BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analis Deskriptif 5.1.1 Penyerapan Tenaga Kerja Tenaga kerja sebagai salah satu dari faktor produksi merupakan unsur yang penting dan paling berpengaruh dalam mengelola dan mengendalikan sistem ekonomi, seperti produksi, distribusi, konsumsi maupun investasi. Adapun kondisi tenaga kerja di Sumatera Barat adalah sebagai berikut: Penduduk usia kerja (PUK) merupakan penduduk yang berusia 15 tahun ke atas. PUK mengalami perubahan seiring dengan adanya perubahan proses demografi. Dengan kata lain, jika jumlah penduduk terus bertambah maka jumlah PUK pun akan meningkat. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2009 PUK Sumatera Barat terus meningkat. Pada tahun 2010 jumlah PUK sekitar 3,3 juta orang, sedikit lebih rendah jika dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 3,38 juta orang. Bagian dari tenaga kerja yang aktif dalam kegiatan ekonomi disebut angkatan kerja. Angkatan kerja akan meningkat seiring dengan adanya peningkatan PUK. Angkatan kerja yang terus bertambah tanpa adanya perluasan lapangan kerja dapat menyebabkan pengangguran. Secara umum, jumlah angkatan kerja ini terus meningkat. Tahun 2010 jumlah angkatan kerja telah mencapai 2,19 juta orang atau dua per tiga dari penduduk usia kerja. 42 Tabel 5.1 Keadaan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 Jenis Kegiatan/Type of Activity (1) 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (2) (3) (4) (5) (6) (7) 3.139.890 3.161.612 3.225.756 3.325.258 3.383.457 3.306.264 1.963.332 2.501.800 2.106.711 2.127.512 2.172.002 2.194.040 1.737.472 1.808.275 1.889.406 1.956.378 1.998.922 2.041.454 Pengangguran Terbuka /Unemploy. 225.860 243.525 217.305 171.134 173.080 152.586 TPAK/Tk. Partisipasi Angkatan Kerja 62,53 64,90 65,31 63,98 64,19 66,36 11,50 9,73 10,31 8,04 7,97 6,95 Penduduk Berumur 15 Tahun ke Atas Population 15 Years of Age and Over Angkatan Kerja/Economically Active Bekerja/Working Labor Force Participation Rate (%) TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) Unemployment Rate(%) Sumber: BPS, diolah. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan hasil bagi antara jumlah angkatan kerja dengan jumlah tenaga kerja. TPAK merupakan ukuran yang menggambarkan jumlah angkatan kerja untuk setiap 100 orang tenaga kerja. TPAK di Sumatera Barat berkisar antara 62-66 persen. Terjadinya fluktuasi TPAK ini disebabkan karena kondisi sosial ekonomi yang belum stabil, yang dapat mempengaruhi faktor-faktor produksi. Karena naik turunnya faktor produksi dapat mempengaruhi tinggi atau rendahnya permintaan dan penawaran tenaga kerja. Besarnya pengangguran terlihat dari nilai Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Tingkat Pengangguran Terbuka merupakan hasil bagi antara jumlah pengangguran terbuka/unemployment dengan jumlah angkatan kerja. TPT 43 Sumatera Barat pernah mencapai angka 11,5 persen di tahun 2005, yang kemudian menurun di tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2010 TPT Sumatera Barat mencapai 6,95 persen. Walaupun TPT Sumatera Barat telah mengalami penurunan dari tahun ke tahun namun masih jauh dari keadaan/tingkat full employment (4 persen). 4,50 4,29 4,00 3,92 3,50 3,42 3,00 2,50 2,13 2,00 2,08 2,00 pertumbuhan penyerapan tenaga kerja 1,50 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Gambar 5.1 Pertumbuhan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 Sumber: BPS, diolah. Gambar 5.1 memperlihatkan trend pertumbuhan penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010. Pada Tahun 2005-2007 terjadi peningkatan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja, akan tetapi pada Tahun 2007-2010 pertumbuhan penyerapan tenaga kerja menunjukkan trend menurun. Penurunan ini disebabkan terjadinya bencana alam yang melanda Sumatera Barat yaitu gempa bumi pada bulan Maret tahun 2007. Gempa bumi telah merusak sarana 44 prasarana serta infrastruktur seperti jalan, bangunan, dan irigasi sehingga berdampak langsung terhadap lapangan pekerjaan. Gempa bumi Tahun 2007 hanya tercatat di 5 Kabupaten/Kota yaitu di Kabupaten Solok, Kota Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, dan Kota Bukitinggi, sehingga tidak sampai melumpuhkan perekonomian di Sumatera Barat. Demikian halnya pada tanggal 30 September 2009 juga terjadi gempa bumi besar di sebagian besar wilayah Sumatera Barat terutama di pusat pemerintahan dan perekonomian yaitu Kota Padang. Gempa bumi pada periode ini sempat melumpuhkan perekonomian di Sumatera Barat yang berdampak pada penurunan penyerapan tenaga kerja. Lainnya 11% Jasa Kemasyarakatan 18% Perdagangan 20% Pertanian 44% Industri 7% Gambar 5.2 Persentase Penduduk yang Berumur 15 tahun ke Atas yang Bekerja menurut Lapangan Pekerjaan Utama Tahun 2010 Sumber: BPS, diolah. Berdasarkan Gambar 5.2 terlihat bahwa pada Tahun 2010 persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama dominan pada sektor pertanian dengan persentase sebesar 44 persen. Lapangan pekerjaan utama kedua adalah pada sektor perdagangan dengan 45 persentase sebesar 20 persen, sedangkan sektor industri dengan persentase sebesar 7 persen merupakan lapangan pekerjaan yang paling rendah menyerap tenaga kerja. 50,00 47,97 47,93 45,46 47,25 45,39 44,10 40,00 30,00 20,00 19,48 18,46 13,89 10,00 7,51 12,18 20,33 14,17 14,32 6,57 12,45 14,34 13,01 11,89 7,41 20,76 20,24 12,94 6,56 6,56 12,95 19,90 16,63 6,78 12,60 0,00 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Pertanian, Kehutanan, Perburuan dan Perikanan Industri Pengolahan Perrdagangan Besar, Eceran, Rumah Makan dan Hotel Jasa Kemasyarakatan, Sosial dan Perorangan Lainnya Gambar 5.3 Penyerapan Tenaga Kerja Berdasarkan Sektor/Lapangan Usaha di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%) Sumber: BPS, diolah. Sektor/lapangan Usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Sumatera Barat periode 2005-2010 adalah sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Pada Tahun 2010, sektor ini dapat menyerap tenaga kerja sebesar 44,10 persen. Sedangkan urutan kedua adalah sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel, disusul sektor jasa, lainnya, dan industri pengolahan. Sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, dan hotel Tahun 2010 dapat menyerap tenaga kerja sebesar 19,90 persen. 46 5.1.2 Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin merupakan pengeluaran pemerintah untuk belanja pegawai, penyusutan maupun belanja barang (termasuk biaya perjalanan, pemeliharaan dan pengeluaran rutin lainnya). Pengeluaran pembangunan ditujukan untuk pembiayaan pembangunan sebagai kegiatan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan untuk menambah akumulasi modal masyarakat dalam bentuk sarana fisik maupun prasarana dasar. Dengan demikian pengeluaran pemerintah ini dapat mempengaruhi kesempatan kerja. Sebelum Tahun 2000 pengeluaran pemerintah menggunakan sistem tahun anggaran. Mulai tahun 2000 berdasarkan sistem tahun fiskal. Semenjak Tahun 2005 pengeluran rutin dan pengeluaran pembangunan digabung menjadi satu. Tabel 5.2 Realisasi Belanja Daerah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (juta rupiah) Tahun Realisasi Belanja Daerah % Peningkatan (1) (2) (3) 2005 931.908,63 11,53 2006 1.206.372,40 22,75 2007 1.245.441,50 3,14 2008 1.637.700,49 23,95 2009 1.837.245,56 10,86 2010 1.923.567,38 4,49 Sumber: BPS, diolah. Dari tahun ke tahun pengeluaran pemerintah terus mengalami peningkatan. Dari Tabel 5.2 terlihat bahwa persentase peningkatan belanja daerah pemerintah provinsi Sumatera Barat sempat di atas 20 persen yaitu pada tahun 2006 dan tahun 2008. Pada tahun 2010 realisasi belanja daerah pemerintah provinsi mencapai 47 1,923 trilyun rupiah dengan persentase peningkatan sebesar 4,49 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Peningkatan belanja pemerintah daerah diharapkan mampu lebih banyak menyerap tenaga kerja yang pada gilirannya akan mengurangi tingkat pengangguran di Sumatera Barat. 5 30 pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pertumbuhan pengeluaran pemerintah 4 3 25 20 15 2 10 1 5 0 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Gambar 5.4 Pertumbuhan Pengeluaran Pemerintah dan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%) Sumber: BPS, diolah. Pertumbuhan pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja memperlihatkan pola yang sama (lihat Gambar 5.4). Hal ini berarti bahwa terdapat hubungan antara pengeluaran pemerintah dengan penyerapan tenaga kerja. Sedangkan pada tahun 2007 terjadi perbedaan arah antara pengeluaran pemerintah dengan penyerapan tenaga kerja, selain dikarenakan bencana alam yang terjadi pada Tahun 2007, peran swasta lebih dominan dibanding pemerintah. 48 5.1.3 PDRB PDRB sebagai ukuran produktivitas mencerminkan seluruh nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah dalam satu tahun. Selama kurun waktu 2005-2010, PDRB yang dihasilkan Provinsi Sumatera Barat mempunyai tren meningkat karena adanya peningkatan produksi maupun harga. Pada tahun 2010 PDRB atas dasar harga berlaku Provinsi Sumatera Barat mencapai 87,22 triliun rupiah, meningkat sebanyak 10,47 triliun rupiah dibandingkan tahun 2009. Bila digolongkan menurut sektor lapangan usaha, maka sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan PDRB Provinsi Sumatera Barat. Dan pada tahun 2010 sektor pertanian memberikan kontribusi sebesar 20,79 triliun rupiah. Tabel 5.3 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (milyar rupiah) SEKTOR 2005 2006 2007 2008 2009 2010 (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 18.381,92 20.792,32 Pertanian 11.433,00 13.396,52 14.754,87 17.379,93 Pertambangan & Penggalian 1.514,21 1.829,48 2.059,94 2.356,17 2.556,10 2.763,86 Industri Pengolahan 5.084,34 6.055,97 7.179,24 8.597,36 9.279,51 10.197,21 666,71 754,79 822,19 863,21 898,66 924,62 Bangunan 2.472,64 2.972,40 3.290,15 3.941,92 4.317,98 5.498,73 Perdagangan, Hotel, & Restoran 7.799,76 8.992,23 10.368,00 12.532,37 13.694,25 15.474,82 Pengangkutan & Komunikasi 6.167,34 8.022,49 9.009,32 10.685,33 11.670,81 13.439,31 Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 2.249,28 2.632,09 2.963,37 3.463,31 3.784,47 4.145,20 Jasa-jasa 7.287,29 8.373,62 9.351,98 11.134,91 12.169,26 13.985,18 44.674,57 53.029,59 59.799,05 70.954,52 76.752,94 87.221,25 Listrik, Gas & Air Bersih PDRB ADHB Sumber: BPS Provinsi Sumatera Barat. 49 Berdasarkan Tabel 5.4 sektor pertanian sebagai basis utama perekonomian Sumatera Barat menyumbangkan kontribusi terbesar dengan rata-rata 24,64 persen selama periode 2005-2010. Bila dilihat secara rentang waktu dari Tahun 2005 ke Tahun 2010 terlihat bahwa struktur perekonomian di Sumatera Barat belum terjadi pergeseran struktur ekonomi yang signifikan. Sampai dengan Tahun 2010 struktur perekonomian Sumatera Barat masih didominasi oleh tiga sektor utama yakni sektor pertanian, sektor perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor jasa-jasa. Peranan sektor-sektor tersebut secara total melebihi 50 persen dari total PRDB Sumatera Barat. Tabel 5.4 Distribusi Persentase PDRB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Sumatera Barat Tahun 2005-2010 SEKTOR 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Ratarata (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) Pertanian 25,59 25,26 24,67 24,49 23,95 23,84 24,64 3,39 3,45 3,44 3,32 3,33 3,17 3,35 11,38 11,42 12,01 12,12 12,09 11,69 11,78 Listrik, Gas & Air Bersih 1,49 1,42 1,37 1,22 1,17 1,06 1,29 Bangunan 5,53 5,61 5,50 5,56 5,63 6,30 5,69 17,46 16,96 17,34 17,66 17,84 17,74 17,50 13,81 15,13 15,07 15,06 15,21 15,41 14,95 5,03 4,96 4,96 4,88 4,93 4,75 4,92 16,31 15,79 15,64 15,69 15,86 16,03 15,89 Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel, & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB ADHB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS Provinsi Sumatera Barat. 50 5,00 8,000 4,50 7,000 4,00 6,000 3,50 5,000 3,00 2,50 4,000 2,00 3,000 1,50 2,000 1,00 Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja 0,50 Pertumbuhan Ekonomi 0,00 1,000 0,000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Gambar 5.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%) Sumber: BPS, diolah. Pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja pada periode tahun 2005 sampai dengan 2010 memperlihatkan trend yang sama. Sehingga dapat dikatakan bahwa pertumbuhan ekonomi berkorelasi atau berpengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat. Pada Tahun 2007 dan 2010 terlihat perbedaan arah antara pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja (Gambar 5.5). Seperti telah dijelaskan sebelumnya, hal ini lebih dikarenakan adanya musibah gempa bumi yang memporak-porandakan Sumatera Barat. Sedangkan pertumbuhan ekonomi terus meningkat karena adanya pembangunan/rekonstruksi pasca gempa yang memberikan nilai tambah pada sektor bangunan. 51 5.1.4 Upah Riil Tingkat upah sangat erat hubungannya dengan tingkat kesejahteraan pekerja. Upah merupakan balas jasa yang diterima pekerja atas keikutsertaannya dalam suatu kegiatan ekonomi. Upah Riil adalah upah yang diterima pekerja yang telah diperhitungkan dengan daya beli dari upah nominal yang diterima. Tabel 5.5 Rata-rata Upah Nominal dan Upah Riil Pekerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (rupiah) Tahun Upah Nominal Upah Riil (1) (2) (3) 2005 845.837 1.037.914 2006 997.956 1.111.905 2007 1.155.640 1.155.640 2008 1.213.302 1.097.614 2009 1.486.012 1.274.016 2010 1.529.383 1.197.731 Sumber: BPS, diolah. Berdasarkan Tabel 5.5 terlihat bahwa upah nominal terus meningkat, sedangkan upah riil berfluktuasi tiap tahunnya. Hal ini dikarenakan upah riil telah diperhitungkan dengan adanya inflasi. Pada tahun 2010 upah nominal yang diterima pekerja di Sumatera Barat mencapai Rp. 1.529.383,00 meningkat jika dibandingkan tahun 2009 yang hanya mencapai Rp. 1.486.012,00. Sedangkan upah riil di tahun 2010 sedikit mengalami penurunan dari Rp. 1.274.016,00 di tahun 2009 menjadi Rp. 1.197.731,00. Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan upah nominal lebih rendah dari peningkatan harga-harga. Akan tetapi dengan menurunnya upah riil justru diharapkan lebih mendorong sektor- 52 sektor industri yang padat karya untuk lebih meningkatkan produksi sehingga akan lebih banyak menyerap tenaga kerja. 4,50 15,00 4,00 10,00 3,50 5,00 3,00 0,00 2,50 -5,00 2,00 Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja Pertumbuhan Upah Riil 1,50 2005 2006 2007 -10,00 2008 2009 2010 Gambar 5.6 Pertumbuhan Upah Riil dan Penyerapan Tenaga Kerja di Sumatera Barat Tahun 2005-2010 (%) Sumber: BPS, diolah. Pertumbuhan upah riil dan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada rentang Tahun 2005 sampai dengan 2010 memperlihatkan pola/trend yang berlawanan arah. Hal ini berarti bahwa upah riil berkorelasi negatif dengan penyerapan tenaga kerja. Ketika upah riil naik maka akan menurunkan penyerapan tenaga kerja, demikian sebaliknya apabila upah riil turun maka penyerapan tenaga kerja akan meningkat. Walaupun upah nominal terus mengalami peningkatan (Tabel 5.5) akan tetapi upah riil mengalami fluktuasi. Fluktuasi upah riil dikarenakan adanya pengaruh inflasi. 53 5.2 Analis Regresi Data Panel Analisis regresi data panel yang dilakukan adalah untuk mengidentifikasi besarnya pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja menurut penyusunnya, baik dari pengeluaran pemerintah (G), Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), dan upah riil (WP). Sebelum menganalisa lebih lanjut besarnya pengaruh faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja, terlebih dahulu dilakukan pengujian terhadap asumsi-asumsi model regresi. Setelah semua asumsi model regresi terpenuhi kemudian dilanjutkan pengujian terhadap model penelitian untuk memperoleh model estimasi terbaik. Pengolahan data untuk melakukan uji asumsi dan mendapatkan model dari fungsi tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Eviews versi 6.0. 5.2.1 Pengujian Asumsi 5.2.1.1 Asumsi Normalitas Asumsi pertama yang diuji adalah normalitas atau kenormalan dari sisaan (residual) dari model estimasi. Metode pengujian dilakukan dengan dua cara yaitu membuat plot dari sisaan dan melakukan uji statistik. Berdasarkan hasil pengolahan data dihasilkan plot atau gambar distribusi dari sisaan. Secara kasar, distribusi sisaan yang ditunjukkan oleh gambar sudah mengikuti bentuk kurva normal. 54 24 Series: Standardized Residuals Sample 2005 2010 Observations 114 20 16 12 8 4 Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis 1.95e-18 -0.006919 0.482552 -0.576583 0.210962 -0.218607 2.952016 Jarque-Bera Probability 0.918930 0.631621 0 -0.6 -0.4 -0.2 -0.0 0.2 0.4 Gambar 5.7 Hasil Uji Asumsi Normalitas Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0. Untuk mendapatkan hasil yang lebih pasti, asumsi kenormalan dari sisaan diuji dengan tes Jarque-Bera. Hipotesis yang diajukan dalam pengujian JarqueBera adalah data sisaan berdistribusi normal. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah sisaan tidak berdistribusi normal. Nilai Jarque-Bera yang diperoleh dari hasil pengolahan adalah sebesar 0,918930 dengan nilai probabilitas sebesar 0,631621 atau lebih besar dari α = 0,05. Berdasarkan nilai tersebut maka keputusan yang diambil adalah tidak menolak hipotesis nol. Artinya data sisaan mengikuti distribusi normal, sehingga asumsi kenormalan dari sisaan dalam model sudah terpenuhi. 5.2.1.2 Asumsi Autokorelasi Asumsi kedua yang diuji dalam model estimasi adalah adanya autokorelasi antara observasi dalam satu peubah atau korelasi antar error masa yang lalu 55 dengan error masa sekarang. Metode pemeriksaan atau deteksi autokorelasi dapat dilakukan uji Durbin-Watson. Hipotesis yang diajukan dalam kedua uji ini adalah model tidak mengandung autokorelasi baik positif maupun negatif. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah model mengandung autokorelasi. Tabel 5.6 Hasil Uji Asumsi Autokorelasi Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.957986 Mean dependent var 13.51991 Adjusted R-squared 0.948395 S.D. dependent var 5.438854 S.E. of regression 0.229339 Sum squared resid 4.838863 F-statistic 99.89168 Durbin-Watson stat 1.830430 Prob(F-statistic) 0.000000 Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0. 0 1,61636 1,766 1,83043 2,233 Tidak ada kesimpulan Tolak H0 Ada masalah Otokorelasi positif Tidak Tolak H0 tidak ada masalah Otokorelasi 2,38364 4 d Tidak ada kesimpula n Tolak H0 Ada masalah Otokorelasi negatif positif/negatif Gambar 5.8 Kriteria Uji Asumsi Autokorelasi Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh nilai statistik Durbin-Watson (dw) sebesar 1,830430. Nilai dL dan dU pada tabel (0,05; 114; 4) masing-masing sebesar 1,61636 dan 1,7664; sehingga daerah penolakan H0 adalah d <1, 61636 atau d > 2,2336. Nilai dw hasil observasi terletak diantara dU dan 4-dU sehingga 56 keputusan yang diambil adalah tidak menolak H0 yang berarti tidak ada gejala autokorelasi baik positif maupun negatif di dalam model. 5.2.1.3 Asumsi Homoskedastisitas Asumsi ketiga yang diuji dari model adalah homoskedastisitas atau varian konstan. Untuk mendeteksi adanya heteroskedastisitas dalam model dilakukan menggunakan metode General Least Square (Cross section Weights) yaitu dengan membandingkan sum square Resid pada Weighted Statistics dengan sum square Resid unweighted Statistics. Jika sum square Resid pada Weighted Statistics lebih kecil dari sum square Resid unweighted Statistics, maka terjadi heteroskedastisitas. Dari hasil pengujian diperoleh nilai sum squared resid pada Weighted Statistics sebesar 4,838863 dimana nilainya lebih kecil dari sum square Resid unweighted Statistics yang sebesar 5,159940. Hal ini mengindikasikan adanya masalah heteroskedastisitas. Untuk mengatasi masalah heteroskedastisitas, model diestimasi dengan menggunakan white-heteroscedasticity. Tabel 5.7 Hasil Uji Asumsi Homoskedastisitas Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.957986 0.948395 0.229339 99.89168 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 13.51991 5.438854 4.838863 1.830430 Unweighted Statistics R-squared Sum squared resid 0.934882 5.159940 Mean dependent var Durbin-Watson stat Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0. 11.21061 1.606376 57 5.2.2 Pengujian Parameter Model 5.2.2.1 Uji F Uji-F digunakan untuk melakukan uji hipotesis koefisien (slope) regresi secara menyeluruh/bersamaan. Uji-F memperlihatkan ada tidaknya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen secara bersama-sama. Hipotesis nol (H0) yang diajukan dalam uji ini adalah nilai koefisien β1=β2=β3=0 yang berarti tidak ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Hipotesis alternatifnya adalah ada satu koefisien β≠0 atau minimal ada satu variabel bebas yang memengaruhi variabel tidak bebas. Kriteria pengujiannya adalah jika nilai nilai > atau probabilitas F-statistic < taraf nyata, maka keputusannya adalah tolak H0. Dengan menolak H0 berarti minimal ada satu peubah bebas yang berpengaruh nyata terhadap tak bebas. Tabel 5.8 Hasil Uji F Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression F-statistic Prob(F-statistic) 0.957986 0.948395 0.229339 99.89168 0.000000 Mean dependent var S.D. dependent var Sum squared resid Durbin-Watson stat 13.51991 5.438854 4.838863 1.830430 Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0. Nilai yang dihasilkan oleh model estimasi dalam tabel adalah sebesar 99,89168. Dibandingkan dengan nilai nilai yang sebesar 2,69, jauh lebih besar. Jika dilihat dari nilai probabilitas F-statistic = 0,00000, maka nilainya lebih kecil dari α = 0,05. Berdasarkan kondisi tersebut 58 maka keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol atau menerima hipotesis alternatif. Hal ini berarti ketiga variabel independent dalam model secara bersama-sama memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Pengujian ini masih belum cukup untuk menyimpulkan bahwa model ini adalah yang terbaik, sehingga masih perlu dilakukan pengujian secara parsial. 5.2.2.2 Uji-t Setelah melakukan uji koefisien regresi secara keseluruhan, maka langkah selanjutnya adalah menguji koefisien regresi secara parsial menggunakan uji-t. Hipotesis yang diajukan dalam pengujian ini adalah masing-masing koefisien persamaan bernilai nol atau βi=0. Artinya adalah tidak ada pengaruh dari variabel independent Xi terhadap variabel dependent Y. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah βi≠0 yang artinya ada pengaruh dari setiap variabel independent Xi terhadap variabel dependent Y. Keputusan dalam pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai dengan > atau dengan melihat nilai probabilitas dari . Jika nilai atau jika nilai probabilitas t < α = 0,05 maka tolak H0, sehingga kesimpulannya adalah peubah bebas secara parsial signifikan memengaruhi peubah tak bebas. Nilai dari masing-masing koefisien dalam persamaan regresi dan nilai probabilitas atau tingkat signifikansinya dapat dilihat pada Tabel 5.9 Dibandingkan dengan nilai yang sebesar 1,983; koefisien β0, β1, 59 β2, β3 dalam persamaan memiliki nilai mutlak yang lebih besar. Keputusan yang diambil adalah menolak hipotesis nol pada semua pengujian koefisien. Hal ini berarti semua variabel bebas secara parsial memiliki pengaruh signifikan yang kuat terhadap variabel penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat. Tabel 5.9 Hasil Uji-t Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C LOG(G) LOG(PDRB) LOG(WP) 6.968477 0.235614 0.761154 -0.675332 1.311031 0.077469 0.026763 0.102880 5.315265 3.041396 28.44034 -6.564269 0.0000 0.0031 0.0000 0.0000 Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0. 5.2.2.3 Uji Koefisien Determinasi (R2) Uji statistik dilakukan selanjutnya adalah uji koefisien determinasi (R2) yakni untuk melihat tingkat kesesuaian atau kecocokan dari estimasi model yang terbentuk (goodness of fit). Cara yang dilakukan adalah dengan melihat nilai R2 dalam model. Pada Tabel 5.8 terlihat nilai koefisien determinasi (R2) yang dihasilkan oleh model sebesar 0,957986. Angka ini berarti variasi atau proporsi keragaman penyerapan tenaga kerja yang mampu dijelaskan oleh variabel bebas dalam model adalah sebesar 95,80 persen. Sedangkan sisanya, sebanyak 4,2 persen variasi penyerapan tenaga kerja dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Secara umum, hal ini menunjukkan hubungan yang sangat kuat antara variabel tidak bebas penyerapan tenaga kerja dengan semua variabel bebas. 60 5.2.3 Pemilihan Model Estimasi Data Panel Pemilihan jenis model estimasi data panel terbaik yang digunakan dalam analisis didasarkan pada dua uji, yakni uji Chow dan uji Haussman. Uji Chow digunakan untuk memutuskan apakah menggunakan common effect atau fixed effect. Sedangkan keputusan untuk menggunakan fixed effect atau random effect ditentukan oleh uji Haussman. Tabel 5.10 Hasil Uji Chow Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic Cross-section F Cross-section Chi-square 3.220657 55.707116 d.f. (18,92) 18 Prob. 0.0001 0.0000 Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6.0. Keputusan dalam pengujian ini menolak H0 jika jika nilai atau Prob < α. Jika H0 ditolak maka Model Fixed Effect lebih baik daripada Common Effect. Dari tabel 5.10 diperoleh nilai lebih besar dari nilai sebesar 3,220657 yang sebesar 2,69. Demikian halnya dengan probabilitas 0,0001 yang lebih kecil dari α = 0,05. Karena menolak H0 maka Model Fixed Effect lebih baik daripada Common Effect. Langkah selanjutnya adalah membandingkan model fixed effect atau random effect dengan melakukan uji Haussman. Keputusan menolak H0 dilakukan dengan membandingkannya dengan Chi square. Jika nilai maka H0 ditolak sehingga model yang digunakan adalah fixed effect, sebaliknya jika penolakan H0 tidak signifikan maka yang digunakan adalah random effect. 61 Tabel 5.11 Hasil Uji Haussman Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled Test cross-section random effects Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob. 17.323482 3 0.0006 Cross-section random Sumber : Hasil Pengolahan dengan EViews 6. Hasil penghitungan uji Hausman diperoleh nilai 17,323482. Nilai ini lebih besar dari nilai sebesar yang hanya 7,814. Jika dilihat nilai probabilitas sebesar 0.0006 lebih rendah dari α = 0,05. Dengan penolakan H0 maka model estimasi data panel yang digunakan adalah fixed effect. 5.2.4 Analisis Model Regresi Penyerapan Tenaga Kerja Data Panel Model persamaan regresi penyerapan tenaga kerja data panel terbaik yang didapatkan dari hasil pengolahan menggunakan EViews 6.0 dengan model fixed effect adalah sebagai berikut: Keterangan: Emp : Employment/ penyerapan tenaga kerja G : Goverment Expenditure/ Pengeluaran Pemerintah PDRB : Produk Domestik Regional Bruto WP : Wage per Price/ Upah Riil i : urutan kabupaten/kota t : series tahun 2005-2010 : error term 62 Berdasarkan persamaan fungsi penyerapan tenaga kerja dapat dianalisis faktor-faktor yang memengaruhi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat selama rentang tahun 2005 s/d 2010 beserta nilai elastisitasnya. Faktorfaktor yang secara nyata memengaruhi besarnya penyerapan tenaga kerja ada tiga, yaitu pengeluaran pemerintah, besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) serta upah riil. 5.2.4.1 PDRB Faktor yang paling dominan dalam memengaruhi penyerapan tenaga kerja di Provinsi Sumatera Barat adalah PDRB yang dalam analisis ini diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi memiliki pengaruh positif terhadap penyerapan tenaga kerja, sehingga semakin meningkat pertumbuhan ekonomi akan semakin meningkat pula jumlah tenaga kerja yang terserap. Nilai koefisien pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dalam persamaan fungsi penyerapan tenaga kerja adalah sebesar 0,7612. Nilai ini mencerminkan besarnya elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja. Artinya, peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar satu persen akan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang terserap sebesar 0,7612 persen dengan asumsi variabel yang lain konstan. Manusia merupakan salah satu faktor terpenting dalam proses produksi, sehingga dapat dikatakan bahwa penyerapan tenaga kerja akan meningkat jika output meningkat atau sektor yang mempekerjakan banyak orang umumnya menghasilkan barang dan jasa yang relatif besar. Untuk itu pertumbuhan ekonomi hendaknya diarahkan untuk dapat menyerap tenaga kerja yang lebih besar. 63 Tambunan (2011) menyatakan bahwa selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa disertai dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut (ceteris paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDRB yang terus-menerus. Dalam pemahaman ekonomi makro, pertumbuhan ekonomi adalah penambahan PDRB. 5.2.4.2 Upah Riil Upah riil memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari nilai koefisien upah riil dalam model yang sebesar -0,6753. Nilai koefisien tersebut juga menunjukkan besarnya elastisitas upah riil terhadap penyerapan tenaga kerja. Artinya setiap peningkatan upah riil sebesar satu persen justru akan menurunkan penyerapan tenaga kerja sebesar 0,6753 persen, dengan asumsi variabel lain dianggap tetap atau konstan. Upah bagi pekerja merupakan pendapatan, sedangkan bagi perusahaan merupakan suatu beban (biaya), sehingga wajar saja jika pekerja menghendaki upah yang tinggi, melalui serikat pekerja mereka dapat menuntut kenaikan tingkat kesejahteraan. Sedangkan perusahaan akan menekan beban (biaya) produksi serendah-rendahnya. Hal ini mengimplikasikan bahwa pemerintah Provinsi Sumatera Barat harus berhati-hati dalam memilih dan menerapkan bentuk-bentuk 64 kebijakan berkaitan penetapan upah minimum agar tidak terjadi dampak negatif yang tidak diinginkan. Kenaikan upah minimum yang cepat di Indonesia telah mendorong perusahaan-perusahaan untuk menggunakan lebih banyak mesin dan tenaga kerja terampil dalam proses produksi. Hal ini menyebabkan berkurangnya kesempatan kerja bagi tenaga kerja tidak terampil, khususnya pekerja perempuan, usia muda, dan kurang terdidik. Penelitian senada dilakukan oleh Smeru (2001 dan 2004) yang menyimpulkan bahwa kenaikan upah minimum riil berdampak negatif terhadap penyerapan tenaga kerja, dengan perkecualian bagi pekerja kerah putih. Dengan adanya kenaikan tingkat upah minimum maka perusahaan akan mengurangi sebagian tenaga kerja untuk digantikan dengan pekerja kerah putih. Hal ini juga menunjukkan bahwa setelah adanya kenaikan upah minimum perusahaan mengubah proses produksi yang padat tenaga kerja dengan proses produksi yang lebih padat modal dan lebih menuntut keterampilan. Karena adanya saling keterkaitan antara modal dan keterampilan, maka proporsi pekerja kerah putih yang lebih tinggi menandai adanya pemanfaatan teknologi yang lebih padat modal. Sukirno (2000) menyatakan bahwa salah satu cara agar penyerapan tenaga kerja dapat ditingkatkan oleh suatu negara adalah dengan kebijakan pendapatan (income policy) yaitu dengan mengendalikan tuntutan kenaikan pendapatan pekerja untuk menghindari kenaikan biaya produksi yang berlebihan. Dengan tingkat upah sesuai mekanisme pasar tersebut diharapkan investor akan 65 meningkatkan outputnya karena turunnya biaya produksi termasuk biaya faktor produksi tenaga kerja. Hal ini akan berdampak meningkatnya aggregat supply yang secara perlahan akan mereduksi pengangguran sehingga perekonomian dapat mendekati kondisi full employment (tingkat pengangguran kurang dari 4 persen). Namun pada saat kesejahteraan pekerja masih rendah, kebijakan seperti ini juga kurang efektif. Hal yang lebih realistis dilakukan adalah dengan menetapkan upah minimum sewajarnya yang diikuti dengan peningkatan skill pekerja agar produktivitasnya meningkat sebanding dengan kenaikan upah minimum. 5.2.4.3 Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah juga berpengaruh secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Dengan asumsi variabel lain adalah tetap, kenaikan satu persen pengeluaran pemerintah dapat menaikkan penyerapan tenaga kerja di Sumatera Barat sebesar 0,2356 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kenaikan pengeluaran pemerintah dapat menaikkan penyerapan tenaga kerja. Pengeluaran pemerintah dapat memperbesar output yang dihasilkan oleh suatu sektor ekonomi. Selain itu, juga dapat menaikkan pendapatan masyarakat karena pengeluaran pemerintah akan menjadi penerimaan masyarakat sehingga mendorong permintaan agregat. Karena adanya kenaikan permintaan agregat sehingga mendorong produsen untuk meningkatkan output produksinya. Untuk itu, produsen memerlukan tambahan input produksi, salah satunya adalah tenaga kerja, sehingga akan tercipta kesempatan kerja baru. Dengan demikian, kenaikan pengeluaran pemerintah akan menambah kesempatan kerja baru bagi masyarakat. Proyek-proyek yang dibiayai oleh pemerintah seperti membangun jalan, sekolah, 66 atau fasilitas lain umumnya bersifat padat karya sehingga dapat menaikkan penyerapan tenaga kerja. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hipotesis Minsky (1974) dalam Prasetyantoko (2008) bahwa pengangguran tidak bisa diatasi tanpa campur tangan pemerintah. Dalam hal ini, pasar tidak akan dengan sendirinya menyelesaikan persoalan pengangguran serta derivasi masalah yang ditimbulkannya sehingga pemerintah harus lebih meningkatkan pengeluaran pembangunan yang nantinya akan merangsang penyerapan tenaga kerja.