bab iv hasil penelitian dan pembahasaan

advertisement
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN
4.1. Gambaran Umum Objek Penelitian
Selama berabad-abad pondok pesantren telah memberikan kontribusi besar
dan nyata bagi masyarakat Indonesia, utamanya dalam pengembangan dakwah
dan pendidikan Islam. Sebagai wadah pembentukan generasi muslim yang
tangguh, pondok pesantren berada di garda terdepan membentengi akidah umat,
menanamkan akhláqul karímah, membentuk karakter, dan menjadi media
transformasi nilai-nilai luhur serta ilmu pengetahuan. Keberadaan pondok
pesantren itu tentu saja tidak terlepas dari peran santri dan pengelolanya.
Dalam catatan sejarah negeri ini, peran santri, kiai, dan ulama memang
tidak perlu disangsikan lagi. Sejak zaman prakemerdekaan hingga di era pasca
Reformasi ini peran ketiganya masih terasa penting bahkan makin penting. Bagi
para santri yang merupakan embrio kiai dan ulama, pengabdian kepada ibu
pertiwi merupakan implementasi dari setiap ajaran yang diterima di pondok
pesantren sekaligus salah satu bentuk peribadatan mereka kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Maka tak heran jika para santri selalu berada di garda terdepan perjuangan
bersama para kiai, ulama, dan para pahlawan lainnya.
Sebagai bentuk pengakuan dan penghormatan atas peran para santri,
pemerintah pun menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Pengakuan itu juga muncul dari Jenderal Gatot Nurmantyo saat turut serta
80
http://digilib.mercubuana.ac.id/
81
memperingati acara perayaan Hari Santri Nasional di Tugu Proklamasi, Menteng,
Jakarta pada Kamis (22/11/2015).
"Hari ini saya datang ke sini bersama Marinir, Kopassus, Paskhas,
Kostrad, dan Armed, untuk ingatkan perjuangan yang rebut kemerdekaan bukan
hanya TNI tapi juga santri dan ulama," katanya seperti dilansir tribunnews.com
yang diunduh penulis pada 20 November 2015.
Dan kelak ketika para santri lulus dari pondok pesantren, peran mereka
semakin terasa, baik oleh masyarakat di tingkat grassroot hingga di tingkat
nasional. Begitu pula halnya dengan alumni Pondok Modern Darussalam Gontor
Gontor yang perannya dirasakan betul masyarakat di berbagai tingkatan, termasuk
peran alumni Pondok Modern Darussalam Gontor di kancah politik Indonesia.
Di Indonesia, ribuan pondok pesantren tersebar di berbagai daerah.
Pondok Modern Darussalam Gontor merupakan salah satu pondok pesantren yang
berperan besar mewarnai dunia pendidikan di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.
Hal ini ditengarai oleh banyaknya santri Pondok Modern Darussalam Gontor yang
berasal dari luar negeri, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan lain
sebagainya.
Pondok Modern Darussalam Gontor atau biasa disebut Pondok Gontor
atau Pondok Modern Gontor adalah sebuah pondok pesantren besar di antara
pondok-pondok pesantren di Indonesia. Pondok Modern Gontor berada di Desa
Gontor (luas 1.332 km2), Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, terletak lebih
kurang 3 kilometer sebelah timur Tegalsari dan 11 kilometer ke arah tenggara dari
Kota Ponorogo.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
82
Pondok Modern Darussalam Gontor merupakan lembaga pendidikan yang
mandiri dan berstatus swasta penuh sejak masa awal berdirinya hingga saat ini.
Didirikan pada 20 September 1926 oleh Trimuri, yakni KH. Ahmad Sahal (lahir
pada 22 Mei 1901 – wafat pada 9 April 1977), KH. Zainuddin Fananie (23
Desember 1905 – 21 Juli 1967), dan KH. Imam Zarkasyi (21 Maret 1910 – 30
April 1985). Lembaga ini secara resmi diwakafkan pada 12 Oktober 1958 oleh
para pendirinya kepada umat Islam dunia. Pondok ini juga terdaftar secara resmi
dengan nomor 24 pada 18 Maret 1956 di Madiun dan terdaftar di Pengadilan
Negeri Ponorogo dengan nomor 3 dan telah diumumkan secara resmi melalui
surat edaran Negara bernomor 85/1960 (Suharto, 2011:5).
Saat ini Pondok Modern Gontor untuk putra memiliki 12 cabang di seluruh
Indonesia. Sementara Pondok Modern Gontor untuk putri memiliki 6 cabang.
Pondok Modern Gontor 1 dan 2 ada di Ponorogo; Pondok Modern Gontor Gontor
3 di Kediri; Gontor 4 (Putri 1) di Mantingan, Ngawi; Pondok Modern Gontor
Putri 2 dan 3 juga di Ngawi; Pondok Modern Gontor Putri 4 di Kendari; Pondok
Modern Gontor Putri 5 di Kediri; Pondok Modern Gontor 5 di Banyuwangi;
Pondok Modern Gontor 6 di Magelang; Pondok Modern Gontor 7 di Kendari;
Pondok Modern Gontor 8 dan 9 di Lampung; Pondok Modern Gontor 10 di Aceh;
Pondok Modern Gontor 11 di Padang; dan Pondok Modern Gontor 12 di Jambi.
Berikut di bawah ini adalah daftar pondok-pondok pesantren cabang
Pondok Modern Gontor:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
83
Tabel 4.1.
Daftar Pondok-Pondok Pesantren Cabang Pondok Modern Gontor
NO
NAMA PONDOK
KETERANGAN
1
Pondok Modern Darussalam
Gontor 1
Berlokasi di Desa Gontor, Kecamatan
Mlarak, Kabupaten Ponorogo, diasuh oleh
KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA. dan
KH. Hasan Abdullah Sahal.
2
Pondok Modern Darussalam
Gontor 2
Berada di Desa Madusari, Kecamatan Siman,
Kabupaten Ponorogo, di atas areal tanah
seluas lebih kurang 10 ha. Dibuka secara
resmi pada 10 Oktober 1965 oleh Wakil
Presiden RI Try Sutrisno. Diasuh oleh KH.
Husni Kamil Jaelani, S.Ag dan memiliki
kapasitas 2.000 santri.
3
Pondok Modern Darul Ma’arif
Gontor 3
Terletak di Sumbercangkring, Gurah, Kediri,
di atas areal tanah seluas 12 ha. Pondok
berkapasitas 1.500 santri ini diasuh oleh KH.
Saiful Anwar, S.Ag.
4
Pondok Modern Darussalam
Gontor Putri 1
Beralamat di Desa Sambirejo, Kecamatan
Mantingan, Kabupaten Ngawi, dengan
diasuh oleh KH. Dr. Ahmad Hidayatullah
Zarkasyi, MA. Pondok ini menempati lahan
seluas 25 ha dan berkapasitas 4.000
santriwati.
5
Pondok Modern Darussalam
Gontor Putri 2
Berada di sebelah barat Pondok Modern
Darussalam Gontor Putri 1 dengan
menempati areal tanah seluas 10 ha dan
berkapasitas 2.000 santriwati. Pondok ini
diasuh oleh KH. Suwarno TM.
6
Pondok Modern Darussalam
Gontor Putri 3
Menempati areal tanah seluas lebih kurang
11 ha, pondok ini berada di Desa
Karangbanyu, Kecamatan Widodaren,
Kabupaten Ngawi. Diresmikan pada 18
Syawwal 1423/25 Desember 2002 oleh
Pimpinan Pondok Modern Darussalam
Gontor, pondok ini diasuh oleh KH.
Muhammad Hudaya, Lc., M.Ag. Pondok ini
memiliki kapasitas 2.500 santriwari.
7
Pondok Modern Darussalam
Gontor Putri 4
Berada di Desa Lamomea, Kecamatan
Konda, Kabupaten Konawe Selatan, Propinsi
Sulawesi Tenggara. Pondok yang diasuh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
84
KH. Hanif Hafidz, S.Ag., ini berada di atas
lahan seluas 10 ha dengan kapasitas 1.000
santri.
8
Pondok Modern Darussalam
Gontor Putri 5
Berdiri di atas lahan seluas 5,5 ha, pondok
ini berada di Bobosan, Kemiri, Kandangan,
Kediri, Jawa Timur. Pondok ini memiliki
kapasitas 1.000 santriwati dan diasuh oleh
KH. Agus Mulyana, S.Ag.
9
Pondok Modern Ittihadul Ummah
Putri 6
Terletak di Desa Tokorondo, Kecamatan
Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah,
dengan luas 32 ha. Dibuka secara resmi oleh
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pondok ini
diasuh oleh KH. Abdul Fatah, S.Th.I. dan
memiliki kapasitas 750 santriwati.
10
Pondok Modern Darul Muttaqin
Gontor 5
Berada di Kaligung, Rogojampi,
Banyuwangi, pondok ini terletak di atas areal
seluas 7 ha dan memiliki kapasitas 1.000
santri. Pondok diasuh oleh KH. Suwito
Jemari, S.Ag.
11
Pondok Modern Darul Qiyam
Gontor 6
Terletak di Dusun Gadingsari, Desa
Mangunsari, Kecamatan Sawangan,
Kabupaten Magelang, di atas arela seluas 6,5
ha. Pondok berkapasitas 1.000 santri ini
diasuh oleh KH. Ahmad Syuja’i, BA.
12
Pondok Modern Riyadhatul
Mujahidin Gontor 7
Berada di Desa Pudahoa, Kecamatan
Landono, Kabupaten Kendari, Sulawesi
Tenggara, pondok ini berada di lahan seluas
174 ha. Pondok berkapasitas 1.000 santri ini
diasuh oleh KH. Heru Wahyudi, S.Ag.
13
Pondok Modern Darussalam
Gontor 8
Pondok yang diasuh Ustadz Abdulla
Syukron ini berada di Desa Labuhan Ratu
VI, Kecamatan Labuhan Ratu, Kabupaten
Lampung Timur.
14
Pondok Modern Darussalam
Gontor 9
Berlokasi di Dusun Kubupanglima, Desa
Tajimalela, Kecamatan Kalianda, Lampung
Selatan, pondok ini berada di areal lahan
seluas 11,5 ha dan berkapasitas 1.000 santri.
Pondok ini diasuh oleh KH. Syamsuddin
Basyir, S.Ag.
15
Pondok Modern Darul Amin
Gontor 10
Berada di Meunasah Baro Seulimum Aceh,
di atas lahan seluas 10.1 ha dan berkapasitas
500 santri. Pondok ini diasuh oleh Ustadz
http://digilib.mercubuana.ac.id/
85
Nurwaini Sholeh, S.H.I.
16
Pondok Modern Darussalam
Gontor 11
Terletak di Sulit Air, Solok, Sumatera Barat,
pondok ini diasuh oleh Ustadz Bambang Nur
Cholis, S.Th.I., dan berkapasitas 200 santri.
17
Pondok Modern Darussalam
Gontor 12
Berlokasi di Parit Culum, Muara Sabak
Barat, Tanjung Jabung Timur, Jambi.
Menempati lahan seluas 8 ha, pondok ini
masih terus membangun untuk melengkapi
bermacam fasilitasnya.
18
Pondok Modern Ittihadul Ummah
Gontor 11
Berada di Desa Tokorondo, Kecamatan
Poso, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah,
dengan luas 32 ha. Dibuka secara resmi oleh
Wakil Presiden RI Jusuf Kalla, pondok ini
diasuh oleh Ustadz Cecep Sobar Rahmat,
S.Th.I. dan memiliki kapasitas 750 santri.
Selain pondok-pondok cabang, para alumni Pondok Modern Gontor juga
telah mendirikan banyak pesantren di seluruh Indonesia. Tercatat kurang lebih
200 pondok alumni sudah berdiri di seluruh Indonesia. Sebut saja misalnya
Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Amin Perinduan Madura, Ponpes Nurul Harmain
Narmada, Ponpes Darunnajah, dan lain-lain.
4.1.1. Sejarah Pondok Modern Gontor
Sejatinya, menelusuri sejarah Pondok Modern Gontor tidaklah sulit.
Penulis banyak menemukan media rujukan yang mendeskripsikan sejarah Pondok
Modern Gontor. Rujukan tersebut antara lain berbentuk buku maupun media
online dan broadcast, utamanya dalam bentuk company profile lembaga tersebut.
Namun demikian, sumber rujukan utama yang digunakan penulis adalah buku
http://digilib.mercubuana.ac.id/
86
berjudul “Gontor & Pembaharu Pendidikan Pesantren” karya KH. Abdullah
Syukri Zarkasyi, MA. yang diterbitkan pada 2005, buku company profile berjudul
“Darussalam Gontor, Modern Islamic Boarding School” yang disusun H. Ahmad
Suharto, S.Ag. dan dirilis pada 2011, serta situs resmi Pondok Modern
Darussalam Gontor dengan alamat website di www.gontor.ac.id.
Pondok Modern Gontor memiliki sejarah yang cukup panjang. Untuk
mengetahuinya secara sistematis—berdasarkan rujukan di atas—penulis coba
mendeskripsikan sejarah Pondok Modern Gontor ke dalam tiga babak
pembahasan, yakni Pondok Tegalsari, Pondok Gontor Lama, dan Pondok Gontor
Baru.
4.1.1.1. Pondok Tegalsari
Cikal bakal Pondok Modern Gontor bermula dari sebuah pondok pesantren
bernama Pondok Tegalsari. Pondok tersebut didirikan oleh seorang kiai besar
bernama Kiai Ageng Hasan Bashari atau Besari pada awal abad ke-18 di desa
Tegalsari, yaitu sebuah desa terpencil yang diapit sungai Keyang dan sungai Malo
serta berjarak lebih kurang 10 kilometer ke arah selatan kota Ponorogo.
(www.gontor.ac.id., Sejarah Pondok Modern Gontor)
Pondok Tegalsari yang diamksudkan di sini, tampaknya, bukanlah Pondok
Pesantren Tegalsari yang dimaksud Zamakhsari dalam bukunya Tradisi
Pesantren. Jika Pondok Tegalsari yang menjadi cikal bakal Pondok Modern
Gontor berada di wilayah Ponorogo, Jawa Timur, maka Pondok Tegalsari yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
87
dimaksud Zamakhsari berada di wilayah Salatiga, Jawa Tengah, yang didirikan
Kiai Muhammad Rozi dengan bantuan saudara iparnya, Kiai Ali Munawar.
Menurut catatan gontor.ac.id, Pondok Tegalsari pernah mengalami zaman
keemasan berkat kealiman, kharisma, dan kepiawaian para kiai yang
mengasuhnya. Ribuan santri berduyun-duyun menuntut ilmu di pondok ini.
Mereka berasal dari hampir seluruh tanah Jawa dan sekitarnya. Karena besarnya
jumlah santri, seluruh desa menjadi pondok. Bahkan untuk menampung para
santri, pondokan juga didirikan di desa-desa sekitar, misalnya Desa Jabung
(Nglawu), Desa Bantengan, dan lain-lain.
Jumlah santri yang begitu besar dan berasal dari berbagai daerah dan
berbagai latar belakang itu menunjukkan kebesaran Pondok Tegalsari. Alumni
Pondok ini pun banyak yang menjadi orang besar dan berjasa kepada bangsa
Indonesia. Beberapa di antara mereka ada yang menjadi kiai, ulama, tokoh
masyarakat, pejabat pemerintah, negarawan, pengusaha, dan lain sebagainya.
Beberapa alumni Pondok Tegalsari antara lain adalah Paku Buana II atau Sunan
Kumbul, penguasa Kerajaan Kartasura; Raden Ngabehi Ronggowarsito (wafat
1803), seorang pujangga Jawa yang masyhur; dan tokoh pergerakan nasional
H.O.S. Cokroaminoto (wafat 17 Desember 1934).
Di dalam Babad Perdikan Tegalsari diceritakan tentang latar belakang
Paku Buana II menjadi santri Pondok Tegalsari. Alkisah, pada suatu hari, tepatnya
tanggal 30 Juni 1742, di Kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan komunitas
China yang dipimpin oleh Raden Mas Garendi Susuhuhan Kuning. Ia merupakan
seorang sunan keturunan Tionghoa. Serbuan yang dilakukan oleh para
http://digilib.mercubuana.ac.id/
88
pemberontak itu terjadi begitu cepat dan hebat sehingga Kartasura tidak siap
menghadapinya. Karena itu Paku Buana II bersama pengikutnya segera pergi
dengan diam-diam meninggalkan Keraton menuju ke timur Gunung Lawu. Dalam
pelariannya itu dia sampai di desa Tegalsari. Di tengah kekhawatiran dan
ketakutan dari kejaran pasukan Sunan Kuning itulah kemudian Paku Buana II
berserah diri kepada Kanjeng Kiai Hasan Besari. Penguasa Kartasura ini
selanjutnya menjadi santri dari kiai wara` itu. Dia ditempa dan dibimbing untuk
selalu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah, Sang Penguasa dari segala
penguasa di semesta alam.
Berkat keuletan dan kesungguhannya dalam beribadah, berdoa, serta
keikhlasan bimbingan dan doa Kiai Ageng Hasan Besari, Allah ‘Azza wa Jalla
mengabulkan doa Paku Buana II. Api pemberontakan akhirnya reda. Paku Buana
II kembali menduduki tahtanya. Sebagai balas budi, Sunan Paku Buana II
menjadikan Kiai Hasan Besari sebagai menantunya. Sejak itu nama kiai yang alim
ini dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kanjeng Kiai Hasan Bashari (Besari).
Sejak itu pula Tegalsari menjadi desa merdeka atau perdikan, yaitu desa istimewa
yang bebas dari segala kewajiban membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah Kiai Ageng Hasan Besari wafat, beliau digantikan oleh putra
ketujuh beliau yang bernama Kiai Hasan Yahya. Seterusnya Kiai Hasan Yahya
digantikan oleh Kiai Bagus Hasan Besari II yang kemudian digantikan oleh Kiai
Hasan Anom. Demikianlah Pesantren Tegalsari hidup dan berkembang dari
generasi ke generasi, dari pengasuh satu ke pengasuh lain. Tetapi, pada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
89
pertengahan abad ke-19 atau pada generasi keempat keluarga Kiai Besari, Pondok
Tegalsari mulai surut.
Hingga saat Pondok Tegalsari dipimpin Kiai Khalifah, terdapat seorang
santri yang sangat menonjol dalam berbagai bidang. Santri itu bernama Sulaiman
Jamaluddin, putera Panghulu Jamaluddin dan cucu Pangeran Hadiraja, Sultan
Kasepuhan Cirebon. Ia sangat dekat dengan kiainya dan kiai pun sayang
kepadanya. Maka setelah santri Sulaiman Jamaluddin dirasa telah memperoleh
ilmu yang cukup, ia diambil menantu oleh kiai. Jadilah Sulaiman Jamaluddin
sebagai kiai muda yang sering dipercaya menggantikan kiai untuk memimpin
pesantren saat beliau berhalangan. Bahkan sang kiai akhirnya memberikan
kepercayaan kepada santri dan menantunya ini untuk mendirikan pesantren sendiri
di desa Gontor.
4.1.1.2. Pondok Gontor Lama
Ketika Kiai Sulaiman Jamaluddin membuka pondok pesantren, saat itu
Gontor masih merupakan kawasan hutan yang belum banyak didatangi orang.
Bahkan hutan tersebut dikenal sebagai tempat persembunyian para perampok,
penjahat, penyamun, pemabuk, dan sebagainya. Di tempat inilah kiai muda
Sulaiman Jamaluddin diberi amanat oleh mertuanya untuk merintis pondok
pesantren seperti Tegalsari. Berbekal 40 santri yang diberikan Kiai Khalifah
kepadanya, maka berangkatlah rombongan tersebut menuju desa Gontor untuk
mendirikan Pondok Gontor. Pendirian Pondok Gontor oleh Kiai Sulaiman
Jamaluddin ini disebut sebagai mulainya era Pondok Gontor Lama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
90
Singkat cerita, Pondok Gontor yang didirikan Kiai Sulaiman Jamaluddin
ini berkembang dengan pesat, khususnya ketika dipimpin oleh putera beliau yang
bernama Kiai Archam Anom Besari. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai
daerah di Jawa. Konon, banyak juga santri yang datang dari daerah Pasundan
Jawa Barat. Setelah Kiai Archam wafat, pondok dilanjutkan oleh putera beliau
bernama Kiai Santoso Anom Besari.
Kiai Santoso adalah generasi ketiga dari pendiri Gontor Lama. Sayangnya,
pada kepemimpinan generasi ketiga ini era Pondok Gontor Lama mulai surut.
Kegiatan pendidikan dan pengajaran di pesantren pun mulai memudar. Di antara
sebab kemundurannya adalah karena kurangnya perhatian terhadap kaderisasi.
Jumlah santri pun kian menyusut. Beberapa santri yang tinggal sedikit itu belajar
di sebuah masjid kecil yang tidak lagi ramai seperti waktu-waktu sebelumnya.
Meskipun Pondok Gontor sudah tidak lagi maju sebagaimana pada zaman
ayah dan neneknya, Kiai Santoso tetap bertekad menegakkan agama di desa
Gontor. Ia tetap menjadi figur dan tokoh rujukan dalam berbagai persoalan
keagamaan dan kemasyarakatan di desa Gontor dan sekitarnya. Pada usia yang
belum begitu lanjut, Kiai Santoso dipanggil Allah ‘Azza wa Jalla. Dengan
wafatnya Kiai Santoso ini, masa kejayaan Pondok Gontor Lama benar-benar
sirna.
Saudara-saudara
Kiai
Santoso
tidak
ada
lagi
yang
sanggup
menggantikannya untuk mempertahankan keberadaan Pondok Gontor. Yang
tinggal hanyalah janda Kiai Santoso beserta tujuh putera dan puterinya dengan
peninggalan sebuah rumah sederhana dan masjid tua warisan nenek moyangnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
91
Bahkan, sepeninggal Kiai Santoso Anom Besari dan seiring dengan
runtuhnya kejayaan Pondok Gontor Lama, masyarakat desa Gontor dan sekitarnya
yang sebelumnya taat beragama, tampak mulai kehilangan pegangan. Mereka
berubah menjadi masyarakat yang meninggalkan agama dan bahkan anti agama.
Kehidupan mo-limo: maling (mencuri), madon (main perempuan), madat
(menghisap seret), mabuk, dan main (berjudi) telah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Ini ditambah lagi dengan mewabahnya tradisi gemblakan di kalangan para warok.
4.1.1.3. Pondok Gontor Baru
Rupanya, Nyai Santoso tidak ingin melihat Pondok Gontor pupus dan
lenyap ditelan sejarah. Terlebih lagi saat ia melihat perilaku buruk masyarakat di
sekitarnya. Ia bekerja keras mendidik putera-puterinya agar dapat meneruskan
perjuangan nenek moyangnya, yaitu menghidupkan kembali Pondok Gontor yang
telah mati. Kemudian Nyai Santoso memasukkan tiga puteranya ke beberapa
pesantren dan lembaga pendidikan lain untuk memperdalam agama. Mereka
adalah Ahmad Sahal (anak kelima), Zainuddin Fannanie (anak keenam), dan
Imam Zarkasyi (anak bungsu).
Ketiga putera Ibu Nyai Santoso yang dikirimkan ke beberapa lembaga
pendidikan itu terus memperdalam ilmu. Di sisi lain, Nyai Santoso tidak pernah
berhenti berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar ketiga puteranya itu kelak dapat
menghidupkan kembali Pondok Gontor Lama yang telah runtuh itu. Berkat
pendidikan, pengarahan, dan doa yang tulus dan ikhlas dari sang ibu serta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
92
kesungguhan ketiga puteranya itu, akhirnya Allah Swt. membuka hati ketiga
putera itu untuk menghidupkan kembali pondok pesantren yang telah mati itu.
Pada tanggal 20 September 1926 bertepatan dengan 12 Rabi’ul Awwal
1345 Hijriah, dalam peringatan Maulid Nabi Saw., di hadapan masyarakat yang
hadir pada kesempatan itu, dideklarasikan pembukaan kembali Pondok Gontor.
Sayangnya, ibu yang berhati mulia ini tidak pernah menyaksikan kebangkitan
kembali Pondok Gontor di tangan ketiga puteranya itu. Beliau wafat saat ketiga
puteranya masih dalam masa belajar. Fase pendirian Pondok Gontor ini disebut
sebagai era Pondok Gontor Baru.
Langkah pertama untuk menghidupkan kembali Pondok Gontor adalah
dengan membuka Tarbiyatul Athfal (T.A.) pada tahun 1926. Tarbiyatul Athfal
adalah suatu program pendidikan bagi anak-anak masyarakat Gontor. Materi,
prasarana, dan sarana pendidikannya sangat sederhana. Semuanya dilakukan
dengan modal seadanya. Tetapi dengan kesungguhan, keuletan, kesabaran, dan
keikhlasan pengasuh Pondok Gontor, usaha ini telah dapat membangkitkan
kembali semangat belajar masyarakat desa Gontor. Program inipun pada
berikutnya tidak hanya diikuti oleh anak-anak, orang dewasa juga ikut belajar di
tempat ini. Peserta didiknya juga tidak terbatas pada masyarakat desa Gontor,
tetapi juga masyarakat desa sekitar.
Para santri Tarbiyatul Athfal itu dididik langsung oleh Pak Sahal
(panggilan untuk KH. Ahmad Sahal). Dengan beralaskan tikar dan daun kelapa,
pendidikan dilangsungkan pada siang hari dan malam hari. Pada siang hari
http://digilib.mercubuana.ac.id/
93
mereka belajar di bawah pepohonan di alam terbuka, sedangkan pada malam hari
mereka belajar diterangi oleh lampu batok (tempurung kelapa).
Berkat kegigihan dan keuletan beliau, pada tiga tahun pertama para santri
yang belajar di Pondok Gontor telah mencapai jumlah 300 santri. Mereka belajar
tanpa dipungut biaya apapun. Bahkan tidak jarang pengasuh pondok yang
memenuhi keperluan sehari-hari mereka. Pada prinsipnya, tujuan utama
pembelajaran di Tarbiyatul Athfal adalah penyadaran siswa terhadap pemahaman
dan pelaksanaan ajaran agama.
Pada saat Tarbiyatul Athfal berusia tujuh tahun, santri yang mengenyam
pendidikan di sana telah mencapai 500 orang putra dan putri. Fasilitas belajarmengajar belum mencukupi sehingga mereka belajar di rumah-rumah penduduk
dan sebagian masih di alam terbuka di bawah pepohonan. Tekad membuat
bangunan untuk ruang kelas semakin menguat, tetapi dana tidak ada, karena
selama sepuluh tahun pertama siswa tidak dipungut bayaran apapun. Untuk
memenuhi kebutuhan dana pembangunan dibentuklah “Anshar Gontor”, yaitu
orang-orang yang bertugas mencari dana di seluruh wilayah Jawa. Selain itu para
santri di dalam pondok juga dilibatkan dalam pembuatan batu merah.
Tarbiyatul Athfal terus berkembang seiring dengan meningkatnya minat
masyarakat untuk belajar. Karena itu, setelah berjalan beberapa tahun,
didirikanlah cabang-cabang Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor.
Madrasah-madrasah Tarbiyatul Athfal di desa-desa sekitar Gontor itu ditangani
oleh para kader yang telah disiapkan secara khusus melalui kursus pengkaderan.
Disamping membantu pendirian madrasah-madrasah Tarbiyatul Athfal tersebut,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
94
mutu Tarbiyatul Athfal di Gontor juga ditingkatkan agar para lulusannya memiliki
kemampuan yang memadai untuk ikut berkiprah membina beberapa Tarbiyatul
Athfal cabang yang ada. Untuk itu dibukalah jenjang pendidikan di atas
Tarbiyatul Athfal yang diberi nama Sullamul Muta’allimin pada tahun 1932,
sekaligus untuk menjawab adanya minat yang tinggi dari masyarakat untuk
memperoleh pendidikan lebih lanjut.
Pada tingkatan ini para santri diajari secara lebih dalam dan luas pelajaran
fikih, hadis, tafsir, terjemah Al-Quran, cara berpidato (muhâdlarah), cara
membahas suatu persoalan (bahtsul masâ-il), juga diberi sedikit bekal untuk
menjadi guru berupa ilmu jiwa dan ilmu pendidikan. Disamping itu mereka juga
diajari keterampilan, kesenian, olahraga, gerakan kepanduan, dan lain-lain.
Kegiatan ekstrakurikuler mendapat perhatian luar biasa dari pengasuh pondok,
sehingga setelah tiga tahun berdirinya Sullamul Muta’allimin telah berdiri pula
berbagai gerakan dan barisan pemuda, antara lain: Tarbiyatul Ikhwan (Organisasi
Pemuda), Tarbiyatul Mar’ah (Organisasi Pemudi), Muballighin (Organisasi Juru
Dakwah), Bintang Islam (Gerakan Kepanduan), Ri-Ba-Ta, yaitu Riyadlatul
Badaniyah Tarbiyatul Athfal (Organisasi Olahraga), Miftahussa’adah dengan
“Mardi Kasampurnaan”, Klub Seni Suara, dan Klub Teater.
Upaya pengasuh Pondok Gontor untuk membangkitkan gairah masyarakat
Gontor dan sekitarnya sudah tampak membuahkan hasil. Madrasah-madrasah
yang menjadi cabang Tarbiyatul Athfal sudah banyak berdiri di desa-desa sekitar
Gontor. Para murid dan alumni Tarbiyatul Athfal dan Sullamul Muta’allimin
Gontor menjadi tulang punggung dari berlangsungnya proses belajar mengajar di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
95
madrasah-madrasah itu. Mengingat banyak madrasah Tarbiyatul Athfal yang telah
dibuka, maka dibentuklah sebuah wadah yang menggabungkan seluruh Tarbiyatul
Athfal itu, yaitu Taman Perguruan Islam (TPI) yang dipimpin langsung oleh Pak
Sahal. Menjelang usia 10 tahun pembukaan kembali Gontor, TPI telah
mempunyai murid lebih dari 1000.
Pondok Gontor yang telah dibuka kembali terus berkembang. Kehadiran
Tarbiyatul Athfal telah membawa angin segar yang menggugah minat belajar
masyarakat. Program pendidikan di Tarbiyatul Athfal pun berkembang. Jika pada
awalnya Tarbiyatul Athfal hanya bermula dengan mengumpulkan anak-anak desa
dan mengajari mereka mandi dan membersihkan diri serta cara berpakaian untuk
menutupi aurat mereka, maka dalam satu dasawarsa kemudian lembaga ini telah
berhasil mencetak para kader Islam dan muballigh di tingkat desa yang tersebar di
sekitar Gontor. Melalui mereka nama Gontor menjadi lebih dikenal masyarakat.
Perkembangan tersebut cukup menggembirakan hati pengasuh pesantren
yang baru dibuka kembali ini. Banyak sekali yang perlu disyukuri. Terlebih lagi
setelah K.H. Imam Zarkasyi kembali dari belajarnya di berbagai pesantren dan
lembaga pendidikan di Jawa dan Sumatra pada tahun 1935. Beliau mulai ikut
membenahi pendidikan di Pondok Gontor Baru ini. Kesyukuran tersebut ditandai
dengan Peringatan atau “Kesyukuran 10 Tahun Pondok Gontor”. Acara
kesyukuran dan peringatan menjadi semakin sempurna dengan diikrarkannya
pembukaan program pendidikan baru tingkat menengah pertama dan menengah
atas yang dinamakan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyyah (KMI) atau Sekolah
Guru Islam pada tanggal 19 Desember 1936. Program pendidikan baru ini
http://digilib.mercubuana.ac.id/
96
ditangani oleh K.H. Imam Zarkasyi, yang sebelumnya pernah memimpin sekolah
serupa tetapi untuk perempuan, yaitu Mu’allimat Muhammadiyah di Padang
Sidempuan, Sumatra Utara (dalam versi Husnan Bey Fananie, KH. Imam
Zarkasyi memimpin sekolah Thawalib).
Dalam peringatan 10 tahun ini pula tercetus nama baru untuk Pondok
Gontor yang dihidupkan kembali ini, yaitu Pondok Modern Darussalam Gontor.
Nama ini merupakan sebutan masyarakat yang kemudian melekat pada Pondok
Gontor yang nama aslinya Darussalam, artinya Kampung Damai.
Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI) adalah Sekolah Pendidikan
Guru Islam yang modelnya hampir sama dengan Sekolah Noormal Islam di
Padang Panjang; di mana Pak Zar menempuh jenjang pendidikan menengahnya.
Model ini kemudian dipadukan dengan model pendidikan pondok pesantren.
Pelajaran agama, seperti yang diajarkan di beberapa pesantren pada umumnya,
diajarkan di kelas-kelas. Namun pada saat yang sama para santri tinggal di dalam
asrama dengan mempertahankan suasana dan jiwa kehidupan pesantren. Proses
pendidikan berlangsung selama 24 jam. Pelajaran agama dan umum diberikan
secara seimbang dalam jangka 6 tahun. Pendidikan keterampilan, kesenian,
olahraga, organisasi, dan lain-lain merupakan bagian dari kegiatan kehidupan
santri di Pondok.
Selain K.H. Imam Zarkasyi, sejatinya, pendirian Kulliyatul Mu’allimin AlIslamiyyah (KMI) ini juga tidak bisa lepas dari pemikiran kakaknya, K.H.
Zainuddin Fananie. Bahkan keduanya—K.H. Zainuddin Fananie dan K.H. Imam
Zarkasyi—menuliskan buah pikirannya tentang pendidikan modern dalam sebuah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
97
buku berjudul Pedoman Pendidikan Modern yang diterbitkan sekitar tahun 1934.
Lebih dari itu, K.H. Zainuddin Fananie, di masa-masa kolonial Belanda, pernah
menggagas konsep homeschooling. Gagasan itu terlihat dalam pernyataannya:
“Jika anak yang sekolah tak berkembang baik, maka rumah adalah sekolah bagi
anak-anak. Syaratnya rumah itu menetapkan aturan dan sistem pendidikan sekolah
dengan orangtua sebagai gurunya”. (Kurniati, abiummi.com)
Terkait pendirian Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI), penulis
mendapatkan penjelasan lain dari DR. H. Husnan Bey Fananie. Menurutnya, pada
sekitar tahun 1933, KH. Imam Zarkasyi diminta kakaknya KH. Zainuddin Fananie
untuk mengedit buku Pedoman Pendidikan Modern yang kemudian terbit pada
1934. Buku ini merupakan salah satu karya otentik KH. Zainuddin Fananie selain
buku-buku lainnya seperti Sendjata Pengandjoer dan Pemimpin Islam yang terbit
pada 1937, Pedoman Penangkis Crisis, serta beberapa karya lainnya yang
umumnya tidak dapat ditemukan di Indonesia. Husnan sendiri menjumpai
sejumlah buku karya kakeknya itu di perpustakaan Leiden, Belanda.
Konsep Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI) yang terdapat dalam
buku Pedoman Pendidikan Modern itu, menurut Husnan, telah terlebih dahulu
dipraktikkan oleh KH. Zainuddin Fananie yang dimintai pendapat oleh Mahmud
Yunus saat mendirikan Sekolah Thawalib. Pada konsep KMI, pola pendidikan
dijadikan integral, dimana pendidikan rumah atau keluarga sebagai al-madrasatul
ûla (the first school) digabungkan dan berada dalam satu atap dengan almadrasatul tsâni (the second school), yakni sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal, serta al-madrasatul tsâlits (the third school), yaitu masyarakat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
98
Artinya, melihat situasi tersebut, Husnan berpendapat bahwa KH. Imam
Zarkasyi tidaklah datang ke Sumatra sebagai pelajar melainkan seorang guru
bahkan menjadi direktur di Thawalib. Kedatangan KH. Imam Zarkasyi ke
Sumatra dalam hal ini tidak hanya untuk mengedit buku Pedoman Pendidikan
Modern, melainkan juga untuk membantu Mahmud Yunus dalam upaya
mendirikan sekolah Thawalib, dan pada akhirnya menjadi saksi atas pernikahan
KH. Zainuddin Fananie dan Hj. Rabiah M, seorang perempuan dari Payakumbuh.
Usai menyelesaikan masa baktinya sebagai Konsul Muhammadiyah di
Sumatra Bagian Selatan, pada sekitar tahun 1935, KH. Zainuddin Fananie pun
mengajak adiknya KH. Imam Zarkasyi pulang ke kampung halaman. Keduanya
pulang untuk membantu sang kakak, KH. Ahmad Sahal, yang tengah
mengembangkan Pondok Pesantren Gontor. Kepada kakaknya inilah KH.
Zainuddin Fananie menawarkan konsep KMI seraya mengatakan bahwa model
pendidikan ini telah dipraktikkan pada sekolah Thawalib dan KH. Imam Zarkasyi
yang telah menjadi direktur dan perintisnya. Awalnya, meski telah mendapatkan
paparan dari kedua adiknya, KH. Ahmad Sahal tidak langsung menyetujui. Beliau
perlu merenungkan dan meminta petunjuk dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Atas petunjuk dari Allah itulah kemudian Pak Sahal menyetujui usulan
Pak Fananie dan Pak Zar tersebut sambil mengatakan jika model
pendidikan seperti itu harus segera dilakukan. Bahkan ia mendukung
penuh sekalipun ia harus berkorban bondo (harta), bahu (tenaga), pikir
(pikiran), lek perlu sak nyawane pisan (bila perlu nyawa). (Wawancara
Husnan Bey Fananie)
Pada tahun pertama pembukaan program ini, sambutan masyarakat belum
memuaskan. Bahkan tidak sedikit kritik dan ejekan yang dialamatkan kepada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
99
program baru yang diterapkan oleh Gontor. Sistem pendidikan semacam yang
diterapkan oleh Gontor tersebut memang masih sangat asing. Sistem belajar
secara klasikal, penggunaan kitab-kitab tertentu yang tidak umum dipakai di
pesantren, pemberian pelajaran umum, guru dan santri memakai celana panjang
dan dasi. Demikian juga pemakaian Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan bahkan
juga Bahasa Belanda, ketika itu masih dianggap tabu. Sebab Bahasa Arab adalah
bahasa Islam sedangkan Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda adalah bahasa orang
kafir.
Masih asingnya sistem pendidikan baru ini menyebabkan merosotnya
jumlah santri Gontor saat itu. Santri Gontor yang sebelumnya berjumlah ratusan
hanya tersisa 16 orang. Keadaan ini tidak mematahkan semangat Pak Sahal dan
Pak Zar. Dalam keadaan demikian Pak Zar bertekad dan berucap: “Biarpun
tinggal satu saja dari yang 16 orang ini, program akan tetap akan kami jalankan
sampai selesai, namun yang satu itulah nantinya yang akan mewujudkan 10…100
hingga 1000 orang.” Bahkan suatu saat Pak Zar pernah berujar: “Seandainya saya
tidak berhasil mengajar dengan cara ini, saya akan mengajar dengan pena.” Pak
Sahal juga tanpa ragu-ragu berdoa: “Ya Allah, kalau sekiranya saya akan melihat
bangkai pondok saya ini, panggillah saya lebih dahulu kehadirat-Mu untuk
mempertanggung jawabkan urusan ini.”
Allah rupanya mendengar doa dan tekad kakak-beradik itu. Pada tahun
kedua, mulai datang para santri dari Kalimantan, Sumatra, dan dari berbagai
pelosok tanah Jawa. Gontor mulai ramai oleh kehadiran para santri yang semakin
banyak.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
100
Akhirnya, setelah tiga tahun berjalan, Pondok Gontor dibanjiri oleh para
santri dari berbagai kota dan pulau dengan tingkat pengetahuan yang berbedabeda. Ada yang sudah baik pengetahuan agamanya tetapi lemah dalam
pengetahuan umum dan ada pula yang sebaliknya. Untuk mengatasi persoalan ini
dibukalah kelas khusus untuk menampung mereka, yaitu Voorklas atau Kelas
Pendahuluan.
Setelah perjalanan tiga tahun, pelajaran sudah harus ditingkatkan, maka
dibukalah tingkatan yang lebih tinggi bernama Bovenbow. Jumlah santri yang
semakin banyak dan pembukaan kelas baru ini menimbulkan persoalan baru, yaitu
terbatasnya jumlah guru. Dalam kondisi demikian ini tidak jarang Pak Zar
mengajar 2 kelas dalam satu jam pelajaran. Namun pada tahun kelima datanglah
seorang guru muda bernama R. Muin yang cakap berbahasa Belanda. R. Muin ini
kemudian diserahi mengajar Bahasa Belanda untuk murid-murid kelas I tingkat
atas, atau kelas IV.
Setelah berjalan 5 tahun, pengembangan tingkatan pendidikan di KMI
menjadi program Onderbow dengan lama belajar 3 tahun dan program Bovenbow
dengan lama belajar 2 tahun).
*****
Selain paparan di atas, gagasan untuk membangun Pondok Gontor Baru
dan bentuk pendidikannya diilhami oleh sebuah peristiwa dalam Kongres Umat
Islam Indonesia di Surabaya pada pertengahan tahun 1926. Kongres itu dihadiri
http://digilib.mercubuana.ac.id/
101
oleh tokoh-tokoh umat Islam Indonesia, seperti H.O.S. Cokroaminoto, Kyai Mas
Mansur, H. Agus Salim, AM. Sangaji, Usman Amin, dan lain-lain.
(www.gontor.ac.id.: 2015)
Kongres tersebut antara lain memutuskan bahwa umat Islam Indonesia
akan mengutus wakilnya ke Muktamar Islam se-Dunia yang akan diselenggarakan
di Makkah. Tetapi kemudian muncul masalah tentang siapa yang akan menjadi
utusan. Padahal utusan yang akan dikirim ke Muktamar tersebut harus mahir
sekurang-kurangnnya dalam bahasa Arab dan Inggris. Dari peserta kongres
tersebut tak seorang pun yang menguasai dua bahasa tersebut dengan baik.
Akhirnya dipilih dua orang utusan, yaitu H.O.S. Cokroaminoto yang mahir
berbahasa Inggris dan K.H. Mas Mansur yang menguasai bahasa Arab.
Peristiwa ini mengilhami Pak Sahal yang hadir sebagai peserta kongres
tersebut. Pak Sahal berpikir tentang perlunya mencetak tokoh-tokoh yang
memiliki kriteria di atas. Kesan-kesan Kyai Ahmad Sahal dari kongres itu menjadi
topik pembicaraan dan merupakan masukan pemikiran yang sangat berharga bagi
bentuk dan ciri lembaga yang akan dibinanya di masa mendatang.
Disamping itu, situasi masyarakat dan lembaga pendidikan di tanah air
saat itu juga memicu munculnya ide-ide mereka. Banyak sekolah yang dibina oleh
zending-zending Kristen yang berasal dari Barat mengalami kemajuan yang sangat
pesat; guru-guru yang pandai dan cakap dalam penguasaan materi dan metodologi
pengajaran serta penguasaan ilmu jiwa dan ilmu kemasyarakatan. Sementara itu,
lembaga pendidikan Islam belum mampu menyamai kemajuan mereka. Di antara
sebab ketidakmampuan itu adalah kurangnya pendidikan Islam yang dapat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
102
mencetak guru-guru muslim yang cakap, berilmu luas, dan ikhlas dalam bekerja
serta memiliki tanggung jawab untuk memajukan masyarakat.
Sementara di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan yang ada pada saat itu
pun sangat timpang. Satu lembaga pendidikan memberikan pelajaran umum saja
dan mengabaikan pelajaran-pelajaran agama serta lembaga-lembaga pendidikan
lainnya hanya mengajarkan ilmu agama dan mengesampingkan pelajaran umum.
Padahal keduanya adalah ilmu Islam dan sangat diperlukan oleh umat Islam.
Melihat kondisi tersebut, maka muncul gagasan agar pondok pesantren yang akan
dikembangkan haruslah memperhatikan hal ini.
Begitu pula halnya, situasi sosial dan politik bangsa Indonesia saat itu
berpengaruh pada pendidikan. Saat itu banyak lembaga pendidikan yang didirikan
oleh partai-partai dan golongan-golongan politik, sehingga lembaga pemdidikan
tersebut menanamkan pelajaran tentang partai atau golongan. Tak heran jika
kemudian muncul fanatisme golongan. Sementara para pemimpinnya terpecah
karena masuknya benih-benih perpecahan yang disebarkan oleh penjajah. Atas
kondisi tersebut, maka muncullah gagasan agar lembaga pendidikan itu harus
dibebaskan dari kepentingan golongan atau partai politik tertentu, dan “berdiri di
atas dan untuk semua golongan”.
Kondisi umat Islam Indonesia—seperti juga yang terjadi pada umat Islam
di seluruh dunia—terbagi ke dalam beragam suku, bangsa, negara, dan bahasa.
Belum lagi mereka juga terbagi ke dalam aliran-aliran paham agama serta terbagi
ke dalam kelompok-kelompok organisasi dan gerakan, baik politik, sosial,
dakwah, ekonomi, maupun lainnya. Kenyataan ini menunjukkan adanya faktor
http://digilib.mercubuana.ac.id/
103
pengkategorian yang beragam, meski harus disadari juga bahwa kategori-kategori
tersebut tidak bersifat mutlak.
Karena itu, semua dasar klasifikasi tersebut tidak boleh dijadikan dasar
pengkotak-kotakan ummat yang menjurus kepada timbulnya pertentangan dan
perpecahan di antara mereka. Maka lembaga pendidikan harus berusaha
menanamkan kesadaran mengenai hal ini, serta mengajarkan bahwa faktor
pengkategori yang sebenarnya adalah Islam itu sendiri; umat Islam seluruhnya
adalah bersaudara dalam satu ukhuwwah diniyyah.
4.1.2. Pondok, Santri, dan IKPM Gontor
Sebelum jauh membahas hasil penelitian, ada baiknya penulis memberikan
definisi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan obyek penelitian. Beberapa hal
yang terkait dengan obyek penelitian tersebut, antara lain pondok, santri, dan
Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor.
A. Pondok
Menurut KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, MA (2005), pondok adalah
sebutan masyarakat Jawa bagi tempat pengajaran keagamaan. Selain pondok,
masyarakat Jawa juga ada yang menyebutnya pesantren. Sejatinya istilah pondok,
imbuhnya, berasal dari Bahasa Arab funduq yang artinya hotel atau asrama.
Adapun istilah pesantren mengandung arti tempat menumpang para santri. Tidak
ada perbedaan yang berarti antara sebutan pondok atau pesantren. Bahkan,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
104
seringkali pondok dipahami sebagai sinonim dari pesantren atau dipakai
sekaligus, pondok pesantren.
Di Sumatra, lembaga semacam pesantren disebut surau, meunasah, dayah,
atau rangkang. Pada lembaga-lembaga seperti itulah tradisi perkumpulan atau
halaqah diperkenalkan. Dalam perkumpulan itu, secara tradisional dikenal istilah
‘kaji’ atau ‘ngaji’, di mana murid (santri) menyimak, sementara guru (kiai)
menerangkan. Zamakhsyari (1994) menyebutkan jika pondok, masjid, santri,
pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kiai merupakan lima elemen dasar dari
tradisi pesantren.
Sementara itu KH. Imam Zarkasyi (dalam Zarkasyi, 2005) memberikan
ciri-ciri pondok pesantren, yakni: (1) pesantren harus berbentuk asrama (full
residential Islamic boarding school); (2) fungsi kiai sebagai central figure (uswah
hasanah) yang berperan sebagai guru (mu’allim), pendidik (murabbi), dan
pembimbing (mursyid); (3) masjid sebagai pusat kegiatan; dan (4) materi yang
diajarkan tidak terbatas kepada kitab kuning saja.
Jika menilik ciri-ciri yang disebutkan Zamakhsyari (1994) maupun KH.
Imam Zarkasyi memang terdapat sedikit perbedaan, utamanya dalam hal kajian
yang menjadi obyek pelajaran para santri. Jika Zamakhsyari menyebutkan kitabkitab Islam klasik sebagai elemen dasar pondok pesantren, Pak Zar menyebutkan
elemen yang lebih komprehensif, tidak terbatas kepada kitab kuning semata.
Perbedaan ini pula yang menjadi titik perbedaan antara pondok pesantren salaf
dan khalaf.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
105
Hal ini dituturkan pula oleh Abdurrahman Wahid dalam Halim Ghazali
(2009), sebagai wajah pesantren yang tidak tunggal. Menurutnya, paling tidak ada
dua kelompok pesantren, yakni salaf dan khalaf. Pesantren salaf biasanya hanya
menyajikan pendidikan Islam yang lebih banyak merujuk kepada kitab kuning.
Sementara pesantren khalaf adalah pesantren yang sudah mulai mengakomodasi
modernitas, sehingga kitab kuning bukan menjadi pusat kajiannya. Tentu saja
klasifikasi ini merupakan penyederhanaan karena pesantren sebagai subkultur
sangatlah unik. Masing-masing pesantren memiliki karakteristik yang berbedabeda sesuai dengan selera pemangkunya. Walaupun sama-sama masuk kategori
salaf, misalnya, satu pesantren dengan lainnya bisa jadi berbeda.
Seperti tampak pada istilahnya, pesantren khalaf atau kerap disebut
pesantren modern sudah mulai menerapkan sistem pendidikan modern. Tak hanya
sistem, kurikulumnya pun mengakomodasi kepentingan zaman, sehingga
pesantren dalam kategori ini tidak saja mempelajari kitab kuning, tetapi juga
diajarkan mata pelajaran umum dan ketrampilan lainnya (Fathurrohman, 2014).
Penyelesaian terhadap segala persoalan bagi pesantren model ini tidak sematamata ditempuh melalui jalur agama (Islam), tetapi juga menggunakan perangkat
lainnya.
Sebagaimana terefleksi dari namanya, pesantren salaf biasanya telah
berusia tua, bahkan sebelum negeri ini merdeka. Beberapa pesantren dalam
kategori ini antara lain pesantren Tebuireng, Tambakberas Jombang, Buntet
Cirebon, Babakan Ciwaringin Cirebon, Sukorejo Situbondo, dan lain sebagainya.
Walaupun berada dalam kategori yang sama, masing-masing pesantren ini
http://digilib.mercubuana.ac.id/
106
memiliki karakter yang berbeda. Pesantren-pesantren yang telah lama berdiri di
negeri ini biasanya banyak berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama yang terkumpul
dalam RMI (Rabithah Ma’ahid Islamiyah). Kecenderungan pesantren-pesantren
kuno ini tidaklah bersifat keras, anti Pancasila, dan menolak NKRI. Sebaliknya,
pesantren-pesantren inilah yang berjuang terus untuk mempertahankan Pancasila,
mengembangkan perdamaian, dan nasionalis (hubb al-wathon).
Menurut Imam Tolkhah dalam Halim Ghazali (2009), ada pula jenis
pesantren salaf dengan menambah istilah haraki (pergerakan). Jenis ini
dikembangkan oleh pesantren Al-Mukmin Ngruki. Disebut salafi haraki, karena
pesantren ini hendak menegaskan dirinya sebagai institusi dakwah dan
pendidikan. Model pesantren ini langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan
Sunnah, dengan menolak peran akal untuk menafsirkannya (literalisme).
Pesantren inilah yang sering disebut-sebut ketika terjadi aksi terorisme di tanah
air. Di pesantren ini, wacana jihad, penerapan syariat Islam secara kaffah, mati
syahid menjadi tema penting.
Kategori di atas menunjukkan bahwa pesantren tidaklah tunggal. Sekaligus
menepis tudingan generalisasi terhadap pesantren sebagai lumbung terorisme.
Perihal terdapat segelintir pesantren yang memiliki cara pandang ekslusif, literal
dan kerap menggunakan jalan-jalan kekerasan merupakan fakta. Tetapi, tidak
semua pesantren menempuh jalan tersebut. Sebaliknya, sejarah mencatat dengan
baik bagaimana konstribusi pesantren, baik pra ataupun pasca kemerdekaan RI.
Terletak di pinggiran kota, pesantren hendak menegaskan dirinya untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
107
empowering
civil
society,
mencerdaskan
bangsa,
dan
membela
yang
termarginalkan.
Pada kasus Pondok Modern Gontor, KH. Imam Zarkasyi melakukan
inisiatif dengan menggabungkan sistem madrasi (klasikal) dan salafi (halaqah,
bandongan, sorogan). Modernisasi juga tampak terlihat dengan menata seluruh
kegiatan pondok dalam organisasi-organisasi yang rapi dan terlaksana dengan
baik (Zarkasyi, 2005).
B. Santri
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (http://kbbi.web.id,
diunduh pada 4 Maret 2015), santri adalah orang yang mendalami agama Islam
atau orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh.
Sementara menurut penelitian Johns, istilah kata “santri” berasal dari bahasa tamil
yang berarti “guru mengaji”. Sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah
santri berasal dari kata “shastri”, yang dalam bahasa India berarti “orang yang
mengetahui buku-buku suci agama hindu”. Pendapat ini didukung oleh Karel. A.
Steenbrink, yang menyatakan bahwa pendidikan pesantren, dilihat dari segi
bentuk dan sistemnya, memang mirip dengan pendidikan ala Hindu di India.
(Dhofir, 1994)
Menurut Dr. KH. M.A Sahal Mahfud (dalam Mas Dewa, 2003), kata santri
berasal dari bahasa arab, yaitu “
” (santaro) yang berarti “menutup”. Kalimat
ini mempunyai bentuk jamak (plural) “
” (beberapa santri). Sementara
http://digilib.mercubuana.ac.id/
108
almarhum KH. Abdullah Dimyathy, seorang kiai dari Pandeglang-Banten,
berpendapat bahwa kata santri mengimplementasikan fungsi manusia, dengan 4
huruf yang dikandungnya, yakni:
berarti
berarti
(wakil dari ulama);
kemaksiatan); dan
berarti
berarti
(menutup aurat);
(meninggalkan
(pemimpin umat).
Nurcholis Madjid dalam Dhofir (1994) mengemukakan, “santri” berasal
dari kata sastri, sebuah kata dari bahasa Sansekerta yang artinya “melek huruf”
alias bisa membaca. Pendapat lain mengatakan bahwa perkataan santri
sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, dari kata cantrik, yang berarti “seseorang
yang selalu mengikuti gurunya ke manapun gurunya pergi/menetap”. (Mastuhu,
1999)
Zamakhsyari (Dhofir, 1994) sendiri mengemukakan bahwa santri adalah
murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti pelajaran kitabkitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua
kelompok santri yaitu: (a) Santri Mukim, yakni santri atau murid-murid yang
berasal dari jauh dan tinggal atau menetap di lingkungan pesantren; (b) Santri
Kalong, yakni santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren dan mereka
tidak menetap di lingkungan kompleks pesantren. Setelah mengikuti pelajaran,
mereka pun pulang.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
109
Di negeri ini, santri memiliki peran sangat penting. Selain menjadi garda
terdepan dalam merebut kemerdekaan, seperti disebutkan di atas, santri juga
berkontribusi dalam pembangunan. Terakhir, KH. Abdurrahman Wahid yang
merupakan santri sekaligus cucu pendiri Nahdlatul Ulama KH. Hasyim Asy’ari,
menjadi Presiden RI ke-4. Sementara para elit politik maupun sosial pun banyak
yang berasal dari kalangan santri. Sebut saja KH. Hasyim Muzadi, KH. Said Aqil
Siradj, Prof. DR. Din Syamsuddin, MA, DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA,
Lukman Hakim Syaifuddin, DR. Husnan Bey Fananie, MA, dan lain sebagainya.
Sebagai penghargaan atas peran dan jasa para santri, Presiden Joko Widodo
menjadikan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
C. Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor
Seperti yang sudah dijabarkan di Bab 1, kata “alumni” dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) berarti orang-orang yang telah mengikuti atau tamat
dari suatu sekolah atau perguruan tinggi (http://kbbi.web.id, diunduh pada 4 Maret
2015). Jadi, kata “alumni” yang dimaksud dalam penelitian ini berarti orang-orang
yang telah mengikuti atau tamat dari Pondok Modern Darussalam Gontor.
Biasanya, beberapa santri terpilih yang telah lulus—sebelum menjadi
alumni di luar pondok—akan ditunjuk oleh kiai untuk mengabdikan diri sebagai
ustad atau pengajar. Lamanya mengajar sesuai dengan kebutuhan pondok. Namun
demikian, umumnya hanya diminta mengajar selama 1-2 tahun.
Selama ini Pondok Modern Darussalam Gontor memiliki sebuah wadah
pemersatu dan pemberdaya para alumni Gontor dalam IKPM (Ikatan Keluarga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
110
Pondok Modern). Saat ini IKPM telah memiliki 82 cabang di dalam dan di luar
negeri yang dipimpin KH. Drs. Akrim Mariyat, Dipl. Ad.Ed. Namun demikian,
pada perjalanannya, beberapa alumni Pondok Modern Gontor terutama yang
berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi mendirikan sebuah
wadah lainnya yang dinamakan Persatuan Alumni Gontor atau PAGon.
Menurut Sunandar Ibnu Noer saat diwawancarai penulis pada 22 Juni
2015, PAGon didirikan atas inisiatif para alumni yang kecewa atas sikap oknum
keluarga kiai Pondok Modern Gontor yang berseberangan dengan sikap para
alumni di IKPM. Akibatnya, Sunandar beserta sejumlah alumni lainnya termasuk
Helmi Hidayat mendirikan PAGon setelah berkonsultasi kepada Hidayat Nur
Wahid sebagai alumni senior. Namun, setelah kepengurusan PAGon yang pertama
kali dipegang Sunandar, hingga kini PAGon tidak tampak lagi aktivitasnya.
IKPM Gontor sendiri memiliki sejarah panjang. Sejarah berawal ketika
KH. Imam Zarkasy turut menghadiri Kongres Muslimin Indonesia yang diadakan
di Yogyakarta pada tahun 1949. Ketika itu, Pak Zar yang ditemani Mukari
berangkat dengan menggunakan kereta uap, melewati Surabaya demi keamanan.
Di kereta, Pak Zar bertemu dengan 6 orang peserta lain dari Kalimantan,
yang dipimpin oleh H. Idham Cholid, alumni Gontor. Ketika Kongres Muslimin
dilaksanakan, banyak alumni Gontor yang menjadi wakil daerah dan organisasi.
Pada pertemuan itu, terjadi jalinan keluarga yang sangat erat dan rasa tunggal guru
yang kuat, apalagi banyak di antara alumni Pondok Modern Gontor yang sudah
lama tidak bertemu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
111
Mukari yang melihat keakraban Pak Zar dengan beberapa alumni itu,
merasa heran dengan eratnya hubungan antara guru dan murid ketika bertemu.
Kemudian Mukari pun berkata: “Begini, Pak. Saya yakin cita-cita Bapak akan
tercapai. Pondok Modern akan abadi. Masa depannya cerah.”
Sejatinya, kata-kata yang dilontarkan Mukari itu, memang merupakan citacita Pak Zar untuk membina ukhuwah Islamiyah. Cita-cita untuk membuat suatu
organisasi kekeluargaan bagi alumni Pondok Modern Gontor yang tercetus sejak
Tarbiyatul Athfal kelihatan berjalan dengan lancar dan memiliki pengaruh yang
semakin luas di masyarakat.
Maka, setelah Kongres Muslimin Indonesia I itu selesai, para alumni yang
hadir ketika itu sepakat untuk mengadakan pertemuan untuk membicarakan
terbentuknya organisasi kekeluargaan bagi segenap alumni. Singkat kisah,
pertemuan yang berlangsung di rumah salah seorang alumni Gontor bernama Pak
Dukhan di Ngasem, Yogyakarta, berhasil membentuk organisasi alumni yang
disebut dengan Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) pada tanggal 17
Desember 1949. Organisasi yang akhirnya diresmikan kemudian pada tahun 1951
itu bertujuan agar hubungan batin alumni dengan pondoknya tetap terpelihara.
Setelah terbentuknya IKPM, disusunlah AD/ART yang kemudian disahkan
pada Kongres I atau Mubes I IKPM di Pondok Modern Gontor pada 31 Oktober
1951. Kongres I ini bertepatan dengan Peringatan Seperempat Abad berdirinya
Pondok Modern Darussalam Gontor yang berlangsung pada tanggal 27 Oktober
sampai dengan 4 November 1951. Pada Kongres I itu dipilih kepengurusan pusat
IKPM dengan susunan sebagai berikut: Ali Murtadho dan Suroso BHS (ketua),
http://digilib.mercubuana.ac.id/
112
Ma’shum (sekretaris), Subani (bendahara), serta Shoimun, Ihsanuddin, Samuri,
Ghozali Anwar, Kafrawi, Suadi, Idham kholid, dan Sholihin (pembantu).
Pada peringatan tersebut, IKPM mendapat amanat yang sangat berat dari
pendiri Pondok Modern, KH. Ahmad Sahal. Dalam pidato sambutannya, Pak
Sahal mengungkapkan bahwa Pondok Modern Gontor sejak saat itu bukan lagi
milik para pendiri, tetapi telah diwakafkan kepada umat Islam dan
pertanggungjawaban maju-mundurnya diserahkan kepada para alumninya.
Susunan pengurus hasil Kongres I mengalami perubahan setelah
diadakannya Kongres II pada tanggal 14 Oktober 1958, bertepatan dengan
Peringatan Empat Windu Pondok Modern yang dilaksanakan pada tanggal 11
sampai dengan 17 Oktober 1985. Sebagai realisasi pernyataan Pak Sahal tentang
penyerahan Pondok Modern Gontor dari milik keluarga menjadi milik umat Islam
seluruhnya, maka pada tanggal 12 Oktober 1985, Pondok Modern Gontor yang
diwakafkan kepada umat Islam diserahkan kepada IKPM yang diwakili oleh 15
orang alumni yang berbentuk “Badan Wakaf Pondok Modern”.
Susunan
Pengurus
Badan
Wakaf
yang
menerima
amanat
dan
penandatanganan Piagam Penyerahan Wakaf adalah sebagai berikut: K.H. Idham
Kholid (Ketua Umum – Jakarta), Aly Murtadlo (Ketua I – Pacitan), Shoiman
BHM (Ketua II – Gontor), Ghozali Anwar (Sekretaris I – Ponorogo), Abdullah
Mahmud (Sekretaris II – Madiun), Al-Muhammady (Bendahara I – Yogyakarta),
Hadiyin Rifa’i (Bendahara II – Jakarta), Letkol Hasan Basri, Kapten Irchamni, H.
Mahfudz Thohir, Aly Saifullah, Abdullah Syukri (Anggota).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
113
Penyerahan wakaf itu diawali pula dengan pidato sambutan dari K.H.
Ahmad Sahal yang isinya antara lain: “Yang kecil ini (Pondok Modern) supaya
dibesar-besarkan, sebesar-besarnya. Seterusnya supaya menuju Universitas
Darussalam yang mementingkan ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab
serta pengetahuan umum”.
Pada Kongres II tersebut berhasil disahkan susunan pengurus PP-IKPM
sebagai berikut: Aly Murtadho (Ketua Umum), Ghozali Anwar (Ketua I), M.
Syamsuddin P (Ketua II), Abdullah Mahmud (Sekretaris I), Hasanuddin Fadli
(Sekretaris II), Muchlison Sj (Sekretaris III), H. Mawardi (Bendahara I), H.
mahfudz Thohir (Bendahara II), serta pembantu-pembantu PP-IKPM perdaerah,
yaitu Kapten Mustahal, Hadiyin Rifa’i, dan Zainuri (Jakarta), M. Sholihin, AlMuhammady, dan Kafrawi (Yogyakarta), Abdurrahmim Ali, Najib Ghozali, dan
Ma’sum Saadullah (Surabaya), Wazir dan M. Syarof (Sumatera), Abdullah Sani
dan Masdar Damang (Kaltim), Hamran dan Hamid Jibron (Sul-Ut).
Pada perjalanan berikutnya, IKPM menjadi wadah para alumni Pondok
Modern Gontor untuk beraktivitas di segala bidang, termasuk juga politik. Ada
tokoh alumni yang mampu memanfaatkan jaringan ini, namun tak jarang pula
alumni yang tidak berhasil memanfaatkannya. Pada pembahasan selanjutnya,
penulis akan memaparkan sejumlah alasan mengapa alumni tidak berhasil
memanfaatkan jaringan IKPM ini sebagai salah satu temuan penelitian.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
114
4.1.3. Profil Informan Penelitian
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara in
depth interview atau wawancara mendalam. Penulis melakukan sejumlah cara
agar wawancara mendalam dapat dilakukan, baik dengan berkunjung ke rumah,
kantor, pondok pesantren, maupun mengikuti kegiatan para informan, bahkan juga
dengan door stop. Penulis bertatap muka dengan informan untuk mendapatkan
data lengkap melalui cara wawancara tidak terstruktur tapi mendalam dan dalam
suasana keterbukaan.
Melalui cara seperti ini penulis dapat mengeksplorasi bagaimana
sebenarnya konsep diri para informan, tindakan, dan pola komunikasinya di dunia
politik. Penulis sengaja memilih para informan pokok dengan latar belakang partai
politik yang berbeda dan usia yang relatif berjenjang. Artinya, meski mereka
sama-sama alumni Pondok Modern Gontor (PMG), namun para informan berasal
dari marhalah (tahun kelulusan) yang berbeda. Hal ini dilakukan agar penulis
memiliki perspektif beragam seputar pengaruh falsafah dan nilai PMG terhadap
para alumninya. Dan untuk mendapatkan hasil yang optimal, penulis melakukan
telaah pustaka dan konfirmasi ulang kepada para informan ketika dirasakan data
yang dikumpulkan masih kurang.
Awalnya, sejumlah nama politisi alumni PMG dibidik penulis untuk
dijadikan informan pokok. Bahkan surat permohonan wawancara dan outline tesis
pun sudah disampaikan, baik ke kantor atau rumah mereka. Untuk
menindaklanjuti surat permohonan wawancara itu, penulis juga berkali-kali
meminta konfirmasi kesediaan, baik kepada calon informan maupun asisten dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
115
tenaga ahlinya (bagi alumni PMG yang menjadi birokrat). Penulis melakukannya
dengan komunikasi via telepon atau email, WhatsApp, BlackBerry Messenger
(BBM), dan Facebook. Meski sebagian calon informan dapat dihubungi, namun
kebanyakan dari mereka tidak merespon dengan baik. Awalnya bisa dihubungi,
namun pada komunikasi berikutnya tidak bisa dihubungi. Beberapa politisi alumni
PMG yang dibidik penulis sebagai calon informan pokok itu antara lain Anshary
Siregar (Anggota DPR RI-FPKS), Zainun Ahmadi (PDIP), Kuntum Khairu Basya
(calon Wakil Bupati Rembang), Din Syamsuddin (mantan Ketua PB
Muhammadiyah), KH. Hasyim Muzadi (mantan Cawapres dan Ketua Umum
PBNU), KH. Idris Abdul Shamad (Wakil Walikota Depok), Fuad Syauqi (politisi
Partai Hanura), Ustad Yayat (Anggota DPRD Banten-FPPP), Mulyadi Azis
(Anggota DPRD Pandeglang-FPPP), dan Yosep Saepul Akbar (mantan Anggota
DPRD Kota Bandung-FPPP).
Untuk mendapatkan hasil lebih mendalam, penulis juga melakukan
wawancara (in depth interview) terhadap informan kunci. Dari informan kunci
inilah penulis mendapatkan dimensi lain seputar kiprah politik para alumni PMG,
khususnya kiprah politik informan pokok. Melalui informan kunci ini pula penulis
bermaksud sebisa mungkin ‘menguliti’ kaitan kurikulum PMG dengan
pembentukan jiwa leadership para santri dan alumninya. Para informan kunci
sengaja dipilih penulis berdasarkan latar belakang kemampuannya dalam
memindai sejumlah persoalan terkait penelitian ini, seperti soal kurikulum dan
pembentukan karakter, perkembangan perpolitikan alumni PMG, serta pola
komunikasinya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
116
Berikut ini adalah profil para informan penelitian yang berhasil
dikumpulkan penulis:
1. DR. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA
Penulis cukup lama melakukan hunting untuk dapat mewawancarai
DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA. Setelah mengirimkan surat permohonan
wawancara dan outline penelitian tesis langsung ke kantor DPP PKS,
penulis juga mendatangi kantor Wakil Ketua MPR RI ini di Senayan untuk
menindaklanjutinya. Bahkan selanjutnya penulis juga cukup intens
menjalin komunikasi dengan ajudannya menanyakan kesediaan beliau.
Beberapa kali penulis mengikuti aktivitas beliau, seperti saat beliau
mengisi ceramah di Bumi Serpong Damai atas undangan Kerukunan
Keluarga Muslim BSD (KKMB). Dalam sejumlah kesempatan lainnya,
penulis bermaksud melakukan doorstop untuk melakukan wawancara,
meski lebih sering gagal. Akhirnya, kesempatan itu datang. Atas lobi DR.
H. Husnan Bey Fananie, MA, penulis dapat mewawancarai salah satu
deklarator Partai Keadilan (saat ini bermetaformosis menjadi Partai
Keadilan Sejahtera) walaupun melalui sambungan telepon dan direkam
dengan digital recorder. Tepat pukul 14.00 WIB pada Selasa 20 Oktober
2015, penulis mewawancarai beliau sekira 25 menit 20 detik.
Lahir di Kebon Dalem Kidul, Prambanan, Klaten, Jawa Tengah,
pada 8 April 1960, Dr. H. Muhammad Hidayat Nur Wahid, MA tumbuh
dari lingkungan yang sangat relijius dan aktivis organisasi. Ayahnya,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
117
Muhammad Syukri merupakan guru lulusan IKIP Yogyakarta dan
pengurus di Muhammadiyah. Demikian juga ibunya, Siti Rahayu yang
merupakan aktivis Aisyiyah, sayap kewanitaan Muhammadiyah dan juga
seorang guru Taman Kanak-kanak.
Usai menamatkan jenjang pendidikan dasarnya, Hidayat belajar di
Pondok Modern Darussalam Gontor (PMG) selama hampir 6 tahun.
Sebelumnya, ia pernah mengecap nyantri di Pondok Pesantren Wali Songo
selama setahun. Masa nyantri di Pondok Pesantren Wali Songo yang
merupakan pondok alumni ini, tampaknya, menjadi tradisi para calon
santri sebelum mondok di PMG. Umumnya, alasan para calon santri PMG
berada di pondok ini ada dua, yakni: pertama, mereka yang tidak lulus saat
tes masuk di PMG sehingga meneruskan nyantri di pondok tersebut; dan
kedua, mereka yang menunggu waktu untuk masuk ke PMG karena
tanggal masuk berbeda dengan tanggal kurikulum pendidikan secara
nasional. Sekadar untuk diketahui, tes masuk PMG dilakukan pada bulan
Syawal, sekitar tanggal 4 atau 5. Karena alasan inilah para calon santri
banyak yang mondok sementara di Pondok Pesantren Wali Songo sejak
Ramadhan untuk melakukan bimbingan tes agar nantinya diterima masuk
PMG.
Di PMG Hidayat mendapatkan gemblengan kepemimpinan melalui
kegiatan kesantrian dan organisasi. Di PMG, Hidayat antara lain aktif
menjadi Staf Andalan Koordinator Pramuka Bidang Kesekretariatan ketika
duduk di kelas V Pondok Gontor dan pernah dikirim sebagai peserta
http://digilib.mercubuana.ac.id/
118
Jambore tingkat provinsi. Ia tercatat pula sebagai anggota Pelajar Islam
Indonesia (PII). Selain memang wajib menggunakan bahasa Arab dan
Inggris dalam komunikasi sehari-hari, Hidayat juga mengikuti kajian
sastra, hingga kursus menjahit. Di PMG, menurut catatan Sigit Kamseno
(Sketsa Biografi Hidayat Nur Wahid, dakwatuna.com), Hidayat termasuk
siswa yang cerdas dan menonjol. Ia duduk di kelas B yang hanya diisi oleh
santri-santri berprestasi. Di kelas ini pun ia selalu mendapatkan rangking
pertama atau kedua. Menurut Ahmad Satori Ismail, kakak kelas yang
kemudian menjadi rekannya di Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi
Islam (LP2SI) al-Haramain, Hidayat adalah satu-satunya dari 132 santri
pada 1978 yang mendapatkan ijazah tanpa prosedur tes.
Selepas nyantri, Hidayat melanjutkan kuliah di IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta (kini UIN Sunan Kalijaga). Ia hanya belajar selama
setahun karena mendapatkan beasiswa kuliah di Universitas Islam
Madinah. Di universitas inilah Hidayat menyelesaikan studinya mulai
Strata 1 hingga Strata 3. Di Madinah, ia aktif berorganisasi hingga terpilih
sebagai Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Arab Saudi periode 1983-1985.
Di Madinah, karena idealismenya, sewaktu menjabat sebagai Ketua
Perhimpunan Pelajar Indonesia Arab Saudi, Hidayat pernah berurusan
dengan KBRI karena mempersoalkan Asas Tunggal dan Penataran P-4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).
Sepulangnya ke Indonesia, selain menjadi dosen di sejumlah
perguruan tinggi seperti UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas
http://digilib.mercubuana.ac.id/
119
Muhammadiyah Jakarta, dan Universitas As-Syafi’iyah, Hidayat pun
mulai terlibat dalam Gerakan Tarbiyah dan ikut mendirikan Yayasan
Alumni Timur Tengah, yakni Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi
Islam (LP2SI) di bawah Yayasan al-Haramain. Di organisasi ini Hidayat
menjadi ketuanya dan juga menjabat sebagai redaktur jurnal Ma'rifat yang
diterbitkan
oleh
lembaga
tersebut.
Jurnal
ini
diterbitkan
untuk
mengimbangi peredaran jurnal-jurnal yang menyuarakan pembaharuan
Islam yang dipimpin tokoh seperti Nurcholish Madjid (Cak Nur).
Rupanya, LP2SI menjadi pintu masuk baginya untuk terjun di
dunia politik. Hidayat aktif dalam gerakan dakwah Tarbiyah yang mulai
marak di kampus-kampus Indonesia pada era 1980-an. Apalagi kemudian
ia bertemu dengan para mahasiswa negeri-negeri Timur Tengah seperti
Salim Segaf Al-Jufri, Yusuf Supendi, dan Mustafa Abdul Rahman.
Gerakan inilah yang kelak melahirkan Lembaga Mujahid Dakwah,
Lembaga Dakwah Kampus, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
dan kelak, Partai Keadilan Sejahtera.
Keterlibatannya dalam dunia politik pun dimaknai Hidayat sebagai
cara untuk meneruskan tradisi perjuangan keluarga yang notabene
memang
menjadi
aktivis
pergerakan
yang
berkontribusi
dalam
pemberdayaan umat serta meneruskan tradisi perjuangan para ulama Islam
yang telah turut berjuang dengan gigih mendirikan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan menjadi kontributor utama dalam upaya mendidik
dan memajukan bangsa Indonesia. Hal tersebut diutarakan Hidayat kepada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
120
penulis dalam wawancara yang dilakukan pada 20 Oktober 2015 berikut
ini:
“Motif saya terjun ke politik, utamanya ingin melanjutkan peran
umat Islam dalam sejarah negeri ini. Sejak dulu mereka sudah
berperan dalam mendidik dan memajukan bangsa Indonesia,
termasuk di bidang politik”.
Tokoh Islam yang dimaksud Hidayat turut menjadi inspirasi dalam
berpolitik itu antara lain HOS Cokroaminoto (Syarikat Islam) yang
dianggapnya sebagai guru politik bangsa Indonesia, lalu KH. Ahmad
Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul
Ulama), KH. Agus Salim, dan masih banyak tokoh Islam lainnya.
Keterlibatan tokoh-tokoh Islam dalam pusaran politik Indonesia itu juga,
imbuhnya, tampak pada dalam BPUPKI yang terlibat dalam penentuan
asas negara dan Piagam Jakarta. Umat Islam juga ada saat menghadirkan
Resolusi Jihad, menghadirkan Hari Pahlawan, dan lain-lain. Termasuk
juga menggagalkan kudeta komunis dan menjadi garda terdepan dalam
Reformasi. Hidayat merasa dengan melanjutkan peran para tokoh Islam
tersebut, ia turut menjaga keberlangsungan peran umat Islam melalui jalur
politik. Di sisi lain, sangat banyak kepentingan umat yang bisa
diperjuangkannya melalui politik.
Hidayat yang tumbuh dari keluarga aktivis menilai motif
berpolitiknya sudah mulai tumbuh sejak ia gemar ia membaca buku-buku
sejarah Islam. Tak hanya sejarah Islam di Indonesia, tetapi juga sejarah
Islam di luar negeri, utamanya sejarah Islam sejak zaman Rasulullah Saw.,
era Khulafâur Râsyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyah, hingga politik
http://digilib.mercubuana.ac.id/
121
Islam di era kekinian. Hobinya membaca buku terus berlanjut hingga kini
disertai hobi bermain bulu tangkis yang rutin dilakukan di lapangan yang
tak jauh dari kediamannya.
Karir politik Hidayat dimulai saat ia turut menjadi deklarator Partai
Keadilan (PK) di tengah hiruk pikuk era Reformasi. Ia merasa harus ikut
terjun ke partai politik dengan alasan supaya ia bisa turut memperjuangkan
aspirasi dan kepentingan umat Islam. Hanya saja, ia memang tidak masuk
ke dalam partai politik yang sudah eksis, karena partai politik yang ada
dirasa tidak cukup untuk mewadahi aspirasi umat tersebut. Di sisi lain,
Hidayat beranggapan bahwa dirinya bersama para aktivis PK merupakan
generasi yang lahir di era Reformasi dan belum aktif di partai politik
manapun, dimana mereka lahir pasca era Masyumi. Kehadiran PK,
menurutnya, tidak menghadirkan dikotomi atau pengkotakan, tetapi untuk
mewadahi aspirasi umat Islam. Ini dibuktikan dengan PK yang melakukan
aliansi dengan parpol lain, bahkan di DPR pun PK berkoalisi dengan PAN
untuk membentuk Fraksi Reformasi.
PK hadir membawa tradisi komunikasi politik yang unik. Saat
partai politik lainnya melakukan komunikasi politik yang konvensional,
antara lain dengan hanya mengandalkan konstituen tradisional mereka, PK
hadir melalui gerakan dakwah Tarbiyah. Melalui gerakan ini PK
memandang Islam sebagai sebuah konsep yang integral, komprehenshif,
fundamental, dan penuh toleransi. Paradigma keislamannya ini kemudian
http://digilib.mercubuana.ac.id/
122
diaktualisasikan melalui keaktifannya dalam kegiatan-kegiatan sosial dan
politik.
Sejatinya, gerakan dakwah Tarbiyah merupakan gerakan dakwah
Islam yang sudah marak di Indonesia pada era 1980. Gerakan ini banyak
mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di Timur Tengah,
terutama Al-Ikhwan Al-Muslimun. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah
mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi
Bandung, Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas
Gajah Mada. Aktivis gerakan ini secara khusyuk mengikuti mentoring
rutin keislaman, mengkaji buku-buku karya Sayyid Qutb, Hassan AlBanna, dan tokoh-tokoh gerakan Islam lain, di bawah cover Lembaga
Dakwah kampus (LDK). Konsentrasi mereka begitu besar pada Islam,
seakan-akan tidak peduli dengan kondisi politik tanah air. Pada akhirnya,
gerakan dakwah Tarbiyah ini pada tahun 1998 melahirkan organisasi
kemahasiswaan ekstra kampus bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim Indonesia (KAMMI), dan mendirikan partai politik Islam bernama
Partai Keadilan (PK) pada 20 Mei 1998. (Sigit Kamseno, dakwatuna.com)
Menurut dosen dan pengamat politik Bachtiar Effendi, Partai
Keadilan adalah partai yang luxury dengan segmen pemilih yang
terkonsentrasi dari kalangan terpelajar muslim perkotaan. Segmentasi ini
menurut sejarahwan Prof. DR. Azyumardi Azra, MA, membuat PK
dipandang cenderung eksklusif. Padahal tuntutan rasional sebagai peserta
Pemilu mengharuskan setiap partai politik untuk merebut sebanyak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
123
mungkin
simpati
publik.
Untuk
memudahkan
partai
dalam
memperjuangkan visi dan misi politiknya, maka partai politik harus
semaksimal mungkin menjaring hati pemilih, dan itu sulit dilakukan
apabila partai tersebut tersekat dalam segmentasi pemilih tertentu.
Menjawab tantangan itu sekaligus demi mendulang parliamentary
electoral threshold, PK kemudian bermetamorfosis menjadi Partai
Keadilan Sejahtera pada 2003 serta melakukan komunikasi politik lebih
terbuka dengan partai politik lain, media, dan publik. Sikap ini sekaligus
ingin
mematahkan
anggapan
bahwa
PKS
hadir
dalam
lingkup
eksklusivitas. Pada 2003, Hidayat menjabat sebagai presiden partai pada
21 Mei 2000 menggantikan Nur Mahmudi Ismail yang melepas jabatannya
karena harus berkonsentrasi sebagai Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
Ketika Hidayat memimpin inilah PKS berhasil melipatgandakan suaranya
pada Pemilu 2004 sebesar 600%. Jika pada Pemilu 1999 Partai Keadilan
hanya memperoleh 1,4% suara nasional, maka PKS meraih 7,34% suara
nasional pada pemilu 2004. Untuk partai yang baru dideklarasikan pada
tahun 2003, perolehan tersebut merupakan sebuah prestasi yang menurut
penulis Saiful Mujani amat mengesankan. PKS bahkan mampu
mengalahkan Partai Amanat Nasional, partai yang lebih awal berdiri, dan
dipimpin pula oleh tokoh nasional sekelas Amien Rais. (Sigit Kamseno,
dakwatuna.com)
Lompatan suara PKS itulah yang akhirnya mengantarkan Hidayat
Nur Wahid menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
http://digilib.mercubuana.ac.id/
124
Indonesia setelah mengalahkan Sucipto dengan selisih hanya dua suara
dalam pemilihan yang berlangsung secara demokratis dalam Sidang
Paripurna V MPR tanggal 6 Oktober 2004. Setelah memimpin MPR itu
nama Hidayat Nur Wahid dikenal luas sebagai tokoh nasional yang
sederhana dan sebagai ikon anti KKN. Sementara menurut Azyumardi
Azra, fenomena kemunculan Hidayat dan semua kiprah PKS tadi
merupakan proses dari apa yang ia sebut sebagai mainstreaming of Islamic
politics, pengarusutamaan politik Islam, sebagaimana dipahami dan
ditampilkan PKS. Dalam pengarusutamaan ini Hidayat membawa PKS
semakin ke tengah. Ia tidak lagi terpinggir dan terpencil dari hiruk pikuk
politik yang berlangsung. Sebaliknya, ia menjadi aktor dan pelaku yang
cukup menentukan. Melalui PKS ini pula karir politik Hidayat terus
melesat. Sejak 2004, ia menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI dan
kini menjabat Wakil Ketua MPR RI untuk periode 2014-2019.
Pilihan Hidayat untuk berpolitik bukan berarti ia mengabaikan
pemeo yang berkembang di masyarakat bahwa politik itu kotor atau
mengamini definisi Harold D. Lasswell bahwa politics is who gets what,
when, and how, politik hanya untuk meraih kekuasaan. Justru karena itulah
Hidayat ingin menempatkan makna politik pada khittah-nya. Menurutnya,
pemeo itu muncul karena adanya praktik politik kotor yang dilakukan
sebagian politisi. Tapi itu merupakan cara pandang yang sekuleristik,
apatis, dan tidak sesuai dengan prinsip dasar politik. Dasar politik itu
sejatinya agar para politisi terlibat dalam sebuah kebijakan yang membawa
http://digilib.mercubuana.ac.id/
125
kebaikan, bukan keburukan atau kotor. Jikapun ada yang melakukan
politik kotor, maka ada ketentuan yang akan menghukumnya. Jadi, politik
kotor itu bukanlah pemeo yang tidak bisa dikoreksi. Dan politik kotor itu
merupakan satu penyimpangan dalam berpolitik.
Untuk itulah, menurutnya, PK dihadirkan dengan berasaskan Islam.
Hidayat dan kompatriotnya berijtihad bahwa berpolitik merupakan cara
untuk membuat kebijakan bagi kepentingan publik. Maka seharusnya
praktik politik dihadirkan dalam partai yang tidak kotor. Kalaupun ada
kotornya, maka praktik politik harus dikoreksi. Bukan berarti karena
politik kotor lalu harus dihindari. Atau sebaliknya, karena politik kotor
maka agama jangan dibawa ke sana agar tidak dikotori politik. Justru
sejatinya,
agama
membersihkan
dihadirkan
kekotoran
dalam
yang
sebuah
dipraktikkan
partai
oknum
politik
untuk
politisi.
Ia
berpandangan:
“Jika ada yang mengatakan politik itu kotor, berarti kan dia
mengatakan jangan bawa agama ke dalam politik. Karena agama
itu bersih, politik itu kotor. Kalau agama masuk politik, maka
agama akan terkotori. Jika logika itu digunakan dan kita tidak ingin
hasil dari politik yang kotor, maka politik harus dibersihkan dengan
satu materi yang bisa membersihkan sesuatu yang kotor. Dan
materi itu adalah agama Islam,” tandasnya.
Secara lebih tegas Hidayat mengungkapkan bahwa istilah politik
itu kotor merupakan ungkapan yang sangat menipu dan bias serta akan
mengekalkan produk-produk dari politik yang kotor itu. Sementara agama
akan dihalangi masuk dengan alasan agama akan terkotori. Maka dari itu,
jika ingin politik kotor itu dibersihkan, maka harus menggunakan agama.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
126
Adapun agama yang baik adalah Islam yang membawa pada keterbukaan,
sikap adil, professional, dan amanah. Hal ini akan menghadirkan prinsipprinsip berpolitik yang membawa kemaslahatan.
Dalam praktik komunikasi politiknya, Hidayat mengaku tidak
pernah menggunakan jaringan alumni seperti IKPM Gontor. Hal ini
dilakukan untuk menjaga netralitas PMG yang setia menggunakan tagline:
PNG untuk dan di atas semua golongan. Bahkan, ketika hendak
mendirikan Partai Keadilan, Hidayat melakukan komunikasi dengan
pimpinan PMG, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi dan memohon izin untuk
mendirikan partai politik. Dalam kesempatan itu, Kiai Syukri pun sempat
mengingatkan posisi PMG dalam politik. Hidayat yang sangat sadar akan
hal itu pun mengatakan bahwa ia tidak akan melibatkan Gontor di dalam
jaringan politik yang akan dikelolanya. Perihal ia meminta izin
dimaksudkan agar keluarga besar PMG tidak salah paham dan di
kemudian hari menimbulkan masalah. Adapun ada alumni PMG yang satu
ide, satu pemikiran, satu cita-cita untuk memperjuangkan kemaslahatan
umat, itu merupakan faktor berikutnya. Dan itu bukan karena jaringan
PMG.
2. DR. H. Husnan Bey Fananie, MA
Sosok politisi Partai Persatuan Pembangunan yang low profile,
ramah, dan murah senyum ini menjadikannya mudah dikenal—demikian
menurut penulis dan juga beberapa teman wartawan yang kenal
http://digilib.mercubuana.ac.id/
127
dengannya. Di sisi lain, penulis juga pernah merampungkan penulisan
buku biografi DR. H. Husnan Bey Fananie, MA berjudul: Menapaki Kakikaki Langit yang diterbitkan Fananie Center pada medio Agustus 2014.
Mungkin karena alasan inilah penulis tidak mengalami kesulitan berarti
saat mewawancarai Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan ini di
kediamannya yang asri di kawasan Gandul, Pondok Labu, pada 29 Maret
2015.
Cucu salah satu pendiri Pondok Modern Gontor (PMG)—KH.
Zainuddin Fananie—ini lahir di Jakarta, 13 November 1967 dari pasangan
Drs. H. Rusdy Bey Fananie bin KH. Zainuddin Fananie dan Hj. Kiki
Zakiah binti H. Zaini Meki. Meski sejak kecil hingga lulus SMP tinggal di
ibu kota, namun Husnan sangat kental kegontorannya. Ini tak lepas dari
pengaruh genetis yang dimilikinya, selain juga karena faktor para alumni
PMG, mulai KH. Idham Cholid hingga KH. Hasyim Muzadi yang kerap
mengunjungi rumah kakeknya yang juga ia tempati bersama ayah, ibu, dan
adik-adiknya.
Melalui para alumni itu pula Husnan sering berinteraksi dan
berkomunikasi mengenai banyak hal, termasuk bidang agama, sosial, dan
politik. Terlebih ketika pamannya yang kini menjadi pengasuh PMG, KH.
Abdullah Syukri Zarkasyi sering singgah di rumahnya ketika belajar di
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (kini UIN Jakarta). Bahkan rumah yang
letaknya di kawasan Polonia, Matraman-Jakarta Pusat itu juga kerap
dikunjungi para tokoh nasional, semacam Wiranto, dan lain sebagainya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
128
Karena interaksi yang intens dengan banyak tokoh tersebut,
utamanya para politisi, membuat ghirah Husnan dalam berpolitik kelak
cukup tinggi. Maka usai menamatkan pendidikan di PMG selama 6 tahun,
dilanjutkan studi S1 di University of The Punjab, Lahore-Pakistan (19901992), dan pendidikan S2 di RijksUniversiteit Leiden-Nederland (19941997), Husnan terjun aktif di politik. Sejak 1999 Husnan sudah terlibat di
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai Asisten Pribadi Ketua
Umum PPP (1999 – 2001) dan dilanjutkan sebagai Asisten Pribadi Wakil
Presiden RI Hamzah Haz bidang pendidikan, sosial, politik, budaya,
agama dan hubungan internasional (2001–2004). (Fathurrohman, 2014)
Sempat mencalonkan diri sebagai calon legislator pada gelaran
pemilu 2009 dan 2014, Husnan akhirnya dapat menduduki kursi parlemen
tersebut melalui proses Pergantian Antar Waktu di pertengahan periode
2009-2014. Sayangnya, pada pemilu legislatif berikutnya (2014-2019)
Husnan tidak terpilih kembali. Namun rupanya hal itu tidak menutupi
karirnya di dunia politik. Meski partai yang menaunginya, yakni PPP
terpecah dua, karir politik Husnan tetap berlanjut. Presiden RI Joko
Widodo mencantumkan nama Husnan di deretan calon Duta Besar yang
diajukan kepada Komisi I DPR RI. Setelah melalui fit and proper test,
Husnan pun dilantik menjadi Duta Besar RI untuk Azerbaijan.
Sebagai politisi yang mendarma-baktikan dirinya di partai politik,
Husnan sudah terbiasa mengalami naik-turun dalam karirnya. Baginya,
politik itu merupakan proses, strategi, metode, atau cara bagi seseorang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
129
untuk mencapai sesuatu. Dalam konteks politik praktis, sesuatu itu adalah
kekuasaan. Dalam konteks umum, politik itu merupakan cara untuk
mencapai suatu tujuan termasuk pengaruh.
“Bagi saya, politik menjadi suatu cara penyampaian ideologi, asas,
pemahaman, ide-ide keislaman. Namun demikian, harus diingat
bahwa politik praktis bukan satu-satunya cara. Saya memahami
bahwa politik itu sangat luas,” tandasnya.
Sosoknya yang low profile membuat Husnan mudah bergaul
dengan siapa saja. Tak heran jika ia memiliki jaringan pertemanan yang
cukup luas. Terlebih di dalam jaringan alumni PMG. Posisinya sebagai
ahlul bait—sebutan sebagian alumni bagi keluarga kiai PMG—membuat
Husnan mudah diterima para alumni PMG. Bahkan, kediamannya di
kawasan Gandul-Pondok Labu seolah-olah menjadi basecamp bagi para
alumni PMG di Jabodetabek karena sering digunakan untuk berkumpul
dan berdiskusi atau untuk menginap bagi alumni dari luar Jabodetabek.
*****
Rupanya motif berpolitik Husnan tak hanya karena komunikasinya
yang intens dengan para tokoh politik. Berdasarkan pengakuannya, motif
berpolitik Husnan lebih pada idealismenya tentang keislaman. Hal itu
terbentuk sejak ia belajar di Pakistan selama 6 tahun lalu dilanjutkan di
Belanda selama 4 tahun. Di dua negara itulah ia melihat banyak hal yang
terkait dengan umat Islam.
Saat ia pergi ke Pakistan tahun 1988, di sana sedang terjadi gejolak
politik. Saat itu Presiden Pakistan Zia-ul Haq baru saja tewas dibom saat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
130
naik pesawat. Ditambah suasana politik yang memanas karena saat itu
Afganistan yang merupakan negara tetangga Pakistan sedang berperang
melawan Uni Soviet. Para pejuang Mujahidin Afganistan berjihad
melepaskan diri dari penjajahan Uni Soviet.
Kondisi tersebut sedikit-banyaknya mempengaruhi pola kehidupan
dan cara berpikir Husnan dalam konteks politik. Walaupun saat itu ia
memang tidak belajar ilmu politik. Tapi setelah menyelesaikan studi di Ali
Jinnah University untuk mengambil diploma Sasrta Inggris, lalu ke
Lahore, di Punjab University ia mengambil Islamic Studies. Namun karena
ingin mengetahui banyak tentang politik, Husnan juga masuk kuliah S1 di
Government College—Punjab University di Fakultas Political Science.
Ketertarikannya untuk menekuni dunia politik, antara lain
disebabkan keprihatinannya melihat kondisi umat Islam yang lemah,
terutama dalam konteks politik, ekonomi, dan budaya. Tolok ukurnya saat
itu adalah Pakistan, dimana Pakistan merupakan sebuah Republik Islam
yang didirikan Ali Jinnah dan didukung Muhammad Iqbal, seorang
pemikir yang memiliki ide two nations yang memisahkan negara Hindu
dan negara Islam. Dari situlah ia melihat bahwa ternyata umat Islam perlu
dan harus memiliki kekuatan politik.
Keyakinannya itu dipertegas lagi saat ia meneruskan studi ke
Belanda, dimana ia mengkhususkan diri mengambil jurusan Pendidikan
Islam Modern di Leiden University. Di situ ia melihat bahwa penjajahan di
Indonesia yang dilakukan Belanda, Portugis, Inggris, Jepang, tidak terlepas
http://digilib.mercubuana.ac.id/
131
dari hal-hal yang terkait dengan ideologi, kepercayaan, agama, belief
(keyakinan). Perlu diketahui bahwa saat penjajah Belanda melalui VOC di
datang ke Indonesia di abad ke-15, negeri ini masih terdiri dari kerajaankerajaan yang mayoritas beragama Islam, seperti Samudera Pasai,
Minangkabau, Palembang, Demak, Banten, Cirebon, Ternate, Tidore,
Makassar, Bone, hingga ke Raja Ampat. Mengenai hal ini Husnan
berpendapat:
“Saya berpandangan, ternyata, pemahaman ideologi yang menjadi
dasar gerakan kemasyarakatan dapat juga dibawa ke gerakangerakan politik-kemasyarakatan. Dan nyatanya memang benar.
Indonesia dapat disatukan oleh Bung Karno karena adanya satu
benang merah, yaitu adanya kesamaan keyakinan dan asas yang
sama: Lâ ilâha illallâh. Lain halnya jika kita melihat suku bangsa,
dimana Indonesia memiliki sekitar 500 lebih suku bangsa, apalagi
melihat keragaman bahasa. Baik suku bangsa maupun bahasa yang
beragam itu tidak memungkinkan untuk bersatu menjadi Indonesia.
Saya menilai, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hanya
dapat bersatu karena adanya kesamaan ideologi merupakan satu
keyakinan dalam sebuah agama. Ternyata, orang Sumatra sama
dengan kita, sama-sama orang Islam dan ingin memerdekakan diri
dari penjajah”.
Atas dasar itulah ia juga memiliki pendekatan rasional, bahwa
sesungguhnya jika Indonesia ingin menjadi negara yang bersatu dan kuat,
haruslah didasari oleh kesamaan keyakinan. Hal itu ia saksikan di manamana. Israel bisa ada karena umat Yahudi di seluruh penjuru dunia
bersatu. Kesamaan menganut Yahudi itulah yang menyatukan mereka
dalam konteks politik.
Begitu juga dengan Indonesia yang memiliki sejarah panjang
agama-agama. Ada sejarah Hindu, Budha, hingga yang terakhir Islam.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
132
Islam ini kemudian menjadi anutan, budaya, dan adat. Seperti di
Minangkabau ada istilah “adat bersandi sara, sara bersanding kitabullah”
yang artinya adat bersandikan syariat, sementara syariat bersandikan
kitabullah. Begitu pula halnya dengan daerah-daerah lain yang mayoritas
muslim dan menjadikan Islam sebagai way of live. Islam tidak mengkotakkotakan hanya masjid, mushalla, pesantren, atau majelis taklim. Islam itu
juga ada di dalam ekonomi, sosial, politik.
*****
Sejak bergabung ke PPP, Husnan memiliki target untuk
menyalurkan idealismenya. Saat itu di tahun 1997-1998, PPP merupakan
partai politik yang tidak hanya dikenal sebagai satu-satunya partai Islam,
melainkan juga partai “kolot”. Julukan itu disematkan kepada PPP karena
kebijakan partai yang kurang mengakomodir pemikiran kader-kader muda
dan memang berisikan orang-orang tua di jajaran pengurus pusatnya.
Karena alasan itulah, saat menjadi sekretaris Majelis Pakar PPP, Husnan
melakukan sejumlah terobosan untuk membongkar kekolotan pengurus
partai.
Beberapa terobosan penting yang dilakukannya adalah dengan
menggelar Diskusi Pakar setiap dua minggu sekali dan menerbitkan
majalah Pakar yang terbit setiap bulan. Kedua terobosan penting itu
dilakukannya dengan modal “nekat” karena kurang mendapat dukungan
moral maupun materiil dari PPP. Hanya dukungan SK Pengangkatan
sebagai sekretaris Majelis Pakar dan izin menyelenggarakan kegiatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
133
tersebut saja yang dikantunginya. Sementara untuk urusan sokongan dana,
Husnan lebih banyak mencari bantuan dana dari sponsor pribadi maupun
lembaga.
Di sisi lain, kedua program itu menjadi tools komunikasi politiknya
di internal partai. Meski awalnya banyak yang kurang menyukai
terobosannya, namun lambat laun hal itu bisa diterima. Pada akhirnya
Husnan pun menjadi salah satu tokoh PPP yang dikenal memiliki integritas
dan intelektual yang menonjol.
Sosok pribadinya yang low profile juga menjadi modal penting
bagi Husnan untuk mendulang simpatik kawan politiknya. Husnan lugas
saat berkomunikasi tanpa melihat status dan jabatan. Tak heran jika ia
mudah
bergaul
dengan
komunitas
manapun.
Termasuk
saat
ia
berkampanye dalam pileg lalu. Beragam cara ia lakukan.
Bagi Husnan, kampanye tak ubahnya memperluas silaturrahim
untuk menambah kawan dan kerabat. Husnan akan dengan sungguhsungguh memperhatikan setiap kesempatan berkunjung ke daerah
pemilihannya. Maka tak heran jika Husnan bisa hadir sebagai penceramah
dalam pernikahan, nara sumber seminar, maupun menjadi khâtib Jumat,
dan komunikasi langsung dengan masyarakat personal maupun organisasi.
Husnan juga mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat, seperti kiai,
ulama, kepala desa, budayawan, pengurus karang taruna, termasuk
pimpinan pondok pesantren, dan anggota-anggota Ikatan Keluarga Pondok
Modern (IKPM) Gontor yang berada di daerah pemilihannya. Sementara
http://digilib.mercubuana.ac.id/
134
beragam tools kampanye juga ia buat dan sebarkan, seperti kartu nama,
pamflet, booklet, brosur, spanduk, kalender, baliho, hingga membuat buku
biografi yang penulis tulis.
Sayangnya,
menurut
kompetitornya
yang
kompetitornya
itu
Husnan,
money
bermain
bermain
di
ia
digelincirkan
politics.
tingkat
Ada
Kelompok
oleh
aksi
dugaan
jika
Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) untuk memanipulasi data perolehan suara.
Sementara ia yang tak ingin bermain money politics pada akhirnya harus
‘tersingkir’ dari pacuan kompetisi yang tidak sehat. Meski “nasi sudah
menjadi bubur”, Husnan tak berkecil hati. Baginya, “kekalahan” itu
merupakan ketetapan dari Allah ‘Azza wa Jalla yang mesti ia terima. Toh
kiprahnya untuk berkontribusi untuk membangun bangsa dan umat serta
mengabdi kepada ibu pertiwi dapat dilakukannya dalam bentuk lain.
Sikapnya itu pun menuai ganjaran. Husnan ditunjuk Presiden Joko Widodo
dan diajukan ke parlemen sebagai calon duta besar. Dan kini, Husnan pun
resmi dilantik menjadi Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan.
3. Drs. H. Helmi Hidayat, MA
Penulis mengenal nara sumber ini dari beberapa pertemuan alumni
Pondok Modern Gontor (PMG) dan pengajian. Umumnya beliau menjadi
penceramah atau nara sumber pengajian tersebut. Selain seorang politisi,
Drs. Helmi Hidayat, MA juga merupakan dosen di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
135
Jakarta, serta menjadi penceramah pengajian atau nara sumber keagamaan
di sejumlah radio dan stasiun televisi.
Meski demikian, mantan redaktur Harian Umum REPUBLIKA
(1993-2003) dan Harian Umum PELITA (1990-1993) ini tidak terlalu sulit
ditemui. Ia sangat kooperatif untuk urusan dunia pendidikan. Tak heran,
ketika penulis menghubunginya, ia langsung menyambut baik dan bersedia
diwawancara. Akhirnya, wawancara dilakukan pada 31 Maret 2015 di
kantin Universitas Muhammadiyah Jakarta usai nara sumber mengajar.
*****
Sejatinya, mengikuti rekam jejak politik Helmi Hidayat terbilang
unik. Hal itu bisa dilihat dari motif dirinya berpolitik dan pilihan partai
politiknya. Pengakuannya kepada penulis, ia resmi bergabung di Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ketika dirinya diajak membidani
Baitul Muslimin, sebuah sayap organisasi PDIP. Baginya, bergabung di
Partai Merah itu seperti berjihad fî sabîlillâh.
“Kalau Partai Golkar sudah ada sayap Islamnya. Namanya
Jamus (Jam’iyyatul Muslimin). Jamus ini sebetulnya bentukan PDI.
Saya juga baru tahu. Namun diambil alih oleh Golkar. Biasalah,
dulu kan Golkar terkuat. Sementara PPP sudah Islam. Dan menurut
saya, yang paling konyol dalam hal berbangsa dan bernegara
adalah PDIP”.
Kenapa konyol? Menurutnya, pertama, ketika pada tahun 1999
memenangkan pemilu, para politisi dan konstituen PDIP terlalu euforia.
Saat itu PDIP paling banyak menempatkan kadernya sebagai anggota DPR
RI. Tapi jika dilihat lebih teliti, kebanyakan dari mereka itu belum cukup
http://digilib.mercubuana.ac.id/
136
pantas menjadi anggota parlemen karena tidak berpendidikan cukup dan
terpilih hanya karena memiliki modal materi, dan lain sebagainya. Kedua,
setiap rapat kerap kali diwarnai perilaku tidak islami, seperti ada di antara
mereka yang membawa minuman keras. Itu benar-benar terjadi. Kebiasaan
itu baru berakhir setelah adanya Baitul Muslimin. Informasi itu didapat
Helmi dari informan yang valid, meski Helmi sendiri memang tidak
pernah melihatnya karena kejadian itu terjadi saat rapat DPP bukan Baitul
Muslimin, dan Helmi bukanlah pengurus partai.
Namun demikian, menurut Helmi, ia cukup berbahagia dan patut
berbangga karena PDIP adalah partai pertama yang melaksanakan Shalat
‘Id di kantor DPP. Bukan PKS atau Golkar. Dan Helmi adalah khâtib
pertamanya. Lucunya, imbuh Helmi, waktu potong kurban, hewannya
masih dikalungi kembang dan disiapkan kendi. Itulah PDI Perjuangan. Di
situlah Helmi dan gerbong Baitul Muslimin masuk untuk memberikan
warna Islam.
Menurutnya, nasionalisme politisi PDIP begitu kental. Saking
kentalnya, mereka selalu berhadapan dengan partai hijau. Hubungan PDIP
dengan Golkar sudah cair dan sama-sama berhaluan nasionalisme. Apalagi
dulu Golkar merupakan partai politik terbaik se-Asia Tenggara. Tidak
seperti Partai Golkar sekarang yang menurutnya hancur-hancuran. Partai
Golkar punya lebih dari 1000 doktor, hampir 2000 master, dan tidak ada
partai politik di Asia Tenggara sehebat Partai Golkar. Jadi, masuk Partai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
137
Golkar bukan menjadi tantangan buat Helmi. Buat apa lagi ia memberi
warna? PDIP lebih layak ia masuki melalui Baitul Muslimin.
“Ketika masuk, saya bukan tidak memiliki pikiran akan menjadi
bulan-bulanan. Dan benar saja, hal itu terjadi. Gontor memusuhi
saya, ustad-ustad juga memandang miring kepada saya. Tapi buat
saya inilah perjuangan. Memangnya elu yang punya surga? Yang
tahu isi hati saya kan cuma Allah,” tandasnya.
Helmi menyayangkan orang-orang yang memandang miring
kepadanya. Ia santai menghadapi hal itu. Ia teringat jika di pondok ada
sebuah mahfudzat (kalimat baik yang dihafal) yang selalu diulang-ulang
oleh almarhum KH. Imam Zarkasyi, yaitu: annâsu a’dâ-u ma jâhilu (orang
cenderung memusuhi yang ia tidak tahu). Itulah sebabnya, orang tidak ada
yang tahu seberapa dalamnya sumur, sehingga mereka tak mau untuk
memasukinya Tapi bagi yang tahu seberapa dalamnya, dia tak canggung
untuk memasukinya.
Boleh jadi, menurutnya, orang-orang yang memandangnya miring
itu cuma tidak tahu PDIP. Dan mereka pun tidak berusaha masuk. Itu yang
kemudian menjadi stigma buruk di kepala mereka. Di sisi lain, Helmi
beranggapan adanya pandangan bahwa gerakan PDIP ini, di antara faksifaksinya terdapat komunis di dalamnya yang menggerus banyak kebijakan
Islam.
Maka
kemudian
menempatkan
diri
sebagai
pihak
yang
berseberangan dengan PDIP.
“Pernah suatu saat saya menjadi komunikator PDIP, saya
menjadi bulan-bulanan orang yang tidak mencoba memperluas
wawasan. Seolah-olah negara ini harus menjadi Negara Islam. Kan
harus realistis. Orang-orang seperti itu banyak dan masih seperti itu
sampai sekarang. Teman-teman di grup BBM, apalagi angkatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
138
saya ke atas umumnya langsung menjaga jarak. Saya bilang, elu
pimpinan pesantren tapi cara berpikirnya begitu. Buat saya sih
peanut. Lha saya masuk PKS bisa. Kenapa you masuk PDIP tidak
bisa? Coba mana yang lebih lentur?” tandasnya.
*****
Pertama kali yang mengusulkan berdirinya Baitul Muslimin adalah
para petinggi organisasi masyarakat dan Almarhum Taufik Kiemas. Helmi
berkisah, ia pernah mendengar Taufik Kiemas mengatakan, akan
berbahaya bagi bangsa jika merah dan hijau terus saling berhadapan. Lalu
dipanggillah Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Syafi’i Ma’arif, dan
lainnya. Kemudian disepakati didirikannya Baitul Muslimin. Maksudnya
agar ada sayap Islam di PDIP.
Partai seperti PDIP harus diantisipasi supaya tidak terus berhadaphadapan dengan partai Islam. Sama-sama muslim tapi bentrok hanya
karena gara-gara beda ideologi, padahal sama-sama hamba Allah dan
umatnya Nabi Muhammad. Ini mengerikan. Maka dibuatlah Baitul
Muslimin. Karena memiliki pandangan yang sama, Helmi pun senang saat
diajak bergabung.
Ketika motif ingin mewarnai Partai Merah dengan Baitul Muslimin
terus dipancangkan, Helmi tak menyangkal jika kemudian ia pun tertarik
untuk meraih kekuasaan. Helmi pernah ikut menjadi kontestan pemilu
legislatif. Dalam banyangannya, jika nanti ia menjadi anggota DPR, maka
ia akan dapat berbuat banyak. Motifnya dari duniawi sampai ukhrawi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
139
Namun rupanya Allah Subhânahû wa Ta’alâ berkehendak lain.
Helmi gagal dalam pencalegan. Ia anggap kisah pencalegan itu sudah
selesai dan merasa dirinya tidak cocok menjadi anggota legislatif. Bahkan,
pencalegan itu ia anggap sebagai riset antropologis. Kini, ia lebih merasa
menikmati hidup sebagai dosen. Ia bisa bercanda dengan mahasiswa.
Meski di dalam hatinya ia masih terus ingin berbuat untuk kemaslahatan
umat. Itulah alasan mengapa posisinya di Baitul Muslimin tetap
dipertahankan.
Namun saat ia ditanya, apakah masih tertarik untuk mendapatkan
kekuasaan di bidang politik, Helmi mengaku tidak memiliki jawaban pasti.
Sebab ke depan ia tidak pernah tahu. Ia realistis, karena khittah awalnya
ingin berdakwah di PDIP. Tapi, jika kekuasaan yang dimaksud tidak hanya
menjadi anggota DPR, ia masih menginginkannya. Misalnya jika ia suatu
ketika diminta menjadi staf ahli Presiden, speech writer, duta besar, atau
jabatan lainnya, tentu ia tidak akan menolak.
“Saya berprinsip, jika kita punya power, maka itu lebih baik.
Bukankah al-mu’minul qawiy khairun minal mu’min adh-dha’if?
Harus realistis. Rasulullah juga kan membangun jaringan di
Madinah. Kenapa kita tidak?” tegasnya beralasan saat
diwawancarai penulis pada 31 Maret 2015.
Di sisi lain, para pengurus PDIP rupanya paham kapasitas Helmi.
Jika ada kegiatan partai yang bersifat akademis, seringkali Helmi
dilibatkan. Contohnya, Helmi pernah diminta DPP PDIP untuk mewakili
partai hadir sebagai nara sumber dalam sebuah seminar internasional
tentang kepartaian.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
140
Dalam paradigma Helmi, ia ingin Indonesia seperti Al-Madinah
Al-Munawarah. Kota Nabi Saw. itu multikulturalis persis seperti
Indonesia. Dari sisi agama, saat itu ada dua agama besar yang berkuasa,
yaitu Yahudi dan Nasrani baru kemudian Shâbi-în. Dari sisi kesukuan, ada
dua suku yang berkuasa, yakni Auz dan Hadraj serta suku-suku kecil. Itu
dari sisi geopolitiknya.
Di sana, bertahun-tahun tidak pernah ada pemimpinnya. Kenapa?
Karena setiap ada pemimpin yang tampil dari Yahudi, maka kelompok
Nasrani akan ‘memotong’. Ketika pemimpin dari Auz yang muncul, maka
kelompok Hadraj akan ‘memotong’. Begitu juga sebaliknya. Terus seperti
itu. Maka kemudian mereka bersepakat untuk ‘mengimpor’ pemimpin
supaya netral. Dan terpilihlah Muhammad Al-Amin. Maka terjadilah
Perjanjian atau Ikrar ‘Aqabah Pertama yang berisi sumpah setia.
Kemudian terjadi lagi Perjanjian ‘Aqabah Kedua yang membuat
mereka hijrah. Dan ketika hijrah, geopolitik bertambah kompleksitasnya.
Kalau dulu Auz-Hadraj, Yahudi-Nasrani, sekarang ditambah MuhajirinAnshar. Fenomena itu luar biasa dan begitu juga di Indonesia yang banyak
suku dan kelompok, tapi disatukan dengan sebuah peradaban baru
bernama Islam.
Helmi meyakini bahwa Rasulullah Saw. sangat menghormati
multikulturalisme. Ketika Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah,
sekretaris beliau seorang Yahudi. Beliau membuat perjanjian dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
141
Yahudi dan Nasrani. Semua dirangkul. Karena alasan ini pula Helmi
berkeinginan Indonesia seperti Madinah di zaman Rasulullah.
*****
Keinginan Helmi untuk berkiprah di politik, diakuinya, merupakan
manifestasi dari ajaran Pondok Modern Gontor (PMG) yang diterimanya.
Salah satunya karena petuah KH. Imam Zarkasyi, yang mengatakan bahwa
beliau lebih bangga pada santri yang menjadi pimpinan sebuah langgar
kecil dengan jamaah yang konsisten dibandingkan santri yang menjadi
pemimpin besar tapi tidak mampu berdedikasi apa-apa. Petuah tersebut,
menurutnya, memuat pengertian bahwa PMG pada intinya membuka
peluang untuk apa saja. PMG tidak hanya membentuk santrinya untuk
menjadi pimpinan dalam pengetian politik semata, tapi juga menjadi
pemimpin di segala bidang. Adapun tolok ukurnya adalah dedikasi kepada
umat. Helmi berpandangan:
“Itu paradigma berpikir beliau. Menurutnya, semua anak Gontor
harus menjadi matahari. Inilah kelebihan Gontor sekaligus
kekurangannya. Karena itu Anda tidak mungkin menyatukan
pemimpin dari Gontor di satu tempat. Coba Anda lihat PKS,
meskipun banyak anak Gontor (alumni Pondok Modern Gontor—
red), di dalamnya gontok-gontokan. Saya tahu persis”.
Ajaran PMG agar santri-santrinya menjadi pemimpin, dianggap
Helmi sebagai doktrin. Hanya saja para santri tidak sadar kalau sudah
disuntik oleh doktrin-doktrin tersebut. Doktrin yang dimaksud Helmi,
antara lain terjadi saat ia duduk di kelas 3 SMP. Para santri seusianya saat
itu sudah diajari filsafat melalui kitab Attarbiyyah wa Atta’lîm. Di situ para
http://digilib.mercubuana.ac.id/
142
santri diperkenalkan teorinya Plato, Aristoteles, Socrates, dan lain
sebagainya. Buku berbahasa arab itu mereka hafalkan dan tanpa sadar
masuk ke dalam pikiran, darah, dan daging mereka.
Saat duduk di bangku kelas 1 SMA, ketika teman-teman seusia
mereka tawuran, Helmi dan para santri seangkatannya diajarkan untuk
berpikir sangat liberal melalui Bidâyatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd.
Ajaran-ajaran seperti itu dirasakan Helmi sangat multipluralis. Saat itu
Helmi dan teman-temannya tidak sadar. Mereka hanya belajar dan belajar
saja. Bahkan saat dii kelas 2 SMA mereka belajar tentang agama-agama,
lalu belajar logika. Padahal itu merupakan pelajaran untuk mahasiswa
semester 6 di IAIN. Itulah sebabnya Helmi seringkali merenung. Betapa
selama ia mondok di PMG telah mendapatkan pelajaran yang luar biasa.
Begitulah metode dari para kiai PMG. Begitulah mencetak matahari.
*****
Sebagai politisi, diakui Helmi, jika ia memiliki pola komunikasi
yang tak berbeda dengan pola komunikasi para alumni Pondok Modern
Gontor lainnya. Ketika ia menjadi caleg, ia pun aktif berceramah di
berbagai pengajian, menjadi nara sumber seminar, bahkan penceramah di
radio dan televisi seperti yang ia lakukan sampai sekarang. Ia juga aktif
mengunjungi tokoh-tokoh masyarakat dan rekan-rekannya di IKPM
Gontor.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
143
Pola komunikasi yang lebih kompleks justru ia terapkan saat Baitul
Muslimin mendukung pencapresan Megawati Soekarnoputri hingga Joko
Widodo. Dalam kapasitasnya sebagai salah satu ketua Baitul Muslimin,
Helmi kerap melakukan debat dan hadir sebagai nara sumber seminar.
Bersama rekan-rekan Biatul Muslimin, ia juga membagikan brosur,
booklet, dan lain sebagainya.
Misalnya, ketika mendukung Megawati Soekarnoputri, Baitul
Muslimin sudah siap dengan berbagai argumentasi. Antara lain mereka
berargumentasi bahwa betapa Aisyah istri Rasulullah Saw. itu pernah
memimpin Perang Jamal. Bahkan Al-Quran mengabadikan Ratu Bilqis
dan mencatatnya sebagai malikah, sehingga tidak ada larangan perempuan
untuk memimpin.
Begitupun
waktu
pemenangan
Jokowi,
ia
juga
banyak
menggunakan pola komunikasi seperti itu. Dalam banyak hal, bersama
Baitul Muslimin, Helmi mengenalkan bahwa Jokowi itu pro kepada rakyat
kecil, pengusaha kecil, karena dia berangkat dari seorang pengusaha kecil.
Berbeda dengan Prabowo yang sejak awal sudah kaya raya.
4. H. Lookh Makhfudz, SS
Komunikasi dengan H. Lookh Makhfudz, SS, sebenarnya sudah
dimulai sejak Agustus 2015. Namun karena berbagai hal, penulis baru
dapat mewawancarainya pada 20 Oktober 2015. Domisili nara sumber
http://digilib.mercubuana.ac.id/
144
yang berada di Kota Malang menjadi salah satu kendala. Hingga pada
akhirnya penulis dapat melakukan wawancara.
Ustad Lookh, demikian biasa H. Lookh Makhfudz disapa, dikenal
sebagai seorang da’i di Kota Malang. Sejak muda ia merupakan aktivis
Muhammadiyah. Tak heran jika kemudian karir politiknya bermula dari
organisasi yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tersebut. Karena alasan
dakwah itu pula ia kemudian terjun ke dunia politik.
Baginya, melalui dakwah ia berharap dapat mewarnai politik dan
internalisasi nilai-nilai, sekaligus ingin membuktikan bahwa pendakwah
bukanlah subordinat melainkan ordinat. Jelasnya, politik itu adalah salah
satu instumen untuknya berdakwah. Apalagi dakwah harus dilakukan,
berdasarkan hadits Nabi Muhammad Saw., paling tidak dengan 3 hal,
yakni ad-da’watu bi al-lisân (dakwah dengan perkataan), ad-da’watu bi
al-hâl (dakwah dengan perbuatan), dan ad-da’watu bi al-qalb (dakwah
dengan doa). Jika menilik ketiga kategori dakwah tersebut, Lookh memilih
dakwah dengan perbuatan yang menurutnya lebih memiliki power.
Artinya, ia harus meraih “kekuasaan” agar dakwah yang dilakukannya
lebih melebar. Pilihan ini tentunya sesuai dengan kaidah yang diyakininya,
bahwa muslim yang kuat itu lebih baik dibandingkan muslim yang lemah.
Agar kekuatan dakwahnya lebih besar, Lookh mengandalkan
majelis taklim untuk meraih posisinya di partai politik. Euphoria
Reformasi yang gaungnya santer pada 1998 dimanfaatkan Lookh untuk
masuk ke dunia politik. Karir politiknya dimulai ketika bergabung dengan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
145
Partai Amanat Nasional. Perkenalannya dengan partai yang didirikan pada
23 Agustus 1998 itu dimulai sejak ia aktif di organisasi Muhammadiyah.
Setelah sempat menjadi Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Malang,
Lookh bergabung dengan PAN. Dipilihnya PAN, menurutnya, tak hanya
karena ia aktif di Muhammadiyah yang kerap dianggap sebagai “cikal
bakal” partai berlambang matahari terbit itu. PAN dipilih karena paham
nasionalisme yang dianutnya lebih diterima masyarakat Indonesia. Bahkan
menurutnya PAN memiliki value added karena meski nasionalis, namun
PAN memiliki basis konstituen dari kalangan umat Islam.
Secara perlahan karir politiknya pun terjaut. Mulai terpilih sebagai
Ketua DPC PAN Kedungkandang hingga terpilih sebagai Ketua DPD
PAN Kota Malang pada 2005. Dan Lookh pun meraih puncak karir
politiknya saat memenangkan bursa Anggota DPRD Kota Malang dalam
Pemilu Legislatif 2009-2014. Bahkan ia menduduki Ketua Fraksi PAN di
kursi parlemen itu.
Kunci suksesnya meraih kursi DPRD Kota Malang diakui Lookh
berkat kerja sosial yang dilakukannya. Salah satunya adalah dengan
menjadi da’i yang tak kenal lelah berdakwah dari satu majelis ke majelis.
Sejatinya, kerja sosial seperti itu bukanlah hal aneh bagi alumni Pondok
Modern
Gontor
(PMG)
seperti
dirinya.
Doktrin-doktrin
seperti
“khairunnas anfa’uhum linnas” sudah diterimanya sejak menjadi santri.
Hal itu dianggap Lookh justru menjadi support yang mampu menggiring
para alumni PMG tampil sebagai pemimpin di masyarakat. Kerja sosial itu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
146
kemudian lebih dimantapkannya dengan mendirikan pondok pesantren AlMunawaroh dan Sahlan Tour & Travel. Melalui 2 lembaga tersebut
lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Asing di Kota Malang itu dapat
berinteraksi lebih intens dengan masyarakat, utamanya jamaah yang sudah
terbangun sejak awal. Cara seperti inilah yang dianggapnya sebagai pola
komunikasi politik yang selalu digunakannya untuk meraih suara dari
konstituen.
Lookh mengakui bahwa PMG mengajarkan banyak hal kepada para
santri. Ajaran-ajaran itulah yang menjadikan para santri PMG memiliki
jiwa kemandirian dan kepemimpinan. PMG mengajarkan kebebasan
berpikir, demokratis dalam bermusyawarah, saling mengenal (ta’aruf),
bertindak jujur, dan yang terpenting adalah kemandirian berpikir dan
bertindak. Semua itu, dianggap Lookh, merupakan proses pembentukan
karakter yang luar biasa, baik sebagai politisi maupun pemimpin atau
apapun jabatannya di masyarakat. Menurutnya:
“Kami seringkali diajarkan doktrin-doktrin semacam ready to be
right and ready to be left. Itu selalu dikemukakan para ustad di
PMG. Seperti juga doktrin “siap memimpin dan siap dipimpin.”
Pemimpin dalam arti yang luas, sekalipun jadi guru ngaji. Karena
yang penting adalah bermanfaat bagi umat. Sehingga, khairunnas
anfa’uhum linnas wa ahsanu khuluqan itu menjadi doktrin agar
kita bermanfaat bagi manusia”.
Dengan bekal yang didapatnya dari PMG itu, Lookh pun tak ragu
tampil di dunia politik. Di satu sisi ia juga sering mendengar anggapan
bahwa politik itu kotor. Namun ia memiliki anggapan lain bahwa politik
itu hanyalah sebuah cara dalam rangka meraih kekuasaan untuk membela
http://digilib.mercubuana.ac.id/
147
kepentingan yang benar. Politik juga bisa dianggap sebagai alat.
Tergantung siapa yang menggunakan alat tersebut. Namun satu hal yang ia
sepakat adalah bahwa negeri ini perlu politisi-politisi yang berakhlak baik.
Inilah tantangan baginya. Jika politik dikatakan kotor, maka ia ingin
masuk ke ranah itu untuk memberikan definisi positif bagi politik. Terkait
anggapan politik itu kotor, Lookh memiliki sebuah kaidah yang bisa
diikutinya. Kaidah itu adalah “mâ lâ yudroku kulluhu lâ yudroku kulluhu”.
Artinya bahwa jika sesuatu itu hanya sebagian saja yang salah maka
jangan semua ditinggalkan.
Sayangnya, kiprah Lookh di panggung parlemen tak berlanjut.
Pada Pemilu Legislatif tahun 2014, Lookh gagal mempertahankan
posisinya sebagai anggota DPRD Kota Malang. Ada sejumlah alasan yang
pantas dikemukakan, seperti persoalan hati nurani dan money politics. Peta
politik pada Pemilu Legislatif 2014 dirasakan berbeda dengan periode
sebelumnya. Kali ini nuansa money politics sangat terasa dan masyarakat
pun seolah menikmatinya. Sebagai seorang santri yang memahami
pentingnya makna kejujuran, Lookh tentu saja enggan untuk melakukan
money politics. Perilaku buruk itu sangat bertentangan dengan hati
nuraninya. Di PMG, ia dan para santri lainnya diajarkan untuk selalu
ikhlas dalam melakukan segala hal. Namun di sisi lain, lawan politiknya
tidak mempedulikan hal itu.
Besarnya jumlah alumni PMG juga tak menjadi tolok ukur
keberhasilan karir politik seorang Lookh. Meski ia pernah didaulat sebagai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
148
Ketua Ikatan Keluarga Pondok Modern (IKPM) Gontor, namun ia tak
menggunakan jejaring ini sebagai lumbung untuk mendulang suara. Lookh
menyadari jika IKPM Gontor merupakan jejaring alumni yang masuk
dalam bagian struktur organisasi PMG. Sebagai alumninya, Lookh sadar
betul bahwa PMG memiliki tagline: PMG untuk dan di atas semua
golongan. PMG tak akan pernah mendukung suatu kelompok manapun,
apalagi jika dikaitkan dengan partai politik. Di sisi lain, Lookh pun sadar
jika alumni PMG itu memiliki ciri independen dan obyektif. Sebagai
perbandingan, ketika LHI (Luthfi Hasan Ishak) menjadi Presiden PKS,
tidak serta-merta alumni PMG berbondong-bondong mendukungnya. Pun
demikian dengan keberadaan DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA di PKS.
Meski ia adalah tokoh utama di PKS, namun tidak serta-merta para alumni
mendukungnya.
Meski saat ini ia gagal mempertahankan kursi di parlemen, namun
Lookh tetap memiliki harapan untuk tetap eksis di dunia politik. Setiap
insan politik, menurutnya, sudah pasti selalu berpikir bagaimana meng-up
grade diri menjadi seseorang yang memiliki kedudukan lebih tinggi. Sama
halnya ketika seorang guru ingin menjadi dosen. Hanya saja persoalannya,
mungkinkah ia bisa mewujudkan hal itu? Lookh mengaku akan bersikap
cair dalam hal ini. Ia ingin karir politiknya mengalir begitu saja. Meski
tetap harus diperjuangkan, namun ia tak ingin terlalu ngoyo untuk
meraihnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
149
5. Imam Wahyudi
Tidak terlalu sulit menemui politisi muda ini. Imam Wahyudi yang
menjadi Tenaga Ahli Anggota DPR RI dapat ditemui dikantornya, gedung
DPR/MPR RI. Penulis hanya membutuhkan sedikit approach untuk
memintanya jadi nara sumber tesis. Senyum ramah dan low profile
menjadi ciri khasnya.
Lahir di Bangka pada 13 September 1978, Imam Wahyudi
mengenyam pendidikan dasar dan menengahnya di kampung halaman.
Setelah menyelesaikan studinya di SDN 51 Bangka, Imam meneruskan
studinya di MTs Al-Islam Kemoja sambil nyantri di pondok yang berjarak
20 kilometer dari rumahnya. Ketika mondok itulah Imam memiliki guru
Bahasa Arab yang merupakan alumni Pondok Modern Gontor (PMG).
Rupanya, pertemuan Imam dengan gurunya yang bernama Ustad Ahmad
Sofyan itu sangat berkesan.
“Kalau kami masuk jam 7 pagi, beliau itu sudah ada di kelas
kurang dari jam 7. Dia berbeda dengan guru-guru lainnya. Nama beliau
Ahmad Sofyan dan sekarang menjadi ketua Islamic Center di Bangka
Belitung,” terangnya.
Menurutnya, Ustad Ahmad Sofyan memiliki metode mengajar
yang asyik untuk diikuti. Selain fasih berbahasa Arab, tulisan Ustad
Ahmad Sofyan juga bagus. Kekagumannya terhadap Ustad Ahmad Sofyan
membuat Imam tertarik untuk lebih banyak berinteraksi. Pernah Ustad
Ahmad Sofyan memberinya Majalah Wardun (Warta Dunia) yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
150
menyampaikan banyak informasi tentang Gontor. Selain itu, cerita Ustad
Ahmad Sofyan tentang PMG membuat Imam berkeinginan untuk mondok
di PMG usai menyelesaikan studinya di MTs.
Sayangnya, tradisi penerimaan santri baru di PMG tidak beriringan
dengan tahun ajaran di sekolah formal pada umumnya. PMG selalu
membukan penerimaan santri baru di bulan Syawal yang ketika itu jatuh
sebelum tahun ajaran sekolah formal usai. Karena itulah Imam diantar oleh
konsulat Bangka Belitung ke Pondok Pesantren Al-Barokah yang
merupakan pondok pesantren milik mantan Menteri Penerangan di Era
Orde Baru, Harmoko.
Pondok pesantren pimpinan Kiai Rosyidin Ali Said yang terletak di
Desa Ngepung, Kertosono, Nganjuk, itu merupakan pondok alumni PMG.
Terlebih lagi istri beliau adalah adik KH. Syukri Abdullah Zarkasyi,
pimpinan PMG. Di Pondok pesantren itulah Imam nyantri sambil
menunggu penerimaan santri baru di PMG di tahun berikutnya. Ia
berkisah:
“Ketika bulan Syawal tahun berikutnya saya ikut lagi dan
alhamdulillah terpilih masuk. Lalu saya ikut tes akselerasi dan
diterima. Saat itu yang dites dari pondok alumni sekitar 300 orang
dan diterima 40 orang. Saya salah satunya dan salah satunya juga
anaknya KH. Hasan Sahal, namanya Haikal Januarsyah, sering
dipanggil Ancah dan sekarang salah seorang pimpinan PMG.”
Di PMG, Imam nyantri selama 3 tahun. Berdasarkan hasil tes, ia
masuk ke kelas 3 lalu langsung ke kelas 5 eksperimen (sekarang intensif).
Akselerasi yang berhasil dilakukan Imam karena ia sudah memiliki dasar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
151
di Pondok Pesantren Al-Barokah, sehingga dengan mudah ia lulus tes
akselerasi. Bahkan, ia pun langsung menjadi pengurus baru tanpa pernah
menjadi qudamâ (santri lama) yang umumnya dipersiapkan untuk menjadi
pengurus.
Ketika kelas 6 Imam terpilih menjadi pengurus Organisasi Pondok
Pesantren Modern (OPPM) Gontor atau semacam OSIS di sekolah formal.
Di OPPM ini Imam menjadi pengurus syirkah (koperasi). Sejak itulah
Imam mengaku sangat menyukai aktivitas berorganisasi. Apalagi selain
menjadi pengurus OPPM, semua santri PMG diwajibkan mengikuti
Gerakan Pramuka dan aktivitas organisasi lainnya, seperti ikut menjadi
anggota klub Bahasa Inggris dan Arab, serta anggota tim olahraga.
Jika dihitung, Imam nyantri di PMG selama 3 tahun ditambah 1
tahun mengabdi sebagai ustad di Kulliyyatul Mu’allimin Al-Islamiyyah
(KMI) Gontor. Saat menjadi ustad inilah Imam mendapatkan pengalaman
sebagai guru yang setiap saat berhadapan dengan murid-muridnya. Ia
belajar secara langsung bagaimana menjadi guru yang mampu menyiapkan
pelajaran dan menyampaikannya di depan murid-muridnya secara
classical. Dan akhirnya, di tahun 1999 Imam pun resmi menjadi alumni
PMG.
*****
Usai nyantri, Imam meneruskan pendidikan strata 1 di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya Palembang. Di sela-sela
aktivitasnya sebagai mahasiswa, Imam sempat bekerja sebagai wartawan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
152
Lintas Timur Palembang (2002-2004) dan mengajar di Pondok Pesantren
Al-Khair Palembang (2002-2005). Ia juga aktif di berbagai organisasi
kampus, seperti di Wahana Kerohanian Islam (WAKI) FISIP Unsri
sebagai ketua pada 2001-2002, menjadi ketua BEM Universitas Sriwijaya
Palembang untuk periode 2002-2003, dan menjadi ketua KAMMI
Palembang sepanjang 2002-2003.
Setelah menyelesaikan studi S1 di tahun 2005, Imam mencoba
peruntungannya dengan mendaftarkan diri sebagai CPNS di Kementerian
Luar Negeri. Sayangnya gagal. Lalu pada 2006 Imam aktif di Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) IPCOS sebagai peneliti. Di LSM yang
mayoritas merupakan lulusan UI Jakarta ini Imam juga berkenalan dengan
salah seorang petinggi PDIP bernama (Alm) Tara Ginting. Karena sosok
Tara Ginting inilah kemudian IPCOS kerap dianggap sebagai lembaga
think tank-nya PDIP. Meski demikian, tak serta merta Imam dan temantemannya masuk sebagai kader PDIP. Di IPCOS inilah Imam banyak
mengerjakan proyek yang terkait dengan isu partai lokal dan partai
nasional.
Di luar aktivitasnya sebagai peneliti di IPCOS, Imam terus
membangun silaturrahim di kalangan alumni PMG. Salah satu ciri khas
PMG adalah jaringan alumninya yang sangat kuat. Di awal-awal 2005
hingga 2006, Imam bersama teman alumni PMG bernama Asep Affandi
dan Wahid yang saat itu mengelola majalah Gontor, rajin mengunjungi
senior-senior alumni PMG. Kunjungan yang dilakukannya tersebut,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
153
menurut Imam, tidak lebih untuk menjalankan pesan KH. Syukri Abdullah
Zarkasyi yang sering mengimbau para santrinya untuk membangun
jaringan seluas-luasnya.
“Maksud kami bertiga, utamanya saya, adalah kami ingin
eksis di Jakarta. Itu kan awal-awal kami “hidup” di Jakarta. Kami
datang mengunjungi Ustad Husnan Bey Fananie, Ustad Zainun
Ahmadi, dan lainnya. Saya pribadi menganggap Ustad Husnan dan
Ustad Zainun adalah mentor. Bahkan kami sering menginap di
rumah Ustad Husnan. Kami juga mengunjungi Ustad Din
Syamsuddin, apalagi saat pengajian Orbit kami juga sering ikut.
Kami juga mengunjungi KH. Hasyim Muzadi, Pak Zainal Maarif
(Wakil Ketua DPR RI-FBR), Habib Hirzin (Komnas HAM), dan
para senior lainnya.”
Bahkan kunjungan Imam kepada Zainal Maarif dan Habib Hirzin
memiliki misi khusus, yakni ingin meminta rekomendasi dari keduanya
untuk memuluskan rencana Imam meneruskan studi ke luar negeri. Namun
di tengah perjalanan, Imam yang saat itu sering ‘nongkrong’ di kantor
notaris Ustad Zainun Ahmadi justru bertemu dengan banyak orang dari
berbagai kalangan, termasuk pegiat LSM dan pengurus PDIP. Karena
itulah rencananya studi ke luar negeri pun pelan-pelan pupus.
Pada 2007 Imam diajak Ustad Zainun Ahmadi membentuk sayap
PDIP, yaitu Baitul Muslimin. Menurutnya, Baitul Muslimin sengaja
dibentuk dalam rangka mengajak rekan-rekan di PDIP—yang dicitrakan
masyarakat sebagai eks PKI dan tempatnya orang-orang tidak baik—untuk
mendalami ajaran Islam. Apalagi jika melihat PDIP sebagai partai besar
yang 80 persen pemilihnya adalah muslim. Baitul Muslimin dianggap
sebagai titik tolak islamisasi di PDIP.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
154
Imam pun menyambut baik ajakan Ustad Zainun Ahmadi tersebut
dan bersama-sama membangun Baitul Muslimin. Ustad Zainun Ahmadi
ditunjuk sebagai salah seorang formatur (ada 5 orang) dan Sekretaris
Jenderal oleh (Alm) Taufik Kiemas. Imam sendiri ditunjuk sebagai Kepala
Sekretariat Baitul Muslimin hingga saat ini.
Sejak 2007 itulah Imam mulai berinteraksi dan terlibat aktif dengan
pengurus-pengurus PDIP. Lalu pada 2009 saat Ustad Zainun Ahmadi
ditempatkan PDIP sebagai calon legislatif di Jatim X meliputi Gresik dan
Lamongan, sesekali Imam diminta untuk membantunya. Hubungan baik
itu terus berlanjut. Saat Ustad Zainun Ahmadi terpilih sebagai anggota
DPR RI untuk periode 2009-2014, Imam diminta untuk membantunya di
DPR RI sebagai tenaga ahli sambil membangun jejaring alumni PMG yang
ada di PDIP.
Saat Imam mengambil studi S1 di FISIP Unsri Palembang,
sejatinya, ia sudah meletakkan tekad untuk menjadi seorang politisi. Maka
tak heran jika ia masuk partai politik, hal itu sebenarnya sesuai dengan niat
yang sudah dipancangkannya. Apalagi, Imam yang juga bercita-cita
menjadi pemimpin di masyarakatnya, baik sebagai bupati, gubernur, atau
anggota dewan itu meyakini bahwa cara yang paling mainstream untuk
mewujudkannya adalah melalui partai politik.
Menjadi politisi, menurutnya, adalah naluri alamiah yang tumbuh
di dalam dirinya. Imam memiliki alasan khusus kenapa ia ingin menjadi
politisi, yaitu ingin menjadi pribadi yang bermanfaat bagi orang lain.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
155
Seperti ajaran yang sering didengarnya waktu di pondok bahwa:
khairunnâs anfa’uhum linnâs (sebaik-baiknya manusia adalah yang
bermanfaat bagi manusia lainnya).
Baginya, partai politik hanyalah kendaraan untuk memaksimalkan
kontribusinya bagi orang lain. Meski di sisi lain ia juga sadar bahwa
selama ini politik dianggap banyak kalangan sebagai “dunia hitam” yang
dihuni banyak orang untuk bermain kotor. Karena alasan itu pula Imam
berpolitik dan ingin menepis pemeo itu. Untuk itu baginya yang berada di
dalam partai politik, dibutuhkan kerja keras untuk memperbaikinya. Imam
meyakini jika sebenarnya politik itu merupakan upaya untuk mengubah
sesuatu menjadi lebih baik.
*****
Upaya untuk merealisasikan khairunnâs anfa’uhum linnâs itu telah
dimulai Imam saat turut membangun Baitul Muslimin di PDIP. Agar lebih
maksimal, pada tahun 2014 Imam mencoba peruntungannya menjadi calon
legislatif di wilayahnya, Bangka Belitung. Imam yang menempati nomor
urut 7 secara intensif berkampanye untuk mendapatkan salah satu kursi
parlemen daerah untuk periode 2014-2019.
Saat berkampanye, Imam melakukan berbagai upaya pola
komunikasi. Ia menyadari bahwa pola komunikasi itu merupakan cara
menjual dirinya supaya laku. Terlebih dirinya adalah santri yang sudah
dipersiapkan untuk terjun ke masyarakat. Ada sebuah doktrin yang
dipelajarinya saat di PMG, yakni: ath-tharîqatu ahammu min al-mâddah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
156
(cara itu lebih penting dari materi). Karena itulah Imam mengerahkan
segala cara untuk menjalankan pola komunikasinya, baik dengan menjadi
penceramah, khâtib, memberikan sambutan di acara pernikahan, dan
komunikasi door to door. Tak hanya itu, beragam tools kampanye juga ia
buat, seperti kartu nama, pamflet, booklet, brosur, spanduk, kalender, dan
baliho.
Seperti para caleg pada umumnya, Imam juga mengunjungi tokohtokoh masyarakat, seperti kepala desa, ulama, budayawan, pengurus
karang taruna, termasuk pimpinan pondok pesantren terutama pondok
alumni Gontor, dan anggota-anggota Ikatan Keluarga Pondok Modern
(IKPM) Gontor yang berada di daerah pemilihannya. Intinya, semua ia
lakukan. Celah sekecil apapun ia manfaatkan. Tapi sayang, pada akhirnya
ia tidak lolos menjadi anggota legislatif. Diakuinya, saat pemilihan umum,
masyarakat pemilih memiliki ‘penyakit’ yang sama, yakni UUD (ujungujungnya duit). Hal itu betul-betul dirasakannya.
Meski dirinya “kalah” saat pencalegan, Imam mengaku tak kapok
menjadi politisi. Ia pun tetap memilih PDIP sebagai kendaraan politiknya.
Ia mencoba untuk tidak jadi politisi ‘kutu loncat’. Karena menurutnya hal
itu tidak baik untuk pencitraan dirinya di masa depan. Lagipula, setelah ia
dalami, partai politik itu hanya merupakan washilah saja, sebagai
kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Partai politik berlabel agama
juga banyak yang tidak beres. Jadi menurutnya, semua itu kembali kepada
individu masing-masing.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
157
Imam melihat karakter Indonesia itu berwarna, tidak bisa disekat
oleh satu warna saja. Bhinneka Tunggal Ika. Jika sebagian orang ingin
mendirikan negara Islam, boleh jadi Bali akan lepas. Sebaliknya, jika
sebagian orang ingin mendirikan negara Hindu, maka boleh jadi Nanggroe
Aceh Darussalam dan banyak daerah yang akan lepas, dan seterusnya. Jadi
menurutnya, biarlah jadi Indonesia sejatinya dengan Garuda Pancasila
sebagai lambangnya. Berdasarkan hal itu, menurut Imam, rumah yang
paling tepat adalah PDIP yang dapat menaungi semuanya.
Apalagi di dalamnya, Imam dapat berdakwah mengajak rekanrekan di PDIP. Maklum saja, Imam di PDIP lebih kental dikenal sebagai
santri Gontor dibanding alumni Unsri atau aktivis KAMMI. Dan obsesinya
ke luar PDIP, Imam ingin mengkampanyekan bahwa rumah politik yang
paling tepat itu adalah PDIP yang nasionalis dan bisa menampung
berbagai kalangan.
6. DR. H. M. Dian Assafri, SH, MH
Kegiatan aktivis muda sekaligus politisi Partai Golkar ini lumayan
padat. Setelah berkali-kali gagal menemuinya, penulis berhasil melakukan
door stop untuk mewawancarainya di tengah Musyawarah Nasional KNPI
pada 1 Juni 2015 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Kami berbincang di
sebuah kamar yang disewakan panitia untuknya. Hanya saja, karena
kesibukannya waktu itu, ia meminta agar wawancara dilakukan melalui
email.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
158
Gaya lelaki asli Lampung ini di tengah massa peserta Mukernas
sudah seperti politisi “kawakan”. Dirinya tak canggung menyapa setiap
peserta sambil menjabat tangan dan berbincang sekadarnya. Ia mengaku
tak ingin dicap sombong oleh peserta Mukernas yang notabene hampir
semua mengenalnya dan nama mereka pun dihafalnya. Bagi DR. H.M.
Dian Assafri, SH., MH, berbaur dengan banyak orang merupakan tradisi
yang sudah dikenalnya sejak kecil. Terlebih saat ia nyantri di Pondok
Modern Gontor (PMG) sepanjang merampungkan pendidikan menengah
atasnya. Kisah nyantri lelaki tinggi besar ini dimulai saat ia masuk Pondok
Pesantren Wali Songo pada tahun 1995 usai menyelesaikan pendidikan
tingkat lanjut pertamanya di SMPN I Patoman, Pagelaran, Kabupaten
Tanggamus, Lampung.
Hanya setahun ia mondok di pesantren tersebut. Pada awal
Ramadhan di tahun 1996, ia kemudian masuk Pondok Modern Darussalam
Gontor Ponorogo. PMG dipilihnya karena pondok yang didirikan Trimurti
tersebut terkenal dengan kedisiplinan dan penggunaan bilingual-nya.
Secara sadar, sejak itu pula ia bertekad untuk melatih diri dalam
kedisiplinan dan memperdalam bahasa Arab dan bahasa Inggris. Di sini, ia
rampungkan studinya selama 4 tahun.
Dian atau Aryan, demikian ia akrab disapa, mengaku bahwa
sepanjang nyantri di PMG memiliki kisah beragam dan mendalam. Salah
sebuah kisah yang tidak bisa dilupakannya antara lain budaya antre yang
dilakoni sekitar 4000 santri PMG saat itu. Di sinilah ia dan teman-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
159
temannya lebih memahami makna bersabar saat mengantre. Betapa tidak,
hampir seluruh aktivitas di PMG berkaitan dengan antrean. Mulai dari
mengantre makan, mandi, sampai mengambil surat izin libur.
Banyak hal yang dipelajarinya di PMG. Seperti belajar komunikasi
melalui pelajaran muhadlarah atau pidato. Jika pada muhadlarah diajarkan
berkomunikasi
secara
formal,
para
santri
juga
diajarkan
untuk
berkomunikasi dalam keseharian dengan menggunakan dua bahasa, yakni
bahasa Arab dan Inggris. Kedua bahasa itu wajib digunakan saat
berbincang dalam kesempatan apapun. Jika tidak, maka beragam hukum
siap dijatuhkan pengurus pondok pada setiap santri yang melanggarnya.
“Setelah 2 tahun masuk tahun ke-3, saya menjadi pengurus asrama.
Di sinilah saya mempelajari banyak hal tentang cara
berkomunikasi. Hingga saya duduk di kelas 6 KMI, saya mendapat
amanah untuk menjadi ketua di bagian keamaan pusat, dimana saya
dibentuk dan dilatih agar bisa berinteraksi dan berkomunikasi
dengan seluruh santri PMG. Pengalaman menggunakan bahasa dan
cara-cara berkomunikasi itulah yang saya gunakan untuk
berkomunikasi setelah masuk dalam ke dunia politik.”
Ajaran PMG yang juga selalu diingatnya adalah ketika para santri
ditempa menjadi seorang pemimpin umat. Hal itu tersirat dalam petuah
Almarhum K.H. Ahmad Sahal yang mengajarkan “sekali hidup, maka
hiduplah yang berarti”. Petuah itu menjadi semboyan hidupnya dan
dijadikan motivasi dalam setiap langkah kehidupannya, terutama di bidang
politik.
Usai menempa diri di PMG, Dian semakin merasakan betul arti
kekeluargaan. Meski sudah tidak terikat dalam struktur kesantrian, Ikatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
160
Keluarga Pondok Modern (IKPM) menjadi sandaran sekaligus wadah
baginya untuk mempererat ikatan silaturrahim dengan rekan-rekan alumni
lainnya. Wadah ini pula yang kemudian ia manfaatkan untuk mendulang
dukungan pada setiap aktivitasnya.
Dirasakan ayah 3 anak ini bahwa PMG memang mencetak kader
pemimpin bagi umat dan bangsa ini. Pada sejumlah kesempatan, pimpinan
pondok selalu mengatakan—misalnya—lebih baik mengajar di surausurau kecil tapi memiliki jamaah konsisten dan bermanfaat bagi orang lain
daripada di sebuah tempat yang besar tapi tidak konsisten. Maksud dari
petuah itu, menurutnya, seluruh santri diajarkan untuk menjadi seorang
pemimpin di masyarakat. Pemimpin bukan hanya yang memiliki jabatan
tinggi, tetapi pemimpin menurut ajaran Gontor adalah seorang yang
mampu mengajar di surau-surau kecil.
Ia
meyakini,
meski
PMG
mengajarkan
pola-pola
asuh
kepemimpinan, namun tidak pernah mendukung suatu golongan apalagi
partai politik. PMG itu diwakafkan pada umat Islam seluruh dunia,
sehingga berdiri di atas dan untuk semua golongan. PMG benar-benar
lembaga yang mandiri, tidak berafiliasi ke ormas atau parpol tertentu dan
PMG juga tidak mendukung capres tertentu. PMG mendukung masyarakat
untuk menentukan sendiri pemimpin pilihan umat.
Untuk itu, imbuhnya, jika ada pihak yang menyatakan bahwa PMG
mendukung salah satu capres, itu tentu tidak benar karena PMG tidak
berpolitik praktis. Bahkan, PMG memberikan ruang kebebasan kepada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
161
para alumni untuk menentukan pilihannya dengan syarat tidak membawa
nama PMG secara lembaga. PMG hanya hadir sebagai perekat umat dan
mencetak kader pemimpin umat. Itulah makna yang dapat pahaminya dari
semboyan “Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan”.
Satu hal yang membedakan PMG dengan pondok pesantren
lainnya, antara lain dengan adanya Panca Jiwa. Inilah landasan hidup yang
mesti ditaati seluruh santri PMG. Tidak hanya ditaati dalam bidang
pendidikan saja tetapi segala aspek di dalam kehidupan termasuk bidang
politik. Sesuai namanya, Panca Jiwa terdiri dari lima jiwa. Dan Dian
memiliki penjabaran tentang hal ini.
Pertama, jiwa keikhlasan. Artinya, seorang santri PMG harus
hidup dengan jiwa sepi ing pamrih, yakni berbuat sesuatu bukan karena
didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Segala
perbuatan dilakukan dengan niat semata-mata untuk ibadah, lillâh. Jika
para kiai ikhlas medidik, para pembantu kiai ikhlas membantu
menjalankan proses pendidikan, maka para santri mesti ikhlas dididik.
Jiwa keikhlasan ini menciptakan suasana kehidupan pondok yang
harmonis antara kiai yang disegani dan santri yang taat, cinta, dan penuh
hormat. Jiwa ini juga menjadikan santri senantiasa siap berjuang di jalan
Allah, di manapun dan kapanpun.
Kedua, jiwa kesederhanaan. Kehidupan di PMG diliputi suasana
kesederhanaan. Sederhana bukan berarti pasif atau nerimo, tidak juga
berarti miskin atau melarat. Justru dalam jiwa kesederhanaan itu terdapat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
162
nilai-nilai kekuatan, kesanggupan, ketabahan, dan penguasaan diri dalam
menghadapi perjuangan hidup. Di balik kesederhanaan ini terpancar jiwa
besar, berani maju dan tak pantang mundur dalam segala keadaan. Bahkan
di sinilah hidup dan tumbuhnya mental dan karakter yang kuat, yang
menjadi syarat bagi perjuangan dalam segala segi kehidupan.
Ketiga, jiwa berdikari. Berdikari atau kesanggupan menolong diri
sendiri merupakan senjata ampuh yang di bekalkan PMG kepada para
santrinya. Berdikari tidak saja berarti bahwa santri sanggup belajardan
berlatih mengurus segala kepentingannya sendiri, tetapi pondok pesantren
itu sendiri sebagai lembaga pendidikan juga harus sanggup berdikari
sehingga tidak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau
belas kasihan pihak lain. Inilah zelp berdruiping systeem (sama-sama
memberikan iuran sama-sama memakai). Pondok pun tidak bersifat kaku,
sehingga menolak orang-orang yang hendak membantu. Semua pekerjaan
yang ada di dalam pondok di kerjakan oleh kiai dan para santrinya sendiri.
Tidak ada pegawai di dalam pondok.
Keempat, jiwa ukhuwwah islamiyah. Kehidupan di PMG diliputi
suasana persaudaraan yang akrab, sehingga segala suka dan duka
dirasakan bersama dalam jalinan ukhuwwah islamiyah. Tidak ada dinding
yang dapat memisahkan antara mereka. Ukhuwwah ini bukan saja terjalin
selama para santri di pondok, tetapi juga mempengaruhi ke arah persatuan
umat setelah mereka terjun di masyarakat.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
163
Dan kelima adalah jiwa bebas. Maksudnya, bebas dalam berpikir
dan berbuat, bebas dalam menentukan masa depan, bebas dalam memilih
jalan hidup, dan bahkan bebas dari segala pengaruh negatif dari
masyarakat. Jiwa bebas ini akan menjadikan santri berjiwa besar dan
optimis dalam menghadapi segala kesulitan. Hanya saja dalam kebebasan
ini seringkali ditemukan unsur-unsur negatif bila kebebasan itu
disalahgunakan. Sehingga jika terlalu bebas (liberal) akan berakibat
hilangnya arah dan tujuan atau prinsip.
Sebaliknya, ada pula yang terlalu bebas (untuk tidak mau
dipengaruhi), berpegang teguh dengan tradisi yang dianggap pernah
menguntungkan pada zamannya. Sehinggga ia tidak lagi menoleh ke
zaman yang telah berubah. Akhirnya dia sudah tidak lagi bebas karena
mengingatkan diri pada yang diketahuinya saja. Maka kebebasan ini harus
dikembalikan pada aslinya, yaitu bebas di dalam garis-garis yang positif
dengan penuh tanggung jawab, baik di dalam kehidupan pondok maupun
dalam kehidupan masyarakat.
“Jiwa yang meliputi suasana kehidupan pondok itulah yang dibawa
santri sebagai bekal utama dalam kehidupannya di masyarakat. Jiwa ini
juga harus dipelihara dan dikembangkan dengan sebaik-baiknya,” katanya.
*****
Perkenalan Dian dengan dunia politik, menurutnya, berawal dari
pertemuannya dengan politisi senior, AM Fatwa. Saat itu, AM Fatwa yang
merupakan Wakil Ketua MPR RI datang ke Yayasan Al-Quran Center
http://digilib.mercubuana.ac.id/
164
yang dibangun Dian. Sebagai tamu kehormatan, AM Fatwa kemudian
mengajak Dian untuk ikut membantu beliau di gedung parlemen. Namun
ketika itu Dian menolak tawaran tersebut karena teringat pesan kiai di
PMG, yakni agar setiap santrinya mampu berdiri di atas dan untuk semua
golongan. Hal ini pula yang menjadi dasar bagi Dian mendirikan Yayasan
Al-Quran Center untuk mendidik anak-anak dari beragam asal-usul dan
latar belakang keluarga.
Namun, AM Fatwa kemudian memberikan penjelasan bahwa
bergabungnya Dian di Senayan nantinya untuk bekeja sebagai Staf
Administrasi Umum Wakil Ketua MPR RI, bukan bergabung di partai
politik atau keormasan. Karena tidak terlibat langsung dengan politik
praktis itulah Dian akhirnya mau bekerja di Senayan. Sejak itulah ia
terlibat dengan kegiatan dunia politik, meski tidak secara langsung.
“Itulah karir pertama kali saya masuk di dunia politik. Dari situ lalu
saya menjadi Staf Ahli beberapa anggota DPR RI yang berbeda daerah
pemilihan dan lintas partai politik selama tiga periode. Sekarang saya
menjadi Staf Ahli Komisi di DPR RI,” jelasnya.
Setelah masuk ke lingkaran lebih dalam, Dian pun menentukan
motif yang dipilihnya dalam memasuki dunia politik. Dian memiliki
keyakinan jika berkiprah di politik ia akan membantu dan berbuat banyak
bagi masyarakat. Utamanya ia ingin mewujudkan masyarakat yang
memiliki keterampilan sehingga mandiri dan mampu keluar dari masalah
kemiskinan dan kebodohan melalui jalur pendidikan.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
165
Cita-cita ini sesungguhnya sudah diwujudkan Dian sejak tahun
2004, yaitu dengan mengambil anak-anak putus sekolah di perkampungan.
Mereka diberikan beasiswa untuk dapat kuliah secara gratis hingga S3.
Dari kegiatan inilah Dian terpacu untuk melakukan sesuatu yang lebih
besar bagi masyarakat luas. Salah satunya dengan memperjuangkan
kegiatan ini melalui lembaga wakil rakyat, sehingga kegiatan mulia ini
mampu diterapkan secara merata ke daerah-daerah lain.
Dian merasa jika dirinya tidak hanya memiliki konsep. Lebih dari
itu ia yakin mampu membumikan gagasan pemikiran dan konsep yang
dimilikinya serta aspirasi dari masyarakat luas melalui lembaga politik.
Dian meyakini bahwa lembaga politik bertujuan menyejahterakan rakyat
dengan menjalankan amanah dan keinginan serta aspirasi dari rakyat.
Namun terkadang cita-cita itu disalahgunakan oknum-oknum yang
mengatas-namakan rakyat. Akibatnya tingkat kepercayaan masyarakat
kepada elit politik berkurang bahkan hilang. Apalagi banyak dijumpai
perilaku politisi yang merugikan keuangan negara dan mementingkan
kepentingan
pribadi
kelompok
dan
golongannya
saja
daripada
mengutamakan masyarakat luas.
Belum lagi sumber pendanaan partai politik yang sampai hari ini
masih belum diatur secara jelas dan terperinci dan transparan. Alasanalasan seperti inilah yang mendorong Dian untuk melakukan perbaikan
dan pembenahan dengan terlibat langsung menjembatani program-program
http://digilib.mercubuana.ac.id/
166
pemerintah dan diselaraskan dengan aspirasi masyarakat. Menurutnya
penuh keyakinan:
“Siapapun yang mau menjadikan orang lain sukses, maka sejuta
peluang sukses lainnya akan dibukakan dan dimudahkan oleh-Nya.
Moto ini yang selalu saya pegang dan mendorong saya untuk
melakukan pemberdayaan masyarakat”.
Adapun
caranya,
Dian
membentuk
kelompok-kelompok
masyarakat binaan yang diberi nama Mitra 1, Mitra 2, Mitra 3 sampai
dengan Mitra 11. Kelompok-kelompok mitra binaan tersebut bertugas
membumikan seluruh program-program dari kementerian terkait yang
menjadi mitra dari komisi 1 sampai dengan komisi 11 di DPR RI.
Contohnya, Mitra 4 di bidang pemberdayaan kelompok-kelompok tani di
bidang pertanian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan di masingmasing desa. Kelompok Mitra 4 kemudian menggulirkan gagasan dan
program kegiatan pemberdayaan masyarakat kelompok perikanan,
peternakan, perkebunan dan lain-lain.
Contoh lainnya, Mitra 9 dengan konsep pengobatan gratis untuk
warga dari desa ke desa yang sudah berjalan kurang lebih selama 2 tahun
sampai dengan sekarang. Ada juga Mitra 10 yang mengusung program
“satu rumah satu sarjana”, selain itu juga ada ”rumah prestasi”, “rumah
1000 sarjana”, dan “rumah baca masyarakat”. Selain itu juga Mitra 10
mendirikan “rumah sehat warga” dengan memberikan penyuluhan tentang
hidup sehat. Hasilnya, Yayasan Al Quran Center yang didirikan Dian
dapat berkembang guna memberikan kesempatan kepada anak-anak putus
http://digilib.mercubuana.ac.id/
167
sekolah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dengan
dibekali kegiatan ekonomi dan bekal agama agar mereka memiliki
keseimbangan dunia dan akhirat.
*****
Dian memahami jika politik oleh sebagian orang dipandang sebagai
perkara kotor. Hingga akhirnya, tak sedikit pula orang yang tidak mau
berkecimpung di dunia politik. Dian menganggap pandangan itu sebagai
hal yang wajar. Sebab, realitas di lapangan menyebutkan bahwa politik
memang seperti itu. Hanya saja, meski memaklumi pandangan itu, Dian
memiliki pendapat lain.
Menurutnya, pandangan sebagian masyarakat itu tidak serta-merta
menjadi kesimpulan bahwa politik itu kotor. Sebab, pada dasarnya politik
itu baik. Namun, banyaknya politisi yang bermain kotor, maka politik pun
akhirnya dipandang sebagai perkara yang menyebabkan banyak kemadlorot-an.
“Nah, pandangan seperti inilah yang secara tidak langsung
membuat dunia perpolitikan di negeri ini dipandang sebelah mata.
Dalihnya, politik itu kotor,” tegasnya.
Anggapan politik itu kotor membuat banyak orang baik tidak mau
berkecimpung di bidang ini. Dengan kata lain, kebanyakan dari mereka
tidak mau terkena getah dari kekotoran politik. Padahal jika dipikir secara
rasional, menurut Dian, suatu sistem tidak akan menjadi buruk jika aktor
atau pemerannya adalah orang-orang baik. Dengan hadirnya orang-orang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
168
baik ini diharapkan politik menjadi sarana untuk mensejahterakan rakyat
dengan konsep dan gagasan-gagasan yang baik dan benar.
Meski sudah memiliki pandangan pribadi tentang politik, namun
Dian tidak serta merta memutuskan diri untuk langsung terjun ke politik
praktis. Pada saat itu pikirannya terpecah antara peduli atau tidak peduli
politik. Hingga pada sebuah dialog batin, ia berujar, jika tidak peduli
politik kemudian negeri ini salah urus, bangkrut, dan sejenisnya, maka ia
hanya bisa meratapi karena tidak berbuat apa-apa. Pada titik itulah
kemudian Dian memutuskan untuk “peduli politik”.
“Saya ini anak muda. Sebagai anak bangsa, saya harus peduli
politik. Saya tidak mau hanya jadi penonton. Tapi saya ingin ikut
andil. Jika negara ini salah urus maka saya ikut bertanggung jawab.
Tetapi jika negara ini maju, maka saya juga bertanggung jawab.
Pikiran peduli politik pada waktu itu masih sebatas dalam konteks
kepentingan kebangsaan secara umum. Setelah memutuskan peduli
politik, saluran tertinggi dalam politik adalah ikut partai politik.
Pada tahap ini muncul lagi pertimbangan baru dalam otak: saya ini
harus ikut partai apa?” kisahnya.
Memutuskan pilihan untuk bergabung dengan partai politik
ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan. Ini menjadi
pertimbangan penting. Pilihannya, apakah ia akan ikut partai kecil dan
langsung menjadi kepala teri, atau ia ikut partai besar tetapi menjadi buntut
ikan hiu atau buntut naga. Pertimbangan itu terus dipikirkan hingga pada
akhirnya, ia memutuskan untuk bergabung dengan partai besar, yakni
Partai Golkar.
Baginya, untuk apa menjadi kepala teri kalau ukurannya hanya
sebesar teri. Artinya, meski ia akan cepat puas, cepat senang, tetapi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
169
sebetulnya tempaan atau penggodokannya tidak maksimal. Sebaliknya,
jika ia menjadi buntut naga, ia akan ditempa dan digodok dengan sistem
yang tertata baik. Sehingga kemudian, suatu ketika ia dapat menjadi kepala
naga yang tangguh.
Pada akhirnya Dian melabuhkan pilihan pada Partai Golkar dengan
tiga pertimbangan utama, yakni: Pertama, sumber daya manusia partai.
Dibanding partai lain, Partai Golkar memiliki sumber daya manusia yang
sangat teruji, terlatih, pintar, educated, dan mapan. Sumber Daya Manusia
Partai Golkar pun tangguh, mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Dari
segi kuantitas pun sangat banyak, sudah menyebar di Nusantara.
Kedua, infrastruktur Partai Golkar sudah establish hingga tingkat
kecamatan dan desa-desa. Dan ketiga, Partai Golkar lebih demokratis
dibandingkan partai lain. Ketika partai besar lain masih dibayangi
“kepemimpinan kharismatis” dan “tokoh sentral”, Partai Golkar sudah
menunjukkan diri sebagai partai modern dan demokratis. Tidak ada tokoh
sentral. Semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi
pimpinan. Tak peduli dari garis keturunan siapapun atau etnis manapun.
Partai pada akhirnya menjadi sangat dinamis dan kompetitif. Sosok-sosok
yang melaju sudah pasti sosok yang teruji dan kader terbaik.
Dian sadar jika keputusannya masuk Partai Golkar bukan tanpa
implikasi. Seperti ia harus siap jadi “buntut” partai. Sadar akan hal itu, ia
pun aktif mengikuti kegiatan partai dengan sering berkunjung ke DPP
Partai Golkar di Slipi, serta menjalin komunikasi dengan tokoh-tokoh
http://digilib.mercubuana.ac.id/
170
partai. Di awal-awal masa bergabung dengan Partai Golkar, Dian
mengalami banyak pengalaman yang menuntut kesabarannya.
“Awal-awal bergabung sering diakali orang. Tapi dari situ saya
dapat pengalaman, dapat pelajaran. Oh, ternyata begini toh caranya
ngakalin orang,” kisahnya sambil tersenyum. “Namun, karena
berpikir positif seperti itu, saya akhirnya tabah saja jika diakali
senior. Diakali sekali saya tabah. Diakali dua kali tabah, diakali
lagi tabah lagi. Setiap kali diakali berarti ilmu saya terus
bertambah. Jadi itu pengalaman yang menarik,” imbuh Staff
Pengajar Universitas Indonesia ini.
Memasuki Pemilu 2014, Dian mencalonkan diri sebagai anggota
DPRD Provinsi Jawa Barat Dapil Jabar II Kabupaten Bandung dan
Kabupaten Bandung Barat dengan nomor urut 8. Pencalonan dirinya
adalah aplikasi dari pemahaman dirinya tentang kekuasaan dan politik.
Baginya, kekuasaan dan politik sebenarnya saling berkaitan karena tujuan
politik itu adalah mencapai kekuasaan. Meski baginya, kekuasaan
bukanlah segalanya di dalam politik. Ia berpendapat, seorang politisi
dianggap berhasil ketika ia bisa menjaga amanah masyarakat dan setiap
kegiatan politik dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Untuk melancarkan upaya berpolitiknya, Dian melakukan polapola komunikasi yang beragam, baik formal maupun informal. Upaya
tersebut dilakukan antara lain dengan membuka ruang silaturrahim dan
membinanya dengan para pejabat pemerintah atau pimpinan-pimpinan
politik. Ia juga terlibat di bermacam organisasi, baik di lingkungan
masyarakat hingga kepengurusan organisasi pemuda tingkat nasional dan
gerakan mahasiswa. Tercatat, ia menjabat sebagai Ketua IPPMI (Ikatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
171
Pemuda Pemudi Minang Indonesia) Bidang Dakwah, Sekretaris Jenderal
Gerakan Mahasiswa KOSGORO, dan Wakil Sekjen KNPI. Sementara di
jalur informal, Dian tak canggung untuk berkomunikasi melalui pertemuan
atau tatap muka bersama tokoh-tokoh masyarakat. Dian pun terbiasa
tampil sebagai pemberi materi dalam kajian taklim, khâtib, dan lainnya.
Seperti yang telah disebutkan dalam Bab III, penulis juga melakukan
wawancara mendalam terhadap informan kunci. Mereka ini terdiri dari para
alumni Pondok Modern Gontor yang tidak masuk ke dalam pusaran politik praktis
akan tetapi memiliki kapabilitas dan concern untuk memperhatikan sepak terjang
para alumni PMG yang berpolitik. Pada penelitian tesis ini, informan kunci dipilih
untuk memberikan masukan terkait pengalaman, konsep diri, dan pola komunikasi
informan pokok. Ada 3 informan kunci yang penulis pilih pada penelitian tesis ini,
yaitu:
1. Chaider S. Bamualim, Ph.D
Chaider S. Bamualim merupakan seorang peneliti senior pada
Center for the Study of Religion and Culture (CSRC), Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus dosen FISIP di universitas
yang sama. Di lembaga CSRC Chaider banyak melakukan kajian dan riset
seputar politik, budaya, dan dunia Islam. Tak heran jika ia cukup piawai
mengomentari kaitan antara ketiga topik tadi, termasuk di antaranya soal
pondok pesantren. Bahkan terkait pondok pesantren, CSRC mendapat
suntikan dana dari Konrad Adenauer Stiftung-Jerman untuk program
http://digilib.mercubuana.ac.id/
172
“Pesantren for Peace” yang memungkinkan Chaider untuk terlibat
melakukan riset lebih mendalam.
Penulis merasa beruntung dapat mewawancarai alumni PMG
angkatan 1986 ini. Dari wawancara yang dilakukan penulis pada 9 Juni
2015 tersebut, penulis banyak mendapatkan analisis tajam seputar politik
Islam dan kaitannya dengan rekam jejak para politisi alumni PMG.
Chaider
yang
mempertahankan
desertasinya
berjudul
Negotiating
Islamisation and Resistance: A Study of Religions, Politics and Social
Change in West Java from the Early 20th Century to the Present di Leiden
University itu antara lain meyakini bahwa PMG memang dibentuk dalam
rangka mencetak para pemimpin di masyarakat.
Meski demikian, artikulasi politik alumni PMG itu, menurutnya,
harus dilihat dari bagaimana filsafat dan prinsip-prinsip bermasyarakat
yang diajarkan PMG. Kira-kira pola politik seperti apa yang diinginkan the
founding fathers. Prinsip-prinsip yang menonjol di Gontor itu—yang
menurutnya adalah political statement—adalah Gontor untuk dan di atas
semua golongan. Itu tagline dan political standing. Di sini dapat dilihat
bahwa artikulasi politik Gontor itu terbuka dan tidak mengarahkan
alumninya untuk menganut satu aliran politik tertentu atau tidak menyeru
alumninya untuk menyalurkan aspirasi politiknya pada aliran tertentu. Ini
sebabnya mengapa pada praktiknya, alumni PMG tidak bisa secara bulat
mendukung partai atau personal tertentu.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
173
2. M. Agus Gofurur Rochim, M. Pd
Menapaki karir yang linier dengan pendidikannya merupakan
berkah tak ternilai bagi M. Agus Gofurur Rochim. Setelah menamatkan
pendidikannya di KMI Pondok Modern Gontor selama 6 tahun, lelaki
kelahiran Bandung 15 November 1967 itu meneruskan studinya di STAI
Darussalam sepanjang 1987-1991. Kini, ia mengampu tugas yang sesuai
dengan pendidikannya, yakni sebagai pengasuh Pondok Pesantren
Madinatunnjah. Sejatinya, pondok ini merupakan “pondok alumni PMG”
yang didirikan KH. Makhrus Amin, seorang kiai besar yang juga
mengasuh Pondok Pesantren Darunnajah. Baik Pondok Pesantren
Madinatunnjah maupun Pondok Pesantren Darunnajah merupakan pondok
pesantren modern yang “berkiblat” pada kurikulum Kulliyatul Mu’allimin
Al-Islamiyah (KMI) Pondok Modern Gontor. Karena kesesuaian
kemampuan dan pekerjaannya, maka tak heran jika Agus dapat dengan
mudah melihat kaitan antara kurikulum PMG dan rekam jejak para politisi
alumni PMG.
Karena hal ini pula penulis tertarik mewawancarai peraih gelar
master pendidikan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Dari
wawancara ini penulis ingin mengetahui lebih lanjut tentang peran PMG
dalam membentuk pola pikir para alumninya, terutama yang berkiprah di
bidang politik. Menurutnya, memang ada hubungan antara nilai-nilai yang
diajarkan para kiai di Gontor dengan sikap hidup para santrinya. Di antara
yang paling penting adalah Panca Jiwa, yaitu jiwa keikhlasan,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
174
kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah Islamiyah, serta kebebasan. Nah
barang kali dari lima jiwa ini, maka nila-nilai itu dipraktikkan ke dalam
kehidupan sehari-hari. Selama 24 jam baik di dalam kelas, dan terutama di
luar kelas merupakan hidden kurikulumnya. Jadi sebenarnya kurikulum
Gontor itu menjadi sempurna karena pendidikan dan pembinaan di luar
kelas itu justru lebih kuat dalam membentuk karakter. Nah ini yang disebut
dengan the hidden curriculum. Oleh karena itu, salah seorang pengurus
Kwarnas Pramuka ini meyakini sikap alumni yang didasarkan pada Panca
Jiwa sesuai dalam berpolitik. Pertama, karena sudah ada kematangan dari
pribadi mereka. Kedua, karena adanya nilai-nilai tadi sehingga mereka
akan mempunyai komitmen dengan perjuangannya. Tapi semuanya diikat
dalam ukhuwah Islamiyah dan para kiai di PMG selalu memberikan pesan
kepada alumni Gontor harus menjadi perekat umat. Bagaimanapun, di
manapun, dan apapun lapangan perjuangannya. Misinya adalah bagaimana
ukhuwah tadi itu. Merekat umat, bukan memecah belah tapi menjadi
perekat umat.
3. DR. Sunandar Ibnu Nur, MA
Selain menjadi dosen di Fakultas Dakwah UIN Jakarta, Sunandar
merupakan praktisi PR yang lama bergelut di dunia broadcast. Kiprahnya
di dunia broadcast dimulai saat menjadi pengasuh program Kuliah Subuh
di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). Dari program semacam inilah
lelaki kelahiran Bogor, 26 Juni 1962 ini merambah dari stasiun televisi ke
http://digilib.mercubuana.ac.id/
175
stasiun televisi lainnya. Antara lain, ia pernah menjadi konsultan program
agama dan budaya di RCTI, pengasuh program Suara Rakyat Lintas
Agama dan Hikmah Pagi di TVRI, presenter program Suara Rakyat
Anteve, dan lain sebagainya. Pengalamannya mengasuh program
keagamaan di televisi itulah yang memudahkan dirinya untuk membawa
Ustad Arifin Ilham tampil di dunia broadcast dan kini dikenal masyarakat
luas. Tak hanya Ustadz Arifin Ilham, beberapa ustadz lainnya pun
merasakan sentuhan ajaib Dosen Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta ini.
Sebagai dosen dan praktisi ilmu komunikasi, Sunandar sudah pasti
sangat aware terhadap dunia public relations. Maka tak heran ia juga dapat
dengan lugas mengomentari pola komunikasi yang dilakukan politisi
alumni PMG. Apalagi alumni PMG angkatan 1982 ini pun pernah menjadi
Ketua Umum IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern) Gontor, Provinsi
DKI untuk periode 2003 – 2007. Bahkan, ia pula yang membidani lahirnya
PAGon (Persatuan Alumni Gontor) di tahun 2007, sehingga sangat dekat
dengan perpolitikan yang dilakukan para alumni PMG. Menurutnya, ada
kelemahan yang dimiliki para politisi alumni PMG dalam hal pola
komunikasi. Kelemahan itu antara lain para politisi alumni PMG seolaholah berjuang sendiri dalam perjuangan politiknya. Seolah-olah mereka
tidak memiliki keterpanggilan untuk saling mendukung dan saling bahumembahu. Termasuk tanpa adanya sinergi dengan wadah-wadah alumni
semacam IKPM dan PAGon. Meski harus diakui bahwa wadah-wadah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
176
alumni itu mampu membangun suasana harmonis, namun lebih kental
pada paguyubannya, kebersamaannya. Memang betul ukhuwah-nya kuat
tetapi tidak dalam hal dukung mendukung di kancah politik.
4.2. Hasil Penelitian
4.2.1. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran Sosial
dan Politik
Konsep diri mempunyai peranan penting dalam menentukan perilaku
individu. Individu memandang atau menilai dirinya sendiri akan tampak jelas dari
seluruh perilakunya, dengan kata lain perilaku seseorang akan sesuai dengan cara
individu memandang dan menilai dirinya sendiri. Apabila individu memandang
dirinya sebagai seorang yang memiliki cukup kemampuan untuk melaksanakan
tugas, maka individu itu akan menampakan perilaku sukses dalam melaksanakan
tugasnya. Sebaliknya, apabila individu memandang dirinya sebagai seorang yang
kurang memiliki kemampuan melaksanakan tugas, maka individu itu akan
menunjukkan ketidakmampuan dalam perilakunya.
Hurlock dalam Anas (2013:74-75) mengemukakan, konsep diri merupakan
inti dari pola perkembangan kepribadian seseorang yang akan mempengaruhi
berbagai bentuk sifat. Jika konsep diri positif, anak akan mengembangkan sifatsifat seperti kepercayaan diri, harga diri dan kemampuan untuk melihat dirinya
secara realitas, sehingga akan menumbuhkan penyesuaian sosial yang baik.
Sebaliknya apabila konsep diri negatif, anak akan mengembangkan perasaan tidak
http://digilib.mercubuana.ac.id/
177
mampu dan rendah diri. Mereka merasa ragu dan kurang percaya diri, sehingga
menumbuhkan penyesuaian pribadi dan sosial yang buruk pula.
Konsep diri juga dikatakan berperan dalam perilaku individu karena
seluruh sikap dan pandangan individu terhadap dirinya akan mempengaruhi
individu tersebut dalam menafsirkan setiap aspek pengalaman-pengalamannya.
Suatu kejadian akan ditafsirkan secara-berbeda-beda antara individu yang satu
dengan individu yang lain, karena masing-masing individu mempunyai
pandangan dan sikap berbeda terhadap diri mereka. Tafsiran-tafsiran individu
terhadap sesuatu peristiwa banyak dipengaruhi oleh sikap dan pandangan individu
terhadap dirinya sendiri. Tafsiran negatif terhadap pengalaman disebabkan oleh
pandangan dan sikap negatif terhadap dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya.
Selanjutnya konsep diri dikatakan berperan dalam menentukan perilaku karena
konsep diri menentukan pengharapan individu. Menurut beberapa ahli,
pengharapan ini merupakan inti dari konsep diri. Pengharapan merupakan tujuan,
cita-cita individu yang selalu ingin dicapainya demi tercapainya keseimbangan
batin yang menyenangkan.
Konsep diri merupakan dasar dalam kajian teori interaksi simbolik.
Kadang disebut sebagai teori sosilogi interpretatif yang sangat dipengaruhi oleh
psikologi sosial. Kajian ini merupakan bentuk paling sederhana dan paling pokok
dalam komunikasi yang dilakukan dengan isyarat. Hal ini disebabkan karena
manusia bisa menjadi objek untuk dirinya sendiri dan dapat melihat tindakantindakan yang dilakukan seperti orang lain melihat dirinya, yang terkandung di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
178
dalamnya bisa berupa isyarat fisik ataupun dengan sebaliknya menggunakan katakata yakni simbol suara yang mengandung makna (Sodikin, 2002:112).
Proses penggunaan simbol ini adalah bagian dari proses berpikir secara
subyektif, sehingga antara hubungan komunikasi dengan kesadaran subjektif ini
menjadi sangat dekat, dan sampai pada titik sangat samar, kesadaran ini dihasilkan
dari penggunaan simbol tersebut, dan kesadaran itu menghasilkan intelegensia
yang mencakup tentang kesadaran diri (self). Secara bertahap setiap orang dapat
memperoleh konsep dirinya ketika melakukan interaksi dengan orang lain dan
konsep diri itu pula yang menunjuk pada identitas dirinya yang dinyatakan oleh
orang lain atas dirinya tersebut. Sehingga konsep diri itu merupakan susunan
kesadaran setiap orang yang diakibatkan berjalannya seperangkat hubungan sosial
(interaksi) yang berlangsung atau yang ada dalam tatanan masyarakat yang utuh.
Dalam mengembangkan teori tentang interaksi simbolik, G.H Mead
menyatakan bahwa suatu masyarakat yang dibentuk oleh suatu pertukaran gerak
tubuh dan bahasa yang mewakili proses mental, dan simbol tersebut disebut
dengan teori peran (role theory) yang melihat cara konversasi atau percakapan
internal dari self yang kemudian menjadi jembatan penghubung menuju strukturstruktur peran.
Seperti paparan di atas, proposisi yang ditawarkan dalam interaksionisme
simbolik adalah konsep-konsep tentang Mind (pikiran), Self (diri) dan Society
(masyarakat). Tiga konsep itu dan hubungan di antara ketiganya merupakan inti
pemikiran Mead, sekaligus key words dalam teori tersebut. Interaksionisme
http://digilib.mercubuana.ac.id/
179
simbolis secara khusus menjelaskan tentang bahasa, interaksi sosial dan
reflektivitas.
Mind atau pikiran, menurut Mead muncul bersamaan dengan proses sosial
dan tidak dapat dipahami sebagai bagian dari proses itu sendiri. Proses
komunikasi melibatkan dua fase yaitu: (1) the "conversation of gestures" dan (2)
language (bahasa), atau the "conversation of significant gestures.". Kedua fase
tersebut mensyaratkan suatu konteks sosial dimana dua atau lebih individu
berinteraksi dengan satu atau yang lainnya. Mind, merupakan fenomena sosial
yang berupa proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri. Pikiran muncul
dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses
sosial.
Mead walaupun menolak pandangan tradisional bahwa the mind secara
substansial terpisah dari the body, juga menolak kalau dikatakan mind sematamata merupakan istilah physiology atau neurology. Namun Mead setuju dengan
pandangan kaum behavioristik dengan mengatakan: “We can explain mind
behaviorally if we deny its existence as a substantial entity and view it instead as
a natural function of human organisms. But it is neither possible nor desirable to
deny the existence of mind altogether”. Jadi Mind sebenarnya merupakan
kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu
respon saja tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang
dinamakan mind menurut Mead.
The self atau diri, menurut Mead merupakan ciri khas dari manusia yang
tidak dimiliki oleh binatang. Diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri
http://digilib.mercubuana.ac.id/
180
sebagai sebuah objek dari perspektif yang berasal dari orang lain, atau
masyarakat. Tapi diri juga merupakan kemampuan khusus sebagai subjek. Diri
muncul dan berkembang melalui aktivitas interaksi sosial dan bahasa. Menurut
Mead, mustahil membayangkan diri muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial.
Karena itu ia bertentangan dengan konsep diri yang soliter dari Cartesian Picture.
The self juga memungkinkan orang berperan dalam percakapan dengan orang lain
karena adanya sharing of simbol. Artinya, seseorang bisa berkomunikasi,
selanjutnya menyadari apa yang dikatakannya dan akibatnya mampu menyimak
apa yang sedang dikatakan dan menentukan atau mengantisipasi apa yang akan
dikatakan selanjutnya.
Mead menggunakan istilah significant gestures (isyarat-isyarat yang
bermakna) dan significant communication dalam menjelaskan bagaimana orang
berbagi makna tentang simbol dan merefleksikannya. Ini berbeda dengan
binatang, anjing yang menggonggong mungkin akan memunculkan reaksi pada
anjing yang lain, tapi reaksi itu hanya sekedar insting, yang tidak pernah
diantisipasi oleh anjing pertama. Dalam kehidupan manusia kemampuan
mengantisipasi dan memperhitungkan orang lain merupakan cirikhas kelebihan
manusia. Menurut Mead kata-kata simbolik yang digunakan manusia dalam
interaksi sosial juga mencakup isyarat non verbal (non verbal gestures) dan
komunikasi non verbal.
Jadi the self berkait dengan proses refleksi diri, yang secara umum sering
disebut sebagai self control atau self monitoring. Melalui refleksi diri itulah
menurut Mead individu mampu menyesuaikan dengan keadaan di mana mereka
http://digilib.mercubuana.ac.id/
181
berada, sekaligus menyesuaikan dari makna, dan efek tindakan yang mereka
lakukan. Dengan kata lain orang secara tak langsung menempatkan diri mereka
dari sudut pandang orang lain. Dari sudut pandang demikian orang memandang
dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial
sebagai suatu kesatuan.
Adapun konsep diri politikus alumni PMG, antara lain dibentuk oleh
falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan para ustadz dan kiai di Pondok Pesantren
Darussalam Modern Gontor. Selain berasal dari kajian-kajian yang diajarkan,
falsafah dan nilai-nilai tersebut juga dapat dilihat dari Motto dan Panca Jiwa yang
mesti dihafal dan dipraktikkan para santri PMG. Motto dan Panca Jiwa inilah
yang menjadi ruh pendidikan dan pembentukan konsep diri, seperti diakui DR.
H.M. Hidayat Nur Wahid, MA (dalam Sulaiman, 2009). Ragam falsafah dan nilainilai yang diajarkan Pondok Modern Gontor itu juga diyakini informan-informan
lainnya turut membentuk konsep diri dan motivasi normatif para politikus alumni
Pondok Modern Gontor.
Motto PMG yang menekankan pembentukan pribadi mukmin-muslim
tersebut adalah: (1) berbudi tinggi; (2) berbadan sehat; (3) berpengetahuan luas;
dan (4) berpikiran bebas. Sementara Panca Jiwa yang mendasari kehidupan di
Pondok Modern Gontor adalah: (1) jiwa keikhlasan; (2) jiwa kesederhanaan; (3)
jiwa berdikara; (4) jiwa ukhuwah Islamiyah; dan (5) jiwa kebebasan. Dalam hal
ini, selain yang disebutkan DR. H. Dian Assafri, MA di Bab 1, paparan seputar
Panca Jiwa juga diberikan M. Agus Gofurur Rochim, M. Pd. sebagai berikut:
“Memang ada hubungan antara nilai-nilai yang diajarkan para kiai di
Gontor dengan sikap hidup. Di antara yang paling penting adalah Panca
http://digilib.mercubuana.ac.id/
182
Jiwa, yaitu jiwa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah
Islamiyah, serta kebebasan. Nah, barang kali dari lima jiwa ini, maka nilainilai itu dipraktikkan dalam kehidupan kami sehari-hari. Selama 24 jam
baik di dalam kelas, dan terutama di luar kelas merupakan hidden
kurikulumnya. Jadi sebenarnya kurikulum Gontor itu menjadi sempurna
karena pendidikan dan pembinaan di luar kelas itu justru lebih kuat dalam
membentuk karakter. Nah ini yang disebut dengan the hidden curriculum,”
(Wawancara M. Agus Gofurur Rochim pada 14 Mei 2015).
Seluruh poin dalam Motto dan Panca Jiwa di atas memiliki uraian yang
sangat menarik untuk dikupas. Hanya saja, penulis melihat jika “berpikiran bebas”
dan “jiwa kebebasan” menjadi pembeda yang unik dari PMG dibandingkan
pondok-pondok pesantren lainnya. Kata “bebas” yang terkandung di dalamnya
menjadi penting dan menarik karena kerap kali dipahami sebagai “liberal” yang
cenderung dimaknai negatif oleh orang-orang di luar PMG. Sementara para santri
dan alumni PMG memiliki pemaknaan yang jauh dari sangkaan masyarakat
umum dan memiliki kecenderungan positif.
“Berpikiran bebas” dan “jiwa kebebasan” sesungguhnya menjadi modal
spiritual yang mendorong para santri untuk memiliki kebebasan dalam berpikir
dan bertindak. Inilah modal yang sejatinya sangat manusiawi karena pada
hakikatnya manusia memang diberikan akal untuk menakar serta menentukan
baik dan buruk. Namun demikian, sebagai hamba Allah, kebebasan yang
terkandung di dalamnya tidak dimaknai bebas yang “kebablasan”, melainkan
bebas yang teratur mengikuti koridor ajaran Islam. Hal ini juga dipaparkan secara
jelas oleh Agus:
“Kebebasan yang dimaksudkan Panca Jiwa, sejatinya, sesuai dengan
kebebasan yang terdapat di dalam Islam. Sebagaimana diketahui bahwa
salah satu keistimewaan Islam adalah menghormati adanya kebebasan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
183
). Kebebasan itu fitrah manusia. Maksud dari “kebebasan”
(
di dalam Panca Jiwa adalah jiwa merdeka. Hal ini juga bermakna merdeka
dan tidak mau tunduk kepada penjajah. Melihat sejarahnya, Pondok
Gontor didirikan sebelum kemerdekaan pada 1926, saya yakin di dalam
sikap Trimurti memiliki semangat juang nasionalisme yang tidak rela
melihat negeri Indonesia ini dijajah. Untuk itu saya juga yakin jika para
pendiri bermaksud agar para santrinya mempunyai mental orang merdeka
bukan mental budak. Maka Jiwa Bebas itu adalah jiwa merdeka, bukan
robot, bukan pesuruh, bukan babu, bukan orang yang selalu diatur”.
Pada akhirnya, konsep diri tersebut membentuk karakter para santri dan
alumni PMG serta sangat mempengaruhi tindakan mereka dalam keseharian
(aktualisasi). Bagi para politikus alumni PMG, konsep diri yang membentuk
karakter dan mempengaruhi tindakan itu juga sangat mempengaruhi pola
komunikasi politik mereka. Dengan “Jiwa Kebebasan” misalnya, para alumni
PMG kemudian tampil dengan karakter kuat yang tidak ingin selalu “mengekor”
pada sebuah kebijakan tertentu. Aktualisasinya, banyak para alumni PMG yang
tampil menjadi pionir lembaga-lembaga, baik lembaga sosial, pendidikan, dan
lainnya. Sekalipun masuk menjadi anggota sebuah lembaga, mereka akan tampil
dengan gaya dan pemikiran yang mencerminkan seorang pemimpin. Dari
aktualisasi seperti inilah pola komunikasi alumni PMG dapat dikenali secara khas.
4.2.1.1. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran
Sosial
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah subhânahû wa ta’âlâ dengan
wujud fisik dan fungsinya yang sempurna dibandingkan makhluk Allah lainnya.
(QS. At-Tîn [95]:4) Manusia diciptakan sebagai makhluk multidimensional,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
184
memiliki akal pikiran dan kemampuan berinteraksi secara personal maupun sosial.
Oleh karenanya manusia dianggap sebagai makhluk unik yang memiliki
kemampuan sosial sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. (Bungin,
Sosiologi Komunikasi, 2013:25)
Di
sisi
lain,
manusia
dengan
kemampuan
akalnya
mampu
mengembangkan kemampuan tertingginya sebagai makhluk ciptaan Allah, yaitu
memiliki kemampuan spiritual. Sehingga disamping sebagai makhluk individual,
makhluk sosial, manusia juga sebagai makhluk spiritual. Hal ini sesuai dengan
amanah yang dibebankan kepada manusia menurut konsep agama Islam, yakni
manusia sebagai hamba Allah (QS. Adz-Dzâriyât [51]:56) dan manusia sebagai
khalifah Allah di muka bumi (QS. Al-Baqarah [2]:30).
Sementara dalam konsep ilmu sosial, selain disebut sebagai mahluk
individu manusia disebut juga sebagai makhluk sosial. Hal ini berarti bahwa
manusia
memiliki
kebutuhan
dan
kemampuan
serta
kebiasaan
untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia yang lain. Pada dasarnya
manusia tidak bisa hidup sendiri di dunia ini, baik sendiri dalam konteks fisik
maupun dalam konteks sosial-budaya. Terutama dalam konteks sosial-budaya,
manusia membutuhkan manusia lainnya untuk saling berkolaborasi dalam
pemenuhan kebutuhan fungsi-fungsi sosial satu dengan lainnya.
Demikian halnya dengan para alumni Pondok Modern Gontor (PMG).
Mereka adalah individu-individu manusia yang hidup dan berada dalam
komunitas masyarakat tertentu. Meski secara umum kehidupan pribadinya sama
dengan masyarakat yang lain, namun terdapat peran dan identifikasi yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
185
berbeda. Kali ini penulis membagi konsep diri alumni PMG dalam peran
sosialnya menjadi 2 bagian, yakni perilaku sosial dan penampilan.
1. Perilaku Sosial Alumni Pondok Modern Gontor
Sebagai alumni sebuah pesantren, kehidupan alumni PMG dipandang
memiliki kelebihan dibandingkan kehidupan masyarakat pada umumnya. Terlebih
lagi mereka merupakan produk sebuah pesantren besar yang dikenal luas dengan
kemampuan berbahasa Arab dan Inggrisnya, sehingga diyakini mampu
menerjemahkan kitab berbahasa Arab dan Inggris. Tak heran jika kebanyakan dari
mereka bekerja sebagai dosen, guru, ustadz, motivator, dan penceramah di
berbagai majelis taklim atau radio dan televisi. Dengan kemampuan seperti itu,
alumni PMG memiliki kepercayaan diri tinggi untuk menjadi panutan masyarakat.
Di sisi lain, mereka pun tidak bisa lepas dari kehidupan dan tata sosial
masyarakat, sehingga perilaku mereka akan selalu menjadi sorotan masyarakat.
Alumni PMG akan selalu menjaga sikap dan perilakunya sesuai dengan yang
didapatkan saat nyantri dahulu. Sikap “jaim” (menjaga imej) tentu semakin
tampak dari alumni PMG yang menjadi public figure, seperti pemilik yayasan
pendidikan, pengasuh pesantren, atau penceramah yang kerap diundang
komunitas pengajian atau on air di radio dan televisi.
a. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Pengajar (Guru, Dosen, atau
Ustadz)
Guru seringkali diartikan pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa
Indonesia, umumnya, guru berarti pendidik profesional dengan tugas
http://digilib.mercubuana.ac.id/
186
utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik. Secara formal, guru adalah seorang
pengajar di sekolah negeri ataupun swasta yang memiliki kemampuan
berdasarkan latar belakang pendidikan formal minimal berstatus sarjana,
dan telah memiliki ketetapan hukum yang sah sebagai guru berdasarkan
undang-undang guru dan dosen yang berlaku di Indonesia.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa guru merupakan
pendidik di tingkat prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah pertama,
sekolah menengah atas, hingga perguruan tinggi. Meski demikian, dalam
definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang
baru dapat juga dianggap seorang guru.
Di Indonesia, status guru dapat dibagi ke dalam dua kategori, yakni
guru tetap dan guru honorer. Guru tetap biasanya telah memiliki status
minimal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, dan telah ditugaskan di
sekolah tertentu sebagai instansi induknya. Selaku guru di sekolah swasta,
guru tersebut dinyatakan guru tetap jika telah memiliki kewenangan
khusus yang tetap untuk mengajar di suatu yayasan tertentu yang telah
diakreditasi oleh pihak yang berwenang di pemerintahan Indonesia.
Sementara guru honorer biasanya tidak tetap dan belum berstatus
minimal sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil. Mereka digaji per jam
pelajaran. Di banyak tempat, seringkali mereka digaji secara sukarela dan
bahkan di bawah gaji minimum yang telah ditetapkan secara resmi. Secara
kasat mata, mereka sering nampak tidak jauh berbeda dengan guru tetap,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
187
bahkan mengenakan seragam Pegawai Negeri Sipil layaknya seorang guru
tetap.
Hal tersebut sebenarnya sangat menyalahi aturan yang telah
ditetapkan pemerintah. Secara fakta, mereka berstatus pengangguran
terselubung. Pada umumnya, mereka menjadi tenaga sukarela demi
diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil melalui jalur honorer,
ataupun sebagai penunggu peluang untuk lulus tes Calon Pegawai Negeri
Sipil formasi umum.
Adapun pengertian dosen menurut Undang-undang nomor 14 tahun
2005 pasal 1 ayat 2 adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas
utama yaitu mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat. (www.kemdikbud.go.id)
Sementara ustadz atau seringkali ditulis ustad atau ustaz, kurang
lebih memiliki makna sama dengan guru. Menurut Dr. Ali Jasim Salman
dalam kitab Mausu’ah Al-Akhtha' Al-Lughawiyyah As-Syâi'ah, kata
“ustadz” berasal dari bahasa Persia klasik yang dalam bahasa Persia terkini
ditulis “istâdz” (
(
). Dari segi arti ia mendekati kata “khawâjah”
), sebuah kata bahasa Parsi yang bermakna pengajar, tuan, atau
orang tua. Di negara Arab, istilah ustadz merujuk pada dosen atau
http://digilib.mercubuana.ac.id/
188
akademisi yang memiliki kepakaran tertentu. Seperti pakar dalam bidang
ilmu tafsir akan disebut sebagai
. (www.alkhoirot.net)
Senada dengan pengertian di atas, Ahmad Sarwat, Lc., pengasuh
tanya jawab di www.eramuslim.com, mengatakan istilah ustadz di negeri
Arab memiliki kedudukan sangat tinggi. Hanya para doktor (S-3) yang
sudah mencapai gelar profesor saja yang berhak diberi gelar Al-Ustadz.
Kira-kira artinya memang profesor di bidang ilmu agama. Jadi istilah
ustadz ini lebih merupakan istilah yang digunakan di dunia kampus di
beberapa
negeri
Arab,
ketimbang
sekadar
guru
agama
biasa.
(www.eramuslim.com)
Adapun di Indonesia, panggilan ustadz biasanya disematkan
kepada orang yang mengajar agama. Artinya secara bebas adalah guru
agama, pada semua levelnya. Mulai dari anak-anak, remaja, dewasa
bahkan kakek dan nenek. Bahkan, panggilan ustadz juga kerap dilekatkan
pada sosok da'i, mubaligh, penceramah, guru mengaji Al-Quran, guru
madrasah diniyah, guru mengaji kitab di pesantren, pengasuh/pimpinan
pesantren (biasanya pesantren modern).
Perilaku sosial sebagai guru, dosen, atau ustadz ini kerap ditemui
penulis pada alumni PMG. Hal ini, tampaknya, merupakan dampak dari
pola pengajaran di PMG. Perlu diketahui bahwa di PMG, seluruh kegiatan
belajar-mengajar (KBM) di tingkat dasar dan menengah dilaksanakan oleh
sebuah lembaga bernama Kulliyyat Al-Mu’allimîn Al-Islâmiyyah (KMI).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
189
Beragam pelajaran harus diikuti seluruh santri sejak pagi hingga malam
hari. Yang menarik, KMI sepertinya mengarahkan para santri agar bisa
tampil sebagai guru di masyarakat. Hal ini tampak pada kurikulum
tahunan KMI, ‘amaliyat at-tadrîs. Kurikulum ini berisi praktik mengajar
yang diperuntukkan bagi santri kelas VI. Menjelang akhir masa studinya
diadakan PPL untuk santri, dimana seorang santri melaksanakan praktik
sementara kawan-kawannya yang satu kelompok dengannya mengamati
dan selanjutnya memberikan evaluasi (naqd).
Setelah praktik pengajaran selesai, diadakan sesi evaluasi oleh guru
praktik sendiri, santri-santri lain yang juga anggota kelompoknya, dan
guru supervisor yang membimbing jalannya seluruh proses PPL tersebut.
Di samping praktik mengajar ini, setiap santri kelas VI telah melaksanakan
latihan mengajar pada sore hari. Mereka dilatih untuk mengajar santrisantri kelas I dan kelas II pada pelajaran tambah di sore hari (dars alidhâf). (Zarkasyi, Gontor & Pembaharuan Pendidikan Pesantren,
2005:132)
Dari hasil penelusuran penulis, semua informan pokok pernah
menjadi seorang guru atau dosen. DR. H. Hidayat Nur Wahid, MA.,
misalnya, sebelum aktif sebagai pimpinan MPR RI pada 2004, beliau
adalah dosen pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta, dan
dosen Universitas As-Syafiiyah. Sementara DR. H. Husnan Bey Fananie,
MA., pernah tercatat sebagai Wakil Rektor Universitas Mathla’ul Anwar,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
190
Pandeglang dan pengajar di KMI PMG sepanjang 1986-1988. Adapun
Hemlmi Hidayat hingga saat ini masih menjadi dosen di Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi serta Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta sejak 2005 dan dosen di Universitas Muhammadiyah
Jakarta.
Meski bukanlah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi, Lookh
Makhfudz boleh dikatakan seorang ustadz yang memimpin Pondok
Pesantren Muhammadiyah Al-Munawaroh di Kota Malang. Sementara
Imam Wahyudi, sebelum bertolak ke Jakarta hingga saat ini, ia pernah
tercatat sebagai staf pengajar di Ponpes Al-Khair, Palembang. Dan sejak
tahun 2011 hingga 2013, ia pun pernah menjadi dosen di Universitas
Serang, Banten. Adapun Dian Assafri, pernah juga menjadi dosen di
Universitas Indonesia, Universitas Pancasila, dan Universitas Trilogi.
b. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Penceramah (Dai atau
Motivator)
Meski hampir setiap pondok pesantren—menurut pengalaman
penulis—memiliki pelajaran ceramah atau khutbah, namun Pondok
Modern Gontor memiliki cara unik dalam mengajarkan pelajaran tersebut.
Di PMG, pelajaran ceramah atau khutbah dinamakan dengan muhâdlarah.
Muhâdlarah atau dalam Bahasa Arab ditulis
http://digilib.mercubuana.ac.id/
berarti ceramah atau
191
kuliah. Sementara pelakunya atau penceramahnya disebut sebagai
.
(Ali dan Muhdlor, 1999:1639)
Muhâdlarah atau public speaking atau pidato merupakan pelajaran
yang wajib diikuti setiap santri dan wajib menguasainya. Saking
pentingnya pelajaran ini, PMG menggembleng para santri secara serius.
Muhâdlarah memang memiliki tempat istimewa di PMG, karena
fungsinya sebagai Kulliyyâtul Mu’allimîn Al-Islâmiyah (KMI) yang
mencetak para guru agama Islam. Melalui Muhâdlarah setiap santri
diharapkan tidak minder, tidak takut, berani berhadapan dan berbicara di
depan khalayak. (Fathurrohman, 2014:45)
Para santri PMG tak hanya mendapat bekal secara klasikal,
melainkan juga memiliki klub muhâdlarah yang setiap tahunnya akan ikut
serta dalam perlombaan muhâdlarah 3 bahasa, yakni Bahasa Indonesia,
Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab. Hal ini didukung oleh pernyataan
Hidayat Nur Wahid:
“Kemudian kami juga dibiasakan untuk menerima pelajaran
umum dan agama yang disampaikan dengan Bahasa Arab dan
Inggris. Bahkan kami diwajibkan untuk berbicara dalam Bahasa
Arab dan Inggris. Jika tidak melakukannya, kami dikenakan sanksi.
Dari situ kami disiapkan untuk menjadi calon pemimpin yang
berpengetahuan luas dan mampu berkomunikasi dengan baik. Kami
juga menerima pelajaran muhadlarah lalu lomba pidato 3 bahasa
yang sebenarnya mengasah kami untuk menjadi lebih baik dari
pada yang lainnya.” (Wawancara, 20 Oktober 2015)
Karena sudah terbiasa diberikan mata pelajaran muhâdlarah, di
masyarakat, santri PMG pun biasa untuk tampil berani dan percaya diri di
http://digilib.mercubuana.ac.id/
192
muka umum. Maka tak heran jika para alumni PMG banyak berkiprah
sebagai seorang penceramah, pendakwah, atau motivator. Beberapa alumni
PMG yang dikenal sebagai penceramah, pendakwah, atau motivator itu
antara lain KH. Bachtiar Natsir, Din Syamsuddin, KH. Hasyim Muzadi,
Emha Ainun Najib, KH. Ahmad Satori Ismail, Ridwan M. Yusuf, dan
Sunandar Ibnu Nur. Begitu pula halnya dengan informan pokok yang
penulis teliti, semuanya merupakan penceramah yang biasa mengisi suatu
majelis taklim. Apalagi informan semacam Helmi Hidayat yang hingga
saat ini masih aktif berceramah secara on air di televisi dan radio.
Sementara Hidayat Nur Wahid dan Husnan Bey Fananie pun sesekali
masih menghiasi layar kaca.
Dalam Bahasa Indonesia, penceramah adalah orang yang memberi
ceramah atau disebut juga pembicara. Makna itu bisa ditemukan jika
menelusuri Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online. Di situ tertulis
kata dasar ce-ra-mah adalah pidato oleh seseorang di hadapan banyak
pendengar, mengenai suatu hal, pengetahuan, dan sebagainya. Sementara
ber-ce-ra-mah
diartikan
(pengetahuan
dan
memberikan
sebagainya)
atau
uraian
tentang
menyampaikan
suatu
hal
ceramah.
(www.kbbi.web.id)
Disamping kata penceramah, umumnya, masyarakat Indonesia juga
mengenal istilah pendakwah atau dai dan motivator. Kamus Besar Bahasa
Indonesia versi online mengemukakan arti motivator sebagai orang
(perangsang) yang menyebabkan timbulnya motivasi pada orang lain
http://digilib.mercubuana.ac.id/
193
untuk melaksanakan sesuatu atau ia juga disebut pendorong atau
penggerak. Sementara dakwah sebagai kata dasar pendakwah adalah
penyiaran; propaganda, atau penyiaran agama dan pengembangannya di
kalangan
masyarakat;
seruan
untuk
memeluk,
mempelajari,
dan
mengamalkan ajaran agama. Kata dakwah seringkali disandingkan dengan
kata “ilmu” dan “Islam”, sehingga kita sering mendengar “ilmu dakwah”
dan “ad-da’wah al-islamiyyah”. Ilmu dakwah adalah suatu ilmu yang
berisi cara-cara dan tuntunan untuk menarik perhatian orang lain supaya
menganut, mengikuti, menyetujui atau melaksanakan suatu ideologi,
agama, pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang menyampaikan
dakwah disebut "da'i" sedangkan yang menjadi obyek dakwah disebut
"mad'u". Jadi, setiap muslim yang menjalankan fungsi dakwah Islam
adalah "da'i".
Dalam ilmu tata bahasa Arab, kata dakwah adalah bentuk dari isim
(kata benda) masdar yang berasal dari kata kerja:
yang artinya menyeru, memanggil, mengajak. Secara etimologis, kata
dakwah berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti: panggilan, ajakan,
dan seruan, memanggil, mengajak, menyeru. Hal ini sesuai dengan
perintah Allah Swt. dalam Al-Quran:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
194
           
 
              
 
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk,” (QS. An-Nahl [16]:125).
Merujuk kepada apa yang dilakukan Rasulullah Saw., upaya
penyampaian ajaran Islam (dakwah) dapat dilakukan dengan 3 pendekatan,
yaitu lisan, tulisan, dan perbuatan. Bahkan perilaku beliau pun merupakan
dakwah. Pendekatan lisan (bil-lisan) adalah upaya dakwah yang
mengutamakan pada kemampuan lisan. Pendekatan tulisan (ar-risalah)
adalah dakwah yang dilakukan dengan melalui tulisan baik berupa buku,
brosur, maupun media elektronik. Sedang pendekatan perbuatan (bil-hal)
yakni kegiatan dakwah yang mengutamakan kemampuan kreativitas
perilaku dai secara luas atau yang dikenal dengan action approach atau
perbuatan nyata. Misalnya dengan menyantuni fakir-miskin, menciptakan
lapangan pekerjaan, memberikan ketrampilan dan sebagainya. (Suisyanto,
2002:183)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
195
c. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Aktivis
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online menampilkan arti
aktivis sebagai orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh,
petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong
pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya.
Kecenderungan para alumni PMG sebagai aktivis sangat besar mengingat
pengalaman organisasi yang menempa mereka selama nyantri. Di PMG,
terdapat banyak jenis kegiatan organisasi, mulai Organisasi Pelajar Pondok
Modern (OPPM), Gerakan Pramuka, drum band, klub muhâdlarah atau
public speaking, klub bahasa, melukis, fotografi, dan lain sebagainya. Ini
sesuai dengan apa yang dinyatakan Hidayat Nur Wahid:
“Kami juga wajib mengikuti Gerakan Pramuka. Saya pernah
menjadi utusan PMG untuk mengikuti Jambore tingkat provinsi.
Pramuka ini menjadi salah satu cara untuk menggembleng jiwa
para santri untuk menjadi para pemimpin yang mampu beradaptasi,
survive, dan bekerjasama. Kami juga aktif di organisasi santri
lainnya seperti OPPM. Semuanya itu dibingkai dalam keislaman
dan ukhuwah Islamiyah.” (Wawancara, 20 Oktober 2015)
Sementara menurut M. Agus Gofurur Rochim, aktivitas organisasi
para santri PMG antara lain merupakan bentuk aplikasi dari ajaran “para
santri siap dipimpin dan siap memimpin”. Kepemimpinan di PMG itu,
menurutnya, ada mulai dari hal yang paling kecil. Contohnya, di setiap
kamar terdapat kepengurusan. Di kelas juga demikian, di klub-klub
muhâdlarah, klub olahraga, kesenian, pramuka. Bahkan yang paling jelas
itu kepemimpinan di pramuka, mulai penggalang, penegak, hingga
pandega semuanya adalah hirarki.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
196
“Jadi menurut saya, Gontor telah mengajarkan kepemimpinan itu
by design dan memang milieu (lingkungan pergaulan) nya
diciptakan seperti itu, sehingga dari sekian banyak santri itu pasti
pernah mengalami kepemimpinan mulai dari sektor paling kecil
hingga paling besar. Nah, saat kelas 4-5, para santri aktif di
kepengurusan rayon/konsulat di masing-masing daerah dan
puncaknya di kelas 5-6 aktif di organisasi pelajar pondok modern
(OPPM). Organisasi OPPM ini seperti OSIS namun dengan
dinamika yang lebih terasa kuat.” (Wawancara, 14 Mei 2015)
Selain itu, para santri PMG pun diberikan pelajaran tentang
pentingnya berkontribusi untuk memberikan manfaat kepada lingkungan
dan masyarakat. Ajaran ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:
Artinya: “Jabir radhiyallau ‘anhuma bercerita bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia.” Hadits dihasankan oleh al-Albani di
dalam Shahihul Jami’ No. 3289. (www.muslim.or.id)
Bahkan disadari oleh hampir seluruh alumni PMG bahwa mereka
ditempa tidak hanya sebagai aktivis di sebuah organisasi masyarakat,
melainkan benar-benar diarahkan untuk menjadi seorang pemimpin di
organisasi tersebut. Apalagi salah seorang pendiri PMG, yakni KH. Imam
Zarkasyi pernah berujar bahwa beliau lebih suka jika santri PMG menjadi
seorang imam (pemimpin) di sebuah surau kecil dengan jamaah yang
istiqâmah, dibanding menjadi imam (pemimpin) di sebuah surau besar
namun jamaahnya tidak istiqâmah. Pernyataan ini dipahami oleh para
alumni PMG sebagai doktrin kepada mereka untuk tampil sebagai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
197
pemimpin di sebuah organisasi di masyarakat. Dalam hal ini, Imam
Wahyudi menegaskan:
“Harus dipahami bahwa sebenarnya Gontor itu mencetak kader
yang siap terjun ke masyarakat. Meski kami sekolah di Kulliyatul
Muslimin AI-Islamiyah (KMI) yang setara dengan SMA, namun
kami dicetak sebagai kader, dipaksa untuk menjadi pemimpin dan
harus siap terjun ke masyarakat di usia 17-18 tahun. Bayangkan.
Karena tuntutan itulah kami berevolusi dengan belajar terus dan
kemudian pola pikir dan watak kami berkembang terus ketika
sudah di luar. Hal itu yang menjadi semacam doktrin bagi kami,
utamanya dengan ajaran-ajaran yang kami terima di pondok”.
(Wawancara, 3 Juni 2015)
Berdasarkan penelusuran di lapangan, penulis menemukan fakta bahwa
semua informan pokok yang diteliti memiliki perilaku sosial yang hampir sama,
yakni berperan sebagai guru (termasuk dosen dan ustadz) atau minimal pernah
menjadi guru, sebagai penceramah (termasuk pendakwah dan motivator),
sekaligus sebagai aktivis di organisasi. Semua perilaku sosial tersebut, selain
muncul karena dorongan idealisme sebagai alumni PMG, pun menjadi semacam
modal sosial bagi mereka untuk meretas karir politiknya. Untuk lebih jelasnya,
penulis membuat tabel sebagai berikut:
Tabel 4.2.1.1.a. Perilaku Sosial Informan Pokok
NO
INFORMAN
1
Hidayat Nur Wahid
2
Husnan Bey Fananie
3
AKTIVITAS SOSIAL
Guru, Dosen,
Penceramah
Aktivis
Ustadz
Ya
Ya
Ya
Pernah
Ya
Ya
Helmi Hidayat
Ya
Ya
Ya
4
Lookh Makhfudz
Ya
Ya
Ya
5
Imam Wahyudi
Pernah
Ya
Ya
6
Dian Assafri
Ya
Ya
Ya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
198
2. Penampilan Politisi Alumni Pondok Modern Gontor
Jika dilihat secara seksama, ada ciri khas yang tampak pada para politisi
alumni PMG dan dapat disebut sebagai identitasnya. Ciri khas pertama dapat
ditemukan dalam penggunaan istilah yang berasal daru bahasa Arab, gaya
berbusana, dan lembaga sosial yang dibentuk atau kerap dimasuki para politisi
alumni PMG sebagai tempat beraktivitas secara sosial.
a) Penggunaan istilah dari bahasa Arab
Seperti yang telah disebutkan di awal bab ini bahwa ide modernisasi
pondok pesantren yang dikelola Trimurti ini berawal dari kegelisahan KH. Ahmad
Sahal saat menghadiri Kongres Umat Islam di Surabaya pada 18-23 September
1926. Kegelisahan itu muncul saat tidak ada seorang pun peserta kongres yang
menguasai Bahasa Arab dan Bahasa Inggris untuk menghadiri Muktamar Islam
se-Dunia seperti yang diamanatkan kongres tersebut. (Zarkasyi, 2005:110-116)
Usai menghadiri kongres itu Pak Sahal, demikian biasanya beliau disapa,
berembuk dengan kedua adiknya KH. Zainuddin Fananie dan KH. Imam Zarkasyi
untuk mendapatkan solusinya. Persoalan tersebut menyadarkan ketiganya bahwa
ada masalah dalam diri umat Islam ketika itu mengenai cara pandang terhadap
ilmu. Umat Islam ketika itu memandang ilmu secara dikotomis antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu umum.
Kesalahan cara pandang tersebut menjadi serius karena ia berdampak pada
cara pandang umat yang juga menjadi serba dikotomis terhadap seluruh dimensi
kehidupan, termasuk dimensi pendidikan. Di lembaga pendidikan keislaman,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
199
pondok pesantren hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sementara di lembaga
pendidikan umum, ilmu-ilmu agama tidak mendapatkan tempat.
Ketiga kakak-beradik itu pun akhirnya sepakat untuk mengubah cara
pandang umat Islam itu dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan yang
mengintegrasikan ilmu-ilmu agama (revealed knowledge) dan ilmu kawniyah
(acquired knowledge). Upaya ini kemudian diwujudkan dengan memilih sistem
pendidikan pesantren yang diintegrasikan dengan sistem madrasah/sekolah
dengan pertimbangan kedua sistem tersebut memiliki keunggulan masing-masing.
Keunggulan pesantren terletak pada sistem asramanya serta pendidikan
mental attitude yang kuat. Sedangkan sistem madrasah memiliki keunggulan
metodologis dan manajemen yang efektif dan efesien serta keluasan wawasan
intelektual. Intengrasi ini diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara
kedua sistem tersebut, sehingga keduanya dapat berperan saling melengkapi. Tak
heran jika para pendiri PMG sering mengatakan bahwa tujuan pendidikan PMG
adalah mencetak “ulama yang intelek.
Di sisi lain, model ini mencerminkan integrasi antara tradisionalitas (alasâlah) dengan modernitas (al-mu’âsarah). Integrasi sistem inilah yang dimaksud
dengan pembaruan atau modernisasi sistem pendidikan pesantren di PMG. Setelah
mendirikan Tarbiyat Al-Athfal pada 1926 dan Sullam Al-Muta’âlimîn pada 1932,
bentuk pembaruan itu dilakukan dengan mendirikan Kulliyat Al-Mu’allimîn AlIslâmiyyah (KMI) pada 1936.
Pasca berdirinya KMI inilah integrasi sistem pendidikan pesantren dengan
sistem pendidikan modern dilakukan sepenuhnya. Jika sistem pesantren diambil
http://digilib.mercubuana.ac.id/
200
dari warisan leluhur para pendiri dan pesantren pada umumnya, maka sistem
pendidikan modern diambil dari Sekolah Thawalib di Padang Sidempuan milik
Mahmud Yunus.
Gerakan pembaruan pendidikan Islam di Padang pada umumnya berasal
dari pengaruh gerakan kebangkitan Islam yang terjadi di Timur Tengah pada abad
ke-19 dengan tokohnya Jamaluddin Al-Afghani melalui gagasan Pan-Islamisme
yang menabuh gendering kebangkitan Islam secara politik. Meski akhirnya
dianggap gagal, namun gerakan ini dianggap mampu menggugah kesadaran umat
Islam untuk bangkit dari ketertinggalannya dan meraih kembali kejayaannya.
Murid setia Jamaluddin Al-Afghani bernama Muhammad Abduh
meneruskan gagasan ini melalui bidang pendidikan dengan memperbarui sistem
pendidikan Islam di Al-Azhar Mesir. Pembaruan ini melahirkan perguruan tinggi
Dâr Al-Ulûm, dimana Mahmud Yunus menamatkan pendidikan tingginya.
Nyatanya bukan hanya Mahmud Yunus, di Mesir juga banyak pelajar Indonesia
yang belajar di sana dan mempengaruhi mereka untuk melakukan pembaruan di
tanah air.
Meski demikian, menurut Zarkasyi (2005:114), Pak Zar tidak sepenuhnya
menduplikasi ide dan konsep Noormal Islam dan Sumatera Thawalib. Ada juga
pengaruh gurunya, Al-Hasyimi—seorang ulama, tokoh politik, dan sastrawan dari
Tunisia yang diasing pemerintah Prancis di wilayah penjajahan Belanda—ketika
Pak Zar belajar di Madrasah Arabiyah Islamiyah di Solo. Pengaruh Al-Hasyimi
turut berperan dalam perubahan pesantren yang dikelola Trimurti tersebut.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
201
Salah seorang Trimurti sekaligus kakak Pak Zar, yaitu Pak Fananie atau
KH. Zainuddin Fananie yang sejak tahun 1926 diutus menjadi Konsul
Muhammadiyah Sumatra Bagian Selatan pun tak ketinggalan berkontribusi dalam
perubahan modernisasi sistem di Pondok Modenr Gontor. Pak Fananie yang
diutus bersamaan dengan Buya Hamka (Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian
Timur kemudian Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Barat), dan KH. A.
Malik Siddik (Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Tengah) itu memang
dikenal banyak menelurkan gagasan pembaruan pendidikan Islam modern melalui
buku, di antaranya Pedoman Pendidikan Modern. (lihat Fathurrohman, 2014:10)
Konon, keakraban ketiganya sangat kental. Keakraban itu salah satunya
tergambar pada kesepakatan ketiganya untuk sama-sama menikahi perempuan
Sumatra Barat yang dikenal memiliki kecerdasan dan paras cantik. Selain itu
ketiganya pun sepakat untuk menamai anak laki-laki pertama dengan nama
Rusydi. Menurut Husnan Bey Fananie, penamaan Rusydi ini boleh jadi karena
ketiganya sama-sama mengagumi pemikiran dan sosok Ibnu Rusyd (averoos),
seorang ulama fikih, filosof, dan cendikiawan muslim ternama kelahiran Cordova
(wafat 595 H). Maka tak heran jika kemudian Pondok Modern Gontor menjadikan
Bidâyatul Mujtahid wa Nihâyatul Muqtashid karya Ibnu Rusyd sebagai acuan
dalam kajian ilmu fikih bagi para santrinya.
Integrasi sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan modern
yang dianut PMG itu, menurut Husnan Bey Fananie, sejatinya juga mengacu
kepada buku Pedoman Pendidikan Modern karya KH. Zainuddin Fananie yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
202
ditulisnya pada tahun 1934. Buku inilah yang menjadi blue print pendidikan di
KMI. Menurutnya:
“Pola pendidikan di Gontor adalah pola pendidikan yang integral, dimana
pendidikan rumah atau keluarga sebagai al-madrasatul ûla (the first
school) digabungkan dengan al-madrasatul tsâni (the second school),
yakni sekolah sebagai lembaga pendidikan formal, dan al-madrasatul
tsâlits (the third school), yaitu masyarakat”. (Fathurrohman, 2014:38)
Sayangnya, di masa-masa awal, sistem yang diterapkan PMG tidak
mendapat sambutan yang baik, bahkan mendapat tantangan yang hebat dari
masyarakat. Penerapan sistem belajar secara klasikal, penggunaan kurikulum yang
tidak hanya memuat pelajaran agama tapi juga pelajaran umum, penggunaan
bahasa asing selain Bahasa Arab seperti Bahasa Inggris dan Belanda, tidak
mendapatkan simpatik dari masyarakat. Meski lambat laun sistem yang dianggap
modern ini pun diterima, bahkan belakangan juga diikuti oleh pondok-pondok
pesantren lain.
Tradisi berbicara menggunakan Bahasa Arab itu pada akhirnya menjadi
ciri khas PMG dan telah dikenal dalam dunia pondok pesantren di Indonesia. Tak
hanya Bahasa Arab, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, santri PMG
juga dikenal dengan tradisi berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris. Tradisi
ini merupakan ciri khas Pondok Modern Gontor sebagai pondok pesantren yang
menerapkan kurikulum modern (khalaf) dalam kegiatan belajar dan mengajarnya
sekaligus menjadi keunggulan dibandingkan pondok pesantren tradisional (salaf)
yang menitikberatkan pengajaran gramatikal (ilmu nahwu dan ilmu sharaf) dalam
kajian Bahasa Arabnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
203
Di Pondok Modern Gontor, santri sudah diwajibkan berkomunikasi
menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris pada semester kedua
kedatangannya. Jika kedapatan tidak menggunakan kedua bahasa tersebut, santri
akan mendapatkan hukuman (ta’zir). Kedua bahasa tersebut dipelajari para santri
selepas shalat Subuh berjamaah melalui pelajaran mutaroddifat atau vocabularies
untuk menambah perbendaharaan kosa kata. Penggunaan dwibahasa itu tidak
cuma dalam komunikasi verbal, melainkan juga pada setiap interior pondok.
Tulisan berbahasa Arab dan Inggris dengan mudah ditemukan di setiap tempat,
baik di dinding asrama, dapur, kamar, lapangan olahraga, dan lainnya.
(Fathurrohman, 2014: 35)
Tradisi menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris di PMG itu
kemudian menular hingga para santri telah menjadi alumni. Meski istilah-istilah
yang digunakan dalam komunikasi verbal sehari-hari pada umumnya lebih banyak
dari Bahasa Arab. Misalnya penggunaan kata “ana” ( ) untuk mengganti kata
“saya” dan penggunaan kata “antum” (
) untuk mengganti kata “anda” yang
ditujukan kepada komunikan yang usianya di bawah komunikator. Sementara
kepada komunikan yang usianya lebih tua atau untuk sebuah penghormatan, kata
“antum” dan “ustadz” (
) lebih banyak digunakan. Penggunaan kata “ana”
dan “antum” tersebut, umumnya dilakukan hanya terhadap sesama alumni Pondok
Modern Gontor.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
204
Penggunaan kata-kata “ana”, “antum”, dan “ustadz” dalam komunikasi,
sejatinya, sudah digunakan para santri Pondok Modern Gontor sejak lama. Jauh
sebelum model komunikasi semacam ini menjadi lumrah di masyarakat pada saat
ini. Menurut penelusuran penulis, kata serapan dari Bahasa Arab yang banyak
digunakan oleh masyarakat dewasa ini merupakan tradisi kalangan Ikhwanul
Muslimin di Indonesia yang dibawa oleh aktivis Partai Keadilan Sejahtera (dulu
PK). Meski jika dilihat dari sisi gramatikal Bahasa Arab, penggunaan kata
“antum” kepada komunikan tunggal adalah keliru dan tidak dikenal di negaranegara Timur Tengah. Kata “antum” digunakan dalam bentuk memuliakan atau
mengagungkan (
). Boleh jadi, kata “antum” tersebut untuk
“mengikuti” penggunaan kata “nahnu” (
) oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam
sejumlah ayat yang menunjukkan makna tunggal.
Di Pondok Modern Gontor, kekeliruan tersebut memang tidak terlalu
dipermasalahkan. Karena penerapan nahwu sebagai dasar dalam berbahasa Arab
tidak mutlak digunakan dalam muhadatsah atau percakapan. Terdapat kaidah
yang memaklumkan hal tersebut, yakni:
(Nahwu dalam percakapan ibarat garam dalam makanan).
Pada kenyataannya, politikus alumni PMG memang kerap menggunakan
kata-kata serapan dari Bahasa Arab itu dalam keseharian. Hanya saja,
penggunaannya lebih sering digunakan kepada komunikan sesama alumni PMG.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
205
Sedikit sekali kata-kata tersebut digunakan kepada komunikan di luar alumni
PMG, kecuali untuk penghormatan kepada komunikan yang dianggap memilki
basis ilmu keislaman yang kental. Hal ini juga berlaku ketika mereka berkiprah di
partai politik. Husnan Bey Fananie, misalnya, jarang sekali penulis temukan
berbicara menggunakan komunikasi semacam itu dengan rekan sejawatnya di
PPP. Lain halnya jika rekan sejawatnya itu memang sama-sama alumni PMG.
Demikian pula hal yang sama penulis ketahui dari keseharian Lookh Makhfudz di
PAN, Helmi Hidayat dan Imam Wahyudi di PDIP, serta Dian Assafri di Partai
Golkar.
Namun, kasus yang berbeda penulis temukan pada DR. H.M. Hidayat Nur
Wahid, MA yang kerap menggunakan model komunikasi semacam itu kepada
rekan-rekan sejawatnya di PKS. Penggunaan kata-kata serapan seperti di atas,
seolah telah menjadi tradisi di kalangan kader PKS. Hal ini bisa juga dipahami
mengingat PKS merupakan pembawa ideologi ikhwanul muslimin di Indonesia
melalui gerakan “Tarbiyah”. Seperti diketahui bahwa gerakan “Tarbiyah”
merupakan gerakan dakwah Islamiyah yang mulai marak di Indonesia pada era
1980. Gerakan ini banyak mengambil referensi keislaman dari gerakan Islam di
Timur tengah, terutama Ikhwanul Muslimin. Menurut sejumlah studi, Tarbiyah
mengawali gerakannya di kampus-kampus, seperti Institut Teknologi Bandung,
Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, dan Universitas Gajah Mada.
(Kamseno, 2011)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
206
b) Gaya berbusana
Sebelum menguraikan gaya berbusana para politisi alumni PMG, ada
baiknya penulis sedikit mengulas tentang gaya berbusana para santri PMG yang
penulis anggap sangat unik dan tampak mempengaruhi gaya berbusana mereka
setelah menjadi alumni. Saat melakukan riset di PMG pada medio Februari 2014,
penulis melihat gaya berbusana para santri PMG sangat berbeda dengan gaya
berbusana para santri di pondok pesantren tradisional (salaf) pada umumnya. Jika
santri di pondok pesantren tradisional memiliki gaya berbusana unik dengan
mengenakan sarung dan baju kurung/koko dalam aktivitas sehari-harinya, maka
para santri PMG mengenakan celana kain panjang, jas, dan dasi sebagai pakaian
keseharian saat belajar di pondok. Rupanya, gaya berbusana para santri PMG itu
tak lepas dari sejarah PMG yang mencetuskan sistem pendidikan modern sejak
Trimurti mendirikannya.
Di masa-masa awal, sistem modern yang diterapkan di PMG tidak
mendapat sambutan yang baik. Sama halnya dengan kurikulum yang
menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris, seperti yang dipaparkan di atas,
penerapan gaya berbusana pun mendapat tantangan yang hebat dari masyarakat.
Selain
penggunaan
bahasa
asing,
penyelenggaraan
kegiatan-kegiatan
ekstrakurikuler, pelaksanaan disiplin yang ketat dengan pemberian sanksi kepada
santri yang melanggar menjadi sorotan tidak simpatik dari masyarakat. Apalagi
ada kebijakan para guru dan santri diwajibkan memakai jas, dasi, dan celana
panjang. Praktik pendidikan di pesantren semacam ini dianggap asing dan tidak
popular ketika itu. Akibatnya, Pondok Gontor menerima banyak kritik, gunjingan,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
207
dan ejekan. Tak hanya itu, ratusan santri yang mondok pun secara berbondongbondong meninggalkan Pondok Gontor, sehingga pada awal tahun pendirian
KMI, santri Gontor hanya tersisa 16 orang. (Zarkasyi, 2005:115)
Boleh jadi masyarakat ketika itu, terutama di kalangan pondok pesantren,
menganggap bahwa berpakaian dengan jas, dasi, dan celana merupakan bagian
tradisi orang asing yang mereka cap sebagai kafir. Padahal apapun yang menjadi
tradisi orang kafir menjadi haram untuk diikuti. Pandangan seperti ini sempat
penulis alami saat nyantri di pondok pesantren tradisional di Babakan Ciwaringin,
Cirebon, terutama karena adanya dalil yang menunjukkan hal tersebut. Di
antaranya adalah hadits: “Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
bagian dari mereka,” (HR. Ahmad 2:50 dan Abu Daud No. 4031). Selain itu
sebuah hadits: Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Bukan termasuk golongan kami siapa
saja yang menyerupai selain kami,” (HR. Tirmidzi No. 2695 Syaikh Al-Albani
mengatakan hadits ini hasan).
Pandangan tersebut, bagi kalangan muslim moderat tentu saja tidak
dipahami secara letterlijk (baca: leterlek), melainkan pada konteksnya. Bahwa
pakaian jas, dasi, dan celana merupakan pakaian biasa seperti pada umumnya
dengan manfaat yang sama. Apalagi jas, dasi, dan celana panjang yang dikenakan
para santri Gontor itu, tampaknya juga dipengaruhi oleh semangat perjuangan
para Bumiputra yang dimulai pada tahun 1914. Tentang hal ini penulis dapatkan
dari diskusi dan tulisan hasil riset berjudul Inlandsche Journalisten Bond (1914-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
208
1915): Melawan dengan Pena dan Busana yang ditulis Luthfi Adam, seorang
mahasiswa studi sejarah Asia tenggara di Northwestern University, Amerika
Serikat. Menurutnya, gaya berbusana ala Eropa ini, antara lain, terlihat ketika
rapat umum Sarekat Islam di Blitar pada 1914, dimana aktivis SI mengenakan
pakaian Eropa dan duduk di kursi. Disamping menulis dengan pena, gaya
berpakaian ala Eropa itu disebut sebagai lambang perlawanan terhadap politik
sosial yang dilancarkan penjajah Belanda. (Adam dalam remotivi.or.id)
Sekadar diketahui, sejak era VOC (1602-1700), pemerintah kolonial
mewajibkan tiap penduduk untuk mengenakan pakaian tradisional masingmasing, dan harus tinggal di kampung-kampung sesuai dengan etnis masingmasing. peraturan ini berlaku terutama di kota-kota kolonial, seperti Batavia dan
Semarang. Hal ini ditujukan agar memudahkan polisi kolonial melacak penjahat
karena tempat tinggal penjahat bisa dikenali melalui pakaiannya.
Saat ini, seperti yang penulis saksikan ketika observasi di PMG, para santri
begitu rapi dalam berpakaian dan sangat menjaga kebersihan. Rupanya, PMG
menerapkan peraturan yang sangat ketat dalam gaya berbusana bagi para
santrinya. Misalnya untuk kegiatan formal seperti saat belajar di kelas, para santri
PMG wajib mengenakan kemeja yang dimasukkan ke dalam celana kain panjang.
Bahkan untuk kegiatan formal lainnya dalam sebuah event penting, seperti saat
muhâdlarah dan Peringatan Hari Besar Islam, selain mengenakan kemeja dan
celana kain panjang, para santri juga mengenakan jas, dasi, dan kopiah atau peci.
Dan ketika shalat shalat berjamaah di masjid, penulis mendapatkan
fenomena unik. Untuk shalat berjamaah di masjid, para santri wajib mengenakan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
209
kemeja yang dimasukkan ke dalam sarung yang diberi ikat pinggang.
Tambahannya, para santi membawa sajadah di bahu kanan dan Al-Quran dibawa
dengan tangan kanan. Sementara tangan kiri membawa kantung sandal yang dibeli
di koperasi. Di kantung itu terdapat nama, kelas, rayon, dan konsulat agar tidak
tertukar. Sandal dimasukkan ke dalam kantung dimaksudkan untuk menjaga
kebersihan masjid dan menghindari perilaku ghashab atau meminjam tanpa izin.
Sepanjang berada di PMG, para santri dilarang untuk mengenakan celana
jeans. Bahkan untuk tidur pun, para santri dilarang untuk memakai celana
training. Celana training hanya digunakan saat berolah raga. Sementara ketika
tidur, para santri wajib mengenakan celana kain panjang yang diberi ikat
pinggang. Dan menariknya, di setiap aktivitas apapun, baik belajar, berolah raga,
saat hendak mandi, hingga tidur pun para santri harus mengenakan papan nama
(name tag) yang dikaitkan di dada sebelah kiri. Bagi para santri PMG, setiap
kegiatan memiliki tradisinya masing-masing. Setidaknya, hal ini sesuai dengan
ajaran yang mereka dapatkan:
yang
terjemahan bebasnya kurang lebih: setiap tempat ada perkataan dan setiap
perkataan ada tempatnya.
Ketatnya peraturan berbusana tersebut, secara perlahan menjadi tradisi
unik para santri PMG. Kebiasaan itu pun kerap dibawa hingga mereka sudah lulus
dari pondok. Tak heran jika para alumni PMG umumnya berpenampilan necis dan
rapi. Cirinya, baik mengenakan kaos atau kemeja harus dimasukkan ke dalam
http://digilib.mercubuana.ac.id/
210
celana yang diberi ikat pinggang. Sementara pada aktivitas formal, para alumni
PMG pun tak canggung mengenakan jas, dasi, dan peci.
Pun demikian saat penulis memperhatikan gaya berbusana para informan.
Baik pada informan pokok maupun informan kunci, penulis masih menemukan
tradisi berbusana PMG yang rapi. Hanya saja pada aktivitas nonformal, penulis
mendapati sejumlah informan ada yang mengenakan celana jeans, meski tetap saja
kaos atau kemeja yang dikenakannya dimasukkan ke dalam celana. Umumnya
celana jeans dikenakan oleh informan yang berusia muda seperti Imam Wahyudi
dan Dian Assafri. Bahkan informan angkatan 80-an seperti Helmi Hidayat dan
Husnan Bey Fananie pun kerap mengenakan celana jeans dalam aktivitas
nonformal.
“Saya suka berpenampilan casual saat santai. Meski untuk pakaian atas
mengenakan kemeja atau kaos, pilihan pakaian bawah lebih sering celana
jeans. Lebih simple saja, tidak formal meski juga tidak berpenampilan
biasa saja. Intinya sih saya mengenakan pakaian itu tergantung
aktivitasnya. (Wawancara Husnan Bey Fananie, September 2015)
c) Lembaga sebagai wadah beraktivitas
Penampilan seseorang seringkali merepresentasikan jenis aktivitas atau
lembaga di mana ia beraktivitas. Seorang anggota Tentara Nasional Indonesia,
misalnya, dalam aktivitas resminya pasti mengenakan seragam TNI. Begitu juga
seorang kiai yang penampilannya cenderung mudah dikenali melalui gaya
berbusananya. Atau seorang dosen yang penampilannya cenderung berbeda
dengan penampilan seorang wartawan atau karyawan pabrik.
Lain halnya dengan penampilan para alumni PMG. Mengingat lembaga
sebagai wadah beraktivitas para alumni PMG yang sangat beragam, penampilan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
211
mereka tidak bisa disama-ratakan. Alumni PMG merupakan status bukanlah
lembaga professional atau lembaga sosial. Alumni PMG juga bukanlah sebuah
aktivitas provesional atau sosial. Meski seorang alumni PMG yang berprofesi
sebagai ustadz atau pengasuh pondok pesantren umumnya akan berbeda gaya
berbusananya dengan alumni PMG yang seorang polisi atau karyawan kantor.
Hanya saja, pilihan lembaga yang kerap dimasuki para alumni PMG
umumnya cenderung sama, yakni lembaga pendidikan, dakwah dan sosial. Para
politikus alumni PMG tak melulu masuk dalam sebuah lembaga sosial, bahkan
umumnya mereka menjadi pendiri dari lembaga tersebut. Lembaga-lembaga
pendidikan, dakwah, atau lembaga sosial itu pada akhirnya bisa jadi pijakan
mereka untuk masuk ke dunia politik. Misalnya saja seorang Lookh Makhfudz
yang memiliki basis massa di kalangan majelis taklim. Menurutnya, melalui
majelis taklim itulah ia bisa dikenal publik dan pada akhirnya ia pernah terpilih
sebagai anggota DPRD Kota Malang atas dukungan suara dari anggota majelis
taklim. Apalagi kini ia pun memiliki sebuah pondok pesantren yang dikelolanya.
Adapun aktivitasnya di organisasi kemasyarakatan Muhammadiyah pun
menggiringnya untuk masuk sebagai kader Partai Amanat Nasional.
Sementara itu Helmi Hidayat memilih lembaga pendidikan dan dakwah
sebagai aktivitasnya. Selain menjadi dosen di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta dan dosen di Universitas Muhammadiyah Jakarta,
mantan redaktur Harian Umum Republika ini juga menjadi penceramah di majelis
taklim serta sejumlah televisi dan radio. Adapun Imam Wahyudi memilih
organisasi kemasyarakatan sebagai tempat beraktivitasnya. Saat ini, staf ahli salah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
212
seorang anggota DPR RI itu aktif di Yayasan Kembang Setaman Jakarta, PWNU
DKI Jakarta, dan PARMUSI (Persaudaraan Muslimin Indonesia). Sementara Dian
Assafri banyak terlibat dalam lembaga pemberdayaan masyarakat semacam AlQuran Center Az-Zahra dan LP2M Midada Center selain ia juga aktif di
organisasi kepemudaan seperti KNPI.
Aktifnya para alumni PMG di lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial itu,
menurut Chaider S. Bamualim, tidak terlepas dari pengaruh ajaran yang diterima
para alumni di PMG. Salah satunya adalah ajaran yang dikemukakan Pak Zar
bahwa beliau lebih suka jika santri PMG menjadi seorang imam (pemimpin) di
sebuah surau kecil dengan jamaah yang istiqâmah, dibanding menjadi imam
(pemimpin) di sebuah surau besar namun jamaahnya tidak istiqâmah.
“Ada juga pernyataan Pak Zar yang mengatakan bahwa saya tidak lebih
bangga memiliki santri yang jadi menteri atau pejabat tinggi ketimbang
mereka yang duduk di mushalla kecil dan membina umat. Sama saja
kebanggaannya. Artinya, orang yang pulang dan berdakwah mau bersusahsusah di masjid membina umat itu nilainya tidak lebih kecil daripada
menjadi menteri atau pejabat tinggi. Ini juga merupakan sikap dan
dorongan pimpinan pondok kepada santri yang kemudian menginspirasi
mereka untuk terlibat dalam aksi-aksi perubahan sosial. Statement itu tidak
ada kaitannya dengan politik, tapi sepertinya menginspirasi para
alumninya untuk bekerja di grass root. Dan siapapun yang bekerja di grass
root itu sebenarnya sedang membangun basis politik. Statement itu tidak
bermuatan politik tapi lebih pada filosofis bagaimana alumni harus
berperan di masyarakat dan berpengaruh pada kemuliaan seseorang”.
(Wawancara pada 9 Juni 2015)
Ajaran lainnya yang mendorong para alumni PMG berkiprah di lembaga
pendidikan, dakwah, dan sosial yang dianggap langsung bersentuhan dengan
masyarakat adalah pentingnya menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia
lainnya (khairunnâs anfa’uhum linnâs) serta pentingnya berjuang untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
213
kepentingan Islam dan umatnya. Terkait hal ini, Husnan Bey Fananie
mengemukakan:
“Ajaran yang sering kami dapat antara lain fî ayyi ardlin wa anta mas-ûlun
‘an islâmiha yang maknanya di manapun bumi dipijak, kamu bertanggung
jawab atas keislamanmu. Lebih lanjut lagi Pak Kiai sering mengatakan,
kalau kalian berjuang untuk agama di bidang apapun, maka kalian harus
berkorban. Berkorban itu adalah daya upaya yang kita keluarkan dengan
maksimal. Beliau mengatakan daya upaya itu bondo (harta), bahu
(tenaga), pikir (pikiran), lek perlu sak nyawane pisan (bila perlu nyawa).
Itu dikeluarkan untuk memberdayakan umat, membangun kekuatan
Islam”. (Wawancara pada 29 Maret 2015)
Tabel 4.2.1.1.b.
Penggunaan Istilah Bahasa Arab, Gaya Berbusana,
dan Lembaga Sosial Informan Pokok
NO
INFORMAN
Penggunaan
Istilah
Bahasa Arab
Gaya Berbusana
Lembaga Sosial
& Profesional
1
Hidayat Nur
Wahid
 Istilah dari
Bahasa Arab
digunakan dalam
komunikasi
keseharian
kepada sesama
pengurus dan
kader PKS serta
alumni PMG.
 Formal: Kopiah
(kadang tidak
berkopiah),
kemeja panjang,
batik, jas, dasi,
dan celana kain
panjang.
 Nonformal:
Tidak berkopiah,
kemeja pendek,
kaos berkerah,
celana kain
panjang.
 LP2SI Yayasan
Al-Haramain
 IKPM
 Badan Wakaf
PMG
 Forum Dakwah
Islam
2
Husnan Bey
Fananie
 Istilah dari
Bahasa Arab
digunakan dalam
komunikasi
keseharian
kepada alumni
PMG dan
kadang-kadang
kepada bukan
alumni PMG.
 Formal: Kopiah
(kadang tidak
berkopiah),
kemeja panjang,
batik, jas, dasi,
dan celana kain
panjang.
 Nonformal:
Tidak berkopiah,
kemeja pendek,
 Ketua Umum
Fananie Center
 PARMUSI
 IKPM
 Pondok Modern
Gontor
http://digilib.mercubuana.ac.id/
214
kaos berkerah,
kadang
mengenakan
celana jeans.
3
Helmi Hidayat
 Istilah dari
Bahasa Arab
digunakan dalam
komunikasi
keseharian
kepada alumni
PMG dan
kadang-kadang
kepada bukan
alumni PMG.
 Formal: Sering
tidak berkopiah,
kemeja
panjang/pendek,
batik, jas, dasi,
dan celana kain
panjang.
 Nonformal:
Tidak berkopiah,
kemeja pendek,
kaos berkerah,
kadang
mengenakan
celana jeans.
 Penceramah di
mejlis taklim,
radio, televisi,
dan aktif di
media sosial
 Yayasan Kamil
 UIN Jakarta
 UMJ
4
Lookh
Makhfudz
 Istilah dari
Bahasa Arab
digunakan dalam
komunikasi
keseharian
kepada alumni
PMG dan
kadang-kadang
kepada bukan
alumni PMG.
 Formal: Tidak
berkopiah,
kemeja, batik,
jas, dasi, celana
kain panjang.
 Nonformal:
Tidak berkopiah,
kemeja pendek,
kaos berkerah,
celana kain
panjang.
 Yayasan Ponpes
Al-Munawaroh,
Kota Malang
 Direktur Sahlan
Tour & Travel
 IKPM
 Fananie Center
5
Imam
Wahyudi
 Istilah dari
Bahasa Arab
digunakan dalam
komunikasi
keseharian
kepada alumni
PMG dan
kadang-kadang
kepada bukan
alumni PMG.
 Formal: Tidak
berkopiah,
kemeja
panjang/pendek,
batik, kadang
memakai jas dan
dasi, celana kain
panjang.
 Nonformal:
Tidak berkopiah,
kemeja pendek,
kaos berkerah,
kadang celana
jeans.
 Yayasan
Kembang
Setaman
 PWNU DKI
Jakarta
 PARMUSI
 IKPM
 PAMALAYU
6
Dian Assafri
 Istilah dari
Bahasa Arab
digunakan dalam
 Formal: Tidak
berkopiah,
kemeja panjang,
 Ketua LPPPM
Midada Center
 Pendiri Al-
http://digilib.mercubuana.ac.id/
215
komunikasi
keseharian
kepada alumni
PMG dan
kadang-kadang
kepada bukan
alumni PMG.
batik, kadang
memakai jas dan
dasi, celana kain
panjang.
 Nonformal:
Tidak berkopiah,
kemeja pendek,
kaos berkerah,
kadang celana
jeans.
Quran Center
“Az-Zahra”
 Pimpinan CV
Dian Artha
Persada
 KOSGORO
 KNPI
Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka konsep diri dalam sudut
pandang sebagai makhluk sosial dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.2.1.1.
Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran Sosial
http://digilib.mercubuana.ac.id/
216
4.2.1.2. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran
Politik
Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon yang merupakan
elemen terkecil dari sebuah negara. Bagi Aristoteles, kumpulan individu yang
membentuk masyarakat dan akhirnya memunculkan entitas negara adalah tujuan
sempurna zoon politicon sehingga mencapai kebaikan bersama. Politik, dalam arti
kata kesalinghubungan (interrelation) antarmanusia merupakan salah satu dimensi
terpenting dari manusia. Sementara itu dalam pandangan Aristoteles, politik
adalah kenyataan tak terelakkan dari kehidupan manusia. Kenyataan ini terlihat
dari berbagai aktivitas manusia, misalnya, ketika manusia berusaha menduduki
suatu jabatan tertentu, seseorang mencoba meraih kesejahteraan bagi dirinya atau
golongannya dengan berbagai sumber daya yang ada, atau juga seseorang atau
institusi yang berusaha memengaruhi seorang yang lain atau institusi lain.
Beberapa contoh tersebut adalah kenyataan politik dalam pemahaman seluasluasnya. Dalam bahasan keislaman, politik merupakan bagian tak terelakkan dari
posisi manusia sebagai al-khalîfah fil al-ardl (QS. Al-Baqarah [2]:30). Melalui
politik inilah manusia memiliki kesempatan beribadah kepada Allah ‘Azza wa
Jalla dengan cara memberikan maslahat bagi diri dan lingkungannya.
Jika setiap manusia adalah zoon politicon, maka demikian halnya dengan
para alumni PMG yang melakukan tindakan komunikasi politik. Menilik
pernyataan Aristoteles di atas, maka dapat dikatakan bahwa semua manusia
adalah komunikator politik. Hanya saja, harus diakui bahwa sedikit orang yang
dapat berkomunikasi politik secara tetap dan bersinambung. Hal ini bisa dilihat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
217
bahwa para komunikator politik lebih berbeda dengan masyarakat lainnya dalam
hal kesungguhan bila mereka berbicara dan berbuat politik. Menurut Dan Nimmo
dalam Rahmat (2011:58), ada tiga kategori komunikator politik yang paling
utama. Pertama, politikus sebagai komunikator politik; kedua, profesional sebagai
komunikator politik; dan ketiga, aktivis sebagai komunikator politik.
Mengingat informan pada penelitian ini adalah para pelaku politik yang
terlibat dalam sebuah partai politik, maka para alumni PMG yang menjadi
informan di sini masuk dalam kategori politikus sebagai komunikator politik. Dan
sebagaimana yang dipaparkan pada Bab II, poltikus dimaknai sebagai orang yang
bercita-cita untuk dan atau memegang jabatan pemerintah, tidak peduli apakah
mereka dipilih, ditunjuk, ataupun pejabat karir, dan tidak mengindahkan apakah
jabatan itu eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Sebagaimana yang dikemukakan
Daniel Katz (dalam Nimmo, 1989) bahwa politikus terbagi ke dalam dua hal yang
berbeda berkenaan dengan sumber kejuangan kepentingan politikus pada proses
politik, yaitu politikus ideolog (negarawan) dan politikus partisan.
Seorang politikus tidak terlepas dari keikutsertaanya dalam sebuah partai
politik. Menurut Anwar Arifin (2011:28), komunikasi politik berkaitan juga
dengan partai politik, karena partai politik di negara demokrasi menyelenggarakan
fungsi sebagai sarana komunikasi politik. Selain itu partai politik juga berfungsi
sebagai sarana sosialisasi politik dan rekrutmen politik tergantung pada
komunikasi politik. Komunikasi politik menyentuh semua aspek sistem politik
dan berperan dalam aktivitas partai politik, di antaranya pemikiran politik,
pembicaraan politik, dan tindakan politik. Sedangkan partai politik menjadi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
218
jembatan arus informasi timbal balik dari “mereka yang memerintah” (the rules)
dengan “mereka yang diperintah” (the ruled). Dalam menjalankan fungsinya
itulah maka partai politik dapat menjadi bursa ide-ide (clearing house of ideas)
yang hidup dan dinamis.
Secara umum Miriam Budiardjo (2010:404) mengungkapkan bahwa partai
politik memiliki basis sosiologis, yaitu ideologi atau cita-cita dan kepentingan
yang diarahkan untuk memperoleh kekuasaan. Hal itu penting agar setiap partai
dapat membangun citra dirinya dengan para pendukungnya. Sementara itu
pengertian partai politik juga dirumuskan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik, bahwa partai politik adalah organisasi politik yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara suka rela atas
dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan
anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum.
Berdasarkan formulasi UU tadi, partai politik memiliki kedudukan yang
sangat strategis, terutama karena hanya partai politik atau gabungan partai politik
sajalah yang boleh mengajukan calon presidan dan wakil presiden untuk dipilih
oleh rakyat dalam pemilihan presiden (pilpres). Demikian juga partai politik
menetapkan calon-calon anggota legislatif untuk dipilih secara langsung oleh
rakyat dalam pemilihan umum berdasarkan suara terbanyak. (Arifin, 2011:31)
Lebih lanjut Arifin menjelaskan bahwa dalam mencapai tujuan politiknya,
partai politik harus merebut pengaruh dalam masyarakat melalui pencitraan
pembentukan Opini Publik serta memenangkan pemilihan umum dengan cara
melakukan komunikasi politik dalam bentuk lobi, sosialisasi, retorika, kampanye,
http://digilib.mercubuana.ac.id/
219
dan kegiatan lainnya. Oleh karena itu kemantapan lembaga partai politik sangat
penting dan strategis, karena partai politik akan tampil sebagai komunikator yang
terlembagakan berdasarkan paradigma mekanistis dalam komunikasi politik. Hal
itu akan menjadi masalah bagi kehidupan demokrasi jika para aktor politik
(politikus) itu tidak memiliki kompetensi dalam mengelola partai politik dan
melakukan komunikasi politik yang efektif. (Arifin, 2014:196)
a. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Politikus Ideolog
Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politiknya
lebih memperjuangkan kepentingan bersama atau publik. Mereka tidak
begitu terpusat untuk mendesakkan tuntutan seorang langganan atau
kelompoknya, tetapi dia lebih memfokuskan dirinya atau pesan-pesannya
untuk hal yang lebih luas dengan kebijakannya dari mulai mengupayakan
reformasi
bahkan
sampai
mendukung
untuk
perubahan
yang
revolusioner—sepanjang hal itu mendatangkan kebaikan untuk bangsa dan
negara.
Anwar Arifin (2014:20) mengupas definisi ideologi berdasarkan
pandangan para ahli. Pada umumnya, menurut Walsky, istilah ideologi
digunakan untuk mencerminkan suatu pandangan hidup atau sikap mental
dalam bidang politik. Secara khusus, Adorno mengartikan ideologi sebagai
suatu perangkat pandangan, serta sikap-sikap dan nilai-nilai, atau suatu
orientasi berpikir tentang manusia dan masyarakat yang dapat dimiliki
seseorang juga dimiliki bersama oleh anggota masyarakat. Ideologi juga
dapat mengandung asumsi dan kumpulan keyakinan tentang lingkungan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
220
sosial politik yang mungkin belum teruji kebenarannya. Ideologi biasanya
diwarnai oleh emosi dan penuh dengan mitos, sistem kepercayaan, dan
nilai-nilai.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, semua informan memiliki
dasar ideologi kuat untuk berkiprah di partai politik. Ideologi itu muncul
atas dasar dorongan untuk memajukan dan menyejahterakan umat, bangsa,
dan negara. Kata “umat” biasanya beriringan dengan kata “bangsa” yang
menandakan bahwa para informan memahami posisi umat Islam sebagai
masyarakat dominan di Indonesia. Ideologi itu sendiri menjadi tampak
seragam karena para informan sama-sama menerima falsafah dan nilainilai yang diajarkan para ustadz di PMG. Artinya, disadari atau tidak,
melalui falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan itu PMG sesungguhnya
telah menanamkan doktrin agar para santrinya menjadi para pemimpin
umat. Hal ini tampaknya disadari betul oleh DR. Hidayat Nur Wahid, MA
yang saat ini menjadi Wakil Ketua MPR RI:
“PMG memang didirikan untuk membentuk calon-calon pemimpin
umat dan bangsa di masa depan. Kegiatan sehari-hari di PMG kan
memang menandakan hal itu. Dari sejak awal, misalnya, kami
dididik seputar berpengetahuan luas, berpikiran bebas,
persaudaraan, akhlak mulia, dan lainnya. Tapi kemudian hal itu
dibingkai dengan perilaku sehari-hari seperti yang tadinya eksklusif
digabungkan dalam satu kamar atau konsulat dan berbaur dengan
kawan-kawan dari berbeda daerah”. (Wawancara pada 20 Oktober
2015)
Salah satu ajaran yang mereka dapatkan antara lain kalimat dalam
Bahasa Arab, khairunnas anfa’uhum linnas wa ahsanu khuluqan atau
jargon-jargon yang kerap dimunculkan saat nyantri seperti “siap
http://digilib.mercubuana.ac.id/
221
memimpin dan siap dipimpin”. Hal ini diungkapkan Lookh Makhfudz
yang merupakan Ketua DPD PAN Kota Malang berikut ini:
“Jadi jargon-jargon seperti ready to be right and ready to be left,
itu memang selalu dikemukakan di PMG. Seperti juga jargon “siap
memimpin dan siap dipimpin.” Pemimpin dalam arti yang luas,
sekalipun jadi guru ngaji. Karena yang penting adalah bermanfaat
bagi umat. Sehingga, khairunnâs anfa’uhum linnâs wa ahsanu
khuluqan itu menjadi doktrin agar kita bermanfaat bagi manusia”.
(Wawancara Lookh Makhfudz pada 20 Oktober 2015)
Pada konteks yang sama, Imam Wahyudi yang berkiprah di salah
satu organisasi yang menjadi sayap PDIP menyatakan sikapnya berpolitik,
yakni untuk meninggikan kalimat Allah yang kalimat lengkap dalam
Bahasa Arabnya adalah: li i’lâi kalimâtillâh wa li’izzil islâm wal muslimîn.
Kalimat yang bermakna: “untuk meninggikan kalimat Allah di muka bumi
ini serta untuk memuliakan Islam dan umatnya” itu bahkan sering didengar
para santri PMG dalam setiap doa yang disampaikan para ustadz dan
pengasuh pondok.
“Iya. Itu sangat melekat dalam diri santri. Utamanya saya. Sebelum
saya keluar dari Gontor, saya sempat mengabdi setahun. Dan
menjelang akhir pengabdian itu kami dipanggil Pak Syukri dan
ditanya satu persatu. Beliau menetapkan 3 pesan, salah satunya
perkuat ukhuwah Islamiyah dengan rajin silaturrahim. Arti
silaturrahim itu luas, antara lain membangun jejaring sosial,
membangun komunitas, organisasi, lembaga antar agama dan lain
sebagainya. Maknanya cukup luas. Namun jangan lupa bahwa misi
utamanya adalah li i’lâi kalimâtillah.” (Wawancara Imam Wahyudi
pada 3 Juni 2015)
Pandangan ini juga diutarakan DR. H. Husnan Bey Fananie, MA.
Menurut Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan ini, falsafah dan nilainilai yang diajarkan PMG menjadi pijakan kuat bagi para alumninya untuk
http://digilib.mercubuana.ac.id/
222
mengarungi kehidupan di luar pondok, termasuk di bidang politik. Dan
salah satu ajaran yang menjadi sandaran para alumni PMG dalam
berpolitik adalah Fî ayyi ardlin wa Anta mas-ûlun ‘an Islâmihâ:
“Banyak ajaran yang diberikan dan salah satu yang paling jelas
adalah: Fî ayyi ardlin wa Anta mas-ûlun ‘an Islâmihâ. Artinya, di
manapun bumi dipijak, kamu bertanggung jawab atas
keislamanmu. Pak Kiai sering mengatakan, kalau kalian berjuang
untuk agama di bidang apapun, maka kalian harus berkorban.
Berkorban itu adalah daya upaya yang kita keluarkan dengan
maksimal. Beliau mengatakan daya upaya itu bondo (harta), bahu
(tenaga), pikir (pikiran), lek perlu sak nyawane pisan (bila perlu
nyawa). Itu dikeluarkan untuk memberdayakan umat, membangun
kekuatan Islam”. (Wawancara Husnan Bey Fananie pada 29 Maret
2015)
b. Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Politikus Partisan
Politikus partisan adalah orang-orang yang melakukan komunikasi
sebagai wakil suatu kelompok dan apa yang disampaikannya berupa
pesan-pesan untuk melindungi tujuan dan kepentingan politik dirinya
maupun kelompoknya. Dalam makna yang lain, Politikus Partisan adalah
mereka yang mengidentifikasi diri sebagai wakil kelompok yang lebih banyak
melindungi atau mendahulukan kepentingan kelompok atau pribadi.
Meski para informan mengaku memiliki dasar ideologi kuat dalam
mengarungi dunia politik, namun pada perjalanannya kemudian para
informan terlihat memiliki kecenderungan untuk berada di kelompok
politikus partisan. Bahkan beberapa di antaranya memiliki kecenderungan
yang kuat sebagai politikus partisan. Falsafah dan nilai-nilai yang
diajarkan para ustadz di PMG memang menjadi bekal, akan tetapi tujuan
meraih kekuasaan pun turut mengemuka bersamaan dengan pengalaman
http://digilib.mercubuana.ac.id/
223
mereka berpolitik. Apalagi posisi mereka sebagai politikus yang berada
dalam lingkaran partai politik mengharuskan mereka jadi representasi
partai yang dibelanya itu. Hal tersebut antara lain tampak pada posisi
Imam Wahyudi yang memang mempersiapkan diri untuk menjadi bagian
dari sebuah partai politik.
“Saya ambil studi S1 itu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP). Selain itu saya juga pernah aktif di HMI dan saya kira
untuk menjadi seorang pemimpin, baik sebagai bupati, gubernur,
presiden, atau anggota DPR RI, maka saat ini cara yang paling
mainstream adalah melalui partai politik. Sepertinya sudah naluri
saya ingin terjun di partai politik untuk menjadi pribadi yang
bermanfaat bagi orang lain”. (Wawancara Imam Wahyudi pada 3
Juni 2015)
Kiprah Imam di kancah politik memang by design. Ia ingin selalu
berada di tengah-tengah masyarakat untuk lebih memaksimalkan potensi
diri dan bermanfaat bagi orang lain, ingin turut mencerdaskan kehidupan
bangsa dan memakmurkan masyarakat. Dan untuk mencapai itu pilihannya
adalah masuk ke partai politik sebagai washilah. Hingga kini upaya itu
terus ingin diwujudkannya. Salah satunya ia pernah menjadi caleg tingkat
provinsi di Bangka Belitung meski gagal. Belakangan ia mengakui akan
menjadi anggota DPRD Bangka Belitung dalam proses Pergantian Antar
Waktu (PAW) sesuai kesepakatan yang diterimanya di tingkat partai.
Imam bercita-cita jika nanti ia menjadi anggota dewan dalam satu periode
saja, ia berencana maju pada pencalonan bupati atau gubernur. Upaya yang
akan dilakukaannya nanti adalah terus menciptakan track record baik
semaksimal mungkin di tengah-tengah masyarakat. Tujuannya, tentu saja
http://digilib.mercubuana.ac.id/
224
agar ia mendapat simpatik dari masyarakat dan memudahkannya untuk
meraih kekuasaan yang lebih tinggi di daerahnya.
Hal yang sama juga terjadi pada Lookh Makhfudz. Aktivitasnya
sebagai seorang da’i membuatnya mudah dikenal masyarakat Kota
Malang. Bahkan ia memiliki konstituen politik yang berbasis majelis
taklim. Maka tak heran jika pada periode 2009-2014 Lookh terpilih
sebagai anggota DPRD Kota Malang. Lookh mengakui jika pemilih
“tradisionalnya” adalah jamaah majelis taklim, meski pada kenyataannya
jamaah itu pun tak selalu menjadi pendongkrak suara baginya. Hasilnya,
pada periode 2014-2019 Lookh tak lagi terpilih sebagai anggota legislatif.
Bagi Lookh yang seorang da’i, meraih kekuasaan di politik adalah bonus
yang harus diraih. Kekuasaan yang dicapainya di panggung politiknya
diyakininya akan mampu memperkuat dakwah yang dilakukannya selama
ini.
“Karena dakwah ada yang dilakukan dengan power (tangan), lisan,
dan doa. Dan kami ini masuk pada level dakwah dengan power.
Bukankah muslim yang kuat lebih disukai dibandingkan muslim
yang lemah? Nah kami berada di level muslim yang memiliki
power. Itu alasan mendasar”. (Wawancara Lookh Makhfudz pada
20 Oktober 2015)
Sementara Dian Assafri yang merupakan aktivis pendidikan pada
akhirnya harus memilih partai politik sebagai vehicle untuk meraih posisi
yang lebih baik di tengah masyarakat. Pada pemilu 2014, misalnya, Dian
mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Dapil Jabar
II Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat dengan nomor urut
http://digilib.mercubuana.ac.id/
225
8. Pencalonan dirinya itu dirasakannya sebagai aplikasi dari pemahaman
dirinya tentang kekuasaan dan politik. Baginya, kekuasaan dan politik
sebenarnya saling berkaitan karena tujuan politik itu adalah mencapai
kekuasaan. Meski baginya, kekuasaan bukanlah segalanya di dalam
berpolitik. Ia berpendapat, keberhasilan menjadi penguasa dalam politik
itu ketika seseorang bisa menjaga amanah masyarakat dan setiap kegiatan
politik dapat bermanfaat bagi masyarakat.
“Saya ini anak muda. Sebagai anak bangsa, saya harus peduli
politik. Saya tidak mau hanya jadi penonton. Tapi saya ingin ikut
andil. Jika negara ini salah urus maka saya ikut bertanggung jawab.
Tetapi jika negara ini maju, maka saya juga bertanggung jawab.
Pikiran peduli politik pada waktu itu masih sebatas dalam konteks
kepentingan kebangsaan secara umum. Setelah memutuskan peduli
politik, saluran tertinggi dalam politik adalah ikut partai politik.
Pada tahap ini muncul lagi pertimbangan baru dalam rasionya: saya
ini harus ikut partai apa?” (Wawancara Dian Assafri pada 20
Oktober 2015)
Yang menarik, sosok Helmi Hidayat yang tak begitu “peduli”
dengan posisinya di PDIP sebagai salah satu ketua Baitul Muslimin, pada
akhirnya harus sering mengikuti aktivitas partai politiknya. Meski
mengaku tak terlalu aktif dalam kegiatan partai, namun Helmi harus “turun
tangan” saat partai membutuhkannya dalam beberapa kegiatan. Misalnya
Helmi kerap diutus untuk mengikuti undangan bertema keagamaan dalam
sebuah seminar atau lainnya. Bahkan, Helmi pernah menjadi khatib pada
shalat Id.
“Saya baru pulang dari Filipina. Sebenarnya itu undangan untuk
partai (PDIP). Coba bayangkan, dari sekian banyak orang di PDIP,
lha kok saya yang sudah lama tidak aktif malah diundang. Mereka
tahu (kapasitas saya). Kenapa tidak mereka ini yang diutus ke
http://digilib.mercubuana.ac.id/
226
Filipina. Karena Bahasa Inggrisnya jeblok. Tapi kalau disuruh
debat, mereka jago semua dan memang kerjaannya itu. Dan banyak
partai seperti itu. Yang pintar itu sedikit”. (Wawancara Helmi
Hidayat pada 31 Maret 2015)
Begitu pula halnya ketika ia harus terlibat sebagai tim pemenangan
Joko Widodo, baik ketika dicalonkan sebagai gubernur DKI Jakarta
maupun presiden. Bahkan ia mengaku harus menjadi think tank dalam
sebuah acara debat dan seminar. Sebagai ketua Baitul Muslimin, Helmi
mengenalkan kepada masyarakat bahwa Jokowi itu pro kepada rakyat
kecil, pengusaha kecil, karena dia berangkat dari seorang pengusaha kecil,
berbeda dengan Prabowo yang sejak awal sudah kaya raya. Atas perannya
itu tak jarang Helmi harus berseberangan dengan rekan-rekannya sesame
alumni PMG yang umumnya lebih banyak berada di kubu berseberangan
dengannya.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, maka alumni PMG secara
umum berdiri pada posisi politikus ideolog sekaligus politikus partisan,
meski dengan kecenderungan yang berbeda. Meski seluruh informan
memiliki ideologi berpolitik yang jelas, namun pada praktiknya ada
beberapa informan yang memiliki kecenderungan lebih besar untuk
bersikap sebagai politikus partisan dibandingkan informan lainnya.
Adapun kategorisasi para alumni PMG sebagai komunikator politik dapat
digambarkan sebagai berikut:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
227
Gambar 4.2.1.2.
Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Dalam Peran Politik
4.2.2. Tindakan Politik Alumni Pondok Modern Gontor
Alfred Schutz merupakan orang pertama yang mencoba menjelaskan
bagaimana fenomenologi dapat diterapkan untuk mengembangkan wawasan ke
dalam dunia sosial. Schutz memusatkan perhatian pada cara orang memahami
kesadaran orang lain, akan tetapi ia hidup dalam aliran kesadaran diri sendiri.
Perspektif yang digunakan oleh schutz untuk memahami kesadaran itu dengan
konsep intersubyektif. Yang dimaksud dengan dunia intersubyektif ini adalah
kehidupan-dunia (life-world) atau dunia kehidupan sehari-hari. (Ritzer, George
dan Douglas J. Goodman, 2007:94)
Dunia kehidupan sehari-hari ini membawa Schutz mempertanyakan sifat
realitas sosial para sosiolog dan siswa yang hanya peduli dengan diri mereka
http://digilib.mercubuana.ac.id/
228
sendiri. Dia mencari jawaban dalam kesadaran manusia dan pikirannya. Baginya,
tidak ada seorang pun yang membangun realitas dari pengalaman intersubyektif
yang mereka lalui. Kemudian, Schutz bertanya lebih lanjut, apakah dunia sosial
berarti untuk setiap orang sebagai aktor atau bahkan berarti baginya sebagai
seorang yang mengamati tindakan orang lain? Apa arti dunia sosial untuk
aktor/subjek yang diamati, dan apa yang dia maksud dengan tindakannya di
dalamnya? Pendekatan semacam ini memiliki implikasi, tidak hanya untuk orang
yang kita pelajari, tetapi juga untuk diri kita sendiri yang mempelajari orang lain.
Instrumen yang dijadikan alat penyelidikan oleh Schutz adalah memeriksa
kehidupan batiniyah individu yang direfleksikan dalam perilaku sehari-harinya.
(Campbel, 1994:233)
Schutz meletakkan manusia dalam pengalaman subyektif dalam bertindak
dan mengambil sikap di kehidupan sehari-harinya. Dimensi makna yang baru
akan membentuk tema baru yang berfungsi sebagai alternatif untuk persepsi.
Dalam mengoreksi pengalaman sadar, kita seringkali dipengaruhi oleh pandangan
orang lain terhadap objek yang diamati. Secara naruli pun kita cenderung
membandingkan persepsi yang kita miliki dengan persepsi orang lain
(intersubyektivitas). (Kuswarno, 2009:50)
Schutz mendasarkan tindakan sosial pada pengalaman, makna dan
kesadaran. Begitu pula halnya dengan para alumni Pondok Modern Gontor yang
tampil sebagai seorang aktor, bahwa tindakan politiknya akan sangat bermakna,
dan telah melalui proses penafsiran dalam dirinya serta berdasarkan pengetahuan
yang dimiliki olehnya. Maka untuk lebih dalam memahami arti tindakan politik
http://digilib.mercubuana.ac.id/
229
alumni PMG, penulis perlu memberikan pemahaman tentang motif, kesadaran,
dan bagaimana keseharian yang dilakukan dalam proses pembentukan dunia
politik mereka.
4.2.2.1. Motif Politik Alumni Pondok Modern Gontor
Lebih lanjut, Schutz menyebutnya dengan konsep motif. Yang oleh
Schutz dibedakan menjadi dua pemaknaan dalam konsep motif. Pertama,
motif in order to dan kedua, motif because. Motif in order to ini adalah
motif yang dijadikan pijakan oleh sesorang untuk melakukan sesuatu yang
bertujuan mencapai hasil. Sedangkan motif because merupakan motif yang
melihat kebelakang. Secara sederhana bisa dikatakan pengidentifikasian
masa
lalu
sekaligus
menganalisisnya,
sampai
seberapa
banyak
memberikan kontribusi dalam tindakan selanjutnya. (Campbel, 1994:270)
Schutz berpandangan bahwa tindakan subyektif para aktor tidak
muncul begitu saja, tetapi harus melalui proses panjang. Dengan kata lain
bahwa sebelum masuk pada tataran motif in order to, maka menurut
Schutz ada tahapan motif because yang mendahuluinya. Seperti halnya
yang terjadi pada alumni PMG sebagai aktor politik, bahwa setiap
tindakannya mengandung makna yang tersurat maupun tersirat. Dalam
keterlibatannya sebagai politikus, tindakan yang dilakukan alumni PMG
mengandung unsur yang disampaikan oleh Schutz.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
230
a) Meneruskan Tradisi
Berdasarkan penelusuran yang dilakukan terhadap para informan,
penulis menemukan adanya sejumlah motif yang mendukung mereka
terjun ke kancah politik. Salah satunya, informan mengaku berpolitik
dilatari motif untuk meneruskan tradisi yang muncul di keluarga atau
lingkungan sekitar. Melalui motif tersebut, para informan menyadari
pentingnya berpolitik sebagai sebuah cara untuk melakukan tindakan nyata
dalam upaya berkontribusi dalam memakmurkan dan menyejahterakan
umat dan bangsa. Motif ini muncul sebagai because of dalam persepsi
Schutz yang menjadi latar belakang informan dalam bertindak di kancah
politiknya.
Dari sejumlah informan pokok yang dieksplorasi penulis, motif
berpolitik untuk meneruskan tradisi ini terdapat pada diri DR. H.M.
Hidayat Nur Wahid, MA dan DR. Husnan Bey Fananie, MA. Secara
eksplisit, misalnya, motif ini dikemukakan DR. H.M. Hidayat Nur Wahid,
MA sebagai berikut:
“Motifnya terutama ingin melanjutkan peran umat Islam dalam
sejarah negeri ini. Sejak dulu mereka sudah berperan dalam
mendidik dan memajukan bangsa Indonesia, termasuk di bidang
politik. Salah satu tokoh yang disebut sebagai guru politik bangsa
Indonesia adalah HOS Cokroaminoto. Selain itu para tokoh Islam
juga sangat tampak dalam BPUPKI yang terlibat dalam penentuan
tanggal, asas negara, Piagam Jakarta. Umat Islam juga ada saat
menghadirkan Resolusi Jihad, menghadirkan Hari Pahlawan, dan
lain-lain. Termasuk juga menggagalkan kudeta komunis dan
reformasi. Nah, saya ingin melanjutkan peran itu dan menjaga
keberlangsungan peran umat Islam melalui jalur politik karena
banyak kepentingan umat yang bisa diperjuangkan melalui politik.
Itu yang sedang kami kerjakan saat ini”. (Wawancara Hidayat Nur
Wahid pada 20 Oktober 2015).
http://digilib.mercubuana.ac.id/
231
Motif yang dikemukakan Hidayat bukanlah tanpa pemikiran
panjang atau alasan yang dibuat secara tiba-tiba. Apalagi jika melihat latar
belakang pendidikan, pengalaman organisasi, dan keluarganya yang
merupakan para aktivis dakwah yang tak segan turun membina umat.
Hidayat yang dilahirkan pada 8 April 1960 M atau bertepatan dengan 9
Syawal 1379 Hijriyah di Dusun Kadipaten Lor, Desa Kebon Dalem Kidul,
Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, berasal dari
keluarga pemuka agama. Kakeknya dari pihak ibu adalah tokoh
Muhammadiyah di Prambanan, sementara ayahnya H. Muhammad Syukri,
meskipun
berlatar
Nahdhatul
Ulama,
juga
merupakan
pengurus
Muhammadiyah. Sementara Ny. Siti Rahayu, ibunda Hidayat, adalah
aktivis Aisyiyah, organisasi kewanitaan Muhammadiyah. Motif itu
semakin tumbuh saat ia mulai gemar membaca buku-buku sejarah Islam.
Tak hanya sejarah Islam di Indonesia, tetapi juga sejarah Islam di luar
negeri, utamanya sejarah Islam sejak zaman Rasulullah Saw., era
Khulafâur Râsyidin, Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyah, hingga politik
Islam di era kekinian.
Sementara itu, motif yang hampir sama ditemukan pada sosok DR.
H. Husnan Bey Fananie, MA. Salah satu ketua DPP Partai Persatuan
Pembangunan itu mengaku tindakan politiknya dipengaruhi rekam jejak
sang kakek, KH. Zainuddin Fananie. Di tahun 1923, sang kakek yang
merupakan salah seorang Trimurti pendiri Pondok Modern Gontor, diutus
http://digilib.mercubuana.ac.id/
232
menjadi
Konsul
Muhammadiyah
Sumatra
Bagian
Selatan
(juga
mendirikan organisasi Muhammadiyah di Bengkulu) bersama dengan 2
sahabatnya, Buya Hamka (Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Timur
kemudian Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Barat) dan KH. A.
Malik Siddik (Konsul Muhammadiyah Sumatra Bagian Tengah).
(Fathurrohman, 2014:10)
Di Sumatra inilah KH. Zainuddin Fananie yang dijuluku Tuan
Guru dari Jawa itu menikahi putri seorang terpandang dari masyarakat
Payakumbuh. Menurut penuturan Husnan kepada penulis, KH. Zainuddin
Fananie ini pula yang pernah menikahkan Soekarno dengan Fatmawati
saat Presiden RI pertama itu menjadi orang buangan di Bengkulu.
Perjuangan KH. Zainuddin Fananie lebih terasa saat bersama masyarakat
Sumatra bergerilya melawan Nippon. Karir politiknya berlanjut di Jakarta
saat Soekarno mengangkatnya sebagai pejabat tinggi di Jawatan Sosial.
Menurut Husnan, apa yang dilakukan kakeknya adalah cerminan
perjuangan seorang muslim yang berjuang untuk kehidupan umat Islam.
Terlebih pada saat itu umat Islam tengah ditekan, ditindas, dan dijajah oleh
Belanda dan Jepang. Hal yang sama pun dilakukan oleh para santri dan
kiai yang tak pernah lelah berjuang demi kemerdekaan negeri ini. Bahkan
perjuangan umat Islam tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di
negara lainnya, termasuk Pakistan.
“Saat saya kuliah di Pakistan, saya melihat di mana-mana umat
Islam dalam keadaan lemah, terutama dalam konteks politik,
ekonomi, dan budaya. Tolok ukurnya adalah Pakistan, dimana
Pakistan merupakan sebuah Republik Islam yang didirikan Ali
http://digilib.mercubuana.ac.id/
233
Jinnah dan didukung Muhammad Iqbal, seorang pemikir yang
memiliki ide two nations yang memisahkan negara Hindu dan
negara Islam. Dari situlah saya melihat bahwa ternyata umat Islam
perlu dan harus memiliki kekuatan politik”. (Wawancara Husnan
pada 29 Maret 2015)
b) Meraih Kekuasaan
Dari eksplorasi yang dilakukan, penulis menemukan fakta semua
informan memahami bahwa meski tujuan berpolitik adalah kekuasaan,
namun kekuasaan bukanlah tujuan utamanya. Mereka memaknai jika
definisi Harold D. Lasswell bahwa politics is who gets what, when, and
how atau politik hanya untuk meraih kekuasaan haruslah diletakkan pada
tempat yang sebenarnya, yakni untuk berkontribusi pada upaya
menyejahterakan masyarakat. Motif meraih kekuasaan dijadikan because
untuk meraih tujuan sebenarnya. Imam Wahyudi berikut ini dapat
mewakili pernyataan di atas:
“Bagaimanapun dalam berorganisasi kita memiliki target-target dan
puncaknya adalah sebagai ketua umum. Sementara di partai politik,
capaian akhirnya adalah kekuasaan. Dan jika sudah memiliki
kekuasaan, maka untuk mengartikulasikan keinginan akan lebih
mudah. Kita bisa menggunakan kekuasaan untuk mengubah
sesuatu ke arah yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain”.
(Wawancara Imam Wahyudi pada 3 Juni 2015)
Sementara itu, Dian Assafri sangat memahami jika politik dan
kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Keduanya saling berkaitan karena
tujuan
umum
seseorang
berpolitik
adalah
meraih
kekuasaan.
Pemahamannya itu kemudian diwujudkannya dengan mengikuti Pemilu
2014 sebagai calon anggota DPRD Provinsi Jawa Barat Dapil Jabar II
http://digilib.mercubuana.ac.id/
234
Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat dengan nomor urut 8.
Lebih jelasnya Dian mengatakan:
“Pencalonan diri saya itu merupakan aplikasi dari pemahaman saya
tentang kekuasaan dan politik. Bagi saya, kekuasaan dan politik
sebenarnya saling berkaitan karena tujuan politik itu adalah
mencapai kekuasaan. Meski demikian, kekuasaan bukanlah
segalanya di dalam berpolitik. Sebenarnya, menurut saya,
keberhasilan menjadi penguasa dalam politik itu adalah ketika
seseorang bisa menjaga amanah masyarakat dan setiap kegiatan
politik dapat bermanfaat bagi masyarakat”.
Demikian pula halnya dengan Helmi Hidayat. Meski ia mengaku
tidak begitu peduli dengan perjalanan karir politiknya di PDIP, namun ia
mengaku jika ada kesempatan dipercaya memiliki kekuasaan, ia pun akan
meraihnya. Helmi mengatakan:
“Saya realistis. Akhirnya saya berpikir, kan memang khittah
awalnya ingin berdakwah, kenapa saya jadi gila kekuasaan juga?
Tapi, kekuasaan kan tidak hanya menjadi anggota DPR kan?
Misalnya saya diminta menjadi staf ahlinya Jokowi, speech writer
atau apa, tentu saya mau. Kan memang itu tujuannya. Kalau saya
jawab tidak dan tiba-tiba iya, kan saya jadi munafik. Maka
sejujurnya saya katakana iya. Kalaulah kekuasaan jangan dibatasi
sebagai anggota DPR saja. Kan banyak ya… mungkin duta besar
dari PDIP, tidak apa-apa. Saya berprinsip, jika kita punya power,
maka itu lebih baik. Al-mu’minul qawiy khairun minal mu’minudh
dha’if. Harus realistis. Rasulullah juga kan membangun jaringan di
Madinah. Kenapa tidak?” (Wawancara Helmi Hidayat pada 31
Maret 2015)
Pendapat yang hampir sama juga dilontarkan Husnan Bey Fananie
bahwa dalam konteks politik praktis, capaiannya adalah kekuasaan.
Menurutnya, dalam konteks umum, politik itu merupakan cara untuk
mencapai suatu tujuan termasuk pengaruh. Namun baginya, politik
menjadi suatu cara penyampaian ideologi, asas, pemahaman, ide-ide
http://digilib.mercubuana.ac.id/
235
keislaman. Demikian yang dipahami atas ajaran yang diterimanya saat
nyantri di PMG. Menurutnya, PMG memang telah melakukan politik
pendidikan dengan mencetak manusia-manusia handal yang paham dan
mengerti kehidupan islami dan memberdayakan umat. Sementara bagi
Hidayat Nur Wahid, ia perlu terjun ke kancah politik dengan alasan supaya
ia bisa turut memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat Islam.
Hidayat memilih untuk tidak masuk ke dalam partai politik yang sudah
eksis, karena partai politik yang ada dirasa tidak cukup untuk mewadahi
aspirasi umat tersebut. Bersama beberapa tokoh, Hidayat tampil sebagai
deklarator Partai Keadilan (PK) di tengah hiruk pikuk era Reformasi.
Berdirinya PK memiliki makna lain bahwa ia ingin mencapai tujuannya
antara lain dengan meraih kekuasaan melalui partai politik.
Bagi penulis, jika meraih kekuasaan adalah motif because bagi
Imam Wahyudi, Dian Assafri, Lookh Makhfudz, dan Helmi Hidayat, maka
motif meraih kekuasaan bagi Husnan Bey Fananie dan Hidayat Nur Wahid
menjadi because 2 atau alasan ke-2 yang memperkuat alasan pertama.
Motif meneruskan tradisi yang hadir di awal keduanya masuk di dunia
politik kemudian diperkuat dengan motif ingin meraih kekuasaan.
c) Menyejahterkan Umat
Seperti yang telah dipaparkan di atas, ketika di pondok semua
informan pada penelitian ini dibekali ilmu dan pengetahuan tentang
keislaman dan kepemimpinan. Pondok Modern Gontor dalam pandangan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
236
para informan berperan besar dalam proses pembentukan motif mereka
berpolitik. Peran itu muncul seiring dengan falsafah dan nilai-nilai yang
diajarkan terkait pentingnya membela dan menyejahterkan umat,
bermanfaat bagi sesama, dan meninggikan kalimatullah dalam kehidupan.
Untuk mendukung ajaran-ajaran tertulis, PMG pun memberlakukan
kegiatan yang berorientasi pada pembentukan karakter kepemimpinan
dengan menerapkan keterampilan dan kedisiplinan. Tak heran jika
kemudian para alumni PMG memiliki basis ideologi keislaman yang
cukup kuat.
Ideologi menurut Adorno dalam Arifin (2014:20) sebagai suatu
perangkat pandangan, serta sikap-sikap dan nilai-nilai, atau suatu orientasi
berpikir tentang manusia dan masyarakat yang dapat dimiliki seseorang
juga dimiliki bersama oleh anggota masyarakat. Ideologi juga dapat
mengandung asumsi dan kumpulan keyakinan tentang lingkungan sosial
politik yang mungkin belum teruji kebenarannya. Ideologi biasanya
diwarnai oleh emosi dan penuh dengan mitos, sistem kepercayaan, dan
nilai-nilai. Dan berdasarkan penelitian yang dilakukan, semua informan
memiliki dasar ideologi sebagai sebuah motif dalam berkiprah di kancah
politik. Salah satunya adalah motif yang dikemukakan Helmi Hidayat
berikut ini:
“Dalam paradigma saya, saya ingin Indonesia seperti Al-Madinah
Al-Munawarah.
Kota
Al-Madinah
Al-Munawarah
itu
multikulturalis persis seperti kita. Dari sisi agama, saat itu ada dua
agama besar yang berkuasa, yaitu Yahudi dan Nasrani baru
kemudian Shâbi-în. Dari sisi kesukuan, ada dua suku yang
berkuasa saat itu, yakni Auz dan Hadraj serta suku-suku kecil. Itu
http://digilib.mercubuana.ac.id/
237
dari sisi geopolitiknya. Di sana, bertahun-tahun tidak pernah ada
pemimpinnya. Kenapa? Karena setiap ada pemimpin yang tampil
dari Yahudi, maka kelompok Nasrani akan ‘memotong’. Ketika
pemimpin dari Auz yang muncul, maka kelompok Hadraj akan
‘memotong’. Begitu juga sebaliknya. Terus seperti itu. Maka
kemudian mereka bersepakat untuk ‘mengimpor’ pemimpin supaya
netral. Dan terpilihlah Muhammad Al-Amin. Maka terjadilah
Perjanjian atau Ikrar ‘Aqabah Pertama yang berisi sumpah setia.
Kemudian terjadi lagi Perjanjian ‘Aqabah Kedua yang membuat
mereka hijrah. Dan ketika hijrah, geopolitik bertambah
kompleksitasnya. Kalau dulu Auz-Hadraj, Yahudi-Nasrani,
sekarang ditambah Muhajirin-Anshar. Itu kan luar biasa dan begitu
juga di Indonesia yang banyak suku dan kelompok. Tapi kan
disatukan dengan sebuah peradaban baru bernama Islam.
Rasulullah sangat menghormati multikulturalisme. Ketika
Rasulullah menjadi pemimpin di Madinah, sekretaris beliau
seorang Yahudi. Beliau membuat perjanjian dengan Yahudi dan
Nasrani. Semua dirangkul. Saya berkeinginan Indonesia seperti
Madinah di zaman Rasulullah”. (Wawancara Helmi Hidayat pada
31 Maret 2015)
Apa yang dikatakan Helmi ini merupakan motif yang terbangun
dari nilai-nilai yang didapatkannya selama belajar di Pondok Modern
Gontor, selain juga pengetahuan yang didapatnya setelah ia keluar dari
PMG. Penulis melihat jika ideologi yang dibangun berdasarkan keinginan
menyejahterakan umat tersebut menjadi motif in order to dalam perilaku
berpolitiknya. Maka untuk merealisasikan motifnya itu Helmi bergabung
dengan Baitul Muslimin yang merupakan organisasi sayap Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Menurutnya, bergabung dengan
PDIP merupakan kesempatan baginya untuk berdakwah di “partai merah”.
Kesempatan itu dianggapnya sebagai jihad yang nilainya bisa jadi lebih
besar dibandingkan jika masuk ke dalam partai Islam.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
238
Motif ini juga yang menjadi alasan Dian memasuki dunia politik.
Pengalamannya di PMG membuat Dian memiliki keinginan berkontribusi
untuk menyejahterakan masyarakat, utamanya umat Islam. Cita-cita ini
sesungguhnya sudah diwujudkan Dian sejak tahun 2004, yaitu dengan
mengambil anak-anak putus sekolah di perkampungan. Mereka diberikan
beasiswa untuk dapat kuliah secara gratis hingga S3. Dari kegiatan inilah
Dian terpacu untuk melakukan sesuatu yang lebih besar bagi masyarakat
luas. Menurutnya, kesempatan mewujudkan cita-cita itu semakin terbuka
ketika ia masuk ke dunia politik. Salah satunya dengan memperjuangkan
kegiatan ini melalui lembaga wakil rakyat, sehingga kegiatan ini nantinya
mampu diterapkan secara merata ke daerah-daerah lain.
4.2.2.1. Kesadaran Alumni Pondok Modern Gontor dalam Berpolitik
Schutz juga memfokuskan pada proses reduksi, reduksi akan
membawa kita kembali pada bagaimana kita mengalami sesuatu (leads us
back to our own experience if the things are). Memunculkan kembali
penilaian/asumsi awal dan mengembalikan sifat-sifat alamiahnya. Reduksi
fenomenologi tidak hanya sebagai cara untuk melihat, namun juga cara
untuk mendengar suatu fenomena dengan kesadaran dan hati-hati.
Singkatnya reduksi adalah cara untuk melihat dan mendengar fenomena
dalam tekstur dan makna aslinya (Kuswarno, 2009:50).
Kesadaran di sini memiliki makna keinsafan atau keadaan
mengerti. Kamus Bahasa Indonesia Versi Online menambahkan definisi
http://digilib.mercubuana.ac.id/
239
kesadaran sebagai hal yang dirasakan atau dialami seseorang. Sementara
menurut kajian ilmu psikologi, kesadaran merupakan kondisi dimana
seorang individu memiliki kendali penuh terhadap stimulus internal
maupun stimulus eksternal. Nemun kesadaran juga mencakup dalam
persepsi dan pemikiran yang secara samar-samar disadari oleh individu
sehingga perhatiannya terpusat. (atppsikologi.blogspot.com)
Dalam konteks politik, kesadaran masyarakat sangat beragam saat
melihat realitas seseorang masuk ke dunia politik praktis. Boleh jadi
masyarakat akan menganggap “lumrah” ketika memandang seseorang
yang memang sejak awal merupakan aktivis organisasi atau anggota
lembaga politik. Sementara kepada seseorang yang dikenal sebagai tokoh
agama semacam ustad dan kiai, masyarakat seringkali memandang
“miring”. Ustad dan kiai kerap dianggap sebagai representasi dari
kalangan nonpartisan yang seyogianya hanya mencurahkan perhatiannya
pada dunia Islam dan umatnya. Akibatnya, aktifitas politik ustad dan kiai
di kancah politik seringkali membuat citra keduanya menjadi turun atau
bahkan buruk di mata masyarakat.
Di sisi lain, seiring tingkat pengetahuan yang makin meningkat,
masyarakat dewasa ini melihat kiprah ustad dan kiai di politik merupakan
hal wajar. Bagi mereka, ustad dan kiai dianggap sama seperti manusia
pada umumnya yang memiliki hasrat dan ambisi. Dan boleh jadi, ustad
dan kiai memiliki hasrat dan ambisi di politik yang tidak sekadar pada
http://digilib.mercubuana.ac.id/
240
kekuasaan, tetapi ada motif lain yang berhubungan dengan pembelaan
terhadap Islam dan keumatan.
Beruntung bagi alumni PMG yang umumnya mencitrakan dirinya
tidak hanya sebagai ustad atau kiai, melainkan lebih dekat kepada citra
sebagai aktivis keumatan yang berkiprah di bidang keagamaan. Bagi para
alumni PMG, politik dianggap sebagai vehicle yang akan mengantarkan
pada tujuan berpolitiknya. Politik seolah-olah dianggap mubah yang bisa
menjadi haram hukumnya ketika pelakunya menjadikan politik untuk
meraup kekuasaan pribadi dan golongan melalui perilaku kemaksiatan.
Salah seorang informan, Lookh Makhfudz, menilai politik itu seperti
senjata yang bisa digunakan sekehendak pemiliknya.
“Jadi yang penting itu, the man behind the guns, bagaimana
manusia menggunakan alatnya. Politik itu kan alat, senjatanya.
Memang negeri ini perlu politisi-politisi yang berakhlak baik. Jadi
jika politik dikatakan kotor dan kita tidak masuk ke ranah itu, maka
politik akan tetap kotor. Maka berlaku sebuah kaidah:
Sesuatu yang tidak merepresentasikan kebaikan yang kita inginkan,
tidak boleh kemudian lantas ditinggal. Tapi ada sebagian yang
dianggap mereka buruk, ada saja kebaikan di sana dan di sanalah
kita memulai untuk berbuat baik”. (Wawancara Lookh Makhfudz
pada 20 Oktober 2015)
Sementara itu DR. H. Husnan Bey Fananie, MA menyadari bahwa
tujuan yang hendak dicapainya membutuhkan sebuah proses sekaligus
strategi dalam bentuk politik yang akan melahirkan kekuasaan. Husnan
tampaknya sadar betul bahwa dengan kekuasaan ia akan dapat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
241
mewujudkan cita-citanya untuk membangun umat dan berkontribusi dalam
beragam upaya kemaslahatan bagi bangsa dan negara:
“Politik itu proses, strategi, metode, atau cara bagi kita untuk
mencapai sesuatu. Sesuatu itu jika dalam konteks politik praktis
adalah kekuasaan. Dalam konteks umum, politik itu merupakan
cara untuk mencapai suatu tujuan termasuk pengaruh. Bagi saya,
politik menjadi suatu cara penyampaian ideologi, asas,
pemahaman, ide-ide keislaman”. (Wawancara Husnan Bey Fananie
pada 29 Maret 2015)
Meski demikian, politikus alumni PMG juga tidak bisa menafikan
pandangan masyarakat umum terhadap politik. Sebagian masyarakat
Indonesia masih berpandangan bahwa politik itu kotor. Hal itu disebabkan
seiring banyaknya oknum politikus yang bermain curang di ranah politik.
Realitas terkini bahkan lebih parah. Di televisi, mislanya, para koruptor
yang kebanyakan adalah para politikus tampil bak selebritis yang senang
diliput infotainment. Mereka bisa tertawa dan melambaikan tangannya
untuk menyapa para kuli tinta yang bertanya dan membidikkan kamera
kepadanya.
Para
politikus
korup
menganggap
gedung
Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai panggung untuk menampilkan peran
protagonist. Seolah tak ada perasaan bersalah apalagi merasa berdosa.
Mereka tak peduli cibiran masyarakat dan sikap anak-cucunya terhadap
perilaku buruknya itu.
Secara umum para informan menyadari pandangan masyarakat
terhadap politik tersebut. Maka dengan kesadarannya pula politikus alumni
PMG berusaha semaksimal mungkin mengubah pendapat umum
masyarakat tersebut dengan kinerja yang baik. Tujuannya adalah agar
http://digilib.mercubuana.ac.id/
242
masyarakat tidak men-generalisasi bahwa semua politikus itu kotor. Dian
Assafri juga menyadari jika politik oleh sebagian orang dipandang sebagai
perkara kotor. Hingga akhirnya, tak sedikit pula orang yang tidak mau
berkecimpung di dunia politik. Dian menganggap pandangan itu sebagai
hal yang wajar. Sebab, realitas di lapangan menyebutkan bahwa politik
memang seperti itu. Hanya saja, pandangan sebagian masyarakat itu tidak
serta-merta menjadi kesimpulan bahwa politik itu kotor. Sebab,
menurutnya, pada dasarnya politik itu baik. Namun, banyaknya politisi
yang bermain kotor, membuat politik pun akhirnya dipandang sebagai
perkara yang menyebabkan banyak ke-madlorot-an.
Dian Assafri yang menyadari pandangan sebagian masyarakat
terhadap politik ingin memberikan “bukti” bahwa pandangan itu salah. Hal
ini pun seolah disepakati para informan penelitian ini. Para politikus
alumni PMG ingin menampilkan citra sebagai politikus yang baik dan
memiliki tujuan mulia untuk umat, bangsa, dan negara. Pandangan ini bisa
dilihat dari paparan Imam Wahyudi berikut ini:
“Politik itu merupakan upaya untuk mengubah sesuatu menjadi
lebih baik. Bahwa memang banyak masyarakat mengatakan politik
itu kotor setelah melihat kondisi perpolitikan Indonesia, dimana
banyak para pelaku politik mengkhianati amanah yang diberikan.
Ini adalah kesimpulan masyarakat bahwa politik itu kotor. Mereka
berpandangan semua partai politik itu kotor, baik partai Islam
maupun non-Islam. Padahal kita juga bisa lihat, seperti wali kota
Surabaya Risma, namanya harum. Toh politik itu juga tidak melulu
kotor. Ada juga kader PDIP Ganjar Pranowo yang namanya bagus
dengan pelan-pelan membangun provinsi Jawa Tengah. Atau apa
yang dilakukan wali kota Bandung Ridwan Kamil, misalnya, bisa
membantah pemeo masyarakat tersebut. Memang ada oknum yang
membuat pandangan masyarakat seperti itu. Untuk itu bagi saya
http://digilib.mercubuana.ac.id/
243
yang berada di dalam partai politik, dibutuhkan kerja keras untuk
memperbaikinya”. (Wawancara Imam Wahyudi pada 3 Juni 2015)
Sementara itu Wakil Ketua MPR RI DR. H.M. Hidayat Nur Wahid,
MA memiliki pendapat sendiri tentang pandangan masyarakat bahwa
politik itu kotor. Menurutnya, pandangan itu muncul karena adanya
praktik politik kotor yang dilakukan sebagian politisi. Tapi itu cara
pandang itu merupakan cara pandang yang sekuleristik, apatis, dan tidak
sesuai dengan prinsip dasar politik. Dasar politik itu, menurutnya, untuk
terlibat dalam sebuah kebijakan yang membawa kebaikan, bukan
keburukan atau kotor. Jikapun ada yang melakukan politik kotor, maka ada
ketentuan yang akan menghukumnya.
Jadi, politik kotor itu bukanlah adagium yang tidak bisa dikoreksi.
Dan politik kotor itu merupakan satu penyimpangan dalam berpolitik.
Untuk itulah pada Era Reformasi, ia menghadirkan Partai Keadilan yang
dianggap sebagai partai baru yang berasaskan Islam. Melalui PK Hidayat
berijtihad bahwa berpolitik merupakan cara untuk membuat kebijakan bagi
kepentingan publik yang seharusnya dihadirkan dalam partai yang tidak
kotor. Kalaupun ada kotornya, maka ia harus dikoreksi. Bukan berarti
karena dia kotor lalu harus dihindari. Atau sebaliknya, karena politik kotor
maka agama jangan dibawa ke sana agar tidak dikotori politik.
Pandangan bahwa agama jangan dibawa ke dalam politik karena
politik itu kotor, dianggap Hidayat sebagai istilah yang berasal dari
kalangan sekuler. Dengan alasan itu, menurutnya, maka kalangan sekuler
http://digilib.mercubuana.ac.id/
244
akan membatasi bahkan tidak memberi ruang bagi agama untuk terlibat di
dalam politik. Jika logika ini diterima, menurutnya, maka tidak perlu ada
hukum, tidak perlu ada KPK, tidak perlu ada punishment bagi para pelaku
politik yang kotor. Jika politik itu kotor maka karenanya tidak boleh
agama datang dan membersihkannya. Padahal jika bangsa ini ingin
menghadirkan lembaga pemberantasan korupsi, politik yang berpihak
kepada rakyat, tidak menipu, tidak melanggar hukum, maka politik harus
dibersihkan menggunakan agama.
“Jika ada yang mengatakan politik itu kotor, berarti kan dia
mengatakan jangan bawa agama ke dalam politik. Karena agama
itu bersih, politik itu kotor. Kalau agama masuk politik, maka
agama akan terkotori. Jika logika itu digunakan dan kita tidak ingin
hasil dari politik yang kotor, maka politik harus dibersihkan dengan
satu materi yang bisa membersihkan sesuatu yang kotor.
Analoginya, jika Anda membeli baju kotor tentu Anda tidak ingin
memakainya sebelum baju itu bersih. Lalu bagaimana cara
membersihkannya? Tentu menggunakan sabun. Tidak mungkin
menggunakan air comberan atau suatu materi kotor lainnya. Tetapi
pasti menggunakan sesuatu yang bersih. Maka bagi kami, jika
politik itu kotor maka yang membersihkannya adalah agama.
Karena agama didatangkan untuk membersihkan politik yang kotor
itu”. (Wawancara DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA pada 20
Oktober 2015)
Namun demikian Hidayat menyadari juga bahwa agama tidak
serta-merta membuat politik jadi bersih. Pertarungan politik bisa sangat
matrealistik, oleh karenanya banyak fitnah dan seolah-olah agama tidak
bisa berperan. Hidayat berkeyakinan, jikapun ada masalah, maka itulah
bagian dari kehidupan. Toh para sahabat Nabi Saw. pun ada yang berbuat
salah, tetapi bukan berarti mereka berbeda prinsip. Jika ada yang salah
maka harus dihukum, karena kesalahan itu prinsipnya manusiawi dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
245
harus ada perbaikan. Dan agama yang baik adalah Islam yang membawa
pada keterbukaan, sikap adil, professional, dan amanah. Hal ini akan
menghadirkan prinsip-prinsip berpolitik yang membawa kemaslahatan.
Berdasarkan statement-statement di atas, maka dapat diketahui jika
para informan pokok sangat menyadari bahwa tindakan berpolitik mereka
didasari pada kesadaran tentang kemaslahatan bagi umat, bangsa, dan
negara. Bagi para informan pokok, politik merupakan vehicle atau tool
untuk meraih tujuan akhir, yaitu membangun dan menyejahterakan umat,
bermanfaat bagi sesama, serta untuk meninggikan kalimat Allah kalimat
Allah di muka bumi ini dan memuliakan Islam juga umatnya.
4.2.2.3. Metode Komunikasi Politik Alumni Pondok Modern Gontor
Seorang
politikus
tentu
memerlukan
metode
dalam
menyampaikan program-program politiknya. Demikian pula halnya
dengan politikus alumni PMG yang sesungguhnya telah memiliki modal
untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Modal itu antara lain sudah
mereka dapatkan saat nyantri di PMG melalui beragam pelajaran yang
mereka terima. Melalui muhâdlarah, misalnya, politikus alumni PMG
dapat belajar bagaimana berpidato atau berceramah di depan orang
banyak. Berbagai model pidato para orator dipelajari, mulai Bung Karno,
John F. Kennedy, Gamal Abdel Nasir, Stalin, Lenin, hingga Hitler.
Melalui muhâdlarah mereka belajar tentang intonasi, mimik wajah,
maupun gesture tubuh saat berpidato. (Fathurrohman, 2014:46)
http://digilib.mercubuana.ac.id/
246
Kemampuan berkomunikasi para alumni PMG tak hanya karena
telah mengecap pelajaran muhâdlarah. Selain karena juga terbiasa
berorganisasi, para alumni PMG telah memiliki bekal berharga lainnya,
antara lain dengan kemampuan berbahasa Arab dan Inggris. Melalui
dwibahasa itulah mereka dengan mudah diterima masyarakat. Ini juga
bisa dimaklumi karena seseorang yang memiliki kemampuan dwibahasa
itu umumnya masih langka, sehingga penerimaan masyarakat terhadap
seseorang yang memiliki kemampuan dwibahasa lebih terbuka dan
sangat diterima masyarakat. Di sisi lain, maraknya penggunaan media
sosial membuat metode sosialisasi makin beragam bentuknya. Sejumlah
aplikasi media sosial semacam Facebook, Twitter, Youtube, Instagram,
hingga model Social “Chat” Applications semacam WhatsApp dan
BlackBerry Messenger menjadi pilihan model untuk bersosialiasi dan
berkomunikasi.
Metode yang bertujuan untuk mensosialisasikan program politik
ini, sejatinya, merupakan jawaban atas sikap khalayak yang dikenal
memiliki “daya tangkal” dan sifat “keras kepala” atau “kepala batu”.
Menurut Arifin (2014:37) khalayak dapat dijinakkan melalui berbagai
metode, seperti metode informatif, edukatif, persuasif, dan koersif. Meski
diyakini bahwa metode yang paling banyak dikembangkan dan
dipraktikkan adalah metode persuasif, namun pada kenyataannya ada
juga para politikus yang menggunakan metode koersif dan instruktif.
Biasanya, metode koersif dan instruktif digunakan oleh para politikus
http://digilib.mercubuana.ac.id/
247
yang berpengaruh dan memiliki massa terhimpun secara struktural. Pada
konteks komunikasi politik alumni PMG, metode sosialisasi yang
digunakan mereka pada umumnya adalah metode persuasif. Meski
demikian, unsur instruktif pun tampak pada politikus alumni PMG yang
merasa memiliki massa terhimpun dan diyakini dapat diarahkan secara
struktural. Metode komunikasi instruktif ini biasanya diterapkan oleh
politikus alumni PMG yang memiliki jabatan sebagai pimpinan di partai
politik untuk diterapkan kepada bawahan-bawahannya.
1. Metode Komunikasi Persuasif
Dalam ilmu komunikasi dikenal adanya komunikasi persuasif,
yaitu
komunikasi
yang
bersifat
mempengaruhi
audience
atau
komunikannya sehingga bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh komunikator. Menurut Kenneth E. Anderson dalam Effendy (1986),
komunikasi persuasif didefinisikan sebagai perilaku komunikasi yang
mempunyai tujuan mengubah keyakinan, sikap atau perilaku individu
atau kelompok lain melalui transmisi beberapa pesan. Sedangkan
menurut R. Bostrom bahwa komunikasi persuasif adalah perilaku
komunikasi yang bertujuan mengubah, memodifikasi atau membentuk
respon (sikap atau perilaku) dari penerima.
Komunikasi persuasif ini dapat dipergunakan dalam komunikasi
politik. Adapun yang dikehendaki dalam komunikasi persuasif adalah
perubahan perilaku, keyakinan, dan sikap yang lebih mantap seolah-olah
perubahan tersebut bukan atas kehendak komunikator akan tetapi justru
http://digilib.mercubuana.ac.id/
248
atas kehendak komunikan sendiri. Persuasi yaitu menggunakan informasi
tentang situasi psikologis dan sosiologis serta kebudayaan dari
komunikan.
Menurut Arifin (2014:37-38), metode persuasif yang banyak
diaplikasikan komunikasi politik termasuk dalam pencitraan politik
merupakan metode mempengaruhi khalayak denganc ara membujuk dan
merayu. Khalayak akan digugah jalan pikirannya dan terutama
perasaannya, kadang-kadang tidak diberi kesempatan untuk berpikir
kritis, bahkan bila perlu khalayak itu dapat terpengaruh secara tidak
sadar. Penggunaan metode persuasif seperti itu telah mendapat kritik dan
kecaman karena pada umumnya berisi pesan yang tidak seluruhnya
berdasarkan fakta dan kebenaran. Namun, meski mendapat kecaman,
metode persuasif masih dianggap efektif dalam pencitraan politik melalui
media massa dan media sosial. Pesan dikemas sedemikian rupa untuk
membangun citra politik yang lebih indah dari warna aslinya.
Dalam konteks PMG, ada sebuah ajaran yang dipegang para
santri dan alumninya yang cocok dengan konsep komunikasi persuasif,
yakni:
. Ajaran tersebut memberikan
arahan kepada para politikus alumni PMG untuk dapat menghormati
tradisi konstituennya. Metode komunikasi persuasif ini antara lain
dilakukan Helmi Hidayat. Sebagai salah satu ketua Baitul Muslimin dan
seorang penceramah yang kerap muncul di majelis taklim maupun
http://digilib.mercubuana.ac.id/
249
seminar, ia tak jarang secara tersirat mempengaruhi para jamaahnya. Saat
mendukung pencapresan Megawati Soekarnoputri, misalnya, Helmi
melakukan komunikasi persuasif melalui banyak saluran, mulai
pengajian, seminar hingga mencetak brosur dan booklet. Bahkan ia pun
tak segan menyinggung sejumlah ayat Al-Quran untuk memperkuat
ajakannya itu.
“Saya melakukan banyak hal. Debat, seminar, brosur, booklet,
dan lain sebagainya. Kami cetak banyak. Betapa Aisyah itu
pernah memimpin dalam perang Jamal, misalnya. Ratu Bilqis di
Al-Quran diabadikan sebagai malikah, sehingga tidak larangan
perempuan untuk memimpin. Itu kan cuma hadits yang bisa kita
telusuri bersama apakah sesuai atau tidak. Kenapa kemudian
hadits seolah-olah seperti Al-Quran? Itu cara kami. Waktu
pemenangan Jokowi juga banyak (menggunakan metode
komunikasi seperti itu). Kami dalam banyak hal, Baitul
Muslimin, mengenalkan bahwa Jokowi itu pro kepada rakyat
kecil, pengusaha kecil, karena dia berangkat dari seorang
pengusaha kecil, berbeda dengan Prabowo yang sejak awal sudah
kaya raya. Soemitro siapa yang tidak kenal?” (Wawancara Helmi
Hidayat pada 31 Maret 2015)
Metode yang sama juga dilakukan DR. Husnan Bey Fananie, MA
saat bertarung di Pemilu Legislatif. Penulis yang mengikuti kiprahnya
sejak awal, menyaksikan bagaimana cucu pendiri PMG KH. Zainuddin
Fananie ini melakukan sejumlah metode komunikasi secara persuasif,
seperti kongkow-kongkow bersama pada pemuda di daerah pemilihan,
organisasi kepemudaan dan kemasyarakatan, tampil sebagai penceramah
di sejumlah majelis taklim ibu-ibu dan bapak-bapak atau menjadi
penceramah di acara pernikahan dan khitanan konstituennya, hingga
berbaur dengan masyarakat untuk mengecat pembatas jalan di sebuah
http://digilib.mercubuana.ac.id/
250
pasar
tradisional
dan
membangun
jembatan.
Metode
ini
juga
disosialisasikan kepada tim kampanyenya untuk mendekati konstituen.
“Kalau di dalam partai saya melakukan pengkaderan dan
silaturrahim ke daerah untuk menyapa kader-kader partai.
Sementara dalam konteks kemasyarakatan, saya mengisi pengajian
di majelis taklim, berdialog dan bersinergi dengan ormas-ormas
kepemudaan dan keagamaan. Utamanya saya mengusung tema
tentang Islam rahmatan lil ‘alamin yang memiliki kekuataan yang
penuh kedamaian dan kebaikan. Saya tidak pernah mengompori
atau memanasi masyarakat bahwa kelompok di luar kita harus
dimusuhi. Saya ajak masyarakat untuk memahami mereka sebagai
kelompok yang belum mendapatkan hidayah dari Allah Swt.
Bukankah Rasulullah mencontohkan kita untuk men-tabligh-kan
Islam dengan rahmat, halus, dan penuh kebaikan? Jadikan Islam
sebagai agama yang bisa diterima oleh semua orang”. (Wawancara
Husnan Bey Fananie pada 29 Maret 2015)
Selain bentuk verbal, komunikasi persuasif juga dilakukan Husnan
melalui beragam saluran. Tim kampanye yang mendukungnya cukup
kreatif dengan membuat akun di sejumlah media sosial, seperti facebook,
twitter, hingga blog. Husnan juga membuat kartu nama, kalender, baliho,
spanduk, hingga buku mini biografi. Bahkan, meski telah dinyatakan
“kalah” dalam Pemilu Legislatif, Husnan tetap “menyapa” konstituen dan
masyarakat Indonesia secara umum melalui buku biografi yang diberi
judul “Menapaki Kaki-Kaki Langit”. Buku biografi itu sesungguhnya
memperkuat posisi Husnan sebagai seorang politikus yang konsisten
memperjuangkan aspirasi umat, bangsa, dan negara. Rekam jejak Husnan
saat nyantri di PMG, lalu melakukan studi di Pakistan dan Belanda, hingga
kiprahnya sebagai Asisten Pribadi Wakil Presiden, Staf Khusus Menteri
http://digilib.mercubuana.ac.id/
251
Agama, dan Anggota Komisi I DPR RI dapat dibaca di buku setebal lebih
dari 400 halaman itu.
Sementara itu, Dian Assafri juga melakukan metode komunikasi
persuasif, meski dengan cara yang sedikit formal. Upaya tersebut
dilakukan antara lain dengan membuka ruang silaturrahim dengan para
pejabat pemerintah atau pimpinan-pimpinan politik. Ia juga terlibat di
bermacam organisasi, baik di lingkungan masyarakat hingga kepengurusan
organisasi pemuda tingkat nasional dan gerakan mahasiswa. Tercatat, ia
menjabat sebagai Ketua IPPMI (Ikatan Pemuda Pemudi Minang
Indonesia) Bidang Dakwah, Sekretaris Jenderal Gerakan Mahasiswa
KOSGORO, dan Wakil Sekjen KNPI. Sementara di jalur informal, Dian
tak canggung untuk berkomunikasi melalui pertemuan atau tatap muka
bersama tokoh-tokoh masyarakat. Dian pun terbiasa tampil sebagai
pemberi materi dalam kajian taklim, menjadi khâtib, dan lainnya.
2. Metode Komunikasi Instruktif
Selain melakukan komunikasi secara persuasif, bagi politikus
alumni PMG yang memiliki massa terhimpun atau pimpinan di partai
politiknya, metode komunikasi instruktif juga kerap dilakukan. Ditilik dari
maknanya, instruktif adalah suatu perintah yang bersifat mengancam.
Tetapi ancamannya itu mengandung suatu yang dapat menjadikan
seseorang
itu
untuk
melakukan
perintahnya.
Instruktif
bersifat
memerintah, nasihat-nasihatnya bergaya. Sedangkan yang dimaksud
http://digilib.mercubuana.ac.id/
252
dengan instruksi adalah perintah atau arahan untuk melakukan suatu
pekerjaan atau melakukan suatu tugas, dan merupakan pelajaran dan
petunjuk. (Effendy, 1992:25)
Jika sejumlah ahli komunikasi umumnya menyamakan metode
komunikasi koersif dengan instruktif, namun Effendy membedakan
keduanya. Menurutnya, komunikasi koersif adalah teknik komunikasi
berupa perintah, ancaman, sanksi dan lain-lain yang bersifat paksaan,
sehingga orang-orang yang dijadikan sasaran (komunikan) melakukannya
secara terpaksa. Biasanya teknik komunikasi seperti ini bersifat fear
arousing, yang bersifat menakut-nakuti atau menggambarkan resiko yang
buruk. Serta tidak luput dari sifat red-herring, yaitu interest atau muatan
kepentingan untuk meraih kemenangan dalam suatu konflik, perdebatan
dengan menepis argumentasi yang lemah kemudian dijadikan untuk
menyerang lawan. Bagi seorang diplomat atau tokoh politik teknik tersebut
menjadi senjata andalan dan sangat penting untuk mempertahankan diri
atau menyerang secara diplomatis. (Effendy, 1992:21)
Dengan definisinya di atas, tidak heran jika para politikus alumni
PMG yang memiliki jabatan di partai politik seperti Hidayat Nur Wahid,
Husnan Bey Fananie, dan Lookh Makhfudz menerapkan juga metode
komunikasi instruktif ini. Hidayat Nur Wahid yang mengaku tak pernah
menargetkan atau memprogramkan mau jadi apapun, termasuk menjadi
pemimpin partai politik, menggunakan metode komunikasi instruktif
seiring dengan jalur struktural di partai politiknya. Apalagi Hidayat sangat
http://digilib.mercubuana.ac.id/
253
disegani di kalangan internal partai. Ia dianggap sebagai “embrio” yang
meletakkan dasar-dasar partai yang memiliki basis kader dakwah itu.
Sementara bagi Lookh Makhfudz yang menjadi Ketua DPD PAN
Kota Malang, komunikasi instruktif dilakukannya sebagai metode
berkomunikasi untuk konsolidasi internal partai dan mensosialisasikan
program-program partai. Metode komunikasi seperti ini mutlak dilakukan
agar program-program partai dapat berjalan mulai dari hulu hingga hilir
dan kemudian dapat berjalan baik saat diaplikasikan di masyarakat.
“Kalau secara struktur, saya menggunakan komunikasi
instruksional. Hal ini dilakukan saya sebagai pejabat partai di
daerah kepada kader internal partai yang masuk sebagai struktural.
Ini kan penting supaya program partai tetap sama dari pusat hingga
ke tingkat paling bawah. Tetapi kepada eksternal-nonstruktural
saya menggunakan pendekatan persuasif melalui berbagai
pendekatan seperti sosiologis, antropologis, pendidikan, dan
lainnya”. (Wawancara Lookh Makhfudz pada 20 Oktober 2015)
Jika melihat temuan-temuan di atas, metode komunikasi para
politikus alumni PMG yang menjadi informan pokok pada penelitian ini
terdiri dari metode komunikasi persuasif dan instruktif. Seluruh politikus
alumni PMG paham benar bagaimana meletakkan kedua metode
komunikasi sesuai dengan situasi komunikan yang akan disasar. Artinya,
jika kepada konstituen di luar struktur partai, maka metode komunikasi
persuasif lah
yang digunakan. Sebaliknya, komunikasi instruktif
digunakan oleh politikus alumni PMG yang memiliki jabatan “teras” di
partai politiknya dan ditujukan kepada kader yang memiliki jabatan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
254
struktural. Mereka juga memiliki pemahaman bagaimana menggunakan
sistem komunikasi, apakah terbuka atau tertutup sesuai fungsinya.
Berdasarkan temuan-temuan di atas pula, jika merunut pola
tindakan politik politikus alumni PMG, maka dapat disimpulkan dalam
bentuk tabel berikut ini:
Tabel. 4.2.2.
Pola Tindakan Politik Alumni Pondok Modern Gontor
MOTIF
N
O
INFORMAN
1
KESADARAN/
Politik sebagai
Kekua
alat/kendaraan.
saan
Metode
Komunikasi
Persu Instruk
asif
tif
Tra
disi
Ideo
logi
DR. HM. Hidayat
Nur Wahid, MA
√
√
√
√
√
√
2
DR. H. Husnan
Bey Fananie, MA
√
√
√
√
√
√
3
Drs. H. Helmi
Hidayat, MA
--
√
√
√
√
--
4
H. Lookh
Mahfudz, SS
--
--
√
√
√
√
5
Imam Wahyudi
--
--
√
√
√
--
6
DR. H. Dian
Assafri, SH, MH
--
√
√
√
√
--
http://digilib.mercubuana.ac.id/
255
4.2.3. Pola Komunikasi Politikus Alumni Pondok Modern Gontor
Pola komunikasi merupakan model dari proses komunikasi, sehingga
dengan adanya berbagai macam model komunikasi dan bagian dari proses
komunikasi akan dapat ditemukan pola yang cocok dan mudah digunakan dalam
berkomunikasi. Pola komunikasi identik dengan proses komunikasi, karena pola
komunikasi merupakan bagian dari proses komunikasi. Proses komunikasi
merupakan
rangkaian
dari
aktivitas
menyampaikan
pesan
sehingga
menghasilkan feedback dari penerima pesan. Dari proses komunikasi, akan timbul
pola, model, bentuk dan juga bagian-bagian kecil yang berkaitan erat dengan
proses komunikasi.
Pada politikus alumni PMG, pola komunikasi terbentuk berdasarkan
modal sosial yang dimiliki dan didukung oleh peran mereka di masyarakat. Dari
identifikasi yang ditemukan, apapun motif mereka berpolitik, baik alumni PMG
yang berperan sebagai politikus ideolog maupun partisan akan menggunakan
metode komunikasi persuasif atau instruktif dengan melihat kepada siapa mereka
berkomunikasi (komunikan). Demikian pula halnya dengan sistem komunikasi
yang digunakan, secara sadar mereka akan menggunakan sistem komunikasi
terbuka maupun tertutup sesuai dengan komunikan yang disasar.
Berdasarkan temuan-temuan di atas, secara umum dapat digambarkan
bagaimana konsep diri itu dibangun dengan peran politik maupun peran sosial
yang dapat mempengaruhi tindakan politik alumni PMG. Sementara tindakan
politik itu didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan politik yang mendorong
pada arus kesadaran dalam melakkan tindakan politik nyata, serta dengan berbagai
http://digilib.mercubuana.ac.id/
256
metode serta sikap di lapangan. Adapun gambaran yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Gambar 4.2.3.
Pola Komunikasi Politikus Alumni Pondok Modern Gontor
http://digilib.mercubuana.ac.id/
257
4.3. Pembahasan
Pada penelitian ini, pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara,
obeservasi, serta dokumentasi. Dalam melakukan wawancara penulis memerlukan
waktu sekitar 8 bulan, yakni sejak Maret hingga Oktober 2015. Lamanya proses
wawancara tersebut dikarenakan sulitnya penulis menemui para informan untuk
dilakukan interview. Proses wawancara dilakukan terhadap informan pokok yang
merupakan para politikus alumni Pondok Modern Gontor (PMG) dan informan
kunci yang merupakan alumni PMG nonpolitikus yang dimintai pendapatnya
untuk memberikan penjelasan tambahan seputar konsep diri dan tindakan alumni
PMG dalam berpolitik. Wawancara dilakukan di tempat yang disepakati penulis
dan informan, namun umumnya di tempat para informan bekerja, seperti gedung
DPR/MPR, kampus perguruan tinggi, pondok pesantren, dan rumah pribadi.
Selain melakukan wawancara, penulis juga melakukan observasi selama
wawancara dilakukan. Bahkan penulis melakukan observasi ke Pondok Modern
Gontor sudah sejak Februari 2014 untuk mengamati gejala-gejala yang tampak
pada obyek penelitian. Karena penulis melakukan observasi partisipan, maka
penulis memiliki kesempatan untuk terlibat langsung dalam sejumlah kegiatan
informan maupun di pondok pesantren sambil melakukan pengamatan.
Berdasarkan hasil observasi dapat diketahui bahwa falsafah dan nilai-nilai yang
diajarkan Pondok Modern Darussalam Gontor turut membentuk konsep diri
politikus alumni PMG. Falsafah dan nilai-nilai itu antara lain terwujud dalam
motto dan Panca Jiwa yang mesti dihafal dan dipraktikkan seluruh para santri.
Dan faktanya, falsafah dan nilai-nilai itu sangat membekas dan masih dijadikan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
258
pegangan oleh para alumni PMG. Dalam konteks penelitian ini, konsep diri yang
turut dibentuk PMG itu pun pada akhirnya membentuk karakter para politikus
alumni PMG serta turut mempengaruhi tindakan (aktualisasi) dan pola
komunikasi politik mereka.
Pada penelitian ini penulis juga mendapatkan temuan di lapangan bahwa
para politikus alumni PMG memiliki motif beragam dalam berpolitik. Motif
tersebut adalah motif untuk meneruskan tradisi, motif untuk meraih kekuasaan,
dan motif untuk memperjuangkan ideologi. Sementara dari sisi pola
komunikasinya, penulis mendapatkan temuan bahwa para politikus alumni PMG
menggunakan banyak cara dengan mengerahkan segala modal sosial yang mereka
miliki, seperti mendirikan yayasan atau lembaga sosial, berceramah di majelis
taklim, menjadi dosen, dan lain sebagainya. Mereka juga menggunakan
komunikasi verbal dan nonverbal yang khas Pondok Modern Gontor, yakni
menggunakan istilah-istilah yang berasal dari bahasa Arab serta mengenakan jas,
dasi, dan celana kain panjang dalam gaya berbusananya.
Kemampuan para politikus alumni PMG dalam hal berkomunikasi juga
tidak diragukan lagi mengingat mereka telah dibekali cara berkomunikasi di
depan khalayak saat di pondok. Demikian pula halnya dengan kreativitas mereka
dalam berorganisasi yang telah diasah sejak di pondok, menjadikan para politikus
alumni PMG sebagai sosok piawai dalam berpolitik dan memiliki peran dan posisi
strategis di masing-masing partai politiknya. Kemampuan berkomunikasi dan
leadership semacam inilah yang membuat penulis melabeli mereka sebagai
politikus kontemporer.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
259
Seperti disebutkan di atas, alumni PMG yang menjadi informan pokok
pada penelitian kali ini memiliki fasilitas-fasilitas peran (role facilities) yang
diberikan masyarakat melalui lembaga-lembaga sosial. Dalam konteks penelitian
ini, alumni PMG ada yang memiliki lembaga pesantren atau majelis taklim
sebagai bagian dari fasilitas umat, dimana ia berperan sebagai pendakwah (dai),
mengajar santri, memberikan siraman rohani pada masyarakat dan aktivitas sosial
keagamaan lainnya. Selain itu ada juga alumni PMG yang berperan di lembaga
swadaya masyarakat, menjadi seorang guru, dan juga ada yang menjadi seorang
motivator.
Untuk memudahkan, maka pembahasan penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
4.3.1. Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Modal
Berpolitik
Setidaknya, alumni PMG memiliki dua peran penting di masyarakat.
Pertama, alumni PMG memiliki peran sosial yang cukup dihormati dengan tampil
sebagai pendakwah/penceramah (dai), ustadz, guru, dosen, dan aktivis di berbagai
organisasi kemasyarakatan. Beragam peran tersebut menjadi identitas yang
melekat dalam proses pembentukan status sosial sekaligus menjadi pembeda
antara masyarakat biasa dengan alumni PMG. Hal itu jelas menjadi modal sosial
yang sangat penting bagi alumni PMG untuk berperan serta dalam membangun
peradaban dan eksistensi dirinya di dalam masyarakat. Konstruksi persepsi yang
http://digilib.mercubuana.ac.id/
260
dapat digali dari alumni PMG antara lain melalui personality material, dimana
alumni PMG dapat dikenal melalui pakaian yang dikenakan dalam keseharian.
Seperti yang sudah disinggung di atas, alumni PMG memiliki konsep
berpakaian yang terbentuk sejak mereka nyantri. Para santri PMG berpakaian
tidak seperti pakaian para santri pada umumnya, terutama jika dibandingkan
dengan para santri dari pondok pesantren tradisional. Seperti saat nyantri, para
alumni PMG pun kerap tampil dengan gaya berbusana yang sedikit formal dengan
jas dan dasi. Gaya berbusana atau berpakaian pada alumni PMG itu pada akhirnya
membentuk sebuah identitas dan menjadi sebuah kesepakatan bersama bahwa
alumni PMG akan diidentikkan dengan pakaian tertentu.
Identitas lainnya dapat ditemukan pada fasilitas atau wadah untuk
mengaktualisasikan diri para alumni PMG sebagai pengajar agama atau sebagai
orang yang diberikan kewenangan sebagai pemberi legitimasi perihal keagamaan
dan pendidikan. Wadah itu ada yang berupa pondok pesantren, forum pengajian
atau majelis taklim, lembaga pendidikan seperti tempat kursus atau perguruan
tinggi. Fasilitas-fasilitas seperti inilah yang kemudian dapat dimanfaatkan para
alumni PMG untuk meraih “suara” saat mereka berkiprah di panggung politik.
Peran lain alumni PMG di masyarakat adalah sebagai komunikator politik.
Dalam menjalankan peran-peran politiknya, selain memiliki role facillites berupa
pesantren, majelis taklim, lembaga pendidikan, serta lembaga sosial, alumni PMG
juga ditopang oleh perangkat peran (role set) seperti Ikatan Keluarga Pondok
Modern (IKPM) Gontor, jaringan pondok pesantren alumni, dan lembagalembaga lainnya.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
261
Selanjutnya, mengikuti uraian Dan Nimmo, konsep diri alumni PMG
dalam komunikasi politiknya terbagi ke dalam 3 kategori komunikator politik.
Pertama, politikus sebagai komunikator politik; kedua, profesional sebagai
komunikator politik; dan ketiga, aktivis sebagai komunikator politik. Namun,
mengingat informan pokok pada penelitian ini adalah para pelaku politik yang
terlibat dalam sebuah partai politik, maka para alumni PMG yang menjadi
informan pokok di sini masuk ke dalam kategori politikus sebagai komunikator
politik. Pada penelitian ini penulis menemukan fakta bahwa politikus alumni
PMG terbagai ke dalam 2 kategori, yakni politikus ideolog dan politikus partisan.
Politikus ideolog adalah orang-orang yang dalam proses politiknya lebih
memperjuangkan kepentingan bersama atau publik. Mereka tidak begitu terpusat
untuk mendesakkan tuntutan seorang langganan atau kelompoknya, tetapi dia
lebih memfokuskan dirinya atau pesan-pesannya untuk hal yang lebih luas dengan
kebijakannya dari mulai mengupayakan reformasi bahkan sampai mendukung
untuk perubahan yang revolusioner—sepanjang hal itu mendatangkan kebaikan
untuk bangsa dan negara.
Berdasarkan
penelitian
yang
dilakukan,
semua
informan
pokok
sesungguhnya memiliki dasar ideologi kuat untuk berkiprah di partai politik.
Ideologi itu muncul atas dasar dorongan untuk memajukan dan menyejahterakan
umat, bangsa, dan negara. Kata “umat” biasanya beriringan dengan kata “bangsa”
yang menandakan bahwa para informan memahami posisi umat Islam sebagai
masyarakat dominan di Indonesia. Ideologi itu sendiri menjadi tampak seragam
karena para informan sama-sama menerima falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
262
para ustadz di PMG. Artinya, disadari atau tidak, melalui falsafah dan nilai-nilai
yang diajarkan itu PMG sesungguhnya telah menanamkan doktrin agar para
santrinya menjadi para pemimpin umat.
Sementara itu, meski para informan pokok mengaku memiliki dasar
ideologi kuat dalam mengarungi dunia politik, namun pada perjalanannya
kemudian para informan pokok terlihat memiliki kecenderungan untuk berada di
kelompok
politikus
partisan.
Bahkan
beberapa
di
antaranya
memiliki
kecenderungan yang kuat sebagai politikus partisan. Falsafah dan nilai-nilai yang
diajarkan para ustadz di PMG memang menjadi bekal, akan tetapi tujuan meraih
kekuasaan pun turut mengemuka bersamaan dengan pengalaman mereka
berpolitik. Apalagi posisi mereka sebagai politikus yang berada dalam lingkaran
partai politik mengharuskan mereka jadi representasi partai yang dibelanya itu.
Artinya, alumni PMG secara umum berdiri pada posisi politikus ideolog
sekaligus politikus partisan, meski dengan kecenderungan yang berbeda. Di satu
sisi seluruh informan memiliki ideologi berpolitik yang jelas, namun pada
praktiknya ada beberapa informan yang memiliki kecenderungan lebih besar
untuk bersikap sebagai politikus partisan dibandingkan informan lainnya. Adapun
skema konsep diri alumni PMG dapat digambarkan sebagai berikut:
http://digilib.mercubuana.ac.id/
263
Gambar 4.3.1.
Konsep Diri Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai Modal Berpolitik
4.3.2. Tindakan Politik Alumni Pondok Modern Gontor Sebagai
Komunikator Politik
Tindakan politik yang dijumpai pada para informan pokok sama seperti
yang dijumpai pada masyarakat umumnya. Di dalam tindakan politik itu
terkandung motif yang melatarinya. Hal tersebut sesuai seperti gambaran Alferd
Schutz bahwa tindakan subyektif para aktor tidak muncul begitu saja, tetapi harus
melalui proses panjang atau dengan kata lain bahwa sebelum masuk pada tataran
in order motive ada tahapan because motive yang mendahuluinya. Sementara itu
dijelaskan pula bahwa pada dasarnya fenomenologi sosial terdiri dari tiga hal
http://digilib.mercubuana.ac.id/
264
utama, yaitu kehidupan sehari-hari, sosialitas, dan makna serta pemberian makna.
(Sobur, 2013:63)
Pada konteks alumni PMG yang menjadi informan pokok penelitian ini,
tindakan itu bisa bermotif masa lalu dan mungkin saja akan bermotif masa yang
akan datang. Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, di dalam tindakan
politik para politikus alumni PMG terdapat 3 motif, yaitu motif meneruskan
tradisi, motif meraih kekuasaan, dan motif memperjuangan ideologi. Melalui
motif meneruskan tradisi, para informan menyadari pentingnya berpolitik sebagai
sebuah cara untuk melakukan tindakan nyata dalam upaya berkontribusi dalam
memakmurkan dan menyejahterakan umat dan bangsa. Motif ini muncul sebagai
because of dalam persepsi Schutz yang menjadi latar belakang informan dalam
bertindak di kancah politiknya. Dari sejumlah informan pokok yang dieksplorasi
penulis, motif berpolitik untuk meneruskan tradisi ini terdapat pada diri DR. H.M.
Hidayat Nur Wahid, MA dan DR. Husnan Bey Fananie, MA. Motif ini dapat
dipahami mengingat keduanya memiliki latar belakang keluarga yang memang
seorang aktivis keislaman yang berkontribusi dalam pembinaan dan upaya
menyejahterakan umat.
Sementara dari eksplorasi yang dilakukan, penulis menemukan fakta
semua informan memahami bahwa meski tujuan berpolitik adalah kekuasaan,
namun kekuasaan bukanlah tujuan utamanya. Mereka memaknai jika definisi
Harold D. Lasswell bahwa politics is who gets what, when, and how atau politik
hanya untuk meraih kekuasaan haruslah diletakkan pada tempat yang sebenarnya,
yakni untuk berkontribusi pada upaya menyejahterakan masyarakat. Motif meraih
http://digilib.mercubuana.ac.id/
265
kekuasaan dijadikan because untuk meraih tujuan sebenarnya. Politik yang juga
dipahami sebagai cara berdakwah dianggap akan lebih maksimal jika memiliki
kekuasaan. Dengan memiliki power atau kekuasaan, mereka meyakini bahwa
dakwah akan lebih melebar. Hal ini sesuai dengan kaidah yang diyakini mereka,
bahwa muslim yang kuat itu lebih baik dibandingkan muslim yang lemah.
Motif terakhir yang ditemukan dalam penelitian ini adalah motif untuk
memperjuangkan ideologi atau sebagai motif in order to. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan, semua informan sesungguhnya memiliki dasar ideologi kuat
untuk berkiprah di partai politik. Ideologi itu muncul atas dasar dorongan untuk
memajukan dan menyejahterakan umat, bangsa, dan negara. Kata “umat”
biasanya beriringan dengan kata “bangsa” yang menandakan bahwa para informan
memahami posisi umat Islam sebagai masyarakat dominan di Indonesia. Ideologi
itu sendiri menjadi tampak seragam karena para informan sama-sama menerima
falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan para ustadz di PMG. Artinya, disadari atau
tidak, melalui falsafah dan nilai-nilai yang diajarkan itu PMG sesungguhnya telah
menanamkan doktrin agar para santrinya menjadi para pemimpin umat.
Memperjuangkan ideolog demi kemaslahatan umat menjadi motif in order bagi
seluruh informan pokok setelah adanya motif meriah kekuasaan dan motif
meneruskan tradisi bagi DR. H.M. Hidayat Nur Wahid, MA dan DR. H. Husnan
Bey Fananie, MA.
Adanya motif meraih kekuasaan dan memperjuangkan ideolog dalam
individu yang sama, menurut salah seorang informan kunci Chaider S. Bamualim,
sangat dimungkinkan. Menurutnya, meski disadari bahwa tujuan berpolitik para
http://digilib.mercubuana.ac.id/
266
informan adalah meraih kekuasaan, namun mereka tetap saja membawa misi-misi
keumatan dan kebangsaan yang menjadi basis ideologinya. Lebih jelas Chaider S.
Bamualim mengatakan:
“Orang berpolitik itu tujuannya kekuasaan. Tapi kita tidak bisa
mengesampingkan bahwa para santri itu tidak membawa misi-misi
ideologis sama sekali. Itu tidak mungkin. Dalam teori sosial selalu aspek
subyektif, relijius, ideologis dalam teori politik. Dalam politik itu kan
orang tujuannya kekuasaan. Orang harus paham bahwa santri itu hidup
dalam kultur, sistem nilai, dan tradisi yang kuat, sehingga ketika mereka
sudah berpolitik mereka tetap memperjuangkan hal-hal yang bertentangan
dengan ideologi mereka. Misalnya, dalam UU Pendidikan Nasional, para
aktifis PPP dulu memperjuangkan agar kata “takwa” tetap ada sebagai
tujuan pendidikan. Jadi, kalau tidak, mereka akan menjadi sekuler sama
sekali. Unsur-unsur keislaman tetap mereka perjuangkan di partai-partai
politik Islam seperti PPP, PKB, PKS. Apalagi jika dianggap ada yang
mengganggu kepentingan Islam, termasuk ideologinya. Meskipun itu juga
sulit karena tidak semua bisa dicapai.”
Penulis juga menemukan fakta lain saat melakukan eksplorasi tentang
kesadaran alumni PMG yang masuk ke dalam kancah politik. Kesadaran
seseorang akan dipengaruhi pula oleh pengetahuan dan pengalaman dalam
dirinya. Beruntung bagi alumni PMG yang menjadi informan pokok pada
penelitian ini, dimana mereka secara sadar memahami dunia politik yang mereka
tekuni. Tidak seperti umumnya orang-orang yang memandang politik itu dengan
sinis dan dianggap sebagai barang “haram” dan kotor, para politikus alumni PMG
justru memaknai politik sebagai tools atau vehicle untuk menyejahterakan umat,
memaksimalkan potensi diri agar bermanfaat bagi sesama, serta meninggikan
kalimat Allah atau dalam kalimat lengkap berbahasa Arabnya adalah: li i’lâi
kalimâtillâh wa li’izzil islâm wal muslimîn (untuk meninggikan kalimat Allah di
muka bumi ini serta untuk memuliakan Islam dan umatnya). Politik juga
http://digilib.mercubuana.ac.id/
267
dipandang mereka sebagai dakwah, dimana jika dakwah itu disukung oleh power,
maka itu lebih baik. Sebuah hadits yang mengatakan bahwa al-mu’minul qawiy
khairun minal mu’min adh-dha’if menjadi pegangan agar proses meraih
kekuasaan (power) tetap berjalan di atas rel kemaslahatan bagi umat, bangsa, dan
negara.
Adapun pemaknaan kotor dalam politik, dipahami mereka sebagai pemeo
yang muncul karena adanya praktik politik kotor oleh sebagian politisi. Tapi hal
itu dianggap sebagai cara pandang yang sekuleristik, apatis, dan tidak sesuai
dengan prinsip dasar politik. Para politikus alumni PMG Dasar berpendapat
bahwa politik itu sejatinya hadir agar para politisi terlibat dalam sebuah kebijakan
yang membawa kebaikan, bukan keburukan atau kekotoran. Politik kotor itu
bukanlah pemeo yang tidak bisa dikoreksi. Dan politik kotor itu merupakan satu
penyimpangan dalam berpolitik.
Penulis juga menemukan fakta bahwa dalam melakukan tindakan
politiknya, para informan pokok memiliki perbedaan dalam hal cara melakukan
kampanye atau mensosialisasikan program-program politiknya. Perbedaan itu
dipengaruhi oleh modal sosial dan modal politik yang dimiliki masing-masing
informan. Bagi seorang ustadz yang memiliki majelis taklim atau pondok
pesantren, tentu akan sangat mudah melakukan komunikasi instruktif saat
mensosialisasikan program-program politiknya. Sebaliknya, bagi seorang dosen
tentu akan lebih sulit melakukan metode komunikasi instruktif karena segmen
yang dihadapinya lebih “melek” politik. Apalagi jika ia sama sekali bukanlah
pejabat “teras” dalam partai politiknya. Namun demikian, penulis menilai jika
http://digilib.mercubuana.ac.id/
268
semua informan pokok memahami bagaimana cara berkomunikasi secara
persuasif
maupun
instruktif,
meski
masing-masing
individu
memiliki
kecenderungan yang berbeda dalam mengaplikasikannya. Hidayat Nur Wahid,
Husnan Bey Fananie, dan Lookh Makhfudz, misalnya, ketiganya akan
menerapkan metode komunikasi persuasif saat berhadapan dengan konstituen
yang tidak memiliki kaitan struktur dalam partai. Namun saat mensosialisasikan
program-programnnya di internal partai politik, mereka akan menggunakan
metode komunikasi instruktif agar pesan yang disampaikan dapat dipahami secara
jelas dan dilaksanakan dengan baik.
Secara umum, penulis menilai bahwa politikus alumni PMG memiliki skill
berpolitik yang lebih maju dibandingkan politisi lainnya. Penulis melihat bahwa
dengan skill yang dimilikinya, para politikus alumni PMG dapat disebut sebagai
politikus kontemporer. Seperti dipahami bersama bahwa dalam komunikasi
politik, komunikator politik merupakan salah satu faktor yang menentukan
efektivitas komunikasi. Pada peristiwa komunikasi manapun, faktor komunikator
merupakan suatu unsur yang penting sekali peranannya. Sekalipun nantinya
keberhasilan komunikasi yang dimaksud secara menyeluruh bukan hanya
ditentukan oleh sumber, namun mengingat fungsinya sebagai pemrakarsa dalam
aktifitas yang bersangkutan, maka bagaimanapun juga dapat dilihat betapa
menentukannya peran tersebut. Dalam perspektif panggung politik kontemporer,
komunikator politik memainkan peran sosial yang utama, khususnya dalam proses
pembentukan opini publik. Komunikator politik sebagai pelaku atau diidentifikasi
sebagai pemimpin yang memiliki potensi dan kompetensi di atas rata-rata
http://digilib.mercubuana.ac.id/
269
dibandingkan warga negara pada umumnya dalam hal menyampaikan pikiran atau
gagasan di mana pun dia berada.
Sebagai seorang komunikator politik, ada beberapa kemampuan yang
mesti dimiliki. Pertama, kemampuan berkomunikasi. Kemampuan berkomunikasi
mempunyai makna bahwa seorang yang mampu dan cerdas dalam menyampaikan
argumen, gagasan, dan pemikiran kepada publik, di manapun dia berada. Artinya,
di manapun dia berada setiap statement-nya mampu mempengaruhi khalayak.
Kedua, komunikator politik sebaiknya memiliki kesempatan dan memiliki
kapasitas sebagai pemimpin. Orang yang mengidentifikasi dirinya berkemampuan
sebagai komunikator politik adalah orang yang memiliki leadership. Bagi orang
yang menceburkan diri dalam panggung politik dan kekuasaan, hal yang tak bisa
ditawarkan adalah memiliki kemampuan dalam memimpin. Pemimpin itu tak lahir
seketika atau instant. Pemimpin sejak lahir sudah terlihat bakatnya sebagai
pemimpin di mana pun dia berada.
Kedua kemampuan di atas, sesungguhnya dapat ditemukan pada para
politikus alumni PMG yang penulis teliti. Baik kemampuan berkomunikasi
maupun leadership, merupakan skill yang sejatinya sudah diasah sejak mereka
masih menjadi santri di PMG. Metode pembelajaran semacam muhâdlarah
(pidato) dan menggunakan Bahasa Arab serta Bahasa Inggris dalam komunikasi
sehari-hari, diaplikasikan sangat baik dalam dunia politik. Para politikus alumni
PMG
pada
akhirnya
mampu
meraih
modal
sosial,
baik
sebagai
penceramah/pendakwah, guru, dosen, motivator, hingga juru lobi yang banyak
mengeluarkan kemampuan berbahasa dan berkomunikasi. Sementara pelajaran
http://digilib.mercubuana.ac.id/
270
leadership yang diperoleh saat nyantri melalui kegiatan OPPM, Pramuka, dan
organisasi lainnya, berhasil dipraktikkan dalam aktivitas berorganisasi di lembaga
politik maupun di lembaga kemasyarakatan.
Maka berdasarkan pengamatan tentang bagaimana peran dan tindakan
alumni PMG di kancah politik, penulis dapat membuat bagan pola komunikasi
mereka sebagai berikut:
Gambar 4.3.2.
Pola Komunikasi Politik Alumni Pondok Modern Gontor
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download