Menelusuri Jalan Sepi para Relawan Pendidikan Melalui Diskusi

advertisement
Menelusuri Jalan Sepi para Relawan Pendidikan Melalui Diskusi Terbuka:
Sebuah Post SLP Project dari Delegasi USD
USD | 27 November 2015 | 11:19 WIB
Program internasional tahunan Service Learning Project (SLP) pada tahun ini mengajak para peserta untuk
berfokus pada keadilan dan ketidakadilan (justice and injustice). Program ini mengajak para pesertanya,
termasuk di dalamnya delegasi dari Universitas Sanata Dharma, untuk mampu menganalisis keadaan di
sekitarnya di mana ketidakadilan sering terjadi.
Tantangan untuk mampu melakukan analisis sosial tentang ketidakadilan ternyata membawa Tiffany
Chandra, Lenny Lawren, dan Dyah Ayu Kusumawardani, delegasi USD untuk SLP 2015, pada sebuah titik
temu yang sama: pendidikan. Walaupun berasal dari program studi yang berbeda-beda, mereka ternyata
mempunyai satu keprihatinan dan ketertarikan yang sama. Berangkat dari keprihatinan akan ketidakadilan
pendidikan di Indonesia inilah, mereka menyelenggarakan diskusi terbuka pada hari Selasa, 10 November
2015 sebagai -post-project SLP mereka.
Diskusi terbuka yang mengambil tempat di Student Hall Kampus 1 Mrican ini sebenarnya merupakan
gabungan dari apa yang menjadi keprihatinan mereka dalam bidang pendidikan dan apa yang mereka
pelajari selama mengikuti SLP 2015 di Sogang, Korea, yaitu mengenai cinta otentik. Relawan pendidikan pun
mereka pilih sebagai wujud nyata kalangan yang memiliki cinta otentik dalam bidang pendidikan. Dengan
mengambil tema “Relawan Pendidikan: Memoria, Aktualita, dan Cita-cita”, mereka ingin mempertemukan
penggiat dan relawan pendidikan dari sektor formal dan informal dalam diskusi terbuka tersebut untuk
membagikan pengalaman mereka (memoria), untuk membantu para peserta yang hadir merasakan
keterlibatan mereka (aktualita), dan untuk memaparkan harapan mereka akan semakin banyaknya orang
yang mau terlibat sebagai relawan pendidikan (cita-cita). Dari sektor formal, mereka mengundang Y. Heri
Widodo, M.Psi, seorang akademisi di USD yang juga merupakan pendiri PAUD/TK Kerang Mutiara dimana
banyak USD terlibat sebagai relawan. Dari segi non-formal mereka mengundang Totok Rahardjo, pendiri
Laboratorium Pendidikan Dasar “Sanggar Anak Alam”. Selain itu, mereka juga mengundang Stella Vania,
seorang mahasiswa USD yang telah bertahun-tahun terlibat sebagai sukarelawan pendidikan di Kampung
Sosial Pingit sebagai contoh nyata relawan pendidikan. Selain ketiga narasumber tersebut, panitia juga
mengundang Romo Robertus In Nugroho Budisantoso, SJ sebagai moderator diskusi.
Selama diskusi terbuka tersebut, Pak Heri, Pak Totok, dan Vania membagikan pandangan, pengalaman dan
suka duka mereka selama mereka menjadi penggiat pendidikan. Pak Totok, sebagai perwakilan dari sektor
informal, dalam presentasinya menjabarkan berbagai permasalahan pendidikan di Indonesia seperti
diantaranya formalisme, pendidikan yang kurang menekankan pada hal yang penting; dan budaya instan,
tendensi untuk memilih apa yang lebih cepat daripada ketekunan untuk berproses. Pada presentasinya pula,
Pak Totok mengajak para peserta yang nantinya akan bergerak di bidang pendidikan untuk mampu
membawa pendidikan berfokus dan berpusat pada perkembangan anak dan esensi pendidikan itu sendiri.
Presentasi dari beliau pun dilanjutkan oleh Pak Totok sebagai perwakilan sektor non-formal. Dalam
penjabarannya, beliau menekankan bahwa para pelaku pendidikan harus mampu membuat sekolah menjadi
tempat yang menyenangkan bagi anak, bukannya memberi beban. Sekolah juga seharusnya menjadi tempat
1/2
dimana imajinasi dan kreativitas anak-anak diolah bukannya dimatikan serta tempat dimana anak-anak diberi
kebebasan untuk berekspresi. Hal-hal tersebutlah yang kemudian menjadi semangat penyelenggaraan
pendidikan di SALAM (Sanggar Anak Alam) yang beliau dirikan. Di laboratorium pendidikan dasar tersebut,
beliau bersama para guru membimbing siswa untuk mampu menemukan cara belajarnya sendiri agar
nantinya mereka dapat bertahan hidup di manapun mereka berada. Sesi berbagai pengalaman pun
kemudian dilanjutkan oleh Stella Vania yang mewakili relawan-relawan pendidikan di Indonesia. Di tengah
kesibukan kuliahnya, Vania ternyata bersedia meluangkan waktu untuk mengajarkan nilai-nilai kehidupan
kepada anak-anak yang tinggal di Kampung Sosial Pingit. Vania bersama rekan-rekan relawan yang lain
menekankan penyelenggaraan pendidikan di Pingit pada nilai-nilai kehidupan seperti baik dan buruk.
Pemilihan pengajaran pada nilai-nilai hidup ini bukannya tanpa alasan. Vania mengatakan bahwa dalam
pendidikan, pengetahuan memang penting, namun bukan yang terpenting seperti halnya pendidikan akan
nilai-nilai hidup ini. Harapan Vania dan rekan-rekan relawan pada anak-anak di Pingit terbilang sederhana,
yaitu meminimalisir munculnya kata-kata kotor dari mulut mereka dan berkurangnya perkelahian di antara
anak-anak di sana. Dari penjabaran ketiga narasumber, ternyata mereka memiliki satu keprihatinan yang
lain, yaitu masih sedikitnya orang yang mau terlibat sebagai relawan pendidikan.
Hadirnya Pak Heri, Pak Totok, dan Vania dalam diskusi terbuka ini seperti membawa peserta menelusuri jalan sepi
para relawan pendidikan. Relawan pendidikan adalah mereka yang bersedia berbuat sesuatu yang berguna
bagi pendidikan tanpa adanya keinginan untuk menjadi terkenal, menerima penghargaan, pun pula harapan
untuk menerima bayaran. Beliau-beliau inilah yang rela membanting tulang untuk berkontribusi dalam
menyediakan
pendidikan bagi semua golongan. Mereka adalah sosok relawan yang bersedia bekerja di jalan-jalan sepi
yang banyak orang tidak ketahui dan yang tidak banyak orang mau terlibat.
Selepas acara ini, Tiffany, Lawren, dan Dyah berharap bahwa para peserta diskusi yang berasal dari dalam
maupun luar USD dan dari berapa komunitas mengajar ini dapat memiliki sebuah pandangan baru tentang
betapa pentingnya kehadiran para sukarelawan pendidikan itu. Mereka juga berharap bahwa acara ini
mampu menumbuhkan kesadaran di hati para peserta akan apa yang dapat mereka lakukan untuk mengisi
kekosongan relawan pendidikan di Indonesia. (mdr)
2/2
Download