SKRIPSI_Paulina Wijaya_08120110081

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dewasa ini perkembangan dunia bisnis telah sampai pada titik yang sangat
tinggi, di mana para pelaku bisnis saling bersaing ketat satu sama lain untuk
memasuki dan menguasai pasar. Untuk bertahan (survive) bagi setiap bisnis kuncinya
adalah memenangkan konsumen.
”In most businesses the bulk of profit comes from transactions with
established customers ... the period which the customer will remain
loyal.”
(Fifield, 1992:121)
Karena tingginya tingkat kompetisi dalam menguasai pasar, tiap pelaku bisnis
dituntut untuk menjalankan usahanya dengan strategi, taktik dan kegiatan pemasaran
yang lebih intensif dan tepat sasaran. Tak hanya ditentukan oleh kegiatan pemasaran
(marketing) yang baik, perusahaan yang bersangkutan juga harus memberikan
perhatian khusus pada citra dan reputasinya di mata publik. Perusahaan-perusahaan
dan pebisnis semakin menyadari bahwa kini aktivitas marketing yang konvensional,
kaku, dan tidak terarah (sporadik) tidak akan menghasilkan apa-apa karena hanya
sekadar bertujuan sempit pada penjualan yang sifatnya jangka pendek.
Sedangkan di lain sisi, keuntungan dan sukses jangka panjang bisa diraih
dengan memperhatikan citra perusahaan. Keberhasilan menciptakan dan memelihara
identitas, image, dan reputasi perusahaan yang positif akan menjanjikan penerimaan
publik (public acceptance) dan yang lebih penting lagi, loyalitas (public loyalties).
Loyalitas adalah saat konsumen tetap setia pada produk dan perusahaan tertentu, tetap
membeli, dan selalu menjadi brand dan corporate evangelist dengan sukarela
(”Brand evangelist is a customer who is loyal to your brand and voluntarily goes out
of his way to tell others about it”; Shelly Lazarus, CEO dari Ogilvy & Mather, dalam
jurnal BizEd edisi Maret/April 2008).
”Loyalty ... is the importance attached to not only attracting consumers, but also keeping them.”
(McCorkell, 1997:120)
Tentu saja ini adalah pencapaian yang luar biasa bagi perusahaan dan bisnis
manapun karena untuk menjadi market leader kuncinya adalah mempunyai sebanyak
mungkin konsumen yang loyal, namun loyalitas konsumen tidak dengan mudah
didapat hanya melalui aktivitas pemasaran (marketing).
Alasannya sederhana, karena kini orang tidak hanya melihat apa yang
mereka beli, melainkan kepada siapa mereka membelinya. Ini membuat
perusahaan atau organisasi harus ’menampilkan’ dirinya sebaik mungkin di hadapan
konsumen dan calon konsumen. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sekarang ini
tantangan yang terbesar justru datang dari konsumen sendiri. Menurut Steven
Howard dalam bukunya yang berjudul Corporate Image Management, A Marketing
Discipline for the 21st Century (1998), konsumen menjadi semakin pemilih dan
peduli terhadap citra serta reputasi sebuah perusahaan sebelum mereka terlibat atau
membeli sesuatu dari perusahaan tersebut. Hal ini menunjukkan besarnya pengaruh
penilaian publik terhadap sebuah perusahaan. Untuk memenuhi ekspektasi yang ada,
setiap perusahaan dan organisasi harus menempatkan persoalan citra dan reputasi
sebagai faktor yang tidak boleh diabaikan, dan senantiasa berusaha membangun
relationship excellence di mata konsumen dan publik terkait.
”Why are consumers, and people in general, so tough on companies
when cracks appear in their corporate images? ... We all want to
relate to the products, services, and companies with which we deal.
We get upset when these ’heroes’ don’t live up to our image of them...
If you disappoint us, we not only go away, we’re likely to talk negatively about you to others... Consumers move from a desire for
product and service excellence to a demand for relationship
excellence.”
(Howard, 1998:30)
Konsumen kini sangat selektif dan menjadi ’pembeli yang pintar’ (smart
buyer). Mereka mengambil keputusan untuk membeli berdasarkan kebutuhan dan
keinginan mereka (needs & wants) dan memiliki posisi krusial untuk memilih satu
dari sekian banyak produk yang ditawarkan di pasaran. Untuk mendapatkan
penerimaan publik (public acceptance) dan meraih loyalitas konsumen mengalahkan
kompetitor-kompetitor lainnya, organisasi harus memperhatikan bagaimana ia
merepresentasikan dirinya karena image dan reputasi yang baik menjadi harga mati.
Karena dasar yang esensial tersebut, organisasi dan perusahaan kini semakin berfokus
pada pembentukan Corporate Image yang akan mereka tampilkan di hadapan
khalayak, agar tercipta Corporate Reputation yang positif.
Menurut Charles Fombrun yang dikutip oleh Adam Jolly dalam buku
Managing Corporate Reputations (2001:8), image (citra) adalah : “the perceptions
and associations that form in observers’ minds when they think about a company or its products”, atau dapat diartikan : image adalah kumpulan persepsi dan asosiasi
yang terbentuk di benak (pengamat) publik ketika mereka memikirkan tentang suatu
perusahaan atau produk. Corporate Image merupakan impresi yang diusahakan oleh
pihak perusahaan agar tampil positif di hadapan publik dan stakeholders. Baik
identitas maupun citra korporat dapat dibentuk dan dibangun secara proaktif oleh
organisasi yang bersangkutan, yang tujuannya untuk mendapatkan penilaianpenilaian serta reputasi yang baik di mata khalayak publik.
Di sisi yang lain, Adam Jolly (2001:10) juga menulis kutipan Fombrun yang
mengidentifikasi reputasi sebagai : “the overall esteem in which a company is held by
its constituents” (penilaian keseluruhan mengenai suatu perusahaan yang dipegang
atau diyakini oleh para konstituennya). Berbeda dengan identitas dan citra perusahaan
yang dapat dibentuk atau diusahakan agar tampil positif oleh pihak perusahaan itu
sendiri, reputasi berada di luar jangkauan organisasi. Reputasi merupakan penilaian
publik berdasarkan image perusahaan yang mereka pahami. Karena itu image dan
reputasi adalah dua hal terkait, di mana reputasi yang positif ataupun negatif
terbentuk berdasarkan image yang ada (dari sudut pandang dan kacamata publik).
Di Indonesia, salah satu organisasi sukses yang dikatakan memiliki Corporate
Image dan Reputation yang baik adalah Unilever. Faktanya perusahaan raksasa
Unilever telah menerima berbagai macam penghargaan dan pencapaian yang tak
terhitung jumlahnya yang membuktikan hal tersebut. Demikian kutipan dalam press
release Unilever tanggal 17 Februari 2010 (berjudul : Unilever Indonesia Raih
Predikat ”Perusahaan Indonesia Paling Baik” dalam AsiaMoney Awards) yang
dimuat di www.ipmpr.net :
PT Unilever Indonesia Tbk. kembali terpilih sebagai perusahaan
Indonesia paling baik versi AsiaMoney, yakni Overall Best Managed
Company in Indonesia 2008 dan Overall Best Managed Company in
Indonesia 2009 …
Posisi Unilever Indonesia yang kuat sebagai pemimpin pasar telah
diakui melalui berbagai penghargaan nasional dan internasional yang
diterima oleh perusahaan. Pada tahun 2009, Unilever Indonesia
menerima 137 penghargaan baik dari dalam dan luar negeri dari
berbagai
media
massa
papan atas maupun instansi
pemerintah, dan lembaga lainnya …
Per kuartal ke tiga 2009, laba bersih tumbuh 26,5% hingga mencapai
lebih dari Rp 3 triliun. Penjualan tumbuh 17,1% menjadi Rp 18,25
triliun.
Tak hanya itu, tanggal 8 Juni 2011 Unilever didaulat sebagai Best Corporate
Image tahun 2011. Tertulis dalam kutipan press release yang diambil dari
www.unilever.co.id :
Jakarta, June 8 2011 - This year Unilever Indonesia again received
public recognition as company with best corporate image. This title is
evidenced by Corporate Image Award 2011 - Indonesia's Most
Admired Companies (IMAC) … held by Frontier Consulting Group in
cooperation with Bloomberg Business week Indonesia magazine.
The measurement of Corporate Image 2011 uses four dimensions :
quality, performance, responsibility, and attractiveness. Dimension
of quality consists of four attributes: high attention to consumer, high
quality products / services, reliable company, and innovation.
Performance dimension consists of two attributes: well-managed
companies and their opportunities for growth and development.
Berdasarkan banyaknya pencapaian dan penghargaan yang sudah berhasil
didapatkan serta predikat-predikat tersebut, Unilever jelas dikategorikan sebagai
perusahaan dengan citra dan reputasi yang baik di Indonesia. Di masa-masa awal
lahirnya di tahun 1933 sebagai Zeepfabrieken N.V. Lever, yang lalu pada tanggal 22
Juli 1980 diresmikan dengan nama PT Unilever Indonesia, korporasi Unilever terus
merintis dan mengembangkan bisnisnya sampai sekarang yang berarti perusahaan
sudah berumur lebih dari 70 tahun. Sekarang nama besar Unilever sudah menduduki
berbagai jenis dan segmen pasar di Indonesia, mulai dari kategori Personal Care
products (shampoo, pasta gigi, parfum, deodoran), Home Care products (sabun
pencuci piring, cairan pembersih lantai, detergen), hingga produk kategori makanan
(seperti kecap, bumbu masak, mentega, teh, es krim).
Tak hanya memiliki jangkauan produk yang luas, Unilever berhasil
mengangkat hampir semua brands yang dinaunginya menjadi top of mind konsumen
Indonesia. Sebut saja AXE, CLEAR, Lifebuoy, Dove, Pepsodent, Lux, SunSilk,
Pond’s, Rexona, Bango, Royco, BlueBand, Sariwangi, Wall’s IceCream, Rinso, dan
Sunlight. Brand produk-produk Unilever ini telah berhasil mendapat berbagai
penghargaan bergengsi sebagai bentuk pengakuan terhadap keunggulan brand
Unilever. Di tahun 2009, Unilever Indonesia menerima 5 penghargaan Top Brand
Award, 2 penghargaan Famous Brand, 9 penghargaan Platinum Indonesia Best
Brand, 1 penghargaan Golden Indonesia Best Brand Award, dan 2 penghargaan
Excellent Brand. Unilever juga menerima banyak penghargaan lain misalnya dalam
kategori CSR terbaik, Social Marketing terbaik, Marketing Campaign terbaik,
Customer Satisfaction Award, Distribution Performance terbaik, Most Trusted
Company, dan masih banyak lagi (informasi ini tertulis dalam www.ipmpr.net yang
memuat data dan press release dari Unilever).
Keberhasilan Unilever di Indonesia tidak lepas dari usahanya membentuk
identitas serta citra perusahaan yang kuat dan positif. PT Unilever Indonesia mencoba
menjalankan bisnis tak hanya demi kesejahteraan korporat namun juga masyarakat
dan lingkungan. Dari tahun ke tahun Unilever melaksanakan tanggung jawab sosial
perusahaan ; menjalankan CSR (Corporate Social Responsibility) yang programprogramnya fokus bertujuan untuk membangun empat bidang utama, yaitu seputar
Lingkungan, Nutrisi, Higiene, dan Pertanian Berkelanjutan. Program CSR Unilever
yang dalam beberapa tahun terakhir cukup terkenal dan menarik apresiasi publik yang
sangat positif antara lain adalah Kampanye Cuci Tangan dengan Sabun (program
Lifebuoy), Program Edukasi Kesehatan Gigi dan Mulut (program Pepsodent),
Program Pelestarian Makanan Tradisional (program Bango), dan Program
Memerangi Kelaparan untuk membantu Anak Indonesia yang kekurangan gizi
(program BlueBand).
Terlihat bahwa Unilever memiliki pemahaman yang baik akan pentingnya
Corporate Image dan Corporate Reputation sebagai bagian dari perusahaan yang
harus dibangun dan di-manage secara berkelanjutan. Performa PT Unilever Indonesia
sampai saat ini konsisten bertekad membangun citra sebagai perusahaan yang peduli
terhadap kesejahteraan publik bersama. Unilever ingin menciptakan impresi positif di
hadapan khalayak, bahwa perusahaan tak hanya menawarkan produk-produk
berkualitas unggulan namun juga memiliki karakter perusahaan yang baik (jujur,
peduli lingkungan, memperhatikan kesejahteraan masyarakat). Ini diharapkan dapat
membuat masyarakat mengapresiasi Unilever sebagai contoh Good Corporate Citizen,
dan sebagai hasilnya besar kemungkinan mereka akan menerima serta mempersepsi
produk-produk dari Unilever secara positif. Penerimaan publik ini (public acceptance)
berpotensi tinggi berujung pada tindak pembelian (purchasing behavior) konsumen
dan calon konsumen, yang lalu menghasilkan keuntungan dan profit bagi perusahaan.
Seperti pendapat Hart yang dikutip oleh Davis (1998:131) :
”It can be said that whether or not a product is purchased is
dependent on five factors – the product, its price, its availability, the
brand image and the corporate image... Insofar as PR is the function
which builds reputation or corporate image, it can be seen then to
have a direct correlation to sales and hence to profit.”
(Hart, 1995)
Usaha yang dilakukan perusahaan untuk membentuk serta mensosialisasikan
citra positif yang peduli kesejahteraan bersama ternyata berhasil ; pada tanggal 23
Juni 2011 Unilever dianugerahi penghargaan sebagai Best Public Companies 2011
peringkat pertama di Indonesia dan Best Public Companies peringkat kelima seASEAN, dalam jajaran SWA 100 : Indonesia’s Best Wealth Creators 2011 (ini adalah
ajang penghargaan bagi perusahaan-perusahaan dengan performa bisnis yang sudah
teruji dan terbukti unggul, digagas oleh SWA yang bekerja sama dengan Stern
Stewart & Co).
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa PT Unilever Indonesia adalah contoh
keberhasilan sebuah korporat yang mengedepankan citra dan reputasi, mampu
memahami keduanya sebagai aset sosial (social assets) yang berharga, serta
memanfaatkannya sebagai kunci untuk menduduki pangsa pasar yang menjadi target
perusahaan. Ini dikarenakan perusahaan sadar betapa pentingnya mereka dilihat dari
luar, terutama di mata customer. Bagaimanapun juga aset sosial (social assets) yang
kuat membawa nilai ekonomi bagi perusahaan karena ini memperkuat posisi
kompetitif (competitive advantage) perusahaan dan meningkatkan peluang jangka
panjang (long-term opportunity) untuk mencapai serta mempertahankan keberhasilan
bisnis.
Sampai saat ini jelas dapat dipahami bahwa Unilever merupakan contoh
perusahaan yang sukses di Indonesia. Predikat sebagai Best Public Company tingkat
ASEAN tentu diberikan karena overall performance Unilever terbukti sangat
memuaskan, salah satunya dalam penjualan dan keberhasilan finansial. Hal ini sangat
ditentukan oleh profit yang didapat perusahaan, yaitu kembali kepada tingkat
pembelian konsumen Unilever (tingkat pembelian yang semakin tinggi menunjukkan
perilaku membeli yang baik dari konsumen Unilever, dan ini menguntungkan
perusahaan).
Melihat kesuksesan Unilever yang ditampilkan selama ini, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang mengkaji hubungan antara citra dan reputasi
perusahaan dengan perilaku membeli (purchasing behavior) konsumennya. Penulis
ingin memahami image dan Corporate Reputation PT Unilever Indonesia di mata
konsumennya; bagaimana mereka mempersepsi dan menilai Unilever, memahami
perilaku konsumen Unilever dalam membeli, serta korelasi keduanya (citra dan
reputasi) yang terkait erat dengan tindak pembelian konsumen.
1.2
Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah digunakan penulis untuk membatasi lingkup bahasan
dalam penelitian ini, agar sesuai dengan topik dan judul penelitian yang mau diangkat.
Batasan masalah yang diambil penulis dalam penelitian analisis korelasi citra dan
reputasi PT Unilever Indonesia dengan perilaku membeli konsumen adalah sebagai
berikut :
1. Salah satu bagian penting dari penelitian ini yaitu mengukur reputasi
perusahaan (Corporate Reputation) di mata audiens (responden) dengan
menggunakan Reputation Quotient Measurement framework (model
Pengukuran Kecerdasan Reputasi) yang dikemukakan oleh Charles
Fombrun sebagai acuan. Pengukuran terhadap reputasi perusahaan
dibuktikan penulis secara umum, melalui penyebaran kuesioner pada
audiens tertentu, dan tujuannya hanya untuk mengetahui impresi umum
(general impression) masyarakat terhadap image perusahaan. Sehingga lalu
dapat ditarik kesimpulan apakah hasil pengukuran menunjukkan image dan
reputasi perusahaan Unilever termasuk kategori positif, netral, ataukah
negatif.
2. Dalam mengukur dan menentukan perilaku membeli konsumen, penulis
berfokus menganalisis dari faktor pendorongnya saja (the driving factors),
baik actual maupun perceived (sisi Public Relations), sehingga penulis
tidak melibatkan ranah sales, angka hasil penjualan, dan pencapaian
pemasaran lainnya (sisi Marketing) di dalam penelitian ini. Hasil
pengukuran akan menunjukkan apakah perilaku membeli responden
termasuk kategori baik, sedang, ataukah buruk.
3. Penulis ingin menemukan korelasi antara image dan reputasi perusahaan
Unilever dengan perilaku membeli konsumennya ; untuk membuktikan
bahwa image dan reputasi yang positif memiliki keterkaitan dengan tingkat
pembelian konsumen yang tinggi. Dan jika hasil penelitian menunjukkan
adanya korelasi, penulis juga ingin mengkaji seberapa besar hubungan
antar keduanya (akan dijabarkan dalam deskripsi statistik, persentase, dan
skala penilaian).
1.3
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka rumusan
masalah dalam penelitian kuantitatif ini antara lain :
1.
Adakah keterkaitan antara citra dan reputasi PT Unilever Indonesia
dengan tindakan dan perilaku konsumen dalam membeli produk-produk
Unilever?
2.
Berapa signifikan korelasi atau nilai ketertarikan hubungan antara aspek
reputasi PT Unilever Indonesia dengan aspek perilaku membeli
konsumennya?
1.4
Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan dari penelitian
ini yaitu :
1. Mengetahui keterkaitan antara citra dan reputasi PT Unilever Indonesia
dengan tindakan dan perilaku konsumen dalam membeli produk-produk
Unilever.
2. Mengetahui signifikan korelasi atau nilai ketertarikan hubungan antara
aspek reputasi PT Unilever Indonesia dengan aspek perilaku membeli
konsumennya
1.5
Kegunaan Penelitian
1.5.1
Kegunaan Akademis
Penelitian kuantitatif ini diharapkan dapat memberi kajian analisis
yang bermanfaat secara akademik bagi studi Public Relations yang berfokus
mempelajari tentang aspek-aspek serta manfaat dari Corporate Image dan
Corporate Reputation yang baik, serta memberikan pemahaman mengenai
consumer behavior terutama dalam hal pembelian.
1.5.2
Kegunaan Praktis
Penelitian kuantitatif ini secara praktis diharapkan dapat memberikan
pemahaman yang baik bagi para praktisi dan pelajar studi Public Relations
tentang Corporate Image dan Corporate Reputation dari PT Unilever
Indonesia, sehingga ini dapat menjadi pengetahuan dan acuan untuk
memahami tindak pembelian konsumen yang sekarang ini sangat berkaitan
dengan kesuksesan korporasi yang mengedepankan social assets (identitas,
citra, dan reputasi).
Download