2 tinjauan pustaka

advertisement
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rumput Laut
Rumput laut adalah tanaman tingkat rendah berbentuk thallus (thallophyta)
yang tidak memiliki akar, batang dan daun yang sejati. Rumput laut merupakan
makroalga yang tumbuh di alam dengan melekatkan dirinya pada karang, lumpur,
pasir, batu dan benda keras lainnya. Berdasarkan kandungan pigmennya, alga
dikelompokkan menjadi beberapa kelas, yaitu Chlorophyceae (alga hijau),
Cyanophyceae (alga hijau biru), Rodhophyceae (alga merah) dan Phaeophyceae
(alga coklat) (Anggadiredja et al. 2011).
Kandungan gizi rumput laut diantaranya adalah karbohidrat, protein, sedikit
lemak dan abu yang sebagian besar merupakan senyawa garam natrium dan
kalium. Rumput laut mengandung vitamin-vitamin seperti A, B1, B2, B6, B12 dan
C; betakaroten; serta mineral dan asam amino esensial (Anggadiredja et al. 2011).
Komposisi kimia dalam rumput laut bervariasi setiap spesiesnya. Hal ini
dipengaruhi berbagai faktor, seperti lokasi dan musim panen. Komposisi kimia
rumput laut juga dipengaruhi oleh lingkungannya seperti temperatur, tekanan
udara, jumlah karbondioksida, dan intensitas cahaya (Salamah et al. 2005).
Pemanfaatan rumput laut awalnya hanya sebagai sayuran namun seiring
perkembangan teknologi, rumput laut dapat diekstraksi menjadi produk
hidrokoloid seperti agar-agar, alginat dan karaginan. Senyawa hidrokoloid
merupakan produk dasar atau hasil dari proses metabolisme primer. Pemanfaatan
senyawa hidrokoloid tersebar dalam berbagai aspek, misal industri pangan,
kosmetik, farmasi, kertas, cat, tekstil, film, makanan ternak, keramik, kertas, dan
fotografi (Anggadiredja et al. 2011).
Rumput laut juga dapat dimanfaatkan sebagai adsorben karena di dalam
rumput laut terdapat gugus fungsi yang dapat melakukan pengikatan dengan ion.
Gugus fungsi tersebut terutama gugus karboksil, hidroksil, amina, sulfudril
imadazol, sulfat dan sulfonat yang terdapat dalam dinding sel dalam sitoplasma.
Pada sel rumput laut juga terdapat area dangkal yang luas, sebagai tempat
terjadinya pengikatan ion secara cepat dan reversible (Saputra 2008).
5
2.2 Agar-agar
Agar-agar merupakan senyawa polisakarida yang diperoleh dari pengolahan
rumput laut kelas agarophyte, seperti Gracillaria sp, Gelidium sp, Hypnea sp.,
Acanthopelus sp. dan Ceramium sp. Hasil analisis laboratorium di Jepang
menunjukkan komposisi kimia dari rumput laut yang menhasilkan agar meliputi
kurang lebih 16-20% air; 2,3-5,9% protein; 0,3-0,55% lemak; 67,85-76,15%
karbohidrat; 0,8-2,1% serat, dan 3,4-3,6% abu (Chapman 1970). Molekul agaragar terdiri dari rantai linier galaktan yang merupakan polimer dari galaktosa.
Galaktan berupa rantai linear yang netral atau sudah terekstraksi dengan metil atau
asam sulfat (Anggadiredja et al. 2011).
Komponen utama agar-agar adalah agarosa dan agaropektin. Agarosa adalah
polisakarida nertal yang terdiri dari rangkaian D-galaktosa dengan ikatan β-1,3
dan L-galaktosa dengan ikatan α-1,4. Agarosa merupakan komponen yang
membuat agar menjendal. Komponen ini tidak mengandung sulfat dan persentase
agarosa dalam ekstrak agar berkisar antara 50-80%. Agaropektin merupakan
polimer sulfat dan bersifat lebih kompleks. Agaropektin mengandung residu sulfat
3–10%, asam glukuronat dan asam piruvat. Agaropektin memiliki rantai yang
hampir sama dengan rantai agarosa, tetapi berbeda residu 3,6-anhidro-L-galaktosa
digantikan oleh L-galaktosa sulfat dan sebagian residu D-galaktosa digantikan
oleh asetal asam piruvat (Chapman 1970). Struktur kimia agar-agar dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1 Struktur kimia agar-agar
Sumber : Anonim (2007)
6
Agar-agar digunakan secara meluas dalam berbagai industri, antara lain
industri makanan, obat-obatan, tekstil, kertas, susu, mikrobiologi, dan kosmetika.
Agar digunakan dalam industri pangan sebagai bahan pengental, penstabil dan
penjernih suatu bahan pangan. Agar-agar memiliki sifat larut pada air panas
namun tidak larut pada air dingin (Anggadiredja et al. 2011).
Limbah agar merupakan hasil samping dari proses pengolahan rumput laut
kelas Rodhopyceae (alga merah) menjadi agar. Limbah yang dihasilkan ini
mencapai 65-70% dari bahan baku yang digunakan. Limbah padat agar juga
diketahui mengandung berbagai unsur hara seperti kalsium dan magnesium.
Selain itu, limbah ini mengandung selulosa tinggi yaitu sekitar 27,8–39,45%
(Fithriani et al. 2007 diacu dalam Triwisari 2010).
Limbah yang dihasilkan oleh industri agar biasanya dibiarkan menumpuk di
lokasi penimbunan. Limbah ini sebenarnya tidak berbahaya, namun apabila
dibiarkan terus menumpuk maka akan menimbulkan masalah. Hal ini berarti perlu
dilakukan suatu upaya pemanfaatan limbah padat agar (Saputra 2008). Saat ini
limbah agar banyak dimanfaatkan sebagai pupuk untuk pertumbuhan tanaman.
Limbah agar mengandung selulosa yang dapat meningkatkan porositas untuk
menopang pertumbuhan tanaman sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk.
Hasil penelitian Afif (2010) menunjukkan bahwa limbah padat agar dapat
digunakan sebagai media pertumbuhan pakcoy dan selada, sedangkan Mandella
(2010) menggunakan limbah padat agar sebagai pupuk untuk tanaman mahoni.
Selain selulosa, limbah agar juga mengandung komponen serat lainnya. Hasil
penelitian Triwisari (2010) menunjukkan bahwa limbah agar mengandung
hemiselulosa (13,89%), selulosa (59,69%), dan lignin (2,37%). Kandungan serat
ini merupakan sumber karbon yang baik oleh karena itu diduga limbah agar
berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku karbon aktif.
2.3 Karbon Aktif
Arang atau karbon adalah suatu bahan padat yang berpori-pori dan
merupakan hasil dari pembakaran bahan yang mengandung karbon. Arang aktif
atau karbon aktif adalah arang yang telah diaktifkan sehingga pori-porinya
terbuka sehingga daya adsorpsinya tinggi (Djatmiko et al. 1985). Karbon aktif
merupakan suatu padatan berpori yang mengandung 85-95% karbon yang telah
7
mengalami pengembangan pori. Karbon aktif memiliki kemampuan untuk
menjerap gas dan uap dari campuran gas dan zat-zat yang tidak larut atau
terdispersi dalam cairan. Karbon aktif dapat mengabsorpsi suatu zat dengan cara
membentuk ikatan yang kuat antara pori-pori dari struktur karbon (Roy 1995).
Struktur karbon aktif digambarkan sebagai jaringan yang tumpang tindih
dari dataran lapisan karbon dengan ikatan silang oleh gugus jembatan alifatik. Hal
ini memeberikan suatu sifat yang unik, disebut struktur pori internal yang mudah
dipenetrasi. Mikropori merupakan jenis pori yang dianggap penting karena
sebagian besar adsorpsi terjadi di dalamnya. Mikropori adalah ruang dua dimensi
yang terbentuk dari dua dinding seperti grafit, bidang planar kristalit yang disusun
oleh gugus aromatik atom-atom karbon. Banyaknya pori berkorelasi dengan luas
permukaan yang meningkatkan kemampuan absorpsi dari karbon aktif. Mikropori
merupakan salah satu kelebihan dari karbon aktif (Marsh dan Reinoso 2006).
Struktur grafit dari karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur grafit karbon aktif
Sumber : Anonim (2010)
Keistimewaan lain dari karbon aktif adalah gugus fungsional pada
permukaannya. Gugus kompleks oksigen di permukaan karbon aktif akan
membuat permukaan karbon aktif menjadi reaktif secara kimiawi dan menentukan
sifat adsorpsinya seperti sifat hidrofilik, keasaman dan potensial negatif. Adsorpsi
oleh karbon aktif bersifat fisik, artinya adsorpsi terjadi jika gaya tarik Van der
Waals oleh molekul-molekul di permukaan lebih kuat daripada gaya tarik yang
menjaga adsorbat tetap berada dalam fluida. Sifat ini menguntungkan karena
8
karbon aktif dapat dipakai ulang melalui proses regenerasi (Roy 1995). Standar
mutu arang aktif menurut SNI-06-3730-1995 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Standar mutu arang aktif teknis
No
Parameter
1
2
3
4
Bagian yang hilang pada pemanasan
950 oC
Kadar air
Kadar abu
Bagian yang tidak terarang
5
6
7
8
9
10
11
12
Daya serap terhadap I2
Karbon aktif murni
Daya serap terhadap benzena
Daya serap terhadap biru metilena
Kerapatan jenis curah
Lolos ukuran mesh 325
Jarak mesh
Kekerasan
Satuan
Persyaratan
Butiran
Serbuk
%
Maks. 15
Maks 25
%
%
Maks. 4,4
Maks. 2,5
Tidak
ternyata
Min. 750
Min. 80
Min. 25
Min. 60
0,45-0,55
90
80
Maks. 15
Maks. 10
Tidak
ternyata
Min. 750
Min. 65
Min. 120
0,30-0,35
Min. 90
-
%
mg/ℓ
%
%
mg/ℓ
%
%
%
%
Sumber : SNI (1995)
Karbon aktif dapat dibuat dari berbagai bahan baku yang mengandung
karbon, misal tulang, kulit biji, kayu keras dan lunak, kulit kayu, tongkol jagung,
serbuk gergaji, sekam padi dan tempurung kelapa. Bahan lain yang dapat
digunakan adalah limbah kilang minyak, tanah gambut, batu bara, limbah ubi
kayu dan serat sayuran (Roy 1995). Pembuatan karbon aktif sendiri terdiri dari
dua tahapan, yaitu karbonisasi dan aktivasi.
Karbonisasi adalah proses penguraian selulosa organik menjadi unsur
karbon dan pengeluaran unsur non karbon yang berlangsung pada suhu sekitar
600-700 oC (Djatmiko et al. 1985). Pemanasan pada saat karbonisasi dilakukan
tanpa udara sehingga terjadi penguapan dan dekomposisi bahan yang
menghasilkan bahan baku yang terdiri dari karbon. Viswanathan et al. (2009)
menyatakan bahwa selama proses karbonisasi atau pirolisis terjadi dekomposisi
lignin dan selulosa melalui reaksi pemutusan ikatan kimia dan depolimerasi yang
menghasilkan ikatan baru. Ikatan tersebut akan menstabilkan atom-atom karbon
yang berdekatan yang kemudian membentuk kerangka karbon non-volatile dan
stabil. Selama pemanasan, beberapa fragmen akan menguap (volatil) dan fragmen
9
lainnya akan saling berhubungan dengan karbon sehingga pada akhirnya menjadi
arang.
Tahapan karbonisasi dipengaruhi oleh suhu dan waktu yang digunakan.
Bahan yang mengandung banyak selulosa diduga memiliki suhu optimum
karbonisasi sekitar 300 oC. Hal ini karena penguraian selulosa terjadi pada suhu
sekitar 300 oC, sedangkan penguraian lignin terjadi pada suhu 400 oC. Menurut
Bagreev dan Bandosz (2002) suhu tinggi pada saat karbonisasi akan menyebabkan
penguapan komponen-komponen organik serta dekomposisi dan dehidroksilasi
komponen-komponen anorganik. Peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan
rendemen arang dan kandungan karbon pada arang. Lamanya waktu atau periode
karbonisasi juga mempengaruhi terhadap karakteristik arang yang dihasilkan.
Semakin lama waktu karbonisasi maka proses penguraian komponen-komponen
dalam sampel akan berlangsung sempurna sehingga yang tersisa hanya abu dan
bahan-bahan anorganik lainnya.
Tahapan selanjutnya dalam pembuatan arang aktif adalah aktivasi. Proses
aktivasi bertujuan untuk membersihkan pori-pori arang yang dapat meningkatkan
luas permukaannya (Djatmiko et al. 1985). Aktivasi yang dilakukan pada
penelitian ini adalah aktivasi kimia dengan menggunakan larutan aktivator H 3PO4,
ZnCl2 dan KOH. Larutan aktivator ini memiliki efek dehydrating agent yang
dapat memperbaiki pengembangan pori di dalam struktur karbon. Kelebihan lain
dari aktivasi kimia yaitu suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi namun
menghasilkan rendemen yang tinggi (Suhendra dan Gunawan 2010).
Proses aktivasi diawali dengan merendam arang dalam larutan aktivator.
Perendaman dengan larutan aktivator bertujuan agar terjadi kontak antara sampel
dengan aktivator sehingga larutan aktivator dapat berdifusi ke dalam pori-pori
arang. Larutan aktivator akan teradsorpsi oleh arang yang akan melarutkan tar dan
mineral anorganik. Hilangnya zat tersebut dari permukaan arang berakibat
meningkatnya luas permukaan karbon aktif (Budiono et al. 2009). Hal inilah yang
akan berpengaruh terhadap kemampuan adsorpsi karbon aktif.
Tahapan selanjutnya yaitu pencucian untuk menghilangkan residu aktivator
lalu dilakukan netralisasi menggunakan akuades. Pencucian berulang-ulang juga
bertujuan untuk menghilangkan pengotor dalam arang dan juga untuk membuat
10
arang dengan pH mendekati netral. Proses perendaman hingga pencucian ini
berpengaruh terhadap gugus aktif pada karbon aktif. Gugus aktif pada aktivator
akan digantikan oleh gugus OH dari aquades. Gugus OH menyebabkan
permukaan karbon aktif menjadi hidrofilik sehingga akan berinteraksi lebih kuat
dengan molekul polar (senyawa organik) dibandingkan dengan molekul-molekul
non-polar (Budiono et al. 2009). Viswanathan et al. (2009) menyatakan bahwa
reaksi pergantian gugus aktif ini dinamakan reaksi ion exchange yang terjadi
antara gugus aktif larutan aktivator, seperti PO4 yang akan digantikan gugus OH
dari aquades saat pencucian.
Akhir proses aktivasi yaitu pengeringan sampel menggunakan oven untuk
menguapkan air di dalam sampel serta untuk membuka pori-pori arang, sehingga
pori-pori akan semakin besar. Suhu aktivasi berpengaruh besar pada pembentukan
karbon dan kapasitas adsorpsi dari karbon aktif. Suhu yang terlalu tinggi akan
menyebabkan terbentuknya abu. Hasil penelitian Suhendra dan Gunawan (2007)
menunjukkan suhu aktivasi optimum untuk pembuatan karbon aktif dari sekam
padi adalah sekitar 300 oC. Pada suhu yang lebih tinggi, rendemen yang
dihasilkan akan semakin rendah karena terjadi proses pengabuan. Morfologi
karbon aktif dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Karbon aktif berbentuk granul
Sumber : Anonim (2009)
2.4 Limbah Industri Tekstil
Limbah merupakan hasil buangan yang berasal dari kegiatan industri, rumah
tangga maupun rumah sakit. Limbah dapat berupa padat, cair maupun gas yang
akan menimbulkan gangguan baik terhadap lingkungan, kesehatan, kehidupan
biotik, keindahan serta kerusakan benda. Limbah industri dapat berupa limbah
11
padat dan limbah cair (Khairani et al. 2007). Limbah padat industri tekstil berasal
dari proses pemintalan dari yarn pada spinning mill, pelilitan benang pada
kumparan, penenunan, perajutan dan production non woven, sedangkan limbah
cair berasal dari proses penghilangan zat pelumas dan dari proses pencelupan.
Limbah sering kali mengandung zat berbahaya seperti logam berat, sehingga perlu
treatment khusus sebelum dibuang ke lingkungan (Siregar 2005).
Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak paling
luas. Hal ini disebabkan karakteristik fisik maupun kimianya yang memberikan
dampak negatif bagi lingkungan. Industri tekstil memerlukan bermacam zat
warna, bahan kimia dan pembantu penyempurnaan bahan tekstil. Sebagian zat
tersebut teradsorpsi oleh bahan tekstil, sedangkan sisanya berada dalam larutan
yang akan dibuang bersama air bekas proses basah. Zat-zat dalam air buangan
tersebut berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkungan (Hoo dan
Suryo 1982 diacu dalam Ardhina 2007). Standar baku mutu air limbah industri
tekstil sesuai dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP51/MENLH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Baku mutu limbah cair untuk industri tekstil
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Parameter
BOD5
COD
TSS
Fenol Total
Krom Total (Cr)
Amonia Total (NH3N)
Sulfida (sebagai S)
Minyak dan lemak
pH
Kadar Maksimum
60
150
50
0,5
1,0
8,0
0,3
3,0
6,0-9,0
Satuan
mg/ℓ
mg/ℓ
mg/ℓ
mg/ℓ
mg/ℓ
mg/ℓ
mg/ℓ
mg/ℓ
-
Sumber : KEPMENLH (1995)
Cemaran limbah tekstil dapat direduksi dengan berbagai cara. Setiap
industri memiliki treatment tersendiri untuk mereduksi cemaran pada air limbah
yang dihasilkan. Air limbah yang telah ditreatment akan dibuang ke perairan,
namun limbah tersebut harus dipastikan terlebuh dahulu memenuhi standar baku
mutu agar tidak membahayakan lingkungan. Salah satu pengelolaan air limbah
12
tekstil ialah adsorpsi menggunakan karbon aktif. Penggunaan karbon aktif sebagai
pengelolaan tahap akhir pada limbah tekstil merupakan metode yang cukup
efektif. Adapun kelemahan dari karbon aktif yaitu tidak dapat menghilangkan sisa
bahan pewarna dan bahan-bahan yang tidak dapat terurai secara biologis.
Beberapa bahan kimia dalam air limbah tekstil dapat diendapkan, diuraikan secara
biologis, ataupun diserap, misalnya adalah senyawa polivinil alkohol (PVA)
(Siregar 2005).
Air limbah tekstil dapat dengan mudah dikenal karena warnanya. Selain zat
warna yang menjadi kontaminan utama, ditemukan pula logam berat berbahaya
seperti Cu, Zn, dan Cr (Suganda et al. 2002). Logam berat dihasilkan dari
beberapa sumber dalam proses tekstil, seperti benang, suplai air bersih, bahan
kimia (agen) oksidasi dan pereduksi elektrolit, asam dan basa, logam dalam proses
penyelesaian (finishing), pewarna dan pigmen, herbisida dan pestisida, serta bahan
kimia untuk perawatan (Smith 1988; Liu et al. 2006).
Benang merupakan salah satu bahan baku dalam industri tekstil. Umumnya,
logam berasal dalam benang alami, misalnya berasal dari kapas yang
mengadsorpsi logam berat dari lingkungannya. Kontaminasi logam berat juga
dapat berasal dari mesin pembuat benang. Logam berat pada limbah industri
tekstil juga dapat berasal dari suplai air bersih. Konsentrasi logam berat dalam
suplai air bersih tidak berada pada nilai yang signifikan (>1 ppm), misalnya logam
tembaga, besi, dan seng. Tembaga (Cu) seringkali ditambahkan dalam sistem
distribusi air minum untuk mencegah pertumbuhan alga dalam tangki dan kolam.
Aluminum terdapat dalam dalam bentuk alum, juga merupakan logam yang
sengaja ditambahkan ke dalam suplai air minum (Smith 1988).
Bahan pengoksidasi pewarna vat (vat dyes) indsutri tekstil adalah logam
kromium. Logam ini juga biasanya digunakan sebagai agen pengoksidasi.
Kromium (Cr) memiliki karakteristik sebagai pengoksidasi yang kuat sehingga
menjadi larutan yang berguna pada laboratorium, tetapi penggunanannya dapat
menimbulkan beberapa permasalahan. Masalah yang timbul antara lain yaitu
pencemaran lingkungan, membahayakan pekerjaan mikrobiologis, serta bersifat
toksik dalam fasilitas pengolahan limbah biologis (Smith 1988).
13
Proses penyelesaian (finishing) pada industri tekstil menggunakan beberapa
bahan kimia organo-metalik, seperti water repellent, pencegah api (flame
retardant), anti-jamur, dan anti-bau. Bahan ini dapat mengandung antimony, tin
dan seng (Siregar 2005). Logam berat juga terdapat pada pewarna yang digunakan
dalam industri tekstil. Beberapa jenis pewarna dan logam berat yang
dikandungnya disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Jenis pewarna tekstil dan logam berat yang dikandungnya
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Jenis Pewarna
Logam berat yang terkandung
Vat Blue 29
Kobalt
Pigment Blue 15
Tembaga
Ingrain Blue 14
Nikel
Ingrain Blue 5
Kobalt
Ingrain Blue 13
Tembaga
Direct Blue 86
Tembaga
Direct Blue 87
Tembaga
Pigment Blue 17
Tembaga, Barium
Acid Blue 249
Tembaga
Ingrain Blue 1
Tembaga
Pigment Blue 15
Tembaga
Pigment Green 37
Tembaga
Pigment Green 7
Tembaga
Ingrain Green 3
Tembaga
Solvent Blue 25
Tembaga
Solvent Blue 24
Tembaga
Solvent Blue 55
Tembaga
Reactive Blue 7
Tembaga
Sumber : Smith (1988)
Cemaran logam berat juga dapat berasal dari bahan-bahan yang digunakan
dalam maintenance. Bahan kimia untuk perawatan seringkali merupakan sumber
limbah toksik. Bahan kimia ini biasanya mengandung logam, asam, klor,
perchloroethylene, dan materi toksik lainnya. Bahan kimia lain yang juga
merupakan sumber logam (dan toksisitas) dari limbah cair adalah biosida dan
herbisida. Biosida digunakan secara rutin untuk perawatan menara pendingin
(cooling tower) dan pemurnian air. Biosida juga digunakan untuk beberapa
aplikasi, misalnya proses penyelesaian (finishing) kaus kaki, tenda, tenda rumah,
dan kain terpal, sedangkan herbisida digunakan untuk mengontrol rumput, rumput
liar, dan tumbuhan lainnya di sekitar tangki penyimpanan, misalnya tangki gas,
14
bahan bakar, dan varsol. Sumber logam lain yang dapat terjadi adalah
photographic processing yang biasa digunakan untuk mencetak screen atau
operasi lainnya. Proses ini biasanya merupakan sumber logam perak yang cukup
signifikan, tetapi logam tersebut dapat didaur ulang kembali dari limbah photo
processing tersebut untuk mengurangi sumber pencemaran dan keuntungan
ekonomi (Smith 1988).
2.5 Adsorpsi
Salah satu metode untuk menghilangkan zat pencemar dari air limbah
adalah adsorpsi. Adsorpsi merupakan peristiwa terakumulaisnya partikel pada
permukaan. Partikel yang terakumulasi dan diserap oleh permukaan disebut
adsorbat dan material tempat terjadinya proses adsorpsi disebut adsorben.
Adsorben yang terbuat dari material biomassa umum disebut sebagai biosorben,
sedangkan istilah biosorpsi dideskripsikan sebagai proses sorpsi menggunakan
biomassa sebagai adsorben (Atkins 1990). Pemanfaatan biomassa sebagai
adsorben bukan hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi akan mendukung
prinsip zerowaste, khususnya pada industri yang menghasilkan biomassa tersebut
sebagai produk samping (Diantariani et al. 2008).
Proses adsorpsi terdiri atas dua tipe, yaitu adsorpsi kimia dan adsorpsi
fisika. Adsorpsi kimia adalah tipe adsorpsi dengan cara suatu molekul menempel
ke permukaan melalui pembentukan suatu ikatan kimia. Ciri-ciri adsorpsi kimia
adalah terjadi pada suhu tinggi, jenis interaksinya kuat, berikatan kovalen antara
permukaan adsorben dengan adsorban, dan adsorpsi terjadi hanya pada suatu
lapisan atas (monolayer). Adapun adsorpsi fisika adalah tipe adsorpsi dengan cara
adsorbat menempel pada permukaan melalui interaksi intermolekuler yang lemah.
Ciri-ciri adsorpsi fisika adalah terjadi pada suhu yang rendah, jenis interaksi
berupa gaya Van der Waals, dan adsorpsi dapat terjadi dalam banyak lapisan
(multilayer). Adsorpsi fisika terutama disebabkan oleh gaya Van der Waals dan
gaya elektrostatik antara molekul yang teradsorpsi dengan atom yang menyusun
permukaan adsorben (Atkins 1990).
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses adsorpsi adalah sifat fisik dan
kimia adsorben, sifat fisik dan kimia adsorbat dalam fase cair, karakteristik fasa
15
cair seperti pH dan suhu, serta kondisi operasi adsorpsi. Adsorben terbagi menjadi
adsorben yang bersifat polar (hidrofilik) dan nonpolar (hidrofobik). Adsorben
polar antara lain silika gel, alumina yang diaktivasi dan beberapa jenis tanah liat
(clay). Adsorben nonpolar antara lain arang (karbon dan batu bara) dan arang aktif
(Sembiring dan Sinaga 2003).
Daya serap arang aktif merupakan suatu akumulasi atau terkonsentrasinya
komponen di permukaan muka dalam dua fasa. Bila kedua fasa saling
berinteraksi, maka akan terbentuk suatu fasa baru yang berbeda dengan masingmasing fasa sebelumnya. Hal ini disebabkan adanya gaya tarik-menarik antar
molekul, ion atau atom dalam kedua fasa tersebut yaitu gaya Van der Walls. Pada
kondisi tertentu, atom, ion atau molekul dalam daerah antar muka mengalami
ketidakseimbangan gaya, sehingga mampu menarik molekul lain sampai
keseimbangan gaya tercapai (Manocha 2003).
Faktor yang mempengaruhi daya serap arang aktif, yaitu sifat arang aktif,
sifat komponen yang diserapnya, sifat larutan dan sistem kontak. Daya serap
arang aktif terhadap komponen-komponen yang berada dalam larutan atau gas
disebabkan oleh kondisi permukaan dan struktur porinya. Penyerapan arang aktif
tergolong penyerapan secara fisik karena arang aktif memiliki banyak pori dan
permukaan yang luas. Faktor lain yang mempengaruhi penyerapan arang aktif
adalah sifat polaritas dan permukaan arang. Sifat ini sangat bervariasi untuk setiap
jenis arang dan tergantung pada bahan baku, cara pembuatan arang dan aktivator
yang digunakan (Lee dan Radovic 2003).
2.6 Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)
Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) atau spektrofotometer serapan
(SSA) atom merupakan suatu alat dapat digunakan untu mengetahui kandungan
logam pada suatu bahan. Prinsip kerja dari AAS adalah absorpsi energi radiasi
oleh atom-atom netral pada keadaan dasar. Atom-atom menyerap cahaya tersebut
pada panjang gelombang tertentu dan tergantung pada sifat unsurnya. Penyerapan
tersebut menyebabkan tereksitasinya elektron dalam kulit atom ke tingkat energi
yang lebih tinggi. Keadaan ini bersifat labil sehingga elektron kembali ke tingkat
energi dasar sambil mengeluarkan energi yang berbentuk radiasi. Teknik analisis
16
AAS berdasarkan pada penguraian molekul menjadi atom (atomisasi) dengan
sumber energi dari api atau arus listrik. Setiap AAS terdiri dari tiga komponen
utama, yaitu unit teratomisasi, sumber radiasi dan sistem pengukur fotometrik
(Darmono 1995).
Kelebihan dari AAS dibandingkan dengan spektrofotometer lainnya adalah
metode yang digunakan sangat spesifik dan selektif, logam-logam yeng
membentuk campuran kompleks dapat dianalisa. Selain itu, tidak selalu
membutuhkan sumber energi yang besar (Cahyady 2009). Spektrofotometer ini
memiliki tingkat sensitivitas yang cukup tinggi. Teknik analisa menggunakan
AAS tidak selalu memerlukan pemisahan unsur yang ditentukan karena
kemungkinan penentuan satu unsur dengan kehadiran unsur lain dapat dilakukan.
Kelemahan dari AAS adalah adanya pengaruh kimia yang menyebabkan AAS
tidak mampu menguraikan zat menjadi atom. Selain itu juga dapat terjadi
pengaruh ionisasi apabila atom tereksitasi (tidak hanya diisolasi) sehingga
menyebabkan emisi pada panjang gelombang yang sama. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi kinerja AAS yaitu adanya pengaruh matris, yaitu pelarut yang
digunakan (Maria 2009). Gambar alat AAS disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 4 Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS)
Sumber : Alexander (2011)
Download