ﻋَﻘْدٌﻋَﻟَﯽ اﻟْﻣَﻧَﺎﻓِﻊِ ﺑِﻌَوْضٍ

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian dan Landasan Hukum Ijarah
Ijarah berasal dari kata ‫ االجز‬yang berarti ganti atau upah. Menurut
bahasa ijarah adalah balasan atau imbalan yang diberikan sebagai upah
sesuatu pekerjaan. Menurut istilah ijarah adalah sesuatu perjanjian tentang
pemakaian dan pemungutan hasil sesuatu benda, binatang, atau tenaga
manusia.38
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa,
melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.39 Ijarah adalah
akad sewa menyewa antara pemilik mu‟jir (objek sewa) dan musta‟jir
(penyewa)
untuk
mendapatkan
imbalan
atas
objek
sewa
yang
disewakannya.40
Berikut beberapa definisi ijarah menurut beberapa pendapat ulama
fiqih:41
1. Ulama Hanafiyah
‫َعػ ْق ٌد َعػ َع ْق‬
‫ىاا َع َع اِف ِفغى ِف َعؼ ْق ٍضى‬
“Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
38
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Waqaf, Ijarah, Syirkah (Bandung: PT. AlMa’rifat, 1980), hlm. 24.
39
Muhammad Syafi’i Antonio, log.cit., hlm. 117.
40
Hasbi Ramli, Teori Dasar Akuntansi Syariah, Cet. 1 (Jakarta: Reinasan Anggota
IKAPI, 2005), hlm. 63.
41
Rachmat Syafe’i, op.cit., hlm. 121-122.
28
29
2. Ulama Asy-Syafi’iyah
‫اا َع َعا ِفىى ِف ِفؼ َع ٍضىى‬
‫َعػ ْق ٌد َعػ َع ى َع ْق َع َعؼ ٍضىى َع ْق ُص ْق َع ٍضىى َع ْقؼ ُص ْق َع ٍضىى ُص َع َعا ٍض َع ِف َع ٍضىىاِف ْق َع َع ِفىى َع ْق ِف‬
‫َع ْقؼ ُص ْق ٍضى‬
“Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu
dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan
pengganti tertentu.”
3. Ulama Malikiyah dan Hanabilah
‫تَع ْق ِف ْقي ُص‬
‫كى َع َع اِف ِفغى َعش ْق ٍضءى ُص َع َعا ٍض ُص َّ ًى َع ْقؼ ُص ْق َع ًى ِف ِفؼ َع ٍضى‬
“Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu
tertentu dengan pengganti.”
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, ijarah dapat juga diartikan
sebagai akad sewa menyewa atau pemindahan hak guna atas suatu barang
atau jasa melalui pembayaran upah atau sewa tanpa diakhiri dengan
kepemilikan.
Akad ijarah berlandaskan pada Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’,
berikut landasan hukum ijarah42:
1. Al-Qur’an
‫ض ُصؼ اىأَع ْق ال َع ُصك ْقمىاَعالى ُصج َع َعحى َعػ َع ْقي ُصك ْقمىإِف َعذاى َعس َّ ْق تُص ْقمى َع ىآتَع ْقيتُص ْقمى‬
‫َع إِف ْقنىأَع َعر ْق تُص ْقمىأَع ْقنىتَع ْقستَعزْق ِف‬
‫وى َع اتَّ ُص اى َّ َعى َع ا ْقػ َع ُص اىأَع َّنى َّ َعى ِف َع ىتَع ْقؼ َع ُص نَع ى َع ِف ي ٌدىز‬
‫ِف ْقا َع ْقؼ ُصز ِف‬
Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran menurut yang patut.
42
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Cet. 2 (Jakarta: PT RajaGrafindo, 1997), hlm. 32-33.
30
Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha
melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Baqarah: 233)
Yang menjadi dalil dari ayat tersebut adalah ungkapan “apabila
kamu memberikan pembayaran yang patut”. Ungkapan tersebut
menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar
upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya jasa
penyewaan.
2. As-Sunnah
Adapun landasan Sunnah tentang ijarah ini, antara lain ialah:
a. Hadis riwayat Bukhari dari Aisyah yang berbunyi:
‫ى َع أَع ُص ْق َع ْقك ِفز َعر َعجالً ِف ْقىى َع ِف ى ِف يْقلى‬:‫َع ا ْقستَع ْق َعج َعزاا َّ ِف ُصىى ص ى ى ػ يهى س ّمى‬
‫ِف ْقي ى ُصك َّ ر ُص َعز ْقي ٍضىى اَع َع َع َع ىاُصى اَع َع اَع َعؼ ى اِفاَع ْقي ِفىهى‬
‫هَع ِف يً خزيت َع هُص َع َعػ َع ى‬
‫َعرا ِفا َعتَع ْقي ِف َع َع َع َعػ َعا ىاُصى َع َع َعراالُّث ْق ِفر َع ْقؼ َع َع َعال ِفىىاَعيَع ٍضىىاَع َعتَع هُص َع َع َعزا ِفا َعتَع ْقي ِف َع‬
“Rasulullah dan Abu Bakar pernah menyewa seseorang dari Bani
al-Dil sebagai penunjuk jalan yang ahli, dan orang tersebut
beragama yang dianut oleh orang-orang kafir Quraisy. Mereka
berdua memberikan kepada orang tersebut kendaraannya dan
menjanjikan kepada orang tersebut supaya dikembalikan sesudah
tiga malam di Gua Tsur.”
b. Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, yang
berbunyi:
‫ا ُص ْقػ ُص ْقاا َع ِفج ْقي َعزىأَعجْق َعزاُصى َع ْق َعل ْق‬
‫ىأنىيَع ِف َّ ى َعػ َعز ُص ىهُص‬
31
“Berikanlah upah kepada orang yang kamu pakai tangannya
sebelum keringatnya kering.”
c. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas menyebutkan:
‫اِفاْق تَع ِف ْقمى َع ا ْقػ ِف ْق‬
‫ىاا ُص َّ َع ىأجْق َعز ىاُص‬
“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah upah kepada tukang
bekam tersebut”.
d.
Hadist riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasaiy dari Sa’d bin Abi
Waqas menyebutkan:‫ى‬
‫ص َّ ى‬
‫عىاَع َع ٰ ى َعر ُصس ْق ُصى ِفى َع‬
‫َع ى ِف َع َعػ َع ىاا َّس َع ا ِف ى ِف َع ىاا َّزرْق ِف‬
‫ٍضى‬
‫ُصك َّ ى َع ْقك ِفز ْق‬
‫ىىاالَعرْق‬
‫بىاَع ْق اِفظَع‬
‫ٰ ّ ُصى َعػ َع ْقي ِفهى َع َعس َّ َعمى َعػ ْق ى َعذااِفكَعى َع اَع َع زْق َع ىاَع ْقنى َع ْقك ِفزى َع َع ِف َعذهَع ٍض‬
“Dahulu kita menyewa tanah dengan jalan membayar dengan
hasil tanaman yang tumbuh disana. Rasulullah lalu melarang cara
yang demikian dan memerintahkan kami agar membayarnya
dengan uang mas atau perak.”
3. Ijma’
Mengenai disyari’atkan ijarah, semua umat bersepakat, tak
seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun
ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, akan
tetapi hal itu tidak dianggap. Ijarah disyariatkan, karena manusia
menghajatkannya. Misalnya mereka membutuhkan rumah untuk
tempat tinggal, sebagian mereka membutuhkan sebagian lainnya,
mereka butuh kepada binatang untuk kendaraan dan angkutan,
32
membutuhkan berbagai peralatan untuk digunakan dalam kebutuhan
hidup mereka membutuhkan tanah untuk bercocok tanam.43
Tidak mungkin manusia hidup berkecukupan tanpa adanya ijarah
dengan manusia lainnya. Ijarah merupakan bentuk aktivitas antara pihak
yang berakad yang bertujuan untuk meringankan beban satu pihak atau
saling meringankan beban, sehingga dapat juga disebut bentuk dari tolong
menolong yang diajarkan oleh agama Islam. Oleh sebab itu, ulama
membolehkan ijarah dilakukan.
B. Rukun dan Syarat Ijarah
Dalam setiap transaksi, akad ijarah akan dianggap sah apabila telah
memenuhi rukun dan syaratnya, seperti transaksi lain pada umumnya.
Berikut rukun dan syarat ijarah:
1. Rukun ijarah
Adapun menurut Jumhur ulama, rukun ijarah ada empat, yaitu:
a. „Aqid (orang yang akad).
b. Shighat akad.
c. Ujrah (upah).
d. Manfaat.44
„Aqid (orang yang akad) terdiri atas dua pihak yaitu musta‟jir
(penyewa/ pengguna jasa) dan mu‟ajjir (menyewakan/ pemberi jasa).
Pada „aqid (orang yang akad), disini harus baligh dan berakal sehat.
43
44
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Cet. 1 (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), hlm. 18.
Rachmat Syafe’i, op. cit., hlm. 125.
33
Apabila yang melakukan akad ijarah adalah seorang anak yang
mumayyiz, maka akad dapat sah apabila disetujui oleh walinya. Rukun
ijarah yang selanjutnya adalah shighat akad, yang merupakan bentuk
perjanjian. Shighat akad dapat berupa ijab qabul maupun gerak tubuh
secara verbal.
Ujrah (upah), diberikan kepada pihak yang melakukan pekerjaan,
sebagai imbalan atas jasa yang telah dilakukan. Ujrah juga dapat
diartikan sebagai pembayaran atas pemanfaatan suatu barang.
Rukun ijarah yang terakhir yaitu manfaat. Maksud dari manfaat
disini adalah obyek sewa (ma‟uqud „alaih) yang diakadkan
mempunyai kegunaan atau manfaat yang jelas. Tentunya yang tidak
melanggar ketentuan syara’.
2. Syarat ijarah
Syarat ijarah yaitu para pihak yang berakad harus rela melakukan
akad, tanpa merasa adanya paksaan dari pihak lain dan kedua belah
pihak harus mengetahui secara jelas tentang manfaat yang diakadkan
guna menghindari pertentangan atau salah paham.45
Adapun syarat-syarat al-ijarah sebagaimana yang ditulis Nasrun
Haroen sebagai berikut:
a. Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan telah baligh dan berakal.
45
Qomarul Huda, log. cit., hlm. 81.
34
b. Kedua belah pihak yang berakad menyetakan kerelaannya
melakukan akad al-ijarah.
c. Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui, sehingga
tidak muncul perselisihan dikemudian hari. Kejelasan manfaat itu
dapat dilakukan dengan menjelaskan jenis manfaatnya dan
penjelasan berapa lama manfaat itu di tangan penyewa.
d. Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara
langsung dan tidak ada cacatnya.
e. Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
f. Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa,
misalnya menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri
penyewa
atau
menyewa
orang
yang
belum
haji
untuk
menggantikan haji penyewa.
g. Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
seperti rumah, kendaraan, dan alat-alat perkantoran.
h. Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas, tertentu, dan sesuatu
yang memiliki nilai ekonomi. 46
Dalam hal penyewaan jasa, jumhur ulama berpendapat
bahwa obyek yang akan dikerjakan bukan termasuk pekerjaan yang
diwajibkan oleh syara’, misalnya mengerjakaan sholat, puasa, haji
dan lain-lain. Adapun pengambilan upah untuk jasa dalam ibadah,
para ulama memberikan pendapat mereka, antara lain:
46
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalat, Cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), hlm. 279-280.
35
1.) Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa akad ijarah untuk
melakukan ketaatan, seperti memberi upah seseorang untuk
menyalatkan, mempuasakan, menghajikan, membacakan AlQur’an dan menghadiahkan pahala untuk orang lain dianggap
tidak sah dan dilarang mengambil upah darinya.
2.) Ulama Hanabiyah mengatakan bahwa ijarah untuk adzan,
iqamah, mengajarkan Al-Qur’an, fiqh, hadits, badal haji dan
jabatan fungsional di pengadilan tidak sah, karena semua itu
termasuk perbuatan mendekatkan (taqqarub) diri kepada Allah
Swt. Tetapi boleh mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan
tersebut jika termasuk dalam kategori mashalih, seperti
mengajarkan Al-Qur’an dan hadits.
3.) Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Dhahiriyah dan Ibn Hazm
mengatakan bahwa dibolehkan mengambil upah dalam
mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan, kerena
kegiatan tersebut termasuk pengupahan pekerjaan yang
diketahui tujuan dan perolehannya dengan imbalan yang
ditentukan pula.47
47
Qamarul Huda, op. cit., hlm 82-84.
36
C. Jenis-Jenis Ijarah dan Berakhirnya Akad Ijarah
1. Jenis-jenis Ijarah
a. Ijarah „ala al-munafi‟, yaitu ijarah yang obyek akadnya adalah
manfaat, seperti menyewakan rumah untuk ditempati, mobil untuk
dikendarai, baju untuk dipakai dan lain-lain.
1.) Ijarah al-„ardh (akad sewa tanah) untuk ditanami atau
didirikan bangunan. Akad sewa tersebut baru sah jika
dijelaskan peruntukannya.
2.) Akad sewa pada binatang harus jelas peruntukannya, untuk
angkutan atau kendaraan dan juga masa penggunaannya.
Karena binatang dapat dimanfaatkan untuk aneka kegiatan,
jadi untuk menghindari sengketa kemudian hari, harus disertai
rincian pada saat akad.
b. Ijarah „ala al-„amaal, yaitu ijarah yang obyek akadnya jasa atau
pekerjaan, seperti membangun gedung atau menjahit pakaian.
Akad ijarah ini terkait erat dengan masalah upah mengupah. 48
Ijarah „ala al-„amaal terbagi dua, yaitu:
1.) Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukam oleh seorang pekerja. Hukumnya,
orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang
yang telah memberinya upah.
48
Ibid., hlm. 85-86.
37
2.) Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah yang dilakukan secara bersama-sama atau melalui
kerja sama. Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang
lain.49
2. Berakhirnya Akad Ijarah
Menurut al-Kasani dalam kitab al-Badaa‟iu ash-Shanaa‟iu,
menyatakan bahwa akad al-ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai
berikut:
a. Objek al-ijarah hilang atau musnah seperti rumah yang disewakan
terbakar atau kendaraan yang disewa hilang.
b. Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah
berakhir.
c. Wafatnya salah seorang yang berakad.
d. Apabila ada uzur dari salah satu pihak, seperti rumah yang
disewakan disita negara karena terkait adanya utang, maka akad alijarah nya batal.50
Uzur dikategorikan menjadi tiga macam:
1.) Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah dalam
mempekerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan sesuatu
atau pekerjaan menjadi sia-sia.
49
Rachmat Syafe’i , op. cit., hlm. 133-134.
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, op. cit., hlm. 283.
50
38
2.) Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang disewakan
harus dijual untuk membayar utang dan tidak ada jalan lain,
kecuali menjualnya.
3.) Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa kamar mandi,
tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa harus
pindah.
Menurut jumhur ulama, ijarah adalah akad lazim, seperti jual
beli. Oleh karena itu, tidak bisa batal tanpa ada sebab yang
membatalkannya. Menurut ulama Syafi’iyah, jika tidak ada uzur, tetapi
masih memungkinkan untuk diganti dengan barang lain, ijarah tidak
batal, tetapi diganti dengan yang lain. Ijarah dapat dikatakan batal jika
kemanfaatannya betul-betul hilang, seperti hancurnya rumah yang
disewakan.
Sementara itu, menurut Sayyid Sabiq, al-ijarah akan menjadi
batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
a. Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika di tangan penyewa.
b. Rusaknya barang yang disewakan, seperti ambruknya rumah, dan
runtuhnya bangunan gedung.
c. Rusaknya barang yang diupahkan, seperti bahan baju yang
diupahkan untuk dijahit.
d. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa
yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
39
e. Menurut Hanafi salah satu pihak yang berakad boleh membatalkan
al-ijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa, seperti
terbakarnya gedung, tercurinya barang-barang dagangan, dan
kehabisan modal.51
D. Pembiayaan Ijarah dan Skema Pembiayaan Ijarah di Perbankan
Syariah
1. Pengertian Pembiayaan Ijarah
Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank/ lembaga keuangan lainnya dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.52
Sedangkan pengertian ijarah sudah dijelaskan di awal bahwa ijarah
adalah akad sewa menyewa atau pemindahan hak guna atas suatu
barang atau jasa melalui pembayaran upah atau sewa tanpa diakhiri
dengan kepemilikan.
Dalam konteks perbankan syariah, ijarah adalah suatu lease
contract di bawah mana suatu bank atau lembaga keuangan
menyewakan peralatan (equipment), sebuah bangunan, barang-barang
seperti mesin-mesin, pesawat terbang, dan lain-lain kepada salah satu
51
Ibid., hlm. 284.
Veithzal Rivai dan Arviyan Arifin, Islamic Banking: Sistem Bank Islam Bukan Hanya
Solusi Menghadapi Krisis Namun Solusi Dalam Menghadapi Berbagai Persoalan Perbankan Dan
Ekonomi Global, Sebuah Teori, Konsep Dan Aplikasi (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), hlm. 700.
52
40
nasabahnya berdasarkan pembebanan biaya sewa yang sudah
ditentukan sebelumnya secara pasti (fixed change) (Saleh, 1985: 97).
Pembiayaan ijarah adalah akad pemindahan manfaat barang maupun
jasa tanpa perpindahan hak milik atas manfaat atau jasa yang
dipersewakan.53
Menurut Yeni Salma Barlinti, pembiayaan ijarah adalah salah satu
bentuk penyaluran dana yang dapat dilakukan oleh bank syariah untuk
memberikan dana penyewaan barang atau jasa bagi nasabah yang
membutuhkan.54
2. Skema Pembiayaan Ijarah55
Gambar 2.1 Skema Pembiayaan Ijarah
4. Pengembalian barang saat akhir masa akad
Nasabah
Bank Syariah
1. Akad ijarah
(mu‟jir)
(musta‟jir)
2. Pembayaran sewa (ujrah)
3. Pengalihan Hak Guna Barang
53
M. Syafi’i Antonio, log. cit., hlm. 117.
Yeni Salma Barlinti, log. cit., hlm. 259.
55
Sunarto Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Cet. 1 (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2003), hlm. 44-45.
54
41
Keterangan:
1.
Pihak nasabah (musta‟jir) dan bank syariah (mu‟jir) mengadakan
akad perjanjian ijarah.
2.
Setelah mencapai kesepakatan antara nasabah (musta‟jir) dengan
Bank Syariah (mu‟jir) mengenai objek ijarah, tarif ijarah, periode
ijarah, dan biaya pemeliharaannya, maka akad pembiayaan ijarah
ditandatangani, nasabah diwajibkan menyerahkan jaminan yang
dimiliki, kemudian pihak nasabah (musta‟jir) membayar biaya
sewa pertama.
3.
Bank Syariah (mu‟jir) menyerahkan objek ijarah kepada nasabah
(musta‟jir) sesuai akad yang disepakati.
4.
Setelah periode ijarah berakhir, nasabah mengembalikan objek
ijarah tersebut kepada bank.
Pada dasarnya bai ut ta‟jir merupakan pengembangan dari ijarah,
jadi ketentuannya mengikuti ijarah. Yang membedakan adalah
perpindahan kepemilikannya. Dalam bai ut ta‟jir barang sewaan
berpindah kepemilikannya kepada penyewa (musta‟jir). Proses
perpindahan kepemilikan barang dalam transaksi bai ut ta‟jir dapat
dilakukan dengan cara:
a.
Hibah, yakni transaksi ijarah yang diakhiri dengan perpindahan
kepemilikan barang dengan cara hibah dari pemilik objek sewa
(mu‟jir) kepada penyewa (musta‟jir).
42
b.
Janji menjual (promise to sell), yaitu transaksi ijarah yang diikuti
dengan janji menjual barang objek sewa dari pemilik objek sewa
(mu‟jir) kepada penyewa (musta‟jir) dengan harga tertentu.
E. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Tentang
Pembiayaan Ijarah
Fatwa ialah menerangkan hukum-hukum Allah SWT berdasarkan
pada dalil-dalil syariah secara umum dan menyeluruh.56 Dewan Syariah
Nasional adalah dewan yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia untuk
menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas lembaga
keuangan syariah.57 Jadi Fatwa Dewan Syariah Nasional adalah hukumhukum Allah SWT yang diterangkan oleh dewan yang dibentuk oleh
Majelis Ulama Indonesia untuk menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan aktivitas lembaga keuangan syariah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI) memiliki peran penting dalam upaya pengembangan produk hukum
perbankan syariah. Dalam perkembangannya mengacu pada sistem hukum
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Fatwa DSN MUI dikeluarkan atas
pertimbangan Badan Pelaksana Harian (BPH) yang membidangi ilmu
syariah dan ekonomi perbankan. Agar fatwa memiliki kekuatan mengikat,
sebelumnya perlu diadopsi dan disahkan secara formal ke dalam bentuk
peraturan perundang-undangan. Supaya peraturan perundang-undangan
56
Dewan Syariah Nasional MUI,
Erlangga, 2014), hlm. 7.
57
Ibid., hlm. 4.
Himpunan Fatwa Keuangan Syariah (Jakarta:
43
terlaksana dengan baik, maka DSN-MUI perlu membentuk Dewan
Pengawas Syariah (DPS) di setiap lembaga keuangan syariah.
DPS adalah badan yang ada di lembaga keuangan syariah dan
bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan DSN di lembaga keuangan
syariah. Berdasarkan SK Dewan Pimpinan MUI tentang Pembentukan
Dewan Syariah Nasional (DSN) No. Kep-757/MUI/II/1999, salah satu
yang menjadi tugas dan wewenang DSN ialah mengeluarkan fatwa.
Tujuan pembentukan DPS ialah untuk menjalankan fungsi pengawasan
terhadap aspek syariah yang ada dalam perbankan, meskipun secara teknis
pengawasan perbankan syariah tetap menjadi kewenangan Bank
Indonesia.58
Banyak fatwa DSN-MUI yang telah dikeluarkan dan disahkan,
salah satunya fatwa DSN-MUI yang terkait dengan penelitian, yaitu
Fatwa DSN-MUI tentang Pembiayaan Ijarah. Berikut ketentuan Fatwa
DSN-MUI No.09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah:59
Pertama: Rukun dan Syarat Ijarah
1.
Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua
belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk
lain.
2.
Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa/
pemberi jasa, dan penyewa/ pengguna jasa.
58
Ibid., hlm. 9.
Fatwa Dewan Syariah Nasional
Ijarah., hlm. 3-4.
59
No. 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
44
3.
Objek akad Ijarah, yaitu:
a. Manfaat barang dan sewa, atau
b. Manfaat jasa dan upah.
Kedua: Ketentuan Objek Ijarah
1.
Objek Ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/ atau jasa.
2.
Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan
dalam kontrak.
3.
Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak
diharamkan).
4.
Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan
syariah.
5.
Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk
menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan
sengketa.
6.
Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka
waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7.
Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah
kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat
dijadikan harga (tsaman) dalam jual-beli dapat pula dijadikan sewa
atau upah dalam ijarah.
8.
Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari
jenis yang sama dengan objek kontrak.
45
9.
Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat
diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat, dan jarak.
Ketiga: kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah
1.
Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan.
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
c. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
2.
Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
a. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga
keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
b. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan
(tidak materiel).
c. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari
penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak
penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab
atas kerusakan tersebut.
Keempat:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
Download