INVESTMENT BANKING AND SECURITIES ISSUANCE (JAY R. RITTER, University of Florida, Gainesville) 1. Pendahuluan 1.1. Overview Bab ini akan menganalisis proses penerbitan surat berharga. Penekanan lebih ditujukan pada kontroversi seputar return jangka panjang dari perusahaan yang mengeluarkan saham, termasuk initial public offering (IPO) dan seasoned equity offerings (SEOs). Untuk IPO, akan dilihat mengenai mekanisme penjualan IPOs dan berbagai pertimbangan yang mendasarinya. Teori dan bukti mengenai first-day returns pada IPOs juga akan dibahas. Dalam bab ini kebanyakan akan dibahas mengenai equity issues. Hal ini bukan karena debt securities tidak penting, melainkan karena pricing dan distribusi dari fixed-income securities pada umumnya lebih pasti. Contohnya risiko kredit, sebagai penentu utama dari tingkat pengembalian corporate bond dengan saat jatuh tempo tertentu, telah ada pihak independen yaitu agensi pemeringkat seperti Moody’s yang memberikan peringkat kredit atas bond. Sedangkan untuk tingkat pengembalian dari sekuritas ekuitas lebih memiliki risiko untuk naik dan turun, oleh karenanya jenis sekuritas ini lebih sensitive terhadap informasi khusus perusahaan. External financing memerlukan biaya yang besar. Saat perusahaan memutuskan untuk menawarkan sekuritas ke publik, hampir selalu melalui jasa perantara, seringnya perusahaan investment banking. Perusahaan yang mengeluarkan sekuritas (issuing firm) akan membayar komisi, atau gross spread, dan menerima hasil bersih dari penjualan sekuritas yang dikeluarkan. Sebagai tambahan direct cost penawaran sekuritas, issuing firm yang sebelumnya telah melakukan perdagangan di bursa biasanya mendapat tambahan biaya (indirect cost) dari adanya revaluasi atas sekuritas yang sudah ada (announcement effect). Biaya tidak langsung (indirect cost) ini kadangkala bisa lebih besar daripada direct costs. Alasan utama penulisan bab ini adalah karena reaksi bursa saham terhadap penawaran sekuritas, menceminkan informasi mengenai investasi dan aktivitas pendanaan perusahaan. Interpretasi dari reaksi ini memberikan isu yang lebih luas seperti market informational efficiency dan adverse selection, dan moral hazard dalam perusahaan. Perusahaan investment banking melakukan intermediary dengan memberikan advise, mendistribusikan sekuritas, dan mengambil posisi prinsipal. Selanjutnya dalam artikel ini penggunaan istilah investment banking, perusahaan sekuritas, dan underwriter akan digunakan secara bergantian. Di Eropa univeral banks telah diizinkan untuk melaksanakan fungsi bank komersil dan bank investasi. Sedangkan di Amerika, glass steagall act memisahkan fungsi bank komersil dan investasi (1930-1990). Sejak tahun 2003, bank komersil diperbolehkan menerima deposito dari perorangan yang dijamin pemerintah (sampai dengan saldo $100 000 per rekening). Sebagai kompensasinya, bank komersil dilarang melakukan beberapa kegiatan 1 tertentu, termasuk mengambil posisi ekuitas perusahaan dan melakukan underwriting surat berharga perusahaan. Kemudian secara bertahap larangan terhadap kegiatan underwriting diperlonggar, pertama-tama untuk debt securities dan kemudian untuk equity securities. Pada akhirnya, tahun 1999 aturan glass-steagall act dicabut, namun kebijakan mengenai penjaminan deposito tetap diberlakukan. Kunci perbedaan antara bank komersil dan bank investasi dalam fungsi pendanaan perusahaan adalah: Bank Komersil: o Bertindak sebagai principal jangka panjang. o Memberikan pinjaman langsung kepada debitur. Bank Investasi: o Bertindak sebagai principal jangka pendek. Karena bank investasi menjual sekuritas yang diterbitkan perusahaan kepada investor, maka pemasaran sekuritas menjadi sesuatu yang penting. Topik ini tidak tercakup dalam kerangka Modigliani-miller, dimana menurut MM pasar adalah sempurna dan sehingga pemasaran tidak memiliki peranan. Salah satu perangkat penting dalam pemasaran sekuritas, khususnya ekuitas, adalah cakupan riset (peramalan dan rekomendasi) yang dilakukan oleh analis sekuritas. Pada akhir tahun 2000, terdapat regulasi mengenai fair disclosure securities and exchange commission’s regulation FD (fair disclosure) yang mengatur aturan main bagi analis, dimana informasi yang disediakan perusahaan untuk analis juga harus dipublikasi secara baik kepada pihak lain. Bab ini memperbaharui dan menambah survey terdahulu mengenai investment banking dan literatur securities issuance, yang sebelumnya telah dilakukan antara lain oleh Smith (1986) mengenai capital acquisition process, Eckbo dan Masulis (1995) mengenai seasoned equity offerings (SEOs), dan Ibbotson dan Ritter (1995), dan Jenkinson dan Ljungqvist (2001) mengenai initial public offerings (IPOs). Bagi yang tertarik dengan analisis komprehensif mengenai literature tentang IPOs, buku Jenkinson dan Ljungqvist mengungkapkannya secara detil. Right issues dicakup dalam bahasan ini, karena tidak umum di USA dan penggunannya di Negara lain pun cenderun menurun. Survey yang ada dalam bahasan ini fokus pada kejadian di Amerika karena literature akademik mengenai hal ini banyak tersedia. Jelas hal ini merupakan keterbatasan, tapi keterbatasan ini menjadi minimalis karena capital market telah berkembang menjadi terintegrasi secara global dan institusi dan praktek di USA telah berkembang mendunia. Sebagai contoh, Deutche Bank’s Investment banking berkantor di kantor pusat London, Credit Suisse First Boston (yang merupakan perusahaan Swiss) pada tahun 2000 telah memimpin dari banyak perusahaan underwriter di USA, dan Goldman Sach memimpin pangsa pasar untuk kegiatan merjer dan akuisisi (M&A) di Eropa. Ritter (2003) menyajikan sedikit survey dari literatur terkini mengenai IPO di Eropa. 2 1.2. A brief history of investment banking and securities regulation Hampir semua perusahaan investment banking memiliki hubungan dengan swasta yang umumnya memiliki basis modal terbatas. Ketika underwriting penawaran sekuritas yang besar, kemitraan ini hampir selalu membentuk sindikat underwriting, dalam rangka memenuhi tuntutan regulasi, pendistribusian surat berharga dan berbagi risiko. Banyak perusahaan investment banking memiliki “hubungan” dengan korporasi. Pada tahun 1970, industri investment banking mulai berubah lebih kearah bentuk “transaksional”, dimana korporasi menggunakan investment banker berbeda untuk pelayanan yang berbeda sesuai kebutuhan. Perusahaan investment banking terus berkembang, baik dalam ukuran maupun cakupan kerja, kebanyakan hal ini terjadi melalui proses merger. Alasan terjadinya perkembangan ini adalah karena kebutuhan atas teknologi informasi, dengan biaya tetap yang tinggi dan biaya marginal yang rendah. Sesuai dengan perkembangan tersebut, jumlah perusahaan yang berpartisipasi dalam sindikasi juga berkembang pesat dalam beberapa dekade. Sebuah sindikat terdiri dari satu atau lebih managing underwriter dan sampai seratus lebih anggota sindikat. Manager utama melakukan tugas lebih banyak dan menerima bayaran lebih besar (Chen and Ritter, 2000). Semua manager biasanya menyediakan area untuk riset, dan ini merupakan alasan utama mengapa sindikat masih tetap ada. Sesuai dengan perkembangan tersebut, jumlah perusahaan yang berpartisipasi dalam sindikasi juga berkembang pesat dalam beberapa dekade. Sebuah sindikat terdiri dari satu atau lebih managing underwriter dan sampai seratus lebih anggota sindikat. Manager utama melakukan tugas lebih banyak dan menerima bayaran lebih besar (Chen and Ritter, 2000). Semua manager biasanya menyediakan area untuk riset, dan ini merupakan alasan utama mengapa sindikat masih tetap ada. Sebagai konsekuensi dari pendistribusian saham pada saat IPO, pemimpin underwriter mengetahui di mana saham akan ditempatkan, yang akan memberikan keuntungan alami bagi pembentukan pasar di kemudian hari karena underwriter tahu saham mana yang harus ditarik jika terjadi ketidakseimbangan (Ellis, Michaely dan O’Haa, 2000). Di USA, federal goverment regulation of securities markets berdasarkan pada caveat emptor (buyer beware) dengan full disclosure. The USA securities and exchange commision (SEC) mengatur pasar surat berharga. Sebagai tambahan, New York Stock Exchange dan The National Assoaciation of securities Dealers mengatur persyaratan keanggotaan dan penanganan atas class action atau persilisihan yang terjadi. Prospektus diminta berisi semua informasi dengan persyaratan khusus dalam hal pengungkapan jumlah dan prosedur akuntansi. Di Eropa tidak ada larangan untuk mempublikasikan data untuk kepentingan riset, sementara di Amerika underwriter dilarang mempublikasikan data perusahaan (kecuali yang ada di prospektus) yang melakukan IPO selama “quiet period”, mulai dari sebelum perusahaan mengumumkan IPO sampai 40 hari kalender setelah IPO. Pengecualian diberikan dalam hal 3 oral disclosures terbatas yang mungkin dibuat selama periode “road show”, dan terbatas pada pihak institusional tertentu untuk mendapatkan akses terhadap road show. Pada umumnya, Managing underwriter menerbitkan laporan risetnya dengan rekomendasi “buy” atau “strong buy” segera setelah “quiet period” berakhir. Michaely and Womack (1999) menyajikan bukti bahwa sell-side analyst yang berafiliasi dengan managing underwriters menghadapi konflik kepentingan. Kebijakan konvensional menyatakan bahwa analis itu ibaratnya menjadi “cheerleaders”. Ada 3 alasan untuk hal ini yaitu 1) mereka tergantung pada akses terhadap manager perusahaan untuk mendapatkan informasi, 2) kompensasi mereka tergantung apakah perusahaannya terpilih menjadi managing underwriter dalam equity atau junk-bond offerings, atau sebagai advisor pada kesepakatan M&A, dan 3) klien institusional yang memberi perhatian pada sebuah laporan biasanya relatif lama dalam memberi perhatian terhadap saham. Pada tahun 2002 diumumkan peraturan baru untuk mengurangi konflik kepentingan tersebut. Pada halaman depan prospektus dicantumkan harga penawaran dan underwriting discount (komisi). Underwriter dilarang menjual surat berharga diatas harga yang tertera, namun bisa dijual di bawah harga jika tidak terjual sesuai dengan harga penawaran. Karena underwriter tidak bisa langsung mengambil keuntungan dari kenaikan harga sekuritas yang belum dijual, namun menanggung kerugian dari penurunan harga sekuritas, maka underwriter akan berusaha keras untuk menjual sekuritas yang ditawarkan. Berdasarkan logika Efficient Market Hpothesis (EMH), mulai tahun 1982 SEC mulai mengizinkan perusahaan (pada dasarnya perusahaan besar) untuk menerbitkan surat berharga tanpa menyampaikan prospektus. Sesuai peraturan SEC no 415 yang menyatakan bahwa dengan menyimpan surat pengumuman dari SEC dalam hal penjualan tambahan, maka untuk dua tahun kedepan perusahaan dapat menjual surat berharganya kapanpun dia mau. Disclosure yang sudah ada seperti laporan triwulan sudah menjadi informasi yang cukup bagi para investor. Surat berharga juga dapat dijual pada saat apa yang dikenal dengan istilah “shelf” issues. Dalam praktek shelf issues lebih umum dilakukan untuk penawaran bond. Sebelum menjual equity securities, perusahan lebih suka menggunakan seorang investment banker dan menggunakan marketing campaign (dalam road show) lengkap dengan prospektus. Hasil penelitian Heron dan Lie (2003) menyatakan bahwa dari tahun 1984-1992 tidak nampak adanya shelf equity offering. 1.3. The information conveyed by investment and financing activities Hasil survey Smith tahun 1986 (investment banking and the capital acquisition process), fokus pada efek pengumuman yang terkait dengan penawaran surat berharga dan aktivitas perusahaan lainnya. Transaksi dapat dikategorikan berdasarkan perubahan leverage dan impliasi terhadap perubahan cash flow. Sebagai contoh penarikan convertibel bond (pemaksaan mengubah utang menjadi ekuitas) menurunkan leverage perusahaan dan mengurangi kebutuhan kas perusahaan untuk membayar bunga, dan pembelian kembali 4 saham meningkatkan leverage dan penggunaan kas. Studi menemukan bahwa transaksi leverage-decreasing rata-rata berhubungan negatif dengan announcement effects bila ada penambahan modal baru seperti equity issues. Sedangkan transaksi leverage-increasing ratarata berhubungan positif dengan announcement effects jika tidak menimbulkan penambahan modal baru (seperti share purchase). Seperti yang digarisbawahi oleh Smith, pola ini sulit untuk direkonsiliasi dengan model trade off tradisional dari optimal capital structure. Pola ini sebetulnya konsisten dengan asimetris informasi dan agency problems. Ada beberapa masalah dalam menginterpretasikan pengaruh sebuah pengumuman perusahaan. 1. Di dalam pasar effesien, the announcement effect akan mengukur perbedaan antara the post-announcement evaluation dan apa yang yang diharapkan sebelumnya. Jika investor memiliki keyakinan yang tinggi bahwa suatu pengumuman akan terjadi, maka announcement effect akan mengeliminir efek dari kejadian (event) yang diumumkan. 2. Beberapa kegiatan pendanaan perusahaan secara implisit berhubungan dengan kegiatan investasi, dan sebaliknya kegiatan investasi berhubungan dengan kegiatan pendanaan. Pendanaan perusahaan dan kegiatan investasi mengandung informasi mengenai kedua aktifitas tersebut, tergantung pada sumber dana dan penggunaan dana tersebut. Sebagai contoh jika sebuah perusahaan meningkatkan modal dari eksternal secara implisit mengandung informasi bahwa dana internal perusahaan tersebut tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan perusahaan (bad news). Hal ini juga berarti bahwa perusahaan akan berinvestasi lebih dibanding jika perusahaan tidak melakukan pembiayaan dari eksternal. Hal ini bisa berarti good news atau bad news tergantung pada investasi yang diinginkan. Jadi pengaruh pengumuman tergantung pada besaran perubahan berbagai informasi baik implisit maupun eksplisit. Pada pertengahan 1980 literatur yang ada menunjukkan bahwa pasar rata-rata bereaksi negatif, terhadap pengumuman penerbitan saham di USA. Atas penerbitan convertible bond secara umum rata-rata pasar bereaksi negatif moderat. Penawaran bond menghasilkan reaksi negatif, sedangkan pembelian kembali saham memiliki pengaruh yang positif. Dalam dekade terakhir para peneliti telah menguji kinerja jangka panjang perusahaan terkait dengan kejadian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pasar bereaksi lemah terhadap pengumuman perusahaan. Sebagian besar hasil penelitian mengenai kinerja jangka panjang memiliki fokus pada relative performance, contohnya ingin mengetahui apakah penerbitan surat berharga oleh perusahaan-perusahaan berkinerja rendah itu wajar? Baker dan Wurgler (2000) menyajikan bukti empiris bahwa perusahaan-perusahaan tersebut menampilkan kemampuan memanfaatkan momentum pasar. Dengan menggunakan data perusahaan-perusahaan Amerika yang menerbitkan sekuritas debt dan equity (IPOs dan SEOs), mereka menemukan 5 bahwa bagian dari pembiayaan eksternal (yaitu melalui saham - ekuitas) dapat memprediksi return pasar saham pada tahun-tahun berikutnya dengan reabilitas yang lebih besar dibanding dividen yield atau market-to-book ratio. Jika perusahaan dapat memilih waktu yang tepat dalam melakukan penawaran ekuitas, sehingga mereka akan mendapatkan keuntungan dari “windows of opportunity”, maka mereka akan memiliki a time-varying cost of external capital. Bagaimana hal ini mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk melakukan investasi atau pembiayaan? Stein (1996) melakukan kajian tentang hal ini dan menyimpulkan bahwa jawabannya normatif tergantung pada interaksi dari dua asumsi. Asumsi pertama adalah apakah perbedaan biaya yang muncul dari pembiayaan eksternal tersebut merefleksikan misvaluation atau merefleksikan perbedaan keseimbangan expected return. Asumsi kedua adalah apakah manajer mencoba memaksimalkan nilai perusahaan dalam jangka pendek atau jangka panjang. Jika salah satu asumsinya adalah bahwa jika expected return perusahaan rendah terjadi karena saham dinilai terlalu tinggi, maka manager seharusnya menerbitkan saham dan bukan melakukan investasi dalam kegiatan yang memiliki return rendah, hal ini tentunya jika mereka fokus pada kesejahteraan jangka panjang pemegang saham. Sebaliknya, jika asumsinya adalah rendahnya expected return sebelumnya telah diprediksi oleh investor, maka seharusnya perusahaan menerbitkan saham dan memilih investasi dengan tingkat kesulitan yang rendah. 2. Seasoned Equity Offerings (SEOs) Saat perusahaan publik ingin menambah jumlah saham yang beredar, saham baru akan menggantikan saham yang sudah ada secara sempurna. Untuk transaksi seperti ini, biasa disebut seasoned equity offerings (SEO), sebaliknya unseasoned equity offering, an IPO. Praktisi sering menyebut SEO dengan follow-on offering, terlebih bila saham dikeluarkan beberapa tahun setelah IPO. 2.1. Announcement effects Beberapa studi mencatat bahwa di Amerika ada pengaruh pengumuman untuk SEOs ratarata sebesar -2%. Penjelasan paling populer untuk hubungan negatif tersebut adalah model adverse selection dari Myers dan Majluf (1984). Mereka berasumsi bahwa manajemen ingin memaksimalkan kesejahteraan para pemegang saham yang ada dalam jangka panjang. Dalam beberapa waktu tertentu harga pasar saat ini mungkin saja terlalu tinggi atau terlalu rendah secara relatif dibanding informasi yang dimiliki manajemen terhadap suatu aset tertentu. Dengan kata lain, asumsinya adalah strong-form market ineffeciency. Jika manajer berpikir bahwa harga pasar saham sekarang terlalu rendah, perusahaan tidak akan menerbitkan undervalued stock. jika manajer berpikir bahwa harga pasar sekarang terlalu tinggi perusahaan akan menerbitkan equity jika debt bukan merupakan suatu pilihan. Rasional investor mengetahui aturan keputusan tersebut, sehingga menginterpretasikan sebuah pengumuman 6 penerbitan equity mengandung opini manajemen bahwa saham tersebut undervalued, dan harga saham salah. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, ketika perusahaan meningkatkan equity capital dan eksternal, hal ini bukan saja mengandung informasi mengenai apakah manajemen berpikir perusahaan overlued atau tidak, tetapi juga berharap manajemen akan melakukan sesuatu dengan dana yang didapatnya tersebut. Jika pasar menginterpretasikan penerbitan equity memiliki implikasi bahwa proyek baru dengan NPV yang positif akan didapat, maka pengaruh pengumuman akan positif. Namun jika pasar memperkirakan penerbitan ekuitas berarti manajemen akan membangun sebuah kerajaan, maka pengaruh pengumuman daat diinterpretasikan sebagai hubungan kausal yang disebabkan penerbitan quity, padahal external quality sangatlah mahal. Rasionalisasinya adalah bahwa sumber equity tambahan akan mempermudah tendensi manajemen untuk mencapai “membangun kerajaan”. Dengan kata lain permasalahan agensi antara pemegang saham dan manajer akan semakin intensif. Beberapa studi empiris telah mencatat pola cross-sectional dalam pengaruh pengumuman penerbitan equity. Secara umum hasil menunjukkan reaksi negatif yang kecil ketika perusahaan dapat meyakinkan pasar bahwa ada alasan baik untuk penerbitan equity, dan ada reaksi negatif yang lebih ketika motivasi baik tersebut tidak nampak. Jung, kim, dan Stulz (1996) melaporkan bahwa perusahaan dengan q (market value-to-replacement cost) yang tinggi, mencerminkan kesempatan investasi yang baik, secara tidak signifikan memiliki announcement effects. Choe, Masulis dan Nanda (1993) mencatat bahwa pengaruh pengumuman negatif lebih kecil pada siklus bisnis perusahaan yang berada pada perekonomian yang sedang berkembang (ekspansif), karena risiko terjadinya adverse selection lebih kecil. Korajczyk, Lucas dan McDonald (1991) melaporkan bahwa pengaruh pengumuman yang negatif tersebut lebih kecil jika pengumuman dilakukan dalam waktu dekat dengan pengumuman laba, dimana kemungkinan terjadi asimetri informasi juga lebih kecil. Sedangkan Houston and Ryngaert (1997) menyajikan bukti langsung bahwa adverse selection dapat menerangkan pengaruh pengumuman yang negatif tersebut. Houston dan Ryngaert (1997) meneliti mengenai merjer bank, dimana common stock merupakan alat pembayaran utama kepada target pemegang saham. Beberapa perjanjian mencatumkan bahwa target pemegang saham akan menerima sejumlah saham dengan jumlah yang tetap (a fixed ratio stock offer), sedangkan perjanjian merjer yang lain menawarkan sejumlah saham sebagai tambahan dari sejumlah uang tunai (a conditional stock offer). Jika pemegang saham target mengira bahwa nilai saham yang ditawarkan undervalued, a conditional stock offer memberikan proteksi atas adanya kemungkinan penurunan harga. Konsisten dengan perkiraan adverse selection, nilai announcement effect untuk fixed ratio stock offers sebesar -3%, sedangkan untuk conditional stock offers hanya -1,1%. Secara umum hasil temuan studi menyatakan bahwa semakin besar saham yang diterbitkan, maka akan ada pengaruh negatif yang lebih besar. Satu masalah dalam 7 menginterpretasikan hal ini adalah jika terdapat reaksi negatif yang tidak biasa, issue size mungkin akan hilang seiring waktu ketika kesepakatan telah terpenuhi. Pada tanggal penerbitan SEOs, secara rata-rata terjual pada diskon sekitar 3% relatif terhadap harga pasar pada hari sebelum penerbitan (Corwin (2003), Mola & Loughran (2003)). Mola & Loughran (2003) melaporkan bahwa ukuran diskon ini sepanjang waktu semakin meningkat, sehingga hal ini menyebabkan meningkatnya kecenderungan untuk mengatur harga penawaran pada jumlah tertentu. Contoh, belakangan ini saham yang diperdagangkan pada harga $31.75 besar kemungkinan akan dihargai sebesar $30.00 atau $31.00, sedangkan pada tahun 1980an saham ini besar kemungkinan akan dihargai sebesar $31.00 atau $31.50. 2.2. Evidence on long-run performance Performa jangka panjang SEOs telah menjadi subjek banyak penelitian, dimana kesemuanya menemukan bahwa perusahaan yang melakukan SEOs biasanya pada tahun sebelum issuing memiliki nilai returns yang tinggi. Sebagai contoh, Loughran dan Ritter (1995) melaporkan ratarata return pada tahun sebelum penerbitan sebesar 72%. Namun selama lima tahun setelah penerbitan, nilai return berada dibawah normal. Kemungkinan terjadinya hal ini dikarenakan adanya “Market timing”, dan adanya performa yang tidak normal dibandingkan dengan benchmark. Kesimpulan mengenai kinerja abnormal menjadi penerbitan yang hangat, dan sensitif terhadap metodologi yang dibangun dan sampel yang digunakan. Bukti mengenai ratarata return tahunan selama lima tahun setelah penerbitan diilustrasikan pada figure 1. 8 Figure 1 mengilustrasikan bukti terkait dengan rata-rata annual returns lima tahun setelah issuing. Angka-angka yang ada menunjukkan untuk 7760 SEOs yang terjadi dalam kurun waktu 1970-2000, nilai average annual return dalam lima tahun setelah issuing adalah sebesar 10.8%. Nonissuing firms dengan ukuran (market capitalization) yang sama, memiliki average annual returns sebesar 14,4%. Sehingga dibandingkan dengan size-matched benchmark, issuers underperform sebesar 3.6% per tahun untuk lima tahun. Sedangkan tabel 1. menunjukkan bahwa issuers tidak memiliki kinerja yang buruk dalam 6 (enam) bulan pertama setelah issuing. Hal ini dimungkinkan adanya kombinasi dari momentum effect dan keinginan untuk mencegah litigasi dengan memastikan bahwa angka laba sesuai dengan ramalan para analis dalam 2 (dua) triwulan pasca issuing. Negatif earning jarang terjadi sesaat setelah SEO dilakukan (Korajaczyk, Lucas & McDonald (1991)). Dua tahun setelah 6 bln tersebut underperformed yang substansial akan muncul, hal ini dikarenakan perusahaan gagal membangun optimistic expectations. Namun setelah tahun kelima, terlihat nilai abnormal returns hampir mencapai nol, hal ini menyimpulkan bahwa underperformance tidak terjadi untuk tahun yang lama. Kebanyakan literatur empiris membahas kinerja jangka panjang SEOs menggunakan dua prosedur yaitu buy-and-hold returns dan 3-factor regression. Hasil studi menggunakan buy-andhold returns dengan gaya benchmarks dilaporkan pada tabel 2. Mitchel dan Stufford memiliki abnormal performance paling rendah, mereka melaporkan bahwa hanya small value firm issuers yang underperformed. Namun hasil Jegadeesh (2000) menunjukkan hasil yang bertolak belakang, Jegadeesh (2000) melaporkan bahwa growth firms memiliki subsequent performance yang paling buruk, sehingga baik saham perusahaan besar ataupun kecil nilai kinerjanya underperform. 9 Seperti yang didiskusikan oleh Barber and lon (1997), Kothari and Warner (1997), Lyon, Barber and Tsai (1999), Brav (2000), unbiased statistical significance levels sulit untuk dihitung menggunakan buy-and-hold returns. Oleh karenanya dimulai dengan Loughran and Ritter (1995), untuk menghitung return jangka panjang umumnya menggunakan 3-factor time series regretion yang dikenalkan oleh Fama and French (1993) dengan bentuk: Intercept dari regresi ini diinterpretasikan sebagai abnormal return. Pada tabel 3 intercept (dante statistik) dilaporkan dari beragam studi mengenai kinerja bnormal setelah SEOs. Sensitivitas dari kinerja yang dihasilkan dari periode sampel yang digunakan bukanlah hal unik bagi perusahaan yang menerbitkan surat berharga. Dua pola empiris yang sangat terkenal dalam keuangan adalah growth stocks tend to under perform values stocks dan small firm out perform large firm. 10 Sama seperti size dan book-to-market effects yang tiap periode hasilnya berbeda-beda, performa dari issuing firms juga menunjukkan hasil yang berbeda-beda. 2.3. Reasons for underperformance Terkait dengan kinerja jangka panjang perusahaan yang melakukan SEOs, bukti menunjukkan bahwa issuing firms memiliki nilai return relative lebih rendah pada tahun 3-5 setelah melakukan issuing. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa underperformance issuing firms mungkin hanya merupakan manifestasi dari kesalahan spesifikasi model tentang berapa sebenarnya return yang seharusnya. Fama (1998) menyatakan hal ini sebagai masalah “bad model” Eckbo, Masulis, dan Norli (2000) menyajikan bukti bahwa 6 faktor asset pricing model dapat menerangkan kinerja dari perusahaan-perusahaan tersebut. Mereka berargumen bahwa penurunan leverage berhubungan dengan penerbitan equity lebih rendah dari sensitivitas harga saham terhadap tekanan inflasi, dan penambahan saham yang beredar membuat saham menjadi lebih liquid. Secara umum mereka berpendapat bahwa perusahaan yang menerbitkan surat berharga memiliki risiko rendah sebagai hasil dari penerbitan equity, sehingga seharusnya juga memiliki return yang rendah. 11 Tabel 4 melaporkan beberapa single factor dan multi factor regretion. Baris satu melaporkan simple one factor regretion dimana interceptnya adalah “Jensen Alpha”. Baris kedua termasuk lagged market access return, dimana lebih signfikan. Dengan menjumlahkan contemporaneus dan lagged betha akan memberikan estimasi risiko sistematik sebesar 1,50 yang menunjukkan bahwa SEOs membawa investor kedalam risiko market yang tinggi. Baris 3 pada tabel 4 menunjukkan koefesien 3 (tiga) faktor regresi dari Fama and French. Estimasi risiko sistematik yang dihasilkan sebesar 1,2 lebih rendah dibandingkan pada baris ke-2. Hal ini disebabkan faktor size dapat memperkecil risiko sistematis. Saham perusahaan kecil memiliki betha yang lebih tinggi dibandingkan saham perusahaan besar. Efesiensi pasar mensyaratkan jika sebuah perusahaan mendekati benchmark semestinya tidak ada abnormal return setelah event. Seperti yang digaris bawahi oleh Laughran dan Ritter (2000) pengujian market effeciency selalu dilakukan bersama dengan pengujian sebuah model market equilibrium dan eksistensi abnormal return. Sejak disesuaikan dengan menggunakan size dan book-to-market yang lebih empiris ketimbang teoritis, abnormal return yang dilaporkan pada tabel 1-4 bukan merupakan bukti untuk menyerang market effeciency. Eckbo, Masulis dan Norli (2000) berpendapat bahwa penurunan leverage setelah penerbitan equity akan menurunkan risiko perusahaan tersebut. Denis dan Kadlec (1994) melaporkan bahwa sekali various statistical biases dihitung, tidak ada perubahan dalam equity beta perusahaan yang menerbitkan sekuritas, meskipun secara teoritis seharusnya ada perubahan jika risiko operasi tidak berubah. Pada tabel 5 seksi 3 ditunjukkan bahwa lebih besar keragaman pembiayaan perusahaan yang berhubungan dengan event, ada pola underreaction yang persisten. Jadi, penjelasan mengenai negatif abnormal return tidak hanya bahwa underperform pasca SEOs, tetapi juga underreaction hanya terjadi pada kondisi dimana banyak keragaman event lain. 12 Jung, Kim dan Stulz (1996) menguji sebuah penjelasan mengenai keputusan perusahaan untuk menerbitkan equity atau debt. Hasilnya konsisten dengan model agency, yaitu perusahaan yang menerbitkan equity ketika mereka dapat menerbitkan debt memiliki return yang lebih negatif dan yang lebih rendah lagi adalah market-to-book rasionya. Kemungkinan yang lain adalah investor dan manajer secara sistematis over optimis pada saat menerbitkan sekuritas. Setelah itu hampir semua perusahaan penerbit, sesuatu yang baik telah terjadi terhadap harga saham pada tahun sebelum penerbitan. Dalam melakukan studi terhadap perusahaan yang melakukan SEOs dan penerbitan convertible bond di Tokyo Stock Exchange, mereka melaporkan underperfomance yang terjadi pasca penerbitan surat berharga memiliki kesamaan dengan yang terjadi di Amerika. Mereka menginterpretasikan temuannya sesuai dengan hipotesis managerial overoptimism. 13 Selain itu, penjelasan mengenai return yang rendah dari issuing firms juga dapat dilihat dari apakah mereka melakukan manipulasi keuangan pada tahun-tahun sebelum penerbitan. Perusahaan yang melakukan pengakuan pendapatan akrual secara agresif akan memiliki performance yang lebih rendah [(Rangan (1978) dan Teoh, Welch dan Wong (1998)]. 3. Short-run and long-run reactions to corporate financing activities Tabel 5 memberikan ringkasan bukti empiris reaksi jangka pendek dan jangka panjang dari berbagai tindakan pembiayaan perusahaan. Tabel ini analogi dengan tabel 1 pada Fama (1998). Overreaction terjadi ketika abnormal return pada periode pengumuman dengan periode setelah pengumuman berbeda, dan magnitude abnormal return periode pengumuman lebih besar dari total return pasca pengumuman. Pola pada tabel 5 menunjukkan tendensi yang mengarah pada underreaction. Karena itu efek pengumuman yang negatif cenderung diikuti oleh abnormal return jangka pendek yang negatif juga, demikian sebaliknya. Jika pasar secara sistematis underreacting terhadap informasi yang terkandung dalam pengumuman pembiayaan perusahaan, mengapa para arbritase tidak mengambil keuntungan dari kesempatan mendapatkan abnormal profit? Seperti yang disampaikan oleh Shleifer dan Vishny (1997), pada kenyataannya arbritase adalah berisiko. Sebagai contoh, fikirkan bahwa risiko berhubungan dengan shorting issuing firm, jika salah satu opini adalah bahwa perusahaan yang menerbitkan equity adalah overvalued. Pada akhir tahun 1990, perusahaanperusahaan yang menerbitkan saham di Amerika tidak proporsional antara perusahaan teknologi dan telekomunikasi. Dari bulan Oktober 1998- Februari 2000, saham-saham perusahaan ini memiliki kinerja yang melebihi pasar. Dalam pengujian empiris terhadap reaksi pasar terhadap kegiatan pembiayaan perusahaan, sudah umum untuk memisahkan saham perusahaan-perusahaan utilitas dan jasa keuangan. Rasionalisasinya adalah perusahaan utilitas teregulisasi, dan banyak tindakan mereka yang dapat diprediksi dengan tepat. 4. Initial Public Offerings (IPO) 14 Ibbotson dan Ritter (1995), Ritter (1998), dan Ritter dan Welch (2002) melakukan survey terhadap literatur IPO dan memfokuskan pada tiga pola empiris yaitu: i) short-run underpricing, ii) siklus dalam jumlah IPO dan rata-rata return hari pertama, dan iii) long-run underperformance. Pagano, Panetta and Zingales (1998) mempertanyakan “mengapa perusahaan go public?” terdapat beberapa trade off, namun literatur tidak memiliki suatu model lengkap yang dapat menjelaskan i) pada tahap mana siklus hidup perusahaan optimal untuk melakukan go public, ii) mengapa volume IPO bervariasi secara dramatis antar waktu dan antar negara. Dengan kata lain, perusahaan privat kelihatan menghadapi baik pertimbangan siklus hidup maupun pertimbangan market-timing pada keputusan kapan akan melakukan go public. Pertimbangan market-condition dapat dipandang sebagai time-varying relatif terhadap biaya hutang terhadap ekuitas dan biaya pendanaan privat terhadap public. Saat perusahaan go public, struktur kepemilikan berubah, pemegang saham pre-issue dapat menjual saham mereka di masa datang, membuat mereka mencairkan dana apabila mereka menginginkan. Sehingga undiversified portfolio menjadi lebih likuid. Mempertimbangkan juga corporate control (zingales 1995). Jika perusahaan startup didanai oleh model ventura, biasanya model ventura ini paling tidak mempunyai kontrol parsial terhadap enterpreneurs. Black and Gibson (1998) berpendapat bahwa dengan go public, entrepreneur dapat memperoleh kembali kontrol karena modal ventura mendistribusikan saham kepada partner yang terbatas (investor dalam partnership model ventura). Jika perusahaan mempunyai kebutuhan yang besar terhadap modal eksternal, pasar publik mungkin merupakan sumber dana yang lebih murah karena kurangnya liquidity discount yang diinginkan oleh investor pada perusahaan swasta (Chemmanur and Fulghieri, 1999). Alternatifnya investor public mungkin secara irasional terlalu optimis tentang prospek industry pada beberapa hal. Perusahaan mengambil keuntungan dari adanya “window of oppotunity” ini dengan mengeluarkan saham pada saat itu. Karena ketidakpastian tentang arus kas kedepan. Terutama untuk perusahaan baru, penilaian IPO sangat sulit. Konsekuensinya underwriter seringkali menggunakan comparible firm multiple untuk menawarkan harga pendahuluan atau range harga untuk menilai perusahaan yang go public. Logika comparable firm multiple adalah jika perusahaan sejenis menjual pada price to earning multiple 20, dan perusahaan yang go public mempunyai laba $2 juta, maka seharusnya dinilai pada $40 juta. Dalam prakteknya underwriter biasanya menggunakan perkiraan angka saat ini atau tahun depan, daripada angka akuntansi historis (Kim dan Ritter 1999). Tergantung pada industrinya, multiple yang digunakan meliputi price to earning, enterprise value-to-EBITDA dan multiple industry-specific. Nilai enterprise didefinisikan sebagai nilai pasar ekuitas ditambah nilai buku hutang, menyatakan nilai perusahaan unlevered. Purnanandam dan Swaminathan (2002) menguji penetapan harga IPO menggunakan perusahaan pembanding, dan menemukan bahwa rata-rata IPO mempunyai harga penawaran 15 50% lebih tinggi daripada yang diprediksikan pada dasar industry peer. Pada saat temuan ini mungkin didistribusikan pada pertumbuhan diharapkan yang lebih tinggi pada IPO, temuan mereka yang lebih menarik adalah bahwa semakin overpriced IPO terhadap pembandingnya, semakin buruk kinerja jangka panjangnya. Saat menggunakan comparable firm multiple, satu factor yang tidak diperhitungkan adalah ukuran public float. Jadi jika terjadi scartcity premium, maka semakin kecil bagian saham beredar yang tidak dipegang akan semakin tinggi harganya. Dengan kata lain, jika penawaran saham pada publik lebih kecil, permintaan pada saham akan mengakibatkan harga lebih tinggi. Pada poin ini, literatur akademik tidak memiliki pengujian langsung untuk melihat apakah ini sesungguhnya faktor penilaian yang relevan, meskipun return saham negatif saat lockup provisions berakhir konsisten dengan pemikiran bahwa ukuran public float tidak penting. Dengan diberikannya biaya yang tetap atas go public dan mempertahankan pasar yang likuid, IPO seharusnya cukup besar sehingga terdapat likuiditas yang cukup dalam pasar publik. Tetapi penawaran seharusnya cukup kecil sehingga issuing firm tidak menambah kas diluar yang digunakan. Hal ini memicu pada konsep stoged financing seperti dibahas oleh yang lain (Mayers 1998). Jika penawaran terlalu besar mungkin terdapat permasalahan free cash flow, dimana dan dihambur-hamburkan. Oleh karena itu pendanaan optimal pada perusahaan muda dengan masa depan yang tidak pasti adalah memberikannya jumlah uang yang terbatas pada tiap tahap pendanaan. Jika uang ini akan habis, pada tiap tahap pemberi dana dapat memutuskan apakah akan memberikan tambahan dana, dan dengan syarat-syarat apa. Jika prospek perusahaan secara kontinu bertahan pada skenario optimis, pemegang saham awal dapat mempertahankan prosentase yang lebih besar atas ekuitas karena babak pendanaan selanjutnya dicapai pada harga yang lebih tinggi. 4.2 Short-run underpricing of IPOs Secara rata-rata harga pasar penutupan pada hari pertama perdagangan IPO adalah lebih tinggi daripada harga penawaran. Dalam tiap negara dengan pasar modal, IPO underpriced. Tabel 6 melaporkan luasnya underpricing untuk 38 negara. Semua rata-rata return hari pertama memberi bobot sama pada tiap IPO. Jadi privatisasi perusahaan milik negara dengan hasil yang sangat besar mempunyai impak kecil daripada jika rata-rata proceed weighted dilaporkan. 4.3. Alternative mechanisms for pricing and allocating securities Loughran, Ritter, and Rydqvst (1994) dan Chowdhry and Sherman (1996) mendokumentasikan bahwa rata-rata return hari pertama bervariasi sistematis dengan mekanisme yang digunakan dalam menetapkan harga dan mendistribusikan IPO. Rata-rata return hari pertama tertinggi terjadi di negara dimana peraturan pemerintah menetapkan formula berdasarkan informasi akuntansi untuk menyusun harga penawaran, meskipun frekuensi hambatan ini menurun. Secara umum mekanisme yang digunakan untuk menetapkan 16 harga dan mengalokasikan IPO dapat dikategorikan sebagai auctions, fixed-price offer, atau book-building. Meskipun harga yang berbeda kadang dibayar oleh investor yang berbeda (contohnya kadang investor individu membayar lebih rendah daripada investor insitusi), mekanisme harga seragam dimana setiap investor membayar harga yang sama adalah hal yang biasa. Dalam lelang (auctions), market-clearing atau dibawah market-clearing, harga ditetapkan setelah penawaran diserahkan. Karena jarang terjadi kelebihan permintaan pada harga penawaran, secara umum saham dialokasikan pada semua penawar yang berhasil. Penawaran harga tetap (fixed-price offer) mempunyai harga penawaran yang diatur sebelum permintaan saham diserahkan. Jika terdapat kelebihan permintaan, saham dirasiokan atas dasar sama rata atau diundi, meskipun seringnya permintaan untuk jumlah besar saham berkurang lebih daripada permintaan untuk jumlah yang moderate. Dengan kata lain, jika terdapat diskriminasi dalam alokasi saham, normalnya dilakukan sendiri atas dasar ukuran pesanan. Jadi tidak ada cara bagi underwriter me-reward investor yang menyediakan informasi. Dalam banyak negara, dengan penawaran harga tetap, investor harus menyerahkan uang untuk membeli saham yang diminta, tanpa mengetahui apakah mereka akan menerima banyak saham. Secara umum, semakin lama waktu yang dilalui antara saat harga penawaran tetap ditetapkan dan perdagangan dimulai, semakin tinggi rata-rata return hari pertama. Sebagian hal ini dikarenakan semakin lama waktu sampai penyelesaian, semakin tinggi probabilitas kondisi pasar akan memburuk dan penawaran akan gagal. Untuk mengurangi probabilitas penawaran yang gagal, ditetapkan harga penawaran yang rendah. Book building (juga dikenal sebagai firm commitment di Amerika) adalah mekanisme dimana underwriter mengumpulkan pembeli potensial dan kemudian menetapkan harga penawaran. Fitur kunci pada book-building adalah underwriter melaksanakan kebijakan dalam mengalokasikan saham. Underwriter melakukan marketing campaign untuk merangsang permintaan, kemudian underwriter mencoba menetapkan harga penawaran dimana terdapat kelebihan permintaan dan mengalokasikan sekuritas kepada investor berdasarkan berbagai kriteria. Secara historis kriteria ini meliputi mencoba mengalokasikan porsi pada investor institusional maupun individual. Investor institusional yang diharapkan membeli dan menahan sekuritas akan disukai. Juga investor yang ingin membeli saham ketika permintaan lemah akan di-reward dengan alokasi yang menguntungkan pada saat permintaan kuat (Cornelli and Goldreich 2001). Intertemporal pooling ini mengurangi masalah winner’s curse dan dalam keseimbangan mengakibatkan kurangnya underpricing daripada jika saham dialokasikan atas dasar sama rata pada saat terdapat kelebihan permintaan. 17 Selama periode 1999-2000 internet bubble, rata-rata return hari pertama sama dengan 65% di Amerika. Selama periode ini IPO dialokasikan sebagai reward untuk memberikan bisnis yang menguntungkan bagi underwriter. Sesungguhnya pada tahun 1999 sejumlah underwriter di Amerika mulai mengalokasikan IPO atas dasar komisi yang dibayar. Selanjutnya beberapa underwriter mengalokasikan saham sebagian atas dasar komitmen untuk membeli tambahan saham saat saham mulai diperdagangkan, suatu praktek yang dikenal sebagai “laddering” yang secara eksplisit dilarang. Praktek ini telah berlangsung selama beberapa dekade, tetapi luas dan besarnya semakin menguat sejak jumlah money left on the table meledak mencapai jumlah $30 juta dalam tiap tahun. Money left on the table didefinisikan sebagai jumlah saham yang ditawarkan dikalikan dengan peningkatan harga penawaran pada hari pertama perdagangan. Auctions telah digunakan pada banyak negara termasuk Prancis, Israel, Jepang, Taiwan, dan Amerika untuk menetapkan harga dan mengalokasikan IPO. Secara umum auctions diasosiasikan dengan rata-rata return hari pertama yang rendah tapi positif. Return hari pertama ini biasanya lebih rendah daripada saat fixed-price offer atau book-building digunakan, seperti diilustrasikan pada Tabel 7. Biais and Faugeron (2002), Sherman (2001), dan yang lainnya berpendapat bahwa book-building adalah mekanisme yang lebih baik untuk menjual IPO dibandingkan auctions. Mereka berpendapat book-building dapat dipandang sebagai auction dinamis yang dilakukan oleh underwriter, dengan keuntungan bahwa underwriter dapat menggunakan kebijakan mereka dalam mengalokasikan saham untuk me-reward investor reguler yang menyediakan informasi handal tentang valuasi kepada underwriter. Namun mereka tidak membahas tradeoff dengan agency problem antara underwriter dan issuer. Stoughton dan Zechner (1998) dan Mello and Parsons (1998) berpendapat bahwa memberikan underwriter kebijakan dalam mengalokasikan IPO menyebabkan penciptaan suatu block, dimana blockholder mempunyai insentif untuk memonitor perusahaan. Monitoring ini memberikan eksternalitas positif untuk pemegang saham lain dimana nilai perusahaan meningkat karena berkurangnya agency problem antara manajemen dan pemegang saham. Brennan and Franks (1997) di lain pihak berpendapat bahwa manajemen mempunyai fungsi obyektif yang berbeda. Booth and Chua (1996) berpendapat bahwa sejumlah besar pemegang saham kecil mempunyai keuntungan yang berbeda. Dengan pemegang saham lebih banyak, akan terdapat likuiditas yang lebih besar, dan jika pasar menilai likuiditas lebih besar, maka harga saham yang lebih tinggi akan dihasilkan. Aggarwal, Prabhala, and Puri (2002) memberikan bukti bahwa bagian saham yang lebih besar dialokasikan pada institusi dimana terdapat underpricing yang lebih besar. 18 19 4.4. Explanations of underpricing Penting untuk memikirkan bahwa proses IPO adalah suatu permainan yang terdiri dari tiga pemain: issuing firm, investment banker, dan investor. Tujuan dari ketiga pemain ini sama sekali berbeda. Secara umum alasan ini tidak mutually exclusive dan kepentingan mereka berbeda antar negara, mekanisme kontraktual, dan waktu. 4.4.1. Dynamic information acquisition Investment banker yang digunakan pada book-building mungkin melakukan underpriced IPO untuk merangsang investor reguler agar mengungkapkan informasi selama periode pre-selling, yang kemudian dapat digunakan untuk membantu dalam menetapkan harga issue (Benveniste and Spindt, 1989). Benveniste dan Spindt menyajikan suatu model dengan investor regular (informed) dan occasional investor (uninformed). Investor regular dapat dipandang sebagai institusi dan investor occasional sebagai individu. Masing-masing investor 20 regular mengamati informasi privat yang tidak diketahui oleh issuing firm dan underwriternya. Benveniste dan Spindt menyelesaikan suatu masalah desain mekanisme dan menunjukkan bahwa state-contingent underpricing dan alokasi diskriminatori adalah bagian dari kontrak yang optimal, baik untuk penjualan satu kali atau untuk interaksi yang berulang. Solusi mereka adalah aturan penetapan harga dan alokasi yang menyerupai book-building dengan investor regular diberikan alokasi menguntungkan dalam hot issue. Untuk merangsang investor regular agar mengungkapkan penilaian mereka dengan benar, investment banker mengkompensasi investor melalui underpricing. Untuk merangsang pengungkapan yang benar dalam suatu IPO, investment banker harus melakukan underprice issue untuk informasi menguntungkan yang diungkapkan daripada informasi tidak menguntungkan yang diungkapkan. Hal ini memicu pada prediksi bahwa hanya terdapat penyesuaian parsial atas harga penawaran relatif pada interval harga yang tercantum dalam prospektus pendahuluan. Dengan kata lain, IPO yang harga penawarannya direvisi keatas (upward) akan lebih underpriced daripada yang harga penawarannya direvisi kebawah (downward). Pola ini disajikan dalam data yang ditunjukkan dalam Table 8. 4.4.2. Prospect theory Mungkin aspek yang paling membingungkan dari fenomena underpricing adalah bahwa dalam beberapa keadaan issuer tidak keberatan pada underpricing yang hebat, meskipun pemegang saham pre-issue dapat mempertahankan bagian yang lebih besar atas ekuitas jika jumlah uang yang sama telah dicapai dengan menjual saham yang lebih sedikit pada harga yang lebih tinggi. Prospect theory yang dikembangkan oleh Kahneman dan Tversky (1979) adalah suatu teori perilaku yang deskiptif yang menilai bahwa orang memfokuskan pada perubahan kesejahteraan mereka daripada tingkat kesejahteraan mereka. Loughran dan Ritter 21 menerapkan hal ini pada IPO dengan pemikiran bahwa kebanyakan money left on the table adalah oleh minoritas perusahaan dimana harga penawaran direvisi keatas (upward) selama proses book-building, konsisten dengan jumlah dalam Table 8. Untuk issuing firm ini, eksekutif memandang kesejahteraan personal meningkat relatif pada apa yang mereka harapkan berdasar pada interval harga. Loughran dan Ritter berpendapat bahwa eksekutif issuing firm ini menawar kurang keras untuk harga penawaran yang lebih tinggi. Tidak seperti penjelasan informasi akuisisi dinamis atas underpricing bersyarat, prospect theory tidak membuat perbedaan antara informasi publik dan informasi privat. Jadi prospect theory dapat menjelaskan mengapa harga penawaran tidak sepenuhnya menyesuaikan pada pergerakan pasar selama periode book-building. Loughran dan Ritter juga memberikan penjelasan mengapa underwriter memilih untuk melakukan underprice IPO daripada menetapkan gross spread yang lebih tinggi. Mereka berpendapat bahwa issuer memberikan perhatian yang kecil pada opportunity cost dari underpricing daripada biaya langsung gross spread. Meskipun aplikasi Loughran dan Ritter atas prospect theory dapat merasionalisasikan mengapa IPO dengan permintaan kuat yang tidak diharapkan lebih underpriced, mereka tidak menjelaskan mengapa issuer memilih underwriter dengan historis underpicing yang hebat. 4.4.3. Corruption Loughran and Ritter (2003) berpendapat bahwa agency problem antara pembuat keputusan pada issuing firm (top executive and venture capitalist) dan pemegang saham preissue lain (termasuk partner terbatas dari perusahaan modal ventura) juga memberikan konstribusi pada keinginan untuk menggunakan underwriter dengan historis meninggalkan sejumlah besar money left on the table. Pada saat underpricing mengakibatkan excessive dilution atas semua pemegang saham pre-issue, underwriter dengan alokasi hot IPO lain dapat membuat side payment kepada pembuat keputusan dari issuing firm. Hal ini dilakukan dengan mengatur personal brokerage account untuk individu ini dan kemudian mengalokasikan hot IPO pada account ini, suatu praktek yang dikenal sebagai “spinning”. Jika saham tidak dialokasikan atas dasar diskresioner, tidak ada kesempatan untuk memberikan pembuat keputusan preferential access. 4.4.4. The winner’s curse Dengan metode penawaran harga tetap, investor potensial menghadapi masalah ‘adverse selection’, atau “winner’s curse”. Rasionalisasi (rationing) sendiri tidak menyebabkan, tapi jika beberapa investor tidak seberuntung investor lainnya akibat asimetri informasi, maka akan ada kelompok investor yang akan dirugikan. Jika investor tersebut berniat membeli saham 22 yang underpriced, maka jumlah kelebihan permintaan akan menjadi lebih tinggi ketika terdapat lebih banyak underpricing. Intinya, investor yang tidak tahu informasi pada awalnya akan senang mendapat jatah saham IPO, padahal saham tersebut sebenarnya kurang diminati oleh investor yang tahu informasi. Bukti dari beberapa negara mengindikasikan bahwa ketika investor besar (institusi) lebih tahu informasi dibandingkan investor kecil (individu), problem utama winner’s curse bukan is not that institutions crowd out individuals in hot offerings. Tetapi lebih karena di dalam ‘hot offerings’, permintaan institutisi yang sangat tinggi membuatnya lebih sulit untuk mendapatkan saham, dan permintaan yang kuat dari investor individu juga membuatnya sulit mendapatkan saham. Memang di Finlandia [Keloharju (1993)] dan di Singapura [Lee, Taylor andWalter (1999)], investor kecil lebih disukai dibandingkan investor besar ketika terdapat kelebihan permintaan yang tinggi. Secara umum, manfaat book-building dalam alokasi saham dapat digunakan untuk meminimalkan masalah winner’s curse ini. 4.4.5. Informational cascades Jika investor potensial memberi perhatian tidak hanya pada informasi yang mereka miliki mengenai penerbitan saham baru, tetapi juga pada apakah investor lain membeli, bandwagon effects atau informational cascades (kucuran informasi), dikembangkan [Welch (1992)]. Jika investor tahu bahwa tidak seorang pun ingin membeli, dia mungkin akan memutuskan untuk tidak membeli sekalipun investor tersebut memiliki informasi berharga. Untuk mencegah hal ini terjadi, emiten mungkin menginginkan underprice untuk menarik investor potensial agar mau membeli saham, dan mendorong timbulnya kucuran (cascades) dimana semua investor berikutnya akan ramai-ramai membeli. Implikasi menarik dari penjelasan ‘informational cascades’, berkaitan dengan hipotesis dynamic information acquisition, adalah bahwa slope kurva permintaan yang posiif dapat dihasilkan. Di dalam hipotesis market feedback, harga penawaran disesuaikan ke atas jika investors reguler mengindikasikan informasi positif. 4.4.6. Lawsuit avoidance Frekuensi dan kemungkinan gugatan hukum class action dapat dikurangi dengan underpricing, karena hanya investor yang kehilangan uang yang dianggap merugi. Namun demikian, underpricing IPO merupakan cara yang mahal untuk mengurangi tuntuntan hukum. Hughes and Thakor (1992) memodelkan kondisi yang perlu di mana underpricing menjadi suatu metode yang efisien untuk menghindari tuntutan hukum. Ketakutan akan 23 tuntutan hukun telah disebutkan sebagai satu alasan mengapa IPO perusahaan internet underpriced begitu besar dalam periode 1999–2000. 4.4.7. Signalling Beberapa model signalling [Allen dan Faulhaber (1989), Grinblatt dan Hwang (1989) dan Welch (1989)] telah memformalkan konsep bahwa underpriced IPO “leave a good taste” bagi investor, memungkinkan perusahaan dan insiders menjual harga yang lebih tinggi di masa yad. Dalam model ini, emiten memiliki private informasi tentang apakah mereka memiliki nilai yang rendah atau tinggi. Seperti Daniel dan Titman (1995) nyatakan, signalling dengan ‘leaving money on the table’ pada peristiwa IPO relative tidak efisien untuk memberikan signal. 4.4.8. The IPO as a marketing event Berhubungan erat dengan ide signaling adalah konsep bahwa publisitas dihasilkan oleh return hari pertama yang tinggi. Publisitas ini dapat menghasilkan tambahan ketertarikan investor [Chemmanur (1993) and Aggarwal, Krigman and Womack (2002)] atau tambahan pendapatan dari penjualan produk [Demers and Lewellen (2003)]. 4.4.9. Summary of explanations of new issues underpricing Terdapat bebarapa alasan lain mengenai underpricing yang dapat diaplikasikan di berbagai kondisi. Semua penjelasan di atas melibatkan strategi rasional pembeli (investor). Bebearpa penjelasan lain juga diajukan yang melibatkan strategi tidak rasional investor. Setiap model mengimplikasikan bahwa investor mau membayar lebih pada saat IPO, juga mengimplikasikan bahwa nanti akan mendapati kinerja jangka panjang yang buruk. Lebih lanjut, fenomena underpricing terjadi terus selama beberapa decade, dan di semua Negara, tanpa ada tanpa akan berakhir. Pada tahun 1980’an, ketika rata2 return hari pertama di Amerika sebesar 7%, model dynamic information acquisition dari Benveniste and Spindt (1989) dan model winner’s curse dari Rock’s (1986) dapat menjelaskan banyak mengenai underpricing. Di tahun 1990-an, ketika rata2 return hari pertama lebih tinggi, penjelasan dari teori agency dan perilaku menjadi lebih penting. 4.5. Underwriter compensation Kompensasi langsung yang underwriters terima biasanya dalam bentuk diskon penjaminan emisi, atau gross spread. Di Amerika dan sebagian besar Negara, perusahaan membayar investment bankers dengan komisi baik pembelian atau penjualan, maka pembeli tidak perlu membayar komisi ketika membeli saham baru. Logikanya gross spread seharusnya lebih tinggi untuk risiko yang lebih besar dibandingkan safer deals. 24 Ljungqvist,Jenkinson and Wilhelm (2003) memberikan bukti bahwa untuk IPO perusahaan asing, investment bankers Amerika membebankan direct fees yang lebih tinggi, tetapi memberikan ‘money on the table’ lebih sedikit dibandingkan underwriters non-Amerika. 4.6. Stabilization activities Stabilisasi, atau dukungan harga, merupakan aktivitas praktik manipulasi yang diijinkan secara legal pada saat penawaran saham. Di Amerika, praktik ini diatur dengan Regulasi M dari SEC. Praktik ini diantaranya mengijinkan underwriters untuk memesan lebih (overallot), dan kemudian mengambil posisi short dengan cara mempesiunkan beberapa sekuritas dan/ atau menjalankan opsi over allotment (dikenal sebagai opsi Green Shoe). Penalty bids juga diijinkan, dimana lead underwriter akan mengambil kembali komisi dari broker yang kliennya menjual kembali segera setelah dia mendapat jatah saham (“flips”). Aggarwal (2000) melaporkan bahwa hal yang biasa bagi underwriters untuk menjual lebih sampai 135% dari jumlah saham yang diterbitkan jika permintaan setelah pasar diekspektasikan rendah. Jika permintaan setelah pasar (aftermarket) diekspektasikan tinggi, menyebabkan harga naik, underwriters biasanya tidak mengambil posisi ’naked short’. 4.7. Hot-issue markets Ibbotson and Jaffe (1975) dan peneliti berikutnya telah mengidentifikasi otokorelasi signifikan dari jumlah IPO bulanan dan rata-rata return bulanan hari pertama IPO. Ibbotson dan Jaffe mendefinisikan ‘hot issue market’ menjadi bulan dimana rata-rata return hari pertama lebih tinggi dibandingkan mediannya. Bulan dimana terjadi rata-rata return hari pertama yang tinggi akan diikuti dengan kenaikan volume [Lowry and Schwert (2002)]. Pasar IPO market terlihat hipersensitif terhadap perubahan kondisi pasar. Selama periode 1974 - 1977, total 93 perusahaan masuk bursa di Amerika, rata-rata 2 setiap bulannya. Kebalikan dari ini, rasio 50-ke-1 volume bulanan, corporate investment korporat agregat berfluktuasi dengan suatu faktor 2-ke-1. Lowry (2003) memberikan alasan mengapa volume IPO berfluktuasi sangat banyak. Dia meneliti 3 hipotesis: changes in the adverse-selection costs of issuing equity, changes in the aggregate capital demands of private firms, and changes in the level of investor optimism. Lowry menyimpulkan bahwa perubahan permintaan modal agregat dan dalam optimisme investor merupakan determinan utama dari perubahan volumeIPO sepanjang waktu. 4.8. Market activity across countries Volume of IPO bervariasi secara substansial dari negara satu ke negara lain. Pagano, Panetta dan Zingales (1998) melaporkan bahwa ratio market-to-book industri merupakan 25 determinan single yang paling penting bagi perusahaan di Itali dalam memutuskan untuk IPO. Subrahmanyam dan Titman (1999) berargumen bahwa kemudahan going public bergantung pada biaya memperoleh informasi. Mereka berargumen bahwa setiap perusahaan publik menciptakan eksternalitas positif dengan cara membuatnya lebih mudah untuk menilai perusahaan pembanding. La Porta, Lopez-de-Silanes, Shleifer and Vishny (1997) melaporkan bahwa jumlah IPO bervariasi secara sistematis antar negara, dimana negara yang sistem hukum berdasarkan pada British common law, mempunyai IPO lebih banyak. Perlu dicatat bahwa pada akhir tahun 1990-an, beberapa trend terjadi di pasar IPO market. Pertama, sektor industri menjadi lebih penting. Sebagai contoh, industri internet yang booming 1999-2000, menghasilkan return hari pertama yang tinggi. Kedua, semua tetapi paling sedikit IPO di sebagian besar negara menggunakan cara book-building, dibandingkan pilihan mekanisme lainnya [Sherman (2001)]. Ketiga, di Eropa perusahaan teknologi ramaramai masuk bursa Germany’s Neuer Markt, walaupun mereka bukan dari negara Jerman. Keempat, bursa baru telah mengubah focus persyaratan listing dari kriteria akuntansi ke arah tata kelola perusahaan dan persyaratan pengungkapan. Kelima, untuk berbagai alasan, pasar IPO Eropa, relatif menurun pada dekade? tersebut. Untuk pertama kali dalam sejarah modern, lebih banyak perusahaan Erope yang masuk bursa dibandingkan perusahaan Amerika di tahun 1998 dan 1999.[Jenkinson and Ljungqvist (2001)]. 4.9. Long-run performance Tabel 9 menyajikan return tahunan IPO dalam 5 tahun setelah IPO, dengan benchmark returns menggunakan size atau style matching. Style matches didasarkan pada size (market cap) dan book-to-market matching. Jumlah yang dilaporkan di Tabel 9 ditampilkan di Figure 2. Seperti didokumentasikan pertama kali oleh Ritter (1991), Tabel 9 menunjukkan bahwa perusahaan IPO mengalami underperformed dibandingkan perusahaan lain sebesar rata-rata 3.8% per tahun selama 5 tahun setelah IPO, tidak termasuk return hari pertama. Ketika size dan book-to-market (style) matching digunakan, underperformance justru turun menjadi 2.2% per tahun. Lowry (2003) melaporkan bahwa volume IPO yang tinggi merupakan prediktor yang dapat diandalkan dari return pasar tertimbang yang rendah selama periode ke depan. Pola ini diperlihatkan di Figure 2, dimana return tahun pertama pada perusahaan IPO dan perusahaan benchmark menjadi lebih rendah dibandingkan tahun-tahun seudahnya. 26 Kinerja underperformance paling moderat relative terhadap ‘style benchmark’ ditunjukkan pada Tabel 9 dan Figure 2, meng-highlights perbedaan antara kinerja relatif dan kinerja absolut. Lebih lanjut, misteri tentang mengapa perusahaan kecil yang baru tumbuh memiliki rata-rata return yang rendah masih belum terjawab. Satu area riset yang belum dieksplorasi adalah efek manipulasi pasar. Bradley, Jordan, Roten and Yi (2001), Field and Hanka (2001) and Brav and Gompers (2003) mendokumentasikan bahwa, dalam minggu ketika periode lockup berakhir, harga saham turun sekitar 2%. Biaya perdagangan (terutama bid-ask spreads) mungkin mencegah implementasi dari aturan perdagangan aktif yang menguntungkan untuk mengambil keuntungan dari prediksi penurunan harga ini, namun penurunan akan terlihat sebagai pelanggaran efisiensi pasar, sekalipun dalam pasar yang lemah (weak form). Sejumlah alasan telah dikembangkan untuk menjelaskan return jangka panjang yang rendah. Cerita yang mungkin yang paling masuk adalah adalah argument dari Miller (1977) dan Morris (1996), dengan short-selling yang mahal dan keyakinan yang heterogen diantara para investor, investor yang paling optimistis akan menentukan harga pasar. Semakin banyak informasi yang tersedia, perbedaan keyakinan tersebut akan berkurang. Cerita ini konsisten dengan pola pada 1999- 2000 (internet bubble), dimana terdapat perbedaan opini yang ekstrem, short-selling yang mahall, dan small public floats di banyak perusahaan IPO. Eckbo and Norli (2001) berargumen bahwa IPO menghasilkan returns rendah karena mereka secara aktual memiliki risiko yang kecil. Ritter and Welch (2002) menghitung risiko sistematis portfolio IPO termasuk return pasar bulan sebelumnya, dan menemukan bahwa beta sebesar 1.73, mengindikasikan risiko yang besar. Beta yang tinggi tersebut tidak konsisten dengan hipotesis bahwa IPO memiliki return rendah karena risikonya kecil. Schultz (2003) berargumen bahwa, meskipun tidak terdapat ex ante abnormal performance expected, penelitian event studies cenderung menenukan negatif abnormal performance ex post. Logikanya diringkas sebagai berikut. Jika, IPO underperform, maka di masa yad akan sedikit yang melakukan IPO, sehingga rata-rata kinerja akan dibobot dengan terhadap perusahaan yang IPO duluan yang underperformed. 27 Sebaliknya, jika perusahaan IPO berkinerja baik, maka akan banyak IPO dimasa yad. Maka, kinerja rata-rata akan ditempatkan hanya pada perusahaan yang IPO duluan yang outperformed. Karena kecenderungan ini, studi yang tidak membobot setiap periode waktu dengan sama, kinerja yang diekspektasikan menjadi negatif ketika semua IPO dibobot secara sama, meskipun ex ante tidak terdapat underperformance yand diharapkan. Schultz menyebut masalah ini sebagai “pseudo market timing”, dan berargumen bahwa ini relevan tidak hanya untuk IPO, tetapi untuk semua aksi korporat endogen seperti dilaporkan di Tabel 5. Regresi time-series yang membobot setiap periode secara sama, seperti regresi Fama–French 3-faktor (dilaporkan di Tabel 3 and 4 bab ini), tidak mengalami kelemahan dari masalah pseudo market timing ini. 28 5. Summary Bab ini mengkaji literatur tentang investment banking dan penerbitan saham. Survei ini belum lengkap. Ia fokus pada kontribusi terkini terhadap literatur akademik, dalam survei yang lain oleh Smith (1986), Eckbo dan Maullis (1995), Ibbotoson dan Ritter (1995) dan jenkinson and Ljungqvist (2001) telah menghasilkan studi literatur yang komprehensif yang mencakup literatur sebelumnya. Salah satu temuan empiris yang paling kontroversial dalam dekade lalu adalah bicara mengenai apakah perusahaan yang melakukan IPO dan SEO akan mengalami underperform relatif terhadap perusahaan non IPO. Relatif terhadap size matched firms, jawabannya adalah ya secara ambigu. Namun karena perusahaan IPO cenderung menjadi perusahaan yang tumbuh kecil dan perusahaan non issuers cenderung menjadi perusahaan bernilai kecil, efek book-to-market merupakan efek yang membingungkan. Ketika style (size and book to market) matching digunakan, IPO hanya underperform sebesar 2.2% per tahun secara rata-rata. Di lain pihak, SEO, mengalami underperformance signifikan sebesar 3.4% per tahun jika style benchmark digunakan. Kesimpulan mengenai underperformance juga dipengaruhi oleh periode sampel yang dipilih dan apakah dibobot secara equal atau value. Portfolio IPO yang dibobot secara sama (equally weighted portfolio) dari Januari 1970-Desember 2000, dibeli pada penutupan hari penawaran dan dipegang selama 1 tahun, memberikan investor rata-rata return tahunan sebesar 9.4% hingga Desember 2001. jika seseorang membeli saham S&P 500 pada awal tahun 1970 dan dividen diinvestasikan kembali, maka akan didapat return tahunan sebesar 12.1% hingga Desember 2001. Dengan kata lain, return yang rendah terjadi pada perusahaan IPO yang sebagian mencerminkan underperformance relatif terhadap ‘style benchmark’, dan sebagian merupakan isu market-timing. Hanya beberapa paper yang fokus pada corporate financing yang mengimplikasikan jika perusahaan menghadapi fluktuasi dalam biaya pendanaan eksternal sekuritas pasar. Di tahun 1980an dan 1990an, jumlah perusahaan di dunia yang menerbitkan saham meningkat dramatis. Lebih lanjut, underpricing IPO yang ekstrim selama 1999-2000 (internet bubble) tidak dapat dijelaskan oleh model standard yang didasarkan pada asimetri informasi. 29