Karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi

advertisement
14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Aspek Biofisik
4.1.1. Wilayah Kota Sungai Penuh
Kota Sungai Penuh secara geografis terletak antara 101° 14’ 32” BT sampai
dengan 101° 27’ 31” BT dan 02° 01’ 40” LS sampai dengan 02° 14’ 54” LS. Kota
ini memiliki luas keseluruhan 39.150 Ha, yang terdiri dari Taman Nasional
Kerinci Seblat (TNKS) seluas 23.177,6 Ha (59,2 %) dan lahan budidaya seluas
15.972,4 Ha (40,8 %) dan dengan jumlah penduduk 87.804 jiwa. Kota Sungai
Penuh terbagi menjadi lima kecamatan yaitu, Kecamatan Sungai Penuh,
Kecamatan Pesisir Bukit, Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan Tanah
Kampung, dan Kecamatan Kumun Debai. Lanskap Rumah Larik Limo Luhah
Sungai Penuh berada di Kecamatan Sungai Penuh, Kelurahan Sungai Penuh yang
memiliki luas wilayah 45 Ha.
Secara fisik, batas-batas Lanskap Rumah Larik Limo Luhah adalah sebagai
berikut (Gambar 4 ):
1. Utara
: Permukiman dan Sekolah
2. Selatan
: Permukiman
3. Timur
: Permukiman
4. Barat
: Sungai Batang Bungkal
Gambar 4. Kawasan Rumah Larik Limo Luhah
15
4.1.2. Aksesibilitas dan Sirkulasi
Kawasan Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh berada 1 Km dari pusat
Kota Sungai Penuh. Kota Sungai Penuh dapat dicapai dari Kota Jambi dengan
jarak 477 Km. Untuk menuju kawasan Rumah Larik dalam Kota Sungai Penuh
dapat
dicapai
dengan
menggunakan
kendaraan
bermotor
atau
dengan
menggunakan transportasi tradisional bendi (delman). Ada 4 jalur yang dapat
ditempuh untuk menuju kawasan Rumah Larik Limo Luhah, yaitu (Gambar 5 ) :
1. Melalui jalan raya dari arah Kelurahan Dusun Baru. Jalur ini merupakan
pertemuan antara akses masuk dari pusat kota, Dusun Baru, dan Desa Sumur
Anyir. Jalur ini dapat ditempuh oleh masyarakat yang tinggal di kecamatan
Kayu Aro, Siulak, dan Air Hangat.
2. Jalan raya dari Pusat Kota dan Pasar Sungai Penuh yang terletak di sebelah
selatan kawasan Rumah Larik. Jalur ini sering ditempuh oleh masyarakat yang
tinggal di Kelurahan Sungai Jernih, Talang Lindung, Pelayang raya, dan Pasar
Sungai Penuh.
3. Melalui jalan Baru yang terletak di Desa Gedang. Jalur ini berada di sebelah
Timur kawasan Rumah Larik dan dapat diakses oleh masyarakat yang tinggal
di Kecamatan Sitinjau Laut, Danau Kerinci, Keliling Danau, Batang Merangin,
dan Gunung Raya.
4. Melalui jalan raya dari arah desa Sumur Anyir yaitu jalan Arif Rahman Hakim.
Jalur ini merupakan jalur yang dapat ditempuh oleh masyarakat yang tinggal di
Kecamatan Hamparan Rawang dan Desa Sumur Anyir.
4.1.3. Iklim
Kondisi iklim kawasan Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh yang
terletak di Kota Sungai Penuh sangat dipengaruhi oleh letak geografisnya yaitu
berada di sekitar daerah khatulistiwa. Berdasarkan data iklim periode 2000-2006,
wilayah kota Sungai Penuh memiliki curah hujan berkisar antara 77,81-131,8
mm/tahun. Rata-rata curah hujan sejak tahun 2000 sampai 2006 mencapai
108,1 mm. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan selama periode 2000 –
2006 sangat kecil.
Gambar 5. Sirkulasi dan Akses Menuju Kawasan Rumah Larik Limo Luhah
16
17
Kondisi topografi wilayah kota Sungai Penuh yang terdiri dari lembah
dan perbukitan menyebabkan suhu di daerah ini cukup sejuk. Kota Sungai
Penuh memiliki suhu rata-rata maksimum 28,2° C dan suhu minimum 16,2° C
(Tabel 1). Jumlah rata-rata hari hujan dari tahun 2000-2006 tercatat antara
11,4-13,3 hari, dengan kelembaban rata-rata 80,33 - 83,50 MmHg (Tabel 2),
sedangkan penyinaran matahari pada tahun 2000-2006 tercatat antara 37.08 43 %.
Tabel 1. Keadaan Suhu Udara
Suhu
No.
Bulan
Maksimum (°C)
Minimum (°C)
1
Januari
27.9
15.3
2
Pebruari
28.3
15.6
3
Maret
28.2
16.0
4
April
28.8
16.6
5
Mei
28.9
16.4
6
Junl
28.9
16.7
7
Juli
28.7
15.9
8
Agustus
28.4
15.0
9
September
26.8
15.4
10
Oktober
28.3
16.2
11
Nopember
27.8
17.3
12
Desember
27.8
18
Rata-rata
28.2
16.2
Sumber : BPS, Kabupaten Kerinci Dalam Angka, Tahun 2006
18
Tabel 2. Curah Hujan dan Kelembaban
No
Bulan
Curah
Hujan
Hari
Hujan
Kelembaban
1
Januari
159
13
78
2
Februari
288
18
81
3
Maret
39.5
11
78
4
April
152.8
9
74
5
Mei
103.6
9
76
6
Juni
99.4
7
84
7
Juli
13.8
3
83
8
Agustus
42.8
3
80
9
September
175.6
9
74
10
Oktober
26.7
7
80
11
November
226.6
21
83
12
Desember
223
27
87
Rata-rata
2006
124.2
11.4
80
2005
83.3
8
83
2004
90.6
12
83
2003
131.80
13.33
83.42
2002
130.50
12.60
83.50
2001
77.81
12.08
81.33
2000
113.60
12.00
83.00
Sumber : BPS, Kabupaten Kerinci Dalam Angka, Tahun 2006
4.1.4. Tanah dan Topografi
Kota Sungai Penuh termasuk daerah dataran tinggi yang berada pada
ketinggian 813 m di atas permukaan laut. Kota ini merupakan lembah yang
dikelilingi oleh perbukitan, sebagian wilayah monografinya bergelombang dan
berbukit-bukit.
19
Berdasarkan data BPS Kabupaten Kerinci tahun 2006, jenis tanah di Kota
Sungai Penuh terdiri dari tanah Andosol dan Podsolik. Wilayah dengan jenis
tanah Andosol seluas 5.732 Ha sedangkan jenis tanah Podsolik seluas 4.518 Ha
yang tersebar di lima kecamatan di Kota Sungai Penuh. Selain itu juga terdapat
tanah Alluvial yang meliputi daerah-daerah di sekitar aliran sungai. Kawasan
Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh termasuk wilayah yang didominasi oleh
jenis tanah Alluvial.
Kota Sungai Penuh memiliki topografi yang beragam mulai dari datar (08°), bergelombang (8-16°), curam yang bergelombang (16-30°), dan sangat curam
yang bergelombang (>30°) (Gambar 6 ). Wilayah datar dengan kemiringan (0-8°)
memiliki luas sekitar 6.300 Ha, wilayah yang bergelombang dengan kemiringan
(8-16°) seluas 1.295 Ha, luas wilayah yang curam bergelombang dengan
kemiringan (16-30°) 4.345 Ha, dan wilayah yang sangat curam bergelombang
dengan kemiringan (>30°) seluas 1.295 Ha. Lanskap Rumah Larik Limo Luhah
termasuk wilayah yang memiliki topografi relatif datar dengan kemiringan (0-8°).
Gambar 6. Peta Kemiringan Lahan Kota Sungai Penuh
20
4.1.5. Hidrologi
Lanskap Rumah Larik Limo Luhah Sungai Penuh merupakan kawasan
pemukiman masyarakat adat yang berada di pinggir sebuah sungai yaitu Sungai
Batang Bungkal. Sungai ini membelah Kota Sungai Penuh membujur dari Selatan
ke Utara. Di bagian hulu sungai dapat ditemui batu-batu kali berukuran kecil
hingga besar, sedangkan di bagian hilir merupakan daerah endapan yang
dimanfaatkan sebagai tempat penambangan pasir oleh warga. Sungai Batang
Bungkal pada zaman dahulu digunakan oleh masyarakat Suku Kerinci terutama
yang tinggal di daerah sekitar aliran sungai sebagai tempat untuk kegiatan mandi,
cuci, kakus (MCK). Selain sebagai tempat MCK, sungai juga dimanfaatkan untuk
irigasi sawah dan ladang yang terdapat di bagian hilir atau sebelah utara lanskap
Rumah Larik (Gambar 7). Di bagian hilir sungai juga terdapat pintu air yang
mengendalikan debit air untuk digunakan mengairi sawah. Pada saat musim
kemarau, sungai menjadi kering sedangkan pada musim hujan sungai dapat
meluap hingga menyebabkan banjir.
Gambar 7. Sungai Batang Bungkal sebagai Sumber Irigasi Lahan Pertanian
Selain Sungai Batang Bungkal, masyarakat yang menghuni Rumah Larik
Limo Luhah juga memanfaatkan sebuah mata air yaitu Sumur Pulai yang terdapat
di Desa Gedang berjarak sekitar 200 meter sebelah timur dari pemukiman. Mata
air ini dimanfaatkan oleh masyarakat terutama pada musim kemarau saat sungai
Batang Bungkal mengering. Sumur Pulai ini telah menjadi tempat pemandian
umum bagi masyarakat sekitar dan terbagi dua yaitu pemandian untuk laki-laki
21
dan perempuan. Namun, saat ini Sumur Pulai sudah tidak dimanfaatkan lagi oleh
masyarakat sekitar karena pemerintah melalui program PNPM-P2KP pada tahun
2009 telah menyediakan sarana air bersih dan kamar mandi umum di dalam
kawasan Rumah Larik Limo Luhah. Hal ini sejalan dengan hasil Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Kota Sungai Penuh (Musrenbang) tahun 2010 yang
salah satu hasilnya memprioritaskan pembangunan dan rehabilitasi sarana air
bersih.
Gambar 8. Sumur Pulai (kiri) dan Sarana Air Bersih (kanan)
4.1.6. View
Kota Sungai Penuh merupakan kota dengan pemandangan alam yang indah.
Terletak di lembah yang dikelilingi oleh perbukitan membuat kota ini juga
memiliki udara yang sejuk dan dingin. Rumah Larik Limo Luhah yang hanya
berjarak 1 Km dari pusat kota merupakan titik awal perkembangan pemukiman
masyarakat Kota Sungai Penuh. Dari kawasan Rumah Larik dan di sekitarnya kita
dapat melihat pemandangan perbukitan yang membentang di sebelah Utara dan
Selatan, sedangkan di sebelah Timur dan Barat terdapat pemandangan sawah yang
membentang. Namun, dengan perkembangan pemukiman di sekitar kawasan
Rumah Larik menyebabkan pemandangan-pemandangan tersebut tertutup oleh
bangunan. Selain itu Rumah Larik Limo Luhah juga berada di daerah dengan
kemiringan yang relatif datar (0-2°) dan lebih rendah dibandingkan dengan daerah
di sekitarnya. Pemandangan perbukitan dan persawahan dapat dilihat dengan jelas
jika melewati jalan Baru di sebelah Timur Rumah Larik tepatnya di Desa Gedang.
Di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah sendiri, pemandangan permukiman
22
yang padat cukup teratur dan estetik. Hal ini dikarenakan hampir di setiap rumah
memiliki pekarangan yang ditanami dengan berbagai jenis tanaman pekarangan
terutama tanaman hias. Rumah-rumah yang tidak memiliki pekarangan umumnya
menggunakan tanaman dalam pot untuk menghiasi rumahnya. Selain itu, terdapat
taman pekarangan mini yang ditanami berbagai jenis tanaman hias pada setiap RT
dalam kawasan Rumah Larik ini yang menambah nilai estetika. Taman mini ini
dikelola oleh Dasawisma yang merupakan perkumpulan ibu-ibu skala RT di
bawah PKK. Pada peringatan hari-hari tertentu sering diadakan lomba keindahan
antar luhah maupun antar Dasawisma (Gambar 9).
4.2. Aspek Sosial Ekonomi
Kawasan Rumah Larik Limo Luhah yang termasuk dalam Kelurahan Sungai
Penuh dihuni oleh 2.755 penduduk dengan 695 Kepala Keluarga yang terdiri atas
penduduk laki-laki sebanyak 1.331 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 1.424
jiwa. Penduduk yang tinggal di kawasan Rumah Larik ini merupakan masyarakat
asli Suku Kerinci yang telah menetap secara turun-temurun. Di samping
masyarakat Suku Kerinci juga terdapat masyarakat pendatang yang berasal dari
Minangkabau dan daerah lainnya yang sedang bertugas atau bekerja di Kerinci.
Hampir semua penduduk yang tinggal di kawasan Rumah Larik ini adalah Warga
Negara Indonesia (WNI) dan beragama Islam.
Dari segi pendidikan, dapat dilihat umumnya penduduk Kelurahan Sungai
Penuh berpendidikan SMA/SLTA ke atas serta memiliki pendidikan khusus
dibidang keagamaan (Tabel 3). Keberadaan sekolah-sekolah yang letaknya
berdekatan dengan kawasan Rumah Larik menjadi faktor pendukung bagi
masyarakat untuk memperoleh pendidikan mulai dari Taman Kanak-Kanak
hingga SMA/SLTA. Sarana pendidikan yang terdapat di sekitar kawasan Rumah
Larik antara lain yaitu, Taman Kanak-Kanak Aisyiyah Sungai Penuh, SD Negeri
2 Sungai Penuh, SD Negeri 5 Sungai Penuh, MTS Limo Luhah Sungai Penuh,
SMP Negeri 8 Sungai Penuh, SMA Negeri 1 Sungai Penuh, SMA Negeri 4
Sungai Penuh, dan SMK Negeri 1 Sungai Penuh.
23
Gambar 9. View di Kawasan Rumah Larik Limo Luhah dan sekitarnya
24
Tabel 3. Tingkat Pendidikan Penduduk Kelurahan Sungai Penuh
NO
1.
2.
PENDIDIKAN
JUMLAH (ORANG)
LULUSAN PENDIDIKAN UMUM
a. Taman Kanak-Kanak
105
b. Sekolah Dasar
385
c. SMP/SLTP
394
d. SMA/SLTA
673
e. Akademi ( D1-D3)
40
f. Sarjana (S1-S3)
191
LULUSAN PENDIDIKAN KHUSUS
a. Pondok Pesantren
b. Madrasah
c. Pendidikan Keagamaan
99
d. Sekolah Luar Biasa
e.Kursus/Keterampilan
80
Sumber : Monografi Kelurahan Sungai Penuh Tahun 2009/2010
Berdasarkan data monografi Kelurahan Sungai Penuh tahun 2009/2010,
diketahui secara umum bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduk
Kelurahan Sungai Penuh termasuk penduduk yang tinggal di kawasan Rumah
Larik Limo Luhah adalah pedagang atau wiraswasta (Tabel 4). Wiraswasta yang
dilakukan penduduk di kawasan Rumah Larik ini umumnya berupa usaha warung,
wartel, warnet, fotocopy, percetakan, jasa menjahit, jasa isi ulang air mineral,
hingga usaha perkayuan dan kerajinan batik tulis. Profesi penduduk lainnya
adalah sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sebagian besar bekerja di
instansi pemerintahan, petani yang menggarap sawah milik pribadi atau sebagai
buruh tani yang menggarap sawah milik orang lain, dan pensiunan yang sebagian
besar merupakan pensiunan guru.
25
Tabel 4. Sebaran Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
NO
1.
MATA PENCAHARIAN
JUMLAH (ORANG)
Karyawan
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
236
b. ABRI
4
c. Swasta
263
2.
Wiraswasta/Pedagang
299
3.
Tani
263
4.
Pertukangan
25
5.
Buruh tani
47
6.
Pensiunan
56
7.
Jasa
65
Sumber : Monografi Kelurahan Sungai Penuh tahun 2009/2010
4.3. Aspek Sejarah
4.3.1. Asal Usul Suku Kerinci
Seperti halnya kedatangan suku-suku bangsa Indonesia lainnya, Suku
Kerinci juga berasal dari Asia Tenggara. Mereka datang melalui jalur yang
melewati Semenanjung Malaka, menyeberang Selat Malaka, kemudian menyusuri
pantai timur Sumatera hingga ke Selat Berhala, masuk ke Sungai Batanghari,
terus ke Batang Merangin dan akhirnya sampai ke hulu Batang Merangin yaitu
Danau Kerinci (Afanti 2007).
Kedatangan mereka bergelombang, gelombang pertama disebut sebagai
suku bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) pada zaman Neolitikum (batu muda)
antara 4000 SM sampai 2000 SM. Gelombang yang kedua disebut sebagai suku
bangsa Dentro Melayu muda yang datang pada zaman perunggu yaitu sekitar
tahun 400 SM sampai 100 SM. Suku Kerinci diketahui sebagai suku yang lebih
tua dari Suku Inca Amerika yang menyembah matahari dan juga Suku Candiaku
yang berasal dari hulu sungai Indragiri. Suku bangsa Proto Melayu yang
menduduki daerah Kerinci pada saat itu dikenal sebagai kelompok yang murni
karena kedatangan mereka adalah yang pertama. Pada zaman ini diketahui
terdapat sebuah gunung berapi yang sangat tinggi dan terletak di tengah-tengah
26
Pulau Sumatra yaitu berada di daerah pemukiman dan persawahan yang ada di
Kerinci mulai dari Siulak sampai ke daerah Hilir Sanggaran Agung. Menurut
legenda, gunung berapi tersebut bernama Gunung Beremas dan di masa inilah
adanya kehidupan manusia yang mendiami daerah di sekitar kaki Gunung
Beremas (Afanti 2007).
Kondisi topografi alam Kerinci yang terdiri dari lembah dan perbukitan
berbentuk seperti gelombang ombak merupakan akibat dari letusan dahsyat
Gunung Beremas yang mengeluarkan aliran lava pijar, lahar magma disertai oleh
gelombang debu panas yang mengandung gas beracun mengalir ke daerah-daerah
yang lebih rendah melalui lereng-lereng bukit. Letusan Gunung Beremas ini
menghasilkan bentukan alam yang berbukit-bukit dan menyisakan sebagian sisa
badan gunung yang sekarang dikenal sebagai Gunung Kerinci dengan tinggi 3.805
meter di atas permukaan laut. Gunung ini terletak di sebelah utara Kerinci dan
masih menjadi gunung yang tertinggi di Pulau Sumatra (Afanti 2007).
Setelah letusan terjadi, daerah disekitar Gunung Beremas hanya tinggal
puing-puing akibat dilanda lava pijar gunung berapi dan sebagian membentuk
lembah-lembah,bukit-bukit, dan sungai-sungai baru. Sisa-sisa suku murni Melayu
Tua yang selamat dari bencana alam itu kemudian mendiami lembah Kerinci.
Suku ini kemudian dikenal dengan sebutan “Kecik Wok Gedang Wok”. Suku
“Kecik Wok Gedang Wok” memulai sebuah kehidupan baru mereka yang masih
tergolong primitif dan tinggal di gua-gua. Dalam berinteraksi, secara individu
mereka belum memiliki nama hanya sebutan orang yang kecil dipanggil Wok
Kecik dan orang yang lebih tua dipanggil Wok Gedang. Kehidupan mereka
sehari-hari hanya berburu binatang, mengumpulkan makanan-makanan seperti
buah-buahan yang ada di hutan dan mencari ikan di sungai. Suku Melayu Tua
murni ini hidup berkelompok dan tempat tinggalnya tidak menetap selalu
berpindah-pindah dari tempat pertama ke tempat yang lainnya dan kembali lagi ke
tempat pertama. Suku ini sudah memiliki kepercayaan yaitu Animisme, mereka
melakukan pertapaan untuk mencari jati diri, membersihkan jiwa raga agar
terhindar dari pengaruh jiwa yang kotor serta menumbuhkan kesabaran sebagai
pegangan hidup mereka sehari-hari (Afanti 2007).
27
Selanjutnya, Kerinci kedatangan suku bangsa Paleomongoloid gelombang
pertama dari tanah Yunan Tiongkok Selatan. Mereka melalui Sungai Mekhong
sampai di Hindia belakang kemudian melanjutkan ke daerah-daerah lainnya dan
ada yang sampai ke daerah pusat alam Melayu Tua Kerinci. Suku-suku
Paleomongoloid yang sudah berada di Kerinci ini berhubungan dengan kelompok
Melayu Tua murni sehingga melahirkan keturunan-keturunan nenek moyang
Kerinci (Afanti 2007). Oleh sebab itulah masyarakat suku Kerinci hingga saat ini
memiliki ciri yang mirip dengan orang-orang Tiongkok seperti memiliki mata
sipit dan berkulit putih. Berabad kemudian, gelombang berikutnya suku-suku
Indonesia lainnya berdatangan ke daerah Kerinci untuk melakukan kegiatan
perdagangan dan sebagainya, dari proses interaksi maka timbullah perubahan
pada masyarakat suku Kerinci yang tidak berkebudayaan menjadi memiliki
pemikiran untuk melakukan kegiatan-kegiatan seperti upacara sakral, membuat
tempat pemujaan, hingga mengadakan sajian-sajian. Walaupun demikian, sikap
suku Kerinci yang menerima kedatangan suku-suku dari luar tidak menghilangkan
atau meninggalkan nilai-nilai leluhur dari kebudayaan nenek moyang mereka
(Afanti, 2007).
4.3.2. Asal Nama Kerinci
Kata ‘Kerinci’ dalam masyarakat Kerinci diucapkan dalam dialek yang
berbeda-beda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh cara melafadkan bahasa Kerinci
oleh masing-masing dusun yang juga berbeda dan mempunyai kekhasan
tersendiri. Masyarakat Sungai Penuh dan Pondok Tinggi yang tinggal berada di
Kota Sungai Penuh biasa melafadkannya dengan sebutan ‘Kincai’, masyarakat
Dusun Rawang, Koto Lanang, dan Sungai Tutung yang berada di sekitar Kota
Sungai Penuh biasa menyebutnya ‘Kincei’. Masyarakat Kerinci bagian utara
seperti dusun Semurup dan Siulak menggunakan sebutan ‘Kinci’, sedangkan
orang Kerinci bagian Selatan seperti dusun Pulau Sangkar, Lempur, dan Temiai
menyebutnya ‘Krinci’. Demikian juga dengan masyarakat di sekitar Kerinci
seperti Minangkabau dan Jambi biasa menyebutnya ‘Kurinci’. Orang Belanda
yang pernah menduduki Kerinci menggunakan sebutan ‘Korintji’ sedangkan
orang Inggris menyebutnya ‘Korinchi’ (Djakfar 2001).
28
Asal kata nama Kerinci tidak diketahui secara jelas, namun terdapat legenda
yang menjelaskan asal penggunaan nama Kerinci. Ada tiga legenda yang
menceritakan kisah terciptanya kata ‘Kerinci’ yaitu :
1.
Legenda yang menyatakan bahwa nama ‘Kerinci’ berasal dari kata ‘Kunci’.
Kata ini memiliki arti bahwa daerah Kerinci merupakan daerah yang
tertutup dan terkunci. Maksudnya adalah daerah Kerinci tidak berinteraksi
atau berhubungan dengan dunia luar dan sebaliknya. Hal ini disebabkan
kondisi geografis Kerinci yang dikelilingi oleh pegunungan bukit barisan,
hutan lebat, topografi yang bergelombang, dan banyak terdapat hewan buas
sehingga membuat orang beranggapan bahwa Kerinci merupakan daerah
yang tertutup.
2.
Legenda yang menyatakan bahwa nama ‘Kerinci’ berasal dari dua kata,
yaitu ‘Kering’ dan ‘Cair’. Legenda ini menceritakan bahwa dulu Kerinci
merupakan sebuah danau yang sangat luas yang memiliki sebuah pulau
kecil ditengah-tengahnya yaitu Tanah Cuguk. Seluruh daerah di kaki-kaki
bukit merupakan daerah rawa basah. Pada saat musim kemarau rawa-rawa
ini mengering sehingga membuat daerah daratan menjadi semakin luas,
sedangkan pada musim penghujan daratan ini kembali basah menjadi rawa
sehingga
lahan
kering
menyempit.
Fenomena
alam
inilah
yang
menyebabkan nama Kerinci berasal dari kata ‘Kering’ dan ‘Cair’.
3.
Kisah setelah kedatangan suku bangsa Melayu ke daerah Kerinci. Pada saat
itu Kerinci belum memiliki nama, maka datanglah suku bangsa lainnya dari
hulu Sungai Batanghari yang menyusuri Batang Merangin hingga sampai ke
hulunya. Mereka melihat di hulu sungai tersebut sudah ada manusia yang
mendiami sehingga mereka menyebutnya orang Kerinci. Dalam bahasa
mereka ‘Kerin’ berarti Hulu, sedangkan ‘ci’ berarti Sungai. Jadi Kerinci
berarti Hulu Sungai. Suku inilah yang kemudian memperkenalkan nama
Kerinci ke dunia luar, namun orang-orang yang mendiami daerah hulu
sungai ini sendiri tidak tahu namanya.
29
4.3.3. Masuknya Agama Islam ke Kerinci
Sebelum masuknya agama Islam ke Kerinci tidak diketahui secara jelas
agama apa yang dianut oleh orang Kerinci. Tetapi dilihat dari peninggalanpeninggalan yang ditemukan dapat dikatakan bahwa orang Kerinci pernah
menganut Animisme dan agama Hindu atau Budha.
Agama Islam di Kerinci disebarkan oleh orang-orang pendatang dari daerah
lain yang kebanyakan berasal dari Minangkabau. Orang yang menyebarkan ajaran
Islam ini biasa disebut dengan Siak, yaitu orang yang taat beragama seperti halnya
dengan mubalig, ulama, imam atau bilal. Adapun orang-orang Siak yang pernah
datang ke Kerinci mengajarkan agama Islam antara lain sebagai berikut :
1. Siak Lengeih di Koto Pandan
2. Siak Jelir di Siulak
3. Siak Rajo di Sungai Medang
4. Siak Ali di Koto Beringin Semurup
5. Siak Sati di Koto Jelatang Hiang
6. Siak Baribut Sati di Koto Merantih Terutung
7. Siak Ji (Haji), makamnya di Lunang (Inderapura)
Masuknya agama Islam ke Kerinci yaitu sekitar abad ke-9 sampai abad ke-13
ketika Kerinci masih dikuasai oleh Sugindo-sugindo yang kemudian lenyap dan
dikuasai oleh Depati IV-8 Helai Kain sampai awal abad ke-20 (1904).
4.3.4. Perlawanan Rakyat Kerinci Menentang Penjajahan Belanda
Sampai tahun 1906, Kerinci tidak pernah dijajah oleh negara atau kerajaan
manapun. Hal ini disebabkan oleh banyak yang tidak mengetahui keberadaan
daerah Kerinci karena terletak di daerah yang cukup sulit dicapai dan memiliki
medan yang sulit ditempuh. Diperkirakan bahwa Kerinci adalah daerah yang
terakhir di Indonesia yang dijajah oleh Belanda, padahal saat itu daerah di
sekitarnya seperti Minangkabau, Jambi dan Bengkulu telah lebih dulu dijajah oleh
Belanda.
Sebelum memasuki abad ke-20, banyak orang Kerinci yang berdagang
hingga ke luar daerah seperti ke Muko-Muko dan Indrapura. Melihat banyaknya
pedagang Kerinci yang datang maka timbul keinginan orang Belanda untuk
30
datang ke Kerinci. Niat Orang Belanda untuk datang ke Kerinci mendapat
pertentangan dari masyarakat Kerinci yang dipimpin oleh Depati Parbo. Kejadian
ini menyebabkan kemarahan orang Belanda, mereka berinisiatif untuk menyerang
Kerinci.
Pada tahun 1903 Belanda menyerang Kerinci dari tiga jalur yaitu dari
Jambi, Muko-Muko, dan Indrapura. Pasukan Indrapura berhasil menaklukkan
daerah Kerinci Hulu dan tengah, sedangkan pasukan dari Jambi menaklukkan
bagian timur, begitu juga dengan pasukan dari Muko-Muko yang menaklukkan
daerah bagian selatan, semuanya mendapatkan perlawanan yang gigih dari rakyat
Kerinci. Walaupun sudah banyak dusun-dusun yang diduduki Belanda, gerilya
sepanjang malam tetap terus dilakukan oleh rakyat. Dengan dalih hendak
membunuh keluarga Depati Parbo, maka Depati Parbo bersedia untuk berunding
dengan Belanda. Dalam perundingan tersebut Depati Parbo ditangkap dan
dibuang ke Jakarta dan Ternate. Setelah Depati Parbo ditangkap, perlawanan
rakyat terus berlangsung dibawah pimpinan Haji Umar dan Pangeran Mudo dari
Bangko namun berakhir dengan jatuhnya banyak korban tewas. Kemudian
perlawanan dilanjutkan oleh Ki Marakabeh dari Semurup yang telah menyusun
kekuatan, namun karena pengkhianatan akhirnya perlawanan ini gagal dan
pasukan Ki Marakabeh banyak yang tewas (Disparbud Kerinci, 2004).
Setelah perlawanan Haji Umar, maka berakhirlah perlawanan rakyat Kerinci
menentang Belanda pada pertengahan tahun 1906. Depati Parbo dikenal sebagai
pahlawan rakyat Kerinci dalam menentang penjajah. Belanda berkuasa dan
berdasarkan ketetapan kerajaan Belanda maka pada tanggal 1 Januari 1906
Kerinci disatukan dengan Jambi menjadi satu Karesidenan yang diperintah oleh
Residen yang bernama O. B. Folfach. Pada tahun 1922 kerasidenan dipindahkan
ke Pesisir Selatan sampai tahun1942 kedudukan Jepang.
Proklamasi 17 Agustus 1945 yang di umumkan oleh Sukarno – Hatta
membuka lembaran baru sejarah perjuangan rakyat Kerinci. Setelah menerima
selebaran dan telegram dari Padang, pada hari jumat tanggal 31 Agustus 1945
Sang Saka Merah Putih dikibarkan pertama kalinya di Kerinci tepatnya di Masjid
Raya Sungai Penuh oleh A. Thalib.
31
4.3.5. Periode Kemerdekaan
Pada tanggal 21 Juli 1958, rakyat Kerinci mengadakan kongres yang
menghasilkan resolusi untuk diajukan kepada pemerintah pusat agar Kerinci
menjadi satu kabupaten dalam provinsi Jambi. UU Darurat RI Nomor 19 tahun
1957 menetapkan pemekaran provinsi Sumatera Tengah menjadi Provinsi Jambi,
Sumatera Barat, dan Riau. Dengan adanya UU Nomor 61 tahun 1958, Kerinci
ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II. Peresmian baru dilakukan pada tanggal 10
November 1958 oleh Gubernur Jambi saat itu yaitu Yusuf Singadekane. Tanggal
10 November tersebut setiap tahunnya diperingati sebagai hari jadi Kabupaten
Kerinci. Sampai sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang RI Nomor 22
tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, daerah ini resmi menjadi Kabupaten
Kerinci
dalam
wilayah
Provinsi
Jambi.
Selanjutnya,
dengan
berbagai
pertimbangan pemerintah, maka pada tahun 2008 Kabupaten Kerinci mengalami
pemekaran wilayah menjadi wilayah Kabupaten Kerinci dan Kotamadya Sungai
Penuh. Adapun pertimbangan dalam melakukan pemekaran wilayah antara lain
sebagai berikut :
1. Keputusan Pemerintah Kerajaan Belanda (Government Besluit) Nomor
13 tanggal 3 November 1909, Sungai Penuh ditunjuk sebagai Ibukota.
2. Aspirasi masyarakat membentuk Kota Sungai Penuh sejak tahun 1970an.
3. Perkembangan Kota Sungai Penuh tidak efektif dikelola hanya oleh
pemerintah Kecamatan.
4. Kota Sungai Penuh merupakan kota terpadat kedua di Provinsi Jambi
setelah Kota Jambi.
5. PP Nomor 129 tahun 2000 tentang persyaratan pembentukan dan kriteria
pemekaran, penghapusan dan penggabungan daerah.
6. Untuk peningkatan pelayanan publik dan percepatan pembangunan.
7. Hasil penelitian oleh Prof. Dr. Sadu Wasistiono, MS (Pasca Sarjana
IPDN) tahun 2005 yang menyatakan bahwa Kabupaten Kerinci layak
untuk dimekarkan.
Dengan disahkannya UU Nomor 25 tahun 2008 tentang Pembentukan Kota
Sungai Penuh oleh DPR – RI tanggal 21 Juli 2008 dan diresmikan oleh Menteri
32
Dalam Negeri H. Mardiyanto maka pada tanggal 8 November 2008, Sungai Penuh
resmi berpisah dari Kabupaten Kerinci dan menjadi Kotamadya Sungai Penuh.
Kota Sungai Penuh saat ini terdiri dari lima kecamatan yaitu, Kecamatan Sungai
Penuh, Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan Pesisir Bukit, Kecamatan
Kumun Debai, dan Kecamatan Tanah Kampung.
4.4. Aspek Budaya
4.4.1.Arti dari Larik dan Luhah
Larik dalam bahasa Kerinci disebut Laheik. Larik merupakan sebutan untuk
rumah – rumah Uhang Kincai (orang Kerinci) yang berupa rumah panggung dan
berjajar memanjang dari Timur ke Barat (Laheik Jajo). Rumah Larik berdiri di
atas sebidang tanah empat persegi panjang yang disebut “Pahit Basudut Mpat”
atau Parit Bersudut Empat. Status tanah parit bersudut empat ini adalah tanah adat
yang hak guna tanahnya diatur menurut hukum oleh Depati dan Ninik Mamak.
Rumah Larik terdapat dalam sebuah Luhah. Luhah tidak sama dengan
Lurah. Luhah yaitu sebuah dataran pemukiman yang terdiri dari kelebu – kelebu
atau kelompok – kelompok perut membentuk satu kesatuan masyarakat yang
dipimpin oleh Depati dan dibantu oleh Ninik Mamak. Kelebu adalah segolongan
orang yang berasal dari satu keturunan nenek moyang yang perempuan dikepalai
oleh Ninik Mamak. Rumah Larik Limo Luhah yang terdapat di Kota Sungai
Penuh terdiri dari Luhah Rio Mendiho (Romen), Luhah Rio Jayo (Rioja), Luhah
Rio Tamenggung (Rita), Luhah Pamangkou Rajea (Praja), dan Luhah Datuk
Singarapi Puteah (dasira). Satu luhah dapat terdiri dari beberapa larik dan satu
larik dapat terdiri dari beberapa rumah (Gambar 10).
33
Gambar 10. Rumah Larik yang Limo Luhah
4.4.2. Filosofi Hidup Masyarakat Kerinci
Masyarakat Kerinci atau uhang kincai termasuk suku bangsa yang memiliki
filosofi hidup. Sama halnya dengan masyarakat suku Minangkabau yang memiliki
filosofi alam takambang jadi guru, masyarakat Kerinci juga memiliki filosofi
hidup yang berorientasi pada alam. Filsafat alam yang mereka anut tercermin dari
peribahasa atau petitih – petitih adat yang menceritakan tentang keadaan alam,
misalnya:
“Sekalai aye daleang sekalai barasek pulau”
Artinya : “Setiap mengambil keputusan sering berubah-ubah sesuai
dengan situasi dan kondisi”.
“Siko kbea ngubeang galo-galo kno patek ludok”
Artinya : “ Seseorang tercemar nama baiknya, sekampung terbawa
nama”.
Petitih-petitih adat ini berlaku dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat Kerinci sebagai pedoman dan ajaran mereka dalam bertindak atau
melakukan suatu kegiatan. Disamping agama Islam yang sebagian besar dianut
oleh masyarakat Kerinci, terdapat adat-istiadat yang juga mengatur kehidupan
mereka. Masuknya agama Islam ke Kerinci pada abad ke-13 menyempurnakan
34
dan melengkapi ajaran adat yang sudah ada terlebih dahulu. Seperti pepatah yang
berbunyi : “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah, adat memakai,
syarak mengato, benar kata adat, syah kata syarak”. Masyarakat Kerinci yang
dahulu masih menganut kepercayaan terhadap hal-hal gaib (animisme) pada masa
sekarang telah menganut agama Islam. Akan tetapi, sebagian dari masyarakat
masih memiliki kepercayaan berhubungan dengan gaib yang mereka lakukan
dalam keadaan tertentu seperti dalam pelaksanaan kesenian adat kenduri pusaka
dan bentuk kegiatan lainnya. Sistem kepercayaan mereka padukan dengan ajaran
Islam untuk membentuk suatu paduan yang sempurna ke arah tujuan yang lebih
baik dan hanya dipergunakan untuk hal-hal tertentu saja. Menurut Afanti (2007)
kesenian Tari Asik Naik Mahligai Istana Kaco adalah salah satu contoh atraksi
kesenian yang menggabungkan kepercayaan dengan Islam sehingga para penari
dapat memijak kaca, memijak bara api, dan atraksi berbahaya lainnya dengan
membaca mantra – mantra dan membakar kemenyan serta menyediakan sesajian.
Semua kegiatan masyarakat yang dilakukan tetap berpegang teguh pada ajaran
adat istiadat dan agama Islam.
4.5. Kelembagaan dan Pemerintahan Adat
4.5.1. Organisasi dan Struktur Pemerintahan Adat
Rumah Larik Limo Luhah Kota Sungai Penuh berada dalam wilayah adat
Depati Nan Bertujuh. Wilayah adat Depati Nan Bertujuh ini memiliki para
pemangku adat yang terdiri dari Depati Nan Bertujuh, Permanti Nan Sepuluh,
Pemangku Nan Berduo, serta Ngabi Teh Santio Bawo. Setiap pemangku adat
memiliki
tugasnya
masing-masing
dalam
pemerintahan
adat.
Struktur
pemerintahan adat dapat dilihat pada Gambar 11.
Selain para pemangku adat di atas, juga terdapat Tengganai yaitu anak
jantan yang tugasnya mengurus masalah dalam keluarga atau tumbi. Tengganai
termasuk salah satu pusaka yang tiga atau Sko yang tigo takah, yaitu :
1. Depati atau setingkat depati. Depati merupakan raja atau wakil raja yang
menjalankan pemerintahan dalam negeri. Depati berasal dari bahasa sanskerta
yaitu Adipati yang berarti kepala tertinggi.
35
2. Manti, berasal dari kata Menteri yang mengurus anak keponakan dalam luhah.
Fungsi ini dipegang oleh Ninik mamak yang bergelar Datuk, Rio, Pemangku,
dan ada yang langsung gelar skonya seperti Bujang Peniyang, Singarajo, dan
sebagainya. Depati dan Ninik Mamak adalah simbol tertinggi pada struktur
lapisan sosial masyarakat Kerinci.
3. Tengganai (anak jantan). Bertugas mengurus anak batino dalam keluarga atau
tumbi. Tengganai dipilih diantara anak jantan yang bijaksana, yaitu saudara
laki-laki tertua dari ibu, dan saudara yang muda atau adik ibu, ataupun sanak
famili ibu yang laki-laki dalam satu perut atau kelebu.
Gambar 11. Struktur Pemerintahan Adat Depati Nan Bertujuh
Sko yang tigo takah ini mencerminkan sistem adat alam Kerinci yang
mempunyai kedaulatan sendiri dengan bentuk semi kerajaan dan bercorak
demokratis. Dalam menyelesaikan suatu perkara, secara adat perkara diselesaikan
terlebih dahulu oleh tengganai rumah, jika tidak dapat diselesaikan dilanjutkan ke
Ninik Mamak dan Depati. Apabila hingga duduk tengganai, Ninik Mamak, dan
Depati tidak juga dapat diselesaikan, maka dibawalah perkara tersebut ke
Lembaga Kerapatan Adat Kerinci (LKAK). LKAK merupakan tempat
36
berhimpunnya para tokoh masyarakat untuk memutuskan suatu perkara
menyangkut negeri alam Kerinci yang terdiri dari kaum ulama, orang cerdik
pandai, tokoh-tokoh adat, dan generasi pemuda yang dikenal dengan sebutan
Uhang Empat Jenis.
4.5.2. Adat yang Berlaku dalam Masyarakat
Adat berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata majemuk, terdiri dari
a artinya tidak dan dat artinya nyata. Jadi Adat berarti sesuatu yang tidak nyata,
tetapi terasa. Etika, moral, budi, dan kemanusiaan merupakan contoh sesuatu yang
tidak nyata tetapi bisa dirasakan oleh manusia. Pengetahuan manusia mengenai
adat sebenarnya merupakan ajaran budi yang bersumber pada nilai luhur manusia
itu sendiri sebagai pelaku kehidupan dan bertingkah laku dalam kehidupan.
Dalam masyarakat Kerinci, adat telah dikenal dan digunakan oleh nenek moyang
mereka dahulu untuk mengatur kehidupan sehari-hari dan bermasyarakat. Seperti
petitih adat yang mengatakan : “Adat neghoi bapago adeak, adeak tapian bapago
baso” (Adat negeri berpagar adat, adat tapian berpagar basa). Maksudnya adalah
bila suatu negeri tanpa adat tanpa peraturan undang – undang negeri tersebut akan
kacau dan hancur. Akan tetapi, adat sering mengalami kepincangan dalam sejarah
manusia, maka setelah masuk Islam agamalah yang meluruskannya. “Adat
bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” maksudnya adalah adat dapat saja
berubah, tetapi syarak tidak boleh berubah. Seluko adat ini juga terdapat pada
daerah Minangkabau dan Jambi.
Sebelum masuk Islam1 , masyarakat Kerinci masih menggunakan adat
bersendi alur, patut, dan mungkin. Adat ini digunakan sebagai pemikiran atau
pertimbangan sebelum melakukan suatu tindakan atau kegiatan. Sebagai contoh :
di Sungai Penuh sekarang sulit mencari lahan kosong untuk dibangun, Sungai
Penuh memiliki banyak bukit (Alur). Seharusnya bukit-bukit diratakan untuk
menambah tanah (Patut), tapi mungkinkah bukit diratakan? (Mungkin).
Dalam pandangan masyarakat kerinci, adat sebagai sumber norma moral
dibagi menjadi dua bagian pokok, yaitu adat yang asli (sejak manusia sudah dapat
1
Hasil wawancara dengan mantan Ketua Adat Limo Luhah Sungai Penuh, Maret 2010
37
bergerak, berkata, dan sebagainya) dan adat yang tidak asli (sejak manusia telah
berkebudayaan). Setelah mengalami proses perjalanan sejarah hingga pengaruh
Hindu dan Islam, adat masyarakat kerinci dibagi menjadi empat macam yang
disebut dengan istilah “Adat yang Empat” (Disparbud Kerinci 2003), yaitu :
1. Adat yang Sebenar adat, adalah segala sesuatu yang berdasarkan hakekat alam,
seperti sunatullah, yang berhadist, berlapaz, bermakna. Adat ini tidak lekang
karena panas, tidak lapuk kena hujan (berlaku sepanjang masa).
2. Adat yang Diadatkan, adalah hasil kesepakatan dan mufakat nenek moyang
yang diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Adat ini tidak tertulis,
tetapi dipatuhi oleh masyarakat. Seperti pepatah mengatakan : “Rama – rama
sikumbang jati, khatib indah pulang berkuda, patah tumbuh hilang berganti,
adat lama seperti itu juga”. Maksudnya adalah adat sebagai warisan turun
temurun tetap berlaku sepanjang masa tidak terpengaruh oleh perubahan waktu
dan tempat.
3. Adat yang Teradat, adalah adat yang dipakai pada suatu tempat dengan
keadaan lingkungan yang kadang-kadang berubah. Seperti kata pepatah :
“sekali air besar, sekali tepian beranjak, sekali raja berganti, sekali peraturan
berubah”. Maksudnya adalah jika suatu adat tidak sesuai lagi dengan keadaan
zaman, maka adat lama bisa diubah disesuaikan dengan zaman, tetapi tidak
meninggalkan syarak dan kitabullah.
4. Adat-Istiadat, adalah adat yang dibuat berdasarkan musyawarah dan diubah
dengan musyawarah, seperti undang yang empat yaitu undang rajo, undang
negeri, undang dalam negeri, dan undang yang 20.
4.5.3. Sistem Kekeluargaan dan Kemasyarakatan
Sama halnya dengan suku Minangkabau, garis keturunan suku Kerinci
ditarik secara matrilineal atau matriarchat. Matriarchat berarti suatu suku bangsa
atau masyarakat, dimana hubungan keturunan ditentukan menurut garis keturunan
ibu (Disparbud Kerinci 2003). Meskipun garis keturunan suku Kerinci ditarik dari
garis keturunan ibu, masyarakat adat Kerinci tidak diperintah atau dipimpin oleh
seorang wanita. Seorang ibu di dalam keluarga berperan sebagai bendahara yang
mengatur harta benda dan kesejahteraan keluarga, sedangkan ayah yang berada
diluar keluarga anak dan isterinya disebut sebagai uhang semenda atau anok
38
batino dari keluarga ibu. Seorang ayah dalam keluarga memiliki kewajiban
memberi nafkah anak dan isterinya berupa nafkah lahir (rumah, pakaian,
makanan) dan nafkah batin (pendidikan, keturunan). Setiap suku-suku dari luar
yang berbaur maupun telah menjadi keturunan Kerinci langsung menjadi anok
batino didalam keluarga.
Dalam hubungan kekeluargaan masyarakat suku Kerinci, saudara-saudara
laki-laki dari ibu juga memiliki peranan penting dalam keluarga. Mereka berstatus
sebagai tengganai rumah atau mamak rumah. Tengganai rumah menerima
kekuasaan dari ibunya untuk mengatur rumah atau keluarganya, memelihara
kekayaan, serta mengurus kemenakannya. Sistem seperti ini dinamakan
Avonculat, artinya pertanggung jawaban anak-anak berada ditangan paman atau
mamaknya (Afanti 2007). Seperti kata pepatah rumah sekato tengganai, luhah
sekato penghulu, alam sekato rajo. Seorang ayah dalam keluarga harus tunduk
dan taat pada tengganai rumah, yaitu saudara laki-laki dari isterinya. Tengganai
termasuk salah satu warisan nenek moyang yang ditinggalkan yaitu sko yang tigo
takah.
Menurut Ketua Adat Limo Luhah Sungai Penuh, Sistem kemasyarakatan
suku Kerinci terdiri dari beberapa unsur, yaitu tumbi, pintu, perut, kelebu, dan
luhah. Unsur ini merupakan formasi asli dari kehidupan masyarakat Kerinci yang
menghasilkan sistem kepemimpinan adat seperti Depati, Rio, Ninik Mamak, dan
gelar adat lain yang terdapat di Kerinci. Unsur-unsur di atas dijelaskan satu
persatu sebagai berikut :
1. Luhah, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya luhah adalah suatu
permukiman yang terdiri dari beberapa kelebu atau kelompok perut yang
dipimpin oleh Depati dan Ninik Mamak.
2. Kelebu, yaitu sekelompok orang yang berasal dari satu keturunan nenek
moyang perempuan dan dikepalai oleh Ninik Mamak.
3. Perut, yaitu sekelompok orang yang memiliki ikatan pertalian darah dari
satu nenek moyang yang perempuan dan dikepalai oleh tengganai
dibawah naungan Ninik Mamak.
4. Pintu, hampir serupa dengan perut, pintu juga dikepalai oleh seorang
tengganai.
39
5. Tumbi, yaitu sekelompok orang yang berasal dari satu keturunan nenek
moyang perempuan dan dikepalai oleh bapak di bawah naungan
tengganai.
Sistem kemasyarakatan suku Kerinci dapat dikatakan unik. Sulit untuk
membedakan antara kelebu dan perut. Selain itu di beberapa dusun di Kerinci ada
yang tidak mengenal perut, ada yang kepemimpinannya hanya dengan Depati
tidak mengenal Ninik Mamak dan sebaliknya. Namun, perbedaan ini telah
disepakati oleh para pemangku adat di Kerinci karena sesuai dengan icopake
masing-masing dusun. Icopake artinya cara untuk melakukan sesuatu yang
merupakan adat turun temurun melalui kesepakatan bersama secara tidak
langsung.
4.6. Tata Guna Lahan dan Sistem Pemilikan Tanah
Tata guna lahan di Kota Sungai Penuh terdiri dari permukiman, pertanian,
jasa dan perdagangan, konservasi, perkantoran, dan sebagainya (Tabel 5). Jenis
penggunaan lahan yang terbesar adalah hutan untuk konservasi dan perumahan.
Tabel 5. Tata Guna Lahan di Kota Sungai Penuh
Luas
(Ha)
1 Jasa dan Perdagangan
30,404
2 Pendidikan
37,172
3 Kesehatan
28,845
4 Peribadatan
1,761
5 Pemerintahan/Perkantoran
22,368
6 Pertamanan/Olahraga/Rekreasi
136,334
7 Pariwisata
2,544
8 Perumahan
2729,72
9 Transportasi
618,629
10 Industri Kecil
2,6
11 Konservasi
2819,215
12 Pertanian (Lahan Cadangan)
1904,007
Luas Lahan
8333,82
Sumber : BAPPEDA Kota Sungai Penuh Tahun 2010
NO.
Jenis Penggunaan Lahan
(%)
0,36
0,45
0,35
0,02
0,27
1,64
0,03
32,75
7,43
0,03
33,63
22,65
100,00
Area konservasi memiliki luas terbesar sekitar 33,63 % dari total luas
Kota Sungai Penuh. Area konservasi ini didominasi oleh hutan hujan tropis
40
yaitu Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Luas perumahan atau
permukiman di Kota Sungai Penuh mencapai 2729,72 Ha atau 32,75 % yang
terdiri dari bangunan rumah dan pekarangan. Sedangkan area pertanian yang
juga berfungsi sebagai lahan cadangan memiliki luas sekitar 1904,007 Ha atau
22,65 % dari luas total. Area pertanian di kota Sungai Penuh didominasi oleh
persawahan yang terdiri dari sawah irigasi dan sawah tadah hujan. Area
persawahan berada pada daerah dengan topografi yang relatif datar dan dekat
dengan aliran sungai. Selain sawah, area pertanian juga terdiri dari kebun dan
ladang. Kebun dan ladang umumnya berada pada daerah dataran yang lebih
tinggi yaitu di daerah perbukitan dengan sumber air yang melimpah.
Masyarakat yang berkebun dan berladang biasanya adalah mereka yang
tinggal di daerah perbukitan dan tinggal di pusat kota. Tanaman perkebunan
yang ditanam oleh masyarakat antara lain Kayu Manis (Cinnamomum
burmanii), Cengkeh (Syzigium aromaticum), Kopi (Coffea sp.), Jeruk (Citrus
sinensis), dan lain sebagainya.
Berdasarkan data monografi Kelurahan Sungai Penuh tahun 2010, luas
area permukiman yaitu sekitar 35 Ha dari luas total 45 Ha, sedangkan sisanya
terdiri dari persawahan, tanah wakaf, dan perkantoran. Menurut hak
kepemilikan atas tanah dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh, hak
kepemilikan dibagi menjadi tiga macam, yaitu tanah milik pribadi (sawah atau
tanah basah dan ladang atau tanah kering), tanah milik kaum (parit sudut
empat), dan tanah milik negeri (tanah patok rajea). Seluruh tanah dalam
wilayah adat Depati Nan Bertujuh disebut dengan tanah adat atau di Kerinci
dikenal dengan istilah tanah ajun arah. Menurut Watson (1992), ajun arah
adalah sistem pembagian sebidang tanah yang belum digarap atau yang tidak
digarap dalam wilayah adat oleh para pemangku adat kepada orang yang
meminta untuk di ajun arah. Tanah ajun arah dibagi menjadi dua macam,
yaitu:
1. Hakuladami, yaitu tanah ajun arah yang di dalamnya diperbolehkan
adanya campur tangan manusia atau boleh dimanfaatkan oleh
manusia berupa hutan, parit sudut empat, sawah, dan ladang.
2. Hakullah, yaitu wilayah imbo bano atau rimba belantara yang
41
merupakan hutan larangan. Di hutan ini tidak diperbolehkan adanya
pemanfaatan oleh manusia karena hutan ini merupakan penyangga
hulu – hulu sungai. Contoh imbo bano ini yaitu Taman Nasional
Kerinci Seblat yang termasuk tanah patok rajea.
Hutan dan ladang yang umumnya berada di perbukitan merupakan milik
kaum yang telah di ajun arah. Untuk masyarakat Limo Luhah, tanah arah yang
berupa hutan dan ladang berada di daerah Desa Sungai Jernih, Desa Talang
Lindung, dan Renah Kayu Mbun. Masing-masing luhah memiliki tanah arah
yang dikelola oleh beberapa tumbi. Sebagian besar hutan diperbukitan telah
berubah fungsi menjadi ladang atau parak. Ladang biasanya ditanami dengan
berbagai tanaman palawija dan hortikultur. Tanah arah berupa ladang ini juga
berfungsi sebagai lahan cadangan untuk pemukiman apabila lahan untuk
permukiman di Rumah Larik Limo Luhah semakin menyempit dan tidak
memungkinkan untuk dilakukan pembangunan lagi. Sekarang, perkembangan
permukiman di daerah perbukitan ini sangat pesat, banyak masyarakat limo
luhah memilih untuk membangun rumah dan menetap di daerah ini.
sedangkan rumah yang terdapat di Rumah Larik Limo Luhah disewakan
kepada orang lain, baik kepada orang Kerinci maupun kepada pendatang. Dari
wawancara dengan masyarakat lokal, mereka membenarkan bahwa saat ini di
kawasan Rumah Larik Limo Luhah telah didominasi oleh pendatang dari
berbagai suku dengan status sebagai penyewa bukan pembeli. Bahkan, jumlah
pendatang dan masyarakat lokal saat ini memiliki perbandingan 3 : 1.
Dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh, tanah yang menjadi milik
pribadi biasanya adalah tanah hibah atau tanah hasil jual beli, dan sebagainya
yang pemakaiannya diatur oleh adat setempat. Sedangkan tanah milik kaum
yaitu parit sudut empat dimiliki secara bersama oleh luhah, kelebu, perut, dan
penggunaannya diatur oleh Ninik Mamak dengan persetujuan Depati. Tanah
adat parit sudut empat adalah tanah dataran yang dipergunakan untuk
bangunan rumah tinggal dan bangunan rumah tradisi orang Kerinci yang
luasnya sekitar 100 depa persegi. Tanah ini dikelilingi oleh parit sedalam 2 m
dan lebar 2,5 m, namun sekarang tidak ditemui lagi parit ini di Rumah Larik
Limo Luhah (Disparbud Kerinci 2003). Parit ini disamping berfungsi sebagai
42
batas permukiman Rumah Larik juga memiliki fungsi sebagai sirkulasi air atau
limbah dan melindungi dari serangan hewan buas. Tanah milik negeri atau
tanah patok rajea terdiri dari jalan umum, tepian tempat mandi, sumur air
minum, dan rimba belantara.
Masyarakat Kerinci mengenal adanya harta pusaka, harta pembawaan,
dan harta pusaka guntung. Harta pusaka merupakan harta warisan nenek
moyang yang telah turun temurun dan biasanya dikuasai oleh kaum atau
luhah. Harta pusaka terbagi menjadi dua jenis yaitu, harta pusaka tinggi dan
pusaka rendah. Pusaka tinggi diperoleh melalui tembilang besi, yang artinya
diperoleh dari warisan nenek moyang atau orang tua mereka terdahulu berupa
sawah, ladang, rumah pusaka dan sebagainya dimana hak gunanya dikuasai
oleh pihak wanita, Sedangkan pusaka rendah diperoleh melalui tembilang
emas, yaitu dari pembelian atau pemberian orang tua mereka dan diturunkan
kepada anak laki-laki dan perempuan. Harta pembawaan adalah harta yang
telah ada atau dimiliki oleh pihak laki-laki maupun perempuan sebelum
mereka menjadi suami isteri. Apabila terjadi perceraian di antara keduanya,
maka harta pembawaan laki-laki tetap menjadi haknya dan harta pembawaan
perempuan juga tetap menjadi haknya. Harta pencarian bersama tetap dibagi
dua, kecuali mereka mempunyai anak. Harta pusaka guntung adalah apabila
suami isteri tidak memiliki anak atau keturunan sedangkan mereka meninggal
dunia, maka harta pencarian bersama mereka dibagi dua kepada orang tua
pihak suami dan orang tua dari pihak isteri. Apabila kedua orang tua mereka
telah meninggal dunia, maka harta diserahkan kepada kelebu atau perut.
4.7. Elemen – Elemen Lanskap Rumah Larik Limo Luhah
Dalam masyarakat suku Kerinci, berdirinya suatu negeri harus memiliki
beberapa persyaratan baik syarat non fisik maupun fisik. Syarat-syarat tersebut
disebutkan dalam pepatah adat yang berbunyi :
“neghoi sekato rajea, luhah sekato penghulu, rumah sekato tengganai”
“pahit sudut mpat, umoh batanggo, laheik bajajo, berlubuk bertapian,
bersawah baladeang, babale bamesjoik, bapandan pekuburan”.
43
Artinya :
“ Negeri mengikuti kata raja, luhah mengikuti kata penghulu, dan rumah
mengikuti kata tengganai”
“ Memiliki batas wilayah yaitu parit bersudut empat, memiliki rumah
tempat tinggal, memiliki larik yang berjejer, memiliki jalan dan
pemandian umum, memiliki sawah dan ladang, memiliki balai dan
masjid atau surau, memiliki tempat pemakaman”.
4.7.1. Elemen – Elemen Non Fisik (Intangible Elements)
4.7.1.1. Struktur Kepemimpinan dalam masyarakat
Syarat – syarat kelengkapan sebuah negeri yang termasuk elemen non
fisik seperti yang telah disebutkan dalam pepatah di atas merupakan salah satu
warisan yang ditinggalkan oleh nenek moyang suku Kerinci yang masih
dipertahankan sampai saat ini yaitu sko yang tigo takah. Sko yang tigo takah
ini terdiri dari Depati, Ninik Mamak, dan Tengganai. Depati merupakan
pemimpin negeri, Ninik Mamak mengurus luhah sedangkan tengganai sebagai
pengurus rumah. Dalam mengangkat pemangku adat terdapat beberapa
persyaratan yang harus dimiliki dan dimusyawarahkan dalam kerapatan adat
oleh para depati dan Ninik Mamak. Seorang Depati dan Ninik Mamak selain
berparuh besar, langsing kukuk, lebar sayap, dan kembang ekor juga harus
masin lidah (pandai berbicara), cepat tangan (cepat bertindak), ringan kaki
(cepat bergerak), dan tahan lantak (kuat dalam menghadapi masalah).
Berbeda dengan Depati dan Ninik Mamak, gelar tengganai langsung
jatuh pada anak jantan yaitu saudara laki-laki dari ibu atau anak batino.
Pengangkatan tengganai tidak melalui musyawarah maupun upacara seperti
jadi Depati dan Ninik Mamak. Dalam penobatannya sebagai pemimpin
masyarakat, Depati dan Ninik Mamak harus mengucapkan sumpah atau
perbayo. Mereka tidak boleh berkhianat, tamak, dan sombong. Akan tetapi
haruslah cerdik bijaksana, kaya budiman, dan berilmu. Dalam menjalankan
pemerintahan dengan sistem kedepatian, tidak ada seorang Depati yang
kekuasaannya lebih tinggi dari Depati lainnya. Para Depati memiliki
kekuasaan yang sama tidak ada yang menjadi pimpinan tertinggi dan tidak ada
44
yang menjadi bawahan. Keputusan diambil melalui musyawarah mufakat para
Depati dan Ninik Mamak. Hal ini telah berlangsung sejak lama dan turun
temurun yang mencerminkan bahwa masyarakat suku Kerinci sejak dahulu
telah hidup dengan sistem kekeluargaan dan kemasyarakatan yang tinggi.
4.7.1.2. Aktivitas Masyarakat Adat Limo Luhah Sungai Penuh
Selain struktur kepemimpinan dalam masyarakat yang berupa sko yang
tigo takah, elemen non fisik lainnya adalah aktivitas sosial dan budaya
masyarakat. Aktivitas sosial dan budaya ini lahir dari adat istiadat dan
kepercayaan masyarakat yang telah berlangsung turun temurun dan masih
dilakukan hingga sekarang. Aktivitas –aktivitas ini berupa upacara-upacara
adat yang dilakukan pada waktu-waktu tertentu. Lain padang lain belalang,
lain lubuk lain ikannyo. Pepatah ini masih berlaku hingga sekarang.
Upacara adat di Kerinci banyak macamnya, upacara di masing-masing
dusun tidak sama, sesuai dengan icopake dari masing-masing dusun tersebut.
Icopake boleh berbeda antara masing-masing dusun, tetapi adat yang
dijunjung tetap sama. Sesuai dengan prinsip “adat nan serupa icopake nan
berlainan”. Prinsip ini bukan berarti masyarakat Kerinci terpecah belah
karena tidak memiliki rasa persatuan dan kesatuan, tetapi menunjukkan nilai
seni budaya tinggi yang dimiliki oleh masyarakat suku Kerinci dan
kemampuan untuk mengembangkan adat istiadatnya tanpa merubah nilai-nilai
asli dari para leluhur mereka.
Dalam pelaksanaannya, upacara adat di daerah Kerinci khususnya oleh
masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh ada yang masih dilakukan sampai
sekarang dan ada pula yang sudah ditinggalkan. Upacara adat oleh masyarakat
suku kerinci dibagi menjadi tiga kelompok (Disparbud Kerinci 2003), yaitu :
1. Upacara adat “Titian teras bertangga batu”
2. Upacara adat “ Cupak gantang kerja kerapat”
3. Upacara adat “ Tumbuh-tumbuh roman-roman”
Upacara adat “Titian teras bertangga batu” adalah suatu upacara adat
yang dilakukan berkesinambungan dari generasi ke generasi yang dapat
dijumpai sepanjang hidup. Yang termasuk upacara adat ini antara lain upacara
45
kenduri sko, penobatan depati dan Ninik Mamak, tindik dabur dan sunat
Rasul, khatam Al-Quran, adat perkawinan, kehamilan, kelahiran, aqiqah, kerat
pusar, turun ke air (turun mandi), dan upacara kematian.
Upacara adat “Cupak gantang kerja kerapat” memiliki pengertian yaitu,
suatu upacara adat yang meliputi mata pencaharian hidup dan sosial
kemasyarakatan yang dilaksanakan secara bersama-sama atau gotong-royong.
Upacara adat ini misalnya kegiatan mendirikan rumah baru, pekerjaan menarik
ramuan
kayu
dari
rimba,
merendam
ramuan
kayu,
gotong-royong
membersihkan bendar, menanam benih, menuai padi, kenduri sudah tuai,
kenduri tolak bala, dan upacara yang berhubungan dengan spiritual.
Upacara adat “Tumbuh-tumbuh roman-roman” merupakan suatu
upacara adat yang dilaksanakan dalam keadaan tertentu sesuai dengan
permasalahan yang timbul dan bersifat khusus. Upacara adat ini meliputi
upacara asyeik negeri, talea naik haji, mengangkat anak angkat, pelanggaran
hukum adat, melepas nazar dan upacara silang sengketa.
Seluruh upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat suku Kerinci,
disamping menjadi warisan budaya nenek moyang mereka juga mempunyai
fungsi antara lain sebagai :
a. memperkuat persatuan dan kesatuan kekerabatan dalam suku
khususnya,
dan
meningkatkan
silaturahmi
dalam
kehidupan
bermasyarakat pada umumnya.
b. kebanggaan masyarakat suku Kerinci bahwa mereka juga memiliki
tata cara adat tersendiri yang tidak kalah dengan daerah lainnya.
c. media berkomunikasi antara generasi muda dan generasi tua dalam
menyampaikan pesan, saran, dan nasihat untuk kehidupan yang lebih
baik.
d. sarana pembinaan bagi para generasi muda yang akan melestarikan
nilai-nilai tradisional dan budaya warisan nenek moyang.
Adapun upacara adat dan aktivitas budaya yang dilakukan masyarakat
adat Limo Luhah Sungai Penuh antara lain :
4.7.1.2.1. Upacara adat Perkawinan
Adat perkawinan yang dilakukan masyarakat Kota Sungai Penuh
46
umumnya sekarang sudah menurut aturan hukum Islam, namun adat lama
masih dipakai seperti “kawin semenda”, yaitu pihak pria mengikuti istri dan
tinggal di rumah mertuanya. Pihak pria yang tinggal di rumah mertuanya
menurut icopake masing-masing dusun ada dua cara :
1. Mulang, yaitu pengantin pria diantar oleh keluarga, kaum kerabat dan
Depati serta Ninik Mamak kembali ke rumah pengantin wanita.
2. Baserau baimbei, yaitu pengantin wanita memanggil atau menjemput
pengantin pria di rumahnya, secara bersama kembali ke rumah pengantin
wanita.
Pengantin dalam istilah kerinci disebut “muntaing”. upacara pernikahan
dilaksanakan dirumah mempelai perempuan pada siang hari, pada hari yang
telah ditetapkan tengganai rumah. Sebelum pelaksanaannya, rumah pihak
mempelai perempuan dihiasi pelaminan. Di pintu gerbang masuk dibuat
gapura yang berwarna-warni. Di halaman depan didirikan tenda (taruk),
sedangkan di ruangan utama disediakan kursi pengantin atau pelaminan.
Pelaminan perkawinan masyarakat suku Kerinci adalah merupakan tempat
acara akad nikah dan tempat bersanding. Pelaminan pengantin terdiri dari
tempat duduk, layar belakang, langit-langit, dan alat perlengkapan atau
aksesoris sebagai hiasan.
Saat upacara akan dilaksanakan, kedua pengantin mengenakan pakaian
adat dan “dudok basanding” di atas kursi yang sudah disediakan dan
didampingi dua orang dara kecil sebagai dayang (tukang kipas). Sikap dudok
basanding untuk pengantin pria ialah bersila dan sikap pengantin wanita
bertimpuh duduk di atas lapik. Selesai sholat dzuhur, para undangan mulai
berdatangan. Para pemangku adat, orang tua, cerdik pandai dipersilahkan
masuk dan mengambil tempat di ruang utama sedangkan undangan umum
mengambil tempat di taruk atau dirumah tetangga terdekat.
Tuan rumah lalu menghidangkan Nasi Ibat (nasi yang dibungkus dengan
daun pisang berbentuk segi empat) untuk para undangan dan pemangku adat.
Jika
diperkirakan
para
undangan
sudah
datang
semuanya,
mereka
dipersilahkan menyantap hidangan yang telah dipersiapkan oleh tengganai
rumah. Selesai makan bersama, tengganai melanjutkan acara dengan
47
memberikan petatah-petitih adat (dalam bahasa Kerinci disebut Parno). Isi
Parno yang disampaikan tengganai dihadapan para undangan antara lain :
a. Menyampaikan ucapan terima kasih kepada para undangan karena
telah memenuhi undangan peresmian pernikahan anak kemenakan
b. Meminta doa restu agar kedua mempelai dapat hidup bahagia, rukun
dan damai, dapat membina rumah tangga yang syakinah, mawaddah,
warahmah.
Kemudian dilanjutkan pula dengan penyampaian kata-kata nasihat
untuk kedua pengantin diwakili oleh salah seorang dari undangan dan diakhiri
dengan bersalam-salaman dengan kedua pengantin.
4.7.1.2.2. Upacara Adat Kematian
Penyelenggaraan adat kematian dimana-mana pada umumya sama.
Masyarakat Suku Kerinci di Sungai Penuh juga melakukan upacara adat
kematian seperti dusun-dusun lainnya. Pertama kali keluarga yang
bersangkutan memberitahukan berita kematian kepada Tuo Tengganai, Ninik
Mamak dan pegawai Masjid untuk diminta disampaikan kepada masyarakat
umum supaya dapat diketahui masyarakat luas. Tetangga dan kerabat yang
mendengar berita ini datang menampakkan muka tanda ikut berduka cita.
Sedangkan kaum ibu yang datang biasanya membawa secupak beras (dalam
bahasa Kerinci disebut beras Po) dan diserahkan pada ahli waris. Serta
mengisi kotak sosial kematian dengan sejumlah uang yang telah disepakati
bersama.
Setelah masyarakat berdatangan, barulah jenazah dimandikan dan
dikafani. Kemudian jenazah dibawa turun dari rumah dan di tempatkan ke
dalam keranda yang beralaskan kasur kecil dan tikar pandan. Keranda
kemudian ditutup dengan kain khusus berwarna hitam bertuliskan ayat-ayat
Al-qur’an.
Selanjutnya barulah upacara mulai dilaksanakan dengan tertib acara
sebagai berikut :
1) Salah satu dari tengganai atau ahli waris almarhum/almarhumah
menyampaikan pidato di hadapan para takzi dan takziyah. Isi pidato tersebut
48
antara lain :
a) Menyampaikan tanggal kelahiran almarhum/almarhumah, meninggal
pukul ….., hari…., tanggal …
b) Menyampaikan jumlah saudara almarhum/almarhumah serta
keturunan almarhum kalau ada.
c) Menerangkan tentang jalan kematian almarhum/almarhumah
d) Menerangkan riwayat hidup almarhum/almarhumah
e) Menyampaikan permohonan maaf kepada takzi/takziyah jikalau ada
terdapat kesalahan semasa hidup almarhum/almarhumah
f) Menyampaikan informasi bahwa para ahli waris akan bersedia
menunggu kedatangan para takzi/takziyah untuk menyelesaikan
secara kekeluargaan hutang-piutang almarhum/almarhumah jika ada.
2) Penyampaian nasihat kematian (biasanya oleh salah satu Ustadz yang
hadir).
3) Membawa jenazah ke mesjid terdekat untuk di sholatkan
4) Membawa jenazah ke pandan perkuburan untuk dimakamkan.
5) Pembacaan Do’a.
Pada malam harinya dilaksanakan pengajian dua atau tiga malam
berturut-turut. Pada hari ketiga diadakan acara membersihkan kuburan (dalam
bahasa Kerinci disebut acara Naek Tmpak) dan diakhiri dengan acara
mengundang tetangga atau keluarga terdekat untuk acara penutupan dengan
makan bersama.
4.7.1.2.2. Kenduri Sko
Kenduri sko adalah upacara penobatan Depati-Ninik Mamak. Upacara
ini merupakan tradisi dari orang Kerinci yang sudah berlangsung selama
ratusan tahun. Pada dasarnya upacara ini merupakan penghormatan kepada
leluhur nenek moyang mereka yang sudah mencencang melatih mengurat
mengukir yang berarti telah meletakkan dasar kehidupan pertama kali pada
pemukiman atau dusun untuk tempat kehidupan dan silaturahmi kekeluargaan
dengan kelompok lain yang masih bertalian darah.
Pengangkatan Depati-Ninik Mamak tidak sembarang angkat, tetapi
49
dipilih orang yang bijaksana, berparuh besar, langsing kukuk, lebar sayap,
dan kembang ekor.
Berparuh besar maksudnya pandai bicara dan tahu tentang adat.
Langsing kukuk berarti perkataannya dituruti oleh orang lain.
Lebar sayap artinya adil dan berlapang dada.
Kembang ekornya artinya dapat membedakan baik dan buruk.
Waktu untuk melaksanakan kenduri sko tidak ditentukan karena untuk
menyelenggarakannya membutuhkan biaya yang sangat besar hingga
mencapai ratusan juta rupiah. Kenduri sko menurut tradisi Kerinci ada
beberapa jenis, yaitu sebagai berikut :
a. Kenduri sudah tuai, upacaranya sekali setahun setiap sesudah panen
padi.
b. Kenduri tengah padang, dilaksanakan di suatu lapangan terbuka yang
melibatkan masyarakat.
c. Kenduri sko yang sebenarnya, yaitu penobatan tetua adat dan
penurunan benda-benda pusaka leluhur.
Upacara kenduri sko sendiri terdiri dari beberapa kegiatan yaitu :
1. Perundingan Ninik Mamak
2. Perundingan Depati
3. Ajun Arah (minta izin)
4. Pemotongan kerbau
5. Penurunan dan memandikan benda pusaka
6. Acara kesenian rakyat
7. Pembacaan garis keturunan (ranji)
8. Menjemput calon yang akan dinobatkan
9. Penobatan
10. Pembacaan sumpah jabatan
11. Mengantarkan ke rumah istri dan makan bersama
Berbagai tahapan kegiatan yang dilakukan selama kenduri sko memiliki
makna kekeluargaan dan kekerabatan yang tinggi dalam masyarakat satu
kaum sehingga dapat disimpulkan tujuan diadakannya kenduri sko, yaitu :
a.
Pengangkatan tetua adat dalam dusun, luhah, kalbu atau perut dengan
50
pemberian gelar Depati, Pemangku, Datuk, Rio, dan setingkat Ninik
Mamak.
b.
Menurunkan benda-benda pusaka nenek moyang untuk diperlihatkan
kepada masyarakat dan memandikannya dengan upacara malimau puseko.
c.
Menentukan kembali tanah-tanah ajun arah (tanah ulayat) milik bersama,
baik yang berupa sawah atau ladang.
d.
Menetapkan hukum adat atau mengatur kembali hal-hal yang patut diatur.
e.
Mengingatkan kepada jasa-jasa para pendahulu dan mengucapkan syukur
kepada Tuhan.
f.
Kesempatan untuk bermaaf-maafan.
4.7.1.2.4. Upacara Membangun Rumah
Salah satu upacara adat yang tidak dapat dijumpai lagi saat ini pada
masyarakat Limo Luhah adalah upacara membangun rumah. Upacara ini
dilakukan apabila orang tua mendapatkan keturunan seorang anak perempuan,
maka orang tua harus mendirikan sebuah rumah untuk anak perempuannya
yang menyambung dengan rumah orang tuanya. Membangun rumah tidak
hanya menjadi tanggung jawab orang tua, tetapi juga menjadi tanggung jawab
Ninik Mamak dan Tengganai rumah. Membangun sebuah rumah diawali
dengan pencarian kayu di hutan yang dipimpin oleh seorang pawang. Pawang
adalah seseorang yang memiliki keahlian dalam menentukan pohon yang
cocok untuk digunakan sebagai bahan bangunan. Pada tahap ini, pawang
memilih pohon untuk tiang tuo di hutan dengan cara mengetuk-ngetuk batang
pohon. Pohon yang terpilih kemudian ditancapkan dengan sebuah kapak. Hari
berikutnya dilanjutkan dengan memeriksa kapak yang telah ditancapkan ke
batang pohon kemarin apakah jatuh atau tidak. Jika kapaknya jatuh, maka
pohon tersebut tidak diizinkan oleh penunggu pohon untuk ditebang dan
kualitasnya kurang baik. Sedangkan pohon dengan kapak yang masih
menancaplah yang digunakan untuk membangun rumah. Pohon yang terpilih
ini kemudian ditebang secara bersama-sama oleh masyarakat dan diiringi
dengan tale2 oleh anak batino untuk menambah semangat kerja bagi anak
jantan. Setelah ditebang, kayu ditarik bersama-sama menuju dusun tempat
51
untuk membangun dengan masih diiringi tale.
Selama perjalanan menarik kayu dari hutan ke dusun, kayu dihamburi
dengan beras, kunyit, dan bunga-bungaan dengan maksud untuk mengusir
penghuni-penghuni kayu yang masih terbawa. Setelah sampai di dusun, kayu
tersebut direndam dalam lumpur agar tahan lama dan kayu tidak berbubuk.
Kayu tersebut direndam selama 6 bulan hingga 1 tahun. menurut Depati Adam
Rasul, kayu yang direndam ini dapat bertahan hingga 5 sampai 15 tahun.
Sebelum pekerjaan membangun rumah dimulai, diadakan sebuah kenduri kecil
dengan menyembelih seekor ayam. Darah ayam ini diserahkan kepada
penghuni dengan maksud agar nanti dalam pembangunan rumah tidak terjadi
kecelakaan yang menyebabkan luka dan mengeluarkan darah. Semua
pekerjaan diatur oleh Tengganai dan tukang yang ahli. Pekerjaan ini
melibatkan banyak anggota masyarakat karena dikerjakan secara gotong
royong. Menurut Datuk Supratman, gotong royong dilakukan pada siang hari
setiap hari sabtu hingga rabu. Hari kamis umumnya masyarakat tidak bekerja,
mereka melakukan kegiatan mencukur rambut dan sebagainya untuk shalat
jumat pada keesokan harinya. Rumah Larik menggunakan ukiran-ukiran yang
dikerjakan oleh ahlinya. Alat untuk mengukir adalah beliung yang ujungnya
dipasang besi.
Pada saat membangun rumah, tiang tuo dilubangi terlebih dulu bagian
bawahnya dan dimasukkan sedikit ramuan berupa emas, ampas besi, timah
putih, dan timah hitam. Emas maksudnya adalah agar penghuni rumah banyak
rezeki, ampas besi untuk penangkal petir, dan timah untuk mengusir atau
mencegah orang lain berbuat jahat terhadap penghuni rumah. Selain itu, pada
tiang tuo diikat dengan beberapa tanaman, antara lain :
2
Tale: nyanyian atau lagu khas Kerinci (sumber: http://books.google.co.id/books, 23 mei
2010).
52
a. Sebatang tebu, hikmahnya agar rumah tersebut sering didatangi tamu
dan harus dihormati.
b. Pisang batu satu tandan, agar penghuni rumah banyak rezeki.
c. Urai pinang, agar penghuni rumah memiliki keturunan.
d. Nio (kelapa) tumbuh, agar penghuni rumah selalu dalam keadaan
sehat.
e. Berbagai macam jenis buah, agar disekeliling rumah tersebut
nantinya ditanami dengan berbagai tanaman buah-buahan.
Setelah tiang tuo selesai didirikan, anak batino atau ibu dari anak batino
datang membawa peralatan yang terdiri dari keris, uang Kerinci lama, dan
lain-lainnya. Anak batino bersama pengiringnya dan seorang pawang
mengelilingi tiang tuo sambil menunduk. Sambil membaca mantera, pawang
menggoreskan keris pada ujung jari anak batino dan darahnya digosokkan
pada tiang tuo. Hal ini memiliki maksud agar nanti tidak terjadi pertikaian
yang sampai meneteskan darah di rumah itu. setelah upacara ini selesai, anak
batino dan pengiringnya kembali ke rumah orang tuanya menunggu
pembangunan rumah selesai. Buah-buahan yang digantung pada tiang tuo
diambil oleh para pekerja dan kemudian dilaksanakan makan bersama.
Apabila suatu saat orang tua dari anak batino meninggal dunia, maka yang
menghuni rumah adalah anak batino yang tertua atau anaknya yang belum
menikah. Hal ini diatur oleh Tengganai rumah (Zakaria 1973).
4.7.2. Elemen – Elemen Fisik (Tangible Elements)
Selain memenuhi persyaratan non fisik, sebuah negeri juga harus
memiliki syarat-syarat fisik, yaitu sebagai berikut:
a. Pahit sudut mpat
Pahit sudut mpat atau parit yang bersudut empat merupakan batas-batas
tanah kaum yang berfungsi sebagai kawasan permukiman masyarakat suku
Kerinci. Tanah kaum yang berada dalam batas parit bersudut empat ini adalah
tempat berdirinya rumah-rumah larik sebagai tempat tinggal masyarakat.
Dalam parit sudut empat limo luhah, pembagian tanah diatur oleh Ninik
Mamak luhah masing-masing. Jumlah larik yang dibangun di atas tanah ini
53
tidak dibatasi, tergantung dari ukuran batas.
Parit sudut empat merupakan sebidang tanah yang umumnya memiliki
ukuran sekitar 100 depa x 100 depa atau sekitar 28.900 meter persegi dengan
lebar parit 2,5 m dan dalam 2 m. Parit ini dibuat mengelilingi permukiman
masyarakat. Selain berfungsi sebagai batas wilayah, parit ini juga berfungsi
sebagai sirkulasi air, tempat menanam, dan pelindung dari serangan binatang
buas3. Tanaman yang ditanam oleh masyarakat di dalam parit ini antara lain
palem, pandan, dan aur berduri yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
anyaman.
b. Umah batanggo
Salah satu elemen penting bagi sebuah negeri yaitu memiliki umah
batanggo atau rumah sebagai tempat tinggal. Rumah tradisional tempat
tinggal uhang Kincai yang disebut dengan Rumah Larik. Disebut Rumah
Larik karena susunannya yang berjejer membentuk sebuah larik yang
memanjang dan sambung menyambung antara satu rumah dengan rumah
lainnya. Rumah Larik secara unit merupakan sebuah rumah panggung yang
terbagi menjadi 2 ruang secara horisontal dan 3 ruang secara vertikal. Rumah
larik diperuntukkan bagi ibu atau anak perempuan dalam sebuah tumbi.
Apabila ada anak perempuan yang menikah, maka orang tua wajib
membangun sebuah rumah baru untuk anak perempuannya dengan izin dari
Ninik Mamak.
Rumah Larik memiliki bentuk yang khas dan setiap bentuk memiliki
makna. Setiap bagian dari bangunan rumah disesuaikan dengan kegiatan dan
budaya
masyarakat
suku
Kerinci.
Rumah
ini
melambangkan
rasa
kekeluargaan dan persatuan yang tinggi dalam masyarakat. Tidak hanya
sebagai tempat tinggal, rumah juga digunakan sebagai tempat pertemuan para
Depati dan Ninik Mamak serta tempat untuk menyimpan pusaka peninggalan
nenek moyang.
c. Laheik bajajo
Laheik bajajo artinya memiliki larik yang berjejer. Larik merupakan
tempat tinggal suatu kelebu atau perut yang membentuk sebuah luhah. dalam
3
Hasil wawancara dengan Depati Hasril Maizal, April 2010
54
kawasan Rumah Larik Limo Luhah terdapat sekitar 12 larik yang tiap lariknya
dihuni oleh 45 hingga 150 Kepala Keluarga4. Di Kota Sungai Penuh, selain
Rumah Larik Limo Luhah juga terdapat Rumah Larik di daerah Pondok
Tinggi dan Rumah Larik Dusun Baru (Gambar 12). Di Dusun Baru,
masyarakat menyebutnya sebagai “rumah jejer”. Rumah Larik memiliki salah
satu ciri yaitu berorientasi dari Timur ke Barat atau menurut garis edar
matahari, tapi ada juga bangunan Rumah Larik yang berorientasi dari Utara ke
Selatan yang disebut dengan “Laheik Malintang” (Disparbud Kerinci 2003).
Gambar 12. Kawasan Rumah Larik dalam Kota Sungai Penuh
d. Berlubuk bertapian
Berlubuk bertapian artinya sebuah negeri harus memiliki tempat
pemandian umum yang terpisah antara pria dan wanita. Dahulu masyarakat
memanfaatkan sebuah mata air bernama sumur pulai yang terdapat di Desa
gedang. Namun, saat ini karena telah jarang digunakan dan tidak dirawat
sumur ini kondisinya sangat kotor dan tidak lagi berfungsi. Masyarakat
memanfaatkan sumber air bersih dan tempat pemandian umum yang telah
dibangun oleh pemerintah. Setiap luhah memiliki 1 hingga 2 tempat
pemandian umum dan sumber air bersih (Gambar 13).
4
Hasil wawancara dengan Depati Zakirman Ramli, April 2010
55
Gambar 13. Sumur Pulai (kiri) dan Tempat Pemandian Umum (kanan)
e. Bersawah baladeang
Dalam masyarakat suku Kerinci, sawah disebut sebagai tanah basah dan
ladang disebut sebagai tanah kering. Tanah basah dan tanah kering ini merupakan
tanah ajun arah yang berstatus hak milik pribadi dan termasuk pusaka tinggi.
Selain milik pribadi, juga terdapat sawah dan ladang yang merupakan tanah kaum
sehingga penggarap hanya memiliki status hak pakai. Sawah dan ladang milik
kaum boleh diperjualbelikan dengan seizin dari Ninik Mamak. Fungsi utama
tanah kaum yang terdiri dari sawah dan ladang adalah sebagai lahan cadangan
untuk pemukiman disamping sebagai penghasil kebutuhan pangan masyarakat.
Tanah kaum masyarakat Limo Luhah yang berupa sawah umumnya terdapat di
daerah Desa Sumur Anyir dan Desa Gedang (Gambar 14). Sedangkan ladang
berada di daerah perbukitan di Desa Talang Lindung dan Renah kayu Mbun.
Gambar 14. Sawah
56
f. Babale bamesjoik
Babale bamesjoik artinya memiliki balai tempat pertemuan dan masjid atau
surau sebagai tempat beribadah. Masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh
memiliki sebuah balai adat yang saat ini sedang dalam pembangunan. Balai adat
ini dibangun oleh ketua adat Limo Luhah yaitu Depati Armen Sabri. Balai adat ini
nanti akan digunakan sebagai tempat pertemuan para pemangku adat dan sebagai
ruang perlengkapan pada pelaksanaan acara kenduri sko. Sebelum dibangun balai
adat, pertemuan para pemangku adat dilakukan di salah satu rumah Depati atau
Ninik Mamak.
Mayoritas masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh adalah muslim. Di
setiap luhah dapat dijumpai surau sebagai tempat beribadah dan melakukan
aktivitas keagamaan lainnya. Di kawasan Rumah Larik Limo Luhah terdapat 1
buah masjid dan 6 buah surau. Masjid yang terdapat dalam kawasan Rumah Larik
ini adalah Masjid Raya Sungai Penuh yang dibangun di atas tanah pekuburan pada
zaman dahulu5. Surau di setiap luhah dibangun dan dikelola secara swadaya oleh
masyarakat. Surau dan mesjid merupakan elemen penting dalam kawasan Rumah
Larik karena berfungsi sebagai sarana penyebaran syiar Islam dan informasi
kepada masyarakat (Gambar 15).
Gambar 15. Masjid (kiri) dan Surau (kanan)
5
Hasil wawancara dengan Ketua Adat Limo Luhah Depati Armen Sabri, Maret 2010.
57
g. Bapandan pekuburan
Bapandan pekuburan artinya sebuah negeri harus memiliki tempat
pemakaman umum untuk kaum kerabat yang meninggal dunia (Gambar 16).
Pemakaman merupakan tanah adat yang berstatus hak milik kaum. Makam
menurut lokasinya terbagi menjadi dua, yaitu makam yang berada dalam luhah
dan makam yang berada di luar luhah. Makam yang berada di dalam luhah
umumnya adalah makam nenek moyang yang pertama kali membangun luhah
tersebut yang sampai sekarang masih tetap dipelihara oleh masyarakat (Zakaria
1984). Makam yang berada di luar luhah adalah makam kaum yang biasanya
terdapat di ladang-ladang masyarakat.
Berdasarkan wawancara dengan ketua adat Limo Luhah, diketahui bahwa
pemakaman kaum pada zaman dahulu berada pada ladang-ladang penduduk yang
terdapat di sekitar kawasan Rumah Larik yang sekarang telah berkembang
menjadi pemukiman dan sekolah. Beberapa makam nenek moyang masyarakat
adat Limo Luhah berada di Dusun Bernik Luhah Rio Mangku Bumi. Nenek
moyang yang dimakamkan secara bersama di daerah ini antara lain Rio Jayo
Patah, Ngabi Ha, Rio Tamenggung, Rio Mangku Bumi, Saleh Bujang, Lelo
Mencak, Puti Kecik Beranting Emas, German Besi, dan Saleh Hitam. Makam
nenek moyang ini menjadi tempat berziarah oleh masyarakat terutama pada saat
perayaan kenduri sko. Makam ini terletak di tengah-tengah permukiman
masyarakat Dusun Bernik dan telah dipagari untuk menghindari gangguan dari
tindakan vandalisme dan hewan- hewan peliharaan masyarakat setempat.
Gambar 16. Pandan Pekuburan
58
Selain memiliki elemen-elemen fisik dan non fisik, kawasan Rumah Larik
Limo Luhah juga memiliki beberapa elemen penting lainnya sebagai pendukung
kegiatan atau penunjang kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut :
a. Tanah Mendapo
Tanah mendapo merupakan lapangan terbuka yang berfungsi sebagai tempat
pelaksanaan penobatan para pemangku adat pada saat kenduri sko (Gambar 17).
Lapangan ini berupa jalan beraspal yang cukup lebar berada tepat di depan Masjid
Raya Sungai Penuh dan kantor Kelurahan Sungai Penuh. Menurut Zakaria (1974),
tanah mendapo adalah tanah yang sudah dipilih oleh penguasa yang dinamakan
tanah nan sebingkah, di bawah payung nan sekaki, tempat membekukan karang
setio. Maksudnya yaitu di tanah inilah para pemangku adat dinobatkan dan
diambil sumpahnya di depan masyarakat umum. Tanah mendapo juga dipimpin
oleh seorang kepala mendapo yang juga harus menjadi ketua adat.
Gambar 17. Tanah mendapo (kiri) dan Tanah mendapo saat kenduri sko (kanan)
b. Bileik (lumbung padi)
Bileik atau lumbung padi digunakan oleh masyarakat sebagai tempat untuk
menyimpan padi setelah panen (Gambar 18). Bileik terdapat di dalam parit sudut
empat dan mengelilingi permukiman. Bileik ini memiliki ukuran yang bermacammacam, tapi umumnya berukuran 12 m x 3,5 m. Berbentuk empat persegi
panjang, bagian bawah kecil dan mengembang ke atas. Tiang berupa tiang kayu
bersegi delapan, atap terbuat dari ijuk, bambu lapis, kayu sirap, atau daun rumbia,
dan dinding papan tebal. Pemasangan dinding papannya ditegakkan, bileik ini
juga memiliki pintu dan palasa seperti Rumah Larik. Tangga yang digunakan juga
berupa tangga jantan dan tangga betina. Konstruksi bileik ini tidak menggunakan
59
paku (Zakaria 1984). Saat ini masyarakat tidak lagi menggunakan lumbung padi,
dari pengamatan yang dilakukan di kawasan Rumah Larik hanya ditemukan satu
bileik yang tersisa dengan kondisi yang tidak dapat digunakan lagi. Banyaknya
tempat penggilingan padi (rice milling) di sekitar permukiman masyarakat
membuat para petani padi lebih memilih untuk langsung membawa hasil
panennya ke tempat penggilingan dan menjualnya (Gambar 18).
Gambar 18. Bileik (kiri) dan Rice milling (kanan)
c. Tabeuh Larangan (tabuh larangan)
Tabuh larangan yang disebut juga dengan beduk larangan banyak terdapat
di Kerinci. Lokasinya tersebar di berbagai dusun, baik yang terdapat di dalam
kawasan Rumah Larik maupun yang terdapat di masjid-masjid tua. Tabuh
larangan yang terbesar berada di Masjid Agung Pondok Tinggi yang dibuat
sekitar tahun 1800-an. Tabuh terbuat dari kayu besar dengan kulit sapi betina
sebagai alas tabuhnya dan rotan sebagai pengikatnya. Panjang tabuh umumnya
mencapai 3 m dan diameter 1,5 m. Tabuh berbentuk silinder dan semakin
mengecil ke arah belakang, pada bagian depan dan belakang diberi ukiran dengan
motif teratai (Zakaria 1984). Di kawasan Rumah Larik Limo Luhah hanya
terdapat dua tabuh larangan, yaitu pada luhah Rio Tamenggung dan luhah Datuk
Singarapi Putih (Gambar 19). Tabuh larangan pada luhah Datuk Singarapi Putih
memiliki ukuran lebih besar dari tabuh yang terdapat pada luhah Rio
Tamenggung. Tabuh ini bernama Sigantou Alang dan telah berusia lebih dari 250
tahun. Tabuh larangan dahulu berfungsi sebagai media penyampai informasi
kepada masyarakat seperti pemberitahuan gotong royong, berita kematian,
60
kebakaran, banjir, dan yang paling utama adalah sebagai tanda masuknya waktu
shalat6.
Gambar 19. Tabuh Larangan
d. Pasa (pasar)
Pasar yang terdapat di Kelurahan Pasar Sungai Penuh ini merupakan pasar
tradisional. Pasar tradisional ini dinamakan pasar Tanjung Bajure yang merupakan
satu-satunya pusat kegiatan jual beli masyarakat untuk kebutuhan pangan dan
lain-lainnya (Gambar 20). Pasar ini buka setiap hari dan selalu ramai dipenuhi
oleh pembeli terutama pada pagi hari. Para pedagang umumnya berasal dari
berbagai dusun yang menjajakan hasil hasil pertanian atau perkebunannya mulai
dari dalam pasar hingga ke pinggir-pinggir trotoar. Hasil-hasil pertanian yang
dijual berupa pisang, sayur, kelapa, beras, singkong, kentang, tomat, dan lain
sebagainya. Pasar Tanjung Bajure hanya buka dari pagi hingga siang hari.
Gambar 20. Pasar Tradisional Tanjung Bajure
6
Hasil wawancara dengan Depati Hasril Maizal, April 2010.
61
e. Terminal
Terminal merupakan fasilitas transportasi yang penting bagi suatu daerah.
Terminal angkutan umum yang terdapat di sekitar kawasan Rumah Larik dan
berada berdampingan dengan pasar tradisional Tanjung Bajure ini mempermudah
akses masyarakat dari berbagai dusun untuk mencapai Kota Sungai Penuh
(Gambar 21). Terminal ini merupakan pemberhentian bagi angkutan umum yang
memiliki rute seperti Tanjung Genting, Sungai Abu, Kemantan, Lolo, Rawang,
Pulau Tengah, Jujun, Lempur, dan lain sebagainya. Angkutan umum ini hanya
beroperasi dari pagi hingga sore hari.
Gambar 21. Terminal Angkutan Umum Kota Sungai Penuh
4.7.2.1. Vegetasi
Kota Sungai Penuh merupakan daerah dataran tinggi dengan iklim tropis
dan udara yang sejuk. Kondisi ini mendukung keadaan tanahnya yang subur dan
ketersediaan air yang melimpah dari perbukitan sehingga sangat baik untuk
bercocok tanam. Hampir setiap rumah di dalam kawasan Rumah Larik memiliki
pekarangan. Luas pekarangan disesuaikan dengan luas lahan yang tersedia.
Pekarangan ditanami dengan berbagai tanaman yang memiliki fungsi beragam, di
antaranya sebagai tanaman pangan, estetik, obat, dan adat. Tanaman yang
berfungsi sebagai tanaman pangan adalah tanaman yang biasa digunakan sebagai
bumbu dapur. Tanaman dengan fungsi estetik merupakan tanaman-tanaman hias
yang memiliki keindahan untuk menambah kualitas view rumah dan pekarangan.
Fungsi obat yaitu tanaman digunakan oleh masyarakat untuk mengobati penyakitpenyakit tertentu. Sedangkan tanaman dengan fungsi adat adalah tanaman yang
digunakan dalam kegiatan-kegiatan adat seperti untuk sesajian dalam upacara adat
62
tertentu. Daftar tanaman yang teridentifikasi di dalam kawasan Rumah Larik
tersaji pada Lampiran 4.
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat adat Limo Luhah, pada
zaman dulu kawasan Rumah Larik ini adalah rimba yang ditumbuhi oleh pohonpohon besar. Pada masa membangun permukiman, bahan bangunan untuk Rumah
Larik diambil dari rimba ini. bahan bangunan berupa kayu digunakan untuk
sebagai tiang, dinding, rangka atap, dan sebagainya. Kayu yang dipilih adalah
kayu dengan kualitas yang baik, pada umumnya digunakan kayu jenis Surian
(Toona ciliata). Dengan perkembangan permukiman penduduk yang sangat pesat
saat ini, tidak dijumpai lagi rimba yang menjadi sumber untuk mendapatkan kayu
sebagai bahan bangunan dan masyarakat telah beralih menggunakan bahan
bangunan berupa beton. Selain rimba, di sekitar permukiman Rumah Larik
terdapat ladang-ladang penduduk. Pada ladang-ladang ini biasanya juga terdapat
makam-makam keluarga atau kerabat yang telah meninggal. Di dalam ladang,
selain dijumpai tanaman pertanian juga terdapat tumbuhan bambu yang rimbun.
Bambu umumnya juga dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan bangunan
Rumah Larik sebagai atap dan dinding ruang bagian bawah.
Pada zaman dulu, pemukiman masyarakat dalam parit sudut empat sudah
mengenal pekarangan. Namun, pekarangan baru sebatas memanfaatkan lubang
parit di sekeliling permukiman dan ruang antar larik. Di dalam parit ditanami
dengan tanaman pangan dan tanaman pelindung, sementara sebagai batas antara
larik yang satu dengan larik di belakangnya ditanami dengan pisang. Saat ini,
tidak ditemui lagi parit yang mengelilingi pemukiman maupun ruang yang tersisa
antar larik.
Dari hasil pengamatan kondisi eksisting di lapangan dan wawancara
mendalam terhadap beberapa narasumber mengenai elemen-elemen fisik, maka
diketahui layout kawasan Rumah Larik Limo Luhah dan sekitarnya seperti tertera
pada Gambar 22.
63
Gambar 22. Layout Kawasan Rumah Larik dan sekitarnya
4.7.2.2. Ragam Hias Rumah Larik
Elemen lain yang merupakan elemen fisik adalah ragam hias yang terdapat
pada Rumah Larik. Rumah Larik memiliki ragam hias yang menarik disamping
keunikannya dari segi arsitektural. Ragam hias pada Rumah larik berupa ukiranukiran dengan motif beragam yang terdapat pada tiang, dinding, pintu, dan
jendela. Motif-motif ukiran tersebut ada yang organik dan ada yang geometris.
Jenis-jenis motif ukiran yang terdapat pada Rumah Larik antara lain sebagai
berikut :
1. Teratai bindui dengan stilasi bunga teratai dan akar-akaran
Motif jenis ini terdapat pada tiang segi delapan (Gambar 23). Motif ini
bermakna bahwa setiap mendirikan rumah harus dilandasi oleh kesucian
jiwa dan niat yang baik. Motif bunga teratai melambangkan jiwa yang
tulus.
2. Keluk paku dengan stilasi tumbuhan paku-pakuan
Motif jenis ini terdapat pada pasak-pasak timbul konstruksi tiang
(Gambar 23). Motif keluk paku melambangkan suatu ikatan yang kuat
64
untuk menghadapi pengaruh-pengaruh jahat dari luar maupun dalam.
Selain itu juga memberikan kesan kekuatan pada konstruksi rumah adat
Kerinci.
Gambar 23. Motif Salampit simpea (kiri) dan Keluk paku (kanan)
3. Kacang belimbing dengan stilasi belimbing dengan kacangan
Motif ini terdapat pada dinding bagian depan. Motif ini merupakan
cerminan Tut Wuri Handayani dalam masyarakat Kerinci yang tidak
berhenti menuntut ilmu.
4. Sigiring-giring dengan stilasi dedaunan
Motif ini terdapat pada bagian di atas pintu. Motif ini bermakna
peringatan untuk tamu yang akan masuk ke dalam rumah hendaknya
memberi tahu terlebih dahulu atau permisi kepada penghuni rumah.
Tidak dibenarkan masuk rumah tanpa permisi.
5. Nangguri lahak dengan stilasi rangkaian bunga Nangguri
Motif ini melambangkan hidup dalam lingkungan yang bersih pada larik
dan halaman rumah. Letaknya yaitu pada dinding bagian luar.
6. Salampit simpea dengan stilasi lampit rotan berderet empat
Motif ini terdapat pada dinding bagian dalam dan luar. Makna yang
terkandung di dalamnya adalah dalam mendirikan
rumah harus
berdasarkan petunjuk Undang yang Empat dan kehidupan masyarakat
Kerinci diikat dengan ketentuan beradat berlembaga.
65
7. Embun buntal, stilasi bunga dengan banyak relungan
Motif embun buntal terdapat pada dinding pintu rumah. Motif ini
bermakna bahwa semua urusan atau masalah hendaknya jangan dipersulit
dan jika masuk ke rumah orang hendaklah dengan wajah yang jernih dan
hati yang lapang.
8. Si matoharai dengan stilasi bunga matahari
Motif bunga matahari ini melambangkan bahwa di dalam rumah terang
seperti cahaya matahari dan kehidupannya berada dalam kedamaian.
Motif ini terdapat pada tonjolan kayu pintu rumah.
Jenis-jenis motif ukiran di atas merupakan hasil Sayembara Rumah Adat
Tradisional Daerah Kerinci yang diselenggarakan pada tahun 1994. Hasil ini
dirumuskan oleh Depati Alimin dan Datuk Supratman sebagai peserta sayembara.
Motif-motif ukiran tersebut, pada zaman dahulu diukir oleh orang-orang tua yang
ahli. Pekerjaan mengukir dilakukan secara bergantian dengan menggunakan
beliung. Ragam hias khas Kerinci berupa ukiran-ukiran pada Rumah Larik
umumnya hanya terdiri dari empat warna, yaitu merah, putih, hitam, dan biru.
Empat warna ini juga memiliki makna masing-masing, yaitu sebagai berikut:
a. Merah, melambangkan sikap yang berani dalam kebenaran dan suku
Kerinci termasuk bangsa ksatria.
b. Putih, melambangkan kesucian hati masyarakat terhadap tamu atau orang
lain.
c. Hitam, bermakna ketegasan didalam adat. Seperti kata pepatah keras
adat berdenting-denting, lunak lembago berjela-jela.
d. Biru, melambangkan bahwa Kerinci tanahnya sangat subur, alamnya
indah, dan penduduknya suka perdamaian.
4.8. Tatanan Lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah
Kawasan Rumah Larik Limo Luhah yang berada dalam wilayah adat Depati
Nan Bertujuh Sungai Penuh memiliki konsep tata ruang yang dapat dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu ruang makro (negeri), ruang meso (luhah), dan ruang
mikro (rumah tinggal).
66
4.8.1. Ruang Makro (Negeri)
Tata ruang wilayah adat Depati Nan Bertujuh dibagi berdasarkan jenis
penggunaan dan hak kepemilikan tanah7, yaitu parit sudut empat, tanah basah,
tanah kering, dan tanah patok rajea. Tanah parit sudut empat yang berada pada
daerah dengan kemiringan yang relatif datar berfungsi sebagai permukiman
masyarakat. Tanah basah berupa sawah juga terdapat pada daerah yang relatif
datar. Tanah kering berupa ladang terdapat di kaki-kaki bukit dengan kemiringan
yang landai. Sedangkan tanah patok rajea adalah rimba atau hutan yang terdapat
di daerah perbukitan dengan kemiringan yang curam dan tidak boleh diolah oleh
manusia.
Kondisi topografi wilayah yang berbeda-beda dimanfaatkan untuk
penggunaan yang sesuai. Berdasarkan pengamatan di lapangan, secara hirarki
pembagian ruang makro wilayah adat Depati Nan Bertujuh dapat dilihat pada
Gambar 24. Tanah patok rajea yang berupa rimba merupakan tanah adat (tanah
ajun arah) yang terletak di daerah perbukitan yang mengelilingi negeri. Selain
rimba, yang termasuk tanah patok rajea dalam sebuah negeri adalah pandan
pekuburan dan jalan umum. Tanah kering merupakan tanah adat yang berstatus
hak milik pribadi sesuai dengan pembagian yang diatur oleh Ninik Mamak
masing-masing luhah. Tanah kering berupa ladang ini dijumpai di daerah lereng
perbukitan seperti Desa Talang Lindung dan Desa Renah Kayu Mbun. Ladang
sebagai lahan bagi masyarakat untuk bercocok tanam yang hasilnya dapat
dikonsumsi sendiri atau dijual di pasaran. Tanah basah atau sawah merupakan
Gambar 24. Ilustrasi Perspektif Ruang Makro
(Wilayah Adat Depati Nan Bertujuh)
7
Hasil wawancara dengan Depati Hasril Maizal, April 2010
67
tanah adat yang sangat luas di Kota Sungai Penuh. Persawahan ini mengelilingi
pusat kota dan menyebar hingga ke kaki perbukitan. Sawah bagi sebagian
masyarakat merupakan sumber penghidupan utama, sedangkan sebagian lagi
menjadikan sawah sebagai penghasilan tambahan disamping profesi utamanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2004), luas area persawahan di
Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh mencapai total 16.125 ha atau sekitar
3,84%. Tanah parit sudut empat merupakan batas bagi permukiman Rumah Larik
dengan lingkungan di sekitarnya. Tanah ini berstatus hak pakai dan hak milik bagi
anak batino dan hanya boleh disewakan, tetapi tidak boleh dijual kepada orang
lain. Ilustrasi pembagian ruang makro wilayah adat Depati Nan Bertujuh
berdasarkan peta jenis penggunaan lahan kota Sungai Penuh tahun 2010 dapat
dilihat pada Gambar 25.
68
Gambar 25. Pembagian Ruang Makro
4.8.2. Ruang Meso (Luhah)
Luhah dalam sistem pemerintahan adat Depati Nan Bertujuh adalah suatu
permukiman tradisional masyarakat adat yang memusat dan membentuk satu
kesatuan. Luhah terbentuk dari gabungan beberapa perut, perut terdiri dari
beberapa tumbi. Jadi, luhah merupakan kesatuan dari banyak tumbi yang
mendiami Rumah Larik.
Dalam satu luhah dapat terdiri dari beberapa larik
tergantung dari banyaknya tumbi yang mendirikan Rumah Larik. Proses
terbentuknya sebuah luhah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu
diawali dari sebuah tumbi yang mendirikan rumah, jika tumbi tersebut memiliki
anak perempuan maka orang tuanya harus mendirikan sebuah rumah baru yang
menyatu dengan rumah orang tuanya (rumah induk). Demikian seterusnya hingga
membentuk sebuah larik yang memanjang. Setelah selesai larik pertama, maka
larik kedua dibangun sejajar di depan larik yang pertama. Selanjutnya, larik ketiga
dibangun di belakang larik pertama, larik keempat dibangun di belakang larik
yang kedua, dan seterusnya hingga membentuk sebuah luhah. Proses
terbentuknya sebuah luhah dapat dilihat pada Gambar 26.
Masyarakat dalam suatu luhah adalah masyarakat yang berasal dari satu
nenek moyang yang sama. Ukuran panjang dan banyaknya larik dalam sebuah
luhah tidak ditentukan, tergantung dari luas dan kondisi lahan. Sedangkan
69
mengenai penentuan posisi atau letak sebuah luhah, antara luhah
yang
8
satudengan yang lainnya tidak diketahui dengan jelas .
Gambar 26. Proses Terbentuknya Sebuah Luhah
Kawasan Rumah Larik Limo Luhah memiliki elemen-elemen fisik yang
bernilai sejarah dan budaya (Gambar 27). Elemen-elemen ini berupa sawah,
masjid, surau, pekuburan, sungai, tanah lapang, tabuh larangan, maupun tempat
pemandian umum. Terdapat elemen yang bernilai historis karena telah ada sejak
zaman dulu, seperti masjid, lapangan terbuka, tabuh, pekuburan, dan sawah serta
ada pula yang dibangun beberapa tahun yang lalu tetapi memiliki peranan dan
fungsi yang penting bagi masyarakat, seperti surau dan tempat pemandian umum.
Secara umum, tatanan lanskap sebuah luhah dapat dilihat pada Gambar 28.
8
Hasil wawancara dengan Ketua Adat Limo Luhah Depati Armen Sabri, Maret 2010
70
Gambar 27. Tata Letak Elemen-elemen Lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah
71
Gambar 28. Tatanan Lanskap Ruang Meso (luhah)
72
4.8.3. Ruang Mikro (Rumah Tinggal)
Tata ruang mikro dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh adalah rumah
tempat tinggal dan pekarangan. Rumah tempat tinggal ini merupakan rumah
tradisional masyarakat suku Kerinci, yaitu Rumah Larik.
Pekarangan Rumah Larik pada zaman dulu sengaja diluaskan sebagai
tempat untuk menjemur padi. Di depan rumah atau larik dibuat parit kecil dari
susunan batu, sedangkan lumbung padi (bileik) dibangun di belakang atau di
depan larik (Zakaria 1984). Di belakang rumah atau larik pada umumnya ditanami
dengan pisang sebagai batas dengan rumah atau larik di belakangnya dan
mencegah api menjalar lebih luas jika terjadi kebakaran9.
Berdasarkan pengamatan di lapangan, saat ini pekarangan Rumah Larik
umumnya telah mengalami penyempitan lahan. Pembangunan rumah dengan
konstruksi beton telah mempersempit area untuk pekarangan. Selain itu, adanya
kebijakan pemerintah pada tahun 1970 untuk memperluas jalan dalam larik ikut
mempersempit pekarangan Rumah Larik. Saat ini,
setiap rumah rata-rata
memiliki pekarangan depan rumah selebar 1 - 2 m dari badan jalan larik,
sedangkan untuk halaman di bagian belakang rumah tidak ada ruang yang tersisa.
Jika dulu pekarangan dijadikan sebagai tempat untuk menjemur padi, maka saat
ini masyarakat menjemur padi di pinggir jalan larik maupun jalan dusun.
Pekarangan ditanami dengan berbagai tanaman hias, tanaman obat maupun
tanaman untuk bumbu dapur (Gambar 29). Parit dari batu dan lumbung padi saat
ini tidak ditemukan lagi di dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah. Namun,
terdapat parit atau selokan kecil sebagai sirkulasi air yang dibangun oleh
pemerintah. Jalan yang terdapat dalam larik berupa jalan aspal yang kondisinya
kurang baik karena banyak terdapat lubang-lubang. Lebar jalan dalam larik ini
beragam sekitar 2 – 5 m.
9
Hasil wawancara dengan mantan Ketua Adat Limo Luhah Depati Hamdan Manan, Maret 2010.
73
Gambar 29. Pekarangan (kiri) dan Aktivitas Menjemur Padi (kanan)
Rumah Larik sebagai rumah tradisional masyarakat suku Kerinci memiliki
keunikan dan nilai arsitektural yang tinggi (Lampiran 5). Rumah uhang kincai ini
berupa rumah panggung , tinggi, dan panjang. Bagian-bagian Rumah Larik terdiri
atas :
1. Tiang Tuo
Tiang tuo terletak di tengah rumah. Jumlah tiang pada satu Rumah Larik
adalah 12 buah dengan diameter 25 – 50 cm. Semua tiang yang digunakan untuk
mendirikan rumah ini harus bersegi delapan. Segi delapan ini memiliki makna
delapan pasak negeri, yaitu negeri bersudut empat lawang nan dua, adat yang
empat, undang yang empat, hukum yang empat, kata yang empat-empat, emas
seemas, waris sko nan tigo takah, waris nan berjawab khalifah nan bernunjung.
2. Alang
Alang adalah penghubung antara satu tiang dengan tiang lainnya bagian
atas yang terbuat dari papan tebal (Gambar 30).
3. Bandul
Bandul adalah penghubung tiang sebelah bawah yang juga bersegi delapan.
Bandul ini membatasi ruang luar dan ruang dalam. Pada sisi dalam, dibuat lubang
untuk menyimpan barang-barang rumah tangga. Bandul pada bagian tengah
rumah dapat berfungsi sebagai tempat Depati dan Ninik Mamak duduk bersandar.
4. Pintau (pintu)
Pintau adalah pintu untuk masuk ke dalam rumah (Gambar 30). Pintu ini
terbuat dari papan setebal 3 – 6 cm dan terletak di depan tangga naik ke rumah.
Tinggi pintu hanya 125 sampai 150 cm, sehingga kalau ada tamu yang masuk
74
harus menundukkan kepalanya dan secara tidak langsung telah memberi hormat
kepada penghuni rumah.
Gambar 30. Alang (kiri) dan Pintau (kanan)
5. Pintau bukan (pintu bukan atau bukan pintu)
Pintau bukan adalah pintu yang menghubungkan lantai rumah dengan
loteng. Pintu ini tidak memiliki daun pintu seperti pintu pada umumnya sehingga
kita dapat melihat atap rumah dari dalam rumah. Pintu ini memiliki lebar
seperempat lebar loteng yang berfungsi sebagai pintu untuk menuju ke ruang atas.
6. Pintau singok
Pintau singok adalah jendela yang menghadap keluar dan terletak di bagian
depan rumah. Jendela ini tempat anak jantan dan orang tua-tua duduk untuk
mengamati keadaan di luar rumah. Untuk melihat keluar jendela cukup dengan
duduk di lantai rumah karena letak jendela yang sangat rendah.
7. Pintau Suhai (Pintu suri)
Pintau Suhai adalah jendela yang menghadap keluar pada dinding bagian
belakang rumah. Jendela ini tempat anak batino melihat-lihat keluar. Jendela ini
rendah sekali, apabila duduk dilantai maka kepala dapat dijulurkan keluar
(Gambar 31).
75
Gambar 31. Pintau Suhai (sumber: Tambo Sakti Alam Kerinci 2 1984)
8. Pintau dumeh (pintu rumah)
Pintau dumeh adalah pintu bagian tengah yang terdapat di dalam rumah
(Gambar 32). Pintu ini terbuat dari papan tebal yang berfungsi menghubungkan
ruang luar dan ruang dalam. Pintu ini memiliki ukuran yang sama dengan pintau
untuk masuk ke dalam rumah. Pada bagian tengah pintu terdapat ukiran timbul
stilir matahari yang terdiri dari kombinasi warna merah, biru, dan kuning.
Gambar 32. Pintau Dumeh
9. Palasa
Palasa merupakan teras yang menjorok di depan pintu depan (Gambar 33).
Fungsinya yaitu tempat menyandarkan tangga dan tempat tamu menunggu. Selain
itu palasa juga berfungsi sebagai tempat menggantungkan tabung air dari bambu.
10. Atak (atap)
Atap terbuat dari kayu lapis (sirap), ijuk, dan bambu. Namun, untuk Rumah
Larik yang asli menggunakan atap dari bambu yang dinamakan atap supit
(Zakaria 1984). Saat ini sulit ditemui Rumah Larik dengan konstruksi yang masih
76
asli. Pada umumnya rumah sudah menggunakan atap dari bahan seng (Gambar
33). Selukoh10 adat Kerinci mengatakan: Atak lipat pandan lang manarak –
bubung sawo mangampea. Selukoh ini menggambarkan bubung rumah Kerinci
ujung ke ujung lentik biduk dan diberi puncak kayu berukiran.
Gambar 33. Palasa (kiri) dan Atak (kanan)
11. Tanggo (tangga)
Tangga pada Rumah Larik ada dua macam, yaitu :
a. Tanggo janteang atau tanggo jantan, yaitu tangga yang terdiri dari satu
batang kayu sepanjang kira-kira 175 cm dan dirakuk untuk tempat berpijak
sebanyak 7 buah (Gambar 34). Tangga jantan merupakan tangga yang asli pada
Rumah Larik. Rakuk ini memiliki nama dan urutan, yaitu:
Rakuk pertama disebut takih
Rakuk kedua disebut tanggo
Rakuk ketiga disebut tunggu
Rakuk keempat disebut tingkah
Rakuk kelima disebut takih
Rakuk keenam disebut tanggo
Rakuk ketujuh disebut tunggu
Maksud dari tujuh buah rakuk ini adalah hal-hal yang tidak diketahui oleh
manusia, yaitu langkah, rezeki, pertemuan, maut, langkah, rezeki, dan pertemuan.
10
Selukoh, dalam bahasa Indonesia disebut seloka, yaitu bentuk puisi melayu klasik berisikan
pepetah maupun perumpamaan yang mengandung senda gurau, sindiran bahkan ejekan. Biasanya
ditulis empat baris memakai bentuk pantun atau syair.. (sumber: id.wikipedia.org).
77
Pada rakuk ketujuh yaitu tunggu, kalau ada tamu yang datang maka ia harus
menunggu dulu sampai dipersilakan masuk oleh penunggu rumah. Tangga jantan
ini dapat diangkat dan dipasang. Jika diangkat dan diletakkan di atas palasa maka
tandanya orang rumah tidak terima tamu atau sedang bepergian. Selain itu juga
untuk menghindari ada pencuri yang ingin naik ke rumah. Untuk naik dan turun
tangga ini juga diperlukan kehati-hatian dan perlahan-lahan, hal ini bermakna
bahwa segala pekerjaan itu harus penuh perhitungan dan hati-hati. Bagi seorang
anak laki-laki yang ingin bertandang ke rumah perempuan, jika melihat tangga
sudah diangkat artinya sudah ada yang bertandang ke rumah itu atau penghuni
rumah sudah tidak menerima tamu lagi. Jika tangga ini terletak di bawah palasa,
pertanda bahwa penghuni rumah sedang pergi ke sawah, kebun, atau ke tempat
lainnya (Zakaria 1973).
b. Tanggo batino atau tangga betina, adalah tangga yang memakai dua tiang
dan dihubungkan oleh tujuh buah anak tangga (Gambar 34). Tangga betina
disebut juga dengan tangga beranak. Tangga ini juga disandarkan pada palasa
namun tidak dapat diangkat dan dipindahkan karena berat.
Gambar 34. Tanggo Janteang (kiri) dan Tanggo Batino (kanan)
12. Luang (ruang)
Rumah orang Kerinci atau Rumah Larik terdiri dari dua ruang, yaitu ruang
dalam dan ruang depan yang dibatasi oleh dinding tengah. Ruang depan
dinamakan luan sedangkan ruang dalam disebut dumeh. Ruang dalam berfungsi
sebagai ruang tidur, ruang makan, dan dapur. Ruang dalam ini tidak bersekatsekat. Dapur terletak di sebelah kanan rendah dan dilapisi dengan tanah,
78
kemudian dipasang tungku dari batu. Di atas tungku terdapat phang atau selayan,
yaitu tempat menyimpan kayu bakar. Tempat tidur terletak di sebelah kiri,
sedangkan tempat makan berada dekat dapur.
13. Kandea (kandang)
Kandea adalah ruang bagian bawah rumah. Kandang ini berdinding bambu
yang dianyam dan menutupi seluruh bagian bawah rumah. Kandang berfungsi
sebagai tempat memelihara ternak dan tempat menyimpan padi.
14. Pha (paran)
Pha adalah loteng yang berfungsi sebagai tempat menyimpan barang-barang
seperti tikar, benda-benda pusaka, atau alat yang tidak sering dipergunakan. Pha
juga berfungsi sebagai tempat membersihkan benda-benda pusaka pada saat
kenduri sko.
15. Ptaih
Ptaih adalah ruang di antara pha dan atap. Ruang ini dipergunakan untuk
tempat menyimpan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang. Menurut
kepercayaan lama, ruang ini juga sebagai tempat berdiam roh-roh sakti.
Pada ruang luar dalam Rumah Larik terdapat tiga bentuk loteng, yaitu:
a. Ada loteng yang dinaikkan setinggi 40 cm dari alang lintang.
b. Ada loteng yang langsung dipasang di atas alang.
c. Sama sekali tidak mempunyai loteng bagian depan, langsung bagian atap.
Lantai loteng dalam bahasa Kerinci disebut tulok bahea, telak garo, tlok
balahea, pehang kartea. Lantai loteng ini terbuat dari bambu atau bilah bambu
yang di belah menjadi tiga dan kemudian disusun memanjang mengikuti panjang
rumah. Susunan bambu ini diikat dengan menggunakan tali ijuk atau rotan.
Loteng bagian depan rumah berfungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda
seperti alat-alat tenun, jangki, cetakan logam (loyang), alat masak (cerano),
senjata, dan lain-lainnya (Gambar 35). selain untuk menyimpan barang-barang
rumah tangga, loteng ini juga berfungsi sebagai tempat tidur nenek atau kakek
yang sudah hidup sendirian. Hal ini memiliki maksud untuk menghormati orang
tua dan memberikan ruang pada tempat yang lebih tinggi. Pada siang hari, loteng
ini biasa digunakan oleh anak gadis untuk memintal benang tenun untuk kain.
Fungsi lainnya dari loteng tulok bahea ini adalah untuk menyimpan pusaka yang
79
dimuliakan dan dikeramatkan orang Kerinci. Pusaka ini dalam istilah Kerinci
disebut “Patitip-Patatoh” berupa keris, tombak, pedang, payung, manik-manik,
tanduk/bambu dengan tulisan incung, batu akik, rambut manusia yang disebut
Jato-jati, juga untuk tempat benda-benda yang berasal dari orang yang telah
meninggal dunia yang memiliki riwayat tertentu. Untuk naik ke loteng ini
digunakan tangga jantan yang terbuat dari pohon Pakis gajah atau enau
(Disparbud Kerinci 2003).
Gambar 35. Jangki Terawang (kiri) dan Cerano (kanan)
Masyarakat Kerinci memiliki kepercayaan bahwa loteng tulok bahea ini
sangat sakral karena merupakan tempat roh-roh uhang tuwo. Roh uhang tuwo ini
maksudnya adalah roh orang-orang tua yang sudah meninggal dunia sejak lama
maupun benda-benda pusaka yang dianggap sebagai tempat hidup roh-roh
tersebut. Benda-benda pusaka biasanya disimpan di umoh gdea (rumah gedang).
Umoh gdea adalah Rumah Larik milik salah satu tumbi yang ditunjuk berdasarkan
kesepakatan para Depati dan Ninik Mamak untuk menyimpan benda pusaka.
Setiap luhah memiliki umoh gdea masing-masing. Untuk menaiki loteng pada
sebuah umoh gdea haruslah penghuni rumah atau tunggu umoh. Tunggu umoh
adalah seseorang yang telah diikat dengan sumpah karang setio, orang yang dapat
dipercaya, berkata jujur, dan bekerja sesuai dengan peraturan adat. Tunggu umoh
disebut juga dengan istilah uhang talilaik uhang takebeik artinya, seseorang yang
dililit dan diikat dengan tugas tanggung jawab khusus menurut adat istiadat
Kerinci (Disparbud Kerinci 2003).
80
Pada zaman dulu, orang Kerinci mengukur sesuatu menggunakan satuan
ukuran yang ada pada manusia. Ukuran tersebut yaitu Depa, Hasta, dan Jengkal. 1
Depa = 160-180 cm, 1 Hasta = 40-55 cm. Pada saat itu masyarakat belum
mengenal satuan ukuran meter, centimeter, atau inchi.
Pola bangunan pada Rumah Larik dibagi menjadi dua bagian yang terpisah,
yaitu:
1. Bagian utama atau bawah terdiri dari tiang-tiang besar;
2. Bagian atas terdiri dari tiang-tiang bubung dan atap.
Pembagian konstruksi rumah yang terpisah ini bukan berarti kekurangan
bahan baku kayu untuk mendirikan rumah. Pada zaman dulu bahan kayu sangat
melimpah di daerah ini. Orang Kerinci memiliki alasan mengapa tidak membuat
tiang rumah berupa tiang panjang yang langsung menyangga dari bawah hingga
ke alang atau balok bubungan. Hal ini disebabkan antara lain, yaitu:
a. Adanya kepercayaan orang Kerinci bahwa alam kehidupan terdiri atas
dua bagian, yaitu dunia atas yang disebut Maliyu dan dunia bawah yang
disebut Marena. Dunia atas merupakan tempat kehidupan roh-roh nenek
moyang, peri, dan dewa-dewa. Dunia bawah tempat kehidupan manusia,
binatang, dan tumbuh-tumbuhan. Keduanya merupakan sisi yang saling
terpisah (Gambar 36).
Gambar 36. Pembagian Ruang Mikro secara Vertikal
81
b. Dari segi teknologi yang telah dipahami orang Kerinci selama ratusan
tahun. terpisahnya dua bagian ini akan mempermudah proses pengerjaan
dan pemasangan konstruksi. Semua pemasangan konstruksi Rumah Larik
tanpa menggunakan paku. Sistem sambungan pada konstruksi yaitu
berpasak kayu, silang bertakik, dan ikat tali.
c. Adanya ungkapan dalam masyarakat Kerinci, yaitu Kayu gedeang
tempek basanda – Imbun daeu tempek batedeuh (Pohon besar tempat
bersandar – rindang daun tempat berteduh). Artinya: Pohon besar beserta
akarnya merupakan konstruksi tiang-tiang rumah yang menyangga
kehidupan. Sedangkan rimbun daun dan ranting-ranting merupakan
bagian atas rumah agar dapat bertahan hidup dari serangan terik matahari
dan hujan. Sesuai dengan filsafat nenek moyang Kerinci, bahwa alam
diciptakan oleh Tuhan tetap dua-dua bagian yang terpisah, seperti siangmalam, bumi-langit, laki-laki dan perempuan, hidup-mati, dan lain
sebagainya (Disparbud Kerinci 2003).
Orientasi tiang-tiang yang digunakan pada Rumah Larik pada umumnya
kayu bagian pangkal harus berada di sebelah bawah bertemu pondasi batu, bagian
ujung harus berada di atas dengan posisi vertikal. Sedangkan untuk alang-alang
dan
bagian
lainnya
dengan
posisi
horisontal,
orientasi
kayu
tidak
dipermasalahkan. Seluruh dusun di Kerinci, Rumah Larik didirikan di atas batu
pondasi yang disebut batu sendai (Gambar 37). Menurut masyarakat, pondasi
didirikan di atas batu karena pohon-pohon di hutan Kerinci tidak ada yang tahan
pelapukan air tanah sehingga mudah ambruk jika ditanam. Batu pondasi yang
dipilih adalah yang berbentuk rata pada kedua permukaannya. Batu pondasi
diletakkan di atas tiga buah batu yang berfungsi sebagai bantalan. Batu bantalan
ini dinamakan tungku tigo. Batu ini lebih kecil ukurannya dari batu pondasi.
Tungku tigo berfungsi sebagai gaya main bangunan rumah jika terjadi gempa dan
untuk mengatur ketinggian tiang-tiang agar memiliki kerataan yang sama.
82
Gambar 37. Pondasi Batu (batu sendai)
Ukuran sebuah Rumah Larik menurut Zakaria (1984) adalah 6 depa x 3
depa atau sekitar 10,8 m x 6,4 m (1 depa = 1,8 m), tinggi rumah kira-kira 3 depa.
Tinggi kandang (ruang bawah) adalah 1,5 m, tinggi loteng 1,75 m, dan tinggi
bubungan sekitar 2 m. Sedangkan berdasarkan hasil Sayembara Rumah Adat
Tradisional Daerah Kerinci tahun 1994, diketahui bahwa Rumah Larik memiliki
ukuran 11,55 m x 9 m dengan besar setiap ruang 3,85 m x 4,5 m. Sedangkan
tinggi kandang 1,2 m dan tinggi dinding ruang atas 1,8 m (Gambar 38).
Gambar 38. Denah Ruang Atas Rumah Larik
83
Rumah Larik yang asli sebenarnya tidak bersekat antar ruang baik ruang
dalam maupun ruang luar, tetapi hanya di sekat oleh sebuah dinding pada bagian
tengah yang memisahkan ruang dalam dan ruang luar (Gambar 39). Ruang luar
adalah tempat berkumpul keluarga atau dilaksanakannya pertemuan dan
perundingan para pemangku adat. Jika ada tamu, maka tuan rumah duduk di
sebelah dinding tengah, sedangkan tamu duduk di sebelah dinding depan dekat
jendela. Apabila tamu adalah Depati dan Ninik Mamak, maka tempatnya adalah
di atas anjung yang ditinggikan 10 cm dari lantai rumah. Anjung ini terletak di
sebelah kanan dari dinding tengah atau sebelah kiri dinding depan, bersandar ke
dinding dan menghadap ke ruangan.
Gambar 39. Denah Rumah Larik Tanpa Sekat (Sumber: Zakaria 1984)
Keterangan gambar:
A : Ruang dalam (dumeh)
B : Dapur (tanpa sekat)
C : Ruang makan
D : Anjung (tempat duduk orang adat)
E : Ruang Tamu
F : Palasa
// : Pintu
II : Jendela
= : Dinding (bisa buka pasang)
84
4.8.4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tatanan Lanskap
Tatanan lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah secara makro
dipengaruhi oleh filosofi hidup masyarakat yang berorientasi kepada alam.
Masyarakat suku Kerinci menselaraskan kehidupan mereka dengan lingkungan
tempat mereka tinggal. Hampir setiap kegiatan dilakukan dengan memperhatikan
keadaan alam dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Hutan di perbukitan tidak
boleh dijamah karena terdapat sumber air yang menjadi sumber air bersih dan
mengairi ladang serta sawah-sawah yang ada di bawahnya. Ladang-ladang
terdapat di sekitar kaki bukit untuk memudahkan mendapatkan air yang melimpah
dari bukit. Demikian halnya dengan sawah yang tidak pernah kering karena
sungai selalu mengalir membelah kota dan mengairi sawah-sawah yang ada di
sekitarnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tatanan lanskap secara meso adalah
kondisi alam dan kehidupan sosial budaya masyarakat. Nenek moyang pada
zaman dahulu memilih daerah yang subur di sekitar sungai sebagai permukiman.
Selain itu, sungai juga dapat berfungsi sebagai tempat MCK dan jalur transportasi
bagi masyarakat. Larik-larik kemudian dibangun dengan mengikuti arah matahari
terbit dari timur dan terbenam ke barat. Larik dibangun memanjang menyesuaikan
ketersediaan lahan pada saat itu, oleh sebab itulah terdapat larik-larik yang tidak
memiliki panjang yang sama. Kehidupan sosial masyarakat yang sangat kuat dari
segi kekeluargaan dan kemasyarakatan juga ikut mempengaruhi terbentuknya
tatanan lanskap berupa luhah-luhah yang menyatu dalam satu kesatuan yaitu
kawasan Rumah Larik Limo Luhah.
Tatanan lanskap Rumah Larik Limo Luhah secara mikro yaitu rumah tempat
tinggal dipengaruhi oleh kepercayaan dan aktivitas keseharian masyarakat. Rumah
Larik dibangun dengan ritual-ritual yang mengandung banyak makna. Pembagian
ruang menurut sumbu vertikal mengandung nilai ketuhanan. Rumah memiliki
kolom yang dianggap sakral yaitu tiang tuo sebagai tiang pertama dalam
membangun rumah. Selain itu, adanya citra vertikal pada atap atau loteng yang
menjadi ruang tempat tidur bagi orang tua dan menyimpan benda-benda pusaka
peninggalan nenek moyang. Ruang tengah merupakan ruang untuk manusia dan
ruang bawah adalah kandang untuk menyimpan hasil pertanian dan ternak.
85
Pembagian ruang menurut sumbu horisontal mengandung nilai kemanusiaan.
Ruang tengah merupakan tempat aktivitas keseharian manusia seperti makan,
tidur, memasak, dan pertemuan adat. Rumah Larik yang memiliki pintu
penghubung antara satu rumah dengan rumah berikutnya merupakan cerminan
nilai kemanusiaan yang tinggi. Makna yang terkandung di dalamnya adalah nilai
kekeluargaan, kebersamaan, dan saling percaya antara satu sama lain. Karakter
dan faktor-faktor yang mempengaruhi lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah
dapat dilihat pada Gambar 40.
Gambar 40. Karakter dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lanskap Budaya
Rumah Larik Limo Luhah.
Seiring dengan perkembangan zaman, tatanan lanskap di kawasan Rumah
Larik baik secara makro, meso, dan mikro telah banyak mengalami perubahan.
Hal ini dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, meningkatnya kebutuhan ekonomi
masyarakat, kebijakan pemerintah , dan sikap keterbukaan masyarakat terhadap
budaya asing.
86
4.9. Persepsi dan Keinginan Masyarakat
Masyarakat Kota Sungai Penuh pada umumnya dan masyarakat adat Limo
Luhah khususnya merupakan masyarakat transisi. Masyarakat transisi adalah
masyarakat yang mengalami perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat
industri dan komunikasi modern. Hampir tidak ada lagi masyarakat tradisional
yang belum tersentuh pengaruh dan perkembangan masyarakat industri dan
komunikasi modern (Banawiratma 1991). Meskipun demikian, tidak semua
budaya tradisional ditinggalkan oleh masyarakat. Kehidupan masyarakat yang
sedang mengalami transisi menciptakan kehidupan yang bersifat konsumtif
terhadap budaya asing dam memunculkan persepsi bahwa budaya tradisional
sudah tidak cocok dan ketinggalam zaman. Akan tetapi, untuk meninggalkan
budaya tradisional secara mutlak juga tidak mungkin sehingga masyarakat
mengadopsi kedua budaya ini secara bersama (Sagrim 2009).
Kehidupan
masyarakat
transisi
tidak
terlepas
dari
pembangunan.
Pembangunan dalam perspektif modernisasi berasumsi pada dua kutub yang
berbeda, yaitu pemerintah dalam posisi superior (pusat) dan masyarakat dalam
posisi inferior (periferi). Perubahan selalu berasal dari pemerintah, budaya
tradisional masyarakat dianggap sebagai salah satu penghambat sehingga perlu
digantikan dengan oleh budaya modern yang lebih produktif. Orientasi utama
pembangunan adalah peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Perubahan mendasar
yang terjadi semakin mengikis budaya tradisional. Padahal masyarakat tradisional
sudah memiliki pola pengaturan kehidupan sosialnya sejak lama , namun harus
mengalami transformasi menuju pola pengaturan baru yang oleh pemerintah
dianggap lebih baik (Widodo 2008).
Dari pengamatan di dalam kawasan Rumah Larik dan sekitarnya, terlihat
jelas perubahan kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Hal yang paling
menonjol berubah adalah konstruksi dan gaya arsitektur bangunan rumah serta
anggota masyarakat yang tinggal di dalam kawasan tersebut. Berdasarkan data
hasil kuisoner dari 31 responden, menunjukkan bahwa sekitar 64,5 % menyatakan
setuju dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat (Gambar 41).
Masyarakat berpendapat bahwa perubahan yang terjadi saat ini terutama budaya
modernisasi tidak bisa dicegah dan masyarakat pendatang tidak dapat dibendung.
87
Gambar 41. Diagram Hasil Kuisoner tentang Setuju atau Tidaknya terhadap
Perubahan yang Terjadi dalam Masyarakat
Masyarakat Suku Kerinci adalah masyarakat yang masih menjunjung tinggi
adat istiadatnya. Meskipun mengadopsi budaya asing yang tidak dapat dibendung,
budaya tradisional masyarakat masih sangat kuat. Kehidupan bermasyarakat yang
saling menghormati dan tolong menolong masih bisa dirasakan hingga saat ini.
Hasil kuisoner menunjukkan 96,77 % masyarakat atau 30 orang responden
mengatakan betah tinggal di dalam kawasan Rumah Larik ini (Gambar 42).
Gambar 42. Diagram Hasil Kuisoner tentang Betah atau Tidaknya Masyarakat
Tinggal di Dalam Kawasan Rumah Larik Limo Luhah.
88
Sebagian besar masyarakat Suku Kerinci terutama yang tinggal di dalam
kawasan Rumah Larik Limo Luhah masih melakukan adat budaya mereka. Hasil
kuisoner menunjukkan sekitar 87 % atau 27 orang responden mengatakan masih
melakukan adat budaya tradisional mereka (Gambar 43). Adat budaya yang masih
dilakukan hingga saat ini antara lain yaitu, penggunaan kata sapa atau panggilan,
upacara adat perkawinan, upacara naik haji, upacara kenduri sko, dan lain
sebagainya.
Gambar 43. Diagram Hasil Kuisoner tentang Masih atau Tidaknya Masyarakat
Melakukan Kegiatan Adat Budaya Tradisional
Masyarakat adat Limo Luhah Sungai Penuh melestarikan budaya mereka
secara turun temurun. Salah satu caranya adalah melalui cerita orang-orang tua
yang diturunkan pada anak dan cucunya. Hasil kuisoner terhadap 31 orang
responden menunjukkan 32,25 % menyatakan tahu tentang sejarah suku Kerinci,
38,70 % menyatakan sedikit tahu, dan 29,03 % menyatakan tidak tahu. Golongan
masyarakat yang menyatakan tahu tentang sejarah Suku Kerinci rata-rata adalah
para orang tua dan pemangku adat. Sedangkan yang menyatakan tidak tahu adalah
remaja dan masyarakat pendatang. Selain bersumber dari cerita orang-orang tua,
89
informasi dan pengetahuan mengenai sejarah dan budaya tradisional masyarakat
Suku Kerinci diperoleh melalui buku-buku sejarah dan kebudayaan Kerinci.
Kawasan Rumah Larik merupakan lanskap budaya yang unik, bernilai
budaya tinggi, dan membanggakan bagi masyarakat Suku Kerinci. Dari hasil
kuisoner terhadap 31 orang responden akan pentingnya keberadaan kawasan
Rumah Larik, 48,38 % mengatakan sangat penting dan 51,61 % mengatakan
penting. Kemudian, 100 % responden menganggap kawasan ini perlu dilestarikan
agar dapat menjaga nilai-nilai sejarah dan budaya Kerinci sehingga dapat di
ketahui oleh generasi-generasi muda. Hasil ini menunjukkan bahwa masyarakat
masih menganggap pentingnya keberadaan lanskap budaya Rumah Larik ini dan
ingin melestarikannya. Sejauh ini, masyarakat telah melakukan berbagai upaya
untuk
mendukung
pelestarian
tersebut
seperti,
berpartisipasi
aktif
menyumbangkan pikiran, tenaga, dan finansial. Sebanyak 77,42 % masyarakat
menginginkan adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat
dalam pengelolaan kawasan Rumah Larik ini. Pengelolaan dan pelestarian yang
diinginkan oleh masyarakat adat Limo Luhah antara lain :
1. Penetapan kawasan Rumah Larik serta elemen-elemen di dalamnya
sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) yang perlu dilestarikan.
2. Adanya sertifikasi kepemilikan lahan milik adat dalam kawasan Rumah
Larik Limo Luhah oleh pemerintah.
3. Adanya bantuan (insentif) dari pemerintah terhadap para pemilik Rumah
Larik untuk biaya pemeliharaan.
4. Adanya peran aktif para pemangku adat tiap Luhah dalam upaya
pelestarian kawasan Rumah Larik.
5. Meningkatkan kepedulian masyarakat dan lembaga adat.
6. Pembangunan yang dilakukan tetap mempertahankan nilai-nilai budaya.
7. Adanya sanksi adat bagi masyarakat yang menjual tanah dan rumah
dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah.
8. Adanya upaya dari masyarakat untuk melakukan penghijauan dan
menjaga kebersihan lingkungan Rumah Larik agar terlihat lebih tertata
dan indah.
90
4.10. Pengelolaan Lanskap
4.10.1. Pengelolaan Lanskap Oleh Masyarakat
Tanah adat di Kerinci dikenal dengan istilah tanah ajun arah atau tanah
ulayat di Minangkabau. Tanah ajun arah terbagi menjadi dua, yaitu yang berada
dalam lingkungan parit sudut empat dan yang berada di luar permukiman adat.
Tanah adat dalam parit sudut empat dikuasai secara bersama oleh luhah, kalbu,
perut, tumbi, dan diatur pemakaiannya oleh Ninik Mamak dengan persetujuan
Depati (Disparbud Kerinci 2003). Tanah dalam parit sudut empat yang terdiri dari
rumah tempat tinggal, pekarangan, surau, masjid, sekolah, tempat pemandian
umum, tanah lapang, jalan, dan fasilitas lainnya hanya dilakukan pemeliharaan
fisik saja. Rumah dan pekarangan merupakan tanggung jawab pemilik rumah
untuk memeliharanya. Sedangkan untuk fasilitas umum seperti jalan, masjid,
surau, dan tanah lapang dikelola secara bersama oleh masyarakat atau dikelola
oleh lembaga dan petugas-petugas yang telah diberikan wewenang untuk
mengelolanya. Adanya aturan yang tidak boleh memperjual belikan tanah adat
terutama dalam lingkungan parit sudut empat menjadi salah satu cara pengelolaan
yang diatur oleh adat sehingga dapat melestarikan warisan nenek moyang.
Tanah ajun arah yang berada di luar permukiman adat adalah hutan.
Hutan adat ada yang boleh dimanfaatkan oleh manusia dan ada yang tidak boleh
dijamah sama sekali. Dalam mempertahankan hutan, adat diberikan hak untuk
menjaganya. Hutan larangan (imbo larang) merupakan hutan yang tidak boleh
digarap oleh manusia, batasnya ditentukan oleh adat. Hutan merupakan lahan
cadangan yang berfungsi sebagai tempat membangun permukiman baru jika
sudah tidak ada lagi lahan untuk membangun. Selain hutan, sawah dan ladang
juga merupakan tanah ajun arah yang berfungsi sebagai lahan cadangan.
Kepemilikan sawah dan ladang telah diatur oleh adat, dan pemakaiannya juga
telah diatur oleh Depati dan Ninik Mamak. Sawah dan ladang boleh diperjual
belikan atau dialih fungsikan dengan persetujuan dari Ninik Mamak.
4.10.2. Kebijakan Pemerintah
Kota Sungai Penuh diresmikan pada tanggal 8 November 2008 oleh Menteri
Dalam Negeri H. Mardiyanto berdasarkan UU No. 25 Tahun 2008. Berdasarkan
91
hasil evaluasi Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2010, Kota
Sungai Penuh berhasil meraih penghargaan sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB)
terbaik se-Indonesia. Sebagai kota yang baru terbentuk, Kota Sungai Penuh belum
memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Penyusunan RTRW ditargetkan
selesai pada tahun 2010 (http://www.sungaipenuhkota.go.id/, Mei 2010).
Berdasarkan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kota Sungai Penuh
Tahun 2010, prioritas pembangunan dalam rancangan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah (RKPD) Kota Sungai Penuh Tahun 2011 adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung perekonomian daerah.
2. Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pelayanan kepada
masyarakat.
3. Peningkatan pendapatan masyarakat berbasis ekonomi kerakyatan.
4. Peningkatan pelestarian lingkungan hidup dan penataan ruang.
Dari prioritas dan sasaran pembangunan di atas, pemerintah kota
merencanakan pembangunan dan perbaikan jalan serta jembatan, rehabilitasi
irigasi teknis dan sarana air bersih, rehabilitasi fasilitas umum seperti sekolah dan
puskesmas, pemberian bantuan modal bagi koperasi dan UKM, mengoptimalkan
penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota, pemanfaatan lahan kritis di luar
kawasan TNKS, dan penataan Objek Daya Tarik Wisata (ODTW) yang ada di
Kota Sungai Penuh.
Pengelolaan yang dilakukan pemerintah Kota Sungai Penuh terhadap
kawasan Rumah Larik Limo Luhah baru terbatas pada pemeliharaan fisik.
Pemerintah belum memberikan perhatian khusus pada usaha pelestarian sejarah
dan budaya masyarakat adat yang ada di Kota Sungai Penuh.
4.11. Analisis Keberlanjutan
Analisis keberlanjutan lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah dilakukan
terhadap dua faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor internal (budaya dan
adat istiadat masyarakat) dan faktor eksternal (pengaruh budaya asing dan
kebijakan pemerintah). Kedua faktor tersebut dinilai dapat mempengaruhi
keberlanjutan masyarakat adat, budaya dan wilayah adat.
92
4.11.1. Faktor Internal
Faktor internal yang terkait dengan keberlanjutan lanskap budaya Rumah
Larik Limo Luhah salah satunya yaitu, adanya hukum dalam adat yang mengatur
tentang hak warisan. Hak warisan adalah hak pusaka yang diturunkan dari nenek
moyang kepada keturunannya (ahli waris). Hak warisan dalam masyarakat suku
Kerinci ada empat macam, yaitu warisan gelar, warisan rumah, warisan tanah, dan
warisan benda ringan. Warisan gelar berupa Depati maupun Ninik Mamak dapat
jatuh kepada anak jantan atau anak batino. Gelar ini merupakan warisan budaya
dari nenek moyang yang masih bertahan hingga sekarang. Warisan rumah atau
pusaka rumah hanya diturunkan pada anak batino dan tidak boleh diperjual
belikan. Misalnya, seseorang meninggalkan empat buah rumah, maka dua rumah
diserahkan kepada anak batino dan dua rumah lagi boleh dibagi kepada anak
jantan, akan tetapi anak batino tetap berhak atas semua rumah tersebut (Zakaria
1973). Hal ini menggambarkan bagaimana rumah dianggap sebagai sesuatu yang
sangat berharga sehingga hak kepemilikannya bagi ahli waris diatur dalam adat
yang berlaku dalam masyarakat.
Warisan tanah dapat berupa tanah kering (ladang) atau tanah basah (sawah).
Warisan berupa ladang diturunkan kepada anak jantan dan anak batino secara adil.
Sedangkan sawah, pewarisannya sama dengan hak waris terhadap rumah, yaitu
diturunkan kepada anak batino. Sawah warisan ini tidak boleh dijual karena
termasuk pusaka, kecuali dengan izin dari Depati dan Ninik Mamak. Seperti yang
dijelaskan sebelumnya, bahwa sawah dan ladang juga berfungsi sebagai lahan
cadangan untuk mendirikan pemukiman baru. Selain itu, sebagian besar
masyarakat berprofesi sebagai petani yang menggantungkan hidupnya pada hasil
pertanian. Warisan lainnya adalah warisan benda ringan, yaitu benda-benda yang
dapat dibawa seperti hewan ternak, emas, pakaian, dan lain sebagainya. Warisan
ini diturunkan kepada anak jantan, apabila tidak ada anak jantan maka semuanya
jatuh pada anak batino (Zakaria 1973).
Selain masalah hak warisan di atas, faktor yang ikut mempengaruhi
keberlanjutan lanskap budaya Rumah Larik ini adalah hubungan kekeluargaan
dan kekerabatan yang masih dijunjung tinggi oleh semua golongan dalam
masyarakat
adat
Limo
Luhah.
Pola
pemukiman
yang
berluhah-luhah
93
memungkinkan masyarakat untuk lebih saling berinteraksi dalam kehidupan
sehari-hari. Sikap gotong royong masih dapat dilihat dalam kegiatan-kegiatan
tertentu, baik yang bersifat kegiatan sosial maupun kegiatan adat. Namun, rasa
kekeluargaan dan kebersamaan dalam masyarakat saat ini tidak seperti kehidupan
masyarakat pada zaman dahulu yang masih sangat kuat.
Kegiatan-kegiatan adat dan tradisi budaya yang masih sering dilakukan
hingga sekarang juga mendukung keberlanjutan dari budaya masyarakat sendiri.
Tradisi-tradisi yang masih dipertahankan hingga saat ini antara lain, upacara adat
perkawinan, upacara adat kematian, upacara kenduri sko, upacara naik haji, dan
lain sebagainya. Sedangkan tradisi yang sudah tidak dilakukan lagi oleh
masyarakat antara lain, upacara mendirikan rumah, kenduri setelah menuai padi,
tale, upacara turun mandi anak, dan tari Tauh11.
Suku Kerinci memiliki kemiripan dengan suku Minangkabau, yaitu suka
merantau jauh dari daerah asalnya. Menurut Junus (1978, diacu dalam Rasyid
2008), keinginan untuk merantau ini disebabkan oleh beberapa hal, pertama
adalah keinginan mereka untuk mendapatkan kekayaan tanpa menggunakan
tanah-tanah yang telah ada. Hal ini dihubungkan dengan keadaan bahwa seorang
anak jantan tidak mempunyai hak menggunakan tanah warisan bagi kepentingan
dirinya sendiri. Ia hanya dapat menggunakan tanah warisan itu untuk kepentingan
keluarga matrilinielnya. Kedua, adalah perselisihan-perselisihan yang dapat
menyebabkan orang merasa yang dikalahkan akan meninggalkan kampung dan
keluarga untuk menetap di tempat lain. Keadaan ini kemudian ditambah dengan
keadaan yang diciptakan oleh perkembangan yang berlaku pada masa akhir-akhir
ini, seperti dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang
Kerinci dapat dijumpai di beberapa daerah di Indonesia, mereka pada umumnya
merantau untuk bekerja, sekolah, dan ada yang merantau karena ikatan
perkawinan. Orang Kerinci yang merantau biasanya kembali pulang ke kampung
halamannya apabila kehidupan ekonominya sudah menjadi lebih baik. Di
kampung halamannya, mereka kembali membantu orang tua maupun saudarasaudaranya. Banyak masyarakat Kerinci yang bekerja menjadi TKI di Malaysia
11
Hasil wawancara dengan Depati Hasril Maizal, April 2010.
94
dan membawa sesuatu yang baru seperti budaya luar masuk ke kampung
halamannya.
4.11.2. Faktor Eksternal
Penetapan Sungai Penuh sebagai Kotamadya dan sekaligus memisahkan diri
dari Kabupaten Kerinci berdasarkan UU No.25 Tahun 2008 yang disahkan oleh
DPR-RI pada tanggal 21 Juli 2008 merupakan titik awal perubahan dan
pembangunan Kota Sungai Penuh sebagai Daerah Otonomi Baru (DOB). Dalam
kurun waktu 2 tahun mulai dari 2008 hingga 2010 Kota Sungai Penuh telah
banyak mengalami perkembangan sehingga meraih prestasi sebagai DOB terbaik
se-Indonesia. Perkembangan pesat terjadi di berbagai aspek, terutama pada aspek
teknologi dan informasi. Arus globalisasi dan kemajuan teknologi tidak dapat
dicegah sehingga budaya luar dapat dengan mudah masuk ke dalam kehidupan
masyarakat. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa masyarakat Suku Kerinci
pada khususnya sedang mengalami masa transisi dari masyarakat agraris
tradisional yang penuh dengan nuansa spiritualistik menuju masyarakat industri
modern yang materialistik. Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi lebih
konsumtif terhadap budaya-budaya luar yang dominan bersifat kebendaan.
Semakin berkembangnya teknologi informasi seperti handphone dan internet
semakin menjerumuskan para generasi muda dalam dunia modernisasi. Para
generasi muda mulai tidak peduli lagi dengan adat dan budaya yang berlaku
dalam kehidupan masyarakat tempat dimana mereka hidup. Padahal, para orang
tua membutuhkan para pemuda untuk melanjutkan tradisi dan melestarikan
budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka dahulu.
Sebagai kota yang baru terbentuk, Sungai Penuh belum memiliki RTRW
dan penyusunannya ditargetkan selesai pada tahun 2010. Pemerintah memiliki
sasaran pembangunan yang meliputi peningkatan tata pemerintahan, sarana dan
prasarana infrastruktur, sumber daya manusia, ekonomi , dan sumber daya alam
serta pariwisata. Tatanan lanskap kawasan Rumah Larik Limo Luhah dan
lingkungan di sekitarnya saat ini sudah sangat jauh berbeda jika dibandingkan
dengan kondisi pada tahun 1940-an. Lingkungan di sekitar parit sudut empat yang
dahulu terdiri dari ladang dan hutan, saat ini sudah berubah menjadi area
95
permukiman, pendidikan, dan komersil (Gambar 44). Selain itu, dalam larik tidak
dapat ditemui lagi rumah-rumah yang saling terhubung satu dengan lainnya,
setiap rumah telah memisah menjadi unit-unit tersendiri. Hal ini menggambarkan
kondisi kehidupan sosial masyarakat yang dahulu kekerabatannya sangat erat,
akan tetapi saat ini cenderung individualis. Banyak elemen-elemen lanskap yang
sudah rusak dan hilang karena termakan usia seperti rumah larik, tabuh larangan,
bilik padi, makam nenek moyang, dan sebagainya. jika kondisi ini terus dibiarkan
tanpa ada usaha pelestarian, dikhawatirkan lanskap budaya Rumah Larik Limo
Luhah ini akan kehilangan karakternya.
Gambar 44. Perubahan Lanskap di Sekitar Kawasan Rumah Larik Limo Luhah
Gambar Kiri (tahun 1940-an) dan Gambar Kanan (tahun 2010)
Pada bidang pariwisata, belum adanya kebijakan-kebijakan pemerintah
yang bersifat melindungi warisan sejarah dan budaya Kerinci. Peningkatan
pariwisata hanya difokuskan pada objek pemeliharaan objek wisata yang telah ada
dan merencanakan objek wisata baru yang hanya memiliki nilai estetika untuk
menarik pengunjung. Objek-objek seperti benda-benda bersejarah yang banyak
tersebar di Kota Sungai Penuh dan berpotensi sebagai objek daya tarik wisata
belum mendapatkan perhatian dari pemerintah. Selain itu, belum adanya peraturan
tertulis yang melindungi benda-benda bersejarah seperti masjid keramat, tabuh
96
larangan, dan makam keramat yang merupakan Benda Cagar Budaya (BCB).
Rumah-rumah Larik yang masih tradisional seperti yang terdapat di luhah
Mangku Bumi dan Luhah Rio Jayo juga belum mendapatkan perhatian. Padahal
rumah-rumah tersebut merupakan aset berharga yang perlu dilestarikan.
4.11.3. Analisis SWOT Terhadap Keberlanjutan Lanskap Budaya Rumah
Larik Limo Luhah
Analisis SWOT adalah metode analisis yang paling dasar, analisis ini akan
digunakan untuk melihat permasalahan dari empat aspek yang berbeda. Dari
analisis faktor internal akan dirumuskan aspek kekuatan (strengths) dan
kelemahan (weaknesses), sedangkan dari faktor eksternal akan dirumuskan aspek
peluang (opportunity) dan ancaman (threats). Aspek-aspek tersebut adalah
sebagai berikut:
4.11.3.1. Kekuatan (Strengths)
1. Masyarakat masih mempertahankan tradisi budaya yang ditinggalkan oleh
nenek moyang mereka.
2. Masih berlakunya status tanah adat atau tanah ajun arah yang mengatur hak
kepemilikan terhadap suatu lahan.
3. Hubungan kekerabatan dan kekeluargaan yang masih kuat terjalin dalam
masyarakat.
4. Masih terdapatnya beberapa elemen lanskap yang mengandung nilai sejarah
dan budaya dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah.
5. Adanya keinginan dari masyarakat untuk melestarikan Rumah Larik sebagai
rumah tradisional masyarakat Kerinci dan elemen-elemen pendukungnya.
4.11.3.2. Kelemahan (Weaknesses)
1. Banyaknya orang Kerinci yang merantau ke daerah lain dan membawa
pengaruh budaya luar.
2. Banyaknya masyarakat pendatang yang tinggal di dalam kawasan Rumah
Larik karena adanya kecenderungan masyarakat lokal untuk menyewakan
rumahnya dan menetap di lokasi yang baru.
97
3. Adanya pembukaan ladang yang mulai merambah ke hutan dan perubahan
ladang menjadi daerah pemukiman baru.
4. Banyaknya lahan sawah yang mulai dijual oleh pemiliknya karena kebutuhan
lahan yang tinggi sedangkan ketersediaan lahan terbatas.
5. Peran Depati dan Ninik Mamak yang mulai berkurang dalam masyarakat.
6. Kurangnya kepedulian para generasi muda untuk melestarikan sejarah dan
budaya Kerinci.
4.11.3.3. Peluang (Opportunity)
1. Kemajuan teknologi dan informasi yang dapat mendukung kelestarian lanskap
budaya Rumah Larik.
2. Pembangunan dan rencana pembangunan pemerintah yang mendukung
keberlanjutan kawasan Rumah Larik Limo Luhah.
3. Kebijakan pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan untuk
melindungi serta melestarikan benda-benda bernilai sejarah dan budaya
khususnya dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah.
4.11.3.4. Ancaman (Threats)
1. Masuknya budaya luar yang memiliki nilai negatif bagi keberlanjutan lanskap
budaya Rumah Larik Limo Luhah.
2. Kebijakan pemerintah yang tidak memperhatikan kelestarian nilai-nilai sejarah
dan budaya dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah.
4.12. Usulan Pelestarian Lanskap
4.12.1. Konsep Pelestarian
Kawasan Rumah Larik Limo Luhah merupakan lanskap budaya berupa
permukiman tradisional di Kota Sungai Penuh yang memiliki karakter unik yaitu,
dipengaruhi oleh kondisi alam baik secara makro, meso, dan mikro berupa daerah
perbukitan dan lembah dengan topografi yang beragam serta adat budaya yang
berlaku dalam masyarakatnya. Kehidupan masyarakatnya memiliki ciri rasa
kekeluargaan dan kekerabatan yang tinggi. Selain itu, kecenderungan masyarakat
kerinci untuk merantau ke daerah lain dan kembali ke kampung halaman dapat
98
memberikan nilai positif dan negatif bagi keberlanjutan lanskap budaya Rumah
Larik ini. Pembangunan pesat yang dilakukan pemerintah sebagai Daerah
Otonomi Baru (DOB) semakin mengancam keberadaan kawasan Rumah Larik ini.
Selain itu, ketersediaan lahan yang terbatas untuk pembangunan memaksa
masyarakat untuk menjual sawah dan ladangnya. Konsep pelestarian yang
diusulkan adalah melindungi keberadaan kawasan Rumah Larik Limo Luhah dan
tanah adat yang berada dalam wilayah adat Depati Nan Bertujuh dengan
meningkatkan peran dan hubungan kerjasama antara pemerintah Kota Sungai
Penuh dengan masyarakat lokal yang terdiri dari masyarakat adat Limo Luhah,
para pemangku adat (Depati dan Ninik Mamak), serta masyarakat yang sedang
dalam perantauan. Hal ini bertujuan agar antara pemerintah yang berada pada
posisi superior dalam proses pembangunan dan masyarakat yang inferior sebagai
objek pembangunan memiliki sebuah solusi terbaik tentang bagaimana
pembangunan kota tetap berjalan dan kelestarian kawasan Rumah Larik juga tetap
terjaga. Masyarakat adat hendaknya dilibatkan dalam setiap pengambilan
keputusan yang terkait dengan keberlanjutan kawasan atau wilayah adat mereka.
4.12.2. Tindakan Pelestarian
Melihat kondisi eksisting kawasan saat ini, tidak memungkinkan untuk
dilakukan pelestarian dengan cara restorasi atau mengembalikan kawasan ke
bentuk aslinya sesuai dengan karakter yang dimiliknya. Tindakan pelestarian yang
diusulkan adalah rehabilitasi terhadap Rumah Larik yang masih tersisa, yaitu
Rumah Larik yang terdapat di luhah Rio Jayo sebagai representasi Rumah Larik
yang original, preservasi terhadap elemen-elemen yang terdapat di dalam kawasan
Rumah Larik Limo Luhah seperti tanah mendapo, makam nenek moyang, tabuh
larangan, dan benda-benda pusaka peninggalan nenek moyang, serta konservasi
terhadap wilayah adat Depati Nan Bertujuh dan kawasan Rumah Larik Limo
Luhah agar tetap menjadi sebuah pusat permukiman masyarakat adat limo luhah
yang penuh akan nilai budaya dan menjadi warisan bagi generasi di masa
mendatang.
99
4.12.3. Zonasi Pelestarian
Tindakan pelestarian kawasan Rumah Larik Limo Luhah dilakukan dengan
tujuan mempertahankan dan melestarikan kawasan termasuk elemen-elemen yang
bernilai historis dan budaya masyarakat yang ada di dalamnya. Oleh karena itu,
perlu dilakukan penentuan pola zona konservasi yang jelas untuk mendukung
tindakan pelestarian terhadap kawasan Rumah Larik Limo Luhah ini dan elemenelemen pendukungnya (Gambar 45).
Gambar 45. Zona Pelestarian Kawasan Rumah Larik Limo Luhah beserta
Elemen-elemen Pendukungnya dalam Wilayah adat Depati Nan Bertujuh
Kawasan Rumah Larik Limo Luhah merupakan zona inti yang berada
berdekatan dengan pusat kota sehingga sangat rentan terhadap proses
pembangunan dan pengembangan kawasan yang dilakukan oleh pemerintah.
Keberadaan kawasan Rumah Larik mulai terancam oleh perkembangan area
komersil atau perdagangan. Oleh karena itu, area di sekitar kawasan Rumah Larik
yang terdiri dari permukiman penduduk harus dilindungi untuk mencegah
terjadinya perubahan penggunaan lahan. Daerah yang termasuk zona inti lainnya
adalah tanah basah atau sawah yang merupakan tanah adat. Daerah persawahan
ini berada di sebelah Timur kawasan Rumah Larik Limo Luhah yang termasuk ke
100
dalam Desa Gedang dan Desa Sumur Anyir. Area persawahan ini dilindungi oleh
zona penyangga yang terdiri dari permukiman penduduk dan pada zona ini harus
dilakukan pemantauan dan pengendalian agar permukiman tidak merambah lahanlahan sawah yang merupakan tanah warisan. Zona inti lainnya adalah hutan adat
yang berada di daerah perbukitan. Hutan merupakan salah satu warisan yang
harus dilindungi karena daerah ini merupakan hulu sungai yang mengalir
membelah Kota Sungai Penuh dan mengairi ladang serta sawah-sawah penduduk.
Zona penyangga yang melindungi hutan adat ini adalah ladang-ladang penduduk
yang terdapat di lereng bukit. Ladang atau tanah kering termasuk salah satu
warisan nenek moyang, namun ladang berfungsi juga sebagai lahan cadangan
sehingga boleh dimanfaatkan. Sedangkan zona pengembangan yang mengelilingi
zona penyangga merupakan daerah yang diizinkan untuk dilakukannya berbagai
bentuk pembangunan.
4.12.4. Strategi Pengelolaan Pelestarian Lanskap Berdasarkan Analisis
SWOT
Berdasarkan analisis SWOT di atas, dirumuskan strategi pengelolaan
pelestarian lanskap dengan mengkombinasikan faktor-faktor internal maupun
eksternal. Strategi tersebut dapat dibagi menjadi empat kriteria, yaitu strategi SO
(Strengths-Opportunities), strategi WO (Weaknesses-Opportunities), strategi ST
(Strengths-Threats), dan strategi WT (Weaknesses-Threats). Strategi-strategi ini
kemudian dapat digolongkan menjadi dua, yaitu strategi yang terkait dengan
peran masyarakat dan strategi yang terkait dengan peran pemerintah. Analisis
dengan menggunakan mastriks SWOT dapat dilihat pada Tabel 6.
101
Tabel 6. Strategi Pelestarian Lanskap Kawasan Rumah Larik Limo Luhah
Berdasarkan Analisis SWOT
Matriks
SWOT
Internal Strenghts (S)
• Masyarakat masih
mempertahankan budaya
warisan nenek moyang
mereka
• Status tanah ajun arah
masih berlaku dalam
masyarakat
• Masih banyak terdapat
elemen lanskap bernilai
sejarah dan budaya
• Rasa kekeluargaan yang
kuat dalam masyarakat
• Adanya keinginan untuk
melestarikan Rumah Larik.
Eksternal Opportunities (O)
• Kemajuan teknologi dan
informasi yang dapat
mendukung kelestarian
• Adanya pembangunan yang
mendukung keberlanjutan
kawasan Rumah Larik
• Adanya kebijakan
pemerintah untuk
perlindungan benda-benda
bernilai sejarah dan budaya.
Strategi SO
• Adanya kerjasama antara
pemerintah dan masyarakat
untuk melestarikan kawasan
Rumah Larik
• Pembangunan yang
dilakukan pemerintah tetap
memperhatikan nilai sejarah
dan budaya
• Adanya pengakuan hak
kepemilikan tanah adat
melalui pembuatan sertifikat
tanah.
Eksternal Threats (T)
• Kebijakan pemerintah yang
kurang mendukung
keberlanjutan kawasan
Rumah Larik
• Masuknya budaya luar yang
bernilai negatif bagi
kelestarian kawasan Rumah
Larik.
Strategi ST
• Masyarakat harus peka
terhadap kebijakan
pemerintah yang dapat
mengancam kelestarian
kawasan Rumah Larik
• Masyarakat harus lebih
selektif dan kuat
menghadapi budaya luar
yang dapat mengancam
kelestarian budaya mereka.
Internal Weaknesses (W)
• Budaya luar dibawa oleh
masyarakat perantau
•Semakin banyaknya
masyarakat pendatang
•Perambahan hutan menjadi
ladang dan ladang menjadi
pemukiman
•Keterbatasan lahan memaksa
masyarakat untuk menjual
tanahnya
•Peran para pemangku adat
semakin berkurang
•Generasi muda kurang peduli
terhadap sejarah dan
budayanya.
Strategi WO
• Meningkatkan pengetahuan
masyarakat mengenai
pentingnya melestarikan nilai
sejarah dan budaya melalui
teknologi
• Membuat kebijakan
pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan
• Meningkatkan peran aktif
masyarakat dalam mengelola
tanah adat.
• Memasukkan mata ajaran
kebudayaan Kerinci dalam
muatan lokal
Strategi WT
• Masyarakat sebaiknya
menyewakan rumah dan
tanahnya tidak kepada
masyarakat pendatang
• Masyarakat harus memahami
rencana pembangunan
pemerintah
• Meningkatkan peran orang
tua dan para pemangku adat.
102
4.12.5. Strategi Terkait Peran Para Pihak dalam Pelestarian Lanskap
Strategi pelestarian lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah yang terkait
dengan peran masyarakat, yaitu:
1.
Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya melestarikan
nilai sejarah dan budaya. Salah satunya dengan cara meningkatkan peran
orang tua dan para pemangku adat.
2.
Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam mengelola tanah adat.
3.
Masyarakat harus meningkatkan kepedulian terhadap pelestarian Rumah
Larik dan kepekaan terhadap hal-hal yang dapat mengancam keberlanjutan
kawasan.
4.
Masyarakat sebaiknya menyewakan rumah dan tanahnya tidak kepada
masyarakat pendatang.
5.
Masyarakat harus memahami rencana pembangunan pemerintah.
Strategi pelestarian yang terkait dengan peran pemerintah khususnya
pemerintah Kota Sungai Penuh, yaitu:
1.
Adanya kerjasama antara pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan
kawasan Rumah Larik.
2.
Merancang suatu peraturan daerah yang mengatur perlindungan terhadap
kawasan atau objek yang bernilai sejarah dan budaya.
3.
Pembangunan yang dilakukan pemerintah tetap memperhatikan nilai sejarah
dan budaya.
4.
Adanya pengakuan hak kepemilikan tanah adat melalui pembuatan sertifikat
tanah.
5.
Membuat kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan
khususnya yang terkait dengan pemanfaatan lahan di dalam wilayah adat
Depati Nan Bertujuh.
6.
Memasukkan mata ajaran kebudayaan Kerinci dalam muatan lokal dan
kegiatan ekstrakurikuler sekolah untuk meningkatkan pengetahuan dan
kepedulian para generasi muda tentang kebudayaan mereka .
103
4.12.6. Koordinasi Para Pihak yang Terkait dengan Pelestarian Lanskap
Dalam upaya melestarikan lanskap budaya Rumah Larik Limo Luhah
diperlukan sebuah koordinasi yang baik dan jelas. Koordinasi melibatkan pihakpihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat lokal
maupun perantau memiliki tanggungjawab atau keterlibatan langsung yang sangat
mempengaruhi keberlanjutan kawasan Rumah Larik ini. Sedangkan pemerintah
sebagai pembuat kebijakan secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh
positif dan negatif terhadap kelestarian kawasan Rumah Larik. Masyarakat
sebagai pihak yang memiliki peranan yang kuat harus menyadari bahwa mereka
memiliki sesuatu yang bernilai tinggi yaitu adat istiadat dan budaya, serta
memiliki tugas untuk melestarikannya. Banyaknya ancaman berupa pengaruh
budaya luar dan kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat membutuhkan
peran aktif masyarakat. Dalam hal ini adalah peran para orang tua dan pemangku
adat Limo Luhah. Terkait dengan strategi pelestarian, para orang tua dan
pemangku adat Limo Luhah diharapkan lebih berperan aktif dan responsif dalam
menyikapi segala bentuk tindakan yang dapat mengancam keberlanjutan kawasan
Rumah Larik Limo Luhah ini.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan pelaksana pembangunan harus
memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam kehidupan masyarakat adat
Limo Luhah. Pembangunan sebaiknya diselaraskan dengan kebutuhan masyarakat
tanpa mengganggu keberadaan elemen-elemen lanskap yang masih terdapat di
dalam kawasan Rumah Larik Limo Luhah seperti tanah mendapo, tabuh larangan,
makam, maupun kebudayaan atau tradisi masyarakat. Selain itu, dibutuhkan peran
pemerintah untuk meningkatkan peran para generasi muda dalam mengenali dan
memahami adat serta budaya mereka. Salah satu caranya adalah dengan
memasukkan mata ajaran kebudayaan Kerinci kedalam muatan lokal dan kegiatan
ekstrakurikuler sekolah. Untuk itu perlu ditingkatkan kerjasama dan koordinasi
antara masyarakat dengan pemerintah agar karakteristik lanskap budaya Rumah
Larik Limo Luhah dapat dilestarikan (Gambar 46).
104
Masyarakat Adat
Limo Luhah
Pemerintah
Masyarakat
Perantau
Kawasan Rumah Larik Limo Luhah
Keterangan :
Garis koordinasi kerjasama
Garis pengelolaan secara langsung
Garis pengelolaan secara tidak langsung
Gambar 46. Koordinasi Pemerintah dan Masyarakat dalam Pelestarian Lanskap
Budaya Rumah Larik Limo Luhah.
Download