I. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Tanaman Stroberi Stroberi merupakan tanaman buah berupa herba yang ditemukan pertama kali di Chili, Amerika. Salah satu spesies tanaman stroberi yaitu Fragaria chiloensis L menyebar ke berbagai negara Amerika, Eropa dan Asia. Spesies lain, yaitu F. vesca L. lebih menyebar secara luas, jenis stroberi ini pula yang pertama kali masuk ke Indonesia. Stroberi yang kita temukan di pasar swalayan adalah hibrida yang dihasilkan dari persilangan Fragaria virgiana L. var Duchesne asal Amerika Utara dengan Fragaria Chiloensis L. var Duchesne asal Chili. Persilangan itu menghasilkan hibrida yang merupakan stroberi modern (komersil) Fragaria x annanassa var Duchesne (Darwis, 2007).Menurut Tjitrosoepomo (1985) tanaman stroberi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo (bangsa) : Rosales Famili (suku) : Rosaideae Subfamili : Rosaceae Genus (marga) : Fragaria Spesies : Fragaria sp Stroberi adalah tanaman subtropis yang dapat beradaptasi dengan baik di dataran tinggi tropis yang memiliki temperatur 17-20 derajat C dan disertai dengan curah hujan 600700 mm/tahun. Stroberi tumbuh dengan baik pada tanah dengan drainase yang baik. Biasanya dipilih tanah lempung berpasir dengan pH 5,8-6,5. Stroberi juga membutuhkan kelembaban 5 udara yang baik untuk pertumbuhannya yang berkisar antara 80-90% dan lama penyinaran cahaya matahari yang dibutuhkan sekitar 8-10 jam setiap harinya. Struktur akar tanaman stroberi terdiri atas pangkal akar (collum), batang akar (corpus), ujung akar (apex), bulu akar (pilus radicalis), serta tudung akar (calyptra). Tanaman stroberi berakar tunggang (radix primaria) terus tumbuh memanjang dan berukuran besar (Rukmana, 1998). Akar serabut stroberi di dalam tanah tumbuh dangkal dan menyebar secara horizontal sepanjang 30 cm dan secara vertical dapat mencapai kedalaman 40 cm. Akar muncul dari batang yang pendek dan tebal berbentuk rumpun. Dari rumpun tersebut dapat muncul tunas yang akan menjadi crown baru, sulur dan bunga. Secara botani sulur merupakan batang ramping yang tumbuh keluar dari ketiak daun pada dasar rumpun dan menjalar sepanjang permukaan tanah. Sulur dapat digunakan sebagai ‘alat’ untuk menghasilkan tanaman baru (Soemadi, 1997). Batang utama tanaman stroberi sangat pendek. Daun-daun terbentuk pada buku dan pada ketiak setiap daun terdapat pucuk aksilar. Internode sangat pendek sehingga jarak daun yang satu dengan yang lainnya sangat kecil dan memberi penampakan seperti rumpun tanpa batang. Batang utama dan daun yang tersusun rapat ini disebut crown. Ukuran crown berbeda-beda menurut umur, tingkat perkembangan tanaman, kultivar dan kondisi lingkungan pertumbuhan (Budiman dan Saraswati, 2008). Daun stroberi tumbuh melingkar, berbulu lebat sampai jarang (tergantung varietas), terdiri atas tiga anakan daun (daun majemuk), dengan tepi bergerigi. Daun disangga oleh tangkai yang panjang (Soemadi, 1997). Bunga stroberi mempunyai 10 kelopak yang berwarna hijau, 5 mahkota berwarna putih, 60 sampai 600 putik dan 20 sampai 35 benang sari yang tersusun sekitar stigma di atas dasar bunga. Penyerbukan stroberi terjadi secara silang dengan bantuan angin, serangga (kupu-kupu, lebah) maupun manusia. Bunga berbentuk tandan yang terdiri atas beberapa tangkai utama yang masing-masing ujungnya terdapat satu bunga yang disebut bunga primer, dan dua tangkai serta bunga-bunga di bawahnya yang disebut bunga sekunder. Di bawah bunga sekunder terdapat bunga tersier dan kuartener. Ukuran tangkai bunga selalu lebih panjang daripada daun. Pemunculan rangkaian dan mekarnya bunga terjadi secara berurutan, dan berlangsung selama empat minggu. Biasanya sebanyak 6 sampai 8 bunga pertama pada setiap tangkai akan mekar lebih awal, yang selanjutnya diikuti oleh bunga di bawahnya (Setiani, 2007). Buah stroberi yang kita kenal sebenarnya adalah buah semu, bukan buah yang sebenarnya. Buah stroberi yang dikenal masyarakat selama ini adalah reseptakel atau jaringan dasar bunga yang membesar. Buah yang sebenarnya adalah biji-biji kecil berwarna putih yang disebut dengan achen. Achen berasal dari sel kelamin betina yang telah diserbuki dan kemudian berkembang menjadi buah kerdil. Achen menempel pada permukaan reseptakel yang membesar (Setiani, 2007). Biji stroberi berukuran kecil, pada setiap buah menghasilkan banyak biji. Biji berukuran kecil terletak di antara daging buah. Pada skala penelitian atau pemuliaan tanaman biji merupakan alat perbanyakan tanaman secara generative (Rukmana, 1998). Tanaman stroberi yang tumbuh terlalu rimbun, mempunyai banyak daun dan sulur sehingga akan menjadi kurang produktif berbunga dan berbuah. Daun-daun yang terlalu rimbun dan banyak bersulur di pangkas. Pemangkasan daun dan sulur hendaknya di lakukan secara teratur terutama membuang daun-daun tua atau daun rusak yang di sebabkan oleh serangan hama dan penyakit. Pemangkasan biasanya dilakukan pada bunga pertama dan stadium pentil yang tumbuh berlebihan. Pemangkasan bunga pertama bertujuan untuk mendewasakan tanaman ke fase generatif dan tumbuh kuat. Sedangkan tujuan dari pemangkasan bunga stadium pentil yaitu pada tanaman yang telah berumur 3-4 hari sejak berbunga, dimaksudkan agar dapat memperoleh buah stroberi yang berukuran besar dan memiliki kualitas bagus (Rukmana, 1998). 2.2 Kultur In Vitro Menurut Santoso dan Nursadi (2003) kultur in vitro merupakan budidaya tanaman dalam botol ataupun teknik budidaya sel, jaringan, dan organ tanaman dalam suatu lingkungan yang terkendali dan dalam keadaan aseptik atau bebas mikroorganisme. Teknik ini dicirikan oleh kondisi kultur yang aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan kandungan lengkap dan ZPT (zat pengatur tumbuh), serta kondisi ruang kultur yang suhu dan pencahayaannya terkontrol. Semua peralatan dan media yang di gunakan harus dalam keadaan steril dan tidak terkontaminasi bakteri dan jamur (Yustina, 2003). Lebih lanjut menurut Yustina (2003), penggunaan teknik kultur jaringan untuk pembiakan tanaman mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan dibandingkan dengan perbanyakan tanaman secara konvensional. Kelebihan tersebut adalah memberikan peluang lebih untuk menghasilkan jumlah bibit tanaman dalam waktu relatif singkat sehingga lebih ekonomis, tidak memerlukan tempat yang luas, tidak tergantung musim sehingga dapat dilakukan sepanjang tahun, bibit yang dihasilkan lebih sehat memungkinkan dilakukannya manipulasi genetik. Kelemahan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan adalah sebagai berikut ; membutuhkan biaya awal yang relatif tinggi untuk laboratorium, peralatan dan bahan kimia, membutuhkan keahlian khusus untuk pelaksanaannya, tanaman yang dihasilkan berukuran kecil, aseptik dan terbiasa hidup di tempat yang berkelembaban tinggi sehingga memerlukan aklimatisasi ke lingkungan eksternal. 2.3 Media Dasar Murashige dan Skoog (MS) dan Arang Aktif Media dasar merupakan kombinasi zat yang mengandung hara essensial (makro dan mikro), sumber energi dan vitamin. Banyak jenis media dasar yang dapat dipergunakan untuk kultur in vitro, di antaranya media dasar Vacin dan Went, Knudson C dan Murashige dan Skoog (MS). Media dasar MS dikenal paling luas penggunaannya dalam kultur in vitro di laboratorium, karena diketahui dapat diaplikasikan untuk banyak spesies tanaman (Gunawan, 1992). Meskipun demikian kadang kala konsentrasi garam-garaman organik pada media MS terlalu tinggi untuk beberapa spesies tanaman, sehingga dalam penggunaan sering kali dikurangi menjadi setengah atau seperempatnya dan terbukti hasilnya lebih baik (Bhojwani dan Razdan, 1983). Tanaman membutuhkan hara essensial pada perbanyakan secara in vitro diberikan dalam bentuk garam-garam anorganik (Gunawan, 1992). Garam anorganik bila dilarutkan dalam air akan membentuk ion. Satu jenis ion bias dikontribusi oleh lebih dari satu jenis senyawa (Bhojwani dan Razdan, 1983). Sukrosa sering ditambahkan pada media kultur in vitro sebagai sumber energi, karena eksplan yang dibudidayakan secara in vitro tidak bersifat autotrof dan mempunyai laju fotosintesis yang rendah (Hendaryono dan Wijayanti, 2001). Menurut Widias dan Farid (1995) sukrosa merupakan bahan baku mengasilkan energi dalam respirasi dan pembentukan sel-sel. Arang aktif mempunyai sifat adsorptif yang kuat terhadap koloid, benda padat, gas, dan uap air. Arang aktif cenderung mengadsorbsi zat aromatik seperti fenol, auksin, dan sitokinin. Zat terlarut dalam larutan atau media yang terkena kontak dengan arang aktif akan teradsorbsi. Adsorbsi akan terus berlanjut sampai terjadi keseimbangan. Kapasitas daya serap arang aktif tergantung pada kepadatan media, kemurnian arang aktif dan pH. Selain itu, penggunaan arang aktif pada kultur in vitro dipengaruhi oleh spesies yang dikultur (Pan dan Fan Staden, 1998). Secara umum, efek arang aktif pada kultur in vitro dapat menyerap cahaya pada permukaan media sehingga tidak tembus sampai bawah media. Oleh karena itu, cahaya tidak dapat menstimulasi enzim yang dapat mengoksidasi fenol, zat yang dihasilkan oleh arang aktif dapat meningkatkan pertumbuhan, serta menyebabkan media lebih asam (Pan dan Fan Staden, 1998). 2.4 Zat Pengatur Tumbuh Salah satu komponen media yang dapat menentukan keberhasilan kultur jaringan adalah jenis dan konsentrasi zat pegatur tumbuh yang digunakan (Yusntina, 2003). Wattimena (1991) menyatakan bahwa konsep zat pengatur tumbuh diawali oleh konsep hormon tanaman. Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sedangkan hormon tanaman yaitu senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil yang disintesis dari bagian tertentu dan ditranslokasikan ke bagian lain tanaman dimana senyawa tersebut dapat menghasilkan suatu respon secara biokimia, fisiologis, dan morfologis (Santosa dan Nursadi, 2003). Menurut Wattimena (1988) zat pengatur tumbuh golongan auksin asam 2,4Diklorofenoksiasetat yang paling umum digunakan untuk menginduksi embryogenesis. Selain auksin zat pengatur tumbuh sitokinin juga berpengaruh terhadap diferensiasi sel dalam proses embryogenesis somatic seperti BAP (6-Benzyl Amino Purin) dan BA (Benzyl Adenin). Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang berperan sebagai koenzim dalam meningkatkan aktifitas metabolisme dalam jaringan tanaman. Sehingga fungsi utama dari auksin adalah merangsang pertumbuhan khususnya akar pada sel atau jaringan. Namun ada juga auksin yang menghambat pertumbuhan pada beberapa tanaman. Contoh beberapa auksin sintesis yaitu IAA, NAA, IBA dan lain-lain. Dalam kultur in vitro, ada sel-sel yang dapat tumbuh dan memperbanyak diri tanpa pemberian auksin seperti halnya pada sel-sel tumor. Kemampuan tumbuh dan multiplikasi sel tanpa pemberian auksin, kadang-kadang ditemukan juga dalam kultur yang telah lama dipelihara dan disubkultur beberapa kali. Kemungkinan besar, dalam sel–sel tersebut telah terjadi peningkatan kandungan auksin, sehingga tidak memerlukan auksin dari luar (Gunawan, 1988). 2.5 Kalus Kalus adalah sekumpulan sel amorphous (tidak terbentuk atau belum teridentifikasi) yang terbentuk dari sel-sel yang membelah terus menerus secara in vitro. Kalus dapat diperoleh dari bagian tanaman seperti akar batang, dan daun. Secara histologi kalus berasal dari pembelahan berkali-kali sel parenkim disekitar berkas pengangkut dan beberapa elemen penyusun berkas pengangkut kecuali xylem. Selanjutnya dikatakan dalam teknik kultur jaringan kalus dapat diinduksi dengan menambahkan zat pengatur tumbuh yang sesuai pada media kultur, misalnya auksin dan sitokinin yang disesuaikan. Penambahan vitamin dan protein juga diperlukan untuk pertumbuhan kalus. Induksi kalus dalam teknik kultur jaringan tanaman diperlukan untuk memunculkan keseragaman sel somatik di dalam kultur in vitro dan meregenerasikan sel tersebut menjadi embrio somatik (Hendaryono dan Wijayani, 1994). Karakteristik pada setiap kalus berbeda-beda, terdapat kalus dengan tekstur lembut (soft), dan remah (friable), keras dan kompak (Thomas dan Davey, 1975). Karakteristik kalus sendiri tergantung pada komposisi media pengkulturan, khususnya zat pengatur tumbuh, dan jenis eksplan. Kalus dengan tekstur kompak akan menghasilkan metabolit sekunder yang lebih banyak dibandingkan kalus dengan tekstur meremah. Metabolit sekunder yang dihasilkan dari kultur kalus biasanya lebih banyak jenisnya, karena seringkali timbul zat-zat alkaloid atau senyawa-senyawa lain yang sangat berguna untuk pengobatan (Hendaryono dan Wijayani, 1994).