Surat-surat Kartini dan Relevansinya di Masa Kini USD | 28 April 2015 | 15:01 WIB Pusat Studi Perempuan, Media, dan Seni ANJANI, Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma (USD) mencoba mencari pemaknaan baru dan berbeda mengenai Kartini dengan mengadakan seminar setengah hari. Tepat pada saat perayaan hari kelahiran Kartini, 21 April 2015 kegiatan ini dilaksanakan di ruang Palma, Kampus 2 USD Mrican. Dimulai pukul 09.00-12.30 WIB dan dihadiri sekitar 60 orang dari dalam dan luar USD, seminar ini bertema “Surat-surat Kartini dan Relevansinya di Masa Kini”, dengan menghadirkan pembicara Dr. Joost Cote (Monash University, Melbourne), Dr. des. Vissia Ita Yulianto (Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta), dan Nur Imroatus. S (Penerbit Jalasutra). Acara ini dimulai oleh pembacaan nukilan surat-surat Kartini oleh 2 orang mahasiswa Ilmu Religi dan Budaya (IRB) USD. Sebagai pembicara pertama Dr. Joost Cote membicarakan Kartini dari perspektif sejarah dalam bentuk biografi. Dengan makalah berjudul Kartini: Writer and Cultural Nationalist, Joost melihat Kartini sebagai seorang penulis modern perempuan dan pionir yang bisa mengartikulasikan nasionalisme Indonesia. Hal ini yang menjadi dua poin utama dari Kartini. Kartini adalah orang pertama yang berbicara mengenai identitas Jawa. Ia menulis dengan tujuan strategis dengan keinginan memberitahu bangsa Jawa kepada publik yang lebih luas (bukan orang Indonesia). Kartini tidak hanya dijadikan semacam alat untuk wacana politis pada Politik Etis oleh pemerintahan Hindia Belanda, maupun oleh pemerintah Indonesia baik pada orde lama dan orde baru. Sebagai penulis Indonesia awal, surat-suratnya tidak hanya dibaca oleh kaum nasionalis Indonesia tetapi juga oleh orang Belanda dan Internasional. Dr. Katrin Bandel selaku moderator seminar menyatakan bahwa Kartini dikaitkan dengan identitas kultural dan mempengaruhi wacana kolonial berkaitan dengan ukiran kayu jepara. Hal ini merupakan imaji kartini yang jarang sekali ditekankan. Kartini lebih banyak membicarakan mengenai kerajinan kayu Jepara (tempat di mana ia tumbuh) dibandingkan dengan pendidikan. Selama lebih dari tiga tahun surat-surat kartini berbicara mengenai ini, bahwa jepara mempunyai kerajinan yang jauh lebih tinggi nilai budayanya. Kartini menyatakan kesetaraannya (Indonesia) dengan masyarakat Eropa melalui kerajinan kayu yang pada saat itu sedang populer di Eropa. Nur Imroatus sebagai pembicara berikutnya berbicara dari perspektif penerbit sebagai motivasi penerbitan buku kumpulan surat-surat Kartini yang berjudul “Emansipasi; surat-surat kepada bangsanya 1899-1904”. Jalasutra ingin menerbitkan surat-surat Kartini tentu saja tidak hanya mempunyai dua pertimbangan utama, yaitu bagus dan komersil. Akan tetapi hal ini juga mempunyai tanggungjawab terhadap pemaknaan baru kartini saat ini yang sudah terlanjur dimitoskan. Dua terbitan awal surat-surat Kartini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Armijn Pane dan Sulastin Sutrisno. Armijn Pane mempunyai wacana politis pada waktu itu sehingga Penerbit Jalasutra lebih memilih naskah terbitan Sulastin Sutrisno. Pembicara selanjutnya Vissia Ita Yulianto dalam kesempatan ini memaparkan makalah berjudul “Hari Kartini atau Hari Perempuan”. Ita mengkritik perayaan hari Kartini sering kehilangan makna karena hanya terus mereproduksi domestifikasi perempuan ala orde baru. Dikatakan bahwa Kartini berusia 25 tahun ketika meninggal, berarti bukan seorang ibu-ibu yang berusia 40 tahun. Kartini menulis 141 surat. Kartini tidak 1/2 hanya menulis surat, 4 cerita pendek yang terpublikasi, 3 prosa, 2 artikel etnografis modern, 2 memorandum resmi yang ditujukan untuk pejabat kolonial Belanda. Kartini menulis nota pendidikan: berilah Jawa pendidikan (Januari 1903) ketika masih berusia 23 tahun. Ita menyampaikan perlunya dalam konteks nasional/Indonesia sebagai negara bangsa, nama Hari Kartini seyogyanya diganti menjadi hari perempuan dikarenakan, 1) Hari kartini kurang bisa menghargai dan merepresentasikan suara dan wujud perjuangan perempuan Jawa, 2)Kita mewarisi pemahaman yang salah tentang kartini. Meskipun tawaran ini masih mengandung pro-kontra hingga hari ini. Sementara itu sesi tanya jawab berlangsung hangat hingga tiga termin. Banyak pertanyaan dan gagasan yang disampaikan terhadap materi acara dan juga terhadap imaji Kartini yang disampaikan oleh pembicara. St. Sunardi menyayangkan bahwa pembahasan imaji Kartini masih dalam koridor autobiografi secara elitis. Dilanjutkan bahwa kenapa tidak membahas mengenai masyarakat seperti apa yang melahirkan seorang Kartini di zamannya yang melandasi pemikiranya melampaui zaman kita hari ini. Kemudian seperti yang dikatakan Kurniasih bahwa perlu memahami dengan detail surat-surat Kartini dan mencari relevansi serta pemaknaan barunya hari ini. Sehingga interpelasi yang sering terjadi terhadap Kartini tidak terus terjadi. Terakhir Zuhdi Sang mengamini bahwa jika kita hanya berkutat di wilayah elitis dalam membahas Kartini dan kebesaran sosoknya, tidak surat-surat berharganya yang ditinggalkan, maka menjadi tidak ada bedanya diskusi kita hari ini dengan perayaan selebrasi Kartini yang kita kritisi tersebut. Pada sesi diskusi terakhir, St. Sunardi menyatakan bahwa seperti yang dikatakan Joost, Kartini adalah pemikir besar modernis Indonesia dalam hal kebebasan berfikir. Cara berfikir Kartini bukan hanya dengan kepala tetapi dengan seluruh perasaan. Ini yang dimiliki Kartini meskipun dengan didikan Belanda, bahkan di sisi lain juga ingin mendidik orang Belanda yang seringkali mengaku modernis tetapi menjajah. Problem besar membaca Kartini adalah sulit menulis karna gema-nya terlalu besar. Itu menggoncangkan sang pembaca, ada baiknya yang merespon tidak hanya seorang pemikir tetapi orang seni, teater atau lainnya. Paling tidak ada beberapa hal yang harus kita periksa, Kartini sebagai embodyment modernite merumuskan kembali hubunganya dengan kolonial, gagasan modern dan dengan lingkungan. Ini yang perlu kita baca untuk sejarah pemikiran. Teater dan gerakan sosial menjadi sesuatu yang cocok untuk mendistribusikan teks Kartini. Pada akhirnya yang bisa disimpulkan adalah belum ada kesimpulan dan banyak hal belum ada jawabannya. Kartini berstrategi mendidik orang Belanda. Suratnya mau dibaca sebagai apa? Dokumen historis atau motivasi menulis, emansipasi perempuan atau yang lain? Berbagai kritik yang menarik, apakah ini masih positif, atau belum cukup kritis? Apakah kita sudah benar-benar membahas surat itu dan ini memberikan dorongan ke depan untuk mengembangkan lebih jauh. (PS) 2/2