12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori dan Konseptual 1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Perbuatan Cabul Dalam Sistem Hukum di Indonesia
a. Perbuatan Cabul Dalam KUHP
Pencabulan berasal dari kata “cabul”, dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia kata “cabul” memuat arti kata sebagai berikut: “keji dan kotor,
tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan)” (KBBI,2001:35).
Perbuatan cabul digolongkan sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap
kesusilaan, menurut Simon dikutip dalam Lamintang (2013:159)
”ontuchtige handelingen” atau cabul adalah tindakan yang berkenaan
dengan kehidupan di bidang seksual, yang dilakukan dengan maksudmaksud untuk memperoleh kenikmatan dengan cara yang sifatnya
bertentangan dengan pandangan umum untuk kesusilaan.
Pencabulan oleh Moeljatno dikatakan sebagai segala perbuatan yang
melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu
kekelaminannya
(Moeljatno,2003:106).
Definisi
yang
diungkapkan
Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh
orang berdasarkan nafsu kelaminya, secara langsung atau tidak langsung
merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.
Pengertian cabul menurut R.Soesilo adalah segala perbuatan yang
melanggar atau perbuatan yang keji semua itu dalam lingkungan nafsu
birahi kelamin (R.soesilo, 1980: 212). jenis pencabulan dalam kitab
undang-undang hukum pidana diantaranya :
1) Perbuatan cabul dengan kekerasan
Kekerasan yang dimaksud disini yaitu membuat orang jadi pingsan
atau tidak berdaya lagi, menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani
sekuat mungkin secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan
atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan
12
sebagainya yang menyebabkan orang terkena tindakan kekerasan itu
merasa sakit, sebagaiamana yang diatur pada Pasal 289 KUHP.
2) Perbuatan cabul dengan seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak
berdaya
Perbuatan cabul dengan seseorang dalam keadaan pingsan atau
tidak berdaya, diatur dalam Pasal 290 KUHP di pidana dengan
ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Barang siapa
melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang diketahuinya,
bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya. “Pingsan” artinya
hilangnya ingatan atau tidak sadar akan dirinya, seumpamanya karena
minum racun kecubung atau obat-obat lainnya yang menyebabkan
tidak ingat lagi, orang yang pingsan itu tidak mengetahui lagi apa yang
terjadi dengan dirinya. “Tidak berdaya” artinya tidak mempunyai
kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak mampu mengadakan
perlawanan sedikitpun, seperti halnya orang diikat dengan tali pada
kaki dan tangannya, terkurung dalam kamar, terkena suntikan,
sehingga orang itu menjadi lumpuh, namun orang yang tidak berdaya
ini masih dapat mengetahui apa yang terjadi atas dirinya.
3) Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara membujuk
Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara membujuk diatur
dalam Pasal 290 KUHP, diancam dengan pidana penjara maksimal 7
(tujuh) tahun. Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan
seseorang yang diketahui atau patut dapat disangka, bahwa umur orang
itu belum cukup 15 (lima belas) tahun atau umur itu tidak terang,
bahwa ia belum pantas untuk dikawini, untuk melakukan atau
membiarkan diperbuat padanya perbuatan cabul. Orang yang
membujuk (mempengaruhi dengan rayuan) seseorang yang umurnya di
bawah 15 (limabelas) tahun untuk melakukan perbuatan cabul.
4) Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara tipu daya dan
kekuasaan yang timbul dari pergaulan
14
Perbuatan cabul dengan seseorang dengan cara tipu daya dan
kekuasaan yang timbul dari pergaulan diatur dalam Pasal 293 KUHP
yang menentukan bahwa barang siapa dengan hadiah atau dengan
perjanjian akan memberikan uang atau barang dengan salah memakai
kekuasaan yang timbul dari pergaulan atau dengan memperdayakan,
dengan sengaja membujuk orang di bawah umur yang tidak bercacat
kelakuannya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkakannya
masih di bawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan dia, atau
membiarkan perbuatan cabul itu dilakukan pada dirinya, dipidana
dengan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun. Cara membujuk itu
dengan jalan mempergunakan:
a) Hadiah atau perjanjian akan memberikan uang atau barang
b) Kekuasaan yang timbul dari pergaulan
c) Tipu daya
Orang yang dibujuk belum dewasa dan tidak bercacat kelakuannya,
maksudnya hanya mengenai kelakuan dalam segi seksual, membujuk
seseorang pelacur yang belum dewasa tidak masuk dalam pasal ini,
karena pelacur sudah cacat kelakuannya dalam bidang seksual.
Perjanjian itu harus mengarah pada pemberian uang atau barang,
perjanjian dalam hal lain tidak termasuk dalam hal ini. Kejahatan ini
adalah suatu delik aduan, batas waktu untuk mengajukan pengaduan
ialah 9 (Sembilan) bulan bagi orang yang di dalam negeri dan 12 (dua
belas) bulan bagi orang yang di luar negeri, pengaduan ini tidak boleh
lewat dari batas waktu yang telah ditetapkan, apabila terlambat berarti
kadaluarsa (R.Soesilo ,1980 : 225).
b. Pencabulan Terhadap Anak di Bawah Umur
Selain di KUHP delik pencabulan terhadap anak juga diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, pada Pasal 76E yang menyatakan
: “ setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,
memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan,
15
atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul.”
Ancaman sanksi bagi orang yang melanggar ketentuan Pasal 76E
tersebut
tersebut tercantum dalam Pasal 82. Adapun bunyi Pasal 82
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yaitu: “Setiap orang yang
melanggar ketentuan sebagimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah) “
Berdasarkan rumusan Pasal 76E Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan
Anak, dapat ditarik unsur-unsur yang harus ada dalam tindak pidana
pencabulan terhadap anak di bawah umur. Unsur-unsur tersebut adalah:
1) Setiap orang
Berdasarkan ajaran hukum pidana yang dimaksud dengan setiap
orang adalah semua subjek hukum yang sehat jasmani dan rohani,
sehingga apabila perbuatannya memenuhi semua unsur dalam pasal
dakwaan yang dibuktikan maka kepadanya dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana.
2) Dengan sengaja.
“Dengan sengaja” disini adalah bahwa pelaku secara sadar dan
mengetahui akibatnya jika perbuatan yang dilakukannya itu bersifat
melawan hukum dan diancam oleh pidana.
3) Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak.
Unsur ini mengandung pengertian bahwa pada saat melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan norma kesusilaan tersebut dengan
cara melakukan suatu kekerasan, ancaman kekerasan, melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan,atau membujuk anak. Pengertian
“Kekerasan”
adalah
tindakan
agresi
dan
pelanggaran
yang
16
menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan
ataumenyakiti
orang lain,
misalnya
penyiksaan,
pemerkosaan,
pemukulan, dll. Sedangkan yang dimaksud dengan “ancaman
kekerasan” adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa
ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan atau
tanpamenggunakan sarana yang menimbulkan rasa takut atau
mengekang kebebasan hakiki seseorang.
Pengertian “memaksa” adalah memperlakukan, menyuruh, dan
meminta kepada pihak lain dengan paksa. Tipu muslihat, kebohongan
adalah suatu bujukan dengan cara memancing korban supaya korban
tertarik untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh pelaku. Anak
dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang ada
dalam kandungan (Pasal 1 ayat (1)).
4) Melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Perbuatan cabul yang dimaksud adalah perbuatan yang melanggar
atau perbuatan yang keji semuanya dalam lingkungan nafsu birahi
kelamin, seperti cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,
meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Kasus dalam penelitian hukum ini terjadi pada tahun 2013
sehingga masih menggunakan ketentuan Undang-undang Nomor 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adapun ketentuan mengenai
delik pencabulan terhadap anak dalam Pasal 82 Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada dasarnya
rumusan mengenai tindak pidananya ssama dengan rumusan dalam
Pasal 76E , perbedaannya terdapat dalam ancaman pidana dan
dendanya, dimana dalam Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak ancaman pidanan penjara paling lama
15 (lima belas tahun) dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda
17
minimal Rp 300.000.000,00( tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2. Perlindungan Hukum Bagi Penyandang Disabilitas
a. Perlindungan Hukum
Indonesia merupakan salah satu negara yang berdasarkan pada
hukum, seperti yang tertuang dalam penjelasan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi: ”Negara
Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasarkan atas kekuasaan
belaka”, oleh karena itu setiap warga Negara Indonesia berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum atau biasa disebut dengan asas
persamaan dimata hukum (equality before the law). Asas persamaan
dihadapan hukum menjamin keadilan bagi semua orang tanpa
memperdulikan
latar
belakangnya,
termasuk
kepada
kaum
disabilitas.Seorang penyandang disabilitas merupakan subyek hukum
yang juga harus dilindungi hak dan kewajibannya melalui suatu
perlindungan hukum oleh Negara.
Perlindungan hukum terdiri dari dua kata yang memiliki makna
tersendiri. Kata “perlindungan” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah “tempat berlindung; hal (perbuatan dsb), misalnya memberi
perlindungan kepada yang lemah” (KBBI, 2001; 87),sedangkan
“Hukum” adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mengandung isi
yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap
orang dan normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan,
serta
menentukan
bagaimana
caranya
melaksanakan
kepatuhan pada kaedah (Sudikno Mertokusumo, 2003: 39).
Perlindungan hukum menurut Satjipto Raharjo, Perlindungan hukum
adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM)
yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada
masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
18
hukum (Satjipto Raharjo, 2000 : 53), sedangkan menurut Maria Alfons
bahwa perlindungan hukum bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah
yang bersifat preventif dan resprensif (Maria Alfons, 2010: 18).
Perlindungan Hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap
hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi dan
perlindungan yang resprensif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan, maka dapat
disimpulkan bahwa perlindungan hukum adalah tujuan dari hukum itu
sendiri yakni hukum sebagai tempat perlindungan bagi setiap orang
dalam menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban melalui kumpulan
peraturan yang berlaku secara umum dan normatif.
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi
hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu
perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan
hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang
bersifat represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam
rangka menegakkan peraturan hukum.
b. Penyandang Disabilitas
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesiakata “penyandang”
diartikan dengan “orang yang menyandang (menderita) sesuatu”,
sedangkan “disabilitas” merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal
dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak:disabilities) yang
berarti “cacat” atau “ketidakmampuan” (KBBI, 2001:24), selain kata
disabilitas terdapat pula kata difabel , difabrel merupakan gabungan dari
dua kata yaitu difenrently able atau dapat juga dsiferent ability. Maksud
dari istilah tersebut untuk menunjukan bahwa difabel itu bukan cacat
atau kekurangan, tetapiu memiliki kemampuan yang berbeda atau
melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda.
19
Istilah Penyandang disabilitas muncul menjelang ratifikasi
Konvensi PBB Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas ( UN
Convention On The Rights Of Person With Disability), menjadi serapam
dari kata person with disability dipakailah kata penyandang disabilitas
untuk menggantikan kata penyandang cacat yang secara resmi ada di
Undang-undang Nomor 19 Tentang pengesahan Konvensi PBB
Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas ( UN Convention On The
Rights Of Person With Disability).
Sebelum diratifikasinya Konvensi PBB Mengenai Hak-hak
Penyandang Disabilitas ( UN Convention On The Rights Of Person With
Disability) di Indonesia penyandang disabilitas pertama kali dikenal
dengan istilah penyandang cacat diatur dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, Pasal 1 ayat (1) Undang-undang
ini memberikan pengertian bahwa penyandang cacat adalah setiap orang
yang
mempunyai
kelainan fisik
dan/atau
mental,
yang
dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan sesuatu secara selayaknya.
Selanjutnya dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia masih menggunakan istilah yang sama,sampai pada
akhirnya pada 13 Desember 2006, pemerintah Indonesia meratifikasi
Konvensi PBB Mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas ( UN
Convention On The Rights Of Person With Disability) tersebut dengan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.“This declaration recognized
that all people have certain civil, political, economic, social, cultural,
and development rights, despite differences between individual” (Marcia
Rioux And Anne Carbert vol 10 number 2, 2003: 1 ) pada intinya setiap
manusia memiliki hak sipil, politik, ekonomi, budaya dan hak untuk
terus berkembang meskipun setiap individu memiliki perbedaan.
Setelah
diratifikasinya
Konvensi
PBB
Mengenai
Hak-hak
Penyandang Disabilitas ( UN Convention On The Rights Of Person With
Disability), pemerintah membuat undang-undang yang baru mengenai
20
penyandang disabilitas yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas untuk mengganti Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, dan/atau sensorik yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap masyarakat dapat mengalami hambatan yang
menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan
persamaan dengan yang lainnya. Pengertian penyandang disabilitas
dalam undang-undang ini pada intinya sama dengan pengertian dalam
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1994 hanya saja istilah penyandang
cacat diganti dengan istilah penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas dikelompokan menjadi beberapa macam,
karena setiap penyandang disabilitas memiliki definisi masing-masing
yang kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang
secara
baik.
Berikut
jenis-jenis
penyandang
disabilitas
(Argy
Demartoto,2005:10-11):
1) Disabilitas fisik
Yaitu kecacatan yang mengakibatkan ganguan pada fungsi tubuh,
kecacatan ini meliputi beberapa macam, yaitu:
a) Kelainan Tubuh (Tuna Daksa).
Orang yang mengalami kecacatan fisik, cacat tubuh, kelainan,
kerusakan, dan lain sebagainya yang disebabkan oleh kerusakan
otak , kerusakan syaraf tulang belakang, kecelakaan, cacat sejak
lahir, dan sebagainya. Contoh yang paling mudah dari tuna daksa
adalah orang yang lumpuh, kakinya kecil sebelah, tangannya kecil
sebelah dan lain sebagainya.
b) Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra).
Orang yang tidak bisa melihat dengan kedua matanya.Orang yang
buta biasanya memiliki kemampuan mendeteksi benda-benda di
21
sekitarnya dengan memaksimalkan kemampuan pendengarannya
lewat suara atau getaran yang didengarnya. Selain buta total, ada
pula orang yang mengalami kebutaan parsial yaitu tidak dapat
mengidentifikasikan tes menghitung jumlah jari dari jarak kurang
lebih 3 (tiga) meter.
c) Kelainan Pendengaran (Tuna Rungu).
Orang yang tidak memiliki kemampuan mendengar sebagaimana
orang normal pada umumnya orang yang mempunyai cacat
pendengaran belum parah masih bisa menggunakan alat bantu
pendengaran sehingga bisa kembali mendengar dengan lebih baik.
d) Kelainan Bicara (Tuna Wicara)
Orang yang tidak bisa berbicara sebagaimana orang normal pada
umumnya, atau biasanya disebut “bisu”.Kebanyakan sebab
terjadinya tuna wicara adalah masalah pendengaran sejak lahir
yang tidak terdekteksi, sehingga anak menjadi kesulitan untuk
bicara dengan normal.Seseorang dapat mengalami bisu sesaat
(gagap) apabila menghadapi situasi atau kondisi tertentu.
2) Disabilitas Mental
Yaitu kelainan mental dan atau tingkah laku baik cacat bawaan
maupun akibat dari penyakit, antara lain :
a) Retardasi Mental/ keterbelakangan Mental
Disabilitas mentalmerupakan sebutan untuk individu yang
menyandang terbelakang mental atau memiliki kemampuan
intelektual di bawah rata-rata orang seusianya Retardasi mental
juga dapat diartikan sebagai keadaan rendahnya fungsi intelektual,
umumnya terjadi dalam periode perkembangan dan berkaitan
dengan kerusakan salah satu atau lebih faktor, kemasakan,
kemampuan belajar, dan penyesuaian diri dengan lingkungan sosial
(Kartono,2009: 190).Istilah disabilitas Mentalberkaitan dengan
istilah retardasi mental atau hambatan mental (mentally handicap).
22
Menurut The American Psychiatric Association, retardasi mental
adalah
Our nation's special education law, the IDEA, defines
mentalretardation as significantly subaverage general
intellectual functioning, existing concurrently with deficits in
adaptive behavior and manifested during the developmental
period, that adversely affects a child's educational
performance." (sadock BJ, sadock VA, Kaplan & Sadock’s,
Vol.2 seventh edition, 1999 : 3)
Artinya dalam dunia hukum di negara Amerika, mendefinisikan
mental retardasi sebagai suatu kemampuan intelektual di bawah
rata-rata yang dimulai dengan deficit adaptif dari perilaku selama
periode
perkembangan
anak,
yang
berdampak
negative
mempengaruhi kinerja pendidikan anak.
Retardasi mental adalah suatu gangguan perkembangan yang
terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja, atau suatu defisit pada
kemampuan interaksi sosial dan moral(Ferryal Basbeth, Erwin
Kristanto, Irmansyah, Rudy Satriyo,Indonesian jounal of Legal
And Forensik Science vol.1 No. 1, 2008 : 14).
Menurut Kartini Kartono tingkatan mental retardasi antara lain
sebagai berikut: (Kartono,2009 : 190)
a) Idiot/ disabilitas mental berat;
Pada umumnya I.Q.-nya (Intelegency Quotient) kurang
dari 25.Mengalami cacat jasmani dan rohaninya begitu
berat, pada umumnya mereka tidak mampu menjaga dirinya
sendiri terhadap bahaya yang datangnya dari luar.
Intelegensinya tidak bisa berkembang, tidak bisa mengerti
dan tidak bisa diajar apa-apa. Mereka tidak memiliki instinkinstink yang fundamental dan tidak mempunyai kemampuan
untuk mempertahankan diri serta melindungi diri.Seringkali
diferensiasi atau perbedaan antara kelamin laki-laki dengan
kelamin perempuannya tidak jelas.Mereka mengalami
kerusakan mental yang ekstrim.
Mereka
tidak
mempunyai
kemampuan
untuk
menanggapi/menghayati stimulus.Kadang-kadang mereka
itu tidak bisa menerima rangsangan sinar, rabaan atau bau,
dan tidak punya ingatan.Mereka harus dimandikan, harus
diberi pakaian, harus disuapi seperti layaknya seorang
bayi.Sering mereka ini ngompol dan buang kotoran
23
dicelananya, dan sukar sekali diajari menjaga kebersihan
diri.
b) Imbisil/ disabilitas mental sedang; dan
I.Q.-nya 25-49.Mereka itu seperti kanak-kanak yang
berumur 36-83 bulan (3-7 tahun).Ukuran tinggi dan bobot
badannya kurang; sering badannya cacat atau mengalami
kelainan-kelainan (anomali).Gerakan-gerakannya tidak
stabil dan lamban, Pada umumnya mereka tidak mampu
mengemudikan dan mengurus diri sendiri, namun demikian,
mereka masih dapat diajari untuk menanggapi suatu bahaya;
dan bisa diajari melindungi diri terhadap bahaya fisik
tersebut.Mereka bisa mengerjakan tugas yang sederhana di
bawah pengawasan, misalnya makan sendiri, minum,
berpakaian, mencuci dan mengelap piring. Ada defektivitas
dalam kapasitas edukasinya dalam artian mereka itu tidak
bisa diajar dalam sekolah konvensional, oleh karaean itu
mereka sangat bergantung pada perlindungan dan
pertolongan keluarga atau orang tuanya, karena mereka ini
sama sekali tidak mampu mencari mata pencarian sendiri.
c) Debil/ disabilitas mental ringan.
Pada umumnya mereka yang tergolong debil ber-I.Q. 50-70
mereka dapat dilatih dan dididik di lembaga istimewa atau
sekolah luar biasa, tidak dapat berfikir secara abstrak, hanya
hal-hal konkrit yang dapat dipahami, mereka kurang dapat
memahami hal yang kecil dan remeh, atau hal-hal yang baik
dan buruk, perkembangan fisiknya normal tetapi
perkembangan bicara biasanya terlambat (kurang
perbendaharaan kata), umur intelegensi debil adalah seperti
anak-anak umur 7 – 16 tahun
b) Ganguan psikiatrik fungsional;
c) Alkoholisme;
d) Epilepsy.
3) Disabilitas Ganda (fisik dan mental)
Keadaan seseorang yang menyandang tidak hanya cacat fisik tapi
juga mental.
c. Perlindungan
hukum
terhadap
penyandang
disabilitas
di
Indonesia
Bukti perwujudan perlindungan hukum terhadap penyandang
disabilitas di Indonesia adalah dibentuknya Undang-Undang Nomor 8
24
Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas yang merupakan
komitmen pemerintah dalam melindungi
hak-hak
penyandang
disabilitas dalam bernegara dan bermasyarakat.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas sebenarnya Indonesia telah menjamin
perlindungan terhadap penyandang disabilitas, berikut perkembangan
peraturan
perundang-undangan
tentang
perindungan
terhadap
penyandang disabilitas di Indonesia :
1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat
Penjelasan undang-undang ini mengatakan bahwa:
Hingga saat ini sarana dan upaya untuk memberikan
perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban dan
peran penyandang cacat telah dilakukan melalui berbagai
peraturan perundang-undangan, yaitu yang mengatur masalah
ketenagakerjaan,
pendidikan,
nasional,
kesehatan,
kesejahteraan social, lalu lintas dan angkutan jalan,
perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeaan.
Berdasarkan penjelasan tersebut perlindungan hukum terhadap
disabilitas oleh pemerintah pada saat itu adalah melalui penyamaan
kedudukan sebagai upaya pemenuhan hak dan kewajiban disabilitas.
Hak-hak penyandang disabilitas dalam undang-undang ini diatur
dalam Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap penyandang cacat berhak memperoleh :
(1) Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang
pendidikan;
(2) Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan
derjat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya;
(3) Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan
menikmati hasil-hasilnya;
(4) Aksesbilitas dalam rangka kemandiriannya;
(5) Rehabilitasi,
bantuan
kesejahteraan sosial; dan
sosila,
dan
pemeliharaan
taraf
25
(6) Hak
yang
kemampuan,
sama
untuk
menumbuhkembangkan
dan
kehidupan
sosialnya
,
terutama
bakat,
bagi
penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat.
2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan
Convention On The Rights Of Persons With Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
Komitmen pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap
hak-hak penyandang disabilitas juga ditunjukan dalam UndangUndang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On
The Rights Of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai HakHak Penyandang Disabilitas) yang intinya menekankan bahwa
penyandang disabilitas harus diposisikan sebagai manusia yang
utuh, setara dalam hak dengan manusia pada umumnya.
Penyandang disabilitas tidak boleh dilihat sebagai manusia kelas
dua yang hak-haknya boleh didiskriminasi. Begitu pula pada
konteks hukum, penyandang disabilitas harus diposisikan sebagai
subjek hukum yang utuh sesuai dengan asas equality before the
law.
Ketentuan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Person with
Disabilities(konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas)
berisi pengakuan kesetaraan penyandang disabilitas di hadapan
hukum, dengan bunyi lengkapnya, sebagai berikut:
1.
Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa
penyandang
disabilitas memiliki hak atas pengakuan sebagai individu di
hadapan hukum di mana pun berada.
2. Negara-Negara Pihak harus mengakui bahwa penyandang
disabilitas merupakan subyek hukum yang setara dengan
lainnya di semua aspek kehidupan.
3. Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang
sesuai untuk menyediakan akses oleh penyandang disabilitas
dalam bentuk dukungan yang mungkin diperlukan oleh
26
mereka
dalam
melaksanakan kewenangan mereka sebagai subyek hukum.
3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
Secara khusus pemerintah juga melindungi anak penyandang
disabilitas dalam Pasal 1
angka 7 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan anak, dimana dalam pasal ini dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan anak penyandang disabilitas adalah anak yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik,
dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dan sikap masyakatnya dapat menemui hambatan yang
menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan
kesamaan hak, kemudian dalam Pasal 59 A undang-undang ini
menyatakan bahwa pemerintah harus memberikan perlindungan
khusus terhadap anak penyandang disabillitas melalui upaya :
a) Penanganan yang cepat termasuk pengobatan dan/atau
rehabilitasisecara fisik, psikis, dan sosial serta pencegahan
penyakit dan gangguan kesehatan lainnya.
b) Pendamping psikososial pada saat pengobatan dan pemulihan
c) Pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari
keluarga tidak mampu
d) Pemberian perlindungan dan pendampingan dalam setiap
proses peradilan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, hak-hak anak penyandang
disabilitas berhadapan hukum diakui dalam Pasal 3 huruf m yang
berbunyi “setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak
memperoleh aksesbilitas, terutama bagi anak cacat”. Hakim dapat
menafsirkan bahwa semua anak cacat/ anak penyandang disabilitas
27
yang berhadapan dengan hukum berhak atas aksesbilitas peradilan
yang fair.
4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang
Disabilitas
Setelah diratifikasinya Convention On The Rights Of Persons
With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang
Disabilitas) dibuatlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas yang menggantikan Undangundang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, undangundang ini lebih lengkap dari undang-undang sebelumnya dimana
undang-undang ini mengatur secara jelas mengenai upaya
melindungi penyandang disabilitas dengan berprespektif Hak Asasi
Manusia.
Berdarakan Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Tentang Penyandang Disabilitas ketentuan umum paragraf terakhir
mengatakan bahwa “Undang-undang ini antara lain mengatur
mengenai
disabilitas
ragam
penyandang
pelaksanaan
disabilitas,
Penghormatan,
Hak
penyandang
Pelindungan,
dan
Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas, koordinasi, Komisi
Nasional Disabilitas, pendanaan, kerja sama internasional, dan
penghargaan.”
Jadi ruang lingkup pengaturannya diperluas dari yang terbatas
pada bantuan sosial, rehabilitasi sosial dan pemeliharaan taraf
kesejahteraan sosial, menjadi menjamin partisipasi penyandang
disabilitas dalam segala aspek kehidupan seperti pendidikan,
kesehatan, pekerjaan, politik, dan pemerintahan, pariwisata, budaya
dan olahraga,
serta
pemanfaatan
teknologi,
informasi
dan
komunikasi.
4. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Sistem Hukum Pidana Di
Indonesia
28
Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorekenbaarheid atau criminal responsibility pada dasarnya
mengarah pada pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana. Apabila
seseorang melakukan tindak pidana maka ia harus menanggung
akibat
dari
perbuatan
itu
dalam
bentuk
pemidanaan.
Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan dapat
atau tidak seseorang dimintai pertanggungjawabannya atas suatu
tindak pidana yang dilakukan.
Pelaku dapat dipidana apabila tindak pidana yang dilakukan
memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan dalam undangundang. Berdasarkan sudut terjadinya tindakan yang dilarang,
seseorang akan dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan, apabila
tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pemaaf dan
pembenar,
sedangkan
berdasarkan
sudut
kemampuan
bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang mampu bertanggung
jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya (Amir
Ilyas, 2012 : 73)
Suatu kelakuan atau perbuatan yang bersifat melawan hukum
belum cukup untuk menjatuhkan pidana, tetapi masih disyaratkan
pembuatnya harus dapat dipersalahkan (dipertanggungjawabkan)
atas
perbuatannya.
Kesalahan
adalah
dasar
untuk
pertanggungjawaban, sebab asas pertanggungjawaban dalam hukum
pidana adalah “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder
schuld), meskipun tidak dirumuskan dalam hukum tertulis, tetapi
dianut dalam praktik. Orang yang melakukan tindak pidana dengan
kesalahan saja yang dapat dibebani tanggungjawab atas tindak
pidana yang dilakukan.
Kesalahan merupakan keadaan jiwa dari si pembuat dan
perbuatannya. Keadaan jiwa dari seseorang yang melakukan
perbuatannya itu antara lain merupakan kesengajaan, kealpaan, serta
alasan
pemaaf,
sehingga
untuk
menentukan
adanya
29
pertanggungjawaban pidana dari pelaku dalam hukum pidana harus
memenuhi beberapa unsur,antara lain: (Moeljatno, 2002: 164)
1) Adanya kemampuan bertanggungjawab dari si pelaku
2) Adanya unsur kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus) atau
kealpaan (culpa)
3) Tidak adanya alasan penghapusan kesalahan atau tidak adanya
alasan pemaaf.
Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan yang lain, dimana unsur yang satu
bergantung pada unsur yang lain.
1) Kemampuan Bertanggungjawab
KUHP tidakmerumusan tentang pengertian kemampuan
bertanggungjawab, oleh karena itu pengertiannya harus dicari
dalam dunia ilmu pengetahuan hukum (doktrin).
Menurut Van HamelKemampuan bertanggungjawab
adalah suatu keadaan normalitas psikis dan kematangan
(kecerdasan) yang membawa tiga kemampuan, yakni:
a) Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat
perbuatannya sendiri.
b) Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu
menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan.
c) Mampu untuk menentukan kehendaknya atas
perbuatan-perbuatan itu.(Leden Merpaung ,2012:50)
Menurut Simon kemampuan bertanggungjawab sebagai
suatu keadaan psikis sedemikian, yang membenarkan
penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari
sudut umum orangnya. Seseorang dikatakan mampu
bertanggungjawab apabila jiwanya sehat sehingga:
a) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa
perbuatannya bertentangan dengan hukum;
b) Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan
kesadaran tersebut. (Rubai Masrucin2001: 45)
Menurut
Pompe
Toerekeningdvatbaarheid
(pertanggungjawaban pidana) seseorang mempunyai unsur
sebagai berikut:
30
a) Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat yang
memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang
memungkinkan ia menentukan perbuatannya.
b) Dan oleh sebab itu, ia dapat memahami makna dan
akibat perbuatannya.
c) Dan oleh sebab itu pula, ia dapat menentukan
kehendaknya sesuai dengan pendapatnya. (Adami
Chazawi,2002:149)
Utrecht mengatakan bahwa kemampuan bertanggungjawab
itu adalah merupakan unsur diam-diam dari setiap tindak
pidana , seperti juga dengan unsur melawan hukum. Oleh
sebab itu apabila ada keragu-raguan tentang ada tidaknya
kemampuan bertanggungjawab bagi seseorang, maka
hakim wajib menyelidikinya, dan apabila telah diselidiki
tetap ada keragu-raguan, maka hakim harus membebaskan
dari tuntutan hukum (Adami Chazawi,2002: 148)
Sebaliknya
(2002:148)
Jonkers
dikutip
mengatakan
bertanggungjawab
adalah
dalam
bahwa
unsur
Adami
unsur
diluar
Chazawi
kemampuan
tindak
pidana:
“Kemampuan untuk dapat dipertanggungjawabkan tidak dapat
dipandang sebagai bagian dari tindak pidana, tetapi bila tidak
ada pertanggungjawaban maka merupakan alasan penghapus
pidana”.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
kemampuan bertanggungjawab bukan merupakan unsur tindak
pidana, ada pemisahan antara tindak pidana dan dapat
dipidananya pelaku tindak pidana tersebut, setelah terwujudnya
tindak pidana barulah dilihat apakah orang pelakunya tadi ada
pertanggungjawaban atau tidak, dalam arti ada kesalahan atau
tidak, hanya terhadap orang yang mampu bertanggungjawab
saja yang dapat dibebani tanggungjawab.
Menurut Moeljatno terdapat dua faktor dalam kemampuan
bertanggungjawab
seseorang,
pertamaadalah
faktor
akal
(intelegtual factor) yaitu dapat membedakan antara perbuatan
yang diperbolehkan dan yang tidak.kedua adalah faktor
31
perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat
menyesuaikan tingkah-lakunya dengan keinsyafan atas mana
yang diperbolehkan dan mana yang tidak (Moeljatno,2002:
166).
KUHP memang tidak merumusan secara tegas tentang
kemampuan bertanggungjawab pidana. Pasal 44 ayat (1)
KUHP justru merumuskan tentang keadaan mengenai bilamana
seseorang tidak mampu bertanggungjawab agar tidak dipidana,
artinya merumuskan perihal kebalikan (secara negatif) dari
kemampuan bertangungjawab, sehingga seorang dianggap
mampu bertanggungjawab dapat diartikan dengan cara
kebalikannya, atau dengan kata lain apabila tidak terdapat
tentang dua keadaan jiwa sebagaiman yang diterangkan dalam
Pasal 44 tersebut.(Adami Chazawi, 2002: 142)
Pasal 44 KUHP, menurut Moeljatno di terjemahkan sebagai
berikut : (Moeljatno, 2014: 20)
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak
dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan
kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau
terganggu
karena
penyakit,
maka
hakim
dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukan ke rumah
sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu
percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah
Agung, pengadilan tinggi, dan pengadilan Negeri
Teks resmi (bahasa Belanda) dari Pasal 44 ayat (1) KUHP
menggunakan istilah “gebrekkige ontwikkeling ofziekelijke
storing zijnerverstandelijke vermogens”, yang oleh Tim
32
Penerjemah
Badan
Pembinaan
Hukum
Nasional
telah
diterjemahkan sebagai “jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena penyakit” (Andrey Elby Rorle, lex crimen
vol.II No.3, 2013 : 17).
Menurut Hamel Hasenwinkel Suringa dikutip dalam
Leden
Merpaung
(2012:52),
ketidakmampuan
bertanggungjawab memerlukan selain perkembangan jiwa yang
tidak normal dan penyakit yang disebabkan gangguan
kejiwaan, juga syaratnya adalah hubungan kausal antara
penyakit jiwa dan perbuatannya, dimana penyakit tersebut
mengakibatkan si pelaku tidak dapat menginsyafi bahwa
perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat
menentukan akibat dari perbuatannya.
“Tidak mampu bertanggungjawab” berlaku bagi orang
yang tidak mampu bertanggungjawab terhadap perbuatan yang
dilakukan sehubungan dengan kelainan jiwa yang dideritanya,
sedangkan “kurang mampu bertanggungjawab” maksudnya
terdakwa masih tetap dianggap mampu bertanggungjawab,
kekurangmampuan
bertanggungjawab
hanya
dipandang
sebagai faktor yang meringankan terdakwa. (Rubai Masruchin,
2001: 71)
a. Pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas
Penyandang disabilitas secara konstitusional mempunyai hak dan
kedudukan, yang sama di depan hukum dan pemerintahan, namun
penyandang disabilitas sebagai warga negara umumnya akan
berhadapan dengan berbagai hambatan yang dapat menghalangi
partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat, dengan
berbagai hambatan yang dapat menghalangi partisipasinya bukan
berarti penyandang disabilitas jenis tertentu menjadi kebal hukum atau
tidak tidak dapat di tuntut dalam hal melakukan suatu tindak pidana.
33
Penyandang disabilitas seperti yang telah diuraikan diatas terbagi
menjadi 3 (tiga) macam yaitu disabilitas fisik, disabilitas mental, dan
disabilitas ganda (fisik dan mental), apabila dikaitkan dengan
pertanggungjawaban pidana atau lebih khusus pada kemampuan
bertanggungjawabnya
maka
penyandang
disabilitas
fisik
pada
dasarnya memiliki jiwa, akal, dan mental yang normal selayaknya
manusia pada umumnya yang berbeda hanyalah kondisi tubuhnya yang
tidak sempurna, sehingga penyandang disabilitas fisik tidak termasuk
dalam kedua syarat yang dikemukakan dalam Pasal 44 ayat (2) atau
dengan kata lain penyandang disabilitas fisik dapat bertanggungjawab
pidana seperti layaknya orang normal, sedangkan untuk kategori
penyandang disabilitas mental dan disabilitas ganda berarti ada
kelainan dalam mental, jiwa atau akal sehatnya, berarti penyandang
disabilitas jenis ini dapat termasuk dalam “jiwanya cacat dalam
pertumbuhan”, oleh karena itu ia tidak dipidana, namun menurut
W.F.C Van Hattum dikutip dalam Leden Merpaung (2012:53) pada
hakikatnya tidak setiap “jiwa yang cacat karena pertumbuhan” atau
tidak setiap “jiwa yang terganggu karena penyakit” itu dapat membuat
seseorang menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan. Penilaian
dalam tiap-tiap peristiwa itu ada di tangan hakim.
Pertumbuhan yang cacat atau tidak sempurna seperti dimaksud
diatas haruslah diartikan sebagai suatu pertumbuhan yang lebih
sempurna biologis, dan perlu diketahui bahwa pada prinsipnya didalam
hukum
pidana
setiap
orang
itu
harus
dianggap
mampu
bertanggungjawab, sehingga penyandang disabilitas mental ataupun
disabilitas ganda mustinya dalam proses peradilan, penegak hukum
harus melihat mereka sebagai seorang yang pada dasarnya mampu
bertanggungjawab, apabila muncul keraguan terhadap kemampuan
bertanggungjawabnya barulah ketidakmampuan bertanggungjawabnya
itu dibuktikan agar orang tersebut tidak dipidana, untuk membuktikan
kemampuan bertanggungjawabnya tentu saja harus melalui alat bukti
34
yang sah dalam hukum pidana yaitu keterangan ahli (psikolog,
psikiater, atau tenaga ahli profesional).
Apabila ternyata dalam hasil pemeriksaan tersebut, penyandang
disabilitas dapat dikatakan mampu dan memiliki kemampuan
bertanggung jawab, artinya jiwa mereka yang cacat karena
pertumbuhan tidak membuat mereka sepenuhnya tidak dapat mengerti
atau
menginsyafi
perbuatan
yang
mereka
lakukan
maka
pertanggungjawaban pidana seharusnya tetap dapat melekat pada
penyandang disabilitas mental atau penyandang disabilitas ganda
tersebut.
5. Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental di
Indonesia
a. Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental
Dalam KUHP.
KUHP tidak merumuskan secara tegas tentang kemampuan
bertanggungjawab. Pasal 44 ayat (1) KUHP justru merumuskan
tentang keadaan mengenai bilamana seseorang tidak mampu
bertanggungjawab agar tidak dipidana, artinya merumuskan perihal
kebalikan (secara negatif) dari kemampuan bertangungjawab,
sehingga seseorang dianggap
mampu bertanggungjawab dapat
diartikan dengan cara kebalikannya, atau dengan kata lain apabila
tidak terdapat 2 (dua) keadaan jiwa sebagaimana yang diterangkan
dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yaitu :
1) Jiwanya cacat karena pertumbuhan
Menurut pendapat Kanter dan Sianturi yang di maksud dengan
keadaan jiwa yang cacat karena pertumbuhannya ialah seseorang
yang sudah dewasa, tetapi perangainya seperti anak-anak.
Keadaan seperti ini disebut sebagai “dungu”, setengah mateng
atau idiot, imbisil, yang diakibatkan oleh keterlambatan
35
pertumbuhan jiwa seseorang”. (E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, 2002:
258).
2) Jiwanya terganggu karena penyakit
Menurut Kanter dan Sianturi yang dimaksudkan dengan jiwa
yang terganggu karena penyakit, ialah yang jiwanya semula
adalah sehat, tetapi kemudian dihinggapi penyakit jiwa yang
sering
disebut
sebagai
“gila”
atau
“pathologische
ziektetoestand”. Seseorang mungkin dihinggapi oleh penyakit
jiwa secara terus menerus tetapi mungkin juga secara sementara
(temporair) atau kumat-kumatan.Dalam hal ini gila kumatkumatan yang termasuk cakupan Pasal 44 KUHP adalah jika
gilanya sedang kumat. (E.Y. Kanter, S.R. Sianturi, 2002:258).
Kondisi penyandang disabilitas mental yang mempunyai
kecacatan
jiwanya dapat masuk dalam kategori “jiwanya cacat
karena pertumbuhan”, sehingga tidak dapat dipidana mengingat
kekurangan penyandang disabilitas mental dialami sejak lahir atau
sejak dalam pertumbuhan, kondisi penyandang disabilitas mental pun
biasanya sudah dewasa tetapi perilakunya seperti anak-anak.Akan
tetapi, keadaan “jiwa yang cacat” sebenarnya tidak dapat dikatakan
sebagai suatu kondisi yang sama antara satu orang dengan orang yang
lain, kecacatan dalam jiwa seseorang memiliki tingkatan yang
berbeda satu dengan lainya, sehingga ketentuan “jiwa yang cacat
dalam pertumbuhan” itu tidak dapat bersifat mutlak, terlebih lagi
fungsi jiwa atau gangguan pada kesehatan jiwa seseorang hanya dapat
dijelaskan dari segi medis, oleh sebab itu hakim wajib menghadirkan
seorang ahli kejiwaan atau psikologi yang dapat menjelaskan hal
tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh ahli bidang psikologi Kartini
Kartono bahwa penyandang disabilitas mental atau mental retardated
terbagi menjadi 3 (tiga) kategori dari tingkatan berat sampai ringan,
yaitu sebagai berikut (Kartono, 1991:190):
36
1) Idiot/ disabilitas mental berat;
2) Imbisil/ disabilitas mental ringan; dan
3) Debil/disabilitas mental sedang.
Pertama, Keadaan idiot pada umumnya ber-IQ kurang dari
25.Kemampuan intelegensinya atau akalnya tidak dapat berkembang,
tidak dapat mengerti dan tidak dapat diajari apa-apa. Kedua,
Mengenai keadaan imbisil (imbecility) I.Q nya antara 25-49.Mereka
seperti anak-anak yang berumur 36-83 bulan (3-7 tahun).Pada
umumnya mereka tidak mampu mengemudikan dan mengurus diri
sendiri.Akan tetapi, mereka masih dapat diajari untuk menanggapi
suatu bahaya dan bisa diajari melindungi diri terhadap bahaya fisik
tersebut.
Mereka tidak bisa diajar dalam sekolah konvensional oleh
karena itu mereka sangat bergantung pada perlindungan dan
pertolongan keluarga atau orang tuanya, karena mereka ini sama
sekali tidak mampu mencari mata pencarian sendiri. Berdasarkan
penjelasan diatas keadaan idiot dan imbisil, pada umumnya sesuai
dengan maksud keadaan “jiwanya cacat dalam pertumbuhan”
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP, sehingga
orang-orang
demikian
tepat
termasuk
tidak
mampu
bertanggungjawab.
Ketiga, Keadaan debil, pada umumnya mereka yang tergolong
debil ber-I.Q 50-70 seperti yang telah dijelaskan, mereka dapat dilatih
dan dididik di lembaga istimewa atau sekolah luar biasa, mereka
kurang dapat memahami hal yang kecil dan remeh, atau hal-hal yang
baik dan buruk, perkembangan fisiknya normal tetapi perkembangan
bicara biasanya terlambat (kurang perbendaharaan kata), umur
intelegensi debil biasanya seperti anak-anak umur 7–16 tahun
meskipun umur atau usia kalendernya sudah melebihi itu.
Sementara itu menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan
37
bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut
Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan
tindak pidana sehingga orang dengan kecerdasan usia 12-16 tahun,
seharusnya sudah dapat dipertanggungjawabkan.
Salah satu pertimbangan Undang-undang Sistem Peradilan
Pidana Anak dalam menetapkan batas pertanggungjawaban pidana
adalah bahwa umur 12 (dua belas) tahun tersebut secara sosiologis,
psikologis dan pedagogis telah dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya (Penjelasan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Oleh sebab itu debil
meskipun benar memiliki kecacatan dalam jiwanya namun ternyata
kecacatan tersebut masih memungkinkan debil untuk mengarahkan
kemauan dan kehendaknya atau sadar dalam berbuat sesuatu termasuk
berbuat pidana.
Orang-orang yang tergolong debil inilah yang seharusnya tidak
termasuk
ke
dalam
“tidak
mampu
bertanggungjawab”
(ontoerekeningsvatbaarheid) melainkan hanya dapat digolongkan ke
dalam
“kurang
mampu
(verminderdetoerekeningsvat-baarheid).
bertanggungjawab”
Kurang
mampu
bertanggungjawab adalah kondisi dimana terdakwa tetap dianggap
mampu bertanggungjawab dan dapat dipidana, tetapi kekurangannya
itu hanya dipandang sebagai alasan untuk memperingan pemidanaan.
b. Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental
Dalam
Undang-Undang
Nomor
3
Tahun
1997
Tentang
Pengadilan Anak
Sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, perkara anak berlaku UndangUndang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak mengatur mengenai
38
kemampuan bertanggungjawab anak penyandang disabilitas, sehingga
untuk menentukan kemampuan bertanggungjawab anak penyandang
disabilitas mental digunakan
ketentuan Pasal
44 KUHP (lex
generalis).
Setelah anak penyandang disabilitas mental yang berhadapan
dengan
hukum
dikatakan
mampu
secara
mental
untuk
bertanggungjawab maka perkara anak penyandang disabilitas mental
tersebut selanjutnya mengikuti ketentuan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1997. Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam Pasal 1 angka
2 huruf a Undang-Undang Pengadilan Anak disebut sebagai “anak
nakal”.
Pasal
22
Undang-undang
tentang
Pengadilan
Anak
menegaskan bahwa:” Terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan
pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Menyimak pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) diatur pidana tambahan bagi
anak nakal, pidana pokok terdiri atas :
1) Pidana penjara
2) Pidana kurungan
3) Pidana denda
4) Pidana pengawasan
Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:
1) Perampasan barang: dan atau
2) Pembayaran ganti rugi
Berdasarkan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak nakal meliputi :
1) Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh,
2) Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja ; atau
3) Menyerahkan kepada departemen sosial, atau organisasi sosial
kemasyarakatan
yang
bergerak
pembinaan dan latihan kerja.
di
bidang
pendidikan,
39
Pasal 24 ayat (2) disertai dengan teguran atau syarat tambahan
lainnya. Bagi anak nakal Pasal 1 angka 2 huruf a “anak nakal adalah
anak yang melakukan tindak pidana”, berdasarkan Pasal 25 ayat (1)
hakim dapat menjatuhkan sanksi pidana atau sanksi tindakan,
sedangkan bagi anak nakal sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka
2 huruf b “anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundangundangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan” berdasarkan Pasal 25
ayat (2) hakim hanya boleh menjatuhkan tindakan.
Lamanya pidana bagi anak nakal diatur dalam Pasal 26 yaitu :
1) pidana penjara paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum
ancaman pidana penjara bagi orang dewasa (Pasal 26 ayat (1))
2) apabila anak nakal sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka
2 huruf a melakukan tindak pidana yang diancam denngan
pidan penjara atau pidan seumur hidup maka pidana penjara
yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10
(sepuluh) tahun (pasal 26 ayat (2))
Namun demikian untuk anak yang belum berumur 12 (dua belas)
tahun hanya dapat dikenakan tindakan berupa :
3) menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja jika melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup
(pasal 26 ayat (3))
4) salah satu tindakan dari ketiga jenis tindakan sebagaimana
diatur dalam pasal 23, jika melakukan tindak pidana yang tidak
diancam pidan mati atau seumur hidup (pasal 26 ayat (4))
Pidana kurungan dinyatakan dalam pasal 27, dimana pidana
kurungan yang dapat dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak
pidana paling lama ½ (satu perdua) dan maksimum ancaman pidana
40
kurungan bagi orang dewasa.Penjatuhan pidana denda terhadap anak
nakal maksimum ½ (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana
denda bagi orang dewasa, hal ini sesuai apa yang terdapat dalam pasal
28 ayat (1), apabila pidana denda tidak dapat dibayarkan maka diganti
dengan wajib latihan kerja (pasal 28 ayat (2)), lama wajib latihan kerja
sebagai pengganti denda paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kerja
dan lama latihan kerja tidak lebih dari 4 jam sehari serta tidak
dilakukan pada malam hari (pasal 28 ayat (3))
Pasal 29 mengatur tentang pidana bersyarat / pidana percobaan,
dengan rumusan :
1) pidana bersyarat dapat dijatuhkan apabila pidana penjara yang
dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, sedangkan jangka waktu
masa pidana bersyarat adalah paling lama 3 (tiga) tahun.
2) Untuk menjatuhkan pidana bersyarat umum maupun yang
bersyarat khusus diberlakukan ketentuan sebagai berikut :
a) Syarat umum yaitu anak nakal tersebut tidak akan
melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa
pidana bersyarat.
b) Syarat
khusus
yaitu
untuk
melakukan
atau
tidak
melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan
hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan anak. Masa
pidana bersyarat bagi syarat khusus lebih pendek dari pada
masa pidana bersyarat bagi syarat umum.
3) Pengawasan dan bimbingan
a) Selama menjalani pidana bersyarat, jaksa melakukan
pengawasan dan pembimbing kemasyarakatan melakukan
bimbingan agar anak nakal menepati persyaratan yang
telah ditentukan.
b) Anak nakal yang menjalani masa pidana bersyarat
dibimbing oleh balai pemasyarakatan berstatus sebagai
klien pemasyarakatan.
41
c) Selama anak nakal berstatus sebagai klien pemsyarakatan
dapat mengikuti pendidikan sekolah.
c. Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
Sama seperti Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, Undangundang Sistem Peradilan Pidana Anak masih belum mengatur
mengenai kemampuan bertanggungjawab anak yang memiliki
kekurangan mental, Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
hanya membedakan kemampuan bertanggungjawab anak berdasarkan
umurnya
saja,
sehingga
untuk
menetapkan
kemampuan
bertanggungjawab anak penyandang disabilitas mental
digunakan
ketentuan pasal 44 KUHP. Hal tersebut sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 103 KUHP, bahwa bab satu sampai bab delapan Buku I
KUHP berlaku pula bagi ketentuan lain diluar KUHP sepanjang tidak
ditentukan lain (lex specialis de rogat legi generalis)
Anak penyandang disabilitas mental yang melakukan tindak
pidana perlu dilakukan pemeriksaan ahli kejiwaan atau psikologi
untuk mengetahui sejauh mana kemampuan bertanggungjawabnya,
apabila ternyata penyandang disabilitas ini termasuk kategori debil
atau mampu mengarahkan kemauan, kehendak dan sadar dalam
berbuat pidana, maka anak tersebut mustinya dapat dimintai
pertanggungjawaban.
Setelah berdasarkan mentalnya anak penyandang disabilitas
dikatakan dapat dimintai pertanggungjawaban, berarti perkara anak
penyandang disabilitas mental tersebut kemudian mengikuti ketentuan
pertanggungjawaban pidana berdasarkan Sistem Peradilan Pidana
Anak yaitu dilihat berdasarkan umurnya, menurut Undang-undang
Sistem
Peradilan
Pidana
Anak,
anak
yang
dapat
dimintai
pertanggungjawaban pidana adalah anak yang sudah berusia minimal
12 – 18 tahun, dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan
42
atau diduga melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 21 Undangundang Sistem Peradilan Pidana Anak, penyidik, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan
untuk :
1) Menyerahkan kembali kepada orang tua/wali; atau
2) Mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan,
dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di
instansi yang menangani bidang kesejahteraa sosial, baik di
tingkat pusat maupun daerah paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 69 ayat (2) menjelaskan bagi pelaku tindak pidana yang
sudah berumur 12 tahun tapi di bawah 14 tahun hanya dapat dikenai
tindakan
(maatregel) sedangkan bagi pelaku tindak pidana yang
sudah berumur 15 tahun keatas berdasarkan Pasal 69 ayat (1) dapat
dijatuhi pidana atau dikenai tindakan . Berdasarkan pasal 71 undangundang sistem peradilan pidana anak, sanksi pidana yang dapat
dikenakan pada anak terbagi atas pidana pokok dan pidana tambahan.
a. pidana pokok terdiri dari:
1) pidana peringatan
2) pidana dengan syarat, yang terdiri atas pembinaan di luar
lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan
3) pelatihan kerja
4) pembinaan dalam lembaga
5) penjara
b. pidana tambahan terdiri dari:
1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana
2) pemenuhan kewajiban adat.
Pasal 82 ayat (1) Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak
menjelaskan sanksi tindakan yang dapat dikenakan kepada anak
meliputi :
43
a. Pengembalian kepada orang tua/wali
b. Penyerahan kepada seseorang
c. Perawatan di rumah sakit jiwa
d. Perawatan di LPKS
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan
yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta
f. Pencabutan surat izin mengemudi
g. Perbaikan akibat tindak pidana
Perawatan di rumah sakit jiwa dalam penjelasan Pasal 82 huruf c adalah
bahwa tindakan ini diberikan kepada anak yang pada waktu melakukan
tindak pidana menderita gangguan jiwa atau penyakit jiwa, tidak
dijelaskan lebih lanjut mengenai gangguan jiwa atau penyakit jiwa yang
seperti apa, sehingga dapat merujuk pada ketentuan Pasal 44 KUHP
yaitu gangguan jiwa atau penyakit jiwa yang menyebabkan seseorang
tidak mampu bertanggungjawab.
Pada Pasal 82 ayat (3) dijelaskan bahwa tindakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh penuntut umum dalam
tuntutannya, kecuali tindak pidana diancam dengan pidana penjara
paling singkat 7 (tujuh) tahun. Undang-undang Nomor 11 tahun 2012
memungkinkan untuk menyelesaikan perkara anak diluar pengadilan
yaitu dengan diversi, berdasarkan Pasal 7 dalam tiap proses pemeriksaan
harus diupayakan diversi dengan syarat tindak pidana yang dilakukan
diancam dengan pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan bukan
merupakan pengulangan tindak pidana, apabila Diversi gagal barulah
hakim dapat memutuskan untuk menjatuhi pidana atau tindakan. Salah
satu tujuan diversi adalah menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan. Perampasan kemerdekaan (pidana penjara) dalam perkara
anak hanya boleh dilakukan sebagai measure of the last resort.
Adakalanya Penyandang disabilitas mental ringan atau debil
memiliki umur kalender sudah dewasa tetapi umur mentalnya masih
seperti anak-anak, misalnya usianya sudah 25 tahun tapi mentalnya
44
masih seperti anak usia 12 tahun, untuk kasus seperti ini tidak berlaku
Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak karena umur yang
digunakan dalam proses hukum adalah umur kalender,yaitu dihitung
sejak kelahirannya, contoh dilampirkannya akta kelahiran.
Padahal apabila melihat dari sisi mental, penyebab yang
melatarbelakangi
pelaku
dengan
usia
kalender
sudah
dewasa
tersebutmelakukan tindak pidana adalah sama dengan apabila anak
melakukan tindak pidana, Hukum harusnya bersifat dinamis, responsif
terhadap nilai-nilai hak asasi manusia dan perubahan sosial, penegak
hukum dalam menangani kasus penyandang disabilitas mental yang
berhadapan dengan hukum semestinya menggunakan pendekatan hukum
progresif yang intinya ialah keberadaan hukum semata mata untuk
manusia seperti pendapat Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah untuk
manusia bukan sebaliknya, ketika hukum sudah memastikan tujuannya
untuk manusia, maka hukum akan selalu responsif terhadap tantangan
dan kebutuhan dasar manusia yang beragam (Satjipto Rahardjo,
2006:188)
d. Pertanggungjawaban Pidana Penyandang
Disabilitas Mental
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang
Cacat.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
tidak mengatur sama sekali mengenai kemampuan bertanggungjawab
seorang disabilitas mental, sehingga untuk menetapkan kemampuan
bertanggungjawab
penyandang
disabilitas
mental
menggunakan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 44 KUHP karena tidak diatur lain
dalam undang-undang ini.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
memberikan rambu-rambu mengenai apapun persoalan yang berkaitan
dengan
penyandang
disabilitas
haruslah
dipilih
solusi
yang
mengutamakan kesejahteraan sosial penyandang disabilitas tersebut.
Kesejahteraan sosial yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah:
45
Suatu tata kehidupan dan penghidupan material maupun spiritual
yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketrentraman
lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga Negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah,
rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta
masyarakat dengan menjunjung tinggi hak hak dan kewajiban
warga Negara sesuai dengan pancasila. (Penjelasan Umum
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat)
Oleh karena itu apabila dalam proses hukum penyandang disabilitas
mental dikatakan dapat bertanggungjawab secara pidana maka
pengadilan dalam memeriksa dan memproses perkara penyandang
disabilitas mental tidak berhenti pada membuat putusan tentang terbukti
atau tidak terbuktinya perkara pidana tersebut, tetapi pengadilan harus
memikirkan lebih lanjut atas putusannya bagi penyandang disabilitas
mental agar tidak menimbulkan masalah lebih lanjut dan bermanfaat
bagi masa depan disabilitas mental tersebut.
e. Pertangungjawaban
Penyandang
Disabilitas
Mental
dalam
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat,
belum sepenuhnya menjamin pemenuhan dan pelindungan hak-hak
penyandang disabilitas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2011 Tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Person
With Disabilities
(Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
sehingga dibuatlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang
Penyandang Disabilitas yang Menggantikan Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.
Sama seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang
Penyandang Cacat dalam undang-undang ini tidak mengatur secara
khusus mengenai pertanggungjawaban penyandang disabilitas mental,
sehingga pertanggungjawaban penyandang disabilitas mental tetap
mengikuti ketentuan dalam Pasal 44 KUHP namun poin penting dalam
Undang-Undang tersebut adalah mengenai proses hukum penyandang
disabilitas
dengan ketentuan bahwa Aparat penegak hukum wajib
46
meminta pertimbangan dokter, psikolog atau psikiater dan/atau pekerja
sosial sebelum memeriksa penyandang disabilitas.
Kewajiban mengenai pertimbangan dokter, psikolog atau psikiater
dan pekerja sosial itu tercantum pada Pasal 30 Ayat (1) UndangUndang Penyandang Disabilitas. Menurut Ayat tersebut, dokter atau
tenaga kesehatan lainnya akan memberikan pertimbangan mengenai
kondisi kesehatan, psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan,
sedangkan pekerja sosial mengenai kondisi psikososial. Selanjutnya
dalam Ayat (2) menyebutkan bila pertimbangan atau saran dari dokter,
psikolog atau psikiater dan pekerja sosial tidak memungkinkan
dilakukan, maka pemeriksaan hukum harus ditunda hingga waktu
tertentu.
Undang-Undang Penyandang Disabilitas juga mengatur tentang
pemeriksaan hukum terhadap anak penyandang disabilitas. Menurut
Pasal 31, anak penyandang disabilitas yang menjalani pemeriksaan
hukum wajib mendapat izin dari orang tua atau keluarga serta
didampingi oleh pendamping atau penerjemah.untuk menyatakan
bahwa penyandang disabilitas tidak cakap hukum berdasarkan
ketentuan Pasal 32 harus berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri, tata
cara pengajuan penetapan diatur dalam Pasal 33 yang berbunyi sebagai
berikut :
Pasal 33
(1) Penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 32 diajukan melalui permohonan kepada pengadilan
negeri tempat tinggal Penyandang Disabilitas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada alasan yang jelas dan wajib menghadirkan
atau melampirkan bukti dari dokter, psikolog, dan/atau
psikiater.
(3) Keluarga Penyandang Disabilitas berhak menunjuk seseorang
untuk mewakili kepentingannya pada saat Penyandang
Disabilitas ditetapkan tidak cakap oleh pengadilan negeri.
(4) Dalam hal seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditunjuk mewakili kepentingan Penyandang Disabilitas
melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah,
47
berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan Penyandang
Disabilitas wajib mendapat penetapan dari pengadilan negeri.
Penetapan tidak cakap oleh pengadilan negeri juga dapat dimintakan
pembatalan, maksudnya apabila ternyata pada suatu hari penyandang
disabilitas
tersebut
kondisinya
dapat
berubah
menjadi
cakap,
pembatalan tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 34.
Undang-Undang Penyandang Disabilitas juga mengatur mengenai
kewajiban rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan dalam
menyediakan unit layanan khusus disabilitas. Kewajiban mengenai unit
layanan disabilitas pada rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan
tercantum dalam Pasal 37 Ayat (1) Undang-Undang tersebut. Menurut
Ayat (2) pasal yang sama, unit layanan disabilitas berfungsi untuk
menyediakan pelayanan masa adaptasi bagi tahanan penyandang
disabilitas selama 6 (enam) bulan.
Unit tersebut juga berfungsi menyediakan kebutuhan khusus,
termasuk obat-obatan yang melekat pada penyandang disabilitas dalam
masa tahanan dan pembinaan serta menyediakan layanan rehabilitasi
untuk penyandang disabilitas mental. Selain rumah tahanan dan
lembaga pemasyarakatan, Pasal 36 Undang-Undang tersebut juga
mewajibkan lembaga penegak hukum menyediakan akomodasi yang
layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan. Ketentuan
mengenai akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas dalam
proses peradilan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Table 1. Perbandingan Pertanggungjawaban Pidana Penyandang Disabilitas Mental
No
Pembeda
KUHP
UU No 3 Tahun UU No 11 Tahun 2012 UU No 4 Tahun UU No 8 Tahun 2016
1997
1
Pengaturan
1997
Pasal 44 Ayat (1)
Tidak diatur
Tidak diatur
KUHP
(menggunakan
(menggunakan
-jiwa yang cacat
ketentuan KUHP)
ketentuan KUHP)
Tidak diatur
Tidak diatur
Tidak diatur
Penetapan Pengadilan Negeri
karena pertumbuhan
2
Pembuktian
Alat bukti
Tidak diatur
Tidak diatur
kemampuan
keterangan ahli
(menggunakan
(menggunakan
bertanggungja
(Pasal 184 KUHAP)
ketentuan KUHP)
ketentuan KUHP)
Sesuai KUHAP
Sesuai UU Nomor 3
Sesuai UU No 11
Tahun 1997
Tahun 2012
(Pasal 32)
wab
3
Proses
peradilan
Tidak diatur
Sesuai hukum acara pidana (
Pasal 35)
pidana
-dewasa : KUHAP
-anak : UU 11 tahun 2012
4
perlindungan
Penahanan khusus
Pengecualian
-mendapat aksesbilitas
Tidak diatur
-pemeriksaan harus berdasarkan
khusus dalam
bagi tersangka/
perpanjangan
(Pasal 3 huruf m)
saran dokter, psikiater, dan
proses
terdakwa menderita
penahanan untuk
-penyidik dapat
pekerja sosial (Pasal 30 Ayat (1))
peradilan
gangguan fisik dan
anak dengan
meminta
-anak penyandang disabilitas
mental (Pasal 29
gangguan fisik atau
pertimbangan dan
harus didampingi pendamping
49
Ayat (1) KUHAP)
mental dengan bukti
saran dari psikolog
disabilitas/ penerjemah (Pasal 31)
surat keterangan
dan psikiater (Pasal 27
-harus ada akomodasi (Pasal 36)
dokter (Pasal 50
Ayat (2))
-rutan dan LP wajib memiliki unit
Ayat (1))
pelayanan disabilitas (Pasal 37)
-pembantaran penyandang
disabilitas mental dilakukan di
Rumah Sakit Jiwa atau pusat
rehabilitasi (Pasal 38)
Berdasarkan Tabel tersebut untuk menentukan pertanggungjawaban pidana Penyandang disabilitas mental, peraturan khusus
diluar KUHP memang belum mengatur sehingga yang berkalu adalah ketentuan Pasal 44 Ayat (1) KUHP mengenai tidak mampu
bertanggungjawab, dalam menerapkan pasal ini hakim musti berdasarkan alat bukti yang sah yaitu keterangan ahli, sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, peraturan khusus diluar KUHP pada dasarnya
hanya memberikan perlindungan khusus kepada pelaku yang merupakan penyandang disabilitas secara umum, Undang-undang
Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang mustinya memberikan perlindungan khusus bagi penyandang disabilitas
nyatanya tidak mengatur mengenai perlindunagn bagi Penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum.
50
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana
Pencabulan (pasal 82
UUPA)
Pelaku Penyandang
Disabilitas Mental
Pertanggungjawaban
pidana
UU No 4 Tentang
Penyandang Cacat
Peradilan pidana anak
UU No 3 tahun 1997
Putusan Nomor
50/Pid.Sus/2013/Pn.Ska
Keterangan :
Setiap orang dapat menjadi korban maupun menjadi pelaku
kejahatan pencabulan, baik itu orang dewasa,anak di bawah umur,bahkan
penyandang disabilitas. Dalam hal ini peneliti ingin mengkaji tindak
pidana pencabulan terhadap anak dibawah umur, yang dilakukan oleh
seorang penyandang disabilitas mental.Pelaku yang mengidap disabilitas
mental dilindungi dan diakui haknya dihadapan hukum melalui undangundang nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang cacat, karena
penyandang disabilitas diakui sebagai subyek hukum, dimana subyek
hukum merupakan pendukung hak dan kewajiban yang konsekuensinya
dapat menuntut atau dituntut subyek hukum lain di muka pengadilan.
Pada dasarnya pelaku tindak pidana dapat dipidana apabila tindak
pidana yang dilakukan memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan
51
dalam undang-undang, namun hanya orang yang dianggap mampu
bertanggungjawab
saja
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
atas
perbuatannya. Dalam hal ini peneliti tertarik untuk menganalisis
pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas mental sebagai pelaku
tindak pidana pencabulan dalam kasus tindak pidana anak pada putusan
Pengadilan Negeri Surakarta Nomor 50/Pid.sus/2013/Pn.Ska. Kasus ini
terjadi pada tahun 2011 dan baru diajukan ke pengadilan pada tahun 2013
meskipun Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak sudah disahkan pada Tahun 2012 tetapi
berdasarkan ketentuan Pasal 108 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, undang-undang ini mulai berlaku
setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, sehingga
putusan ini masih menggunakan Undang-undang No 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak.
Download