BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Asal Mula Adanya Persembahan Penelitian antropologi budaya menginformasikan bahwa pada mula pertama sekali manusia hidup dalam fase „pemetik‟. Mereka hidup dari buah-buah pohon. Pada masa itu mereka menyembah bumi. Sebab bumi dilihat sebagai „Sang Ibu‟ yang menghidupi. Fase ini diikuti oleh fase „berburu‟. Manusia memburu binatang untuk dimakan karena binatang buruan tersebut „kelihatannya‟ sudah disediakan bumi, maka bumi disembah sebagai „sang Ibu‟ yang menghidupi. Fase ketiga adalah fase „pertanian‟. Dalam budaya pertanian awal, selain fungsi bumi sebagai tempat bercocok tanam, maka dua hal menjadi mengemuka, yakni hujan dan matahari. Orang menyadari bahwa tanpa matahari, tidak akan ada kehidupan di bumi. Obyek penyembahan bergeser, dari penyembahan terhadap bumi, menjadi penyembahan terhadap matahari. Matahari dilihat sebagai raja dan panglima yang perkasa yang menaklukkan kegelapan malam. Fase keempat adalah fase „penggembala‟1. Seperti yang dimengerti, ternak yang digembalakan tergantung dari rumput, rumput tergantung dari hujan dan hujan tergantung dari matahari, maka obyek penyembahan terus pada matahari bukan pada bumi2. Persoalan muncul ketika terjadi krisis yang menyebabkan hidup menjadi sulit. Ada banjir besar, ada musim kering yang panjang, gunung meletus dsb. Sejak dari agama Purba, orang mengimani, bahwa ada kekuatan penentu kehidupannya dan berada diluar dirinya. Oleh karena 1 Istilah penggembala digunakan di sini untuk membedakannya dari peternakan modern, dimana ternak ditempatkan ditempat yang tetap, tidak berpindah pindah.Dalam fase penggembala, tenaknya berpindah pindah mengikuti gembala yang mencarikan rumput dan air untuk ternak gembalaan. 2 Dan Brown, penulis novel The DaVinci Code yang terkenal itu mengeksplorasi fakta antropologis ini untuk mengatakan bahwa model penyembahan sekarang yang berorientasi „ke atas‟ adalah penyimpangan. Penyembahan harus dikembalikan ke bawah. Dari sini dia memanfaatkan euphoria feminisme dan menuduh agama sekarang merupakan semacam penjajahan kaum maskulin. Ujung ujungnya yang harus disembah -menurut Brownadalah Maria Magdalena dan bukan Yesus. 7 itu, untuk menyenangkan hati „Sang Kekuatan‟ itu, baik ketika semuanya berhasil dengan baik, maupun ketika terjadi krisis, maka mereka memberikan „persembahan‟. Entah dari hasil tani, ataupun ternak ataupun harta milik. Sejajar dengan perkembangan peradaban, yang kemudian bertambah dengan perniagaan dan bidang-bidang lain yang sekarang dikenal sebagai sektor jasa, maka persembahan juga makin bervariasi. Hal ini dicatat semuanya untuk menggaris-bawahi empat hal. Pertama, bahwa sekalipun gaya hidup dan gaya mata pencaharian berkembang, logika bahwa rejeki melibatkan „campur tangan dari suatu kekuatan yang tak terlihat yang berada diatas‟ tetap saja berlaku sepanjang sejarah peradaban. Kedua, bahwa persembahan itu diberikan dari berbagai jenis mata pencaharian yang makin bervariasi. Ketiga, pengaturan terhadap apa yang dipersembahkan itu makin lama makin bervariasi juga. Keempat, ini semua diyakini sebagai kehendak dari kekuatan yang tak terlihat itu.3 2.2. Pengertian Persembahan Pengertian persembahan dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu dari sudut pandang Perjanjian Lama dan dari sudut pandang Perjanjian Baru. Dalam PL, kata persembahan berarti korban. Dengan mempersembahkan korban pada Allah, maka manusia mempersembahkan suatu persembahan dengan maksud untuk memperoleh kemurahan hati Allah tersebut. Hal ini dilakukan dengan membakar persembahannya di atas mesbah selaku lambang penyerahan yang sungguh-sungguh kepada Allah.4 Kata persembahan berasal dari kata benda ibrani yaitu “korban” yang berkaitan dengan kata kerja memiliki yang artinya menghampiri. Oleh karena itu, suatu persembahan merupakan 3 Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994), hlm. 51-52 4 F.L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah, Jillid 1, Perjanjian Lama, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1965), hlm. 228 8 pemberian orang Israel yang dibawa untuk menghampiri Allah dan untuk menikmati persekutuan dan berkat-Nya. Orang Israel membawa persembahan untuk mengungkapkan syukur, menyatakan iman, serta memperbaharui persekutuan dan memperdalam penyerahan mereka kepada Tuhan atau mereka memohon pengampunan kepada Tuhan. Ada dua istilah yang sangat dekat penggunaannya dalam PL. Istilah-istilah itu adalah „Korban‟ dan „Persembahan‟. Apabila istilah „korban‟ digunakan, maka hal itu pasti menyangkut sesuatu yang disembelih. Ada darah di sana. Sementara kalau istilah „persembahan‟ digunakan, maka tidak harus ada yang disembelih. Jadi istilah persembahan lebih luas jangkauannya dari istilah korban5. Persembahan dalam arti umum adalah pemberian berupa uang atau harta benda lainnya bagi pekerjaan Tuhan. Misalnya untuk pembuatan kemah Suci (Kel. 35:5) atau juga untuk menolong sesama orang miskin (Kis. 24:17). Perjanjian Lama juga menyampaikan informasi tentang adanya persembahan khusus dari setiap orang yang tergerak hatinya untuk membantu terpenuhinya kebutuhan bagi rumah Tuhan, jadi bukan merupakan kewajiban bagi setiap orang, Kel 25:2; 29:24- 28; Bil 18:8, 19; Neh. 12:44. Fakta ini menyiratkan bahwa di jemaat selalu saja ada sebagian warga jemaat yang memiliki kepekaan yang amat tinggi untuk menyisihkan sebagian dari hartanya untuk keperluan gereja6 Selain itu, ada juga pemberian persepuluhan sebagai persembahan. Perpuluhan adalah milik Tuhan, maka jika kita tidak memberikannya sama dengan merampas milik Allah, seperti disebutkan dalam Maleakhi 3:8. Akan tetapi perpuluhan tidak mempunyai arti apa-apa, di hadapan TUHAN, jika dilakukan tanpa disertai dengan rasa keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan (bdk. Mat. 23:23; Luk. 18:12). Pemberian persembahan perpuluhan bukan untuk 5 W.S. Lasor, D.A. Hubbard, dan F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1: Taurat dan Sejarah, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), hlm. 217-219 6 Perhatikan isi kitab Keluaran 35:21 di bawah ini.“Sesudah itu datanglah setiap orang yang tergerak hatinya, setiap orang yang terdorong jiwanya, membawa persembahan khusus kepada TUHAN untuk pekerjaan melengkapi Kemah Pertemuan dan untuk segala ibadah di dalamnya dan untuk pakaian kudus itu.” 9 mendapatkan berkat seperti yang dipahami oleh beberapa orang, (“Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman Tuhan semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap- tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan", Mal. 3:10), melainkan persembahan perpuluhan sebagai ungkapan syukur, tanda kasih, dan rasa hormat kepada Allah. Perpuluhan adalah persembahan jasmaniah. Namun keputusan untuk mempersembahkannya adalah persoalan batiniah yang di dalamnya termasuk masalah motivasi. Allah melihat hati (1Sam.16:7), itulah sebabnya Ia selalu mengoreksi isi hati. Selain persepuluhan, bangsa Israel dituntut untuk memberikan banyak persembahan lainnya kepada Tuhan, terutama dalam bentuk berbagai korban. Kitab Imamat menjelaskan berbagai upacara korban: korban bakaran (Im 1:1-17;6:8-13), korban sajian (Im 2:1-16;6:14-23), korban keselamatan (Im 3:1-17; 7:11-21), korban penghapus dosa (Im 4:1-5:13; 6:24-30), dan korban penebus salah (Im 5:14-6:7; 7:1-10). 2.3. Persembahan dalam PL Ritual pemberian persembahan sendiri di dalam Alkitab diawali ketika Kain dan Habel mempersembahkan hasil pekerjaannya kepada Allah. Kain mempersembahkan sebagian hasil pertaniannya dan Habel mempersembahkan anak sulung hasil peternakannya. Alkitab menjelaskan, persembahan Habel diterima dan Allah mengindahkannya, sementara persembahan Kain tidak berkenan kepada Allah (Kej. 4: 5-8)7. Kemudian kitab Kejadian menceritakan Nuh yang memberikan persembahan setelah selamat dari murka Allah dengan air bah-Nya (Kej. 8: 20 - 22). Abraham setelah tiba di Kanaan langsung membangun mezbah dan memanggil nama 7 H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuna, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984), hlm. 86 10 Tuhan (Kej. 12: 8). Yakub juga memberikan persembahan kepada Tuhan setelah berpisah dengan Laban mertuanya (Kej. 31: 43-55). Dalam Perjanjian Lama kita membaca bagaimana persembahan diterima berdasarkan kualitasnya. Artinya melalui kualitas persembahan seseorang maka dapat dilihat sikap hati orang yang memberikan persembahan itu. Orang yang tulus memberikan yang terbaik untuk dipersembahkan. „Menyisihkannya‟ sejak awal untuk dipersembahkan. Oleh karena Allah memperhatikan sikap hati inilah, maka persembahan Kain ditolak, sementara persembahan Habel diterima8. Terlepas dari apa yang terjadi kemudian, kita belajar satu hal, bahwa, Tuhan Allah melihat sikap hati. Dan karena itu sikap kita ketika memberikan persembahan harus cocok dengan apa yang Tuhan Allah inginkan. Inti utama dari persembahan adalah adanya hubungan antara yang mempersembahkan dan yang diberi persembahan. Penyajian dan penerimaan persembahan menjadi tanda adanya hubungan dan ikatan antara Allah dan umat yang menyembah-Nya. Sebagai jawaban terhadap bimbingan dan petunjuk Allah pribadi, maka umat-Nya menyajikan persembahan korban dengan kesetian yang sangat mendalam.9 2.4. Persembahan dalam PB Persembahan dalam Perjanjian Baru menjadi berbeda, tidak lagi sebagai korban, melainkan sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah keselamatan yang telah diberikan Tuhan atas penebusan dosa tersebut. Artinya, pemberian tersebut adalah sebagai ungkapan syukur, bukan balas jasa, karena anugerah keselamatan yang diberikan Allah adalah cuma-cuma, tidak dapat dibalas dengan perbuatan atau upaya manusia. Jadi pengertian "membalas kebaikan 8 9 Lihat Kej 4 : 3 – 10 bdk. Ibr. 11 : 4 Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, hlm. 194 11 Tuhan", dalam konteks Perjanjian Baru adalah merupakan respon atas rasa syukur penebusan tersebut, bukan dalam pengertian timbal balik. PB tidak mengutamakan persembahan dalam arti uang atau benda, tetapi yang jauh lebih penting adalah kesediaan seseorang untuk bertobat. Perhatikan Injil Matius 9:13 “Jadi pergilah dan pelajarilah arti firman ini: Yang Kukehendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa.” Bukan jumlah atau banyak-sedikitnya persembahan yang dikehendaki oleh Tuhan Yesus, melainkan bobot pengorbanan yang mendasari persembahan yang diberikan. Pemahaman ini bisa kita baca di Injil Markus 12: 4110. Konsep persembahan dalam Perjanjian Baru mulai masuk pada intinya, jika dibandingkan dengan Perjanjian Lama yang tampaknya lebih menekankan pada hukum dan peraturan. Sedangkan di dalam Perjanjian Baru tidak terdapat aturan persembahan, bahkan dalam I Korintus yang sering membicarakannya, yang dibahas justru mengenai motivasi atau jiwa (spirit) persembahan. Persembahan di Perjanjian Baru sebagai simbol rasa hormat dan kerinduan untuk memuliakan Tuhan. Perhatikan Injil Matius 2:11 “Maka masuklah mereka ke dalam rumah itu dan melihat Anak itu bersama Maria, ibu-Nya, lalu sujud menyembah Dia. Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur.”11 Rasul Paulus menghayati persembahan bukan hanya uang atau benda, tetapi seluruh hidup. Perhatikan Roma 12:1 “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.” Istilah “tubuh = seluruh hidup” artinya 10 Henkten Napel, Jalan yang Lebih Utama lagi: Etika Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988) hlm. 83-84 11 Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, (terjemahan), (Malang: Gandum Mas, 2001), hlm. 101-102 12 menghayati dan mempraktekkan hidup untuk memusatkan perhatian kepada orang lain, bukan lagi untuk dirinya sendiri.12 Inilah dasar persembahan Kristen di dalam Perjanjian Baru. Jadi, Persembahan berarti memberi sesuatu kepada Allah, baik berupa uang, harta, tubuh, maupun semua aspek kehidupan, sebagai pernyataan penyembahan kepada Allah. Apa pun yang kita persembahkan, baik itu untuk pekerjaan Tuhan atau menolong orang lain, kita memberikannya dengan hati yang tulus murni. Alkitab menyatakan, "Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan" (2 Korintus 9:7-8). Adalah sangat sulit untuk membedakan pemberian dengan tujuan menerima kembali dan pemberian dengan motivasi yang benar. Yesus sangat menekankan motivasi dalam memberi persembahan. Bagi Yesus bukan jumlah nominalnya namun motivasi yang menggerakkan seseorang memberi persembahan itulah yang terpenting dan menentukan nilai persembahan itu (Matius 6:1-4). Sebab itu Yesus menganjurkan memberi persembahan secara tersembunyi untuk menguji kesungguhan dan ketulusan hati orang yang memberi. Orang yang memberikan persembahan untuk mendapatkan pujian dari sesama manusia sudah mendapatkan upahnya (dari manusia) dan karena itu tidak mendapatkan upah lagi dari Allah Bapa yang di sorga. Oleh karena itu, motivasi memberi untuk mendapatkan dengan dasar 2 Korintus 9:6 (“Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga”) adalah kesalahan besar. Akan tetapi hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena 12 Th. Van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 652-656 13 paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. Umat Tuhan jangan sampai memberikan sesuatu dengan tujuan utama untuk mendapatkan sesuatu dari Tuhan. Syarat utama memberi persembahan adalah kerelaan hati. Arti "kerelaan" adalah tidak mengharapkan balasan. Jika seseorang memberi dengan rela, maka ia pasti tidak mengharapkan apa pun dari pemberian tersebut. Apa yang ditabur itu juga yang akan dituai. Galatia 6:7 "Jangan sesat! Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan. Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya". Paulus memberikan peringatan tentang motivasi memberi persembahan. Orang yang memberikan dengan motivasi "daging" akan berbeda dengan orang yang memberi dengan motivasi "roh". Galatia 6:8, "Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu." Dalam Perjanjian Baru, hati dan dirilah yang seharusnya harus dipersembahkan kepada Tuhan. Uang tidaklah dapat menggantikan hati dan diri kita. Uang juga tidak dapat menggantikan sikap dan tingkah laku kita yang diminta Tuhan. Sebab Allah lebih menyukai kasih setia dan pengenalan akan Allah daripada korban persembahan. 2.5. Makna Persembahan Ada begitu banyak warga jemaat yang menanyakan tentang persembahan yang benar itu yang bagaimana? Mengapa di gereja tidak ditekankan persembahan? Pada satu sisi pertanyaan ini menyenangkan, karena tersirat adanya semangat untuk mempersembahkan secara bertanggungjawab. Namun di sisi lain, juga sedikit merisaukan, mengapa? Karena sudah begitu lama kita hidup sebagai orang percaya, tetapi mengapa sesuatu yang seharusnya sudah menjadi bagian atau bahkan identitas setiap orang percaya, ternyata masih menjadi pertanyaan. Apakah 14 hal ini disebabkan karena Alkitab kurang jelas memberikan gambaran tentang persembahan? Ataukah karena tidak ada ajaran secara resmi dan baku dari gereja tentang persembahan? Ataukah gereja tidak cukup sering memberi pemahaman tentang persembahan? Bagaimana pun pertanyaan di atas harus dijawab. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dalam bagian ini akan dijelaskan makna persembahan bagi orang percaya 2.5.1. Ungkapan Syukur kepada Allah Kisah Abram dan Melkisedek (Kej.14:18-20) adalah peristiwa persembahan perpuluhan pertama yang dicatat dalam Alkitab. Prinsip kerja perpuluhan adalah sepersepuluh dari berkat yang diterima diberikan kepada Allah sebagai ungkapan rasa syukur. Perpuluhan bukan semacam "pancingan" supaya Allah memberikan berkat lebih besar. Abram memahami dari siapa semua berkat yang diterimanya, sehingga kepada siapa ia seharusnya berterima kasih. Persembahan merupakan wujud dari syukur kepada Tuhan. Menarik sekali, kala Allah menegur Israel karena memiliki konsep yang keliru mengenai persembahan, Dia berkata demikian, “persembahkanlah syukur sebagai korban kepada Allah” (Mzmur. 50:14). Ternyata, melalui ayat itu Tuhan mau berkata bahwa yang penting bukan persembahan itu. Persembahan dapat saja berjumlah banyak atau sedikit tergantung tingkat ekonomi seseorang. Orang yang kaya dapat memberi banyak, tetapi seorang miskin seperti janda miskin yang dipuji Yesus memberi dengan jumlah sangat minim. Berapa jumlah persembahan bukan persoalan utama bagi Tuhan karena Ia memiliki segalanya. Yang penting bagi Tuhan adalah hati kita. Apakah kita memberikan persembahan sebagai ungkapan syukur, ataukah kita memiliki maksud-maksud yang lain. 2.5.2. Tanda Kasih kepada Allah 15 Motivasi memberikan persembahan harus benar, dan bersih (Ams.4:4). Uang merupakan persembahan jasmaniah. Namun keputusan untuk mempersembahkannya adalah persoalan batiniah yang di dalamnya termasuk masalah motivasi. Allah melihat hati (1Sam.16:7), itulah sebabnya Ia selalu mengoreksi isi hati. Motivasi persembahan bukan "penyuapan" supaya Allah tidak mengungkit dosa yang dilakukan, Allah anti penyuapan.13 Persembahan tidak mempunyai arti apa-apa, di hadapan Tuhan, jika dilakukan tanpa disertai dengan rasa keadilan, belas kasihan, dan kesetiaan (Mat.23:23), serta sikap rendah hati (Luk.18:12). Persembahan bukan semata kewajiban yang hanya sekedar ditaati agar pelakunya "lolos sensor" Allah atau sekedar rasa tanggung jawab untuk membayar, melainkan kesadaran kemanusiaan yang dilandasi sikap bersandar kepada TUHAN. Persembahan harus keluar dari kehendak hati yang rela dan suka cita (2Kor.9:7 bdk. dengan Ul.12:7,11; 14:26). Persembahan bukan iuran yang memaksa setiap anggota untuk membayar tarif 10%. Kerelaan dan rasa suka cita lebih dari sekedar angka 10%, itu maksud Allah. 2.5.3. Mengajarkan Sikap Takut akan Tuhan Persembahan dinikmati dengan hati yang takut kepada Tuhan sebagaimana dikatakan: "Di hadapan TUHAN, Allahmu, ... haruslah engkau memakan persembahan, ... supaya engkau belajar untuk selalu takut akan TUHAN, Allahmu" (Ul.14:23). Persembahan dipakai untuk dinikmati manusia. Bagi Allah, kenikmatan-Nya adalah kejujuran dan ketaatan manusia sebagai bukti dari adanya rasa "takut" kepada diri-Nya, yakni suatu perasaan "hormat (respectful), takjub, kagum, bersyukur, gembira dan bangga, dengan disertai kasih mesra" kepada Allah.14 Jadi, makna kata "memakan persembahan di hadapan TUHAN", 13 14 Ibid Th. Van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 652-656 16 seperti disebutkan dalam ayat 23 tersebut, mengandung makna menikmati Kemahakuasaan Allah sehingga lahirlah perasaan "takut" akan Allah. 2.5.4. Menyenangkan Allah Kalimat terakhir yang digunakan Paulus dalam Roma 12:1 untuk menerangkan arti dari persembahan yang hidup adalah "menyenangkan Allah". Tapi ini juga merupakan kesimpulan dari apa yang telah dibicarakan dalam bagian ini, karena tujuan utamanya adalah jika kita melakukan hal yang Paulus usulkan sebutlah, mempersembahkan tubuh sebagai persembahan yang hidup, kudus untuk Allah. Kita juga akan menemui bahwa apa yang telah kita lakukan adalah menyenangkan hati Allah atau diterima. Sangatlah mengagumkan bahwa Allah menemukan sesuatu yang mungkin dapat kita lakukan untuk menyenangkan-Nya. Perhatikan bahwa kata menyenangkan muncul dua kali dalam kalimat yang pendek itu. Kali pertama, yaitu apa yang kita lihat di sini, menyatakan bahwa mempersembahkan diri kepada Allah adalah menyenangkan-Nya. Kali kedua, muncul di akhir ayat kedua, menyatakan bahwa ketika kita melakukan hal ini kita akan menemukan kehendak Allah dalam hidup kita yaitu untuk menyenangkan Allah sejauh dan sesempurna mungkin. Semua orang percaya sadar bahwa kehendak Allah bagi kita merupakan hal yang menyenangkan. Bagaimana mungkin tidak jika Allah adalah Allah yang Bijaksana dan Sumber kebaikan? Kehendak-Nya pasti adalah hal yang baik untuk kita. Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru memberikan informasi yang amat beragam tentang persembahan. Tentulah tidak bijak kalau kita hanya mau menekankan atau mengambil satu jenis persembahan yang terdapat di Perjanjian Lama, dan mengesampingkan macam-macam persembahan lainnya. Oleh karena itu menjadi semakin jelas bagi kita bahwa saat ini, untuk memahami persembahan, 17 tidak bisa lagi diambil secara harafiah baik dari Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Sebab kalau ingin mengambil begitu saja makna persembahan/persembahan korban dari Alkitab, pastilah akan kita temui berbagai kesulitan. Sebab aturan tentang persembahan di Perjanjian Lama amat rumit. Demikian pula halnya dengan persembahan. Konsep persembahan di Perjanjian /Lama antara lain adalah sebagai sarana pembinaan umat dan sebagai tanda kesetiaan dan kepatuhan umat terhadap Tuhan. Bagi umat Israel di zaman Perjanjian Lama, hukum itu memang mutlak. Kesetiaan dan kepatuhan umat Israel Perjanjian Lama terhadap aturan persembahan itu mengikat sekali. Artinya, ketidaksetiaan dan ketidakpatuhan mereka terhadap aturan itu akan membawa mereka kepada kebinasaan (Amos 5: 7 dst.). Sedangkan konsep persembahan di Perjanjian Baru berbeda. Persembahan tidak menentukan keselamatan, tetapi sebagai salah satu buah ucapan syukur. Di Perjanjian Baru kesetiaan dan kepatuhan orang percaya kepada Tuhan-nya tidak lagi ditandai oleh besar kecilnya persembahan, tetapi oleh cara hidup yang menjunjung tinggi nilainilai kerajaan Allah, yaitu: kasih, keadilan, kebenaran, suka cita, damai sejahtera. 18