14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Aspek Biofisik 4.1.1. Wilayah Kota Sungai Penuh Kota Sungai Penuh secara geografis terletak antara 101° 14’ 32” BT sampai dengan 101° 27’ 31” BT dan 02° 01’ 40” LS sampai dengan 02° 14’ 54” LS. Kota ini memiliki luas keseluruhan 39.150 Ha, yang terdiri dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas 23.177,6 Ha (59,2 %) dan lahan budidaya seluas 15.972,4 Ha (40,8 %) dan dengan jumlah penduduk 87.804 jiwa. Kota Sungai Penuh terbagi menjadi lima kecamatan yaitu, Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Pesisir Bukit, Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan Tanah Kampung, dan Kecamatan Kumun Debai. Lanskap Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh berada di Kecamatan Sungai Penuh, Kelurahan Sungai Penuh yang memiliki luas wilayah 45 Ha. Secara fisik, batas-batas Lanskap Rumah Larik Limo Luhah adalah sebagai berikut (Gambar 4 ): 1. Utara : Permukiman dan Sekolah 2. Selatan : Permukiman 3. Timur : Permukiman 4. Barat : Sungai Batang Bungkal Gambar 4. Kawasan Rumah Larik Limo Luhah 15 4.1.2. Aksesibilitas dan Sirkulasi Kawasan Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh berada 1 Km dari pusat Kota Sungai Penuh. Kota Sungai Penuh dapat dicapai dari Kota Jambi dengan jarak 477 Km. Untuk menuju kawasan Rumah Larik dalam Kota Sungai Penuh dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan bermotor atau dengan menggunakan transportasi tradisional bendi (delman). Ada 4 jalur yang dapat ditempuh untuk menuju kawasan Rumah Larik Limo Luhah, yaitu (Gambar 5 ) : 1. Melalui jalan raya dari arah Kelurahan Dusun Baru. Jalur ini merupakan pertemuan antara akses masuk dari pusat kota, Dusun Baru, dan Desa Sumur Anyir. Jalur ini dapat ditempuh oleh masyarakat yang tinggal di kecamatan Kayu Aro, Siulak, dan Air Hangat. 2. Jalan raya dari Pusat Kota dan Pasar Sungai Penuh yang terletak di sebelah selatan kawasan Rumah Larik. Jalur ini sering ditempuh oleh masyarakat yang tinggal di Kelurahan Sungai Jernih, Talang Lindung, Pelayang raya, dan Pasar Sungai Penuh. 3. Melalui jalan Baru yang terletak di Desa Gedang. Jalur ini berada di sebelah Timur kawasan Rumah Larik dan dapat diakses oleh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Sitinjau Laut, Danau Kerinci, Keliling Danau, Batang Merangin, dan Gunung Raya. 4. Melalui jalan raya dari arah desa Sumur Anyir yaitu jalan Arif Rahman Hakim. Jalur ini merupakan jalur yang dapat ditempuh oleh masyarakat yang tinggal di Kecamatan Hamparan Rawang dan Desa Sumur Anyir. 4.1.3. Iklim Kondisi iklim kawasan Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh yang terletak di Kota Sungai Penuh sangat dipengaruhi oleh letak geografisnya yaitu berada di sekitar daerah khatulistiwa. Berdasarkan data iklim periode 2000-2006, wilayah kota Sungai Penuh memiliki curah hujan berkisar antara 77,81-131,8 mm/tahun. Rata-rata curah hujan sejak tahun 2000 sampai 2006 mencapai 108,1 mm. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan selama periode 2000 – 2006 sangat kecil. Gambar 5. Sirkulasi dan Akses Menuju Kawasan Rumah Larik Limo Luhah 16 17 Kondisi topografi wilayah kota Sungai Penuh yang terdiri dari lembah dan perbukitan menyebabkan suhu di daerah ini cukup sejuk. Kota Sungai Penuh memiliki suhu rata-rata maksimum 28,2° C dan suhu minimum 16,2° C (Tabel 1). Jumlah rata-rata hari hujan dari tahun 2000-2006 tercatat antara 11,4-13,3 hari, dengan kelembaban rata-rata 80,33 - 83,50 MmHg (Tabel 2), sedangkan penyinaran matahari pada tahun 2000-2006 tercatat antara 37.08 43 %. Tabel 1. Keadaan Suhu Udara Suhu No. Bulan Maksimum (°C) Minimum (°C) 1 Januari 27.9 15.3 2 Pebruari 28.3 15.6 3 Maret 28.2 16.0 4 April 28.8 16.6 5 Mei 28.9 16.4 6 Junl 28.9 16.7 7 Juli 28.7 15.9 8 Agustus 28.4 15.0 9 September 26.8 15.4 10 Oktober 28.3 16.2 11 Nopember 27.8 17.3 12 Desember 27.8 18 Rata-rata 28.2 16.2 Sumber : BPS, Kabupaten Kerinci Dalam Angka, Tahun 2006 18 Tabel 2. Curah Hujan dan Kelembaban No Bulan Curah Hujan Hari Hujan Kelembaban 1 Januari 159 13 78 2 Februari 288 18 81 3 Maret 39.5 11 78 4 April 152.8 9 74 5 Mei 103.6 9 76 6 Juni 99.4 7 84 7 Juli 13.8 3 83 8 Agustus 42.8 3 80 9 September 175.6 9 74 10 Oktober 26.7 7 80 11 November 226.6 21 83 12 Desember 223 27 87 Rata-rata 2006 124.2 11.4 80 2005 83.3 8 83 2004 90.6 12 83 2003 131.80 13.33 83.42 2002 130.50 12.60 83.50 2001 77.81 12.08 81.33 2000 113.60 12.00 83.00 Sumber : BPS, Kabupaten Kerinci Dalam Angka, Tahun 2006 4.1.4. Tanah dan Topografi Kota Sungai Penuh termasuk daerah dataran tinggi yang berada pada ketinggian 813 m di atas permukaan laut. Kota ini merupakan lembah yang dikelilingi oleh perbukitan, sebagian wilayah monografinya bergelombang dan berbukit-bukit. 19 Berdasarkan data BPS Kabupaten Kerinci tahun 2006, jenis tanah di Kota Sungai Penuh terdiri dari tanah Andosol dan Podsolik. Wilayah dengan jenis tanah Andosol seluas 5.732 Ha sedangkan jenis tanah Podsolik seluas 4.518 Ha yang tersebar di lima kecamatan di Kota Sungai Penuh. Selain itu juga terdapat tanah Alluvial yang meliputi daerah-daerah di sekitar aliran sungai. Kawasan Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh termasuk wilayah yang didominasi oleh jenis tanah Alluvial. Kota Sungai Penuh memiliki topografi yang beragam mulai dari datar (08°), bergelombang (8-16°), curam yang bergelombang (16-30°), dan sangat curam yang bergelombang (>30°) (Gambar 6 ). Wilayah datar dengan kemiringan (0-8°) memiliki luas sekitar 6.300 Ha, wilayah yang bergelombang dengan kemiringan (8-16°) seluas 1.295 Ha, luas wilayah yang curam bergelombang dengan kemiringan (16-30°) 4.345 Ha, dan wilayah yang sangat curam bergelombang dengan kemiringan (>30°) seluas 1.295 Ha. Lanskap Rumah Larik Limo Luhah termasuk wilayah yang memiliki topografi relatif datar dengan kemiringan (0-8°). Gambar 6. Peta Kemiringan Lahan Kota Sungai Penuh 20 4.1.5. Hidrologi Lanskap Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh merupakan kawasan pemukiman masyarakat adat yang berada di pinggir sebuah sungai yaitu Sungai Batang Bungkal. Sungai ini membelah Kota Sungai Penuh membujur dari Selatan ke Utara. Di bagian hulu sungai dapat ditemui batu-batu kali berukuran kecil hingga besar, sedangkan di bagian hilir merupakan daerah endapan yang dimanfaatkan sebagai tempat penambangan pasir oleh warga. Sungai Batang Bungkal pada zaman dahulu digunakan oleh masyarakat Suku Kerinci terutama yang tinggal di daerah sekitar aliran sungai sebagai tempat untuk kegiatan mandi, cuci, kakus (MCK). Selain sebagai tempat MCK, sungai juga dimanfaatkan untuk irigasi sawah dan ladang yang terdapat di bagian hilir atau sebelah utara lanskap Rumah Larik (Gambar 7). Di bagian hilir sungai juga terdapat pintu air yang mengendalikan debit air untuk digunakan mengairi sawah. Pada saat musim kemarau, sungai menjadi kering sedangkan pada musim hujan sungai dapat meluap hingga menyebabkan banjir. Gambar 7. Sungai Batang Bungkal sebagai Sumber Irigasi Lahan Pertanian Selain Sungai Batang Bungkal, masyarakat yang menghuni Rumah Larik Limo Luhah juga memanfaatkan sebuah mata air yaitu Sumur Pulai yang terdapat di Desa Gedang berjarak sekitar 200 meter sebelah timur dari pemukiman. Mata air ini dimanfaatkan oleh masyarakat terutama pada musim kemarau saat sungai Batang Bungkal mengering. Sumur Pulai ini telah menjadi tempat pemandian umum bagi masyarakat sekitar dan terbagi dua yaitu pemandian untuk laki-laki 21 dan perempuan. Namun, saat ini Sumur Pulai sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh masyarakat sekitar karena pemerintah melalui program PNPM-P2KP pada tahun 2009 telah menyediakan sarana air bersih dan kamar mandi umum di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah. Hal ini sejalan dengan hasil Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota Sungai Penuh (Musrenbang) tahun 2010 yang salah satu hasilnya memprioritaskan pembangunan dan rehabilitasi sarana air bersih. Gambar 8. Sumur Pulai (kiri) dan Sarana Air Bersih (kanan) 4.1.6. View Kota Sungai Penuh merupakan kota dengan pemandangan alam yang indah. Terletak di lembah yang dikelilingi oleh perbukitan membuat kota ini juga memiliki udara yang sejuk dan dingin. Rumah Larik Limo Luhah yang hanya berjarak 1 Km dari pusat kota merupakan titik awal perkembangan pemukiman masyarakat Kota Sungai Penuh. Dari kawasan Rumah Larik dan di sekitarnya kita dapat melihat pemandangan perbukitan yang membentang di sebelah Utara dan Selatan, sedangkan di sebelah Timur dan Barat terdapat pemandangan sawah yang membentang. Namun, dengan perkembangan pemukiman di sekitar kawasan Rumah Larik menyebabkan pemandangan-pemandangan tersebut tertutup oleh bangunan. Selain itu Rumah Larik Limo Luhah juga berada di daerah dengan kemiringan yang relatif datar (0-2°) dan lebih rendah dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Pemandangan perbukitan dan persawahan dapat dilihat dengan jelas jika melewati jalan Baru di sebelah Timur Rumah Larik tepatnya di Desa Gedang. Di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah sendiri, pemandangan permukiman 22 yang padat cukup teratur dan estetik. Hal ini dikarenakan hampir di setiap rumah memiliki pekarangan yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman pekarangan terutama tanaman hias. Rumah-rumah yang tidak memiliki pekarangan umumnya menggunakan tanaman dalam pot untuk menghiasi rumahnya. Selain itu, terdapat taman pekarangan mini yang ditanami berbagai jenis tanaman hias pada setiap RT dalam kawasan Rumah Larik ini yang menambah nilai estetika. Taman mini ini dikelola oleh Dasawisma yang merupakan perkumpulan ibu-ibu skala RT di bawah PKK. Pada peringatan hari-hari tertentu sering diadakan lomba keindahan antar luhah maupun antar Dasawisma (Gambar 9). 4.2. Aspek Sosial Ekonomi Kawasan Rumah Larik Limo Luhah yang termasuk dalam Kelurahan Sungai Penuh dihuni oleh 2.755 penduduk dengan 695 Kepala Keluarga yang terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 1.331 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 1.424 jiwa. Penduduk yang tinggal di kawasan Rumah Larik ini merupakan masyarakat asli Suku Kerinci yang telah menetap secara turun-temurun. Di samping masyarakat Suku Kerinci juga terdapat masyarakat pendatang yang berasal dari Minangkabau dan daerah lainnya yang sedang bertugas atau bekerja di Kerinci. Hampir semua penduduk yang tinggal di kawasan Rumah Larik ini adalah Warga Negara Indonesia (WNI) dan beragama Islam. Dari segi pendidikan, dapat dilihat umumnya penduduk Kelurahan Sungai Penuh berpendidikan SMA/SLTA ke atas serta memiliki pendidikan khusus dibidang keagamaan (Tabel 3). Keberadaan sekolah-sekolah yang letaknya berdekatan dengan kawasan Rumah Larik menjadi faktor pendukung bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga SMA/SLTA. Sarana pendidikan yang terdapat di sekitar kawasan Rumah Larik antara lain yaitu, Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Sungai Penuh, SD Negeri 2 Sungai Penuh, SD Negeri 5 Sungai Penuh, MTS Limo Luhah Sungai Penuh, SMP Negeri 8 Sungai Penuh, SMA Negeri 1 Sungai Penuh, SMA Negeri 4 Sungai Penuh, dan SMK Negeri 1 Sungai Penuh. 23 Gambar 9. View di Kawasan Rumah Larik Limo Luhah dan sekitarnya 24 Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Sungai Penuh NO 1. 2. PENDIDIKAN JUMLAH (ORANG) LULUSAN PENDIDIKAN UMUM a. Taman Kanak-Kanak 105 b. Sekolah Dasar 385 c. SMP/SLTP 394 d. SMA/SLTA 673 e. Akademi ( D1-D3) 40 f. Sarjana (S1-S3) 191 LULUSAN PENDIDIKAN KHUSUS a. Pondok Pesantren b. Madrasah c. Pendidikan Keagamaan 99 d. Sekolah Luar Biasa e.Kursus/Keterampilan 80 Sumber : Monografi Kelurahan Sungai Penuh Tahun 2009/2010 Berdasarkan data monografi Kelurahan Sungai Penuh tahun 2009/2010, diketahui secara umum bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk Kelurahan Sungai Penuh termasuk penduduk yang tinggal di kawasan Rumah Larik Limo Luhah adalah pedagang atau wiraswasta (Tabel 4). Wiraswasta yang dilakukan penduduk di kawasan Rumah Larik ini umumnya berupa usaha warung, wartel, warnet, fotocopy, percetakan, jasa menjahit, jasa isi ulang air mineral, hingga usaha perkayuan dan kerajinan batik tulis. Profesi penduduk lainnya adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebagian besar bekerja di instansi pemerintahan, petani yang menggarap sawah milik pribadi atau sebagai buruh tani yang menggarap sawah milik orang lain, dan pensiunan yang sebagian besar merupakan pensiunan guru. 25 Tabel 4. Sebaran Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian NO 1. MATA PENCAHARIAN JUMLAH (ORANG) Karyawan a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) 236 b. ABRI 4 c. Swasta 263 2. Wiraswasta/Pedagang 299 3. Tani 263 4. Pertukangan 25 5. Buruh tani 47 6. Pensiunan 56 7. Jasa 65 Sumber : Monografi Kelurahan Sungai Penuh tahun 2009/2010 4.3. Aspek Sejarah 4.3.1. Asal Usul Suku Kerinci Seperti halnya kedatangan suku-suku bangsa Indonesia lainnya, Suku Kerinci juga berasal dari Asia Tenggara. Mereka datang melalui jalur yang melewati Semenanjung Malaka, menyeberang Selat Malaka, kemudian menyusuri pantai timur Sumatera hingga ke Selat Berhala, masuk ke Sungai Batanghari, terus ke Batang Merangin dan akhirnya sampai ke hulu Batang Merangin yaitu Danau Kerinci (Afanti 2007). Kedatangan mereka bergelombang, gelombang pertama disebut sebagai suku bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) pada zaman Neolitikum (batu muda) antara 4000 SM sampai 2000 SM. Gelombang yang kedua disebut sebagai suku bangsa Dentro Melayu muda yang datang pada zaman perunggu yaitu sekitar tahun 400 SM sampai 100 SM. Suku Kerinci diketahui sebagai suku yang lebih tua dari Suku Inca Amerika yang menyembah matahari dan juga Suku Candiaku yang berasal dari hulu sungai Indragiri. Suku bangsa Proto Melayu yang menduduki daerah Kerinci pada saat itu dikenal sebagai kelompok yang murni karena kedatangan mereka adalah yang pertama. Pada zaman ini diketahui terdapat sebuah gunung berapi yang sangat tinggi dan terletak di tengah-tengah 26 Pulau Sumatra yaitu berada di daerah pemukiman dan persawahan yang ada di Kerinci mulai dari Siulak sampai ke daerah Hilir Sanggaran Agung. Menurut legenda, gunung berapi tersebut bernama Gunung Beremas dan di masa inilah adanya kehidupan manusia yang mendiami daerah di sekitar kaki Gunung Beremas (Afanti 2007). Kondisi topografi alam Kerinci yang terdiri dari lembah dan perbukitan berbentuk seperti gelombang ombak merupakan akibat dari letusan dahsyat Gunung Beremas yang mengeluarkan aliran lava pijar, lahar magma disertai oleh gelombang debu panas yang mengandung gas beracun mengalir ke daerah-daerah yang lebih rendah melalui lereng-lereng bukit. Letusan Gunung Beremas ini menghasilkan bentukan alam yang berbukit-bukit dan menyisakan sebagian sisa badan gunung yang sekarang dikenal sebagai Gunung Kerinci dengan tinggi 3.805 meter di atas permukaan laut. Gunung ini terletak di sebelah utara Kerinci dan masih menjadi gunung yang tertinggi di Pulau Sumatra (Afanti 2007). Setelah letusan terjadi, daerah disekitar Gunung Beremas hanya tinggal puing-puing akibat dilanda lava pijar gunung berapi dan sebagian membentuk lembah-lembah,bukit-bukit, dan sungai-sungai baru. Sisa-sisa suku murni Melayu Tua yang selamat dari bencana alam itu kemudian mendiami lembah Kerinci. Suku ini kemudian dikenal dengan sebutan “Kecik Wok Gedang Wok”. Suku “Kecik Wok Gedang Wok” memulai sebuah kehidupan baru mereka yang masih tergolong primitif dan tinggal di gua-gua. Dalam berinteraksi, secara individu mereka belum memiliki nama hanya sebutan orang yang kecil dipanggil Wok Kecik dan orang yang lebih tua dipanggil Wok Gedang. Kehidupan mereka sehari-hari hanya berburu binatang, mengumpulkan makanan-makanan seperti buah-buahan yang ada di hutan dan mencari ikan di sungai. Suku Melayu Tua murni ini hidup berkelompok dan tempat tinggalnya tidak menetap selalu berpindah-pindah dari tempat pertama ke tempat yang lainnya dan kembali lagi ke tempat pertama. Suku ini sudah memiliki kepercayaan yaitu Animisme, mereka melakukan pertapaan untuk mencari jati diri, membersihkan jiwa raga agar terhindar dari pengaruh jiwa yang kotor serta menumbuhkan kesabaran sebagai pegangan hidup mereka sehari-hari (Afanti 2007). 27 Selanjutnya, Kerinci kedatangan suku bangsa Paleomongoloid gelombang pertama dari tanah Yunan Tiongkok Selatan. Mereka melalui Sungai Mekhong sampai di Hindia belakang kemudian melanjutkan ke daerah-daerah lainnya dan ada yang sampai ke daerah pusat alam Melayu Tua Kerinci. Suku-suku Paleomongoloid yang sudah berada di Kerinci ini berhubungan dengan kelompok Melayu Tua murni sehingga melahirkan keturunan-keturunan nenek moyang Kerinci (Afanti 2007). Oleh sebab itulah masyarakat suku Kerinci hingga saat ini memiliki ciri yang mirip dengan orang-orang Tiongkok seperti memiliki mata sipit dan berkulit putih. Berabad kemudian, gelombang berikutnya suku-suku Indonesia lainnya berdatangan ke daerah Kerinci untuk melakukan kegiatan perdagangan dan sebagainya, dari proses interaksi maka timbullah perubahan pada masyarakat suku Kerinci yang tidak berkebudayaan menjadi memiliki pemikiran untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti upacara sakral, membuat tempat pemujaan, hingga mengadakan sajian-sajian. Walaupun demikian, sikap suku Kerinci yang menerima kedatangan suku-suku dari luar tidak menghilangkan atau meninggalkan nilai-nilai leluhur dari kebudayaan nenek moyang mereka (Afanti, 2007). 4.3.2. Asal Nama Kerinci Kata ‘Kerinci’ dalam masyarakat Kerinci diucapkan dalam dialek yang berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh cara melafadkan bahasa Kerinci oleh masing-masing dusun yang juga berbeda dan mempunyai kekhasan tersendiri. Masyarakat Sungai Penuh dan Pondok Tinggi yang tinggal berada di Kota Sungai Penuh biasa melafadkannya dengan sebutan ‘Kincai’, masyarakat Dusun Rawang, Koto Lanang, dan Sungai Tutung yang berada di sekitar Kota Sungai Penuh biasa menyebutnya ‘Kincei’. Masyarakat Kerinci bagian utara seperti dusun Semurup dan Siulak menggunakan sebutan ‘Kinci’, sedangkan orang Kerinci bagian Selatan seperti dusun Pulau Sangkar, Lempur, dan Temiai menyebutnya ‘Krinci’. Demikian juga dengan masyarakat di sekitar Kerinci seperti Minangkabau dan Jambi biasa menyebutnya ‘Kurinci’. Orang Belanda yang pernah menduduki Kerinci menggunakan sebutan ‘Korintji’ sedangkan orang Inggris menyebutnya ‘Korinchi’ (Djakfar 2001). 28 Asal kata nama Kerinci tidak diketahui secara jelas, namun terdapat legenda yang menjelaskan asal penggunaan nama Kerinci. Ada tiga legenda yang menceritakan kisah terciptanya kata ‘Kerinci’ yaitu : 1. Legenda yang menyatakan bahwa nama ‘Kerinci’ berasal dari kata ‘Kunci’. Kata ini memiliki arti bahwa daerah Kerinci merupakan daerah yang tertutup dan terkunci. Maksudnya adalah daerah Kerinci tidak berinteraksi atau berhubungan dengan dunia luar dan sebaliknya. Hal ini disebabkan kondisi geografis Kerinci yang dikelilingi oleh pegunungan bukit barisan, hutan lebat, topografi yang bergelombang, dan banyak terdapat hewan buas sehingga membuat orang beranggapan bahwa Kerinci merupakan daerah yang tertutup. 2. Legenda yang menyatakan bahwa nama ‘Kerinci’ berasal dari dua kata, yaitu ‘Kering’ dan ‘Cair’. Legenda ini menceritakan bahwa dulu Kerinci merupakan sebuah danau yang sangat luas yang memiliki sebuah pulau kecil ditengah-tengahnya yaitu Tanah Cuguk. Seluruh daerah di kaki-kaki bukit merupakan daerah rawa basah. Pada saat musim kemarau rawa-rawa ini mengering sehingga membuat daerah daratan menjadi semakin luas, sedangkan pada musim penghujan daratan ini kembali basah menjadi rawa sehingga lahan kering menyempit. Fenomena alam inilah yang menyebabkan nama Kerinci berasal dari kata ‘Kering’ dan ‘Cair’. 3. Kisah setelah kedatangan suku bangsa Melayu ke daerah Kerinci. Pada saat itu Kerinci belum memiliki nama, maka datanglah suku bangsa lainnya dari hulu Sungai Batanghari yang menyusuri Batang Merangin hingga sampai ke hulunya. Mereka melihat di hulu sungai tersebut sudah ada manusia yang mendiami sehingga mereka menyebutnya orang Kerinci. Dalam bahasa mereka ‘Kerin’ berarti Hulu, sedangkan ‘ci’ berarti Sungai. Jadi Kerinci berarti Hulu Sungai. Suku inilah yang kemudian memperkenalkan nama Kerinci ke dunia luar, namun orang-orang yang mendiami daerah hulu sungai ini sendiri tidak tahu namanya. 29 4.3.3. Masuknya Agama Islam ke Kerinci Sebelum masuknya agama Islam ke Kerinci tidak diketahui secara jelas agama apa yang dianut oleh orang Kerinci. Tetapi dilihat dari peninggalanpeninggalan yang ditemukan dapat dikatakan bahwa orang Kerinci pernah menganut Animisme dan agama Hindu atau Budha. Agama Islam di Kerinci disebarkan oleh orang-orang pendatang dari daerah lain yang kebanyakan berasal dari Minangkabau. Orang yang menyebarkan ajaran Islam ini biasa disebut dengan Siak, yaitu orang yang taat beragama seperti halnya dengan mubalig, ulama, imam atau bilal. Adapun orang-orang Siak yang pernah datang ke Kerinci mengajarkan agama Islam antara lain sebagai berikut : 1. Siak Lengeih di Koto Pandan 2. Siak Jelir di Siulak 3. Siak Rajo di Sungai Medang 4. Siak Ali di Koto Beringin Semurup 5. Siak Sati di Koto Jelatang Hiang 6. Siak Baribut Sati di Koto Merantih Terutung 7. Siak Ji (Haji), makamnya di Lunang (Inderapura) Masuknya agama Islam ke Kerinci yaitu sekitar abad ke-9 sampai abad ke-13 ketika Kerinci masih dikuasai oleh Sugindo-sugindo yang kemudian lenyap dan dikuasai oleh Depati IV-8 Helai Kain sampai awal abad ke-20 (1904). 4.3.4. Perlawanan Rakyat Kerinci Menentang Penjajahan Belanda Sampai tahun 1906, Kerinci tidak pernah dijajah oleh negara atau kerajaan manapun. Hal ini disebabkan oleh banyak yang tidak mengetahui keberadaan daerah Kerinci karena terletak di daerah yang cukup sulit dicapai dan memiliki medan yang sulit ditempuh. Diperkirakan bahwa Kerinci adalah daerah yang terakhir di Indonesia yang dijajah oleh Belanda, padahal saat itu daerah di sekitarnya seperti Minangkabau, Jambi dan Bengkulu telah lebih dulu dijajah oleh Belanda. Sebelum memasuki abad ke-20, banyak orang Kerinci yang berdagang hingga ke luar daerah seperti ke Muko-Muko dan Indrapura. Melihat banyaknya pedagang Kerinci yang datang maka timbul keinginan orang Belanda untuk 30 datang ke Kerinci. Niat Orang Belanda untuk datang ke Kerinci mendapat pertentangan dari masyarakat Kerinci yang dipimpin oleh Depati Parbo. Kejadian ini menyebabkan kemarahan orang Belanda, mereka berinisiatif untuk menyerang Kerinci. Pada tahun 1903 Belanda menyerang Kerinci dari tiga jalur yaitu dari Jambi, Muko-Muko, dan Indrapura. Pasukan Indrapura berhasil menaklukkan daerah Kerinci Hulu dan tengah, sedangkan pasukan dari Jambi menaklukkan bagian timur, begitu juga dengan pasukan dari Muko-Muko yang menaklukkan daerah bagian selatan, semuanya mendapatkan perlawanan yang gigih dari rakyat Kerinci. Walaupun sudah banyak dusun-dusun yang diduduki Belanda, gerilya sepanjang malam tetap terus dilakukan oleh rakyat. Dengan dalih hendak membunuh keluarga Depati Parbo, maka Depati Parbo bersedia untuk berunding dengan Belanda. Dalam perundingan tersebut Depati Parbo ditangkap dan dibuang ke Jakarta dan Ternate. Setelah Depati Parbo ditangkap, perlawanan rakyat terus berlangsung dibawah pimpinan Haji Umar dan Pangeran Mudo dari Bangko namun berakhir dengan jatuhnya banyak korban tewas. Kemudian perlawanan dilanjutkan oleh Ki Marakabeh dari Semurup yang telah menyusun kekuatan, namun karena pengkhianatan akhirnya perlawanan ini gagal dan pasukan Ki Marakabeh banyak yang tewas (Disparbud Kerinci, 2004). Setelah perlawanan Haji Umar, maka berakhirlah perlawanan rakyat Kerinci menentang Belanda pada pertengahan tahun 1906. Depati Parbo dikenal sebagai pahlawan rakyat Kerinci dalam menentang penjajah. Belanda berkuasa dan berdasarkan ketetapan kerajaan Belanda maka pada tanggal 1 Januari 1906 Kerinci disatukan dengan Jambi menjadi satu Karesidenan yang diperintah oleh Residen yang bernama O. B. Folfach. Pada tahun 1922 kerasidenan dipindahkan ke Pesisir Selatan sampai tahun1942 kedudukan Jepang. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang di umumkan oleh Sukarno – Hatta membuka lembaran baru sejarah perjuangan rakyat Kerinci. Setelah menerima selebaran dan telegram dari Padang, pada hari jumat tanggal 31 Agustus 1945 Sang Saka Merah Putih dikibarkan pertama kalinya di Kerinci tepatnya di Masjid Raya Sungai Penuh oleh A. Thalib. 31 4.3.5. Periode Kemerdekaan Pada tanggal 21 Juli 1958, rakyat Kerinci mengadakan kongres yang menghasilkan resolusi untuk diajukan kepada pemerintah pusat agar Kerinci menjadi satu kabupaten dalam provinsi Jambi. UU Darurat RI Nomor 19 tahun 1957 menetapkan pemekaran provinsi Sumatera Tengah menjadi Provinsi Jambi, Sumatera Barat, dan Riau. Dengan adanya UU Nomor 61 tahun 1958, Kerinci ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II. Peresmian baru dilakukan pada tanggal 10 November 1958 oleh Gubernur Jambi saat itu yaitu Yusuf Singadekane. Tanggal 10 November tersebut setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Kerinci. Sampai sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, daerah ini resmi menjadi Kabupaten Kerinci dalam wilayah Provinsi Jambi. Selanjutnya, dengan berbagai pertimbangan pemerintah, maka pada tahun 2008 Kabupaten Kerinci mengalami pemekaran wilayah menjadi wilayah Kabupaten Kerinci dan Kotamadya Sungai Penuh. Adapun pertimbangan dalam melakukan pemekaran wilayah antara lain sebagai berikut : 1. Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda (Government Besluit) Nomor 13 tanggal 3 November 1909, Sungai Penuh ditunjuk sebagai Ibukota. 2. Aspirasi masyarakat membentuk Kota Sungai Penuh sejak tahun 1970an. 3. Perkembangan Kota Sungai Penuh tidak efektif dikelola hanya oleh pemerintah Kecamatan. 4. Kota Sungai Penuh merupakan kota terpadat kedua di Provinsi Jambi setelah Kota Jambi. 5. PP Nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah. 6. Untuk peningkatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan. 7. Hasil penelitian oleh Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS (Pasca Sarjana IPDN) tahun 2005 yang menyatakan bahwa Kabupaten Kerinci layak untuk dimekarkan. Dengan disahkannya UU Nomor 25 tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Sungai Penuh oleh DPR – RI tanggal 21 Juli 2008 dan diresmikan oleh Menteri 32 Dalam Negeri H. Mardiyanto maka pada tanggal 8 November 2008, Sungai Penuh resmi berpisah dari Kabupaten Kerinci dan menjadi Kotamadya Sungai Penuh. Kota Sungai Penuh saat ini terdiri dari lima kecamatan yaitu, Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan Pesisir Bukit, Kecamatan Kumun Debai, dan Kecamatan Tanah Kampung. 4.4. Aspek Budaya 4.4.1.Arti dari Larik dan Luhah Larik dalam bahasa Kerinci disebut Laheik. Larik merupakan sebutan untuk rumah – rumah Uhang Kincai (orang Kerinci) yang berupa rumah panggung dan berjajar memanjang dari Timur ke Barat (Laheik Jajo). Rumah Larik berdiri di atas sebidang tanah empat persegi panjang yang disebut “Pahit Basudut Mpat” atau Parit Bersudut Empat. Status tanah parit bersudut empat ini adalah tanah adat yang hak guna tanahnya diatur menurut hukum oleh Depati dan Ninik Mamak. Rumah Larik terdapat dalam sebuah Luhah. Luhah tidak sama dengan Lurah. Luhah yaitu sebuah dataran pemukiman yang terdiri dari kelebu – kelebu atau kelompok – kelompok perut membentuk satu kesatuan masyarakat yang dipimpin oleh Depati dan dibantu oleh Ninik Mamak. Kelebu adalah segolongan orang yang berasal dari satu keturunan nenek moyang yang perempuan dikepalai oleh Ninik Mamak. Rumah Larik Limo Luhah yang terdapat di Kota Sungai Penuh terdiri dari Luhah Rio Mendiho (Romen), Luhah Rio Jayo (Rioja), Luhah Rio Tamenggung (Rita), Luhah Pamangkou Rajea (Praja), dan Luhah Datuk Singarapi Puteah (dasira). Satu luhah dapat terdiri dari beberapa larik dan satu larik dapat terdiri dari beberapa rumah (Gambar 10). 33 Gambar 10. Rumah Larik yang Limo Luhah 4.4.2. Filosofi Hidup Masyarakat Kerinci Masyarakat Kerinci atau uhang kincai termasuk suku bangsa yang memiliki filosofi hidup. Sama halnya dengan masyarakat suku Minangkabau yang memiliki filosofi alam takambang jadi guru, masyarakat Kerinci juga memiliki filosofi hidup yang berorientasi pada alam. Filsafat alam yang mereka anut tercermin dari peribahasa atau petitih – petitih adat yang menceritakan tentang keadaan alam, misalnya: “Sekalai aye daleang sekalai barasek pulau” Artinya : “Setiap mengambil keputusan sering berubah-ubah sesuai dengan situasi dan kondisi”. “Siko kbea ngubeang galo-galo kno patek ludok” Artinya : “ Seseorang tercemar nama baiknya, sekampung terbawa nama”. Petitih-petitih adat ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Kerinci sebagai pedoman dan ajaran mereka dalam bertindak atau melakukan suatu kegiatan. Disamping agama Islam yang sebagian besar dianut oleh masyarakat Kerinci, terdapat adat-istiadat yang juga mengatur kehidupan mereka. Masuknya agama Islam ke Kerinci pada abad ke-13 menyempurnakan 34 dan melengkapi ajaran adat yang sudah ada terlebih dahulu. Seperti pepatah yang berbunyi : “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, adat memakai, syarak mengato, benar kata adat, syah kata syarak”. Masyarakat Kerinci yang dahulu masih menganut kepercayaan terhadap hal-hal gaib (animisme) pada masa sekarang telah menganut agama Islam. Akan tetapi, sebagian dari masyarakat masih memiliki kepercayaan berhubungan dengan gaib yang mereka lakukan dalam keadaan tertentu seperti dalam pelaksanaan kesenian adat kenduri pusaka dan bentuk kegiatan lainnya. Sistem kepercayaan mereka padukan dengan ajaran Islam untuk membentuk suatu paduan yang sempurna ke arah tujuan yang lebih baik dan hanya dipergunakan untuk hal-hal tertentu saja. Menurut Afanti (2007) kesenian Tari Asik Naik Mahligai Istana Kaco adalah salah satu contoh atraksi kesenian yang menggabungkan kepercayaan dengan Islam sehingga para penari dapat memijak kaca, memijak bara api, dan atraksi berbahaya lainnya dengan membaca mantra – mantra dan membakar kemenyan serta menyediakan sesajian. Semua kegiatan masyarakat yang dilakukan tetap berpegang teguh pada ajaran adat istiadat dan agama Islam. 4.5. Kelembagaan dan Pemerintahan Adat 4.5.1. Organisasi dan Struktur Pemerintahan Adat Rumah Larik Limo Luhah Kota Sungai Penuh berada dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh. Wilayah adat Depati Nan Bertujuh ini memiliki para pemangku adat yang terdiri dari Depati Nan Bertujuh, Permanti Nan Sepuluh, Pemangku Nan Berduo, serta Ngabi Teh Santio Bawo. Setiap pemangku adat memiliki tugasnya masing-masing dalam pemerintahan adat. Struktur pemerintahan adat dapat dilihat pada Gambar 11. Selain para pemangku adat di atas, juga terdapat Tengganai yaitu anak jantan yang tugasnya mengurus masalah dalam keluarga atau tumbi. Tengganai termasuk salah satu pusaka yang tiga atau Sko yang tigo takah, yaitu : 1. Depati atau setingkat depati. Depati merupakan raja atau wakil raja yang menjalankan pemerintahan dalam negeri. Depati berasal dari bahasa sanskerta yaitu Adipati yang berarti kepala tertinggi. 35 2. Manti, berasal dari kata Menteri yang mengurus anak keponakan dalam luhah. Fungsi ini dipegang oleh Ninik mamak yang bergelar Datuk, Rio, Pemangku, dan ada yang langsung gelar skonya seperti Bujang Peniyang, Singarajo, dan sebagainya. Depati dan Ninik Mamak adalah simbol tertinggi pada struktur lapisan sosial masyarakat Kerinci. 3. Tengganai (anak jantan). Bertugas mengurus anak batino dalam keluarga atau tumbi. Tengganai dipilih diantara anak jantan yang bijaksana, yaitu saudara laki-laki tertua dari ibu, dan saudara yang muda atau adik ibu, ataupun sanak famili ibu yang laki-laki dalam satu perut atau kelebu. Gambar 11. Struktur Pemerintahan Adat Depati Nan Bertujuh Sko yang tigo takah ini mencerminkan sistem adat alam Kerinci yang mempunyai kedaulatan sendiri dengan bentuk semi kerajaan dan bercorak demokratis. Dalam menyelesaikan suatu perkara, secara adat perkara diselesaikan terlebih dahulu oleh tengganai rumah, jika tidak dapat diselesaikan dilanjutkan ke Ninik Mamak dan Depati. Apabila hingga duduk tengganai, Ninik Mamak, dan Depati tidak juga dapat diselesaikan, maka dibawalah perkara tersebut ke Lembaga Kerapatan Adat Kerinci (LKAK). LKAK merupakan tempat 36 berhimpunnya para tokoh masyarakat untuk memutuskan suatu perkara menyangkut negeri alam Kerinci yang terdiri dari kaum ulama, orang cerdik pandai, tokoh-tokoh adat, dan generasi pemuda yang dikenal dengan sebutan Uhang Empat Jenis. 4.5.2. Adat yang Berlaku dalam Masyarakat Adat berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata majemuk, terdiri dari a artinya tidak dan dat artinya nyata. Jadi Adat berarti sesuatu yang tidak nyata, tetapi terasa. Etika, moral, budi, dan kemanusiaan merupakan contoh sesuatu yang tidak nyata tetapi bisa dirasakan oleh manusia. Pengetahuan manusia mengenai adat sebenarnya merupakan ajaran budi yang bersumber pada nilai luhur manusia itu sendiri sebagai pelaku kehidupan dan bertingkah laku dalam kehidupan. Dalam masyarakat Kerinci, adat telah dikenal dan digunakan oleh nenek moyang mereka dahulu untuk mengatur kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat. Seperti petitih adat yang mengatakan : “Adat neghoi bapago adeak, adeak tapian bapago baso” (Adat negeri berpagar adat, adat tapian berpagar basa). Maksudnya adalah bila suatu negeri tanpa adat tanpa peraturan undang – undang negeri tersebut akan kacau dan hancur. Akan tetapi, adat sering mengalami kepincangan dalam sejarah manusia, maka setelah masuk Islam agamalah yang meluruskannya. “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” maksudnya adalah adat dapat saja berubah, tetapi syarak tidak boleh berubah. Seluko adat ini juga terdapat pada daerah Minangkabau dan Jambi. Sebelum masuk Islam1 , masyarakat Kerinci masih menggunakan adat bersendi alur, patut, dan mungkin. Adat ini digunakan sebagai pemikiran atau pertimbangan sebelum melakukan suatu tindakan atau kegiatan. Sebagai contoh : di Sungai Penuh sekarang sulit mencari lahan kosong untuk dibangun, Sungai Penuh memiliki banyak bukit (Alur). Seharusnya bukit-bukit diratakan untuk menambah tanah (Patut), tapi mungkinkah bukit diratakan? (Mungkin). Dalam pandangan masyarakat kerinci, adat sebagai sumber norma moral dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu adat yang asli (sejak manusia sudah dapat 1 Hasil wawancara dengan mantan Ketua Adat Limo Luhah Sungai Penuh, Maret 2010 37 bergerak, berkata, dan sebagainya) dan adat yang tidak asli (sejak manusia telah berkebudayaan). Setelah mengalami proses perjalanan sejarah hingga pengaruh Hindu dan Islam, adat masyarakat kerinci dibagi menjadi empat macam yang disebut dengan istilah “Adat yang Empat” (Disparbud Kerinci 2003), yaitu : 1. Adat yang Sebenar adat, adalah segala sesuatu yang berdasarkan hakekat alam, seperti sunatullah, yang berhadist, berlapaz, bermakna. Adat ini tidak lekang karena panas, tidak lapuk kena hujan (berlaku sepanjang masa). 2. Adat yang Diadatkan, adalah hasil kesepakatan dan mufakat nenek moyang yang diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Adat ini tidak tertulis, tetapi dipatuhi oleh masyarakat. Seperti pepatah mengatakan : “Rama – rama sikumbang jati, khatib indah pulang berkuda, patah tumbuh hilang berganti, adat lama seperti itu juga”. Maksudnya adalah adat sebagai warisan turun temurun tetap berlaku sepanjang masa tidak terpengaruh oleh perubahan waktu dan tempat. 3. Adat yang Teradat, adalah adat yang dipakai pada suatu tempat dengan keadaan lingkungan yang kadang-kadang berubah. Seperti kata pepatah : “sekali air besar, sekali tepian beranjak, sekali raja berganti, sekali peraturan berubah”. Maksudnya adalah jika suatu adat tidak sesuai lagi dengan keadaan zaman, maka adat lama bisa diubah disesuaikan dengan zaman, tetapi tidak meninggalkan syarak dan kitabullah. 4. Adat-Istiadat, adalah adat yang dibuat berdasarkan musyawarah dan diubah dengan musyawarah, seperti undang yang empat yaitu undang rajo, undang negeri, undang dalam negeri, dan undang yang 20. 4.5.3. Sistem Kekeluargaan dan Kemasyarakatan Sama halnya dengan suku Minangkabau, garis keturunan suku Kerinci ditarik secara matrilineal atau matriarchat. Matriarchat berarti suatu suku bangsa atau masyarakat, dimana hubungan keturunan ditentukan menurut garis keturunan ibu (Disparbud Kerinci 2003). Meskipun garis keturunan suku Kerinci ditarik dari garis keturunan ibu, masyarakat adat Kerinci tidak diperintah atau dipimpin oleh seorang wanita. Seorang ibu di dalam keluarga berperan sebagai bendahara yang mengatur harta benda dan kesejahteraan keluarga, sedangkan ayah yang berada diluar keluarga anak dan isterinya disebut sebagai uhang semenda atau anok 38 batino dari keluarga ibu. Seorang ayah dalam keluarga memiliki kewajiban memberi nafkah anak dan isterinya berupa nafkah lahir (rumah, pakaian, makanan) dan nafkah batin (pendidikan, keturunan). Setiap suku-suku dari luar yang berbaur maupun telah menjadi keturunan Kerinci langsung menjadi anok batino didalam keluarga. Dalam hubungan kekeluargaan masyarakat suku Kerinci, saudara-saudara laki-laki dari ibu juga memiliki peranan penting dalam keluarga. Mereka berstatus sebagai tengganai rumah atau mamak rumah. Tengganai rumah menerima kekuasaan dari ibunya untuk mengatur rumah atau keluarganya, memelihara kekayaan, serta mengurus kemenakannya. Sistem seperti ini dinamakan Avonculat, artinya pertanggung jawaban anak-anak berada ditangan paman atau mamaknya (Afanti 2007). Seperti kata pepatah rumah sekato tengganai, luhah sekato penghulu, alam sekato rajo. Seorang ayah dalam keluarga harus tunduk dan taat pada tengganai rumah, yaitu saudara laki-laki dari isterinya. Tengganai termasuk salah satu warisan nenek moyang yang ditinggalkan yaitu sko yang tigo takah. Menurut Ketua Adat Limo Luhah Sungai Penuh, Sistem kemasyarakatan suku Kerinci terdiri dari beberapa unsur, yaitu tumbi, pintu, perut, kelebu, dan luhah. Unsur ini merupakan formasi asli dari kehidupan masyarakat Kerinci yang menghasilkan sistem kepemimpinan adat seperti Depati, Rio, Ninik Mamak, dan gelar adat lain yang terdapat di Kerinci. Unsur-unsur di atas dijelaskan satu persatu sebagai berikut : 1. Luhah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya luhah adalah suatu permukiman yang terdiri dari beberapa kelebu atau kelompok perut yang dipimpin oleh Depati dan Ninik Mamak. 2. Kelebu, yaitu sekelompok orang yang berasal dari satu keturunan nenek moyang perempuan dan dikepalai oleh Ninik Mamak. 3. Perut, yaitu sekelompok orang yang memiliki ikatan pertalian darah dari satu nenek moyang yang perempuan dan dikepalai oleh tengganai dibawah naungan Ninik Mamak. 4. Pintu, hampir serupa dengan perut, pintu juga dikepalai oleh seorang tengganai. 39 5. Tumbi, yaitu sekelompok orang yang berasal dari satu keturunan nenek moyang perempuan dan dikepalai oleh bapak di bawah naungan tengganai. Sistem kemasyarakatan suku Kerinci dapat dikatakan unik. Sulit untuk membedakan antara kelebu dan perut. Selain itu di beberapa dusun di Kerinci ada yang tidak mengenal perut, ada yang kepemimpinannya hanya dengan Depati tidak mengenal Ninik Mamak dan sebaliknya. Namun, perbedaan ini telah disepakati oleh para pemangku adat di Kerinci karena sesuai dengan icopake masing-masing dusun. Icopake artinya cara untuk melakukan sesuatu yang merupakan adat turun temurun melalui kesepakatan bersama secara tidak langsung. 4.6. Tata Guna Lahan dan Sistem Pemilikan Tanah Tata guna lahan di Kota Sungai Penuh terdiri dari permukiman, pertanian, jasa dan perdagangan, konservasi, perkantoran, dan sebagainya (Tabel 5). Jenis penggunaan lahan yang terbesar adalah hutan untuk konservasi dan perumahan. Tabel 5. Tata Guna Lahan di Kota Sungai Penuh Luas (Ha) 1 Jasa dan Perdagangan 30,404 2 Pendidikan 37,172 3 Kesehatan 28,845 4 Peribadatan 1,761 5 Pemerintahan/Perkantoran 22,368 6 Pertamanan/Olahraga/Rekreasi 136,334 7 Pariwisata 2,544 8 Perumahan 2729,72 9 Transportasi 618,629 10 Industri Kecil 2,6 11 Konservasi 2819,215 12 Pertanian (Lahan Cadangan) 1904,007 Luas Lahan 8333,82 Sumber : BAPPEDA Kota Sungai Penuh Tahun 2010 NO. Jenis Penggunaan Lahan (%) 0,36 0,45 0,35 0,02 0,27 1,64 0,03 32,75 7,43 0,03 33,63 22,65 100,00 Area konservasi memiliki luas terbesar sekitar 33,63 % dari total luas Kota Sungai Penuh. Area konservasi ini didominasi oleh hutan hujan tropis 40 yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Luas perumahan atau permukiman di Kota Sungai Penuh mencapai 2729,72 Ha atau 32,75 % yang terdiri dari bangunan rumah dan pekarangan. Sedangkan area pertanian yang juga berfungsi sebagai lahan cadangan memiliki luas sekitar 1904,007 Ha atau 22,65 % dari luas total. Area pertanian di kota Sungai Penuh didominasi oleh persawahan yang terdiri dari sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Area persawahan berada pada daerah dengan topografi yang relatif datar dan dekat dengan aliran sungai. Selain sawah, area pertanian juga terdiri dari kebun dan ladang. Kebun dan ladang umumnya berada pada daerah dataran yang lebih tinggi yaitu di daerah perbukitan dengan sumber air yang melimpah. Masyarakat yang berkebun dan berladang biasanya adalah mereka yang tinggal di daerah perbukitan dan tinggal di pusat kota. Tanaman perkebunan yang ditanam oleh masyarakat antara lain Kayu Manis (Cinnamomum burmanii), Cengkeh (Syzigium aromaticum), Kopi (Coffea sp.), Jeruk (Citrus sinensis), dan lain sebagainya. Berdasarkan data monografi Kelurahan Sungai Penuh tahun 2010, luas area permukiman yaitu sekitar 35 Ha dari luas total 45 Ha, sedangkan sisanya terdiri dari persawahan, tanah wakaf, dan perkantoran. Menurut hak kepemilikan atas tanah dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh, hak kepemilikan dibagi menjadi tiga macam, yaitu tanah milik pribadi (sawah atau tanah basah dan ladang atau tanah kering), tanah milik kaum (parit sudut empat), dan tanah milik negeri (tanah patok rajea). Seluruh tanah dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh disebut dengan tanah adat atau di Kerinci dikenal dengan istilah tanah ajun arah. Menurut Watson (1992), ajun arah adalah sistem pembagian sebidang tanah yang belum digarap atau yang tidak digarap dalam wilayah adat oleh para pemangku adat kepada orang yang meminta untuk di ajun arah. Tanah ajun arah dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Hakuladami, yaitu tanah ajun arah yang di dalamnya diperbolehkan adanya campur tangan manusia atau boleh dimanfaatkan oleh manusia berupa hutan, parit sudut empat, sawah, dan ladang. 2. Hakullah, yaitu wilayah imbo bano atau rimba belantara yang 41 merupakan hutan larangan. Di hutan ini tidak diperbolehkan adanya pemanfaatan oleh manusia karena hutan ini merupakan penyangga hulu – hulu sungai. Contoh imbo bano ini yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat yang termasuk tanah patok rajea. Hutan dan ladang yang umumnya berada di perbukitan merupakan milik kaum yang telah di ajun arah. Untuk masyarakat Limo Luhah, tanah arah yang berupa hutan dan ladang berada di daerah Desa Sungai Jernih, Desa Talang Lindung, dan Renah Kayu Mbun. Masing-masing luhah memiliki tanah arah yang dikelola oleh beberapa tumbi. Sebagian besar hutan diperbukitan telah berubah fungsi menjadi ladang atau parak. Ladang biasanya ditanami dengan berbagai tanaman palawija dan hortikultur. Tanah arah berupa ladang ini juga berfungsi sebagai lahan cadangan untuk pemukiman apabila lahan untuk permukiman di Rumah Larik Limo Luhah semakin menyempit dan tidak memungkinkan untuk dilakukan pembangunan lagi. Sekarang, perkembangan permukiman di daerah perbukitan ini sangat pesat, banyak masyarakat limo luhah memilih untuk membangun rumah dan menetap di daerah ini. sedangkan rumah yang terdapat di Rumah Larik Limo Luhah disewakan kepada orang lain, baik kepada orang Kerinci maupun kepada pendatang. Dari wawancara dengan masyarakat lokal, mereka membenarkan bahwa saat ini di kawasan Rumah Larik Limo Luhah telah didominasi oleh pendatang dari berbagai suku dengan status sebagai penyewa bukan pembeli. Bahkan, jumlah pendatang dan masyarakat lokal saat ini memiliki perbandingan 3 : 1. Dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh, tanah yang menjadi milik pribadi biasanya adalah tanah hibah atau tanah hasil jual beli, dan sebagainya yang pemakaiannya diatur oleh adat setempat. Sedangkan tanah milik kaum yaitu parit sudut empat dimiliki secara bersama oleh luhah, kelebu, perut, dan penggunaannya diatur oleh Ninik Mamak dengan persetujuan Depati. Tanah adat parit sudut empat adalah tanah dataran yang dipergunakan untuk bangunan rumah tinggal dan bangunan rumah tradisi orang Kerinci yang luasnya sekitar 100 depa persegi. Tanah ini dikelilingi oleh parit sedalam 2 m dan lebar 2,5 m, namun sekarang tidak ditemui lagi parit ini di Rumah Larik Limo Luhah (Disparbud Kerinci 2003). Parit ini disamping berfungsi sebagai 42 batas permukiman Rumah Larik juga memiliki fungsi sebagai sirkulasi air atau limbah dan melindungi dari serangan hewan buas. Tanah milik negeri atau tanah patok rajea terdiri dari jalan umum, tepian tempat mandi, sumur air minum, dan rimba belantara. Masyarakat Kerinci mengenal adanya harta pusaka, harta pembawaan, dan harta pusaka guntung. Harta pusaka merupakan harta warisan nenek moyang yang telah turun temurun dan biasanya dikuasai oleh kaum atau luhah. Harta pusaka terbagi menjadi dua jenis yaitu, harta pusaka tinggi dan pusaka rendah. Pusaka tinggi diperoleh melalui tembilang besi, yang artinya diperoleh dari warisan nenek moyang atau orang tua mereka terdahulu berupa sawah, ladang, rumah pusaka dan sebagainya dimana hak gunanya dikuasai oleh pihak wanita, Sedangkan pusaka rendah diperoleh melalui tembilang emas, yaitu dari pembelian atau pemberian orang tua mereka dan diturunkan kepada anak laki-laki dan perempuan. Harta pembawaan adalah harta yang telah ada atau dimiliki oleh pihak laki-laki maupun perempuan sebelum mereka menjadi suami isteri. Apabila terjadi perceraian di antara keduanya, maka harta pembawaan laki-laki tetap menjadi haknya dan harta pembawaan perempuan juga tetap menjadi haknya. Harta pencarian bersama tetap dibagi dua, kecuali mereka mempunyai anak. Harta pusaka guntung adalah apabila suami isteri tidak memiliki anak atau keturunan sedangkan mereka meninggal dunia, maka harta pencarian bersama mereka dibagi dua kepada orang tua pihak suami dan orang tua dari pihak isteri. Apabila kedua orang tua mereka telah meninggal dunia, maka harta diserahkan kepada kelebu atau perut. 4.7. Elemen – Elemen Lanskap Rumah Larik Limo Luhah Dalam masyarakat suku Kerinci, berdirinya suatu negeri harus memiliki beberapa persyaratan baik syarat non fisik maupun fisik. Syarat-syarat tersebut disebutkan dalam pepatah adat yang berbunyi : “neghoi sekato rajea, luhah sekato penghulu, rumah sekato tengganai” “pahit sudut mpat, umoh batanggo, laheik bajajo, berlubuk bertapian, bersawah baladeang, babale bamesjoik, bapandan pekuburan”. 43 Artinya : “ Negeri mengikuti kata raja, luhah mengikuti kata penghulu, dan rumah mengikuti kata tengganai” “ Memiliki batas wilayah yaitu parit bersudut empat, memiliki rumah tempat tinggal, memiliki larik yang berjejer, memiliki jalan dan pemandian umum, memiliki sawah dan ladang, memiliki balai dan masjid atau surau, memiliki tempat pemakaman”. 4.7.1. Elemen – Elemen Non Fisik (Intangible Elements) 4.7.1.1. Struktur Kepemimpinan dalam masyarakat Syarat – syarat kelengkapan sebuah negeri yang termasuk elemen non fisik seperti yang telah disebutkan dalam pepatah di atas merupakan salah satu warisan yang ditinggalkan oleh nenek moyang suku Kerinci yang masih dipertahankan sampai saat ini yaitu sko yang tigo takah. Sko yang tigo takah ini terdiri dari Depati, Ninik Mamak, dan Tengganai. Depati merupakan pemimpin negeri, Ninik Mamak mengurus luhah sedangkan tengganai sebagai pengurus rumah. Dalam mengangkat pemangku adat terdapat beberapa persyaratan yang harus dimiliki dan dimusyawarahkan dalam kerapatan adat oleh para depati dan Ninik Mamak. Seorang Depati dan Ninik Mamak selain berparuh besar, langsing kukuk, lebar sayap, dan kembang ekor juga harus masin lidah (pandai berbicara), cepat tangan (cepat bertindak), ringan kaki (cepat bergerak), dan tahan lantak (kuat dalam menghadapi masalah). Berbeda dengan Depati dan Ninik Mamak, gelar tengganai langsung jatuh pada anak jantan yaitu saudara laki-laki dari ibu atau anak batino. Pengangkatan tengganai tidak melalui musyawarah maupun upacara seperti jadi Depati dan Ninik Mamak. Dalam penobatannya sebagai pemimpin masyarakat, Depati dan Ninik Mamak harus mengucapkan sumpah atau perbayo. Mereka tidak boleh berkhianat, tamak, dan sombong. Akan tetapi haruslah cerdik bijaksana, kaya budiman, dan berilmu. Dalam menjalankan pemerintahan dengan sistem kedepatian, tidak ada seorang Depati yang kekuasaannya lebih tinggi dari Depati lainnya. Para Depati memiliki kekuasaan yang sama tidak ada yang menjadi pimpinan tertinggi dan tidak ada 44 yang menjadi bawahan. Keputusan diambil melalui musyawarah mufakat para Depati dan Ninik Mamak. Hal ini telah berlangsung sejak lama dan turun temurun yang mencerminkan bahwa masyarakat suku Kerinci sejak dahulu telah hidup dengan sistem kekeluargaan dan kemasyarakatan yang tinggi. 4.7.1.2. Aktivitas Masyarakat Adat Limo Luhah Sungai Penuh Selain struktur kepemimpinan dalam masyarakat yang berupa sko yang tigo takah, elemen non fisik lainnya adalah aktivitas sosial dan budaya masyarakat. Aktivitas sosial dan budaya ini lahir dari adat istiadat dan kepercayaan masyarakat yang telah berlangsung turun temurun dan masih dilakukan hingga sekarang. Aktivitas –aktivitas ini berupa upacara-upacara adat yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannyo. Pepatah ini masih berlaku hingga sekarang. Upacara adat di Kerinci banyak macamnya, upacara di masing-masing dusun tidak sama, sesuai dengan icopake dari masing-masing dusun tersebut. Icopake boleh berbeda antara masing-masing dusun, tetapi adat yang dijunjung tetap sama. Sesuai dengan prinsip “adat nan serupa icopake nan berlainan”. Prinsip ini bukan berarti masyarakat Kerinci terpecah belah karena tidak memiliki rasa persatuan dan kesatuan, tetapi menunjukkan nilai seni budaya tinggi yang dimiliki oleh masyarakat suku Kerinci dan kemampuan untuk mengembangkan adat istiadatnya tanpa merubah nilai-nilai asli dari para leluhur mereka. Dalam pelaksanaannya, upacara adat di daerah Kerinci khususnya oleh masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh ada yang masih dilakukan sampai sekarang dan ada pula yang sudah ditinggalkan. Upacara adat oleh masyarakat suku kerinci dibagi menjadi tiga kelompok (Disparbud Kerinci 2003), yaitu : 1. Upacara adat “Titian teras bertangga batu” 2. Upacara adat “ Cupak gantang kerja kerapat” 3. Upacara adat “ Tumbuh-tumbuh roman-roman” Upacara adat “Titian teras bertangga batu” adalah suatu upacara adat yang dilakukan berkesinambungan dari generasi ke generasi yang dapat dijumpai sepanjang hidup. Yang termasuk upacara adat ini antara lain upacara 45 kenduri sko, penobatan depati dan Ninik Mamak, tindik dabur dan sunat Rasul, khatam Al-Quran, adat perkawinan, kehamilan, kelahiran, aqiqah, kerat pusar, turun ke air (turun mandi), dan upacara kematian. Upacara adat “Cupak gantang kerja kerapat” memiliki pengertian yaitu, suatu upacara adat yang meliputi mata pencaharian hidup dan sosial kemasyarakatan yang dilaksanakan secara bersama-sama atau gotong-royong. Upacara adat ini misalnya kegiatan mendirikan rumah baru, pekerjaan menarik ramuan kayu dari rimba, merendam ramuan kayu, gotong-royong membersihkan bendar, menanam benih, menuai padi, kenduri sudah tuai, kenduri tolak bala, dan upacara yang berhubungan dengan spiritual. Upacara adat “Tumbuh-tumbuh roman-roman” merupakan suatu upacara adat yang dilaksanakan dalam keadaan tertentu sesuai dengan permasalahan yang timbul dan bersifat khusus. Upacara adat ini meliputi upacara asyeik negeri, talea naik haji, mengangkat anak angkat, pelanggaran hukum adat, melepas nazar dan upacara silang sengketa. Seluruh upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat suku Kerinci, disamping menjadi warisan budaya nenek moyang mereka juga mempunyai fungsi antara lain sebagai : a. memperkuat persatuan dan kesatuan kekerabatan dalam suku khususnya, dan meningkatkan silaturahmi dalam kehidupan bermasyarakat pada umumnya. b. kebanggaan masyarakat suku Kerinci bahwa mereka juga memiliki tata cara adat tersendiri yang tidak kalah dengan daerah lainnya. c. media berkomunikasi antara generasi muda dan generasi tua dalam menyampaikan pesan, saran, dan nasihat untuk kehidupan yang lebih baik. d. sarana pembinaan bagi para generasi muda yang akan melestarikan nilai-nilai tradisional dan budaya warisan nenek moyang. Adapun upacara adat dan aktivitas budaya yang dilakukan masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh antara lain : 4.7.1.2.1. Upacara adat Perkawinan Adat perkawinan yang dilakukan masyarakat Kota Sungai Penuh 46 umumnya sekarang sudah menurut aturan hukum Islam, namun adat lama masih dipakai seperti “kawin semenda”, yaitu pihak pria mengikuti istri dan tinggal di rumah mertuanya. Pihak pria yang tinggal di rumah mertuanya menurut icopake masing-masing dusun ada dua cara : 1. Mulang, yaitu pengantin pria diantar oleh keluarga, kaum kerabat dan Depati serta Ninik Mamak kembali ke rumah pengantin wanita. 2. Baserau baimbei, yaitu pengantin wanita memanggil atau menjemput pengantin pria di rumahnya, secara bersama kembali ke rumah pengantin wanita. Pengantin dalam istilah kerinci disebut “muntaing”. upacara pernikahan dilaksanakan dirumah mempelai perempuan pada siang hari, pada hari yang telah ditetapkan tengganai rumah. Sebelum pelaksanaannya, rumah pihak mempelai perempuan dihiasi pelaminan. Di pintu gerbang masuk dibuat gapura yang berwarna-warni. Di halaman depan didirikan tenda (taruk), sedangkan di ruangan utama disediakan kursi pengantin atau pelaminan. Pelaminan perkawinan masyarakat suku Kerinci adalah merupakan tempat acara akad nikah dan tempat bersanding. Pelaminan pengantin terdiri dari tempat duduk, layar belakang, langit-langit, dan alat perlengkapan atau aksesoris sebagai hiasan. Saat upacara akan dilaksanakan, kedua pengantin mengenakan pakaian adat dan “dudok basanding” di atas kursi yang sudah disediakan dan didampingi dua orang dara kecil sebagai dayang (tukang kipas). Sikap dudok basanding untuk pengantin pria ialah bersila dan sikap pengantin wanita bertimpuh duduk di atas lapik. Selesai sholat dzuhur, para undangan mulai berdatangan. Para pemangku adat, orang tua, cerdik pandai dipersilahkan masuk dan mengambil tempat di ruang utama sedangkan undangan umum mengambil tempat di taruk atau dirumah tetangga terdekat. Tuan rumah lalu menghidangkan Nasi Ibat (nasi yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk segi empat) untuk para undangan dan pemangku adat. Jika diperkirakan para undangan sudah datang semuanya, mereka dipersilahkan menyantap hidangan yang telah dipersiapkan oleh tengganai rumah. Selesai makan bersama, tengganai melanjutkan acara dengan 47 memberikan petatah-petitih adat (dalam bahasa Kerinci disebut Parno). Isi Parno yang disampaikan tengganai dihadapan para undangan antara lain : a. Menyampaikan ucapan terima kasih kepada para undangan karena telah memenuhi undangan peresmian pernikahan anak kemenakan b. Meminta doa restu agar kedua mempelai dapat hidup bahagia, rukun dan damai, dapat membina rumah tangga yang syakinah, mawaddah, warahmah. Kemudian dilanjutkan pula dengan penyampaian kata-kata nasihat untuk kedua pengantin diwakili oleh salah seorang dari undangan dan diakhiri dengan bersalam-salaman dengan kedua pengantin. 4.7.1.2.2. Upacara Adat Kematian Penyelenggaraan adat kematian dimana-mana pada umumya sama. Masyarakat Suku Kerinci di Sungai Penuh juga melakukan upacara adat kematian seperti dusun-dusun lainnya. Pertama kali keluarga yang bersangkutan memberitahukan berita kematian kepada Tuo Tengganai, Ninik Mamak dan pegawai Masjid untuk diminta disampaikan kepada masyarakat umum supaya dapat diketahui masyarakat luas. Tetangga dan kerabat yang mendengar berita ini datang menampakkan muka tanda ikut berduka cita. Sedangkan kaum ibu yang datang biasanya membawa secupak beras (dalam bahasa Kerinci disebut beras Po) dan diserahkan pada ahli waris. Serta mengisi kotak sosial kematian dengan sejumlah uang yang telah disepakati bersama. Setelah masyarakat berdatangan, barulah jenazah dimandikan dan dikafani. Kemudian jenazah dibawa turun dari rumah dan di tempatkan ke dalam keranda yang beralaskan kasur kecil dan tikar pandan. Keranda kemudian ditutup dengan kain khusus berwarna hitam bertuliskan ayat-ayat Al-qur’an. Selanjutnya barulah upacara mulai dilaksanakan dengan tertib acara sebagai berikut : 1) Salah satu dari tengganai atau ahli waris almarhum/almarhumah menyampaikan pidato di hadapan para takzi dan takziyah. Isi pidato tersebut 48 antara lain : a) Menyampaikan tanggal kelahiran almarhum/almarhumah, meninggal pukul ….., hari…., tanggal … b) Menyampaikan jumlah saudara almarhum/almarhumah serta keturunan almarhum kalau ada. c) Menerangkan tentang jalan kematian almarhum/almarhumah d) Menerangkan riwayat hidup almarhum/almarhumah e) Menyampaikan permohonan maaf kepada takzi/takziyah jikalau ada terdapat kesalahan semasa hidup almarhum/almarhumah f) Menyampaikan informasi bahwa para ahli waris akan bersedia menunggu kedatangan para takzi/takziyah untuk menyelesaikan secara kekeluargaan hutang-piutang almarhum/almarhumah jika ada. 2) Penyampaian nasihat kematian (biasanya oleh salah satu Ustadz yang hadir). 3) Membawa jenazah ke mesjid terdekat untuk di sholatkan 4) Membawa jenazah ke pandan perkuburan untuk dimakamkan. 5) Pembacaan Do’a. Pada malam harinya dilaksanakan pengajian dua atau tiga malam berturut-turut. Pada hari ketiga diadakan acara membersihkan kuburan (dalam bahasa Kerinci disebut acara Naek Tmpak) dan diakhiri dengan acara mengundang tetangga atau keluarga terdekat untuk acara penutupan dengan makan bersama. 4.7.1.2.2. Kenduri Sko Kenduri sko adalah upacara penobatan Depati-Ninik Mamak. Upacara ini merupakan tradisi dari orang Kerinci yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Pada dasarnya upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur nenek moyang mereka yang sudah mencencang melatih mengurat mengukir yang berarti telah meletakkan dasar kehidupan pertama kali pada pemukiman atau dusun untuk tempat kehidupan dan silaturahmi kekeluargaan dengan kelompok lain yang masih bertalian darah. Pengangkatan Depati-Ninik Mamak tidak sembarang angkat, tetapi 49 dipilih orang yang bijaksana, berparuh besar, langsing kukuk, lebar sayap, dan kembang ekor. Berparuh besar maksudnya pandai bicara dan tahu tentang adat. Langsing kukuk berarti perkataannya dituruti oleh orang lain. Lebar sayap artinya adil dan berlapang dada. Kembang ekornya artinya dapat membedakan baik dan buruk. Waktu untuk melaksanakan kenduri sko tidak ditentukan karena untuk menyelenggarakannya membutuhkan biaya yang sangat besar hingga mencapai ratusan juta rupiah. Kenduri sko menurut tradisi Kerinci ada beberapa jenis, yaitu sebagai berikut : a. Kenduri sudah tuai, upacaranya sekali setahun setiap sesudah panen padi. b. Kenduri tengah padang, dilaksanakan di suatu lapangan terbuka yang melibatkan masyarakat. c. Kenduri sko yang sebenarnya, yaitu penobatan tetua adat dan penurunan benda-benda pusaka leluhur. Upacara kenduri sko sendiri terdiri dari beberapa kegiatan yaitu : 1. Perundingan Ninik Mamak 2. Perundingan Depati 3. Ajun Arah (minta izin) 4. Pemotongan kerbau 5. Penurunan dan memandikan benda pusaka 6. Acara kesenian rakyat 7. Pembacaan garis keturunan (ranji) 8. Menjemput calon yang akan dinobatkan 9. Penobatan 10. Pembacaan sumpah jabatan 11. Mengantarkan ke rumah istri dan makan bersama Berbagai tahapan kegiatan yang dilakukan selama kenduri sko memiliki makna kekeluargaan dan kekerabatan yang tinggi dalam masyarakat satu kaum sehingga dapat disimpulkan tujuan diadakannya kenduri sko, yaitu : a. Pengangkatan tetua adat dalam dusun, luhah, kalbu atau perut dengan 50 pemberian gelar Depati, Pemangku, Datuk, Rio, dan setingkat Ninik Mamak. b. Menurunkan benda-benda pusaka nenek moyang untuk diperlihatkan kepada masyarakat dan memandikannya dengan upacara malimau puseko. c. Menentukan kembali tanah-tanah ajun arah (tanah ulayat) milik bersama, baik yang berupa sawah atau ladang. d. Menetapkan hukum adat atau mengatur kembali hal-hal yang patut diatur. e. Mengingatkan kepada jasa-jasa para pendahulu dan mengucapkan syukur kepada Tuhan. f. Kesempatan untuk bermaaf-maafan. 4.7.1.2.4. Upacara Membangun Rumah Salah satu upacara adat yang tidak dapat dijumpai lagi saat ini pada masyarakat Limo Luhah adalah upacara membangun rumah. Upacara ini dilakukan apabila orang tua mendapatkan keturunan seorang anak perempuan, maka orang tua harus mendirikan sebuah rumah untuk anak perempuannya yang menyambung dengan rumah orang tuanya. Membangun rumah tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga menjadi tanggung jawab Ninik Mamak dan Tengganai rumah. Membangun sebuah rumah diawali dengan pencarian kayu di hutan yang dipimpin oleh seorang pawang. Pawang adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam menentukan pohon yang cocok untuk digunakan sebagai bahan bangunan. Pada tahap ini, pawang memilih pohon untuk tiang tuo di hutan dengan cara mengetuk-ngetuk batang pohon. Pohon yang terpilih kemudian ditancapkan dengan sebuah kapak. Hari berikutnya dilanjutkan dengan memeriksa kapak yang telah ditancapkan ke batang pohon kemarin apakah jatuh atau tidak. Jika kapaknya jatuh, maka pohon tersebut tidak diizinkan oleh penunggu pohon untuk ditebang dan kualitasnya kurang baik. Sedangkan pohon dengan kapak yang masih menancaplah yang digunakan untuk membangun rumah. Pohon yang terpilih ini kemudian ditebang secara bersama-sama oleh masyarakat dan diiringi dengan tale2 oleh anak batino untuk menambah semangat kerja bagi anak jantan. Setelah ditebang, kayu ditarik bersama-sama menuju dusun tempat 51 untuk membangun dengan masih diiringi tale. Selama perjalanan menarik kayu dari hutan ke dusun, kayu dihamburi dengan beras, kunyit, dan bunga-bungaan dengan maksud untuk mengusir penghuni-penghuni kayu yang masih terbawa. Setelah sampai di dusun, kayu tersebut direndam dalam lumpur agar tahan lama dan kayu tidak berbubuk. Kayu tersebut direndam selama 6 bulan hingga 1 tahun. menurut Depati Adam Rasul, kayu yang direndam ini dapat bertahan hingga 5 sampai 15 tahun. Sebelum pekerjaan membangun rumah dimulai, diadakan sebuah kenduri kecil dengan menyembelih seekor ayam. Darah ayam ini diserahkan kepada penghuni dengan maksud agar nanti dalam pembangunan rumah tidak terjadi kecelakaan yang menyebabkan luka dan mengeluarkan darah. Semua pekerjaan diatur oleh Tengganai dan tukang yang ahli. Pekerjaan ini melibatkan banyak anggota masyarakat karena dikerjakan secara gotong royong. Menurut Datuk Supratman, gotong royong dilakukan pada siang hari setiap hari sabtu hingga rabu. Hari kamis umumnya masyarakat tidak bekerja, mereka melakukan kegiatan mencukur rambut dan sebagainya untuk shalat jumat pada keesokan harinya. Rumah Larik menggunakan ukiran-ukiran yang dikerjakan oleh ahlinya. Alat untuk mengukir adalah beliung yang ujungnya dipasang besi. Pada saat membangun rumah, tiang tuo dilubangi terlebih dulu bagian bawahnya dan dimasukkan sedikit ramuan berupa emas, ampas besi, timah putih, dan timah hitam. Emas maksudnya adalah agar penghuni rumah banyak rezeki, ampas besi untuk penangkal petir, dan timah untuk mengusir atau mencegah orang lain berbuat jahat terhadap penghuni rumah. Selain itu, pada tiang tuo diikat dengan beberapa tanaman, antara lain : 2 Tale: nyanyian atau lagu khas Kerinci (sumber: http://books.google.co.id/books, 23 mei 2010). 52 a. Sebatang tebu, hikmahnya agar rumah tersebut sering didatangi tamu dan harus dihormati. b. Pisang batu satu tandan, agar penghuni rumah banyak rezeki. c. Urai pinang, agar penghuni rumah memiliki keturunan. d. Nio (kelapa) tumbuh, agar penghuni rumah selalu dalam keadaan sehat. e. Berbagai macam jenis buah, agar disekeliling rumah tersebut nantinya ditanami dengan berbagai tanaman buah-buahan. Setelah tiang tuo selesai didirikan, anak batino atau ibu dari anak batino datang membawa peralatan yang terdiri dari keris, uang Kerinci lama, dan lain-lainnya. Anak batino bersama pengiringnya dan seorang pawang mengelilingi tiang tuo sambil menunduk. Sambil membaca mantera, pawang menggoreskan keris pada ujung jari anak batino dan darahnya digosokkan pada tiang tuo. Hal ini memiliki maksud agar nanti tidak terjadi pertikaian yang sampai meneteskan darah di rumah itu. setelah upacara ini selesai, anak batino dan pengiringnya kembali ke rumah orang tuanya menunggu pembangunan rumah selesai. Buah-buahan yang digantung pada tiang tuo diambil oleh para pekerja dan kemudian dilaksanakan makan bersama. Apabila suatu saat orang tua dari anak batino meninggal dunia, maka yang menghuni rumah adalah anak batino yang tertua atau anaknya yang belum menikah. Hal ini diatur oleh Tengganai rumah (Zakaria 1973). 4.7.2. Elemen – Elemen Fisik (Tangible Elements) Selain memenuhi persyaratan non fisik, sebuah negeri juga harus memiliki syarat-syarat fisik, yaitu sebagai berikut: a. Pahit sudut mpat Pahit sudut mpat atau parit yang bersudut empat merupakan batas-batas tanah kaum yang berfungsi sebagai kawasan permukiman masyarakat suku Kerinci. Tanah kaum yang berada dalam batas parit bersudut empat ini adalah tempat berdirinya rumah-rumah larik sebagai tempat tinggal masyarakat. Dalam parit sudut empat limo luhah, pembagian tanah diatur oleh Ninik Mamak luhah masing-masing. Jumlah larik yang dibangun di atas tanah ini 53 tidak dibatasi, tergantung dari ukuran batas. Parit sudut empat merupakan sebidang tanah yang umumnya memiliki ukuran sekitar 100 depa x 100 depa atau sekitar 28.900 meter persegi dengan lebar parit 2,5 m dan dalam 2 m. Parit ini dibuat mengelilingi permukiman masyarakat. Selain berfungsi sebagai batas wilayah, parit ini juga berfungsi sebagai sirkulasi air, tempat menanam, dan pelindung dari serangan binatang buas3. Tanaman yang ditanam oleh masyarakat di dalam parit ini antara lain palem, pandan, dan aur berduri yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan anyaman. b. Umah batanggo Salah satu elemen penting bagi sebuah negeri yaitu memiliki umah batanggo atau rumah sebagai tempat tinggal. Rumah tradisional tempat tinggal uhang Kincai yang disebut dengan Rumah Larik. Disebut Rumah Larik karena susunannya yang berjejer membentuk sebuah larik yang memanjang dan sambung menyambung antara satu rumah dengan rumah lainnya. Rumah Larik secara unit merupakan sebuah rumah panggung yang terbagi menjadi 2 ruang secara horisontal dan 3 ruang secara vertikal. Rumah larik diperuntukkan bagi ibu atau anak perempuan dalam sebuah tumbi. Apabila ada anak perempuan yang menikah, maka orang tua wajib membangun sebuah rumah baru untuk anak perempuannya dengan izin dari Ninik Mamak. Rumah Larik memiliki bentuk yang khas dan setiap bentuk memiliki makna. Setiap bagian dari bangunan rumah disesuaikan dengan kegiatan dan budaya masyarakat suku Kerinci. Rumah ini melambangkan rasa kekeluargaan dan persatuan yang tinggi dalam masyarakat. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, rumah juga digunakan sebagai tempat pertemuan para Depati dan Ninik Mamak serta tempat untuk menyimpan pusaka peninggalan nenek moyang. c. Laheik bajajo Laheik bajajo artinya memiliki larik yang berjejer. Larik merupakan tempat tinggal suatu kelebu atau perut yang membentuk sebuah luhah. dalam 3 Hasil wawancara dengan Depati Hasril Maizal, April 2010 54 kawasan Rumah Larik Limo Luhah terdapat sekitar 12 larik yang tiap lariknya dihuni oleh 45 hingga 150 Kepala Keluarga4. Di Kota Sungai Penuh, selain Rumah Larik Limo Luhah juga terdapat Rumah Larik di daerah Pondok Tinggi dan Rumah Larik Dusun Baru (Gambar 12). Di Dusun Baru, masyarakat menyebutnya sebagai “rumah jejer”. Rumah Larik memiliki salah satu ciri yaitu berorientasi dari Timur ke Barat atau menurut garis edar matahari, tapi ada juga bangunan Rumah Larik yang berorientasi dari Utara ke Selatan yang disebut dengan “Laheik Malintang” (Disparbud Kerinci 2003). Gambar 12. Kawasan Rumah Larik dalam Kota Sungai Penuh d. Berlubuk bertapian Berlubuk bertapian artinya sebuah negeri harus memiliki tempat pemandian umum yang terpisah antara pria dan wanita. Dahulu masyarakat memanfaatkan sebuah mata air bernama sumur pulai yang terdapat di Desa gedang. Namun, saat ini karena telah jarang digunakan dan tidak dirawat sumur ini kondisinya sangat kotor dan tidak lagi berfungsi. Masyarakat memanfaatkan sumber air bersih dan tempat pemandian umum yang telah dibangun oleh pemerintah. Setiap luhah memiliki 1 hingga 2 tempat pemandian umum dan sumber air bersih (Gambar 13). 4 Hasil wawancara dengan Depati Zakirman Ramli, April 2010 55 Gambar 13. Sumur Pulai (kiri) dan Tempat Pemandian Umum (kanan) e. Bersawah baladeang Dalam masyarakat suku Kerinci, sawah disebut sebagai tanah basah dan ladang disebut sebagai tanah kering. Tanah basah dan tanah kering ini merupakan tanah ajun arah yang berstatus hak milik pribadi dan termasuk pusaka tinggi. Selain milik pribadi, juga terdapat sawah dan ladang yang merupakan tanah kaum sehingga penggarap hanya memiliki status hak pakai. Sawah dan ladang milik kaum boleh diperjualbelikan dengan seizin dari Ninik Mamak. Fungsi utama tanah kaum yang terdiri dari sawah dan ladang adalah sebagai lahan cadangan untuk pemukiman disamping sebagai penghasil kebutuhan pangan masyarakat. Tanah kaum masyarakat Limo Luhah yang berupa sawah umumnya terdapat di daerah Desa Sumur Anyir dan Desa Gedang (Gambar 14). Sedangkan ladang berada di daerah perbukitan di Desa Talang Lindung dan Renah kayu Mbun. Gambar 14. Sawah 56 f. Babale bamesjoik Babale bamesjoik artinya memiliki balai tempat pertemuan dan masjid atau surau sebagai tempat beribadah. Masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh memiliki sebuah balai adat yang saat ini sedang dalam pembangunan. Balai adat ini dibangun oleh ketua adat Limo Luhah yaitu Depati Armen Sabri. Balai adat ini nanti akan digunakan sebagai tempat pertemuan para pemangku adat dan sebagai ruang perlengkapan pada pelaksanaan acara kenduri sko. Sebelum dibangun balai adat, pertemuan para pemangku adat dilakukan di salah satu rumah Depati atau Ninik Mamak. Mayoritas masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh adalah muslim. Di setiap luhah dapat dijumpai surau sebagai tempat beribadah dan melakukan aktivitas keagamaan lainnya. Di kawasan Rumah Larik Limo Luhah terdapat 1 buah masjid dan 6 buah surau. Masjid yang terdapat dalam kawasan Rumah Larik ini adalah Masjid Raya Sungai Penuh yang dibangun di atas tanah pekuburan pada zaman dahulu5. Surau di setiap luhah dibangun dan dikelola secara swadaya oleh masyarakat. Surau dan mesjid merupakan elemen penting dalam kawasan Rumah Larik karena berfungsi sebagai sarana penyebaran syiar Islam dan informasi kepada masyarakat (Gambar 15). Gambar 15. Masjid (kiri) dan Surau (kanan) 5 Hasil wawancara dengan Ketua Adat Limo Luhah Depati Armen Sabri, Maret 2010. 57 g. Bapandan pekuburan Bapandan pekuburan artinya sebuah negeri harus memiliki tempat pemakaman umum untuk kaum kerabat yang meninggal dunia (Gambar 16). Pemakaman merupakan tanah adat yang berstatus hak milik kaum. Makam menurut lokasinya terbagi menjadi dua, yaitu makam yang berada dalam luhah dan makam yang berada di luar luhah. Makam yang berada di dalam luhah umumnya adalah makam nenek moyang yang pertama kali membangun luhah tersebut yang sampai sekarang masih tetap dipelihara oleh masyarakat (Zakaria 1984). Makam yang berada di luar luhah adalah makam kaum yang biasanya terdapat di ladang-ladang masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan ketua adat Limo Luhah, diketahui bahwa pemakaman kaum pada zaman dahulu berada pada ladang-ladang penduduk yang terdapat di sekitar kawasan Rumah Larik yang sekarang telah berkembang menjadi pemukiman dan sekolah. Beberapa makam nenek moyang masyarakat adat Limo Luhah berada di Dusun Bernik Luhah Rio Mangku Bumi. Nenek moyang yang dimakamkan secara bersama di daerah ini antara lain Rio Jayo Patah, Ngabi Ha, Rio Tamenggung, Rio Mangku Bumi, Saleh Bujang, Lelo Mencak, Puti Kecik Beranting Emas, German Besi, dan Saleh Hitam. Makam nenek moyang ini menjadi tempat berziarah oleh masyarakat terutama pada saat perayaan kenduri sko. Makam ini terletak di tengah-tengah permukiman masyarakat Dusun Bernik dan telah dipagari untuk menghindari gangguan dari tindakan vandalisme dan hewan- hewan peliharaan masyarakat setempat. Gambar 16. Pandan Pekuburan 58 Selain memiliki elemen-elemen fisik dan non fisik, kawasan Rumah Larik Limo Luhah juga memiliki beberapa elemen penting lainnya sebagai pendukung kegiatan atau penunjang kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut : a. Tanah Mendapo Tanah mendapo merupakan lapangan terbuka yang berfungsi sebagai tempat pelaksanaan penobatan para pemangku adat pada saat kenduri sko (Gambar 17). Lapangan ini berupa jalan beraspal yang cukup lebar berada tepat di depan Masjid Raya Sungai Penuh dan kantor Kelurahan Sungai Penuh. Menurut Zakaria (1974), tanah mendapo adalah tanah yang sudah dipilih oleh penguasa yang dinamakan tanah nan sebingkah, di bawah payung nan sekaki, tempat membekukan karang setio. Maksudnya yaitu di tanah inilah para pemangku adat dinobatkan dan diambil sumpahnya di depan masyarakat umum. Tanah mendapo juga dipimpin oleh seorang kepala mendapo yang juga harus menjadi ketua adat. Gambar 17. Tanah mendapo (kiri) dan Tanah mendapo saat kenduri sko (kanan) b. Bileik (lumbung padi) Bileik atau lumbung padi digunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk menyimpan padi setelah panen (Gambar 18). Bileik terdapat di dalam parit sudut empat dan mengelilingi permukiman. Bileik ini memiliki ukuran yang bermacammacam, tapi umumnya berukuran 12 m x 3,5 m. Berbentuk empat persegi panjang, bagian bawah kecil dan mengembang ke atas. Tiang berupa tiang kayu bersegi delapan, atap terbuat dari ijuk, bambu lapis, kayu sirap, atau daun rumbia, dan dinding papan tebal. Pemasangan dinding papannya ditegakkan, bileik ini juga memiliki pintu dan palasa seperti Rumah Larik. Tangga yang digunakan juga berupa tangga jantan dan tangga betina. Konstruksi bileik ini tidak menggunakan 59 paku (Zakaria 1984). Saat ini masyarakat tidak lagi menggunakan lumbung padi, dari pengamatan yang dilakukan di kawasan Rumah Larik hanya ditemukan satu bileik yang tersisa dengan kondisi yang tidak dapat digunakan lagi. Banyaknya tempat penggilingan padi (rice milling) di sekitar permukiman masyarakat membuat para petani padi lebih memilih untuk langsung membawa hasil panennya ke tempat penggilingan dan menjualnya (Gambar 18). Gambar 18. Bileik (kiri) dan Rice milling (kanan) c. Tabeuh Larangan (tabuh larangan) Tabuh larangan yang disebut juga dengan beduk larangan banyak terdapat di Kerinci. Lokasinya tersebar di berbagai dusun, baik yang terdapat di dalam kawasan Rumah Larik maupun yang terdapat di masjid-masjid tua. Tabuh larangan yang terbesar berada di Masjid Agung Pondok Tinggi yang dibuat sekitar tahun 1800-an. Tabuh terbuat dari kayu besar dengan kulit sapi betina sebagai alas tabuhnya dan rotan sebagai pengikatnya. Panjang tabuh umumnya mencapai 3 m dan diameter 1,5 m. Tabuh berbentuk silinder dan semakin mengecil ke arah belakang, pada bagian depan dan belakang diberi ukiran dengan motif teratai (Zakaria 1984). Di kawasan Rumah Larik Limo Luhah hanya terdapat dua tabuh larangan, yaitu pada luhah Rio Tamenggung dan luhah Datuk Singarapi Putih (Gambar 19). Tabuh larangan pada luhah Datuk Singarapi Putih memiliki ukuran lebih besar dari tabuh yang terdapat pada luhah Rio Tamenggung. Tabuh ini bernama Sigantou Alang dan telah berusia lebih dari 250 tahun. Tabuh larangan dahulu berfungsi sebagai media penyampai informasi kepada masyarakat seperti pemberitahuan gotong royong, berita kematian, 60 kebakaran, banjir, dan yang paling utama adalah sebagai tanda masuknya waktu shalat6. Gambar 19. Tabuh Larangan d. Pasa (pasar) Pasar yang terdapat di Kelurahan Pasar Sungai Penuh ini merupakan pasar tradisional. Pasar tradisional ini dinamakan pasar Tanjung Bajure yang merupakan satu-satunya pusat kegiatan jual beli masyarakat untuk kebutuhan pangan dan lain-lainnya (Gambar 20). Pasar ini buka setiap hari dan selalu ramai dipenuhi oleh pembeli terutama pada pagi hari. Para pedagang umumnya berasal dari berbagai dusun yang menjajakan hasil hasil pertanian atau perkebunannya mulai dari dalam pasar hingga ke pinggir-pinggir trotoar. Hasil-hasil pertanian yang dijual berupa pisang, sayur, kelapa, beras, singkong, kentang, tomat, dan lain sebagainya. Pasar Tanjung Bajure hanya buka dari pagi hingga siang hari. Gambar 20. Pasar Tradisional Tanjung Bajure 6 Hasil wawancara dengan Depati Hasril Maizal, April 2010. 61 e. Terminal Terminal merupakan fasilitas transportasi yang penting bagi suatu daerah. Terminal angkutan umum yang terdapat di sekitar kawasan Rumah Larik dan berada berdampingan dengan pasar tradisional Tanjung Bajure ini mempermudah akses masyarakat dari berbagai dusun untuk mencapai Kota Sungai Penuh (Gambar 21). Terminal ini merupakan pemberhentian bagi angkutan umum yang memiliki rute seperti Tanjung Genting, Sungai Abu, Kemantan, Lolo, Rawang, Pulau Tengah, Jujun, Lempur, dan lain sebagainya. Angkutan umum ini hanya beroperasi dari pagi hingga sore hari. Gambar 21. Terminal Angkutan Umum Kota Sungai Penuh 4.7.2.1. Vegetasi Kota Sungai Penuh merupakan daerah dataran tinggi dengan iklim tropis dan udara yang sejuk. Kondisi ini mendukung keadaan tanahnya yang subur dan ketersediaan air yang melimpah dari perbukitan sehingga sangat baik untuk bercocok tanam. Hampir setiap rumah di dalam kawasan Rumah Larik memiliki pekarangan. Luas pekarangan disesuaikan dengan luas lahan yang tersedia. Pekarangan ditanami dengan berbagai tanaman yang memiliki fungsi beragam, di antaranya sebagai tanaman pangan, estetik, obat, dan adat. Tanaman yang berfungsi sebagai tanaman pangan adalah tanaman yang biasa digunakan sebagai bumbu dapur. Tanaman dengan fungsi estetik merupakan tanaman-tanaman hias yang memiliki keindahan untuk menambah kualitas view rumah dan pekarangan. Fungsi obat yaitu tanaman digunakan oleh masyarakat untuk mengobati penyakitpenyakit tertentu. Sedangkan tanaman dengan fungsi adat adalah tanaman yang digunakan dalam kegiatan-kegiatan adat seperti untuk sesajian dalam upacara adat 62 tertentu. Daftar tanaman yang teridentifikasi di dalam kawasan Rumah Larik tersaji pada Lampiran 4. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat adat Limo Luhah, pada zaman dulu kawasan Rumah Larik ini adalah rimba yang ditumbuhi oleh pohonpohon besar. Pada masa membangun permukiman, bahan bangunan untuk Rumah Larik diambil dari rimba ini. bahan bangunan berupa kayu digunakan untuk sebagai tiang, dinding, rangka atap, dan sebagainya. Kayu yang dipilih adalah kayu dengan kualitas yang baik, pada umumnya digunakan kayu jenis Surian (Toona ciliata). Dengan perkembangan permukiman penduduk yang sangat pesat saat ini, tidak dijumpai lagi rimba yang menjadi sumber untuk mendapatkan kayu sebagai bahan bangunan dan masyarakat telah beralih menggunakan bahan bangunan berupa beton. Selain rimba, di sekitar permukiman Rumah Larik terdapat ladang-ladang penduduk. Pada ladang-ladang ini biasanya juga terdapat makam-makam keluarga atau kerabat yang telah meninggal. Di dalam ladang, selain dijumpai tanaman pertanian juga terdapat tumbuhan bambu yang rimbun. Bambu umumnya juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan bangunan Rumah Larik sebagai atap dan dinding ruang bagian bawah. Pada zaman dulu, pemukiman masyarakat dalam parit sudut empat sudah mengenal pekarangan. Namun, pekarangan baru sebatas memanfaatkan lubang parit di sekeliling permukiman dan ruang antar larik. Di dalam parit ditanami dengan tanaman pangan dan tanaman pelindung, sementara sebagai batas antara larik yang satu dengan larik di belakangnya ditanami dengan pisang. Saat ini, tidak ditemui lagi parit yang mengelilingi pemukiman maupun ruang yang tersisa antar larik. Dari hasil pengamatan kondisi eksisting di lapangan dan wawancara mendalam terhadap beberapa narasumber mengenai elemen-elemen fisik, maka diketahui layout kawasan Rumah Larik Limo Luhah dan sekitarnya seperti tertera pada Gambar 22. 63 Gambar 22. Layout Kawasan Rumah Larik dan sekitarnya 4.7.2.2. Ragam Hias Rumah Larik Elemen lain yang merupakan elemen fisik adalah ragam hias yang terdapat pada Rumah Larik. Rumah Larik memiliki ragam hias yang menarik disamping keunikannya dari segi arsitektural. Ragam hias pada Rumah larik berupa ukiranukiran dengan motif beragam yang terdapat pada tiang, dinding, pintu, dan jendela. Motif-motif ukiran tersebut ada yang organik dan ada yang geometris. Jenis-jenis motif ukiran yang terdapat pada Rumah Larik antara lain sebagai berikut : 1. Teratai bindui dengan stilasi bunga teratai dan akar-akaran Motif jenis ini terdapat pada tiang segi delapan (Gambar 23). Motif ini bermakna bahwa setiap mendirikan rumah harus dilandasi oleh kesucian jiwa dan niat yang baik. Motif bunga teratai melambangkan jiwa yang tulus. 2. Keluk paku dengan stilasi tumbuhan paku-pakuan Motif jenis ini terdapat pada pasak-pasak timbul konstruksi tiang (Gambar 23). Motif keluk paku melambangkan suatu ikatan yang kuat 64 untuk menghadapi pengaruh-pengaruh jahat dari luar maupun dalam. Selain itu juga memberikan kesan kekuatan pada konstruksi rumah adat Kerinci. Gambar 23. Motif Salampit simpea (kiri) dan Keluk paku (kanan) 3. Kacang belimbing dengan stilasi belimbing dengan kacangan Motif ini terdapat pada dinding bagian depan. Motif ini merupakan cerminan Tut Wuri Handayani dalam masyarakat Kerinci yang tidak berhenti menuntut ilmu. 4. Sigiring-giring dengan stilasi dedaunan Motif ini terdapat pada bagian di atas pintu. Motif ini bermakna peringatan untuk tamu yang akan masuk ke dalam rumah hendaknya memberi tahu terlebih dahulu atau permisi kepada penghuni rumah. Tidak dibenarkan masuk rumah tanpa permisi. 5. Nangguri lahak dengan stilasi rangkaian bunga Nangguri Motif ini melambangkan hidup dalam lingkungan yang bersih pada larik dan halaman rumah. Letaknya yaitu pada dinding bagian luar. 6. Salampit simpea dengan stilasi lampit rotan berderet empat Motif ini terdapat pada dinding bagian dalam dan luar. Makna yang terkandung di dalamnya adalah dalam mendirikan rumah harus berdasarkan petunjuk Undang yang Empat dan kehidupan masyarakat Kerinci diikat dengan ketentuan beradat berlembaga. 65 7. Embun buntal, stilasi bunga dengan banyak relungan Motif embun buntal terdapat pada dinding pintu rumah. Motif ini bermakna bahwa semua urusan atau masalah hendaknya jangan dipersulit dan jika masuk ke rumah orang hendaklah dengan wajah yang jernih dan hati yang lapang. 8. Si matoharai dengan stilasi bunga matahari Motif bunga matahari ini melambangkan bahwa di dalam rumah terang seperti cahaya matahari dan kehidupannya berada dalam kedamaian. Motif ini terdapat pada tonjolan kayu pintu rumah. Jenis-jenis motif ukiran di atas merupakan hasil Sayembara Rumah Adat Tradisional Daerah Kerinci yang diselenggarakan pada tahun 1994. Hasil ini dirumuskan oleh Depati Alimin dan Datuk Supratman sebagai peserta sayembara. Motif-motif ukiran tersebut, pada zaman dahulu diukir oleh orang-orang tua yang ahli. Pekerjaan mengukir dilakukan secara bergantian dengan menggunakan beliung. Ragam hias khas Kerinci berupa ukiran-ukiran pada Rumah Larik umumnya hanya terdiri dari empat warna, yaitu merah, putih, hitam, dan biru. Empat warna ini juga memiliki makna masing-masing, yaitu sebagai berikut: a. Merah, melambangkan sikap yang berani dalam kebenaran dan suku Kerinci termasuk bangsa ksatria. b. Putih, melambangkan kesucian hati masyarakat terhadap tamu atau orang lain. c. Hitam, bermakna ketegasan didalam adat. Seperti kata pepatah keras adat berdenting-denting, lunak lembago berjela-jela. d. Biru, melambangkan bahwa Kerinci tanahnya sangat subur, alamnya indah, dan penduduknya suka perdamaian. 4.8. Tatanan Lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah Kawasan Rumah Larik Limo Luhah yang berada dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh Sungai Penuh memiliki konsep tata ruang yang dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu ruang makro (negeri), ruang meso (luhah), dan ruang mikro (rumah tinggal). 66 4.8.1. Ruang Makro (Negeri) Tata ruang wilayah adat Depati Nan Bertujuh dibagi berdasarkan jenis penggunaan dan hak kepemilikan tanah7, yaitu parit sudut empat, tanah basah, tanah kering, dan tanah patok rajea. Tanah parit sudut empat yang berada pada daerah dengan kemiringan yang relatif datar berfungsi sebagai permukiman masyarakat. Tanah basah berupa sawah juga terdapat pada daerah yang relatif datar. Tanah kering berupa ladang terdapat di kaki-kaki bukit dengan kemiringan yang landai. Sedangkan tanah patok rajea adalah rimba atau hutan yang terdapat di daerah perbukitan dengan kemiringan yang curam dan tidak boleh diolah oleh manusia. Kondisi topografi wilayah yang berbeda-beda dimanfaatkan untuk penggunaan yang sesuai. Berdasarkan pengamatan di lapangan, secara hirarki pembagian ruang makro wilayah adat Depati Nan Bertujuh dapat dilihat pada Gambar 24. Tanah patok rajea yang berupa rimba merupakan tanah adat (tanah ajun arah) yang terletak di daerah perbukitan yang mengelilingi negeri. Selain rimba, yang termasuk tanah patok rajea dalam sebuah negeri adalah pandan pekuburan dan jalan umum. Tanah kering merupakan tanah adat yang berstatus hak milik pribadi sesuai dengan pembagian yang diatur oleh Ninik Mamak masing-masing luhah. Tanah kering berupa ladang ini dijumpai di daerah lereng perbukitan seperti Desa Talang Lindung dan Desa Renah Kayu Mbun. Ladang sebagai lahan bagi masyarakat untuk bercocok tanam yang hasilnya dapat dikonsumsi sendiri atau dijual di pasaran. Tanah basah atau sawah merupakan Gambar 24. Ilustrasi Perspektif Ruang Makro (Wilayah Adat Depati Nan Bertujuh) 7 Hasil wawancara dengan Depati Hasril Maizal, April 2010 67 tanah adat yang sangat luas di Kota Sungai Penuh. Persawahan ini mengelilingi pusat kota dan menyebar hingga ke kaki perbukitan. Sawah bagi sebagian masyarakat merupakan sumber penghidupan utama, sedangkan sebagian lagi menjadikan sawah sebagai penghasilan tambahan disamping profesi utamanya. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2004), luas area persawahan di Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh mencapai total 16.125 ha atau sekitar 3,84%. Tanah parit sudut empat merupakan batas bagi permukiman Rumah Larik dengan lingkungan di sekitarnya. Tanah ini berstatus hak pakai dan hak milik bagi anak batino dan hanya boleh disewakan, tetapi tidak boleh dijual kepada orang lain. Ilustrasi pembagian ruang makro wilayah adat Depati Nan Bertujuh berdasarkan peta jenis penggunaan lahan kota Sungai Penuh tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 25. 68 Gambar 25. Pembagian Ruang Makro 4.8.2. Ruang Meso (Luhah) Luhah dalam sistem pemerintahan adat Depati Nan Bertujuh adalah suatu permukiman tradisional masyarakat adat yang memusat dan membentuk satu kesatuan. Luhah terbentuk dari gabungan beberapa perut, perut terdiri dari beberapa tumbi. Jadi, luhah merupakan kesatuan dari banyak tumbi yang mendiami Rumah Larik. Dalam satu luhah dapat terdiri dari beberapa larik tergantung dari banyaknya tumbi yang mendirikan Rumah Larik. Proses terbentuknya sebuah luhah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu diawali dari sebuah tumbi yang mendirikan rumah, jika tumbi tersebut memiliki anak perempuan maka orang tuanya harus mendirikan sebuah rumah baru yang menyatu dengan rumah orang tuanya (rumah induk). Demikian seterusnya hingga membentuk sebuah larik yang memanjang. Setelah selesai larik pertama, maka larik kedua dibangun sejajar di depan larik yang pertama. Selanjutnya, larik ketiga dibangun di belakang larik pertama, larik keempat dibangun di belakang larik yang kedua, dan seterusnya hingga membentuk sebuah luhah. Proses terbentuknya sebuah luhah dapat dilihat pada Gambar 26. Masyarakat dalam suatu luhah adalah masyarakat yang berasal dari satu nenek moyang yang sama. Ukuran panjang dan banyaknya larik dalam sebuah luhah tidak ditentukan, tergantung dari luas dan kondisi lahan. Sedangkan 69 mengenai penentuan posisi atau letak sebuah luhah, antara luhah yang 8 satudengan yang lainnya tidak diketahui dengan jelas . Gambar 26. Proses Terbentuknya Sebuah Luhah Kawasan Rumah Larik Limo Luhah memiliki elemen-elemen fisik yang bernilai sejarah dan budaya (Gambar 27). Elemen-elemen ini berupa sawah, masjid, surau, pekuburan, sungai, tanah lapang, tabuh larangan, maupun tempat pemandian umum. Terdapat elemen yang bernilai historis karena telah ada sejak zaman dulu, seperti masjid, lapangan terbuka, tabuh, pekuburan, dan sawah serta ada pula yang dibangun beberapa tahun yang lalu tetapi memiliki peranan dan fungsi yang penting bagi masyarakat, seperti surau dan tempat pemandian umum. Secara umum, tatanan lanskap sebuah luhah dapat dilihat pada Gambar 28. 8 Hasil wawancara dengan Ketua Adat Limo Luhah Depati Armen Sabri, Maret 2010 70 Gambar 27. Tata Letak Elemen-elemen Lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah 71 Gambar 28. Tatanan Lanskap Ruang Meso (luhah) 72 4.8.3. Ruang Mikro (Rumah Tinggal) Tata ruang mikro dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh adalah rumah tempat tinggal dan pekarangan. Rumah tempat tinggal ini merupakan rumah tradisional masyarakat suku Kerinci, yaitu Rumah Larik. Pekarangan Rumah Larik pada zaman dulu sengaja diluaskan sebagai tempat untuk menjemur padi. Di depan rumah atau larik dibuat parit kecil dari susunan batu, sedangkan lumbung padi (bileik) dibangun di belakang atau di depan larik (Zakaria 1984). Di belakang rumah atau larik pada umumnya ditanami dengan pisang sebagai batas dengan rumah atau larik di belakangnya dan mencegah api menjalar lebih luas jika terjadi kebakaran9. Berdasarkan pengamatan di lapangan, saat ini pekarangan Rumah Larik umumnya telah mengalami penyempitan lahan. Pembangunan rumah dengan konstruksi beton telah mempersempit area untuk pekarangan. Selain itu, adanya kebijakan pemerintah pada tahun 1970 untuk memperluas jalan dalam larik ikut mempersempit pekarangan Rumah Larik. Saat ini, setiap rumah rata-rata memiliki pekarangan depan rumah selebar 1 - 2 m dari badan jalan larik, sedangkan untuk halaman di bagian belakang rumah tidak ada ruang yang tersisa. Jika dulu pekarangan dijadikan sebagai tempat untuk menjemur padi, maka saat ini masyarakat menjemur padi di pinggir jalan larik maupun jalan dusun. Pekarangan ditanami dengan berbagai tanaman hias, tanaman obat maupun tanaman untuk bumbu dapur (Gambar 29). Parit dari batu dan lumbung padi saat ini tidak ditemukan lagi di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah. Namun, terdapat parit atau selokan kecil sebagai sirkulasi air yang dibangun oleh pemerintah. Jalan yang terdapat dalam larik berupa jalan aspal yang kondisinya kurang baik karena banyak terdapat lubang-lubang. Lebar jalan dalam larik ini beragam sekitar 2 – 5 m. 9 Hasil wawancara dengan mantan Ketua Adat Limo Luhah Depati Hamdan Manan, Maret 2010. 73 Gambar 29. Pekarangan (kiri) dan Aktivitas Menjemur Padi (kanan) Rumah Larik sebagai rumah tradisional masyarakat suku Kerinci memiliki keunikan dan nilai arsitektural yang tinggi (Lampiran 5). Rumah uhang kincai ini berupa rumah panggung , tinggi, dan panjang. Bagian-bagian Rumah Larik terdiri atas : 1. Tiang Tuo Tiang tuo terletak di tengah rumah. Jumlah tiang pada satu Rumah Larik adalah 12 buah dengan diameter 25 – 50 cm. Semua tiang yang digunakan untuk mendirikan rumah ini harus bersegi delapan. Segi delapan ini memiliki makna delapan pasak negeri, yaitu negeri bersudut empat lawang nan dua, adat yang empat, undang yang empat, hukum yang empat, kata yang empat-empat, emas seemas, waris sko nan tigo takah, waris nan berjawab khalifah nan bernunjung. 2. Alang Alang adalah penghubung antara satu tiang dengan tiang lainnya bagian atas yang terbuat dari papan tebal (Gambar 30). 3. Bandul Bandul adalah penghubung tiang sebelah bawah yang juga bersegi delapan. Bandul ini membatasi ruang luar dan ruang dalam. Pada sisi dalam, dibuat lubang untuk menyimpan barang-barang rumah tangga. Bandul pada bagian tengah rumah dapat berfungsi sebagai tempat Depati dan Ninik Mamak duduk bersandar. 4. Pintau (pintu) Pintau adalah pintu untuk masuk ke dalam rumah (Gambar 30). Pintu ini terbuat dari papan setebal 3 – 6 cm dan terletak di depan tangga naik ke rumah. Tinggi pintu hanya 125 sampai 150 cm, sehingga kalau ada tamu yang masuk 74 harus menundukkan kepalanya dan secara tidak langsung telah memberi hormat kepada penghuni rumah. Gambar 30. Alang (kiri) dan Pintau (kanan) 5. Pintau bukan (pintu bukan atau bukan pintu) Pintau bukan adalah pintu yang menghubungkan lantai rumah dengan loteng. Pintu ini tidak memiliki daun pintu seperti pintu pada umumnya sehingga kita dapat melihat atap rumah dari dalam rumah. Pintu ini memiliki lebar seperempat lebar loteng yang berfungsi sebagai pintu untuk menuju ke ruang atas. 6. Pintau singok Pintau singok adalah jendela yang menghadap keluar dan terletak di bagian depan rumah. Jendela ini tempat anak jantan dan orang tua-tua duduk untuk mengamati keadaan di luar rumah. Untuk melihat keluar jendela cukup dengan duduk di lantai rumah karena letak jendela yang sangat rendah. 7. Pintau Suhai (Pintu suri) Pintau Suhai adalah jendela yang menghadap keluar pada dinding bagian belakang rumah. Jendela ini tempat anak batino melihat-lihat keluar. Jendela ini rendah sekali, apabila duduk dilantai maka kepala dapat dijulurkan keluar (Gambar 31). 75 Gambar 31. Pintau Suhai (sumber: Tambo Sakti Alam Kerinci 2 1984) 8. Pintau dumeh (pintu rumah) Pintau dumeh adalah pintu bagian tengah yang terdapat di dalam rumah (Gambar 32). Pintu ini terbuat dari papan tebal yang berfungsi menghubungkan ruang luar dan ruang dalam. Pintu ini memiliki ukuran yang sama dengan pintau untuk masuk ke dalam rumah. Pada bagian tengah pintu terdapat ukiran timbul stilir matahari yang terdiri dari kombinasi warna merah, biru, dan kuning. Gambar 32. Pintau Dumeh 9. Palasa Palasa merupakan teras yang menjorok di depan pintu depan (Gambar 33). Fungsinya yaitu tempat menyandarkan tangga dan tempat tamu menunggu. Selain itu palasa juga berfungsi sebagai tempat menggantungkan tabung air dari bambu. 10. Atak (atap) Atap terbuat dari kayu lapis (sirap), ijuk, dan bambu. Namun, untuk Rumah Larik yang asli menggunakan atap dari bambu yang dinamakan atap supit (Zakaria 1984). Saat ini sulit ditemui Rumah Larik dengan konstruksi yang masih 76 asli. Pada umumnya rumah sudah menggunakan atap dari bahan seng (Gambar 33). Selukoh10 adat Kerinci mengatakan: Atak lipat pandan lang manarak – bubung sawo mangampea. Selukoh ini menggambarkan bubung rumah Kerinci ujung ke ujung lentik biduk dan diberi puncak kayu berukiran. Gambar 33. Palasa (kiri) dan Atak (kanan) 11. Tanggo (tangga) Tangga pada Rumah Larik ada dua macam, yaitu : a. Tanggo janteang atau tanggo jantan, yaitu tangga yang terdiri dari satu batang kayu sepanjang kira-kira 175 cm dan dirakuk untuk tempat berpijak sebanyak 7 buah (Gambar 34). Tangga jantan merupakan tangga yang asli pada Rumah Larik. Rakuk ini memiliki nama dan urutan, yaitu: Rakuk pertama disebut takih Rakuk kedua disebut tanggo Rakuk ketiga disebut tunggu Rakuk keempat disebut tingkah Rakuk kelima disebut takih Rakuk keenam disebut tanggo Rakuk ketujuh disebut tunggu Maksud dari tujuh buah rakuk ini adalah hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia, yaitu langkah, rezeki, pertemuan, maut, langkah, rezeki, dan pertemuan. 10 Selukoh, dalam bahasa Indonesia disebut seloka, yaitu bentuk puisi melayu klasik berisikan pepetah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair.. (sumber: id.wikipedia.org). 77 Pada rakuk ketujuh yaitu tunggu, kalau ada tamu yang datang maka ia harus menunggu dulu sampai dipersilakan masuk oleh penunggu rumah. Tangga jantan ini dapat diangkat dan dipasang. Jika diangkat dan diletakkan di atas palasa maka tandanya orang rumah tidak terima tamu atau sedang bepergian. Selain itu juga untuk menghindari ada pencuri yang ingin naik ke rumah. Untuk naik dan turun tangga ini juga diperlukan kehati-hatian dan perlahan-lahan, hal ini bermakna bahwa segala pekerjaan itu harus penuh perhitungan dan hati-hati. Bagi seorang anak laki-laki yang ingin bertandang ke rumah perempuan, jika melihat tangga sudah diangkat artinya sudah ada yang bertandang ke rumah itu atau penghuni rumah sudah tidak menerima tamu lagi. Jika tangga ini terletak di bawah palasa, pertanda bahwa penghuni rumah sedang pergi ke sawah, kebun, atau ke tempat lainnya (Zakaria 1973). b. Tanggo batino atau tangga betina, adalah tangga yang memakai dua tiang dan dihubungkan oleh tujuh buah anak tangga (Gambar 34). Tangga betina disebut juga dengan tangga beranak. Tangga ini juga disandarkan pada palasa namun tidak dapat diangkat dan dipindahkan karena berat. Gambar 34. Tanggo Janteang (kiri) dan Tanggo Batino (kanan) 12. Luang (ruang) Rumah orang Kerinci atau Rumah Larik terdiri dari dua ruang, yaitu ruang dalam dan ruang depan yang dibatasi oleh dinding tengah. Ruang depan dinamakan luan sedangkan ruang dalam disebut dumeh. Ruang dalam berfungsi sebagai ruang tidur, ruang makan, dan dapur. Ruang dalam ini tidak bersekatsekat. Dapur terletak di sebelah kanan rendah dan dilapisi dengan tanah, 78 kemudian dipasang tungku dari batu. Di atas tungku terdapat phang atau selayan, yaitu tempat menyimpan kayu bakar. Tempat tidur terletak di sebelah kiri, sedangkan tempat makan berada dekat dapur. 13. Kandea (kandang) Kandea adalah ruang bagian bawah rumah. Kandang ini berdinding bambu yang dianyam dan menutupi seluruh bagian bawah rumah. Kandang berfungsi sebagai tempat memelihara ternak dan tempat menyimpan padi. 14. Pha (paran) Pha adalah loteng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang seperti tikar, benda-benda pusaka, atau alat yang tidak sering dipergunakan. Pha juga berfungsi sebagai tempat membersihkan benda-benda pusaka pada saat kenduri sko. 15. Ptaih Ptaih adalah ruang di antara pha dan atap. Ruang ini dipergunakan untuk tempat menyimpan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang. Menurut kepercayaan lama, ruang ini juga sebagai tempat berdiam roh-roh sakti. Pada ruang luar dalam Rumah Larik terdapat tiga bentuk loteng, yaitu: a. Ada loteng yang dinaikkan setinggi 40 cm dari alang lintang. b. Ada loteng yang langsung dipasang di atas alang. c. Sama sekali tidak mempunyai loteng bagian depan, langsung bagian atap. Lantai loteng dalam bahasa Kerinci disebut tulok bahea, telak garo, tlok balahea, pehang kartea. Lantai loteng ini terbuat dari bambu atau bilah bambu yang di belah menjadi tiga dan kemudian disusun memanjang mengikuti panjang rumah. Susunan bambu ini diikat dengan menggunakan tali ijuk atau rotan. Loteng bagian depan rumah berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda seperti alat-alat tenun, jangki, cetakan logam (loyang), alat masak (cerano), senjata, dan lain-lainnya (Gambar 35). selain untuk menyimpan barang-barang rumah tangga, loteng ini juga berfungsi sebagai tempat tidur nenek atau kakek yang sudah hidup sendirian. Hal ini memiliki maksud untuk menghormati orang tua dan memberikan ruang pada tempat yang lebih tinggi. Pada siang hari, loteng ini biasa digunakan oleh anak gadis untuk memintal benang tenun untuk kain. Fungsi lainnya dari loteng tulok bahea ini adalah untuk menyimpan pusaka yang 79 dimuliakan dan dikeramatkan orang Kerinci. Pusaka ini dalam istilah Kerinci disebut “Patitip-Patatoh” berupa keris, tombak, pedang, payung, manik-manik, tanduk/bambu dengan tulisan incung, batu akik, rambut manusia yang disebut Jato-jati, juga untuk tempat benda-benda yang berasal dari orang yang telah meninggal dunia yang memiliki riwayat tertentu. Untuk naik ke loteng ini digunakan tangga jantan yang terbuat dari pohon Pakis gajah atau enau (Disparbud Kerinci 2003). Gambar 35. Jangki Terawang (kiri) dan Cerano (kanan) Masyarakat Kerinci memiliki kepercayaan bahwa loteng tulok bahea ini sangat sakral karena merupakan tempat roh-roh uhang tuwo. Roh uhang tuwo ini maksudnya adalah roh orang-orang tua yang sudah meninggal dunia sejak lama maupun benda-benda pusaka yang dianggap sebagai tempat hidup roh-roh tersebut. Benda-benda pusaka biasanya disimpan di umoh gdea (rumah gedang). Umoh gdea adalah Rumah Larik milik salah satu tumbi yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan para Depati dan Ninik Mamak untuk menyimpan benda pusaka. Setiap luhah memiliki umoh gdea masing-masing. Untuk menaiki loteng pada sebuah umoh gdea haruslah penghuni rumah atau tunggu umoh. Tunggu umoh adalah seseorang yang telah diikat dengan sumpah karang setio, orang yang dapat dipercaya, berkata jujur, dan bekerja sesuai dengan peraturan adat. Tunggu umoh disebut juga dengan istilah uhang talilaik uhang takebeik artinya, seseorang yang dililit dan diikat dengan tugas tanggung jawab khusus menurut adat istiadat Kerinci (Disparbud Kerinci 2003). 80 Pada zaman dulu, orang Kerinci mengukur sesuatu menggunakan satuan ukuran yang ada pada manusia. Ukuran tersebut yaitu Depa, Hasta, dan Jengkal. 1 Depa = 160-180 cm, 1 Hasta = 40-55 cm. Pada saat itu masyarakat belum mengenal satuan ukuran meter, centimeter, atau inchi. Pola bangunan pada Rumah Larik dibagi menjadi dua bagian yang terpisah, yaitu: 1. Bagian utama atau bawah terdiri dari tiang-tiang besar; 2. Bagian atas terdiri dari tiang-tiang bubung dan atap. Pembagian konstruksi rumah yang terpisah ini bukan berarti kekurangan bahan baku kayu untuk mendirikan rumah. Pada zaman dulu bahan kayu sangat melimpah di daerah ini. Orang Kerinci memiliki alasan mengapa tidak membuat tiang rumah berupa tiang panjang yang langsung menyangga dari bawah hingga ke alang atau balok bubungan. Hal ini disebabkan antara lain, yaitu: a. Adanya kepercayaan orang Kerinci bahwa alam kehidupan terdiri atas dua bagian, yaitu dunia atas yang disebut Maliyu dan dunia bawah yang disebut Marena. Dunia atas merupakan tempat kehidupan roh-roh nenek moyang, peri, dan dewa-dewa. Dunia bawah tempat kehidupan manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Keduanya merupakan sisi yang saling terpisah (Gambar 36). Gambar 36. Pembagian Ruang Mikro secara Vertikal 81 b. Dari segi teknologi yang telah dipahami orang Kerinci selama ratusan tahun. terpisahnya dua bagian ini akan mempermudah proses pengerjaan dan pemasangan konstruksi. Semua pemasangan konstruksi Rumah Larik tanpa menggunakan paku. Sistem sambungan pada konstruksi yaitu berpasak kayu, silang bertakik, dan ikat tali. c. Adanya ungkapan dalam masyarakat Kerinci, yaitu Kayu gedeang tempek basanda – Imbun daeu tempek batedeuh (Pohon besar tempat bersandar – rindang daun tempat berteduh). Artinya: Pohon besar beserta akarnya merupakan konstruksi tiang-tiang rumah yang menyangga kehidupan. Sedangkan rimbun daun dan ranting-ranting merupakan bagian atas rumah agar dapat bertahan hidup dari serangan terik matahari dan hujan. Sesuai dengan filsafat nenek moyang Kerinci, bahwa alam diciptakan oleh Tuhan tetap dua-dua bagian yang terpisah, seperti siangmalam, bumi-langit, laki-laki dan perempuan, hidup-mati, dan lain sebagainya (Disparbud Kerinci 2003). Orientasi tiang-tiang yang digunakan pada Rumah Larik pada umumnya kayu bagian pangkal harus berada di sebelah bawah bertemu pondasi batu, bagian ujung harus berada di atas dengan posisi vertikal. Sedangkan untuk alang-alang dan bagian lainnya dengan posisi horisontal, orientasi kayu tidak dipermasalahkan. Seluruh dusun di Kerinci, Rumah Larik didirikan di atas batu pondasi yang disebut batu sendai (Gambar 37). Menurut masyarakat, pondasi didirikan di atas batu karena pohon-pohon di hutan Kerinci tidak ada yang tahan pelapukan air tanah sehingga mudah ambruk jika ditanam. Batu pondasi yang dipilih adalah yang berbentuk rata pada kedua permukaannya. Batu pondasi diletakkan di atas tiga buah batu yang berfungsi sebagai bantalan. Batu bantalan ini dinamakan tungku tigo. Batu ini lebih kecil ukurannya dari batu pondasi. Tungku tigo berfungsi sebagai gaya main bangunan rumah jika terjadi gempa dan untuk mengatur ketinggian tiang-tiang agar memiliki kerataan yang sama. 82 Gambar 37. Pondasi Batu (batu sendai) Ukuran sebuah Rumah Larik menurut Zakaria (1984) adalah 6 depa x 3 depa atau sekitar 10,8 m x 6,4 m (1 depa = 1,8 m), tinggi rumah kira-kira 3 depa. Tinggi kandang (ruang bawah) adalah 1,5 m, tinggi loteng 1,75 m, dan tinggi bubungan sekitar 2 m. Sedangkan berdasarkan hasil Sayembara Rumah Adat Tradisional Daerah Kerinci tahun 1994, diketahui bahwa Rumah Larik memiliki ukuran 11,55 m x 9 m dengan besar setiap ruang 3,85 m x 4,5 m. Sedangkan tinggi kandang 1,2 m dan tinggi dinding ruang atas 1,8 m (Gambar 38). Gambar 38. Denah Ruang Atas Rumah Larik 83 Rumah Larik yang asli sebenarnya tidak bersekat antar ruang baik ruang dalam maupun ruang luar, tetapi hanya di sekat oleh sebuah dinding pada bagian tengah yang memisahkan ruang dalam dan ruang luar (Gambar 39). Ruang luar adalah tempat berkumpul keluarga atau dilaksanakannya pertemuan dan perundingan para pemangku adat. Jika ada tamu, maka tuan rumah duduk di sebelah dinding tengah, sedangkan tamu duduk di sebelah dinding depan dekat jendela. Apabila tamu adalah Depati dan Ninik Mamak, maka tempatnya adalah di atas anjung yang ditinggikan 10 cm dari lantai rumah. Anjung ini terletak di sebelah kanan dari dinding tengah atau sebelah kiri dinding depan, bersandar ke dinding dan menghadap ke ruangan. Gambar 39. Denah Rumah Larik Tanpa Sekat (Sumber: Zakaria 1984) Keterangan gambar: A : Ruang dalam (dumeh) B : Dapur (tanpa sekat) C : Ruang makan D : Anjung (tempat duduk orang adat) E : Ruang Tamu F : Palasa // : Pintu II : Jendela = : Dinding (bisa buka pasang) 84 4.8.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tatanan Lanskap Tatanan lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah secara makro dipengaruhi oleh filosofi hidup masyarakat yang berorientasi kepada alam. Masyarakat suku Kerinci menselaraskan kehidupan mereka dengan lingkungan tempat mereka tinggal. Hampir setiap kegiatan dilakukan dengan memperhatikan keadaan alam dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Hutan di perbukitan tidak boleh dijamah karena terdapat sumber air yang menjadi sumber air bersih dan mengairi ladang serta sawah-sawah yang ada di bawahnya. Ladang-ladang terdapat di sekitar kaki bukit untuk memudahkan mendapatkan air yang melimpah dari bukit. Demikian halnya dengan sawah yang tidak pernah kering karena sungai selalu mengalir membelah kota dan mengairi sawah-sawah yang ada di sekitarnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tatanan lanskap secara meso adalah kondisi alam dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Nenek moyang pada zaman dahulu memilih daerah yang subur di sekitar sungai sebagai permukiman. Selain itu, sungai juga dapat berfungsi sebagai tempat MCK dan jalur transportasi bagi masyarakat. Larik-larik kemudian dibangun dengan mengikuti arah matahari terbit dari timur dan terbenam ke barat. Larik dibangun memanjang menyesuaikan ketersediaan lahan pada saat itu, oleh sebab itulah terdapat larik-larik yang tidak memiliki panjang yang sama. Kehidupan sosial masyarakat yang sangat kuat dari segi kekeluargaan dan kemasyarakatan juga ikut mempengaruhi terbentuknya tatanan lanskap berupa luhah-luhah yang menyatu dalam satu kesatuan yaitu kawasan Rumah Larik Limo Luhah. Tatanan lanskap Rumah Larik Limo Luhah secara mikro yaitu rumah tempat tinggal dipengaruhi oleh kepercayaan dan aktivitas keseharian masyarakat. Rumah Larik dibangun dengan ritual-ritual yang mengandung banyak makna. Pembagian ruang menurut sumbu vertikal mengandung nilai ketuhanan. Rumah memiliki kolom yang dianggap sakral yaitu tiang tuo sebagai tiang pertama dalam membangun rumah. Selain itu, adanya citra vertikal pada atap atau loteng yang menjadi ruang tempat tidur bagi orang tua dan menyimpan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang. Ruang tengah merupakan ruang untuk manusia dan ruang bawah adalah kandang untuk menyimpan hasil pertanian dan ternak. 85 Pembagian ruang menurut sumbu horisontal mengandung nilai kemanusiaan. Ruang tengah merupakan tempat aktivitas keseharian manusia seperti makan, tidur, memasak, dan pertemuan adat. Rumah Larik yang memiliki pintu penghubung antara satu rumah dengan rumah berikutnya merupakan cerminan nilai kemanusiaan yang tinggi. Makna yang terkandung di dalamnya adalah nilai kekeluargaan, kebersamaan, dan saling percaya antara satu sama lain. Karakter dan faktor-faktor yang mempengaruhi lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah dapat dilihat pada Gambar 40. Gambar 40. Karakter dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lanskap Budaya Rumah Larik Limo Luhah. Seiring dengan perkembangan zaman, tatanan lanskap di kawasan Rumah Larik baik secara makro, meso, dan mikro telah banyak mengalami perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, meningkatnya kebutuhan ekonomi masyarakat, kebijakan pemerintah , dan sikap keterbukaan masyarakat terhadap budaya asing. 86 4.9. Persepsi dan Keinginan Masyarakat Masyarakat Kota Sungai Penuh pada umumnya dan masyarakat adat Limo Luhah khususnya merupakan masyarakat transisi. Masyarakat transisi adalah masyarakat yang mengalami perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri dan komunikasi modern. Hampir tidak ada lagi masyarakat tradisional yang belum tersentuh pengaruh dan perkembangan masyarakat industri dan komunikasi modern (Banawiratma 1991). Meskipun demikian, tidak semua budaya tradisional ditinggalkan oleh masyarakat. Kehidupan masyarakat yang sedang mengalami transisi menciptakan kehidupan yang bersifat konsumtif terhadap budaya asing dam memunculkan persepsi bahwa budaya tradisional sudah tidak cocok dan ketinggalam zaman. Akan tetapi, untuk meninggalkan budaya tradisional secara mutlak juga tidak mungkin sehingga masyarakat mengadopsi kedua budaya ini secara bersama (Sagrim 2009). Kehidupan masyarakat transisi tidak terlepas dari pembangunan. Pembangunan dalam perspektif modernisasi berasumsi pada dua kutub yang berbeda, yaitu pemerintah dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat dalam posisi inferior (periferi). Perubahan selalu berasal dari pemerintah, budaya tradisional masyarakat dianggap sebagai salah satu penghambat sehingga perlu digantikan dengan oleh budaya modern yang lebih produktif. Orientasi utama pembangunan adalah peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Perubahan mendasar yang terjadi semakin mengikis budaya tradisional. Padahal masyarakat tradisional sudah memiliki pola pengaturan kehidupan sosialnya sejak lama , namun harus mengalami transformasi menuju pola pengaturan baru yang oleh pemerintah dianggap lebih baik (Widodo 2008). Dari pengamatan di dalam kawasan Rumah Larik dan sekitarnya, terlihat jelas perubahan kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Hal yang paling menonjol berubah adalah konstruksi dan gaya arsitektur bangunan rumah serta anggota masyarakat yang tinggal di dalam kawasan tersebut. Berdasarkan data hasil kuisoner dari 31 responden, menunjukkan bahwa sekitar 64,5 % menyatakan setuju dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (Gambar 41). Masyarakat berpendapat bahwa perubahan yang terjadi saat ini terutama budaya modernisasi tidak bisa dicegah dan masyarakat pendatang tidak dapat dibendung. 87 Gambar 41. Diagram Hasil Kuisoner tentang Setuju atau Tidaknya terhadap Perubahan yang Terjadi dalam Masyarakat Masyarakat Suku Kerinci adalah masyarakat yang masih menjunjung tinggi adat istiadatnya. Meskipun mengadopsi budaya asing yang tidak dapat dibendung, budaya tradisional masyarakat masih sangat kuat. Kehidupan bermasyarakat yang saling menghormati dan tolong menolong masih bisa dirasakan hingga saat ini. Hasil kuisoner menunjukkan 96,77 % masyarakat atau 30 orang responden mengatakan betah tinggal di dalam kawasan Rumah Larik ini (Gambar 42). Gambar 42. Diagram Hasil Kuisoner tentang Betah atau Tidaknya Masyarakat Tinggal di Dalam Kawasan Rumah Larik Limo Luhah. 88 Sebagian besar masyarakat Suku Kerinci terutama yang tinggal di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah masih melakukan adat budaya mereka. Hasil kuisoner menunjukkan sekitar 87 % atau 27 orang responden mengatakan masih melakukan adat budaya tradisional mereka (Gambar 43). Adat budaya yang masih dilakukan hingga saat ini antara lain yaitu, penggunaan kata sapa atau panggilan, upacara adat perkawinan, upacara naik haji, upacara kenduri sko, dan lain sebagainya. Gambar 43. Diagram Hasil Kuisoner tentang Masih atau Tidaknya Masyarakat Melakukan Kegiatan Adat Budaya Tradisional Masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh melestarikan budaya mereka secara turun temurun. Salah satu caranya adalah melalui cerita orang-orang tua yang diturunkan pada anak dan cucunya. Hasil kuisoner terhadap 31 orang responden menunjukkan 32,25 % menyatakan tahu tentang sejarah suku Kerinci, 38,70 % menyatakan sedikit tahu, dan 29,03 % menyatakan tidak tahu. Golongan masyarakat yang menyatakan tahu tentang sejarah Suku Kerinci rata-rata adalah para orang tua dan pemangku adat. Sedangkan yang menyatakan tidak tahu adalah remaja dan masyarakat pendatang. Selain bersumber dari cerita orang-orang tua, 89 informasi dan pengetahuan mengenai sejarah dan budaya tradisional masyarakat Suku Kerinci diperoleh melalui buku-buku sejarah dan kebudayaan Kerinci. Kawasan Rumah Larik merupakan lanskap budaya yang unik, bernilai budaya tinggi, dan membanggakan bagi masyarakat Suku Kerinci. Dari hasil kuisoner terhadap 31 orang responden akan pentingnya keberadaan kawasan Rumah Larik, 48,38 % mengatakan sangat penting dan 51,61 % mengatakan penting. Kemudian, 100 % responden menganggap kawasan ini perlu dilestarikan agar dapat menjaga nilai-nilai sejarah dan budaya Kerinci sehingga dapat di ketahui oleh generasi-generasi muda. Hasil ini menunjukkan bahwa masyarakat masih menganggap pentingnya keberadaan lanskap budaya Rumah Larik ini dan ingin melestarikannya. Sejauh ini, masyarakat telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung pelestarian tersebut seperti, berpartisipasi aktif menyumbangkan pikiran, tenaga, dan finansial. Sebanyak 77,42 % masyarakat menginginkan adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam pengelolaan kawasan Rumah Larik ini. Pengelolaan dan pelestarian yang diinginkan oleh masyarakat adat Limo Luhah antara lain : 1. Penetapan kawasan Rumah Larik serta elemen-elemen di dalamnya sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) yang perlu dilestarikan. 2. Adanya sertifikasi kepemilikan lahan milik adat dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah oleh pemerintah. 3. Adanya bantuan (insentif) dari pemerintah terhadap para pemilik Rumah Larik untuk biaya pemeliharaan. 4. Adanya peran aktif para pemangku adat tiap Luhah dalam upaya pelestarian kawasan Rumah Larik. 5. Meningkatkan kepedulian masyarakat dan lembaga adat. 6. Pembangunan yang dilakukan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya. 7. Adanya sanksi adat bagi masyarakat yang menjual tanah dan rumah dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah. 8. Adanya upaya dari masyarakat untuk melakukan penghijauan dan menjaga kebersihan lingkungan Rumah Larik agar terlihat lebih tertata dan indah. 90 4.10. Pengelolaan Lanskap 4.10.1. Pengelolaan Lanskap Oleh Masyarakat Tanah adat di Kerinci dikenal dengan istilah tanah ajun arah atau tanah ulayat di Minangkabau. Tanah ajun arah terbagi menjadi dua, yaitu yang berada dalam lingkungan parit sudut empat dan yang berada di luar permukiman adat. Tanah adat dalam parit sudut empat dikuasai secara bersama oleh luhah, kalbu, perut, tumbi, dan diatur pemakaiannya oleh Ninik Mamak dengan persetujuan Depati (Disparbud Kerinci 2003). Tanah dalam parit sudut empat yang terdiri dari rumah tempat tinggal, pekarangan, surau, masjid, sekolah, tempat pemandian umum, tanah lapang, jalan, dan fasilitas lainnya hanya dilakukan pemeliharaan fisik saja. Rumah dan pekarangan merupakan tanggung jawab pemilik rumah untuk memeliharanya. Sedangkan untuk fasilitas umum seperti jalan, masjid, surau, dan tanah lapang dikelola secara bersama oleh masyarakat atau dikelola oleh lembaga dan petugas-petugas yang telah diberikan wewenang untuk mengelolanya. Adanya aturan yang tidak boleh memperjual belikan tanah adat terutama dalam lingkungan parit sudut empat menjadi salah satu cara pengelolaan yang diatur oleh adat sehingga dapat melestarikan warisan nenek moyang. Tanah ajun arah yang berada di luar permukiman adat adalah hutan. Hutan adat ada yang boleh dimanfaatkan oleh manusia dan ada yang tidak boleh dijamah sama sekali. Dalam mempertahankan hutan, adat diberikan hak untuk menjaganya. Hutan larangan (imbo larang) merupakan hutan yang tidak boleh digarap oleh manusia, batasnya ditentukan oleh adat. Hutan merupakan lahan cadangan yang berfungsi sebagai tempat membangun permukiman baru jika sudah tidak ada lagi lahan untuk membangun. Selain hutan, sawah dan ladang juga merupakan tanah ajun arah yang berfungsi sebagai lahan cadangan. Kepemilikan sawah dan ladang telah diatur oleh adat, dan pemakaiannya juga telah diatur oleh Depati dan Ninik Mamak. Sawah dan ladang boleh diperjual belikan atau dialih fungsikan dengan persetujuan dari Ninik Mamak. 4.10.2. Kebijakan Pemerintah Kota Sungai Penuh diresmikan pada tanggal 8 November 2008 oleh Menteri Dalam Negeri H. Mardiyanto berdasarkan UU No. 25 Tahun 2008. Berdasarkan 91 hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2010, Kota Sungai Penuh berhasil meraih penghargaan sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) terbaik se-Indonesia. Sebagai kota yang baru terbentuk, Kota Sungai Penuh belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penyusunan RTRW ditargetkan selesai pada tahun 2010 (http://www.sungaipenuhkota.go.id/, Mei 2010). Berdasarkan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota Sungai Penuh Tahun 2010, prioritas pembangunan dalam rancangan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Sungai Penuh Tahun 2011 adalah sebagai berikut: 1. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung perekonomian daerah. 2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pelayanan kepada masyarakat. 3. Peningkatan pendapatan masyarakat berbasis ekonomi kerakyatan. 4. Peningkatan pelestarian lingkungan hidup dan penataan ruang. Dari prioritas dan sasaran pembangunan di atas, pemerintah kota merencanakan pembangunan dan perbaikan jalan serta jembatan, rehabilitasi irigasi teknis dan sarana air bersih, rehabilitasi fasilitas umum seperti sekolah dan puskesmas, pemberian bantuan modal bagi koperasi dan UKM, mengoptimalkan penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota, pemanfaatan lahan kritis di luar kawasan TNKS, dan penataan Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) yang ada di Kota Sungai Penuh. Pengelolaan yang dilakukan pemerintah Kota Sungai Penuh terhadap kawasan Rumah Larik Limo Luhah baru terbatas pada pemeliharaan fisik. Pemerintah belum memberikan perhatian khusus pada usaha pelestarian sejarah dan budaya masyarakat adat yang ada di Kota Sungai Penuh. 4.11. Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah dilakukan terhadap dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor internal (budaya dan adat istiadat masyarakat) dan faktor eksternal (pengaruh budaya asing dan kebijakan pemerintah). Kedua faktor tersebut dinilai dapat mempengaruhi keberlanjutan masyarakat adat, budaya dan wilayah adat. 92 4.11.1. Faktor Internal Faktor internal yang terkait dengan keberlanjutan lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah salah satunya yaitu, adanya hukum dalam adat yang mengatur tentang hak warisan. Hak warisan adalah hak pusaka yang diturunkan dari nenek moyang kepada keturunannya (ahli waris). Hak warisan dalam masyarakat suku Kerinci ada empat macam, yaitu warisan gelar, warisan rumah, warisan tanah, dan warisan benda ringan. Warisan gelar berupa Depati maupun Ninik Mamak dapat jatuh kepada anak jantan atau anak batino. Gelar ini merupakan warisan budaya dari nenek moyang yang masih bertahan hingga sekarang. Warisan rumah atau pusaka rumah hanya diturunkan pada anak batino dan tidak boleh diperjual belikan. Misalnya, seseorang meninggalkan empat buah rumah, maka dua rumah diserahkan kepada anak batino dan dua rumah lagi boleh dibagi kepada anak jantan, akan tetapi anak batino tetap berhak atas semua rumah tersebut (Zakaria 1973). Hal ini menggambarkan bagaimana rumah dianggap sebagai sesuatu yang sangat berharga sehingga hak kepemilikannya bagi ahli waris diatur dalam adat yang berlaku dalam masyarakat. Warisan tanah dapat berupa tanah kering (ladang) atau tanah basah (sawah). Warisan berupa ladang diturunkan kepada anak jantan dan anak batino secara adil. Sedangkan sawah, pewarisannya sama dengan hak waris terhadap rumah, yaitu diturunkan kepada anak batino. Sawah warisan ini tidak boleh dijual karena termasuk pusaka, kecuali dengan izin dari Depati dan Ninik Mamak. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa sawah dan ladang juga berfungsi sebagai lahan cadangan untuk mendirikan pemukiman baru. Selain itu, sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian. Warisan lainnya adalah warisan benda ringan, yaitu benda-benda yang dapat dibawa seperti hewan ternak, emas, pakaian, dan lain sebagainya. Warisan ini diturunkan kepada anak jantan, apabila tidak ada anak jantan maka semuanya jatuh pada anak batino (Zakaria 1973). Selain masalah hak warisan di atas, faktor yang ikut mempengaruhi keberlanjutan lanskap budaya Rumah Larik ini adalah hubungan kekeluargaan dan kekerabatan yang masih dijunjung tinggi oleh semua golongan dalam masyarakat adat Limo Luhah. Pola pemukiman yang berluhah-luhah 93 memungkinkan masyarakat untuk lebih saling berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Sikap gotong royong masih dapat dilihat dalam kegiatan-kegiatan tertentu, baik yang bersifat kegiatan sosial maupun kegiatan adat. Namun, rasa kekeluargaan dan kebersamaan dalam masyarakat saat ini tidak seperti kehidupan masyarakat pada zaman dahulu yang masih sangat kuat. Kegiatan-kegiatan adat dan tradisi budaya yang masih sering dilakukan hingga sekarang juga mendukung keberlanjutan dari budaya masyarakat sendiri. Tradisi-tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini antara lain, upacara adat perkawinan, upacara adat kematian, upacara kenduri sko, upacara naik haji, dan lain sebagainya. Sedangkan tradisi yang sudah tidak dilakukan lagi oleh masyarakat antara lain, upacara mendirikan rumah, kenduri setelah menuai padi, tale, upacara turun mandi anak, dan tari Tauh11. Suku Kerinci memiliki kemiripan dengan suku Minangkabau, yaitu suka merantau jauh dari daerah asalnya. Menurut Junus (1978, diacu dalam Rasyid 2008), keinginan untuk merantau ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama adalah keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa menggunakan tanah-tanah yang telah ada. Hal ini dihubungkan dengan keadaan bahwa seorang anak jantan tidak mempunyai hak menggunakan tanah warisan bagi kepentingan dirinya sendiri. Ia hanya dapat menggunakan tanah warisan itu untuk kepentingan keluarga matrilinielnya. Kedua, adalah perselisihan-perselisihan yang dapat menyebabkan orang merasa yang dikalahkan akan meninggalkan kampung dan keluarga untuk menetap di tempat lain. Keadaan ini kemudian ditambah dengan keadaan yang diciptakan oleh perkembangan yang berlaku pada masa akhir-akhir ini, seperti dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang Kerinci dapat dijumpai di beberapa daerah di Indonesia, mereka pada umumnya merantau untuk bekerja, sekolah, dan ada yang merantau karena ikatan perkawinan. Orang Kerinci yang merantau biasanya kembali pulang ke kampung halamannya apabila kehidupan ekonominya sudah menjadi lebih baik. Di kampung halamannya, mereka kembali membantu orang tua maupun saudarasaudaranya. Banyak masyarakat Kerinci yang bekerja menjadi TKI di Malaysia 11 Hasil wawancara dengan Depati Hasril Maizal, April 2010. 94 dan membawa sesuatu yang baru seperti budaya luar masuk ke kampung halamannya. 4.11.2. Faktor Eksternal Penetapan Sungai Penuh sebagai Kotamadya dan sekaligus memisahkan diri dari Kabupaten Kerinci berdasarkan UU No.25 Tahun 2008 yang disahkan oleh DPR-RI pada tanggal 21 Juli 2008 merupakan titik awal perubahan dan pembangunan Kota Sungai Penuh sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB). Dalam kurun waktu 2 tahun mulai dari 2008 hingga 2010 Kota Sungai Penuh telah banyak mengalami perkembangan sehingga meraih prestasi sebagai DOB terbaik se-Indonesia. Perkembangan pesat terjadi di berbagai aspek, terutama pada aspek teknologi dan informasi. Arus globalisasi dan kemajuan teknologi tidak dapat dicegah sehingga budaya luar dapat dengan mudah masuk ke dalam kehidupan masyarakat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat Suku Kerinci pada khususnya sedang mengalami masa transisi dari masyarakat agraris tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat industri modern yang materialistik. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi lebih konsumtif terhadap budaya-budaya luar yang dominan bersifat kebendaan. Semakin berkembangnya teknologi informasi seperti handphone dan internet semakin menjerumuskan para generasi muda dalam dunia modernisasi. Para generasi muda mulai tidak peduli lagi dengan adat dan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tempat dimana mereka hidup. Padahal, para orang tua membutuhkan para pemuda untuk melanjutkan tradisi dan melestarikan budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka dahulu. Sebagai kota yang baru terbentuk, Sungai Penuh belum memiliki RTRW dan penyusunannya ditargetkan selesai pada tahun 2010. Pemerintah memiliki sasaran pembangunan yang meliputi peningkatan tata pemerintahan, sarana dan prasarana infrastruktur, sumber daya manusia, ekonomi , dan sumber daya alam serta pariwisata. Tatanan lanskap kawasan Rumah Larik Limo Luhah dan lingkungan di sekitarnya saat ini sudah sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan kondisi pada tahun 1940-an. Lingkungan di sekitar parit sudut empat yang dahulu terdiri dari ladang dan hutan, saat ini sudah berubah menjadi area 95 permukiman, pendidikan, dan komersil (Gambar 44). Selain itu, dalam larik tidak dapat ditemui lagi rumah-rumah yang saling terhubung satu dengan lainnya, setiap rumah telah memisah menjadi unit-unit tersendiri. Hal ini menggambarkan kondisi kehidupan sosial masyarakat yang dahulu kekerabatannya sangat erat, akan tetapi saat ini cenderung individualis. Banyak elemen-elemen lanskap yang sudah rusak dan hilang karena termakan usia seperti rumah larik, tabuh larangan, bilik padi, makam nenek moyang, dan sebagainya. jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa ada usaha pelestarian, dikhawatirkan lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah ini akan kehilangan karakternya. Gambar 44. Perubahan Lanskap di Sekitar Kawasan Rumah Larik Limo Luhah Gambar Kiri (tahun 1940-an) dan Gambar Kanan (tahun 2010) Pada bidang pariwisata, belum adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang bersifat melindungi warisan sejarah dan budaya Kerinci. Peningkatan pariwisata hanya difokuskan pada objek pemeliharaan objek wisata yang telah ada dan merencanakan objek wisata baru yang hanya memiliki nilai estetika untuk menarik pengunjung. Objek-objek seperti benda-benda bersejarah yang banyak tersebar di Kota Sungai Penuh dan berpotensi sebagai objek daya tarik wisata belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain itu, belum adanya peraturan tertulis yang melindungi benda-benda bersejarah seperti masjid keramat, tabuh 96 larangan, dan makam keramat yang merupakan Benda Cagar Budaya (BCB). Rumah-rumah Larik yang masih tradisional seperti yang terdapat di luhah Mangku Bumi dan Luhah Rio Jayo juga belum mendapatkan perhatian. Padahal rumah-rumah tersebut merupakan aset berharga yang perlu dilestarikan. 4.11.3. Analisis SWOT Terhadap Keberlanjutan Lanskap Budaya Rumah Larik Limo Luhah Analisis SWOT adalah metode analisis yang paling dasar, analisis ini akan digunakan untuk melihat permasalahan dari empat aspek yang berbeda. Dari analisis faktor internal akan dirumuskan aspek kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses), sedangkan dari faktor eksternal akan dirumuskan aspek peluang (opportunity) dan ancaman (threats). Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut: 4.11.3.1. Kekuatan (Strengths) 1. Masyarakat masih mempertahankan tradisi budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. 2. Masih berlakunya status tanah adat atau tanah ajun arah yang mengatur hak kepemilikan terhadap suatu lahan. 3. Hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang masih kuat terjalin dalam masyarakat. 4. Masih terdapatnya beberapa elemen lanskap yang mengandung nilai sejarah dan budaya dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah. 5. Adanya keinginan dari masyarakat untuk melestarikan Rumah Larik sebagai rumah tradisional masyarakat Kerinci dan elemen-elemen pendukungnya. 4.11.3.2. Kelemahan (Weaknesses) 1. Banyaknya orang Kerinci yang merantau ke daerah lain dan membawa pengaruh budaya luar. 2. Banyaknya masyarakat pendatang yang tinggal di dalam kawasan Rumah Larik karena adanya kecenderungan masyarakat lokal untuk menyewakan rumahnya dan menetap di lokasi yang baru. 97 3. Adanya pembukaan ladang yang mulai merambah ke hutan dan perubahan ladang menjadi daerah pemukiman baru. 4. Banyaknya lahan sawah yang mulai dijual oleh pemiliknya karena kebutuhan lahan yang tinggi sedangkan ketersediaan lahan terbatas. 5. Peran Depati dan Ninik Mamak yang mulai berkurang dalam masyarakat. 6. Kurangnya kepedulian para generasi muda untuk melestarikan sejarah dan budaya Kerinci. 4.11.3.3. Peluang (Opportunity) 1. Kemajuan teknologi dan informasi yang dapat mendukung kelestarian lanskap budaya Rumah Larik. 2. Pembangunan dan rencana pembangunan pemerintah yang mendukung keberlanjutan kawasan Rumah Larik Limo Luhah. 3. Kebijakan pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk melindungi serta melestarikan benda-benda bernilai sejarah dan budaya khususnya dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah. 4.11.3.4. Ancaman (Threats) 1. Masuknya budaya luar yang memiliki nilai negatif bagi keberlanjutan lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah. 2. Kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan kelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah. 4.12. Usulan Pelestarian Lanskap 4.12.1. Konsep Pelestarian Kawasan Rumah Larik Limo Luhah merupakan lanskap budaya berupa permukiman tradisional di Kota Sungai Penuh yang memiliki karakter unik yaitu, dipengaruhi oleh kondisi alam baik secara makro, meso, dan mikro berupa daerah perbukitan dan lembah dengan topografi yang beragam serta adat budaya yang berlaku dalam masyarakatnya. Kehidupan masyarakatnya memiliki ciri rasa kekeluargaan dan kekerabatan yang tinggi. Selain itu, kecenderungan masyarakat kerinci untuk merantau ke daerah lain dan kembali ke kampung halaman dapat 98 memberikan nilai positif dan negatif bagi keberlanjutan lanskap budaya Rumah Larik ini. Pembangunan pesat yang dilakukan pemerintah sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB) semakin mengancam keberadaan kawasan Rumah Larik ini. Selain itu, ketersediaan lahan yang terbatas untuk pembangunan memaksa masyarakat untuk menjual sawah dan ladangnya. Konsep pelestarian yang diusulkan adalah melindungi keberadaan kawasan Rumah Larik Limo Luhah dan tanah adat yang berada dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh dengan meningkatkan peran dan hubungan kerjasama antara pemerintah Kota Sungai Penuh dengan masyarakat lokal yang terdiri dari masyarakat adat Limo Luhah, para pemangku adat (Depati dan Ninik Mamak), serta masyarakat yang sedang dalam perantauan. Hal ini bertujuan agar antara pemerintah yang berada pada posisi superior dalam proses pembangunan dan masyarakat yang inferior sebagai objek pembangunan memiliki sebuah solusi terbaik tentang bagaimana pembangunan kota tetap berjalan dan kelestarian kawasan Rumah Larik juga tetap terjaga. Masyarakat adat hendaknya dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan yang terkait dengan keberlanjutan kawasan atau wilayah adat mereka. 4.12.2. Tindakan Pelestarian Melihat kondisi eksisting kawasan saat ini, tidak memungkinkan untuk dilakukan pelestarian dengan cara restorasi atau mengembalikan kawasan ke bentuk aslinya sesuai dengan karakter yang dimiliknya. Tindakan pelestarian yang diusulkan adalah rehabilitasi terhadap Rumah Larik yang masih tersisa, yaitu Rumah Larik yang terdapat di luhah Rio Jayo sebagai representasi Rumah Larik yang original, preservasi terhadap elemen-elemen yang terdapat di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah seperti tanah mendapo, makam nenek moyang, tabuh larangan, dan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang, serta konservasi terhadap wilayah adat Depati Nan Bertujuh dan kawasan Rumah Larik Limo Luhah agar tetap menjadi sebuah pusat permukiman masyarakat adat limo luhah yang penuh akan nilai budaya dan menjadi warisan bagi generasi di masa mendatang. 99 4.12.3. Zonasi Pelestarian Tindakan pelestarian kawasan Rumah Larik Limo Luhah dilakukan dengan tujuan mempertahankan dan melestarikan kawasan termasuk elemen-elemen yang bernilai historis dan budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penentuan pola zona konservasi yang jelas untuk mendukung tindakan pelestarian terhadap kawasan Rumah Larik Limo Luhah ini dan elemenelemen pendukungnya (Gambar 45). Gambar 45. Zona Pelestarian Kawasan Rumah Larik Limo Luhah beserta Elemen-elemen Pendukungnya dalam Wilayah adat Depati Nan Bertujuh Kawasan Rumah Larik Limo Luhah merupakan zona inti yang berada berdekatan dengan pusat kota sehingga sangat rentan terhadap proses pembangunan dan pengembangan kawasan yang dilakukan oleh pemerintah. Keberadaan kawasan Rumah Larik mulai terancam oleh perkembangan area komersil atau perdagangan. Oleh karena itu, area di sekitar kawasan Rumah Larik yang terdiri dari permukiman penduduk harus dilindungi untuk mencegah terjadinya perubahan penggunaan lahan. Daerah yang termasuk zona inti lainnya adalah tanah basah atau sawah yang merupakan tanah adat. Daerah persawahan ini berada di sebelah Timur kawasan Rumah Larik Limo Luhah yang termasuk ke 100 dalam Desa Gedang dan Desa Sumur Anyir. Area persawahan ini dilindungi oleh zona penyangga yang terdiri dari permukiman penduduk dan pada zona ini harus dilakukan pemantauan dan pengendalian agar permukiman tidak merambah lahanlahan sawah yang merupakan tanah warisan. Zona inti lainnya adalah hutan adat yang berada di daerah perbukitan. Hutan merupakan salah satu warisan yang harus dilindungi karena daerah ini merupakan hulu sungai yang mengalir membelah Kota Sungai Penuh dan mengairi ladang serta sawah-sawah penduduk. Zona penyangga yang melindungi hutan adat ini adalah ladang-ladang penduduk yang terdapat di lereng bukit. Ladang atau tanah kering termasuk salah satu warisan nenek moyang, namun ladang berfungsi juga sebagai lahan cadangan sehingga boleh dimanfaatkan. Sedangkan zona pengembangan yang mengelilingi zona penyangga merupakan daerah yang diizinkan untuk dilakukannya berbagai bentuk pembangunan. 4.12.4. Strategi Pengelolaan Pelestarian Lanskap Berdasarkan Analisis SWOT Berdasarkan analisis SWOT di atas, dirumuskan strategi pengelolaan pelestarian lanskap dengan mengkombinasikan faktor-faktor internal maupun eksternal. Strategi tersebut dapat dibagi menjadi empat kriteria, yaitu strategi SO (Strengths-Opportunities), strategi WO (Weaknesses-Opportunities), strategi ST (Strengths-Threats), dan strategi WT (Weaknesses-Threats). Strategi-strategi ini kemudian dapat digolongkan menjadi dua, yaitu strategi yang terkait dengan peran masyarakat dan strategi yang terkait dengan peran pemerintah. Analisis dengan menggunakan mastriks SWOT dapat dilihat pada Tabel 6. 101 Tabel 6. Strategi Pelestarian Lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah Berdasarkan Analisis SWOT Matriks SWOT Internal Strenghts (S) • Masyarakat masih mempertahankan budaya warisan nenek moyang mereka • Status tanah ajun arah masih berlaku dalam masyarakat • Masih banyak terdapat elemen lanskap bernilai sejarah dan budaya • Rasa kekeluargaan yang kuat dalam masyarakat • Adanya keinginan untuk melestarikan Rumah Larik. Eksternal Opportunities (O) • Kemajuan teknologi dan informasi yang dapat mendukung kelestarian • Adanya pembangunan yang mendukung keberlanjutan kawasan Rumah Larik • Adanya kebijakan pemerintah untuk perlindungan benda-benda bernilai sejarah dan budaya. Strategi SO • Adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan kawasan Rumah Larik • Pembangunan yang dilakukan pemerintah tetap memperhatikan nilai sejarah dan budaya • Adanya pengakuan hak kepemilikan tanah adat melalui pembuatan sertifikat tanah. Eksternal Threats (T) • Kebijakan pemerintah yang kurang mendukung keberlanjutan kawasan Rumah Larik • Masuknya budaya luar yang bernilai negatif bagi kelestarian kawasan Rumah Larik. Strategi ST • Masyarakat harus peka terhadap kebijakan pemerintah yang dapat mengancam kelestarian kawasan Rumah Larik • Masyarakat harus lebih selektif dan kuat menghadapi budaya luar yang dapat mengancam kelestarian budaya mereka. Internal Weaknesses (W) • Budaya luar dibawa oleh masyarakat perantau •Semakin banyaknya masyarakat pendatang •Perambahan hutan menjadi ladang dan ladang menjadi pemukiman •Keterbatasan lahan memaksa masyarakat untuk menjual tanahnya •Peran para pemangku adat semakin berkurang •Generasi muda kurang peduli terhadap sejarah dan budayanya. Strategi WO • Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya melestarikan nilai sejarah dan budaya melalui teknologi • Membuat kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan • Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam mengelola tanah adat. • Memasukkan mata ajaran kebudayaan Kerinci dalam muatan lokal Strategi WT • Masyarakat sebaiknya menyewakan rumah dan tanahnya tidak kepada masyarakat pendatang • Masyarakat harus memahami rencana pembangunan pemerintah • Meningkatkan peran orang tua dan para pemangku adat. 102 4.12.5. Strategi Terkait Peran Para Pihak dalam Pelestarian Lanskap Strategi pelestarian lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah yang terkait dengan peran masyarakat, yaitu: 1. Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya melestarikan nilai sejarah dan budaya. Salah satunya dengan cara meningkatkan peran orang tua dan para pemangku adat. 2. Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam mengelola tanah adat. 3. Masyarakat harus meningkatkan kepedulian terhadap pelestarian Rumah Larik dan kepekaan terhadap hal-hal yang dapat mengancam keberlanjutan kawasan. 4. Masyarakat sebaiknya menyewakan rumah dan tanahnya tidak kepada masyarakat pendatang. 5. Masyarakat harus memahami rencana pembangunan pemerintah. Strategi pelestarian yang terkait dengan peran pemerintah khususnya pemerintah Kota Sungai Penuh, yaitu: 1. Adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan kawasan Rumah Larik. 2. Merancang suatu peraturan daerah yang mengatur perlindungan terhadap kawasan atau objek yang bernilai sejarah dan budaya. 3. Pembangunan yang dilakukan pemerintah tetap memperhatikan nilai sejarah dan budaya. 4. Adanya pengakuan hak kepemilikan tanah adat melalui pembuatan sertifikat tanah. 5. Membuat kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan khususnya yang terkait dengan pemanfaatan lahan di dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh. 6. Memasukkan mata ajaran kebudayaan Kerinci dalam muatan lokal dan kegiatan ekstrakurikuler sekolah untuk meningkatkan pengetahuan dan kepedulian para generasi muda tentang kebudayaan mereka . 103 4.12.6. Koordinasi Para Pihak yang Terkait dengan Pelestarian Lanskap Dalam upaya melestarikan lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah diperlukan sebuah koordinasi yang baik dan jelas. Koordinasi melibatkan pihakpihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat lokal maupun perantau memiliki tanggungjawab atau keterlibatan langsung yang sangat mempengaruhi keberlanjutan kawasan Rumah Larik ini. Sedangkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap kelestarian kawasan Rumah Larik. Masyarakat sebagai pihak yang memiliki peranan yang kuat harus menyadari bahwa mereka memiliki sesuatu yang bernilai tinggi yaitu adat istiadat dan budaya, serta memiliki tugas untuk melestarikannya. Banyaknya ancaman berupa pengaruh budaya luar dan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat membutuhkan peran aktif masyarakat. Dalam hal ini adalah peran para orang tua dan pemangku adat Limo Luhah. Terkait dengan strategi pelestarian, para orang tua dan pemangku adat Limo Luhah diharapkan lebih berperan aktif dan responsif dalam menyikapi segala bentuk tindakan yang dapat mengancam keberlanjutan kawasan Rumah Larik Limo Luhah ini. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana pembangunan harus memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan masyarakat adat Limo Luhah. Pembangunan sebaiknya diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat tanpa mengganggu keberadaan elemen-elemen lanskap yang masih terdapat di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah seperti tanah mendapo, tabuh larangan, makam, maupun kebudayaan atau tradisi masyarakat. Selain itu, dibutuhkan peran pemerintah untuk meningkatkan peran para generasi muda dalam mengenali dan memahami adat serta budaya mereka. Salah satu caranya adalah dengan memasukkan mata ajaran kebudayaan Kerinci kedalam muatan lokal dan kegiatan ekstrakurikuler sekolah. Untuk itu perlu ditingkatkan kerjasama dan koordinasi antara masyarakat dengan pemerintah agar karakteristik lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah dapat dilestarikan (Gambar 46). 104 Masyarakat Adat Limo Luhah Pemerintah Masyarakat Perantau Kawasan Rumah Larik Limo Luhah Keterangan : Garis koordinasi kerjasama Garis pengelolaan secara langsung Garis pengelolaan secara tidak langsung Gambar 46. Koordinasi Pemerintah dan Masyarakat dalam Pelestarian Lanskap Budaya Rumah Larik Limo Luhah.