, kekuasaan dan politik sebenarnya saling berkaitan karena tujuan politik itu adalah mencapai kekuasaan. Meski baginya, kekuasaan bukanlah segalanya di dalam politik. Ia berpendapat, seorang politisi dianggap berhasil ketika ia bisa menjaga amanah masyarakat dan setiap kegiatan politik dapat bermanfaat bagi masyarakat. Untuk melancarkan upaya berpolitiknya, Dian melakukan polapola komunikasi yang beragam, baik formal maupun informal. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan membuka ruang silaturrahim dan membinanya dengan para pejabat pemerintah atau pimpinan-pimpinan politik. Ia juga terlibat di bermacam organisasi, baik di lingkungan masyarakat hingga kepengurusan organisasi pemuda tingkat nasional dan gerakan mahasiswa. Tercatat, ia menjabat sebagai Ketua IPPMI (Ikatan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 171 Pemuda Pemudi Minang Indonesia) Bidang Dakwah, Sekretaris Jenderal Gerakan Mahasiswa KOSGORO, dan Wakil Sekjen KNPI. Sementara di jalur informal, Dian tak canggung untuk berkomunikasi melalui pertemuan atau tatap muka bersama tokoh-tokoh masyarakat. Dian pun terbiasa tampil sebagai pemberi materi dalam kajian taklim, khâtib, dan lainnya. Seperti yang telah disebutkan dalam Bab III, penulis juga melakukan wawancara mendalam terhadap informan kunci. Mereka ini terdiri dari para alumni Pondok Modern Gontor yang tidak masuk ke dalam pusaran politik praktis akan tetapi memiliki kapabilitas dan concern untuk memperhatikan sepak terjang para alumni PMG yang berpolitik. Pada penelitian tesis ini, informan kunci dipilih untuk memberikan masukan terkait pengalaman, konsep diri, dan pola komunikasi informan pokok. Ada 3 informan kunci yang penulis pilih pada penelitian tesis ini, yaitu: 1. Chaider S. Bamualim, Ph.D Chaider S. Bamualim merupakan seorang peneliti senior pada Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen FISIP di universitas yang sama. Di lembaga CSRC Chaider banyak melakukan kajian dan riset seputar politik, budaya, dan dunia Islam. Tak heran jika ia cukup piawai mengomentari kaitan antara ketiga topik tadi, termasuk di antaranya soal pondok pesantren. Bahkan terkait pondok pesantren, CSRC mendapat suntikan dana dari Konrad Adenauer Stiftung-Jerman untuk program http://digilib.mercubuana.ac.id/ 172 “Pesantren for Peace” yang memungkinkan Chaider untuk terlibat melakukan riset lebih mendalam. Penulis merasa beruntung dapat mewawancarai alumni PMG angkatan 1986 ini. Dari wawancara yang dilakukan penulis pada 9 Juni 2015 tersebut, penulis banyak mendapatkan analisis tajam seputar politik Islam dan kaitannya dengan rekam jejak para politisi alumni PMG. Chaider yang mempertahankan desertasinya berjudul Negotiating Islamisation and Resistance: A Study of Religions, Politics and Social Change in West Java from the Early 20th Century to the Present di Leiden University itu antara lain meyakini bahwa PMG memang dibentuk dalam rangka mencetak para pemimpin di masyarakat. Meski demikian, artikulasi politik alumni PMG itu, menurutnya, harus dilihat dari bagaimana filsafat dan prinsip-prinsip bermasyarakat yang diajarkan PMG. Kira-kira pola politik seperti apa yang diinginkan the founding fathers. Prinsip-prinsip yang menonjol di Gontor itu—yang menurutnya adalah political statement—adalah Gontor untuk dan di atas semua golongan. Itu tagline dan political standing. Di sini dapat dilihat bahwa artikulasi politik Gontor itu terbuka dan tidak mengarahkan alumninya untuk menganut satu aliran politik tertentu atau tidak menyeru alumninya untuk menyalurkan aspirasi politiknya pada aliran tertentu. Ini sebabnya mengapa pada praktiknya, alumni PMG tidak bisa secara bulat mendukung partai atau personal tertentu. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 173 2. M. Agus Gofurur Rochim, M. Pd Menapaki karir yang linier dengan pendidikannya merupakan berkah tak ternilai bagi M. Agus Gofurur Rochim. Setelah menamatkan pendidikannya di KMI Pondok Modern Gontor selama 6 tahun, lelaki kelahiran Bandung 15 November 1967 itu meneruskan studinya di STAI Darussalam sepanjang 1987-1991. Kini, ia mengampu tugas yang sesuai dengan pendidikannya, yakni sebagai pengasuh Pondok Pesantren Madinatunnjah. Sejatinya, pondok ini merupakan “pondok alumni PMG” yang didirikan KH. Makhrus Amin, seorang kiai besar yang juga mengasuh Pondok Pesantren Darunnajah. Baik Pondok Pesantren Madinatunnjah maupun Pondok Pesantren Darunnajah merupakan pondok pesantren modern yang “berkiblat” pada kurikulum Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor. Karena kesesuaian kemampuan dan pekerjaannya, maka tak heran jika Agus dapat dengan mudah melihat kaitan antara kurikulum PMG dan rekam jejak para politisi alumni PMG. Karena hal ini pula penulis tertarik mewawancarai peraih gelar master pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Dari wawancara ini penulis ingin mengetahui lebih lanjut tentang peran PMG dalam membentuk pola pikir para alumninya, terutama yang berkiprah di bidang politik. Menurutnya, memang ada hubungan antara nilai-nilai yang diajarkan para kiai di Gontor dengan sikap hidup para santrinya. Di antara yang paling penting adalah Panca Jiwa, yaitu jiwa keikhlasan, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 174 kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah Islamiyah, serta kebebasan. Nah barang kali dari lima jiwa ini, maka nila-nilai itu dipraktikkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Selama 24 jam baik di dalam kelas, dan terutama di luar kelas merupakan hidden kurikulumnya. Jadi sebenarnya kurikulum Gontor itu menjadi sempurna karena pendidikan dan pembinaan di luar kelas itu justru lebih kuat dalam membentuk karakter. Nah ini yang disebut dengan the hidden curriculum. Oleh karena itu, salah seorang pengurus Kwarnas Pramuka ini meyakini sikap alumni yang didasarkan pada Panca Jiwa sesuai dalam berpolitik. Pertama, karena sudah ada kematangan dari pribadi mereka. Kedua, karena adanya nilai-nilai tadi sehingga mereka akan mempunyai komitmen dengan perjuangannya. Tapi semuanya diikat dalam ukhuwah Islamiyah dan para kiai di PMG selalu memberikan pesan kepada alumni Gontor harus menjadi perekat umat. Bagaimanapun, di manapun, dan apapun lapangan perjuangannya. Misinya adalah bagaimana ukhuwah tadi itu. Merekat umat, bukan memecah belah tapi menjadi perekat umat. 3. DR. Sunandar Ibnu Nur, MA Selain menjadi dosen di Fakultas Dakwah UIN Jakarta, Sunandar merupakan praktisi PR yang lama bergelut di dunia broadcast. Kiprahnya di dunia broadcast dimulai saat menjadi pengasuh program Kuliah Subuh di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Dari program semacam inilah lelaki kelahiran Bogor, 26 Juni 1962 ini merambah dari stasiun televisi ke http://digilib.mercubuana.ac.id/ 175 stasiun televisi lainnya. Antara lain, ia pernah menjadi konsultan program agama dan budaya di RCTI, pengasuh program Suara Rakyat Lintas Agama dan Hikmah Pagi di TVRI, presenter program Suara Rakyat Anteve, dan lain sebagainya. Pengalamannya mengasuh program keagamaan di televisi itulah yang memudahkan dirinya untuk membawa Ustad Arifin Ilham tampil di dunia broadcast dan kini dikenal masyarakat luas. Tak hanya Ustadz Arifin Ilham, beberapa ustadz lainnya pun merasakan sentuhan ajaib Dosen Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Sebagai dosen dan praktisi ilmu komunikasi, Sunandar sudah pasti sangat aware terhadap dunia public relations. Maka tak heran ia juga dapat dengan lugas mengomentari pola komunikasi yang dilakukan politisi alumni PMG. Apalagi alumni PMG angkatan 1982 ini pun pernah menjadi Ketua Umum IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor, Provinsi DKI untuk periode 2003 – 2007. Bahkan, ia pula yang membidani lahirnya PAGon (Persatuan Alumni Gontor) di tahun 2007, sehingga sangat dekat dengan perpolitikan yang dilakukan para alumni PMG. Menurutnya, ada kelemahan yang dimiliki para politisi alumni PMG dalam hal pola komunikasi. Kelemahan itu antara lain para politisi alumni PMG seolaholah berjuang sendiri dalam perjuangan politiknya. Seolah-olah mereka tidak memiliki keterpanggilan untuk saling mendukung dan saling bahumembahu. Termasuk tanpa adanya sinergi dengan wadah-wadah alumni semacam IKPM dan PAGon. Meski harus diakui bahwa wadah-wadah http://digilib.mercubuana.ac.id/ 176 alumni itu mampu membangun suasana harmonis, namun lebih kental pada paguyubannya, kebersamaannya. Memang betul ukhuwah-nya kuat tetapi tidak dalam hal dukung mendukung di kancah politik. 4.2. Hasil Penelitian 4.2.1. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran Sosial dan Politik Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku individu. Individu memandang atau menilai dirinya sendiri akan tampak jelas dari seluruh perilakunya, dengan kata lain perilaku seseorang akan sesuai dengan cara individu memandang dan menilai dirinya sendiri. Apabila individu memandang dirinya sebagai seorang yang memiliki cukup kemampuan untuk melaksanakan tugas, maka individu itu akan menampakan perilaku sukses dalam melaksanakan tugasnya. Sebaliknya, apabila individu memandang dirinya sebagai seorang yang kurang memiliki kemampuan melaksanakan tugas, maka individu itu akan menunjukkan ketidakmampuan dalam perilakunya. Hurlock dalam Anas (2013:74-75) mengemukakan, konsep diri merupakan inti dari pola perkembangan kepribadian seseorang yang akan mempengaruhi berbagai bentuk sifat. Jika konsep diri positif, anak akan mengembangkan sifatsifat seperti kepercayaan diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya secara realitas, sehingga akan menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik. Sebaliknya apabila konsep diri negatif, anak akan mengembangkan perasaan tidak http://digilib.mercubuana.ac.id/ 177 mampu dan rendah diri. Mereka merasa ragu dan kurang percaya diri, sehingga menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk pula. Konsep diri juga dikatakan berperan dalam perilaku individu karena seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya akan mempengaruhi individu tersebut dalam menafsirkan setiap aspek pengalaman-pengalamannya. Suatu kejadian akan ditafsirkan secara-berbeda-beda antara individu yang satu dengan individu yang lain, karena masing-masing individu mempunyai pandangan dan sikap berbeda terhadap diri mereka. Tafsiran-tafsiran individu terhadap sesuatu peristiwa banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya sendiri. Tafsiran negatif terhadap pengalaman disebabkan oleh pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya. Selanjutnya konsep diri dikatakan berperan dalam menentukan perilaku karena konsep diri menentukan pengharapan individu. Menurut beberapa ahli, pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri. Pengharapan merupakan tujuan, cita-cita individu yang selalu ingin dicapainya demi tercapainya keseimbangan batin yang menyenangkan. Konsep diri merupakan dasar dalam kajian teori interaksi simbolik. Kadang disebut sebagai teori sosilogi interpretatif yang sangat dipengaruhi oleh psikologi sosial. Kajian ini merupakan bentuk paling sederhana dan paling pokok dalam komunikasi yang dilakukan dengan isyarat. Hal ini disebabkan karena manusia bisa menjadi objek untuk dirinya sendiri dan dapat melihat tindakantindakan yang dilakukan seperti orang lain melihat dirinya, yang terkandung di http://digilib.mercubuana.ac.id/ 178 dalamnya bisa berupa isyarat fisik ataupun dengan sebaliknya menggunakan katakata yakni simbol suara yang mengandung makna (Sodikin, 2002:112). Proses penggunaan simbol ini adalah bagian dari proses berpikir secara subyektif, sehingga antara hubungan komunikasi dengan kesadaran subjektif ini menjadi sangat dekat, dan sampai pada titik sangat samar, kesadaran ini dihasilkan dari penggunaan simbol tersebut, dan kesadaran itu menghasilkan intelegensia yang mencakup tentang kesadaran diri (self). Secara bertahap setiap orang dapat memperoleh konsep dirinya ketika melakukan interaksi dengan orang lain dan konsep diri itu pula yang menunjuk pada identitas dirinya yang dinyatakan oleh orang lain atas dirinya tersebut. Sehingga konsep diri itu merupakan susunan kesadaran setiap orang yang diakibatkan berjalannya seperangkat hubungan sosial (interaksi) yang berlangsung atau yang ada dalam tatanan masyarakat yang utuh. Dalam mengembangkan teori tentang interaksi simbolik, G.H Mead menyatakan bahwa suatu masyarakat yang dibentuk oleh suatu pertukaran gerak tubuh dan bahasa yang mewakili proses mental, dan simbol tersebut disebut dengan teori peran (role theory) yang melihat cara konversasi atau percakapan internal dari self yang kemudian menjadi jembatan penghubung menuju strukturstruktur peran. Seperti paparan di atas, proposisi yang ditawarkan dalam interaksionisme simbolik adalah konsep-konsep tentang Mind (pikiran), Self (diri) dan Society (masyarakat). Tiga konsep itu dan hubungan di antara ketiganya merupakan inti pemikiran Mead, sekaligus key words dalam teori tersebut. Interaksionisme http://digilib.mercubuana.ac.id/ 179 simbolis secara khusus menjelaskan tentang bahasa, interaksi sosial dan reflektivitas. Mind atau pikiran, menurut Mead muncul bersamaan dengan proses sosial dan tidak dapat dipahami sebagai bagian dari proses itu sendiri. Proses komunikasi melibatkan dua fase yaitu: (1) the "conversation of gestures" dan (2) language (bahasa), atau the "conversation of significant gestures.". Kedua fase tersebut mensyaratkan suatu konteks sosial dimana dua atau lebih individu berinteraksi dengan satu atau yang lainnya. Mind, merupakan fenomena sosial yang berupa proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Mead walaupun menolak pandangan tradisional bahwa the mind secara substansial terpisah dari the body, juga menolak kalau dikatakan mind sematamata merupakan istilah physiology atau neurology. Namun Mead setuju dengan pandangan kaum behavioristik dengan mengatakan: “We can explain mind behaviorally if we deny its existence as a substantial entity and view it instead as a natural function of human organisms. But it is neither possible nor desirable to deny the existence of mind altogether”. Jadi Mind sebenarnya merupakan kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang dinamakan mind menurut Mead. The self atau diri, menurut Mead merupakan ciri khas dari manusia yang tidak dimiliki oleh binatang. Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri http://digilib.mercubuana.ac.id/ 180 sebagai sebuah objek dari perspektif yang berasal dari orang lain, atau masyarakat. Tapi diri juga merupakan kemampuan khusus sebagai subjek. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas interaksi sosial dan bahasa. Menurut Mead, mustahil membayangkan diri muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Karena itu ia bertentangan dengan konsep diri yang soliter dari Cartesian Picture. The self juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan orang lain karena adanya sharing of simbol. Artinya, seseorang bisa berkomunikasi, selanjutnya menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak apa yang sedang dikatakan dan menentukan atau mengantisipasi apa yang akan dikatakan selanjutnya. Mead menggunakan istilah significant gestures (isyarat-isyarat yang bermakna) dan significant communication dalam menjelaskan bagaimana orang berbagi makna tentang simbol dan merefleksikannya. Ini berbeda dengan binatang, anjing yang menggonggong mungkin akan memunculkan reaksi pada anjing yang lain, tapi reaksi itu hanya sekedar insting, yang tidak pernah diantisipasi oleh anjing pertama. Dalam kehidupan manusia kemampuan mengantisipasi dan memperhitungkan orang lain merupakan cirikhas kelebihan manusia. Menurut Mead kata-kata simbolik yang digunakan manusia dalam interaksi sosial juga mencakup isyarat non verbal (non verbal gestures) dan komunikasi non verbal. Jadi the self berkait dengan proses refleksi diri, yang secara umum sering disebut sebagai self control atau self monitoring. Melalui refleksi diri itulah menurut Mead individu mampu menyesuaikan dengan keadaan di mana mereka http://digilib.mercubuana.ac.id/ 181 berada, sekaligus menyesuaikan dari makna, dan efek tindakan yang mereka lakukan. Dengan kata lain orang secara tak langsung menempatkan diri mereka dari sudut pandang orang lain. Dari sudut pandang demikian orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai suatu kesatuan. Adapun konsep diri politikus alumni PMG, antara lain dibentuk oleh falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan para ustadz dan kiai di Pondok Pesantren Darussalam Modern Gontor. Selain berasal dari kajian-kajian yang diajarkan, falsafah dan nilai-nilai tersebut juga dapat dilihat dari Motto dan Panca Jiwa yang mesti dihafal dan dipraktikkan para santri PMG. Motto dan Panca Jiwa inilah yang menjadi ruh pendidikan dan pembentukan konsep diri, seperti diakui DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA (dalam Sulaiman, 2009). Ragam falsafah dan nilainilai yang diajarkan Pondok Modern Gontor itu juga diyakini informan-informan lainnya turut membentuk konsep diri dan motivasi normatif para politikus alumni Pondok Modern Gontor. Motto PMG yang menekankan pembentukan pribadi mukmin-muslim tersebut adalah: (1) berbudi tinggi; (2) berbadan sehat; (3) berpengetahuan luas; dan (4) berpikiran bebas. Sementara Panca Jiwa yang mendasari kehidupan di Pondok Modern Gontor adalah: (1) jiwa keikhlasan; (2) jiwa kesederhanaan; (3) jiwa berdikara; (4) jiwa ukhuwah Islamiyah; dan (5) jiwa kebebasan. Dalam hal ini, selain yang disebutkan DR. H. Dian Assafri, MA di Bab 1, paparan seputar Panca Jiwa juga diberikan M. Agus Gofurur Rochim, M. Pd. sebagai berikut: “Memang ada hubungan antara nilai-nilai yang diajarkan para kiai di Gontor dengan sikap hidup. Di antara yang paling penting adalah Panca http://digilib.mercubuana.ac.id/ 182 Jiwa, yaitu jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah Islamiyah, serta kebebasan. Nah, barang kali dari lima jiwa ini, maka nilainilai itu dipraktikkan dalam kehidupan kami sehari-hari. Selama 24 jam baik di dalam kelas, dan terutama di luar kelas merupakan hidden kurikulumnya. Jadi sebenarnya kurikulum Gontor itu menjadi sempurna karena pendidikan dan pembinaan di luar kelas itu justru lebih kuat dalam membentuk karakter. Nah ini yang disebut dengan the hidden curriculum,” (Wawancara M. Agus Gofurur Rochim pada 14 Mei 2015). Seluruh poin dalam Motto dan Panca Jiwa di atas memiliki uraian yang sangat menarik untuk dikupas. Hanya saja, penulis melihat jika “berpikiran bebas” dan “jiwa kebebasan” menjadi pembeda yang unik dari PMG dibandingkan pondok-pondok pesantren lainnya. Kata “bebas” yang terkandung di dalamnya menjadi penting dan menarik karena kerap kali dipahami sebagai “liberal” yang cenderung dimaknai negatif oleh orang-orang di luar PMG. Sementara para santri dan alumni PMG memiliki pemaknaan yang jauh dari sangkaan masyarakat umum dan memiliki kecenderungan positif. “Berpikiran bebas” dan “jiwa kebebasan” sesungguhnya menjadi modal spiritual yang mendorong para santri untuk memiliki kebebasan dalam berpikir dan bertindak. Inilah modal yang sejatinya sangat manusiawi karena pada hakikatnya manusia memang diberikan akal untuk menakar serta menentukan baik dan buruk. Namun demikian, sebagai hamba Allah, kebebasan yang terkandung di dalamnya tidak dimaknai bebas yang “kebablasan”, melainkan bebas yang teratur mengikuti koridor ajaran Islam. Hal ini juga dipaparkan secara jelas oleh Agus: “Kebebasan yang dimaksudkan Panca Jiwa, sejatinya, sesuai dengan kebebasan yang terdapat di dalam Islam. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu keistimewaan Islam adalah menghormati adanya kebebasan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 183 ). Kebebasan itu fitrah manusia. Maksud dari “kebebasan” ( di dalam Panca Jiwa adalah jiwa merdeka. Hal ini juga bermakna merdeka dan tidak mau tunduk kepada penjajah. Melihat sejarahnya, Pondok Gontor didirikan sebelum kemerdekaan pada 1926, saya yakin di dalam sikap Trimurti memiliki semangat juang nasionalisme yang tidak rela melihat negeri Indonesia ini dijajah. Untuk itu saya juga yakin jika para pendiri bermaksud agar para santrinya mempunyai mental orang merdeka bukan mental budak. Maka Jiwa Bebas itu adalah jiwa merdeka, bukan robot, bukan pesuruh, bukan babu, bukan orang yang selalu diatur”. Pada akhirnya, konsep diri tersebut membentuk karakter para santri dan alumni PMG serta sangat mempengaruhi tindakan mereka dalam keseharian (aktualisasi). Bagi para politikus alumni PMG, konsep diri yang membentuk karakter dan mempengaruhi tindakan itu juga sangat mempengaruhi pola komunikasi politik mereka. Dengan “Jiwa Kebebasan” misalnya, para alumni PMG kemudian tampil dengan karakter kuat yang tidak ingin selalu “mengekor” pada sebuah kebijakan tertentu. Aktualisasinya, banyak para alumni PMG yang tampil menjadi pionir lembaga-lembaga, baik lembaga sosial, pendidikan, dan lainnya. Sekalipun masuk menjadi anggota sebuah lembaga, mereka akan tampil dengan gaya dan pemikiran yang mencerminkan seorang pemimpin. Dari aktualisasi seperti inilah pola komunikasi alumni PMG dapat dikenali secara khas. 4.2.1.1. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran Sosial Manusia adalah makhluk ciptaan Allah subhânahû wa ta’âlâ dengan wujud fisik dan fungsinya yang sempurna dibandingkan makhluk Allah lainnya. (QS. At-Tîn [95]:4) Manusia diciptakan sebagai makhluk multidimensional, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 184 memiliki akal pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial. Oleh karenanya manusia dianggap sebagai makhluk unik yang memiliki kemampuan sosial sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. (Bungin, Sosiologi Komunikasi, 2013:25) Di sisi lain, manusia dengan kemampuan akalnya mampu mengembangkan kemampuan tertingginya sebagai makhluk ciptaan Allah, yaitu memiliki kemampuan spiritual. Sehingga disamping sebagai makhluk individual, makhluk sosial, manusia juga sebagai makhluk spiritual. Hal ini sesuai dengan amanah yang dibebankan kepada manusia menurut konsep agama Islam, yakni manusia sebagai hamba Allah (QS. Adz-Dzâriyât [51]:56) dan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]:30). Sementara dalam konsep ilmu sosial, selain disebut sebagai mahluk individu manusia disebut juga sebagai makhluk sosial. Hal ini berarti bahwa manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain. Pada dasarnya manusia tidak bisa hidup sendiri di dunia ini, baik sendiri dalam konteks fisik maupun dalam konteks sosial-budaya. Terutama dalam konteks sosial-budaya, manusia membutuhkan manusia lainnya untuk saling berkolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya. Demikian halnya dengan para alumni Pondok Modern Gontor (PMG). Mereka adalah individu-individu manusia yang hidup dan berada dalam komunitas masyarakat tertentu. Meski secara umum kehidupan pribadinya sama dengan masyarakat yang lain, namun terdapat peran dan identifikasi yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 185 berbeda. Kali ini penulis membagi konsep diri alumni PMG dalam peran sosialnya menjadi 2 bagian, yakni perilaku sosial dan penampilan. 1. Perilaku Sosial Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai alumni sebuah pesantren, kehidupan alumni PMG dipandang memiliki kelebihan dibandingkan kehidupan masyarakat pada umumnya. Terlebih lagi mereka merupakan produk sebuah pesantren besar yang dikenal luas dengan kemampuan berbahasa Arab dan Inggrisnya, sehingga diyakini mampu menerjemahkan kitab berbahasa Arab dan Inggris. Tak heran jika kebanyakan dari mereka bekerja sebagai dosen, guru, ustadz, motivator, dan penceramah di berbagai majelis taklim atau radio dan televisi. Dengan kemampuan seperti itu, alumni PMG memiliki kepercayaan diri tinggi untuk menjadi panutan masyarakat. Di sisi lain, mereka pun tidak bisa lepas dari kehidupan dan tata sosial masyarakat, sehingga perilaku mereka akan selalu menjadi sorotan masyarakat. Alumni PMG akan selalu menjaga sikap dan perilakunya sesuai dengan yang didapatkan saat nyantri dahulu. Sikap “jaim” (menjaga imej) tentu semakin tampak dari alumni PMG yang menjadi public figure, seperti pemilik yayasan pendidikan, pengasuh pesantren, atau penceramah yang kerap diundang komunitas pengajian atau on air di radio dan televisi. a. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Pengajar (Guru, Dosen, atau Ustadz) Guru seringkali diartikan pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, umumnya, guru berarti pendidik profesional dengan tugas http://digilib.mercubuana.ac.id/ 186 utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Secara formal, guru adalah seorang pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus sarjana, dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa guru merupakan pendidik di tingkat prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga perguruan tinggi. Meski demikian, dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. Di Indonesia, status guru dapat dibagi ke dalam dua kategori, yakni guru tetap dan guru honorer. Guru tetap biasanya telah memiliki status minimal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, dan telah ditugaskan di sekolah tertentu sebagai instansi induknya. Selaku guru di sekolah swasta, guru tersebut dinyatakan guru tetap jika telah memiliki kewenangan khusus yang tetap untuk mengajar di suatu yayasan tertentu yang telah diakreditasi oleh pihak yang berwenang di pemerintahan Indonesia. Sementara guru honorer biasanya tidak tetap dan belum berstatus minimal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil. Mereka digaji per jam pelajaran. Di banyak tempat, seringkali mereka digaji secara sukarela dan bahkan di bawah gaji minimum yang telah ditetapkan secara resmi. Secara kasat mata, mereka sering nampak tidak jauh berbeda dengan guru tetap, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 187 bahkan mengenakan seragam Pegawai Negeri Sipil layaknya seorang guru tetap. Hal tersebut sebenarnya sangat menyalahi aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Secara fakta, mereka berstatus pengangguran terselubung. Pada umumnya, mereka menjadi tenaga sukarela demi diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil melalui jalur honorer, ataupun sebagai penunggu peluang untuk lulus tes Calon Pegawai Negeri Sipil formasi umum. Adapun pengertian dosen menurut Undang-undang nomor 14 tahun 2005 pasal 1 ayat 2 adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama yaitu mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. (www.kemdikbud.go.id) Sementara ustadz atau seringkali ditulis ustad atau ustaz, kurang lebih memiliki makna sama dengan guru. Menurut Dr. Ali Jasim Salman dalam kitab Mausu’ah Al-Akhtha' Al-Lughawiyyah As-Syâi'ah, kata “ustadz” berasal dari bahasa Persia klasik yang dalam bahasa Persia terkini ditulis “istâdz” ( ( ). Dari segi arti ia mendekati kata “khawâjah” ), sebuah kata bahasa Parsi yang bermakna pengajar, tuan, atau orang tua. Di negara Arab, istilah ustadz merujuk pada dosen atau http://digilib.mercubuana.ac.id/ 188 akademisi yang memiliki kepakaran tertentu. Seperti pakar dalam bidang ilmu tafsir akan disebut sebagai . (www.alkhoirot.net) Senada dengan pengertian di atas, Ahmad Sarwat, Lc., pengasuh tanya jawab di www.eramuslim.com, mengatakan istilah ustadz di negeri Arab memiliki kedudukan sangat tinggi. Hanya para doktor (S-3) yang sudah mencapai gelar profesor saja yang berhak diberi gelar Al-Ustadz. Kira-kira artinya memang profesor di bidang ilmu agama. Jadi istilah ustadz ini lebih merupakan istilah yang digunakan di dunia kampus di beberapa negeri Arab, ketimbang sekadar guru agama biasa. (www.eramuslim.com) Adapun di Indonesia, panggilan ustadz biasanya disematkan kepada orang yang mengajar agama. Artinya secara bebas adalah guru agama, pada semua levelnya. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa bahkan kakek dan nenek. Bahkan, panggilan ustadz juga kerap dilekatkan pada sosok da'i, mubaligh, penceramah, guru mengaji Al-Quran, guru madrasah diniyah, guru mengaji kitab di pesantren, pengasuh/pimpinan pesantren (biasanya pesantren modern). Perilaku sosial sebagai guru, dosen, atau ustadz ini kerap ditemui penulis pada alumni PMG. Hal ini, tampaknya, merupakan dampak dari pola pengajaran di PMG. Perlu diketahui bahwa di PMG, seluruh kegiatan belajar-mengajar (KBM) di tingkat dasar dan menengah dilaksanakan oleh sebuah lembaga bernama Kulliyyat Al-Mu’allimîn Al-Islâmiyyah (KMI). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 189 Beragam pelajaran harus diikuti seluruh santri sejak pagi hingga malam hari. Yang menarik, KMI sepertinya mengarahkan para santri agar bisa tampil sebagai guru di masyarakat. Hal ini tampak pada kurikulum tahunan KMI, ‘amaliyat at-tadrîs. Kurikulum ini berisi praktik mengajar yang diperuntukkan bagi santri kelas VI. Menjelang akhir masa studinya diadakan PPL untuk santri, dimana seorang santri melaksanakan praktik sementara kawan-kawannya yang satu kelompok dengannya mengamati dan selanjutnya memberikan evaluasi (naqd). Setelah praktik pengajaran selesai, diadakan sesi evaluasi oleh guru praktik sendiri, santri-santri lain yang juga anggota kelompoknya, dan guru supervisor yang membimbing jalannya seluruh proses PPL tersebut. Di samping praktik mengajar ini, setiap santri kelas VI telah melaksanakan latihan mengajar pada sore hari. Mereka dilatih untuk mengajar santrisantri kelas I dan kelas II pada pelajaran tambah di sore hari (dars alidhâf). (Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren, 2005:132) Dari hasil penelusuran penulis, semua informan pokok pernah menjadi seorang guru atau dosen. DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA., misalnya, sebelum aktif sebagai pimpinan MPR RI pada 2004, beliau adalah dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan dosen Universitas As-Syafiiyah. Sementara DR. H. Husnan Bey Fananie, MA., pernah tercatat sebagai Wakil Rektor Universitas Mathla’ul Anwar, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 190 Pandeglang dan pengajar di KMI PMG sepanjang 1986-1988. Adapun Hemlmi Hidayat hingga saat ini masih menjadi dosen di Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi serta Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta sejak 2005 dan dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta. Meski bukanlah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi, Lookh Makhfudz boleh dikatakan seorang ustadz yang memimpin Pondok Pesantren Muhammadiyah Al-Munawaroh di Kota Malang. Sementara Imam Wahyudi, sebelum bertolak ke Jakarta hingga saat ini, ia pernah tercatat sebagai staf pengajar di Ponpes Al-Khair, Palembang. Dan sejak tahun 2011 hingga 2013, ia pun pernah menjadi dosen di Universitas Serang, Banten. Adapun Dian Assafri, pernah juga menjadi dosen di Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, dan Universitas Trilogi. b. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Penceramah (Dai atau Motivator) Meski hampir setiap pondok pesantren—menurut pengalaman penulis—memiliki pelajaran ceramah atau khutbah, namun Pondok Modern Gontor memiliki cara unik dalam mengajarkan pelajaran tersebut. Di PMG, pelajaran ceramah atau khutbah dinamakan dengan muhâdlarah. Muhâdlarah atau dalam Bahasa Arab ditulis http://digilib.mercubuana.ac.id/ berarti ceramah atau 191 kuliah. Sementara pelakunya atau penceramahnya disebut sebagai . (Ali dan Muhdlor, 1999:1639) Muhâdlarah atau public speaking atau pidato merupakan pelajaran yang wajib diikuti setiap santri dan wajib menguasainya. Saking pentingnya pelajaran ini, PMG menggembleng para santri secara serius. Muhâdlarah memang memiliki tempat istimewa di PMG, karena fungsinya sebagai Kulliyyâtul Mu’allimîn Al-Islâmiyah (KMI) yang mencetak para guru agama Islam. Melalui Muhâdlarah setiap santri diharapkan tidak minder, tidak takut, berani berhadapan dan berbicara di depan khalayak. (Fathurrohman, 2014:45) Para santri PMG tak hanya mendapat bekal secara klasikal, melainkan juga memiliki klub muhâdlarah yang setiap tahunnya akan ikut serta dalam perlombaan muhâdlarah 3 bahasa, yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab. Hal ini didukung oleh pernyataan Hidayat Nur Wahid: “Kemudian kami juga dibiasakan untuk menerima pelajaran umum dan agama yang disampaikan dengan Bahasa Arab dan Inggris. Bahkan kami diwajibkan untuk berbicara dalam Bahasa Arab dan Inggris. Jika tidak melakukannya, kami dikenakan sanksi. Dari situ kami disiapkan untuk menjadi calon pemimpin yang berpengetahuan luas dan mampu berkomunikasi dengan baik. Kami juga menerima pelajaran muhadlarah lalu lomba pidato 3 bahasa yang sebenarnya mengasah kami untuk menjadi lebih baik dari pada yang lainnya.” (Wawancara, 20 Oktober 2015) Karena sudah terbiasa diberikan mata pelajaran muhâdlarah, di masyarakat, santri PMG pun biasa untuk tampil berani dan percaya diri di http://digilib.mercubuana.ac.id/ 192 muka umum. Maka tak heran jika para alumni PMG banyak berkiprah sebagai seorang penceramah, pendakwah, atau motivator. Beberapa alumni PMG yang dikenal sebagai penceramah, pendakwah, atau motivator itu antara lain KH. Bachtiar Natsir, Din Syamsuddin, KH. Hasyim Muzadi, Emha Ainun Najib, KH. Ahmad Satori Ismail, Ridwan M. Yusuf, dan Sunandar Ibnu Nur. Begitu pula halnya dengan informan pokok yang penulis teliti, semuanya merupakan penceramah yang biasa mengisi suatu majelis taklim. Apalagi informan semacam Helmi Hidayat yang hingga saat ini masih aktif berceramah secara on air di televisi dan radio. Sementara Hidayat Nur Wahid dan Husnan Bey Fananie pun sesekali masih menghiasi layar kaca. Dalam Bahasa Indonesia, penceramah adalah orang yang memberi ceramah atau disebut juga pembicara. Makna itu bisa ditemukan jika menelusuri Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online. Di situ tertulis kata dasar ce-ra-mah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak pendengar, mengenai suatu hal, pengetahuan, dan sebagainya. Sementara ber-ce-ra-mah diartikan (pengetahuan dan memberikan sebagainya) atau uraian tentang menyampaikan suatu hal ceramah. (www.kbbi.web.id) Disamping kata penceramah, umumnya, masyarakat Indonesia juga mengenal istilah pendakwah atau dai dan motivator. Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online mengemukakan arti motivator sebagai orang (perangsang) yang menyebabkan timbulnya motivasi pada orang lain http://digilib.mercubuana.ac.id/ 193 untuk melaksanakan sesuatu atau ia juga disebut pendorong atau penggerak. Sementara dakwah sebagai kata dasar pendakwah adalah penyiaran; propaganda, atau penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama. Kata dakwah seringkali disandingkan dengan kata “ilmu” dan “Islam”, sehingga kita sering mendengar “ilmu dakwah” dan “ad-da’wah al-islamiyyah”. Ilmu dakwah adalah suatu ilmu yang berisi cara-cara dan tuntunan untuk menarik perhatian orang lain supaya menganut, mengikuti, menyetujui atau melaksanakan suatu ideologi, agama, pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang menyampaikan dakwah disebut "da'i" sedangkan yang menjadi obyek dakwah disebut "mad'u". Jadi, setiap muslim yang menjalankan fungsi dakwah Islam adalah "da'i". Dalam ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah adalah bentuk dari isim (kata benda) masdar yang berasal dari kata kerja: yang artinya menyeru, memanggil, mengajak. Secara etimologis, kata dakwah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti: panggilan, ajakan, dan seruan, memanggil, mengajak, menyeru. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Swt. dalam Al-Quran: http://digilib.mercubuana.ac.id/ 194 “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk,” (QS. An-Nahl [16]:125). Merujuk kepada apa yang dilakukan Rasulullah Saw., upaya penyampaian ajaran Islam (dakwah) dapat dilakukan dengan 3 pendekatan, yaitu lisan, tulisan, dan perbuatan. Bahkan perilaku beliau pun merupakan dakwah. Pendekatan lisan (bil-lisan) adalah upaya dakwah yang mengutamakan pada kemampuan lisan. Pendekatan tulisan (ar-risalah) adalah dakwah yang dilakukan dengan melalui tulisan baik berupa buku, brosur, maupun media elektronik. Sedang pendekatan perbuatan (bil-hal) yakni kegiatan dakwah yang mengutamakan kemampuan kreativitas perilaku dai secara luas atau yang dikenal dengan action approach atau perbuatan nyata. Misalnya dengan menyantuni fakir-miskin, menciptakan lapangan pekerjaan, memberikan ketrampilan dan sebagainya. (Suisyanto, 2002:183) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 195 c. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Aktivis Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online menampilkan arti aktivis sebagai orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya. Kecenderungan para alumni PMG sebagai aktivis sangat besar mengingat pengalaman organisasi yang menempa mereka selama nyantri. Di PMG, terdapat banyak jenis kegiatan organisasi, mulai Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM), Gerakan Pramuka, drum band, klub muhâdlarah atau public speaking, klub bahasa, melukis, fotografi, dan lain sebagainya. Ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Hidayat Nur Wahid: “Kami juga wajib mengikuti Gerakan Pramuka. Saya pernah menjadi utusan PMG untuk mengikuti Jambore tingkat provinsi. Pramuka ini menjadi salah satu cara untuk menggembleng jiwa para santri untuk menjadi para pemimpin yang mampu beradaptasi, survive, dan bekerjasama. Kami juga aktif di organisasi santri lainnya seperti OPPM. Semuanya itu dibingkai dalam keislaman dan ukhuwah Islamiyah.” (Wawancara, 20 Oktober 2015) Sementara menurut M. Agus Gofurur Rochim, aktivitas organisasi para santri PMG antara lain merupakan bentuk aplikasi dari ajaran “para santri siap dipimpin dan siap memimpin”. Kepemimpinan di PMG itu, menurutnya, ada mulai dari hal yang paling kecil. Contohnya, di setiap kamar terdapat kepengurusan. Di kelas juga demikian, di klub-klub muhâdlarah, klub olahraga, kesenian, pramuka. Bahkan yang paling jelas itu kepemimpinan di pramuka, mulai penggalang, penegak, hingga pandega semuanya adalah hirarki. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 196 “Jadi menurut saya, Gontor telah mengajarkan kepemimpinan itu by design dan memang milieu (lingkungan pergaulan) nya diciptakan seperti itu, sehingga dari sekian banyak santri itu pasti pernah mengalami kepemimpinan mulai dari sektor paling kecil hingga paling besar. Nah, saat kelas 4-5, para santri aktif di kepengurusan rayon/konsulat di masing-masing daerah dan puncaknya di kelas 5-6 aktif di organisasi pelajar pondok modern (OPPM). Organisasi OPPM ini seperti OSIS namun dengan dinamika yang lebih terasa kuat.” (Wawancara, 14 Mei 2015) Selain itu, para santri PMG pun diberikan pelajaran tentang pentingnya berkontribusi untuk memberikan manfaat kepada lingkungan dan masyarakat. Ajaran ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.: Artinya: “Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” Hadits dihasankan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ No. 3289. (www.muslim.or.id) Bahkan disadari oleh hampir seluruh alumni PMG bahwa mereka ditempa tidak hanya sebagai aktivis di sebuah organisasi masyarakat, melainkan benar-benar diarahkan untuk menjadi seorang pemimpin di organisasi tersebut. Apalagi salah seorang pendiri PMG, yakni KH. Imam Zarkasyi pernah berujar bahwa beliau lebih suka jika santri PMG menjadi seorang imam (pemimpin) di sebuah surau kecil dengan jamaah yang istiqâmah, dibanding menjadi imam (pemimpin) di sebuah surau besar namun jamaahnya tidak istiqâmah. Pernyataan ini dipahami oleh para alumni PMG sebagai doktrin kepada mereka untuk tampil sebagai http://digilib.mercubuana.ac.id/ 197 pemimpin di sebuah organisasi di masyarakat. Dalam hal ini, Imam Wahyudi menegaskan: “Harus dipahami bahwa sebenarnya Gontor itu mencetak kader yang siap terjun ke masyarakat. Meski kami sekolah di Kulliyatul Muslimin AI-Islamiyah (KMI) yang setara dengan SMA, namun kami dicetak sebagai kader, dipaksa untuk menjadi pemimpin dan harus siap terjun ke masyarakat di usia 17-18 tahun. Bayangkan. Karena tuntutan itulah kami berevolusi dengan belajar terus dan kemudian pola pikir dan watak kami berkembang terus ketika sudah di luar. Hal itu yang menjadi semacam doktrin bagi kami, utamanya dengan ajaran-ajaran yang kami terima di pondok”. (Wawancara, 3 Juni 2015) Berdasarkan penelusuran di lapangan, penulis menemukan fakta bahwa semua informan pokok yang diteliti memiliki perilaku sosial yang hampir sama, yakni berperan sebagai guru (termasuk dosen dan ustadz) atau minimal pernah menjadi guru, sebagai penceramah (termasuk pendakwah dan motivator), sekaligus sebagai aktivis di organisasi. Semua perilaku sosial tersebut, selain muncul karena dorongan idealisme sebagai alumni PMG, pun menjadi semacam modal sosial bagi mereka untuk meretas karir politiknya. Untuk lebih jelasnya, penulis membuat tabel sebagai berikut: Tabel 4.2.1.1.a. Perilaku Sosial Informan Pokok NO INFORMAN 1 Hidayat Nur Wahid 2 Husnan Bey Fananie 3 AKTIVITAS SOSIAL Guru, Dosen, Penceramah Aktivis Ustadz Ya Ya Ya Pernah Ya Ya Helmi Hidayat Ya Ya Ya 4 Lookh Makhfudz Ya Ya Ya 5 Imam Wahyudi Pernah Ya Ya 6 Dian Assafri Ya Ya Ya http://digilib.mercubuana.ac.id/ 198 2. Penampilan Politisi Alumni Pondok Modern Gontor Jika dilihat secara seksama, ada ciri khas yang tampak pada para politisi alumni PMG dan dapat disebut sebagai identitasnya. Ciri khas pertama dapat ditemukan dalam penggunaan istilah yang berasal daru bahasa Arab, gaya berbusana, dan lembaga sosial yang dibentuk atau kerap dimasuki para politisi alumni PMG sebagai tempat beraktivitas secara sosial. a) Penggunaan istilah dari bahasa Arab Seperti yang telah disebutkan di awal bab ini bahwa ide modernisasi pondok pesantren yang dikelola Trimurti ini berawal dari kegelisahan KH. Ahmad Sahal saat menghadiri Kongres Umat Islam di Surabaya pada 18-23 September 1926. Kegelisahan itu muncul saat tidak ada seorang pun peserta kongres yang menguasai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris untuk menghadiri Muktamar Islam se-Dunia seperti yang diamanatkan kongres tersebut. (Zarkasyi, 2005:110-116) Usai menghadiri kongres itu Pak Sahal, demikian biasanya beliau disapa, berembuk dengan kedua adiknya KH. Zainuddin Fananie dan KH. Imam Zarkasyi untuk mendapatkan solusinya. Persoalan tersebut menyadarkan ketiganya bahwa ada masalah dalam diri umat Islam ketika itu mengenai cara pandang terhadap ilmu. Umat Islam ketika itu memandang ilmu secara dikotomis antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Kesalahan cara pandang tersebut menjadi serius karena ia berdampak pada cara pandang umat yang juga menjadi serba dikotomis terhadap seluruh dimensi kehidupan, termasuk dimensi pendidikan. Di lembaga pendidikan keislaman, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 199 pondok pesantren hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sementara di lembaga pendidikan umum, ilmu-ilmu agama tidak mendapatkan tempat. Ketiga kakak-beradik itu pun akhirnya sepakat untuk mengubah cara pandang umat Islam itu dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang mengintegrasikan ilmu-ilmu agama (revealed knowledge) dan ilmu kawniyah (acquired knowledge). Upaya ini kemudian diwujudkan dengan memilih sistem pendidikan pesantren yang diintegrasikan dengan sistem madrasah/sekolah dengan pertimbangan kedua sistem tersebut memiliki keunggulan masing-masing. Keunggulan pesantren terletak pada sistem asramanya serta pendidikan mental attitude yang kuat. Sedangkan sistem madrasah memiliki keunggulan metodologis dan manajemen yang efektif dan efesien serta keluasan wawasan intelektual. Intengrasi ini diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara kedua sistem tersebut, sehingga keduanya dapat berperan saling melengkapi. Tak heran jika para pendiri PMG sering mengatakan bahwa tujuan pendidikan PMG adalah mencetak “ulama yang intelek. Di sisi lain, model ini mencerminkan integrasi antara tradisionalitas (alasâlah) dengan modernitas (al-mu’âsarah). Integrasi sistem inilah yang dimaksud dengan pembaruan atau modernisasi sistem pendidikan pesantren di PMG. Setelah mendirikan Tarbiyat Al-Athfal pada 1926 dan Sullam Al-Muta’âlimîn pada 1932, bentuk pembaruan itu dilakukan dengan mendirikan Kulliyat Al-Mu’allimîn AlIslâmiyyah (KMI) pada 1936. Pasca berdirinya KMI inilah integrasi sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan modern dilakukan sepenuhnya. Jika sistem pesantren diambil http://digilib.mercubuana.ac.id/ 200 dari warisan leluhur para pendiri dan pesantren pada umumnya, maka sistem pendidikan modern diambil dari Sekolah Thawalib di Padang Sidempuan milik Mahmud Yunus. Gerakan pembaruan pendidikan Islam di Padang pada umumnya berasal dari pengaruh gerakan kebangkitan Islam yang terjadi di Timur Tengah pada abad ke-19 dengan tokohnya Jamaluddin Al-Afghani melalui gagasan Pan-Islamisme yang menabuh gendering kebangkitan Islam secara politik. Meski akhirnya dianggap gagal, namun gerakan ini dianggap mampu menggugah kesadaran umat Islam untuk bangkit dari ketertinggalannya dan meraih kembali kejayaannya. Murid setia Jamaluddin Al-Afghani bernama Muhammad Abduh meneruskan gagasan ini melalui bidang pendidikan dengan memperbarui sistem pendidikan Islam di Al-Azhar Mesir. Pembaruan ini melahirkan perguruan tinggi Dâr Al-Ulûm, dimana Mahmud Yunus menamatkan pendidikan tingginya. Nyatanya bukan hanya Mahmud Yunus, di Mesir juga banyak pelajar Indonesia yang belajar di sana dan mempengaruhi mereka untuk melakukan pembaruan di tanah air. Meski demikian, menurut Zarkasyi (2005:114), Pak Zar tidak sepenuhnya menduplikasi ide dan konsep Noormal Islam dan Sumatera Thawalib. Ada juga pengaruh gurunya, Al-Hasyimi—seorang ulama, tokoh politik, dan sastrawan dari Tunisia yang diasing pemerintah Prancis di wilayah penjajahan Belanda—ketika Pak Zar belajar di Madrasah Arabiyah Islamiyah di Solo. Pengaruh Al-Hasyimi turut berperan dalam perubahan pesantren yang dikelola Trimurti tersebut. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 201 Salah seorang Trimurti sekaligus kakak Pak Zar, yaitu Pak Fananie atau KH. Zainuddin Fananie yang sejak tahun 1926 diutus menjadi Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Selatan pun tak ketinggalan berkontribusi dalam perubahan modernisasi sistem di Pondok Modenr Gontor. Pak Fananie yang diutus bersamaan dengan Buya Hamka (Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Timur kemudian Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Barat), dan KH. A. Malik Siddik (Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Tengah) itu memang dikenal banyak menelurkan gagasan pembaruan pendidikan Islam modern melalui buku, di antaranya Pedoman Pendidikan Modern. (lihat Fathurrohman, 2014:10) Konon, keakraban ketiganya sangat kental. Keakraban itu salah satunya tergambar pada kesepakatan ketiganya untuk sama-sama menikahi perempuan Sumatra Barat yang dikenal memiliki kecerdasan dan paras cantik. Selain itu ketiganya pun sepakat untuk menamai anak laki-laki pertama dengan nama Rusydi. Menurut Husnan Bey Fananie, penamaan Rusydi ini boleh jadi karena ketiganya sama-sama mengagumi pemikiran dan sosok Ibnu Rusyd (averoos), seorang ulama fikih, filosof, dan cendikiawan muslim ternama kelahiran Cordova (wafat 595 H). Maka tak heran jika kemudian Pondok Modern Gontor menjadikan Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd sebagai acuan dalam kajian ilmu fikih bagi para santrinya. Integrasi sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan modern yang dianut PMG itu, menurut Husnan Bey Fananie, sejatinya juga mengacu kepada buku Pedoman Pendidikan Modern karya KH. Zainuddin Fananie yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 202 ditulisnya pada tahun 1934. Buku inilah yang menjadi blue print pendidikan di KMI. Menurutnya: “Pola pendidikan di Gontor adalah pola pendidikan yang integral, dimana pendidikan rumah atau keluarga sebagai al-madrasatul ûla (the first school) digabungkan dengan al-madrasatul tsâni (the second school), yakni sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan al-madrasatul tsâlits (the third school), yaitu masyarakat”. (Fathurrohman, 2014:38) Sayangnya, di masa-masa awal, sistem yang diterapkan PMG tidak mendapat sambutan yang baik, bahkan mendapat tantangan yang hebat dari masyarakat. Penerapan sistem belajar secara klasikal, penggunaan kurikulum yang tidak hanya memuat pelajaran agama tapi juga pelajaran umum, penggunaan bahasa asing selain Bahasa Arab seperti Bahasa Inggris dan Belanda, tidak mendapatkan simpatik dari masyarakat. Meski lambat laun sistem yang dianggap modern ini pun diterima, bahkan belakangan juga diikuti oleh pondok-pondok pesantren lain. Tradisi berbicara menggunakan Bahasa Arab itu pada akhirnya menjadi ciri khas PMG dan telah dikenal dalam dunia pondok pesantren di Indonesia. Tak hanya Bahasa Arab, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, santri PMG juga dikenal dengan tradisi berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Tradisi ini merupakan ciri khas Pondok Modern Gontor sebagai pondok pesantren yang menerapkan kurikulum modern (khalaf) dalam kegiatan belajar dan mengajarnya sekaligus menjadi keunggulan dibandingkan pondok pesantren tradisional (salaf) yang menitikberatkan pengajaran gramatikal (ilmu nahwu dan ilmu sharaf) dalam kajian Bahasa Arabnya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 203 Di Pondok Modern Gontor, santri sudah diwajibkan berkomunikasi menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris pada semester kedua kedatangannya. Jika kedapatan tidak menggunakan kedua bahasa tersebut, santri akan mendapatkan hukuman (ta’zir). Kedua bahasa tersebut dipelajari para santri selepas shalat Subuh berjamaah melalui pelajaran mutaroddifat atau vocabularies untuk menambah perbendaharaan kosa kata. Penggunaan dwibahasa itu tidak cuma dalam komunikasi verbal, melainkan juga pada setiap interior pondok. Tulisan berbahasa Arab dan Inggris dengan mudah ditemukan di setiap tempat, baik di dinding asrama, dapur, kamar, lapangan olahraga, dan lainnya. (Fathurrohman, 2014: 35) Tradisi menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris di PMG itu kemudian menular hingga para santri telah menjadi alumni. Meski istilah-istilah yang digunakan dalam komunikasi verbal sehari-hari pada umumnya lebih banyak dari Bahasa Arab. Misalnya penggunaan kata “ana” ( ) untuk mengganti kata “saya” dan penggunaan kata “antum” ( ) untuk mengganti kata “anda” yang ditujukan kepada komunikan yang usianya di bawah komunikator. Sementara kepada komunikan yang usianya lebih tua atau untuk sebuah penghormatan, kata “antum” dan “ustadz” ( ) lebih banyak digunakan. Penggunaan kata “ana” dan “antum” tersebut, umumnya dilakukan hanya terhadap sesama alumni Pondok Modern Gontor. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 204 Penggunaan kata-kata “ana”, “antum”, dan “ustadz” dalam komunikasi, sejatinya, sudah digunakan para santri Pondok Modern Gontor sejak lama. Jauh sebelum model komunikasi semacam ini menjadi lumrah di masyarakat pada saat ini. Menurut penelusuran penulis, kata serapan dari Bahasa Arab yang banyak digunakan oleh masyarakat dewasa ini merupakan tradisi kalangan Ikhwanul Muslimin di Indonesia yang dibawa oleh aktivis Partai Keadilan Sejahtera (dulu PK). Meski jika dilihat dari sisi gramatikal Bahasa Arab, penggunaan kata “antum” kepada komunikan tunggal adalah keliru dan tidak dikenal di negaranegara Timur Tengah. Kata “antum” digunakan dalam bentuk memuliakan atau mengagungkan ( ). Boleh jadi, kata “antum” tersebut untuk “mengikuti” penggunaan kata “nahnu” ( ) oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam sejumlah ayat yang menunjukkan makna tunggal. Di Pondok Modern Gontor, kekeliruan tersebut memang tidak terlalu dipermasalahkan. Karena penerapan nahwu sebagai dasar dalam berbahasa Arab tidak mutlak digunakan dalam muhadatsah atau percakapan. Terdapat kaidah yang memaklumkan hal tersebut, yakni: (Nahwu dalam percakapan ibarat garam dalam makanan). Pada kenyataannya, politikus alumni PMG memang kerap menggunakan kata-kata serapan dari Bahasa Arab itu dalam keseharian. Hanya saja, penggunaannya lebih sering digunakan kepada komunikan sesama alumni PMG. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 205 Sedikit sekali kata-kata tersebut digunakan kepada komunikan di luar alumni PMG, kecuali untuk penghormatan kepada komunikan yang dianggap memilki basis ilmu keislaman yang kental. Hal ini juga berlaku ketika mereka berkiprah di partai politik. Husnan Bey Fananie, misalnya, jarang sekali penulis temukan berbicara menggunakan komunikasi semacam itu dengan rekan sejawatnya di PPP. Lain halnya jika rekan sejawatnya itu memang sama-sama alumni PMG. Demikian pula hal yang sama penulis ketahui dari keseharian Lookh Makhfudz di PAN, Helmi Hidayat dan Imam Wahyudi di PDIP, serta Dian Assafri di Partai Golkar. Namun, kasus yang berbeda penulis temukan pada DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA yang kerap menggunakan model komunikasi semacam itu kepada rekan-rekan sejawatnya di PKS. Penggunaan kata-kata serapan seperti di atas, seolah telah menjadi tradisi di kalangan kader PKS. Hal ini bisa juga dipahami mengingat PKS merupakan pembawa ideologi ikhwanul muslimin di Indonesia melalui gerakan “Tarbiyah”. Seperti diketahui bahwa gerakan “Tarbiyah” merupakan gerakan dakwah Islamiyah yang mulai marak di Indonesia pada era 1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di Timur tengah, terutama Ikhwanul Muslimin. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada. (Kamseno, 2011) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 206 b) Gaya berbusana Sebelum menguraikan gaya berbusana para politisi alumni PMG, ada baiknya penulis sedikit mengulas tentang gaya berbusana para santri PMG yang penulis anggap sangat unik dan tampak mempengaruhi gaya berbusana mereka setelah menjadi alumni. Saat melakukan riset di PMG pada medio Februari 2014, penulis melihat gaya berbusana para santri PMG sangat berbeda dengan gaya berbusana para santri di pondok pesantren tradisional (salaf) pada umumnya. Jika santri di pondok pesantren tradisional memiliki gaya berbusana unik dengan mengenakan sarung dan baju kurung/koko dalam aktivitas sehari-harinya, maka para santri PMG mengenakan celana kain panjang, jas, dan dasi sebagai pakaian keseharian saat belajar di pondok. Rupanya, gaya berbusana para santri PMG itu tak lepas dari sejarah PMG yang mencetuskan sistem pendidikan modern sejak Trimurti mendirikannya. Di masa-masa awal, sistem modern yang diterapkan di PMG tidak mendapat sambutan yang baik. Sama halnya dengan kurikulum yang menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris, seperti yang dipaparkan di atas, penerapan gaya berbusana pun mendapat tantangan yang hebat dari masyarakat. Selain penggunaan bahasa asing, penyelenggaraan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, pelaksanaan disiplin yang ketat dengan pemberian sanksi kepada santri yang melanggar menjadi sorotan tidak simpatik dari masyarakat. Apalagi ada kebijakan para guru dan santri diwajibkan memakai jas, dasi, dan celana panjang. Praktik pendidikan di pesantren semacam ini dianggap asing dan tidak popular ketika itu. Akibatnya, Pondok Gontor menerima banyak kritik, gunjingan, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 207 dan ejekan. Tak hanya itu, ratusan santri yang mondok pun secara berbondongbondong meninggalkan Pondok Gontor, sehingga pada awal tahun pendirian KMI, santri Gontor hanya tersisa 16 orang. (Zarkasyi, 2005:115) Boleh jadi masyarakat ketika itu, terutama di kalangan pondok pesantren, menganggap bahwa berpakaian dengan jas, dasi, dan celana merupakan bagian tradisi orang asing yang mereka cap sebagai kafir. Padahal apapun yang menjadi tradisi orang kafir menjadi haram untuk diikuti. Pandangan seperti ini sempat penulis alami saat nyantri di pondok pesantren tradisional di Babakan Ciwaringin, Cirebon, terutama karena adanya dalil yang menunjukkan hal tersebut. Di antaranya adalah hadits: “Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka,” (HR. Ahmad 2:50 dan Abu Daud No. 4031). Selain itu sebuah hadits: Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami,” (HR. Tirmidzi No. 2695 Syaikh Al-Albani mengatakan hadits ini hasan). Pandangan tersebut, bagi kalangan muslim moderat tentu saja tidak dipahami secara letterlijk (baca: leterlek), melainkan pada konteksnya. Bahwa pakaian jas, dasi, dan celana merupakan pakaian biasa seperti pada umumnya dengan manfaat yang sama. Apalagi jas, dasi, dan celana panjang yang dikenakan para santri Gontor itu, tampaknya juga dipengaruhi oleh semangat perjuangan para Bumiputra yang dimulai pada tahun 1914. Tentang hal ini penulis dapatkan dari diskusi dan tulisan hasil riset berjudul Inlandsche Journalisten Bond (1914- http://digilib.mercubuana.ac.id/ 208 1915): Melawan dengan Pena dan Busana yang ditulis Luthfi Adam, seorang mahasiswa studi sejarah Asia tenggara di Northwestern University, Amerika Serikat. Menurutnya, gaya berbusana ala Eropa ini, antara lain, terlihat ketika rapat umum Sarekat Islam di Blitar pada 1914, dimana aktivis SI mengenakan pakaian Eropa dan duduk di kursi. Disamping menulis dengan pena, gaya berpakaian ala Eropa itu disebut sebagai lambang perlawanan terhadap politik sosial yang dilancarkan penjajah Belanda. (Adam dalam remotivi.or.id) Sekadar diketahui, sejak era VOC (1602-1700), pemerintah kolonial mewajibkan tiap penduduk untuk mengenakan pakaian tradisional masingmasing, dan harus tinggal di kampung-kampung sesuai dengan etnis masingmasing. peraturan ini berlaku terutama di kota-kota kolonial, seperti Batavia dan Semarang. Hal ini ditujukan agar memudahkan polisi kolonial melacak penjahat karena tempat tinggal penjahat bisa dikenali melalui pakaiannya. Saat ini, seperti yang penulis saksikan ketika observasi di PMG, para santri begitu rapi dalam berpakaian dan sangat menjaga kebersihan. Rupanya, PMG menerapkan peraturan yang sangat ketat dalam gaya berbusana bagi para santrinya. Misalnya untuk kegiatan formal seperti saat belajar di kelas, para santri PMG wajib mengenakan kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kain panjang. Bahkan untuk kegiatan formal lainnya dalam sebuah event penting, seperti saat muhâdlarah dan Peringatan Hari Besar Islam, selain mengenakan kemeja dan celana kain panjang, para santri juga mengenakan jas, dasi, dan kopiah atau peci. Dan ketika shalat shalat berjamaah di masjid, penulis mendapatkan fenomena unik. Untuk shalat berjamaah di masjid, para santri wajib mengenakan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 209 kemeja yang dimasukkan ke dalam sarung yang diberi ikat pinggang. Tambahannya, para santi membawa sajadah di bahu kanan dan Al-Quran dibawa dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri membawa kantung sandal yang dibeli di koperasi. Di kantung itu terdapat nama, kelas, rayon, dan konsulat agar tidak tertukar. Sandal dimasukkan ke dalam kantung dimaksudkan untuk menjaga kebersihan masjid dan menghindari perilaku ghashab atau meminjam tanpa izin. Sepanjang berada di PMG, para santri dilarang untuk mengenakan celana jeans. Bahkan untuk tidur pun, para santri dilarang untuk memakai celana training. Celana training hanya digunakan saat berolah raga. Sementara ketika tidur, para santri wajib mengenakan celana kain panjang yang diberi ikat pinggang. Dan menariknya, di setiap aktivitas apapun, baik belajar, berolah raga, saat hendak mandi, hingga tidur pun para santri harus mengenakan papan nama (name tag) yang dikaitkan di dada sebelah kiri. Bagi para santri PMG, setiap kegiatan memiliki tradisinya masing-masing. Setidaknya, hal ini sesuai dengan ajaran yang mereka dapatkan: yang terjemahan bebasnya kurang lebih: setiap tempat ada perkataan dan setiap perkataan ada tempatnya. Ketatnya peraturan berbusana tersebut, secara perlahan menjadi tradisi unik para santri PMG. Kebiasaan itu pun kerap dibawa hingga mereka sudah lulus dari pondok. Tak heran jika para alumni PMG umumnya berpenampilan necis dan rapi. Cirinya, baik mengenakan kaos atau kemeja harus dimasukkan ke dalam http://digilib.mercubuana.ac.id/ 210 celana yang diberi ikat pinggang. Sementara pada aktivitas formal, para alumni PMG pun tak canggung mengenakan jas, dasi, dan peci. Pun demikian saat penulis memperhatikan gaya berbusana para informan. Baik pada informan pokok maupun informan kunci, penulis masih menemukan tradisi berbusana PMG yang rapi. Hanya saja pada aktivitas nonformal, penulis mendapati sejumlah informan ada yang mengenakan celana jeans, meski tetap saja kaos atau kemeja yang dikenakannya dimasukkan ke dalam celana. Umumnya celana jeans dikenakan oleh informan yang berusia muda seperti Imam Wahyudi dan Dian Assafri. Bahkan informan angkatan 80-an seperti Helmi Hidayat dan Husnan Bey Fananie pun kerap mengenakan celana jeans dalam aktivitas nonformal. “Saya suka berpenampilan casual saat santai. Meski untuk pakaian atas mengenakan kemeja atau kaos, pilihan pakaian bawah lebih sering celana jeans. Lebih simple saja, tidak formal meski juga tidak berpenampilan biasa saja. Intinya sih saya mengenakan pakaian itu tergantung aktivitasnya. (Wawancara Husnan Bey Fananie, September 2015) c) Lembaga sebagai wadah beraktivitas Penampilan seseorang seringkali merepresentasikan jenis aktivitas atau lembaga di mana ia beraktivitas. Seorang anggota Tentara Nasional Indonesia, misalnya, dalam aktivitas resminya pasti mengenakan seragam TNI. Begitu juga seorang kiai yang penampilannya cenderung mudah dikenali melalui gaya berbusananya. Atau seorang dosen yang penampilannya cenderung berbeda dengan penampilan seorang wartawan atau karyawan pabrik. Lain halnya dengan penampilan para alumni PMG. Mengingat lembaga sebagai wadah beraktivitas para alumni PMG yang sangat beragam, penampilan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 211 mereka tidak bisa disama-ratakan. Alumni PMG merupakan status bukanlah lembaga professional atau lembaga sosial. Alumni PMG juga bukanlah sebuah aktivitas provesional atau sosial. Meski seorang alumni PMG yang berprofesi sebagai ustadz atau pengasuh pondok pesantren umumnya akan berbeda gaya berbusananya dengan alumni PMG yang seorang polisi atau karyawan kantor. Hanya saja, pilihan lembaga yang kerap dimasuki para alumni PMG umumnya cenderung sama, yakni lembaga pendidikan, dakwah dan sosial. Para politikus alumni PMG tak melulu masuk dalam sebuah lembaga sosial, bahkan umumnya mereka menjadi pendiri dari lembaga tersebut. Lembaga-lembaga pendidikan, dakwah, atau lembaga sosial itu pada akhirnya bisa jadi pijakan mereka untuk masuk ke dunia politik. Misalnya saja seorang Lookh Makhfudz yang memiliki basis massa di kalangan majelis taklim. Menurutnya, melalui majelis taklim itulah ia bisa dikenal publik dan pada akhirnya ia pernah terpilih sebagai anggota DPRD Kota Malang atas dukungan suara dari anggota majelis taklim. Apalagi kini ia pun memiliki sebuah pondok pesantren yang dikelolanya. Adapun aktivitasnya di organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah pun menggiringnya untuk masuk sebagai kader Partai Amanat Nasional. Sementara itu Helmi Hidayat memilih lembaga pendidikan dan dakwah sebagai aktivitasnya. Selain menjadi dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta, mantan redaktur Harian Umum Republika ini juga menjadi penceramah di majelis taklim serta sejumlah televisi dan radio. Adapun Imam Wahyudi memilih organisasi kemasyarakatan sebagai tempat beraktivitasnya. Saat ini, staf ahli salah http://digilib.mercubuana.ac.id/ 212 seorang anggota DPR RI itu aktif di Yayasan Kembang Setaman Jakarta, PWNU DKI Jakarta, dan PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Sementara Dian Assafri banyak terlibat dalam lembaga pemberdayaan masyarakat semacam AlQuran Center Az-Zahra dan LP2M Midada Center selain ia juga aktif di organisasi kepemudaan seperti KNPI. Aktifnya para alumni PMG di lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial itu, menurut Chaider S. Bamualim, tidak terlepas dari pengaruh ajaran yang diterima para alumni di PMG. Salah satunya adalah ajaran yang dikemukakan Pak Zar bahwa beliau lebih suka jika santri PMG menjadi seorang imam (pemimpin) di sebuah surau kecil dengan jamaah yang istiqâmah, dibanding menjadi imam (pemimpin) di sebuah surau besar namun jamaahnya tidak istiqâmah. “Ada juga pernyataan Pak Zar yang mengatakan bahwa saya tidak lebih bangga memiliki santri yang jadi menteri atau pejabat tinggi ketimbang mereka yang duduk di mushalla kecil dan membina umat. Sama saja kebanggaannya. Artinya, orang yang pulang dan berdakwah mau bersusahsusah di masjid membina umat itu nilainya tidak lebih kecil daripada menjadi menteri atau pejabat tinggi. Ini juga merupakan sikap dan dorongan pimpinan pondok kepada santri yang kemudian menginspirasi mereka untuk terlibat dalam aksi-aksi perubahan sosial. Statement itu tidak ada kaitannya dengan politik, tapi sepertinya menginspirasi para alumninya untuk bekerja di grass root. Dan siapapun yang bekerja di grass root itu sebenarnya sedang membangun basis politik. Statement itu tidak bermuatan politik tapi lebih pada filosofis bagaimana alumni harus berperan di masyarakat dan berpengaruh pada kemuliaan seseorang”. (Wawancara pada 9 Juni 2015) Ajaran lainnya yang mendorong para alumni PMG berkiprah di lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial yang dianggap langsung bersentuhan dengan masyarakat adalah pentingnya menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya (khairunnâs anfa’uhum linnâs) serta pentingnya berjuang untuk http://digilib.mercubuana.ac.id/ 213 kepentingan Islam dan umatnya. Terkait hal ini, Husnan Bey Fananie mengemukakan: “Ajaran yang sering kami dapat antara lain fî ayyi ardlin wa anta mas-ûlun ‘an islâmiha yang maknanya di manapun bumi dipijak, kamu bertanggung jawab atas keislamanmu. Lebih lanjut lagi Pak Kiai sering mengatakan, kalau kalian berjuang untuk agama di bidang apapun, maka kalian harus berkorban. Berkorban itu adalah daya upaya yang kita keluarkan dengan maksimal. Beliau mengatakan daya upaya itu bondo (harta), bahu (tenaga), pikir (pikiran), lek perlu sak nyawane pisan (bila perlu nyawa). Itu dikeluarkan untuk memberdayakan umat, membangun kekuatan Islam”. (Wawancara pada 29 Maret 2015) Tabel 4.2.1.1.b. Penggunaan Istilah Bahasa Arab, Gaya Berbusana, dan Lembaga Sosial Informan Pokok NO INFORMAN Penggunaan Istilah Bahasa Arab Gaya Berbusana Lembaga Sosial & Profesional 1 Hidayat Nur Wahid Istilah dari Bahasa Arab digunakan dalam komunikasi keseharian kepada sesama pengurus dan kader PKS serta alumni PMG. Formal: Kopiah (kadang tidak berkopiah), kemeja panjang, batik, jas, dasi, dan celana kain panjang. Nonformal: Tidak berkopiah, kemeja pendek, kaos berkerah, celana kain panjang. LP2SI Yayasan Al-Haramain IKPM Badan Wakaf PMG Forum Dakwah Islam 2 Husnan Bey Fananie Istilah dari Bahasa Arab digunakan dalam komunikasi keseharian kepada alumni PMG dan kadang-kadang kepada bukan alumni PMG. Formal: Kopiah (kadang tidak berkopiah), kemeja panjang, batik, jas, dasi, dan celana kain panjang. Nonformal: Tidak berkopiah, kemeja pendek, Ketua Umum Fananie Center PARMUSI IKPM Pondok Modern Gontor http://digilib.mercubuana.ac.id/ 214 kaos berkerah, kadang mengenakan celana jeans. 3 Helmi Hidayat Istilah dari Bahasa Arab digunakan dalam komunikasi keseharian kepada alumni PMG dan kadang-kadang kepada bukan alumni PMG. Formal: Sering tidak berkopiah, kemeja panjang/pendek, batik, jas, dasi, dan celana kain panjang. Nonformal: Tidak berkopiah, kemeja pendek, kaos berkerah, kadang mengenakan celana jeans. Penceramah di mejlis taklim, radio, televisi, dan aktif di media sosial Yayasan Kamil UIN Jakarta UMJ 4 Lookh Makhfudz Istilah dari Bahasa Arab digunakan dalam komunikasi keseharian kepada alumni PMG dan kadang-kadang kepada bukan alumni PMG. Formal: Tidak berkopiah, kemeja, batik, jas, dasi, celana kain panjang. Nonformal: Tidak berkopiah, kemeja pendek, kaos berkerah, celana kain panjang. Yayasan Ponpes Al-Munawaroh, Kota Malang Direktur Sahlan Tour & Travel IKPM Fananie Center 5 Imam Wahyudi Istilah dari Bahasa Arab digunakan dalam komunikasi keseharian kepada alumni PMG dan kadang-kadang kepada bukan alumni PMG. Formal: Tidak berkopiah, kemeja panjang/pendek, batik, kadang memakai jas dan dasi, celana kain panjang. Nonformal: Tidak berkopiah, kemeja pendek, kaos berkerah, kadang celana jeans. Yayasan Kembang Setaman PWNU DKI Jakarta PARMUSI IKPM PAMALAYU 6 Dian Assafri Istilah dari Bahasa Arab digunakan dalam Formal: Tidak berkopiah, kemeja panjang, Ketua LPPPM Midada Center Pendiri Al- http://digilib.mercubuana.ac.id/ 215 komunikasi keseharian kepada alumni PMG dan kadang-kadang kepada bukan alumni PMG. batik, kadang memakai jas dan dasi, celana kain panjang. Nonformal: Tidak berkopiah, kemeja pendek, kaos berkerah, kadang celana jeans. Quran Center “Az-Zahra” Pimpinan CV Dian Artha Persada KOSGORO KNPI Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka konsep diri dalam sudut pandang sebagai makhluk sosial dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 4.2.1.1. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran Sosial http://digilib.mercubuana.ac.id/ 216 4.2.1.2. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran Politik Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon yang merupakan elemen terkecil dari sebuah negara. Bagi Aristoteles, kumpulan individu yang membentuk masyarakat dan akhirnya memunculkan entitas negara adalah tujuan sempurna zoon politicon sehingga mencapai kebaikan bersama. Politik, dalam arti kata kesalinghubungan (interrelation) antarmanusia merupakan salah satu dimensi terpenting dari manusia. Sementara itu dalam pandangan Aristoteles, politik adalah kenyataan tak terelakkan dari kehidupan manusia. Kenyataan ini terlihat dari berbagai aktivitas manusia, misalnya, ketika manusia berusaha menduduki suatu jabatan tertentu, seseorang mencoba meraih kesejahteraan bagi dirinya atau golongannya dengan berbagai sumber daya yang ada, atau juga seseorang atau institusi yang berusaha memengaruhi seorang yang lain atau institusi lain. Beberapa contoh tersebut adalah kenyataan politik dalam pemahaman seluasluasnya. Dalam bahasan keislaman, politik merupakan bagian tak terelakkan dari posisi manusia sebagai al-khalîfah fil al-ardl (QS. Al-Baqarah [2]:30). Melalui politik inilah manusia memiliki kesempatan beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan cara memberikan maslahat bagi diri dan lingkungannya. Jika setiap manusia adalah zoon politicon, maka demikian halnya dengan para alumni PMG yang melakukan tindakan komunikasi politik. Menilik pernyataan Aristoteles di atas, maka dapat dikatakan bahwa semua manusia adalah komunikator politik. Hanya saja, harus diakui bahwa sedikit orang yang dapat berkomunikasi politik secara tetap dan bersinambung. Hal ini bisa dilihat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 217 bahwa para komunikator politik lebih berbeda dengan masyarakat lainnya dalam hal kesungguhan bila mereka berbicara dan berbuat politik. Menurut Dan Nimmo dalam Rahmat (2011:58), ada tiga kategori komunikator politik yang paling utama. Pertama, politikus sebagai komunikator politik; kedua, profesional sebagai komunikator politik; dan ketiga, aktivis sebagai komunikator politik. Mengingat informan pada penelitian ini adalah para pelaku politik yang terlibat dalam sebuah partai politik, maka para alumni PMG yang menjadi informan di sini masuk dalam kategori politikus sebagai komunikator politik. Dan sebagaimana yang dipaparkan pada Bab II, poltikus dimaknai sebagai orang yang bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, ataupun pejabat karir, dan tidak mengindahkan apakah jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Sebagaimana yang dikemukakan Daniel Katz (dalam Nimmo, 1989) bahwa politikus terbagi ke dalam dua hal yang berbeda berkenaan dengan sumber kejuangan kepentingan politikus pada proses politik, yaitu politikus ideolog (negarawan) dan politikus partisan. Seorang politikus tidak terlepas dari keikutsertaanya dalam sebuah partai politik. Menurut Anwar Arifin (2011:28), komunikasi politik berkaitan juga dengan partai politik, karena partai politik di negara demokrasi menyelenggarakan fungsi sebagai sarana komunikasi politik. Selain itu partai politik juga berfungsi sebagai sarana sosialisasi politik dan rekrutmen politik tergantung pada komunikasi politik. Komunikasi politik menyentuh semua aspek sistem politik dan berperan dalam aktivitas partai politik, di antaranya pemikiran politik, pembicaraan politik, dan tindakan politik. Sedangkan partai politik menjadi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 218 jembatan arus informasi timbal balik dari “mereka yang memerintah” (the rules) dengan “mereka yang diperintah” (the ruled). Dalam menjalankan fungsinya itulah maka partai politik dapat menjadi bursa ide-ide (clearing house of ideas) yang hidup dan dinamis. Secara umum Miriam Budiardjo (2010:404) mengungkapkan bahwa partai politik memiliki basis sosiologis, yaitu ideologi atau cita-cita dan kepentingan yang diarahkan untuk memperoleh kekuasaan. Hal itu penting agar setiap partai dapat membangun citra dirinya dengan para pendukungnya. Sementara itu pengertian partai politik juga dirumuskan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, bahwa partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Berdasarkan formulasi UU tadi, partai politik memiliki kedudukan yang sangat strategis, terutama karena hanya partai politik atau gabungan partai politik sajalah yang boleh mengajukan calon presidan dan wakil presiden untuk dipilih oleh rakyat dalam pemilihan presiden (pilpres). Demikian juga partai politik menetapkan calon-calon anggota legislatif untuk dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum berdasarkan suara terbanyak. (Arifin, 2011:31) Lebih lanjut Arifin menjelaskan bahwa dalam mencapai tujuan politiknya, partai politik harus merebut pengaruh dalam masyarakat melalui pencitraan pembentukan Opini Publik serta memenangkan pemilihan umum dengan cara melakukan komunikasi politik dalam bentuk lobi, sosialisasi, retorika, kampanye, http://digilib.mercubuana.ac.id/ 219 dan kegiatan lainnya. Oleh karena itu kemantapan lembaga partai politik sangat penting dan strategis, karena partai politik akan tampil sebagai komunikator yang terlembagakan berdasarkan paradigma mekanistis dalam komunikasi politik. Hal itu akan menjadi masalah bagi kehidupan demokrasi jika para aktor politik (politikus) itu tidak memiliki kompetensi dalam mengelola partai politik dan melakukan komunikasi politik yang efektif. (Arifin, 2014:196) a. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Politikus Ideolog Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politiknya lebih memperjuangkan kepentingan bersama atau publik. Mereka tidak begitu terpusat untuk mendesakkan tuntutan seorang langganan atau kelompoknya, tetapi dia lebih memfokuskan dirinya atau pesan-pesannya untuk hal yang lebih luas dengan kebijakannya dari mulai mengupayakan reformasi bahkan sampai mendukung untuk perubahan yang revolusioner—sepanjang hal itu mendatangkan kebaikan untuk bangsa dan negara. Anwar Arifin (2014:20) mengupas definisi ideologi berdasarkan pandangan para ahli. Pada umumnya, menurut Walsky, istilah ideologi digunakan untuk mencerminkan suatu pandangan hidup atau sikap mental dalam bidang politik. Secara khusus, Adorno mengartikan ideologi sebagai suatu perangkat pandangan, serta sikap-sikap dan nilai-nilai, atau suatu orientasi berpikir tentang manusia dan masyarakat yang dapat dimiliki seseorang juga dimiliki bersama oleh anggota masyarakat. Ideologi juga dapat mengandung asumsi dan kumpulan keyakinan tentang lingkungan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 220 sosial politik yang mungkin belum teruji kebenarannya. Ideologi biasanya diwarnai oleh emosi dan penuh dengan mitos, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, semua informan memiliki dasar ideologi kuat untuk berkiprah di partai politik. Ideologi itu muncul atas dasar dorongan untuk memajukan dan menyejahterakan umat, bangsa, dan negara. Kata “umat” biasanya beriringan dengan kata “bangsa” yang menandakan bahwa para informan memahami posisi umat Islam sebagai masyarakat dominan di Indonesia. Ideologi itu sendiri menjadi tampak seragam karena para informan sama-sama menerima falsafah dan nilainilai yang diajarkan para ustadz di PMG. Artinya, disadari atau tidak, melalui falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan itu PMG sesungguhnya telah menanamkan doktrin agar para santrinya menjadi para pemimpin umat. Hal ini tampaknya disadari betul oleh DR. Hidayat Nur Wahid, MA yang saat ini menjadi Wakil Ketua MPR RI: “PMG memang didirikan untuk membentuk calon-calon pemimpin umat dan bangsa di masa depan. Kegiatan sehari-hari di PMG kan memang menandakan hal itu. Dari sejak awal, misalnya, kami dididik seputar berpengetahuan luas, berpikiran bebas, persaudaraan, akhlak mulia, dan lainnya. Tapi kemudian hal itu dibingkai dengan perilaku sehari-hari seperti yang tadinya eksklusif digabungkan dalam satu kamar atau konsulat dan berbaur dengan kawan-kawan dari berbeda daerah”. (Wawancara pada 20 Oktober 2015) Salah satu ajaran yang mereka dapatkan antara lain kalimat dalam Bahasa Arab, khairunnas anfa’uhum linnas wa ahsanu khuluqan atau jargon-jargon yang kerap dimunculkan saat nyantri seperti “siap http://digilib.mercubuana.ac.id/ 221 memimpin dan siap dipimpin”. Hal ini diungkapkan Lookh Makhfudz yang merupakan Ketua DPD PAN Kota Malang berikut ini: “Jadi jargon-jargon seperti ready to be right and ready to be left, itu memang selalu dikemukakan di PMG. Seperti juga jargon “siap memimpin dan siap dipimpin.” Pemimpin dalam arti yang luas, sekalipun jadi guru ngaji. Karena yang penting adalah bermanfaat bagi umat. Sehingga, khairunnâs anfa’uhum linnâs wa ahsanu khuluqan itu menjadi doktrin agar kita bermanfaat bagi manusia”. (Wawancara Lookh Makhfudz pada 20 Oktober 2015) Pada konteks yang sama, Imam Wahyudi yang berkiprah di salah satu organisasi yang menjadi sayap PDIP menyatakan sikapnya berpolitik, yakni untuk meninggikan kalimat Allah yang kalimat lengkap dalam Bahasa Arabnya adalah: li i’lâi kalimâtillâh wa li’izzil islâm wal muslimîn. Kalimat yang bermakna: “untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini serta untuk memuliakan Islam dan umatnya” itu bahkan sering didengar para santri PMG dalam setiap doa yang disampaikan para ustadz dan pengasuh pondok. “Iya. Itu sangat melekat dalam diri santri. Utamanya saya. Sebelum saya keluar dari Gontor, saya sempat mengabdi setahun. Dan menjelang akhir pengabdian itu kami dipanggil Pak Syukri dan ditanya satu persatu. Beliau menetapkan 3 pesan, salah satunya perkuat ukhuwah Islamiyah dengan rajin silaturrahim. Arti silaturrahim itu luas, antara lain membangun jejaring sosial, membangun komunitas, organisasi, lembaga antar agama dan lain sebagainya. Maknanya cukup luas. Namun jangan lupa bahwa misi utamanya adalah li i’lâi kalimâtillah.” (Wawancara Imam Wahyudi pada 3 Juni 2015) Pandangan ini juga diutarakan DR. H. Husnan Bey Fananie, MA. Menurut Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan ini, falsafah dan nilainilai yang diajarkan PMG menjadi pijakan kuat bagi para alumninya untuk http://digilib.mercubuana.ac.id/ 222 mengarungi kehidupan di luar pondok, termasuk di bidang politik. Dan salah satu ajaran yang menjadi sandaran para alumni PMG dalam berpolitik adalah Fî ayyi ardlin wa Anta mas-ûlun ‘an Islâmihâ: “Banyak ajaran yang diberikan dan salah satu yang paling jelas adalah: Fî ayyi ardlin wa Anta mas-ûlun ‘an Islâmihâ. Artinya, di manapun bumi dipijak, kamu bertanggung jawab atas keislamanmu. Pak Kiai sering mengatakan, kalau kalian berjuang untuk agama di bidang apapun, maka kalian harus berkorban. Berkorban itu adalah daya upaya yang kita keluarkan dengan maksimal. Beliau mengatakan daya upaya itu bondo (harta), bahu (tenaga), pikir (pikiran), lek perlu sak nyawane pisan (bila perlu nyawa). Itu dikeluarkan untuk memberdayakan umat, membangun kekuatan Islam”. (Wawancara Husnan Bey Fananie pada 29 Maret 2015) b. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Politikus Partisan Politikus partisan adalah orang-orang yang melakukan komunikasi sebagai wakil suatu kelompok dan apa yang disampaikannya berupa pesan-pesan untuk melindungi tujuan dan kepentingan politik dirinya maupun kelompoknya. Dalam makna yang lain, Politikus Partisan adalah mereka yang mengidentifikasi diri sebagai wakil kelompok yang lebih banyak melindungi atau mendahulukan kepentingan kelompok atau pribadi. Meski para informan mengaku memiliki dasar ideologi kuat dalam mengarungi dunia politik, namun pada perjalanannya kemudian para informan terlihat memiliki kecenderungan untuk berada di kelompok politikus partisan. Bahkan beberapa di antaranya memiliki kecenderungan yang kuat sebagai politikus partisan. Falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan para ustadz di PMG memang menjadi bekal, akan tetapi tujuan meraih kekuasaan pun turut mengemuka bersamaan dengan pengalaman http://digilib.mercubuana.ac.id/ 223 mereka berpolitik. Apalagi posisi mereka sebagai politikus yang berada dalam lingkaran partai politik mengharuskan mereka jadi representasi partai yang dibelanya itu. Hal tersebut antara lain tampak pada posisi Imam Wahyudi yang memang mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari sebuah partai politik. “Saya ambil studi S1 itu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Selain itu saya juga pernah aktif di HMI dan saya kira untuk menjadi seorang pemimpin, baik sebagai bupati, gubernur, presiden, atau anggota DPR RI, maka saat ini cara yang paling mainstream adalah melalui partai politik. Sepertinya sudah naluri saya ingin terjun di partai politik untuk menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain”. (Wawancara Imam Wahyudi pada 3 Juni 2015) Kiprah Imam di kancah politik memang by design. Ia ingin selalu berada di tengah-tengah masyarakat untuk lebih memaksimalkan potensi diri dan bermanfaat bagi orang lain, ingin turut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memakmurkan masyarakat. Dan untuk mencapai itu pilihannya adalah masuk ke partai politik sebagai washilah. Hingga kini upaya itu terus ingin diwujudkannya. Salah satunya ia pernah menjadi caleg tingkat provinsi di Bangka Belitung meski gagal. Belakangan ia mengakui akan menjadi anggota DPRD Bangka Belitung dalam proses Pergantian Antar Waktu (PAW) sesuai kesepakatan yang diterimanya di tingkat partai. Imam bercita-cita jika nanti ia menjadi anggota dewan dalam satu periode saja, ia berencana maju pada pencalonan bupati atau gubernur. Upaya yang akan dilakukaannya nanti adalah terus menciptakan track record baik semaksimal mungkin di tengah-tengah masyarakat. Tujuannya, tentu saja http://digilib.mercubuana.ac.id/ 224 agar ia mendapat simpatik dari masyarakat dan memudahkannya untuk meraih kekuasaan yang lebih tinggi di daerahnya. Hal yang sama juga terjadi pada Lookh Makhfudz. Aktivitasnya sebagai seorang da’i membuatnya mudah dikenal masyarakat Kota Malang. Bahkan ia memiliki konstituen politik yang berbasis majelis taklim. Maka tak heran jika pada periode 2009-2014 Lookh terpilih sebagai anggota DPRD Kota Malang. Lookh mengakui jika pemilih “tradisionalnya” adalah jamaah majelis taklim, meski pada kenyataannya jamaah itu pun tak selalu menjadi pendongkrak suara baginya. Hasilnya, pada periode 2014-2019 Lookh tak lagi terpilih sebagai anggota legislatif. Bagi Lookh yang seorang da’i, meraih kekuasaan di politik adalah bonus yang harus diraih. Kekuasaan yang dicapainya di panggung politiknya diyakininya akan mampu memperkuat dakwah yang dilakukannya selama ini. “Karena dakwah ada yang dilakukan dengan power (tangan), lisan, dan doa. Dan kami ini masuk pada level dakwah dengan power. Bukankah muslim yang kuat lebih disukai dibandingkan muslim yang lemah? Nah kami berada di level muslim yang memiliki power. Itu alasan mendasar”. (Wawancara Lookh Makhfudz pada 20 Oktober 2015) Sementara Dian Assafri yang merupakan aktivis pendidikan pada akhirnya harus memilih partai politik sebagai vehicle untuk meraih posisi yang lebih baik di tengah masyarakat. Pada pemilu 2014, misalnya, Dian mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Dapil Jabar II Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat dengan nomor urut http://digilib.mercubuana.ac.id/ 225 8. Pencalonan dirinya itu dirasakannya sebagai aplikasi dari pemahaman dirinya tentang kekuasaan dan politik. Baginya, kekuasaan dan politik sebenarnya saling berkaitan karena tujuan politik itu adalah mencapai kekuasaan. Meski baginya, kekuasaan bukanlah segalanya di dalam berpolitik. Ia berpendapat, keberhasilan menjadi penguasa dalam politik itu ketika seseorang bisa menjaga amanah masyarakat dan setiap kegiatan politik dapat bermanfaat bagi masyarakat. “Saya ini anak muda. Sebagai anak bangsa, saya harus peduli politik. Saya tidak mau hanya jadi penonton. Tapi saya ingin ikut andil. Jika negara ini salah urus maka saya ikut bertanggung jawab. Tetapi jika negara ini maju, maka saya juga bertanggung jawab. Pikiran peduli politik pada waktu itu masih sebatas dalam konteks kepentingan kebangsaan secara umum. Setelah memutuskan peduli politik, saluran tertinggi dalam politik adalah ikut partai politik. Pada tahap ini muncul lagi pertimbangan baru dalam rasionya: saya ini harus ikut partai apa?” (Wawancara Dian Assafri pada 20 Oktober 2015) Yang menarik, sosok Helmi Hidayat yang tak begitu “peduli” dengan posisinya di PDIP sebagai salah satu ketua Baitul Muslimin, pada akhirnya harus sering mengikuti aktivitas partai politiknya. Meski mengaku tak terlalu aktif dalam kegiatan partai, namun Helmi harus “turun tangan” saat partai membutuhkannya dalam beberapa kegiatan. Misalnya Helmi kerap diutus untuk mengikuti undangan bertema keagamaan dalam sebuah seminar atau lainnya. Bahkan, Helmi pernah menjadi khatib pada shalat Id. “Saya baru pulang dari Filipina. Sebenarnya itu undangan untuk partai (PDIP). Coba bayangkan, dari sekian banyak orang di PDIP, lha kok saya yang sudah lama tidak aktif malah diundang. Mereka tahu (kapasitas saya). Kenapa tidak mereka ini yang diutus ke http://digilib.mercubuana.ac.id/ 226 Filipina. Karena Bahasa Inggrisnya jeblok. Tapi kalau disuruh debat, mereka jago semua dan memang kerjaannya itu. Dan banyak partai seperti itu. Yang pintar itu sedikit”. (Wawancara Helmi Hidayat pada 31 Maret 2015) Begitu pula halnya ketika ia harus terlibat sebagai tim pemenangan Joko Widodo, baik ketika dicalonkan sebagai gubernur DKI Jakarta maupun presiden. Bahkan ia mengaku harus menjadi think tank dalam sebuah acara debat dan seminar. Sebagai ketua Baitul Muslimin, Helmi mengenalkan kepada masyarakat bahwa Jokowi itu pro kepada rakyat kecil, pengusaha kecil, karena dia berangkat dari seorang pengusaha kecil, berbeda dengan Prabowo yang sejak awal sudah kaya raya. Atas perannya itu tak jarang Helmi harus berseberangan dengan rekan-rekannya sesame alumni PMG yang umumnya lebih banyak berada di kubu berseberangan dengannya. Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka alumni PMG secara umum berdiri pada posisi politikus ideolog sekaligus politikus partisan, meski dengan kecenderungan yang berbeda. Meski seluruh informan memiliki ideologi berpolitik yang jelas, namun pada praktiknya ada beberapa informan yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk bersikap sebagai politikus partisan dibandingkan informan lainnya. Adapun kategorisasi para alumni PMG sebagai komunikator politik dapat digambarkan sebagai berikut: http://digilib.mercubuana.ac.id/ 227 Gambar 4.2.1.2. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran Politik 4.2.2. Tindakan Politik Alumni Pondok Modern Gontor Alfred Schutz merupakan orang pertama yang mencoba menjelaskan bagaimana fenomenologi dapat diterapkan untuk mengembangkan wawasan ke dalam dunia sosial. Schutz memusatkan perhatian pada cara orang memahami kesadaran orang lain, akan tetapi ia hidup dalam aliran kesadaran diri sendiri. Perspektif yang digunakan oleh schutz untuk memahami kesadaran itu dengan konsep intersubyektif. Yang dimaksud dengan dunia intersubyektif ini adalah kehidupan-dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari. (Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2007:94) Dunia kehidupan sehari-hari ini membawa Schutz mempertanyakan sifat realitas sosial para sosiolog dan siswa yang hanya peduli dengan diri mereka http://digilib.mercubuana.ac.id/ 228 sendiri. Dia mencari jawaban dalam kesadaran manusia dan pikirannya. Baginya, tidak ada seorang pun yang membangun realitas dari pengalaman intersubyektif yang mereka lalui. Kemudian, Schutz bertanya lebih lanjut, apakah dunia sosial berarti untuk setiap orang sebagai aktor atau bahkan berarti baginya sebagai seorang yang mengamati tindakan orang lain? Apa arti dunia sosial untuk aktor/subjek yang diamati, dan apa yang dia maksud dengan tindakannya di dalamnya? Pendekatan semacam ini memiliki implikasi, tidak hanya untuk orang yang kita pelajari, tetapi juga untuk diri kita sendiri yang mempelajari orang lain. Instrumen yang dijadikan alat penyelidikan oleh Schutz adalah memeriksa kehidupan batiniyah individu yang direfleksikan dalam perilaku sehari-harinya. (Campbel, 1994:233) Schutz meletakkan manusia dalam pengalaman subyektif dalam bertindak dan mengambil sikap di kehidupan sehari-harinya. Dimensi makna yang baru akan membentuk tema baru yang berfungsi sebagai alternatif untuk persepsi. Dalam mengoreksi pengalaman sadar, kita seringkali dipengaruhi oleh pandangan orang lain terhadap objek yang diamati. Secara naruli pun kita cenderung membandingkan persepsi yang kita miliki dengan persepsi orang lain (intersubyektivitas). (Kuswarno, 2009:50) Schutz mendasarkan tindakan sosial pada pengalaman, makna dan kesadaran. Begitu pula halnya dengan para alumni Pondok Modern Gontor yang tampil sebagai seorang aktor, bahwa tindakan politiknya akan sangat bermakna, dan telah melalui proses penafsiran dalam dirinya serta berdasarkan pengetahuan yang dimiliki olehnya. Maka untuk lebih dalam memahami arti tindakan politik http://digilib.mercubuana.ac.id/ 229 alumni PMG, penulis perlu memberikan pemahaman tentang motif, kesadaran, dan bagaimana keseharian yang dilakukan dalam proses pembentukan dunia politik mereka. 4.2.2.1. Motif Politik Alumni Pondok Modern Gontor Lebih lanjut, Schutz menyebutnya dengan konsep motif. Yang oleh Schutz dibedakan menjadi dua pemaknaan dalam konsep motif. Pertama, motif in order to dan kedua, motif because. Motif in order to ini adalah motif yang dijadikan pijakan oleh sesorang untuk melakukan sesuatu yang bertujuan mencapai hasil. Sedangkan motif because merupakan motif yang melihat kebelakang. Secara sederhana bisa dikatakan pengidentifikasian masa lalu sekaligus menganalisisnya, sampai seberapa banyak memberikan kontribusi dalam tindakan selanjutnya. (Campbel, 1994:270) Schutz berpandangan bahwa tindakan subyektif para aktor tidak muncul begitu saja, tetapi harus melalui proses panjang. Dengan kata lain bahwa sebelum masuk pada tataran motif in order to, maka menurut Schutz ada tahapan motif because yang mendahuluinya. Seperti halnya yang terjadi pada alumni PMG sebagai aktor politik, bahwa setiap tindakannya mengandung makna yang tersurat maupun tersirat. Dalam keterlibatannya sebagai politikus, tindakan yang dilakukan alumni PMG mengandung unsur yang disampaikan oleh Schutz. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 230 a) Meneruskan Tradisi Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap para informan, penulis menemukan adanya sejumlah motif yang mendukung mereka terjun ke kancah politik. Salah satunya, informan mengaku berpolitik dilatari motif untuk meneruskan tradisi yang muncul di keluarga atau lingkungan sekitar. Melalui motif tersebut, para informan menyadari pentingnya berpolitik sebagai sebuah cara untuk melakukan tindakan nyata dalam upaya berkontribusi dalam memakmurkan dan menyejahterakan umat dan bangsa. Motif ini muncul sebagai because of dalam persepsi Schutz yang menjadi latar belakang informan dalam bertindak di kancah politiknya. Dari sejumlah informan pokok yang dieksplorasi penulis, motif berpolitik untuk meneruskan tradisi ini terdapat pada diri DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA dan DR. Husnan Bey Fananie, MA. Secara eksplisit, misalnya, motif ini dikemukakan DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA sebagai berikut: “Motifnya terutama ingin melanjutkan peran umat Islam dalam sejarah negeri ini. Sejak dulu mereka sudah berperan dalam mendidik dan memajukan bangsa Indonesia, termasuk di bidang politik. Salah satu tokoh yang disebut sebagai guru politik bangsa Indonesia adalah HOS Cokroaminoto. Selain itu para tokoh Islam juga sangat tampak dalam BPUPKI yang terlibat dalam penentuan tanggal, asas negara, Piagam Jakarta. Umat Islam juga ada saat menghadirkan Resolusi Jihad, menghadirkan Hari Pahlawan, dan lain-lain. Termasuk juga menggagalkan kudeta komunis dan reformasi. Nah, saya ingin melanjutkan peran itu dan menjaga keberlangsungan peran umat Islam melalui jalur politik karena banyak kepentingan umat yang bisa diperjuangkan melalui politik. Itu yang sedang kami kerjakan saat ini”. (Wawancara Hidayat Nur Wahid pada 20 Oktober 2015). http://digilib.mercubuana.ac.id/ 231 Motif yang dikemukakan Hidayat bukanlah tanpa pemikiran panjang atau alasan yang dibuat secara tiba-tiba. Apalagi jika melihat latar belakang pendidikan, pengalaman organisasi, dan keluarganya yang merupakan para aktivis dakwah yang tak segan turun membina umat. Hidayat yang dilahirkan pada 8 April 1960 M atau bertepatan dengan 9 Syawal 1379 Hijriyah di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon Dalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, berasal dari keluarga pemuka agama. Kakeknya dari pihak ibu adalah tokoh Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya H. Muhammad Syukri, meskipun berlatar Nahdhatul Ulama, juga merupakan pengurus Muhammadiyah. Sementara Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah aktivis Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah. Motif itu semakin tumbuh saat ia mulai gemar membaca buku-buku sejarah Islam. Tak hanya sejarah Islam di Indonesia, tetapi juga sejarah Islam di luar negeri, utamanya sejarah Islam sejak zaman Rasulullah Saw., era Khulafâur Râsyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyah, hingga politik Islam di era kekinian. Sementara itu, motif yang hampir sama ditemukan pada sosok DR. H. Husnan Bey Fananie, MA. Salah satu ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan itu mengaku tindakan politiknya dipengaruhi rekam jejak sang kakek, KH. Zainuddin Fananie. Di tahun 1923, sang kakek yang merupakan salah seorang Trimurti pendiri Pondok Modern Gontor, diutus http://digilib.mercubuana.ac.id/ 232 menjadi Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Selatan (juga mendirikan organisasi Muhammadiyah di Bengkulu) bersama dengan 2 sahabatnya, Buya Hamka (Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Timur kemudian Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Barat) dan KH. A. Malik Siddik (Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Tengah). (Fathurrohman, 2014:10) Di Sumatra inilah KH. Zainuddin Fananie yang dijuluku Tuan Guru dari Jawa itu menikahi putri seorang terpandang dari masyarakat Payakumbuh. Menurut penuturan Husnan kepada penulis, KH. Zainuddin Fananie ini pula yang pernah menikahkan Soekarno dengan Fatmawati saat Presiden RI pertama itu menjadi orang buangan di Bengkulu. Perjuangan KH. Zainuddin Fananie lebih terasa saat bersama masyarakat Sumatra bergerilya melawan Nippon. Karir politiknya berlanjut di Jakarta saat Soekarno mengangkatnya sebagai pejabat tinggi di Jawatan Sosial. Menurut Husnan, apa yang dilakukan kakeknya adalah cerminan perjuangan seorang muslim yang berjuang untuk kehidupan umat Islam. Terlebih pada saat itu umat Islam tengah ditekan, ditindas, dan dijajah oleh Belanda dan Jepang. Hal yang sama pun dilakukan oleh para santri dan kiai yang tak pernah lelah berjuang demi kemerdekaan negeri ini. Bahkan perjuangan umat Islam tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di negara lainnya, termasuk Pakistan. “Saat saya kuliah di Pakistan, saya melihat di mana-mana umat Islam dalam keadaan lemah, terutama dalam konteks politik, ekonomi, dan budaya. Tolok ukurnya adalah Pakistan, dimana Pakistan merupakan sebuah Republik Islam yang didirikan Ali http://digilib.mercubuana.ac.id/ 233 Jinnah dan didukung Muhammad Iqbal, seorang pemikir yang memiliki ide two nations yang memisahkan negara Hindu dan negara Islam. Dari situlah saya melihat bahwa ternyata umat Islam perlu dan harus memiliki kekuatan politik”. (Wawancara Husnan pada 29 Maret 2015) b) Meraih Kekuasaan Dari eksplorasi yang dilakukan, penulis menemukan fakta semua informan memahami bahwa meski tujuan berpolitik adalah kekuasaan, namun kekuasaan bukanlah tujuan utamanya. Mereka memaknai jika definisi Harold D. Lasswell bahwa politics is who gets what, when, and how atau politik hanya untuk meraih kekuasaan haruslah diletakkan pada tempat yang sebenarnya, yakni untuk berkontribusi pada upaya menyejahterakan masyarakat. Motif meraih kekuasaan dijadikan because untuk meraih tujuan sebenarnya. Imam Wahyudi berikut ini dapat mewakili pernyataan di atas: “Bagaimanapun dalam berorganisasi kita memiliki target-target dan puncaknya adalah sebagai ketua umum. Sementara di partai politik, capaian akhirnya adalah kekuasaan. Dan jika sudah memiliki kekuasaan, maka untuk mengartikulasikan keinginan akan lebih mudah. Kita bisa menggunakan kekuasaan untuk mengubah sesuatu ke arah yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain”. (Wawancara Imam Wahyudi pada 3 Juni 2015) Sementara itu, Dian Assafri sangat memahami jika politik dan kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling berkaitan karena tujuan umum seseorang berpolitik adalah meraih kekuasaan. Pemahamannya itu kemudian diwujudkannya dengan mengikuti Pemilu 2014 sebagai calon anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Dapil Jabar II http://digilib.mercubuana.ac.id/ 234 Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat dengan nomor urut 8. Lebih jelasnya Dian mengatakan: “Pencalonan diri saya itu merupakan aplikasi dari pemahaman saya tentang kekuasaan dan politik. Bagi saya, kekuasaan dan politik sebenarnya saling berkaitan karena tujuan politik itu adalah mencapai kekuasaan. Meski demikian, kekuasaan bukanlah segalanya di dalam berpolitik. Sebenarnya, menurut saya, keberhasilan menjadi penguasa dalam politik itu adalah ketika seseorang bisa menjaga amanah masyarakat dan setiap kegiatan politik dapat bermanfaat bagi masyarakat”. Demikian pula halnya dengan Helmi Hidayat. Meski ia mengaku tidak begitu peduli dengan perjalanan karir politiknya di PDIP, namun ia mengaku jika ada kesempatan dipercaya memiliki kekuasaan, ia pun akan meraihnya. Helmi mengatakan: “Saya realistis. Akhirnya saya berpikir, kan memang khittah awalnya ingin berdakwah, kenapa saya jadi gila kekuasaan juga? Tapi, kekuasaan kan tidak hanya menjadi anggota DPR kan? Misalnya saya diminta menjadi staf ahlinya Jokowi, speech writer atau apa, tentu saya mau. Kan memang itu tujuannya. Kalau saya jawab tidak dan tiba-tiba iya, kan saya jadi munafik. Maka sejujurnya saya katakana iya. Kalaulah kekuasaan jangan dibatasi sebagai anggota DPR saja. Kan banyak ya… mungkin duta besar dari PDIP, tidak apa-apa. Saya berprinsip, jika kita punya power, maka itu lebih baik. Al-mu’minul qawiy khairun minal mu’minudh dha’if. Harus realistis. Rasulullah juga kan membangun jaringan di Madinah. Kenapa tidak?” (Wawancara Helmi Hidayat pada 31 Maret 2015) Pendapat yang hampir sama juga dilontarkan Husnan Bey Fananie bahwa dalam konteks politik praktis, capaiannya adalah kekuasaan. Menurutnya, dalam konteks umum, politik itu merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan termasuk pengaruh. Namun baginya, politik menjadi suatu cara penyampaian ideologi, asas, pemahaman, ide-ide http://digilib.mercubuana.ac.id/ 235 keislaman. Demikian yang dipahami atas ajaran yang diterimanya saat nyantri di PMG. Menurutnya, PMG memang telah melakukan politik pendidikan dengan mencetak manusia-manusia handal yang paham dan mengerti kehidupan islami dan memberdayakan umat. Sementara bagi Hidayat Nur Wahid, ia perlu terjun ke kancah politik dengan alasan supaya ia bisa turut memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Islam. Hidayat memilih untuk tidak masuk ke dalam partai politik yang sudah eksis, karena partai politik yang ada dirasa tidak cukup untuk mewadahi aspirasi umat tersebut. Bersama beberapa tokoh, Hidayat tampil sebagai deklarator Partai Keadilan (PK) di tengah hiruk pikuk era Reformasi. Berdirinya PK memiliki makna lain bahwa ia ingin mencapai tujuannya antara lain dengan meraih kekuasaan melalui partai politik. Bagi penulis, jika meraih kekuasaan adalah motif because bagi Imam Wahyudi, Dian Assafri, Lookh Makhfudz, dan Helmi Hidayat, maka motif meraih kekuasaan bagi Husnan Bey Fananie dan Hidayat Nur Wahid menjadi because 2 atau alasan ke-2 yang memperkuat alasan pertama. Motif meneruskan tradisi yang hadir di awal keduanya masuk di dunia politik kemudian diperkuat dengan motif ingin meraih kekuasaan. c) Menyejahterkan Umat Seperti yang telah dipaparkan di atas, ketika di pondok semua informan pada penelitian ini dibekali ilmu dan pengetahuan tentang keislaman dan kepemimpinan. Pondok Modern Gontor dalam pandangan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 236 para informan berperan besar dalam proses pembentukan motif mereka berpolitik. Peran itu muncul seiring dengan falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan terkait pentingnya membela dan menyejahterkan umat, bermanfaat bagi sesama, dan meninggikan kalimatullah dalam kehidupan. Untuk mendukung ajaran-ajaran tertulis, PMG pun memberlakukan kegiatan yang berorientasi pada pembentukan karakter kepemimpinan dengan menerapkan keterampilan dan kedisiplinan. Tak heran jika kemudian para alumni PMG memiliki basis ideologi keislaman yang cukup kuat. Ideologi menurut Adorno dalam Arifin (2014:20) sebagai suatu perangkat pandangan, serta sikap-sikap dan nilai-nilai, atau suatu orientasi berpikir tentang manusia dan masyarakat yang dapat dimiliki seseorang juga dimiliki bersama oleh anggota masyarakat. Ideologi juga dapat mengandung asumsi dan kumpulan keyakinan tentang lingkungan sosial politik yang mungkin belum teruji kebenarannya. Ideologi biasanya diwarnai oleh emosi dan penuh dengan mitos, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai. Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan, semua informan memiliki dasar ideologi sebagai sebuah motif dalam berkiprah di kancah politik. Salah satunya adalah motif yang dikemukakan Helmi Hidayat berikut ini: “Dalam paradigma saya, saya ingin Indonesia seperti Al-Madinah Al-Munawarah. Kota Al-Madinah Al-Munawarah itu multikulturalis persis seperti kita. Dari sisi agama, saat itu ada dua agama besar yang berkuasa, yaitu Yahudi dan Nasrani baru kemudian Shâbi-în. Dari sisi kesukuan, ada dua suku yang berkuasa saat itu, yakni Auz dan Hadraj serta suku-suku kecil. Itu http://digilib.mercubuana.ac.id/ 237 dari sisi geopolitiknya. Di sana, bertahun-tahun tidak pernah ada pemimpinnya. Kenapa? Karena setiap ada pemimpin yang tampil dari Yahudi, maka kelompok Nasrani akan ‘memotong’. Ketika pemimpin dari Auz yang muncul, maka kelompok Hadraj akan ‘memotong’. Begitu juga sebaliknya. Terus seperti itu. Maka kemudian mereka bersepakat untuk ‘mengimpor’ pemimpin supaya netral. Dan terpilihlah Muhammad Al-Amin. Maka terjadilah Perjanjian atau Ikrar ‘Aqabah Pertama yang berisi sumpah setia. Kemudian terjadi lagi Perjanjian ‘Aqabah Kedua yang membuat mereka hijrah. Dan ketika hijrah, geopolitik bertambah kompleksitasnya. Kalau dulu Auz-Hadraj, Yahudi-Nasrani, sekarang ditambah Muhajirin-Anshar. Itu kan luar biasa dan begitu juga di Indonesia yang banyak suku dan kelompok. Tapi kan disatukan dengan sebuah peradaban baru bernama Islam. Rasulullah sangat menghormati multikulturalisme. Ketika Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah, sekretaris beliau seorang Yahudi. Beliau membuat perjanjian dengan Yahudi dan Nasrani. Semua dirangkul. Saya berkeinginan Indonesia seperti Madinah di zaman Rasulullah”. (Wawancara Helmi Hidayat pada 31 Maret 2015) Apa yang dikatakan Helmi ini merupakan motif yang terbangun dari nilai-nilai yang didapatkannya selama belajar di Pondok Modern Gontor, selain juga pengetahuan yang didapatnya setelah ia keluar dari PMG. Penulis melihat jika ideologi yang dibangun berdasarkan keinginan menyejahterakan umat tersebut menjadi motif in order to dalam perilaku berpolitiknya. Maka untuk merealisasikan motifnya itu Helmi bergabung dengan Baitul Muslimin yang merupakan organisasi sayap Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurutnya, bergabung dengan PDIP merupakan kesempatan baginya untuk berdakwah di “partai merah”. Kesempatan itu dianggapnya sebagai jihad yang nilainya bisa jadi lebih besar dibandingkan jika masuk ke dalam partai Islam. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 238 Motif ini juga yang menjadi alasan Dian memasuki dunia politik. Pengalamannya di PMG membuat Dian memiliki keinginan berkontribusi untuk menyejahterakan masyarakat, utamanya umat Islam. Cita-cita ini sesungguhnya sudah diwujudkan Dian sejak tahun 2004, yaitu dengan mengambil anak-anak putus sekolah di perkampungan. Mereka diberikan beasiswa untuk dapat kuliah secara gratis hingga S3. Dari kegiatan inilah Dian terpacu untuk melakukan sesuatu yang lebih besar bagi masyarakat luas. Menurutnya, kesempatan mewujudkan cita-cita itu semakin terbuka ketika ia masuk ke dunia politik. Salah satunya dengan memperjuangkan kegiatan ini melalui lembaga wakil rakyat, sehingga kegiatan ini nantinya mampu diterapkan secara merata ke daerah-daerah lain. 4.2.2.1. Kesadaran Alumni Pondok Modern Gontor dalam Berpolitik Schutz juga memfokuskan pada proses reduksi, reduksi akan membawa kita kembali pada bagaimana kita mengalami sesuatu (leads us back to our own experience if the things are). Memunculkan kembali penilaian/asumsi awal dan mengembalikan sifat-sifat alamiahnya. Reduksi fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara untuk mendengar suatu fenomena dengan kesadaran dan hati-hati. Singkatnya reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena dalam tekstur dan makna aslinya (Kuswarno, 2009:50). Kesadaran di sini memiliki makna keinsafan atau keadaan mengerti. Kamus Bahasa Indonesia Versi Online menambahkan definisi http://digilib.mercubuana.ac.id/ 239 kesadaran sebagai hal yang dirasakan atau dialami seseorang. Sementara menurut kajian ilmu psikologi, kesadaran merupakan kondisi dimana seorang individu memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal maupun stimulus eksternal. Nemun kesadaran juga mencakup dalam persepsi dan pemikiran yang secara samar-samar disadari oleh individu sehingga perhatiannya terpusat. (atppsikologi.blogspot.com) Dalam konteks politik, kesadaran masyarakat sangat beragam saat melihat realitas seseorang masuk ke dunia politik praktis. Boleh jadi masyarakat akan menganggap “lumrah” ketika memandang seseorang yang memang sejak awal merupakan aktivis organisasi atau anggota lembaga politik. Sementara kepada seseorang yang dikenal sebagai tokoh agama semacam ustad dan kiai, masyarakat seringkali memandang “miring”. Ustad dan kiai kerap dianggap sebagai representasi dari kalangan nonpartisan yang seyogianya hanya mencurahkan perhatiannya pada dunia Islam dan umatnya. Akibatnya, aktifitas politik ustad dan kiai di kancah politik seringkali membuat citra keduanya menjadi turun atau bahkan buruk di mata masyarakat. Di sisi lain, seiring tingkat pengetahuan yang makin meningkat, masyarakat dewasa ini melihat kiprah ustad dan kiai di politik merupakan hal wajar. Bagi mereka, ustad dan kiai dianggap sama seperti manusia pada umumnya yang memiliki hasrat dan ambisi. Dan boleh jadi, ustad dan kiai memiliki hasrat dan ambisi di politik yang tidak sekadar pada http://digilib.mercubuana.ac.id/ 240 kekuasaan, tetapi ada motif lain yang berhubungan dengan pembelaan terhadap Islam dan keumatan. Beruntung bagi alumni PMG yang umumnya mencitrakan dirinya tidak hanya sebagai ustad atau kiai, melainkan lebih dekat kepada citra sebagai aktivis keumatan yang berkiprah di bidang keagamaan. Bagi para alumni PMG, politik dianggap sebagai vehicle yang akan mengantarkan pada tujuan berpolitiknya. Politik seolah-olah dianggap mubah yang bisa menjadi haram hukumnya ketika pelakunya menjadikan politik untuk meraup kekuasaan pribadi dan golongan melalui perilaku kemaksiatan. Salah seorang informan, Lookh Makhfudz, menilai politik itu seperti senjata yang bisa digunakan sekehendak pemiliknya. “Jadi yang penting itu, the man behind the guns, bagaimana manusia menggunakan alatnya. Politik itu kan alat, senjatanya. Memang negeri ini perlu politisi-politisi yang berakhlak baik. Jadi jika politik dikatakan kotor dan kita tidak masuk ke ranah itu, maka politik akan tetap kotor. Maka berlaku sebuah kaidah: Sesuatu yang tidak merepresentasikan kebaikan yang kita inginkan, tidak boleh kemudian lantas ditinggal. Tapi ada sebagian yang dianggap mereka buruk, ada saja kebaikan di sana dan di sanalah kita memulai untuk berbuat baik”. (Wawancara Lookh Makhfudz pada 20 Oktober 2015) Sementara itu DR. H. Husnan Bey Fananie, MA menyadari bahwa tujuan yang hendak dicapainya membutuhkan sebuah proses sekaligus strategi dalam bentuk politik yang akan melahirkan kekuasaan. Husnan tampaknya sadar betul bahwa dengan kekuasaan ia akan dapat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 241 mewujudkan cita-citanya untuk membangun umat dan berkontribusi dalam beragam upaya kemaslahatan bagi bangsa dan negara: “Politik itu proses, strategi, metode, atau cara bagi kita untuk mencapai sesuatu. Sesuatu itu jika dalam konteks politik praktis adalah kekuasaan. Dalam konteks umum, politik itu merupakan cara untuk mencapai suatu tujuan termasuk pengaruh. Bagi saya, politik menjadi suatu cara penyampaian ideologi, asas, pemahaman, ide-ide keislaman”. (Wawancara Husnan Bey Fananie pada 29 Maret 2015) Meski demikian, politikus alumni PMG juga tidak bisa menafikan pandangan masyarakat umum terhadap politik. Sebagian masyarakat Indonesia masih berpandangan bahwa politik itu kotor. Hal itu disebabkan seiring banyaknya oknum politikus yang bermain curang di ranah politik. Realitas terkini bahkan lebih parah. Di televisi, mislanya, para koruptor yang kebanyakan adalah para politikus tampil bak selebritis yang senang diliput infotainment. Mereka bisa tertawa dan melambaikan tangannya untuk menyapa para kuli tinta yang bertanya dan membidikkan kamera kepadanya. Para politikus korup menganggap gedung Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai panggung untuk menampilkan peran protagonist. Seolah tak ada perasaan bersalah apalagi merasa berdosa. Mereka tak peduli cibiran masyarakat dan sikap anak-cucunya terhadap perilaku buruknya itu. Secara umum para informan menyadari pandangan masyarakat terhadap politik tersebut. Maka dengan kesadarannya pula politikus alumni PMG berusaha semaksimal mungkin mengubah pendapat umum masyarakat tersebut dengan kinerja yang baik. Tujuannya adalah agar http://digilib.mercubuana.ac.id/ 242 masyarakat tidak men-generalisasi bahwa semua politikus itu kotor. Dian Assafri juga menyadari jika politik oleh sebagian orang dipandang sebagai perkara kotor. Hingga akhirnya, tak sedikit pula orang yang tidak mau berkecimpung di dunia politik. Dian menganggap pandangan itu sebagai hal yang wajar. Sebab, realitas di lapangan menyebutkan bahwa politik memang seperti itu. Hanya saja, pandangan sebagian masyarakat itu tidak serta-merta menjadi kesimpulan bahwa politik itu kotor. Sebab, menurutnya, pada dasarnya politik itu baik. Namun, banyaknya politisi yang bermain kotor, membuat politik pun akhirnya dipandang sebagai perkara yang menyebabkan banyak ke-madlorot-an. Dian Assafri yang menyadari pandangan sebagian masyarakat terhadap politik ingin memberikan “bukti” bahwa pandangan itu salah. Hal ini pun seolah disepakati para informan penelitian ini. Para politikus alumni PMG ingin menampilkan citra sebagai politikus yang baik dan memiliki tujuan mulia untuk umat, bangsa, dan negara. Pandangan ini bisa dilihat dari paparan Imam Wahyudi berikut ini: “Politik itu merupakan upaya untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik. Bahwa memang banyak masyarakat mengatakan politik itu kotor setelah melihat kondisi perpolitikan Indonesia, dimana banyak para pelaku politik mengkhianati amanah yang diberikan. Ini adalah kesimpulan masyarakat bahwa politik itu kotor. Mereka berpandangan semua partai politik itu kotor, baik partai Islam maupun non-Islam. Padahal kita juga bisa lihat, seperti wali kota Surabaya Risma, namanya harum. Toh politik itu juga tidak melulu kotor. Ada juga kader PDIP Ganjar Pranowo yang namanya bagus dengan pelan-pelan membangun provinsi Jawa Tengah. Atau apa yang dilakukan wali kota Bandung Ridwan Kamil, misalnya, bisa membantah pemeo masyarakat tersebut. Memang ada oknum yang membuat pandangan masyarakat seperti itu. Untuk itu bagi saya http://digilib.mercubuana.ac.id/ 243 yang berada di dalam partai politik, dibutuhkan kerja keras untuk memperbaikinya”. (Wawancara Imam Wahyudi pada 3 Juni 2015) Sementara itu Wakil Ketua MPR RI DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA memiliki pendapat sendiri tentang pandangan masyarakat bahwa politik itu kotor. Menurutnya, pandangan itu muncul karena adanya praktik politik kotor yang dilakukan sebagian politisi. Tapi itu cara pandang itu merupakan cara pandang yang sekuleristik, apatis, dan tidak sesuai dengan prinsip dasar politik. Dasar politik itu, menurutnya, untuk terlibat dalam sebuah kebijakan yang membawa kebaikan, bukan keburukan atau kotor. Jikapun ada yang melakukan politik kotor, maka ada ketentuan yang akan menghukumnya. Jadi, politik kotor itu bukanlah adagium yang tidak bisa dikoreksi. Dan politik kotor itu merupakan satu penyimpangan dalam berpolitik. Untuk itulah pada Era Reformasi, ia menghadirkan Partai Keadilan yang dianggap sebagai partai baru yang berasaskan Islam. Melalui PK Hidayat berijtihad bahwa berpolitik merupakan cara untuk membuat kebijakan bagi kepentingan publik yang seharusnya dihadirkan dalam partai yang tidak kotor. Kalaupun ada kotornya, maka ia harus dikoreksi. Bukan berarti karena dia kotor lalu harus dihindari. Atau sebaliknya, karena politik kotor maka agama jangan dibawa ke sana agar tidak dikotori politik. Pandangan bahwa agama jangan dibawa ke dalam politik karena politik itu kotor, dianggap Hidayat sebagai istilah yang berasal dari kalangan sekuler. Dengan alasan itu, menurutnya, maka kalangan sekuler http://digilib.mercubuana.ac.id/ 244 akan membatasi bahkan tidak memberi ruang bagi agama untuk terlibat di dalam politik. Jika logika ini diterima, menurutnya, maka tidak perlu ada hukum, tidak perlu ada KPK, tidak perlu ada punishment bagi para pelaku politik yang kotor. Jika politik itu kotor maka karenanya tidak boleh agama datang dan membersihkannya. Padahal jika bangsa ini ingin menghadirkan lembaga pemberantasan korupsi, politik yang berpihak kepada rakyat, tidak menipu, tidak melanggar hukum, maka politik harus dibersihkan menggunakan agama. “Jika ada yang mengatakan politik itu kotor, berarti kan dia mengatakan jangan bawa agama ke dalam politik. Karena agama itu bersih, politik itu kotor. Kalau agama masuk politik, maka agama akan terkotori. Jika logika itu digunakan dan kita tidak ingin hasil dari politik yang kotor, maka politik harus dibersihkan dengan satu materi yang bisa membersihkan sesuatu yang kotor. Analoginya, jika Anda membeli baju kotor tentu Anda tidak ingin memakainya sebelum baju itu bersih. Lalu bagaimana cara membersihkannya? Tentu menggunakan sabun. Tidak mungkin menggunakan air comberan atau suatu materi kotor lainnya. Tetapi pasti menggunakan sesuatu yang bersih. Maka bagi kami, jika politik itu kotor maka yang membersihkannya adalah agama. Karena agama didatangkan untuk membersihkan politik yang kotor itu”. (Wawancara DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA pada 20 Oktober 2015) Namun demikian Hidayat menyadari juga bahwa agama tidak serta-merta membuat politik jadi bersih. Pertarungan politik bisa sangat matrealistik, oleh karenanya banyak fitnah dan seolah-olah agama tidak bisa berperan. Hidayat berkeyakinan, jikapun ada masalah, maka itulah bagian dari kehidupan. Toh para sahabat Nabi Saw. pun ada yang berbuat salah, tetapi bukan berarti mereka berbeda prinsip. Jika ada yang salah maka harus dihukum, karena kesalahan itu prinsipnya manusiawi dan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 245 harus ada perbaikan. Dan agama yang baik adalah Islam yang membawa pada keterbukaan, sikap adil, professional, dan amanah. Hal ini akan menghadirkan prinsip-prinsip berpolitik yang membawa kemaslahatan. Berdasarkan statement-statement di atas, maka dapat diketahui jika para informan pokok sangat menyadari bahwa tindakan berpolitik mereka didasari pada kesadaran tentang kemaslahatan bagi umat, bangsa, dan negara. Bagi para informan pokok, politik merupakan vehicle atau tool untuk meraih tujuan akhir, yaitu membangun dan menyejahterakan umat, bermanfaat bagi sesama, serta untuk meninggikan kalimat Allah kalimat Allah di muka bumi ini dan memuliakan Islam juga umatnya. 4.2.2.3. Metode Komunikasi Politik Alumni Pondok Modern Gontor Seorang politikus tentu memerlukan metode dalam menyampaikan program-program politiknya. Demikian pula halnya dengan politikus alumni PMG yang sesungguhnya telah memiliki modal untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Modal itu antara lain sudah mereka dapatkan saat nyantri di PMG melalui beragam pelajaran yang mereka terima. Melalui muhâdlarah, misalnya, politikus alumni PMG dapat belajar bagaimana berpidato atau berceramah di depan orang banyak. Berbagai model pidato para orator dipelajari, mulai Bung Karno, John F. Kennedy, Gamal Abdel Nasir, Stalin, Lenin, hingga Hitler. Melalui muhâdlarah mereka belajar tentang intonasi, mimik wajah, maupun gesture tubuh saat berpidato. (Fathurrohman, 2014:46) http://digilib.mercubuana.ac.id/ 246 Kemampuan berkomunikasi para alumni PMG tak hanya karena telah mengecap pelajaran muhâdlarah. Selain karena juga terbiasa berorganisasi, para alumni PMG telah memiliki bekal berharga lainnya, antara lain dengan kemampuan berbahasa Arab dan Inggris. Melalui dwibahasa itulah mereka dengan mudah diterima masyarakat. Ini juga bisa dimaklumi karena seseorang yang memiliki kemampuan dwibahasa itu umumnya masih langka, sehingga penerimaan masyarakat terhadap seseorang yang memiliki kemampuan dwibahasa lebih terbuka dan sangat diterima masyarakat. Di sisi lain, maraknya penggunaan media sosial membuat metode sosialisasi makin beragam bentuknya. Sejumlah aplikasi media sosial semacam Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, hingga model Social “Chat” Applications semacam WhatsApp dan BlackBerry Messenger menjadi pilihan model untuk bersosialiasi dan berkomunikasi. Metode yang bertujuan untuk mensosialisasikan program politik ini, sejatinya, merupakan jawaban atas sikap khalayak yang dikenal memiliki “daya tangkal” dan sifat “keras kepala” atau “kepala batu”. Menurut Arifin (2014:37) khalayak dapat dijinakkan melalui berbagai metode, seperti metode informatif, edukatif, persuasif, dan koersif. Meski diyakini bahwa metode yang paling banyak dikembangkan dan dipraktikkan adalah metode persuasif, namun pada kenyataannya ada juga para politikus yang menggunakan metode koersif dan instruktif. Biasanya, metode koersif dan instruktif digunakan oleh para politikus http://digilib.mercubuana.ac.id/ 247 yang berpengaruh dan memiliki massa terhimpun secara struktural. Pada konteks komunikasi politik alumni PMG, metode sosialisasi yang digunakan mereka pada umumnya adalah metode persuasif. Meski demikian, unsur instruktif pun tampak pada politikus alumni PMG yang merasa memiliki massa terhimpun dan diyakini dapat diarahkan secara struktural. Metode komunikasi instruktif ini biasanya diterapkan oleh politikus alumni PMG yang memiliki jabatan sebagai pimpinan di partai politik untuk diterapkan kepada bawahan-bawahannya. 1. Metode Komunikasi Persuasif Dalam ilmu komunikasi dikenal adanya komunikasi persuasif, yaitu komunikasi yang bersifat mempengaruhi audience atau komunikannya sehingga bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh komunikator. Menurut Kenneth E. Anderson dalam Effendy (1986), komunikasi persuasif didefinisikan sebagai perilaku komunikasi yang mempunyai tujuan mengubah keyakinan, sikap atau perilaku individu atau kelompok lain melalui transmisi beberapa pesan. Sedangkan menurut R. Bostrom bahwa komunikasi persuasif adalah perilaku komunikasi yang bertujuan mengubah, memodifikasi atau membentuk respon (sikap atau perilaku) dari penerima. Komunikasi persuasif ini dapat dipergunakan dalam komunikasi politik. Adapun yang dikehendaki dalam komunikasi persuasif adalah perubahan perilaku, keyakinan, dan sikap yang lebih mantap seolah-olah perubahan tersebut bukan atas kehendak komunikator akan tetapi justru http://digilib.mercubuana.ac.id/ 248 atas kehendak komunikan sendiri. Persuasi yaitu menggunakan informasi tentang situasi psikologis dan sosiologis serta kebudayaan dari komunikan. Menurut Arifin (2014:37-38), metode persuasif yang banyak diaplikasikan komunikasi politik termasuk dalam pencitraan politik merupakan metode mempengaruhi khalayak denganc ara membujuk dan merayu. Khalayak akan digugah jalan pikirannya dan terutama perasaannya, kadang-kadang tidak diberi kesempatan untuk berpikir kritis, bahkan bila perlu khalayak itu dapat terpengaruh secara tidak sadar. Penggunaan metode persuasif seperti itu telah mendapat kritik dan kecaman karena pada umumnya berisi pesan yang tidak seluruhnya berdasarkan fakta dan kebenaran. Namun, meski mendapat kecaman, metode persuasif masih dianggap efektif dalam pencitraan politik melalui media massa dan media sosial. Pesan dikemas sedemikian rupa untuk membangun citra politik yang lebih indah dari warna aslinya. Dalam konteks PMG, ada sebuah ajaran yang dipegang para santri dan alumninya yang cocok dengan konsep komunikasi persuasif, yakni: . Ajaran tersebut memberikan arahan kepada para politikus alumni PMG untuk dapat menghormati tradisi konstituennya. Metode komunikasi persuasif ini antara lain dilakukan Helmi Hidayat. Sebagai salah satu ketua Baitul Muslimin dan seorang penceramah yang kerap muncul di majelis taklim maupun http://digilib.mercubuana.ac.id/ 249 seminar, ia tak jarang secara tersirat mempengaruhi para jamaahnya. Saat mendukung pencapresan Megawati Soekarnoputri, misalnya, Helmi melakukan komunikasi persuasif melalui banyak saluran, mulai pengajian, seminar hingga mencetak brosur dan booklet. Bahkan ia pun tak segan menyinggung sejumlah ayat Al-Quran untuk memperkuat ajakannya itu. “Saya melakukan banyak hal. Debat, seminar, brosur, booklet, dan lain sebagainya. Kami cetak banyak. Betapa Aisyah itu pernah memimpin dalam perang Jamal, misalnya. Ratu Bilqis di Al-Quran diabadikan sebagai malikah, sehingga tidak larangan perempuan untuk memimpin. Itu kan cuma hadits yang bisa kita telusuri bersama apakah sesuai atau tidak. Kenapa kemudian hadits seolah-olah seperti Al-Quran? Itu cara kami. Waktu pemenangan Jokowi juga banyak (menggunakan metode komunikasi seperti itu). Kami dalam banyak hal, Baitul Muslimin, mengenalkan bahwa Jokowi itu pro kepada rakyat kecil, pengusaha kecil, karena dia berangkat dari seorang pengusaha kecil, berbeda dengan Prabowo yang sejak awal sudah kaya raya. Soemitro siapa yang tidak kenal?” (Wawancara Helmi Hidayat pada 31 Maret 2015) Metode yang sama juga dilakukan DR. Husnan Bey Fananie, MA saat bertarung di Pemilu Legislatif. Penulis yang mengikuti kiprahnya sejak awal, menyaksikan bagaimana cucu pendiri PMG KH. Zainuddin Fananie ini melakukan sejumlah metode komunikasi secara persuasif, seperti kongkow-kongkow bersama pada pemuda di daerah pemilihan, organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan, tampil sebagai penceramah di sejumlah majelis taklim ibu-ibu dan bapak-bapak atau menjadi penceramah di acara pernikahan dan khitanan konstituennya, hingga berbaur dengan masyarakat untuk mengecat pembatas jalan di sebuah http://digilib.mercubuana.ac.id/ 250 pasar tradisional dan membangun jembatan. Metode ini juga disosialisasikan kepada tim kampanyenya untuk mendekati konstituen. “Kalau di dalam partai saya melakukan pengkaderan dan silaturrahim ke daerah untuk menyapa kader-kader partai. Sementara dalam konteks kemasyarakatan, saya mengisi pengajian di majelis taklim, berdialog dan bersinergi dengan ormas-ormas kepemudaan dan keagamaan. Utamanya saya mengusung tema tentang Islam rahmatan lil ‘alamin yang memiliki kekuataan yang penuh kedamaian dan kebaikan. Saya tidak pernah mengompori atau memanasi masyarakat bahwa kelompok di luar kita harus dimusuhi. Saya ajak masyarakat untuk memahami mereka sebagai kelompok yang belum mendapatkan hidayah dari Allah Swt. Bukankah Rasulullah mencontohkan kita untuk men-tabligh-kan Islam dengan rahmat, halus, dan penuh kebaikan? Jadikan Islam sebagai agama yang bisa diterima oleh semua orang”. (Wawancara Husnan Bey Fananie pada 29 Maret 2015) Selain bentuk verbal, komunikasi persuasif juga dilakukan Husnan melalui beragam saluran. Tim kampanye yang mendukungnya cukup kreatif dengan membuat akun di sejumlah media sosial, seperti facebook, twitter, hingga blog. Husnan juga membuat kartu nama, kalender, baliho, spanduk, hingga buku mini biografi. Bahkan, meski telah dinyatakan “kalah” dalam Pemilu Legislatif, Husnan tetap “menyapa” konstituen dan masyarakat Indonesia secara umum melalui buku biografi yang diberi judul “Menapaki Kaki-Kaki Langit”. Buku biografi itu sesungguhnya memperkuat posisi Husnan sebagai seorang politikus yang konsisten memperjuangkan aspirasi umat, bangsa, dan negara. Rekam jejak Husnan saat nyantri di PMG, lalu melakukan studi di Pakistan dan Belanda, hingga kiprahnya sebagai Asisten Pribadi Wakil Presiden, Staf Khusus Menteri http://digilib.mercubuana.ac.id/ 251 Agama, dan Anggota Komisi I DPR RI dapat dibaca di buku setebal lebih dari 400 halaman itu. Sementara itu, Dian Assafri juga melakukan metode komunikasi persuasif, meski dengan cara yang sedikit formal. Upaya tersebut dilakukan antara lain dengan membuka ruang silaturrahim dengan para pejabat pemerintah atau pimpinan-pimpinan politik. Ia juga terlibat di bermacam organisasi, baik di lingkungan masyarakat hingga kepengurusan organisasi pemuda tingkat nasional dan gerakan mahasiswa. Tercatat, ia menjabat sebagai Ketua IPPMI (Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia) Bidang Dakwah, Sekretaris Jenderal Gerakan Mahasiswa KOSGORO, dan Wakil Sekjen KNPI. Sementara di jalur informal, Dian tak canggung untuk berkomunikasi melalui pertemuan atau tatap muka bersama tokoh-tokoh masyarakat. Dian pun terbiasa tampil sebagai pemberi materi dalam kajian taklim, menjadi khâtib, dan lainnya. 2. Metode Komunikasi Instruktif Selain melakukan komunikasi secara persuasif, bagi politikus alumni PMG yang memiliki massa terhimpun atau pimpinan di partai politiknya, metode komunikasi instruktif juga kerap dilakukan. Ditilik dari maknanya, instruktif adalah suatu perintah yang bersifat mengancam. Tetapi ancamannya itu mengandung suatu yang dapat menjadikan seseorang itu untuk melakukan perintahnya. Instruktif bersifat memerintah, nasihat-nasihatnya bergaya. Sedangkan yang dimaksud http://digilib.mercubuana.ac.id/ 252 dengan instruksi adalah perintah atau arahan untuk melakukan suatu pekerjaan atau melakukan suatu tugas, dan merupakan pelajaran dan petunjuk. (Effendy, 1992:25) Jika sejumlah ahli komunikasi umumnya menyamakan metode komunikasi koersif dengan instruktif, namun Effendy membedakan keduanya. Menurutnya, komunikasi koersif adalah teknik komunikasi berupa perintah, ancaman, sanksi dan lain-lain yang bersifat paksaan, sehingga orang-orang yang dijadikan sasaran (komunikan) melakukannya secara terpaksa. Biasanya teknik komunikasi seperti ini bersifat fear arousing, yang bersifat menakut-nakuti atau menggambarkan resiko yang buruk. Serta tidak luput dari sifat red-herring, yaitu interest atau muatan kepentingan untuk meraih kemenangan dalam suatu konflik, perdebatan dengan menepis argumentasi yang lemah kemudian dijadikan untuk menyerang lawan. Bagi seorang diplomat atau tokoh politik teknik tersebut menjadi senjata andalan dan sangat penting untuk mempertahankan diri atau menyerang secara diplomatis. (Effendy, 1992:21) Dengan definisinya di atas, tidak heran jika para politikus alumni PMG yang memiliki jabatan di partai politik seperti Hidayat Nur Wahid, Husnan Bey Fananie, dan Lookh Makhfudz menerapkan juga metode komunikasi instruktif ini. Hidayat Nur Wahid yang mengaku tak pernah menargetkan atau memprogramkan mau jadi apapun, termasuk menjadi pemimpin partai politik, menggunakan metode komunikasi instruktif seiring dengan jalur struktural di partai politiknya. Apalagi Hidayat sangat http://digilib.mercubuana.ac.id/ 253 disegani di kalangan internal partai. Ia dianggap sebagai “embrio” yang meletakkan dasar-dasar partai yang memiliki basis kader dakwah itu. Sementara bagi Lookh Makhfudz yang menjadi Ketua DPD PAN Kota Malang, komunikasi instruktif dilakukannya sebagai metode berkomunikasi untuk konsolidasi internal partai dan mensosialisasikan program-program partai. Metode komunikasi seperti ini mutlak dilakukan agar program-program partai dapat berjalan mulai dari hulu hingga hilir dan kemudian dapat berjalan baik saat diaplikasikan di masyarakat. “Kalau secara struktur, saya menggunakan komunikasi instruksional. Hal ini dilakukan saya sebagai pejabat partai di daerah kepada kader internal partai yang masuk sebagai struktural. Ini kan penting supaya program partai tetap sama dari pusat hingga ke tingkat paling bawah. Tetapi kepada eksternal-nonstruktural saya menggunakan pendekatan persuasif melalui berbagai pendekatan seperti sosiologis, antropologis, pendidikan, dan lainnya”. (Wawancara Lookh Makhfudz pada 20 Oktober 2015) Jika melihat temuan-temuan di atas, metode komunikasi para politikus alumni PMG yang menjadi informan pokok pada penelitian ini terdiri dari metode komunikasi persuasif dan instruktif. Seluruh politikus alumni PMG paham benar bagaimana meletakkan kedua metode komunikasi sesuai dengan situasi komunikan yang akan disasar. Artinya, jika kepada konstituen di luar struktur partai, maka metode komunikasi persuasif lah yang digunakan. Sebaliknya, komunikasi instruktif digunakan oleh politikus alumni PMG yang memiliki jabatan “teras” di partai politiknya dan ditujukan kepada kader yang memiliki jabatan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 254 struktural. Mereka juga memiliki pemahaman bagaimana menggunakan sistem komunikasi, apakah terbuka atau tertutup sesuai fungsinya. Berdasarkan temuan-temuan di atas pula, jika merunut pola tindakan politik politikus alumni PMG, maka dapat disimpulkan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel. 4.2.2. Pola Tindakan Politik Alumni Pondok Modern Gontor MOTIF N O INFORMAN 1 KESADARAN/ Politik sebagai Kekua alat/kendaraan. saan Metode Komunikasi Persu Instruk asif tif Tra disi Ideo logi DR. HM. Hidayat Nur Wahid, MA √ √ √ √ √ √ 2 DR. H. Husnan Bey Fananie, MA √ √ √ √ √ √ 3 Drs. H. Helmi Hidayat, MA -- √ √ √ √ -- 4 H. Lookh Mahfudz, SS -- -- √ √ √ √ 5 Imam Wahyudi -- -- √ √ √ -- 6 DR. H. Dian Assafri, SH, MH -- √ √ √ √ -- http://digilib.mercubuana.ac.id/ 255 4.2.3. Pola Komunikasi Politikus Alumni Pondok Modern Gontor Pola komunikasi merupakan model dari proses komunikasi, sehingga dengan adanya berbagai macam model komunikasi dan bagian dari proses komunikasi akan dapat ditemukan pola yang cocok dan mudah digunakan dalam berkomunikasi. Pola komunikasi identik dengan proses komunikasi, karena pola komunikasi merupakan bagian dari proses komunikasi. Proses komunikasi merupakan rangkaian dari aktivitas menyampaikan pesan sehingga menghasilkan feedback dari penerima pesan. Dari proses komunikasi, akan timbul pola, model, bentuk dan juga bagian-bagian kecil yang berkaitan erat dengan proses komunikasi. Pada politikus alumni PMG, pola komunikasi terbentuk berdasarkan modal sosial yang dimiliki dan didukung oleh peran mereka di masyarakat. Dari identifikasi yang ditemukan, apapun motif mereka berpolitik, baik alumni PMG yang berperan sebagai politikus ideolog maupun partisan akan menggunakan metode komunikasi persuasif atau instruktif dengan melihat kepada siapa mereka berkomunikasi (komunikan). Demikian pula halnya dengan sistem komunikasi yang digunakan, secara sadar mereka akan menggunakan sistem komunikasi terbuka maupun tertutup sesuai dengan komunikan yang disasar. Berdasarkan temuan-temuan di atas, secara umum dapat digambarkan bagaimana konsep diri itu dibangun dengan peran politik maupun peran sosial yang dapat mempengaruhi tindakan politik alumni PMG. Sementara tindakan politik itu didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan politik yang mendorong pada arus kesadaran dalam melakkan tindakan politik nyata, serta dengan berbagai http://digilib.mercubuana.ac.id/ 256 metode serta sikap di lapangan. Adapun gambaran yang dimaksud adalah sebagai berikut: Gambar 4.2.3. Pola Komunikasi Politikus Alumni Pondok Modern Gontor http://digilib.mercubuana.ac.id/ 257 4.3. Pembahasan Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara, obeservasi, serta dokumentasi. Dalam melakukan wawancara penulis memerlukan waktu sekitar 8 bulan, yakni sejak Maret hingga Oktober 2015. Lamanya proses wawancara tersebut dikarenakan sulitnya penulis menemui para informan untuk dilakukan interview. Proses wawancara dilakukan terhadap informan pokok yang merupakan para politikus alumni Pondok Modern Gontor (PMG) dan informan kunci yang merupakan alumni PMG nonpolitikus yang dimintai pendapatnya untuk memberikan penjelasan tambahan seputar konsep diri dan tindakan alumni PMG dalam berpolitik. Wawancara dilakukan di tempat yang disepakati penulis dan informan, namun umumnya di tempat para informan bekerja, seperti gedung DPR/MPR, kampus perguruan tinggi, pondok pesantren, dan rumah pribadi. Selain melakukan wawancara, penulis juga melakukan observasi selama wawancara dilakukan. Bahkan penulis melakukan observasi ke Pondok Modern Gontor sudah sejak Februari 2014 untuk mengamati gejala-gejala yang tampak pada obyek penelitian. Karena penulis melakukan observasi partisipan, maka penulis memiliki kesempatan untuk terlibat langsung dalam sejumlah kegiatan informan maupun di pondok pesantren sambil melakukan pengamatan. Berdasarkan hasil observasi dapat diketahui bahwa falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan Pondok Modern Darussalam Gontor turut membentuk konsep diri politikus alumni PMG. Falsafah dan nilai-nilai itu antara lain terwujud dalam motto dan Panca Jiwa yang mesti dihafal dan dipraktikkan seluruh para santri. Dan faktanya, falsafah dan nilai-nilai itu sangat membekas dan masih dijadikan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 258 pegangan oleh para alumni PMG. Dalam konteks penelitian ini, konsep diri yang turut dibentuk PMG itu pun pada akhirnya membentuk karakter para politikus alumni PMG serta turut mempengaruhi tindakan (aktualisasi) dan pola komunikasi politik mereka. Pada penelitian ini penulis juga mendapatkan temuan di lapangan bahwa para politikus alumni PMG memiliki motif beragam dalam berpolitik. Motif tersebut adalah motif untuk meneruskan tradisi, motif untuk meraih kekuasaan, dan motif untuk memperjuangkan ideologi. Sementara dari sisi pola komunikasinya, penulis mendapatkan temuan bahwa para politikus alumni PMG menggunakan banyak cara dengan mengerahkan segala modal sosial yang mereka miliki, seperti mendirikan yayasan atau lembaga sosial, berceramah di majelis taklim, menjadi dosen, dan lain sebagainya. Mereka juga menggunakan komunikasi verbal dan nonverbal yang khas Pondok Modern Gontor, yakni menggunakan istilah-istilah yang berasal dari bahasa Arab serta mengenakan jas, dasi, dan celana kain panjang dalam gaya berbusananya. Kemampuan para politikus alumni PMG dalam hal berkomunikasi juga tidak diragukan lagi mengingat mereka telah dibekali cara berkomunikasi di depan khalayak saat di pondok. Demikian pula halnya dengan kreativitas mereka dalam berorganisasi yang telah diasah sejak di pondok, menjadikan para politikus alumni PMG sebagai sosok piawai dalam berpolitik dan memiliki peran dan posisi strategis di masing-masing partai politiknya. Kemampuan berkomunikasi dan leadership semacam inilah yang membuat penulis melabeli mereka sebagai politikus kontemporer. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 259 Seperti disebutkan di atas, alumni PMG yang menjadi informan pokok pada penelitian kali ini memiliki fasilitas-fasilitas peran (role facilities) yang diberikan masyarakat melalui lembaga-lembaga sosial. Dalam konteks penelitian ini, alumni PMG ada yang memiliki lembaga pesantren atau majelis taklim sebagai bagian dari fasilitas umat, dimana ia berperan sebagai pendakwah (dai), mengajar santri, memberikan siraman rohani pada masyarakat dan aktivitas sosial keagamaan lainnya. Selain itu ada juga alumni PMG yang berperan di lembaga swadaya masyarakat, menjadi seorang guru, dan juga ada yang menjadi seorang motivator. Untuk memudahkan, maka pembahasan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: 4.3.1. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Modal Berpolitik Setidaknya, alumni PMG memiliki dua peran penting di masyarakat. Pertama, alumni PMG memiliki peran sosial yang cukup dihormati dengan tampil sebagai pendakwah/penceramah (dai), ustadz, guru, dosen, dan aktivis di berbagai organisasi kemasyarakatan. Beragam peran tersebut menjadi identitas yang melekat dalam proses pembentukan status sosial sekaligus menjadi pembeda antara masyarakat biasa dengan alumni PMG. Hal itu jelas menjadi modal sosial yang sangat penting bagi alumni PMG untuk berperan serta dalam membangun peradaban dan eksistensi dirinya di dalam masyarakat. Konstruksi persepsi yang http://digilib.mercubuana.ac.id/ 260 dapat digali dari alumni PMG antara lain melalui personality material, dimana alumni PMG dapat dikenal melalui pakaian yang dikenakan dalam keseharian. Seperti yang sudah disinggung di atas, alumni PMG memiliki konsep berpakaian yang terbentuk sejak mereka nyantri. Para santri PMG berpakaian tidak seperti pakaian para santri pada umumnya, terutama jika dibandingkan dengan para santri dari pondok pesantren tradisional. Seperti saat nyantri, para alumni PMG pun kerap tampil dengan gaya berbusana yang sedikit formal dengan jas dan dasi. Gaya berbusana atau berpakaian pada alumni PMG itu pada akhirnya membentuk sebuah identitas dan menjadi sebuah kesepakatan bersama bahwa alumni PMG akan diidentikkan dengan pakaian tertentu. Identitas lainnya dapat ditemukan pada fasilitas atau wadah untuk mengaktualisasikan diri para alumni PMG sebagai pengajar agama atau sebagai orang yang diberikan kewenangan sebagai pemberi legitimasi perihal keagamaan dan pendidikan. Wadah itu ada yang berupa pondok pesantren, forum pengajian atau majelis taklim, lembaga pendidikan seperti tempat kursus atau perguruan tinggi. Fasilitas-fasilitas seperti inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan para alumni PMG untuk meraih “suara” saat mereka berkiprah di panggung politik. Peran lain alumni PMG di masyarakat adalah sebagai komunikator politik. Dalam menjalankan peran-peran politiknya, selain memiliki role facillites berupa pesantren, majelis taklim, lembaga pendidikan, serta lembaga sosial, alumni PMG juga ditopang oleh perangkat peran (role set) seperti Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor, jaringan pondok pesantren alumni, dan lembagalembaga lainnya. http://digilib.mercubuana.ac.id/ 261 Selanjutnya, mengikuti uraian Dan Nimmo, konsep diri alumni PMG dalam komunikasi politiknya terbagi ke dalam 3 kategori komunikator politik. Pertama, politikus sebagai komunikator politik; kedua, profesional sebagai komunikator politik; dan ketiga, aktivis sebagai komunikator politik. Namun, mengingat informan pokok pada penelitian ini adalah para pelaku politik yang terlibat dalam sebuah partai politik, maka para alumni PMG yang menjadi informan pokok di sini masuk ke dalam kategori politikus sebagai komunikator politik. Pada penelitian ini penulis menemukan fakta bahwa politikus alumni PMG terbagai ke dalam 2 kategori, yakni politikus ideolog dan politikus partisan. Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politiknya lebih memperjuangkan kepentingan bersama atau publik. Mereka tidak begitu terpusat untuk mendesakkan tuntutan seorang langganan atau kelompoknya, tetapi dia lebih memfokuskan dirinya atau pesan-pesannya untuk hal yang lebih luas dengan kebijakannya dari mulai mengupayakan reformasi bahkan sampai mendukung untuk perubahan yang revolusioner—sepanjang hal itu mendatangkan kebaikan untuk bangsa dan negara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, semua informan pokok sesungguhnya memiliki dasar ideologi kuat untuk berkiprah di partai politik. Ideologi itu muncul atas dasar dorongan untuk memajukan dan menyejahterakan umat, bangsa, dan negara. Kata “umat” biasanya beriringan dengan kata “bangsa” yang menandakan bahwa para informan memahami posisi umat Islam sebagai masyarakat dominan di Indonesia. Ideologi itu sendiri menjadi tampak seragam karena para informan sama-sama menerima falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan http://digilib.mercubuana.ac.id/ 262 para ustadz di PMG. Artinya, disadari atau tidak, melalui falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan itu PMG sesungguhnya telah menanamkan doktrin agar para santrinya menjadi para pemimpin umat. Sementara itu, meski para informan pokok mengaku memiliki dasar ideologi kuat dalam mengarungi dunia politik, namun pada perjalanannya kemudian para informan pokok terlihat memiliki kecenderungan untuk berada di kelompok politikus partisan. Bahkan beberapa di antaranya memiliki kecenderungan yang kuat sebagai politikus partisan. Falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan para ustadz di PMG memang menjadi bekal, akan tetapi tujuan meraih kekuasaan pun turut mengemuka bersamaan dengan pengalaman mereka berpolitik. Apalagi posisi mereka sebagai politikus yang berada dalam lingkaran partai politik mengharuskan mereka jadi representasi partai yang dibelanya itu. Artinya, alumni PMG secara umum berdiri pada posisi politikus ideolog sekaligus politikus partisan, meski dengan kecenderungan yang berbeda. Di satu sisi seluruh informan memiliki ideologi berpolitik yang jelas, namun pada praktiknya ada beberapa informan yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk bersikap sebagai politikus partisan dibandingkan informan lainnya. Adapun skema konsep diri alumni PMG dapat digambarkan sebagai berikut: http://digilib.mercubuana.ac.id/ 263 Gambar 4.3.1. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Modal Berpolitik 4.3.2. Tindakan Politik Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Komunikator Politik Tindakan politik yang dijumpai pada para informan pokok sama seperti yang dijumpai pada masyarakat umumnya. Di dalam tindakan politik itu terkandung motif yang melatarinya. Hal tersebut sesuai seperti gambaran Alferd Schutz bahwa tindakan subyektif para aktor tidak muncul begitu saja, tetapi harus melalui proses panjang atau dengan kata lain bahwa sebelum masuk pada tataran in order motive ada tahapan because motive yang mendahuluinya. Sementara itu dijelaskan pula bahwa pada dasarnya fenomenologi sosial terdiri dari tiga hal http://digilib.mercubuana.ac.id/ 264 utama, yaitu kehidupan sehari-hari, sosialitas, dan makna serta pemberian makna. (Sobur, 2013:63) Pada konteks alumni PMG yang menjadi informan pokok penelitian ini, tindakan itu bisa bermotif masa lalu dan mungkin saja akan bermotif masa yang akan datang. Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, di dalam tindakan politik para politikus alumni PMG terdapat 3 motif, yaitu motif meneruskan tradisi, motif meraih kekuasaan, dan motif memperjuangan ideologi. Melalui motif meneruskan tradisi, para informan menyadari pentingnya berpolitik sebagai sebuah cara untuk melakukan tindakan nyata dalam upaya berkontribusi dalam memakmurkan dan menyejahterakan umat dan bangsa. Motif ini muncul sebagai because of dalam persepsi Schutz yang menjadi latar belakang informan dalam bertindak di kancah politiknya. Dari sejumlah informan pokok yang dieksplorasi penulis, motif berpolitik untuk meneruskan tradisi ini terdapat pada diri DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA dan DR. Husnan Bey Fananie, MA. Motif ini dapat dipahami mengingat keduanya memiliki latar belakang keluarga yang memang seorang aktivis keislaman yang berkontribusi dalam pembinaan dan upaya menyejahterakan umat. Sementara dari eksplorasi yang dilakukan, penulis menemukan fakta semua informan memahami bahwa meski tujuan berpolitik adalah kekuasaan, namun kekuasaan bukanlah tujuan utamanya. Mereka memaknai jika definisi Harold D. Lasswell bahwa politics is who gets what, when, and how atau politik hanya untuk meraih kekuasaan haruslah diletakkan pada tempat yang sebenarnya, yakni untuk berkontribusi pada upaya menyejahterakan masyarakat. Motif meraih http://digilib.mercubuana.ac.id/ 265 kekuasaan dijadikan because untuk meraih tujuan sebenarnya. Politik yang juga dipahami sebagai cara berdakwah dianggap akan lebih maksimal jika memiliki kekuasaan. Dengan memiliki power atau kekuasaan, mereka meyakini bahwa dakwah akan lebih melebar. Hal ini sesuai dengan kaidah yang diyakini mereka, bahwa muslim yang kuat itu lebih baik dibandingkan muslim yang lemah. Motif terakhir yang ditemukan dalam penelitian ini adalah motif untuk memperjuangkan ideologi atau sebagai motif in order to. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, semua informan sesungguhnya memiliki dasar ideologi kuat untuk berkiprah di partai politik. Ideologi itu muncul atas dasar dorongan untuk memajukan dan menyejahterakan umat, bangsa, dan negara. Kata “umat” biasanya beriringan dengan kata “bangsa” yang menandakan bahwa para informan memahami posisi umat Islam sebagai masyarakat dominan di Indonesia. Ideologi itu sendiri menjadi tampak seragam karena para informan sama-sama menerima falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan para ustadz di PMG. Artinya, disadari atau tidak, melalui falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan itu PMG sesungguhnya telah menanamkan doktrin agar para santrinya menjadi para pemimpin umat. Memperjuangkan ideolog demi kemaslahatan umat menjadi motif in order bagi seluruh informan pokok setelah adanya motif meriah kekuasaan dan motif meneruskan tradisi bagi DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA dan DR. H. Husnan Bey Fananie, MA. Adanya motif meraih kekuasaan dan memperjuangkan ideolog dalam individu yang sama, menurut salah seorang informan kunci Chaider S. Bamualim, sangat dimungkinkan. Menurutnya, meski disadari bahwa tujuan berpolitik para http://digilib.mercubuana.ac.id/ 266 informan adalah meraih kekuasaan, namun mereka tetap saja membawa misi-misi keumatan dan kebangsaan yang menjadi basis ideologinya. Lebih jelas Chaider S. Bamualim mengatakan: “Orang berpolitik itu tujuannya kekuasaan. Tapi kita tidak bisa mengesampingkan bahwa para santri itu tidak membawa misi-misi ideologis sama sekali. Itu tidak mungkin. Dalam teori sosial selalu aspek subyektif, relijius, ideologis dalam teori politik. Dalam politik itu kan orang tujuannya kekuasaan. Orang harus paham bahwa santri itu hidup dalam kultur, sistem nilai, dan tradisi yang kuat, sehingga ketika mereka sudah berpolitik mereka tetap memperjuangkan hal-hal yang bertentangan dengan ideologi mereka. Misalnya, dalam UU Pendidikan Nasional, para aktifis PPP dulu memperjuangkan agar kata “takwa” tetap ada sebagai tujuan pendidikan. Jadi, kalau tidak, mereka akan menjadi sekuler sama sekali. Unsur-unsur keislaman tetap mereka perjuangkan di partai-partai politik Islam seperti PPP, PKB, PKS. Apalagi jika dianggap ada yang mengganggu kepentingan Islam, termasuk ideologinya. Meskipun itu juga sulit karena tidak semua bisa dicapai.” Penulis juga menemukan fakta lain saat melakukan eksplorasi tentang kesadaran alumni PMG yang masuk ke dalam kancah politik. Kesadaran seseorang akan dipengaruhi pula oleh pengetahuan dan pengalaman dalam dirinya. Beruntung bagi alumni PMG yang menjadi informan pokok pada penelitian ini, dimana mereka secara sadar memahami dunia politik yang mereka tekuni. Tidak seperti umumnya orang-orang yang memandang politik itu dengan sinis dan dianggap sebagai barang “haram” dan kotor, para politikus alumni PMG justru memaknai politik sebagai tools atau vehicle untuk menyejahterakan umat, memaksimalkan potensi diri agar bermanfaat bagi sesama, serta meninggikan kalimat Allah atau dalam kalimat lengkap berbahasa Arabnya adalah: li i’lâi kalimâtillâh wa li’izzil islâm wal muslimîn (untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi ini serta untuk memuliakan Islam dan umatnya). Politik juga http://digilib.mercubuana.ac.id/ 267 dipandang mereka sebagai dakwah, dimana jika dakwah itu disukung oleh power, maka itu lebih baik. Sebuah hadits yang mengatakan bahwa al-mu’minul qawiy khairun minal mu’min adh-dha’if menjadi pegangan agar proses meraih kekuasaan (power) tetap berjalan di atas rel kemaslahatan bagi umat, bangsa, dan negara. Adapun pemaknaan kotor dalam politik, dipahami mereka sebagai pemeo yang muncul karena adanya praktik politik kotor oleh sebagian politisi. Tapi hal itu dianggap sebagai cara pandang yang sekuleristik, apatis, dan tidak sesuai dengan prinsip dasar politik. Para politikus alumni PMG Dasar berpendapat bahwa politik itu sejatinya hadir agar para politisi terlibat dalam sebuah kebijakan yang membawa kebaikan, bukan keburukan atau kekotoran. Politik kotor itu bukanlah pemeo yang tidak bisa dikoreksi. Dan politik kotor itu merupakan satu penyimpangan dalam berpolitik. Penulis juga menemukan fakta bahwa dalam melakukan tindakan politiknya, para informan pokok memiliki perbedaan dalam hal cara melakukan kampanye atau mensosialisasikan program-program politiknya. Perbedaan itu dipengaruhi oleh modal sosial dan modal politik yang dimiliki masing-masing informan. Bagi seorang ustadz yang memiliki majelis taklim atau pondok pesantren, tentu akan sangat mudah melakukan komunikasi instruktif saat mensosialisasikan program-program politiknya. Sebaliknya, bagi seorang dosen tentu akan lebih sulit melakukan metode komunikasi instruktif karena segmen yang dihadapinya lebih “melek” politik. Apalagi jika ia sama sekali bukanlah pejabat “teras” dalam partai politiknya. Namun demikian, penulis menilai jika http://digilib.mercubuana.ac.id/ 268 semua informan pokok memahami bagaimana cara berkomunikasi secara persuasif maupun instruktif, meski masing-masing individu memiliki kecenderungan yang berbeda dalam mengaplikasikannya. Hidayat Nur Wahid, Husnan Bey Fananie, dan Lookh Makhfudz, misalnya, ketiganya akan menerapkan metode komunikasi persuasif saat berhadapan dengan konstituen yang tidak memiliki kaitan struktur dalam partai. Namun saat mensosialisasikan program-programnnya di internal partai politik, mereka akan menggunakan metode komunikasi instruktif agar pesan yang disampaikan dapat dipahami secara jelas dan dilaksanakan dengan baik. Secara umum, penulis menilai bahwa politikus alumni PMG memiliki skill berpolitik yang lebih maju dibandingkan politisi lainnya. Penulis melihat bahwa dengan skill yang dimilikinya, para politikus alumni PMG dapat disebut sebagai politikus kontemporer. Seperti dipahami bersama bahwa dalam komunikasi politik, komunikator politik merupakan salah satu faktor yang menentukan efektivitas komunikasi. Pada peristiwa komunikasi manapun, faktor komunikator merupakan suatu unsur yang penting sekali peranannya. Sekalipun nantinya keberhasilan komunikasi yang dimaksud secara menyeluruh bukan hanya ditentukan oleh sumber, namun mengingat fungsinya sebagai pemrakarsa dalam aktifitas yang bersangkutan, maka bagaimanapun juga dapat dilihat betapa menentukannya peran tersebut. Dalam perspektif panggung politik kontemporer, komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, khususnya dalam proses pembentukan opini publik. Komunikator politik sebagai pelaku atau diidentifikasi sebagai pemimpin yang memiliki potensi dan kompetensi di atas rata-rata http://digilib.mercubuana.ac.id/ 269 dibandingkan warga negara pada umumnya dalam hal menyampaikan pikiran atau gagasan di mana pun dia berada. Sebagai seorang komunikator politik, ada beberapa kemampuan yang mesti dimiliki. Pertama, kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi mempunyai makna bahwa seorang yang mampu dan cerdas dalam menyampaikan argumen, gagasan, dan pemikiran kepada publik, di manapun dia berada. Artinya, di manapun dia berada setiap statement-nya mampu mempengaruhi khalayak. Kedua, komunikator politik sebaiknya memiliki kesempatan dan memiliki kapasitas sebagai pemimpin. Orang yang mengidentifikasi dirinya berkemampuan sebagai komunikator politik adalah orang yang memiliki leadership. Bagi orang yang menceburkan diri dalam panggung politik dan kekuasaan, hal yang tak bisa ditawarkan adalah memiliki kemampuan dalam memimpin. Pemimpin itu tak lahir seketika atau instant. Pemimpin sejak lahir sudah terlihat bakatnya sebagai pemimpin di mana pun dia berada. Kedua kemampuan di atas, sesungguhnya dapat ditemukan pada para politikus alumni PMG yang penulis teliti. Baik kemampuan berkomunikasi maupun leadership, merupakan skill yang sejatinya sudah diasah sejak mereka masih menjadi santri di PMG. Metode pembelajaran semacam muhâdlarah (pidato) dan menggunakan Bahasa Arab serta Bahasa Inggris dalam komunikasi sehari-hari, diaplikasikan sangat baik dalam dunia politik. Para politikus alumni PMG pada akhirnya mampu meraih modal sosial, baik sebagai penceramah/pendakwah, guru, dosen, motivator, hingga juru lobi yang banyak mengeluarkan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Sementara pelajaran http://digilib.mercubuana.ac.id/ 270 leadership yang diperoleh saat nyantri melalui kegiatan OPPM, Pramuka, dan organisasi lainnya, berhasil dipraktikkan dalam aktivitas berorganisasi di lembaga politik maupun di lembaga kemasyarakatan. Maka berdasarkan pengamatan tentang bagaimana peran dan tindakan alumni PMG di kancah politik, penulis dapat membuat bagan pola komunikasi mereka sebagai berikut: Gambar 4.3.2. Pola Komunikasi Politik Alumni Pondok Modern Gontor http://digilib.mercubuana.ac.id/