TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Struktur botani tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg) menurut Steenis (2005) ialah tersusun sebagai berikut : Kingdom : Plantae; Divisio: Spermatophyta ; Subdivisio : Angiospermae; Kelas: Dicotyledoneae; Ordo : Euphorbiales; Famili : Euphorbiaceae; Genus : Hevea. Akar tanaman karet berupa akar tunggang yang mampu menopang batang tanaman yang tumbuh tinggi ke atas. Dengan akar seperti itu pohon karet dapat berdiri kokoh, meskipun tingginya mencapai 25 meter (Setiawan dan Andoko, 2006). Karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 meter. Batang tanaman biasanya tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Di beberapa kebun karet ada kecondongan arah tumbuh tanamannya agak miring ke arah utara. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan nama lateks. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai utama 320 cm, sedangkan panjang tangkai anakdaun antara 3-10 cm. Anak daun berbentuk memanjang elips, memanjang dengan ujung runcing (Nazaruddin, 1992 ; Nugroho, 2010). Daun karet berselang-seling, tangkai daunnya panjang dan terdiri dari 3 anak daun yang licin berkilat. Petiola tipis, hijau, berpanjang 3,5-30 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk lonjong-oblong atau oblong-obovate, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001). Universitas Sumatera Utara Karakteristik bunga jantan karet pada beberapa tetua karet cukup bervariasi yaitu 295-500 bunga per tangkai dengan rata-rata 383,4 per tangkai dan 2065-2640 bunga per karangan dengan rata-rata 3482,6 bunga per karangan. Masing-masing bunga jantan dari setiap tetua tumbuh di setiap tangkai utama dan cabang-cabangnya, untuk satu tangkai bunga tersusun atas tiga bunga jantan (trifolia) yang berwarna kuning ( Syarifah dan Wulan, 2007 ; Mardianto, 2011). Karet merupakan tanaman berbuah polong (diseliputi kulit yang keras) yang sewaktu masih muda buahnya berpaut erat dengan rantingnya. Buah karet dilapisi oleh kulit tipis berwarna hijau dan di dalamnya terdapat kulit yang keras dan berkotak. Tiap kotak berisi sebuah biji yang dilapisi tempurung, setelah tua warna kulit buah berubah menjadi keabu-abuan dan kemudian mengering. Pada waktunya pecah dan matang, bijinya tercampak lepas dari kotaknya. Tiap buah tersusun atas 2-4 kotak biji (Budiman, 2012). Kultur Jaringan Kultur jaringan tanaman terdiri dari sejumlah teknik untuk menumbuhkan organ, jaringan, dan sel tanaman. Jaringan dapat dikulturkan pada agar padat atau hara cair. Jika ditanaman dalam agar, jaringan akan membentuk kalus, yaitu massa atau sel-sel yang tak tertata. Kultur agar juga merupakan teknik untuk meristem dan juga untuk mempelajari organogenesis (Wetter dan Constabel, 1991; Jumroh, 2013). Kultur jaringan merupakan teknik menumbuhkembangkan bagian tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro. Dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur Universitas Sumatera Utara buatan dengan kandungan nutrisi lengkap dan zat pengatur tumbuh, serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol (Yusnita, 2003). Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan (in vitro) menawarkan peluang besar untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman yang banyak dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis. Teknik perbanyakan tanaman ini dapat dilakukan sepanjang waktu tanpa tergantung musim. Selain itu, perbanyakan tanaman dengan teknik in vitro mampu mengatasi kebutuhan bibit dalam jumlah besar, serentak, dan bebas penyakit sehingga bibit yang dihasilkan lebih sehat serta seragam. Oleh sebab itu, kini perbanyakan tanaman secara kultur jaringan merupakan teknik alternatif yang tidak dapat dihindari bila penyediaan bibit tanaman harus dilakukan dalam skala besar dan dalam waktu relatif singkat (Andaryani, 2010). Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat dilakukan melalui perbanyakan tunas-tunas baru dari tunas aksilar. Tunas aksilar yang digunakan adalah nodus tunggalnya sehingga kemudian dikenal sebagai mikrostek. Pada teknik ini hal yang terpenting yang menjadi orientasi adalah merangsang pertumbuhan tunas, subkultur mikrostek untuk menghasilkan tunas baru demikian seterusnya kemudian dilakukan pengakaran (Santoso dan Nursandi, 2004). Pada tahap multiplikasi, perbanyakan dapat dilakukan dengan cara merangsang terjadinya pertumbuhan tunas cabang dan percabangan aksilar atau merangsang terbentuknya tunas pucuk tanaman secara adventif, baik secara langsung maupun melalui induksi kalus terlebih dahulu. Seperti halnya dalam kultur fase inisiasi, di dalam media harus terkandung mineral, gula, vitamin, dan hormon dengan perbandingan yang dibutuhkan secara tepat. Hormon yang Universitas Sumatera Utara digunakan untuk merangsang pembentukan tunas tersebut berasal dari golongan sitokinin seperti BAP, 2-iP, kinetin, atau thidiadzuron (TDZ) (Jumroh, 2013). Eksplan Bahan tanaman yang dikulturkan lazim disebut eksplan. Dalam perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, eksplan merupakan faktor penting penentu keberhasilan. Umur fisiologis, umur ontogenetik, ukuran eksplan, serta bagian tanaman yang diambil merupakan hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam memilih eksplan yang akan digunakan sebagai bahan awal kultur. Umumnya, bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah jaringan muda yang sedang tumbuh aktif. Jaringan tanaman yang masih muda mempunyai daya regenerasi lebih tinggi, sel-selnya masih aktif membelah diri, dan relatif lebih bersih (mengandung lebih sedikit kontaminan) (Yusnita, 2003). Secara umum terdapat empat sumber yang digunakan dalam perbanyakan mikro (micropropagation) untuk menghasilkan plantlet, yaitu (1) meristem, (2) apex, (3) nodus (node) dan (4) bermacam-macam eksplan. Meristem, apex dan nodus dapat dikulturkan menjadi tunas. Tunas yang dihasilkan selanjutnya dapat digunakan sebagai sumber untuk menghasilkan tunas-tunas baru dengan menggunakan percabangan axilari. Tunas-tunas tersebut kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut sehingga terbentuk perakaran dan akhirnya menjadi plantlet (Yuwono, 2006 ; Fitriani, 2008). Menurut Debergh dan Zimmerman (1991) banyak mikropropagasi menggunakan eksplan dari tunas apikal dan aksilar. Hanya dalam jumlah terbatas dari bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan lain, seperti daun dan bunga (Purwanto, 2008). Universitas Sumatera Utara Hartmann et al. (1990) menyatakan bahwa jaringan-jaringan yang sedang aktif tumbuh pada awal masa pertumbuhan biasanya merupakan bahan eksplan yang paling baik. Pierik (1997) juga menyarankan untuk menggunakan jaringanjaringan muda dan lunak karena pada umumnya jaringan tersebut lebih muda berploriferasi daripada jaringan berkayu atau yang sudah tua. Selain itu, Pierik (1997) menyatakan bahwa pada umumnya bagian-bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada bagian-bagian generatif. Eksplan mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang istirahat, lebih sulit daripada mata tunas yang diperoleh dari tanaman yang sedang aktif tumbuh. Ukuran eksplan yang dikulturkan turut menentukan keberhasilan dari suatu teknik kultur jaringan. Ukuran eksplan yang terlalu kecil akan kurang daya tahannya bila dikulturkan. Sedangkan bila ukurannya terlalu besar akan sulit didapatkan eksplan yang steril. Mariska dan Sukmadjaja (2003) juga menambahkan bahwa ukuran eksplan yang dapat digunakan dalam teknik kultur jaringan bervariasi dari ukuran mikroskopik (±0,1 mm) hingga 5 cm (Jumroh, 2013). Media Kultur Media kultur jaringan adalah media tanam yang terdiri dari berbagai komposisi dan macam unsur hara dan sebagainya. Media tanam pada kultur jaringan berisi kombinasi dari asam amino essensial, garam-garam anorganik, vitamin-vitamin, larutan buffer, dan sumber energi (glukosa). Media kultur jaringan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam perbanyakan tanaman secara in vitro (Yusnita, 2003). Dikarenakan media merupakan faktor penting dalam penentu keberhasilan in vitro maka untuk membuat media dengan Universitas Sumatera Utara jumlah zat seperti yang ditentukan, diperlukan penimbangan dan penakaran bahan secara tepat. Ketidaktepatan ukuran dapat menyebabkan terjadinya proses yang tidak dikehendaki (Nursetiadi, 2008). Medium yang digunakan untuk kultur in vitro tanaman dapat berupa medium padat atau cair. Medium padat digunakan untuk menghasilkan kalus yang selanjutnya diinduksi membentuk tanaman yang lengkap (disebut sebagai planlet), sedangkan medium cair biasanya digunakan untuk kultur sel. Medium yang digunakan mengandung lima komponen utama yaitu senyawa anorganik, sumber karbon, vitamin, zat pengatur tumbuh dan suplemen organik (Yuwono, 2008). Beberapa media dasar yang banyak digunakan dalam kultur jaringan antara lain media dasar Murashige dan Skoog (1962) yang dapat digunakan untuk hampir semua jenis kultur, media dasar B5 untuk kultur sel kedelai dan legume lainnya, media dasar White (1934) sangat cocok untuk kultur akar tanaman tomat, media dasar Vacin dan Went (1949) digunakan untuk kultur jaringan anggrek, media dasar Nitsch dan Nitsch (1969) digunakan dalam kultur tepung sari (pollen) dan kultur sel, media dasar Schenk dan Hildebrandt (1972) untuk kultur jaringan tanaman monokotil, media dasar WPM (Woody Plant Medium, 1981) khusus untuk tanaman berkayu (Nursetiadi, 2008). Media dasar yang banyak digunakan adalah Murashige & Skoog (MS), karena komposisi garamnya sesuai untuk morfogenesis, kultur meristem, dan regenerasi tanaman. Dalam media MS biasanya ditambahkan satu atau lebih vitamin yang berfungsi untuk proses katalis dalam metabolisme eksplan (George and Sherrington 1984). Vitamin yang biasa digunakan adalah Myo-inositol, Piridoxin-HCl, Asam folat, Sianocobacilamin, Riboflafin, Betin, Kolin klorida, Universitas Sumatera Utara Kalsium pantetonut, Piridoxin fosfat, Thiamin-HCl, dan Nicotinamida (Wattimena et al., 1992). Formulasi dasar dari garam mineral buatan Murashige dan Skoog merupakan media kultur yang khas dan biasa digunakan dalam propagasi tanaman secara in vitro. Nutrisi mineral dapat dibagi dalam tiga kelas: garam mineral nutrisi makro, garam mineral nutrisi mikro dan sumber besi. Garam-garam nutrisi makro dibutuhkan dalam jumlah relatif besar dan jumlah yang dibutuhkan untuk membuat 1 liter media cukup besar sehingga dapat ditimbang dengan cukup teliti dengan menggunakan alat timbangan miligram (Wetherel, 1982 ; Fitriani, 2008). Media kultur jaringan yang dirancang untuk tanaman berkayu seperti buah-buahan adalah WPM hasil komposisi dari Llyoyd dan McCown, 1981. Media WPM merupakan media dengan konsentrasi ion yang rendah pada jaman sesudah penemuan media MS. Media ini konsisten sebagai media untuk tanaman berkayu yang dikembangkan oleh ahli lain, sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media tanaman berkayu lain (Gunawan, 1992). Lingkungan in Vitro Kultur jaringan tanaman mempunyai pertumbuhan yang berbeda tergantung dari tipe lingkungan kultur dimana jaringan tanaman tersebut ditumbuhkan. Intensitas, kualitas, dan lamanya penyinaran, temperatur, oksigen/karbon dioksida, dan konsentrasi gas-gas lain, dan juga komposisi dari medium memegang peranan penting dalam morfogenesis jaringan tanaman tersebut (Sofia, 1997). Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam keberhasilan kultur jaringan, yaitu: lingkungan kerja (cahaya, temperatur dalam ruangan dan Universitas Sumatera Utara botol kultur, dan kelembaban), sterilisasi alat dan media (media tanaman, zat pengatur tumbuh, pH meter, peralatan yang dipakai pada saat penanaman), dan sterilisasi bahan tanaman. Di samping itu, Hendaryono dan Wijayani (!994), menyebutkan ada 4 faktor lingkungan yang harus tetap terkontrol untuk keberhasilan tujuan kultur jaringan, yaitu keasaman, kelembaban, cahaya dan temperatur. Untuk keasaman media atau pH memiliki nilai yang relatif sempit dengan titik optimal pH 5,06,0. Bila eksplan mulai tumbuh, pH dalam lingkungan kultur jaringan umumnya akan naik apabila nutrien habis terpakai. Kelembaban relatif (RH) lingkungan yang diperlukan biasanya mendekati 100%. Sedangkan intensitas cahaya yang rendah mempertinggi embryogenesisi dan organogenesis. Yoeman (1990) menyatakan bahwa penyinaran dalam kultur jaringan menggunakan lampu flourescensdengan intensitas antara 1000-1500 lux selama 16 jam sehari. Hartmann et al. (2002), temperatur yang sering digunakan pada kultur jaringan adalah kisaran antara 2030°C (68-81°F) (Jumroh, 2013). ZPT Zat pengatur tumbuh (ZPT) adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal serupa dikemukakan oleh Hendaryono dan Wijayanti (2004) zat pengatur tumbuh (ZPT) pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologis tumbuhan (Nursetiadi, 2008). Universitas Sumatera Utara Zat pengatur tumbuh dalam tanaman terdiri dari lima kelompok yaitu, Auksin, Giberelin, Sitokinin, Etilen dan Inhibitor dengan ciri khas serta pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologis tanaman (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Auksin pada kultur jaringan dikenal sebagai hormon yang berperan menginduksi kalus, menghambat kerja sitokinin membentuk klorophil dalam proses embriogenesis, dan auksin juga dapat mempengaruhi kestabilan genetik sel tanaman (Santoso dan Nursandi, 2003). Hormon auksin diketemukan dalam jaringan muda yaitu pada pucuk dan endosperm yang sel-selnya masih aktif membelah (Purwanto, 2008). Menurut Wattimena et al. (1992), sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman terutama mendorong pembelahan sel. Peran sitokinin dalam kultur in vitro mempunyai dua peran penting yaitu merangsang pembelahan sel sserta pembentukan dan perbanyakan tunas aksilar dantunas adventif, tetapikadar sitokin yang optimum ini dapat menghambat pertumbuhan dan pembentukan akar. Salah satu jenis ZPT dari golongan sitokinin yang sering dipakai dalam kultur jaringan yaitu BAP (6-benzylamino purin). 6-Benzylamino purin (BAP) merupakan salah satu sitokinin sintetik yang aktif dan daya merangsangnya lebih lama karena tidak mudah dirombak oleh enzim dalam tanaman (Jumroh, 2013). Kajian In Vitro Tanaman Karet Kultur in vitro tanaman karet dapat dilakukan dengan microcutting dan embriogenesis somatik (Nayanakantha & Seneviratne, 2007; Montoro et al., 2010). Teknologi in vitro microcutting karet dikembangkan untuk menghasilkan Universitas Sumatera Utara batang bawah klonal (Carron dan Enjalric, 1983) guna memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kualitas batang bawah yang selama ini dihasilkan dari biji. Meningkatnya kebutuhan batang bawah menyebabkan ketersediaan biji tidak mencukupi lagi karena tergantung pada beberapa klon karet penghasil biji batang bawah dan pada musim biji yang hanya berlangsung satu kali dalam setahun. Di samping itu, kelemahan lain dari penggunaan bibit asal biji sebagai batang bawah adalah adanya keragaman batang bawah dan kekurang-mampuan kombinasi batang atas dan batang bawah menampilkan potensi produksi dan karakter unggul lain secara maksimal karena per-bedaan tingkat juvenilitas (Abbas dan Ginting, 1981). Keberhasilan tersebut membuka peluang perbanyakan tanaman karet secara in vitro, yang dapat dilakukan untuk dua tujuan. Pertama dan yang paling ideal adalah untuk perbanyakan klonal tanaman karet unggul secara massal sehingga bibit yang diperoleh tidak memerlukan batang bawah dan merupakan klon utuh (whole clone). Namun ternyata hal tersebut tidak mudah karena sebagian besar klon-klon karet yang direkomendasikan untuk ditanam dalam skala luas kurang responsif terhadap lingkungan kultur in vitro (Haris, 2013). Penelitian tentang kultur jaringan tanaman karet dilakukan juga oleh Sundari et al. (2014) yang menyimpulkan bahwa pemberian kombinasi konsentrasi BAP dan NAA pada media WPM berpengaruh terhadap persentase eksplan membentuk tunas. Persentase eksplan hidup tertinggi juga terdapat pada perlakuan A3 (0.5 mg/l BAP + 0.25 mg/l NAA) yaitu sebesar 73.33 %. Persentase ekplan membentuk tunas tertinggi yaitu pada perlakuan A3 (0.5 mg/l BAP + 0.25 Universitas Sumatera Utara mg/l NAA) yaitu dengan rataan sebesar 73.33 sedangkan yang terendah adalah pada perlakuan A5 (1 mg/l BAP + 0 mg/l NAA) yaitu 13.33. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Harahap et al. (2014) menyatakan pemberian kombinasi BAP dan NAA pada media MS untuk kultur jaringan tanaman karet menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase munculnya tunas, jumlah tunas, panjang tunas dan umur munculnya tunas, dengan hasil terbaik pada perlakuan A5(BAP 1 mg/l + NAA 0 mg/l). Dalam kegiatan in vitro pembentukan daun yang baru dan tunas aksilar pohon karet diperluas. Pembentukan kalus terjadi dalam eksplan tetapi regenerasi eksplan pada embryoid tidak terjadi. Tunas yang diperoleh berasal dari tunas aksilar yang dibiakkan dalam media kultur dasar MS (Murashige dan Skoog) ditambah dengan 1,0 mg/l kinetin , 1,0 mg/l asam 2,4-diklorophenoxiacetic acid (2,4-D), 20 g/l sukrosa dan 4 g/l difco agar. Untuk pengembangan sistem perakaran, media kultur yang digunakan adalah MS ditambah dengan 5,0 mg/l asam naphthaleneacetic (NAA) ; 3,0 mg/l asam indol butyiric (IBA) ; 50 g/l sukrosa dan 4,0 g/l difco agar (Mendanha et al., 1998) Universitas Sumatera Utara