1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara penganut paham demokrasi selalu
mengupayakan pelaksanaan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sila keempat Pancasila, yaitu
“Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan”. Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) Undangundang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga
memberikan penekanan Indonesia sebagai negara demokrasi, yaitu
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undangundang Dasar”. Kedua landasan tersebut secara implisit menghendaki
bahwa kekusasaan tertinggi negara berada di tangan rakyat. Menurut
Muhammad Hatta sebagaimana dikutip oleh Mahmuzar (2010: 23), bahwa
pemerintahan demokrasi merupakan pemerintahan yang paling dekat
dengan fitrah hati nurani rakyat. Manusia diciptakan dan dilahirkan dalam
keadaan bebas, sehingga agar kebebasan yang dimiliki manusia dapat
dijalankan dengan baik, maka rakyat harus diperintah oleh rakyat.
Kebebasan yang dimaksud disini bukanlah kebebasan yang tanpa batas,
namun kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab.
Pelaksanaan
kedaulatan
rakyat,
biasa
diidentikkan
dengan
penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Hal ini dengan pertimbangan
bahwa melalui proses pemilu, seluruh rakyat dapat ikut berpartisipasi
dalam menentukan pemimpin dengan harapan demi kemajuan bangsa dan
1
2
negaranya. Pemilu sebagai bentuk demokratisasi di Indonesia semakin
nyata dengan adanya amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang memuat ketentuan tentang pemilihan umum. Hal ini sesuai
dengan bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sebagaimana telah disebutkan di atas, sebagai salah satu sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Dalam suatu negara demokrasi, pemilihan umum merupakan
sarana
untuk
memilih
wakil-wakil
rakyat
yang
akan
mewakili
kepentingannya. Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia diagendakan
setiap 5 tahun sekali sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terutama Pasal 7.
Setiap orang memiliki hak yang sama untuk ikut berpartisipasi
dalam pemerintahan, dimana hak tersebut merupakan bagian dari hak asasi
manusia sebagaimana diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dan secara lebih rinci dijabarkan dalam Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia
merupakan hak-hak dasar yang melekat dalam diri setiap orang sebagai
anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dilindungi dan
dijunjung tinggi baik oleh sesama manusia, pemerintah maupun oleh
negara. Bahkan, keberadaan hak asasi manusia ini bersifat melekat dan
tidak dapat dicabut maupun dikurangi dari diri setiap orang oleh siapa pun
dan kapanpun.
3
Setiap warga negara mendapat jaminan untuk diperlakukan sama
oleh negara. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya”. Lebih lanjut Pasal 28I ayat (2) berbunyi, “Setiap orang bebas
dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap orang memiliki
kedudukan yang sama dan harus diperlakukan secara sama oleh negara.
Selanjutnya Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia juga memuat ketentuan tentang hak setiap
orang untuk mendapatkan perlindungan hak asasi dan kebebasan dasarnya
tanpa adanya diskriminasi.
Indonesia sebagai negara peratifikasi Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and
Political Rights) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), telah terikat secara
hukum dan negara mempunyai suatu tanggung jawab (kewajiban) dalam
hal perlindungan (to protect), pemajuan (to promote), penegakan dan
pemenuhan (to fullfil), serta penghormatan (to respect) terhadap hak-hak
asasi manusia.
4
Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
mengatur tentang hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam
penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta hak akses
berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di
negaranya. Pasal tersebut memuat ketentuan tentang hak untuk memilih
dan dipilih, termasuk hak memilih dalam pelaksanaan pemilihan umum.
Hak pilih dimiliki oleh setiap warga negara yang telah memenuhi
persyaratan.
Dalam sistem demokrasi, ikut serta dalam pemilihan umum
merupakan hak politik bagi setiap warga negara. Hak ini menyangkut hak
untuk menyelidiki/menjajaki alternatif yang ada dan hak untuk
berpartisipasi dalam memutuskan siapa yang akan dipilih (Robert A. Dahl,
2001: 68).
Tidak semua manusia diciptakan secara sempurna, ada sebagian
dari saudara kita yang harus hidup dengan berbagai kekurangan, salah
satunya adalah penyandang disabilitas (difabel/different ability), yaitu
setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan
aktivitas selayaknya. Kondisi ini tidak boleh menjadi penyebab hilangnya
harkat dan martabat penyandang disabilitas, atau menjadi alasan untuk
tidak mensejajarkan mereka dengan warga lain dalam segala bidang
kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya (Zainul Daulay, 2013:
1).
5
Menjadi seorang penyandang disabilitas bukanlah sebuah pilihan
hidup, tetapi hal tersebut merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa.
Oleh karena itu, terhadap penyandang disabilitas tetaplah memiliki
kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama tanpa adanya
diskriminasi. Pemberdayaan dan peningkatan peran para penyandang
disabilitas dalam pembangunan nasional perlu mendapat perhatian dan
pendayagunaan yang khusus.
Kelainan fisik dan/atau mental mengakibatkan gangguan pada
fungsi tubuhnya, sehingga mereka kesulitan dalam melakukan aktivitas,
termasuk
kesulitan
berpartisipasi
dalam
pembangunan
nasional.
Penyandang disabilitas juga banyak mengalami hambatan dalam mobilitas
fisik, termasuk untuk mengakses informasi yang mempunyai konsekuensi
lanjut pada terhambatnya penyandang disabilitas untuk terlibat dan
berpartisispasi dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
Dalam kenyataannya, penyandang disabilitas tetap merupakan
kelompok yang paling rentan dan termarjinalkan dalam masyarakat.
Mereka belum mendapatkan hak untuk memperoleh kesempatan dan
perlakuan agar bisa bertindak dan beraktivitas sesuai dengan kondisi
mereka (Zainul Daulay, 2013: 1). Salah satu kesulitan yang dihadapinya
dalam bidang politik adalah ketika pelaksanaan pemilihan umum dalam
menggunakan hak pilihnya.
Masih terjadi pengabaian hak politik penyandang disabilitas dalam
Pemilu, antara lain (Muladi, 2009: 261):
6
a.
b.
c.
d.
e.
f.
Hak untuk didaftar guna memberikan suara;
Hak atas akses ke TPS;
Hak atas pemberian suara yang rahasia;
Hak untuk dipilih menjadi anggota Legislatif;
Hak atas informasi termasuk informasi tentang pemilu;
Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam pemilu.
Pada dasarnya dalam berdemokrasi di Indonesia masih terdapat tiga
masalah pokok dalam meninjau peran serta penyandang disabilitas pada
pemilihan umum (pemilu) yaitu (Utami Dewi: 15):
a. Keterbatasan fasilitas dalam pemungutan suara bagi penyandang
disabilitas. Dalam hal ini beberapa masalah dalam memfasilitasi
pemungutan suara bagi penyandang disabilitas yaitu tempat pemungutan
suara yang terlalu tinggi hingga tidak cukup memudahkan para tunadaksa
yang menggunakan kursi roda dan tidak adanya kertas suara dalam huruf
Braille bagi penyandang disabilitas netra.
b. Mobilisasi dan manipulasi yang dialami penyandang disabilitas agar
mencoblos partai tertentu. Hal ini berdasar anggapan bahwa penyandang
disabilitas tidak cukup punya kecerdasan dalam berpolitik dan mempunyai
standar intelektual yang cukup rendah. Padahal selain penyandang
disabilitas grahita, penyandang disabilitas tidaklah rusak sistem kerja otak
melainkan hanya sensorik dan cacat anggota tubuh.
c. Tidak adanya garansi perubahan nasib penyanang disabilitas dalam pemilu.
Hal tersebut mendorong penyandang disabilitas untuk membuat kontrak
politik terhadap beberapa caleg karena membutuhkan pengetahuan tentang
aksesibilitas
penyandang
disabilitas
dan
terperhatikannya hak hak penyandang disabilitas.
jaminan
bahwa
akan
7
Berdasakan data yang diperoleh para relawan yang diterjunkan
oleh Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI), bahwa
Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan sengaja mengabaikan hak
penyandang disabilitas untuk mendapatkan aksesibilitas dalam Pemilu
2004. Dari 13.609 TPS, didapatkan fakta bahwa 6.498 TPS (48%) tidak
menyediakan surat suara khusus bagi pemilih tunanetra, 2.747 (20,1%)
bilik suara sulit diakses pemilih penyandang disabilitas, 1.973 (14%) kotak
suara tidak mudah dicapai bagi pemilih penyandang disabilitas terutama
yang berkursi roda, dan 1.383 TPS (10,4%) penyandang disabilitas tidak
bisa memilih sendiri pendampingnya untuk mencoblos (Muladi, 2009:
261-262).
Tidak tersedianya aksesibilitas pemilu bagi penyandang disabilitas
menyebabkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya dan lebih
memilih menjadi golongan putih (golput). Angka golput mencapai 39,1
persen dari total 171 juta hak pilih di Indonesia. Angka golput pada
Pemilu 2009 merupakan yang tertinggi dibanding pemilu sebelumnya,
yaitu 10,21% pada Pemilu 1999 dan 23,34% pada Pemilu 2004 (diakses
dari http://www.klik-galamedia.com/kaum-difabel-dan-lansia-harus-dapatperhatian).
Penyandang disabilitas terhambat dalam menggunakan hak
pilihnya karena banyak Tempat Pemungutan Suara (TPS) belum
menyediakan akses yang memadai yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal
ini dibuktikan dengan fakta bahwa penyandang disabilitas kehilangan hak
8
pilihnya pada Pemilu 2009, dengan alasan bahwa KPU tidak dapat
menyediakan alat bantu karena tidak ada anggaran (Tribun News, 2013).
Hal tersebut tentu menjadi perhatian khusus karena negara telah
menghilangkan hak penyandang disabilitas untuk memilih akibat tidak
tersedianya akses sarana dan prasarana yang memadai dan sesuai dengan
kebutuhan
penyandang
disabilitas.
Padahal
mendapatkan
fasilitas/kemudahan dalam menggunakan hak pilihnya dengan baik
merupakan hak setiap pemilih.
Ketentuan jaminan tersebut sudah diatur dalam Pasal 28H ayat (2)
yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan”. Namun pemerintah belum mampu
mewujudkan ketentuan tersebut dalam mencapai persamaan dan keadilan
hak, kewajiban, peran maupun kedudukan.
Hampir setiap wilayah di Indonesia terdapat kelompok penyandang
disabilitas, tidak terkecuali di Yogyakarta. Berdasarkan data dari Badan
Pusat Statistik (BPS) Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2012
terdapat 22.298 orang yang menyandang disabilitas. Jumlah penyandang
disabilitas di Yogyakarta semakin meningkat signifikan khususnya pasca
bencana gempa bumi pada bulan Mei 2006.
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengeluarkan
kebijakan yang mengatur tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak
penyandang disabilitas melalui Peraturan Daerah Daerah Istimewa
9
Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012, termasuk memuat ketentuan tentang
kewajiban untuk memberikan kemudahan akses bagi penyandang
disabilitas melalui penyediaan sarana dan prasarana sesuai dengan
kebutuhan penyandang disabilitas. Meskipun demikian, beberapa sarana
umum di Daerah Istimewa Yogyakarta belum mampu mempermudah
gerak penyandang disabilitas, bahkan dalam pelaksanaannya masih saja
menyulitkan mereka.
Berikut ini disajikan tabel jumlah penyandang disabilitas di 5
(lima) kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta:
Tabel 1. Jumlah Penderita Cacat menurut Jenisnya dan Kabupaten/Kota di
D.I Yogyakarta Tahun 2012
Kabupaten/
kota
Netra
Bisu/
tuli
Cacat
tubuh
Cacat
mental
Penyakit
kronis
Ganda
Jumlah
Kulonprogo
582
236
210
4.010
Bantul
627
476
1.904
1.582
167
333
5.082
Gn.Kidul
967
800
2.531
1.676
386
341
6.701
Sleman
266
685
1.682
2.098
306
271
5.308
Yogyakarta
126
121
365
339
177
62
1.190
403
1.290
1.289
Sumber: Dinas Sosial D.I Yogyakarta yang dibukukan oleh Badan Pusat
Statistik D.I Yogyakarta
Sleman
merupakan
salah
kabupaten
di
Daerah
Istimewa
Yogyakarta dengan jumlah penyandang disabilitas yang cukup tinggi.
Jumlah DPT penyandang disabilitas pada Pemilihan Umum Legislatif
2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut:
10
Tabel 2. Jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) Penyandang Disabilitas pada
Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta
Kabupaten/Kota
Kulon Progo
Jumlah DPT
Penyandang Disabilitas
87
Jenis Kedisabilitasan
Grahita ringan, netra,
Bantul
555
rungu/wicara,
Gunungkidul
673
dan ganda
Sleman
468
Kota Yogyakarta
260
daksa
Sumber: Database Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa
Yogyakarta dan KPU Kabupaten Sleman
Melihat tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah penyandang
disabilitas di kabupaten-kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta
tidaklah sedikit. Oleh karena itu, hak politik penyandang disabilitas harus
dipenuhi. Sekecil apapun suara yang ada, akan sangat berpengaruh
terhadap hasil pemilu dan berpengaruh pada kebijakan-kebijakan yang
dikeluarkan oleh pihak pemerintah.
Ukuran demokrasi yang paling jelas adalah hak pilih universal,
yaitu hak setiap warga negara untuk memilih (Carlton Climer Rodee, dkk,
2008: 218). Hak pilih universal tersebut mengandung arti bahwa setiap
warga negara memiliki hak pilih, hak untuk memilih dalam pemilihan
umum tanpa memandang kekurangan dari dalam diri setiap orang dan
tanpa diskriminasi. Di dalam hak memilih tersebut juga terdapat hak untuk
dipilih sebagai wakil rakyat (hak pilih pasif). Di dalam penelitian ini hak
setiap warga negara termasuk penyandang disabilitas untuk dipilih tidak
11
diikutsertakan, karena di Kabupaten Sleman sulit untuk menemukan data
yang berkaitan dengan calon legislatif penyandang disabilitas.
Pasal 73 ayat (2) huruf c Peraturan Daerah DIY Nomor 4 Tahun
2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang
Disabilitas memberikan kesempatan yang sama kepada penyandang
disabilitas untuk dipilih atau memilih pimpinan dalam suatu organisasi.
Organisasi dalam hal ini dapat disebutkan sebagai organisasi negara yang
diwujudkan dengan pelaksanaan pemilihan umum. Selanjutnya Pasal 75
huruf b memuat ketentuan bahwa Pemerintah Daerah memfasilitasi
penyandang disabilitas untuk mendapatkan informasi, teknis dan/atau
asistensi tentang penyelenggaraan pemilihan umum yang sesuai dengan
jenis kebutuhan. Lebih lanjut lagi Pasal 77 juga berisi ketentuan bahwa
Pemerintah Daerah memfasilitasi kegiatan peningkatan kemampuan dan
partisipasi penyandang disabilitas dalam pengambilan keputusan di bidang
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Penggunaan hak pilih sebagai salah satu wujud partisipasi
masyarakat dalam pemilihan umum. Menurut Carlton Climer Rodee, dkk
(2008: 219), dalam rangka pemberian ekspresi yang bermakna bagi hak
pilih universal dalam konteks pemerintahan perwakilan, warga negara
harus mampu ikut serta dalam pemilihan kompetitif. Bagi penyandang
disabilitas, tentu pelaksanaan pemilihan umum tersebut memunculkan
kesulitan dan hambatan tersendiri karena terganggunya fungsi organ
tubuhnya.
12
Pada Pemilu Legislatif tahun 2004 penyandang disabilitas DIY
kehilangan hak pilihnya akibat tidak tersedianya akses pemilu yang sesuai
dengan kebutuhannya. Hal ini dikarenakan surat suara yang hanya dalam
bentuk cetakan belum mampu diakses oleh penyandang tuna netra. KPU
DIY belum mampu menerbitkan surat suara dengan huruf Braille dengan
alasan
bahwa
perbedaan
daerah
pemilihan
akan
menyebabkan
kompleksitas dan bervariasinya surat suara (Mohammad Najib, 2005: 7).
Berdasarkan
wawancara
dengan
Sekretaris
PPCS,
didapat
informasi bahwa pada Pemilu Legislatif 2004 dan 2009 beberapa rekannya
yang juga menyandang disabilitas tidak dapat menggunakan hak pilihnya
dikarenakan kondisi mereka yang memang tidak dapat melaksanakan
pencoblosan di TPS. Hal ini dikarenakan pihak KPU sebagai
penyelenggara pemilu tidak bertekad untuk “menjemput bola” agar
mereka yang kemampuannya terbatas tetap dapat terpenuhi hak pilihnya.
Selain itu berdasarkan pengalaman dari Sekretaris PPCS tersebut, ketika
pelaksanaan pemilu di TPS-TPS belum ada rampa (bidang miring) yang
dapat mempermudah gerak penyandang disabilitas berkursi roda untuk
menggunakan hak pilihnya. Kotak suara yang ada pun masih terlalu tinggi
sehingga para penyandang disabilitas tetap merasa kesulitan dan tidak bisa
mandiri dalam memasukkan surat suara yang telah dicoblosnya.
Fakta tersebut didukung dengan bukti bahwa dalam Pemilu
Legislatif 2009 di 10 TPS Kabupaten Sleman yang terdapat pemilih
penyandang disabilitas tidak satupun TPS yang menyediakan template
13
untuk penyandang tunanetra. Pada saat memilih penyandang disabilitas
dilarang membawa saksi sendiri dari keluarga yang dipercayanya,
sehingga hanya didampingi salah seorang petugas. Bahkan, penyandang
disabilitas oleh petugas diminta menyontreng di luar bilik pemilih dan
disaksikan oleh penduduk yang akan mencontreng (Suara Merdeka, 2009).
Hal ini telah melanggar asas rahasia dalam pemilu, karena kerahasiaan
pemilih sudah tidak terjamin.
Kesempatan untuk mendapatkan kesamaan kedudukan, hak,
kewajiban, dan peran bagi penyandang disabilitas hanya dapat diwujudkan
jika tersedia aksesibilitas, yaitu suatu kemudahan bagi penyandang
disabilitas untuk mencapai kesamaan kesempatan dalam memperoleh
kesamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sehingga perlu diadakan upaya
penyediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas (Penjelasan Umum
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat).
Pasal 29 Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011
tentang
Pengesahan
Konvensi
Hak-hak
Penyandang
Disabilitas
memberikan jaminan kepada penyandang disabilitas agar hak-hak
politiknya terpenuhi dan dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh
dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan:
a. Memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan
bersifat layak, dapat diakses serta mudah dipahami dan digunakan;
b. Melindungi hak penyandang disabilitas untuk memilih secara
rahasia dalam pemilihan umum dan referendum publik tanpa
intimidasi dan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, untuk
memegang jabatan serta melaksanakan seluruh fungsi publik dalam
14
semua tingkat pemerintahan, dengan memanfaatkan penggunaan
teknologi baru yang dapat membantu pelaksanaan tugas;
c. Menjamin kebebasan berekspresi dan keinginan penyandang
disabilitas sebagai pemilih, bilamana diperlukan atas permintaan
mereka, mengizinkan bantuan dalam pemilihan oleh seseorang
yang ditentukan mereka sendiri.
Indonesia sebagai negara peratifikasi Konvensi Penyandang
Disabilitas harus menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas
sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi tersebut. Tidak tersedianya
fasilitas dan prosesdur yang bersifat layak dan mudah dipahami serta
digunakan oleh penyandang disabilitas tentu bertentangan dengan prinsip
sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Penyandang Disabilitas. Fakta
bahwa pemilih penyandang disabilitas tidak dapat membawa bantuan saksi
yang dipilihnya, namun disaksikan oleh petugas TPS juga telah
mengaburkan jaminan kebebasan berekspresi dan keinginan penyandang
disabilitas sebagai pemilih.
Penyediaan
sarana
prasarana
dengan
mempertimbangkan
kebutuhan penyandang disabilitas di atas, terutama penyediaan fasilitas
yang menunjang terselenggaranya pemenuhan hak pilih bagi penyandang
disabilitas, termasuk dalam pelayanan publik sebagaimana pemerintah
telah mengeluarkan dan mengimplementasikan Undang-undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-undang tersebut bertujuan
untuk memberikan pengaturan dan menjamin terselenggaranya pelayanan
publik secara baik bagi seluruh warga negara termasuk penduduk yang
berkebutuhan khusus yaitu penyandang disabilitas.
15
Lampiran Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik memberikan penegasan bahwa penyelenggaraan
pelayanan wajib mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana yang
diperlukan serta memberikan akses khusus berupa kemudahan pelayanan
bagi penyandang disabilitas. Kelainan fisik dan/atau mental pada
penyandang disabilitas dapat menghambat mobilitasnya, sehingga bagi
penyandang disabilitas diperlukan penyediaan sarana prasarana khusus
sesuai kebutuhan penyandang disabilitas sesuai jenis kedisabilitasan yang
disandangnya.
Pasal 28I UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi,
“Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Hal tersebut
memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk menjamin
pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Lebih lanjut, Pasal 8 Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat ketentuan
bahwa
pemerintah
memiliki
tanggung
jawab
dalam
menjamin
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia.
Dalam hal ini pemerintah juga memiliki hak positif untuk memenuhi
kebutuhan warganegaranya, termasuk pemenuhan akses pemilu bagi
penyandang disabilitas.
Jika dikaitkan dengan Pendidikan Kewarganegaraan, pemberian
aksesibilitas pemilihan umum dalam rangka pemenuhan hak pilih aktif
16
(untuk memilih) bagi warganegara, terutama bagi penyandang disabilitas
merupakan implementasi hak-hak warganegara dalam menggunakan hak
pilihnya. Hal ini dapat membina dan mengembangkan hak-hak warga
negara agar menjadi warganegara yang cerdas, aktif, kreatif, kritis, dan
bertanggung jawab.
Tidak terpenuhinya hak pilih para penyandang disabilitas akibat
tidak tersedianya fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan dan ramah
terhadap
penyandang
disabilitas
karena
tidak
adanya
anggaran
menunjukkan bahwa kinerja KPU sebagai penyelenggara pemilu belum
optimal dalam memberikan akses hak pilih. Hal ini merupakan tanggung
jawab pemerintah untuk melakukan pemenuhan hak asasi manusia dan
Komisi
Pemilihan
Umum
(KPU)
sebagai
lembaga
independen
penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Aksesibilitas Pemilu Legislatif 2014 bagi Penyandang
Disabilitas di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa
masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Masalah-masalah tersebut
dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Keberadaan penyandang disabilitas dalam masyarakat masih kurang
diperhatikan, sehingga pemenuhan hak, kewajiban dan peran
penyandang disabilitas kurang maksimal.
17
2. Meskipun
pemerintah
sudah
mengeluarkan
kebijakan
tentang
perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, dalam
pelaksanaannya kebutuhan penyandang disabilitas belum terpenuhi
secara maksimal.
3. Penyediaan sarana dan prasarana umum belum memadai, karena
belum
mampu
memenuhi
kebutuhan
sesuai
dengan
kondisi
penyandang disabilitas.
4. Dalam proses pemilihan umum, penyandang disabilitas harus
kehilangan hak pilihnya karena pihak KPU sebagai penyelenggara
pemilu belum mampu menyediakan fasilitas yang sesuai dengan
kebutuhan penyandang disabilitas di TPS-TPS.
5. Penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya masih
mengalami kesulitan karena fasilitas yang ada di TPS belum mampu
diakses secara mandiri oleh penyandang disabilitas.
6. Tidak tersedianya fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan dan ramah
terhadap para penyandang disabilitas dalam pemillihan umum dengan
alasan tidak adanya anggaran menunjukkan bahwa masih rendahnya
pelayanan publik terhadap masyarakat, khususnya bagi penyandang
disabilitas.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi
masalah pada:
18
1. Dalam proses pemilihan umum, penyandang disabilitas harus
kehilangan hak pilihnya karena pihak KPU sebagai penyelenggara
pemilu belum mampu menyediakan sarana yang sesuai dengan
kebutuhan penyandang disabilitas di TPS-TPS.
2. Penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya masih
mengalami kesulitan karena fasilitas yang ada di TPS belum mampu
diakses secara mandiri oleh penyandang disabilitas.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dari
penelitin ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aksesibilitas Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi
penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman?
2. Bagaimana pola partisipasi politik penyandang disabilitas pada
Pemilihan Umum Legislatif 2014?
3. Apa saja hambatan yang dihadapi oleh Komisi Pemilihan Umum
Kabupaten Sleman dan penyandang disabilitas dalam Pemilihan
Umum Legislatif 2014?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah untuk:
1. Mendeskripsikan aksesibilitas Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi
penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman.
19
2. Mendeskripsikan
harapan
dan
partisipasi
politik
penyandang
disabilitas pada Pemilihan Umum Legislatif 2014.
3. Mendeskripsikan hambatan yang dihadapi oleh Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Sleman dan penyandang disabilitas dalam
Pemilihan Umum Legislatif 2014.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritik
Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dan
informasi tentang akses pemilu bagi penyandang disabilitas di
Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi peneliti
Melalui penelitian ini, peneliti berharap mampu mengetahui
bagaimana akses pemilu bagi penyandang disabilitas di Kabupaten
Sleman, sehingga di dalam masyarakat dapat mengaplikasikannya
untuk ikut berpartisipasi dalam melindungi hak-hak penyandang
disabilitas. Selain itu, peneliti sebagai calon guru Pendidikan
Kewarganegaraan yang nantinya akan terjun ke dunia pendidikan,
diharapkan dapat mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hakhak penyandang disabilitas dalam dunia pendidikan.
b. Bagi Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan
dan koreksi pihak Pemerintah Kabupaten Sleman termasuk KPU
20
Kabupaten
Sleman
untuk
terus
berupaya
mengoptimalkan
perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas
melalui penyediaan sarana umum yang bersahabat sesuai dengan
kebutuhan dan kondisi penyandang disabilitas. Bagi pihak KPU
sebagai penyelenggara pemilu diharapkan terus mengupayakan
penyediaan fasilitas dalam proses pelaksanaan pemilihan umum
terutama di TPS-TPS agar hak, kewajiban dan peran penyandang
disabilitas sebagai anggota masyarakat dapat terpenuhi secara
optimal.
c. Bagi masyarakat umum
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada
masyarakat umum mengenai akses pemilu bagi penyandang
disabilitas di Kabupaten Sleman, sehingga masyarakat dapat
berperan dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang
disabilitas.
d. Bagi mahasiswa
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
pelaksanaan akses pemilu bagi penyandang disabilitas di
Kabupaten Sleman, serta dapat dijadikan sebagai salah satu
referensi bagi mahasiswa dalam proses belajar tentang pemenuhan
hak-hak asasi manusia. Penelitian ini juga diharapkan mampu
memberikan informasi kepada mahasiswa Jurusan Pendidikan
Kewarganegaraan dan Hukum bahwa pelayanan publik termasuk
21
dalam hal pemberian aksesibilitas pemilu bagi penyandang
disabilitas dapat membina dan mengembangkan peranan/role anak
sebagai warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya.
G. Batasan Pengertian
1. Aksesibilitas
Pengertian aksesibilitas menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun
1997 tentang Penyandang Cacat adalah kemudahan yang disediakan
bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dalam penelitian ini,
yang dimaksud aksesbilitas adalah penyediaan fasilitas maupun
prosedur untuk memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas
dalam menggunakan hak pilihnya sehingga dapat melaksanakan
haknya secara mandiri.
2. Penyandang Disabilitas
Pengertian penyandang disabilitas dalam penelitian ini merujuk pada
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat
adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental,
yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan secara selayaknya. Penyandang disabilitas
dalam penelitian ini adalah penyandang disabilitas yang telah
mempunyai hak pilih, yaitu yang pada saat diselenggarakannya
Pemilihan Umum Legislatif pada 9 April 2014 telah genap berumur 17
(tujuh belas) tahun atau telah kawin, namun memiliki kesulitan dalam
22
menggunakan hak pilihnya karena keterbatan fisik dan/atau mentalnya,
yaitu penyandang tuna netra, tuna wicara/rungu, tuna daksa dan tuna
ganda.
3. Pemilihan Umum Legislatif
Pemilihan Umum Legislatif dalam penelitian ini adalah Pemilihan
Umum Legislatif pada tanggal 9 April 2014 untuk memilih anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
4. Hak pilih
Hak pilih merupakan hak setiap warga negara untuk dipilih maupun
memilih pemimpin. Hak pilih dalam penelitian ini adalah hak pilih
aktif untuk memilih pemimpin dalam Pemilihan Umum Legislatif
2014. Penentuan hak aktif ini dengan pertimbangan bahwa di
Kabupaten Sleman cukup sulit menemukan data yang berkaitan
dengan hak pasif bagi penyandang disabilitas.
Berdasarkan batasan pengertian di atas, maka yang dimaksud
dengan judul “Aksesibilitas Pemilu Legislatif
2014 bagi Penyandang
Disabilitas di Kabupaten Sleman, Yogyakarta” dalam penelitian ini adalah
bagaimana pemenuhan hak pilih aktif atau pemberian kemudahan bagi
penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman oleh Komisi Pemilihan
Umum Kabupaten Sleman sebagai lembaga penyelenggara Pemilihan
Umum Legislatif tahun 2014 dalam rangka pelaksanaan pelayanan publik
demi mewujudkan persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran bagi
warga negara Indonesia.
Download