analisis pengaruh citra toko dan kualitas pelayanan terhadap niat

advertisement
ANALISIS PENGARUH CITRA TOKO DAN KUALITAS PELAYANAN TERHADAP NIAT
BELI PADA PRODUK PRIVATE LABEL BRAND
(STUDI KASUS PADA LOTTE MART RETAIL)
Anggi Paima Ulibasa
Adrian Achyar S.E. M.Si.
Fakultas Ekonomi Program Ekstensi, Universitas Indonesia, Kampus Salemba, Jalan Salemba
Raya 4 Jakarta 10430, Indonesia
E-mail : [email protected]
Abstract
The tremendous growth of retail caused the fierce competition among the retail company both in our
country and also overseas. One of the famous strategies applied is to label the product according to
the store’s name which is well known as Private Label Brand (PLB). This thesis aims to investigate
whether or not there is influence between the store image and service quality towards purchase
intention for PLB products and also the effect of perceive risks and price consciousness the costumers
feel towards the purchase intention. The data perceived by using Structural Equation Model (SEM)
which reveals not only that there is a slight influence between the services and the purchase
intention, but also big influence between service quality and purchase intention. As the conclusion,
the retail companies need to improve their service quality in order to create good store image PLB so
the costumer purchase intention will increase.
Keyword: Retail, Store Image, Service Quality, Purchase Intention, Private Label Brand (PLB)
Abstrak
Perkembangan ritel yang begitu pesat menimbulkan persaingan ketat antar perusahaan ritel baik
dalam maupun luar negeri. Hal ini mengharuskan pihak manajemen perusahaan ritel
mengembangkan strategi untuk bertahan di industri ritel khususnya hipermarket. Salah satu
strategi yang marak diterapkan adalah dengan menggunakan nama tokonya sebagai merek produk
yang dikenal dengan Private Label Brand (PLB). Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui apakah
terdapat pengaruh antara citra toko dan kualitas pelayanan terhadap niat pembelian produk PLB
dan juga dampak persepi risiko dan kesadaran harga yang dirasakan konsumen terhadap niat
pembelian. Data diolah menggunakan metode Structural Equation Model (SEM) dengan
kesimpulan bahwa terdapat pengaruh yang tidak signifikan antara citra toko dan niat pembelian,
selain itu ditemukan juga pengaruh yang besar antara kualitas pelayanan dan niat pembelian.
Perusahaan ritel disarankan untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanannya demi menciptakan
citra PLB yang baik sehingga niat pembelian konsumen juga turut meningkat.
Kata Kunci: Ritel, Citra Toko, Kualitas Pelayanan, Private Label Brand (PLB)
1. Pendahuluan
Perkembangan bisnis ritel dalam
sepuluh tahun terakhir dinilai semakin
menggila. Seiring dengan pesatnya
pembangunan pusat perbelanjaan di kotakota besar, bisnis ritel modern dengan
format hipermarket, supermarket, dan
minimarket semakin banyak didirikan dan
semakin
menarik
minat
banyak
pengunjung. Bahkan, bisnis ritel tidak
hanya tumbuh subur di pusat kota, tapi
mulai merambah ke pinggiran kota karena
banyaknya pemukiman di daerah tersebut
(Perkembangan Bisnis Ritel Modern,
2011).
Soliha (2008), menyebutkan bahwa
industri ritel di Indonesia merupakan
industri yang sangat dinamis. Selain
hipermarket,
supermarket,
dan
minimarket, pusat perbelanjaan seperti
mall, plaza, town square, dan trade center
juga berkembang dengan pesat. Sementara
itu, Syamsul Munir (2006) dalam
artikelnya “Format Ritel Masa Depan” di
Majalah SWA menyebutkan, format ritel
masa depan akan berkembang seiring
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
dinamika pasar dan dasar permintaan serta
kebutuhan konsumen. Interaksi konsumen
sebagai anggota masyarakat lambat laun
memengaruhi persaingan ritel di kemudian
hari. Saat ini, terdapat beberapa fenomena
yang menyebabkan perubahan dunia ritel
Indonesia, diantaranya perubahan ritel
tradisional ke modern, ekspansi peritel
asing, dan perubahan fungsi pusat
perbelanjaan yang bukan hanya sekedar
tempat berbelanja, tetapi menjadi tempat
hiburan dan bersosialisasi.
Pertumbuhan ritel yang pesat ini
menciptakan persaingan yang ketat bagi
perusahaan-perusahaan ritel, baik itu
peritel lokal maupun peritel asing,
khususnya yang menawarkan produk
sejenis (Ghosh, 1992). Pada tahun
mendatang, diperkirakan akan semakin
banyak peritel asing masuk ke Indonesia
dan pemain lama pun akan menjadi
semakin ekspansif untuk menggarap setiap
potensi pasar yang ada. Akibatnya
persaingan akan semakin ketat sehingga
menyebabkan semua pemain berusaha
keras menjalankan berbagai strategi untuk
memenangkan persaingan (Perkembangan
Bisnis Ritel Modern, 2011).
Kondisi persaingan ini membuat setiap
perusahaan ritel harus melakukan strategi
pemasaran dengan baik agar mampu
bersaing dengan usaha sejenis. Para peritel
harus
menyadari
bahwa
kepuasan
pelanggan merupakan kata kunci dalam
memenangkan
persaingan,
sehingga
penting untuk diingat bagi tiap perusahaan
untuk memenuhi segala aspek kepuasan
tersebut (Ghosh, 1992). Porter (1996)
menyebutkan bahwa, kondisi persaingan
antara
perusahaan
ritel,
ancaman
masuknya pendatang baru, keragaman
produk atau jasa pengganti (substitusi),
bertambahnya kekuatan tawar menawar
pembeli dan pemasok, semakin memaksa
pengecer menentukan strategi yang tepat
untuk menang dalam persaingan. Salah
satu strategi pemasaran yang mulai
dilakukan perusahaan-perusahaan ritel
adalah strategi Private Label Brand (PLB).
PLB atau dikenal dengan merek toko
adalah merek yang diciptakan dan
dimiliki oleh penjual eceran barang dan
jasa (Kotler & Amstrong, 2004).
Harapan perusahaan dalam menerapkan
penjualan PLB adalah mencoba menarik
lebih
banyak
pelanggan
dengan
melakukan diferensiasi produk yang
membedakan produk mereka dengan
kompetitor (Vahie & Paswan, 2006).
Akan tetapi, bukan sebuah perkara
yang mudah untuk mempromosikan
produk PLB agar menjadi produk pilihan
konsumen. Produk PLB harus bersaing
dengan produk-produk nasional maupun
internasional yang lebih dulu dikenal oleh
konsumen. Keberadaan produk PLB
tersebut menimbulkan beragam respon
dari konsumen seperti persepsi risiko dan
kesadaran harga. Produk dengan merek
PLB dan produk dengan merek nasional
yang
sudah
terkenal tentu
akan
menyebabkan tanggapan yang berbeda
dari konsumen. Untuk itu, persepsi risiko
dan kesadaran konsumen akan harga tentu
menjadi hal yang harus diperhatikan oleh
para peritel.
Seperti yang telah disebutkan di atas,
salah satu tujuan dari PLB adalah
menciptakan image atau citra yang baik di
mata konsumen. Demi membentuk citra
positif tersebut, peritel harus memikirkan
citra toko dan kualitas layanannya untuk
merepresentasikan bahwa kualitas produk
PLB yang dijual merupakan produk
dengan kualitas yang baik.
Peneliti mengambil Lotte Mart sebagai
objek penelitian, karena Lotte Mart
merupakan pemain ritel yang terbilang
baru di Indonesia namun dinilai cukup
berhasil dalam mempromosikan produk
PLB-nya.
2. Studi Literatur
2.1. Ritel
Kata ritel berasal dari bahasa Perancis
yaitu "Retailer" yang berarti " memotong
menjadi kecil¬¬-kecil", menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, ritel/eceran
berarti satu-satu, sedikit-sedikit. Ada
beberapa
pendekatan
dalam
mendefinisikan bisnis ritel. Berman dan
Evan (1992) mendefinisikan retailing
sebagai kegiatan bisnis yang terlibat dalam
penjualan barang atau jasa kepada
konsumen yang hanya digunakan untuk
kebutuhan pribadi, keluarga, atau rumah
tangga mereka sendiri. Setiap perusahaan
yang
melakukan
penjualan
secara
langsung kepada konsumen akhir baik
produsen, grosir, maupun pengecer dapat
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
dikatakan
bertindak
dalam
bisnis
ritel/eceran. Kegiatan ritel merupakan
tahap akhir dari kegiatan saluran distribusi
dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh
produsen, bahkan produsen, importir dan
berbagai lembaga non profit dapat
bertindak sebagai peritel jika mereka
langsung menjual produknya ke konsumen
akhir.
Intinya dari bisnis ritel adalah sebuah
rangkaian kegiatan yang dilakukan suatu
organisasi/badan usaha dalam memuaskan
konsumen dengan cara menjual barang
dan jasa yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhannya, baik secara pribadi maupun
untuk rumah tangga. Sebuah perusahaan
ritel
langsung
berinteraksi
dengan
konsumen akhir. Oleh karena itu tugas
peritel adalah menyediakan keragaman
dari barang dan jasa, memecah unit barang
sehingga konsumen dapat membeli dalam
jumlah satuan, menjadi persediaan untuk
dijual ketika konsumen membutuhkan,
dan menyediakan jasa tambahan bagi
konsumen.
2.2. Citra Toko
Citra
toko
menggambarkan
interprestasi
konsumen
mengenai
keunggulan
kompetitif
yang
ingin
ditawarkan kepada konsumen (Newman &
Cullen, 2002). Kunci sukses dalam
menciptakan
citra
toko
adalah
menyelaraskan gaya hidup dan harapan
pelanggan yang ditargetkan perusahaan.
Martineau (1958) dalam Grewal et al
(1998) memperkenalkan konsep citra toko
dan mendefinisikannya sebagai cara dari
pikiran
para
konsumen
dalam
menggambarkan toko tersebut, baik
melalui mutu-mutu fungsionalnya maupun
dari suasana hubungan psikologis yang
dirasakan konsumen.
Berman (1992) mengatakan bahwa
citra toko merupakan perpaduan perasaaan
konsumen
secara
fungsional
dan
emosional. Atribut-atribut ini memiliki
elemen yang semuanya berpengaruh
terhadap suasana toko yang ingin
diciptakan oleh konsumen. Dalam
pemasaran, kesadaran dan citra sebuah
perusahaan
dan
reputasi
jasa
mempengaruhi keputusan konsumen untuk
membeli. Pada praktek, reputasi menjadi
sebuah
masalah
dari
sikap
dan
kepercayaan terhadap kesadaran terhadap
merek dan citra, keputusan pelanggan dan
loyalitas pelanggan (Fornell, 1992).
Dari beberapa teori mengenai citra
toko dapat disimpulkan bahwa citra
sebuah toko merupakan gambaran
keseluruhan sebuah toko di benak
konsumen yang timbul karena persepsi
dan sikap yang dirasakan pada sensasi dari
rangsangan yang berkaitan lingkungan
toko. Citra ini dijadikan sebagai
kepribadian toko yang membedakan toko
satu dengan toko yang lain dengan
persepsi yang dimiliki oleh konsumen.
Dengan kata lain konsumen memiliki
ingatan yang baik terhadap pelayanan
sebuah toko yang pernah mereka datangi.
Toko dengan citra yang baik akan
membuat mereka kembali dan melakukan
pembelian di toko tersebut. Namun
sebaliknya,
apabila
konsumen
mendapatkan pengalaman yang tidak
menyenangkan saat mengunjungi sebuah
toko, maka mereka akan enggan untuk
mengunjungi toko tersebut di kemudian
hari.
2.3. Kualitas Layanan
Layanan yang baik diukur dari
seberapa
sanggup
sebuah
layanan
memenuhi permintaan atau harapan
konsumen. Dalam definisi ini tidak ada
standart yang baku untuk mengukur
kualitas
layanan,
namun
persepsi
pelangganlah yang menilai apakah mereka
telah dilayani dengan baik atau tidak
(Dunne, 2008). Untuk itu, perusahaan ritel
harus memiliki kualitas layanan yang
terbaik demi tercapainya persepsi yang
diharapkan dan akan berujung kepada
kepuasan konsumen.
Kualitas pelayanan menjadi suatu
kewajiban
yang
harus
dilakukan
perusahaan agar dapat mampu bertahan
dan
tetap
mendapat
kepercayaan
pelanggan. Pola konsumsi dan gaya hidup
pelanggan menuntut perusahaan untuk
mampu memberikan pelayanan yang
berkualitas. Menurut Berry dan Zeithaml
dalam Lupiyoadi 2006, bahwa:
“Keberhasilan
perusahaan
dalam
memberikan pelayanan yang berkualitas
dapat ditentukan dengan pendekatan
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
service quality yang telah dikembangkan
oleh Parasuraman”.
2.4. Konsep Private Label Brand
Aaker (1991), mengungkapkan bahwa
sebuah merek dapat diartikan sebagai
karakter nama dan/atau simbol (misalnya,
logo, cap perusahaan, atau desain
kemasan)
yang
ditunjukkan
untuk
mengidentifikasikan produk atau jasa dan
membedakan produk atau jasa mereka dari
para pesaingnya. Oleh karena itu, merek
berfungsi sebagai sinyal bagi konsumen
tentang asal dari produk tertentu, dan
melindungi mereka dan produsen dari
pesaing yang mencoba untuk menyedikan
produk
dengan
tampilan
identik.
Sebagaimana
konsumen
memiliki
kepribadian, merek juga dianggap
memiliki kepribadian (Kotler, 2003).
Untuk itu ada kecenderungan bagi
konsumen untuk memilih merek dengan
kepribadian
yang
sesuai
dengan
kepribadian mereka.
Konsep private label merupakan
pengembangan dari konsep merek. Private
label adalah merek yang diciptakan dan
dimiliki oleh penjual eceran barang dan
jasa (Kotler & Amstrong, 2004).
Kemunculan private label merupakan
suatu bentuk inovasi dari para pengecer.
Drucker (1994) dalam Tjandrasa 2006,
menyatakan inovasi adalah tindakan yang
memberi sumber daya kekuatan dan
kemampuan baru untuk menciptakan
kesejahteraan. Dari pernyataan tersebut
dapat
ditarik
kesimpulan
bahwa
kemunculan private label brand adalah
untuk menciptakan kesejahteraan dengan
cara menambah keuntungan bagi peritel.
Produk-produk dengan private label
diposisikan sebagai produk yang terjamin
mutunya dengan harga terjangkau serta
dikemas dalam kemasan yang menarik dan
memiliki nama yang mudah diingat
(Tjandrasa, 2006).
2.5. Persepsi Risiko
Istilah persepsi risiko berasal dari
bidang psikologi. Bauer (1960) dalam Wu
(2011) meyakini adanya hubungan antara
perilaku konsumen dengan resiko yang
mungkin dialami akibat tindakan atau
keputusan mereka. Dimana risiko tersebut
bagian dari konsekuensi yang tidak dapat
ia antisipasi dengan segala sesuatu yang
mendekati
kepastian.
Kebanyakan
konsekuensi yang terjadi merupakan hal
yang tidak menyenangkan (Wu, Yeh, &
Hsiao, 2011).
Menurut Peter & Olson (2005),
konsekuensi tersebut merupakan reaksi
negatif yang konsumen ingin hindari
ketika membeli atau menggunakan
produk. Konsekuensi negatif atau risiko
yang dapat terjadi bisa bermacam-macam.
Misalnya, risiko fisik seperti kecelakaan
akibat mesin dari produk yang dibeli
ternyata mengalami kerusakan. Selain itu
ada konsekuensi finansial misalnya
garansi perbaikan dari produk yang dibeli
tidak dapat mengembalikan produk seperti
keadaan semula sehingga konsumen
mengalami kerugian. Risiko finansial
merupakan risiko yang melibatkan kondisi
finansial seseorang. Selain itu, beberapa
konsumen juga memikirkan mengenai
risiko produk yang dibeli ternyata tidak
dapat berfungsi dengan baik. Hal ini
merupakan risiko fungsional (Peter &
Olson, 2005).
Persepsi
risiko
yang
dialami
konsumen dipengaruhi oleh dua hal yaitu,
seberapa besar hal tidak menyenangkan
yang disebabkan oleh konsekuensi negatif
yang
terjadi
dan
kemungkinan
konsekuensi negatif yang akan terjadi
(Peter & Olson, 2005). Berdasarkan
penjelasan di atas, penelitian ini dilakukan
untuk
mendefinisikan
risiko
yang
dirasakan
ketika
para
konsumen
menghadapi produk-produk atau layananlayanan. Risiko tersebut muncul akibat
ketidakpastian melalui bentuk kerugian
yang terbayangkan di dalam pikiran
konsumen dan menyebabkan kecemasan.
2.6. Kesadaran Harga
Kesadaran
harga
terjadi
saat
konsumen memutuskan membeli sebuah
barang dengan harga yang murah
(Lichtenstein et al., 1993 dalam Wu,
2011). Hal ini terjadi karena konsumen
tidak ingin membayar harga yang lebih
mahal untuk suatu produk dengan
karakteristik yang berbeda, namun belum
mendapat kepastian mengenai baiknya
kualitas yang akan dihasilkan oleh produk
tersebut (Lichtenstein et al., 1993 dalam
Wu, 2011). Untuk produk-produk tertentu,
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
konsumen cenderung menggunakan harga
murah sebagai standar penilaian dalam
melakukan pembelian (Wu, Yeh, & Hsiao,
2011).
Konsumen dengan kesadaran harga
yang tinggi akan menilai sebuah produk
dari seluruh informasi dan atribut yang
melekat pada produk tersebut kemudian
membandingkan
dengan
harganya
(Lichtenstein et al., 1993 dalam Palazon,
2009). Perilaku tersebut menyebabkan
konsumen
termotivasi
untuk
mengembangkan pengetahuan mengenai
harga (Manning et al. 2003, dalam
Palazon, 2009). Konsumen menghabiskan
lebih banyak waktu berpikir tentang harga
dan mendapatkan kepuasan melalui harga
murah dan diskon (Palazon & Delgado,
2009).
Namun,
tidak
semua
produk
diperlakukan dengan kesadaran harga
yang tinggi. Kesadaran harga konsumen
juga dibedakan dengan kategori produk.
Sebagian konsumen mungkin memiliki
kesadaran harga lebih tinggi atau lebih
rendah
dengan
mempertimbangkan
persepsi risiko terhadap produk-produk
tertentu dan kepentingan masing-masing
konsumen (Jin & Suh, 2005).
2.7. Niat Pembelian
Niat dapat dianggap berawal dari
kepercayaan, dimana objeknya adalah
individu dan atributnya selalu merupakan
sebuah perilaku. Dengan kata lain niat beli
merupakan perilaku yang muncul sebagai
respon dari objek. Niat untuk membeli
sebuah produk dengan merek tertentu
didasarkan pada sikap konsumen terhadap
merek tersebut serta pengaruh normanorma sosial tentang apa yang orang lain
harapkan (Fishbeinm & Ajzen, 1975).
Niat pembelian merepresentasikan
kemungkinan bahwa adanya keingin
konsumen untuk membeli sebuah produk
atau layanan jasa di masa yang akan
datang. Peningkatan niat pembelian
artinya
peningkatan
terhadap
kemungkinan pembelian (Dodds et al.,
1991; Schiffman and Kanuk, 2007 dalam
Wu, 2011). Niat pembelian digunakan
juga sebagai indikator penting dalam
memperkirakan
perilaku
konsumen.
Ketika para konsumen memiliki suatu niat
pembelian yang positif, hal ini dapat
membentuk komitmen merek positif yang
dapat mendorong para konsumen dalam
mengambil langkah pembelian yang
sesungguhnya (Fishbein dan Ajzen, 1975;
Schiffman dan Kanuk, 2007 dalam Wu,
2011.
3. Metodologi
Penelitian ini berupa penelitian
kuantitatif yang menggunakan pendekatan
penelitian eksploratif dan deskriptif.
Sampel yang diikut sertakan sebanyak 181
responden dengan kriteria berdomisili di
Jakarta dan pernah melakukan pembelian
di Lotte Mart yang berlokasi di Jakarta.
Metode pengambilan sampel dan data
yang digunakan adalah metode non
probability sampling. Dengan metode ini,
tidak semua individu di dalam populasi
memiliki kesempatan yang sama untuk
menjadi responden. Untuk metode
pengolahan data yang digunakan adalah
Structural Equation Model (SEM) yang
diolah dengan aplikasi Lisrel.
Total pertanyaan sebanyak 32 butir
yang tertera pada Tabel 1. Sebelum
dilakukan pengambilan sampel data dalam
jumlah
banyak,
terlebih
dahulu
dilaksanakan pretest yang melibatkan 30
responden. Hasil dari pretest adalah bahwa
indikator-indikator yang digunakan dalam
penelitian terbukti valid (dengan nilai
KMO ≥ 0.5) dan realibel (dengan nilai
Cronbach Alpha ≥ 0.6).
Uji validitas dimaksudkan agar setiap
butir indikator dapat mengukur apa yang
seharusnya diukur atau dengan kata lain
uji validitas adalah memastikan bahwa
setiap butir dapat dijadikan sebagai alat
ukur yang dapat memberikan informasi
yang valid dari setiap variabel penelitian.
Uji
reliabilitas
adalah
mengukur
konsistensi alat akur atau butir indikator
dalam mengukur variabel.
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
Gambar 1: Model Penelitian
Citra Toko
H2
H1
Citra PLB
H8
H5
Persepsi
Resiko
Kesadaran
Harga
H7
H9
Niat
Pembelian
H3
H6
Kualitas
Pelayanan
H4
Sumber : Wu, Gary Yeong-Yuh Yeh dan Chieh-Ru Hsiao (2011).
3.1. Hipotesis Penelitian
H1: Citra toko memiliki dampak yang positif
terhadap citra PLB.
H2: Citra toko memiliki dampak yang positif
terhadap niat pembelian
H3: Kualitas layanan memiliki dampak yang
positif terhadap citra PLB.
H4: Kualitas layanan memiliki dampak yang
positif terhadap niat pembelian
H5: Semakin baik citra PLB, akan semakin
rendah persepsi risiko konsumen terhadap
produk-produk PLB.
H6: Semakin baik citra PLB, akan semakin
tinggi niat pembelian para konsumen.
H7: Persepsi risiko konsumen terhadap
produk-produk PLB memiliki dampak
yang negatif terhadap kesadaran harga
dari para konsumen.
H8: Persepsi risiko konsumen terhadap
produk-produk PLB memiliki dampak
yang negatif terhadap niat pembelian
produk PLB.
H9: Apabila kesadaran harga seorang
konsumen meningkat, niat pembelian
produk PLB juga akan ikut meningkat
3.2. Konstruk dan
Penelitian
Indikator
Pada
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan data primer yang didapat
dari data kuantitatif. Data kuantitatif
didapatkan didapat dengan mengumpulkan
data
langsung
dari
responden,
pengumpulan
dilakukan
dengan
menyebarkan kuesioner di lapangan.
Pernyataan dalam kuesioner diukur
menggunakan skala likert yang terbagi
atas tujuh tingkatan, mulai dari sangat
negatif (1) sampai dengan sangat positif
(7). Pengolahan data dengan menggunakan
SEM membutuhkan konstruk variabel dan
index untuk variabel dan dimensi yang
digunakan.
Metode SEM memiliki dua buah
konstruk laten yang berinteraksi dalam
model struktural yaitu konstruk eksogen
yang terdiri dari citra toko dan kualitas
pelayanan, serta konstruk endogen yang
terdiri dari citra PLB, persepsi risiko,
kesadaran harga dan niat pembelian. Di
bawah ini adalah tabel indikator yang
mewakili pernyataan-pernyataan yang
diukur.
Konstruk
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
4. Hasil Analisis
4.1. Deskripsi Statistik
Dari hasil deskripsi statistik data variabelvariabel penelitian yang diperoleh, dapat
disimpulkan bahwa terjadi sentralisasi
pada jawaban responden, dimana sebagian
besar jawaban dari konsumen adalah 4
(netral) dan 6 (setuju).
4.2. Confirmatory Factor Analysis (CFA)
Simultan
Terdapat variabel yang memiliki
dimensi dan diciptakan nilai Laten
Variable Score (LVS) sebagai nilai yang
mewakili indikator yang mengukur
variabel tersebut. Pada penelitian ini
variabel yang memiliki dimensi adalah
kualitas layanan, citra PLB dan persepsi
risiko.
Setelah
mendapatkan
LVS
dilakukan CFA simultan terhadap seluruh
indikator dalam penelitian, sehingga dapat
diketahui hubungan antar variabel yang
terlibat. Pemeriksaan CFA secara simultan
melibatkan seluruh variabel penelitian.
Pemeriksaan ini dilakukan uji validitas
dan reliabilitas terhadap hubungan kausal
antara setiap variabel laten dengan
dimensi/indikatornya.
Pengolahan data dilakukan sebanyak
dua kali karena terdapat indikator yang
tidak valid yaitu Indikator pada Citra Toko
(SI1, SI2, SI3, dan SI4). Untuk itu
dilakukan pengolahan data kedua kalinya
atau dikenal dengan respesifikasi dengan
mengeluarkan indikator-indikator yang
tidak valid.
Hasil
pengolahan
data
kedua
menunjukkan bahwa seluruh indikator
menghasilkan nilai yang valid dan realibel.
Tabel 1: Konstruk & Indikator Variabel Penelitian
Konstruk
1.
2.
3.
Dimesi
Citra Toko
StoreImage
(SI)
Kualitas
Layanan
Service
Quality
(SQ)
Privat Label
Brand (PLB)
Interaction Quality
(INTR)
Service
EnvironmentQuality
(ENVIR)
OutcomeQuality
(OUT)
Quality (QUAL)
Affection (AFF)
4.
Persepsi
Resiko
Perceived
Risk
(PR)
FinanceRisk
(FINAN)
PerformaceRisk
(PERF)
Indikator Konstruk
Notasi
1. Produk yang beragam
2. Produk mempunyai kualitas baik
3. Produk harganya murah
4. Nilai produk sesuai dengan harganya
5. Desain interior kenyamanan berbelanja
6. Mempunyai kesan yang baik
1. Pelayanan yang baik
2. Interaksi yang baik
3. Keadaan toko merupakan yang paling baik
SI1
SI2
SI3
SI4
SI5
SI6
SQ1
SQ2
SQ3
4. Keadaan toko dinilai baik
SQ4
5. Pengalaman belanja yang baik
6. Memiliki kesan yang baik
1. Banyak produk PLB yang dibeli ternyata
cacat/rusak. (reverse question)
2. Kualitas buruk/cepat rusak. (reverse question)
3. Toko tidak cukup perduli tentang kualitas
produk PLB (reverse question)
4. Menyukai produk
5. Puas dengan Produk
1. Pembelian produk merupakan cara yang buruk
untuk menghabiskan uang
2. Pembelian produk hanya membuang uang saja
3. Rasa khawatir nilai yang diterima tidak sesuai
dengan uang yang dikeluarkan
4. Bagaimana produk tersebut dapat diandalkan
dikemudian hari
5. Apakah produk memberikan manfaat seperti
yang diharapkan atau tidak
SQ5
SQ6
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
PLB1
PLB2
PLB3
PLB4
PLB5
PR1
PR2
PR3
PR4
PR5
Konstruk
Dimesi
Indikator Konstruk
PhysicalRisk
(PHYS)
5.
6.
Kesadaran
Harga
Price
Consciousness
(PC)
Niat
Pembelian
Purchase
Intention (PI)
Notasi
6. Apakah produk tersebut benar-benar berfungsi
seperti seharusnya atau tidak
7. Dampak buruk bagi kesehatan apa bila terlalu
sering digunakan.
8. Efek samping penggunaan produk
9. Potensi resiko kesehatan yang mungkin
disebabkan oleh produk.
1. Membeli harga yang paling murah yang sesuai
dengan kebutuhan
2. Mencari merek termurah yang tersedia di toko.
3. Harga menjadi faktor yang paling penting saat
memilih merek produk.
1. Mempertimbangkan untuk membeli produk.
2. Berniat untuk membeli produk PLB secara
berkala
3. Berencana untuk membeli produk PLB lebih
sering
4.3. Uji Kesesuaian
Secara keseluruhan model CFA
simultan yang merupakan hubungan
kausal antara variabel laten dengan
indikatornya dinyatakan layak. Data
empiris yang disediakan dalam Tabel 2.
Goodness of Fit, mampu mengkonfirmasi
model pengukuran dengan baik. Dengan
PR6
PR7
PR8
PR9
PC1
PC2
PC3
PI1
PI2
PI3
kata lain, dapat disimpulkan bahwa model
yang digunakan dalam penelitian ini
menunjukkan model yang fit. Setelah
diperoleh model CFA dengan uji
kesesuaian yang baik maka selanjutnya
adalah menguji model struktural.
Tabel 2: Goodness of Fit CFA Simultan
Ukuran GoF
Nilai
Normal Theory Weighted Least Squares Chi-Square P-Value 0.000 <
= 175.67 (P = 0.00)
0,05
Root Mean Square Error of Approximation
0.073 < 0.08
(RMSEA) = 0.073
Normed Fit Index (NFI) = 0.89
0.08 - 0.90
Non-Normed Fit Index (NNFI) = 0.93
≥ 0,90
Incremental Fit Index (IFI) = 0.95
≥ 0,90
Relative Fit Index (RFI) = 0.86
0.08 - 0.90
Goodness of Fit Index (GFI) = 0.89
≥ 0,90
Adjusted Goodness of Fit Index(AGFI) = 0.84
0.80 - 0.90
Independence AIC = 1644.30
Nilai 267.67 (lebih
Model AIC = 267.67
dekat dengan 272)
Saturated AIC = 272.00
Independence CAIC = 1711.48
Nilai 460.80 (dekat
Model CAIC = 460.80
dengan 843)
Saturated CAIC = 843.00
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
Keterangan
Poor Fit
Good Fit
Marginal Fit
Good Fit
Good Fit
Marginal Fit
Marginal Fit
Marginal Fit
Good Fit
Good Fit
4.4. Model Struktural
Gambar 2: Model Persamaan Struktural
Interaction
Citra PLB
Environment
H1: 6.8
SI 5
Outcome
H5: -0.53
Citra Toko
SI 6
Finance Risk
H3 : 2.15
Persepsi Risiko
Performance
Risk
Physical Risk
H7: 1.25
Quality
Affection
Kualitas
Pelayanan
H6: 1.44
PC 1
H2: -0.85
Kesadaran Harga
H8: -3.52
PC 2
PC 3
H4 : 2.37
H9: 2.38
PI 1
PI 2
Niat Pembelian
PI 3
Model persamaan struktural di atas
menunjukkan hasil akhir dari penelitian
ini. Dimana model ini menerima H1, H3,
H4, H8 dan H9 namun menolak H2, H5,
H6 dan H7. Pada hipotesis pertama
terbukti bahwa citra toko memiliki
dampak yang positif dan signifikan
terhadap citra PLB. Berdasarkan tabel di
atas, nilai t-statistik pada Citra Toko dan
PLB lebih besar dari 1.96, yaitu 6,80.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa secara
teori konsumen Lotte Mart terbukti
menggunakan faktor image atau citra toko
sebagai salah satu kunci untuk menilai
produk PLB-nya.
Hipotesis kedua tidak terbukti bahwa
citra toko memiliki dampak positif
terhadap niat pembelian. Ditolaknya
hipotesis ini, dapat membuktikan bahwa
Lotte Mart belum cukup membentuk
sebuah citra toko yang langsung bisa
memotivasi niat pembelian konsumen di
toko tersebut. Lotte Mart memang sudah
berhasil menciptakan citra yang baik di
mata para konsumen melalui berbagai
macam aspek positif yang mereka miliki.
Namun, melalui penelitian yang dilakukan
dapat disimpulkan bahwa konsumen
membutuhkan lebih dari sekedar citra
yang positif untuk memunculkan niat
pembelian mereka pada sebuah toko.
Pada hipotesis ketiga terbukti bahwa
kualitas layanan memiliki dampak yang
positif dan signifikan terhadap citra PLB
dengan koefisien jalur 0.18 dan nilai t
statistik lebih besar dari 1.96 yaitu 2.15.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa kualitas layanan yang diterima atau
dirasakan konsumen berpengaruh secara
positif terhadap citra PLB dari toko tempat
mereka berbelanja.
Hipotesis keempat terbukti bahwa
kualitas layanan memiliki dampak yang
positif dan signifikan terhadap niat
pembelian.
Hasil
penelitian
ini
menunjukkan bahwa kualitas layanan
mampu menjadi pemicu yang penting bagi
konsumen untuk memunculkan niat
pembelian. Dari Gambar 2 juga dapat
menunjukkan kepada pemasar bahwa
untuk meningkatkan citra terhadap PLB
dapat secara langsung meningkatkan
kualitas pelayanannya pula, yang mana
juga akan meningkatkan niat pembelian
terhadap produk PLB.
Hipotesis kelima tidak terbukti bahwa
semakin baik citra PLB, akan semakin
rendah persepsi risiko konsumen terhadap
produk-produk PLB. Pada kenyataanya
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
melalui penelitan ini, citra produk yang
baik tidak mengurangi persepsi-persepsi
risiko yang dimiliki konsumen terhadap
penggunaan produk tersebut dikemudian
hari.
Hipotesis keenam tidak terbukti bahwa
semakin baik citra PLB, akan semakin
tinggi niat pembelian para konsumen.
Sejalan dengan hipotesis kelima, citra PLB
yang baik belum tentu mempengaruhi niat
pembelian konsumen secara signifikan.
Selain keraguan konsumen akan produkproduk PLB, kami menilai Lotte Mart
belum dapat mempromosikan produkproduk PLB mereka dengan maksimal
atau memang produk PLB yang
dikeluarkan Lotte Mart kualitasnya belum
bisa bersaing dengan merek nasional di
mata konsumen.
Hipotesis ketujuh tidak terbukti bahwa
persepsi risiko konsumen terhadap
produk-produk PLB memiliki dampak
yang negatif terhadap kesadaran harga dari
para konsumen. Dengan hasil seperti ini
dapat disimpulkan bahwa tidak selalu
persepsi risiko yang tinggi membuat
kesadaran harga konsumen Lotte Mart
menjadi berkurang.
Kemungkinan hal ini dapat terjadi
karena konsumen belum mengenal produk
PLB Lotte Mart dengan baik sehingga
menyebabkan persepsi risiko yang tinggi.
Selain itu, sebagian besar produk PLB
yang dijual bersaing dengan produk merek
nasional yang sudah mereka kenal
sehingga menimbulkan banyak pilihan
bagi konsumen. Pilihan yang beragam
inilah yang menyebabkan konsumen tetap
memiliki kesadaran harga yang tinggi
(Pandya & Joshi, 2011).
Hipotesis kedelapan terbukti bahwa
Persepsi Risiko konsumen terhadap
produk-produk PLB memiliki dampak
yang negatif dan signifikan terhadap niat
pembelian produk PLB. Berlawanan
dengan
hipotesis
ketujuh,
dengan
diterimanya
hipotesis
ini
dapat
disimpulkan bahwa konsumen Lotte Mart
cenderung mengurangi niat belinya
terhadap produk-produk PLB yang belum
mereka kenal baik yang memunculkan
persepsi risiko yang tinggi.
Hipotesis kesembilan terbukti bahwa
apabila
kesadaran
harga
seorang
konsumen meningkat, niat pembelian
produk PLB juga akan ikut meningkat.
Apabila konsumen menerima informasi
tentang suatu produk yang memungkinkan
mereka untuk membuat kesimpulan
tentang tingkat harga, kesadaran harga
dapat mempengaruhi niat pembelian
walaupun produk tersebut belum dikenal
oleh konsumen (Hansen, 2012).
Informasi
tersebut
didapatkan
konsumen dari pengamatan langsung
terhadap produk PLB di Lotte Mart,
dimana produk-produk PLB yang dijual di
Lotte Mart sebagian besar memang
merupakan golongan produk yang bisa
dikatakan persepsi risikonya rendah bagi
konsumen. Hasil ini didukung juga dengan
teori dari Burton et al (1998) bahwa
kesadaran harga membentuk perilaku yang
positif terhadap pembelian produk PLB.
5. Kesimpulan
Penelitian ini telah menjawab tujuan
dari penelitian ini, antara lain adalah
sebagai berikut. Dalam penelitian ini citra
toko terbukti memberikan pengaruh
terhadap citra produk PLB, namun tidak
terbukti meningkatkan niat beli konsumen
terhadap produk PLB yang di jual di Lotte
Mart. Pengaruh yang diberikan citra toko
terhadap citra PLB cukup besar, namun
belum berpengaruhi besar terhadap niat
pembelian. Untuk kualitas pelayanan,
terbukti dapat mempengaruhi secara
positif baik untuk citra dan pembelian
produk PLB di Lotte Mart. Dengan
demikian kualitas layanan dinilai lebih
efektif untuk membentuk citra dan
meningkatkan niat pembelian produk
PLB. Kualitas layanan yang memberikan
pengaruh paling besar adalah lingkungan
sekitar toko, sehingga kesimpulan yang
dapat diambil bahwa untuk meningkatkan
citra dan niat pembelian konsumen,
pemasar harus meningkatkan kualitas
layanan terutama dalam hal lingkungan
tokonya.
Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa citra PLB yang baik belum tentu
mengurangi persepsi risiko yang dirasakan
oleh
konsumen
sehingga
kurang
berpengaruh pula terhadap niat pembelian
produk PLB.
Berdasarkan hasil penelitian ini,
persepsi risiko tidak terbukti memiliki
hubungan yang negatif dengan kesadaran
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
harga bagi konsumen Lotte Mart. Persepsi
risiko terbukti memiliki dampak yang
negatif terhadap niat pembelian produk
PLB. Sementara dari segi kesadaran harga
terbukti dengan adanya peningkatan
kesadaran harga akan meningkatkan niat
beli produk PLB.
6. Implikasi Manajerial
Dalam
penelitian
ini,
peneliti
mengindentifikasi faktor apa saja yang
berpengaruh positif kepada Lotte Mart.
Penelitian ini mengindentifikasi bahwa
indikator
kualitas
pelayanan
lebih
mempengaruhi citra dan niat pembelian
produk PLB ketimbang indikator citra
toko. Seperti yang sudah disebutkan di
atas, bahwa kualitas pelayanan dari segi
lingkungan atau keadaan toko memberikan
pengaruh paling besar terhadap niat beli
konsumen.
Untuk itu Lotte Mart harus terus
meningkatkan kualitas pelayanan dengan
lebih memperhatikan kondisi tokonya
sebagai contoh kebersihan yang baik dan
tata letak yang teratur. Hal-hal tersebut
apabila dikelola dengan baik akan
memberikan dampak yang positif bagi
konsumen.
Citra toko tetap harus dijaga dan
ditingkatkan, karena bagaimanapun juga
citra toko tetap menjadi kesan nyata dan
paling awal yang diperoleh konsumen.
Dari hasil ini Lotte Mart hendaknya lebih
memperhatikan dan mengembangkan
aspek-aspek pada kualitas pelayanan dan
citra toko yang dapat memicu niat
pembelian konsumen.
Penting bagi Lotte Mart untuk
melakukan promosi atau edukasi kepada
konsumennya agar produknya semakin
dikenal sehingga dapat mengurangi
persepsi risiko yang dirasakan. Hal
tersebut akan diiringi dengan niat
pembelian
yang
meningkat
serta
profitabilitas kepada perusahaan. Produk
PLB dengan harga yang murah dianggap
memiliki kualitas yang rendah. Untuk itu
Lotte Mart harus menunjukkan kualitas
produk yang baik walaupun harga yang
ditawarkan terbilang murah. Hal ini perlu
dilakukan untuk menghindari rasa
keraguan konsumen sehingga konsumen
dapat lebih percaya dalam memilih produk
PLB di kemudian hari.
7. Keterbatasan Penelitian
Hasil dari penelitian ini tentunya jauh
dari sempurna dan memiliki berbagai
kekurangan
sehingga
memerlukan
penyempurnaan-penyempurnaan
lebih
lanjut. Untuk penelitian di masa
mendatang dan juga untuk para akademisi.
Penelitian ini tidak mengklasifikasikan
secara khusus jenis produk PLB di Lotte
Mart yang dipakai sebagai objek
penelitian. Selain itu penelitian ini tidak
memisahkan kelompok responden yang
merupakan member dan yang bukan
member Lotte Mart. Dan tidak melibatkan
frekuensi kunjungan responden ke Lotte
Mart, sehingga tidak dapat dibedakan
mana responden yang rutin berbelanja,
mana yang tidak rutin dan mana yang
kunjungannya hanya sedikit di Lotte Mart.
Hal ini dapat memberikan pengaruh yang
cukup besar terhadap niat pembelian
produk PLB konsumen.
8. Saran
Penelitian selanjutnya mungkin dapat
memisahkan responden yang frekuensi
kunjungannya lebih sering dan yang tidak
atau member dan non-member, sehingga
mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
Selain itu penelitian selanjutnya bisa
menggunakan produk PLB yang lebih
spesifik
agar
responden
mendapat
gambaran yang fokus saat mengisi
kuesioner. Atau memberikan gambaran
singkat mengenai definisi dan contohcontoh produk PLB yang dimaksud. Untuk
menghindari sentralisasi data jawaban dari
konsumen, dianjurkan untuk memakai
skala Likert genap 1-4 atau 1-6.
Penelitian selanjutnya mungkin dapat
menambahkan variabel product familiarity
seperti pada penelitian yang dilakukan
oleh Sheau-Fen, Sun-May, & Yu-Ghee
(2012). Hal ini sangat berpengaruh
terhadap niat pembelian karena dengan
adanya product familiarity secara otomatis
konsumen telah memiliki pengetahuan
yang lebih baik terhadap produk.
REFERENSI
Aaker, D. (1991). Managing Brand Equity.
New York: The Free Press.
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
About Us: Lotte Mart . (n.d.). Retrieved May
21, 2013, from Lotte Mart:
http://www.lottemart.co.id
Bank Mandiri Industry Update. (2012,
Augustus).
Retrieved
from
http://www.bankmandiri.co.id/indones
ia/eriview-pdf/MIDL18009264.pdf
Bergès Sennou, F., & Hassan, D. e. (2007).
Consumers' decision between private
labels and national brands in a
retailer's store: a mixed multinomial
logit application. I Mediterranean
Conference of Agro-Food Social
Scientists. 103rd EAAE Seminar
‘Adding Value to the Agro-Food
Supply Chain in the Future
Euromediterranean
Space’.
Barcelona, Spain.
Berman, B., & Evans, J. R. (1992). Retail
Management : a strategic approach
(ed. 5). Macmillan Publishing
Company.
Burton, S., Lichtenstein, D. R., Netemeyer, R.
G., & Garretson, J. A. (1998). A scale
for measuring attitude toward private
label products and an examination of
its psychological and behavioral
correlates. Academy of Marketing
Science., 293.
Doyle, P. (1994). Marketing Management &
Strategy. Prentice Hall International.
Dunne, P. M. (2008). Retailing. (Vol. 6).
Thomson South-Western, China.
Fishbeinm, M., & Ajzen, I. (1975). Beliefs,
Attitude, Intention, and Behavior: An
Introduction to Theory and Research
(ed.1).
Ontario:
Addison-Wesley
Publishing Company.
Fornell, C. (1992). A National Customer
Satisfaction Barometer: The Swedish
Experience . Journal Bussiness and
Management, 6-21.
Ghosh, A. (1992). Ritel management. Forth
Worth.
Ghozali, I. (2005). Analisis Multivariat
dengan Program SPSS. Ed: 3.
Semarang: UNDIP.
Gilbert, D. (2003). Retailing Marketing
Management
Second
Edition.
England: Pearson Educated Limited.
Grewal, D., Krishnan, R., Baker, J., & Borin,
N. (1998). The Effect of Store Name,
Brand Name and Price Discounts on
Consumer's Evaluation and Purchase
Intentions. Journal of Retailing, 331.
Hansen,
H. (2012). Product Knowledge
Affects Seafood Purchase Intentions.
Global Aquaculture Advocate.
Igbaria, M. N. (1997). Personal Computing
Acceptable Factors in Small Firms : A
structural equation model. MIS
Quarterly.
Indonesian Commercial Newsletter. (2011,
June). DataCon. Retrieved from
Perkembangan Bisnis Ritel Modern:
http://www.datacon.co.id/Ritel2011ProfilIndustri.html
Jin, B., & Suh, Y. G. (2005). Integrating effect
of consumer perception factors in
predicting private brand purchase in
Korean discount store context. The
Journal of Consumer Marketing, 62.
Kapferer, J. N. (1997). Strategic Brand
Manajemen (ed. 2). Dover, NH:
Kogan page.
Keller, K. L. (2003). (2002). Strategic brand
management: Building, measuring,
and managing brand equity. . London:
Prentice-Hall International.
Kotler, P. (2003). Marketing Management
(ed.11). New Jersey: Prentice Hall.
Kotler, P., & Armstrong, G. (2004). Principles
of Marketing. 10th Edition. New
Jersey:
Prentice
Hall.
Pearson
Education, Inc.
Lamb, C. W., Hair, J. F., & Mcdaniel, C.
(2006). Pemasaran. Edisi Pertama.
Jakarta: Salemba Empat.
Levy, M., & Weitz, B. A. (2007). Retailing
Management (ed. 6). New York: Mc
Graw Hill.
Lovelock, C., & Wirtz, J. (2011). Services
Marketing:
People,
Technology,
Strategy. New Jersey: Pearson.
Lupiyoadi, R. (2013). Manajemen Pemasaran
Jasa: Berbasis Kompetensi. Jakarta:
Salemba Empat.
Ma'aruf, H. (2006). Pemasaran Ritel. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Malhotra, N. (2007). Marketing Research an
Applied Orientation (ed. 5). New
Jersey: Pearson Education.
Munir, S. (2006, July Moday). SWA Sembada.
Retrieved from SWA Sembada :
Manajemen:
http://202.59.162.82/sekunder/kolom/
manajemen/sdm/details.php?cid=2&id
=216
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
Newman, A. J., & Cullen, P. (2002).
Retailing: Environment & Operation.
Padstow, Corwal: TJ International.
Palazon, M., & Delgado, E. (2009). The
moderating role of price consciousness
on the effectiveness of price discounts
and premium promotions. Journal of
Product & Brand Management, 306–
312.
Pandya, A. R., & Joshi, M. A. (2011). A
Comparative Study on Consumers'
Attitude Towards Private Labels: A
Focus on Gujarat. UP Journal of
Marketing Management, 19-34.
Peter, J. P., & Olson, J. C. (2005). Consumer
Behavior and Marketing Strategy.
New York: The McGraw-Hill.
Porter, M. E. (1996). "What Is Strategy?".
Harvard Business Review 74, Vol. 6,
61-78.
Purnomo, S. D., Serfiyani, C. Y., & Hariyani,
I. (2013). Sukses Bisnis Ritel Modern.
Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Retail Industry. (n.d.). Retrieved from
http://retailindustry.about.com
Schiffman, L. G. (2004). Consumer Behavior
(ed. 5). New Jersey: Pearson Prentice
Hall.
Setyawan, Ihwan, & A., A. (2004, ). Pengaruh
Service Quality Perception terhadap
Purchase Intentions: studi empirik
pada konsumen supermarket.
Sheau-Fen, Y., Sun-May, L., & Yu-Ghee, W.
(2012). Store brand proneness: Effects
of perceived risks, quality and
familiarity. Australasian Marketing
Journal, 48-58.
Soliha, E. (2008, September). ANALISIS
INDUSTRI RITEL DI INDONESIA.
Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), 15,
128 - 142.
Subagyo, P. J. (1997). Metode Penelitian:
Dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Sudarmono, F. (2013, June 10). Strategi
Branding Private Label Lotte Mart.
(A. Sibuea, Interviewer)
Sulistiowati, T. (2012, August). Retrieved
from
kompas.com:
http://properti.kompas.com/index.php/
read/2012/08/13/11313080/Lotte.Mart
.Makin.Getol.Buka.Gerai.Baru
Suliyanto, D. (2011). Ekonometrika Terapan:
Teori & Aplikasi dengan SPSS.
Yogyakarta: ANDI OFFSET.
Thoyib, U. (1998). Retail Management:
Manajemen Perdagangan Eceran.
Yogyakarta: Ekonisia.
Tjandrasa, B. B. (2006). POTENSI
KEUNTUNGAN PRIVATE LABEL
SERTA
PROSES
PEMILIHAN
PRODUK DAN PEMASOKNYA
PADA BISNIS RITEL. Jurnal
Manajemen, 6.
Tung-Zong Chang, A. R. (1994). Price,
product information, and purchase
intention: An empirical study. Journal
of the Academy of Marketing Science,
16-27.
Vahie, A., & Paswan, A. (2006). Private label
brand image: its relationship with
store image and national brand.
International Journal of Retail &
Distribution Management, pg. 67.
Wijanto, S. (2008). Structural Equation
Modeling dengan Lisrel 8.8: Konsep
dan Tutorial. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Wu, P. C., Yeh, G. Y.-Y., & Hsiao, C.-R.
(2011). The effect of store image and
service quality on brand image and
purchase
intention.
Australasian
Marketing Journal, 30–39.
Zeithaml, V., & Bitner, M. (1996). Service
Marketing. New York: McGraw Hill.
Analisis Pengaruh..., Anggi Paima Ulibasa, FE UI, 2013
Download