Study of Paleoclimatology and Global Temperature

advertisement
8
Skenario 5
Perubahan suhu bumi dengan asumsi
nilai emisivitas berubah akibat pengurangan
lahan seluruh lahan vegetasi menjadi lahan
non vegetasi. Dengan asumsi awal luas lautan
70 %, lahan vegetasi 10%, dan lahan non
vegetasi 20%. Kemudian dihitung perubahan
suhu ketika lahan vegetasi berubah
seluruhnya
menjadi lahan non vegetasi
dengan persentase lautan 70 % dan lahan non
vegetasi 30% . Masing- masing nilai albedo
penutupan lahan berbeda, untuk lautan
sebesar 0.98, untuk lahan vegetasi sebesar
0.95, dan lahan non vegetasi sebesar 0.92
(Weng 2001).
Nilai-nilai dasar parameter tersebut
diperoleh dari web resmi NASA.
Sedangkan perubahan terhadap beberapa
parameter diperoleh dari beberapa literatur
yang berbeda.
3.3.3 Analisis kecenderungan data series
waktu iklim Jakarta Observatory
1965-2010.
Sebelum
melakukan
analisis
kecenderungan terlebih dahulu dilakukan
pengumpulan data iklim (suhu dan curah
hujan) bulanan selama 55 tahun.
Sebanyak 80% data historis suhu
didapatkan dari data observasi BMKG yang
terangkum sebagai data series waktu suhu
bulanan, untuk melengkapi keterbatasan data
suhu maka sebagian lagi didapat dari web
www.tutiempo.net yang merupakan data
satelit yang berasal dari Spanyol.
Data presipitasi juga mengalami kendala
yang sama yaitu keterbatasan data untuk
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Metode Paleoklimatologi untuk
Rekonstruksi Iklim
Paleoklimatologi adalah studi tentang
iklim sebelum periode instrumentasi. Data
dari instrumen meteorologi terbatas pada
masa observasi, hal ini menyebabkan
terbatasnya informasi iklim. Informasi
paleoklimatologi sangat penting untuk
memberikan dasar bagi pengujian hipotesis
penyebab terjadinya perubahan iklim.
Berbagai macam cara untuk mendapatkan
informasi iklim masa lampau, diantaranya
adalah metode lingkar pohon atau tree ring,
metode inti es (ice core), analisis sedimen,
analisis karang, dan masih banyak metode
lainya untuk merekonstruksi iklim di masa
data dari tahun 1965-1985 diperoleh dari
kumpulan data statistik iklim ASEAN,
kemudian data sisa dari tahun 1976-2010
diperoleh dari data BMKG yang didapat di
perpustakaan Departemen Geofisika dan
Meteorologi dan web yang sama untuk
melengkapi data tersebut.
Analisis ini membagi data iklim menjadi
empat periode. Periode data iklim dalam
analisis ini terdiri dari tiga periode
dasawarsa yaitu:
a. Periode I (1965-1974),
b. Periode II (1975-1984),
c. Periode III(1985-1994), dan
d. Periode IV(1995-2010) dengan
panjang data adalah 15 tahun.
Selain itu dalam satu tahun data dibagi
dua musim yaitu:
a. DJF (Musim Hujan): Desember,
Januari, Februari.
b. JJA (Musim Kemarau): Juni, Juli,
Agustus.
Analisis data ini menguji kecenderungan
naik atau turun dari kedua parameter dengan
empat periode dan dua musim yang telah
disebutkan di atas.
Tabel 2 Informasi stasiun observasi
Nama
Stasiun
Jakarta
Obs
Ketinggian
Bujur
Lintang
8 mdpl
106.83
-6.18
Deret
Waktu
19652010
lampau. Kajian ini mengkaji tentang empat
metode paleoklimatologi yaitu metode inti
es (ice core), metode dendrokronologi (tree
ring), metode analisis karang (coral), dan
analisis serbuk sari (pollen)
Metode ice core biasa diobservasi di
daerah dengan penutupan es yang tebal.
Sedangkan untuk metode dendrokronologi
menggunakan pohon yang berumur cukup
tua untuk mengetahui kejadian cuaca yang
terekam pada lingkar pohonnya. Metode
analisis karang menggunakan terumbu
karang yang dijadikan tempat tinggal bagi
ganggang sehingga dapat terekam berbagai
unsur kimia untuk merekonstruksi iklim
masa
lalu.
Analisis
serbuk
sari
menggunakan endapan serbuk sari yang
terdapat pada lapisan sedimen danau, sungai,
laut dan daratan. Informasi yang didapat
9
dari keempat metode ini juga dapat
dihubungkan dengan fenomena yang terjadi
pada masa itu.
4.1.1 Metode Inti Es (Ice Core)
Gletser merupakan perekam
terbaik
yang paling cepat merespon perubahan iklim
natural maupun antropogenik. Analisis ice
core merupakan analisis bagian dari gletser
yang dibor dan memberikan 3 jenis
informasi dari masa lalu maupun perubahan
iklim saat ini:
- Informasi temperatur dan presipitasi
sebagai data iklim yang terekam dalam
tiap lapisan es.
- Informasi percepatan hilangnya gletser
itu sendiri.
- Informasi flora dan fauna kuno yang
pernah hidup di tepian gletser
(Thompson 2010).
Salju yang jatuh menggambarkan
informasi yang unik, bukan hanya presipitasi
dan temperatur, tapi juga komposisi
atmosfer (partikulat larut atau tidak larut),
letusan gunung berapi, bahkan variasi
pergerakan matahari di masa lalu (Bradley
1999).
Informasi suhu pada saat musim panas
didapatkan dari lapisan es gelap yang
meleleh, sedangkan suhu pada musim dingin
dengan salju turun setiap harinya didapatkan
dari kuantitas isotop oksigen yang
terkandung dalam es tersebut. Informasi
kelembaban didapatkan dari kandungan
isotop hirdrogen atau deuterium (Tabel 3).
Semua analisis yang dilakukan pada lapisan
es tertentu menghasilkan output parameter
yang saling berhubungan seperti yang
terlihat pada Tabel 3.
Informasi suhu dari inti es dapat
diketahui dari isotop oksigen, hidrogen, dan
konstituen air serta karbon dioksida yang
terkandung
dalam
lapisan
es
tersebut. Aktivitas vulkanik dapat dideteksi
dengan menganalisis konduktivitas serta
kandungan sulfat yang tidak mengandung air
laut.
Kekeruhan atmosfer dapat diketahui
dengan menganalisis ECM (Elektrical
Conductivity Measure) , kandungan
mikropertikel, dan jejak elemen. Ukuran
partikel yang terkandung dalan inti es
manggambarkan kecepatan angin pada masa
itu. Selain itu aktivitas tatasurya di
indikasikan dengan kandungan isotop
berelelium
yang
merupakan
isotop
radioaktif.
Tabel 3 Sumber informasi utama paleoklimatik dari inti es (Bradley 1999)
Parameter
Analisis
Suhu Musim panas
Melt layers
Hari turun salju
δD, δ18O
Kelembaban
Deuterium excess (d)
Akumulasi masalalu (net)
Seasonal signals, 10Be
Aktivitas vulkanic
Conductivity, nss. SO4
Turbiditas troposfer
ECM, microparticle content, trace elements
Kecepatan angin
Particle size,
Komposisi atmosfer: jangka panjang akibat ulah Concentration
manusia
CO2, CH4, N2O content,
Sirkulasi atmosfer
Glaciochemistry (major ions),
10
Aktivitas tatasurya
Be
10
Gambar 1 Observasi tutupan es Dasuopu, Himalaya (Thompson 2010).
Observasi pada gambar di atas dilakukan
pada tahun 1997. Kedalaman es yang
berhasil dibor adalah 168m dari permukaan.
Kemudian es tersebut mulai dianalisis unsur
fisik dan kimianya. Observasi ice core ini
juga memiliki kelemahan. Rumitnya analisis
kimia dan fisik es serta berkurangnya
tutupan es akhir-akhir ini menyebabkan
objek observasi semakin berkurang. Data
yang didapatkan dari observasi ini terbatas
hanya bagian bumi yang memiliki lapisan es
yang cukup tebal untuk diobservasi. Berikut
berbeberapa lokasi observasi inti es di dunia
bersumber dari buku Paleoclimatologi
Second Edition.
Tabel 4 Lokasi observasi inti es di dunia ( Bradley 1999)
Pengeboran
Lokasi
Camp Century
N.W. Greenland
GISP2 (Summit)
C. Greenland
GRIP
C. Greenland
Dye-3
S. Greenland
Renland
E. Greenland
Agassiz
N. EUesmere Island
Devon
Devon Island
Barnes
Baffin Island
Penny
Baffin Island
Byrd
West Antarctica
J9 (Ross ice shelf)
West Antarctica
Dome C
East Antarctica
Vostok
East Antarctica
Law Dome
East Antarctica
Taylor Dome
East Antarctica
Dome Fuji
East Antarctica
Dunde
Western China
Guliya
Western China
Huascaran
Peru
Sajama
Bolivia
Dasuopu
Western China
Kedalaman max (m)
1387
3053
3029
2037
324
338
299
334
2164
905
3350
1203
375
2500
140
309
166
133
168
11
Informasi iklim yang terekam dalam
setiap batang es yang dibor memiliki
indikator dan parameter analisis yang sama.
Es yang sudah dibor akan dimasukan dalam
brangkas es untuk selanjutnya terus
dilakukan analisis kimia yang berkelanjutan
tentang parameter-parameter iklim.
Kedalaman paling dalam yang pernah
diobservasi berada di Vostok antartika
timur. Inti es ini merekam informasi iklim
selama 420.000 tahun yang kemudian
dijadikan objek dan rujukan untuk penelitian
perubahan iklim dunia (NOAA 2007).
4.1.2 Metode Tree Ring
Dendrokronologi adalah studi tentang
perubahan iklim sebagaimana dicatat oleh
cincin pertumbuhan pohon. Setiap tahun,
pohon menambahkan lapisan pertumbuhan
antara kayu tua dan kulit. Lapisan ini, atau
cincin tidak hanya merekam kadar air tanah,
melainkan juga merekam kejadian selama
pertumbuhan. Lapisan yang lebih lebar
merupakan
rekaman
musim
hujan.
Sedangkan lapisan yang lebih sempit
merekam musim kering.
Informasi iklim pada cincin pohon sangat
bervariasi bukan hanya
suhu dan
kelambaban tapi juga keadaan radiasi pada
masa itu. Dalam kondisi tertentu pohon
dapat tumbuh hingga ribuan tahun misalnya
pinus bristlecone.
Metode ini juga memiliki kelemahan.
Pohon yang tumbuh di iklim sedang hanya
akan mencatat bagaimana musim panas dan
musim tanam, sehingga musim dingin
seekstrim apapun kurang tergambarkan
dengan baik. Pohon di daerah tropis yang
tumbuh setiap tahunnya tidak dapat
menunjukkan
dengan
jelas
cincin
pertumbuhannya. Selain itu, tidak semua
tempat di bumi ini ditumbuhi pohon
(misalnya daerah kutub), sehingga penelitian
tentang lingkar pohon ini sangat terbatas
pada ruang dan waktu tertentu. Pohon tertua
yang sudah diobservasi berumur 9000 tahun
dari jenis pinus bristlecone (Gou et al.
2006).
Bagian batang dari pohon berkambium
yang biasanya banyak terdapat di daerah
tropis menggambarkan banyak informasi
iklim dari cincin pertumbuhannya. Cincin
pohon (Gambar 2) merupakan bagian
lapisan sel tebal (latewood) yang dipisahkan
oleh lapisan sel tipis (earlywood).
Ketebalan lapisan antara earlywood dan
latewood
merupakan sumber informasi
yang sangat berharga. Densitas lapisan
tersebut dikaitkan dengan suhu dan
kemudian
dikaitkan
dengan
musim.
Kerapatan yang tinggi sangat erat kaitannya
dengan bulan April sampai Agustus di
daerah hutan boreal Alaska sampai
Labrador. Musim dingin menyebabkan
terjadinya nilai densitas lebih minimum
(D'Arrigo et al. 2009).
Kulit kayu
Kambium
Lapisan cincin palsu
Lapisan cincin tahunan
Latewood
Earlywood
Bintik Pembuluh
Inti
Gambar 2 Bagian melintang batang pohon berkambium (Bradley 1999).
Struktur kayu
12
Kerapatan (g/cm)
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0
Karapatan maksimum
Kerapatan minimum
Lebar earlywood
Lebar latewood
Lebar cincin
Gambar 3 Hasil pengukuran densitas dengan sinar-x (Schweingruber et al. 1993).
Kerapatan lapisan lingkar pohon juga
dapat diukur dengan sinar x (Gambar 3)
untuk mendapatkan hasil yang akurat.
Penanggalan dengan metode ini juga sangat
penting. Metode ini dilakukan untuk
mengetahui secara tepat usia cincin yang
terdapat pada pohon tersebut menggunakan
pohon pembanding yang seumur (Bradley
1999).
4.1.3 Analisis Karang (Coral)
Istilah
karang
(coral)
umumnya
digunakan untuk terumbu karang yang
berasal dari ordo Scleractinia. Karang dari
ordo tersebut memiliki kerangka kapur yang
sejati (keras). Satu individu karang disebut
polip yang memiliki ukuran yang bervariasi,
mulai dari 1mm-5000mm (Cobb et al.
2008).
Untuk studi iklim masa lalu karang yang
penting untuk diobservasi merupakan
bangunan terumbu karang yang besar dan
hidup saling ketergantungan (simbiotik)
dengan alga uniseluler (zooxanthellae).
Karang yang melakukan hubungan simbiotik
dengan zooxanhellae disebut karang
hermatypic.
Gagang
menghasilkan
karbohidrat
dengan proses fotosintesis. Proses tersebut
membutuhkan sinar matahari. Dengan
demikian karang hermatypic tumbuh paling
dalam hanya 20m dari permukaan laut,
dengan tingkat kekeruhan air yang kecil.
Sebagian besar carbon organik diserap
gangang
untuk
fotosintesis,
dan
menyediakan makanan bagi karang untuk
terus tumbuh. Sementara itu karang
memberikan perlindungan terhadap alga.
Pertumbuhan karang sangat dipengaruhi
oleh suhu (maximum pada 20oC). karena
itulah karang tumbuh disekitar lintang 30o
utara dan 30o selatan. Ketika suhu turun ke
18oC, tingkat klasifikasi pertumbuhan
karang berkurang dan akan mati pada suhu
yang lebih rendah (Bradley 1999).
Sampel untuk analisis biasanya dibor di
bagian yang menggambarkan pertumbuhan
karang. Untuk mendapatkan hasil yang
maksimal dilakukan pengambilan sampel
yang rutin (6-10 kali per tahun). Penelitian
karang berfokus pada catatan lingkungan
pada masa pertumbuhannya. Selain itu
dicatat pula kandungan beberapa unsur
kimia yang menggambarkan beberapa
parameter seperti yang tertera pada tabel di
bawah ini.
13
Tabel 5 Waktu, tempat dan parameter observasi karang (Bradley 1999)
Panjang
Wilayah
Lintang
Bujur
Parameter
Indikator dari:
Rekaman
SST (Sea Surface
Lapisan
Bermuda
32o LU
65oBB
1180-1986
Temperature) dan
pertumbuhan
upwelling
δ18O
Pulau Cebu,
SST , curah hujan,
10oLU
124oBT
1860-1980
δ13C
Philippina
perawanan
δ18O
Teluk Chiriqui,
Panama
8oLU
82oBB
1707-1984
Karang Tarawa,
Karibati
1oLU
172oBT
1893-1989
Pulau Isabella,
Kepulauan
Galapagos
Espiritu Santo,
Vanuatu
0.4oLS
91oBB
1587-1953
15oLS
167oBT
1806-1979
δ18O
δ13C
SST , curah hujan,
perawanan
Great Barrier,
Terumbu karang
Australia
22oLS
153oBT
1635-1957
Δ14 C
Upwelling
New Caledonia
22oLS
166oBT
1655-1990
Tingkat pertumbuhan karang bergantung
pada suhu permukaan laut dan nutrisi yang
terkandung pada air laut. Nutrisi tersebut
banyak didapatkan dari proses fotosintesis
yang dipengaruhi oleh radiasi dan keawanan.
Waktu rekonstruksi karang yang
terpanjang adalah 800 tahun yang berhasil
diobservasi di Bermuda. Pada observasi
tersebut
diketahui
bahwa
tingkat
pertumbuhan koral berbanding terbalik
dengan SST, sebagai contoh air upwelling
yang dingin membawa banyak nutrisi dan
menyebabkan meningkatnya pertumbuhan
karang.
Kondisi terdingin yang dialami dari
1470-1710 dan sejak 1760 sampai akhir
abad kesembilan belas, diikuti oleh
pemanasan di abad kedua puluh. Hal ini
mirip dengan perkiraan musim panas
belahan bumi utara (Bradley 1999).
Isotop oksigen diketahui menujukan
korelasi terhadap suhu ketika mengalami
pengendapan karbonat secara biologis.
Berkurangnya konsentrasi δ18O sebesar
0,22% menyebabkan kenaikan suhu sebesar
1oC (Gribin 1978). Dengan meningkatnya
suhu permukaan laut
maka penguapan
semakin meningkat. Sehingga jumlah curah
hujan juga akan mengalami peningkatan.
δ18O
δ18O
δ18O
Curah hujan
Curah Hujan
SST
SST
δ13C (isotop karbon) mengindikasikan
perawanan pada masanya. Nilai δ13C
tersebut dipengaruhi oleh fotosintesis
gangang yang terdapat pada karang.
Semakin tinggi konsentasi δ13C pada karang
maka semakin tinggi tingkat fotosintesis.
Konsentrasi δ13C berkurang seiring dengan
bertambahnya
kedalaman.
Hal
ini
menunjukan bahwa δ13C peka terhadap
cahaya,
dan
dapat
mengindikasikan
perawanan pada masa itu (Gribbin 1978).
Selain itu parameter lainya yang dianalisis
adalah Δ14C yang saat ini diindikasikan
kepada siklus samudra yaitu upwelling.
Analisis yang rumit dan keterbatasan
objek hanya pada lintang tertentu
menyebabkan metode ini lebih jarang
dilakukan dibandingkan metode ice core dan
tree ring. Berkurangnya jumlah terumbu
karang menjadi kendala utama dalam
penelitian ini.
4.1.4 Analisis Serbuk Sari (Pollen)
Serbuk sari adalah tempat gametofit
jantan pada generasi gametofit tumbuhan
Gymnospermae
dan
Angiospermae.
Penyebaran serbuk sari dapat terjadi melalui
berbagai perantara, yaitu: angin, air, dan
binatang. Penyebaran ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain: turbulensi udara,
14
arah dan kecepatan angin, berat dan bentuk
serbuk sari, serta ketinggian dan kekuatan
sumber serbuk sari dan spora.
Analisis serbuk sari (pollen analysis)
merupakan metode yang paling penting
dalam rekonstruksi flora, vegetasi, dan
lingkungan masa lampau, karena serbuk sari
yang sangat awet atau tahan terhadap
kerusakan. Selain itu serbuk sari dihasilkan
dalam jumlah yang sangat banyak dan
tersebar secara lebih luas dan merata
dibandingkan dengan makrofosil. Kelebihan
lainya adalah serbuk sari dapat diperoleh
dari sedimen dalam jumlah yang sangat
banyak sehingga memungkinkan untuk diuji
secara kuantitatif / statistik.
Analisis serbuk sari dapat digunakan
untuk melacak sejarah kelompok dan jenis
(spesies) tumbuhan serta habitatnya.
Analisis serbuk sari juga dapat menentukan
umur relatif batuan atau sedimen. Inti dari
analisis serbuk sari untuk paleoklimatologi
adalah untuk memperlajari sejarah iklim,
dan pengaruh manusia terhadap lingkungan
(Kneller 2009).
Serbuk sari dan spora adalah dasar dari
sebuah aspek penting dari rekonstruksi iklim
bumi. Sebuah studi khusus untuk
mempelajari serbuksari dan spora biasa
disebut dengan palinologi. Serbuk sari yang
tersebar di danau, laut dan mengendap
dalam sedimen memberikan catatan
perubahan vegetasi masa lalu yang mungkin
terjadi karena perubahan iklim. Metode ini
merupakan metode pelengkap paling penting
untuk melengkapi hasil dari metode lainya
(Bradley 1999).
Tahap yang dilakukan pada metode ini
adalah mengklasifikasi morfologi, deskripsi
morfologi serbuk sari, serta menentukan
taksonomi. Sehingga dapat diketahui habitat
serta
iklim
yang
medukung
pertumbuhannya. Serta dapat diketahui jenis
tumbuhan yang tumbuh pada masa itu.
Kemudian bagaimana tumbuhan tersebut
bertahan hidup (NOAA 2011).
Perbedaan dalam produktivitas dan
tingkat penyebaran serbuk sari menimbulkan
masalah yang signifikan untuk rekonstruksi
komposisi vegetasi karena kelimpahan
relatif serbuk sari tidak dapat langsung
diinterpretasikan dalam hal kelimpahan
spesies di daerah tersebut. Maka sangat
penting untuk mengetahui hubungan antara
frekuensi tanaman di daerah itu dan jumlah
hujan serbuk sari yang terjadi. Sebagai
contoh, komunitas vegetasi terdiri dari 10%
pinus, maple 35%, dan beech 65%
dapat diwakili dengan jumlah serbuk sari
yang kurang lebih sama persentasenya
(Bradley 1999).
Penentuan
iklim
dengan
analisis
serbuksari juga dapat dilakukan secara
kuantitatif.
Dengan
menggunakan
persamaan sederhana ini:
Cm = Tm. Pm………………(2)
Cm merupakan iklim modern, Pm hujan
serbuk sari modern, dan Tm merupakan
keofisien fungsional (fungsi transfer) yang
diperoleh dari hubungan antara serbuk sari
dan iklim (Bradley 1999). Persamaan
sederhana tersebut berkembang dengan
melalui penelitian lebih lanjut dan
ditransformasi menjadi:
July Tmean (°C) = 17.76 +1.73(Quercus)0.25
+ 0.09(Juniperus)+
0.51(Tsuga)0.41(Pinus)0.250.12(Acer)-0.04
(Fagus)……………..(3)
Persamaan 3 menggunakan pensentase
serbuk sari dan baru dilakukan penelitian di
Amerika Serikat dan New England oleh
Bartlein dan Webbs pada tahun 1985.
Sementara keofisien dari tiap jenis
tumbuhan didapatkan dari korelasi antara
suhu bulan Juli disuatu wilayah tertentu
(varibel lingkungan) , dan nilai persentase
penyebaran serbuk sari suatu spesies tertentu
di daerah tersebut. Persamaan diatas
memiliki R2 sebesar 0.77. Variabel yang
mempengaruhi suhu rata-ratabualn Juli
adalah persentase subgenus Quercus (pohon
Oak), Juniperus, Tsuga (cemara), Pinus,
Acer (maple), Fagus. Hasil dari penelitian
terbut adalah suhu di bulan Juli di wilayah
Amerika Utara hingga Kanada lebih hangat
1-2oC dibandingkan suhu saat ini. Penelitian
yang dilakukan di wilayah Eropa Tengah
sampai Eropa Selatan menghasilkan suhu
bulan Juli yang lebih hangat 4oC
dibandingkan suhu saat ini (Bradley 1999).
Dengan suhu Bulan Juli ditentukan juga
suhu bulan Januari yang mengikuti pola
suhu wilayah tersebut. Sehingga curah hujan
wilayah tersebut juga bisa diketahui.
Menurut Bradley panjang tahun yang dapat
di rekonstruksi dengan analisis polen pun
cukup panjang. Dua situs di Perancis dapat
merekstruksi suhu dan curah hujan hingga
140,000 tahun yang lalu.
15
panjang, bahkan sebelum parameter iklim
dapat diobservasi menggunakan instrument
iklim seperti saat ini. Sebagai contoh,
Gambar 4 merupakan rekaman data iklim
sejak 420.000 tahun terakhir. Data ini
berhasil
direkonstruksi
dengan
menggunakan metode ice core yang
diobservasi di Vostok, Antartika.
Rekaman data perubahan suhu yang
terlihat (Gambar 4) merupakan variabilitas
iklim. Gambar tersebut menunjukan
fluktuasi perubahan suhu yang berulang
dalam jangka waktu tertentu (ribuan abad).
Kenaikan suhu yang terjadi dalam beberapa
abad diikuti dengan penurunan suhu pada
abad-abad selanjutnya dengan pola yang
hampir sama.
Terdapat empat peningkatan suhu yang
cukup signifikan dan kemudian mencapai
titik puncak yang diikuti dengan penurunan
suhu. Hal ini menunjukan dalam jangka
waktu yang sangat panjang suhu tidak hanya
terus mengalami peningkatan akan tetapi
juga mengalami penurunan. Oleh karena itu
perubahan iklim yang terjadi dalam jangka
waktu yang sangat panjang dalam skala
global, tidak dapat disimpulkan hanya
diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi
gas rumah kaca sejak revolusi industri.
Sedangkan revolusi industri baru terjadi
sekitar tiga abad terakhir.
Kecenderungan suhu selama abad
tersebut juga tidak semuanya mengalami
peningkatan
seiring
meningkatnya
konsentrasi gas rumah kaca. Terdapat
periode dimana suhu cenderung turun yang
juga diakibatkan oleh penyebab natural.
4.2 Perubahan Suhu Global Sebagai
Indikasi Perubahan Iklim Global
Akibat Kejadian Alam (Natural)
Perubahan iklim merupakan perubahan
pada komponen iklim yaitu suhu, curah
hujan, kelembaban, evaporasi, arah dan
kecepatan angin, dan perawanan (BMKG
2011). Perubahan
iklim global adalah
perubahan pola iklim pada skala global dan
dalam kurun waktu yang panjang (NOAA
2007).
Sedangkan
perubahan
iklim
(lokal/regional) adalah perubahan pada pola
dan intensitas unsur iklim (biasanya
terhadap rata-rata 30 tahun) di suatu daerah
tertentu.
Perubahan
iklim
lokal/regional
merupakan bagian dari perubahan iklim
global. Apabila terjadi perubahan intensitas
unsur iklim selama 30 tahun pada suatu
wilayah tertentu belum cukup untuk
dipublikasikan sebagai perubahan iklim
global. Kenaikan rata-rata suhu global
selama dua abad terakhir dinyatakan sebagai
indikasi perubahan iklim global. Suhu akan
terus
meningkat
seiring
dengan
meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca
akibat aktivitas manusia. Penyataan tersebut
didukung dengan data perubahan suhu
selama dua abad terakhir . Akan tetapi data
tersebut belum cukup untuk membuktikan
bahwa telah terjadi perubahan iklim dengan
suhu yang akan terus meningkat akibat
aktivitas manusia. Faktor natural justu
mempengaruhi setiap perubahan iklim di
bumi.
Perubahan iklim global dianalisis dengan
rekaman data iklim global yang sangat
4
2
0
Perubahan
Suhu (oC)
-2
-4
-6
-8
-10
-12
-400.000
-300.000
-200.000
-100.000
Tahun
Gambar 4 Grafik perubahan suhu sebagai variabilitas iklim 420.000 tahun terakhir daerah Inti Es
Antartika (NOAA 2007).
0
16
Ocean Circulation
Samudra merupakan bagian terluas dari
permukaan bumi. Samudra menyumbangkan
sebagian besar H2O yang terdapat di
atmosfer. Beberapa fenomena sirkulasi
samudra seperti
El Nino Southern
Oscillation (ENSO) merupakan sebuah
contoh variasi internal atau alami pada skala
cuaca tahunan (Leurox 2005). Gray (2009)
menyatakan, MOC (Meredional Overtuning
Circulation) merupakan penyebab primer
perubahan iklim. MOC merupakan hasil dari
penyatuan THC (Thermohalin Circulation)
dan
SAS
(Surrounding
Antartica
Subsidence). Gray lebih menitik beratkan
konsentrasi H2O dibandingkan CO2 sebagai
penyebab utama kenaikan suhu global.
Karena pada kenyataannya, CO2 hanya
meningkatkan 0.1-0.20C dari 0.740C
kenaikan suhu bumi saat ini.
Perbedaan orbital dalam radiasi
Parameter orbital mempengaruhi radiasi
berubah secara konstan dengan perbedaan
pada jarak Bumi-Matahari dan inklinasi
pada ekliptik dan orientasi pada poros polar
angkasa, yang menentukan radiasi yang
diterima bumi. Pergerakan dan perubahan
orbit bumi menyebabkan perbedaan radiasi
yang diterima bumi (Leurox 2005).
Hal ini dijelaskan dalam Teori
Milankovich. Dalam teorinya, beliau
memaparkan mengenai tiga hal yang dialami
oleh
bumi
sehingga
menghasilkan
perubahan iklim akibat perbedaan intensitas
radiasi matahari di permukaan bumi.
Pertama, Eksentrisitas yaitu perubahan
bentuk dari orbit imajiner bumi yang
mengelilingi matahari. Bentuk orbit tidak
bulat, tetapi memiliki nilai eksentrisitas,
sehinggal bentuknya menjadi sedikit elips
dan tidak bulat sempurna. Nilai eksentrisitas
suatu orbit berada diantara 0 (bulat
sempurna) hingga 1 (parabola yang tidak
memiliki ujung). Saat ini nilai eksentrisitas
bumi adalah 0.0167, sementara ribuan tahun
yang lalu nilainya 0.0034 hingga 0.058.
Nilai eksentrisitas itu akan terus berubah
membentuk suatu siklus yang bervariasi
dalam 413,000 tahun (Berger et al. 2006).
Akibat dari bentuk orbit bumi yang seperti
itu, muncul istilah perihelion dan aphelion.
Ketika matahari berada dalam titik atau jarak
terdekat dengan bumi disebut perihelion,
dimana bumi menerima radiasi paling tinggi
dari matahari sehingga suhu menjadi lebih
panas. Titik terjauhnya disebut aphelion,
dimana bumi menerima radiasi matahari
terendah sehingga mengalami penurunan
suhu.
Kedua adalah Obliquity, kemiringan
bumi ketika berotasi. Kemiringan itu
bervariasi dalam kurun waktu 40,000 tahun,
dan bergerser antara 22,1o hingga 24,5o. Jika
kemiringan bumi bertambah maka musim
panas akan lebih panas dan musim dingin
akan lebih dingin. Sebaliknya, jika terjadi
pengurangan kemiringan berarti musim
panas akan menjadi lebih dingin dan musim
dingin akan menjadi lebih panas. Saat ini
kemiringan bumi berkurang, sehingga suhu
bumi menjadi semakin panas. Kemiringan
bumi saat ini adalah 23,5o, dan saat ini
sedang setengah jalan bergerak menuju nilai
minimumnya, yaitu 22.1 o (A k c a m 2004).
William (2003) menyatakan kemiringan
bumi sebesar 23.5 o suhu rata-rata bumi
adalah 15oC.
Ketiga adalah Presisi, yaitu perubahan
arah rotasi karena bergesernya sumbu bumi.
Siklus ini bervariasi selama 19,000-23,000
tahun. Matahari dan bulan sangat
berpengaruh terhadap perubahan ini.
Dampak perubahan arah rotasi bumi ini bisa
mengubah waktu perihelion yang jatuh pada
bulan Januari dan aphelion yang jatuh bulan
Juli. Hal ini akan meningkatkan kontras
musim pada salah satu belahan bumi,
sedangkan pada bagian lainnya mangalami
penurunan. Sebagai contoh saat posisi bumi
sangat dekat dengan matahari musim dingin
akan lebih panas dan sebaliknya. Dampak
lain yang juga terjadi adalah perubahan utara
dan selatan bumi sehingga suhu Kutub Utara
meningkat (Breger 2006).
Perbedaan aktivitas tata surya
Tata surya mengalami aktivitas yang
terjadi sebagai siklus. Misalnya siklus titik
matahari (sunspot) maksimun dan minimum
(11 tahun sekali) akan menyebabkan
berubahnya solar constant yang sampai ke
permukaan atmosfer bumi. Kemunculan
sunspot tidak hanya berguna dalam
menentukan periode rotasi matahari, tapi
juga untuk menentukan tingkat aktivitas
matahari. Jika jumlah sunspot di permukaan
matahari banyak, berarti aktivitas matahari
tinggi, dan begitu juga sebaliknya (LAPAN
2010).
Hal
ini
menyebabkan
ketidakseimbangan iklim bumi dari nilai
solar constant yang dipancarkan matahari.
Jumlah sunspot berkorelasi dengan solar
constant. Karena bintik matahari yang lebih
gelap dari fotosfer sekitarnya mungkin
diharapkan bahwa bintik matahari lebih akan
menyebabkan kurang radiasi matahari dan
17
menurunnya nilai solar constant . Namun,
margin sekitar bintik matahari lebih terang
dan lebih panas dari rata-rata, secara
keseluruhan bintik matahari meningkatkan
nilai solar constant. Bintik matahari
minimum yang telah diamati terjadi sekitar
tahun 1645-1715. Hal ini bertepatan dengan
periode pendinginan yang dikenal sebagai
Little Ice Age (Lean dan Rind 1994).
Vulkanisme
Gunung berapi, baik yang masih aktif
maupun yang tidak, adalah sumber gas yang
berkelanjutan.
Gunung
api
juga
melemparkan hal berikut ke atmosfer:
Uap air
Komponen sulfur (kebanyakan sulfur
dioksida, SO2)
Karbon dioksida , 35-65% dari CO2
diperlukan untuk menyeimbangkan
kekurangan dari sistem lautanatmosfir, dan
Klorin (36 juta ton dalam setahun
tanpa erupsi utama).
Gunung Erebus, di Antartika, dalam
erupsi yang berkelanjutan sejak 1972 telah
memancarkan lebih dari 1000 ton klorin per
hari (370,000 dalam setahun). Hal ini
menjadi kontributor utama dalam mereduksi
ozon di atas Kutub Selatan (Leurox 2005).
Selain Klorin komponen di atas dapat
terakumulasi di atmosfer dan menjadi
payung tebal yang menyebabkan panas bumi
terperangkap dibawahnya. Selain itu radisi
matahari akan terhalang oleh payung
tersebut sehingga permukaan bumi yang
ditutupi oleh komponen vulkanik tersebut
akan menerima radiasi matahari yang lebih
rendah.
Pengaruh dari radiasi tata surya telah
diukur sejak erupsi dari Krakatau (Sumatra,
Indonesia) pada 1883. Aerosol dari erupsi
ini mengurangi radiasi tata surya secara
langsung 20-30% dalam beberapa bulan.
Ledakan Gunung Agung (Bali, Indonesia)
pada 1963, yang kemudian disebut „erupsi
abad ini’ karena kuantitas abunya yang
mencapai stratosfer, membawa 24% reduksi
pada radiasi langsung. Akan tetapi pengaruh
persebaran pengganti membawanya turun
sebesar hanya 6% dari total radiasi; butuh 13
tahun untuk debu vulkanik terdispersi
(Leurox 2005).
4.3 Skenario Budget Energi untuk
Menduga Perubahan Rata-rata Suhu
Global.
Cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh
radiasi matahari. Radiasi matahari yang
mencapai bumi mencapai 342 Wm-2. Sekitar
30% dari radiasi tersebut direfeleksikan
kembali ke angkasa luar karena adanya awan
dan permukaan bumi. Permukaan bumi akan
menyerap radiasi matahari sebesar 168 Wm2
, sedangkan atmosfer menyerap 67 Wm-2
(Kiehl dan Trenberth 1997).
Radiasi
matahari
yang
diserap
permukaan bumi akan dipancarkan kembali
oleh bumi sebagai radiasi gelombang
panjang. Sebesar 390 Wm-2 yang
dipancarkan
permukaan
bumi
tidak
semuanya dipancarkan secara langsung. Gas
rumah kaca menyebabkan 324 Wm-2 energi
yang dipancarkan kembali dipantulkan ke
permukaan bumi (Kiehl dan Trenberth
1997).
342 Wm-2
Gambar 5 Mekanisme keseimbangan energi permukaan (Kiehl dan Trenberth 1997).
18
Atmosfer mempunyai beberapa lapisan
gas, termasuk gas rumah kaca dan awan
yang akan mengemisikan kembali sebagian
radiasi inframerah yang diterima ke
permukaan bumi. Dengan adanya lapisan ini
maka panas yang ada di permukaan bumi
akan bertahan. Untuk jangka panjang akan
terjadi keseimbangan antara radiasi yang
masuk dan yang keluar sehingga suhu di
bumi mencapai nilai tertentu (Sugiyono
2009).
Tanpa atmosfer dan gas rumah kaca yang
terdapat di dalamnya maka bumi secara
teoritis akan memiliki suhu permukaan
sebesar -180C (Oke 1978). Hal ini dapat
dihitung menggunakan model sederhana
budget energi permukaan (persamaan 1)
yaitu:
S(1-α) = 4
T4
1367Wm (1-0.3) = 4.1.5,7x10-8 Wm-2.T4
T ≈255K
T≈ -18oC
-2
Suhu yang dihasilkan sebesar -18oC
untuk keadaan tanpa atmosfer dengan nilai
solar constant (1367Wm-2), emisivitas (1),
dan albedo normal (0.3). Nilai suhu
permukaan bumi yang dihasilkan adalah
nilai suhu ketika bumi tidak memiliki
atmosfer. Bumi, selain memiliki atmosfer
juga memiliki inti radioaktif yang
menghasilkan panas sebesar 87 Wm-2
(Hutton 2010).
Lautan merupakan 70% bagian dari bumi
yang menyumbangkan begitu banyak H 2O
dan beberapa gas lain dari sirkulasi yang
terjadi baik di atas maupun di dalamanya.
Gas-gas tersebut secara alami menghalangi
sebagian panas keluar dari bumi. Hal
tersebut menyebabkan suhu observasi bumi
lebih hangat 33 oC dari suhu yang di dapat
dari persamaan di atas. Suhu rata-rata
permukaan bumi yang terukur adalah 15oC
(Leurox 2005).
Salah satu penyebab natural perubahan
iklim adalah aktivitas tatasurya. Hal ini
dapat menyebabkan perubahan nilai solar
constant. Peningkatan nilai solar constant
sebesar 1% akan menyebabkan kenaikan
suhu sebesar 0.6 0C (Leurox 2005). Hasil
perhitungan di bawah ini (Persamaan 4)
menunjukan nilai perubahan suhu yang sama
dengan pernyataan di atas.
S(1-α) = 4 T4
ln S+ln (1- α) = ln 4+ ln +ln + 4ln T
*Asumsi
konstan dan
konstan
……….(4)
o
Nilai tersebut sesuai dengan nilai ΔT 1
skenario 1 pada Tabel 6. Sedangkan nilai
ΔT 2 merupakan nilai perubahan suhu ketika
nilai T adalah 288K atau 15oC (sesuai ratarata suhu observasi saat ini). Nilai T pada
persamaan diatas membedakan ΔT 1 sebagai
perubahan suhu dimana suhu dasarnya
merupakan suhu bumi tanpa adanya
atmosfer. Sedangkan ΔT 2 merupakan
perubahan suhu ketika suhu dasarnya adalah
suhu bumi dengan diselimuti atmosfer dan
variable lain berubah sesuai skenario seperti
pada Tabel 6.
Albedo memilki pengaruh yang cukup
besar dalam perubahan suhu global, seperti
yang terlihat pada Skenario 2 (Tabel 6).
Berdasarkan data rekaman Clouds and Earth
Radiant Energy System (CERES) albedo
global yang tercatat padatahun 2000-2004
mengelami penurunan sebesar 0.9% dan
mengakibatkan suhu naik sebesar 0.25oC
(tanpa atmosfer) dan 0.27oC (dengan
atmosfer).
Menurut Leurox (1995), letusan Gunung
Agung (1963) di Bali (Skenario 3) yang
mengakibatkan albedo naik sebesar 6% dan
suhu mengalami penurunan sebesar 1.65oC
(tanpa atmosfer) dan 1.85oC (dengan
atmosfer) . Kenaikan albedo sebesar 6%
adalah
hasil penyebaran abu vulkanik
setelah mengalami erupsi dan menyebar.
Selain itu albedo bumi memiliki korelasi
yang positif dengan kekeruhan atmosfer.
Berdasarkan penelitian Budiwati (2003)
nilai kekeruhan atmosfer yang semakin
menurun pada tahun 1996 sampai tahun
1998 menyebabkan albedo bumi turun
sebesar 1.5%. Hal ini mengakibatkan suhu
permukaan bumi naik sebesar 0.49oC. Pada
Skenario 4 (Tabel 6) pendugaan perubahan
suhu tersebut mendekati hasil penelitian
Budiwati dengan ΔT 2 (dengan atmosfer)
yang bernilai 0.46oC dan ΔT 1( tanpa
atmosfer) bernilai 0.41oC.
19
Tabel 6 Skenario pendugaan suhu permukaan bumi
Sekenario
Parameter
ΔT 1
ΔT 2
Skenario
Normal
Skenario 1
Keterangan
S
α
ε
S naik 1%
α
Asumsi semua variabel dianggap tetap.
0.64
ε
0.72
Asumsi solar constant naik sebesar
1%, sedangkan variable lain dianggap
tetap (siklus bintik matahari).
Asumsi albedo turun sebesar 0.9%.
Penyataan ini merupakan catatan
α turun 0.9%
0.25
0.27
penurunan albedo 2000-2004 (NASA
ε
2011).
Asumsi albedo naik sebesar 6%,
S
sedangkan variable lain dianggap tetap
α naik 6%
-1.65
-1.85
akibat meletusnya Gunung Agung
ε
(Leurox 2005).
Asumsi albedo permukaan bumi turun
S
sebesar 1.5%. Mewakili perubahan
α turun 1.5%
tingkat kekeruhan atmosfer pada tahun
0.41
0.46
1996 sampai tahun 1998 (Budiwati et al
ε
.2003).
.
Asumsi emisivitas turun 1% yang
S
disebabkan perubahan penutupan lahan
α
vegetasi menjadi lahan non vegetasi,
0.64
0.72
sehingga emisivitas bumi terdiri dari
ε
lautan (70%) dan lahan non vegetasi
(30%).
ΔT1 = perubahan suhu dengan T=255K (tanpa atmosfer)
ΔT2 = perubahan suhu dengan T=288K (dengan atmosfer)
S
Skenario 2
Skenario 3
Skenario 4
Skenario 5
Keterangan :
Skenario
5
merupakan
skenario
perubahan
penutupan
lahan
yang
berpangeruh secara langsung terhadap
emisivitas bumi. Nilai emisivitas tiap
penutupan permukaan bumi berbeda antara
lain 0.98 untuk lautan dan air, 0.95 untuk
penutupan vegetasi, dan 0.92 untuk
penutupan lahan non vegetasi (Weng 2001).
Jika diasumsikan luasan lautan adalah 70%
dari luas bumi dan penutupan non vegetasi
adalah 20% dari luas permukaan bumi,
sementara luas penutupan vegetasi adalah
10% dari luas permukaan bumi maka ratarata emisivitas bumi adalah sebesar 0.965.
Skenario 5 mengasumsikan bahwa luasan
penutupan lahan vegetasi berubah menjadi
lahan non vegetasi seluruhnya. Hal ini dapat
dikarnakan penebangan serta kebakaran
hutan yang tidak bisa ditanggulangi.
Perubahan penutupan lahan tersebut
menurunkan rata-rata emisivitas bumi
sebesar 0.997% dan dibulatkan menjadi 1%.
Penurunan emivitas tersebut mengakibatkan
terjadinya kenaikan suhu sebesar 0.63oC
(tanpa atmosfer) dan 0.72oC (dengan
atmosfer).
Kenaikan nilai solar constant dapat
diakibatkan oleh aktivitas matahari yang
meningkat, misalnya saat jumlah bintik
matahari
mengalami peningkatan, atau
bahkan dalam keadaan maximum pada
siklusnya (11 tahun sekali). Selain itu
perbedaan orbital dalam radiasi juga
berpengaruh terhadap nilai solar constant.
Nilai albedo erat kaitanya dengan penutupan
awan dan daya pantul radiasi suatu
penutupan lahan. Semakin besar radiasi yang
dipantulkan semakin besar nilai albedo
begitu
pula
sebaliknya.
Sedangkan
emisivitas juga mengalami penurunan ketika
tutupan vegetasi semakin berkurang.
20
1940–1970. Pada periode ini suhu justru
mengalami penurunan ketika konsentrasi
CO2 dan gas rumah kaca lainnya mengalami
peningkatan. Hal ini dipengaruhi oleh
aktivitas matahari (siklus bintik matahari)
yang juga mengalami penurunan selama
siklusnya.
Aktivitas matahari dan anomali suhu
memiliki korelasi yang positif dan
berpengaruh terhadap fluktuasi suhu global
(Sibian et al. 2005). Pada tahun 1950
diketahui bahwa siklus bintik matahari
mengalami titik minimum dan baru
meningkat mencapai titik maksimum pada
tahun 1970. Selain itu revolusi nuklir yang
terjadi pasca perang dunia ke dua (1945) dan
letusan besar Gunung Agung di Bali (1963)
juga turut menyumbangkan beberapa ton
aerosol ke atmosfer sehingga radiasi yang
masuk terhalang dan suhu global menurun
pada periode 1940-1970 (Leurox 2005).
Perubahan iklim sebagai implikasi
pemanasan global yang disebabkan oleh
kenaikan gas-gas rumah kaca terutama
karbon dioksida (CO2) dan metana (CH4),
mengakibatkan dua hal utama yang terjadi di
lapisan atmosfer paling bawah, yaitu
fluktuasi curah hujan yang tinggi dan
kenaikan muka laut (Susandi et al. 2008).
Mahmud dalam jurnalnya pada tahun 2007
juga
memroyeksikan
emisi
dengan
menggunakan mode MAGICC (Model for
the Assessment of Green-house-gas Induced
Climate Change). Jurnal ini menyatakan
bahwa konsentrasi CO2 pada tahun 2050
akan naik menjadi 512 ppm. Konsentrasi
CH4 mengalami kenaikan menjadi 2300 ppb.
Akibatnya kondisi temperatur naik sebesar
1.45°C, dan tinggi muka laut juga
mengalami kenaikan sebesar 16 cm
Perubahan Suhu (oC)
4.4 Perubahan Suhu Global Akibat Gas
Rumah Kaca
Gas rumah kaca diartikan sebagai gas
yang terdapat di atmosfer yang dapat
menyerap dan memancarkan radiasi. Proses
tersebut merupakan penyebab mendasar dari
efek rumah kaca (Prather dan Ehhalt 2001).
Efek rumah kaca adalah fenomena alam
yang mengisolasi bumi dari udara di luar
angkasa. Radiasi matahari yang datang akan
diserap dan dipancarkan kembali oleh bumi,
maka dengan adanya gas rumah kaca maka
tidak semua panas dari radiasi tersebut
keluar dari atmosfer sehingga bumi berada
pada suhu yang nyaman untuk ditinggali
(UMCH 2010).
Seiring dengan meningkatnya kegiatan
industri semenjak revolusi industri pada
tahun 1750, konsentrasi gas rumah kaca
mengalami peningkatan. Efek rumah kaca
menyebabkan peningkatan rata-rata suhu
global (pemanasan global). Peningkatan
suhu tergambar pada Gambar 6. Garis
merah yang merupakan nilai rataan di setiap
tahunnya mengalami variasi yang semakin
lama semakin meningkat. Kenaikan tersebut
terus terjadi seiring dengan semakin
tingginya peningkatan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer. Laporan IPCC
tahun 2007 mengemukakan bahwa selama
100 tahun terakhir (1906-2005) temperatur
permukaan bumi rata-rata telah naik sekitar
0.74oC, dengan pemanasan yang lebih besar
pada daratan dibandingkan lautan. Tingkat
pemanasan rata-rata selama 50 tahun
terakhir hampir dua kali lipat dari yang
terjadi pada 100 tahun terakhir diakibatkan
oleh peningkatan konsentrasi gas rumah
kaca di atmosfer.
Grafik (Gambar 6) menunjukan rata-rata
suhu tahunan menurun yaitu pada periode
Tahun
Gambar 6 Parubahan suhu global dari tahun 1850- 2007 (Hutton 2010).
21
Tabel 7 Konsentrasi gas rumah kaca
2007)
Konsentrasi
Gas
sebelum revolusi
industri
CO2
280 ppm
CH4
700 ppb
N2O
270 ppb
sebelum dan sesudah revolusi industri (IPCC
Konsentrasi
tahun 2005
Peningkatan
pertahun
Masa hidup di
atmosfer
379ppm
1,774 ppb
319 ppb
1.5 ppm/th
7.0 ppb/th
0.8 ppb/th
5 -200 th
12 th
114 th
CFC-11
HFC-23
0
0
251ppt
18 ppt
1.4 ppt/th
0.55 ppt/th
45 th
260 th
CF4
40 ppt
74ppt
1 ppt/th
>50,000 th
Pengaruh masing-masing gas rumah kaca
terhadap terjadinya efek rumah kaca
bergantung pada besarnya kadar gas rumah
kaca di atmosfer, waktu tinggal di atmosfer,
dan kemampuan penyerapan energi. Waktu
tinggal gas rumah kaca di atmosfer juga
mempengaruhi
efektivitasnya
dalam
menaikkan suhu. Pada tahun 2005
konsentrasi CO2 meningkat hingga mencapai
379 ppm memiliki kontribusi besar dalam
menaikkan suhu global karena waktu
tinggalnya yang mencapai 200 tahun. Gas
CF4 memiliki waktu tinggal yang sangat
lama di atmosfer (>50,000 tahun), dan nilai
konsentrasi yang cukup besar (74 ppt)
menyebabkan gas tersebut memiliki
kontribusi yang besar dalam meningkatkan
suhu global jika terus menunpuk di
atmosfer. Gas lain yang juga berpengaruh
pada efek rumah kaca adalah H2O.
Kelimpahan zat ini sangat besar di atmosfer
yaitu sebesar 0.3% massa atmosfer. Masa
hidup has ini hanya 10 hari maka H20 tidak
dianggap efektif dalam menaikan suhu
global (Gavin 2005). Semakin panjang
waktu tinggal gas di atmosfer, dan semakin
besar peningkatan konsentrasinya maka
semakin efektif pula pengaruhnya terhadap
kenaikan suhu (Sugiyono 2009).
Global Warming Potential
Setiap gas rumah kaca mempunyai
potensi pemanasan global (Global Warming
Potential - GWP) yang diukur secara relatif
berdasarkan emisi CO2 dengan nilai GWP 1.
Semakin besar nilai GWP makin bersifat
merusak (Sugiyono 2009). GWP merupakan
ukuran berapa banyak suatu massa gas
rumah kaca diperkirakan berkontribusi pada
pemanasan global. GWP adalah skala relatif
yang membandingkan gas rumah kaca lain
dengan massa CO2. Nilai dari GWP dihitung
selama suatu interval tertentu dan selang
waktu tertentu (IPCC 2001).
Tiga hal yang mempengaruhi nilai GWP
antara lain:
Penyerapan radiasi inframerah
Lokasi spektral panjang gelombang
penyerap
Waktu gas tersebut bertahan di
atmosfer
Secara ilmiah GWP didefinisikan sebagai
integrasi radiative forcing dalam jangka
waktu tertentu dan dibandingkan dengan gas
relatif tertentu (IPCC 2007).
…….(5)
TH (Time Horizon) adalah lamanya
waktu yang dihitung,
adalah efisiensi
radiasi karena kenaikkan kelimpaha gas
tersebut di atmosfer, dan Ci(t) adalah waktu
yang dibutuhkan gas tersebut dengan
kelimpahan tertentu bertahan di atmosfer
(life-time). Sedangkan
dan Cr(t)
merupakan parameter yang sama dari gas
relatif..
Dibandingkan dengan gas relatif CO2 ,
CH4 memiliki nilai GWP sebesar 25 yang
menunjukkan potensinya dalam global
warming adalah 25 kali lebih besar dari CO2.
Sama halnya dengan N2O yang memiliki
nilai GWP 298, yang berarti N2O memiliki
potensi untuk menaikan suhu global sebesar
298 kali dari potensi CO2 dalam menaikan
suhu global. Gas selain CO2 pada Tabel 8
memiliki nilai GWP yang lebih besar dan
lebih bersifat merusak. Akan tetapi,
peningkatan konsentrasi CO2 dan waktu
tinggalnya di atmosfer tetap dianggap
ancaman terbesar penyebab pemanasan
global. Selain GWP, parameter lain yang
menggambarkan pengaruh gas rumah kaca
terhadap perubahan iklim yang biasanya
diindikasikan dengan kenaikan suhu adalah
radiative forcing.
22
Tabel
8 Komponen gas rumah kaca dan potensinya terhadap pemanasan global
untuk TH (Time Horizon) 100 tahun dengan CO 2 sebagai gas relatif
(IPCC 2007)
Potensi Pemanasan
Komponen GRK
Global (GWP)
Carbon Dioxide (CO2)
1
Methane (CH4)
25
Nitrous Oxide (N2O)
298
Hydrofluorocarbons (HFC)
124 – 14.800
Perfluorocarbons (PFC)
7.390 – 12.200
Sulfur Hexafluoride
22.800
Radiative Forcing
Radiative forcing merupakan sebuah
index dari faktor yang bertindak sebagai
sebuah mekanis potensial yang mengubah
keseimbangan output dan input energi.
Index ini bernilai negatif (-) apabila faktor
mengubah suhu menjadi lebih dingin dan
bernilai positif (+) untuk perubahan suhu ke
arah lebih panas (IPCC 2007).
Kesetimbangan energi radiasi matahari
diperoleh dari selisih nilai radiasi matahari
yang masuk ke bumi melalui radiasi
gelombang pendek dengan nilai radiasi
matahari yang diemisikan oleh bumi dalam
bentuk radiasi gelombang panjang. Apabila
selisih nilai tersebut bernilai nol, maka
kesetimbangan energi radiasi matahari
tercapai (Nahas 2010). Jika selisih nilai
tersebut bernilai positif, artinya lebih banyak
energi radiasi matahari yang diserap, maka
hal ini dinamakan dengan positive feedback.
Dampak dari positive feedback adalah
naiknya temperatur rata-rata permukaan
bumi yang mengarah terhadap terjadinya
pemanasan secara global (global warming).
Sebaliknya, jika lebih banyak radiasi
matahari yang diemisikan oleh permukaan
bumi, maka hal ini disebut dengan negative
feedback yang berdampak pada turunnya
temperatur rata-rata permukaan bumi (global
dimming).
Tabel 9 menjelaskan beberapa komponen
radiative forcing serta nilai indexnya
masing-masing. Nilai radiative forcing
untuk gas rumah kaca seperti CO2 dan CH4
berniai positif, sedangkan ozon bernilai
positif di bagian troposfer dan negatif di
bagian stratosfer. Uap air yang terkandung
di stratosfer bernilai positif.
Radiative forcing dinyatakan sebagai
jumlah energi per satuan luas, per satuan
waktu energi yang diserap gas rumah kaca
atau yang hilang. Nilai RF (Radiative
Forcing) untuk aerosol juga benilai negatif.
Total RF yang diakibatkan faktor
anthropogenic sebesar 1.6 Wm-2, sedangkan
total nilai RF yang disebabkan faktor
natural
hanya sebesar
0.12 Wm-2
Tabel 9 Nilai komponen radiative forcing (IPCC 2007)
Factor
Anthropogenic
Natural
RF Component
Long-life
gases
CO2
N2O
CH4
Halokarbon
Ozon
Stratospheric
Tropospheric
Stratospheric H2O from CH4
Surface
Land use
Albedo
Black carbon on
snow
Aerosol
direct effect
cloud albedo
effect
Linier contrails
Solar Irradiance
RF (Wm-2)
1.66
0.48
0.16
0.34
-0.05
0.35
0.07
-0.2
0.1
Total net
(Wm-2)
1.61
-0.5
-0.7
-0.1
0.12
0.12
23
Tabel 10 Nilai konstanta dan beberapa rumusan untuk menentukan nilai radiative
forcing (Mhyre 1998)
Persamaan radiative forcing , ΔF (Wm−2)
Konstanta
ΔF= α ln(C/C0)
α=5.35
CH4
ΔF= α(√M–√M0)–(f(M,N0)–f(M0,N 0))
N2O
ΔF= α(√N–√N0)–(f(M 0,N)–f(M0,N 0))
α=0.036
α=0.12
CFC-11a
ΔF= α(X–X0)
CFC-12
ΔF= α(X–X0)
Jenis gas
CO2
α=0.25
α=0.32
Keterangan : f(M,N) = 0.47 ln[1+2.01×10−5 (MN)0.75+5.31×10−15 M(MN)1.52]
C adalah CO2 dalam ppm
M adalah CH4 dalam ppb
N adalah N2O dalam ppb
X adalah CFC dalam ppb
Misalnya untuk karbon dioksida dengan
kelimpahan pada tahun 1975 (CO2) sebesar
278 ppm dan pada tahun 2005 adalah
sebesar 379 maka dengan menggunakan
formula di bawah ini:
Nilai di atas sebanding dengan perkiraan
IPCC
(2001)
menunjukkan
bahwa
peningkatan konsentrasi CO2 dua kali lipat
akan diikuti oleh peningkatan temperatur
udara rata-rata sebesar 1.5-4.5oC.
ΔF=5.35x ln (C/Co)……..…….(6)
didapatkan nilai radiative forcing dengan
periode perubahan kelimpahan 1975-2005
adalah sebesar 1.66 W m-2 dan kenaikan
suhu bumi sebesar 0.72oC (IPCC 2007).
Dengan kenaikan konsentrasi CO2 sebesar
dua kali lipat dari konsentrasi masa revolusi
industry (556 ppm), maka nilai radiative
forcing CO2 sebesar 3.7 W m-2. Nilai
tersebut akan meningkatkan suhu sebesar
1.5 oC dengan menggunakan persamaan (4)
seperti di bawah ini:
dT = 1.5o
4.5 Analisis Kecenderungan Suhu dan
Curah Hujan Jakarta Observatory 19652010
Perubahan
iklim
umumnya
diindikasikan dengan adanya pemanasan
global atau kenaikan suhu global. Untuk
menganalisis perubahan iklim yang terjadi,
diperlukan data series observasi iklim yang
panjang. Data series observasi iklim yang
panjang sangat sulit didapat sehingga ini
menjadi kendala besar dalam analisis
perubahan iklim.
4.5.1 Analisis Kecenderungan Suhu
Analisis yang dilakukan menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan yang cukup
terlihat dari data time series di setiap
periode. Gambar di bawah ini menunjukan
grafik
data
suhu
tahunan
Jakarta
Observatory
dari
tahun
1965-2010.
29.50
29.00
28.50
28.00
27.50
27.00
26.50
26.00
25.50
Suhu Tahunan
Linear (Suhu Tahunan)
y = 0.033x + 27.26
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
Suhu (oC)
24
Tahun
Gambar 7 Variasi suhu tahunan Jakarta Observatory (1965 -2010).
30.00
y = 0.036x + 27.38
Suhu(oC)
29.00
28.00
27.00
y = 0.029x + 26.55
26.00
Rata- rata suhu MH
Rata- rata Suhu MK
Linear (Rata- rata suhu MH)
25.00
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
24.00
Tahun
Gambar 8 Variasi suhu musim hujan dan kemarau Jakarta Observatory tahun (1965- 2010).
Persamaan linier yang diihasilkan (y =
0.033x + 27.26) juga menunjukkan
kecenderungan positif untuk nilai slope
positif sebesar 0.033. Nilai slope yang
positif ini menandakan bahwa nilai suhu
memiliki kemiringan atau kecenderungan
naik sebesar 0.033x, dengan x adalah waktu
dalam tahun. Gambar variasi suhu musim
hujan dan kemarau di atas juga memiliki kecenderungan positif yang menunjukkan
dengan jelas terjadinya kenaikan suhu baik
pada musim hujan (DJF) ataupun musim
kemarau (JJA). Persamaan linier yang
dihasilkan adalah y = 0.036x + 27.38 untuk
musim kemarau dan y = 0.029x + 26.55
untuk musim penghujan. Nilai slope positif
menunjukkan bahwa data suhu ini
mengalami kecenderungan naik berbanding
lurus dengan waktu.
Kenaikan suhu ini juga ditunjukkan oleh
tabel di bawah. Suhu dari periode I ke
periode II mengalami peningkatan 0.54oC,
suhu dari periode II ke periode III
mengalami peningkatan 0.24oC, dan untuk
periode II ke periode IV kota Jakarta
mengalami peningkatan suhu sebesar
0.38oC. Kenaikan suhu tertinggi pada
periode I (1965-1974) menuju periode II
(1975-1984).
25
Tabel 11 Rata-rata suhu permukaan Jakarta per dekade
ΔT(0C)
Periode
Range Tahun
T Rata-rata/Tahun(oC)
I
1965-1974
27.36
II
1975-1984
27.90
0.54
III
1985-1994
28.14
0.24
IV
1995-2010
28.53
0.38
Dari tabel diatas terlihat kenaikan suhu
yang bervariasi di setiap periode. Kenaikan
suhu terbaesar terjadi antara perode I dan
periode II yaitu sebesar 0.54oC. Sedangakan
kenaikan suhu terkecil terjadi antara periode
II dan periode III yaitu sebesar 0.24 oC.
dengan hasil analisis temperatur. Pada
analisis ini curah hujan mengalami
kecenderungan turun seperti yang terlihat
pada gambar di bawah ini.
Gambar 9 menunjukkan kecenderungan
negatif untuk curah hujan tahunan dengan
persamaan linier y = -17.68x + 1992. Slope
sebesar -17.68 (cenderung turun) dengan x
adalah waktu dalam tahun.
4.5.2 Analisis Kecenderungan Curah
Hujan
Analisis curah hujan yang dilakukan
menghasilkan hasil yang bertolak belakang
3000
y = -13.93x + 1947.
2000
1500
1000
CH Tahunan
500
Linear ( CH Tahunan)
0
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
Ch (mm)
2500
Tahun
Gambar 9 Variasi curah hujan tahunan Jakarta Observatory (1965-2010).
2000
1800
1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
y = -8.813x + 1007.
y = -0.104x + 155.5
1965
1967
1969
1971
1973
1975
1977
1979
1981
1983
1985
1987
1989
1991
1993
1995
1997
1999
2001
2003
2005
2007
2009
CH (mm)
26
Tahun
CH MH
CH MK
Linear (CH MH)
Linear (CH MK)
Gambar 10 Variasi curah hujan musim hujan dan musim kemarau Jakarta Observatory (19652010).
Tabel 12 Rata-rata tinggi curah hujan Jakarta Observatory periode 10 tahunan
Periode
Range Tahun
I
1965-1974
II
1975-1984
1888
-19
III
1985-1994
1377
-511
IV
1995-2010
1300
-77
Gambar curah hujan musiman (Gambar
10) juga menunjukan hal yang sama yaitu
kecenderungan
negatif.
Mengalami
penurunan dengan persamaan linier untuk
musim hujan (curah hujan Desember,
Januari, dan Februari) adalah y = -8.81x +
1007 dan untuk musim kemarau (curah
hujan Juni, Juli, Agustus) adalah y = 0.104x+ 155.5.
Dari Tabel 12 terlihat penurunan yang
terjadi di setiap periode penurunan ini terjadi
CH Rata-rata/Tahun
(mm)
1907
ΔCH
paling tinggi ketika periode II menuju
periode III. Hasil analisis ini juga didukung
oleh hasil penelitian Avia (2005) dengan
data curah hujan Jakarta tahun 1901-2002.
Hasil analisisnya menyatakan bahwa
periode 1931-1960 dan 1991-2002 terlihat
mengalami penurunan rata-rata jumlah curah
hujan tahunan. Data iklim yang digunakan
untuk analisis ini berada pada range tahun
tersebut.
Download