Tujuan Luaran yang Diharapkan Kegunaan Tinjauan Pustaka

advertisement
Tujuan
1. Mengetahui hubungan antara symbol-symbol pada masyarakat jawa dengan falsafah
hidup mereka
2. Mengetahui implementasi masyarakat jawa terhadap symbol dalam budaya dan
kehidupan sehari-hari mereka.
Luaran yang Diharapkan
Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah mendapatkan informasi tentang
hubungan symbol dalam budaya jawa dengan cara hidup mereka.
Kegunaan
Memberikan informasi dan mendokumentasikan kebudayaan masyakat jawa sehingga
memberikan nilai lebih pada budaya jawa.
Tinjauan Pustaka
Isi pokok tulisan Geertz adalah tentang sistem-sistem simbol sosial pada masyarakat, dengan
pengorganisasian dan perwujudannya; yang mampu menimbulkan integrasi sekaligus
disintegrasi. Ia mengambil sampel masyarakat Jawa di wilayah Mojokuto, sebagai suatu struktur
sosial akulturatif dan agamanya yang sinkretik. Struktur sosial yang dimaksud adalah abangan
(pedesaan), santri (pasar atau pusat perdagangan), dan priyayi (kantor pemerintahan atau kota).
Tiga struktur tersebut menimbulkan kesan bahwa penduduk Mojokuto 90 % beragama Islam,
tetapi sebenarnya terdapat variasi dalam kepercayaan, nilai, dan upacara.
Pedesaan, pasar, dan kantor atau kota dipengaruhi dengan latar belakang sejarah kebudayaan
berbeda, memunculkan abangan, santri, dan priyayi. Unsur yang tampak adalah agama, bukan
hanya memainkan peranan bagi terwujudnya integrasi, tetapi juga memainkan peranan memecah
belah dalam masyarakat. Agama didefinisikan sebagai suatu sistem simbol yang bertindak untuk
memantapkan perasaan-perasaan dan motivasi secara kuat, sehingga tampaknya terasa ada
(Suparlan, 1983:vii-x).
Koentjaraningrat mengulas hal-hal yang diteliti Geertz, dengan tambahan sejarah,
keanekaragaman regional, bab inti tentang kebudayaan petani Jawa, dan klasifikasi simbolik.
Penelitian dilakukan mulai tahun 1958, dengan mengambil sampel priyayi di wilayah kerajaan
Solo-Yogya (Keraton Surakarta, Pura Mangkunagaran, Kasultanan Yogyakarta, dan Pura Paku
Alaman). Dalam pembahasan seputar religi masyarakat Jawa, terdapat kemiripan dengan tulisan
Geertz (Koentjaraningrat; 1982 & 1994).
Dalam pertunjukan wayang kulit yang paling dikenal adalah cerita tentang Serat Kalimasada
(lembaran yang berisi mantera/sesuatu yang sakral) yang cukup ampuh dalam melawan segala
keangkaramurkaan dimuka bumi. Dalam cerita itu dikisahkan bahwa si pembawa serat ini akan
menjadi sakti mandraguna. Tidak ada yang tahu apa isi serat ini. Namun diakhir cerita, rahasia
dari serat inipun dibeberkan oleh dalang. Isi serat Kalimasada berbunyi “Aku bersaksi tiada
Tuhan Selain Allah dan Aku bersaksi Muhammad adalah utusan-Nya” ,isi ini tak lain adalah isi
dari Kalimat Syahadat.
Dalam pertunjukan wayangpun sang wali selalu mengadakan di halaman masjid, yang
disekelilingnya di beri parit melingkar berair jernih. Guna parit ini tak lain adalah untuk melatih
para penonton wayang untuk wisuh atau mencuci kaki mereka sebelum masuk masjid.
Simbolisasi dari wudu yang disampaikan secara baik.
Dalam perkembangan selanjutnya, sang wali juga menyebarkan lagu-lagu yang bernuansa
simbolisasi yang kuat. Yang terkenal karangan dari Sunan Kalijaga adalah lagu Ilir-Ilir. Memang
tidak semua syair menyimbolkan suatu ajaran islam, mengingat diperlukannya suatu keindahan
dalam mengarang suatu lagu. Sebagian arti yang kini banyak digali dari lagu ini di antaranya :
Tak ijo royo-royo tak senggoh penganten anyar : Ini adalah sebuah diskripsi mengenai para
pemuda, yang dilanjutkan dengan,
Cah angon,cah angon, penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekna kanggo seba mengko sore :
Cah angon adalah simbolisasi dari manusia sebagai Khalifah Fil Ardh, atau pemelihara alam
bumi ini (angon bhumi). Penekno blimbing kuwi ,mengibaratkan buah belimbing yang memiliki
lima segi membentuk bintang. Kelima segi itu adalah pengerjaan rukun islam (yang lima) dan
Salat lima waktu. Sedang lunyu-lunyu penekno , berarti, tidak mudah untuk dapat mengerjakan
keduanya (Rukun islam dan salat lima waktu) ,dan memang jalan menuju ke surga tidak mudah
dan mulus. Kanggo sebo mengko sore, untuk bekal di hari esok (kehidupan setelah mati).
Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane : Selagi masih banyak waktu selagi
muda, dan ketika tenaga masih kuat, maka lakukanlah (untuk beribadah).
Memang masih banyak translasi dari lagu ini, namun substansinya sama, yaitu membumikan
agama,menyosialisasikan ibadah dengan tidak lupa tetap menyenangkan kepada pengikutnya
yang baru.
Dalam lagu-lagu Jawa, ada gendhing bernama Mijil, Sinom, Maskumambang, kinanthi,
asmaradhana,hingga megatruh dan pucung. Ternyata kesemuanya merupakan perjalanan hidup
seorang manusia. Ambillah Mijil,yang berarti keluar, dapat diartikan sebagai lahirnya seorang
jabang bayi dari rahim ibu. Sinom dapat di artikan sebagai seorang anak muda yang bersemangat
untuk belajar. Maskumambang berarti seorang pria dewasa yang cukup umur untuk menikah,
sedangkan untuk putrinya dengan gendhingKinanthi. Proses berikutnya adalah pernikahan atau
katresnan antar keduanya disimbolkan dengan Asmaradhana. Hingga akhirnya Megatruh, atau
dapat dipisah Megat-Ruh.Megat berarti bercerai atau terpisah sedangkan ruh adalah Roh atau
jiwa seseorang. Ini proses sakaratul maut seorang manusia. Sebagai umat beragama islam tentu
dalam prosesi penguburannya ,badan jenazah harus dikafani dengan kain putih, mungkin inilah
yang disimbolkan dengan pucung (atau Pocong).
Kesemua jenis gendhing ditata apik dengan syai-syair yang beragam, sehingga mudah dan selalu
pas untuk didendangkan pada masanya.
Dalam budaya jawa sebenarnya sangat sarat dengan filsafat hidup (ular-ular). Ada yang disebut
Hasta Brata yang merupakan teori kepemimpinan, berisi mengenai hal-hal yang disimbolisasikan
dengan benda atau kondisi alam seperti Surya, Candra, Kartika, Angkasa,
Maruta,Samudra,Dahana dan Bhumi.
1. Surya (Matahari) memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan. Pemimpin hendaknya
mampu menumbuhkembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negaranya.
2. Candra (Bulan) , yang memancarkan sinar ditengah kegelapan malam. Seorang pemimpin
hendaknya mampu memberi semangat kepada rakyatnya ditengah suasana suka ataupun duka.
3. Kartika (Bintang), memancarkan sinar kemilauan, berada ditempat tinggi hingga dapat
dijadikan pedoman arah, sehingga seorang pemimpin hendaknya menjadi teladan bagi untuk
berbuat kebaikan
4. Angkasa (Langit), luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang
padanya.Prinsip seorang pemimpin hendaknya mempunyai ketulusan batin dan kemampuan
mengendalikan diri dalam menampungpendapat rakyatnya yang bermacam-macam.
5. Maruta (Angin), selalu ada dimana-mana tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi
semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa
membedakan derajat da martabatnya.
6. Samudra (Laut/air), betapapun luasnya, permukaannya selalu datar dan bersifat sejuk
menyegarkan. Pemimpin hendaknya bersifat kasih sayang terhadap rakyatnya.
7. Dahana (Api), mempunyai kemampuan membakar semua yang bersentuhan dengannya.
Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan berani menegakkan kebenaran secara tegas tanpa
pandang bulu.
8. Bhumi (bumi/tanah), bersifat kuat dan murah hati. Selalu memberi hasil kepada yang
merawatnya. Pemimpin hendaknya bermurah hati (melayani) pada rakyatnya untuk tidak
mengecewakan kepercayaan rakyatnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://rizal-pemalu.blog.friendster.com/
http://www.parisada.org
Kemampuan Nilai-nilai Luhur Masyarakat Jawa Dalam Mengahapi Globalisasi ditulis oleh Desy
Nurcahyanti
Falsfah Orang Jawa
Download