BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara penganut paham demokrasi selalu mengupayakan pelaksanaan kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam sila keempat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Selanjutnya Pasal 1 ayat (2) Undangundang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memberikan penekanan Indonesia sebagai negara demokrasi, yaitu “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undangundang Dasar”. Kedua landasan tersebut secara implisit menghendaki bahwa kekusasaan tertinggi negara berada di tangan rakyat. Menurut Muhammad Hatta sebagaimana dikutip oleh Mahmuzar (2010: 23), bahwa pemerintahan demokrasi merupakan pemerintahan yang paling dekat dengan fitrah hati nurani rakyat. Manusia diciptakan dan dilahirkan dalam keadaan bebas, sehingga agar kebebasan yang dimiliki manusia dapat dijalankan dengan baik, maka rakyat harus diperintah oleh rakyat. Kebebasan yang dimaksud disini bukanlah kebebasan yang tanpa batas, namun kebebasan yang disertai dengan tanggung jawab. Pelaksanaan kedaulatan rakyat, biasa diidentikkan dengan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu). Hal ini dengan pertimbangan bahwa melalui proses pemilu, seluruh rakyat dapat ikut berpartisipasi dalam menentukan pemimpin dengan harapan demi kemajuan bangsa dan 1 2 negaranya. Pemilu sebagai bentuk demokratisasi di Indonesia semakin nyata dengan adanya amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat ketentuan tentang pemilihan umum. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah disebutkan di atas, sebagai salah satu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam suatu negara demokrasi, pemilihan umum merupakan sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan mewakili kepentingannya. Pelaksanaan pemilihan umum di Indonesia diagendakan setiap 5 tahun sekali sebagaimana diamanatkan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terutama Pasal 7. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan, dimana hak tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan secara lebih rinci dijabarkan dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak asasi manusia merupakan hak-hak dasar yang melekat dalam diri setiap orang sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus dihormati, dilindungi dan dijunjung tinggi baik oleh sesama manusia, pemerintah maupun oleh negara. Bahkan, keberadaan hak asasi manusia ini bersifat melekat dan tidak dapat dicabut maupun dikurangi dari diri setiap orang oleh siapa pun dan kapanpun. 3 Setiap warga negara mendapat jaminan untuk diperlakukan sama oleh negara. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Lebih lanjut Pasal 28I ayat (2) berbunyi, “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama dan harus diperlakukan secara sama oleh negara. Selanjutnya Pasal 3 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat ketentuan tentang hak setiap orang untuk mendapatkan perlindungan hak asasi dan kebebasan dasarnya tanpa adanya diskriminasi. Indonesia sebagai negara peratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik), telah terikat secara hukum dan negara mempunyai suatu tanggung jawab (kewajiban) dalam hal perlindungan (to protect), pemajuan (to promote), penegakan dan pemenuhan (to fullfil), serta penghormatan (to respect) terhadap hak-hak asasi manusia. 4 Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik mengatur tentang hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta hak akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya. Pasal tersebut memuat ketentuan tentang hak untuk memilih dan dipilih, termasuk hak memilih dalam pelaksanaan pemilihan umum. Hak pilih dimiliki oleh setiap warga negara yang telah memenuhi persyaratan. Dalam sistem demokrasi, ikut serta dalam pemilihan umum merupakan hak politik bagi setiap warga negara. Hak ini menyangkut hak untuk menyelidiki/menjajaki alternatif yang ada dan hak untuk berpartisipasi dalam memutuskan siapa yang akan dipilih (Robert A. Dahl, 2001: 68). Tidak semua manusia diciptakan secara sempurna, ada sebagian dari saudara kita yang harus hidup dengan berbagai kekurangan, salah satunya adalah penyandang disabilitas (difabel/different ability), yaitu setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan aktivitas selayaknya. Kondisi ini tidak boleh menjadi penyebab hilangnya harkat dan martabat penyandang disabilitas, atau menjadi alasan untuk tidak mensejajarkan mereka dengan warga lain dalam segala bidang kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial dan budaya (Zainul Daulay, 2013: 1). 5 Menjadi seorang penyandang disabilitas bukanlah sebuah pilihan hidup, tetapi hal tersebut merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, terhadap penyandang disabilitas tetaplah memiliki kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama tanpa adanya diskriminasi. Pemberdayaan dan peningkatan peran para penyandang disabilitas dalam pembangunan nasional perlu mendapat perhatian dan pendayagunaan yang khusus. Kelainan fisik dan/atau mental mengakibatkan gangguan pada fungsi tubuhnya, sehingga mereka kesulitan dalam melakukan aktivitas, termasuk kesulitan berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Penyandang disabilitas juga banyak mengalami hambatan dalam mobilitas fisik, termasuk untuk mengakses informasi yang mempunyai konsekuensi lanjut pada terhambatnya penyandang disabilitas untuk terlibat dan berpartisispasi dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Dalam kenyataannya, penyandang disabilitas tetap merupakan kelompok yang paling rentan dan termarjinalkan dalam masyarakat. Mereka belum mendapatkan hak untuk memperoleh kesempatan dan perlakuan agar bisa bertindak dan beraktivitas sesuai dengan kondisi mereka (Zainul Daulay, 2013: 1). Salah satu kesulitan yang dihadapinya dalam bidang politik adalah ketika pelaksanaan pemilihan umum dalam menggunakan hak pilihnya. Masih terjadi pengabaian hak politik penyandang disabilitas dalam Pemilu, antara lain (Muladi, 2009: 261): 6 a. b. c. d. e. f. Hak untuk didaftar guna memberikan suara; Hak atas akses ke TPS; Hak atas pemberian suara yang rahasia; Hak untuk dipilih menjadi anggota Legislatif; Hak atas informasi termasuk informasi tentang pemilu; Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam pemilu. Pada dasarnya dalam berdemokrasi di Indonesia masih terdapat tiga masalah pokok dalam meninjau peran serta penyandang disabilitas pada pemilihan umum (pemilu) yaitu (Utami Dewi: 15): a. Keterbatasan fasilitas dalam pemungutan suara bagi penyandang disabilitas. Dalam hal ini beberapa masalah dalam memfasilitasi pemungutan suara bagi penyandang disabilitas yaitu tempat pemungutan suara yang terlalu tinggi hingga tidak cukup memudahkan para tunadaksa yang menggunakan kursi roda dan tidak adanya kertas suara dalam huruf Braille bagi penyandang disabilitas netra. b. Mobilisasi dan manipulasi yang dialami penyandang disabilitas agar mencoblos partai tertentu. Hal ini berdasar anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak cukup punya kecerdasan dalam berpolitik dan mempunyai standar intelektual yang cukup rendah. Padahal selain penyandang disabilitas grahita, penyandang disabilitas tidaklah rusak sistem kerja otak melainkan hanya sensorik dan cacat anggota tubuh. c. Tidak adanya garansi perubahan nasib penyanang disabilitas dalam pemilu. Hal tersebut mendorong penyandang disabilitas untuk membuat kontrak politik terhadap beberapa caleg karena membutuhkan pengetahuan tentang aksesibilitas penyandang disabilitas dan terperhatikannya hak hak penyandang disabilitas. jaminan bahwa akan 7 Berdasakan data yang diperoleh para relawan yang diterjunkan oleh Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia (JAMPPI), bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan sengaja mengabaikan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan aksesibilitas dalam Pemilu 2004. Dari 13.609 TPS, didapatkan fakta bahwa 6.498 TPS (48%) tidak menyediakan surat suara khusus bagi pemilih tunanetra, 2.747 (20,1%) bilik suara sulit diakses pemilih penyandang disabilitas, 1.973 (14%) kotak suara tidak mudah dicapai bagi pemilih penyandang disabilitas terutama yang berkursi roda, dan 1.383 TPS (10,4%) penyandang disabilitas tidak bisa memilih sendiri pendampingnya untuk mencoblos (Muladi, 2009: 261-262). Tidak tersedianya aksesibilitas pemilu bagi penyandang disabilitas menyebabkan mereka tidak dapat menggunakan hak pilihnya dan lebih memilih menjadi golongan putih (golput). Angka golput mencapai 39,1 persen dari total 171 juta hak pilih di Indonesia. Angka golput pada Pemilu 2009 merupakan yang tertinggi dibanding pemilu sebelumnya, yaitu 10,21% pada Pemilu 1999 dan 23,34% pada Pemilu 2004 (diakses dari http://www.klik-galamedia.com/kaum-difabel-dan-lansia-harus-dapatperhatian). Penyandang disabilitas terhambat dalam menggunakan hak pilihnya karena banyak Tempat Pemungutan Suara (TPS) belum menyediakan akses yang memadai yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa penyandang disabilitas kehilangan hak 8 pilihnya pada Pemilu 2009, dengan alasan bahwa KPU tidak dapat menyediakan alat bantu karena tidak ada anggaran (Tribun News, 2013). Hal tersebut tentu menjadi perhatian khusus karena negara telah menghilangkan hak penyandang disabilitas untuk memilih akibat tidak tersedianya akses sarana dan prasarana yang memadai dan sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Padahal mendapatkan fasilitas/kemudahan dalam menggunakan hak pilihnya dengan baik merupakan hak setiap pemilih. Ketentuan jaminan tersebut sudah diatur dalam Pasal 28H ayat (2) yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Namun pemerintah belum mampu mewujudkan ketentuan tersebut dalam mencapai persamaan dan keadilan hak, kewajiban, peran maupun kedudukan. Hampir setiap wilayah di Indonesia terdapat kelompok penyandang disabilitas, tidak terkecuali di Yogyakarta. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun 2012 terdapat 22.298 orang yang menyandang disabilitas. Jumlah penyandang disabilitas di Yogyakarta semakin meningkat signifikan khususnya pasca bencana gempa bumi pada bulan Mei 2006. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta telah mengeluarkan kebijakan yang mengatur tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas melalui Peraturan Daerah Daerah Istimewa 9 Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012, termasuk memuat ketentuan tentang kewajiban untuk memberikan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas melalui penyediaan sarana dan prasarana sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Meskipun demikian, beberapa sarana umum di Daerah Istimewa Yogyakarta belum mampu mempermudah gerak penyandang disabilitas, bahkan dalam pelaksanaannya masih saja menyulitkan mereka. Berikut ini disajikan tabel jumlah penyandang disabilitas di 5 (lima) kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta: Tabel 1. Jumlah Penderita Cacat menurut Jenisnya dan Kabupaten/Kota di D.I Yogyakarta Tahun 2012 Kabupaten/ kota Netra Bisu/ tuli Cacat tubuh Cacat mental Penyakit kronis Ganda Jumlah Kulonprogo 582 236 210 4.010 Bantul 627 476 1.904 1.582 167 333 5.082 Gn.Kidul 967 800 2.531 1.676 386 341 6.701 Sleman 266 685 1.682 2.098 306 271 5.308 Yogyakarta 126 121 365 339 177 62 1.190 403 1.290 1.289 Sumber: Dinas Sosial D.I Yogyakarta yang dibukukan oleh Badan Pusat Statistik D.I Yogyakarta Sleman merupakan salah kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jumlah penyandang disabilitas yang cukup tinggi. Jumlah DPT penyandang disabilitas pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut: 10 Tabel 2. Jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) Penyandang Disabilitas pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 di Daerah Istimewa Yogyakarta Kabupaten/Kota Kulon Progo Jumlah DPT Penyandang Disabilitas 87 Jenis Kedisabilitasan Grahita ringan, netra, Bantul 555 rungu/wicara, Gunungkidul 673 dan ganda Sleman 468 Kota Yogyakarta 260 daksa Sumber: Database Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Istimewa Yogyakarta dan KPU Kabupaten Sleman Melihat tabel di atas, dapat diketahui bahwa jumlah penyandang disabilitas di kabupaten-kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta tidaklah sedikit. Oleh karena itu, hak politik penyandang disabilitas harus dipenuhi. Sekecil apapun suara yang ada, akan sangat berpengaruh terhadap hasil pemilu dan berpengaruh pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah. Ukuran demokrasi yang paling jelas adalah hak pilih universal, yaitu hak setiap warga negara untuk memilih (Carlton Climer Rodee, dkk, 2008: 218). Hak pilih universal tersebut mengandung arti bahwa setiap warga negara memiliki hak pilih, hak untuk memilih dalam pemilihan umum tanpa memandang kekurangan dari dalam diri setiap orang dan tanpa diskriminasi. Di dalam hak memilih tersebut juga terdapat hak untuk dipilih sebagai wakil rakyat (hak pilih pasif). Di dalam penelitian ini hak setiap warga negara termasuk penyandang disabilitas untuk dipilih tidak 11 diikutsertakan, karena di Kabupaten Sleman sulit untuk menemukan data yang berkaitan dengan calon legislatif penyandang disabilitas. Pasal 73 ayat (2) huruf c Peraturan Daerah DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-hak Penyandang Disabilitas memberikan kesempatan yang sama kepada penyandang disabilitas untuk dipilih atau memilih pimpinan dalam suatu organisasi. Organisasi dalam hal ini dapat disebutkan sebagai organisasi negara yang diwujudkan dengan pelaksanaan pemilihan umum. Selanjutnya Pasal 75 huruf b memuat ketentuan bahwa Pemerintah Daerah memfasilitasi penyandang disabilitas untuk mendapatkan informasi, teknis dan/atau asistensi tentang penyelenggaraan pemilihan umum yang sesuai dengan jenis kebutuhan. Lebih lanjut lagi Pasal 77 juga berisi ketentuan bahwa Pemerintah Daerah memfasilitasi kegiatan peningkatan kemampuan dan partisipasi penyandang disabilitas dalam pengambilan keputusan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Penggunaan hak pilih sebagai salah satu wujud partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum. Menurut Carlton Climer Rodee, dkk (2008: 219), dalam rangka pemberian ekspresi yang bermakna bagi hak pilih universal dalam konteks pemerintahan perwakilan, warga negara harus mampu ikut serta dalam pemilihan kompetitif. Bagi penyandang disabilitas, tentu pelaksanaan pemilihan umum tersebut memunculkan kesulitan dan hambatan tersendiri karena terganggunya fungsi organ tubuhnya. 12 Pada Pemilu Legislatif tahun 2004 penyandang disabilitas DIY kehilangan hak pilihnya akibat tidak tersedianya akses pemilu yang sesuai dengan kebutuhannya. Hal ini dikarenakan surat suara yang hanya dalam bentuk cetakan belum mampu diakses oleh penyandang tuna netra. KPU DIY belum mampu menerbitkan surat suara dengan huruf Braille dengan alasan bahwa perbedaan daerah pemilihan akan menyebabkan kompleksitas dan bervariasinya surat suara (Mohammad Najib, 2005: 7). Berdasarkan wawancara dengan Sekretaris PPCS, didapat informasi bahwa pada Pemilu Legislatif 2004 dan 2009 beberapa rekannya yang juga menyandang disabilitas tidak dapat menggunakan hak pilihnya dikarenakan kondisi mereka yang memang tidak dapat melaksanakan pencoblosan di TPS. Hal ini dikarenakan pihak KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak bertekad untuk “menjemput bola” agar mereka yang kemampuannya terbatas tetap dapat terpenuhi hak pilihnya. Selain itu berdasarkan pengalaman dari Sekretaris PPCS tersebut, ketika pelaksanaan pemilu di TPS-TPS belum ada rampa (bidang miring) yang dapat mempermudah gerak penyandang disabilitas berkursi roda untuk menggunakan hak pilihnya. Kotak suara yang ada pun masih terlalu tinggi sehingga para penyandang disabilitas tetap merasa kesulitan dan tidak bisa mandiri dalam memasukkan surat suara yang telah dicoblosnya. Fakta tersebut didukung dengan bukti bahwa dalam Pemilu Legislatif 2009 di 10 TPS Kabupaten Sleman yang terdapat pemilih penyandang disabilitas tidak satupun TPS yang menyediakan template 13 untuk penyandang tunanetra. Pada saat memilih penyandang disabilitas dilarang membawa saksi sendiri dari keluarga yang dipercayanya, sehingga hanya didampingi salah seorang petugas. Bahkan, penyandang disabilitas oleh petugas diminta menyontreng di luar bilik pemilih dan disaksikan oleh penduduk yang akan mencontreng (Suara Merdeka, 2009). Hal ini telah melanggar asas rahasia dalam pemilu, karena kerahasiaan pemilih sudah tidak terjamin. Kesempatan untuk mendapatkan kesamaan kedudukan, hak, kewajiban, dan peran bagi penyandang disabilitas hanya dapat diwujudkan jika tersedia aksesibilitas, yaitu suatu kemudahan bagi penyandang disabilitas untuk mencapai kesamaan kesempatan dalam memperoleh kesamaan kedudukan, hak, dan kewajiban sehingga perlu diadakan upaya penyediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas (Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat). Pasal 29 Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas memberikan jaminan kepada penyandang disabilitas agar hak-hak politiknya terpenuhi dan dapat berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan: a. Memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan bersifat layak, dapat diakses serta mudah dipahami dan digunakan; b. Melindungi hak penyandang disabilitas untuk memilih secara rahasia dalam pemilihan umum dan referendum publik tanpa intimidasi dan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan, untuk memegang jabatan serta melaksanakan seluruh fungsi publik dalam 14 semua tingkat pemerintahan, dengan memanfaatkan penggunaan teknologi baru yang dapat membantu pelaksanaan tugas; c. Menjamin kebebasan berekspresi dan keinginan penyandang disabilitas sebagai pemilih, bilamana diperlukan atas permintaan mereka, mengizinkan bantuan dalam pemilihan oleh seseorang yang ditentukan mereka sendiri. Indonesia sebagai negara peratifikasi Konvensi Penyandang Disabilitas harus menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi tersebut. Tidak tersedianya fasilitas dan prosesdur yang bersifat layak dan mudah dipahami serta digunakan oleh penyandang disabilitas tentu bertentangan dengan prinsip sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Penyandang Disabilitas. Fakta bahwa pemilih penyandang disabilitas tidak dapat membawa bantuan saksi yang dipilihnya, namun disaksikan oleh petugas TPS juga telah mengaburkan jaminan kebebasan berekspresi dan keinginan penyandang disabilitas sebagai pemilih. Penyediaan sarana prasarana dengan mempertimbangkan kebutuhan penyandang disabilitas di atas, terutama penyediaan fasilitas yang menunjang terselenggaranya pemenuhan hak pilih bagi penyandang disabilitas, termasuk dalam pelayanan publik sebagaimana pemerintah telah mengeluarkan dan mengimplementasikan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Undang-undang tersebut bertujuan untuk memberikan pengaturan dan menjamin terselenggaranya pelayanan publik secara baik bagi seluruh warga negara termasuk penduduk yang berkebutuhan khusus yaitu penyandang disabilitas. 15 Lampiran Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik memberikan penegasan bahwa penyelenggaraan pelayanan wajib mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan serta memberikan akses khusus berupa kemudahan pelayanan bagi penyandang disabilitas. Kelainan fisik dan/atau mental pada penyandang disabilitas dapat menghambat mobilitasnya, sehingga bagi penyandang disabilitas diperlukan penyediaan sarana prasarana khusus sesuai kebutuhan penyandang disabilitas sesuai jenis kedisabilitasan yang disandangnya. Pasal 28I UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi, “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Hal tersebut memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk menjamin pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Lebih lanjut, Pasal 8 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga memuat ketentuan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menjamin perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Dalam hal ini pemerintah juga memiliki hak positif untuk memenuhi kebutuhan warganegaranya, termasuk pemenuhan akses pemilu bagi penyandang disabilitas. Jika dikaitkan dengan Pendidikan Kewarganegaraan, pemberian aksesibilitas pemilihan umum dalam rangka pemenuhan hak pilih aktif 16 (untuk memilih) bagi warganegara, terutama bagi penyandang disabilitas merupakan implementasi hak-hak warganegara dalam menggunakan hak pilihnya. Hal ini dapat membina dan mengembangkan hak-hak warga negara agar menjadi warganegara yang cerdas, aktif, kreatif, kritis, dan bertanggung jawab. Tidak terpenuhinya hak pilih para penyandang disabilitas akibat tidak tersedianya fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan dan ramah terhadap penyandang disabilitas karena tidak adanya anggaran menunjukkan bahwa kinerja KPU sebagai penyelenggara pemilu belum optimal dalam memberikan akses hak pilih. Hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melakukan pemenuhan hak asasi manusia dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga independen penyelenggara Pemilu. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Aksesibilitas Pemilu Legislatif 2014 bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta”. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. Masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Keberadaan penyandang disabilitas dalam masyarakat masih kurang diperhatikan, sehingga pemenuhan hak, kewajiban dan peran penyandang disabilitas kurang maksimal. 17 2. Meskipun pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, dalam pelaksanaannya kebutuhan penyandang disabilitas belum terpenuhi secara maksimal. 3. Penyediaan sarana dan prasarana umum belum memadai, karena belum mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan kondisi penyandang disabilitas. 4. Dalam proses pemilihan umum, penyandang disabilitas harus kehilangan hak pilihnya karena pihak KPU sebagai penyelenggara pemilu belum mampu menyediakan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas di TPS-TPS. 5. Penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya masih mengalami kesulitan karena fasilitas yang ada di TPS belum mampu diakses secara mandiri oleh penyandang disabilitas. 6. Tidak tersedianya fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan dan ramah terhadap para penyandang disabilitas dalam pemillihan umum dengan alasan tidak adanya anggaran menunjukkan bahwa masih rendahnya pelayanan publik terhadap masyarakat, khususnya bagi penyandang disabilitas. C. Pembatasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, peneliti membatasi masalah pada: 18 1. Dalam proses pemilihan umum, penyandang disabilitas harus kehilangan hak pilihnya karena pihak KPU sebagai penyelenggara pemilu belum mampu menyediakan sarana yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas di TPS-TPS. 2. Penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya masih mengalami kesulitan karena fasilitas yang ada di TPS belum mampu diakses secara mandiri oleh penyandang disabilitas. D. Rumusan Masalah Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dari penelitin ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana aksesibilitas Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman? 2. Bagaimana pola partisipasi politik penyandang disabilitas pada Pemilihan Umum Legislatif 2014? 3. Apa saja hambatan yang dihadapi oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sleman dan penyandang disabilitas dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014? E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mendeskripsikan aksesibilitas Pemilihan Umum Legislatif 2014 bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman. 19 2. Mendeskripsikan harapan dan partisipasi politik penyandang disabilitas pada Pemilihan Umum Legislatif 2014. 3. Mendeskripsikan hambatan yang dihadapi oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sleman dan penyandang disabilitas dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritik Melalui penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dan informasi tentang akses pemilu bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti Melalui penelitian ini, peneliti berharap mampu mengetahui bagaimana akses pemilu bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman, sehingga di dalam masyarakat dapat mengaplikasikannya untuk ikut berpartisipasi dalam melindungi hak-hak penyandang disabilitas. Selain itu, peneliti sebagai calon guru Pendidikan Kewarganegaraan yang nantinya akan terjun ke dunia pendidikan, diharapkan dapat mewujudkan perlindungan dan pemenuhan hakhak penyandang disabilitas dalam dunia pendidikan. b. Bagi Pemerintah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan masukan dan koreksi pihak Pemerintah Kabupaten Sleman termasuk KPU 20 Kabupaten Sleman untuk terus berupaya mengoptimalkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas melalui penyediaan sarana umum yang bersahabat sesuai dengan kebutuhan dan kondisi penyandang disabilitas. Bagi pihak KPU sebagai penyelenggara pemilu diharapkan terus mengupayakan penyediaan fasilitas dalam proses pelaksanaan pemilihan umum terutama di TPS-TPS agar hak, kewajiban dan peran penyandang disabilitas sebagai anggota masyarakat dapat terpenuhi secara optimal. c. Bagi masyarakat umum Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat umum mengenai akses pemilu bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman, sehingga masyarakat dapat berperan dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. d. Bagi mahasiswa Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pelaksanaan akses pemilu bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman, serta dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi mahasiswa dalam proses belajar tentang pemenuhan hak-hak asasi manusia. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan informasi kepada mahasiswa Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum bahwa pelayanan publik termasuk 21 dalam hal pemberian aksesibilitas pemilu bagi penyandang disabilitas dapat membina dan mengembangkan peranan/role anak sebagai warga negara yang sadar akan hak dan kewajibannya. G. Batasan Pengertian 1. Aksesibilitas Pengertian aksesibilitas menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dalam penelitian ini, yang dimaksud aksesbilitas adalah penyediaan fasilitas maupun prosedur untuk memberikan kemudahan bagi penyandang disabilitas dalam menggunakan hak pilihnya sehingga dapat melaksanakan haknya secara mandiri. 2. Penyandang Disabilitas Pengertian penyandang disabilitas dalam penelitian ini merujuk pada Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Penyandang disabilitas dalam penelitian ini adalah penyandang disabilitas yang telah mempunyai hak pilih, yaitu yang pada saat diselenggarakannya Pemilihan Umum Legislatif pada 9 April 2014 telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin, namun memiliki kesulitan dalam 22 menggunakan hak pilihnya karena keterbatan fisik dan/atau mentalnya, yaitu penyandang tuna netra, tuna wicara/rungu, tuna daksa dan tuna ganda. 3. Pemilihan Umum Legislatif Pemilihan Umum Legislatif dalam penelitian ini adalah Pemilihan Umum Legislatif pada tanggal 9 April 2014 untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 4. Hak pilih Hak pilih merupakan hak setiap warga negara untuk dipilih maupun memilih pemimpin. Hak pilih dalam penelitian ini adalah hak pilih aktif untuk memilih pemimpin dalam Pemilihan Umum Legislatif 2014. Penentuan hak aktif ini dengan pertimbangan bahwa di Kabupaten Sleman cukup sulit menemukan data yang berkaitan dengan hak pasif bagi penyandang disabilitas. Berdasarkan batasan pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan judul “Aksesibilitas Pemilu Legislatif 2014 bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Sleman, Yogyakarta” dalam penelitian ini adalah bagaimana pemenuhan hak pilih aktif atau pemberian kemudahan bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Sleman oleh Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sleman sebagai lembaga penyelenggara Pemilihan Umum Legislatif tahun 2014 dalam rangka pelaksanaan pelayanan publik demi mewujudkan persamaan hak, kewajiban, kedudukan dan peran bagi warga negara Indonesia.