BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Lanjut Usia 2.1.1 Definisi Lanjut Usia Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Usia lanjut merupakan suatu keadaan yang tidak terelakkan dan merupakan suatu masalah yang semua akan mengalaminya dan berlaku secara universal. Proses terjadinya tua merupakan suatu proses yang tidak dihindari oleh setiap manusia yang penting bagi kita adalah mempersiapkan diri dari pada masa tua agar tetap sehat, bahagia dan produktif (Damanik, 2015), selain itu lansia adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari, berjalan secara terus-menerus dan berkesinambungan. Selanjutnya akan menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis pada tubuh pada tubuh sehingga akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan (Maryam et al, 2008). 2.1.2 Klasifikasi lansia Ada beberapa pembagian lansia, antara lain: menurut Depkes RI, WHO, dan menurut pasal 1 Undang – undang No. 4 tahun 1965 (Angraini, 2011). a. Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut: kelompok menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas, kelompok usia 7 8 lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium, kelompok usia lanjut (kurang dari 65 tahun) sebagai senium. b. Organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, usia tua (old) antara 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. c. Menurut pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 1965 : “Seseorang dinyatakan sebagai orang jompo atau usia lanjut setelah yang bersangkutan mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan hidupnya sehari-hari, dan menerima nafkah dari orang lain 2.1.3 Perubahan Fisiologis Pada Lansia Perubahan-perubahan akan terjadi pada tubuh manusia sejalan dengan makin meningkatnya usia, perubahan tubuh terjadi sejak awal kehidupan hingga usia lanjut pada semua organ dan jaringan tubuh. Berbagai fungsi fisiologis sudah mulai tampak menurun setelah usia 30 tahun. Sehingga pada usia lanjut terjadi perubahan dan penurunan pada semua fungsi organ tubuh yang tidak dapat dihindarkan, seperti sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem saraf, dan sistem muskuloskeletal. Banyak faktor yang berperan dalam penurunan fungsional lansia seperti faktor genetik, kognisi, kekuatan fisik, daya tahan, penyakit kronik , penggunaan obat-obatan dan depresi. Faktor tersebut dapat mempengaruhi dan menyebabkan kelemahan fisik (Felsental, 2000). Dengan bertambahnya usia akan meningkatkan berat badan karena penumpukan lemak di dalam otot sementara sel otot sendiri 9 berkurang jumlah dan volumenya, sehingga ada kecenderungan untuk mengurangi aktifitas fisik karena obesitas. Hal ini menyebabkan kelemahan fisik yang dapat membatasi mobilitas yang berpengaruh terhadap keseimbangan karena menjadi lamban di dalam bergerak dan kurangnya reaksi antisipasi terhadap perubahan Centre of Gravity (COG) serta secara umum akan menurunkan kualitas hidup lansia (Chakravarthy, 2003). Pada penelitian ini dibahas perubahan fisiologis penuaan pada sistem muskuloskeletal, saraf, kardio-vaskuler-respirasi, indra dan integumen. Perubahan – perubahan fisiologis penuaan meliputi : 1. Sistem muskuloskeletal Perubahan pada sistem muskuloskeletal meliputi perubahan pada jaringan peghubung, kartilago, tulang, otot dan sendi. a. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin) Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross linking yang tidak teratur. Bentangan yang tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linear pada jaringan kolagen merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh. Setelah kolagen mencapai pucak fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan, daya elastisitas dan kekakuan dari kolagen menurun karena mengalami perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan (Timiraz et al, 2008). Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kekuatan otot dan penurunan kemampuan bergerak dari duduk keberdiri, jongkok dan 10 berjalan, serta terjadi hambatan dalam melakukan aktivitas setiap hari (Lewis et al, 1996). b. Kartilago Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulari dan akhirnya menjadi rata, sehingga kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progesif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap. Kartilago mengalami kalsifikasi di berbagai tempat persendian, sehingga fungsinya sebagai peredam kejut dan permukaan sendi yang berpelumas menurun dengan konsekwensi kartilago pada persendian rentan terhadap gesekan Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan tersebut sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas setiap hari (Utomo, 2003). c. Tulang Berkurangnya kepadatan tulang, setelah diobservasi merupakan bagian dari penuaan secara fisiologis. Trabecula longitudinal menjadi tipis dan trabekula transversal terabsorbsi kembali, sehingga jumlah spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan yang lain berupa penurunan estrogen sehingga produksi osteoklast tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal Haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhannya menyebabakan kekakuan dan penurunan 11 kekuatannya. Hal ini berdampak terjadi osteoporosis yang selanjutnya dapat mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur (Timiraz et al, 2008) d. Otot Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi. Penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, atropi pada beberapa serabut otot dan hipertropi pada beberapa serabut otot yang lain, peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung dan lain-lain mengakibatkan efek negatif. Efek tersebut adalah penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas, perlambatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan fungsional (Bonder et al, 1994). Perubahan morfologi otot seperti pada tabel 2.1. Tabel 2.1 Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan Perubahan Morfologis Otot pada Proses Penuaan 1. Penurunan jumlah serabut otot 2. Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak teratur, dan hipertrofi pada beberapa serabut otot yang lainnya. 3. Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch) 4. Penumpukan lipofusin. 5. Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung. 6. Adanya ringbinden. 7. Adanya badan sitoplasma 8. Degenerasi myofibril 9. Timbulnya berkas garis Z pada serabut otot (Sumber : Bonder et al, 1994) e. Sendi Jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen dan fasia pada lansia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago dan jaringan partikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi dan 12 kalsifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi dan menimbulkan kekakuan sendi. 2. Sistem Saraf Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi sensorik dan respons motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan reseptor proprioseptif. Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami perubahan morfologis dan biokimia. Berat otak pada lansia berkurang berkaitan dengan berkurangnya kandungan protein dan lemak pada otak sehingga otak menjadi lebih ringan. Akson, dendrit dan badan sel saraf banyak yang mengalami kematian, sedangkan yang hidup mengalami perubahan. Dendrit yang berfungsi untuk komunikasi antar sel saraf mengalami perubahan menjadi labih tipis dan kehilangan kontak antar sel saraf. Daya hantar saraf mengalami penurunan 10 % sehingga gerakan menjadi lamban. Akson dalam medula spinalis menurun 37 % (Timiraz et al, 2007). Perubahan tersebut mengakibatkan penurunan fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot, refleksi, proprioseptif, perubahan postur dan peningkatan waktu reaksi. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian latihan koordinasi dan keseimbangan serta latiahan untuk menjaga mobilitas dan postur (Utomo, 2003). 3. Sistem kardiovakuler Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada jaringan ikat. Katup jantung menglami fibrosis dan kasifikasi. Sinoatrial node (SA node) dan 13 jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat. Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami penurunan elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan takanan sistole dan penurunan perfusi jaringan (Timiras et al, 2007). Curah jantung (cardiac output) menurun akibat penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup. Respon vasokontriksi untuk mencegah terjadinya penumpukan darah menurun, sehingga respon terhadap hipoksia menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat maksimal (VO2 max) berkurang, sehingga kapasitas vital paru menurun. Latihan berguna untuk meningkatkan VO2 max, mengurangi tekanan daran dan berat badan (Timiras et al, 2007). 4. Sistem respirasi Pada proses penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru. Kapasitas total paru tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah. Volume tidak bertambah untuk mengompensasi kenaikan ruang rugi paru. Udara yang mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi toraks mengakibatkan gerakan pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang. Kalsifikasi kartilago kosta mengakibatkan penurunan mobilitas tulang rusuk, sehingga ekspansi rongga dada dan kapasitas ventilasi paru menurun (Utomo, 2003). 5. Sistem Indera Semua sistem indera yang berhubungan dengan keseimbangan statik dan dinamik akan menurun bersamaan dengan menurunnya usia, seperti penglihatan 14 (visual) dan vestibular. Perubahan pada sistem penglihatan (visual) menyebabkan cahaya yang dihantar ke retina berkurang sehingga ambang visual meningkat dan daya adaptasi terang-gelap menurun, ketajaman penglihatan serta lapang pandang. Penurunan tajam penglihatan pada lansia disebabkan oleh katarak, degenerasi makuler dan penglihatan perifer yang menghilang. Pada sistem vestibular terjadi degenerasi sel-sel rambut dalam makula dan sel saraf. Dimana pada keadaan itu lansia akan kesulitan memperkirakan jarak dan memposisikan kepala pada garis keseimbangan sehingga keseimbangan fungsional akan terganggu (Utomo, 2003). 6. Sistem Integumen Proses penuaan mengakibatkan kulit mengalami atrofi, kendur, tidak elastis, kering dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atrofi glandula sebasea dan glandula sudorifera. Menipisnya kulit ini tidak terjadi pada epidermisnya, tetapi pada dermisnya karena terdapat perubahan dalam jaringan kolagen serta jaringan elastisnya. Bagian kecil pada kulit menjadi mudah retak dan menyebabkan cechymosen. Timbul pigmen berwarna cokelat pada kulit, dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain angin dan sinar matahari, terutama sinar ultra violet. Bila perubahan sistem dalam tubuh lansia tidak diperhatikan dengan serius akan mengakibatkan ketergantuan lansia pada keluarga dan lingkungannya. Disamping itu juga harus dicegah faktor risiko terjadinya cedera ketika melakukan aktivitas (Utomo, 2003). 15 2.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Penuaan Penuaan dapat terjadi secara fisiologis dan patologis. Bila seseorang mengalami penuaan fisiologis, diharapkan mereka tua dalam keadaan sehat (healty aging). Penuaan dibagi menjadi dua yaitu (1) penuaan primer; merupakan penuaan yang sesuai kronologis usia, dipengaruhi oleh faktor endogen, dimana perubahan dimulai dari sel, jaringan, organ dan sistem pada tubuh, (2) penuaan sekunder; merupakan penuaan yang tidak sesuai kronologis usia, dipengaruhi oleh faktor eksogen, yaitu lingkungan, sosial budaya dangaya hidup. Faktor eksogen dapat juga mempengaruhi faktor endogen, sehingga dikenal faktor resiko. Faktor resiko tersebut yang menyebabkan penuaan patologis (patological aging). Penuaan sekunder terjadi karena ketidakmampuan yang disebabkan oleh trauma, sakit kronis atau stres yang dialami individu. Stres dapat mempercepat penuaan dalam kurun waktu tertentu. Degenerasi akan bertambah apabila terjadi penyakit fisik yang berinteraksi dengan lansia. Proses penuaan sehat dan faktor yang mempengaruhinya seperti pada gambar 2.1 Gambar 2.1 Proses Penuaan Sehat Dengan Faktor yang Mempengaruhi (Sumber : Utomo, 2003) 16 2.2 Kekuatan Otot dan Daya Tahan Otot Anggota Gerak Bawah Kekuatan otot adalah merupakan kekuatan suatu otot atau group otot yang dihasilkan untuk dapat melawan tahanan dengan usaha yang maksimum.Kekuatan otot merupakan suatu hal penting untuk setiap orang, karena kekuatan otot merupakan suatu daya dukung gerakan dalam menyelesaikan tugas-tugas. Setelah usia 30 tahun, manusia akan kehilangan kira-kira 3 – 5 % jaringan otot total per dekade. Kekuatan otot akan berkurang secara bertahap seiring bertambahnya usia. Penurunan kekuatan otot tidak hanya mengganggu keseimbangan tubuh dan aktivitas berjalan tetapi juga berhubungan dengan peningkatan resiko jatuh. Daya tahan otot adalah kemampuan otot untuk melakukan suatu pekerjaan yang berulang-ulang atau kontraksi pada waktu yang sama. Daya tahan berkurang secara bertahap sesuai dengan bertambahnya usia. Penurunan daya tahan otot tidak terjadi secepat penurunan kekuatan otot (Janssen et al, 2000). Perubahan morfologis pada otot menyebabkan perubahan fungsional otot, yaitu terjadinya penurunan kekuatan otot, elastisitas dan fleksibilitas otot, kecepatan waktu reaksi dan rileksasi, dan kinerja fungsional. Penurunan fungsi dan kekuatan otot akan mengakibatkan yaitu (1) penurunan kemampuan mempertahankan keseimbangan tubuh, (2) hambatan dalam gerak duduk ke berdiri, (3) peningkatan resiko jatuh, (4) perubahan postur.Masalah pada kemampuan gerak dan fungsi lansia berhubungan erat dengan kekuatan otot yang bersifat individual. Lansia dengan kekuatan otot quadriceps femoris yang baik dapat melakukan aktivitas berdiri dari posisi duduk dan berjalan 6 meter dengan lebih cepat (Bonder et al, 1994). Penelitian menunjukkan bahwa kelemahan otot 17 abduktor sendi panggul dapat mengurangi kemampuan mempertahankan keseimbangan berdiri pada satu tungkai dan pemulihan gangguan postural. Kelambanan serabut otot reaksi cepat (tipe II) dapat meningkatkan risiko jatuh karena penurunan respons terhadap keseimbangan (Bonder et al, 1994). Kelompok otot pada anggota gerak bawah yang penting dalam fungsi mobilitas adalah kelompok otot quadrisep femoris, iliopsoas, dan plantar fleksor Kelompok otot quadriceps femoris dan iliopsoas mempunyai peran utama saat kaki pada bagian awal kontak dengan tanah. Otot quadriseps femoris merupakan otot besar yang membentuk kontur paha bagian depan. Otot quadriceps femoris terdiri dari empat otot yaitu (1) otot rectus femoris, (2) otot vastus lateralis, (3) otot vastus medialis, dan (4) otot vastus intermedius. Fungsi utama otot quadriceps femoris adalah sebagai penggerak ekstensi sendi lutut. Gambar 2.2 Otot Quadriseps Femoris (Sumber : Utomo,2010) 18 Kekuatan otot akan menurun seiring dengan pertambahan usia. Penurunan kekuatan otot anggota gerak bawah berhubungan dengan gangguan pola jalan (gait), jatuh, fraktur panggul dan ketergantungan karena gangguan ambulasi (Wardhani, 2011) Perubahan-perubahan yang timbul pada sistem otot lebih disebabkan oleh disuse. Lansia yang aktif sepanjang usianya, cenderung lebih dapat mempertahankan massa otot, kekuatan otot dan koordinasi dibanding mereka yang hidupnya santai (Rubenstein, 2006). Tetapi harus diingat bahwa olahraga yang sangat rutin pun tidak dapat mencegah secara sempurna proses penurunan massa otot (Lumbatobing, 2005). Hilangnya massa otot dikarenakan penuaan disebabkan oleh penurunan ukuran dan jumlah serat otot. Penurunan massa otot ini lebih disebabkan oleh atrofi. Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangn ya aktivitas, gangguan metabolik atau denervasi saraf (Lanawati, 2011). Perubahan ini akan menyebabkan laju metabolik basal dan laju konsumsi oksigen maksimal berkurang (Taslim, 2001). Otot menjadi lebih mudah capek dan kecepatan kontraksi akan melambat. Selain dijumpai penurunan massa otot, juga dijumpai berkurangnya rasio otot dengan jaringan lemak. Akibatnya otot akan berkurang kemampuannya (Lanawati, 2011). Kinerja otot menurun lebih cepat pada anggota gerak bawah daripada anggota gerak atas, temuan ini didukung oleh penelitian. Kinerja otot isokinetic anggota gerak bawah menunjukkan penurunan linear dalam kerja. Penurunan dimulai pada awal kelompok usia 30-39 tahun dan semakin cepat setelah usia 59 tahun (Maisarah, 2015). 19 Kelompok otot pada anggota gerak bawah yang penting dalam fungsi mobilitas adalah kelompok otot quadriceps femoris, iliopsoas dan plantar fleksor. Kelompok otot quadriceps femoris dan iliopsoas mempunyai peran utama saat kaki pada bagian awal kontak dengan tanah. Otot quadriceps femoris merupakan otot besar yang membentuk kontur paha bagian depan (Utomo, 2010) 2.3 Jenis Kontraksi Otot Jenis kontraksi otot adalah kontraksi isometrik dan isotonik. Di dalam badan sebenarnya kontraksi otot merupakan gabungan darl kontraksi isometrik dan kontraksi isotonik. 2.3.1. Kontraksi lsometrik Isometrik berasal dari kata iso = sama, dan metric = ukuran. Kontraksi isometrik menimbulkan tenaga dengan cara peningkatan tegangan intramuskuler tanpa disertai perubahan panjang ekstemal otot. Kontraksi otot melibatkan unsur kontraktil, tetapi karena otot mempunyai unsur elastis dan kenyal dalam rangkaian dengan mekanisme kontraktil, maka mungkin kontraksi timbul tanpa suatu penurunan yang berarti dalam panjang otot secara keseluruhan. Kontraksi isometrik tidak memerlukan banyak pergeseran miofibril satu sama lainnya. Panjang otot saat kontraksi mempengaruhi tegangan intramuskuler yang terjadi. Tegangan intramuskuler yang berkembang sebanding dengan jumlah hubungan silang antara filamen aktin dan miosin. Bila otot diregangkan, maka tumpang tindih antara filamen aktin dan miosin berkurang sehingga hubungan silang berkurang. Sebaliknya bila otot dipendekkan maka tumpang tindih antara filamen 20 aktin dan miosin dan filamen tipis juga mengurangi hubungan silang (Pujiatun, 2001). 2.3.2 Kontraksi Isotonik Kontraksi isotonik yaitu kontraksi sekelompok otot yang bergerak dengan cara memanjang dan memendek, atau memendek jika tensi dikembangkan (Yudiana, 2008). Kontraksi isotonik merupakan terjadinya tegangan intramuskuler disertai dengan perubahan panjang otot baik memendek atau memanjang. Kontraksi isotonik kadang-kadang disebut kontraksi konsentrik atau kontraksi dinamik. Konsentrik berarti adanya pemendekan otot pada saat kontraksi. Sebenarnya lebih akurat menggunakan istilah kontraksi dinamik. Secara harafiah isotonik berarti tegangan sama atau konstan (iso = sama dan tonik = tegangan), dengan kata lain kontraksi isotonik adalah terjadinya sejumlah tegangan yang sama pada saat memendek selama menahan tahanan yang konstan. Hal tersebut tidak benar karena tegangan yang digunakan oleh otot selama memendek dipengaruhi oleh beberapa faktor penting, tiga diantaranya adalah: (1) panjang awal dari serabut otot, (2) sudut tarlkan dari otot terhadap tulang, dan (3) kecepatan memendek yang dipengaruhi oleh distribusi jenis otot yaitu tipe I atau tipe II (Pujiatun, 2001). Pada kontraksi isotonik sebuah beban digerakkan yang melibatkan fenomena inersia yaitu beban atau obyek lain yang digerakkan mula-mula harus dipercepat, dan bila kecepatan itu telah dicapai, maka beban mempunyai daya gerak yang menyebabkan ia dapat terus bergerak walaupun kontraksinya telah berhenti. Oleh karena itu kontraksi isotonik pada hakekatnya berlangsung lebih 21 lama daripada kontraksi isometrik pada otot yang sama. Kontraksi isotonik mengikuti pelaksanaan kerja luar, oleh karena itu sesuai dengan efek Fenn sejumlah besar energi diperlukan oleh otot (Pujiatun, 2001). Kontraksi Isotonik terdiri dari (Dion, 2005) : a. Kontraksi konsentrik : Kontraksi ini ditandai dengan terjadinya pemendekan otot pada waktu proses terjadinya tegangan. Hanya sedikit gaya yang dibangkitkan dan gaya ini tidaklah sama pada keseluruhan pergerakan. Kecepatan memendek lebih rendah, tegangan yang dibangkitkan lebih besar. a. Kontraksi eksentrik : Kontraksi ini ditandai dengan adanya pemanjangan otot selama proses terjadinya tegangan. Tenaga yang bekerja dari luar otot lebih besar dari pada yang terjadi didalam otot. Dengan kecepatan yang diberikan, tegangan yang dihasilkan oleh kontraksi konsentrik sehingga pada program kekuatan otot, kontraksi eksentrik lebih efisien digunakan. 2.4 Kemampuan Mobilitas Lansia Kemampuan Mobilitas yaitu kpasitas untuk bergerak dari posisi dalam ruang ke posisi lain yang memungkinkan individu untuk berpartisipasi dalam kehidupan dan aktivitas sehari-hari. Kemampuan mobilitas merupakan salah satu komponen dari kemampuan fungsional. Kemampuan fungsional merupakan kemampuan lansia dalam melakukan aktivitas yang terintegrasi dengan lingkungannya. Kemampuan fungsional lansia meliputi kemampuan mobilitas dan aktivitas perawatan diri. Kemampuan mobilitas merupakan komponen 22 kemampuan fungsional yang berhubungan dengan anggota gerak bawah (Guralnik et al, 2000). Aktivitas perawatan diri meliputi aktivitas makan, mandi, berpakaian, menggunakan kursi roda sampai dengan keluar masuk mobil (Jette et al, 2002). Berbagai kemunduran fisik mengakibatkan kemunduran gerak fungsional baik kemampuan mobilitas atau perawatan diri. Kemunduran fungsi mobilitas meliputi penurunan kemampuan mobilitas di tempat tidur, berpindah, jalan antau ambulasi, dan mobilitas dengan alat adaptasi. Kemunduran kemampuan perawatan diri meliputi penurunan kemampuan aktivitas makan, mandi, berpakaian, defekasi dan berkemih, merawat rambut, gigi, kumis dan kuku. Selain itu kemunduran juga terjadi pada kemampuan berkomunikasi, seperti kemampuan menggunakan telepon, menulis surat, dan mengadakan transaksi bisnis. Kemampuan melakukan aktivitas fungsional menunjukkan tingkat kemandirian lansia. Tingkat kemandirian lansia dikelompokkan dalam tiga yaitu, mandiri, bergantung sebagian dan bergantung sepenuhnya. Lansia yang mandiri bila mampu melaksanakan aktivitas kehidupan sehari-hari tanpa bantuan orang lain meskipun lansia tersebut membutuhkan alat adaptasi seperti alat bantu jalan atau alat kerja lain. Lansia bergantung sebagian yaitu lansia yang mampu melaksanakan tugas dengan beberapa bagian memerlukan bantuan orang lain. Lansia yang bergantung sepenuhnya yaitu lansia yang tidak dapat melakukan tugas tanpa bantuan orang lain (Utomo, 2003). Kemampuan mobilitas meliputi kemampuan berjalan, keseimbangan dan kemampuan berdiri dari posisi duduk (Guralnik et al, 2000). 23 2.4.1 Berjalan a. Definisi Berjalan Berjalan adalah suatu seri catastrophies yang sempit dan berpindah. Hal ini dikarenakan tubuh jatuh ke depan dan posisi kaki berpindah sehingga terbentuk base of support baru (Anggoro, 2015). Berjalan merupakan juga suatu gerakan tubuh dari satu titik ke titik lain dimana salah satu tungkai kontak dengan satu lantai dan tungkai yang lain dengan lantai berbeda rnembentuk pola dan jarak yang sarna, bergantian secara berulang, yang rnenggambarkan gerakan pusat massa tubuh sepanjang arah horizontal pada arah dan kecepatan tertentu (Wang, 2009). b. Biomekanika berjalan Secara umum proses berjalan adalah siklus ayunan bolak- balik secara terus menerus terhadap fase tumpuan dan ayunan. Apabila salah satu kaki menumpu. maka kaki yang lain rnengayun. Adapun fase menumpu berawal dari tumit dan fase mengayun berawal dari ujung kaki. Pada saat berdiri dengan kedua .kaki kontak dengan tanah sehingga energi kinetik akan mencapai titik maksimal. Kernudian gerakan melangkah dimulai dari tumit menuju ujung kaki, dirnana energi kinetik digerakan oleh energi potensial yang rnenyebabkan turnit rnenernpel pada tanah (fase rnenumpu). Proses pengalihan energi ini terjadi secara terus-rnenerus secara harrnonis (Pratama, 2015). Satu langkah berjalan digambarkan dengan satu siklus berjalan. Dimulai dari tumit salah satu kaki mengenai lantai (heel strike) hingga heel strike berikutnya pada kaki yang sama, disebut 100% total siklus berjalan (Pratama, 2015). Gerakan dasar dari berjalan normal adalah sama untuk semua orang. walaupun demikian terdapat perbedaan 24 kecil dalam derajat setiap gerakan yang dilakukan oleh masing-masing orang sebagai pola jalan yang khas setiap orang. Siklus gaya berjalan meliputi dua fase untuk masing-rnasing tungkai yaitu fase menumpu (stance phases) dan mengayun (swing phase). Gambar 2.3 Gait Cycle (Sumber : Fishwick, 2013) a. Fase menumpu (stance phases) yang mana mendasari sekitar 60% dari siklus gaya berjalan normal pada kecepatan normal, adalah interval dimana kaki dari ekstremitas acuan kontak dengan lantai. Proses berjalan dalam fase ini meliputi tumit menyentuh lantai (heel strike). telapak kaki dari tumit hingga ujung kakimenyentuh lantai (foot flat), telapak kaki dari tumit hingga ujung kaki menyentuh lantai dengan salah tungkai menekuk dengan tumpuan berat badan (mid stance), dan akhir dari fase dimana tumit terangkat dan jari kaki menyentuh lantai dengan pergerakan tungkai yang lain ke arah depan (heel off). Fase mengayun (swing phase) yang mana mendasari 40% dari siklus, adalah di mana ekstremitas acuan di atas lantai (tidak kontak dengan lantai). Penumpuan kedua tungkai mengacu pada interval keduanya di dalam suatu siklus gaya berjalan, 25 dimana perpindahan berat badan dari satu kaki kepada kaki yang lain ini meliputi pergerakan awal dari jari kaki yang bergerak menjauhi lantai (pre- swing/toe off), telapak kaki terangkat dan lutut menekuk dengan tumpuan penuh pada tungkai yang lain (initial swing dan mid swing), dan akhir dari fase dan kaki keduanya berada pada tempat yang sama. Proses berjalan dalam fase dimana tumit kontak dengan lantai (terminal swing). Fase berjalan (gait cycle). Panjang langkah adalah jarak dari suatu siklus gaya berjalan penuh, dari titik turnit dari satu ekstrernitas kepada titik tumit dari ekstremitas yang sama. Setiap orang memiliki panjang langkah berjalan yang berbeda-beda karena variasi pada panjang tungkai. Hal ini mengakibatkan gaya berjalan setiap orang juga berbeda - beda. Biomekanik selama berjalan sangat dipengaruhi oleh keseimbangan dan panjang langkah. Penelitian kinematik dari pengendalian pusat gravitasi tubuh selama berjalan rnenunjukkan bahwa pengendalian keseimbangan kasar dicapai dengan penempatan kaki, sementara pengendalian yang halus/baik diberikan oleh otot-otot pergelangan kaki ketika weight-hearing tungkai bawah (Winter, 2009). Untuk mempertahankan keseimbangan dan rnelakukan kegiatan yang bertujuan ketika berdiri maupun berjalan, orang mesti secara aktif mengendalikan gerakan pusat gravitasi tubuh terhadap landasan penopang (center of gravity). Ada tiga persendian pada anggota gerak bawah yang dapat dipakai untuk menggerakkan/memindahkan pusat gravitasi, yakni sendi pergelangan kaki, sendi lutut dan sendi pangkal paha (strategi gerakan). Strategi melangkah mcrupakan cara yang efektif untuk mencegah jatuh ketika pusat gravitasi menyimpang 26 melampau batas stabilitas, jika orang jalan dengan goyang mernerlukan penopang luar untuk mencegah jatuh seperti tongkat (Winter, 2009). Kernampuan melangkah seseorang dipengaruhi oleh panjang langkah seseorang. Pada penelitian yang dilakukan oleh Raab (2010) menyebutkan bahwa panjang langkah seseorang ditentukan oleh panjang tungkai, kekuatan otot, dan fleksibilitas tungkai dimana terdapat jangkauan langkah yang panjang karena sudut melangkah yang lebih besar. Selain itu dengan ditopang oleh otot yang besar dan kuat pergeseran tungkai dari satu titik ke titik yang lain menjadi lebih cepat. Data menyatakan suatu perubahan didalam koordinasi gerakan postur yang terkait dengan usia. Bahwa pada orang tua stabilitas lateral lebih berpengaruh dibanding stabilitas bidang sagital. Perubahan iru berhubungan dengan impairment yang terkait dengan usia di dalam sistem vestibular, hip proprioseption dan integritas sensasi dari permukaan kaki (Raab, 2010). 2.4.2 Keseimbangan Lansia Keseimbangan merupakan kemampuan relatif untuk mengontrol pusat gravitasi (center of gravity) atau pusat massa tubuh (center of mass) terhadap bidang tumpu (base of support). Pusat gravitasi (center of gravity) adalah suatu titik dimana massa dari suatu obyek terkonsentrasi berdasarkan tarikan gravitasinya. Pada manusia normal, pusat gravitasi terletak di perut bagian bawah dan sedikit di depan sendi lutut. Agar dapat menjaga keseimbangan, pusat gravitasi tersebut harus berpindah untuk mengompensasi gangguan yang dapat menyebabkan orang kehilangan keseimbangannya (Barnedh, 2006). 27 Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap bagian tubuh dan didukung oleh sistem muskuloskeletal serta bidang tumpu. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan, yaitu untuk menyangga tubuh melawan gaya gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilkan bagian tubuh ketika tubuh lain bergerak (Irfan, 2012). Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktivitas secara efektif dan efesien (Yuliana, 2014). 2.5 Tes Mobilitas Timed Up and Go (TUG) test merupakan alat ukur sederhana yang sudah digunakan secara luas untuk mengukur performa dari fungsi ektrimitas bawah, mobilitas dan resiko jatuh. Timed Up and Go (TUG) test telah dipelajari pada polpulasi lansia dan berbagai kondisi patologikal. Timed Up and Go (TUG) test secara luas telah digunakana oleh Association with Fall Risk and Sensitivity, The American Geriatrics Society, The British Geriatrics Society, and the Society of Nordic Geriatricians (Aristo,2007). Gambar 2.4 Tes Mobilitas (Sumber : Aristo, 2007) 28 2.6 Latihan (aktivitas fisik Lansia) 2.6.1 Prinsip Latihan Menurut Sudarsono (2006), pada latihan otot, prinsip latihan yang sangat penting adalah progressive overload principle. Maksud prinsip ini adalah agar otot dapat meningkatkan kekuatannya maka harus diberi beban kerja di atas beban kerja yang biasa dilakukan oleh otot tersebut, dan selanjutnya setelah otot tersebut menjadi lebih kuat maka beban yang diberikan harus lebih tinggi lagi untuk menghasilkan kemampuan yang lebih meningkat. Pada latihan kekuatan otot, peningkatan kekuatan otot awalnya disebabkan oleh perbaikan kontrol sistem saraf motorik seperti penyelarasan rekruitmen motor unit, penurunan penghambatan autogen golgi tendon organ, koaktivasi otot agonis dan antagonis serta frekuensi impuls motorik yang menuju motor unit. Perubahan struktur dapat terjadi sebagai akibat latihan kekuatan, baik di neuromuscular junction maupun di serat otot. Hipertropi otot dapat terjadi akibat dari latihan kekuatan otot. Pada otot yang hipertropi terjadi peningkatan jumlah miofibril, filamen aktin dan miosin, sarkoplasma serta jaringan penunjang lainnya (Wardhani, dkk, 2011). Latihan penguatan otot kuadriseps dapat dicapai dengan latihan, kontraksi isometrik (statik), kontraksi isotonik (dinamik). kontraksi isokinetik (dinamik). Latihan ini dapat meningkatkan kekuatan (strength) dan ketahanan statik (static endurance) otot berguna untuk mempersiapkan sendi untuk gerakan yang lebih dinamik dan merupakan titik awal untuk kebanyakan program latihan penguatan otot (Anggoro, 2015). 29 2.6.2 Isotonic Exercise Isotonic Exercise adalah latihan dinamik dengan beban yang konstan, tetapi kecepatan gerakan tidak terkontrol. Otot berkontraksi melawan beban yang konstan, dengan bagian tubuh bergerak melawan beban melewati sebuah lingkup gerak sendi. a. Metode Latihan Latihan penguatan dilakukan 2-3 minggu sekali. Keseluruhan program sebaiknya berlangsung 20-30 menit. Exercise dilakukan 8-15 repetisi, jika lansia tidak bisa mengangkat beban 8 kali berarti itu terlalu berat dan lansia harus memilih beban yang lebih ringan. Jika lansia bias mengangkat beban 15 reptisi, lansia harus memilih beban yang lebih berat. Latihan dilakukan 8-15 repetisi, istirahat 1-2 menit lalu ulangi set 8-15 repetisi. Pada lansia jumlah set yang dipakai yaitu 1-2 kali. Gunakan waktu 2-3 detik pada saat mengangkat dan 3-4 detik pada saat kembali. Selalu unutuk menarik nafas ssat mengangkat dan membuang nafas pada saat kembali ke posisi semula. Tidak boleh untuk menahan nafas pada saat latihan (Panton, 2004). 2.6.3 Isometric Exercise Latihan isometrik adalah latihan statik, pada saat kontraksi tidak terjadi perubahan panjang eksternal otot. a. Metode latihan Tiga set, 10 kali kontraksi maksimal dari knee ekstensor. 5 detik istirahat tiap kontraksi, dalam waktu istirahat 5 detik tersebut, posisi tungkai kembali ke awal. Setiap set diberikan jeda waktu 2 menit istirahat. Proses ini bias diulang di 30 kakai yang dominan lalu kembali ke kaki yang tidak dominan (Symons et al, 2005). 2.6.4 Efek Fisiologis Latihan Penguatan Pada latihan kekuatan otot, peningkatan kekuatan otot awalnya disebabkan oleh perbaikan kontrol sistem saraf motorik seperti penyelarasan rekruitmen motor unit, penurunan penghambatan autogen golgi tendon organ, koaktivasi otot agonis dan antagonis serta frekuensi impuls motorik yang menuju motor unit. Perubahan struktur dapat terjadi sebagai akibat latihan kekuatan, baik di neuromuscular junction maupun di serat otot. Hipertropi otot dapat terjadi akibat dari latihan kekuatan otot. Pada otot yang hipertropi terjadi peningkatan jumlah miofibril, filamen aktin dan miosin, sarkoplasma serta jaringan penunjang lainnya (Wardhani et al, 2011).